1
DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM PADA SUMBERDAYA PERIKANAN 1 Oleh: Yudi Wahyudin 2 Abstrak Kenaikan harga BBM dapat membawa dampak yang tidak sedikit bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Peningkatan harga BBM sebesar Rp.1.500 per liter diestimasi dapat meningkatkan proporsi biaya operasional penangkapan ikan hingga mencapai 38 persen. Untuk melihat seberapa besar pengaruh perkembangan ekonomi terhadap keberlangsungan sumberdaya, maka perlu kiranya dilakukan simulasi keadaan produksi optimal pada keseimbangan bio-ekonomi. Berdasarkan hasil perhitungan pada saat terjadi keseimbangan ekonomi Open Access, maka kenaikan biaya ekstraksi sumberdaya secara tidak langsung memberikan kesempatan kepada biomassa untuk tumbuh dan berkembang atau mengalami pemulihan. Pemulihan biomassa ini setidaknya dapat diakibatkan oleh adanya penurunan jumlah upaya penangkapan, sehingga secara tidak langsung biomassa mempunyai kesempatan untuk memulihkan diri. Namun demikian, dampak penurunan jumlah upaya secara tidak langsung dapat mendorong terjadinya peningkatan produksi per unit upaya bagi nelayan yang masih dapat bertahan untuk tetap melakukan penangkapan. Hasil kajian juga mengindikasikan bahwa peningkatan terhadap biaya penangkapan secara signifikan dapat memberi berkah sekaligus nestapa bagi ketersediaan sumberdaya ikan. Melihat begitu besarnya pengaruh peningkatan harga BBM terhadap sumberdaya ikan dan nelayan, maka perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam agar diperoleh gambaran secara menyeluruh dan pada gilirannya dapat dilakukan langkah-langkah penting agar dampaknya tidak merugikan semua pihak, terutama masyarakat nelayan dan mempunyai keterbatasan modal. Kata Kunci: Kenaikan harga BBM, dampak, bioekonomi perikanan, pemulihan sumberdaya, peningkatan upaya, penurunan jumlah nelayan, rencana aksi, mata pencaharian alternatif
1. Pendahuluan Sektor kelautan dan perikanan dalam kurun waktu sewindu terakhir ini telah menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional dan diharapkan dapat menjadi prime mover pertumbuhan ekonomi nasional. Beberapa program pembangunan kelautan dan perikanan telah diupayakan, diantaranya melalui program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, gerbang mina bahari, sampai pada program revitalisasi kelautan dan perikanan. Perikanan merupakan tulang punggung pertama pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia. Sektor ini selain memberikan kontribusi paling besar terhadap pembangunan wilayah pesisir, di lain sisi juga mampu menyerap banyak tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja terbesar diberikan oleh kegiatan perikanan tangkap, baik pada skala subsisten maupun industri. Penduduk 1
Makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Indonesia di Hotel Bidakara, Jakarta, 19 September 2012. 2 Peneliti pada Program Pengembangan Sosial Ekonomi dan Masyarakat Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor dan Peserta Program Doktor pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan IPB.
WP.2012-YDW
Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=2211326
2 Indonesia yang berjumlah sekitar 250 juta jiwa, 60 persen diantaranya tinggal di wilayah pesisir dan 90 persen penduduk yang tinggal di wilayah pesisir bergerak dan berusaha di sektor perikanan. Oleh karena itu, peran pemerintah sebagai service provider dan service arranger harus lebih dioptimalkan dan memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat pesisir di Indonesia. Pengembangan perikanan yang telah berjalan selama ini seyogyanya memerlukan suatu kebijakan pengelolaan yang tepat dan sesuai dengan karakteristik sumberdaya perikanan itu sendiri, seperti daerah penangkapan, jenis sumberdaya ikan serta keragaman pelaku bisnis perikanan dan armada penangkapan ikan di wilayah Indonesia. Selama ini pemanfaatan sumberdaya ikan yang dilakukan oleh sebagian besar nelayan lebih ditekankan pada kepentingan jangka pendek dengan besaran manfaat yang tidak terlalu besar dibandingkan dengan nilai jangka panjang. Umumnya nelayan berlomba-lomba untuk dapat menangkap ikan lebih banyak (high volume) agar dapat memperoleh manfaat yang lebih besar, sehingga menstimulasi adanya upaya peningkatan teknologi penangkapan. Di sisi lain, nelayan yang menangkap ikan semakin bertambah jumlahnya, sehingga semakin menstimulasi munculnya persaingan dalam mendapatkan hasil tangkapan. Dampaknya tekanan terhadap sumberdaya ikan semakin besar, sehingga menimbulkan degradasi sumberdaya ikan secara besar-besaran. Fenomena ini terjadi di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Perairan Laut Jawa dan Selat Sundang serta Perairan Selat Malaka. Di kedua wilayah perairan ini diduga telah mengalami lebih tangkap (over-fishing) yang salah satunya diduga akibat semakin banyaknya nelayan yang menangkap ikan di perairan ini. Berkembangnya aktivitas penangkapan ikan di perairan Indonesia memberikan stimulans kepada pada investor perikanan, baik pada industri perikanan skala kecil, menengah maupun besar. Perkembangan investasi perikanan semakin membuka peluang penyerapan tenaga kerja, sehingga memudahkan pemerintah untuk menurunkan tingkat pengangguran di Indonesia. Berkembangnya sektor ini juga memberikan stimulans kepada investor lain untuk membuka peluang investasi di bidang sarana dan prasarana produksi seperti perdagangan perlengkapan melaut, industri perkapalan, pengolahan, dan sebagainya, termasuk penyediaan bahan bakar minyak. Investasi dalam penyediaan BBM merupakan salah satu investasi turunan dari perkembangan perikanan tangkap. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 40 persen dari biaya ekstraksi per unit upaya adalah biaya yang dikeluarkan untuk BBM, sehingga dapat dibayangkan berapa besar pengeluaran nelayan yang harus disiapkan untuk penyediaan kebutuhan BBM ini. Ironisnya, seiring waktu harga BBM mengalami kenaikan hingga berlipat-lipat, kendati kemudian turun kembali. Dampak kenaikan BBM sangat luar biasa, karena kenaikan ini sangat memukul investasi perikanan, terlebih industri perikanan skala kecil. Naiknya harga BBM berkorelasi positif terhadap peningkatan biaya ekstraksi per unit upaya. Selain itu, kenaikan harga BBM ini juga menstimulans harga barang-barang olahan dan alat-alat penangkapan untuk naik. Akibatnya, biaya ekstaksi per unit upaya menjadi semakin membengkak. Bengkaknya biaya ekstraksi ini tidak dibarengi dengan kenaikan harga dan volume tangkapan ikan, sehingga dapatlah dibayangkan berapa rupiah yang dapat diperoleh nelayan untuk dibawa ke rumah dan
WP.2012-YDW
Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=2211326
3 untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka. Selain itu, bukan tidak mungkin nelayan yang mempunyai keterbatasan modal terancam tidak melaut atau bahkan gulung tikar. Hilangnya kesempatan melaut dan berhentinya usaha perikanan memberikan dampak terhadap munculnya peningkatan pengangguran dan kemiskinan, terutama keluarga nelayan. Akibatnya, ancaman munculnya kerawanan pangan dan kerawanan sosial menjadi lebih terbuka. Ancaman ini seyogyanya diantisipasi oleh pihak terkait. Di sinilah peran pemerintah selaku institusi formal untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam rangka menanggulangi permasalahan yang ada. Bagaimana dengan sumberdaya perikanan? Pengaruh apa yang ditimbulkan akibat adanya peningkatan harga BBM terhadap sumberdaya perikanan? Dan apa konsekuensi-konsekuensi yang kemudian muncul akibat dampak kenaikan harga BBM tersebut terhadap sumberdaya perikanan? Makalah singkat ini akan membahas bagaimana kenaikan harga BBM dapat berpengaruh terhadap sumberdaya perikanan. Contoh kasus dalam hal ini diperlukan dengan melihat beberapa parameter sebelum dan sesudah perubahan harga serta kemungkinan kenaikan harga berikutnya. Adapun kasus yang digunakan dalam analisis ini adalah sumberdaya perikanan, khususnya sumberdaya udang di perairan Tegal, Jawa Tengah. Baseline perhitungan dalam kasus ini adalah hasil perhitungan kondisi keseimbangan open access yang dilakukan Suseno (2004).
2. Metodologi Salah satu metode yang dikembangkan untuk menentukan tingkat produksi lestari atau yang lebih dikenal dengan MSY (maximum sustainable yield) adalah dengan menggunakan metode surplus produksi. Model ini diperkenalkan oleh Schaefer (1954) yang merupakan hasil pengembangan model yang mulai dikenal sejak tahun 1935 yaitu Graham (1935). Pada dasarnya dx model Schaefer ini memberikan gambaran bahwa tingkat biomas antar waktu ( ) sangat dt dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan intrinsik biomas (r), biomas itu sendiri (x), serta daya dukung maksimum lingkungan (K). Tingkat biomas antar waktu ini sebanding dengan fungsi pertumbuhan sumberdaya ( f (x ) ). Secara umum hubungan antara tingkat biomas antar waktu dan tingkat pertumbuhan dapat dinotasikan sebagai berikut: dx = f (x) ............................................................................................................ (1) dt
salah satu fungsi pertumbuhan sumberdaya yang biasa digunakan adalah fungsi pertumbuhan gomperzt yang dinotasikan sebagai berikut: dx ⎛K⎞ = rx ln⎜ ⎟ ...................................................................................................... (2) dt ⎝ x⎠
Adapun laju pertumbuhan sumberdaya dapat ditentukan dengan mengintroduksi penangkapan (h) ke dalam model dan apabila diasumsikan bahwa penangkapan (h) berkolerasi linear terhadap
WP.2012-YDW
4 biomas (x) dan input produksi atau upaya (E) atau h = qEx (q adalah koefisien daya tangkap). Laju pertumbuhan tersebut dapat dinotasikan sebagai berikut: dx ⎛K⎞ = rx ln⎜ ⎟ − qEx ........................................................................................... (3) dt ⎝ x⎠
Dengan mengasumsikan bahwa tingkat biomass antar waktu sama dengan nol, maka fungsi pertumbuhan akan sama dengan fungsi penangkapan, sehingga dapat diperoleh tingkat biomas optimal secara biologi yang secara matematik dapat dinotasikan sebagai berikut: − E K dx dx ⎛K⎞ ⎛K⎞ = rx ln⎜ ⎟ − qEx Æ = 0 => rx ln⎜ ⎟ = qEx Æ x* = q => x* = Ke r (4) E dt dt ⎝ x⎠ ⎝ x⎠ er q
Kemudian dengan mengsubstitusi persamaan (4) ke dalam fungsi penangkapan, maka dapat diperoleh persamaan berikut: h(E) = qEKe
-
qE r
.................................................................................................... (5)
Selanjutnya, untuk mencari E* diperoleh dengan cara melakukan menurunkan fungsi h(E) terhadap E dan selanjutnya MSY Schaefer dapat diestimasi secara sederhana sebagai berikut: ∂h( E ) q 2 EKe = 0 => qKe r = ∂E r qE
MSY => h* = qEKe
-
qE* r
-
qE r
=> qrK = q 2 EK => E* =
r ........................ (6a) q
= rK ............................................................................ (6b)
Model estimasi parameter biologi (r, q, K) dapat dilakukan dengan menggunakan model estimasi seperti Walter-Hilborn (1976) dan atau Schnute (1977):
r U t +1 U t − qEt .............................................. (7a) −1 = r − qK U Walter-Hilborn => t
Schnute =>
⎡ U t +1 ⎤ r ⎡ U t + U t +1 ⎤ ⎡ E t + E t +1 ⎤ ln⎢ ⎥ ⎥ − q⎢ ⎢ ⎥= r− qK ⎣ 2 2 ⎦ ⎦ ⎣ ⎣ Ut ⎦
.............. (7b)
Gambaran tentang hubungan antara produksi lestari dan tingkat upaya secara umum terlihat pada gambar di bawah ini.
WP.2012-YDW
5
Gambaar 1. Keseim mbangan tinggkat produkssi pada keseiimbangan MEY, M MSY dan d Open Acccess d MSY M barulah merupakaan penggam mbaran suatuu keseimbanngan berdasaarkan Namun demikian, faktor bioologi saja, padahal p sistem m perikanann mengenal adanya a faktoor ekonomi. Oleh karenna itu, Gordon (1955) ( kemu udian mengiintroduksi parameter p ekkonomi sepeerti harga daari output (pp) per satuan berat b dan biaya b dari input (c) ke dalam model Schhaefer untuuk menghassilkan keseimbaangan bio-ekonomi. Keseimbanga K an bio-ekonnomi ini dikkenal dengaan keseimbaangan statik Goordon-Schaeffer.
WP.2012-YD DW
6
Gambarr 2. Keseimb bangan TC dan d TC terhaadap tingkat Upaya padaa saat MEY, OSY, MSY Y, dan Oppen Access p saat tinngkat Pada dassarnya keseiimbangan biio-ekonomi terjadi padaa saat TR = TC , yaitu pada T = TC , maaka keuntunggan sama deengan upaya beerada pada leevel upaya open op access. Pada saat TR nol ( π =00). Bilaman na TR = ph dan d h = qExx , maka TR = pqEx , sedangkan bilamana TC = cE , maka funngsi keuntun ngan adalah:
π = pqEx − cE E ........................................................................................................ (8) k y yang maksim mal, artinya bahwa b keuntungan makssimal MEY akaan terjadi paada tingkat keuntungan ∂π akan terjadi bilaman na a dengan kata lain keeuntungan maksimum m a akan terjadi pada = 0 atau ∂E saat tingkkat biomas (x) ( sebandinng dengan niilai biaya ekkstraksi per unit u upaya (c) ( dibagi deengan harga ikaan per satuan n berat (p) daan koefisien daya tangkaap (q) atau dapat d dinotassikan sebagaai: x* =
c pq
............................................................................................................... (9)
Sehinggaa untuk kond disi open acccess dengann mengsubstitusi persam maan (9) ke dalam d persam maan (2), makaa dapat tingk kat produksi akses terbukka dapat dikketahui sebaggai berikut:
h OA =
WP.2012-YD DW
K rc ⎡ pqK ln ⎢ pq ⎣ c
⎤ ⎥ .............................................................................. (10) ⎦
7 sedangkan tingkat upaya pada kondisi akses terbuka dapat diketahui bilamana persamaan (9) disubstitusikan ke dalam persamaan (4), sehingga menghasilkan persamaan sebagai berikut: rc ⎛ pqK ⎞ qc r ⎛ pqK ⎞ ln⎜ E => E OA = ln⎜ ⎟= ⎟ .................................................... (11) pq ⎝ c ⎠ pq q ⎝ c ⎠
3. Hasil dan Pembahasan Kenaikan harga BBM yang rencananya dilakukan pada awal bulan April 2012 lalu dan keniscayaan kenaikan harga BBM di masa mendatang (Wahyudin, 2012b) tentu akan membawa dampak yang tidak sedikit bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Bagaimana tidak? Proporsi pembiayaan untuk kebutuhan BBM bagi operasionalisasi penangkapan ikan dewasa ini dapat mencapai lebih kurang 40 persen dari total kebutuhan biaya penangkapan. Dan, dengan meningkatnya harga BBM, maka sudah barang tentu akan semakin menambah biaya ekstraksi pemanfaatan sumberdaya ikan. Selain itu, peningkatan harga BBM juga mendorong harga-harga barang lain juga meningkat lebih kurang antara 20-30 persennya dan peningkatan ini tentu dapat berdampak terhadap peningkatan biaya penangkapan ikan. Dengan demikian, secara keseluruhan kenaikan harga BBM sebesar Rp.1.500 per liter diestimasi dapat meningkatkan proporsi biaya operasional penangkapan ikan hingga mencapai 38 persen. Suseno (2004) melakukan perhitungan potensi sumberdaya udang di perairan Tegal yang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring arad. Metode surplus produksi digunakan sebagai pendekatan perhitungan dengan pendekatan estimator Schnute (1977) sebagai alat penduga parameter biologi (r, q, K). Hasil regresi menunjukkan bahwa parameter r (tingkat pertumbuhan alami) adalah sebesar 10.83565738, q (koefisien tingkat kemampuan alat tangkap) sebesar 0.000113623 dan K (daya dukung sumberdaya udang) 283698.4465. Berdasarkan parameter tersebut, dapat diperoleh bahwa tingkat potensi lestari maksimum (MSY) sumberdaya udang di perairan Tegal adalah sebanyak 1131004,29 kilogram per tahun atau sebanyak 1131 ton per tahun, dengan tingkat upaya maksimum sebanyak 95364 trip per tahun. Berikut adalah kurva pertumbuhan alami dan tingkat potensi lestari maksimum sumberdaya udang di perairan Tegal (Gambar 3).
WP.2012-YDW
8
Gambar 3. Kurva pertumbuhan alami (Dijustifikasi dari Suseno, 2004)
Gambar 4. Tingkat produksi lestari maksimum sumberdaya udang di perairan Tegal
(Dijustifikasi dari Suseno, 2004) Untuk melihat seberapa besar pengaruh perkembangan ekonomi terhadap keberlangsungan sumberdaya, maka perlu kiranya dilakukan simulasi keadaan produksi optimal pada keseimbangan bio-ekonomi. Kondisi bio-ekonomi dalam hal ini adalah kondisi dimana tingkat keuntungan yang diperoleh sama dengan nol atau dengan kata lain, bahwa total penerimaan atau manfaat (benefit) yang diperoleh dari hasil penangkapan sama dengan total pengeluaran atau biaya (cost) yang dikeluarkan. Model bio-ekonomi dalam hal ini dapat diperoleh dengan mengintegrasikan parameter ekonomi ke dalam model pertumbuhan. Beberapa parameter ekonomi yang diintegrasikan diantaranya adalah harga rata-rata sumberdaya ikan (p) dan biaya rata-rata pengoperasian alat tangkap per trip (c).
WP.2012-YDW
9 Penangkapan ikan di laut merupakan mata pencaharian utama masyarakat pesisir yang menempati 60 persen penduduk di Indonesia. Ketersediaan sumberdaya ikan menjadi faktor utama keberlanjutan penangkapan ikan yang dilakukan dan juga kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, berbagai upaya pengelolaan perikanan sering dilakukan agar ketersediaan sumberdaya ikan tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan masyarakat. Bentuk kepemilikan sumberdaya perairan, termasuk sumberdaya ikan, di Indonesia termasuk ke dalam bentuk common property, sehingga tidaklah mengherankan jika masyarakat Indonesia mempunyai hak yang sama untuk melakukan usaha penangkapan atau dengan kata lain bersifat open access. Sifat open access inilah kemudian yang menjadi dasar pengelolaan sumberdaya ikan di Indonesia. Dalam hal ini tingkat pemanfaatan sumberdaya dipengaruhi oleh seberapa besar tingkat harga dan biaya ekstrasinya. Dalam bio-ekonomi pada kondisi open access, tingkat keuntungan sama dengan nol. Keadaan pada saat open access inilah yang dijadikan sebagai model simulasi atau exercise pengaruh peningkatan harga BBM terhadap tingkat produksi dan tingkat upaya yang dilakukan untuk mengekstraksi sumberdaya tersebut. Diketahui bahwa dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suseno (2004), diperoleh beberapa parameter ekonomi, yaitu diantaranya harga yang diperoleh dari harga rata-rata udang pada tahun 2004, yaitu sebesar Rp 40000 per kilogram (Suseno, 2004), serta biaya rata-rata operasi penangkapan jaring arad yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp 82500 per trip (Suseno, 2004). Biaya yang dikeluarkan untuk operasi penangkapan ini diantaranya adalah untuk es, makanan dan minuman, rokok, BBM, dll. Adapun besarnya biaya yang dikeluarkan untuk BBM dapat mencapai sebesar 40 persen. Adapun banyaknya BBM yang dibutuhkan untuk melakukan penangkapan udang dengan menggunakan alat tangkap jaring arad adalah sebanyak 20 liter per tripnya. Harga solar pada saat itu (tahun 2004) adalah sebesar Rp 1650,00 per liter, sehingga untuk biaya BBM saja dibutuhkan dana sebesar Rp.33000,00. Kondisi pada tahun 2004 ini kemudian dijadikan sebagai dasar perhitungan atau base simulasi. Simulasi selanjutnya adalah dengan menggunakan harga BBM pada bulan April tahun 2011, dimana terjadi kenaikan harga BBM (solar) menjadi sebesar Rp.4300,00. Jika semua biaya di luar BBM diasumsikan naik 20% seiring kenaikan BBM, maka terjadi kenaikan biaya total per trip sebesar 76.24 persen dibandingkan pada tahun 2004 menjadi sebesar Rp.145400, terdiri atas BBM sebesar Rp.86000 dan biaya lainnya sebesar 59400. Adapun bilamana terjadi kenaikan harga solar per 1 April 2012 sebesar Rp.1500, sehingga harga solar menjadi Rp 5800 per liter, maka akan terjadi kenaikan biaya berlipat per trip sebesar 127.01 persen dibandingkan pada tahun 2004 atau menjadi sebesar Rp.187280, terdiri atas biaya BBM sebesar Rp.116000 dan biaya lainnya sebesar Rp.71280. Tabel 1 berikut ini adalah hasil simulasi kenaikan BBM terhadap sumberdaya perikanan di perairan Tegal.
WP.2012-YDW
10 Tabel 1. Simulasi kenaikan harga BBM No 1
Parameter Harga (p) (Rp/kg)
2 3
Suseno (2004) 40000
April 2011 Sama (asumsi) 4300 145400
Potensi Kenaikan 2012 Sama (asumsi)
Harga Solar (Rp/liter) 1650 Biaya (c) (Rp/trip) 82500 Produksi lestari maksimum (MSY) 4 1131004 1131004 (kg/tahun) Produksi pada saat open access 5 540726 727807 (kg/tahun) Tingkat upaya maksimum lestari 6 95364 95364 (trip/tahun) Tingkat upaya pada saat open access 7 262170 208129 (trip/tahun) Jumlah alat tangkap jaring arad 8 1135 901 beroperasi (unit) 9 Jumlah nelayan jaring arad (orang) 3405 2703 Keterangan : * 1 alat tangkap melakukan penangkapan sebanyak 231 trip per tahun. ** 1 alat tangkap dioperasikan oleh sekitar 3 orang
5800 187280 1131004 919127 95364 183988 796 2389
Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM dapat menstimulans terjadinya penurunan tingkat upaya pada saat open access. Penurunan tingkat upaya pada saat open access dapat disebabkan oleh adanya ketidakmampuan nelayan untuk mengoperasikan alat tangkap jaring arad yang disebabkan oleh tingginya biaya ekstraksi akibat meningkatnya harga BBM. Dampaknya akan terjadi pengangguran besar-besaran. Hasil simulasi menunjukkan bahwa jumlah alat tangkap yang beroperasi pada tahun 2004 dengan tingkat keuntungan sama dengan nol adalah sebanyak 1135 unit alat tangkap setingkat jaring arad dan dengan jumlah nelayan per alat tangkap sebanyak 3 orang, maka banyaknya nelayan pada kondisi open access adalah sebanyak 3405 orang. Kondisi tahun 2004 ini merupakan kondisi dasar perbandingan untuk tahun 2011 dan 2012 yang mengalami kenaikan BBM. Dengan harga solar mencapai Rp 4300 per liter pada bulan April 2011, maka terhitung jumlah alat tangkap yang baik untuk beroperasi adalah sebanyak 901 unit setara jaring arad dengan jumlah nelayan mencapai 2703 atau terjadi force exit yang disebabkan oleh peningkatan BBM sebanyak 234 unit setingkat armada jaring arad atau sebanyak 702 orang. Bilamana harga solar per 1 April 2012 naik menjadi sebesar Rp 5800 per liter, maka jumlah unit alat tangkap yang dapat beroperasi pada kondisi open access akan menjadi hanya sebanyak 796 unit setara jaring arad atau kemungkinan akan terjadi force exit sebanyak 338 unit dengan jumlah nelayan yang kemungkinan akan menganggur sebanyak 1015 orang dibandingkan dengan tahun 2004. Dan bilamana diperbandingkan dengan kondisi tahun 2011, maka akan ada force exit hingga sebanyak 314 orang yang diakibatkan gulung armadanya sebanyak 105 unit alat tangkap setara jaring arad.
WP.2012-YDW
11 Berdasarrkan hasil perhitungan p pada saat terjadi keseimbangan ekkonomi Opeen Access, maka m kenaikann biaya eksttraksi sumbeerdaya udanng secara tiidak langsunng memberiikan kesemppatan kepada biomassa b ud dang untuk tumbuh t dann berkembanng atau menngalami pem mulihan. Haal ini ditunjukkkan dengan biomassa seebanyak 181152 kg pada tahun 20044, 31991 kg pada tahun 2011 dan menjjadi sebanyaak 41207 kg pada tahun 2012. 2 Pemulihaan biomassaa ini setidakknya dapat diakibatkann oleh adanyya penurunaan jumlah upaya u penangkaapan, sehin ngga secaraa tidak lanngsung biom massa mem mpunyai kesempatan untuk u memulihhkan diri. Namun N demikian, damppak penurunnan jumlah upaya u secaraa tidak langgsung dapat meendorong terj rjadinya peniingkatan prooduksi per unnit upaya baagi nelayan yang y masih dapat d bertahan untuk tetap p melakukann penangkappan. Berikuut ini adalaah kurva yanng menunjuukkan hubungann antara tin ngkat upayaa dengan tiingkat peneerimaan atauu tingkat pengeluaran p total pemanfaaatan sumberrdaya udang di perairan Tegal. T
Gambar 5. Hubun ngan antara tingkat t upayya dengan tottal penerimaaan (R) atau total biaya (C)
(Based 2004)
Gambar 6. Hubun ngan antara tingkat t upayya dengan tottal penerimaaan (R) atau total biaya (C)
(A April 2011)
WP.2012-YD DW
12
Gambar 7. Hubungan antara tingkat upaya dengan total penerimaan (R) atau total biaya (C)
(Potensi Kenaikan 2012)
Gambar 8. Hubungan antara tingkat upaya dengan total penerimaan (R) atau total biaya (C)
(Based 2004, April 2011 dan 2012) Keseimbangan bio-ekonomi yang disampaikan di atas jelas merupakan pendekatan yang baik untuk memperbandingkan kondisi statik dari keragaan perikanan. Namun demikian, keragaan perikanan yang digambarkan masih belum lengkap, karena kondisi statik yang diperoleh murni didasarkan atas dasar keuntungan sama dengan nol atau pada saat kondisi manfaat perikanan sama dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memanfaatkannya. Oleh karena itu, model dinamis dapat memberikan gambaran lebih lengkap tentang ukuran keuntungan optimal yang seharusnya dapat diperoleh, bahkan ukuran manfaat ekonomi perikanan sepanjang waktu dapat juga diestimasi berdasarkan pendekatan dinamis ini. Berdasarkan hasil perhitungan model
WP.2012-YDW
13 dinamis dengan tingkat diskon sebesar 4.04 persen (Wahyudin, 2005), maka dapat diperoleh beberapa keragaan sebagai berikut: (i)
Biomassa udang pada kondisi optimal mengalami peningkatan dari tahun 2004 sebesar 120892 kg menjadi sebesar 132494 kg pada tahun 2011 dan kembali meningkat menjadi sebanyak 139781 kg pada tahun 2012. Hal ini lebih disebabkan oleh adanya force exit dan adanya kesempatan sumberdaya udang untuk melakukan recovery secara alami.
(ii)
Peningkatan biomassa udang pada kondisi optimal ternyata tidak berbanding lurus dengan jumlah produksi optimal yang memungkinkan untuk diperoleh nelayan. Hal ini ditandai dengan semakin menurunnya produksi optimal yang dapat diperoleh dari yang tadinya sebesar 1117402 kg pada tahun 2004 menjadi sebesar 1093074 kg pada tahun 2011 dan kembali menurun menjadi sebesar 1072099 kg pada tahun 2012. Hal ini bisa saja diakibatkan oleh karena dalam jangka panjang, muncul lagi industri baru yang tertarik untuk melakukan penangkapan udang, sehingga menciptakan pesaing baru dalam pemanfaatan sumberdaya udang.
(iii)
Penurunan jumlah armada dengan alat tangkap jaring arad masih saja terjadi yang bisa saja diakibatkan adanya force exit usaha yang dilakukan nelayan yang tidak mempunyai cukup dana investasi untuk membangun industri perikanan tersebut.
(iv)
Keuntungan optimal dari usaha penangkapan udang mengalami penurunan akibat adanya ekonomi biaya tinggi yang harus dikeluarkan dari yang tadinya sebesar 37.98 milyar pada tahun 2004, menjadi sebesar 33.17 milyar pada tahun 2011 dan menurun lagi menjadi sebesar 30.24 milyar. Hal ini menandakan bahwa kenaikan harga BBM benar-benar membuat keuntungan yang dapat diperoleh nelayan menjadi semakin kecil. Dengan demikian, nelayan kemungkinan besar akan kesulitan dalam member kelayakan hidup bagi keluarganya.
(v)
Manfaat ekonomi jangka panjang sepanjang waktu juga mengalami penurunan akibat adanya kenaikan BBM ini, dimana nilai ekonomi perikanannya turun dari sebesar 940.22 milyar pada tahun 2004 menjadi hanya sebesar 820.94 milyar pada tahun 2011 dan kembali menurun menjadi hanya sebesar 748.56 milyar pada tahun 20112.
Gambaran keragaan perikanan tersebut di atas setidaknya dapat ditunjukkan secara grafik seperti yang dapat dilihat pada grafik-grafik di bawah ini.
WP.2012-YDW
14
Gambar 9. Hubungan antara tingkat upaya berkeseimbangan dengan MSY (maximum
sustainable yield), OSY (optimal sustainable yield) dan OA (open access) berbasis biaya ekstraksi tahun 2004
Gambar 10. Hubungan antara tingkat upaya berkeseimbangan dengan MSY (maximum sustainable yield), OSY (optimal sustainable yield) dan OA (open access) berbasis biaya ekstraksi tahun 2011
WP.2012-YDW
15
Gambar 11. Hubungan antara tingkat upaya berkeseimbangan dengan MSY (maximum
sustainable yield), OSY (optimal sustainable yield) dan OA (open access) berbasis biaya ekstraksi tahun 2012
Gambar 12. Hubungan antara tingkat upaya berkeseimbangan dengan MSY (maximum sustainable yield), OSY (optimal sustainable yield) dan OA (open access) berbasis biaya ekstraksi tahun 2004, tahun 2011, dan tahun 2012
WP.2012-YDW
16
4. Rekomendasi Peningkatan terhadap biaya penangkapan secara signifikan dapat memberi berkah sekaligus nestapa bagi ketersediaan sumberdaya ikan. Melihat begitu besarnya pengaruh peningkatan harga BBM terhadap sumberdaya ikan dan nelayan, maka perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam agar diperoleh gambaran secara menyeluruh dan pada gilirannya dapat dilakukan langkah-langkah penting agar dampaknya tidak merugikan semua pihak, terutama masyarakat nelayan dan mempunyai keterbatasan modal. Beberapa langkah yang perlu dikaji adalah: (1)
(2) (3) (4) (5) (6)
Kajian pengaruh peningkatan harga BBM terhadap sumberdaya ikan dan kondisi sosial ekonomi nelayan yang lebih komprehensif, sebagai tindak lanjut exercise atau kajian singkat ini. Kajian bentuk subsidi yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat nelayan. Penyusunan rencana aksi antisipasi dampak kenaikan BBM, dan sebagainya. Pengembangan teknologi penangkapan hemat energi Penetapan proporsi penggunaan BBM terhadap jumlah ikan yang harus didaratkan Pengembangan mata pencaharian alternatif bagi nelayan yang terpaksa keluar akibat tingginya biaya ekstraksi yang harus ditanggung akibat adanya peningkatan BBM.
Pada bagian penutup tulisan ini, sekali lagi penulis mengutip pernyataan Wahyudin (2012b) bahwa kenaikan harga BBM adalah sebuah keniscayaan dan dapat berdampak pada kemungkinan banyaknya armada perikanan yang gulung tikar karena tidak dapat memenuhi kebutuhan operasional yang notabene 40 persennya merupakan biaya BBM. Sesuai dengan hasil kajian pada makalah ini bahwa kenaikan harga BBM sangat besar dampaknya terhadap sektor perikanan, khususnya perikanan tangkap. Bahkan pada tataran tertentu dapat membunuh aktivitas nelayan dan menimbulkan kerawanan pangan dan sosial. Oleh karena itu, pemerintah harus mengambil peran dan bekerja lebih ekstra melalui berbagai instrumen solusi. Dalam hal ini penulis menyarankan tiga hal prioritas langkah dalam rangka penyusunan instrumen, yaitu (i) melakukan identifikasi sentra produksi perikanan, (ii) identifikasi peluang usaha alternatif dan (iii) menyusun rencana aksi penanggulangan dampak secara terpadu dan aspiratif. Kunci keberhasilan pelaksanaan rencana aksi adalah pelibatan masyarakat dalam setiap kegiatan.
5. Referensi Terbatas Clarke RP, Yoshimoto SS, dan Pooley SG. 1992. A Bionomic Analysis of the North-Western Hawaiian Island Lobster Fishery. Marine Resource Economics 7(2):65-82. Clark CW. 1985. Bionomic Modelling and Fisheries Management. Canada : Vancouver. John Wiley & Sons, Inc. 291 p. Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. 259 hal. Gordon HS. 1954. The Economic Theory of the Common Property Resource : the Fishery. Journal of Political Economy 62 :124-142.
WP.2012-YDW
17 Graham M. 1935. Modern Theory of Exploiting a Fishery and Application to the North Sea Trawling. J.Cons.Int.Explor.Mer 10 :264-274. Schaefer MB. 1954. Some Aspect of the Dynamics of Populations Important to the Management of Commercial Marine Fisheries. Bull. Inter-Am. Trop. Tuna. Comm 1 :2756. . 1957. Some considerations of Population Dynamics and Economics Relation to the Management of Marine Fisheries. Canada : Journal of the Fisheries Research Board, 14 : 669-681. Schnute J. 1977. Improved Estimates from the Schaefer Production Model : Theoretical Considerations. Canada : Journal of the Fisheries Research Board, 34 : 583-603. Suseno, 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Perairan Pekalongan dan Tegal. Disertasi. Program Studi Teknologi Kelautan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Wahyudin, Yudi. 2005. Alokasi Optimum Sumberdaya Perikanan di Perairan Teluk Palabuhanratu. Tesis. Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Wahyudin, Yudi, Kusumastanto, Tridoyo and Sobari, Moch. Prihatna, Optimum Fisheries Resources Allocation at the Waters of Palabuhanratu Bay: Demersal Fisheries Resources (December 28, 2006). Coastal and Marine Journal, Center for Coastal and Marine Resources Studies, 2006. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1677443 or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.1677443 Wahyudin, Yudi. 2012a. Dampak Kenaikan BBM terhadap Sumberdaya Ikan. Makalah disampaikan sebagai masukan tertulis pada Dialog BBM, Nelayan dan Kemiskinan: mencari solusi dan merumuskan langkah-langkah strategis. Diselenggarakan oleh Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB, pada hari Kamis, 29 Maret 2012, bertempat di Ruang Diskusi Senat Akademik FPIK-IPB. Wahyudin, Yudi. 2012b. Perlukah Impor Ikan. Artikel pada Rubrik Opini Bisnis Indonesia. Jum’at, 15 Juni 2012.
WP.2012-YDW