DAFTAR ISI Daftar Isi Daftar Gambar
1 2
Ringkasan Eksekutif Bab I Pendahuluan 1. latar Belakang 2. Maksud dan Tujuan 3. Ruang Lingkup a. Penguatan Birokrasi Pemerintah b. Tingkat Pelaksanaan c. Program 4. Ukuran Keberhasilan a. Sasaran dan Indikator b. Dampak dan Indikator
3 6 6 23 23 23 23 23 24 24 25
Bab II
Gambaran Umum Pemerintah Aceh 1. Visi 2. Misi 3. Kondisi Nyata Birokrasi 4. Permasalahan yang Dihadapi 5. Pembenahan yang telah dilakukan
27 27 28 29 33 38
Bab III
Reformasi Birokrasi Aceh 1. Pencapaian Reformasi Birokrasi saat ini 2. Rencana Aksi Reformasi Birokrasi 2013-2017 3. Pelaksanaan Agenda Kegiatan RB 2013-2017 4. Pelaksanaan Agenda Prioritas (Quick Wins) 5. Tenaga Pelaksana 6. Anggaran
81 81 85 88 93 94 98
Bab IV
Penutup
104
Daftar Pustaka
106
1
RINGKASAN EKSEKUTIF Reformasi Birokrasi adalah sebuah komitmen nasional untuk mewujudkan sosok pemerintahan yang efektif dan efisien, serta bersih dan melayani. Dalam hal ini, peran pemerintah daerah dalam mendukung keberhasilan reformasi sangatlah strategis. Salah satu peran konkrit pemerintah daerah dalam mendukung reformasi birokrasi nasional adalah dengan turut menjadi pelaku reformasi tersebut, antara lain dibuktikan dengan adanya Road Map sebagai manifestasi kesiapan menjalankan reformasi. Untuk mewujudkan pemerintahan yang berdaya guna, berhasil guna, bersih, amanah dan bertanggungjawab, Pemerintah Aceh telah berkomitmen untuk memperbaiki tata kelola Pemerintahan Aceh dengan melakukan reformasi birokrasi dan menetapkannya menjadi salah satu prioritas Pembangunan Aceh yang tertuang dalam dokumen Perencanaan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2012-2017. Beberapa permasalahan yang menyangkut reformasi birokrasi adalah belum optimalnya pelaksanaan UUPA sebagai wujud implementasi MoU Helsinki. Di samping itu, Road Map Reformasi Birokrasi akan memberikan gambaran perihal langkah-langkah strategis dan juga berbagai agenda yang akan dijalankan terkait dengan pembenahan birokrasi yang akan dijalankan dalam rangka mewujudkan berbagai tujuan dan sasaran program pembangunan jangka panjang dan menengah Aceh. Bagi Aceh, penyusunan Road Map ini bertepatan dengan ditetapkannya RPJMA 2012-2017 era kepemimpinan Gubernur Dr. Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf. Visi pembangunan Aceh tahun 2012-2017 disusun berdasarkan kondisi kekinian Aceh dan permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam 5 (lima) tahun mendatang dengan memperhitungkan potensi daerah yang dimiliki oleh masyarakat Aceh, yaitu Aceh yang Bermartabat Sejahtera Berkeadilan dan Mandiri Berlandaskan Undang-Undang Pemerintahan Aceh sebagai Wujud MoU Helsinki. Visi ini disusun sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJPA) 2005-2025. Adapun misinya adalah:
Tata kelola Pemerintahan Aceh yang amanah melalui penyelesaian turunan UUPA;
Menerapkan nilai-nilai budaya Aceh dan Dinul Islam;
Memperkuat struktur ekonomi dan kualitas sumber daya manusia;
Pembangunan Aceh yang proporsional, terintegrasi dan berkelanjutan; dan
Peningkatan nilai tambah produksi masyarakat dan optimalisasi pemanfaatan SDA 2
Upaya penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh 20122017 pada dasarnya adalah jabaran dari visi dan misi Kepala Daerah terpilih dengan memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Berdasarkan jabaran dan sinkronisasi tersebut, maka sepuluh prioritas bidang pembangunan untuk periode 2012-2017 adalah: 1. Penuntasan peraturan-peraturan turunan UUPA 2. Pelaksanaan reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang amanah 3. Membangkitkan kembali pemahaman masyarakat terhadap budaya Aceh dan pelaksanaan Dinul Islam 4. Pengembangan ekonomi kerakyatan melalui peningkatan produksi komoditas unggulan 5. Pengembangan industri dan pariwisata berbasis sumber daya lokal 6. Peningkatan kualitas SDM melalui pelayanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas 7. Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur yang terintegrasi dan ramah lingkungan 8. Peningkatan kualitas dan pemanfaatan jasa lingkungan serta pengurangan resiko bencana 9. Pengelolaan SDA yang bermanfaat untuk rakyat dan berkelanjutan 10. Pembangunan energi dengan mengutamakan sumber-sumber energi terbarukan Birokrasi sebagai hal yang terpenting dalam pencapaian tujuan pembangunan Aceh masih belum menunjukkan kinerja yang diharapkan. Berbagai permasalahan yang dihadapi birokrasi Aceh antara lain adalah sebagai berikut:
Besaran organisasi perangkat Aceh belum didasarkan pada indikator teknis urusan pemerintahan, hasil analisis jabatan dan analisis beban kerja;
Pengelolaan keuangan daerah belum tertib dan tepat waktu, hal ini tergambar dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap pengelolaan keuangan Provinsi Aceh masih dalam kategori wajar dengan pengecualian (WDP);
Distribusi PNS yang tidak proporsional dengan tugas dan fungsi organisasi pemerintah;
Komposisi antara jabatan teknis dengan tenaga administratif yang belum proporsional;
Belum diterapkannya standar pelayanan pada setiap unit pelayanan publik;
Belum optimalnya penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai 3
dengan SPM yang telah ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian pada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota;
Belum dilakukan harmonisasi antara sistem perencanaan dan sistem penganggaran dengan sistem AKIP; dan
Rencana Kinerja Tahunan belum dijadikan pedoman dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Aceh, sehingga keterkaitan antara anggaran yang diajukan tidak sesuai dengan kinerja yang direncanakan.
Untuk memperbaiki permasalahan birokrasi tersebut di atas, maka Pemerintah Aceh menyusun Road Map Reformasi Birokrasi dengan maksud untuk memberikan arah pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan Pemerintah Aceh agar berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi, melembaga, dan berkelanjutan. Tujuan akhirnya dari penyusunan Road Map ini adalah untuk peningkatan profesionalisme dan integritas birokrasi pemerintahan melalui penguatan peraturan perundang-undangan, perubahan perilaku, penataan organisasi, penataan tatalaksana, penerapan budaya organisasi, penataan manajemen SDM aparatur, penguatan akuntabilitas, peningkatan kualitas pelayanan publik, pemberantasan praktek KKN, penerapan sistem monitoring, evaluasi kinerja dan pengawasan birokrasi yang semakin melibatkan partisipasi masyarakat. Adapun ukuran keberhasilan Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh periode RPJMA 2012-2017 dapat ditandai dengan ukuran sebagai berikut: a) berkurangnya angka korupsi yang ditandai dengan tidak ada pelanggaran/sanksi; b) APBN dan APBA baik; c) semua program selesai dengan baik dan tepat sasaran; d) semua perizinan selesai dengan cepat dan tepat; e) komunikasi dengan publik baik; f) penggunaan waktu (jam kerja) efektif dan produktif; g) penerapan reward dan punishment secara konsisten dan berkelanjutan; dan h) hasil pembangunan nyata (propertumbuhan, prolapangan kerja, dan propengurangan kemiskinan; artinya, menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan, dan memperbaiki kesejahteraan rakyat). Untuk mewujudkan ukuran keberhasilan tersebut, dirumuskanlah beberapa kegiatan/rencana aksi 2013-2017 yang bisa dijadikan sebagai solusi untuk memecahkan persoalan-persoalan birokrasi saat ini. Agenda reformasi birokrasi ini mendasarkan pada delapa area perubahan, yaitu: kelembagaan, ketatalaksanaan, SDM aparatur, perundang-undangan, pelayanan publik, pengawasan, akuntabilitas, budaya kerja dan pola pikir. Untuk menjalankan agenda reformasi ini maka diperlukan adanya dukungan dana serta unit pelaksana yang bertanggung jawab menjalankan program ini. Sebagai bagian dari program reformasi birokrasi, maka Pemerintah Aceh menetapkan program prioritas (quick wins), yakni suatu program unggulan yang 4
akan dijadikan sebagai alat untuk menaikkan citra birokrasi dan kepercayaan publik. Pemerintah Aceh memilih delapan program prioritas sebagai agenda quick wins, yaitu: Digitalisasi dokumen LAKIP SKPA dan Pemerintah Aceh pada Portal Pemerintah Penambahan aplikasi sistem akuntansi keuangan Aceh Penyusunan SOP Penanggulangan Bencana Aceh Penandatanganan kontrak kinerja satuan kerja Revisi SOP BP2T Terkait Pengutipan Biaya di luar Qanun Pengembangan aplikasi yang mendukung e-gov Pengembangan Pelayanan Kesehatan Terpadu (Integrated Health Service) Rumah Pengesahan Peraturan Gubernur Prosedur Peminjaman dan Pengembalian Buku di Perpustakaan
5
BAB I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Aceh terus mengupayakan pembenahan dan perubahan menuju kondisi pemerintahan yang lebih baik setelah mengalami konflik yang berkepanjangan dan Gempa serta Tsunami yang berujung pada lahirnya perdamaian yang bermartabat melalui MoU Helsinki 15 Agustus 2005 antara Pemerintah Republik Indonesia (PEMRI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sebagai salah satu butir kesepahaman dalam MoU Helsinki adalah penetapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang memberikan kewenangan yang sangat luas kepada Pemerintah Aceh untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah Aceh memiliki otonomi khusus yang tidak dimiliki oleh provinsi lain selain Papua, Papua Barat dan Yogyakarta. Otonomi khusus ini pada hakikatnya memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi provinsi Aceh untuk berkembang dan melaksanakan percepatan pembangunan. Namun, lima tahun sejak ditetapkannya UUPA, pembangunan dan perkembangan Aceh belum terlihat menggembirakan, bahkan belum mencapai tahapan lebih baik dari pada provinsi lainnya yang tidak memiliki kekhususan. Karena itu pembenahan awal harus dimulai dengan upaya mereformasi birokrasi Pemerintahan Aceh sebagai starting point untuk mendorong percepatan penyelenggaraan pembangunan Aceh. Sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kinerja birokrasi yang berorientasi hasil melalui perubahan secara terencana, bertahap, dan terintegrasi dari berbagai komponen strategis birokrasi pemerintah berikut: (1) landasan hukum dan regulasi; (2) organisasi; (3) tatalaksana; (4) manajemen SDM aparatur; (5) pola pikir, budaya organisasi, dan nilai dasar aparatur; (6) integritas aparatur; (7) sistem pengawasan internal dan akuntabilitas kinerja; (8) kualitas pelayanan publik; (9) sistem monitoring dan evaluasi kinerja, dan pengelolaan pengetahuan reformasi birokrasi. Untuk mewujudkan pemerintahan yang berdaya guna, berhasil guna, bersih, amanah dan bertanggungjawab, Pemerintah Aceh telah berkomitmen untuk memperbaiki tata kelola Pemerintahan Aceh dengan melakukan reformasi birokrasi dan menetapkannya menjadi salah satu prioritas Pembangunan Aceh yang tertuang dalam dokumen Perencanaan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2012-2017. Beberapa permasalahan yang menyangkut reformasi birokrasi adalah belum optimalnya pelaksanaan UUPA sebagai wujud implementasi MoU Helsinki. Hal ini disebabkan 6
oleh karena masih terdapat beberapa peraturan pelaksanaan yang merupakan turunan dari UUPA yang belum dituntaskan sehingga menghambat keberlanjutan pencapaian sasaran pembangunan. Turunan dari UUPA yang belum tuntas tersebut terdiri dari: a. Peraturan Pemerintah (PP) yang harus diselesaikan sebanyak 9 (sembilan), yang sudah ditetapkan sebanyak 3 (tiga), 2 (dua) sedang dalam pembahasan dan penyelesaian, 4 (empat) belum ada draft, sementara PP yang telah ditetapkanpun belum sepenuhnya didukung dengan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaannya. b. Peraturan Presiden (Perpres) yang harus ditetapkan sebanyak 3 (tiga), 2 (dua) sudah ditetapkan dan 1 (satu) lagi belum ada draft. c. Qanun Aceh yang harus disahkan sebanyak lebih kurang ada 48 substansi judul, yang sudah ditetapkan menjadi Qanun Aceh sebanyak 32 (tuga puluh dua) substansi judul qanun dan 16 (enam belas) Qanun dalam proses penyusunan dan pembahasan di DRPA (Sumber: Biro Hukum Setda Aceh, per 31 Maret 2013). Penyelesaian PP dan Perpres merupakan kewenangan dari pemerintah pusat. Pemerintah Aceh hanya memiliki kewajiban dalam penyiapan draf PP dan Perpres. Oleh karena itu, draft PP dan Perpres yang belum ada harus disiapkan segera oleh Pemerintah Aceh melalui pembentukan Tim Percepatan Penyelesaian PP dan Perpres. Demikian juga terhadap qanun-qanun yang belum selesai, perlu segera dituntaskan agar implementasi reformasi birokrasi segera dapat terwujud. Berkaitan dengan pelaksanaan penataan kelembagaan perangkat Aceh telah dilakukan inisiasi sejak tahun 2005 hingga akhir 2006. Dengan ditetapkannya UUPA maka terlihatlah gambaran baru dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus bagi Pemerintah Aceh. Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah menetapkan PP 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah sebagai suatu pedoman dalam penataan kelembagaan perangkat daerah. Pemerintah Aceh telah melakukan penataan perangkat Aceh dengan ditetapkannya sejumlah Qanun dan Peraturan Gubernur, namun sejalan dengan perkembangan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan masih terdapat kendala dan hambatan dalam pelaksanaan penataan perangkat daerah. Permasalahan tersebut meliputi: 1. Pola besaran organisasi tidak sesuai dengan urusan/kewenangan, kemampuan, kebutuhan, potensi dan karakteristik daerah; 2. Pelaksanaan urusan pemerintahan dalam satu kelembagaan perangkat daerah menyebabkan kesulitan dalam melakukan koordinasi baik dengan Pemerintah maupun dengan Pemerintah Kabupaten/Kota; 7
3. Besaran organisasi perangkat Aceh belum didasarkan pada indikator teknis urusan pemerintahan, hasil analisis jabatan dan analisis beban kerja; 4. Penggabungan urusan pemerintahan menyebabkan kesulitan dalam memperoleh kompetensi pimpinan SKPA dikarenakan satu SKPA mempersyaratkan beberapa kompetensi dan disiplin ilmu; 5. Belum terbentuknya kelembagaan perangkat Aceh yang merupakan amanat UUPA; 6. Pemanfaatan jabatan fungsional tertentu dan fungsional umum pada setiap SKPA belum optimal yang memberikan konsekuensi penambahan pegawai tidak tetap pada setiap SKPA. Praktek KKN juga mempunyai kaitan erat dengan reformasi birokrasi. Praktek KKN mengakibatkan tidak efisien dan tidak efektifnya pemanfaatan anggaran pembangunan dan dapat memicu biaya ekonomi tinggi. Disamping itu, praktek KKN juga menyebabkan tidak tepatnya sasaran pembangunan, menimbulkan persaingan tidak sehat sekaligus mematikan kreativitas dan produktivitas masyarakat dan hasil pembangunan akan berpihak pada kepentingan kelompok tertentu daripada kepentingan masyarakat umum. Hal ini mengakibatkan sasaran dan kualitas pembangunan tidak terealisasi secara maksimal. Pengelolaan keuangan daerah belum tertib dan tepat waktu, hal ini tergambar dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap pengelolaan keuangan Provinsi Aceh masih dalam kategori wajar dengan pengecualian (WDP). Dengan kata lain, Pemerintah Aceh belum pernah menerima predikat wajar tanpa pengecualian (WTP). WTP merupakan tingkat pencapaian penghargaan tertinggi dalam pengelolaan keuangan daerah. Penyebab utama suatu daerah belum menerima predikat WTP tersebut antara lain: (1) belum profesionalnya pengelolaan aset, (2) kapasitas sumber daya manusia (SDM) belum profesional dalam pengelolaan keuangan dan aset publik, (3) belum transparannya pengelolaan keuangan dan aset, (4) belum optimalnya pemanfaatan standar operasional prosedur (SOP) dalam pengelolaan aset dan keuangan (BPK, 2012). Hasil audit BPK tahun 2011 terhadap pengelolaan keuangan daerah provinsi Aceh menyebutkan bahwa terdapat potensi kerugian negara sebesar 1,7 Triliyun pada tahun 2011 dengan 122 jumlah dugaan kasus korupsi (BPK, 2012). Selanjutnya ICW (2010) melaporkan bahwa Aceh termasuk ke dalam 4 (empat) besar provinsi terkorup di Indonesia dengan 14 kasus dugaan korupsi. Kasus dugaan korupsi ini sebagian besar terjadi pada kegiatan pengadaan barang dan jasa yang masih belum transparan dan akuntabel. Salah satu penyebab terjadinya korupsi pada pengadaan barang dan jasa tersebut karena belum sepenuhnya satuan kerja perangkat Aceh (SKPA) menggunakaan sistem e-procurement. 8
Pengelolaan keuangan daerah agar menjadi efisien dan efektif dilakukan dengan mengevaluasi kembali proporsi pengalokasian belanja langsung dan belanja tidak langsung pemerintah. Hasil rekapitulasi belanja langsung dan belanja tidak langsung Pemerintah Aceh untuk setiap tahunnya berkisar sebesar 55% untuk belanja langsung dan 45% belanja tidak langsung. Belanja langsung ini pada hakikatnya ditujukan untuk membiayai pembangunan daerah yang manfaatnya diterima secara langsung oleh masyarakat. Namun, dalam belanja langsung itu pun masih terdapat sebesar 30% untuk belanja aparatur. Dengan demikian, belanja langsung ini secara riil hanya 25% untuk membiayai pembangunan yang manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat. Dengan kata lain, Pemerintah Aceh mengalokasikan belanja tidak langsung (belanja aparatur) sebesar 75% (P2K, 2012). Tingginya belanja aparatur disebabkan oleh belum efisiennya pengaturan perjalanan dinas, belanja barang dan jasa, dan operasional masing-masing SKPA. Belanja perjalanan dinas perlu diatur dan dikendalikan secara ketat melalui mekanisme yang tepat dengan metode fixed cost seperti yang diterapkan oleh ABPN. Penggunaan biaya jasa kantor seperti pemakaian listrik, telepon, dan internet harus dilakukan sehemat mungkin, demikian juga terhadap barang habis pakai seperti alat tulis kantor, kertas dan tinta printer. Selanjutnya, jasa cleaning service perlu dievaluasi efektivitas dan sistem pelaksanaannya, apakah perlu menggunakan mekanisme swakelola atau dikontrakkan kepada pihak ketiga. Semua hal tersebut agar dapat diimplementasikan perlu didukung oleh Peraturan Gubernur dan komitmen seluruh aparatur pemerintahan untuk melaksanakan kegiatan pembangunan yang efektif dan efisien. Manajemen aparatur berkaitan erat dengan proses rekrutmen, distribusi dan penegakan disiplin (reward and punishment). Proses rekrutmen aparatur pemerintah harus berdasarkan pada kebutuhan riil dan profesionalisme yang didahului dengan suatu kajian kebutuhan riil masing-masing SKPA. Latar belakang pendidikan dan keahlian yang dimiliki menjadi salah satu indikator penilaian dalam proses rekrutmen. Demikian juga penempatan aparatur yang perlu disesuaikan dengan tugas dan fungsi masing-masing SKPA. Distribusi aparatur pemerintah khususnya guru, tenaga medis dan para medis serta penyuluh masih belum merata di semua wilayah, baik secara kualitas maupun kuantitas. Namun, kewenangan dalam mengatur distribusi guru, tenaga medis dan para medis serta penyuluh tersebut berada di bawah otoritas masingmasing pemerintah kabupaten/kota. Dengan kata lain, pemerintah Aceh tidak memiliki kewenangan untuk melakukan distribusi guru, tenaga medis dan para medis serta penyuluh secara proporsional khususnya di daerah kepulauan dan 9
perbatasan. Oleh karena itu, Gubernur Aceh sebagai kepala Pemerintah Aceh perlu melakukan koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota agar pendistribusian guru, tenaga medis dan para medis serta penyuluh bisa dilakukan secara terpadu yang diatur melalui keputusan Gubernur. Dalam rangka pembinaan dan peningkatan kinerja aparatur, perlu diatur suatu mekanisme pemberian penghargaan (reward) dan sanksi (punishment). Tatacara pemberian penghargaan dilakukan secara selektif dan terukur sesuai dengan kinerja dan produktivitas aparatur dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Disisi lain juga diberikan sanksi yang tegas kepada aparatur pemerintah yang tidak disiplin dalam menjalankan tugasnya sehingga memberi efek jera kepada aparatur yang bersangkutan sekaligus menjadi pembelajaran bagi aparatur lainnya. Tatacara pemberian penghargaan dan sanksi kepada aparatur diatur lebih lanjut dengan peraturan Gubernur. Secara umum permasalahan Aparatur Pemerintah Aceh saat ini diantaranya: 1. Distribusi PNS yang tidak proporsional dengan tugas dan fungsi organisasi pemerintah. 2. Komposisi antara jabatan teknis dengan tenaga administratif yang belum proporsional. 3. Mismatch antara kompetensi PNS dengan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan. 4. Produktivitas dan kinerja PNS belum mencapai standar yang diharapkan. 5. Disiplin dan etos kerja yang masih rendah serta penegakan disiplin yang belum berjalan sesuai dengan sistem serta masih tergantung kepada komitmen pejabat. Aspek lainya yang masih terkendala adalah kualitas pelayanan publik yang belum memenuhi perkembangan masyarakat. Pelayanan publik yang diberikan oleh instansi Pemerintah, baik Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota kepada masyarakat merupakan perwujudan fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat. Pada era otonomi daerah, fungsi pelayanan publik menjadi salah satu fokus perhatian dalam peningkatan kinerja instansi pemerintah daerah. Secara umum penyelenggaraan pelayanan publik belum sesuai dengan harapan dan belum dapat mengakomodir kepentingan seluruh lapisan masyarakat serta belum memenuhi hak-hak dasar warga negara/penduduk. Adapun permasalahan yang dihadapi dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik antara lain: 1.
Belum diterapkannya standar pelayanan pada setiap unit pelayanan publik;
10
2.
Belum optimalnya penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai dengan SPM yang telah ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian pada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota;
3.
Belum optimalnya peran dan partisipasi masyarakat dalam penyusunan standar pelayanan dan evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik.
Penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien dan produktif dapat tercermin dari penguatan tatalaksana pemerintahan. Permasalahan yang dihadapi dalam penguatan tatalaksana meliputi: 1. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien;
belum
mendorong
2. Sistem, prosedur dan mekanisme kerja birokrasi pemerintahan yang masih panjang dan berbelit-belit sehingga memboroskan sumber daya, energi dan waktu; 3. Belum adanya pedoman umum untuk berbagai aspek ketatalaksanaan, sehingga mengakibatkan adanya keanekaragaman petunjuk yang berdampak pada adanya keanekaragaman petunjuk teknis yang dibuat oleh setiap instansi pemerintah; 4. Budaya kerja efisien, efektif, disiplin, hemat, produktif dan hidup sederhana yang belum berkembang. Penerapan sistem pertanggungjawaban kinerja yang tepat, jelas, terukur dan dapat dipertanggungjawabkan merupakan syarat penting bagi penyelenggaraan pemerintah. Disamping itu perlu juga untuk mengetahui dengan persis keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi Pemerintah Aceh dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Media pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan administrasi pemerintahan dan penyelenggaraan pembangunan kemasyarakatan belum dapat menggambarkan kinerja yang sesungguhnya yang ingin diwujudkan, sehingga jika dibandingkan dengan daya serap anggaran, belum sebanding dengan hasil pencapaian dari pelaksanaan program dan kegiatan pada Satuan Kerja Perangkat Aceh yang dilaporkan setiap berakhirnya tahun anggaran dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Hal ini menunjukkan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah belum berjalan secara optimal, salah satu dikarenakan indikator dan target kinerja untuk mengukur keberhasilan pencapaian tujuan dan sasaran belum dirumuskan secara baik dan belum didukung dengan data kinerja yang valid dan terukur. Mengingat arti pentingnya akuntabilitas kinerja aparatur maka Road Map Reformasi Birokrasi menjadi salah satu pilar utama dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh. Namun dalam implementasinya, juga ditemukan beberapa permasalahan, antara lain : 11
1. Belum dilakukan harmonisasi antara sistem perencanaan dan sistem penganggaran dengan sistem AKIP. 2. Rencana Kinerja Tahunan belum dijadikan pedoman dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Aceh, sehingga keterkaitan antara anggaran yang diajukan tidak sesuai dengan kinerja yang direncanakan; 3. Belum dilakukan secara optimal studi kelayakan terhadap program dan kegiatan yang direncanakan untuk menghindari pelaksanaan program dan kegiatan yang tidak menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi SKPA; 4. Beberapa SKPA belum memiliki data kinerja yang valid, sehingga menyulitkan dalam penyusunan dokumen AKIP; 5. Banyak instansi pemerintah belum berfokus kepada hasil; 6. Instansi pemerintah umumnya belum dapat menunjukkan akuntabilitas kinerjanya. Permasalahan ini menjadi tantangan besar Pemerintahan Aceh dalam membangun Aceh selama periode 2012-2017. Untuk itu disusunlah Road Map Reformasi Birokrasi Pemerintahan Aceh sebagai peta untuk perbaikan tata kelola Pemerintahan Aceh secara terencana, bertahap dan berkelanjutan dengan tetap berpedoman pada UUPA. Road Map Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh (RMRB-PA) adalah bentuk operasionalisasi Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional (GDRB) yang disusun dan dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali dan merupakan rencana rinci pelaksanaan reformasi birokrasi dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya, dalam masa lima tahun, dengan sasaran tahunan yang jelas. Sasaran tahun pertama akan menjadi dasar bagi sasaran tahun berikutnya, begitu juga sasaran tahun-tahun berikutnya mengacu pada sasaran tahun-tahun sebelumnya. Secara sederhana, gambar hubungan Road Map Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh dengan dokumen Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional adalah sebagai berikut:
12
Gambar 1 Hubungan Road Map Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh dengan dokumen Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional
Gambar 2 Hubungan Road Map Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh dengan dokumen Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional Grand Design Reformasi Birokrasi NASIONAL 2010-2025 Ditetapkan melalui Perpres
Road Map Reformasi Birokrasi NASIONAL (lebih bersifat living document) Ditetapkan melalui Permen PAN dan RB
Road Map Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh (lebih bersifat living document) Ditetapkan melalui Peraturan Gubernur
Road Map Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh (RMRB-PA) juga merupakan penjabaran kongkrit dari misi pertama Gubernur Aceh untuk Memperbaiki tata 13
kelola Pemerintahan Aceh yang amanah melalui Implementasi dan penyelesaian turunan UUPA untuk menjaga perdamaian yang abadi. Penyusunan dokumen Road Map ini berpedoman pada Grand Design dan Road Map Reformasi Birokrasi Nasional dan merupakan dokumen pendamping RPJM Aceh Tahun 2012–2017. Road Map Reformasi Birokrasi Aceh menjadi acuan dalam pencapaian Tujuan RPJM Aceh 2012 – 2017, khususnya dalam pencapaian misi pertama. Tujuan misi pertama adalah terwujudnya tata kelola Pemerintahan Aceh yang amanah melalui penyelesaian turunan dan Implementasi UUPA untuk menjaga perdamaian yang abadi, dengan sasaran sebagai berikut : a. Terwujudnya penyelesaian peraturan-peraturan turunan UUPA seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Qanun dan peraturan perundang-undangan lainnya; b. Terwujudnya implementasi UUPA secara cepat dan akurat melalui implementasi berbagai turunan UUPA yang mengikat dalam upaya pencapaian keutuhan, perdamaian abadi, dan percepatan pembangunan yang berkelanjutan; c. Terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang bermartabat, bersih, dan amanah serta bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme, dengan mengedepankan kualitas kerja dan profesionalisme; d. Terwujudnya birokrasi yang kuat melalui optimalisasi pelayanan publik, menjaga kelangsungan pembangunan yang berkelanjutan melalui terciptanya supremasi hukum dan penegakan hak asasi manusia. Tersedianya ruang dialog publik yang bebas dan bertanggung jawab serta peningkatan peran serta dan partisipasi masyarakat sipil dalam kehidupan politik dan kegiatan pembangunan; e. Terciptanya tata kelola pemerintahan yang tertib sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan penguatan sistem kelembagaan yang memiliki nilai-nilai demokrasi yang menitikberatkan pada prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, non-diskriminasi, dan kemitraan. Gambar 3 Reformasi Birokrasi dan Pembangunan Aceh
14
Mengingat peran dan fungsi penting Road Map Reformasi Birokrasi bagi Pemerintah Aceh dan masyarakat pada umumnya, maka proses penyusunannya dilakukan secara sistematis, akurat dan terpadu dengan melibatkan seoptimal mungkin peran para pemangku kepentingan pembangunan. Berdasarkan alasan tersebut maka penyusunan Road Map ini dilakukan secara transparan dan partisipatif untuk menghasilkan dokumen perencanaan yang holistik dan berkesinambungan. Road Map ini berisi arah kebijakan, program, dan kegiatan rencana aksi reformasi birokrasi Pemerintah Aceh, termasuk juga program SKPA, program lintas SKPA, dan program kewilayahan yang terintegrasi dengan baik serta disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. Dengan demikian diharapkan akan terciptanya sinkronisasi rencana aksi reformasi birokrasi antar sektor dan wilayah baik bersifat jangka panjang, menengah, maupun jangka pendek, sehingga terwujudnya pembangunan yang terpadu dan berkelanjutan di Aceh. 1.2 Prioritas Pembangunan Aceh Dalam tataran pelaksanaan, Visi dan Misi pembangunan Pemerintah Aceh perlu dijabarkan program prioritas disertai kebutuhan pendanaan yang merupakan program unggulan Pemerintah Aceh. Pemerintah Aceh telah menetapkan 10 (sepuluh) program prioritas Pembangunan Aceh 2012-2017 yaitu : 1. Reformasi Birokrakrasi dan Tata Kelola Pemerintahan dengan Program : Program Penataan Peraturan Perundang-undangan
Program Pembinaan dan Pengembangan Aparatur;
Program Pendidikan Kedinasan;
Program peningkatan pengembangan sistem pelaporan capaian kinerja dan keuangan;
Program Peningkatan dan Pengembangan Pengelolaan Keuangan Daerah;
Program penguatan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah; *) Program Baru
Program peningkatan pelayanan publik;
Program Pembinaan, Pengembangan dan Kesejahteraan Aparatur;
Program fasilitasi Pindah/Purna Tugas PNS.
Program koordinasi pelestarian dan kapasitas kegiatan PPNS;
Program Peningkatan Akuntabilitas dan Administrasi Keuangan BLUD; *) Program Baru
Program peningkatan kapasitas sumberdaya aparatur;
Program Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintah Gampong;
Program Peningkatan Imum Mukim dan Kelembagaannya; 15
Program peningkatan kualitas kelembagaan perangkat Aceh; *) Program Baru
Program peningkatan kelembagaan dan aparatur;
Program Peningkatan Kapasitas Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah
Program Peningkatan, Pembinaan, Pengembangan dan Kesejahteraan Sekretariat DPRA;
Program penataan daerah otonomi baru;
Program peningkatan pelayanan kedinasan kepala daerah/wakil kepala daerah;
Program peningkatan pelayanan masyarakat di luar daerah;
Program peningkatan kapasitas kelembagaan organisasi korpri;
Program pemilihan kepala daerah dan Pemilu
Program koordinasi peningkatan kapasitas kependudukan dan catatan sipil
Program peningkatan sistem pengawasan internal dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kepala daerah
Peningkatan Profesionalisme tenaga pemeriksa dan aparatur pengawasan
Program Peningkatan dan Pengembangan Pengelolaan Keuangan Daerah
Program Pembinaan dan Fasilitasi Pengelolaan Keuangan Kabupaten/Kota
Program peningkatan kualitas ketatalaksanaan; *)Program Baru
Program penataan administrasi kependudukan;
Program optimalisasi penataan pendapatan Aceh *)=Program Baru
Program revitalisasi sumber pendapatan Aceh *)=Program Baru
2. Keberlanjutan Perdamaian dengan Program :
Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Perencanaan Pembangunan Daerah
Program Pengembangan Data dan Informasi
Program Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Aparatur
Program Kerjasama Informasi dengan Media Massa
Program Pembinaan Kepemudaan
Program Peningkatan Keamanan dan Kenyamanan Lingkungan
Program Pemberdayaan Masyarakat untuk Menjaga Ketertiban dan Keamanan
Program Konsolidasi Perdamaian Aceh
Program Transformasi Penanganan Konflik Aceh
Program Pendidikan Politik Masyarakat
Program Kemitraan Pengembangan Wawasan Kebangsaan
Program Pembauran Kebangsaan 16
Program Transmigrasi Lokal
Program Pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial
Program Pemberdayaan Ekonomi *) Program Baru
Program pengembangan perumahan
3. Dinul Islam, Adat dan Budaya dengan program : Program Pelestarian dan Pembinaan Adat Istiadat;
Program Peningkatan Kualitas Kelembagaan Adat;
Program Pengkajian Adat dan Adat istiadat;
Program Pembinaan dan Pengembangan Hukum Adat;
Program Pengelolaan Keragaman Khasanah Adat dan Adat Istiadat;
Program Pengembangan Sarana dan Prasarana Kebudayaan;
Program Pengembangan Nilai Budaya;
Program Pengelolaan Kekayaan Budaya;
Program Pengelolaan Keragaman Budaya;
Program Pengembangan Kerjasama Pengelolaan Kekayaan Budaya;
Program Peningkatan Kualitas Pendidikan, Kebudayaan dan Adat Istiadat;
Program Peningkatan Pemahaman, Penghayatan, dan Pengamalan Al-Qur'an;
Program peningkatan zakat, harta waqaf, harta agama dan perwalian; *) Program Baru
Program Peningkatan ZIS dan Pembinaan Kelembagaan;
Program pembinaan lembaga sosial keagamaan; *) Program Baru
Program Peningkatan pemahaman keagamaan bagi aparatur; *)=Program Baru
Program Peningkatan Kualitas Kesejahteraan Rakyat;
Program Pemberdayaan Fakir Miskin Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Lainnya,
Program Pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial,
Program Pembinaan Anak Terlantar,
Program Pembinaan Para Penyandang Cacat dan Trauma,
Program Pembinaan Panti Asuhan / Panti Jompo
Program Pembinaan Eks. Penyandang Penyakit Sosial (eks. Narapidana; PSK; Narkoba dan Penyakit sosial lainnya),
Program Pemberdayaan Kelembagaan Kesejahteraan Sosial.
Program Pembinaan Sosial Kemasyarakatan.
Program Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Gampong;
Program Pengembangan Lembaga Ekonomi Gampong; 17
Program Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Membangun Gampong;
Program Penyediaan da’i perbatasan, perdesaan dan perkotaan; *) Program Baru
Program Pembinaan Dakwah dan Syiar Islam;
Program Peningkatan pemahaman keagamaan bagi masyarakat; *) Program Baru
Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Keagamaan
Program Peningkatan Pemahaman Wawasan Islam
Program Pembinaan dan Koordinasi Wilayatul Hisbah (WH);
Program Peningkatan Sumber Daya dan Peran Ulama;
Program Peningkatan Silaturrahmi dan Koordinasi antara Umara dan Ulama; *) Program Baru
Program Peningkatan Kualitas Kelembagaan Agama, Pelayanan Kehidupan Beragama dan Peran Ulama;
Program Pengembangan dan Pemberdayaan Peradilan Syariah
Program Peningkatan Kehidupan Beragama dan Toleransi Umat Beragama
Program Pengembangan Keserasian Kebijakan Pemuda;
Program Peningkatan Peran serta kepemudaan;
Program Peningkatan Upaya Pertumbuhan Kewirausahaan dan Kecakapan Hidup Pemuda;
Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Olahraga;
Program Pembinaan dan Pemasyarakatan Olahraga;
Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Olahraga;
Program Pembinaan Kepanduan.
Program pembinaan olah raga seni dan budaya korpri;
Program pembinaan mental da rohani anggota korpri;
Program pembinaan olah raga tradisional Aceh; *)=Program baru
Program Keserasian Kebijakan Peningkatan Kualitas Anak dan Perempuan;
Program Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender dan Anak;
Program Peningkatan Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan;
Program Peningkatan Peran Serta dan Kesetaraan Gender Dalam Pembangunan;
4. Ketahanan Pangan dan Nilai Tambah Pertanian
Program Pengembangan sentra-sentra industri potensial
Program Peningkatan Pemasaran Hasil Produksi Peternakan
Program Peningkatan Pemasaran Hasil Produksi Pertanian/Perkebunan 18
Program Peningkatan dan Pengembangan Ekspor
Program Optimalisasi Pengelolaan dan Pemasaran Produksi Perikanan
Program Peningkatan Efisiensi Perdagangan Dalam Negeri
Program Peningkatan Produksi (Pertanian/perkebunan)
Program Peningkatan Produksi (Pertanian/perkebunan)
Program Peningkatan Produksi Peternakan
Program pengkajian pengembangan kawasan agribisnis; *)=Program Baru
Program pengkajian pengembangan agribisnis komoditas unggulan daerah; *) Program Baru
Program Pengembangan Perikanan Tangkap
Program Pengembangan Budidaya Perikanan
Program pengembangan kawasan minapolitan; *) Program Baru
Program Peningkatan Ketahanan Pangan
Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Hewan
Program Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan
Program Peningkatan Penerapan Teknologi Pertanian/Perkebunan
Program Pemberdayaan Penyuluh Pertanian/Perkebunan Lapangan
Program Pengembangan dan Peningkatan Penyuluhan
Program Peningkatan Penerapan Teknologi Pertanian/Perkebunan
Program revitalisasi industri minyak dan gas bumi; *)=Program baru
Program revitalisasi BUMA; *)=Program baru
Program Peningkatan Promosi dan Kerjasama Investasi
Program Peningkatan Iklim Investasi dan Realisasi Investasi
Program penyiapan potensi sumberdaya, sarana dan prasarana daerah; *) Program Baru 5. Penanggulangan Kemiskinan Program pengembangan perumahan
Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir
Program Peningkatan Kesejahteraan Petani
Program Pengembangan Pemasaran Pariwisata;
Program Pengembangan Destinasi Pariwisata;
Program Pengembangan Kemitraan
Program pengembangan ekonomi lokal masyarakat *)=Program Baru
Program pembinaan badan usaha masyarakat; *)=Program Baru
Program Pengembangan dan Pembinaan Koperasi dan UKM
Program pembentukan LKM dan BPR yang profesional; *)=Program Baru 19
Program pengembangan komoditas unggulan daerah; *)=Program Baru
Program Pengembangan Wilayah Transmigrasi
Program Transmigrasi Lokal;
Program Penataan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah;
Program pengembangan wilayah perbatasan;
Program pengawasan konsesi izin kehutanan/perkebunan;*) Program baru;
Program Peningkatan Kesempatan Kerja
Program Perlindungan dan Pengembangan Lembaga Ketenagakerjaan
Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja
6. Pendidikan
Program Pendidikan Anak Usia Dini
Program pengembangan TK/SD dan RA/MI satu atap *) Program Baru
Program Wajib Belajar pendidikan Dasar 9 Tahun
Program pendidikan menengah
Program Pendidikan Nonformal
Program Pendidikan Luar Biasa
Program Pengembangan budaya baca dan pembinaan perpustakaan
Program pengembangan pendidikan vokasional;)* Program Baru
Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Program manajemen pelayanan pendidikan
Program Pembinaan dan pengembangan Pendidikan tinggi serta kualitas dan kuantitas tenaga kependidikan
Program Pengembangan wajib belajar pada lembaga pendidikan dayah; *) Program Baru
Program peningkatan sarana dan prasarana dayah
Program peningkatan mutu tenaga pendidik dayah
Program pendidikan dayah dan pemberdayaan santri
Program pembinaan manajemen dayah
Program peningkatan kualitas dan pengembangan dayah
7. Kesehatan Program Pengadaan Peningkatan Sarana dan Prasarana Rumah Sakit Umum/RS Jiwa/RS Paru/RS Mata Program Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Rumah Sakit/ Rumah Sakit Jiwa/Rumah Sakit Paru-paru/Rumah sakit Mata Program pelayanan medis Program pelayanan penunjang medis/non medis 20
Program penanggulangan krisis kesehatan dan ambulan terpadu Program pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas/puskesmas pembantu dan jaringannya Program upaya kesehatan masyarakat Program Peningkatan Sumber Daya Kesehatan Program standarisasi pelayanan kesehatan Program kemitraan peningkatan pelayanan kesehatan Program pembinaan dan pengembangan pendidikan tinggi (Kesehatan) Program peningkatan keselamatan ibu melahirkan dan anak Program peningkatan pelayanan kesehatan anak balita Program perbaikan gizi masyarakat Program pencegahan dan penanggulangan penyakit menular dan tidak menular Program obat dan perbekalan kesehatan Program pengawasan obat dan makanan Program pengembangan obat asli Indonesia Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat Program pengembangan lingkungan sehat
8. Insfatruktur Yang Terintegrasi Program perencanaan tata ruang Program perencanaan pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh; *) Program Baru Program pemanfaatan ruang Program pengendalian pemanfaatan ruang; Program koordinasi dan pembinaan, perencanaan, pemanfaatan serta pengendalian ruang; Program kerjasama pembangunan; Program perencanaan pembangunan daerah; Program perencanaan pembangunan ekonomi; Program perencanaan pembangunan sosial budaya; Program Perencanaan dan Pengembangan Hutan Program perencanaan prasarana wilayah dan sumber daya alam; Program inovasi daerah; Program pengembangan kerjasama dengan lembaga-lembaga internasional; Program Pengembangan Kemitraan Program pembangunan jalan dan jembatan Program rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan Program pembangunan saluran drainase/gorong-gorong Program sarana prasarana kebinamargaan Program pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh Program pembangunan infrastruktur perdesaan Program pengembangan kinerja pengelolaan air minum dan air limbah Pengembangan Kinerja Pengelolaan Persampahan 21
Program Pengembangan dan Pengelolaan Jaringan Irigasi, Rawa dan Jaringan Pengairan Lainnya Program Pengembangan, Pengelolaan dan Konservasi Sungai, Danau dan Sumber Daya Air Lainnya Program tanggap darurat jalan dan jembatan; *)Program Baru Program Pembangunan Prasarana dan Fasilitas Perhubungan Program Rehabilitasi dan Pemeliharaan Prasarana dan Fasilitas LLAJ Program Peningkatan Pelayanan Angkutan Program Pembangunan Sarana dan Prasarana Perhubungan Program Pengendalian dan Pengamanan Lalu Lintas Program Peningkatan Kelaikan Pengoperasian Kendaraan Bermotor Program Pengembangan Komunikasi, Informasi dan Media Massa Program Fasilitas Peningkatan SDM Bidang Komunikasi dan Informasi Program Kerjasama informasi dengan Mass Media Program Pengembangan Data dan Statistik; Program pengembangan data dan informasi; Program desiminasi dan informasi teknologi; Program pengaturan jasa konstruksi Program pemberdayaan jasa konstruksi Program pengawasan jasa konstruksi
9. Sumber Daya Alam Berkelanjutan Program pembinaan dan pengawasan usaha pertambangan Program Pengembangan dan Pemanfaatan Energi Program pengelolaan minyak dan gas bumi Program pemanfaatan geologi dan sumberdaya mineral Program pemanfaatan potensi sumberdaya hutan Program peningkatan sarana perekonomian, potensi dan kerja sama investasi, pertambangan dalam pengembangan industri berbasis lingkungan hidup 10. Kualitas Lingkungan dan Kebencanaan Program Pengendalian Banjir Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingk. Hidup Program Perlindungan dan Konservasi SDA Program Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumber Daya Alam Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Program pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Hutan Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Korban Bencana Alam Program Penguatan Kelembagaan dan Regulasi Kebencanaan Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi Bencana Program Kedaruratan dan Logistik Bencana 22
I.3. Maksud dan Tujuan Road Map Reformasi Birokrasi (RMRB) dimaksudkan untuk memberikan arah pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan Pemerintah Aceh agar berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi, melembaga, dan berkelanjutan. Tujuan akhirnya dari penyusunan Road Map ini adalah untuk peningkatan profesionalisme dan integritas birokrasi pemerintahan melalui penguatan peraturan perundang-undangan, perubahan perilaku, penataan organisasi, penataan tatalaksana, penerapan budaya organisasi, penataan manajemen SDM aparatur, penguatan akuntabilitas, peningkatan kualitas pelayanan publik, pemberantasan praktek KKN, penerapan sistem monitoring, evaluasi kinerja dan pengawasan birokrasi yang semakin melibatkan partisipasi masyarakat. I.4. Ruang Lingkup Ruang lingkup Road Map Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh 2012-2017 mencakup tiga hal berikut: a. Penguatan Birokrasi Pemerintah Terwujudnya penguatan birokrasi Pemerintah Aceh dalam rangka pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, dan meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. b. Tingkat Pelaksanaan Pelaksanaan reformasi birokrasi dibagi ke dalam tingkat pelaksanaan meso dan mikro. Tingkat pelaksanaan meso menjalankan fungsi manajerial, yaitu mendorong kebijakan-kebijakan inovatif, menerjemahkan kebijakan makro, dan mengkoordinasikan pelaksanaan reformasi birokrasi di tingkat SKPA dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh. Pada tingkat pelaksanaan mikro menyangkut implementasi kebijakan/program reformasi birokrasi sebagaimana digariskan secara nasional dan menjadi bagian dari upaya percepatan reformasi birokrasi pada masing-masing SKPA dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh. c. Program Program-program berorientasi hasil, baik pada tingkat meso maupun tingkat mikro sebagaimana dikemukakan pada tabel berikut ini.
23
Tabel 1 Program Pada Tingkat Meso dan Mikro 1. 2. 3. 4.
Meso Manajemen Perubahan Konsultasi dan Asistensi Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan Pengelolaan Pengetahuan
Mikro 1. Manajemen Perubahan 2. Penataan Peraturan Perundangundangan 3. Penataan dan Penguatan Organisasi 4. Penataan Tata Laksana 5. Penataan Sistem Manajeman SDM Aparatur 6. Penguatan Pengawasan 7. Penguatan Akuntabilitas Kinerja 8. Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik 9. Mindset(Pola Pikir)/Budaya Kerja 10. Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan
I.5. Ukuran Keberhasilan Mengukur keberhasilan reformasi birokrasi dilakukan antara lain melalui pencapaian sasaran reformasi birokrasi sebagaimana ditetapkan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025, dengan indikator kinerja utama (key performance indicators) sebagaimana pada tabel berikut ini: a. Sasaran dan Indikator Sasaran dari Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh adalah untuk meningkatkan kinerja birokrasi yang berorientasi hasil melalui perubahan secara terencana, bertahap, dan terintegrasi dari berbagai komponen strategis birokrasi pemerintah berikut: (1) landasan hukum dan regulasi; (2) organisasi; (3) tatalaksana; (4) manajemen SDM aparatur; (5) pola pikir, budaya organisasi, dan nilai dasar aparatur; (6) integritas aparatur; (7) sistem pengawasan intern dan akuntabilitas kinerja; (8) kualitas pelayanan publik; (9) sistem monitoring dan evaluasi kinerja, dan pengelolaan pengetahuan reformasi birokrasi, dengan indikator keberhasilan sebagai berikut: Tabel 2 Sasaran dan Indikator Keberhasilan Reformasi Birokrasi Sasaran
Terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas KKN
Indikator
Baseline (2011)
Target (2017)
Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
4,61
5,7
WDP
WTP
Opini BPK (WTP)
Prov 24
Terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat Meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi
Integritas Pelayanan Publik
Prov
Peringkat Kemudahan Berusaha Indeks Efektivitas Pemerintahan Indeks Pemerintah yang akuntabel
CC
B
b. Indikator Keberhasilan Ukuran keberhasilan Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh periode RPJMA 2012-2017 dapat ditandai dengan ukuran sebagai berikut:
Berkurangnya angka korupsi yang ditandai dengan tidak ada pelanggaran/sanksi; APBN dan APBD baik; semua program selesai dengan baik dan tepat sasaran; semua perizinan selesai dengan cepat dan tepat; komunikasi dengan publik baik; penggunaan waktu (jam kerja) efektif dan produktif; penerapan reward dan punishment secara konsisten dan berkelanjutan; dan hasil pembangunan nyata (propertumbuhan, prolapangan kerja, dan propengurangan kemiskinan; artinya, menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan, dan memperbaiki kesejahteraan rakyat).
Adapun rumusan indikator untuk mengukur keberhasilan Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh Tahun 2013-2017 sebagaimana tabel berikut: Tabel 3 Dampak dan Indikator Keberhasilan Reformasi Birokrasi No.
Indikator
Baseline (2011)
Capaian (2017)
1
Pertumbuhan Ekonomi
5,02 %
7,5%
2 3 4 5 6 6
Tingkat Kemiskinan Pengangguran IPM Angka Harapan Hidup Indeks Gini Nilai tukar petani
19.48 % 7.43 % 72.5 68,7 th 0,29 % 104,12 %
9,5% 6,5% 74,00 69,7 th 0,2 % 117%
25
7 8
12 13 14
Nilai Tukar Nelayan Angka Partisipasi Sekolah Cakupan Pelayanan Kesehatan Rujukan Pasien Masyarakat Miskin Angka kematian bayi Rasio Angka Kematian Ibu melahirkan per 100.000 kelahiran hidup Jaminan Masyarakat Aceh Indeks Kepuasan Pelayanan Publik Produksi Tanaman Pangan
15
Produksi Perikanan
9 10 11
16
Produksi Komuditi Unggulan Persentase indikasi penyimpangan 17 anggaran Sumber data: RPJMA 2012 - 2017
26
109,35% 99.4 %
110,35% 99.7 %
0.2 %
0.5 %
25 /1000 LH
12 /1000 LH
158
100
2,5 Juta Jiwa 78,15% 2.199.152 Ton 279.353 Ton 336.000 Ton
2,5 Juta Jiwa 85% 3.078.813 Ton
5%
3,9%
391.094 Ton 426.720 Ton
BAB II Gambaran Umum Pemerintah Aceh II.1. Visi Berdasarkan kondisi kekinian Aceh dan permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam 5 (lima) tahun mendatang dengan memperhitungkan potensi daerah yang dimiliki oleh masyarakat Aceh, maka disusunlah visi pembangunan Aceh tahun 2012-2017 yaitu Aceh yang Bermartabat Sejahtera Berkeadilan dan Mandiri Berlandaskan Undang-Undang Pemerintahan Aceh sebagai Wujud MoU Helsinki. Visi ini disusun sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJPA) 2005-2025. Makna Bermartabat dalam visi tersebut adalah kondisi masyarakat Aceh yang dicirikan dengan ketahanan dan daya juang yang tinggi, cerdas, taat aturan, kooperatif dan inovatif yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia berlandaskan pada penerapan syariat Islam yang kaffah. Perwujudannya diperoleh antara lain melalui penuntasan peraturan-peraturan turunan UUPA dan peraturan perundang-undangan lainnya, pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, bebas dari praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta penegakan supremasi hukum dan HAM, mengangkat kembali budaya Aceh yang islami dan pelaksanaan nilai-nilai Dinul Islam dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Sejahtera adalah terwujudnya kesejahteraan masyarakat Aceh melalui pembangunan ekonomi berasaskan pada potensi unggulan lokal dan berdaya saing, optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dan geopolitik Aceh, peningkatan indeks pembangunan manusia dan pengembangan kemampuan dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkeadilan adalah terwujudnya pembangunan yang adil dan merata yang dilakukan secara partisipatif, proporsional dan berkelanjutan berdasarkan prinsip kebutuhan dan asas manfaat bagi masyarakat Aceh. Mandiri adalah kemampuan untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam yang melimpah dan keunggulan geostrategis lainnya melalui penguatan kapasitas sumberdaya manusia secara efesien dan efektif, serta melalui penguasaan teknologi informasi, sehingga memberi manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat Aceh. Berlandaskan UUPA sebagai wujud MoU Helsinki adalah mewujudkan pelaksanaan Pemerintahan Aceh yang efektif dan efesien sebagaimana yang telah dituangkan dalam undang-undang tersebut guna tercapainya masyarakat Aceh yang mandiri, makmur dan sejahtera dalam bingkai NKRI. 27
II.2. Misi Pencapaian visi Aceh tersebut ditempuh melalui 5 (lima) misi pembangunan Aceh sebagai berikut: a. Memperbaiki tata kelola Pemerintahan Aceh yang amanah melalui penerapan dan penyelesaian turunan UUPA untuk menjaga perdamaian yang abadi. Hal ini bermakna mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan amanah melalui implementasi peraturan-peraturan turunan UUPA yang diikuti dengan peningkatan profesionalisme dan pengelolaan sumber daya aparatur, penguatan sistem pendataan penyelenggaraan pemerintahan, peningkatan kualitas pelayanan publik melalui efesiensi struktur pemerintahan, membangun transparansi dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah. Singkatnya, menjadikan UUPA dan segala turunan peraturannya sebagai acuan pelaksanaan dan percepatan pembangunan Aceh secara menyeluruh serta pengejawantahan terwujudnya perdamaian abadi di Provinsi Aceh; b. Menerapkan nilai-nilai budaya Aceh dan nilai-nilai Dinul Islam di semua sektor kehidupan masyarakat adalah upaya membangun masyarakat Aceh yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, beretika dan berkarakter, dengan mengangkat kembali budaya Aceh yang bernafaskan Islami dengan tujuan untuk mengembalikan harkat dan martabat masyarakat Aceh. Implementasi budaya Aceh dan nilai-nilai Dienul Islam dalam tatanan pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat dilakukan secara efektif dan tepat. c. Memperkuat struktur ekonomi dan kualitas sumber daya manusia adalah mengembangkan kerangka ekonomi kerakyatan melalui peningkatan potensi sektor unggulan daerah dalam upaya membangun kualitas hidup masyarakat secara optimal; menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran dalam memenuhi capaian Millenium Development Goals (MDGs), memperluas kesempatan kerja melalui pembangunan infrastruktur ekonomi sektor riil serta penguatan peran UKM dan koperasi. Pembangunan ekonomi pertanian difokuskan pada penguatan potensi lokal masing-masing wilayah. Meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat Aceh adalah mewujudkan kualitas pelayanan pendidikan melalui peningkatan angka partisipasi sekolah, menurunkan angka buta aksara, meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM) dalam berbagai tingkat pendidikan, menurunkan disparitas partisipasi antar wilayah, gender dan sosial ekonomi serta antar satuan pendidikan. Mewujudkan pelayanan kesehatan yang berkualitas melalui meningkatnya angka harapan hidup, menurunnya angka kematian bayi, menurunnya angka prevalensi gizi buruk serta efektivitas penanganan penyakit menular guna pencapaian MDGs; 28
d. Melaksanakan pembangunan Aceh yang proporsional, terintegrasi dan berkelanjutan adalah terwujudnya pembangunan daerah yang berbasis kebutuhan dan kemanfaatan melalui perencanaan yang tepat, fokus dan tuntas. Terwujudnya penanganan tata ruang terpadu dalam pelaksanaan pembangunan daerah melalui pembangunan berbasis lingkungan, pengelolaan dan pengendalian bencana, perbaikan sistem dan jaringan sarana dan prasarana transportasi dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang adil dan merata; e. Mewujudkan peningkatan nilai tambah produksi masyarakat dan optimalisasi pemanfaatan SDA adalah terwujudnya masyarakat Aceh yang mampu memanfaatkan potensi-potensi sumber daya alam yang berdaya guna dan berhasil guna secara optimal dengan mendorong masyarakat agar lebih produktif, kreatif, dan inovatif. II.3. Kondisi Nyata Birokrasi Aceh sebagai daerah otonomi khusus, memiliki kewenangan sendiri dalam menyusun struktur organisasi pemerintahan. Pemerintah Aceh dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki kewenangan daerah yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Gubernur dalam menjalankan roda pemerintahannya dibantu oleh SKPA. Struktur organisasi SKPA tersebut diuraikan sebagai berikut: b.
Struktur Organisasi
SKPA terdiri dari 7 Sekretariat, 22 Dinas, dan 18 Lembaga Teknis Daerah yang ditetapkan dengan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah, dan Lembaga Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.; Qanun Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; Qanun Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Aceh; Qanun Nomor 8 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Registrasi Kependudukan Aceh; dan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 30 Tahun 2010 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Dewan Pengurus Provinsi Korps Pegawai Republik Indonesia Aceh. Secara lebih detail nomenklatur SKPA bisa kita cermati dari tabel 4 di bawah ini : 29
Tabel 4 Nomenklatur Satuan Kerja Perangkat Aceh No.
Satuan Kerja Perangkat Aceh
I
Sekretariat terdiri dari : 1 Sekretariat Daerah Aceh 2 Sekretariat DPRA 3 Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama 4 Sekretariat Majelis Adat Aceh 5 Sekretariat Majelis Pendidikan Daerah 6 Sekretariat Baitul Maal 7 Sekretariat DPP KORPRI Aceh Dinas terdiri dari : 1 Dinas Syariat Islam 2 Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk 3 Dinas Kesehatan 4 Dinas Pertambangan dan Energi 5 Dinas Kelautan dan Perikanan 6 Dinas Sosial 7 Dinas Keuangan Aceh 8 Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh 9 Dinas Pendidikan 10 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 11 Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika 12 Dinas Kehutanan 13 Dinas Perkebunan 14 Dinas Pengairan 15 Dinas Bina Marga 16 Dinas Cipta Karya 17 Dinas Koperasi dan UKM 18 Dinas Perindustrian dan Perdagangan 19 Dinas Pemuda dan Olahraga 20 Dinas Pertanian Tanaman Pangan 21 Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan 22 Dinas Registrasi Kependudukan Aceh Lembaga Teknis Daerah terdiri dari : 1 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 2 Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat 3 Badan Arsip dan Perpustakaan 4 Badan Pemberdayaan Masyarakat 5 Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 6 Badan Investasi dan Promosi 7 Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan 8 Badan Pengendalian Dampak Lingkungan 9 Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan 10 Badan Pembinaan Pendidikan Dayah 11 Badan Pelayanan Perizinan Terpadu 12 Badan Penanggulangan Bencana Aceh
II
III
30
13 Inspektorat Aceh 14 Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin 15 Rumah Sakit Jiwa 16 Rumah Sakit Ibu dan Anak 17 Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah 18 Kantor Penghubung Pemerintah Aceh Sumber: Biro Organisasi Setda Aceh Januari 2013
Berdasarkan susunan organisasi Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) sebagaimana tersebut di atas, terdapat 1.299 jabatan struktural menurut jenjang eselonering sesuai dengan tabel 5 di bawah ini : Tabel 5 Jenjang Eselonering Jabatan Struktural pada SKPA di lingkungan Pemerintah Aceh No 1 2 3 4 5 6
Eselonering I.b II.a II.b III.a III.b IV.a Jumlah Sumber: Biro Organisasi Setda Aceh kondisi Januari 2013
c.
Jumlah 1 45 20 324 31 877 1.298
Sumberdaya Aparatur
Pemerintahan Aceh didukung oleh sumber daya aparatur sebanyak 9.177 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Komposisi PNS menurut Golongan dan Jenis Kelamin adalah sebagaimana yang tercantum dalam tabel berikut: Tabel 6 Jumlah PNS berdasarkan Golongan dan jenis kelamin Jenis Kelamin Jumlah Persentase Laki-laki Perempuan 1 IV 658 220 878 9,57 2 III 3.247 2.271 5.518 60,13 3 II 1.716 948 2.664 29,03 4 I 110 7 117 1,27 100,00 JUMLAH 5.731 3.446 9.177 Sumber : Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Aceh Tahun Januari 2013 No
GOLONGAN
31
Berdasarkan tabel 6 di atas terlihat bahwa jumlah PNS laki-laki lebih dominan dibandingkan dengan jumlah PNS perempuan, sementara itu berdasarkan golongan, jumlah PNS lebih didominasi oleh golongan III. Berdasarkan kualifikasi pendidikan, jumlah PNS di lingkungan Pemerintah Aceh dapat dilihat pada tabel 7 berikut ini: Tabel 7 Jumlah PNS berdasarkan Jenjang Pendidikan NO
KUALIFIKASI PENDIDIKAN
JUMLAH PNS
PERSENTASE
1
S3
10
0,12
2 3 4 5 6 7 8 9 10
S2 967 8,50 S1 4.132 43,11 D4 74 0,53 D3 1.035 11,90 D2 14 0,11 D1 53 0,26 SLTA 2.703 33,04 SLTP 132 1,91 SD/MI 57 0,52 JUMLAH 9.177 100,00 Sumber: Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Aceh Tahun 2012
Berdasarkan kualifikasi tingkat pendidikan sumber daya aparatur Pemerintah Aceh, apabila disajikan dalam bentuk gambar sebagaimana tergambar dalam gambar 3 di bawah ini: Gambar 4
S3 S2 45
S1
35
D4
25 SLTP
15 D3
5 -5
S3
D3 D2 D1 SLTA SLTP SD/MI
32
II.4. Permasalahan yang dihadapi Dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih serta penyehatan birokrasi pemerintahan, pemerintah dihadapkan pada berbagai masalah antara lain: a. Komitmen Politik dan Kebijakan Pelaksanaan UUPA sebagai wujud implementasi MoU Helsinki masih belum optimal. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya peraturan pelaksanaan yang merupakan turunan dari UUPA yang belum dituntaskan sehingga menghambat keberlanjutan pencapaian sasaran pembangunan. Turunan dari UUPA yang belum tuntas tersebut terdiri dari1: (1) Peraturan Pemerintah yang harus diselesaikan semuanya berjumlah 9 (sembilan) dengan keterangan 3 (tiga) yang sudah ditetapkan yaitu PP 20/2007, PP 58/2009, PP 83/2010, 2 (dua) yang sedang dalam tahap pembahasan, dan 4 (empat) sisanya bahkan belum ada draftnya. Lebih jauh, ketiga PP yang telah ditetapkan pun belum sepenuhnya didukung oleh petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaannya. (2) Peraturan Presiden yang harus diselesaikan semuanya berjumlah 3 (tiga), dengan keterangan 2 (dua) sudah ditetapkan dan 1 (satu) lagi sisanya belum ada draft. (3) Qanun Aceh yang harus diselesaikan semuanya berjumlah lebih kurang 48 substansi judul Qanun, dengan keterangan 32 Qanun sudah ditetapkan sementara sisanya 16 Qanun (66,67%) belum ada draftnya. Penyelesaian PP dan Perpres implementasi Undang-undang Pemerintah Aceh pada prinsipnya merupakan kewenangan pemerintah akan tetapi berdasarkan Pasal 8 ayat (3) Undang-undang Pemerintah Aceh, kebijakan administratif berkaiatan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultrasi dan pertimbangan Gubernur Aceh. Oleh karena itu, selanjutnya berdasarkan Perpres No.75 Tahun 2000 tentang tata cara konsultasi dan pemberian pertimbangan atas rencana persetujuan internasional, rencana pembentukan undang-undang, dan kebijakan adsministratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintah Aceh, maka Rancangan PP dan Rancangan Pepres implementasi UndangUndang Pemerintah Aceh yang sudah disusun drafnya oleh Pemerintah di bahas bersama pemerintah Aceh. Oleh karena itu, terhadap Draf Rancangan PP dan Rancangan Pepres yang sudah ada drafnya harus segera dibahas oleh Pemerintah dan Tim Percepatan Penyelesaian PP dan Pepres. Demikian pula terhadap Rancangan PP dan Rancangan Pepres yang belum ada drafnya harus segera 1
Sumber: Biro Hukum Setda Aceh, per 31 Maret 2013
33
dipersiapkan oleh Pemerintah dan Kementerian terkait, kecuali draf Rancangan PP Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintah Aceh yang harus persiapkan dan diusulkan oleh DPR Aceh dan Gubernur Aceh. Demikian juga terhadap Qanun Aceh yang belum selesai, Pemerintah Aceh dan DPRA perlu segera menuntaskannya agar implementasi reformasi birokrasi dapat segera terwujud. b. Penataan Organisasi Kebijakan penataan kelembagaan perangkat daerah sebagaimana diatur dalam PP Nomor 41 Tahun 2007 dan peraturan perundang-undangan lainnya tentang Organisasi Perangkat Daerah, diarahkan pada upaya rightsizing (komposisi yang tepat) yaitu penyederhanaan birokrasi pemerintah guna menciptakan organisasi yang proporsional, ramping (flat), transparan, berhierarki pendek dan kewenangan yang tidak menyebar (decentralized). Karena itu pembentukan organisasi perangkat daerah harus berdasarkan visi dan misi yang jelas, dengan struktur organisasi yang disusun berdasarkan kebutuhan nyata dan mengikuti strategi dalam pencapaian visi dan misi organisasi yang telah ditetapkan. Melalui upaya rightsizing tersebut, diharapkan organisasi perangkat daerah tidak terlalu besar dan pembidangannya tidak melebar sebagaimana terjadi selama ini. Disamping itu, dengan semangat pembaharuan fungsi-fungsi pemerintah (reinventing goverment) dalam rangka mendukung terwujudnya tata pemerintahan daerah yang baik (good local governance), diharapkan disain organisasi perangkat daerah dapat memberi ruang partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam penyelenggaraan pembangunan di Daerah. Pemerintah Aceh sudah memulai penataan perangkat Aceh dengan penetapan sejumlah Qanun dan Peraturan Gubernur, namun sejalan dengan perkembangan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan masih terdapat kendala dan hambatan dalam pelaksanaan penataan perangkat daerah meliputi: 1) Pola besaran organisasi tidak sesuai dengan urusan/kewenangan, kemampuan, kebutuhan, potensi dan karakteristik daerah; 2) Pelaksanaan urusan pemerintahan dalam satu kelembagaan perangkat daerah menyebabkan kesulitan dalam melakukan koordinasi baik dengan Pemerintah maupun dengan Pemerintah Kabupaten/Kota; 3) Besaran organisasi perangkat Aceh belum didasarkan pada indikator teknis urusan pemerintahan, hasil analisis jabatan dan analisis beban kerja; 4) Penggabungan urusan pemerintahan menyebabkan kesulitan dalam memperoleh kompetensi pimpinan SKPA karena ada SKPA yang mempersyaratkan beberapa kompetensi dan disiplin ilmu; 34
5) Belum terbentuknya kelembagaan perangkat Aceh yang merefleksikan amanat Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; 6) Pemanfaatan jabatan fungsional tertentu dan fungsional umum pada setiap SKPA belum optimal yang berkonsekuensi pada penambahan pegawai tidak tetap pada setiap SKPA. c. Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Pelayanan publik oleh instansi Pemerintah, baik Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota merupakan perwujudan fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat. Pada era otonomi daerah, fungsi pelayanan publik menjadi salah satu fokus perhatian dalam peningkatan kinerja instansi pemerintah daerah. Secara umum penyelenggaraan pelayanan publik belum sesuai dengan harapan dan belum dapat mengakomodir kepentingan seluruh lapisan masyarakat, serta belum mampu memenuhi hak-hak dasar warga negara/penduduk. Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik antara lain: 1) Belum diterapkannya standar pelayanan pada setiap unit pelayanan publik; 2) Belum adanya penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai dengan SPM yang telah ditetapkan oleh lembaga Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian pada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota; 3) Belum optimalnya peran dan partisipasi masyarakat dalam penyusunan standar pelayanan dan evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik. d. Penataan Tatalaksana Penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien dan produktif dapat tercermin dari penguatan tatalaksana pemerintahan. Permasalahan yang dihadapi dalam penguatan tatalaksana meliputi: 1) Banyaknya peraturan perundang-undangan yang belum mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien; 2) Sistem, prosedur dan mekanisme kerja birokrasi pemerintahan masih panjang dan berbelit-belit sehingga memboroskan sumber daya, energi dan waktu; 3) Belum adanya pedoman umum untuk berbagai aspek ketatalaksanaan, sehingga mengakibatkan adanya keanekaragaman petunjuk dan 35
berdampak pada adanya keanekaragaman petunjuk teknis yang dibuat oleh setiap instansi pemerintah; 4) Budaya kerja efisien, efektif, disiplin, hemat, produktif dan hidup sederhana belum berkembang. f. Penguatan Akuntabilitas Kinerja Penerapan sistem pertanggungjawaban kinerja yang tepat, jelas, terukur dan dapat dipertanggungjawabkan merupakan syarat penting bagi penyelenggaraan pemerintah, termasuk juga mengetahui dengan seksama berhasil atau tidaknya pelaksanaan misi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Mengingat arti pentingnya akuntabilitas kinerja, maka Grand Design Reformasi Birokrasi dan Road Map Reformasi Birokrasi menjadi salah satu pilar utama dalam Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh. Namun dalam implementasinya, juga ditemukan beberapa permasalahan, antara lain : 1) Belum dilakukan harmonisasi antara sistem perencanaan, sistem penganggaran dengan sistem AKIP. 2) Rencana Kinerja Tahunan belum dijadikan pedoman dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Aceh, sehingga keterkaitan antara anggaran yang diajukan dengan kinerja yang direncanakan tidak terjadi; 3) Belum dilakukan studi kelayakan terhadap program dan kegiatan yang direncanakan secara optimal untuk menghindari pelaksanaan program dan kegiatan yang tidak menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi SKPA; 4) Beberapa SKPA belum memiliki data kinerja yang valid, sehingga menyulitkan dalam penyusunan dokumen AKIP; 5) Banyak instansi pemerintah yang bekerja namun tidak berfokus kepada hasil; dan 6) Instansi pemerintah umumnya belum dapat menunjukkan akuntabilitas kinerjanya. f. Kepemimpinan Salah satu isu umum yang berulang kali muncul dan dinilai sangat penting terkait dengan pelaksanan Tupoksi adalah kapasitas Kepemimpinan. Pemimpin dalam hal ini tidak hanya terbatas pada Pimpinan Daerah maupun kepala SKPA tapi juga mencakup kepala bagian dan kepala bidang. Proses mutasi para pejabat eselon yang terlalu sering dinilai mengganggu stabilitas organisasi pemerintahan dalam mengimplementasikan rencana baik di SKPA maupun SKPK. Hal ini belum termasuk pemilihan pemimpin yang seringkali tidak mempertimbangkan kompetensi, 36
termasuk pengetahuan teknis maupun pengalaman dalam mengelola kepegawaian pemerintahan. g. Manajemen Sumber Daya Manusia Berbagai upaya untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran terhambat oleh kurangnya sumber daya manusia yang memiliki kompetensi untuk melaksanakan kebijakan. Sistem kepegawaian pemerintah didasarkan atas peringkat jabatan dan senioritas dan bukan berdasarkan kinerja maupun kompetensi sehingga belum mampu mendorong implementasi sistem pertanggungjawaban dan profesionalisme di lembaga pemerintah. Beberapa isu yang muncul ke permukaan diantaranya adalah prosedur rekrutmen, seleksi dan penempatan yang belum mengacu pada kompetensi dan kurang transparan; pengembangan pegawai yang belum tersistematis dan terencana, kurangnya motivasi bagi staf yang berkinerja baik, dan tidak adanya perencanaan dan pengembangan karir bagi staf. Hal ini dipengaruhi oleh lemahnya peranan lembaga diklat dalam penyediaan aparatur yang profesional, sehingga berakibat pada rendah kualitas pelayanan publik. Selain itu pola penempatan dan jenjang karir aparatur yang belum terarah serta masih rendahnya kualitas SDM aparatur pemerintahan yang ada. h. Manajemen Keuangan Tata kelola keuangan menjadi isu umum yang dihadapi oleh Pemerintah Aceh. Keterlambatan baik dari segi pengesahan maupun pembelanjaan keuangan merupakan hal-hal yang dinilai perlu diperbaiki, yang salah satunya adalah melalui pengembangan sistem informasi keuangan yang integratif. Qanun mengenai keuangan perlu diperkuat dengan beberapa aturan teknis, khususnya yang mengatur insentif dan sanksi bagi SKPA maupun pejabat yang tidak memenuhi jadwal dan aturan yang telah ditetapkan. i. Manajemen Aset Disadari bahwa aset Pemerintah Aceh banyak yang terbengkalai dan tidak termanfaatkan dengan baik. Masih banyak aset yang belum dilengkapi dokumen lengkap. Hal ini terutama ditambah juga dengan terjadinya bencana Tsunami serta proses rehabilitasi dan rekonstruksi, dimana aset yang hilang ataupun yang disediakan baru tidak tercatat dengan baik. Proses transfer aset dari BRR hingga saat ini belum sepenuhnya tuntas. Sistem informasi manajemen aset daerah telah dikembangkan, namun belum bisa digunakan dengan baik.
37
j. Manajemen Data dan Informasi Belum adanya kejelasan mengenai lembaga mana yang mengemban fungsi koordinator dalam pengelolaan data. Terdapat beberapa database yang pada saat ini sangat berguna dan difungsikan oleh beberapa badan (Aceh Info, Dev Info) serta bagian-bagian kantor pemerintah seperti PUSDATIN dan Pusat Geospasial manajemen data. Namun, karena tidak ada sinkronisasi sistem ditambah dengan lemahnya proses pengumpulan data serta ketrampilan untuk menganalisa membuat data menjadi kurang memadai dan tidak akurat. Mekanisme pendistribusian informasi yang tersedia tidak difungsikan secara optimal terutama agar dapat diakses oleh instansi di tingkat kabupaten/kota. k. Kemitraan dan Penjangkauan Terdapat potensi yang besar untuk melibatkan masyarakat sipil termasuk sektor swasta dan kelompok wanita di Aceh dalam merencanakan dan meningkatkan peluang investasi. Koordinasi ini dapat menjadi bagian dari proses perencanaan termasuk dalam mengidentifikasi dan memformulasikan proyek, termasuk mengelaborasi kerjasama dengan sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur dan pemberian layanan publik. Kurangnya pelibatan masyarakat sipil ini berdampak pada rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah, akibat dari rendahnya keteladanan dan kurangnya profesionalitas aparatur pemerintah. l. Sistem Pemantauan dan Evaluasi Berdasarkan pengkajian kapasitas ditemukan bahwa salah satu hal penting lainnya yang perlu ditingkatkan dan diterapkan di seluruh SKPA adalah mekanisme pemantauan yang tidak terbatas pada pemantauan daya serap, namun mencakup juga capaian SKPA dan/atau Pemerintah Aceh terhadap target-target pembangunan yang telah ditetapkan. II.5. Pembenahan yang telah dilakukan Meski menghadapi kendala dan permasalahan yang demikian kompleks sebagaimana yang dihadapi oleh daerah yang pernah mengalami konflik dan bencana yang luar biasa, Pemerintah Aceh terus berupaya untuk berbenah diri. Beberapa pembenahan yang telah dilakukan antara lain sebagai berikut: a.
Menurunkan angka kebocoran dan kerugian negara
Sebagai bentuk komitmen Pemerintah Aceh untuk menurunkan angka kebocoran dan kerugian Negara Pemerintah telah mengoptimalisasikan fungsi 38
pengawasan dan sistem pengendalian internal di lingkungan SKPA/SKPK. Dari jumlah tindak lanjut temuan dan rekomendasi hasil pemeriksaan yang telah dilakukan dalam tahun 2011, terdapat sebanyak 136 LHP atau 88,89% dari target yang ditetapkan atau sebanyak 153 LHP. Tingkat capaian indikator ini sudah menunjukkan upaya optimal pemerintah Aceh dalam menciptakan kepemerintahan yang baik sesuai dengan misi aparatur pemerintah yang bersih, kompeten dan berwibawa, bebas dari korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. b. Perangkat daerah yang tepat fungsi dan tepat ukuran Tingkat pencapaian indikator kinerja kesesuaian perangkat daerah yang tepat fungsi dan tepat ukuran adalah sebesar 97,65%. Target semula adalah sebesar 85%, yang dalam pelaksanaannya hanya mampu direalisasikan sebesar 83%. Angka capaian ini sudah menjadi bukti bahwa Pemerintah Aceh komit terhadap pelaksanaan PP Nomor 41 tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah, dengan menitikberatkan pada 3 (tiga) variabel yaitu luas wilayah, jumlah penduduk dan jumlah APBD, sehingga kelembagaan perangkat daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan masih berdasarkan perumpunan, belum secara nyata menurut kebutuhan, karakteristik dan kemampuan daerah yang tercermin dalam bidang teknis yang menjadi kewenangan daerah. Namun demikian untuk mewujudkan besaran organisasi perangkat daerah yang tepat fungsi dan tepat ukuran, secara bertahap akan dilakukan evaluasi organisasi perangkat daerah sebagai agenda utama (quick wins) Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh, dimulai dengan pembentukan Tim Pengarah dan Tim Pelaksana Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 065/88/2012 tanggal 6 Februari 2012 yang telah direvisi dengan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 065/36/2013 tanggal 11 Januari 2013 dan Pembentukan Sekretariat Tim Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh dengan Keputusan Sekretaris Daerah Aceh selaku Ketua Tim Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh Nomor 065/110/2012 tanggal 17 Februari 2012. c.
Peningkatan kompetensi SDM
Ketersediaan aparatur yang mempunyai kompetensi merupakan salah satu indikator dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien. Dalam tahun 2011, Pemerintahan Aceh telah menetapkan target indikator ini sebesar 90% dan hingga akhir tahun 2011 telah mampu merealisasikan sebesar 67%. Tidak terpenuhinya target capaian indikator ini terutama disebabkan oleh upaya pembinaan aparatur yang telah diprogramkan belum berjalan secara optimal, khususnya yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan penjenjangan, 39
fungsionalisasi dan teknis yang sesuai dengan bidang tugas, karena alokasi anggaran masih cukup terbatas dan proses akreditasi lembaga penyelenggara diklat masih dalam pertimbangan untuk dilegalisasikan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN). Untuk mengatasi permasalahan ini Pemerintah Aceh akan berupaya mengadakan kerjasama yang lebih intensif dengan LAN dalam penyelenggaraan berbagai diklat teknis dan fungsional untuk memenuhi kompetensi teknis. Khusus untuk diklat penjenjangan ke depan Pemerintah Aceh akan berupaya menyelenggarakan Diklat PIM II yang dapat menjangkau peserta dari wilayah se-Sumatera. d. Penataan kepegawaian dan manajemen berbasis kinerja Secara bertahap penataan kepegawaian sedang dilakukan dan upaya untuk menghasilkan rujukan analisis jabatan dan analisis beban kerja terus dioptimalkan. Pendekatan manajemen berbasis kinerja di seluruh tingkatan Pemerintah Aceh diupayakan melalui optimalisasi Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah (LAKIP), yang ditujukan agar mampu mengatur dan mendorong pengukuran input, output, outcome, benefit, bahkan hingga impact, namun dalam pelaksanaannya LAKIP hanya digunakan guna pelaporan anggaran semata. Proses umpan balik untuk perbaikan penulisan LAKIP oleh SKPA belum berjalan sesuai rencana, dan LAKIP pun belum dipakai sebagai instrumen pemantauan dan evaluasi, pengukur tolak ukur capaian, dan sebagai dasar perbaikan rumusan rencana tahun berikutnya secara maksimal. e.
e-Government
Jumlah aplikasi e-gov pemerintah daerah adalah 7 paket, yang sudah direalisasikan sesuai dengan target yang ditetapkan atau tingkat capaiannya mencapai 100%. Pencapaian kinerja ini dilaksanakan melalui kegiatan pengembangan sistem email berbasis LDAP (mail.acehprov.go.id), pembangunan aplikasi ticketing SIM, sarana publik perhubungan komintel Aceh berbasis GIS, pembangunan aplikasi ticketing pengaduan jaringan, pengembangan aplikasi SIMDA, pembangunan aplikasi kearsipan secara digital dan pembangunan aplikasi monitoring dan evaluasi serta pembangunan website bank data pada Dishubkomintel Aceh. Dalam rangka peningkatan pelayanan dibidang komunikasi, informasi dan telematika, pemerintah Aceh juga menyediakan beberapa titik hotspot yang dapat diakses secara gratis oleh masyarakat pada beberapa lokasi strategis dalam wilayah Aceh. f.
Pemenuhan listrik dan air bersih
Pemerintah Aceh telah merealisasikan 3 (tiga) lokasi pengembangan energi alternatif, atau dengan tingkat capaian sebesar 75%. Ketiga lokasi tersebut yaitu 40
PLTU Batu Bara di Kabupaten Nagan Raya dengan kapasitas 2x100MW, PLTP Seulawah di Kabupaten Aceh Besar dengan total kapasitas 2x20MW, serta PLTA Peusangan I dan II di Kabupaten Aceh Tengah dengan total kapasitas 2x43MW yang dibiayai dari Loan JBIC (Japan Bank International Company). Sementara untuk mengatasi kekurangan kebutuhan air bersih bagi masyarakat pada daerah krisis air bersih telah dibangun sentra air bersih di 22 lokasi yang bermakna realisasi sebesar 100%. Kegiatan pengeboran dilakukan pada 6 (enam) Kabupaten, yaitu Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Aceh Tamiang, guna memenuhi kebutuhan sumber air bersih bagi kehidupan masyarakat. g.
Pendidikan
Angka Melek Huruf Menurut Badan Pusat Statistik (2011), angka melek huruf di Provinsi Aceh dalam kurun waktu tahun 2006-2010 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 tercatat sebesar 94,27 persen penduduk usia 15 tahun ke atas yang melek huruf kemudian meningkat menjadi 96,88 persen pada tahun 2010 (Tabel 2.23). Umumnya penduduk buta aksara di Aceh berada pada kelompok usia lanjut (usia 50 tahun ke atas). Pada kelompok usia 15-44 tahun tercatat 0,74 persen penduduk yang buta aksara, pada kelompok usia 45-49 tahun sebesar 4 persen, sedangkan pada kelompok usia 50 tahun ke atas mencapai 11,28 persen. Dibandingkan dengan rata-rata nasional tahun 2010 sebesar 92,91 persen, capaian angka melek huruf penduduk berusia 15 tahun ke atas di Provinsi Aceh sudah lebih baik. Capaian di daerah perkotaan masih lebih tinggi dibandingkan dengan perdesaan, yaitu 98,48 persen di perkotaan dan 96,22 persen di perdesaan. Namun demikian dalam kurun waktu lima tahun terakhir kesenjangan ini menurun tajam dari 5,02 persen pada tahun 2006 menjadi 2,26 persen pada tahun 2010. Perincian menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa angka melek huruf penduduk laki-laki masih tetap lebih tinggi dari pada penduduk perempuan, masingmasing sebesar 97,82 persen dan 95,97 persen. Di daerah perkotaan kesenjangan angka melek huruf antara penduduk laki-laki dan perempuan lebih kecil yaitu sebesar 1,18 persen, sedangkan di perdesaan sebesar 2,11 persen. Sungguhpun demikian, capaian ini masih lebih baik dibandingkan kondisi tahun 2006, yang masing-masing sebesar 1,68 persen dan 4,58 persen. Angka Rata-Rata Lama Sekolah
41
Angka Lama Bersekolah Angka rata-rata lama sekolah di Provinsi Aceh dalam kurun waktu tahun 2006-2010 terus mengalami peningkatan, yaitu sebesar 8,50 tahun pada tahun 2006 menjadi 8,81 tahun pada tahun 2010. Pada tahun 2010 kabupaten/kota yang memiliki angka rata-rata lama sekolah terendah adalah Nagan Raya sebesar 7,57 tahun, kemudian disusul kota Subulussalam sebesar 7,59 tahun dan Aceh Barat Daya sebesar 7,72 tahun. Angka tertinggi di Kota Banda Aceh sebesar 12,09 tahun, diikuti Kota Sabang sebesar 10,55 tahun dan Kota Langsa sebesar 10,45. Rata-rata lama sekolah penduduk di Provinsi Aceh tahun 2010 memang telah berada di atas rata-rata nasional sebesar 7,92 (Susenas, 2010), namun apabila ditelaah lebih lanjut masih terlihat adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Rata-rata lama sekolah penduduk laki-laki tercatat sebesar 9,20 sedangkan rata-rata lama sekolah penduduk perempuan sebesar 8,50. Dengan kata lain, rata-rata penduduk laki-laki berpendidikan tamat SMP/MTs dan telah memasuki tahun pertama jenjang pendidikan menengah sedangkan rata-rata penduduk perempuan hanya berpendidikan sampai kelas tiga SMP/MTs dan tidak tamat. Angka Partisipasi Kasar dan Angka Partisipasi Murni Pembangunan pendidikan Aceh telah menghasilkan beberapa kemajuan terutama dalam hal pemerataan akses terhadap pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Hal ini terlihat dari beberapa indikator, seperti Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM). Saat ini secara umum indikator APK sering digunakan untuk mengukur capaian akses penduduk usia 0-6 tahun di lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), penduduk usia 13-15 tahun di SMP/MTs/SMPLB/Paket B/Pesantren Salafiyah Wustha, penduduk usia 16-18 tahun di SMA/MA/SMK/SMALB/Paket C, dan penduduk usia 19-23 tahun di lembaga Pendidikan Tinggi. Khusus untuk mengukur capaian akses penduduk usia 7-12 tahun di SD/MI/SDLB/Paket A/Pesantren Salafiyah Ula digunakan indikator Angka Partisipasi Murni (APM) karena secara nasional capaian APK usia 7-12 tahun telah melebihi 100 persen. Dalam lingkup Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tercatat kenaikan APK penduduk usia 0-6 tahun dari sebesar 76 persen pada tahun 2007 menjadi 83,02 persen pada tahun 2009. Pada jenjang pendidikan dasar, capaian APK penduduk usia 7-12 tahun di SD/MI/SDLB/Paket A/Pesantren Salafiyah Ula cenderung berfluktuasi dari sebesar 116,36 persen pada tahun 2007 menjadi 113,27 persen pada tahun 2010, sedangkan APK penduduk usia 13-15 tahun di SMP/MTs/SMPLB/Paket B/Pesantren Salafiyah Wustha meningkat dari sebesar 96,59 persen apada tahun 2007 menjadi 102,83 persen pada tahun 2010. Pada 42
jenjang pendidikan menengah, capaian APK penduduk usia 16-18 tahun di SMA/MA/SMK/SMALB/Paket C juga mengalami peningkatan dari 72,06 persen pada tahun 2007 menjadi 81,89 pada tahun 2010. Demikian juga APK penduduk usia 19-24 tahun pada jenjang Pendidikan Tinggi (PT) yang meningkat dari 19,00 persen pada tahun 2007 menjadi 25,03 persen pada tahun 2009. Khusus capaian tahun 2009 Kemdikbud menerbitkan dua indikator APK PT, yaitu APK penduduk usia 19-24 tahun di PT sebesar 25,03 persen dan APK penduduk usia 19-23 tahun di PT sebesar 29,45 persen. Adapun capaian APM penduduk usia 7-12 tahun di SD/MI/SDLB/Paket A/Pesantren Salafiyah Ula juga bergerak fluktuatif, sebesar 94,66 persen pada tahun 2007 menjadi 94,67 persen pada tahun 2010, sedangkan APM penduduk usia 13-15 tahun di SMP/MTs/SMPLB/Paket B/Pesantren Salafiyah Wustha meningkat dari sebesar 76,44 persen apada tahun 2007 menjadi 78,58 persen pada tahun 2010. Pada jenjang pendidikan menengah, capaian APM penduduk usia 16-18 tahun di SMA/MA/SMK/SMALB/Paket C juga mengalami peningkatan meskipun relatif kecil dari 61,95 persen pada tahun 2007 menjadi 62,71 pada tahun 2010. Angka Pendidikan yang Ditamatkan Data statistik kependudukan tahun 2008 menggambarkan komposisi penduduk Aceh berusia 10 tahun ke atas berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan, masing-masing: sebesar 24,20 persen tidak/belum menamatkan SD/sederajat, sebesar 26,84 persen menamatkan SD/sederajat, sebesar 21,05 persen menamatkan SMP/sederajat, sebesar 21,65 persen menamatkan SMA/sederajat, sebesar 2,82 persen menamatkan D-I/II/III, sebesar 3,27 persen menamatkan D-IV/S1 dan sebesar 0,17 persen menamatkan S2/S3. Berdasarkan tempat tinggal, penduduk perdesaan yang menamatkan SD/sederajat sebesar 29,71 persen, SLTP/sederajat 22,28 persen, SLTA/sederajat 17,33 persen, D-I/II/III 2,42 persen, D-IV/S1 1,74 persen dan S2/S3 0,05 persen. Sementara itu, penduduk perkotaan yang menamatkan SD/sederajat sebesar 18,28 persen, SLTP/sederajat 20,11 persen, SLTA/sederajat 35,90 persen, D-I/II/III 4,97 persen, D-IV/S1 7,48 persen dan S2/S3 0,49 persen. Pada tahun 2010 komposisi tersebut telah menunjukkan perubahan yang berarti. Hal ini tercermin dari komposisi masing-masing kelompok, yaitu sebesar 21,68 persen tidak/belum menamatkan SD/sederajat, sebesar 26,18 persen menamatkan SD/sederajat, sebesar 21,11 persen menamatkan SMP/sederajat, sebesar 23,10 persen menamatkan SMA/sederajat, sebesar 3,40 persen
43
menamatkan D-I/II/III, sebesar 4,29 persen menamatkan D-IV/S1 dan sebesar 0,23 persen menamatkan S2/S3. Jika dilihat berdasarkan tempat tinggal, maka penduduk di perdesaan yang tidak/belum menamatkan SD/sederajat sebesar 24,93 persen, menamatkan SD/sederajat sebesar 29,69 persen, SLTP/sederajat sebesar 22,10 persen, SLTA/sederajat sebesar 18,40 persen, D-I/II/III sebesar 2,58 persen, D-IV/S1 sebesar 2,27 persen dan S2/S3 sebesar 0,04 persen. Sementara itu, penduduk perkotaan yang tidak/belum menamatkan SD/sederajat sebesar 13,39 persen, yang menamatkan SD/sederajat sebesar 17,21 persen, SLTP/sederajat sebesar 18,61 persen, SLTA/sederajat sebesar 35,12 persen, D-I/II/III sebesar 5,50 persen, D-IV/S1 sebesar 9,47 persen dan S2/S3 sebesar 0,71 persen. Angka pendidikan tertinggi yang ditamatkan dalam kurun waktu 2006 sampai dengan 2010 menunjukkan peningkatan yang signifikan. Jumlah penduduk yang tidak/belum tamat SD pada tahun 2006 mencapai angka 23,90 persen dan menurun menjadi 21,68 persen pada tahun 2010. Penurunan angka tersebut disebabkan oleh adanya peningkatan angka pendidikan tertinggi yang ditamatkan untuk SD sederajat 26,18 persen, SLTP sederajat 21,11 persen, SLTA sederajat 23,10 persen, Diploma I/II/III sederajat 3,40 persen, Diploma IV/S1 4,29 persen, S2/S3 0,23 persen pada tahun 2010. Jika dilihat berdasarkan tempat tinggal, maka penduduk di perdesaan yang tidak/belum menamatkan SD/sederajat sebesar 24,93 persen, menamatkan SD/sederajat sebesar 29,69 persen, SLTP/sederajat sebesar 22,10 persen, SLTA/sederajat sebesar 18,40 persen, D-I/II/III sebesar 2,58 persen, D-IV/S1 sebesar 2,27 persen dan S2/S3 sebesar 0,04 persen. Sementara itu, penduduk perkotaan yang tidak/belum menamatkan SD/sederajat sebesar 13,39 persen, yang menamatkan SD/sederajat sebesar 17,21 persen, SLTP/sederajat sebesar 18,61 persen, SLTA/sederajat sebesar 35,12 persen, D-I/II/III sebesar 5,50 persen, D-IV/S1 sebesar 9,47 persen dan S2/S3 sebesar 0,71 persen. Analisa data tersebut menggambarkan bahwa hingga tahun 2010, jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan tertinggi di perdesaan memiliki kecenderungan lebih banyak menamatkan pada jenjang SD/sederajat, diikuti SLTP/sederajat dan SLTA/sederajat. Sedangkan di perkotaan jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan tertinggi didominasi pada jenjang SLTA/sederajat, SLTP/sederajat dan perguruan tinggi. Peringkat Hasil Uji Kompetensi Guru Hasil Uji Kompetensi Guru di Provinsi Aceh tahun 2012 yang dilaksanakan oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan Kebudayaan dan 44
Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMP & PMP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa capaian peringkat Hasil Uji Kompetensi Awal (UKA) Guru Provinsi Aceh tahun 2012 berada pada urutan ke-28 dari 33 provinsi di Indonesia. Penajaman Berbasis Jenjang Pendidikan Pendidikan Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal Secara umum layanan TK/RA bagi penduduk usia 4-6 tahun masih belum merata sampai ke pedesaan. Jumlah lembaga TK/RA di Provinsi Aceh tahun 2010 adalah sebanyak 1.603 buah dengan jumlah murid 74.563 orang (rata-rata TK/RA memiliki 55 orang murid), sementara jumlah penduduk usia 4-6 tahun sebanyak 277.400 orang. Rasio tersebut di atas digunakan untuk mengukur ketersediaan lembaga TK/RA untuk setiap 10.000 penduduk usia 4-6 tahun. Rasio ini juga mengindikasikan kemampuan (kapasitas) untuk menampung semua penduduk usia 4-6 tahun di suatu daerah. Berdasarkan data tahun 2010, rasio ketersediaan TK/RA terhadap penduduk usia 4-6 tahun di Provinsi Aceh adalah sebesar 58,78 yang berarti bahwa untuk setiap 10.000 penduduk usia 4-6 tahun tersedia 58 sampai 59 unit TK/RA untuk menampungnya dengan kapasitas rata-rata 173 siswa per lembaga TK/RA. Kondisi ini sangat tidak ideal karena dengan menggunakan asumsi rata-rata TK/RA minimal memiliki 3 (tiga) rombongan belajar dan tiap rombongan belajar maksimal memiliki 20 murid, maka seharusnya untuk setiap 10.000 penduduk usia 4-6 tahun tersedia 166 lembaga TK/RA. Di beberapa kabupaten/kota, tingkat layanan TK/RA sangat terbatas, khususnya di Aceh Timur, Gayo Lues dan Pidie Jaya. Sebaliknya di beberapa kabupaten/kota lainnya ketersediaan layanan TK/RA relatif cukup baik, misalnya di Aceh Jaya, Aceh Barat dan Pidie. Dengan demikian maka perluasan akses TK/RA di sejumlah kabupaten/kota harus diprioritaskan, terutama memenuhi target pembangunan satu unit TK Negeri di setiap satu kecamatan dan pengembangan TK/SD Satu Atap. Selain itu perlu didorong partisipasi masyarakat untuk mendirikan TK/RA dengan memberikan dukungan operasional bagi TK/RA yang diselenggarakan masyarakat. Rasio guru terhadap murid Secara keseluruhan rasio siswa-guru di Aceh saat ini sangat rendah. Data tahun 2010 memperlihatkan bahwa rasio siswa-guru di TK/RA sebesar 1 : 8 (ratarata satu orang guru melayani sekitar 8 siswa), sedangkan rasio idealnya adalah sebesar 1 : 20 (rata-rata setiap guru melayani sekitar 20 siswa sebagaimana diatur 45
dalam Permendiknas No. 58 Tahun 2009). Rasio ini mengindikasikan bahwa secara keseluruhan terjadi kelebihan jumlah guru TK/RA di Provinsi Aceh. Seperti halnya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, distribusi guru TK/RA tidak merata. Sebagian lembaga pendidikan TK/RA terutama di perkotaan mengalami kelebihan guru sementara di perdesaan kekurangan guru. Pendidikan Dasar Angka Partisipasi Sekolah (APS) Selama periode tahun 2008-2010, Angka Partisipasi Sekolah (APS) jenjang pendidikan dasar terus mengalami kenaikan. APS untuk kelompok usia 7-12 tahun naik dari 99,06 persen pada tahun 2008 menjadi 99,19 persen pada tahun 2010, demikian juga dengan APS untuk kelompok usia 13-15 tahun yang meningkat dari 94,12 persen pada tahun 2008 menjadi 94,99 persen pada tahun 2010. Capaian APS ini telah melampaui rata-rata nasional tahun 2010 yang masing-masing sebesar 98,02 persen dan 86,24 persen. Bahkan capaian APS untuk kelompok usia 7-12 tahun sebesar 99,19 persen tahun 2010 menempatkan Aceh di posisi nomor urut ketiga secara nasional (sesudah Provinsi DIY dan Kep. Riau), sedangkan capaian APS untuk kelompok usia 13-15 tahun sebesar 94,99 persen menempatkan Aceh di posisi nomor urut satu secara nasional. Menurut daerah tempat tinggal, APS di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan pada semua kelompok umur. Data SP2010 menunjukkan bahwa tingkat kesenjangan APS kelompok usia 7-12 tahun antara kota dan desa sebesar 0,10 persen dan pada kelompok usia 13-15 tahun sebesar 2,94 persen. Hal ini menggambarkan bahwa penduduk di perkotaan dan perdesaan telah memiliki kesempatan yang relatif sama dalam mengakses pendidikan dasar, khususnya sekolah dasar. Dalam kaitannya dengan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, pemerataan persebaran SMP/MTs atau yang sederajat di perdesaan terutama di wilayah yang secara geografis sulit dijangkau masih harus mendapat perhatian. Perbandingan menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa APS penduduk perempuan selalu lebih tinggi dari pada laki-laki. Pada kelompok usia 7-12 tahun APS perempuan lebih tinggi 0,43 persen dibandingkan laki-laki, sedangkan pada kelompok usia 13-15 tahun selisihnya mencapai 2,37 persen. Hal ini menunjukkan semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak perempuan ke jalur pendidikan formal.
46
Rasio Ketersediaan Sekolah Terhadap Penduduk Usia Sekolah Rasio ini digunakan untuk mengukur ketersediaan sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) untuk setiap 10.000 penduduk usia sekolah. Rasio ini juga mengindikasikan kemampuan (kapasitas) untuk menampung semua penduduk usia pendidikan dasar di suatu daerah. Pada tahun 2010 rasio ketersediaan SD/MI terhadap penduduk usia 7-12 tahun adalah sebesar 68,67 sedangkan rasio ketersediaan SMP/MTs terhadap penduduk usia 13-15 tahun adalah sebesar 43,98. Rasio ketersediaan SD/MI sebesar 68,67 mengandung arti bahwa untuk setiap 10.000 penduduk usia 7-12 tahun di Aceh tersedia 68 sampai 69 unit SD/MI untuk menampungnya dengan kapasitas rata-rata 146 siswa per sekolah, sedangkan rasio ketersediaan SMP/MTs sebesar 43,98 berarti untuk setiap 10.000 penduduk usia 13-15 tahun tersedia sekitar 43 sampai 44 unit SMP/MTs untuk menampungnya dengan kapasitas ratarata 228 siswa per sekolah. Jika dibandingkan dengan standar nasional rasio siswa per sekolah SD/MI sebesar 180 dan standar nasional rasio siswa per sekolah SMP/MTs sebesar 270 (disesuaikan dengan Standar Pelayanan Minimum/SPM Pendidikan Dasar), terlihat bahwa kapasitas satuan pendidikan dasar yang ada di Provinsi Aceh untuk menampung anak usia sekolah masih belum dimanfaatkan secara optimal. Daya tampung sekolah-sekolah yang ada masih memungkinkan untuk menampung peningkatan jumlah anak usia sekolah sampai lima tahun yang akan datang. Semakin dekat nilai capaian kedua indikator ini kepada standar nasional akan mengindikasikan semakin efisiennya pemanfaatan sarana dan prasarana satuan pendidikan dasar untuk mendukung kebijakan penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Rasio Guru Terhadap Murid Secara keseluruhan rasio siswa-guru di Aceh saat ini sangat rendah. Data tahun 2010 memperlihatkan bahwa rasio siswa-guru di Sekolah Dasar (SD) dan Maderasah Ibtidaiyah (MI) sebesar 1 : 11 (rata-rata satu orang guru melayani sekitar 11 siswa) dan di SMP/MTS sebesar 1 : 10 (rata-rata satu orang guru melayani sekitar 10 siswa). Dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar 1 : 17 untuk SD/MI dan 1 : 15 untuk SMP/MTs. Hal ini menunjukkan bahwa rasio gurusiswa pada jenjang pendidikan dasar di Aceh lebih baik dibandingkan dengan nasional. Namun, rasio guru yang tinggi tersebut belum memberikan kontribusi yang siknifikan terhadap mutu pendidikan Aceh. Rendah mutu pendidikan Aceh disebabkan oleh distribusi guru yang tidak merata. Dalam hal ini sejumlah sekolah kelebihan guru sementara sekolah yang lain terutama di pedesaan mengalami kekurangan guru. Demikian juga halnya 47
dengan beberapa sekolah menengah kejuruan masih kekurangan guru untuk mata pelajaran kejuruan tertentu. Dari sisi kualifikasi, pada tingkat sekolah dasar tercatat 17 persen guru SD dan 30,18 persen guru MI yang berkualifikasi S1/D-IV. Sementara pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), persentase guru SMP berkualifikasi S1/D-IV sebesar 70,30 persen dan guru MTs sebesar 73,48 persen. Data tahun 2010 memperlihatkan bahwa rasio siswa-guru di Sekolah Dasar (SD) dan Maderasah Ibtidaiyah (MI) sebesar 1 : 11 (rata-rata satu orang guru melayani sekitar 11 siswa) dan di SMP/MTS sebesar 1 : 10 (rata-rata satu orang guru melayani sekitar 10 siswa). Dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar 1 : 17 untuk SD/MI dan 1 : 15 untuk SMP/MTs, rasio guru-siswa pada jenjang pendidikan dasar di Aceh lebih baik dibandingkan dengan rata-rata nasional. Namun, rasio guru yang tinggi tersebut belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap mutu pendidikan Aceh. Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Provinsi Aceh adalah distribusi guru yang tidak merata, di samping rendahnya kualifikasi dan kompetensi guru. Sejumlah sekolah mengalami kelebihan guru sementara sekolah yang lain terutama di pedesaan mengalami kekurangan guru. Di samping itu beberapa sekolah menengah kejuruan masih kekurangan guru untuk mata pelajaran kejuruan tertentu. Dari sisi kualifikasi, pada tingkat sekolah dasar tercatat 17 persen guru SD dan 30,18 persen guru MI yang berkualifikasi S1/D-IV. Sementara pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), persentase guru SMP berkualifikasi S1/D-IV sebesar 70,30 persen dan guru MTs sebesar 73,48 persen. Pendidikan Menengah Angka Partisipasi Sekolah (APS) Pada jenjang pendidikan menengah, perkembangan APS periode tahun 2008-2010 telah menunjukkan peningkatan. APS kelompok usia 16 - 18 tahun (jenjang pendidikan menengah) pada tahun 2008 sebesar 72,32 persen meningkat menjadi 73,53 persen pada tahun 2010. Capaian APS ini telah jauh melampaui ratarata nasional tahun 2010 yang hanya sebesar 56,01 persen dan secara nasional Aceh menempati peringkat tertinggi. memberikan informasi bahwa APS kelompok usia 16 - 18 tahun di daerah perkotaan tercatat 8,57 persen lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan, sedangkan perbandingan menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa APS penduduk perempuan 4,10 persen lebih tinggi dari pada laki-laki. Kondisi ini menggambarkan kemampuan akses yang belum merata terhadap pendidikan menengah terutama bagi masyarakat di perdesaan. Selanjutnya kesadaran 48
masyarakat untuk menyekolahkan anak perempuan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Meskipun capaian APS penduduk 16-18 tahun di Provinsi Aceh cukup tinggi dibandingkan rata-rata nasional, namun rasio siswa SMA berbanding SMK masih timpang. Pada tahun 2010 rasio siswa SMA berbanding SMK sebesar 79 : 21, suatu tingkat capaian yang terpaut sangat jauh dibandingkan dengan target nasional sebesar 60 : 40. Hal ini disebabkan belum meratanya sebaran lembaga pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), di samping layanan yang diberikan belum mampu melahirkan lulusan yang memiliki daya saing di pasar kerja. Rasio Ketersediaan Sekolah Terhadap Penduduk Usia Sekolah Seperti halnya pada jenjang pendidikan dasar, rasio ketersediaan sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan menengah terhadap penduduk usia 1618 tahun juga terus membaik dari tahun ke tahun. Rasio ketersediaan SMA/MA/SMK terhadap penduduk usia 16-18 tahun pada tahun 2010 adalah sebesar 26,65. Hal ini bermakna bahwa untuk setiap 10.000 penduduk usia 16-18 tahun di Aceh tersedia 26 sampai 27 unit SMA/MA/SMK untuk menampungnya dengan kapasitas rata-rata 376 siswa per sekolah. Dibandingkan dengan standar nasional rasio siswa per sekolah SMA/MA/SMK sebesar 384 (12 kelas dengan rasio siswa per kelas rata-rata 32), maka capaian rasio ini telah mengindikasikan bahwa kapasitas satuan-satuan pendidikan menengah di Aceh secara keseluruhan perlu segera ditingkatkan untuk dapat menampung lulusan SMP/MTs yang semakin bertambah. Peningkatan jumlah lulusan SMP/MTs tersebut sejalan dengan keberhasilan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang dicanangkan Pemerintah sejak tahun 1994 lalu. Rasio Guru Terhadap Murid Rasio siswa-guru pada jenjang pendidikan menengah (SMA/MA/SMK) tahun 2010 di Aceh sebesar 10,23. Rasio ini masih lebih baik dibandingkan capaian ratarata nasional tahun 2010 sebesar 12. Rasio siswa-guru SMA/MA/SMK menunjukkan bahwa jumlah guru sudah mencukupi. Namun khusus untuk mata pelajaran Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK), Sosiologi/Antropologi, dan Geografi jumlah gurunya masih kurang. Selanjutnya, khusus di SMK terdapat kekurangan guru untuk mata pelajaran kejuruan. Oleh karena itu, penyediaan guru untuk mata pelajaran TIK, Sosiologi/Antropologi, geografi dan kejuruan perlu dilakukan secara selektif. Seperti halnya pada jenjang pendidikan dasar, distribusi guru pada jenjang pendidikan menengah juga belum merata. Oleh karena itu, distribusi guru perlu 49
dilakukan khususnya untuk wilayah-wilayah terpencil dan kepulauan. Dari sisi kualifikasi, data tahun 2010 memperlihatkan 91,28 persen guru SMA, dan 84,23 persen guru MA telah memenuhi kualifikasi S1/D-IV. Pada satuan pendidikan SMK, guru yang telah memenuhi kualifikasi S1/D-IV sebesar 87,39 persen. Kualifikasi dan Sertifikasi Guru Guru berkualifikasi S1/D-IV untuk semua jenjang pendidikan (dasar dan menengah) di Aceh mencapai 47,15 persen pada tahun 2010, terjadi peningkatan dari tahun 2009 yang capaiannya sebesar 43,54 persen. Kualifikasi guru S1/D-IV secara keseluruhan lebih baik dibandingkan dengan persentase nasional sebesar 42,60 persen. Pada akhir tahun 2015, target rencana strategi pendidikan nasional adalah semua guru harus memiliki kualifikasi S1/D-IV. Namun, disparitas guru berkualifikasi antara kabupaten/kota masih terjadi. Untuk semua jenjang, secara total persentase guru berkualifikasi S1/D-IV tertinggi di Banda Aceh (71,99 %) dan terendah di Simeulue (24,93%). Ini menunjukkan perbaikan dibandingkan dengan capaian tahun 2009, Banda Aceh tertinggi (69%) dan Simeulue (24%) (TKPPA, 2010). Oleh karena itu, identifikasi guru yang belum berkualifikasi S1/D-IV perlu segera dilakukan, yang selanjutnya ditingkatkan kualifikasinya melalui pendidikan formal di perguruan tinggi negeri. Persentase guru yang memiliki sertifikat pendidik jauh lebih kecil dibandingkan dengan guru yang bersertifikasi S1/D-IV. Persentase guru bersertifikat pendidik di tingkat provinsi menurut jenjang pendidikan pada tahun 2009 adalah SD (4,76 %), MI (8,6 %), SMP (10,28 %), MTs (12,8 %), SMA (14,29 %), MA (7,66 %) dan SMK (9,9%). Namun, secara keseluruhan rata-rata persentase guru yang memiliki sertifikat pendidik hanya 8,2 persen. Oleh karena itu, perlu upaya untuk melakukan sertifikasi tenaga pendidik tersebut melalui pelatihan dan pendidikan. Perguruan Tinggi Kondisi PT Aceh saat ini memiliki 3 PTN dan 60 PTS (http://pdpt.dikti.go.id/), dan 3 PTAI dan 17 PTAIS agama. Beberapa PT masih belum terdata dibawah DIKTI karena belum dialihkelolakan. UU No. 30 Tahun 2004 Sistem Pendidikan Nasional mengamanahkan semua program studi harus dibina oleh Kemdikbud, termasuk PT kedinasan.
50
Tabel 8 Data Akreditasi Perguruan Tinggi Status masih berlaku Kadaluarsa belum pernah akreditasi total
PTS 188 29 25 242
78% 12% 10%
PTS + PTN 285 71% 78 19% 40 10% 403
A B C tidak terakreditasi
0 32 177 8
0% 15% 82% 4%
9 121 222 10
2% 33% 61% 3%
Sumber: data BAN-PT per Agustus 2012 Sebaran prodi diploma, sarjana dan pascasarjana menunjukkan bahwa 40% prodi berada di PTN dan sisanya berada di PTS. Kondisi akreditasi prodi memperlihatkan bahwa 79% prodi memiliki status akreditasi yang masih berlaku dan 22% sudah kadaluarsa, dan diperkirakan sekitar 10% prodi lain belum pernah terakreditasi oleh BAN PT, terutama prodi-prodi kedinasan kesehatan dan sejumlah sekolah tinggi atau akademi. Keadaan mutu berdasarkan peringkat akreditasi menunjukkan bahwa 2% prodi berperingkat A yang semuanya berada di PTN, sedangkan 33% memiliki akreditasi B dan 61% berakreditasi C. Sekitar 3% berstatus tidak terakreditasi karena kondisi mutu yang dibawah minimal. Jumlah penduduk Aceh yang melek huruf dalam kurun waktu tahun 2009 sd 2010 terus mengalami peningkatan.Pada tahun 2009 tercatat sebesar 96,36 % dan tahun 2010 menjadi 96,88 %,(data statistik 2011).Dengan kondisi demikian kebutuhan masyarakat akan sarana dan prasarana untuk melakukan aktivitas keilmuan dibidang pendidikan non formal terus meningkat terutama sarana gedung perpustakaan. Pada tahun 2009 jumlah gedung perpustakaan umum/daerah di 23 kabupaten/kota yang telah memiliki gedung perpustakaan yang memenuhi standar perpustakaan baru mencapai 522 unit, tahun 2010 menjadi 591 dan tahun 2011 menjadi 611 Unit. Jumlah perpustakaan gampong yang telah dibentuk berdasarkan SK bupati/kabupaten se-Aceh pada tahun 2009 berjumlah 779 unit, tahun 2010 terus meningkat mencapai 807,dan tahun 2011 mencapai 876 unit perpustakaan atau 13% dari jumlah gampong di provinsi Aceh (sesuai dengan surat Gubernur Aceh No.413.4/24658/2011 tanggal 13 Oktober 2011) 6451 gampong yang terdapat di 23 kabupaten/kota sisa perpustakaan gampong yang belum terbentuk sampai dengan tahun 2011 sebesar 83%. 51
Gampong yang telah dibentuk, tahun 2009 Pembangunan perpustakaan gampong tidak dialokasikan dana Pembangunan Gedung baru, pada tahun 2010 disiapkan 25 Unit dan tahun 2011 13 Unit dalam kurun tahun 2009 sd 2011, Perpustakaan Gampong yang telah dibangun sebanyak 38 unit (4%), Perpustakaan Gampong yang telah dibentuk dan belum memiliki gedung sendiri (masih menumpang) sampai tahun 2011 sebanyak 838 unit (96,50 %). Bidang pendidikan Dayah Rasio Ketersediaan Dayah dan Santri Pendidikan dayah memiliki peran yang sangat penting untuk mewujudkan masyarakat yang bermartabat dan berakhlakul karimah yang berlandaskan nilai-nilai dinul Islam. Berdasarkan akreditasi dayah pada tahun 2011, jumlah lembaga dayah di Aceh sebanyak 517 dayah yang terdiri dari 411 Dayah Salafiyah (dayah tradisional) dan 106 Dayah Terpadu. Dari jumlah tersebut, dayah yang memiliki klaisifikasi tipe A berjumlah 49 dayah salafiyah dan 52 dayah terpadu. Untuk Tipe B, dayah salafiyah berjumlah 61 dayah dan 28 dayah untuk dayah terpadu. Untuk Tipe C, dayah salafiyah berjumlah 134 dayah dan 18 dayah terpadu. Sedangkan untuk Tipe D, dayah salafiyah berjumlah 155 dayah dan dayah terpadu berjumlah 8 dayah. Rasio ketersediaan dayah yang terakreditasi dan santri adalah 1:325. Rasio ini lebih rendah dibandingkan dengan rasio ketersediaan sekolah menengah dan siswa yang memiliki rasio 1:304 Rasio Ketersediaan Tengku/Guru dan Santri Dari hasil kegiatan pemutakhiran data yang dilakukan tahun 2011 menunjukkan bahwa jumlah teungku/Ustadzah Sebanyak 17.569 orang. Kabupaten/Kota dengan jumlah tengku/Ustadz terbanyak adalah kabupaten Aceh Utara dengan Jumlah 3.711 orang. Sedangkan untuk kabupaten/kota dengan Jumlah Teungku/Ustadz terkecil Adalah Kabupaten Simeulue dengan jumlah 35 orang. Pada kegiatan pemuktakhiran data tahun 2011, juga didapat jumlah santri dayah di aceh yaitu sebanyak 167.791 orang. Kabupaten Aceh Utara memiliki jumlah santri tertinggi yaitu 34.860 santri, sedangkan kabupaten/kota yang memiliki jumlah Santri paling sedikit adalah kota sabang dengan santri sebanyak 416 santri (Tabel 2.49). Dengan demikian, rasio ketersediaan tgk/guru dan santri 1:10. Rasio ini lebih tinggi dibandingkan dengan rasio guru dan siswa pada sekolah umum.
52
Kualifikasi Guru/Tengku Teungku atau Guru yang mengajar di dayah umumnya memiliki kualifikasi pendidikan S1/D-IV dan ada beberapa yang memiliki kualifikasi S2. Kualifikasi Teungku/Guru yang berpendidikan S1/D-IV secara Aceh berjumlah 2.346 orang dengan perbandingan laki-laki 1.343 orang dan wanita 1.003 orang. Sedangkan yang memiliki kualifikasi pendidikan S2 adalah berjumlah 172 orang dengan perbandingan laki-laki 114 orang dan wanita 58 orang. Dari data yang diperoleh pada Kanwil Kemenag Aceh, jumlah kualifikasi pendidikan S1 yang terbanyak terdapat pada Kabupaten Aceh Timur, sedangkan pada beberapa kabupaten tidak terdapat satu orangpun yang berkualifikasi pendidikan S1 seperti pada Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Pidie, Kabupaten Bireun, Kabupaten Aceh Jaya, Kota Langsa dan Kota Sabang. Untuk kualifikasi jenjang pendidikan S2 hanya terdapat pada 11 kabupaten, dengan jumlah terbanyak terdapat pada Kabupaten Aceh Barat Daya sebanyak 73 orang, sedangkan jumlah yang paling sedikit ada di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam yang masing-masing berjumlah 1 orang. KESEHATAN Status kesehatan masyarakat Aceh dapat digambarkan melalui beberapa indikator utama, yaitu: umur harapan hidup, angka kematian, status gizi, angka kesakitan, kesehatan lingkungan, dan perilaku. Umur Harapan Hidup Umur Harapan Hidup (UHH) menggambarkan panjang umur penduduk dalam suatu wilayah. Secara umum, UHH orang Aceh tidak banyak mengalami peningkatan selama periode 2007-2010. UHH hanya sedikit meningkat dari 68,4 di tahun 2007 menjadi 68.7 di tahun 2010, akan tetapi masih berada dibawah angka nasional (69,43). Dibanding dengan provinsi lain di Indonesia, UHH orang Aceh hanya sedikit lebih tinggi dari UHH orang Papua (68.35 tahun). Sedangkan secara internal Provinsi Aceh, masih terdapat disparitas UHH antar kabupaten/kota. Masyarakat Aceh yang berdomisili di Kabupaten Bireuen, UHH mencapai 72,35 tahun sedangkan yang berdomisili di Kabupaten Simeulue hanya 62,98 tahun (BPS, 2011). Jika dibandingkan angka harapan hidup laki-laki dan perempuan dari tahun 2007-2010, angka harapan hidup perempuan cenderung lebih tinggi dibandingkan angka harapan hidup lakilaki. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesehatan perempuan di Aceh relatif lebih tinggi dibandingkan tingkat kesehatan pada laki-laki. 53
Angka Kematian Angka kematian difokuskan pada beberapa indikator kematian utama, yaitu: Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Balita (AKABA) dan Angka Kematian Ibu (AKI). Angka Kematian Bayi Angka Kematian Bayi (AKB) dihitung dari jumlah angka kematian bayi dibawah usia satu tahun per 1000 kelahiran hidup pada satu tahun tertentu. Secara umum AKB di Provinsi Aceh mengalami penurunan secara bermakna dalam satu dekade ini. Berdasarkan hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), pada tahun 1997 AKB di Provinsi Aceh sebesar 45 per 1000 kelahiran hidup; dan turun menjadi menjadi 25 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Angka ini jauh lebih rendah dari angka rata-rata nasional 34 per 1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Indonesia, 2011). Namun masih sangat tinggi dibandingkan dengan target MDGs (15 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015). AKB masih cukup bervarasi antar kabupaten/kota dan masih relatif tinggi di daerah pedesaan, pada keluarga miskin dan anak-anak yang dilahirkan dari keluarga yang berpendidikan rendah. Kelompok masyarakat inilah umumnya masih mengalami hambatan financial atau sosial kultural untuk akses ke pelayanan kesehatan. Kelompok inilah yang menjadi tantantangan utama dalam menurunkan angka kematian bayi. Angka Kematian Balita Angka Kematian Balita (AKABA) adalah jumlah anak yang meninggal sebelum mencapai usia lima tahun yang dinyatakan sebagai angka per 1000 kelahiran hidup. AKABA juga merupakan salah satu indikator penting karena memberikan gambaran peluang terjadinya kematian pada fase antara kelahiran dan sebelum mencapai umur 5 tahun dan merupakan salah satu target MDGs. Secara umum, AKABA di Provinsi Aceh menurun dari 58.6 per 1000 kelahiran hidup pada pada tahun 1997 menjadi 45 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Namun angka AKABA di Provinsi Aceh masih lebih tinggi dari rata-rata nasional, yaitu; 44 per 1000 kelahiran hidup. Tantangan besar untuk mencapai target MDGs 32 per 1000 kelahiran hidup. MGDs menetapkan nilai normative AKABA “rendah” bila angka kematian lebih rendah dari 20 per 1000 kelahiran hidup. Walaupun tidak ada data yang akurat per kabupaten/kota, diperkirakan disparitas AKABA cukup tinggi antar daerah bila dilihat dari disparitas indicator proksi jumlah balita yang menderita muntah berak (diare) dan balita yang menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Diperkirakan AKABA juga lebih tinggi pada keluarga yang berpendidikan rendah, keluarga dengan 54
status sosial ekonomi rendah dan pada keluarga yang tinggal didaerah pedesaan yang tidak menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Angka Kematian Ibu Angka Kematian Ibu (AKI) juga merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat. Jumlah ibu yang meninggal akibat kehamilan, persalinan dan nifas di Aceh masih relatif tinggi, melebihi rata-rata nasional. SDKI 2007 melaporkan bahwa AKI di Provinsi Aceh masih sebesar 238 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan rata-rata AKI nasional sudah mencapai 228 per 100,000 kelahiran hidup, dan target MGDs 2015 sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup. Tantangan utama adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil dan kurang berfungsinya sistem deteksi dini ibu hamil yang beresiko tinggi dan sistem rujukan persalinan belum efektif disamping faktor medis seperti pendarahan, hipertensi saat hamil atau pre eklamasi dan infeksi (Kementerian Kesehatan, 2010). Jika dilihat data RISKESDAS 2010, angka rata-rata umur perkawinan pertama di Aceh adalah 20,7 tahun dengan persentase tertinggi adalah di umur 15-19 tahun (36,9%). Melihat angka ini, diperkirakan rendahnya pengetahuan remaja akan kehamilan dan kesehatan reproduksi juga berkontribusi terhadap kematian Ibu. Selain itu, ketidaksetaraan gender, nilai budaya, serta rendahnya perhatian laki-laki terhadap ibu hamil dan melahirkan juga diperkirakan berkontribusi terhadap kematian ibu. Status Gizi Status gizi difokuskan pada status gizi balita yang diukur dari tiga indikator utama, yaitu; prevalensi balita Kekurangan Gizi (gizi buruk dan gizi kurang), balita pendek dan balita kurus serta masalah gizi lainnya. Prevalensi Balita Kekurangan Gizi Secara umum status gizi masyarakat di Aceh sudah menunjukkan perbaikan. Prevalensi Balita gizi buruk dan kurang di Aceh menurun dari 26,5% pada tahun 2007 menjadi 23,7% pada tahun 2010, namun angka ini masih berada di atas angka ratarata nasional yang telah mencapai 17,9%. Disparitas status gizi buruk dan kurang antar kabupaten masih relatif tinggi. Dari 21 kabupaten/kota yang disurvey pada Riskesdas (2007) hanya 5 kabupaten yang sudah mencapai target nasional dan 4 kabupaten/kota yang sudah mencapai target MDGs 2015 (Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Banda Aceh dan Kota Sabang).
55
Prevalensi Balita Pendek Jumlah anak pendek (stunting) di Aceh masih sangat tinggi dan prevalensinya hanya menurun sedikit. Pada tahun 2007 prevalensi stunting di Aceh mencapai 44,6% dan pada tahun 2010 hanya menurun sedikit menjadi 38,9%. Prevalensi stunting di Aceh masih diatas angka rata-rata nasional (35,6%), seperti disajikan pada Gambar 2.19. Beberapa kabupaten/kota di Aceh, prevalensi stunting melebihi angka rata-rata provinsi. Dari 21 Kabupaten/kota yang disurvey di Aceh, tiga kabupaten diantaranya mempunyai prevalensi stunting cukup tinggi, yaitu kabupaten Aceh Tenggara (66,9%), Simelue (63,9%), Aceh Barat Daya (60,9%) dan Gayo Lues (59,9%). Prevalensi Balita Kurus Angka balita kurus juga terjadi penurunan di Aceh, pada tahun 2007 prevalensinya 18,3% turun menjadi 14,2% pada tahun 2010 (Gambar 2.5). Namun prevalensi anak kurus menurut Kabupaten di Aceh sangat bervariasi, ada 13 kabupaten yang memiliki prevalensi balita sangat kurus di bawah angka prevalensi provinsi, yaitu Aceh Singkil, Aceh Selatan, Aceh Tengah, Aceh Barat, Pidie, Biureun, Aceh Barat daya, Aceh Tamiang, Aceh Jaya, Bener Meriah, Kota Banda Aceh, Sabang, dan Langsa. Masalah Gizi Lain Permasalahan gizi lainnya adalah Kekurangan Energi Kronis (KEK) pada wanita. Berdasarkan data Riskesdas 2007, prevalensi KEK pada wanita usia 15-45 tahun di Aceh adalah 12,3% sedikit lebih rendah dibandingkan dengan angka KEK rata-rata Nasional (13,6%). Tetapi terdapat sembilan kabupaten dengan prevalensi risiko KEK di atas angka rata-rata Aceh, yaitu Simeulue, Aceh Selatan, Bireuen, Aceh Utara, Nagan Raya, Aceh Jaya, Kota Kota Langsa, untuk Kota Banda Aceh dan Aceh timur prevalensi KEK masih sangat tinggi mencapai 23,0% dan 23,4%. Selain itu, seperempat (25%) wanita usia subur (WUS) di Aceh terlalu kurus atau dua kali lipat dari pada kondisi nasional (13.6%). Kondisi WUS yang kurus berdampak pada resiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Diperkirakan prevalensi BBLR di Aceh sekitar 11,3%, hampir dua kali lipat lebh tinggi daripada prevelensi nasional (Riskesdas, 2007). Kecukupan konsumsi energi penduduk umur 13-15 tahun (usia pra remaja) di Aceh perlu mendapat perhatian. Rata-rata kecukupan konsumsi energi penduduk umur 13-15 tahun (usia pra remaja) berkisar 67,9 persen- 84,7 persen. Kecukupan energi dan protein usia 13-15 tahun di Aceh adalah 22%. Angka ini adalah angka terendah di Indonesia.
56
Angka Kesakitan Angka kesakitan disajikan disini berdasarkan data hasil survey (community based data) dan dari facility based data berdasarkan pencatatan dan pelaporan Puskesmas dan Rumah Sakit (terutama falitas kesehatan milik pemerintah). Angka keluhan kesehatan (sakit), pernah mengeluh menderita salah satu penyakit selama satu bulan yang lalu (pada saat survey dilakukan), pada tahun 2011 sebesar 30.62%, terjadi penurunan sekitar 5% dibandingkan dengan periode 2008-2010 yang mencapai 35%. Namun angka ini masih lebih tinggi dibandingkan angka kesakitan tahun 2007 yang hanya sekitar 25%. Angka kesakitan masyarakat Aceh hampir dua kali lipat lebih tinggi dari rata-rata angka kesakitan nasional yang hanya sebesar 15%. Disamping itu, disparitas antar kabupaten/kota juga relatif tinggi. Pada tahun 2011, angka kesakitan tertinggi terdapat di kabupaten Bener Meriah dan Pidie Jaya, persentase melebihi 40% dari total jumlah masyarakat yang di survey di kabupaten tersebut; sedangkan di kabupaten Simeulue kurang dari 15% (14,35) Pola pencarian pengobatan; sebagian masyarakat yang mengeluh menderita salah satu penyakit mencari pertolongan kesehatan ke pusat pelayanan kesehatan dan sebagian yang lain mengobati sendiri atau tidak mencari pengobatan sama sekali. Persentase penduduk yang mengeluh menderita salah satu penyakit dan mencari pengobatan sebesar 55,17%, dimana 96,5% mereka mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan, hanya 3,5% yang mencari pengobatan tradisional. Pola Penyakit; sepuluh jenis penyakit terbanyak yang tercatat di Puskesmas dan Rumah Sakit. Saat ini penyakit yang diderita oleh masyarakat Aceh tidak hanya didominasi oleh penyakit infeksi menular, tetapi penyakit kronik tidak menular juga sudah menjadi ancaman baru kesehatan penduduk Aceh yang sebahagian besarnya juga dipengaruhi oleh pola perilaku masyarakat. Penyakit infeksi masih didominasi oleh penyakit ISPA dan Diare. Penyakit ini umumnya menyerang anak balita. Penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) masih merupakan penyebab kesakitan tertinggi anak balita di Aceh. Hasil survey SDKI tahun 2007, rata-rata prevalensi ISPA di Aceh sekitar 16%, namun disparitas antar kabupaten cukup tinggi. Prevelensi ISPA di Kabupaten Aceh Barat Daya, Gayo Lues dan Aceh Barat Daya masing-masing mencapai 32,4%, 30,2% dan 28,6%. Namun kasus ISPA yang dilaporkan Puskesmas cenderung menurun. Misalnya, total kasus ISPA tahun 2005 sebanyak 183.459 dan tahun 2009 penyakit ISPA menurun menjadi 168.630 kasus. Pneumonia sering menyertai ISPA. Sekitar 40-43% anak menderita ISPA berlanjut ke Pneumonia, terutama bila pengobatan ISPA tidak dilakukan secara adekuat. Prevalensi Pneumonia di Aceh sekitar 3,97%, lebih tinggi dari rata-rata nasional yang hanya sekitar 2.85% (Gani, 2010).
57
Prevalensi Diare di Aceh sekitar 17,3%. Angka ini dua kali lebih tinggi dari angka nasional (9%). Beberapa kabupaten/kota seperti Gayo Lues, Aceh Barat Daya dan Aceh Singkil mempunyai prevalensi diare tertinggi, masing-masing 39,1%, 31,7% dan 26.8%. Tingginya kasus ISPA dan Diare pada anak balita dibeberapa kabupaten/kota sering dijadikan indikator proxy disparitas angka kematian anak antar kabupaten. Malaria masih endemis hampir diseluruh Aceh. Riskedas 2007 melaporkan bahwa bahwa prevalensi malaria di Aceh 3,7% masih lebih tinggi dibandingkan dengan angka nasional yang hanya sebesar 2.85%. Persentase penggunaan kelambu yang berinsektisida (insectisida treated net) juga masih rendah (35%) dengan disparitas antar kabupaten antara 6% di Kota Banda Aceh dan yang tertinggi di kabupaten Subulusalam (74%). Tuberkulosis (TBC) masih merupakan ancaman kesehatan bagi sebagian masyarakat Aceh. Prevelensi di Aceh diperkirkan sebesar 1.45%, lebih tinggi dari prevelensi nasional yang hanya 0.99%. Berdasarkan hasil Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2004, estimasi prevalensi TB nasional adalah 104 per 100.000 penduduk. Prevalensi TB di Sumatera adalah 160 per 100.000 pendududk. Angka prevalensi ini juga disepakati untuk dijadikan sebagai estimasi angka insiden TB. Indikator utama yang digunakan untuk menilai kemajuan Program Pengendalian Penyakit TB adalah angka penemuan kasus/case detection rate (CDR) dan angka kesuksesan pengobatan/success rate (SR). Angka penenuan kasus tahun 2011 sebesar 54,9 %, masih cukup jauh dari target nasional minimal 70%. Namun demikian, telah terjadi peningkatan sebesar 5,2 % dibandingkan tahun 2010 yang hanya mencapai 49,7%. Disamping itu terjadi perbedaan angka penemuan kasus yang cukup tinggi antar kabupaten/kota. Di Kabupaten Aceh Barat Daya sudah mencapai 120 %, sedangkan di Kabupaten Bener Meriah baru mencapai 16 %. Sedangkan angka kesuksesan pengobatan mencapai 92 %, telah memenuhi target nasional minimal 85 %. Penyakit Deman Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan utama di Aceh. Prevelensi DBD di Aceh 1.1%, lebih tinggi daripada angka nasional sebesar 0,11%. Angka kesakitan DBD di Aceh sebesar 57,2 per 100.000 penduduk, masih lebih tinggi dari target nasional yang ditetapkan dibawah atau sama dengan 50 per 100.000 penduduk. Terjadi penurunan bila dbandingkatan tahun 2010 yang mencapai 64 per 100.000 penduduk. Angka kesakitan DBD tertinggi terdapat di Kota Sabang (447 per 100.000), Banda Aceh (170,4 per 100.000) dan Aceh Besar (149,9 per 100.000 penduduk) (Dinas Kesehatan Aceh, 2011). Penyakit Kusta juga masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyrakat di Aceh, dimana Aceh merupakan satu-tunya provinsi di Sumatera yang masih tergolong sebagai daerah endemis tinggi kusta (prevalensi diatas 1 per 10.000 58
penduduk. Sampai dengan akhir tahun 2011 jumlah penderita kusta terdaftar mencapai 594 atau prevalensi 1,2 per 10.000 penduduk. Proporsi anak diantara kasus baru kusta yang ditemukan masih tinggi, yaitu 8,7 %, sedangkan target nasional kurang dari 5 %. Tingginya proporsi anak menggambarkan masih terus berlangsungnya proses penularan ditengah-tengah masyarakat. Demikian juga, proporsi cacat tingkat 2 diantara kasus baru yang ditemukan masih tinggi, yaitu 15,6 %, sedangkan target nasional kurang dari 5 %. Hal ini menunjukkan terjadinya keterlambatan penemuan kasus kusta oleh petugas kesehatan. (Dinas Kesehatan Aceh, 2011). Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I), seperti campak, pertusis dan tetanus neonatorum masih cukup tinggi kejadiannya di Aceh. Pada tahun 2011 dilaporkan terjadi sebanyak 708 kasus campak klinis, 93 kasus pertusis dan 3 kasus tetanus neonatorum (Profil Kesehatan Aceh, 2011). HIV dan AIDS merupakan fenomena permasalahan kesehatan masyarakat di Provinsi Aceh, sebagaimana provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Jumlah kumulatif kasus HIV dan AIDS di Aceh sampai dengan 2011 sebanyak 112 kasus yang tercatat. Estimasi jumlah yang terinfeksi diperkirakan jauh lebih banyak dari angka tercatat (Gambar 2.24). Disamping itu, jumlah kasus baru yang ditemukan pertahun cenderung meningkat dan sebaran kabupaten/kota juga semakin meluas. Sebelum tahun 2005, kabupaten/kota yang masuk dalam wilayah resiko tinggi penyebaran HIV dan AIDS hanya di kota Banda Aceh, Kota Lhokseumawe, Kota Sabang, Kota Langsa, Kabupaten Aceh Tamiang dan kabupaten Aceh Tenggara. Namun sekarang hampir semua (20 dari 23) kabupaten/kota di Aceh sudah menjadi daerah penyebaran HIV dan AIDS. Permasalahan lain adalah rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat tentang HIV dan AIDS (DHS, 2008). Hanya 4.3% perempuan usia 15-24 tahun di Aceh memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS dan baru 66% pria serta 49,5% wanita yang pernah mendengar AIDS. Sedangkan persentase perempuan yang mengetahui bahwa HIV dan AIDS itu dapat ditularkan kepada anak mereka melalui ASI, persalinan dan kehamilan hanya 26%. Lebih lanjut, ratarata 37.92% remaja usia 15-24 tahun di Aceh yang belum menikah mempunyai pengetahuan yang benar tentang berbagai cara penularan HIV dan AIDS. Selain itu, baru sekitar 5% penduduk yang mengerti tentang Voluntary Councelling and Testing (VCT). Penyakit Tidak Menular/PTM (non-communicable disease) sudah menjadi ancaman baru bagi kesehatan masyarakat Aceh. Hasil survey Riskesdas tahun 2007, Aceh berada diurutan teratas untuk beberapa jenis penyakit tidak menular, terutama penyakit Jantung, Stroke, Hipertensi dan Diabetes Mellitus. Prevalensi penyakit jantung dan Stroke di Aceh secara berturut-turut sebesar 12.6% dan 16.6%, dua kali lipat dari prevalensi nasional masing-masing sebesar 7.2% dan 59
8.3%. Sekitar dua orang (1,7) dari 1000 penduduk Aceh diperkirakan pernah mendirita Stroke. Beberapa faktor resiko jantung dan stroke juga tinggi di Aceh. Prevalensi Hipertensi (hasil pemeriksaan tenaga kesehatan) yang merupakan faktor resiko untuk terjadi jantung Iskemik dan Stroke juga sangat tinggi di tengah-tengah masyarakat Aceh mencapai 30,2%, sedangkan secara nasional prevalensi hipertensi sebesar 31,7% (Riskesdas, 2007). Hal yang sama dengan prevalensi Diabetes Mellitus yang mencapai 1.7%, sedangkan secara nasional prevalensi Diabetes Mellitus hanya 1.1%. Penderita penyakit Diabetes mempunyai resiko lebih tinggi untuk kejadian Jantung dan Stroke. Gangguan Mental Emosional merupakan suatu keadaan yang mengindikasikan individu mengalami suatu perubahan emosional yang dapat berkembang menjadi keadaan patologis apabila terus berlanjut. Hasil riskesdas tahun 2007 menunjukan prevalensi gangguan mental emosional di Aceh sebesar 14,1%, lebih tinggi dibandingkan angka nasional yang hanya 12,36%. Di Kabupaten Aceh Selatan, gangguan mental emosional mencapai 32,1%, tertinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Aceh. Kesehatan Lingkungan Kondisi lingkungan memberikan kontribusi yang sangat besar pada derajat kesehatan masyarakat. Indikator yang digunakan untuk mengukur kondisi kesehatan lingkungan yaitu akses terhadap air bersih, akses terhadap sanitasi yang layak, penggunaan bahan bakar memasak, dan penanganan sampah. Secara umum persentase masyarakat yang mempunyai akses terhadap air bersih (20 liter/orang/hari dari Sumber Terlindung dalam jarak 1 km atau Waktu Tempuh Kurang Dari 30 Menit) sebesar 45,5 persen dan menjalankan sanitasi dengan baik (Memiliki Jamban Jenis Latrin + Tangki Septik) di provinsi Aceh sebesar 32,5 persen. Kabupaten tertinggi dalam mengakses air bersih adalah Sabang 45,5 persen dan terendah Gayo Lues 0,4 persen. Dalam hal sanitasi, kabupaten tertinggi adalah Banda Aceh 76,5 persen dan terendah Gayo Lues 10,6 persen Dalam hal jarak dan waktu, pada umumnya rumah tangga di kabupaten/kota dapat menjangkau sumber air dalam waktu kurang dari 30 menit dan jarak kurang dari 1 km. Permasalahan yang cukup banyak dialami terkait dengan kualitas fisik air bersih adalah kekeruhan dan warna. Kabupaten yang paling tinggi mengalami masalah kualitas fisik (kekeruhan) adalah Aceh Besar (30,0 persen). Masih banyak rumah tangga yang mempunyai sarana pembuangan air limbah (SPAL) yang terbuka, paling tinggi terdapat di Langsa (87.3 persen) sedangkan yang tidak mempunyai SPAL, tertinggi di Pidie (48.3 persen).
60
Proporsi rumah tangga yang memiliki akses yang baik terhadap jamban pribadi dengan septic tank hanya 30,88% dan tempat sampah yang sehat juga baru mencapai 27,22%, serta pengelolaan air limbah sehat hanya 32,60% (Profil Kesehatan Aceh, 2010). Riskesdas 2007 memperlihatkan kepemilikan penampungan sampah tertutup dan terbuka di dalam rumah di Aceh sebesar 5,6% dan 15,2%. Penampungan sampah di luar rumah yang tertutup 8,7% dan terbuka 26,0%. Masih banyak rumah tangga yang lantainya bukan tanah dengan kepadatan hunian tinggi. Proporsi tertinggi dalam penggunaan lantai tanah terdapat di Kabupaten Aceh Utara (26.4%). Kepadatan hunian <8 m2/ kapita paling tinggi terjadi di Kabupaten Pidie (87.3%). Penggunaan lantai tanah lebih tinggi di pedesaan. Semakin rendah tingkat ekonomi, semakin tinggi jenis lantai tanahnya. Perilaku Tingginya masalah kesehatan saat ini sangat berkaitan dengan faktor sosial dan budaya, antara lain kesadaran individu dan keluarga untuk berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). PHBS adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat. Indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di rumah tangga adalah 1). Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan 2). Pemberian ASI eksklusif 3). Menimbang anak balita setiap bulan, 4). Menggunakan air bersih, 5). Mencuci tangan pakai sabun, 6). Menggunakan jamban sehat 7). Mengkonsumsi sayuran dan buah setiap hari 8). Memberantas jentik di rumah sekali seminggu 9). Melakukan aktivitas fisik setiap hari, 10). Tidak merokok dalam rumah. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan; Berdasarkan data Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan ibu dan Anak (PWS-KIA) 2011 menunjukkan angka persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan sudah mencapai 84,67 persen. Persentase persalinan di tolong oleh tenaga kesehatan tertinggi di Kabupaten Aceh Singkil (99,41 persen) dan Kabupaten Aceh Tamiang (97,51 persen), sedangkan terendah di Kabupaten Aceh Selatan (59,5 persen), seperti disajikan pada gambar berikut: Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif; (hanya air susu ibu sebagai makanan bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan) hanya 8,58 persen (Profil Kesehatan Aceh, 2010) atau 11,4 persen (DHS, 2007) atau 3 kali lipat lebih rendah dari cakupan nasional. Anak 6-24 bulan yang mendapatkan praktek pemberian makanan yang baik baru sebesar 34 persen. Pada tahun 2010 cakupan pemberian ASI Ekslusif di Aceh menurun menjadi 4,3 persen. Jika dilihat menurut Kabupaten/kota hampir 61
semua kabupaten/kota mempunyai cakupan yang sangat rendah dan hanya 1 (satu) kabupaten yang angkanya sedikit tinggi, yaitu Aceh Selatan, yaitu 14,32 persen, seperti disajikan pada gambar berikut. Perilaku menimbang anak balita setiap bulan adalah persentase cakupan indikator penimbangan, yaitu jumlah balita yang ditimbang dibandingkan dengan jumlah balita sasaran penimbangan (D/S) yang menggambarkan partisipasi masyarakat dalam menimbang balita. Hasil laporan Pencapaian Indikator Pembinaan Gizi Masyarakat menunjukkan rata-rata cakupan D/S di Aceh tahun 2009 adalah 53,9 persen dan 54,4 persen pada tahun 2010, angka ini jauh dari target provinsi Aceh yaitu 70 persen dan jika dibandingkan dengan 8 (depalan) indikator program perbaikan gizi masyarakat tahun 2010-2014, yaitu 85 persen anak ditimbang berat badannya (D/S), maka cakupan D/S Aceh masih sangat jauh berada di bawah target tersebut. Jika dilihat menurut kabupaten/kota terdapat tiga kabupaten yang mempunyai angka cakupan D/S sangat tinggi, yaitu Kabupaten Aceh Utara (96,1 persen), Kabupaten Aceh Tamiang (88,9 persen) dan Kota Lhokseumawe (85,2 persen). Sebaliknya masih banyak didapatkan kabupaten dengan cakupan D/S sangat rendah, yaitu Kabupaten Bener Meriah (17,1 persen), Nagan Raya (24,7 persen), Aceh Barat Daya (26,2 persen) dan Aceh Tengah (28,4 persen) Berdasarkan perilaku merokok, persentase perokok tiap hari terbesar terdapat di Kabupaten Bener Meriah (32,9 persen), Aceh Barat Daya (31.0 persen) dan Aceh Barat (29,2 persen), sedangkan terendah di Nagan Raya (16.6 persen). Prevalensi perokok provinsi dan jumlah batang rokok, 18,5 batang per hari dan merupakan angka tertinggi di Indonesia (Riskesdas 2007). Sementara itu perilaku konsumsi sayuran dan buah-buah masih sangat rendah. Data Riskesdas 2007 menunjukkan 95,5 persen masyarakat Aceh kurang mengkonsumsi sayur dan buah. Jika dilihat menurut kabupaten, Kota Langsa memiliki angka kecukupan sayur dan buah yang paling tinggi (19.2 persen). Sedangkan kabupaten yang memiliki angka kecukupan sayur dan buah paling rendah adalah Aceh Selatan (0.5 persen) seperti disajikan pada Gambar 2.30. Konsumsi sayuran dihitung dari jumlah hari konsumsi dalam seminggu dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari. Penduduk dikategorikan cukup konsumsi sayur dan buah apabila makan sayur dan/atau buah minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu Selanjutnya tingkat aktivitas fisik dilihat dari kebiasaan melakukan aktivitas fisik berat, sedang dan ringan. Penduduk yang tidak biasa melakukan aktivitas adalah penduduk yang tidak melakukan aktivitas fisik berat, sedang atau ringan atau melakukan aktivitas berat, sedang dan ringan tetapi kurang dari sepuluh menit. Secara umum prevalensi penduduk yang cukup melakukan kegiatan 62
aktivitas fisik rutin di Provinsi Aceh sebesar 62,9 persen. Prevalensi melakukan aktivitas fisik yang tertinggi adalah Kota Sabang (89.8 persen) dan terendah di kabupaten Nagan Raya (36,7 persen) Penggunaan jamban sehat adalah salah satu indikator untuk menilai perilaku yang benar dalam hal Buang Air Besar (BAB). Dari hasil Riskesdas 2007 rata-rata penduduk Aceh BAB yang benar yaitu sebesar 61,6 persen. Kabupaten yang tertinggi adalah Banda Aceh (96,6 persen) dan terendah Aceh Barat Daya (26,0 persen). Sedangkan berperilaku benar dalam cuci tangan di Provinsi Aceh adalah 16,0 persen, kabupaten tertinggi adalah Nagan Raya (47,1 persen) dan terendah Aceh Tenggara (2,0 persen). Untuk penggunaan air per orang per hari di Aceh pada umumnya lebih dari 100 liter. Apabila dibandingkan antar wilayah kabupaten/kota, persentase tertinggi masyarakat dengan penggunaan air lebih dari 100 liter adalah Kabupaten Aceh Singkil (79,2 persen) dan Aceh Barat (77,8 persen). Masih terdapat beberapa kabupaten/kota yang pemenuhan kebutuhan airnya di bawah rata-rata Nasional, sedangkan berdasarkan ketersediaan air bersih, secara umum di Provinsi Aceh sebanyak 21,8 persen rumah tangga mengalami kesulitan air bersih pada musim kemarau. Kabupaten tertinggi yang mengalami kesulitan air bersih adalah Aceh Timur 60,8 persen terendah Banda Aceh 3,1 persen. Hasil Riskesdas, 2007 (Gambar 2.32) menunjukkan 80,4 persen rumah tangga di Aceh belum menerapkan PHBS (kategori buruk), hanya 19,6 persen Rumah tangga yang menerapkan PHBS (kategori baik). Menurut Kabupaten, hanya 5 (lima) kabupaten/Kota di Aceh yang mempunyai persentase Rumah Tangga yang memenuhi kriteria baik dalam berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) agak tinggi, yaitu Kota Sabang (35,4 persen), Aceh Tengah (32 persen), Kota Banda Aceh (30,6 persen), Bener Meriah (30,2 persen), Bireuen (30,1 persen). Sedangkan persentase PHBS paling rendah di kabupaten Gayo Lues (1,5 persen) dan Nagan Raya (2,2 persen). Dalam hal jarak dan waktu, pada umumnya rumah tangga di kabupaten/kota dapat menjangkau sumber air dalam waktu kurang dari 30 menit dan jarak kurang dari 1 km. Permasalahan yang cukup banyak dialami terkait dengan kualitas fisik air bersih adalah kekeruhan dan warna. Kabupaten yang paling tinggi mengalami masalah kualitas fisik (kekeruhan) adalah Aceh Besar (30,0 persen). Masih banyak rumah tangga yang mempunyai sarana pembuangan air limbah (SPAL) yang terbuka, paling tinggi terdapat di Langsa (87.3 persen) sedangkan yang tidak mempunyai SPAL, tertinggi di Pidie (48.3 persen). Secara umum persentase masyarakat yang mempunyai akses terhadap air bersih (20 liter/orang/hari dari Sumber Terlindung dalam jarak 1 km atau Waktu Tempuh Kurang Dari 30 Menit) sebesar 45,5 persen dan menjalankan sanitasi 63
dengan baik (Memiliki Jamban Jenis Latrin + Tangki Septik) di provinsi Aceh sebesar 32,5 persen. Kabupaten tertinggi dalam mengakses air bersih adalah Sabang 45,5 persen dan terendah Gayo Lues 0,4 persen. Dalam hal sanitasi, kabupaten tertinggi adalah Banda Aceh 76,5 persen dan terendah Gayo Lues 10,6 persen. Jumlah rumah tangga yang menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) mencakup 10 indikator PHBS yang terdiri dari enam indikator individu dan empat indikator rumah tangga, didapatkan sebagian besar Rumah tangga di Aceh belum menerapkan PHBS. Hasil Riskesdas, 2007 (Gambar 2.33) menunjukkan 80,4 persen rumah tangga di Aceh belum menerapkan PHBS (kategori buruk), hanya 19,6 persen Rumah tangga yang menerapkan PHBS (kategori baik). Menurut Kabupaten, hanya 5 (lima) kabupaten/Kota di Aceh yang mempunyai persentase Rumah Tangga yang memenuhi kriteria baik dalam berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) agak tinggi, yaitu Kota Sabang (35,4 persen), Aceh Tengah (32 persen), Kota Banda Aceh (30,6 persen), Bener Meriah (30,2 persen), Bireuen (30,1 persen). Sedangkan persentase PHBS paling rendah di kabupaten Gayo Lues (1,5 persen) dan Nagan Raya (2,2 persen). Fasilitas pelayanan kesehatan Ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan di Aceh saat ini sudah semakin meningkat terutama fasilitas pelayanan kesehatan dasar (puskesmas dan puskesmas pembantu/Pustu). Hampir seluruh kecamatan sudah memiliki puskesmas, bahkan di beberapa kecamatan memiliki 2 puskesmas. Dari 325 Puskesmas, 55 Puskesmas sudah mampu memberikan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED), namun jumlah ini masih dibawah target 92 Puskesmas sesuai dengan standard Kepementerian Kesehatan (1 Puskesmas PONED/50.000 penduduk). Untuk mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, jejaring pelayanan kesehatan dasar seperti Pustu, Poskesdes, Polindes dan Posyandu juga terus meningkat walaupun belum merata diseluruh daerah, terutama di Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK). Jumlah Pustu meningkat dari 886 pada tahun 2007 menjadi 957 pada tahun 2011. Hal yang sama dengan jumlah Poskesdes/Polindes meningkat dari 1885 pada tahun 2007 menjadi 1932 pada tahun 2011; namun jumlah Poskesdes/Polindes baru sekitar 30% dari jumlah desa yang ada di Provinsi Aceh (6.450 desa). Jumlah fasilitas pelayanan kesehatan rujukan (rumah sakit umum - RSU) juga sudah tersedia di seluruh kabupaten/kota. Sekarang ini ada 51 Rumah Sakit diseluruh Aceh yang terdiri dari 32 RSU pemerintah dan 19 RSU swasta; 15 diantaranya telah mampu melaksanakan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK). Umumya RSU di kabupaten/kota masih berstatus RSU Kelas C (baru memiliki empat pelayanan medik spesialis dasar (bedah, penyakit 64
dalam, anak dan obstetric & ginekologi) dan empat pelayanan spesialis penunjang medik. Rumah sakit umum kelas B baru 5 RS (RSUD Meuraxa dan RS Ibu dan Anak di Banda Aceh, RSUD Cut Meutia di Kabupaten Aceh Utara, RSUD Datu Beru di Kabupaten Aceh Tengah dan RSUD di Kota Langsa). Hanya Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin/RSUDZA yang mempunyai status RS kelas A. Disamping itu, Provinsi Aceh juga memiliki 1 buah rumah sakit jiwa (RSJ Banda Aceh). Dari 51 rumah sakit yang ada, baru 8 yang sudah terakreditasi (dan hanya RSUDZA yang terakreditasi penuh). Tenaga Kesehatan Jumlah tenaga kesehatan untuk semua jenis tenaga meningkat dari tahun ke tahun. Tabel 2.91 memperlihatkan jumlah tenaga kesehatan pada tahun 2009 dan 2010 menurut kategori ketenagaan yang dilaporkan pada profil kesehatan tahunan. Sampai tahun 2010, total jumlah tenaga kesehatan sekitar 20.456 tenaga (sekitar 5 tenaga kesehatan melayani orang 1000 orang penduduk). Secara umum, rasio tenaga kesehatan per penduduk untuk semua jenis tenaga kesehatan masih rendah, kecuali untuk tenaga perawat dan bidan yang sudah mencukupi (standar nasional untuk perawat dan bidang masing-masing 170 dan 100 tenaga per 100.000 penduduk). Tabel 2.91 menampilkan kondisi tenaga medis tahun 2011 per kabupaten/kota. Jumlah dokter umum di Aceh tahun 2011 sebanyak 1.433 orang dengan rasio 31 per 100.000 penduduk, masih rendah dibandingkan dengan standar nasional 40 per 100.000 penduduk. Jumlah dokter yang bertugas di Puskesmas saat ini sudah mencapai 642 orang atau sekitar dua orang per Puskesmas (Profil Kesehatan Aceh, 2011). Namun demikian, distribusinya belum merata diseluruh Puskesmas. Umumnya tenaga kesehatan bertugas di wilayah perkotaan. Di Kota Banda Aceh, Aceh Jaya dan Sabang yang rasio dokter umumnya misalnya telah mencapai standar nasional, bahkan di Kota Banda Aceh, rasio dokter umum per penduduk hampir mencapai 5 kali standar nasional. Sebaliknya masih banyak kabupaten/kota yang rasio dokter umumnya dibawah standar nasional. Jumlah dokter spesialis di Aceh tahun 2011 sebanyak 352 orang dengan rasio 8 per 100.000 penduduk, masih jauh dari standar nasional 20 per 100.000 penduduk. Selain jumlah, distribusi tenaga spesialis juga umumnya bertugas di ibu kota provinsi atau kabupaten/kota. Sekitar 50% tenaga spesialis berdomisilir di Banda Aceh, sisanya di 22 kabupaten/kota lainnya. Di Banda Aceh, dokter spesialis sudah mencapai rasio 160 per 100.000 penduduk atau empat kali lipat di atas standar nasional, sementara di beberapa kabupaten/kota ada yang belum memiliki dokter spesialis. Jumlah dokter gigi di Aceh tahun 2011 sebanyak 200 orang dengan rasio 65
dokter gigi 4 per 100.000 penduduk, baru setengah dari standar nasional 9 per 100.000 penduduk. Kualitas pelayanan kesehatan Secara umum kualitas pelayanan kesehatan di Provinsi Aceh belum begitu memuaskan. Walaupun tidak ada data dan penelitian yang valid, sebagian masyarakat tidak merasa puas dengan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pusat-pusat pelayanan kesehatan milik pemerintah. Hal ini tercermin masih banyak masyarakat lebih memilih berobat ke fasilitas swasta, praktek dan klinik sore hari walaupun pelayanan kesehatan milik pemerintah gratis. Sebagian masyarakat bahkan ada yang memilih berobat ke negara tetatngga. Masyarakat banyak mengeluh, mereka tidak dilayani dengan sepenuh hati, dokter yang seharusnya ada di rumah sakit milik pemerintah sering tidak ada ditempat bahkan sering di rumah sakit atau klinik swasta. Walaupun biaya pelayanan kesehatan di Aceh sejak Juni 2010 ditanggung oleh pemerintah sepenuhnya melalui program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), namun banyak pasien kecewa dengan pelayanan, obat-obatan tidak selalu tersedia dan kadang kala pasien di dorong untuk membeli obat-obat tertentu. Tingkat responsiveness yang rendah dan keluhan masyarakat lain terhadap kualitas pelayanan kesehatan sering menjadi salah satu berita utama media massa. Pembiayaan Kesehatan Alokasi dana untuk sektor kesehatan yang bersumber dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) naik sangat signifikan, hampir dua kali lipat dari tahun 2007 ke tahun 2011. Demikian juga dengan proporsi pendanaan untuk sektor kesehatan terus meningkat dari 4,37% pada tahun 2007 menjadi 10,44% pada tahun 2011. Namun demikian, sebagian orang beragumentasi bahwa peningkatan alokasi anggaran untuk sektor kesehatan disebabkan oleh alokasi anggaran untuk program JKA. Secara mikro, alokasi anggaran kesehatan untuk beberapa program kesehatan, seperti anggaran untuk kegiatan promosi dan pencegahan penyakit tidak sepenuhnya meningkat. Alokasi anggaran kesehatan masih terfokus untuk kegiatan yang bersifat kuratif padahal proporsi masyarakat yang sakit hanya berkisar antara 15%-30%. Proporsi alokasi anggaran seperti ini sering dikritik tidak efisien, mengabaikan pentinya untuk menjaga kesehatan diri yang biayanya lebih murah daripada biaya mengobati. Sekuat apapun fiskal pemerintah, bila focus anggaran masih lebih kepada pengobatan, suatu saat pemerintah tidak akan mampu sepenuhnya membiayai pengobatan orang sakit, apa lagi penyakit masyarakat Aceh sekarang sudah mulai didominisasi oleh penyakit tidak menular – degenerative – seperti diabetes, penyakit jantung, stroke dan gangguan jiwa. 66
Aspek pemberdayaan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam bidang kesehatan dapat diukur dari berbagai segi, salah satunya dapat dilihat dari aspek peran serta masyarakat dalam membina gampong siaga aktif, jumlah pos pelayanan terpadu (posyandu) dan jumlah kader kesehatan. Saat ini jumlah gampong siaga aktif baru hanya 705 (11%) dari 6.450 total gampong yang ada di Aceh. Sementara itu jumlah posyandu di Aceh tahun 2011 sudah memadai dengan jumlah posyandu 7.368 dari 6.450 desa, berarti ada 1 gampong yang memiliki lebih dari 1 posyandu. Sementara itu jumlah kader yang tercatat sudah mencapai 26.412 kader, artinya ada 3-4 kader per posyandu, namun demikian tingkat keaktifan kader cukup fluktuatif dan pengetahuan kader yang cukup variatif. KETAHANAN PANGAN Tanaman Pangan Produksi komoditas pangan Aceh dalam beberapa tahun terakhir secara keseluruhan menunjukkan perkembangan yang positif. Produksi padi mengalami peningkatan pada tahun 2009 sebesar 11,02 persen, pada tahun 2010 meningkat sebesar 1.64 persen dan pada tahun 2011 menjadi 12.05 persen atau periode 20082011 rata-rata peningkatan sebesar 8,24 persen pertahun. Selanjutnya jagung juga mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2009 sebesar 22,16 persen, pada tahun 2010 meningkat sebesar 21,16 persen, demikian juga pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 1,06 persen atau rata-rata peningkatan dalam periode 20082011 adalah sebesar 14,79 persen. Sedangkan untuk komoditi kedelai pada tahun 2009 mengalami kenaikan sebesar 44,55 persen, untuk tahun 2010 mengalami penurunan sebesar 15,91 persen, demikian juga pada tahun 2011 masih mengalami penurunan yaitu sebesar 6,26 persen. Menurunnya produksi kedelai pada tahun 2010 dan 2011 disebabkan oleh berkurangnya luas tanam kedelai akibat tingginya curah hujan Potensi luas lahan sawah provinsi Aceh sebesar 397.947 ha, sedangkan yang digunakan untuk budidaya padi hanya sebesar 374.196 ha 364.259 (sensus sosial ekonomi). Berdasarkan potensi tersebut penggunaan lahan sawah belum sepenuhnya digunakan untuk budidaya padi seluas 23.751 ha. Selain itu, masih rendahnya produktivitas tanaman padi yang hanya sebesar 4,74 ton/ha. Dalam upaya peningkatan produksi padi perlu dilakukan optimalisasi penggunaan lahan sawah yang belum dibudidayakan serta perlu adanya inovasi teknologi yang dapat meningkatkan produksi dan produktivitas antara 5,5 - 6,2 ton/Ha untuk tanaman padi. Meningkatnya produksi jagung setiap tahunnya mengindikasikan bahwa pengembangan tanaman jagung sudah digemari oleh masyarakat dan adanya 67
peluang pasar yang besar sehingga untuk selanjutnya perlu adanya upaya pengembangan komoditi ini untuk dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Di sisi lain perkembangan produksi kedelai yang mengalami penurunan berbanding negatif dengan peningkatan permintaan kedelai oleh masyarakat. Hal ini, gambarkan dengan banyaknya impor kedelai dari luar untuk memenuhi kebutuhan lokal. Permasalahan produksi pertanian pangan adalah masih rendahnya produktivitas, pada tahun 2011 produktivitas padi adalah sebesar 4,6 ton/ha, kedele 1,4 ton/ha, jagung 4,0 ton/ha. Secara nasional produktivitas padi sudah mencapai 4,9 ton/ha, jagung 4,2 ton/ha, sedangkan untuk tanaman kedele produktivitasnya sudah melampaui rata-rata nasional yaitu 1,3 ton perhektar. Rendahnya produktivitas komoditi pangan antara lain disebabkan oleh belum memadai infrastruktur pertanian seperti irigasi, lining, jalan usaha tani, sumberdaya petani dan penyuluh masih rendah, sentuhan inovasi teknologi (pupuk, benih, penggunaan alat mesin pertanian yang tepat guna dan pengendalian hama penyakit) serta pasar yang belum berpihak kepada petani. Untuk tercapainya target yang diinginkan sebagaimana disebutkan di atas perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: a. Peningkatan indeks tanam melalui optimalisasi penggunaan lahan dan penyediaan agro input Peningkatan luas tanam (termasuk integrasi dengan tanaman perkebunan) dengan mengoptimalkan lahan yang tersedia. b. Perbaikan sarana dan prasarana penunjang c. Akses pasar, penanganan paska panen dan peningkatan nilai tambah produk pertanian Inovasi teknologi d. Pengembangan kawasan dan perwilayahan komoditi pertanian e. Penguatan kelembagaan dan SDM petani f. Membuka akses permodalan kepada lembaga keuangan baik bank maupun non bank. g. Peningkatan Fungsi Penyuluhan pertanian h. Peningkatan pengkajian teknologi dan penyediaan serta penggunaan varitas baru. i. Akses pasar dan penanganan pasca panen Ketahanan Pangan Pangan adalah suatu kondisi dimana setiap individu dan rumah tangga memiliki akses secara fisik, ekonomi dan ketersediaan pangan yang cukup, aman, serta bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat dan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat sesuai dengan amanat UU No. 7 Thn. 1996 tentang pangan. Implementasi program 68
ketahanan pangan dilaksanakan dengan memperhatikan tiga subsistem yaitu, Ketersediaan, Distribusi dan Konsumsi. Secara umum, kondisi ketahanan pangan Aceh 2005-2009 cenderung semakin baik dan kondusif, walaupun kualitas konsumsi pangan masyarakat belum memenuhi Pola Pangan Harapan (PPH). Kondisi ketahanan pangan yang cenderung semakin baik, ditunjukkan oleh beberapa indikator ketahanan pangan berikut: a. Beberapa produksi komoditas pangan penting mengalami pertumbuhan positif dari tahun 2005, dan khusus beras mulai tahun 2008 sudah mencapai swasembada; b. Harga-harga pangan lebih stabil kecuali harga daging sapi baik secara umum maupun pada saat menjelang hari-hari besar nasional pada saat menjelang Puasa, Idul Fitri dan Idul Adha; c. Proporsi penduduk miskin dan rawan pangan semakin menurun. Peran serta Badan Ketahanan Pangan dalam mendorong pemantapan ketahanan pangan tersebut, dilakukan melalui pelaksanaan koordinasi perumusan kebijakan dan langkah-langkah implementasi pemantapan ketahanan pangan masyarakat, melalui pengembangan desa mandiri pangan, penanganan daerah rawan pangan, pemberdayaan lumbung pangan masyarakat, penguatan lembaga ekonomi pedesaan (LUEP), penguatan lembaga distribusi pangan masyarakat (LDPM) dan percepatan penganekaragaman/ diversifikasi konsumsi pangan. Produksi komoditas pangan penting selama lima tahun telah menunjukkan pertumbuhan yang positif. Adapun gambaran ketersediaan bahan pangan untuk dikonsumsi dapat ditunjukkan dari hasil Neraca Bahan Makanan (NBM). Berdasarkan hasil analisis NBM tahun 2011, bahwa rata-rata kuantitas ketersediaan pangan perkapita perhari untuk energi mencapai 3.334,28 kkal/kap/hari dan protein 92,42 gram/kap/hari, sudah melebihi angka rekomendasi hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII Tahun 2004, yaitu ketersediaan energi 2200 kkal/kap/hari dan protein 57 gram/kapita/hari. Selain aspek ketersediaan, aspek distribusi untuk pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara merata dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat juga tidak boleh dilupakan. Oleh karena itu keberhasilan dalam pembangunan ketahanan pangan baik di provinsi dan kabupaten/kota tidak hanya bergantung pada keberhasilan dalam meningkatkan produksi pangan. Tetapi, perlu dilihat secara komprehensif berdasarkan tiga pilar utama yaitu ketersediaan dari produksi yang cukup, distribusi yang lancar dan merata, serta konsumsi pangan yang aman dan berkecukupan gizi bagi seluruh individu masyarakat. Untuk dapat memenuhi kebutuhan individu dan/atau keluarga agar dapat memperoleh akses pangan baik secara fisik maka proses distribusi pangan yang lancar dari produsen hingga ke pasar konsumen menjadi persyaratan yang utama. 69
Kondisi di lapangan menunjukkan sebaran wilayah sentra produksi bahan pangan tidak sejalan dengan sebaran wilayah pasar dan sentra konsumen. Pangan yang dihasilkan di wilayah sentra-sentra produksi harus diangkut ke pasar agar secara fisik semua konsumen mempunyai akses untuk mendapatkannya dan setelah sampai di pasar harganya harus tetap terjangkau oleh konsumen. Hal ini menggambarkan bahwa setelah tahap produksi, maka tahap berikutnya adalah mendistribusikan bahan pangan agar tersedia bagi semua konsumen. Indikator keberhasilan dalam distribusi pangan adalah pada saat pangan telah mencapai ke konsumen. Bahan pangan tersebut harus cukup secara kuantitas, aman bagi kesehatan, bergizi baik, sesuai selera konsumen, harganya terjangkau, dan tersedia sepanjang tahun. Permasalahan utama yang menyebabkan kurangnya pasokan bahan pangan di wilayah yaitu masalah distribusi pangan, dimana ada 4 akar permasalah, yaitu : Pertama, dukungan infrastruktur, yaitu kurangnya dukungan akses terhadap pembangunan sarana jalan, jembatan, dan lainnya. Kedua, sarana transportasi yang belum memadai. Ketiga, sistem transportasi, yakni sistem transportasi yang masih kurang efektif dan efisien. Selain itu juga kurangnya koordinasi antara setiap moda transportasi mengakibatkan bahan pangan yang diangkut sering terlambat sampai ke tempat tujuan. Keempat masalah keamanan dan pungutan liar. Indikator yang mempengaruhi kebijakan pangan antara lain : (a) kelangkaan pangan secara cepat yang direfleksikan dengan meningkatnya harga pangan; (b) harga pangan yang terjangkau cukup dapat menjamin akses semua orang untuk memperoleh pangan yang memadai; (c) produksi pangan dosmetik yang cukup (swasembada pangan) merupakan cara yang paling efektif untuk mencapai stabilisasi harga pangan dalam negeri. Kebijakan pemerintah di bidang pangan (harga) adalah untuk mencapai salah satu atau kombinasi dari beberapa hal berikut : (1) membantu meningkatkan pendapatan petani; (2) membantu petani kecil untuk tetap memiliki insentif menghasilkan pangan; (3) mencapai swasembeda pangan dan mengurangi ketergantungan impor; dan (4) menurunkan ketidakstabilan harga dan pendapatan petani. Oleh karena itu Badan Ketahanan Pangan dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya di bidang distribusi, harga dan cadangan pangan akan melaksanakan : (a) koordinasi lintas sektor untuk merumuskan kebijakan yang terkait dalam stabilsasi harga, pasokan pangan dan cadangan pangan baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Instruksi Presiden maupun Peraturan Menteri; (b) pemantauan harga, ketersediaan dan distribusi pangan untuk menjamin ketersediaan dan pasokan pangan serta harga yang terjangkau terutama menjelang HBKN; (c) pemantauan dan pengembangan terhadap cadangan pangan 70
masyarakat dan pemerintah; serta kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (Penguatan-LDPM) yang dimulai pada tahun 2009 dan pengembangan lumbung masyarakat yang dimulai sejak tahun 2000. Untuk kegiatan DPM-LUEP, pemerintah Aceh telah menyalurkan dana talangan yang bersumber dari APBA kepada Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) di daerah sentra produksi padi, jagung dan kedelai seperti penggilingan maupun pedagang tanpa bunga. Dana talangan tersebut dimaksudkan untuk memperkuat modal penggilingan dan pedagang agar dapat menyerap gabah/beras/jagung petani di saat mereka menghadapi panen raya yang pada umumnya harga jatuh sehingga petani mengalami kerugian. Sejak tahun 2009, terjadi perubahan di dalam pengelolaan penganggaran kegiatan di Departemen Keuangan sehingga untuk mendukung kegiatan dalam rangka stabilisasi harga tidak lagi diberikan dalam bentuk dana talangan kepada LUEP tetapi menyalurkan dana Bansos kepada Gapoktan. Mengingat Gabungan Kelopoktani (Gapoktan) merupakan wadah organisasi kelompoktani untuk bergabung dalam rangka mensejahterakan anggotanya, maka pemerintah melalui kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (Penguatan-LDPM) memberikan fasilitasi berupa dana Bansos dan pendampingan. Cadangan pangan nasional, sesuai dengan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 terdiri dari cadangan pangan pemerintah dan cadangan pangan masyarakat. Cadangan pangan pemerintah adalah cadangan pangan tertentu bersifat pokok di tingkat nasional sebagai persediaan pangan pokok tertentu, misalnya beras. Cadangan pangan pemerintah pusat dijadikan sebagai stok beras nasional dan dikelola oleh PERUM Bulog. CBP tersebut dimanfaatkan untuk bantuan darurat akibat bencana, pengendalian harga beras tingkat konsumen, dan untuk penyediaan cadangan pangan ASEAN. Dalam rangka mengatasi gejolak harga pangan dan bencana alam serta antisipasi masa paceklik, pemerintah daerah secara bertahap mulai tahun 2012 telah mengembangkan cadangan pangan pemerintah daerah melalui kerja sama dengan Bulog. Sedangkan pengembangan cadangan pangan masyarakat telah dilakukan melalui pengembangan lumbung pangan masyarakat terutama pada lokasi yang rawan bencana dan daerah yang mengalami paceklik. Stabilitas pasokan dan harga merupakan indikator penting yang menunjukkan kinerja subsistem distribusi. Beberapa permasalahan terkait dengan aspek distribusi, yaitu belum memadainya prasarana dan sarana distribusi untuk menghubungkan lokasi produsen dengan konsumen di seluruh wilayah yang menyebabkan kurang terjaminnya kelancaran arus distribusi pangan. Hal ini dapat menghambat akses fisik dan berpotensi memicu kenaikan harga, sehingga dapat menurunkan kualitas konsumsi pangan. 71
Ketidaklancaran proses distribusi juga merugikan produsen, karena disamping biaya pemasaran yang mahal, hasil pertanian merupakan komoditi yang mudah susut dan rusak. Selain itu, ketidakstabilan harga memberatkan petani. Dengan sifat produksi yang musiman, penurunan harga pada saat panen cenderung merugikan petani. Sebaliknya, pada saat tertentu, harga pangan meningkat dan menekan konsumen, tetapi peningkatan harga tersebut tidak banyak dinikmati para petani sebagai produsen. Permasalahan lainnya adanya pengaruh melonjaknya harga pangan dunia, misalnya beras dan kedelai sebagai akibat kenaikan harga di dalam negeri karena ketergantungan terhadap ekspor pangan. Dalam era otonomi daerah, banyak peraturan daerah yang berdampak menghambat secara fisik arus distribusi pangan berupa peningkatan biaya distribusi pangan untuk kepentingan pemasukan keuangan daerah yang pada akhirnya dibebankan kepada konsumen. Permasalahan dalam proses distribusi pangan antara lain adalah terbatasnya dan/atau kurang memadainya sarana dan prasarana transportasi, kondisi iklim yang tidak menentu (akibat kondisi musim hujan yang tidak bersahabat, sehingga banyak jalan yang rusak, karena bencana banjir, atau ombak laut tinggi sehingga mengganggu pelayaran) yang dapat mengganggu transportasi bahan pangan. Permasalahan teknis dalam proses distribusi ini berdampak terhadap melonjaknya ongkos angkut. Konsekuensi dari ongkos angkut yang tinggi akan berdampak terhadap harga pada tingkat konsumen akan melonjak. Sebaliknya, harga pada tingkat produsen akan jatuh. Tingginya harga pangan mengakibatkan aksesibilitas konsumen secara ekonomi menurun. Maka kondisi ketahanan pangan tentu terganggu. Lamanya waktu tempuh dalam pengangkutan bahan pangan segar pada saat terjadi gangguan transportasi, baik karena kondisi infrastruktur jalan maupun cuaca, akan memperbesar persentase bahan pangan yang rusak. Masalah kelangkaan pangan disuatu wilayah berdampak terhadap harga-harga pangan akan melambung sangat tinggi yang berakibat pada terlampauinya tingkat inflasi dari tingkat inflasi yang telah ditetapkan. Masalah lain yang mempengaruhi ketersediaan bahan pangan di daerah adalah belum semua kabupaten/kota menjabarkan peraturan Pemerintah No 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan dan kesepakatan Gubernur dan Bupati pada sidang Regional Dewan Ketahanan Pangan tahun 2005 kedalam kebijakan operasional daerah. Dalam sidang Regional tersebut Gubernur dan Bupati berkomitmen untuk membangun cadangan pangan daerah. Namun demikian daerah masih menghadapi permasalahan dalam pengembangan cadangan pangan antara lain belum tersusunnya payung hukum yang dapat mengkoordinasikan pengelolaan cadangan pangan di tingkat kabupaten/kota (lembaga di daerah yang akan 72
mengelola cadangan pangan, siapa yang menetapkan kebutuhan cadangan pangan, dan berapa besaran volume cadangan akan dikelola oleh kabupaten/kota) dan alokasi anggaran untuk pengelolaan cadangan pangan di kabupaten/kota. Masalah lainnya dalam rangka mendukung distribusi, harga dan cadangan pangan adalah data dan informasi, SDM dan kelembagaan di provinsi dan kabupaten/kota yang yang bertanggung jawab terhadap akurasi dan pengelola data yang terkait dengan ketersediaan pangan, harga pangan, dan cadangan pangan di provinsi/kabupaten/kota/desa untuk dapat digunakan dalam merumuskan kebijakan distribusi, stabilsasi harga dan pasokan pangan serta kondisi cadangan pangan di provinsi/kabupaten/kota/masyarakat. Kemiskinan berhubungan sangat erat dengan kerawanan pangan dalam dua dimensi yaitu dari (1) kedalamannya, dibedakan dengan kategori ringan, sedang, dan berat; serta (2) jangka waktu/periode kejadian, dengan katagori kronis untuk jangka panjang dan transien untuk jangka pendek/fluktuasi. Tingkat kedalaman kerawanan pangan ditunjukkan dengan indikator kecukupan konsumsi kalori perkapita perhari dengan nilai Angka Kecukupan Gizi (AKG) sebesar 2.000 kkal/kap/hari. Jika konsumsi perkapita kurang atau lebih kecil dari 70 persen dari AKG dikategorikan sangat rawan pangan; sekitar 70 hingga 90 persen dari AKG dikategorikan rawan pangan; dan lebih dari 90 persen dari AKG termasuk dalam kategori tahan pangan. Pada 2010 jumlah penduduk miskin di Aceh secara bertahap telah berkurang dari 19,95 persen pada tahun 2009 menjadi 21,61 persen. Jika dilihat dari sisi kerawanan Pangan, berdasarkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Aceh (Food Security and Vurnalibility Atlas of Aceh/FSVA) Tahun 2010, menunjukkan bahwa dari 251 kecamatan yang dianalisis, terdapat 133 kecamatan atau sekitar 52,99 persen rentan terhadap kerawanan pangan. Penyebab utama kerawanan pangan prioritas 1, 2 dan 3 yaitu angka kemiskinan yang masih tinggi, tidak ada akses listrik, kasus underweight pada balita masih tinggi, tidak ada akses jalan untuk kendaraan roda empat, tidak ada sumber air bersih, dan rasio konsumsi normatif perkapita terhadap ketersediaan serealia masih meningkat. Keterjangkauan pangan yang masih rendah akibat tingginya tingkat kemiskinan dan rendahnya ketersediaan infrastruktur (jalan, listrik dan air bersih) untuk mencapai rumah tangga terutama untuk daerah rawan pangan dan daerah kepulauan. Dari segi konsumsi pangan, sangat kurang pengetahuan terutama tentang pangan beragam, bergizi, berimbang dan aman. Secara umum permasalahan utama tidak pada kuantitas pangan yang dikonsumsi, tapi lebih pada kualitas pangannya yaitu kurang beragam dan berimbangnya kelompok pangan yang dikonsumsi. Konsumsi protein masih didominasi oleh protein nabati dan sangat rendah protein hewani. 73
Di sisi lain, produktivitas lahan masih rendah akibat keterbatasan modal usaha, dan perilaku/budaya masyarakat yang kurang produktif. Rendahnya kepemilikan lahan pertanian dan lahan pekarangan menjadi penyebab kemiskinan dan ketidakmampuan mengakses pangan serta peran Dewan Ketahanan Pangan di Provinsi dan Kabupaten masih belum optimal dalam menghasilkan suatu kebijakan yang fokus. Penanganan rawan pangan yang terlambat akan memicu terjadinya kerawanan pangan yang berkepanjangan dalam periode yang lama menjadi kerawanan pangan kronis, dan dapat menyebabkan rawan pangan transien. Rawan pangan yang bersifat kronis memerlukan intervensi jangka menengah dan panjang, yaitu melalui intervensi kegiatan Desa Mandiri Pangan (Demapan), sedangkan untuk rawan pangan transien diperlukan intervensi jangka pendek tanggap darurat yang bersifat segera yaitu melalui kegiatan Penanganan Daerah Rawan Pangan (PDRP) transient dan penyaluran cadangan Pemerentah Daerah. Program desa mandiri pangan lebih diutamakan agar terjadinya pembelajaran bagi masyarakat desa sehingga pengetahuan, keterampilan dan sikap dapat berubah menjadi lebih baik. Dengan adanya perubahan perilaku tersebut diharapkan masyarakat desa mempunayi kapasitas untuk menangkap beberapa peluang untuk peningkatan pendapatan bagi masyarakat, serta sejalan dengan salah satu tujuaan Millenium Development Goals (MDGs), yaitu untuk mengurangi angka kemiskinan dan kelaparan di dunia sampai setengahnya di tahun 2015. Dengan telah dilaksanakan di 20 Kabupaten/Kota pada 187 desa reguler. Desa-desa Reguler yang telah telah dibina selama 4 tahun dan telah menjadi desa yang mandiri akan dijadikan desa inti, yang selanjutnya akan membina 3 desa di sekitarnya (desa replikasi). Jumlah desa replikasi sejak tahun 2010 s/d 2012 sebanyak 69 desa, sehingga total jumlah desa yang telah dibina sebanyak 256 desa. Untuk menunjang Program Ketahanan Pangan diantaranya Kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan yang telah dituangkan pada Perpres 22 Tahun 2009, Permentan 43 Tahun 2009 dan Pergub 42 Tahun 2010, yang telah dilaksanakan dengan kegiatan : Pemberdayaan Kelompok Wanita Tani Pengembangan Pangan Lokal Sosialisasi dan Promosi Penganekaragaman Konsumsi Pangan Pengembangan Rumah Pangan Lestari Pada tahun 2010-2012 P2KP telah dilaksanakan dibeberapa kabupaten, untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel Perkembangan Jumlah Kecamatan Kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan 2010-2012 dibawah ini.
74
Tabel 9 Perkembangan Jumlah Kecamatan Kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan 2010 – 2012 No.
Tahun
Jumlah Kecamatan
Jumlah Desa
Jumlah Kelompok
1 2 3
2010 2011 2012
14 16 26
28 32 52
140 160 260
Tabel 10 Jumlah Alokasi Desa Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Tahun 2010 – 2012 No.
Kabupaten
2010 4
Jumlah Desa Alokasi P2KP 2011 4
2012 5
Total 13
1
Aceh Besar
2
Pidie
4
4
4
12
3
Bireun
4
4
4
12
4
Aceh Tengah
4
4
4
12
5
4
4
4
12
6
Aceh Tenggara Nagan Raya
4
4
4
12
7
Aceh Selatan
-
4
4
8
Sampai Tahun 2012 baru terlaksana P2KP pada 13 Kabupaten, dengan jumlah alokasi Desa sebanyak 110 Desa. Program/Kegiatan P2KP ini merupakan item ke 4 (empat) dari program utama Pemerintah saat ini (Diversifikasi/Penganekaragaman Konsumsi). Penganekaragaman Konsumsi Pangan penting, karena : Pola konsumsi pangan masyarakat belum beragam, bergizi, seimbang dan aman, dan di dominasi beras. Pemanfaatan pangan lokal, khususnya Karbohidrat belum optimal. Total permintaan kebutuhan beras terus meningkat sejalan daya pertumbuhan penduduk yang masih tinggi (1,49% / tahun). Semakin nyata dampak perubahan iklim global yang dapat mempengaruhi kapasitas pangan domestic dan global. Percepatan peningkatan status gizi perlu segera dilakukan karena sifat masalah gizi yang jelas terlihat masih cukup berat. Saat ini kita lihat untuk Pelaksanaan Potensi Penganekaragaman Pangan, diantaranya : Kegiatan biodiversitas pangan Nabati dan Hewani yang cukup besar dan beragam. 75
Makanan tradisional dan spesifik lokasi dapat dikembangkan kearah yang lebih komersial. Teknologi pengolahan pangan makin berkembang untuk memproduksi bahan pangan yang siap saji dan siap konsumsi. Tumbuhnya LSM dan kelompok masyarakat lainnya yang bergerak dalam bidang pangan dan gizi. Jumlah konsumsi pangan dalam bentuk total energi masyarakat Provinsi Aceh Tahun 2010 mencapai 2.139 kkal/kap/hari, yang berarti telah memenuhi 107% dari sasaran angka kecukupan energi yang ditetapkan dalam susunan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional atau berdasarkan hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG VIII) Tahun 2004, yaitu 2.000 kkal/kap/hari. Proporsi energy yang di konsumsi tersebut masing-masing bersumber dari padi-padian 1375,3 kkal/kap/hari, umbi-umbian 19,8 kkal/kap/hari, pangan hewani 168,1 kkal/kap/hari, buah biji berminyak 77,6 kkal/kap/hari, minyak dan lemak 247,1 kkal/kap/hari, kacang-kacangan 28,6 kkal/kap/hari, gula 107,1 kkal/kap/hari serta sayur dan buah 74,5 kkal/kap/hari. Walaupun jumlah konsumsi energinya melebihi angka kecukupan energi, namun secara kualitas masih rendah, hal ini tercermin dari skor mutu pangan yang baru mencapai 72,3 dari sasaran 100, hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan masyarakat yang belum beragam, seimbang dan bergizi, karena didominasi oleh kelompok padi-padian sementara itu kelompok pangan lainnya seperti pangan hewani serta kelompok sayur dan buah proporsi masih dibawah sasaran skor PPH. Rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi pangan ini, disamping disebabkan oleh kemampuan masyarakat yang relatif rendah, juga faktor lainnya, seperti kebiasaan makan, ketersediaan pangan ditingkat lokal, pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap gizi dan kesehatan relatif rendah. Keamanan pangan merupakan salah satu aspek penting yang menentukan kualitas sumberdaya manusia. Konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang tidak akan berarti banyak, jika makanan yang dikonsumsi tidak aman dari cemaran, baik cemaran kimia, mikroba maupun cemaran fisik serta adanya penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak dianjurkan yang berdampak buruk kesehatan manusia serta nilai ekonomi dai bahan pangan yang bersangkutan Penanganan keamanan pangan mulai mendapat perhatian yang lebih serius dari pemerintah yang ditandai dengan telah diterbitkanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor : 28 Tahun 2004, tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan yang merupakan penjabaran dari UU Nomor 7 Tahun 1996. PP tersebut antara lain mengamanatkan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mempunyai kewenangan dalam pengaturan dan/atau penetapan persyaratan, standar, keamanan pangan olahan dan ritel, sedang kewenangan Kementerian Pertanian 76
yang implementasinya melalui Badan Ketahanan Pangan adalah pengaturan dan/atau penetapan persyaratan keamanan pangan segar. Pemerintah Aceh dalam upaya penanganan keamanan pangan segar, disamping meningkatkan peran kelembagaan struktural yang telah ada, juga telah membentuk UPTB Laboratorium Keamanan Pangan melalui Peraturan Gubernur Aceh Nomor 51 Tahun 2009, tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknsi Badan pada Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan. UPTB tersebut mempunyai tugas melaksanakan sebagian teknis dibidang pengembangan, analisis mutu dan keamanan, pengujian, penelitian dan indentifikasi dan rekomendasi bahan pangan segar. Namun kelembagaan UPTB Laboratorium Keamanan Pangan tersebut sampai saat ini belum dapat berjalan secara optimal karena masih terbatas tenaga SDM dibidang teknis dan analis laboratorium serta belum lengkapnya peralatan laboratorium yang tersedia. Penyuluhan Penyuluhan adalah pendidikan non formal bagi petani dan keluarganya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sehingga dari tidak tahu menjadi tahu, mau dan mampu untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Berdasarkan kondisi yang berkembang saat ini penyelenggaraan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan belum dilakukan secara optimal. Penyuluhan sangat tergantung dengan ketersediaan dana yang tersedia baik diperuntukkan untuk peningkatan SDM penyuluh, petani, kelompok tani dan GAPOKTAN, berupa pendidikan, pelatihan, pertemuan teknis penyuluh, lokakarya, seminar, studi banding, magang, DEMPLOT, DEMFARM, Sekolah Lapang (SL) dsb, maupun ketepatan penyusunan program penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan, materi penyuluhan, rencana kerja tahunan (RKT) penyuluh, supervisi dan monitoring penyelenggaraan penyuluhan dan sebagainya. Atas dasar itu diperlukan perhatian yang serius dari semua pihak terhadap penyelenggaraan penyuluhan termasuk dana yang tersedia harus cukup membiayai proses penyelenggaraan penyuluhan. Tenaga Penyuluh Pertanian (PPL) di Aceh saat ini sebanyak 2837 orang yang terdiri dari 1016 orang PNS dan 1821 orang Tenaga Harian Lepas Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TB) yang tersebar di 23 Kab/Kota. Kondisi penyuluh pertanian saat ini perlu mendapat perhatian, banyaknya tenaga penyuluh senior banyak beralih status dari fungsional ke struktural dan juga mulai memasuki masa usia pensiun, hal ini mengakibatkan kekurangan tenaga penyuluh lapangan baik kuantitas maupun kualitas sehingga tidak optimalnya proses pendampingan dan pembinaan kelompokkelompok tani ataupun GAPOKTAN bahkan, ketergantungan penyelenggaran penyuluhan pada para penyuluh senior, sedangkan penyuluh-pemyuluh junior yang 77
diangkat tahun 1995 keatas boleh dikatakan relatif kurang mendapat pelatihan tekhnis penyuluhan untuk membentuk karakter dan keterampilan, sehingga penyuluh-penyuluh junior kurang berpengalaman dalam melakukan pembinaan kepada kelompok tani. Sementara ini latihan dasar dan teknis bagi penyuluh difasilitasi pada UPTB Diklat Saree dan juga diklat-diklat lainnya diluar Provinsi aceh yang dibiayai melalui APBN. Diakui penyelenggaraan latihan masi terbatas, banyak penyuluh yang masi antri untuk memperoleh kesempatan mengikuti latihan tersebut. Ketersediaan penyuluh perikanan pada 15 Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh sebanyak 103 orang, yang terbanyak terdapat pada kabupaten Aceh Utara yaitu 27 orang diikuti Kabupaten Bireuen 25 orang dan yang terendah di Kabupaten Simeulue hanya 1 orang. Penempatan tenaga penyuluh perikanan ini sebenarnya belum sesuai proporsi dilihat dari potensi perikanan. Kedepan penempatan tenaga penyuluh perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi perikanan yang ada. Tenaga penyuluh kehutanan sebanyak 79 orang yang tersebar di Provinsi dan 13 Kabupaten/Kota. Dari pendataan yang ada penempatan tenaga penyuluh kehutanan tidak sesuai dengan profesinya, dimana masih terdapat penempatan penyuluh kehutanan pada wilayah pertanian atau lainnya. Koordinasi juga belum berjalan maksimal antara dinas yang selama ini ditetapkan menangani urusan penyuluhan kehutanan dengan lembaga penyuluhan di Kabupaten/Kota Jumlah kelompok tani sebanyak 10.508 kelompok dan 522 Gabungan kelompoktani (GAPOKTAN). Dinamika kelompok tani yang tersebar di seluruh kabupaten/Kotamengalami pasang surut, tergantung dari program pemerintah yang ditawarkan, boleh jadi jika program pemerintah atau bantuan pemerintah dihentikan kelompok tani dan gabungan kelompok tani dinamikanya juga berhenti. Pembinaan kelompok tani dan gabungan kelompok tani oleh para penyuluh, terus dilakukan dengan sistem kunjungan baik hamparan maupun domisili berdasarkan jadwal yang telah dibuat oleh para penyuluh. Pemanfaatan kelompok tani di Kabupaten/Kota menimbulkan problematika karena ada dinas tertentu dengan membentuk kelompok tani tersendiri untuk kepentingan komoditas, bukan fungsi kelompok berdasarkan konsep pembinaan kelompok tani dan gabungan kelompok tani, hal inilah yang menyebabkan banyaknya tumbuh kelompok-kelompok tani berdasarkan kepentingan sesaat. Sebenarnya berdasarkan Permentan No. 273 Thn. 2007 tentang penumbuhan dan pembinaan kelompok tani dan GAPOKTAN tingkat provinsi penanggung jawab adalah Gubernur, tingkat Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota, tingkat Kecamatan adalah Camat, dan tingkat Desa adalah Kepala Desa, Oleh sebab itu agar tidak terjadi penumbuhan kelompok tani khususnya dikabupaten tidak sesuai dengan ketentuan, maka penumbuhan kelompok tani di Kabupaten/Kota harus dikukuhkan dengan Surat Keputusan (SK) Bupati untuk 78
mengarahkan semua SKPD lingkup pertanian, perikanan dan kehutanan, memanfaatkan kelompok tani dan GAPOKTAN yang telah ada. Sementara itu jumlah Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) sebanyak 254 jika dipedomani dengan undang-undang No. 16 Thn. 2006 tentang sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan menyatakan bahwa BP3K satu buah setiap kecamatan, berarti masih terdapat kekurangan 23 BP3K dari 276 Kecamatan yang ada di Provinsi Aceh. Demikian juga terhadap Pos Penyuluh yang saat ini belum satupun didirikan di wilayah Provinsi Aceh sesuai dengan amanat UU No. 16 Thn. 2006. Pembangunan BP3K dan perlengkapannya selayaknya mendapat perhatian dan prioritas untuk mengisi kekurangan-kekurangan yang ada. Keberadaan BP3K yang cukup memadai akan memperlancar penyelenggaraan penyuluhan/pelayanan masyarakat melalui penguatan tugas dan fungsi BP3K. Potensi Lahan sawah yang cukup luas belum diusahakan secara maksimal mengakibatkan produksi dan produktivitasnya masih rendah yang diakibatkan oleh rendahnya pengetahuan penyuluh dan petani terhadap teknik budidaya tanaman. Produktivitas Tenaga Kerja Penyerapan tenaga kerja persektor ekonomi masih didominasi oleh sektor pertanian. Namun, dari konteks produktivitas tenaga kerja per sektor, sektor pertanian memiliki nilai tambah yang sangat rendah dibandingkan dengan sektor lainnya. Dengan memperhitungkan migas, produktivitas tenaga kerja untuk sektor pertanian adalah 2,42 persen (Rp.10.941.135) di tahun 2010 dan turun menjadi 2,36 persen (Rp. 10.409.419) pada tahun 2011 Rendahnya produktivitas tenagakerja di bidang pertanian secara umum adalah disebabkan oleh rendahnya nilai tambah yang di hasilkan oleh produk pertanian tersebut. Kualitas sumberdaya baik petani maupun petugas di lapangan yang rendah juga dapat menyebabkan produktivitas rendah. Peningkatan sumberdaya manusia dengan dibantu oleh pengaplikasian teknologi diperkirakan dapat meningkatkan produktivitas di masa depan, selain itu ditambah dengan pemilihan produk yang berbasis kebutuhan atau permintaan Tingkat capaian kinerja perluasan akses dan pemerataan pendidikan pada tahun 2011 adalah 88,66% dimana target yang ditetapkan sebesar 23% dan realisasinya sebesar 20,39%. Sedangkan tingkat capaian indikator kinerja persentase peningkatan APK PAUD 4-6 tahun adalah 36,72% dimana target yang ingin dicapai sebesar 35% atau terealisir sebesar 104,91% melampaui target yang direncanakan. Pencapaian ini menunjukkan adanya peningkatan sebesar 9,84% dari APK PAUD pada tahun 2010 yang hanya 26,88%. Hal ini bermakan bahwa kesadaran masyarakat terhadap pentingnya PAUD terus meningkat, indikator lain terlihat dari semakin 79
banyaknya permintaan masyarakat untuk mengembangkan lembaga pendidikan PAUD/TK Non Formal. Demikian juga persentase peningkatan APK SMP/MTs/SMPLB yang mengalami kenaikan dengan capaian sebesar 102,43% dimana target yang ditetapkan adalah sebesar 98,50% sementara realisasinya mencapai 100,89%. Optimalisasi dalam pencapaian kinerja ini dilakukan melalui beberapa strategi, antara lain dengan pembebasan biaya pendidikan pada tingkat menengah, serta dengan mengarahkan dan mendorong partisipasi masyarakat termasuk dunia usaha agar berpartisipasi dalam hal pemerataan dan perluasan akses pendidikan.
80
BAB III Reformasi Birokrasi Aceh III.1
Pencapaian Reformasi Birokrasi saat ini
a. Tahap Perencanaan 1. Pembentukan Tim Pengarah dan Tim Pelaksana Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh (Keputusan Gubernur Aceh No.065/88/2012 tanggal 6 Februari 2012 yang telah diubah dengan Keputusan Gubernur Aceh Nomnor 065/36/2013 tanggal 11 Januari 2013). 2. Pembentukan Sekretariat Tim Pelaksana Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh (Keputusan Ketua Tim Pelaksana RB Pemerintah Aceh No.065/110/2012 Tanggal 17 Februari 2012) 3. Tim RB telah menyiapkan Draf Dokumen Usulan RB Pemerintah Aceh (Draf Road Map Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh Tahun 2013-2017) 4. Tim RB telah mengintegrasikan Rencana Aksi RB ke dalam Dokumen Perencanaan Jangka Menengah (RPJM) Pemerintah Aceh b. Bidang Penataan Perundang-undangan Saat ini telah dilakukan review dan disiapkan draf terhadap berbagai produk hukum Pusat dan Daerah berupa Draf PP, Pepres, Qanun Aceh, Peraturan Gubernur dan Keputusan Gubernur Aceh dalam rangka mendorong pelayanan yang lebih efektif dan efisien kepada masyarakat. c. Bidang Penataan dan Penguatan Organisasi Dalam rangka efektifitas dan efisiensi organisasi perangkat Aceh telah dilakukan evaluasi Qanun Aceh Nomor 4 dan 5 tentang Struktur Organisasi Perangkat Aceh dan telah ditetapkan perubahannya dengan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2013 tentang Perubahan Qanun Aceh 4 Tahun 2007 dan Qanun Aceh 15 Tahun 2013 tentang Perubahan Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah dilingkungan Pemerintah Aceh. Untuk tetap menjaga perdamaian di Aceh sebagaimana amanah MoU Helsinki perlu dikembangkan sebuah kelembagaan ramah konflik yang akan bertugas untuk mengawal, memantau, dan menjaga serta mewujudkan keberlangsungan perdamaian dan telah diakomodir kedalam Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe namun dalam operasionalisasinya harus dibentuk Sekretariat yang membantu pelaksanaan tugas-tugas kelembagaan Wali Nanggroe.
81
d. Penataan Tatalaksana Penataan bidang ketatalaksanaan terus diupayakan dan pencapaian reformasi birokrasi di bidang ketatalaksanaan antara lain: 1. Ditetapkannya beberapa Peraturan Gubernur Aceh tentang Hasil Analisis Jabatan Satuan Kerja Perangkat Aceh dan UPTB/UPTD 2. Ditetapkannya Pergub Aceh No 18 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan di Bidang Penanaman Modal kepada BP2T Aceh. 3. Ditetapkannya Pergub Aceh No 19 Tahun 2011 tentang Tata Kearsipan Aceh 4. Ditetapkannya Kep Sekda Aceh No 065/147/2010 tentang ABK Sekretariat Daerah Aceh 5. Penertiban penggunaan pakaian dinas PNS di lingkungan Pemerintah Aceh (SE Gub Aceh No 065/59405 Tanggal 30 Sept 2010). 6. Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) 7. Pelayanan Pengadaan Barang dan Jasa secara elektronik dan transparan (LPSE). 8. Menerapkan Budaya Kerja Tidak Merokok bagi Aparatur Pemerintah Aceh (SE Gub Aceh No.338/18186 Tanggal 5 Juli 2012) 9. Menerapkan Disiplin Kerja yang berbasis Kinerja (SE Gub Aceh Nomor 800/22476 Tanggal 15 Agustus 2012) 10. Beberapa Dinas/Badan telah mengembangkan Sistem Elektronisasi Persuratan, Sistem Perencanaan berbasis IT (E_Planning), Sistem Akuntansi Pemerintah, dan lain lain yang terintegrasi dalam Portal aceh.prov.go.id e. Bidang Penataan Sistem Manajemen Kepegawaian Pencapaian reformasi birokrasi di bidang penataan sistem manajemen kepegawaian antara lain: 1. BKPP ACEH telah mendapat ISO-9001:2008 untuk bidang Pelayanan Kepegawaian 2. Akreditasi B untuk pelayanan kediklatan Aparatur 3. Rekrutmen pegawai tetap yang dilakukan secara terbuka dan objektif. 4. Database kepegawaian telah menggunakan SIMPEG yang terkoneksi secara integrative dan dapat diakses dengan mudah, akan tetapi belum mampu menyajikan data secara valid dan akurat. 5. Diklat yang berbasis kompetensi tetap diupayakan yang ditujukan untuk peningkatan kapasitas aparatur, dan saat ini sudah memiliki SOP. 6. Pengembangan Assesment Centre 7. Proses Kenaikan Pangkat yang terintegrasi secara Elektronik 82
8. Dikeluarkannya SE Gub Aceh No 270/30439 tanggal 4 Oktober 2011 tentang Netralitas PNS dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. 9. Didikeluarkan SE Gubernur Aceh No.862/18101 tentang pembinaan disiplin, kinerja dan penjatuhan hukuman disiplin bagi PNS dilingkungan Pemerintah Aceh 10. Perumusan Standart Kinerja Individu f. Bidang Penguatan Pengawasan Pencapaian reformasi birokrasi di bidang penguatan pengawasan antara lain: 1. Ditetapkannya Pergub Aceh No 09 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan SPIP di Lingkungan Pemerintah Aceh. 2. Telah ditindaklanjutinya semua Temuan Hasil Pemeriksaan 3. Telah diterapkannya Mekanisme Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara 4. Ditetapkannya Satuan Tugas Pembinaan dan Pengembangan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dengan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 060/491/2013. 5. Telah ditandatanganinya pakta integritas dengan KPK sebagai komitmen untuk memberantas korupsi g. Bidang Penguatan Akuntabilitas Kinerja, antara lain Pencapaian reformasi birokrasi di bidang penguatan akuntabilitas kinerja antara lain: a. Pemerintah Aceh dan SKPA telah menyatakan janji dan target kinerja dalam Dokumen Penetapan Kinerja dan Rencana Kerja Tahunan. b. LAKIP Pemerintah Aceh tahun 2012 memperoleh Nilai dengan kategori CC (Baik). c. Terlaksananya evaluasi Sistem AKIP oleh Inspektorat Aceh berdasarkan Kepmenpan No KEP/135/M.PAN/9/2004 dan Permenpan 29 Tahun 2010 d. Tersusunnya LPPD Pemerintah Aceh setiap tahun. e. Tersusunnya LKPJ Gubernur Aceh setiap tahun. f. Sedangkan dikembangkan E-LAKIP Aceh
83
h. Bidang Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Pencapaian reformasi birokrasi di bidang Peningkatan Kualitas Layanan Publik antara lain: 1) Telah dilakukan penilaian Unit Pelayanan Publik Provinsi dan Kab/Kota pada tahun 2010 untuk mendapatkan penghargaan Citra Pelayanan Prima dari Presiden Republik Indonesia dengan hasil: a. KPPTSP Banda Aceh mendapatkan Piala Citra b. BP2T Aceh mendapatkan Piagam Madya b. KPPT Aceh Barat mendapatkan Piagam Madya c. KPTSP Aceh Besar mendapatkan Piagam Madya d. RSUD Datu Beru Aceh Tengah mendapatkan Piagam Madya e. RSIA Pemerintah Aceh mendapatkan Piagam Madya f. RSUD Kabupaten Simeulue mendapatkan Piagam Pratama 2) Tahun 2011 telah dilaksanakan penilaian penyelenggaraan pelayanan publik pemerintah kab/kota oleh Tim Penilai Pusat dalam rangka penganugerahan penghargaan Citra Bhakti Abdi Negara. Kabupaten/Kota yang telah diusulkan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi adalah sebagai berikut: a. Kabupaten Aceh Tengah; b. Kabupaten Aceh Barat; b. Kabupaten Nagan Raya; c. Kabupaten Aceh Tenggara; dan d. Kabupaten Aceh Tamiang. 3) Pelaksanaan survey IKM pada unit pelayanan publik Provinsi dan Kabupaten/kota Tahun 2010-2012 menghasilkan nilai-nilai sebagai berikut: a. RSUZA dengan nilai IKM Tahun 2012 : 86,66 (Sangat Baik) b. RSIA dengan nilai IKM Tahun 2012
: 75,54 (baik);
c. BP2T dengan nilai IKM Tahun 2012 : 83,73 (Sangat baik) d. Badan Arsip dan Perpustakaan dengan nilai IKM Tahun 2012 : 73,34 (baik); e. Badan Pembinaan Pendidikan Daya dengan nilai IKM Tahun 2012 : 75,27 (baik); f. KPTSP Banda Aceh dengan nilai IKM Tahun 2012 : 82,34 (sangat baik); g. RSUD Meuraxa Banda Aceh dengan nilai IKM Tahun 2012 : 81,50 (sangat baik); b. KP2TSP Bireuen, dengan nilai IKM tahun 2010
: 77,28 (baik);
c. KPPT Aceh Selatan, dengan nilai IKM tahun 2010
: 79,75 (baik);
d. KPTSP Aceh Besar, dengan nilai IKM tahun 2010
: 92,28 (sangat baik);
84
e. Setdakab Aceh Tengah, dengan nilai IKM tahun 2010 : 78,00 (baik). Dari penilaian tersebut RSUD dr. Zainoel Abidin Tahun 2012 memperoleh Piagam Penghargaan dari MENPAN 4) Menyurati Bupati/Walikota dalam wilayah Aceh untuk percepatan penerapan dan pencapaian SPM sesuai dengan SPM yang telah ditetapkan oleh Kementerian dan Lembaga Non Kementerian terkait (Surat Gubernur Aceh No 065/12111 tanggal 4 Mei 2011). I. Bidang Monitoring dan Evaluasi. Secara berkala dan berkelanjutan telah dilakukan monitoring pelaksanaan kegiatan dan setiap bulan dilakukan evaluasi percepatan program/kegiatan pada SKPA di lingkungan Pemerintah Aceh oleh unit P2K. Telah dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan pelayanan publik pada pemerintah kabupaten/kota terutama pada unit pelayanan publik yang telah mendapat penghargaan baik yang mendapat piala maupun piagam. III.2. Rencana Aksi Reformasi Birokrasi 2013-2017 Untuk menjawab permasalahan pada masing-masing area perubahan reformasi birokrasi, maka rencana tindak lanjut yang telah disusun adalah sebagai berikut: a. Penataan dan Penguatan Organisasi Restrukturisasi/penataan tugas dan fungsi SKPA yang tepat fungsi dan tepat ukuran sehingga terhindar dari duplikasi tugas dan fungsi. Kegiatan yang dilakukan yaitu evaluasi dan pengkajian kembali organisasi perangkat daerah dengan melakukan revisi Qanun Aceh tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah. Disamping itu beberapa rencana aksi lima tahun ke depan adalah: 1. Prioritas Pelayanan Terpadu Satu Pintu; 2. Restrukturisasi SKPA-SKPA di Provinsi; 3. Penataan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di Dinas dan Badan; 4. Penataan hubungan kerja antara pemerintah, swasta dan masyarakat; dan 5. Melaksanaan pertemuan berkala yang membahas kerjasama antara perusahaan swasta dan BUMN dengan Pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. b. Penataan Perundang-Undangan Menuntaskan penyelesaian peraturan-peraturan turunan UUPA, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Qanun, dan 85
peraturan perundangan-undangan lainnya serta harmonisasi dan sinkronisasi beberapa Qanun Aceh dan Peraturan Gubernur Aceh, antara lain: 1. Pembentukan tim Evaluasi Peraturan Perundangan Pemerintah Aceh; 2. Penyusunan Dokumen Perundangan turunan UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Amanat MoU Helsinki; 3. Penyusunan berbagai dokumen regulasi daerah oleh Satuan Kerja Perangkat Aceh dalam rangka mempercepat proses pembangunan; 4. Sosialisasi dan internalisasi berbagai Perundangan/Regulasi rangka Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh; 5. Penyusunan regulasi berkaitan dengan standar kompetensi pegawai dalam bentuk peraturan gubernur; 6. Penggantian Qanun yang bertentangan dengan UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi daerah; dan 7. Penyusunan Peraturan Gubernur tentang pemenuhan indikator standar pelayanan. c. Penataan Tatalaksana Untuk terselenggaranya transparansi, akuntabilitas dan standarisasi proses penyelenggaraan pemerintahan maka akan dilakukan serangkaian kegiatan yaitu: 1. Validasi Dokumen SOP Penyelenggaraan tugas dan fungsi SKPD; 2. Internalisasi SOP terhadap setiap anggota organisasi; 3. Monitoring dan evaluasi SOP; 4. Menyusun Master Plan e-office / e-government di Pemerintah Aceh khususnya pada Dinas Perhubungan; 5. Mengimplementasikan e-office / e-government; 6. Internalisasi pelaksanaan e-office/e-government; 7. Monitoring dan evaluasi e-government; dan 8. Pengembangan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Aceh Secara Web dan terintegrasi khususnya redesain pelayanan keperbendaharaan d. Penataan Sistem Manajemen Kepegawaian 1. Evaluasi jabatan dan beban kerja pada SKPA di lingkungan pemerintahan Aceh; 2. Perancangan sistem perencanaan pegawai yang terintegrasi (integrated manpower planning) dalam pembangunan sistem kepegawaian; 3. Pembenahan sistem rekrutmen pegawai melalui penggunaan CAT; 4. Penerapan penilaian Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) di SKPA-SKPA; 86
5. Penataan Sistem Pengadaan dan pengendalian PNS; 6. Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan; 7. Assesment individu berdasarkan kompetensi; 8. Penerapan Penilaian Sasaran Kinerja Pegawai Aceh (SKPA); 9. Pembangunan / pengembangan data base pegawai; 10. Pengembangan DIKLAT Pegawai berbasis Kompetensi; dan 11. Pengembangan Pola Karir PNS Pemerintah Aceh. e. Penguatan Pengawasan 1. Penerapan SPIP; 2. Monitoring dan evaluasi SPIP; 3. Peningkatan Peran Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) sebagai Quality Assurance dan Consulting; 4. Peningkatan kapabilitas Inspektorat Pemerintah Aceh; 5. Pencanangan pengembangan wilayah integritas dan birokrasi bebas korupsi; 6. Penerapan Whistle Blower System; 7. Penyusunan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi; 8. Percepatan Tindak Lanjut Temuan BPK dan APIP; 9. Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB); 10.Penyusunan Renja dan RKA SKPA yang mengacu pada Renstra SKPA; 11.Penertiban pengelolaan keuangan dan aset sesuai dengan peraturan yang berlaku; dan 12.Pelaporan harta kekayaan PNS eselon III ke atas. f. Penguatan Akuntabilitas Kinerja 1. Penguatan SAKIP; 2. Pengembangan Sistem Manajemen Kinerja Organisasi; dan 3. Penyusunan Indikator Kinerja Utama (IKU). g. Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Untuk terselenggaranya pelayanan publik yang lebih cepat, aman, baik dan terjangkau, akan dilakukan kegiatan: 1. Penerapan dan Pencapaian Standar Pelayanan Minimal pada satuan kerja yang ditetapkan SPM oleh Pemerintah; 2. Penyusunan, Penetapan, dan Penerapan Standar Pelayanan dan Maklumat pada SKPA unit pelayanan publik; 3. Pengelolaan pengaduan masyarakat dalam pelaksanaan pelayanan publik; 87
4. Pengaturan mekanisme pemberian sanksi dan penghargaan kepada institusi pelayanan publik; 5. Revitalisasi e-Procurement dan Unit Layanan Pengadaan (ULP); 6. Pelaksanaan Survei indeks kepuasan masyarakat; 7. Pengembangan INAcbgs (Indonesia Case Based Groups); 8. Pengembangan Data Investasi untuk Para Investor; 9. Pengembangan Data Investasi untuk Para Investor; dan 10. Rekomendasi Kebijakan Strategis Bidang Pendidikan Aceh. h. Perubahan Budaya Kerja dan Pola Pikir 1. Menegakkan Kedisiplinan PNS 2. Membangun sistem yang mendukung terciptanya profesionalitas PNS 3. Membangun sistem reward dan punishment 4. Menyusun Pergub tentang penggunaan aset publik 5. Menyusun pedoman pembangunan budaya kerja yang berorientasi pada pembelajaran 6. Penyusunan dokumen kode etik dan aturan perilaku disetiap SKPA III.3. Pelaksanaan Agenda Program dan Kegiatan Untuk mendukung implementasi reformasi birokrasi Pemerintah Aceh maka masing-masing area perubahan perlu didukung oleh program-program yang sesuai dengan dokumen RPJM Aceh. Tabel 11 Pelaksanaan Agenda Program dan Kegiatan Reformasi Birokrasi 2013-2017 KERANGKA WAKTU KEGIATAN RB
2013
2014
1. Prioritas Pelayanan Terpadu Satu Pintu
2. Restrukturisasi SKPA-SKPA di provinsi
2015
KET.
2016
2017
AREA PENATAAN KELEMBAGAAN
3. Penataan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di Dinas dan Badan
4. Penataan hubungan kerja antara pemerintah, swasta dan masyarakat
88
KERANGKA WAKTU KEGIATAN RB
KET.
2013
2014
2015
2016
2017
5. Melaksanakan pertemuan berkala yang membahas kerjasama antara perusahaan swasta dan BUMN dengan Pemerintah dalam pengentasan kemiskinan AREA PENATAAN PERUNDANG-UNDANGAN 8. Pembentukan tim Evaluasi Peraturan Perundangan Pemerintah Aceh
9. Penyusunan Dokumen Perundangan turunan UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Amanat MoU Helsinki
10. Penyusunan berbagai dokumen regulasi daerah oleh Satuan Kerja Perangkat Aceh dalam rangka mempercepat proses pembangunan
11. Sosialisasi dan internalisasi berbagai Perundangan/Regulasi rangka Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh
12. Penyusunan regulasi berkaitan dengan standar kompetensi pegawai dalam bentuk peraturan gubernur
13. Penggantian Qanun yang bertentangan dengan UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi daerah
14. Penyusunan Peraturan gubernur tentang pemenuhan indikator standar pelayanan
AREA PENATAAN TATALAKSANA 15. Validasi Dokumen SOP Penyelenggaraan tugas dan fungsi SKPD
16. Internalisasi SOP terhadap setiap anggota organisasi 17. Monitoring dan evaluasi SOP
18. Menyusun Master Plan e-office / egovernment di Pemerintah Aceh khususnya pada Dinas Perhubungan
Dokumen SOP Administrasi Pemerintahan
19. Mengimplementasikan e-office / e-government
20. Internalisasi pelaksanaan e-office / e-government
89
Tersedianya eoffice / e-government di Pemerintah Aceh
KERANGKA WAKTU KEGIATAN RB 21. Monitoring dan evaluasi egovernment 22. Pengembangan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Aceh Secara Web dan terintegrasi khususnya redesain pelayanan keperbendaharaan
KET.
2013
2014
2015
2016
2017
AREA PENATAAN SISTEM MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA APARATUR 23. Evaluasi jabatan dan beban kerja pada SKPA di lingkungan pemerintahan Aceh
24. Perancangan sistem perencanaan pegawai yang terintegrasi (integrated man power planning) dalam pembangunan sistem kepegawaian
25. Pembenahan sistem rekrutmen pegawai melalui penggunaan CAT
26. Penerapan penilaian Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) di SKPA-SKPA
Adanya suatu dokumen yang mengaitkan RPJP/MD yang mengaitkan dengan kompetensi SDM yang akan dibangun
29. Assesment individu berdasarkan kompetensi
30. Penerapan Penilaian Sasaran Kinerja Pegawai Aceh (SKPA)
32. Pengembangan DIKLAT Pegawai berbasis Kompetensi
33. Pengembangan Pola Karir PNS Pemerintah Aceh.
27. Penataan Sistem Pengadaan dan pengendalian PNS 28. Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan
31. Pembangunan / pengembangan data base pegawai
90
KERANGKA WAKTU KEGIATAN RB
KET.
2013
2014
2015
2016
2017
AREA PENGUATAN PENGAWASAN 34. Penerapan SPIP 35. Monitoring dan evaluasi SPIP
36. Peningkatan Peran Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) sebagai Quality Assurance dan Consulting
37. Peningkatan kapabilitas Inspektorat Pemerintah Aceh 38. Pencanangan pengembangan wilayah integritas dan birokrasi bebas korupsi
Peningkataan ketaatan, efisiensi, dan efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi Peningkatan Kinerja dan Kualitas Pertanggungjaw aban Pengelolaan Keuangan Negara
39. Penerapan Whistle Blower System
40. Penyusunan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi
41. Percepatan Tindak Lanjut Temuan BPK dan APIP
42. Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB)
43. Penyusunan Renja dan RKA SKPA yang mengacu pada Renstra SKPA
44. Penertiban pengelolaan keuangan dan aset sesuai dengan peraturan yang berlaku
45. Pelaporan harta kekayaan PNS eselon III ke atas
AREA PENGUATAN AKUNTABILITAS KINERJA 46. Penguatan SAKIP
91
perlu dibangun sistem bagaimana pengumpulan data-data kinerja untuk penyusunan
KERANGKA WAKTU KEGIATAN RB
2013
2014
2015
2016
KET. 2017 LAKIP/SAKIP
47. Pengembangan Sistem Manajemen Kinerja Organisasi
Sistem yang mendorong pencapaian kinerja organisasi yang terukur
48. Penyusunan Indikator Kinerja Utama (IKU)
Indikator Kinerja Utama (IKU) Pemerintah Aceh
peningkatan kualitas pelayanan publik
50. Penyusunan, Penetapan, dan Penerapan Standar Pelayanan dan Maklumat pada SKPA unit pelayananpublik
51. Pengelolaan pengaduan masyarakat dalam pelaksanaan pelayanan publik
AREA PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK 49. Penerapan dan Pencapaian Standar Pelayanan Minimal pada satuan kerja yang ditetapkan SPM oleh Pemerintah
52. Pengaturan mekanisme pemberian sanksi dan penghargaan kepada institusi pelayanan publik 53. Revitalisasi e-Procurement dan Unit Layanan Pengadaan (ULP).
54. Pelaksanaan Survei indeks kepuasan masyarakat
55. Pengembangan INAcbgs (Indonesia Case Based Groups)
56. Pengembangan Data Investasi untuk Para Investor
57. Rekomendasi Kebijakan Strategis Bidang Pendidikan Aceh
AREA MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN
58. Monitoring
92
Laporan Monitoring
KERANGKA WAKTU KEGIATAN RB
2013
2014
2015
59. Evaluasi Tahunan
KET.
2016
2017
Laporan Evaluasi Tahunan
Laporan Ev. 5 Tahunan
60. Evaluasi menyeluruh (semester kedua tahun 2014) AREA MIND SET DAN CULTURE SET 61. Menegakkan Kedisiplinan PNS
Laporan Monitoring
62. Membangun sistem yang mendukung terciptanya profesionalitas PNS
Laporan Evaluasi Tahunan
63. Membangun sistem reward and punishment
64. Menyusun Pergub tentang penggunaan aset publik
65. Menyusun pedoman pembangunan budaya kerja yang berorientasi pada pembelajaran
66. Penyusunan dokumen kode etik dan aturan perilaku disetiap SKPA AREA MANAJEMEN PERUBAHAN 67. Pembentukan Tim Manajemen Perubahan
68. Penyusunan Strategi Manajemen Perubahan dan Strategi Komunikasi
69. Sosialisasi dan Internalisasi Manajemen Perubahan dalam rangka RB
Sumber: Hasil FGD Bimbingan Teknis tentang Penyusunan Road Map Reformasi Birokrasi Aceh
III.4. Pelaksanaan Agenda Prioritas (Quick Wins) Reformasi birokrasi di Aceh juga berhasil menyusun agenda prioritas atau yang lebih dikenal dengan quick wins. Quick wins adalah adalah suatu langkah inisiatif yang mudah dan cepat dicapai yang mengawali pelaksanaan suatu program dalam reformasi birokrasi terutama yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, serta peningkatan kualitas pelayanan publik. Quick wins bermanfaat untuk mendapatkan momentum yang positif dan meningkatkan kepercayaan diri instansi dalam melakukan langkah reformasi birokrasi, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat.
93
Tabel 12 Agenda Prioritas (Quick Wins) 2013 KERANGKA WAKTU 2013
PROGRAM QUICK WINS 1. 2.
Digitalisasi dokumen LAKIP SKPA dan Pemerintah Aceh pada Portal Pemerintah Aceh Penambahan aplikasi sistem akuntansi
keuangan Aceh 3.
Penyusunan SOP Penanggulangan Bencana Aceh
4.
Penandatanganan kontrak kinerja satuan kerja
5.
Revisi SOP BP2T Terkait Pengutipan Biaya di luar Qanun
6.
Pengembangan aplikasi yang mendukung egov
7.
Pengembangan Pelayanan Kesehatan Terpadu (Integrated Health Service) Rumah Sakit di AcehPergub Prosedur Peminjaman Pengesahan
8.
KET.
dan Pengembalian Buku di Perpustakaan Sumber:Pemerintah Hasil FGDAceh Bimbingan Teknis tentang Penyusunan Road Map Reformasi Birokrasi Aceh
III.5. Tenaga Pelaksana Tenaga pelaksana reformasi birokrasi Pemerintah Aceh terdiri dari atas Tim Pengarah dan Tim Pelaksana. Adapun susunan personalia adalah sebagai berikut : Susunan Personalia Tim Pengarah Reformasi Birokrasi Aceh SK Gubernur Aceh Nomor: 065/36/2013 Tim Pengarah Ketua
: Gubernur Aceh
Wakil Ketua
: Wakil Gubernur Aceh
Sekretaris
: Sekretaris Daerah Aceh
Anggota
: a. Staf Ahli Gubernur Aceh Bidang Hukum dan Politik b. Staf Ahli Gubernur Aceh Bidang Pemerintahan c. Staf Ahli Gubernur Aceh Bidang Pembangunan dan Luar Negeri d. Staf Ahli Gubernur Aceh Bidang Keistimewaan 94
Aceh dan Sumber Daya Manusia e. Staf Ahli Gubernur Aceh Bidang Ekonomi dan Keuangan Susunan Personalia Tim Pelaksana Reformasi Birokrasi Aceh SK Gubernur Aceh Nomor: 065/36/2013 Tim Pelaksana Ketua
: Sekretaris Daerah Aceh
Sekretaris
: Asisten Administrasi Umum Sekretaris Daerah Aceh
Wakil Sekretaris
: Kepala Biro Organisasi Sekretaris Daerah Aceh
Anggota
: - Asisten Pemerintah Sekretaris Daerah Aceh - Asisten Keistimewaan Aceh, Ekonomi, dan - Pembangunan Sekretaris Daerah Aceh - Inspektur Aceh - Kepala Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Aceh - Kepala Dinas Keuangan Aceh - Kepala Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh - Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika Aceh - Kepala Dinas Pendidikan Aceh - Kepala Dinas Kesehatan Aceh - Kepala Badan Pelayanaan Perizinan Terpadu Aceh - Direktur Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin - Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak - Direktur Rumah Sakit Jiwa - Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Aceh - Kepala Biro Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Aceh - Kepala Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Daerah Aceh
95
97
III.6. Anggaran Pelaksanaan (Satuan dalam Jutaan Rupiah) # Angka Perkiraan KEBUTUHAN ANGGARAN KEGIATAN RB
2013
2014
2015
2016
2017
SKPA PENANGGUNG JAWAB
AREA PENATAAN KELEMBAGAAN 1. Prioritas Pelayanan Terpadu Satu Pintu
50
Badan Investasi dan Promosi Aceh, Biro Organisasi
50
2. Restrukturisasi SKPA-SKPA di provinsi
3. Penataan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di Dinas dan Badan 4. Penataan hubungan kerja antara pemerintah, swasta dan masyarakat
5. Melaksanakan pertemuan berkala yang membahas kerjasama antara perusahaan swasta dan BUMN dengan Pemerintah dalam pengentasan kemiskinan Jumlah Kebutuhan Anggaran Program Kelembagaan
100
100
50
100
50
50
Biro Organisasi dan Biro Hukum 100
50
100
50
50
Biro Organisasi
50
Badan Investasi dan Promosi Aceh, Biro Organisasi
50
50
50
50
50
Badan Investasi dan Promosi Aceh, Biro Organisasi
300
350
200
200
150
1,200
100
100
AREA PENATAAN PERUNDANG-UNDANGAN 6. Pembentukan tim Evaluasi Peraturan Perundangan Pemerintah Aceh 7. Penyusunan Dokumen Perundangan turunan UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Amanat MoU Helsinki 8. Penyusunan berbagai dokumen regulasi daerah oleh Satuan Kerja Perangkat Aceh dalam rangka mempercepat proses pembangunan 9. Sosialisasi dan internalisasi berbagai Perundangan/Regulasi rangka Reformasi Birokrasi Pemerintah Aceh 10. Penyusunan regulasi berkaitan dengan standar kompetensi pegawai dalam bentuk peraturan gubernur
Biro Hukum Biro Hukum
100
50
30
Biro Hukum 50
50
50
50
100
50
98
50
Biro Hukum, Biro Organisasi Biro Hukum
KEBUTUHAN ANGGARAN KEGIATAN RB
2013
2014
11. Penggantian Perda yang bertentangan dengan UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi daerah 12. Penyusunan Peraturan gubernur tentang pemenuhan indikator standar pelayanan Jumlah Kebutuhan Anggaran Program Penataan Perundang-Undangan
2015
2016
2017
SKPA PENANGGUNG JAWAB Biro Hukum
50
50
50
450
400
Biro Hukum
930
80
AREA PENATAAN TATALAKSANA 13. Validasi Dokumen SOP Penyelenggaraan tugas dan fungsi SKPD
Biro Organisasi
50
14. Internalisasi SOP terhadap setiap anggota organisasi 15. Monitoring dan evaluasi SOP 16. Menyusun Master Plan e-office / e-government di Pemerintah Aceh khususnya pada Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika
Biro Organisasi
100 50
50
Biro Organisasi Biro Organisasi, Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika
100
17. Mengimplementasikan e-office / e-government khususnya pada Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika
Biro Organisasi, Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika
50
18. Internalisasi pelaksanaan e-office / e-government Komunikasi, Informasi dan Telematika
50
50
Biro Organisasi, Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika
50
Biro Organisasi, Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika
19. Monitoring dan evaluasi e-government
20. Pengembangan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Aceh Secara Web dan terintegrasi khususnya
50
100
99
50
Biro Organisasi, Dinas Perhubungan, Komunikasi,
KEBUTUHAN ANGGARAN KEGIATAN RB
2013
2014
2015
2016
2017
redesain pelayanan keperbendaharaan Jumlah Kebutuhan Anggaran Program Penataan Tata Laksana
SKPA PENANGGUNG JAWAB Informasi dan Telematika
150
300
150
100
50
750
AREA PENATAAN SISTEM MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA APARATUR 21. Evaluasi jabatan dan beban kerja pada SKPA di lingkungan pemerintahan Aceh
Biro Organisasi, BKPP
22. Perancangan sistem perencanaan pegawai yang terintegrasi (integrated man power planning) dalam pembangunan sistem kepegawaian
300
23. Pembenahan sistem rekrutmen pegawai melalui penggunaan CAT
125
138
140
24. Penerapan penilaian Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) di SKPA-SKPA
100
50
100
200
150
100
26. Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan
450
495
27. Assesment individu berdasarkan kompetensi
150
150
25. Penataan Sistem Pengadaan dan pengendalian PNS
Biro Organisasi, BKPP
154
160
Biro Organisasi, BKPP Biro Organisasi, BKPP Biro Organisasi, BKPP Biro Organisasi, BKPP
436
Biro Organisasi, BKPP
28. Penerapan Penilaian Sasaran Kinerja Pegawai Aceh (SKPA)
100
130
Biro Organisasi, BKPP
29. Pembangunan / pengembangan data base pegawai
100
120
Biro Organisasi, BKPP
30. Pengembangan DIKLAT Pegawai berbasis Kompetensi
100
100
31. Pengembangan Pola Karir PNS Pemerintah Aceh Jumlah Kebutuhan Anggaran Program Penataan SDM Aparatur
Biro Organisasi, BKPP
50
Biro Organisasi, BKPP
50
1,025
1,338
1,035
590
160
4,148
AREA PENGUATAN PENGAWASAN 32. Penerapan SPIP
Inspektorat
33. Monitoring dan evaluasi SPIP
Inspektorat
100
KEBUTUHAN ANGGARAN KEGIATAN RB
2013
2014
2015
2016
2017
SKPA PENANGGUNG JAWAB
34. Peningkatan Peran Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) sebagai Quality Assurance dan Consulting
Inspektorat
35. Peningkatan kapabilitas Inspektorat Pemerintah Aceh
Inspektorat
36. Pencanangan pengembangan wilayah integritas dan birokrasi bebas korupsi
Inspektorat
37. Penerapan Whistle Blower System
Inspektorat
38. Penyusunan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi
Inspektorat
39. Percepatan Tindak Lanjut Temuan BPK dan APIP
Inspektorat
40. Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB)
Inspektorat
41. Penyusunan Renja dan RKA SKPA yang mengacu pada Renstra SKPA
Inspektorat
42. Penertiban pengelolaan keuangan dan aset sesuai dengan peraturan yang berlaku
Inspektorat
43. Pelaporan harta kekayaan PNS eselon III ke atas
Inspektorat
Jumlah Kebutuhan Anggaran Program Penguatan Pengawasan AREA PENGUATAN AKUNTABILITAS KINERJA 44. Penguatan SAKIP
Bappeda
45. Pengembangan Sistem Manajemen Kinerja Organisasi
Biro Organisasi
46. Penyusunan Indikator Kinerja Utama (IKU)
Biro Organisasi
Jumlah Kebutuhan Anggaran Program Penguatan Akuntabilitas Kinerja AREA PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK 47. Penerapan dan Pencapaian Standar Pelayanan Minimal pada satuan kerja yang ditetapkan SPM oleh Pemerintah
30
48. Penyusunan, Penetapan, dan Penerapan Standar Pelayanan dan Maklumat pada SKPA unit pelayanan publik
30
Biro Organisasi
101
20
Biro Organisasi
KEBUTUHAN ANGGARAN KEGIATAN RB
2013
2016
2017
SKPA PENANGGUNG JAWAB
2014
2015
49. Pengelolaan pengaduan masyarakat dalam pelaksanaan pelayanan publik
25
25
Biro Organisasi
50. Pengaturan mekanisme pemberian sanksi dan penghargaan kepada institusi pelayanan publik
15
15
Biro Organisasi
51. Revitalisasi e-Procurement dan Unit Layanan Pengadaan (ULP).
50
52. Pelaksanaan Survei indeks kepuasan masyarakat
20
Biro Organisasi 30
15
53. Pengembangan INAcbgs (Indonesia Case Based Groups)
Biro Organisasi Biro Organisasi, Dinas Kesehatan, Rumah Sakit
54. Pengembangan Data Investasi untuk Para Investor
50
50
Biro Organisasi, Badan Investasi dan Promosi Aceh
55. Rekomendasi Kebijakan Strategis Bidang Pendidikan Aceh
20
15
Biro Organisasi, Dinas Pendidikan
Jumlah Kebutuhan Anggaran Program Kualitas Pelayanan Publik
240
155
15
410
AREA MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN 56. Monitoring 57. Evaluasi Tahunan 58. Evaluasi menyeluruh (semester kedua tahun 2014) AREA MIND SET DAN CULTURE SET 59. Menegakkan Kedisiplinan PNS 60. Membangun sistem yang mendukung terciptanya profesionalitas PNS 61. Membangun sistem reward and punishment
62. Menyusun Pergub tentang penggunaan aset publik 63. Menyusun pedoman pembangunan budaya kerja yang berorientasi pada pembelajaran
Biro Organisasi 50
Biro Organisasi
50
Dinas Keuangan dan Biro Organisasi
100
50
Biro Hukum
50
30
Biro Organisasi
100
50
102
KEBUTUHAN ANGGARAN KEGIATAN RB
2015
2016
2017
SKPA PENANGGUNG JAWAB
2013
2014
64. Penyusunan dokumen kode etik dan aturan perilaku disetiap SKPA
110
30
Inspektorat
Jumlah Kebutuhan Anggaran Program Perubahan Budaya Kerja dan Pola Pikir
410
210
620
AREA MANAJEMEN PERUBAHAN 65. Pembentukan Tim Manajemen Perubahan 66. Penyusunan Strategi Manajemen Perubahan dan Strategi Komunikasi 67. Sosialisasi dan Internalisasi Manajemen Perubahan dalam rangka RB TOTAL KEBUTUHAN PROGRAM REFORMASI BIROKRASI ACEH TAHUN 2013 – 2017 ADALAH Rp 8,058 (perkiraan kasar)
103
BAB IV Penutup Road Map ini adalah dokumen yang mengintegrasikan berbagai agenda reformasi yang akan dilaksanakan secara sistematik dan terpadu dengan memanfaatkan berbagai sumber daya organisasi yang untuk melaksanakan berbagai agenda reformasi birokrasi Aceh. Road Map disusun melalui suatu proses teknokratis yang melibatkan banyak kelompok kepentingan untuk bisa menghasilkan suatu agenda perubahan sesuai dengan petunjuk dari PermenPAN dan RB Nomor 20 Tahun 2010 tentang Roadmap Reformasi Birokrasi 2010-2014 dipadukan dengan analisis terhadap kondisi objektif birokrasi Aceh. Reformasi bukanlah sebuah perjalanan yang terputus (discontinued) namun adalah suatu proses yang berkesinambungan dengan memperhatikan berbagai capaian-capaian yang telah diperoleh dari pembenahan saat ini serta dengan melihat perspektif masa depan (lima tahun). Dengan melakukan analisis kesenjangan (gap analisis) terhadap postur birokrasi lima tahun ke depan dibandingkan dengan kondisi birokrasi. Postur birokrasi dilihat dari delapan perspektif yang dikenal dengan delapan delapan area perubahan yakni: kelembagaan, ketatalaksanaan, sumber daya aparatur, perundang-undangan, pelayanan publik, pengawasan, akuntabilitas dan mindset dan culture set. Melalui analisis mendalam dengan berbasis pada data primer melalui serangkaian Focused Group Discussion (FGD) yang melibatkan berbagai stakeholders ditemukan berbagai persoalan yang cukup serius dari setiap area perubahan ini. Selain itu, juga didukung dengan data sekunder dari berbagai lembaga yang relavan dan valid untuk dijadikan sebagai sumber data. Setelah itu dirumuskan agenda-agenda yang akan dilaksanakan untuk bisa mengatasi berbagai persoalan tersebut. Agenda-agenda inilah yang merupakan isi dari road map yang nantinya akan dijadikan sebagai referensi untuk melaksanakan program reformasi birokrasi. Dengan tersusunnya road map ini, Pemerintah Aceh diharapkan segera membuat langkah-langkah konkrit untuk menindaklanjuti road map tersebut. Beberapa langkah yang harus dilakukan meliputi antara lain: 1. Menyusun dokumen usulan dan Road Map RB Aceh; 2. Menetapkan road map RB dengan Peraturan Gubernur Aceh; 3. Mensosialisasikan kepada seluruh SKPD dan kabupaten/kota dan meminta komitmen dari seluruh pejabat/pegawai untuk keberhasilan reformasi birokrasi secara menyeluruh; 4. Melaksanakan tahapan Program RB sesuai dengan road map;
104
5. Melakukan monitoring dan evaluasi sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan oleh Kementerian PAN dan RB; dan 6. Mempersiapkan diri untuk membantu dan/atau memfasilitasi pelaksanaan reformasi birokrasi di tingkat kabupaten/kota. Keberhasilan dalam melaksanakan seluruh agenda dalam road map ini tergantung pada tingkat komitmen, keteguhan dan konsitensi untuk selalu menjaga capaian kinerja dari masing-masing area perubahan tersebut. Tanpa dilandasi semangat-semangat tersebut road map ini hanya akan menjadi suatu dokumen mati yang tidak akan bisa memberikan manfaat sesuai tujuan dan target yang telah ditetapkan, yakni membawa keberhasilan seluruh agenda pembangunan yang telah tertuang dalam RPJMA. Apalagi untuk melihat profil birokrasi yang profesional, berkarakter dan berintegritas tinggi dalam jangka panjang, maka akan seperti menebar air di padang pasir.
105
DAFTAR PUSTAKA Tap MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional. Tap MPR-RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN. Undang-undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari KKN. Undang-undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJM Tahun 2005 – 2025). Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 – 2014. Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi. Peraturan Menteri PAN dan RB No. 20 Tahun 2010 tentang Roadmap Reformasi Birokrasi 2010-2014. Permenpan No. 4 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengajuan Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi di Lingkungan Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah. Permenpan dan RB No. 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Roadmap Reformasi Birokrasi Kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh 2012-2017
106
107