LAPORAN AKHIR
KAJIAN DAMPAK EKONOMI KENAIKAN HARGA BBM
TIM PENGKAJI: Dr. UMAR SAID (SENIOR ENERGY POLICY ANALYST) Dr. EDIMON GINTING (SENIOR ECONOMIST) Dr. MARK HORRIDGE (SENIOR ECONOMIST) NENNY SRI UTAMI (CEI, HEAD) SUTIJASTOTO, MA (CEI, SENIOR ENERGY ECONOMIST) HENGKI PURWOTO (ECONOMIST) ASISTEN: Oetomo Tri Winarno Agus Cahyono Adi Henggi Purwo Kusmanto M. Yus Iqbal Yuli Panglima Saragih Mandala Harefah
Kerjasama: Ausaid melalui International Trade Strategies (ITS) dan Technical Assistance Management Facility (TAMF) dengan: Pusat Informasi Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Desember 2001
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
1
KATA PENGANTAR
Dokumen ini merupakan laporan akhir dari studi “Kajian Dampak Ekonomi Kenaikan Harga BBM” yang dilakukan tim kajian berdasarkan agreement antara International Trade Strategies (ITS) Pty Ltd. Australia melalui Technical Assistance Management Facility (TAMF) di Jakarta dengan masing-masing anggota tim. Sesuai dengan agreement, kajian ini dilakukan untuk membantu Pusat Informasi Energi (PIE), Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dalam menyediakan informasi mengenai dampak ekonomi yang ditimbulkan dari kenaikan harga BBM. Kajian ini juga akan digunakan sebagai salah satu bahan tim sosialisasi BBM ke “stake holders” terutama untuk kenaikan BBM awal tahun 2002. Kajian ini dilakukan pada tanggal 5 November hingga 31 Desember 2001. Tim kajian mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada ITS dan TAMF Jakarta yang telah memberi kepercayaan kepada tim kajian dalam memfasilitasi kajian ini dan tim mengharapkan keberlanjutan kerjasama di masa mendatang. Tim kajian juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam proses kajian ini, khususnya kepada Pusat Informasi Energi – Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Energy Analisys and Policy Office (EAPO), Center of Policy Studies-Monash University dan Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) Universitas Gadjah Mada. Akhirnya, tim kajian menyampaikan laporan akhir ini kepada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan formulasi kebijakan sektor energi. Dan tak lupa tim kajian mengundang kritik dan saran membangun agar kualitas kajian dimasa mendatang dapat ditingkatkan.
Desember 2001 Tim Kajian
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
2
RINGKASAN EKSEKUTIF PENDAHULUAN Kebijakan penarikan subsidi merupakan pilihan kebijakan yang kurang populer. Karena itu, dapat dimengerti adanya opini pro dan kontra masyarakat terhadap rencana pemerintah untuk kembali menaikkan harga BBM sebesar rata-rata 30 persen, efektif mulai Januari 2002. Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi besar (grand strategy) untuk menghapus subsidi BBM pada tahun 2004, seperti diamanatkan dalam UU. No. 25/2000 Tentang Propenas 2000-2004.
Kenaikan harga BBM telah mengundang reaksi kontra dari masyarakat karena kebijakan ini mempunyai dampak inflatoir yang menurunkan daya beli (purchasing power) masyarakat. Untuk itu sangat penting untuk melakukan perhitungan dan kajian yang cermat terhadap dampak inflasi dari kebijakan tersebut. Hasil perhitungan tersebut, selain penting untuk memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat, juga berguna untuk menjaga agar kenaikan harga yang terjadi dalam perekonomian tidak melebihi tingkat yang semestinya. Selain itu, dalam konteks yang lebih luas, kita perlu menghitung kerugian dan keuntungan kebijakan penarikan subsidi BBM terhadap perekonomian nasional.
Selain memperkirakan dampak langsung dari kenaikan harga BBM, kajian ini melakukan perhitungan beberapa alternatif kebijakan lainnya. Pertama, kebijakan pemerintah yang secara khusus diterapkan untuk mengkompensasi dampak negatif. Kedua, perubahan pola konsumsi dan distribusi setelah terjadi perubahan harga. Kajian ini dibatasi pada perhitungan perkiraan dampak kenaikan harga BBM yang akan diterapkan pada tahun anggaran 2002 mendatang.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
3
Tinjauan Kebijakan Penghapusan Subsidi BBM
Pengertian BBM adalah semua jenis bahan bakar cair dari pengolahan minyak bumi yang harganya ditentukan oleh pemerintah, yang terdiri atas: minyak tanah, bensin, minyak solar, minyak diesel, dan minyak bakar (sebelumnya termasuk juga avgas dan avtur). BBM adalah satu-satunya komoditas yang mendapat perlakuan khusus, di mana harga BBM terus disubsidi agar dapat terjangkau oleh masyarakat luas dan ketersediaannya di seluruh pelosok tanah air dijamin oleh pemerintah.
Penghapusan subsidi BBM merupakan suatu dilema. Menaikkan BBM berarti harus menghadapi penolakan rakyat, sedangkan apabila tidak dinaikkan akan berakibat semakin besarnya defisit anggaran negara.
Beberapa alasan yang mendasari kebijakan penghapusan subsidi adalah sebagai berikut: •
Apabila laju pertumbuhan pemakaian minyak bumi pada masa mendatang masih sebesar laju saat ini, diperkirakan Indonesia akan menjadi negara pengimpor minyak bumi netto (net oil importer country) sebelum tahun 2010. Pada saat Indonesia menjadi negara pengimpor minyak, mau tidak mau generasi mendatang harus membayar BBM tanpa subsidi.
•
Pendapatan negara dari migas hampir setengahnya habis untuk membiayai subsidi BBM. Alokasi subsidi BBM pada APBN 2001 sama dengan pinjaman luar negeri yang harus dilakukan untuk menutup defisit pada APBN 2001.
•
Bagian terbesar subsidi justru dinikmati oleh mereka yang berkecukupan, karena mereka mengkonsumsi BBM (dengan harga tersubsidi) lebih besar dibanding kelompok miskin.
•
Perbedaan yang cukup besar antara harga BBM domestik dan harga BBM internasional mendorong terjadinya penyelundupan BBM. Selain itu, perbedaan harga yang menyolok antar produk BBM juga memberikan peluang untuk mengoplos minyak tanah dengan solar atau bensin.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
4
Biaya produksi BBM ditentukan oleh harga minyak mentah internasional dan nilai tukar rupiah. Perubahan dalam harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah akan sangat berpengaruh terhadap biaya produksi BBM. Melihat kondisi harga BBM internasional pada saat ini, nampaknya tidak terlalu sulit untuk menuju harga pasar BBM, kecuali untuk minyak tanah dan minyak solar.
Pada bulan Desember 2001, harga bensin untuk kelompok tersubsidi sudah sama dengan harga pasarnya. Secara teori, harga bensin sudah siap untuk dilepas sesuai harga pasarnya. Bensin, yang sebagian besar digunakan untuk kendaraan pribadi, diperkirakan tidak akan terjadi dampak yang terlalu besar apabila harga bensin dinaikkan. Sedangkan minyak diesel dan minyak bakar berpeluang untuk segera dilepaskan ke harga pasarnya, dengan alasan bahwa kedua jenis BBM ini dikonsumsi hanya oleh industri tertentu, sehingga dampak kenaikannya tidak akan meluas. Minyak tanah dan minyak solar adalah dua komoditas yang harus mendapatkan perhatian khusus. Kedua komoditas tersebut berhubungan dengan kebutuhan orang banyak, sehingga harus diperlakukan secara hatihati.
Profil Minyak dan Struktur Biaya
Pada saat ini penyediaan BBM dalam negeri tidak dapat seluruhnya dipenuhi oleh kilang minyak domestik, 20 persen kebutuhan BBM dalam negeri sudah harus diimpor dari luar negeri.
Pengurangan subsidi harga BBM dengan menyesuaikan harganya secara bertahap menuju harga ekonominya diperkirakan tidak akan mempengaruhi biaya produksi dari setiap sektor pemakai BBM secara signifikan. Berdasarkan survei yang telah dilakukan menunjukkan bahwa komponen biaya energi dalam total biaya produksi/operasi dari setiap konsumen BBM pada umumnya tidaklah terlalu besar.
Persentase biaya BBM dalam total pengeluaran rumah tangga pada umumnya tidak sampai 2,5 persen, bahkan semakin tinggi tingkat pengeluarannya persentase pengeluaran KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
5
BBM semakin kecil (1,5-2 persen). Pada sektor industri persentase biaya BBM berkisar antara 0,5-6%. Sedangkan sektor transportasi persentase pengeluaran untuk BBM relatif tinggi, yaitu sekitar 13 persen, kecuali angkutan udara, ASDP, dan Taxi persentasenya cukup signifikan, yaitu sekitar 25 persen.
DAMPAK PENURUNAN SUBSIDI BBM TERHADAP PEREKONOMIAN Pada kajian ini dilakukan perhitungan untuk memperkirakan dampak ekonomi dari rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM sebesar rata-rata tertimbang 30 persen dengan menggunakan model KUT (keseimbangan umum terapan) INDOCEEM. Sampai sekarang pemerintah belum menetapkan besarnya kenaikan harga BBM untuk tahun 2002. Oleh karena itu, kajian ini memakai data sementara (lihat Tabel 1) yang diperoleh dari hasil rapat kerja Panitia Anggaran DPR-RI dan Pemerintah. Data ini dipakai untuk memprediksi besaran subsidi BBM dalam APBN 2002.
Tabel 1: Skenario Kenaikan Harga BBM Jenis BBM
% Kenaikan Harga
Premium
17.24
Minyak Tanah
37.50
Minyak Solar
36.11
Minyak Diesel
30.43
Dalam membuat perkiraan dampak penurunan subsidi BBM ditampilkan empat buah skenario yang mencerminkan perbedaan asumsi mengenai tingkat upah, penggunaan dana yang dihemat pemerintah dari pengurangan subsidi BBM dan peningkatan efisiensi pengunaan BBM. Asumsi mengenai tingkat upah sangat penting dalam menerangkan perilaku inflasi, sedangkan asumsi mengenai penajaman prioritas penggunaan dana yang dihemat dari pengurangan subsidi BBM dan penghematan penggunaan BBM sangat krusial dalam menentukan dampak pertumbuhan ekonomi.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
6
Semua skenario dihitung untuk konteks jangka pendek, di mana stok modal diasumsikan tidak dipengaruhi oleh perubahan kebijakan subsidi. Ringkasan asumsi untuk masingmasing skenario ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2: Ringkasan Asumsi Masing-masing Skenario Asumsi Tingkat upah
Skenario1 Upah nominal tetap, tidak ada kompensasi melalui tingkat upah
Skenario 2 Upah riil tetap, kompensasi penuh terhadap upah buruh (fully indexed)
Skenario3 Kompensasi upah 50 persen dari dampak inflasi kenaikan harga BBM (half-indexed)
Skenario 4
Pengeluaran Tidak pemerintah berubah
Tidak berubah
Meningkat pada Sama dengan skenario sektor prioritas, 3. :OPK 50 %, Pendidikan 25 %; Kesehatan 25 %; dan Keamanan 25%
Modal
Tidak berubah
Tidak berubah
Tidak berubah
Tidak berubah
Teknologi
Tidak berubah
Tidak berubah
Tidak berubah
Efisiensi penggunaan BBM membaik sebesar 2 persen untuk konsumsi rumah tangga dan 3 persen untuk industri
Sama dengan skenario 3
Dampak total dari kenaikan harga BBM terhadap perekonomian ditunjukkan diperlihatkan Tabel 3. Skenario dengan asumsi bahwa upah nomilal tetap − (SIM1) pekerja tidak dikompensasi melalui upah terhadap dampak inflasi kenaikan harga BBM − menghasilkan tingkat inflasi sebesar 0,77 persen. Sedangkan skenario dengan asumsi bahwa upah dikompensasi secara penuh terhadap kenaikan inflasi (SIM2) menghasilkan tingkat inflasi yang lebih tinggi sebesar 1,3 persen. Ini disebabkan oleh karena kenaikan tingkat inflasi pada SIM2 disertai oleh inflasi tambahan yang didorong oleh kenaikan biaya produksi sebagai akibat dari kenaikan tingkat upah. Pada skenario 3 dan 4, dampak
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
7
inflasi dari kenaikan harga BBM menjadi semakin kecil karena kompensasi melalui upah dikurangi menjadi 50 persen dari kenaikan inflasi. Angka ini mungkin lebih mencerminkan realitas mengingat pada prakteknya hanya sebagian konsumen yang dikompensasi dari kenaikan harga BBM.
Tabel 3: Dampak Ekonomi Kenaikan Harga BBM Variabel Makro Ekonomi GDP Riil Volume Ekspor Volume Impor Neraca Perdagangan Indeks Harga Konsumen Output Sektoral Pertanian Pertambangan Manufaktur Listrik, Gas, Air Konstruksi Perdagangan, Hotel, Restoran Transpor dan Komunikasi Keuangan Jasa-jasa (termasuk Pendidikan & Kesehatan) Harga Output Industri Strategis Angkutan Kereta Api Angkutan Darat Angkutan Air Konstruksi Listrik Gas Air Beras Gula Perikanan Laut Komunikasi Jasa Keuangan Jasa Perdagangan Restoran Hotel
Skenario 1
Skenario 2
Skenario 3
Skenario 4
-0.026 -0.417 -0.437 -0.073 0.768
-0.270 -0.932 -0.232 -0.305 1.282
-0.042 -0.565 -0.566 -0.087 0.886
0.106 -0.514 -1.018 0.050 0.853
-0.026 -0.034 -0.213 -0.014 -0.018 -0.158 -0.577 -0.084
-0.182 -0.086 -0.615 -0.160 -0.055 -0.357 -0.926 -0.460
-0.089 -0.054 -0.357 -0.202 -0.231 -0.301 -0.801 -0.265
-0.074 -0.050 -0.342 -0.121 -0.227 -0.311 -0.712 -0.244
0.087
-0.126
1.160
1.175
3.071 4.297 4.926 2.725 0.607 1.420 0.301 0.305 0.481 0.974 0.382 0.453 0.948 0.702 0.642
3.758 4.653 5.231 3.168 0.695 0.912 0.900 0.711 0.865 1.391 0.776 0.847 1.501 1.318 1.241
3.253 4.374 5.004 2.790 0.534 1.028 0.472 0.399 0.586 1.099 0.491 0.556 1.110 0.881 0.814
3.187 4.327 4.952 2.736 0.399 0.846 0.441 0.439 0.575 1.079 0.466 0.527 1.077 0.864 0.781
Sumber: Hasil Simulasi INDOCEEM
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
8
Angka inflasi yang diproyeksikan di atas, berkisar antara 0,8 – 1,3 persen, mendekati angka hasil estimasi Bank Indonesia sebesar 1,4 persen. Namun perlu dicatat di sini bahwa kenaikan inflasi yang diestimasi dalam kajian ini hanya memperhitungkan kenaikan harga yang dapat dilegitimasi dari kenaikan biaya produksi. Apabila dalam realitas industri yang mengalami kenaikan biaya produksi sebesar 5 persen dari kenaikan harga BBM, namun pedagang menaikan harga jual sebesar 10 persen misalnya, maka dampak inflasi tambahan yang tidak genuine seperti ini tidak diperhitungkan oleh INDOCEEM. Seperti ditunjukan pada tabel di atas, dampak kenaikan harga BBM terhadap harga output sektor jasa perdagangan semestinya hanya sekitar 0,9 persen (SIM1) sampai 1,5 persen (SIM2), bukan 5 persen.
Menarik untuk dicatat bahwa dampak inflasi dari kebijakan pencabutan subsidi BBM akan menurun menjadi 0,85 persen (SIM4) apabila; (i) kompensasi terhadap upah buruh akibat kenaikan harga BBM melalui upah diturunkan menjadi 50 persen (half-indexed); dan (ii) rumah tangga dan industri dapat menghemat penggunaan BBM, masing-masing sebesar 2 dan 3 persen. Kenaikan harga BBM dengan asumsi bahwa pekerja tidak sepenuhnya dikompensasi (half-indexed) mengurangi kenaikan biaya produksi semua industri. Bagi rumahtangga, penghematan BBM akan mengurangi dampak negatif dari kenaikan harga BBM. Bagi industri, penghematan BBM akan menurunkan kenaikan biaya produksi. Dengan demikian perekonomian secara keseluruhan diuntungkan oleh alokasi sumberdaya yang semakin baik, terlihat dari membaiknya pertumbuhan ekonomi.
Secara umum, dampak dari kenaikan harga BBM terhadap pertumbuhan ekonomi tidak begitu besar, sekitar negatif 0,026 – 0,27 persen. Namun SIM3 dan SIM4 menunjukkan bahwa dampak negatif tersebut dapat dikurangi dengan upaya untuk mempertajam prioritas pengeluaran pemerintah dan bahkan dapat berubah menjadi positif apabila rumah tangga dan industri dapat bersama-sama menghemat penggunaan BBM sebesar 2 sampai 3 persen. Pada SIM4 dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi berbalik menjadi positif (0,16 persen) karena perbaikan efisiensi mengembalikan daya saing yang menurun sebagai akibat kenaikan tingkat harga domestik dari kenaikan harga BBM dan
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
9
kompensasi upah yang mengikuti. Ini terlihat dari kinerja neraca perdagangan yang semakin baik.
Dari output sektoral yang ditampilkan pada Tabel 3, sektor yang paling terpengaruh terhadap kenaikan harga BBM pada SIM1 dan SIM2 adalah transportasi dan komunikasi, diikuti oleh sektor manufaktur yang berorientasi ekspor. Untuk sektor transportasi, ini merupakan konsekuensi dari besarnya komponen BBM dalam biaya produksi mereka. Sedangkan untuk sektor manufaktur, pengurangan output juga disebabkan oleh besarnya pangsa output yang diekspor yang sangat terpengaruh terhadap melemahnya daya saing.
Dari simulasi 3 juga menunjukkan bahwa dampak inflasi dari program kompensasi melalui penajaman prioritas pengeluaran pemerintah tidak signifikan. Dampak program kompensasi melalui penyesuaian tingkat upah jauh lebih signifikan. Pada simulasi yang sama juga terlihat output sektor jasa-jasa meningkat sebesar 1 persen lebih. Kenaikan ini didorong oleh penajaman prioritas pengeluaran pemerintah, karena sektor pemerintahan termasuk dalam sektor agregasi jasa-jasa. Hal yang sama juga berlaku pada SIM4, karena asumsi dan shock yang sama dipertahankan. Namun, pada SIM4 kinerja sektor manufaktur dan beberapa sektor lainnya menjadi semakin baik.
Kesimpulan
Dari hasil kajian dengan menggunakan analisis model INDOCEEM, ditemukan bahwa dampak kenaikan harga BBM terhadap tingkat inflasi nasional adalah sebesar 0,77 – 1,3 persen. Angka ini dapat digolongkan tidak signifikan dalam mempengaruhi kinerja perekonomian makro secara keseluruhan. Bukti ini sekaligus menghapus kekhawatiran masyarakat mengenai dampak inflatoir yang ditimbulkan adanya kenaikan harga BBM. Meski dampak kenaikan BBM yang secara perhitungan relatif kecil, masih diperlukan kebijakan lain untuk meredam efek psikologi masyarakat yang berpotensi untuk memicu perilaku tidak wajar, terutama kelompok masyarakat berpendapatan rendah.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
10
Pada sisi pembentukan harga komoditi sektoral, kajian ini menunjukkan bahwa harga output sektor transportasi terpengaruh paling besar, naik mencapai 4 sampai 6 persen. Sektor-sektor lain mengalami kenaikan harga di bawah 4 persen, bahkan di sebagian besar sektor-sektor produktif, terutama sektor pertanian, harga outputnya naik dengan kisaran yang tidak signifikan yakni di bawah 1 persen. Besarnya kenaikan tersebut tergantung pada pangsa penggunaan BBM dalam struktur biaya produksi masing-masing sektor. Meski demikian, kenaikan harga komoditi sebesar tersebut di atas dapat digolongkan tidak signifikan.
Hasil perhitungan dengan pemodelan tersebut didukung hasil survey lapangan yang menunjukkan bahwa komponen biaya energi dalam total biaya produksi/operasi dari setiap konsumen BBM pada umumnya tidaklah terlalu besar. Persentase biaya BBM dalam total pengeluaran rumah tangga pada umumnya tidak sampai 2,5 persen, bahkan semakin tinggi tingkat pengeluarannya persentase pengeluaran BBMnya semakin kecil (1,5-2,0 persen). Pada sektor industri persentase biaya BBM berkisar antara 0,5-6,0%. Sedangkan sektor transportasi, persentase pengeluaran untuk BBM relatif lebih tinggi, yaitu sekitar 13 persen, kecuali angkutan udara, ASDP, dan Taxi yang persentasenya cukup signifikan, yaitu sekitar 25 persen. Struktur biaya semacam ini yang menyebabkan sektor transportasi akan mengalami kenaikan relatif besar dibanding sektor-sektor lainnya.
Rekomendasi
Temuan-temuan di atas mengarah pada kesimpulan bahwa kenaikan harga BBM bukan merupakan pemicu utama dari inflasi nasional. Masih banyak faktor pemicu lain yang lebih signifikan mendorong inflasi ke tingkat yang tinggi. Meski demikian, pemerintah harus berupaya agar kenaikan harga yang terjadi di sektor-sektor ekonomi memang pada tingkat ekonominya, artinya naik secara wajar sesuai struktur biayanya. Di negara-negara maju, setiap kali pemerintah mengimplementasikan kebijakan yang mempengaruhi tingkat harga secara umum, pada saat yang sama akan dilakukan pemantauan harga (surveilence). Dengan demikian tidak banyak pedagang yang mencari kesempatan dalam
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
11
kesempitan dengan menaikkan harga di atas kenaikan biaya produksi. Dengan pemantauan harga, perekonomian terhindar dari inflasi yang tidak perlu dan masyarakat pun akan terhindar dari margin-margin yang tidak semestinya.
Upaya lain yang baik untuk dilakukan pemerintah adalah tetap mempertajam kebijakan kompensasi yang selama ini telah dilakukan dengan cara yang lebih transparan dalam hal pemanfaatan dananya dan sasarannya. Perlu juga dipikirkan kompensasi ke kelompok pekerja berpenghasilan rendah secara langsung baik melalui program tertentu maupun penetapan upah minimum yang fleksibel terhadap perubahan biaya hidup mereka termasuk yang dipicu oleh kenaikan harga BBM.
Kunci utama untuk menyukseskan program pengurangan dampak (dan juga keseluruhan program penghapusan subsidi BBM) adalah partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dapat berupa peningkatan peran serta masyarakat dalam perumusan kebijakan, pengawasan pelaksanaannya, serta penanggulangan dampak yang diakibatkannya. Bentuk partisipasi dalam penanggulangan dampak kenaikan harga BBM, misalnya: pengawasan distribusi minyak solar dan minyak tanah yang mengalami kelangkaan di beberapa daerah, pengawasan terhadap bantuan kompensasi kenaikan harga BBM kepada masyarakat miskin, serta pemantauan terhadap kewajaran kenaikan harga barang/jasa.
Faktor lain yang perlu diupayakan untuk segera disosialisasikan adalah efisiensi penggunaan BBM di seluruh pengguna BBM. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari pemborosan dalam pemanfaatan BBM dalam proses produksi maupun konsumsi sehingga bisa menekan biaya energi di masing-masing sektor. Pada sektor-sektor produktif, langkah-langkah yang mungkin bisa dilakukan pemerintah adalah menciptakan peluang dan insentif untuk memperbaiki proses produksi melalui instrumen tarif bea masuk dan pajak terhadap barang-barang kapital, misalnya suku cadang kendaraan bermotor dan mesin. Ini memerlukan studi yang lebih mikro lagi untuk menentukan barang-barang apa yang perlu ditinjau ulang berikut tarifnya. Pada kelompok rumah tangga, sosialisasi pemanfaatan energi alternatif perlu terus diupayakan dan didorong sehingga masyarakat
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
12
secara rela dapat menggunakan energi alternatif seperti batubara dengan cara yang mudah, murah, dan aman.
Kebijakan kenaikan harga memang menjadi salah satu prioritas untuk mengamankan keuangan negara. Yang lebih penting adalah bagaimana menetapkan kebijakan harga sebagai satu kesatuan dengan kebijakan energi secara menyeluruh maupun kebijakankebijakan publik lainnya seperti pajak, bea masuk, ketenagakerjaan, peningkatan daya saing, dan sebagainya. Beberapa rekomendasi yang disebutkan di atas memang selama ini dalam beberapa hal sudah dilakukan pemerintah. Untuk lebih menjamin efektivitasnya, pemerintah harus tetap mengupayakan agar kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah, termasuk menurunkan subsidi BBM, dilaksanakan dengan landasan konsisten, kontinyu, koordinasi, serta transparan .
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
13
DAFTAR ISI Kata Pengantar Ringkasan Eksekutif Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar I.
Pendahuluan …………………………………………………………………… 1 1.1 Latar Belakang Kajian ……………………………………………………. 1 1.2 Tujuan Kajian ……………………………………………………….…….. 2 1.3 Pendekatan ………………………………………………………………… 3 1.4 Gambaran Umum Pemodelan ……………………………………………… 3 1.5 Sistematika Laporan ………………………………………………………. 5
II.
Tinjauan Kebijakan Penghapusan Subsidi BBM ………………………………. 2.1 Latar Belakang Kebijakan ………………………………………………… 2.2 Skenario Kenaikan Harga BBM …………………………………………… 2.3 Pengurangan Dampak Kenaikan Harga BBM ……………………………..
III.
Profil Minyak dan Struktur Biaya Konsumen BBM ……………………………20 3.1 Produksi Minyak …………………………………………………………… 20 3.2 Pola Konsumsi BBM ………………………………………………………. 22 3.2.1 Konsumsi BBM menurut Sektor Pemakai …………………………… 23 3.2.2 Konsumsi BBM Sektor Industri ……………………………………… 24 3.2.3 Konsumsi BBM Sektor Transportasi ………………………………… 25 3.2.4 Konsumsi BBM Sektor Rumah Tangga ……………………………… 25 3.2.5 Konsumsi BBM Sektor Pembangkit Listrik …………………………. 26 3.3 Neraca Minyak ………………………………………………………………26 3.4 Biaya Pengadaan BBM …………………………………………………….. 27 3.5 Struktur Biaya ……………………………………………………………… 29 3.5.1 Sektor Rumah Tangga ……………………………….………………. 29 3.5.2 Sektor Industri ……………………………………………………….. 33 3.5.3 Sektor Transportasi …………………………………………………... 36
IV.
Dampak Ekonomi Kenaikan Harga BBM ……………………………………… 39 4.1 Pengantar …………………………………………………………………… 39 4.2 Data dan Spesifikasi Model INDOCEEM …………………………………. 39 4.3 Memodel Penurunan Subsidi BBM dengan INDOCEEM …………………. 41 4.4 Asumsi Mengenai Lingkungan Perekonomian ……………………………. 44 4.5 Dampak Penurunan Subsidi terhadap Perekonomian .………………………46
V.
Kesimpulan …………………………………………………………………….. 53 5.1 Temuan …….………………………………………………………………. 53 5.2 Rekomendasi ……………………………………………………………….. 55
6 6 10 16
Lampiran I : Neraca Minyak Indonesia 2000 Lampiran II : Spesifikasi Model INDOCEEM
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
14
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Tabel 2.1 Subsidi BBM dan Belanja Negara
7
Tabel 2.2
Penerimaan Sektor Migas dalam APBN 2001
8
Tabel 2.3
Pengelompokan Harga BBM
12
Tabel 2.4
Persentase Konsumsi BBM Berdasar Kelompok Harga pada Tahun 2000
12
Tabel 2.5
Perkembangan Harga BBM 1998 – 2001 (Rp/liter)
13
Tabel 2.6
Parameter Skenario Kenaikan Harga BBM
15
Tabel 2.7
Skenario I Harga BBM Tahun 2002 (Rp/liter)
15
Tabel 2.8
Skenario II Harga BBM Tahun 2002 (Rp/liter)
15
Tabel 2.9
Skenario III Harga BBM Tahun 2002 (Rp/liter)
15
Tabel 2.10
Alokasi Dana Kompensasi Tahun 2001
18
Tabel 3.1
Produksi, Ekspor dan Impor Minyak Mentah
21
Tabel 3.2
Produksi Kilang Minyak
22
Tabel 3.3.
Konsumsi BBM Dalam Negeri Indonesia
23
Tabel 3.4.
Penjualan BBM menurut Sektor Pemakainya
24
Tabel 3.5
Struktur Biaya Penyediaan dan Pengilangan Minyak
28
Tabel 3.6
Garis Kemiskinan Tahun 1999
29
Tabel 3.7
Pengelompokan Rumah Tangga
30
Tabel 3.8
Pengeluaran Energi Terhadap Pengeluaran Total di Sektor Rumah Tangga
32
Tabel 3.9
Persentase of Biaya Energi menurut Jenis Industri
35
Tabel 3.10
Struktur Pengeluaran Sektor Transportasi
36
Tabel 3.11
Pengeluaran Energi Terhadap Biaya Total Kereta Api
37
Tabel 3.12
Pengeluaran Energi Terhadap Biaya Total Kapal Laut
38
Tabel 3.13
Struktur Pengeluaran Taxi di Jakarta
38
Tabel 4.1
Skenario Kenaikan Harga BBM
42
Tabel 4.2
Komponen Rupiah Dana Pembangunan Untuk Sektor Prioritas (dlm trilyun Rupiah)
43
Tabel 4.3
Ringkasan Asumsi Masing-masing Skenario
46
Tabel 4.4
Dampak Ekonomi Kenaikan Harga BBM
48
Tabel 4.5
Dampak Kenaikan Harga BBM Terhadap Harga Output Sektoral
50
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
15
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Perkembangan Harga BBM dalam Konstan Rupiah Tahun 2000
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
10
16
Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kajian BBM merupakan komoditi strategis bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu pemerintah melakukan campur tangan dalam penentuan harga dan sekaligus menjamin ketersediaannya di pasar domestik. Kebijakan pemerintah itu dilakukan dengan cara memberikan subsidi harga untuk menekan harga BBM agar terjangkau oleh masyarakat luas dan sekaligus menjaga stabilitas harga. Meski demikian, kebijakan tersebut juga menimbulkan persoalan dalam perekonomian, antara lain: (i) terjadinya salah sasaran pemberian subsidi yang seharusnya untuk kelompok masyarakat berpendapatan rendah ke kelompok penghasilan menengah ke atas, (ii) inefisiensi penggunaan BBM, dan yang terutama adalah (iii) membebani anggaran pemerintah dalam jumlah yang signifikan.
Adanya krisis ekonomi yang menyebabkan nilai tukar kurs rupiah melemah secara tajam, menyebabkan subsidi BBM yang harus dibayar pemerintah melonjak drastis dan sangat membebani keuangan negara. Hal ini dianggap sebagai momentum yang tepat oleh pemerintah untuk merevisi kebijakannya dengan mengurangi subsidi BBM secara bertahap mulai 1 Oktober 2000 yang berimplikasi pada kenaikan harga BBM hingga pada suatu saat setara dengan harga internasional. Pemerintah merencanakan seluruh subsidi untuk BBM akan dihapus pada tahun 2004, kecuali untuk komoditi minyak tanah dengan alasan bahwa konsumen terbesar dari minyak tanah adalah kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Kebijakan penarikan subsidi merupakan pilihan kebijakan yang kurang populer. Karena itu, dapat dimengerti adanya opini pro dan kontra
masyarakat terhadap rencana
pemerintah untuk kembali menaikkan harga BBM sebesar rata-rata 30 persen, efektif mulai Januari 2002. Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi besar (grand strategy) untuk menghapus subsidi BBM pada tahun 2004, seperti diamanatkan dalam UU. No. 25/2000 Tentang Propenas 2000-2004.
Di satu pihak, penarikan subsidi BBM mengundang reaksi kontra dari masyarakat karena kebijakan ini mempunyai dampak inflatoir yang menurunkan daya beli (purchasing KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
17
power) masyarakat. Namun hal itu masih perlu ditunjang oleh bukti-bukti dan perhitungan-perhitungan yang cermat agar kenaikan harga yang terjadi dalam perekonomian tidak melebihi tingkat semestinya. Dalam konteks yang lebih luas, kita juga perlu menghitung kerugian dan bahkan keuntungan pada skope perekonomian nasional. Di lain pihak, kebijakan ini didukung karena akan mendorong penghematan, alokasi sumber daya yang lebih efisien, dan mencegah penyelundupan. Selain itu, pengurangan subsidi BBM akan meringankan beban APBN yang akan memberikan ruang gerak bagi pemerintah untuk mempertajam prioritas pembangunan.
Selain memperkirakan dampak langsung dari kenaikan harga BBM, ada faktor lain yang perlu diperhitungkan efektivitasnya. Pertama, kebijakan pemerintah yang secara khusus diterapkan untuk mengkompensasi dampak negatif. Kebijakan kompensasi ini perlu dianalisis karena jika terbukti tidak efektif maka tujuan dari penghematan fiskal dan menetralkan dampak negatif menjadi sia-sia. Kedua, perubahan pola konsumsi dan distribusi setelah terjadi perubahan harga. Dalam konteks ini, salah satu faktor yang penting untuk diteliti adalah masalah penyelundupan BBM akibat dari perbedaan harga komoditi baik di antara konsumen domestik maupun dengan harga internasional. Dilatarbelakangi permasalahan tersebut di atas, studi ini mencoba menghitung dampak total dari kenaikan harga BBM, menganalisis kebijakan kompensasi, dan memperkirakan perubahan pola konsumsi dan distribusi BBM. Studi ini dibatasi pada perhitungan dampak kenaikan harga BBM yang akan diterapkan pada tahun anggaran 2002.
1.2 Tujuan Kajian Tujuan pokok dari studi ini adalah memperkirakan dampak ekonomi, terutama indikator makro, dari rencana kenaikan harga BBM tahun anggaran 2002 serta memperkirakan kenaikan harga di beberapa sektor ekonomi setelah terjadi kenaikan harga BBM. Selain itu, kajian ini juga memperkirakan kebijakan apa yang tepat dalam menetralkan dampak negatif yang timbul seiring dengan penurunan subsidi BBM. Diharapkan studi ini dapat dijadikan sebagai informasi dasar bagi berbagai kalangan dalam menyikapi dampakdampak yang mungkin akan muncul dari kebijakan kenaikan harga BBM secara proporsional dan cermat.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
18
1.3 Pendekatan Untuk mencapai tujuan di atas, tim kajian menggunakan beberapa pendekatan yakni; 1. mengembangkan model kuantitatif energi-ekonomi yang bersifat komprehensif yakni keseimbangan umum terapan (terjemahan dari CGE, computable general equilibrium) INDOCEEM1 dan melakukan adaptasi model tersebut agar dapat digunakan secara akurat untuk memperkirakan dampak perubahan kebijakan harga BBM di Indonesia; 2. melakukan survey lapangan ke beberapa operator di sektor-sektor transportasi untuk melihat porsi penggunaan BBM dalam struktur biaya produksi dan menggali permasalahan yang muncul akibat perubahan harga BBM. Hasil survey digunakan sebagai validasi dari hasil perhitungan pemodelan; 3. melihat porsi penggunaan BBM terhadap struktur pengeluaran sektor-sektor industri dan rumah tangga melalui pengolahan data sekunder hasil survey BPS. Hasil perhitungannya akan digunakan sebagai dasar penyusunan data base model dan sekaligus validasi dari hasil perhitungan pemodelan;
1.4 Gambaran Umum Pemodelan
Ada berbagai model yang telah digunakan para peneliti dalam menganalisis isu-isu teknis dan isu kebijakan sektor energi. Untuk melihat pengaruh makroekonomi secara luas dari kenaikan harga BBM seperti halnya yang sedang dilakukan pemerintah, menurut hemat tim kajian ini, tipe model yang dapat menggambarkan interaksi seluruh pelaku ekonomi adalah yang paling tepat. Dalam kajian ini, tim kajian menggunakan model INDOCEEM, sebuah model KUT khusus untuk perekonomian Indonesia. INDOCEEM merupakan model
kuantitatif
yang
terdiri
dari
sekitar
50
kelompok
persamaan
yang
mempresentasikan perekonomian suatu negara dimana persamaan-persamaan itu disusun berdasarkan teori-teori ekonomi baku. Data-data dalam bentuk koefisien dan parameter yang digunakan dalam persamaan-persamaan tersebut akan digunakan sebagai cerminan
1
INDOCEEM (INDORANI Comprehensive Energy-Economy Model) merupakan model KUT tingkat sektoral dari perekonomian Indonesia yang merupakan salah satu versi dari model INDORANI. Model INDORANI, dan juga INDOCEEM, diturunkan dari model KUT ORANI yang pertama kali dikembangkan oleh IMPACT Project di Monash University Australia, tetapi dikembangkan lebih lanjut dengan sejumlah penyesuaian terhadap struktur perekonomian Indonesia.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
19
dari keadaan empiris perekonomian Indonesia. Kajian ini menggunakan data dasar perekonomian tahun 2000 yang disusun dalam bentuk Tabel atau matriks Input-Output.
INDOCEEM melakukan simulasi pemodelan terhadap perekonomian Indonesia yang terdiri dari sektor-sektor produksi, rumah tangga, dan pemerintah. Hal ini disusun dalam berbagai cara untuk mencerminkan aspek-aspek dasar dari aktivitas ekonomi suatu negara. Aspek ini merupakan landasan dalam melakukan berbagai pilihan – dari teknologi dan penggunaan energi, dari barang dan jasa yang di produksi dan dibeli, dan apakah dijual di pasar domestik atau diekspor – dan bagaimana perubahan pilihan terjadi sebagai akibat dari perubahan lingkungan ekonomi seperti halnya perubahan harga BBM. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, INDOCEEM sangat bermanfaat dalam membuat skenario-skenario dampak sosial ekonomi dari kebijakan ekonomi tertentu dan untuk membedakan pengaruh relatif berbagai pilihan skenario. Dengan cara itu, INDOCEEM menghasilkan hasil perhitungan yang beragam meliputi perubahan PDB (pendapatan nasional), perubahan penyerapan tenaga kerja, investasi, konsumsi, neraca perdagangan, dan inflasi.
INDOCEEM juga mempresentasikan sektor-sektor produktif secara rinci dengan cara memilah perekonomian berdasarkan subsektor-subsektor penting, seperti misalnya sektor pertanian dan industri dipilah menjadi beberapa subsektor, demikian pula dengan rumah tangga yang dipilah menurut beberapa kelompok rumah tangga. Dimensi model yang digunakan dalam kajian ini terdiri dari 97 kategori sektor produktif yang memproduksi 103 jenis komoditi (hanya ada satu sektor produktif yang memproduksi 7 komoditi yakni sektor industri pengilangan minyak), 7 kategori tenaga kerja, dan 10 kelompok rumah tangga.
Persamaan-persamaan yang mencerminkan permintaan-penawaran di pasar diturunkan dari solusi masalah pilihan –atau optimisasi-, yang dalam hal ini diasumsikan sebagai cerminan perilaku dari para pelaku di pasar. Model ini mengasumsikan bahwa sektorsektor produktif melakukan maksimisasi keuntungan sedangkan sektor-sektor rumah tangga memaksimumkan kepuasan (atau kesejahteraan). INDOCEEM menghasilkan keluaran berupa hasil perhitungan terhadap dampak di perdagangan internasional –ekspor dan impor-, ketenagakerjaan, penggunaan kapital dan tanah, dan indikator mikro lainnya,
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
20
dimana penjumlahan dari perubahan-perubahan di tingkat mikro tersebut digunakan sebagai input perhitungan di tingkat makro. Untuk lebih lengkapnya, kerangka INDOCEEM akan ditampilkan dalam Bab 4.
1.5 Sistematika Laporan Kajian ini terdiri dari beberapa bab. Bab 2 mengulas latar belakang kebijakan penghapusan subsidi BBM di Indonesia serta beberapa kebijakan untuk menurunkan dampak negatif yang ditimbulkan dari kenaikan harga BBM. Substansi dalam bab 2 diperlukan untuk memahami posisi pemerintah yang memang dilematis dalam mengelola permasalahan energi, khususnya BBM. Bab 3 menampilkan gambaran mikro dari sektor minyak (sisi pasokan) dan konsumen minyak (sisi permintaan). Bab 3 ini juga dimaksudkan untuk memahami ketersediaan minyak domestik dan posisi neraca minyak Indonesia. Selain itu informasi penting lain yang ditampilkan dalam Bab 3 adalah mengenai struktur penggunaan minyak oleh konsumen, sehingga dampak kenaikan harga BBM secara langsung terhadap kenaikan biaya produksi dapat segera diperkirakan. Data yang ditampilkan dalam Bab 3 sebagian dihimpun dari survey lapangan di sektor transportasi, dan sebagian diolah dari survey BPS. Data-data yang dihimpun telah digunakan oleh tim kajian dalam proses pembentukan data dasar model dan sekaligus sebagai validasi dari hasil perhitungan. Bab 4 menjelaskan spesifikasi model INDOCEEM, skenario kebijakan yang dianalisis, dan hasil-hasil perhitungan model. Angka-angka hasil simulasi model merupakan fokus dari kajian ini yang selanjutnya digunakan sebagai indikator dalam menilai dampak kenaikan harga dan efektivitas kebijakan kompensasi. Kesimpulan dan rekomendasi kebijakan kajian ini ditampilkan dalam Bab 5.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
21
Bab II Tinjauan Kebijakan Penghapusan Subsidi BBM
2.1 Latar Belakang Kebijakan BBM adalah kependekan dari bahan bakar minyak. BBM mempunyai dua pengertian. Pertama, secara umum BBM adalah semua jenis bahan bakar cair yang dihasilkan dari pengolahan minyak bumi. Pengertian kedua, yaitu pengertian BBM yang dimaksud oleh pemerintah atau Pertamina, adalah semua jenis bahan bakar cair dari pengolahan minyak bumi yang harganya ditentukan oleh pemerintah atau Pertamina. Termasuk dalam BBM berdasar pengertian kedua adalah: minyak tanah, bensin, minyak solar, minyak diesel, dan minyak bakar (sebelumnya termasuk juga avgas dan avtur).
BBM di Indonesia merupakan suatu jenis komoditas yang sangat istimewa, lebih istimewa dari jenis komoditas dasar lainnya. Selama bertahun-tahun, bahkan sampai saat ini, harga dan ketersediaan BBM diatur dan ditangani oleh pemerintah. Hal ini merupakan pengejawantahan dari UUD 45 pasal 33, bahwa minyak bumi sebagai kekayaan alam yang dikandung di bumi Indonesia, harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga, harga BBM harus dapat terjangkau oleh masyarakat luas dan BBM harus tersedia di seluruh pelosok tanah air.
Akibat dari kebijakan ini yaitu pemerintah harus memegang tanggung jawab dan wewenang yang sangat besar terhadap BBM. Segala masalah yang berkaitan dengan BBM selalu ditimpakan kepada pemerintah. Di lain fihak, wewenang pemerintah dalam menetapkan harga BBM memberikan suatu peluang untuk mempolitisasi harga BBM. Posisi pemerintah sebagai satu-satunya pelaku dalam pemasokan BBM, menempatkan pemerintah sebagai satu-satunya lawan bagi masyarakat pengguna BBM.
Sebagaimana kita ketahui bersama, pemerintah pada saat ini sudah kepayahan dalam mengelola BBM. Subsidi BBM terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah nominalnya maupun dalam persentasenya terhadap pengeluaran negara secara total. Pada tabel di bawah diperlihatkan perkembangan subsidi BBM selama 1995 – 2000. KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
22
Tabel 2.1 Subsidi BBM dan Belanja Negara 1995
1996
1997
1998
1999
2000
Subsidi BBM (milyar Rp)
515
354
5.029
18.783
29.610
52.173
% subsidi thp belanja negara
0,8
0,5
3,8
10,5
15,6
21,7
Sumber: Petroleum Report 1999 dan Departemen Keuangan
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak kuartal terakhir tahun 1997, telah menyebabkan jatuhnya nilai tukar rupiah secara tajam. Dampak jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap harga-harga barang kebutuhan cukup signifikan, karena sebagian besar komoditas yang dipasarkan mempunyai kandungan impor. Sebelum terjadinya krisis, subsidi BBM masih pada tingkat yang wajar. Tetapi, selama krisis berlangsung, subsidi BBM makin meningkat dan menyerap lebih dari 20 % belanja negara dalam tahun 2000.
Pemerintah pada saat ini seperti menghadapi buah simalakama. Menaikkan BBM, berarti harus menghadapi penolakan rakyat. Tidak menaikkan BBM, berarti harus menghadapi defisit anggaran, yang berarti perlu tambahan hutang.
Kondisi ini memang sulit untuk dipecahkan. Sentralisasi pengelolaan BBM yang sudah berlangsung sekian lama menjadikan masyarakat tidak terlalu peduli dengan urusan BBM. Masyarakat hanya tahu bahwa BBM harus ada dan bisa terbeli oleh mereka. Keyakinan ini didukung oleh beberapa mitos tentang BBM, seperti: Indonesia adalah negara kaya minyak, sebagian besar pendapatan negara adalah dari minyak bumi, dan rakyat harus dapat menikmati kekayaan minyak bumi dalam bentuk subsidi BBM. Pada kenyataannya, mitos-mitos ini tidak benar.
(i) Indonesia tidak cukup kaya minyak bumi. Indonesia hanya memiliki 1 % dari cadangan minyak bumi dunia, sedangkan penduduk Indonesia merupakan 3,5 % penduduk dunia. Apalagi, pola pemakaian energi di Indonesia sangat bergantung pada minyak bumi. Pemakaian minyak bumi akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Di sisi lain, produksi minyak bumi telah mencapai kapasitas maksimumnya, dan cenderung untuk terus menurun di tahun mendatang. Apabila laju pertumbuhan pemakaian minyak
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
23
bumi sebesar laju saat ini, diperkirakan Indonesia akan menjadi negara pengimpor minyak bumi netto (net oil importer country) sebelum tahun 2010.
Pada saat Indonesia menjadi negara pengimpor minyak, tentunya amat berat bagi pemerintah untuk terus mensubsidi BBM. Bila kita masih menuntut subsidi BBM pada saat ini berarti kita tidak berlaku adil terhadap generasi setelah kita, yang mau tidak mau harus membayar BBM tanpa subsidi.
(ii) Penerimaan dari minyak bumi tidak terlalu besar Pada awal tahun 1980-an, Indonesia menikmati oil boom, di mana harga minyak bumi meningkat berlipat-lipat. Pada saat itu, sektor minyak dan gas bumi menyumbang 80 % dari penerimaan Indonesia. Tetapi, pada saat ini komposisi penerimaan negara telah banyak bergeser. Pada tabel di bawah diperlihatkan penerimaan migas dan non migas dalam APBN tahun 2001.
Tabel 2.2 Penerimaan Sektor Migas dalam APBN 2001 (dalam milyar rupiah) non migas Pajak Bukan pajak Total
migas
total
159.535,2
25.725,0
185.260,2
25.520,1
75.225,7
100.745,8
185.055,3
100.950,7
286.006,0
Sumber: Departemen Keuangan
Pendapatan migas pada APBN 2001 diperkirakan hanya 35 % dari penerimaan total. Apabila dikurangi lagi dengan alokasi untuk subsidi BBM sebesar 53.774,0 milyar rupiah, maka sumbangan dari migas tinggal 47.177,7 milyar rupiah.
Ternyata pendapatan dari migas hampir setengahnya habis untuk membiayai subsidi BBM. Alokasi subsidi BBM pada APBN 2001 sama dengan pinjaman luar negeri yang harus dilakukan untuk menutup defisit pada APBN 2001. Artinya, bila kita bersedia untuk membayar BBM tanpa subsidi, maka pemerintah tidak perlu menambah panjang daftar hutang negara. Tanpa subsidi BBM, pendapatan dari sektor migas dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk sektor pembangunan lain yang jauh lebih bermanfaat.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
24
(iii) Subsidi salah sasaran Subsidi BBM dipercaya dapat membantu masyarakat miskin. Tetapi pada kenyataannya, masyarakat miskin hanya menikmati sebagian kecil dari subsidi. Bagian terbesar subsidi justru dinikmati oleh mereka yang berkecukupan, karena mereka mengkonsumsi BBM (dengan harga tersubsidi) lebih besar dibanding kelompok miskin.
Berdasarkan perhitungan dari Sensus Sosial Ekonomi Nasional – BPS tahun 1999, distribusi subsidi minyak tanah adalah sebagai berikut: -
20 % masyarakat termiskin hanya menikmati subsidi Rp 0,53 trilyun, sedangkan 20 % masyarakat terkaya menikmati subsidi Rp 2,13 trilyun, dan
-
masyarakat desa hanya menikmati subsidi Rp 2,63 trilyun, sedangkan masyarakat kota menikmati Rp 3,87 trilyun.
Dari kenyataan ini, minyak tanah yang dianggap sebagai BBM untuk masyarakat miskin, ternyata subsidinya lebih banyak dinikmati oleh masyarakat mampu dan mereka yang tinggal di kota.
Perbedaan yang cukup besar antara harga BBM domestik dan harga BBM internasional ternyata telah dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk menjual BBM domestik ke pasar internasional dengan keuntungan yang besar. Selain itu, perbedaan harga yang menyolok antar produk BBM juga memberikan peluang untuk mencampurkan atau mengoplos minyak tanah dengan solar atau bensin.
Dengan ketiga butir di atas, semestinya cukup jelas bahwa subsidi BBM bukanlah suatu cara terbaik untuk meningkatkan kemakmuran rakyat. Jadi, pertanyaannya sekarang bukanlah apakah subsidi perlu atau tidak, tetapi bagaimana cara terbaik untuk menghapuskan subsidi BBM dan langkah-langkah apa untuk mengurangi dampak kenaikan harga BBM.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
25
2.2 Skenario Kenaikan Harga BBM Untuk mengurangi beban subsidi energi dalam anggaran negara, pemerintah merencanakan untuk menaikkan harga energi, yaitu BBM dan listrik. Target kenaikan harga energi adalah mengikuti harga pasarnya, sehingga tidak akan ada lagi subsidi energi di masa mendatang. Hal ini adalah salah satu butir dalam program restrukturisasi ekonomi untuk menanggulangi krisis ekonomi, yang juga tercantum dalam letter of intent antara Indonesia dengan International Monetary Fund.
Selama masa Orde Baru (1970 – 1998), harga energi ditentukan oleh pemerintah, khususnya BBM dan listrik. Sampai dengan tahun 1993, harga BBM hampir setiap tahun dinaikkan. Tetapi, setelah tahun 1993 tidak ada lagi kenaikan harga, sampai dengan Mei 1998 yang merupakan kenaikan harga BBM terakhir oleh Orde Baru. Perkembangan harga BBM dalam tiga dasa warsa terakhir diperlihatkan pada Gambar 2.1. 3000
2500
2000 Rp/liter
2000
Avgas Avtur Bensin M. Tanah M. Solar M. Diesel M. Bakar
1500
1000
500
0 1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 Tahun
Gambar 2.1 Perkembangan Harga BBM dalam Konstan Rupiah Tahun 2000
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
26
Pada tahun 1993, harga BBM domestik sangat dekat dengan harga internasionalnya. Sehingga pada tahun tersebut hampir tidak ada subsidi BBM. Tetapi, tanpa adanya penyesuaian harga pada tahun-tahun berikutnya, perbedaan harga menjadi semakin besar. Harga riil BBM domestik semakin turun, sementara subsidi BBM semakin meningkat. Kenaikan harga BBM pada tahun 1998 sesungguhnya hanya untuk menyesuaikan agar harga riilnya tidak turun, meskipun secara nominal kenaikannya cukup tinggi.
Biaya produksi BBM ditentukan oleh harga minyak mentah internasional dan nilai tukar rupiah. Kandungan impor dari BBM sangat tinggi, baik dalam kapital maupun bahan baku. Perubahan dalam harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah akan sangat berpengaruh terhadap biaya produksi BBM. Oleh karena itu, penyesuaian harga BBM secara berkala diperlukan untuk menjaga agar perbedaan harga antara BBM domestik dan BBM internasional tidak terlalu jauh.
Dengan Keputusan Presiden no. 135/2000, harga avgas dan avtur tidak diatur lagi oleh pemerintah, artinya avgas dan avtur tidak lagi dikelompokkan sebagai BBM. Kenaikan harga BBM pertama setelah Orde Baru adalah pada 1 Oktober 2000, dengan rata-rata kenaikan 12 %. Bersamaan dengan kenaikan harga ini, diluncurkan juga program kompensasi untuk mengurangi dampak kenaikan harga BBM.
Pada awal tahun 2001, harga minyak mentah internasional mencapai puncaknya, yaitu sekitar USD 30/barrel. Hal ini berarti biaya produksi BBM naik, dan subsidi BBM juga meningkat. Kondisi ini memaksa pemerintah untuk menyesuaikan APBN, dan kemudian juga menaikkan kembali harga BBM. Melalui Keputusan Presiden no. 45/2001, pemerintah menaikkan harga BBM dengan tiga harga yang berbeda. Ketiga harga tersebut adalah: (i) harga tersubsidi, (ii) setengah harga pasar, dan (iii) harga pasar penuh. Harga tersubsidi sama mengikuti Keppres sebelumnya (kenaikan harga 1 Oktober 2000). Sementara, harga pasar adalah mengikuti harga BBM di pasar Singapura (MOPS, mid oil Platts Singapore). Harga pasar diumumkan oleh Pertamina yang berubah secara bulanan, berdasar rata-rata bulanan harga MOPS bulan sebelumnya ditambah 5% untuk biaya pengelolaan. Pada Tabel 2.3 diperlihatkan perkembangan harga BBM untuk ketiga kelompok harga.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
27
Tabel 2.3 Pengelompokan Harga BBM Kelompok Tersubsidi
Titik Penyerahan Jenis BBM Depot Minyak Tanah Stasiun Pengisian Bensin, Minyak Solar
50 % pasar
Depot Depot Bunker
100 % pasar
Depot Bunker
Minyak Tanah, Bensin, Minyak Solar Minyak Diesel, Minyak Bakar Minyak Solar, Minyak Diesel, Minyak Bakar Minyak Solar, Minyak Diesel, Minyak Bakar Minyak Solar, Minyak Diesel, Minyak Bakar
Konsumen Rumah tangga dan industri kecil (*) Transport darat & air dan industri kecil (*) Industri dan kegiatan lain (**) Transport darat & air dan industri kecil (*) Perikanan Pertambangan (***) Pelayaran Internasional
Catatan: *) dengan persetujuan Pertamina **) semua kegiatan yang tidak termasuk kelompok 100% harga pasar ***) untuk Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil Sumber: Keppres No. 73/2001
Persentase pemakaian BBM berdasarkan kelompok harga diperlihatkan pada Tabel 2.4. Bensin sebagian besar digunakan untuk bahan bakar transportasi dan minyak tanah sebagian besar digunakan untuk rumah tangga, kedua jenis kegiatan tersebut termasuk dalam kelompok tersubsidi. Minyak diesel dan minyak bakar sebagian besar digunakan sebagai bahan bakar industri (termasuk untuk pembangkit listrik), yang merupakan kelompok setengah harga pasar. Minyak solar digunakan untuk transportasi dan industri (termasuk untuk pertambangan dan pembangkit listrik), dengan pangsa sekitar 50 – 50. Secara total, konsumsi BBM pada tahun 2000 berdasar kelompok harga adalah: kelompok harga subsidi 66 %, kelompok setengah harga pasar 28 %, dan kelompok harga pasar penuh 6 %.
Tabel 2.4 Persentase Konsumsi BBM Berdasar Kelompok Harga pada Tahun 2000 Kelompok Harga Harga A Harga B Harga C
Bensin 97,4 2,5 0,1
Minyak Tanah 98,8 1,1 0,0
Minyak Solar 52,3 36,4 11,3
Minyak Diesel 1,7 82,1 16,3
Minyak Bakar 2,5 93,1 4,4
Total 66,3 28,1 5,5
Catatan: Harga A adalah harga tersubsidi, Harga B adalah 50 % harga pasar, Harga C adalah 100% harga pasar Sumber: diolah dari Pertamina
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
28
Dengan Keppres no. 73/2001, pemerintah mengubah harga tersubsidi pada tanggal 15 Juni 2001. Di mana dua kelompok harga yang lain sama dengan Keppres sebelumnya. Pada Tabel 2.5 diperlihatkan perkembangan harga BBM selama 1998 – 2001.
Tabel 2.5 Perkembangan Harga BBM 1998 – 2001 (Rp/liter) Bensin Mei 98 1 Okt 00 1 Apr 01
1Mei 01
1 Juni 01
15 Juni 01
1 July 01
1 Ags 01
1 Sept 01
1 Okt 01
1 Nov 01
1 Des 01
1.000 1.150 1.150 1.150 1.950 1.150 1.150 1.970 1.150 1.150 2.180 1.450 1.450 2.180 1.450 1.450 1.740 1.450 1.450 1.640 1.450 1.450 1.460 1.450 1.450 1.760 1.450 1.450 1.480 1.450 1.450 1.450
Minyak Tanah 280 350 350 1.080 2.150 350 1.165 2.330 350 1.275 2.550 400 1.275 2.550 400 1.280 2.560 400 1.205 2.410 400 970 1.940 400 1.070 2.140 400 960 1.920 400 895 1.790
Minyak Solar 550 600 600 990 1.990 600 1.150 2.300 600 1.285 2.570 900 1.285 2.570 900 1.250 2.500 900 1.190 2.380 900 955 1.910 900 1.000 2.000 900 945 1.890 900 900 1.780
Minyak Diesel 500 550 550 970 1.940 550 1.115 2.230 550 1.250 2.500 1.000 1.250 2.500 1.000 1.215 2.430 1.000 1.155 2.310 1.000 930 1.860 1.000 975 1.950 1.000 920 1.840 1.000 865 1.730
Minyak Bakar 350 400 400 770 1.540 400 825 1.650 400 945 1.890 900 945 1.890 900 880 1.760 900 805 1.610 900 710 1.420 900 760 1.520 900 715 1.430 900 635 1.270
Catatan
Harga A Harga B Harga C Harga A Harga B Harga C Harga A Harga B Harga C Harga A Harga B Harga C Harga A Harga B Harga C Harga A Harga B Harga C Harga A Harga B Harga C Harga A Harga B Harga C Harga A Harga B Harga C Harga A Harga B Harga C
Catatan: Harga A adalah harga tersubsidi, Harga B adalah 50 % harga pasar, Harga C adalah 100% harga pasar Sumber: Keppres dan Pertamina
Seperti disampaikan di muka, harga BBM ditentukan oleh harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Pada bulan November 2001, harga minyak mentah dunia turun menjadi USD 18/barrel. Dengan harga minyak mentah ini, kelompok harga setengah harga pasar lebih rendah dari harga tersubsidi.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
29
Kondisi seperti di atas menggambarkan betapa sulitnya menentukan harga BBM domestik. Harga pasar adalah seperti target bergerak yang harus dipegang dan diikuti. Di mana target pemerintah adalah melepaskan harga BBM secara penuh kepada mekanisme pasar pada tahun 2004. Melihat kondisi pada saat ini, nampaknya tidak terlalu sulit untuk menuju harga pasar BBM, kecuali untuk minyak tanah dan minyak solar.
Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi yang baru, yang telah dinyatakan efektif berlaku mulai November 2001, menyatakan dalam Pasal 28 Ayat 1 bahwa harga BBM mengikuti mekanisme harga pasar, selanjutnya pada Ayat 2 dinyatakan bahwa pemerintah harus tetap melindungi kelompok yang lemah. Bagaimana bentuk perlindungannya, tidak dijelaskan dalam undang-undang ini. Dapat dalam bentuk subsidi harga, atau dapat juga dalam bentuk lain.
Saat ini, Desember 2001, harga bensin untuk kelompok tersubsidi sudah sama dengan harga pasarnya. Secara teori, bensin sudah siap untuk dilepaskan kepada harga pasarnya. Bensin sebagian besar digunakan untuk kendaraan pribadi. Dan tidak akan terjadi dampak yang terlalu besar apabila harga bensin dinaikkan.
Perbedaan antara minyak diesel dan minyak bakar dengan harga pasarnya relatif tidak terlalu besar. Minyak diesel dan minyak bakar berpeluang untuk segera dilepaskan ke harga pasarnya, dengan alasan bahwa kedua jenis BBM ini dikonsumsi hanya oleh industri tertentu, sehingga dampak kenaikannya tidak akan meluas.
Minyak tanah dan minyak solar adalah dua komoditas yang harus mendapatkan perhatian khusus. Minyak tanah digunakan di rumah tangga, sedangkan minyak solar setengahnya digunakan untuk transportasi (umum). Kedua komoditas tersebut berhubungan dengan kebutuhan orang banyak, sehingga harus diperlakukan secara hati-hati. Tahun 2004 barangkali terlalu pendek bagi minyak tanah dan minyak solar untuk mengikuti harga pasarnya.
Skenario kenaikan harga BBM menuju harga pasarnya diperlihatkan pada Tabel 2.6. Beberapa skenario tersebut masih bersifat sementara karena penerapan kebijakan
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
30
tergantung pada pembahasan antara pemerintah dan DPR. Meski demikian skenario tersebut dapat digunakan sebagai pegangan dalam menentukan tahapan penyesuaian harga BBM secara bertahap. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam menetapkan skenario-skenario tersebut adalah: (i) Harga pasar BBM tetap sama dengan harga pasar BBM bulan Desember 2001. (ii) Kenaikan harga BBM sama tiap tahunnya (pertumbuhan linear). (iii) Pengelompokan harga masih sama dengan kebijakan saat ini. (iv) Bensin sudah mengikuti harga pasarnya (seperti kondisi bulan Desember 2001).
Tabel 2.6 Parameter Skenario Kenaikan Harga BBM Jenis BBM Minyak Tanah Minyak Solar Minyak Diesel Minyak Bakar
Tahun target pelepasan harga BBM Skenario I Skenario II Skenario III 2004 2007 2010 2004 2007 2007 2004 2004 2004 2004 2004 2004
Tabel 2.7 Skenario I Harga BBM Tahun 2002 (Rp/liter) Kelompok Tersubsidi 50 % pasar 100 % pasar Rata-rata terbobot
Bensin
Minyak Tanah
Minyak Solar
Minyak Diesel
Minyak Bakar
1.450 1.450 1.450 1.450
863 1.193 1.790 867
1.193 1.193 1.780 1.260
1.243 1.153 1.730 1.249
1.023 847 1.270 870
Tabel 2.8 Skenario II Harga BBM Tahun 2002 (Rp/liter) Kelompok Tersubsidi 50 % pasar 100 % pasar Rata-rata terbobot
Bensin
Minyak Tanah
Minyak Solar
Minyak Diesel
Minyak Bakar
1.450 1.450 1.450 1.450
632 1.044 1.790 637
1.047 1.047 1.780 1.129
1.243 1.153 1.730 1.249
1.023 847 1.270 870
Tabel 2.9 Skenario III Harga BBM Tahun 2002 (Rp/liter) Kelompok Tersubsidi 50 % pasar 100 % pasar Rata-rata terbobot
Bensin
Minyak Tanah
Minyak Solar
Minyak Diesel
Minyak Bakar
1.450 1.450 1.450 1.450
554 994 1.790 560
1.047 998 1.780 1.112
1.243 1.153 1.730 1.249
1.023 847 1.270 870
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
31
Pada Skenario I, semua jenis BBM harganya akan secara bertahap naik mengikuti harga pasarnya pada tahun 2004. Skenario II memperlihatkan bahwa: (i) minyak diesel dan minyak bakar secara bertahap naik mengikuti harga pasar pada tahun 2004 (ii) minyak tanah dan minyak solar secara bertahap naik mengikuti harga pasar pada tahun 2007. Skenario III memperlihatkan bahwa: (i) minyak diesel dan minyak bakar secara bertahap naik mengikuti harga pasar pada tahun 2004 (ii) minyak solar secara bertahap naik mengikuti harga pasar pada tahun 2007, dan (iii) minyak tanah secara bertahap naik mengikuti harga pasar pada tahun 2010.
Rata-rata terbobot harga BBM adalah harga rata-rata dengan mempertimbangkan pemakaian BBM per kelompok harga, seperti pada Tabel 2.4. Dibandingkan dengan harga BBM tahun 2001, kenaikan harga adalah: Skenario I adalah 40,5 %, Skenario II adalah 22,2 %, dan Skenario III adalah 17,2 %.
2.3 Pengurangan Dampak Kenaikan Harga BBM Langkah pengurangan dampak perlu dilakukan untuk pihak-pihak yang paling menderita akibat kenaikan harga BBM. Untuk itu, perlu diidentifikasikan pihak-pihak yang perlu mendapat perlindungan ini, dan kemudian bentuk upaya apa yang dapat dilakukan untuk membantu mengurangi penderitaannya selama masa transisi penghapusan subsidi BBM. Program penanggulangan dampak yang pernah dilaksanakan pemerintah pada dasarnya sudah tepat. Namun demikian, pelaksanaannya yang tidak transparan menimbulkan tanggapan yang kurang positif dari masyarakat.
Dalam masa transisi penghapusan subsidi BBM, pengalokasian dana penghematan subsidi BBM harus dilakukan secara transparan, sehingga masyarakat dapat persis mengetahui dan dapat merasakan langsung manfaat dari penghapusan subsidi. Dalam dua kenaikan harga BBM yang terakhir, pemerintah telah melaksanakan program pengurangan dampak. Namun, program tersebut tidak mendapatkan tanggapan yang baik dari masyarakat, karena kurangnya transparansi dalam pelaksanaannya.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
32
(i) Program Pengurangan Dampak pada Kenaikan Harga BBM Oktober 2000
Kebijakan pemerintah untuk mengurangi dampak kenaikan harga BBM adalah dengan mendistribusikan kembali dana penghematan subsidi dari kenaikan harga BBM. Dana kompensasi dari dana penghematan subsidi selama 3 bulan antara 1 Oktober sampai 31 Desember 2000 berjumlah Rp 800 milyar. Pendistribusian dana dilakukan dalam bentuk: cash transfer, peningkatan prasarana, dan dana bergulir.
a. Cash Transfer Cash transfer adalah program jangka pendek untuk menaikkan daya beli dari masyarakat miskin sebagai kompensasi terhadap kenaikan harga BBM. Cash transfer diberikan kepada rumah tangga miskin sebesar Rp 10.000 per keluarga per bulan. Dana yang dialokasikan untuk program cash transfer adalah sebesar Rp 200 milyar untuk 3 bulan. Target keseluruhan adalah 6,67 juta rumah tangga miskin.
b. Peningkatan Prasarana Yaitu untuk meningkatkan prasarana: jalan desa, air bersih, listrik, puskesmas, pasar, dan sebagainya. Program ini juga dimaksudkan untuk menyediakan lapangan pekerjaan untuk masyakarat miskin, sehingga mereka dapat meningkatkan daya belinya. Dana untuk program ini dialokasikan sebesar Rp 250 milyar untuk 250 kecamatan.
c. Dana Bergulir Dana bergulir adalah mekanisme distribusi ulang dengan cara memberikan pinjaman modal kepada usaha kecil dan mikro. Pendistribusian dana dilakukan oleh koperasi dan lembaga keuangan mikro. Total dana yang disediakan adalah Rp 300 milyar untuk koperasi dan Rp 50 milyar untuk lembaga keuangan mikro. Pinjaman untuk masingmasing usaha kecil dan mikro maksimal sebesar Rp 1 juta. Pinjaman ini harus dibayar dengan bunga pasar.
Program kompensasi yang pertama ini mendapat banyak kritik, khususnya yang berhubungan dengan pelaporan dan transparansi dalam pelaksanaannya. Cash transfer, meskipun secara teori merupakan langkah yang baik, namun pelaksanaannya cukup sulit. Banyak daerah terpencil yang tidak dapat dijangkau oleh program ini.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
33
(ii) Program Pengurangan Dampak pada Kenaikan Harga BBM April 2001
Berbeda dengan program pengurangan dampak yang pertama, program kedua dititikberatkan pada sektor pendidikan dan kesehatan. Total dana kompensasi adalah Rp 2,2 trilyun untuk jangka waktu 1 April sampai 31 Desember 2001. Alokasi untuk pendidikan hampir mencapai 40 % dan untuk kesehatan hampir 25 %. Pada Tabel 2.10, diperlihatkan alokasi dana kompensasi tahap kedua.
Tabel 2.10 Alokasi Dana Kompensasi Tahun 2001 Sektor Pendidikan Kesehatan - kesehatan dasar - vaksinasi - obat generik - operasional OPK beras Transportasi Air bersih Pemberdayaan masy. pantai Pemberdayaan usaha kecil Total Sumber: Bappenas
Alokasi (milyar Rp) 833,4 534,1 337,6 32,4 130,0 34,1 279,9 216,4 174,0 105,8 56,4 2.200,0
Persentase 37,9 24,3
12,7 9,8 7,9 4,8 2,6 100
Pada tahap kedua ini, transparansi masih menjadi masalah pokok. Informasi mengenai program ini masih sangat terbatas. Masyarakat hanya mengetahui tentang besarnya dana alokasi, tetapi tidak tahu bagaimana dana ini dipergunakan dan bagaimana program dilaksanakan.
Bagaimana menyukseskan program pengurangan dampak
Kunci utama untuk menyukseskan program pengurangan dampak (dan juga keseluruhan program penghapusan subsidi BBM) adalah partisipasi masyarakat. Untuk mendapatkan partisipasi masyarakat, mereka harus mempunyai pemahaman yang benar tentang subsidi BBM, tujuannya, dan manfaatnya. Masyarakat akan mendukung dan berpartisipasi dalam program ini setelah mereka memahami dan menyetujuinya.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
34
Bentuk partisipasi masyarakat ini dapat berupa peningkatan peran serta masyarakat dalam perumusan kebijakan maupun dalam pengawasan pelaksanaannya. Dalam hal ini, masyarakat dapat memberikan usulan mengenai alokasi dana penghematan subsidi BBM dalam APBN, masukan mengenai kelompok-kelompok masyarakat yang perlu dilindungi dari dampak kenaikan BBM, mekanisme penyaluran dana bantuan, pengawasan terhadap penggunaan dana penghematan subsidi, dan sebagainya.
Bentuk penanggulangan dampak kenaikan harga BBM barangkali akan bersifat khas untuk masing-masing daerah (site specific), karena kemampuan masyarakat dalam merespon kenaikan harga BBM juga berbeda-beda. Penanggulangan dampak ini dapat berupa pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, seperti misalnya pengawasan distribusi minyak solar dan minyak tanah yang mengalami kelangkaan di beberapa daerah, pengawasan terhadap bantuan kompensasi kenaikan harga BBM kepada masyarakat miskin, pemantauan terhadap kewajaran kenaikan harga barang/jasa, dan sebagainya.
Bentuk lain dari penanggulangan dampak adalah penyuluhan dan pendampingan dalam penggunaan energi alternatif. Pendampingan diperlukan agar meyakinkan bahwa masyarakat betul-betul mampu dan mau menggunakan energi alternatif yang ditawarkan. Karena dalam penggunaan energi alternatif ini masyarakat setempatlah yang harus mengoperasikan sendiri peralatan produksi energi, seperti: mikrohidro, reaktor biogas, gasifikasi sekam, dan sebagainya.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
35
BAB III Profil Minyak dan Stuktur Biaya Konsumen BBM Indonesia dikarunia dengan berbagai macam energi, seperti minyak bumi, gas bumi, batubara, panas bumi, dan energi terbarukan. Dari berbagai jenis energi tersebut, minyak dan gas bumi (migas) merupakan jenis energi yang sangat besar peranannya. Selama pembangunan jangka panjang pertama Migas selain sebagai sumber energi dan bahan baku industri, juga merupakan penopang utama ekonomi nasional sebagai sumber devisa nasional. Dalam rangka memenuhi permintaan energi yang terjangkau bagi masyarakat luas serta menjaga kestabilan harga, pasokan dan harga BBM dalam negeri diatur oleh pemerintah.
Komponen utama biaya pengadaan BBM adalah biaya produksi, transportasi dan distribusi. Komponen biaya dalam nilai mata uang asing sangat dominan pada biaya pengadaan BBM, terutama minyak mentah sebagai bahan baku kilang BBM. Oleh karena itu sebagian besar biaya pengadaan dan pengolahan BBM mengacu pada harga internasional. Sejak terjadinya krisis ekonomi yang ditandai oleh merosotnya nilai mata uang rupiah pada akhir tahun 1997, biaya pengadaan BBM melambung tinggi. Sebagai konsekuensi dari kebijakan harga BBM maka pemerintah harus menanggung biaya tambahan untuk mensubsidi harga BBM.
Gambaran mengenai pola pemakaian BBM dalam negeri yang meliputi pengadaan minyak mentah, pengilangan minyak dan pasar BBM dalam negeri dibahas dalam bab ini. Selain itu pada bab ini juga akan dideskripsikan struktur biaya dari setiap sektor pemakai BBM.
3.1 Produksi Minyak Saat ini produksi minyak mentah Indonesia sudah mulai mengalami penurunan. Puncak produksi minyak mentah Indonesia terjadi pada tahun 1994, yaitu sebesar 588 juta barel. Laju penurunan produksi minyak mentah sejak tahun 1994 rata-rata sebesar 2 persen per tahun. Dengan mempertimbangkan besarnya cadangan terbukti, tingkat pemakaian BBM
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
36
serta laju produksi minyak mentah pada saat ini, Indonesia kemungkinan besar sudah akan menjadi negara “net-importer” minyak dalam waktu kurang dari sepuluh tahun mendatang. Perkembangan produksi, impor dan ekspor minyak mentah Indonesia dalam dekade terakhir dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Produksi, Ekspor dan Impor Minyak Mentah ( juta barel ) 1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Produksi
533,6
581,2
550,7
557,7
588,4
586,3
582,7
577,0
568,8
545,6
517,5
Ekspor
288,3
330,5
293,1
283,3
324,0
301,8
283,7
289,1
280,4
285,4
223,5
Impor
46,2
55,4
56,5
54,4
64,2
69,3
69,0
71,2
78,0
88,5
78,6
Sumber: Data dan Informasi Minyak dan Gas Bumi 2001, Ditjen Migas - DESDM
Pada saat ini produksi BBM dalam negeri dilakukan oleh 9 kilang minyak yang mampu mengolah minyak mentah sebanyak 1.057 MBSD (ribu barel per hari). Dari kesembilan kilang minyak tersebut, tiga di antaranya masih merupakan kilang primer (hanya menggunakan destilasi) yaitu Kilang Pangkalan Brandan, Sungai Pakning and Cepu dengan kapasitas sebesar 58.8 MBSD. Sedangkan 6 kilang lainnya sudah menggunakan teknologi sekunder.
Pengembangan kapasitas kilang dalam negeri sangat lambat dalam dekade terakhir ini. Sebagai akibatnya kemampuan penyediaan BBM dari dalam negeri semakin menurun. Pada tahun 2000, produksi BBM dalam negeri hanya mampu memasok 80 persen dari total permintaan BBM. Kekurangan pasokan BBM dari kilang minyak domestik merupakan akibat dari terhambatnya pembangunan beberapa kilang minyak yang tertunda akibat krisis ekonomi.
Produk kilang yang dihasilkan adalah BBM yang terdiri dari JP-5, avgas, avtur, bensin premium, minyak tanah, minhak solar, minyak diesel, dan minyak bakar serta bahan bakar khusus (BBK) yang mencakup bensin super tanpa timbal (super-TT), premix 94, dan bensin biru 2 langkah (BB2L). BBK diproduksi sejak tahun 1997. Bensin premium yang diproduksi dalam negeri pada umumnya masih mengandung timbal. Dalam rangka program langit biru pemerintah secara bertahap mulai menghilangkan bensin bertimbal. Tahun ini pasokan bensin premium untuk wilayah Jabotabek dan Cirebon sudah
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
37
menggunakan bensin premium tanpa timbal. Perkembangan produksi BBM dan BBK dalam sepuluh tahun terakhir disajikan pada Tabel 3.2. Tabel 3.2 Produksi Kilang Minyak Ribu Kilo Liter Jenis Produk
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Bahan Bakar Minyak 28.994,3 33.647,8 33.875,3 35.076,6 36.463,8 38.278,0 37.052,2 39.743,1 42.108,1 43.505,3 JP-5
28,7
126,2
140,4
31,7
0,0
0,0
0,0
0,0
49,4
0,0
Avgas
5,6
14,4
6,0
14,3
14,0
3,1
9,4
4,8
11,0
0,0
Avtur
1.017,5
882,0
768,3
Premium
6.888,0 7.177,9 7.534,8 8.567,8 9.171,4 9.891,8 10.336,2 10.142,5 11.290,7 11.177,6
Minyak Tanah
7.527,9 7.790,8 7.548,4 8.357,9 7.917,7 8.512,5 7.628,5 8.473,5 9.415,9 9.337,3
Minyak Solar
7.525,3 11.124,2 11.663,1 11.682,0 13.208,7 14.212,4 13.758,5 14.553,3 14.751,1 15.199,1
Minyak Diesel
1.712,1 1.922,3 1.963,2 1.327,3
Minyak Bakar
4.289,2 4.610,0 4.251,1 4.180,8 4.109,4 3.215,4 3.319,2 4.185,8 4.309,9 5.192,2
914,8 1.117,9 1.440,6 1.222,4 1.144,1
924,7 1.002,2
948,0 1.370,5
778,0 1.239,1 1.332,1 1.228,6
Bahan Bahar Khusus
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
377,3
518,0
515,0
463,6
Bensin Super-TT
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
21,3
42,4
38,0
52,8
Bensin Premix'94
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
349,5
428,7
369,9
359,1
BB-2L
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
6,5
46,9
107,1
51,7
Jumlah BBM+BBK
28.994,3 33.647,8 33.875,3 35.076,6 36.463,8 38.278,0 37.058,7 39.790,0 42.215,2 43.557,0
Sumber: Data dan Informasi Minyak dan Gas Bumi 2001, Ditjen Migas - DESDM
3.2 Pola Konsumsi BBM Konsumsi BBM Indonesia dalam sepuluh terakhir mengalami kenaikan rata-rata 5 persen per tahun (1991-2000). Akan tetapi konsumsi avgas dan avtur serta minyak diesel pada tahun 2000 mengalami penurunan masing-masing sebesar 5 dan 1,6 persen dibandingkan dengan konsumsinya pada tahun 1995. Konsumsi premium dan minyak tanah pada masa krisis (1997-1998) tetap mengalami kenaikan, sedangkan minyak solar dan minyak bakar pada masa krisis konsumsinya mengalami penurunan akan tetapi antara tahun 1999 dan 2000 mengalami kenaikan luar biasa (14%).
Kenaikan permintaan BBM yang cukup nyata dalam masa krisis menimbulkan dugaan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan pemakaian BBM.
Dalam masa krisis, nilai
rupiah mengalami depresiasi yang cukup besar, sebagai akibatnya disparitas antara harga
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
38
BBM dalam negeri dengan harga BBM di pasar internasional menjadi semakin lebar. Kondisi tersebut merupakan suatu insentif bagi penyalahgunaan pemakaian BBM. Di samping itu, sebagai akibat dari kebijakan pemberian subsidi yang cukup besar pada BBM dalam negeri, yang harganya menjadi begitu rendah sehingga merupakan penghambat bagi program konservasi energi.
Tabel 3.3. Konsumsi BBM Dalam Negeri Indonesia Ribu Kilo Liter Jenis BBM Avgas
1991 9.3
1992
1993
9.8
8.3
1994 8.0
1995 8.2
1996 8.3
1997
1998
7.7
5.8
1999 5.7
2000 4.7
Avtur
1,124.1 1,283.6 1,481.8 1,620.0 1,744.3 2,014.7 2,093.4 1,270.9 1,119.3 1,348.7
Premium
6,828.1 7,204.4 7,440.5 8,342.0 9,190.4 10,081.4 10,831.8 10,980.0 11,515.5 12,429.3
Minyak Tanah
8,075.2 8,562.7 8,652.4 8,921.9 9,252.5 9,781.9 9,967.4 10,144.1 11,926.8 12,457.8
Minyak Solar
12,947.6 14,646.9 16,565.0 16,016.9 16,975.0 18,825.2 22,119.9 19,678.7 17,869.8 22,079.9
Minyak Diesel
1,724.8 1,805.0 1,835.3 1,776.7 1,601.2 1,380.6 1,415.8 1,271.9 1,309.4 1,472.2
Minyak Bakar
4,862.9 4,943.6 5,112.1 4,048.7 4,061.4 4,282.8 5,426.2 5,231.2 5,455.8 6,076.2
Jumlah
35,572.0 38,456.0 41,095.3 40,734.2 42,833.0 46,375.0 51,862.3 48,582.5 49,202.2 55,868.7
Sumber: Data dan Information Minyak dan Gas Bumi 2001, Ditjen Migas - DESDM
3.2.1 Konsumsi BBM menurut Sektor Pemakai Konsumsi BBM menurut sektor pemakai diperkirakan berdasarkan data penjualan BBM. Klasifikasi pembeli BBM yang dipakai oleh Pertamina adalah berdasarkan jenis usaha dari pembeli langsung ke depo Pertamina, stasiun pengisian bahan bakar, dan agen penyalur. Jenis usaha konsumen BBM yang membeli langsung adalah industri manufaktur, pertanian, pembangkit listrik, perusahaan angkutan dan perusahaan pertambangan dan pemerintahan.
Berdasarkan klasifikasi penjualan BBM tersebut pemakaian BBM dapat dikategorikan menurut sektor pemakainya. Adapun penjualan melalui stasiun pengisian bahan bakar seluruhnya oleh Pertamina diasumsikan sebagai pemakaian dari sektor transportasi. Sedangkan penjualan melalui agen penyalur diasumsikan sebagai pemakaian dari sektor rumah tangga. Perkembangan penjualan BBM menurut jenis usaha dalam sepuluh tahun
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
39
terakhir dapat dilihat pada Tabel 3.4. Pembelian BBM oleh sektor transportasi merupakan konsumen terbesar. Tabel 3.4. Penjualan BBM menurut Sektor Pemakainya Ribu Kilo Liter Sektor Pemakai
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Industri
7,420.9 8,376.1 9,069.6 9,433.8 10,288.5 10,568.7 10,935.4 10,464.3 9,816.5 12,118.9
Pembangkit Listrik
5,260.0 5,869.8 6,834.4 3,831.2 2,968.7 3,330.6 6,214.0 4,365.6 4,088.3 5,016.0
Rumah Tangga
7,987.2 8,458.8 8,532.5 8,803.8 9,144.8 9,682.5 9,860.9 10,054.2 11,832.1 12,406.9
Transportasi
14,903.9 15,751.4 16,658.8 18,665.4 20,431.0 22,793.2 24,851.9 23,698.4 23,465.3 26,326.9
Total
35,572.0 38,456.0 41,095.3 40,734.2 42,833.0 46,375.0 51,862.3 48,582.5 49,202.2 55,868.7
Sumber: Data dan Information Minyak dan Gas Bumi 2001, Ditjen Migas - DESDM
3.2.2 Konsumsi BBM sektor Industri Sektor industri mengkonsumsi berbagai jenis energi, seperti BBM, batubara, gas, listrik ataupun energi nonkomersial sebagai bahan bakar dan bahan baku. Pemakaian bahan bakar minyak di sektor industri sebagian besar digunakan untuk bahan bakar, yaitu untuk menjalankan pembangkit listrik, memanaskan ketel uap dan menjalankan alat-alat transportasi dalam pabrik. Pada prinsipnya jenis BBM yang dikonsumsi oleh sektor industri sebagian besar adalah minyak solar, minyak diesel dan minyak bakar. Beberapa jenis industri juga menggunakan minyak tanah sebagai bahan baku.
Sektor industri tidak secara keseluruhan mendapatkan BBM dengan pembelian langsung dari Pertamina. Industri yang membeli BBM langsung dari Pertamina adalah industri dengan skala besar dan sedang. Sedangkan industri kecil dan rumah tangga membeli BBM dari agen penyalur ataupun stasiun pengisian bahan bakar. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan besarnya konsumsi BBM yang disajikan oleh BPS. Konsumsi BBM dari sektor industri menurut perhitungan BPS adalah konsumsi dari industri besar, industri kecil serta usaha rumah tangga.
Sehubungan dengan kebijakan perbedaan harga BBM untuk industri besar, sebagian besar industri yang sebelumnya membeli BBM untuk armada angkutannya langsung dari Pertamina, telah menghentikan pembelian BBM yang diperuntukkan untuk armada
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
40
transportasinya. Keperluan BBM untuk armada transportasinya terutama minyak solar didapatkan melalui stasiun pengisian BBM.
3.2.3 Konsumsi BBM Sektor Transportasi
Pemakaian energi di sektor transportasi sebagian besar adalah BBM yaitu premium dan minyak solar. Jenis energi lain pemakaiannya masih sangat terbatas. Sebagian besar pasokan BBM untuk sektor transportasi diperoleh dari stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) ataupun stasiun pengisian bahan bakar bunker (SPBB).
Seperti terlihat pada Tabel 3.4, sektor transportasi merupakan pemakai BBM terbesar. Hal ini disebabkan karena titik pasokan ini sebenarnya tidak hanya untuk sektor transportasi. Pada kenyataannya total konsumsi BBM dari sektor transportasi tidak sebesar dari yang diperkirakan Pertamina yang didasarkan atas jumlah penjualan BBM melalui stasiun pengisian BBM. Seperti telah dijelaskan pada konsumsi BBM di sektor industri, sebagian konsumen stasiun pengisian bahan bakar adalah industri kecil dan industri rumah tangga.
3.2.4 Konsumsi BBM Sektor Rumah Tangga Konsumsi BBM di sektor rumah tangga sebagian besar dipakai untuk memasak, pemakaian lainnya adalah untuk lampu penerangan di daerah yang belum terlistriki. Adapun jenis BBM yang digunakan sebagian besar adalah minyak tanah. Beberapa rumah tangga di daerah yang tidak dilistriki menggunakan minyak solar untuk pembangkit listrik diesel.
Secara ekonomi banyak rumah tangga yang berfungsi ganda, yaitu rumah tangga sebagai hunian dan sekaligus sebagai tempat usaha. Oleh karena itu sebenarnya konsumsi BBM oleh sektor rumah tangga seperti yang terdapat pada Tabel 3.5 adalah termasuk konsumsi dari industri rumah tangga.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
41
3.2.5 Konsumsi BBM Sektor Pembangkit Listrik Sektor pembangkit listrik pada umumnya menggunakan jenis energi batubara dan gas. BBM hanya digunakan untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), turbin gas dan turbin uap. PLTD pada umumnya digunakan pada jaringan terbatas dengan kapasitas kecil yang jauh dari jaringan inter-koneksi. Turbin gas diperuntukkan sebagai tenaga cadangan pada waktu beban puncak. Sedangkan turbin uap yang dijalankan dengan BBM jenis minyak bakar merupakan pembangkit listrik tua yang tinggal menunggu habisnya masa pakai. Total pemakaian BBM untuk pembangkit listrik relatif kecil apabila dibandingkan dengan konsumsi energi lainnya. Kebijakan umum energi nasional mengamanatkan pengurangan pemakaian BBM untuk pembangkit listrik. Pada masa mendatang pemakaian BBM untuk pembangkit listrik diharapkan pangsanya terus menurun.
3.3
Neraca Minyak
Produksi minyak mentah Indonesia sebenarnya masih cukup untuk memasok kebutuhan BBM dalam negeri saat ini. Sehubungan adanya perbedaan spesifikasi dari jenis minyak mentah yang diproduksi dan kebutuhan minyak mentah untuk diproses di kilang minyak domestik, Indonesia mengimpor minyak mentah yang dapat menghasilkan BBM sesuai dengan karakteristik kebutuhan BBM dalam negeri. Beberapa jenis minyak mentah Indonesia merupakan jenis minyak mentah yang cocok untuk kilang petrokimia sehingga lebih menguntungkan untuk diekspor.
Neraca minyak Indonesia tahun 2000 ditampilkan dalam Lampiran I. Dalam Tabel tersebut terlihat bahwa besarnya kebutuhan minyak mentah dari kilang minyak dalam negeri pada tahun 2000 sudah mencapai 150 persen dari ekspor minyak mentah. Sedangkan impor BBM sudah mencapai hampir 30 persen dari produksi BBM. Kalau diperhitungkan jumlah produksi, ekspor dan impor minyak mentah dan BBM, pemakaian BBM dalam negeri sudah sama dengan jumlah minyak mentah yang diekspor. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi Indonesia akan berubah status sebagai negara “net-importer” minyak.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
42
Jenis BBM yang diimpor terbesar adalah minyak solar. BBM lainnya yang diimpor adalah minyak tanah dan minyak bakar.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya,
penjualan BBM pada neraca minyak bumi adalah menurut kategori pasokan Pertamina. Penjualan dalam mata uang dolar Amerika (US$) tidak seluruhnya mengalir ke luar negeri. Penjualan dalam US$ kepada perusahaan pertambangan hanya diperuntukkan bagi pemakaian dalam negeri. Hal tersebut sesuai dengan keputusan presiden mengenai harga BBM dalam negeri.
3.4 Biaya Pengadaan BBM Biaya pengilangan minyak pada dasarnya terdiri atas biaya minyak mentah sebagai bahan baku dan biaya operasi. Di dalam biaya bahan baku minyak mentah terdapat tiga komponen utama, yaitu harga minyak mentah prorata, pembelian minyak mentah produksi dalam negeri, dan minyak mentah impor. Sedangkan biaya operasi meliputi biaya proses, biaya distribusi, biaya transportasi minyak mentah, transporasi BBM, biaya overhead, bunga dan depresiasi.
Harga minyak mentah prorata adalah harga minyak mentah bagian pemerintah yang harus disediakan oleh produksi Pertamina maupun kontraktor bagi hasil (KPS). Jumlah minyak mentah prorata yang diolah dalam kilang minyak dalam negeri sebanyak 6,5 persen dari seluruh minyak mentah yang diproses. Sedangkan besarnya minyak mentah yang diimpor sebanyak hampir 40 persen. Dengan volume minyak mentah yang diproses sebesar 343 juta barel dan harga minyak mentah sebesar 22 dolar per barel, biaya minyak mentah yang harus dibayar adalah sebesar Rp 1.245 per liter (1 US$=Rp 9.000, harga CIF). Akan tetapi biaya minyak mentah ini lebih rendah, karena harga minyak prorata hanya dibayar sebesar 25 persen dari harga internasional untuk minyak KPS dan 60 persen untuk minyak prorata Pertamina. Sehingga biaya minyak mentah per liternya menjadi sekitar Rp 1.223. Setelah dikoreksi dengan biaya stok dan pembelian selisih BBM yang harus dipasok ke pasar dalam negeri (22,5 juta barel) maka biaya minyak mentah menjadi sebesar Rp 1.360 per liter.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
43
Seluruh biaya minyak mentah harus dibayarkan dalam mata uang dolar Amerika. Perubahan nilai tukar mata uang dan harga minyak mentah dunia mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap biaya pengadaan BBM dalam negeri.
Tabel 3.5 Struktur Biaya Penyediaan dan Pengilangan Minyak Ribu barel Prorata - Pertamina - KPS Inkind - Pertamina - KPS Impor Total Minyak Mentah Stok dan BBM Balance Biaya Minyak Mentah Biaya Operasi Total Biaya Pokok
21,897 7,955 13,942 186,584 29,331 157,253 134,955 343,436 23.307
Nilai 1,628 932 696 37,124 5,803 31,321 29,489 68,241 7,680 75,921 12,299
Harga CIF (US$/barel)
Rp./Liter
13.02 5.55 21.98 22.13 24.28 1,223.0 1,361.0 220.5 1,581.5
Asumsi: Harga minyak 22 USD/barel, 1 USD= Rp. 9.000,Sumber: Laporan Pertamina kepada Panitia Anggaran DPR, Oktober 2001
Komponen biaya pengadaan BBM lainnya adalah biaya operasi. Biaya operasi keseluruhan mencapai Rp 88,2 trilyun. Biaya ini meliputi biaya pengolahan, distribusi, angkutan laut BBM, angkutan laut minyak mentah, kantor pusat, bunga dan penyusutan. Apabila dibebankan pada pengolahan sebanyak 343 juta barel minyak mentah dan selisih pengadaan BBM (23 juta barel), biaya operasi per satuannya adalah Rp 220 per liter. Seluruh biaya operasi pengadaan BBM dapat dibayarkan dalam rupiah.
Dengan menggunakan asumsi-asumsi tersebut, total biaya pokok penyediaan BBM dalam negeri rata-rata sebesar Rp 1.581 per liter. Apabila dibandingkan dengan harga BBM yang bersubsidi, harga premium yang paling tinggipun masih harus disubsidi.
Tingginya komponen valuta asing dalam biaya pokok penyediaan BBM, menyebabkan beratnya beban biaya subsidi BBM yang harus ditanggung pemerintah, terutama setelah terjadinya devaluasi nilai rupiah. Untuk mengurangi beban anggaran pemerintah untuk mensubsidi BBM, dalam program perencanaan nasional (Propenas) telah disepakati bahwa subsidi BBM secara bertahap harus dikurangi sehingga pada tahun 2004 harga BBM sudah menjadi harga pasar. KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
44
3.5. Struktur Biaya 3.5.1 Sektor Rumah Tangga Data pengeluaran sektor rumah tangga diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional 1999 (Susenas 1999). Survei tersebut menghimpun juga data pengeluaran energi di rumah tangga. Survei menghasilkan 61.422 sampel untuk mewakili 50.342.683 rumah tangga. Dari survei tersebut BPS menghitung batas kemiskinan dari sisi pengeluaran dalam satuan rupiah per bulan per kapita seperti diperlihatkan pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6 Garis Kemiskinan Tahun 1999 Batas Kemiskinan (Rp/Kap/Bulan) Propinsi Perkotaan Pedesaan 83,683 70,610 Aceh Sumut 92,321 70,869 101,168 79,898 Sumbar Riau 94,948 91,028 96,682 79,466 Jambi 96,133 76,839 Sumsel Bengkulu 105,816 71,966 94,541 70,378 Lampung 109,164 Jakarta Jabar 94,217 73,855 88,384 72,210 Jateng Yogya 93,921 76,773 90,204 73,432 Jatim 94,714 81,456 Bali NTB 89,846 74,677 84,170 66,143 NTT Kalbar 103,471 81,142 Kalteng 100,228 91,974 93,650 71,911 Kalsel Kaltim 99,286 89,689 90,979 75,903 Sulut 89,509 75,273 Sulteng Sulsel 85,357 69,017 90,455 73,509 Sultra Maluku 106,610 93,831 94,869 95,053 Irian Sumber: BPS, Tahun 1999.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
45
Pembagian kategori sektor rumah tangga pada kajian ini didasarkan pada sisi pengeluaran dan diasumsikan bahwa penduduk pada tingkat pengeluaran yang sama mengkonsumsi energi dalam jumlah yang sama. Setiap rumah tangga pada setiap propinsi dikelompokkan menjadi 5 kategori dan dibedakan atas rumah tangga perkotaan dan rumah tangga pedesaan. Kriteria kategori didasarkan pada batas kemisikinan untuk setiap propinsi (Tabel 3.6) yang dihitung oleh BPS. Kelima kategori tersebut adalah sebagai berikut, •
Kategori A: Miskin, di bawah garis kemiskinan
•
Kategori B: Miskin Sedang, 100%-125% dari garis kemiskinan
•
Kategori C: Miskin Atas, 125%-150% dari garis kemiskinan
•
Kategori D: Menengah, 150% - 175% dari garis kemiskinan
•
Kategori E: Kaya, di atas 175% dari garis kemiskinan
Struktur pengeluaran sektor rumah tangga dibedakan menjadi pengeluaran makanan dan pengeluaran bukan makanan. Pengeluaran bukan makanan terdiri dari enam kelompok, yaitu Perumahan dan Fasilitas Rumah Tangga; Barang dan Jasa; Pakaian, Alas Kaki, dan Tutup Kepala; Barang-barang Tahan Lama; Pajak dan Asuransi; dan Keperluan Pesta dan Upacara.
Seperti diperlihatkan pada Tabel 3.7, jumlah rumah tangga miskin adalah 15,3% terbagi atas 4,3% di perkotaan dan 11,0% di pedesaan. Jumlah rumah tangga kaya adalah 41,3% terbagi atas 21,4% di perkotaan dan 19,9% di pedesaan, pangsa tersebut memperlihatkan jumlah yang hampir sama rumah tangga kaya di pedesaan dan di perkotaan.
Tabel 3.7 Pengelompokan Rumah Tangga Perkotaan Kategori Jumlah Rumah Pangsa Tangga (%) A 2.143.457 4,3 B 2.395.597 4,8 C 2.374.822 4,7 D 2.129.751 4,2 E 10.749.991 21,4 Total 19.793.618 39,3
Pedesaan Jumlah Rumah Pangsa Tangga (%) 5.534.562 11,0 5.668.238 11,3 5.245.163 10,4 4.081.602 8,1 10.019.500 19,9 30.549.065 60,7
Sumber: Diolah dari Susenas BPS tahun 1999.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
46
Energi di sektor rumah tangga digunakan untuk memasak, penerangan, dan keperluan lainnya. Pengeluaran biaya energi termasuk pada kelompok pengeluaran perumahan dan fasilitas rumah tangga. Pengeluaran biaya energi yang dihitung pada kajian ini meliputi pengeluaran minyak tanah, pengeluaran listrik, pengeluaran arang, pengeluaran gas kota, pengeluaran kayu bakar, pengeluaran LPG dan pengeluaran untuk transportasi.
Pada rumah tangga perkotaan minyak tanah kebanyakan digunakan untuk memasak, tetapi pada rumah tangga pedesaan selain digunakan untuk memasak juga untuk penerangan. Pada rumah tangga pedesaan listrik digunakan untuk penerangan, sedangkan pada rumah tangga perkotaan listrik digunakan untuk penerangan dan keperluan lainnya seperti alat-alat hiburan dan pompa air. Rumah tangga perkotaan yang termasuk golongan kaya menggunakan listrik bukan hanya untuk penerangan akan tetapi juga digunakan untuk pendingin, memasak dan pemanas. Arang, gas kota dan LPG digunakan untuk memasak. Sebagian besar rumah tangga di pedesaan menggunakan kayu bakar untuk memasak. Solar, premium dan pelumas digunakan untuk kendaraan.
Seperti diperlihatkan pada Tabel 3.8, rumah tangga miskin di perkotaan mempunyai pengeluaran terbesar pada minyak tanah sebesar 2,39%, sementara itu rumah tangga miskin di pedesaan mempunyai pengeluaran terbesar pada kayu bakar sebesar 3,73%. Rumah tangga miskin sedang dan miskin atas di perkotaan mempunyai pengeluaran terbesar pada minyak tanah dan rumah tangga di pedesaannya terbesar pada arang kayu. Rumah tangga menengah di perkotaan mempunyai lebih banyak peralatan listrik dari pada rumah tangga miskin di atasnya. Hal ini bisa dilihat dari pengeluaran minyak tanah dan listrik yang besarnya hampir sama yaitu 1,90% dan 1,97%. Pengeluaran kayu bakar di rumah tangga menengah pedesaan sebesar 2,18% yang tertinggi dari energi lainnya. Rumah tangga kaya di perkotaan mempunyai pengeluaran tertinggi untuk listrik sebesar 2,07% sedangkan pada rumah tangga di pedesaan adalah pengeluaran kayu bakar sebesar 1,55%.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
47
Tabel 3.8 Pengeluaran Energi Terhadap Pengeluaran Total di Sektor Rumah Tangga Kategori Daerah Jumlah Rumah Tangga (Juta) Pangsa (%) Prosentase Pengeluaran Energi terhadap Pengeluaran Total
A
B
C
D
E
Rata-rata
Pkota* Pdesa** Pkota* Pdesa** Pkota* Pdesa** Pkota* Pdesa** Pkota* Pdesa** Total
2.14
5.53
2.40
5.67
2.37
5.25
2.13
4.08 10.75 10.02
50.34 100
4.26 10.99
4.76 11.26
4.72 10.42
4.23
8.11 21.35 19.90
Minyak Tanah Listrik Arang Gas Kota Kayu Bakar LPG
2.39 1.84 0.04 0.00 1.21 0.00
1.17 1.13 0.01 0.00 3.73 0.00
2.23 1.93 0.02 0.00 0.77 0.04
1.26 1.29 0.02 0.00 2.99 0.01
2.08 1.93 0.01 0.01 0.48 0.12
1.30 1.32 0.02 0.00 2.60 0.02
1.90 1.97 0.02 0.01 0.32 0.18
1.35 1.35 0.02 0.00 2.18 0.03
1.16 2.07 0.01 0.01 0.10 0.44
1.24 1.37 0.02 0.01 1.55 0.12
Transportasi***
0.06
0.03
0.15
0.08
0.26
0.15
0.32
0.22
0.57
0.39
1.61 1.62 0.02 0.01 1.59 0.10 0.22
Sumber: Diolah dari Susenas BPS tahun 1999 Kategori :
A, Miskin, di bawah batas kemiskinan B, Miskin sedang, 100% - 125% dari batas kemiskinan C, Miskin atas, 125% - 150% dari batas kemiskinan D, Menengah, 150% - 175% dari batas kemiskinan E, Kaya, di atas 175% dari batas kemiskinan
Pdesa*= Pedesaan ; Pkota**= Perkotaan Transportasi*** = Solar + Premium + Pelumas
Rata-rata pengeluaran minyak tanah di sektor rumah tangga adalah 1,16% dan pengeluaran minyak tanah pada seluruh golongan rumah tangga di pedesaan di bawah rata-rata. Pengeluaran minyak tanah tertinggi adalah pada rumah tangga miskin di perkotaan sebesar 2,39% diikuti oleh rumah tangga miskin sedang di perkotaan sebesar 2,23% kemudian rumah tangga miskin atas di perkotaan sebesar 2,08%. Pada saat kajian ini disusun, minyak tanah masih merupakan komoditi energi yang disubsidi, jika subsidi minyak tanah dihapuskan maka diperkirakan ketiga kelompok rumah tangga ini akan merasakan dampak langsung terbesar dari penghapusan subsidi minyak tanah.
Pengeluaran listrik pada sektor rumah tangga tergantung dari jumlah, frekuensi pemakaian perangkat listrik dan tarif yang diberlakukan pada masing-masing rumah tangga. Rata-rata pengeluaran listrik di sektor rumah tangga adalah 1,62%. Pengeluaran listrik pada semua golongan rumah tangga di pedesaan di bawah rata-rata. Rumah tangga kaya di perkotaan mempunyai angka pengeluaran listrik tertinggi, yaitu sebesar 2,07% diikuti oleh rumah tangga menengah sebesar 1,96% dan rumah tangga miskin atas sebesar 1,93%.
Pengeluaran arang, gas kota, LPG dan transportasi pada semua golongan rumah tangga di perkotaan dan pedesaan di bawah 1%. Rata-rata pengeluaran kayu bakar adalah 1,59%.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
48
Rumah tangga kaya di pedesaan dan semua golongan rumah tangga di perkotaan mempunyai pengeluaran kayu bakar di bawah rata-rata. Rumah tangga miskin di pedesaan mempunyai pengeluaran kayu bakar tertinggi sebesar 3,37% diikuti oleh rumah tangga miskin sedang di pedesaan sebesar 1,97% dan rumah tangga miskin atas sebesar 2,60%.
3.5.2
Sektor Industri
Pada industri pengolahan, BBM yang digunakan meliputi: premium, minyak solar, minyak diesel, minyak tanah dan minyak bakar. Selain BBM, sektor industri juga mengkonsumsi jenis energi lainnya, seperti: batubara, kokas, arang, kayu bakar, LPG dan gas bumi. Banyaknya kemungkinan pasokan energi untuk sektor industri sangat memungkinkan untuk melakukan diversifikasi energi. Dalam rangka mengurangi beban subsidi BBM dan mendorong program diversifikasi energi, sejak Juni 2001 pemerintah menetapkan harga BBM untuk industri besar dan sedang senilai 50% harga pasar internasional.
Sebagai gambaran seberapa besar peranan energi khususnya BBM dalam struktur biaya di sektor industri harus dilihat dari struktur biaya di setiap jenis industri. Berdasarkan pada survei tahunan industri besar dan sedang yang dilakukan BPS, struktur biaya dari setiap jenis industri dapat diperkirakan dengan melihat proporsi setiap elemen biaya produksi terhadap total biaya input dari setiap jenis industri.
Survei tahunan industri besar dan sedang dilakukan BPS pada hampir seluruh industri pengolahan yang terdaftar. Pada tahun 1999 jumlah industri yang mengembalikan kuesioner survei tercatat sekitar 22.000. Dalam pengolahannya BPS mengkategorikan jenis industri berdasarkan klasifikasi industri (KLUI) sampai pada level 5 digit. Dalam rangka sinkronisasi dengan pengkategorian klasifikasi tabel input output yang dijadikan dasar untuk pengolahan di model INDOCEEM, struktur biaya industri diklasifikasikan berdasarkan produksi utama dari setiap jenis industri seperti yang terlihat pada Tabel 3.9.
Pada tabel tersebut, terlihat bahwa rata-rata persentase biaya energi sangat bervariasi. Kisaran proporsi biaya energi di setiap jenis industri adalah antara 0,75 sampai 12,5
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
49
persen. Kecuali persentasi biaya energi untuk pengilangan minyak dan gas yang sangat tinggi sekali karena jenis industri ini merupakan industri padat energi yang juga memproses energi.
Kalau ditinjau lebih dalam lagi, biaya BBM di setiap jenis industri hanya berkisar antara 0,5 sampai 6 persen dari keseluruhan biaya inputnya. Proporsi ini menggambarkan bahwa komponen biaya BBM hampir tidak berarti di dalam struktur biaya input industri. Jenis BBM yang banyak digunakan di sektor industri adalah jenis minyak solar.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
50
Tabel 3.9 Persentase of Biaya Energi menurut Jenis Industri Kode INDOCEEM 23 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 41 43 45 47 49 51 53 55 63 64 66 68 70
% Biaya Energi terhadap Total Biaya input Nama Komoditi
Total BBM Energi Total Mogas ADO IDO
Ikan asin 1.35 0.76 Daging dan susu olahan (IBS) 1.69 0.56 Buah2an & Sayuran olahan & Awetan (IBS) 3.23 2.07 Kopra (IBS) 5.02 0.85 Minyak Hewani & Nabati (IBS) 1.49 0.90 B e r a s (IBS) 0.82 0.46 T e p u n g (IBS) 5.07 3.69 Roti dan biskuit (IBS) 3.42 2.26 G u l a (IBS) 6.25 4.38 Pakan ternak (IBS) 1.28 0.56 Minuman (IBS) 5.36 2.42 Tembakau dan rokok (IBS) 0.74 0.34 Makanan lainnya (IBS) 1.77 0.77 Tekstil, Kulit (IBS) 4.36 1.71 Plywood (IBS) 5.09 2.27 Produk kayu lainnya (IBS) 4.11 1.90 Produk kertas (IBS) 4.87 1.78 P u p u k (IBS) 12.62 0.68 Pestisida (IBS) 1.23 0.57 Kimia (IBS) 3.78 1.39 Kilang Minyak 10.19 6.07 L N G & LPG dr gas 76.44 42.18 Besi dan baja (IBS) 11.04 0.47 Alumunium (IBS) 3.10 0.99 Mesin dan elektronik (IBS) 3.25 0.58 Industri lainnya (IBS) 8.23 2.28 Sumber: Dihitung dari database Survei Tahunan Industri tahun 1999, BPS
0.10 0.04 0.07 0.12 0.02 0.02 0.01 1.01 0.37 0.03 0.23 0.05 0.07 0.05 0.03 0.12 0.05 0.03 0.04 0.07 0.08 14.55 0.03 0.09 0.06 0.09
0.38 0.38 1.94 0.71 0.73 0.43 3.41 0.62 2.08 0.47 1.50 0.26 0.58 0.98 2.19 1.71 0.41 0.06 0.33 0.71 3.48 27.63 0.21 0.68 0.41 1.16
0.01 0.03 0.01 0.00 0.09 0.01 0.09 0.32 0.87 0.04 0.59 0.01 0.09 0.31 0.04 0.02 0.15 0.00 0.10 0.30 0.26 0.00 0.05 0.10 0.01 0.52
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
Batubara FO 0.00 0.11 0.00 0.00 0.05 0.00 0.02 0.16 1.06 0.01 0.08 0.01 0.00 0.33 0.00 0.01 1.12 0.59 0.00 0.29 2.13 0.00 0.17 0.02 0.01 0.45
Kero 0.27 0.00 0.04 0.01 0.02 0.00 0.16 0.15 0.00 0.01 0.03 0.02 0.03 0.04 0.01 0.04 0.05 0.0 0.09 0.02 0.12 0.00 0.01 0.10 0.09 0.07
51
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.13 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.69 0.00 0.68 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.08 0.03 0.00 1.39
Gas LPG Lain- Pelubumi nya mas 0.00 0.07 0.01 0.00 0.04 0.00 0.00 0.18 0.00 0.01 0.01 0.00 0.06 0.10 0.00 0.00 0.18 11.09 0.00 0.34 0.00 0.00 4.88 0.24 0.14 1.16
Listrik
0.00 0.00 0.09 0.51 0.09 0.00 0.03 0.94 0.00 0.05 0.24 0.86 0.00 3.38 0.53 0.26 0.01 0.05 0.12 0.38 0.00 0.00 0.09 0.26 0.00 0.15 0.42 0.79 0.06 0.04 0.05 0.87 0.02 0.15 1.12 0.51 0.00 0.00 0.03 0.68 0.01 0.17 0.21 2.60 0.00 0.02 0.03 0.35 0.03 0.04 0.08 0.79 0.02 0.02 0.13 2.39 0.00 0.47 0.98 0.81 0.01 0.03 0.40 1.79 0.03 0.31 0.17 1.73 0.00 0.01 0.15 0.78 0.00 0.01 0.01 0.64 0.01 0.09 0.07 1.86 0.06 0.01 0.30 3.76 0.00 0.00 28.07 6.19 0.01 0.02 0.34 5.23 0.11 0.02 0.15 1.57 0.15 0.01 0.40 1.98 0.16 0.20 0.54 2.49
3.5.3 Sektor Trasportasi Data sektor transportasi diperoleh dari Departemen Perhubungan dan survei langsung ke PT KAI, PT Pelni dan PT Blue Bird. Data sektor transportasi dari Departemen Perhubungan diperlihatkan pada Tabel 3.10.
Tabel 3.10 Struktur Pengeluaran Sektor Transportasi Pengeluaran Energi Terhadap Pengeluaran Total Bus AK ASDP* Kereta Api Kapal Laut Pesawat Jet Penyusutan 34.4% 24.5% 5.4% 36.5% 11.9% Personil 15.3% 6.8% 1.6% 10.7% 3.5% Asuransi 3.6% 9.1% 4.0% 3.1% BBM 12.5% 19.5% 4.3% 12.4% 24.7% Pemeliharaan 11.9% 32.1% 28.3% 12.5% 30.1% Pengelolaan 5.4% 2.0% 36.8% 6.8% 20.3% Pelumas 3.6% 1.1% 4.3% Pelabuhan/Terminal 0.8% 1.1% 0.6% 1.0% 3.1% Air Tawar 1.2% Ban 15.2% PKB/STNK/Kir 0.8% Jasa Prasarana 22.0% Penumpang 11.7% 3.1% Sumber: PUSDATIN Dephub, November 2001 ASDP* : Angkutan Sungai dan Penyeberangan Jenis Biaya
Pswt. Non Jet 1.7% 4.8% 10.7% 23.9% 41.2% 12.6% 2.4% 2.8%
Dari hasil kajian yang telah dilakukan oleh Departemen Perhubungan menyimpulkan bahwa transportasi darat adalah sektor transportasi yang paling banyak mengkonsumsi BBM. Kemacetan lalu lintas di sejumlah kota besar di Pulau Jawa ikut berperan sebagai penyebab pemborosan BBM pada transportasi darat yang sering terjadi pada saat jam pergi perkantoran dan jam pulang perkantoran.
Hasil survei BPS pada tahun 1996 menyebutkan bahwa jumlah kendaraan jalan raya adalah 14.886.102 unit yang mengkonsumsi BBM sebanyak 18.424.032 ton. Jumlah jalan rusak dan rusak berat adalah 138.081 km. Setelah krisis, jumlah jalan rusak makin panjang karena pemerintah tidak mempunyai anggaran yang cukup untuk pemeliharaan jalan. Jalan rusak di beberapa kota menjadi salah satu penyebab kemacetan lalu lintas yang mengakibatkan pemborosan BBM dan selanjutnya meningkatkan pengeluaran BBM di sektor transportasi.
Seperti diperlihatkan pada Tabel 3.10, Bus antar kota mempunyai pengeluaran BBM sebesar 12,5%, sebagian besar bus antar kota berbahan bakar solar. Saat kajian ini disusun, harga solar lebih murah dibandingkan dengan premium, harga solar Rp 900 per
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
52
liter sedangkan premium Rp 1.450 per liter. Jika disparitas harga ini di kurangi, kenaikan harga solar akan meningkatkan pengeluaran BBM pada transportasi bus antar kota.
Struktur pengeluaran sektor transportasi udara tahun 2001 sangat berbeda dengan tahun 1995. Pengeluaran untuk BBM dan untuk pengelolaan meningkat sedangkan pengeluaran biaya penyusutan menurun. Peningkatan pengeluaran BBM sektor transportasi udara disebabkan oleh penghapusan subsidi avtur dan avgas melalui Keputusan Presiden Nomor 10 tahun 1999 yang menyebutkan “…harga jual eceran bahan bakar minyak dalam negeri berupa avgas dan avtur untuk selanjutnya dilepaskan kepada mekanisme pasar. “ .
Mengenai penyusutan dan biaya pengelolaan, tim survei kajian ini mendapat penjelasan dari ex President Director Garuda yang menginformasikan bahwa pada tahun 1995 hampir seluruh pesawat adalah milik Garuda yang nilainya disusutkan (didepresiasi) dan dibiayakan pada pos penyusutan. Pada saat ini, Garuda tidak memiliki pesawat sendiri akan tetapi menyewa. Akibat dari kebijakan ini terjadi penurunan biaya penyusutan dan meningkatkan biaya pengelolaan. Merpati dan Pelita mengikuti kebijakan Garuda, dan diikuti oleh operator kecil lainnya.
Tabel 3.11 Pengeluaran Energi Terhadap Biaya Total Kereta Api Jenis Kelas Ekonomi KRL* KRD**
Pengeluaran Energi 4,2% 23,1% 4,2%
Sumber : PT KAI, 2001 KRL* : Kereta Rel Listrik KRD** : Kereta Rel Diesel
Transportasi kereta api diselenggarakan oleh pemerintah melalui PT. KAI. Transportasi kereta api sebagian besar melayani angkutan penumpang di Pulau Jawa. Kereta api antar kota berbahan bakar solar dan sebagian kecil menggunakan listrik. Kereta api listrik (KRL) digunakan melayani angkutan penumpang dari Jakarta ke kota-kota terdekat dari Jakarta. Seperti diperlihatkan pada Tabel 3.11, Pengeluaran BBM untuk kereta api non KRL adalah 4,2% dan pengeluaran listrik KRL sebesar 23,1%. Struktur pengeluaran listrik pada KRL sebesar itu sensitif terhadap kenaikan tarif listrik.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
53
Tabel 3.12 Pengeluaran Energi Terhadap Biaya Total Kapal Laut Pengeluaran Energi Tipe Kapal 2000 1000 500 BBM 19,65% 11,84% 19,55% Pelumas 2,71% 1,63% 2,70% Sumber : PT. Pelni, 2001
Seperti diperlihatkan pada Tabel 3.12, PT. Pelni mempunyai tiga jenis kapal yang masing-masing mempunyai perbedaan efisiensi bahan bakar dan kapasitas angkutnya. Pengeluaran BBM paling tinggi adalah tipe kapal 2000 yang diikuti oleh tipe 500 dan 1000. Pada Tabel 3.10, kajian Departemen Perhubungan memberikan angka pengeluaran BBM untuk kapal laut sebesar 12,4% sebagai angka tertinggi ketiga dalam struktur biayanya. Angkutan kapal laut ASDP memiliki angka pengeluaran BBM sebesar 19,5%, jumlah frekuensi pelayaran ASDP meningkat pada masa hari raya besar dan libur besar nasional.
Tabel 3.13 Struktur Pengeluaran Taxi di Jakarta
Biaya Penyusutan BBM Pengemudi (Gaji, Bonus, Dll.) Pemeliharaan dan Suku Cadang Ban Pelumas STNK dan Ijin Operasi Overhead
Pengeluaran Terhadap Biaya Total 30,3% 26,9% 26,9% 1,5% 7,8% 0,7% 1,1% 4,8%
Sumber : Diolah dari hasil wawancara dengan PT. Blue Bird, Desember 2001
Dari hasil survei ke perusahaan taksi terbesar di Jakarta, tim survei mengumpulkan dan mengolah data untuk mewakili transportasi taksi yang disajikan pada Tabel 3.13. Pengeluaran BBM menempati pengeluaran tertinggi kedua setelah biaya penyusutan, yaitu sebesar 26,9%. Biaya penyusutan sebesar 30,3% diakibatkan oleh biaya pajak impor kendaraan yang masih tinggi.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
54
BAB IV Dampak Ekonomi Kenaikan Harga BBM
4.1 Pengantar Bab ini melaporkan hasil pemodelan dampak ekonomi dari rencana pemerintah untuk menurunkan subsidi BBM sebesar rata-rata tertimbang 30 persen dengan menggunakan analisis INDOCEEM. Analisis ini secara fleksibel dapat memilah-milah dampak negatif penurunan subsidi terhadap tingkat inflasi maupun dampak positif dalam bentuk efisiensi penggunaan energi. Analisis ini juga dapat menghitung dampak penajaman prioritas pembangunan pemerintah yang dimungkinkan oleh penurunan subsidi BBM. Karena cakupannya yang luas, analisis ini juga dapat menampilkan dampak penarikan subsidi BBM terhadap kenaikan harga beberapa komoditi strategis.
Namun perlu dicatat, dalam analisis yang menggunakan model KUT, pada umumnya, besarnya dampak dari sebuah kebijakan, seperti penurunan subsidi BBM, ditentukan oleh tiga hal; (i) data; (ii) spesifikasi model; (iii) dan asumsi yang dipakai terhadap beberapa aspek dari perekonomian. Karena itu, untuk memudahkan kita dalam memahami hasil proyeksi yang dihasilkan model perlu dijelaskan terlebih dahulu: (i) karakteristik data yang dipakai oleh model; (ii) metodologi yang dianut untuk memasukkan subsidi BBM ke dalam model; dan (iii) asumsi-asumsi yang melatarbelakangi perhitungan dampak kenaikan harga BBM. Semua hal di atas akan dijabarkan pada beberapa sub-bab berikut ini.
4.2 Data dan Spesifikasi Model INDOCEEM INDOCEEM menggunakan data input-output tahun 2000 sebagai data utama ditambah dengan beberapa data elastisitas yang diestimasi. Data input-output merupakan ringkasan dari transaksi beberapa pelaku ekonomi; produsen, investor, pemerintah, tenaga kerja, konsumen, eksportir dan importir. Dari baris tabel input-output (IO) dapat dilihat struktur biaya produksi dan struktur penjualan dari masing-masing industri. Baris dari matriks (IO) menunjukkan komponen biaya produksi industri yang umumnya terdiri dari biaya KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
55
barang material (intermediate goods), upah tenaga kerja, sewa tanah bagi industri yang menggunakannya, biaya modal dan pajak. Kolom-kolom tabel IO menunjukkan struktur penjualan dari masing-masing industri. Dari kolom IO dapat dilihat besarnya ouput masing-masing industri yang dijual: (i) sebagai barang material; (ii) untuk keperluan pembentukan modal baru (investasi); (iii) untuk konsumsi rumah tangga; (iv) untuk ekspor; dan (v) untuk konsumsi pemerintah.
Database di atas menunjukkan informasi perekonomian pada satu saat tertentu, dalam hal ini di akhir tahun 2000. Perubahan kebijakan biasanya akan menciptakan situasi perekonomian baru yang juga dapat diringkas ke dalam database yang baru, misalnya IO 2000+C (data tahun 2000 ditambah dengan perubahan). Untuk menghitung dampak dari perubahan kebijakan di atas, diperlukan asumsi dan mekanisme yang menerangkan bagaimana pelaku-pelaku ekonomi merespon terhadap perubahan kebijakan tersebut. Model IDOCEEM2 membangun mekanisme tersebut ke dalam persamaan-persamaan yang sebagian besar diturunkan dengan menggunakan teori ekonomi mikro. Asumsi standar yang dipakai dalam menurunkan persamaan di atas adalah konsumen memaksimumkan kepuasan (utility) dan produsen meminumumkan biaya.
Selain data input-output, INDOCEEM juga menggunakan beberapa data parameter yang tidak tersedia di tabel input-output. Data parameter menentukan besarnya elastisitas substitusi antar barang bagi konsumen, elastisitas ekspor bagi barang domestik, elastisitas substitusi antara barang impor dan domestik, serta elastisitas substitusi antar input bagi produsen.
Dalam kasus penurunan subsidi BBM, data dan teori INDOCEM akan berinteraksi untuk menentukan dampak dari kebijakan tersebut. Misalnya, untuk menghitung dampak dari kebijakan tersebut terhadap rumah tangga, pertama data IO akan menentukan besarnya pangsa pengeluaran BBM di dalam total pengeluaran rumah tangga. Semakin besar pangsa pengeluaran BBM di dalam pengeluaran rumah tangga, akan semakin besar dampak kenaikan harga BBM terhadap rumah tangga tersebut. Kedua, persamaan di dalam model akan menyediakan mekanisme bagi rumah tangga, yang diasumsikan selalu
2
Diskripsi lebih lengkap dari spesifikasi model INDOCEEM dapat dilihat dalam Lampiran II.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
56
akan memaksimumkan kepuasan, untuk menghemat atau menggantikan BBM yang harganya naik dengan komoditi lainnya. Ketiga, mungkin tidaknya BBM disubstitusikan dengan barang lain ditentukan oleh besarnya elastisitas substitusi, yang merupakan parameter dari model. Semakin besar elastisitas substitusi dari BBM dengan komoditi lain, akan semakin kecil dampak kenaikan harga BBM terhadap konsumen.
Hal yang sama juga berlaku untuk industri. Dampak kenaikan harga BBM terhadap harga output masing-masing industri akan ditentukan oleh besarnya pangsa biaya BBM terhadap total biaya produksi, skala penghematan dan besarnya angka elastisitas substitusi. Namun bagi output dari industri yang berorientasi ekspor, dampak kenaikan subsidi BBM juga akan ditentukan oleh elastisitas ekspor.
4.3 Memodelkan Pengurangan Subsidi BBM dengan INDOCEEM Paling tidak ada dua cara untuk memasukkan subsidi ke dalam INDOCEEM, pertama dengan memodel subsidi sebagai subsidi murni dan kedua dengan memodel subsidi sebagai pajak negatif (negative tax). Dengan metode yang pertama subsidi akan muncul sebagai pengeluaran pemerintah, pengurangan subsidi berarti pengurangan pengeluaran pemerintah. Dengan metode kedua, subsidi akan muncul sebagai pajak (tax equivalence), pengurangan subsidi akan muncul sebagai kenaikan pajak BBM sehingga akan muncul sebagai kenaikan penerimaan pemerintah. Keduanya akan memberikan dampak yang sama terhadap anggaran pemerintah dan juga dampak harga BBM yang sama bagi rumah tangga maupun industri.
Metode yang kedua lebih sederhana secara teknis karena INDOCEEM telah dilengkapi oleh persamaan yang lengkap untuk memodel pajak. Selain itu pendekatan ini lebih tepat mengingat data IO yang dipakai di INDOCEEM tidak mempunyai baris subsidi BBM. Entri untuk penjualan BBM sudah memasukkan subsidi di dalamnya, sehingga tidak ada baris data subsidi BBM secara khusus.
Untuk itu penarikan subsidi BBM dimodel dengan mengubah nilai (shock) variabel pajak yang relevan sesuai dengan tingkat kenaikan harga masing-masing BBM. Namun, sampai sekarang pemerintah belum menetapkan besarnya kenaikan harga tersebut. Karena itu, KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
57
untuk kajian ini dipakai data sementara yang diperoleh dari hasil rapat kerja Panitia Anggaran DPR-RI dan pemerintah. Data ini dipakai untuk memprediksi besaran subsidi BBM dalam APBN 2002 (lihat Tabel 4.1). Namun sektor Listrik dikecualikan dari kenaikan harga BBM, karena sesuai dengan Kepres No. 37/2002 PLN membayar 50 persen dari harga pasar.
Tabel 4.1: Skenario Kenaikan Harga BBM Jenis BBM
% Kenaikan Harga
Premium
17.24
Minyak Tanah
37.50
Minyak Solar
36.11
Minyak Diesel
30.43
Salah satu aspek yang sangat krusial dari kebijakan penurunan subsidi BBM adalah kebijakan kompensasi. Seperti telah disinggung sebelumnya, penarikan subsidi BBM akan meningkatkan tingkat inflasi yang menurunkan daya beli masyarakat. Karena, secara langsung penurunan subsidi BBM menaikkan harga produk bahan bakar minyak yang dipakai rumah tangga maupun industri. Dari sisi model INDOCEEM, cara paling mudah untuk memodel kompensasi adalah dengan melakukan indeksasi antara inflasi dengan upah buruh. Artinya, buruh selalu dikompensasi dengan kenaikan upah sebesar kenaikan tingkat inflasi tersebut. Dengan demikian buruh tidak mengalami penurunan daya beli setelah penarikan subsidi BBM. Sistem kompensasi seperti itu umum di negara yang mempunyai serikat upah yang kuat, dimana tingkat upah setiap tahunnya dinaikkan paling tidak sebesar tingkat inflasi. Dengan sistem seperti ini, program kompensasi tidak sepenuhnya tertumpu kepada pemerintah. Yang perlu ditanggung pemerintah hanya kompensasi untuk pekerja yang sedang menganggur. Sebagai perbandingan, pendekatan ini dilakukan pada simulasi kedua (SIM2).
Program kompensasi BBM di Indonesia sedikit berbeda dengan sistem di atas. Sebagian pekerja sebenarnya sudah dikompensasi melalui kenaikan tingkat upah. Masyarakat kelas menengah tidak memerlukan kompensasi karena untuk mereka kebijakan penarikan subsidi merupakan kebijakan koreksi. Untuk tahun ini, sama seperti tahun yang lalu, yang menjadi tulang punggung dari program kompensasi pemerintah adalah; KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
58
1. Peningkatan pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan dan pertahanan; 2. Peningkatan pengeluaran untuk OPK; 3. Program untuk sektor transportasi, air bersih, usaha kecil dan menengah dan UKM.
Tabel 4.2: Komponen Rupiah Dana Pembangunan Untuk Sektor Prioritas (dlm trilyun Rupiah) Sektor Pendidikan Nasional Kesehatan & Kes. Sosial Pertahanan
2001
2002
4.996 2.127 0.825
7.083 3.673 1.438
Kenaikan (%) 41.77 72.68 74.30
Program kompensasi berupa meningkatkan pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan dan pertahanan (nomor 1 di atas) merupakan upaya pemerintah untuk mempertajam prioritas penggunaan dana yang dihemat dari pengurangan subsidi BBM. Di dalam APBN 2002, pemerintah bersama DPR telah menyepakati untuk menggunakan sebagian dari dana tersebut untuk meningkatkan Komponen Rupiah dari Dana Pembangunan (KRDP). Untuk tahun Anggaran 2002, pengeluaran KRDP meningkat menjadi Rp 21,7 trilyun dari Rp 26,5 trilyun pada tahun 2001. Dana KRDP tersebut kemudian dialokasikan ke sektorsektor prioritas seperti sektor pendidikan, kesehatan dan pertahanan seperti tercantum dalam Tabel 4.2. Pemerintah dan DPR juga telah menyepakati untuk meningkatkan pengeluaran untuk keluarga pra-sejahtera dalam bentuk penyediaan beras murah OPK. Untuk tahun 2002, pemerintah merencanakan menyediakan beras murah bagi 9,4 juta keluarga dengan anggaran sebesar Rp 4,7 trilyun. Analisis dampak program kompensasi di atas, kecuali kompensasi no 3, dapat diakomodasi oleh model INDOCEEM. Untuk UKM, transportasi dan air bersih, tidak mempunyai spesifikasi yang efektif untuk memodel dampaknya. Untuk itu pada salah satu simulasi akan ditunjukkan dampak ekonomi dari penajaman prioritas pembangunan dengan memberi shock yang lebih besar kepada variabel yang mewakili pengeluaran pemerintah di sektor prioritas tersebut.
Selanjutnya, seperti telah disinggung di atas, kenaikan harga BBM diharapkan akan mendorong peningkatan efisiensi penggunaan BBM oleh rumah tangga dan industri. Selama ini, salah satu modus operandi yang dipakai oleh penyeludup BBM adalah D.O
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
59
(delivery order) untuk industri. Adanya disparitas harga domestik dan harga luar negeri yang begitu tinggi, sangat menguntungkan bagi industri yang sebenarnya sudah tidak beroperasi lagi dengan tetap membeli BBM yang kemudian dijual kembali ke pasar gelap untuk diselundupkan. Karena penyeludupan BBM tercatat sebagai data penggunaan industri, maka penggunaan BBM yang tercatat akan lebih besar dari angka yang sebenarnya digunakan. Penarikan subsidi BBM akan mendekatkan harga domestik kepada harga internasional, sehingga akan mengurangi penyelundupan. Dengan asumsi di atas pengurangan penyelundupan akan tercatat sebagai penghematan penggunaan BBM di sektor industri. Untuk itu dalam salah satu simulasi akan dimodel peningkatan efisiensi penggunaan BBM, namun dengan tingkat penghematan yang lebih besar pada sektor industri.
4.4 Asumsi Mengenai Lingkungan Perekonomian Seperti telah disebutkan di atas, besarnya dampak dari penurunan subsidi BBM juga ditentukan oleh asumsi yang dianut pada saat perhitungan. Asumsi-asumsi tersebut tercermin dalam pemilihan variabel endogen (nilainya ditentukan di dalam model) dan eksogen (nilainya ditentukan dari luar model) pada saat menutup model (closure). Paling tidak ada empat asumsi yang perlu mendapat penjelasan, yakni asumsi mengenai: (i) lingkungan ekonomi makro; (ii) perilaku upah dan pasar tenaga kerja; (iii) teknologi; dan (iv) kurs rupiah.
Asumsi makro menentukan komposisi dampak dari penurunan subsidi BBM terhadap PDB (Pendapatan Domestik Bruto). Salah satu asumsi yang umum dipakai adalah membuat konsumsi rumah tangga (Consumption), konsumsi pemerintah (Government) dan total investasi (Investment) sebagai variabel eksogen. Dengan demikian dampak dari kenaikan BBM terhadap PDB, secara endogen hanya ditentukan oleh neraca perdagangan. Dengan membuat pengeluaran pemerintah sebagai variabel eksogen, pengeluaran pemerintah untuk sektor tertentu dapat dinaikkan secara eksogen untuk mengkompensasi kenaikan harga BBM. Demikan pula, konsumsi rumah tangga dan tingkat investasi ditetapkan sebagai variabel eksogen. Apabila diasumsikan kedua variabel di atas nilainya tidak berubah, berarti penurunan subsidi BBM dianggap tidak menurunkan konsumsi rumah tangga maupun total investasi yang tersedia bagi perekonomian. KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
60
Asumsi berikutnya adalah mengenai pasar faktor produksi. Diasumsikan bahwa kajian ini menghitung dampak jangka pendek dari penarikan subsidi BBM. Di dalam analisis KUT jangka pendek, stok kapital dianggap tidak berubah. (fixed). Utuk pasar tenaga kerja, ada dua alternatif. Pertama, membuat tingkat penggunaan tenaga kerja (employment) tidak berubah atau, kedua membuat tingkat upah riil atau nominal tidak berubah. Alternatif pertama berarti kenaikan harga minyak tidak mengubah tingkat pengangguran tapi mengubah tingkat upah. Sebaliknya, untuk alternatif yang kedua kenaikan harga minyak tidak mengubah salah satu tingkat upah nominal atau riil tetapi tingkat pengangguran dapat menyesuaikan. Asumsi ini dapat dipakai untuk memodel salah satu sistem kompensasi BBM seperti telah dijelaskan di atas. Apabila kita ingin memodel kompensasi kenaikan harga BBM melalui kenaikan tingkat upah maka asumsi yang lebih tepat adalah dengan menetapkan tingkat upah riil sebagai variabel eksogen. Sebaliknya, apabila kita ingin memodel bahwa pekerja tidak dikompensasi atas kenaikan harga BBM melalui tingkat upah maka asumsi yang lebih tepat adalah dengan menetapkan tingkat upah nominal sebagai variabel eksogen. Alternatif lain yang lebih moderat adalah dengan mengkompensasi hanya sebagian dari upah, misalnya setengah dari kenaikan harga. Alternatif yang terakhir tampaknya sesuai dengan semangat kebijakan penarikan subsidi BBM untuk tidak mengkompensasi konsumen secara keseluruhan, sebaliknya hanya memilih yang kurang mampu.
Asumsi selanjutnya adalah mengenai peranan teknologi dan selera konsumen. Dalam konstruksi model INDOCEEM, secara natural semua variabel yang mewakili perubahan teknologi dan selera konsumen adalah variabel eksogen. Variabel ini dapat dipakai untuk mengakomodasi dampak penghematan BBM baik yang dilakukan oleh rumah tangga maupun oleh sektor industri.
Kurs rupiah juga dimasukkan sebagai variabel eksogen karena INDOCEEM tidak memodel secara eksplisit perilaku pasar uang. Di dalam perhitungan dampak penarikan subsidi BBM kurs rupiah diasumsikan tidak berubah karena penarikan subsidi BBM tersebut.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
61
4.5 Dampak Pengurangan Subsidi BBM terhadap Perekonomian Dalam membuat proyeksi dampak penurunan subsidi BBM ditampilkan empat buah simulasi yang mencerminkan perbedaan asumsi mengenai tingkat upah, penggunaan dana yang dihemat pemerintah dari pengurangan subsidi BBM dan peningkatan efisiensi pengunaan BBM. Asumsi mengenai tingkat upah sangat penting dalam menerangkan perilaku inflasi, sedangkan asumsi mengenai penajaman prioritas penggunaan dana yang dihemat dari pengurangan subsidi BBM dan penghematan penggunaan BBM sangat krusial dalam menentukan dampak pertumbuhan ekonomi.
Tabel 4.3: Ringkasan Asumsi Masing-masing Skenario Asumsi Tingkat upah
Skenario1 Upah nominal tetap, tidak ada kompensasi melalui tingkat upah
Skenario 2 Upah riil tetap, kompensasi penuh terhadap upah buruh (fully indexed)
Skenario3 Kompensasi upah 50 persen dari dampak inflasi kenaikan harga BBM (halfindexed)
Skenario 4 Sama dengan skenario 3
Pengeluaran Tidak berubah pemerintah
Tidak berubah
Meningkat pada sektor prioritas, :OPK 50 %, Pendidikan 25 %; Kesehatan 25 %; dan Keamanan 25%
Sama dengan skenario 3.
Modal
Tidak berubah
Tidak berubah
Tidak berubah
Tidak berubah
Teknologi
Tidak berubah
Tidak berubah
Tidak berubah
Efisiensi penggunaan BBM membaik sebesar 2 persen untuk konsumsi rumah tangga dan 3 persen untuk industri
Simulasi dari skenario 1 sampai 4 dilakukan secara bertahap. Dengan demikian akan tampak dampak dari masing-masing asumsi yang ditambahkan. Semua simulasi dihitung untuk konteks jangka pendek, dimana stok modal diasumsikan tidak dipengaruhi oleh
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
62
perubahan kebijakan subsidi. Ringkasan asumsi untuk masing-masing simulasi ditampilkan di Tabel 4.3.
Salah satu metode yang paling sering dipakai dalam menginterpretasikan hasil proyeksi yang dihasilkan sebuah model KUT adalah dengan memulai mengidentifikasi dampak dari perubahan kebijakan terhadap beberapa variabel ekonomi terdekat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kenaikan harga BBM berakibat secara langsung maupun tidak langsung terhadap tingkat inflasi. Secara langsung kenaikan harga BBM yang melalui konsumsi BBM rumah tangga, dan secara tidak langsung melalui kenaikan harga barang konsumsi rumah tangga lainnya yang diproduksi oleh industri dengan menggunakan BBM sebagai inputnya.
Dampak total dari kenaikan harga BBM terhadap inflasi ditunjukkan pada Tabel 4.4. Simulasi dengan asumsi bahwa upah nomilal tetap − (SIM1) pekerja tidak dikompensasi melalui upah terhadap dampak inflasi kenaikan harga BBM − menghasilkan tingkat inflasi sebesar 0,77 persen. Sedangkan simulasi dengan asumsi bahwa upah dikompensasi secara penuh terhadap kenaikan inflasi (SIM2) menghasilkan tingkat inflasi yang lebih tinggi sebesar 1,3 persen. Ini disebabkan oleh karena kenaikan tingkat inflasi pada SIM2 disertai oleh inflasi tambahan yang didorong oleh kenaikan biaya produksi sebagai akibat dari kenaikan tingkat upah. Pada simulasi 3 dan 4, dampak inflasi dari kenaikan harga BBM menjadi semakin kecil karena kompensasi melalui upah dikurangi menjadi 50 persen dari kenaikan inflasi. Angka ini mungkin lebih mencerminkan realitas mengingat pada prakteknya hanya sebagian konsumen yang dikompensasi dari kenaikan harga BBM.
Angka inflasi yang diproyeksikan di atas, berkisar antara 0,8 – 1,3 persen, mendekati angka hasil estimasi Bank Indonesia sebesar 1,4 persen. Namun perlu dicatat di sini bahwa kenaikan inflasi yang diestimasi dalam kajian ini memperhitungkan hanya kenaikan harga yang dapat dilegitimasi dari kenaikan biaya produksi. Apabila dalam realitas industri yang mengalami kenaikan biaya produksi sebesar 5 persen dari kenaikan harga BBM, namun pedagang menaikan harga jual sebesar 10 persen misalnya, maka dampak inflasi tambahan yang tidak genuine seperti ini tidak diperhitungkan oleh INDOCEEM. Seperti ditunjukkan pada Tabel 4.4, dampak kenaikan harga BBM terhadap
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
63
harga output sektor jasa perdagangan semestinya hanya sekitar 0,9 persen (SIM1) sampai 1,5 persen (SIM2), bukan 5 persen.
Tabel 4. 4: Dampak Ekonomi Kenaikan Harga BBM Variabel Makro Ekonomi PDB Riil Volume Ekspor Volume Impor Neraca Perdagangan Indeks Harga Konsumen Output Sektoral Pertanian Pertambangan Manufaktur Listrik, Gas, Air Konstruksi Perdagangan, Hotel, Restoran Transpor dan Komunikasi Keuangan Jasa-jasa (termasuk Pendidikan, Pertahanan dan Kesehatan) Harga Output Industri Strategis Angkutan Kereta Api Angkutan Darat Angkutan Air Konstruksi Listrik Gas Air Beras Gula Perikanan Laut Komunikasi Jasa Keuangan Jasa Perdagangan Restoran Hotel Sumber: Hasil Simulasi INDOCEEM
Skenario 1
Skenario 2
Skenario 3
Skenario 4
-0.026 -0.417 -0.437 -0.073 0.768
-0.270 -0.932 -0.232 -0.305 1.282
-0.042 -0.565 -0.566 -0.087 0.886
0.106 -0.514 -1.018 0.050 0.853
-0.026 -0.034 -0.213 -0.014 -0.018 -0.158 -0.577 -0.084
-0.182 -0.086 -0.615 -0.160 -0.055 -0.357 -0.926 -0.460
-0.089 -0.054 -0.357 -0.202 -0.231 -0.301 -0.801 -0.265
-0.074 -0.050 -0.342 -0.121 -0.227 -0.311 -0.712 -0.244
0.087
-0.126
1.160
1.175
3.071 4.297 4.926 2.725 0.607 1.420 0.301 0.305 0.481 0.974 0.382 0.453 0.948 0.702 0.642
3.758 4.653 5.231 3.168 0.695 0.912 0.900 0.711 0.865 1.391 0.776 0.847 1.501 1.318 1.241
3.253 4.374 5.004 2.790 0.534 1.028 0.472 0.399 0.586 1.099 0.491 0.556 1.110 0.881 0.814
3.187 4.327 4.952 2.736 0.399 0.846 0.441 0.439 0.575 1.079 0.466 0.527 1.077 0.864 0.781
Menarik untuk dicatat bahwa dampak inflasi dari kebijakan pencabutan subsidi BBM akan menurun menjadi 0,85 persen (SIM4) apabila; (i) kompensasi terhadap upah buruh akibat kenaikan harga BBM melalui upah diturunkan menjadi 50 persen (half-indexed); dan (ii) rumah tangga dan industri dapat menghemat penggunaan BBM, masing-masing sebesar 2 dan 3 persen. Kenaikan harga BBM dengan asumsi bahwa pekerja tidak sepenuhnya dikompensasi (half-indexed) mengurangi kenaikan biaya produksi semua KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
64
industri. Bagi rumahtangga, penghematan BBM akan mengurangi dampak negatif dari kenaikan harga BBM. Bagi industri, penghematan BBM akan menurunkan kenaikan biaya produksi. Dengan demikian perekonomian secara keseluruhan diuntungkan oleh alokasi sumberdaya yang semakin baik, terlihat dari membaiknya pertumbuhan ekonomi.
Secara umum dampak dari kenaikan harga BBM terhadap pertumbuhan ekonomi tidak begitu besar, sekitar negatif 0,026 – 0,27 persen. Namun SIM3 dan SIM4 menunjukkan bahwa dampak negatif tersebut dapat dikurangi dengan upaya untuk mempertajam prioritas pengeluaran pemerintah dan bahkan dapat berubah menjadi positif apabila rumah tangga dan industri dapat bersama-sama menghemat penggunaan BBM sebesar 2 sampai 3 persen. Pada SIM4 dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi berbalik menjadi positif (0,16 persen) karena perbaikan efisiensi mengembalikan daya saing yang menurun sebagai akibat kenaikan tingkat harga domestik dari kenaikan harga BBM dan kompensasi upah yang mengikuti. Ini terlihat dari kinerja neraca perdagangan yang semakin baik.
Dari output sektoral yang ditampilkan pada Tabel 4.4, sektor yang paling terpengaruh terhadap kenaikan harga BBM pada SIM1 dan SIM2 adalah transportasi dan komunikasi, diikuti oleh sektor manufaktur yang berorientasi ekspor. Untuk sektor transportasi, ini merupakan konsekuensi dari besarnya komponen BBM dalam biaya produksi mereka. Sedangkan untuk sektor manufaktur, pengurangan output juga disebabkan oleh besarnya pangsa output yang diekspor yang sangat terpengaruh terhadap melemahnya daya saing.
Dari simulasi 3 juga menunjukkan bahwa dampak inflasi dari program kompensasi melalui penajaman prioritas pengeluaran pemerintah tidak signifikan. Dampak program kompensasi melalui penyesuaian tingkat upah jauh lebih signifikan. Pada simulasi yang sama juga terlihat output sektor jasa-jasa meningkat sebesar 1 persen lebih. Kenaikan ini didorong oleh penajaman prioritas pengeluaran pemerintah, karena sektor pemerintahan termasuk dalam sektor agregasi jasa-jasa. Hal yang sama juga berlaku pada SIM4, karena asumsi dan shock yang sama dipertahankan. Namun, pada SIM4 kinerja sektor manufaktur dan beberapa sektor lainnya menjadi semakin baik.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
65
Selain dampak kenaikan harga BBM terhadap output, INDOCEEM juga dapat menghitung dampak yang sama untuk harga produksi masing-masing industri. Tabel 4.5 menunjukkan bahwa harga output sektor transportasi terpengaruh paling besar, naik mencapai 4 sampai 6 persen. Sektor-sektor lainnya mengalami kenaikan di bawah 4 persen, bahkan di banyak sektor, terutama sektor pertanian, harga outputnya naik di bawah 1 persen. Temuan di atas semestinya dapat dipakai sebagai batasan (benchmark) terhadap kenaikan harga berbagai komoditi.
Tabel 4.5: Dampak Kenaikan Harga BBM Terhadap Harga Output Sektoral Sektor Padi Umbi-umbian Kedelai Sayur mayur Buah-buahan Pertanian pangan lainnya Karet Tebu Kelapa Kelapa Sawit Tembakau Kopi Teh Cengkeh Hasil Pertanian Lainnya Peternakan Peternakan Lainnya Kayu Kayu Bakar Hasil Hutan Lainnya Perikanan Laut Perikanan Darat Perikanan Air Payau Minyak Mentah Gas Alam Pertambangan Batubara Ind. Makanan dari Daging dan Susu (IBS) Ind. Makanan dari Sayuran dan Buah (IBS) Ind. Kopra (IBS) Ind. Minyak Goreng Beras (IBS) Ind. Tepung (IBS) Ind Roti dan Biskuit (IBS) Ind. Gula (IBS)
Sken 1 0.085 0.085 0.164 0.122 0.068 0.103 -0.022 0.471 0.168 0.577 0.683 0.508 0.266 0.160 0.329 0.265 0.396 1.152 0.683 0.897 0.974 0.225 0.373 -0.002 -0.002 1.293 0.850 0.449 0.393 0.444 0.379 0.305 0.344 0.371 0.481
Sken 2 0.507 0.490 0.550 0.542 0.487 0.500 0.528 1.048 0.638 1.044 1.196 1.012 0.815 0.646 0.835 0.772 0.812 1.630 1.103 1.465 1.391 0.725 0.679 0.028 0.038 1.733 1.344 0.852 0.889 0.763 0.642 0.711 0.575 0.911 0.865
Sken 3 0.218 0.220 0.283 0.259 0.209 0.230 0.150 0.651 0.323 0.715 0.823 0.656 0.447 0.317 0.493 0.427 0.520 1.300 0.819 1.078 1.099 0.380 0.444 0.008 0.011 1.427 0.985 0.533 0.536 0.515 0.446 0.399 0.403 0.532 0.586
Sken 4 0.207 0.211 0.272 0.247 0.200 0.219 0.156 0.615 0.305 0.686 0.778 0.612 0.419 0.302 0.470 0.416 0.507 1.267 0.802 1.044 1.079 0.378 0.453 0.008 0.011 1.387 0.933 0.520 0.539 0.520 0.433 0.439 0.380 0.516 0.575
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
66
Lanjutan Tabel 4.5 Ind. Makanan Ternak (IBS) Ind. Minuman (IBS) Ind. Tembakau dan Rokok (IBS) Ind. Makanan Lainnya (IBS) Ind. Makanan, Minuman, Tembakau (IKKR) Ind. Tekstil dan Produk Kulit (IBS) Ind. Tekstil dan Produk Kulit (IKKR) Ind. Plywood (IBS) Ind. Hasil Kayu (IBS) Ind. Hasil Kayu (IKKR) Ind. Produk Kertas (IBS) Ind. Produk Kertas (IKKR) Ind. Pupuk (IBS) Ind. Pupuk (IKKR) Ind. Pestisida (IBS) Ind. Kimia (IBS) Ind. Kimia (IKKR) Ind. Pengilangan Minyak LNG Ind. Besi dan Baja (IBS) Ind. Aluminum (IBS) Ind. Aluminum (IKKR) Ind. Mesin dan Elektronika (IBS) Ind. Mesin dan Elektronika (IKKR) Ind. Manufaktur Lainnya (IBS) Ind. Manufaktur Lainnya (IKKR) Listrik Gas Air Bangunan Bangunan Pertanian Jalan Propinsi Jalan Nasional Jalan Tol Jembatan Bandar Udara Rel KA Pelabuhan Instalasi Listrik Instalasi Gas Instalasi Air Instalasi Komunikasi Bangunan Lainnya Perdagangan Restoran Hotel Transportasi KA Transportasi Darat
Sken 1 0.345 0.639 0.427 0.437 0.507 0.405 0.375 0.940 0.791 0.748 1.039 0.479 0.789 0.769 0.730 0.165 0.072 0.140 1.076 1.411 0.492 0.763 0.330 0.373 0.516 0.482 0.607 1.420 0.301 2.725 3.100 3.001 3.605 2.942 2.706 2.522 3.213 2.831 0.719 0.873 0.681 0.724 2.538 0.948 0.702 0.642 3.071 4.297
Sken 2 0.632 1.131 0.763 0.767 0.903 0.815 0.855 1.071 1.115 1.129 1.311 0.820 0.801 0.880 0.933 0.387 0.277 0.208 0.753 1.528 0.747 1.096 0.683 0.847 0.793 0.758 0.695 0.912 0.900 3.168 3.642 3.505 4.085 3.446 3.206 3.026 3.731 3.342 1.275 1.450 1.214 1.272 3.057 1.501 1.318 1.241 3.758 4.653
Sken 3 0.425 0.767 0.514 0.512 0.603 0.510 0.507 0.861 0.812 0.785 1.111 0.600 0.713 0.722 0.770 0.220 0.133 0.154 0.815 1.385 0.517 0.817 0.413 0.448 0.563 0.543 0.534 1.028 0.472 2.790 3.232 3.122 3.705 3.065 2.832 2.657 3.326 2.961 0.841 0.984 0.802 0.836 2.635 1.110 0.881 0.814 3.253 4.374
Sken 4 0.417 0.741 0.491 0.510 0.598 0.482 0.479 0.861 0.782 0.743 1.076 0.560 0.651 0.661 0.748 0.210 0.126 0.145 0.691 1.342 0.487 0.772 0.383 0.417 0.544 0.523 0.399 0.846 0.441 2.736 3.185 3.074 3.651 3.018 2.787 2.613 3.272 2.914 0.809 0.946 0.771 0.803 2.594 1.077 0.864 0.781 3.187 4.327
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
67
Lanjutan Tabel 4.5 Transportasi Laut Transortasi Sungai dan Danau Transportasi Udara Jasa Jalan Tol Jasa-jasa Transportasi Lainnya Komunikasi Keuangan Pemerintahan dan Pertahanan Pendidikan Pemerintah Rumah Sakit Pemerintah Jasa Pemerintahan Lainnya Pendidikan Swasta Rumah Sakit Swasta Jasa Swasta Lainnya Sumber: Hasil Simulasi INDOCEEM
Sken 1 3.536 4.926 -0.071 1.049 1.273 0.382 0.453 0.000 0.597 0.529 0.473 0.312 0.372 0.244
Sken 2 3.880 5.231 0.164 1.444 1.653 0.776 0.847 1.220 1.493 1.381 1.377 1.131 0.839 0.913
Sken 3 3.602 5.004 -0.037 1.152 1.359 0.491 0.556 0.421 0.882 0.793 0.746 0.580 0.473 0.437
Sken 4 3.559 4.952 -0.216 1.120 1.326 0.466 0.527 0.405 0.832 0.764 0.712 0.556 0.452 0.409
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
68
BAB V KESIMPULAN 5.1 Temuan Bagi masyarakat umum kebijakan pemerintah menghapus subsidi BBM merupakan langkah yang dipandang akan membebani daya beli dan sekaligus menurunkan tingkat kesejahteraannya. Oleh karenanya, banyak studi dan analisis mengenai isu kebijakan penghapusan subsidi difokuskan pada dampak inflatoir. Mengingat pentingnya isu perhitungan dampak inflatoir, maka kajian ini secara teknis difokuskan untuk melihat kontribusi kenaikan harga BBM terhadap kenaikan harga-harga komoditi maupun hargaharga umum (inflasi), meskipun indikator makro lainnya juga diamati.
Dari hasil kajian dengan menggunakan analisis model INDOCEEM, ditemukan bahwa dampak kenaikan harga BBM terhadap tingkat inflasi nasional adalah sebesar 0,77 persen. Angka ini dapat digolongkan tidak signifikan dalam mempengaruhi kinerja perekonomian makro secara keseluruhan. Bukti ini sekaligus menghapus kekhawatiran masyarakat mengenai dampak inflatoir yang ditimbulkan adanya kenaikan harga BBM. Meski dampak kenaikan BBM yang secara kalkulatif relatif kecil, masih diperlukan kebijakan lain untuk meredam efek psikologi masyarakat yang berpotensi untuk memicu perilaku tidak wajar, terutama kelompok masyarakat berpendapatan rendah.
Selain mengkalkulasi kenaikan harga BBM, studi ini juga melakukan simulasi untuk memperkirakan dampak dari kebijakan kompensasi dan peningkatan efisiensi penggunaan BBM oleh masyarakat. Skenario kompensasi bagi para buruh dalam bentuk kenaikan tingkat upah (Sim2) justru mendorong peningkatan inflasi menjadi 1,3 persen karena dorongan peningkatan biaya produksi dan daya beli dari pekerja itu sendiri. Tetapi besaran inflasi yang ditimbulkan masih relatif tidak signifikan dibanding peningkatan pendapatan yang diterima para pekerja. Sedangkan skenario lain yakni program kompensasi BBM dalam bentuk penajaman prioritas pengeluaran pemerintah dengan meningkatkan pengeluaran pembangunan untuk sektor pendidikan, kesehatan, pertahanan dan operasi pasar khusus (Sim3) tidak mempunyai dampak inflasi yang signifikan.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
69
Demikian pula dengan skenario peningkatan efisiensi penggunaan BBM oleh masyarakat (Sim4).
Kajian ini juga melihat dampak kenaikan harga BBM terhadap kinerja perekonomian secara umum yang diwakili oleh perubahan indikator PDB (pendapatan nasional). Tiga skenario pertama (Sim1, Sim2, dan Sim3) yang diujicobakan memperlihatkan bahwa dampak kenaikan harga BBM terhadap pertumbuhan ekonomi adalah negatif, sekitar minus 0.026 –0.27. Namun apabila dalam masyarakat terjadi efisiensi penggunaan BBM (Sim4) maka justru akan terjadi pertumbuhan positif sebesar 0,106 persen. Yang perlu diwaspadai adalah adanya penurunan kinerja neraca perdagangan baik dari sisi ekspor maupun impor. Sehingga diperlukan upaya untuk mendorong competitiveness secara menyeluruh.
Pada sisi pembentukan harga komoditi sektoral, kajian ini menunjukkan bahwa harga output sektor transportasi terpengaruh paling besar, naik mencapai 4 sampai 6 persen. Sektor-sektor lain mengalami kenaikan harga di bawah 4 persen, bahkan di sebagian besar sektor-sektor produktif, terutama sektor pertanian, harga outputnya naik dengan kisaran yang tidak signifikan yakni di bawah 1 persen. Besarnya kenaikan tersebut tergantung pada pangsa penggunaan BBM dalam struktur biaya produksi masing-masing sektor. Meski demikian, kenaikan harga komoditi sebesar tersebut di atas dapat digolongkan tidak signifikan.
Hasil perhitungan dengan pemodelan tersebut didukung hasil survey lapangan yang menunjukkan bahwa komponen biaya energi dalam total biaya produksi/operasi dari setiap konsumen BBM pada umumnya tidaklah terlalu besar. Persentase biaya BBM dalam total pengeluaran rumah tangga pada umumnya tidak sampai 2,5 persen, bahkan semakin tinggi tingkat pengeluarannya persentase pengeluaran BBMnya semakin kecil (1,5-2 persen). Pada sektor industri persentase biaya BBM berkisar antara 0,5-6%. Sedangkan sektor transportasi persentase pengeluaran untuk BBM relatif lebih tinggi, yaitu sekitar 13 persen, kecuali angkutan udara, ASDP, dan Taxi yang persentasenya cukup signifikan, yaitu sekitar 25 persen. Struktur biaya semacam ini yang menyebabkan sektor transportasi akan mengalami kenaikan relatif besar dibanding sektor-sektor lainnya. KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
70
5.2 Rekomendasi Temuan-temuan di atas mengarah pada kesimpulan bahwa kenaikan harga BBM bukan merupakan pemicu utama dari inflasi nasional. Masih banyak faktor pemicu lain yang lebih signifikan mendorong inflasi ke tingkat yang tinggi. Meski demikian, pemerintah harus berupaya agar kenaikan harga yang terjadi di sektor-sektor ekonomi memang pada tingkat ekonominya, artinya naik secara wajar sesuai struktur biayanya. Di negara-negara maju, setiap kali pemerintah mengimplementasikan kebijakan yang mempengaruhi tingkat harga secara umum, pada saat yang sama akan dilakukan pemantauan harga (surveilence). Dengan demikian tidak banyak pedagang yang mencari kesempatan dalam kesempitan dengan menaikkan harga di atas kenaikan biaya produksi. Dengan pemantauan harga, perekonomian terhindar dari inflasi yang tidak perlu dan masyarakatpun akan terhindar dari margin-margin yang tidak semestinya.
Upaya lain yang perlu dilakukan pemerintah adalah tetap mempertajam kebijakan kompensasi yang selama ini telah dilakukan dengan cara yang lebih transparan dalam hal pemanfaatan dananya dan sasarannya. Perlu juga dipikirkan kompensasi ke kelompok pekerja berpenghasilan rendah secara langsung baik melalui program tertentu maupun penetapan upah minimum yang fleksibel terhadap perubahan biaya hidup mereka termasuk yang dipicu oleh kenaikan harga BBM.
Faktor lain yang perlu diupayakan untuk segera disosialisasikan adalah efisiensi penggunaan BBM di seluruh pengguna BBM. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari pemborosan dalam pemanfaatan BBM dalam proses produksi maupun konsumsi sehingga bisa menekan biaya energi di masing-masing sektor. Pada sektor-sektor produktif, langkah-langkah yang mungkin bisa dilakukan pemerintah adalah menciptakan peluang dan insentif untuk memperbaiki proses produksi melalui instrumen tarif bea masuk, pajak, dan pemangkasan berbagai restribusi yang bersifat disinsentif terhadap barang-barang kapital, misalnya suku cadang kendaraan bermotor dan mesin. Ini memerlukan studi yang lebih mikro lagi untuk menentukan barang-barang apa yang perlu ditinjau ulang berikut tarifnya. Pada kelompok rumah tangga, sosialisasi pemanfaatan energi alternatif perlu
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
71
terus diupayakan dan didorong sehingga masyarakat secara rela dapat menggunakan energi alternatif seperti batubara dengan cara yang mudah, murah, dan aman.
Kunci utama untuk menyukseskan program pengurangan dampak (dan juga keseluruhan program penghapusan subsidi BBM) adalah partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dapat berupa peningkatan peran serta masyarakat dalam perumusan kebijakan,
pengawasan
pelaksanaannya,
serta
penanggulangan
dampak
yang
diakibatkannya. Bentuk partisipasi dalam penanggulangan dampak kenaikan harga BBM, misalnya: pengawasan distribusi minyak solar dan minyak tanah yang mengalami kelangkaan di beberapa daerah, pengawasan terhadap bantuan kompensasi kenaikan harga BBM kepada masyarakat miskin, serta pemantauan terhadap kewajaran kenaikan harga barang/jasa.
Kebijakan kenaikan harga memang menjadi salah satu prioritas untuk mengamankan keuangan negara. Yang lebih penting adalah bagaimana menetapkan kebijakan harga sebagai satu kesatuan dengan kebijakan energi secara menyeluruh maupun kebijakankebijakan publik lainnya seperti pajak, bea masuk, ketenagakerjaan, peningkatan daya saing, dan sebagainya. Beberapa rekomendasi yang disebutkan di atas, sebenarnya dalam beberapa hal sudah dilakukan pemerintah. Untuk lebih menjamin efektivitasnya, pemerintah harus tetap mengupayakan agar kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah, termasuk menurunkan subsidi BBM, dilaksanakan secara konsisten, kontinyu, terkoordinasi, serta transparan.
KAJIAN KENAIKAN HARGA BBM 2002
72