Catatan Atas Harga BBM: Simulasi Kenaikan Harga, Sensitivitas APBN dan Tanggapan terhadap 3 Opsi Pemerintah
I. Pendahuluan
SE
TJ
EN
D
PR
R
I
Harga Minyak Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) merupakan salah satu asumsi dasar ekonomi makro pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Oleh karena pentingnya peranan ICP dalam menentukan besaran APBN, perubahan pada ICP yang drastis tentu saja akan sangat mempengaruhi APBN baik pada sisi pendapatan ataupun belanja negara.
KS AN AA N
AP
BN
–
Pada sisi pendapatan negara, kenaikan ICP antara lain akan mengakibatkan kenaikan penerimaan negara dari kontrak production sharing (KPS) migas melalui Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) maupun meningkatkan pendapatan dari PPh migas dan penerimaan migas lainnya. Pada sisi belanja negara, kenaikan ICP antara lain akan meningkatkan belanja subsidi BBM maupun subsidi listrik yang sebagian masih dihasilkan oleh pembangkit listrik yang digerakkan oleh BBM.
AN
PE
LA
ICP dipengaruhi oleh naik turunnya harga minyak dunia dan berfluktuasi sesuai dengan situasi dan kondisi pasar minyak itu sendiri. Perhitungan ICP sendiri mengikuti formula tertentu yang merupakan referensi harga rata-rata tertimbang harga minyak mentah Indonesia dalam perdagangan internasional.
AN
AL
IS A
AN
G
G
AR
AN
D
Pengaruh buruknya cuaca dingin di sejumlah negara telah meningkatkan permintaan akan bahan bakar. Situasi politik di Timur Tengah dan Afrika Utara yang memanas pada akhirakhir ini juga semakin meningkatkan harga minyak dunia. Harga minyak yang sebelumnya diprediksikan oleh banyak pihak akan menembus level psikologis US$ 100/barel di tahun 2011, pada awal Maret 2011 ini telah mencapai US$117,90/barel1. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi pada beberapa pos dalam besaran APBN 2011 yang telah mengasumsikan bahwa harga minyak adalah US$80/barel2.
BI R
O
II. Simulasi Kenaikan Harga Minyak US$1/barel Dengan mengacu kepada asumsi makro yang ditetapkan di dalam APBN 2011, maka dapat dilihat bahwa penerimaan migas adalah Rp 205,57 triliun dan total subsidi energi adalah Rp 136,61 triliun seperti tercantum pada tabel berikut.
1
2
Harian Kompas 8 Maret 2011; hal. 1 Sebagai catatan, tulisan ini menggunakan asumsi ceteris paribus pada tiap perhitungan/simulasi.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN
1
Tabel 1. APBN 2011 dengan ICP US$80/barel dan kenaikan ICP US$1/barel
APBN 2011
APBN 2011 (dengan kenaikan ICP US$1/barel)
9.250 80 970
9.250 81 970
Subsidi Energi Volume BBM Subsidi Premium (juta KL) Solar (juta KL) Minyak Tanah (juta KL) LPG (juta Ton) Subsidi BBM (Rp triliun) Subsidi Listrik (Rp triliun) Total Subsidi Energi (Rp triliun)
23,19 13,08 2,31 3,522 95,91 40,70 136,61
23,19 13,08 2,31 3,522 98,78 41,32 140,10
KS AN AA N
Potensi Penerimaan Migas Penerimaan Minyak (Rp triliun) Penerimaan Gas (Rp triliun) Total Penerimaan Migas (Rp triliun)
AP
BN
–
SE
TJ
EN
D
PR
R
I
Asumsi Makro Kurs (Rp/US$) ICP (US$/barel) Lifting Minyak (ribu barel/hari)
133,62 71,95 205,57
68,04
AN
PE
LA
Net Penerimaan Migas (Rp triliun) 68,95 Sumber: APBN 2011 dan perhitungan Reforminer Institute, berdasarkan data APBN 2011
135,29 72,85 208,14
AN
G
G
AR
AN
D
Dengan mensimulasikan bahwa harga minyak dinaikkan US$1/barel di atas asumsi ICP pada APBN 2011 (US$80/barel) dan menerapkan prinsip ceteris paribus pada komponen asumsi makro yang lain dan volume BBM subsidi, maka akan diperoleh penerimaan migas sebesar Rp 208,14 triliun dan total subsidi energi sebesar Rp 140,10 triliun seperti tertulis pada tabel berikut.
BI R
O
AN
AL
IS A
Berdasarkan simulasi di atas, setiap kenaikan harga minyak sebesar US$1/barel di atas asumsi ICP pada APBN 2011, akan menambah penerimaan migas sebesar Rp 208,14 triliun – Rp 205,57 triliun = Rp 2,57 triliun. Namun, di sisi lain, tambahan anggaran belanja untuk subsidi energi (BBM + Listrik) akan melonjak sebesar Rp 140,10 triliun – Rp 136,61 triliun = Rp 3,49 triliun. Dengan demikian, setiap kenaikan harga minyak sebesar US$1/barel di atas asumsi ICP akan menambah defisit APBN sebesar Rp 3,49 triliun – Rp 2,57 triliun = Rp 0,92 triliun. Hal ini menunjukkan sensitivitas subsidi energi yang lebih besar dibandingkan dengan sensitivitas penerimaan sektor migas di APBN 2011 terhadap pergerakan harga minyak. III. Sensitivitas APBN 2011 terhadap Peningkatan ICP Setelah mensimulasikan kenaikan ICP US$1/barel, berikut adalah simulasi tentang sensitivitas APBN 2011 terhadap peningkatan harga minyak di pasar internasional hingga mencapai level psikologis US$100/barel. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN
2
Tabel 3. Sensitivitas APBN 2011 terhadap peningkatan ICP hingga US$100/barel Sensitivitas APBN 2011 Indikator
ICP: US$80/barel & Kurs Rp 9.250/US$
ICP: US$100/barel & Kurs Rp 9.250/US$
Selisih
Penerimaan Migas (Rp triliun) Subsidi Energi (Rp triliun) Defisit APBN (Rp triliun)
205,57 136,61 124,65
256,96 206,40 143,04
51,39 69,79 18,39
R
I
Sumber: Simulasi Reforminer Institute; hasil perhitungan berdasarkan asumsi APBN 2011
SE
TJ
EN
D
PR
Berdasarkan hasil simulasi tersebut di atas dan dengan merujuk kepada asumsi makro migas yang ditetapkan di dalam APBN 2011 (ICP: US$80/barel & Kurs Rp 9.250/US$), maka penerimaan migas, subsidi energi, dan defisit APBN 2011 masing-masing adalah sekitar Rp 205,57 triliun, Rp 136,61 triliun, dan Rp 124,65 triliun.
AP
BN
–
Sedangkan jika rata-rata harga minyak melonjak hingga mencapai US$100/barel, maka penerimaan migas, subsidi energi, dan defisit APBN 2011 menjadi masing-masing sekitar Rp 256,96 triliun, Rp 206,40 triliun, dan Rp 143,04 triliun.
PE
LA
KS AN AA N
Artinya jika harga minyak meningkat hingga rata-rata mencapai US$100/barel, tambahan penerimaan migas, tambahan subsidi energi, dan tambahan defisit APBN 2011 adalah masing-masing sekitar Rp 51,39 triliun, Rp 69,79 triliun dan Rp 18,39 triliun. Tambahan defisit tersebut dikarenakan tambahan subsidi energi yang dibutuhkan jauh lebih besar dibandingkan dengan tambahan penerimaan migas3.
D
AN
IV. Tanggapan atas Opsi Tim Kajian Program Pembatasan BBM Bersubsidi
AN
G
G
AR
AN
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Tim Kajian Program Pembatasan BBM Bersubsidi, menyatakan pihaknya sudah mematangkan sejumlah opsi kebijakan bersifat jangka pendek sebagai bentuk dukungan atas kebijakan yang sudah disiapkan pemerintah. Opsi-opsi tersebut adalah4:
BI R
O
AN
AL
IS A
1. Menaikkan harga premium Rp 500 per liter, namun angkutan umum diberi jaminan kembalian (“cash back“) sehingga tarifnya tidak naik. 2. Perpindahan penggunaan BBM bagi kendaraan pribadi dari premium ke pertamax. 3. Penjatahan konsumsi premium dengan sistem kendali penjatahan yang berlaku tidak hanya untuk kendaraan umum, tetapi juga kendaraan pribadi.
Catatan: • Dengan memilih Opsi Pertama, yaitu dengan menaikkan harga BBM subsidi jenis Premium sebesar Rp 500 per liter, hasil kajian Tim tersebut menunjukkan, akan terjadi penghematan APBN hingga sekitar Rp 15 triliun5. Sedangkan hasil perhitungan
3
Reforminer’s Policy Analysis edisi ke-4, Februari 2011; hal. 6. Harian Kompas 8 Maret 2011; hal. 1 5 Harian Kompas 8 Maret 2011; hal. 15 4
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN
3
berdasarkan data APBN 2011 diperoleh penghematan sekitar Rp 11,60 triliun seperti tercantum pada tabel berikut.
Tabel 4. Nilai Penghematan Anggaran dengan Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Rp 500/liter Premium + Solar
23,19 11,60
13,08 6,54
36,27 18,14
R
I
Solar
PR
Volume BBM Subsidi (juta KL)* Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Rp. 500/liter (Rp triliun) * berdasarkan APBN 2011
Premium
BN
–
SE
TJ
EN
D
Dengan menerapkan kenaikan harga BBM sebesar Rp 500 per liter untuk jenis premium dan solar sekalipun, penghematan yang dapat diperoleh adalah sekitar Rp 18,14 triliun. Nilai penghematan tersebut ternyata belum bisa menutup tambahan defisit anggaran sebesar Rp 18,39 triliun jika harga minyak meningkat hingga ratarata mencapai US$100/barel.
KS AN AA N
AP
Sedangkan dengan menerapkan kenaikan harga BBM sebesar Rp 600 per liter untuk jenis premium dan solar sekalipun, penghematan yang dapat diperoleh adalah sekitar Rp 21,75 triliun seperti tercantum pada tabel berikut.
LA
Tabel 5. Nilai Penghematan Anggaran dengan Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Rp 600/liter Solar
Premium + Solar
23,19 13,91
13,08 7,84
36,27 21,75
D
AN
PE
Volume BBM Subsidi (juta KL)* Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Rp. 600/liter (Rp triliun) * berdasarkan APBN 2011
Premium
G
G
AR
AN
Nilai penghematan tersebut ternyata cukup untuk menutup tambahan defisit anggaran sebesar Rp 18,39 triliun jika harga minyak meningkat hingga mencapai US$100/barel.
AN
•
BI R
O
AN
AL
IS A
Dengan memilih Opsi Kedua, yaitu perpindahan penggunaan BBM bagi kendaraan pribadi dari premium ke pertamax, Tim tersebut di atas menyatakan langkah tersebut akan mengurangi konsumsi BBM bersubsidi oleh kendaraan pribadi sekitar 3 juta kiloliter, dan harga pertamax akan ditetapkan pemerintah dengan harga yang feasible sebesar Rp 8.000/liter6.
•
6 7
Kebijakan tersebut memberi kesan akan melanggengkan subsidi pada saat kita sebenarnya ingin lepas dari subsidi. Karena jika harga Pertamax menjadi lebih dari Rp 8000/liter, Pemerintah berarti harus mengeluarkan dana lagi untuk subsidi Pertamax. Dengan memilih Opsi Ketiga, yaitu penjatahan konsumsi premium dengan sistem kendali penjatahan yang berlaku tidak hanya untuk kendaraan umum, tetapi juga kendaraan pribadi, beberapa potensi dampak negatif terkait kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dapat terjadi diantaranya7:
Investor Daily 8 Maret 2011; hal. 1 Reforminer’s Policy Analysis edisi ke-4, Februari 2011; hal. 8.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN
4
BI R
O
AN
AL
IS A
AN
G
G
AR
AN
D
AN
PE
LA
KS AN AA N
AP
BN
–
SE
TJ
EN
D
PR
R
I
1. memicu maraknya pasar gelap/penyalahgunaan/penimbunan premium dan solar. 2. mendorong pertumbuhan jumlah sepeda motor secara lebih cepat sehingga memicu kemacetan. 3. rumit dalam penerapannya, membutuhkan kesiapan infrastruktur dan pengawasan yang ekstra. 4. tidak antisipatif dan tidak kompatibel dengan harga minyak yang tinggi. 5. tidak ada jaminan bahwa tujuan mengurangi volume konsumsi BBM bersubsidi akan tercapai, dan 6. tetap menimbulkan inflasi meski kebijakan pembatasan konsumsi BBM diklaim tidak sama dengan menaikkan harga BBM.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN
5