Pengantar PA Selasa, 11 September 2012 CINTA KAN MEMBAWAMU TERJERAT KIDUNG AGUNG 2: 1-17
Entah bagaimana, ketika saya membaca perikop ini segera sesudah pak Djoko Pras meminta saya mempersiapkan bahan PA ini, saya jadi teringat pada peristiwa beberapa tahun yang lalu. Dulu, ketika saya masih menjadi pendeta jemaat di GKP Pangelengan – Bandung Selatan, seorang remaja putri anak katekisasi saya pernah berujar, “persetan dengan cinta.” Lalu, hanya kurang dari 3 bulan kemudian, dia seolah-olah tidak ada waktu untuk membahas yang lain selain cinta. Saat ada kesempatan untuk ngobrol dengan saya maka tema yang dibahas adalah cinta. Ia begitu terpesona dengan pengalaman unik terlibat dalam “jeratan” cinta. Sekarang dia telah menikah dengan pacar pertamanya sekaligus satu-satunya pacar dalam hidupnya (mereka berpacaran kurang lebih 5 tahun), dan mereka telah dikarunia seorang putera. Ooooh... So swiiiiiiit... Mulailah saya memberikan penafsiran sebisa-bisanya, boleh dibilang bahwa setengah kritispun tidak. Dan secara khusus saya menggunakan istilah sang gadis dan sang jejaka pada paparan berikut ini. Ayat 1 BIS menyisipkan kata “hanya” pada teks ayat pertama ini. Maka timbul pertanyaan, “kok bunga mawar dikatakan 'hanya'?” Bukankah bunga mawar mestinya adalah bunga yang biasa dipakai untuk menggambarkan perasaan cinta yang agung, apalagi jika mawarnya adalah mawar berwarna putih. Pertanyaan sedikit terjawab ketika RSV maupun NIV memberikan catatan khusus pada istilah “rose”, yaitu bahwa rose (=mawar) yang dimaksud sangat mungkin adalah bunga yang termasuk pada kelompok crocus (dapat dilihat pada gambar), yang biasa tumbuh didaratan tepian pantai. Tapi saya kira bunga jenis ini kini dapat kita temui di tempat-tempat yang bukan hanya di sekitar pantai. Bagi saya, bunga tersebut memanglah bunga yang sederhana namun cantik. Maka dengan tekanan dan nuansa merendah, sang gadis menggunakan istilah mawar dan bakung (lily) untuk mengumpamakan dirinya sebagai yang sederhana. Ayat 2 “Ya, mungkin memang benar bahwa kamu terlihat sederhana, tapi kamu yang sederhana itu terlihat lebih cantik dibandingkan dengan gadis-gadis lain,” kira-kira begitulah saya memahami pernyataan sang jejaka. Padahal digambarkan pada 1: 5 sang gadis mengidentifikasikan dirinya sebagai sosok yang hitam. Tapi mungkin hitam manis. Singkatnya, sang jejaka seolah tidak ingin membatasi cintanya dipengaruhi pada tampilan fisik semata. Baginya, siapapun (tidak ada kategori sederhana atau megah), punya hak untuk menikmati keagungan cinta. Siapapun dapat dilanda cinta. Ayat 3-4 Ungkapan sang jejaka di ayat 2 nyatanya telah memberikan ketenteraman tersendiri. Sang gadis menemukan dirinya begitu berharga di mata sang jejaka sehingga mendapatkan perasaan terlindungi yang membuatnya juga merasa tenang, damai, aman (bentuk kepercayaan terhadap pasangan?) dan nyaman – saya jadi ingat istilah Buitenzorg (aman tenteram/ tanpa kecemasan) sebagai nama lain Kota Bogor pada masa kolonial Belanda. Lalu, secara lebay dapat saya katakan bahwa sang gadis menjadi sangat berbunga-bunga dan merasa dirinya adalah orang paling beruntung sedunia, paling berharga, dan seterusnya pokona mah nu pang-geulis-na sadunya. Ah, tentu saudara-saudari semua pernah mengalaminya juga. Terlebih karena sang jejaka mengekspresikan cintanya dengan tidak malu-malu dan tidak perlu bersembunyi-sembunyi di hadapan orang lain. Sebuah bentuk sanjungan dan pengakuan yang tulus
terhadap sang gadis. Akibatnya apa? Ayat 5-6 Akibatnya adalah kleper-kleper. Sakit asmara. Kondisi ini membuat orang menjadi seakan tak berdaya dan lunglai. Ketidakberdayaannya itu membuat dirinya menjadi sangat nyaman ketika (ayat 6) tangan kekasihnya menatahnya dan memeluknya. Sebuah gambaran kebahagiaan paradoks, yaitu kebahagiaan namun linglai. Dalam sakit asmaranya ia butuh kismis – dan juga jenis makanan yang manis-manis lainnya dipercaya dapat mengembalikan/ memulihkan kekuatan karena kandungan glukosa. Ini mirip dengan kebiasaan orang di Indonesia (paling tidak sejauh pengetahuan saya, bagi orang betawi, sunda, maupun jawa) yang biasanya memberikan minuman berupa teh manis bagi orang yang sedang semaput/ kelelahan. Ayat 7 “Pokoknya cinta tuh dahsyat banget deh, makanya jangan main-main dengan cinta”, kira-kira begitulah yang saya tangkap dari pernyataan sang gadis. Kalimat terakhir ayat ini dapat pula dimaknai sebagi sebuah pesan moral-etis bagi para pasangan yang belum menikah, yaitu nikmatilah cinta dalam keintiman jasmani tepat pada waktunya. Secara keseluruhan, bagi saya ayat 7 ini agak unik, sebab cinta dalam konteks ini seolah ditempatkan sebagai sesuatu yang dapat dibangkitkan atau digerakkan. Ini agak berbeda dengan pandangan beberapa “ahli” cinta – semisal Gabriel Marcel, Leo Buscaglia, maupun Erich Fromm – yang melihat bahwa cinta justru adalah energi yang menggerakkan seseorang. Memasuki ayat 8 kisah tiba-tiba seolah-olah berganti latar. Nyanyiannya tiba-tiba berkisah tentang latar rangkaian percakapan di sebuah rumah di dekat ladang. Ayat 8-9 Ekspresi seseorang yang telah begitu intim dengan kekasihnya, bahkan hanya mendengar saja pun dia sudah tahu bahwa itu adalah kekasihnya. Mirip dengan kondisi ketika saya tahu bahwa itu adalah suara “si hitam” (nama yang saya berikan untuk motor butut kesayangan saya) yang datang. Dengan penuh kekaguman ia melihat sang kekasih sedemikian lincah. Keintimannya membuat mereka selalu dilanda rindu ketika berjauhan, walau hanya sesaat, sehingga ketika sang jejaka datang maka yang dilihatnya adalah gerak-gerik yang cantik dan mengagumkan. Ayat 10-14 Cinta adalah ajakan membangun hubungan hangat laksana kehangatan musim setelah musim dingin (musim semi? Bagaimana dalam konteks Indonesia?) dan ajakan menikmati alam semesta dengan indera dan seluruh totalitas diri, yaitu dengan rasa mapun pikir. Ajakan untuk mengalami bahwa alam semesta juga menghadirkan cinta dan kesukacitaan bagi para pecinta. Cinta juga adalah keterbukaan dan kejujuran mengekspresikan gairah dan keceriaan. Cinta adalah ajakan untuk tidak perlu malu-malu dan sembunyi-sembunyi (apakah ini mengindikasikan bahwa cinta pada dasarnya anti back-street? Bisa didiskusikan). Ayat 15-17 Sejauh yang saya tahu, bagi Gabriel Macel, persekutuan cinta adalah persekutuan nous (=kita). Pada persekutuan cinta tidak ada tempat bagi egoisme je (=aku) ataupun te (=kamu). Persekutuan cinta adalah leburnya aku dan kamu menjadi kita; lebur bukan karena kehilangan jatidiri, melainkan lebur karena memberikan diri dengan rela untuk saling mengikatkan diri pada pasangannya di mana keduanya tetap sebagai subjek yang unik satu sama lain. Pada bagian ini – khususnya ayat 16 – pernyataan “kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia” menjadi kalimat penanda bahwa keduanya dengan rela saling mengikatkan diri pada pasangannya. Pasangan bukanlah objek menyalurkan cinta, melainkan mitra mengalami cinta sehingga terciptalah hubungan aku-engkau atau hubungan kehadiran (la co-presence). Bukan egoisme-aku mencintai kamu, melainkan cintalah
yang mempertemukan keduanya berada dalam persekutuan setelah mengalami pertemuan (la recontre). Cintalah yang merancang pertemuannya. Catatan, pertemuan yang dimaksud tidaklah sama dengan pertemuan sambil lalu. Dengan demikian pada bagian ini saya melihat bahwa cinta adalah ajakan membangun hubungan eksklusif di antara keduanya. Cinta ini adalah cinta yang eksklusif, yaitu tidak memberikan kesempatan dan kemungkinan untuk orang lain terlibat di dalamnya, hanya mereka berdua, dan tidak untuk diumbar kesemua orang. Ini adalah cinta yang monogami. Jika saudara-saudari berkenan, mungkin tema persekutuan cinta ini dapat dibahas di masing-masing kelompok, dengan sedikit selingan tema setia (=selingkuh tiada akhir). Apakah cinta tidak memberi peluang untuk “melirik” yang lain? Secara keseluruhan, saya menemukan bahwa cinta ini memang benar-benar dahyat. Ini memberikan kesan kepada saya bahwa segala sesuatu di dalam cinta adalah keindahan dan kesukacitaan yang menjangkau seluruh totalitas diri manusia sekaligus dengan aspek-aspek yang menyertainya, fisika maupun metafisika. Jika demikian, maka muncullah beberapa hal yang sempat meresahkan pikiran saya. Pertama, apa jadinya jika ternyata pasangan yang saling mencinta, tiba-tiba berada dalam kondisi yang sangat khusus harus berhadapan dengan adat hormat kepada orang tua, yang karenanya harus berhadapan dengan orang tua yang menentang hubungan pasangan itu? Apakah cinta akan tetap terasa manis ketika pasangan yang sedang sakit asmara (meminjam istilah Kidung Agung 2: 5) menghadapi kondisi orang tua yang secara ekstrem mengekspresikan ketidaksetujuan hubungan pasangan tersebut? Atau jangan-jangan ada yang akan mengangguk setuju pada pernyataan Cu Pat Kai (Jend. Tian Feng yang telah mengalami 1000x kelahiran), “beginilah cinta.... dari dulu sampai sekarang penderitaannya tiada akhir.”? Kedua, tentang cinta yang eksklusif, apakah ini mengandaikan pengabaian terhadap konteks sosialmasyarakat sehingga lepas dari kehidupan sosial bersama dengan orang lain yang di dalamnya juga terdapat berbagai norma? Ketiga, dalam perikop ini kita semata-mata menemukan konteks hubungan jujur dan terbuka antara sang gadis (perempuan) dan sang jejaka (lelaki). Bagaimana dengan konteks homoseksual (lesbi maupun gay) atau transgender? Selanjutnya, silahkan berdiskusi. Bogor, 6 September 2012
Tanggapan Terhadap Bahan P.A. Pdt. Suluh Sutia 11 September 2012 Oleh Robert Setio “Mari Bercinta” Filistinisme Filitinisme adalah istilah yang dikenakan kepada mereka yang tidak memahami seni, acuh tak acuh terhadap seni atau menganggap seni tidak penting. Orang Protestan boleh dikata termasuk golongan ini. Seni bagi orang Protestan tidak memiliki kedudukan yang penting. Lihat saja gedung-gedung gereja Protestan. Baik eksterior, apalagi interiornya sangat tidak menarik secara estetik. Kampus ini juga merupakan kampus Protestan. Itulah alasannya mengapa di sini sangat sedikit perhatian yang diberikan kepada seni. Sejauh saya tahu, hanya satu kali masa saja seni betul-betul dihargai. Itu terjadi di tahun 1980an. Sesudahnya, sampai dengan sekarang terjadi penurunan yang stabil dari minat kepada seni. Salah seorang mantan rektor pernah berkata, “seni itu hanya untuk mereka yang sudah kenyang saja”. Jadi, orang yang lapar alias miskin tidak membutuhkan seni. Yang beliau maksudkan miskin itu adalah universitas ini (kasihan, ya). Karena universitas ini masih miskin maka tidak butuh seni. Sejak itu berbagai benda seni yang dimiliki universitas ini diperlakukan dengan semena-mena. Untunglah PPS (sekarang DP3S) F.Th cukup tanggap untuk menyelamatkan apa yang masih bisa diselamatkan (jadi tidak semua) dari benda-benda seni peninggalan masa sebelumnya. Syukur jika tingkat Filitinisme F.Th masih belum separah yang lain. Estetika Kidung Agung Kitab Kidung Agung adalah kitab yang sangat estetik. Pesan Kitab ini disampaikan lewat puisi yang sangat indah baik dalam hal bentuk maupun bunyinya (permainan bunyi kata merupakan keistimewaan puisi Ibrani). Sayang jika keindahan itu terlewatkan. Maka, siapa yang membaca Kitab ini perlu memperhatikan keindahan itu lewat kajian puitik. Pada saat yang sama, Kitab Kidung Agung, sebagaimana sudah sering disebut, adalah kitab tentang cinta. Cinta erotis antara laki-laki dan perempuan (tidak harus diidentikkan dengan jenis kelamin). Kedua insan itu terlibat dalam lovemaking yang penuh hasrat. Hasrat lovemaking itu ketika dikaitkan dengan estetika menjadi sebuah hasrat yang indah sekalipun menggebu-gebu, penuh dengan emosi. Kitab ini seakan menolak anggapan bahwa lovemaking itu hanyalah sekadar penyaluran hasrat saja. Lovemaking itu tak boleh dianggap remeh, apalagi dicap buruk. Lovemaking itu indah, apalagi jika para pelakunya adalah orang-orang yang tahu seni, tahu menghargai keindahan, tahu bagaimana caranya menyajikan sebuah lovemaking yang romantis. Lovemaking menjadi sebuah karya seni yang lahir dari inspirasi dan diekspresikan dalam kebebasan tanpa beban. Seni lovemaking seringkali direduksi, bahkan direnggut untuk hanya menjadi sekadar kegiatan making love saja. Siapa yang mereduksi dan merenggutnya? Orang-orang yang berpandangan sok moralis. Pandangan yang membuat hubungan seksual menjadi sangat tersudut: harus dilakukan di tempat yang sangat rahasia, di waktu yang semua orang sedang tidak ada (maka kuburan menjadi tempat yang ideal) dan jangan lupa, itu juga harus dilakukan cepat-cepat saja. Sisa-sisa pandangan bahwa hubungan seksual adalah hanya untuk prokreasi (menghasilkan keturunan) terasa sekali di sini. Akibatnya, rekreasi sebagai unsur penting dalam hubungan seksual terabaikan bahkan terasa dengan sengaja dikecilkan. Kidung Agung menantang anggapan itu, sekalipun pada masanya perintah ilahi “beranak-cuculah” – yang selama berabad-abad dipegang sebagai dasar untuk menerjemahkan hubungan seksual sebagai sarana prokreasi – masih bergema sebagai perintah suci yang tak boleh digugat sekecil apapun. Kidung Agung menyodorkan gagasan kontroversi bahwa seks bukan sekadar untuk beranak dan bercucu, namun untuk mengasah dan mengembangkan salah satu talenta terbesar bagi manusia yaitu rasa seni.
Perendahan perempuan Pereduksian hubungan seksual hanya sebagai sarana prokreasi tidak sekadar menyingkirkan segi estetika dari cinta, namun juga berakibat pada kerugian bagi kaum perempuan. Perempuan tidak lagi bebas untuk memilih arti lain dari hubungan seksual selain untuk pembuahan rahimnya. Dari situ, dari pembelengguan arti seks itu, kemudian memancar berbagai penilaian negatif terhadap seks dengan perempuan sebagai tertuduh utama. Ketika seks hanya untuk prokreasi, maka perempuan hanya boleh memperuntukkan aura dan aurat seksualnya demi keperluan itu. Di luar itu, penonjolan aura dan aurat seksual perempuan dicap sebagai kontroversi, sebagai pemberontakan, yang melahirkan berbagai macam bentuk perlawanan dan penindasan. Perempuan tak boleh pernah memperlihatkan daya tarik seksualnya. Bila perlu mereka sama sekali tak boleh memperlihatkan dirinya di depan publik. Mereka ada hanya untuk mengandung dan melahirkan. Kidung Agung menentang pembatasan ini dengan menampilkan romantika seks secara publik (analoginya sekarang ini mungkin bercumbu di depan orang banyak) – Pdt. Suluh Sutia meminta kita mendiskusikan hal ini ketika membahas ayat 10-14. Tetapi, Kitab ini bergerak lebih jauh lagi ketika mengedepankan perempuan sebagai pihak yang seringkali mengambil inisiatif seperti teks kita hari ini. Keindahan seks dan peranan perempuan Pdt. Suluh Sutia telah memperlihatkan kekuatan cinta yang membuat orang seperti sakit atau memakai istilah yang lebih umum: cinta itu memabukkan. Jadi orang yang sedang jatuh cinta (sebenarnya kata jatuh ini bermasalah karena hanya terjadi sekali saja, padahal dianjurkan agar cinta itu terus membara). Juga diperlihatkan bahwa cinta untuk menimbulkan energi yang membangun seperti bunga dan tanaman musim semi yang kemunculannya menandakan sebuah kehidupan yang baru (Pdt. Suluh bertanya bagaimana dengan kondisi Indonesia yang tidak mengenal musim semi. Mungkin bisa dijawab dengan berbagai semak dan tanaman yang segar kembali di awal musim hujan.) Terhadap bahan yang sudah diberikan oleh Pdt. Suluh ini, saya hanya ingin menambahkan beberapa hal berikut: 1. Peran perempuan Teks kita ini merupakan ungkapan pihak perempuan yang terkadang mengambil sudut pandang pihak lelaki (2.2, 5, 10-13/14) tetapi tetap pihak perempuan itulah yang menyuarakannya. Poin ini perlu digarisbawahi agar kita dapat merasakan besarnya peran perempuan yang pastilah dengan sengaja hendak ditonjolkan oleh Kitab Kidung Agung. Perempuan bukanlah pihak yang pasif dalam soal bercinta. Bahkan ialah yang memimpin aktivitas bercinta itu. Setidaknya, perspektif perempuan ini membuat lovemaking menjadi berbeda jika dibandingkan dengan seandainya lelaki yang bertindak sebagai pengendali. Salah satu keistimewaan yang boleh disebut (semoga tidak cepat-cepat dituduh bias gender) adalah begitu terincinya uraian tentang tahap-tahap lovemaking itu diberikan. Selain itu, keindahan alam, terutama bunga-bungaan (Pdt. Suluh sudah memperlihatkan gambar-gambarnya) terasa lebih mengena dengan perempuan sebagai pihak pengungkapnya. Berkenaan dengan itu, kita juga perlu memperhatikan metafor “kismis” dalam ay. 5 (Ibrani: asyisya) yang terbuat dari anggur perlu dihubungkan dengan “kebun anggur” (1.6) dan “kebun anggur” (2.13, dsb.) yang dalam Kitab Kidung Agung dapat diartikan sebagai aurat perempuan. Ini merupakan eufemisme, namun sekaligus estetika. Jadi ay. 5-6 itu sebenarnya erotis sekali… 2. Puisi Kita juga perlu mengenali keindahan puisi dari bacaan ini, di antaranya pararelisme ini: - bunga mawar (habatselet: bunga musim semi – lihat gambar dari Pdt. Suluh) dari Saron aku - bunga bakung (syusyan: bunga lily) di lembah-lembah Pararelisme bukan sekadar mengatakan sesuatu dengan cara lain, melainkan penambahan ide dari yang sudah dikatakan sebelumnya. Jadi kita perlu memperhatikan perbedaan antara baris pertama dan kedua. Bunga musim semi bentuknya kecil-kecil dan dihasilkan oleh tanaman semak. Bunga
lily tumbuh memanjang dengan tangkai antara 60-180 cm. Saron adalah dataran subur yang terletak di daerah pegunungan bagian tengah Palestina. Lembah sebagaimana umumnya terletak di bawah dataran atau pegunungan. Perlu juga ditambahkan faktor warna dan keharuman dari masing-masing jenis bunga untuk menangkap metafor ini. Dalam rangka percintaan, bunga memiliki peranan yang sangat penting. Darinya memancar kekuatan yang membuat percintaan memiliki daya magis. Kalau di sini tokoh perempuan mengumpamakan dirinya dengan bunga maka ia ingin menghadirkan dirinya dengan segala daya tarik seksual dan sensualnya. Siapakah yang dapat menahan diri di hadapannya? Faktor puitis lainnya adalah pantun berpola. Salah satunya ini: ay. 2-3: a. seperti bunga bakung (lily) b. di antara duri-duri c. demikianlah manisku (ra‘yati) d. di antara gadis-gadis a’. seperti pohon apel b’. di antara pohon-pohon di hutan c’. demikianlah kekasihku (dodi) d’. di antara teruna-teruna Puisi ini merupakan respon pihak lelaki (bagian pertama) dan pihak perempuan (bagian kedua) terhadap kekasihnya. Kita menangkap kesan bahwa sang kekasih sangat menonjol dibandingkan dengan mereka yang ada di sekitarnya. Untuk yang perempuan seperti “bunga desa” atau “bunga kelas” begitu. Sedang untuk yang lelaki entah apa istilahnya. Tetapi juga terasa sekali nuansa perjuangan: “bunga bakung di antara duri-duri” dan “pohon apel di antara pohon-pohon di hutan”. Sang kekasih seperti berada di posisi terjepit, meskipun akhirnya mampu keluar. Cinta merupakan sebuah perjuangan. Tetapi ay. 7 yang merupakan refrain Kitab Kidung Agung (akan muncul kembali di 3.5, 5.8, 8.4) mengindikasikan bahwa cinta datang tanpa bisa diduga, meskipun ada keinginan untuk mengendalikannya. Refrain ini mengingatkan kita bahwa cinta tidak bisa diatur keberadaannya dan sebaiknya orang tidak berpretensi bahwa ia bisa mengaturnya. Tugas kita hanyalah menikmati cinta sebisa-bisanya, menangkap keluasan dan kedalaman cinta itu semampu kita dengan selalu mengingatkan diri bahwa apapun kenikmatan cinta yang sudah kita peroleh saat ini masih belum seluruhnya. Masih ada jejak-jejak cinta yang belum kita tapaki dan mungkin tak akan pernah kita tapaki sepanjang hidup kita di dunia ini. Cinta itulah Tuhan dan Tuhan itulah cinta. Kita tidak mungkin membatasi cinta seperti kita tidak mungkin membatasi Tuhan. Tugas kita adalah menikmati cinta, menikmati Tuhan. Teologi adalah respon terhadap cinta, terhadap keindahan cinta, terhadap sengat cinta, yang terkadang menyakitkan dan mematikan itu. Kidung Agung bicara tentang cinta, tetapi cinta yang tak pernah habis, selalu dikejar tanpa pernah bisa disudahi. Sang kekasih dekat tapi jauh, jauh tapi dekat. Ia ada, tapi tiada, tiada tapi ada.