5 Diagnosis Diferensial Diagnose sebagian besar penyakit umumnya dapat ditentukan melalui tanda dan gejala klinis yang ada. Namun perlu dicermati bahwa tanda dan gejala demikian tidak selalu spesifik untuk satu penyakit, tetapi dapat terjadi karena berbagai proses penyakit. Oleh karena itu analisis akurat dan kritis mengenai berbagai facta klinis seperti lokasi, distribusi, tes khusus atau tanda dan gejala yang menyertainya sangat diperlukan dalam rangka menentukan diagnosis kerja atau diagnosis diferensialnya. Tidak tertutup kemungkinan diantara berbagai kelainan yang ada mempunyai etiologi atau faktor pre desposisi yang sating tumpang tindih.
5.1 Konsep diagnosis diferensial Diagnosis penyakit mulut khususnya yang menyangkut jaringan keras gigi seperti karies biasanya tidak sulit ditentukan. Manifestasi klinis kelainan tersebut spesifik atau dengan kata lain tidak ada penyakit yang menghasilkan kondisi serupa. Diagnosis penyakit atau kelainan nondental khususnya yang terjadi pada jaringan lunak mulut se ring tidak mudah ditetapkan karena manifestasi klinis dan penyebabnya bervariasi. Da-lam hal demikian maka perlu cara pendekatan agar dapat mengakomodasi berbagai faktor yang kemungkinan menjadi penyebab. Oleh karena itu untuk kasus nondental selalu dilakukan pendekatan melalui diagnosis diferential atau diagnosis banding. Diagnosis diferensial adalah menentukan diagnosis suatu penyakit dengan cara membandingkan dua atau lebih penyakit yang mempunyai beberapa tanda dan gejala yang sama. Pada dasarnya kegiatan demikian telah dimulai sejak permulaan anamnesis dan akan dilaksanakan terus setama melakukan pemeriksaan fisik. Bahkan diagnosis diferensial demikian akan memberikan arch untuk dilakukannya tes atau pemeriksaan khusus. Secara konseptual dan prosedural diagnosis diferensial dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut: Tahap 1: Klasifikasi abnormalitas Tahap 2: Menentukan ciri-ciri klinis sekunder Tahap 3: Membuat daftar berbagai kondisi penyebab manifestasi primer. Tahap 4: Mengesampingkan beberapa kondisi yang tidak mungkin sebagai penyebab Tahap 5: Menyusun beberapa kemungkinan penyebab Tahap 6: Menentukan diagnosis kerja / diagnosis difinitif
Universitas Gadjah Mada
1
Klasifikasi abnormalitas. Sebagian besar abnormalitas di mulut ditandai khas dengan perubahan penam
pakan klinis mencolok yang menunjukkan sifat umum dari suatu lesi sehingga berbeda dengan jaringan normal. Manifestasi primer dari lesi oral demikian dipakai sebagai titik awal klasifikasi sebelum menentukan diagnosis diferensial. Secara umum manifestasi primer abnormalitas di mulut dapat dikelompokkan sebagai: (a) perubahan warna mukosa, (b) hilangnya integritas mukosa, (c) pembesaran jaringan, (d) perluasan dari lesi di dalam tulang atau (e) gabungan berbagai abnormalitas berbeda yang memberikan kecurigaan pada suatu sindrorp klinik. Untuk sifat-sifat khas yang lain dari suatu abnormalitas dipandang sebagai ciri-ciri klinis sekunder.
Menentukan ciri-ciri klinis sekunder. Untuk lebih memahami abnormalitas yang dicurigai, maka berdasarkan klasifikasi
manifestasi primer suatu abnormalitas tersebut di atas ditentukan secara obyektif ciri-ciri kfinis sekunder yang dapat memberikan bukti tambahan mengenai sifat dasar dari proses penyakit. Ciri klinis sekunder demikian sangat diperlukan dalam diagnosis diferensial antara penyakit-penyakit yang diketahui dapat menyebabkan manifestasi primer. Klinisi pemula sering terpancing untuk segera membuat diagnosis berdasarkan satu atau dua ciriciri obyektif tanpa melakukan pemeriksaan secara menyeluruh dari suatu lesi. Perlu diperhatikan bahwa cara demikian sering menimbulkan kekeliruan diagnostik, yang lebih lanjut akan menimbulkan kecenderungan terjadinya salah interprestasi terhadap ciri klinis sekunder lainnya. Klinisi yang berpengalaman umumnya tidak akan mengeluarkan pendapat tentang diagnosis suatu lesi sampai dapat dikumpulkannya sebanyak mungkin informasi diagnostik untuk lesi tersebut. Setelah mukosa dibersihkan dari saliva dan sisa makanan, dilakukan inspeksi dengan seksama terhadap lesi untuk ditentukan lokasi, bentuk adan ukurannya. Perlu diperhatikan apakah abnormalitas tersebut berdiri sendiri (bersifat fokal) atau disertai dengan abnormalitas sama di tempat lain yang menunjukkan adanya proses multifokal. Batas lesi dengan jaringan sekitarnya harus diperiksa dengan seksama untuk menentukan bentuk dan ciri-ciri tepi abnormalitas teratur atau tidak. Penampakan klinis abnormalitas apakah bersifat homogen atau heterogen haws diperhatikan. Dengan palpasi diharapakan dapat diketahui konsisitensi jaringan yang terlibat dan ada tidaknya respon nyeri. Disamping tanda-tanda klinis lesi tersebut faktor penunjang yang lain seperti umur, jenis kelamin, ras dan riwayat medik dapat memberikan informasi dasar untuk diagnosis diferensial.
Universitas Gadjah Mada
2
Membuat daftar berbagai kondisi yang dapat menyebabkan manifestasi primer. Pada tahapan ini perlu dipikirkan mengenai berbagai kondisi yang diketahui dapat
menyebabkan manifestasi primer. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa diagnosis diferensial yang akurat suatu abnormalitas nondental perlu mempertimbangkan berbagai kemungkinan penyebab. Untuk itu maka dibuat daftar mengenai kondisikondisi yang dapat menyebabkan menifestasi primer. Bagi klinisi pemula sering hanya memperhatikan kondisikondisi yang mudah diingat dan dapat menimbulkan satu tanda spesifik dari suatu lesi. Ada kecenderungan mereka hanya memperhatikan beberapa kondisi yang umum dan mengiterprestasikan beberapa temuan klinis untuk di cocokkan dengan salah satu penyakit. Cara demikian merupakan metode diagnostik yang keliru. Diagnosis diferensial akan mendekati suatu diagnosis yang benar jika ciri-ciri khas dari berbagai kemungkinan penyakit dibandingkan dengan abnormalitas yang ada pada pasien. Untuk itu pemaharpan dan interprestasi tanda dan gejala klinis serta patofisiologi penyakit sangat diperlukan. Sebagai contoh misalnya abnormalitas karena perubahan warna mukosa oral menjadi lebih putih ( white lesion ); kondisi demikian dapat disebabkan karena penebalan epitel, penimbunan material dipermukaan mukosa atau perubahan didalam jaringan submukosa. Ketiga kondisi tersebut secara konsisten menyebabkan penampakan klinis yang berbeda dan mudah diidentifikasi sehingga ketiganya harus selalu dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial untuk lesi putih.
Mengesampingkan beberapa kondisi yang tidak mungkin sebagai penyebab. Setelah dibuat daftar mengenai ciri-ciri diagnostik suatu lesi dan kemungkinan
penyebab manifestasi primernya, berbagai ciri klinis sekunder dan informasi klinik tambahan yang lain dibandingkan untuk mengesampingkan penyebab yang tidak mungkin. Pada tahapan ini dilakukan penilaian mengenai kesesuaian antara berbagai kemungkinan diagnosis dengan temuan klinis yang ada pada pasien. Bila terdapat temuan yang kontradiktif antara temuan klinis pada pasien dengan ciri-ciri diagnostik suatu penyakit, maka kemungkinan diagnose penyakit tersebut dapat dikesampingkan. Untuk kebanyakan kasus strategi diagnosis diferensial yang efisien didasarkan pada beberapa ciri diagnostik yang mudah diinterprestasikan dan secara konsisiten dapat dipercaya untuk mengesampingkan kondisi-kondisi tertentu. Dengan melakukan klasifikasi abnormalitas ke dalam kelompok lesi seperti di atas akan memberi kemu dahan untuk menentukan berbagai ciri klinis sekunder yang sesuai atau paling dapat dipercaya. Sasaran utama pada tahapan ini ialah mengurangi sebanyak mungkin berbagai penyebab yang harus dipertimbangkan, sehingga kasus-kasus yang serupa akan lebih mudah diperhatikan. Sebagai contoh misalnya pada lesi putih seperti yang telah dikemukakan sebelumnya; jika warna putih pada mukosa hilang setelah dibersihkan dengan usapan kain Universitas Gadjah Mada
3
kasa maka kemungkinan penebalan epitel atau perubahan pada jaringan subepitel sebagai penyebab lesi putih dapat dikesampingkan. Pemikiran kearah kondisi-kondisi yang disertai dengan penimbunan material atau jaringan nekrotik seperti pseudomembrane candidiasis, chemical burn, atau bahkan suatu ulkus lebih dapat diperhatikan. Perlu diperhatikan bahwa eliminasi kondisi-kondisi serius tertentu seperti keganasan sebagai kemungkinan penyebab akan mempunyai nilai lebih penting.
Menyusun beberapa kemungkinan penyebab. Setelah berbagai kondisi yang tidak mungkin sebagai diagnosis yang potensial
dikesampingkan maka langkah berikutnya ialah membuat daftar urutan penyakitpenyakit yang dapat menjelaskan terjadinya abnormalitas, tanda dan gejala klinis yang menyertainya. Urutan kemungkinan sebagai diagnosis didasarkan pada besarnya frekuensi kejadian dari masing-masing penyebab dan banyaknya kesesuaian antara tanda-tanda klinis skunder dengan ciri-ciri khas dari masing-masing kemungkinan diagnosis. Dalam berbagai situasi hal demikian relatif subyektif, sehingga penilaian terhadap berbagai tampilan klinis antara klinisi yang satu dapat berbeda dengan yang lain. Kecenderungan demikian dan sifat biologik proses penyakit yang kadang sulit diprediksi serta pengaruhnya terhadap tahapan perjalanan suatu penyakit tertentu pada individu harus selalu dipertimbangkan. Dalam membandingkan ciri-ciri lesi pada pasien dengan ciri-ciri khusus dari suatu kemungkinan diagnosis tidak jarang diperoleh kesan bahwa diagnosis yang kemungkinannya besar belum tentu menunjukkan yang benar atau sebaliknya yang kelihatannya sepele atau tidak begitu menonjol tetapi mempunyai kemungkinan / peluang kebenaran yang besar.
Menentukan diagnosis kerja. Kondisi yang paling mungkin menjadi penyebab dari lesi yang ada pada pasien
dipandang sebagai diagnosis kerja atau diagnosis sementara. Diagnosis kerja dan diagnosis yang paling kecil kemungkinannya akan memberikan dasar pemikiran untuk dilakukannya prosedure diagnostik tambahan seperti biopsi, atau tes laboratorium dan untuk menentukan management klinis awal dari kondisi tersebut. Hasil tes dan pemeriksaan penunjang disgnostik tambahan ini biasanya dapat dipakai untuk membedakan secara efektif diagnosis yang tepat dari beberapa kemungkinan penyebab sehingga diagnosis akhir atau diagnosis definitif dapat ditegakkan. Jika tidak ada test pembeda atau jika diperlukan perawatan yang segera, maka dapat diberikan perawatanan dengan assumsi bahwa diagnosis kerja adalah benar.
Universitas Gadjah Mada
4
Kontrol atau pemeriksaan ulang merupakan aspek klinis lain yang harus dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial. Perkembangan kondisi abnormal selama periode waktu tertentu balk dengan perawatan atau tanpa perawatan khusus merupa kan salah satu sumber informasi penting untuk konfirmasi diagnostik. Suatu perjalanan klinis yang tidak terduga dari abnormalitas sering mengungkap adanya kesalahan diag nostik atau diagnosis difinitif yang tidak benar. Disisi lain lesi-lesi dengan diagnosis yang benar mungkin kambuh dan memerlukan perawatan tambahan. Untuk kedua alasan tersebut maka kontrol pasien dan pemeriksaan ulang merupakan unsur yang esensial dalam proses diagnosis diferensial 5.2 Klasifikasi abnormalitas berdasarkan lokasi dan manifestasi primer Setelah menjumpai suatu abnormalitas, klinisi harus segera menentukan dua keputusan awal yaitu: (1) menentukan apakah abnormalitas tersebut merupakan variasi normal atau sebagai tanda-tanda aktual adanya penyakit, dan (2) kalau abnormalitas tersebut merupakan bukti aktual adanya penyakit maka klasifikasi atau kelompok lesi yang mana paling cocok untuk mengungkap diagnosis diferensial abnormalitas tersebut. Untuk menentukan kedua keputusan tersebut khususnya bagi klinisi yang belum berpengalaman sering mendapat kesulitan. Namun perlu diperhatikan bahwa kesalahan pada salah satu dari keputusan tersebut akan memberikan konsekuensi bahwa diagnosis diferensial akan berjalan pada jalur yang salah, dan biasanya penilaian yang dilakukan terhadap abnormalitas sering keliru. Tahapan awal klasifikasi abnormalitas di mukosa mulut dapat di lihat pada gambar di halaman berikutnya. Pengelompokkan abnormalitas berdasarkan jaringan yang terlibat dan manifesatsi primernya seperti terlihat pada bagan berikut dimaksudkan agar klinisi lebih mudah untuk memfokuskan pada kondisi-kondisi yang kemungkinan menjadi penyebab. Dan sisi yang lain dengan cara demikian beberapa penyakit yang menyebabkan manifestasi primer berbeda dapat dikeluarkan dari pertimbangan awal diagnosis diferensial. Berdasarkan jaringan yang terlibat lesi oral dapat dikelompokkan sebagai lesi pada permukaan mukosa, lesi jaringan lunak yang lebih dalam atau lesi di dalam tulang. Perlu diperhatikan bahwa terdapat beberapa kondisi yang ditandai khas adanya abnormalitas yang multiple melibatkan beberapa jaringan atau lokasi anatomis yang berbeda. Dalam klasifikasi abnormalitas di mukosa, perubahan penampilan klinis permukaan mukosa dipandang sebagai manifestasi primer dari suatu abnormalitas. Temuan tambahan seperti pembesaran jaringan atau adanya hubungan dengan lesi tulang, keterlibatan jaringan lain yang mengisyaratkan bahwa perubahan mukosa tersebut terjadi sebagai akibat sekunder dari proses penyakit, maka secara tidak langsung lesi tersebut harus dipandang sebagai kelompok diagnosis diferensial yang lain. Lesi mukosa oral tanpa disertai pembesaran Universitas Gadjah Mada
5
jaringan berdasarkan penampilan klinisnya dapat dikelompokkan sebagai white lesion, dark lesion dan hilangnya integritas permukaan.
Gambar5-1: Pengelompokan abnormalitas mukosa oral berdasarkan manifestasi primer dan ciri sekunder Lesi putih ( White mucosal lesions ) lesi putih atau white lesion pada mukosa oral ditandai khas oleh manifestasi primer dari suatu abnormalitas perubahan warna putih atau pucat pada mukosa tanpa disertai pembesaran atau ulserasi. Perubahan demikian disebabkan karena tiga kondisi utama yaitu (1) penebalan epitel, (2) penimbunan material dipermukaan mukosa dan (3) perubahan didalam jaringan submukosa. Ketiga kondisi tersebut secara konsisten menyebabkan penampakan klinis yang berbeda dan mudah diidentifikasi, sehingga ketiganya harus selalu dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial lesi putih. Ciri-ciri klinis sekunder dari lesi putih di mukosa oral sangat diperlukan dalam diagnosis diferensial. Ciri permukaan lesi halus, kasar atau tampak menebal dapat memberi petunjuk mengenai jenis lesi yang ada. Keberadaan lesi putih apakah mudah terlepas atau tidak waktu dibersihkan, distribusi lesi apakah bersifat fokal (setempat) atau difus atau multifokal merupakan informasi yang penting untuk diagnosis diferensial. Ada tidaknya gejala-gejala yang menyertai lesi, lokasi, durasi serta informasi mengenai kebiasaan pasien menggunakan alkohol atau merokok perlu mendapat perhatian didalam riwayat pasien. Universitas Gadjah Mada
6
Perlu diperhatikan disini bahwa bila terdapat kondisi campuran yaitu perubahan warna putih dengan ulkus maka lesi tersebut dikelompokkan sebagai ulkus. Lesi Gelap ( Dark mucosal lesions ) Sebagian besar lesi ini berhubungan dengan timbunan darah abnormal, akumulasi pig-men darah atau melanin yang berlebihan, dan agregasi benda asing. Jenis pigmentasi yang terjadi sering dapat diperkirakan melalui warna pada lesi tersebut merah, coklat atau hitam. Untuk lesi merah harus dipalpasi atau pemeriksaan diaskophi untuk menentukan adanya perubahan menjacii pucat atau tidak. Semua merupakan ciri-ciri sekunder yang sangat berharga dalam diagnosis diferensial. Disamping warna, jumlah dan distribusi lesi tersebut fokal, multifokal atau difus sangat membantu dalam diagnosis diferensial. Semtia lesi berwarna gelap di mulut harus segera diperiksa untuk menentukan lesi tersebut sebagai proses lokal atau proses sistemik. Pigmentasi multifokal dan difus dapat disebabkan karena abnormalitas perkembangan, metabolik atau hormonal. Hilangnya integritas mukosa Termasuk kelompok ini ialah ulkus atau lesi-lesi yang secara tipikal didahului dengan ulserasi. Banyak kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya ulkus di mukosa mulut. Beberapa penyebab ulkus dapat dibed akan dengan menelusuri riwayat terjadinya apakah akut atau bertahap. Distribusi ulkus apakah bersifat fokal atau multi fokal merupakan ciri-ciri diagnostik yang penting. Karena ulkus sering disertai nyeri biasanya pasien dapat memberikan gambaran mengenai durasi, keparahan dan faktor-faktor presipitasi serta informasi klinis lain. Karena pada kondisi tertentu ulserasi di mulut dapat disertai dengan lesi di kulit, mukosa genital dan konjunctiva maka riwayat mengenai keterlibatan bagianbagian tubuh yang lain tersebut perlu ditanyakan. Diagnosis untuk beberapa lesi yang akut, penyakit genetik, ulkus kambuhan atau idiopatik biasanya dapat ditentukan atas dasar temuan klinis, namun untuk diagnosis difinitif kondisi ulseratif yang destruktif atau karena penyakit autoimune memerlukan pemeriksaan biopsi.
Pembesaran jaringan lunak. Pembesaran jaringan lunak merupakan manifesatsi klinis primer abnormalitas yang disebabkan karena berbagai kondisi yang berbeda. Disamping karena struktur anatomis yang normal, beberapa proses patologi seperti radang, anomali perkembang an, dan neoplasma dapat menyebabkan pembesaran jaringan lunak Ciri-ciri pembesaran demikian Universitas Gadjah Mada
7
dapat dikaji dengan palpasi untuk mengetahui komposisi dan ada tidaknya tenderness. Sebagian besar pembesaran jaringan lunak di mulut adalah soliter, tetapi perlu pemeriksaan yang seksama untuk mengetahui adanya pembesaran jaringan yang lainnya. Pada lesi ini perlu dicatat ciri-ciri permukaan lesi karena dapat memberi petunjuk mengenai komposisi atau kemungkinan penyebabnya. Lokasi yang tepat pembesaran jaringan ini harus ditentukan karena dapat dipakai untuk memperkirakan asal dari lesi tersebut. Kecepatan pertumbuhan, perubahan perangai permukaan mukosa, kurang tegasnya Batas tepi lesi dan luasnya kerusakan jaringan dapat mengingatkan pada kondisi yang ganas. Pemeriksaan histopatologik diperlukan untuk menegakkan diagnosis difinitif. Lesi radiografik Radiograf memberikan informasi penting mengenai komposisi, kecepatan pertumbuhan, relasi terhadap struktur anatomis dan diagnosis diferensial untuk lesi di dalam tulang rahang. Strategi diagnosis diferential diawali dengan mengklasifikasikan satu abnormalitas radiografik sebagai lesi radiolusen, radiopak atau campuran keduanya. Bentuk, lokasi dan gambaran tepi lesi perlu diperhatikan. Pasien harus diperika secara seksama untuk identifikasi setiap temuan klinis yang mungkin terkait dengan lesi terse-but, seperti ekspansi tulang, krepitasi, timbulnya nyeri dan abnormalitas gigi pada regio tersebut serta perubahan mukQsa terkait. Dengan menggabungkan berbagai temuan klinis, gejalagejala, umur pasien dan hasil interpretasi radiografik dari suatu lesi akan dapat diperoleh satu dasar pemikiran untuk menentukan diagnosis kerja dan manajemen yang realistik. Sindrom klinik Istilah syndrome didifinisikan sebagai kumpulan tanda dan gejala yang berhu bungan dengan berbagai proses abnormal yang bersama-sama merupakan gambaran dari suatu penyakit. Beberapa ciri-ciri klinis yang kelihatan berbeda sebenarnya merupakan manifestasi dari satu penyebab. Terdapatnya manifesatasi lesi yang multiple kemungkinan termasuk abnormalitas yang berhubungan dengan perkembangan umum atau kondisi metabolik tertentu. Kondisi demikian memberikan kecurigaan pada suatu sindrom klinik.
Beberapa faktor yang mempersulit indentifikasi dan evaluasi sindrom klinik. Pertama ialah bahwa sebuah penyakit yang menyebabkan lesi multiple dengan ciri-ciri sama dapat dikelompokkan sebagai manifestasi primer yang bersifat multifokal daripada abnormalitas multiple dari suatu simdrom klinik. Kedua bahwa manifestasi multiple yang mempunyai latar belakang satu proses dapat sulit dibedakan dengan manifestasi primer dari beberapa kondisi yang berbeda yang secara kebetulan terjadi pada pasien. Faktor ke tiga bahwa banyak pasien khususnya pada usia lanjut menunjukkan beberapa abnorUniversitas Gadjah Mada
8
malitas yang disebabkan karena beberapa penyakit yang berbeda dan secara keseluruhan tidak berhubungan tetapi berpengaruh pada pasien yang sama. Disamping faktor-faktor tersebut sejumlah besar dari sindrom yang berbeda dan relatif jarang terjadi pada jaringan oral dan perioral merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh klinisi. Menyadari akan hal ini maka bilamana seorang pasien disertai dengan beberapa abnormalitas yang tampaknya tidak sama maka perlu dipertimbangkan kemungkinan adanya sindrome klinik.
Universitas Gadjah Mada
9