Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Menunjang Usahaternak Unggas Berdayasaing
DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KESINAMBUNGAN USAHA DALAM POLA KEMITRAAN AYAM BROILER AGUS HERMAWAN, DIAN M. YUWONO, dan ABDUL CHOLIQ Balai Pengkajian Yeknologi Pertanian Jawa Tengah Bukit Tegalepek - Desa Sidomulyo, PO Box 101, Ungaran – 50501
ABSTRAK Kemitraan usaha mewarnai usaha ayam broiler. Peternak plasma bekerja sama dengan perusahaan inti berdasarkan suatu perjanjian/kontrak tertentu. Dalam kemitraan usaha, sarana produksi peternakan/(DOC, pakan, dan obat-obatan) dipasok oleh inti sedangkan hasil usaha (ayam potong) peternak plasma disetorkan kembali untuk dipasarkan oleh inti. Keuntungan yang diperoleh peternak merupakan selisih antara biaya sarana produksi dengan total penerimaan. Untuk mengetahui dampak kebijakan pengurangan subsidi BBM pada tahun 2005, telah dilakukan penelitian dengan metode survei formal yang melibatkan 17 peternak di Desa Tabet, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, pada Bulan Desember 2005. Penelitian menunjukkan bahwa kemitraan usaha dapat menekan dampak negatif dari kenaikan harga BBM baik pada Bulan Maret maupun Oktober 2005. Harga sarana produksi peternakan, yang umumnya dipasok oleh perusahaan inti, relatif stabil dan tidak mengalami kenaikan tajam. Sebaliknya, keuntungan usaha ayam broiler di tingkat peternak plasma meningkat, khususnya pasca kenaikan harga BBM tahap pertama walaupun kemudian menurun pada kenaikan harga BBM tahap kedua. Oleh karena itu, kemitraan usaha perlu dikembangkan lebih lanjut karena berdampak positif bagi kesinambungan usaha peternak plasma. Kata kunci: Ayam broiler, kemitraan usaha, harga BBM
PENDAHULUAN Pada tahun 2005, Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebanyak dua kali, yaitu pada Bulan Maret sebesar 29% dan Oktober 107%. Menurut IKHSAN et al. (2005), dalam jangka pendek kenaikan harga BBM akan menurunkan daya beli masyarakat sejalan dengan inflasi, dampak tersebut juga dilaporkan terjadi di negara lain, misalnya di Inggris (RBS, 2004). Hasil analisis LPEM-UI terhadap dampak pengurangan subsidi BBM Bulan Maret 2005 menggunakan Computable General Equilibrium/CGE menunjukkan bahwa harga padi dan sayur-sayuran berturut-turut naik sebesar 0,23 dan 0,26% sementara harga pupuk kimia naik sebesar 0,537% (IKHSAN et al., 2005). HANSON et al. (1993) mengemukakan bahwa dampak kenaikan harga BBM pada sektor pertanian menyebabkan naiknya biaya produksi sehingga menurunkan pendapatan petani. Namun demikian, karena produk pertanian bersifat inelastic, maka penurunan
produksi akan mendorong naiknya harga produk pertanian. Masalahnya, walaupun kenaikan harga BBM mendorong naiknya harga produk pertanian, akan tetapi karena harga sarana produksi dan harga barang lainnya juga naik maka hasil akhir bagi kesejahteraan petani menjadi tidak pasti. Kenaikan harga BBM diprediksikan juga berpengaruh terhadap usaha ayam broiler. Sampai saat ini ayam broiler merupakan sumber daging utama di Jawa Tengah sebanyak 58% (DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAWA TENGAH, 2003). Pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk telah mendorong permintaan daging terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAWA TENGAH (2003), diprediksikan konsumsi daging pada tahun 2004 mengalami peningkatan sebesar 1,9% dibandingkan dengan tahun 2003. Salah satu sentra produksi ayam broiler di Provinsi Jawa Tengah adalah di Kabupaten Kendal. Sebagaimana halnya di Bengkulu (PRIYONO et al., 2004) usaha ayam broiler dilakukan petani dengan sistem kemitraan.
185
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Menunjang Usahaternak Unggas Berdayasaing
Secara formal, kemitraan dikonsepsikan dalam Undang-Undang (UU) No. 9 tahun 1995 sebagai: “kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan”. Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 44 tahun 1997 dinyatakan bahwa bentuk kemitraan ideal mensyaratkan kondisi yang saling memperkuat, saling menguntungkan dan saling menghidupi (diantara pihak-pihak yang terlibat). Oleh karena itu kemitraan usaha yang dikembangkan dalam berbagai tingkatan dan bentuk perlu mempertimbangkan aspek ekonomi dan manajemen (KOLOPAKING, 2002). Untuk mengetahui sejauhmana dampak kenaikan harga BBM terhadap kinerja usaha ayam broiler yang dilakukan berdasarkan pola kemitraan, telah dilakukan penelitian di Kabupaten Kendal pada Bulan Desember 2005. METODE PENELITIAN Penelitian dampak kenaikan BBM pada kinerja petani usaha ayam broiler dilakukan dengan cara survei di tingkat petani dengan mengacu pada WILLIAMS dan DE LANO (2000) yang menganalisis dampak kenaikan harga minyak pada petani di Kansas dengan tekanan pada biaya produksi yang dievaluasi pada kondisi rata-rata petani. Survei dilakukan di Desa Tabet, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal sebagai daerah sentra produksi ayam broiler pada Bulan Desember 2005. Sebanyak 17 orang peternak yang dipilih secara acak telah diwawancarai dengan kuesioner terstruktur. Data primer yang dikumpulkan meliputi penggunaan dan harga sarana produksi, harga produk di tingkat petani, skala usaha, serta tingkat produksi usahatani. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai lembaga pelayanan dan pengaturan pemerintah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten.
186
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran umum usaha ayam broiler di Kabupaten Kendal Kabupaten Kendal merupakan salah satu sentra produksi ayam broiler di Provinsi Jawa Tengah. Pola perkembangan populasi ayam kampung, ras petelur, dan ayam ras pedaging di Kabupaten Kendal tersaji pada Gambar 1. Dalam kurun waktu dua dasa warsa, rata-rata populasi ayam kampung konstan yaitu adalah sebanyak 824.522,5 ekor dengan koefisien keragaman 9,7%. Sementara itu perkembangan populasi ayam ras petelur relatif lebih dinamis. Pada tahun 1983 populasi ayam ras petelur di Kabupaten adalah sekitar 58.340 ekor, pada tahun 1994, telah mencapai lebih dari 1,4 juta ekor. Sejak tahun 1994 tersebut populasi ayam ras petelur relatif stabil dengan populasi sekitar 1.615.084 ekor dengan koefisien keragaman 16,4%. Perkembangan yang paling mencolok adalah ayam broiler, usaha ayam broiler ini mulai berkembang tahun 1988 dengan populasi sebanyak 93.650 ekor. Pada tahun 1993 populasi ayam broiler telah meningkat lebih dari 11 kali lipat atau sebanyak 1.132.275 ekor. Populasi ayam broiler tertinggi dicapai pada tahun 1997/98 menjadi sekitar 14,93 juta ekor. Walaupun krisis moneter berdampak pada menurunnya kinerja usaha ayam broiler, tetapi populasinya masih cukup tinggi, yaitu rata-rata sekitar 8,3 juta ekor dalam kurun waktu empat tahun paska krisis moneter. Sejak tiga tahun terakhir, produksi ayam broiler di Kabupaten Kendal mencapai lebih dari 4 juta ekor/tahun (DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAWA TENGAH, 2005). Perkembangan usaha ayam broiler tersebut diatas sejalan dengan hasil penelitian SAYUTI (2002) bahwa industri ayam broiler memiliki daya tarik yang tinggi dalam perekonomian karena perputaran investasi yang cepat, teknologi rendah, dan pasar yang sangat terbuka. Kondisi ini mendorong banyak perusahaan besar masuk ke dalam industri biologis secara diam-diam tetapi tidak ditindak oleh pemerintah, meskipun bertentangan dengan Keppres 30 tahun 1990 yang menetapkan bahwa usaha peternakan merupakan usaha rakyat.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Menunjang Usahaternak Unggas Berdayasaing
Populasi (ekor) 16.000.000 14.000.000 12.000.000 10.000.000 8.000.000 6.000.000 4.000.000 2.000.000 0 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001
Ayam kampung
Ayam ras pedaging
Ayam ras petelur Gambar 1. Perkembangan populasi ayam kampung, ras pedaging, dan ras petelur di Kabupaten Kendal, 1983-2002
Usaha ayam ras di Kabupaten Kendal terkonsentrasi di Kecamatan Limbangan (63%), selebihnya tersebar di Kecamatan Pageruyung, Pegandon, Patean, Sukorejo, dan Boja. Jumlah pengusaha ayam ras broiler sebanyak 116 dan melibatkan 862 tenaga kandang (DINAS PETERNAKAN KABUPATEN KENDAL, 2005). Kinerja usaha ayam broiler Pada usaha ternak ayam broiler di kabupaten Kendal melakukan kemitraan usaha dengan pola inti-plasma, kondisi ini sejalan dengan penelitian SAYUTI (2002) bahwa setelah tahun 1990 pada umumnya peternak broiler rakyat mulai bergeser dari status mandiri menjadi bermitra dengan inti dan sejak tahun 1995 hampir seluruh peternak broiler telah bermitra dengan inti. Menurut SAYUTI (2002) alasan peternak meninggalkan status kemandiriannya adalah kesulitan dalam memasarkan produksi secara kontinu dalam jumlah yang cukup dan kesulitan menyediakan dana investasi untuk memperbesar usaha. Menurut KOLOPAKING (2002) pola kemitraan inti plasma merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok mitra (biasanya petani atau kelompok tani) sebagai plasma dengan perusahaan induk yang bermitra usaha.
Di Kabupaten Kendal terdapat 14 perusahaan inti, tetapi yang berkembang di lokasi penelitian hanya tiga, yakni PKP (Primatama Karya Persada), Malindo, dan AS. Mekanisme umum perusahaan inti menyediakan DOC, pakan, vaksin, suplemen, dan bimbingan teknis bila diperlukan. Perusahaan juga bertanggung jawab dalam pemasaran hasil panen. Di sisi lain, peternak menyediakan lahan dan kandang ayam, peralatan, dan tenaga kerja, serta bertanggung jawab selama proses budidaya. Peternak tidak membayar tunai biaya produksi tetapi akan diperhitungkan pada saat panen. Peternak menyatakan terdapat variasi dalam tataaturan kemitraan dengan perusahaan inti dan masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Misalnya keuntungan bermitra dengan PKP adalah jika peternak menderita kerugian, perusahaan yang menanggung kerugian dalam arti tidak dibebankan pada peternak plasma. Peternak menerima pembayaran maksimal 10 hari setelah panen, dan peternak tidak dibebani deposit. Di sisi lain bonus prestasi pemeliharaan rendah, bobot panen lebih rendah, tidak adanya bonus jika harga pasar lebih tinggi dibanding harga kontrak. Berdasarkan alasan keamanan tersebut, sebagian besar peternak (69%) bermitra dengan PKP.
187
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Menunjang Usahaternak Unggas Berdayasaing
Tabel 1. Skala usaha ayam broiler (ekor/peternak) di Desa Tabet, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal Tahun 2005 Kisaran skala usaha (ekor/periode) < 2500 2500-4999 5000-7499 7500-9999 10000-12499 12500-14999 > 15000 Average (ekor) Standar deviasi (ekor)
Persentase (%) 5.9 11.8 17.6 23.5 29.4 5.9 5.9 8,647 3,932
Berdasarkan hasil survei, sebagian besar peternak (82,3%) di Desa Tabet setiap periode penggemukan mengusahakan lebih dari 5.000 ekor ayam dengan rata-rata adalah 8.647 ekor (Tabel 1). Selama setahun, umumnya ada lima
kali periode penggemukan dengan lama penggemukan berkisar antara 35-36 hari. Usaha ayam broiler memerlukan investasi yang cukup tinggi. Pada skala usaha rata-rata dibutuhkan lebih dari 187 juta rupiah (Tabel 2). Lahan dan kandang merupakan nilai aset tertinggi yang harus disediakan (sekitar 94% dari total aset). Selain lahan dan kandang, aset yang diperlukan dalam usaha ayam broiler adalah tempat pakan, tempat minum, pemanas, penyemprot disinfektan, dan timbangan. Kenaikan harga BBM tidak mempengaruhi kinerja usaha ayam broiler. Rata-rata bobot panen ayam hidup adalah 1.56 kg dengan FCR rata-rata adalah 1,62, artinya untuk menghasilkan bobot hidup 1 kg dibutuhkan pakan sebanyak 1,62 kg. Penampilan usaha ayam broiler di Desa Tabet, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 2. Rata-rata penguasaan aset usaha ayam broile di Desa Tabet, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis aset Tanah (m2) Kandang Tempat pakan (buah) Tempat minum (buah) Pemanas (buah) Penyemprot desinfektan (buah) Timbangan Jumlah
Luas/Jumlah 3.105,88 804,50 285,00 179,53 16,41 1,29 1,24
Tabel 3. Kinerja usaha ayam broiler di Desa Tabet, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal Uraian Skala usaha (ekor/siklus) Mortalitas (%) Pakan (kg/siklus) Produksi : - Ekor - Kg Bobot panen (kg/ekor) Feed Conversion Ratio/FCR
188
Penampilan 8.647 4,91 20.707 8.222 12.800 1,56 1,62
Nilai (Rp.) 95.066.667 80.866.667 3.841.333 4.684.667 1.651.250 698.750 493.750 187.303.084
Dampak kenaikan harga BBM pada usaha ayam broiler Sebagaimana dikemukakan oleh HANSON et al. (1993) pada sektor pertanian kenaikan harga BBM akan memicu naiknya harga sarana produksi peternakan (sapronak) dan output produksi. Harga sapronak dan output pada usaha ayam broiler ditampilkan pada Tabel 4. Walaupun pada tahun 2005 terjadi dua kali kenaikan harga BBM, harga DOC ternyata tidak berubah. Harga pakan hanya naik sekitar 1,75% sebagai dampak kenaikan BBM pada Bulan Maret dan tidak berubah paska kenaikan harga BBM Bulan Oktober.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Menunjang Usahaternak Unggas Berdayasaing
Sebagai perbandingan, pada usaha cabai merah, harga sarana produksi naik sekitar 4,3 40% paska naiknya harga BBM pada Bulan Maret 2005 (HERMAWAN et al., 2006). Fenomena yang dikemukakan ILHAM (2002) bahwa pada usaha ayam broiler harga sapronak
pakan berpengaruh negatif dan nyata terhadap penawaran daging broiler. Artinya makin tinggi harga pakan, produksi ayam broiler cenderung menurun dan akhirnya penawaran daging broiler juga akan menurun. tidak secara jelas ditangkap berdasarkan hasil penelitian ini.
Tabel 4. Perkembangan rata-rata harga sapronak dan output usaha ayam broiler di Desa Tabet, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal Uraian DOC (per ekor) Pakan (per kg) Minyak tanah (per liter) Tenaga kerja (per ekor ayam) Broiler (per kg bobot hidup)
Periode 1
Harga (Rp) Periode 2
Periode 3
Δ Periode 1 -2 (%)
Δ Periode 2 -3 (%)
2.700,2.850,1.000,196,7.500,-
2.700,2.900,1.200,212,7.700,-
2.700,2.900,2.500,231,7.850,-
0.00 1.75 20.00 8.48 2.67
0.00 0.00 108.33 8.75 1.95
Keterangan: Periode 1 : sebelum kenaikan BBM Bulan Maret 2005; periode 2 : paska kenaikan BBM Bulan Maret–Bulan September 2005; Periode 3 : sesudah kenaikan BBM Bulan Oktober 2005
Biaya pemanasan, yang menggunakan kompor minyak tanah, naik paling besar dibandingkan dengan sapronak biaya produksi lainnya, yaitu naik sebesar 20,0 dan 108,3% paska naiknya harga BBM tahap pertama dan kedua. Untuk mengurangi biaya produksi, upaya yang direncanakan akan dilakukan oleh peternak adalah mengganti kompor pemanas berbahan baku minyak tanah dengan kompor batu bara. Menurut keterangan peternak, penggunaan batu bara dapat menekan biaya pemanasan hingga 60%. Kenaikan biaya tenaga kerja menempati urutan kedua terbesar, yaitu masing-masing sebesar 8,48 dan 8,75% paska kenaikan harga BBM bulan Maret dan Oktober. Kenaikan upah tenaga kerja juga dilaporkan terjadi pada usaha cabai merah, yaitu sebesar 7.6-50% (HERMAWAN et al., 2006). Kenaikan harga barang yang secara luas terjadi akibat kenaikan harga BBM telah mendorong tenaga kerja untuk meminta upah lebih tinggi sebagai suatu bentuk kompensasi. Berdasarkan hasil penelitian, kenaikan harga sapronak produksi ternyata juga diikuti oleh kenaikan harga output. Harga ayam broiler hidup naik dari Rp. 7.500,- menjadi Rp. 7.700,- per kg (sekitar 2,67%) paska kenaikan harga BBM tahap pertama dan naik lagi
menjadi Rp. 7.850,- per kg (1,95%) paska kenaikan harga BBM tahap kedua. Analisis usaha ayam broiler selama tahun 2005 ditampilkan pada Tabel 5. Dapat dilihat bahwa baik total input maupun output usaha ayam broiler mengalami kenaikan paska kenaikan harga BBM. Dari sisi pengeluaran, biaya pakan menempati urutan pertama, yaitu berkisar antara 64,99 hingga 66,43% dari total biaya produksi. DOC merupakan biaya usaha kedua terbesar (25,26-26,27%) setelah pakan. Secara umum hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan penarikan subsidi BBM tidak banyak berpengaruh terhadap peternak karena kenaikan total biaya produksi naik juga diikuti oleh kenaikan harga hasil panen ayam broiler. Sebaliknya, peternak broiler secara finansial diuntungkan paska kenaikan harga BBM, paling tidak dalam jangka pendek terutama pada kenaikan harga BBM tahap pertama. Analisis marginal benefit cost ratio (MBCR) menunjukkan hal tersebut. Paska kenaikan harga BBM tahap pertama nilai MBCR adalah sebesar 1,670 yang menunjukkan bahwa tambahan pendapatan yang diterima peternak masih lebih besar dibandingkan dengan tambahan biaya yang dikeluarkan peternak.
189
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Menunjang Usahaternak Unggas Berdayasaing
Table 5. Analisis input-output usaha ayam broiler (Rp. per 8,647 ekor ayam) di Desa Tabet, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, 2005 Uraian
Periode 1
Periode 2
Periode 3
Sapronak (Rp. 000) DOC Pakan Vaksin Minyak tanah Sekam padi Depresiasi kandang dan peralatan Tenaga kerja pemeliharaan Tenaga kerja panen Penerimaan (Rp. 000): Ayam Bonus Pupuk kandang Pendapatan bersih (Rp. 000)
89.256.0 26.27 66.43 3.35 1.56 0.21 0.45 1.63 0.10 96.628.0 99.35 0.20 0.45 7.372.0
90.818.5 25.82 66.44 3.29 1.84 0.21 0.45 1.86 0.10 99.188,0 99.36 0.19 0.44 8.369.5
92.837.3 25.26 64.99 3.22 3.74 0.20 0.44 2.02 0.14 101.108 99.38 0.19 0.43 8.270.7
MBCR
1.670
0.954 1.259
Keterngan: Periode 1 : sebelum kenaikan BBM Bulan Maret 2005; Periode 2 : paska kenaikan BBM Bulan Maret–Bulan September 2005; Periode 3 : sesudah kenaikan BBM Bulan Oktober 2005 Angka yang dicetak dalam huruf miring menyatakan persentase sapronak atau output
MBCR yang diterima peternak menurun paska kenaikan harga BBM tahap kedua, yaitu sebesar 0.954, menunjukkan bahwa pendapatan peternak menurun dibandingkan dengan tambahan biaya yang dikeluarkan, walaupun MBCR sebelum ada kenaikan BBM tahap pertama dan paska kenaikan tahap kedua masih lebih dari satu (1,259). Secara umum nilai MBCR lebih besar dari satu menunjukkan bahwa tambahan pendapatan yang diterima petani lebih besar dibandingkan dengan tambahan biaya yang dikeluarkan. Kemitraan dan kesinambungan usaha Berdasarkan hasil penelitian usaha ayam broiler di atas, pola kemitraan inti plasma memberikan dampak positif bagi peternak ditinjau dari relatif kecilnya shock harga sapronak sebagai dampak dari kenaikan harga BBM, hal ini sesuai dengan hasil penelitian HERMAWAN et al. (1998) sebelumnya bahwa kemitraan berdampak positif bagi petani,
190
khususnya dalam mengurangi dampak perubahan lingkungan strategis yang tajam. Hal ini disebabkan perusahaan inti, sebagaimana yang tertulis dalam kontrak, bertanggung jawab dalam memasok DOC dan sapronak lainnya kepada peternak. Selain itu perusahaan inti yang juga bertanggung jawab terhadap pemasaran hasil panen telah menyesuaikan harga pembelian hasil panen dengan menaikkan masing-masing sekitar 2,67 dan 1,95% paska kenaikan harga BBM tahap pertama dan kedua. Kenaikan harga tersebut cukup membantu peternak, walaupun jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga produk pertanian lainnya, misalnya harga BBM cabai merah naik sekitar 69% (dari Rp 3.862 menjadi Rp 6.542 per kg) (HERMAWAN et al., 2006). Hasil penelitian tersebut di atas sejalan dengan hasil penelitian PRIYONO et al. (2004) pada kemitraan ayam broiler antara peternak dengan perusahaan inti PKP di Bengkulu. Beberapa manfaat yang diperoleh peternak dari kemitraan inti plasma adalah adanya jaminan
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Menunjang Usahaternak Unggas Berdayasaing
pemasaran dan harga penjualan, resiko kerugian kecil, tambahan pengetahuan budidaya ayam ras, terciptanya lapangan kerja baru, dan tersedianya modal kerja. Di sisi lain, MULYANTONO 2003 (disitasi oleh PRIYONO et al., 2004) pihak inti memperoleh manfaat dari meningkatnya keuntungan dari penjualan ayam dan keuntungan dari pembelian sarana produksi peternakan serta dapat terpenuhinya omset penjualan dan permintaan pasar. KOLOPAKING (2002) menunjuk adanya beberapa keunggulan pola inti plasma, seperti: yaitu (1) Memberikan keuntungan timbal balik antara inti dengan plasma melalui pembinaan dan penyediaan sarana produksi, pengolahan serta pemasaran hasil, sehingga tumbuh ketergantungan yang saling menguntungkan, (2) meningkatkan keberdayaan plasma dalam hal kelembagaan, modal, sehingga pasokan bahan baku kepada inti lebih terjamin dalam jumlah dan kualitas, (3) usaha skala kecil/gurem yang dibimbing inti mampu memenuhi skala ekonomi, sehingga usaha kecil ini mampu mencapai efisiensi, dan (4) Perusahaan inti dapat mengembangkan komoditas, barang produksi yang mempunyai keunggulan dan mampu bersaing di pasaran, dan (5) keberhasilan pola inti-plasma dapat menjadi daya tarik bagi investor lainnya. Menurut hasil analisis PRIYONO et al. (2004), terdapat hubungan positif antara tingkat kemitraan dengan tingkat penerimaan peternak dan pelaksanaan kemitraan umumnya baik (96%). Walaupun menurut hasil penelitian kemitraan ayam broiler di Kabupaten Kendal dan juga di Bengkulu secara mikro menguntungkan petani, menurut SAYUTI (2002) kenaikan harga broiler belum tentu memberikan tambahan pendapatan bagi peternak, karena tingkat pendapatan per kg sangat bervariasi antar skala usaha yang berbeda tanpa pola yang jelas. Selanjutnya dikemukakan bahwa peningkatan skala usaha memberikan pengaruh terhadap tingkat keuntungan. Peternak rakyat hanya memperoleh keuntungan total yang semakin besar jika skala usaha diperbesar, sedangkan pendapatan per unit tidak meningkat sejalan dengan naiknya harga broiler. Hal ini disebabkan kontrol harga-harga sapronak yang dilakukan oleh inti yang menaikkan dan
menurunkannya sesuai dengan harga ayam di pasaran. Menurut KOLOPAKING (2002) pelaksanaan kemitraan pola inti plasma di lapangan (mikro) seringkali menghadapi beberapa kendala, yakni: (1) kelompok atau koperasi yang menaungi masyarakat bila belum mandiri tidak dapat mewakili aspirasi anggotanya, (2) pemahaman atas hak dan kewajiban umumnya belum baik, (3) perusahan inti belum sepenuhnya memenuhi fungsi dan kewajiban sebagaimana diharapkan, (4) belum ada kontrak yang benar-benar bisa menjamin terpenuhinya persyaratan komoditas yang diharapkan, dan (5) belum adanya lembaga arbritase yang mampu menjadi penengah kala terjadi perselisihan. Beberapa permasalahan tersebut juga ditemukan dalam penelitian di Kabupaten Kendal. Sejalan dengan HERMAWAN et al. (1998) bahwa kemitraan bersifat multidimensi, maka KOLOPAKING (2002) pola kemitraan untuk pengembangan usaha kecil/gurem (termasuk peternak) pada masa mendatang tidak saja memerlukan pertimbangan legal, ekonomi dan manajemen, tetapi juga pertimbangan politik. Secara khusus ILHAM (2002) menyarankan dua hal yang perlu dilaksanakan agar usaha pola kemitraan tidak bersifat eksploitatif terhadap peternak kecil sebagai plasma yaitu: (1) meningkatkan peran pemerintah sebagai fasilitator dan regulator yang tangguh, dan (2) menciptakan persaingan yang sehat antara pola kemitraan (inti dan plasma) yang satu dengan yang lainnya. Selain itu SAPTANA et al. (2002) juga mengemukakan bahwa pemerintah perlu memadukan konsep pertumbuhan dan pemerataan pada industri perunggasan karena pada bidang usaha ini telah terjadi ketimpangan struktur pasar sapronak, pasar hasil (output), integrasi vertikal dan horizontal, dan tersisihnya peternakan rakyat. Dengan memperhatikan berbagai catatan di atas, pola kemitraan antara perusahaan sebagai inti dan peternak kecil sebagai plasma perlu dikembangkan lebih lanjut. Secara khusus SAPTANA et al. (2002) menyarankan agar pengembangan kemitraan di masa depan dilakukan dengan mentransformasikan ekonomi pedesaan yang tradisional ke arah ekonomi pasar modern, sehingga menjadi pembentuk struktur ekonomi pasar. Dengan rincian sebagai berikut (KASRYNO et al., 1994
191
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Menunjang Usahaternak Unggas Berdayasaing
sebagaimana disitasi oleh SAPTANA et al., 2002): (1) peternak produsen harus menjadi pemilik saham keseluruhan jaringan agribisnis; (2) keorganisasian peternak tidak terbatas pada kegiatan produksi bahan baku, namun pada keseluruhan jaringan tubuh agribisnis; (3) output yang dihasilkan merupakan produk akhir yang telah memperoleh sentuhan iptek dan bernilai tambah tinggi, berciri spesifik, berstandar mutu tinggi; (4) hubungan kemitraan antar pelaku agribisnis harus juga dimuati rasionalitas ekonomi dan spesialisasi pembagian kerja secara organik, asas keterbukaan dan demokrasi diterapkan dalam sistem pengambilan keputusan melalui musyawarah. KESIMPULAN Kebijakan pengurangan subsidi BBM memicu naiknya biaya produksi usaha ayam broiler, khususnya biaya pakan, pemanas, dan tenaga kerja. Harga DOC cenderung stabil sebagai dampak dari penerapan pola kemitraan inti plasma. Peningkatan biaya produksi tidak secara langsung menurunkan keuntungan finansial peternak karena harga hasil panen (ayam boriler hidup) juga meningkat, sehingga pendapatan bersih yang diterima peternak tidak menurun paska kenaikan BBM. Oleh karena itu kemitraan usaha berdampak positif karena adanya jaminan stabilitas harga sapronak dan output. Walaupun secara mikro peternak diuntungkan oleh adanya kemitraan usaha, pengembangan pola kemitraan inti plasma di masa mendatang perlu dilakukan dengan beberapa catatan untuk meningkatkan posisi dan ruang gerak peternak sehingga tercipta iklim usaha win-win situation yang lebih kondusif yang tidak exploatif. Hal ini disebabkan kemitraan bersifat multidimensi, tidak hanya menyangkut aspek legal, ekonomi dan manajemen, tetapi aspek politik. DAFTAR PUSTAKA DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAWA TENGAH. 2005. Statistik Peternakan Propinsi Jawa Tengah. Ungaran. HANSON, K. S. ROBINSON, and G. SCHLUTER. 1993. Sectoral Effects of a World Oil Price Shock:
192
Economywide Linkages to the Agricultural Sector. Journal of Agricultural and Resource Economics, 18(1): 96-116. HERMAWAN, A., T. PRASETYO, C. SETIANI, I. V. SUTARTO, D. PRAMONO, HARTONO, R. DJAMAL, A. H. TARYOTO, dan F.D. ARIANTI. 1998. Studi Pola Kemitraan Komoditi Pertanian di Jawa Tengah. Laporan Hasil Pengkajian. Badan Litbang Pertanian. BPTP Ungaran. 145 hlm. HERMAWAN, A. SULARNO, dan D.M. YUWONO. 2006. Dampak Kenaikan Harga BBM Terhadap Usahatani Cabai Merah, Makalah pada Seminar Nasional IPTEK Solusi Kemandirian Bangsa Dalam Tahun Indonesia untuk Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta, 2-3 Agustus 2006. HILSENRATH, J.E. and M. WALKER. 2004. Oil Prices Start to Pinch, Stirring Concern Over Economic Impact. Staff Reporters of the Wall Street Journal, June 4, 2004. IKHSAN, M., T. DARTANTO, USMAN, dan M. H. SULISTYO. 2005. Kajian Dampak Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan. Working Paper, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat. FEUI. Maret 2005. ILHAM, N. 2002. Analisis Penawaran dan Permintaan Komoditas Peternakan Unggulan. Buletin Agro Ekonomi, 3(1): 7-11. KOLOPAKING, L.M. 2002. Pola-Pola Kemitraan dalam Pengembangan Usaha Ekonomi Skala Kecil/Gurem. Makalah dalam Lokakarya Nasional “Pengembangan Ekonomi Daerah Melalui Sinergitas Pengembangan Kawasan”. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. 4 - 5 November 2002 di Hotel Arya Duta. Jakarta. PRIYONO, B.S. N. NUFUS, dan DESSY K. 2004. Performa Pelaksanaan Kemitraan PT. Primatama Karya Persada dengan Peternak Ayam Ras Pedaging di Kota Bengkulu. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. 6(2): 111-115. RBS, 2004. The Economic Impact of High Oil Prices. The Royal Bank of Scotland Group. 23 August 2004. SAYUTI, R. 2002. Peternak Dirugikan dalam Kasus Kemitraan Ayam Broiler Di Ciamis. Buletin AgroEkonomi, 3(1): 22-28. SAPTANA, R. SAYUTI, dan K. M. NOEKMAN. 2002. Industri Perunggasan: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. FAE. 20(1): 50-64.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Menunjang Usahaternak Unggas Berdayasaing
WILLIAMS, J.R. and F.D. DE LANO. 2000. Impact of Higher Oil Prices on Production Costs for Kansas Farm Management Association Farms.
Staff Paper No. 01-01-D. Department of Agricultural Economics, Kansas State University, Manhattan, July 2000.
193