Dari Rusia Untuk Cinta Paling Agung oleh Martin Aleida From Russia with love. Ya, Djumaini, dari Rusia dia berangkat meninggalkan cinta kasihnya pada anak-istri untuk menyeberangi benua dan sehamparan samudera luas demi cinta paling agung: Indonesia. Tahun 1990 dia meninggalkan Moskow menuju Negeri Belanda. “Ketika mendarat di Schiphol, perasaan saya bercampur-baur. Tetapi, pikiran dan hati saya tetap, bahwa Belanda ini hanya sekedar jembatan untuk pulang ke tanah air.” Di rumahnya yang berlantai dua di luar Den Haag, di Douwes Dekkerstraat, Voorburg, yang dia tempati seorang diri, dia bercerita dan dari kata-katanya bisa dirasakan betapa berat mengambil keputusan untuk meninggalkan istri dan seorang putri, anak tunggalnya. “Istri saya nggak mau ikut, dia memilih menetap di Rusia. Anak saya mau ikut, tetapi soalnya dia duduk di kelas terakhir sekolah menengah. Lagipula, kalau dia di sini akan berhadapan dengan masalah bahasa dan pelajaran yang tentu berbeda. Istri saya setuju dengan rencana saya pindah ke Belanda supaya bisa pulang ke Indonesia. Mumpung fisik saya masih kuat untuk melakukannya.” Dia bukanlah seekor bangau yang sejauh dan setinggi mana pun terbang akan bersambut baik di sarang yang telah dia tinggalkan. Sesampainya di Belanda Djumaini toh tak bisa langsung pulang. “Saya menunggu hampir satu tahun hanya untuk memperoleh suaka.” M. Djumaini Kartaprawira adalah seorang nasionalis, pengikut dan pemuja ajaran-ajaran Sukarno. Dia berasal dari keluarga yang sederhana di Solo. Sesudah bermukim beberapa lama di Belanda, dia menunaikan ibadah haji. Kalau ada diantara eksil yang meninggal, dan dimakankan secara Islam, dialah yang selalu membacakan doa kubur. Ketika Ibrahim Isa, eksil yang pernah menjadi ketua Organnisai Internasional Setiakawan Rakyat Asia-Afrika yang bermarkas di Peking, meninggal awal 2016, Djumainilah yang berdiri di tepi liang lahat memanjatkan doa selamat. Seorang nasionalis, tetapi dia duduk sebagai ketua Lembaga Perjuangan Korban 1965 di Belanda. Banyak kawan yang telah bercerita bagaimana mereka masuk ke Belanda. Berkenankah Bung memperkaya kisah-kisah mereka? Dari Moskow, sesampai di Schiphol saya sudah ditunggu oleh seorang teman yang tinggal di Leiden. Saya menginap dua malam di rumahnya. Kemudian saya diantar oleh teman itu
1
ke kantor polisi Leiden untuk meminta suaka. Sesederhana itu saja. Saya ditanya mengapa ke Belanda. Lantas saya ceritakan semua masalah yang saya hadapi. Tidak ada pertanyaan susulan yang lebih detail, karena polisi itu kelihatannya sudah tahu bahwa kedatangan saya ke Belanda urusannya adalah suaka. Pemeriksaan hanya satu kali itu. Sekitar dua jam. Selain saya ada juga orang dari Afrika dan dari mana-mana. Kemudian saya dikirim ke sebuah penampungan, ditempatkan di sebuah hotel. Hotel itu terletak di daerah peristirahatan, dicarter oleh polisi. Saya ditempatkan di situ selama tiga bulan. Semua ditanggung selama di hotel itu. Berangkat dari Moskow ke Belanda saya membawa seorang teman, dokter gineakologi, lulusan Moskow, dia sudah meninggal. Junarsi, namanya, laki-laki asal Yogya. Bagaimana perasaan? Lega. Tapi, saya pikir ini Belanda, dan saya harus beradaptasi. Keinginan untuk ke Indonesia tambah berkobar. Dari hotel di luar Leiden tadi, saya kemudian dipindahkan ke kota kecil Echt dekat Mastricht. Di sini penampungannya besar sekali. Bukan hotel, melainkan bangunan khusus untuk penampungan orang-orang pencari suaka. Mereka datang dari banyak tempat. Macam-macam orang di situ, tapi saya tidak bertemu dengan orang Indonesia. Bung Chalik Hamid, yang belajar di Albania dan tak bisa pulang seperti saya, juga pernah ditempatkan di situ. Di sini proses pemeriksaan lebih detail. Saya ceritakan apa yang saya alami. Ditanya komunis atau bukan? Itu tidak ditanya. Saya mengatakan sekarang Indonesia berada di bawah pemerintahan yang otoriter, banyak orang yang dikejar, dibunuh. Kecenderungan politik seseorang tidak diselidiki. Yang ditanya bagaimana ke Belanda, naik apa, dari mana? Sebab banyak yang minta suaka bukan karena politik. Waktu diperiksa di situ paspor dan segala dokumen sudah dibuang. Mengapa memilih Belanda bukan Jerman, misalnya? Belanda ini strategis, terutama untuk hubungan politik. Orang Indonesia yang datang ke Moskow jarang sekali. Kalau kita mengikuti perkembangan politik di Indonesia dari tulisan-tulisan saja ‘kan tak cukup. Dan tulian itu ‘kan seperti kata orang, berasal dari sumber tangan ketiga. Masuk ke Belanda tak ada masalah dengan paspor. Saya memegang yang namanya “paspor perjalanan”, yang dikeluarkan oleh pemerintah Rusia berdasarkan konvensi Jenewa. Jadi, ada dasar hukum yang jelas. Itulah bedanya dengan kawan-kawan
2
dari Tiongkok yang kelihatan begitu sulit untuk sampai ke negara tujuan. Antara lain harus menyeberangi titik pertemuan batas tiga negara, Jerman, Belanda, Belgia, di dekat Aachen itu secara gelap. Bung masih bekerja di Moskow, dan meninggalkan kantor begitu saja? Memang kurang sopan, karena saya meminta izin berangkat ke Belanda dengan alasan mau bertemu dengan famili yang datang. Saya tidak mengatakan bahwa saya akan kembali lagi. Itulah yang membuat saya merasa tidak enak sampai sekarang. Mereka juga tidak mengirim surat kepada saya. Dan saya tidak meminta pensiun kepada kantor saya itu. Dari penampungan di Echt itu saya dipindahkan ke Den Haag. Disuruh memilih jadi penerima suaka atau masuk warganegara Kerajaan Belanda. Keputusan saya ambil setelah ngobrol-ngobrol dengan teman-teman, tidak dalam pertemuan resmi. Bagaimana ketika Bung putuskan memilih jadi warganegara Belanda? Wah … Itu merupakan keputusan yang berat. Berat sekali, Bung! Dulu negara ini negara penjajah negeri saya, sekarang saya jadi warganegaranya. Berapa lama Bung memikirkannya? Itu relatif. Saat yang paling menentukan mungkin dua hari terakhir. Anak istri diberi tahu? Tidak. Itu sudah merupakan keputusan saya sebagai kepala keluarga. Ketika saya dapat keputusan dapat suaka, tidak sama dengan kawan-kawan lain. Dokumennya ada dokumen penerima suaka, ada yang disamakan dengan penerima suaka. Bukan penerima suaka tapi disamakan. Yang saya peroleh adalah dokumen sebagai penerima suaka. Sesungguhnya tak berbeda, semua hak-haknya sama. Tunjangan-tunjangannya sama. Tetapi, nanti ada bedanya kalau remigrasi. Kalau pulag ke Indonesia maka peraturan yang diberlakukan lain. Setelah mendapat suaka, saya tidak langsung meminta kewarganegaraan, karena banyak pertimbangan. Termasuk dampaknya pada orang-orang yang di Indonesia. Banyak tukang tunjuk. Bisa dituduh macam-macam. Orang yang tidak bisa pulang, yang dari Moskow,
3
yang meminta suaka di sini, tidak semua diterima. Ada yang ditolak. Ditolak, mungkin ketika diwawancarai tidak pandai menguraikan. Banyak yang ditolak? Banyak orang Indonesia yang ditolak. Ketika ditolak bisa mengajukan banding ke pengadilan. Di pengadilan mungkin hakim Belanda punya pertimbagan sendiri kalau berhadapan dengan orang Indonesia. Waktu lahir menjadi pertimbangan.. Kalau sebelum 1949, sebelum pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Republik Indonesia, mungkin lain pertimbangannya. Permintaan suaka saya langsung diterima. Bagaimana bisa sampai ke Moskow? Saya dikirim pemerintaah ke Moskow tahun 1963 untuk belajar. Angkatan saya waktu itu sekitar 80 orang. Dari bandar udara Kemayoran naik perusahaan penerbangan Uni Soviet, Aeroflot. Hampir penuh pesawatnya. Saya berasal dari Kepatihan, Solo. Pada waktu itu saya sedang mengajar di Semarang, di SMA negeri di sana. Saya lulus SMA tahun 1956 di SMA Kanisius Santo Yusuf, Solo. Saya kenal WS Rendra, dia satu kelas di atas saya. Ketika itu dia menerbitkan majalah drama. Penyair Mansur Samin juga saya kenal, dia punya grup anak-anak muda. Saya ‘kan orang marhaen, orang melaratlah. Ayah saya itu proletar yang menghendaki anaknya maju, tapi meminta saya supaya tak usah masuk organisasi. Kamu harus belajar, katanya, kalau nggak belajar nanti hidupmu sia-sia saja. Ayah saya Islam nasionalis. Saya ingin melanjutkan ke Gadjah Mada, tetapi ayah saya tidak mampu. Dan, saya tak punya famili di Yogya. Kalau ada ‘kan bisa dititipkan, kalau memang tak mampu. Tetapi, yang penting keinginan ayah supaya saya jangan sampai terlantar. Saya lamar semua; akademi luar negeri, akademi pos, telepon, telegraf, akademi militer, akademi dalam negeri. Ndak ada yang jawab. Padahal, angka saya rata-rata tujuh. Soalnnya ayah tak punya koneksi. Sistem koneksi pada waktu itu sudah muncul. Saya melanjutkan pendidikan di Solo, jadi guru. Setelah lulus, saya terpilih untuk diberangkatkan ke Sumatera Barat. Mengajar di sana selama empat tahun. Setelah kembali ke Solo saya dipindahkan ke Semarang. Sepulang dari Sumatera Barat saya mampir di Jakarta, mengunjungi departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan. Saya ditanya, mau belajar ke luar negeri? Mau, jawab saya. Lantas saya mendaftar. Ketika berada di Semarang dan bekerja sebagai guru, saya dapat radiogram. Isinya
4
supaya saya siap-siap untuk keberangkatan ke Moskow. Pulang ke Solo dan saya berangkat ke Jakarta. Di Jakarta saya tak punya koneksi. Kenalan saya cuma seorang buruh yang kemudian menawarkan untuk tinggal di satu rumah yang sangat sederhana di Bukit Duri sambil menungu keberangkatan ke Moskow. Dari Buki Duri ke Kemayoran saya naik becak. Oktober 1963 waktu itu. Saya kasihan pada penarik becaknya. Jarak itu jauh loh, Bung. Karena itu sisa uang rupiah yang ada di kantong, saya berikan semua kepada penarik becak itu. Untuk apa saya bawa? Dari Kemayoran pesawat singgah di Rangoon, New Delhi, Tashkent, terus ke Moskow. Oktober, jadi cuaca dingin. Ketika mendarat banyak teman Indonesia, yang datang lebih dulu, yang datang menyambut. Saya mengikuti pendidikan di Universitas Lumumba, jurusan hukum. Semua mahasiswa lebih dulu masuk fakultas persiapan selama setahun. Kelas persiapan itu, sebanyak empat kelas, semuanya terdiri dari mahasiswa Indonesia. Di kelas itu bahasa Rusia itu menjadi mata pelajaran pokok, kemudian ekonomi, sosial, dan sejarah secara umum. Tetapi, yang paling penting adalah pelajaran bahasa Rusia. Jadi, sampai lulus, lamanya pendidikan lima tahun. Di jurusan hukum ada duapuluh orang. Pada waktu duduk di tingkat tiga, pecah G30S. Hubungan kami dengan kedutaan dekat. Dutanya Manai Sophiaan. Peristiwa pecah, wah kita bingung ada apa ini? Bagaimana? Saya bertanya pada diri sendiri: apa ini? Saya dengar peristiwa itu dari Radio Moskow 1 Oktober 1965. Setelah membaca berbagai berita di koran, di majalah, mengikuti berbagai laporan, sekitar seminggu kemudian terjadi berbagai demonstrasi terhadap Bung Karrno, disusul rangkaian penangkapan dan pembunuhan. Maka apa yang sedang terjadi mulai jelas. Semakin jelas lagi ketika ada demonstrasi KAMI, KAPPI dan terikan gantung Bung Karno! Mahasiswa yang dikirim dari Indonesia dan belajar di Moskow tidak semuanya kiri, Bung. Selain dari instansi pemerintah, dari Himpunan Mahasiswa Islam juga ada. Nahdlatul Ulama juga. Pokoknya siapa yang mau dan berusaha untuk dikirim belajar ke luar negeri. Dari pergaulan sesama mahasiswa saya tahu oh, ini dari PNI, ini dari PKI dan lain-lain. Kalau sudah tahu ini dari HMI yang dari PKI menjauh, begitu sebaliknya, dan itu ‘kan sudah biasa pada zaman itu.
5
Ketika di Jakarta berlangsung demonstrasi terhadap Bung Karno, di Moskow juga. Jadi, di Moskow juga ada seperti KAMI, seorang mahasiswa bermarga Sihombing yang memimpin. Pokoknya munculah grup kanan di kalangan mahasiswa Indonesia di Moskow. Grup kiri dipimpinan oleh Sinuraya. Terus-terang, saya sendiri pendukung Bung Karno. Tak pernah saya sembunyikan. Tetap, saya adalah pendukung Bung Karno. Marhenisme tetap saya pegang. Juga ide-idenya yang lain. Tentang persatuan saya pegang. Idenya yang terakhir ‘kan NASAKOM. Pancasila, gotong-royong. Sampai pun di Moskow kerjasama itu tetap saya pegang. Karena itu, saya tetap bekerjasama dengan mahasiswa dari grup KOM. Dari grup agamanya, kelompok minoritasnya, juga bergabung dengan grup kami. Peristiwa di Jakarta juga tercermin di Moskow. Di tempat lain tak ada. Teman saya satu kamar, dari KOM, dari Pemuda Rakyat, Suwarno sampai hantam-hantaman babak-belur dengan anak Aceh dari grup kanan. Pintu kamar sampai hancur. Kalau sudah bertengkar, tuduh-menuduh menyangkut partai, jadi panas semua. Konfliknya sudah fisik. Fisik. Saya baru pulang dari bibliotik, waktu itu, tiba-tiba saya lihat pintu rusak. Suwarno bilang, tadi saya perang … Mahasiswa Indonesia di Lomonosov dan Lumumba semuanya kira-kira 500. Selain kedua universitas itu, ada lagi berbagai macam akademi, seperti metalurgi, akademi film, dan lain-lain. Di Odessa ada perguruan tinggi peminyakan, angkatan laut dan lain-lain, tetapi yang terbanyak mahasiswa Indonesia berada di Moskow. Pusat pegerakan hanya di Moskow. Yang dari jauh-jauh, tahu ada kejadian di Moskow, mereka lalu datang dan bergabung. Sikap kedutaan? Mula-mula belum keras. Yang aktif di kedutaan itu atase militernya. Manai Sophiaan, dutanya tahu siapa yang berkuasa di Indonesia, jadi tak bisa berbuat apa-apa. Yang berkuasa militer, jadi dia harus menyesuaikan diri, tak berani. Manai masih di situ, tapi dia hati-hati sekali. Dari pihak kedutaan yang mula-mula memanggil kami adalah bagian pendidikan. Diberitahukan tentang adanya perubahhan politik di Indonesia, tetapi tidak rinci. Cuma dikatakan masyarakat Indonesia diminta supaya tetap loyal kepada pemerinah. Pada waktu itu masih tetap ditekankan untuk mendukung Sukarno. Briefing pertama begitu; supaya mendukung Sukarno, tapi pada briefing kedua, menjelang akhir 1965, sudah
6
merupakan screening. Sudah tahu banyak orang-orang kanan yang menentang Bung Karno, jadi saya dan kawan-kawan tidak datang ketika dipanggil untuk kedua kali. Ada yang datang, katanya ditanya macam-macam. Orangtua masih hidup atau tidak, kalau hidup kerja di mana? Alamat di mana, saudaranya siapa saja. Ditanya macam-macam. Masak saudara-saudara yang jauh juga ditanyakan. Kalau ditanyakan hanya orangtua masih bisa diterima. Tapi, kalau yang lain-lain, kita jadi takut. Kita sudah mengira kalau dijawab semua bisa membahayakan. Pada panggilan kedua itu sedikit sekali yang datang, cuma mereka yang pro-militer saja. Banyak yang bimbang. Yang pro-pemerintah yang baru itu ada sekitar 50%. Soalnya mau cari selamat. Kita masih muda-muda, yang mengirim kami adalah pemerintah yang syah di bawah Sukarno. Yang datang screening dan lulus banyak juga. Di Uni Soviet, tak ada perubahan. Pendidikan berjalan terus. Kritik saya adalah kawan-kawan KOM itu pecah. Yang satu tetap tinggal, yang pro-Moskow. Yang satu lagi pro-Peking, bahkan yang belum tamat seperti saya, ikut berangkat ke Peking. Mereka meninggalkan Moskow tahun 1966. Banyak mereka? Banyak. Yang memimpin tidak diumukan. Warno, teman saya yang berantam dengan anak Aceh itu, juga berangkat. Kepada Warno, saya bilang mbok ditamatkan dulu. Dua tahun lagi ‘kan sudah tamat kamu. Kalau sudah tamat terserah mau ke mana. Mau ke Swedia, ke Tiongkok, tapi kamu harus tamat dulu. Ternyata, sesampainya di Tiongkok mereka dikirimkan ke perkampungan, seperti ditahan. Di sana mereka menemukan konflik yang lain. Bung bekerja di Moskow? Saya sempat bekerja di Moskow. Jujur saya katakana, saya berterima kasih kepada Uni Soviet. Sebab saya tidak diganggu, begitu juga teman-teman yang tetap tinggal, tidak ada yang diganggu. Setelah tamat tahun 1968, ada yang bekerja bagi mereka yang mau bekerja. Banyak insinyur Indonesia yang bekerja. Yang mau melanjutkan dipersilakan melanjutkan. Setelah tamat dari Universitas Lumumba (Universitas Persahabatan), saya melanjutkan ke Universitas Lomonosov. Satu setengah tahun di Lomonosov diberi gelar Master. Indonesia tak berubah. Ya, dipersilakan melanjutkan. Hebat Uni Soviet itu… Saya
7
diterima, saya lanjutkan, sampai tamat. Kalau sekarang namanya S3 di Indonesia. Saya meraih gelar S3 hukum itu awal 1973. Sesudah tamat mau diapakan gelar ini? Tanya saya dalam hati. Di sana ada aturan, semuua orang harus kerja, kalau tidak bisa berurusan dengan polisi. Jadi, setelah tamat saya harus bekerja. Semula saya dikirim untuk bekerja di kantor notaris. Tetapi, teman-teman Rusia bilang nanti gajimu kecil sekali di situ. Kamu minta bekerja di institut penelitian saja, kamu ‘kan bisa. Saya turuti nasihat mereka. Di kasi pekerjaan di institut forensik. Itu institut peneletian dengan berbagai bagian. Waktu saya habis disita oleh pekerjaan. Sebagai peneliti saya harus menulis, dan banyak sekali. Sampai tak sempat mengajari anak-istri Bahasa Indonesia. Saya bekerja sebagai peneliti di departemen teori yang bertalian dengan forensik. Ada sekitar 20 orang di situ. Ada forensik kedokteran, juga bidang senjata. Saya di forensik dalam bidang hukum. Tujuhbelas tahun saya bekerja di situ. Bagaimana kehidupan? Pokoknya bisa hidup di sana. Kalau dibandingkan dengan kehidupan orang di Barat lain dong. Kapan berkeluarga? Tahun 1970, dengan wanita Rusia, sebelum selesai S3. Anak saya satu, dan satu-satunya, perempuan. Apa pekerjaan selama di Belanda ini? Saya memutuskan memegang kewarganegaraan Belanda tahun 1991. Sampai sekarang tidak dapat pekerjaan. Banyak masalah kesehatan yang tidak memungkinkan saya bekerja. Saya pernah melamar ke kementerian kehakiman bagian bibliotik. Waktu itu yang dicari kepala bagian bibliotik. Semua syarat-syaratnya saya penuhi. Lamaran dijawab, semua bagus, tetapi, ada tetapinya, kami mencari yang lebih baik lagi. Berarti ditolak. Tidak disebutkan apakah ada kaitannya dengan usia atau kesehatan. Kalau pekerjaan kantor saya bisa, tapi kalau pekerjaan kasar saya tak kuat. Tetapi, pemerintah Belanda tetap memberikan subsidi kepada saya meskipun saya tidak bekerja. Saya menerima uang pensiun. Pensiun orang tua namanya. Istri saya di Moskow kerja. Anak putri saya kerja, penghasilannya baik. Kadang tiap tahun mereka datang. Putri saya yang paling sering. Istri saya sendiri sudah saya “lepaskan”. Kalau kepingin menikah lagi, menikahlah, silakan. Tahun 1999 saya ke sana bertemu dia. Hanya sekali itu saya ke sana,
8
dan yang terakhir tahun 2016 ini. Saya meninggalkan istri dengan baik-baik, hanya karena saya ingin pulang ke Indonesia. Pernah pulang? Pernah. Dua kali, yang terakhr 2005. Saya sampai ke Solo, dan begitu bertemu dengan keluarga semua kaget. Ada keluarga yang jadi korban pembunuhan, penangkapan 1965-66? Tak ada. Waktu pulang tahun 2000 ibu-bapak saya sudah tak ada. Waktu itu, begitu turun di Jakarta, saya merasa aneh, segala sesuatunya serba semrawut. Semuanya berubah. Saya hanya sebulan di Indonesia. Saya tidak khawatir pada keamanan, tetapi cemas dengan kesehatan saya. Selama sebulan itu setengah bulannya saya kena diare. Kedatangan berikutnya juga begitu. Ketika mau berangkat, dengar orang-orang bilang di sana gampang kena diare, saya bawa obat-obatan, tetapi tidak manjur. Saya tanya teman-teman di Indonesia, obat diare di sini apa? Ditunjukkan, saya coba. Tidak manjur. Diare terus, karena itu saya takut. Tahun 2010 saya rencanakan pulang. Terus, di sini saya menjalani operasi gigi, tetapi akibatnya selama dua tahun tak teratasi. Pendarahan tak henti. Sudah 17 tahun jantung saya menggunakan klep buatan dari metal. Rencana pulang? Rencana pulang selalu ada. Setiap tahun. Pulang pertama kali hati saya lega. Presidennya Gus Dur. Jadi, saya berani, walau saya tahu di sekelilingnya masih ada sisa-sisa rezim militer Suharto. Untuk menyambut saya di Solo, keluarga menyelenggarakan pertemuan dengan menutup ruas jalan. Bangku dijejer-jejer hehehe. Yang datang sekitar 100 orang. Keluarga dari mana-mana kumpul; dari Jakarta, Semarang, dan daerah lain. Setelah kumpul, sebagaimana biasanya acara di Indonesia, ada pembukaan, ada sambutan, ada pembacaan ayat-ayat Al-Quran. Kemudian diuraikan mengenai perjalanan hidup saya. Pertemuuan itu berlangsung di rumah adik saya. Saya tidak diberi tahu sebelumnya mengenai acara itu. Saya diminta juga untuk menceritakan pengalaman. Walau saya masih merasa khawatir, saya ceritakan mengapa saya tak bisa pulang ke Indonesia sekian lama. Sebab diantara keluarga saya sendiri ada yang tak tahu mengenai pencabutan paspor saya. Ada yang mengira, wah… sudah enak di luar negeri, jadi nggak mau pulang … Padahal
9
di luar negeri itu keadaan saya seperti ini. Setelah saya jelaskan barulah mereka tahu keadaan yang sebenarnya. Saya jadi lega. Ada petugas yang mendatangi? Tidak ada. Memang, saya tetap khawatir. Mungkin saya dibuntuti. Ketua rukun tetanggganya masih keluarga. Ternyata aman, gak ada apa-apa. Sebulan saya di sana. Karena diare tak sempat ke Semarang. Putri pernah diajak? Dia sering bilang, kapan-kapan kalau Papa ke Indonesia kita berangkat bersama-sama ya, katanya. Kami berkomunikasi dalam bahasa Rusia. Saya tak sempat mengajari dia maupun istri berbahasa Indonesia. Anak saya itu, sekarang punya pekerjaan dengan penghasilan yang baik di Moskow. Apakah Indonesia bertambah dekat buat Bung? Saya yakin akan ada kemungkinan untuk mendapatkan kembali paspor Indonesia. Waktu Gus Duur ke sini saya ngomong-ngomong dengan dia, berdua saja, di Den Haag, sebelum dia jadi presiden. Mengenai eksil saya yang berbicara dengan dia. Kalau tak salah tahun 1999. Saya sendiri yang menemuinya, tak ada teman eksil lain, karena sikap mereka belum solid pada waktu itu. Kami berbicara di satu hotel di Den Haag. Kepada Gus Dur saya ceritakan mengapa paspor saya dicabut. Gus Dur bilang ada anak Ansor yang juga dicabut paspornya. Dia studi kedokteran di Moskow, dan selesai. Gus Dur menyebutkan nama, tapi tak usahlah disebutkan. Saya bilang saya kenal orang itu. Paspornya memang dicabut. Saya tanya teman-temannya satu fakultas, mereka tak tahu. Saya tidak menanyakan Gus Dur dari mana dia tahu. Cuma dia bilang kalau saya nanti jadi presiden yang paspornya dicabut akan saya pulangkan ke Indonesia. Dia jadi presiden, tetapi “poros tengah” dan militer kemudian menendangnya. Ketika dia masih menjabat sebagai presiden, Gus Dur melanjutkan proses pemulangan kaum eksil dengan mengirimkan Yusril Ihza Mahendra. Tapi, tugas Yusril hanya berdialog dengan kami. Saya yang memegang dan mengatur undangannya, dan menyebarkannya kepada kawan-kawan. Ada yang datang dari Jerman, dari Perancis. Menurut saya, tugas yang dijalankan Yusril sukses. Kelanjutannya ‘kan di Jakarta. Yusril ditekan oleh partainya, ditekan oleh Susilo Bambang Yudoyono sebagai menteri koordinator politik, hukum, dan kemanan.
10