INTEGRASI PENGETAHUAN ASLI DALAM REVITALISASI PERTANIAN DALAM UPAYA UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PETANI Edi Dwi Cahyono1 Bukti empiris menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak serta merta dibarengi dengan penambahan tingkat kemakmuran masyarakat tani. Hal ini terjadi karena sistem pembangunan pertanian direduksi sedemikian rupa, sehingga mengabaikan beberapa komponen dasar yang sangat vital. Salah satu komponen penting tersebut adalah pengetahuan asli petani. Kecenderungan pendekatan pembangunan yang sentralistik pada masa yang lalu yang mengacu pada “science-push approach” telah menjadikan petani semata sebagai obyek pengembangan inovasi (dari luar sistem mereka); petani tidak mendapatkan cukup kesempatan untuk mengembangkan sistem pengetahuan asli mereka yang selama ini sudah mengakar dalam dalam tradisi pertanian setempat. Padahal di dalam pengetahuan asli ini sering terkandung berbagai prinsip penting yang menjaga keberlanjutan sistem pertanian tersebut. Pendekatan kemakmuran, yang sering diterjemahkan sebagai kenaikan pendapatan petani semata telah memotong akar pengetahuan asli ini ke luar dari sistem pembangunan pertanian. Pengabaian pengetahuan asli tersebut dikuatirkan hanya akan meningkatkan kesejahteraan petani secara temporer (dan segmental), dan justru bisa membahayakan kemakmuran masyarakat tani dalam jangka panjang. Oleh karena itu, upaya-upaya revitalisasi pertanian (sebagaimana yang sekarang sedang menjadi wacana utama dalam pendekatan pembangunan pertanian), seharusnya perlu mempertimbangkan berbagai keragaman pengetahuan asli yang ada. Tulisan ini akan menampilkan berbagai argumen yang menguraikan mengapa pengetahuan asli penting dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani secara berkelanjutan.
Revitalisasi Pertanian dan Pengetahuan Asli Revitalisasi pertanian memiliki beberapa pemahaman, sebagaimana pandangan Krisnamurthi (2006) dalam tulisannya berjudul “Revitalisasi Pertanian: Sebuah Konsekuensi Sejarah dan Tuntutan Masa Depan”, yaitu: (1) kesadaran akan pentingnya pertanian bagi kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia, (2) bentuk rumusan harapan masa depan akan kondisi pertanian, (3) kebijakan dan strategi besar melakukan “proses revitalisasi” itu sendiri. Butir (1) dan (3) telah diuraikan dan dibahas oleh penulis tersebut. Pada butir (2), yaitu menyangkut bentuk rumusan harapan masa depan mengenai kondisi pertanian akan coba penulis pahami melalui konteks yang lain. Rumusan harapan masa depan tidaklah mungkin dilakukan secara efektif, bila tidak mengintegrasikan apa yang telah ada pada masa-masa sebelumnya (berarti masa lalu dan masa kini). Pada dasarnya, formula kebijakan pertanian masa depan dibangun dari integrasi seluruh pengetahuan yang ada antar waktu, tidak semata tergantung pada ilmu yang ada saat ini saja dan yang akan datang. Kesejahteraan petani di
1
Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.. Email:
[email protected] KONPERNAS PERHEPI 2007 [07] -71
masa depan tergantung pada pengalaman empiris yang sudah pernah dikembangkan sebelumnya oleh petani-petani cerdas di masa lalu. “Pemeti es”an pengetahuan terdahulu pada hakekatnya adalah seperti menanam tanaman dengan memotong akarnya yang sudah ada. Krisnamurthi (ibid.) menekankan frasa “menyegarkan kembali ‘vitalitas’ pertanian” sebagai arti kata revitalisasi pertanian. Kata “menyegarkan kembali’ tersebut berkonotasi bahwa pertanian “pernah segar” di suatu masa yang lalu, atau pernah mengalami masa yang dianggap penting. Kata ini adalah sebentuk pengakuan bahwa pengetahuan pertanian pada masa lalu sudah “advance” sifatnya. Pengetahuan asli petani pada dasarnya adalah pengetahuan petani dengan sifat-sifat seperti itu, tetapi karena pertimbangan tertentu (khususnya menyangkut kebijakan pertanian) terpaksa disingkarkan karena antara lain keyakinan akan asumsi-asumsi tertentu yang dipegang oleh para pengambil kebijakan. Revitalisasi pertanian, mengacu pada pengertian dasar sebagaimana dipaparkan di atas mestinya perlu memperhitungkan pengetahuan asli tersebut, sebagai bentuk penyegaran kembali “pengetahuan lama” yang dimaknai sebagai sesuatu yang “lahir kembali”. Terdapat perbedaan fundamental antara pengetahuan asli dan pengetahuan ilmiah (Warren, 1991). Pengetahuan ilmiah dikembangkan oleh universitas, pusat penelitian pemerintah, dan perusahaan swasta. Pengetahuan lokal adalah wawasan atau kebijaksanaan “teknis” yang dicapai dan dikembangkan oleh suatu masyarakat pada lokalitas tertentu, melalui pengamatan dan percobaan yang seksama selama bertahun-tahun dengan fenomena alam di sekitar mereka. Pengetahuan ilmiah dipandang bersifat universal, tidak “contex-related” (tidak terkait konteks). Pada sisi lain, pengetahuan asli adalah produk sosial yang terikat dengan konteks budaya lokal atau lingkungan. Pengetahuan asli (indigenous knowledge) adalah keberadaan pengetahuan yang bersifat unik, tradisional dan lokalit sifatnya, ada dalam dan dikembangkan oleh laki-laki dan perempuan setempat yang memiliki kondisi khusus berkaitan dengan wilayah geografis tertentu (Grenier, 1998). Bagi Eyzaguirre (2001), pengetahuan asli, dalam bentuk teknik dan praktek budaya, adalah seperangkat alat-alat yang digunakan oleh suatu komunitas untuk mengelola sumberdaya alamnya, termasuk sumber-sumber genetik, yang menjadi pondasi keragaman hayati dan pertanian. Pada hakekatnya pengembangan pengetahuan asli oleh penduduk lokal merupakan suatu cara bertahan hidup, yang akumulatif sifatnya, mewakili pengalaman lintas generasi, observasi yang cermat, dikombinasikan dengan “trial-and-error experiments” (Grenier,1998). Umumnya dikatakan bahwa pengetahuan asli bersifat statis. Namun telah mulai timbul kesadaran bahwa sistem tersebut selalu diperbarui dan berkembang. Sistem pengetahuan asli mendapatkan pembaruan dari dalam sistem itu sendiri dan juga dari proses internalisasi dan adaptasi pengetahuan dari luar sistem tersebut (Ibid.). Indonesia, sebagai suatu negara multi-etnis yang didukung oleh tidak kurang dari 500 kelompok etnis asli, memungkinkan menjadi lahan yang subur bagi berkembangnya pengetahuan asli tersebut. Pengetahuan asli seringkali dianggap sebagai sesuatu yang “kurang berdaya” atau “kurang mampu” untuk menjadi salah satu masukan (input) dalam pembangunan pertanian modern. Oleh karena itulah, sebagaimana pandangan Krisnamurthi (2006), revitalisasi pertanian dimaknai pula sebagai hal “memberdayakan kemampuannya” atau “meningkatkan kinerjanya”. Namun apakah benar bahwa pengetahuan asli tidak memiliki signifikansi dalam pembangunan pertaniaan saat ini dan masa depan seringkali hanya didasarkan oleh asumsi yang salah atau observasi sesaat saja. Kearifan asli (indigenous wisdom) --berupa pengetahuan asli (indigenous knowledge) dan praktek/teknologi asli (indigenous practice)--, yang dikembangkan oleh suatu masyarakat setempat secara susah-payah, sering dipersepsi sebagai bersifat primitif (terbelakang), berteknologi rendah, berproduksi rendah, dan tidak ilmiah (Zamora, 1998). Singkatnya, kearifan asli ini ini dianggap tidak ekonomis. Akibat dari pandangan ini, yang terwujud dalam kebijakan pembangunan pertanian saat ini, adalah KONPERNAS PERHEPI 2007 [07] -72
lenyapnya berbagai plasma nutfah tanaman yang tidak bisa lagi dihitung nilainya secara ekonomis. Sebagai contoh adalah mulai lenyapnya varitas padi lokal dari sawah dan gudang-gudang petani, diganti dengan varitas-varitas unggul yang berproduksi tinggi. Ironisnya, berbagai pengetahuan asli dan manajemen yang telah dikembangkan oleh masyarakat setempat secara turun-temurun dalam menjaga ketersediaan benih lokal, juga ikut lenyap. Perlu disadari bahwa keberadaan varitas beserta manajemen benih padi lokal yang menyertainya merupakan sebuah kesatuan, dan menentukan kelangsungan ketersediaan benih tersebut. Kepunahan total atas plasma nutfah beserta pengetahuan manajerial yang menyertainya nampaknya tinggallah menunggu waktu saja. Padahal benih dan pengetahuan tersebut merupakan bagian dari hardware dan software dasar yang bermanfaat untuk membangun kerangka formula pembangunan pertanian yang berkelanjutan di masa depan.
Isu Keragaman Genetik dan Sistem Pengetahuan Asli Petani: Kasus Perbenihan Dahulu, sistem pengetahuan asli petani kurang mendapat penghargaan yang semestinya. Hal ini tercermin dari rendahnya jumlah penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan mengenai hal ini. Stereotip yang muncul adalah bahwa “ahli-ahli pertanian lokal” adalah terbelakang (laggards), karena kurang tanggap dengan teknologi baru. Namun mulai terjadi pergeseran pandangan bahwa petani sebenarnya memiliki “rasionalitas” tersendiri dalam menentukan keputusan adopsi inovasi (Vanclay and Lawrence, 1996), misalnya karena teknologi tersebut tidak konsisten dengan sistem pengetahuan asli mereka. Igbokwee (2001) menyatakan bahwa petani ternyata dapat beradaptasi dengan lingkungan yang tidak nyaman, dan mampu memproduksi tanaman utama mereka secara berkelanjutan. Bahkan diprediksikan bahwa kelompok “laggards”, yaitu petani ”terbelakang” --yang boleh jadi sebenarnya adalah petani maju di tingkat lokal dengan pengetahuan asli mereka--, akan terbukti menjadi petani inovator di masa mendatang (Flora, 1992). Perlu disadari bahwa kearifan asli yang dikembangkan oleh para petani setempat merupakan sebuah sistem pengetahuan dan praktek yang khas untuk menjaga kelangsungan eksistensi plasma nutfah, dengan cara-cara yang telah dipahami mereka secara turun-temurun. Dengan kata lain, kearifan asli ini tidak lain adalah berfungsi semacam sebuah sistem “bank benih”, dan sekaligus “bank informasi dan pengetahuan” di tingkat grassroot-petani. Ironisnya, ketika benih padi lokal mulai menghilang dari lahan dan gudang-gudang petani, negara-negara maju --yang menyadari pentingnya eksistensi benih tersebut dan nilai ekonomisnya, justru berjuang untuk mengkonservasikannya, dengan menyimpannya di bank-bank benih internasional. Bila hal ini terus dibiarkan, di masa depan (bahkan telah terjadi di saat ini), petani akan semakin mengalami kesulitan untuk mendapatkan benih-benih lokal (asli) tersebut, karena jaringan distribusi lokal yang menjaga arus ketersediaan benih tersebut telah ikut runtuh. Hal ini dikuatirkan akan dapat mengganggu ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani sendiri di masa mendatang karena petani terpaksa harus tergantung dan membayar harga yang tinggi untuk mendapatkan benih padi tertentu, khususnya benih padi hibrida impor. Ketersediaan keragaman genetik merupakan kunci keberlangsungan penggunaan varitas tanaman. Untuk alasan ini petani telah mengembangkan sistem sendiri untuk menjaga ketersediaan benih tanaman tertentu. Walaupun sering dianggap tradisional, pada kenyataannya pengetahuan dan teknologi asli petani sangatlah relevan dengan kondisi lingkungan fisik dan ketersediaan sumberdaya KONPERNAS PERHEPI 2007 [07] -73
mereka. Bahkan seharusnya pengetahuan dan teknologi asli ini perlu dilestarikan dan dikembangkan pada bagian-bagian yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan dan konteks situasi nyata mereka. Pengetahuan petani mungkin subyektif sifatnya, tetapi perlu diingat bahwa mereka telah melakukan pengamatan dalam kurun waktu yang sangat panjang. Petani juga memiliki indikator atau gambaran tersendiri untuk melihat sifat-sifat varitas yang dianggap menguntungkan bagi usahatani mereka. Terdapat dualisme pikiran mengenai peran penting benih dalam pembangunan pertanian. Bagi kalangan sektor perbenihan formal (modern), benih cenderung dinilai sebagai sekedar sarana produksi pertanian. Bagi konservasionis dan petani ”tradisional”, benih bukanlah sekedar masukan fisik, tetapi juga diasosiasikan dengan plasma nutfah yang memperkaya keragaman dalam ”kolam” genetik tanaman di suatu wilayah tertentu (Seboka and Deressa, 2000). Modernisasi telah berimplikasi pada peningkatan diseminiasi varitas modern yang uniform (seragam) sifatnya. Pandangan mengenai peran benih sebagai plasma nutfah dapat membantu mempertahankan eksistensinya. Produktivitas pertanian secara langsung terkait dengan potensi genetik varitas yang digunakan. Benih adalah input dasar dalam diseminasi teknologi, faktor penentu keragaman genetik dan pemeliharaan ekosistem, kaitan pertama dalam rantai makanan dan simbol ketahanan pangan, sumber makanan dan juga simbol sejarah dan budaya suatu masyarakat (Timsina and Upreti, 2005). Ketersediaan benih, khususnya benih padi lokal, merupakan kunci kelangsungan produksi saat ini dan masa depan. Namun modernisasi pertanian lewat skema ”Revolusi Hijau” telah meminggirkan dan mungkin telah menyingkirkan sebagian benih-benih lokal yang ada dalam sistem bank sosial petani. Intervensi penyuluhan pertanian pada umumnya bergantung pada transfer ”paket teknologi”, untuk mengejar produktivitas yang tinggi, namun kurang mengintegrasikan pengetahuan dan situasi lokal (Roling dalam Ison and Russel, 2000), padahal petani menggunakan berbagai varitas untuk tujuan yang beragam (Seboka and Deressa, 2000), sebagaimana disinggung di atas. Ketergantungan yang berlebihan terhadap sistem luar dikuatirkan akan melemahkan sistem ketahanan pangan masyarakat setempat sendiri. Plasma nutfah tidak ternilai harganya untuk, misalnya, perbaikan varitas di masa depan. Petani juga lebih leluasa dan lebih murah bila melakukan pertukaran benih lokal dengan sesama petani, daripada membeli dari sumber-sumber luar. Pada penggunaan benih unggul-hibrida, petani memiliki hak pemanfaatan yang relatif terbatas. Secara hukum petani harus membeli benih hibrida dari pabrik yang memproduksinya setiap kali petani hendak menanamnya untuk kepentingan komersial. Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Cahyono dan Shinta (2006) dan Purnamaningsih dkk. (2007) di Malang dan Banyuwangi menunjukkan bahwa keberadaan padi lokal saat ini sangatlah mengkuatirkan. Padi lokal masih eksis dalam sistem pertanian saat ini, tetapi dari segi jumlah varitas, luas dan frekuensi penanamannya, serta jumlah petani yang menanamnya, termasuk persediaan benihnya, sangatlah terbatas. Ada kasus dimana beberapa petani bermaksud menanam padi lokal varitas tertentu, tetapi mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan benihnya. Hal ini terjadi karena “kecerobohan” para petani dengan tidak menanam jenis tersebut dalam kurun musim tertentu, sehingga persediaan benih terputus. Bahkan ada indikasi bahwa di beberapa wilayah pertanian di Malang, agen-agen pemasar benih padi hibrida mulai memasuki daerah kantung lahan padi lokal yang sudah sangat terbatas tersebut. Bila tidak ada kebijakan atau regulasi untuk melindungi keberadaan padi lokal tersebut, maka diprediksikan dalam waktu yang tidak terlalu lama padi lokal tersebut akan punah. Dari segi ekonomis, dilaporkan bahwa sumbangan sektor formal (perusahaan benih, lembaga penelitian dan universitas) secara keseluruhan dalam penyediaan benih relatif kecil dibandingkan KONPERNAS PERHEPI 2007 [07] -74
dengan sumber benih lokal-informal sendiri. Menjelang tahun 2000, sebagaimana menurut Awegechew Teshome dari Genetic Resources Science and Technology Group, International Plant Genetic Resources Institute, diperkirakan sekitar tiga perempat petani di seluruh dunia menyimpan benih dalam sistem lokal pertanian mereka. Ada indikasi yang kuat bahwa petani melakukan pertukaran benih benih secara sistematis dan melibatkan banyak aktor di dalamnya. Penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa mekanisme pertukaran benih antar petani umumnya didasarkan atas jaringan sosial tradisional dan relasi antar kerabat atau sumber-sumber informal lainnya (Green, 1987; Rajasekaran, 1993). Diduga bahwa mekanisme tukar-menukar benih antar petani (farmer-to-farmer seed exchange mechanisms) memiliki peran yang besar, walaupun perusahaan multinasional dan perusahaan benih besar nasional (misalnya Roshetko, 2004) mulai merambah sistem ini. Di Ethiopia, lebih dari 80% permintaan benih nasional dipenuhi melalui sistem informal dan tukar–menukar benih antar petani (Hailye et al., 1998). Pada saat-saat yang genting, para petani pada umumnya sangat tergantung pada sumber benih lokal. Sumber-sumber lokal ini antara lain ialah penangkar benih lokal, petani lain, pasar lokal, organisasi non-pemerintah, organisasi informal lainnya. Di Ethiopia, organisasi non-pemerintah dan organisasi informal lainnya telah memainkan peran penting dalam penyediaan benih secara darurat karena terjadinya bencana alam dan kekacauan sipil di negera tersebut, walaupun timbul kritik karena ketergantungan petani yang berlebihan terhadap ketersediaan benih yang gratis sifatnya (Hailye et al., 1998). Pada umumnya benih yang telah dikembang-biakkan (berupa hasil panen) dijual ke pasar lokal (Garforth, 2001), sedang selebihnya digunakan sebagai persediaan benih untuk musim mendatang, dan dipertukarkan antar petani lokal. Pada umumnya, petani menjualnya untuk mendapatkan uang dan karena kekuatiran atas serangan hama dan penyakit di tempat penyimpanan. Jika masalah seperti ini tidak muncul, kuantias benih yang dipertukarkan secara lokal diperkirakan akan jauh lebih banyak. Dilaporkan bahwa sekitar 25% dari hasil lokal tersebut diputar dalam sistem benih lokal, seperti ke tetangganya, teman atau anggota keluarga (Seboka and Deressa, 2000). Dari berbagai argumen dan fakta di atas dapat ditarik suatu gambaran umum bahwa pengetahuan asli memiliki peran yang signifikan dalam dinamika pertanian, walaupun tidak terlalu kelihatan. Pilihan kebijakan pertanian yang tidak berwawasan pengetahuan lokal bisa mencabut petani dari akar sistem pengetahuan mereka sendiri, dan membahayakan kepentingan nasional secara multi-dimensioinal dalam jangka panjang. Hal ini tidak berarti bahwa seluruh pengetahuan dan praktek pertanian modern disingkirkan. Skenario pembangunan pertanian, yang mengacu pada revitalisasi pertanian, hendaknya mengintegrasikan pengetahuan lokal sebagai basis sosio-budaya bersama dengan pertimbangan rasional-ekonomis. Suatu kebijakan pertanian yang hanya melihat pada kepentingan efisiensi dalam jangka pendek, pada dasarnya adalah mengorbankan kepentingan nasional dalam jangka panjang dan meresikokan keberlanjutan sistem pertanian itu sendiri. Dalam dua dekade terakhir ini, para peneliti dan pakar pembangunan mulai mempromosikan pengetahuan asli sebagai salah satu basis dalam pembangunan berkelanjutan (Warren et al. 1989; Roth, 2001). Apakah kita juga tergerak untuk memperhitungkan pengetahuan asli ini dalam kerangka revitalisasi pembangunan pertanian kita?
KONPERNAS PERHEPI 2007 [07] -75
Penutup Pengetahuan asli tidak dimaksudkan untuk menggantikan pengetahuan modern dalam kebijakan pembangunan pertanian. Namun pengetahuan asli merupakan komponen penting yang perlu diintegrasikan dalam kerangka revitalisasi pertanian. Signifikansinya tidak hanya terletak pada aspekaspek ekologis dan sosial saja, tetapi juga pada aspek ekonomis jangka panjang. Barangkali yang kita perlukan adalah melakukan verifikasi secara ilmiah atas suatu pengetahuan lokal, dan bukan mengabaikannya, sehingga pengetahuan lokal dapat memberikan kontribusi berharga dalam meramu formula revitalisasi pertanian di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA Bandyopadhyay A.K. and G.S. Saha (1998) 'Indigenous Methods of Seed Selection and Preservation on the Andaman Islands in India', Indigenous Knowledge and Development Monitor 6 (1): 3-6. Cahyono, E.D. dan A. Shinta. 2005. Eksplorasi Pengetahuan Asli (Indigenous Knowldege) Petani dalam Sistem Pertanian Padi Berbasis Benih Lokal. Universitas Brawijaya. Malang Eyzaguirre, Pablo B. 2001. Global Recognition of Indigenous Knowledge: is this the latest phase of 'globalization'? Indigenous Knowledge and Development Monitor (9-2) Flora, C. (1992). Reconstructing Agriculture: The Case for Local Knowledge. Rural Sociology, 57(1), pp. 92-97. Garforth, Chris. 2001. Agricultural Knowledge and Information System in Hagaz, Eritrea. International and Rural Development Department. The University of Reading. UK. Green, T. 1987. Farmer to Farmer Seed Exchange in the Eastern Hills of Nepal: the Case of “Pokhrell Masino” Rice. Kathmandu. Nepal. Pakhribs Agricltural Centre. Working Paper 05. Grenier, Louise. 1998. Working with Indigenous Knowledge: A Guide for Researcher. International Development Research Centre. Ottawa, Canada. Hailey, A., H.Verkuijl, W. Mwang and Amare Yellow. 1998. Farmers’ Wheat Seed source and Seed Management in the Enebssie . Ethiopia. Mexico D.F. IAR and CYMMIT. Research Report. Igbokwe, Edwin M. 2001. Between Conservation And Production: Traditional Ware Yam Cultivation In Igbo-Etiti, Nigeria. Indigenous Knowledge and Development Monitor (9-2) Ison, Ray and D. Russel. 2000. Agricultural Extension And Rural Development: Breaking Out Of Traditions. Cambridge University Press. UK. Krisnamurthi, Bayu. 2006. “Revitalisasi Pertanian: Sebuah Konsekuensi Sejarah dan Tuntutan Masa Depan” dalam Revitalisa Pertanian dan Dialog Peradaban. Kompas. Jakarta Purnamaningsih, S.L., E.D. Cahyono, Dan S.Y.Tyasmoro. 2007. Studi Persepsi Tentang Varitas Dan Eksplorasi Manajemen Benih Padi Lokal. Lembaga Penelitian Universitas Brawijaya, Malang McArthur, C.L. 1989. Evaluation Choice and Use of Potatoes Varieties in Kenya. C.P. Lima. Rajasekaran, B. 1993. Indigenous Technical Pratices In A Rice-Based Farming System. Ames, IA: Center for Indigenous Knowledge for Agriculture and Rural Development. Draft.
KONPERNAS PERHEPI 2007 [07] -76
Roshetko, James M., Mulawarman, and A. Daniarto. 2004, Tree Seed Procurement-Diffusion Pathways in Wonogiri and Ponorogo, Java: Indonesia’s main souce of tree seed. ICRAF Southeast Asia Working Paper, No. 2004_1 Röth, Gitta. 2001. The Position of Farmers' Local Knowledge within Agricultural Extension, Research, And Development Cooperation. Indigenous Knowledge and Development Monitor.(9-3) Seboka, B. and Deressa, A. 2000. Validating Farmers’ Indigenous Social Networks for Local Seed Supply in Central Rift Valley of Ethiopia. Journal of Agricultural Education Extension 6, 4 Timsina, N.P. and Upreti, B.R.. 2005. Loosing Traditional Seed Management Systems: A Threat to Small Farmers’ Food Security in Nepal. University of Reading, International and Rural Development Department, Reading -- King’s College London, School of Social Sciences and Public Policy, London, United Kingdom Vanclay, F.and Lawrence, G. 1996. Farmer Rationality and the Adoption of Environmentally Sound Practices; A Critique of the Assumptions of Traditional Agricultural Extension. Journal of Agricultural Education and Extension. Warren, D.M., L.J. Slikkerveer and S.O. Titilola (eds.) (1989). Indigenous Knowledge Systems; Implications for Agricultural and International Development. Studies in Technology and Social Change, No 11. Ames, Iowa: Technology and Social Change Program, Iowa State University. Warren, D.M. 1991. Using Indigenous Knowledge In Agricultural Development', World Bank Discussion Papers. The World Bank, Washington, D.C. Zamora, Oscar B.1998. Sustainable Agriculture: the Framework, Misconceptions, Myths and Barriers to Adoption. Seminar-Workshop on Development of Curriculum on Sustainable Agriculture for Indonesia Universities. 21-23 February 2000 ata Brawijaya University, Malang. Departement of Agronomy, UPLB-College of Agriculture. Laguna, Philippines.
KONPERNAS PERHEPI 2007 [07] -77