“Seni Mencinta” Kidung Agung 1:8-17
Pengantar Kidung Agung mengajak pembacanya belajar bagaimana mencinta secara real dengan menggunakan estetika. Sesuai dengan namanya, Kidung Agung (Ibr: syir hasyirim) merupakan sebuah kitab kumpulan nyanyian-nyanyian cinta yang masing-masing berasal dari situasi dan jaman yang berbeda. Pemberian nama Kidung Agung (TB-LAI), mirip dengan pemberian judul pada kitab Mazmur dan kitab-kitab kebijaksanaan lain, yang diyakini berasal dari Salomo. Hal ini didasarkan bahwa, nyanyian-nyanyian ini dikumpulkan dan banyak beredar di kalangan tradisi kebijaksanaan. Kidung Agung sendiri masuk pada bagian ketiga dalam ketubim (kitab-kitab Ibrani) -- keseluruhan ada lima kumpulan ketubim (megillot)_ yang biasa dibacakan pada hari raya paskah. Dalam kitab Ibrani nyanyian cinta sangat jarang dijumpai, inilah yang membuat Kidung Agung sebagai kitab yang istimewa, sekaligus agak problematis. Problematikanya terletak pada isinya tentang cinta profan, sehingga sejak lama keberadaan kitab ini menjadi perdebatan dalam kanon. Karena “kurangnya” suasana religius dan nasional, maka melalui dekodisasi dan pemaknaan baru (religiusasi dan nasionalisasi), Kidung Agung kemudian dapat masuk dalam kanon. Selain masalah tersebut, tidak adanya batasan struktur yang jelas, banyaknya metafer yang digunakan, serta banyaknya bahasa penggambaran (wasf), membuat banyak penafsir modern mengalami kesulitan ketika menafsirkan kitab ini. Jika kitab ini ditafsirkan dengan pemaknaan religius dan nasionalis, maka penafsir akan kehilangan maksud sebenarnya dari isi kitab ini, sebagai kidung cinta antar manusia. Namun jika ditafsirkan dengan melihat keprofanan cinta yang disampaikan, maka penafsir dari tradisi Yahudi maupun Protestan justru bertentangan dengan iman leluhur mereka, yang memasukkan kitab ini berdasarkan pemaknaan alegoris.1 Sebagai pembaca masa kini, aspek eksistensial serta pastoral tentunya tetap menjadi pertimbangan dalam kekayaan cara pembacaan teks Kidung Agung. Namun, cara pembacaan itu akan kembali pada pilihan mendasar, apakah kitab ini harus ditafsirkan sebagai murni lagu cinta antar manusia, ataukah ditafsirkan sebagai alegori sebagai cinta umat Israel dengan Allahnya.. Dengan tidak mengabaikan keberadaan konteks mayoritas audience saat ini (anak muda yang..‟haus cinta‟?) serta menghargai keberadaan teks, maka saya memilih keduanya. Pendekatan mistik syahwati2 dianggap mewakili pilihan tersebut. Mistik kesyahwatan yang dimaksud seperti halnya tradisi tantra maupun kundalini dalam Hindhu, yang membimbing perjumpaan energi cinta seksual (hasrat) laki-laki dan perempuan dalam ranah spiritual. Secara struktur Kid 1:9-17 saling berkaitan satu sama lain dan tidak berdiri sendiri (ayat 8 sendiri merupakan jawaban dari ayat 7). Hal itu bisa kita lihat dari isinya yang berupa nyanyian pengaguman seorang pemuda kepada gadis yang dicintainya 1:9-11│1:15│3:6-8│4:1-7, dst, atau nyanyian pengaguman seorang gadis kepada pemuda yang dicintainya (1:12-14│1:16-17).3 Dalam mistik, imaginasi dan pengalaman berperan sangat penting untuk mengalami perjumpaan dengan Allah. Mistik selanjutnya dipadukan unsur-unsur kesyahwatan dalam Kid. 1:8-17 yang nampak pada ekspresi bahasa pujian kekaguman yang diungkapkan si pemuda maupun si gadis dengan mengadopsi simbol-simbol erotika.
1
Menurut LaCocque masuknya Kidung Agung ini ke dalam kanon dan bahkan menempati posisi penting dalam megillot merupakan peran dari tradisi penafsiran alegoris. Lihat A. LaCocque, Romance, She Wrote: A Hermeneutical Essay on Song of Songs, (Harrisburg, 1998), p. 3. 2 Menurut EGS mistik dan kesyahwatan merupakan upaya dalam berdialog dalam kepelbagaian mistik (Yahudi, Katholik, Protestan). E Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks Millennium III. (Jakarta, BPK. Gunung Mulia, 2004), p .374-376 3 Bdk David M. Carr, The Erotic Word: Sexuality, Spirituality, and The Bible, (New York, Oxford University Press, 2003), p. 111
1
-
Pencarian dan Saling Memuji I (1: 8-14) Dalam ay.8 tidak jelas siapa yang mengatakannya, akan tetapi bersifat jawaban atau informasi yang tidak pasti jika ingin berjumpa si gembala (ay.7). Jawaban tersebut bersifat kalimat imperatif dengan pemberian petunjuk pada si gadis jika sudah berjumpa dengan gembala. Ini memperkuat kesan bahwa si gadis sedang mencari dan merindukan si pemuda kekasihnya, yang berprofesi sebagai penggembala kambing (bnd. Kid 2:16; 6:2). Selanjutnya, ay. 9-14 merupakan nyanyian pengaguman dengan bahasa figuratif, yang dinyanyikan oleh dua orang dengan sahut menyahut. Si pemuda mengagumi kecantikan si gadis (ay.9-11) dan kemudian dibalas si gadis yang juga mengagumi si pemuda itu (ayat 12-14). Si pemuda memulai pengagumannya terhadap kecantikan sosok si gadis dengan sebuah pengandaian kuda betina pada kereta-kereta Firaun (ay.9). Kuda betina seorang raja pasti merupakan kuda pilihan yang memiliki struktur dan bentuk tubuh istimewa. Dengan ungkapannya itu, si pemuda hendak membandingkan sisi kecantikan atau kemolekan si gadis kekasihnya dengan seekor kuda betina.. agak aneh memang... namun, hal ini mengingatkan saya pada sebuah launching mobil merk terkenal (berlambang kuda jingkrak). Di sebelah mobil tersebut berdiri perempuan cantik dan terkenal, yang didandani molek dan sangat menarik. Saya mengira, hal itu sengaja dilakukan dengan maksud, orang yang tidak memahami kualitas mobil dan merk mahal, dengan melihat perempuan cantik nan terkenal itu, maka akan berpikir kendaraan itu sungguh-sungguh istimewa. Demikianlah kira-kira kecantikan dan kemolekan si gadis yang digambarkan oleh si pemuda. Lalu, kekaguman si pemuda berlanjut lebih detail pada ay.10, dengan menyertakan perhiasan sebagai perlengkapan kecantikan atas kemolekan sosok si gadis. Apabila perhiasan yang dipakai oleh si gadis (ay.10) sifatnya biasa, dalam ay. 11 si pemuda mau berusaha mengubah perhiasan tersebut menjadi perhiasan yang lebih berharga, yaitu dengan menambah emas yang dirangkai dengan perak (nequdot hakkasef). Ini berarti, si pemuda yang mengagumi si gadis mau mengusahakan dan membuatkan apapun yang terbaik, demi si gadis kekasihnya. Ay. 12-14 merupakan lirik balasan yang dinyanyikan si gadis. Dalam ay.12 si pemuda dikagumi si gadis dengan diandaikan bagaikan sang raja yang sedang santai-santai di meja yang biasa digunakan untuk berbaring. Minyak narwastu merupakan wewangian impor mahal yang berasal dari luar Israel,4 yang menggambarkan suasana romantis di sekitar tempat itu. Maka si gadis sebenarnya ingin berkata, bahwa hubungan cinta mereka merupakan sebuah hubungan cinta yang sangat bergairah. Fantasi si gadis pada ay. 13 mulai mengarah ke erotika, dengan membayangkan si pemuda bersandar pada buah dadanya. Mur yang adalah wewangian yang biasa dipakai pada pakaian, ranjang pengantin (Mzm 45:9; Ams 7:17; Ester 2:12-13), hendak menunjukkan bahwa si gadis menginginkan hubungan cinta mereka lebih dekat dan intim. Pada bagian ini, suasana sensualitas dalam diri si gadis dan harapan keintiman dengan si pemuda nampaknya sudah tidak tertahankan lagi. Pengulangan yang terjadi pada ay.14, kemudian ditambah bunga pacar yang dihubungkan dengan En-Gedi5. Ayat ini memiliki makna, bahwa cinta mereka merupakan sebuah cinta yang sangat berkualitas. Kesimpulan bagian ini adalah, nyanyian ini terletak dalam konteks di mana si gadis sedang rindu akan kedatangan kekasih dan berangan-angan, bahwa kekasihnya datang. Hubungan cinta yang sungguh-sungguh akan memunculkan rasa rindu yang terekspresikan dalam saling memuji kelebihan satu sama lain. Rasa rindu atau kangen selalu muncul dalam percintaan. Rasa rindu menghendaki usaha/pencarian agar tidak ada jarak. Jika seseorang mencintai maka ia akan selalu rindu untuk selalu dekat dengan sang kekasih. Jika sepasang kekasih tidak memiliki „kerinduan‟ untuk bertemu, maka patut dipertanyakan ulang cintanya. Kerinduan akan membawa kepada keinginan untuk selalu mencari di mana kekasihnya berada. 4 5
J.A.Telnoni, Tafsiran Alkitab Kidung Agung, (Kupang: Artha Wacana Press, 2005), p. 53 En-Gedi terkenal dengan kebun anggurnya dan tempatnya yang subur. Daerah ini sejak abad ke-7 sM merupakan penghasil parfum yang sangat berkualitas. B. Mazar, Sebuah Prasasti Pada Lantai Sinagoge di En-Gedi, (Tarbiz , 1971), p. 18-23.
2
-
Saling Memuji II (1:15-17) Nyanyian dua bait ini merupakan nyanyian pengaguman saut-menyahut si pemuda dan si gadis. Ay. 15 adalah seorang pemuda yang memulai pengagumannya terhadap si gadis dengan sebuah lirik yang menunjukkan sebuah kejujuran. Pengulangan “engkau” merupakan sebuah bentuk penegasan, sehingga tepat jika TB-LAI memberikan kata tambahan pada anak kalimat ini “sungguh!”. Jika pada 1:9-11 si pria memuji kecantikan si gadis dengan menyoroti perhiasan yang dipakai, pada bagian ini si pemuda menyoroti kecantikan bagian tubuh (mata) si gadis dengan bahasa metafora. Hal ini mengingatkan kepada pembandingan mata Lea dan Rahel: “Lea tidak berseri matanya, tetapi Rahel itu cantik dalam perawakan dan penampakan” (Kej 29:17). Selain melambangkan ketulusan, merpati juga dianggap burung suci. Dengan demikian si pemuda tidak memungkiri lagi bahwa, kekasihnya memiliki inner beauty yang sepadan dengan perawakannya, sebuah kecantikan yang sempurna. Ay. 16 memiliki bentuk dan struktur yang sama dengan ay.15, si gadis mengagumi sang pemuda kekasihnya. Petiduran bisa mempunyai makna ganda: di satu sisi sebagai tempat tidur (bnd. Amos 6:4; Mzm 132:3), di sisi lain sebagai aksi cinta /persetubuhan (bnd. Ams 7:16-18)6. Namun jika melihat kata sejuk dan pernyataan si gadis pada ayat 17, maka kata sejuk dalam ayat ini memiliki makna alam yang sejuk dan hijau. Hal ini dipertegas pada ayat 17. Rumah yang terbuat dari kayu aras dan dinding dari kayu eru, tentu saja tidak berbicara mengenai rumah yang sangat megah, namun hal ini berbicara mengenai kondisi kesederhanaan yang terkesan apa adanya. Mungkin sama seperti ungkapan (di Indonesia) yang berkata: Meskipun beratapkan langit dan beralaskan bumi, namun aku akan tetap cinta kamu. Artinya, di tengah suasana alam yang sederhanapun, jika ada cinta, maka hidup bersama sang kekasih akan tetap terasa indah. Kesimpulan bagian ini tetap pada konteks saling memuji satu sama lain. Si pemuda mengagumi ketulusan hati si gadis yang terpancarkan dari matanya. Sebaliknya, si gadis hanya mendambakan cinta sejati dari si pemuda, meskipun dalam situasi apa adanya dan kesederhanaan hidup mereka. Mistik dan Kesyahwatan Dalam mistik syahwati, memuji atau pujian merupakan sebuah seni mengungkapkan ketertarikan- kekaguman- kerinduan atas cinta yang dirasakan, di mana ada erotika dan hasrat dibalik bahasa itu.7 Hasrat inilah yang kemudian menggerakkan manusia membangun relasi dengan yang lain di luar dirinya. Mistik syahwati bekerja secara aktif dalam bahasa pujian, pengalaman, dan semua perbuatan mencinta yang kemudian membawa kepada penghayatan kepada Allah. Melalui pengalaman syahwati, manusia bisa mengungkapkan perasaannya kepada Tuhan didasarkan pengalaman cinta yang dialaminya. Pengalaman cinta manusia terbentuk karena adanya hasrat yang kuat sebagai pengaruh dari kondisi hormonal (eksistensinya). Dari pemahaman inilah, kesyahwatan dapat dipakai untuk mengungkapkan dorongan perasaan cinta kepada Tuhan. Dampak dari pemahaman ini adalah, kesyahwatan (profane) dalam Kidung Agung menjadi sesuatu yang sakral ketika dipahami sebagai simbol untuk menghayati pengalaman Ilahi dan tidak diumbar sembarangan. Tidak mengherankan jika kemudian Rabi Akiba menyebutkan kitab Kidung Agung sebagai kitab “suci dari yang tersuci” (holy of holies)8.
6
Bdk. pada bagian ini Carr menyebutkan di Mesir ranjang dan kayu (eru) pada ay.16–17 merupakan tempat yang cocok untuk aktivitas seksual. David M. Carr, The Erotic Word, p. 112 7 Pandangan Bernard Mcginn menarik mengenai hal ini: The use of language drawn from sexual love - physical descriptions of the beauty of the lover, as well as images of longing and meeting, of burning and swooning, of kisses, embraces and even intercourse – have been so widespread in the history of Christian mysticism that any attempt to give a brief survey is impossible. One might suppose that it was largerly because of the inclusion song of songs in the canon of scripture that the Christian were allowed to make use of sexual imagery, but this scarcely explains the popularity of erotic mysticism. Bernard Mcginn. “Mysticism and Sexuality” dalam Way Supplement vol 77, (London: Heytropp College, 1993), hal 47 8 Dorothee Solle, The Silent Cry: Mysticism and Resistence, (Minneapolis: Fortress Press, 2001), p 118
3
Adanya ketidakjumpaan (jarak) yang memicu kerinduan antara si pemuda dan si gadis yang nampak dalam pujian pengaguman, erat dengan konsep ketidaklekatan Meister Eckart9. Jarak tersebut membuat mereka mengalami kekosongan jiwa yang memerlukan pemenuhan. Kekosongan jiwa ini menimbulkan penderitaan karena adanya hasrat dan rasa rindu yang tidak sampai satu sama lain. Jiwa yang menderita karena merindukan kesatuan inilah dalam mistik di sebut sebagai “the dark night of the soul”10. Malam-malam gelap sangat dirasakan dalam batin, karena mereka masuk dalam rahasia yang tidak diketahui darimana berasal. Dari situlah dimana kemudian Tuhan hadir dan mengisi kekosongan jiwa mereka masing-masing.11 Meskipun mempunyai kerinduan kuat untuk bertemu (lekat) namun konsistensi dan komitmen mereka atas cinta yang tidak berjumpa (tidak lekat) membuat api cinta mereka tetap membara. Kerinduan merupakan jalan (lekat) yang penting menuju ketidaklekatan, artinya kerinduan tidak pernah berhenti dan merupakan sebuah pencarian yang terus menerus sampai dengan Allah masuk dalam jiwa dan memuaskan kedahagaan rindu yang mendalam itu. Bagaimanapun kesyahwatan merupakan unsur cinta dan seksualitas yang membentuk eksitensi manusia. Seruan demo kaum perempuan untuk mogok seks atau tidak melakukan pelayanan seksual selama seminggu (yang buru-buru ditolak dan ditawar 2 hari oleh kaum lakilaki, terutama para suami) beberapa hari lalu (Tempo, 29/8/2012), menuntut kemunduran presiden Togo, membuktikan pentingnya perhatian kepada kesyahwatan/seksualitas manusia. Harus diakui, cinta dan seksualitas berjalan searah dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Seni mencinta yang menggabungkan estetika, empati dan etika diperlukan manusia demi keindahan cinta manusia itu sendiri. Dalam kekristenan sendiri, mencintai sesama manusia tidak berlawanan dengan mencintai Tuhan. Justru, mencintai Tuhan terbukti jelas ketika mencintai manusia yang ada didepan mata. Kerinduan, kekaguman dan ketertarikan terhadap seseorang yang dicinta, biasa kita jumpai dalam ekspresi seni pujian (nyanyian). Demikianpula ungkapan kerinduan, kekaguman terhadap Tuhan. Memuji Tuhan juga merupakan bagian seni mencinta umat kepada Allah, seperti halnya nyanyian pemazmur “Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku! (Mzm 103:1). Pangantar diskusi: 1. Apakah anda yakin dalam hubungan cinta yang anda bangun dengan teman/kekasih/pasangan suami-isteri anda, ada unsur campur tangan Tuhan? Apa yang membuktikan kehadiran atau ketidakhadiran Tuhan dalam cinta tersebut? 2. Jika cinta dan seni ibarat bumbu dan masakan. Apakah kekerasan dalam sebuah relasi (misalnya: pemerkosaan) dipengaruhi oleh kadar selera seni sang pecinta? 3. Sejauhmana pujian atau retorika cinta penting membangun kedekatan/keintiman relasi antar manusia masa kini, saat teknologi informasi sudah mempersempit jarak (dimensi ruang & waktu)? 2/9/11 Asrama Seturan, BK
9
Bagi Eckhart, satu-satunya cara bagi jiwa untuk membuka diri pada cinta adalah dengan meninggalkan cara (lekat) dan menjadi orang yang mempunyai sikap tidak lekat. Syafaatun Almirzanah, When Mystic Master Meet: Paradigma Baru dalam Relasi Umat Kristiani-Muslim, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), p. 181-183 10 Evelyn Underhill. Mysticism, (New York: Meridian Books, 1955), p. 381 11 Rahasia merupakan jalan untuk mencapai pengetahuan mengenai Allah. Rahasia ini terjadi menurut St Yohanes dari Salib hanya melalui ”malam yang gelap” yang merupakan saat masuknya Allah ke dalam jiwa, suatu pemurnian mendalam dan mengerikan terhadap pribadi. Lihat William Johnston. Teologi Mistik..p. 98, 273. Bnd. Wash melihat ada enam isyarat kehadiran Tuhan dalam Kidung Agung. Carey Elen Wash, Equisite Desire: Religion, the Erotic in the Song of Songs, (Mineapolis:Fortres press, 2000), p. 202-210.
4
Tanggapan Selasa, 04 September 2012 Diskusi Teologi/Pemahaman Alkitab Kidung Agung 1:8-17 Seperti dikatakan Sdr. Brahm Kharismatius, bahwa Kidung Agung adalah kitab yang problematis, tetapi justru problematikanya itulah yang membuat semua kemungkinan tafsir menjadi menarik untuk didengar dan dipertimbangkan. Kebenarannya tentu saja bukan pada tafsir mana, melainkan ada dalam sensasi interaksi yang tercipta. Sekarang ini kita lebih suka membaca Kidung Agung sebagaimana adanya, sebagai kitab kumpulan puisi cinta yang eksotis, sensual, dan jujur. Semoga ini bukan karena kita ingin memproyeksikan kebutuhan seksualitas profan yang terkungkung kebebasannya, sehingga kemudian menggunakan simbol-simbol yang lebih religius, agar hasrat seksual diberi ruang di selasela meditasi kita yang seringkali dikondisikan sebagai absen terhadap realitas ragawi dan mengarah kepada askese yang menegasikan seksualitas. Membaca kumpulan puisi Kidung Agung tentang cinta yang juga melibatkan bahasa erotik ternyata memberikan kita pada kesadaran berbeda tentang cinta. Kita selalu disuguhi konsep bahwa mencintai harus diarahkan pada sebuah cinta yang “agape” (unconditional love), yang tulus, yang tidak cacat, dan suci, termasuk berjarak dari seksualitas. Tetapi sekarang ini kita membaca sesuatu yang berbeda, justru bahasa erotis, estetis, dan kadang juga detail dalam kesensualannya, malah bisa mengantar kita pada desahan religious yang menggetarkan. Bahasa cinta Kidung Agung terkesan profane, dan mungkin inilah yang memang ingin ditekankan, agar pembaca tidak jatuh pada kemunafikan mengatakan bahwa yang profane tidak lagi dibutuhkan dan tidak berguna. Bagi manusia seperti kita, tidaklah mungkin masuk dalam sesuatu yang religious dan spiritual tanpa menggunakan realitas profane kita. Nah, untuk inilah saya rasa Kidung Agung memberikan “jiwa” dan “rasa” bagi hubungan antara penulis pembaca, sesama manusia, juga manusia dengan TUHAN. Relasi di antaranya tidaklah hambar dan kering, karena bahasa-bahasa datar, melainkan yang religious dan spiritual itu berarti penuh dinamika maupun rasa. Pasti ada rasa “deg-degan”, “degupan hati”, “membara”, “rindu setengah mati”, dan sungguh bahwa cinta itu “benar-benar meresahkan hati” – haus akan wajah kekasih. Bahkan cinta bisa juga menyebabkan kita terkesan norak dan urakan, ganas dan tidak sekedar begitu-begitu saja. Bila seseorang dirasuk cinta, tidak ada yang terbayangkan selain hanya yang sedang dicintainya. Kebaikan-kebaikannya muncul ke permukaan, mengalahkan apapun, bahkan keburukan sekalipun. Puisi cinta lebih jujur dan berharga dibandingkan tulisan-tulisan dan komentar. Itulah makanya penting mempertahankan bentuk bahasa cinta Kidung Agung sebagaimana adanya tanpa buru-buru membelokkannya pada alegori tentang hubungan antara Allah dan manusia. Kidung Agung tidak sedang menyangkal yang profane tentang cinta, melainkan ingin membayangkan cinta sebagaimana yang riil dialami manusia dalam
kehidupan nyata. Sensasi inilah yang baik kita tangkap dan rasakan. Malu kita terhadap hal-hal demikian justru menunjukkan level spiritualitas yang tidak membumi dan tidak real. Senyum-senyum dan ketawa kita ketika membaca teks Kidung Agung merupakan bukti bahwa kita telah terasingkan dari kemanusiaan kita, dan terbawa pada sebuah spiritualitas yang abstrak tak berjejak. Kidung Agung mengingatkan kita pentingnya menghayati cinta sebagai cinta, yaitu cinta yang kita kenal dan rasakan sebagaimana manusia. Hal lain yang muncul dalam teks kita kali ini adalah bahwa pujian-pujian itu saling diberikan (lih. Robert Davidson 1986:99-100). Artinya baik perempuan dan laki-laki keduanya memiliki akses memuji dan dipuji. Laki-laki bukan hanya memuji, atau perempuan tabu memuji ketampanan dan kegagahan laki-laki. Keduanya melakukannya karena dorongan batin, bukan karena kelaziman siapa yang seharusnya memuji siapa. Cintalah yang membuat mereka jujur dan memulai segenap puji-pujiannya, bahkan mengarah pada fantasi untuk menikmati apa yang dipujikannya tadi (bdk. istilah “petiduran” pada ayat 16). Cinta tidak hanya menutupi apa yang tidak sempurna menjadi sempurna, melainkan juga menjembatani jurang perbedaan yang digambarkan antara perempuan dan laki-laki tetapi kemudian menjadi sebuah kerinduan, pengakuan kekaguman terhadap yang lain dan tentu saja kebutuhan saling mencumbu. Untuk inilah tidak lagi perlu “malu-malu kucing” yang hanya menunggu pejantan sambil “meong-meong” muter sana muter sini, sesekali lari ketika dikejar, sedangkan bila si jantan berhenti, ekor si betina bergoyang-goyang centil menarik hati. Ketika didekati, pura-pura lari dan menjauh. Manusia bukan kucing, tidak ada lagi alasan menjadi malu bila hati dipenuhi cinta yang menggelora. Bisa saja toh si perempuan memuji dan jujur dengan perasaannya, bahwa ia juga mengagumi si laki-laki dan berfantasi terhadapnya. Itulah kekuatan cinta, tidak ada lagi kepura-puraan, yang ada hanyalah kerinduan. Gender tidak jadi masalah dalam kaitannya dengan siapa yang seharusnya memulai duluan mengekspresikan kata-kata cinta dan siapa bilang perempuan tidak pernah berfantasi tentangnya? Cinta itu terkait erat dengan inisiatif dan bahkan “agresivitas”. Cinta tidaklah pasif, tidak malu-malu, dan tidak terasing dari kemanusiaan dirinya. Biarkanlah cinta bergelora sebagaimana puisi-puisi yang dicontohkan Kidung Agung. Seksualitas dan kegairahan bukanlah pornografi, bila keduanya merupakan ekspresi rasa cinta. Tentu saja bukan cinta bila tidak tersiratkan tanggung jawab. Hatihatilah menengarai cinta, tetapi bila kita mendapatkannya, tunduklah kepadanya dan ikuti kemana kita dibawanya pergi. Cinta bukannya tidak logis, melainkan ia memiliki logikanya sendiri, yang sering tak terpahami nalar. Bagaimana cinta kita kepada TUHAN? Atau sebaliknya. Haruskah kita mencari ekspresi kalimat dan bahasa yang sopan tetapi meredusir perasaan cinta kita yang sesungguhnya. Ataukah kita berani jujur bahwa kita terengah-engah merindukan-Nya sebagai kekasih kita dan mau melakukan apapun demi mendapatkan hati-Nya? -djokopras-