Daftar Isi Salam
1
Surat Pembaca
2
Abstrak 3 Fokus 6 Mengupayakan Pengintegrasian Kesehatan Reproduksi dalam Pendidikan Pesantren dan Madrasah Opini 14 Ir. Herdimansyah, AIB. : Perlu Payung Hukum Nasional untuk Implementasikan Pendidikan Kespro
23
FEMINISME ISLAM ala Amina Wadud Muhsin Oleh : Ali Mujib, MA. Akhwatuna 30 Membangun Pesantren dan Madrasah ‘Melek Kespro’ Oleh : Nyai Hj. Mahmudah Achmad 32
Dania Roichana dan Mimpinya Soal Kespro Remaja Kiprah 34
Youth Camp PKRS Banyuwangi
Gus Dur Sang Feminis Dirasah Hadis
42
Pendidikan Kesehatan Reproduksi: Belajar Pengalaman dari Hadis Nabi Oleh: Nur Achmad, MA.
Cerpen 49
Fikrah 28
Pengurangan Jam Kerja Perempuan : Isu Hangat dalam Lokalatih Para Tokoh Agama
Khazanah 40
Realistiskah Perempuan Usia 16 tahun Menikah?
Tanggungjawab dalam Menggunakan Alat Reproduksi Oleh : Dr. Nur Rofiah, Bil.Uzm.
Profil
PP. Tarbiyatut Tholabah Pesantren Responsif Gender
Info 48
Dr. Sururin, MAg. Pendidikan Kespro perlu Dilakukan dengan Beragam Strategi Tafsir Alquran
Jaringan 37
Ibu, Dengarlah Curhatku Oleh : Masthuriyah Sa’dan Teropong Dunia
53
Remaja Muslim Jerman dan Hak Kesehatan Reproduksi Ditinjau dari Perspektif Budaya Oleh : Diah Rofika Tanya Jawab
55
Menolak Perjodohan atau Berbakti kepada Orang tua? Diasuh oleh : Nyai Hj. Hindun Anisah, MA Refleksi Ketika Seksualitas Jadi Bahan Perbincangan di Kelas Oleh : Lukman Hadi
57
Salam
Redaksi PENANGGUNG JAWAB Masruchah PEMIMPIN UMUM KH. Husein Muhammad PEMIMPIN REDAKSI AD. Eridani DEWAN REDAKSI Maman A. Rahman, Mawardi, Nurhayati Aida REDAKTUR PELAKSANA AD. Kusumaningtyas DEWAN AHLI Hj. Hindun Anisah, Hj. Afwah Mumtazah, Dr. Nur Rofiah, Prof. Dr. Saparinah Sadli, KH. Muhyiddin Abdussomad, Nyai. Hj. Nafisah Sahal, Prof. Dr. Azyumardi Azra, Kamala Chandra Kirana, MA, Faqihuddin Abdul Kodir, MA, KH. Helmi Ali, Farha Ciciek PEMBACA KRITIS AD. Eridani ABSTRAK ARAB Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA. ABSTRAK INGGRIS AD. Kusumaningtyas KARTUNIS Basuki DESAIN GRAFIS DAN TATA LETAK Sanis Desain SEKRETARIS REDAKSI Binta Ratih Pelu DOKUMENTASI Ulfah MH KEUANGAN M. Syafran, Mustika DISTRIBUSI Imam Siswoko, Andy Fandiar. SWARA RAHIMA adalah majalah berkala terbitan Perhimpunan RAHIMA untuk memenuhi kebutuhan dialog dan informasi tentang Islam dan hak-hak perempuan. SWARA RAHIMA berusaha menghadirkan fakta dan analisis berita, serta wacana Islam dan hak-hak perempuan. SWARA RAHIMA mengharapkan partisipasi pembaca melalui saran dan kritik. SWARA RAHIMA menanti kiriman tulisan pembaca sesuai dengan visi Rahima. Bagi yang dimuat akan diberi imbalan. Redaksi berhak mengedit semua naskah yang masuk. Semua tulisan menjadi milik redaksi, jika hendak direproduksi harus ada izin tertulis dari redaksi. Lima rubrik dari SWARA RAHIMA (Fokus, Tafsir Alquran, Dirasah Hadis, Fikrah dan Refleksi) diterjemahkan dalam bahasa Inggris, dan dapat diakses di website Rahima, www.rahima.or.id.
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Pembaca Swara Rahima yang selalu ceria, Alhamdulillah, rasa syukur patut untuk senantiasa kita haturkan ke hadirat Ilahi Rabbi. Di awal tahun 2015 ini, Swara Rahima masih diberi kesempatan untuk menjumpai para pembaca melalui beragam tulisan yang merupakan pengetahuan, pembelajaran, dan refleksi pengalaman para pejuang kesetaraan dan keadilan. Secara spesifik, mengenai upaya pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas untuk para remaja di kalangan pesantren dan madrasah. Remaja adalah generasi penerus untuk masa depan kehidupan umat dan bangsa; sehingga ada salah satu mahfuzhat menyatakan “Syubban al-yaumy, Rijaal al-ghady” (para pemuda hari ini, adalah kaum pemimpin esok hari). Salah satu persoalan yang dihadapi remaja, tak terkecuali yang tumbuh besar dalam lingkungan keagamaan seperti pesantren dan madrasah adalah terkait pencarian identitas diri. Keingintahuan mereka mengenai diri dan tubuh mereka sendiri, terutama setelah mengalami perubahan bentuk tubuh dan munculnya perasaan ketertarikan kepada lawan jenis seringkali telah memunculkan tabu-tabu tertentu. Padahal, kesehatan reproduksi dan seksualitas adalah dua hal penting yang inheren dalam kehidupan setiap orang, termasuk para remaja. Alasannya, dengan memahami kedua hal tadi remaja dikhawatirkan akan terjebak pada pergaulan bebas dan memiliki perilaku seksual yang tidak sehat. Meskipun, sejatinya perbincangan terkait kespro dan seksualitas telah ada dalam lembaran-lembaran tebal kitab kuning di pesantren, pada materi-materi pelajaran Fiqh, dalam diktat-diktat Biologi dan Penjaskes, dan materi konseling para guru BP. Atas dasar pemikiran tersebut, Swara Rahima edisi 48 mengangkat tema Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja di Pesantren dan Madrasah. Pembaca Swara Rahima yang berbahagia, Ulasan tentang tema akan dibahas mendalam di rubrik Fokus. Selain itu ada dua narasumber yang kami hadirkan dalam wawancara di rubrik opini. Mereka adalah Ir. Herdimansyah, AIB Direktur PKBI Lampung, dan Dr. Sururin, Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; yang lama bergiat dalam pendidikan kesehatan reproduksi yakni semenjak masih aktif di PP. Fatayat NU. Tulisan Diah Rofika di rubrik Teropong, juga menyorot soal Kespro dalam pandangan kaum remaja muslim di Jerman. Profil pegiat muda Kespro kita dari Banyuwangi, Dania Roichana dengan berbagai inisiatifnya melakukan pendidikan sebaya maupun beragam kreativitasnya, diharapkan menjadi pembelajaran bagi remaja lain maupun kita semua yang bergiat dalam pendidikan kespro di kalangan kaum muda. Sosok ‘Gus Dur Sang Feminis’ diulas Ratna Ulfah, sebagai hasil pembacaannya atas buku Gus Dur di Mata Perempuan yang diterbitkan oleh Gading Press Yogyakarta, sebagai ‘penanda’ Hari Jadi Fatayat NU. Renungan Gus Muhyi, soal perempuan dan kesehatan reproduksi di pesantren yang disajikan di rubrik Suplemen, mudah-mudahan dapat melengkapi sajian informasi kali ini. Para pembaca yang giat berkarya, Majalah Swara Rahima yang hadir dengan slogan “media Islam untuk hak-hak perempuan“ senantiasa berharap menjadi media kita bersama untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan. Melalui kontribusi tulisan Anda, Redaksi berharap bahwa upaya untuk menjadikan majalah ini sebagai sarana untuk menimba ilmu dan berbagi pengetahuan dapat terjadi. Mudah-mudahan berbagai karya kreatif lainnya senantiasa hadir di meja Redaksi sehingga proses “belajar bersama” ini, selalu dapat terjadi. Selamat membaca! Wassalam Redaksi
Rahima Swara
Jl. H. Shibi No. 70 Rt. 007/01 Srengseng Sawah, Jakarta Selatan 12640 Telp. 021-78881272, Fax. 021-7873210 Email:
[email protected] - Website: www.rahima.or.id
Swara Rahima - 1
Surat Pembaca Assalamu alaikum Wr.Wb. Redaksi Swara Rahima yang terhormat, Menurut saya, topik yang dibahas oleh Swara Rahima sangat menarik. Pembahasannya tuntas, tak hanya perspektif umumnya tetapi perspektif Islamnya juga disampaikan. Swara Rahima adalah majalah Islam yang menghormati dan mengangkat hak-hak perempuan (muslim) yang menambah wawasan saya. Ke depan, bagaimana kalau terbitan Swara Rahima juga mengangkat topik-topik permasalahan remaja, namun penyampaiannya tetap gaul namun Islami. Sukses untuk Swara Rahima. Wassalam. Intan Rahmatillah Jl. Merdeka No 91 Tarogong Garut-Jawa Barat. Redaksi, Wa’alaikum salam Wr. Wb. Terima kasih atas saran dan kritiknya, Intan. Swara Rahima beberapa kali juga menerbitkan tema-tema berkaitan dengan remaja, lho. Coba lihat kembali Edisi 30 (Menyikapi Tabir Kesehatan Reproduksi, Edisi 41 (Kekerasan dalam Pacaran (KDP) (Sering) Tak Terlihat Tapi Nyata!!!.), dan berbagai edisi lainnya. Koleksinya masih lengkap tersaji di website Rahima di www.rahima. or.id . Hai, Swara Rahima. Redaksi Swara Rahima yang terhormat. Dikirimkannya Swara Rahima kepada saya, telah memberikan banyak sekali manfaat. Mulai dari memperluas wawasan, memperdalam materi, menambah pengetahuan, lebih mendalam lagi terkait dengan kesetaraan dalam perspektif Islam. Saya usul agar majalah Swara Rahima bisa masuk ke sekolah-sekolah agar dibaca oleh para siswa, guru, dan masyarakat sehingga kesetaraan dan keadilan gender booming di masyarakat. Salam, Dede KSMAN I Karang-Tasikmalaya
2 - Swara Rahima
Redaksi,
Pak Dede, terimakasih atas usulannya kepada Swara Rahima. Kami sangat senang, bila bapak berinisiatif untuk menyebarluaskan pengetahuan dan wawasan itu kepada para guru dan siswa di sekolah. Bapak bisa membentuk kelompok Lingkar Baca Swara Rahima dan mengajukan kerjasama sehingga kami bisa mengirimkannya beberapa eksemplar sebagai referensi diskusi maupun koleksi perpustakaan di sekolah tempat Bapak mengajar. Assalamu ‘alaikum Wr.Wb. Swara Rahima yang baik hati. Beberapa kali saya mengajukan pertanyaan di rubrik Tanya-Jawab, dan senang pertanyaan tersebut bisa dijawab dengan tuntas oleh pengasuh. Selain merasa lebih yakin dengan dalil-dalil yang disampaikan, empati pengasuh membuat saya merasa selalu dikuatkan. Sampaikan terimakasih dan salam takdzim kami kepada pengasuh rubik Tanya-Jawab. Salam Ida Rahidah-Jakarta Timur Via sms : 08127654XXXX
Redaksi,
Walaikum salam. Redaksi turut senang apabila Ida merasa puas dengan jawaban KH. Muhyidin Abdusshomad dan Nyai Hj. Hindun Anisah. Semoga jawaban yang didapat membuat kehidupan Ida beserta keluarga menjadi lebih baik.
Surat pembaca Swara Rahima dapat dialamatkan ke email:
[email protected] HP. 0812 1046 676
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Abstrak
Perbincangan mengenai Kesehatan Reproduksi (kespro) dan Seksualitas selama ini disikapi secara ambigu. Di satu sisi, ia dipandang sebagai hal yang tabu, pamali, saru, sehingga dianggap tak layak untuk diobrolkan secara terbuka. Namun di sisi lain, ia diminati, dicari, dan dipercakapkan secara malu-malu. Padahal ambiguitas ini banyak memunculkan persoalan akibat mitos dan pengetahuan yang salah. Dampaknya, banyak problem sosial muncul akibat situasi ini.
O
rang tua seringkali cuci tangan ketika mendapatkan pertanyaan mengenai haid, mimpi basah, ketertarikan pada lawan jenis yang disampaikan oleh putraputri mereka. Oleh karenanya, mereka cenderung menyerahkan persoalan ini ke pihak lain seperti sekolah atau pesantren, yang mereka harapkan dapat memberikan informasi yang tepat mengenai persoalan ini. Namun ternyata kebanyakan para remaja justru menerima informasi seputar Kespro yang ingin diketahuinya dari teman sebaya mereka yang belum pasti kebenarannya. Lembaga pendidikan seperti madrasah dan pesantren, seringkali juga dianggap tutup mata dari persoalan ini. Namun, sejatinya perbincangan mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas tak mungkin mereka hindari. Selama ini, di pesantren yang memiliki sekolah formal atau Madrasah (Tsanawiyah dan Aliyah) sumber informasi tentang kesehatan reproduksi yang tersedia hanya dari guru biologi dan guru fiqh. Sementara di kalangan pesantren tradisional hanya didapat dari para Kyai atau guru fiqh saja. Hanya saja dalam pelajaran biologi terkadang ditemukan materi seputar alat-alat reproduksi dan
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
pelajaran Fiqh misalnya dalam pembahasan mengenai thaharah yang membicarakan hal-hal yang menyebabkan mandi wajib semisal haid (menstruasi), junub (hubungan seksual antara suami istri), dan wiladah (nifas setelah melahirkan). Di beberapa pesanten, banyak dikaji kitab kuning yang memiliki muatan kespro dan seksualitas. Seperti ‘Uqudul Lujayn karya Syech Nawawi AlBantani maupun Adabul Mar’ah dan As Silah fi Bayanin Nikah, karya KH Moh. Cholil Bangkalan. Namun di samping kitab-kitab dengan judul popular seperti di atas ada berbagai kitab lain seperti Risalatul Mahidl, Kitabun Nikah, Al Usfuriyah, Fathul Izhar, Ma Baina al-Nisa wa al-Rijal, Fiqhun Nisa’, Qiyamul Lail, Fathul Syaiban, Al-Bahts fi Binai Usratil Hasanah. Meskipun kebanyakan kitab Fiqh tersebut perspektifnya masih sangat patriarkhis, namun keberadaan kitab-kitab itu setidaknya menunjukkan kekayaan tradisi klasik Islam pesantren yang tak tabu membahas isu kespro dan seksualitas. Oleh karenanya, pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas (PKRS) perlu diberikan kepada para siswa.Tidak hanya pada mereka yang berbasis di sekolah umum tapi santri-santri yang bersekolah di lingkungan
pesantren dan menimba ilmu di pesantren. Para siswa dan santri tersebut akan menjadi kader-kader PKRS yang bisa menularkan ilmu tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas kepada temanteman sebayanya. Kegiatan ini diharapkan menjadi tonggak kemajuan para remaja akan pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi dan seksualitas dan dapat meminimalisir berbagai bentuk masalah yang berkaitan tentang kespro dan seksualitas. Saat ini, bersama jejaring yang bernama SEPERLIMA (Seputar Kesehatan Reproduksi Remaja), Rahima dan beberapa organisasi lainnya yakni Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Pamflet, Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI, serta HiVOS tengah memperjuangkan agar Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas bisa dimasukkan ke dalam pembelajaran di sekolah, termasuk di madrasah, pesantren, maupun sekolah Islam yang berada di bawah naungan Kementerian Agama RI. Rahima telah menyusun modul PKRS untuk pegangan Guru di MA. Modul ini telah diajarkan sebagai muatan lokal (Mulok) di PP Al Ghozaliyah Jombang pada tahun ajaran 2014-2015. Hasilnya PKRS yang awalnya dianggap tabu oleh santri pada akhirnya dapat diterima. Namun perjuangan masih panjang. Berbagai upaya ini diharapkan agar selain menjadikan generasi muda kita memiliki akhlakul karimah, mereka sehat secara fisik, mental, dan sosial dan senantiasa menjadi pribadi yang bertanggung jawab. {}
Swara Rahima - 3
Abstract
The discourses on Sexuality and Reproductive Health so far had been responded in ambiguity situation. On one side, it is perceived as a pamali (in Sundanese), saru (in Javanese) or taboo; so that it can’t be discussed openly. But, on the other side, it is expected, wanted, and discussed secretly. Eventhough the ambiguity created so many problems caused by the myths and misunderstanding knowledge and information. And the impact of this, many social problems come.
P
arents often ignore when they received many question regarding menstruation, wet dream, attraction to the opposite sex which is raised by their sons and daughters. Therefore, they tend to send the problems to other parties such as schools or pesantren (boarding schools) which they expect will be able to give the proper information about this matter. But, in fact most of youth receive the information around reproductive health which they want to know from their peer whose information still can’t be guaranteed. Education institution such as madrasah and pesantren, were often perceived neglect this situation. But, indeed the discourse on reproductive and sexuality health can’t be avoided by them. So far, in pesantren or boarding school who own formal schools such or Madrasah (junior and senior high school) the available information sources on reproductive health only come from the teacher of Biology and Fiqh subject. While in traditional pesantren community, the available information only come from Kyai or teacher or Fiqh subject. Even though in Biology lesson, the subject around reproductive organs were found. As well as in Fiqh the subject can be found in thaharah (cleanliness) issues about the things that cause somebody to do the obliged bath, such as menstruation,
4 - Swara Rahima
sexual intercourse between husband and wife, and giving birth. In some pesantren, the Islamic classical textbooks with sexuality and reproductive health content were often discussed. Such as Uquud al-Lujjayn created by Syech Nawawi El- Bantani or Adabul Mar’ah and As Silah fi Bayanin Nikah, created by KH Moh. Cholil from Bangkalan. But, beside the books with the such popular titles above, there are some other classical textbook like Risalatul Mahidl, Kitabun Nikah, Al Usfuriyah, Fathul Izhar, Ma Baina al-Nisa wa al-Rijal, Fiqhun Nisa’, Qiyamul Lail, Fathul Syaiban, Al-Bahts fi Binai Usratil Hasanah. Although most of the Fiqh books were still partiarchy, but the existence of those classical text-books showed the richness of pesantren classical tradition which not consider that reproductive and sexuality health as a taboo. Therefore, the education on reproductive and sexuality and health must be given to the students, not only for those who study in common public schools but also for the students who study and seek knowledge in pesantren. The students and pesantren students (santri) will become the cadres of Sexuality and Reproductive Health Education that can disseminate the information to their peers. These activities are expected to become a progressive milestone of the
fulfilment of youth reproductive and sexuality health and rights; and will be able to minimize the problems regarding reproductive and sexuality health. Nowadays, in a network called SEPERLIMA (Seputar Kesehatan Reproduksi Remaja) or around youth reproductive health -Rahima and some other organizations named Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) or Indonesian Planned Parenthood Federation (IPPF), Pamflet, Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI or Gender and Sexuality Studies of Socio-Political Faculty of University of Indonesia and HiVOS are doing some advocacy to involve the Education on Reproductive and Sexuality Health in the school curricula. Including madrasah (Islamic school), pesantren, and other Islamic education institutions under the supervision of Ministry of Religious Affairs of the Republic of Indonesia. Rahima had arranged the modul of Sexuality and Reproductive Health modul as teacher’s handbook in Madrasah Aliyah (Senior High School). The modul had been taught as a local content in Al Ghazaliyah boarding school in Jombang, in academic year 2014-2015. As the resut, SRH education which earlier had been considered as a taboo by the pesantren students finally can be accepted. But the efforts has still a long journey. All those efforts are expected except can make our young generation will have a good attitude, the will always be physically, mentally, and socially healthy, and always become responsible person. {}
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
الملخص
إن الحديث عن الصحة التناسلية والجنسانية حديث ملتبس الموقف .فالحديث عنها يعتبر معيبا وقليل الحشمة من ناحية، مما يُ َع ّد غير الئق للحديث بشكل منفتح .ومن ناحية أخرى أن الحديث عنها حديث ّ خلب جذاب يكثر تداوله بشكل استحيائي. والحق أن هذا االلتباس يؤدي إلى ظهور مشاكل نتيجة أسطورة ومعرفة خاطئة .ويترتب ذلك على ظهور عدة مشاكل اجتماعية نتيجة هذا الوضع. يسكت الوالدان في غالب األحيان عن أسئلة موجّهة إليهما حول الحيض والحلم والشعور بمحبة اآلخرين من اإلناث أو
الذكور ،والتي اقترحها أبناؤهما .ولذلك ،يفوّضان أمرهما إلى طرف آخر من أمثال المدرسة أو المعهد اإلسالمي راجين منها أن تقدم لهما معلومات سليمة عن هذه القضية .غير أن كثيرا من المراهقين يتلقون معلومات حول الصحة التناسلية التي يرغبون في معرفتها من أقرانهم ،وهذه المعلومات لم تتحقق من صحتها وسالمتها. وتعتبر المدرسة والمعهد اإلسالمي غير مهتمة بهذه القضية .والحق أن الحديث عن الصحة التناسلية والجنسانية ال
مناص منها .ومن المعروف أن في المعاهد اإلسالمية التي تحتضن المدارس المتوسطة والثانوية مصدرا للمعلومات عن الصحة التناسلية والجنسانية ،ينبع فقط من مدرس بيولوجيا ومدرس الفقه اإلسالمي .وفي حين تنبع هذه المعلومات في المعاهد السلفية فقط من الشيخ ومدرس الفقه .غير أن في عملية تعليم مادة البيولوجيا مباحث قد تدور حول أجهزة التوالد ،وفي مادة الفقه مباحث تدور حول الطهارة التي تتحدث عن أسباب وجوب الغسل من أمثال الحيض ،والجماع ،والوالدة أو النفاس. وفي بعض المعاهد اإلسالمية عدة كتب عربية تبحث فيها مباحث تدور حول الصحة التناسلية والجنسانية ،ومثال ذلك
كتاب عقود اللجين للشيخ نووي البانتاني ،وكتاب أدب المرأة والسالح في بيان النكاح للشيخ محمد خليل بانكاالن (مادورا). ويضاف إلى الكتب المشهورة السابقة الذكر أن هناك عدة كتب من أمثال رسالة المحيض ،وكتاب النكاح ،والعصفورية ،وفتح اإلظهار ،وما بين النساء والرجال ،وفقه النساء ،وقيام الليل ،وفتح الشيبان ،والبحث في بناء األسرة الحسنة .وعلى الرغم من أن معظم هذه الكتب الفقهية ألّفت من وجهات نظر أبوية لدرجة بالغة ،إال أن كيان هذه الكتب يدل لدرجة ما على ثراء التراث اإلسالمي الكالسيكي للمعاهد (الباسنترينات) اإلسالمية التي ال تعيب الحديث عن الصحة التناسلية والجنسانية. ومن ثم ،أصبحت تربية الصحة التناسلية والجنسانية ضرورية للمتعلمين الذين ال يدرسون في مدارس عامة فحسب،
وإنما يدرسون أيضا في الباسنترينات والمعاهد اإلسالمية .فالطالب والمتعلمون سيكونون كوادر لهذا النوع من التربية ،والذين سيقومون بإيصال معرفتهم بالصحة التناسلية والجنسانية ألقرانهم .ويرجى هذا النشاط أن يكون نقطة االنطالق لتق ّدم المراهقين لتوفير حقوق الصحة التناسلية والجنسانية ،ولتقليل عدة أنواع من قضايا مرتبطة بالصحة التناسلية والجنسانية. وفي هذه األيام تقوم منظمة «رحيمة» بالتعاون مع منظمة “
” (حول الصحة التناسلية للمراهقين) ومع
غيرها من المنظمات ،وهي هيئة التخطيط العائلي اإلندونيسية ،ومنظمة « »teflmaPومركز دراسات الجندرة والجنسانية لكلية العلوم االجتماعية والسياسية لجامعة إندونيسيا ،ومنظمة
ببذل الجهود في إدخال تربية الصحة التناسلية والجنسانية في
عملية التعليم في المدارس العامة ،بما فيها المدارس اإلسالمية والباسنترينات والمدارس العامة اإلسالمية التي تحتضنها وزارة الشؤون الدينية للجمهورية اإلندونيسية. وقد قامت منظمة «رحيمة» بتأليف كتاب مقرر لتربية الصحة التناسلية والجنسانية للمعلّمين في المدارس الثانوية .وهذا
المقرر تم تدريسه كمقرر محلي في معهد الغزالية اإلسالمي بجومبانج جاوة الشرقية في العام الدراسي .5102-4102ونتيجة هذا التعليم هي أن هذه التربية في البداية اعتبرها الطالب والمتعلمون معيبة ،وأصبحت اآلن مقبولة لديهم .غير أن الجهود من أجل تحقيق هذه التربية مازالت طويلة .ويتوقع أن تكون هذه الجهود المبذولة مثمرة إلعداد األجيال الناشئين المتخلقين باألخالق الكريمة ،وهم سليمون جسما وعقال واجتماعيا ،ويكونون أشخاصا متحملين المسئولية.
Swara Rahima - 5
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Fokus
Mengupayakan Pengintegrasian Kesehatan Reproduksi (Kespro) dalam Pendidikan Pesantren dan Madrasah Kalau kita pahami, Kitab Qurrat al-Uyun itu kalau divisualisasikan juga vulgar, karena hanya penjelasan dengan kalimat, kadang para santri itu mengaji dengan melakukan visualisasi dalam pikirannya sendiri-sendiri,
D
emikian Gus Humam putra Kyai Tamam, pimpinan Pondok Pesantren Raudlatul Falah, Rembang saat dilakukan pendidikan seks bagi para santri yang berumur 17 tahun ke atas. Kegiatan tersebut dilaksanakan oleh Pusat Informasi dan Konsultasi Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK KRR) Pesantren Raudlatul Falah dengan Fasilitator dari Dinas Kesehatan Kabupaten Rembang. Pernyataan senada juga dilontarkan oleh Hanik, salah satu peserta kegiatan penyuluhan mengenai pendidikan seks tersebut. “Sebenarnya gak masalah, karena kita para santri sudah gak asing dengan pendidikan seks, kitab Qurrat al-‘Uyun itu kan kitab pendidikan seks.” Hanya saja, tegas Hanik, pembahasan dalam kitab tidak sedetail dalam penyuluhan ini, yang menurutnya ada gambarnya sehingga pembahasannya begitu mendetail dan terkesan vulgar. 1 Di Jombang, murid-murid kelas X MA Al Ghazaliyah, sempat meneriakkan istighfar saat Lukmanul Hakim, guru Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) pada pertemuan pertama di kelas menyebutkan kepanjangan mata pelajaran yang diasuhnya. Hal ini karena mendengar kata ’seksualitas’ dalam bayangan para siswa gurunya akan mengajarkan hal-hal yang selama ini ditabukan. Tak kurang akal, Lukman mengajak para siswanya bermain games untuk mengenali tubuh mereka sendiri. Hasilnya, pada pertemuan ketiga siswasiswanya mulai berani untuk menyebutkan nama alatalat reproduksi dan bertanya tentang hal-hal penting soal isu kesehatan reproduksi seperti tentang apa itu masturbasi, haram atau tidaknya kegiatan tersebut.2 Ini menunjukan, setidaknya pembahasan tentang Kesehatan Reproduksi dan Seksulitas bukanlah merupakan barang baru di dunia pesantren maupun lembaga pendidikan Islam lainnya.
6 - Swara Rahima
Selama ini, perbincangan mengenai kespro dan seksualitas disikapi secara ambigu. Di satu sisi, ia dipandang sebagai hal yang tabu, pamali, saru, sehingga dianggap tak layak untuk diobrolkan secara terbuka. Namun di sisi lain, ia diminati, dicari, dan dipercakapkan secara malu-malu. Sikap ambigu inilah yang seringkali memunculkan persoalan, karena justru informasi yang beredar seringkali dipenuhi oleh mitos dan pengetahuan yang salah. Dampaknya, di masyarakat muncul beragam problem sosial akibat ketidaktahuan akan informasi yang benar mengenai hal ini.
Problematika Pendidikan Kespro : Tanggung Jawab Siapa? Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah remaja perempuan berusia 15-19 tahun yang melahirkan cukup tinggi, yaitu 48 kelahiran per 1000 perempuan. Jumlah ini meningkat dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2007, yaitu 37 kelahiran per 1000 perempuan. (Lihat dalam Ringkasan Paparan Pendidikan Kesehatan Reproduksi Menjadi bagian Kurikulum Pendikan Nasional untuk Mencegah Anak dan Remaja dari Kekerasan Seksual, yang disampaikan oleh Jaringan SEPERLIMA kepada Ibu Negara dan OASE Kabinet Kerja di Wisma Negara, Selasa 3 Pebruari 2015).
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Fokus
Sementara itu persentase remaja perempuan dan laki-laki yang telah berpacaran pada SDKI 2012 komponen KRR lebih tinggi dibandingkan pada Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia tahun 2007 (SKRRI 2007). Dalam SDKI 2012 komponen KRR 85 % remaja laki-laki telah berpacaran, sedangkan dalam SKRRI 2007 sebesar 72 %. Menurut SDKI 2012 komponen KRR, 85 % remaja perempuan juga telah berpacaran, sedangkan dalam SKRRI 2007 sebesar 77 % remaja perempuan yang telah berpacaran. Hampir separuh remaja perempuan dan laki-lakiberumur 15-24 tahun yang belum kawin, mulai pacaran pertama kali pada umur 15-17 tahun (47 % untuk remaja perempuan dan 45 % untuk remaja laki-laki). (Lihat kembali dalam Ringkasan Paparan Pendidikan Kesehatan Reproduksi Menjadi bagian Kurikulum Pendikan Nasional untuk Mencegah Anak dan Remaja dari Kekerasan Seksual, yang disampaikan oleh Jaringan SEPERLIMA kepada Ibu Negara dan OASE Kabinet Kerja di Wisma Negara, Selasa 3 Pebruari 2015). Orang tua yang oleh anak diharapkan dapat memberikan informasi terkait kespro dan seksualitas seringkali tergagap manakala mendapatkan pertanyaan putra-putrinya yang masih balita: Adik berasal dari mana? Seperti apakah orang tua harus menjelaskannya? Dan benarkah perbincangan tentang kesehatan reproduksi hanya terkait dengan dari mana awal mula sebuah kelahiran. Ketika masa akil baligh sebagian remaja dipondokkan ke pesantren. Sebagian besar waktu mereka dihabiskan di pesantren. Mereka tak bisa bertanya kepada orang tua. Oleh karenanya, tak jarang ditemui bila seorang gadis remaja mendapatkan haid pertamanya tidak mengetahui bagaimana dia mengatasi persoalannya karena tidak pernah mendapatkan penjelasan tentang hal tersebut dari ibunya. Seorang remaja lelaki juga tak memahami mimpi basah, karena tak pernah ada dialog semacam ini dari sang ayah. Mereka cenderung menyerahkan persoalan ini ke pihak lain seperti sekolah atau pesantren, yang mereka harapkan dapat memberikan informasi yang tepat mengenai persoalan ini. Oleh karenanya, kebanyakan para remaja justru menerima informasi seputar Kespro yang ingin diketahuinya dari teman sebaya mereka yang belum pasti kebenarannya.
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Lembaga pendidikan seperti madrasah dan pesantren, seringkali juga dianggap tutup mata dari persoalan ini. Namun, sejatinya perbincangan mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas tak mungkin mereka hindari. Selama ini, di pesantren yang memiliki sekolah formal atau Madrasah (Tsanawiyah dan Aliyah) sumber informasi tentang kesehatan reproduksi yang tersedia hanya dari guru biologi dan guru fiqh. Sementara di kalangan pesantren tradisional hanya didapat dari para Kyai atau guru fiqh saja. Oleh karenanya, informasi tentang Kespro yang cukup di kalangan madrasah dan pondok pesantren masih sangat kurang memadai, karena pada dasarnya tidak ada materi yang sangat spesifik membahas masalah kesehatan reproduksi. Hanya saja dalam pelajaran biologi terkadang ditemukan materi seputar alatalat reproduksi dan pelajaran Fiqh 3, misalnya dalam pembahasan mengenai thaharah yang membicarakan hal-hal yang menyebabkan mandi wajib semisal haid (menstruasi), junub(hubungan seksual antara suami istri), dan wiladah (nifas setelah melahirkan).
Kespro dan Seksualitas dalam Tradisi Pesantren Di banyak pesantren, terdapat beberapa kitab kuning yang memiliki muatan perbincangan terkait Kesehatan reproduksi dan seksualitas. Di pondok pesantren Assalam Selopuro, Jambewangi Kabupaten Blitar beberapa kitab yang dipelajari oleh santri di antaranya adalah kitab Risalatul Mahidh yang dikaji dalam terjemahan berbahasa Jawa Krama, kitab Uqud Al-Lujjayn berbahasa Arab, dan kitab Qurratul Uyun berbahasa Arab.4 Sementara itu, Halim Soebahar dan Hamdanah Utsman pernah melakukan penelitian yang membahas kitab-kitab yang berisi materi Kesehatan reproduksi dan seksualitas yang banyak dikaji oleh berbagai pesantren di Madura. Yakni kitab seperti: 1) ‘Uqudul lujain karya Syech Nawawi Al-Bantani, 2) Adabul Mar’ah dan, 3) As Silah fi Bayanin Nikah, keduanya karya KH Moh. Cholil Bangkalan.5 Namun dari telaah yang dilakukan, kitab-kitab tersebut lebih banyak berisi tentang kewajibankewajiban perempuan yang bersifat normatif yang sangat patrilineal, hampir tidak ada aspek pengetahuan kesehatan dan segala konsekuensinya.6 Sebenarnya, bila diidentifikasi lebih lanjut, di samping kitab-kitab
Swara Rahima - 7
Fokus
perilaku secara intern di lingkungan sendiri cenderung liberal dan seenaknya, tetapi ketika berhadapan dengan orang luar cenderung kurang gallant. Yang memprihatinkan karena lingkungan yang tidak sehat dan fasilitas yang tidak memadai, di sementara pesantren ditemui praktik Liwath/ homoseksual yang hampir dianggap sebagai taken for granted.7
dengan judul popular seperti di atas ada berbagai kitab lain seperti Risalatul Mar’ah, Kitabun Nikah, Al Usfuriyah, Fathul Izhar, Ma Baina al-Nisa wa al-Rijal, Fiqhun Nisa’, Qiyamul Lail, Fathul Syaiban, Al-Bahts fi Binai Usrotil Hasanah. Dari kitab-kitab tersebut yang diajarkan meliputi adab/tata sopan santun seksual, masalah pernikahan, risalah tentang haid, istihadhah dan nifas, risalah perempuan, fiqh perempuan, dan pendidikan akhlak, dan pembahasan tentang cara membangun keluarga yang baik. Keberadaan kitabkitab itu menunjukkan kekayaan tradisi klasik Islam pesantren yang membahas soal kesehatan reproduksi dan seksualitas. Namun, di sisi lain persoalan kesehatan (termasuk kesehatan reproduksi) di pesantren, telah lama menjadi sorotan. Nurcholis Majid (1997) telah merekam banyak hal yang masih memprihatinkan tentang pesantren antara lain: dari sisi lingkungan pengaturan letak bangunan biasanya berada di seputar masjid dengan tata letak yang tidak teratur, kamar-kamar asramanya sempit, semrawut, MCK yang tidak bersih dan tidak memadai dengan jumlah santri yang ada, kebersihan secara umum sangat memprihatinkan. Kehidupan santri yang seadanya dan cenderung kurang bersih sering diasosiasikan dengan penyakit kulit, dari sisi
8 - Swara Rahima
Situasi di atas juga masih ditemui oleh Tim Peneliti dari Puska Gender dan Seksualitas UI, saat melakukan penelitian di kalangan santri di daerah yang dikelilingi oleh beberapa pesantren besar seperti Darul ‘Ulum Rejoso, pesantren Tebuireng, pesantren Denanyar, dan pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas ini. Selain melakukan survey tentang pemahaman kespro dan perilaku seksual santri, tim ini juga mendalaminya pada Focus Group Discussion (FGD) terhadap beberapa kelompok santri laki-laki. Di antara isu yang terungkap dalam diskusi adalah terdapat beberapa santri dari berbagai pesantren yang mengaku pernah diraba di bagian alat kelamin mereka oleh temannya sendiri ketika sedang tidur di asrama. Mereka menyebut insiden itu sebagai “nyuluh”, artinya alat kelamin lakilaki digosok-gosok ke paha temannya sesama laki-laki, biasanya dilakukan ketika mereka mau tidur bersama dalam sebuah kamar yang berisi beberapa orang santri. Kegiatan “nyuluh” biasanya dilakukan oleh senior kepada junior atau adik kelasnya yang baru. 8 Permasalahan lainnya yang sering muncul di pondok pesantren adalah persoalan kesehatan reproduksi terkait permasalahan kebersihan organ reproduksi, seperti gatal-gatal di sekitar kelamin yang dialami oleh santri laki-laki serta masalah keputihan yang sering dialami oleh santri perempuan. Umumnya santri laki-laki mengaku sering tidak ganti celana dalam selama dua hari atau istilahnya “side A, side B” artinya celana dipakai di dua sisi secara bergantian. Sementara itu, santri perempuan umumnya hanya mengganti pembalut mereka satu kali dalam sehari jika mengalami menstruasi hal ini yang menyebabkan mereka mengalami masalah gatal-gatal ataupun keputihan.9 Berdasarkan laporan needs assessment Rahima tentang Kesehatan Seksual dan Reproduksi Remaja tahun 2012 di Banyuwangi menunjukkan bahwa 80,7% siswa baik itu di pesantren maupun di sekolah berlatar belakang Islam yang berada di luar pesantren
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Fokus
(Madrasah Aliyah) pernah berpacaran. Hasil penelitian itu juga menunjukkan bahwa dari seluruh siswa yang berpacaran itu, pernah melakukan aktivitas seksual yang beragam. Tak jarang, dalam hubungan pacaran yang terjadi dalam ketidakdilan gender (relasi kuasa atas dasar jenis kelamin tersebut) muncul kasuskasus kekerasan dalam pacaran dan perilaku seksual yang rentan dengan gangguan kesehatan reproduksi. Mestinya, berbagai hasil penelitian maupun fakta-fakta ini telah membuka mata dan menyadarkan berbagai pihak akan pentingnya memberikan pendidikan komprehensif tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas. Termasuk meng-integrasikannya dalam proses pembelajaran di pesantren, sekolah dan madrasah.
Upaya Integrasi Pendidikan
Kespro
Melalui
Lembaga
Gagasan untuk mengintegrasikan kesehatan reproduksi melalui berbagai lembaga pendidikan sebenarnya sudah cukup lama menjadi perhatian pemerintah. Pada tahun 2000 Kementerian Agama yang saat itu masih bernama Departemen Agama RI pernah bekerjasama dengan The World Bank (Bank Dunia) menerbitkan sebuah booklet berjudul Kesehatan Reproduksi Remaja. Buku itu merupakan terbitan Departemen Agama RI Sekretariat Jendral Bagian Proyek Safe Motherhood Jakarta (Pusat) tahun 1999/2000. Buku tersebut merupakan bagian dari Program Adolescence Reproductive Health (ARH) sebagai pedoman tertulis untuk penyuluhan
Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) di lingkungan Departemen Agama. Disebutkan bahwa kelompok sasaran dari program tersebut adalah a) Siswa Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Siswa Madrasah Aliyah (SMA), b) Santri Pondok Pesantren, c) Remaja Masjid, dan d) Calon Pengantin. Adapun materi yang disampaikan dalam program ini adalah Materi KRR yang meliputi hal-hal yang terkait dengan kedudukan manusia dan reproduksi, tumbuh kembang remaja, alat reproduksi pria dan wanita, kehamilan, perilaku seksual beresiko dan akibatnya, persiapan pra nikah, dan Bimbingan serta Konseling. Dijabarkan pula dalam booklet tersebut bahwa metode yang dipakai dalam penyuluhan atau pembinaan program KRR dapat berupa ceramah, diskusi, dialog, simulasi, dramatisasi dan lain-lain. Materi KRR dapat disampaikan secara khusus dan tersendiri, dan dapat pula diintegrasikan dalam kurikulum kegiatan yang sudah baku dan berjalan. Dalam pelaksanaannya, program ini bisa terselenggara dengan dukungan dan peranan dari banyak pihak seperti keluarga, kyai, guru, muballigh dan muballighah, maupun teman sebaya. 10 Di sekolah umum, salah satu upaya yang dianggap efektif terutama adalah perluasan informasi melalui institusi pendidikan yang paling dekat dengan siswa, yaitu sekolah, khususnya pada pembelajaran Biologi. Upaya yang dilakukan di antaranya adalah mengintegrasikan pendidikan kesehatan reproduksi pada pembelajaran Biologi di SMA, khususnya melalui penerapan Kurikulum 2013. Pembelajaran Biologi yang dalam kajiannya di sekolah, membahas tentang sistem reproduksi manusia, mempunyai andil yang besar untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan reproduksi pada remaja. Pembelajaran Biologi di SMA mengkaji tentang keterkaitan antara sistem reproduksi dengan kesehatan reproduksi, dan melalui penerapan Kurikulum 2013 pendidikan kesehatan reproduksi terbantu dengan adanya pembelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan. Dengan demikian, diharapkan remaja yang menduduki bangku setingkat SMA dapat terhindar dari masalah kesehatan reproduksi. 11 Sementara itu sumber informasi tentang kesehatan reproduksi yang tersedia di pondok pesantren, pada dasarnya tidak ada yang sangat spesifik membahas masalah kesehatan reproduksi. Hanya saja dalam
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Swara Rahima - 9
Fokus
pelajaran Biologi terkadang ditemukan materi seputar alat-alat reproduksi dan juga perbincangan berkaitan alat-alat reproduksi tersebut juga diulas dalam mata pelajaran Fiqh.12 Namun, kini di berbagai pesantren juga telah mulai ada Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren) yang merupakan salah satu wujud upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM) di lingkungan pondok pesantren dengan prinsip dari, oleh, dan untuk warga pondok pesantren yang mengutamakan pelayanan promotif (peningkatan) dan preventif (pencegahan) tanpa mengabaikan aspek kuratif (pengobatan) dan rehabilitasi pemulihan kesehatan dengan binaan puskesmas setempat. Berdasarkan analisis penelitian yang dilakukan oleh Kharisma Wijayanti sebagaimana dikutip dari laporannya saat ia menyoroti kegiatan Poskestren yang dikembangkan di Kabupaten Pemalang dan Propinsi Lampung, disana telah dikembangkan model pendidikan atau penyuluhan kesehatan reproduksi remaja di kalangan santri maupun melalui pola pembinaan sebaya. Modelnya lebih sopan dan memper-hatikan kondisi serta perkembangan mental remaja.13 Inisiatif untuk mengintegrasikan kesehatan reproduksi melalui proses pendidikan di madrasah dan pesantren ini juga dilakukan oleh PKBI Lampung dengan membekali para guru melalui Pelatihan Kesehatan Reproduksi Remaja bagi Guru Madrasah Aliyah dan Pondok Pesantren. Menurut Herdimansyah, direkturnya, PKBI Lampung sudah melakukan pendekatan secara intens kepada 25 sekolah yang ada di Lampung melalui program Dunia Remajaku Seru (“DaKu”) dan “Dance 4 Life”. “Tidak hanya sekolah umum, tapi juga sekolah-sekolah agama lainnya, seperti Madrasah Aliyah dan pondok pesantren menjadi sasaran program kami tersebut,” sambungnya.14 Inisiatif serupa juga dilakukan oleh Rahima, dengan melakukan pendidikan kesehatan reproduksi di madrasah dan sekolah yang berbasis beberapa pesantren di Jombang, Lamongan, Kediri, dan Banyuwangi, Jawa Timur. Upaya untuk mensosialisasikan kesehatan reproduksi di sekolah, juga dilakukan kepada guru-guru agama Islam dan para siswa dengan memasyarakatkan metode debat siswa dalam pembelajaran di sekolah; dimana tema-tema terkait dengan kesehatan reproduksi juga diangkat sebagai mosi dalam debat.
10 - Swara Rahima
Pendidikan Kespro dalam Kebijakan Negara Dalam Pasal 137 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dinyatakan bahwa 1) Pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat memperoleh edukasi, informasi, dan layanan mengenai kesehatan remaja agar mampu hidup sehat dan bertanggung jawab. 2) Ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah dalam menjamin agar remaja memperoleh edukasi, informasi dan layanan mengenai kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan pertimbangan moral nilai agama dan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.15 Tahun 2011 jumlah sekolah menengah atas mencapai 10.765 di seluruh Indonesia, sedangkan untuk Madrasah Aliyah negeri sebanyak 758, dan 5.657untuk Madrasah Aliyah yang dikelola oleh swasta16. Setidaknya masih banyak lagi sekolahsekolah yang berbasis agama yang ada di Indonesia. Keberadaan sekolah-sekolah berbasis agama ini tidak bisa diabaikan keberadaannya, karena sekolah-sekolah berbasis agama ini menjadi semacam penyokong dan alternatif sekolah pilihan selain sekolah-sekolah umum yang ada selama ini. Sekolah berbasis agama ini berada di bawah naungan Kementerian Agama, yang mana Kementerian Agama tidak hanya menaungi pesantren dengan segala kepentingannya, akan tetapi juga pendidikan berbasis pengetahuan umum dan keagamaan sekaligus17 Meskipun begitu, remaja yang
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Fokus
bersekolah pada sekolah-sekolah berbasis agama juga tidak luput dari permasalahan reproduksi. Karena bagaimanapun juga, remaja dimanapun tempatnya memiliki fase yang sama untuk tumbuh kembang reproduksinya dan selalu saja ingin mencoba hal-hal baru yang mereka temui. Akan tetapi hingga kini belum ada kebijakan Kementerian Agama RI yang secara spesifik berupaya memasukkan materi Kesehatan Reproduksi yang menyasar sekolah/madrasah dan pesantren dalam naungannya. Selama ini kebijakan terkait dengan Kespro yang ada hanya sebatas Intruksi bersama Dirjen Bimas Islam Depag dan Dirjen PPM dan PLP Depkes tentang Imunisasi TT (No. 02 tahun 1989), Peraturan Dirjen Bimas Islam tentang Suscatin (DJ. II/491 tahun 2009), dan penerbitan buku Panduan Kesehatan Reproduksi Remaja oleh Departemen Agama RI Sekretariat Jendral Bagian Proyek Safe Motherhood Jakarta (Pusat) tahun 1999/2000. 18 Maraknya kasus-kasus kekerasan dan kejahatan seksual yang menimpa anak-anak dan remaja, mulai dari pelecehan seksual, sodomi hingga perkosaan yang meningkat angkanya akhir-akhir ini telah menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas diberikan di sekolah. Hal ini nampaknya juga mendapat tanggapan dari mantan Presiden SBY yang di jelang akhir masa jabatannya menerbitkan Inpres No. 5 tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak (GN-Aksa), pada 11 Juni 2014 yang lalu. Tak hanya itu, pada tanggal 21 Juli 2014 Presiden SBY juga telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, untuk melengkapi UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.19 Dengan kedua aturan ini, sesungguhnya upaya untuk memasukkan kesehatan reproduksi dalam pembelajaran di sekolah sesungguhnya telah mendapatkan justifikasi. Pada Agustus 2014 tahun yang lalu, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) telah melakukan audiensi dengan Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin untuk mengupayakan agar di sekolah atau madrasah di bawah naungan Kemenag, selain pendidikan moral juga ada ilmu atau kurikulum khusus tentang kesehatan reproduksi. Bila diperlukan juga mendorongnya dengan menerbitkan Peraturan Menteri Agama
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
(PMA) yang mengatur tentang kurikulum kesehatan reproduksi di madrasah. Menanggapi usulan itu Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, menegaskan akan memberikan perhatian terhadap kurikulum di madrasah atau pesantren terkait ilmu kesehatan reproduksi tersebut.20 Selain YKP, bersama gugus tugas yang bernama SEPERLIMA (Seputar Kesehatan Reproduksi Remaja), Rahima dan beberapa organisasi lainnya yakni Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Pamflet, Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI, serta HiVOS memperjuangkan agar Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas bisa dimasukkan ke dalam pembelajaran di sekolah umum (yang berada dibawah naungan Kemendikbud), termasuk di madrasah, pesantren, maupun sekolah Islam yang berada di bawah naungan Kementerian Agama RI. Saat ini, SEPERLIMA juga telah mendaftar Judicial Review (JR) atas UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sehingga kesehatan reproduksi secara resmi bisa masuk sebagai bagian dalam salah satu mata pelajaran inti di sekolah. Di antara perubahan yang diamati dan melegakan Lukman Hakim, guru PKRS di MA Al Ghazaliah, para siswa mulai memiliki ruang yang tepat untuk menanyakan dan membahas permasalahan kesehatan reproduksi dan seksualitas. Para remaja tersebut tidak lagi mencari konten melalui media internet yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Mereka mulai menemukan referensi yang tepat untuk menanyakan rasa penasaran dan ketidaklengkapan informasi yang mereka dapatkan di masyarakat. Dengan mendapatkan informasi yang benar, justru akan membuat remaja kritis dan tak gampang untuk mengakses situs-situs yang menyediakan konten pornografi. Oleh karenanya, kita tak perlu khawatir berlebihan dan beranggapan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi akan mendorong remaja pada perilaku seks bebas. Semestinya kita belajar pada negeri Belanda yang dengan Lang Lieve de Liefdanya Negeri Kincir Angin Belanda yang mengajarkan Three Rs (Rights, Responsibility, Respect) yang merupakan filosofi nilai-nilai sosial dalam pendidikan kesehatan reproduksi remaja. Melalui pendidikan kesehatan reproduksi ini mereka dapat menekan angka kehamilan remaja, karena remaja di Belanda
Swara Rahima - 11
Fokus
justru menyadari bahwa hubungan seks dini sangat merugikan.21 Hasil penelitian lokal terhadap sejumlah siswa di Sleman, Yogyakarta ini bisa membuat kita tidak harus terjebak dalam prasangka dan kekhawatiran berlebihan. Salah satu dari 3 poin kesimpulan penelitian ini menyebutkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara tingkat pengetahuan
tentang kesehatan reproduksi dengan sikap terhadap perilaku seksual bebas pada siswa SMK Bina Harapan Sinduharjo SlemanYogyakarta, p value 0,000. Artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi maka semakin tidak akan mendukung sikap terhadap perilaku seksual bebas.22 Jadi, masih ragukah anda akan pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja? {}AD. Kusumaningtyas
Catatan Belakang : 1. Lihat tulisan berjudul Sex Education Bagi Para Santri, Siapa Takut?, postingan 1 September 2008 sebagaimana diunduh dari situs http://alfalahjumput.blogspot.com/2008_09_01_archive.html. 2. Lihat tulisan Lukmanul Hakim berjudul Ketika Seksualitas Jadi Bahan Perbincangan di Kelas, di rubrik Refleksi SR esisi 48 ini. 3. Lihat tulisan, St. Halima, Muh. Arsyad Rahma, Shanti Riskiyani, Bagian Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, FKM Unhas, Makassar, berjudul Persepsi Remaja tentang Kesehatan Reproduksi di Pondok Pesantren Mnahilil Ulum Hidaiyah Kaballangang, Kabupaten Pinrang, pada Jurnal AKK, Vol 3 No 1, Januari 2014, hal 41-47) 4. Lihat kembali tulisan Wafiyatu Maslahah, Pembelajaran Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi pada Pesantren Lewat Kajian Kitab Kuningn dan Poskestren di Pondok Pesantren Assalam Jambewangi Selopuro, Blitar. 5. Lihat dalam Abd. Halim Soebahar dan Hamdanah Utsman, Hak Reproduksi Perempuan dalam Pandangan Kiai, yang diterbitkan atas kerjasama antara Ford Foundation dan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1999, hal,. 47-56. 6. Lihat tulisan Siti Malikah Thowaf, Dosen Universitas Negeri Malang berjudul Pendidikan Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi Model Pesantren Bagi Remaja, pada jurnal FORUM KEPENDIDIKAN, Volume 27, Nomor 2, Maret 2008. 7. Lihat kembali dalam tulisan Siti Malikah Thowaf, Dosen Universitas Negeri Malang berjudul Pendidikan Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi Model Pesantren Bagi Remaja.
12 - Swara Rahima
8. Lihat dalam tulisan Reni Kartikawati, Persoalan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas di Pondok Pesantren, yang diterbitkan oleh pamfletindonesia, 11 November 2011, sebagaimana diunduh dari situs http://seperlima. com/2014/11/11/persoalan-kesehatan-reproduksidan-seksualitas-di-pondok-pesantren/ 9. Lihat kembali dalam tulisan Reni Kartikawati, Persoalan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas di Pondok Pesantren. 10. Lihat dalam booklet berjudul Kesehatan Reproduksi Remaja, Departemen Agama RI Sekretariat Jendral Bagian Proyek Safe Motherhood Jakarta (Pusat) tahun 1999/2000, atas kerjasama antara Departemen Agama RI dan The World Bank. 11. Lihat tulisan Rahmawati, D, Jurusan Biologi Universitas Negeri Padang, Integrasi Pendidikan Kesehatan Reproduksi pada Pembelajaran Biologi di SMA, dengan Penerapan Kurikulum 2013, dalam Seminar Nasional X Pendidikan Biologi FKIP UNS. 12. Lihat tulisan St. Halima, Muh. Arsyad Rahman, Shanti Riskiyani, Bagian Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, FKM Unhas, Makassar, Persepsi Remaja tentang Kesehatan Reproduksi di Pondok Pesantren Manahilil Ulum Hidaiyah Kaballangang Kabupaten Pinrang, dalam Jurnal AKK, Vol 3 No 1, Januari 2014, hal 41-47). 13. Lihat Lihat dalam artikel berjudul Peran Pos Kesehatan Pessantren dalam Meningkatkan Kesehatan Reproduksi Remaja, yang ditulis oleh Khrisma Wijayanti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan Kebijakan Kesehatan, Jl.Indrapura No.17 Surabaya, hal 177.
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Fokus
14. Lihat tulisan berjudul Pelatihan Guru Soal Kesehatan Reproduksi, Rabu, 03 Oktober 2012, sebagaimana dikutip dari situs http://www.beritasatu.com/ kesehatan/75340-pelatihan-guru-soal-kesehatanreproduksi.html. 15. Lihat dalam UU No. 36 tahun 2006 tentang Kesehatan. 16. Lihat dalam http://pendis.kemenag.go.id/file/ dokumen/databooklet01tab01.pdf diakses pada tanggal 8 April 2013 17. Lihat dalam http://nursyam.sunan-ampel. ac.id/?p=2946 diakses pada tanggal 2 april 2013 18. Lihat dalam hasil Analisis Kebijakan Kesehatan Reproduksi Remaja Bagi Siswa di Sekolah dan Madrasah di Lingkungan Kementrian Agama RI, yang disampaikan dalam pertemuan dengan Bapak Nasaruddin Umar selaku Wamenag RI. 19. Lihat pada tulisan AD. Kusumaningtyas, Inpres No.5 tahun 2014 dan PP No.61 tahun 2014 : Legacy Pemerintahan SBY di Bidang Kesehatan Reproduksi?,
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
dalam Swara Rahima No.46 Th.XIV Oktober 2014 Metamorfsosa Jilbab. 20. Lihat tulisan berjudul Terima Yayasan Kesehatan Perempuan, Menag Apresiasi Usulan Kurikulum Kesehatan Reproduksi di Pesantren dan Madrasah, Rabu, 27 Agustus 2014, sebagaimana dikutip dari situs, http://www.kemenag.go.id/ index. php?a=berita&id=208596; diunduh Kamis,22 Januari 2015, pk 12.37 21. Lihat tulisan Anis Fachrotul Fuadah, ”Lang Lieve de Liefda” ala Negeri Kincir Angin, dalam rubrik Teropong Dunia Swara Rahima Edisi No.43 tahun XIII November 2013, Menyoal Kehamilan Remaja. 22. Lihat dalam tulisan hasil penelitian Noerma Ismayuca, Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang Kesehatan Reproduksi dengan Sikap terhadap Perilaku Seksual Bebas pada Siswa di SMK Bina Harapan Sinduharjo, Sleman Yogyakarta Tahun 2010, yang diunduh dari situs http://artikeltentangkesehatan.blogspot.com/2011/10/hubungantingkat-pengetahuan-tentang.html
Swara Rahima - 13
Opini
Ir. Herdimansyah, AIB. :
Perlu Payung Hukum Nasional untuk Implementasikan
Pendidikan Kespro
I
r. Herdi Mansyah A.I.B., Direktur PKBI Lampung ini dilahirkan di Prabumulih, 3 Mei 1961. Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Lampung yang sempat melanjutkan studinya di program Magister Agribisnis Universitas Lampung menikah dengan Rita Ulli, BBB yang bertugas menjadi salah seorang PNS di Lampung. Bapak dari 3 (tiga) orang putra-putri -Sarah Ayu Putri Novaria S.I.Kom., Rahma Dinda Dwi Putri, dan Adli Gumilang Herdi- yang telah malang melintang memperjuangkan pendidikan kesehatan reproduksi(kespro). Ia juga banyak terlibat dalam menginisiasi, mengelola, memfasilitasi, dan menjadi narasumber dalam berbagai forum kajian, seminar dan diskusi yang dilakukan oleh pemerintah, organisasi masyarakat sipil, maupun komunitas. Pak Herdi pernah mengikuti seminar Internasional mengenai pembuatan modul Kespro untuk pesantren oleh Unesco di Thailand 2007, maupun workshop mengenai materi advokasi di komunitas agama tentang Kesehatan Reproduksi Remaja di Chanthaburi Thailand 2006. Berikut, adalah hasil wawancara jarak jauh antara Redaksi Swara Rahima dengan Pak Herdi. Persoalan kesehatan reproduksi apa yang banyak dihadapi oleh remaja saat ini? Persoalan kesehatan reproduksi yang ditangani oleh PKBI, adalah persoalan kesehatan reproduksi secara umum. Hal ini dihadapi juga oleh remaja baik di sekolah-sekolah umum maupun di beberapa madrasah. Sebelumnya, kami juga menangani persoalan kespro di pesantren. Persoalannya kespro remaja tersebut sangat beragam. Seperti halnya, persoalan KTD (kehamilan tak diinginkan), pernikahan anak, persoalan-persoalan yang kaitannya dengan hak mereka untuk menyampaikan pendapat kespro, aborsi, secara umum persoalanpersoalan terkait dengan psikologis sekolah, kekerasan terhadap perempuan. Secara lebih khusus, persoalan apa saja yang khas dihadapi oleh remaja di pesantren? Persoalan kespro yang berkaitan dengan persoalan remaja perempuan di pesantren lebih banyak. Di antaranya adalah soal menstruasi, keputihan, tentang relasi dengan pacar, yang khas itu saja. Pesantren sendiri mempunyai persoalan tentang kesehatan umum seperti bersih diri dan soal kesehatan diri. Kaitannya dengan kespro, di pesantren karena mereka tinggal secara kolektif, anak-anak (para santri)
14 - Swara Rahima
ini sering tidak bersih diri dan tidak memperhatikan kesehatan badan dan dirinya. Oleh karena itu mau tidak mau seringkali dia mengalami persoalan juga terkait kebersihan organ reproduksinya. Ini persoalan khas yang banyak terjadi di pesantren. Bagaimana remaja di pesantren mendapatkan akses informasi terkait kesehatan reproduksi ? Bila di sekolah umum, hal ini sudah bisa masuk. Namun, di pesantren itu dia tidak ada yang khusus yang kespro. Saya perhatikan, informasi tentang kespro itu masuk melalui fiqh perempuan atau fiqh alnisa. Mereka belajar soal menstruasi, soal keputihan, bagaimana cara membersihkan diri. Namun, semua itu lebih banyak konsepnya murni terkait dengan agama Islam. Itu yang kita lihat selama ini. Namun, setelah kita masuk kami lihat beberapa hal terkait dengan medis dan psikologis dengan persoalan yang disampaikan oleh mereka. Saat kami masuk, mereka awalnya juga menolak. Khawatir kalau kami akan memberikan sex education dalam arti bahwa mengajarkan tentang hubungan seks. Namun, setelah masuk mereka baru tahu bahwa selama ini kami belum belajar kesehatan reproduksi yang dijelaskan secara mendalam. Dan tentunya dalam
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Opini
menyampaikan, kami menggunakan metode-metode yang bisa diterima. Selama ini dari mana remaja di pesantren mendapatkan informasi soal kespro ? Selama ini sebelum PKBI masuk, mereka menerima informasi kespro kaitannya dengan fiqh perempuan. Cuma tidak seperti kespro yang PKBI sampaikan ada kasus, undang-undang, kitab, ada hak-hak untuk perempuan, hak untuk remaja dan sebagainya. Halhal seperti itu tidak disampaikan selama ini. Mereka mendengar kespro belakangan setelah PKBI masuk. Apakah selama ini persoalan kesehatan reproduksi telah menjadi concern dunia pendidikan? Belum masuk pendidikan, apalagi pendidikan agama. Mereka masih melihat hal itu belum menjadi salah satu prioritas. Dari skala pembangunan terutama di Lampung misalnya, itu belum riil. Sekarang ini posisinya mereka tidak menolak, juga tidak menerima, juga tidak membuat gagasan yang mulus. Apa saja inisiatif pendidikan kespro yang selama ini telah dilakukan oleh PKBI Lampung? Secara umum ada beberapa model. Pertama model SKR atau Sanggar Kesehatan Remaja, jadi membuat sanggar-sanggar. SKR itu pendidikan kespro non kurikulum, ekstra kulikuler. SKR itu terdiri dari para siswa yang dilatih oleh PKBI untuk menyampaikan informasi kespro kepada teman sebayanya. Inisiatif yang lain, kita juga pernah menyisipkan di mata pelajaran kespro di beberapa mata pelajaran misalnya mata pelajaran Biologi, Agama, Bimbingan Konseling (BK) dan Olah Raga dan Kesehatan. Di pelajaran itu kita sisipkan materi materi kespro, dimana kita sudah mengumpulkan beberapa guru di sekolah yang terkait dengan itu dan membuat modul bersama, berbasis sekolah. Contohnya seperti itu. Yang lain, insersi setengah masuk kurikulum. Kami menggunakan otonomi sekolah. Jadi di berbagai sekolah yang menjadi dampingan kami itu sudah masuk dan tidak juga ditolak juga oleh Dinas Pendidikan dan Pengajaran (P dan P). Mereka bilang, ya silakan saja.
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Apakah ada lembaga pendidikan agama seperti pesantren dan madrasah yang turut terlibat dalam proses untuk memasukkan pendidikan kespro sebagai kurikulum ini ? Iya, ada 7 pesantren dampingan yang waktu itu secara intensif melakukan model insersi. Di pesantren salaf juga dimasukkan. Di sekolah umum juga dimasukkan. Secara umum kami mengembangkan modul DAKU (Dunia Remajaku Seru). Jadi sebetulnya masuk di ekstra kurikuler yang sifatnya wajib. Siswa mendapatkan mata pelajaran kespro yang terdiri dari 10 bagian dan mereka harus ikut terus dengan kelas yang jumlah siswanya terbatas karena sistem kespro model DAKU menggunakan program computerized. Guru-gurunya juga kami latih, tentang pengetahuan kespro, dikenalkan dengan modul DAKU yang terdiri dari 10 bagian, kemudian mereka juga diperkenalkan bagaimana menggunakan modul itu dengan cara computerized. Terakhir, kami juga memperkenalkan teknik bagaimana menyampaikan materi-materi. Karena materi-materi ini bukan materi yang umum seperti yang selama ini mereka sampaikan pada siswa atau dengan cara yang biasa mereka sampaikan. Computerized ini proses yang memerlukan skill. Ini kan juga harus menggunakan proses dialogis. Guru yang kami latih menjadi fasilitator sehingga mereka harus memahami itu secara baik, harus ikut 4 kali pelatihan. Terakhir, pelatihan ini kami kombinasikan dengan Dance for Life.
Swara Rahima - 15
Opini
Dance for Life sebetulnya kegiatan yang di dalamnya menginformasikan di antara sesama remaja tentang HIV/AIDS. Namun belakangan kami kembangkan tidak hanya tentang HIV/AIDS-nya saja, tetapi kespronya juga. Dalam Dance for Life ini remaja harus paham dengan 4 aktivitas penting yang dilakukan oleh mereka. Pertama adalah inspire. Dengan inspire mereka mesti menjadi inspirasi bagi teman-temannya untuk peduli AIDS, paham Kespro dan sebagainya. Mereka menari secara massal, menari bersama di sekolah; dan itu dengan izin sekolah. Setelah menari mereka menginformasikan secara umum, tujuan, mengenai peran mereka. Yang kedua, namanya adalah educate. Berdasarkan waktu yang disepakati mereka berkumpul di sekolah, dan oleh sesama remaja yang terlatih, mereka diberi edukasi tentang HIV/AIDS dan kespro. Ketiga, adalah Activate. Mereka memasukkan berbagai aktivitas-aktivitas terkait sosialisasi HIV/ AIDS dan Kespro di sekolah, seperti membuat Majalah Dinding (Mading), aktivitas mereka terkait dengan hal-hal tematik. Dan keempat atau yang terakhir adalah Celebrate. Mereka melakukan perayaan atas semua aktivitas yang mereka telah lakukan selama ini. Tentunya perayaan ini melibatkan banyak remaja, sekolah, dan pendamping. Ribuan orang yang terdiri dari para remaja kami kumpulkan di suatu tempat, lalu mereka juga melakukan kegiatan kampanye kepada pemerintah dan masyarakat lainnya. Bagaimana tanggapan para remaja sebagai penerima manfaat (beneficiaries) dari program-program itu? Seperti apakah keterlibatan mereka ? Secara umum mereka responsif. Setiap diundang untuk mengikuti kegiatan di sekolah, mereka sangat mendukung itu sehingga pihak sekolah juga sangat positif merespon. Bila di awal, kita masih bekerja berdasarkan proyek, namun kini mereka telah membuat forum remaja sendiri. Namun untuk sementara kesekretariatan masih berada di kantor kami. Jadi terkait kegiatan mereka, forum remaja sendirilah yang mengelola kegiatan-kegiatan yang mereka laksanakan. Jadi, sekarang kalau ada pelatihan dan segala macam sosialisasi, pelatihnya sebagian dari mereka. Kemudian ada kegiatan ceramah ataupun diskusi, fasilitator dari mereka. Satu bulan sekali mereka mengadakan pertemuan. Dan kadang-kadang
16 - Swara Rahima
sepulang dari kegiatan itu, mereka masih sering berkumpul. Itulah kegiatan yang dilakukan oleh kami PKBI di Lampung. Bagaimana respon dari kelompok agama atas berbagai inisiatif itu ? Memang, pada awalnya kelompok agama cenderung menolak dengan berbagai kekhawatiran tadi. Kemudian setelah mereka memahami itu, terutama setelah kami bersilaturahmi dan sosialisasi ke tokoh-tokoh kunci pesantren, tokoh-tokoh kunci MUI, di NU, Muhammadiyah dan sebagainya, karena mereka tahu seperti apa kegiatannya akhirnya mereka malah mendukung. Sedikit sekali pesantren yang menolak. Upaya advokasi yang kami lakukan adalah, kami melaksanakan program sejak 2 tahun yang lalu, melalui kerjasama dengan Kemenag. Awalnya, Kemenag (dalam hal ini Kementerian Agama propinsi Lampung) bersama PKBI Lampung membuat anggaran untuk diajukan ke pemerintah pusat untuk menyelenggarakan pendidikan kespro. Pertama, kami melatih seluruh guru BP di Madrasah Aliyah (MA) di Lampung tentang Kespro. Kemudian di beberapa sekolah dan pesantren, para siswa dan guru-gurunya dilatih kespro juga. Oleh karenanya selain para guru dilatih, para siswa dan santri dilatih kespro juga. Jadi, kita pisahkan para remaja, yakni antara remaja yang MA dengan yang santri. Untuk santri, telah dilakukan beberapa angkatan pelatihan. Dan hingga kini telah ada 4 angkatan. Hal itu dilaksanakan bekerjasama dengan Kementerian Agama. Sekarang kami diminta menjadi fasilitator. Kalau dulu, kami yang menyelenggakan kegiatan atas kerjasama dengan Kementerian Agama. Inisiatif lain apa yang telah dilakukan? Untuk sekolah umum, yang kami kembangkan di Bandar Lampung -ibukota Propini Lampungada sekitar 48 dampingan sekolah. Kami juga mengadvokasi ke kabupaten-kabupaten. Paling tidak ada 2-3 kabupaten yang merespon dengan baik. Bupati dan Walikota mendukung itu sampai mereka mengusulkan anggaran agar ada pelatihan kespro bagi
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Opini
guru-guru dan siswa. Ada di Lampung Tengah, Metro, Lampung Barat. Ada juga advokasi kami antara lain ke eksekutif dan legislatif. Syukur-syukur kalau mereka juga memberi dana. Sekarang, sekolah-sekolah yang dekat maupun yang jauh sering mengundang kami untuk menyampaikan hal-hal terkait dengan kespro melalui ceramah dan diskusi.
diakses dengan mudah oleh mereka, dan biayanya sangat murah. Itu notabenenya pelajaran kespro yang “negatif”, yang menghancurkan, kira-kira begitu diskusi saya. Di pesantren juga seperti itu. Kami sampaikan di pesantren, tetap kemasannya kami pertahankan, kemasannya kespro, tidak SRHR dan sebagainya. Sebab, kalau kemasannya salah sejak awal, mereka tidak mau.
Seperti apa tantangan yang dialami? Bagaimana upaya mengatasi tantangan –tantangan itu?
Jadi untuk PKBI Lampung kemasannya pakai ‘pendidikan kespro’? Bukan menggunakan istilah SRHR?
Kami mengalami penolakan di awal saat mengkampanyekan pendidikan kespro ini, terutama di pesantren. Pesantren sempat menolak karena khawatir bahwa kami akan mengajarkan tentang sex education yang mereka pahami sebagai cara-cara untuk melakukan hubungan seks. Beberapa sekolah juga ada yang menolak. Ada yang menanyakan kepada saya, apakah setelah diberi materi kespro ini anakanak di sekolah ini yakin tidak ada lagi KTD, tidak ada lagi pacaran bebas? Saya katakan, siswa dididik bertahun-tahun supaya mempunyai pendidikan yang bagus, ada juga pelajaran agama, namun persoalanpersoalan berkaitan dengan KTD tetap ada. Memang kita tidak bisa menjamin bahwa ketika sudah masuk materi kespro, semua anak-anak tidak akan menjadi bebas. Tidak begitu,. Akan tetapi paling tidak kita bisa mengeliminir resiko dan sudah memberikan pilihan kepada anak-anak. Ini lho, hal yang baik tentang kespro, dan ini hal yang tidak baik. Informasi yang tidak baik selama ini telah banyak mereka terima dari internet dan segala macam media,
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Iya, pendidikan kespro. Bahwa di dalamnya ada SRHR, tidak masalah buat mereka, tetapi kemasannya kami masuk dengan Kespro. Setiap program yang kami kembangkan dimana pun pasti diawali dengan dialog, mengundang stakeholders terkait, NU, MUI, Muhammadiyah dan mengundang stakeholder yang lain. Sehingga saat kami masuk, kami sampaikan bahwa kami sudah kesini dan sudah kesini. Penolakan itu pasti ada. Namun, kami juga memegang tokoh kunci di pesantren karena ketika tokoh kunci ikut, maka yang lain tidak terlalu menolak sehingga kita tidak terlalu berdebat panjang ketika berhadapan dengan mereka. Upaya-upaya apa untuk memasukkan kespro sebagai sebagian dari kurikulum? Bisakah disebutkan contohnya? Itu memang selalu kami lakukan. Hearing dengan DPRD tiap tahun, melakukan diskusi dengan pemerintah, kami atur waktunya. Mereka ini kan tugasnya berat, mengingat belum ada payung hukum di atasnya yang secara detail yang mengatur itu. Mereka setuju dan menerima semua usulan itu. Setelah kami membuatkan naskah akademik, kurikulum, dan juga diturunkan menjadi sebuah perda. Memang dalam kondisi sekarang di Lampung tidak ada satu pun pemerintah daerah, tokoh agama, bahkan Kemenag yang menolak itu. Mereka sudah bisa menerima, namun belum sepenuhnya karena dalam konteks situasi yang tidak ada aturan, karena belum ada relasi dengan payung hukumnya. Itu yang membuat mereka ragu. Jadi ada beberapa program yang disarankan untuk dilaksanakan melalui berbagai hal. Seperti dimasukkan ke muatan lokal (Mulok), yang ada di kurikulum lama di 2013. Jadi ada beberapa hal
Swara Rahima - 17
Opini
yang kami sisipkan. Misalnya, ada satu sekolah swasta yang berani dan memiliki pelajaran kespro khusus. Seperti kurikulum khusus yang dimasukkan ke mulok. Adakah kisah sukses maupun pembelajaran yang bisa dipetik tentang bagaimana Kespro menjadi bagian dari muatan pendidikan? Di Lampung, ada sekolah swasta bernama SMA Utama II. Di sekolah tersebut, semua pengurus yayasan, kepala sekolah, guru mendukung upaya memasukkan Kespro itu. Di SMA Utama II , Kespro menjadi muatan lokal. Jadi ada satu mata pelajaran khusus tentang Kespro . Tetapi sekolah-sekolah pemerintah agak sulit, mereka harus ada kebijakan dari atas. Jadi mereka hanya bisa memasukkan kespro melalui insersi atau kegiatan ekstra kurikuler (ekskul) plus. Apa yang mesti kita lakukan untuk bersama-sama memperjuangkan gagasan agar kespro menjadi bagian dari kurikulum sekolah? Kalau di tingkat daerah kita tetap melakukan advokasi ke daerah dan terus meyakinkan agar kespro masih bisa kita sisipkan melalui Mulok dan sebagainya. Bila mengupayakan kurikulum nasional, maka advokasinya di tingkat nasional. Hal ini karena kurikulum itu tidak dibuat di daerah. Kurikulum dibuat di tingkat nasional, sedangkan daerah hanya mengikuti. Bila Kespro selama ini telah berkembang di sekolah-sekolah yang ada, keberanian mereka dipayungi oleh adanya otonomi sekolah saja. Aturan hukum yang jelas dari atas ke bawah tidak ada. Oleh karenanya tetap perlu ada upaya untuk melakukan advokasi di tingkat nasional sehingga di daerah ada payung hukum yang jelas. Mengingat, tidak mungkin kita membuat aturan di daerah tanpa payung hukum di tingkat nasional. Jadi, harus seperti itu. Bila kita mentok disitu, sementara di nasional juga belum jelas, kita perlu memperjuangkan Kespro melalui berbagai hal. Upaya ini memang ada berbagai versi. Ada yang maunya sangat frontal, ada yang mau agak kalem. Di tingkat nasional kebijakan itu justru belum ada, sehingga kita perlu payung hukum. Di daerah kita tetap menyuarakan ini, dan ternyata sambutannya cukup bagus.
18 - Swara Rahima
Advokasi kita ini bukan advokasi sistem, karena pemerintah kita baik eksekutif, legislatif, mereka tidak melihat sistem. Mereka telah membuat kesepakatan pada zamannya, namun ketika pimpinannya diganti maka kebijakannya juga bisa berganti, bukan sistemnya. Maka kita advokasi lagi. Inilah kesulitan utama. Jalan keluarnya, kita advokasi terus, apalagi ketika ada pergantian Kepala Dinas P dan P saja ada yang terjadi itu, bisa jadi berubah pikirannya dengan apa yang sudah disepakati oleh pimpinan sebelumnya, maka kita harus advokasi lagi dari awal.
Bagaimana caranya agar berbagai pihak berkontribusi untuk mengupayakan perubahan kebijakan sehingga lebih ramah terhadap kespro remaja? Pertama, selain kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan tadi, tugas pemerintah cuma mengadvokasi ke Dinas Kesehatan. PKBI tidak bisa melakukan sendiri kegiatan ini tanpa ada rujukannya kemana, maka ke klinik PKBI saja. Kita sudah bekerjasama dengan beberapa puskesmas ada MOU nya, lebih dari 7 puskesmas untuk dijadikan pilot project, agar menjadi puskesmas yang ramah remaja dimana kami melatih petugasnya, kepala puskesmasnya untuk membuat ruangan untuk mendekati remaja. Ketika ada klien remaja misalnya karena keputihan, KTD, maka ia bisa datang ke tempat –tempat yang sudah kami rekomendasikan. Kedua, kita tidak bisa berhenti dengan advokasi. Program yang kita lakukan hasilnya kita advokasi lagi. Makanya melalui celebration dan activation ini, kita mempromosikan apa yang sudah kita lakukan, kita minta kepada pemerintah agar mereka lihat, koreksi, dan memilih yang baik. Selanjutnya mereka bisa kembangkan yang sudah kami lakukan, karena sebenarnya itu memang bukan tugas kami. Kami hanya membuat percontohan (piloting) saja. Contoh-contoh kegiatan yang baik dari kespro bisa dikembangkan oleh pemerintah. Ketika melakukan advokasi, celebrate kita tuntut kepada pemerintah atau kita datang khusus hearing ke DPRD. Kita bisa katakan kepada mereka bahwa percontohan ini sudah kita buatselanjutnya kita minta mereka untuk melanjutkannya, karena kita tidak paham untuk mentacking berapa ratus ribu sekolah yang ada di Propinsi Lampung. {} AD. Kusumaningtyas
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Opini
Dr. Sururin, MAg.
Pendidikan Kespro perlu Dilakukan dengan Beragam Strategi Dr. Sururin, MAg., yang lahir di Bojonegoro, 19 Maret 1971 adalah Dosen Pendidikan Agama Islam (PAI) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ahli Psikologi Agama yang kini menjadi Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) di universitasnya ini menyelesaikan studi S1-nya di Jurusan PAI di IAIN Surabaya (1993), S2 di Jurusan Pendidikan Islam IAIN Padang (1998), dan S3 Bidang Pengkajian Islam di UIN Jakarta. Saat ini, namanya juga tercatat sebagai Ketua II di Susunan Pengurus Pimpinan Pusat (PP) Fatayat NU 2010-2015, dan juga Ketua Bidang Hukum dan Advokasi PP Muslimat NU. Sebelumnya, ia juga duduk dalam kepengurusan PP Fatayat saat diketuai Maria Ulfah Anshor. Berikut sajian wawancara Swara Rahima dengan perempuan dengan panggilan akrab Mbak Rurin, salah satu penulis buku ‘Pendidikan Kesehatan Reproduksi bagi Calon Pengantin’yang diterbitkan oleh PP Fatayat NU tahun 2007 ini. Apakah selama ini perbincangan tentang Kesehatan Reproduksi (Kespro) memang dipandang tabu di kalangan masyarakat muslim. Mengapa?
ustadzah, yang hasilnya juga dapat di-share kepada para santri maupun masyarakat secara luas.
Ya, memang sebagian orang menganggap hal ini tidak pantas dibicarakan. Kesehatan reproduksi sering kali hanya dipahami sebagai organ reproduksi dan hubungan seksual, sehingga tabu untuk dibahas.
Problem-problem terkait kespro apakah yang selama ini banyak dijumpai di lingkungan pesantren?
Namun, kenapa dalam beberapa diskursus keagaaman, misalnya Fiqh sangat terbuka dalam membahas tematema yang terkait dengan Kesehatan reproduksi dan seksualitas? Kajian fiqh terbuka dalam membahas tentang kesehatan reproduksi, karena beberapa alasan. Pertama, menggunakan bahasa agama dan lebih berfokus pada tata cara bersuci (istinja’). Jadi penjelasan yang diberikan tidak hanya tata cara bersuci, akan tetapi sekaligus etikanya. Demikian halnya dengan etika hubungan seksual, juga dibahas dengan bahasa agama, sehingga tidak menjadi tabu. Kedua, Pembahasan fiqh dalam koridor dunia pendidikan sehingga pembahasan tentang kesehatan reproduksi dengan menggunakan pendekatan ilmu fiqh sebagai ilmu yang harus dipelajari dan diamalkan. Dan ketiga, Pembahasan kesehatan reproduksi dalam perspektif fiqh akan mudah dijelaskan dalam forum bahtsul masail, karena bersifat sharing (berbagi pengetahuan dan pengalaman) antar sesama ustad/
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Problem terkait kespro yang sering dialami oleh santri, khususnya santri perempuan, antara lain: gatal sekitar kemaluan, keputihan, dan haid tidak teratur. Akan tetapi, bila dikaji lebih luas, problem kesehatan reproduksi tidak hanya masalah keputihan, akan tetapi juga menyangkut berbagai aspek, seperti: masalah asupan gizi, anemia, khususnya pada masa remaja, yang nanti akan mempengaruhi proses reproduksi. Tradisi yang ada di pesantren, khususnya santri putri di pesantren salafiyah, apabila telah menyelesaikan tingkatan pendidikan tertentu atau sudah khatam, maka segera dicarikan jodoh. Santri akan boyong (pulang kembali ke rumah) jika akan dinikahkan. Dengan demikian penting diberikan materi terkait dengan persiapan berkeluarga. Perlu ditekankan usia terbaik untuk bereproduksi, agar tidak terjadi perkawinan usia anak. Informasi terkait dengan proses bereproduksi—hamil, melahirkan dan menyusui—yang sehat, baik dan benar sesuai dengan ajaran agama Islam, perlu diberikan. Dimulai dengan pembahasan menstruasi dengan berbagai masalahnya, persiapan kehamilan, tanda-tanda hamil dan berbagai masalahnya, menjaga kehamilan,
Swara Rahima - 19
Opini
persiapan persalinan, hingga pemberian ASI eksklusif, alat-alat kontrasepsi, penting untuk disampaikan. Perlu dipahami, bahwa masih banyak mitos yang dipercayai masyarakat, termasuk santri, terkait pantangan/larangan/tabu yang sebenarnya tidak berdasar dan malah merugikan serta membahayakan bagi kesehatan. Problem lainnya terkait dengan kesehatan reproduksi dan seksualitas adalah adanya kasus mairil, yang perlu diberikan konseling khusus. Adakah problem itu muncul terkait dengan tradisi kehidupan pesantren atau lebih karena nilai-nilai yang ditanamkan di pesantren? Bisa keduanya. Tradisi kehidupan pesantren yang dianggap lembaga pendidikan yang mengedepankan akhlak dan etika, sehingga doktrin yang ditanamkan adalah tabu untuk membahas masalah yang tidak pantas dibahas dengan bahasa yang vulgar. Apakah tradisi ataupun nilai-nilai itu turut mempengaruhi kehidupan masyarakat muslim secara lebih luas? Dalam hal apa? Ya, karena Kyai pesantren menjadi tokoh panutan dan rujukan di masyarakat, demikian juga santri dan alumninya sebagian besar menjadi tokoh di masyarakat yang menjadi panutan. Kalau kyai-nya menikahkan putra atau putrinya pada usia dini (anak), maka bisa menjadi sandaran dari orang tua murid untuk melakukannya.
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang mentransfer nilai, dalam hal ini nilai-nilai yang ditanamkan menganggap tabu membahas masalah kesehatan reproduksi yang hanya dipahami sebagai organ reproduksi dan hubungan seksual. Maka masyarakat akan menjadi tabu pula membahas kesehatan reproduksi. Bagaimana pembelajaran terkait dengan tema Kespro ini dalam tradisi pembelajaran di pesantren? Dapatkah sedikit digambarkan, pembelajaran dalam tradisi klasik pesantren maupun yang terjadi dalam perkembangan kontemporer di pesantren? Pembelajaran terkait dengan kespro yang dibahas di pesantren baru sebatas haid, nikah, dan istinja’ yang dijelaskan saat bab-bab tersebut pada kitab-kitab tertentu. Selama ini, adakah upaya-upaya untuk memasukkan kesadaran tentang Kesehatan Reproduksi dalam proses pembelajaran di pesantren? Adakah contoh-contoh (piloting) di beberapa pesantren tertentu yang bisa diperkenalkan ke komunitas yang lebih luas? Telah ada upaya intervensi khusus memasukkan materi kesehatan reproduksi dalam program-program khusus, seperti Posyandu Remaja yang letaknya berada di pesantren putri Langitan, Tuban Jawa Timur, melalui program POSKESTREN dengan menambah materi tentang kesehatan reproduksi. Hal ini biasanya disisipkan di tengah-tengah pembahasan kitab yang dikaji semisal Risalatul Mahidl oleh ustadz/ustadzah yang mengajarkannya. Upaya lainnya, dengan mengadakan seminar yang terkait dengan kespro yang biasanya di isi oleh narasumber dari keagamaan dan dari kesehatan. Materi kesehatan reproduksi yang masih menimbulkan khilafiyah/perdebatan maka dibahas dalam forum bahtsul masail, seperti aborsi dan khitan perempuan. Bagaimana pembelajaran Kespro ini dilakukan di pesantren dan madrasah? Siapakah pihak-pihak yang berperan?
20 - Swara Rahima
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Opini
Sebagaimana disebutkan di atas, pembelajaran kespro dilakukan dengan membahas pada bab dan bagian tertentu yang terkait dengan kesehatan reproduksi, seperti istinja’, haidl, dan nikah. Yang sangat berperan adalah kyai dan ustad (guru ngaji). Repotnya adalah, sebagian besar kitab-kitab klasik tersebut diajarkan oleh guru laki-laki (ustad), sehingga persoalan yang dibahas tekstual normatif, tidak dikontekstualisasikan dengan masalah-masalah yang terkait dengan kespro di masyarakat. Materi ajar apa yang selama ini terkait Kespro yang diberikan? Apakah ia diberikan dalam bentuk kajian kitab kuning ataupun pelajaran formal di madrasah? Materi ajar kespro di pesantren yang dibahas antara lain tentang: istinja’, haid, dan nikah yang masuk dalam kajian kitab fiqh. Perlu ditambahkan dan dielaborasi lebih jauh sehingga kesehatan reproduksi akan terwujud Sistemnya ketika masuk bab nikah, khususnya tujuan dan hikmah nikah yaitu ibadah dan merupakan nikmat dan rahmat dari Allah, pada bab ini juga dijelaskan etika berhubungan dengan suami istri, serta dianjurkan untuk menjaga kebersihan. Apa saja rujukan yang seringkali digunakan ? Diantaranya: Kitab I’anatut Thalibin, Syarah Fathul Mu’in, Bajuri, Syarah Fathul Qorib dan Kitab Kitab Fiqh lain Selama ini, di beberapa pesantren dikenal ada lembaga bernama Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren). Apakah poskestren ini dan seberapa jauh ia berfungsi
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
memperkenalkan pemahaman atau memberikan layanan terkait Kesehatan reproduksi di kalangan pesantren? Sejauh yang saya pahami, POSKESTREN belum menyentuh persoalan kesehatan reproduksi. Masalah kesehatan pada umumnya yang dialami oleh santri yang diberikan. Poskestren yaitu pos kesehatan Pesantren yang disana fungsinya membantu dan menangani kesehatan santri. Dalam memperkenalkan pemahaman atau memberikan layanan terkait kesehatan reproduksi di kalangan pesantren agak kurang Adakah lembaga-lembaga (semisal Ormas atau LSM) yang berinisiatif melakukan pendidikan Kesehatan reproduksi di pesantren? Seperti apa kegiatan yang mereka lakukan untuk memperkenalkan Kespro kepada para siswa di madrasah maupun santri di pesantren? Setahu saya, RAHIMA dan Fahmina yang intens dan konsisten melakukan pendidikan kesehatan reproduksi di pesantren. Fatayat NU juga melakukan, akan tetapi tidakseintens 2 LSM (Rahima dan Fahmina), Hal ini sangat dipahami, karena sebagai organisasi kader, kepengurusan Fatayat NU dibatasi. Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk memperkenalkan kespro di pesantren/madrasah. Misalnya, a) Memasukkan dalam kurikulum. Sebenarnya sebagian masalah kesehatan reproduksi sudah dibahas dalam materi fiqh yang termuat dalam kitab-kitab klasik. Perlu dielaborasi lebih jauh materi fiqh dengan dikontekskan pada persoalan kespro yang terjadi di masyarakat. Bagi madrasah di luar lingkungan pesantren juga perlu memasukkan dalam kurikulum khusus. b) Jika sudah masuk kurikulum, Guru/ustadz menjadi faktor penting dalam proses pendidikan kespro. Oleh karena itu, perlu diberikan pelatihan (penguatan kapasitas dan kompetensi) dalam bidang kesehatan reproduksi. Apabila guru telah mempunyai perspektif kespro yang baik, diharapkan akan memberikan materi-materi pelajaran dengan dikaitkan dengan kepro. Dan c)Melakukan pendidikan kespro melalui program khusus, seperti pelatihan atau workshop. Kegiatan ini biasanya lebih intensif karena khusus dilakukan intervensi khusus dengan
Swara Rahima - 21
Opini
mendatangkan fasilitator/narasumber yang kompeten dengan pendekatan PAIKEM (peserta aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan). Karena berbasis program, sehingga sangat terbatas, belum mampu mengakomodasi semua pesantren/madrasah. Adakah strategi lain yang bisa dilakukan agar upaya pendidikan kespro ini bisa menjadi lebih efektif? Ada berbagai strategi lain yang bisa dilakukan. Yakni a) Strategi yang paling efektif untuk pendidikan kespro usia remaja (santri/peserta didik) adalah dengan pendidik sebaya. Oleh sebab itu perlu dikembangkan dan diperkuat pendidik sebaya. b) Memasukkan dalam program kesehatan pada lainnya, seperti dalam program Poskestren, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) berbasis pesantren, Posdaya pesantren, dan sebagainya. c) Yang tidak kalah penting adalah memasukkan program kespro dalam program pesantren dan juga program daerah. Oleh karenanya advokasi kepada pemegang kebijakan dan pengambil keputusan, baik di tingkat pesantren maupun pemerintah, harus menjadi satu strategi dalam mensukseskan pendidikan kespro di pesantren. Dan d) media tidak kalah penting sebagai sarana untuk belajar kespro
kurikulum, penguatan dan pengembangan materi kespro, melatih guru/ustad, advokasi kepada kyai, menyiapkan media dan sumber belajar yang memadai, dan sebagainya. Yang perlu ditekankan, pengambil kebijakan untuk dunia pesantren ada pada Kyai. Apabila pemegang kendali utama pesantren sudah terbuka untuk memberikan pendidikan kespro bagi santrinya, maka akan mudah melakukan berbagai program. Apabila pendidikan kespro berbasis kesadaran dan kebutuhan, maka dana tidak menjadi masalah. Yang terjadi selama ini program kespro berbasis proyek, maka jika habis kontrak proyek, maka selesai pula pendidikan kespro. Oleh karena sulitnya membuka pintu Kyai untuk pendidikan kespro, maka perlu strategi khusus. Antara lain memasukkan materi-materi kespro dalam bahtsul masail dalam lingkup pesantren atau perkumpulan para kyai, yang seringkali masuk dalam jajaran kepengurusan NU, baik di tingkat anak cabang, cabang, wilayah maupun pusat (PBNU). Sistem pemilihan kepala daerah yang langsung oleh rakyat, memungkinkan program kespro menjadi andalan bupati/walikota, sehingga perlu dilakukan pendekatan khusus kepada pemerintah daerah setempat. {} AD. Kusumaningtyas
Seperti apakah konsep “pendidik sebaya” (peereducators) yang pernah dilakukan oleh beberapa lembaga di kalangan para siswa di madrasah maupun santri di pesantren yang selama ini terjadi? Peer educators belum optimal dikembangkan di pesantren. Untuk lingkungan pesantren, peran Kyai/Bu Nyai dan ustad/ustadzah lebih kuat dari pada temannya. Meskipun demikian pendidik sebaya perlu untuk dilakukan ketika program kespro tidak mampu mencapai semua sasaran (santri). Upaya pendidikan Kesehatan reproduksi seperti apakah yang menurut Anda perlu dikembangkan lebih jauh melalui pembelajaran di pesantren dan madrasah? Bagaimana cara melibatkan para pengambil keputusan sehingga perubahan kebijakan ini bisa terjadi? Sebenarnya jawabannya hampir sama dengan jawaban sebelumnya, yaitu memasukkan dalam
22 - Swara Rahima
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Tafsir Alquran
Dr. Nur Rofiah, Bil.Uzm.
Tanggungjawab dalam Menggunakan
Alat Reproduksi
Pendidikan menjadi kata kunci dalam membangun kesadaran manusia yang kemudian diharapkan mengubah tingkah laku menjadi lebih baik. Islam, melalui banyak ayat dan hadis memberikan cara pandang baru dan memberikan contoh penyikapan yang bertanggungjawab atas banyak hal terkait reproduksi laki-laki dan terutama perempuan.
Membangun Karakter Tanggungjawab Kesehatan reproduksi mungkin merupakan konsep dan kesadaran baru. Namun bukan kebetulan jika Alquran banyak menyinggung masalah kesehatan reproduksi sejak 1400 tahun lalu. Alquran menyebut kata farji atau furuj (alat kelamin) tak kurang dari tujuh kali. Bahkan dalam QS. Al-Mu’minun/23:5 disebutkan bahwa menjaga farji dengan baik adalah salah satu tanda mu’min yang sukses di mata Allah.
َوج ِه ْم َحافِظُون ِ َوالَّ ِذينَ ُه ْم لِفُ ُر Artinya : “Dan orang-orang yang selalu menjaga faraj (kelamin) mereka.” (QS. Al-Mu’minun : 5) Hal ini menunjukkan bahwa menggunakan alat reproduksi secara bertanggungjawab merupakan sesuatu yang sangat penting dalam Islam. Salah satu hal penting dalam konsep pendidikan kesehatan reproduksi adalah membangun karakter yang mendukung terjaganya kesehatan reproduksi, yaitu tanggungjawab dan menghormati alat reproduksi sendiri, maupun orang lain. Hal ini sejalan dengan ayatayat Alquran tentang akhlak dalam memperlakukan alat reproduksi. Misalnya akhlak memperlakukan perempuan ketika menjalani menstruasi.
ض ۖ قُ ْل ُه َو أَ ًذى فَا ْعتَ ِزلُوا ْ ََوي ِ َن ا ْل َم ِحي ِ سأَلُونَ َك ع
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
َض ۖ َو َل تَ ْق َربُوهُنَّ َحتَّ ٰى يَ ْط ُه ْرن َ ِّالن ِ سا َء فِي ا ْل َم ِحي َّ َّللاُ ۚ إِن َّ ث أَ َم َر ُك ُم ُ ۖ فَإِ َذا تَطَ َّه ْرنَ فَأْتُوهُنَّ ِمنْ َح ْي َللا َيُ ِح ُّب التَّ َّوابِينَ َويُ ِح ُّب ا ْل ُمتَطَ ِّه ِرين Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang menstruasi. Katakanlah bahwa menstruasi adalah sesuatu yang bisa menimbulkan rasa sakit. Maka jauhilah istri-istri ketika menstruasi dan janganlah dekati mereka (berhubungan seksual) sampai mereka suci. Dan jika mereka telah suci, maka datangilah mereka (berhubungan seksual) dengan cara yang diperintahkan Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri. (QS. Al Baqarah : 222) Ibnu Asyur dalam at-Tahrir wat-Tanwir mengatakan bahwa kata adza adalah adl-dlurru alladzi laisa bifahisyin (sesuatu yang mengganggu tetapi tidak buruk). Alquran mengubah cara pandang yang terdapat dalam tabu menstruasi (menstrual taboo). Darah menstruasi dianggap tabu dan perempuan yang sedang menstruasi menurut kepercayaan agama Yahudi harus hidup dalam gubuk khusus yang dirancang sebagai tempat hunian para perempuan yang sedang menstruasi atau mengasingkan diri di dalam goa-goa, tidak boleh bercampur dengan
Swara Rahima - 23
Tafsir Alquran
keluarganya, tidak boleh berhubungan seks, dan tidak boleh menyentuh jenis masakan tertentu. Tatapan mata mereka pun biasa disebut dengan mata iblis yang harus diwaspadai karena diyakini bisa menimbulkan berbagai bencana.1 Perubahan atas cara pandang yang menistakan perempuan ini juga digambarkan oleh hadis-hadis tentang prilaku Rasulullah saw. pada Aisyah selama beliau sedang menstruasi. Misalnya Rasulullah saw. meminum dari bejana yang sama dengan yang dipakai Aisyah ra. padahal beliau sedang haid.2
kemudian dipraktekkan pula dengan cara-cara yang membahayakan kesehatan reproduksi bahkan menistakan perempuan. Misalnya bolehnya anak lakilaki mengawini ibunya setelah ayah meninggal (nikah ad-daizan), nikah dalam tempo tertentu (nikah mut’ah), saling bertukar istri (zawaj al-badal), perkawinan yang membolehkan istri bersetubuh dengan laki-laki lain agar bisa hamil (jawaz al-istibda)dan lain-lain.3 Alquran mengubah cara pandang perkawinan dengan menyebutnya sebagai janji yang kokoh (mitsaqan ghalidla) (an-Nisa/4:21).
Artinya : Aisyah berkata: “Pernah aku minum, sedangkan aku pada saat itu sedang haid. Kemudian aku memberikan minuman tersebut kepada Rasulullah saw. lalu beliau menempelkan mulutnya persis ditempat bekas aku minum, lalu beliau minum.“(HR. Muslim)
َض َوأَ َخ ْذن ُ ض ٰى بَ ْع َ َو َكيْفَ تَأْ ُخ ُذونَهُ َوقَ ْد أَ ْف ٍ ض ُك ْم إِلَ ٰى بَ ْع
Ayat dan hadis di atas mengubah cara pandang yang merendahkan perempuan haid sebagaimana terdapat dalam Tabu Menstruasi menjadi sikap yang memanusiakan sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. Larangan berhubungan seksual dengan perempuan haid bukanlah karena mereka menjijikkan, melainkan karena mencegah perempuan dari mengalami sakit karena menstruasi ditambah dengan sakit karena berhubungan seksual. Secara kesehatan, larangan berhubungan seksual dengan perempuan haid merupakan bentuk perlindungan atas alat reproduksi mereka, baik berupa vagina maupun rahim yang terkait langsung dengan kesehatan bahkan keselamatan perempuan karena berhubungan seksual ketika menstruasi ditengarai bisa pula mengakibatkan kematian. Upaya membangun karakter tanggungjawab atas alat reproduksi sendiri maupun orang lain juga terdapat dalam tuntunan perkawinan. Semula perkawinan semata dipandang sebagai sarana mendapatkan kepuasan seksual dan keturunan. Perkawinan 1. Nasaruddin Umar, Menstrual Taboo, diunduh pada hari Minggu tanggal 7 Februari 2015 dari https://paramadina. wordpress.com/2007/03/16/menstrual-taboo/. 2. Abu al-Hasan Muslim bin al-Hajjaj al-Quyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, j.2, h.165
24 - Swara Rahima
ِمن ُكم ِّميثَاقًا َغلِيظًا Artinya : “ Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kokoh.” (QS. An Nisa : 21) Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa ayat ini dan dua ayat sebelumnya menegaskan hak-hak perempuan terkait perkawinan yang tidak diberikan oleh masyarakat jahiliyah, yaitu hak untuk tidak diwariskan layaknya harta, hak untuk tidak dilarang menikah selamanya dan terhindar dari pelecehan seksual, hak untuk diperlakukan secara layak, dan hak untuk diberi mahar secara penuh.4 Jika semula perkawinan dilakukan hanya untuk memperoleh kenikmatan seksual dan keturunan, maka Alquran menegaskan bahwa tujuan perkawinan adalah menciptakan ketenangan batin (sakinah) yang diperoleh karena hubungan yang didasarkan cinta kasih (mawaddah wa rahmah)(QS. Ar-Rum/30:21).
س ُكنُوا َ ََو ِمنْ آيَاتِ ِه أَنْ َخل ْ َاجا لِّت ً س ُك ْم أَ ْز َو ِ ُق لَ ُكم ِّمنْ أَنف 3. Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam (Yogya; LSPPA Yayasan Perkasa, 1994), h. 31-34. 4. Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi asy-Syari’ah wa alAqidah wa al-Manhaj (Damaskus; Dar a-Fikr al-Ma’ashir, 1418 H), j. 4, h. 301-304.
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Tafsir Alquran
ٰ ت ٍ إِلَ ْي َها َو َج َع َل بَ ْينَ ُكم َّم َو َّدةً َو َر ْح َمةً ۚ إِنَّ فِي َذلِ َك َليَا َلِّقَ ْو ٍم يَتَفَ َّك ُرون Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar Rum : 21) Sejalan dengan hal ini, QS. Al-Isra/17:32 dan QS. An-Nur/24:3 menegaskan larangan mendekati zina.
ً ِ سب يل َ اح َ سا َء َ شةً َو ِ ََو َل تَ ْق َربُوا ال ِّزنَا ۖ إِنَّهُ َكانَ ف Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra’ : 32) QS An Nur : 3
ش ِر َكةً َوال َّزانِيَةُ َل ْ ال َّزانِي َل يَن ِك ُح إِ َّل زَانِيَةً أَ ْو ُم ْ َان أَ ْو ُم َش ِر ٌك ۚ َو ُح ِّر َم ٰ َذلِ َك َعلَى ا ْل ُم ْؤ ِمنِين ٍ يَن ِك ُح َها إِ َّل ز Artinya : “Orang laki-laki pezina, yang dinikahinya ialah perempuan pezina pula atau perempuan musyrik. Perempuan pezina jodohnya ialah laki-laki pezina pula atau laki-laki musyrik, dan diharamkan yang demikian itu atas orang yang beriman.” (QS. An-Nur : 3) Keharusan menikah untuk berhubungan seksual merupakan upaya menggunakan alat reproduksi sendiri dan orang lain secara bertanggungjawab sebagaimana diisyaratkan oleh Said Nursi, seorang ulama besar dari Turki sebagai berikut;
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Ketika seorang pria menghendaki kenikmatan yang berlangsung selama delapan menit, paling-paling dia hanya rugi delapan lira. Adalah tidak adil jika akibat kenikmatan yang dialami bersama antara laki-laki dan perempuan selama delapan menit itu hanya ditanggung perempuan seorang diri selama delapan bulan.5 Jadi, sebagai janji yang sangat kokoh, perkawinan tidak boleh dipermainkan oleh siapa pun, baik suami, istri, orangtua, masyarakat, komunitas agama, maupun negara. Alquran juga mengajarkan sikap empatik pada perempuan yang menjalani kehamilan dan melahirkan. Keduanya dilihat sebagai kepayahan berlipat (wahnan‘ala wahnin) (Qs. Luqman/31:14) sehingga suami, keluarga, masyarakat, dan negara bisa bahu membahu sesuai kapasitasnya untuk membuat keduanya bisa dijalani dengan aman dan nyaman.
سانَ بِ َوالِ َد ْي ِه َح َملَ ْتهُ أُ ُّمهُ َو ْهنًا َعلَ ٰى َّ َو َو َ الن ِ ْ ص ْينَا ش ُك ْر لِي َولِ َوالِ َد ْي َك إِلَ َّي ْ صالُهُ فِي عَا َم ْي ِن أَ ِن ا َ َِوه ٍْن َوف صي ُر ِ ا ْل َم Artinya : “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”(QS. Lukman : 14) Sikap empatik juga ditunjukkan Alquran dalam memandang pemberian ASI. Di satu sisi, para ibu diminta menggenapkan pemberian ASI hingga dua tahun dan para bapak menjamin nafkah istri dan anak dengan baik. Namun di sisi lain juga menegaskan bahwa orangtua-anak tidak boleh saling menyulitkan sehingga orangtua bisa musyawarah dan menyepakati untuk menyusukan anaknya pada perempuan lain (Qs. Al-Baqarah/2:233). 5. Bediuzzaman Said Nursi, Tuntunan Bagi Perempuan, penerjemah Fauzi Faisal Bahreisy dan Joko Prayitno (Jakarta: Anatolia Prenada Media Group, 2009), h. 23.
Swara Rahima - 25
Tafsir Alquran
ْضعْنَ أَ ْو َل َدهُنَّ َح ْولَ ْي ِن َكا ِملَ ْي ِن ۖ لِ َمن ِ َوا ْل َوالِدَاتُ يُ ْر َّضا َعةَ ۚ َو َعلَى ا ْل َم ْولُو ِد لَهُ ِر ْزقُ ُهن َ أَ َرا َد أَن يُتِ َّم ال َّر ۚ س َع َها ْ س إِ َّل ُو ْ َو ِك ٌ وف ۚ َل تُ َكلَّفُ نَ ْف ِ س َوتُ ُهنَّ بِا ْل َم ْع ُر ضا َّر َوالِ َدةٌ بِ َولَ ِدهَا َو َل َم ْولُو ٌد لَّهُ بِ َولَ ِد ِه ۚ َو َعلَى َ َُل ت ٰ ض ِّم ْن ُه َما َ ِث ِم ْث ُل َذلِ َك ۗ فَإِنْ أَ َرادَا ف ِ ا ْل َوا ِر ٍ ص ًال عَن تَ َرا ض ُعوا ْ َاح َعلَ ْي ِه َما ۗ َوإِنْ أَ َردتُّ ْم أَن ت َ ََوتَشَا ُو ٍر فَ َل ُجن ِ ست َْر وف َ اح َعلَ ْي ُك ْم إِ َذا َ َأَ ْو َل َد ُك ْم فَ َل ُجن ِ سلَّ ْمتُم َّما آتَ ْيتُم بِا ْل َم ْع ُر َّ َّللاَ َوا ْعلَ ُموا أَن َّ ۗ َواتَّقُوا صي ٌر ِ َللاَ بِ َما تَ ْع َملُونَ ب Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anakanaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al Baqarah : 233) Akhlak terkait penyikapan secara bertanggungjawab atas alat reproduksi laki-laki dan perempuan dijelaskan secara rinci dalam kitab-kitab fiqh. Strategi di Lembaga Pendidikan Topik-topik yang dibicarakan dalam tema kesehatan reproduksi sesungguhnya adalah topiktopik yang biasa dibicarakan dalam fiqh atau hukum Islam. Misalnya menstruasi (haidl), perkawinan (nikah), hubungan seksual (jima’), melahirkan (wiladah), nifas, menyusui (radla’ah), dan lain-lain. Islam memandang reproduksi sebagai tugas mulia yang harus dijalankan dengan penuh tanggungjawab. Oleh karenanya Islam mengatur akhlak terkait penggunaan alat reproduksi, termasuk mengatur perkawinan yang menjadi syarat laki-laki dan perempuan bisa bersama-sama melakukan fungsi reproduksi. Bahkan dalam hukum Islam ada pembahasan khusus yang disebut dengan fiqh perkawinan (Fiqh Munakahat). Masyarakat pesantren pun telah memiliki kesadaran tentang pentingnya masa reproduksi. Persoalannya adalah baru menggunakan perspektif hukum (fiqh) sehingga fungsi dan masa reproduksi dibahas dalam konteks apa saja hal yang harus (wajib), boleh (mubah), dilarang (haram), baik (sunnah), tidak baik (makruh) selama menjalani masa reproduksi tersebut. Perspektif kesehatan belum digunakan sehingga kesadaran tentang hukum belum dibarengi dengan kesadaran kesehatan. Bahkan topik seperti istihadlah yang dipahami sebagai darah yang keluar dari vagina perempuan selain pada masa menstruasi dan diyakini sebagai darah tanda sakit pun masih hanya dibahas dalam perspektif hukum. Pendekatan hukum dan kesehatan yang tidak seimbang melahirkan kesadaran tentang kesucian,
26 - Swara Rahima
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Tafsir Alquran
kebersihan, dan kesehatan yang juga tidak seimbang. Kesadaran tentang sucinya seseorang dari hadas kecil dan besar dan sucinya sebuah tempat dari najis mukhaffafah, mutawasithah, apalagi mughaladlah tidak paralel dengan kesadaran tentang kebersihan, kesehatan, apalagi kerapihan. Demikian pula, kesadaran tentang pentingya hubungan seksual yang halal menurut agama jauh lebih besar daripada kesadaran tentang pentingnya melakukan hubungan seksual yang layak (ma’ruf). Akibatnya adalah tidak adanya perhatian yang memadai pada banyak jenis perkawinan yang sah oleh agama, namun berakibat buruk secara kesehatan. Misalnya perkawinan anak, perkawinan paksa, dan lain-lain. Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas menjadi penting diberikan sejak remaja karena alat reproduksi mereka mulai berfungsi dan jika mendapatkan informasi yang memadai, maka para siswa dan santri tidak mengerti bagaimana menyikapinya secara bertanggungjawab menurut ilmu kesehatan dan ilmu agama. Berikut adalah beberapa strategi yang bisa dipertimbangkan. Pertama, mengintegrasikan pendidikan karakter
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
dalam pemberian materi PKRS. Informasi tentang PKRS tidak dibiarkan bersifat netral tetapi siswa diberikan pengetahuan tentang pentingnya menjalani masa reproduksi secara sehat, bertanggungjawab, dan sesuai dengan norma agama. Kedua, khusus lembaga pendidikan di lingkungan pesantren, materi PKRS dapat diintegrasikan dengan perspektif fiqih sehingga santri tidak hanya mengetahui informasi tentang PKRS melainkan juga mendapatkan informasi apa yang harus dilakukan dari perspektif fiqh-nya. Ketiga, mengombinasikan bahasa kesehatan dan bahasa agama agar sikap tanggungjawab siswa terbangun dari dua sisi yaitu pertimbangan rasional yakni berpikir soal dampak jangka pendek dan jangka panjang, juga pertimbangan agama yakni kesadaran untuk menjalani masa reproduksi dengan sehat, bertanggungjawab, dan sesuai norma agama sebagai bagian dari kewajiban agama. Keempat, menggunakan perspektif keadilan gender agar materi kesehatan reproduksi dan seksualitas, dan materi fiqh mempertimbangkan kemaslahatan laki-laki dan perempuan secara seimbang sesuai dengan kondisi khusus masing-masing.Wallahu a’lam {}
Swara Rahima - 27
Fikrah
FEMINISME ISLAM ala Amina Wadud Muhsin
Oleh : Ali Mujib, MA
M
Perempuan yang membuat geger umat muslim di dunia dengan memperbolehkan dan menjadikan dirinya Imam sekaligus Khatib shalat Jumat di depan makmum laki-laki dan perempuan di AS itu telah mendobrak kemapanan baik sosial maupun tafsir keagamaan yang diamini banyak kalangan selama 1400 tahun. Di Indonesia, tampilnya ia dalam dialog di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta juga memantik reaksi keras dari banyak pemikir dan golongan masyarakat di Indonesia.
ajma’ Al-Fiqhi Al-Islami (MFI) juga mengecam keras aksi ‘nyeleneh’ ini. Bahkan, Kantor Arab Saudi SPA, mengutip MFI, menyebut aksi sensasi Wadud sebagai bid’ah yang menyesatkan dan musibah. Senada dengan MFI, ulama besar Syeikh Yusuf Al-Qardhawi juga mengecam keras atas shalat Jumat versi Wadud itu dengan menyebutnya sebagai bid’ah yang munkar. Menurutnya, dalam sejarah Muslimin selama 14 abad tak dikenal seorang perempuan menjadi khatib Jumat dan mengimami lakilaki. Bahkan kasus seperti ini pun tak terjadi di saat seorang perempuan menjadi penguasa pada era Mamalik di Mesir. Gelombang protes yang luar biasa itu ternyata di lain pihak memunculkan banyak dukungan baik dari kalangan feminis maupun pembela hak dan keadilan kaum perempuan. Sosok Amina Terlahir dari keturunan Berber Afrika-Amerika (kulit hitam) dengan nama Maria Teasley di kota Bethesda Maryland, Amerika Serikat pada 25 September 1952 ini adalah putri dari seorang Methodist menteri dan ibu keturunan dari budak Muslim Arab. Ketertarikannya terhadap Islam, khususnya dalam masalah konsep keadilan dalam Islam (gender), mengantarkannya untuk mengucapkan dua kalimah syahadat pada hari yang ia namakan “Thanksgiving Day” tahun 1972. Namanya resmi diubah menjadi Amina Wadud Muhsin yang dipilih untuk mencerminkan afiliasi atas agama yang dipeluknya. Prestasi intelektual Amina Wadud dimulai dari menerima gelar BS. dari The University of Pennsylvania, antara tahun 1970 dan 1975, MA di Studi Timur Dekat dan gelar Ph.D dalam bahasa Arab dan Studi Islam dari University of Michigan pada tahun 1988. Ia juga menjadi Guru Besar Studi Islam pada jurusan Filsafat dan Agama di Universitas Virginia Commonwealth. Selama kuliah, ia
28 - Swara Rahima
juga belajar Arab di Mesir di Universitas Amerika di Kairo, dilanjutkan dengan studi Alquran dan Tafsir di Universitas Kairo, Mesir dan mengambil kursus Filsafat di Universitas al-Azhar. Selain bahasa Inggris, Amina Wadud Muhsin juga menguasai beberapa bahasa lain seperti Arab, Turki, Spanyol, Prancis dan Jerman. Maka tidak mengherankan bila ia sering mendapatkan kehormatan menjadi dosen tamu pada universitas dan seabrek penghargaan akademik di beberapa negara di antaranya Universitas Islam International Malaysia, Universitas Commonwealth, Universitas di Michigan, Universitas Amerika di Kairo, dan Universitas di Pennsylvania. Pemikiran Amina Wadud Secara garis besar konsepsi pemikiran Amina didasarkan pada 3 hal. Pertama, pada kerangka paradigma Tauhid atau The Tauhidic Paradigm/Hermeneutics of Tauhid. Tauhid merupakan teori dasar yang melandasinya dalam menegaskan ketidakadaannya penindasan perempuan dalam Alquran. Ia selalu melihat teks-teks dan menafsirkannya secara kontekstual, tidak semata dipahami secara leksikal dan penafsiran kuno seperti apa yang dilakukan penafsir terdahulu dalam tafsir tradisionalnya (traditional exegetical works). Kedua, The Perceptions of Women Influence Interpretation of the Qur’an. “No method of Qur’anic exegesis is fully objective“, bahwa tidak ada satupun penafsir yang menafsirkan Alquran secara objektif, masing-masing adalah subjektif. Ketiga, In the Beginning, Man and Woman Were Equal. Menurutnya, walaupun ada perbedaan antara keduanya namun itu bukan esensi naturalnya karena Alquran tidak secara jelas dalam menetapkan fungsi dari masing-masing. Inilah yang disebutkannya dalam teori Feminisme Islami. Bukunya Qur’an and Woman yang merupakan
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Fikrah hasil dari penelitian dan diskusi-diskusi yang dilakukan Amina Wadud dengan teman-temannya dipublikasikan pada tahun 1992. Buku ini sangat menarik karena berisi penafsiran ulang mengenai ayat-ayat yang berhubungan dengan Gender, dimana ia menggunakan metode Reinterpretasi dan Double Movement dengan pendekatan Hermeneutik, Filologi, Sosial, Moral, Ekonomi dan Politik Modern. Melalui pendekatan ini, kita dapat melakukan penafsiran ulang/kembali Aquran agar sesuai dengan konteks masyarakat juga mampu melihat kondisi dan situasi ayat itu diturunkan agar mendapatkan nilai atau pesan moral yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut. Dalam buku ini, dia mengritik penafsiran-penafsiran yang selama ini membahas perempuan dalam Islam. Ia membagi penafsiran tersebut ke dalam 3 (tiga) kategori, yaitu tradisional, reaktif, dan holistik. Tafsir tradisional, menurut Amina, memberikan interpretasi-interpretasi tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan mufassirnya yang bisa bersifat hukum, tasawuf, gramatik, retorik, atau historis. Metodologi yang digunakan bersifat atomistik, yaitu penafsiran dilakukan dengan mengupas ayat per ayat secara berurutan. Tidak ada upaya untuk menempatkan dan mengelompokkan ayat-ayat sejenis ke dalam pokok-pokok bahasan yang tertulis. Yang ditekankan oleh Amina bahwa tafsir-tafsir tradisional itu secara eksklusif ditulis oleh kaum laki-laki, sehingga hanya laki-laki dan pengalaman laki-laki saja yang mewarnai tafsir itu. Sedang perempuan -berikut pengalaman, visi, perspektif, keinginan, atau kebutuhannya- ditundukkan pada pandangan laki-laki. Kategori kedua adalah tafsir yang isinya terutama mengenai reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah besar hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari Alquran. Persoalan yang dibahas dan metode yang digunakan seringkali berasal dari gagasan kaum feminis dan rasionalis, namun tanpa dibarengi analisis yang komprehensif terhadap Alquran. Dengan demikian meskipun semangat yang dibawa adalah pembebasan, namun tidak terlihat hubungannya dengan sumber ideologi dan teologi Islam, yaitu Alquran. Kategori ketiga adalah tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran dan mengaitkan dengan berbagai persoalan sosial, moral, ekonomi, dan politik, termasuk isu tentang perempuan pada era modern ini. Menurut Amina, tafsir model ini merupakan metode terbaik. Dalam kategori inilah Amina menempatkan karyanya. Metode penafsiran yang digunakan Amina adalah metode yang pernah ditawarkan oleh Fazlur Rahman, yaitu metode neo-modernis. Rahman berpendapat bahwa
ayat-ayat Alquran yang diturunkan dalam waktu tertentu dalam sejarah - dengan keadaan yang umum dan khusus yang menyertainya - menggunakan ungkapan yang relatif mengenai situasi yang bersangkutan. Oleh karena itu, pesan Alquran tidak bisa dibatasi oleh situasi historis pada saat ia diwahyukan saja. Seorang sahabat yang membaca Alquran harus memahami implikasi-implikasi dari pernyataan-pernyataan Alquran pada waktu diwahyukan untuk menentukan makna yang dikandungnya. Di sisi lain, generasi Islam selanjutnya, yang situasi dan kondisinya berbeda dengan masa Rasulullah, harus tetap membuat aplikasi praktis dari pernyataan-pernyataan Alquran yang tetap mempertimbangkan makna utama yang dikandungnya. Dengan argumen ini, Amina yakin bahwa dalam usaha memelihara relevansinya dengan kehidupan manusia, Alquran harus terus-menerus ditafsirkan ulang dengan menekankan pentingnya cara pandang egaliter di antara dua jenis kelamin. Menurutnya, teks Alquran yang dengan perspektif femininis akan menghasilkan corak penafsiran yang mampu memahami kaum perempuan, memenuhi konsepsi keadilan dan kesetaraan di hadapan Allah swt. Dalam kajiannya, Amina menggambarkan asal usul manusia berasal dari nafs tunggal yang merupakan bagian dari sistem berpasang-pasangan: nafs itu dan zawj-nya –yang secara praktis dimaknai lelaki dan perempuan Sementara esensi berpasang-pasangan adalah berkembang biak dan menyebar; dimana hal ini menyiratkan bahwa hakikat penciptaan lelaki dan perempuan adalah kedudukan yang sama. Oleh karenanya, ia menekankan pada kualitas ketakwaan, manfaat dalam melihat perbedaan di antara mereka. Seperti halnya Alquran melihat 3 tokoh perempuan dalam Alquran yaitu Ibu Nabi Musa, Maryam, dan Ratu Balqis. Dalam analisisnya, Amina berpendapat bahwa superioritas kaum laki-laki yang didukung oleh masyarakat, negara dan doktrin atas nama agama hanya akan menenggelamkan citra Islam sebagai agama yang menjadikan takwa sebagai ukuran kualitas manusia di hadapan Tuhannya. Wallahu a’lam bi shawwab.{} *) Mitra Guru PKRS dari PP Tarbiyatul Tholabah, Pacitan, Lamongan. Amina Wadud Muhsin
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Swara Rahima - 29
Akhwatuna
Membangun Pesantren dan Madrasah
‘Melek Kespro’ Oleh : Nyai Hj. Mahmudah Achmad Apakah tabu berbicara tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas? Bagi saya tidak, begitu juga bagi santri-santri di Darul Aitam, pondok pesantren yang kami asuh. Sejak berdiri pada 1991, jumlah santri saat ini kurang lebih 500 santri, dan mempunyai lembaga pendidikan PAUD, TK, SMP Unggulan, MTS Unggulan, MA Unggulan, dan SMK Unggulan.
P
ada pendidikan di Darul Aitam, para santri mendapatkan pendidikan tentang kesehatan reproduksi yaitu pada mata pelajaran Fiqh dimana antara lain dijelaskan tanda-tanda baligh bagi perempuan dan laki-laki, juga tata cara bersuci. Akan tetapi penjelasan terkait kesehatan reproduksi yang diberikan tersebut tidak terlalu mendetail dan gamblang. Begitu juga pada bab menstruasi. Santri mendapatkan hal itu pada pelajaran risalah haid di Kitab Risalah al-Mahidh, dimana seperti pelajaran Ilmu Fiqh yang hanya dasar dari isu reproduksi. Yakni risalah pembahasan tentang seputar warna-warna darah, sifat-sifat darah, macam-macam haid, siklus haid, dll. Namun beberapa tahun terakhir ini, pondok pesantren kami menjadi salah satu dari 5 pesantren di Banyuwangi yang terlibat secara intens dalam program Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) yang didampingi oleh Rahima. Dalam upaya melakukan PKRS ini, Rahima melakukan penyadaran dan mendidik para guru dan santri putra putri dalam berbagai pelatihan dan diskusi-diskusi baik di forum guru maupun forum siswa. Forum siswa menjadi ajang para santri untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan untuk menjadi pendidik sebaya bagi sesama remaja. Sedangkan forum guru berperan penting dalam mengintegrasikan PKRS sesuai dengan proses belajar mengajar. Bagi para santri yang sudah mengikuti pelatihan, mereka akan berbagi informasi dan pengetahuan kepada teman-teman santri yang tidak mengikuti pelatihan. Hal ini dilakukan dengan cara mengadakan
30 - Swara Rahima
seminar di tingkat SLTP dan SLTA, yang sifatnya berkesinambungan sesuai dengan pengetahuan yang sudah diterima oleh santri yang mengikuti pelatihan. Upaya ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari kader yang bisa di ajak untuk bergabung dalam Forum Siswa PKRS. Salah satu rencana yang sempat muncul dalam forum itu adalah gagasan untuk mendirikan Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR). Alhamdulillah, akhirnya PIK-KRR yang beranggotakan 20 orang pendidik sebaya ini terbentuk dan kemudian dilantik pada Jumat 28 November 2014. Lembaga yang dinamakan PIK-KRR As-Salam ini, pada setiap minggunya mengadakan diskusi mengenai berbagai permasalahan yang dihadapi para santri dan remaja pada umumnya, dan mencari penyelesaian dari permasalahan tersebut. ***** Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan dewasa, pada tahap ini relatif belum mencapai tahap kematangan mental dan sosial sehingga remaja harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang paling bertentangan. Banyak sekali peristiwa hidup yang pada akhirnya akan menentukan masa dewasa dan juga kualitas hidup generasi berikutnya sehingga masa ini sering dipandang sebagai masa kritis. Pengaruh informasi global yang semakin mudah diakses justru memancing anak dan remaja untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan yang mengangganggu kesehatan seperti: merokok, minum-minuman beralkohol, penyalahgunaan obat dan suntikan terlarang.
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Akhwatuna
Hal ini memberikan dampak yang sangat berpengaruh pada organ reproduksi maupun kejiwaan remaja, karena kebanyakan remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas maupun kurangnya akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi. Selain itu kekurangtahuan orang tua terhadap pengetahuan yang jelas dan benar serta memadai mengenai perubahan anak-anaknya menjadi permasalahan bagi anaknya dalam perolehan penjelasan yang tepat. Orang tua acapkali masih merasa risih dan segan untuk berbicara mengenai perubahan biologis anak, dan terbatas pemahamannya akan kondisi psikologi anak. Selain itu, berbagai permasalahan mengenai kesehatan reproduksi dipandang tidak lumrah untuk dibicarakan, apalagi kepada remaja. Mereka khawatir apabila pemberian informasi itu akan memicu anak-anaknya untuk berbuat hal di luar batas. Padahal, dalam diri remaja senantiasa muncul rasa keingintahuan pada hal yang baru serta keinginan untuk coba-coba. Sebenarnya pada dasarnya disinilah peran dan fungsi orang tua dalam membimbing anak-anaknya sehingga tidak salah arah. Pemberian informasi yang disampaikan secara jelas dan benar, akan mengurangi berbagai resiko yang timbul akibat permasalahan yang dihadapi remaja saat ini.
lainnya juga mulai tahu bahaya NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat-zat Adiktif lainnya), mereka juga memahami perubahan tubuh mereka serta berbagai hal lain terkait kesehatan reproduksi dan seksualitas. Sebaiknya, PKRS diberikan kepada siswa-siswi secara komprehensif (menyeluruh). Oleh karenanya, PP. Darul Aitam nantinya adalah salah satu dari 5 pesantren dari Banyuwangi yang pertama kali akan menerapkan modul PKRS di pendidikan sekolah. Modul ini disusun bersama oleh para peserta forum guru dan siswa yang isinya menjawab kebutuhan para santri dan diperdalam dengan perspektif Islam. Oleh karenanya, hal ini akan mempermudah santri baik dalam pemahaman maupun praktiknya, selain mempermudah guru dalam menyampaikan kepada para siswa karena modul tersebut mereka susun bersama. Saat ini, semua pihak telah menunggu agar modul selesai dicetak dan siap diterapkan kepada para siswa. Semoga Allah swt. memudahkan langkah kita.{}
Oleh karenanya, sangat penting upaya pemberian informasi melalui PKRS bagi anak dan remaja sehingga bisa mencegah terjadinya pelecehan dan tindak kekerasan seksual pada anak. Remaja perlu mengetahui bahwa mereka sendirilah yang berhak untuk mengambil keputusan dalam menjaga tubuhnya. Oleh karenanya upaya sosialisasi kespro melalui forum guru dan siswa ini dilakukan dalam bentuk seminar di dalam pesantren, diskusi dengan remaja masjid seperti yang pernah dilaksanakan di Kecamatan Tegalsari, diskusi dengan IPNU(Ikatan Pelajar NU), maupun dengan sekolah luar pesantren yang dilaksanakan di Atlanta, Banyuwangi. Banyak perubahan mulai terjadi setelah para santri mengikuti pelatihan ataupun mendapatkan informasi dari santri yang menjadi pendidik sebaya. Mereka semakin memiliki keberanian dalam memberikan informasi, dan lebih berhati-hati dalam menjaga kesehatan mereka. Sedangkan para santri
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Swara Rahima - 31
Profil
Dania Roichana
dan Mimpinya Soal Kespro Remaja Satu senja di akhir bulan Januari yang basah ditemani dengan suara qari’ yang mengalun dari pengeras suara masjid, pada serambi petakan kamar yang berjajar rapi saya menunggu seorang santri yang tengah menyelesaikan ritual hariannya. Janji bertemu itu memang baru kami sepakati sore itu, saat gerimis yang membasahi tanah hingga mengeluarkan aroma menenangkan.
S
atu remaja putri keluar dari kamar mengenakan baju warna merah bata sembari memekarkan senyum, ia kemudian menyapa saya dengan sebuah jabatan. Remaja putri tersebut adalah Dania Roichana - santri dari pesantren Darul Aitam Darussalam, Banyuwangi – atau yang akrab disapa Dania, seseorang yang telah membuat janji dengan saya. Dania adalah satu dari sekian puluh santri di Jawa Timur (Jombang, Lamongan, Kediri, Banyuwangi) yang menerima manfaat secara langsung pada program Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (PKRS) damping Rahima. Selesai dengan saling menanyakan kabar dan sedikit basa-basi, obrolan kami mengalir pada aktivitas yang kini ditekuni oleh Dania.
Bertemu Kesehatan Reproduksi Remaja yang terlahir dari pasangan Sholahuddin dan Alfiyah ini sedari awal memang sudah aktif di beberapa organisasi sekolah. Pada tahun 2012/2013 atau tepatnya pada saat kelas satu Madrasah Aliyah (MA) dia diamanati menjadi ketua Palang Merah Remaja (PMR). Saat menginjak kelas dua MA atau satu tahun berikutnya ia didapuk menjadi ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Di sela-sela kesibukannya berorganisasi itu, suatu sore seorang senior mengajaknya untuk ikut bergabung dalam sebuah pelatihan tentang kesehatan reproduksi yang diselenggarakan oleh Rahima. Tertarik dengan ajakan seniornya itu, akhirnya Dania mulai mengenal apa yang disebut ‘Kesehatan Reproduksi Remaja’. Sesi pertama saat mengikuti pelatihan ia
32 - Swara Rahima
sempat merasa bosan. “Lho, kok cuman ngene iki,” ujarnya dengan logat Jawa Timuran yang kental seraya terkekeh saat ia menuturkan reaksi pertamanya. Namun setelah mengikuti dengan seksama sesi-sesi selanjutnya ia merasa bahwa inilah informasi yang remaja butuhkan. Pada pelatihan selama tiga hari itu, Dania meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa remaja lain juga harus mendapatkan apa yang ia peroleh. Oleh karenanya, sepulang dari pelatihan, Dania beserta dengan 3 orang teman yang juga mengikuti pelatihan mendiskusikan apa yang harus mereka lakukan untuk menyebarkan informasi yang telah mereka dapatkan. Mereka berkonsultasi dengan dua orang ustadz pembimbing (yang juga ikut dalam pelatihan serupa untuk para guru) untuk mendikusikan materi apa saja yang harus mereka bagi dengan waktu yang sangat terbatas. Sesuai kesepakatan empat santri itu kemudian mendesain sebuah pelatihan mini. Mereka kumpulkan delegasi kelas-kelas untuk mengikuti pelatihan kesehatan reproduksi remaja yang mereka selenggarakan.
Mimesis Keempat remaja itu patungan untuk membiayai jalannya mini pelatihan, mereka mengumpulkan sebagian uang perdiem yang mereka dapat saat mengikuti pelatihan Rahima. “Ya kan pelatihannya sehari. Kasihan kalau gak ada minum dan snacknya” begitu Dania menjelaskan. Tidak hanya itu saja, keempat santri itu juga membuat buku catatan kecil yang mereka bagikan pada peserta mini pelatihan. Selepas mini pelatihan
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Profil
itu, kedatangan empat sekawan itu selalu ditunggu para siswa teman sebaya mereka apabila mereka usai mengikuti seri pelatihan kesehatan reproduksi yang diselengarakan Rahima. Sembari menerawang, Dania lagi-lagi meyakinkan pada saya bahwa remaja lain selain dirinya harus juga mendapatkan informasi kesehatan reproduksi yang benar dan komprehensif “Remaja tidak boleh hidup berkelindan dalam mitos-mitos yang mengantarkan mereka pada perbuatan yang merugikan masa depan”. Dania memang bukan Don Quixote tokoh ksatria ciptaan Miguel de Cervantes (1547-1616) yang membuat sebuah mimesis (proses peniruan) atas apa yang ia dapatkan. Dania menyadari bahwa informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi bagi remaja adalah penting. Tidak hanya selesai pada persoalan kesehatan reproduksi saja, bagi Dania yang paling penting adalah soal remaja itu sendiri. Bahwa remaja adalah perkara menyambung masa depan yang seringkali terabaikan. Dan sekarang, bermula dari keempat santri tersebut, PP. Darul Aitam Darussalam memiliki sebuah wadah untuk informasi kesehatan reproduksi remaja bernama PIK R As-Salam, tentu saja adanya PIK R AsSalam adalah kerja keras dari berbagai pihak. Yang membahagiakan adalah PIK R As-Salam saat ini mampu menghidupi kegiatannya sendiri, meski beda skala dan
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
bentuk PIK R As-Salam serupa institusi kokoh yang memiliki badan usaha; mandiri secara ekonomi melalui koperasi. Saya sebagai manusia yang ditakdirkan lahir terlebih dulu dibandingkan dengan Dania dan temantemannya itu merasa kerdil sekali, satu-satunya hal yang bisa saya lakukan pada saat mendengar cerita itu hanyalah memohon pada Tuhan untuk tetap menjaga kemurnian semangat Dania dan teman-temannya.
Mimpi-Mimpi Remaja yang lahir di Pekalongan pada 18 April 1997 awalnya bercita-cita menjadi pramugari, setelah beranjak remaja cita-cita itu berubah. Ia membayangkan dirinya sendiri menjadi seorang psikolog, seseorang yang diyakininya mampu dan mau mendengarkan permasalahan yang dialami oleh remaja. Cita-cita ini terdorong kuat berkat buku bacaan kesayangan, guru idola, dan remaja itu sendiri, yang tak lain adalah dirinya. Dania dengan mata berbinar menatap saya seraya berkata “Mimpi saya adalah memeluk remaja. Mungkin melalui ilmu Psikologi nantinya saya bisa menemani mereka lewat bimbingan konseling. Remaja tidak boleh hanya dianggap sebelah mata. Remaja bukanlah masalah”. {} Nurkhayati Aida
Swara Rahima - 33
Kiprah
Soal Pengurangan Jam Kerja Perempuan :
Isu Hangat dalam Lokalatih CEDAW untuk Para Tokoh Agama
W
acana pengurangan jam kerja bagi perempuan, baik di sektor industri maupun lembaga pemerintah dan swasta yang dilontarkan oleh Wapres Jusuf Kalla beberapa waktu lalu menuai berbagai sikap. Hal ini juga menjadi topik hangat dalam perbincangan di forum maupun diskusi informal di sela-sela jam istirahat peserta “Lokalatih Promosi CEDAW untuk Para Tokoh Agama melalui Interpretasi Ajaran Agama (Islam) yang Adil dan Setara Gender.” Kegiatan yang dilaksanakan 8-11 Desember 2014 di sebuah Hotel di Yogyakarta itu diikuti oleh 25 orang peserta yang terdiri dari tokoh agama laki-laki dan perempuan yang berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY dan sekitarnya). Sebagian mereka bergelut di organisasi keagamaan, KUA, organisasi masyarakat sipil, maupun kelompok perempuan di pedesaan. Pembahasan dalam lokalatih ini secara umum terbagi menjadi 3 isu besar, yakni review tentang
34 - Swara Rahima
kepekaan gender peserta, pemahaman mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) dan Konvensi CEDAW, maupun HAM dan HAP dalam Perspektif Islam. Selama 4 hari peserta mengikuti proses pendidikan yang partisipatif yang dipandu oleh Tim Fasilitator yang terdiri dari AD. Kusumaningtyas, Maman Abdurrahman (keduanya dari Rahima), Wahidah Rustam, dan Donna Swita (dari Solidaritas Perempuan); selain mendapatkan pengayaan wawasan tentang HAM dan HAP dalam Perspektif Islam dari narasumber Ustad Faqihuddin Abdulkodir. Di sesi awal, para peserta memahami kembali perbedaan antara kodrat dan gender, bentukbentuk ketidakadilan gender, bagaimana gender dikonstruksikan, dan beragam kekerasan berbasis gender. Mereka juga memahami prinsip-prinsip CEDAW yaitu kesetaraan substantif, non diskriminasi, dan kewajiban negara maupun isu-isu yang dikaji dalam pasal-pasal CEDAW. Yang lain, mereka juga berupaya memahami kompatibilitas antara HAM dan CEDAW
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Kiprah
dengan nilai-nilai universal Islam, melalui pendekatan ‘mubadalah’ (relasi timbal balik) yang diterangkan oleh Ustad Faqih. Konsep CEDAW tentang ‘kewajiban negara’; menekankan pada perannya untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill) dan mempromosikan (to promote) hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia. Kembali pada soal diskusi pengurangan jam kerja perempuan. Sebagian orang menunjukkan dukungan dengan anggapan pengurangan jam kerja bagi perempuan merupakan bentuk perlindungan dan pengistemawaan. Sementara bagi mayoritas perempuan, wacana ini kemudian menimbulkan kekhawatiran. Pengurangan jam kerja bagi perempuan dapat berdampak lebih lanjut pada pembatasan ruang gerak, aksesibilitas, kreatifitas, dan bentuk aktualisasi lainnya bagi diri perempuan di ruang publik (public sphere). Jika dilihat menggunakan perspektif yang lain, wacana pengurangan jam kerja bagi perempuan oleh pemerintah Indonesia juga kontraproduktif dengan CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women/Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) yang telah diratifikasi 30 tahun yang lalu melalui UU No. 7 tahun 1984. Dengan demikian, pemerintah Indonesia telah berpikir dan melangkah mundur dari implementasi pasal 1, 2, 3, 4, 5, dan 11 CEDAW, dalam memastikan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dalam kaitannya dengan aktualisasi diri di sektor publik. CEDAW, lahir dari situasi kemanusiaan universal yang begitu kompleks, yang mana menginginkan pemenuhan hak secara setara antara laki-laki dan perempuan. Secara de jure, CEDAW secara menegaskan, bahwa negara wajib memastikan berbagai nilai budaya dan praktiknya yang merugikan, khususnya bagi perempuan telah dihapuskan oleh 188 negara peserta ratifikasi. Saatnya para tokoh agama mengkaji kembali dan membuktikan bahwa tak mungkin nilai-nilai agama mengajarkan diskriminasi terhadap perempuan. {} Kunarti, Peserta Program PUP IV Jateng-DIY asal Pati
Youth Camp PKRS Banyuwangi
P
ada tanggal 24-25 Desember 2014, Forum Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (FPKRS) Banyuwangi yang terdiri dari PIK_R As-Salam dan ScuterS mengadakan kemah remaja atau Youth Camp di Taman Wisata ATLANTA Genteng. Acara yang berlangsung dua hari satu malam ini diikuti oleh 6 sekolah yang ada di sekitar kabupaten Banyuwangi. Setiap sekolah mengirimkan 2 siswa dan 2 siswi. Kegiatan ini bertujuan untuk berbagi ilmu pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi, gender dan seksualitas. Acara dibuka dengan pembacaan ummul kitab. Dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia raya bersama-sama dan sambutan-sambutan. Sambutan pertama oleh Nihayatul Wafiroh, anggota DPR RI Komisi IX Bidang Kesehatan yang berasal dari Dapil Banyuwangi, Bondowoso dan Situbondo. Dalam sambutannya, Bu Ninik, begitu beliau akrab dipanggil,
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
banyak memberikan uraian tentang gender, mulai dari definisi, perbedaannya dengan seks, contoh ketidakadilan gender, hingga dampak negatif dari ketidakadilan gender tersebut. Sementara, sambutan yang ke 2 disampaikan oleh Hadi Sapuan, Ketua Panitia. Dalam sambutannya, guru SMK Mukhtar Safa’at Blokagung ini, menjelaskan maksud dan tujuan dari dilaksanakannya kegiatan Youth Camp ini. Penyampaian materi Sensitivitas Gender yang berisi perbedaan tentang seks dan gender, dan bagaimana gender itu dikonstruksikan. Sebelum acara dimulai, para peserta diberi kesempatan untuk beristirahat sambil menikmati jajanan ringan yang di sediakan panitia. Dalam sesi penyampaian materi ini, para peserta dibagi ke dalam dua kelas, yang di masing-masing kelas dipandu oleh 2 orang fasilitator. Kelas pertama dipandu oleh Hadi Sapuan dan Aula; sementara kelas kedua dipandu oleh Khotibul Umam dan Rizki Maulana.
Swara Rahima - 35
Kiprah
Pertama-tama fasilitator menerangkan apa itu gender serta contohnya. Selanjutnya para peserta dibagi dalam kelompok-kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 orang. Mereka diminta untuk menuliskan perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan yang umum terjadi di masyarakat, dan menuliskannya di kertas plano yang disediakan oleh panitia. Kemudian, masing-masing kelompok diminta menunjuk 2 orang perwakilan untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. Dari sini, sekitar 80% peserta paham mengenai gender. Hal itu terlihat pada waktu evaluasi peserta dimana fasilitator mengumpulkan kedua kelas di satu ruangan lalu melontarkan pertanyaan kepada satu persatu peserta. Malam hari, acara di isi dengan Pentas Seni. Sebelum dimulai, terlebih dahulu fasilitator memancing para peserta untuk mengingat kembali materi gender melalui games (permainan). Pentas Seni ini bertujuan untuk membiasakan peserta tampil di depan orang banyak dan menunjukan kebolehan yang dimiliki oleh sekolahan mereka masing-masing. Usai acara pentas seni berakhir, peserta diberikan waktu untuk beristirahat.
36 - Swara Rahima
Keesokan harinya, para peserta memasuki kelas yang sama dengan hari sebelumnya. Kali ini tema diskusinya adalah soal seks dan seksualitas. Metode yang digunakan hampir sama dengan hari sebelumnya. Fasilitator merasa puas dengan tanggapan peserta dan pemahaman peserta. Untuk menyegarkan suasana serta menguatkan pemahaman, peserta diajak untuk melakukan permainan mencari jejak yang disebut ‘Perjari’. Dalam perjari, para peserta diberhentikan di pos-pos tertentu dan diingatkan kembali tentang materi-materi yang sudah diberikan. Peserta juga diajak untuk membuat Rencana Tindak Lanjut (RTL), dengan tujuan agar peserta dapat mensosialisasikan materi yang mereka peroleh ini kepada teman-teman di sekolahnya. Tepat pukul 15.35 acara Youth Camp resmi ditutup setelah sebelumnya seluruh peserta dan panitia berdoa bersama. Dan semuanya kembali ke sekolah dan rumah masing-masing. {} Muh. Mashuri (Siswa MA Unggulan Mamba’ul Huda Krasak Tegalsari Banyuwangi)
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Jaringan
PP. Tarbiyatut Tholabah
Pesantren Responsif Gender Mengenal PP. Tarbiyatut Tholabah Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah (PP Tabah) didirikan oleh KH. Musthofa Abdul Karim yang berasal dari Desa Tebuwung, sebuah Desa yang terletak di aliran sungai Bengawan Solo di Dukun Kabupaten Surabaya saat itu. Lahirnya pesantren ini tidak dapat lepas dari sejarah masyarakat Desa Kranji, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, yang membutuhkan figur pemimpin yang benar-benar bisa menjadi panutan umat. Saat itulah nama KH. Musthofa diminta untuk menjadi sosok pemimpin umat, yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan. PP yang hadir karena kepedulian KH. Musthofa terhadap persoalan umat ini berdiri pada Jumadil Akhir 1316 H/Nopember 1898 M. PP ini kemudian lebih dikenal dengan nama Pondok Kranji, yang merupakan salah satu pesantren tertua di kawasan Pantura. Dalam waktu yang cukup singkat, lahan tanah pesantren pemberian H. Harun (warga Desa Kranji) yang dikenal angker itu ‘disulap’ menjadi sebuah bangunan pondok pesantren yang sederhana, tapi cukup bagi para santri untuk belajar. Mula-mula Kyai Musthofa menggali sumur dan membangun Langgar Agung (sekarang Musholla Al-Ihsan) dengan dibantu para santri. Oleh karenanya, KH Musthofa merasa mantap untuk mendirikan dan mengembangkan Desa Kranji menjadi desa berbasis pondok Pesantren. Pilihan Desa Kranji secara historis dan letak strategis adalah Pertama, merupakan Desa tertua, terbukti adanya Makam Ayu yang terletak sebelah barat Pondok Pesantren dan makam Gelondong yang berada di timur Pondok Pesantren. Nilai peninggalan makam yang cukup tua itu menggambarkan bahwa Desa Kranji merupakan Desa yang mempunyai nilai sejarah bagi masyarakatnya. Kedua, merupakan Desa yang mempunyai nilai strategis dan ekonomis. Hal ini
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
dibuktikan dengan adanya bangunan peninggalan Belanda yang berada di kanan kiri jalan Daendels, dan sampai sekarang di Desa Kranji terdapat Pasar Tradisional yang menjadi pusat perputaran ekonomi bagi masyarakat Desa Kranji dan sekitarnya. Pondok Kranji sebagai pusat pendidikan ilmu agama langsung diterima oleh masyarakat luas, meski tidak sedikit pula masyarakat yang sempat menentangnya. Pembelajaran di PP. Tarbiyatut Tholabah, Kranji Seiring dengan bertambahnya jumlah santri, maka KH. Musthofa mendirikan asrama sederhana untuk tempat istirahat, mengulang pelajaran, menghafal dan lain sebagainya. Asrama tersebut terletak di sebelah selatan Langgar Agung. Model pembelajaran yang berlangsung adalah model sorogan (metode santri yang menghadap kepada Kyai untuk menyimak kajian kitabnya). Kadang kala pembelajaran berlangsung dengan metode Weton (pengajiannya diberikan pada waktu tertentu) serta menggunakan metode tradisional lainnya, seperti : (1) Menghafal satu persatu, (2) Mengulang pelajaran, dan (3) Mempraktikkan ilmu yang telah disampaikan. Adapun materi pengajaran yang disampaikan antara lain: Alquran, Tafsir Alquran, Al-Hadits, Fiqh, Nahwu, Sharaf, Faraid (ilmu mengenai pembagian waris), Manthiq, dan Balaghah. Pada tahun 1924 M, KH. Abdul Karim Musthofa yang merupakan salah seorang putra KH. Musthofa kembali dari nyantri-nya di PP Tebuireng Jombang. Di Kranji beliau mendirikan madrasah yang diberi nama “Tarbiyatut Tholabah” oleh Hadratusy-syaikh KH Hasyim Asy’ari. Saat itu madrasah tersebut menggunakan kurikulum salafiyah yang disesuaikan dengan kurikulum Madrasah Salafiyah Tebuireng Jombang. Setelah mendirikan madrasah, yakni pada 1928 M KH. Abdul Karim Musthofa kembali menuntut ilmu ke
Swara Rahima - 37
Jaringan
Tebuireng Jombang dan kepemimpinan madrasah diserahkan kepada adik iparnya, KH. Adelan Abdul Qodir. Singkat cerita, pesantren ini telah menghasilkan banyak ulama, cendekiawan dan pemimpin besar di tanah air. Di antaranya KH. Tolchah Hasan (Menteri Agama pada era Presiden Gus Dur), KH. Abdur Rahman Syamsuri (Pendiri PP. Muhammadiyah Karangasem Paciran). Di tahun 1945 M, PP. Tabah mulai memperhatikan pendidikan bagi anak perempuan. Saat kepemimpinan Ustadz Moh. Ali Thoyib, didirikanlah Madrasah Ibtida’iyah Tarbiyatut Tholabah Putri (tahun 1948 M) dengan sistem pengajaran madrasah namun hanya sampai kelas 3 MI. Berikut sosok pengasuh PP. Tarbiyatut Tholabah Kranji semenjak berdirinya hingga kini: 1. KH. Musthofa Abdul Karim Periode 1889-1949. Meninggal pada tanggal 12 Agustus 1950 M 2. KH. Abdul Karim Musthofa Periode 1949-1957 (Putra KH. Musthofa). Meninggal Tahun 1964 M 3. KH. Adelan Abdul Qodir Periode 1957-1976 (Menantu KH. Mustofa, karena menikah dengan Hj. Shofiyah Putri KH. Musthofa), meninggal pada tanggal 21 Desember 1976 M 4. KH. Moh. Baqir Adelan Periode 1976-2006 ( Putra KH. Adelan Abdul Qodir ). Meninggal Pada tanggal 15 Mei 2006 5. KH. Moh. Nasrullah Baqir periode 2006-Sekarang (Putra KH. Baqir Adelan) Di bawah asuhan Kyai Baqir Adelan, pesantren ini mengalami perkembangan pesat. Kebesaran nama Tarbiyatut Tholabah terdengar dimana-mana. Alumninya pun, kini telah tersebar ke penjuru nusantara, bahkan dunia PP. Tabah kini berkembang sebagai potret pesantren yang produktif dalam mencetak ulama dan tokoh masyarakat. Hingga saat ini, jenjang pendidikan yang berkembang di PP. Tarbiyatut Tholabah adalah sebagai berikut : 1. Madrasah Salafiyah tahun 1924-1948 2. Madrasah Ibtida’iyah tahun 1948 3. Madrasah Tsanawiyah Tahun 1963
38 - Swara Rahima
4. TK Raudlatul Athfal 1969 5. Madrasah Mu’alimin Tahun 1972-1978 6. Madrasah Aliyah tahun 1978 7. Kuliah Kitab Kuning Tahun 1986-1995 8. Madrasah Aliyah Keagamaan Tahun 1993 9. STIT Sunan Giri Lamongan Tahun 1988-1994 10. STAI Sunan Drajat (STAIDRA) Tahun 1994 11. Ma’had Aly Tahun 2009-2012 12. Diniyah Formal (Ula, Wustho, Ulya) Tahun 20092012 PP Tabah menawarkan pendidikan agama lengkap yang dipadukan dengan konsep pendidikan modern. Untuk mencetak santri yang handal, pesantren ini mempunyai tenaga pengajar yang berpengalaman di bidangnya masing-masing serta sarana pendidikan yang representatif. Pengajar disini harus benar-benar layak. Untuk mencetak santri atau siswa yang baik, tenaga pengajarnya harus baik pula. Intinya, pesantren harus memberikan pelayan yang baik terhadap santri dan masyarakat. Mencetak Santri Responsif Gender Jauh sebelum PP Tabah terutama MA Tabah menjalin kerjasama dengan Rahima, Pesantren ini sudah relatif responsif dengan kesetaraan gender. Mengapa seperti itu?, Pertama PP Tabah melalui BP2M STAIDRA (Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Drajat) bekerjasama dengan DITBINPERTA DEPAG RI pada tahun 2004-2005 melaksanakan kegiatan Participatory Action Researh (PAR), Training Analisis Gender (GAT) dalam Islam, Penyusunan Kurikulum Pesantren Berbasis Gender dan Workshop Management Pesantren berbasis Gender yang output-nya adalah semakin terbuka ruang partisipasi santri perempuan. Kedua, Jumlah santri di PP Tabah Kranji kurang lebih 2.421, dengan jumlah Siswa dari MA Tabah berjumlah 906 (laki-laki 348 dan perempuan 558). Dewan Guru pengajar MA Tabah berjumlah 70 Guru (laki-laki 54 dan perempuan 16). Dari data di atas membuktikan bahwa jumlah siswa perempuan itu lebih banyak dari siswa laki-laki dengan jumlah guru perempuan sebanyak 20 % dari jumlah total guru MA Tabah, ditambah dengan jumlah jajaran Staf Kepala Madrasah, Ketua TU dan Ketua BK adalah perempuan. (Sumber: Data Yayasan PP Tabah 2014).
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Jaringan
Pada sisi yang lain, organisasi Siswa MA Tabah ada bermacam-macam mulai OSIS, Pramuka, AlHimmah (Organisasi anak MAU), KeMAKan (Organisasi anak MAK), LPS An-nasihah (Organisasi Jurnalistik), Komunitas siswa sadar PKRS. Dari berbagai organisasi siswa di atas salah satunya An-Nasihah, Organisasi Pers Siswa, pernah dalam 2 periode dipimpin oleh perempuan pada masa abdi 2012/2013 dan 2013/2014, komunitas sadar PKRS yang bergerak dalam bidang kesehatan reproduksi remaja dan konseling juga dipimpin oleh perempuan yakni Isvina Unaizahroyah (Kader PKRS Rahima). Sedangkan dalam sistem pengajaran di Pondok Tabah, kelas untuk siswa perempuan dan laki-laki dipisah, akan tetapi untuk guru pengajarnya guru perempuan juga mengajar pada siswa laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas dan profesionalitas yang dikedepankan bukan berdasarkan jenis kelamin. Salah satu pembuktian bahwa PP Tabah responsif gender adalah ditunjukkan dengan sosok ibu Nyai pengasuh PP Tabah Kranji yakni Ibu Nyai Dr. Dra. Hj. Lujeng Lutfiyah, Lc, M.Pd.I. sebagai istri dari pengasuh PP Tarbiyatut Tholabah KH. Moh. Nasrullah Baqir. Ibu Nyai ini adalah sosok perempuan yang bergelar Doktor pertama di PP. Tabah yang mana peran beliau sangat luar biasa dalam memajukan pendidikan di antaranya
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
adalah beliau sebagai pengasuh pondok Putri Tabah, Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Drajat, Tenaga Pengajar di MA Tarbiyatut Tholabah, mengajar siswa putra khususnya kelas MAK, mendidik santri melalui pengajaran kitab kuning, menjadi penceramah di pengajian umum, menjadi pemateri di kajian-kajian ilmiah dll. Selain Ibu Nyai Dr. Dra. Hj. Lujeng Lutfiyah, Lc, M.Pd.I. masih ada sosok perempuan yang juga mempunyai partisipasi luar biasa dalam memberikan pendidikan pada umat beliau adalah sosok ibu Nyai Dra. Hj. Muthi’ah selain sebagai tenaga pengajar di PP Tabah Kranji beliau juga sebagai pendakwah yang jam terbangnya telah sampai keluar wilayah Lamongan. Berbagai gambaran tersebut, menunjukkan bahwa PP. Tabah Kranji telah mengalami perkembangan sehingga menjadi pesantren yang responsif gender. Para pengasuh telah memberikanuswah hasanah pada santrinya, dan memberikan kesempatan yang sama serta mengajarkan bahwa mereka bisa dipimpin oleh lelaki maupun perempuan. Ini karena spirit ajaran Islam mengajarkan bahwa Allah swt. juga tidak pernah membedakan para hambanya dari jenis kelaminnya, namun dari ketakwaan dan amal perbuatannya semata. {} Ahmad Ainul Fahruri, Kader PKRS MA TABAH
Swara Rahima - 39
Khazanah
Gus Dur Sang Feminis Judul Editor Penerbit Tahun terbit Jumlah halaman Ukuran
: Gus Dur di Mata Perempuan : Ala’i Nadjib : Gading, Yogyakarta : 2015 : xxx + 296 halaman : 24,5 x 23 cm
B
uku “Gus Dur di Mata Perempuan” ini merupakan antologi atau kumpulan tulisan tentang pandangan dan pengalaman perempuan-perempuan terhadap sosok Gus Dur dan perjuangannya. Dalam sambutannya di buku ini, Ketua Umum PP Fatayat NU menyatakan bahwa terbitnya buku tersebut sebagai salah satu ikhtiar Fatayat NU untuk senantiasa mengkampanyekan gagasan feminisme yang berakar pada khazanah pemikiran dan tradisi keindonesiaan. Buku ini berbeda dengan banyak buku lain yang menyoroti sosok Gus Dur. Berbagai buku telah banyak membahas Gus Dur sebagai ulama, negarawan, tokoh pluralis, budayawan, pembela kaum minoritas. Namun, belum banyak buku yang membahas pemikiran Gus Dur tentang kesetaraan gender dan hak-hak perempuan. Ditulis secara rapi, lugas dan gamblang dari pengalaman keluarga beliau, kerabat, sahabat, dan mereka yang banyak berkaitan langsung dengan Gus Dur yang mana mereka berasal dari kalangan berbedabeda. Dari setiap detail kisah yang dipaparkan kita bisa melihat bahwa Gus Dur adalah seorang pembela hak asasi perempuan yang sangat aktif. Bahkan Beliau sering bertindak sebagai wali bagi perempuan-perempuan Indonesia yang masih terdiskriminasi. Beliau selalu berusaha mengimplementasikan pemikiran tentang kesetaraan gender dan hak-hak perempuan melalui tindakan konkrit baik dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat dan bernegara. Di antara ulasan menarik tentang Gus Dur terungkap dalam tulisan Ala’i Nadjib tentang bagaimana beliau sejak dini membangun peran kemitraan dan kesetaraan dalam keluarga. Pola pengasuhan parenting yang beliau terapkan, dimana ayah dan ibu merawat dan mengasuh anak secara bersama-sama di tengah-tengah doktrin pola pengasuhan anak dengan mothering (pengasuhan anak dipandang sebagai tanggung jawab ibu semata)
40 - Swara Rahima
sementara bapak adalah pekerja publik. Pasangan Gus Dur dan Shinta Nuriyah, juga tak segan saling bekerja sama melakukan pekerjaan rumah tangga. Perhatian Gus Dur begitu besar dalam hal kesehatan reproduksi, dan ini terefleksikan dari pengalaman dalam keluarga beliau sebagaimana penuturan sang istri, Shinta Nuriyah. Sejak masa kehamilannya yang pertama hingga kelahiran putri-putri mereka pada saat mereka masih mengajar dan tinggal pesantren. Gus Dur selalu menyempatkan untuk mengantar Ibu Shinta ketika memeriksakan kehamilannya. Beliau juga turut berperan aktif secara langsung untuk merawat Ibu Shinta pasca melahirkan, bahkan tidak segan merawat dan mengasuh bayi-bayi beliau, mulai mengganti hingga membersihkan popok. Kejadian ini. jauh sebelum pemerintah mendorong peran suami dan mencanangkan program ‘Suami Siaga’. Menurut pemaparan putra-putri beliau, bagi Gus Dur kesetaraan dalam kehidupan bukan hanya sekedar gaya hidup melainkan berangkat dari ruh hak asasi manusia yang sama. Oleh karena itu kesetaraan tidak hanya dalam hal relasi gender, akan tetapi kesetaraan di hadapan hukum, kesetaran hak hidup dan seterusnya. Oleh karenanya, bagi beliau tidak sulit untuk memahami perjuangan menghadapi ketidakadilan gender. Singkat kata, Gus Dur tidak bicara kesetaraan dalam wacana, konsep atau definisi, namun beliau lebih memberikan contoh konkrit dalam segala aktivitas beliau, dalam cara beliau berhubungan dengan keluarga dan mendudukkan posisi mereka, tanpa ada diskriminasi dan dominasi. Lebih tepatnya Gus Dur telah menjadi Uswatun Hasanah bagi keluarga dalam mengimplementasikan nilai-nilai yang dipahaminya. Kepedulian Gus Dur pada kaum minoritas maupun pembelaannya terhadap perempuan tidak usah diragukan lagi. Bagi beliau, feminisme beliau bukan hanya diterima sebagai wacana melainkan juga diimplementasikan dalam bentuk program di lingkungan NU maupun organisasi
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Khazanah perempuan NU seperti IPPNU, Fatayat dan Muslimat. Di antara program tersebut adalah pengarusutaman gender (gender mainstreaming), penguatan kesehatan dan hak-hak reproduksi, reinterpretasi kitab kuning tentang posisi dan kedudukan perempuan, penguatan hak-hak seksualitas dan lain-lain, sebagaimana yang dipaparkan oleh Siti Musdah Mulia mengenai kiprah Gus Dur dalam konteks Nahdhatul Ulama. Pandangan Gus Dur yang amat fundamental kemudian melahirkan begitu banyak pemikiran dan inisiatif terkait dengan upaya membangun kesetaraan dan keadilan gender serta perbaikan status dan posisi perempuan. Misalnya menolak tindak kekerasan terhadap perempuan termasuk perilaku poligami, membela nasib buruh perempuan dan menolak UU Pornografi. Penolakan beliau terhadap UU Pornografi didasarkan pada pembelaannya terhadap perempuan, yakni menolak seksualitas perempuan dijadikan sebagai alat politik. Dukungan Gus Dur kepada kaum perempuan dimulai dari rumah dan keluarganya, yang beliau perluas menjadi dukungan pada perjuangan perempuan Indonesia pada umumnya. Jika dirunut benih-benih kepedulian beliau terhadap emansipasi tertanam dari kakeknya, KH. Bisri Syamsuri dan istri yang mendirikan pesantren putri di Denanyar Jombang, diperuntukkan bagi kaum perempuan pada akhir tahun 1920-an. Meskipun awalnya mendapat tantangan keras dari tokoh tokoh NU, namun hingga kini pesantren tersebut tetap berdiri kokoh bahkan menjadi percontohan dari sebagian pesantren putri di tanah air. Sejak belia Gus Dur selalu melihat kiprah para leluhurnya pada kancah keormasan dan perpolitikan Indonesia. Ibundanya, Hj. Sholichah sebagai tokoh pergerakan perempuan hingga membawanya menjadi anggota DPR GR. Dukungan penuh pun beliau berikan kepada aktivis perempuan, termasuk pada istriya, adik adik perempuannya, putri-putrinya, dan para sahabatnya dengan segmen perjuangan mereka masing-masing. Pernah dalam suatu seminar, Gus Dur meminta ijin untuk meninggalkan pertemuan lebih dahulu karena akan mendampingi Ibu Shinta dalam suatu unjuk rasa di bundaran Hotel Indonesia. Setiap kali ada kegiatan Ibu Sinta Nuriah yang berhubungan dengan isu-isu perempuan seperti peluncuran buku, Gus Dur selalu hadir. Bagi Bu Shinta, itu merupakan dukungan nyata yang tidak banyak dilakukan oleh kebanyakan suami sibuk. Nunuk Prasetyo Murniati menyampaikan eksplorasinya atas pandangan Gus Dur
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
mengenai persoalan pluralism. Menurut Gus Dur, perempuan lebih pluralis sehingga menjadikan daya analisisnya lebih kuat dari pada laki-laki dalam memahami kehidupan. Sebagaimana beliau menggambarkan perempuan-perempuan desa yang mata pencaharian keluarganya sebagai petani. Menurut beliau keluarga petani beranak banyak, karena pertanian membutuhkan tenaga kerja banyak, maka diberi tugas dan tanggung jawab dalam mengelola pertanian dan hasil panen. Kebiasaan kerja sehari-hari ini membentuk keterampilan pada mereka. Kaum perempuan di desa diberi tugas memelihara sumber air, memelihara kesuburan tanah, memilih benih, membuat pupuk dan menyediakan makanan, karena perempuan desa dinilai lebih memahami ini. Pemikiran ini didasarkan realitas hidup bahwa anakanak lahir dari rahim ibunya dan mereka makan sejak dalam kandungan ibunya sehingga perempuan petani terkontruksi sangat paham dan terampil mengenai pangan. Realitas hidup lainnya yang biasa dialami kaum perempuan adalah memelihara, merawat, dan mendidik anak-anaknya. Jika memiliki anak banyak yang memiliki sifat dan kemauan yang berbeda-beda, mereka berusaha memahami beragam perbedaan tersebut sebagaimana memahami situasi masyarakat yang berbeda-beda (plural). Beragam kisah ini akan membuat kita semakin mengenal Gus Dur lebih dalam dan meneladani nilai-nilai yang ditanamkannya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam perjuangan gerakan perempuan. Terlebih melalui sistematika penulisan antologi dari berbagai segi. Di antaranya: Bagian Pertama Gus Dur dan Keluarga, Bagian Kedua Gus Dur dan Nahdhatul Ulama, Bagian Ketiga Gus Dur dan Kiprah dalam Partai Politik, Keempat Gus Dur Sang Pengayom, Bagian Kelima Gus Dur dan Pemikirannya, Bagian Keenam Gus Dur dalam Kenangan Mereka, Bagian Ketujuh Gus Dur dan Kenangan Kolega di Luar Negeri, dan terakhir Gus Dur dalam Sebuah Kartun. Melalui cerita dalam gambar kartun, anak-anak Tanoker di Ledokombo Jember melukiskan bagaimana proses mengenal sosok Gus Dur lebih dari seorang presiden Indonesia. Inilah yang memudahkan pembaca mendapatkan informasi mengenai Gus Dur dari berbagai sisi kehidupan di masyarakat. {} Ratna Ulfatul Fuadiyah, Peserta PUP 4 dari Purworejo.
Swara Rahima - 41
Dirasah Hadis
Pendidikan Kesehatan Reproduksi: Belajar Pengalaman dari Hadis Nabi Oleh: Nur Achmad, MA. *)
Dalam Islam, perbincangan seputar kesehatan, kebersihan, kesucian, keamanan, serta keberlangsungan reproduksi manusia, termasuk membicarakan tentang seksualitas, sejatinya, bukanlah hal yang asing. Demikian yang dapat disimpulkan dari membaca sejumlah ayat Alquran dan juga mengkaji kitab-kitab hadis, tafsir, dan fikih.
S
alah satunya dapat ditilik dari ayat yang menjelaskan tentang tema kesehatan reproduksi yang sangat sentral yaitu haid dan hal-hal yang mengitarinya serta menegaskan tentang etika kerumahtanggaan dan pujian Allah swt. kepada hamba-hamba-Nya yang menjaga kebersihan/ kesehatan batin dengan bertaubat dan kebersihan/ kesucian fisik dengan bersuci. Ayat dimaksud adalah:
سا َء ْ ََوي َ ِّض ۖ قُ ْل ُه َو أَ ًذى فَا ْعتَ ِزلُوا الن ِ َن ا ْل َم ِحي ِ سأَلُونَ َك ع َض ۖ َو َل تَ ْق َربُوهُنَّ َحتَّ ٰى يَ ْط ُه ْرنَ ۖ فَإِ َذا تَطَ َّه ْرن ِ فِي ا ْل َم ِحي َّ َّللاُ ۚ إِن َّ ث أَ َم َر ُك ُم ُ فَأْتُوهُنَّ ِمنْ َح ْي َللاَ يُ ِح ُّب التَّ َّوابِين ََويُ ِح ُّب ا ْل ُمتَطَ ِّه ِرين Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah bahwa haid itu sakit maka hindarkanlah kamu (dengan tidak berhubungan intim) dengan istri yang sedang haid dan janganlah mendekatinya hingga mereka suci. Lalu apabila mereka sudah bersuci (mandi besar), datangilah mereka dari jalan yang Allah perintahkan. Sungguh Allah mencintai orang-orang senang bertaubat dan mencintai orang-orang yang pandai menjaga kesucian. Istrimu adalah sawahladang bagimu. Datangilah sawah-ladangmu sebagaimana kamu kehendaki dan lakukanlah (kebaikan yang akan kembali) untuk dirimu sendiri. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kalian akan menjumpai Allah. Dan berikan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman. “(QS. AlBaqarah, 2: 222-223).
42 - Swara Rahima
Ayat tersebut konteksnya adalah menjawab pertanyaan para sahabat Nabi saw. tentang apa yang boleh dan tidak boleh ketika seorang perempuan mengalami haid serta keadaan yang dialami oleh perempuan yang haid. Dari ayat tersebut dapat dipahami isyarat pentingnya kaum pria (suami) berperan aktif dalam menjaga kebersihan/kesucian, kesehatan, dan kenyamanan kaum perempuan (terutama usia haid aktif ) sehingga pengalaman haid tidak menjadi beban, baik fisik maupun psikis, dan seksual bagi perempuan, namun justru menjadi maslahat atau membawa hikmah bagi kehidupan dalam berbagai bentuknya. Dengan turunnya ayat di atas diluruskanlah pandangan kaum Yahudi bahwa jika seorang istri sedang haid harus dijauhi sama sekali (Katsir, 2003). Juga meluruskan bahwa berhubungan melalui jalur dubur (belakang) ke qubul (kemaluan) dalam pandangan kaum Yahudi saat itu akan menyebabkan anak yang dilahirkan bermata juling (ahwal). Hal ini sempat mengundang kaum perempuan Anshar geger dan bersikap salah ketika suami mereka hendak mendatangi melalui arah dubur ke qubul (kemaluan) atas dasar pandangan keliru tersebut sehingga turun ayat ini meluruskannya. (alWahidi 2009) Terkait ayat di atas, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Anas bin Malik bahwa Kaum Yahudi itu bila istri mereka sedang haid, tidak diajak makan dan bergaul atau berkumpul di dalam rumah, sehingga turunlah ayat tersebut memberi tuntunan yang bijaksana. Ayat tersebut juga menjelaskan tentang dibolehkannya suami-istri saling menggembirakan (mubasyarah) antara keduanya, selama tidak melakukan hubungan
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Dirasah Hadis
intim, yakni menghindari hubungan seksual (hingga sang istri telah bersuci dengan mandi besar) sesuai yang disabdakan Nabi saw. “Ishna’u kulla syai’in illa alnikah” (Lakukan segala sesuatu, bagi suami istri, selain hubungan intim). HR. Muslim. Bahkan dalam Riwayat Aisyah ra. berkata: “Kana Rasulullahi ya’muruni fa’attaziru fa yubaasyirunii wa ana ha’idhun (Rasulullah saw. menyuruhku berkain lalu beliau menggembirakanku, dengan menyentuhkan badan ke badanku, padahal aku sedang haid). HR. Muttafaq ‘alaih (Bukhari dan Muslim). Begitu pula Allah swt. menjadikan kriteria hambahamba-Nya yang beriman dan meraih keberuntungan (al-muflihun), selain shalatnya yang khusuk, menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat, adalah membayar zakat, adalah dengan menjaga kebersihan/kesucian kemaluan (dari yang kotor dan tindakan kotor) serta memelihara amanah, sumpah dan janjinya. Mereka itulah yang akan mewarisi surga Firdaus. (lihat QS. al-Mukminun, 23: 1-11). Secara jelas dan tegas, Allah menyebut kata furuj yang sering diartikan alat-alat kelamin atau kemaluan, baik untuk perempuan atau laki-laki. Betapa perhatian Alquran terhadap kebersihan dan kesucian sangat tinggi. Bukan saja Alquran, bahkan hal senada demikian dapat juga dilihat ketika membuka Kitab Sahih Muslim karya Imam Muslim (w. 261 H.), pembahasan dimulai dengan Kitab Iman lalu tentang bersuci (wudhu, mandi, haid, tayammum, dan seterusnya) (al-Naisaburi 2003). Sedikit berbeda dari kitab yang disebut sebelumnya, Kitab Sahih al-Bukhari karya Imam al-Bukhari (w. 256 H.), yang memulai pembahasan tentang wahyu, Iman, Ilmu, dan kemudian tentang bersuci. (al-Bukhari 2004). Yang lebih jelas lagi adalah Kitab Bulugh al-Maram min Jam’i Adillati al-Ahkam yang ditulis oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) yang banyak menjadi rujukan dalam mengkaji hadis-hadis hukum Islam. Menariknya, pembahasan yang pertama kali dimunculkan di bagian awal kitab tersebut adalah Kitab al-Thaharah (tentang bersuci) sebelum membahas tentang shalat, jenazah, zakat, puasa, haji, dan seterusnya. (al-’Asqalani 2002). Begitu pula dalam kitab-kitab fikih, seperti al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah karya Abdurrahman al-Jaziri, Kitab Fiqhus-sunnah karya Sayyid Sabiq. Hal-hal di atas menunjukkan bahwa semua yang terkait bersuci, persucian, dan penyucian adalah prinsip atau hal pokok dalam agama Islam sebelum
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
melaksanakan praktik ibadah mahdhah lainnya. Setidaknya hal bersuci dikaji setelah mengkaji hal keimanan dan ilmu secara umum, sebelum mengkaji soal shalat, puasa, dan sebagainya. Betapa tidak, shalat yang menjadi tiang agama tidak diterima oleh Allah, jika dilakukan oleh orang yang tidak/belum bersuci terlebih dahulu (dengan menjalankan praktik bersuci diri ketika telah berhadas berupa istinjak atau cebok, mencuci, berwudhu, mandi wajib, dan tayamum secara benar). Karenanya, terasa ada kejanggalan jika dalam pemahaman sementara orang belakangan bahwa membicarakan hal-hal yang terkait kesehatan reproduksi (walau dalam proporsi dan konteks yang wajar) dinilai sebagai tabu, yang tidak layak dibicarakan. Seringkali komunikasi antara orang tua dan anak akan terputus manakala pembicaraan sudah menyentuh hal-hal terkait organ-organ reproduksi. Demikian juga yang terjadi di lembaga pendidikan formal, sekolah dan sejenisnya. Padahal pembicaraan atau perbincangan (baca: pendidikan) seputar kesehatan dan hak reproduksi sejatinya sangatlah manusiawi dan sangat diperlukan bagi kebaikan atau kemaslahatan manusia itu sendiri, baik di level individu, keluarga, maupun sosial. Itu semua mengalir bersama kehidupan umat manusia sejak dilahirkan, menjadi balita, anakanak, remaja, dan seterusnya. Namun tentu semua itu sesuai dengan takaran dan konteksnya. Yang pasti pada prinsipnya perbincangan soal kesehatan reproduksi (dan yang terkait dengan itu) adalah bagian dari kemaslahatan agama atau dalam rangka meraih kemaslahatan yang lebih tinggi, baik dalam agama
Swara Rahima - 43
Dirasah Hadis
maupun terkait urusan dunia. Dalam konteks ini dapat disandingpadankan dengan kaidah fikih, yakni maa laa yatimmu al-wujuub illaa bihi fa huwa waajibun (sesuatu yang menyebabkan tidak sempurnanya sebuah kewajiban selain dengannya maka menjadi wajib pula sesuatu itu) dan Maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu (apa saja yang tidak dapat dilakukan semua, tidak ditinggalkan semuanya). Beberapa hadis berikut dapat dijadikan sebagai argumen pikir untuk menyatakan bahwa pembicaraan seperlunya tentang kesehatan dan hak reproduksi sesuai dengan proporsinya adalah sah dan dibenarkan. Beberapa hadis itu antara lain: 1. Nabi saw. mengajarkan pesan kebersihan/ kesehatan seksual dan reproduksi dengan bahasa yang sangat halus dan sopan serta terukur seperti dalam hadis berikut:
قَا َل: قَا َل- رضي هللا عنه- ََوعَنْ أَبِي ُه َر ْي َرة َّ َ سو ُل س ُ َر َ َ إِ َذا َجل- صلى هللا عليه وسلم- ِا - س ُل ُ َبَيْن ْ ب اَ ْل ُغ َ فَقَ ْد َو َج, ثُ َّم َج َه َدهَا,ش َعبِ َها اَ ْلَ ْربَ ِع « « َوإِنْ لَ ْم يُ ْن ِز ْل:سلِ ٌم ٌ َُمتَّف ْ زَا َد ُم. ِ ق َعلَ ْيه Artinya: Dari Abi Hurairah ra. berkata: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika seseorang berposisi di atas empat cabangnya (tangan dan kaki) lalu telah bersungguhsungguh kepadanya, wajiblah ia mandi besar.” (HR. Muttafaq alihi). Imam Muslim menambahkan: “walaupun tidak keluar sperma”. (Lihat Bulughul maram, hadis no. 116 dan 117). 2. Nabi saw. bersedia mendengar pertanyaan atau keluhan para sahabat, keponakan dan juga menantunya tentang orang yang sering keluar madzi.
َّ ض َي ُك ْنت: للاُ َع ْنهُ قَا َل ٍ َِوعَنْ َعلِ ِّي ْب ِن أَبِي طَال ِ ب َر صلَّى ْ ََر ُج ًل َم َّذا ًء فَأ َ َم ْرت ا ْل ِم ْقدَا َد أَنْ ي َ سأ َ َل النَّبِ َّي َّ . ضو ُء ُ فِي ِه ا ْل ُو: فَقَا َل: ُسأَلَه َ َ ف، سلَّ َم َ للاُ َعلَ ْي ِه َو .ي ٌ َُمتَّف ِّ َواللَّ ْفظُ لِ ْلبُ َخا ِر، ق َعلَ ْي ِه
44 - Swara Rahima
Artinya: Dari Ali ibn Abi Thalib ra. berkata: Aku adalah seorang yang sering keluar madzi (cairan agak lengket yang keluar dari kemaluan) lalu aku minta al-Miqdad untuk bertanya kepada Nabi saw. Ia pun bertanya kepada Nabi saw. (apakah seseorang yang keluar madzi diharuskan berwudhu?). Nabi saw. menjawab: “Hal itu perlu berwudhu”. (HR. Muttafaq ‘alaih dengan lafaz al-Bukhari, lihat Ibn Hajar, Bulughul-maram, hadis no. 63, h. 26, lihat juga alShan’ani, Subulus-salam Syarah Bulughul-maram, juz 1, h. 89). Madzi adalah air bening putih bergetah yang keluar sewaktu terbersit bayangan hubungan persuami-istrian atau seseorang merasa terangsang atau bercanda (dalam konteks suami istri). Terkadang keluarnya tidak terasa. Bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan. (lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid 1, h. 48). 3. Nabi saw. mendengarkan pertanyaan dan pengaduan kaum perempuan tentang kesehatan seksual dan reproduksi:
َّ ض َي ْ { َجا َءت: ْللاُ َع ْن َها قَالَت َ َِوعَنْ عَائ ِ شةَ َر َّ صلَّى َ ش إلَى النَّبِ ِّي ِ َف ُللا ٍ اط َمةُ بِ ْنتُ أَبِي ُحبَ ْي َّ سو َل ٌ إنِّي ا ْم َرأَة، ِللا ُ يَا َر: ْ فَقَالَت، سلَّ َم َ َعلَ ْي ِه َو َل إنَّ َما: ص َلةَ ؟ قَا َل ُ أَفَأ َ َد، اض فَ َل أَ ْط ُه ُر ْ ُأ َّ ع ال ُ ست ََح ضتُك ٌ َذلِ ِك ِع ْر َ فَإِ َذا أَ ْقبَلَتْ َح ْي: ض َ َولَ ْي، ق ٍ س بِ َح ْي سلِي َع ْنك ال َّد َم ثُ َّم َّ فَ َد ِعي ال ِ َوإِ َذا أَ ْدبَ َرتْ فَا ْغ، َص َلة « ص َل ٍة َّ ي « ثُ َّم تَ َو ِّ صلِّي } – َولِ ْلبُ َخا ِر َ ضئِي لِ ُك ِّل َ . سلِ ٌم إلَى أَنَّهُ َح َذفَ َها َع ْمدًا ْ َوأَشَا َر ُم Artinya: Dari ‘Aisyah ra. berkata: Fatimah bintu Abi Hubaisy datang kepada Nabi saw. lalu bertanya: Ya Rasulallah, sungguh aku seorang perempuan yang mengalami istihadhah hingga aku tidak dalam keadaan suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat? Nabi saw. menjawab: Tidak, (istihadah) itu hanya cairan semacam keringat, bukan haid. Jika datang haidmu, tinggalkan shalat. Jika haidmu berhenti, cucilah darah haid darimu (mandilah hingga bersih) lalu shalatlah.” Dan dalam lafadz
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Dirasah Hadis al-Bukhari: “Lalu berwudhulah (jika keluar darah istihadhah) untuk tiap-tiap shalat. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i). 4. Nabi saw. menjawab pertanyaan seorang sahabat tentang hukum menyentuh kemaluan apakah membatalkan wudhu.
َّ ض َي { قَا َل: للاُ َع ْنهُ قَا َل ِ ق ْب ِن َعلِ ٍّي َر ِ َوعَنْ طَ ْل ْ س ُّ ال َّر ُج ُل يَ َم: أَ ْو قَا َل، ست َذ َك ِري ُس َذ َك َره ِ َر ُج ٌل َم صلَّى َّ فِي ال ُ أَ َعلَ ْي ِه ا ْل ُو، ص َل ِة َ ضو ُء ؟ فَقَا َل النَّبِ ُّي َّ ْ َ إنَّ َما ُه َو ب، سلَّ َم َل ُض َعةٌ ِم ْنك } أَ ْخ َر َجه َ للاُ َعلَ ْي ِه َو َوقَا َل ابْنُ ا ْل َم ِدينِ ِّي، َص َّح َحهُ ابْنُ ِحبَّان َ َو، ُسة َ ا ْل َخ ْم . َس َرة ْ ُث ب َ ُه َو أَ ْح: ِ سنُ ِمنْ َح ِدي Artinya : Dari Thalq ibn ‘Ali ra. berkata: Ada seorang lakilaki berkata: “Aku telah menyentuh kemaluanku?” atau ia berkata: “Ada seorang laki-laki menyentuh kemaluannya di dalam salat. Apakah baginya (wajib) berwudhu?” Lalu Nabi saw. menjawab: “Tidak, karena itu hanyalah daging kamu sendiri”. (HR. Imam yang lima, yakni Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad), disahihkan oleh Ibn Hibban. Ali ibnu al-Madini berkata bahwa hadis ini lebih baik dari hadis riwayat Busrah. (Lihat al‘Asqalani, Bulughul-Maram, hadis no. 66). Imam al-Shan’ani menjelaskan bahwa hadis tersebut diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, Imam alDaruquthni. Menurut al-Thahawi, sanadnya mustaqim ghaira mudhtarib (lurus tanpa cela). Imam a-Thabrani dan Ibnu Hazm menilainya shahih. (lihat al-Shan’ani, juz 1, h. 92) Juga hadis berikut:
َّ ض َي َّللاُ َع ْن َها أَن ْ َُوعَنْ ب َ ت ِ ص ْف َوانَ َر ِ س َرةَ بِ ْن َّ صلَّى َّ سو َل س َّ { َمنْ َم: سلَّ َم قَا َل ُ َر َ للاُ َعلَ ْي ِه َو َ ِللا َّ َذ َك َرهُ فَ ْليَتَ َو ُص َّح َحه َ َو، ُسة َ ضأْ } أَ ْخ َر َجهُ ا ْل َخ ْم ص ُّح ُّ َوقَا َل ا ْلبُ َخا ِر، َي َوابْنُ ِحبَّان ُّ التِّ ْر ِم ِذ َ َ ُه َو أ: ي ب ِ َي ٍء فِي َه َذا ا ْلبَا ْ ش
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Artinya: Dari Busrah binti Shafwan ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudhu”. (HR. Imam yang Lima, disahkan oleh al-Tirmizi dan Ibn Hibban, dan Imam Bukhari berkata hadis ini yang paling sahih dalam bab ini). Dua hadis yang disebut terakhir di atas terkesan bertentangan. Hadis pertama tidak mewajibkan wudhu, sementara hadis kedua menganjurkan berwudhu. Karena itu ada yang menilai hadis Busrah (hadis kedua) di-nasakh, mansukh atau dihapuskan hukumnya. Namun sebagian ulama menggunakan metode pengumpulan (thariqatul-jam’i) antara keduanya, sehingga sementara ulama seperti Imam Malik menyimpulkan bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu, namun lebih baik jika berwudhu kembali. Artinya, disunnahkan (mandub) berwudhu, tidak diwajibkan. (Lihat al-Shan’ani, h. 93-94). 5. Nabi menjelaskan tentang kewajiban mandi bagi perempuan yang bermimpi sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut:
-َ َو ِه َي اِ ْم َرأَةُ أَبِي طَ ْل َحة- سلَ ْي ٍم ُ سلَ َمةَ; أَنَّ أُ َّم َ َوعَنْ أُ ِّم َّ َ َّاِ! إِن َّ َ سو َل ,ق ِّ ست َِحي ِمنْ اَ ْل َح ْ َاَ َل ي ُ يَا َر- : ْقَالَت . “نَ َع ْم:س ُل إِ َذا اِ ْحتَلَ َمتْ ? قَا َل ْ فَ َه ْل َعلَى اَ ْل َم ْرأَ ِة اَ ْل ُغ َ اَ ْل َح ِد- ”ت ا ْل َما َء . ِ ق َعلَ ْيه ٌ َ ُمتَّف.يث ِ َإِ َذا َرأ Artinya: Dari Ummi Salamah bahwa Ummu Sulaim, istri Abu Talhah, berkata: “Ya Rasulullah, sungguh Allah swt. tidak malu untuk urusan kebenaran. Apakah wajib mandi (besar) bagi perempuan, jika bermimpi (keluar air mani)?” Rasul menjawab: “Ya, jika ia melihat air (mani)”. (HR. Muttafaq ‘alaihi). Hadis ini senada dengan hadis berikut:
قَا َل- : قَا َل- رضي هللا عنه- س ْب ِن َمالِ ٍك ِ ََوعَنْ أَن َّ َ سو ُل فِي اَ ْل َم ْرأَ ِة- صلى هللا عليه وسلم- ِا ُ َر ” “تَ ْغت َِس ُل: قَا َل-تَ َرى فِي َمنَا ِم َها َما يَ َرى اَل َّر ُج ُل َو َه ْل- ٍ سلَ ْيم ٌ َ ُمتَّفْ زَا َد ُم. ِ ق َعلَ ْيه ُ فَقَالَتْ أُ ُّم:سلِ ٌم Swara Rahima - 45
Dirasah Hadis
. - ?ُشبَه َّ “نَ َع ْم فَ ِمنْ أَيْنَ يَ ُكونُ اَل:يَ ُكونُ َه َذا? قَا َل
س ِل ْ َوأَنَا أَ ْنظُ ُر إِلَى أَثَ ِر اَ ْل ُغ,ب َّ إِلَى اَل ِ ص َل ِة فِي َذلِ َك اَلثَّ ْو . ِ ق َعلَ ْيه ٌ َ ُمتَّف- فِي ِه
Artinya: Dari Anas bin Malik ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda tentang perempuan yang bermimpi di dalam tidurnya seperti mimpinya seorang lakilaki, “Ia harus mandi besar” (HR. Muttafaq ‘alaihi). Imam Muslim menambahkan bahwa Ummu Sulaim berkata: “Bagaimana itu bisa terjadi?” Nabi saw. menjawab: “Ya, jika tidak, maka dari mana terjadi kemiripan (seorang anak dengan ibunya).
Artinya: Dari Aisyah ra. berkata: “Rasulullah saw. itu mencuci air mani (yang mengenai kain). Kemudian beliau keluar menuju tempat shalat dengan memakai pakain tersebut. Dan aku melihat bekas mencucinya di pakaian tersebut.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
6. Nabi mengajarkan tata cara mandi dan kemudian Aisyah ra., Ibu Kaum Beriman, menjelaskannya kepada para sahabat yang lain sebagaimana hadis berikut:
8. Nabi saw. menjelaskan tentang tata cara menyucikan bekas darah haid kepada Asma’ binti Abi Bakar ra., saudara ipar Nabi dari ‘Aisyah ra. sebagaimana hadis berikut:
َّ َ ض َي سو ُل َ َِوعَنْ عَائ ُ َكانَ َر- : ْاُ َع ْن َها قَالَت ِ شةَ َر َّ َ س َل ِمنْ اَ ْل َجنَابَ ِة َ َ إِ َذا اِ ْغت- صلى هللا عليه وسلم- ِا
َّ َ ض َي َّاُ َع ْن ُه َما; أَن ْ ََوعَنْ أ ِ ت أَبِي بَ ْك ٍر َر ِ س َما َء بِ ْن ض ِ فِي د َِم اَ ْل َح ْي- قَا َل- صلى هللا عليه وسلم- اَلنَّبِ َّي
ُ ثُ َّم يُ ْف ِر,س ُل يَ َد ْي ِه ,ش َمالِ ِه ِ غ بِيَ ِمينِ ِه َعلَى ِ يَ ْبدَأُ فَيَ ْغ فَيُد ِْخ ُل, ثُ َّم يَأْ ُخ ُذ اَ ْل َما َء,ُضأ َّ ثُ َّم يَتَ َو,ُس ُل فَ ْر َجه ِ فَيَ ْغ
ثُ َّم,صهُ بِا ْل َما ِء ُ ثُ َّم تَ ْق ُر,ُ “ت َُحتُّه- :-ب ُ ص َ يب اَلثَّ ْو ِ ُي . )2( ِ ق َعلَ ْيه ٌ َ ُمتَّف- ”صلِّي فِي ِه َ ُ ثُ َّم ت,ُض ُحه َ تَ ْن
س ِه َّ ول اَل ُ ُصابِ َعهُ فِي أ َ َأ ِ ثُ َّم َحفَنَ َعلَى َر ْأ,ش ْع ِر ِ ص َ ثَ َل س َل َ ثُ َّم َغ,س ِد ِه َ سائِ ِر َج َ اض َعلَى َ َ ثُ َّم أَف,ت ٍ ث َحفَنَا
Artinya: Dari Asma’ binti Abi Bakar ra. bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda tentang (cara membersihkan) darah haid yang mengenai pakaian: “(Hendaklah) ia kerik darah itu, lalu ia gosok-gosok dengan air, lalu ia mencuci-bilasnya, kemudian ia shalat dengan memakai kain tersebut”. (HR. Muttafaq ‘alaihi).
. ٍ سلِم ٌ َ ُمتَّف- ِر ْجلَ ْي ِه ْ َواللَّ ْفظُ لِ ُم,ق َعلَ ْي ِه Artinya: Dari ‘Aisyah ra. berkata: Rasulullah saw. apabila mandi karena janabat memulai dengan mencuci kedua tangannya, lalu mengucurkan air dengan tangan kanannya ke tangan kirinya lalu mencuci kemaluannya. Kemudian berwudhu (seperti wudhu biasa). Lalu mengambil air dan memasukkan jarijarinya ke pangkal rambut. Kemudian ia tuang atas kepalanya tiga kali tuangan. Lalu ia siram seluruh badannya (hingga bersih) lalu mencuci kakinya. (HR. Muttafaq ‘alaih, lafadz Muslim). 7. Nabi saw. menjelaskan tentang tata cara menyucikan bekas air mani yang mengenai pakaian melalui Aisyah ra. istri beliau:
َّ َ ض َي سو ُل َ َِوعَنْ عَائ ُ َكانَ َر- : ْ قَالَت,اُ َع ْن َها ِ شةَ َر َّ َ ثُ َّم يَ ْخ ُر ُج,س ُل اَ ْل َمنِ َّي ِ يَ ْغ- صلى هللا عليه وسلم- ِا 46 - Swara Rahima
Dari sejumlah pengalaman yang tertuang dalam hadis-hadis di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah adalah seorang guru dan pembelajar sejati bagi istri beliau, para sahabat, menantu, kaum perempuan yang berani bertanya maupun pemalu. Nabi Muhammad sering berbagi pengetahuan kepada segenap orang yang ingin mendapat penjelasan tentang sesuatu. Seringkali pula beliau mengajak dialog-dialog ringan atau membuat perumpamaan agar lebih mudah dipahami untuk memperjelas suatu hal. Model pendidikan atau pembelajaran seperti yang dilakukan Nabi bersama para sahabat tersebut sebagai model pendidikan yang interaktif, dialogis, dan berbasis pengalaman seseorang. Hal demikian mungkin yang sekarang sering disebut sebagai metode belajar atau pendidikan orang dewasa atau pembelajaran dengan teman sejawat.
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Dirasah Hadis
Di pesantren dan madrasah atau majelis taklim, sesungguhnya pembelajaran seputar kesehatan reproduksi dan seksual sudah biasa dilakukan dengan istilah ngaji seputar thaharah dan seterusnya. Ini tentu harus dipastikan dilakukan dengan bijaksana, dengan melihat siapa yang diajak belajar, melihat konteks masalah, dan tentunya pula sesuai dengan materi pembelajaran. Dengan metode dialogis atau cerita pengalaman atau bertanya jawab secukupnya, diharapkan tema-tema kesehatan reproduksi dan seksual dapat dibelajarkan dengan baik dan benar serta efektif. Maksud menyebarkan ilmu sebagai pencerahan peradaban dapat dilakukan, namun tetap terhindar atau menghindarkan dari ekses/dampak negatif, terutama jika metode dan materinya kurang sesuai. Tentu bukan saja kalangan pesantren/ madrasah yang perlu mengetahui tema ini dengan baik dan benar, bahkan setiap ayah atau ibu juga perlu memahami hal-hal terkait taharah dan juga kesehatan reproduksi agar dapat menjadi tempat konsultasi dan berbagi yang aman dengan anak-anak, termasuk anak didik (sebelum mereka
mendapatkan informasi yang salah dari sumber yang tidak bertanggung jawab). Demikian sekelumit tulisan sebagai pembuka wacana dan dialog seputar pendidikan atau pembelajaran kesehatan reproduksi. Semoga bermanfaat. allahu a’lam bish-shawab. {} *) Penulis adalah Anggota Badan Pengurus Perhimpunan Rahima dan Dosen Kajian Islam STIEAD Jakarta
Glosari Egaliter Filologi
: bersifat sama; sederajat; sepadan kedudukannya. : ilmu yang mempelajari bahasa dalam sumber-sumber sejarah yang ditulis, yang merupakan kombinasi dari kritik sastra, sejarah, dan linguistik Gallant : pemberani, ksatria Imigran : orang yang datang dari negara lain dan tinggal menetap di suatu negara: Istihadhah : darah penyakit yang keluar dari sebuah otot pada bagian rahim yang terdekat yang tidak mewajibkan mandi dan tidak menjadi dasar untuk tidak melakukan shalat dan puasa. Judicial Review (JR) : upaya hukum untuk menguji sengketa dalam Pemilihan Umum (baik Pilpres, Pileg, maupun Pilkada) serta pengujian atas suatu materi undang-undang ke Mahkamah Konstitusi (MK). Junub : orang yang sedang dalam keadaan tidak suci dikarenakan mengeluarkan air mani atau bersetubuh, sehingga mengakibatkannya jauh dari kesempatan untuk melakukan shalat dan ibadah ritual lainnya. Mothering : berasal dari kata mother (ibu); menekankan peran ibu dalam pengasuhan anak. Munakahat : Fiqh yang membahas bab seputar perkawinan atau pernikahan. Parenting : berasal dari kata parents (orang tua), pengasuhan anak oleh kedua orang tua (ayah dan ibu) Taken for granted : sudah semestinya, memang begitulah takdirnya (idiom, ungkapan dalam Bahasa Inggris). Thaharah : bersuci (istilah dalam Ilmu Fiqh) Visualisasi : pengungkapan suatu gagasan atau perasaan dengan menggunakan bentuk gambar; penggambaran Vulgar : kasar (tentang perilaku, perbuatan, dsb); tidak sopan
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Swara Rahima - 47
Info
Realistiskah Perempuan Usia 16 tahun Menikah? Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah menca pai umur 16 tahun. (UU No. 1 th. 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat 1)
U
sia 16 tahun merupakan usia minimum yang diperbolehkan bagi perempuan untuk menikah itulah yang menjadi fokus utama dalam Judicial Review (JR) terhadap UU Perkawinan khususnya Pasal 7 ayat 1 yang diajukan oleh YKP, Yayasan Kesehatan Perempuan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Apakah JR atau Judicial review itu? Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Judicial Review adalah mencakup pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji formil). Dan hak uji materiil adalah hak untuk mengajukan uji materiil terhadap norma hukum yang berlaku yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Sebagai sebuah lembaga yang berfokus pada isu kesehatan ibu dan anak, YKP merasa sangat perlu dan urgent untuk mengajukan Judicial Review terkait Usia menikah anak perempuan dalam UU Perkawinan No 1 tahun 1974 Pasal 7 ayat 1. YKP melihat angka perkawinan di bawah umur di Indonesia sangat tinggi dengan berbagai alasan di antaranya agama, dijodohkan orang tua, kemiskinan, dan pergaulan bebas yang menyebabkan kehamilan di luar nikah. Padahal pada masa perkembangan mereka, anak masih sangat membutuhkan asupan gizi yang cukup. Jika di usia anak perempuan (hasil CRC –Children Rights Convention- atau Konvensi Hak Anak- menetapkan anak adalah kelompok usia 0-17 tahun) sudah hamil, maka gizi yang dibutuhkan dirinya terbagi dengan anak yang dikandung atau akan dilahirkannya. Selain itu adanya disharmoni dalam hukum di Indonesia antara UU perkawinan dengan UU Perlindungan Anak terkait usia yang masuk dalam kategori anak. Dengan Nomor Perkara 30, pada bulan Maret 2014, YKP menggandeng beberapa lembaga salah satunya Rahima sebagai pihak terkait. Pihak terkait adalah pihak-pihak yang berkepentingan langsung atau tidak
48 - Swara Rahima
langsung dengan pokok permohonan, Rahima sebagai sebuah lembaga yang konsen pada isu perempuan dan kesehatan reproduksi dengan perspektif Islam menjadi sangat penting untuk turut terlibat. Salah satu yang dipaparkan Rahima saat diberikan waktu untuk menyampaikan pendapatnya sebagai pihak terkait, menyampaikan dokumentasi tentang hukum perkawinan di beberapa Negara yang notabenenya sebagai Negara muslim seperti Aljazair, Bangladesh, Mesir, Maroko, Oman, Sierra Leone dan Turki yang telah merevisi usia pernikahan menjadi 18 Tahun dari usia sebelumnya 15-16 Tahun. Mereka merubah hukum tersebut karena tidak lagi memaknai baligh dalam pandangan fiqh konvensional (yang masih sangat banyak digunakan alim ulama di Indonesia). Negara-negara tersebut memaknai baligh dalam pengertian yang lebih komprehensif, sehingga tidak saja melihat perubahan fisik sebagai tanda memasuki usia dewasa; namun juga kematangan mental dan sosial menjadi pertimbangan. Oleh karenanya, dalam menyajikan argumen diperlukan upaya menggali banyak rujukan. Salah satunya memperhatikan perkembangan diskursus Hak Asasi Manusia (HAM) yang melarang praktik perkawinan anak. Data UNICEF memperlihatkan bahwa perempuan yang melahirkan usia 15-19 tahun beresiko mengalami kematian saat melahirkan. Selain itu berdasarkan hasil SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia) tahun 2012 yang diluncurkan pada 2013, menunjukkan AKI (Angka Kematian Ibu) sangat tinggi di Indonesia bahkan meningkat tajam, dari 228 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada 2007, naik menjadi 359 kematian di 2012. Selain pernikahan anak menjadi salah satu penyumbang tingginya AKI, anak-anak yang dilahirkan dari mereka juga beresiko berat badan rendah, bertubuh pendek, dan memiliki intelegensia yang minim. Di sisi lain, perkawinan anak pun menyebabkan tingginya angka perceraian. Contohnya di Bondowoso, Jawa Timur, angka perceraian pernah mencapai 50 % dari pasangan yang menikah muda. Hal ini menyebabkan banyaknya generasi muda yang labil akibat broken home atau kurangnya perhatian dari kedua orang tua mereka. Kita hanya bisa berharap semoga upaya JR yang dilakukan ini membuahkan hasil positif, sehingga usia minimum perempuan untuk menikah dinaikkan menjadi 18 tahun. Ikhtiar ini untuk mendorong terciptanya generasi muda yang lebih berbobot, sehat lahir dan batin karena mereka lahir sebagai anak yang diinginkan dan dari keluarga yang sehat jasmani dan rohani. {} Ulfah Mutiah Hizma
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Cerpen
Ibu, Dengarlah Curhatku Oleh : Masthuriyah Sa’dan*
Awal Tahun 2000 Ibu, teman sekelasku sudah menikah sebelum ikut ujian UN SD. Tapi aku ingin melanjutkan sekolah ke bangku MTs di desaku, ya, Bu? Tidak apa-apa sekolah di kampung sendiri. Dekat dengan rumah, bisa lari dari sawah menuju sungai dan langsung ke sekolah kalau lonceng tanda pukul tujuh berdering. Tidak apa-apa berdiri 5-15 menit di depan kelas atau di halaman sekolah karena terlambat, toh yang melihat hanya anak-anak kampung saja. Lagipula, Bu, kalau sekolah di kampung, bayarannya sedikit. Bisa dicicil, atau malah bisa dihutang. Peraturan di keluarga kita, jika anak-anak ibu lulus SD, maka tidak ada lagi uang jajan harian. Bagiku itu tidak apa-apa, Bu. Aku bisa bolak-balik dari sekolah ke rumah saat jam istirahat berlangsung bila perutku sedang lapar. Jika hujan atau panas terik yang membuat aku tidak mampu lari, tidak apa-apa aku tidak jajan, Bu. Aku akan duduk sendirian di kelas di saat temantemanku datang dari kantin dengan membawa segenggam kue dan snack. Aku juga tidak apa-apa tidak dibelikan buku paket, Bu. Biar nanti aku pinjam buku teman-teman jika ada tugas di rumah. Yang penting, Ibu bersedia membayar SPP tiap bulan atau bersedia berhutang ke kepala sekolah bila Ibu sedang tidak ada uang. Aku ingin sekolah, Bu. Tahun 2003 Melawan tradisi di Madura itu ternyata tidak mudah ya, Bu. Selama aku sekolah MTs hingga lulus ini, tawaran pinangan dari beberapa laki-laki, baik dari pihak keluarga maupun tetangga membuatku merasa terpojokkan jika berkumpul bersama sanak saudara. Kekhawatiran dianggap ”tidak laku” atau ”perawan tua”, membuat adat dan tradisi menuntut anak perempuan
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
di kampung kita untuk segera memiliki tunangan dan segera menikah. Akan tetapi saat ini aku belum ada keinginan dan rencana ke arah itu. Di usiaku yang masih belia ini, aku hanya ingin fokus pada pelajaran sambil membantu ibu di sawah biar bisa bertahan hidup dan membayar SPP. Rencanaku setelah tamat MTs, aku ingin melanjutkan sekolah ke MA di kecamatan. Aku tidak mau mengikuti jejak kakak perempuanku, Bu, yang setamat MTs langsung Bapak Ibu nikahkan secara paksa dengan lelaki dua sepupu nenek yang belum dia kenal sama sekali. Bu, aku sedih sekali ketika ibu, bapak dan nenek menyetujui pertunanganku dengan salah satu lelaki pilihan keluarga. Apalagi tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan padaku, atau sekedar pemberitahuan ke aku. Padahal ada beberapa anak tetangga yang seperti dia bisa sekolah hingga tamat perguruan tinggi. Aku ingin seperti mereka yang memiliki kebebasan untuk bersekolah tanpa belenggu garis adat dan tradisi. Menurut Ibu, mereka orang kaya yang mampu membayar biaya sekolah sedangkan kita orang miskin yang buat makan saja susah. Bila soal ekonomi yang jadi hambatan, kenapa kakak laki-lakiku tidak
Swara Rahima - 49
Cerpen
dipertunangkan sepertiku, Bu ? Aku takut dan malu dengan sikap bapak, yang mengejarku hingga ke jalan raya sambil membawa sapu lidi hanya karena aku mau mendaftar ke MA, Bu. Padahal, ternyata dari beberapa anak perempuan seangkatanku di SD dulu, hanya aku dan salah satu temanku yang bisa bersekolah hingga MA. Bukankah aku tidak minta biaya pendaftaran sekolah MA ke ibu dan bapak? Memang aku mendapatkannya dari berjemur memetik cabai seharian. Maafkan aku, Bu yang telah mencuri cabai milik ibu di sawah. Uangnya bukan sekedar untuk jajan, tapi untuk membayar pendaftaran sekolah. Bulan Mei tahun 2005 Alhamdulillah, kini anak perempuan Ibu bisa lulus MA. Rasanya, itu patut disyukuri, Bu, mengingat selama di MA, aku sering berdiri di halaman sekolah setelah upacara bendera hari Senin selama 10-25 menit karena terlambat membayar SPP tiap bulan. Terkadang aku seorang diri dijemur di halaman sekolah yang luas dan menyengat. Dan itu aku jalanin selama tiga tahun, Bu. Sengaja aku tak pernah bercerita soal ini karena khawatir ibu dan bapak kurang berkenan dengan citacita anakmu untuk bersekolah tinggi. Tahukah Ibu bagaimana caraku untuk bisa membayar SPP? Anakmu jualan baju lho, Bu dengan cara mengkreditkannya ke teman-teman dari modal yang aku dapatkan dari upah bayaran memetik cabai seharian di sawah. Sementara, untuk uang transport dari kampung ke kecamatan aku terpaksa berhutang kepada dua sepupuku yang sama-sama sekolah di MA. Untungnya, mereka tidak terlalu perhitungan. Mereka tidak ingat berapa jumlah hutangku, tetapi aku selalu ingat, kok, Bu. Bagiku hutang itu dibawa mati. Aku juga pernah diancam oleh TU akan mengeluarkanku dari sekolah bila dalam seminggu aku tak bisa melunasi tunggakan SPP hingga 10 bulan, Bu. Aku sempat menangis di kantor sekolah, lalu tanpa malu menghadap kepala sekolah, sambil menangis menceritakan masalahku pada beliau. Alhamdulillah, beberapa bulan kemudian aku justru mendapatkan beasiswa SPP selama satu tahun. Selama di MA itu, Bu, namaku selalu setia nongkrong di papan pengumuman sekolah karena telat
50 - Swara Rahima
bayar SPP. Oleh karenanya, aku menjadi terkenal. Masa itu, aku tak punya teman dekat apalagi pacar. Namun tak lekang cita-citaku untuk melanjutkan sekolah hingga S2, agar menjadi contoh bagi anak-anak perempuan lain dan masyarakat di kampung, bahwa laki-laki dan perempuan seharusnya memiliki akses dan kesempatan yang sama dalam pendidikan. Saat ada seorang anak tetangga yang berprofesi sebagai penjaga karcis di pasar kecamatan melihatku, dia tahu bahwa aku adalah anak ibu. Berapa hari setelah itu, dia datang ke rumah dan melamarku. Namun aku bersikukuh tak menerima lamarannya karena masih ingin kuliah. Aku kecewa pada ibu saat berkata padaku, ”Kemana pun kamu pergi, aku tidak akan meridhai.” Kewenangan orang tua dianggap sebagai otoritas mutlak menentukan nasib anak. Ungkapan bahwa surga di bawah telapak kaki ibu, telah Ibu selewengkan. Padahal aku hanya ingin kuliah untuk merubah nasib agar menjadi lebih baik. Aku hanya bisa menangis menyadari kenyataan bahwa tingkat pengetahuan kita yang berbeda telah menyulitkan komunikasi kita. Syukurlah, Bapak kemudian mengirimkanku ke sebuah Pondok Pesantren Modern di Madura, dimana aku bisa kuliah S1 pada jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin. Belum tergambar di benakku, dimana aku akan bekerja setelah itu. Tapi aku cukup senang, karena di tahun ini hanya aku satu-satunya alumni perempuan dari MA di kecamatan yang bisa kuliah ke Perguruan Tinggi. Sementara teman-teman perempuanku yang lain sudah sibuk dengan dirinya sendiri. Sebagian besar telah menikah dan sebagian lagi masih menganggur di rumah.
Pertengahan Juni 2009 Bu, meskipun bapak memasrahkan aku ke Kyai di pesantren, bukan berarti segala kebutuhan hidup dan biaya kuliahku ditanggung oleh Kyai. Selama bertahun-tahun aku menjalani hari-hari di pesantren dengan penuh cobaan dan ujian. Saat teman-temanku membayar SPP di awal semester, aku menyicil tiap bulan. Saat teman-temanku ke kantin untuk membeli lauk tambahan, aku hanya makan dengan tahu dan tempe goreng jatah dari dapur umum. Di saat teman-temanku tengah tidur siang seusai sekolah pagi, aku menyetrika
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Cerpen
dan merapikan baju keluarga Kyai. Mungkin Bapak dan Ibu menganggap bahwa semua biaya kuliah dan tinggal di pesantren itu gratis. Tidak, Bu. Aku mendapat keringanan pembayaran 50% karena berasal dari keluarga miskin, sementara untuk makan aku tetap membayar full dengan cara berhutang terlebih dahulu pada teman-teman dan Bu Nyai yang bersedia memberiku pinjaman tanpa bunga dari tabungan yang mereka miliki. Bu, saat di pesantren ini aku menemukan cinta. Dia teman seangkatanku, salah seorang santri putra keturunan Sunda. Dia pintar dan tidak banyak tingkah. Dia membuatku terpikat dan menyimpan perasaan cinta hampir dua tahun lamanya. Namun sayang, ternyata dia memilih bertunangan dengan temanku yang sama-sama satu angkatan dan satu pesantren. Di tahun ketiga di pesantren, seorang teman memperkenalkanku dengan kakak kelasnya di pesantren mereka, dulu. Mahasiswa pascasarjana di Yogyakarta, muslim taat dari suku Sasak, alumnus sebuah pesantren modern di NTB. Meskipun wajahnya biasa saja, di mataku dia tetap rupawan. Namun pada saat yang sama aku juga tertarik pada sosok lain, Bu. Pria berdarah Bugis alumni tahun 2006 pesantren ini yang telah menjabat sebagai sekretaris rektor di kampusku. Tapi sayang, dia tidak mengenalku. Aku hanya mengenalnya lewat suara dan foto di komputer BEM. Oleh karenanya, aku menjalin hubungan dengan lelaki Sasak itu dan berharap setelah wisuda nati, kami segera menikah. Namun ternyata, Ibu menolak lelaki berlainan suku untuk menjadi calon suamiku. Oleh karenanya, kucoba untuk menemukan pasangan sesama warga Madura. Kami bertemu di Jakarta saat ada cara yang diselenggarakan oleh kantor Kemenag Pusat. Dia adalah putra seorang Kyai seperti dambaan Ibu, alumni pesantrenku yang kini tengah melanjutkan studi pascasarjananya di Jakarta. Namun, hubungan kami tak berlangsung lama, Bu. Karena lelaki itu lebih memilih untuk bertunangan dengan seorang putri Kyai salah satu pesantren besar di Jawa Timur.
yang telah menampung orang miskin yang memiliki cita-cita tinggi sepertiku. Sambil mengabdi, aku akan berikhtiar soal jodoh kok, Bu. Rencana aku menikah di tahun 2012 dengan seorang lelaki yang ikhlas menerima aku apa adanya dan aku merasa bahagia bersamanya. Ibu, aku tidak mau menerima lamaran lelaki putra kyai itu, meski ia baik, memiliki mobil dan rumah sendiri, memiliki sekolah dan pesantren. Walaupun menurut Ibu dan keluarga, dengan menikahinya masa depanku akan terjamin, tapi hati kecilku menolak, Bu. Aku tidak mau menikah dengan seseorang yang tidak ”sreg” di hatiku. Aku tidak bisa menerima seseorang yang atas nama strata sosial Ibu coba paksakan untuk menikah denganku. Aku lebih ikhlas menikah dengan lelaki pilihanku sendiri, meski ia bukan keluarga atau putra Kyai. Tapi hatiku senang. Dan itu yang aku tunggu bu, kesenangan hati itu tidak bisa dibeli. Sedangkan masa depan itu siapapun tidak ada yang tahu. Bulan Kedua tahun 2011 Kini aku telah sempurna menyelesaikan pengabdian di pesantrenku, Bu. Aku ingin pulang. Tadi Bapak telah datang ke kediaman pimpinan umum pesantren dan mudir (ketua) pesantren putri serta Rektorku dan menyatakan bahwa beliau lebih ikhlas dan bahagia jika aku tetap tinggal di pesantren. Namun aku tidak mau, Bu. Terpaksa aku berpamitan sendiri kepada para guru tanpa didampingi Bapak dan Ibu, karena memang aku ingin pulang. Pada mereka aku katakan rencanaku selajutnya, ”Kalau ketemu jodoh menikah, dan jika ada rezeki melanjutkan kuliah S2 di Jakarta”. Dengan wajah berbinar, guru-guru merespon baik ucapanku, bu. Tiga bulan di rumah tanpa aktivitas mengajar seperti di pesantren, membuat aku bosan bu. Aku memilih merantau ke Pekanbaru dan Bangka Belitung untuk mengajar. Alhamdulillah bu, di Pekanbaru-Riau aku menjadi pembina asrama mahasiswi STIKES. Dan di Bangka Belitung aku mengajar mata pelajaran Sosiologi, Sejarah dan Kepesantrenan di Islamic Centre Bangka Belitung.
Awal tahun 2010 Bu, aku sangat bahagia telah menjadi seorang Sarjana Aqidah dan Filsafat. Rencanaku setelah wisuda, aku akan mengabdi di pesantren ini sebagai tanda terimakasih dan balas budi atas kebaikan pesantren
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Bulan Ketiga 2012 Bu, kini aku merantau ke Jakarta untuk kuliah S2. Di sini aku bertemu dengan seorang lelaki berdarah
Swara Rahima - 51
Cerpen
Bugis yang pernah terlintas di benakku 2 tahun yang lalu. Namanya Alif Fiqri. Dia manis, hidungnya mancung, sikapnya baik, tidak perhitungan, tidak banyak bicara, humoris dan membuat aku tentram dan nyaman berada di sampingnya. Dia telah menggantikan posisi lelaki lain yang pernah singgah di hatiku dulu bu, dia telah mengobati rasa sakit hati yang aku pendam selama ini. Aku mencintainya bu, sepertinya aku ke Jakarta untuk menjemput jodoh. Ibu pasti senang kabar bahagia ini, karena Alif adalah alumni pesantren, bisa berbicara bahasa Madura dan bapaknya adalah seorang Takmir Masjid. Dia mengajakku mengenali kota Jakarta. Beberapa kali dia mengajakku makan bersama dan jalan-jalan ke tempat-tempat wisata. Bu, aku betah di Jakarta meski belum memiliki pekerjaan dan hidup serba terbatas. Tapi dengan mengingat Alif, hatiku langsung berpelangi. Dia seperti mentari pagi yang mampu memberikan aku semangat dari kondisi hidupku yang serba kekurangan. Ibu tahu, dia memancarkan spirit yang menguatkan aku berjuang sekuat tenaga untuk kuliah S2 hingga selesai. Aku ingin satu kampus dengan Alif di Pascasarjana Jakarta ini. Ketika untuk pertamakalinya Alif memegang telapak tanganku, hatiku berbunga-bunga, bu. Kukatakan padanya agar segera datang ke rumah untuk melamarku. Tapi dia menolak, Bu. Meski begitu, aku akan tetap menunggunya dan mempertahankan cinta ini hingga aku diwisuda S2 nanti. Minggu ke-2 di bulan Agustus 2014 Ibu, masih ingat Alif? Dia lah calon suami yang aku tunggu tiga tahun yang lalu, Bu. Aku yakin ibu pasti suka bermenantukan dia, meskipun dia bukan keluarga dan orang Madura asli. Tapi dia telah berhasil meluluhkan hati Ibu dengan sikapnya saat dia hadir dan bertemu Ibu pada acara wisudaku. Aku akan memperjuangkan cintaku, Bu. Akan kuminta lagi dia untuk melamarku. Mudah-mudahan anak ibu yang ketiga ini segera menikah di tahun ini, dengan lelaki pilihannya sendiri. Tapi ternyata Alif tidak mencintaiku, Bu. Dia hanya menganggap aku sebagai adiknya, tidak lebih dari itu. Aku tahu, ibu kecewa dengan kabar ini. Terlebih aku, sangat kecewa dengan penuturan ini. Ternyata kebaikan hati Alif selama ini, hanyalah tanda saudara. Alif telah
52 - Swara Rahima
memilih perempuan lain bu. Kesetiaan dan ketulusan cintaku kepadanya tak juga membuat hati Alif terketuk. Hati dia telah terkunci untukku, Bu. Akhir Bulan di Tahun 2014 Tiga bulan lamanya aku berkabung duka karena kehilangan yang mendalam. Kehilangan sosok seseorang yang kuharapkan bisa merenda waktu bersama, dalam masa depan keluarga dan karierku. Berkali-kali ibu menawarkan aku untuk menikah dengan sepupu Ibu. Namun, tetap aku akan merasa bahagia bila menikah dengan lelaki pilihanku. Ibu, maafkan aku belum bisa mewujudkan permintaanmu untuk menikah dengan segera. Saat in teman-teman sebayaku telah berkeluarga, sementara di usiaku yang ke-27 dengan ijazah S2 di tanganku masih tetap sendiri. Daripada mendengarkan komentar negatif dari orang-orang di sekitar kita, lebih baik aku tinggal di rantau, mengembangkan bakat, mengamalkan ilmu, hingga aku menemukan pasangan hidup. Aku janji bu, aku pasti pulang dengan membawa calon menantu untuk ibu. Tidak ada istilah ”telat menikah”, karena menikah bukan urusan siapa yang cepat dia yang menang. Ibu tidak usah takut dengan kekhawatiran yang ibu buat sendiri, bahwa aku belum menikah di usia sekarang karena dulu saat usiaku masih anak-anak sering menolak lamaran laki-laki sehingga sekarang aku kena guna-guna (santet). Ibu, anakmu mudah bergaul dengan siapapun, berpendidikan, dan rajin menunaikan panggilan Tuhan. Insyaallah, pintu jodoh bakal terbuka dari berbagai pintu yang di Kehendaki olehNya. Kuncinya, ibu meyakini Tuhan. Mudah-mudahan keajaiban dari-Nya itu segera datang. {}
Yogyakarta, 31122014.
*) Masthuriyah Sa’dan, lahir dan besar di Ambunten Sumenep Madura. Selain menjadi tenaga pengajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, juga aktivis perempuan di Rifka Annisa Yogyakarta.
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Teropong Dunia
Remaja Muslim Jerman dan Hak Kesehatan Reproduksi
Ditinjau dari Perspektif Budaya Oleh : Diah Rofika
Konferensi Kependudukan Dunia atau ICPD yang diadakan di Kairo pada tahun 1994, melahirkan kesepakatan bahwa Kesehatan Reproduksi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia (HAM) yang diakui oleh hukum nasional, dokumen internasioanl tentang HAM, dan dokumen-dokumen kesepakatan atau perjanjian lainnya. Oleh karenanya bukan sesuatu yang kontroversial bila dunia internasional memiliki kepedulian yang serius terhadap berbagai isu HAM termasuk Hak Kesehatan Reproduksi.
H
ak Kesehatan Reproduksi ini menjamin hakhak dasar setiap pasangan dan individu untuk memutuskan secara bebas dan bertanggungjawab mengenai waktu untuk memiliki anak, jarak kehamilan, jumlah anak yang diinginkan, dan hak untuk memperoleh informasi yang sebenar-benarnya, hak untuk membuat keputusan menyangkut reproduksi yang bebas dari diskriminasi, sikap sewenang-wenang dan kekerasan, termasuk hak untuk memperoleh standar tertinggi dari kesehatan reproduksi dan seksual. Rencana aksi ICPD mengisyaratkan bahwa negara-negara didorong untuk menyediakan informasi yang lengkap bagi semua warga negaranya mengenai kesehatan reproduksi tanpa memandang ras, agama, warna kulit, dan lain-lain. Jerman adalah salah satu dari sekian banyak negara yang konsen dan peduli pada isu ini. Sebagai negara liberal, pemerintah Jerman sangat melindungi hak-hak setiap warganya baik warga asli maupun imigran yang hidup dan menetap di sana. Tak terkecuali hak untuk memilih dengan cara apa dan bagaimana mereka mengatur kehidupan reproduksinya. Termasuk di dalamnya seks bebas atau hidup bersama tanpa ikatan pernikahan. Dari pengamatan saya banyak remaja berusia 20 tahun di Jerman yang meminta berpisah dari orang tuanya untuk menyewa apartemen sendiri. Mereka lalu berbagi apartemen dengan pacar, sahabat atau orang lain. Orang tua memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih karena mereka memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Dengan cara seperti itu mereka juga bisa belajar untuk hidup lebih
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
mandiri. Apalagi secara finansial setiap anak yang hidup di Jerman mendapat tunjangan (Kindergeld) dari pemerintah yang cukup untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari. Akan tetapi tentu saja tidak semua remaja melakukan cara seperti itu. Banyak juga remaja di sana yang memilih untuk tetap tinggal bersama keluarganya dan menolak melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Oleh karena pendidikan seks sudah diberikan sejak di Sekolah Dasar, maka mereka bisa memutuskan apa yang terbaik untuk diri mereka. Mereka menjadi tahu ada resiko yang harus ditanggung jika seks itu digunakan dengan cara yang tidak semestinya. Selain itu, pemerintah juga gencar mengkampanyekan seks yang aman. Misalnya dengan memasang iklan di ruang-ruang publik seperti stasiun, halte, dan lain-lain tentang pentingnya menggunakan kondom saat berhubungan agar tidak tertular penyakit. Lembaga-lembaga konsultasi bagi remaja atau perempuan juga menjamur di mana-mana. Banyak pula dibuka klinik kesehatan yang khusus menangani permasalahan reproduksi perempuan dengan dokter perempuan atau Frauenärztin sehingga perempuan tidak merasa jengah atau malu ketika berkonsultasi tentang masalah kesehatan reproduksinya. Hak-hak kesehatan reproduksi dewasa ini terus menerus dikampanyekan dan diharapkan bisa mengurangi terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan. Sejatinya, Kesehatan Reproduksi diartikan sebagai suatu keadaan sehat secara menyeluruh yang mencakup fisik, mental dan kehidupan sosial yang
Swara Rahima - 53
Teropong Dunia
berkaitan dengan alat, fungsi serta proses reproduksi. Oleh karenanya, keadaan sehat itu bukan hanya bebas dari penyakit, melainkan bagaimana seseorang dapat memilih kehidupan seksual yang aman dan memuaskan; terlepas apakah hal ini terjadi sebelum maupun sesudah menikah. Situasi ini sebenarnya mencerminkan budaya yang seolah tidak mengakui adanya ajaran agama yang mengatur tentang kehidupan seksual tanpa melanggar nilai-nilai luhur yang ada di dalamnya. Oleh sebagian masyarakat yang menjunjung tinggi norma dan nilai-nilai agama, upaya membangun kesadaran ini seringkali justru dianggap sebagai alat untuk melegalkan seks bebas dan aborsi. Di kalangan sebagian muslim pun berpendapat kurang lebih sama, menganggap masalah hak kesehatan reproduksi telah menyalahi aturan agama dan justru merendahkan perempuan. Menurut mereka pola fikir seperti itu adalah pola fikir feminis yang syarat dengan ide-ide kebebasan (liberalisme). Lalu bagaimana dengan kehidupan remaja muslim yang tinggal di Jerman? Selama lima tahun tinggal di Jerman, saya banyak bergaul dengan teman-teman muslim dari berbagai negara seperti Turki, Arab, Iran, Maroko, Pakistan, Mesir, Bangladesh, dan lain-lain, tua maupun muda. Saya melihat kebanyakan dari mereka masih memegang nilai-nilai yang diajarkan agama mereka yaitu Islam. Meskipun banyak di antara mereka yang berpenampilan layaknya remaja Eropa tetapi tidak kalah banyak juga yang masih mengenakan hijab, pergi ke sekolah-sekolah agama yang diadakan oleh dewan masjid komunitasnya, ikut kegiatan pengajian, cara berpikirnya juga masih berdasarkan pada ajaran agamanya dengan menganggap haram dan dosa hubungan seksual di luar nikah. Pada beberapa kunjungan yang pernah saya lakukan ke rumahrumah mereka, kebanyakan dari mereka masih tinggal bersama orangtuanya. Memutuskan untuk memilih tetap virgin bagi seorang perempuan yang hidup di Eropa dengan
54 - Swara Rahima
model budaya pergaulan yang begitu bebas tentu saja membutuhkan mental yang kuat, karena pilihan itu terkadang justru menjadi bahan olok-olokan orang lain. Tetapi kembali ke masalah hak, memilih untuk tetap mempertahankan keperawanannya atau keperjakaannya hingga waktu pernikahannya tiba juga merupakan hak yang harus dihormati. Ada satu gambaran unik pada para perempuan muslim imigran yang tinggal di Jerman, rata-rata mereka memiliki anak dengan jumlah yang banyak, 4 hingga 6 anak dengan jarak kelahiran yang sangat dekat satu dengan yang lainnya, sementara perempuan lokal paling banyak 3 anak atau bahkan ada yang memilih untuk tidak memilikinya. Usia para perempuan di sana jika saya perhatikan juga tergolong sudah tidak muda lagi saat mengandung dan melahirkan. Tetapi anehnya, hampir tidak pernah saya mendengar seorang ibu meninggal karena melahirkan. Terlepas dari peribahasa bahwa banyak anak banyak rejeki (saya kira peribahasa ini sangat relevan jika diterapkan di Jerman karena setiap anak yang lahir berarti tunjangan bertambah, itu artinya pendapatan keluarga juga bertambah) bisa jadi karena mereka telah memahami dengan baik hak-hak kesehatan reproduksi yang terus menerus dikampanyekan oleh pemerintah dan pemerintah tanpa memandang apakah warga negara asli atau pendatang, hak-hak mereka tetap dilindungi serta dihormati sebagai sebuah pilihan.{}
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Tanya Jawab
MENOLAK PERJODOHAN ATAU BERBAKTI PADA ORANG TUA? Diasuh oleh : Nyai Hj. Hindun Anisah, MA
Assalamu’alaikum wr.wb. Bu Nyai yang saya hormati, Saya, Siti Zahroh, 16 tahun, siswi kelas 1 di salah satu MA swasta di Pandeglang, Banten. Saya juga santriwati dari sebuah pesantren. Saya, sulung dari 5 bersaudara dari keluarga kurang berada. Beberapa waktu lalu, saat pulang ke rumah, ayah menyatakan akan menjodohkan saya dengan seorang lelaki pilihannya. Usianya 15 tahun lebih tua dari saya. Ayah mendesak saya untuk menerimanya, dengan alasan selain lelaki tersebut sudah mapan beliau khawatir kalau saya terjebak pada pergaulan bebas. Hal ini karena beliau sering mendengar berita bahwa zaman sekarang banyak anak gadis yang sudah tidak perawan. Sebenarnya ada yang mengganjal di hati saya, Bu Nyai. Mengingat usia saya masih terlalu muda, dan punya cita-cita untuk sekolah tinggi bahkan hingga jadi sarjana. Tapi saya tidak pernah berani menyampaikan hal ini kepada orang tua, karena takut akan menambah beban pikiran mereka. Di sisi lain, saya merasa takut dengan pendapat orang-orang dulu yang mengatakan bila menolak seseorang yang hendak melamar akan menyebabkan jauh jodohnya. Bu Nyai yang baik hati, Apa yang harus saya lakukan? Mohon pencerahannya, dan terimakasih banyak atas nasihatnya. Wassalam, Siti Zahroh, siswi salah satu MA swasta di Pandeglang Wa’alaikum salam wr.wb. Adinda Zahroh yang dirahmati Allah. Wah, saya senang sekali membaca surat Adik yang kritis ini. Saya berterimakasih atas kepercayaan Adik kepada kami untuk membantu menyelesaikan masalah yang sedang Adik alami.
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Adinda Zahroh yang disayang Allah. Banyak remaja yang mengalami dilema seperti yang Adik alami. Dilema antara menolak perjodohan atau menjalankan kewajiban untuk berbakti pada orang tua. Pada dasarnya dua hal tersebut bukanlah untuk dipertentangkan, oleh karena menolak perjodohan bukan berarti tidak berbakti terhadap orang tua asalkan penolakannya disampaikan dengan cara yang baik. Usia 16 tahun memang usia yang masih terlalu muda untuk menikah. Untuk melakukan pernikahan, kematangan fisik (biologis) dan psikologis sangatlah penting. Menurut para ahli, secara biologis perempuan yang berusia di bawah 20 tahun memiliki resiko tinggi untuk penyakit dan kematian ketika menjalankan fungsi reproduksi. Secara psikologis, usia 16 tahun ini kondisinya masih labil, sehingga belum siap jika melakukan pernikahan. Kita perlu mengingat bahwa tujuan pernikahan yaitu untuk mencapai sakinah, mawaddah, dan rahmah (QS. Ar Rum : 21). Tujuan yang mulia itu secara implisit mensyaratkan kematangan psikologis bagi siapapun yang akan melakukan pernikahan.
Hasil dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa dampak psikologis menikah di usia muda meliputi terputusnya pendidikan, kemiskinan, kehilangan kesempatan bekerja, mudah bercerai, anak yang dilahirkan akan mendapatkan kurang cukup perhatian, perkembangan yang terhambat dan mudah terpengaruh untuk melakukan perilaku menyimpang. Dengan berbagai dampak psikologis
Swara Rahima - 55
Tanya Jawab yang negatif ini, bagaimana mungkin tujuan pernikahan yang mulia dapat tercapai? Adinda Zahroh yang birrul walidain, Orang tua memang mempunyai kewajiban untuk menjadi wali bagi anaknya ketika anak tersebut menikah. Kewajiban menjadi wali ini tidak mengandung kewajiban untuk menjodohkan putra-puterinya, apalagi memaksakan sebuah perjodohan. Dalam hal ini Nabi Muhammad saw.bersabda :
bersepakat dengan pendapat orang tua, anak tersebut tidak dilarang untuk menyatakan ketidaksetujuannya terhadap orang tuanya. Hanya saja yang terpenting adalah hal itu disampaikan dengan cara yang baik dan bahasa yang tidak menyakiti orang tua. Adik Zahroh yang dimuliakan Allah,
Artinya :
Saya rasa sebaiknya Adik mengkomunikasikan ketidaksetujuan Adik atas perjodohan ini kepada orang tua Adik. Ajaklah orang tua Adik untuk mendiskusikan dampak-dampak negatif yang akan Adik alami ketika Adik menikah dini. Tunjukkan dan yakinkan orang tua Adik bahwa kekhawatiran akan terjebaknya Adik ke dalam pergaulan bebas tidak akan terjadi. Saya yakin, orang tua Adik sangat sayang pada Adik dan tidak akan rela jika Adik mengalami akibat atau menjadi korban nikah dini.
bahwa seorang perempuan tidak bisa dinikahkan atau dijodohkan tanpa persetujuan perempuan tersebut.
Sebagai orang pesantren, Adik pasti memahami kaidah Fiqh yang dapat menjadi bahan diskusi Adik dengan orang tua adik, yaitu :
وال تنكح البكر حتى،ال تنكح األيم حتى تستأمر تستأذن
Berdasarkan hadis tersebut, maka perempuan berhak menolak ketika dia tidak menyetujui perjodohan tersebut dan orang tua tidak boleh memaksakan kehendak terhadap puterinya. Hadis di atas menegaskan hak perempuan atas dirinya. Tidak ada seorang pun -bahkan orang tuanya-, yang berhak mengatur kapan dan dengan siapa perempuan menikah kecuali perempuan itu sendiri, Kata “hatta” dalam hadis tersebut menekankan pentingnya orang tua menghargai hak anak perempuannya tersebut. Sebuah perjodohan dan pernikahan tidak akan terjadi jika perempuan yang akan dijodohkan tidak menyetujuinya. Hadis tersebut juga menyiratkan bahwa menolak perjodohan yang ditawarkan oleh orang tua tidak diartikan sebagai perbuatan yang membangkang atau tidak berbakti kepada orang tua. Menerima atau menolak perjodohan merupalan hak bagi perempuan. Berbakti atau tidak berbakti kepada orang tua tidak diukur dari seseorang itu menerima atau menolak perjodohan, melainkan dari cara berkomunikasi anak terhadap orang tua. Banyak ayat dalam Alquran yang menekankan bahwa yang dimaksud dengan wa bi al-walidaini ihsaanaa (berbuat baik pada orang tua) itu terletak pada cara berinteraksi dan komunikasi anak terhadap orang tua. Ketika seorang anak tidak menyetujui atau kurang
56 - Swara Rahima
الضرر يزال Artinya : menghilangkan madharat, maka menghindari pernikahan dini termasuk menghindari berbagai madharat yang akan terjadi. Adapun tentang pendapat masyarakat yang mengatakan bahwa menolak lamaran seorang laki-laki dapat menjauhkan perempuan dari jodohnya itu hanya mitos yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Banyak sekali perempuan yang menikah dengan laki-laki yang “ke-sekian” yang melamarnya, yang berarti perempuan tersebut telah menolak lamaran laki-laki sebelumnya. Jadi, Adik tidak usah khawatir dengan mitos tersebut. Adinda Zahroh yang baik, Mudah-mudahan jawaban saya ini bermanfaat dan dapat membantu mengurangi kegelisahan Adik. Semoga Adik dapat mendiskusikan permasalahan Adik dengan orang tua Adik. Sekali lagi terimakasih atas kepercayaan Adik kepada kami. Selamat beraktivitas! Wassalamu’alaikum wr.wb.
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
Refleksi
Ketika Seksualitas Jadi Bahan Perbincangan di Kelas Oleh : Lukman Hadi*
A
walnya, para santri bertanya dan begitu penasaran apakah pelajaran PKRS itu. Namun ketika saya tulis kepanjangan akronim PKRS, serentak mereka semua hanya diam dan saling pandang satu dengan yang lain. “Seksualitas”, itulah kata yang tidak berani mereka sebutkan ketika pertama mengikuti pelajaran PKRS ini. Menurut para santri kata itu bermakna sangat negatif dan tidak pantas untuk diucapkan, terlebih lagi dibicarakan secara bersama-sama di dalam kelas. “Mboten pantes, Pak ngomongaken niku”, begitulah kurang lebih alasan yang mereka berikan. Menurut mereka kata seksualitas berkonotasi porno sehingga tidak pantas diucapkan bagi kalangan santri. Tak ayal pertemuan pertama yang seharusnya menjadi perkenalan sebuah muatan lokal baru ini menjadi sangat canggung. Kelas yang tadinya begitu antusias dengan rasa penasaran yang tinggi menjadi kelas yang penuh dengan keraguan dan ketakutan. PP Al-Ghazaliyah terletak di desa Sumber Mulyo, bersebelahan dengan desa Bapang, daerah pedesaan yang sudah menjadi sentra industri.. Pola pergaulan di daerah industri yang sudah cenderung “bebas” ditambah tidak semua santri yang bersekolah di Al Ghozaliyah bermukim di pesantren, ikut andil dalam memberikan contoh yang bisa
No. 48 Th. XIV. Maret 2015
“Astaghfirullahal-‘azhim”. Itulah kalimat pertama yang keluar dari para santri Madrasah Aliyah (MA) Al Ghozaliyah Jombang ketika pertama kali mengikuti mata pelajaran Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS). Mereka tidak dapat menyembunyikan perasaan terkejutnya saat mengetahui mata pelajaran PKRS yang ditetapkan sebagai muatan lokal baru di madrasah mereka adalah pelajaran yang membahas tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas. diartikan negatif oleh tingkat ilmu pengetahuan dan pemahaman para santri sebagai remaja. Keadaan santri yang berasal dari latar belakang pola asuh dan ekonomi yang berbedabeda telah melahirkan pola prilaku yang sangat beragam pula. Pernah suatu saat ada kejadian santri putri yang hamil. Meskipun santri tersebut bukanlah santri yang bermukim di pondok pesantren, tetap saja santri tersebut adalah santri di bawah naungan pesantren Al Ghozaliyah. Hal ini mengundang keprihatinan Kyai Nasrullah, MPd.I, pimpinan sekaligus pengasuh pondok pesantren Al Ghozaliyah ini. Kyai Nas tidak mau kecolongan lagi dengan mengabaikan fakta tersebut. “Jangan seperti yang lalu-lalu. Diam semua seolah nggak ada apa-apa, ternyata ada yang hamil”, begitulah Kyai Nas merefleksikan hal tersebut. Oleh karenanya, rapat Majelis Yayasan PP Al Ghazaliah pada TA 2014-2015 menetapkan sebuah hal baru: perlunya memberikan PKRS kepada para santri MA kelas X jurusan IPA dan IPS sebagai wujud pemenuhan dan perlindungan para santri dari beberapa dampak negatif. Para siswa yang awalnya tak berani menyebut kata seksualitas, kini juga mulai terbuka untuk mendiskusikan berbagai persoalan yang mereka alami dalam perkembangan usia mereka terkait kesehatan reproduksi. Seperti apakah onani/ masturbasi itu berbahaya? Apakah
hal tersebut haram? Kini mereka bisa mendiskusikan hal-hal yang tidak berani mereka tanyakan pada orang tua mereka, karena belum-belum sudah berprasangka buruk terhadap perilaku dan pola pergaulan putra-putrinya. Memberikan informasi yang benar dan utuh menjadi salah satu jalan keluar yang wajib ditempuh. Pondok pesantren Al Ghozaliyah telah melawan arus budaya “tabu” yang biasa berkembang di madrasah, dengan Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas yang komprehensif kepada para santri setingkat Madrasah Aliyah atau SMA. Para santri kini juga mulai aktif dalam kelompok-kelompok diskusi yang dibentuk untuk mengkaji dan menyelesaikan masalah-masalah seputar perkembangan usia mereka. Mereka mulai menemukan wadah yang nyaman untuk menanyakan dan mengetahui informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas mereka. Mereka juga mulai intens berjejaring untuk melakukan advokasi atas hakhak reproduksi mereka, sehingga terhindar dari tindak kekerasan maupun persoalan yang bisa muncul akibat kesalahan perilaku seksual mereka. {} * Guru PKRS di MA Al Ghozaliyah, Jombang
Swara Rahima - 57