1
REPRESENTASI MAKNA JAWARA DALAM FILM JAWARA KIDUL (Analisis Semiotika Roland Barthes)
SKRIPSI (Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Pada Konsentrasi Humas Program Studi Ilmu Komunikasi)
Oleh: ARYA DWI CAHYO NIM. 6662121464
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA BANTEN 2017
2
3
4
5
MOTTO
“Don’t limit yourself, many people limit themselves to what they can do. You can go as far as your mind lets you. What you believe, remember, you can achieve” (Mary Kay Ash)
Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya, keluarga dan mereka yang telah memberikan motivasi dalam bentuk apapun.
6
ABSTRAK
Arya Dwi Cahyo. 6662121464/2016. SKRIPSI. Representasi Makna Jawara Dalam Film Jawara Kidul (Analisis Semiotika Roland Barthes). Pembimbing I: Neka Fitria, S.Sos, M.Si.; Pembimbing II: Teguh Iman Prasetya, S.E, M.Si.
Penelitian ini berfokus pada realitas sosial di Banten, yaitu Jawara Banten. Jawara merupakan sebuah elit lokal di Banten yang telah berkembang dari masa kolonial hingga saat ini. Jawara sebagai elit lokal memiliki pengaruh yang kuat dalam bidang adat, seni dan budaya. Dalam perkembangannya muncul berbagai stigma di masyarakat yang membuat persepsi mengenai sosok Jawara mengalami perubahan makna. Oleh karena itu tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik sosok Jawara dan memahami makna seorang Jawara dalam Film Jawara Kidul. Film ini menggambarkan bagaimana sosok Jawara sebagai elit lokal di Banten yang dibalut dengan genre aksi drama. Penelitian ini berdasarkan pada teori semiotika Roland Barthes yang menganalisis dengan tiga tahapan, yaitu denotasi, konotasi dan mitos. Makna denotasi dimengerti sebagai makna harfiah atau makna yang sesungguhnya. Sedangkan makna konotasi adalah makna yang tersembunyi atau implisit yang terdapat di dalam film tersebut. Dan makna mitos adalah makna pembenaran bagi suatu nilai dominan yang berlaku pada suatu periode. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis semiotika. Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu film Jawara Kidul secara keseluruhan sebagai objek penelitian yang akan diteliti terkait dengan sinematografi, penampilan para pemain, suara, dan desain produksi (lokasi, properti, dan kostum). Hasil penelitian ini secara denotasi menampilkan bahwa sosok Jawara
merupakan seorang tokoh masyarakat yang berperan penting dalam menjaga Kadusunan dan melindungi yang lemah. Secara konotasi Jawara digambarkan sebagai seseorang yang memiliki kharisma, kemampuan fisik dan ilmu supranatural serta memiliki dasar tentang ilmu keagamaan. Dan mitos yang dibangun dalam film ini berkaitan dengan berbagai perspektif negatif masyarakat terkait sosok Jawara yang berkembang di masyarakat. Kata Kunci: Representasi, Film, Jawara, Semiotika
7
ABSTRACT
Arya Dwi Cahyo. NIM 6662121464/2016. THESIS. Representation Meaning of Jawara in the Film Jawara Kidul (Semiotic Analysis of Roland Barthes). University-level instructor I: Neka Fitria, S.Sos, M.Si. University-level instructor II: Teguh Iman Prasetya, S.E, M.Si.
Focus of this thesis is based on social reality in Banten, namely Jawara Banten. Jawara is local elite who has grown from the colonial period until nowdays. Jawara as local elite has strong influence in the field of culture and traditional customs. In the Jawara’s expansion appears various stigma in society that caused the changes in the meaning of a Jawara. The purpose of this research is to identify the characteristic of Jawara and understand the meaning of Jawara in the film Jawara Kidul. This film represents how characters Jawara as local elite in Banten which wrapped with genre drama action. This research based on the semiotic analysis of Roland Barthes to analyze with three stages, namely denotation, the connotation, and myths. The meaning of denotation understood as meaning literally or the meaning of truth. While the meaning of the connotation is the meaning of the hidden or implicit. And the meaning of the myth is the meaning of the justification for a dominant value that occurs on a period. The research method used is qualitative research with semiotic analysis. The Unit of analysis used in this research is the film Jawara Kidul overall as the research object which will be examined related to cinematography, the appearance of the casts, sound and production design (location property, and costume). This research concluded that in the denotation, Jawara was described as a member of the society who play an important role in maintaining a village and protect the weak peoples. In the connotation, Jawara was described as someone who has the charismatic personality, physical and supernatural abilities also has the basic of the religious knowledge. And the myth that was built in the film is associated with various negative stigma in the society about a Jawara. Keywords: Representation, Film, Jawara, Semiotic
8
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Wr. Wb Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT atas Rahmat dan BerkahNya ,yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Representasi Makna Jawara Dalam Film Jawara Kidul”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Skripsi ini memiliki banyak tantangan dalam proses penyelesaiannya. Namun, berkat bantuan serta motivasi dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis menggucapkan rasa terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Soleh Hidayat, M.Pd selaku Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 2. Bapak Dr. Agus Sjafari, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 3. Ibu Dr. Rahmi Winangsih, M.Si, selaku Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 4. Bapak Darwis Sagita, S.I.Kom., M.I.Kom, selaku Sekertaris Jurusan Program Studi Ilmu Komunikasi.
i
9
5. Ibu Neka Fitriyah, S.Sos., M.Si, selaku Pembimbing I skripsi yang telah banyak membantu dalam memberikan masukan dan saran kepada Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. 6. Bapak Teguh Iman Prasetya, SE., M.Si, selaku Pembimbing II skripsi yang telah banyak membantu memberikan arahan dan masukan kepada Penulis dalam proses menyelesaikan skripsi ini. 7. Ibu Isti Nursih, S.IP., M.I.Kom. selaku dosen pembimbing akademik 8. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat. 9. Semua staff dan pegawai di Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang telah membantu Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. 10. Mama, Papa, Kakak, dan keluarga besar yang selalu memberikan doa, dukungan dan semangatnya kepada Penulis dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini. 11. Bayu, Hari, Juhendi dan Revandhika, Irma, Abdul, Deni, Erlin dan Ijong sebagai sahabat seperjuangan mulai dari awal perkuliahan hingga saat ini. 12. Rekan-rekan Himabe 2012 yang seru, menyenangkan dan selalu bersamasama selama berkuliah. 13. Seluruh teman seperjuangan angkatan 2012 Program Studi Ilmu Komunikasi Untirta yang selalu memberikan semangat dan pelajaran dalam hidup di dunia perkuliahan.
ii
10
14. Komunitas Film Kremov Banten yang dengan sangat baik telah membantu penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. 15. Seluruh pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh Penulis yang telah membantu hingga selesainya penyusunan skripsi ini.
Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. Demikian yang dapat Penulis sampaikan. Mohon maaf jika masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini. Akhir kata Penulis ucapkan terima kasih.
Serang, November 2016
Penulis
iii
11
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ORISINALITAS LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN MOTTO ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR ......................................................................................... i KATA PENGANTAR ......................................................................................... i DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ............................................................................................ vii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vii BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 10 1.3 Identifikasi Masalah .......................................................................... 10 1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................. 11 1.5 Manfaat Penelitian............................................................................. 11 BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 12 2.1 Komunikasi Massa ........................................................................... 12 2.2 Film ................................................................................................. 15
iv
12
2.3 Representasi ..................................................................................... 19 2.4 Jawara Banten .................................................................................. 21 2.4.1 Perkembangan Jawara Banten ................................................... 23 2.4.2 Kedudukan dan Peran Jawara ................................................... 25 2.5 Semiotika Film ................................................................................. 28 2.6 Semiotika Roland Barthes ................................................................ 32 2.7 Kerangka Berpikir ............................................................................ 40 2.8 Penelitian Terdahulu.......................................................................... 42 BAB III : METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 49 3.1 Metode Penelitian ............................................................................ 49 3.2 Paradigma Penelitian ........................................................................ 50 3.3 Unit Analisis .................................................................................... 51 3.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 55 3.4.1 Observasi ................................................................................. 56 3.4.2 Dokumentasi ............................................................................ 56 3.4.3 Studi Pustaka ........................................................................... 57 3.5 Teknik Analisis Data ........................................................................ 57 3.6 Instrumen Penelitian ......................................................................... 59 3.7 Jadwal Penelitian .............................................................................. 60 BAB IV HASIL PENELITIAN .................................................................... 61 4.1 Deskripsi Subjek Penelitian .............................................................. 61 4.1.1 Profil Film ............................................................................... 61
v
13
4.1.2 Penokohan dalam Film ............................................................ 62 4.1.3 Sinopsis Film ........................................................................... 63 4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ................................................................. 64 4.2.1 Analisis Tanda Makna dalam Film Jawara Kidul .................... 62 4.3 Deskripsi Analisis Analisis Semiotik ................................................ 84 4.3.1 Makna Denotasi ...................................................................... 84 4.3.2 Makna Konotasi ...................................................................... 86 4.3.3 Makna Mitos ........................................................................... 88 4.4 Pembahasan ...................................................................................... 89 4.4.1 Film Sebagai Sarana Merepresentasikan Makna Jawara ........... 89 4.4.2 Perlawanan Stigma Negatif Jawara Melalui Film ..................... 94
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 98 5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 98 5.2 Saran ................................................................................................ 99 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 101 DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
\
vi
14
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Rumusan Konsep Pemaknaan Berger
30
Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu
46
Tabel 3.1 Bahan Scene Analisis
52
Tabel 3.2 Jadwal Penelitian
60
Tabel 4.1 Scene 1 Arena Sayembara
65
Tabel 4.2 Scene 2 Arena Sayembara
68
Tabel 4.3 Scene 3 Jalan Setapak
71
Tabel 4.4 Scene 4 Pendopo Kadusunan Kidul
73
Tabel 4.5 Scene 5 Pendopo Kadusunan Kidul
76
Tabel 4.6 Scene 6 Pendopo Kadusunan Kidul
79
Tabel 4.7 Scene 7 Lanpangan Terbuka
82
vii
15
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Signifikansi Dua Tahap Roland Barthes
34
Gambar 2.2 Peta Tanda Roland Barthes
39
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir
42
Gambar 3.1 Signifikansi Dua Tahap Roland Barthes
58
Gambar 4.1 Poster Film Jawara Kidul
61
vii
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Banten sebagai wilayah yang terletak di bagian barat pulau Jawa, dikenal karena sejarahnya yang berkaitan dengan berbagai hal mistis, pemberontakan, dan juga orientasi keislaman masyarakatnya. Sepanjang sejarahnya terdapat tiga elit lokal Banten yang cukup terkenal yaitu ulama, umaro dan jawara. Mereka menjadi elemen penting di dalam masyarakat, tidak hanya pada masa kolonial, namun juga pada masa kemerdekaan hingga saat ini. Dalam perannya ulama dan jawara memiliki suatu otoritas tertentu yang tidak dipunyai oleh para pemimpin formal (umaro), seperti Kepala Desa, dan Camat. Meskipun demikian telah terjadi hubungan yang kuat dalam sistem pemerintahan dan kemasyarakatan antara ketiga elite tersebut. Ketiga kekuatan yaitu ulama, jawara dan umaro menjadi suatu konfigurasi kepemimpinan yang satu sama lain saling menunjang. Ulama memiliki pengaruh kuat dalam bidang keagamaan, jawara
1
2
memiliki pengaruh kuat dalam bidang adat dan umaro memiliki pengaruh kuat dalam jaringan kekuasaan pemerintahan. 1 Namun dari ketiganya, jawara merupakan tokoh yang terbentuk dari perpaduan pengaruh budaya lokal dan keagamaan yang kuat di wilayah Banten. Jawara sebagai realitas sosial masyarakat Banten, yang telah menjadi suatu subkultur di masyarakat. Sosoknya sudah mulai ada semenjak masa kolonial dan terus berkembang hingga saat ini. Dalam perkembangannya kehadiran sosok jawara mulai mengalami perubahan persepsi dalam masyarakat, hal tersebut didasari berbagai stigma negatif yang muncul, tidak heran bahwa sebagian masyarakat memandang bahwa jawara itu memiliki sifat yang buruk, selalu ingin menang sendiri dan untuk mewujudkan keinginannya, mereka melakukannya dengan kekerasan fisik. Sehingga Ia dikenal sebagai subkultur of violence dalam masyarakat Banten. 2 Pergeseran makna jawara yang terkontaminasi dengan hal yang negatif terjadi pada abad ke 19 ketika Banten dan sekitarnya diwarnai oleh kekacauan dan perampokan. Setidaknya terjadi lebih dari 6 pemberontakan besar di Banten yang melibatkan kaum jawara antara lain perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa, pemberontakan Pandeglang (1811 M), peristiwa geger Cilegon atau dikenal dengan pemberontakan Petani banten (1888 M), Cikande Udik (1845 M), Peristiwa Kolelet (1866 M), pemberontakan Wakhia
1
Sunatra. Integrasi dan Konflik.Kedudukan Politik Jawara dan Ulama dalam Budaya Lokal. Srudi Kasus Kepemimpinan Di Banten (Bandung: PPs Unpad, 1997), hal 124. 2
Atu Karomah, “Jawara dan Budaya Kekerasan Pada Masyarakat Banten”, Alqalam Jurnal keagamaan dan Masyarakat, (Vol. 25. No.3 September- Desember 2008), hal. 366.
3
(1850 M), sampai dengan pemberontakan Kommunis di Banten ( 1926 M).3 Hal ini kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda dimanfaatkan untuk membentuk stigma negatif kepada para pejuang dari kalangan pendekar persilatan dan kaum ulama. Stigma negatif ini sengaja diciptakan Belanda dalam upaya memprovokasi masyarakat untuk menganggap mereka sebagai pembuat onar, pengacau, dan perampok. Peranan jawara dalam kehidupan masyarakat Banten dapat ditelusuri hingga pada masa akhir keruntuhan Kesultanan Banten, dan kekuasaan kolonial sudah tidak lagi efektif pada abad ke 19 M. Pasca dihapusnya pemerintahan Kesultanan Banten oleh Dandles, tekanan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat pribumi semakin besar sehingga memunculkan konflik di masyarakat. Di sejumlah wilayah Banten terjadi kekosongan pemerintahan yang menyebabkan kekacauan, dari konflik dan kekacauan inilah berakibat pada pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin oleh tokoh masyarakat khususnya para kiai. Dari kondisi seperti inilah jawara muncul dan tampil bersama para kiai sebagai pemimpin informal masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena jawara memiliki keterampilan beladiri, silat, ilmu magis sebagai keterampilan untuk menghadapi situasi yang kacau dalam menghadapi pemberontakan terhadap pemerintahan Hindi Belanda. 4 3
Fahmi Irfani. Jawara Banten Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya. (Jakarta: YPM Press (Young Progressive Muslim), 2011), hal 43 4
Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara dan Demokrasi, Geliat Politik Banten Pasca-Orde Baru. (Jakarta: Dian
Rakyat, 2010), hal 65.
4
Jawara sendiri didefinisikan sebagai seseorang yang dekat dengan kiai karena selain sebagai muridnya kiai, ia juga memiliki ilmu-ilmu kesaktian dan menguasai ilmu persilatan. 5 Kedudukan peran dan jaringan jawara menciptakan kultur tersendiri yang agak berbeda dengan kultur dominan masyarakat Banten, Sehingga jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok tetapi juga telah menjadi kelompok yang memiliki norma, nilai dan pandangan hidup yang khas. Selanjutnya karakter yang dimiliki oleh para jawara merupakan hasil suatu rekonstruksi kultur budaya yang ditanamkan melalui interaksi sosial antar budaya. Dalam proses interaksi tersebut terjadi penanaman dan pewarisan nilai-nilai kultur tradisi budaya kejawaraan. 6 Berpijak dari realitas di atas, kehadiran sebuah film yang mengangkat nilainilai kebudayaan daerah yang kuat, khususnya provinsi Banten yang identik dengan sosok jawara menjadi suatu hal yang menarik, karena jarang sudah jarang ditemui. Film Kremov Pictures sebagai salah satu rumah produksi asal Banten membuat sebuah karya film berjudul “Jawara Kidul”, yang merupakan suatu film yang mengangkat ciri khas kedaerahan. Film ini diproduksi oleh Kremov Pictures pada tahun 2015, dengan genre aksi drama. Dalam film ini menceritakan tentang kisah sebuah kadusunan kidul yang dipimpin oleh Abah Sugidiraja (Cak Purwo), suatu ketika Abah membuka sayembara calon menantu khusus para jawara untuk puterinya, Nyimas Ayu (Fauzyyah Angela) dengan tujuan agar Kadusunan Kidul terjaga dan
5
Tihami “Kiai dan Jawara di Banten” (Tesis Master, Universitas Indonesia, Jakarta,1992).
6
Fahmi Irfani. Op. Cit, hal 6.
5
tidak lagi timbul konflik. Sakti (Anton Chandra) dan Prabu (Tubagus Dian Kurniawan) merupakan jawara yang bertarung memperebutkan Nyimas Ayu, namun Abah akan memilih salah satu dari mereka yang merupakan jawara sesungguhnya. Dan Pertarungan panjang dalam sayembara beralih menjadi dendam saat Abah memutuskan memilih salah satu pemenangnya.7 Film Jawara Kidul ini merupakan film yang mencoba untuk memberikan gambaran mengenai sosok jawara yang sudah cukup lama berkembang di wilayah Banten. Terlebih seiring perjalanannya, pandangan masyarakat terhadap sosok jawara perlahan berubah dan mulai dibayang-bayangi dengan berbagai stigma negatif yang muncul mengenai sosok jawara. Melalui film ini masyarakat dapat melihat berbagai pesan terkait nilai-nilai kejawaraan, yang dapat memberikan pemahaman berbeda mengenai sosok jawara. Film merupakan salah satu media massa yang berbentuk audio visual yang begitu populer saat ini. Media massa sebagai saluran komunikasi massa secara sederhana memiliki fungsi untuk menyebarkan informasi (to inform), mendidik (educate), dan menghibur (entertaint).8 Dengan fungsinya yang begitu kompleks, media massa seperti surat kabar, majalah, film, novel dan bentuk komunikasi lain dapat berperan dalam segala aktivitas individual, maupun organisasi, termasuk 7
(http://www.kremovpictures.com/2015/02/jawara-kidul-produksi-terbaru-kremov.html, diakses tanggal 18
februari 2016). 8
Effendy, Onong Uchjana, Dinamika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hal 54.
6
sebagai sumber informasi yang menciptakan suatu kerangka berpikir bagi masyarakat. Media massa meneruskan pengetahuan dan nilai-nilai dari generasi terdahulu.9 Selain itu media massa juga dapat menjadi suatu wadah penyampaian informasi, media hiburan dan pendidikan, juga berfungsi sebagai kontrol sosial. Oleh karena itu media massa memiliki peran yang begitu besar dalam melakukan perubahan sosial di masyarakat, melalui pesan yang disebar luaskan oleh media massa. Film berperan sebagai sarana yang digunakan untuk menghibur malalui jalan cerita yang dihadirkan. Setiap film yang dibuat atau diproduksi tentu menawarkan suatu pesan kepada para penontonnya, jika dikaitkan dengan kajian komunikasi, sebuah film yang ada seharusnya memiliki efek yang sesui dengan pesan yang diharapkan, agar inti pesan yang terkandung dapat tersampaikan kepada penontonnya. Berkaitan dengan prasangka, peran media sangatlah penting dalam pembentukan presepsi dalam suatu kelompok. Baik itu media cetak ataupun media elektronik, keduanya merupakan sarana pendukung yang sangat dominan dalam membentuk suatu prasangka di dalam masyarakat terlebih pada waktu sekarang ini. Sebuah film bisa menjadi sebuah komunikator atau sebagai perantara dalam komunikasi, hal ini dikarenakan sebuah film bisa berhubungan langsung dengan para penontonnya. Bahkan dalam hal ini film bisa dibuat menjadi bahan representasi, 9
Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Analisis Framing,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hal 31.
7
terlebih lagi dengan adanya alur, setting, pakaian, bahasa, gesture dan karakter dalam tokoh yang kemudian mewakili atau disesuaikan dengan tema yang diangkat, membuat film menjadi media yang menarik dan mudah dipahami. Hal ini berarti di satu sisi media dapat digunakan sebagai alat penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan alat pengontrol wacana publik. Namun, disisi lainnya media dapat digunakan sebagai alat untuk membangun suatu kultur dan menjadi alat dimana berbagai ideologi direpresentasikan. Film yang juga merupakan media komunikasi, tidak mencerminkan atau bahkan merekam realitas seperti medium representasi yang lain, film hanya mengkonstruksi dan “menghadirkan kembali” gambaran dari realitas melalui kode-kode, konvensi-konvensi, mitos dan ideologi-ideologi
dari
kebudayaannya sebagai cara praktik signifikasi yang khusus dari medium. 10 Keterwakilan terhadap sesuatu yang dimaknai merupakan hal yang dapat dikaji, hal tersebut menyangkut mindset atau pola pikir khalayak kedepannya sebagai orang yang akan memaknai kembali atas apa yang sudah coba dimaknai terlebih dahulu. Dengan mengkaji, diharapkan dapat menggali lebih dalam akan semua makna atau pesan, karena banyak pesan tak kasat mata yang perlu digali oleh peneliti sehingga pesan yang diangkat ke khalayak melalui media massa khususnya film ini dapat diambil secara maksimal. Dalam hal ini, film dijadikan bahan representasi karena unsur-unsur didalam suatu film banyak memiliki nilai-nilai yang selalu disandingkan dengan makna, mulai dari bahasa, atribut, latar atau setting dan lainnya. 10
Turner, Introducing Communication Theory: Analysis and Application, (Jakarta: Salemba Humanika, 2008),
hal 128.
8
Representasi adalah proses pengkodean (encoding) dan memperlihatkan (display) bentuk-bentuk simbolik yang mencerminkan posisi ideologis. 11 Secara lebih tepat representasi didefinisikan sebagai penggunaan tanda-tanda untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan atau dirasakan dalam bentuk fisik. 12 Setiap orang dapat merepresentasikan sesuatu sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Juga dapat merepresentasikan sesuatu berdasarkan tujuan dan kebutuhan seseorang. Akan tetapi dalam praktiknya tidak semudah itu, karena banyak hal yang dapat mempengaruhi seseorang agar mampu dalam merepresentasikan sesuatu hal. Terdapat nilai-nilai kebudayaan dalam suatu kehidupan masyarakat yang begitu kompleks dengan berbagai kebiasaan dan pemikiran yang cenderung homogen dalam memandang suatu hal. Membuat representasi atas suatu hal memerlukan pengkajian yang mendalam, karena menyangkut suatu pemikiran seseorang terhadap sesuatu. Dengan pengkajian yang dilakukan, diharapkan dapat menggali suatu pesan atau makna yang terkandung. Karena pesan tidak selalu terlihat dengan kasat mata dan memerlukan suatu analisis agar pesan yang disampaikan pada khalayaknya melalui media massa khususnya dalam film dapat tersampaikan secara menyeluruh. Sebagaimana film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara. Kata yang diucapkan, ditambah dengan
11
James Lull. Media Komunikasi kebudayaan, Suatu Pendekatan Global. Terjemahan oleh A. Setiawan Abadi.
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998). 12
Marcel Danesi. Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal 3.
9
suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar dan musik film. Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu.13 Tanda-tanda dapat berupa audio (suara, bahasa verbal, dialog tokoh, musik, sound effect), serta tanda visual (gambar, bahasa nonverbal/ gesture/ mimik wajah juga latar). Jika dicermati lebih mendalam terkait dengan tanda-tanda yang dibagun dalam film Jawara Kidul, terdapat tanda-tanda atau simbol yang menggambarkan hal yang mengandung unsur nilai-nilai kejawaraan yang ditampilkan, baik oleh tokoh maupun suasana yang dibangun dalam film tersebut. Setiap pesan yang disampaikan dalam film tersebut meliputi pesan verbal dan non verbal yang bersifat simbolis dan terdiri dari jaringan atau rangkaian tanda-tanda yang kompleks, hal tersebut dapat terlihat dari berbagai adegan-adegan yang ditampilkan. Secara keseluruhan, film Jawara Kidul penuh dengan simbol-simbol atau makna tentang sosok seorang Jawara yang dibangun dalam film ini. Hal itulah yang membuat peneliti merasa tertarik untuk menelitinya lebih lanjut. Pada penelitian ini digunakanlah analisis semiotika dari Roland Barthes sebagai alat analisis, yaitu sebuah metode yang mempelajari tentang tanda dan lambang. Penggunaan metode ini didasarkan atas kenyataan bahwa film adalah suatu bentuk pesan komunikasi.
13
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, ( PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006), hal 128.
10
Berdasarkan latar belakang di atas, membuat peneliti tertarik untuk mengeksplorasi lebih mendalam tentang bagaimana representasi makna jawara dalam film “Jawara Kidul”. Film ini memiliki banyak unsur-unsur untuk diteliti, dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan semiotika sebab film merupakan suatu bidang komunikasi yang cukup relevan untuk dianalisis dengan teori semiotika. Setiap pesan yang disampaikan dalam film dapat meliputi pesan verbal dan non verbal yang bersifat simbolis dan terdiri dari rangkaian tanda-tanda yang kompleks serta memiliki arti. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, Penulis membuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut: “Bagaimana representasi makna jawara dalam film Jawara Kidul?” 1.3 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana makna denotasi sosok jawara dalam film Jawara Kidul? 2. Bagaimana makna konotasi sosok jawara dalam film Jawara Kidul? 3. Bagaimana makna mitos sosok jawara dalam film Jawara Kidul?
11
1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah 1. Untuk mengetahui makna denotasi sosok jawara dalam film Jawara Kidul. 2. Untuk mengetahui makna konotasi sosok jawara dalam film Jawara Kidul. 3. Untuk mengetahui makna mitos sosok jawara dalam film Jawara Kidul. 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Aspek Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk perkembangan ilmu komunikasi, terutama dalam kajian media massa yang akan mengkaji bagaimana sebuah film merepresentasikan sesuatu. 1.5.2 Aspek Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan atau pemahaman mengenai representasi makna jawara yang digambarkan dalam film Jawara Kidul. Penelitian ini juga dapat dijadikan masukan bagi para pembuat film untuk dapat menghasilkan film yang berkualitas.
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi Massa Menurut Gerbner yang dikutip oleh Jalaludin Rakhmat, komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang.14 Sementara itu, menurut Black dan Whitney (1988) dalam Nurudin disebutkan, Komunikasi massa adalah sebuah proses di mana pesan-pesan yang diproduksi secara massal itu disebarkan kepada massa penerima pesan yang luas, anonim, dan heterogen.15 Ada satu definisi komunikasi massa yang dikemukakan Michael W. Gamble dan Teri Kwal Gamble (1986) akan semakin memperjelas apa itu komunikasi massa. Menurut mereka sesuatu bisa didefinisikan sebagai komunikasi massa jika mencangkup hal-hal sebagai berikut:16 a. Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan modern untuk menyebarkan atau memancarkan pesan secara cepat kepada khalayak
14
Jalalludin Rakhmat. Psikologi Komunikasi. ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hal 188.
15
Nurudin. Pengantar Komunikasi Massa. (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal 12
16
Ibid, hal 8-9.
12
13
yang luas dan tersebar. Pesan itu disebarkan melalui media modern pula antara lain surat kabar, majalah, televisi, film, atau gabungan di antara media tersebut. b. Komunikator dalam komunikasi massa dalam menyebarkan pesan-pesannya bermaksud mencoba berbagi pengertian dengan jutaan orang yang tidak saling kenal atau mengetahui satu sama lain. Anonimitas audience dalam komunikasi massa inilah yang membedakan pula dengan jenis komunikasi yang lain. Bahkan pengirim dan penerima pesan tidak saling mengenal satu sama lain. c. Pesan adalah milik publik. Artinya bahwa pesan ini bisa didapatkan dan diterima oleh banyak orang. Karena itu diartikan milik publik. d. Sebagai sumber, komunikator massa biasanya organisasi formal seperti jaringan, ikatan, atau perkumpulan. Dengan kata lain, komunikatornya tidak berasal dari seseorang, tetapi lembaga. Lembaga ini pun biasanya berorientasi pada keuntungan, bukan organisasi suka rela atau nirlaba. e. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper (penapis informasi). Artinya, pesan-pesan yang disebarkan atau dipancarkan dikontrol oleh sejumlah individu dalam lembaga tersebut sebelum disiarkan lewat media massa. Ini berbeda dengan komunikasi antar pribadi, kelompok atau publik di mana yang mengontrol bukan sejumlah individu. Beberapa individu dalam
14
komunikasi massa itu ikut berperan dalam membatasi, memperluas pesan yang disiarkan. f. Umpan balik dalam komunikasi massa sifatnya tertunda. Kalau dalam jenis komunikasi lain, umpan balik bisa bersifat langsung. Misalnya, dalam komunikasi antar personal. Dalam komunikasi ini umpan balik langsung dilakukan, tetapi komunikasi yang dilakukan lewat surat kabar tidak bisa langsung dilakukan alis tertunda (delayed). Komunikasi massa memiliki beberapa fungsi bagi masyarakat, menurut Black dan Whitney yang dikutip oleh nurudin, yaitu (1) to inform (menginformasikan), (2) to entertain (memberi hiburan), (3) to persuade (membujuk), (4) transmission of the culture (transmisi budaya). 17 Lalu jika dipandang dari segi efeknya, komunikasi massa dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Secara Sederhana Stamm dan Bowes (1990 dalam Nurudin) membagi kedua bagian dasar yaitu:
18
Pertama, efek primer meliputi terpaan, perhatian, dan pemahaman. Terpaan media massa yang mengenai audience menjadi salah satu bentuk efek primer. Akan tetapi lebih bagus lagi jika audience tersebut memperhatikan pesan-pesan media massa tersebut dengan baik media cetak maupun media elektronik. Ketika kita memperhatikan berarti ada efek primer yang terjadi dalam diri kita. Bahkan jika kita
17
18
Ibid, hal 64. Ibid, hal 206.
15
memahami apa yang disiarkan oleh media massa itu sama saja semakin kuat efek primer yang terjadi. Kedua, efek sekunder meliputi perubahan tingkat kognitif (perubahan pengetahuan dan sikap), dan perubahan perilaku (menerima dan memilih). Menurut Bittner, fokus utama efek ini adalah tidak hanya bagaimana media memengaruhi audiens, tetapi juga bagaimana audiens mereaksi pesan-pesan media yang sampai pada dirinya. Efek sekunder itu adalah perilaku penerima yang ada di bawah kontrol langsung komunikator. 2.2 Film Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian film secara fisik berarti selaput tipis yang terbuat dari seluloid untuk gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang dimainkan di bioskop).19 Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman, menyatakan film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.
19
Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hal 97.
16
Oey Hong Lee dalam Sobur menyebutkan: “film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia, mempunyai massa pertumbuhannya pada akhir abad ke-19, dengan perkataan lain pada waktu unsur-unsur yang merintangi perkembangan surat kabar sudah dibikin lenyap. Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya film dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati , karena ia tidak mengalami unsur-unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18 dan permulaan abad ke-19. Dan mencapai puncaknya diantara Perang Dunia I dan Perang Dunia II, namun kemudia merosot tajam setelah tahun 1945, seiring dengan munculnya medium televisi”. 20
Seperti dikemukakan oleh Van Zoest, bahwa film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk sebagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Karena itu, bersamaan dengan tanda-tanda arsitektur, terutama indeksikal, pada film terutama digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu.21
20
Alex Sobur, Op.Cit, hal. 126.
21
Ibid, hal 128
17
Film secara struktur terbentuk dari sekian banyak shot, scene dan sequence. Tiap shot membutuhkan penempatan kamera pada posisi yang paling baik bagi pemandangan mata penonton dan bagi setting
secara action pada saat tertentun
dalam perjalanan cerita, itulah sebabnyaseringkali film disebut gabungan dari gambar-gambar yang dirangkai menjadi satu kesatuan yang utuh yang bercerita kepada penontonnya. Sebagai alat komunikasi massa untuk bercerita film memiliki beberapa struktur, yaitu22: a. Shot selama produksi film memiliki arti proses perekaman gambar sejak kamera diaktifkan (on) hingga kamera dihentikan (off) atau juga diistilahkan satu kali take (pengambilan gambar). Sementara shot setelah film telah jadi (pasca produksi) memiliki arti rangkaian gambar utuh yang tidak terinterupsi oleh potongan gambar (editing). b. Adegan (scene), adegan adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang , waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu adegan umumnya terdiri dari beberapa shot yang berhubungan. c. Sequen (sequence), salah satu adegan besar yang memperlihatkan satu rangkaian peristiwa yang utuh. Satu sekuen umumnya terdiri dari beberapa adegan saling berhubungan.
22
Himawan Pratista. Memahami Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008), hal. 29
18
Dalam pembuatan film diperlukan proses pemikiran dan proses teknis. Proses pemikiran berupa pencarian ide, gagasan atau cerita yang akan dikerjakan. Sedangkan proses teknis berupa keterampilan artistik untuk mewujudkan segala ide, gagasan atau cerita menjadi film yang siap ditonton. Sebagai seorang pembuat film yang akan menuangkan ide dalam sebuah karya film, penting untuk mengetahui jenis-jenis film sesuai karakteristiknya. Adapun pengelompokan film menurut Ardianto dan Komala antara lain:23 a. Film Cerita, jenis yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar dan didistribusikan sebagai barang dagangan. b. Film Berita, film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi, terdapat nilai berita yang penting dan menarik bagi khalayak. c. Film Dokumenter, karya ciptaan mengenai kenyataan, hasil interpretasi pembuatnya mengenai kenyataan dari film tersebut. d. Film Kartun, film animasi yang segmentasi utamanya adalah anak-anak. Namun semua kalangan juga menyukai dikarenakan sisi kelucuan yang biasanya tak lepas hadir dalam tiap tayangannya. Sebagai media massa umumnya film merupakan cermin atau jendela masyarakat dimana media massa itu berada. Nilai, norma, dan gaya hidup yang berlaku pada
23
Elvinaro Ardianto, Komala. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2004), hal 138.
19
masyarakat akan disajikan dalam film yang diproduksi. Film juga berkuasa menetapkan nilai-nilai budaya yang “penting” dan “perlu” dianut oleh masyarakat, bahkan nilai-nilai yang merusak sekalipun.24 Film juga sebagai satu bentuk komunikasi massa yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari cerita yang ditayangkan. 2.3 Representasi Representasi dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia merupakan gambaran atau perwakilan. 25 Representasi adalah bagaimana dunia ini dikonstruksikan dan direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh kita.26 Representasi secara definisi lain adalah proses merekam ide, pengetahuan atau pesan dalam beberapa cara fisik. 27 Representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis tapi merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia itu sendiri yang juga terus bergerak dan berubah.28 Istilah representasi merupakan penggambaran (perwakilan) kelompokkelompok dan institusional sosial. Penggambaran itu tidak hanya berkenaan dengan 24
Deddy Mulyana. 2008. Komunikasi Massa Kontroversi, Teori, dan Aplikasi. Bandung: Widya Padjajaran. Hal. 89 25
M. Dahlan Al-Barry, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Yogyakarta: Arkola, 1994), hal 574.
26
Chris Baker. Cultural Studies Theory and Practice. (London: Sage Publication, 2000), hal 8.
27
Indiawan Seto Wahyu Wibowo. Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian Skripsi Komunikasi, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), hal 122. 28
Ibid, hal 123.
20
tampilan fisik (appearance) dan deskripsi, melainkan juga terkait dengan makna (atau nilai) dibalik tampilan fisik. Tampilan fisik representasi adalah suatu jubah yang menyembunyikan bentuk makna seseungguhnya dibalik yang ada di baliknya 29 Representasi merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan, atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Dalam kajian semiotika, istilah representasi menjadi suatu hal yang sangat penting. Karena semiotik bekerja dengan menggunakan tanda (gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menggabungkan, menggambarkan, memotret, atau mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu.30 Representasi dapat didefinisikan lebih jelasnya sebagai penggunaan tanda (gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret atau memproduksi sesuatu yang dilihat, diinderakan, dibayangkan. Dengan atau dirasakan dalam benda fisik tertentu. Menentukan makna bukanlah perkara yang mudah, konteks sejarah dan sosial saat representasi dibuat , tujuan pembuatannya dan sebagainya, merupakan faktor kompleks yang masuk dalam sebuah lukisan. Representasi merupakan bentuk konkret (petanda) yang berasal dari konsep abstrak. Beberapa diantaranya dangkal atau tidak kontroversial. Akan tetapi, beberapa representasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan budaya dan politik. Karena representasi tidak terhindar untuk terlibat dalam proses seleksi sehingga 29
30
Burton, Graeme. Membicarakan Televisi, (Yogyakarta & Bandung: JalaSutra, 2007), hHal. 41-42
Marcel Danesi. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal 24.
21
beberapa tanda tertentu lebih istimewa dari pada yang lain, ini terkait dengan bagaimana konsep tersebut direpresentasikan dalam media berita, film, atau bahkan dalam percakapan sehari-hari. 31 2.4 Jawara Banten Asal kata “jawara” berarti juara atau jagoan yang berarti pemenang, yang ingin dipandang hebat.32 Sejarah munculnya Banten tidak bisa dilepaskan dari persoalan kaum jawara. Munculnya kelompok masyarakat yang hingga sekarang masih dikenal, telah melalui proses sejarah yang panjang. Pada abad ke19, ketika tekanan pemerintah kolonial terhadap masyarakat pribumi semakin besar, muncul perlawanan-perlawanan yang melibatkan para kiai. Para kiai umumnya mempunyai dua kelompok santri yang berkembang sesuai dengan kemampuannya. Pertama adalah santri yang mempunyai kemampuan atau bakat dibidang ilmu agama. Dan yang kedua adalah para santri yang mempunyai bakat yang berkaitan dengan ilmu beladiri. Oleh karena itu mereka dibina dalam hal kekuatan fisik. Golongan santri kedua inilah yang kemudian disebut jawara.33
31
John Hartley. Communication, Cultural, and Media Studies: Konsep Kunci, (Yogyakarta, Jalasutra, 2009), hal 256-257. 32
33
Pius A. Parttanto dan M Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: ARKOLA, 2001), hal 284.
Nina Lubis. Banten Dalam Pengumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara. (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2003), hal 127.
22
Jawara dalam kehidupan sosial dan kultur budaya Banten dapat dikatakan sebagai simbol budaya lokal. Sebagai sebuah kelompok yang bersumber dari tradisi lokal, komunitas jawara mencerminkan kultur dan budaya yang berbeda dari daerahdaerah lain di Indonesia. Peranan sosial yang dilakukan jawara adalah seputar kepemimpinan tradisional informal antara lain: berperan sebagai Kepala Desa (Jaro), penjaga keamanan, kiai ilmu hikmah, pemain debus dan guru silat.34 Karakter jawara dapat diamati dari tampilan yang militan, patriotik, dan bahkan fanatik yang memunculkan sikap membela dan berani yang memotivasinya untuk kepentingan bersama dalam menegakan kebenaran dan keadilan yang dilandasi oleh sifat kesatria, jujur, patuh, konsisten, ulet yang dilandasi oleh nilai-nilai ajaran agama dan moralitas warisan leluhurnya. Sosok jawara memiliki karakter yang khas, ia cukup terkenal dengan seragam hitamnya dan kecenderungan terhadap penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan. Karena itu, bagi sebagian masyarakat, jawara dipandang sebagai sosok yang memiliki keberanian, agresif, sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong), terbuka dengan bersenjatakan golok, untuk menunjukan bahwa ia memiliki kekuatan fisik dan supranatrual.35 Jawara sendiri dapat didefinisikan sebagai murid kiai yang memiliki keberanian dan kemampuan bela diri dalam mengolah tubuh dan tenaga dalam, seperti halnya ilmu kekebalan tubuh, ilmu brajamusti, 34
35
Fahmi Irfani. Op.Cit, hal 175
M.A. Tihami, Kiyai dan Jawara di Banten: Studi Tentang Agama, Magi dan Kepemimpinan di Desa Pesanggrahan Serang Banten (Jakarta: Tesis, Universitas Indonesia, 1992).
23
kanuragaan, kekuatan magis dan kewibawaan kharisma, selain itu Ia melakukan aktivitas kegiatan sosial dengan spirit perjuangan, membela rakyat lemah dan semagat heroisme. 36 Dalam proses dinamika masyarakat Banten terdapat salah satu tokoh atau pemimpin tradisional yang sangat berpengaruh dan memiliki status sosial yang dihormati dan disegani yakni jawara. Oleh karena itu Banten sering diidentikan dengan kejawaraannya dan masyarakatnya yang religius, ditandai dengan komitmennya
pada praktek ritual dan simbol-simbol keislaman. Demikian pula
dengan nilai-nilai kejawaraan yang ditanamkan seperti keberanian menghadang musuh, tidak pantang menyerah, kesetiaan terhadap kelompok, kewajiban untuk menjaga kehormatan atau harga diri. 37 2.4.1 Perkembangan Jawara Banten Dari semenjak kemunculannya pada masa kolonial, Jawara berkembang dan terus menunjukan eksistensinya dari masa ke masa hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
36
37
Fahmi Irfani. Op.Cit, hal 25
Saefudin. Jawara banten (Studi Kepemimpinan Tradisional di Desa Tegal Sari, Kec. Walantaka, Kab Serang). Yogyakarta, 2009, hal 2.
24
a. Jawara Pada Masa Kolonial Pada hakikatnya jawara ini umumnya merupakan kelompok para kiai yang mempunyai dua kelompok santri yang berkembang sesuai kemampuan mereka. Pertama, yang mempunyai kemampuan atau bakat di bidang ilmu agama sehingga kelak menjadi ulama. Kedua, para santri yang memiliki kemampuan yang berkaitan dengan beladiri. Karakter jawara pada awalnya merupakan ekspresi ketundukan kepada kiai, karena pada abad ke-19 Jawara bermula dari murid kiai. Oleh karenanya, menjadi hukum pantangan (kwalat) bagi Jawara manakala Ia melawan kiai yang akan menyebabkan kehilangan kekuatan magi. Hubungannya kyai dan jawara seperti hubungan anak-orang tua, sehingga guru harus ditunduki dan dihormati. 38 b. Jawara Pada Masa Orde Baru Pada rezim Orde Baru jawara dilirik sebagai entitas lokal yang memiliki peranan sosial kepemimpinan tradisional dalam masyarakat Banten. Jika kiai dilirik sebagai mesin politik dalam domain religiusitas kepemimpinan, maka jawara memiliki potensi dalam bidang keamanan, kepemimpinan, dan menjaga stabilitas politik di daerah tersebut. Dimana bahwa kekuatan yang
38
Tihami, Kyai dan Jawara Banten: Studi tentang Agama, magi, dan kepemimpinan di Pesanggrahan Serang, Banten,(Jakarta: Tesis, Universitas Indonesia, 1992) hal 21.
25
cukup dominan di Banten bukan hanya sekedar para kiai melainkan jawara juga merupakan sumber kekuatan politik. 39 c. Jawara Pada Masa Reformasi Setelah runtuhnya rezim Orde Baru kelompok jawara Banten melebarkan sayap pengaruh dan posisinya. Kelompok Jawara dekat dengan kalangan penguasa. Kedekatan ini tidak lepas dari rekayasa politik Orde Baru yang memainkan peran sentral dalam mengkondisikan peranan jawara. Pada era reformasi ini, relasi hubungan terjalin antara kelompok jawara dengan pemerintahan lokal setempat, dapat dikatakan mendominasi. 40 2.4.2 Kedudukan dan Peran Jawara Jawara dalam perkembangannya memiliki kedudukan dan peran yang cukup penting dalam sejarah Banten. Diantaranya kedudukan tersebut adalah: a. Jawara Sebagai Pemimpin Guru Silat Sejarah ilmu persilatan di Banten memiliki akar yang sangat panjang. Di dalam Serat Centhini disebutkan bahwa pada masa pra-Islam telah dikenal istilah “peguron” atau”padepokan” di daerah dekat sekitar Gunung Karang,
39
40
Fahmi Irfani. Op.Cit, hal 117
Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara dan Demokrasi, Geliat Politik Banten Pasca Orde Baru (Jakarta: Dian Rakyat, 2009), hal 89.
26
Pandeglang. 41 Pada masa lalu tradisi persilatan nampaknya menjadi kebutuhan bagi individu-individu tertentu untuk mempertahankan kehidupan dirinya dan kelompoknya. Oleh karena itu pada masa lalu masyarakat yang tinggal di daerah-daerah terpencil dan sangat rawan tentunya membutuhkan keberanian dan memiliki kekuatan fisik yang baik. Inilah yang yang medorong setiap individu berusaha membekali dirinya dengan kemampuan beladiri dengan belajar persilatan. Jawara yang juga dimaknai “juara” atau “pemenang” dikenal sebagai sosok yang ditakuti oleh lawan dan kawan dapat dipastikan karena memiliki keunggulan dalam keberanian menaklukan lawanlawannya. Kemampuan untuk itu pasti ditunjang oleh kelihayan dalam ilmu persilatan atau bela diri serta dalam memainkan senjata yang dimilikinya yaitu golok. jawara yang malang melintang dalam dunia persilatan, pada masa tuanya
mendirikan peguron atau padepokan persilatan di dekat tempat
tinggalnya. Hal ini dimaksudkan untuk mengajari ilmu-ilmu persilatan kepada anak-anak muda yang berada disekitar tempat tinggalnya. 42 b. Jawara Sebagai Pemimpin Guru Ilmu Batin (Magis) Seorang jawara yang menjadi guru ilmu-ilmu biasanya sudah dikenal kesaktiannya di kalangan jawara dan masyarakat. Oleh karena itu banyak 41
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia, (Bnadung:Mizan, 1999), hal 25. 42
Atu Karomah, “Jawara dan Budaya Kekerasan Pada Masyarakat Banten”. Alqalam Jurnal Keagamaan dan Masyarakat, (Vol. 25. NO. 3 September - Desember 2009), hal 376.
27
masyarakat setempat yang berguru mempelajari ilmu persilatan atau meminta pertolongan dalam hal pengobatan. Sumber-sumber magi itu bersumber dari tarekat-tarekat yang populer dan sebagian lain dari tradisi animisme. Bentukbentuk ilmu yang sering dipergunakan oleh para jawara adalah brajamusti (kemampuan untuk melakukan pukulan dahsyat), ziyad (pengendali sesuatu jarak jauh), jimat atau rajah untuk mencari kewibawaan, kekayaan atau dicintai seseorang, putter gilling (untuk memutar kembali atau menemukan kembali orang yang hilang atau kabur) dan sebagainya. 43 c. Jawara sebagai pemimpin debus (sebi budaya Banten) Kepemimpinan jawara yang masih dekat dengan kesaktian adalah kesenian debus. Permainan debus ini banyak dilakukan oleh para jawara, yang dianggap sudah memiliki kesaktian yang cukup. Debus berasal dari kata “dabbus” yang artinya jarum tusuk, yakni permainan yang menunjukan kekebalan tubuh seseorang terhadap senjata tajam dan api. Kepemimpinan jawara dalam kesenian debus harus bertanggung jawab atas keseluruhan anggota dalam suatu pertunjukan. Dari tahap persiapan, pemimpin menentukan siapa yang akan turun dalam suatu pertunjukan, ia adalah orang
43
Saefudin. Jawara banten (Studi Kepemimpinan Tradisional di Desa Tegal Sari, Kec. Walantaka, Kab Serang). Yogyakarta, 2009, hal 63-64
28
yang dituakan dan disepuhkan di kelompoknya, dan memiliki ilmu lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. 44 2.5 Semiotika Film Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Seperti dikemukakan oleh Van Zoest, film dibangun dengan tanda sematamata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan.45 Film umumnya dibangun dengan banyak tanda, yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara. Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri yaitu melalui mediumnya, cara membuatnya dengan kamera dan pertunjukannya dengan proyektor atau layar. Film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Tata bahasa itu sendiri atas semacam unsur yang akrab, seperti pemotongan (cut), pemotretan jarak dekat (closeup), pemotretan dua (two shot), pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran gambar (zoom-in), pengecilan gambar (zoom-out), memudar (fade), pelarutan (dissolve), gerakan lambat (slow motion), gerakan yang dipercepat (speeded-up), efek khusus (special effect).46 Semiotika sebagai bagian dari kajian bidang ilmu 44
Ibid, hal 67
45
Alex Sobur, Op.Cit, hal. 128.
46
Ibid, hal 130-131.
29
komunikasi yang berada dalam wilayah tanda, dapat digunakan sebagai suatu cara untuk mengkaji terkait film. Pengkajian film dilakukan melalui sistem tanda, yang terdiri dari bentuk verbal maupun nonverbal. Dari berbagai tanda dalam semiotika film, dikenal pula istilah mise en scene yang terkait dengan penempatan posisi dan pergerakan aktor pada set (blocking), serta sengaja dipersiapkan untuk menciptakan sebuah adegan (scene) dan sinematografi yang berkaitan dengan penempatan kamera. Mise en scene berarti menempatkan sesuatu pada layar, unsur-unsurnya antara lain actor‟s performance yang terdiri dari script adalah sebuah naskah yang berisi semua kalimat yang diucapkan oleh pemain film, dan movement yaitu semua hal dan berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemain film. 47 Selain itu mise en scene juga terdiri dari unsur suara (sound). Sound yaitu latar belakang suara pemain, lagu, sound effect, atau nat sound (suara di sekeliling pemain film). Suara yang dapat didengar mendampingi visualisasi gambar pada layar. Adapun kategori suara antara lain: spoken word berupa perkataan, komentar, dialog, maupun monolog dari seorang pemain film. Natural sound berupa semua suara selain ucapan pemain film dan musik yang berfungsi sebagai ilusi realitas dan simbolisasi keadaan. Serta, music berupa instrumen atau nyanyian yang berfungsi untuk membantu transisi antara sequence, membentuk susana latar tempat, membentuk kesan emosi pemain lebih hidup, untuk membentuk atmosfer, menambah kesan
47
David Bordwell and Kristin Thompson. Film and Art: An Introduction. (New York, Graw Hill, 1993), hal 45.
30
dramatis ataupun sekedar menyampaikan pesan non verbal. 48 Unsur selanjutnya dalam mise en scene yaitu production design. Production design yang terdiri dari setting berupa lokasi pengambilan gambar, property berupa segala peralatan atau barang yang mendukung pelaksanaan produksi film, dan costume berupa segala pakaian yang dipakai oleh pemain film. 49 Penerapan metode semiotika dalam film berkaitan erat pula dengan media televisi. Karena televisi merupakan medium yang kompleks yang menggunakan bahasa verbal, gambar dan suara untuk menghasilkan impresi dan ide-ide pada orang. Aspek-aspek yang diperhatikan dari medium yang berfungsi sebagai tanda, untuk membedakan sebagai pembawa tanda. Apa yang menarik dari TV adalah pengambilan gambar dari kamera yang dilakukan. 50 Tabel 2.1 Rumusan Konsep Pemaknaan Berger Penanda
Definisi
Penanda (makna)
Close Up
Hanya Wajah
Keintiman
Medium Shoot
Hampir Seluruh Tubuh
Hubungan Personal
Long Shoot
Setting Karakter
Konteks, skope, jarak
(pengambilan gambar)
Semiotika film publik
48
Ibid, hal 46
49
Ibid,
50
Artur Asa berger. Media Analysis Techniques. (Yogyakarta: Andi Offset, 1999), hal 33
31
Full Shoot
Seluruh Tubuh
Hubungan sosial
Penanda
Definisi
Penanda (makna)
Kamera mengarah ke
Kekuasaan,
bawah
kewenangan
Pan Up
Kamera mengarah ke atas
Kelemahan, pengecilan
Dolly In
Kamera mengarah ke dalam
Observasi, fokus
(penggerakan kamera) Pan Down
Penanda
Definisi
Petanda (makna)
Fade In
Gambar kelihatan pada layar kosong
Permulaan
Fade Out
Gambar di layar menjadi hilang
Penutupan
Cut
Pindah dari gambar satu ke yang lain
Kebersambungan,
(teknik penyutingan)
menarik Wipe
Gambar terhapus dari layar
“Penutupan” kesimpulan
Sumber: Arthur Asa Berger, 2000. Media Analisis Techniques. Hal 34-35. Hal di atas menunjukan semacam “tata bahasa” televisi seperti pengambilan gambar, kerja kamera, dan teknik penyuntingan. Hal tersebut membantu untuk memahami apa yang terjadi pada sebuah program. Terdapat pula hal lain yang
32
mungkin juga menarik, seperti teknik pencahayaan, penggunaan warna, efek suara, dan musik. Semua penanda tersebut dapat menolong untuk menerjemahkan apa yang dilihat dan yang didengar dari televisi. 2.6 Semiotika Roland Barthes Kata “Semiotika” berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda” atau seme, yang berarti “penafsir tanda”. Semiotika berakar dari studi klasikdan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjukan pada adanya hal lain. 51 Semiotika berusaha mengali hakikat yang beranjak keluar kaidah tata bahasa dan sintaksis dan yang mengatur arti teks yang rumit, tersembunyi dan bergantung pada kebudayaan. Hal ini kemudian menimbulkan perhatian pada makna tambahan (connotative) dan arti penunjuk (denotative). Salah satu pakar semiotik yang memfokuskan permasalahan semiotik pada dua makna tersebut adalah Roland Barthes. Barhes adalah pakar semiotik Prancis yang pada tahun 1950-an menarik perhatian dengan telaahnya tentang media dan budaya pop menggunakan semiotik sebagai alat teoritisnya. Tesis tersebut mengatakan bahwa struktur makna yang terbangun di dalam produk dan genre media diturunkan dari mitos mitos kuno, dan berbagai peristiwa media ini mendapatkan jenis signifikansi yang sama dengan signifikansi yang secara tradisional hanya dipakai dalam ritual-ritual keagamaan. Semiotika dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari
51
Alex Sobur, Op.Cit, hal 16.
33
bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini dapat dicampur adukan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. 52 Representasi menurut Barthes menunjukan bahwa pembentukan makna tersebut mencangkup sistem tanda menyeluruh yang mendaur ulang berbagai makna yang tertanam dalam-dalam di budaya barat misalnya, dan menyelewengkannya ke tujuan komersil. Hal ini kemudian disebut sebagai struktur.53 Sehingga dalam semiotik Barthes, proses representasi itu berpusat pada makna denotasi, konotasi, dan mitos. Ia mencontohkan, ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan (seperti tata letak / lay out, rubrikasi, dsb) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebut fenomena ini membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu sebagai penciptaan mitos. Untuk itulah, Barthes meneruskan pemikiran Saussure dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh
52
Ibid, hal 15
53
Marcel Danesi, Op.Cit, hal 8
34
penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “Two Order of Signification” (Signifikansi Dua Tahap).
Gambar 2.1 Signifikasi Dua Tahap Roland Barthes
Sumber: John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990, hal 88
Melalui gambar di atas, Barthes seperti dikutip Fiske, menjelaskan signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified didalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutkan sebagai denotasi. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan. Pada signifikasi tahap kedua yang berkaitan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos. 54 54
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), hal 128.
35
a. Makna Denotasi: Makna denotasi adalah makna awal utama dari sebuah tanda, teks, dan sebagainya. Makna ini tidak dibisa dipastikan dengan tepat, karena makna denotasi merupakan generalisasi. Dalam terminologi Barthes, denotasi adalah sistem signifikansi tahap pertama. Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal, dan dalam semiotika Barthes, ia menyebutnya sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Maka dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Dalam hal ini, denotasi diasosiasikan dengan ketertutupan makna 55. Menurut Lyons, denotasi adalah hubungan yang digunakan dalam tingkat pertama pada kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran56. Denotasi dimaknai secara nyata. Nyata diartikan sebagai makna harfiah, makna yang sesungguhnya atau terkadang dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi denotasi biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Dalam semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, yang kemudian dilanjutkan oleh sistem signifikasi konotasi yang berada di tingkat kedua. 55
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2009, hlm 70.
56
Ibid, hal 263
36
b. Makna Konotasi: Makna yang memiliki sejarah budaya di belakangnya yaitu bahwa ia hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan signifikansi tertentu. Konotasi adalah mode operatif dalam pembentukan dan penyandian teks kreatif seperti puisi, novel, komposisi musik, dan karya-karya seni. Istilah konotasi digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Kata “konotasi” sendiri berasal dari bahasa Latin, “connotare” yang memiliki arti “menjadi tanda” serta mengarah pada makna-makna kultural yang terpisah dengan kata atau bentuk-bentuk komunikasi lainnya. Makna konotatif adalah gabungan antara makna denotatif dengan segala gambar, ingatan dan perasaan yang muncul ketika indera kita bersinggungan dengan petanda. Sehingga akan terjadi interaksi saat petanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Jika ditelaah melalui kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebut sebagai mitos serta berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Konotasi mengacu pada makna yang menempel pada suatu kata karena sejarah pemakainya, oleh karena itu dapat dimaknai secara berbeda oleh setiap individu. Jika denotasi sebuah kata dianggap sebagai objektif kata tersebut, maka konotasi sebuah kata dianggap sebagai makna subjektif atau emosionalnya. Arthur Asa Berger menyatakan bahwa konotasi melibatkan simbol-simbol, historis dan hal-hal
37
yang berhubungan dengan emosional. Makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa terdapat pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu57. Kalau makna denotatif hampir bisa dimengerti banyak orang, maka makna konotatif hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya lebih kecil. c. Mitos: Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut dengan mitos, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu, jadi mitos memiliki tugasnya untuk memberikan sebuah justifikasi ilmiah kepada kehendak sejarah, dan membuat kemungkinan tampak abadi. Dalam Alex Sobur (2009:71) Budiman mengatakan pada kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai mitos dan memiliki fungsi untuk memberikan pembenaran bagi nilai nilai dominan yang berlaku pada periode tertentu58. Selain itu, dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda. Mitos biasanya dianggap sama dengan dongeng, dan dianggap sebagai cerita yang aneh serta sulit dipahami maknanya katau diterima kebenarannya karena kisahnya irasional (tidak masuk akal). Namun, berangkat dari ketidakmasuk akalan tersebut lah 57
Ibid
58
Ibid, hal 71
38
akhirnya muncul banyak penelitian tentang mitos yang melibatkan banyak ilmuwan Barat. Mereka menaruh minat untuk meneliti teks-teks kuno dan berbagai mitos yang telah mereka kumpulkan dari berbagai tempat dan berbagai suku bangsa di dunia. Dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai „mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua.59 Barthes menegaskan bahwa cara kerja pokok mitos adalah untuk menaturalisasikan sejarah. Ini menunjukkan kenyataan bahwa mitos sebenarnya merupakan produk kelas sosial yang mencapai dominasi melaui sejarah tertentu maknanya, peredaran mitos mesti dengan membawa sejarahnya, namun operasinya sebagai mitos membuatnya mencoba menyangkal hal tersebut, dan menunjukkan maknanya sebagai alami, dan bukan bersifat historis atau sosial. 60 Segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Dalam mitos, sekali lagi kita mendapati pola
59
Alex Sobur, Op.Cit, hal 71.
60
John Friske, Cultural and Communication Studies, (Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2007), hal 122
39
tiga dimensi yang disebut Barthes sebagai: penanda, petanda, dan tanda. Ini bisa dilihat dalam peta tanda Barthes berikut ini:
Gambar 2.2 Peta Tanta Roland Barthes
1. Signifier
2. Signified
(penanda)
(petanda)
3. Denotative Sign (tanda Denotatif) 5. Connotative 4. Connotative Signifier
Signified
(penanda Konotatif)
(petanda konotatif
6. Connotative Sign (tanda konotatif)
Sumber: Paul Cobley & Litza Jansz dalam Sobur (2006: 69).
Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika Anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin. Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang juga
40
melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan Semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif. 61 2.7 Kerangka Berpikir Kerangka berpikir merupakan suatu hal yang penting untuk memberikan arah penelitian dalam proses penelitiannya.62 Kerangka berpikir penelitian ini menjabarkan realitas sosok jawara yang menjadi suatu subkultur masyarakat Banten. Realitas yang ada disekitar kita tidak hanya dapat dilihat secara real, tetapi yang ada juga dapat diangkat kedalam media massa seperti film. Film merupakan salah satu media komunikasi yang tepat dalam penyampaian pesan melaui audi-visualnya. Kita dapat menyaksikan representasi dari sebuah realitas yang terjadi di masyarakat dalam bentuk karya yang disebut film. Disetiap karya film, terkandung pesan-pesan yang sengaja ingin disampaikan oleh sang pembuat film. Dibawah ini merupakan kerangka berpikir peneliti dalam melakukan penelitian yang berjudul Representasi Makna Jawara dalam Film Jawara Kidul. Dalam film Jawara Kidul ditemukan adegan-adegan yang mempunyai makna tertentu. Berdasarkan analisis semiotika Roland Barthes ditemukan sejumlah penanda (signifier) dan petanda (signified) berupa setting lokasi, properti, aktor dan kostum (mise en scene) dan penempatan kamera (sinematografi) dengan didukung dari audio, 61
Alex Sobur, Op.Cit, hal 69.
62
Sugiono. Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung: Alfabeta, 2009), hal 92.
41
visual dan sejumlah tanda lainnya yang menunjukan representasi sosok jawara dalam film tersebut. Selanjutnya film yang telah dipilih peneliti sebagai objek penelitian akan di analisis dengan menggunakan analisis semiotika model Roland Barthes, dengan fokus perhatian tertuju pada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification). Signifikansi tahap pertama merupakan hubungan antara penanda dan petanda dalam sebuah realitas. Barthes menyebutnya sebagai makna denotasi yaitu makna yang nyata dari sebuah tanda. Peneliti melihat visual dan audio-visual berupa perkataan dari tokoh. Selanjutnya makna konotasi adalah istilah Barthes untuk menyebut signifikansi tahap kedua yang menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari penonton serta nilai-nilai kebudayaan yang dianut, peneliti akan melihat keterkaitan antara tanda yang terdapat dalam film dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Kemudian hasil analisis untuk melihat singkronisasi apakah film Jawara Kidul mampu merepresentasikan makna sosok jawara yang ada didalamnya.
42
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir
Realitas Sosial Jawara Banten
Film Jawara Kidul
Semiotika Film
Semiotika Roland Barthes
Denotasi
Konotasi
Mitos
Representasi Makna Jawara Dalam Film Jawara Kidul
2.8 Penelitian Terdahulu Untuk menghindari kesamaan terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya, maka peneliti mengadakan peninjauan terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya, sebagai berikut: 1. Skripsi yang berjudul “Representasi Ibu dalam Film (Analisis Semiotika Film Rindu Kami karya Garin Nugroho)”, yang disusun oleh Shuvia Rahma tahun 2007, jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas
43
Muhammadiyah Malang. Penelitian ini termasuk jenis penelitian studi deskriptifkualitatif. Subjek penelitiannya adalah film “Rindu Kami”. Objek
penelitiannya
adalah scene yang menandakan bagaimana sosok seorang Ibu . Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotik dengan mengambil teori dari Roland Barthes. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sosok Ibu yang direpresentasikan dalam film Rindu Kami. Film yang diangkat dalam penelitian ini merupakan film religi yang berkisah tentang pencarian sosok Ibu oleh anak-anak disebuah pasar. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat tanda-tanda penggambaran sosok Ibu dalam scene dan tanda verbal yang ada dalam film Rindu Kami. Dari hasil analisis dapat dikemukakan bahwa dalam film Rindu Kami PadaMu, Ibu direpresentasikan sebagai sosok yang sangat menyayangi anaknya, penuh kehangatan, dan keramahan. Ibu juga direpresentasikan sebagai sosok yang mampu mengerti kebutuhan dan keinginan anak-anaknya. Dari representasi tersebut dapat disimpulkan bahwadalam film ini Ibu direpresentasikan sebagai sosok dominan dalam rumah tanggayang selalu bisa diandalkan oleh anggota keluarga lainnya. Petuah-petuah yang diajarkan Ibu kepada anaknya menjadikan Ibu sebagai simbol moralitas bagi anaknya. 2. Skripsi yang berjudul “Representasi TKW Dalam Film Minggu Pagi di Victoria Park”, yang disusun oleh Faiza Malia tahun 2010, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro, Semarang. Penelitian ini termasuk jenis penelitian studi deskriptif kualitatif. Subjek penelitiannya adalah film “Minggu Pagi di Victoria Park”. Objek penelitiannya adalah scene yang menandakan
44
bagaimana sosok Waria yang ditunjukan melalui berbagai dialog atau adegan yang ada dalam film Minggu Pagi di Victoria Park. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotik dengan mengambil teori semiotika Roland Barthes. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sosok Waria yang direpresentasikan dalam film a PLur. Dalam Minggu Pagi di Victoria Park menceritakan tentang kehidupan dan permasalahan para TKW yang mengadu nasib di negeri Hongkong. Dalam film ini menceritakan bagaimana suka dan duka serta pejuangan para TKW dalam menyelesaikan permasalahan yang menimpanya ditengah keterbatasan hidup di negeri orang. Film ini merupakan film berdurasi 100 menit yang diproduksi oleh Pic[k]lock Production pada tahun 2012. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat tanda-tanda mengenai sosok TKW yang direpresentasikan dalam scene dam tanda verbal yang ada dalam film Minggu Pagi di Victoria Park. Film ini menunjukan bahwa pertama, TKW bukan hanya sosok yang identik dengan korban kekerasan melainkan terlihat bahagia dan nyaman dengan pekerjaannya. Kedua, memperlihatkan sosok TKW yang modis dan adanya fenomena lesbian diantara mereka. Ketiga, sosok TKW digambarkan bukan hanya sebagai pahlawan devisa bagi negara tetapi juga pahlawan bagi keluarganya. 3. Skripsi yang berjudul “Makna Tanda Representasi Waria Dalam Film Kinky Boots” (Analisis Semiotika Terhadap Film Kinky Boots Karya Julian Jarrold), yang disusun oleh Kharisma Tri Saputra tahun 2010, Jurusan Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah, Malang. Penelitian ini termasuk
45
jenis penelitian studi deskriptif-kualitatif subjek penelitiannya adalah film “Kinky Boots”. Objek penelitiannya adalah scene yang menandakan sosok Waria yang ada dalam film Kinky Boots. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah representasi sosok Waria yang dimunculkan dalam Film Kinky Boots. Dalam film Kinky Boots menceritakan menceritakan perjalanan seorang anak muda, Charlie Prince yang berusaha untuk memperjuangkan kelangsungan sebuah bisnis pabrik sepatu dari ayahnya yang hampir bangkrut. Awalnya dia tidak menyukai bisnis ini, akhirnya dia terpaksa harus melanjutkan pabrik ayahnya karena kematian ayahnya. Banyak hal yang telah terjadi dalam kehidupan perusahaan dan kehidupannya sendiri. Memiliki masalah terhadap pegawainya, masalah dengan pasangannya, sampai memiliki kenalan seorang Waria yang bernama Lola. Dari banyak hal terjadi itu, tentunya membuat banyak perubahan besar dalam hidupnya dan perusahaannya. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Film Kinky Boots memanfaatkan nilai-nilai liberalism untuk kepentingan pencitraan positif dari Waria demi mendukung keberadaan dan eksistensinya dalam masyarakat ini. Hal ini bias dilihat dari scene-scene yang menggambarkan Waria dengan gambaran positif.
46
Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu 1.
Nama
Shuvia Rahma
Faiza Malia
Siti Khomsah
2.
Judul
Representasi Ibu
Representasi TKW
Makna Tanda
dalam Film
dalam Film Minggu Representasi Waria
(Analisis Semiotik
Pagi di Victoria
Dalam Film Kinky
Rindu Kami karya
Park
Boots (Analisis
Garin Nugroho)
Semiotika Terhadap Film Kinky Boots Karya Julian Jarrold)
3.
Tahun
2007
2010
2010
4.
Tujuan
Untuk mengetahui
Untuk mengetahui
Untuk mengetahui
Penelitian
bagaimana sosok
bagaimana sosok
bagaimana
seorang Ibu yang
TKW yang
penggambaran
direpresentasikan
direpresetasikan
sosok Waria yang
dalam film Rindu
dalam film Minggu
terdapat dalam
Kami
Pagi di Victoria
Film Kinky Boots
Park 5.
Teori
Semiotika Roland
Semiotika Roland
Semiotika Roland
Barthes
Barthes
Barthes
47
6.
Paradigma
Konstruktivis
Konstruktivis
Kritis
7.
Hasil
Hasil penelitiannya
Hasil penelitiannya
Terdapat tanda-
Penelitian
menggambarkan
menggambarkan
tanda
bahwa sosok Ibu
bahwa sosok TKW
penggambaran
merupakan sosok
bukan hanya
sosok Waria
yang mampu
identik sebagai
seperti kedudukan
mengerti kebutuhan
korban kekerasan,
mereka yang bisa
dan keinginan
TKW yang
lebih tinggi
anak-anaknya serta
digambarkan
dibandingkan
sosok dominan
memiliki
masyarakat, bias
dalam rumah
penampilan yang
mengalah demi
tanggayang selalu
modis dan
kepentingan
bisa diandalkan
mencintai
mayoritas, juga
oleh anggota
pekerjaannya dan
berhak
keluarga lainnya
sosok TKW bukan
menentukan apa
hanya sebagai
yang Ia mau dalam
pahlawan bagi
menjalani
negara namun juga
hidupnya mereka.
bagi keluarganya
Selain itu juga memiliki selera
48
yang tinggi, juga mendapatkan dukungan dari kelompok yang selama ini masih konservatif.
49
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian Pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Riset kualitatif adalah riset yang data-datanya berupa statement-statement atau pernyataan-pernyataan dan berasal dari pendekatan interpretif (subjektif). 63 Pendekatan kualitatif ini juga bertujuan untuk mendapat pemahaman bersifat umum yang diperoleh setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian, kemudian ditarik kesimpulan berupa pemahaman umum tetang kenyataan-kenyataan tersebut.64 Penelitian kualitatif juga bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistik, dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. 65 Dipilihnya penelitian kualitatif, karena kemantapan peneliti berdasarkan
63
Rahmat Krisyantono. Teknik Praktis Riset Komunikasi. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal 52.
64
Rosady Ruslan. Metodologi Penelitian Publik Relation dan Komunikasi. (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal 215. 65
Lexy Moleong. Metode Kualitatif. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hal 6.
49
50
pengalaman penelitian sebelumnya dan metode kualitatif dapat memberikan rincian yang lebih kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif. Metode ini bersifat subjektif dalam arti mengekplorasi obyek penelitian sehingga nantinya akan didapatkan pesan dan maksud pada setiap bagian dari obyek yang diteliti. Sifat penelitian yang diambil adalah jenis deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk menekankan pengetahuan yang seluas-luasnya terhadap objek penelitian pada saat tertentu.66 Penelitian ini menggunakan metode deskriptif karena, penelitian ini tidak untuk mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi melainkan bertujuan membuat deskripsi yang secara sistematis, faktual dan akurat. Selain itu, penelitian ini ditujukan juga untuk mengidentifikasi masalah, membuat perbandingan atau evaluasi, serta pembelajaran atas sesuatu pengalaman. 3.2 Paradigma Penelitian Penelitian
ini
mengacu
pada
paradigma
konstruktivis.
Paradigma
konstruktivis, yaitu paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu
66
Indiawan Wibowo. Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), hal 11.
51
pengetahuan.67 Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri oleh karenanya pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas).68 Menurut Patton, para peneliti konstruktivis mempelajari beragam realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi kehidupan mereka dengan yang lain. Dalam konstruktivis, setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut. 69 3.3 Unit Analisis Unit analisis yang dipakai, yakni film Jawara Kidul yang digunakan peneliti secara keseluruhan sebagai objek penelitian yang akan diteliti. Unit analisis yang dikenal sebagai unit produksi, yakni mise en scene yang terkait dengan segala sesuatu yang tampil di kamera, baik penampilan pemain film, suara dan desain produk (lokasi, properti dan kostum), serta sinematografi yang berkaitan dengan penempatan kamera dalam film. Dalam film Jawara Kidul, terdapat 7 scene pilihan yang terdapat
67
Dedy N Hidayat. Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik Klasik. (Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FIFIP Universitas Indonesia, 2003), hal 3. 68
Indiawan Wibowo. Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), hal 10. 69
Michael Quinn Patton, Qualitative Research and Evaluation Methods, 3rd edition. (Thousand Oaks, California: Sage Publications, Inc, 2002), hal 96-97.
52
tanda-tanda makna jawara didalamnya yang tercermin dalam adegan dan isi dialog film, kemudian nantinya akan dianalisis sesuai teori yang dipakai, berikut gambar lengkapnya: Tabel 3.1 Bahan Scene Analisis No
Visual
Scene
1
Menit (05:50 - 08:12)
53
2
Menit (12:58 - 14:55)
3
Menit (19:52 – 20:45)
54
4
Menit (31:24 - 32:15)
5
Menit (38:21 - 38:45)
55
6
Menit (39:28 - 40:25)
7
Menit (42:56 - 43:07)
3.4 Teknik Pengumpulan Data Adapun untuk mengumpulkan data yang diperlukan dengan tujuan penelitian maka penulis menggunakan bebrapa teknik dalam mengumpulkan data. Dengan
56
menggunakan beberapa cara itu diharapkan dapat memperoleh data yang representatif. Teknik-teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data tersebut meliputi: 3.4.1 Observasi Metode observasi difokuskan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena riset kualitatif yang mencangkup interaksi (perilaku) dan percakapan yang terjadi diantara subjek yang diteliti. 70 Lewat observasi ini, peneliti akan melihat sendiri pemahaman yang tidak terucapkan, bagaimana teori digunakan langsung (theory in use), dan sudut pandang responden yang mungkin tidak tergali saat wawancara.71 Peneliti melakukan kegiatan pengamatan melaui panca indera pada film Jawara Kidul. Peneliti mencoba menemukan unsur representasi makna jawara melalui pengamatan secara terfokus dan mendalam. 3.4.2 Dokumentasi Dokumentasi adalah instrumen pengumpulan data yang sering digunakan dalam berbagai metode pengumpulan data. Tujuannya untuk mendapatkan informasi yang mendukung analisis dan interpretasi data.72 Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumentasi yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, 70
Rachmat Krisyantono. Teknik Praktis Riset Komunikasi. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal 107. 71
Chaedar Alwasilah. Pokoknya Kualitatif. (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002), hal 155.
72
Rahmat Krisyanto. Op.Cit, hal 118.
57
sejarah kehidupan (life histories), cerita, biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk karya, misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patun, film.73 Adapun dalam penelitian ini dilakukan dengan mendokumentasikan scene atau adegan tanda yang terdapat dalam Film Jawara Kidul yang merepresentasikan sosok seorang jawara yang terdapat dalam film tersebut. 3.4.3 Studi Pustaka Studi pustaka adalah metode pengumpulan data dan informasi dengan menggunakan data yang diperoleh dari orang lain melalui penelitian sebelumnya, atau yang diperoleh dari sumber tertulis yang terdapat dalam berbagai referensi buku, surat kabar dan lain sebagainya. 3.5 Teknik Analisis Data Analisis dalam penelitian kualitatif ini menggunakan analisis semiotik yaitu metode penelitian untuk menafsirkan makna dari suatu pesan komunikasi baik yang tersirat (tertulis) maupun yang tersurat (tidak tertulis/terucap). Makna yang dimaksud mulai dari parsial atau sebagian saja hingga makna komprehensif atau luas. Metode semiotika dikembangkan untuk menafsirkan simbol komunikasi sehingga dapat diketahui bagaimana komunikator mengkontruksi pesan untuk maksud-maksud tertentu. Melalui analisis semiotika dapat dikupas tanda dan makna yang diterapkan pada sebuah naskah pidato, iklan, novel, film, dan naskah lainnya. Hasil analisis 73
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. (Bandung: Alfabeta, 2007), hal 82.
58
rangkaian tanda itu akan dapat menggambarkan konsep pemikiran yang hendak disampaikan oleh komunikator, dan rangkaian tanda yang terinterpretasikan menjadi suatu jawaban atas pertanyaan nilai-nilai ideologi dan kultural yang berada di balik sebuah naskah. Secara lebih rinci, uraian mengenai langkah-langkah analisisnya diolah dari analisis semiotik Roland Barthes yang berkaitan pada tatanan signifikasi dua tahap yaitu sebagai berikut: Gambar 3.1 Signifikansi Dua Tahap Roland Barthes
Penelitian ini menggunakan analisis data dengan teknik analisis semiotik teori Roland Barthes, yang menggunakan penekanan pada pemaknaan dari suatu sistem tanda (kode) melalui sistem pemaknaan tingkat pertama atau yang biasa disebut dengan denotasi, selanjutnya ke sistem pemaknaan tingkat kedua yang disebut konotasi dan yang terakhir berupa pengungkapan mitos mengenai tanda serta simbol makna jawara. Tahapan-tahapan dalam proses analisisnya adalah sebagai berikut :
59
1. Mengidentifikasi hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified (content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal sebagai signifikansi tahap pertama, disebut sebagai denotasi, yang terdapat dalam film Jawara Kidul dan digambarkan melalui tanda - tanda yang terbentuk dalam scene dan dialog. 2. Mengidentifikasi hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified (content) di dalam sebuah tanda terhadap perasaan atau emosi dari pembaca serta nilainilai dari kebudayaannya sebagai signifikansi tahap kedua, yang disebut sebagai konotasi. 3. Mengidentifikasi bagaimana kebudayaan (konotasi) menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas (denotasi) disebut sebagai mitos. 4. Menjelaskan pemaknaan berkenaan dengan kalimat yang merepresentasikan makna jawara dalam film Jawara kidul. 5. Menarik suatu kesimpulan. 3.6 Instrumen Penelitian Peneliti merupakan alat (instrumen) pengumpul data utama, karena peneliti adalah manusia dan hanya manusia yang dapat berhubungan dengan responden atau objek lainnya, serta mampu memahami kaitan gambaran-gambaran dalam suatu film. Oleh karena itu, peneliti berperan sebagai subjek yang memaknai seluruh makna yang tergambar karena segala sesuatunya belum mempunyai kepastian dan masih perlu dikembangkan lebih lanjut. Sehingga hanya peneliti itu sendiri sebagai alat yang dapat mencapainya.
60
3.7 Jadwal Penelitian
2 3 4 5 6
Penelitian Bab 1-3 Pengumpulan data Penyusunan Bab 4 Penyusunan Bab 5 Pelaksanaan Sidang
Januari
Desember
November
Oktober
September
Agustus
Juli
Pra Penelitian
Juni
1
Mei
Kegiatan
April
No
Maret
Tabel 3.2 Jadwal Penelitian
61
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripi Subjek Penelitian 4.1.1 Profil Film Gambar 4.1 Poster Film Jawara Kidul
JAWARA KIDUL Produksi : KREMOV PICTURES 2015
61
62
TIM KRU: Sutradara : Darwin Mahesa / Ass Sutradara : Umu Salamah / Pengarah Seni : Nando Sumarna / Pengarah musik : Yudhistira Kusuma - Chandra Saputra / Penata Suara : Martin Romanyah / Pengarah Gaya : Chiko Averoes / Properti : TB. M. Saefullah Fitri Chaerunnia - M. Faisal / Penata Kamera : Juhendi - Ade Marzuki - Irwan Ibrahim / Editor : Sofyandi / Make-up : Wildiana Aghnadya - Cici mahiyah Sarifatul Wardah / Penata Busana : Yana Ahmad Rifai - Khusnul Khotimah Elistiawati - Puji Rahayu / Casting Pemain : Meli Amelia - Ikhfal Wahyudin / Penata Cahaya : Ridwan Sholeh - Ahmad Isrondi - Shendityas Anwar.
ORIGINAL SOUNDTRACK “JAWARA SESUNGGUHNYA” Penyanyi : Anggini Putri / Penulis Lagu : Darwin Mahesa / Musik : Yushitira Kuuma / Editor Musik Rekaman : Tya Subiakto Studio. 4.1.2 Penokohan Dalam Film 1. Tubagus Dian Kurniawan sebagai Prabu : Tokoh ini merupakan tokoh utama dalam film ini, dia diceritakan sebagai salah satu jawara yang berasal dari Kadusunan Kidul. Lalu sebagai Jawara ia dikenal sebagai sosok peduli dengan Kadusunan Kidul dan menjadi tokoh yang disegani dan berkharisma dimata warga Kadusunan. 2. Anton Chandra sebagai Sakti : Tokoh ini merupakan salah satu warga Kadusunan Kidul yang dikenal oleh masyarakat sebagai Jawara setempat,
63
namun karena perbuatan buruknya, kemudian ia diusir dan tidak dianggap lagi sebagai seorang Jawara. 3. Cak Purwo sebagai Abah Sugidiraja : tokoh ini merupakan seorang pemimpin dari Kadusunan Kidul, dia dikenal sebagai orang yang bijaksana dan bertanggung jawab dengan tugasnya sebagai pimpinan Kadusunan. 4. Fauziyyah Angela sebagai Nyi Mas Ayu : tokoh ini merupakan salah satu puteri dari Abah Sugidiraja yang ingin dijodohkan, melalui sebuah sayembara yang diadakan antar jawara dari Kadusunan luar. 4.1.3 Sinopsis Film Kisah bermula dari seorang pemimpin dari suatu Kadusunan Kidul yang benama Abah Sugidiraja yang ingin mencarikan seorang pendamping bagi sang putri yaitu Nyimas Ayu. Lalu untuk itu Abah mengadakan sayembara bagi para jawara dari Kadusunan luar untuk menjodohkannya dengan sang puteri, karena ingin Kadusunan Kidul terjaga dan tidak ada lagi konflik. Namun saat acara sayembara akan dimulai tidak ada satupun jawara dari Kadusunan luar yang datang. Oleh karena itu Abah memutuskan untuk membuka sayembara bagi jawara dari Kadusunan Kidul. Kemudian munculah sosok Sakti dan Prabu yang ingin mengikuti sayembara tersebut. Hingga saat ditengah pertarungan Abah menghentikan pertandingan karena mengetahui bahwa penyebab jawara Kadusunan luar tidak datang karena telah dibunuh oleh Sakti. Hal tersebut menyebabkan Sakti dikeluarkan dari pertandingan. Lalu sejak saat itu, Prabu yang memenangkan sayembara tersebut tersebut, kemudian
64
menjadi sosok yang berpengaruh dan cukup disegani oleh warga Kadusunan Kidul, karena sosoknya yang mampu melindungi dan menjaga Kadusunan dengan baik dengan kemampuan beladiri yang dimilikinya. Disamping itu Sakti yang masih tidak terima dengan kekalahannya dan menyimpan dendam atas kekalahannya telah menyiapkan rencana untuk membalas kekalahannya tersebut dengan mecoba melukai Nyimas Ayu, namun Prabu sebagai suami tidak diam untuk melindungi sang Isteri. Sehingga terjadilah adu kekuatan diantara mereka. 4.2 Deskripsi Hasil Penelitian 4.2.1 Analisis Tanda Makna dalam Film Jawara Kidul Penelitian ini bertujuan untuk menetahui tanda-tanda bagaimana sosok jawara direpresentasikan dalam film Jawara Kidul. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya pada bagian metodologi penelitian, bahwa peneliti akan menggunakan analisis semiotika dari Roland Barthes. Dalam prosesnya peneliti akan mengawali dengan menghubungkan adegan pada setiap scene, kemudian mengamati makna tanda yang digunakan dalam film Jawara Kidul yang meliputi elemen visual dan audio sebagai berikut:
65
Tabel 4.1 Scene 1 Arena Sayembara Visual
Audio
Type of Shot
Menit: (05:50 - 08:12) Prabu: Maafkan aku
Close Shot,
kakang, aku mencintai menampilkan wajah Nyimas. Sakti: Lancang kau Prabu. Prabu: Maafkan aku Nyimas, aku tidak mungkin bertarung dengan kakakku sendiri
Prabu yang kecewa karena harus melawan Sakti.
66
Nyimas: Tunggu
Long Shot, Nyimas
bukan kan aku yang
Ayu berlari memanggil
meminta kakang
Prabu yang akan
untuk memenangkan
meninggalkan
sayembara ini apalah
Sayembara.
arti cinta kakang jika, kakang menyerah begitu saja. Sakti: Bersiaplah Prabu
Denotasi
Lalu dimulailah
Medium Shot, Sakti
pertarungan antara
dan Prabu memulai
Sakti dan Prabu
pertarungan
Prabu mendatangi arena sayembara untuk mendapatkan cinta Nyimas Ayu
67
Konotasi
Pertarungan adu kekuatan sesama jawara untuk mendapatkan cinta Nyimas Ayu
Mitos
Perkelahian sesama jawara merupakan lambang kejantanan
Pengambilan scene dengan menggunakan teknik Close up, long shot dan medium shot pada menit 5 lewat 50 detik ini berlatar belakang di sebuah arena sayembara yang ada di Kadusunan Kidul. Penanda dalam adegan tersebut adalah Prabu mendatangi suatu arena sayembara yang diadakan khusus bagi para jawara. Petandanya adalah Prabu ingin mengikuti sayembara yang sedang diadakan untuk memperjuangkan cintanya kepada seorang wanita yaitu Nyimas Ayu. Makna denotasi dari adegan yang disajikan ini adalah memperlihatkan bahwa Prabu sebagai jawara ingin mencoba untuk memperjuangkan cintanya dengan mengikuti sayembara perjodohan Nyimas Ayu yang diadakan oleh sang ayah yaitu Abah Sugidiraja. Sedangkan makna konotasi yang didapat adalah bahwa seorang jawara merupakan sosok seorang petarung atau pendekar dengan berbekal kemampuan fisik dan bela diri yang dimilikinya. Hal itu terlihat dari keinginan tokoh Prabu sebagai seorang jawara dengan berani untuk turut serta dalam suatu sayembara pertarungan agar bisa mendapatkan cinta yang diharapkannya. Sayembara tersebut juga dapat diindikasikan sebagai bagian dari tradisi amprak jawara yaitu, pertarungan adu kekuatan diantara para jawara, untuk mengetahui siapa yang lebih hebat. Di sisi
68
lain juga sayembara yang diadakan khusus bagi para jawara dapat mengindikasikan bahwa sosok jawara merupakan seseorang yang sudah terlatih dalam hal ilmu bela diri. Sedangkan makna mitos dalam adegan ini adalah perkelahian atau pertaruangan yang dilakukan semama jawara antara Prabu dan Sakti merupakan suatu lambang untuk menunjukan kejantanan sebagai seorang pria.
Tabel 4.2 Scene 2 Arena Sayembara Visual
Dialog / Scene
Type Of Shot
Menit (12:58 - 14:55) Abah: “Cukup! jawara
Medium Shot,
bukanlah pembunuh
menampilkan wajah
Sakti. Jawara adalah
Abah yang kesal, karena
pelindung bagi yang
mengetahui perbuatan
lemah, jawara bersikap
Sakti yang membunuh
kesatria untuk mencapai
Jawara Kadusunan luar
tujuannya. Bukan dengan cara yang licik. Pantas saja tidak ada Jawara dari Kadusunan luar yang datang bukankah, kau
69
yang telah membunuh mereka” Sakti: Ya saya yang
Close Up, Menampilkan
membunuh jawara-
wajah Sakti yang merasa
jawara itu, karena saya
malu dengan
tidak ingin mereka
perbuatannya
menikahi Nyimas Ayu. Denotasi
Kemarahan Abah pada Sakti dan kemudian menghentikan jalannya sayembara yang sedang berlangsung antara Prabu dan Sakti
Konotasi
Kemampuan fisik atau bela diri merupakan sebuah simbol sebagai seorang jawara yang harus digunakan dengan semestinya
Mitos
Terkontaminasinya karakter jawara dengan aksi premanisme
Pengambilan scene dengan menggunakan teknik medium shot pada menit 12 lewat 58 detik ini berlatar belakang di arena sayembara. Dalam adegan ini terjadi percakapan antara Abah dan Sakti. Hal itu menggambarkan adanya hubungan personal antara keduanya. Dari scene atau adegan yang tersaji dapat dilihat penanda
70
dalam adegan tersebut adalah percakapan antara Abah dengan Sakti. Sedangkan petandanya adalah raut kemarahan Abah pada Sakti, sehingga membuatnya menegur Sakti. Dalam dialog tersebut secara denotasinya menggambarkan Abah yang kesal dengan perbuatan Sakti yang telah membunuh para jawara dari Kadusunan luar yang akan mengikuti sayembara. Scene ini memberikan gambaran ketidaksukaan Abah atas perbuatan seorang jawara yang membunuh seseorang demi suatu ambisi tertentu. Sedangkan makna konotasi yang didapat adalah bahwa sebagai seorang jawara yang memiliki kemampuan fisik dan bela diri, seharusnya digunakan dalam hal kebaikan dan tidak disalahgunakan dalam hal-hal yang negatif . Hal itu terlihat dari dialog Abah “Jawara adalah pelindung bagi yang lemah, jawara bersikap kesatria untuk mencapai tujuannya bukan dengan cara yang licik”. Kemudian mitos yang didapatkan dalam adegan ini adalah karakter jawara telah terkontaminasi atau terpengaruh dengan berbagai aksi premanisme, dimana jawara tidak segan untuk melakukan kekerasan dan pembunuhan untuk mencapai tujuannya. Dimana hal tersebut tidak terlepas dari sejarah berbagai pemberontakan yang melibatkan kaum jawara. Memang dengan kemampuan fisik dan bela diri yang dimiliki oleh seorang jawara tentu rentan dipergunakan untuk hal-hal negatif, oleh karena itu tentu harus diimbagi dengan kontol emosi yang baik jika tidak tentu jalan kekerasan akan dilakukan demi memuluskan atau menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
71
Tabel 4.3 Scene 3 Jalan Setapak
Visual
Dialog / Scene
Type Of Shot
Menit (19:52 – 20:45) Prabu: “Hey lepaskan
Medium Shot,
Gadis itu”
menampilkan Prabu
Begundal: “Oh jadi ieu, jagoan di Kadusunan
yang sedang menunjuk ke arah para begundal
Kidul”
Prabu berusaha
Long shot, menampilkan
menolong seorang gadis
perkelahian antara Prabu
yang akan diculik
dan bedundal yang akan
dengan bertarung
menculik seorang gadis
melawan para begundal
Denotasi
Prabu mencoba untuk menyelamatkan seorang gadis yang akan diculik oleh para begundal
72
Konotasi
Dengan kemampuan fisik seorang jawara memiliki peran untuk menjaga keamanan Kadusunan
Mitos
Jawara seharusnya menjadi penolong bagi wanita sebagai kaum yang lemah
Adegan yang berlatar belakang di sebuah jalan setapak, pada menit 19 menit lewat 52 detik diambil dengan menggunakan teknik medium shot dan long shot . Pada gambar pertama, diperlihatkan penanda berupa percakapan Prabu dengan para Begundal, “Hey lepaskan Gadis itu”. Kemudian petanda dalam gambar pertama tersebut adalah keinginan Prabu untuk menolong seorang Gadis yang akan diculik. Sedangkan pada gambar kedua, ditemukan penanda berupa perkelahian antara Prabu dengan para Begundal dan petandanya adalah Prabu mencoba melindungi Gadis yang lemah dari para Begundal. Dari adegan tersebut, secara denotasi memperlihatkan pertarungan yang dilakukan oleh Prabu dan para begundal. Jika melihat dalam scene ini sosok Prabu sebagai jawara dengan kemampuan bela diri yang dimilikinya tidak segan untuk membantu salah satu warga yang sedang dalam bahaya. Dari hal tersebut makna konotasi yang didapat adalah peran dalam menjaga keamanan Kadusunan oleh jawara dengan berbekal kemampuan fisik dan bela diri yang dimilikinya. Kemudian mitos yang muncul adalah jawara sebagai seseorang yang berbekal kemampuan fisik dan bela diri seharusnya dapat menjadi pelindung bagi wanita sebagai kaum yang lemah.
73
Tabel 4.4 Scene 4 Pendopo Kadusunan Kidul
Visual
Dialog / Scene
Type Of Shot
Menit (31:24 - 32:15) Abah: “Aku titipkan
Medium Shot,
kadusunan ini,
menampilkan
Sepeninggalku bimbing
percakapan antara
semua warga ke jalan
Abah, Prabu, Nyimas
yang benar”
dan para sesepuh Kadusunan
Prabu: “Insya Allah
Long Shot,
Abah”
menampilkan suasana
Abah: “Aku yakin kelak kau akan menjadi seorang pemimpin yang adil. Jaga istri dan calon anakmu dengan baik”
pecakapan Abah, Prabu, Nyimas dan para sesepuh yang sedang duduk di sebuah pendopo
74
Denotasi
Abah memiliki keinginan menjadikan Prabu sebagai pemimpin Kadusunan yang akan datang
Konotasi
Sebagai pemimpin jawara memiliki kemampuan fisik dan supranatural untuk melindungi dan menjaga masyarakat di Kadusunan
Mitos
Jawara merupakan sosok pemimpin berkharismatik
Pengambilan Scene pada menit ke 31 lewat 24 detik hingga menit ke 32 lebih 15 detik, ini berlatarkan sebuah pendopo di Kadusunan Kidul. Scene menggunakan teknik medium shot dan long shot yang memperlihatkan suatu diskusi yang dilakukan oleh Abah, Prabu, Nyimas Ayu dan para sesepuh Kadusunan. Mereka berkumpul untuk membicarakan tentang kondisi Kadusunan saat itu. Dan juga perihal kelanjutan kepemimpinan Kadusunan Kidul dimasa yang akan datang. Dari adegan di gambar pertama penandanya adalah percakapan Abah dengan Prabu, yaitu “Aku titipkan kadusunan ini, Sepeninggalku bimbing semua warga ke jalan yang benar”. Sedangkan petandanya adalah keinginan Abah utuk menjadikan Prabu sebagai pemimpin di Kadusunan Kidul. Kemudian pada gambar kedua penandanya adalah pecakapan Abah kepada Prabu yaitu, “Aku yakin kelak kau akan menjadi seorang pemimpin yang adil”. Sedangkan petandanya adalah keyakinan Abah kepada Prabu sebagai jawara untuk dapat memimpin Kadusunan.
75
Dalam adegan ini, secara denotasi menggambarkan bahwa Abah akan menitipkan Kadusunan kepada Prabu sebagai jawara di Kadusunan tersebut yang kemudian akan memimpin Kadusunan dimasa mendatang. Dalam scene ini memperlihatkan Abah menilai sosok Prabu merupakan orang yang tepat dengan kemampuan fisik dan bela diri untuk dapat menjaga keamanan dan kedamaian Kadusunan. Lalu dalam adegan ini konotasi yang terlihat adalah sosok seorang jawara sebagai pemimpin memiliki kemampuan fisik dan supranatural yang dapat diandalkan untuk melindungi dan menjaga kedamaian para warga di Kadusunan. Lalu makna mitos yang didapat adalah sebagai pemimpin dibutuhkan kharisma dan jawara terpilih menjadi pemimpin karena sosoknya disegani dan berkharisma
berkat
kemampuan
fisik
dan
supranatural
yang
dimilikinya.
Kepemimpinan jawara sebagai elit lokal dalam masyarakat Banten, memiliki ciri khas yang berbeda, yakni kharisma yang dimiliki oleh para jawara. Tanpa kharisma, kepemimpinan yang dimiliki oleh para jawara tidak berbeda jauh dengan modelmodel kepemimpinan lainnya di Indonesia. 74 Biasanya jawara dalam kepemimpinan formal akan menjadi pemimpin masyarkat Desa atau Kadusunan. Dan non formal dapat menjadi guru silat atau debus.
74
Fahmi Irfani. Op.Cit, hal 103
76
Tabel 4.5 Scene 5 Pendopo Kadusunan Kidul
Visual
Dialog / Scene
Type Of Shot
Menit (38:21 - 38:45) Prabu:
Close Up,
“Astagfirullahaladzim,
menampilkan wajah
sebaiknya Abah dan para
cemas Abah setelah
sesepuh pulang ke rumah,
mendengar kabar
sesuatu terjadi pada
Nyimas Ayu dari
Nyimas Ayu ”
Prabu
Abah: “Apa yang terjadi
Close up,
pada Nyimas Ayu?”
menampilkan wajah
Prabu: “Abah pulang saja!, biar aku yang menghentikannya dari sini” Denotasi
Prabu yang berusaha menenangkan Abah dan para sesepuh
Keinginan Prabu menyelamatkan sang isteri yang sedang dalam bahaya seorang diri
77
Konotasi
Jawara menganggap bahwa gangguan terhadap sang isteri merupakan bagian dari suatu pelecehan terhadap harga dirinya
Mitos
Suami merupakan pemimpin dan pelindung bagi sang isteri
Pengambilan scene pada menit 38 lewat 21 detik, berlatar belakang di sebuah pendopo Kadusunan Kidul. Scene ini menggunakan teknik close up. Dalam adegan ini memerlihatkan mimik wajah cemas Prabu setelah mengetahui suatu hal buruk yang terjadi pada Nyimas Ayu. Saat itu Prabu memberitahukan mengenai keadaan sang isteri Nyimas Ayu yang sedang dalam bahaya. Dalam gambar yang pertama penandanya adalah Prabu memberitahukan bahwa terjadi sesuatu kepada Nyimas Ayu. Sedangkan petandanya adalah mimik wajah Prabu yang berubah menjadi cemas. Kemudian pada gambar kedua penandanya adalah percakapan Abah kepada Prabu yaitu, “Apa yang terjadi pada Nyimas Ayu?”. Sedangkan petandanya adalah kekhawatiran Abah dan para sesepuh kepada Nyimas Ayu. Dari adegan tersebut secara denotasi memperlihatkan kecemasan dan kehawatiran Prabu, Abah dan para sesepuh Kadusunan dengan keadaan Nyimas Ayu yang sedang dalam bahaya. Dalam scene ini terlihat keinginan Prabu untuk menolong sang isteri seorang diri. Dari adegan ini, konotasi yang didapat adalah keinginan Prabu untuk melindungi sang isteri seorang diri, hal tersebut didasari karena
78
gangguan terhadap sang isteri dapat diangap sebagai bagian dari pelecehan harga diri yang dilakukan orang lain terhadap dirinya. Terlebih lagi pelecehan terhadap harga diri dapat dipahami sebagai pelecehan terhadap peran dan statusnya di masyarakat. Pelecehan terhadap harga diri diinterpretasikan oleh kalangan jawara sebagai pelecehan terhadap kapasitas dan kapabilitas diri. Batasan tentang pelecehkan harga diri itu memang tidak tegas, karena itu sering dinterpretasikan secara subyektif oleh pelakunya. Sehingga yang menyebabkan kasus pelecehan harga diri itu berbagai macam seperti tuduhan pencurian, gangguan terhadap istri atau pacar, balas dendam atau kekalahan dalam politik Desa .75 Kemudian mitos yang muncul dalam adegan tersebut adalah seorang suami merupakan seorang pemimpin dalam sebuah rumah tangga dan secara langsung memiliki kewajiban untuk melindungi sang isteri. Oleh karena itu jika terjadi pelecehan terhadap sang isteri, maka jawara tidak segan untuk melawan atau melakukan kekerasan.
75
Atu Karomah, “Jawara dan Budaya Kekerasan Pada Masyarakat Banten”, Alqalam Jurnal keagamaan dan Masyarakat, (Vol. 25. No.3 September- Desember 2008), hal. 306.
79
Tabel 4.6 Scene 6 Pendopo Kadusunan Kidul dan sebuah gubuk
Visual
Dialog / Scene
Type Of Shot
Menit (39:28 - 40:25) Sakti sedang
Long Shot,
melakukan ritual untuk memperlihatkan Sakti mengirimkan teluh
yang sedang duduk
pada Nyimas Ayu
dan melakukan ritual
menggunakan
untuk mengirimkan
selendang milik
teluh pada Nyimas
Nyimas Ayu yang
Ayu
telah diambil sebelumnya Prabu sedang
Medium Shot,
berkonsentrasi
memperlihatkan
mengumpulkan
sosok Prabu yang
kekuatan batin yang
sedang duduk bersila
dimilikinya untuk
lalu menutup matanya
melawan teluh yang
dan berkonsentrasi
80
dilakukan Sakti
sambil berzikir untuk
terhadap Nyimas Ayu.
mengumpulkan kekuatannya
Denotasi
Sakti melakukan ritual teluh pada Nyimas Ayu dan kemudian Prabu mencoba untuk menghentikannya
Konotasi
Terdapat dua aliran Jawara dalam ilmu kebatinan yaitu jawara aliran hitam dan putih
Mitos
Jawara aliran hitam merupakan sosok jahat dan jawara aliran putih merupakan sosok religius
Pengambilan scene pada menit 39 lewat 28 detik ini, berlatar belakang di pendopo Kadusunan Kidul dan sebuah gubuk. Scene ini menggunakan teknik long shot dan medium shot. Dalam adegan ini menampilkan sosok Sakti dan Prabu yang sedang berkonsentrasi dalam mengumpulkan kekuatan batin atau supranatural yang dimilikinya. Pada adegan tersebut penandanya adalah Sakti sedang melakukan ritual untuk mengirimkan teluh pada Nyimas Ayu, disisi lain Prabu berusaha mencegahnya. Sedangkan petandanya adalah keduanya terlihat begitu serius dan berkonsentrasi penuh dalam mengumpulkan kekuatan batin yang mereka miliki untuk bisa menang.
81
Dalam scene ini secara denotasi dapat terlihat bahwa Sakti sedang melakukan ritual untuk mengirimkan teluh pada Nyimas Ayu dengan melakukan ritual dengan menggunakan keris, selendang Nyimas Ayu dan air kembang, sedangkan disisi lain Prabu yang mengetahui hal tersebut berusaha menolong Nyimas Ayu dengan melawan kekuatan tersebut dengan membaca bacaan ayat-ayat suci. Kekuatan batin atau supranatural merupakan suatu kekuatan yang harus dipelajari secara khusus dan tidak semua orang bisa menguasinya. Karena terdapat berbagai hal-hal khusus yang harus dilakukan terlebih dahulu untuk dapat menguasainya. Kemudian secara konotasi memperlihatkan bahwa dalam menguasai ilmu kebatinan atau supranatural terdapat dua sisi aliran jawara yang berbeda, yaitu aliran hitam dan putih. Dalam adegan ini Sakti yang melakukan ritual teluh dengan menggunakan selendang Nyimas Ayu kemudian mengirimkan binatang hidup kerumah Nyimas Ayu, seperti ular dan kalajengking, hal tersebut merupakan gambaran dari jawara aliran hitam dan Prabu yang dalam mengumpulkan kekuatan batinnya menggunakan bacaan ayat suci dan memegang tasbih dapat menggambarkan jawara aliran putih. Berdasarkan klasifikasi sumber magis yang diperoleh para jawara. Jawara beraliran ilmu putih adalah mereka yang memiliki kesaktian magis yang berasal dari sumber-sumber agama islam. Dan jawara yang beraliran ilmu hitam adalah mereka yang mempergunakan sumber-sumber kesaktian dari tradisi pra islam. Adapun doa atau mantra yang mereka gunakan sebagai sumber magis dan kesaktian berasal dari kepercayaan animisme dan dinamisme, disebut dengan jangjawokan. Bahasa mantra yang digunakan biasanya berasal dari bahasa Jawa kuno dan sunda kuno yang
82
terkadang sulit untuk dipahami lagi. 76 Lalu makna mitos yang terlihat karakter jawara aliran hitam dipahami sebagai sosok yang jahat karena adanya penggunaan ilmu hitam yang melibatkan bantuan jin. Sedangkan karakter jawara aliran putih dipahami sebagai sosok yang religius karena ketaatannya kepada ajaran-ajaran islam.
Tabel 4.7 Scene 7 Lapangan Terbuka Visual
Dialog / Scene
Type Of Shot
Menit (42:56 – 43:07) Abah: “Prabu kau lah
Medium Shot,
jawara sesungguhnya,
menampilkan sosok
jawara yang
Abah yang sedang
menyebarkan kebaikan
memberikan sebuah
dan mencegah
golok kepada Prabu
kemungkaran” Denotasi
Abah memberikan sebuah golok untuk Prabu dan berpesan untuk menyebarkan kebaikan dan mencegah kemunkaran
76
Fahmi Irfani. Op.Cit, hal 27
83
Konotasi
Jawara merupakan sosok yang telah memiliki bekal pengetahuan keagamaan
Mitos
Golok merupakan lambang kehormatan seorang jawara yang digunakan sebagai alat pertahanan untuk melawan musuh
Pengambilan scene pada menit 42 lebih 56 detik ini, berlatar di lapangan terbuka. Teknik yang digunakan adalah medium shot.. Scene ini ingin menunjukan pertemuan antara Abah, Prabu, Nyimas Ayu dan para warga Kadusunan. Penanda dalam adegan ini adalah perkataan Abah yaitu, “Prabu kau lah jawara sesungguhnya, jawara yang menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran”. Sedangkan petandanya adalah pemberian sebuah golok dari Abah kepada Prabu sebagai suatu tanda semangat perjuangan seorang jawara dalam menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Secara denotasi yang terlihat bahwa Abah sebagai pimpinan Kadusunan memberikan sebuah golok dan berpesan kepada Prabu sebagai jawara di Kadusunan Kidul untuk menyebarkan kebaikan dan mencegah kemunkaran. Pada scene ini mengisyaratkan perjuangan seorang jawara untuk selalu berbuat baik dengan berbekal kemampuan yang telah dimilikinya. Secara konotasi hal ini menggambarkan bahwa sosok jawara merupakan seseorang yang telah memiliki bekal pengetahuan tentang agama terutama perannya menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.
84
Dalam menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran tentu bukanlah perkara yang mudah, karena dibutuhkan suatu niat, tekad dan kesabaran yang kuat dalam mewujudkannya. Kemudian mitos yang muncul adalah golok merupakan sebuah senjata yang digunakan oleh para jawara sebagai alat pertahanan untuk melawan musuh atau orang yang berniat mengancam keselamatan. Dan juga golok dapat dilihat sebagai lambang kehormatan dan derajatnya sebagai jawara. 4.3 Deskripsi Analisis Semiotika Berdasarkan dari deskripsi data yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat dianalisis secara keseluruhan makna denotasi, makna konotasi dan juga mitos yang terdapat pada scene-scene yang telah dipilih untuk merepresentasikan makna jawara dalam film Jawara Kidul sebagai berikut: 4.3.1 Makna Denotasi Makna denotasi yang coba ditonjolkan didalam Film Jawara Kidul ini adalah: 1. Beradu kekuataan antar sesama jawara, dalam film Jawara kidul, sosok seorang jawara digambarkan sebagai seseorang yang memiliki kekuatan fisik atau bela diri, hal ini diperlihatkan melalui diadakannya pertarungan antar sesama jawara untuk mendapatkan cinta Nyimas Ayu. Lalu dengan adanya sayembara seorang jawara dapat mengukur kekuatan bela diri yang dimilikinya.
85
2. Bersikap kesatria dalam mencapai tujuan, digambarkan dalam film scene kedua, bahwa Abah berkata bahwa “Jawara bersikap kesatria untuk mencapai tujuannya. Bukan dengan cara yang licik”. Hal ini mengidikasikan bahwa perbuatan Sakti yang telah membunuh para jawara dari Kadusunan luar sebelum menghadiri sayembara, merupakan hal licik yang tidak pantas dilakukan oleh seorang jawara. 3. Menolong yang lemah, digambarkan bahwa seorang jawara dengan kemampuan fisik yang dimilikinya, dapat diandalkan untuk dapat membantu dan melindungi orang yang lemah. Hal tersebut dapat terlihat dari scene dimana Prabu sedang menolong seorang gadis yang sedang membutuhkan pertolongan, karena akan diculik oleh para begundal. 4. Kepercayaan jawara sebagai pemimpin Kadusunan, dalam dialog yang dilakukan Abah yaitu “Aku yakin kelak kau akan menjadi pemimpin yang adil” hal ini mengisyaratkan karakter seorang jawara merupakan sosok yang sesuai untuk menjadi pemimpin di Kadusunan. 5. Jawara memiliki pengaruh dan kharisma, jawara yang digambarkan sebagai salah satu sosok yang memiliki pengaruh dengan segala kemampuannya memiliki keinginan menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain. 6. Penggunaan ilmu magis atau kebatinan bagi seorang jawara, untuk menjadi seorang jawara dirasa kurang cukup jika hanya mengusasai kemampuan fisik. Dengan adanya kemampuan fisik tentu akan semakin
86
menyempurnakan kekuatan seorang jawara. Hal ini terlihat dalam scene ke-6 yang menunjukan Sakti dan Prabu yang sedang berkonsentrasi mengumpulkan kekuatan supranatural yang dimilikinya masing-masing. 7. Jawara berperan dalam menyebarkan kebaikan, pada scene ke 7 memperlihatkan dialog antara Abah dan Prabu yang menegaskan bahwa jawara juga memiliki peran untuk menyeberkan kebaikan dengan berbekal kemampuan yang dimilikinya. 4.3.2 Makna Konotasi Makna konotasi yang coba ditonjolkan oleh film Jawara Kidul dengan melihat tanda konotasi yang telah dicantumkan pada deskripsi data diatas merupakan penegasan bahwa makna Jawara sebagai berikut: 1. Jawara merupakan petarung yang pantang menyerah, dengan kekuatan fisik yang dimilikinya tentu jawara tidak lepas dari berbagai pertarungan yang akan dihadapinya baik sesama jawara seperti tradisi amprak jawara ataupun melawan musuh. Oleh karena itu Jawara terlatih untuk menjadi seorang petarung yang pantang menyerah. 2. Kemampuan fisik jawara digunakan untuk menolong yang lemah dan bukan untuk berbuat licik, hal ini menegaskan seorang Jawara seharusnya dapat mempergunakan kemampuan fisiknya dengan benar. 3. Jawara bertanggung Jawab menjaga Kadusunan, dengan berbekal kekuatan fisik dan bela diri yang dikuasainya, sosok jawara tentu menjadi
87
tokoh penting untuk dapat berperan menjaga keamanan dan kedamaian di Kadusunan. 4. Peran jawara sebagai pemimpin di Kadusunan, sosok jawara yang berbekal kemampuan fisik atau bela diri dan kharisma sebagai tohoh masyarakat membuat jawara dapat dipercaya untuk menjaga dan membimbing para warga. 5. Jawara tidak segan melawan jika harga dirinya dilecehkan, sebagai seseorang yang memiliki kedudukan dan kharisma tersendiri dalam masyarakat, tentu seorang jawara harus mampu untuk menjaga harga dirinya didepan orang lain. Disamping itu juga Pelecehan terhadap harga diri diinterpretasikan oleh kalangan jawara sebagai pelecehan terhadap kapasitas dan kapabilitas diri 6. Penguasaan ilmu magis atau kebatinan bagi jawara, sebagai jawara menguasai ilmu magis atau kebatinan merupakan salah satu upaya dalam menyempurnakan kekuatan bela diri yang dimilikinya, meski harus melalui proses yang panjang dan tidak mudah untuk dapat menguasainya. Namun dalam proses penguasaannya terdapat dua aliran yang biasa digunakan para jawara yaitu aliran hitam dan putih. 7. Penguasaan ilmu keagaamaan bagi seorang jawara, Dalam konteks ini tentu tidak lepas dari sejarah awal munculnya jawara sebagai salah satu murid kiai, selain belajar ilmu agama Ia juga dilatih untuk dapat memiliki kemampuan dalam bela diri.
88
4.3.3 Makna Mitos Mitos tentang makna jawara yang terdapat dalam film Jawara kidul berkitan dengan bagaimana sosok jawara yang ingin diidentikan dengan aksi premanisme, karena kemampuan fisik dan bela diri yang dimilikinya. Pertarungan antar sesama jawara dipandang sebagai simbol kejantanan seorang pria. Dan juga tidak terlepas dari pandangan bahwa karakter jawara aliran hitam dilihat sebagai sosok yang jahat dan jawara aliran putih sebagai karakter yang religius. Peran jawara sebagai seorang pemimpin berkharismatik, merupakan hal yang dapat terlihat semenjak zaman penjajahan, dimana saat terjadi kekosongan kekuasaan jawara dipercaya untuk menempati posisi tersebut. Disamping itu dalam hal lain, jawara juga ikut terlibat sebagai pimpinan kesenian debus. Pandangan tentang penggunaan ilmu hitam oleh jawara dalam masyarakat dilihat sebagai jawara yang jahat atau tidak taat agama sedangkan jawara dengan ilmu putih dipandang sebagai jawara yang religius. Serta penggunaan senjata golok bukan hanya sebagai bagian dari alat perlindungan saja, namun juga dipandang sebagai lambang kehormatan dan derajatnya sebagai jawara.
89
4.4 Pembahasan 4.4.1 Film Sebagai Sarana Merepresentasikan Makna Jawara Komunikasi massa merupakan suatu penyampaian pesan yang disampaikan kepada khalayak luas melalui suatu media massa. Dalam penyampaiannya komunikasi massa tentu memerlukan suatu media massa. Media massa merupakan penyalur pesan yang efektif bagi komunikator unuk dapat menjangkau khalayak banyak dengan cepat. Media massa saat ini tidak dapat dipungkiri telah berkembang dengan pesat, baik dengan adanya surat kabar, siaran radio dan televisi, bahkan hingga film, yang dapat menampilkan potret realitas kehidupan disekitar kita. Film sebagai salah satu bagian dari komunikasi massa dapat menjadi sebuah saluran bagi berbagai macam, ide, gagasan, konsep dan informasi yang akan disampaikan kepada khalayak luas, karena film dapat mempengaruhi pikiran penonton yang melihatnya. Di dalam film, biasanya para pembuatnya menuangkan gagasannya tersebut melalui tampilan audio visual yang ditampilkan disertai dengan alur, setting dan penokohan yang terdapat didalamnya. Selain itu film juga dapat mengaktualisasikan perkembangan masyarakat dari masa ke masa dengan teknologi maupun tema yang diangkatnya. Dalam film Jawara Kidul ini digunakan teknik-teknik pengambilan gambar yang juga dapat mempengaruhi cara pandang penonton. Diantaranya dalam beberapa adegan yang diambil sebagai adegan yang merepresentasikan makna sosok jawara,
90
yang sering ditemui dengan cara pengambilan gambar dengan teknik close up dan medium shot. Close up dapat dimaknai sebagai suatu hubungan yang intim dari seseorang, baik saat seorang tokoh sedang berdialog dengan lawan main ataupun saat seorang tokoh itu saat sedang merenung sendirian. Sedangkan dalam teknik medium shot dapat bermakna hubungan personal yang hendak diperlihatkan di dalam film. Dengan adanya penggunaan teknik-teknik pengambilan gambar
ini dapat
mempengaruhi cara pandang dan pemaknaan tersendiri bagi para penontonnya. Film dapat digunakan sebagai media massa yang menyajikan konstruksi realitas kehidupan manusia. Film Jawara Kidul yang diangkat sebagai objek penelitian dapat mewakili fungsi komunikasi massa. Sebagai media informasi, film dapat menjadi media yang menarik dan banyak dipilih oleh banyak orang. Penyampaian informasi dalam sebuah film dapat ditangkap dengan baik oleh masyarakat, karena saat ini cukup banyak film yang diangkat berdasarkan kisah nyata. Dari film juga, penonton dapat menangkap dan meniru segala yang ditampilkannya. Film sendiri telah cukup banyak mempengaruhi khalayak luas. Diantaranya film mampu mempengaruhi pandangan seseorang terhadap sesuatu. Setelah menonton film Jawara Kidul, diharapkan penonton dapat menangkap pesan makna sosok jawara yang terdapat didalamnya. Dari sebuah film ini, diharapkan mampu mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai seorang jawara. Jika dilihat dari fungsi mempengaruhi, film Jawara Kidul menyajikan cerita sosok seorang jawara yang kuat dan bertanggung jawab dalam menjaga keamanan
91
dan kedamaian Kadusunan. Dalam film ini tokoh jawara tersebut digambarkan sebagai seorang yang pemberani untuk menjaga Kadusunan, orang yang lemah dan juga harga dirinya. Sikap yang disajikan oleh tokoh pemeran utama tersebut diharapkan dapat memberikan pandangan tersendiri tentang sosok seorang jawara. Dari sisi peneliti, film Jawara Kidul ini mampu mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap sosok jawara. Ditandai dengan beberapa adegan yang menampilkan tentang karakter sosok jawara dalam film ini. Adegan yang ditampilkan mampu membuat penonton mengetahui bagaimana makna sesungguhnya seorang jawara. Dalam film Jawara Kiduul ini juga terdapat fungsi dari media massa lainnya, yaitu fungsi menginformasikan (inform) memberikan informasi bahwa menjadi seorang jawara tidaklah mudah karena terdapat nilai-nilai luhur yang harus tetap dipegang sebagai seorang jawara. Adegan film Jawara kidul secara tidak langsung dapat mengantarkan pesan yang mempengaruhi dan menginformasikan tentang bagaimana sosok seorang Jawara sesungguhnya. Melalui film, khalayak dapat menangkap pesan yang terlihat maupun yang tersirat, tentu saja hal ini dapat diinterpretasikan oleh khalayak sesuai dengan latar belakang sosial budaya yang dimilikinya. Dengan demikian munculah efek yang beragam dari penayangan suatu film. Dan hal itu dapat mengarahkan pandangan masyarakat
terhadap
suatu
hal tertentu.
Representasi
merekonstruksi dan
menampilkan fakta sebuah objek sehingga eksplorasi sebuah makna dapat dilakukan dengan maksimal. Jika dikaitkan dengan karya film, representasi dalam sebuah karya
92
seni film merupakan penggambaran terhadap suatu fenomena sosial. Penggambaran ini tentu saja melalui sang pencipta film. Representasi dalam karya seni film muncul sehubungan dengan adanya pandangan dan keyakinan bahwa karya film merupakan cermin, gambaran atau suatu tiruan atas sebuah kenyataan. Merujuk pada apa yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa sebuah representasi berarti sebuah cermin atau gambaran sebuah peristiwa nyata atau yang sebenarnya. Proses representasi dalam film tidak semata-mata meniru kenyataan tetapi melibatkan renungan yang cukup kompleks atas kenyataan alam. Dalam proses penciptaan sebuah karya film, pembuat film berhadapan dengan suatu kenyataan atau realitas yang ditemukannya dalam suatu masyarakat (realitas objektif). Realitas objektif ini dapat berbentuk peristiwa-peristiwa atau norma-norma, pandangan hidup, dan lain-lain. Representasi yang digunakan dalam mengkaji film ini sangat erat kaitannya dengan fungsi film sebagai salah satu sarana untuk merepresentasikan suatu informasi atau realitas dalam suatu masyarakat. Sang sutradara membuat film ini berhadapan dengan suatu kenyataan yang ditemukannya dalam suatu masyarakat (realitas objektif), berupa fenomena stigma negatif seorang jawara, dalam realitas itu Ia menemukan peristiwa-peristiwa yang kemudian dikaitkan dengan pandangan hidup seorang jawara. Ia mencoba mengutarakan sesuatu terhadap tragedi itu dan ia ingin berpesan melalui film kepada orang lain, fakta-fakta yang faktual dirubah menjai fakta imajinatif, yaitu segala peristiwa mengenai bagaimana seorang jawara bertindak dan berperilaku berusaha
93
dihadirkan dengan adanya bantuan tema, alur cerita, setting tempat dan penokohan yang buatnya. Dan akhirnya, semua pesan yang ingin Ia sampaikan dan representasikan, telah terwujud dan terdapat dalam sebuah karya seni film yang berjudul Jawara Kidul. Meskipun demikian film ini juga tidak lepas dari kekurangan didalamnya, hal tersebut dapat dilihat dari penggambaran sosok jawara melalui kostum dan tema lagu yang dipakai. Dalam film ini yang ingin mengangkat setting awal abad 19 terlihat kurang sesuai, karena kostum yang digunakan masih terlihat unsur kontemporer didalamnya. Selain itu dari segi narasi dan soundtrack yang digunakan masih terlihat terlalu menonjolkan nuansa romantis yang cukup kuat terlihat dari adanya adegan romantis yang disipkan dibeberapa adegan. Hal tersebut tentu akan mengurangi esensi penting tema yang ingin diangkat atau disampaikan pada para penontonnya. Oleh karena itu sebaiknya dalam penentuan kostum benar-benar harus disesuaikan dengan setting waktu tema film yang akan dibuat. Lalu jika dalam hal narasi ingin mengangkat tema tentang kedaerahaan, lebih baik untuk mengadaptasi cerita rakyat atau folklore yang ada atau beredar di masyarakat setempat. Hal tersebut tentu akan semakin meningkatkan esensi pemahaman masyarakat. Disamping itu pula narasi yang diadaptasi dari cerita rakyat tentu akan meningkatkan hasrat masyarakat untuk menonton, terlebih jika cerita rakyat yang diangkat bukan hanya dikenal di masyarakat setempat tetapi hingga luar daerah. Hal tersebut akan lebih menarik lebih banyak penonton.
94
4.4.2 Perlawanan Stigma Negatif Jawara Melalui Film Dalam pandangan masyarakat Banten, sosok jawara merupakan seorang pimpinan tradisional masyarakat pedesaaan. Jawara merupakan seseorang yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyi ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan). Dengan kemampuannya tersebut sosok jawara dapat membangkitkan rasa hormat dan takut serta kagum bagi orang yang melihatnya. Biasanya peranan sebagai seorang jawara adalah menjadi Jaro (lurah), guru silat dan ilmu magis atau supranatural. Jawara sendiri menciptakan suatu kultur yang agak berbeda dengan kultur dominan masyarakat Banten, sehingga jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok, tetapi juga telah menjadi suatu kelompok yang memiliki nilai, norma dan pandangan hidup yang khas. Inilah yang disebut sebagai subkultur komunitas jawara banten, yang membedakannya dari komunitas lokal daerah lainnya. Karakter yang dimiliki oleh jawara merupakan hasil suatu rekonstruksi kultur budaya yang ditanamkan melalui interaksi sosial antar budaya. Dalam proses interaksi tersebut terjadi penanaman dan pewarisan nilai-nilai kultur tradisi budaya kejawaraan. Untuk menjadi seorang jawara yang berkharisma dan disegani dibutuhkan proses panjang dan berat, baik dari segi fisik dan mental. Maka tidak heran jika seorang jawara tidak hanya cakap secara fisik, melainkan secara rohaniah spiritual batin telah siap. Seorang jawara biasanya memiliki kemampuan silat dan ilmu kebatinan yang diatas rata-rata. Maksudnya memiliki kemampuan dalam
95
memanipulasi kekuatan supranatural untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, seperti kebal senjata tajam, mengusir jin dan mengobati penyakit. Untuk menggambarkan sosok jawara, film Jawara Kidul sebagai film layar lebar bergenre aksi drama, mencoba menceritakan tentang kehidupan seorang jawara di sebuah Kadusunan dengan berlatar belakang kehidupan masyarakat tradisional Banten. Dimana sosok jawara tersebut berusaha untuk menjaga keamanan dan kedamaian sebuah Kadusunan. Dalam film ini terdapat berbagai simbol-simbol tentang sosok seorang jawara seperti berpakaian seperti pendekar, memakai ikat kepala dan menggunakan senjata berupa golok. Dari beberapa scene menampilkan sosok jawara yang menunjukan kemampuan bela diri silatnya dan kemampuan ilmu magis atau supranatural yang dimilikinya. Selain itu dalam dialog-dialognya mengambarkan bagaimana sosok tokoh utama Prabu yang menjadi jawara memiliki sifat kesatria dan religius. Dalam film ini juga diceritakan tentang adanya dua tokoh yaitu Prabu dan Sakti, yang memiliki sifat yang saling bertolak belakang. Hal ini menjadi suatu gambaran adanya perbedaan persepsi masyarakat terhadap sosok seorang jawara. Gambaran mengenai sosok jawara yang sesungguhnya diperlihatkan dalam setiap scene yang ada. Dari setiap scene terlihat adanya simbol-simbol bagaimana sosok jawara direpresentasikan dalam salah satu tokoh yang meggiring presepsi masyarakat mengenai sosok jawara yang sesungguhnya.
96
Sebagai masyarakat Banten munculnya sosok jawara sebagai suatu elit lokal Banten, harusnya dipandang sebagai suatu hasil alkulturasi budaya lokal dengan pengaruh keagamaan. Sosok jawara sendiri memang sudah ada sejak masa kolonial dan berkembang hingga saat ini. Eksistensi para jawara tak luput dari peranan kiai dan dunia pesantren, melalui pesantren-pesantren di Banten inilah kemudian muncul dan berkembangnya jawara Banten. Peran-peran tradisional jawara dalam masyarakat Banten berlangsung turun naik. Dimana pada waktu situasi sosial kurang stabil, peran jawara biasanya berperan sangat penting, namun pada saat masyarakat dalam keadaan damai mereka kurang diperlukan. Perbedaan pandangan terhadap sosok jawara mulai muncul, disaat golongan jawara yang mulai menunjukan berprilaku sompral (gaya bahasa yang kasar), sombong, dan kurang taat beragama, memunculkan pandangan antipati masyarakat terhadap sosok jawara. Untuk itu diperlukan adanya pemahaman yang mendalam mengenai sepak terjang jawara itu sesungguhnya dari masa ke masa. Melalui film Jawara Kidul tentunya masyarakat dapat lebih melihat sosok jawara dari sisi yang berbeda dan lebih mengenal bagaimana makna seorang jawara yang direpresentasikan dalam film ini. Karena pada beberapa adegan yang ditampilkan dalam film ini dapat merepresentasikan karakter seorang jawara. Sehingga dengan kemunculan film ini, masyarakat yang telah menontonnya dapat mengambil pesan yang ingin disampaikan sang pembuat film, mengenai makna sosok jawara. Melalui film sebagai media massa penyebarannya pesan tersebut,
97
membuat pesan dapat lebih cepat dan luas tersebar kepada khalayak ramai, dan efek dari media massa ini bukan saja dapat menambah informasi atau pengetahuan mengenai sosok jawara, namun juga dapat mempengaruhi pandangan masyarakat yang sebelumnya, terhadap sosok seorang jawara.
98
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Film Jawara Kidul merupakan film layar lebar yang diproduksi oleh Kremov Pictures dengan genre aksi drama, menceritakan tentang kehidupan Jawara dengan berlatar belakang masyarakat tradisional Banten. Dimana sosok Jawara menjadi seorang tokoh masyarakat di sebuah Kadusunan. Setelah dilakukan kajian pustaka dan analisis data tentang film Jawara Kidul, dalam film ini ditemukan tanda yang dapat merepresentasikan makna sosok jawara. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis menarik kesimpulan yaitu: 1. Secara Denotasi, makna jawara yang direpresentasikan dalam film jawara Kidul ini memperlihatkan sosok jawara sebagai seorang pendekar yang cukup berpengaruh dalam berperan menjaga Kadusunan dan melindungi yang lemah. Sosok jawara dalam film ini digambarkan dengan sikap positif yang tujuannya untuk mempengaruhi penonton dalam menilai bagaimana sosok jawara sesungguhnya. 2. Secara konotasi sosok jawara dalam film Jawara Kidul ini digambarkan sebagai sosok yang memiliki karakter petarung berbekal kekuatan fisik
98
99
dan ilmu supranatural yang dimilikinya serta memiliki memiliki dasar pengetahuan tentang agama Islam. 3. Mitos dalam Film Jawara Kidul dibangun dengan membuat perspektif berdasarkan sosok jawara yang tergambar di tengah-tengah masyarakat saat ini antara lain, sosok jawara yang identik dengan aksi premanisme , selanjutnya penggambaran sosok jawara dengan karakter jahat dan religius, juga penggunaan golok bagi jawara sebagai lambang derajat dan kehormatan. 5.2 Saran Dengan hasil penelitian seperti ini, ada beberapa saran yang ingin disampaikan oleh penulis, diantaranya sebagai berikut: 1. Saran Akademis Bagi Mahasiswa Ilmu Komunikasi, diharapkan penelitian ini dapat menambah referensi tentang studi semiotika, karena studi ini efektif dalam mengkaji tanda, makna, dan pesan sesuai bidang ilmu komunikasi. Sehingga diharapkan dapat kedepannya memiliki pengetahuan tentang teknik analisis semiotika yang baik, yang dapat diaplikasikan dalam tugas perkuliahan ataupun tugas akhir.
100
2. Saran Praktis Bagi khalayak khususnya masyarakat Banten yang belum menonton film ini diharapkan dapat lebih cermat dalam memahami pesan-pesan yang disampaikan dalam film ini. Sehingga dapat melihat sisi lain dari seorang jawara Banten yang belum diketahui sebelumnya, terlebih dapat memahami secara mendalam mengenai sosok dan karakter seorang jawara. 3. Saran Sosial Sebagai masyarakat diharapkan dapat lebih kritis dan selektif terhadap berbagai tayangan hiburan, serta mampu memahami berbagai pesan-pesan yang terkandung dalam sebuah film. Selain itu diharapakan juga dapat memilah dan menilai film yang layak ditonton atau tidak.
101
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Alamsyah, Andi Rahman. (2010). Islam, Jawara dan Demokrasi, Geliat Politik Banten Pasca- Orde Baru. Jakarta: Dian Rakyat. Al-Barry, M. Dahlan. (1994). Kamus Modern Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Arkola. Ali, Muhammad. (2003) Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Amani. Alwasilah, Chaedar. (2002). Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya. Baker, Chris. (2000). Cultural Studies Theory and Practice. London: Sage Publication. Berger, Artur Asa. (1999). Media Analysis Techniques. Yogyakarta: Andi Offset. Bordwell, David & Thompson, Kristin. (1993). Film and Art: An Introduction. New York: Graw Hill. Danesi, Marcel. (2010) Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra.
102
(2010). Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. Elvinaro, Ardianto, Komala. (2004). Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Fiske, John. (2007). Cultural and Communication Studies. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra. Giles, Judy & Timothy Middleton. (1999). Studying Culture: A Practical Introduction. Oxford: Wiley-Blackwell. Hall, Stuart. (2003). The Work of Representation”. Representation: Cultural Representation and signifying Practices. London: Sage Publication. Hartley, John. (2010). Communication, Cultural, and Media Studies: Konsep Kunci. Yogyakarta: Jalasutra. Hidayat, Dedy N. (2003). Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik Klasik. Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia. Irfani, Fahmi. (2011). Jawara Banten Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya. Jakarta: YPM Press (Young Progressive Muslim). Krisyantono, Rachmat. (2006). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
103
Lubis, Nina. (2003). Banten Dalam Pengumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta: Pustaka LP3ES. Lull, James. (1998). Media Komunikasi, kebudayaan, Suatu Pendekatan Global. Terjemahan oleh A. Setiawan Abadi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Moleong, Lexy. (2006). Metode Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyana, Rohmat. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Nurudin. (2011). Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: Rajawali Pers. Parttanto, Pius A & M Dahlan. (2001). Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: ARKOLA. Rakhmat, Jalalludin. (2005). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Ruslan, Rosady. (2003). Metodologi Penelitian Publik Relation dan Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Seto, Indiawan. W. (2011). Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media. Sobur, Alex. (2006). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
104
(2001). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sugiyono. (2007). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. (2009). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Turner. (2008). Introducing Communication Theory: Analysis and Application. Jakarta: Salemba Humanika. Uchyana, Onong. (2004). Dinamika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
SKRIPSI Ahmad Abrori, Perilaku Politik Jawara Banten Dalam Proses Politik di Banten (Depok: Tesis FISIP Universitas Indonesia, 2003).
Saefudin. Jawara banten (Studi Kepemimpinan Tradisional di Desa Tegal Sari, Kec. Walantaka, Kab Serang). Yogyakarta, 2009.
105
Tihami “Kiai dan Jawara di Banten” (Tesis Master, Universitas Indonesia, Jakarta, 1992).
WEB
http://www.kremovpictures.com/2015/02/jawara-kidul-produksi-terbarukremov.html diakses tanggal 18 februari 2016 pukul 14:20 WIB. http://www.bantenraya.com/utama/14464-film-jawara-kidul-meluruskan-artijawara-sebenarnya diakses tanggal 8 agustus 2016 pukul 13: 45 WIB. http://www.beritacilegon.co.id/kota-cilegon/film-jawara-kidul-garapan-kremovpicture-tayang-di-bioskop-cilegon-22-dan-26-september diakses tanggal 10 Agustus 2016 pukul 15:10 WIB. https://www.kabar6.com/banten/pandeglang/16041-film-jawara-kidul-bakaldiputar-di-festival-tanjung-lesung-2015 diakses pada tangga 12 Agustus 2016 pukul10:25 WIB. http://www.tangeranghits.com/persona/41597/darwin-mahesa-merubah-stigmajawara-lewat-syiar-layar-kaca diakses pada tanggal 20 Agustus 2015 pukul 14:44 WIB.
106
LAMPIRAN
http://www.bantenraya.com/utama/14464-film-jawara-kidul-meluruskan-arti-jawarasebenarnya
107
https://www.kabar6.com/banten/pandeglang/16041-film-jawara-kidul-bakal-diputar-difestival-tanjung-lesung-2015
108
http://www.beritacilegon.co.id/kota-cilegon/film-jawara-kidul-garapan-kremov-picturetayang-di-bioskop-cilegon-22-dan-26-september
109
http://www.tangeranghits.com/persona/41597/darwin-mahesa-merubah-stigma-jawaralewat-syiar-layar-kaca
110
111
112
113
Curriculum Vitae
DATA PRIBADI Nama
: Arya Dwi Cahyo
Tempat, Tanggal Lahir
: Serang, 14 April 1994
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Umur
: 22 Tahun
Tinggi, Berat Badan
: 170 cm, 58 kg
Agama
: Islam
Alamat
: Perum. Pondok Cilegon Indah, Blok B 39 No. 11, Kec. Cibeber, Kota.Cilegon, Banten
Status
: Belum Menikah
Telepon
: 085779550414
Email
:
[email protected]
PENDIDIKAN Formal 2012-2016
: S1 Ilmu Komunikasi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2009-2012
: SMKN 1 Kota Cilegon
2006-2009
: SMPN 5 Cilegon
2000-2006
: SDN 1 Cilegon
PENGALAMAN KERJA Nov 2010 – Des 2010 : Departemen Informasi Officer Magang | PT. KHI Pipe Industries Okt 2015 - Des 2015 : Public Relations Magang | PT. Anugrah Cipta Karyatama