Sebuah catatan : Menjawab kritik terhadap kenaikan harga BBM! Secara resmi pemerintah Indonesia telah mengumumkan kenaikan harga BBM, untuk Premium menjadi Rp6.500, dan solar Rp5.500 terhitung mulai 22 Juni 2013 pukul 00.00. Jauh sebelum pengumuman ini dilakukana, pro kontra telah mewarnai isu kenaikan harga bb mini. Bahkan dibeberapa wilayah Indonesia, berbagai elemen masyarakat menggunakan haknya untuk menyatakan penolakan dengan turun ke jalan, tentu ada yang berjalan tertib namun tak sedikit yang berujung bentrok dengan aparat keamanan, bahkan dengan sesama masyarakat , contohnya di Makassar. Saya tidak akan membahas lebih jauh tentang aksi masyarakat tersebut, namun disini saya mencoba menjawab kritikan atau argumentasi yang coba diajukan masyarakat yang mengambil sikap menolak kenaikan harga bbm. Beberapa argumentasi yang mereka ajukan saya coba jawab dengan simple tapi terukur. Beberapa alasan tersebut bisa kita temukan di situs berita online maupun Koran cetak, tapi saya coba mengambil alasan yang sering dipakai. Kenapa saya melakukan ini ? Semata-mata mencoba memberikan informasi yang saya miliki dan pahami, selanjutnya tinggal bagaimana informasi ini bisa diterima atau tidak, atau bisa jadi diperdebatkan ulang. Never mind, show must go on. Alasan pertama yang kerap digunakan untuk menolak kenaikan harga bbm adalah adanya inflasi yang nantinya menyebabkan kenaikan harga bahan pokok dan ini berbanding lurus dengan naiknya angka kemisikinan. Saya coba jawab begini, naik atau tidaknya harga bbm tahun ini, kenaikan inflasi juga tetap akan terjadi. Ini siklus ekonomi yang terjadi. Jauh lebih baik kita fokus bagaimana memastikan bahwa daya beli masyarakat tidak turun secara drastis, sehingga mereka tetap memiliki pilihan dalam menentukan apa yang mereka ingin lakukan. Alasan kedua, kenaikan harga bbm ini memunculkan sebuah tudingan bahwa pemerintah Indonesia sebenarnya tidak bekerja, lebih salah kaprah ketika diasumsikan Indonesia sebagai negara auto pilot. Istilah auto pilot saja disalah artikan, namun yang berkata seperti itu lupa bahwa mereka juga ikut menikmati inflasi yang tergolong rendah, setidaknya tidak pernah menyentuh angka 7% dalam kurun 4 tahun terakhir ini. Lantas siapa yang mengendalikan ini ? Kolor ijo ? Alasan ketiga, Indonesia merupakan negara yang kaya akan minyak bumi, sehingga tidak perlu menaikkan harga bbm. Saya ingin katakan bahwa yang selalu mengatakan ini pikirannya ada ditahun 1970-an tapi tubuhnya ada di tahun 2000-an. Saya akan coba jawab begini, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per 1 Januari 2012, cadangan terbukti (proven reserve) mencapai 3,741 miliar barel atau 0,3% dari cadangan dunia, sedangkan cadangan potensial (potential reserve) sebesar 3,666 miliar barel. Artinya, dengan tingkat konsumsi BBM nasional rata-rata mencapai 40 juta kilo liter per tahun, cadangan minyak Indonesia akan habis dalam kurun
waktu 10-12 tahun lagi. Cadangan ini merupakan hasil dari serangkaian kegiatan eksplorasi yang dilakukan pada zaman dahulu sampai detik ini, bahkan sebelum negara Indonesia ini merdeka sudah ada kegiatan eksplorasi. Terkait eksplorasi, nanti akan saya jelaskan pada poin berikutnya. Terkait alasan ketiga ini, saya juga punya cerita tentang bagaiamana dahulu Menteri Pertambangan dan Energi Republik Indonesia di zaman Presiden Soeharto mengatakan bahwa cepat atau lambat Indonesia akan mengalami suatu masa dimana konsumsi minyak melebihi kapasitas produksi dan ketika kondisi itu terjadi Indonesia akan keluar dari OPEC. Produksi minyak Indonesia pernah mencapai titik tertinggi sebesar 1,6 juta barel per hari (bph), yang terjadi pada 1977 dan 1995. Sejak 2003, Indonesia telah menjadi importir minyak sehingga memutuskan untuk keluar dari keanggotaan OPEC pada 2008. Pada prinsipnya, negara yang berhak menjadi anggota OPEC adalah negara yang mempunyai kelebihan produksi untuk diekspor (net exporter). Yang terjadi sekarang, hasil produksi untuk kebutuhan dalam negeri saja belum dapat dipenuhi, apalagi harus melakukan ekspor minyak yang menjadi salah syarat keanggotaan OPEC. Pertama kali Indonesia melakukan ekspor minyak adalah pada Mei 1958 sebanyak 1.700 ton dengan nilai US$30.000 dari Pelabuhan Pangkalan Susu. Itu adalah bukti bahwa sudah sejak lama Indonesia telah masuk dalam era perdagangan minyak dunia mengglobal. Apalagi, jika diingat semakin banyak kontraktor asing berdatangan untuk mencari minyak di Indonesia. Sejak itulah, pengusaha-pengusaha luar negeri mulai menanamkan modal investasinya. Namun, akibat dari ekspor tersebut tidak diimbangi dengan kebutuhan domestik, menjadikan negara sebagai net importir minyak karena setiap hari produksi minyak terus dipompa untuk memperoleh devisa negara. Pada 1893 hingga 1982, jumlah kumulatif produksi minyak mentah Indonesia telah mencapai sekitar 10,4 miliar barrel. Ini membuktikan bahwa usia pencarian serta produksi minyak di Indonesia telah lebih dari 100 tahun, walau nyatanya minyak terus mengalir dan belum habishabis juga. Pada 1982, tercatat cadangan terbukti minyak mentah Indonesia sekitar 9,6 miliar barel atau sekitar 1,39% dari jumlah cadangan minyak dunia, sehingga selama 30 tahun Indonesia sudah memompa minyak mentah sebesar 5,9 miliar barel. 2013 merupakan titik terendah produksi lifting minyak Indonesia yang diperkirakan hanya 830 ribu barrel per hari. Tentu kita sama-sama tahu bahwa untuk menutupi kekurangan konsumsi dalam negeri, Indonesia harus mengimpor crude oil dan bbm jadi. Masih menganggap Indonesia kaya minyak ? Mungkin cuma Ruhut Sitompul yang raja minyak. Alasan keempat, biasanya elemen masyarakat yang menolak kenaikan harga bbm ini menggunakan data perhitungan dari Kwik Kian Gie (KKG) dalam menghitung asumsi harga keekonomian bbm dan kebutuhan subsidi bbm. KKG dan pendukung setianya berpendapat
bahwa setiap barrel minyak bumi yang disedot dari perut bumi Indonesia, hanya di hargai senilai 0$ barrel. Sehingga nantinya dalam menghitung harga keekonomian dan nilai subsidi bbm didasarkan kepada alpha bbm, kurs dollar serta kuota BBM bersubsidi. Sementara ICP dan MOPS diabaikan. Saya coba jawab begini, nampaknya KKG dan pendukungnya lupa bahwa di dalam ekonomi dikenal konsep opportunity cost atau biaya peluang. KKG dan pendukungnya lupa bahwa hasil penjualan minyak bumi juga dijadikan sebagai pemasukan negara dalam skema APBN. KKG dan pendukungnya juga lupa bahwa minyak bumi adalah barang komoditas, bukan rumput liar yang tanpa diurus bisa terus tumbuh. KKG dan pendukungnya juga lupa bahwa minyak bumi dapat diperjualbelikan di pasar international. KKG dan pendukungnya juga mungkin tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa butuh dana yang sangat besar untuk menyedot minyak bumi di Indonesia. Alasan kelima, pengelolaan migas di Indonesia dikuasai oleh asing. Sederhana sekali pernyataannya, tapi tidak sederhana sekali untuk dijawab. Begini, saya tidak tau kenapa, banyak pihak yang gampang sekali mengatakan kalimat tersebut tanpa tahu kenapa sebabnya. Pertama saya ingin katakan bahwa, mekanisme pengelolaan industri hulu migas menggunakan konsep Product Sharing Contract . Dalam mekanisme Product Sharing Contract atau kerap disingkat PSC, peran Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) hanya berperan sebagai “kuli angkut”. Namun peran tersebut tidak sesederhana namanya, saya akan jelaskan bagian peran tersebut pada alasan berikutnya. Sebagai kuli angkut, KKKS tidak memiliki wewenang untuk bertidak sebagai manajemen, artinya segala urusan adminstrasi, anggaran dan rencana kerja, harus melalui persetujuan sebuah badan dalam hal ini SKK Migas. Disini kita bisa lihat bahwa, benar mereka banyak mengelola sumber daya alam kita, tapi tidak benar jika mereka menguasai sumber daya alam tersebut. Ini mirip dengan pola, anda mendelegasikan sebuah tugas kepada karyawan anda, tapi yang berkaitan dengan keputusan strategis, tetap ditangan anda. Lantas bagaiamana dengan pembagaian hasil ? Jika ditemukan minyak bumi, maka pembagiannnya 85:15, namun jika ditemukan gas maka pembagiannya 70:30. Jika ada yang mengatakan ini sekedar hitung-hitungan asumsi, saya juga berpendapat demikina. Angka pembagian tersebut tidak selamanya tepat, namun saya ingin menutip data dari Wood Mackenzie, di Asia Indonesia adalah urutan nomor dua negara yang paling banyak mengambil manfaat dari hasil produksi migas yang merupakan buah tata kelola migas yang ada, sementara untuk di dunia, Indonesia menempati urutan nomor lima. Artinya, government take (GT) yang diterima Indonesia lebih besar dibandingan yang diterima KKKS. Kalo sudah begini, siapa yang sebenarnya sangat untung dan menguasai sumber daya alam tersebut ? Ya pemerintah Indonesia. Apakah sesederhana itu polanya ? Saya bisa katakan, ya memang begitu. Kedua, saya juga ingin katakan, bahwa industri hulu migas ini sangat kompleks. Tidak sembarangan orang atau perusahaan yang bisa ikut bermain. Resikonya sangat besar, ketidakpastiannya sangat tinggi. Itulah yang membuat kenapa banyak pemain asing yang terlibat, namun melihat peran mereka jangan hanya ketika berhasil saja, tapi liat juga kegagalan dan kerugian yang mereka alami. Lantas apakah ini menjadi alasan mengabaikan Pertamina sebagai National Oil
and Gas Company untuk terlibat dalam industry hulu migas? Ya tentu tidak. Soal Pertamina ini juga kompleks. Dilain kesempatan akan saya jelaskan bagaiaman sebenarnya posisi Pertamina saat ini. Biar tidak penasaran, saat ini Pertamina seperti disuruh berlari, namun kakinya diikat pake rantai besi. Makin penasaran? Ya begitulah saya, suka bikin orang penasaran. Sebagai lanjutan, saya coba jelaskan terkait peran KKKS tersebut. Sebelum KKKS bisa melakukan kegiatan eksploitasi, mereka diwajibkan untuk melakukan kegiatan eksplorasi. Kegiatan eksplorasi ini membutuhkan dana yang sangat besar, tekhnologi tinggi dan sumber daya manusia yang mumpuni, namun kalo saya boleh tambahkan lagi, kegiatan eksplorasi juga membutuhkan keberuntungan. Kegiatan ekplorasi yang dilakukan oleh KKKS dananya diambil dari kas perusahaan masing-masing. Nilainya sekitar US$100- US$ 200 juta dollar. Namun dana tersebut bisa diklaim kepada pemerintah untuk diganti pembayarannya, dengan syarat ditemukan cadangan migas yang memiliki nilai ekonomis. Biaya yang diganti oleh pemerintah tersebut yang dinamakan cost recovery. Disini kenapa saya menambahkan faktor keberuntungan, karena bisa saja KKKS menemukan cadangan migas, tapi tidak ekonomis untuk dieksploitasi. Jika sudah demikian, kerugian karena gagal menemukan cadangan migas atau ditemukan tapi tidak ekonomis, ditanggung sepenuhnya oleh KKKS tersebut, sementara pemerintah Indonesia tidak keluar duit sekalipun. Enak kan ? Tinggal bilang, “Nih gue punya lahan, lu cari tuh migas, ketemu tuh barang gue ganti duit lu, kagak ketemu gih pulang kampung”. Sesederhana itu ? Ya memang begitu adanya kalo dijelaskan. Alasan keenam, biasanya yang menolak kenaikan harga bbm menggunakan pasal 33 UUD 1945 untuk menolak kenaikan harga bbm, tepatnya mereka menggunakan ayat ke 3 (bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat) guna mendukung argumentasinya. Saya jawab begini, jangan pernah lupakan bahwa yang hidup saat ini tidak hanya generasi ini, namun juga ada generasi-generasi mendatang. Sumber daya alam yang saat ini kita gunakan, merupakan pinjaman dari generasi mendatang. Jelasnya, kita harus menggunakan sumber daya alam yang terbatas ini secara efisien dan efektif, tidak berlaku boros dan harus tepat guna. Idealnya, sumber daya alam tersebut digunakan untuk pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan, sehingga setiap generasi bisa menikmati hasil dari pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Jika kita berfikir hanya untuk generasi saat ini, wajar saja menolak kenaikan harga bbm, toh 10-12 tahun Indonesia hanya akan terjebak dalam tuntutan impor minyak bumi, sehingga diversifikasi energy hanya akan jalan ditempat. Ujung-ujungnya, tak akan ada ruang fiskal untuk pertumbuhan, pembangunan dan pemerataan ekonomi. Terkait diversifikasi energi, saya ingin katakana bahwa harga bahan bakar fosil yang rendah karena direkayasa membuat sumber energi alternatif sulit untuk bersaing secara komersial. Sumber alternatif ini memang terlihat memiliki kelebihan dari sudut pandang ekonomi dan lingkungan, namun terpaksa harus kalah karena subsidi yang diberikan kepada sumber energi pesaingnya. Oleh karena itu, subsidi dapat menghambat perkembangan teknologi baru yang
lebih menjanjikan daripada teknologi yang ada saat ini. Padahal secara potensi Indonesia memiliki keberagaman energy yang bisa dimanfaatkan. Yang harus diingat juga, guna mendukung dan mengembangkan diverisfikasi energy baik yang bersifat terbarukan maupun tidak terbarukan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kendala utama selain teknologi, tentu infrastruktur. Namun ketika teknologi dan infrastruktur bisa diatasi, masalah akan kembali kepada kebijakan harga yang disebutkan diatas dimana harga yang ditawarkan dari energi alternatif akan kalah saing sehingga gagal berkembang. Kalo sudah begini, jangan harap negara ini memiliki ketahanan energy, lebih jauh jika berbicara kedaulatan energy. Alasan ketujuh, mereka yang menolak kenaikan harga BBM menganggap bahwa BLSM merupakan bantuan yang bersifat tidak mendidik, nilainya tidak seberapa dan sebagai bentuk sogokan politik guna terpilihnya suatu partai politik tertentu di pemilu 2014. Ada 3 hal yang saya ingin coba sampaikan. Pertama, banyak yang salah kaprah memahami konsep BLSM. BLSM hanya dinilai dari berapa jumlah nominalnya dan BLSM juga dianggap sebagai tambahan pendapatan sehingga jika dihitung dengan satuan barang maka tidak akan signifikan, padahal BLSM ini sebenarnya sebagai sebuah program dengan tujuan untuk mencegah melorotnya daya beli masyarakat sehingga mereka bisa tetap memiliki pilihan dalam aktivitas ekonominya. Saya contohkan begini. Keluarga A secara agregat mengeluarkan biaya konsumsi 1 juta rupiah per bulan. Setelah ada kenaikan harga bbm, nilainya melonjak menjadi 1,5 juta rupiah. Disini peran BLSM menutupi kekurangan 500 ribu rupiah tersebut. Jika masih kurang, maka akan terjadi penyesuaian dan berkurangnya pilihan aktivitas ekonomi mereka. Dan jangan dilupakan bahwa program kompenasi dari dampak kenaikan harga BBM ini tidak hanya BLSM, Ada Rp 21 Triliun untuk tambahan raskin, Rp 12 Triliun untuk Beasiswa Miskin, Rp 3,6 Triliun untuk Program Keluarga Harapan dan Rp 7 Triliun untuk infrastruktur dasar. Lantas kenapa yang diributin hanya BLSM ?. Kedua, menganggap BLSM tidak mendidik merupakan alasan yang mengada-ada. Kenapa ? Dalam situasi orang butuh bantuan, tentu tidak selalu mengharapkan adanya kail, tapi lebih membutuhkan ikan. Ingat, ini program yang dibuat sebagai kompensasi, sehingga wajar sifatnya langsung prosesnya cepat dan mempengaruhi konsumsi penerima bantuan. Ketiga, menganggap BLSM sebagai sebuah sogokan politik guna terpilihnya suatu partai politik tertentu merupakan anggapan yang sangat kejam. Ini sama saja mengatakan bahwa masyarakat Indonesia bisa sangat mudah dibeli dengan uang. Anggapan ini juga merendahkan masyarakat yang menerima bantuan tersebut. Pengalaman di Brazil, Chile, Mexico dan banyak negara juga menunjukkan bahwa program Bolsa Familia, Solidario, Oportunidades dan lainya pernah dikritik dan dituding sebagai upaya untuk memlilih partai yang saat ini menjadi pemerintah yang berkuasa. Tapi tetap saja mereka dijadikan rujukan, termasuk oleh penyusun kebijakan di Indonesia, sebagai contoh ideal sistem perlindungan sosial untuk negara berkembang.
Alasan kedelapan, beberapa partai politik menganggap kenaikan harga BBM sebagai kebijakan tidak pro rakyat. Ah, saya bisa pastikan siapapun Presidennya, darimanapun partai politiknya, jika dia berkuasa pasti akan mengambil kebijakan tidak populis ini. Kenapa ? Subsidi BBM jelas salah sasaran dan konsep subsidi barang merupakan kekeliruan yang paling mendasar. Jika kita lihat bagaiamana PDIP sangat keras menolak kenaikan harga bbm ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa Megawati Soekarnoputri telah lupa ingatan. 10 tahun yang lalu dia juga pernah menaikkan harga bbm dengan alasan yang sama dengan yang digunakan pemerintah saat ini. Bahkan pada zaman Megawati, kenaikan harga bbm dibarengi dengan kenaikan TDL listrik dan PPN. Lebih parah pada zaman beliau juga tidak ada paket kompensasi atas kenaikan bbm, TDL dan PPN tersebut. Masa sekarang menolak keras ? Lidah memang tidak bertulang. Alasan kesembilan, dengan kenaikan harga bbm, maka akan menguntungkan SPBU asing. Saya ingin tertawa jika mendengar atau membaca kalimat ini. Yang mengatakan hal seperti ini nampaknya lupa bahwa industri hilir migas dikuasai penuh Pertamina. Jangan dikira mendirikan SPBU asing lebih menguntungkan, SPBU Petronas saja harus gulung tikar di Indonesia. Sementara yang masih bertahan hanya Shell dan Total. Itupun beberapa sudah tutup karena pertimbangan eknomi. Kalaupun harga minyak yang dijual antara SPBU asing dan SPBU Pertamina hampir sama ataupun sama, saya yakin Pertamina tetap unggul karena telah memiliki lebih banyak SPBU serta kesempatan Pertamina untuk memperbanyak SPBU nya lebih besar ketimbang SPBU asing. Lagi-lagi kita berbicara siapa yang menguasai pasar dengan sudut pandang kompetisi yang sehat. Saya kira, sudah cukup bagi saya untuk menjawab kesembilan alasan yang kerap disuarakan elemen masyarakat yang menolak kenaikan harga bb mini. Sekiranya kurang memuaskan, kembali pada tujuan awal saya yang hanya mencoba menjawab. Jika banyak yang sepaham, ya saya ikut senang, namun jika banyak juga yang tidak sepaham ya saya hargai pendapatnya. Bahkan jika memunculkan perdebatan baru, tentu dengan senang hati saya akan coba mendiskusikannya. Niat saya tidak muluk-muluk, mari berdebat atau berdiskusi hal yang substantif dan menghindari ad hominem. Terima kasih. Abidzar Al-Ghifari Kader HMI MPO FE UII