BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1
Kajian Teoritis
2.1.1 Hakekat Kemampuan Mengalikan Bilangan Cacah Melalui Pendekatan Kontekstual 2.1.1.1 Pengertian Kemampuan Di dalam kamus bahasa Indonesia, kemampuan berasal dari kata “mampu” yang berarti kuasa (bisa, sanggup, melakukan sesuatu, dapat, berada, kaya, mempunyai harta berlebihan). Kemampuan adalah suatu kesanggupan dalam melakukan sesuatu. Seseorang dikatakan mampu apabila ia bisa melakukan sesuatu yang harus ia lakukan. Menurut kesanggupan) perbuatan .
Chaplin ability (kemampuan, kecakapan, merupakan Sedangkan
tenaga menurut
ketangkasan,
bakat,
(daya kekuatan) untuk melakukan suatu Robbins
kemampuan
bisa
merupakan
kesanggupan bawaan sejak lahir, atau merupakan hasil latihan atau praktek. 2.1.1.2 Pengertian Bilangan Cacah Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:116) “bilangan cacah adalah satuan dalam sistem matematis yang abstrak dan dapat diunitkan, ditambah atau dikalikan”. “Himpunan bilangan cacah” adalah himpunan yang semua unsurunsurnya bilangan cacah {0, 1, 2, 3, 4, 5, ….}. (Cholis Sa‟dijah, 2001: 93).
Menurut Muchtar A. Karim, Abdul Rahman As‟sari, Gatot Muhsetyo dan Akbar Sutawidjaja (1997: 99) mengemukakan bahwa bilangan cacah dapat didefinisikan sebagai bilangan yang digunakan untuk menyatakan cacah anggota suatu himpunan. Jika suatu himpunan yang karena alasan tertentu tidak mempunyai anggota sama sekali, maka cacah anggota himpunan itu dinyatakan dengan “nol” dan dinyatakan dengan lambang “0”. Jika anggota suatu himpunan hanya terdiri atas satu anggota saja, maka cacah anggota himpunan tersebut adalah “satu” dan dinyatakan dengan lambang “1”.Demikian seterusnya sehingga kita mengenal barisan bilangan hasil pencacahan himpunan yang dinyatakan dengan lambang sebagai berikut : 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, . . . (Tanda “. . .” hendaknya diartikan sebagai “dan seterusnya” ) Menurut ST. Negoro dan B. Harahap (2005: 37) menyatakan bahwa “bilangan cacah adalah himpunan bilangan yang terdiri atas semua bilangan asli dan bilangan nol”. Sedangkan menurut tim tentor ahli (2009 ) bilangan cacah adalah bilangan bulat positif yang diawali dari nol ( 0 ) sampai dengan tak terhingga. Contoh : 0,1,2,3,4,5,6,7….. dan seterusnya. 2.1.1.3 Pengertian Perkalian
Perkalian adalah operasi matematika penskalaan satu bilangan dengan bilangan lain. Operasi ini adalah salah satu dari empat operasi dasar di dalam aritmetika dasar (yang lainnya adalah perjumlahan, perkurangan, dan perbagian). Sri Hartana ( 2010 : 87 ) mengatakan bahwa perkalian adalah penjumlahan berulang dengan bilangan sama. Sedangkan menurut Untoro ( 2006 : 13 ) perkalian adalah operasi penjumlahan berulang – ulang. Contoh : 3 x 5 = 5 + 5 + 5 = 15 Berdasarkan pendapat tersebut mengenai definisi perkalian , maka penulis menyimpulkan bahwa Perkalian adalah penjumlahan berulang dengan bilangan yang sama. Operasi perkalian pada hakikatnya adalah operasi penjumlahan yang di lakukan secara berulang. Karena itu untuk memahami konsep perkalian , penguasaan tentang konsep dan pengertian penjumlahan termasuk keterampilan menghitungnya akan sangat membantu kearah itu. 2.1.1.4 Pendekatan kontekstual ( CTL ) 2.1.1.4.1 Pengertian Menurut Raka Joni ( 2010 : 2.4) pendekatan diartikan sebagai cara umum dalam memandang permasalahan atau objek kajian , sehingga berdampak ibarat seseorang menggunakan kaca – mata dengan warna tertentu di dalam memandang alam.
Menurut Karli dan Yuliantiningsih ( dalam Yusnita , 2010 :11) bahwa pendekatan contekstual teaching and learning adalah sering pula disebut dengan pendekatan lingkungan. Dikatakan demikian karena pendekatan ini merupakan suatu strategi pembelajaran yang memanfaatkan lingkungan nyata sebagai sasaran belajar, sumber belajar,dan sarana belajar. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan lingkungan sebagai sarana belajar , sumber belajar dan sarana belajar ini sangat efektif diterapkan di sekolah dasar terutama dalam kemampuan mengalikan bilangan cacah untuk kelas – kelas rendah. Pendekatan Kontekstual ( Contextual Teaching and Learning ) disingkat menjadi CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. ( Syaiful Sagala, 2008 : 87 ). Sedangkan menurut Guntur CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaiatan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata , sehingga para peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari – hari. Menurut Muslich ( 2007 : 41 ) pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning ( CTL ) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari – hari. Lebih lanjut Komalasari ( 2010 : 7 ) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah pendekatan pembelajaran yang mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata siswa sehari – hari , baik dalam lingkungan keluarga , sekolah , masyarakat , maupun warga negara dengan tujuan untuk menemukan makna materi tersebut bagi kehidupannya. (http://bio-sanjaya.blogspot.com/2012/03/pembelajaran-kontekstual-ctlcontextual.html). Berdasarkan pendapat tersebut
, maka penulis menyimpulkan bahwa
pendekatan kontekstual adalah konsep belajar atau pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan untuk membantu guru dalam mengaitkan antara materi pembelajaran atau materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata siswa sehari – hari , baik dalam lingkungan sekolah , masyarakat , maupun warga Negara dengan tujuan untuk menemukan makna materi tersebut bagi kehidupannya dan menjadikannya dasar pengambilan keputusan atau pemecahan masalah yang akan dihadapi siswa dalam kehidupan sehari – hari. 2.1.1.4.2 Ciri – Ciri Pembelajaran kontekstual Menurut Blanchard, ciri-ciri kontekstual: a. Menekankan pada pentingnya pemecahan masalah. b. Kegiatan belajar dilakukan dalam berbagai konteks . c. Kegiatan belajar dipantau dan diarahkan agar siswa dapat belajar mandiri.
d. Mendorong siswa untuk belajar dengan temannya dalam kelompok atau secara mandiri. e. Pelajaran menekankan pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda. f. Menggunakan penilaian otentik. 2.1.1.4.3 Karakteristik Pembelajaran Kontekstual Menurut Johnson, 2002 (Dalam Nurhadi, 2006) Pembelajaran kontekstual memiliki beberapa karakteristik diantaranya sebagai berikut: a. melakukan hubungan yang bermakna, b. melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan, c. belajar yang diatur sendiri, d. bekerja sama, e. berpikir kritis dan kreatif, f. mengasuh dan memelihara pribadi siswa, g. mencapai standar yang tinggi, dan h. menggunakan penilaian autentik. 2.1.1.4.4 Komponen – Komponen CTL Pendekatan CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang memberikan fasilitas kegiatan belajar siswa untuk mencari, mengolah dan menemukan pengalaman belajar yang lebih bersifat konkret (terkait dengan kehidupan nyata) melalui keterlibatan aktivitas siswa dalam mencoba, melakukan dan mengalami
sendiri. Dengan demikian pembelajaran tidak sekedar dilihat dari sisi produk, akan tetapi yang terpenting adalah proses. Menurut Depdiknas untuk penerapannya, pendekatan
kontektual
(CTL)
memiliki
tujuah
komponen
utama,
yaitu
konstruktivisme (constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar
(Learning
Community),
pemodelan
(modeling),
refleksi
(reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic). Adapaun tujuh komponen tersebut sebagai berikut: 1. Konstruktivisme (Constructivism) Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar di mana siswa sendiri aktif secara mental membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur pengetahuan yang dimilikinya.
2. Menemukan (Inquiry) Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual karena pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion).
3. Bertanya (Questioning) Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk : 1) menggali informasi, 2) menggali pemahaman siswa, 3) membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, 5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6) memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, 8) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa. 4. Masyarakat-Belajar (Learning Community) Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari „sharing‟ antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang belum tahu. Masyarakat belajar terjadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.
5. Pemodelan (Modeling) Pemodelan
pada
dasarnya
membahasakan
yang
dipikirkan,
mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar. 6. Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari aau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu. 7. Penilaian yang Sebenarnya (Authentic) Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil. 2.1.1.4.5 Prinsip – Prinsip Pembelajaran Kontekstual Dalam bukunya Nurhadi ( 2004 : 20-21) yang berkaitan dengan faktor kebutuhan individu siswa , untuk menerapkan pembelajaran kontekstual guru perlu memegang prinsip pembelajaran berikut ini : a. Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental ( depelopmentally appropriate) siswa. b. Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung (independent learning groups).
c. Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (selfregulated learning). d. Mempertimbangkan keragaman siswa (disversity of students). e. Memperhatikan multi-intelegensi (multiple intelligences) siswa. f.
Menggunakan meningkatkan
teknik-teknik pembelajaran
bertanya siswa,
(Questioning)
perkembangan
untuk
pemecahan
masalah, dan keterampilan berfikir tingkat tinggi. g. Menerapkan penilaian autentik (authentic assessment). 2.1.1.5 Penerapan Pendekatan Kontekstual Dalam Mengalikan Bilangan Cacah Perkalian di SD mulai diajarkan di kelas II semester 2. Sebagai pemula agar pembelajaran menjadi bermakna dan dapat memberikan kecakapan hidup, perlu adanya pendekatan kontekstual yang permasalahannya diambil dari cerita yang dekat dengan konteks kehidupan siswa .Secara matematika yang dimaksud dengan perkalian adalah penjumlahan berulang dari bilangan-bilangan yang sama pada setiap sukunya.Di SD, perkalian pertama yang diajarkan adalah perkalian dengan hasil sampai dengan 50. Itu berarti objek yang dikalikan adalah bilangan 1 sampai dengan 50 sedangkan pengalinya adalah bilangan-bilangan dari 1 sampai dengan 10. Urutan mana yang didahulukan tidak begitu penting, yang penting siswa dapat mengikutinya secara menyenangkan. Berikut ini adalah contoh pendekatan kontekstual untuk perkalian bilangan cacah.
Soal Ada 3 kelompok polpen. Setiap kelompok ada 5 polpen. Berapa banyak polpen semuanya? Penyelesaian
5
+
5
+
5
= ……
Sama artinya 3 × 5 = .... Banyak Polpen semuanya 3 × 5 = 15 Jadi operasi perkalian bilangan cacah pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai hasil penjumlahan berulang bilangan – bilangan cacah. Jika a dan b bilangan – bilangan cacah , maka a x b dapat didefinisikan sebagai b + b + b +……+b sebanyak a kali. Oleh karena itu , 3 x 5 akan sama dengan 5 + 5 + 5 , sementara itu 5 x 3 sama dengan 3 + 3 + 3 + 3 + 3. Dengan demikian secara konseptual a x b tidak sama dengan b x a akan tetapi kalau mau dilihat hasil kalinya saja maka a x b = b x a,
dengan demikian operasi perkalian memiliki sifat pertukaran selain itu operasi perkalian bilangan cacah memenuhi sifat identitas ,pengelompokkan dan penyebaran. 2.2
Kajian Penelitian Yang Relevan Hasan,yowan ( 2009 : 6 ) menyimpulkan bahwa penanaman konsep perkalian
dasar bilangan cacah dengan menggunakan pendekatan contektual teaching
and
learning dapat diterima dengan baik oleh siswa kelas II SDN 2 Iluta Kecamatan Batudaa Kabupaten Gorontalo , sehingga suasana belajar siswa berlangsung secara aktif ,efektif , kreatif dan menyenangkan. Ibrahim,yusnita (2010:11) dengan menggunakan pendekatan kontekstual keterampilan penjumlahan bilangan cacah pada siswa kelas I SDN 2 Bulotalangi kecamatan Bulango Timur Kabupaten Bone Bolango.di dalamnya tertuang bahwa pendekatan kontekstual merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang menekankan pentingnya lingkungan alamiah itu diciptakan dalam proses belajar agar kelas lebih hidup dan lebih bermakna karena siswa mengalami sendiri apa yang dipelajarinya. 2.3
Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teoritis yang telah diuraikan maka yang menjadi hipotesis
tindakan dalam penelitian ini adalah jika digunakan pendekatan kontekstual, maka kemampuan mengalikan bilangan cacah pada siswa kelas II SDN No.27 Dungingi Kecamatan Dungingi Kota Gorontalo akan meningkat.
2.4
Indikator Kinerja Yang menjadi indikator kinerja dalam penelitian ini adalah minimal 80,00 %
dari keseluruhan jumlah siswa kelas II SDN No.27 Dungingi Kecamatan Dungingi Kota Gorontalo memperoleh nilai 70 ke atas.