Artikel
“Penguatan Pelibatan DU/DI dalam Upaya Revitalisasi SMK” Oleh : Dedy Iswanto, S.Pd. Guru SMK Diponegoro Lebaksiu Kab. Tegal
A. Pengantar Dalam rangka meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sesuai dengan nawacita ke-6 yang dicanangkan oleh masa pemerintahan Joko Widodo, sepertinya perlu segera diwujudkan. Untuk mencapai amanah tersebut, pemerintah Indonesia perlu berpikir matang agar dapat meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi, baik secara regional maupun global. Dalam hal ini, sumber daya manusia yang perlu disiapkan yaitu dalam bentuk tenaga kerja terampil. Peningkatan daya saing pada tenaga kerja terampil sangat dibutuhkan dalam rangka pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Disinilah peluang besar yang perlu diraih Indonesia sehingga dapat meningkatkan sektor perekonomian. Menurut data dari Archipelaga Economy, Unleashing Indonesia’s Potential (2012), diperlukan tambahan 58 juta tenaga kerja terampil untuk menjadikan ekonomi Indonesia peringkat ke-7 dunia pada tahun 2030. Disamping itu, untuk memenangkan sumber daya manusia Indonesia di lingkup regional yaitu ASEAN Economic Community (AEC), terdapat 14 juta lapangan kerja terbuka sampai dengan 2025. Sedangkan di lingkup global, adanya penurunan penduduk usia kerja sebanyak 23% di Eropa sejak tahun 2010 sampai dengan 2050 akibat ageing society sehingga
Artikel Simposium 2016
1
SDM Indonesia berpeluang penuh untuk memenangkan persaingan tersebut. Inilah tantangan besar yang harus dihadapi pemerintah dalam upaya menciptakan tenaga kerja terampil sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh pasar kerja, dalam hal ini Dunia Usaha/Dunia Industri (DU/DI). Peranan sektor pendidikan dalam hal ini kemdikbud dianggap sebagai penentu kebijakan dalam mewujudkan tenaga kerja terampil. Peran kemdikbud dalam upaya menciptakan tenaga kerja terampil perlu dilakukan dengan meningkatkan pertumbuhan pendidikan kejuruan dalam bentuk Sekolah Menegah Kejuruan (SMK). SMK sebagai lembaga penyelenggaraan program pendidikan kejuruan tentunya berkaitan erat dengan
ketenagakerjaan.
Apalagi
tujuan
utama
penyelenggaraan
pendidikan SMK adalah menciptakan lulusannya sebagai tenaga kerja terampil sesuai dengan bidang keahlian serta lulusan SMK dapat terserap oleh DU/DI. Hal ini senada dengan tujuan khusus SMK yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, yaitu menyiapkan peserta didik agar menjadi manusia produktif, mampu bekerja mandiri, dan mengisi lowongan pekerjaan yang ada sebagai tenaga kerja tingkat menengah sesuai dengan kompetensi dalam program keahlian yang dipilihnya.
B. Masalah Sejatinya
dengan
kian
berkembangnya
SMK
selama
ini,
semestinya angka tingkat pengangguran yang terjadi di Indonesia akan semakin berkurang. Namun ironisnya, perkembangan SMK selama ini justru hanya menambah angka tingkat pengangguran saja. Realita permasalahan yang terjadi dalam dua tahun terakhir ini, angka tingkat
Artikel Simposium 2016
2
pengangguran di Indonesia dari lulusan SMK tidak hanya semakin meningkat, tetapi juga tertinggi jika dibandingkan dari lulusan lain. Ini menunjukkan bahwa penerapan sistem pendidikan di SMK dinilai belum sesuai dengan tujuan SMK yang diharapkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat yang diterbitkan oleh berita www.m.galamedianews.com pada hari Sabtu, 7 Mei 2016. Angka tingkat pengangguran dari lulusan SMK di Indonesia pada bulan Februari 2014 mencapai 7,21%. Hal ini dinilai masih lebih rendah daripada angka tingkat pengangguran dari lulusan SMA yang mencapai 9,10%. Namun, pada bulan Februari 2015, angka tingkat pengangguran dari lulusan SMK menjadi yang tertinggi, yaitu 9,05% atau 1,2 juta orang. Kemudian, pada bulan Februari 2016 dari total pengangguran terbuka mencapai 7,56 juta orang. Angka tingkat pengangguran tertinggi dari lulusan SMK yang bertambah menjadi 9,84%. Namun, angka tingkat pengangguran dari lulusan SMA justru turun menjadi 6,95%. Faktor penyebab tingginya angka tingkat pengangguran dari lulusan SMK karena antara kompetensi yang ditawarkan oleh pemerintah dengan kebutuhan tenaga kerja yang diminta oleh DU/DI dinilai belum relevan. Sehingga terjadi kesenjangan antara jumlah lulusan SMK dengan jumlah peluang kerja atau kebutuhan dunia kerja. Data
Direktorat Pembinaan SMK
Kemdikbud
Tahun
2016
mencatat, ada beberapa kesenjangan yang terjadi antara bidang keahlian pada lulusan SMK dengan ketersediaan kebutuhan tenaga kerja. Pada lulusan SMK bidang kelautan dan perikanan (maritim) hanya 17.249 orang, sedangkan kebutuhan tenaga kerja mencapai 3.364.297 orang. Di bidang agribisnis dan agroteknologi (pertanian), kebutuhan tenaga kerja di bidang tersebut sebanyak 445.792 orang, sedangkan lulusan SMK yang tersedia hanya 52.319 orang. Peluang kebutuhan tenaga kerja di bidang pariwisata mencapai 707.600 orang, tetapi jumlah lulusan SMK di
Artikel Simposium 2016
3
bidang ini hanya 82.171 orang. Peluang kebutuhan tenaga kerja di bidang seni rupa dan kriya (ekonomi kreatif) mencapai 81.833 orang, tetapi jumlah lulusan SMK di bidang ini hanya 10.017 orang. Sebaliknya, jumlah lulusan SMK bidang bisnis dan manajemen membeludak. Peluang kebutuhan tenaga kerja bagi bidang ini hanya 119.255 orang, sedangkan lulusan yang dihasilkannya mencapai 348.954 orang. Untuk itu, perlu adanya perhatian khusus dari pemerintah terhadap permasalahan kesenjangan tersebut. Selain itu juga perlunya solusi dalam menangani masalah kekurangan kebutuhan tenaga kerja sesuai dengan data di atas yang didominasi oleh empat bidang keahlian, seperti maritim, pertanian, pariwisata, dan ekonomi kreatif. Faktor penyebab lain akan tingginya angka tingkat pengangguran di Indonesia yaitu masih banyak lulusan SMK yang dinilai ‘kurang berkualitas’, dalam arti rendahnya keahlian dan keterampilan yang dimiliki lulusan SMK. Apalagi tidak adanya sertifikasi bagi lulusan SMK sebagai bukti kelayakan tenaga kerja terampil. Menurut pendapat Mahardika Halim, Center Director EF English First, yang diterbitkan oleh berita www.okezone.com pada hari Jumat, 20 Mei 2016. Rasio keterampilan tenaga kerja Indonesia sangat jauh dibandingkan dengan negara tetangga di kawasan ASEAN. Dari 1.000 orang angkatan kerja, tenaga kerja yang terampil di Indonesia hanya 4,3%. Sementara itu, di Singapura bisa mencapai 34,7%, Malaysia 32,6%, dan Filipina sebanyak 8,3%. Tenaga kerja Indonesia dinilai kurang terampil lantaran tidak memiliki sertifikasi profesi sebagai bukti kelayakan untuk bisa sejajar dengan para profesional di negara lain. Rendahnya kualitas lulusan SMK dipengaruhi oleh kualitas sekolah yang dinilai ‘kurang layak’. Artinya belum memenuhi standar nasional pendidikan sesuai dengan penilaian akreditasi SMK yang telah
Artikel Simposium 2016
4
ditentukan oleh pemerintah. Bahkan masih banyak kompetensi keahlian di SMK yang belum terakreditasi. Sesuai dengan data dari Direktorat Pembinaan SMK Kemdikbud pada Tahun 2016, dari jumlah 37.587 kompetensi keahlian SMK di Indonesia, hanya 9.489 kompetensi keahlian SMK yang terakreditasi A. Selain itu, kompetensi keahlian SMK yang belum terakreditasi mencapai 15.550 kompetensi keahlian. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas SMK masih perlu diperhatikan sehingga lulusan yang dihasilkan dapat menjadi tenaga kerja yang berkualitas. Selain faktor penyebab akan tingginya angka pengangguran dari lulusan SMK. Masalah tersebut juga merupakan dampak dari penerapan sistem pendidikan kejuruan di SMK selama ini dinilai ‘kurang efektif’. Sebab
selama
ini
sistem
pendidikan
kejuruan
di
SMK
masih
menggunakan pendekatan supply driven. Artinya sistem pendidikan dilakukan secara sepihak oleh penyelenggaraan pendidikan kejuruan, dalam hal ini Kemdikbud melalui sekolah. Dengan tanpa adanya keterlibatan DU/DI sebagai penyedia kebutuhan tenaga kerja.
C. Pembahasan dan Solusi Fenomena paradoks di atas merupakan tantangan besar bagi Kemdikbud yang kini berupaya menambah jumlah SMK di Indonesia. Apalagi muncul pemikiran untuk mengubah proporsi perbandingan antara jumlah SMK dengan SMA sebesar 70:30. Pemikiran tersebut dinilai ‘kurang tepat’. Pasalnya belum dapat menjawab permasalahan mendasar akan tenaga kerja yang dianggap ‘kurang berkualitas’. SMK sebagai lembaga penyelenggaran pendidikan kejuruan, semestinya SMK dapat memfasilitasi lulusannya untuk siap kerja. Namun ironisnya, banyak lulusan SMK yang belum terserap oleh DU/DI. Inilah anomali yang terjadi pada sistem pendidikan di SMK sehingga perlu
Artikel Simposium 2016
5
adanya revitalisasi. Lalu bagaimana peran Kemdikbud dalam upaya revitalisasi sistem pendidikan kejuruan di SMK agar lulusan SMK dapat menjadi tenaga kerja terampil serta dapat terserap oleh DU/DI?. Solusi yang perlu diterapkan oleh Kemdikbud dalam upaya mengatasi permasalahan di atas adalah perlunya perubahan pendekatan sistem pendidikan dari supply driven menjadi demand driven. Pendekatan demand driven merupakan pendekatan sistem pendidikan kejuruan dengan melibatkan DU/DI selaku penyedia kebutuhan tenaga kerja. Pendidikan kejuruan di SMK dirasa perlu adanya revitalisasi karena memiliki paradigma yang menekankan pada penyesuaian antara pendidikan kejuruan dengan permintaan pasar (demand driven) guna mendukung pembangunan ekonomi kreatif. Ketersambungan (link) diantara pengguna lulusan pendidikan dan penyelenggara pendidikan dan kecocokan (match) antara employee dengan employer menjadi dasar
penyelenggaraan
pendidikan
kejuruan.
Keberhasilan
penyelenggaraan pendidikan kejuruan dapat dilihat dari tingkat mutu dan relevansi yaitu jumlah penyerapan lulusan dan kesesuaian bidang. (Renstra Kemdiknas Tahun 2010 – 2014 : 2010). Pendekatan demand driven dinilai sangat tepat untuk diterapkan dalam sistem pendidikan kejuruan agar lulusan SMK dapat terserap oleh DU/DI. Pasalnya dalam pendekatan ini, pelibatan DU/DI diprioritaskan sebagai
penentu
kebijakan
dalam
penyelenggaraaan
pendidikan
kejuruan di SMK. Sementara DUDI juga dituntut untuk lebih berperan aktif dalam menentukan, mendorong, dan menggerakan pendidikan kejuruan di SMK, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan. Sebab mereka adalah pihak yang lebih berkepentingan dari sudut kebutuhan tenaga kerja. Upaya pelibatan DU/DI dalam proses perencanaan pendidikan kejuruan dapat dilakukan mulai dari pembenahan spektrum keahlian SMK
Artikel Simposium 2016
6
yang masih belum relevan dengan kebutuhan DU/DI. Spektrum keahlian SMK perlu dibenahi dengan mengedepankan pada kebutuhan pasar kerja. Hal ini dapat dilakukan dengan menambah bidang keahlian yang sedang dibutuhkan maupun dapat mengurangi bidang keahlian yang memang sudah minimnya peluang kerjanya lagi. Sesuai dengan masalah yang ada mengenai kekurangan tenaga kerja yang didominasi pada empat bidang keahlian, seperti maritim, pertanian, pariwisata, dan ekonomi kreatif. Nampaknya perlu upaya yang lebih maksimal dari Kemdikbud. Dimana Kemdikbud perlu menambah keberadaan SMK pada bidang keahlian tersebut yang disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan tenaga kerja di daerah. Sebagai contoh, salah satu bidang keahlian yang paling butuhkan saat ini adalah bidang keahlian maritim. Sebenarnya peluang kerja pada bidang keahlian tersebut di Indonesia sangat banyak. Apalagi Indonesia memiliki potensi besar menjadi poros maritim dunia mengingat Indonesia berada di daerah equator, antara dua benua Asia dan Australia, antara dua samudera Pasifik dan Hindia, serta negara-negara Asia Tenggara. Maka dari itu, Indonesia harus berkomitmen dalam menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan, pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, industri perkapalan, serta pariwisata maritim. Indonesia juga harus berkomitmen menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan
maritim.
Dari
latar
belakang
itulah,
Indonesia
perlu
membutuhkan banyak perwira laut yang handal dari lulusan SMK dalam rangka mengatasi permasalahan kekurangan tenaga kerja pada bidang kemaritiman. Sehingga perlu adanya pengembangan SMK Maritim di Indonesia dengan menambah jumlah SMK pada bidang keahlian tersebut
Artikel Simposium 2016
7
yang disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan daerah kemaritiman di Indonesia. Namun disisi lain, keberadaan SMK pada empat bidang kompetesi di atas justru sampai saat ini masih kurang diminati masyarakat. Realita yang terjadi saat ini, banyak SMK seperti Pertanian, Maritim, Pariwisata, maupun Kriya/Ekonomi Kreatif membuka bidang keahlian baru yang sedang berkembang, seperti TIK. Sebab, asumsi masyarakat bahwa keempat bidang keahlian tersebut dinilai sebagai SMK yang kurang berpotensi. Apalagi sejalan dengan era globalisasi yang sekarang ini dengan teknologi yang semakin berkembang sehingga empat bidang keahlian tersebut dianggap sebagai bidang keahlian yang konvensional dan tidak sesuai dengan perkembangan jaman. Inilah yang perlu dilakukan keseimbangan antara pengembangan SMK pada empat bidang prioritas dengan minat masyarakat. Peran kemdikbud dalam rangka meningkatkan minat masyarakat terutama pada empat bidang prioritas di atas dinilai sangat diperlukan. Bentuk upaya yang dapat dilakukan Kemdikbud adalah dengan melakukan optimalisasi kerjasama antara pihak sekolah dengan DU/DI. Dalam arti perlu dilakukan nota kesepakatan diantara kedua pihak, agar lulusan dapat langsung direkrut oleh DU/DI. Selain itu, pihak pemerintah juga perlu memperhatikan keberadaan DU/DI terutama pada empat bidang prioritas yang relevan dengan potensi produk unggulan daerah agar DU/DI yang ada dapat berkembang secara luas. Sehingga hal ini berdampak pada meningkatnya peluang kerja dan produk unggulan daerah. Secara otomatis, minat masyarakat pada bidang keahlian tersebut pun akan meningkat. Untuk itu, perlu adanya sinergitas antara kemdikbud, kementerian BUMN, pemerintah daerah dengan DU/DI sehingga bidang keahlian yang
Artikel Simposium 2016
8
dibuka dapat relevan dengan kebutuhan DU/DI yang disesuaikan pada potensi dan kebutuhan tenaga kerja di daerah. Dalam
proses
perencanaan
pendidikan,
DU/DI
juga
perlu
dilibatkan dalam rangka pendirian SMK baru dan pembukaan bidang keahlian baru. Selama ini, ijin pendirian SMK baru maupun pembukaan bidang keahlian baru dinilai sangat mudah, tanpa memperhatikan potensi dan kebutuhan tenaga kerja di daerah. DU/DI sebagai penyedia kebutuhan tenaga kerja dinilai lebih memahami, dimana SMK dibangun dan dimana pula bidang keahlian dibuka. Untuk itu, setiap daerah diperlukan pengembangan SMK unggulan dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja sesuai dengan potensi daerah masing-masing sehingga dapat menghasilkan produk unggulan daerah. Sebagai contoh di Tegal. Tegal yang dianggap sebagai Jepangnya Indonesia
dengan
berbagai
kreativitas
ekonomi
yang
semakin
berkembang, terutama pada kerajinan logam. Sehingga sampai saat ini semakin berkembangnya industri logam yandg ada di daerah Tegal. Untuk itu, perlu juga ada pengembangan SMK Kriya di daerah tersebut dalam rangka meningkatkan tenaga kerja yang lebih terampil dan inovatif agar potensi produk unggulan Tegal dapat berkembang. Selanjutnya, DU/DI juga perlu terlibat aktif dalam proses pendidikan kejuruan. Dalam kegiatan magang atau praktik kerja industri (prakerin), pihak sekolah perlu saling bersinergi dan bekerjasama dengan DU/DI dalam rangka menerapkan pendidikan sistem ganda (dual education system). Sebab, sampai saat ini kegiatan prakerin yang dilakukan belum relevan dengan kompetensi yang harus dikembangkan oleh siswa, terutama mengenai tempat prakerin. Akibatnya, siswa tidak dapat
memperoleh
kompetensi
yang
seharusnya
dikembangkan.
Sehingga perlu adanya relevansi antara kompetensi yang dikembangkan dengan tempat prakerin, dalam hal ini DU/DI.
Artikel Simposium 2016
9
Dalam kegiatan kunjungan industri yang selama ini sudah dilakukan oleh beberapa SMK juga perlu ditingkatkan. Kegiatan tersebut dilakukan agar dapat memberikan pengetahuan siswa terhadap orientasi akan dunia kerja yang ada pada DU/DI. Namun, masih banyak DU/DI yang dituju belum relevan dengan kompetensi yang ada di sekolah. Bahkan masih banyak lembaga SMK yang belum menerapkan kegiatan tersebut. Untuk itu, dalam rangka sinergitas antara pihak sekolah dengan DU/DI, maka perlu dilakukan kegiatan tersebut secara kontinu. Jika perlu diadakan nota kesepakatan antara kedua pihak, sehingga siswa dapat mengikuti prakerin serta lulusannya juga dapat direkrut pada industri tersebut. Selain itu, dalam rangka penyelarasan pola pembelajaran di SMK yang sesuai dengan kebutuhan DU/DI, perlu adanya penerapan program teaching factory. Teaching factory merupakan penerapan dari sistem industri dengan mitra di unit produksi (business center) yang telah ada di SMK. Penerapan pola pembelajaran teaching factory merupakan proses interaksi antara lembaga pendidikan kejuruan, dalam hal ini SMK dengan DU/DI. Sehingga dapat menjaga dan memelihara keselarasan (link and match) antara teori dan praktik di sekolah dengan kebutuhan DU/DI. Hal ini sesuai dengan pendapat Kuswantoro (2014), teaching factory
menjadi
konsep
pembelajaran
dalam
keadaan
yang
sesungguhnya untuk menjembatani kesenjangan kompetensi antara pengetahuan yang diberikan sekolah dan kebutuhan industri. DU/DI juga perlu dilibatkan dalam proses pemberian sertifikasi bagi lulusan sesuai dengan SKL yang harus ditempuh. Pemberian sertifikasi dilakukan melalui Tes Uji Kompetensi (TUK) pada SMK Rujukan yang dilakukan oleh penguji/asesor baik dari guru maupun dari pihak DU/DI. Hal ini sangat diperlukan bagi lulusan SMK agar mereka dapat diakui oleh DU/DI sebagai tenaga kerja yang berkualitas. Program
Artikel Simposium 2016
10
sertifikasi tenaga kerja tersebut dinilai sangat penting sebagai acuan kredibilitas seseorang untuk mengukur keterampilan sesuai bidang keahlian atau pekerjaan untuk dapat bersaing secara global. Sebagai contoh perlunya sertifikasi bagi lulusan SMK pada bidang keahlian maritim. Lulusan SMK maritim harus memiliki sertifikasi International Maritime Organization (IMO) agar tenaga kerjanya dapat menjadi perwira laut yang handal dan diakui oleh dunia kemaritiman. Untuk itu, perlu adanya sertifikasi bagi lulusan SMK melalui kerjasama antara pihak SMK dengan DU/DI ataupun pihak SMK dengan Lembaga Sertifikasi Profesi Pihak Pertama (LSP-P1). Dimana LSP-P1 hanya dilakukan pada SMK Rujukan yang telah ditentukan oleh Kemdikbud. Untuk itu, Kemdikbud juga perlu menunjuk SMK Rujukan dalam upaya memberikan sertifikasi tenaga kerja. Dalam proses evaluasi pendidikan, DU/DI juga dinilai perlu terlibat aktif. Pelaksanaan evaluasi pendidikan kejuruan dalam bentuk akreditasi kompetensi keahlian selama ini masih berpedoman pada Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang telah ditentukan oleh pemerintah. Dalam komponen SNP tersebut, masih banyak instrumen yang belum sesuai dengan standar yang telah disusun oleh DU/DI. SMK yang selama ini memperoleh akreditasi A, tidak mesti kualitasnya relevan dengan standar yang ditentukan oleh DU/DI. Oleh karena itu, dalam penyusunan instrumen akreditasi sekolah, DU/DI perlu terlibat di dalamnya. Dalam proses pengujian akreditasi SMK yang selama ini hanya dilakukan oleh asesor dari pelaku pendidikan, baik pengawas, kepala sekolah, maupun guru. Asesor juga salah satunya perlu diambil dari DU/DI. Sehingga hasil akreditasi kompetensi keahlian pada jenjang SMK dinilai relevan dengan penilaian kelayakan dari DU/DI. Selain dalam proses pendidikan, DU/DI juga perlu dilibatkan dalam rangka memfasilitasi lulusan SMK agar dapat terserap oleh DU/DI.
Artikel Simposium 2016
11
Bentuk lembaga di SMK dalam rangka menampung lulusan SMK untuk siap kerja adalah Bursa Kerja Khusus (BKK). BKK dinilai sangat berpengaruh
pada
kualitas
SMK.
Sebab,
BKK
dibentuk
untuk
memberikan informasi lowongan pekerjaan serta merekrut tenaga kerja baru terutama pada lulusan SMK. Jika BKK dapat merealisasikan lulusan hingga terserap oleh DU/DI, maka kualitas SMK dinilai sangat terjamin. Untuk itu, perlunya sinergitas antara pihak sekolah dengan lembaga pemerintahan daerah melalui Dinas Tenaga Kerja maupun
dengan
Asosiasi Bursa Kerja Indoensia (ABKI) agar dapat terjalin kerjasama yang lebih luas dengan pihak DU/DI. Sehingga informasi lowongan kerja yang dibutuhkan dapat dinikmati oleh pengguna kebutuhan yaitu lulusan SMK. Disamping itu, BKK juga perlu mengadakan kerjasama dengan DU/DI dalam upaya memberikan motivasi kepada siswa agar memiliki mental untuk siap bekerja serta memberikan pelatihan mengenai trik-trik khusus tes seleksi agar dapat lulus secara mudah. Selain solusi di atas, perlu juga adanya sinergitas antara pihak sekolah dengan DU/DI berkaitan dengan penyusunan kurikulum, pemenuhan guru produktif, dan pemenuhan fasilitas SMK. Pelibatan DU/DI juga diperlukan dalam proses penyusunan dan penyempurnaan kurikulum agar relevan dengan kebutuhan DU/DI. Dalam segi kurikulum, DU/DI perlu terlibat dalam penyusunan SK/KD pada mata pelajaran produktif sesuai dengan standar SKKNI. SK/KD juga perlu disusun urutan pembagian disetiap jenjangnya, sehingga setiap SMK ada kesamaan dalam mengajarkan materi sesuai urutan yang telah ditentukan, baik di kelas X, XI, maupun XII. DU/DI juga perlu terlibat dalam penyusunan modul ajar sesuai dengan SK/KD yang ditentukan. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan guru produktif, DU/DI juga harus dilibatkan dalam memenuhi kebutuhan guru produktif yang sampai saat ini dinilai masih kurang 91 ribu guru, baik di SMK Negeri maupun di
Artikel Simposium 2016
12
SMK Swasta. Pemenuhan guru produktif dari DU/DI dapat dilakukan melalui Rekognisi Pengalaman Lampau (RPL) dan Outsourcing. Selain itu, guru produktif yang sudah ada juga perlu mengikuti proses magang pada DU/DI. Sehingga kualitas guru produktif dapat meningkat dan konsep pengajarannya pun akan relevan dengan sistem kerja yang dibutuhkan DU/DI. Untuk memenuhi fasilitas SMK, baik ruang praktik/bengkel maupun peralatan pendidikan kejuruan. Tentunya sekolah juga perlu bersinergi dengan DU/DI. Pasalnya, kondisi ruang praktik harus dapat memenuhi standar ruang kerja yang ditentukan oleh DU/DI, baik letak, luas, maupun fasilitas lain yang diperlukan di dalam bengkel. Sementara, peralatan praktik juga harus sesuai dengan standar peralatan kerja yang ditentukan oleh DU/DI. Peralatan bengkel dinilai perlu menyesuaian teknologi saat ini yang semakin modern. Jangan sampai peralatan praktik yang sudah konvensional dan sudah tidak sesuai dengan peralatan terbaru yang digunakan oleh DU/DI. Namun, peralatan tersebut masih dipakai untuk kebutuhan praktik di sekolah, sehingga berdampak pada penguasaan keterampilan bagi siswa. Untuk itu, DU/DI berhak untuk diberikan kewenangan terhadap penilaian layak atau tidaknya fasilitas yang digunakan di sekolah. Solusi inilah yang perlu diterapkan oleh kemdikbud, lembaga pemerintahan, kementerian lain, serta pemerintah daerah agar dapat saling bersinergi dengan pihak DU/DI dalam rangka penyelenggaraan program pendidikan kejuruan di SMK. Jika DU/DI dapat terlibat aktif dalam proses pendidikan kejuruan, tentunya akan berdampak pada terciptanya lulusan SMK sebagai tenaga kerja terampil serta terserapnya lulusan SMK oleh DU/DI. Secara otomatis, angka tingkat pengangguran dari lulusan SMK di Indonesia dapat terminimalisir.
Artikel Simposium 2016
13
D. Kesimpulan dan Harapan Penulis Dari berbagai masalah yang terjadi di Indonesia selama ini. Dimana kualitas tenaga kerja Indonesia dinilai masih rendah jika dibandingkan dengan tenaga kerja dari negara lain, terutama ASEAN. Dalam arti, keterampilan dan keahlian yang dimiliki tenaga kerja Indonesia masih belum sesuai dan belum diakui oleh DU/DI. Sehingga berdampak pada tingginya angka tingkat pengangguran di Indonesia terutama pada lulusan SMK. Faktor penyebab permasalahan tersebut yaitu antara kompetensi SMK yang ditawarkan oleh pemerintah dengan kebutuhan tenaga kerja yang diminta oleh DU/DI dinilai ‘kurang relevan’. Selain itu, faktor penyebab lain karena kualitas SMK masih banyak yang dinilai ‘kurang layak’, Artinya belum memenuhi standar nasional pendidikan sesuai dengan penilaian akreditasi SMK yang telah ditentukan oleh pemerintah. Apalagi masih banyak kompetensi keahlian di SMK yang belum terakreditasi, sehingga berdampak pada rendahnya kualitas lulusan SMK. Faktor tersebut dipengaruhi oleh sistem pendidikan kejuruan yang diterapkan
selama
ini
dianggap
‘kurang
efektif’.
Dimana
masih
menggunakan pendekatan supply driven. Aritnya segala penentu kebijakan atas penyelenggaraan pendidikan kejuruan, dilakukan oleh pihak
Kemdikbud
melalui
sekolah.
Sehingga
banyak
terjadi
ketidaksesuaian antara kompetensi yang ditawarkan dengan kebutuhan DU/DI. Nampaknya permasalahan tersebut perlu segera diselesaikan secara maksimal. Upaya tepat untuk mengatasi hal tersebut yaitu dengan mengubah pendekatan sistem pendidikan kejuruan yang selama ini masih menggunakan supply driven menjadi demand driven. Artinya, penentu
kebijakan
dalam
penyelenggaraan
pendidikan
kejuruan
dilakukan oleh DU/DI.
Artikel Simposium 2016
14
DU/DI sebagai penyedia kebutuhan tenaga kerja tentunya harus terlibat
aktif
dalam
penyelenggaraan
pendidikan.
Dalam
rangka
mengatasi permasalahan di atas, kemdikbud dalam hal ini sebagai lembaga yang menangani sistem pendidikan kejuruan, perlu melibatkan DU/DI dalam proses penyusunan spektrum keahlian SMK. Sebab, DU/DI tentunya lebih memahami akan perkembangan kebutuhan tenaga kerja, sehingga lulusan SMK dapat terserap oleh DU/DI. Upaya kemdikbud, lembaga pemerintahan, kementerian lain, dan pemerintah daerah juga perlu melibatkan DU/DI untuk saling bersinergi dalam upaya mendorong dan menggerakan sistem pendidikan kejuruan di SMK, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi pendidikan. Sebab, DU/DI tentunya lebih memahami kualitas lulusan SMK agar dapat menjadi tenaga kerja terampil dan dapat terserap oleh DU/DI. Untuk itu, dalam rangka mengatasi masalah kebutuhan tenaga kerja yang selama ini dinilai masih kurang, terutama pada empat bidang prioritas. Perlu adanya pengembangan SMK sesuai dengan potensi dan kebutuhan tenaga kerja di daerah. Harapannya, dengan adanya perkembangan SMK selama ini, tentunya akan dapat menumbuhkan banyak tenaga kerja terampil sesuai dengan bidang keahlian yang dibutuhkan oleh DU/DI serta lulusan SMK dapat terserap oleh DU/DI. Perlunya penguatan pelibatan DU/DI dalam upaya revitalisasi sistem pendidikan kejuruan dinilai sangat berpengaruh terhadap tujuan SMK. Jika tujuan SMK dapat tercapai sesuai dengan harapan yang diinginkan oleh pemerintah. Dimana SMK dituntut agar dapat menciptakan tenaga kerja terampil sebagai upaya dalam pemenuhan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing. Tentunya angka tingkat pengangguran dari lulusan SMK di Indonesia akan dapat terminimalisir.
Artikel Simposium 2016
15
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2016. Angka Pengangguran Lulusan SMK di Indonesia Paling Tinggi. http://m.galamedianews.com/nasional/88727/bps-angka-pengangguran-lulusan-smk-di-indonesia-paling-tinggi.html. diakses pada hari Selasa, 1 November 2016. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. Halim, Mahardika. 2016. Penyebab Tenaga Kerja Indonesia Kalah Saing. http://news.okezone.com/read/2016/05/20/65/1393594/penyebabtenaga-kerja-indonesia-kalah-saing, diakses pada hari Senin, 31 Oktober 2016. Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2010 – 2014. Jakarta : Kemdiknas. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Peta Jalan Kebekerjaan SMK. Jakarta : Direktorat Pembinaan SMK. Kuswantoro, Agung. 2014. Teaching Factory, Entrepreneurship. Semarang : Graha Ilmu.
Rencana
dan
Nilai
Oberman, R., dkk. 2012. The Archipelago Economy : Unleashing Indonesia’s potential. USA : Mc Kensey Global Institute.
Artikel Simposium 2016
16
Artikel Simposium 2016
17