DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Tabel 2.2. Tabel 2.3. Tabel 2.4. Tabel 4.1. Tabel 4.2. Tabel 4.3. Tabel 4.4. Tabel 4.5. Tabel 4.6. Tabel 4.7. Tabel 4.8. Tabel 4.9. Tabel 4.10. Tabel 4.11. Tabel 4.12. Tabel 4.13. Tabel 4.14. Tabel 4.15. Tabel 4.16.
Penyebab pneumonia komunitas menurut NAS dan BTS .............. 8 Sistem skor pada pneumonia komunitas berdasarkan PORT ......... 12 Derajat skor risiko menurut PORT ................................................. 13 Perbedaan kekuatan otot diafragma pada usia lanjut dengan dewasa ............................................................................................ 20 Karakteristik berdasarkan jenis kelamin ......................................... 40 Karakteristik berdasarkan kelompok usia ....................................... 41 Karakteristik berdasarkan tingkat pendidikan ................................ 42 Karakteristik berdasarkan status pernikahan .................................. 43 Karakteristik indeks massa tubuh (Asia-Pasifik) ............................ 46 Karakteristik tanda vital .................................................................. 47 Perbandingan tanda vital pada penelitian ini dengan penelitian lain .................................................................................................. 48 Karakteristik status kesadaran dan tekanan darah .......................... 48 Perbandingan gambaran klinis penelitian ini dengan penelitian lain .................................................................................................. 51 Karakteristik kebiasaan perilaku ..................................................... 51 Karakteristik penyakit penyerta ...................................................... 52 Karakteristik hasil radiologi toraks ................................................. 53 Karakteristik lama rawat inap ......................................................... 54 Karakteristik antibiotik yang diberikan .......................................... 55 Karakteristik kematian .................................................................... 56 Karakteristik penyebab kematian .................................................... 57
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3.
Anatomi sistem pernapasan ................................................................ 16 Diagram volume ekspirasi maksimal menurut usia ........................... 19 Grafik karakteristik pekerjaan pasien .................................................. 44 Diagram jalur masuk ke rumah sakit................................................... 45 Grafik gambaran klinis pasien............................................................. 49
xi
DAFTAR SINGKATAN
ARDS
: Acute Respiratory Distress Syndrome
ATS
: American Thoracic Society
BTS
: British Thoracic Society
CAP
: Community Acquired Pneumonia
CHF
: Congestive Heart Failure
DM
: Diabetes Melitus
ELISA
: Enzime Linked Immunosorbent Assay
HAP
: Hospital Acquired Pneumonia
HIV
: Human Immunodeficiency Virus
ICU
: Intencive Care Unit
IDSA
: Infectious Disease Society Of America
IGD
: Instansi Gawat Darurat
IMT
: Indeks Massa Tubuh
LRTI
: Lower Respiratory Tract Infections
NAS
: North American Studies
PA
: Posterior Anterior
PORT
: Pneumonia Patient Outcome Research Team
PPOK
: Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Riskesdas
: Riset Kesehatan Dasar
RR
: Respiratory Rate
RSUD
: Rumah Sakit Umum Daerah
TB
: Tuberkulosis
WHO
: World Health Organization
xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Dewasa ini, pengaruh lingkungan, kebiasaan perilaku dan gaya hidup masa
kini telah membuat kondisi tubuh manusia semakin rentan terhadap serangan berbagai macam penyakit salah satunya adalah yang berhubungan dengan saluran pernapasan.1 Keadaan ini tidak boleh dipandang sebelah mata, karena data World Health Organization (WHO) telah
menyebutkan dari 10 macam penyakit penyebab
angka kematian di dunia, tercatat bahwa infeksi saluran pernapasan bawah merupakan penyakit infeksi terbesar ke-4 yang menyebabkan kematian di dunia selama 1 dekade terakhir dengan jumlah kematian mencapai 3,1 juta kematian pada tahun 2012.1 Di Indonesia pada tahun 2014, diketahui bahwa pneumonia merupakan salah satu penyakit menular langsung yang dapat menjadi ancaman kesehatan bagi masyarakat Indonesia.2 Hal ini didukung berdasarkan hasil riset yang telah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (RI) pada tahun 2013 melalui Riset Kesehatam Dasar (Riskesdas), yang mendapatkan bahwa peningkatan prevalensi pneumonia pada semua jenjang usia dari 2,1 % pada tahun 2007 menjadi 2,7% pada tahun 2013. Period prevalence pneumonia yang tinggi terjadi pada kelompok usia 1-4 tahun, kemudian mulai meningkat pada kelompok usia 45-54 tahun dan semakin meningkat sesuai bertambahnya usia.3 Pneumonia komunitas merupakan infeksi saluran pernapasan yang berhubungan dengan tingkat kesakitan dan kematian, terutama pada anak-anak di negara berkembang. Insidensi pneumonia lebih tinggi pada usia lanjut, hal ini disebabkan oleh perubahan anatomi, fisiologi dan sistem imun pada usia lanjut yang menjadi faktor risiko penting terhadap terjadinya pneumonia komunitas. Perubahan fisiologi pada paru disebabkan karena proses penuaan yang menyebabkan penurunan elastisitas paru, penurunan pengembangan rongga dada
1
2
dan penurunan kekuatan otot rongga dada. Pada proses penuaan juga terjadi perubahan imunitas yaitu penurunan sel imun. Dari perubahan-perubahan tersebut dapat mempermudah terjadinya infeksi pada paru-paru.4-8 Di Amerika, prevalensi pneumonia tampak lebih banyak ditemukan pada kelompok usia lanjut. Pneumonia komunitas merupakan penyebab paling umum kematian pada usia
lanjut dari beberapa penyakit menular lainnya. Sebuah
penelitian terhadap 46.237 pasien usia lanjut yang dimonitoring selama 3 tahun, memperlihatkan jumlah kasus pneumonia komunitas di antara usia 65 – 69 tahun terdapat 18.2 kasus dari 1000 pasien pertahun. Sedangkan pada usia lebih dari 85 tahun terdapat 52.3 kasus dari 1000 pasien pertahun. Dari data tersebut dapat diperkirakan, 1 dari 20 orang pada usia lebih dari 85 tahun mengalami pneumonia komunitas.9-11 Di
Indonesia,
prevalensi
pneumonia
semakin
meningkat
sesuai
bertambahnya usia, peningkatan terjadi terutama pada kelompok usia 45-54 tahun sebesar 5,4%, kelompok usia 55-64 tahun sebesar 6,2%, kelompok usia 65-74 tahun sebesar 7,7%, dan usia lebih dari 75 tahun sebesar 7,8%.3 Usia lanjut sangat berkaitan dengan berbagai perubahan akibat proses penuaan seperti perubahan anatomi, fisiologi dan sistem imun yang apabila disertai pengaruh psikososial akan berdampak pada perubahan gambaran klinis pasien usia lanjut tersebut dibandingkan dengan kelompok usia lainnya.12 Khususnya di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, penelitian tentang profil pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas belum pernah diteliti. Oleh karena itu, berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan tersebut di atas peneliti tertarik dan merasa perlu untuk melakukan penelitian ini, sehingga dapat diketahui profil pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang sesungguhnya.
1.2.
Rumusan Masalah Bagaimanakah profil pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas di
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cengkareng tahun 2013 - 2014?
3
1.3.
Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui profil pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas di RSUD Cengkareng tahun 2013 - 2014.
1.3.2. Tujuan Khusus a.
Mengetahui status sosio-demografi pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas di RSUD Cengkareng tahun 2013 - 2014.
b.
Mengetahui gambaran klinis pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas di RSUD Cengkareng tahun 2013 - 2014.
c.
Mengetahui penyakit penyerta pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di RSUD Cengkareng tahun 2013 - 2014.
d.
Mengetahui angka kematian pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di RSUD Cengkareng tahun 2013 - 2014.
1.4.
Manfaat
1.4.1. Bagi Peneliti Penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan peneliti mengenai
profil
pasien
usia
lanjut
dengan
pneumonia
komunitas.
1.4.2. Bagi Masyarakat Memberikan informasi dan pengetahuan tambahan kepada masyarakat tentang gambaran klinis pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang berbeda tampilan klinisnya dibandingkan dengan kelompok usia lainnya.
1.4.3. Bagi Institusi Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan menjadi bahan referensi bagi penelitian berikutnya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pneumonia Komunitas
2.1.1. Definisi dan Klasifikasi Menurut World Health Organitation (WHO), pneumonia merupakan infeksi saluran pernapasan akut yang menyerang paru-paru. Ketika paru-paru seseorang terkena pneumonia, alveolusnya akan terisi oleh nanah dan cairan, yang dapat menyebabkan sesak napas dan mengurangi pemasukan oksigen.13 Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus respiratorius dan alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat mengganggu pertukaran oksigen dan karbon dioksida di paru-paru.14 Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (RI), pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat, sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang).3
Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak terjadinya : 1. Community-Acquired Pneumonia Community-Acquired Pneumonia (CAP) atau pneumonia komunitas merupakan suatu infeksi pada paru-paru yang dimulai dari luar rumah sakit atau didiagnosis dalam 48 jam setelah masuk rumah sakit pada pasien yang tidak menempati fasilitas perawatan kesehatan jangka panjang selama 14 hari atau lebih sebelum gejala muncul, serta biasanya disertai dengan adanya gambran infiltrat pada pemeriksaan radiologi dada.15 Pneumonia komunitas merupakan salah satu subtipe dari pneumonia dengan bentuk epidemiologis yaitu sebagai infeksi pada parenkim paru-paru yang didapatkan dari luar rumah sakit atau fasilitas kesehatan. Pneumonia komunitas sering disebabkan oleh bakteri yaitu Streptococcus pneumoniae (Penicillin sensitive and resistant strains), Haemophilus influenza (ampicillin sensitive and resistant strains) and Moraxella catarrhalis (all
4
5
strains penicillin resistant). Ketiga bakteri tersebut dijumpai hampir di 85% kasus pneumonia komunitas. Pneumonia biasanya menular karena masuknya patogen melalui inhalasi atau aspirasi ke segmen paru atau lobus paru.16,17
2. Hospital-Acquired Pneumonia Berdasarkan American Thoracic Society (ATS), Hospital-Acquired Pneumonia atau pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang muncul setelah dirawat di rumah sakit lebih dari 48 jam tanpa pemberian intubasi endotrakeal.
Pneumonia
nosokomial
terjadi
karena
terdapat
ketidakseimbangan pertahanan tubuh dengan kolonisasi bakteri sehingga menginvasi saluran napas bagian bawah. Pneumonia nosokomial sering disebabkan oleh bakteri Pseudomonas aeroginosae, Klebsiella sp, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumoniae. ATS membagi pneumonia nosokomial menjadi early onset (biasanya muncul selama 4 hari perawatan di rumah sakit) dan late onset (biasanya muncul setelah lebih dari 5 hari perawatan di rumah sakit).18,19
2.1.2. Epidemiologi Lower respiratory tract infections (LRTI) dan CAP adalah penyebab terbesar dari angka kesakitan dan kematian pada kelompok usia lebih dari 65 tahun di Inggris Raya dan beberapa Negara di Eropa.20 Di Amerika, prevalensi pneumonia tampak lebih banyak ditemukan pada usia lanjut. Sebuah penelitian pada 46.237 pasien usia lanjut yang diikuti selama 3 tahun, didapatkan bahwa jumlah kasus CAP pada kelompok usia 65 – 69 tahun adalah sebanyak 18,2 kasus dari 1000 pasien pertahun. Sedangkan pada usia lebih dari 85 tahun terdapat 52,3 kasus dari 1000 pasien per tahun. Dari data tersebut dapat diperkirakan, 1 dari 20 orang pada usia lebih dari 85 tahun mengalami CAP.8-10 Insiden dan prevalensi pneumonia di Indonesia pada tahun 2013 adalah 1,8% dan 4,5%. Lima provinsi yang mempunyai insiden dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur, Papua,
6
Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Di Indonesia prevalensi kejadian pneumonia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan insiden paling banyak terjadi pada usia 65 tahun keatas. Pada tahun 2013 prevalensi pneumonia pada usia 65- 74 tahun sebesar 7,7% dan pada usia 75 tahun keatas sebesar 7,8%
baik yang telah terdiagnosis oleh dokter maupun yang belum
terdiagnosis pneumonia tetapi menderita gejala klinis pneumonia.3
2.1.3. Etiologi Mikroorganisme patogen yang dapat menyebabkan pneumonia adalah: a) Bakteri Streptococccus pneumonia: merupakan bakteri anaerob fakultatif. Bakteri patogen ini dapat ditemukan pada pneumonia komunitas rawat inap di luar Intensive Care Unit (ICU) sebanyak 20-60%, sedangkan yang di dalam rawat inap ICU sebanyak 33%.21 Staphylococcus aureus: merupakan bakteri anaerob fakultatif. Penyebaran
tersering
melalui
obat
secara
intravena
yang
memungkinkan infeksi kuman menyebar secara hematogen dari kontaminsi injeksi awal menuju paru-paru.21 Enterococcus (E.faecalis, E. faecium): merupakan organisme streptococcus group D yang merupakan flora normal usus.21 Pseudomonas aeruginosae: Bakteri anaerob, yang berbentuk batang dan memiliki bau yang khas.21 Klebsiella pneumonia: Bakteri anaerob fakultatif, yang berbentuk batang tidak berkapsul.21 Haemophillus influenza: Bakteri anaerob yang berbentuk batang dengan berkapsul atau tidak berkapsul.21 b)
Virus Virus yang dapat menyebabkan pneumonia yang menyebar melalui droplet adalah cytomegalovirus, herpes simplex virus, varicella zoster virus.21
7
c)
Jamur Infeksi pneumonia yang diakibatkan oleh jamur biasanya disebabkan oleh jamur oportunistik, dimana spora dari jamur masuk ke dalam tubuh melalui udara. Jamur yang dapat menginfeksi seperti Candida sp., Aspergillus sp., Crytococcus neoformans.21
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri virus dan jamur namun penyebab pneumonia komunitas berdasarkan prevalensi kejadian menurut North American Studies (NAS) dan British Thoracic Society (BTS) dapat dilihat pada tabel 2.2 di bawah ini.22
Tabel 2.1. Penyebab pneumonia komunitas menurut NAS dan BTS Penyebab
Prevalensi NAS
BTS
Streptococcus pneumonia
20-16
60-75
Haemophilus influenza
3-10
4-5
Staphylococcus aureus
3-5
1-5
Basil gram negative
3-10
Jarang
Lainnya
3-5
-
Kuman atipikal
10-20
-
Legionella
2-8
2-5
Mycoplasma pneumonia
1-6
5-18
Clamydia pneumonia
4-6
-
Virus
2-15
8-16
Aspirasi
6-10
-
Kuman tipikal
Sumber : Nair, G. B., & Niederman, M. S. Community-acquired pneumonia: an unfinished battle. 2011.
Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan pneumonia komunitas di Indonesia, setelah dilakukan pemeriksaan mikrobiologi dengan pengambilan bahan dan metode yang berbeda – beda di beberapa pusat pelayanan kesehatan paru, seperti di Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makassar, ditemukan
8
bahwa bakteri golongan gram positif terbanyak yang menjadi penyebab pneumonia komunitas adalah Streptococcus pneumonia (14,04%) dan dari golongan gram negatif yaitu Klebsiella pneumonia (45,18%).23
2.1.4. Patofisiologi Pneumonia disebabkan oleh adanya proliferasi dari mikroorganisme patogen di dalam alveolus dan respon tubuh terhadap patogen. Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi yaitu, keadaan individu atau imunitas tubuh, jenis mikroorganisme patogen dan lingkungan sekitar. Ketiga faktor tersebut dapat menentukan berat ringannya penyakit, diagnosis, rencana terapi serta prognosis dari pasien.14 Proses infeksi dimana patogen masuk ke saluran napas bagian bawah setelah melewati mekanisme pertahanan oleh tubuh berupa pertahanan mekanik (epitel, silia, mukosa), pertahanan humoral (antibodi dan komplemen) dan seluler (leukosit, makrofag, limfosit, dan sitokin). Infeksi menyebabkan peradangan pada membran paru sehingga cairan plasma dan sel darah merah dari kapiler masuk ke dalam alveoli. Hal ini menyebabkan rasio ventilasi perfusi menurun dan saturasi oksigen menurun. Pada pemeriksaan dapat diketahui bahwa paru-paru akan dipenuhi sel radang dan cairan, dimana sebenarnya merupakan reaksi tubuh untuk membunuh patogen, tetapi dengan adanya dahak dan fungsi paru menurun yang akan mengakibatkan kesulitan bernapas sehingga dapat terjadi sianosis, asidosis respiratorik dan kematian.14
2.1.5. Patologi Pada paru yang terinfeksi oleh bakteri S. Pneumonia dapat menyebabkan 2 pola pneumonia, yaitu pneumonia lobaris atau bronkopneumonia. Pada pola bronkopneumonia fokus konsolidasi terdistribusi di satu atau beberapa lobus terutama di daerah lateral atau basal. Sebelum diberikan antibiotik, bakteri ini mengenai hampir seluruh lobus dan berkembang dalam 4 stadium:23, 24
Kongesti: Lobus yang terinfeksi menjadi berat, merah dan sembab secara histologis dapat terlihat kongesti vaskular dengan cairan protein, beberapa neutrofil dan banyak bakteri di alveolus.
9
Hepatisasi Merah: Lobus paru memperlihatkan konsistensinya menyerupai hati karena rongga alveolusnya dipenuhi oleh neutrofil, sel darah merah dan fibrin. Dan pleura biasanya memperlihatkan eksudat fibrinosa atau fibrinopurulen.
Hepatisasi Abu Abu: Paru paru terlihat menjadi kering, abu abu dan padat karena seldarah merah mengalami lisis.
Resolusi: Terjadi pada kasus yang tidak mengalami komplikasi, eksudat di alveolus di cerna secara enzimatis dan diserap atau dibatukan sehingga arsitektur paru tetap utuh.
2.1.6. Tanda dan Gejala Setiap orang dapat menderita pneumonia, meskipun orang tersebut sudah usia lanjut. Gambaran klinis yang timbul akibat pneumonia dapat di temukan dengan gejala sebagai berikut, batuk (baik non produktif atau produktif), demam, menggigil, berkeringat, nafas pendek, nyeri dada seperti ditusuk saat nafas dalam atau sedang batuk, sakit kepala, sesak nafas, lemah dan gelisah.14,25 Kelainan yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan fisik paru adalah saat inspeksi bagian yang sakit akan tertinggal saat bernafas, pada saat palpasi akan terdapat peningkatan fremitus vokal dan raba, pada saat perkusi terdapat suara perkusi redup/pekak, pada saat auskultasi akan terdapat pleural friction rub terdapat suara napas bronkial dan terdapat ronkhi basah.26,27 Manifestasi klinis pneumonia komunitas pada pasien usia lanjut berbeda dengan kelompok usia lainnya. Pada pasien usia lanjut kadang tidak terdapat demam, penurunan batuk dan sputum, perubahan status mental mungkin adalah hal yang paling menonjol. Pada pasien usia lanjut, gejala pneumonia pada infeksi awal tidak memperlihatkan gejala klinis, kebanyakan gejala klinis timbul pada saat pneumonia yang dideritanya sudah kronis.28
2.1.7. Pemeriksaan Penunjang a)
Gambaran Radiologis Foto toraks (PA/Lateral) merupakan pemeriksaan utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrasi
10
sampai konsolidasi dengan air broncogram, penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kavitas. b)
Kultur darah.
c)
Deteksi antigen patogen pada urin L. pneumophila sero group 1 dapat dideteksi di urin pasien dengan Legionnaires oleh enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).27
2.1.8. Diagnosis Diagnosis pneumonia komunitas ditegakkan dengan cara anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisik, foto toraks dan laboratorium. Diagnosis peneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks didapatkan infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan paling sedikit 1 kriteria gejala mayor atau 2 kriteria gejala minor bawah ini:29 a. Kriteria gejala mayor Batuk-batuk Produksi sputum Demam > 37,8oC b. Kriteria gejala minor Sesak napas Nyeri dada pleuritik Pemeriksaan fisik: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronkhi Leukosit > 12.000 ribu/ml.
2.1.9. Prognosis Angka kejadian pneumonia komunitas, di Amerika terdapat 3,4-4 juta kasus pertahun, dan 20% di antara perlu dirawat di rumah sakit. Secara umum angka kematian pneumonia yang disebabkan oleh pneumokokkus adalah sebesar 5%, namun dapat meningkat pada orang tua dengan kondisi yang buruk. Pneumonia dengan influenza di Amerika merupakan penyebab kematian ke-6 dengan kejadian sebesar 59%, 89% diantaranya adalah pasien usia lanjut.
11
Mortalitas pasien pneumonia komunitas yang di rawat di ICU adalah sebesar 20%.29 Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komunitas dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) seperti yang tertera pada tabel 2.3. di bawah ini:30
Tabel 2.2. Sistem skor pada pneumonia komunitas berdasarkan PORT Karakteristik pasien Faktor demografi Usia: Laki-laki Perempuan Perawatan di rumah Penyakit penyerta Keganasan Penyakit hati Gagal jantung kongestif Penyakit serebrovaskular Penyakit ginjal Pemeriksaan fisik Perubahan status mental Frekuensi napas > 30 kali/menit Tekanan darah sistolik < 90 mmHG Suhu tubuh < 35oC atau > 40oC Nadi ≥ 125 kali/menit Hasil laboratorium/Radiologi Analisis gas darah arteri: pH < 7,35 Blood urea nitrogen > 30 mg/dL Natrium < 130 mmol/L Glukosa > 250 mg/dL Hematokrit < 30% PO2 < 60 mmHg Efusi pleura
Jumlah poin Usia (tahun) Usia (tahun) - 10 +10 +30 +20 +10 +10 +10 +20 +20 +20 +15 +10 +30 +20 +20 +10 +10 +10 +10
Sumber: Ewig S, Ruiz M, Mensa J, Marcos MA, Martinez JA, Aranbica F, Niederman MS. Severe community-acquired pneumonia assessment of severity criteria. 1998.
12
Tabel 2.3. Derajat skor risiko menurut PORT30 Risiko
Kelas Risiko
Total Skor
Perawatan
Rendah
I
Tidak diprediksi
Rawat jalan
II
< 70
Rawat jalan
III
71 - 90
Rawat inap/rawat jalan
Sedang
IV
91 - 130
Rawat inap
Berat
V
> 130
Rawat inap
Sumber: Ewig S, Ruiz M, Mensa J, Marcos MA, Martinez JA, Aranbica F, Niederman MS. Severe community-acquired pneumonia assessment of severity criteria. 1998.
Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai salah satu atau lebih kriteria di bawah ini: 29 a) Kriteria minor: • Frekuensi napas > 30 kali/menit • Rasio Pa02/FiO2 < 250 mmHg • Foto toraks paru menunjukkan infiltrat bilateral • Infiltrat paru melibatkan > 2 lobus • Tekanan sistolik < 90 mmHg • Tekanan diastolik < 60 mmHg • Disorientasi • Blood Urea Nitrogen > 20 mg/dL • Leukopenia ( leukosit < 4.000 sel/mm3) • Trombositopenia (trombosit < 100.000 sel/mm3) • Hipotermia ( suhu < 36oC) b) Kriteria mayor: • Membutuhkan ventilasi mekanik • Infiltrat bertambah > 50% • Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok) • Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada pasien yang mempunyai riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis
13
Kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pasien pneumonia komunitas adalah :23 a. Skor PORT lebih dari 70. b. Bila skor PORT kurang < 70 maka pasien tetap perlu dirawat
inap bila
dijumpai salah satu dari kriteria di bawah ini: Frekuensi napas > 30/menit PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus Tekanan sistolik < 90 mmHg Tekanan diastolik < 60 mmHg c. Pneumonia pada pengguna NAPZA
Untuk kriteria perawatan intensif pada pneumonia komunitas adalah sebagai berikut:29 a. Pasien yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu (membutuhkan ventilasi mekanik dan membutuhkan vasopressor > 4 jam (syok septis) atau b. 2 dari 3 gejala minor tertentu (PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg). Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor pasien, bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada pasien yang dirawat. Angka kematian pasien pneumonia komunitas kurang dari 5% pada pasien rawat jalan, sedangkan pasien yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%. Menurut Infectious Disease Society Of America (IDSA) angka kematian pneumonia komunitas pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian pasien pneumonia komunitas dengan peningkatan risiko kelas. Di RS Persahabatan pneumonia rawat
14
inap angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%, tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 -35%.35
2.1.10. Komplikasi Jika pneumonia tidak ditatalaksana dengan baik maka akan terjadi beberapa komplikasi seperti, pneumonia ekstrapulmoner, pneumonia pneumokokus dengan bakterimia, pneumonia ekstrapulmoner non infeksius gagal ginjal, gagal jantung, emboli paru dan infark miokard akut, ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome), sepsis, gagal napas, syok, abses paru dan efusi pleura.14 Penelitian yang dilakukan oleh MJ Fine,dkk menunjukkan bahwa kebanyakan pasien yang masih hidup memiliki 1 atau lebih komplikasi medis, sedangkan dari semua pasien yang meninggal, penyebab utamanya adalah gagal napas (42,5%), aritmia jantung (8%), dan sepsis (5,3%). Hasil pada penelitian lain menunjukkan komplikasi gagal napas, sepsis atau bakteremia, dan aritmia jantung merupakan penyebab kematian paling banyak.32
2.2.
Lanjut Usia
2.2.1. Definisi Usia lanjut adalah tahap akhir dari proses perkembangan pada siklus kehidupan manusia. Seorang individu yang usianya telah mencapai lebih dari 60 tahun dapat dikatakan sebagai usia lanjut. Usia lanjut merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.33,34 Usia lanjut sangat berkaitan dengan berbagai perubahan akibat proses penuaan seperti perubahan anatomi, fisiologi dan sistem imun yang apabila disertai pengaruh psikososial akan berdampak pada perubahan gambaran klinis pasien usia lanjut tersebut dibandingkan dengan kelompok usia lainnya.12
15
2.2.2. Anatomi dan Fisiologi Sitem Pernapasan Dewasa
Gambar 2.1. Anatomi sistem pernapasan Sumber: Cecie Starr dan Ralph Taggart. Biology: The Unity and Diversity of Life, 8 th ed. 1998.
Fungsi respirasi adalah adalah memperoleh oksigen (O2) untuk digunakan oleh sel tubuh dan untuk mengeluarkan karbon dioksida (CO2) yang diproduksi oleh sel. Respirasi meliputi, respirasi internal yaitu reaksi-reaksi metabolik intrasel yang mengggunakan O2 dan menghasilkan CO2 sewaktu oksidasi molekul nutrient untuk menghasilkan energi dan respirasi eksternal yaitu berbagai tahap dalam pemindahan O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel jaringan.35 Saluran napas menghantarkan udara dari atmosfer ke alveolus, yang berfungsi sebagai pertukaran gas. Pertukaran O2 dan CO2 antara udara di paru dan darah di kapiler paru berlangsung di dinding alveolus yang dibentuk oleh sel alveolus tipe I. Paru terletak di dalam kompartemen thoraks , yang volumenya dapat diubah oleh akyivitas kontraktil otot-otot respirasi yang mengelilinginya. Paru dikelilingi oleh suatu kantung tertutup yaitu kantung pleura.35 Ventilasi atau bernapas, adalah proses pemasukan ke dan pengeluaran udara dari paru secara bergantian sehingga udara di alveolus lama yang telah ikut serta dalam pertukaran O2 dan CO2 dengan darah kapiler paru dapat ditukar dengan udara di atmosfer. Ventilasi dilakukan secara mekanis dengan mengubah secara bergantian arah gradient tekanan untuk aliran udara antara atmosfer dan alveolus melalui ekspansi dan recoil siklik paru. Pada saat tekanan intra alveolus berkurang akibat ekspansi paru selama inspirasi, udara masuk ke paru dari tekanan atmosfer yang lebih tinggi. Pada saat tekanan intra alveolus meningkat
16
akibat recoil paru selama ekspirasi, udara keluar paru menuju tekanan atmosfer yang lebih rendah.35 Volume paru biasanya sekitar 2-2,5 liter sewaktu volume napas rata-rata 500 ml udara masuk dan keluar setiap kali bernapas. Jumlah udara yang masuk dan keluar paru dalam satu menit, ventilasi paru, sama dengan volume napas kali kecepatan napas. Tidak semua udara yang masuk dan keluar untuk pertukaran O2 dan CO2 dengan darah, karena sebagian menempati saluran napas penghantar, yang dikenal sebagai ruang rugi anatomi.35 Kontraksi dan relaksasi bergantian otot-otot inspirasi secara tidak langsung menimbulkan inflasi dan deflasi paru dengan secara siklik mengembangkan dan mengempiskan rongga thoraks , dengan paru secara pasif mengikuti gerakannya. Ekspirasi aktif yang lebih kuat, kontraksi otot-otot abdomen semakin mengurangi ukuran rongga thoraks dan paru, yang meningkatkan graden tekanan intra alveolus terhadap atmosfer.35 O2 dan CO2 berpindah menembus membran melalui difusi pasif mengikuti penurunan gradient tekana parsial. Tekanan parsial suatu gas dalam udara adalah bagian dari tekanan atmosfer total yang disumbangkan oleh gas tersebut, yang berbanding lurus dengan persentase gas ini dalam udara. Tekan parsial suatu gas dalam darah bergantung pada jumlah gas tersebut yang larut dalam darah. Difusi netto O2 terjadi pertama antara alveolus dan darah, kemudian antar darah dengan jaringan akibat gradien tekana parsial O2 yang terbentuk karena pemakaina terusmenerus O2 di sel dan penggantian terus-menerus O2 di alveolus adri ventilasi. Difusi netto Co2 terjadi pertama antara jaringan dan darah lalu antara darah dan alveolus, akibat gradien tekanan parsial CO2 yang terbentuk oleh produksi secara terus-menerus CO2 alveolus melalui ventilasi.35 Karena O2 dan CO2 tidak terlalu larut dalam darah, maka akan berikatan secara kimiawi dengan hemoglobin (Hb). Faktor utama yang menentukan seberapa banyak Hb berikatan dengan O2 adalah tekanan O2 darah,. Karbon dioksida yang diambil di kapiler sistemik diangkut dalam darah melalui tiga cara,. yaitu 10% larut secara fisik, 30% berikatan dengan Hb, dan 60% mengambil bentuk bikarbonat (HCO3-).35
17
Ventilasi melibatkan dua aspek berbeda, keduanya berada di bawah kontrol saraf, yaitu pergantian siklik antara inspirasi dan ekspirasi, dan regulasi besar ventalasi yang sebaliknya bergantung pada kontrol laju pernapasan dan kedalamman volume napas. Irama bernapas dihasilkan oleh anyaman saraf kompleks yang mengaktifkan neuron-neuron inspirasi yang terletak di kelompok respirasi dorsal (KRD) pada pusat pernapasan di medulla batang otak. Neuronneuron inspirasi ini melepaskan muatan, impuls akhirnya mencapai otot-otot inspirasi untuk menimbulkan inspirasi.35 Pada saat neuron-neuron inspirasi berhenti melepaskan muatan, maka otototot inspirasi akan relaksasi dan terjadi proses ekspirasi. Jika akan terjadi ekspirasi aktif, maka otot-otot ekspirasi diaktifkan oleh impuls dari neuron ekspirasi medulla di kelompok respirasi ventral (KRV) pusat control pernapsan di medulla.35 Irama ini diperhalus oleh keseimbangan aktivitas di pusat apnustik dan pneumotaksik yang terletak lebih tinggi di batang otak, di pons. Pusat apnustik memperlama inspirasi sedangkan pusat pneumotaksik yang lebih kuat membatasi inspirasi.35
2.2.3. Perubahan pada Sistem Pulmonal Lanjut Usia Pada usia lanjut terjadi perubahan dari anatomi paru-paru sehingga berdampak juga terhadap perubahan fisiologinya, yaitu terjadi degenerasi dari serat elastis di sekitar saluran pernapasan yang dimulai pada usia 50 tahun, keadaan tersebut membuat saluran pernapasan pada usia lanjut menjadi kaku sehingga menyebabkan penyempitan saluran napas. Penyempitan ini akan meningkatkan resistensi saluran napas, sehingga udara yang masuk ke dalam paru-paru sedikit yang menyebabkan kompensasi tubuh berupa sesak napas saat beraktivitas.36 Usia lanjut membuat penurunan fungsi pada sistem pertahanan saluran napas, salah satunya adalah silia yang berfungsi untuk mengeluarkan benda asing yang ada di saluran pernapasan, pada usia lanjut silia yang terdapat di sepanjang saluran pernapasan akan mengalami penurunan getaran, hal ini membuat penurunan fungsi dari pembersihan saluran napas sehingga mengakibatkan
18
menurunnya sekresi dari kelenjar mukus ke saluran pernapasan atas yang membuat mukus terakumulasi di saluran pernapasan bawah, sekret menjadi kental dan mikroorganisme akan terperangkap di dalam paru paru hal ini dapat meningkatkan terjadinya infeksi pada paru-paru.36 Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada parenkim paru, khususnya elastisitas dari alveolus yang mulai menurun pada proses penuaan, hilangnya elastisitas dari alveolus tersebut membuat daya rekoil dari alveolus menurun atau terganggu, sehingga pertukaran gas dari rongga dada ke pembuluh darah berkurang yang menyebabkan oksigen yang masuk ke dalam pembuluh darah sedikit dan sedikit karbon dioksida yang dikeluarkan sehingga menyebabkan sulit untuk bernapas, hal ini juga dipengaruhi oleh otot- otot bantu napas dan diafrgama yang melemah, sehingga akan menurunkan fungsi bernapas yaitu menurunnya inspirasi oksigen dan ekspirasi karbon dioksida.36,37,38 Perubahan anatomi seperti penurunan komplian paru dan dinding dada turut berperan dalam peningkatan kerja pernapasan dan penurunan laju ekspirasi paksa sekitar 20% pada usia 60 tahun.36,39
Gambar 2.2. Diagram volume ekspirasi maksimal menurut usia Sumber: Sharma G, Goodwin J. Effect of aging on respiratory system physiology and immunology. 2006.
Penuaan juga dapat merubah anatomi pada tulang dan otot-otot dada. Penuaan membuat kalsifikasi kartilago kosta sehingga menyebabkan kekakuan pada tulang iga pada saat pengembangan paru dan akan mengakibatkan pernapasan abdominal dan menurunnya suara paru pada bagian dasar.36 Diafragma merupakan otot pernapasan yang mempunyai peranan sangat penting dalam fungsi inspirsi. Informasi tentang efek penuaan terhadap fungsi
19
diafragma hanya sedikit yang bisa didapatkan. Pengukuran kekuatan otot-otot pernapasan ditentukan oleh transdiapraghmatic pressure (Pdi), maximum voluntary ventilation (MMV), dan maximum inspiratory pressure (MIP). MIP merupakan indeks kekuatan untuk pengukuran fungsi kekuatan diafragma yang dilakukan dengan pemberian tekanan mekanik dengan menutup mulut saat inspirasi. MIP merupakan indikator kekuatan otot-otot inspirasi dan determinan dari kapasistas vital paru. Penurunan MIP dapat mengakibatkan ventilasi yang inadekuat dan gangguan fungsi sekret saluran napas yang biasa ditemukan pada penyakit neuromuskular. MIP pada laki-laki 30% lebih besar dibandingkan dengan perempuan pada semua kelompok usia dan terjadi penurunan MIP sekitar 0,8-2,7 cm H2O/tahun pada usia 65-85 tahun. Penurunan nilai MIP yang lebih besar terjadi pada laki-laki. Menurut penelitian Tolep dkk, terjadi penurunan nilai Pdi sekitar 25% yang diukur menggunakan Mueller maneuver pada individu yang berusia 65-75 tahun pada 10 orang sampel.39
Tabel 2.4. Perbedaan kekuatan otot diafragma pada usia lanjut dengan dewasa Tekhnik Mueller manuever
Pdi (cmH2O) Dewasa
Usia Lanjut
171 + 8
128 + 9
Penurunan 25%
Sumber: Sharma G, Goodwin J. Effect of aging on respiratory system physiology and immunology. 2006.
Penurunan kekuatan otot diafragma pada usia lanjut berhubungan dengan proses penuaan yaitu terjadi karena atrofi otot dan penurunan fungsi serat saraf akibat penuaan. Penurunan kekuatan diafragma akibat penuaan ini dapat menjadi predisposisi untuk terjadinya diapraghmatic fatigue dan gagal napas saat terjadi peningkatan kebutuhan ventilasi pada sistem respirasi.39
2.2.4. Perubahan pada Sistem Pencernaan Lanjut Usia Banyak masalah sistem pencernaan yang dihadapi oleh usia lanjut berkaitan dengan gaya hidup. Mulai dari gigi sampai anus terjadi perubahan morfologik degeneratif, antara lain perubahan atrofi pada rahang, mukosa, kelenjar dan otototot pencernaan.40
20
Air liur/saliva disekresikan sebagai respon terhadap makanan yang yang telah dikunyah. Saliva memfasilitasi pencernaan melalui mekanisme sebagai penyediaan enzim pencernaan, pelumasan dari jaringan lunak, remineralisasi pada gigi, pengaontrol flora pada mulut dan penyiapan makanan untuk dikunyah.41,42 Proses penuaan membuat dilatasi esofagus dan penurunan refleks muntah sehingga menyebabkan peningkatan terjadinya risiko aspirasi.
2.2.5. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal Lanjut Usia Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas, gangguan metabolik, atau denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia, perusakan dan pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormon esterogen pada wanita, vitamin D, dan beberapa hormon lain. Tulang-tulang trabekular menjadi lebih berongga, mikro-arsitektur berubah dan sering patah baik akibat benturan ringan maupun spontan.40 Penurunan tinggi badan secara progresif karena penyempitan diskus intervertebral dan penekanan pada kolumna vertebralis. Implikasi dari hal ini adalah postur tubuh menjadi lebih bungkuk dengan penampilan barrel-chest.40 Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular yang berfungsi sebagai perlindungan terhadap beban gerakan rotasi dan lengkungan. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan terjadinya risiko fraktur. Waktu untuk kontraksi dan relaksasi muskular memanjang. Implikasi dari hal ini adalah perlambatan waktu untuk bereaksi dan pergerakan yang kurang aktif.40
2.2.6. Perubahan pada Sistem Imun Lanjut Usia Leukosit merupakan unit yang dapat bergerak dalam sistem pertahanan imun tubuh. Imunitas adalah kemampuan tubuh untuk menahan atau menyingkirkan benda asing atau sel abnormal yang berpotensi menginfeksi tubuh. Leukosit dan turunan-turunannya, bersama dengan berbagai protein plasma, membentuk sistem imun.33 Di dalam darah terdapat lima jenis leukosit yang berbeda, yaitu neutrofil, eosinofil, basofil, monosit dan limfosit masing-masing dengan struktur dan fungsi khas tersendiri.33
21
Pada usia lanjut akan mengalami perubahan imunitas sistemik, yaitu imunitas alami, dan imunitas adaptif. Imunitas alami adalah respon imun yang terdiri dari makrofag, Natural killer cell (sel NK), dan neutrofil yang menjadi sistem pertahanan lini pertama terhadap masuknya mikroorganisme patogen. Pada usia lanjut fungsi sel-sel tersebut akan menurun, karena terdapat defek pada sumsum tulang individu yang mengalami penuaan sehingga menyebabkan penurunan kemampuan makrofag, dan neutrofil untuk menghilangkan mikroba. Sel NK berperan dalam interaksi antara respons imun alami, dan adaptif. Produksi sel NK terjadi penurunan pada usia lanjut yang dapat menyebabkan peningkatan risiko infeksi, dan kematian pada pasien usia lanjut.43 Pada usia lanjut, timus mengalami involusi progresif sehingga output selsel baru berkurang secara signifikan sejak usia 40 tahun. Perubahan morfologi, dan fungsional berupa perluasan ruang perivaskular. Penurunan timopoisis adalah proses aktif yang dimediasi oleh sitokin timosupresi, terutama IL-6, faktor penghambat leukemia (LIF), dan oncostatin M (OSM). Produksi IL-7 yang diperlukan dalam timopoisis untuk menjamin kelangsungan hidup sel dengan mempertahankan protein anti-apoptosis Bcl-2 secara signifikan menurun. Atrofi kronis timus disebabkan oleh kekurangan reseptor leptin, dan progenitor sel T yang bertambah tua. Leptin berperan sebagai zat perlindungan terhadap bakteri endotoksin yang mengawali proses atrofi. Sedangkan sel T yang menua mengakibatkan produksi sitokin timus menurun, seperti IL-1, IL-3, TGF-β, OSM dan LIF yang berperan merangsang fase dini hematopoiesis serta IL-6, IL-7 yang berperan sebagai sitokin timosupresi.43 Peningkatan kadar kolesterol yang umum terjadi pada dewasa tua berperan terhadap penurunan kemampuan T-cell signaling. Kolesterol tinggi dapat mempengaruhi ketebalan lapisan lipid berupa berkurangnya cairan plasma membran sel T dibanding pada dewasa muda, sehingga mengakibatkan aktivasi sel T terhambat. Dewasa tua mengalami penurunan kadar tirosin kinase yang penting untuk stimulasi sel T. Untuk membangun respons imun yang adekuat, T cell receptor (TCR) harus dijaga keberadaannya secara terus-menerus pada populasi klon sel T yang beragam. Keragaman TCR masih terjaga baik hingga usia 60-65 tahun, meskipun telah terjadi penurunan output timus yang
22
mengakibatkan rendahnya respons imun dalam menghadapi infeksi, dan vaksinasi.44 Kualitas respons imun humoral menurun sesuai usia. Perubahan ini ditandai dengan respons antibodi yang lebih rendah, dan penurunan produksi antibodi berafinitas tinggi. Penurunan proliferasi sel B karena usia menurunkan aktivasi sel B dan memberikan defek pada afinitas reseptor, dan sinyal permukaan sel B. Sel Th CD4+ membantu secara tidak adekuat di pusat-pusat germinal, dan menghasilkan antibodi berafinitas rendah akibat penurunan pelepasan IL-2, dan IL-4. Proses penuaan berperan pada perubahan sitokin dari Th1 ke Th2 sebagai respons terhadap rangsangan kekebalan tubuh. Kelebihan produksi sitokin Th2 dapat meningkatkan gangguan autoimun yang dimediasi sel B dengan meningkatkan produksi antibodi autoreaktif. Dengan penurunan imunitas humoral, produksi antibodi berafinitas tinggi menjadi rendah sehingga melemahkan respons antibodi pasien usia lanjut.43
2.2.6. Patofisiologi Dengan diketahuinya perubahan - perubahan pada berbagai organ tersebut di atas maka akan dapat diketahui bahwa tampilan klinis pneumonia komunitas pada pasien usia lanjut berbeda dengan kelompok usia lainnya.45 Pada orang usia lanjut lebih mudah terinfeksi pneumonia hal ini disebabkan oleh adanya gangguan refleks muntah, melemahnya imunitas, gangguan kardiopulmoner, dan gangguan respon pengaturan suhu. Gangguan refleks muntah, dan sistem saraf pusat mengakibatkan pneumonia aspirasi. Gangguan pada kardiopulmoner mempengaruhi penurunan dari fungsi jantung, dan paru. Sistem imunitas humoral pada usia lanjut terjadi gangguan pada fungsi limfosit B sehingga akan menurunkan produksi antibodi, yang akan menjadi faktor predispoposi infeksi mikroorganisme patogen yang menyebabkan pneumonia.46,47 Penurunan fungsi silia saluran pernapasan pada usia lanjut dapat mengakibatkan risiko seorang individu untuk terjangkit infeksi pada sistem pernapasan semakin meningkat. Pada infeksi saluran pernapasan, saluran napas akan mengeluarkan sekret berupa mukus. Mukus yang diproduksi akan dikeluarkan melalui proses batuk. Proses batuk sangat ditentukan oleh fase
23
inspirasi maksimal. Pada usia lanjut, volume inspirasi dan ekspirasi jumlahnya menurun karena menurunnya fungsi otot-otot pernapasan. Penurunan volume tersebut mengakibatkan penurunan fungsi batuk untuk mengeluarkan mukus yang diproduksi. Mikroorganisme yang terperangkap oleh mukus tidak akan bisa dikeluarkan karena fungsi mukosilia yang menurun dan akan mengakibatkan mukus terakumulasi pada saluran pernapasan bawah sehingga manifestasi klinis pneumonia komunitas pada usia lanjut akan mengalami penurunan pada respon batuk dan sputum.33,36,37 Mukus di saluran napas yang terakumulasi karena tidak dapat dikeluarkan dengan respon batuk menyebabkan obstruksi pada saluran pernapasan. Disamping itu, proses degenerasi serat elastis pada saluran pernapasan juga terjadi sehingga membuat resistensi jalur napas meningkat
sehingga mengganggu proses
masuknya oksigen ke dalam paru paru yang membuat tubuh melakukan kompensasi melalui peningkatan frekuensi napas untuk mencukupi kebutuhan oksigen dalam tubuh.36 Selain itu, defek sumsum tulang yang terjadi pada individu berusia lanjut menyebabkan penurunan produksi sel-sel imun seperti makrofag dan neutrofil. Makrofag berfungsi memfagosit patogen yang masuk ke dalam tubuh lalu melepaskan sitokin pirogen endogen, sitokin ini diduga mencapai organ sirkumventrikular otak yang tidak memiliki sawar darah otak dan menyebabkan reaksi demam melalui prostaglandin PGE2.. Pada usia lanjut, fungsi tersebut mulai mengalami penurunan sehingga sitokin pirogen endogen tidak mengubah set point hipotalamus. Perubahan ini mengakibatkan reaksi demam pada usia lanjut tidak terjadi.28,48
24
2.3. Kerangka Teori
25
2.4. Kerangka Konsep
26
2.5. Definisi Operasional
No. Variabel
1.
Definisi
Alat
Cara
Skala
Ukur
Ukur
Ukur
Baca
Kategorik
Pneumonia
infeksi pada paru-paru Rekam
Komunitas
yang dimulai dari luar Medis
(CAP)
rumah
sakit
atau
didiagnosis dalam 48 jam
setelah
masuk
rumah sakit pada pasien yang tidak menempati fasilitas
perawatan
kesehatan
jangka
panjang selama 14 hari atau
lebih
gejala
sebelum
muncul,
biasanya
serta disertai
dengan adanya gambran infiltrat
pada
pemeriksaan
radiologi
dada.15 2.
Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan antara
Rekam Medis
Baca
Kategorik
Rekam Medis
Baca
Kategorik
perempuan dengan lakilaki secara biologis sejak seseorang lahir.50 3.
Usia Lanjut Seorang individu yang usianya telah mencapai lebih dari 60 tahun.51 Menurut lanjut
WHO
usia
dikelompokkan
27
menjadi berikut:
Lansia
60-74
tahun
Lansia tua 75-90 tahun
Lansia
sangat
tua > 90 tahun 4.
Riwayat
Riwayat
Pendidikan
adalah
pendidikan Rekam
Baca
Kategorik
Baca
Kategorik
tingkat Medis
pendidikan
yang
dicapai
seseorang
setelah
mengikuti
pelajaran
pada
kelas
tertinggi suatu tingkatan sekolah
dengan
mendapatkan
tanda
tamat (ijazah).52
Tidak sekolah
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Perguruan Tinggi
5.
Status
Pernikahan
Pernikahan
sebuah ikatan lahir batin Medis antara
adalah Rekam
seorang
pria
dengan seorang wanita ssebagai dengan
suami tujuan
membentuk
isteri untuk
keluarga
atau rumah tangga yang bahagia
dan
kekal.53
28
Dikelompokkan menjadi :
6.
Menikah
Belum Menikah
Pernah Menikah
Jenis
Jenis pekerjaan adalah Rekam
Pekerjaan
macam pekerjaan yang Medis dilakukan
Baca
Kategorik
Baca
Kategorik
Baca
Kategorik
seseorang
atau ditugaskan kepada seseorang yang sedang bekerja
atau
sementara
yang tidak
bekerja52 7.
Indeks
IMT adalah nilai yang Rekam
Massa
diambil
Tubuh
perbandingan
(IMT)
berat
badan
(BB)
dengan
tinggi
badan
dari Medis antara
seseorang.54
(TB)
Menurut kriteria AsiaPasifik dikelompokkan menjadi :
Underweight
Normal weight
Pre obesitas
Obesitas Grade I
Obesitas Grade II
8.
Hipotensi
Tekanan darah sistolik Rekam <
90
mmHg
atau Medis
tekanan darah diastolik < 60 mmHg.55
29
9.
Takikardi
Frekuensi
nadi
>100 Rekam
56
kali/menit. 10.
Takipneu
Demam
Frekuensi napas lebih Rekam
30
37,8 C. 12.
Batuk
Baca
Kategorik
Baca
Kategorik
Baca
Kategorik
Baca
Kategorik
Baca
Kategorik
Baca
Kategorik
Baca
Kategorik
Medis
Kenaikan suhu tubuh > Rekam o
Kategorik
Medis
dari 20 kali/menit.57 11.
Baca
Medis
Batuk
adalah Rekam
pengeluaran
sejumlah Medis
volume udara secara mendadak dari rongga toraks
dalam
sistem
pertahanan respiratorik.58 13.
Sputum
Sputum
atau
dahak Rekam
adalah
mukus
yang Medis
keluar saat batuk dari saluran
pernapasan
atas.59 14.
Sesak Napas
adalah Rekam Medis perasaan sulit bernapas, Sesak
napas
ditandai dengan napas yang
pendek
dan
penggunaan
otot
bernapas.60 15.
Nyeri Dada
Nyeri, tekanan, sesak, Rekam Medis atau ketidaknyamanan lain yang berasal atau menjalar ke dada.61
16
Gangguan Suara napas
Wheezing merupakan Rekam Medis suara nafas seperti musik yang terjadi karena
adanya
30
penyempitan
jalan
udara atau tersumbat sebagian.62 Ronkhi adalah nada rendah
dan
sangat
kasar yang terdengar karena
terdapat
cairan atau mukus di saluran pernapasan.63 17.
Mual
Mual adalah perasaan Rekam Medis tidak menyenangkan yang
ada
Baca
Kategorik
Baca
Kategorik
sebelum
muntah.64 18.
Muntah
adalah Rekam Medis keluarnya isi lambung Muntah
hingga ke mulut dengan paksa
atau
dengan
kekuatan.65 19.
Anoreksia
Anoreksia adalah tidak Rekam Medis adanya nafsu makan.65
Baca
Kategorik
20.
Minum
Minum alkohol adalah Rekam
Baca
Kategorik
alkohol
seseorang yang yang Medis
Baca
Kategorik
Baca
Kategorik
meminum yang
minuman mengandung
alkohol atau etanol 5% hingga 40% volume.65 21.
Perokok
Individu
yang Rekam
menghisap udara napas Medis dari
lingkungannya
yang mengandung asap rokok.65 22.
Asma
Asma adalah gangguan Rekam
31
inflamasi kronik saluran Medis napas
yang
menyebabkan obstruksi saluran napas.23 23.
Diabetes
DM
Mellitus
atau
adalah
penyakit Rekam
Baca
Kategorik
Baca
Kategorik
Baca
Kategorik
Baca
Kategorik
Baca
Kategorik
gangguan Medis
metabolisme
kronis
dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah.66 24.
Gagal
Gagal jantung kongestif Rekam
jantung
adalah
kongestif
mampuan jantung untuk
ketidak
- Medis
memompakan darah ke seluruh jaringan tubuh secara adekuat.67 25.
Renal
Renal diseases adalah Rekam
diseases
gangguan ginjal yang Medis disebabkan
oleh
kelainan vaskular.68 26.
Penyakit
PPOK adalah penyakit Rekam
paru
paru
obstruktif
ditandai oleh hambatan
kronik
aliran udara di saluran napas
kronik
yang
yang Medis
bersifat
progressif nonreversibel atau reversibel parsial.69 27.
Infiltrat
Infiltrat
adalah Rekam
gambaran parenkim solid
pada Medis paru
yang
mengandung
32
sedikit udara.70 28.
Efusi pleura
Efusi
pleura
adalah Rekam
Baca
Kategorik
Baca
Kategorik
Baca
Kategorik
Baca
Kategorik
suatu keadaan dimana Medis terdapat
penumpukan
cairan
dari
dalam
kavum pleura diantara pleura
parietalis
dan
pleura viseralis dapat berupa cairan transudat atau cairan eksudat.70 29.
Rawat inap
Rawat
inap
adalah Rekam
ruang
untuk
pasien Medis
yang
memerlukan
asuhan dan pelayanan keperawatan pengobatan
dan secara
berkesinambungan lebih dari 24 jam.71 30.
Antibiotika
Antibiotika segolongan baik
alami
adalah Rekam senyawa, Medis maupun
sintetik,
yang
mempunyai efek untuk menekan
atau
menghentikan proses
suatu
biokimia
di
dalam suatu organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri.72 31.
Meninggal
Meninggal sudah
adalah Rekam
menghilangnya Medis
nyawa atau tidak hidup
33
lagi.72 32.
Sepsis
Sepsis adalah respons Rekam sistemik
Baca
Kategorik
Baca
Kategorik
Baca
Kategorik
pejamu Medis
terhadap infeksi dimana patogen
atau
toksin
ke
dalam
dilepaskan
sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi.70 34.
Multiple
Multiple organ failure Rekam
organ failure adalah adanya fungsi Medis organ
yang
berubah
pada pasien sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan
tanpa
intervensi,
yang
melibatkan
dua
atau 73
lebih sistem organ. 35.
Gagal napas
Gagal
napas
adalah Rekam
sindrom yang ditandai Medis oleh
peningkatan
permeabilitas membran alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma.72
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan studi deskriptif potong lintang (cross-sectional) dengan pendekatan retrospektif yang menggunakan data sekunder berupa rekam medik di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cengkareng. Desain ini digunakan untuk mengetahui profil pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di RSUD Cengkareng pada bulan Januari 2013 - Desember 2014.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di RSUD Cengkareng periode Januari 2013 Desember 2014 selama bulan Juli-Agustus 2015.
3.3. Populasi Penelitian a. Populasi target : Pasien yang didiagnosis menderita pneumonia di RSUD Cengkareng. b. Populasi terjangkau : Pasien usia lanjut yang didiagnosis pneumonia komunitas yang dirawat di RSUD Cengkareng pada Januari 2013 - Desember 2014.
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi a. Kriteria Inklusi Pasien dengan usia lebih dari 60 tahun. Pasien yang sudah terdiagnosis pneumonia komunitas oleh dokter di RSUD Cengkareng. Pasien pneumonia komunitas yang dirawat di RSUD Cengkareng dari Januari 2013 sampai dengan Desember 2014.
34
35
b. Kriteria Eksklusi Pasien pneumonia pada anak. Pasien pneumonia komunitas dengan usia kurang dari 60 tahun. Pasien pneumonia nosokomial Pasien dengan HIV positif.
3.5. Besar dan Cara Pengambilan Sampel Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kategorik. Rumus besar sampel yang digunakan adalah : n= n= n = 385 Zα =
Derajat kepercayaan
P
=
Prevalensi pneumonia (dari kepustakaan)
Q
=
1-P
d
=
Limit dari eror atau presisi absolut
n
=
Jumlah sampel minimal yang diperlukan
Tingkat kepercayaan ditetapkan sebesar 95%, sehingga α = 5% dan Zα = 1,96 dengan kesalahan prediksi yang bisa diterima (d) sebesar 5%. Prevalensi (P) ditetapkan sebesar 0,5 karena prevalensi pneumonia di Indonesia kurang dari 10%, sehingga Q (1-P) didapatkan 0,5. Dengan demikian, besar sampel minimal yang diperlukan adalah 385. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling dari data rekam medik pasien pneumonia yang dirawat
di RSUD Cengkareng selama
Januari 2013 sampai Desember 2014, semua sampel dipilih jika memenuhi kriteria inklusi.
36
3.6. Cara Kerja Penelitian
Melakukan persiapan penelitian di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Mengurus perizinan ke RSUD Cengkareng untuk mengambil data.
Mengambil data rekam medik yang sesuai dengan syarat penelitian peneliti melalui seleksi subjek dari populasi terjangkau berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.
Didapatkan pasien sesuai dengan besar sampel yang peneliti tentukan.
Masukan data rekam medik kedalam lembaran data penelitian.
Melakukan pengolahan data berdasarkan hasil lembaran data penelitian.
Melaporkan hasil penelitian.
3.7. Alat dan Bahan a. Alat Program Software SPSS 21 Pulpen Pensil b. Bahan Rekam Medik Pasien
37
3.8. Alur Penelitian
Persiapan Penelitian
Pemilihan Sampel
Pembuatan Proposal
Distribusi Proposal ke RSUD Cengkareng
Pengambilan Data Rekam Medik
Input Data
Pengolahan Data
Pembahasan Hasil Data
Laporan Hasil Penelitian
38
3.9. Manajemen Data Data yang digunakan adalah data sekunder yang didapat langsung melalui rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi pasien pneumonia komunitas di atas usia 60 tahun di RSUD Cengkareng. Pengolahan data penelitian ini menggunakan software statistic, yaitu semua data yang terkumpul dicatat dan dilakukan editing dan coding untuk kemudian dimasukan kedalam program Statistical Package for Social Sciences (SPSS) dengan tahapan sebagai berikut: a. Cleaning Data “dibersihkan” terlebih dahulu dengan cara meneliti data yang ada supaya tidak terdapat data yang tidak perlu. b. Editing Pada tahapan ini, dilakukan pemeriksaan kelengkapan data. c. Coding Tahapan ini merupakan tahapan dimana data yang telah terkumpul diberi kode-kode untuk memudahkan pemasukan data. d. Entry Data yang telah diberi kode dimasukkan ke dalam komputer untuk kemudian dilakukan analisis data. Kemudian data diolah lebih lanjut dan kemudian data disajikan dalam bentuk teks, grafik, dan tabel.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan studi deskriptif potong lintang (cross-sectional) dengan pendekatan retrospektif, yang menggambarkan profil pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cengkareng yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data ini diolah berdasarkan distribusi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status pernikahan, pekerjaan, indeks massa tubuh (IMT), tanda vital, gejala klinis, kebiasaan perilaku, penyakit penyerta, foto radiologi toraks, lama rawat inap, pemberian antibiotik, kematian dan penyebab kematian yang ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.
4.1. Karakteristik Demografi Karakteristik demografi pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas dalam penelitian ini terdiri dari jenis kelamin, usia, pendidikan, status pernikahan, pekerjaan. Berikut gambaran karakteristik pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas di RSUD Cengkareng.
Tabel 4.1. Karakteristik berdasarkan jenis kelamin Variabel
Frekuensi (n=77)
Persentase (%)
Laki-laki
41
53,2
Perempuan
36
46,8
Jenis Kelamin
Pada penelitian ini, didapatkan data jumlah pasien pneumonia komunitas pada usia lebih dari 60 tahun dengan jenis kelamin laki-laki yang berjumlah 41 pasien (53,2%)
lebih tinggi
dibandingkan jenis kelamin perempuan yang
berjumlah 36 pasien (46,8%). Lebih tingginya frekuensi jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan pada pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas, didukung oleh penelitian Malik AS,dkk (2012) yang membahas tentang profil
39
40
pneumonia komunitas di Pakistan, didapatkan bahwa jumlah laki-laki lebih banyak yaitu sebesar 55% dibandingkan perempuan sebesar 45%. Hal serupa juga ditemukan oleh Rodriguez L,dkk (2009) pada penelitiannya di Spanyol bahwa laki-laki lebih mendominasi (52%) dibandingkan perempuan (48%). Di negara India yang merupakan negara berkembang, yang memiliki keidentikan sama halnya dengan Indonesia, didapatkan data pneumonia komunitas dari penelitian Bilal BA,dkk (2012) bahwa pasien pneumonia komunitas lebih banyak pada lakilaki berjumlah 35 pasien (70%) dibandingkan perempuan yang berjumlah 15 pasien (30%). Namun, jika melihat penelitian lain, seperti penelitian Viegi G,dkk (2006) yang membahas epidemiologi pneumonia komunitas di Napoli, Italia, mendapatkan bahwa perempuan lebih banyak sebesar 53,1% dibandingkan lakilaki yang berjumlah 46,7%. Akan tetapi dari semua data penelitian tersebut, VilaCorcoles A,dkk (2008) menyampaikan bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan
antara
pasien
pneumonia
komunitas
dengan
jenis
kelamin
pasien.74,75,76,77,78
Tabel 4.2. Karakteristik berdasarkan kelompok usia Variabel
Frekuensi (n=77)
Persentase (%)
60-74 tahun
60
77,9
75-90 tahun
16
20,8
>90 tahun
1
1,3
Kelompok Usia
Untuk distribusi pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas berdasarkan kelompok usia yang tertera pada tabel 4.2. didapatkan kelompok lansia(60-74 tahun) sebanyak 60 pasien (77,9 %), kelompok lansia tua (75-90 tahun) sebanyak 16 pasien (20,8 %) dan lansia sangat tua (>90 tahun) sebanyak 1 pasien (1,3%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Vila-Corcoles A,dkk (2008)
di Tarragona, Spanyol yang mengatakan angka
kesakitan pneumonia komunitas pada kelompok usia 65-74 tahun sebesar 55,2%, kelompok usia 75-84 tahun sebesar 34.3%, kelompok usia lebih dari 85 tahun sebesar 10,5%, hal serupa juga ditemukan oleh Bilal BA,dkk (2012) bahwa
41
didapatkan penurunan jumlah kasus yaitu, pada kelompok usia
65-74 tahun
sebesar 64%, kelompok usia 75-84 tahun sebesar 28% dan kelompok usia lebih dari 85 tahun sebesar 8%. Perbedaan peningkatan angka morbiditas pasien pneumonia komunitas pada kelompok usia lanjut tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan populasi yang diteliti yang apabila ditelusuri lebih lanjut hal ini berhubungan erat dengan akses pasien tersebut ke pusat layanan kesehatan atau rumah sakit.76,78
Tabel 4.3. Karakteristik berdasarkan tingkat pendidikan Variabel
Frekuensi (n=77)
Persentase (%)
Tidak sekolah
1
1.3
Tamat SD
46
59,7
Tamat SMP
8
10,4
Tamat SMA
17
22,1
Perguruan tinggi
5
6,5
Pendidikan
Berdasarkan tingkat pendidikan, didapatkan riwayat tingkat pendidikan pasien paling banyak adalah tamat SD sebanyak 46 pasien (59,7%), lalu tamat SMA sebanyak 17 pasien (22,1%), tamat SMP sebanyak 8 pasien (10,4%), perguruan tinggi sebanyak 5 pasien (6,5%), dan tidak bersekolah sebanyak 1 pasien (1,3%). Tingkat pendidikan pasien berpengaruh terhadap tingkat morbiditas atau kasus kejadian pneumonia komunitas. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Torres A,dkk (2013) bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan terakhir pasien maka semakin rendah risiko terjadinya pneumonia komunitas dibandingkan dengan pasien yang memiliki tingkat pendidikan terakhirnya yang rendah. Schnoor M,dkk (2007) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa tingkat pendidikan terakhir pasien yang lebih atau sama dengan 12 tahun (setara tamat SMA) memiliki risiko terkena pneumonia komunitas lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang memiliki tingkat pendidikan terakhirnya yang kurang atau sama dengan 9 tahun (setara tamat SMP) dan memiliki risiko terkena pneumonia komunitas lebih tinggi. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan
42
oleh Izquierdo C,dkk (2010) menjelaskan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan terakhir pasien dengan hasil pengobatan yang dilakukan pasien, sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat mortalitas pasien pneumonia tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan terakhir pasien.79,80,81
Tabel 4.4. Karakteristik berdasarkan status pernikahan Variabel
Frekuensi (n=77)
Persentase (%)
Menikah
47
61
Belum menikah
7
9,1
Pernah menikah
23
29,9
Status pernikahan
Dari hasil penelitian, pada tabel 4.4 didapatkan data status pernikahan pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yaitu pasien yang belum menikah sebanyak 7 pasien (9,1%), sudah menikah sebanyak 47 pasien (61%) dan pernah menikah sebanyak 23 pasien (29,9%). Terkait dengan kekerapan penyakit penyerta dan risiko kematian, menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Metersky ML,dkk (2012) di Amerika yang menyatakan bahwa pria yang belum menikah pada pasien pneumonia komunitas pada usia lebih dari 65 tahun dan dirawat di rumah sakit memiliki risiko kematian lebih tinggi dan sangat signifikan dibandingkan kelompok usia lainnya, namun kelompok ini memiliki risiko lebih rendah terhadap penyakit komorbidnya. Metersky ML,dkk (2012) juga menambahkan bahwa pasien yang sudah menikah lebih rendah terhadap risiko kematian, karena pasien yang sudah menikah memiliki status sosioekonomi lebih tinggi dan tingkat kekerasan lebih rendah.82
43
40 35 30 25 20 15 10 5 0
34 9
10
7
10
3
2
2
Pekerjaan
Gambar 4.1. Grafik karakteristik pekerjaan pasien
Dari data penelitian ini, diketahui pekerjaan
ibu rumah tangga (IRT)
sebanyak 34 pasien (44,2%), buruh sebanyak 10 pasien (13%), tidak bekerja sebanyak 10 pasien (13%) pegawai swasta sebanyak 9 pasien (11,7%), PNS sebanyak 7 pasien (9,1%), wiraswasta sebanyak 3 pasien (3,9%), diikuti dengan pensiunan sebanyak 2 pasien (2,6%), petani sebanyak 1 pasien (1,3%) dan pedagang sebanyak 1 pasien (1,3%). Berdasarkan data hasil penelitian ini, terlihat tingkat sosio-ekonomi populasi pasien mayoritas berada pada golongan yang masih rendah. Malik AS,dkk (2012) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara status sosio-ekonomi populasi dengan frekuensi pasien pneumonia komunitas, yaitu pada status sosio-ekonomi yang rendah didapatkan frekuensi yang tinggi terhadap morbiditas pneumonia komunitas (68,75%). Hal ini pun serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Loeb MB (2004) yang mendeskripsikan bahwa status sosio-ekonomi pasien yang rendah dapat meningkatkan risiko kejadian pneumonia komunitas. Lebih lanjut pada penelitian Malik AS,dkk (2012) mengemukakan pendapat bahwa pengaruh status sosioekonomi terhadap frekuensi pneumonia kemungkinan disebabkan pada golongan sosio-ekonomi rendah tidak dapat membayar biaya pengobatan pada tahap awal sakit karena kemiskinan, yang dapat menjadi faktor predisposisi tinggi untuk memperberat morbiditas dan meningkatkan risiko kematian.74,83
44
Namun pada beberapa penelitian yang lalu menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara status sosio-ekonomi terhadap kejadian pneumonia komunitas. Seperti pada dua penelitian Farr BM,dkk (2000) dengan judul yang berbeda, menyatakan bahwa diagnosis pneumonia komunitas dan status sosioekonomi tidak memiliki hubungan antar keduanya. Selain itu, status sosioekonomi juga tidak berpengaruh terhadap hasil dari perawatan pneumonia komunitas seperti pada penelitian Izquierdo C,dkk (2010) di Barcelona, Spanyol yang pada kesimpulan penelitiannya menyatakan bahwa status sosio-ekonomi tidak memiliki hubungan terhadap hasil perawatan pneumonia komunitas. Hal serupa juga disampaikan oleh Vrbova L,dkk (2005) di Ontario, Kanada yang berkesimpulan bahwa status sosio-ekonomi tidak berpengaruh terhadap frekuensi pneumonia komunitas dan tingkat mortalitasnya.81,84,85 Jalur Masuk Rumah Sakit
Poli 6 (7,8%)
IGD 71 (92,2%)
IGD
Poli
Gambar: 4.2. Diagram jalur masuk ke rumah sakit
Adapun distribusi pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas berdasarkan jalur masuk ke RSUD seperti yang terlihat pada diagram 4.2 didapatkan pasien yang masuk melalui IGD adalah sebanyak 71 pasien (92,2%), sedangkan yang masuk melalui poli sebanyak 6 pasien (7,8%).
45
4.2. Karakteristik Indeks Massa Tubuh (IMT) Tabel 4.5. Karakteristik indeks massa tubuh (Asia-Pasifik) Variabel
Frekuensi (n=77)
Presentase (%)
Underweight
13
16,9
Normal
29
37,7
Pre obesitas
8
10,4
Obesitas grade I
4
5,2
Obesitas grade II
1
1,3
Tidak ada data
22
28,6
IMT
Pada tabel 4.5. didapatkan hasil indeks massa tubuh pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas sebanyak 55 pasien yang memiliki data antropometri (BB dan TB) di RSUD Cengkareng dan 22 pasien tidak memiliki data antopometri. Dari hasil penelitian terlihat bahwa sebanyak 29 pasien (52,7%) memiliki indeks massa tubuh yang baik (normoweight), sebanyak 13 pasien (23,6%) memiliki indeks masaa tubuh yang kurang (underweight), sebanyak 8 pasien (14,5%) mengalami pre obesitas, sebanyak 4 pasien (7,3%) mengalami obesitas grade 1, dan sebanyak 1 pasien (1,8%) mengalami obesitas grade 2. Pada hasil penelitian, didapatkan indeks massa tubuh (IMT) pasien pneumonia lebih tinggi pada pasien yang memiliki IMT normal sebanyak 37,7%, kemudian yang tertinggi kedua adalah pasien yang memiliki IMT underweight sebanyak 16,9%. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Rodriguez L,dkk (2009) dimana IMT pasien pneumonia komunitas yang terbanyak adalah normal, namun terdapat perbedaan pada IMT terbanyak kedua, yaitu pre-obesitas. Pada penelitian yang dilakukan oleh Phung DT,dkk (2013) menyatakan bahwa pada status IMT underweight dan obesitas berat dapat meningkatkan risiko kejadian pneumonia komunitas. Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Tores A,dkk (2013) yang menyatakan bahwa status IMT underweight meningkatkan risiko lebih tinggi terhadap kejadian pneumonia komunitas dibandingkan dengan status IMT yang normal, sedangkan status IMT overweight mempunyai risiko lebih kecil atau
46
mempunyai risiko yang sama dengan status IMT normal. Lebih lanjut pada penelitian Lee J,dkk (2015) menekankan bahwa status IMT underweight dapat meningkatkan risiko terjadinya kematian.75,79,86,87
4.3. Karakteristik Tanda Vital Tabel 4.6. Karakteristik tanda vital Variabel
Frekuensi (n=77)
Persentase (%)
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Sistolik < 90 mmHg
3
74
3,9
96,1
Diastolik < 60 mmHg
15
62
19,5
80,5
9
68
11,7
88,3
RR > 20 kali/menit
62
15
80,5
19,5
Suhu > 37,8 0C
6
71
7,8
92,2
Tekanan darah
Frekuensi nadi > 100 kali/menit
Dari tabel 4.6. didapatkan pasien pneumonia komunitas pada usia lebih dari 60 tahun yang memiliki tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg sebanyak 3 pasien (3,9%), tekanan darah diastolik kurang dari atau sama dengan 60 mmHg sebanyak 15 pasien (19,5%), denyut nadi lebih dari 100 kali/menit sebanyak 9 pasien (11,7%), frekuensi napas lebih dari 20 kali/menit sebanyak 62 pasien (80,5%) dan suhu lebih dari 37,8oC sebanyak 6 pasien (7,8%). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Saldias Penafiel F,dkk (2003) pada pasien usia lanjut ( > 65 tahun) dengan frekuensi tertinggi yaitu respiratory rate > 20 kali/menit sebesar 87%, diikuti frekuensi nadi > 100 kali/menit sebesar 41%, suhu > 37,8oC sebesar 40%, dan tekanan darah diastolik < 60 mmHg sebesar 26%.88
47
Tabel 4.7. Perbandingan tanda vital pada penelitian ini dengan penelitian Saldias Penafiel F,dkk
Tanda Vital
Saldias Penafiel
Peneliti
F,dkk
(n=77)
(n=306)
Ya
Tidak
RR > 24 x/menit
87%
80,5%
19,5%
Frekuensi nadi >100 x/menit
41%
11,7%
88,3%
Suhu > 37,80C
40%
7,8%
92,2%
Sistolik < 60 mmHg
26%
19,5%
80,5%
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Heckerling P,dkk (1990) dikatakan bahwa pasien yang mempunyai suhu lebih dari 37,8oC dan frekuensi nadi yang lebih dari 100 kali/menit merupakan faktor prediktor independen yang signifkan dalam mendiagnosis pneumonia komunitas. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Gennis P,dkk (1990) dan Metlay J,dkk (2003) menyatakan bahwa indikasi perlunya pemeriksaan radiologi pada pasien pneumonia komunitas adalah pada saat pasien mempunyai gambaran tanda vital berupa suhu lebih dari 37,8oC, frekuensi nadi lebih dari 100 kali/menit, dan frekuensi napas lebih dari 20 kali/menit.89,90,91 Tabel 4.8. Karakteristik status kesadaran dan tekanan darah Variabel
Frekuensi (n=77)
Persentase (%)
Compos Mentis
69
89,6
Apatis
2
2,6
Somnolen
5
6,5
Sopor
1
1,3
Normal
31
40,3
Pre-Hipertensi
9
11,7
Hipertensi Derajat I
21
27,3
Hipertensi Derajat II
16
20,8
Status Kesadaran
Tekanan Darah
48
Berdasarkan hasil dari tabel 4.8, didapatkan data tanda vital pasien dengan status kesadaran yang terbanyak adalah compos mentis, yaitu sebanyak 69 pasien (89,6%), diikuti oleh somnolen 5 pasien (6,5%) apatis sebanyak 2 pasien (2,6%) dan sopor 1 pasien (1,3%). Adapun pada tanda vital tekanan darah, lebih banyak yang memiliki tekanan darah dalam batas normal, yaitu 31 pasien (40,3%). Jumlah interpretasi lain dalam tekanan darah, yaitu pre-hipertensi didapat sebanyak 9 pasien (11,7%), hipertensi derajat I 21 pasien (27,3%), dan hipertensi derajat II 16 pasien (20,8%).
4.4. Karakteristik Gambaran Klinis
Sesak nafas
6
Mual
55
16 49
25
3
Anoreksia
14
Batuk
44
24
9
Sputum
46
17
34 34
9 26
Gangguan suara nafas
41
10
18
Muntah
52
7 13
Nyeri dada
61
3 6
Demam
71
0 0
10 Ya
20
30
Tidak
40
50
60
70
80
Tidak ada data
Gambar 4.3. Grafik gambaran klinis pasien
Dari data grafik 4.3 diketahui karakteristik gambaran klinis pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas, didapatkan gejala paling banyak adalah
49
sesak napas sebanyak 55 pasien (71,4%), kemudian mual sebanyak 49 pasien (63,6%), anoreksia sebanyak 46 pasien (59,7%), batuk sebanyak 44 pasien (57,1%), dahak sebanyak 34 pasien (44,2%), gangguan suara napas sebanyak 26 pasien (33,8%), nyeri dada pleuritik sebanyak 13 pasien (16,9%) dan demam adalah gejala pasien yang paling sedikit yaitu sebanyak 6 pasien (7,8%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Riquelme dkk (1997), yang didapatkan gejala yang paling banyak adalah sesak napas sebesar 71%, lalu batuk sebesar 67% dan demam sebesar 64%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Bilal BA,dkk(2012) di dapatkan hasil gambaran klinis pasien pneumonia komunitas pada usia lebih dari 65 tahun, yaitu gejala paling banyak adalah batuk sebesar 74%, sputum sebesar 64%, demam 56%, sesak napas 22%, nyeri dada pleuritik 20% dan gangguan saluran cerna 8%.76,92 Menurut Zalacin R,dkk (2003) didapatkan gejala pasien pneumonia usia lanjut di Spanyol yang paling banyak adalah batuk sebesar 81%, lalu demam sebesar 76%, lalu sesak napas sebesar 70%, sputum 66% dan nyeri dada sebesar 43%. Menurut penelitian yang dilakukan Masahiro T,dkk (2014) di Jepang didapatkan gejala pasien pada usia 65-74 tahun paling banyak adalah batuk 68,4%, demam 31,6% dan sesak napas sebesar 26,3%.93,94 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Saldias Penafiel F, dkk (2003) didapatkan gejala paling banyak adalah batuk sebesar 83%, sesak napas 71%, sputum 71%, demam 63% dan nyeri dada sebesar 12%.88
Tabel 4.9. Perbandingan gambaran klinis penelitian ini dengan penelitian lain. Variabel
Zalacin
Saldias
(n=503) (n=306)
Riquelme
Bilal
Masahiro
Peneliti
(n=101)
(n=50)
(n=19)
(n=77)
Sesak
70%
71%
71%
22%
26,3%
71,4%
Batuk
81%
83%
67%
74%
68,4%
57,1%
Sputum
66%
71%
52%
64%
-
44,2%
Nyeri dada
43%
12%
34%
20%
-
16,9%
Demam
76%
63%
64%
56%
31,6%
7,8%
50
4.5. Karakteristik Kebiasaan Perilaku Tabel 4.10. Karakteristik kebiasaan perilaku Variabel
Frekuensi (n=77)
Persentase (%)
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Merokok
15
62
19,5
80,5
Minum alkohol
1
76
1,3
98,7
Dari data tabel 4.10. diketahui karakteristik kebiasaan perilaku pasien pneumonia komunitas pada usia lebih dari 60 tahun, didapatkan bahwa jumlah pasien merokok sebesar 15 pasien (19,5%) dan meminum minuman beralkohol sebanyak 1 pasien (1,3%). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bilal BA,dkk (2012) menunjukkan hasil pasien pneumonia yang memiliki kebiasaan merokok sebesar 74% dan mengatakan
bahwa terdapat peran penting antara
kebiasaan merokok dengan peningkatan risiko kejadian pneumonia. Merokok dapat meningkatkan faktor risiko pneumonia komunitas karena dapat mengubah flora normal di saluraan pernapasan, mekanisme pembersihan jalur napas dan pertahanan seluler di saluran pernapasan. Pembersihan jalan napas oleh mukosiliar berjalan tidak sempurna pada pasien dengan kebiasaan merokok karena menurunnya frekuensi gerakan siliar sehingga terjadi peningkatan kolonisasi bakteri di saluran pernapasan bawah yang lebih banyak ditemukan pada pasien yang memiliki kebiasaan merokok dibandingkan yang tidak merokok. Sependapat dengan Nuorti J,dkk (2000)
yang mengatakan bahwa kebiasaan
merokok merupakan faktor risiko terpenting yang dapat meningkatkan kejadian pneumonia komunitas.73,90 Pada penelitian Bilal BA,dkk(2012) juga didapatkan frekuensi pasien pneumonia komunitas yang mempunyai kebiasaan meminum alkohol berjumlah sedikit yaitu sebesar 6%. Bilal BA,dkk menjelaskan bahwa alkohol juga berpengaruh terhadap faktor risiko dalam pertahanan sistem saluran napas seperti perubahan flora normal, meningkatkan risiko aspirasi, menurunnya mekanisme pembershian saluran napas dan penurunan imunitas seluler. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Torres A,dkk (2013) yang menyebutkan bahwa terdapat risiko peningkatan kejadian pneumonia komunitas pada pasien
51
yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol. Namun pada penelitian lain yang dilakukan oleh Baik I,dkk (2000) menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara kebiasaan meminum minuman alkohol terhadap pneumonia komunitas. Hal ini kemungkinan terjadi karena penggunaan statistik yang lemah atau adanya kriteria inklusi untuk peminum alkohol yang rendah.76,79,96
4.6.
Karakteristik Penyakit Penyerta
Tabel 4.11. Karakteristik penyakit penyerta Frekuensi (n=77) Variabel
Persentase (%)
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Asma
2
75
2,6
97,4
Diabetes melitus (DM)
10
67
13,0
87
Congestive heart failure
2
75
2,6
97,4
Renal diseases
3
74
3,9
96,1
1
76
1,3
98,7
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
Dari tabel 4.11. didapatkan karakteristik penyakit penyerta yang menyertai pasien pneumonia komunitas pada usia lebih dari 60 tahun yang terbanyak adalah DM sebanyak 10 pasien (13%), lalu gangguan ginjal (renal diseases) sebanyak 3 pasien (3,9%), asma sebanyak 2 pasien (2,6%), congestive heart failure sebanyak 2 pasien (2,6%), dan PPOK sebanyak 1 pasien (1,3%). Menurut Torres A,dkk (2013) frekuensi dari penyakit penyerta secara umum lebih besar pada pasien yang berusia ≥65 tahun dibandingkan pasien yang berusia <65 tahun. Penyakit penyerta yang paling sering diderita adalah penyakit saluran napas kronik mencapai 68%, penyakit jantung mencapai 47%, diabetes mellitus dan demensia mencapai 33%, gangguan ginjal kronik mencapai 27% dan gangguan hati smencapai 20%. Torres menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit penyerta pasien dengan risiko kejadian pneumonia komunitas. Pasien pneumonia komunitas yang mempunyai penyakit penyerta diabetes melitus mempunyai hubungan dalam meningkatkan risiko kejadian pneumonia komunitas, penyakit
52
saluran napas kronik termasuk PPOK dan asma meningkatkan risiko 2 kali sampai 4 kali lebih besar terhadap risiko terjadinya pneumonia komunitas, penyakit penyerta kardiovaskular kronik meningkatkan risiko terjadinya pneumonia komunitas hingga 3 kali lebih besar, gangguan fungsi hepar dan ginjal juga meningkatkan risiko terjadinya pneumonia komunitas 2 kali lebih besar.79
4.7.
Karakteristik Hasil Radiologi Toraks
Tabel 4.12. Karakteristik hasil radiologi toraks Variabel
Frekuensi (n=77)
Persentase (%)
61
79,2
Tampak infiltrat
50
82
Tidak tampak infiltrat
11
18
16
20,8
Ada radiologi
Tidak ada radiologi
Pada tabel 4.12. diketahui dari 77 pasien yang di diagnosis pneumonia terdapat 61 pasien (79,2%) yang memiliki data foto radiologi toraks. Dari 61 pasien yang memliki data foto toraks sebanyak 50 pasien (82%) memperlihatkan hasil foto toraks berupa infiltrat dan sebanyak 11 pasien (18%) tidak tampak infiltrat. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Viegi G,dkk (2006) di Italia bahwa sebanyak 413 subyek (77,2%) melakukan pemeriksaan radiologi toraks dan yang tidak melakukan pemeriksaan radiologi sebanyak 121 subyek (22,8%) yang diantaranya sebanyak 50,8% dikarenakan alasan logistik, 8,2% menolak untuk melakukan pemeriksaan, dan 41% pasien tidak direkomendasikan dokter untuk melakukan pemeriksaan. Keputusan ini mengindikasikan kurang aplikatifnya guideline diagnosis dan manajemen dari pneumonia komunitas dari ketetapan Infectious Disease Society of America (IDSA), American Thoracic Society (ATS), dan British Thoracic Society (BTS) yang merekomendasikan pemeriksaan radiologi paru sebagai prosedur diagnosis pasien yang diduga menderita pneumonia komunitas. Meskipun demikian, guideline Canadian Infectious Disease Society dan Canadian Thoracic Society memperbolehkan
53
untuk melakukan terapi pneumonia komunitas tanpa konfirmasi radiologi bagi pasien yang mempunyai kesulitan untuk melakukan pemeriksaan.77
4.8. Karakteristik Lama Rawat Inap Tabel 4.13. Karakteristik lama rawat inap Lama Rawat Inap
Frekuensi (n=77)
Persentase (%)
0-3 hari
22
28,5
4-7 hari
40
52
8-11 hari
10
13
12-15 hari
5
6,5
Dari tabel 4.16. didapatkan data rawat inap pasien dari 0-3 hari sebanyak 22 pasien (28,5%), 4-7 hari sebanyak 40 pasien (52%), 8-11 hari sebanyak 10 pasien (13%), dan 12-14 hari sebanyak 5 pasien (6,5%). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Masotti L,dkk (2000) menyatakan beberapa hal yang dapat memperpanjang lama rawat inap yaitu demam tinggi menunjukkan hubungan yang bermakna dengan lamanya rawat inap. Penyakit penyerta, kateterisasi saluran kemih, dan ISK sekunder, dan tingginya laju endap darah juga mempunyai hubungan yang bermakna terhadap lamanya rawat inap pada pasien pneumonia komunitas. Dehidrasi pada pasien pneumonia komunitas usia lanjut juga diketahui berpengaruh terhadap lamanya rawat inap. Menurut Masotti L,dkk (200) data tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi sehingga dapat mengurangi biaya perawatan. Menurut Isabella S,dkk (2012) menyatakan bahwa frekuensi napas lebih dari 20 kali per menit dan tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg pada pasien pneumonia usia lanjut dapat memperpanjang masa rawat inap di rumah sakit.97,99
54
4.9. Karakteristik Antibiotik yang Diberikan dalam Pengobatan Pneumonia Komunitas di pada Usia Lanjut Tabel 4.14. Karakteristik antibiotik yang diberikan Golongan Antibiotik Frekuensi (n=67)
Persentase (%)
Derivat Beta Laktam Sefalosporin Generasi ke-3
52
67,5
Karbapenem
9
11,7
Fluoroquinolone
1
1,3
Sefalosporin + fluoroquinolone
3
3,9
Karbapenem + fluoroquinolone
2
2,6
Tidak ada data
10
13
Dari 77 pasien yang dirawat hanya 67 pasien yang mempunyai data pemberian antibiotik di rumah sakit sedangkan 10 pasien tidak ada data pemberian antibiotik. Dari 67 pasien, didapatkan pemberian antibiotik monoterapi dari derivat beta laktam yaitu golongan sefalosporin generasi ke-3 seperti ceftizoxime, cefixime, ceftazidime, ceftriaxone, cefoperazone sebanyak 52 pasien (77,6%), sedangkan dari golongan karbapenem sebanyak 9 pasien (11,7%). Pemberian
antibiotik
monoterapi
golongan
fluoroquinolone(ofloxacin,
levofloxacin, dan ciprofloxacin) sebanyak 1 pasien (1,5%), dan pemberian antibiotik kombinasi yaitu antara golongan beta laktam dan fluoroquinolone sebanyak 3 pasien (4,5%). Penemuan ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Viegi G,dkk (2006) yang menyebutkan bahwa pemberian sefalosporin generasi ketiga paling sering digunakan untuk initial therapy pada pasien infeksi saluran pernapasan bawah di Italia. Penelitian yang dilakukan oleh Viegi G,dkk menggunakan antibiotik monoterapi pada 70,1% kasus pneumonia komunitas. Penggunaan antibiotik cefalosporin (45,8%) diberikan sebagai monoterapi pada lebih dari seperempat pasien (27,1%) dan sekitar seperlima pasien (18,7%) diberikan dengan kombinasi antibiotik lain. Penggunan antibiotik makrolid monoterapi
sebanyak 18%, dan kombinasi sebanyak 20,2%.
Fluoroquinolone digunakan sebagai monoterapi pada 12% kasus dan 12,2% sebagai terapi kombinasi. Menurut Mandell L,dkk (2007) pemberian antibiotik monoterapi fluoroquinolene digunakan untuk pasien pneumonia komunitas yang
55
dirawat dirumah sakit tetapi tidak di rawat di ICU sedangkan untuk pasien pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit dan di rawat di ICU serta dicurigai
terinfeksi
antipesudomonas
bakteri beta
pesudomonas
diberikan
laktam(meropenem
atau
kombinasi
terapi
imipenem)
dan
fluoroqinolone(levofloxacin atau levofloxacin).77,100
4.10. Karakteristik Kematian Tabel 4.15. Karakteristik kematian Variabel
Frekuensi (n=77)
Persentase (%)
Tidak meninggal
60
77,9
Meninggal
17
22,1
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 77 pasien yang dirawat, sebanyak 60 pasien hidup (77.9%) dan 17 pasien meninggal dunia (22.1%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shah BA,dkk (2009) mengatakan bahwa mortalitas akan semakin meningkat sesuai dengan meningkatnya skor dari PSI dan CURB65.98
4.11. Karakteristik Penyebab Kematian Tabel 4.16. Karakteristik penyebab kematian Penyebab Kematian
Frekuensi (n=17)
Persentase (%)
Sepsis
2
11,7
Multiple organ failure
1
5,9
Gagal napas et causa sepsis
6
35,3
Gagal napas et causa pneumonia berat
3
17,6
1
5,9
4
23,5
Gagal napas et causa pneumonia dengan efusi pleura Tidak ada data penyebab
Dari tabel 4.19. didapatkan komplikasi yang paling banyak menyebabkan kematian yaitu gagal napas et causa sepsis sebanyak 6 pasien (7,8%), lalu gagal napas et causa pneumonia berat sebanyak 3 pasien (3,9%), diikuti sepsis sebanyak
56
2 pasien (2,6%), multiple organ failure sebanyak 1 orang (1,3%), dan gagal napas et causa efusi pleura sebanyak 1 pasien (1,3%), sebanyak 4 pasien (5,2%) tidak ada data penyebab kematiannya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bilal BA,dkk (2012) memperlihatkan hasil komplikasi yang bervariasi di penelitiannya dengan penyebab kematian yang tertinggi yaitu efusi pleura sebanyak 12%, syok sepsis sebanyak 6%, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) sebanyak 6%, abses paru 4%, emfisema 4% dan gagal jantung dekompensata sebesar 8%.73
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa : a) Status sosiodemografi 77 pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di RSUD Cengkareng tahun 2013 - 2014 adalah sebagai berikut: pasien berjenis kelamin laki-laki sebanyak 41 pasien (53,2%) dan berjenis kelamin perempuan sebanyak 36 pasien (46,8%), dengan kelompok lansia (60-74 tahun) sebanyak 60 pasien (77,9%), kelompok lansia tua (75-90 tahun) sebanyak 16 pasien (20,8%) dan lansia sangat tua (>90 tahun) sebanyak 1 pasien (1,3%). Sebanyak 46 pasien (59,7%) adalah tamatan SD, dengan 31 pasien (40,3%) merupakan ibu rumah tangga. b) Gambaran klinis yang menonjol pada pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas di RSUD Cengkareng tahun 2013 - 2014 adalah sebagai berikut: sesak napas sebanyak 55 gejala (71,4%), mual sebanyak 49 gejala (63,6%), nafsu makan berkurang sebanyak 46 gejala (59,7%), batuk sebanyak 44 gejala (57,1%), dahak sebanyak 34 gejala (44,2%) dan gejala yang paling sedikit yaitu demam sebanyak 6 gejala (7,8%). c) Penyakit penyerta yang banyak menyertai pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di RSUD Cengkareng tahun 2013 - 2014 yaitu DM sebanyak 10 pasien (13%), lalu gangguan ginjal sebanyak 3 pasien (3,9%), diikuti asma bronkial dan Congestive Heart Failure sebanyak 2 pasien (2,6%) serta PPOK sebanyak 1 pasien (1,3%). d) Angka kematian pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di RSUD Cengkareng tahun 2013-2014 adalah sebanyak 17 pasien (22,1%).
57
58
5.2. Saran a) Untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih baik pada peneliti selanjutnya, maka sebaiknya dilakukan pengambilan sampel dengan rentang waktu yang panjang dengan jumlah sampel yang lebih besar pada lokasi yang berbeda. b) Staff medik RSUD Cengkareng Jakarta disarankan lebih melengkapi data rekam medik pasien, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, baik pada pasien rawat inap maupun rawat jalan. Diharapkan, dengan begitu, penelitian-penelitian selanjutnya yang akan dilakukan dapat mencapai hasil yang lebih optimal dengan jumlah sampel yang lebih memadai. c) Pihak Manajemen RSUD Cengkareng diharapkan membuka akses yang lebih luas kepada para peneliti khususnya kepada bagian rekam medik sehingga tidak terjadi hambatan/kendala-kendala dalam proses pengambilan sampel seperti yang terjadi pada penelitian ini.
5.3. Keterbatasan Penelitian Pada penelitian ini didapatkan beberapa faktor keterbatasan dalam proses pengambilan data. Faktor-faktor keterbatasan tersebut adalah : a) Pengambilan data sekunder berupa rekam medik dari RSUD Cengkareng, hanya terbatas dari tahun Januari 2013-Desember 2014. Sehingga membatasi jumlah sampel yang akan diambil. Hal ini dikarenakan, adanya regulasi baru dari pihak manajemen RSUD tentang rekam medik di bawah tahun 2013 yang sudah diarsipkan. b) Pengambilan data sekunder tersebut di atas dibatasi hanya untuk 10 hari saja dan pihak bagian rekam medik hanya memberikan 10 rekam medik per hari. c) Rekam medik RSUD Cengkareng, memiliki mobilisasi yang tinggi, sehingga mengganggu proses pendataan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
World Health Organization. The 10 leading causes of death in the world, 2000 and 2012. The top 10 causes of death. Fact sheet No310. Diakses dari: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en/.
2.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Penyakit menular penyebab kematian terbanyak di Indonesia.Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2014.
3.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar (Riskesdas). Jakarta: Balitbang Kemenkes RI. 2013.
4.
Stuckey-Schrock K, Hayes B, George C. Community-Acquired Pneumonia in Children. Amecican Academy Family Physicians. 2012 Oct 1;86(7):661-667.
5.
Chong CP, Street PR. Pneumonia n the elderly: a review of the epidemiology, pathogenesis,
microbiology,
and
clinical
features.
South
Med.
J.
2008;101(11):1141–1145. 6.
Velez JA, Mortensen EM, Anzueto A, Restrepo MI. Antimicrobial treatment of
community-acquired
pneumonia
in
the
elderly.
Aging
Health.
2006;2(6):999–1011. 7.
Ho JC, Chan KN, Hu WH, et al. The effect of aging on nasal mucociliary clearance, beat frequency, and ultrastructure of respiratory cilia. Am. J. Respir. Crit. Care Med. 2001;163(4):983–988.
8.
Meyer KC. The role of immunity in susceptibility to respiratory infection in the aging lung. Respir. Physiol. 2001;128(1):23–31.
9.
File TM Jr, Marrie TJ. Burden of community-acquired pneumonia in North American adults. Postgrad Med. 2010;122(2):130-41.
10. Fung HB, Monteagudo-Chu MO. Community-acquired pneumonia in the elderly. Am J Geriatr Pharmacother. 2010;8(1):47-62. 11. Jackson ML, Neuzil KM, Thompson WW, Shay DK, Yu O, Hanson CA, et al. The burden of community-acquired pneumonia in seniors: results of a population-based study. Clin Infect Dis. 2004;39(11):1642-50. 12. Darmojo RB. Teori proses menua. Dalam: Martono H,Pranarka K (editor). Buku ajar boedhi-darmojo geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut). Edisi ke-4.
59
60
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009. h3-13. 13. World Health Organization. Pneumonia. Fact Sheet N0331. Diakses dari: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/. 14. Dahlan Zul. Pneumonia. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V Jilid III, Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 2009. h2196. 15. Bansal, S., Kashyap, S., Pal, L. S., & Goel, A.Clinical and bacteriological profile of community acquired pneumonia in Shimla, Himachal Pradesh. Indian Journal of Chest Diseases and Allied Sciences. 2004;46(1):17-22. 16. Ruiz M, Ewig S, Marcos MA, Martinez JA, Arancibia F, Mensa J, et al. Etiology of community-acquired pneumonia: impact of age, comorbidity, and severity. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. 1999;160(2):397-405. 17. Cunha BA. Swine Influenza (H1N1) Pneumonia: Clinical Considerations. Infect Dis Clin N Am. 2010;24:203-228. 18. Cunha BA. Multi-drug Resistant (MDR) Klebsiella, Acinetobacter, and Pseudomonas aeruginosa. Antibiotics for Clinicians. 2006;10:354-355. 19. Ferrara AM. Potentially multidrug-resistant non-fermentative Gram-negative pathogens causing nosocomial pneumonia. Int J Antimicrob Agents. 2006 Mar;27(3):183-95. 20. Millett ERC, Quint JK, Smeeth L, Daniel RM, Thomas SL. Incidence of Community-Acquired Lower Respiratory Tract Infections and Pneumonia among Older Adults in the United Kingdom: A Population-Based Study. Heimesaat MM, ed. PLoS ONE. 2013;8(9):e75131. 21. Warsa C Usman. Buku Ajar Mikrobiologi. Edisi Revisi. Jakarta : Binarupa Aksara, 1993. 22. Nair, G. B., & Niederman, M. S. Community-acquired pneumonia: an unfinished battle. Medical Clinics of North America. 2011;95(6):1143-1161. 23. Pokja Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.Pneumonia Komunitas : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia, 2003. 24. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. 7nd ed, Vol. 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007. h189.
61
25. Watkins RR, Lemonovich TL. Diagnosis and management of communityacquired pneumonia in adults. American Family Physician. 2011 Jun 1;83(11): 1299-306. 26. Hoare Z, Lim WS. Pneumonia: update on diagnosis and management. BMJ : British Medical Journal. 2006;332(7549):1077-1079. 27. Longo DL, Kapser DL, Jameson JL, et al. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. Mc Graw Hill Medical. 2012:P2130-2136. 28. Simonetti AF, Viasus D, Garcia-Vidal C, Carratalà J. Management of community-acquired pneumonia in older adults. Therapeutic Advances in Infectious Disease. 2014;2(1):3-16. 29. American thoracic society. Guidelines for management of adults with community-acquired
pneumonia.
Diagnosis,
assessment
of
severity,
antimicrobial therapy, and prevention. Am J Respir Crit.Care Med. 2001;163:1730-54. 30. Ewig S, Ruiz M, Mensa J, Marcos MA, Martinez JA, Aranbica F, Niederman MS. Severe community-acquired pneumonia assessment of severity criteria. Am J Respir Crit Care Med. 1998;158:1102-08. 31. Supriyantoro. Perbandingan hasil pemeriksaan bakteriologis dari dahak dan sikatan bronkus penderita infeksi saluran napas akut (ISNA). Tesis Bagian Pulmonologi FKUI, Jakarta 1989. 32. Kolditz, M., Halank, M., & Höffken, G. Monotherapy versus combination therapy in patients hospitalized with community-acquired pneumonia. Treatments in respiratory medicine. 2006;5(6):371-383. 33. Maryam, R. Siti, dkk. Mengenal usia lanjut dari perawatannya. Jakarta: Salemba medika, 2008. h32. 34. Efendi, Ferry dan Makhfudli. Keperawatan kesehatan komunitas: Teori dan praktik dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika, 2009. h243. 35. Lauralee, S. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2012. h506-509. 36. Tamher dan Noorkasiani. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika, 2009. h41-49.
62
37. Gillooly M, Lamb D. Airspace size in lungs of lifelong non-smokers: effect of age and sex. Thorax. 1993;48:39–43. 38. Davies GA, Bolton CE. Age-related changes in the respiratory system. In: Fillit HM, Rockwood K, Woodhouse K, eds. Brocklehurst's Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology. 7th ed. Philadelphia PA: Elsevier Saunders, 2010. chap 15. 39. Sharma G, Goodwin J. Effect of aging on respiratory system physiology and immunology. Clinical Interventions in Aging. 2006;1(3):253-260. 40. Toni Setiabudhi dan Hardiwinoto. Panduan Gerontologi Tinjauan dari Berbagai Aspek. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999. 41. Miller, Carol A. Nursing care of older adults: Theory and Practice. 3rd ed. Philadepia: Lippincott, 1999. 42. Stanley, Mickey, and Patricia Gauntlett Beare. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. ed 2. Jakarta: EGC, 2006. 43. Ongradi J, Kovesdi V. Factors that may impact on immunosenescence: appraisal. Immunity and Ageing. 2010;7:7. 44. Fulop T, Le Page A, Garneau H, Azimi N, Baehl S, Dupuis G, Pawelec G, Larbi A. Aging, immunosenescence and membrane rafts: the lipid connection. Longevity & Healthspan. 2012;1:6. 45. Rahmatullah P. Penyakit paru pada usia lanjut. Dalam: Martono H, Pranarka K. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2009. h466-73. 46. Cunha BA. Pneumonia in the elderly. Clin Microbiol Infect. 2001;7:581-88. 47. Frank SM, Raja SN, Bulcao C, Goldstein DS. Age-related thermoregulatory diff erences during core cooling in humans. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol. 2000;279:R349-R354. 48. Silbernagl S, Lang F. Color atlas of pathophysiology. Jakarta: EGC, 2006. h20. 49. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang Rekam Medis. Nomor 269. Menkes/Per/III. 2008. 50. Hungu. Demografi Kesehatan Indonesia. Jakarta: Penerbit Grasindo, 2007.
63
51. Undang-undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia. 52. Badan pusat statistik. keadaan angkatan kerja indonesia agustus 2010. BPSstatistic Indonesia. 2010; ISSN.0126-647X. 53. Undang - Undang Republik Indonesia. Perkawinan. Undang-undang No. 1 Tahun 1974. 54. Mei Zuguo, Grummer-Strawn LM et al. Validity of body mass index compared with other body-composition screening indexes for the assessment of body fatness in children and adolescents. Am J Clin Nutr. 2002 June;75(6):978-985. 55. National Heart, Lung, and Blood Institute. What is hypotension. Diakses dari: http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/hyp. 56. American
Heart
Association.
Tachycardia.
Diakses
dari:
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/Arrhythmia/AboutArrhythmia /Tachycardia-Fast-Heart-Rate_UCM_302018_Article.jsp#. 57. Lindh WQ, Pooler M, Tamparo CD, et al. Delmar's Comprehensive medical as-sisting: Administrative and clinical competencies. New york: cengage learning, 2006. 573p. 58. Phelan PD. Cough. Dalam : Phelan PD, Olinsky A, Robertson CF: Penyunting Respiratori illness in children. Oxford: Blackwell S Publications, 1994. 59. Richard F. LeBlond. Diagnostics Expectoration. US: McGraw-Hill Companies, Inc. ISBN 0-07-140923-8. 60. Price, A. S., Wilson M. L. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Alih bahasa: de. H. Y. Kuncara. Jakarta: EGC, 2006. 61. Hickam DH. Chest Pain or Discomfort. In: Walker HK, Hall WD, Hurst JW, editors. Clinical Methods: The History,
Physical,
and Laboratory
Examinations. 3rd edition. Boston: Butterworths, 1990. Chapter 9. Diakses dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK416/. 62. Gong H JR.. Wheezing and Asthma. In: Walker HK, Hall WD, Hurst JW, editors. Clinical Methods: The History,
Physical,
and Laboratory
64
Examinations. 3rd edition. Boston: Butterworths, 1990. Chapter 37. Diakses dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK358/. 63. Williams Mark E. The basic geriatric Respiratory Examination. Medscape. Diakses dari: http://www.medscape.com/viewarticle/712242. 64. Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Ilmu penyakit dalam edisi V jilid I. Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 2009. h441. 65. Wood Jd, Alpers DH, Andrews PL. Fundamentals of Neurogastroenterology Gut. Sep. 1999. 8. David Arnot, dkk. Pustaka Kesehtan Populer Saluran Pencernaan, Volume 4. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2009. 66. WHO study Group. Diabetes mellitus. Report of a WHO Study Group. World Health Organ Tech Rep Ser 1985. 10 William Reusch. Alkohol. Virtual Text of Organic Chemistry. 2007. 67. Ghanie A. Gagal jantung kronik. Ilmu penyakit dalam edisi V jilid II. Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 2009. h1596. 68. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. Ilmu penyakit dalam edisi V jilid II. Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 2009. h1035. 69. Perhimpunan dokter paru Indonesia. Pedomanan Diagnosis & Penatalaksaan PPOK Di Indonesia. 2003. 70. Sudoyo AW, Setiando B, Alwi I, Simadibata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing, 2009. 71. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36 Tahun 2005, tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002, tentang Bangunan Gedung. 72. Harmita dan Radji M. Kepekaan terhadap antibiotik. Buku ajar analisis hayati edisi III. Jakarta: EGC, 2008. 73. Kabay B, Kocaefe C, Baykal A, et al. Interleukin-10 gene transfer: prevention of multiple organ injury in a murine cecal ligation and puncture model of sepsis. World J Surg 31. 2007 (1): 105–15. 74. Malik AS, Khan MI. Profiles of community acquired pneumonia cases admitted to a Tertiary Care Hospital. Pak J Med Sci. 2012;28(1):75-78.
65
75. Rodriguez LAG, Ruigomez A, Wallander M, Johansson S. Acid-suppressive drugs and community-acquired pneumonia. Epidemiology. 2009;20: 800– 806. 76. Bilal Bin Abdullah, Mohammed Zoheb, Syed Mustafa Ashraf, Sharafath Ali, and Nida Nausheen. A Study of Community-Acquired Pneumonias in Elderly Individuals in Bijapur, India. ISRN Pulmonology. 2012;10:5402. 77. Viegi G, Pisteli R, Cazzola M, dkk. Epidemiological survey on incidence and treatment of community-acquired pneumonia in Italy. Respiratory Medicine. 2006;100:46-55. 78. Vila-Corcoles A, Ochoa-Gondar O, Rodriguez-Blanco T, dkk. Epidemiology of Community-Acquired Pneumonia in Older Adults: A Population-Based Study. Respiratory Medicine Elsevier. 2009;103:309-316. 79. Torres A, Peetermans WE, Viegi G, dkk. Risk factors for communityacquired pneumonia in adults in Europe: a literature review. 2013;68:10571065. 80. Schnoor M, Klante T, Beckmann M, dkk. Risk factors for communityacquired pneumonia in German adults: the impact of children in the household. Epidemiol Infect. 2007;135:1389-1397. 81. Izquierdo C, Oviedo M, Ruiz L, et al. Influence of socioeconomic status on community-acquired pneumonia outcomes in elderly patients requiring hospitalization: a multicenter observational study. BMC Public Health. 2010;10:421. 82. Metersky ML, Fine MJ, Mortensen EM. The effect of martial status on the presentation and outcomes of elderly male veterans hospitalized for pneumonia. Chest. 2012; 142(4): 982-987. 83. Loeb MB. Use of broader determinants of health model for communityacquired pneumonia in seniors. Clin Infect Dis. 2004; 38(9):1293-1297. 84. Farr BM, Bartlett CL, Wadsworth J, Miller DL. Risk Factors for communityacquired pneumonia diagnosed upon hospital admission. British thoracic society pneumonia study group. Respir Med. 2000; 94(10): 954-63. 85. Vrbova L, Mamdani M, Moineddin R, Jaakimainen L, Upshur RE. Does socioeconomic status affect mortality subsequent to hospital admission for
66
community acquired pneumonia among older persons? Journal of Negative Results in Biomedicine. 2005;4:4. 86. Phung DT, Wang Z, Huang C, dkk. Body mass index and risk of pneumonia: a system review and meta-analysis. Obes Rev. 2013; 14(10):839-57. 87. Lee J, Kim K, Jo YH, Lee JH, Kim J, Chung H, Hwang JE. Severe thinness is associated with mortality in patients with community-acquired pneumonia: a prospective observational study. Am J Emerg Med. 2015; 33(2):209-13. 88. Saldias Penafiel, F., Gederlini Gollerino, A., Farías Gontupil, G., & Díaz Fuenzalida, A. Community-acquired pneumonia requiring hospitalization in immunocompetent elderly patients: clinical features, prognostic factors and treatment. Archivos de Bronconeumología (English Version). 2003; 39(08); 333-340. 89. Heckerling PS, Tape TG, Wigton RS, et al. Clinical prediction rule of pulmonary infiltrates. Ann Intern Med. 1990 Nov 1;113(9): 664-70. 90. Gennis P, Gallagher J, Falvo C, dkk. Clinical criteria for the detection of pneumonia in adults: Guidelines for ordering chest roentgenograms in the emergency department. J Emerg Med. 1989;7(3):263-268. 91. Metlay JP, Fine MJ. Testing strategies in the initial management of patients with community-acquired pneumonia. Ann Intern Med. 2003; 138(2): 109118. 92. Riquelme R, Torres A, el-Ebiary M, Mensa J, Estruch R, Ruiz M, Angrill J, Soler N. Community-acquired pneumonia in the elderly. Clinical and nutritional aspects. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. 1997; 156(6): 1908-1914. 93. Zalacin R, Torres A, Celis R, et al. Community-acquired pneumonia in the elderly: Spanish multicentre study. Eur Respir J. 2003 Feb; 21(2): 294-302. 94. Masahiro Takaki, Takahiro Nakama, Masayuki Ishida, et al. High incidence of community-acquired pneumonia among rapidly aging population in Japan: A prospective hospital-based surveillance. Jpn. J. Infect. Dis. 2014; 67: 269275.
67
95. Nuorti JP, Butler JC, Farley MM, et al. Cigarette smoking and invasive pneumococcal disease. Active Bacterial Core Surveillance Team. N Engl J Med. 2000;342(10):681-9. 96. Baik I, Curhan GC, Rimm EB, Bendich A, Willett WC, Fawzi WW. A prospective study of age and lifestyle factors in relation to communityacquired pneumonia in US men and women. Arch Intern Med. 2000; 13;160(20):3082-3088. 97. Isabelle Suter-Widmer, Mirjam Christ-Crain, Werner Zimmerli, Werner Albrich, Beat Mueller, Philipp SchuetzandFor the ProHOSP Study Group. Predictors for length of hospital stay in patients with community-acquired pneumonia: results from a swiss multicenter study.
BMC Pulmonary
Medicine. 2012;12:21. 98. Shah BA, Ahmed W, et al. Validity of pneumonia severity index and CURB65 Severity Scoring systems in community acquired pneumonia in an indian setting. Indian J Chest Dis Allied Sci. 2010;52:9-17. 99. L Masotti, E. Ceccarelli, et al. Length of hospitalization in elderly patients with community-acquired pneumonia. Aging Clinical and Experimental Research. 2000; 12(1): 35-41. 100.
Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, et al. Infectious diseases society of america/american thoracic society consensus guidelines on the management of community-acquired pneumonia in adults. CID. 2007; 44 Suppl 2: S27-72.
68
Lampiran 1
PROFIL PASIEN USIA LANJUT DENGAN PNEUMONIA KOMUNITAS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG TAHUN 2013-2014
Disusun Oleh : Alwi Muarif Kurniawan NIM: 1112103000049
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat, rahmat dan inayah-Nya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan judul “Profil Pasien Usia Lanjut dengan Pneumonia Komunitas di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Tahun 2013-2014”. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit untuk menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini kami ingin menyampaikan penghargaan yang setinggitingginya dan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada: 1.
DR. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
dr. Achmad Zaki, M.Epid, SpOT selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter.
3.
dr. Sayid Ridho, SpPD, FINASIM dan dr. Dwi Tyastuti, MPH, PhD selaku dosen pembimbing yang telah banyak menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan kami dalam penyusunan penelitian ini.
4.
dr. Nouval Shahab, SpU, PhD, FICS, FACS selaku penanggung jawab riset mahasiswa PSPD 2012.
5.
Kepala Rekam Medik Rumah Sakit Daerah Cengkareng Bu Gadis yang telah mengizinkan kami untuk melakukan penelitian ini.
6.
Kedua Orang tuaku tercinta, H. Angin Sugino dan Hj. Purwati, S.Pd yang selalu mencurahkan kasih sayangnya, mendukung dalam suka dan duka, dan selalu mendoakan yang terbaik untuk putra-putrinya.
7.
Kepada adik yang tercinta Adji Maruf Huda dan Ambar Purwaningrum yang telah banyak mendukung, semangat dan doanya, sehingga tugas ini dapat diselesaikan.
v
8.
Kelompok riset Ahmad Sofyan, Ahmad Nabil, Auliya Fahmi dan Najib Askar yang selalu bekerja sama dalam suka maupun duka untuk menyelesaikan penelitian ini.
9.
Teman-teman Program Studi Pendidikan Dokter angkatan 2012, dan semua pihak yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
Saya sadari penyusunan laporan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat saya harapkan demi kesempurnaan penelitian ini. Akhir kata Wallahul Muwaffiq ila aqwamit thoriq Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
vi
ABSTRAK Alwi Muarif Kurniawan. Program Studi Pendidikan Dokter. Profil Pasien Usia Lanjut dengan Pneumonia Komunitas di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Tahun 2013 - 2014. Pneumonia komunitas merupakan infeksi saluran pernapasan yang berhubungan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi terutama pada usia lanjut. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan anatomi, fisiologi dan sistem imun pada orang usia lanjut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil penyakit pneumonia komunitas pada pasien usia lanjut. Dengan menggunakan studi potong lintang diperoleh sampel sebanyak 77 pasien yang dirawat di RSUD Cengkareng. Dari hasil penelitian didapatkan pasien berjenis kelamin laki-laki sebanyak 41 pasien (53,2%) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 36 pasien (46,8%), kelompok lansia (60-74 tahun) sebanyak 60 pasien (77,9 %), kelompok lansia tua (75-90 tahun) sebanyak 16 pasien (20,8%) dan lansia sangat tua (>90 tahun) sebanyak 1 pasien (1,3%). Gejala yang paling menonjol yaitu sesak napas sebanyak 55 pasien (71,4%), mual sebanyak 49 (63,6%), nafsu makan berkurang sebanyak 46 (59,7%). batuk sebanyak 44 (57,1%) dan keluhan yang paling sedikit adalah demam sebanyak 6 (7,8%). Penyakit penyerta yang paling banyak adalah DM sebanyak 10 (13%) dan gangguan ginjal sebanyak 3 (3,9%). Pasien yang tetap hidup sebanyak 60 pasien (77,9%) dan yang meninggal sebanyak 17 pasien (22,1%). Kata kunci : pneumonia, usia lanjut, pneumonia komunitas usia lanjut. ABSTRACT Alwi Muarif Kurniawan. Medical Student Program. The Profile of Community-Acquired Pneumonia in Elderly Patient at Cengkareng General Hospital in 2013-2014. Community-Acquired Pneumonia (CAP) is a respiratory infection associated with high level of morbidity and mortality, especially in the elderly patient these are caused by changing in anatomy, physiology and immunological state in elderly patient. This study was conducted to determine profile of CAP in elderly patients. By using the cross-sectional study, we obtained 77 patients whom hospitalized in Cengkareng General Hospital with male patients proportion were 41 patients (53.2%) and female patients were 36 patients (46.8%). There were 60 patients (77.9%) in range of 60-74 years, 16 patients (20,8%) in range 75-90 years, and 1 patient (1,3%) was in range of >90 years. The most common symptoms were dyspnea which found in 55 patients (71,4%), nausea in 49 patients (63,6%), anorexia in 46 patients (59,7%) and the fewest symptoms was fever which found in only 10 patients (13%). The most common comorbid illnesses were Diabetes Mellitus which found in 10 patients (13%) and kidney disease found in 3 patients (3,9%). The patients whom still alive were 60 patients (77,9%) and 17 patients were dead (22,1%). Keywords : Pneumonia, Elderly, Community-Acquired Pneumonia in elderly
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL .............................................................................................. i LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. iii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................ iv KATA PENGANTAR ......................................................................................... v ABSTRAK ........................................................................................................... vii DAFTAR ISI........................................................................................................ viii DAFTAR TABEL ............................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xi DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1 1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2 1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 3 1.3.1. Tujuan Umum ............................................................................... 3 1.3.2. Tujuan Khusus .............................................................................. 3 1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 3 1.4.1. Bagi Peneliti .................................................................................. 3 1.4.2. Bagi Masyarakat ........................................................................... 3 1.4.3. Bagi Institusi ................................................................................. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pneumonia Komunitas ................................................................................. 4 2.1.1. Definisi dan Klasifikasi................................................................. 4 2.1.2. Epidemiologi ................................................................................. 5 2.1.3. Etiologi .......................................................................................... 6 2.1.4. Patofisiologi .................................................................................. 8 2.1.5. Patologi ......................................................................................... 8 2.1.6. Tanda dan Gejala .......................................................................... 9 2.1.7. Pemeriksaan Penunjang ................................................................ 10 2.1.8. Diagnosis ....................................................................................... 10 2.1.9. Prognosis ....................................................................................... 10 2.1.10. Komplikasi .................................................................................... 14 2.2. Lanjut Usia ................................................................................................... 14 2.2.1. Definisi .......................................................................................... 15 2.2.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan Dewasa ...................... 15 2.2.3. Perubahan pada Sistem Pulmonal Lanjut Usia ............................ 17 2.2.4. Perubahan pada Sistem Pencernaan Lanjut Usia ......................... 20 2.2.5. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal Lanjut Usia .................. 20 2.2.6. Perubahan pada Sistem Imun Lanjut Usia ................................... 20 2.3.6. Patofisiologi .................................................................................. 22
viii
2.3. Kerangka Teori ........................................................................................... 24 2.4. Kerangka Konsep ........................................................................................ 25 2.5. Definisi Operasional ................................................................................... 26 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian ......................................................................................... 34 3.2. Tempat danWaktu Penelitian ....................................................................... 34 3.3. Populasi Penelitian ....................................................................................... 34 3.4. Krieria Inklusi dan Eksklusi......................................................................... 34 3.5. Besar dan Cara Pengambilan Sampel Penelitian ......................................... 35 3.6. Cara Kerja Penelitian ................................................................................... 36 3.7. Alat dan Bahan ............................................................................................. 36 3.8. Alur Penelitian ............................................................................................. 37 3.9. Manajemen Data .......................................................................................... 38 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Demografi .............................................................................. 39 4.2. Karakteristik Indeks Massa Tubuh (IMT) .................................................. 45 4.3. Karakteristik Tanda Vital ............................................................................ 46 4.4. Karakteristik Gambaran Klinis ................................................................... 48 4.5. Karakteristik Kebiasaan Perilaku ................................................................. 50 4.6. Karakteristik Penyakit Penyerta .................................................................. 51 4.7. Karakteristik Foto Radiologi Toraks ........................................................... 52 4.8. Karakteristik Lama Rawat Inap ................................................................... 53 4.9. Karakteristik Antibiotik yang diberikan dalam Pengobatan Pneumonia Komunitas pada Usia Lanjut ........................................................................ 54 4.10. Karakteristik Kematian ................................................................................ 55 4.11. Karakteristik Penyebab Kematian ................................................................ 56 BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan ...................................................................................................... 57 5.2. Saran ............................................................................................................ 58 5.3. Keterbatasan Penelitian ................................................................................ 58 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 59 LAMPIRAN ......................................................................................................... 68
ix
71
Lampiran 4
LEMBAR DATA PENELITIAN Profil Pasien Usia Lanjut dengan Pneumonia Komunitas di RSUD Cengkareng Tahun 2013-2014
Jenis kelamin
Data Demografi : ………………………….. Nomor sampel : ………………………….. Nomor rekam medik
Usia
: ………………………….
Alamat
: ………………………….
Tanggal masuk RS
: ……………………..
BB
: ………………………… : …………………………..
Tanggal keluar RS
: ………………………
Ruang Rawat
: ………………………
Jalur masuk RS
1. IGD
Nama
TB Riwayat pekerjaan
1. tidak bekerja
: ……………………… : ……………………..
2. Poli
2. PNS
Tanggal meninggal
: ……………………..
3. karyawan swasta
Penyebab Kematian
:
Tingkat pendidikan
1. tidak sekolah
4. petani 5. pedagang
Status pernikahan
6. wirausaha
2. tidak tamat SD
7. dll …………………….
3. tamat SD
1. belum menikah
4. tamat SMP
2. menikah
5. tamat SMA
3. pernah menikah
6. perguruan tinggi
Pemeriksaan Fisik (ketika masuk) TD
: ……………/……………mmHg
Nadi
: ………………………….
2. apatis
Pernapasan
: ……………………/menit
3. somnolen
Suhu
: …………………..
4. comatose
Riwayat Obat
Kesadaran
1. compos mentis
72
Lampiran 4 (Lanjutan) Gejala Klinis (ketika masuk) Batuk
YA
TIDAK
Sputum
YA
TIDAK
Demam
YA
TIDAK
Sesak napas
YA
TIDAK
Nyeri dada
YA
TIDAK
Gangguan pernapasan
YA
TIDAK
Ronkhi
Wheazing
Rales YA
Stridor TIDAK
Muntah
YA
TIDAK
Sulit tidur
YA
TIDAK
Nafsu makan turun
YA
TIDAK
Mual
:
Dll
Pemeriksaan Laboratorium (ketika masuk) Hb
: ……………………………mg/dL
Hematokrit
: ………………………………..
Leukosit
: ……………………………../mL
Trombosit
: ……………………………../mL
Gula darah sewaktu
: ……………………………mg/dL
Albumin
: ……………………………mg/dL
Globulin
:…………………………….mg/dL
Total protein
:……………………………..
AGD pH
LED
: ……………………….
pCO2
: ……………………… mmHg
pO2
: ……………………… mmHg
HCO3
: …………………………
SO2
: ………………………….
: ……………………… mm/jam
73
Lampiran 4 (Lanjutan) Hasil Foto Thorax Sinus Diafragma Jantung Konfigurasi arkus aorta Paru Corakan bronkovaskular Hilus Pleura Tulang Jaringan Lunak Kesan
74
Lampiran 5 Hasil Statistik
Coding Kelamin Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Laki-laki
41
53.2
53.2
53.2
Perempuan
36
46.8
46.8
100.0
Total
77
100.0
100.0
usia_who Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
60-74
60
77.9
77.9
77.9
75-90
16
20.8
20.8
98.7
>90
1
1.3
1.3
100.0
Total
77
100.0
100.0
CODING PENDIDIKAN Cumulative Frequency Valid
TIDAK SEKOLAH
Percent
Valid Percent
Percent
1
1.3
1.3
1.3
46
59.7
59.7
61.0
TAMAT SMP
8
10.4
10.4
71.4
TAMAT SMA
17
22.1
22.1
93.5
5
6.5
6.5
100.0
77
100.0
100.0
TAMAT SD
PERGURUAN TINGGI Total
CODING PERNIKAHAN Cumulative Frequency Valid
MENIKAH
Percent
Valid Percent
Percent
47
61.0
61.0
61.0
7
9.1
9.1
70.1
PERNAH MENIKAH
23
29.9
29.9
100.0
Total
77
100.0
100.0
BELUM MENIKAH
75
Lampiran 5 (Lanjutan) CODING PEKERJAAN Cumulative Frequency Valid
TIDAK BEKERJA
Percent
Valid Percent
Percent
10
13.0
13.0
13.0
PNS
7
9.1
9.1
22.1
PEGAWAI SWASTA
9
11.7
11.7
33.8
WIRASWASTA
3
3.9
3.9
37.7
PETANI
1
1.3
1.3
39.0
PEDAGANG
1
1.3
1.3
40.3
PENSIUNAN
2
2.6
2.6
42.9
IRT
34
44.2
44.2
87.0
BURUH
10
13.0
13.0
100.0
Total
77
100.0
100.0
LAMA DI RS (HARI) Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
0
2
2.6
2.6
2.6
1
9
11.7
11.7
14.3
2
4
5.2
5.2
19.5
3
7
9.1
9.1
28.6
4
9
11.7
11.7
40.3
5
15
19.5
19.5
59.7
6
11
14.3
14.3
74.0
7
5
6.5
6.5
80.5
8
3
3.9
3.9
84.4
9
2
2.6
2.6
87.0
10
1
1.3
1.3
88.3
11
4
5.2
5.2
93.5
12
3
3.9
3.9
97.4
14
2
2.6
2.6
100.0
77
100.0
100.0
Total
76
Lampiran 5 (Lanjutan) TAHUN MASUK
Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
2013
41
53.2
53.2
53.2
2014
36
46.8
46.8
100.0
Total
77
100.0
100.0
MENINGGAL Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
MENINGGAL
17
22.1
22.1
22.1
TIDAK MENINGGAL
60
77.9
77.9
100.0
Total
77
100.0
100.0
PENYEBAB KEMATIAN Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
60
77.9
77.9
77.9
1
1.3
1.3
79.2
1
1.3
1.3
80.5
2
2.6
2.6
83.1
1
1.3
1.3
84.4
1
1.3
1.3
85.7
4
5.2
5.2
90.9
1
1.3
1.3
92.2
SEPSIS
2
2.6
2.6
94.8
Tidak tahu penyebab
4
5.2
5.2
100.0
77
100.0
100.0
GAGAL NAFAS E.C PNEUMONIA GAGAL NAFAS E.C PNEUMONIA DGN EFUSI PLEURA GAGAL NAFAS E.C SEPSIS GAGAL NAPAS E.C PNEUMONIA GAGAL NAPAS E.C PNEUMONIA BERAT GAGAL NAPAS E.C SEPSIS MULTIPLE ORGAN FAILURE
Total
77
Lampiran 5 (Lanjutan) PENYEBABMENINGGAL Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
TIDAK MENINGGAL
60
77.9
77.9
77.9
GAGAL NAFAS
10
13.0
13.0
90.9
2
2.6
2.6
93.5
1
1.3
1.3
94.8
4
5.2
5.2
100.0
77
100.0
100.0
SEPSIS MULTIPLE ORGAN FAILURE tidak tahu penyebab Total
JALUR_MASUK Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
IGD
71
92.2
92.2
92.2
POLI
6
7.8
7.8
100.0
Total
77
100.0
100.0
C_IMT Cumulative Frequency Valid
Missing Total
Percent
Valid Percent
Percent
UNDERWEIGHT
13
16.9
23.6
23.6
NORMAL
29
37.7
52.7
76.4
PRE OBESITAS
8
10.4
14.5
90.9
OBESITAS GRADE I
4
5.2
7.3
98.2
OBESITAS GRADE II
1
1.3
1.8
100.0
Total
55
71.4
100.0
System
22
28.6
77
100.0
78
Lampiran 5 (Lanjutan) KESADARAN Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
3
3.9
3.9
3.9
2
2.6
2.6
6.5
66
85.7
85.7
92.2
SOMNOLEN
5
6.5
6.5
98.7
SOPOR
1
1.3
1.3
100.0
77
100.0
100.0
APATIS COMPOS MENTIS
Total
TDFIX Cumulative Frequency Valid
normal
Percent
Valid Percent
Percent
31
40.3
40.3
40.3
9
11.7
11.7
51.9
hiper grade 1
21
27.3
27.3
79.2
hiper grade 2
16
20.8
20.8
100.0
Total
77
100.0
100.0
pre hiper
NADI Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
100
5
6.5
6.5
6.5
102
1
1.3
1.3
7.8
106
1
1.3
1.3
9.1
108
1
1.3
1.3
10.4
114
1
1.3
1.3
11.7
118
1
1.3
1.3
13.0
120
4
5.2
5.2
18.2
<100
63
81.8
81.8
100.0
Total
77
100.0
100.0
79
Lampiran 5 (Lanjutan) rr20 Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
>20
62
80.5
80.5
80.5
tidak
15
19.5
19.5
100.0
Total
77
100.0
100.0
Suhu378 Cumulative Frequency Valid
suhu>=37,8
Missing
System
Total
Percent
Valid Percent
6
7.8
71
92.2
77
100.0
Percent
100.0
100.0
BATUK Cumulative Frequency Valid
Missing
Percent
Valid Percent
Percent
BATUK
44
57.1
64.7
64.7
TIDAK BATUK
24
31.2
35.3
100.0
Total
68
88.3
100.0
9
11.7
77
100.0
System
Total
SPUTUM Cumulative Frequency Valid
Missing Total
Percent
Valid Percent
Percent
ADA SPUTUM
34
44.2
50.0
50.0
TIDAK ADA SPUTUM
34
44.2
50.0
100.0
Total
68
88.3
100.0
9
11.7
77
100.0
System
80
Lampiran 5 (Lanjutan) DEMAM Cumulative Frequency Valid
Missing
Percent
Valid Percent
Percent
DEMAM
10
13.0
13.3
13.3
TIDAK DEMAM
65
84.4
86.7
100.0
Total
75
97.4
100.0
2
2.6
77
100.0
System
Total
SESAK Cumulative Frequency Valid
Missing
Percent
Valid Percent
Percent
SESAK NAFAS
55
71.4
77.5
77.5
TIDAK SESAK NAFAS
16
20.8
22.5
100.0
Total
71
92.2
100.0
6
7.8
77
100.0
System
Total
NYERI Cumulative Frequency Valid
Missing
Percent
Valid Percent
Percent
NYERI DADA
13
16.9
17.6
17.6
TIDAK NYERI DADA
61
79.2
82.4
100.0
Total
74
96.1
100.0
3
3.9
77
100.0
System
Total
SUARA NAFAS Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
10
13.0
13.0
13.0
RONKHI
25
32.5
32.5
45.5
TIDAK
41
53.2
53.2
98.7
1
1.3
1.3
100.0
77
100.0
100.0
WHEAZING Total
81
Lampiran 5 (Lanjutan) OTOT BANTU NAFAS Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
9
11.7
11.7
11.7
TIDAK
47
61.0
61.0
72.7
YA
21
27.3
27.3
100.0
Total
77
100.0
100.0
MUAL Cumulative Frequency Valid
Missing
Percent
Valid Percent
Percent
MUAL
49
63.6
66.2
66.2
TIDAK MUAL
25
32.5
33.8
100.0
Total
74
96.1
100.0
3
3.9
77
100.0
System
Total
MUNTAH Cumulative Frequency Valid
Missing
Percent
Valid Percent
Percent
MUNTAH
18
23.4
25.7
25.7
TIDAK MUNTAH
52
67.5
74.3
100.0
Total
70
90.9
100.0
7
9.1
77
100.0
System
Total
SULITTIDUR Cumulative Frequency Valid
Missing Total
Percent
Valid Percent
Percent
SULIT TIDUR
10
13.0
14.9
14.9
TIDAK SULIT TIDUR
57
74.0
85.1
100.0
Total
67
87.0
100.0
System
10
13.0
77
100.0
82
Lampiran 5 (Lanjutan) NAFSUMAKAN Cumulative Frequency Valid
NAFSU MAKAN
Valid Percent
Percent
46
59.7
73.0
73.0
NAFSU MAKAN BAIK
17
22.1
27.0
100.0
Total
63
81.8
100.0
System
14
18.2
77
100.0
BERKURANG
Missing
Percent
Total
MEROKOK Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
13
16.9
16.9
16.9
YA
15
19.5
19.5
36.4
TIDAK
49
63.6
63.6
100.0
Total
77
100.0
100.0
MINUMAN KERAS Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
13
16.9
16.9
16.9
1
1.3
1.3
18.2
TIDAK
63
81.8
81.8
100.0
Total
77
100.0
100.0
YA
ASMA Cumulative Frequency Valid TIDAK YA Total
Percent
Valid Percent
Percent
44
57.1
57.1
57.1
31
40.3
40.3
97.4
2
2.6
2.6
100.0
77
100.0
100.0
83
Lampiran 5 (Lanjutan) DM Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
44
57.1
57.1
57.1
TIDAK
23
29.9
29.9
87.0
YA
10
13.0
13.0
100.0
Total
77
100.0
100.0
JANTUNG Cumulative Frequency Valid TIDAK YA Total
Percent
Valid Percent
Percent
44
57.1
57.1
57.1
31
40.3
40.3
97.4
2
2.6
2.6
100.0
77
100.0
100.0
GINJAL Cumulative Frequency Valid TIDAK YA Total
Percent
Valid Percent
Percent
44
57.1
57.1
57.1
30
39.0
39.0
96.1
3
3.9
3.9
100.0
77
100.0
100.0
PPOK Cumulative Frequency Valid TIDAK YA Total
Percent
Valid Percent
Percent
44
57.1
57.1
57.1
32
41.6
41.6
98.7
1
1.3
1.3
100.0
77
100.0
100.0
84
Lampiran 5 (Lanjutan) VAR00001 Cumulative Frequency Valid
Missing
Sepal
Percent
Valid Percent
Percent
52
67.5
77.6
77.6
F
1
1.3
1.5
79.1
sepal+F
3
3.9
4.5
83.6
carbapenem
9
11.7
13.4
97.0
Carba + fluoro
2
2.6
3.0
100.0
Total
67
87.0
100.0
System
10
13.0
77
100.0
Total
VAR00003 Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
tidak ada radiologi
16
20.8
20.8
20.8
ada radiologi
61
79.2
79.2
100.0
Total
77
100.0
100.0
Infiltrat Cumulative Frequency Valid
Missing Total
Percent
Valid Percent
Percent
Tampak infiltrat
36
46.8
67.9
67.9
Tidak tampak infiltrat
11
14.3
20.8
88.7
fibroinfiltrat
4
5.2
7.5
96.2
Bercak inhomogen
1
1.3
1.9
98.1
Bercak homogen
1
1.3
1.9
100.0
Total
53
68.8
100.0
System
24
31.2
77
100.0
85
Lampiran 6 DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PERSONAL Nama
: Alwi Muarif Kurniawan
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir: Boyolali, 29 November 1994 Status
: Belum Menikah
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Bina Marga Perumahan Grandbima Mansion Blok B no.1 CIPAYUNG, Jakarta Timur.
No. Telepon/HP
: 081289242783
Email
:
[email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN 1999 - 2000
: Taman Kanak-Kanak Attahiriyah CIRACAS
2000 – 2006
: Sekolah Dasar Negeri 03 Pagi Jakarta
2006 – 2009
: Sekolah Menengah Pertama Negeri 49 Jakarta
2009 – 2012
: Sekolah Menengah Atas Negeri 48 Jakarta
2012 – Sekarang
: Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta