Prolog 2015, Brickstone. Negara yang memiliki metode sangat unik dalam melindungi rakyatnya. Memberikan kemerdekaan kepada segenap lapisan masyarakat untuk berkreasi, berinovasi, maupun berfantasi dengan mimpi mereka. Negara yang mencegah pengekangan dan proses penjajahan rakyatnya dari kaum yang serakah, yang haus akan pangkat, jabatan, kekuasaan, dan kebutaan terhadap uang ataupun emas. Kekayaan menyesatkan yang dapat menghancurkan seluruh lapisan pembentuk sebuah negara, baik pemerintah maupun rakyat. Namun, beberapa dari kalangan tertentu memiliki masalah tersendiri terkait metode yang digunakan oleh negara tersebut. Pro dan kontra selalu terjadi hampir di setiap kota. Bahkan beberapa pihak kontra tidak akan segan-segan untuk bergabung dengan teroris yang tujuan awalnya adalah melakukan kudeta, guna menggulingkan pemerintahan dengan pemimpinnya yang (semi) absolut dan para penasihatnya yang terkenal karena ‗bakat‘ tersembunyinya. Berbagai aksi percobaan melawan pemerintah dilakukan. Negara yang semi represif dalam penegakan aturannya ini, menjamin akan semua hak-hak warga negaranya, termasuk jaminan kedamaian, bahkan untuk tidur di lapangan terbuka sekali pun. Karena keterbukaan dan keunikan pemerintahan inilah, kebijakan yang diluncurkan pun mengalami banyak pertentangan dari para kaum borjuis-kapitalis yang menjunjung serta melindungi masyarakat luas. Sebab pemerintah tidak mengutamakan mereka yang ingin membuka proyek kapitalis tersendiri dan menjadikan rakyat mereka sebagai objek pemasaran serta kebijakan penguasaan kaum tersebut, atau pengerukkan kekayaan semata. Oleh karena itu, beberapa orang di negara tersebut membentuk sebuah kelompok dan menamai diri mereka sebagai mafia. Tidak jelas apa tujuan mereka. Tidak berpihak pada pemerintah, maupun teroris di negara tersebut. Sebuah organisasi tersembunyi yang tidak diketahui oleh masyarakat luas, yang terkadang keberadaannya dipertanyakan karena antara ada dan tiada.
Di lain pihak, beberapa anggota elit pemerintahan mengetahui tentang keberadaan mereka; yang disebut sebagai mafia itu—yang bergerak secara diam-diam. Keberadaan yang dapat dikatakan stabil dan tidak tergoyahkan, menyokong keamanan dalam negeri. Tidak ada, bahkan tidak akan pernah ada yang berani mencoba mengusik atau menjamah kehidupan mereka. Sebuah organisasi mafia terlatih, berperan dalam menumpas ketimpangan yang dilakukan oleh para kaum borjuis-kapitalis yang bekerja sama dengan para teroris dan mafia amatir untuk menggulingkan kekuasaan serta mengeruk kekayaan negara, dengan tujuan menegakkan keadilan dan menciptakan ‗dunia baru‘ versi mereka. Di balik semua itu, rumor mengatakan bahwa kehidupan mereka terbilang sangatlah normal, menjalani aktifitas selayaknya warga negara pada umumnya dan bergabung dengan masyarakat luas. Sebuah keluarga mafia biasa, dengan kesigapannya untuk membantu masyarakat dan melindunginya. Sembilan orang, itulah kabar yang beredar mengenai eksistensi mereka. Hanya jumlah, tidak wajah, tidak juga nama yang berhasil diungkap dari mereka. Satu yang pasti, setiap pribadi memiliki kemampuan uniknya tersendiri. Kemampuan gabungan individu yang membawa mereka menjadi sebuah kelompok spesial. Bukan berarti mereka tidak memiliki kelemahan. Hanya kesempurnaan sifat komplemen dan suplemenlah yang menjadikan mereka sang superior. Oleh karenanya, orang menyebut diri mereka dengan sebutan‗MF‘.
2
Satu PUSAT kota, Brickstone City. Terlihat seorang pemuda berambut hitam legam tengah mengawasi daerah sekitar dengan pandangan malas yang tergurat jelas dari kedua iris mata hitamnya yang tajam, bak elang yang sedang malas untuk menangkap mangsanya ―Tch, Tidak berguna,‖ gumamnya seraya menatap datar layar ponsel yang sedari tadi ia genggam. Patroli, adalah sesuatu yang sangat merepotkan baginya. Sangat membuang-buang waktu, dan juga sangat tidak efisien. Menurut lelaki yang berjalan sambil menyeret tubuhnya itu, patroli hanya seperti kegiatan iseng dari seseorang yang tidak memiliki pekerjaan. Menguap bosan, entah untuk yang ke berapa kalinya, entah berapa kali juga ia telah mengganti posisi duduknya serta lokasinya duduk untuk melakukan peregangan serta meredakan badai kebosanan akut yang terus menghinggapinya. Ia pun terus melangkahkan kaki-kaki jenjangnya menelusuri setiap sudut perbelanjaan di pusat kota tersebut. Matanya ia edarkan ke setiap sudut pusat perbelanjaan. Banyak sekali diskon-diskon yang diberikan bagi para pelanggan, namun ia tidak bergeming dengan semuanya itu. Pandangannya tetap tidak teralihkan kepada angka-angka diskon yang seharusnya sudah dapat menggoda baik kalangan muda dan tua, maupun pria dan wanita. Ia mendengus. Sedikit kesal. Tetapi ia tidak tahu apalagi yang harus dilakukannya kecuali menyelesaikan patroli hari ini. Lelaki itu menghampiri mesin penjual minuman otomatis yang hanya berjarak satu meter dari hadapannya dan kemudian menekan tombol di kolom cola untuk membeli satu kaleng bagi dirinya sendiri. KLONTANG! Terdengar bunyi kaleng yang meluncur dari mesin tersebut. Dengan segera, ia pun meminum cola itu sambil bersandar pada mesin penjual otomatis yang ada di samping tubuhnya. Dengan tatapan yang tetap malas, laki-laki bermata hitam itu menggoyanggoyangkan kaleng yang sudah separuh diminum isinya itu.
3
Dari kejauhan, seorang pemuda berambut coklat tua nampak sedang asyik membawa barang belanjaannya. Pakaiannya casual, tetapi rapi. Wajahnya lonjong, dahinya tidak terlalu lebar, namun mata biru kehijauannya menampilkan kecerdasan di sana. Ia pun berjalan menuju tempat mesin penjual otomatis berada. Setelah mengeluarkan beberapa uang koin dari saku celana panjang coklat mudanya, ia pun segera memasukkannya ke dalam mesin penjual otomatis tersebut. Sedikit berbeda, pemuda itu justru menekan tombol susu kaleng bersoda, kemudian segera mengambilnya begitu kaleng tersebut keluar dari tempatnya. BLUGH! Laki-laki berambut hitam yang bersandar itu jatuh terjongkok seraya memejamkan matanya. Reflek, pemuda berambut coklat menoleh cepat ke arah pemuda berambut hitam di dekatnya. ―Tuan, Tuan, apa anda baik–baik saja?‖ ia bertanya dengan nada sedikit panik. Ia juga menggoncangkan tubuh tersebut dengan gerakan yang sangat hati-hati. Beberapa orang mulai berkumpul karena penasaran. Sebagian dari mereka berpikir bahwa laki-laki berambut hitam itu keracunan minuman. Namun sepertinya hal itu tidak benar, karena tidak ada buih putih yang mendesak keluar dari mulutnya. ―Tuan, Tuan!‖ panggilnya lebih keras dengan guncangan yang lebih keras juga. Tak lama kemudian, lelaki itu membuka matanya dan mengusapnya perlahan. Kemudian ia memperhatikan sekitarnya. Dengan suaranya yang serak dan sedikit berat, ia bertanya, ―Ada apa? Mengapa kalian mengelilingiku?‖ Perlahan kerumunan orang–orang itu mulai menyingkir. Sang pemuda berambut coklat pun mengalihkan pandangannya kepada sosok laki-laki di hadapannya. ―Anda baik-baik saja?‖ tanyanya sopan. Pemuda berambut hitam itu tidak mengacuhkan pertanyaan sang pemuda dengan plastik belanjaan berwarna putih berukuran sedang di tangan kirinya. Ia melanjutkan minumnya lagi dan menghabiskan cola-nya yang masih tersisa. Selama beberapa saat, hanya ada suasana hening yang tercipta di antara mereka. Pemuda 4
berambut coklat itu sudah membulatkan tekadnya untuk pergi ketika laki-laki berambut hitam itu menjawabnya singkat, ―Ya. Hanya tertidur.‖ Pemuda berambut coklat itu membantu sosok tinggi besar tersebut untuk berdiri dan berjalan. Ia memapahnya untuk berjalan dan duduk di pinggiran air mancur yang ada di tengah pusat perbelanjaan itu. Namun, tanpa diduga si pemuda berambut hitam legam itu menepis tangan yang menopang tubuhnya dan memilih berjalan lebih dulu, sehingga ia tepat berada beberapa langkah di depan si pemuda berambut coklat itu. Mereka pun duduk dan suasana hening kembali tercipta di antaranya. ―Namaku Wenzel, Anda?‖ tanya si pemuda berambut coklat kepada pemuda yang berada di sampingnya, guna mencairkan suasana. Ia tetap bergeming. Ia hanya menyandarkan tubuhnya di tepian air mancur sambil tetap duduk. Pemuda bernama Wenzel itu menghela napas dalam. Ada apa dengannya, ya? Wenzel teringat akan apa yang dibawanya di dalam tas plastik belanjaannya. Ia mengambil dua buah roti, dan memberikan sebuah kepada pemuda di sampingnya. Tanpa berkata apa-apa, pemuda yang duduk di sebelah Wenzel itu hanya mengambilnya dan memakannya dalam diam. Wenzel mengerutkan keningnya. Acara makan roti bersama itu pun kembali berlangsung dalam keheningan. Keduanya tidak berkata apa-apa lagi sejak Wenzel memberikan roti miliknya. Sampai pada akhirnya, terdengar sebuah bunyi dering ponsel dari pemuda berambut hitam itu. Dengan gerakan malas, ia segera melihatnya dan mendapati sebuah pesan singkat telah terpampang manis di layar ponsel miliknya. Ekspresinya terlihat begitu datar. Pemuda itu hanya mengetik beberapa huruf sebagai balasan dari pesan singkat yang ia terima. Kemudian ia memasukkan kembali ponsel tersebut ke dalam saku jaketnya. Setelah gigitan terakhir dari roti yang dimakannya, pemuda berambut hitam itu kembali berdiri dan melakukan sedikit peregangan pada tubuhnya yang terasa pegal. ―Tian, Tiancy,‖ katanya singkat seraya berlalu dengan santai, meninggalkan Wenzel yang terbengong-bengong di belakangnya. 5