EPILOG....
Sebuah pengaharapan yang tidak mungkin kami musnahkan hingga penghabisan. Kami berada di sebuah posisi dimana negeri dan rakyat dalam kebijakan. Tidak mudah untuk mengawali sebuah perpindahan. Namun cekaman demi cekaman tidak akan membuat kami gerah dan kalah dengan kepayahan. Bagaimana mungkin akan berhenti dengan sendirinya? Bagaimana mungkin akan terlihat rapi hanya dengan karena berdasi? Ini negeri untuk manusia seperti apa, jika satu pergerakan dibungkam paksa tanpa alasan utama. Terima kasih kami ucapkan kepada mereka yang telah menghidupi jalan generasi melalui pangan dalam satu wadah pertanian. Karena kami pun mereka tahu bahwa pertiwi masih mampu menyediakan suapan demi suapan. Biarkan kami bergerak dan bertindak untuk negeri ini dan untuk generasi ini demi kesejahteraan.
KATA PENGANTAR Dengan Rahmat Allah SWT, kami bersyukur atas tersusunnya “BUKU CINTA MAHASISWA UNTUK NEGERI” ini. Sebuah buku yang menceritakan
tentang
perjalanan negeri untuk masa depan bangsa Indonesia. Sebuah buku yang didapatkan dari berbagai goresan ide generasinya. Sebuah buku yang menyampaikan pesan untuk pemimpin dan memeperjuangkan rakyat dari sebuah makhluk yang orang namai “mahasiswa”. Pergerakan dan perjuangan kami landasi atas nama persatuan. NKRI dengan kebhinekaannya mewarnai alur dalam buku cinta ini. Sejarah bisu akan mencatat generasinya yang peduli. Harapannya melalui buku cinta ini pesan kami tersampaikan dengan baik dan mendapat perhatian terkhusus pada solusi dan pemecahan masalah yang ada. Kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terkait dalam pembuatan buku cinta ini. Terima kasih juga kepada seluruh mahasiswa yang mengaspirasikan seluruh idenya untuk negeri tercinta dan memperjuangkannya melalui aksi nyata. Sebuah kesatuan yang mencoba mengawali perubahan demi perubahan atas rasa cinta dalam satu jiwa “MAHASISWA”
DARAH JUANG Bangku ini kosong dan telah berdebu Mencoba membersihkan separuh tempat hanya untuk sekedar beristirahat Sejenak melihat kedepan dengan ketidak pastian Mencoba selalu berjuang hingga penghabisan Siapa yang menjamin esokku akan baik-baik saja? Siapa yang menjamin segores tinta untuk anak bangsa? Tidak... Aku tidak akan memulai dengan hal itu Ini kami yang beranjak mencoba merubah sebuah tabiat Karena pertiwiku tidak akan sirna dengan cepat Dibawah dan ditopang dengan perjuangan Melawan tirta hitam yang menetes dengan perlawanan Hai... Ini kekasih kami, dan biarkan kami menyayanginya Tidak ada satupun yang dapat menutup durga angkara Karena kami selalu bergerak Karena kami bertindak nyata Jika ada 1000 orang yang berjuang demi kebaikan Pastikan aku satu diantaranya Jika ada 100 orang yang tetap mempedulikan Pastikan aku satu diantaranya Jika hanya ada satu orang yang mati karena perjuangan Maka pastikan aku lah satu orang yang tersisa itu Satu naungan dalam pergerakan dan sebuah nama MAHASISWA
Mahasiswa UNS
UNTUK INDONESIAKU
Sampaikan salam kami atas nama cinta dan persatuan demi sebuah kesejahteraan
HIDUP MAHASISWA!!!
PANGAN, AGRARIA, DAN KESEJAHTERAAN PETANI BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA Sekretariat: Sekretariat BEM Fakultas Pertanian Jalan Ir. Sutami No. 36A Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah 57126
“ Soal pangan adalah soal hidup dan matinya bangsa”. Begitulah petikan dari salah satu pidato tokoh utama di Indonesia, Ir. Soekarno. Sedari dulu kala kita mengenal negeri kita, Indonesia tercinta sebagai Negara yang memiliki potensi kekayaan alam yang begitu melimpah. Orientasi tersebut didukung dengan realita keadaan alam Indonesia yang sangat mendukung dalam hal kekayaan alam. Kekayaan alam yang dimiliki mampu menghantarkan negeri ini menjemput tahta agraris. Tahta yang diemban ini seperti memberikan amanah tersendiri untuk selalu menjaga eksistensinya sebagai negara agraris. Agraris memiliki pengertian sebagai sebuah Negara yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian di sektor pertanian. Agraris memiliki kaitan yang sangat erat dengan pertanian. Ketika sebuah Negara dijuluki sebagai Negara agraris, maka yang terlintas dibenak kita bersama adalah adanya negeri yan mengelola dan memanfaatkan dengan semaksimalnya kekayaan alam yang dimiliki, terkhusus dalam sector pertanian. “Bumi, air, kekayaan alam yang terkandung didalamanya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.” UUPA. Dalam UUPA tersebut dijelaskan bahwa kekayan alam yang dimiliki Indonesia adalah untuk dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, hal ini dapat diartikan bahwa pemenuhan kebutuhan rakyat Indonesia terkhusus pada kebutuhan pangan adalah dengan pengelolaan sumber daya alam secara optimal. Indonesia yang merupakan Negara agraris dan disebut-sebut sebagai tanah surga hingga tongkat, tongkat kayu dan batu jadi tanaman ini seharusnya mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya, bahkan Indonesia amat berpotensi untuk menjadi Negara pengekspor bahan pangan. Lalu apa yang akan terjadi ketika Negara yang bertahta agraris ini tak lagi mampu memenuhi (sebatas) kebutuhan
rakyatnya? Dan bagaimana langkah yang harus kita tempuh dalam menghadapi tantangan ini? Setelah setengah abad lebih Indonesia merdeka, permasalahan kedaulatan pangan tak kunjung menemui kepastian arah realisasinya. Sebagai negara agraris dengan tingginya tingkat kesuburan tanah, upaya membangun ketahanan dan kedaulatan pangan di Indonesia bukanlah sebuah utopia belaka. Namun demikian, apapun solusi yang ditawarkan akan menjadi sia-sia tanpa dibarengi upaya mengurai akar masalah kedaulatan pangan di Indonesia. Kalaulah para ahli pertanian dan para pengambil kebijakan di negeri ini menawarkan kebijakan yang solutif maka perlu dipertanyakan sejauh mana mereka memahami konteks persoalan yang ada. Hal ini menjadi prasyarat agar kebijakan yang ditawarkan tidak asal „comot‟ dari pengalaman negara lain tanpa kejelasan konteks permasalahan. Penyediaan pangan di masa depan berkejaran dengan pertumbuhan penduduk yang melonjak dengan cepat. Untuk mencapai populasi hingga 1 miliar, dunia memerlukan waktu 250.000 tahun. Kemudian untuk mencapai 2 miliar perlu waktu satu abad dan hanya perlu waktu sepertiga abad untuk mencapai 3 miliar. Setelah itu hanya perlu waktu 17 tahun dan kemudian 12 tahun penduduk dunia bertambah 1 miliar lagi (Montpellier, 2012). Pangan
menurut
lampiran
pe-raturan
menteri
pertanian
nomor:
15/Permentan/OT.140/2/2013 adalah kebutuhan yang strategi dan mendasar bagi keberlangsungan hidup rakyat. Penyelenggaraan pangan nasional di-atur dalam UU yang didasarkan pada kedaultan dan kemandirian pangan. Krisis pangan adalah masalah klasik bangsa ini, sebuah ironi bagi negara agraris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi. Krisis pangan saat ini terjadi dimana kebutuhan pangan Indonesia telah tergantung kepada impor, dan harganya naik tak terkendali. Penyediaan pangan di masa depan berkejaran dengan pertumbuhan penduduk yang melonjak dengan cepat. Untuk mencapai populasi hingga 1 miliar, dunia memerlukan waktu 250.000 tahun. Kemudian untuk mencapai 2 miliar perlu waktu satu abad dan hanya perlu waktu sepertiga abad untuk mencapai 3 miliar. Setelah itu hanya perlu waktu 17 tahun dan kemudian 12 tahun penduduk dunia bertambah 1 miliar lagi (Montpellier, 2012).
Pangan menurut lampiran pe-raturan menteri pertanian nomor: 15/Permenta n/OT.140/2/2013 adalah kebutuhan yang strategi dan mendasar bagi keberlangsun gan hidup rakyat. Penyelenggaraan pangan nasional di-atur dalam UU yang didas arkan pada kedaultan dan kemandirian pangan. Krisis pangan adalah masalah klasik bangsa ini, sebuah ironi bagi negara a graris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi. Krisis pangan saat ini terj adi dimana kebutuhan pangan Indonesia telah tergantung kepada impor, dan harga nya naik tak terkendali. Sasaran strategis pembangunan pertanian yang dicanangkan pada tahun 2015-2019 adalah meningkatkan ketahanan pangan dengan penyediaan bahan pangan pokok (padi, jagung, kedelai, gula, daging, dan lainnya), meningkatkan ekspor dan substitusi impor produk pertanian, meningkatkan ketersediaan bahan baku bio-industri dan bio-energi, dan meningkatkan kesejahteraan petani. Penetapan sasaran tersebut bertujuan untuk memperbaiki kondisi pertanian saat ini.
Hal
tersebut
diimplementasikan
dalam
bentuk
kebijakan-kebijakan
Pemerintah. Beberapa kebijakan yang dicanangkan pemerintah dalam jangka waktu tahun 2015-2019 antara lain Kebijakan peningkatan ketahanan pangan (padi, jagung, kedelai, tebu, sapi, cabai, dan bawang merah) yang berdampak bagi perekonomian, Kebijakan pengembangan komoditas ekspor dan distribusi impor serta komoditas penyedia bahan baku bio-industri dan bio-energi, kebijakan pengembangan infrastruktur serta tatakelola kepemerintahan yang baik dan Reformasi Birokrasi. Kebijakan peningkatan ketahanan pangan menjadi prioritas pemerintah karena ketersediaan pangan menyangkut kelangsungan hidup masyarakat Indonesia. Bentuk kebijakan peningkatan ketahanan pangan adalah dengan cara meningkatkan produksi pangan yang diwujudkan dengan Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Hasil Tanaman Pangan. Peningkatan produksi tersebut dapat dilakukan dalam beberapa kegiatan seperti subsidi pupuk dan benih. Subsidi pupuk dan benih tersebut diberikan kepada petani melalui kelompok tani. Penyaluran subsidi ini kepada petani masih mengalami kendala. Subsidi yang diberikan terkadang mengalami keterlambatan sehingga tidak dapat dimanfaatkan petani karena kualitas benih yang jelek dan sudah terlalu lama. Hal
tersebut membuat petani belum bisa maksimal dalam menerima subsidi dari pemerintah. Selain subsidi pra panen, diperlukan pula subsidi dalam hal pasca panen seperti pemasaran. Pengendalian pemasaran oleh pemerintah diharapkan dapat mengurangi risiko permainan harga oleh pihak-pihak tertentu. Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan masyarakat. Beberapa komoditas bahkan menjadi produk unggulan untuk diekspor ke luar negeri seperti kelapa sawit. Beberapa sumber daya alam di Indonesia juga memiliki potensi untuk dijadikan sumber energi seperti kelapa sawit dan ubi kayu. Namun angka impor bahan pangan Indonesia juga masih tergolong tinggi sehingga harus ada pengembangan komoditas ekspor dan mengatur produk-produk yang memerlukan impor dari negara lain. Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah juga memperbaiki infrastruktur yang berkaitan dengan pertanian seperti pembuatan embung. Embung yang direncanakan akan dibuat oleh pemerintah adalah sekitar 30.000 buah pada tahun 2017. Pembuatan embung diharapkan dapat mengatasi masalah irigasi yang ada di desa-desa. Akan tetapi perlu diperhatikan pula dampak negatifnya terhadap lingkungan dan ketersediaan lahan. Permasalahan lain yang juga dapat muncul adalah masalah kepemilikan tanah yang akan dipakai sebagai embung. Harapannya, dalam pembangunan embung nanti tidak akan menimbulkan konflik agraria karena persoalan kepemilikan lahan. Hal ini juga akan menjadi sorotan tata kelola kepemerintahan yang ada. Oleh karena itu, sebelum pembangunan embung persoalan kepemilikan tanah harus sudah dapat terselesaikan Pembangunan infrastruktur dapat menimbulkan pendapat pro dan kontra dalam masyarakat. Reforma agraria merupakan dasar hukum dalam persoalan yang berkaitan dengan pertanian/agrarian. Landasan utama reforma agraria (landreform) tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sehingga secara historis dapat dikatakan bahwa upaya pengaturan pertanahan, termasuk landreform, di Indonesia telah dimulai sejak proklamasi kemerdekaan. Hal ini kemudian ditindaklanjuti melalui UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (UUPA) Hadirnya Reforma Agraria sebagai solusi dari keadilan
sosial dan kesejahteraan rakyat belum bisa dijadikan jawaban. Reforma agraria yang bertujuan mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah (pertanian) yang pada akhirnya akan bermuara pada pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat namun masih berjalan belum efektif. Terbukti dari hasil survei Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat wilayah yang menjadi titik konflik agraria mencapai 1, 26 juta hektare sepanjang 2016, atau meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan pada 2015 yakni 400.430 hektare. KPA juga mencatat ada 450 konflik agraria sepanjang 2016 atau meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni mencapai 252 konflik.Dari total jumlah ini, konflik agraria melibatkan setidaknya 1.085.817 kepala keluarga (KK). Pada 2015 saja, total konflik yang terjadi adalah 252 kejadian dengan luasan mencapai 400.430 hektar dan melibatkan 108.714 KK. Tahun kemarin, sektor perkebunan mendominasi seluruh konflik agraria di Indonesia dengan persentase 50 persen. Di sektor ini, jumlah konflik agraria mencapai 127 kasus. Posisi kedua konflik agraria terbanyak, berasal dari sektor infrastruktur yaitu 70 konflik atau 28 persen. Selanjutnya, berturut-turut sektor kehutanan 24 konflik (9,6 persen), sektor pertambangan 14 konflik (5,2 persen), sektor lain-lain (4 persen), serta sektor pertanian dan sektor pesisir atau kelautan masing-masing sebanyak 4 konflik (2 persen). Konflik agraria banyak berujung hal yang tak mengenakkan dan membuat korban berjatuhan terbukti sepanjang 2015 konflik agraria telah mengakibatkan 5 orang tewas, 39 orang tertembak aparat, 124 orang luka-luka karena penganiayaan, dan 278 orang mengalami kriminalisasi atau ditahan. Baru-baru ini konflik seputar tanah Kendeng bergejolak, lagi-lagi masalah agraria tentang tanah pertanian. Program pemerintah dalam hal pembangunan memang tidaklah salah namun pemerintah juga harus sadar bahwa negeri ini adalah negeri agraris yang masyarakatnya bergantung dari pertanian. Jika makin berjalanannya waktu sumber dan lahan itu hilang atas nama pembangunan juga merupakan hal yang tidak baik. Fenomena ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang semakin meningkat dan berpengaruh pada meningkatnya kemiskinan dan pengangguran di pedesaan, pada dasarnya tidak terlepas dari kebijakan pertanahan yang hanya fokus
pada
peningkatan
produktivitas
yang
berujung
pertumbuhan
ekonomi.Sementara penataan aset produksi malah terabaikan, yang berakibat masyarakat marjinal semakin terabaikan dan kehilangan akses terhadap tanah. Kondisi ini yang menimbulkan konflik agraria baik berupa perselisihan tanah di tingkat rumah tangga petani, meningkatnya penguasaan tanah skala besar, konversi penggunaan tanah yang tidak terencana, tata ruang yang tidak konsisten dan tumpang tindih. Hal ini tidak hanya berdampak pada masyarakat secara langsung tetapi juga pada program pemerintah seperti ketahanan pangan, perumahan rakyat, dan lingkungan hidup (Shohibudin, 2012) Menurut KPA selama lebih dari 6 bulan Jokowi-JK memimpin, perencanaan guna mendorong perwujudan reforma agraria sangat minim. Hanya kebijakan redistribusi 9 juta hektar satu-satunya manifestasi dari usaha tersebut, meski secara orientasi masih terlalu kabur. Dalam konteks kebijakan, redistribusi 9 juta hektar tergolong sebagai kebijakan incremental, yakni melanjutkan dari kebijakan sebelumnya di era SBY, dimana dari segi jumlah tanah tidak jauh berbeda dari target di era sebelumnya. KPA mencatat, target redistribusi tanah di era SBY terdiri dari 1 juta hektar tanah tanaman, 8,1 juta hektar hutan produksi dan 7 hektar tanah terlantar. Saat Jokowi-JK menetapkan 9 juta hektar, maka jumlah tersebut sudah termasuk dalam target dari kebijakan SBY yang belum rampung terlaksana. Budiman Sudjatmiko mengakui bahwa identifikasi jumlah tanah objek redistribusi dilaksanakan sejak era SBY. Sehingga, pemerintahan Jokowi-JK cenderung hanya melanjutkan. Hiruk-pikuk pesta demokrasi, kampanye, debat capres, dan pemilihan pres iden sudah berakhir. Sekarang saatnya kembali merenungkan apakah semua visimisi serta janji kandidat yang sebagian masuk dalam memori rakyat dan petani In donesia memang berlandaskan peta permasalahan pangan yang ada serta memung kinkan direalisasikan pada periode pemerintahan mendatang.
Mengertikah engkau, bahwa kita sekarang ini menghadapi satu bayangan hari kemudian yang amat ngeri. Bahkan seperti satu todongan pistol ”mau hidup ataukah mau mati” (Bung Karno).
MENCERMATI PERSELISIHAN YANG TERJADI ANTARA PT FREEPORT INDONESIA DENGAN PEMERINTAH INDONESIA BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA Sekretariat: Sekretariat BEM Fakultas Teknik Jalan Ir. Sutami No. 36A Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah 57126 Seperti yang sudah diketahui, di Papua sedang terjadi kisruh yang cukup merugikan berbagai pihak akibat ketegangan yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia (PTFI). Ketegangan ini terjadi lantaran PTFI menolak kebijakan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang diajukan oleh pemerintah sebagai ganti dari Kontrak Karya (KK) ditolak oleh PTFI. Akibatnya, PTFI tidak bisa mengekspor konsentrat tembaga, yang lalu pada akhirnya PT Freeport Indonesia menghentikan kegiatan produksinya sejak 10 Februari 2017. Salah satu akibat dari berhentinya kegiatan produksi Freeport adalah dirumahkannya puluhan ribu pekerja yang merupakan penduduk lokal. Lalu, para pekerja yang dirumahkan oleh PT Freeport Indonesia mengancam akan menduduki kantor-kantor pemerintah, bandara, dan pelabuhan kalau pemerintah tidak segera memulihkan kegiatan produksi Freeport. Menurut Bupati Mimika, Eltinus Omaleng, sejauh ini Freeport telah mem-PHK sekitar 1.100 pekerja dan merumahkan ribuan lainnya. Namun, menurutnya Freeport sengaja memanfaatkan situasi ini untuk melakukan efisiensi, memberhentikan para pekerja yang sudah habis masa kontraknya dan karyawan yang tidak berkelakuan baik. Selain itu, menurut Bupati Mimika bahwa perekonomian di Mimika masih berjalan normal dan situasi sosial masih dapat terkendali. Hanya saja, nasib para pekerja yang tekena PHK tidak boleh diabaikan. Selain itu, pemerintah juga sudah memberikan rekomendasi izin ekspor agar Freeport bisa beroperasi kembali yang diharapkan bisa menjadi solusi jangka pendek dalam waktu 6 bulan kedepan. Lantas, mengapa Kontrak Karya harus diubah menjadi IUPK? Mengapa pemerintah bersikeras untuk menggunakan kebijakan tersebut? Bagaimana langkah apa yang diambil kedua pihak apabila tidak menemukan win win solution? Pengubahan Kontrak Karya Menjadi IUPK Alasan Pemerintah Indonesia mengganti Kontrak Karya menjadi IUPK adalah semua pemegang Kontrak Karya wajib melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) dalam jangka waktu 5 tahun sejak UU Minerba 4/2009 diundangkan (Pasal 169 dan Pasal 170 UU No 4/2009) alias 2014. Namun pada kenyataannya sampai saat ini pihak PTFI belum membuat smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian). Pemegang Kontrak Karya (KK) yang belum melakukan hilirisasi (membangun smelter) sebagaimana dimaksud dalam UU Minerba tersebut, apabila tetap ingin melakukan ekspor konsentrat harus merubah Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Oleh sebab itu, pemerintah menawarkan IUPK sebagai jalan keluar agar Freeport tetap dapat mengekspor konsenstrat.
PT. Freeport Indonesia tak mau begitu saja mengubah KK-nya menjadi IUPK. Sebab, IUPK dinilai tak memberikan kepastian, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir (naildown). Selain itu, pemegang IUPK juga diwajibkan melakukan divestasi hingga 51%. Freeport keberatan melepas saham hingga 51% karena itu berarti kendali atas perusahaan bukan di tangan mereka lagi, saham mayoritas dipegang pihak lain. Sementara, saat ini PT Freeport Indonesia baru melakukan divestasi saham sebesar 9.36% dan baru baru ini kembali menawarkan 10.64% kepada pemerintah, dimana seharusnya PTFI melakukan Divestasi saham sebesar 30% sesuai dengan Peraturan Pemerinha (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaa Kegiatan Usaha Mineral dan Batubara. Sebenarnya perusahaan pertambangangan pemegang Kontrak Karya (KK) tidak diwajibkan mengubah status kontraknya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Semua pemegang KK, termasuk PT Freeport Indonesia, berhak tetap memegang KK. Tidak ada paksaan untuk berubah menjadi IUPK. Ada perusahaan tambang yang memilih untuk tetap menjadi pemegang KK hingga masa kontraknya habis, yaitu PT Vale Indonesia Tbk. Ada juga yang berganti baju jadi pemegang IUPK, yaitu PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT). Tapi bagi yang tetap menjadi pemegang KK, konsekuensinya adalah tak bisa mengekspor konsentrat lagi. Kalau mau ekspor konsentrat, harus berubah menjadi IUPK karena UU Minerba tak memberi deadline bagi pemegang IUPK untuk melakukan pemurnian. Bagi Vale, tentu tak jadi problem karena mereka sudah membangun smelter, memurnikan seluruh hasil produksinya, dan hanya mengekspor mineral yang sudah dimurnikan. Tapi buat Freeport ini masalah, karena perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) ini belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya melakukan pemurnian, baru 40% konsentratnya yang sudah dimurnikan di smelter Gresik. Apa itu IUPK dan KK Izin Usaha Pertambangan Khusus atau IUPK merupakan izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus. Pasal 76 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”) menyatakan bahwa IUPK terdiri atas dua tahap: a. IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan; b. IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. Selanjutnya diatur bahwa pemegang IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan pertambangan sebagaimana diatur di atas. Pasal 77 UU Minerba mengatur bahwa setiap pemegang IUPK Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya. IUPK Operasi Produksi ini akan diberikan pada badan usaha berbadan hukum Indonesia yang telah memiliki data hasil kajian studi kelayakan. Pasal 83 UU Minerba mengatur persyaratan luas wilayah dan jangka waktu IUPK sesuai dengan kelompok usaha pertambangan yang berlaku bagi pemegang IUPK meliputi:
a. Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare. b. Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare. c. Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare. d. Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare. e. Jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan mineral logam dapat diberikan paling lama 8 (delapan) tahun. f. Jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan batubara dapat diberikan paling lama 7 (tujuh) tahun. g. Jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam atau batubara dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. Dalam pelaksanaannya, IUPK tidak dapat digunakan untuk kegiatan pertambangan selain yang tertera dalam pemberian IUPK. Dalam hal proses Eksplorasi, jika pemegang IUP ingin menjual mineral logam atau batubara, maka pemegang IUP Eksplorasi wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan yang diberikan oleh Menteri. Lalu, Kontrak karya atau KK adalah suatu perjanjian pengusahaan pertambangan antara pemerintah republik Indonesia dengan perusahaan swasta asing, patungan perusahaan asing dengan Indonesia dan perusahaan swasta nasional untuk melaksanakan usaha pertambangan di luar minyak gas dan bumi. kontrak karya diatur dalam UU No 11 Tahun 1967 tentang pertambangan dimana sebelumnya dimulai oleh UU No1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing yang menjadi pintu masuk inverstor asing untuk menanamkan modalnya dalam bisnis pertambangan.Dalam pasal 8 uu no1 tahun 1967 disebutkan bahwa penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai ketentuan perundangan yang berlaku Kontrak Karya Sebagai Bagian Kerjasama Pertambangan Kontrak karya adalah salah satu dari jenis-jenis kerjasama dalam usaha pertambangan selain kontrak karya ada juga Kuasa Pertambangan (KP) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Objek dari kontrak karya adalah perjanjian-perjanjian pertambangan di luar minyak bumi dan gas bumi seperti emas, tembaga, batu bara. Pengusahaan pertambangan umum mencakup kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan serta penjualan bahan galian. Khusus untuk Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) mencakup pula kegiatan studi kelayakan dan konstruksi. Bahan-bahan galian dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan: (i) bahan galian strategis disebut golongan A; (ii) bahan galian vital disebut golongan B; dan (iii) bahan galian bukan strategis dan bukan vital disebut golongan C. Sifat Perjanjian Kontrak Karya
Kontrak karya merupakan perjanjian innomirat yaitu perjanjian yang pengaturannya tidak diatur dalam KUHPeR. Karena kontrak karya adalah perjanjian khusus yang ketentuaanya merujuk pada pasal 1338 KUHPeR, yang terkenal dengan asas kebebasan berkontrak. Dimana dalam pasal 1338 para pihak yang sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam perjanjian, maka perjanjian tersebut menjadi hukum dan mengikat bagi para pihak yang menandatanganinya, tetapi dibatasi oleh pasal 1320 KUHPeR. Kontrak karya adalah perjanjian yang bersifat dinamis dimana terdapat butir-butir yang dapat direnegosiasi antara lain: luas wilayah, tenaga kerja, royalti, masa kontrak, pajak, pengembangan wilayah usaha setempat, domestic market obligation, dan kepemilikan saham. Bentuk dan Substansi Kontrak Karya Bentuk kontrak karya yang dibuat antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan penanaman modal asing atau patungan antara perusahaan asing dengan perusahaan domestik adalah bersifat tertulis. Substansi kontrak disiapakan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen ESDM ( Energi dan sumber Daya Mineral ) dengan calon penanam modal.Substansi dari kontrak karya tersebut meliputi : 1. tanggal persetujuan dan tempat dibuatnya kontrak karya 2. Subjek hukum yaitu : Pemerintah dan penanam modal 3. Definisi, yaitu : Pengertian perusahaan affiliasi, perusahaan subsidair, pengusahaan, , individu asing, mata uang asing, mineral-mineral, penyelidikan umum , eksplorasi, wilayah pertambangan, pemerintah, menteri, rupiah, mineral ikutan, penambangan, pemanfaatan lingkungan hidup, pencemaran, kotoran, dan wilayah proyek. 4. Penunjukan dan tanggung jawab perusahaan 5. modus operandi, yaitu : memuat tentang kedudukan perusahaan, yurisdiksi pengadilan, kewajiban perusahaan untuk menyusun program,mengkontrakkan pekerjaan jasa-jasa teknis, manejemen dan administrasi yang dinggap perlu. 6. Wilayah kontrak 7. Periode penyelidikan umum 8. Periode eksplorasi 9. Laporan dan deposito jaminan 10. Periode studi kelayakan 11. Periode konstruksi 12. Periode operasi 13. Pemasaran 14. Fasilitas umum dan re-ekspor 15. Pajak-pajak dan lain-lainkewajiban keuangan perusahaan 16. Pelaporan,inspeksi dan rencana kerja 17. Hak-hak khusus pemerintah 18. Ketentuan-ketentuan kemudahan 19. Keadaan memaksa (force majure) 20. Kelalaian
21. Penyelesaian sengketa 22. Pengakhiran kontrak 23. Kerja sama para pihak 24. Promosi kepentingan nasional 25. Kerja sama daerah dalam pengadan prasarana tambahan 26. Pengelolaan dan perlindungan lingkungan 27. Pengembangan kegiatan usaha setempat 28. Ketentuan lain-lain 29. Pengalihan hak 30. Pembiayaan 31. Jangka waktu 32. Pilihan hukum Persyaratan wilayah kontrak Sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 75 Tahun 2001 dan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 134.K/201/M.PE/1996.Persyaratan wilayah yang diperbolehkan bagi pengusahaan pertambangan : 1. Kontrak Karya(KK), luas wilayah tidak boleh melebihi 250.000 Ha. 2. Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), luas wilayah tidak boleh melebihi 100.000 Ha. 3. Kuasa Pertambangan (KP) Penyelidikan Umum, luas wilayah tidak boleh melebihi 25.000 Ha. 4. Kuasa Pertambangan (KP) Eksplorasi, luas wilayah tidak boleh melebihi 10.000 Ha. 5. Kuasa Pertambangan (KP) Eksploitasi, luas wilayah tidak boleh melebihi 5.000 Ha. Perbedaan IUPK dan KK Perbedaan utamanya ialah status perjanjian, KK adalah 'kontrak' dan IUPK ialah 'izin'. Dalam KK, Freeport dan pemerintah Indonesia adalah 2 pihak yang berkontrak, kedudukannya sejajar. Sedangkan kalau IUPK, negara adalah pemberi izin yang berada di atas perusahaan pemegang izin. UU Minerba dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 menyebutkan berbagai hak dan kewajiban bagi pemegang IUPK, yang tentunya berbeda dengan hak dan kewajiban pemegang KK. Pasal 131 UU Minerba menyebutkan, besarnya pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dipungut dari pemegang IUPK ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari sini jelas bahwa IUPK bersifat prevailing, mengikuti aturan perpajakan yang berlaku. Besarnya pajak dan PNBP dapat berubah ketika ada perubahan peraturan. Inilah yang dianggap sebagai ketidakpastian oleh Freeport, mereka ingin besaran pajak dan PNBP yang stabil seperti dalam KK, tidak berubah-ubah hingga masa kontrak habis (naildown). Lalu soal kewajiban melakukan pemurnian, baik IUPK maupun KK sama-sama wajib melakukan pemurnian mineral. Tetapi pasal 102 dan 103 UU Minerba tak
memberikan batasan waktu kepada pemegang IUPK untuk merampungkan pembangunan smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian). Sedangkan untuk pemegang KK ada batasan waktunya. Di pasal 170, UU Minerba menyebutkan bahwa pemegang KK wajib melakukan pemurnian mineral dalam waktu 5 tahun sejak UU diterbitkan, alias 2014. Inilah sebabnya pemerintah menawarkan IUPK kepada Freeport. Satu-satunya jalan yang memungkinkan Freeport tetap mengekspor konsentrat adalah dengan mengubah KK menjadi IUPK. Jika pemerintah memberikan izin ekspor tapi Freeport tetap berpegang pada KK, akan terjadi pelanggaran terhadap UU Minerba. Baik pemerintah maupun Freeport semuanya terikat oleh UU Minerba. Langkah Pemerintah Indonesia dan PTFI Apabila Tidak Menemukan Win Win Solution Baik Pemerintah Indonesia maupun PTFI sama sama berencana untuk membawa ke Arbitrase apabila setelah 120 hari (terhitung per tanggal 17 Februari 2017) tidak dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Sebenarnya, pemerintah menawarkan 2 solusi lain ke PTFI sebelum bersengketa di Arbitrase. Opsi pertama adalah Freeport menerima IUPK dan izin ekspor konsentrat yang sudah diberikan pemerintah sambil meneruskan negosiasi terkait stabilitas jangka panjang yang mereka inginkan. Opsi kedua, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) direvisi, agar ada ruang untuk mengakomodasi keinginan Freeport. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, menyarankan sebaiknya menerima saja IUPK dan izin ekspor dari pemerintah agar dapat memulihkan kembali kegiatan operasi dan produksinya, sembari merundingkan stabilitas jangka panjang dan kewajiban divestasi. Jika memilih opsi kedua, Freeport harus menunggu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun sampai revisi UU Minerba selesai. Selama itu, Tambang Grasberg tak beroperasi. Tentu bukan opsi yang ideal. Sementara, untuk opsi ketiga, yakni Arbitrase, bukan jalan yang bagus. Hikmahanto yakin, posisi pemerintah Indonesia cukup kuat dan dapat mengalahkan Freeport kalau masalah dibawa ke Arbitrase. Sebab, tidak ada pelanggaran terhadap KK. Dengan menerbitkan IUPK untuk Freeport, pemerintah justru berupaya mencarikan jalan terbaik. Arbitrase Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Adapun pada saat berlakunya UU No. 30 Tahun 1999 ini, ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana diatur dalam pasal 615 sampai 651 Rv, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 Rbg tidak berlaku lagi. Adanya UU No. 30 Tahun 1999 telah berusaha mengakomodir semua aspek mengenai arbitrase baik dari segi hukum maupun substansinya dengan ruang lingkup baik nasional maupun internasional. Di Indonesia sendiri, minat untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase ini meningkat semenjak diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999 tersebut. Adapun beberapa hal yang menjadi keuntungan Arbitrase dibandingkan menyelesaikan sengketa melalui jalur litigasi adalah: 1. Sidang tertutup untuk umum
2. Prosesnya cepat (maksimal enam bulan). 3. Putusannya final dan tidak dapat dibanding atau kasasi. 4. Arbiternya dipilih oleh para pihak, ahli dalam bidang yang disengketakan, dan memiliki integritas atau moral yang tinggi. 5. Walaupun biaya formalnya lebih mahal daripada biaya pengadilan, tetapi tidak ada 'biaya-biaya lain'. 6. Khusus di Indonesia, para pihak dapat mempresentasikan kasusnya dihadapan Majelis Arbitrase dan Majelis Arbitrase dapat langsung meminta klarifikasi oleh para pihak. Dalam ruang lingkup internasional, Indonesia maupun pihak-pihak dari Indonesia juga acap kali menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase. Beberapa contoh kasusnya adalah : 1. Sengketa antara Cemex Asia Holdings melawan Indonesia yang diselesaikan melalui International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) pada 2004 sampai 2007 2. Sengketa antara Pertamina melawan Commerz Asia Emerald yang diselesaikan melalui Singapore International Arbitration Center (SIAC), Singapore pada tahun 2008 3. Sengketa terkait Bank Century dimana dua pemegang sahamnya menggugat Pemerintah Indonesia yakni Rafat Ali Rizvi dan Hesham Al Warraq yang diselesaikan melalui ICSID, Singapore 4. Sengketa antara Newmont melawan Pemerintah Indoesia yang diselesaikan di ICSID, Washington DC. Seiring perkembangannya, penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini menemui beberapa permasalahan. Masalah utama adalah terkait dengan pelaksanaan atau eksekusi putusan arbitrase. Dalam ruang lingkup internasional, putusan arbitrase internasional dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia apabila tidak bertentangan dengan ketertiban umum, telah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta apabila salah satu pihak dalam sengketa adalah Negara Republik Indonesia maka hanya dapat dilaksanakan setelah ada eksekuatur dari Mahkamah Agung – RI. Permasalahannya, pengadilan di Indonesia seringkali "dicap" enggan untuk melaksanakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dengan alasan bahwa putusan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum. Lain permasalahan, dalam ruang lingkup nasional pelaksanaan putusan arbitrase juga seringkali terhambat akibat kurangnya kemampuan dan pengetahuan arbiter Indonesia yang berakibat penundaan putusan arbitrase. Negosiasi Freeport - Indonesia Sebagai perusahaan nasional dengan komposisi saham mencapai 90,64% dikuasai asing, perkembangan PT Freeport Indonesia tentu tidak dapat dibilang mulus melainkan banyak diwarnai dengan pertentangan, sikap kontra, dan berbagai protes yang digulirkan masyarakat, terutama kepada pemerintah Indonesia yang dinilai tidak dapat secara tegas mengatur operasi perusahaan ini. Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan sumber daya mineral, pengelolaan perusahaan ini
seharusnya didasarkan pada UU No. 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Berikut kronologi kontak karya serta sejumlah negosiasi yang telah terjadi antara PT Freeport dan Indonesia dari masa ke masa. Tahun 1967 - Kontrak karya generasi I (1973-1991) - Eksploitasi : 258 ribu ton Tahun 1991 - Kontrak karya generasi II (1992-2014) - Total eksploitasi : 3.992 ribu ton Tahun 2009 - Kewajiban penghiliran tambang mulai diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. - Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara selalu berubah-ubah. - Peraturan Pemerintah No 23/2010 menyebutkan kewajiban divestasi hingga 20 persen. - Peraturan Pemerintah No 24/2012 menyatakan kewajiban divestasi sebesar 51 persen hingga tahun kesepuluh. Peraturan Pemerintah No 1/2014. - Peraturan Pemerintah No 77/2014 menyebut kewajiban divestasi tambang bawah tanah 30 persen. Perpanjangan diajukan paling cepat dua tahun sebelum kontrak karya berakhir. 19 Desember 2012. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM mengundang PT Freeport Indonesia untuk membahas 6 isu strategis renegosiasi amandemen kontrak karya (luas wilayah, kelanjutan operasi, penerimaam negara, divestasi, pengolahan pemurnian, dan penggunaan barang, jasa serta tenaga kerja dalam negeri). 25 Juli 2014. Memorandum of Understanding (MoU) renegosiasi amandemen kontrak karya antara PT Freeport Indonesia dengan pemerintah ditandatangani, wilayah kontrak karya (WKK) disepakati 90.360 hektare dan projek area 36,640 hektare, divestasi 30 persen, pajak badan nailed down, Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Pajak lainnya prevailing sampai dengan tahun 2021, kelanjutan operasi pertambangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), pengolahan dan pemurnian akan dilaksanakan di dalam negeri dengan mewujudkan suatu fasilitas pemurnian tembaga tambahan di Indonesia dengan mengutamakan penggunaan tenaga kerja, barang, dan jasa dalam negeri. 23 Desember 2014. Pemerintah dan PT Freeport Indonesia, dengan melibatkan pemerintah daerah (kepala dinas Energi dan Sumber Daya Mineral), melakukan rapat membahas perkembangan naskah amandemen kontrak karya PT Freeport Indonesia. 23 Januari 2015. Pemerintah dan PT Freeport Indonesia memperpanjang MoU renegosiasi amandemen kontrak karya untuk memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyepakati amandemen kontrak karya. 9 Juli 2015. Surat PT Freeport Indonesia mengenai Permohonan Perpanjangan Operasi. 31 Agustus 2015. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara mengirimkan teguran keras kepada PT Freeport Indonesia atas ketidaktaatan PT Freeport Indonesia dalam menyelesaikan amandemen kontrak karya dan ketidakpatuhan dalam menjalankan amanat UU Minerba. 11 September 2015. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menanggapi surat PT Freeport Indonesia atas Permohonan Perpanjangan Operasi.
7 Oktober 2015. PT Freeport Indonesia mengirimkan surat ke Menteri ESDM terkait Permohonan Perpanjangan Operasi. 7 Oktober 2015. Menteri ESDM mengirimkan surat kepada PT Freeport Indonesia yang menyatakan bahwa PT Freeport Indonesia dapat terus melakukan kegiatan operasinya hingga 30 Desember 2021 dan PT Freeport Indonesia berkomitmen untuk melakukan investasi dan meneruskan renegosiasi untuk menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Pada puncaknya, Pemerintah Indonesia membuat gebrakan baru pada tahun 2017: Tahun 2017 - Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 1/2017. Dalam PP ini Kontrak Karya diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus. Kewajiban divestasi bertahap hingga 51 persen. 12 Januari 2017 Ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia berhenti. Beberapa Kontribusi PT Freeport Indonesia di Tanah Air Dampak Fiskal dan Ekonomi Kehadiran Freeport di Indonesia memberikan dampak ekonomi dan fiskal baik pada tingkat nasional,provinsi maupun kabupaten. Besaran dampak tersebut dapat diketahui dari pengukuran kontribusi PTFI terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDB diartikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah dalam jangka waktu tertentu. PDRB sendiri adalah nilai tambah ekonomi atau balas jasa atau pendapatan yang diterima oleh semua factor produksi yang dilibatkan dalam kegiatan produksi. Faktor produksi yang dimaksud di antaranya adalah tenaga kerja, barang modal, dan kewirausahaan. PTFI dalam hal ini memberikan kontribusi sebesar 1,6% dari PDB Indonesia pada tahun 2009, sebesar 1,1% pada tahun 2010, dan 0,8% pada tahun 2011(Laporan Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat-Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, LPEM-FE UI, 2013). Sektor ekonomi utama yang terkait dengan keberadaan PTFI baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten adalah sektor pertanian, pertambangan, manufaktur,listrik, gas, air, konstruksi, perdagangan, transportasi,keuangan, dan jasajasa pendukung dari keseluruhan industri utama dan industri pendukung. Kontribusi PTFI pada PDRB Provinsi Papua sangat besar meskipun menunjukkan kecenderungan yangmenurun, yaitu pada tahun 2009 sebesar 61,3%,tahun 2010 sebesar 53,6%, dan tahun 2011 sebesar 45,4%. Kecenderungan menurunnya kontribusi PTFI dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, terjadi penurunan produksi. Kedua, berkembangnya sektor sector ekonomi lainnya di Provinsi Papua. Sedangkan kontribusi ekonomi PTFI pada Kabupaten Mimika, kabupaten yang baru berumur 12 tahun, sangat dominan. Dari awal terbentuknya Kabupaten Mimika pada tahun 2001 sampai (2012), kontribusi PTFI terhadap PDRB secara rata-rata tidak pernah kurang dari 95% (LPEM-FE UI, 2013). Bagi Provinsi Papua, keberadaan PTFI secara langsung memberikan dampak ekonomi yang sangat dominan. Hal ini akan semakin kentara jika memperhitungkan dampak tidak langsung berupa pertumbuhan sektor-sektor ekonomi pendukung dari industri pertambangan yang melibatkan masyarakat lokal baik di tingkat regional Papua maupun di tingkat nasional. Penelitian LPEM-FE Universitas Indonesia tahun 2013 menyimpulkan bahwa dampak operasional PTFI pada perekonomian lokal, regional dan nasional telah menciptakan 227.000 peluang kerja, termasuk di dalamnya 128.000 kesempatan kerja langsung dan tidak langsung di Provinsi Papua. Membangun Infrastruktur di Dataran Tinggi Mimika
PTFI menyediakan infrastruktur yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat di Banti, Aroanop, dan Tsinga. Program ini lebih dikenal dengan nama Proyek Tiga Desa di wilayah kontrak karya. Sepanjang tahun 2012, program infrastruktur di dataran tinggi difokuskan pada pembangunan di wilayah Tiga Desa (Banti, Aroanop, dan Tsinga). Pada 2012, terdapat beberapa penyelesaian pembangunan jembatan gantung di Aroanop dan Tsinga, instalasi pipa air bersih, dan instalasi pipa sanitasi. Tahun 2012, PTFI juga mengerjakan proyek pembangunan lapangan terbang perintis di Kampung Anggokin, Aroanop. Ini adalah lapangan terbang perintis kedua karena pada tahun 2010, kami juga telah menyelesaikan pembangunan lapangan terbang Mulu, Tsinga yang telah diserahkan kepada pemerintah pada 2011. Kehadiran kedua lapangan terbang ini akan meningkatkan akses masyarakat dari dan ke wilayah lain di kabupaten Mimika. Membangun Infrastruktur di Dataran Rendah Mimika PTFI melakukan pembangunan masyarakat di lima desa di Kamoro Timika (Nayaro, Koperapoka, Nawaripi Baru, Ayuka, dan Tipuka) dalam pembangunan infrastruktur di desa-desa tersebut seperti pembangunan rumah tinggal, jalan raya, jembatan, gedung ibadah, sekolah, klinik, gedung pemerintahan, fasilitas air bersih, sumber dan instalasi listrik. Untuk mendukung keberlanjutan dan mata pencaharian masyarakat Kamoro di lima desa, PTFI melakukan berbagai program pendampingan dan pengembangan masyarakat di wilayah tersebut. Program ini dititikberatkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program ekonomi dan kesehatan. Dalam rangka mendukung pengembangan program tersebut, PTFI melakukan serangkaian pembangunan dan penyediaan fasilitas infrastruktur untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Pada tahun 2012, PTFI bekerjasama dengan United States Agency for International Development (USAID) untuk menyelesaikan pembangunan fasilitas pengolahan ikan sebagai bagian dari program Papua Agriculture Development Alliance (PADA), melanjutkan dukungan untuk para nelayan di Timika dan Pomako yang telah dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Langkah pemerintah apabila kasus sampai ke arbitrase dan memenangkannya Menurut Luhut Panjaitan, Menko Maritim, jika Pemerintah Indonesia menang di Arbitrase, maka kontrak Freeport selesai sudah di tahun 2021. Namun, apabila PTFI setuju untuk melepaskan 51% sahamnya, maka kewajiban mengambil alih saham Freeport Indonesia masih menjadi kewenangan pemerintah. Namun jika pemerintah melalui APBN tidak mampu, maka tahap selanjutnya ditawarkan ke BUMN, dalam hal ini Inalum yang akan mengeksekusinya. Jika PT Freeport Indonesia setuju menerima IUPK dan melepas 51% sahamnya, Eltinus Omaleng, selaku Bupati Mimika meminta pemerintah daerah (pemda) Mimika sebagai daerah penghasil tambang diberi jatah. Dengan adanya kepemilikan Pemda Mimika, Tambang Grasberg diyakini dapat lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, merasakan manfaat keberadaan tambang emas dan tembaga. Menyatakan Sikap BEM Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret, sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, memutuskan untuk mengambil beberapa sikap setelah melakukan pertimbangan melalui paparan yang telah disampaikan sebelumnya, yaitu: 1. Mendukung segala bentuk langkah Pemerintah Indonesia untuk bersikap tegas kepada perusahaan asing yang melanggar peraturan di Indonesia.
2. Mendukung upaya Pemerintah Indonesia untuk mengambil saham mayoritas dari PTFI Indonesia yang sudah sangat lama berada di Indonesia dan memang sudah sewajarnya Pemerintah Indonesia menjadi pemegang saham terbesar. 3. Meminta Pemerintah Indonesia untuk tidak mengabaikan, serta lebih memperhatikan kondisi perekonomian masyarakat Papua yang terkena dampak dari kasus ini.
UNTUK JAWA TENGAH KAMI TERCINTA
Sampaikan salam kami atas nama cinta dan persatuan demi sebuah kesejahteraan
HIDUP MAHASISWA!!!
JAWA TENGAH REBUTAN TANAH BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA Sekretariat: Sekretariat BEM FKIP, FP, FH dan FISIP Jalan Ir. Sutami No. 36A Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah 57126
Gunung Kendeng Panguripe dulur sami (Sumber kehidupan kita semua)
Saking Taban nganti Tuban punika (Dari Taban sampai Tuban)
Kathah sanget isen-isene (Banyak yang ada didalamnya)
Wolu pitutu ing banyu ning Sukolilo nyukupi wargane (Delapan puluh tujuh mata air di Sukolilo mencukupi wargannya)
Ayo dulur sedoyo nguri-uri tinggalane sing Nduwur (Mari saudara semua melestarikan peninggalannya)
Pasarehan dilestariknno murih dadi roso tentrem neng ati (Lestarikan tempat bersejarah agar hati menjadi tentram)
Kanti bukti lan nyata (Dengan bukti nyata dan tindakan)
Kendeng puyeng saat ini, tanpa ada raut bahagia diwajah para petani. Itu tanah mereka, itu rumah mereka. Namun Pemimpinnya menganggap seolah hal ini biasa. Orasi dengan maksud tersembunyi saat dulu mencari simpati, merajakan rakyat padahal korporat. Rakyat berjuang dengan demokrasi yang walaupun lagi-lagi hanya dikerasi. Tinggi hati dengan kuasa untuk apa itu semua ? Jika rakyat masih menderita. Pencitraanmu benar-benar luar biasa hingga rakyat tak menyadari bahwa sikapmu hanya kamuflase belaka. Seorang Kartini gugur dimedan tempur, dan si korporat hanya menonton sembari meminum anggur. Pemerintahan sekarang ini tak ubahnya seperti Nazi dan Fasis di Itali. Pemusnahan nalar bahwa Kendeng tak dalam masalah, dan dengan berbagai kode perilaku yang menunjuk pada kekerasan dan kebohongan seolah siapapun yang melawannya menjadi musuh yang harus musnah. Konflik dari tahun 2010 yang kian belarut-larut sampai saat ini, masih tanpa solusi yang diberi padahal digaji dari uang kami. Hanya mementingkan Ekspansi dan Investasi pada tanah rakyat yang haknya dikebiri. Sekali lagi, Indonesia tak perlu semen tambahan. Biarkan rakyat Kendeng bekerja dengan alam, karna hal itu yang diajarkan oleh nenek moyang. Warga Kendeng berjalan ratusan kilometer untuk menjemput keadilan saat putusan MA terkalahkan oleh sebuah kekuasaan, sembari berdoa tengah malam agar Pemimpinnya sadar karna sudah keblabasan. Banyak pasal yang menerangkan bahwa tindakan ini melanggar aturan. Salah satunya Pasal 28 H ayat (1) dikatakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Namun mengapa hidup ini begitu menyakitkan, ditanah anak cucu mereka akan dibesarkan. Para Pejuang Kendeng masih berjuang dengan segala kekuatan dan ketabahan meski sesekali merasakan getirnya sebuah pertahanan. Terlalu banyak basa basi kata yang diucapkan korparat tentu membuat jengah. Pejuang Kendeng yang masih berjuang barangkali sudah mencapai titik nadir, dimana mereka benar-benar lelah. Sesekali ingin mengeluh dan berhenti, namun jika itu terjadi sia-sia apa yang mereka lakukan selama ini. Pada pasal 28 A dikatakan bahwa “ setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” sesuai dengan Pasal tersebut Warga kendeng dan Kartini lain pengganti Bu Patmi masih terus berjuang melawan korporasi ditanah yang mereka tiduri. Berusaha sekuat tenaga agar kehidupan mereka tak diintervensi demi kepentingan pribadi, demi anakanaknya dan demi cucu mereka. Ini sudah jelas bahkan sangat jelas saat putusan MA menyatakan batal SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012 dan mewajibkan Tergugat mencabut SK tersebut, namun lagi-lagi kuasa mengalahkan segalanya. Pabrik pun seolah menjadi tema utama dimana Gubernur menjadi sutradara yang memerintah hal yang tak seharusnya ada.
Warga yang kontra seolah dianggap tak mengetahui apa-apa pada masa depan lingkungan mereka, yang seolah mampu membangun dengan begitu cerah tanpa celah. Saat warga kendeng dianggap kriminal dan penghambat pembangunan adalah hal lucu yang wajib di tertawakan. Siapa yang kriminal ? Siapa yang Penghambat pembangunan ? Tanah ini lebih besar dari uang yang Kaum Korporat Tuhankan. Ini masalah alam dengan berbagai dampak, yang jelas sekali kerusakan akan tampak. Berbagai dampak yang akan timbul dari masalah ini jika tidak segera ditangani dari sosial dan budaya, ekosistem, hingga ekonomi. Perampasan hak warga jelas adanya tanpa mempertimbangkan solusi bagi keberlangsungan warga kendeng sebagai penggantinya. Apakah begitu hina menjadi petani ? Apakah menjadi buruh derajat akan tinggi ? Mohon yang bersangkutan mampu berpikir lebih realistis lagi !. Teruntuk mereka yang sadar akan kebenaran dan keadilan, pada Pasal 28 H Ayat (4) dengan jelas mengatakan bahwa “ setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang wenang oleh siapapun”. Tanah ini milik Indonesia bukan milik korporat dan koloninya. Jangan jarah tanah kami yang lestari, dengan pembangunan yang hanya alibi. Menyejahterakan rakyat tidak melulu membangun pabrik. Alam Indonesia ini indah jangan biarkan rusak sia-sia karna di jarah, pikirkan saja untuk bisa mengekspor beras bukan semenlah. Dampak memang tak selalu langsung dirasa namun niscaya akan tampak adanya. Semen memang menjadi hal penting dalam pembangunan, namun tak lebih penting jika melihat rakyat banyak mati kelaparan. Lagi-lagi perlu ditekakankan tidak perlu mengekspor semen, cukup jalankan apa yang ada dengan semestinya. Indonesia negara agraris namun jika masih mengimpor beras bukankah menjadi hal yang begitu ironis. Cukup tragis memang pemerintahan sekarang ditangan orang yang tak bereadilan, serasa anak cucu dalam ambang kesengsaraan yang entah kapan akan dimakmurkan.
Indonesia, sejak merdeka telah memplokamirkan diri sebagai bangsa agraris. Hal ini bukan lagi sekedar program pemerintah kala itu, naumun sudah menjadi satu dengan budaya bangsa yang mengakar kuat. Kemerdekaan Indonesia, sejatinya menghendaki pembebasan sepenuhnya dari penghambaan kepada manusia. Tentunya, kemerdekaan ini harus dirasakan di segala bidang kehidupan. Tak terkecuali kemerdekaan agraria. Hidup, tinggal dan bertani serta berkebun di tanah yang menghidupi mereka secara mandiri dan bebas. Sebelum kemerdekaan, kemerdekaan agraria dihinakan dengan adanya sistem tanam paksa, pembatasan lahan yang bebas digunakan, dan kewajiban pajak yang tinggi, serta penggusuran dan perebutan tanah dengan Pemerintah Hindia Belanda. Namun, setelah republik Indonesia, sudahkah kemerdekaan agraria itu ada? Nyatanya, konflik agraria yang terjadi sejak sebelum negara ini berdiri, malah kemudian beranak pinak. Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) menyatakan, konflik agraria yang saat ini marak terjadi di sejumlah daerah merupakan warisan masa kolonial. Warisan tersebut terkait terkait asas dalam pengambilalihan status kepemilikan tanah oleh negara (Kompas, 15 Februari 2013). Sengketa agraria masih terus berlangsung hingga kini. Mirisnya, semua berlangsung di tengah kekuasaan politik yang diklaim telah menjadi milik bangsa Indonesia sendiri. Konflik – konflik yang berlangsung hingga kini, justru kemudian banyak melibatkan pemerintah yang notabene administrator dari kesejahteraan rakyat. Sengketa nya kemudian beralih antara rakyat, petani dan nelayan melawan pemerintah mereka sendiri, kekuasaan yang berasal dari hajat elektoral demokratis. Terlebih lagi, tak jarang pemerintah melakukan tindakan represif terhadap perlawanan masyarakat, di samping acuh terhadap urusan para korban. Semua konflik ini semakin marak, bahkan hingga menyebabkan korban meninggal. Ingat kembali bagaimana dahulu seorang Salim Kancil tewas terbunuh oleh aparat karena memperjuangkan hak atas tanahnya, serta banyak kasus – kasus lainnya. Jawa Tengah menjadi salah satu daerah yang tengah disoroti karena kasus agraria. Kasus yang paling terkemuka adalah sengketa pembangunan pabrik semen Kendeng. Kasus ini mencuat beriringan dengan banyak kasus lain yang tengah terjadi namun tak terlalu muncul ke permukaan. Perkumpulan untuk Pembaharuan
Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) mencatat bahwa Jawa tengah memiliki sedikitnya 36 kassus tentang konflik agraria yang memakan lahan 9043 ha. Angka tersebut cukup untuk menduduki peringkat ke 2 dalam hal “provinsi dengan konflik agraria terbanyak”. Dan, seperti kasus agraria kebanyakan, maka korbannya adalah mereka yang justru paling banyak membutuhkan kehadiran negara: petani, nelayan dan satuan masyarakat adat. Para pejuang agraria ini berada di satu sisi untuk kemudian berebut hak atas tanah dengan korporat, aprat bahkan negara. Rakyat berebut dengan mereka yang menerima amanat. Jawa Tengah Rebutan Tanah! Jawa Tengah Rebutan Tanah! Konflik agraria di
Jawa Tengah termasuk
yang paling ramai
diperbincangkan. Seiring maraknya pembangunan di propinsi ini, maka marak pula konflik perebutan tanah. HuMa menuturkan, untuk pelaku utama konflik, ditempati perusahaan, dengan pola, komunitas lokal melawan perusahaan, petani versus perusahaan,
komunitas lokal dengan Perhutani dan masyarakat adat
melawan perusahaan. Tingginya frekuensi keterlibatan perusahaan ini disumbang dari konflik sektor perkebunan dan pertambangan. Di antara yang cukup menarik untuk disampaikan mengenai kasus Jawa Tengah Rebutan Tanah adalah : 1. Konflik Agraria di Sambirejo, Sragen
Konflik Sambirejo melibatkan delapan desa, yaitu Sukorejo, Jambeyan, Sambi, Dawung, Sambirejo, Kadipiro, Musuk dan Jetis. Lahan yang diperebutkan seluas kurang lebih 400 hektar yang digarap sekitar 830 petani dengan ditanami jagung oleh petani Sambirejo. Pada 1965, petani di Sambirejo dituduh terlibat G30S/PKI. Lahan-lahan petani tersebut kemudian dirampas oleh Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) IX dan ditanami pohon karet. Setelah krisis ekonomi pada akhir 1998, menjadi pemantik untuk merebut kembali hak atas tanah leluhur mereka. Sepanjang konflik,, telah terjadi banyak kriminalisasi terhadap petani di Sambirejo. Pada 2014 misalnya, tiga petani Sambirejo ditahan oleh Polda Jawa Tengah. Tidak lama kemudian, PTPN IX juga pernah mengerahkan 5.000
karyawan untuk melakukan pendudukan lahan yang telah ditanami warga. Hingga kini, belum ada penyelesaian terhadap konflik lahan di Sambirejo. Berbagai upaya telah dilakukan oleh warga, mulai dengan menemui pejabat desa, provinsi sampai ke pemerintahan pusat, seperti DPR RI, Komnas HAM, Ombudsman, Kementrian Keuangan, Kementrian BUMN, Kementrian Pertanian dan Kementrian Dalam Negeri. Atas berbagai upaya tersebut, DPR sempat membentuk Pansus Pertanahan untuk menyelesaikan kasus pertanahan di Sambirejo, tetapi hingga kini kerja pansus ini tidak mencapai penyelesaian yang tuntas.
2. Konflik Agraria di Darmakradenan, Banyumas
Konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Darmakradenan dengan PT. Rumpun Sari Antan (RSA) yang notabene adalah perusahaan yang dikelola oleh Yayasan Rumpun Diponegoro (YARDIP) Kodam IV Semarang. Dimana pemicu konflik sebenarnya adalah sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki PT. Rumpun Sari Antan (RSA). Sertifikat inilah yang kemudian memicu terjadinya konflik. Dari sudut pandang pihak perusahaan, kronologi kasusnya diawali dari adanya penyerobotan lahan bersertifikat Hak Guna Usaha, namun menurut sudut pandang masyarakat, lahan tersebut adalah milik mereka sejak nenek moyang. Masyarakat menghendaki jangka waktu Hak Guna Usaha tersebut berakhir, tidak diperpanjang lagi dan untuk segera didistribusikan kepada masyarakat. Adanya Hak Guna Usaha yang dimiliki oleh PT Rumpun Sari Antan dinilai semkain merugikan para petani, karena tanah yang seharusnya dikelola petani sebagai sasaran produksi untuk kehidupan mereka malah digunakan untuk pengelolaan sumber daya alam oleh pemerintah, dalam konteks ini dikelola yang notabene adalah Tentara Nasional Indonesia. Dapat dikatakan bahwa para petani di Darmakradenan sengasara karena tidak memiliki tanah dan menyebabkan tidak adanya penghasilan. Sejauh ini, belum ada tanggapan dari pemerintah untuk mengatasi masalah sengketa lahan ini.
Dari dua kasus tersebut, dapat dilihat bahwasannya belum adanya upaya dari pemerintah untuk menyelesaikan sengketa lahan tersebut. Sejauh ini, pemerintah terkesan ” melempar batu sembunyi tangan”. Pemerintah seolah-olah bersimpati terhadap keluh kesah rakyat, dalam artian para petani, akan tetapi tidak ada upaya nyata dari pemerintah unruk menyelesaikan sengketa tersebut. Dalam aturan Hak Guna Usaha, lahan yang masih menjadi sengketa, tidak boleh dilakukannya perpanjangan Hak Guna Usaha, namun kenyataannya, kedua kasus tersebut, Hak Guna Usahanya terus terus diperpanjang. Dalam kasus di Sambirejo, sengketa mulai memanas sejak tahun 2006 di mana masa berlakunya HGU nya sudah habis, tetapi nyatanya masih saja diperpanjang. Hal demikian, bisa dikatakan bahwa pemerintah melanggar aturan berkaitan dengan Hak Guna Usaha.
3. Konflik Agraria Kendal Konflik lahan memang bukan hal yang baru terjadi di Indonesia, masalah yang melibatkan masyarakat pemilik lahan dengan para pemilik modal seringkali muncul di daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah untuk dimanfaatkan. Konflik biasanya merugikan masyarakat kecil yang mayoritas hanya petani. Menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat selama 10 tahun terakhir (2004-2014) tercatat 85 orang tewas, 110 tertembak, 633 luka-luka dianiaya dan 1.395 ditangkap. Jumlah korban itu berasal dari akumulasi 1.520 kasus konflik agraria 10 tahun terakhir yang meliputi 61 Ha lahan konflik. Awalnya masalah ini dari masalah tanah negara yang dijadikan sebagai lahan tukar-menukar yang diterima oleh PT. Perhutani sebagai lahan pengganti kawasan hutan di Desa Surokonto Wetan, Kec. Pageruyung, Kab, Kendal, Jawa Tengah. Lahan yang menjadi objek sengketa memiliki luas sekitar kurang-lebih 127 Hektar. Hingga kini sebagian besar dari lahan tersebut merupakan lahan yang sudah digarap sebagai perkebunan dan pertanian oleh warga Surokonto Wetan semenjak tahun 1950-an.
Dengan status lahan perkebunan sebagai tanah negara dan hak pengelolaannya dipegang oleh NV. Sekecer/Wringinsari di tahun 1956-1965 sebelum kemudian beralih kepada PT. Sumurpitu Wringinsari dari tahun 19721997 dan 1998-2022. di tahun 1972, warga dan sesepuh Desa Surokonto Wetan pernah mengadakan perjanjian terkait penggarapan lahan kebun bersama PT. Sumurpitu Wringinsari dengan syarat bilamana ada warga Desa Surokonto Wetan yang hendak bergabung dan turut menggarap lahan perkebunan, maka warga tersebut harus ikut bergabung dengan Sekber Golkar. Selain itu, porsi pembagian hasil usaha pun turut diperjanjikan, dengan bagi hasil 1/3 untuk pihak Perusahaan, dan 2/3 untuk pihak penggarap.Perhutani, PT. Semen. Namun dalam kurun waktu dari tahun 1972 hingga tahun 2016, penggarapan lahan tanah negara oleh pihak warga Desa Surokonto Wetan tak selamanya berjalan mulus. Pernah beberapa kali mereka mengalami kendala dan halangan. Mulai dari pihak PT. Ulat Sutra dari kurun waktu 1984-1990. Penggarapan berjalan sekitar 4 tahun hingga akhirnya terhenti kembali karena lahan disewa oleh PT. Kayu Manis untuk ditanami pohon tebu yang berlangsung selama belasan tahun. Di tahun 2009-an, masa sewa lahan oleh PT. Kayu Manis telah habis dan lahan kembali digarap oleh warga desa Surokonto Wetan. Penggarapan kembali pada lahan perkebunan ini sempat mengalami kekisruhan dikarenakan adanya ketimpangan pengelolaan lahan kebun. Kekacauan tukar-guling antara PT Sumur Pitu dengan PT. Semen Indonesia, ada cacat hukum dalam hal pengelolaan yang dilaksanakan oleh PT. Sumurpitu Wringinsari. Cacat tersebut bahkan dimulai dari penelantaran lahan semenjak tahun 1998. Dengan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK 3021/Menhut-VII/KUH/2014 tentang Penetapan Sebagian Kawasan Hutan Produksi Pada Bagian Hutan Kalibodri Seluas 127.821 Ha di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah, PT. Perhutani Kab. Kendal kemudian melakukan penanaman papan informasi mengenai kepemilikan lahan di beberapa titik areal lahan perkebunan Keputusan Menteri Kehutanan RI tersebut di kemudian hari dijadikan dasar hukum untuk menjerat beberapa warga yang menggarap lahan
dengan tuduhan pembalakan liar. Tuduhan ini didasarkan bahwa sebagian warga melakukan penanaman dan pengrusakan lahan yang diduduki oleh PT. Perhutani. Tuduhan ini tidak didasari dengan bukti yang jelas karena sebelumnya PT. Perhutani belum pernah menanam pohon di areal perkebunan. Areal perkebunan justru telah ditanami oleh warga semenjak 1952, yang dengannya tuduhan ini justru menafikan fakta sosial yang ada di masyarakat. Rangkaian kasus itu pun masih terus berlangsung karena masyarakat sekitar merasa dirugikan atas kekacauan pengolahan lahan ini. Carut marutnya masih saja terjadi. 4. Konflik Agraria Pertambangan ilegal di Desa Terkesi, Kec. Klambu, Kab. Grobogan Pertambangan ilegal di Desa Terkesi, Kec. Klambu, Kab. Grobogan dirasa sangat merugikan. Dilihat dari keberadaanya, pertambangan ilegal tersebut hanya menguntungkan segelintir
orang. Selain berdiri secara ilegal,
pertambangan tersebut juga berada di wilayah yang seharusnya dikaji lebih lanjut sebelum mendirikan usaha pertambangan. Kerugian pun mulai dirasakan oleh penduduk setempat, misalnya saja, kali yang seharusnya dapat menampung air hujan, tertutupi oleh residu tambang. Sehingga, kali tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya dan mengakibatkan banjir terjadi di Desa Terkesi. Banjir megakibatkan sawah sebagai mata pencaharian utama mereka terendam dan menyebabkan gagal panen. Pertambangan tersebut juga berpotensi longsor saat hujan deras melanda, penyebabnya adalah kurangnya tumbuhan yang berfungsi untuk menahan laju air ke dalam tanah. Saat hujan turun, masyarakat merasa was-was karena takut mereka menjadi koban longsor. Masyarakat yang berdekatan langsung dengan lokasi pertambangan juga sering dirugikan karena saat proses peledakan, rumah mereka sering menjadi korban. Baik berupa kerusakan ringan sampai yang mengakibatkan kerugian jutaan rupiah. Tak hanya korban luka-luka, ada pula warga yang meninggal akibat peledakan tersebut. Keberadaan pertambangan itu juga tidak selalu berdampak positif terhadap perekonomian, karena sekarang sudah jarang pula warga yang menggunakan pasir atau batu dari pertambangan tersebut.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, sudah mengingatkan berulangkali kepada bupati daerah setempat, Bambang Pujiono, namun tidak digubris. Bahkan, peringatan tersebut hanya dianggap sebagai angin lalu oleh DPRD daerah setempat yang bertanggung jawab untuk mensosialisasikan imbauannya untuk melakukan penataan terkait penambangan atau aktivitas galian C (garam, pasir, marmer, batu kapur, tanah liat, dan asbes). Selain Gubernur Jawa Tengah, Kepala ESDM, Teguh Dwi Paryono, juga sudah melayangkan peringatan kepada pemilik usaha pertambangan, namun juga tidak digubris. Selanjutnya, kasus ini akan ditindaklanjuti melalui proses hukum, yang akan ditangani oleh Polres Grobogan.
5. Konflik Agraria di Kebumen Tanah yang sekarang disengketakan dari dahulu merupakan tanah turun temurun dari abad ke 18. Pada saat itu, pada masa pemerintahan Bupati Ambal R. Poerbonegoro, beliau membagi tanah dengan sistem “galur larak”, yaitu dengan membagi tanah membujur dari utara ke selatan sampai dengan pantai laut selatan. Lalu pada awal abad ke 19, daerah tersebut mulai di gabungkan sampai saat ini. Pada masa penjajahan Belanda, pesisir Urutsewu dipakai untuk latihan militer. Lalu pasca Indonesia merdeka, sertifikat tanah tersebut mulai keluar dan pemerintah menghimbau masyarakat untuk membuat sertifikat tanah dan perjanjian jual beli yang akan ditandatangani oleh asiten wedono dan kepala desa sesuai dengan batas-batas yang telah ditentukan. Konflik mulai bermula ketika TNI mulai datang pada tahun 1982 dengan kedok melakukan Latihan Militer. TNI lalu membuat surat “pinjam tempat latihan”, yang lama kelamaan, surat tersebut tidak lagi dilakukan dan digantikan oleh surat pemberitahuan latihan saja. Lama kelamaan area latihan militer TNI tersebut dari yang awalnya berada di tanah tak bertuan menjadi merembet hingga 750 m dengan panjang sekitar 22,5 km di sepanjang pesisir. Pemetaan dilakukan sepihak oleh salah satu anggota TNI yang kemudian dimintakan tanda tangan oleh desa setempat. Warga setempat mengklaim bahwa mereka memiliki bukti kepemilikan yang sah atas tanah tersebut. Akan tetapi, TNI juga mengkalim mendapatkan izin dari pemerintah setempat untuk memakai tempat tersebut sebagai tempat latihan.
Lalu pada tahun 2006, kepada desa setempat mengeluarkan surat kades yang isinya memberikan izin latihan kepada TNI dengan pengecualian bahwasanya masyarakat setempat juga diperbolehkan untuk memanfaatkan dan mengelola kawasan tersebut. Ternyata, setelah ditelusuri lebih lanjut, tanah yang semula menjadi tanah latihan TNI yang katanya telah mendapat persetujuan dari pemerintah daerah itu tidak ada. Hal ini sesuai dengan pernyataan BPN Kebumen pada audiensi dengan DPRD Kabupaten Kebumen pada tanggal 13 Desember 2007 bahwa sampai sekarang tidak ada tanah TNI di Urutsewu dan TNI juga tidak pernah mengajukan permohonan kepada BPN. Pada saat itu juga, tanah „TNI‟ melebar hingga 1000m dari garis pantai. Sehingga pemerintah setempat meminta penggantian aset dalam ppembangunan jalur lintas selatan Pulau Jawa. Pelebaran tersebut memicu perlawanan dari masyarakat. Mulai saat itulah, konflik mulai terjadi. Hingga pada tahun berikutnya, Kodam IV Diponegoro melayangkan surat persetujuan pemanfaatan tanah sengketa tersebut kepada PT Mitra Niagatama Cemerlang pada tanggal 25 September 2008 untuk melakukan penambangan pasir besi. Surat ini nampak begitu jelas bahwa TNI telah melakukan klaim sepihak sekaligus melakukan pelanggaran berupa bisnis yang seharusnya tidak dilakukan oleh pihak TNI. Lalu, dibuatlah AMDAL yang di sosialisasikan terhadap desadesa yang termasuk dalam area izin eksplorasi. Namun dari seluruh jajaran pejabat pemerintah setempat yang diundang, hanya Desa Winomartan yang hadir dalam sosialisasi tersebut dengan catatan bahwa masyarakat setempat juga harus mendapatkan keuntungan dari penambangan tersebut. Izin tersebut lalu diterbitkan walau saat itu, perda belum menetapkan kawasan Urutsewu sebagai kawasan pertambangan. Penolakan mulai terjadi pada tanggal 16 April 2011. Warga menolak latihan uji coba senjata yang dilakukan pihak TNI dengan menunjukkan aksi ziarah ke makam korban yang meninggal akibat ledakan bom mortir beberapa waktu sebelumnya dengan membuat blokade dari pohon. TNI lalu membongkar blokade tersebut. Walau begitu, warga setempat tetap melakukan blokade jalan dengan menggunakan kayu, merobohkan gerbong TNI, dan bahkan melempari gudang peluru bekas yang sudah terbengkalai yang sebenarnya bangunan tersebut dibangun diatas tanah milik warga. Karena peristiwa ini, lalu TNI lalu merespon
dengan menangkap 6 petani dengan pasal pengerusakan dan penganiyaan, dan melakukan penyerangan balik sehingga menimbulkan beberapa korban luka serta pengerusakan fasilitas warga. Lalu pada Mei 2011, Kodam IV Diponegoro mencabut hak PT MNC untuk melanjutkan survey lapangan yang ternyata, hal itu hanyalah praktek „cuci tangan‟ TNI yang pastinya langsung direspon oleh warga setempat dengan melakukan penolakan secara massive dan sama sekali tidak dihiraukan oleh Pemerintah. Karena semakin peliknya masalah, lalu pada Februari 2013, sekitar 500 warga menggelar apel akbar di depan kantor Dinas Penelitian dan Pengembangan TNI Kebumen dengan menyampaikan aspirasi mereka yang berupa penolakan lahan pesisir Uritsewu untuk dijadikan sebagai lahan militer. Lalu dilanjut pada Maret 2013 dengan pengiriman surat oleh 3 kepala desa yang berisikan tentang protes atas pemagaran yang dilakukan oleh pihak TNI pada wilayah yang disengketakan. Karena itupula, masyarakat yang tersulut emosi lalu melakukan pemberontakan dengan pengerusakan pagar pembatas yang sudah jelas-jelas melanggar wilayah milik warga. Sayangnya, aksi tersebut malah membuat TNI semakin garang dengan merusak kebun-kebun pertanian dengan tank-tank milik TNI. Tidak hanya sampai disitu, warga yang melakukan orasi dengan dipimpin oleh kepada desa Wirimartan, Bapak Sunu, juga mendapat perlakuan yang tidak baik oleh pihak TNI dengan membalas lewat aksi serupa, bahkan perlawanan warga yang hanya membawa peralatan seadanya dibalas oleh pemukulan yang membabi-buta sehingga menjatuhkan banyak korban dari pihak warga, termasuk Bapak Sunu yang mengalami luka serius di wajah dan tangan. Konflik ini terus terjadi hingga menurut perkembangan terakhir, terjadi pula pemberontakan yang membawa korban luka berat dan ringan. Berdasarkan kronologi tersebut, kasus yang terjadi di wilayah Kebumen tersebut seharusnya bisa diselesaikan dengan baik ketika kedua belah pihak yang bersengketa saling mau mendengarkan satu sama lain. Disisi awalnya, masyarakat mampu berasaptasi dan memahami maksud dan tujuan latihan militer tersebut, namun, hal ini juga seharusnya dibarengi oleh niatan awal pihak TNI yang „hanya‟ melakukan latihan militer saja, dengan batas-batas wilayah yang sudah disepakati. Akan tetapi, pada pelaksanaannya, malah pihak militer yang
seharusnya menjadi pihak penengah, malah melanggar hal tersebut dan bahkan melakukan konfrontasi balasan terhadap masyarakat yang melakukan aksi penolakan terhadap apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Jikalau memang tanah tersebut memang bisa dimanfaatkan dengan baik, seharusnya pemerintah juga melakukan transparasi terhadap masyarakat lokal, sehingga masyarakat tahu apa yang sedang dan akan dilakukan sehingga tidak terjadi kesalah pahaman. Setelah itu, pihak penengah juga seharusnya tidak mudah terbawa arus, dengan ikut ke alur kiri lalu kanan. Sebagai pihak penengah, katakanlah pemerintah, juga harus memiliki presepsi sendiri untuk mencari cara bagaimana menyelesaikan konflik, tidak hanya harus mengambil dari satu sudut pandang saja. Lalu sebagai sesama warga negara yang baik, kita juga harus saling membantu walau hanay sekedar aksi solidaritas sesama yag mungkin bisa lebih fleksibel dan intelek dalam memperdalam hal seperti ini agar tidak terulang kembali. 6. Konflik Agraria Kendeng Kasus agraria banyak sekali terjadi dalam tahun ini. Masyarakat yang bergantung terhadap sektor agraris untuk mendapatkan kehidupan sehari-hari merasa dibingungkan oleh sengketa mengenani agraria yang terjadi. Seperti halnya, kasus Kendeng yang sudah berlangsung sejak 2006 silam, memaksa petani untuk bergerak terhadap penolakan pendirian PT Semen Indonesia. Jika pabrik semen tersebut tetap didirikan, maka akan timbul kerugian bagi masyarakat setempat dalam berbagai sektor. Seperti sektor ekonomi, jika kita melihat profesi masyarakat kendeng yang mayoritas bergantung terhadap pertanian ( Rembang, Pati, Grobogan, Blora) mulai kehilangan mata pencaharian atau solusi dekatnya yaitu mereka dipaksaberalih profesi menjadi buruh di PT SEMEN INDONESIA dengan kriteria yang telah ditetapkan.Dari segi sektorgeografis, Kendeng memiliki wilayah Karst Watuputih yang berfungsi sebagai penyuplai air di empat kabupaten, ketersediaan air bersih tersebut dapat terganggu apabila pembangunan pabrik semen tetap dilanjutkan. Kendeng adalah sumber mata air yang penting bagi empat Kabupaten guna menyuplai kebutuhan air untuk minum dan lahan pertanian. Oleh sebab itu, Karst Kendeng diamanatkan melalui Keppres No 26 Tahun 2011 harus dilindungi.
Di pulau Jawa, sudah terdapat 2 pabrik semen yang beroprasi yaitu PT SEMEN BONSAWA yang berada didaerah banyuwangi, Jawa Timur( 16 juli 2014) dan PT SEMEN JAWA yang berlokasi di sukabumi, jawa barat. Apakah pulau jawa akan menjadi pulau pabrik? Tentu saja tidak. Banyak dampak yang telah diakibatkan oleh aktivitas pabrik semen tersebut. Pemasukan atas semen di Indonesia sudah bisa dikatakan cukup. 90 juta ton per tahun yang telah di produksi oleh PT SEMEN INDONESIA, sedangkan Indonesia hanya membutuhkan 60 juta ton per tahun. Dari hal tersebut dapat dikatakan produksi semen di Indonesia sudah melampaui kebutuhan tetapi kenapa pendirian pabrik semen di indonesia terus berbuka cabang. Akibat yang di timbulkan adalah perampasan hak tanah para tani yang dimana mereka bergantung terhadap lahan tersebut. Petani Rembang sudah resah akan keadilan.Jika melihat perjuangan petani rembang dalam memperjuangankan hak tanahnya yang sangat miris, hingga mereka rela menyemen kaki mereka sebagi protes terhadap pendirian PT SEMEN INDONESIA. Tetapi apa? Mereka sia sia semata. Suara mereka seperti angin lalu ditelinga pemerintah. Maka dari itu, aksi terus berlanjut hingga di depan Istana Presiden. Beberapa hari lalu, Rembang berduka atas meninggalnya bu patmi sebagai aktivis petani. 7. PLTP Gunung Lawu Tidak heran memang ketika mendengar kabar bahwa proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah, dapat dukungan yang sangat kuat dari pihak pemerintah. Atau katakanlah, beberapa pihak pemerintah. Tujuannya adalah satu, kesejahteraan masyarakat melalui suplai listrik yang lebih besar. Tentu itu alasan dari pemerintah. “Dari 27 proyek PLTP, 5 proyek yang akan dilelang tahun ini direncanakan berkapasitas sekitar 460 MW. Terdiri dari Way Ratai, Gunung Lawu, Kepahiang, Danau Ranau, dan Marana,” ujar Rida Mulyana, selaku Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). Hal ini tentu ditambah lagi dengan persetujuan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. “Anda nggak setuju, nggak apa-apa, tapi apa alasannya? Kalau saya setuju, ketika nantinya ada yang
terbarukan, kenapa tidak. Terus nanti mau pakai tenaga apa? Tenaga surya yo urung iso,” terang Ganjar dalam wawancaranya dengan Rudi. Satu menteri, satu gubernur, dan tentunya tidak kelupaan pelaksana tugas yang membuat proyek ini bisa berhasil, yakni Pertamina yang sepertinya menjadi bagian dari bumi Indonesia dan saat ini memenangkan tender PLTP di Gunung Lawu. “Berdasarkan Berita Acara Penetapan Hasil Evaluasi Dokumen Penawaran Tahap Kedua Pelelangan Wilayah Kerja Panas Bumi Gunung Lawu tanggal 23 Desember 2015 ditetapkan bahwa: Peringkat pertama dari pelelangan WKP Gunung Lawu adalah PT. Pertamina dan peringkat kedua adalah PT. Star Energy Geothermal Indonesia,” jelas pengumuman dari EBTKE. Akan tetapi, dari semua berita tersebut, masih sedikit yang menyebutkan tentang survei, AMDAL, maupun dampak-dampak yang akan timbul jika Gunung Lawu diaktifkan sebagai PLTP. Alasan kebutuhan suplai listrik memang sangat strategis untuk digunakan bagi masyarakat Lawu dan sekitarnya. Menurut saya, sampai saat ini, masih belum terlihat dengan jelas alasan dibalik embel-embel kesejahteraan masyarakat yang mereka ucapkan. Alasan uang? Bisa saja. Kelihatannya, tidak besar jumlah dari hasil tender, hanya “660 juta dolar AS atau sekitar 8 triliun rupiah,” kata Rinto, selaku ketua DPC Partai Demokrat Karanganyar. Setidaknya cukup untuk membuka mulut sang Gubernur Jawa Tengah dalam mengatakan “Yes, bring it to me,” dalam imajinasi liar saya sebagai mahasiswa. Tanggapan beliau, jika mengenai tender, dapat dilihat tidak jauh-jauh dengan kasus pabrik semen di Kendeng. Hal yang penting adalah keberadaan sebuah proyek itu punya manfaat (tentunya sebagai alasan), maka proyek tersebut akan mulus sampai kepada tujuan. Kembali kepada topik. Sebenarnya, tidak sedikit yang menolak proyek PLTP Gunung Lawu. Warga sekitar, para pecinta lingkungan, bahkan Bapak Juliyatmono selaku Bupati Karanganyar sempat menolak rencana pembangunan PLTP di Gunung Lawu. Tidak tanggung-tanggung, ia sendiri pernah memimpin aksi penolakan bersama pemuda dan masyarakat terhadap proyek yang semakin panas ini. Anggota DPR RI asal Tawangmangu, Rinto Subekti, pun pernah angkat bicara. „‟Kalau saya prinsipnya, jangan mengusik keindahan Lawu, jangan
merusak kelestarian dan keanekaragaman hayati Gunung Lawu. Sebab, Lawu salah satu gunung yang memiliki sejarah panjang dengan keberadaan tanah Jawa,‟‟ jelasnya. Dengan demikian, sudah jelas. Masih belum ada kejelasan data, dan masih banyak pro-kontra baik dalam tubuh pemerintahan mengenai proyek ini. Pertanyaan dari saya hanya satu. Benarkah proyek pengelolaan energi panas di Gunung Lawu untuk kesejahteraan masyarakat semata? Atau ada tujuan untuk mencairkan triliunan rupiah? Jawa Tengah Berbenah Beberapa kasus konflik agraria di atas dapat mewakili puluhan kasus lain yang memakan lebih banyak korban. Kehadiran pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Propinsi Jawa Tengah harus dirasakan, bukan lagi sekedar kepentingan politik pencitraan. Komnas HAM mencatat bahwa korban utama dari sengketa tanah adalah petani, nelayan dan masyarakat adat. Maka, pemerintah perlu mulai menyadari, bahwa keberadaan entitas masyarakat harus diutamakan, seperti petani, nelayan dan masyarakat adat. Banyaknya kasus sengketa tanah di Jawa Tengah juga harus disadari oleh Gubernur Jawa Tengah. Konflik ini harus diselesaikan, bukan malah diperkeruh suasananya. Selama ini, pemerintah tidak secara optimal mampu mengatasi masalah ini, bahkan berada di pihak yang bersengkata melawan masyarakat. Masyarakat merupakan bagian dari sistem pemerintahan. Pemahaman masyarakat sendiri tidak dapat disimpulkan secara teoritis semata. Perlu memaknai masyarakat agar dapat memahami apa yang dibutuhkan serta apa yang dirasakan masyarakat. Masyarakat diibaratkan sebagai ttubuh manusia, masyarakat sebagai sebuah jantung, yang sangat memiliki peran dan fungsi yang sangat sentral. Sistem pemerintahan diibaratkan menjadi sebuah tubuh manusia. Analogi ini merupakan gambaran kecil betapa pentingnya sebuah sinergitas antara pemerintah dan masyarakat. Jika dalam tubuh manusia ada yg mengalami disfungsi tentu ini akan menghambat fungsi organ dan sistem tubuh akan terganggu. Begitu pula dalam sistem pemerintahan . Bagaimana sebuah pemerintahan dapat mewujudkan tujuan dari pembangunan, jika masyarakat tidak dilibatkan
didalam pembangunan. Pemikiran kecil ini membawa kita kepada sebuah kesadaran tentang pentingnya bagian-bagian dari sebuah sistem. Salah satu tujuan pemerintahan adalah agar terciptanya kesejahteraan,keadilan serta poin-poin lain yang menjadi sebuah harapan masyarakat yang tak memiliki wewenang, lemah tanpa kekuasaan. Pemerintah hadir di dalam masyarakat sebagai penyambung lidah rakyat. Apa yang menjadi kebutuhan dari rakyat, pemerintah sangat diharuskan untuk merealisasikannya.
Masyarakat
bukan
merupakan
obyek
dari
sebuah
pembangunan. Bagaimana bisa pembangunan terwujud jika pemerintah membangun tidak sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada, bukankah itu akan membuat tatanan masyarakat serta nilai-nilai luhur yang dipelihara selama ini didalam masyarakat akan tergerus oleh pembangunan yang tidak memperhatikan apa sesungguhnya yang menjadi kebutuhan dari masyarakat. Sedangkan pembangunan bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Bagaimana masyarakat akan sejahtera,jika mereka hanya diam tanpa diajak untuk jagongan, berpikir dan berbicara mengenai pembangunan. Dimana mereka sangat tahu persis apa yang mereka butuhkan. Yang seharusnya masyarakat diberdayakan sehingga mereka dapat menikmati usia mereka, dengan penuh kesehatan, keadaan alam yang lestari, membangun kreatifitas serta nilai-nilai luhur yang tertanam kuat tidak runtuh karena dampak pembangunan. Mereka yang setiap pagi menyapa ketika ke sawah, ladang dan bekerja sebagai seorang petani, semua itu hancur begitu saja karena pembangunan yang tidak berorientasi pada nilai-nilai sosial. Lahan mereka hilang diganti uang, sedangkan keahlian mereka hanya kerja diladang dan pertanian, uang yang lama-lama hilang karena ditelan oleh kebodohan. Ini bukan merupakan tujuan pembangunan. Pembangunan tidak semata mata bersifat elitis, hanya tinjauan ekonomi yang menjadi dasar dalam pembangunan, yang seharusnya bersifat populis yang mengedepankan faktor sosial. Perrumbuhan bukan dioperasionalkan untuk efisiensi namun harus efektif. Bagaimana sebuah pembangunan akan efektif, jika pemerintah mengedepankan untung rugi bukan masyarakat mandiri dan penuh kreasi. Pernyataan Abraham Lincoln mungkin tidak asing lagi, kekuasaan itu dari
rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, namun apakah pemegang mandat rakyat dapat memaknai. Bagaimana bangsa ini bisa berkreasi jika lahan pak tani dihabisi. Jika hilang lahan mereka mau kerja apa mereka, yang awalnya banyak uang, semakin lama akan hilang dan jadi pengangguran. Sebuah pembangunan jika dipaksakan maka akan memisahkan sosial cultural. Maka tinggal menunggu waktu, untuk melihat nilai luhur nenek moyang hancur karena keangkuhan dari pembuat kebijakan. Bagaimana sodara kami dapat produktif jika lahan mereka dijual belikan. Sudah saatnya kesempatan masyarakat yang produktif, mandiri dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur harus dilindungi. Hambatan diskriminatif untuk memenuhi kesempatan masyasrakat produktif harus dilenyapkan. Pembangunan perlu mengedepankan subtainability, dimana pembangunan tidak untuk genarasi saat ini, namun untuk generasi mendatang. Bumi kita ini kaya akan hasil tani, mohon bapak jangan mengganti dan ujung-ujungnya kehidupan lestari menjadi mati. Berdasarkan pada Pasal 27 Ayat (2) menyatakan bahwa Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Implementasinya sangat bertolak belakang. Kebijakan kebijakan yang telah dibuat hanya untuk penanam modal! Lalu jika tidak bisa menanam modal dengan jumlah banyak, kita diperlakukan berbeda? Berdasarkan segala permasalahan Jawa Tengah Rebutan Tanah ini, juga menilik sejumlah fakta mengenai banyaknya konflik agraria di Indonesia, utamanya Jawa Tengah, maka BEM FISIP UNS 2017 memberikan tuntutan kepada Bapak Ganjar Pranowo selaku Gubenur Jawa Tengah, di antaranya : 1. Menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk merespon dengan cepat dan tepat segala bentuk konflik agraria di Jawa Tengah dengan memperhatikan dengan seksama kepentingan petani, nelayan dan masyarakat adat. 2. Menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk mematuhi segala peraturan hukum yang telah diberlakukan dengan menutup pabrik semen PT. Semen Indonesia di Kendeng, Jawa Tengah 3. Menolak segala upaya kriminalisasi terhadap kelompok masyarakat yang bersengketa dengan pemerintah atau pihak lain dalam konflik agraria
4. Menuntut adanya pemberdayaan masyarakat secara jelas dalam setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta 5. Menuntut diberlakukannya kajian ilmiah yang jujur, komprehensif, dan memperhatikan
kehidupan
masyarakat
dalam
setiap
kegiatan
pembangunan. 6. Menolak adanya tindakan represif aparat keamanan terhadap kelompok masyarakat yang berjuang untuk membela hak atas tanah. Harapannya, segala tuntutan ini dapat direalisasikan supaya semua janji politik yang dijanjikan bukan hanya sekedar omong kosong belaka. Selanjutnya, kami berserah diri kepada Allah Yang Maha Kuasa untuk memberikan ganjaran yang adil terhadap segala bentuk penindasan kepada rakyat yang membela hak atas tanah mereka. Cukup miris apabila kita membandingkan bait-bait lagu diatas dengan keadaan yang terjadi sekarang di Kendeng. Ada apa dengan Kendeng kawan-kawanku? Mungkin pernah teman-teman melihat sekilas di timeline media sosial kalian mengenai perjuangan kartini-kartini dari Rembang ke Jakarta dan menyemen kaki mereka saat melakukan unjuk rasa di depan Istana Presiden? Mungkin juga kalian pernah mendengar para petani berjalan kaki dari Rembang ke Semarang untuk melakukan unjuk rasa di Kota Semarang? Mungkin juga kalian pernah mendengar para petani Rembang ini menginap selama sebulan di depan Kantor Gubernur untuk menanti sikap Gubernur Jawa Tengah terhadap hasil Putusan Mahkamah Agung mengenai izin pembangunan PT Semen Indonesia? Kejadian-kejadian itu bukanlah cerita dalam dunia dongeng semata, itu juga bukan kisah yang dibesar-besarkan untuk menarik simpati masyarakat mengenai keadaan di Kendeng. Ini kisah nyata perjuangan para petani Rembang dan masyarakat di Rembang demi mempertahankan hak, kelestarian lungkungan dan tentu mempertahankan keberlangsungan hidup mereka. Mari sejenak kami ceritakan sekelumit kisah dan fakta-faktanya. Dimulai dari Gunung Watu Putih, berdasarkan hasil penelitian Air Bawah Tanah oleh Dinas Pertambangan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada Maret 1998 dijelaskan bahwa Gunung Watuputih dan sekitarnya secara fisiografis tergolong
dalam tipe bentang alam karst yang memiliki goa-goa alam dan sungai bawah tanah. Luas batu gamping Formasi Paciran yang membentuk Gunung Watuputih lebih kurang 3.020 Ha. Di kawasan tersebut terdapat Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih yang merupakan area imbuhan air sebesar 2555,09681 Ha (perhitungan Sistem Informasi Geografis) yang menjadi kawasan resapan air terbesar penyuplai sumber mata air di sekitar kawasan Pegunungan Watuputih. Pendataan berkala yang dilakukan oleh Semarang Caver Association (SCA) dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang juga mendata adanya 49 goa yang tersebar di sekitar wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih, 4 diantaranya memiliki sungai bawah tanah aktif dengan 109 mata air yang mengalir di sepanjang musim kemarau dan penghujan. Mata air disini digunakan untuk mengairi pertanian dan menyokong kehidupan di 14 Kecamatan di Rembang serta banyak lagi manfaat lainnya. Konflik mulai muncul ketika pembangunan pabrik semen mulai dilakukan oleh PT Semen Indonesia di Kawasan Gunung Watuputih kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang dengan nilai investasi tidak kurang dari Rp 3,7 triliun. Pabrik ini memiliki kapasitas produksi 3 juta ton semen per tahun dan Kabupaten Rembang dipilih karena merupakan wilayah yang memiliki bentangan karst cukup luas untuk suplai bahan baku utama penghasil semen, yaitu batu gamping. Mari kita kaji dahulu lebih dalam kawan-kawan sebelum memunculkan asumsi-asumsi lain. Berikut kami sajikan beberapa alasan penolakan dari masyarakat Rembang, pembelaan dari PT Semen Indonesia, dan sedikit analisa sederhana: 1. Rusaknya ekosistem daerah karst yang merupakan wilayah penambangan berisiko memiskinkan masyarakat yang mayoritas bermatapencaharian sebagai petani serta berpotensi merusak sumber air masyarakat. Di Kabupaten Rembang memang tidak dapat dipungkiri bahwa memang disana terdapat beberapa mata air dan goa basah yang menurut hakikatnya merupakan kawasan lindung dan tidak dapat diperuntukkan untuk kegiatan-kegiatan yang merubah bentang alam.
Akan tetapi, berdasarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi yang telah dipegang oleh PT Semen Indonesia, wilayah yang termasuk daripadanya sebesar 520 Ha tidak terdapat sama sekali mata air dan goa basah. Pada Cekungan Watu Putih, Kabupaten Rembang, meskipun pada IUP Operasi Produksi tertera sebesar 520 Ha, hanya 487 Ha yang akan ditambang dan sisanya untuk kepentingan lingkungan. Aktivitas tambang dan pabrik semen PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. di kawasan CAT Watuputih akan menyebabkan rusaknya gugusan karst Watuputih dan berakibat hilangnya sumber-sumber air yang menopang kehidupan dan mata pencaharian masyarakat kab. Rembang. Hal ini dapat disebabkan oleh penghancuran gugusan karst untuk bahan baku semen dan penyerapan air dalam jumlah yang sangat besar. Hal ini akan menyebabkan kekeringan yang juga akan mengancam lahan pertanian dan mengancam sumber pendapatan para petani, ancaman pengangguran dan masa paceklik menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat di sekitaran Gunung Kendeng. Selain itu adanya pencemaran yang disebabkan polusi udara yang dihasilkan oleh Pabrik Semen tersebut sangat berpotensi mengganggu kesehatan pernafasan masyarakat di wilayah sekitar pabrik dan sangat dapat pula mempengaruhi hasil produksi pertanian disekitarnya karena udaranya tercemar polusi dari pabrik semen tersebut. 2. Pabrik semen ini nantinya akan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat karena akan menyerap tenaga kerja kurang lebih sekitar 3000 orang dikhawatirkan hanya omong kosong belaka. PT Semen Indonesia tidak menjanjikan kesejahteraan tetapi menjanjikan dan menawarkan opportunity (kesempatan) untuk bisa bekerja di sana bagi masyarakat ring 1, melalui program CSR, pajak yang lebih ringan, dan lain-lain yang dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi masyarakat meningkat 15%. Faktanya hanya sekitar 10% dari masyarakat di dekat Pabrik Semen yang dipekerjakan di pabrik tersebut. Itupun mereka hanya dipekerjakan sebagai pesuruh atau tenaga kerja sementara bukan pekerja tetap 3. Lokasi pertambangan PT. Semen Indonesia (Persero) berada di kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih yang merupakan kawasan lindung geologi (tipe bentang alam karst) yang mesti dilindungi oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan. UU 26 tahun 2007 mengatur jenis-jenis kawasan berdasarkan fungsi utamanya yang dibedakan menjadi kawasan budidaya dan kawasan lindung. Kawasan budidaya merupakan kawasan yang diperuntukkan untuk kegiatan pertambangan, perindustrian, pertanian, kehutanan, dan lain-lain. Sementara kawasan lindung merupakan kawasan suaka alam, cagar budaya, sempadan sungai, sempadan pantai, sekitar mata air, sekitar danau, hutan lindung, bergambut, resapan air, rawan bencana alam. Karst merupakan batu gamping yang berpori. Gamping yang ada di wilayah Indonesia hampir seluruhnya 99% merupakan batu Karst karena Indonesia berada di
wilayah tropis. Dalam peraturan, yang diatur untuk tidak boleh dirubah bentang alamnya atau ditambang diatur sebagai kawsan lindung adalah Kawasan Bentang Alam Karst dan bukan kawasan Karst. Apabila Karst tidak boleh ditambang maka di Indonesia tidak akan ada produksi semen. Kawasan Bentang Alam Karst merupakan kawasan yang mana terdapat keindahan bentang alam seperti stalagtit dan stalagmit. Dalam Peraturan Menteri ESDM No. 17 Tahun 2012 tentang penetapan kawasan bentam alam karst, dijelaskan pada Pasal 3 bahwa “Kawasan Bentang Alam Karst merupakan kawasan lindung geologi sebagai bagian dari kawasan lindung nasional”. Selain itu dijelaskan pula dalam Peraturan Daerah (PERDA) No. 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruwang Wilayah (RTRW) Propinsi Jawa Tengah tahun 2010-2030: Pada pasal 60 berbunyi: “Kawasan lindung geologi” sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 huruf e, terdiri dari: – Kawasan lindung kars; – Kawasan cagar alam geologi; – Kawasan imbuhan air. Selanjutnya, dalam pasal 63 ditegaskan bahwa “Kawasan Imbuhan Air” sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 huruf c, meliputi kawasan resapan air tanah pada : Cekungan Majenang, Cekungan Sidareja, Cekungan Nusa Kambangan, Cekungan Cilacap, Cekungan Kroya, Cekungan Banyumudal, Cekungan PurwokertoPurbalingga, Cekungan Kebumen-Purworejo, Cekungan Wonosobo, Cekungan Magelang-Temanggung, Cekungan Karanganyar-Boyolali, Cekungan Belimbing, Cekungan Eromoko, Cekungan Giritontro, Cekungan Semarang-Demak, Cekungan Randublatung, Cekungan Watu Putih, Cekungan Lasem, Cekungan Pati-Rembang, Cekungan Kudus, Cekungan Jepara, Cekungan Ungaran, Cekungan Sidomulyo, Cekungan Rawapening, Cekungan Salatiga, Cekungan Kendal, Cekungan Subah, Cekungan Karang Kobar, Cekungan Pekalongan-Pemalang, Cekungan Tegal-Brebes, Cekungan Lebaksiu”. Melihat hasil penelitian Air Bawah Tanah oleh Dinas Pertambangan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada Maret 1998 yang menyatakan bahwa wilayah Gunung Watu Putih adalah Kawasan Bentang Alam Karst, dengan berpatokan pada Permen ESDM No. 17/2012, Perda Jateng No. 6/2010, dan UU No 26/2007 bahwa seharusnya pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Indonesia yang masih dalam kawasan Bentang Alam Karst tidaklah diperbolehkan karena hal tersebut sudah menyalahi peraturan-peraturan yang sudah ada sebelumnya. 4. Proses perencanaan dan pembangunan tambang dan pabrik semen PT. Semen Indonesia tidak transparan dan partisipatif terhadap masyarakat, khususnya bagi masyaarakat di desa yang menjadi lokasi pertambangan dan pabrik semen PT. Indonesia. Keterbukaan dalam penyusunan sudah dilakukan, namun pada kenyataannya kurang merata. Adnan Buyung Nasution sebagai kuasa hukum PT. Semen Indonesia sudah melakukan pertemuan dengan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Adnan mengatakan dalam suatu media, bahwa akan terus melakukan berbagai upaya
pendekatan secara persuasif serta penjelasan ilmiah pada kelompok masyarakat yang masih menolak Masyarakat secara tegas menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui rencana awal pembangunan tambang dan pabrik semen, termasuk proses pembebasan lahan (tanah), sosialisasi perencanaan tambang dan pabrik semen, dan minimnya pelibatan masyarakat dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Sejak saat itu, protes dan penolakan masyarakat terus meningkat. Proses yang perencanaan pembangunan pabrik semen yang tidak transparan dan partisipatif telah melahirkan AMDAL dan Izin Lingkungan dinilai cacat hukum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (PP No 27/2012 dan UU No. 32/2009). Maka jika kita berpatokan dengan dasar hukum tersebut, Izin Lingkungan PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. bertentangan dengan peraturan perundangundangan dan tidak bisa dijadikan dasar dalam penerbitan IUP, karena pengurusan dokumen sebagai syarat diterbitkannya Izin Lingkungan tidaklah sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. . Berdasarkan pemaparan diatas memang kurangnya komunikasi dan sosialisasi antara perusahaan PT Semen Indonesia dengan masyarakat di daerah Rembanglah yang menyebabkan konflik ini. Kurangnya sosialisasi dan pencerdasan ke masyarakat yang menimbulkan konflik berkepanjangan. Serta masih adanya kekurangan dibeberapa aspek dalam pembangunan pabrik semen ini, yakni dengan masih adanya pencemaran udara serta solusi agar mata air yang dimanfaatkan oleh masyarakat tidak terganggu. Perlunya adanya Kajian Lingkungan Strategis seperti yang telah diperintahkan oleh Presiden Joko Widodo yang kemudian akan dipantau oleh PT SI dan masyarakat di Rembang itu sendiri agar jelas mana daerah yang bisa di eksploitasi, mana yang tidak. Mari kita lanjutkan dengan cerita mengenai bagaimana hasil putusan konflik Pembangunan pabrik semen di Rembang ini. Dalam pertemuan itu masyarakat tolak pabrik semen dikagetkan bahwa ternyata memang SK Izin Lingkungan no.660.30/17 tahun 2012 dicabut, akan tetapi kemudian secara sembunyi-sembunyi dan diam-diam Ganjar Pranowo menerbitkan SK Izin Lingkungan baru untuk PT SI dengan Nomor 660.1/30 Tahun 2016. Dalam sebuah media massa, Ganjar mengatakan bahwa Pembangunan pabrik semen oleh PT SI di Rembang akan tetap jalan terus. Dia beralasan bahwa tidak ada dasar hukum untuk menghentikannya, karena keputusan PK MA hanya membatalkan SK Izin Lingkungan tidak memutus pemberhentian operasi PT SI. Bahwa berdasarkan putusan MA izin lingkungan PT. Semen Indonesia dicabut. Putusan MA ini kemudian dutindak lanjuti oleh Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur No.6601/4 tahun 2017 tertanggal 16 Januari 2017 Tentang Pencabutan Keputusan Gubernur No. 660.1/30 tahun 2016 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Bahan Baku dan Pembangunan serta Pengoperasian Pabrik Semen PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. Dalam keterangannya, pada poin satu, Ganjar menyebutkan; “Menyatakan batal dan tidak berlaku” keputusan Gubernur No. 660.1/17 tahun 2012 tanggal 7 Juni 2012
sebagaimana telah diubah oleh Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 660.1/30 tahun 2016 tanggal 9 November 2016 tentang Izin Lingkungan Penambangan Bahan Baku Semen dan Pembangunan serta Pengoperasian Pabrik Semen PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk di Rembang. Namun di poin kedua, menyatakan berdasarkan putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung, Gubernur memerintahkan kepada PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk untuk menyempurnakan dokumen adendum Andal dan RKL-RPL. Selain itu, Komisi Penilai AMDAL Provinsi Jawa Tengah untuk melakukan proses penilaian dokumen adendum Andal dan RKL-RPL, yang saat ini sedang berlangsung untuk memenuhi Putusan Peninjauan Kembali No. 99/PK /TUN/2016 tanggal 5 Oktober 2016. Apabila kita telaah lebih dalam, bisa kita lihat berasama ada upaya untuk menyiasati putusan MA berdasarkan putusan Gubernur Jawa Tengah ini, karena dari pernyataannya bahwa proses pembangunan pambrik semen PT. Semen Indonesia dapat dilanjutkan apabila mampu melengkapi syarat dokumen sesuai persyaratan. Hukum dibuat untuk ditaati bukan untuk disiasati. Perjuangan Rakyat Kendeng masih panjang kawan-kawanku. Cerita ini tidak berhenti disini saja. Mereka masih membutuhkan keadilan dan realisasi dari pemerintah. Mari pantau terus perjuangan Rakyat Kendeng untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka dan juga kelestarian lingkungan yang berusaha mereka jaga. Karena bagi mereka bukan hanya kesejahteraan sesaat lah yang mereka fikirkan melainkan juga kesejahteraan anak cucu mereka kelak. Bukannya membatasi pembangunan dan mengambat kemajuan. Tidak, sama sekali bukan itu. Melainkan menuntut adanya pembangunan yang tidak melupakan bagaimana dampaknya terhadap dilingkungan sekitar. Kawan sudah sepatutnya pembangunan di Indonesia tidak dilakukan secara sembarangan, karena alam adalah sesuatu yang harus kita manfaatkan dan kita jaga. Lantas mau tinggal dimana kelak anak cucu kita jika lingkungan terus kita gerogoti lestarinya? Panjang umur perjuangan dan salam perjuangan untuk kita semua! BEM FH UNS 2017 #Aktif Berkawan
UNTUK SURAKARTA
Sampaikan salam kami atas nama cinta dan persatuan demi sebuah kesejahteraan
HIDUP MAHASISWA!!!
Tuntutan Atas Mangkraknya Tol Solo – Kertosono BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA Sekretariat: Sekretariat BEM Fakultas Teknik Jalan Ir. Sutami No. 36A Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah 57126
Tol Solo – Kertosono yang diimpikan warga untuk menghubungkan dua kota besar di Jawa Tengah kini terbengkalai. Target dari penyelesaian tol ini sudah lebih dari 6 tahun tidak kunjung selesai. Proyek underpass yang digadang-gadang sebagai penghubung jalan dibawah Tol Solo–Kertosono ini pun sempat mangkrak selama 4 bulan. Salah satu petani jalan raya Solo-Ngawi sangat menyayangkan atas mangkirnya pembangunan jalan tol Solo-Kertosono selama kurang lebih 4 bulan tanpa alasan yang jelas. Rangkaian besi-besi ulir dibiarkan berkarat karena terpapar sinar matahari, sebagian besi itu pun sudah tertuang semen cor, namun tidak ada pekerja yang melakukan aktivitas proyek pada 4 bulan itu. Sungguh disayangkan bahan tersebut disia-siakan begitu saja. Akibat lain dari pembangunan tol ini menyebabkan jalan desa yang dilalui oleh kendaraan berat bertonase tinggi mengalami kerusakan yang memprihatinkan. Jalan-jalan yang harusnya dilewati warga dengan nyaman direnggut oleh lubang-lubang besar hasil dari kendaraan berat yang melewati batas beban. Bahkan sebagian warga Ngemplak, Boyolali melakukan aksi memancing di kubangan sebagai bentuk protes atas kerusakan jalan yang memprihatinkan. Warga Ngemplakpun juga melakukan tindakan dengan menghancurkan tembok yang memisahkan pembangunan tol dengan jalan raya. Hal ini dilakukan demi mendapatkan akses jalan yang lebih dekat dengan jalan raya, dikarenakan jalan alternatif yang disediakan memutar dan memakan waktu sehingga warga merasa tidak efisien. Warga Ngawi menuntut untuk segera diselesaikan permasalahan yang timbul akibat keberlangsungan proyek ini kepada PT. Waskita Karya selaku perusahaan rekanan dari proyek tol Solo-Kertosono, berikut tuntutan warga atas proyek Tol Solo-Kertosono tersebut: 1. Memperbaiki jalan penghubung yang rusak akibat aktivitas perbaikan tol 2. Memperbaiki saluran drainase yang terdampak pembangunan jalan tol tersebut
3. Merehabilitasi lahan galian yang terbengkalai akibat pengerukan untuk tol Solo-Kertosono 4. Mencegah kendaraan yang melebihi tonase untuk melewati jalan SoloNgawi. Sebagai mahasiswa, kami menuntut pemerintah dalam merencanakan serta melaksanakan pembangunan untuk lebih professional dan tanggap terhadap permasalahan yang ada dilapangan sebelum rakyat yang menanggung akibat dari kesalahan dalam pembangunan tol ini.
Berikut merupakan gambar langsung keadaan di jalan Desa Donohudan ke Desa Pandeyan yang diambil pada tanggal 29 Maret 2017 :
REFERENCES Cahyati, Devy Dhian. 2014. “Konflik Agraria di Urutsewu : Pendekatan Ekologi Politik.” Yogyakarta : STPN Press. Apriando, Tommy. 2015. “Konflik Lahan, TNI-AD Aniyaya Petani Urut Sewu.” Mongabay.com diakses pada tanggal 29 Maret 2017 18:05 Tim Penutur Selamatkan Bumi. 2014. “Kronologi konflik tanah pesisir Urutsewu, Kebumen, Jawa Tengah” selamatkanbumi.com diakses pada tanggal 29 Maret 2017 17:45 Aris. 2017. “Melawan Tambang Pasir Urut Sewu” wartahijau.com diakses pada tanggal 29 Maret 2017 18:27 http://www.kpa.or.id/news/blog/menyoal-reforma-agraria-jokowi-jk/ http://www.cnnindonesia.com/nasional/20170105204316-20-184437/wilayahkonflik-agraria-indonesia-capai-12-juta-hektare/ https://www.academia.edu/9524718/Reforma_Agraria_Sejarah_Konsep_dan_Imp lementasi https://www.inawf.org/reforma-agraria-strategi-meraih-mimpi-kedaulata-pangandi-indonesia/ https://www.pertanian.co.id https://finance.detik.com/energi/d-3428820/kontrak-karya-dan-iupk-jadi-akarmasalah-freeport-apa-bedanya http://www.hukumpertambangan.com/izin-usaha-tambang/izin-usahapertambangan-khusus-iupk/ http://muhammadbarli.blogspot.co.id/2009/06/kontrak-karya-pertambangan.html https://finance.detik.com/energi/d-3435109/esdm-kami-tak-paksa-freeport-gantikontrak-karya-jadi-iupk https://finance.detik.com/energi/d-3433363/pekerja-freeport-di-papua-setopbekerja-ini-kata-bupati-mimika https://finance.detik.com/energi/d-3428445/jonan-sodorkan-3-opsi-untukfreeport-mana-yang-terbaik http://id.beritasatu.com/energy/freeport-harus-terima-iupk/156772 https://finance.detik.com/energi/d-3434185/luhut-pemerintah-tetap-ingin-51saham-freeport http://www.esdm.go.id/index.php/post/view/Ini-Enam-Pokok-Point-Penting-PPNomor-1-Tahun-2017/ https://m.tempo.co/read/news/2017/02/22/090848981/kronologi-kontrak-daneksploitasi-tambang-freeport-di-papua http://www.rappler.com/indonesia/109077-kronologi-negosiasi-perpanjangankontrak-freeport-indonesia
http://www.thejakartapost.com/news/2017/02/20/freeport-gives-government-fourmonths-to-negotiate-new-settlement.html http://ptfi.co.id/media/files/publication/529fe726e02ac_04_wtsd_bab_4__kontrib usi_kami_untuk_pembangunan_ekonomi_papua.pdf http://www.hukumonline.com/talks/baca/lt54c06922d0403/arbitrase-sebagaisalah-satu-alternatif-penyelesaian-sengketa-diluar-pengadilan-angkatan-keempat https://finance.detik.com/energi/d-3433151/jonan-janjikan-jatah-saham-freeport-k e-pemda-mimika https://dok.joglosemar.co/baca/2015/12/04/proyek-pembangunan-pltp-lawukementerian-esdm-segera-survei-panas-bumi.html https://joglosemar.co/2015/11/ganjar-dukung-proyek-pembangkit-listrik-tenagapanas-bumi-di-lawu.html http://industri.kontan.co.id/news/esdm-lelang-27-proyek-pltp http://ebtke.esdm.go.id/post/2016/02/26/1132/pengumuman.pemenang.pelelangan .wkp.gunung.lawu http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/proyek-geothermal-dikhawatirkan-usikkeindahan-lawu/ http://www.enciety.co/produksi-semen-indonesia-lebihi-kebutuhan-semennasional/ http://regional.kompas.com/read/2016/06/01/14192531/dituntut.warga.agar.hengk ang.dari.sukabumi.ini.jawaban.pt.semen.jawa-scg http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/12/15/201500526/pabrik.semen.bos owa.di.banyuwangi.resmi.beroperasi https://www.academia.edu/12021898/HUKUM_AGRARIA__Studi_Kasus_Sengketa_Lahan_Hak_Guna_Usaha_Warga_Darmakradenan_deng an_PT_Rukun_Sari_Antan http://www.solopos.com/2016/09/26/reformasi-agraria-ratusan-petani-sambirejosragen-long-march-15-km-tuntut-penghentian-krinalisasi-petani-756076 http://www.gresnews.com/berita/hukum/120293-konflik-agraria-sragen-tak-jugatuntas/0/ http://www.daulathijau.org/?p=751 http://www.simpulsemarang.org/2016/04/dokumentasi-konflik-petani-surokontowetan-kabupaten-kendal.html Peraturan Perundang-Undangan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Peraturan Menteri ESDM No. 17 Tahun 2012 Tentang Pengaturan Kawasan Bentang Alam Karst Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan Peraturan Daerah (PERDA) No. 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruwang Wilayah (RTRW) Propinsi Jawa Tengah tahun 2010-2030 Media Internet
https://www.youtube.com/watch?v=6W9Btawerqo diakses tanggal 19 Januari 2017 pukul 21:29 http://fairfinanceguide.org/media/277137/bank-investment-on-cement-industryin-the-basin-groundwater-cat-watuputih-central-java-id.pdf diakses tanggal 19 Januari 2017 pukul 22:37 http://omahkendeng.org/2011-05/181/kronologi-penolakan-warga-atas-rencanapendirian-pabrik-semen-pati/ diakses tanggal 19 Januari pukul 22:41 https://boemimahardika.wordpress.com/2016/12/11/solidaritas-perjuangan-terusmengalir-kepada-rakyat-kendeng-menyikapi-sk-izin-lingkungan-baru-untuk-pt-si/ diakses tanggal 20 pukul 12:06 http://hmt.mining.itb.ac.id/mitos-dan-fakta-dibalik-konflik-semen-rembang/ diakses tanggal 20 pukul 12:07 http://m.bareksa.id/id/text/2015/03/16/pabrik-semen-indonesia-di-rembang-dandemonstran-tenda-biru/9741/analysis diakses tanggal 20 pukul 13:05 http://www.antaranews.com/berita/486269/karst-rembang-cocok-untuk-pabriksemen diakses tanggal 20 Januari 2017 pukul 11:05 http://www.republika.co.id/berita/koran/financial/14/09/26/nchvc7-pabrik-semendi-rembang-diminta-segera-dibangun diakses tanggal 20 pukul 10:30 http://suaraagraria.com/detail-20555-alasan-petani-rembang-tolak-pertambangankarst–pabrik-semen.html#.VSxQtPmUdNU diakses tanggal 20 Januari 2017 pukul 12:05 regional.kompas.com/read/2014/12/02/20330301/Komnas.HAM.Pembuatan.Amd al.Pabrik.Semen.di.Rembang.Langgar.HAM diakses tanggal 20 Januari 2017 pukul 12:30 www.semenindonesia.com/page/get/laporan-tahunan-78 http://regional.liputan6.com/read/2547873/semarang-salatiga-macet-tol-bawenmampet http://m.solopos.com/tag/tol-solo-kertosono http://www.koran-sindo.com/news.php?r=6&n=31&date=2016-01-12 http://www.suara.com/bisnis/2016/10/17/183951/proyek-jalan-tol-solo-kertosonoditargetkan-kelar-2018
Surat cinta kami, Pertiwi, kami ingin mengadu tentang sebuah kisah dari tanah generasi, dan biarkan kami mengungkap semua peluh yang mulai mengering. Dengan dua mata dan dua telinga kami mendapat kabar dari
mereka mengenai durga. Sebuah kisah
perjalanan negeri yang entah kapan menemukan seorang Satriya Piningitnya. Kemudian saya berjalan menuju kerumunan itu dan menemukan kepalsuan diantara ketidak pastian, yakni kehidupan. Pertiwi, biar kami lanjutkan... Kisah kami bukan hanya sekedar tentangmu dan diriku yang mulai saling memperhatikan. Tapi mereka pun mulai mencari perhatian dan mengoyak kita ke segala arah. kami harus memegang siapa? Sepertinya kata “aku mencintaimu” saja tidak cukup membereskan.Kami sedang mencoba melangkah dengan cara berbeda dan mencoba membenahi kerusakan yang terjadi.
Biar ditutup jalan yang membuka mata... Kami mencoba menggapai secuil kesejahteraan untuk negeri ini. Mencoba berjuang dengan aksi, dan mengerahkan semua angan untuk asasi. Biar kami suarakan betapa beratnya kepalan ini yang selalu berusaha untuk menggapai keadilan diatas penindasan yang mereka tidak pahami. Kami mengatakan, “kami tidak akan mundur satu langkahpun” “karena bagi kami perjuangan adalah bakti utama untuk negeri”
Salam pergerakan, salam perjuangan untuk indonesia beradab dan sejahtera
Mahasiswa UNS