DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK JAWARA (STUDI TENTANG PERAN JAWARA DALAM PEMENANGAN H. MULYADI JAYABAYA DAN H. AMIR HAMZAH PADA PILKADA KABUPATEN LEBAK TAHUN 2008) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik
Oleh: Rifqi Zabadi Asshegaf NIM: 106033201193
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H/2013 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul Demokrasi Otonomi Daerah Dan Perilakupolitik Jawara (Studi Tentang Peran Jawara Dalam Pemenangan H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir Hamzah Pada Pilkada kabupaten Lebak Tahun 2008) telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Desember 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Ilmu Politik Jakarta, 20 Desember 2013 Sidang Munaqosyah Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Ali Munhanif, Ph.D NIP: 19651212 199203 1 004
M. Zaki Mubarak, M.Si NIP: 19730927 200501 1 008 Anggota
Penguji I
Penguji II
Dr. Nawiruddin, M.A NIP: 19720105 2001121 003
Ahmad Bakir Ihsan, M.Si NIP: 197204122003121002 Pembimbing
Dra. Armein Daulay, M.Si NIP: 130892961
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ciputat, 20 Desember 2013
Rifqi Zabadi Asshegaf
i
ABSTRAKSI RIFQI ZABADI ASSHEGAF Demokrasi, Otonomi Daerah dan Perilaku Politik Jawara (Studi Tentang Peran Jawara Dalam Pemenanangan H. Mulyadi Jayabaya Pada Pilkada Kabupaten Lebak 2008) Runtuhnya struktur politik kesultanan Banten telah membawa dampak sosiologis berupa pergeseran dimensi stratifikasi sosial masyarakat Banten. Jawara yang menempati posisi terendah dalarm sejarah stratifikasi sosial masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata atas dalam hirarki sosial masyarakat Banten hingga saat ini. Jawara merupakan kelompok yang khas yang hanya dikenal di wilayah Banten. Sosok jawara merupakan sosok yang begitu kental dalam kehidupan masyarakat Banten, bahkan jawara melampaui ranah kultur hingga merambah kedalam ranah politik yang sangat kentara sampai sekarang. Jawara sebagai elit tradisional masyarakat menempatkannya sebagai partisipan politik daerah yang berperan besar dalam pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008. Hal ini dikarenakan untuk pemilihan bupati dan wakil bupati, jawara dinilai mempunyai peran yang besar bagi kesuksesan dalam pemenangan pasangan calon bupati dan wakil bupati. Dalam pilkada Kabupaten Lebak, keduduklan jawara adalah sebagai tim sukses pendukung pasangan H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir Hamzah (MULYA) yang berperan dalam mendukung dan mensukseskan calon pasangan tersebut. Kedigjayaan jawara sebagai orang yang berpengaruh dalam masyarakat merupakan sebuah modal jawara dalam mensukseskan pasangan calon. Hal ini diaktualisasikan oleh jawara dalam memobilisasi massa untuk meraih dukungan masyarakat terhadap dukungannya. Selain itu, sifat politik jawara yang pragmatis membuat jawara cenderung mendukung mendukung pasangan calon yang cenderung dapat memenuhi kepentingannya, dengan kata lain jawara tidak mengaktualisasikan partisaipasinya dalam perspektif kesejahteraan masyarakat melainkan hanya kepentingan pribadi atau kelompoknya saja. Pengaruh jawara yang besar dalam masyarakat merupakan sarana politik untuk meraih dukungan masyarakat. Dukungan yang diberikan jawara disebabkan oleh kedekatan hubungan antara jawara dan dukungannya karena sudah terjalin ketika dukungan jawara menjabat sebagai bupati pada periode 2003-2008. Selain itu kinerja calon incumbent dianggap sebagai salah satu alasan dukungan jawara dalam mensukseskan pasangan calon bupati dan wakil bupati H. Mulyadi jayabaya dan H. Amir Hamzah.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohiim. Lelah dan hampir pasrah adalah sebagian dari godaan yang sering hinggap dalam perjalanan yang penuh suka maupun duka. Air mata bukan sesekali saja menetes dengan sendirinya, debu dan angin bergantian saling memeluk, angin terhenti debu jatu, kembali dan kembali berpelukan seperti semangatku, hingga tiba di penghujung penulisan skripsi ini. Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis telah diberikan waktu untuk menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam penulis haturkan kepada sang pencerah Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya. Dengan tetap mengharapkan ridho-Nya, alhamdulillah penulis dapat melengkapi salah satu syarat meraih gelar sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul : “Demokrasi Otonomi Daerah Dan Perilaku Politik Jawara: Peran Jawara Dalam Pemenangan H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir Hamzah Pada Pilkada Kabupaten Lebak Tahun 2008”. Penulis menyadari karya ini bukan hanya karya penulis pribadi, tetapi sebagian merupakan buah pemikiran dan pemberian ide dari orang-orang yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan semangat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan banyak rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada pihak-pihak yang banyak membantu, berjasa dan terhormat kepada :
iii
1. Prof. Bahtiar Effendy., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta serta para jajaranya. 2. Selanjutnya, ucapan rasa terimakasih yang dalam ingin penulis sampaikan secara khusus kepada Drs. Armein Daulay, M.Si selaku pembimbing skripsi, berkat kesabaran dalam membimbing dengan berbagai arahannya dan motivasi ditengah-tengah kesibukannya, tetapi beliau masih menyempatkan waktu kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini. 3. Terima kasih pula kepada ketua prodi Dr. Ali Munhanief. M.A., serta sekertaris jurusan M. Zaki Mubarok, M.Si. yang telah banyak memberikian arahan terhadap penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 4. Segenap bapak/ibu Dosen Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, yang telah memberikan berbagai macam pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan, penulis patut mengucapkan rasa terimakasih kepada A. Baqir Ihsan, M.Si., Agus Nugraha, M.Si., Dr. Sirojuddin Ali., Dr. Nawirudin., Suryani, M.Si., Haniah Hanafie, M.Si., Dra Gefarina Djohan, MA., Dr. Syaban., Idris Thaha, M.Si., dll. 5. Ta’zim dan Tawadhu dan ribuan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua penulis, ayahanda Iton Abd. Musta’in dan ibunda Nurhayati, yang tiada henti-hentinya mendoakan dan membiayai penulis selama ini. Kepada teteh Corry Atul Adawiyah dan adik-adik penulis, Teo Fani Atikah, Wafda Schofach Anzelat, Barah Marela Zidha dan Zianha Amaret A.M. Ayo terus giat belajar dan jangan berhenti, teruskan
iv
cita-citamu. Kalian bisa…!, do’a kakak akan selalu seiringan dengan langkah kalian. 6. Kepada pimpinan dan jajaran Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri
Syarif
Hidayatullah
Jakarta,
penulis
mengucapkan
rasa
terimakasih selama penulisan skripsi telah membantu dengan bukubukunya untuk menjadikan refrensi dari penulisan skripsi ini. 7. Kepada pimpinan komisioner KPUD Kabupaten Lebak, penulis mengucapkan rasa terimakasih yang telah bayak membantu dalam pengumpulan data-data dalam skripsi ini. 8. Kepada para jawara dan cendikia, penulis mengucapkan rasa terimakasih telah banyak membantu dalam pengumpulan data-data yang menurut penulis perlu dalam skripsi ini. 9. Kekasihku tercinta Vilanda Amanda yang selalu memotivasi dan memarahi jika tidak mengerjakan skripsi. 10. Teman-teman seperjuangan, Ilmu Politik 2006, semoga arti sahabat untuk selamanya. Ahmad Haris Hariri, Bara Ilyasa, S. Sos., Ahmad Rikih, Dede Syahrudin, Ikhwanudin, dll. 11. Kawan-kawan dari perkumpulan Vespa LESGO dan Iskandar Hidayat, terimakasih atas bantuan dan motivasi kalian. Aku adalah bagian dari kalianl. 12. Terakhir kepada semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah SWT membalas semua perbuatan baik kalian.
v
Demikianlah untaian ucapan terima kasih kepada orang-orang yang telah berjasa dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan masyarakat pada umumnya. Amin.
Jakarta, 4 Januari 2014
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ………................................................................................................. i KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... vi
BAB 1
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……………………………………… 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ….………...………….. 11 1. Pembatasan Masalah ……………….…..…...…………….. 11 2. Perumusan Masalah ….………….……..…...…………….. 11 C. Tujuan Penelitian ……….………………………...………..... 12 D. Manfaat Penelitian ……….………………………...………... 12 E. Metode Penelitian ……….………………………...……….... 13 F. Sistematika Penulisan ……………………………...………... 14
BAB II
KERANGKA TEORETIS A. Demokrasi ………………..………………………...……….. 17 B. Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) ….……….….....……...... 20 C. Otonomi Daerah …………………..……....……………..….. 22 D. Perilaku Politik ……………………….....……………...…… 25 E. Budaya Politik …………………………………….……….... 31 1. Orientasi Kognitif ………...………………………….....… 33 2. Orientasi Afektif ……………………………………......… 33 3. Orientasi Evaluatif ……..……………………......….......... 34
vii
a. Budaya Politik Parokial …..…….….……....................... 35 b. Budaya Politik Subyek ….........…………............……... 35 c. Budaya Politik Partisipan ……..……….................…..... 36 F. Partisipasi Politik …......................................…....................... 37
BAB III
PROFIL KABUPATEN LEBAK DAN SEJARAH JAWARA A. Profil Kabupaten Lebak .......................................................... 44 B. Profil Masyarakat Kabupaten Lebak ……………................ 46 D. Sejarah dan Perkembangan Jawara ......................................... 49 1. Pengertian dan Sejarah Kemunculan Jawara ................. 49 2. Jawara Pada Masa Kolonial ............................................. 53 3. Jawara Pada Masa Orde Lama ......................................... 55 4. Jawara Pada Masa Orde Baru .......................................... 56 5. Jawara Pada Masa Reformasi ........................................... 58
BAB IV
PERAN POLITIK JAWARA DALAM PILKADA LEBAK TAHUN 2008 A. Pilkada Lebak Tahun 2008 ..................................................... 61 B. Dukungan Jawara Terhadap Pasangan Calon H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah ................................................. 67 C. Peran Jawara sebagai Mobilized Political Partisipation ......... 69
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................... 73
viii
B. Saran-Saran ............................................................................ 74
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 75 LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................ 79
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang majemuk. Pada tiap wilayah maupun daerahnya masing-masing memiliki keberagaman etnis-budaya, bahasa, dan agama. Keberagaman ini biasanya menampilkan sesuatu yang unik dalam dinamika politik lokal sebagai sebuah representasi dari keberagaman tersebut. Politik lokal ini biasanya merupakan sebuah bagian dari refleksi dinamika politik nasional. Namun untuk konteks Indonesia, relasi kekuasaan pada aras lokal memiliki banyak kekhususan. Artinya, hal ini tidak cukup hanya dipahami dengan pendekatan formal, karena politik lokal melibatkan jaringan-jaringan informal, termasuk diantaranya relasi antara penguasa dan sistem sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk memahami karakteristik politik lokal secara utuh diperlukan pendekatan dan pemahaman mengenai relasi formal dan informal. Skripsi ini berusaha menjelaskan peran jawara dalam pilkada di Kabupaten Lebak pasca pelaksanaan otonomi daerah, peran jawara merupakan yang diperhitungkan dalam politik lokal. Hal ini dikarenakan jawara dianggap sebagai pemimpin informal di Banten. Selain itu, penulis ingin melihat mekanisme hubungan antara demokrasi, otonomi daerah dengan bertahannya elit tradisional jawara sebagai kekuatan politik yang dominan. Secara historis peranan jawara telah ada pada masa revolusi fisik melawan penjajahan. Jawara dikenal karena memiliki kekuatan magis dan kesaktian yang diperoleh dari kyai sebagai gurunya. Pada masa itu, masyarakat menganggap
2
pemerintahan kolonial telah merampas hak-hak atas tanah dan lapangan pekerjaan, yang akibatnya kehidupan masyarakat menjadi sulit. Dalam konteks ini_kalaupun pada saat tertentu kehadiran jawara dinilai sering kali mengganggu ketentraman_karena besarnya peran yang dilakukan dalam melawan penjajahan, membuat masyarakat menghormati bahkan ada yang memuja jawara sebagai orang keramat.1 Pada masa kolonial, bentuk perlawanan yang dilakukan jawara terhadap para penjajah merupakan balance of power untuk merebut hak-hak atas tanah dan pekerjaan rakyat Banten. Namun, kondisinya menjadi berbeda ketika jawara_karena kepentingan penguasa_mulai
bersinergi
dengan
penguasa.
Konsekuensinya, kalangan jawara menjadi kader organisasi politik sebagai mesin untuk memobilisasi massa. Sinergisitas antara penguasa dan jawara berlanjut pada era reformasi dalam konteks pemerintahan lokal. Mulai dari intervensi jawara dalam Pilkada sampai pada birokrasi pemerintahan.2 Skripsi ini memusatkan kajian pada pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008. Mengapa elit tradisional seperti jawara masuk dalam struktur politik dan menjadi kekuatan yang dominan di Kabupaten Lebak? Bagaimana peran jawara dalam politik lokal/Pilkada? Sistem demokrasi yang diberlakukan pada era pemerintahan Orde Baru disebut demokrasi Pancasila,3 yakni sebuah sistem pemerintahan yang ditetapkan oleh MPRS/XXXII/1968. Model demokrasi yang ditawarkan pada era
1
Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta, Pustidaka Jaya, 1984
hal. 281 2
Lili Romli, Jurnal Domokrasi dan HAM, Demokrasi Lokal dan Pilkada, Jakarta, Habibie Center, hal. 7 3 Ahmad Syafi‟I Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, hal. 121.
3
pemerintahan Orde Baru tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoriter, yang membelenggu kebebasan politik warganya. Akibatnya rakyat berusaha untuk melakukan reformasi dibidang politik yang diperjuangkan oleh berbagai pihak yang kemudian berhasil menumbangkan rezim Orde Baru pada tahun 1998. Setelah rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto tumbang, Indonesia kembali masuk kedalam pelaksanaan demokrasi seutuhnya pada era reformasi. Perubahan di berbagai bidang dilakukan sebagai dasar untuk membangun pemerintahan yang solid dan demokratis. Sebagai salah satu upaya demokratisasi pada era reformasi ini, maka dirasakan perlunya dilaksanakan pemilu sebagai salah satu instrumen untuk mendorong proses demokratisasi di Indonesia. Pelaksanaan pemilu didasarkan pada pemberlakuan Undang-Undang nomor 33 Tahun 1999 tentang Pemilu dan nomor 2 tahun 1999 tentang Partai Politik. Kedua Undang-Undang tersebut menjadi dasar dalam pelaksanaan Pemilu yang bebas dan demokratis di Indonesia. Henry B. Mayo yang dikutip dari A. Ubaedilah memberikan pengertian bahwa demokrasi sebagai sistem politik
yang menunjukan bahwa kebijakan
umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Lebih lanjut, Philippe C. Schmitter dan Tery Linn Karl demokrasi dimaknai sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh
4
warganegara, yang bertindak secara langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang telah terpilih.4 Dari pengertian tersebut dapat diartikan demokrasi sebagai sebuah keterlibatan masyarakat dalam proses dan putusan politik. Keterlibatan masyarakat yang secara nyata dapat terlihat dalam sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Mekanisme dalam konteks memilih pemimpin politik ini dinamakan Pemilihan Umum (pemilu). Tidak hanya itu, demokratisasi ini pula diiringi dengan penataan kembali sendi-sendi pemerintahan baik di pusat maupun di daerah yaitu otonomi daerah. Otonomi dalam makna sempit dimaknai sebagai „mandiri‟. Sedangkan dalam makna yang lebih luas adalah suatu daerah yang diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus daerahnya sendiri dalam pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kebutuhan daerahnya sendiri.5 Realisasi dari hal tersebut menyangkut ketentuan mengenai otonomi daerah. Dalam UUD 1945 terdapat dua nilai dasar yang mengenai otonomi daerah, yaitu, nilai unitaris dan nilai desentralisasi territorial. Nilai unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintahan lain didalamnya yang bersifat negara. Kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan negara.6 4
A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 67-68. 5 A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 179. 6 Made Suwandi, Direktur Konsepsi Dasar Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta. 2002. Diakses pada 19 april 2011, dari situs http://raconquista.files.wordpress.com/2009/04/minggu-iisuwandi-konsepsi-otda.pdf
5
Sementara nilai dasar desentralisasi teritorial tentang batasan wilayah yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah dalam bentuk otonomi daerah. Mengenai hal otonomi daerah dan desentralisasi, pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara negara, desentralisasi sebagai proses perpindahan kekuasaan politik, fiskal dan administratif kepada unit pemerintah sub nasional. Sedangkan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut,7 oleh karena itu perlu adanya pemerintah daerah melalui pemilihan lokal (elected sub-national Goverment). Pada masa reformasi ini, MPR periode 1999-2004 berhasil melakukan empat kali amandemen UUD 1945 pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 dalam pasal 18 UUD 1945 mengenai otonomi daerah yang menyebutkan : Pasa 18 : (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
7
A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 176.
6
(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. (5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. (6)Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. pasal 18A: (1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. pasal 18B: (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak- hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.8
8
UUD 1945 diakses pada tanggal 16 Oktober 2012 melalui situs http://www.djpp. depkumham.go.id/database-peraturan/uud-ri-tahun-1945.html
7
Pasal 18 UUD 1945 tentang otonomi daerah tersebut telah memberi landasan fundamental kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahannya. Selain itu otonomi daerah mendasari terbentuknya keanggotaan DPRD dan Kepala Daerah dipilih melalui pilkada (Legislatif, Bupati/Walikota dan Gubernur) yang tidak lagi berdasarkan pengangkatan atau penunjukan,9 Hal ini tertuang dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 3 dan 4. Dengan ditetapkannya UUD 1945 pasal 18 ini telah merubah politik lokal yang mengundang semangat bagi para elit-elit lokal ikut berkompetisi dalam arena pesta demokrasi. Reformasi politik yang dihasilkan oleh otonomi daerah telah melahirkan sistem Pilkada. Sistem Pilkada merupakan salah satu intrumen untuk memenuhi desentralisasi politik dimana dimungkinkan terjadinya pelimpahan kekuasaan dari pusat ke daerah. Pilkada sebagaimana pemilu nasional merupakan sarana untuk memilih dan mengganti pemerintahan secara damai dan teratur. Melalui Pilkada, rakyat secara langsung akan memilih pemimpinnya di daerah sekaligus memberikan legitimasi kepada siapa saja yang berhak dan mampu untuk memerintah. Pilkada dengan kata lain merupakan seperangkat aturan atau metode bagi warga negara untuk menentukan masa depan pemerintahan yang absah (legitimate).10 Melalui pilkada diharapkan perwujudan kedaulatan rakyat dapat ditegakkan.
9
B.N. Marbun S.H., Otonomi Daerah 1945-2010, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2010,
hal. 15 10
Naskah akademik UU Pilkada. hal. 1-2. Diakses pada 20 april 2011, dari situs http://www.drsp-usaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id=214
8
Semangat dilaksanakannya pilkada langsung adalah koreksi terhadap sistem demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Oleh karena itu, keputusan politik untuk menyelenggarakan pilkada adalah langkah strategis dalam rangka memperluas, memperdalam, dan meningkatkan kualitas demokrasi. Hal ini juga sejalan dengan semangat otonomi yaitu pengakuan terhadap aspirasi dan inisiatif masyarakat lokal (daerah) untuk menentukan nasibnya sendiri. Jika agenda desentralisasi dilihat dalam kerangka besar demokratisasi kehidupan berbangsa, maka pilkada harus memberikan kontribusi yang besar terhadap hal itu.11 Ada
enam
criteria
perwujudan
penyelenggaraan
pilkada
bagi
perkembangan demokrasi di Indonesia, yaitu : 1. Langsung. Rakyat sebagai pemilih memiliki hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. 2. Umum. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasiberdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, pekerjaan, dan status sosial. 3. Bebas. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan
11
Naskah akademik UU Pilkada. hal. 2. Diakses pada 20 april 2011, dari situs http://www.drsp-usaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id=214
9
haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya. 4. Rahasia. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apapun. 5. Jujur. Dalam penyelanggaraan pilkada, setiap penyelenggara pilkada, aparat pemerintah, calon/peserta pilkada, pengawas pilkada, pemantau pilkada, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 6. Adil. Dalam penyelenggaran pilkada, setiap pemilih dan calon/peserta pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.12 Berdasarkan argumentasi tersebut, pelaksanaan pilkada merupakan sebuah demokratisasi yang mampu memperkuat otonomi daerah dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dengan pilkada ini akan memunculkan perubahan yang luas, perubahan ini tidak hanya dari atas tetapi juga dari bawah. Hal ini pula akan menumbuhkan kepercayaan terhadap masyarakat atas pemerintah daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat untuk membangun dan mensejahterakan masyarakat daerah. Bertitik tolak dari uraian tentang demokrasi, otonomi daerah, dan Pilkada tersebut, selanjutnya akan diuraikan peran jawara dalam perpolitikan di Kabupaten
12
Lebak.
Pelaksanaan
demokrasi
dan
otonomi
daerah
pasca
A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 191-192.
10
pembentukan provinsi Banten telah memberi ruang yang besar bagi para elit lokal jawara masuk kedalam politik formal secara luas. Dalam pilkada di Kabupaten Lebak, posisi jawara bukan sebagai kelompok orang yang berebut kekuasaan melainkan pada posisi pendulang suara terhadap para calon pemegang kekuasaan menjadi tim sukses. Dalam hal ini jawara mampu memberikan andil besar karena kedudukan jawara sebagai elit tradisional memiliki kharisma istimewa pada masyarakat lapisan bawah di Banten.13 Kejawaraan merupakan identitas sekelompok orang di daerah tersebut (atau Banten secara umum). Meskipun hanya merupakan salah satu unsur dalam masyarakat, ia menempati kedudukan yang berpengaruh, terutama dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Dengan posisi yang dominan layaknya kyai, jawara bisa mempengaruhi dinamika sosial masyarakat. Bahkan saat ini posisi jawara bisa lebih menentukan dari pada kyai. Selain itu, jawara juga memiliki karakter tertentu yang secara umum membedakan dari anggota masyarakat lainnya seperti berani (wanten), agresif, sompral (tutur kata keras) dan blak-blakan (terbuka). Apa lagi mereka dibalut dengan keterampilan bela diri (silat) dan diyakini memiliki kadigjayaan (kesaktian).14 Keberadaan jawara sebagai elit lokal yang berpengaruh kuat dalam masyarakat Lebak dan Banten pada umumnya mengindikasikan kekuatan politik jawara. Kekuatan Jawara dapat mempengaruhi putusan-putusan politik apabila
13 14
hal. 65
Taufik Abdullah, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, LP3S, 2004, hal. xxvi Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara & Demokrasi. Jakarta, PT Dian Rakyat, 2010,
11
putusan-putusan yang dibuat menyangkut dengan kepentingan (interest) mereka.15 Maka sebagai kekuatan politik jawara mampu melakukan tawar menawar (bargaining power), guna mengerahkan sumber-sumber kekuasaan secara maksimal dan memilih saluran yang tepat dan efektif sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi kepentingan mereka. Dalam pilkada Kabupaten Lebak, jawara menempati porsi sebagai tim sukses dalam upaya komunikasi dan mobilisasi untuk mendulang suara. Dalam hal ini akan diteliti bagaimana perilaku politik jawara dalam proses politik yang terjadi di kabupaten Lebak. Karena itu penelitian skripsi ini menekankan terhadap: sejarah dan perkembengan jawara, perilaku politik elit tradisional jawara dalam politik lokal pasca reformasi, peran jawara sebagai sarana komunikasi dan mobilisasi massa dalam Pilkada kabupaten Lebak yang pertama kali dilaksanakan pada tahun 2008. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Skripsi ini hanya membatasi masalah peran politik jawara dalam pemenangan H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah dalam pilkada di Kabupaten Lebak yang memiliki kekuatan dan peranan sangat penting. Oleh karena itu, agar pembahasan bisa terfokus oleh judul yang penulis rumuskan dan tidak melebar, penulis berusaha mengarahkan pembahasannya pada kajian upaya
15
Syarif Hidayat. Shadow State…? Bisnis dan Politik di Banten. Dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken (ed), Politik Lokal Di Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2007, hal. 268
12
politik jawara dalam pemenangan H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah pada pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mencoba merumuskan penelitiannya dan berusaha berkonsentrasi pada masalah perilaku politik jawara dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Latar belakang dukungan jawara terhadap pasangan H. Mulyadi jayabaya – H. Amir Hamzah dalam pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008? 2. Bagaimana peran jawara dalam pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008? 3. Bagaimana upaya pemenangan jawara terhadap pasangan H. Mulyadi jayabaya – H. Amir Hamzah C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini mengandung dua tujuan, yaitu tujuan khusus dan tujuan umum. Tujuan penulisan ini adalah untuk meraih gelar sarjana sosial (S.sos). Sedangkan tujuan penelitian adalah: 1. Ingin mengetahui, mekanisme hubungan antara demokrasi, otonomi daerah dengan bertahannya elit tradisional. 2. Pengaruh jawara dalam masyarakat. 3. Peran politik jawara dalam politik lokal. 4. Pola komunikasi dan mobilisasi jawara terhadap masyarakat.
13
D. Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat akademis dan juga manfaat praktis. Manfaat akademisnya adalah sebagai salah satu penelitian yang dipakai guna menjadi sumber pelengkap referensi dan pembanding untuk studi-studi mengenai perilaku politik jawara dan keterkaitannya dalam politik. Sedangkan manfaat praktisnya diharapkan menjadi bahan dalam mengenal jawara sebagai kekuatan politik informal yang mempunyai pengaruh dalam politik lokal. E. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai objek penelitian yang berupa lisan, tulisan maupun tingksah laku.16 Berdasarkan penelitian kualitatif, maka penulis berupaya menggambarkan jawara dalam politik, sejarah dan perkembangan jawara, dan peran jawara dalam pilkada. Sementara untuk pengumpulan data dilakukan dengan sumber data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari objek yang akan diteliti (responden), pustaka atau dokumen yang berhubungan dengan fokus
16
Emy Susanti Hendrarso, Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar, dalam Metode Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekatan, ed. Bagong Suyanto dan Sutinah (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 166
14
penelitian, sedangkan data sekunder ialah data yang diperoleh dari lembaga atau institusi yang terkait dengan objek penelitian.17 Untuk menguraikan pokok permasalahan ini, Penulis menekankan pada pendekatan deskriptif analitik dengan maksud menggambarkan secara tepat perilaku politik jawara dalam pilkada Kabupaten lebak. Adapun cara yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pertama, penelitian kepustakan (Library research), yaitu suatu teknik dengan cara menuliskan data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Kedua, penelitian lapangan (Field Research), artinya penulis mendatangi pelaku politik dan mengumpulkan data di lapangan. Kegiatan pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Observasi : yaitu untuk mengamati tingkah laku terhadap objek penelitaian.18 dengan teknik ini penulis akan mengamati bagaimana perilaku politik jawara dalam memobilisasi dan komunikasi sebagai upaya mensukseskan H. Mulyadi Jaya Baya sebagai Bupati Kabupaten Lebak. 2. Wawancara : yaitu suatu kegiatan komunikasi verbal dengan tujuan mendapatkan informasi. Selain itu wawancara juga akan mendapatkan gambaran yang menyeluruh, juga akan mendapatkan informasi penting yang kita inginkan.19 Wawancara yang peneliti lakukan adalah wawancara
17
Sudarso, Prosedur Penelitian, dalam Metode Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekatan, ed. Bagong Suyanto dan Sutinah (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 55 18 James A. Black & Dean J. Champion, “Metode Dan Masalah Penelitian Social”. Bandung, PT Refika Aditama, hal. 287 19 James A. Black & Dean J. Champion, “Metode Dan Masalah Penelitian Social”. Bandung, PT Refika Aditama, hal. 306
15
langsung dengan para jawara sebagai objek penelitian dalam penelitian skripsi ini. Dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta" yang diterbikan CeQDA (Center For Qualty Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1427 H./2007 M. F. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa hal tentang sistematika penulisan dan disusun menurut bab per bab. Kemudian dijelaskan sub per sub setiap tema pembahasan. Dengan demikian penulis menyusun sistematikanya sebagai berikut: Bab I, merupakan pendahuluan. dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II, membahas tinjauan teoretis terhadap demokrasi, otonomi daerah, budaya politik yang dikaitkan dengan perilaku politik dan partisipasi politik. Bab III, membahas tentang sejarah Kabupaten Lebak, profil Kabupaten Lebak dan masyarakatnya dan sejarah dan perkembangan jawara yang meliputi sub bab : pengertian dan sejarah kemunculan jawara, jawara pada masa kolonial, Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Sedangkan Bab IV, dalam bab ini penulis berusaha menganalisa peran jawara dalam pilkada Lebak. Dengan sub bab pilkada Lebak, keterlibatan jawara dalam pilkada Kabupaten Lebak, dan peran jawara dalam mobilisasi massa.
16
Ditutup dengan kesimpulan dan saran dalam Bab V. Mengenai sumber-sumber dan rujukan yang dipakai dan dikumpulkan dalam daftar pustaka.
17
BAB II KERANGKA TEORETIS A. Demokrasi Demokrasi merupakan sistem politik yang sangat penting pada abad ke 20 pasca perang dunia II hingga sekarang.20 Walaupun demokrasi bukan sistem yang terbaik, tetapi hingga saat ini belum ada sistem lain yang menggantikannya. Hal ini dikarenakan konsep selain demokrasi mengalami stagnasi. Selain itu, konsep demokrasi pula mempunyai hubungan yang erat dengan isu-isu HAM, keadilan, kebebasan, persamaan dan lain sebagainya yang menjadi perbincangan dan sandaran sistem mayoritas negara dibelahan dunia. Demokrasi merupakan bentuk dan mekanisme dalam sistem pemerintahan suatu negara untuk mewujudkan kedaulatan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Konsep demokrasi saat ini merupakan hal penting yang dianggap sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. Demokrasi dalam pengertian yang sederhana dimaknai sebagai sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Mekanisme itu dalam konteks tersebut dimaknai sebagai Pemilihan Umum (pemilu). Dari sisi ini Henry B. Mayo menyatakan bahwa demokrasi sebagai sistem politik yang menunjukan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana
20
Miriam Budiardjo. Dasar Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta, Ikrar Mandiri Abadi, 2008, hal. 103.
18
terjaminnya kebebasan politik.21 Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, demokrasi merupakan pelibatan masyarakat secara substansial terhadap penyelenggaraan kekuasaan secara menyeluruh. Menurut Alfan mendefinisikan demokrasi sebagai suatu sistem politik yang memiliki sistem keseimbangan dalam memelihara konflik dan konsensus. Sehingga dengan kenyataannya sistem politik ini tidak bisa bergerak dinamis tanpa adanya konflik dan kompetisi politik.22 Penjelasan ini membuka ruang untuk munculnya suatu kompetisi, perbedaan, dan konflik antar individu dan antar kelompok yang bersifat horizontal maupun vertikal namun tidak menghancurkan sistem yang sudah terlembagakan itu sendiri. Dengan demikian demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan bernegara mengandung pengertian bahwa rakyat memiliki peranan penuh dalam pemerintah untuk menentukan nasibnya. Sehingga negara dengan sistem demokrasi adalah negara yang terselenggara berdasarkan kehendak dan kemauan rakyatnya karena kedaulatan berada ditangan rakyat atau government by the people. Dari uraian pengertian demokrasi tersebut, kekuasaan dan pemerintahan berada ditangan rakyat, dalam artian dari rakyat (government of the people), oleh rakyat (government by the people), dan untuk rakyat (government for the people).23
21
A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 67. 22 Anas Urbaningrum, Islamo-Demokrasi: Pemikiran Nurcholis Madjid. Jakarta, Republika, 2004. hal. 19. 23 Miriam Budiardjo. Dasar Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta, Ikrar Mandiri Abadi, 2008, hal. 105.
19
Ketiga hal tentang demokrasi tersebut memiliki pengertian yang luas. Pemerintahan dari rakyat (government of the people) mengandung pengertian ialah pemerintah yang mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyatnya. Pengakuan dan dukungan rakyat ini menjadi legitimasi suatu pemerintahan dalam menjalankan roda pemerintahan sebagai wujud tanggung jawab atas pemerintahan yang diamanatkan/dipilih rakyat. Kemudian pemerintahan oleh rakyat (goverment by the people) ialah suatu pemerintahan yang menjalankan pemerintahan atas nama rakyat bukan oleh dorongan atau kepentingan dirinya sendiri. Selain itu pemerintah dalam menjalankan fungsinya mendapat pengawasan dari rakyat. Pengawasan ini bisa dilakukan secara langsung oleh rakyat ataupun oleh wakil rakyat (DPR) yang memiliki fungsi mengawasi pemerintah. Selanjutnya ialah pemerintahan untuk rakyat (goverment for the people) yang mengandung pengertian jalannya pemerintahan harus mendengarkan dan mengakomodasi kepentingan yang didasarkan atas keinginan rakyat.24 Ketiga hal dalam demokrasi ini merupakan wujud keutamaan rakyat dalam setiap pelaksanaan kebijakan pemerintah. Pasang surut demokrasi di Indoneia pada awal kemerdekaan hingga pertengahan tahun 1999 telah membawa Indonesia pada demokrasi yang seutuhnya yang disebut dengan demokrasi era reformasi. Demokratisasi di era reformasi ini ditandai dengan pelaksanaan pemilu (eksekutif dan legisatif) dan otonomi-desentralisasi. Pelaksanaan pemilu yang didasarkan pada pemberlakuan UU nomor 32 Tahun 1999 tentang Pemilu pada tanggal 1 Februari dan nomor 2 24
A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 68.
20
tahun 1999 tentang Partai Politik.25 Kedua UU tersebut menjadi dasar dalam pelaksanaan Pemilu yang bebas dan demokratis di Indonesia. Selanjutnya, seiring dengan era reformasi yang menyentuh sendi-sendi ketatanegaraan menyangkut pembagian kekuasaan yang membedakan era reformasi dengan era orde lama, ialah suatu penggantian pemimpin nasional maupun pemimpin daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilakukan dengan pemilihan secara langsung oleh rakyat dan bukan oleh DPR. Hal ini sesuai dengan disahkan melalui Undang Undang nomor 32 tahun 2004 pasal 56 dan 57. B. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) merupakan sebuah terobosan politik yang signifikan dalam perkembangan politik daerah dan otonomi daerah. Gagasan Presiden Republik Indonesia ke-3 (tiga) B.J. Habibie,26 sebagai orang yang pertama mengeluarkan pemikirannya agar bangsa Indonesia perlu melakukan pemilihan Presiden secara langsung dan kemudian disusul pemilihan Gubernur. Berangkat dari gagasan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK)
membuat
keputusan yang berupa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada tanggal 29 September 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pasangan calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan pemilih kepala daerah dan wakil daerah harus memilih pasangan calon yang diusung oleh partai 25
Miriam Budiardjo. Dasar Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta, Ikrar Mandiri Abadi, 2008, hal. 134 26 Lili Romli, Jurnal Domokrasi dan HAM, Demokrasi Lokal dan Pilkada, Jakarta, Habibie Center, hal. 3.
21
politik atau gabungan partai politik. Dengan adanya keputusan MK tersebut,
membuat daerah-daerah lebih mandiri lagi dalam mengatur berbagai bidang antara lainnya dibidang ekonomi, politik dan sosial dan budaya. Undang Undang nomor 32 tersebut telah memberikan dampak terhadap kualitas demokrasi Indonesia, masyarakat dapat langsung merasakan demokrasi yang utuh didaerahnya masing-masing. Melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung, masyarakat di daerah dapat ikut terlibat langsung dalam menentukan arah perkembangan dan perubahan di daerahnya. Pilkada merupakan instrumen politik yang strategis untuk mendapatkan legitimasi politik dari rakyat dalam kerangka kepemimpinan kepala daerah. Legitimasi adalah komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai dan norma-norma yang berdimesi hukum, moral, dan sosial. Jelasnya, seorang kepala daerah yang memiliki legitimasi adalah kepala daerah yang terpilih dengan prosedur dan tata cara yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan serta melalui proses kampanye dan pemilihan yang demokratis dan mendapat dukungan terbanyak dari suara masyarakat.27 Sistem pemilu yang diciptakan pada era reformasi telah melahirkan persamaan, keadilan, dan kualitas demokratisasi di Indonesia, perubahan dan penggantian tata cara (replacement), dan mentransformasi sebuah sistem tidak hanya melahirkan perubahan dari atas, tetapi juga terdapat perubahan dari bawah. Meskipun demikian, konsekuensi perubahan dalam pelaksanaan pilkada telah
27
A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila,Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 191.
22
memunculkan sikap primordialisme dan dominasi elit tradisional.28 Hal ini nampak jelas dalam pelaksanaannya di wilayah Banten, khususnya Kabupaten Lebak. C. Otonomi Daerah Otonomi daerah dan desentralisasi secara praktis dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dipisahkan. Namun, dapat dibedakan. Karena itu tidak mungkin membahas masalah otonomi daerah tanpa mempersandingkannya dengan konsep desentralisasi. Berdasarkan yang dikutip B.N. Marbun, Bagir Manan menyatakan, „Desentralisasi adalah otonomi, dan desentralisasi tidak sama dengan otonomi. Otonomi adalah salah satu bentuk desentralisasi. Desentralisasi bukan asas melainkan proses, dan yang asas adalah otonomi‟.29 Pada periode sebelumnya, konsep demokrasi, otonomi, dan desentralisasi ini pernah disampaikan oleh Mohamad Hatta sejak tahun 1932. Dalam pandangan politiknya yang berjudul “Ke Arah Indonesia Merdeka”, bahwa desentralisasi bukan sentralisasi, yang menjadi cita-cita tolong-menolong dalam asas kolektivisme yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Indonesia yang terbagi atas pulau-pulau dan berbagai golongan bangsa perlu mengagendakan otonomi agar tiap-tiap golongan kecil dan besar, mendapat hak untuk menentukan nasibnya sendiri.30
28
Lili Romli, Jurnal Domokrasi dan HAM, Demokrasi Lokal dan Pilkada, Jakarta, Habibie Center, hal. 3 29 B.N. Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2010, hal. 184-185. 30 Syamsuddin Haris, Membangun Format Baru Otonomi Daerah, Jakarta, LIPI. 2006, hal. 6.
23
Pengertian mendasar mengenai otonomi daerah itu sendiri adalah, “kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri”, berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungan yang beragam dan bernilai strategis. Disini diutamakan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional. Sedangkan pengertian desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.31 Dalam pengertian tersebut daerah otonom adalah daerah yang memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri dan memiliki tanggung jawab menjaga nasionalisme. Otonomi dalam makna sempit dimaknai sebagai “mandiri‟. Sedangkan dalam makna yang lebih luas adalah suatu daerah yang diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus daerahnya sendiri dalam pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kebutuhan daerahnya sendiri.32 Terdapat dua nilai dasar mengenai otonomi daerah yaitu, nilai unitaris dan nilai desentralisasi territorial. Nilai unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintahan lain didalamnya yang bersifat negara. Kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa, dan negara Republik Indonesia
31
Syaukani HR., Kapita Selekta Otonomi Daerah, Jakarta, Nuansa Madani. 2002, hal.13. A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 179. 32
24
tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan negara.33 Sementara nilai dasar desentralisasi teritorial tentang batasan wilayah kekuasaan yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah dalam bentuk otonomi daerah. Mengenai
hal
tersebut,
desentralisasi
sebagaimana
didefinisikan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah: “desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat yang berada di ibu kota negara baik melalui cara dekonsentrasi, misalnya pendelegasian, kepada pejabat di bawahnya maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan daerah.” desentralisasi sebagai proses perpindahan kekuasaan politik, fiskal dan administratif kepada unit pemerintah sub nasional. Oleh karena itu perlu adanya pemerintah daerah melalui pemilihan lokal. Bertitik tolak dari uraian di atas, tujuan dari otonomi daerah merupakan sebuah simbol kepercayaan dari Pemerintah Pusat terhadap masyarakat di daerah yang dirumuskan dalam tiga ruang lingkup yaitu politik, ekonomi, sosial dan budaya.34 Dalam bidang politik, otonomi merupakan rangkaian dari desentralisasi dan demokrasi untuk menciptakan kepala pemerintahan di daerah secara
33
Made Suwandi, Konsepsi Dasar Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta. 2002. Diakses pada 19 april 2011, dari situs http://raconquista.files.wordpress.com/2009/04/minggu-ii-suwandikonsepsi-otda.pdf 34 A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2005, hal. 156-157.
25
demokratis. Hal ini diharapkan agar pemerintahan yang tercipta sesuai dengan kebutuhan daerahnya masing-masing. Pada bidang ekonomi, otonomi daerah telah membuka peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerah. Dengan demikian otonomi di bidang ekonomi ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Selanjutnya adalah dibidang sosial, otonomi ini diharuskan adanya pengelolaan harmonisasi sosial dan budaya agar nilai-nilai kedaerahan tetap kondusif dalam merespon perkembangan modernisasi. Otonomi Daerah ini juga memberikan peluang terbentuknya provinsi Banten pada tahun 2000 yang di tetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2000 tentang pembentukan Provinsi Banten. D. Perilaku Politik Secara etimologis perilaku politik berasal dari kata political behavior, kata tersebut berasal dari suku kata political dan behavior dalam kamus arti kata politik adalah ilmu yang menyangkut negara, pemerintah, dan kebijakan.35 Sedangkan arti kata behavior adalah tabiat, kelakuan, dan perilaku seseorang dalam melakukan hubungan dengan pihak luar.36 Dalam kamus Bahasa Indonesia, perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan atau sikap yang tidak hanya berupa gerak
35
Kamus Ilmiah Populer, Referensi Ilmiah, Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial, Budaya & Sains, Gitamedia Press. 1998, hal. 378. 36 Kamus Ilmiah Populer, Referensi Ilmiah, Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial, Budaya & Sains, Gitamedia Press. 1998, hal. 61.
26
badan dan ucapan,37 sedangkan politik adalah segala hal dan tindakan_kebijakan, siasat, dan sebagainya mengenai negara atau negara lain.38 Jadi secara epitimologis perilaku politik adalah tindakan, gerakan atau sikap seseorang terhadap pemerintahan atau negara, maupun sebaliknya, yakni tindakan, gerakan atau sikap pemerintahan atau negara terhadap individu. Secara etimologi, perilaku politik adalah kegiatan antara pemerintah dengan masyarakat ataupun sebaliknya yang memiliki unsur pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik. Pengertian secara terminologis ini sesuai dengan pengertian yang dikemukakan oleh Ramlan Surbakti, yang mengatakan bahwa interaksi antara pemerintah dan masyarakat, diantara lembagalembaga pemerintah, dan diantara kelompok individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik.39 Perilaku politik merupakan pendekatan dalam ilmu politik yang dikembangkan kaum behavioralis dengan melihat dan menekankan pada aspek individual sebagai insan politik daripada melihat system-sistem ataupun lembaga politik, pendekatan ini digunakan untuk menggunakan pendekatan perilakunperilaku individual dengan melihat pada hubungan antara pengetahuan politik dan tindakannya, termasuk didalamnya adalah proses pembentukan pendapat politik
37
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta. Balai Pustaka, 1988, cet. I, hal. 671 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta. Balai Pustaka, 1988, cet. I, hal. 694 39 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik. Jakarta PT Grasindo 1999 cet I, hal 15 38
27
dan memperoleh kecakapan politik serta menyadari peristiwa-peristiwa politik yang berlagsung.40 Secara historis, perilaku politik merupakan gerakan protes kaum behavioralis terhadap aliran tradisional dalam ilmu politik, dan secara garis besar protes mereka adalah, Pertama, kelompok tradisional telah mengembangkan ilmu politik yang tidak memiliki sifat-sifat sebagai penghasil pengetahuan politik yang reliable, dan Kedua, banyak pengetahuan politik yang reliabel dapat diterima dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan metode-metode alternatif, namun demikian kaum behavioralis tidak sepenuhnya membuang pendekatan yang digunakan oleh kaum tradisionalis, seperti sistem politik dan lembagalembaga yang ada dalam system politik tersebut.41 Sementara itu, Trubus Rahardiansah mengenai perilaku, baik individu maupun kelompok pada dasarnya semua adalah aksi dan reaksi, dan dalam hal ini ada dua cara pandang mengenai signifikansi tingkatan perilaku. Pertama, individualism, yakni pandangan bahwa kelompok tidak lain hanya terdiri atas anggota-anggota kelompoknya, misalnya perilaku lembaga peradilan merupakan perilaku sejumlah individu yang kebetulan menjadi anggota lembaga tersebut. Tidak ada sifat-sifat kelompok yang diturunkan dari sifat-sifat individu, dan begitupun sebaliknya, tidak ada sifat-sifat individu yang diturunkan dari sifat-sifat kelompok, dan cara pandang ini digunakan oleh kaum behavioralis.
40
David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, Penj. Setiawan Abadi, Jakarta. LP3ES, 1987, cet. II, hal. 209. 41 Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma, dan Pendekatannya. Jakarta Universitas Trisakti, 2006, cet, I, hal. 39-40.
28
Kedua, cholism, yakni pandangan tentang timbulnya sifat kelompok yang diturunkan, dalam hal ini diakui kelompok pada dasarnya merupakan serangkaian bagian-bagiannya, dan cara pandang ini digunakan oleh kaum tradisional.42 Perilaku politik dirancang sebagai suatu pendekatan ilmu politik yang menekankan pada perilaku individual sebagai objek utama analisis, dan lebih memusatkan perhatian pada perilaku kelompok, tetapi dengan asumsi bahwa kelompok tersebut adalah interaksi kolektif yang terjadi antar individu. Dan yang termasuk dalam kategori perilaku politik adalah respon-respon internal seperti fikiran, persepsi, sikap, keyakinan, dan juga respon-respon eksternal seperti pemungutan suara, gerakan protes, lobbying, kaukus, dan kampanye.43 Menurut Miriam Budiardjo, salah satu pemikiran pokok dari pendekatan perilaku adalah tidak memberikan apresiasi terhadap pembahasan lembagalembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberikan informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, pendekatan ini lebih berkonsentrasi untuk mempelajari perilaku individu yang ada dalam lembaga tersebut karena dengan melihat perilaku individu merupakan sebuah gejala yang benar-benar dapat diamati. Pendekatan ini menganggap bahwa lembaga-lembaga formal bukan sebagai titik sentral atau sebagai aktor yang independen, tetapi hanya merupakan akumulasi dari kegiatan manusia. Misalnya, jika pendekatan ini digunakan untuk mengamati parlemen, seperti pola pemberian suara (voting behavior) terhadap sebuah rancangan undang-undang tertentu,
42
Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma, dan Pendekatannya. Jakarta Universitas Trisakti, 2006, cet, I, hal. 39-40. 43 Jack C. Plano, dkk, Kamus Analisis Politik, Penj. Drs. Edi S. Siregar, Jakarta, CV Rajawali, cet. I, hal. 161
29
pidato-pidatonya, cara berinteraksi dengan kerabatnya , kegiatan lobbying dan latar belakang sosialnya.44 Dalam hubungannya dengan perilaku politik jawara, hal ini merupakan perilaku politik individualisme. Karena lembaga-lembaga yang dinaungi para jawara sendiri tidak bisa menggambarkan perilaku politik kejawaraanya secara komprehensif. jawara secara secara kebetulan menjadi anggota lembaga tersebut, tidak ada kepentingan yang mewakikli seluruh kepentingan mereka yang berbedabeda. Masing-masing berjalan dengan mempunyai kepentingannya sendiri. Dalam melakukan perilaku politik, seseorang atau kelompok tidak bisa dilepaskan dari konteks maupun variable-variabel lain yang ada di sekitarnya, karena konteks dan variable-variabel tersebut mempunyai peran dan fungsi yang saling berkaitan satu sama lain. Masing masing individu lembaga dan lain sebagainya mempunyai peran dan fungsi yang berbeda serta saling memiliki keterkaitan satu sama lain dan tetap dalam sebuah sirkulasi kehidupan. Dengan demikian faktor eksternal sedikit banyaknya berperan serta dalam mempengaruhi seseorang melakukan perilaku politiknya, dan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik tersebut, dibagi menjadi empat faktor sosial politik, yaitu: Pertama, lingkungan politik sosial tidak langsung, yang termasuk dalam kategori ini adalah sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan media massa. Lingkungan tidak langsung ini dapat mempengaruhi aktor politik dan turunannya. 44
Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, cet. I, hal. 74-75
30
Kedua, lingkungan sosial langsung, berupa keluarga, agama, sekolah, dan lembaga-lembaga lain yang menjadi media dalam pergaulan. Dari segi lingkungan langsung sosial politik ini seseorang mengalami sosialisasi, transformasi, dan internalisasi nilai, termasuk didalamnya adalah nilai-nilai kehidupan bernegara dan pengaaman-pengalaman hidup pada umumnya. Ketiga, struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Untuk memahami struktur kepribadian ini, terdapat basis fungsional sikap, yaitu kepentingan, penyesuaian, dan eksternalisasi dan pertahanan diri. Struktur kepribadian dalam konteks kepentingan melihat bahwa penilaian seseorang terhadapsebuah objek ditentukan oleh minat dan kebutuhan terhadap objek tersebut. Adapun struktur kepribadian dalam konteks penyesuaian diri, melihat bahwa penilaian seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh sebuah keinginan untuk sesuai atau selaras dengan objek tersebut, dan mengenai kepribadian eksternal dan pertahanan diri melihat bahwa penilaian seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh keinginan untuk mengatasi atau paing tidak meminimalisir konflik batin atau tekanan psikis yang terjadi didalam dirinya. Keempat, situasi lingkungan social politik. yaitu, keadaan yang mempengaruhi seseorang dengan langsung ketika seseorang tersebut hendak melakukan sebuah kegiatan. Seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruang, kehadiran orang lain, suasana kelompok, dan lain sebaginya. 45 Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi perilaku politik. Perbedaan faktor pada seseorang, tentunya akan membedakan perilaku politik itu pula. 45
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta PT Grasindo 1999 cet I, hal 15
31
Begitupun dengan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik tersebut, dengan berubahnya faktor-faktor tersebut, maka akan terjadi pula perubahan pada perilaku politik seseorang. E. Budaya Politik Budaya politik merupakan pendekatan yang cukup akhir didalam ilmu politik. Pendekatan ini lahir setelah tuntasnya penelitian yang dilakukan oleh dua peneliti Amerika Serikat yaitu Gabriel A. Almond dan Sydney Verba. 46 Budaya politik memiliki kecenderungan perilaku individu terhadap sistem politik yang berlaku didalam lingkungannya. Dalam pendekatan budaya politik, individu merupakan subyek kajian yang utama dan bersifat empiris, dalam arti pendapat orang per oranglah yang membangun kesimpulan penelitian. Ini berbeda dengan pendekatan filsafat politik, misalnya, yang lebih bersifat abstrak oleh sebab pendapat dibangun oleh seseorang tanpa terlebih dahulu melihat fakta lapangan, atau paling tidak, melalui serangkaian penelitian yang melibatkan orang banyak. 47 Hubungan antara budaya politik dan demokratisasi erat kaitannya dengan dalam perkembangan demokrasi. Demokratisasi tidak berjalan baik apabila tidak ditunjang oleh terbangunnya budaya politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Budaya politik yang matang termanifestasi melalui orientasi, pandangan, dan sikap individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik yang demokratis akan mendukung terciptanya sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi 46
Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam buku mereka Budaya Politik, yang merupakan hasil kajian antara tahun 1969 sampai dengan 1970 atas 5000 responden yang tersebar di 5 negara: Amerika Serikat, Inggris, Italia, Meksiko, dan Jerman Barat. 47 Saddam Rafsanjani, Budaya Politik, Sosialisasi politik, & Partisipasi Politik. Diakses pada 29 Desember 2012, dari situs ttp://muslimpoliticians.blogspot.com/2011/01/budaya-politiksosialisasi-politik_03.html
32
dan sejenisnya yang menopang terwujudnya budaya politik yang partisipatif, yang diistilahkan oleh Almond dan Verba sebagai civic culture. Karena itu, hubungan antara budaya politik dan demokrasi da tidak dapat dipisahkan. Adanya fenomena demokrasi atau tidak dalam budaya politik yang berkembang di suatu masyarakat tidak hanya dapat dilihat dari interaksi individu dengan sistem politiknya, tetapi juga interaksi individu dalam konteks kelompok atau golongan dengan kelompok dan golongan sosial lainnya. Dengan kata lain, budaya politik dapat dilihat manifestasinya dalam hubungan antara masyarakat dan struktur politiknya, dan dalam hubungan antar kelompok dan golongan dalam masyarakat itu. Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan adalah“sub-budaya etnik dan daerah” yang majemuk pula. Keanekaragaman tersebut akan membawa pengaruh terhadap budaya politik bangsa. Dalam interaksi di antara sub-sub budaya politik, kemungkinan terjadinya jarak tidak hanya antarbudaya politik daerah dan etnik, tetapi juga antarbudaya politik tingkat nasional dan daerah. Apabila pada tingkat nasional yang tampak lebih menonjol adalah pandangan dan sikap di antara sub-subbudaya politik yang berinteraksi, pada tingkat daerah yang masih berkembang adalah “„sub-budaya politik” yang lebih kuat dalam arti primordial.48 Budaya politik adalah cara individu berpikir, merasa, dan bertindak terhadap sistem politik serta bagian-bagian yang ada di dalamnya, termasuk sikap
48
Pengaruh Budaya Politik Terhadap Perkembangan Demokrasi Di Indonesia. Diakses pada 29 Desember 2012, dari situs http://vivinzeey.blogspot.com/2011/05/pengaruh-budayapolitik-terhadap.html
33
atas peranan mereka sendiri di dalam sistem politik. Orientasi/kecenderungan individu terhadap sistem politik terbagi 3, yaitu : 49 1. Orientasi Kognitif Pengetahuan atas mekanisme input dan output sistem politik, termasuk pengetahuan atas hak dan kewajiban selaku warganegara. Orientasi kognitif adalah pengetahuan. Bagaimana individu mengetahui hak dan kewajiban warga negara di dalam konstitusi, bagaimana individu mengetahui tata cara pemilihan umum, bagaimana individu mengetahui partai politik dan aktivitas partai tersebut, bagaimana individu mengetahui perilaku pemimpin-pemimpin mereka lewat pemberitaan massa, merupakan contoh dari orientasi kognitif ini. Pengetahuan-pengetahuan ini bersifat tidak tetap. Pengetahuan bertambah atau tetap seiring dengan pengaruh-pengaruh dari lingkungan sekeliling individu. 2. Orientasi Afektif Perasaan individu terhadap sistem politik, termasuk peran para aktor (politisi) dan lembaga-lembaga politik (partai politik, eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Orientasi afektif berbeda dengan orientasi kognitif, oleh sebab orientasi afektif ini bergerak di dalam konteks perasaan. Perasaan-perasaan seperti diperhatikan, diuntungkan, merasa adil, sejahtera, suka atau tidak suka, ataupun sejenisnya, kerap lebih menentukan ketimbang faktor pengetahuan. Oleh sebab 49
Pengaruh Budaya Politik Terhadap Perkembangan Demokrasi Di Indonesia. Diakses pada 29 Desember 2012, dari situs http://vivinzeey.blogspot.com/2011/05/pengaruh-budayapolitik-terhadap.html
34
itu, banyak pemimpin negara yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan populis (sifatnya populer) untuk mendongkrak aspek afektif warga negara. Di Indonesia, kebijakan-kebijakan seperti Bantuan Langsung Tunai, Askeskin, Pembagian Kompor Gas, dan sejenisnya bertujuan demi mengubah orientasi afektif warga negaranya. Tujuan akhirnya adalah, agar masyarakat merasa diperhatikan oleh pimpinan politik, dan mereka akan memilih para pemberi bantuan di kemudian hari. 3. Orientasi Evaluatif Keputusan dan pendapat individu tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai, kriteria informasi dan perasaan, misalnya tampak saat pemilu. Orientasi Evaluatif merupakan campuran antara orientasi kognitif dan afektif di dalam bentuk keputusan/tindakan. Misalnya, setelah mengetahui bahwa partai A atau B memang benar menyuarakan apa yang mereka inginkan, individu memilih mereka di dalam suatu pemilu. Atau, sekelompok individu menggelar unjuk rasa untuk mendukung seorang calon yang tengah „diserang‟ oleh lawan politiknya, semata-mata karena mereka merasa kenal dan sedikit tahu akan jatidiri si politisi termaksud. Orientasi Evalutif muncul akibat adanya pengaruh dari orientasi kognitif dan afektif. Selanjutnya Saddam Rafsanjani yang mengutip Almond dan Verba membagi 3 tipe budaya politik,50 yaitu:
50
Saddam Rafsanjani, Budaya Politik, Sosialisasi politik, & Partisipasi Politik. Diakses pada 29 Desember 2012, dari situs ttp://muslimpoliticians.blogspot.com/2011/01/budaya-politiksosialisasi-politik_03.html
35
a. Budaya Politik Parokial Budaya politik parokial, merupakan tipe budaya politik di mana ikatan seorang individu terhadap sebuah sistem politik tidaklah begitu kuat, baik secara kognitif maupun afektif. Di dalam tipe budaya politik ini, tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Individu tidak mengharapkan perubahan apapun dari sistem politik. Ini diakibatkan oleh sebab individu tidak merasa bahwa mereka adalah bagian dari sebuah bangsa secara keseluruhan. Individu hanya merasa bahwa mereka terikat dengan kekuasaan yang dekat dengan mereka, misalnya suku mereka, agama mereka, ataupun daerah mereka. Budaya politik parokial kentara misalnya, di dalam budaya masyarakat yang masih nomaden. Misalnya ini terjadi di kafilah-kafilah badui jazirah Arabia, suku-suku pedalaman Indonesia seperti Kubu, Dani, Asmat, Anak Dalam, dan sejenisnya. Contoh tersebut dalam pengertian fisik. Namun, dapat pula kita kembangkan parokialisme dalam pengertian lebih luas. Misalnya, dapat kita sebut bahwa sebagian warga Aceh yang hendak memisahkan diri dari Republik Indonesia sebagai menganut budaya politik parokial, oleh sebab mereka tidak mengidentifikasi diri sebagai warga negara Republik Indonesia. b. Budaya Politik Subyek
Budaya politik subyek adalah budaya politik yang tingkatannya lebih tinggi dari parokial oleh sebab individu merasa bahwa mereka adalah bagian dari warga suatu negara. Individu yang berbudaya politik subyek juga memberi perhatian yang cukup atas politik akan tetapi sifatnya pasif. Mereka kerap mengikuti berita-berita politik tetapi tidak bangga atasnya, dalam arti, secara
36
emosional mereka tidak merasa terlibat dengan negara mereka. Saat mereka tengah membicarakan masalah politik, cenderung ada perasaan tidak nyaman oleh sebab mereka tidak mempercayai orang lain begitu saja. Di ujung yang lain, saat berhadapan dengan institusi negara mereka merasa lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Budaya politik subyek banyak berlangsung di negara-negara yang kuat (strong government) tetapi bercorak otoritaritarian atau totalitarian. Misalnya, budaya ini banyak terjadi di Indonesia di saat pemerintah Presiden Suharto (masa Orde Baru). Di masa tersebut, orang jarang ada yang berani membincangkan masalah politik secara bebas, terlebih lagi mengkritik presiden ataupun keluarganya. c. Budaya Politik Partisipan Budaya politik partisipan adalah budaya politik yang lebih tinggi tingkatannya ketimbang subyek. Dalam budaya politik partisipan, individu mengerti bahwa mereka adalah warga negara yang punya sejumlah hak maupun kewajiban. Hak misalnya untuk menyatakan pendapat, memperoleh pekerjaan, penghasilan, pendidikan, dan di sisi lain kewajiban untuk, misalnya, membayar pajak. Dalam budaya politik partisipan, sering dan merasa bebas mendiskusikan masalah politik. Mereka merasa bahwa, hingga tingkatan tertentu, dapat mempengaruhi jalannkan perpolitikan negara. Mereka pun merasa bebas dan mampu mendirikan organisasi politik baik untuk memprotes ataupun mendukung pemerintah. Jika tidak mendirikan organisasi politik, mereka pun banyak
37
bergabung ke dalam organisasi sukarela baik bersifat politik maupun tidak. Saat mengikuti pemilu mereka cukup berbangga hati. Budaya politik partisipan utamanya banyak terjadi di negara-negara dengan tingkat kemakmuran dan keadilan yang cukup tinggi. Jarang budaya politik partisipan terdapat di negara-negara yang masih bercorak otoritarian, totaliter, ataupun terbelakang secara ekonomi. Atau, jika tidak makmur secara ekonomi, maka budaya politik partisipan muncul dalam sistem politik yang terbuka seperti Demokrasi Liberal. F. Partisipasi Politik Partisipasi politik merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Dalam negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, yang dilakukan berdasarkan kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Jadi, partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggara kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. Demokratisasi yang mapan secara umum dianggap karena tingginya partisipasi politik dari masyarakat. Tingginya tingkat partisipasi ini menunjukan bahwa warga negara mengikuti dan memahami masalah politik serta ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan pengambilan kebijakan. Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik, misalnya pemberian suara dalam pemilihan umum atau kegiatan lain, merupakan dorongan kesadaran oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama itu kepentingan mereka itu akan
38
tersalurkan atau sekurang-kurangnya akan diperhatikan, dan sedikit banyak masyarakat dapat mempengaruhi tindakan dari mereka yang berwenang untuk membuat keputusan yang mengikat. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa kegiatan mereka mempunyai efek, dan ini dinamakan political efficacy.51 Adapun fungsi partisipasi politik itu sendiri menurut Lane yang dikutip Rush dan Althoff, terdapat empat fungsi. Yaitu:52 1. Sebagai sarana mengejar kebutuhan ekonomis. 2. Sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan penyesuaian sosial. 3. Sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus. 4. Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dan psikologis tertentu. Secara
umum
definisi
partisipasi
meiliki
perbedaan
dalam
mengartikannya. Yakni sebagai berikut : 1. Herbert Mc. Closky yang dikutip oleh Miriam Budiardjo (1998), mendefinisikan partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum.53 2. Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson mendefinisikan partisipasi politik adalah kegiatan seorang warganegara atau kelompok yang
51
Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 3. 52 Michael Rush dan Philip Althoff. Pengantar Sosiologi Poiltik, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada. 2000, hal. 181 53 Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 2.
39
bertujuan dalam mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Tindakan-tindakan partisipasi politik yang negatif juga pada dasarnya dapat dikatakan sebagai tindakan partisipasi politik 54 3. Pendapat lain diajukan oleh Norman H. Nie dan Sidney Verba dimana Nie dan Verba yang juga dikutip oleh Miriam Budiardjo (1998), menjelaskan partisipasi politik sebagai kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabatpejabat negara dan atau tindakan-tindakan yang diambil mereka.55 Uraian diatas mengenai partisipasi politik dilihat dengan perilaku seseorang yang melakukan patisipasi politik atau tidak dan dari motivasi atau keberadaan daya pendorong dan faktor-faktor pengaruh bagi seseorang tersebut. Artinya partisipasi politik masyarakat dapat terpengaruh oleh kondisi dan lingkungan masyarakat itu sendiri. Masing-masing masyarakat memiliki perbedaan partisipasi politik, yang disertai dengan kadar politik yang juga bervariasi. Dalam hal ini, Milbrath yang mengemukakan 4 (empat) faktor yang mendorong orang berpartisipasi politik, yang dikutip oleh Toto Pribadi sebagai berikut:56 (1). Adanya perangsang, (2). Faktor karakteristik pribadi seseorang yang berwatak sosial dan punya kepedulian besar terhadap problem masyarakat biasanya mau terlibat dalam aktivitas politik, (3). Faktor karakter sosial seseorang yang menyangkut status sosial ekonomi yang 54
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 3. 55 Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 2. 56 Toto Pribadi, dkk. Sistem Politik Indonesia, Jakarta, Universitas Terbuka. 2006, hal. 34.
40
akan ikut mempengaruhi persepsi, sikap dan perilaku seseorang dalam politik, (4). Faktor situsai dan lingkungan politik yang kondusif membuat orang dengan senang hati berpartisipasi dalam kehidupan politik. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam proses
politik
menurut
Myron
Weiner
yang
dikutip
Arifin
Rahman
mengungkapkan ada lima faktor penyebab timbulnya partisipasi yaang luas:57 1. Modernisasi;
komersialisasi
pertanian,
industrialisasi,
urbanisasi,
intelektualitas, pendidikan, dan pengembangan media komunikasi. 2. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. 3. Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern. 4. Konflik
antara
kelompok-kelompok
pemimpin
politik;
kompetisi
perebutan kekuasaan dalam mempresentasikan partisipasi masyarakat. 5. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Apabila dilihat dari bentuknya, Partisipasi politik memiliki dua ketegori bentuk. Pertama, ada yang sifatnya mandiri/otonom. Yaitu individu dalam melakukan kegiatannya atas dasar inisiatif dan keinginan sendiri-sendiri, atau individu yang sudah cerdas dalam politik yang merasa memiliki tanggung jawab politik sebagai warga Negara. Yang Kedua, disebut dengan Mobilized Political
57
Arif Rahman. Sistem Politik Indonesia. Surabaya, SIC. 2002. hal. 130
41
Participation. Yaitu, partisipasi yang dilakukan karena diminta atau digerakan oleh orang lain dan bahkan dipaksa oleh kelompoknya.58 Menurut Samuel P. Huntington, partisipasi politik dapat dikategorikan kedalam bentuk-bentuk sebagai berikut :59 1. Electoral actifity, adalah kegiatan yang secara langsung ataupun tidak langsung berkaitan dengan pemilu termasuk dalam kegiatan ini adalah ikut serta memberikan dana sebuah kampanye partai politik, memberikan suara, dan mengawasi perhitungan pemilihan suara. 2. Lobbying, tindakan seseorang atau kelompok menemui seseorang dengan masksud mempengaruhi seseorang untuk turut serta dalam masalah tertentu. 3. Organizational Actifity, keterlibatan warga masyarakat kedalam berbagai organsasi sosial dan politik baik sebagai anggota. 4. Contacting, yaitu partisipasi yang dilakukan oleh warga Negara dengan langsung mendatangi maupun menghubungi lewat media. 5. Violence, adalah cara yang ditempuh melalui jalan kekerasan untuk mempengaruhi kebijaakan. Bentuk-bentuk partisipasi seseorang
tampak dalam aktivitas-aktivitas
politiknya dan memiliki perbedaan bentuk dan intensitasnya. Orang yang melakukan partisipasi secara tidak intensif yaitu kegiatan kegiatan yang tidak
58
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 8. 59 Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 17.
42
banyak menyita waktu dan biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri, aeperti memberikan suara dalam pemilu. Sebaliknya, orang yang secara aktif dan melibatkan diri secara penuh dalam politik jumlahnya sangat sedikit dan terbatas. Seperti meencalonkan diri sebagai Presiden, anggota legislatif, dan sebagainya.60 Pernyataan tersebut dideskripsikan Miriam Budiarjo dan Rafael Raga Maran secara klasifikasi piramida pada lampiran ke-3. Dimana pada puncak kelas teratas terdapat orang-orang menduduki jabatan politik maupun jabatan birokratis, karena mereka dianggap mempunyai kepentingan langsung dengan pelaksana kekuasaan politik formal.61 Partisipasi dalam bentuk partai politik dan kelompok kepentingan dapat bersifat aktif maupun pasif. Partisipasi aktif merupakan kegiatan seseorang dalam aktivitas politik dengan menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam suatu organisasi politik, memberikan dukungan keuangan, atau membayar iuran anggota dan aktif menjaga melaksanakan Anggaran Dasar Partai.62 Mochtar Mas‟oed mengutip Collin Andrews membagi partisipasi menjadi dua bentuk yang Konvensional dan Non-Konvensional.63 kegiatan konvensional adalah bentuk partisipasi politik yang normal dalam demokrasi modern, yang dapat berupa : pemberian suara (Voting), diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dengan kelompok kepentingan, dan komunikasi individual dengan pejabat politik dan administratif. Sedangkan partisipasi non-
60
Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama. 2003, hal. 8 61 Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta, Rineka Cipta. 2001, hal.149. 62 Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta, Rineka Cipta. 2001, hal.149. 63 Mochtar Mas‟oed, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta, Suara Bebas, 2006 hal. 46.
43
konvensional adalah kegiatan yang dilakukan secara legal maupun illegal dan revolusioner yang bisa berbentuk : pengajuan petisi, demonstrasi, konfrontasi, aksi mogok, kekerasan politik dan anarkhisme politik.
44
BAB III PROFIL KABUPATEN LEBAK DAN SEJARAH JAWARA A. Profil Kabupaten Lebak Dalam sejarahnya, secara umum Kabupaten Lebak merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Banten, sehingga kulturnya tidak dapat dipisahkan dari kultur Banten secara umum. Seiring dengan pergantian pemegang kekuasaan ditangan Belanda, hal ini juga berdampak pada pergantian nama Kabupaten dan ibu kota Kabupaten. Kabupaten Lebak ditangan Belanda telah mengalami 2 kali pergantian nama. Pertama, Pada tanggal 19 Maret 1813 Kabupaten Lebak disebut dengan nama Banten Kidul dengan ibu kota Cilangkahan yang kini menjadi salah satu nama desa di Kecamatan Malingping. Kedua, berdasarkan keputusan Komisaris Jenderal Staadsblad nomor 81 tahun 1828 nomor 1 berganti menjadi Kabupaten Lebak yang beribu kota di Warunggunung tapi kemudian ibu kota Kabupaten Lebak-pun dipindahkan ke Rangkasbitung berdasarkan surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 15 tanggal 17 Januari tahun 1849 yang pelaksanaan secara resminya pada tanggal 31 Maret 1851. Berdasarkan pertimbangan sejarah ini, tanggal 2 Desember 1828 ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten
Lebak
berdasarkan
keputusan
DPRD
nomor
14/172.2/D-
II/SK/X/1986.64 Demikian catatan sejarah mengenai sejarah kabupaten Lebak yang diunduh berdasarkan situs resmi Pemda Kabupaten Lebak.
64
Situs Resmi Kabupaten Lebak. diakses pada tanggal 6 Oktober 2012. http://www. lebakkab.go.id/index.php?pilih=hal&id=6
45
Bertitik tolak dari uraian tentang sejarah Kabupaten Lebak diatas, secara geografis Kabupaten Lebak memiliki wilayah seluas 3.044,72 ha, yang merupakan Kabupaten terluas di Provinsi Banten. Secara administratif kabupaten Lebak berbatasan dengan Kabuapten Serang dan Tangerang di sebelah Utara, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Sukabumi. Sebelah Barat dengan Kabupaten Pandeglang, dan sebelah Selatan dengan samudera Indonesia. Secara geografis Kabupaten Lebak berada pada 105°25-106-°30 Bujur Timur dan
6°18-7°00 Lintang Selatan. Sedangkan keadaan topografi bervariasi pada ketinggian 0-1000 meter diatas permukaan laut. Wilayah yang berada pada ketinggian 0-200 meter diatas permukaan laut terdapat di sepanjang Pantai Selatan. Wilayah dengan ketinggian 201-500 meter dpl berada di Lebak Tengah, sedangkan wilayah yang berada pada ketinggian 501-1000 meter diatas permukaan laut berada di Lebak Timur.65 Kabupaten Lebak terbagi menjadi 28 (dua puluh delapan) Kecamatan dan dengan kependudukan sekitar 1.204.095 jiwa.66 No
Kecamatan
Desa
Penduduk
1
Malingping
14 Desa
61.500 jiwa
2
Wanasalam
13 Desa
51.233 jiwa
3
Panggarangan
11 Desa
35.242 jiwa
4
Bayah
11 Desa
40.716 jiwa
5
Cilograng
10 Desa
31.689 jiwa
65
Agus Sutisna dan Amir Hamzah, 177 Tahun Kabupaten Lebak, Negeri Yang Sedang Bersolek, Pemerintah Kabupaten Lebak Dinas Informasi Komunikasi Seni Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lebak, 2005 hal. 3-4. 66 Situs Resmi Kabupaten Lebak. diakses pada tanggal 30 September 2012. http://lebakkab.bps.go.id/penduduk.php,
46
6
Cibeber
22 Desa
54.228 jiwa
7
Cijaku
10 Desa
76.2876 jiwa
8
Banjarsari
20 Desa
57.384 jiwa
9
Cileles
12 Desa
46.684 jiwa
10
Gunungkencana
12 Desa
32.661 jiwa
11
Bojongmanik
9 Desa
21.206 jiwa
12
Leuwidamar
12 Desa
50.430 jiwa
13
Muncang
12 Desa
31.615 jiwa
14
Sobang
10 Desa
78.361 jiwa
15
Cipanas
14 Desa
45.388 jiwa
16
Sajira
15 Desa
46.366 jiwa
17
Cimarga
17 Desa
60.968 jiwa
18
Cikulur
13 Desa
46.627 jiwa
19
Warunggunung
12 Desa
52.302 jiwa
20
Cibadak
15 Desa
58.057 jiwa
21
Rangkasbitung
11 Desa dan 5 Kelurahan
116.659 jiwa
22
Maja
14 Desa
50.526 jiwa
23
Curugbitung
10 Desa
30.036 jiwa
24
Cihara
9 Desa
29.530 jiwa
25
Cigemblong
9 Desa
19.527 jiwa
26
Cirinten
10 Desa
24.765 jiwa
27
Lebak Gedong
6 Desa
71.537 jiwa
28
Kalanganyar
7 Desa
31.982 jiwa
jumlah total penduduk sekitar 1.204.209
B. Profil Masyarakat Kabupaten Lebak Masyarakat Banten khususnya Kabupaten Lebak yang secara umum biasa difahami secara umum merupakan masyarakat yang kasar dalam ucapan dan
47
berani dalam tindakan. Berdasarkan karakternya, masyarakat Banten dapat dibedakan berdasarkan wilayahnya Banten Selatan dan Banten Utara. Banten Selatan merupakan wilayah yang memiliki karakter dan perilaku yang keras. Sedangkan wilayah Banten Utara memiliki karakter yang lebih lembut. Perilaku keras masyarakat banten Selatan tidak terlepas dari sejarah masa lalu masyarakat Banten Selatan (Kabupaten Lebak) yang kental dengan sikap kesantriannya secara gigih melawan penindasan pemerintah kolonial. Orang Banten pada masa itu mempunyai tekad memerangi orang kafir yang kebetulan pada masa itu dikonotasikan terhadap para kolonial. Tidak heran jika kemudian literatur yang mencitrakan watak keras orang Banten.67 Citra inilah yang kemudian terus bertahan hingga sekarang yang menjadi salah satu ciri masyarakat Banten secara umum. Masyarakat Lebak (Banten Selatan) yang memiliki karakter lebih keras ketimbang masyarakat di wilayah sekitar Banten lainnya, hal ini diakibatkan pembawaan masyarakat dari perlakuan represif masyarakat Lebak terhadap kolonial. Di Kabupaten Lebak secara garis besar ada dua tipe penindasan kolonial yang dilakukan kolonial Belanda maupun kolonial Jepang di Banten, khususnya Kabupaten Lebak. Penindasan-penindasan kolonial Belanda ini dikarenakan hutang 236 juta Gulden atas tindakan kolonialnya berupa peperangan-peperangan yang mereka lakukan terhadap rakyat Nusantara. Untuk menanggulangi hutangnya ini, Jenderal Van den Bosch yang dikenal sebagai anak emas Raja
67
Tb. Ismaetullah Al-abbas, Apa Dan Siapa Orang Banten?: Pandangan Hidup, Kosmologi dan Budaya. Serang, Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2005. hal. 31-32.
48
Belanda Willem I, melakukan rencana peraturan rodi atau herendienst (kerjapaksa), dan tanam paksa (Cultuurestelsel).68 Culturstelsel ini sendiri mendapat perlawanan dari masyarakat dan Eduard Douiwes Dekker atau yang lebih dikenal dengan nama Multatuli yang berarti “aku telah banyak menderita”. Eduard Douwes Dekker sendiri adalah seorang pegawai pemerintah kolonial yang sering berpindah-pindah dari kantor satu ke kantor lainnya. Terahir ia menjadi Asisten Residen Lebak pada tanggal 4 Januari 1856. Namun jabatan Eduard Douwes Dekker ini tidak berlangsung lama, ia mengundurkan diri atas jabatannya dalam pemerintahan kolonial Belanda Pada tanggal 29 Maret 1856. Pengundurannya sendiri disebabkan karena ketidak setujuannya terhadap kezaliman pemerintah kolonial Belanda. Setelah ia berhenti sebagai pegawai pemerintahan, hari-harinya diisi dengan menulis sebuah karya tentang penindasan kolonial belanda yang berjudul Max Havelar.69 Tulisan inilah yang kemudian telah mengilhami dan menginspirasi masyarakat. Kedua, perpindahan kekuasaan penjajah dari tangan kolonial Belanda terhadap Jepang ternyata tidak serta merta berhentinya penindasan di Kabupaten Lebak. Pada masa Jepang berkuasa di daerah Banten terdapat proyek pembangunan Lapangan Terbang Gempor di Serang, jalan kereta api SaketiLabuan, dan jalan raya Saketi-Bayah sepanjang 150 km. Juga pertambangan batu bara (Romusa) di Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak, Banten Selatan. Pertambangan dengan cara romusa ini menimbulkan kesengsaraan dan kematian 68
Moechtar, Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Keadilan, dan Kebenaran. Jakarta, Pustaka Jaya, hal. 18. 69 Moechtar, Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Keadilan, dan Kebenaran. Jakarta, Pustaka Jaya, hal. 1-4.
49
yang luar biasa. Jepang membuka pertambangan batu bara di Bayah dengan alasan menurunnya kemampuan pelayaran dan pengangkutan Jepang serta faktor ekonomi.70 Berdasarkan perlakuan kekerasan yang terjadi dan sikap perlawanan yang kuat, telah membentuk karakter masyarakat yang lebih keras ketimbang masyarakat Banten lainnya yang terus melekat sampai sekarang. Hal ini menjadikan masyarakatnya lekat dengan budaya kekerasan sebagaimana dilakukan oleh jawara. C. Sejarah dan Perkembangan Jawara 1. Pengertian dan Sejarah Kemunculan Jawara Runtuhnya struktur politik kesultanan Banten telah membawa dampak sosioligis berupa pergeseran dimensi stratifikasi sosial masyarakat Banten. Jawara yang menempati posisi terendah dalarm sejarah stratifikasi sosial masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata atas dalam hirarki sosial masyarakat hingga Banten saat ini.71 Jawara merupakan kelompok yang khas yang hanya dikenal di wilayah Banten. Selain kiyai, sosok jawara merupakan sosok yang begitu kental dalam kehidupan masyarakat Banten hingga sekarang. Untuk menyimpulkan sejarah kemunculan jawara bukanlah sesuatu yang mudah. Asal-usul kata “jawara” pun tidak begitu jelas. Sebagian orang berpendapat bahwa jawara berarti juara, yang berarti pemenang, yang ingin 70
Romusa, Sejarah Yang Terlupakan. Diakses pada tanggal 30 September 2012. http://www.tembi.net/en/news/beritabudaya/romusa--sejarah-yang-terlupakan1713.html. 71 H.S. Suhaedi, Jawara Banten: kajian sosial-historis tentang mobiltas sosial jawara. Diakses pada 30 Agustus 2012. http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/green/detail.jsp?id=109850& lokasi = lokal
50
dipandang orang hebat. Salah satu sifat jawara adalah selalu ingin menang, yang terkadang dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan cara yang tidak baik. Sehingga seorang jawara itu biasa bersifat sompral (berbicara dengan bahasa yang kasar dan terkesan sombong). Sebagian orang lagi berpendapat bahwa kata “jawara” berasal dari kata “jaro” yang berarti seorang pemimpin yang biasanya merujuk kepada kepemimpinan di Desa, yang kalau sekarang lebih dikenal dengan kepala desa atau lurah. Pada masa dahulu kepala desa atau lurah di Banten itu mayoritas adalah para jawara. Para jawara tersebut memimpin kajaroan (desa) namun kemudian terjadi pergeseran makna sehingga jawara dan jaro menunjukan makna yang berbeda. Sekarang ini jawara tidak mesti menjadi pemimpin, apalagi menjadi kepala desa atau lurah.72 Sampai saat ini belum ada kesepakatan sejak kapan jawara muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Banten. Hal ini dikarenakan tidak ada referensi yang secara komprehensif menganalisis tentang profil jawara. Namun, setidaknya ada lima pendapat yang dikemukakan oleh berbagai peneliti mengenai sejarah kemunculan jawara. Pertama, pada masa kekuasaan Kerajaan Sunda. Kemunculan jawara di Banten merupakan sebuah perantara antara raja dengan rakyatnya. Mereka tidak hanya bertugas melayani raja, tetapi juga membela dan melindungi kerajaan. Kelompok masyarakat ini memiliki keterampilan dalam ilmu silat dan kekebalan.
72
Mohamad Hudaeri, Tasbih dan Golok: Kedudukan dan Peran Kiyai dan Jawara di Banten. Diakses pada pada 30 Agustus 2012 H.S. Jawara Banten: kajian sosial-historis tentang mobiltas sosial jawara. Diakses pada http://www.nimusinstitute.com/tasbih-dan-golok
51
Dalam perkembangan selanjutnya keterampilan mereka ini mencerminkan dirinya sebagai kelompok jawara.73 Kedua, kelompok jawara muncul seiring dengan berdirinya kesultanan Banten yang didirikan Sultan Maulana Hasanudin tahun 1552. Kelompok jawara merupakan strategi Sultan Maulan Hasanudin dalam usaha merebut pusat Kerajaan Sunda, Pakuan Pajajaran. Dengan maksud perebutan Kerajaan Sunda ini, Sultan Maulana Hasanudin merekrut pemuda islam yang memiliki militansi tinggi. Kelompok ini dipimpim oleh Putra Mahkota Kesultanan Banten Pangeran Yusuf. Kelompok pemuda ini merupakan pasukan khusus yang bergerak cepat merebut Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran. Militansi keompok pemuda Islam ini memiliki sifat pemberani yang terus-menerus dibina sehingga kemudian disebut dengan jawara.74 Ketiga, F.G. Putman Craemer, Residen Banten (1925-1931), mengatakan bahwa kaum jawara berasal dari sebuah perkumpulan yang bernama orok lanjang yang dibentuk oleh kaum pemuda di Distrik Menes, Pandeglang. Perkumpulan ini, yang secara harfiyah berarti “bayi menjelang dewasa”, didirikan dengan tujuan untuk mengembangkan sikap tolong menolong dalam kehidupan bermasyarakat dan membantu penyelenggaraan suatu pesta. Seiring berjalannya waktu bila ada orang menyelenggarakan hajatan, mereka harus diundang dan diserahi tugas penyelenggaraannya. Bila tidak demikian, mereka akan mengacau
73
Dipresentasikan dalam “Lokakarya Penelitian dan Penulisan Sejarah Kabupaten Lebak” di Aula Pemkab Lebak, Rangkasbitung, 19 September 2006. Dan dipertegas wawancara dengan KH. Baijuri, cendikiawan dan Dosen IAIN SMH Banten dan La-Tansa pada 1 November 2012, di Rangkasbitung 74 Kejawaraan Dalam Dinamika Sejarah Kabupaten Lebak. Diakses pada tanggal 1 oktober 2012 http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Kejawaraan.pdf
52
dan menggagalkan pesta. Organisasi semacam ini kemudian meluas ke luar Menes dan berubah menjadi organisasi tukang pukul yang disebut jawara. Mereka menjadi kelompok yang ditakuti oleh masyarakat, bahkan pangreh praja pun tidak berani bersikap tegas kepada mereka. Sejak tahun 1916, pangrep praja yang menghadiri pesta selalu membawa senjata api karena takut diganggu oleh kaum jawara.75 Keempat, Nina H. Lubis mengatakan dalam bukunya Banten Dalam Pergumulan Sejarah. kaum jawara berasal dari sekelompok orang yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Pada abad ke-19, ketika tekanan pemerintah kolonial terhadap masyarakat pribumi semakin besar, muncul berbagai perlawanan dari rakyat dengan pusat perlawanan berada di sekitar para kiai. Para kiai ini, umumnya mempunyai dua kelompok santri yang berkembang sesuai dengan kemampuan mereka. Kelompok pertama adalah orang-orang yang memiliki bakat di bidang ilmu agama sehingga kelak bisa menjadi ulama seperti gurunya. Mereka kemudian diberikan ilmu hikmah oleh gurunya selain diberikan ilmu-ilmu agama Islam. Kelompok kedua adalah para santri yang mempunyai bakat yang berkaitan dengan ilmu bela diri. Oleh karena itu, mereka dibina dalam hal kekuatan fisik. Mereka pun diberi ilmu hikmah, tetapi porsinya jauh lebih sedikit dibandingkan ilmu hikmah yang diberikan kepada santri kelompok pertama. Dengan kemampuan bela diri yang dimilikinya, mereka diserahi tugas
75
Kejawaraan dalam Dinamika Sejarah Kabupaten Lebak. Diakses pada tanggal 1 oktober 2012 http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Kejawaraan.pdf
53
untuk melakukan teror terhadap Pemerintah Kolonial Belanda beserta para kaki tangannya. Golongan kedua inilah yang kemudian disebut jawara.76 Kelima, sebutan jawara mulai dikenal oleh masyarakat sekitar tahun 1809 ketika Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808-1811) memerintahkan pembuatan jalan pos dari Anyer ke Panarukan. Pembuatan jalan tersebut mengakibatkan terjadinya perlawanan rakyat Banten yang kemudian dikenal dengan sebutan perang pertama. Seiring dengan perlawanan rakyat itu, lahirlah sebutan jawara seperti yang dikatakan oleh Rd. Muhammad Taufiq Djajadiningrat.77 Pada masa kini, perubahan lingkungan dalam perkembangan zaman secara tidak langsung telah mempengaruhi perilaku jawara. Beriringan dengan perkembangan itu pula telah banyak memberikan perubahan terhadap jawara dalam peranannya ditengah-tengah masyarakat. Pada masa kolonial peran jawara sering ditandai dengan perlawanan terhadap penjajah, pada masa kemerdekaan jawara terlibat dalam pembangunan sosial, agama, ekonomi, dan politik, dan pada masa reformasi jawara dihadapkan pada masalah mengekspresikan dan mewujudkan dirinya dalam berbagai sisi kehidupan ekonomi, sosial, dan politik sehingga dia dapat diterima ditengah-tengah masyarakat modern. 2. Jawara Pada Masa Kolonial Jawara abad ke-19 pada masa kolonial, pada saat ini tekanan pemerintah kolonial terhadap masyarakat pribumi semakin besar, yang justru membangkitkan perlawanan-perlawanan masyarakat pribumi, yang umumnya dilakukan para 76
Nina H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia, hal. 127-128. 77 Kejawaraan Dalam Dinamika Sejarah Kabupaten Lebak. Diakses pada tanggal 1 Oktober 2012 http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Kejawaraan.pdf
54
kiayi, dan para pemimpin lokal dalam masyarakat. Kondisi perlawanan masyarakat inilah yang akhirnya disebut dengan jawara. Untuk melemahkan perlawanan ini, Pemerintah Kolonial Belanda melakukan propaganda terhadap jawara sebagai kelompok masyarakat yang suka membuat kekacauan. Kaum jawara dipersamakan dengan kelompok bandit sosial. Citra negatif jawara yang dilakukan kolonial terus terbawa dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Banten. Dalam konteks kekinian, umumnya masyarakat memandang bahwa jawara itu memiliki sifat yang buruk.78 Mereka selalu ingin menang sendiri dan untuk mewujudkan setiap keinginannya mereka melakukannya dengan kekerasan fisik. Sedangkan pada hakikatnya, Jawara ini umumnya merupakan kelompok para kiyai yang mempunyai dua kelompok santri yang berkembang sesuai dengan kemampuan mereka. Pertama, yang mempunai kemampuan ataupun bakat di bidang ilmu agama sehingga kelak menjadi ulama. Kedua, para santri yang memiliki kemampuan yang berkaitan dengan ilmu bela diri. Golongan kedua inilah yang kemudian hari disebut dengan jawara. Kedua kelompok ini juga diisi dengan ilmu hikmah (kekuatan magis), tetapi untuk golongan kedua hikmah yang diterima relatif “lebih besar” dari pada kelompok pertama. Selanjutnya, ada pendapat bahwa kaum jawara ini terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kaum jawara yang memegang teguh ilmu agama dan mereka disebut sebagai jawaraulama. Mereka oleh para gurunya (kiyai) diberi kekuatan ilmu hikmah yang memang bersumber dari ajaran agama Islam. Kelompok jawara ini kemudian 78
Kejawaraan Dalam Dinamika Sejarah Kabupaten Lebak. Diakses pada tanggal 1 Oktober 2012 http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Kejawaraan.pdf
55
dikenal sebagai jawara-ulama dan mengembangkan white magic sebagai sumber kekuatan fisiknya. Kedua, kaum jawara yang menggunakan elmu hideung yakni ilmu (kepandaian) untuk memperoleh kekebalan diri (kadugalan) yang tidak berdasarkan ajaran Islam. Ilmu ini biasa juga disebut elmu rawayan atau elmu urang Baduy.79 Bagi masyarakat Banten, khususnya Kabupaten Lebak, ilmu ini merupakan sarana untuk memperoleh kekebalan diri (kadugalan) yang proses pencapaiannya tidak berdasarkan agama Islam. Menurut tokoh cendekiawan Banten Tihami bahwa karakter jawara pada awalnya merupakan ekspresi ketundukan kepada kiayi, karena pada abad ke-19 jawara bermula dari murid kiayi. Oleh karenanya, menjadi hukum pantangan (kawalat) bagi jawara manakala ia melawan kiayi yang akan menyebabkan kehilangan kekuatan magi. Hubungan kiayi dan jawara seperti hubungan anakorang tua sehingga guru harus ditunduki dan dihormati. Terlebih jawara-kiayi sangat erat hubungannya sebab kiayi merupakan sumber pemberi resep-resep magi.80 3. Jawara Pada Masa Orde Lama Tidak banyak referensi yang dapat ditelusuri mengenai peranan jawara pada masa Orde Lama. Keberhasilan para jawara dalam mengusir kolonial adalah salah satu sejarah yang mengantarkan kemerdekaan Indonesia. Pada masa ini peran jawarapun mengalami perubahan. Peran jawara
tidak lagi melakukan
perlawanan terhadap penguasa pemerintahan. K.H. Baijuri seorang cendikiawan 79
Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia, hal. 127-128. 80 Tihami, Kiayi dan Jawara Banten: studi tentang agama, magi, dan kepemimpinan di desa pesanggerahan Serang, Banten, hal. 21
56
di Kabupaten Lebak mengatakan bahwa jawara pada masa ini terbagi menjadi dua, pertama, jawara kembali pada “orang tuanya” mendampingi para kiayi dalam proses penyiaran agama Islam. Kedua, jawara yang terkontaminasi dalam arus pusaran politik lokal maupun nasional.81 Jawara yang berpulang pada orang tuanya menjadi tameng para kiayi, hal ini dimaksudkan dalam penyiaran agama Islam jika ada kekacauan. Jawara senantiasa mengajarkan, mengamalkan ajaran Islam, dan menjaga ketentraman masyarakat. Sedangkan jawara yang terkontaminasi dalam arus politik pada masa kemerdekaan, terus dimunculkan sebagai sosok yang memiliki kekuatan magis. Mereka dimanfaatkan sebagai salah satu alat penekan bagi para politikus di Indonesia.82 Paradigma inilah yang dipahami oleh masyarakat terhadap sisi lain jawara hingga kini. 4. Jawara Pada Masa Orde Baru Pelaksanaan sistem demokrasi Pancasila pada rezim Orde Baru yang otoriter adalah dengan penyederhanaan sistem kepartaian yang kemudian memunculkan kekuatan yang dominan yaitu Golongan Karya (Golkar) dan ABRI. Partai Golkar merupakan partai pemerintah yang menjadi hegemoni dalam setiap pelaksanaan pemilu di masa Orde Baru. Rezim ini mencengkram semua sendisendi masyarakat yang mengakar pada tingkat lokal, merapatkan barisan pada penguasa rezim atau rela diberangus.
81
2012.
82
Wawancara pribadi dengan K.H. Baijuri di Rangkasbitung. Pada tanggal 1 November
Tb. Ismaetullah Al-abbas, Apa Dan Siapa Orang Banten?: Pandangan Hidup, Kosmologi dan Budaya. Serang, Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2005. hal. 31-32.
57
Sedangkan kedekatan jawara dengan ABRI di era Orde Baru dapat diidentifikasi dalam berbagai hal, misalnya kedudukan jawara sebagai guru silat di ABRI. Selain itu jawara pula turut serta dalam terjun ke daerah-daerah konflik di Timor-Timur, Aceh dan Papua. Bahkan jawara dapat mempromosikan kenaikan pangkat terhadap seorang anggota militer.83 Kedekatan jawara dengan ABRI ini merupakan sebuah bukti keberadaan jawara sebagai elit sosial Banten yang memiliki pengaruh besar, tidak hanya di tingkat lokal bahkan nasional. Kedekatan jawara dengan elemen-elemen pemerintah ini kian memperkuat dominasi jawara dalam politik lokal di Banten. Pada masa Orde Baru Jawara sebagai elit tradisional di Banten merupakan salah satu patron klien pemerintahan Orde Baru dan partai Golkar. Jawara dengan penguasa rezim mempunya kedekatan ideologis berupa anti demokrasi (bertanagan besi) yang sesuai dengan karakternya. Sedangkan jawara dengan partai Golkar merupakan simbiosis mutualisme antara jawara dan DPD Golkar Banten. Jawara merupakan simpul penting Golkar di Banten. Relasi jawara dan partai Golkar sendiri berada pada dua organisasi kejawaraan, yaitu BPPKB (Badan Pembinaan Potensi Keluarga Banten), PPPSBBI (Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia) dan TTKDH (Tjimande, Tarik Kolot, Djeruk Hilir).84 Kedua organisasi ini memiliki jaringan yang luas di tingkat nasional dan yang mengakar ditingkat lokal.
83
Ahmad Abrori. Perilaku Politik Jawara Banten Dalam Proses Politik Di Banten. Tesis Fisip Universitas Indonesia 84 Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara & Demokrasi. Jakarta, PT Dian Rakyat, 2010, hal. 76.
58
Hubungan antara jawara dan Golkar yang terbentuk karena alasan sejarah, kedekatan ideologi, kultural maupun patron klien yang saling menguntungkan keduanya. Hubungan patron klien antara jawara-Golkar merupakan hubungan yang tidak bisa dipisahkan, Golkar sebagai patron jawara mendapat dukungan yang besar, partai Golkar-jawara yang secara historis merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kiyai ini mendapat dukungan meraup massa santri yang tersebar di pesantren-pesantren maupun non santri, unsur pemerintahan, dan unsure-unsur masyarakat lainnya. Sedangkan jawara sebagai klien medapatkan perlindungan hukum, ekonomi, sosial, dan politik. Dengan jaringan tersebut, Golkar memperoleh dukungan yang besar dalam setiap pelaksanaan pemilu, pembuatan kebijakan politik, dan memperkokoh posisi Golkar-Orde Baru. Sedangkan jawara mendapatkan posisi-posisi kunci dalam struktur partai politik Golkar sendiri yang juga masih bertahan hingga kini. 5. Jawara Pada Masa Reformasi Tumbangnya era Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto telah mengiringi transisi demokrasi Indonesia kembali pada alur demokrasi yang seutuhnya yang dikenal dengan era reformasi. Kebebasan dalam sistem pemerintahan ini telah mendorong masyarakat untuk melakukan perubahan dalam sistem ketatanegaraan yang ditumpahkan dalam bentuk demonstrari mahasiswa dan masyarakat pada pertengahan sampai penghujung tahun 1998. Cita-cita akan suatu suatu masyarakat bangsa yang mempunyai rule of law, perwakilan, dan kebebasan bagi semua telah berhasil diraih. Dengan demokrasi pada era ini semua orang
bisa
mewujudkan
kesanggupan-kesanggupannya.
Mereka
saling
59
memperkuat satu sama lain negara melindungi warga Negara, sedang warga Negara mendharma-baktikan dirinya terhadap Negara. Kemajuan dalam kondisi berfikir yang satu akan pula memperbaiki kondisi jasmani bagi yang lain, dengan demikian model masyarakat yang baik dari para filosof yang memerintah dan yang
diperintah,
sarana
dan
tujuan,
dijelmakan
dalam
model
kaum
institusionalis.85 Sebagai patron klien rezim Orde Baru dan partai Golkar, jawara cenderung bermuka dua mengenai demokrasi. Hal ini dikarenakan sifat jawara yang seutuhnya tidak sejalan dengan konsep demokrasi, demokrasi dianggap bisa mengancam dominasinya terhadap politik lokal di Banten. amun, sikap masyarakat secara luas mendukung reformasi membuat jawara tidak bisa membantah perihal reformasi demokrasi. Akan tetapi kenyataan berkata lain, runtuhnya rezim Orde Baru ini malah makin mengukuhkan dominasi jawara. Jawara memperoleh peluang lebih besar untuk terus melanggengkan dominasi sosial-politiknya. Jawara tidak lagi terkooptasi oleh satu partai (Golkar) tapi jawara mulai melebarkan sayapnya pada partai-partai lain seperti PDIP, PKP, PBB, dan lain-lain, dan bahkan tidak sedikit jawara yang independen yang pada kesempatan dan kepentingan lain mereka bisa bebas bermanuver ekonomipolitik.86 Jawara yang menyebar dalam jejaring sosial masyarakat ini merupakan sebuah kedigjayaan jawara sebagai sosok elit tradisional yang tidak bisa dipisahkan dan suatu bentuk kekhasan dalam sosial-politik di Banten.
85
David E. Apter, Pengantar analisa Politik, CV. Rajawali bekerja sama dengan Yayasan Solidaritas Gadjah Mada. Jakarta. 1977. hal. 266 86 Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara & Demokrasi. Jakarta, PT Dian Rakyat, 2010, hal. 67.
60
Kedigjayaan jawara di era reformasi dapat diidentifikasi dalam pelaksanaan pilkada. Dalam pilkada dilibatkan oleh para pesrta pillkada sebagai sarana untuk mendulan suara masyarakat dalam pemenangan pilkada. Hal ini dikarenakan jawara sebagai sosok elit tradisional yang memiliki pengaruh besar dalam sosial-politik masyarakat Banten dapat memobilisasi masyarakat dalam dinamika sosial-politik dadaerahnya. Dalam pelaksanaan pilkada Kabupaten Lebak 2008, setiap gerakan sosial-politik yang dilakukan masyarakat merupakan gerakan yang dilatar belakangi oleh para jawara.87 Secara umum, hal ini menjadikan peran politik yang dilakukan jawara sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam sosial-politik di Kabupaten Lebak.
87
Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008 dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013.
61
BAB IV PERAN POLITIK JAWARA DALAM PEMENANGAN H. MULYADI JAYABAYA A. Pilkada Kabupaten Lebak Tahun 2008 Pilkada sebagai salah satu ciri demokrasi pada era reformasi adalah adanya Pemilihan Umum secara langsung dari tingkat desa (Lurah) sampai dengan tingkat nasional (Presiden). Menurut Undang-undang No. 22 tahun 1999, bupati dan walikota sepenuhnya menjadi kepala daerah otonom yang dipilih oleh rakyat dan bertanggung jawab kepada DPRD dan dapat diberhentikan oleh DPRD pada masa jabatannya.88 Hal ini sejalan dengan pemikiran Joseph A. Sschumpeter metode demokratis adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. 89 Hal ini dimaksudkan agar terpilihnya pemimpin yang sesuai dengan hati-aspirasi masyarakat, sehingga masyarakat menjadi partisipatif untuk mengarahkan dan menentukan kemajuan daerahnya. Hal ini juga di pertegas dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 pada tanggal 29 September yang menjelaskan bahwa kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada sehingga daerah mempunyai otonomi untuk mengelola dan mengembangkan sumber daya alam dan sumber daya 88
A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 184. 89 Masykuri Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna:Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap kmonsep Demokrasi .Yogyakarta, Tita Wacana, 1999, hal. 72.
62
manusia daerahnya.90 Kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) bersama DPRD, mempunyai peran sangat besar dalam menentukan arah dan jalannya pembangunan daerahnya. Pilkada sebagai sarana demokratisasi yang langsung menyentuh sendisendi
masyarakat,
pilkada
merupakan
perwujudan pengembalian hak-hak
rakyat dalam memilih pemimpin daerah.91 Pilkada telah memberi ruang bagi perkembangan otonomi daerah dalam menentukan pemimpin yang mewakili aspirasi masyarakat secara langsung. Dalam pelaksanaan pilkada di Indonesia, pada tiap daerahnya memiliki kultur politik yang berfarian. Hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan
negara
yang
majemuk, pada tiap daerahnya
memiliki farian kultur yang berbeda pula. Sehingga pendekatan politik ditingkat lokal selalu melibatkan institusi informal yang merefleksikan kultur masyarakat daerahnya. Dalam pelaksanaan pilkada di Kabupaten Lebak tahun 2008 yang diikuti oleh 3 pasangan calon. yaitu pasangan H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah yang diusung oleh partai PDIP, Partai Golkar, Partai Demokrat, PKS, PKB, PAN, PBB, dan PBR. Pasangan H. Mardini – Wijaya Ganda Sungkawa diusung oleh partai PPP, PBB, PNI Marhaen dan Partai Pelopor. dan pasangan Muhamad yas‟a Mulyadi – M. Sudirman yang diusung non partai (independen) dan
90
Miriam Budiardjo. Dasar Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta, Ikrar Mandiri Abadi, 2008, hal. 134. 91 A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 191.
63
perseorangan.92 Pelaksanaan pilkada ini dimenangkan oleh pasangan H. Mulyadi jayabaya – H. Amir Hamzah dengan perolehan suara sebanyak 360.420 suara atau 64,3% suara yang memberikan suaranya. Diikuti oleh pasangan H. Mardini – Wijaya Ganda Sungkawa diurutan kedua dengan perolehan suara 172.326 suara atau 30,7% dan yang terakhir adalah pasangan M. Yas‟a Mulyadi – M. Sudirman meraih suara 27.851 atau 5% suara, sedangkan suara tidak sah sebanyak 17.099 suara.93 Secara keseluruhan pilkada Lebak tahun 2008 ini berjalan dengan normal, meskipun diwarnai dengan berbagai unjuk rasa oleh masing-masing pendukung peserta pilkada. Hal ini terlihat pada tahapan pencalonan dan pemungutan suara. Maraknya unjukrasa dalam tahapan pencalonan pilkada Lebak tahun 2008, disebabkan karena adanya indikasi ijazah palsu milik calon incumbent H. Mulyadi Jayabaya. meski demikian besarnya unjuk rasa pada tahapan pencalonan ini, KPU Kabupaten Lebak tetap meloloskan pasangan calon incumbent tersebut, dengan alasan bahwa kewenangan memutuskan ijazah palsu tersebut bukan bagian kewenangan KPU. Dengan kata lain komisioner KPU Lebak menjelaskan bahwa KPU tidak memiliki kewenangan dalam hal Ijazah.94 Selanjutnya dalam tahapan pemungutan suara sampai penghitungan suara, pilkada lebak juga diramaikan dengan unjuk rasa. Unjuk rasa dalam tahapan ini masih berkaitan dengan isu dalam tahapan pencalonan yaitu indikasi Ijazah palsu 92
Tempo Interaktif, Diakses pada tanggal 11 Oktober 2011 http://pilkadalebak. wordpress. com/2008/05 dan Lebak, Diakses pada tanggal 11 Oktober 2011 http://imnbanten. wordpress.com/2008/ 10/21/kpud-lebak-tetapkan-mulyadi-amir-pemenang-pilkada/ 93 KPUD Kabupaten Lebak. Catatan Pelaksanaan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara, Model DB 1 –KWK. pada 20 Oktober 2008. 94 Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008 dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013.
64
H. Mulyadi jayabaya. Perbedaannya dengan tahapan pencalonan, dalam tahapan pemungutan dengan
isu
suara sampai tahapan penghitungan suara, unjuk rasa ditandai pengunduran diri 2 (dua) dari 3 (tiga) pasangan calon yaitu
H. Mardini – Wijaya Ganda Sungkawa dan M. Yas‟a Mulyadi – M. Sudirman. Kedua pasangan ini beralasan mengundurkan diri karena KPU Kabupaten Lebak tetap meloloskan pasangan incumbent H. Mulyadi jayabaya – H. Amir Hamzah sebagai calon Bupati dan wakil Bupati Lebak tahun 2008 – 2013. Penandatanganan pengunduran diri pasangan M. Yas‟a Mulyadi – M. Sudirman dilakukan di Kampung Cilajur, Kecamatan Maja Kabupaten Lebak sekitar pukul 13.00 WIB sabtu 11 oktober 2008. Sementara itu, penyerahan berkas pengunduran diri kepada KPU Kabupaten Lebak dilakuakn pada pukul 16.00 WIB yang diantarkan langsung oleh pasangan calon M. Yas‟a Mulyadi – M. Sudirman dan diterima oleh anggota KPU Lebak Ahmad Hakiki Hakim dan Kepala Sub Bagian Teknik Penyelenggaraan Sekretariat KPU Lebak Rahmat Gunawan.95 Pengunduran diri pasangan peserta pilkada ini juga diikuti oleh pasangan H. Mardini – Wijaya Ganda Sungkawa sekitar 15 menit kemudian dan diterima oleh anggota KPU Lebak. Dalam surat pengunduran diri ini, kedua pasangan calon tersebut menuliskan kekecewaan terhadap KPU Kabupaten Lebak yang tetap meloloskan pasangan calon incumbent sebagai peserta pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008. Terkait dengan pengunduran diri 2 (dua) pasangaan calon Bupati dan wakil Bupati Lebak tahun 2008–2013, tentu saja hal ini mengancam 95
Protes KPU, Pilkada Lebak terancam Batal. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2011 http://www.suarakarya-onlinne.com/news?id=211257
65
keberlangsungan pemungutan suara yang akan diselenggarakan pada tanggal 16 oktober 2008 yang menyisakan 1 (satu) pasangan calon incumbent. Namun ternyata KPU Kabupaten Lebak tetap menyelenggarakan pemungutan suara. KPUD menyebutkan bahwa pengunduran diri kedua pasangan calon tidak mempengaruhi pelaksanaan pemungutan suara pada pilkada 16 oktober 2008. Hal ini juga diperkuat oleh anggota KPU pusat yang disampaikan Putu Artha yang menetapkan pemungutan suara pilkada Lebak tahun 2008 harus tetap berjalan sebagaimana mestinya. 96 Dalam kesempatan lain, H. Agus Sutisna anggota KPUD Lebak yang sekarang menjabat sebagai Ketua KPUD Lebak mengatakan pengunduran diri 2 (dua) pasangan calon itu dinilai tidak sah, selain itu keduanya telah menandatangani surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri dan juga tidak diatur dalam Undang-undang No. 12 tahun 2008 yang merupakan revisi sebagian Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemilihan kepala daerah. Kemudian dia menjelaskan kembali bahwa hal ini juga disebutkan dalam pasal lain bahwa pengunduran diri yang sah harus membayar sangsi denda Rp. 20 Miliar, hal inilah yang tidak dilakukan oleh kedua paasangan calon, sehingga pilkada harus tetap dilakukan sebagaimana mestinya.97 Pilkada merupakan sebuah konsep pemilihan secara langsung yang melibatkan masyarakat dalam proses dan putusan politik. Keterlibatan masyarakat yang secara nyata dapat dilihat dalam sebagai sebuah mekanisme untuk memilih 96
Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008 dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013. 97 Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008 dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013.
66
pemimpin politik, mekanisme dalam konteks memilih pemimpin politik ini dinamakan pilkada. Keterlibatan masyarakat dalam pilkada tidak hanya melibatkan institusi formal saja, melainkan juga institusi informal pada tiap daerahnya masing-masing. Dalam pelaksanaan pilkada Kabupaten Lebak keterlibatan institusi informal ini tercermin oleh elit tradisional Kabupaten Lebak yaitu jawara. Jawara merupakan tokoh yang memberikan andil besar dalam dinamika politik pilkada kabupaten Lebak tahun 2008. Seperti yang dikemukakan oleh KPUD Lebak H. Agus Sutisna, yang menyebutkan bahwa pilkada tahun 2008 merupakan sebuah ajang politik element jawara.98 Dalam Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Kabupaten Lebak tahun 2008 selain partai politik dan masyarakat, Jawara sebagai elit tradisional masyarakat merupakan sosok yang memiliki peranan yang besar dalam mendukung dan mensukseskan pasangan calon bupati/wakil bupati H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah peserta pilkada Lebak tahun 2008. pencalonan incombent H. Mulyadi Jayabaya mendapat dukungan oleh para jawara. Dukungan yang diberikan oleh para jawara tidak sertamerta begitu saja, melainkan karena hubungan baik yang sudah terjalin pada periode pemerintahan sebelumnya. Selain itu, para jawara juga menilai kinerja H. Mulyadi Jayabaya telah berhasil.99 Keberhasilan kinerja incombent ini bisa dilihat dari fasilitas yang diberikan pemerintah di daerah para jawara. Hal inilah yang melatar
98
Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008 dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013. 99 Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008 dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013.
67
belakangi dukungan terhadap pasangan calon H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah. Pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008 hampir setiap gerakan politik dan mobilisasi masa calon bupati/wakil bupati H. Mulyadi jayabaya – H. Amir Hamzah dilatar belakangi oleh para jawara. Setidaknya dalam pelaksanaan pilkada 2008 terdapat 23 gerakan sosial yang dilatarbelakangi jawara dalam mensukseskan masing-masing pasangan calon peserta pilkada. B. Dukungan Jawara Terhadap Pasangan H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah Partisipasi politik merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Dalam negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, yang dilakukan berdasarkan kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Jadi, partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggara kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. Demokratisasi yang mapan secara umum dianggap karena tingginya partisipasi politik dari masyarakat. Tingginya tingkat partisipasi ini menunjukan bahwa warga negara mengikuti dan memahami masalah politik serta ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan pengambilan kebijakan. Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik, misalnya pemberian suara dalam pemilihan umum atau kegiatan lain, merupakan dorongan kesadaran oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama. Dalam hal itu maka kepentingannya
68
akan tersalurkan atau sekurang-kurangnya akan diperhatikan, dan sedikit banyak masyarakat dapat mempengaruhi tindakan dari mereka yang berwenang untuk membuat keputusan yang mengikat. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa kegiatan mereka mempunyai efek (political efficacy).100 Dalam pilkada Lebak tahun 2008, tidak terfokus pada partai politik pengusung calon Bupati melainkan pada elit tradisional elit tradisional. Hal ini dikarenakan elit tradisional lebih mengakar pada masyarakat. Dimana pasangan incombent H. Mulyadi Jayabaya mendapat dukungan penuh para jawara karena sudah menjalin hubungan politik pada periode pertama H. Mulyadi Jayabaya. Jawara dinilai berperan dalam mendukung dan mensukseskan pasangan tersebut dalam pilkada Lebak tahun 2008. Jawara merupakan elit tradisional masyarakat di wilayah Provinsi Banten termasuk Kabupaten Lebak. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, jawara memiliki pengaruh yang besar dalam masyarakat, karena kuatnya pengaruh tersebut jawara menjadi aktor yang sangat penting atas kesuksesan pasangan H. Mulyadi jayabaya dan H. Amir Hamzah. Besarnya dukungan jawara terhadap pasangan incombent merupakan sebuah modal politik yang tidak dimiliki oleh calon pasangan lain. Keterlibatan jawara dalam pilkada merupakan sebagai kelompok partisipan.
Sebagai
kelompok
partisipan
yang
aktif,
jawara
sangat
memperhitungkan arah dukungan mereka. Hal ini dikarenakan akan memberikan dampak terhadap input yang mereka dapatkan secara pragmatis.101 Dalam
100
Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 3. 101 Ahmad Abrori. Perilaku Politik Jawara banten Dalam Proses Politik Di Banten. Tesis Fisip Universitas Indonesia
69
memberikan dukungan jawara akan senantiasa merujuk pada kedekatan mereka terhadap salah seorang calon. Sehingga kepentingan-kepentingan mereka bisa terpenuhi. C. Peran Jawara sebagai Mobilized Political Partisipation Kejawaraan merupakan identitas sekelompok orang di Kabupaten Lebak, meskipun hanya salah satu unsur dalam masyarakat, ia menempati kedudukan yang berpengaruh, terutama dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Dengan posisi yang dominan layaknya kyai di daerah lain, jawara bisa mempengaruhi dinamika sosial-politik masyarakat. Bahkan posisi jawara di Kabupaten Lebak lebih menentukan dari pada kyai, hal ini dikarenakan posisi kiyai di Kabupaten Lebak masih tertutup dalam hal politik karena kiyai menganggap politik sering berbenturan dengan etika keagamaan.102 Hal berbeda ditunjukan oleh jawara, jawara yang cenderung pragmatis dan tidak begitu perduli dengan permasalahan etika. Jawara yang memiliki karakter berbeda dari anggota masyarakat lainnya seperti berani (wanten), agresif, sompral (tutur kata keras) dan blak-blakan (terbuka). Apa lagi mereka dibalut dengan keterampilan bela diri (silat) dan diyakini memiliki kadigjayaan (kesaktian).103 Hal ini yang mengindikasikan keberadaan jawara sebagai elit tradisional sebagai sekelompok orang yang berpengaruh kuat dalam masyarakat Lebak. Keberadaan jawara yang memiliki pengaruh dan teroganisir dengan rapih, sehingga ia menjadi sebuah civil society.
102
Wawancara dengan Abdul Hadad (Sekretaris TTKDH Kab. Lebak) pada tanggal 29 Agustus 2013. 103 Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara & Demokrasi. Jakarta, PT Dian Rakyat, 2010, hal. 65
70
Namun civil society mereka tidak memposisikan diri sebagai lembaga mediasi antara kepentingan rakyat dan pemerintah. Malah ia merupakan kekuatan yang dominan yang dapat mengontrol dan memobilisasi segala kekuasaan lokal baik dengan cara sopan maupun dengan cara kekerasan.104 Keterkaitannya dalam pilkada tentunya pasangan yang mendapat dukungan dari jawara merupakan keuntungan dalam meraih suara rakyat, karena kegiatan politik jawara senantiasa akan oleh masyarakat. Pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008 menempatkan posisi jawara bukan sebagai kelompok orang yang berebut kekuasaan, melainkan sebagai Mobilized Political Partisipation menjadi tim sukses sebagai pendulang suara terhadap calon pemegang kekuasaan. Dalam hal ini jawara mampu memberikan andil besar karena kedudukan jawara sebagai elit tradisional memiliki kharisma istimewa pada masyarakat lapisan bawah di Banten.105 Keberadaan jawara sebagai elit lokal yang berpengaruh kuat dalam masyarakat Lebak dan Banten pada umumnya mengindikasikan kekuatan politik jawara.Pencalonan incombent H. Mulyadi Jayabaya menjadi bupati mendapat respon baik dikalangan jawara. Hal ini disebabkan hubungan yang sudah terjalin antara pemerintah dengan jawara tidak perlu lagi membangun pola hubungan yang komprehensif karena sudah terjalin pada saat incombent H. Mulyadi Jayabaya menjabat sebagai Bupati. Hal senada pula diutarakan oleh H. Agus Sutisna sebagai anggota KPU Kabupaten Lebak yang sekarang menjabat 104
Ahmad Abrori. Perilaku Politik Jawara banten Dalam Proses Politik Di Banten. Tesis Fisip Universitas Indonesia 105 Taufik Abdullah, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, LP3S, 2004, hal. xxvi
71
komisioner KPU Kabupaten Lebak, dia menyatakan bahwa hubungan yang dijalin oleh oleh H. Mulyadi Jayabaya merupakan hubungan yang sudah dijalin cukup harmonis saat periode pertama H. Mulyadi jayabaya memimpin Kabupaten Lebak.106 Jawara sebagai tokoh elit tradisional yang dihormati dan disegani karena dianggap memiliki kemampuan untuk memanipulasi kekuatan magis keberanian (wanten, kawani) secara fisik, yang keberaniannya itu didukung oleh kemampuan dalam menguasai ilmu bela diri (persilatan) dan ilmu-ilmu kesaktian. Karena kelebihannya yang dimilikinya tersebut pengaruh yang cukup besar dalam masyarakat dan juga memiliki para pengikut yang setia. Kepemimpinannya bersifat kharismatik inilah yang menjadikan jawara sebagai pendulang suara. Peran jawara sebagai tim sukses diindikasikan dengan mengkampanyekan pasangan calon bupati/wakil bupati. Jawara melakukan berbagai pendekatan pada tiap kalangan masyarakat petani, nelayan, agamawan, birokrasi, dan lain-lain. Hal ini menurut Samuel P. Huntington merupakan bentuk kategori partisipasi Lobbying.107 Dalam hal ini jawara memerintahkan seluruh anak buahnya yang tersebar keseluruh wilayah agar dapat mendukung pasangan calon yang didukung oleh para jawara tersebut. Selain itu, jika jawara dengan lobbying tidak berhasil mendulang suara, maka tidak segan-segan jawara akan melakukannya melalui jalan kekerasan untuk mempengaruhi masyarakat. Hal ini juga disebut oleh Samuel P. Huntington 106
Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008 dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013. 107 Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 8.
72
sebagai bentuk kategori partisipasi Violence.108 Dalam hal ini jawara tidak lagi menggunakan cara yang baik dalam mempengaruhi masyarakat, tetapi jawara cenderung menekan masyarakat melalui bentuk kekerasan lisan maupun fisik.
108
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 8.
73
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Melalui pembahasan tentang Demokrasi, Otonomi Daerah dan Perilaku Politik Jawara yang menitik beratkan pada studi tentang Peran Jawara dalam Pilkada Kabupaten Lebak Tahun 2008. Maka penulis menyimpulkan penulisan skripsi ini sebagai berikut: 1. Pelaksanaan otonomi daerah merupakan sebuah konsep untuk memberikan kekuasaan pusat
kepada daerah dalam mengelola daerahnya masing-
masing. Dalam pelaksanaan otonomi tersebut, disisi lain ternyata telah memberikan kesempatan bagi elit tradisional seperti jawara dalam melebarkan pengaruhnya dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. 2. Pada tahun 2008 melalui pilkada langsung, masyarakat Kabupaten Lebak melakukan
partisipasi
politik
dalam
memimpin
daerahnya
yang
diselenggarakan secara langsung untuk memilih calon bupati dan wakil bupati. Pelaksanaan pilkada ini merupakan bentuk reformasi politik dalam memilih pemimpin, sehingga pemimpin yang terpilih merupakan representasi dari aspirasi masyarakat. 3. Partisipasi politik jawara dalam pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008 dilakukan dengan cara mensukseskan calon bupati dan wakil bupati pasangan H. Mulyadi jayabaya dan H. Amir Hamzah. Sebagai tim sukses
74
jawara melakukan sosialisasi calon pasangan tersebut, serta melakukan apapun untuk mendukung pasangan bupati dan wakil bupati. 4. Faktor yang mempengaruhi dukungan jawara terhadap calon bupati dan wakil bupati H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir Hamzah karena kedekatan antar mereka sudah terjalin sejak periode pertama kepemimpinan H. Mulyadi Jayabaya sebagai bupati Kabupaten Lebak. 5. Jawara sebagai elit tradisional yang memiliki pengaruh besar ternyata menjadi salah satu aktor yang menentukan dalam meraih kedudukan politik di Kabupaten Lebak. B. Saran Keberadaan jawara di tengah-tengah masyarakat merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan masyarakat banten. Jawara merupakan sosok elit tradisional yang tidak dapat dipisahkan struktur dan kultur masyarakat banten. Keikut sertaan jawara dalam politik merupakan hak politik jawara yang tidak bisa terbantahkan, tapi yang jadi permasalahan adalah adanya upaya mobilisasi massa yang dilakukan jawara dengan cara-cara yang tidak sopan tentunya tidaklah patut untuk dilakukan. Selain karena bertentangan dengan etika-moral yang baik, hal ini juga bisa menurunkan prestige yang melekat dalam diri jawara. Sikap jawara yang terlalu pragmatis tentunya akan mengindikasikan kedudukan jawara sebagai anak buah penguasa. Jawara dalam politik seharusnya bisa lebih memposisikan dirinya sebagai orang yang netral terhadap proses-proses politik. Dengan demikian kedudukan jawara sebagai elit tradisional tetap memiliki prestige.
75
Daftar Pustaka Buku Abdillah, Masykuri, Demokrasi Di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap konsep Demokrasi, Yogyakarta, Tita Wacana, 1999. Abdullah, Taufik, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Jakarta, LP3S, 2004. Al-abbas, Tb. Ismaetullah, apa dan siapa orang banten?: Pandangan Hidup, Kosmologi dan Budaya, Serang, Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2005. Apter, David E., Pengantar Analisa Politik, Penj. Setiawan Abadi, Jakarta, LP3ES cet. II, tahun 1987. Budiardjo, Miriam, Dasar Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. diterbitkan oleh PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta, 2008. Budiardjo, Miriam, Partisipasi dan Partai Politik : Sebuah Bunga Rampai Edisi Ketiga, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998. Haris, Syamsuddin, Lili Romli, dkk, Membangun Format Baru Otonomi Daerah, Jakarta, LIPI, 2006. Hidayat, Syarif, Shadow State…? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten, dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken (ed),Politik Lokal Di Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2007. H.R, Syaukani, Kapita Selekta Otonomi Daerah, Jakarta, Nuansa Madani, cet. I, 2002. Huntington, Samuel P., dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998.
76
Kartodirjdo, Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta, Pustidaka Jaya, 1984. Lubis, Nina Herlina, Banten dalam pergumulan sejarah: Sultan, Ulama, Jawara, Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia, 2003. Maran, Rafael Raga, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta, Rineka Cipta, 2001. Marbun. B.N, Otonomi Daerah 1945-2010, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, cet. II Edisi Revisi, 2010. Mas‟oed, Mochtar, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta, PT. Suara Bebas, 2006. Moechtar, Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Keadilan, dan Kebenaran, Pustaka Jaya, 2005. Plano, Jack C., dkk, Kamus Analisis Politik, Penj. Drs. Edi S. Siregar, CV Rajawali, cet. I, Jakarta, Pribadi, Toto, dkk, Sistem Politik Indonesia, Jakarta, Universitas Terbuka, 2006. Rahardiansah, Trubus, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma, dan Pendekatannya, Jakarta, Universitas Trisakti cet. I, 2006. Alamsyah, Andi Rahman, Islam, Jawara & Demokrasi. Jakarta, PT Dian Rakyat, 2009. Rahman, Arif, Sistem Politik Indonesia, Surabaya, SIC, 2002. Rasyid, Muhamad Ryaas, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan & Politik Orde Baru, Jakarta, Yasrif Watampone Cet. II, 1998. Rush, Michael, dan Philip Althoff. Pengantar Sosiologi Poiltik, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
77
Subakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik. Jakarta, PT Grasindo cet I, 1999. Sutisna, Agus dan Amir Hamzah (ed), 177 Tahun Kabupaten Lebak : Negeri Yang Sedang Bersolek, Kabupaten Lebak, Dinas Informasi Komunikasi Seni Budaya dan Pariwisata (Inkosbudpar), 2005. Suyanto, Bagong (ed), “Penelitian Kualitatif : Sebuah Pengantar,” dalam Metode Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekatan, Jakarta, PT. Kencana, 2006. Maarif, Ahmad Syafi‟I, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta, LP3ES, 1985. Ubaidillah, Ahmad & Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Edisi Revisi, Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2005. Urbaningrum, Anas, Islamo-Demokrasi : Pemikiran Nurcholis Madjid, Jakarta, PT. Republika, 2004.
Tesis Ahmad Abrori. Perilaku Politik Jawara banten Dalam Proses Politik Di Banten. Tesis Fisip Universitas Indonesia
Jurnal Romli, Lili, Jurnal Domokrasi dan HAM, Demokrasi Lokal dan Pilkada, Jakarta, Habibie Center, 2000.
78
Website http://raconquista.files.wordpress.com/2009/04/minggu-ii-suwandi-konsepsiotda.pdf Konsepsi Dasar Otonomi Daerah Indonesia, akses: 19 April 2011. http://www.djpp.depkumham.go.id/database-peraturan/uud-ri-tahun-1945.html UUD 1945, akses: 16 Oktober 2012 http://www.drsp-usaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id=214 Naskah Akademik UU Pilkada, akses: pada 20 April 2011. http://sobatbaru.blogspot.com/2008/04/pengertian-demokrasi-danhubungannya.html Pengertian Demokrasi Dan Hubungannya Dengan Pilkada, akses: 20 April 2011. http://vivinzeey.blogspot.com/2011/05/pengaruh-budaya-politik-terhadap.html Pengaruh Budaya Politik Terhadap Perkembangan Demokrasi Di Indonesia, akses: 29 Desember 2012. ttp://muslimpoliticians.blogspot.com/2011/01/budaya-politik-sosialisasipolitik_03.html Saddam Rafsanjani, Budaya Politik, Sosialisasi politik, & Partisipasi Politik, akses: 29 Desember 2012. http://pilkadalebak.wordpress.com/2008/05 tempo interaktif, akses: pada 25 November 2012. http://imnbanten.wordpress.com/2008/10/21/kpud-lebak-tetapkan-mulyadi-amirpemenang-pilkada/ akses: 25 November 2012. http://www.lebakkab.go.id/index.php?pilih=hal&id=6 Kabupaten Lebak, akses: 6 Oktober 2012.
79
http://www.tembi.net/en/news/beritabudaya/romusa--sejarah-yangterlupakan1713.html. Romusa: Sejarah Yang Terlupakan, akses: 30 September 2012. http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/Kejawaraan.pdf Kejawaraan Dalam Dinamika Sejarah Kabupaten Lebak, akses: 1 oktober 2012
Wawancara Wawancara pribadi dengan K.H. Baijuri, S.Ag, M.Pdi. (Dosen IAIN SMH Serang Banten dan Latansa Mashiro Rangkasbitung) di Rangkasbitung. Pada tanggal 1 November 2012. Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 20032008 dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal
29
Agustus 2013. Wawancara pribadi dengan Rusmani (Ketua BPPKB Provinsi Banten) pada tanggal 21 September 2013. Wawancara pribadi dengan Abdul Hadad (Sekretaris TTKDH Kab. Lebak) pada tanggal 29 Agustus 2013.
Transkrip Wawancara dengan Ketua KPUD Lebak: Bpk. H. Agus Sutisna, pada 29 Agustus 2013.
P: bagaimana pelaksanaan pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008? J: pelaksanaan pilkada Lebak pada tahun 2008 dalam segi tahapan dan jadwal tidak ada yang terganggu dan berjalan normal. Tetapi memang banyak diwarnai dengan demonstrasi terkait dengan isu Ijazah palsu milik H. Mulyadi Jayabaya, baik dalam tahapan pencalonan dan pemungutan suara. P: Apakah dalam pelaksanaan pilkada Lebak tahun 2008 jawara memiliki peran besar dalam mendukung pasangan calon bupati dan wakil bupati? J: peran jawara dalam pilkada lebak sebagai mobilisator masssa. Jawara sebagai tim sukses sangat berperan dalam pilkada Lebak tahun 2008. Bahkan setiap gerakan
masyarakat
dalam
pilkada
tersebut
bisa
disebut
yang
melatarbalakanginya adalah jawara. Karena masyarakat ataupun kelompok lain yang biasanya passif jadi aktif karena ada backing dari jawara. Bahkan jawara mampu menghentikan para demonstran yang saling menghadang antar calon pendukung hanya dengan pesan singkat (sms). P: selain jawara ada sosok lain yang memiliki pengaruh di Kabupaten Lebak yaitu kiayi. Bagaimana peran kiayi? Apakah ada perannya melampaui peran jawara dalam pilkada? J: jika dibandingkan jawara dengan kiayi, pengaruh kiayi kalah oleh jawara. Hal ini dikarenakan kiai bertentangan dengan kedudukan mereka sebagai pemuka agama, sehingga kental keterkaitannya dengan urusan moral. Berbeda dengan jawara yang pragmatis, mereka tidak mempersoalkan mengenai moral. Peran jawara lebih menonjol dibandingkan dengan kiayi. P: bagaimana KPUD merespon pengunduran diri dua pasangan calon terkai isu ijazah palsu milik incombent H. Mulyadi Jayabaya? J: konstelasi pilkada Lebak tahun 2008 itu bisa dianggap sebagai milik H. Mulyadi Jayabaya. Hal ini dikarenakan kesuksesan H. Mulyadi Jayabaya dalam membangun Kabupaten Lebak, sehingga hal ini menjadi pertimbangan berat pasangan lawan. Dengan adanya isu ijazah palsu ini menjadi celah lawan
politiknya sebagai sasaran tembak untuk melemahkan H. Mulyadi Jayabaya. Dengan alasan tersebut pasangan lawannya HM-HG dan Yas’a-Sudirman menekan KPUD untuk tidak meloloskan pasangan MULYA, sedangkan KPUD tidak punya kewenangan untuk memutuskan apakah ijazah itu palsu atau tidak, kewenangan KPUD hanya menyelenggarakan pilkada berdasarkan regulasi perundang-undangan. Karena alasan itu KPUD tetap meloloskan pasangan MULYA. Terkait dengan keputusan KPUD yang tetap meloloskan pasangan MULYA ini, pasangan lawan HM-HG dan Yas’a-Sudirman mengajukan pengunduran diri. Tapi KPUD menolak pengunduran diri mereka karena tidak sesuai dengan perundang-undangan dan tetap melanjutkan pelaksanaan pilkada tahun 2008.
Transkrip Wawancara dengan Ketua Umum BPPKB : Bpk. Rusmani, pada 21 September 2013.
P: Bagaimana pendapat jawara terhadap adanya pelaksanaan pemilihan bupati dan wakil bupati (pilkada) langsung tahun 2008? J: Jawara mendukung dengan diadakan Pilkada, karena masyarakat dapat memilih dan menentukan pemimpin mereka. P: Bagaimana peran jawara dalam Pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008? J: Adanya calon yang sudah dekat dengan saya dan sudah memperlihatkan kinerjanya pada periode sebelumnya, untuk apa pilih calon yang lain yang belum terbukti kinerjanya. P: Apakah dari pihak jawara sendiri ada kontrak politik dengan calon bupati periode sebelumnya? J: Kalau dari kontrak politik secara tertulis tidak ada, kita tinggal melanjutkan hubungan antara kami dengan mereka yang sudah terjalin saja. P: apa peran/posisi jawara? J: peran jawara sebagai tim sukses untuk memenangkan pasangan calon bupati dan wakil bupati H. Mulyadi Jaya Baya dan H. Amir Hamzah P: Bagaimana cara jawara untuk mendukung dan mensukseskan pasangan calon bupati dan wakil bupati H. Mulyadi jayabaya dan H. Amir Hamzah? J: Forkabi memulai bersosialisasi kepada seluruh kalangan masyarakat agar masyarakat bisa memberikan suaranya.
Transkrip Wawancara dengan Sekjen TTKDH : Bpk. A. Hadad Jumat 29 Agustus 2013.
P: Apakah TTKDH dapat dikatakan sebuah ormas kepentingan politik di Kabupaten Lebak? J: tentu saja bukan. TTKDH adalah tempatnya orang-orang yang mempunyai kemampuan beladiri. Tapi kalau ada hal yang menyangkut kesejahteraan masyarakat TTKDH juga tidak segan-segan membantu masyarakat, tapi kalau dikatakan sebagai ormas politik tentu saja TTKDH bukan ormas politik. P: Bagaimana dengan maksud dukungan TTKDH terhadap pasangan bupati dan wakil bupati? J: Ya, menurut saya itu sah-sah saja, karna TTKDH juga bagian dari masyarakat memiliki hak untuk mendukung siapa saja, termasuk pasangan H. Mulyadi Jayabaya. Selain itu dibanding dengan pasangan H. Mulyadi Jayabaya sudah terbukti bisa memajukan Kabupaten Lebak selama dia memimpin, jadi masyarakat sudah percaya. P: Bagaimana dukungan TTKDH untuk memenangkan pasangan bupati dan wakil bupati H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir Hamzah? J: kami intruksikan kepada semua anggota TTKDH untuk memilih pasangan tersebut, termasuk mengkapampanyekan tapi tidak terbuka.
Transkrip Wawancara dengan cendikiawan Kabupaten Lebak : Bpk. K.H. Baijuri, S.Ag, M.Pdi. pada 01 November 2012.
P: bagaimana menurut bapak pelaksanaan pilkada di Kabupaten Lebak? J: pelaksanaan pilkada di Kabupaten Lebak berjalan normal-baik sebagaimana mestinya. Walapun ada isu pengunduran diri dua pasangan calon terkait isu Ijazah palsu H. Mulyadi Jayabaya tapi pilkada tetap saja berjalan sebagaimana mestinya. P: bagaimana menurut bapak bisa dilaksanakan pilkada tersebut sedangkan dua pasangan lain mengundurkan diri? J: jadi memang agak rancu melanjutkan pilkada yang diiringi dengan pengunduran diri dua pasangan calon lain tersebut, tapi memang KPUD tidak punya kewenangan dalam mengeksekusi isu tersebut. Jadi menurut saya KPUD sudah tepat terus melaksanakan pilkada tersebut. Kalaupun mau dikasuskan seharusnya kedua pasangan calon tersebut jauh-jauh hari dan tuntutannya bukan kepada KPUD Lebak. P: bagaimana peranan kiayi dan jawara dalam pilkada Kabupaten Lebak? J: sebenarnya kiayi tidak memiliki andil besar dalam proses demokrasi terkait pilkada tahun 2008. Hal ini dikarenakan kiayi berbenturan dengan persoalan etika, karena kalau kiayi berperan aktif sedangkan pasangan yang didukungnya tidak berpihak pada rakyat maka citra kiayi akan buruk. Berbeda dengan jawara kalau jawara sangat berperan aktif dalam pilkada tahun 2008, karena mereka tidak punya beban moral. P: bagaimana sejarahnya sehingga jawara lebih dekat kaitannya dengan politik? J: jawara pada masa setelah kemerdekaan menjadi dua, pertama, jawara kembali pada “orang tuanya” mendampingi para kiayi dalam proses penyiaran agama Islam. Kedua, jawara yang terkontaminasi dalam arus pusaran politik lokal maupun nasional yang bahkan lebih kental pada masa sekarang. Hal ini dikarenakan jawara pada masa sekarang sangat pragmatis.
Lampiran. Peta Provensi Banten.
Peta Kabupaten Lebak.
Logo Kabupaten Lebak.
Logo BPPKB.
Logo TTKDH.
Logo KPUD Kabupaten Lebak.
KABUPATEN LEBAK
Poto wawancara dengan KPUD Kabupaten Lebak.
Poto wawancara dengan K.H. Baijuri
Poto wawancara dengan BPPKB
Poto wawancara dengan sekretaris TTKDH
Nama Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak Periode 2008-2013.
Partai Politik Pendudukung Calon Bupati dan Wakil Bupati. H. Mulyadi Jayabaya H. Amir Hamza 1. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). 2. Partai Golongan Karya (GOLKAR). 3. Partai Demokrat. 4. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). 5. Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 6. Partai Amanat Nasional (PAN). 7. Partai Bulan Bintang (PBB). 8. Partai Bintang Reformasi (PBR).
H. Mardini Wijaya Ganda Sungkawa 1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP). 2. Partai Nasionalis Indonesia-Marhaen (PNI-Marhaen). 3. Partai Pelopor
M. Yas’a Mulyadi M. Sudirman 1. Independen