SOSIALISASI POLITIK PENDIDIKAN ISLAM DALAM UPAYA REVITALISASI
Fitriani: Mahasiswa S3 Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar
Abstrak: Era kesejagatan dewasa ini adalah satu realitas yang tidak bisa dihindari. Saat ini manusia mampu melihat dan berdialog dengan dunia lain melalui jendela komputer mereka di rumah, di kantor dan di kampus secara interaktif, saling mempengaruhi dengan bebas. Sekat-sekat negara dan waktu tidak berlaku lagi dalam era cyber space. Meskipun Indonesia terletak di Asia Tenggara, kita melihat ada kecenderungan cultural, ekonomi, politik dan pendidikan yang mengarah kepada ketergantungan dan pengkiblatan diri pada dunia Barat, khususnya Amerika. Ka’bah tetap menjadi kiblat Muslim sedunia, tetapi budaya seremonial dan simbolisme dunia Islam yang telah lama berkembang, kini mampu mereduksi subtansi keberagamaan. Kata Kunci; Orientasi, Politik, dan Pendidikan
Pendahuluan Gagasan tentang politik dalam segala hal menjadi hal yang sangat aktual dalam hidup dan kehidupan, khususnya di dalam bidang pendidikan. Pendidikan mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan diakui sebagai kekuatan yang dapat membantu manusia untuk mencapai kemegahan dan kemajuan peradaban. Selain itu, pendidikan memberikan bekal kepada manusia untuk menyongsong hari esok yang lebih cerah dan lebih manusiawi terutama di bidang politik. Persoalan pendidikan memang masalah yang sangat penting dan aktual sepanjang masa, karena hanya dengan pendidikan manusia akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam kapabilitas mengelola alam yang dikaruniakan Allah kepada kita. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa pendidikan sangat besar kontribusinya, baik dalam pembinaan, pensejahteraan dan bahkan membawa kemajuan suatu umat. Oleh karena itu, untuk mengukur kemajuan suatu umat atau bangsa dapat dilihat seberapa jauh tingkat pendidikannya. Hal ini terbukti dalam perjalanan sejarah dalam periode klasik yang dikenal sebagai periode kemajuan umat Islam. Dalam periode ini ditandai dengan munculnya cendekiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu, termasuk bidang politik. Dengan mempelajari kehidupan masa lalu, memberikan konstribusi kepada kita untuk menata dan mengembangkan pendidikan Islam di masa kini dengan mengambil yang baik dan meninggalkan yang buruk. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mencapai kemajuan pendidikan Islam di masa kini dan masa yang akan datang, kita harus bercermin pada sejarah masa lalu yang penuh dengan dinamika dan dialektika. Islam juga adalah agama yang oleh umatnya diyakini mengandung seperangkat nilai dasar untuk menuntun kehidupan manusia
guna mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Sebagai ajaran agama yang utuh dan lengkap, Islam tidak sekedar memberi atensi terhadap satu dimensi kehidupan, seperti jasmani semata tapi juga menekankan aspek rohani. Keduanya harus berada pada suatu keseimbangan (QS.al-Qashash (28):27). Dengan demikian, problema politik dan pendidikan Islam menjadi hal yang sangat urgen untuk diwacanakan tentunya dalam kerangka akademik. Sudah dipastikan bahwa ketika wacana tersebut mengemuka, maka permasalahan yang akan muncul adalah: Pertama, Bagaimana hubungan politik dengan pendidikan?. Kedua, Bagaimana orientasi politik melalui pendidikan?. Hubungan Politik dengan Pendidikan Istilah pendidikan politik (political education) sering terngian di telinga kita bukanlah suatu tema atau konsep yang baru digunakan dalam kajian-kajian politik kontemporer. Keenggangan mengunakan istilah-istilah "politik pendidikan" agaknya berkaitan dengan konotasi negatif yang melekat pada dirinya. Degan melihat kenyataan bahwa hampir seluruh lembaga pendidikan dikontrol pemerintah. Alfret de Grazia dalam buku The Elements of political Science hampir mengidentikkan "Pendidikan politik dengan propaganda untuk memperkuat legitimasi dan statusko penguasa. Pendidikan politik sama dengan propaganda bertujuan membangun dukungan bagi kebijakan-kebijakan penguasa. Melalui pendidikan politik, penguasa mendidik tentang bagaimana bertingkahlaku sebagai warga negara atau bagaimana menyikapi pemerintah, dan sebagainya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu pendidikan politik yang semula bersifat persuasif dapat berubah menjadi pemaksaan fisik. Yang sering diistilahkan oleh Faulo Freire sebagai pendidikan yang licik. Ketika berbicara tentang pendidikan dalam hubungannya dengan politik lebih senang mengunakan istilah sosialisasi politik (political socialization). Politik telah menjadi bagian yang diterima sepenuhnya dalam kosa kata ilmu politik. Istilah politik mengacu kepada proses dimana individu-individu memperoleh sikap dan perasaan terhadap sistem politik dan terhadap peranan mereka didalamnya yang menyangkut conition. Politik adalah proses induksi ke dalam kebudayaan politik (political kulture). Sistem dan lembaga pendidikan merupakan salah satu dari institusi terpenting dalam politik tersebut, terutama sejak seorang anak didik mulai memperoleh pendidikan sampai ia mencapai kedewasaan. Sedangkan Politik dan Pendidikan bukanlah hal yang baru. Sejak zaman Plato dan Aristoteles, para filusuf dan pemikir politik telah memberikan perhatian yang cukup intens kepada masalah ini. Kenyataan ini misalnya ditegaskan dengan ungkapan "As is the state, so is the school" (sebagaimana negara seperti itulah sekolah) atau apa yang anda inginkan dalam negara harus ada masukan ke sekolah, juga terdapat yang dominan dalam demokrasi yang mengasumsikan bahwa pendidikan adalah sebuah korelasi (jika tidak sebuah persyaratan) bagi suatu tatanan demokratis. Dalam sejarah Islam, hubungan antara politik dengan pendidikan juga dapat dilacak sejak masa-masa pertumbuhan paling subur dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah dan pesantren. Sepanjang sejarah, terdapat hubungan yang amat erat antara pendidikan dengan politik. Kenyataan ini misalnya dapat dilihat dari pendirian banyak
madrasah di Timur Tengah yang disponsori oleh penguasa politik, contoh biasa di publikasikan adalah madrasah Nizamiyyah di Baqhdad. Di madrasah ini terkenal karena melahirkan pemikir dan ulama besar, seperti al-Ghazali yang pernah menjadi guru besar. Signifikansi dan implementasi politik dan pengembangan madrasah atau pendidikan Islam pada umumnya bagi para penguasa muslim sudah jelas. Madrasah-madrasah tersebut didirikan untuk menunjang kepentingan-kepentingan politik tertentu dari penguasa muslim, diantaranya untuk menciptakan dan memperkokoh citra penguasa sebagai orang-orang yang mempunyai kesalehan, minat dan kepedulian kepada kepentingan umat, dan yang lebih signifikan lagi sebagai pembela ortodoksi Islam. Semua ini pada gilirannya akan memperkuat legitimasi penguasa vis-à-vis rakyat mereka. Persoalannya kemudian, sejauh mana madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya secara sadar juga difungsikan sebagai wahana "pendidikan politik anak didik atau masyarakat muslim umumnya. Menurut penulis, mungkin salah satu penyebab kemunduran Islam di masa-masa kemarin karena tidak menjadikan "pendidikan politik" sebagai prioritas utama. Sebagaimana diketahui, lembaga-lembaga pendidikan Islam di masa-masa tersebut lebih merupakan salah satu wahana utama bagi transmissi. Meskipun pendirian madrasah, misalnya sering berkaitan erat dengan motif-motif politik, terdapat indikasi yang kuat. Ia tidak terlibat dalam prosesproses politik. Absolutisme politik muslim sebagaimana terlihat dari eksistensi berbagai macam dinasti tidak memberikan ruang bukan hanya bagi keterlibatan komunitas madrasah, tetapi bahkan masyarakat muslim umumnya untuk turut serta dalam proses politik dan mewujudkan partisipasi politik mereka. Dengan demikian, pendidikan politik mungkin sedikit sekali mempunyai relevansi dengan sistem dan kelembagaan pendidikan Islam klasik dan pertengahan. Tetapi ini tidak berarti bahwa apa yang kita sebut sebagai pendidikan politik terlepas dari tingkatan intensitas dan kedalamannya tidak berlangsung dalam masyarakat muslim umumnya. Politik pendidikan itu mungkin menjadi salah satu concern utama para pemikir politik muslim, seperti al-Mawardi dan al-Gazali serta cendikiawan lainnya. Bisa diduga dalam pendidikan politik itu, para pemikir politik muslim merumuskan dan mengajarkan tentang hubungan timbal balik antara pemimpin dengan yang dipimpin. Hal ini bisa kita lacak di dalam karya imam al-Gazali dengan judul Nashihat al-Muluk, yang diperuntukkan bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. dan sejak abad ke 19 lembaga-lembaga pendidikan menemukan jatidirinya sehingga ia dapat berfungsi sebagai arena pendidikan politik dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan keagamaan dan politik yang tentu saja harus sesuai dengan semangat modernisme keagamaan dan politik Islam. Nampaknya fenomena politik dan pendidikan ini mencoba untuk menempatkan setiap pemikiran yang ada pada posisi yang relative, karena realitas manusia yang padanya berlaku hukum-hukum eksistensial sebagaimana makhluk lainnya adalah terbatas (relatif). Manusia tidak mungkin mampu menjangkau dan menangkap paradigma sebagai doktrin kebenaran secara tepat dan menyeluruh. Karena itu, dapat dikatakan bahwa sevalid-validnya (seshahishahinya) suatu pendapat atau pemikiran seseorang pada akhirnya berhenti di ruang §hann³ (relatif, nisbi dan terbatas). Seseorang tidak boleh mengatakan bahwa pendapat atau pemikirannya mutlak benar yang harus diterima secara paten, karena dalam produk pendapat dan pemikiran itu tersirat pengertian dan pemahamannya sendiri yang amat subyektif. Karena
itu, dalam konteks politik dan pendidikan semua pemutlakan pemahaman harus didekonstruksi (dibongkar). Sementara itu dalam pandangan Islam, Perbedaan (ikhtilaf) merupakan suatu yang urgen, baik perbedaan paham keagamaan, budaya, dan ras. Ideal-logikanya adalah perbedaan pendapat (ikhtilaf) bagaimana menjadi daya dinamis dan kreatif bagi tumbuhnya pemikiranpemikiran baru dalam bidang keagamaan, termasuk pemikiran pendidikan Islam. Islam sendiri tidak melarang bagi setiap orang untuk memiliki pendapat sendiri, menyakininya dan menyebarkannya. Yang diharamkan ialah menjadikan perbedaan pendapat (ikhtilaf) itu sebagai bibit perpecahan atau untuk mengklaim bahwa pendapatnya adalah satusatunya kebenaran. Ironis sekali, bila pengikut Syafi'i menentang pengikut Maliki, atau sebaliknya, dan mazhab Ahlusunnah mengkafirkan mazhab Syi'ah. Ketegangan dan perpecahan seperti ini sering terjadi dikalangan umat Islam hanya karena setiap orang merasa bahwa pendapatnyalah yang paling benar. Tidak jarang hal ini menjurus kepada pengkafiran orang lain yang berbeda pendapat. Dalam persfektif historis pendidikan Islam, ketika Rasulullah masih hidup telah sering terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat dan dibenarkan oleh Rasulullah. Misalnya perbedaan pendapat antara Abu Bakar dan Umar Ibn Khatab.Abu Bakar melakukan shalat witir sebelum tidur, sedangkan Umar melakukan sesudah tidur. Hal ini disampaikan kepada Rasulullah, lalu beliau berkata: "Abu Bakar adalah orang yang berhati-hati dan Umar adalah orang yang kuat kemauannya". Dari contoh tersebut dan masih banyak contoh-contoh yang lain, hal ini mengindikasikan bahwa betapa Rasulullah menghargai adanya perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan sahabat. Dan dapat dikatakan bahwa ikhtilaf atau perbedaan pendapat telah memberikan konstribusi penting dalam pemikiran keagamaan dan keislaman pada periode-periode awal. Nabi Muhammad saw betapa demokratisnya untuk tidak mengkultuskan kebenaran superioritas atas inferioritas di kalangan sahabatnya. Karena itu, menarik untuk diwacanakan kembali adanya tradisi ikhtilaf di zaman nabi di atas dalam hubunganya dengan aktualisasi pemikiran Islam dewasa ini. Mengingat terjadinya kebangkitan dan gerakan Islam dengan semua kecenderungan dan lembaga pendidikan Islam, khususnya madrasah sangat memerlukan kesadaran yang mendalam tentang apa yang dinamakan Fiqh al-ikhtilaf, yang sekarang cenderung diabaikan. Diskursus mengenai ikhtilaf dalam pemikiran Islam memang menjadi suatu barang yang kontroversial. Ada pandangan yang menunjuk ikhtilaf sebagai epistemologi perpecahan umat, sebaliknya tak sedikit yang melihatnya sebagai hikmah yang memotivasi tumbuhnya tradisi pemikiran Islam. Di dalam konteks ke-Indonesiaan bahwa konsep ikhtilaf merupakan bukti kongkrit bahwa Islam meskipun berdiri kokoh di atas kebenaran-kebenaran mutlak, tetapi ia memberikan ruang gerak bagi pemikiran, pembaharuan dan perkembangan dari masa ke masa sehingga cita untuk membangun masyarakat yang demokratis makin kuat. Namun di Indonesia, masih sering kita saksikan pertikaian antara satu golongan dengan golongan yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa pluralitas dan demokrasi belum terwujud sehingga anakanak lepasan sekolah belum menghargai pluralisme dan demokrasi, maka salah satu institusi masyarakat yang berkompeten untuk membangun masyarakat pluralistis dan demokratis adalah lembaga pendidikan. Bagi kaum liberal, tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan meningkatkan mutu tatanan sosial yang ada sekarang dengan cara mengajar setiap anak bagaimana cara mengatasi masalah-masalah kehidupan secara efektif
dalam hal menghargai pluralitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Dalam hal yang lebih rinci bahwa madrasah sebagai sebuah lembaga pendidikan yang semestinya berusaha untuk menyediakan informasi dan keterampilan yang diperlukan siswa untuk belajar, dan mengajar para siswa untuk mengakui adanya perbedaan-perbedaan pandangan dalam hidup ini serta mengajar para siswa bagaimana cara memecahkan persoalan-persoalan praktis melalui penerapan proses-proses penyelesaian masalah secara individual maupun kelompok dengan berdasar kepada tata cara ilmiah-rasional dan tidak mengabaikan nilai-nilai moralitas. Dalam perspektif perbedaan pendapat tentang suatu masalah keagamaan dan ke-Islaman selama berpegang kepada benang merah kesamaan universal Islam, Nurcholish Madjid menilainya sebagai sesuatu yang absah dan sepenuhnya Islami. Menurutnya, sungguhsungguh ada pola penyelesaian-penyelesaian setempat untuk masalah setempat. Negaranegara itu dapat menetapkan hukum penyelesaian baru bagi masalah baru, dengan mengambil cara penyelesaian itu dari prinsip-prinsip umum syari'ah dan mempertimbangkan kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat. Hakekat dan nilai keagamaan syari'ah sama sekali tidak boleh dilebih-lebihkan. Bahkan orientasi Barat yang menulis tentang syari'ah gagal membedakan antara yang murni agama dan yang merupakan prinsip-prinsip transaksi sekuler. Meskipun dua-duanya diambil dari sumber yang sama, prinsip-prinsip yang kedua itu harus dipandang sebagai hukum sipil (duniawi) yang didasarkan kepada kepentingan dan manfaat umum, dan karenanya selalu berubah menuju yang terbaik dan ideal. Nabi sendiri telah memberi contoh untuk hubungan religius-sekuler ketika beliau bersabda, "Aku hanyalah seorang manusia, jika kuperintahkan sesuatu yang menyangkut agama ta'atilah, dan jika kuperintahkan sesuatu dari pendapatku sendiri, pertimbangkanlah dengan mengingat bahwa aku hanyalah seorang manusia". Atau, ketika beliau bersabda; "kamu lebih tahu tentang urusan duniamu". Dari penjelasan di atas, menurut penulis kiranya Islam sengaja memberikan otoritas dan kebebasan kepada masing-masing pemeluknya untuk merumuskan formulasi-formulasi wahyu yang bersifat umum (general) menjadi formulasi-formulasi yang bersifat spesifik dan empiris, misalnya kebijakan pemerintah dapat membatasi keumuman nash, seperti lokalisasi perjudian, WTS demi kemaslahatan umat. Orientasi Politik Melalui pendidikan Diskursus tentang pengembangan pendidikan Islam di Indonesia yang dipresentasikan oleh para ahli pendidikan Islam dan para pengambil kebijakan, baik melalui tulisan-tulisan, jurnal, majalah dan sebagainya maupun melalui kegiatan seminar, penataran dan lokakarya telah memperkaya wawasan dan visi kita dalam mengembangkan pendidikan Islam. Berbagai pemikiran dan kebijakan mereka perlu dipotret, ditata dalam suatu paradigma sehingga model-model, orientasi dan langkah-langkah yang hendak dituju semakin jelas. Lagi pula kalau seseorang hendak melakukan pengembangan dan penyempurnaan, maka kata kuncinya sudah dapat dipegang sehingga tidak akan terjadi salah letak, arah dan langkah yang pada giliran selanjutnya dapat menimbulkan sikap overacting dalam menyikapi paradigma tertentu. Adapun sosialisasi yang dapat dicapai melalui pendidikan terdapat empat hal penting yang perlu dikaji lebih jauh, karena melibatkan persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yaitu:
1. Arah orientasi politik yang ditanamkan melalui pendidikan formal. 2. Implikasi-implikasi kesesuaian antara sistem pendidikan dengan lembaga-lembaga sosial atau proses-proses lainnya. 3. Konsekuensi-konsekuensi sosialisasi politik yang nyata atau pemasukan secara eksplisit muatan politik dalam kurikulum pendidikan. 4. Signifikansi lingkungan lembaga pendidikan dalam proses sosialisasi. Arah orientasi politik yang ditanamkan melalui pendidikan formal pada umumnya selaras dengan ideologi negara, sistem politik atau kebijaksanaan pemerintah yang menguasai lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Dalam negara-negara yang menganut sistem politik dan ideologi demokrasi, bisa diharapkan bahwa arah orientasi politik yang dikembangkan melalui berbagai lembaga sosial kemasyarakatan termasuk pendidikan yang merupakan pengembangan sistem politik, proses politik, dan kebudayaan politik demokrasi. Sebaliknya, pada negara-negara yang menganut sistem politik dan ideologi Islam bisa diharapkan pula bahwa orientasi politik yang dianut dan yang ingin diusahakan melalui pendidikan adalah konsepsi, nilai-nilai, proses-proses politik yang sesuai dengan ajaran Islam. Yang lebih signifikan adalah orientasi politik yang dihasilkan pendidikan tidak selalu tercapai sebagaimana diharapkan, paling tidak oleh penguasa sebaliknya terdapat bukti-bukti dan indikasi-indikasi kuat yang menunjukkan bahwa pengaruh pendidikan terhadap pembentukan sikap dan tingkah laku politik jauh lebih kompleks, tidak pasti dan penuh variabel. Orientasi politik demokratis yang ditanamkan melalui pendidikan tidak selalu menghasilkan anak didik yang demokratis pula, sebaliknya bisa menghasilkan konservatisme atau bahkan radikalisme. Gejala semacam ini terdapat di negara-negara Barat yang mempunyai orientasi politik seperti itu. Dan bisa dibidik, pendidikan demokrasi dan liberal di Amerika juga menghasilkan orang yang fundamentalis dan radikal. Begitu juga banyak negara muslim di Timur Tengah, arah orientasi politik yang Islami tidak pula harus melahirkan orang-orang yang konservatif sebagaimana diajarkan Islam, tetapi juga orangorang radikal, baik di pihak pengusa maupun masyarakat. Kompleksitas juga terlihat pada kesesuaian antara implikasi-implikasi pendidikan dengan lembaga-lembaga dan pengaruhpengaruh lainnya yang berdampak pada sosialisasi politik. Dan bahkan akan terlihat bahwa pendidikan hanya menduduki posisi relatif karena pendidikan bukan satu-satunya lembaga sosialisasi politik. Pendidikan formal dapat menumbuhkan sikap demokrasi. Tetapi sikap demokrasi itu bisa segera dilenyapkan oleh pengalaman-pengalaman sosialisasi lainya. Dalam konteks masyarakat muslim kenyataan ini bisa dilihat dari sikap politik tokoh-tokoh semacam K. H. Abdurrahman Wahid alias Gusdur, Nurcholis Majid alias Caknur, Amin Rais (Mas Amin) dan sebagainya. Dengan demikian, terjadi semacam ketidaksesuaian antara sosialisasi politik yang diperoleh melalui pendidikan dengan apa yang didapat dari lembaga-lembaga sosial lainnya. Penutup Dari uraian di atas, maka penulis dapat membuat catatan akhir sebagai esensi pembahasan sebagai berikut :
1. Islam adalah agama yang inklusif dan tidak hanya berbicara pada hal-hal yang ritual saja. Tetapi lebih dari itu, termasuk dalam soal politik dan pendidikan yang bertujuan untuk membangun dukungan bagi kebijakan-kebijakan penguasa. Dan melalui pendidikan, manusia mampu membagun kebijakan-kebijakan politik yang arif dan bijaksana. Tetapi di sisi lain juga dalam kasus-kasus tertentu pendidikan politik yang semula bersifat persuasif dapat berubah menjadi pemaksaan fisik (marjinalisasi). 2. Arah orientasi politik yang ditanamkan melalui pendidikan formal selaras dengan ideologi negara. Dan terdapat bukti-bukti dan indikasi-indikasi kuat yang menunjukkan bahwa pengaruh pendidikan terdapat pembentukan sikap dan tingkah laku politik jauh lebih kompleks, tidak pasti dan penuh variabel. Pendidikan politik juga berorientasi pragmatis dan telah terbukti banyaknya masyarakat yang berpikir kritis dan radikalistik.
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, Azhar. Civil Society dan Manajemen "Makalah" pada acara seminar FKMTI di kab.Bone, 2000. Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Cet. II; Jakarta: Logos. Badriatim. Sejarah Peradaban Islam. Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998. Darajat, Zakia. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: Ruhama. 1995. Freire, Paulo. Politik Pendidikan: Kebudayaan kekuasaan dan Pembebasan Cet.II; Jakarta: Pustaka Pelajar, 2000 Hart, Michael H. The 100 Ranking of the Most Influencial Personal History diterjemahkan oleh Machbud Junaedi dengan judul 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Jakarta: Surya Grafindo, 1990 Madjid, Nurcholish. Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah.Cet. IV; Jakarta: Paramadina, 1995. Mapaganro. Prospek dan Tantangan pendidikan Islam dalam Konteks Ke-Indonesiaan, "Makalah" pada acara seminar FKMTI di kab. Bone. 2000. Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di sekolah. Cet. II; Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002 Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek. Jilid I Cet. V; Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985 Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh-tokoh Pendidikan Islam.Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.