DAYA SAING JASA PENERBANGAN NASIONAL DAN FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERMINTAANNYA DALAM MENGHADAPI OPEN SKY POLICY AEC 2015
AZMAL GUSRI BERLIANSYAH
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Daya Saing Jasa Penerbangan Nasional dan Faktor yang Memengaruhi Permintaannya dalam Menghadapi Open Sky Policy AEC 2015 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2014 Azmal Gusri Berliansyah NIM H14100029
ABSTRAK AZMAL GUSRI BERLIANSYAH. Daya Saing Jasa Penerbangan Nasional dan Faktor yang Memengaruhi Permintaannya dalam Menghadapi Open Sky Policy AEC 2015. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI Industri jasa penerbangan merupakan salah satu industri utama Indonesia yang bergerak di bidang jasa dan memiliki potensi yang sangat besar. Namun, dengan adanya kebijakan open sky policy sebagai bagian dari Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 akan memberikan tantangan baru bagi industri jasa penerbangan nasional. Pelaku usaha industri jasa penerbangan nasional harus siap bersaing dengan pelaku usaha dari berbagai negara ASEAN dalam memperoleh pasar. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keunggulan komparatif jasa penerbangan nasional di pasar internasional, keunggulan kompetitif industri jasa penerbangan nasional, dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi permintaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa industri jasa penerbangan nasional memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Faktorfaktor yang memengaruhi permintaan jasa penerbangan adalah produk domestik bruto, populasi, harga avtur, dan armada yang berpengaruh positif secara signifikan, sedangkan konsumsi rumah tangga berpengaruh negatif secara signifikan terhadap permintaan jasa penerbangan nasional. Kata kunci: Daya Saing, Jasa Penerbangan, Keunggulan Komparatif, Keunggulan Kompetitif, Permintaan,
ABSTRACT AZMAL GUSRI BERLIANSYAH. The Competitiveness of Indonesia’s Air Travel Service and the Determinants of Demand Facing Open Sky Policy AEC 2015. Supervised by RINA OKTAVIANI Air travel industry is one of main service industries in Indonesia and has a great potential. The Open Sky Policy as a part of ASEAN Economic Community 2015 will give other challenges for the Indonesian’s air travel industry. Every player of the Indonesia’s air travel industry has to be ready to compete with air travel industry’s players from other ASEAN countries to get market share. This research is aimed to analyze the comparative advantage of Indonesian air travel industry in international market, the competitive advantage of Indonesian air travel industry, and analyze determinants of the air travel demand in Indonesia. The results show that Indonesia’s air travel industry has comparative advantage and competitive advantage. The determinants of air travel demand are GDP, population, avtur price, and aircraft with positive and significant effects, and household consumption with negative and siginificant effect. Keywords: Air Travel Service, Competitiveness, Comparative Advantage, Competitive Advantage, Demand,
DAYA SAING JASA PENERBANGAN NASIONAL DAN FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERMINTAANNYA DALAM MENGHADAPI OPEN SKY POLICY AEC 2015
AZMAL GUSRI BERLIANSYAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah Asean Economic Community 2015, dengan judul Daya Saing Jasa Penerbangan Nasional dan Faktor yang Memengaruhi Permintaannya dalam Menghadapi Open Sky Policy AEC 2015. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan, saran, semangat, dan dukungan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, terutama kepada: 1. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Ulta Dusri dan Ibuk Gusneti beserta seluruh keluarga besar penulis atas doa, motivasi, dan dukungan baik morol maupun materil bagi penulis dalam menyelesaikan skrpsi ini. 2. Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan secara teknis maupun teoritis dalam penyusunan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 3. Dr Ir Wiwiek Rindayati, M.Si. dan Dr Eka Puspitawati, S.P M.Si. selaku penguji ujian skripsi. 4. Para dosen, staff, dan seluruh civitas akademi Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB yang telah memberikan ilmu selama penulis menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi. 5. Sahabat-sahabat penulis Agus Harianto, Irvan Afikri, Eko Harsono, M. Wahyu, dan Jaka Rahmadan atas dukungan, semangat, dan motivasinya. 6. Teman-teman satu bimbingan Nicco Andrian, Ramdhani Budiman, M. Dwiki, Silvia Sari, Febrina, dan Faqih atas kerjasama, motivasi, dan semangat selama ini. 7. Teman-teman Ilmu Ekonomi 47 atas kebersamaan dan keceriaan selama di IE. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis berharap semoga segala kekurangan yang ada pada skripsi ini dapat dijadikan bahan pembelajaran untuk penelitian yang lebih baik di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Bogor, Juni 2014 Azmal Gusri Berliansyah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Teori Daya Saing Teori Keunggulan Komparatif Teori Keunggulan Kompetitif Teori Permintaan Masyarakat Ekonomi ASEAN Kebijakan Langit Terbuka Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran Hipotesis METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Analisis RCA Analisis Porter’s Diamond Analisis Regresi Linier Berganda GAMBARAN UMUM HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Daya Saing (Keunggulan Komparatif) Hasil Analisis Daya Saing (Keunggulan Kompetitif) Hasil Analisis Regresi Linier Berganda KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
viii viii viii 1 1 3 6 6 6 6 6 7 8 10 10 13 13 14 16 16 16 17 19 20 25 32 32 36 51 55 55 55
DAFTAR PUSTAKA
56
LAMPIRAN
59
RIWAYAT HIDUP
65
DAFTAR TABEL 1. PDB negara anggota ASEAN 2. Sumbangan industri jasa penerbangan terhadap PDB Indonesia 3. Pertumbuhan rata-rata penerbangan berjadwal domestik 4. Sektor prioritas integrasi 5. Jenis data dan sumber data 6. Statistik finansial maskapai besar ASEAN tahun 2012 7. Bandara utama ASEAN 8. Hasil perhitungan RCA dan Indeks RCA 9. Jumlah tenaga kerja berlisensi angkutan udara 10. Jumlah armada menurut Air Operator Certificate (AOC) tahun 2012 11. Jumlah armada yang dimiliki oleh maskapai besar Indonesia 12. Jumlah kepemilikan armada maskapai besar Asia Tenggara 13. Bandara utama nasional Indonesia 14. Aset Garuda Indonesia 15. Jumlah permintaan jasa angkutan udara berjadwal domestik 16. Jumlah permintaan jasa angkutan udara berjadwal luar negeri 17. Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi permintaan industri jasa penerbangan
1 4 5 13 17 30 31 32 37 39 39 40 41 42 43 44 51
DAFTAR GAMBAR 1. Permintaan jasa penerbangan ASEAN 2. Pertumbuhan PDB Indonesia 3. Kerangka pemikiran penelitian 4. Porter’s Diamond Theory 5. Perkembangan rute penerbangan nasional 6. Permintaan jasa penerbangan nasional 7. Pertumbuhan ekspor jasa penerbangan Indonesia 8. Permintaan jasa penerbangan negara-negara ASEAN 9. Permintaan jasa penerbangan ASEAN 2008 dan 2012 10. Pergerakkan pesawat berpenumpang di ASEAN tahun 2008 dan 2012 11. Jumlah maskapai negara-negara ASEAN tahun 1998 dan 2012 12. Pangsa pasar angkutan udara penerbangan domestik 13. Pangsa pasar angkutan udara penerbangan internasional 14. Ringkasan analisis faktor-faktor yang memengaruhi daya saing industri jasa penerbangan dengan pendekatan Porter’s Diamond
2 4 15 20 26 27 27 28 29 29 30 45 46 50
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4.
Perhitungan RCA Perhitungan indeks RCA Data nominal periode 1981-2012 Data nominal periode 1981-2012 (dalam bentuk logaritma natural)
60 60 61 62
5. 6. 7. 8. 9.
Hasil estimasi dengan model Ordinary Least Square Uji Autokorelasi Uji Heteroskedastisitas Correlation Matrix Uji Normalitas
63 63 64 64 64
PENDAHULUAN Latar Belakang Semenjak terbentuknya ASEAN (Association Southeast Asian Nation) pada tahun 1967, perkembangan perekonomian negara-negara anggota ASEAN mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Hal ini tidak lepas dari amanat deklarasi Bangkok sebagai basis ASEAN yang mengutamakan kerja sama ekonomi sebagai pilar utama kerja sama regional ini. Salah satu tujuan utama ASEAN adalah meningkatkan perekonomian negara-negara anggota. Sejauh ini ASEAN cukup berperan dalam meningkatkan perekonomian negara-negara anggota. Hal ini terlihat dari peningkatan GDP negara anggota dari tahun ke tahun seperti yang terlihat pada Tabel 1. Meski pernah terguncang oleh krisis 1998 dan 2008, perekonomian negara anggota ASEAN tetap mampu bangkit dan berkembang. Tabel 1 PDB negara anggota ASEAN (ribu dollar Amerika) Negara Brunei Cambodia Indonesia Lao PDR Malaysia Myanmar Philippines Singapore Thailand Viet Nam ASEAN
2008 14482.9 11073.4 513032.3 5285.3 223188.1 25435.2 173427.2 193535.4 272946.4 90515.1 1522921.4
2009 10812.1 10353.7 546527.0 5585.0 193180.0 31830.8 168643.9 183798.9 264036.2 97078.3 1511845.8
2010 12401.9 11229.3 708903.6 6852.5 247328.2 42228.1 200192.5 227754.8 319277.7 106530.9 1882699.6
2011 16359.6 12775.0 846821.3 8163.3 287922.8 52841.5 224337.4 259858.4 345810.8 123266.9 2178156.8
Sumber : Sekretariat ASEAN (2012)
Hubungan regional ASEAN semakin meningkat dengan adanya ASEAN Vision 2020, yang telah direncanakan oleh pemimpin-pemimpin negara ASEAN pada ulang tahun ASEAN yang ke-30 pada tahun 1997 tentang akan dibentuknya suatu visi bersama ASEAN untuk masa depan, kehidupan yang damai, stabilitas dan kemakmuran, terikat bersama dalam hubungan kerja sama pembangunan dinamis, dan dalam kepedulian antar sesama anggota. Pada tahun 2003, pemimpin-pemimpin negara ASEAN memutuskan untuk membentuk ASEAN Community. Pada tahun 2007, disepakati bahwa ASEAN Community 2020 dipercepat ke tahun 2015 sehingga ditandatanganinya Deklarasi Cebu Percepatan Pembentukan ASEAN Community 2015. ASEAN Community 2015 berisi 3 pilar penting yakni ASEAN Political-Security, ASEAN Economic Community dan ASEAN Socio-Cultural Community. ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan tujuan akhir dari integrasi ekonomi regional pada tahun 2015. ASEAN Economic Community telah mempertimbangkan karakteristik-karakteristik kunci seperti; pasar tunggal dan basis produksi, kawasan dengan daya saing ekonomi
2 yang tinggi, kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata, dan kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global. Tujuan utama ASEAN Economic Community 2015 adalah terbentuknya pasar tunggal dan berbasis produksi. Untuk mewujudkan tujuan ini, seluruh negara anggota ASEAN harus melakukan liberalisasi dalam beberapa elemen. Elemen-elemen yang terkandung dalam liberalisasi tersebut adalah terciptanya arus bebas barang, arus bebas investasi, arus modal yang lebih bebas, arus bebas tenaga kerja terampil, sektor prioritas integrasi dan arus bebas jasa. Arus bebas jasa merupakan salah satu elemen penting dalam pembentukan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi. Liberalisasi jasa bertujuan untuk menghilangkan hambatan penyediaan jasa di antara negara-negara ASEAN yang dilakukan melalui mekanisme yang diatur dalam ASEAN Framework Agreement on Service (AFAS). Dalam ASEAN Framework Agreement on Service terdapat beberapa isi perjanjian mengenai liberalisasi jasa transpotasi udara atau disebut dengan istilah Open Sky Policy. Open Sky bertujuan untuk meningkatkan persaingan dalam industri penerbangan sipil, lebih tepatnya industri jasa maskapai penerbangan antar negara ASEAN. Isi perjanjian ini adalah memberikan keleluasaan bagi seluruh penyedia jasa penerbangan yang ada di ASEAN untuk bersaing secara sehat di seluruh rute penerbangan ASEAN. 250000
Jumlah Permintaan (000 orang)
200000 150000 100000 50000 0
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
105867
120180
120775
138042
147680
175790
198358
Internasional 108426
120340
121106
121695
139785
156138
175235
Domestik
Sumber: ASEAN-Japan Transport Partnership Information Center (2012)
Gambar 1 Permintaan jasa penerbangan ASEAN Industri jasa penerbangan merupakan salah satu sektor yang mengalami pertumbuhan di kawasan ASEAN. Berdasarkan Gambar 1 di atas, dalam beberapa tahun terakhir permintaan masyarakat terhadap jasa penerbangan mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2006 permintaan jasa angkutan udara domestik mencapai 105 867 000 orang dan internasional 108 426 000 orang. Jumlah tersebut semakin mengalami pertumbuhan hingga pada tahun 2012 permintaan domestik mencapai 198 358 000 orang dan internasional 175 235 000 orang. Berdasarkan data ASEAN-Japan Transport Partnership Information Center (2012), setiap negara anggota ASEAN memiliki pola permintaan tersendiri.
3 Singapura, Thailand, dan Kamboja memiliki permintaan jasa penerbangan internasional lebih tinggi daripada permintaan domestiknya. Sedangkan Indonesia, Filipina, dan Malaysia memiliki permintaan domestik yang lebih tinggi daripada permintaan internasional. Perbedaan pola ini disebabkan oleh luas wilayah dan jumlah populasi. Kebijakan open sky akan menciptakan persaingan antara seluruh maskapai penerbangan yang ada di ASEAN. Oleh karena itu, akan tercipta peningkatan pelayanan maskapai penerbangan yang akan dirasakan oleh masyarakat sebagai konsumen. Untuk meningkatkan daya saingnya di kawasan ASEAN dan regional, maka industri penerbangan Indonesia perlu mengambil berbagai langkah besar, mulai dari kualifikasi SDM yang profesional, standar keamanan penerbangan dan kualitas pelayanan yang baik. Industri penerbangan juga membutuhkan manajemen profesional mengacu pada standar internasional. Bentuk-bentuk peningkatan pelayanan yang mulai muncul adalah harga murah dan promosipromosi yang ditawarkan beberapa maskapai penerbangan. Selain dari segi pelaku usaha penyedia jasa penerbangan, peningkatan aspek kualitas dan kuantitas juga perlu diterapkan pada bandara-bandara yang ada di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk memberikan pelayanan yang baik dan efisien bagi konsumen Perumusan Masalah Indonesia dengan kondisi geografis yang sangat luas membutuhkan moda transportasi yang efisien dan bergerak cepat. Moda transportasi yang dibutuhkan itu adalah transportasi udara. Transportasi udara memiliki karakteristik dan keunggulan yang berbeda jika dibandingkan dengan transportasi lainnya. Keunggulan ini terlihat dari kemampuan pesawat terbang berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dalam waktu yang relatif singkat. Keunggulan ini menarik perhatian masyarakat luas, sehingga pengguna jasa penerbangan pun terus bertambah dari tahun ke tahun. Akibatnya, industri jasa penerbangan nasional akan semakin mengalami perkembangan. Perkembangan industri jasa penerbangan nasional semakin marak sejak dikeluarkannya peraturan mengenai transportasi udara pada tahun 2004. Peraturan tersebut adalah Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 81 Tahun 2004 mengenai Pendirian Perusahaan Penerbangan di Indonesia. Menurut data dari Kementerian Perhubungan, jumlah perusahaan penerbangan di Indonesia yang memiliki izin usaha per Maret 2014 berjumlah empat puluh perusahaan. Banyaknya jumlah maskapai penerbangan yang beroperasi di Indonesia menciptakan persaingan yang ketat. Meskipun menghadapai tekanan dari pelemahan rupiah dan meningkatnya harga bahan bakar, industri penerbangan nasional tetap mengalami pertumbuhan dengan pertumbuhan penumpang sebesar 20 persen dari 68 juta pada tahun 2011 menjadi 81 juta pada tahun 2012. Pertumbuhan ekonomi nasional yang pesat menstimulus perkembangan industri jasa penerbangan. Setelah lepas dari masa-masa krisis, perekonomian nasional terus tumbuh secara signifikan. Hal ini menyebabkan semakin meningkatnya kegiatan perekonomian masyarakat yang secara otomatis akan meningkatkan pergerakan masyarakat dalam nageri maupun ke luar negeri. Permintaan terhadap jasa penerbangan pun mengalami peningkatan drastis, sehingga banyak melahirkan penyedia jasa penerbangan swasta. Peran pemerintah
4 yang semula sebagai penyedia jasa dan pelaku kegiatan ekonomi, kini telah berubah menjadi regulator yang menerbitkan aturan-aturan, mensertifikasi dan mengawasi pelaksanaan kegiatan jasa penerbangan.
Sumber: Badan Pusat Statistik (2014)
Gambar 2 Pertumbuhan PDB Indonesia Menurut Airbus Industry (2001), peningkatan 1 persen dari Produk Domestik Bruto suatu negara akan meningkatkan permintaan perjalanan udara sebesar 1-2.5 persen. Di Indonesia, peningkatan perekonomian yang signifikan seperti yang terlihat pada Gambar 2, dan ditopang jumlah masyarakat kelas menengah yang terus meningkat, sangat berpotensi memacu penggunaan jasa penerbangan. Apalagi pasar industri jasa penerbangan di Indonesia tumbuh pesat seiring dengan maraknya penerbangan murah, low cost carriers (LCC). Tabel 2 Sumbangan industri jasa penerbangan terhadap PDB Indonesia Tahun Nilai (Miliar Rupiah) persen dari PDB 2004 9728.0 0.42 2005 11979.2 0.43 2006 14669.3 0.44 2007 16547.2 0.41 2008 19665.9 0.40 2009 24248.8 0.43 2010 34781.0 0.54 2011 46701.8 0.63 2012 62153.3 0.75 2013 79038.2 0.87 Sumber: Badan Pusat Statistik (2013)
Berdasarkan Tabel 2 di atas industri jasa penerbangan memberikan sumbangan yang cukup besar di dalam tatanan struktur PDB Indonesia. Meskipun persentase yang diberikan tidak sampai 1 persen, namun dibandingkan sub-sub sektor industri lainnya, sumbangan dari industri jasa penerbangan layak diperhitungkan. Angka sumbangan sektor industri jasa penerbangan mengalami petumbuhan yang cukup signifikan setiap tahunnya. Dari tahun 2004 hingga tahun
5 2013, besar sumbangan sektor angkutan udara meningkat pesat hingga 10 kali lipat. Besaran persentase sumbangan industri angkutan udara juga naik secara perlahan dari tahun ke tahun dimana pada tahun 2013, sumbangan industri angkutan udara mencapai 0.87 persen dari total PDB nasional. Tabel 3 Pertumbuhan rata-rata penerbangan berjadwal domestik (persen) Deskripsi 2005-2009 2009-2010 2011-2012 Domestik : Jumlah Penumpang 10.9 18.1 18.65 Keberangkatan Pesawat 3.2 7 21.84 Freight Carried 11.3 114 18.18 Internasional : Jumlah Penumpang Keberangkatan Pesawat Freight Carried
13.2 10.4 -3.7
32 18.5 71.15
21.91 13.26 25.68
Sumber: INACA (2013)
Awal tahun 2000an merupakan awal kebangkitan industri jasa penerbangan nasional. Berdasarkan Tabel 3 di atas, pertumbuhan permintaan terhadap jasa penerbangan nasional dalam rentang waktu 2005 sampai 2009 cukup kecil baik untuk penerbangan domestik maupun internasional. Dalam rentang waktu 5 tahun, pertumbuhan permintaan penumpang hanya sekitar 10.9 persen untuk domestik dan 13.2 persen untuk internasional. Pertumbuhan permintaan mulai meningkat pada tahun 2009 dimana dalam rentang 2 tahun, permintaan domestik meningkat hingga 18 persen bahkan peningkatan permintaan penerbangan internasional lebih tinggi lagi yakni sekitar 32 persen. Sepanjang tahun 2012, kinerja maskapai penerbangan nasional menunjukan peningkatan yang cukup signifikan dari dimensi kuantitatif. Jumlah penumpang yang diangkut di dalam negeri mencapai 18.65 persen dari jumlah tahun sebelumnya. Pada penerbangan internasional, jumlah penumpang yang diangkut mencapai 9.94 juta orang, meningkat 22 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 8.15 juta orang. Kebijakan open sky di kawasan ASEAN menciptakan persaingan baru di kalangan pelaku usaha industri jasa penerbangan. Selain bersaing dengan pelaku usaha dalam negeri, mereka juga akan bersaing dengan pelaku usaha jasa penerbangan dari luar negeri dengan skala internasional khususnya ASEAN. Kebijakan open sky akan menuntut para pelaku usaha di bidang jasa penerbangan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitasnya agar bisa memenuhi standar yang telah ditetapkan internasional serta sikap profesional berkelas dunia. Open sky ini dapat menjadi suatu peluang bagi pelaku usaha jasa penerbangan nasional dalam meningkatkan market mereka, dan juga akan menjadi ancaman bagi mereka jika industri jasa penerbangan nasional tidak memiliki daya saing. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana keunggulan komparatif industri jasa penerbangan nasional di pasar internasional? 2. Bagaimana keunggulan kompetitif industri jasa penerbangan nasional? 3. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi permintaan jasa penerbangan nasional?
6 Tujuan Penelitian 1. 2. 3.
Menganalisis keunggulan komparatif industri jasa penerbangan nasional di pasar internasional. Menganalisis keunggulan kompetitif industri jasa penerbangan nasional. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan jasa penerbangan nasional. Manfaat Penelitian
1. 2. 3.
Memberikan masukan kepada pemerintah dan industri terkait dalam upaya peningkatan daya saing dan kinerja maskapai nasional. Memberikan informasi kepada pelaku jasa penerbangan untuk meningkatkan kinerjanya. Menambah khasanah literatur mengenai studi industri penerbangan dalam negeri sehingga menambah wawasan baru bagi masyarakat. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada industri jasa penerbangan sipil nasional untuk melihat keunggulan komparatif dan kompetitif industri ini, serta faktor-faktor yang memengaruhi permintaan terhadapnya. Analisis yang digunakan dalam melihat keunggulan komparatif industri jasa penerbangan adalah dengan menggunakan analisis Revealed Comparative Advantage (RCA). Analisis yang digunakan dalam melihat keunggulan kompetitif industri jasa penerbangan adalah dengan menggunakan analisis Porter’s Diamond Theory. Analisis yang digunakan dalam melihat faktor-faktor yang memengaruhi permintaan adalah metode Ordinary Least Square (OLS). Penelitian ini hanya meneliti permintaan industri jasa penerbangan bagian penumpang.
TINJAUAN PUSTAKA Teori Daya Saing Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Porter (1990), daya saing identik dengan produktivitas, yaitu suatu tingkat output yang dihasilkan dari setiap input yang digunakan. Peningkatan produktivitas disebabkan oleh peningkatan jumlah input seperti modal dan tenaga kerja, serta peningkatan kualitas input yang digunakan, dan peningkatan teknologi. Setelah itu, menurut Porter (1995) menjelaskan bahwa daya saing dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan usaha perusahaan dalam industri untuk menghadapi berbagai lingkungan yang dihadapi. Daya saing sangat penting untuk dimliki oleh suatu industri dikarenakan oleh hal berikut; (1) mendorong produktivitas dan meningkatkan kemampuan mandiri; (2) dapat meningkatkan kapasitas ekonomi atau economic of scale, baik dalam hal regional ekonomi maupun entitias pelaku ekonomi sehingga menciptakan pertumbuhan ekonomi. Menurut Tambunan (2001) daya saing merupakan kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar luar negeri dan kemampuan untuk dapat bertahan
7 di dalam pasar tersebut, dalam artian jika suatu produk atau jasa mempunyai daya saing maka produk atau jasa tersebutlah yang banyak diminati konsumen. Definisi daya saing lainnya disampaikan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yaitu sebagai kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa yang berskala internasional melalui mekanisme perdagangan yang adil dan bebas, sekaligus menjaga dan meningkatkan pendapatan riil masyarakat dalam jangka panjang. Daya saing juga mengacu kepada kemampuan suatu negara untuk memasarkan produk dan jasa yang mereka hasilkan relatif terhadap kemampuan negara lain (Bappenas, 2007). Sedangkan menurut peraturan Mentri Pendidikan Nasional No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses, dinyatakan bahwa daya saing merupakan suatu kemampuan untuk menunjukan hasil yang lebih baik, lebih cepat atau lebih bermakna. Kemampuan yang dimaksud disini adalah kemampuan memperkokoh pangsa pasarnya, kemampuan untuk terus meningkatkan kinerja, kemampuan untuk berhubungan dengan lingkungan, serta kemampuan untuk mengakkan posisi ke arah yang lebih menguntungkan. Pendekatan yang paling umum digunakan untuk mengukur daya saing suatu produk atau jasa adalah pendekatan menggunakan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Teori Keunggulan Komparatif Berdasarkan Tarigan (2005), istilah keunggulan komparatif pertama kali dikemukakan oleh David Ricardo (1917) yang menyatakan bahwa apabila ada dua negara yang saling berdagang dan masing-masing negara mengkonsentrasikan diri untuk mengekspor barang atau jasa yang bagi negara tersebut memiliki keunggulan komparatif maka negara itu akan beruntung. Ricardo (1917) juga menjelaskan mengenai hukum keunggulan komparatif di dalam bukunya yang berjudul Principles of Political Economy and Taxation. Menurut hukum keunggulan komparatif, “meskipun sebuah negara kurang efisien (atau memiliki kerugian absolut) dibanding negara lain dalam memproduksi kedua komoditi, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak kecuali jika kerugian absolut (salah satu negara) pada kedua komoditi tersebut memiliki proporsi yang sama. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (ini merupakan komoditi dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih besar (komoditi ini memiliki kerugian komparatif)” (Salvatore, 1997). Hecker dan Ohlin dalam Salvatore (1997) juga menyatakan bahwa suatu negara memiliki keunggulan komparatif dalam menghasilkan komoditi secara intensif memanfaatkan kepemilikan faktor-faktor produksi yang berlimpah di negaranya. Teori ini disebut juga sebagai teori keunggulan komparatif berdasarkan keberlimpahan faktor (factor endowment theory of comparatif advantage) yang mengasumsikan bahwa setiap negara memiliki kesamaan fungsi produksi, sehingga faktor produksi yang sama menghasilkan keluaran yang sama namun dibedakan oleh harga-harga relatif faktor produksi setiap negara. Menurut Simatupang (1991) serta Sudaryanto dan Simatupang (1993) dalam Oktaviani
8 (2009), konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial. Artinya, daya saing akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi. Dengan kata lain komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi ekonomi. Teori Keunggulan Kompetitif Definisi keunggulan kompetitif dalam Mudjayanti (2008) adalah suatu keunggulan yang dapat dikembangkan, jadi keunggulan ini harus diciptakan untuk dapat memilikinya. Konsep keunggulan kompetitif menurut Porter (1990) dalam Pragari (2011) adalah suatu cara yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperkuat sisinya dalam menghadapi pesaing dan mampu menunjukkan berbagai perbedaan-perbedaan lainnya. Selanjutnya, Porter (1990) menyatakan ada 4 faktor utama yang menentukan daya saing suatu komoditi yaitu, kondisi faktor (factor condition), kondisi permintaan (demand condition), industri terkait dan industri pendukung yang kompetitif (related and supporting industry), serta kondisi struktur, persaingan dan strategi industri (firm structure, rivalry, and strategy). Interaksi antar keempat faktor utama penentu daya saing di atas dipengaruhi oleh faktor kesempatan (chance event) dan faktor pemerintah (goverment factor). Secara bersama-sama faktor-faktor ini membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan daya saing yang disebut Porter’s Diamond Theory (Tarigan, 2005). Kondisi Faktor (Factor Condition) Kondisi faktor merupakan cerminan faktor-faktor sumberdaya yang dimiliki suatu negara yang berhubungan dengan proses produksi suatu industri. Sumberdaya memiliki peran penting dalam suatu industri karena sumberdaya adalah modal utama dalam menggerakan industri. Kondisi sumberdaya suatu negara sangat menentukan posisi negara tersebut dalam bersaing dengan negara lain. Sumberdaya dikelompokan ke dalam 5 kelompok yakni: a. Sumber Daya Manusia (Human Resource) Hal yang paling penting mengenai sumber daya manusia (SDM) atau tenaga kerja yang memengaruhi industri adalah jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial, dan keterampilan tenaga kerja, biaya tenaga kerja yang berlaku (tingkat upah) serta etika kerja (moral). b. Sumberdaya Fisik atau Alam (Nature Resource) Sumberdaya fisik atau alam yang memengaruhi daya saing industri antara lain biaya, aksebilitas, mutu dan ukuran lahan (lokasi), ketersediaan air, mineral dan energi. Serta kondisi cuaca dan iklim, wilayah geografis, topografis dan lainnya. c. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Science and Technology) Sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi meliputi ketersedian pengatahuan dan informasi mengenai pasar, pengetahuan teknis dan ilmiah yang menunjang proses produksi barang dan jasa. Serta diperlukan pula lembaga – lebaga penunjang sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan sumber pengetahuan lainnya.
9 d. Sumberdaya Infrastruktur (Infrastructure) Sumberdaya infrastruktur terdiri atas ketersediaan jenis, mutu dan biaya penggunaan infrastruktur yang memengaruhi daya saing. Seperti sistem transportasi, komunikasi, pos dan giro, serta sistem pembayaran dan transfer dana, air bersih, energi listrik, dan lainnya. e. Sumberdaya Modal (Capital) Sumberdaya modal terdiri dari jumlah dana yang tersedia dan biaya yang tersedia, jenis pembiayaan atau sumber modal, aksesibilitas terhadap pembiyaan, dan kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan. Kondisi Permintaan (Demand Condition) Kondisi permintaan dalam negeri atau domestik merupakan salah satu faktor penentu daya saing industri. Mutu permintaan dalam negeri dapat menjadi bahan acuan dan pembelajaran bagi perusahaan-perusahaan yang akan bersaing di pasar global. Mutu permintaan domestik memberikan tantangan bagi perusahaan untuk meningkatkan daya saingnya dan memberikan respon terhadap persaingan yang terjadi. Industri Terkait dan Pendukung (Related and Supporting Industry) Keberadaan industri terkait dan industri pendukung dapat memberikan pengaruh bagi daya saing industri secara global. Industri terkait dan pendukung ini antara lain industri hulu dan hilir. Industri hulu mampu memasok input bagi industri utama dengan harga yang lebih murah, mutu yang lebih baik, pelayanan yang lebih cepat, dan pengiriman yang tepat waktu serta jumlah yang sesuai kebutuhan industri. Hal ini juga berlaku bagi industri hilir yang menggunakan input dari industri utama. Kegiatan antar industri ini akan menciptakan suatu kondisi saling tarik menarik diantara ketiga pihak dalam hal daya saing industri. Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan (firm structur, rivalry, and strategy) Tingkat persaingan merupakan salah satu pendorong bagi perkembangan industri yang akan membuat setiap perusahaan yang terlibat di dalamnya untuk terus melakukan perubahan dan inovasi. Keberadaan pesaing dapat menjadi penggerak untuk memberikan tekanan-tekanan pada perusahaan agar segera meningkatkan daya saingnya. Perusahaan-perusahaan yang telah teruji dan mampu selamat dari persaingan lokal, akan lebih mudah untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan internasional dibanding dengan perusahaan yang belum memiliki daya saing. Struktur industri juga berpengaruh bagi daya saing suatu industri. Industri yang monopolis cenderung kurang memiliki daya dorong untuk melakukan perkembangan dan inovasi baru dibandingkan industri dengan pasar yang bersaing. Selain itu, juga ada struktur perusahaan, struktur pasar, dan strategi perusahaan yang akan menentukan daya saing suatu industri. Peran Pemerintah Peranan pemerintah dalam hal daya saing hanya sebatas pada faktor-faktor penentu daya saing. Pemerintah tidak berperan langsung terhadap upaya peningkatan daya saing. Dalam hal ini, pemerintah berfungsi sebagai fasilitator
10 yang akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan terkait industri. Kebijakankebijakan inilah yang akan memperkuat atau memperlemah daya saing industri. Namun, pemerintah tidak dapat menciptakan langsung daya saing industri dari kebijakan ini. Intinya, pemerintah menyediakan fasilitas bagi lingkungan industri untuk memperbaiki kondisi faktor daya saing sehingga bisa didayagunakan secara aktif dan efisien. Peran Kesempatan Kesempatan berada di luar kendali setiap pihak baik itu perusahaan maupun pemerintah. Namun, kesempatan memiliki peranan tersendiri dalam suatu daya saing industri. Beberapa hal yang dianggap sebagai keberuntungan merupakan bagian dari kesempatan. Seperti adanya penemuan baru yang murni, biaya perusahaan yang tidak berlanjut akibat perubahan harga minyak dan depresiasi mata uang, serta peningkatan permintaan produk yang lebih besar dari pasokan juga dapat dikatakan sebagai bagian dari kesempatan. Teori Permintaan Menurut Kotler (1996) dalam Imelda (2000) disebutkan bahwa permintaan merupakan jumlah yang dibutuhkan dan berkembang menjadi keinginan. Kebutuhan adalah suatu keadaan untuk memenuhi kepuasan dasar yang dirasakan dan disadari yang artinya kebutuhan tidak diciptakan oleh masyarakat atau lingkungannya tetapi telah ada dalam kehidupan manusia. Sedangkan keinginan adalah hasrat untuk memperoleh pemuas tertentu untuk kebutuhan yang lebih mendalam. Keinginan dibentuk oleh kekuatan keluarga, sosial, lembaga pendidikan, dan lain-lain. Hukum permintaan menjelaskan hubungan antara harga barang atau jasa dengan jumlah yang diminta/dikonsumsi oleh konsumen. Jumlah permintaan konsumen terhadap suatu barang atau jasa berbanding terbalik. Artinya, ketika harga mengalami peningkatan, maka permintaan akan mengalami penurunan. Ketika harga mengalami penurunan, maka permintaan akan mengalami kenaikan, dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tetap seperti; pendapatan masyarakat, jumlah penduduk, selera masyarakat, dan lain-lain dianggap tetap (cateris paribus) (Leftwich,1988) Lipsey et al (1995) menyatakan bahwa ada tiga hal penting dalam konsep permintaan. Pertama, jumlah yang diminta atau jumlah yang diinginkan pada harga barang tersebut, pada harga barang lain, pendapatan konsumen, selera, dan lain-lain adalah tetap. Kedua, apa yang diinginkan tidak merupakan harapan kosong, tetapi merupakan permintaan efektif, artinya jumlah dimana orang bersedia membeli pada harga yang mereka harus bayar untuk komoditi tersebut. Ketiga, kuantitas yang diminta menunjukan arus pembelian yang terus-menerus. Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) Di dalam Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community Blueprint) dinyatakan bahwa ASEAN Economic Community (AEC) merupakan realisasi tujuan akhir integrasi ekonomi sesuai visi ASEAN 2020 (dipercepat menjadi 2015), yang didasarkan pada kepentingan bersama negara
11 anggota ASEAN untuk memperdalam dan memperluas integrasi ekonomi melalui inisiatif yang telah ada dan inisiatif baru dengan kerangka yang jelas. Untuk membentuk AEC, ASEAN harus melaksanakan kewajiban sesuai dengan prinsipprinsip ekonomi yang terbuka, berwawasan keluar, inklusif, dan berorientasi pada pasar sesuai dengan aturan-aturan multilateral serta patuh terhadap sistem berdasarkan aturan hukum agar pemenuhan dan implementasi komitmenkomitmen ekonomi dapat berjalan efektif. AEC 2015 akan membentuk ASEAN sebagai suatu pasar tunggal dan basis produksi serta menjadikan ASEAN lebih dinamis dan kompetitif dengan langkahlangkah dan mekanisme baru untuk memperkuat implementasi inisiatif-inisiatif ekonomi yang telah ada, mempercepat integrasi kawasan dalam sektor prioritas, mempermudah pergerakan para pelaku usaha tenaga kerja terampil, dan berbakat dan memperkuat mekanisme institusi ASEAN. Menurut Kementrian Perdagangan Republik Indonesia dalam buku “Menuju ASEAN Economic Community 2015” dikemukakan bahwa untuk mewujudkan AEC pada tahun 2015, maka seluruh negara ASEAN harus melakukan liberalisasi perdagangan barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil secara bebas dan arus modal yang lebih bebas sesuai tujuan AEC yakni elemen pasar tunggal dan berbasis produksi sebagai salah satu pilar AEC. Arus Bebas Barang Arus bebas barang merupakan salah satu elemen utama AEC Blueprint dalam mewujudkan AEC dengan kekuatan pasar tunggal dan berbasis produksi. Untuk mendukung arus bebas barang ini, negara-negara anggota ASEAN telah menyepakati ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA). ATIGA merupakan kodifikasi atas keseluruhan kesepakatan ASEAN dalam liberalisasi dan fasilitasi perdagangan barang. Tujuan dari ATIGA antara lain: a. Mewujudkan kawasan arus barang yang bebas sebagai salah satu prinsip untuk membentuk pasar tunggal dan basis produksi dalam AEC 2015. b. Meminimalkan hambatan dan memperkuat kerja sama diantara negaranegara anggota ASEAN. c. Menurunkan biaya usaha. d. Meningkatkan perdagangan dan investasi dan efisiensi ekonomi. e. Menciptakan pasar yang lebih besar dengan kesempatan dan skala ekonomi yang lebih besar untuk para pengusaha di negara-negara anggota ASEAN. f. Menciptakan kawasan investasi yang kompetitif. Arus Bebas Jasa Arus bebas jasa merupakan salah satu elemen penting dalam pembentukan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi. Liberalisasi jasa bertujuan untuk menghilangkan hambatan penyediaan jasa di antara negara-negara ASEAN yang dilakukan melalui mekanisme yang diatur dalam ASEAN Framework on Service (AFAS). AFAS bertujuan untuk : a. Meningkatkan kerjasama diantara negara anggota di bidang jasa dalam meningkatkan efisiensi dan daya saing, diversifikasi kapasitas produksi, dan pasokan serta distribusi jasa dari para pemasok jasa masing – masing negara anggota baik di dalam ASEAN maupun di luar ASEAN.
12 b. c.
Menghapuskan secara signifikan hambatan-hambatan perdagangan jasa diantara negara anggota. Meliberalisasikan perdagangan jasa dengan memperdalam tingkat dan cakupan liberalisasi melebihi liberalisasi dalam General Agreement on Trade in Service (GATS) dalam mewujudkan perdagangan bebas di bidang jasa.
Arus Bebas Investasi Investasi telah disepakati sebagai suatu komponen utama dalam pembangunan negara dan ekonomi di ASEAN. Negara-negara ASEAN menjadikan investasi sebagai salah satu tujuan pokok ASEAN dalam upaya mewujudkan integrasi ekonomi ASEAN. Untuk menciptakan kawasan bebas invetasi ini maka dibentuklah ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA). Salah satu pilar dari ACIA adalah liberalisasi invetasi yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan invetasi secara progresif yang akan dilakukan dengan cara: a. Menerapkan perlakuan non-diskriminasi, termasuk perlakuan nasional dan perlakuan most favoured nation kepada investor di ASEAN dengan pengecualian terbatas, meminimalkan bahkan menghapus pengecualian tersebut. b. Mengurangi dan selanjutnya menghapus peraturan masuk investasi untuk produk-produk yang masuk dalam Sektor Prioritas Integrasi. c. Mengurangi dan selanjutnya menghapus peraturan-peraturan invetasi yang bersifat menghambat dan berbagai hambatan lainnya. Arus Modal yang Lebih Bebas ASEAN memutuskan untuk menciptakan arus modal yang lebih bebas yaitu dengan melakukan pengurangan-pengurangan atas beberapa aturan-aturan yang kaku dalam arus modal. Hal ini dikarenakan jika arus modal terlalu terbuka atau lebih bebas maka akan berpotensi menimbulkan resiko dan mengancam kestabilan perekonomian suatu negara. Sebaliknya, jika aliran modal terlalu dibatasi maka akan membuat suatu negara mengalami keterbatasan kapital yang diperlukan untuk mendorong peningkatan arus perdagangan dan pengembangan pasar uang. Arus Bebas Tenaga Kerja Terampil Untuk menciptakan mobilitas yang terkelola serta menfasilitasi masuknya tenaga kerja yang terlibat dalam setiap transaksi perdagangan barang, jasa, dan invetasi serta modal sesuai dengan peraturan yang berlaku di negara tujuan maka ASEAN mengupayakan suatu fasilitas penerbitan visa dan employment pass bagi tenaga kerja yang bekerja di bidang perdagangan dan berhubungan dengan antar negara ASEAN. Salah satu upaya untuk mendukung hal di atas adalah dengan dibentuknya Mutual Recognition Arrangement (MRA). MRA merupakan kesepakatan setiap negara anggota untuk saling mengakui dan menerima aspek-aspek yang berhubungan dengan pergerakan tenaga kerja terampil seperti hasil penilaian, hasil tes ataupun sertifikat. Tujuan diciptakannya MRA adalah untuk menciptakan suatu kesetaraan bagi setiap warga negara ASEAN serta mengakui perbedaan antar negara untuk pendidikan, pelatihan, pengalaman, dan persyaratan bagi tenaga kerja profesional.
13 Sektor Prioritas Sektor prioritas merupakan sektor-sektor yang cukup strategis untuk dijadikan liberal dalam rangka menuju pasar tunggal dan berbasis produksi. Ada 12 sektor yang telah disepakati oleh Menteri Ekonomi tiap-tiap Negara seperti yang ditunjukan pada Tabel 4 antara lain: Tabel 4 Sektor prioritas integrasi Daftar Sektor Prioritas Produk berbasis pertanian Perjalanan Udara Otomotif e-ASEAN Elektronik Perikanan Kesehatan Produk berbasis Karet Tekstil dan Pakaian Pariwisata Produk berbasis kayu Logistik
Negara Koordinator Myanmar Thailand Indonesia Singapura Filipina Myanmar Singapura Malaysia Malaysia Thailand Indonesia Vietnam
Sumber: Menuju ASEAN Economic Community (2015), Kemendag (2012)
Kebijakan Langit Terbuka (Open Sky Policy) Berdasarkan Havel (2009) dinyatakan bahwa pemahaman kebijakan langit terbuka (open sky) merupakan suatu konsep kebijakan internasional yang mengarah kepada liberalisasi aturan dan pengaturan dalam industri penerbangan sipil internasional, khususnya pada penerbangan komersial dengan meminimalkan intervensi pemerintah dalam aktifitasnya sehingga terbukanya pasar bebas industri penerbangan. Menurut Setiawan (2012) disebutkan bahwa open sky adalah sebuah kesepakatan yang menciptakan pasar terbuka di antara kedua negara untuk memberikan peluang yang lebih besar bagi perusahaan penerbangan masingmasing negara dalam menawarkan dan mengoperasikan layanan penerbangan kepada publik. Dalam laporan Final Report: Preparing ASEAN For Open Sky dijelaskan definisi dari open sky adalah sebagai suatu kumpulan kebijakan atau suatu paket yang terdiri dari aspek-aspek kebijakan yang jelas, seperti penataulangan kapasitas dan penghapusan kontrol harga yang mengarah ke industri jasa penerbangan dengan lebih sedikit regulasi atau peraturan. Ini merupakan sebuah strategi untuk membuka pintu pasar jasa penerbangan yang dapat dicapai dengan adanya perjanjian bilateral, regional, dan multilateral. Penelitian Terdahulu Abed et al (2001) dalam jurnal mereka yang berjudul “An Econometric Analysis of International Air Travel Demand in Saudi Arabia” menyatakan bahwa ukuran populasi dan total pengeluaran merupakan faktor utama atas permintaan jasa penerbangan di Arab Saudi. Pada penelitian ini, penulis menetapkan 16 variabel yang diduga berpengaruh terhadap permintaan jasa penerbangan yaitu,
14 Produk Domestik Bruto Minyak, Produk Domestik Bruto Swasta Non Minyak, Produk Domestik Bruto Pemerintah Non Minyak, Total Produk Domestik Bruto Minyak, Total Produk Domestik Bruto, Indeks Harga Konsumen, Pendapatan Perkapita, Impor Barang dan Jasa, Nilai Tukar terhadap US Dollar, Nilai Tukar terhadap Singapore Dollar, Jumlah Populasi, Total Pengeluaran, Total Pengeluaran Konsumsi Swasta, Total Pengeluaran Konsumsi Pemerintah danTotal Penegeluaran Konsumsi. Mazzeo (2003) dalam papernya yang berjudul “Competition and Service Quality in the U.S Airline Industry” meneliti adanya hubungan persaingan dengan kualitas jasa yang akan memberikan informasi bagi pemerintah untuk memperkirakan daya saing dalam pasar, mengevaluasi potensi untuk merger dan meningkatkan standar industri. Dalam penelitian ini penulis menyatakan bahwa setiap maskapai sebaiknya menyediakan layanan jasa yang bervariasi tergantung level konsentrasi pasar dan sikap konsumen dalam menilai pelayanan yang baik dan buruk. Rizka (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Permintaan Jasa Angkutan Udara Khusus Penumpang di Sumatera Barat (Studi Kasus: Rute Penerbangan Padang-Jakarta)” menyatakan bahwa permintaan jasa angkutan udara rute Padang-Jakarta dipengaruhi oleh jumlah penduduk, pendapatan rill rata-rata penduduk dan tarif tiket pesawat. Penulis menyimpulkan bahwa faktor yang paling dominan dalam memengaruhi permintaan jasa angkutan udara adalah jumlah penduduk. Kerangka Pemikiran Sehubungan dengan akan dimulainya kebijakan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) maka akan diberlakukan berbagai liberalisasi di setiap perdagangan antar negara anggota ASEAN. Kebijakan liberalisasi ini juga mencakup perdagangan jasa. Salah satu jasa yang diperdagangkan di ASEAN adalah jasa angkutan udara atau air transport. Kebijakan liberalisasi jasa penerbangan ini semakin diperkuat dengan dibentuknya perjanjian seluruh pemimpin-pemimpin ASEAN yang menghasilkan kebijakan langit terbuka (open sky policy). Kebijakan ini mewajibkan masingmasing negara anggota untuk membuka atau mengizinkan setiap perusahaanperusahaan penyedia jasa penerbangan untuk beroperasi di negaranya. Hal ini akan menciptakan suatu persaingan yang akan berpengaruh terhadap tingkat produktivitas dan konsumsi jasa penerbangan nasional. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis melakukan penelitian untuk melihat kondisi daya saing industri jasa penerbangan nasional dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif akan dianalisis menggunakan metode RCA sedangkan pendekatan kualitatif akan dianalisis menggunakan metode Porter’s Diamond Theory. Kerangka pemikiran dapat dilihat dalam gambar di bawah ini:
15
ASEAN Economic Community 2015
Open Sky Policy
Daya Saing Industri jasa Penerbangan Nasional Pendekatan Kualitatif
Pendekatan Kuantitaif Faktor yang memengaruhi permintaan jasa penerbangan RCA (Revealed Comparative Advantage)
OLS
Porter’s Diamond Theory
Strategi dan Upaya Meningkatkan Daya Saing
Gambar 3 Kerangka pemikiran penelitian
16 Hipotesis Penelitian
1. 2. 3.
Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini adalah : Industri jasa penerbangan nasional memiliki keunggulan komparatif di pasar internasional. Industri jasa penerbangan nasional memiliki keunggulan kompetitif. Semua variabel bebas yang digunakan (populasi, produk domestik bruto, konsumsi rumah tangga, harga avtur, jumlah armada, inflasi, dan dummy krisis) memiliki pengaruh terhadap variabel tidak bebas jumlah permintaan industri jasa Indonesia : a. Populasi memiliki pengaruh positif terhadap permintaan industri jasa penerbangan Indonesia, dimana semakin tinggi jumlah populasi maka semakin tinggi permintaan jasa penerbangan. b. Produk domestik bruto memiliki pengaruh positif terhadap permintaan industri jasa penerbangan Indonesia, dimana semakin tinggi jumlah produk domestik bruto maka semakin tinggi permintaan jasa penerbangan. c. Konsumsi rumah tangga memiliki pengaruh positif terhadap permintaan industri jasa penerbangan Indonesia, dimana semakin tinggi jumlah pengeluaran rumah tangga maka semakin tinggi permintaan jasa penerbangan. d. Harga avtur memiliki pengaruh negatif terhadap permintaan industri jasa penerbangan Indonesia, dimana semakin tinggi harga avtur maka semakin rendah permintaan jasa penerbangan. e. Inflasi memiliki pengaruh negatif terhadap permintaan industri jasa penerbangan Indonesia, dimana semakin tinggi inflasi maka semakin rendah permintaan jasa penerbangan. f. Jumlah armada memiliki pengaruh positif terhadap permintaan industri jasa penerbangan Indonesia, dimana semakin tinggi jumlah armada maka semakin tinggi permintaan jasa penerbangan. g. Dummy krisis memiliki pengaruh negatif terhadap permintaan jasa penerbangan, dimana ketika terjadi krisis maka akan menurunkan jumlah permintaan jasa penerbangan nasional.
METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder deret waktu (time series) beberapa tahun terakhir yaitu dari tahun 2004 sampai 2012. Jenis data yang digunakan ini meliputi data nilai total ekspor jasa penerbangan (penumpang) Indonesia, data nilai total ekspor jasa penerbangan (penumpang) Indonesia, data nilai total ekspor jasa penerbangan seluruh dunia dan data nilai total ekspor jasa dunia. Selanjutnya, juga terdapat data-data laporan keuangan beberapa maskapai penerbangan sepeti Garuda Indonesia, Malaysia Airlines, Singapore Airlines, Phillipines Airlines dan Thai Airlines. Untuk analisis permintaan industri jasa penerbangan digunakan data pertumbuhan populasi, PDB
17 riil, pertumbuhan pengeluaran RT, inflasi, jumlah armada, pertumbuhan ekspor, nilai tukar dan dummu krisis dari tahun 1981 sampai tahun 2012. Data-data di atas diperoleh dari Kementrian Perhubungan Republik Indonesia, Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, ASEAN, Trademap, World Bank, International Air Transport Association (IATA), Garuda Indonesia, Malaysia Airlines, Singapore Airlines, Phillipines Airlines, dan Thai Airlines serta studi-studi literatur yang didapat dari buku dan jurnal yang berkaitan dengan penerbangan (air transport).
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Tabel 5 Jenis data dan sumber data Jenis Data Nilai ekspor jasa penerbangan nasional (US dollar) Nilai ekspor jasa nasional (US dollar) Nilai ekspor jasa penerbangan dunia (US dollar) Nilai ekspor jasa dunia (US dollar) Permintaan jasa penerbangan nasional (orang) Produk domestik bruto riil Indonesia (US dollar) Populasi Indonesia (orang) Jumlah armada maskapai penerbangan nasional (unit) Inflasi (persen) Konsumsi rumah tangga (US dollar) Harga avtur dalam negeri (rupiah/liter)
Sumber Data BI BI Trademap Trademap Kemenhub Worldbank BPS BPS BPS Worldbank Kemen. ESDM
Metode Analisis Data Analisis daya saing yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif dipakai untuk menjelaskan kekuatan daya saing komoditi yang dilakukan menggunakan RCA (Revealed Comparative Advantage). Lalu, analisis kualitatif dipakai untuk menjelaskan pengkajian potensi, kendala, dan peluang serta menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi daya saing industri penerbangan dalam negeri yang akan dilakukan dengan menggunakan teori berlian Porter (Porter’s Diamond Theory). Selanjutnya, analisis yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi permintaan jasa penerbangan nasional dilakukan dengan analisis regresi linier berganda. Analisis Daya Saing Revealed Comparative Advantage (RCA) Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif di suatu negara ataupun wilayah adalah dengan menggunakan metode RCA atau Revealed Comparative Advantage. Konsep yang mendasari metode RCA ini yaitu perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukan atau memcerminkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu wilayah. Variabel yang diukur dalam metode ini adalah kinerja ekspor suatu produk/jasa terhadap total ekspor suatu wilayah yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai produk dalam perdagangan dunia. RCA dijelaskan bahwa jika pangsa ekspor industri penerbangan di dalam total ekspor jasa dari suatu wilayah lebih besar dibandingkan pangsa pasar ekspor
18 jasa industri penerbangan di dalam total ekspor jasa dunia. Apabila nilai RCA lebih dari satu maka negara tersebut memiliki keunggulan komparatif (di atas ratarata dunia) untuk industri jasa penerbangan. Sebaliknya jika nilai RCA lebih kecil dari satu, maka keunggulan komparatif negara tersebut di bidang industri jasa penerbangan rendah atau berdaya saing lemah. Analisis keunggulan komparatif RCA pertama kali digunakan oleh seorang peneliti bernama Bale Balassa pada tahun 1965 yang meneliti mengenai pengaruh liberalisasi perdagangan luar negeri terhadap keunggulan komparatif hasil industri Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Uni Eropa serta pada tahun 1997 untuk negara yang sama ditambah Kanada dan Swedia. Awalnya Balassa menggunakan dua konsep pemikiran yakni berdasarkan rasio impor dan ekspor, dan yang kedua berdasarkan prestasi ekspor relatif. Kemudian ia meninggalkan konsep pertama karena impor lebih peka terhadap tingkat perlindungan tarif. Balassa kemudian mengevaluasi prestasi ekspor masing-masing komoditi di negara-negara tertentu dengan membandingkan bagian relatif ekspor suatu negara dalam ekspor dunia untuk masing-masing komoditi dengan menggunakan RCA (Revealed Comparative Advantage). Kinerja ekspor industri jasa penerbangan Indonesia terhadap total ekspor Indonesia ke pasar dunia selanjutnya dibandingkan dengan pangsa nilai ekspor jasa penerbangan dunia terhadap nilai total ekspor jasa dunia, menggunakan rumus RCA yakni: RCAt = Keterangan: RCAt : Keungulan Komparatif (daya saing) Indonesia tahun ke t Ft : Nilai ekspor industri jasa penerbangan Indonesia tahun ke t (juta dollar Amerika) St : Nilai total ekspor jasa Indonesia pada tahun ke t (juta dollar Amerika) WFt : Nilai ekspor industri jasa penerbangan dunia tahun ke t (miliar dollar Amerika) WSt : Nilai total ekspor jasa dunia tahun ke t (miliar dollar Amerika) t : 2004, 2005,....., 2011, 2012 Jika RCA>1 maka negara tersebut lebih berspesialisasi produksi di kelompok komoditi bersangkutan. Negara tersebut memiliki keunggulan komparatif pada komoditi tersebut. Semakin besar nilai RCA, maka akan semakin kuat keunggulan komparatif yang dimilikinya. Jika RCA<1 maka sebaliknya wilayah tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif pada komoditi tersebut. Indeks RCA merupakan perbandingan antara nilai RCA tahun sekarang dengan nilai RCA tahun sebelumnya. Rumus indeks RCA adalah sebagai berikut:
Indeks RCAt =
19 Keterangan: Indeks RCAt RCAt RCAt-1
: Kinerja ekspor industri jasa penerbangan Indonesia periode ke t : Nilai RCA tahun sekarang : Nilai RCA tahun sebelumnya
Nilai indeks RCA berkisar dari angka nol sampai tidak hingga. Nilai indeks RCA yang sama dengan satu berarti tidak terjadi kenaikan RCA atau dengan kata lain kinerja ekspor industri jasa penerbangan di pasar internasional tahun sekarang sama dengan tahun sebelumnya. Nilai indeks RCA lebih kecil dari satu berarti terjadi penurunan RCA atau terjadi penurunan kinerja ekspor dimna ekspor industri jasa penerbangan di pasar internasional tahun sekarang lebih kecil dari tahun sebelumnya. Terakhir nilai indeks RCA yang lebih besar dari satu berarti terjadi peningkatan kinerja ekspor industri jasa penerbangan dimana ekspor industri jasa penerbangan di pasar internasional tahun sekarang lebih besar dari tahun sebelumnya Analisis Daya Saing Porter’s Diamond Theory Untuk mengukur keunggulan kompetitif suatu jenis komoditi, maka dianalisis menggunakan Porter’s Diamond Theory, metode teori Berlian Porter ini merupakan metode kualitatif yang menganalisis tiap komponen dalam teori berlian. Komponen – komponen tersebut antara lain: a. Factor Condition (FC), yaitu keadaan faktor-faktor produksi dalam suatu industri seperti tenaga kerja dan infrastruktur. b. Demand Condition (DC), yaitu keadaan permintaan atas barang dan jasa dalam negara. c. Related and Supporting Industries (RSI), yaitu keadaan para penyalur dan industri lainnya yang saling mendukung dan berhubungan. d. Firm Strategy, Structure and Rivalry (FSRS), yaitu strategi yang dianut perusahaan ada umumnya, struktur industri dan keadaan kompetisi dalam suatu industri domestik. Selain dari empat komponen di atas, ada dua komponen lain yang berhubungan dengan teori berlian ini yaitu faktor pemerintah dan kesempatan. Keempat faktor utama dan dua faktor pendukung ini saling berinteraksi. Berdasarkan hasil analisis komponen penentu daya saing kita dapat menentukan komponen yang menjadi keunggulan dan kelemahan daya saing industri jasa penerbangan nasional. Keunggulan setiap faktor dalam komponen-komponen yang ada dalam teori Berlian Porter akan dilambangkan dengan positif (+), sedangkan kelemahan dalam masing-masing faktor tersebut dilambangkan dengan negatif (-). Hasil dari keseluruhan interaksi dari setiap komponen dan faktor pendukung daya saing ini sangat menentukan perkembangan yang dapat menjadi competitive advantage (keunggulan kompetitif) dari industri jasa penerbangan nasional. Secara umum, hubungan atau interaksi masing–masing komponen Porter’s Diamond Theory dapat digambarkan sebagai berikut:
20
Sumber: Porter (1990)
Gambar 4 Porter’s Diamond Theory Metode Regeresi Linier Berganda Metode regresi linier berganda ini digunakan untuk melakukan analisis pada faktor-faktor yang memengaruhi permintaan terhadap jasa angkutan udara nasional dengan metode Ordinary Least Square (OLS) atau metode kuadrat terkecil biasa dengan asumsi-asumsi tertentu. Menurut Koutsoyianis (1977), terdapat beberapa kelebihan metode Ordinary Least Square (OLS) seperti berikut: 1. Hasil estimasi parameter yang diperoleh dengan metode OLS memiliki beberapa kondisi optimal (BLUE). 2. Tata cara pengolahan data dengan metode Ordinary Least Square (OLS) relatif lebih mudah daripada metode ekonometrika lainnya, serta tidak membutuhkan data yang terlalu banyak. 3. Metode Ordinary Least Square (OLS) telah banyak digunakan dalam penelitian ekonomi dengan berbagai macam hubungan antar variabel dengan hasil yang memuaskan. 4. Mekanisme pengolahan data dengan metode OLS lebih mudah dipahami. 5. Metode OLS juga merupakan bagian dari kebanyakan metode ekonometrika yang lain meskipun dengan penyesuaian di beberapa bagian. Menurut Nachrowi et al (2003) beberapa sifat penduga yang utama agar metode OLS dapat digunakan adalah tidak bias, efisien dan varian minimum. Berdasarkan teori Gauss-Markov, asumsi-asumsi atau persyaratan yang melandasi estimasi koefisien regresi dengan metode OLS adalah sebagai berikut: 1. E(ui) = 0 atau E(ui) atau E(Yi) = β 1 + β 2Xi ui menyatakan variabel-variabel lain yang memengaruhi Yi akan tetapi tidak terwakili di dalam model. 2. Tidak ada korelasi antara ui dan uj {cov (ui , uj )= 0}; i≠ j 3. Homoskedastisitas: yaitu besarnya varian ui sama atau car (ui) = σ 2 untuk setiap i. 4. Kovarian antara ui dan Xi nol. {cov (ui,Xi ) )= 0}. Asumsi tersebut sama artinya bahwa tidak ada korelasi antara ui,Xi. 5. Model regresi dispesifikasikan secara benar. Hal – hal yang perlu diperhatikan adalah:
21 a. Model harus berpijak pada landasan teori. b. Perhatikan variabel-variabel yang diperlukan. c. Bagaimana bentuk fungsinya. Sifat yang dimiliki oleh estimator pada model regresi OLS dengan memenuhi asumsi-asumsi di atas adalah best linier unbiased estimator (BLUE). Ragam minimum (efisien) dan konsisten serta berasal dari model yang linier. Selain itu, nilai estimasi dari contoh akan mendekati nilai populasi. Menurut Putong (2010) permintaan adalah banyaknya jumlah barang atau jasa yang diminta pada suatu pasar tertentu pada tingkat pendapatan tertentu dan dalam periode. Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi permintaan dari seseorang individu atau masyarakat terhadap suatu barang atau jasa yaitu: harga barang atau jasa, tingkat pendapatan/pendapatan rata-rata, jumlah penduduk/jumlah populasi, selera atau gengsi, ramalan/estimasi di masa yang akan datang, harga barang atau jasa lain/substitusi, distribusi, dan lainnya. Hukum permintaan menjelaskan sifat hubungan antara permintaan suatu barang dengan tingkat harganya. Hukum permintaan merupakan suatu hipotesis yang menyatakan bahwa semakin rendah harga suatu barang maka semakin banyak permintaan terhadapnya. Sebaliknya, semakin tinggi harga suatu barang maka semakin sedikit permintaan terhadapnya. Perloff (2008) menyatakan bahwa kurva permintaan akan bergerak naik seiring dengan meningkatnya pendapatan individu atau masyarakat. Dengan perubahan pendapatan dan harga dianggap konstan, dapat terlihat perubahan kuantitas permintaan karena peningkatan pendapatan. Kurva Engel menyimpulkan hubungan antara permintaan dan tingkat pendapatan dengan kondisi harga konstan. Efek pendapatan terhadap permintaan bisa positif dan negatif. Ketika barang dan jasa bersifat normal, maka efek pendapatan akan berdampak positif. Ketika barang dan jasa bersifat inferior, maka efek pendapatan berdampak negatif. Sukirno (2008) menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk tidak dengan sendirinya menyebabkan pertambahan permintaan. Tetapi biasanya pertambahan penduduk diikuti oleh perkembangan dalam kesempatan kerja. Dengan demikian lebih banyak orang yang menerima pendapatan dan ini menambah daya beli dalam masyarakat. Pertambahan daya beli akan menambah permintaan. Dalam penelitian ini untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan terhadap industri jasa angkutan udara nasional, yang diperoleh dari penelitian dan jurnal sebelumnya, dapat dilihat dari pertumbuhan populasi, PDB, pengeluaran rumah tangga, inflasi, jumlah armada pesawat dalam negeri, nilai tukar, pertumbuhan ekspor, dan krisis. Secara matematis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan terhadap industri jasa angkutan udara nasional dapat ditulis sebagai berikut : –
Dt = α 0 + α 1PDBt+ α 2POPULASIt + α 3ARMADAt - α 4HARGA_AVTURt α 5INFLASIt + α 6KONSUMSI_RTt - α 7DUMMY98t + elt
Yang kemudian untuk menyamakan variabel yang digunakan di dalam persamaan, persamaan di atas diubah ke dalam bentuk double log menjadi :
22 Dt = α 0 + α 1LnPDBt+ α 2LnPOPULASIt + α 3LnARMADAt – α 4LnHARGA_AVTURt - α 5INFLASIt + α 6LnKONSUMSI_RTt – α 7LnDUMMY98t + elt Keterangan: LnDt
= jumlah permintaan terhadap jasa penerbangan nasional (orang) LnPDB t = produk domestik bruto riil (dollar Amerika) LnPOPULASIt = pertumbuhan populasi (persen) LnARMADA t = jumlah armada (unit) LnHARGA_AVTUR t = harga avtur dalam negeri (rupiah/liter) INFLASI t = inflasi (%) LnKONSUMSI_RT t = pengeluaran riil rumah angga (dollar Amerika) DUMMY98t = dummy krisis El t = error / galat
Pengujian Parameter Persamaan Regresi Untuk mendapatkan model yang baik, maka diperlukan untuk melakukan pengujia-pengujian sebagai berikut: Uji Koefisien Determinan (R2) Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur seberapa besar total variasi variabel dependan yang mampu dijelaskan oleh model. R2 menunjukan besarnya pengaruh semua variabel independen terhadap dependen. Nilai R2 akan semakin besar sesuai dengan bertambahnya variabel yang dimasukan ke dalam model. R-square = Keterangan: RSS: Jumlah Kuadrat Terkecil TSS: Jumlah Kuadrat Total Nilai koefisien determinasi yang digunakan adalah 0 < R2 < 1. Jika R2 = 1 berarti 100 persen keragaaman dalam variabel dependan dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independennya. Sedangkan jika R2 = 0 berarti tidak satupun variabel-variabel independen yang dapat menjelaskan variabel dependennya. Selain nilai R2 terdapat juga nilai adjusted R2. Nilai ini digunakan untuk membandingkan 2 model dimana semakin besar nilai R2-adj maka semakin baik model tersebut. R2-adj dapat digunakan untuk membandingkan dua model karena nilai R2-adj sudah mengalami koreksi terhadap derajat bebas model sehingga dua model yang berbeda derajat bebasnya dapat dibandingkan secara adil. Uji F-Statistik
23 Uji F dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel independen dalam model secara bersamaan berpengaruh terhadap variabel dependen. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan distribusi F dengan membandingkan antara nilai kritis F dengan nilai F-hitung yang terdapat dalam analisis. Perumusan hipotesis: H0: β 1 = β 2 = β 3 = β k = 0, variabel independen secara simultan tidak berpengaruh signifikan terhadap variable dependen. H1: β 1 ≠ β 2 ≠ β 3 ≠ β k ≠ 0, variabel independen secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variable dependen. Uji statistik F dapat dihitung dengan formula: F hitung =
R2/(k-1) (1-R2/(n-k)
Keterangan: R2 : Jumlah kuadrat regresi (1 - R2) : Jumlah kuadrat sisa n : Jumlah pengamatan k : Jumlah parameter Kriteria uji: Probability F-statistic < taraf nyata (α ), maka tolak H0 dan simpulkan minimal ada variabel independen yang memengaruhi variabel dependen. Probability F-statistic > taraf nyata (α ), maka terima H0 dan simpulkan tidak ada variabel independen yang memengaruhi variabel dependen. Uji t-statistik Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat signifikan variabel bebas atau untuk menguji secara statistik apakah regresi dari masing – masing variabel independen yang dipakai secara terpisah berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel dependen. Hipotesis: H0: β k = 0 (variabel independen k tidak memengaruhi variabel dependen) H1: β k ≠ 0 (variabel independen k memengaruhi variabel dependen) Kriteria uji: Probability t-statistic < (a), maka tolak H0 dan simpulkan variabel independen k berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Probability t-statistic > (a), maka terima H0 dan simpulkan variabel independen k tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Uji Asumsi Klasik Terdapat tiga asumsi yang harus diuji dalam analisis regresi, yaitu multikolinieritas, heteroskdastisitas dan autokorelasi. Selain itu ada uji normalitas untuk mengetahui apakah error term menyebar normal atau tidak. Uji Normalitas
24 Uji normalitas digunakan untuk melihat error term. Uji normalitas ini disebut Jarque-Bera Test (J-B) yang pengujiannya dilakukan pada error term yang harus terdistribusi secara normal. Kriteria uji yang digunakan adalah: Hipotesis: H0: error term terdistribusi normal H1: error term tidak terdistribusi normal Kriteria uji: Jika nilai probabilitas > taraf nyata (α ) maka terima H0 dan kesimpulannya error term terdistribusi normal. Jika nilai probabilitas < taraf nyata (α ) maka tolak H0 dan kesimpulannya error term tidak terdistribusi normal. Uji Multikolinearitas Asumsi klasik yang harus dipenuhi dalam suatu model adalah tidak adanya gejala multikoliearitas di dalam model regresi. Multikoliniearitas adalah adanya korelasi yang kuat antar sesama variabel bebas (eksogen). Jika korelasinya kurang dari 0.8 (rule of tumbs 0.8) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada multikolinieritas. Tetapi jika nilai koefisien korelasinya lebih besar dari 0.8 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat multikolinieritas dalam model. Uji Klein juga menambahkan bahwa jika nilai korelasi lebih kecil dari nilai R2, maka tidak terdapat multikolinieritas dalam model. Jika di dalam suatu model terdapat multikolinieritas yang sempurna maka akibatnya adalah akan diperoleh nilai R2 yang tinggi tetapi tidak ada koefisien variabel dugaan yang signfikan. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi dilakukan untuk mendeteksi apakah terdapat hubungan diantara galat dalam persamaan regresi yang diperoleh. Uji yang digunakan dalam melihat adanya autokorelasi adalah dengan menggunakan uji Durbin Watson Statistic (D-W). Jika nilai statistik D-W berada pada kisaran angka dua, maka itu menunjukan bahwa tidak terdapatnya autokorelasi, dan begitu juga sebaliknya. Jika semakin jauh dari angka dua, maka akan terjadi peluang autokorelasi positif maupun negatif. Karena uji D-W memiliki kelemahan, maka dilakukan pengujian lain seperti uji Lagrange Multiplier Test. Kriteria uji yang digunakan untuk mendeteksi autokorelasi dengan uji Lagrange Multiplier, yaitu: 1. Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Square > taraf nyata (α ) yang digunakan, maka model persamaan yang digunakan tidak mengandung autokorelasi. 2. Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Square < taraf nyata (α ) yang digunakan, maka model persamaan yang digunakan mengandung autokorelasi. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas terjadi ketika ragam galat tidak konstan. Gejala heteroskdastisitas yang terjadi pada model akan menunjukan bahwa model tersebut tidak memenuhi syarat. Suatu model dikatakan baik apabila memiliki ragam galat yang konstan. Untuk mengetahui gejala heteroskedastisitas, maka perlu dilakukan uji Breush-Pagan pada aplikasi E-views 6: Hipotesis: H0: Homoskedastisitas
25 H1: Heteroskedastisitas
Kriteria Uji: Jika p-value > taraf nyata (α ) sebesar 5 persen maka terima H0 yang artinya ragam residual pada model homogen atau tidak ada heteroskedastisitas pada model. Jika p-value < taraf nyata (α ) sebesar 5 persen maka tolak H0 yang artinya ragam residual pada model heterogen atau ada heteroskedastisitas pada model.
GAMBARAN UMUM Kondisi Industri Jasa Penerbangan Indonesia Industri jasa penerbangan Indonesia dimulai pada tahun 1949 ketika perusahaan penerbangan milik Belanda KLM Interinsulair Bedrijf diserahkan ke Indonesia sesuai dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Akhirnya, nama KLM Interinsulair Bedrijf diubah menjadi Garuda Indonesia Airways oleh Presiden Soekarno dan menjadi maskapai penerbangan komersial pertama di Indonesia. Industri penerbangan nasional terus mengalami perkembangan seiring peningkatan permintaan masyarakat, sehingga pada tahun 1952, pemerintah membentuk “Djawatan Penerbangan Sipil” (pada tahun 1963 diubah menjadi Direktorat Penerbangan Sipil) yang bertugas untuk menangani administrasi pemerintah, pengusahaan dan pembangunan bidang perhubungan udara. Selain Garuda Indonesia Airways, pemerintah juga membentuk maskapai penerbangan lainnya pada tahun 1962 dengan nama Merpati Nusantara Airlines yang ditugaskan untuk penerbangan dalam negeri. Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah mengenai multiairlines system, maka pada tahun 1970an bermunculanlah perusahaan-perusahaan maskapai penerbangan swasta nasional. Maskapai-maskapai swasta ini turut membantu pemerintah dalam melaksanakan program -program pemerintah seperti transmigrasi, membuka daerah terisolir dan lainnya. Maskapai-maskapai penerbangan nasional terbagi-bagi ke dalam beberapa segmen yakni maskapai niaga berjadwal, niaga berjadwal kargo, niaga tidak berjadwal, niaga tidak berjadwal kargo dan non niaga. Maskapai niaga berjadwal merupakan maskapai yang melayani jasa penerbangan penumpang dengan jadwal yang telah disediakan atau ditetapkan setiap harinya. Maskapai niaga berjadwal kargo adalah maskapai yang melayani jasa penerbangan pengiriman barang atau kargo dengan jadwal yang telah ditetapkan setiap harinya. Maskapai niaga tidak berjadwal dan kargo tidak berjadwal merupakan maskapai yang menyediakan jasa rental atau carteran pesawat. Maskapai non niaga adalah maskapai yang tidak bergerak untuk tujuan komersial atau maskapai milik pribadi atau kelompok. Saat ini ada sekitar 17 maskapai yang merupakan maskapai niaga berjadwal, 3 maskapai niaga berjadwal kargo, 45 maskapai niaga tidak berjadwal, 4 maskapai niaga tidak berjadwal kargo dan 25 maskapai non niaga.
26 Bandar udara atau bandara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang/barang serta dilengkapi dengan fasilitas keamanan dan keselamatan penerbangan. Untuk menunjang pelayanan terhadap masyarakat pengguna jasa penerbangan, maka kemampuan, kinerja dan fasilitas bandara harus selalu ditingkatkan sampai pelayanan maksimum yang mampu diberikan. Dalam rangka peningkatan efektifitas dan efisiensi layanan bandara, pemerintah memberikan izin kepada pemerintah daerah, swasta maupun koperasi untuk memanfaatkan setiap lahan bandara. Pemerintah melalui Kementrian Keuangan dan Kementrian Perhubungan saat ini tengah mempersiapkan pelepasan hak pengelolaan beberapa bandara untuk dikelola oleh pihak swasta secara penuh. Hal yang paling penting dalam urusan industri jasa penerbangan adalah masalah pembagian rute penerbangan karena dari pengoperasian rute penerbangan inilah didapatkan revenue perusahaan. Pembagian rute penerbangan telah diatur oleh pemerintah melalui Kementrian Perhubungan. Menurut Keputusan Mentri Perhubungan No. KM. 126 tahun 1990 tentang rute penerbangan, disebutkan bahwa pembagian rute penerbangan dilakukan dengan pertimbangan status atau sifat perusahaan, keseimbangan supply-demand, kepemilikan atau penguasaan pesawat, pangkalan induk dan kemampuan bandara. Menurut Noviansyah (2008) dalam tulisannya yang berjudul “Perkembangan Industri Penerbangan di Indonesia” disebutkan bahwa jalur atau rute penerbangan di Indonesia terdiri dari jalur penerbangan dalam negeri 300
Jumlah (Satuan)
250 200 150 100 50 0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Rute 131 134 134 166 202 189 206 187 170 175 199 217 261 Kota
78
77
77
88
96
101 100
90
88
85
100 107 110
(domestik), jalur penerbangan perintis dan jalur penerbangan luar negeri (internasional). Seiring dengan semakin meningkatnya permintaan atas jasa angkutan udara, rute penerbangan dalam negeri terus mengalami peningkatan. Rute-rute penerbangan perintis telah banyak bermetamormofosa menjadi rute penerbangan domestik. Sumber: Buku Statistik Angkutan Udara (2012)
Gambar 5 Grafik perkembangan rute penerbangan nasional Berdasarkan gambar di atas, diketahui bahwa jumlah rute penerbangan nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2000, jumlah rute
27 penerbangan dalam negeri mencapai 131 rute yang melayani sekitar 78 kota. Jumlah tersebut terus bertambah sampai pada tahun 2004 yakni sebanyak 202 rute yang melayani 96 kota. Pada tahun 2005 terjadi penurunan jumlah rute meskipun 80000000 70000000 60000000 50000000 Domestik
40000000
Internasional
30000000 20000000 10000000 0 2008
2009
2010
2011
2012
Jumlah permintaan (orang)
terjadi kenaikan jumlah kota yang dilayani dimana jumlah rute yang tersedia adalah sebanyak 189 yang melayani 101 kota. Jumlah rute yang dilayani terus mengalami penurunan hingga tahun 2009. Pada tahun 2010, jumlah rute penerbangan nasional kembali meningkat dengan 199 rute yang melayani 100 kota. Pada tahun 2012, jumlah rute penerbangan nasional tumbuh sampai 261 rute yang melayani 110 kota di seluruh Indonesia.
Sumber: Kementrian Perhubungan (2012)
Gambar 6 Grafik permintaan jasa penerbangan nasional Berdasarkan Gambar 6 di atas, permintaan pasar domestik industri jasa penerbangan nasional jauh lebih tinggi daripada permintaan internasional. Pasar dometik merupakan kekuatan pasar para pelaku industri jasa penerbangan nasional. Meskipun permintaan penerbangan internasional tidak sebesar
28
Persentase pertumbuhan (%)
permintaan domestik, namun permintaan penerbangan internasional tetap mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ini diprediksi akan semakin meningkat di tahun-tahun ke depan seiring meningkatnya pelayanan yang diberikan para pelaku usaha jasa penerbangan nasional.
Sumber: Bank Indonesia (2014)
Gambar 7 Grafik pertumbuhan ekspor jasa penerbangan Indonesia Seperti yang ditunjukan Gambar 7 di atas, dari tahun 2005, pertumbuhan ekspor jasa penerbangan nasional mengalami fluktuatif yang cukup tinggi. Pertumbuhan ekspor jasa penerbangan yang sampai 33 persen pada tahun 2005 mengalami penurunan hingga minus 20 persen pada tahun 2006. Lalu naik lagi sampai tahun 2008 senilai 60 persen dan turun lagi pada tahun 2009 hingga minus 40 persen. Pertumbuhan kembali meningkat pada tahun 2010 dan 2011 dengan nilai 45 persen dan 57.7 persen. Pertumbuhan kembali turun pada tahun 2012 dimana hanya tumbuh sekitar 9.4 persen. Tidak dapat dipungkiri bahwa kekuatan industri jasa penerbangan adalah dari permintaan dalam negeri yang sangat besar. Namun dalam beberapa tahun terakhir, nilai ekspor jasa penerbangan terus mengalami pertumbuhan. Hal ini akibat semakin meningkatnya pelayanan dan daya saing yang dimiliki oleh industri jasa penerbangan nasional. Kondisi Industri Jasa Penerbangan ASEAN 1. Permintaan Jasa Penerbangan Negara-Negara ASEAN
29
Sumber: ASEAN-Japan Transport Partnership (2012)
Gambar 8 Permintaan jasa penerbangan negara-negara ASEAN Negara-negara dengan permintaan jasa penerbangan tinggi di ASEAN
adalah Thailand, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Pada tahun 2008 permintaan jasa penerbangan Thailand mencapai 57.7 juta kursi. Permintaan tertinggi kedua ditempat oleh Malaysia dengan jumlah permintaan 48.2 juta kursi, lalu diikuti oleh Indonesia dengan 41.5 juta kursi. Namun, negara dengan pertumbuhan permintaan teringgi adalah Indonesia. Dalam kurun waktu 5 tahun permintaan jasa penerbangan Indonesia mampu bertumbuh hingga 96 persen. Pada tahun 2012, Indonesia menempati urutan kedua permintaan tertinggi dengan total permintaan mencapai 81.3 juta kursi. Jumlah ini masih di bawah Thailand dengan total permintaan mencapai 82.6 juta kursi.
Sumber: ASEAN-Japan Transport Partnership (2012)
Gambar 9 Permintaan jasa penerbangan ASEAN 2008 dan 2012
30 Karakteristik permintaan jasa penerbangan tiap negara ASEAN berbedabeda. Singapura dan Brunei Darussalam merupakan negara dengan keseluruhan permintaan jasa penerbangan internasional. Hal ini dikarenakan karena kedua negara tersebut berukuran kecil dan hanya memiliki satu bandara. Sehingga permintaan penerbangan domestik tidak ada. Indonesia dan Filipina memiliki karakteristik permintaan domestik yang jauh lebih besar dibandingkan permintaan internasional. Thailand, Malaysia, Vietnam, Kamboja, dan Laos memiliki karakteristik permintaan yang relatif berimbang antara permintaan domestik dan internasional. 2. Pergerakan Pesawat Berpenumpang di ASEAN Sumber: ASEAN-Japan Transport Partenrship (2012)
Gambar 10 Pergerakkan pesawat berpenumpang di ASEAN tahun 2008 dan 2012 Secara keseluruhan terdapat sekitar 2.3 juta pergerakan pesawat berpenumpang pada tahun 2008 di seluruh wilayah ASEAN. Pergerakan pesawat tertinggi terjadi di Filipina dengan 567.813 pergerakan pesawat. Pergerakan terbanyak kedua terdapat di Malaysia lalu diikuti oleh Thailand. Pada tahun 2008 pergerakan pesawat di Indonesia baru mencapai 378.282. Pada tahun 2012 terjadi sekitar 3.1 juta kali pergerakan pesawat di wilayah ASEAN. Indonesia menjadi negara dengan pergerakkan pesawat terbanyak di tahun 2012 yang mencapai 684.658 kali. Pertumbuhan pergerakkan pesawat di Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun mencapai 50 persen. 3. Maskapai Penerbangan ASEAN Pada tahun 1998 terdapat sekitar 31 perusahaan maskapai penerbangan yang
tersebar di negara-negara anggota ASEAN. Filipina memiliki maskapai penerbangan reguler terbanyak dengan 8 maskapai penerbangan. Indonesia saat itu memiliki 6 maskapai penerbangan reguler. Seiring dengan bertumbuhnya perekonomian ASEAN, jumlah maskapai penerbangan juga mengalami peningkatan hingga mencapai 63 maskapai penerbangan reguler pada tahun 2012. Indonesia memiliki maskapai penerbangan reguler terbanyak dengan 13 maskapai. Pertumbuhan jumlah maskapai tertinggi terjadi di Thailand yang pada tahun 1998 hanya memiliki 2 maskapai penerbangan, bertambah menjadi 10 maskapai pada tahun 2012 seperti yang terlihat pada Gambar 11.
31
Sumber: ASEAN Strategic Transport Plan (2012)
Gambar 11 Jumlah maskapai negara-negara ASEAN tahun 1998 dan 2012 Tabel 6 Statistik finansial maskapai besar ASEAN tahun 2012 (dalam juta dollar Amerika) Maskapai Total Pendapatan Total Pengeluaran Total Aset Singapore 12.078 11.895 17.942 Airlines (SIN) Garuda Indonesia 3.472 3.304 2.517 (INA) Malaysia Airlines 4.466 4.598 NA (MAL) Thai Airways 6.870 6.641 9.784 (THA) Phillipines 1.708 1.815 NA Airlines (PHI) Sumber: Bloomberg Bussinessweek (2012)
Berdasarkan data statistik finansial lima maskapai besar milik pemerintah di Asia Tenggara di atas diketahui bahwa Singapore Airlines sebagai maskapai terbesar dengan total pendapatan pada tahun 2012 mencapai US$12.078 juta. Maskapai penerbangan Thailand Thai Airways berada di posisi kedua dengan total pendapatan US$6.870 juta lalu Malaysia Airlines berada di posisi ketiga dengan pendapatan US$4.466 juta. Maskapai penerbangan milik Indonesia Garuda Indonesia berada di posisi keempat dengan total pendapatan sebesar US$ 3.472 juta dan terakhir Philippina Airlines dengan pendapatan US$1.708 juta. Keuntungan terbesar diperoleh oleh Thai Airways dengan keuntungan mencapai US$ 200 juta lalu diikuti Garuda Indonesia dengan keuntungan sebesar US$168 juta. Malaysia Airlines dan Philippines Airlines mengalami kerugian pada tahun 2012. Kerugian Malaysia Airlines mencapai US$132 juta. Malaysia Airlines merupakan maskapai besar skala dunia yang telah mengalami kerugian selama tiga tahun terakhir.
32 4. Bandara Utama di ASEAN Tabel 7 Bandara utama ASEAN Bandara Panjang Lintasan Penumpang per tahun (P x L, m) (orang) Bandar Seri Begawan (Bru) 3.658 x 46 3 Juta Pochentong (Kam) 3.000 x 44 3 Juta Soekarno-Hatta (Ina) 3.600 x 60 53 Juta 3.600 x 60 Vientiane (Lao) 3.600 x 45 1.4 Juta Kuala Lumpur (Mal) 4.056 x 60 37 Juta 4.124 x 60 Yangon (Mya) 3.413 x 61 2 Juta Ninoy Aquino (Fil) 3.737 x 60 31 Juta 2.258 x 45 Changi (Sin) 4.000 x 60 46 Juta 4.000 x 60 2.748 x 59 Survarnabhumi (Tha) 4.000 x 60 47 Juta 3.700 x 60 Noi Bai (Vie) 3.700 x 60 15 Juta Sumber: ASEAN Strategic Transport Plan (2012)
Bandara-bandara utama ASEAN pada umumnya telah memiliki standar fasilitas dan keamanan yang sesuai standar internasional. Panjang lintasan ratarata bandara telah melebihi standar yang ditetapkan oleh badan internasional. Pihak otoritas bandara masing-masing negara juga telah melakukan pengembangan bandara untuk meningkatkan fasilitas-fasilitas bandara dalam rangka menyambut kebijakan open sky policy. Bandara Changi Singapura merupakan bandara terbesar dan termegah di ASEAN yang telah memiliki 3 terminal lintasan. Lalu, bandara Soekarno-Hatta menjadi bandara dengan jumlah pergerakkan penumpang tertinggi dibandingkan dengan bandara-bandara utama lainnya.
33
HASIL DAN PEMBAHASAN Daya Saing Industri Jasa Penerbangan Nasional (Keunggulan Komparatif) Analisis daya saing industri jasa penerbangan nasional menggunakan pendekatan Revealed Comparative Advantage (RCA). Metode ini didasarkan pada suatu konsep yang menyatakan bahwa perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu wilayah. Variabel yang diukur dalam analisis RCA ini adalah total nilai ekspor jasa angkutan udara dan total nilai ekspor seluruh jasa Indonesia yang akan dibandingkan dengan variabel sama dengan nilai seluruh dunia. Apabila nilai RCA lebih besar dari satu berarti negara tersebut memiliki keunggulan komparatif untuk industri jasa penerbangan. Sebaliknya jika nilai RCA kurang dari satu, maka negara tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif. Metode analisis RCA dapat ditafsirkan bahwa jika pangsa ekspor industri jasa penerbangan Indonesia dalam ekspor seluruh jasa Indonesia lebih besar dibandingkan dengan pangsa ekspor industri jasa penerbangan dunia dalam ekspor seluruh jasa dunia maka dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam industri jasa penerbangan. Analisis daya saing industri jasa penerbangan nasional ini dihitung sejak tahun 2004 hingga tahun 2011. Range waktu yang relatif singkat dari 2004 hingga 2011 ini disebabkan oleh terbatasnya data yang tersedia serta perkembangan industri jasa Indonesia yang baru mulai bergerak pada awal 2000-an.
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Tabel 8 Hasil perhitungan RCA dan indeks RCA RCA Daya Saing Jasa Indeks RCA Penerbangan Nasional 1.05777 Kuat 1.24629 Kuat 1.17822 1.10204 Kuat 0.88425 1.08032 Kuat 0.98029 1.43061 Kuat 1.32424 1.10063 Kuat 0.76934 1.20148 Kuat 1.09163 1.50259 Kuat 1.25061 1.55984 Kuat 1.03809
Perkembangan industri jasa penerbangan Indonesia yang sempat mengalami peningkatan hingga pada tahun 1996 akhirnya menurun pada tahun 1997 akibat krisis moneter yang melanda negeri. Pada masa-masa pemulihan ekonomi nasional, industri jasa penerbangan mangalami penurunan permintaan yang cukup besar hingga tahun 2000. Awal tahun 2000an merupakan momen kebangkitan industri jasa penerbangan. Secara keseluruhan, daya saing industri jasa penerbangan nasional sejak tahun 2004 hingga 2012 selalu kuat. Pada tahun 2004, level RCA industri jasa penerbangan nasional kuat yakni bernilai 1.05777. Nilai ekspor jasa penerbangan nasional bernilai sekitar 428 juta dollar AS, sementara total ekspor keseluruhan jasa nasional adalah sebesar 12 miliar dollar AS. Di sisi
34 lain ekspor jasa penerbangan dunia bernilai sekitar 77 miliar dollar AS, dan nilai ekspor jasa dunia sebesar 2298 miliar dollar AS. Pada tahun 2005 daya saing industri jasa penerbangan nasional memiliki nilai RCA sebesar 1.24629. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan nilai ekspor jasa penerbangan Indonesia yang mencapai 33 persen sementara pertumbuhan ekspor jasa nasional hanya sekitar 7 persen. Pada tahun 2005 ini, ekspor jasa penerbangan nasional bernilai 572 juta dollar AS dan ekspor jasa nasional sekitar 13 miliar dollar AS. Nilai indeks RCA yang juga lebih dari satu menunjukan daya saing industri jasa penerbangan lebih meningkat dari tahun sebelumnya. Peningkatan ini tidak lepas dari pertumbuhan ekonomi nasional yang signifikan serta semakin stabilnya kondisi politik nasional setelah berlangsungnya pemilihan umum presiden secara langsung pada tahun 2004. Meskipun mengalami beberapa tekanan seperti kebijakan pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar pada akhir tahun 2005, pelemahan nilai tukar rupiah serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam negeri yang dapat menyebabkan berkurangnya permintaan jasa penerbangan internasional seperti bencana Tsunami di Aceh dan Bom Bali II, namun industri jasa penerbangan nasional masih bisa memiliki daya saing yang kuat dikarenakan oleh pertumbuhan ekspor jasa penerbangan dunia yang hanya sekitar 10 persen dan pertumbuhan ekspor jasa dunia hanya sebesar 12 persen. Pertumbuhan yang sedikit itu, membuat pangsa ekspor jasa penerbangan dunia terhadap ekspor jasa secara menyeluruh menjadi lebih kecil. Tingkat daya saing industri jasa penerbangan nasional tahun 2006 masih kuat namun, indeks RCA menunjukan nilai dibawah 1 yang artinya daya saing jasa penerbangan nasional tahun ini lebih rendah dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2006, ekspor jasa penerbangan nasional mengalami penurunan yang cukup besar dari tahun sebelumnya yakni sebesar 22 persen. Penurunan ini juga diikuti penurunan ekspor jasa secara keseluruhan yang turun sebesar 10 persen. Indonesia hanya mengekspor jasa penerbangan senilai 442 juta dollar AS sepanjang tahun dan mengekspor jasa keseluruhan sebesar 11.5 miliar dollar AS. Penurunan nilai ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain warisan kebijakan ekonomi tahun sebelumnya dimana subsidi bahan bakar minyak yang dicabut pemerintah menyebabkan inflasi yang cukup tinggi sehingga mengurangi daya beli dan keinginan masyarakat untuk bepergian ke luar negeri. Selain itu, peristiwa Bom Bali II di akhir 2005 lalu mengurangi minat wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Indonesia serta kejadian kecelakaan pesawat salah satu maskapai nasional Garuda Indonesia menyebabkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap maskapai dalam negeri jadi berkurang. Di sisi lain, ekspor jasa penerbangan dunia mengalami peningkatan yang cukup tinggi yakni sekitar 25 persen, dan ekspor jasa dunia secara keseluruhan juga mengalami peningkatan sebesar 20 persen dari tahun sebelumnya. Pada tahun ini ekspor jasa penerbangan dunia mencapai 100 miliar dolar AS dan ekspor jasa dunia sebesar 2.8 triliun dollar AS. Tingkat daya saing yang masih kuat pada tahun 2006 disebabkan oleh rendahnya pangsa ekspor jasa penerbangan dunia terhadap ekspor jasa secara keseluruhan. Nilai indeks RCA pada tahun 2007 masih kecil dari 1. Hal ini menunjukan pada tahun 2007, kekuatan daya saing industri jasa penerbangan nasional lebih rendah dari tahun 2006. Namun pelemahan ini lebih baik dari pelemahan tahun sebelumnya. Maskapai-maskapai nasional berhasil mengekspor jasa penerbangan
35 senilai 485 juta dollar AS, nilai ini tumbuh sekitar 9 persen dari tahun sebelumnya. Ekspor jasa Indonesia secara keseluruhan juga mengalami pertumbuhan sekitar 8 persen. Industri penerbangan nasional mulai mengalami pertumbuhan lagi seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional, pertumbuhan wisatawan mancanegara dan kembalinya kepercayaan masyarakat internasional terhadap maskapai penerbangan nasional setelah berbagai upaya perbaikan pelayanan yang dilakukan oleh maskapai-maskapai nasional. Salah satu tantangan berat yang harus dihadapi industri perdagangan adalah kenaikan harga bahan bakar pesawat (avtur) yang terus meningkat secara signifikan. Peningkatan harga bahan bakar ini memaksa setiap maskapai penerbangan melakukan berbagai tindakan efisiensi seperti fuel conservation program dan lainnya serta harus menerapkan fuel surcharge sebagai salah satu usaha untuk menutupi membengkaknya biaya operasional akibat kenaikan harga bahan bakar. Pada tahun 2008, daya saing industri jasa penerbangan nasional kembali meningkat dengan memiliki nilai RCA sebesar 1.4306 dan indeks RCA sebesar 1.32424. Penguatan daya saing ini didasari oleh peningkatan nilai ekspor jasa penerbangan nasional senilai 773 juta dollar AS atau naik sekitar 59 persen dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekspor jasa penerbangan ini juga diiringi pertumbuhan ekspor jasa secara menyeluruh sebesar 22 persen. Petumbuhan yang dialami industri jasa penerbangan nasional ini merupakan suatu pencapaian yang luar biasa karena pertumbuhan yang besar terjadi di saat dunia tengah mengalami krisis akibat krisis suprime mortgage yang berasal dari Amerika Serikat. Meskipun dilanda krisis, ekspor jasa penerbangan dunia tetap mengalami pertumbuhan sebesar 15 persen, namun beberapa maskapai besar dunia mengalami kerugian yang besar. International Air Transport Association (IATA) mencatat industri penerbangan dunia mengalami kerugian hingga 8 miliar dollar Amerika yang disebabkan oleh penurunan permintaan penerbangan domestik mereka. Tantangan bagi industri jasa penerbangan nasional pada tahun ini adalah kenaikan bahan bakar yang masih terus terjadi (meningkat 51.7 persen dari tahun sebelumnya), ketatnya persaingan bisnis baik itu dengan maskapai luar negeri maupun maskapai dalam negeri. Perekonomian Indonesia secara umum tidak mengalami dampak krisis yang terjadi di dunia, ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang terus tumbuh sebesar 6.1 persen. Serta semakin banyaknya wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia membuat permintaan terhadap industri jasa penerbangan nasional mengalami peningkatan apalagi setelah salah satu maskapai nasional yaitu Garuda Indonesia menerima sertifikat keselamatan penerbangan bertaraf internasional IATA Operational Safety Audit (IOSA) oleh IATA. Persaingan dengan maskapai asing masih terus terjadi dimana dari sekitar 13.1 juta pergerakan penumpang penerbangan internasional di setiap bandara internasional Indonesia baik yang dari dan ke luar negeri, maskapai penerbangan nasional berhasil mengangkut sekitar 4.1 juta orang diantaranya. Pada tahun 2009 kekuatan daya saing industri jasa penerbangan nasional kembali menurun dengan nilai indeks RCA sebesar 0.7693. Nilai ekspor jasa penerbangan Indonesia turun sekitar 41persen dari tahun sebelumnya. Tahun ini ekspor jasa penerbangan nasional hanya bernilai sekitar 456 juta dollar Amerika. Penurunan juga terjadi pada ekspor jasa Indonesia yang turun sebesar 13 persen. Dampak krisis yang terjadi pada tahun 2008 masih mengahantui perekonomian dunia pada tahun ini. Ekspor jasa penerbangan dunia maupun ekspor jasa dunia
36 mengalami penurunan masing-masing sebesar 19 persen dan 9 persen. Bahkan pada tahun 2009, ada sekitar 26 maskapai penerbangan dunia yang mengalami kebangkrutan. Industri penerbangan dunia menghadapi cobaan berat berupa kenaikan avtur yang meningkat tajam dan di sisi lain terjadi penurunan permintaan baik dari segi penumpang maupun barang. Akibatnya, industri penerbangan global mengalami penurunan pendapatan hingga 14 persen dan total kerugian mencapai 9.4 miliar dollar AS. Industri jasa penerbangan dalam negeri mengalami pertumbuhan permintaan untuk penerbangan internasional sebesar 21 persen, namun karena dikarenakan depresiasi Rupiah yang cukup tinggi pada tahun 2009 yakni hingga Rp. 10 390/dollar AS, maka nilai ekspor jasa penerbangan dalam negeri mengalami penurunan. Kondisi industri jasa penerbangan nasional pada tahun 2009 cukup mengembirakan. Tantangan yang dihadapi para pelaku usaha jasa penerbangan mulai berkurang seiring telah diturunkannya harga avtur. Beberapa maskapai penerbangan mulai berlombalomba meningkatkan produktivitas mereka dengan meningkatkan jumlah armada. Beberapa maskapai besar seperti Garuda Indonesia, Lion Air, Sriwijaya Air dan beberapa maskapai lainnya menambah jumlah armada mereka dari 5 hingga 15 unit pesawat. Selain itu, Garuda Indonesia selaku maskapai pelat merah nasional telah mendapatkan izin kembali untuk penerbangan ke wilayah Eropa dan menjadi satu-satunya maskapai nasional yang terbang ke Eropa. Industri jasa penerbangan nasional mengalami penguatan daya saing pada tahun 2010 dengan nilai RCA sebesar 1.2014 dan indeks RCA sebesar 1.0916. Penguatan ini berasal dari pertumbuhan signifikan ekspor jasa penerbangan nasional sebesar 44 persen diiringi pertumbuhan ekspor jasa nasional sebesar 27 persen. Pergerakan penumpang penerbangan internasional di seluruh bandara Indonesia pada tahun 2010 baik yang pergi atau masuk ke dalam negeri mencapai 15.8 juta penumpang. Maskapai penerbangan nasional berhasil mengangkut sekitar 6.6 juta penumpang diantaranya. Jumlah ini meningkat cukup tinggi dari tahun sebelumnya yakni sebesar 32 persen. Keberangkatan pesawat untuk penerbangan luar negeri juga mengalami pertumbuhan sebesar 18.5 persen dengan 50.793 keberangkatan. Industri jasa penerbangan dalam negeri pada tahun ini juga didukung oleh stabilnya harga bahan bakar pesawat (avtur) serta penguatan rupiah terhadap dollar. Sehingga setiap maskapai mampu memberikan harga yang lebih bersaing bagi konsumen. Pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 6 persen turut memberikan sumbangan atas pertumbuhan ekspor jasa penerbangan nasional. Akibat pertumbuhan ini, jumlah masyarakat kelas menengah yang memiliki kemampuan secara finansial untuk menggunakan jasa penerbangan ikut mengalami peningkatan. Maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia berhasil menjadi airline bintang empat dan dinobatkan sebagai “The World’s Most Improved Airline” oleh lembaga independen internasional, Skytrax. Keberhasilan Garuda ini semakin memacu pelaku usaha jasa penerbangan nasional untuk semakin meningkatkan produktivitas mereka. Tercatat selama tahun 2010, ada 36 pesawat baru yang masuk ke garasi maskapai-maskapai nasional. Pada tahun 2011 dan 2012, industri jasa penerbangan nasional semakin meningkatkan kekuatan daya saingnya dengan nilai RCA masing-masing sebesar 1.5025 dan 1.5598. Nilai ekspor jasa penerbangan nasional meningkat drastis hingga mencapai 57 persen dari tahun sebelumnya dengan nilai sekitar 1 miliar dollar AS. Peningkatan juga diikuti oleh ekspor jasa nasional yang mencapai 23
37 persen dengan nilai sekitar 20.7 milliar dollar AS. Pertumbuhan ini dicapai akibat semakin stabilnya perekonomian nasional dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6.5 persen serta peningkatan pelayanan yang diberikan oleh setiap maskapai penerbangan nasional. Tantangan yang harus dihadapi oleh maskapai penerbangan nasional pada tahun 2011 dan 2012 adalah meningkatnya harga bahan bakar serta persaingan yang semakin berat antar maskapai baik dengan maskapai dalam negeri maupun maskapai asing. Per akhir 2011, tercatat ada sekitar 30 maskapai asing yang masuk wilayah Indonesia. Industri jasa penerbangan nasional berhasil mengangkut sekitar 8.1 juta penumpang pada tahun ini yang mana meningkat sekitar 23 persen dari tahun sebelumnya. Meski perekonomian dunia cendrung mengalami penurunan, ekspor jasa penerbangan dunia tetap tumbuh sekitar 10 persen serta ekspor jasa dunia juga tumbuh sebesar 11 persen. Analisis Porter’s Diamond Industri Jasa Penerbangan Nasional Pada era perdagangan bebas saat ini, dimana sudah jarang dan bahkan hampir tidak ada lagi ditemukannya halangan perdagangan (trade barriers) baik itu yang bersifat tarif maupun non tarif, strategi persaingan merupakan suatu hal yang paling menentukan dalam mencapai keberhasilan suatu industri. Negara tidak bisa lagi mengandalkan keunggulan komparatif yang dimilikinya sebagai endowment factors atau faktor yang dimiliki secara kuat, tetapi juga harus memiliki keunggulan kompetitif yang kuat. Untuk mengukur keunggulan kompetitif suatu industri, maka digunakan metode analisis Porter’s Diamond Theory. Metode analisis ini memiliki empat unsur penting yang dapat menyatakan bahwa suatu industri memiliki keunggulan kompetitif atau tidak. Keempat unsur tersebut adalah kondisi faktor, kondisi permintaan, keberadaan industri pendukung, kondisi persaingan, dan struktur persaingan dalam negeri. Kondisi Faktor Di dalam unsur kondisi faktor, akan dijelaskan faktor – faktor sumberdaya yang berpengaruh terhadap daya saing industri jasa penerbangan. Produktivitas usaha akan meningkat ketika penggunaan dan pengelolaan faktor-faktor sumberdaya dilaksanakan secara efektif dan efisien. Kondisi faktor sumberdaya yang memengaruhi industri jasa penerbangan ada empat yakni, tenaga kerja, modal, teknologi, dan infrastruktur. Sumber Daya Manusia Faktor sumber daya manusia memiliki peran vital dalam hal perkembangan dunia usaha sebagai tenaga kerja penggerak industri. Menurut Batubara (1993) dalam Rahmanu (2009) disebutkan bahwa sumber daya manusia yang dibutuhkan oleh industri adalah sumber daya yang memiliki keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge). Oleh karena itu level pendidikan menjadi sangat penting dalam menciptakan dan membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan unggul di bidangnya.
38
No 1 2 3
4
Tabel 9 Jumlah tenaga kerja berlisensi angkutan udara Deskripsi 2008 2009 2010 2011 (orang) (orang) (orang) (orang) Pilot 6248 6451 6874 7428 Flight Operation 2686 2828 3097 3404 Officer (FOO) Flight Attendant 6803 7192 8139 9150 (FA)/Pramugari AMEL/ Maintenance 5594 5777 5963 6279 4 Engginer
2012 (orang) 7948 3679 10359
6827
Sumber: Kementrian Perhubungan RI, Dit Kelaiakan Udara dan Pengoperasian Pesawat, Dirjen Hub. Udara (2012)
Dari data di atas, terjadi peningkatan yang cukup signifikan setiap tahunnya di setiap kategori tenaga kerja. Hal ini menunjukan kemajuan yang pesat pada industri jasa penerbangan nasional. Pilot merupakan SDM yang paling penting dalam industri jasa angkutan udara. Jumlah pilot sangat berpengaruh terhadap produksi maskapai penerbangan. Jumlah lisensi pilot yang dikeluarkan oleh Kementrian Perhubungan Republik Indonesia pada tahun 2008 yang sebanyak 6248 orang naik sekitar 15 persen pada tahun 2012 menjadi 7948 orang. Kenaikan terbesar terjadi dari tahun 2010 ke tahun 2011. Jumlah pilot pada tahun 2010 sebesar 6874 orang naik menjadi 7428 orang pada tahun 2011. Lalu peningkatan jumlah tenaga kerja juga terjadi pada bagian Flight Operation Officer (FOO). FOO merupakan bagian yang bertugas sebagai operasi kontrol penerbangan. Tugas dari FOO antara lain mempersiapkan penerbangan seperti menghitung peforma armada, menentukan batasan berat saat lepas landas, bahan bakar, menganalia keadaan cuaca dan lainnya. Berdasarkan data dari Kementrian Perhubungan, jumlah lisensi telah dikeluarkan kepada 3679 orang pada tahun 2012. Jumlah ini jauh lebih banyak dari tahun sebelumnya yaitu, 3404 orang. Secara keseluruhan setiap tahunnya, jumlah penerima lisensi FOO meningkat sebanyak 200-300 orang per tahun. Selanjutnya adalah bagian Flight Attendant (FA) atau yang biasa disebut dengan awak kabin atau pramugari. Peningkatan jumlah pramugari jauh lebih signifikan dari tenaga kerja bagian yang lainnya. Saat ini jumlah pramugari berdasarkan lisensi yang dikeluarkan oleh Kementrian Perhubungan adalah sebanyak 10359 orang. Dari tahun 2010, peningkatan jumlah pramugari mencapai 1000 orang bahkan lebih setiap tahunnya. Bagian yang tidak kalah pentingnya adalah bagian perawatan armada. Perawatan armada ini dilakukan oleh teknisi pesawat. Pada tahun 2012 penerima lisensi petugas pelaksana perawatan pesawat atau Aircraft Maintenance Engineer License (AMEL) adalah sebanyak 6827 orang. Meski mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun, namun kebutuhan akan tenaga kerja di atas masih lebih tinggi dari jumlah yang ada sekarang. Sektor yang mengalami kekurangan adalah pilot dan teknisi perawatan pesawat. Kekurangan ini ditutupi dengan menggunakan jasa beberapa pilot asing. Saat ini, di Indonesia terdapat sekitar 500 orang pilot asing yang bertugas.
39 Menurut Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, Indonesia membutuhkan tambahan pilot setiap tahunnya hingga 800 orang. Hal ini disebabkan semakin besarnya industri jasa angkutan udara dan akan semakin meningkatnya jumlah armada yang akan masuk ke Indonesia pada tahun mendatang. Menurut prediksi pengamat, Indonesia akan membutuhkan 18.000 orang pilot di tahun 2030, karena maskapai-maskapai Indonesia akan memiliki armada sebanyak 2000 unit secara keseluruhan. Sumber daya Teknologi Batubara (1993) dalam Rahmanu (2009) menyatakan bahwa keunggulan kompetitif industri ditentukan oleh pengelola dalam memanfaatkan teknologi yang diku asainya. Dalam industri jasa penerbangan penggunaan teknologi terletak pada sistem informasi dan armada. Penggunaan sistem informasi yang semakin berkembang didasarkan pada kemajuan yang pesar di bidang teknologi baik hardware maupun software yang mampu mendukung perkembangan industri jasa penerbangan nasional. Hal ini terlihat dari efisiensi-efisiensi dalam berbagai bidang seperti penghematan kertas (paperless), tiket (ticketless) yang menjangkau wilayah distribusi yang sangat luas. Pada umumnya, sistem teknologi informasi yang terdapat dalam industri jasa penerbangan saat ini terbagi atas 2 yaitu: 1. Sistem Front Office Sistem front office merupakan sistem yang mencakup hubungan langsung dengan pelanggan / customer. Sistem front office ini terdiri atas sistem pemesanan tiket (reservasi), sistem check in bandara, boarding system, website online yang menyediakan informasi perusahaan serta tiket, sistem pembayaran online, sistem e-ticketing, sms booking, global distribution system dan lainnya. 2. Sistem Back Office Sistem back office merupakan sistem yang mendukung berjalannya kegiatan operasional perusahaan. Sistem back office terdiri atas software accounting, sistem informasi sumber daya manusia, ERP system, sistem kontrol pemeliharaan armada, sistem penjadwalan armada, database pelanggan, sistem monitor kru maskapai dan lainnya. Pada saat ini, hampir seluruh perusahaan angkutan udara nasional telah mengadaptasi dan menerapkan sistem teknologi informasi di atas. Penggunaan sistem informasi ini telah dimulai pada tahun 1999 oleh Garuda Indonesia, dan diikuti oleh maskapai-maskapai lainnya pada tahun-tahun selanjutnya. Penggunaan tiket dengan kertas berlembar-lembar sudah tidak digunakan lagi sejak tahun 2006. Pada tahun 2007, hampir 90 persen maskapai penerbangan sudah menerapkan e-ticketing dengan tiket cukup 1 lembar kertas saja. Dengan semakin mudahnya proses reservasi tiket pesawat terbang ini, diharapkan meningkatnya konsumsi masyarakat atas jasa angkutan udara nasional. Lalu hal yang paling utama mengenai teknologi dalam industri jasa penerbangan adalah mengenai armada (aircraf). Semakin canggih penggunaan teknologi dalam armada yang digunakan, maka akan semakin menarik bagi pelanggan.
40 Tabel 10 Jumlah armada menurut daftar AOC tahun 2007-2013 (unit) AOC 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 121 259 351 381 432 454 470 508 135 163 209 192 225 251 296 320 Sumber: Annual Report INACA (2012), *AOC (Air Operator Certificate)
Dari data di atas, berdasarkan sertfikat yang dikeluarkan oleh Air Operator Certificate (AOC) 121, jumlah armada maskapai nasional mengalami pertumbuhan setiap tahunnya. Pada tahun 2011, jumlah armada mencapai 454 unit, dan diperkirakan pada tahun 2014 dan 2015 mencapai 549 dan 593 unit. Lalu berdasarkan AOC 135, ada penurunan jumlah armada pada tahun 2009 dimana jumlah armada pada tahun 2008 yang mencapai 209 unit, turun menjadi 192 unit pada tahun 2009. Jumlah tersebut naik lagi pada tahun 2011 menjadi 251 unit. Diperkirakan pada tahun 2014 dan 2015, jumlah armada mencapai 345 dan 373 unit. Tabel 11 Jumlah armada yang dimiliki oleh maskapai besar Indonesia tahun 2012 Maskapai Tipe Jumlah (unit) Garuda Indonesia Boeing 777 19 Airbus A330-200 24 Boeing 777-800 NG 50 Airbus A320 50 100 Bombardier CRJ NextGen 36 Lion Air Boeing 737-900ER 207 Boeing 787 Dreamliner 5 Hawker Beechraft 900 XP 20 Sky F-50 5 SSJ100 3 Sriwijaya Air Boeing 735 12 Boeing 737-800NG 20 Embraer E190 20 Sumber: Annual Report INACA (2012)
Selain penambahan jumlah armada, tipe-tipe armada yang ada juga mengalami perubahan. Pesawat-pesawat yang telah berusia lebih dari 7 tahun akan dikandangkan. Beberapa perusahaan juga telah melakukan pemesananan pesawat-pesawat baru yang lebih canggih. Ada salah satu maskapai yang telah memesan 30 unit pesawat Sukhoi Super Jet 100 dari Rusia yang mulai beroperasi pada awal 2014. Satu maskapai juga telah memesan pesawat Twin Otter Series 400 yang berpenumpang 19 orang dan sering digunakan sebagai pesawat carteran sebanyak 4 unit dan menjadi pengguna pertama pesawat tersebut di Asia Tenggara.
41 Tabel 12 Jumlah kepemilikan armada maskapai besar Asia Tenggara tahun 2012 No Maskapai Operator Jumlah Armada (unit) 1 Lion Air Grup Lion Air 100 Wings Air 27 Malindo Air 10 Batik Air 8 2 Garuda Indonesia Garuda Indonesia 110 Grup Citilink 29 3 Singapore Singapore Airlines 101 Airlines Grup Silk Air 23 SIA Cargo 9 Skoot 5 4 Air Asia Grup Air Asia Malaysia 70 Air Asia Thailand 35 Air Asia Indonesia 29 Air Asia Filipina 3 5 Malaysia Airlines Malaysia Airlines 109 Grup Firefly 12 MAS Wings 10 6 Thai Airways Thai Airways 92 Grup Thai Smile 10 6 Nok Air 18 Sumber: Annual Report Garuda Indonesia, Lion Air, Singapore Airlines, Malaysi Airlines, Thai Airways (2013)
Dari Tabel 11 di atas, dua maskapai besar nasional berhasil menjadi maskapai terbesar di Asia Tenggara dalam hal jumlah armada. Lion Air dan Garuda Indonesia berhasil mengalahkan jumlah armada milik pesaing-pesaing di kawasan Asia Tenggara seperti Singapore Airline, Thai Airways, Malaysia Airlines dan Air Asia. Selain data di atas, Lion Air dan Garuda Indonesia juga telah melakukan pemesanan armada untuk kebutuhan produksi mereka yang akan didatangkan pada beberapa tahun mendatang. Seperti maskapai Lion Air yang telah menandatangani kontrak pemesanan dengan produsen pesawat asal Prancis, Airbus. Dalam kontrak ini, Lion Air telah memesan pesawat Airbus bertipe A320 dan A321 sebanyak 130 unit. Sumberdaya Infrastruktur Sumberdaya infrastruktur merupakan sarana dan prasarana fisik yang sangat memengaruhi produksi jasa penerbangan nasional. Dalam industri jasa penerbangan nasional ini, infrastruktur yang paling berpengaruh adalah bandar udara (bandara). Pada tahun 2012 ini, Indonesia memiliki sekitar 245 unit bandara yang tersebar di seluruh nusantara. 216 diantaranya merupakan bandara yang melayani penerbangan 40 domestik dan 29 lainnya merupakan bandara dengan status bandara internasional. Dari 29 bandara internasional ini ada 5 bandara utama dan yang akan dibuka dalam kebijakan open sky policy ASEAN 2015 yakni Soekarno-Hatta International Airport (Jakarta), Bandara Juanda (Surabaya), Bandara Kualanamu (Medan), Bandara I Gusti Ngurah Rai (Denpasar) dan Bandara Sultan Hasanudin (Makasar).
42 Untuk menghadapi persaingan jasa penerbangan dalam Open Sky Policy AEC 2015, otoritas bandara nasional melalui PT Angkasa Pura I dan II mulai membenahai setiap fasilitas serta sarana pendukung jasa penerbangan nasional. PT Angkasa Pura II selaku pengelola bandara nasional telah melakukan perbaikan dan perluasan di bandara utama nasional untuk dikembangkan menjadi bandara berkelas internasional. Fokus utama dari pembangunan bandara utama ini adalah meningkatkan kapasitas terminal penumpang serta fasilitas-fasilitas penunjang penerbangan seperti apron, runaway track dan aksesibilitas untuk memenuhi standar kualitas pelayanan terhadap pengguna jasa. Tabel 13 Bandara utama nasional Indonesia Tahun 2012 Bandara Kapasitas Penumpang Luas Area (Ha) (penumpang/tahun) Soekarno-Hatta 22 juta 1800 Juanda 6 juta 477 I Gusti Ngurah Rae 25 juta 285 Kualanamu 8.1 juta 1365 Sultan Hassanudin 7 juta 817.5 Sumber: Kementrian Perhubungan (2013)
Bandara Soekarno-Hatta yang berlokasi di ibukota negara merupakan bandara terbesar di Indonesia. Saat ini, Soekarno-Hatta merupakan bandara nomor 8 tersibuk di dunia. Pengembangan bandara Soekarno-Hatta telah dimulai sejak tahun 2012 lalu. Hal ini disebabkan oleh sering overload-nya kapasitas bandara. Bandara Soekarno-Hatta hanya berkapasitas 22 juta penumpang per tahunnya, namun faktanya ada sekitar 51 juta pergerakkan penumpang terjadi setiap tahunnya. Diharapkan ketika proyek pengembangan selesai pada tahun 2014 ini, bandara Soekarno-Hatta mampu menampung hingga 60 juta penumpang setiap tahunnya. Proyek pengembangan bandara internasional I Gusti Ngurah Rai di Bali telah selesai pada tahun 2013 lalu. Dengan dana pembangunan yang mencapai Rp. 2.8 Triliun ini, I Gusti Ngurah Rae menjadi bandara dengan kapasitas penumpang terbesar saat ini di Indonesia dengan 25 juta penumpang per tahunnya. Bandara I Gusti Ngurah Rae merupakan pintu gerbang wisatawan asing ke Indonesia. Dengan semakin besarnya daya tampung bandara di Bali ini, maka diharapkan akan semakin menarik minat wisatawan asing untuk berwisata ke Indonesia. Meskipun memiliki luas yang relatif kecil, bandara Ngurah Rai dilengkapi dengan teknologi canggih berkelas internasional yang meminimumkan kontak fisik antara penumpang dengan petugas bandara. Bandara Kualanamu merupakan bandara baru untuk wilayah Sumatera Utara sebagai pengganti bandara Polonia yang telah berusia 70 tahun. Tahun 2013 lalu, pembangunan bandara Kualanamu tahap 1 selesai dilaksanakan. Pada pembangunan tahap 1 ini, bandara Kualanamu hanya mampu menampung pergerakan penumpang sebanyak 8.1 juta per tahunnya. Namun, pembangunan akan terus dilaksanakan hingga mencapai kapasitas maksimalnya di atas lahan seluas 1365 Ha. Bandara Kualanamu memiliki landas pacu yang cukup panjang sehingga mampu mendaratkan pesawat sebesar Boeing 747 dan pesawat terbesar saat ini yakni Airbus 380.
43 Bandara Internasional Sultan Hasanuddin telah mengalami beberapa kali pengembangan. Pengembangan tahap 1 selesai pada tahun 2009 lalu dimana dilakukan pelebaran area, peningkatan panjang runaway pesawat dan perluasan lapangan parkir pesawat. Saat ini, kapasitas bandara Sultan Hasanuddin hanya sekitar 7 juta penumpang per tahun. Setelah proyek pembangnan bandara tahun 2014 selesai, bandara Sultan Hasanudin akan menampung hingga 30 juta penumpang. Pengembangan masih akan terus dilaksanakan hingga kapasitas maksimal serta akan dilakukan perluasan runaway pesawat hingga 3500 m agar biasa didarati oleh pesawat besar seperti Boeing 747. Bandara ini memiliki desain gedung yang berkelas internasional. Menurut penumpang baik domestik maupun mancanegara, bandara Sultan Hasanuddin lebih nyaman dibandingkan bandara Soekarno-Hatta. Bandara Internasional Juanda merupakan bandara internasional yang melayani Kota Surabaya serta Jawa Timur. Pengembangan bandara Juanda terakhir dilakukan pada tahun 2004 dan selesai pada tahun 2006 lalu. Saat ini, Bandara Juanda baru mampu menampung sekitar 6-8 juta penumpang per tahunnya. Jumlah ini relatif kecil dibanding bandara-bandara utama lain yang tengah melakukan pengembangan. Sumberdaya Modal Permodalan merupakan aspek penting dalam mengembangkan industri jasa penerbangan, apalagi industri jasa penerbangan merupakan industri padat modal yang sangat membutuhkan modal besar dalam pengembangannya. Hampir seluruh maskapai penerbangan dalam negeri merupakan milik swasta. Maskapai seperti Lion Air, Sriwijaya Air dan lainnya menggunakan dana pribadi atau patungan sebagai modal mereka. Selain itu mereka juga mendapatkan pinjaman dana dari bank-bank maupun sumber pendanaan lainnya. Berbeda dengan maskapai penerbangan lainnya, Garuda Indonesia merupakan maskapai penerbangan milik pemerintah. Permodalan Garuda Indonesia jauh lebih kuat dibandingkan dengan maskapai penerbangan lainnya. Pada tahun 2011 lalu, Garuda Indonesia juga telah melakukan Initial Public Offering (IPO), guna mendapatkan suntuikan modal baru.
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Tabel 14 Aset Garuda Indonesia (dalam rupiah) Aset Lancar Aset Tidak Total Aset Lancar 1 477.5 M 4 576.6 M 8 255.1 M 3 119.4 M 4 598.0 M 7 717.4 M 3 307.3 M 6 676.4 M 9 983.7 M 5 425.2 M 6 527.7 M 11 952.9 M 4 626.4 M 10 677.4 M 15 303.8 M 4 212.5 M 10 589.9 M 14 802.4 M 3 801.4 M 9 864.6 M 13 666.0 M 6 784.1 M 11 225.9 M 18 009.9 M 6 047.5 M 17 873.6 M 24 870.9 M
Modal Dasar 15 000.0 M 11 540.0 M 11 540.0 M 11 540.0 M 15 000.0 M 15 000.0 M 15 000.0 M 15 000.0 M 15 000.0 M
Sumber: Garuda Indonesia (2012)
Dari data di atas dapat diketahui aset yang dimiliki oleh Garuda Indonesia memliki nilai yang fluktuatif sepanjang tahun 2004 sampai 2012. Total aset
44 Garuda Indonesia mengalami penurunan pada tahun 2005 dari Rp. 8255.1 Miliar pada tahun 2004 menjadi Rp. 7714.4 Miliar pada tahun 2005. Penurunan ini terjadi akibat kerugian yang menimpa Garuda beberapa tahun terakhir serta diperparah dengan kejadian dan insiden di dalam negeri seperti Bom Bali, wabah Sars serta bencana Tsunami Aceh. Pada tahun 2009, Garuda melakukan perombakan besar-besaran sehingga semakin meningkatkan total aset mereka meski sempat turun pada tahun 2010. Pada tahun 2012 total aset Garuda Indonesia mencapai Rp 24 870.9 Miliar. Faktor Permintaan Kondisi permintaan merupakan elemen penting dalam upaya peningkatan daya saing industri jasa penerbangan nasional. Semakin besar permintaan konsumen terhadap penggunaan jasa penerbangan nasional maka akan semakin meningkatkan daya saing industri jasa penerbangan nasional baik di pasar nasional maupun internasional khususnya ruang lingkup wilayah ASEAN. permintaan untuk jasa angkutan udara Indonesia masih didominasi oleh permintaan domestik. Pasar domestik merupakan pasar utama industri jasa penerbangan nasional karena besarnya jumlah penduduk dan luasnya wilayah Indonesia. Tabel 15 Jumlah permintaan jasa Angkutan udara berjadwal domestik Tahun Penumpang (orang) Kargo/Barang (ton) 2008 37 405 437 338 236 2009 43 808 033 344 141 2010 51 775 656 749 203 2011 60 197 306 483 736 2012 71 421 646 571 668 Sumber: Direktorat Jendral Hubungan Udara, Kementrian Perhubungan (2012)
Berdasarkan data di atas, pertumbuhan permintaan terhadap jasa angkutan udara domestik terus terjadi khususnya permintaan terhadap kursi penumpang. Dalam waktu kurun 5 tahun, pertumbuhan permintaan mencapai 50 persen. Pada tahun 2008, permintaan kursi penumpang mencapai 37 405 437 kursi. Jumlah ini terus meningkat hingga pada tahun 2012, permintaan kursi penumpang mencapai 71 421 646 kursi. Berbeda dengan permintaan terhadap kursi penumpang yang terus mengalami pertumbuhan, permintaan terhadap jasa kargo/barang mengalami fluktuasi. Mengalami sedikit peningkatan dari tahun 2008 ke 2009 lalu dilanjutkan peningkatan yang cukup tinggi pada tahun 2009 hingga 50persen sebanyak 749 203 ton. Karena pelemahan ekonomi Indonesia akibat dari krisis global pada tahun 2010, permintaan kargo jasa angkutan udara mengalami penurunan drastis sehigga pada tahun itu permintaan jasa kargo hanya sebesar 483 736.
45 Tabel 16 Jumlah permintaan jasa angkutan udara berjadwal luar negeri Tahun Penumpang (orang) Kargo/Barang (ton) 2008 4 102 210 42 460 2009 5 004 056 46 485 2010 6 614 937 79 549 2011 8 152 133 72 163 2012 9 938 291 90 692 Sumber : Direktorat Jendral Hubungan Udara, Kementrian Perhubungan (2012)
Permintaan jasa angkutan udara untuk rute internasional tidak sebesar permintaan domestik, bahkan hanya sekitar 10 persen dari permintaan domestik. Namun, jumlah yang diangkut terus mengalami pertumbuhan. Pada tahun 2008, permintaan kursi mencapai 4 102 210 kursi. Angka ini mengalami pertumbuhan signifikan 5 tahun ke depan hingga 50 persen, dimana pada tahun 2012, permintaan terhadap jasa angkutan penumpang mencapai 9 938 291 kursi. Hampir sama dengan kasus permintaan domestik, permintaan kargo luar negeri juga mengalami fluktuasi. Karena krisis global pada tahun 2011, permintaan kargo mengalami penurunan dari 79 549 pada tahun 2010 menjadi 72 163 pada tahun 2011. Industri Terkait dan Pendukung Perkembangan industri jasa penerbangan tidak terlepas dari peran berbagai industri lainnya, yakni industri terkait dan industri pendukung. Industri terkait merupakan industri yang menjadi pemasok baik produk maupun jasa yang digunakan dalam industri jasa penerbangan. Sedangkan industri pendukung adalah industri yang dipengaruhi oleh produksi industri jasa penerbangan. Industri terkait ini antara lain adalah industri pembuatan pesawat terbang sebagai penyedia armada, industri jasa pendidikan sebagai penyedia tenaga kerja di sektor jasa penerbangan seperti pilot, pramugari, teknisi pesawat maupun flight operation officer. Industri pendukung dari industri jasa penerbangan yang paling utama adalah industri pariwisata, serta industri transportasi lainnya. Industri terkait yang paling utama untuk industri jasa penerbangan adalah industri pesawat terbang. Saat ini ada 2 perusahaan besar sebagai produsen pesawat terbang bagi maskapai-maskapai di seluruh dunia. Kedua produsen pesawat itu adalah Airbus dan Boeing. Airbus merupakan perusahaan produsen pesawat terbang yang berasal dari Prancis. Meskipun berasal dari Prancis, namun komponen-komponen yang digunakan untuk perakitan pesawat diproduksi oleh negara-negara Eropa lainnya seperti Jerman, Italia dan lainnya. Boeing merupakan produsen pesawat terbang yang berasal dari Amerika Serikat dan telah berdiri sejak tahun 1916. Industri perakitan pesawat terbang ini merupakan input utama bagi industri jasa penerbangan. Maskapai-maskapai penerbangan dalam negeri harus mengimpor pesawat terbang dari luar negeri dikarenakan belum mampunya teknologi Indonesia dalam membuat pesawat terbang sendiri. Indonesia juga memiliki satu pabrik pesawat terbang yakni PT Dirgantara Indonesia, namun masih dengan skala kecil. Pesawat-pesawat yang dirakit oleh PT DI masih pesawat kecil dengan ukuran maksimal 30 penumpang.
46 Industri pariwisata nasional merupakan salah satu industri yang berkaitan erat dengan industri jasa penerbangan karena sebagian pengguna jasa penerbangan nasional adalah wisatawan baik dari mancanegara maupun domestik. Indonesia dikenal sebagai salah satu destinasi wisata favorit dunia. Lokasi wisata Indonesia juga tersebar di seluruh penjuru Indonesia dengan Bali dan Nusa Tenggara sebagai pusatnya. Industri pariwisata nasional sendiri merupakan salah satu sektor yang memebrikan sumbangan tertinggi terhadap perolehan devisa negara. Pada tahun 2012, nilai devisa yang disumbangkan oleh industri jasa penerbangan mencapai US$ 8554 juta dengan pertumbuhan 12.5 persen dari tahun sebelumnya. Permintaan terhadap pariwisata terus mengalami pertumbuhan setiap tahunnya meski pada beberapa tahun seperti 2003 hingga 2005 sempat mengalami penurunan karena adanya teror Bom Bali. Persaingan, Struktur, dan Strategi Perusahaan Persaingan dalam suatu industri merupakan salah satu faktor pendorong peningkatan daya saing antara perusahaan-perusahaan yang terlibat di dalamnya. Persaingan dalam industri jasa angkutan udara ini akan memberikan pengaruh terhadap bentuk struktur persaingan dan strategi-strategi yang akan diterapkan oleh masing-masing maskapai. Untuk penerbangan niaga berjadwal, Indonesia memiliki sekitar 40 maskapai yang terbagi atas dua kategori yaitu penerbangan berjadwal dan penerbangan tidak berjadwal serta maskapai khusus kargo. Industri jasa penerbangan Indonesia didominasi oleh Garuda Indonesia dan Lion Air sebagai pemain besar. Sehingga dapat dikatakan struktur industri jasa angkutan udara Indonesia adalah oligopoli. selain kedua maskapai di atas terdapat juga beberapa perusahaan lainnya yang memiliki porsi tersendiri dalam pasar Indonesia yang luas dan tersebar dari Sabang sampai Merauke. Struktur persaingan industri jasa angkutan udara Indonesia adalah persaingan oligopoli. Artinya hanya beberapa perusahaan yang menguasai pangsa pasar. Persaingan antara maskapai besar di Indonesia merupakan persaingan yang cukup berat, terbukti dari tahun 2000 telah ada sekitar 5 maskapai penerbangan yang mengalami kebangkrutan. Indonesia Air Asia Wings Air 3% 4% Merpati Nusantara 4% Batavia Air 10%
Sriwijaya Air 11%
Citilink 2%
others 4%
Lion Air 41%
Garuda Indonesia 21%
Sumber: Annual Report INACA (2012)
Gambar 12 Diagram pangsa pasar angkutan udara penerbangan domestik 2012
47 Dari grafik di atas, dapat diketahui bahwa lebih dari 80 persen pangsa pasar atau market share angkutan domestik Indonesia dikuasai hanya oleh 4 maskapai besar yakni Lion Air, Garuda Indonesia, Sriwijaya Air dan Batavia Air. Penguasa pangsa pasar terbesar adalah Lion Air dengan menguasai hingga 41 persen pangsa pasar domestik. Selanjutnya dikuasai oleh maskapai plat merah Garuda Indonesia dengan 21 persen. Sriwijaya berada di urutan ketiga dengan mengusai 11 persen serta Batavia Air dengan 10 persen. Kebangkrutan yang dialami oleh Batavia Air pada tahun 2013 lalu tentu akan membuat pangsa pasar industri jasa angkutan udara domestik hanya akan dikuasai oleh 3 maskapai. Terlebih lagi, rute-rute yang dulu dimiliki oleh Batavia Air diambil alih oleh ketiga maskapai besar ini. Batavia Air 5%
Lion Air 16%
Others 5%
Indonesia Air Asia 39%
Garuda Indonesia 35%
Sumber: Annual Report INACA (2012)
Gambar 13 Diagram pangsa pasar angkutan udara penerbangan internasional 2012 Pangsa pasar penerbangan internasional untuk maskapai dalam negeri dikuasai oleh Indonesia Air Asia. Maskapai swasta yang 49 persen sahamnya merupakan milik maskapai milik Malaysia, Air Asia ini adalah maskapai baru yang beroperasi di Indonesia. Namun, Indonesia Air Asia berhasil mencuri perhatian pengguna jasa angkutan udara dengan promosi harga yang sangat kompetitif. Indonesia Air Asia berhasil mengusai sekitar 39 persen pangsa pasar. Setelah Indonesia Air Asia, terdapat Garuda Indonesia di peringkat kedua dengan menguasai sekitar 35 persen pangsa pasar. Lion Air yang merupakan penguasa pangsa pasar penerbangan domestik cukup lemah dalam penerbangan internasional. Mereka hanya menguasai 16 persen dari pangsa pasar. Hal ini disebabkan masih adanya larangan terbang Lion Air ke berbagai negara karena alasan keselamatan. Masing-masing maskapai memiliki strategi tersendiri dalam menghadapi persaingan dengan maskapai lainnya. Secara umum, strategi yang diterapkan oleh beberapa maskapai besar menjurus kepada beberapa kompetensi. Yang pertama adalah strategi penambahan jumlah armada. Strategi pembelian atau penambahan jumlah armada diharapkan akan menekan biaya hingga mencapai kondisi biaya produksi paling minimal. Strategi ini telah dilakukan oleh beberapa maskapai seperti dua maskapai besar Lion Air dan Garuda Indonesia yang telah memesan hingga ratusan unit armada. Lalu yang kedua adalah strategi meningkatkan
48 pelayanan kepada konsumen. Pelayanan ini meliputi pelayanan sebelum, sedang dan setelah menggunakan jasa maskapai. Pelayanan sebelum penerbangan dapat berupa on time performance (peforma tepat waktu). Saat ini, berdasarkan laporan dari Kementrian Perhubungan, Garuda Indonesia merupakan maskapai yang paling tepat waktu sedangkan Lion Air adalah maskapai yang sering terlambat. Pelayanan saat sedang penerbangan merupakan pelayanan yang paling utama. Pelayanan ini dilakukan oleh awak kabin/flight attendant atau pramugari. Lalu strategi yang baru muncul beberapa tahun terakhir adalah strategi low cost carrier (LCC). Strategi menarik perhatian konsumen dengan memberikan penawaran harga yang jauh lebih murah dibanding pesaing ini telah dilakukan oleh dua maskapai yakni Lion Air dan Indonesia Air Asia. Faktor Pemerintah Peranan pemerintah dalam mendukung perkembangan dan pertumbuhan industri jasa penerbangan nasional sangat diharapkan oleh setiap pelaku usaha penyedia jasa dan masyarakat sebagai pengguna layanan jasa. Secara umum sasaran pembangunan penerbangan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat adalah terjaminnya keselamatan, kelancaran dan kesinambungan pelayanan penerbangan baik untuk angkutan penerbangan domestik maupun internasional serta penerbangan perintis. Selain itu pemerintah juga mengutamakan agar terciptanya persaingan usaha yang wajar di dunia industri penerbangan. Pemerintah melalui Kementrian Perhubungan telah menentukan arah kebijakan pembangunan penerbangan seperti yang terdapat dalam Buku Putih Transportasi Indonesia 2005-2025 yakni sebagai berikut: a. Memenuhi standar keamanan dan keselamatan penerbangan ICAO (International Civil Aviation Organization) guna meningkatkan keselamatan penerbangan baik selama penerbangan maupun di bandara di wilayah Indonesia. b. Menciptakan persaingan usaha pada industri penerbangan nasional yang transparan dan akuntabel. c. Merestrukturisasi peraturan dan perundang-undangan (revisi UU No. 15 Tahun 1992 dan peraturan pelaksanaannya) serta kelembagaan di subsektor penerbangan guna menciptakan kondisi yang mampu menarik minat swasta dalam pembangunan prasarana penerbangan. d. Pemutakhiran tatanan kebandarudaraan nasional mengacu pada Sistem Transportasi Nasional. e. Melanjutkan pelayanan angkutan udara perintis. Pemerintah juga akan melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan dalam dunia penerbangan sebagaimana yang terdapat dalam UU No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Pasal 10. Hal ini bertujuan untuk memperlancar arus perpindahan orang dan barang secara masal melalui angkutan udara dengan selamat, aman, cepat, lancar dan tertib. Meningkatkan penyelenggaraan kegiatan angkutan udara, kebandarudaraan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan sebagai bagian dari keseluruhan moda transportasi secara terpadu dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengembangkan kemampuan armada angkutan udara nasional yang tangguh serta
49 didukung industri pesawat udara yang andal sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan untuk mengembangkan usaha jasa angkutan udara nasional yang andal dan berdaya saing serta didukung kemudahan memperoleh pendanaan dan keringanan perpajakan sehingga mampu mandiri dan berdaya saing. Peranan pemerintah juga terlihat dari visi-misi dari Direktorat Jendral Perhubungan Udara selaku tangan kanan pemerintah dalam mengurus regulasi sistem angkutan udara nasional. Visi Direktorat Jendral Perhubungan Udara adalah terwujudnya penyelenggaraan penerbangan yang andal, berdaya saing dan memberikan nilai tambah. Andal dimaksudkan untuk mempunyai keunggulan dan memenuhi aspek ketersediaan, ketepatan waktu, kelayakan, keselamatan dan keamanan dalam penyelenggaraan penerbangan. Berdaya saing dimaksudkan untuk efektif, efisien, berkualitas, ramah lingkungan, berkelanjutan, SDM yang profesional, mandiri, dan produktif. Serta nilai tambah dimaksudkan untuk dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat naik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan misi dari Direktorat Jendral Perhubungan Udara adalah: memenuhi standar keamanan, keselamatan penerbangan dan pelayanan; menyediakan sarana, prasarana dan jaringan penerbangan yang andal dan terintegrasi; mewujudkan iklim usaha jasa penerbangan yang kompetitif dab berkelanjutan; dan mewujudkan kelembagaan yang efektif, efisien didukung oleh SDM yang profesional dan peraturan perundang-undangan yang komprehensif serta menjamin kepastian hukum. Saat ini pemerintah tengah mengkaji permintaan maskapai-maskapai penerbangan agar menetapkan biaya bea masuk 0 persen atas impor barang dan bahan untuk perbaikan dan perawatan pesawat. Untuk menghadapi persaingan dengan maskapai – maskapai dari negara ASEAN lainnya dalam rangka Open Sky Policy, pemerintah telah menentukan berbagai kebijakan-kebijakan yakni antara lain: 1. Mempertahankan prinsip sabotase, dimana rute-rute dalam negeri hanya dapat dilayani oleh maskapai nasional. Pemerintah hanya akan membuka lima bandara utama untuk operasional open sky policy yakni Soekarno-Hatta, Juanda, Ngurah Rai, Kualanamu, dan Sultan Hassanudin. Ini bertujuan untuk melindungi industri jasa penerbangan nasional dari gempuran maskapai asing. 2. Mendorong adanya kerja sama antar perusahaan penerbangan nasional, maupun dengan negara-negara mitra serta negara ketiga untuk menghadapi persaingan global. Bentuk kerja sama ini telah mulai dilaksanakan oleh beberapa maskapai nasional seperti Garuda Indonesia yang berhasil menjalin kerja sama dengan 3. Membatasi kepemilikan asing dalam industri penerbangan nasional yakni hanya sebesar 49 persen dengan prinsip single majority. Serta pemerintah berusaha mendorong peningkatan infrastruktur di berbagai bandara. Faktor Kesempatan Liberalisasi perdagangan baik barang atau jasa yang mengurangi pajak retribusi, proteksi dan campur tangan pemerintah telah memberikan suatu
50 paradigma baru bagi perekonomian nasional. Hal ini membuat setiap pelaku ekonomi untuk bersikap lebih efektif, efisien dan memiliki daya saing agar bisa bertahan dalam persaingan usaha serta menjaga ketahanan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi nasional secara langsung atau tidak langsung akan memberikan dampak bagi industri jasa penerbangan karena akan berpengaruh terhadap permintaan jasa penerbangan. Pada tahun 1998 hingga pada tahun 1999, Indonesia mengalami masa-masa krisis dengan pertumbuhan ekonomi yang negatif. Pada saat itu pula permintaan jasa penerbangan mengalami penurunan. Tahun 1998, dimana pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan 13.4 persen, permintaan jasa penerbangan mengalami penurunan hingga 40 persen. Pada tahun 1999, terjadi kenaikan perekonomian hanya sekitar 0.2 persen permintaan jasa penerbangan masih mengalami penurunan hingga 16.3 persen. Dari tahun 2000 hingga sekarang dimana perekonomian Indonesia terus bertumbuh senilai 2persen hingga 6 persen setiap tahunnya, permintaan jasa penerbangan mengalami permintaan drastis dari 20 persen hingga 100 persen. Industri jasa penerbangan tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi dalam negeri. Secara tidak langsung berbagai peristiwa yang terjadi secara global juga memberikan pengaruh dan peluang bagi industri jasa penerbangan nasional. Dalam buku Cetak Biru Penerbangan Indonesia 2005-2025 disebutkan beberapa peristiwa yang memberikan peluang bagi industri jasa penerbangan nasional. Pada tahun 2001 atau lebih tepatnya 11 September 2001, terjadi peristiwa yang menghebohkan dunia yakni peristiwa pem-boman gedung World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat yang mengakibatkan banyak pesawat udara yang tidak dioperasikan oleh perusahaan Amerika dan Eropa sehingga disewakan dengan harga murah. Pesawat-pesawat murah inilah yang banyak disewa oleh maskapai nasional untuk meningkatkan produktivitasnya. Krisis ekonomi global yang menyebabkan banyaknya perusahaan-perusahaan penerbangan dunia yang mengalami kebangkrutan memberikan peluang tersendiri bagi perusahaan penerbangan nasional untuk masuk ke pasar internasional. Lalu perkembangan teknologi yang semakin canggih dan pasar yang semakin kompetitif juga berdampak bagi pertumbuhan industri jasa penerbangan nasional. Peluang dalam industri penerbangan nasional juga datang dari bentuk fisik wilayah Indonesia. Kondisi geografis Indonesia yang menyebar luas dengan bentuk kepulauan memberikan peluang yang cukup besar bagi industri jasa penerbangan. Kondisi geografis yang berbentuk kepulauan ini membuat peran industri jasa penerbangan menjadi sangat penting untuk menyatukan dan menghubungkan setiap pulau yang ada di Indonesia.
51
Pemerintah
- UU No 1 Tahun 2009 yakni pemerintah akan melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan pelaku usaha jasa pernerbangan (+) - Melindungi maskapai nasional dengan hanya membuka 5 bandara untuk open sky
- Jumlah tenaga kerja yang masih kurang (-) - Infrastruktur semakin memadai (+) - Jumlah Armada semakin meningkat dan usia rata2 semakin muda. (+ ) - Akses permodalan yang cukup mudah (+)
- Peningkatan kualitas pelayanan yang semakin ditingkatkan (+) - Jumlah armada semakin bertambah dan persaingan dalam negeri semakin kompetitif (+) - Beberapa maskapai mengalami kebangkrutan. (-)
Strategi, Struktur dan Persaingan
Kondisi Permintaan
Kondisi Faktor
Industri Pendukung
- Industri pendukung penyedia pesawat masih lemah di Indonesia, harus impor dari luar negeri (-) - Industri pariwisata Indonesia yang semakin berkembang dan menarik wisatawan (+)
Kesempatan
- Jumlah Populasi yang besar meningkatkan permintaan industri jasa penerbangan. (+) - Pertumbuhan ekonomi meningkatkan permintaan jasa penerbangan (+)
- Permintaan jasa penerbangan masih akan meningkat.(+) - Krisis ekonomi global membrikan peluang maskapai nasional (+)
Gambar 14 Ringkasan analisis faktor-faktor yang memengaruhi daya saing industri jasa penerbangan dengan pendekatan Porter’s Diamond
52 Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Permintaan Industri Jasa Penerbangan Nasional Analisis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan industri jasa penerbangan nasional didapat dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Data-data yang diperoleh diolah menggunakan aplikasi Microsoft Office Excell 2010 lalu kemudian diolah secara lebih lanjut dengan aplikasi Eviews 8 untuk mengestimasi sebuah model dari data-data tersebut. Model ekonometrika yang baik harus memenuhi kriteria ekonometrika dan kriteria statistik. Suatu model dapat dikatakan baik apabila memenuhi asumsi klasik seperti harus terbebas dari gejala multikolinieritas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas (Gudjarati, 2004). Tabel 16 Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi permintaan industri jasa penerbangan nasional Variabel Koefisien Probability PDB 0.990267 0.0008* POPULASI 5.778227 0.0079* INFLASI 0.004559 0.1570 HARGA_AVTUR 0.466141 0.0000* ARMADA 0.393745 0.0701** KONSUMSI_RT -0.968019 0.0771** DUMMY98 0.327209 0.3556 C -96.97008 0.0029 R-Squared 0.968029 Adjusted R-Squared 0.958704 F-statistic 103.8123 Prob(F-statistic) 0.000000 *signifikan dalam taraf nyata 5 persen, **signifikan dalam taraf nyata 10 persen Berdasarkan hasil pada tabel di atas, terlihat bahwa hasil estimasi memiliki nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.968029, yang berarti bahwa sekitar 96.80 persen keragaman permintaan jasa penerbangan nasional dapat dijelaskan oleh model. Sedangkan 3.2 persen dijelaskan oleh faktor-faktor di luar model. Menurut Carrey (1991) dalam Dewi (2013) faktor-faktor lain yang mungkin memengaruhi permintaan adalah: faktor sosial seperti demografi, urbanisasi, dan waktu santai (leisure time); faktor teknis seperti kemudahan akses; faktor psikologis seperti selera dan gaya hidup; serta faktor acak terkait peristiwa tertentu seperti instabilitas politik, cuaca, dan perayaan hari besar. Variabel-variabel yang digunakan dalam persamaan faktor-faktor yang memengaruhi permintaan industri jasa penerbangan nasional adalah Produk Domestik Bruto riil (PDB), Populasi nasional, Inflasi, Harga Avtur, Jumlah Armada, Konsumsi Rumah Tangga, dan Dummy Krisis 1998. Hasil regresi pada tabel di atas menunjukan bahwa terdapat 5 dari 7 variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap permintaan jasa penerbangan nasional dengan taraf nyata 0.05 (5 persen) dan 0.10 (10 persen). Variabel-variabel tersebut adalah produk domestik bruto (PDB) dengan nilai probabilitas 0.0008, Populasi Nasional dengan nilai probabilitas 0.0079, Harga Avtur dengan nilai probabilitas 0.0000,
53 Jumlah Armada dengan nilai probabilitas 0.0701, dan Konsumsi Rumah Tangga dengan nilai probabilitas 0.0771. Sedangkan variabel-variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan jasa penerbangan nasional adala, Inflasi dengan nilai probabilitas 0.1570, dan dummy krisis dengan nilai probabilitas 0.3356. Berdasarkan hasil regresi di atas, maka dapat dibentuk persamaan regresi sebagai berikut: D=
-96.97 + 0.9903PDB + 5.7782POPULASI + 0.0045INFLASI + 0.4661HARGA_AVTUR + 0.3937ARMADA – 0.9680KONSUMSI_RT + 0.3272DUMMY98
Produk domestik bruto berpengaruh positif signifikan terhadap permintaan jasa penerbangan nasional dengan koefisien 0.9903. Ketika produk domestik bruto meningkat sebesar satu persen, maka akan meningkatkan permintaan jasa penerbangan sebesar 0.9903 persen, cateris paribus. PDB merupakan salah satu tolak ukur pertumbuhan perekonomian nasional secara makro. Pertumbuhan perekonomian akan menandakan semakin meningkatnya jumlah masyarakat kelas menengah ke atas. Masyarakat kelas menengah ke atas merupakan konsumen jasa penerbangan. Mereka akan cenderung memilih menggunakan jasa transportasi udara untuk perjalanan jarak jauh dibandingkan jasa transportasi lainnya seperti kereta api, bus, dan lainnya. Semakin besar jumlah masyarakat kelas menengah ke atas maka akan semakin tinggi permintaan jasa penerbangan. Hasil estimasi ini sesuai dengan peneltian sebelumnya yang dilakukan oleh Jobair et al (1998) yang menyatakan bahwa produk domestik bruto memiliki dampak positif terhadap permintaan jasa penerbangan. Populasi penduduk mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap permintaan jasa penerbangan nasional dengan koefisien 5.7782. Ketika populasi tumbuh sebesar satu persen, maka akan meningkatkan permintaan jasa penerbangan sebesar 5.7782 persen. Penduduk merupakan konsumen yang akan menggunakan jasa penerbangan nasional. Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia. Jumlah penduduk yang besar menjadi kekuatan pasar tersendiri bagi setiap industri nasional termasuk industri jasa penerbangan. Semakin tinggi jumlah pertumbuhan penduduk maka permintaan jasa penerbangan nasional akan semakin meningkat. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Abed et al (2001) juga menyatakan bahwa ukuran populasi memberikan pengaruh positif terhadap permintaan jasa penerbangan. Di dalam penelitiannya, Abed menyatakan bahwa kenaikan jumlah penduduk sebesar satu persen, maka jumlah konsumen jasa penerbangan akan meningkat sebesar 0.021 juta penumpang. Harga avtur memiliki pengaruh positif signifikan terhadap permintaan jasa penerbangan nasional dengan koefisien 0.4661. Ketika harga avtur naik sebesar satu persen, maka akan meningkatkan permintaan jasa penerbangan sebesar 0.4661 persen. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis dimana kenaikan harga avtur akan menurunkan permintaan jasa penerbangan. Harga avtur merupakan salah satu komponen yang menjadi perhatian maskapai dalam menetapkan harga tiket. Ketika terjadi kenaikan harga avtur, maka akan terjadi kenaikan harga tiket pesawat terbang yang seharusnya menurunkan permintaan terhadap jasa penerbagan nasional. Namun, berdasarkan hasil estimasi terjadi hal sebaliknya
54 dimana kenaikan harga avtur berpengaruh positif terhadap permintaan jasa penerbangan nasional. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Brons et al (2001) yang menyatakan harga memiliki pengaruh positif terhadap permintaan jasa penerbangan. Pada saat sekarang ini, konsumen mulai tidak terlalu sensitif terhadap perubahan harga tiket. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap jasa layanan terbang. Selain itu, peningkatan perekonomian masyarakat juga membuat masyarakat tetap membeli layanan penerbangan meskipun terjadi peningkatan harga. Jumlah armada yang dimiliki industri jasa penerbangan nasional berpengaruh signifikan terhadap permintaan jasa penerbangan nasional dengan koefisen 0.3937. Ketika jumlah armada meningkat sebesar satu persen, maka akan meningkatkan permintaan jasa penerbangan sebesar 0.3937 persen. Jumlah armada merupakan faktor yang memengaruhi permintaan jasa penerbangan yang berasal dari sisi pelaku usaha jasa penerbangan, bukan dari sisi konsumen. Pengadaan armada udara akan meningkatkan produktivitas dan penawaran industri jasa penerbangan nasional. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan transportasi udara dibutuhkan semakin banyak unit armada yang tersedia. Armada pesawat yang tersedia di dalam negeri akan mendorong permintaan terhadap jasa penerbangan. Konsumsi rumah tangga memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap permintaan jasa penerbangan nasional dengan koefisien sebesar -0.9680. Ketika terjadi peningkatan konsumsi rumah tangga sebesar satu persen, maka permintaan jasa penerbangan akan menurun sebesar 0.9680 persen. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis dimana kenaikan konsumsi rumah tangga akan meningkatkan permintaan jasa penerbangan. Konsumsi rumah tangga dapat menunjukkan adanya pertumbuhan daya beli masyarakat. Namun, pertumbuhan daya beli yang terjadi di masyarakat Indonesia lebih banyak berpusat dalam hal konsumsi barang. Konsumsi masyarakat akan barang mewah seperti smartphone dan barang elektronik mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal inilah yang menyebabkan konsumsi rumah tangga memiliki pengaruh negatif terhadap permintaan jasa penerbangan. Inflasi memiliki hasil estimasi yang tidak signifikan dan tidak sesuai dengan teori. Menurut hasil estimasi, ketika terjadi inflasi permintaan jasa penerbangan mengalami peningkatan. Hal ini dapat disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi masyarakat dan seiring meningkatnya kebutuhan perjalanan jarak jauh membuat masyarakat tetap menggunakan jasa penerbangan meskipun terjadi inflasi. Sehingga, inflasi tidak berpengaruh terhadap permintaan masyarakat terhadap industri jasa penerbangan. Variabel dummy krisis tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap permintaan jasa penerbangan. Ketika terjadi krisis pada tahun 1998. Krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 menghancurkan perekonomian nasional. Pendapatan masyarakat mengalami penurunan, pengangguran meningkat dan kesejahteraan masyarakat menurun. Krisis seharusnya memberikan pengaruh negatif bagi permintaan jasa penerbangan. Namun, berdasarkan hasil estimasi krisis tidak berpengaruh terhadap permintaan jasa penerbangan. Model ini merupakan model terbaik karena telah berhasil memenuhi kriteria ekonometrika dan kriteria statistik. Model ini juga telah melewati pengujiapengujian asumsi klasik dan terbebas dari masalah multikolinieritas, autokorelasi,
55 dan heteroskedastisitas. Tahap uji asumsi yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Berdasarkan kriteria statistik pada Tabel 15, diperoleh nilai Uji F-statitik sebesar 103.8123 dengan nilai probabilitas F-statistik adalah 0.0000 pada taraf nyata 5 persen. Karena nilai probabilitas F-statistik yang lebih kecil dari alfa 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap permintaan jasa penerbangan. 2. Uji T-statistik dilakukan dengan melihat nilai probabilitas dari setiap variabel dependen yang terdapat dalam model. Berdasarkan Tabel 15 dapat disimpulkan bahwa produk domestik bruto, populasi, jumlah armada, harga avtur, dan konsumsi rumah tangga, berpengaruh nyata terhadap permintaan jasa penerbangan nasional pada taraf nyata 5 persen dan 10 persen. Sedangkan inflasi dan dummy krisis tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan jasa penerbangan nasional pada taraf nyata 5 persen. 3. Uji normalitas merupakan pengujian dengan melihat nilai probabilitas yang diperoleh untuk menentukan bahwa error term pada model dapat terdistribusi normal. Pengujian uji normalitas ini dilakukan dengan menggunakan JarqueBera Test (J-B) dengan hipotesis H0: residual menyebar normal dan H1: residual tidak menyebar normal. Berdasarkan hasil statistik pada data yang diteliti, menghasilkan nilai Jarque-Berra sebesar 0.830240 dan nilai probabilitas sebesar 0.660261 dengan taraf nyata sebesar 10 persen. Karena nilai Jarque-Bera dan probabilitas lebih besar dari 0.1 maka terima H0, yang artinya residual telah menyebar normal. 4. Uji multikolinieritas dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan linier di antara semua variabel bebas dari model regresi. Pada penelitian ini, gejala terdapat atau tidaknya multikolinieritas dapat dilihat dari koefisien korelasi antar variabel bebas. Berdasarkan rule of tumbs 0.8, hampir semua variabel bebas model memiliki nilai lebih kecil dari 0.8. Namun, beberapa variabel bebas memiliki nilai matrik korelasi yang lebih dari 0.8. Berdasarkan uji Klein, selama nilai korelasi matriks lebih kecil dari nilai R-Square maka gejala multikolinieritas dianggap tidak ada. 5. Uji autokorelasi dilakukan untuk melihat apakah galat menyebar bebas atau tidak. Uji autokorelasi dilakukan dengan menggunakan Uji Breusch-Godfrey Serial Correlation. Hipotesis pada uji ini adalah H0: tidak ada autokorelasi dan H1: ada autokorelasi. Berdasarkan hasil uji Breusch-Godfrey Serial Correlation diperoleh nilai probabilitas chi-square sebesar 0.1649. Nilai probabilitas ini lebih besar dari alfa 0.05 (5persen) maka terima H0 yang artinya galat tidak menyebar normal dan tidak terdapat autokorelasi pada model. 6. Uji heterokedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Breusch-PaganGodfrey. Hipotetsis pada uji ini adalah H0: tidak ada heteroskedastisitas (homoskedastisitas) dan H1: ada heteroskedastisitas. Berdasarkan uji Breusch-Pagan-Godfrey diperoleh nilai probabilitas chi-square sebesar 0.1520. Nilai probabilitas ini lebih besar dari alfa 0.05 (5persen) maka terima H0 yang artinya ragam residual homogen atau tidak terdapat heteroskedastisitas.
56
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Sepanjang tahun 2004 hingga tahun 2011, industri jasa penerbangan nasional memiliki tingkat daya saing yang berfluktuasi. Penyebab fluktuasi yang terjadi pada daya saing industri jasa penerbangan di pasar internasional antara lain pertumbuhan ekonomi nasional, kondisi ekonomi global, nilai tukar rupiah, dan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di dalam negeri. Sedangkan dari analisis komponen, daya saing industri jasa penerbangan nasional memiliki keunggulan dan kelemahan. Keunggulan industri jasa penerbangan nasional yang memberikan daya saing adalah faktor pemerintah, kondisi permintaan, dan strategi, struktur, dan persaingan. Akan tetapi kondisi faktor, faktor industri terkait dan pendukung masih terdapat beberapa kelemahan seperti faktor tenaga kerja dan industri pesawat. Namun kelemahan tersebut masih dapat diminimalisasi dengan proteksi dari pemerintah melalui kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan daya saing industri jasa penerbangan nasional. Dari kedua metode yang digunakan untuk meneliti daya saing ini, terlihat bahwa potensi daya saing industri jasa penerbangan cukup besar. Permintaan atas jasa penerbangan nasional dipengaruhi secara signifikan bernilai positif oleh produk domestik bruto, populasi penduduk Indonesia, jumlah armada, dan harga avtur. Konsumsi rumah tangga berpengaruh signifikan bernilai negatif terhadap industri jasa penerbangan nasional. Sedangkan pengeluaran inflasi dan dummy krisis tidak berpengaruh terhadap permintaan jasa penerbangan nasional. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, saran yang dapat diberikan untuk peningkatan daya saing industri jasa penerbangan nasional adalah : 1. Berdasarkan analisis keunggulan kompetitif menganai sektor infrastruktur, pemerintah harus bisa memacu kinerja industri jasa penerbangan nasional dengan semakin meningkatkan fasilitas-fasilitas penunjang penerbangan seperti bandar udara. Peningkatan fasilitas dilakukan tidak hanya pada lima bandara utama, tetapi juga di seluruh bandara di Indonesia secara bertahap. 2. Setiap pelaku usaha industri jasa penerbangan harus senantiasa meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan, mulai dari sebelum penerbangan hingga penumpang turun di tempat tujuan. 3. Berdasarkan analisis keunggulan kompetitif menganai sektor sumber daya manusia, perlu untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM yang bergerak di bidang industri jasa perdagangan. Pembangunan sekolah-sekolah tinggi penerbangan penting dilakukan oleh pemerintah mengingat jumlah yang ada saat ini belum cukup. Selain pemerintah, para pelaku usaha industri jasa penerbangan juga dapat membangun sekolah penerbangannya sendiri.
57
DAFTAR PUSTAKA Abed S.Y, Bafial A.O, Jasimudin S.M. 1998. An Econometric Analysis of International Air Travel Demand in The Kingdom of Saudi Arabia. King Abdulaziz University. Jeddah Brons M, Pels E. 2001. Price Elasticities of Demand for Passenger Air Travel: A Meta Data Analysis. Vrije Universiteit Amsterdam. Amsterdam [ASEAN] Association of Southeas Asian Nations. 2013. ASEAN Community Progress Monitoring System Full Report 2012. Jakarta(ID): ASEAN Secretariat [ASEAN] Association of Southeast Asian Nations. 2012. ASEAN Strategic Transport Plan. [ASEAN Online].[diunduh 6 Mei 2014]. Tersedia dari: http://www.eria.org/ASEAN%20Strategic%20Transport%20Plan.pdf [ASEAN] Association of Southeast Asian Nations. 2012. ASEAN-Japan Transport Partnership. [ASEAN Online. Tersedia dari: http://www.ajtpweb.org/statistics/compareasean/Air_Transport [Bappenas] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2000. www.bappenas.go.id, [diakses 10 April 2014] Bloomberg.2012. Company Financial Report. [Bloomberg Online]. [diunduh 20 Maret 2012]. Tersedia di: http://investing.businessweek.com/research. [BI] Bank Indonesia. 2013. Transaksi Berjalan: Jasa-Jasa [BI Online]. [diunduh 9 Maret 2013]. Tersedia dari: www.bi.go.id/id/statistik/seki/terkini/eksternal/ [BPS] Badan Pusat Statistik Pusat. 2013. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha 2004-2013. Jakarta(ID): BPS [BPS] Badan Pusat Statistik Pusat. 2014. Produk Domestik Bruto Indonesia. Jakarta(ID): BPS Dewi AS. 2013. Analisis Daya Saing dan Permintaan Pariwisata Indonesia di Pasar ASEAN [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen,IPB. Bogor Firdaus A.H. 2007. Analisis Daya Saing dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Tekstil dan Produk Industri Tekstil dan Produk di Pasar Amerika Serikat [Skripsi] Fakultas Ekonomi dan Manajemen,IPB. Bogor Forsyth P, King J, Rodolfo CL, Trace K. 2004. Preparing ASEAN For Open Sky. Victoria(AU): Monash International Pty Ltd [GI] Garuda Indonesia. 2012. Annual Report Garuda Indonesia. [GI Online]. [diunduh 14 Maret 2013]. Tersedia dari: www.garuda-indonesia.com/id/ investor-relations/report/annual-report.page Gudjarati D. 2004. Ekonometrika Dasar. Zain Sumarno dan Zein [penerjemah]. Jakarta(ID): Erlangga Havel B.F. 2009. Beyond Open Sky: A New Regime For International Aviation. Den Rijn(HO): Wolters Kluwer Law & Business Imelda R. 2000. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Permintaan Jasa Penerbangan pada PT. Garuda Indonesia di Medan [Skripsi] Fakultas Ekonomi,USU. Medan [INACA] Indonesia National Air Carriers Association. 2011. Annual Report 2010. Jakarta(ID): INACA [INACA] Indonesia National Air Carriers Association. 2013. Annual Report 2012. Jakarta(ID): INACA
58 Jobair M, Karim DM. 1998. Air Travel Demand Model for Domestic Air Transportation in Bangladesh. Institute of Engineers Bangladesh. Dhakka [Kemendag] Kementrian Perdagangan. 2012. Menuju Asean Economic Community 2015. [Kemendag Online]. [diunduh 18 Maret 2014]. Tersedia dari: ditjenkpi.kemendag.go.id [Kemenhub] Kementrian Perhubungan. 2005. Cetak Biru Transportasi Udara 2005-2024. [Kemenhub Online]. [diunduh 20 Maret 2014]. Tersedia dari: hubud.dephub.go.id [Kemenhub] Kementrian Perhubungan. 2013. Statistik Perhubungan 2012. [Kemenhub Online]. [diunduh 10 Maret 2014]. Tersedia dari: dephub.go.id/files/media/statistik/statistik2012.pdf [Kemenhub] Kementrian Perhubungan. 2012. Buku Statistik Angkutan Udara. Jakarta(ID): Kemenhub [Kemenlu] Kementrian Luar Negeri. 2009. Cetak Biru Komunitas Ekonomi Asean. [Kemenlu Online]. [diunduh 18 Maret 2014]. Tersedia dari: kemlu.go.id [Kemenristek] Kementrian Riset dan Teknologi. 2006. Indonesia 2005-2025 Buku Putih. [Kemenristek Online]. [ diunduh 20 Maret 2014]. Tersedia dari: www.batan.go.id Koutsoyianis A. 1977. Theory of Econometrics Second Edition. Washington(US): Harper&Row Publisher. Leftwich H.R. 1988. Ekonomi Mikro. St Dianjung [penerjemah]. Jakarta(ID): Bina Aksara Lipsey R.G, Courant P.N, Purvis D.D, Steiner P.O. 1995. Pengantar Makroekonomi. Kirbrandoko, Budijanto [penerjemah]. Jakarta(ID): Bumi Aksara Mazzeo M.J. 2003. Competition and Service Quality in te U.S. Airline Industry. Northwestern University. Evanston Mudjayanti W.Y. 2008. Analisis Daya Saing Buah-Buahan Tropis Indonesia [Skripsi] Fakultas Ekonomi dan Manajemen,IPB. Bogor Nachrowi D, Usman H. 2003. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika. Jakarta(ID): Universitas Indonesia Oktaviani R. 2009. Teori Perdagangan Internasional dan Aplikasinya di Indonesia. Departemen Ilmu Ekonomi. Institut Pertanian Bogor. Bogor Noviansyah D. 2008. Perkembangan Industri Penerbangan di Indonesia. [blogspot]. [diunduh 30 Maret 2014]. Tersedia di: http://dhenov.blogspot.com Perloff J.M. 2008. Microeconomics: Theory & Applications with Calculus. California(US): Pearson Education, Inc Porter M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. New York(US): Free Press Pragari R. 2011. Analisis Daya Saing Pariwisata Kabupaten Kuningan: Pendekatan Porter’s Diamond [Skripsi] Fakultas Ekonomi dan Manajemen,IPB. Bogor Putong I. 2010. Economics: Pengantar Mikro dan Makro. Jakarta(ID): Mitra Wacana Media Rahmanu R. 2009. Analisis Daya Saing Industri Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao Indonesia [Skripsi] Fakultas Ekonomi dan Manajemen,IPB. Bogor
59 Rizka D.K. 2010. Analisis Permintaan Jasa Angkutan Udara Khusus Penumpang di Sumatera Barat (Studi Kasus: Rute Penerbangan Padang-Jakarta) [Skripsi] Fakultas Ekonomi,Unand. Padang Rosalina A. 2013. Analisis Daya Saing Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Provinsi Jawa Barat Tahun 1981-2010 [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen,IPB. Bogor Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Jakarta(ID): Erlangga Sukirno S. 2008. Mikroekonomi Teori Pengantar. Jakarta(ID): PT Rajagrafindo Persada Tambunan. 2001. Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang. Jakarta(ID): Ghalia Indonesia Tarigan R. 2005. Perencanaan Pembangunan Regional. Jakarta(ID): Bumi Aksara
60
LAMPIRAN
61 Lampiran 1 Perhitungan RCA
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Ekspor Penerbangan Dunia
Ekspor Jasa Dunia
77.202.826 91.102.617 100.736.446 124.992.817 138.483.393 111.517.820 127.200.857 145.727.934 139.969.700
2.298.203.838 2.565.786.694 2.893.454.780 3.476.621.471 3.907.744.351 3.540.886.154 3.882.355.687 4.352.061.909 4.430.450.101
Lampiran 2 Perhitungan indeks RCA
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
RCA 1,057772598 1,246297068 1,102046361 1,080328862 1,430617528 1,100630853 1,201488886 1,502596925 1,559844201
Indeks RCA 1,178227787 0,884256563 0,98029348 1,324242625 0,769339695 1,091636567 1,250612421 1,038098891
Ekspor Penerbangan Indonesia 428 572 442 485 773 456 660 1.041 1.139
Ekspor Jasa Indonesia 12.045 12.926 11.520 12.487 15.247 13.155 16.766 20.690 23.113
62 Lampiran 3 Data nominal periode 1981-2012 Demand (orang)
PDB (US Dollar)
Populasi (orang)
1981
6 098 100
8.480.182.533
148.872.395
1982
6 028 700
8.189.335.714
1983
6 205 257
1984
Konsumsi RT (US Dollar)
Harga Avtur Rp/liter
Inflasi (%)
Armada (unit)
55.714.309.900
10,4
715
150
152.280.731
57.200.953.748
6,1
762
240
6.460.514.161
155.698.247
62.393.191.161
14,3
781
300
6 693 595
6.136.421.557
159.097.735
66.143.742.056
8,0
788
300
1985
6 284 566
5.865.882.837
162.458.871
70.520.560.798
4,3
772
330
1986
6 764 352
5.382.276.003
165.772.077
71.743.765.695
-0,1
773
250
1987
7 324 179
4.421.909.809
169.039.084
72.732.418.839
15,4
795
250
1988
8 068 554
4.586.194.499
172.265.107
67.292.942.728
12,7
785
300
1989
8 942 540
4.764.404.648
175.460.614
72.312.696.829
10,0
746
300
1990
8 719 253
4.988.257.154
178.633.239
84.752.255.721
7,7
789
330
1991
9 166 637
5.134.075.639
181.786.329
91.507.016.153
8,8
835
400
1992
9 527 207
5.288.920.364
184.916.848
94.340.398.483
5,4
867
400
1993
10 102 101
5.517.171.508
188.019.278
105.443.539.973
8,9
874
420
1994
11 661 102
5.730.935.794
191.085.673
113.697.069.306
7,8
895
420
1995
12 220 809
5.969.425.414
194.112.556
128.005.116.573
9,7
910
420
1996
13 494 810
6.168.607.800
197.097.887
140.448.389.871
8,9
933
420
1997
12 813 548
5.199.665.520
200.050.444
151.432.126.207
12,6
698
420
1998
7 585 853
1.312.416.906
202.990.922
142.091.482.387
75,3
704
600
1999
6 350 481
1.686.280.721
205.946.831
148.674.759.085
14,2
910
600
2000
7 622 570
1.650.210.123
208.938.698
151.028.351.054
20,4
512
1700
2001
9 168 059
1.403.787.946
211.970.371
156.305.487.418
14,3
514
2300
2002
12 253 173
1.616.566.919
215.038.285
162.301.085.123
5,9
545
1826
2003
19 095 170
1.838.809.465
218.145.617
168.619.293.282
5,5
545
2145
2004
26 521 294
1.853.165.533
221.293.797
176.994.896.639
8,6
891
3047
2005
31 943 930
1.804.082.134
224.480.901
183.992.152.033
14,3
933
4630
2006
36 979 757
2.016.664.365
227.709.821
189.830.761.378
14,1
1020
6001
2007
42 351 225
2.148.919.484
230.972.808
199.335.097.662
11,3
687
6790
2008
41 507 647
2.147.158.577
234.243.489
209.971.917.912
18,1
702
10500
2009
48 812 089
2.097.076.952
237.486.894
220.174.336.894
8,3
737
7100
2010
58 390 593
2.546.037.923
240.676.485
230.610.032.388
8,3
839
8063
2011
63 488 235
2.810.210.632
243.801.639
241.469.764.440
8,1
865
8500
2012
81 359 755
2.789.221.938
246.864.191
254.216.261.747
4,5
950
9400
63 Lampiran 4 Data nominal 1981-2012 (dalam bentuk logaritma natural Demand
PDB
Populasi
Konsumsi RT
Armada
Harga Avtur
1981
15,623
22,861
18,819
24,724
6,572
5,011
1982
15,612
22,826
18,841
24,750
6,636
5,481
1983
15,641
22,589
18,863
24,837
6,661
5,704
1984
15,717
22,538
18,885
24,895
6,671
5,704
1985
15,654
22,492
18,906
24,959
6,649
5,799
1986
15,727
22,406
18,926
24,976
6,650
5,521
1987
15,807
22,210
18,946
24,990
6,678
5,521
1988
15,903
22,246
18,965
24,897
6,666
5,704
1989
16,006
22,284
18,983
24,984
6,615
5,704
1990
15,981
22,330
19,001
25,137
6,671
5,799
1991
16,031
22,359
19,018
25,213
6,727
5,991
1992
16,070
22,389
19,035
25,249
6,765
5,991
1993
16,128
22,431
19,052
25,362
6,773
6,040
1994
16,272
22,469
19,068
25,437
6,797
6,040
1995
16,319
22,510
19,084
25,558
6,813
6,040
1996
16,418
22,543
19,099
25,648
6,838
6,040
1997
16,366
22,372
19,114
25,724
6,548
6,040
1998
15,842
20,995
19,129
25,660
6,557
6,397
1999
15,664
21,246
19,143
25,705
6,813
6,397
2000
15,847
21,224
19,158
25,707
6,238
7,438
2001
16,031
21,062
19,172
25,743
6,242
7,741
2002
16,321
21,204
19,186
25,804
6,301
7,510
2003
16,765
21,332
19,201
25,804
6,301
7,671
2004
17,093
21,340
19,215
25,890
6,792
8,022
2005
17,279
21,313
19,229
25,911
6,838
8,440
2006
17,426
21,425
19,244
25,966
6,928
8,700
2007
17,562
21,488
19,258
26,047
6,532
8,823
2008
17,541
21,487
19,272
26,074
6,554
9,259
2009
17,703
21,464
19,286
26,101
6,603
8,868
2010
17,883
21,658
19,299
26,156
6,732
8,995
2011
17,966
21,757
19,312
26,193
6,763
9,048
2012
18,214
21,749
19,324
26,254
6,856
9,148
64 Lampiran 5 Hasil estimasi model dengan model Ordinary Least Square Dependent Variable: PERMINTAAN Method: Least Squares Date: 07/06/14 Time: 19:29 Sample: 1981 2012 Included observations: 32 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PDB POPULASI INFLASI HARGA_AVTUR ARMADA KONSUMSI_RT DUMMY98 C
0.990267 5.778227 0.004559 0.466141 0.393745 -0.968019 0.327209 -96.97008
0.259057 1.995005 0.003121 0.090591 0.207671 0.524044 0.347382 29.19286
3.822589 2.896348 1.460985 5.145535 1.896008 -1.847210 0.941928 -3.321705
0.0008 0.0079 0.1570 0.0000 0.0701 0.0771 0.3556 0.0029
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.968029 0.958704 0.165271 0.655545 16.80235 103.8123 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
16.45041 0.813288 -0.550147 -0.183713 -0.428684 1.328333
Lampiran 6 Uji autokorelasi faktor-faktor yang memengaruhi permintaan jasa penerbangan nasional Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
1.958399 4.836150
Prob. F(2,22) Prob. Chi-Square(2)
0.1649 0.0891
65 Lampiran 7 uji heteroskedastisitas faktor-faktor yang memengaruhi permintaan jasa penerbangan nasional Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
1.718939 10.68595 4.287873
Prob. F(7,24) Prob. Chi-Square(7) Prob. Chi-Square(7)
0.1520 0.1529 0.7461
Lampiran 8 Correlation Matrix
PDB PDB 1.000000 POPULASI -0.778974 INFLASI -0.397630 HARGA_A VTUR -0.737669 ARMADA 0.348471 KONSUMSI _RT -0.751845 DUMMY98 -0.939738
HARGA_A KONSUMSI VTUR ARMADA _RT DUMMY98 -0.737669 0.348471 -0.751845 -0.939738 0.922254 -0.006133 0.989011 0.849855 0.000997 -0.154028 0.108803 0.268473
POPULASI -0.778974 1.000000 0.096039
INFLASI -0.397630 0.096039 1.000000
0.922254 -0.006133
0.000997 -0.154028
1.000000 -0.043488
-0.043488 1.000000
0.907080 -4.70E-05
0.875796 -0.247948
0.989011 0.849855
0.108803 0.268473
0.907080 0.875796
-4.70E-05 -0.247948
1.000000 0.840450
0.840450 1.000000
Lampiran 9 Uji normalitas faktor-faktor yang memengaruhi permintaan jasa penerbangan nasional 7
Series: Residuals Sample 1981 2012 Observations 32
6 5 4 3 2 1 0 -0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-4.44e-16 0.008963 0.234148 -0.357084 0.145419 -0.271118 2.426711
Jarque-Bera Probability
0.830240 0.660261
66
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Azmal Gusri Berliansyah lahir pada tanggal 7 Februari 1992 di Bukittinggi. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Ulta Dusri dan Gusneti. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SDN 14 Sungai Sariak, lalu melanjutkan pendidikan ke di SMPN 1 Baso, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMAN 1 Baso dan lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di Institut Pertanian Bogor. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.