SUSUNAN REDAKSI Pengarah/Pembina : M. Hatta Rajasa Djoko Kirmanto Moch. Amron Luky Eko Wuryanto Purba Robert Sianipar Imam Anshori Dewan Redaksi/Penanggung Jawab : Budianto R. Eddy Soedibyo Syamsu Rizal Pemimpin Redaksi/Redaktur : Ade Satyadharma Wakil Pemimpin Redaksi/Redaktur : Fauzi Anggota Redaksi/Redaktur : Sardi Wawan Hernawan Sri Sudjarwati Widayati Penyunting/Editor : Ernawan Nugroho Joni Wahyudi Gamal Maulian
DAFTAR ISI SAJIAN UTAMA 4 Perpres No. 33 Tahun 2011, Terkait Dengan Kelangsungan Kehidupan 8 Sosialisasi Perpres No.33 Tahun 2011 Keberhasilan Menyusun UU SDA, Patut Disyukuri SAJIAN KHUSUS 12 Pembahasan Matriks Tindak Lanjut Jaknas Pengelolaan SDA, Diteruskan SOROTAN 15 Pasca Bencana Gunung Merapi Berbagai Instansi Terkait, Terus Berkoordinasi 18 Dewan SDA Provinsi Sulut, Laksanakan Sidang Perdana
ANEKA 22 Koordinasi, Kunci Keterpaduan Pelaksanaan Pengelolaan SDA
15
19
22
Sekretariat/Sirkulasi : Yetty Sugiarti Sadjimin Sukarna Heryana Hanny Handayani Kasimun Entis Amidjaya Alamat Redaksi : DEWAN SUMBER DAYA AIR NASIONAL Sekretariat Dewan
2
12
NUANSA 19 Danau Limboto, Butuh Perhatian TKPSDA WS Paguyaman
Desain Grafis/Lay out : Ucu Susanto Bambang Indratno Nur Jayanto
Gd. Ditjen SDA Lt. VI Jl. Pattimura No.20 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 Telp. (021) 7231083 Fax. (021) 7231083 e-mail :
[email protected] [email protected] http://www.dsdan.go.id
4
Cover : Kota Manado - Sulawesi Utara
T A J U K
Komitmen Kita Dalam Pengelolaan SDA
S
ebagai negara yang memiliki populasi hampir 240 juta penduduk, Indonesia merupakan negara terkaya potensi air terbesar keempat di dunia setelah Brazil, Rusia dan Kanada. Dari potensi penduduk dan sumber daya alam yang besar, tentunya dapat dipastikan Indonesia akan menjadi negara yang besar yang sanggup menyangga kebutuhan pangan dan energinya di masa depan. Potensi sumber daya alam yang berlimpah ini yang harus disadari bersama oleh para pengelola sumber daya di Indonesia, terutama sumber daya pokok kehidupan, yaitu air. Mari kita introspeksi diri bahwa kesadaran bersama dalam mengelola sumber daya air ini masih jauh dari yang diharapkan, potensi yang besar tidak lagi menjadi sandaran, ‘bak obor’ kehidupan dimasa depan yang akan terus dapat menyala dan menerangi generasi mendatang. Saat ini kita belum benar-benar menyadari bahwa krisis air mungkin dapat melanda Indonesia seperti halnya di Afrika. Walaupun indikasi ke arah itu belum begitu nyata terjadi didepan mata kita, namun demikian, pengelolaan sumber daya alam masih diwarnai oleh praktek illegal logging - pembalakan hutan secara nekad dan sewenang-wenang, industri yang tidak berwawasan lingkungan, atau kebiasaan buruk membuang sampah rumah tangga di sungai terus terjadi. Bukan tidak mungkin dalam beberapa waktu mendatang, ancaman terjadinya krisis air yang menjadi petaka bagi bangsa akan benar-benar terjadi. Didahului dengan kehilangan akses terhadap air bersih akan benar-benar menjadi ancaman sosial, bahkan krisis air juga bisa menjadi biang kesengsaraan bangsa akibat makin banyaknya uang yang tersedot untuk persediaan air. Oleh karenanya, sebelum kecemasan dan ancaman itu benar-benar terjadi, dan dengan pemikiran yang bijak perlu kiranya dari segenap elemen bangsa terutama instansi pengelola sumber daya alam dan stakeholder dibidang sumber daya alam secara bersama-sama mencerdaskan diri dalam membaca tanda-tanda/gejala yang mengemuka saat ini berupa “krisis air”, yang jelas akan membawa kesengsaraan bangsa ini. Langkah utama adalah perlu ditumbuhkannya kesadaran kolektif dengan memulainya dari lingkungan terkecil keluarga, masyarakat, dan bangsa, untuk benar-benar melakukan pelestarian, dan tidak hanya sebatas slogan lantang bagaikan “tong kosong yang berbunyi nyaring”. Mari renungkan kata bijak nenek moyang kita yang mengatakan bahwa hidup itu perlu mengedepankan sikap “memayu hayuning bawana”; sebagai konsep dasar dalam melestarikan bumi dan seisinya sebagai perwujudan sikap “penghambaan” manusia yang ditakdirkan sebagai khalifah di muka bumi. Konsep dasar itu telah ada dalam banyak peraturan perundangan. Untuk pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) ada UU No.7 tahun 2004, Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2008 dan saat ini Dewan SDA Nasional sebagai sebuah institusi yang dibentuk untuk membantu Presiden RI, telah berhasil menyusun Kebijakan Nasional Pengelolaan SDA yang telah ditetapkan sebagai Perpres No. 33 tahun 2011 untuk sama-sama kita cermati, pahami dan jalankan, agar bumi kita menjadi sahabat, dan menjadi wahana hidup yang membawa kesejahteraan bagi bangsa dan umat manusia. Dengan kebijakan ini, diharapkan seluruh komponen bangsa akan bersatupadu dalam mengelola sumber daya air dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan proses evaluasi terhadap penyelenggaraan konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak air di Indonesia. Mari kita lihat secara seksama apa yang terjadi disekeliling kita saat ini? Selain banjir dimusim penghujan, dan kekeringan diwaktu kemarau, sekarang pemerintah dihadapkan pada permasalahan pencemaran yang mulai menjalar ke hampir semua sungai dan danau. Semua ini adalah masalah yang perlu diselesaikan, dengan jumlah penduduk yang terus meningkat memerlukan penambahan lahan pertanian, dan terkadang pun kita melakukan intensifikasi yang berlebihan dalam penggunaan pupuk dan pestisida sebagai bagian dari usaha mengejar kecukupan pangan dan pendapatan kita. Pengambilan air tanah untuk industri, pertambangan dan rumah tangga yang berlebihan, sehingga mengakibatkan merembesnya air laut pada sistem air tanah, juga bukan masalah sepele. Menghadapi kondisi ini diperlukan political will yang kuat dari berbagai elemen bangsa, tidak hanya mengandalkan pada Pemerintah saja untuk melakukan dan menjalankan konservasi, pendayagunaan dan pengendalian daya rusak air, tetapi harus didukung oleh seluruh elemen masyarakat, baik sebagai individu maupun kelompok. Upaya menuju perbaikan itu bukan hal yang mustahil, jika semua pihak mau konsisten dalam melaksanakan komitmen yang telah tertuang di dalam Perpres No. 33 tahun 2011 tentang Kebijakan Nasional Pengelolaan SDA dengan sebaik-baiknya. Sekali lagi, kata kunci yang perlu diingat adalah melaksanakan komitmen yang telah tertuang di dalam naskah Kebijakan Nasional Pengelolaan SDA secara bersama-sama untuk mengelola SDA, sesuai bidang kompetensi dan jangkauan masing-masing instansi, menghilangkan ego sektoral dan ego wilayah, serta membuka kesadaran kita untuk memperbaiki diri demi kejayaan Indonesia saat ini dan masa mendatang.
3
SAJIAN UTAMA
Perpres No. 33 Tahun 2011,
Terkait Dengan Kelangsungan Kehidupan Dewan Sumber Daya Air Nasional (Dewan SDA Nasional) dengan fasilitasi dari Sekretariat Dewan SDA Nasional, telah menyelenggarakan acara Sosialisasi Peraturan Presiden (Perpres) No. 33 tahun 2011 tentang Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air (Jaknas PSDA) di Kota Yogyakarta, (13-15/7).
A
cara tersebut dibuka Sekretaris Harian Dewan SDA Nasional, Ir. Imam Anshori, MT, mewakili Direktur Jenderal Sumber Daya Air (Dirjen SDA) – Kementerian Pekerjaan Umum (PU) selaku Sekretaris Dewan SDA Nasional. Dalam sambutannya, Imam Anshori menyatakan, bahwa Perpres ini sangat berkaitan dengan kelangsungan hidup kita semua, generasi berikutnya bahkan juga untuk semua makhluk hidup lainnya. Semenjak manusia terlahir, dia memiliki basic instinct untuk memenuhi kebutuhannya agar tetap hidup. “Mempertahankan kelangsungan kehidupan maupun penghidupan, bermakna sebagai suatu perjuangan bagi setiap makhluk hidup. Nilai-nilai yang terkandung dalam perjuangan hidup, diantaranya upaya bertahan, memperoleh perlindungan, serta sumber kehidupan dan penghidupan,” katanya. Semua kehidupan, menurut Imam, tidak bisa terlepas dari air. Meng-
4
hadirkan air sedekat mungkin dengan kehidupan manusia, merupakan naluri untuk mempertahankan diri dalam konteks “insting untuk kelangsungan hidup”. Berarti, air dalam posisinya sebagai sumber kehidupan, mengandung potensi yang sangat besar dan penting bagi kelangsungan hidup setiap individu, kelompok, desa, kota, kabupaten, provinsi bahkan negara. “Karena air memang memiliki kekuatan yang sangat besar, yang dapat dijadikan sebagai “kekuatan penggerak” untuk memperbaiki kehidupan sosial dan budaya, ekonomi suatu bangsa dan kelangsungan lingkungan hidup,” tegas Imam. Esensial Lebih lanjut Imam Anshori menyatakan, bahwa Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), beberapa waktu lalu telah mendeklarasikan akses terhadap air bersih dan sanitasi adalah hak asasi manusia yang mendasar.
“Pemenuhan hak dasar tersebut sangat esensial untuk kenikmatan hidup manusia secara utuh. Sekalipun saat ini masih belum dapat memenuhi hak dasar rakyatnya atas air bersih, apalagi air minum, akan tetapi Indonesia telah bertekad mencatatkan dirinya sebagai salah satu negara yang menyetujui deklarasi tersebut,” ungkapnya. Deklarasi tersebut sangatlah sejalan dengan ketentuan yang telah tujuh tahun yang lalu diamanatkan di dalam Pasal 5, UU No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, bahwa Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih dan produktif. Ketentuan mengenai penjaminan dan perlindungan tersebut, dilandasi oleh amanat konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah berusia lebih dari setengah abad yang lalu, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai Negara untuk dipergunakan bagi sebesar- besar kemakmuran rakyat”. Imam Anshori menyebutkan, bahwa kegagalan suatu negara dalam hal penjaminan hak hidup setiap individu, akan memicu timbulnya issu “ketidakadilan, kesenjangan sosial, dan ini akan menjadi salah satu unsur penyebab
melemahnya sendi-sendi persatuan bangsa. Sungguhpun kondisi air yang terdapat di beberapa sungai, danau, rawa, waduk dan cekungan air tanah, saat ini mengalami degradasi yang demikian berat baik kuantitas maupun kualitas, penjaminan dan perlindungan negara terhadap bangsanya ini harus tetap terus ditumbuhkan, diwujudkan dan dipertahankan. “Selama modal dasar yang kita miliki, yaitu karunia Tuhan YME berupa air hujan tahunan masih tercurah dari atas langit Indonesia, tantangan yang demikian berat harus kita hadapi dengan penuh optimisme dalam mengelola sumber daya air,” ujarnya. Optimisme dalam pengelolaan SDA, menurut Imam, membutuhkan arahan operatif yang berfungsi sebagai pemandu pelaksanaannya. Arahan tersebut bertujuan untuk mengantisipasi keadaan bermasalah baik yang terjadi saat ini atau yang mungkin akan terjadi pada masa yang akan datang, dalam rangka mengurangi tingkat kerentanan kawasan terhadap empat jenis bahaya, yaitu kelangkaan air, pencemaran air, banjir, serta tanah longsor. “Arahan operatif itu, selanjutnya oleh UU No.7 tahun 2004 dinamakan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air yang harus disusun di tingkat Nasional, di setiap Provinsi, Kabupaten dan Kota,” tuturnya. Naskah Jaknas PSDA ini, Imam
menjelaskan, merupakan hasil olah pikir dan kesepakatan yang telah dibangun lebih dari satu tahun oleh para anggota Dewan SDA Nasional setelah melalui serangkaian diskusi yang difasilitasi oleh Sekretariat Dewan SDA Nasional, dan pada akhirnya sekarang telah dikukuhkan menjadi Perpres No. 33 Tahun 2011. “Peraturan Presiden ini selain menjadi acuan bagi para menteri dan pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian dalam menetapkan kebijakan sektoral di bidang tugas masing-masing, juga menjadi acuan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat provinsi,” pesannya. Tidak Mudah Sementara itu, Kepala Dinas PU, Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi DI Yogyakarta selaku Ketua Harian Dewan SDA Provinsi DI Yogyakarta, Ir. Rani Sjamsinarsi, MT mengatakan, tugas dari Dewan SDA Provinsi untuk membantu gubernur dalam koordinasi pengelolaan SDA, tidak mudah, mengingat tantangan ke depan yang akan dihadapi dalam pengelolaan SDA. “Pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan perubahan gaya hidup konsumtif akan air apabila tidak diimbangi dengan konservasi yang baik, tentu akan mengganggu neraca air yang diharapkan. Mau tidak mau hal ini menjadi pekerjaan rumah dari setiap wadah koordinasi pengelolaan SDA sesuai kewenangannya, untuk bersamasama menjaga agar pengelolaan SDA bisa berkelanjutan,” katanya. Pasalnya, air yang mengalir tidak mengenal batas administrasi. Oleh karenanya menurut Rani, pengelolaan SDA yang terpadu dan bersinergi antarwilayah, antarsektor, dan antarkepentingan dari hulu sampai hilir sangatlah penting. “Hal ini dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional, persatuan dan kesatuan bangsa, serta memperhatikan akan kebutuhan air, baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang,” tegasnya. Terkait dengan terbitnya Perpres No. 33 tahun 2011 tentang Jaknas PSDA,
5
Rani Sjamsinarsi menyambut baik, karena Jaknas PSDA ini akan menjadi payung kebijakan dari seluruh kebijakan pengelolaan SDA yang berada di bawahnya. Selain itu, Ketua Harian Dewan SDA Provinsi DI Yogyakarta ini juga mengajak, untuk merefleksikan kembali, bahwa pengelolaan SDA perlu dikontekstualisasikan berdasarkan prinsip “memayu hayuning bawana”. “Prinsip ini mengajarkan bahwa mengelolaan SDA adalah membangun kesejahteraan, membangun kebudayaan, sekaligus membangun peradaban yang berkelanjutan. Dengan demikian, kita dituntut mampu mengelola SDA yang berkualitas, berkelanjutan dan bermanfaat bagi kepentingan konservasi semesta alam,” jelasnya. Dalam konteks tersebut, menurut Rani, pengelolaan SDA paling tidak dapat mendorong peningkatan layanan publik, pemberdayaan masyarakat,
pengembangan ekonomi dan juga pelestarian lingkungan hidup. “Marilah kita merefleksikan diri, apakah pengelolaan SDA yang ada di lingkungan kita saat ini sudah tepat sesuai dengan landasan keilmuan yang lengkap berdasarkan prinsip-prinsip multi dimensi dengan pendekatan silang disiplin keilmuan – cross discipline, baik keteknikan maupun sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan,” katanya. Cukup Hangat Dalam diskusi yang dilaksanakan pada kegiatan sosialisasi untuk region/ wilayah barat ini, berlangsung cukup hangat. Tanya jawab, masukan dan sharing pengalaman dalam penyusunan naskah kebijakan pengelolaan SDA, dilontarkan oleh penyaji, narasumber maupun para peserta. Terlebih lagi, baik moderator, penyaji maupun narasumber merupakan orang-orang yang memfasilitasi,
berkompeten, berperan, dan terlibat langsung dalam penyusunan naskah Jaknas PSDA hingga pada penetapannya oleh Presiden RI. Misalnya saja, Sekretaris Harian Dewan SDA Nasional, Ir. Imam Anshori,
Ir. Mudjiadi, M.Sc Direktur Bina Program, Ditjen SDA – Kementerian PU
Kegiatan Sosialisasi, Untuk Pengayaan Informasi
S
aat ditemui Bulletin Dewan SDA seusai menyajikan presentasinya di acara Sosialisasi Perpres No.33/2011 di Kota Gudeg - Yogyakarta, Mudjiadi menyatakan bahwa, sosialisasi Jaknas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) kepada stakeholders terkait, merupakan suatu bentuk pengayaan informasi agar para pengambil keputusan dapat menjaring informasi dan masukan-masukan dari para pemangku kepentingan. “Sehingga kita mengetahui tanggapan dari semua peserta. Apakah kebijakan dan strateginya cukup implementatif dan efektif. Kemudian apa masukan dan komentarnya sehingga hal ini merupakan pengayaan informasi buat kita. Karena setelah kebijakan nasional ini, kita masih ada satu tugas baru lagi yaitu penyusunan matriks kegiatan terkait Jaknas Pengelolaan SDA tersebut,” katanya. Seperti diketahui, penyusunan matrik tindak lanjut Jaknas Pengelolaan SDA oleh setiap instansi/lembaga/ asosiasi/organsiasi yang merupakan Anggota Dewan SDA Nasional, saat ini secara simultan terus dilaksanakan pembahasan dan penyempurnaannya oleh tim kecil dari Pansus Penyusunan Jaknas SDA. Penyusunan matriks tindak lanjut ini dimaksudkan, agar implementasi strategi dari Jaknas Pengelolaan SDA ini dapat dilaksanakan oleh setiap stakeholder terkait SDA. Artinya, dapat diketahui siapa akan melaksanakan apa terhadap Jaknas Pengelolaan SDA tersebut. Mudjiadi melanjutkan, bahwa salah satu pengayaan informasi tersebut, misalnya saja mengenai pembentukan pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bidang sumber daya air. Menurutnya, dalam dua tahun ini instansi yang
6
membidangi sumber daya air, sebaiknya sudah harus mulai merekrut PPNS. “Oleh karenanya, hal tersebut mulai kita laksanakan. Sekditjen SDA – Kementerian PU sudah mulai menyebarkan kuesioner ke seluruh BBWS/BWS dan instansi di pusat, tentang siapa yang berminat menjadi PPNS. Kemudian, nantinya kita adakan diklat untuk mencapai kompetensi minimal sebagai PPNS yang diharapkan,” ujar Direktur Bina Program – Ditjen SDA, Kementerian PU. Selain itu, Mudjiadi juga berharap, agar Jaknas Pengelolaan SDA ini akan menjadi acuan untuk menyusun program masing-masing sektor terkait SDA dimana time frame dari Jaknas Pengelolaan SDA ini adalah 20 tahunan. Tidak hanya itu, menurut Mudjiadi, setiap instansi ada kewajiban untuk menyusun rencana strategis lima tahunan dan juga program tahunannya yang kesemuanya diharapkan dapat mengacu pada Jaknas Pengelolaan SDA tersebut. “Nah…ini semuanya harus mengacu kepada Jaknas Pengelolaan SDA. Selama ini, renstra kita arahnya secara nasional belum jelas. Dengan adanya kebijakan nasional bisa dilaksanakan keterpaduan dan sinergitas antarinstansi yang di pusat dan kemudian instansi di pemerintah daerah, masyarakat maupun dunia usaha dalam rangka melaksanakan pengelolaannya,” harap Mudjiadi. sim/wid/ad
MT menyampaikan tentang “Pengantar Jaknas PSDA”, Anggota Dewan SDA Nasional, Ir. Achmadi Partowijoto, CAE dari Kemitraan Air Indonesia (KAI) mempresentasikan “Kebijakan Umum dan Kebijakan Peningkatan Konservasi SDA secara Terus Menerus”, dan Direktur Bina Program – Ditjen SDA, Kementerian PU, Ir. Mudjiadi M.Sc tentang “Kebijakan Pendayagunaan SDA serta Kebijakan Pengendalian Daya Rusak Air dan Pengurangan Dampak”. Penyaji lainnya, dari Badan Meterorologi, Klimatologi, dan Geofisik (BMKG), Drs. Endro Santoso, M.Si menyampaikan tentang “Kebijakan Peningkatan Peran Masyarakat dan Dunia Usaha serta Kebijakan Pengembangan Jaringan Sistem Informasi SDA” dan Anggota Dewan SDA Nasional, Ir. S.
Indro Tjahyono, dari Jaringan Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI) mempresentasikan tentang “Matriks Tindak Lanjut Pelaksanaan Jaknas PSDA”. Sedangkan para moderator dan narasumber di acara tersebut adalah Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan DAS – Ditjen Bina Pengeloaan DAS dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan, DR. Ir. Eka W Soegiri, MM, mantan Direktur Bina Program – Ditjen SDA, Kementerian PU, Ir. Hartoyo Supriyanto, M.Eng, Asisten Deputi Urusan Pengendalian Kerusakan Ekosistem Perairan Darat - Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup (LH), Ir. Hermono Sigit, dan Anggota Dewan SDA
Nasional, Ir. Bambang Kuswidodo, Dipl. HE dari Komite Nasional Indonesia untuk Bendungan Besar (KNI-BB). Adapun acara sosialisasi ini diikuti oleh sekitar 50 peserta berasal dari berbagai instansi, antara lain Dinas PU, Bappeda, Dinas Kehutanan, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS)/Balai Wilayah Sungai (BWS) seSumatera, Pusat Pengelolaan Eko Region Jawa – Kementerian LH serta Stasiun Geofisika – BMKG, Provinsi DI Yogyakarta. Selain itu juga diikuti oleh perwakilan Dewan SDA Provinsi yang telah terbentuk, yaitu Provinsi DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh. tim
Dr. Ir. Eka W. Soegiri, MM Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan DAS, Ditjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial – Kementerian Kehutanan
Air Bisa Menjadi Integrator Beragam Kepentingan
M
enanggapi acara sosialisasi Keppres No. 33 tahun 2011 tentang Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air (Jaknas PSDA), Eka W. Soegiri menyatakan, bahwa kegiatan tersebut tidak dapat berjalan hanya di satu sektor saja, tetapi merupakan kegiatan yang mencakup lintas sektor. “Ya… saya kira idenya sudah sangat bagus. Bagaimana menyampaikan kebijakan ini kepada para penentu kebijakan di lapangan. Cuma barangkali akan lebih baik lagi, kalau yang terlibat dan yang diundang dalam acara sosialisasi ini tidak hanya pihak pemerintah, tetapi juga barangkali dari legislatif, dunia usaha, akademisi, lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan para pelaku–pelaku di lapangan,” kata Eka, saat dikonfirmasi Bulletin Dewan SDA seusai acara berlangsung. Menurut Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan DAS – Kementerian Kehutanan ini, semakin seringnya berbagai pemangku kepentingan melakukan koordinasi, bertemu dan berdiskusi, maka diharapkan bisa menghilangkan sifat ego sektoral yang ada selama ini. “Ego sektoral bisa kita jadikan sinergi, sehingga tidak saling berseberangan, akan tetapi saling membangun kebersamaan. Itu yang bisa saya tangkap dari kegiatan ini. Apalagi yang kita diskusikan ini masalah air. Masalah yang sangat krusial dan fundamental. Harapan saya, air ini menjadi integrator, menjadi pemersatu dari beragam kepentingan,” ujarnya. Dengan demikian, Eka menjelaskan, maka akan dapat lebih diketahui peran Kementerian Kehutanan, peran Kementerian Pekerjaan Umum, peran pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan instansi/lembaga/asosiasi/organisasi lainnya dalam menjaga keberlanjutan sumber daya air di Indonesia. “Kita bedah sama-sama. Karena saya yakin diantara kita semua masing-masing punya kewenangan. Nah… sekarang
tinggal pertanyaannya, siapa yang akan mengkoordinir ini ? Harapan saya Dewan Sumber Daya Air Nasional ini bisa menjadi media untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan bersinergi di semua pihak secara kualitas, kuantitas, dan kontinyu air ini bisa dijaga dan diwujudkan,” tuturnya. Terkait dengan kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia, Eka W. Soegiri menyampaikan, bahwa yang terpenting adalah bagaimana mengembalikan fungsi hutan. Pemerintah melalui RPJM 2009-2014 ini telah mentargetkan 2,5 juta hektar hutan yang akan diperbaiki atau direhabilitasi. Hal tersebut, menurut Eka berarti ada dana pemerintah yang digunakan dan ada dana-dana lainnya. Seperti, melalui swadaya masyarakat, Corporate Social Responsibility (CSR), dan bantuan-bantuan lainnya yang tidak mengikat. “Ini bisa kita dorong. Sehingga harapannya target itu bisa dilampaui. Kita melihat kalau bicara air, ibaratnya adalah hasil dari pabrik. Dia output yang keluar dari pabrik. Bagaimana kita mengelola, mempertahankan, memperbaiki dan meningkatkan kapasitas pabriknya ? Antara lain, meningkatkan fungsi kawasan hutan, kawasan-kawasan yang rimbun yang ada pepohonan dengan tata guna tanahnya yang bagus dan mengedepankan kaidah-kaidah konservasi,” ungkapnya. Dengan begitu, Eka menekankan, bahwa peran Kementerian Kehutanan dalam pengelolaan SDA begitu strategis dan amat penting. Karena berperan dalam melestarikan dan menjaga “pabrik-pabrik” - nya. “Instansi ini berperan melestarikan sumber-sumber dimana air itu keluar. Saya kira itu,” harap Eka. sri/ad/edd
7
SAJIAN UTAMA katanya. Demikian juga keberhasilan Indonesia, pada saat South Asia Water Forum (di dalam Water Partnership) dan di dalam Network of Asia River Basin Organization (NARBO), bahwa Indonesia juga sudah menyusun organisasi dan itu didasarkan pada Wilayah Sungai (WS). Padahal, menurut Amron, hal ini adalah suatu hal yang sangat sulit di terima di pemerintahan suatu negara bahwa bagaimana Indonesia dapat berhasil menyusun suatu organisasi berdasarkan WS untuk mengatur dan mengelola SDA di WS yang bersangkutan.
Sosialisasi Perpres No. 33 tahun 2011
Keberhasilan Menyusun UU SDA, Patut Disyukuri Keberhasilan Indonesia dalam menyusun UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) yang disusun dengan melibatkan stakeholder yang ada, patut disyukuri. Sementara pada saat yang sama Negara Thailand yang juga menyusun UU yang sama, sampai sekarang masih belum terbentuk.
D
emikian hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Sumber Daya Air (Ditjen SDA) – Kementerian Pekerjaan Umum (PU) selaku Sekretaris Dewan SDA Nasional, DR. Ir. Moch. Amron, M.Sc saat memberikan sambutannya pada acara Sosialisasi Peraturan Presiden (Perpres) No. 33 tahun 2011 tentang Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air (Jaknas PSDA) region/wilayah timur, di Manado – Sulawesi Utara (25-27/7).
8
Amron menyatakan, bahwa kita mulai menyusunnya sejak reformasi pada tahun 1998 untuk merevisi UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan dan pada tahun 2004 kita telah berhasil menyusun UU SDA ini. “Negara Malaysia pun tidak bisa menyusun UU Federalnya tentang SDA. UU-nya hanya berupa UU State Negara Bagian. Jadi ini keberhasilan bagi kita semua untuk dapat menyusun UU SDA. Hal tersebut yang patut kita syukuri,”
Kekaguman Begitu pula dengan adanya wadah koordinasi dalam bentuk Dewan SDA dan Tim Koordinasi Pengelolaan SDA Wilayah Sungai (TKPSDA-WS) di Indonesia, Amron menyampaikan, membuat kekaguman dari Pemerintah Jepang. “Saat pertemuan tersebut dari Pemerintah Jepang yang hadir adalah Japan Water Agency yang mengatakan, bagaimana kita bisa menyusun suatu organisasi dimana yang duduk sebagai anggotanya berasal dari pemerintah dan non pemerintah. Ada asosiasi dan LSM/NGO yang mempunyai kedudukan yang sama dengan pemerintah di dalam suatu Dewan SDA atau TKPSDA WS,” jelasnya. Terlebih lagi, Dewan SDA Nasional telah berhasil menyusun berbagai kebijakan yang salah satunya adalah mengenai Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air (Jaknas PSDA), dimana telah ditetapkan Presiden RI dalam bentuk Perpres No. 33 tahun 2011. Lebih lanjut Amron menyatakan, bahwa Perpres No. 33 tahun 2011 ini memberi arahan dan berkaitan erat dengan pengelolaan SDA dan berkaitan dengan kelangsungan hidup kita semua
dan semua mahluk hidup lainnya. “Itulah yang membuat kekaguman dari Pemerintah Jepang. Bagaimana hal tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia? Karena, di Jepang NGO-nya juga bermacam-macam. Bagaimana menyeleksinya? Sehingga mereka berkeinginan untuk belajar ke Indonesia. Kita sebetulnya lebih demokratis, kita serahkan kepada assosiasi/LSM masingmasing untuk mewakilinya dari sisi pendayagunaan SDA, konservasi SDA, dan pengendalian daya rusak air,” sebut Amron. Terkait dengan UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Amron menceritakan, bahwa untuk menyusun UU tersebut, terlebih dahulu Pemerintah mengundang stakeholders dan perguruan tinggi. “Perguruan tinggi itulah yang menyebarkan dan menyosialisasikannya, bukan Pemerintah. Inilah yang menjadi kesulitan dan mungkin agak susah dilakukan di negara mereka,” tambah Amron. Langkah Proaktif Sementara itu Kepala Bappeda Provinsi Sumatera Utara selaku Ketua Harian Dewan SDA Provinsi Sulawesi Utara, Noeldy Tuerah, Ph.D menyatakan, bahwa saat ini Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai langkah proaktif dalam menunjang berbagai program pembangunan di berbagai sektor strategis termasuk SDM, dan infrastruktur, guna meningkatkan kesejahteraan, kenyamanan dan kesehatan masyarakat dengan memperhatikan kelestarian lingkungan yang berkelanjutan. “Sangat penting pembangunan infrastruktur di berbagai sektor didukung peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berfungsi memberi arahan petunjuk dan sebagai penopang
demi terwujudnya program pembangunan yang sesuai perundangan yang berlaku, khususnya di bidang PU,” katanya. Menurut Tuerah, kebijakan pemerintah di bidang SDA sangat jelas diamanatkan dalam UU No. 7/2004 tentang SDA, yang akan memberi arahan pengelolaan SDA untuk mewujudkan sinergitas dan keterpaduan yang harmonis antarwilayah, antarsektor dan antargenerasi dengan memperhatikan keseimbangan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras dan harmonis. “Pola pengelolaan SDA yang didasarkan prinsip keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan SDA serta usaha pengendalian daya rusak air, perlu ditetapkan dengan suatu Kebijakan Nasional Pengelolaan SDA yang merupakan arahan strategis dan sebagai acuan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional di bidang SDA,” tuturnya. Selanjutnya Tuerah menjelaskan, bahwa hal tersebut penting untuk dikedepankan dikarenakan pembangunan sangat pesat, pertambahan
jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan ekonomi yang mengakibatkan peningkatan alih fungsi lahan di berbagai wilayah. “Disamping itu perubahan kawasan hutan dan lahan menjadi lahan pemukiman perkotaan mengakibatkan berkurangnya kapasitas resapan air, peningkatan erosi lahan, sedimentasi sumber air dan meningkatnya kerentanan terhadap bahaya kekeringan, banjir, tanah longsor, pencemaran air, intrusi air laut dan penurunan produktivitas lahan. Kesemuanya itu akan mengakibatkan kerugian ekonomi, kerawanan sosial dan kerusakan lingkungan,” ungkap Tuerah. Karena itulah, Noeldy Tuerah mengatakan, bahwa sosialisasi ini sangat penting untuk dilaksanakan agar para peserta dapat bertambah wawasannya, menyatukan visi, persepsi dan sekaligus dapat memantapkan komitmen stakeholders untuk mengelola SDA secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Melalui kegiatan sosialisasi ini juga diharapkan dapat menghasilkan
9
problem solution terhadap permasalahan yang dihadapi dan dapat menghasilkan rekomendasi terbaik dalam pengelolaan SDA. “Selaku Ketua Harian Dewan SDA Provinsi Sulawesi Utara, saya menghim-
bau kepada anggota Dewan SDA Provinsi agar kiranya Jaknas PSDA ini dapat diadopsi dan menjadi acuan dalam penyusunan kebijakan PSDA pada tingkat provinsi, kabupaten/kota dan WS sesuai dengan kondisi fisik wilayah
masing-masing,” kata Tuerah, seraya mengharapkan, agar akhirnya dapat diimplementasikan pada program pembangunan jangka menengah di bidang SDA provinsi secara lintas sektoral dan berkelanjutan untuk kesejahteraan rakyat. Setelah sambutan-sambutan dilaksanakan, acara Sosialisasi Perpres 33 tahun 2011 tentang Jaknas PSDA ini dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab dengan moderator, penyaji, dan narasumber dari berbagai stakeholder terkait SDA. Untuk “Pengantar Jaknas PSDA” disampaikan oleh Sekretaris Harian Dewan SDA Nasional, Ir. Imam Anshori, MT dengan moderator Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat – Ditjen Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional
DR. Ir. Moch. Amron, M.Sc Dirjen Sumber Daya Air – Kementerian PU
Sebagai Suatu Arahan dan Hasil Olah Pikir
U
sai memberikan sambutannya pada acara Sosialisasi Perpres No. 33 tahun 2011 tentang Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air (Jaknas PSDA) di Kota Manado – Sulawesi Utara, Moch. Amron menyampaikan kepada Bulletin Dewan SDA, rasa optimismenya dalam mengelola SDA di Indonesia yang terlebih lagi ditunjang dengan adanya arahan operatif sebagai pemandu pelaksanaannya. Arahan tersebut, menurut Dirjen SDA – Kementerian PU, berfungsi untuk mengantisipasi dan mengurangi empat jenis bahaya, yaitu kelangkaan air, pencemaran air, banjir, dan tanah longsor. Arahan operatif yang di dalam UU No. 7 tahun 2004 dinamakan Kebijakan Pengelolaan SDA, harus disusun di tingkat nasional, provinsi, dan/atau kabupaten/kota. “Naskah Jaknas PSDA ini merupakan hasil olah pikir dan kesepakatan para anggota Dewan SDA Nasional. Melalui serangkaian diskusi yang difasilitasi oleh Sekretariat Dewan SDA Nasional, pada akhirnya telah ditetapkan sebagai Perpres No. 33 tahun 2011,” ujarnya. Amron menambahkan, bahwa Peraturan Presiden ini selain menjadi acuan dari menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non kementerian dalam menetapkan kebijakan sektoral di bidang tugas masing masing, juga menjadi acuan bagi penyusunan Kebijakan Pengelolaan SDA pada tingkat provinsi. “Sehingga dengan itu, masing-masing sektor atau masing-masing kementerian bisa mempunyai arahan, terutama yang berkaitan dengan sumber daya air. Makanya ini yang kemudian akan menjadi landasannya, seperti apakah kondisinya saat ini. Kemudian tahun berikutnya, seperti apa pelaksanaan perubahannya yang telah dilakukan. Jadi ini merupakan suatu arahan dan nanti juga bisa masuk didalam perencanaan masing-masing didalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pengelolaan
10
sumber daya air,” jelasnya. Terkait dengan wadah koordinasi pengelolaan SDA, dimana di negara Jepang belum mempunyai hal yang serupa dengan Indonesia, menurut Amron, mungkin konotasinya bisa lain. Akan tetapi bentuknya sebagai Dewan yang merupakan representasi dari berbagai Kemen-terian terkait dan berbagai organisasi non pemerintah dalam bentuk formal seperti itu, memang di Jepang belum ada. “Bentuk formal demikian itu yang belum ada di sana. Jadi mereka mungkin mempunyai sistem sendiri, tetapi tidak di lembagakan sebagai suatu Dewan. Ini menurut mereka suatu hal yang mungkin bisa dilaksanakan, karena sebagai institusi menjadikan sesuatu hal bisa dikendalikan atau dikoordinasikan dengan baik dan lancar,” katanya. Oleh karenanya, Amron mengharapkan, melalui sosialisasi seperti ini jajaran pemerintah dapat mengambil peran dalam melaksanakan strategi yang tertuang dalam Peraturan Presiden tersebut. Dimana beberapa diantaranya sudah berhasil dirumuskan bersama oleh para anggota Dewan SDA Nasional pada sebuah matriks. “Sehingga tidak ada alasan bagi seseorang, setelah mengikuti sosialisasi ini tidak mengetahui langkah tindak lanjut dari Perpres No. 33 tahun 2011 yang harus dilaksanakan di daerahnya masing-masing,” katanya, mengakhiri wawancara ini. wwn/gml/ad
(Diknas), Prof. Ir. Suryo Hapsoro Tri Utomo, Ph.D. Sedangkan “Kebijakan Umum dan Kebijakan Peningkatan Konservasi SDA secara Terus Menerus” dipaparkan oleh Anggota Dewan SDA Nasional, DR. Hasyim, DEA dari Pengelolaan Sumber Daya Alam Watch (PSDA Watch), “Kebijakan Pendayagunaan SDA serta Kebijakan Pengendalian Daya Rusak Air dan Pengurangan Dampak” oleh Anggota Dewan SDA Nasional, DR. Bambang Widiantoro dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), “Kebijakan Peningkatan Peran Masyarakat dan Dunia Usaha serta Kebijakan Pengembangan Jaringan Sistem Informasi SDA dan Penutup oleh
Kepala Pusat Air Tanah dan Gelogi Lingkungan – Kementerian ESDM, Ir. Dodid Mudohardono, M.Sc, dengan moderator dari Anggota Dewan SDA Nasional, Ir. Kuswanto (Lembaga Penelitian Pendidikan dan PeneranganEkonomi dan Sosial/LP3ES). Presentasi tentang “Matriks Tindak Lanjut Pelaksanaan Jaknas PSDA” oleh Anggota Dewan SDA Nasional, Ir. Hendro Baroeno dari Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (ASPADIN) dengan moderator juga Anggota Dewan SDA Nasional, Ir. Eddy Eko Susilo, MT dari Asosiasi Perusahaan Pengeboran Air Tanah Indonesia (APPATINDO). Sementara sekitar 60 peserta yang
mengikuti acara ini berasal dari berbagai stakeholder terkait SDA di wilayah Timur Indonesia, seperti Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS)/Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), Kepala Dinas PSDA/PU, Ketua Bappeda, dan Kepala Dinas Kehutanan seSulawesi, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Irian Jaya Barat. Selain itu juga diikuti oleh perwakilan dari Dewan SDA Provinsi/ TKPSDA WS yang telah terbentuk, seperti Dewan SDA Provinsi (DSDAP) Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Gorontalo, dan seluruh Anggota Dewan SDA Provinsi Sulawesi Utara. tim
Prof. Ir. Suryo Hapsoro Tri Utomo, Ph.D Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Ditjen Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional (Diknas)
Perlu Pendidikan Tentang Air, Sejak Usia Dini
B
erkaitan dengan peran Kementerian Pendidikan Nasional dalam pengelolaan sumber daya air di Indonesia, menurut Suryo Hapsoro, memang sudah sesuai dengan rumusan matriks tindak lanjut yang telah disusun sebelumnya. “Air adalah sumber kehidupan. Karena itulah, maka kita yang ada di pendidikan perlu untuk memberikan pendidikan tentang air ini. Bagaimana air sangat diperlukan bagi kehidupan. Oleh karena itulah maka sejak dini, pendidikan di tingkat dasar hingga ke pendidikan tinggi, hal tersebut akan kita berikan,” jelas Suryo Hapsoro, di sela-sela acara Sosialisasi Perpres No. 33 tahun 2011 tentang Jaknas Pengelolaan SDA. Misalnya saja, Suryo Hapsoro mencontohkan, pada tingkat sekolah telah dilakukan pemberian penghargaan kepada sekolah yang cukup mononjol berperan dalam melestarikan sumber daya alam dan memelihara lingkungannya, termasuk air. Begitu juga untuk yang di tingkat pendidikan tinggi. Dirinya juga menambahkan, bahwa bagaimana perlunya air sudah diberikan didalam kurikulum atau mata kuliahmata kuliah sesuai dengan bidangnya. Kementerian Diknas juga memberikan apa yang disebut dengan soft skill, yaitu memberikan suatu pendidikan yang tidak terstruktur didalam kurikulum tetapi diberikan kepada mahasiswa agar supaya sadar akan air, bagaimana melestarikan air, bagaimana sebenarnya menjaga agar supaya air tidak menimbulkan daya rusak dan sebagainya. “Jadi intinya adalah sejak dari pendidikan usia dini, pendidikan non formal hingga pendidikan tinggi, kita berikan materi mengenai perlunya air, sesuai dengan tingkatantingkatannya. Materi yang kita berikan tidak hanya melalui kurikulum, tetapi juga melalui kegiatan-kegiatan yang lebih nyata,” ujarnya. Umpamanya saja, Suryo mengatakan, saat ini Kementerian Diknas bersama-sama dengan Kementerian Ling-
kungan Hidup (LH) telah memberikan penghargaan kepada sekolah-sekolah yang disebut sebagai Sekolah ADIWIYATA. “Sekolah itu dinilai bersamasama di tingkat kabupaten/kota. Sekolah yang memenuhi kriteria akan diberikan penghargaan sebagai sekolah yang kita namakan penghargaan Adiwiyata. Adiwiyata itu ditingkat SD, SMP, dan untuk SMA/SMK juga ada hal semacam itu,” tuturnya. Lebih lanjut dikatakan Suryo, bahwa di sekolah yang mendapat penghargaan tersebut dilaksanakan kegiatan-kegiatan yang lebih nyata. Bahwa anak-anak bisa meluangkan waktunya, meskipun hanya beberapa menit, untuk dapat melaksanakan dan memelihara lingkungannya, termasuk juga bagaimana menggunakan air sehemat mungkin. “Contohnya untuk penggunaan cuci tangan dan setelah berolahraga membersihkan tangan dan kakinya, tetapi dengan tetap berhemat air. Nah…hal-hal seperti ini yang meskipun tampaknya kecil, tetapi akan berdampak besar bagi kesadaran para peserta didik di dalam menghargai air sebagai sumber kehidupan,” ungkap Suryo. Karena itulah, Suryo Hapsoro menyatakan, bahwa dunia pendidikan sangat berperan di dalam hal pengelolaan sumber daya air. Oleh karena itulah, dirinya menghimbau kepada pihak-pihak sekolah, didalam kegiatan formal atau kegiatan lainnya, memasukkan unsur-unsur pengetahuan tentang air agar kesadaran tentang air menjadi budaya dan habit mereka. “Supaya menghargai air dan menghemat air. Kalau tidak, maka ke depan air justru akan menjadi bencana yang betulbetul tidak kita harapkan, yang semestinya air adalah sebagai sumber kehidupan bagi kita,” paparnya. faz/ad
11
SAJIAN KHUSUS
Pembahasan Matriks Tindak Lanjut Jaknas Pengelolaan SDA, Diteruskan menghindarkan tumpang tindih kegiatan dari berbagai instansi pemerintah serta lebih mengetahui peran dari setiap stakeholders terkait dengan pengelolaan sumber daya air.
Anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional (Dewan SDA Nasional) terus membahas penyusunan matriks tindak lanjut Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air (Jaknas PSDA) di Kota Bogor – Jawa Barat (25-27/5).
P
embahasan matriks kali ini, merupakan finalisasi dari hasil pembahasan tim kecil dan rapatrapat pembahasan sebelumnya dimana pengisian matriks ini dilaksanakan oleh masing-masing anggota Dewan SDA Nasional untuk mengetahui siapa akan melaksanakan apa terkait dengan draft Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air (Jaknas PSDA) yang masih ditunggu pengesahannya oleh Presiden RI. Rapat yang difasilitasi Sekretariat Dewan SDA Nasional dan dibuka oleh Sekretaris Harian Dewan SDA Nasional, Ir. Imam Anshori, MT ini dihadiri oleh sebagian besar anggota atau yang mewakli dari 44 orang anggota, baik dari unsur pemerintah maupun non pemerintah. Dikoordinir secara bergantian oleh anggota Dewan SDA Nasional dari unsur non pemerintah sebagai pemimpin sidang, antara lain Achmadi Partowijoto (KAI), Indro Tjahyono (SKEPHI), Eddy Eko Susilo (APATINDO), Hasim (PSDA Watch), dan Bambang Widiantoro (APHI), yang didampingi Sekretaris Harian Dewan
12
SDA Nasional, rapat pembahasan yang dilaksanakan selama tiga hari dan hingga larut malam tersebut, masih belum menuntaskan rumusan matriks untuk semua kebijakan dan strategi yang ada. Cukup alotnya diskusi dan masukan dari masing-masing anggota ataupun pejabat yang mewakilinya, hingga hari terakhir pembahasan masih belum dapat merampungkan penyusunan matriks ini. Terlebih lagi, Bappenas yang merupakan institusi pemerintah untuk perencanaan pembangunan nasional hingga saat terakhir pembahasan, masih belum mengisi kolom matriks tersebut, antara lain kolom kebijakan dan strategi, target waktu, lembaga terkait, uraian kegiatan dalam implementasi Jaknas PSDA, output dan kolom outcome. Padahal, penyusunan matriks tindak lanjut Jaknas PSDA cukup penting. Pasalnya, pengisian dari kolom-kolom matriks tersebut antara lain dimaksudkan untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan SDA ke depan dan
Sebagian Meskipun ada stakeholders terutama dari instansi pemerintah yang belum mengisi kolom-kolom tersebut, namun demikian pembahasan yang dilaksanakan sudah hampir menyelesaikan sebagian dari matriks tindak lanjut Jaknas PSDA. Mulai dari Kebijakan Umum, Kebijakan Konservasi SDA secara terus menerus, hingga pada Kebijakan Pendayagunaan SDA untuk Keadilan dan Kesejahteraan Masyarakat pada strategi peningkatan upaya penyediaan air. Umpamanya saja, di Kebijakan Peningkatan Konservasi SDA Secara Terus-Menerus pada strategi Peningkatan Upaya Perlindungan dan Pelestarian Sumber Air, huruf a mengenai memelihara daerah tangkapan air dan menjaga kelangsungan fungsi resapan air berdasarkan rencana pengelolaan SDA pada suatu Wilayah Sungai (WS) oleh semua pemilik kepentingan, antara lain dengan meningkatkan pengendalian budidaya pertanian terutama di daerah hulu sesuai dengan kemiringan lahan dan kaidah konservasi tanah dan air, Kementerian Pertanian melakukan pembinaan pada petanidi luar kawasan hutan untuk melaksanakan budidaya pertanian sesuai dengan kaidah konservasi tanah dan air. Kementerian Kehutanan melakukan pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat di kawasan hutan daerah hulu DAS, agar dalam melaksanakan budidaya pertanian menerapkan kaidah konservasi tanah dan air. Sedangkan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat untuk melaksanakan budidaya pertanian sesuai dengan kaidah konservasi tanah dan air pada kawasan yang menjadi kewenangannya.
Untuk stakeholder non pemerintah, misalnya saja Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), mendukung dan turut serta melakukan pembinaan serta penyuluhan kepada masyarakat untuk melaksanakan budidaya pertanian sesuai dengan kaidah konservasi tanah dan air. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) melakukan pencegahan dan pembinaan kepada masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dalam praktek budidaya pertanian lahan kering yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi. Sementara untuk Kebijakan Pendayagunaan SDA untuk Keadilan dan Kesejahteraan Masyarakat di strategi peningkatan upaya penyediaan air pada huruf a tentang menetapkan rencana alokasi dan hak guna air bagi pengguna air yang sudah ada dan yang baru sesuai dengan pola dan rencana PSDA pada setiap WS, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) akan mempercepat penyusunan RPP Hak Guna Air dan menetapkan rencana alokasi air berdasarkan data penggunaan air. Kementerian Energi dan Sumber Daya Minral (ESDM), akan menetapkan pedoman penyusunan rencana alokasi
air tanah di setiap Cekungan Air Tanah (CAT) dan menetapkan rencana alokasi air tanah berdasarkan data penggunaan air tanah di setiap CAT lintas provinsi. Kementerian Pertanian, akan menyusun dan mensosialisasikan pedoman teknis kebutuhan air di kawasan pertanian pada setiap WS. Pemerintah daerah (pemda) akan menetapkan rencana alokasi air berdasarkan data penggunaan air sesuai kewenangan. Sedangkan anggota Dewan SDA Nasional dari unsur non pemerintah, Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi), akan mendorong anggotanya untuk menyampaikan data penggunaan air sekarang maupun yang akan datang. Demikian seterusnya, pembahasan yang dilaksanakan oleh para anggota Dewan SDA Nasional ini menyisir point per point dari kebijakan dan strategi yang tercantum dalam naskah Jaknas PSDA. Walaupun belum seluruhnya matriks tersebut dibahas, namun seluruh anggota Dewan SDA Nasional yang hadir, telah menyepakati nantinya akan diserahkan kepada Tim Kecil lagi untuk membahas sisa matriks yang ada.
Anggota Tim Kecil tersebut, dari unsur Pemerintah adalah Kementerian PU, Kementerian Lingkungan Hidup (LH), dan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Sedangkan dari unsur non pemerintah adalah Achmadi Partowijoto (KAI), Indro Tjahyono (SKEPHI), Eddy Eko Susilo (APPATINDO), dan Hasim (PSDA Watch). jon/faz/ad
13
Rapat Tim Kecil Rampungkan Pembahasan Pengisian Matriks
D
engan beranggotakan 7 (tujuh) orang anggotanya, Tim Kecil yang ditunjuk untuk menyelesaikan pengisian sisa matriks Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air (Jaknas PSDA), pada akhirnya berhasil merampungkan tugasnya. Rapat pembahasan Tim Kecil yang dilaksanakan secara estafet, pada tanggal 1, 8, dan tanggal 9 juni 2011 di Jakarta, telah mencermati substansi dan redaksi semua kolom pada matriks yang sebelumnya sudah diisi oleh tiap-tiap lembaga yang tergabung didalam keanggotaan Dewan SDA Nasional. Misalnya saja di Kebijakan Umum mengenai Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Budaya terkait air, Kementerian Pertanian akan meningkatkan penelitian dan pengembangan teknologi pengelolaan lahan dan air di bidang pertanian meliputi budidaya tanaman hemat air dan pengembangan teknologi konservasi, lahan rawa/gambut, serta budidaya ramah lingkungan. Demikian juga Kementerian Kehutanan akan meningkatkan penelitian dan pengembangan teknologi konservasi dan rehabilitasi hutan dan lahan, Kementerian ESDM akan meningkatkan penelitian dan pengembangan teknologi air tanah, BMKG akan meningkatkan kajian keterkaitan curah hujan dan potensi air serta dampaknya terhadap pengelolaan SDA, serta beberapa instansi lainnya yang terkait, seperti Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Pendidikan Nasional, dan Lemba-ga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tak terkecuali dengan anggota Dewan SDA Nasional dari unsur non-Pemerintah juga ikut berperan aktif dalam mengimplementasikan Jaknas PSDA ini sesuai dengan tugastugasnya. Seperti Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) pada point yang sama, mereka akan meningkatkan Sistem Pemantauan Air Sungai (SPAS) untuk mengetahui debit air sungai, tingkat pencemaran air, erosi dan sedimentasi akibat penebangan hutan di hulu. Dari kebijakan dan strategi serta implementasi kegiatan Jaknas PSDA tersebut di atas, maka seluruh stakeholder SDA diharapkan akan memperoleh manfaatnya, yaitu terwujudnya dan diterapkannya penelitian dan pengembangan teknologi dalam bidang SDA yang berkualitas. Begitu pula dalam Kebijakan Peningkatan Peran Masyarakat dan Dunia Usaha dalam Pengelolaan SDA, di strategi peningkatan peran masyarakat dan dunia usaha dalam perencanaan, pada poin a tentang meningkatkan pemahaman serta kepedulian masyarakat dan dunia usaha
14
mengenai pentingnya keselarasan fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan hidup dari SDA, Kementerian PU/LH/Pertanian/ESDM akan melaksanakan sosialisasi dan kampanye kepedulian publik mengenai pentingnya keselarasan fungsi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup, sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Kementerian Perindustrian akan menyusun kebijakan dan pedoman penggunaan SDA serta mensosialisasikan kepada sektor industri dengan memperhatikan keselarasan fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. Kementerian Pendidikan Nasional akan menyusun materi ajar mengenai pengelolaan SDA yang memperhatikan fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan hidup serta memasukannya ke dalam bahan ajar. Dari anggota Dewan SDA Nasional unsur non-Pemerintah yang terkait, antara lain Kemitraan Air Indonesia (KAI), Jaringan kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI), Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (GAPKINDO), Masyarakat energy terbarukan Indonesia (METI) dan APHI. Dalam hal ini, KAI misalnya saja akan menyeleggarakan kampanye peduli air yang mencakup pendidikan dan penyuluhan pada masyarakat dalam pengelolaan SDA terpadu, SEKPHI akan menyelenggarakan sosialisasi dan mengembangkan berbagai forum multi pihak dalam pengelolaan hutan, dan GAPKINDO akan menerapkan standar kebutuhan air untuk proses produksi dan melaksanakan sosialisasi penghematan penggunaan air melalui penerapan 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Sedangkan METI akan menyelenggarakan sosialisasi tentang energi air sebelum pembangunan pembangkit listrik tenaga mikro hidro, dan APHI akan melaksanakan penyebaran informasi dan sosialisasi kepada anggota dan pemanfaat hasil hutan tentang pengelolaan hutan lestari. Sementara manfaat yang akan dipetik oleh stakeholders SDA terkait implementasi pelaksanaan kegiatan Jaknas Pengelolaan SDA tersebut pada kebijakan dan strategi tersebut adalah meningkatnya pemahaman serta kepedulian masyarakat dan dunia usaha mengenai pentingnya keselarasan fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan hidup dari SDA. Demikianlah seterusnya, penyusunan dan pengisian tersebut berhasil dilaksanakan oleh Tim Kecil, sampai kebijakan dan strategi terakhir. wid/sr/ad
SOROTAN
Pasca Bencana Gunung Merapi
Bambang Hargono
Berbagai Instansi Terkait, Terus Berkoordinasi Bencana letusan Gunung Merapi yang kemudian diikuti aliran lahar dingin Gunung Merapi di Provinsi Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta baru berlalu. Akibat daya rusak aliran lahar dingin tersebut menimbulkan kerugian yang tidak hanya harta benda saja, melainkan juga merenggut korban jiwa yang terbilang tidak sedikit.
K
orban dan kerusakan terbanyak dialami masyarakat yang berada di Kabupaten Sleman – DI Yogyakarta. Bencana tersebut paling tidak telah menelan korban jiwa sekitar 302 orang, luka bakar 190 orang dan luka non bakar sekitar 87 orang. Sementara dari data Dinas Pekerjaan Umum (PU), Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi DI Yogyakarta tercatat berbagai sarana dan prasarana mengalami kerusakan. Umpamanya saja, jalan sepanjang 61,8 km rusak berat, 26 buah sabodam rusak berat, 64 Sistem Perpipaan Air Minum Pedesaan (SPAMDES) rusak, tiga sistem PDAM tidak berfungsi, 22 jembatan putus, dua intake saluran induk irigasi tertutup material, 51 bendung irigasi tidak berfungsi dan 11 titik pengaman tebing runtuh. Selain itu, 13 sekolah yang terdiri dari enam SD, dua SMK dan lima TK telah hancur dan mengalami rusak berat, empat Puskesmas hancur, delapan
pasar tradisional rusak, tiga kantor pemerintahan rusak berat, hutan seluas 924,3 Ha di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) terbakar, 2.613 rumah rusak dan tidak layak huni, 46 rumah rusak berat, 2.500 Ha kebun salak dan 604 Ha kebun non salak hancur, 285 Ha sawah tertimbun material, 3.413 ekor sapi mati, serta 671 Ha kebun rakyat dan 14 Ha kolam ikan juga rusak. Untuk menangani kerusakan akibat bencana ini, berbagai instansi dan pihak terkait terus melaksanakan koordinasi satu sama lainnya. Tak terkecuali Balai Besar Wilayah Sungai Serayu – Opak (BBWS SO) dalam melaksanakan penanganan sesuai dengan tugas dan fungsinya telah berkoordinasi, antara lain dengan Dinas PU, Perumahan, dan ESDM Provinsi DI Yogyakarta. Normalisasi Ketika ditemui Bulletin Dewan SDA, Kepala BBWS Serayu-Opak, Ir. Bambang Hargono, Dipl. HE mengatakan, bahwa untuk menangani bencana aliran lahar
dingin Gunung Merapi, pihaknya terus melaksanakan koordinasi dengan pemerintah daerah setempat, khususnya Dinas PU, Perumahan dan ESDM Provinsi DI Yogyakarta. “Kami terus berkordinasi dengan Dinas PU, Perumahan dan ESDM. Dalam hal ini, BBWS Serayu – Opak hanya menanganinya di badan-badan sungai yang terkena dampak aliran lahar dingin Gunung Merapi. Kami sebut dengan normalisasi, yaitu untuk mengembalikan sungai sebagaimana fungsi sebelumnya, dan membuat tanggultanggul untuk melindungi properties masyarakat yang berada di sekelilingnya,” jelas Bambang Hargono. Kepala BBWS Serayu-Opak juga menjelaskan, bahwa saat erupsi Gunung Merapi yang terjadi baru-baru ini, diperkirakan telah mengeluarkan sedimen atau material Gunung Merapi sebesar 140 juta meter kubik. Namun sedimen berupa pasir dan batuan tersebut masih berada di sekitar lereng Merapi.
15
“Sedimen itu, sebetulnya masih nongkrong di atas Gunung Merapi. Sedimentasi yang terbawa aliran lahar dingin ini merupakan hasil letupan Gunung Merapi yang terjadi pada tahun 2006. Material letupan yang baru-baru ini, hanya mendorong sedimentasi yang telah menumpuk di lereng Merapi, kemudian meluncur ke bawah dan menabrak apa saja yang dilaluinya,” katanya. Bambang Hargono menjelaskan, misalnya Kali Gendol yang kedalamannya rata-rata sekitar tujuh meter dan lebar 100 meter, hingga saat ini kondisinya masih terisi material atau sedimentasi akibat banjir lahar dingin Gunung Merapi. Sekalipun di Kali Gendol ini terdapat sabodam-sabodam, namun menurut Bambang, sabodam tersebut juga telah dipenuhi sedimentasi atau material sebagai akibat banyaknya material yang turun dari Gunung Merapi. Sabodam yang dibangun untuk mengendalikan bahaya lahar dingin Gunung Merapi ini, menurut Bambang Hargono, sesuai dengan masterplan yang ada, seharusnya berjumlah 279 buah akan tetapi saat ini baru berjumlah 244 sabo dam. “Dengan sabodam ini material lahar panas Gunung Merapi yang saat itu
sampai radius 17 Km akan tertampung di sabodam yang ada sesuai dengan kapasitasnya. Akan tetapi dikarenakan material yang ada jumlahnya jauh lebih besar, maka beberapa sabodam mengalami kerusakan, khususnya yang ada di daerah barat dan selatan Kota Yogyakarta. Jumlahnya yang rusak sekitar 78 buah sabo dam,” ungkap Bambang. Untuk perbaikan sabo dam yang mengalami kerusakan ini, pihak BBWS Serayu-Opak telah berupaya untuk mencoba memperbaikinya sesuai dengan alokasi dana yang tersedia. Untuk tahun ini, pihak BBWS SerayuOpak akan memperbaiki tiga buah sabo dam berasal dari dana sisa loan Gunung Merapi. Aliran Kali Gendol ini yang juga melintasi Kawasan Candi Prambanan, menyebabkan beberapa bagian tanggul dan bangunan air di kawasan tersebut rusak dan longsor, sehingga dapat mengancam kelestarian dari cagar budaya tersebut. “Akibat penuhnya sedimentasi atau material Kali Gendol dari Gunung Merapi menyebabkan Kali Opak yang merupakan hilir dari Kali Gendol juga dipenuhi oleh sedimentasi. Hal tersebut menyebabkan lebar Kali Opak bertambah menjadi 12 meter dari semula sekitar 8-10 meter. Aliran lahar dingin ini juga mengakibatkan sekitar 11 jembatan yang berada di sepanjang aliran Kali Opak mengalami kerusakan,” ujar Bambang. Demikian pula lahar dingin Gunung Merapi mengalir hingga ke Kali Code yang menyebabkan beberapa bangunan air seperti tanggul-tanggul dan beberapa rumah di sepanjang tepi Kali Code rusak terkena banjir lahar dingin Gunung Merapi. Bahkan di Kali Putih - Kawasan Kab. Sleman, sedimentasi dan material Gunung Merapi seperti pasir dan batubatu besar selain merusak dan menghancurkan infrastruktur SDA seperti tanggul dan bendung, juga menghancurkan dan meneng-gelamkan beberapa rumah di sana. TKPSDA Sementara dari sisi Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai (TKPSDA WS), menurut Bambang
16
Hargono, memang belum banyak berperan. Pasalnya, hingga saat ini penanganan yang dilakukan adalah baru pada kegiatan tanggap darurat. Sebagaimana diketahui, di WS SerayuOpak ini ada dua TKPSDA WS, yaitu TKPSDA WS Serayu – Bogowonto dan TKPSDA WS Progo – Opak – Serang. “Sebetulnya kita akan membahasnya dengan TKPSDA pada saat menyusun pola dan rencana. Membahas masalahmasalah terutama terkait dengan air permukaan, bagaimana pembagiannya, misalnya untuk pabrik, air baku penduduk, persawahan, dan lain sebagainya,” kata Bambang. Kemudian anggota TKPSDA yang berasal dari berbagai unsur, baik pemerintah maupun non pemerintah, menurut Bambang, telah memberikan masukan-masukan bagaimana pembagian airnya itu. Bila di sepakati bersama, maka pembagian airnya akan ditetapkan. “Bila air permukaan tidak cukup kuat, maka ada kemungkinan kita akan mempergunakan air tanah. Penggunaan air tanah itu memang tidak terlalu jelas, tidak bisa kasat mata. Oleh karena itu, memang lebih baik menggunakan air permukaan dulu. Kalau tidak cukup, baru mempergunakan air bawah tanah,” ujar Bambang. Terkait dengan adanya penambangan pasir yang marak dilaksanakan masyarakat setelah pasca bencana lahar dingin, menurut Bambang Hargono, memang sah-sah saja bila nantinya akan dibahas di TKPSDA WS yang bersangkutan untuk pengaturannya lebih lanjut. “Tentunya hal itu amat kita harapkan. Masukan-masukan seperti itulah yang perlu diperhatikan. Namun saat ini dalam penanganan Pasca Bencana Gunung Merapi, unsur-unsur masyarakat sudah banyak berperan, meski mereka belum tergabung dalam tim TKPSDA. LSM-LSM ataupun Universitas Gajah Mada sering memberikan masukan-masukan. Bila positif, tentunya pemerintah akan menanganinya sesuai dengan masukan tersebut. Umpamanya saja, mengenai penataan ruangnya,” kata Bambang Hargono. wwn/faz/ad
Ir. Rani Sjamsinarsi, MT Kepala Dinas PU, Perumahan dan ESDM, Provinsi DI. Yogyakarta
Pemerintah Daerah Telah Memiliki SOP
G
unung Merapi selalu bererupsi dengan periode ulang sekitar empat tahun sekali. Dalam kondisi ‘erupsi rutin’, Pemerintah Kabupaten Sleman – DI. Yogyakarta telah memiliki Kontijensi Plan untuk melakukan persiapan dan evakuasi warganya yang berada di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III. Demikian dijelaskan Rani Sjamsinarsi kepada Bulletin Dewan SDA, ketika dimintakan tanggapan dan konfirmasinya terkait dengan penanganan pasca letusan Gunung Merapi di Provinsi Yogyakarta belum lama ini. “Dalam kondisi seperti itu, Pemerintah Provinsi DI. Yogyakarta hanya membantu memberi dukungan pendanaan dan arahan-arahan kebijakan yang perlu dan harus dilakukan oleh pemerintah kabupaten. Merekalah nantinya yang akan melaksanakannya di lapangan,” ujar Rani. Lebih lanjut Kepala Dinas PU, Perumahan dan ESDM, Provinsi DI. Yogyakarta menuturkan, sewaktu erupsi Gunung Merapi tahun 2010, bila dilihat dari sisi erupsi dan dampaknya saat itu berada di luar kondisi ‘biasa’. Oleh karenanya menurut Rani, Pemerintah Pusat dan pemerintah provinsi harus segera turun secara langsung untuk membantu Pemerintah Kabupaten Sleman. Umpamanya saja, di sektor ke-PU-an pada masa tanggap darurat, Dinas PU Kabupaten berada di depan dalam menangani pengungsi, dibantu Dinas PU Provinsi dan Kementerian PU. Dalam hal ini, sektor ke-PU-an bertanggungjawab untuk menyediakan air bersih dan fasilitas sanitasi selama masyarakat berada di pengungsian. Rani mengungkapkan, bahwa Dinas PU Provinsi DI. Yogyakarta yang telah mengorganisir bantuan swasta atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) agar dapat memenuhi kebutuhan lapangan sesuai dengan inventarisasi yang telah dilaksanakan oleh Dinas PU Kabupaten setempat. “Sebagian besar fasilitas tersebut dibantu penuh oleh Kementerian PU, dan sebagian kecil dibantu LSM atau swasta. Dalam masa pemulihan dini untuk bidang perumahan/ permukiman khususnya dalam pembangunan Kawasan Permukiman Sementara, Dinas PU Provinsi berada di depan sebagai pelaksana, dibantu secara teknis oleh Kementerian PU. Sedangkan untuk infrastruktur SDA khususnya terkait penanganan banjir lahar dingin, Pemerintah Pusat yang berada didepan, melalui Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-
Opak (BBWS SO),” kata Rani. Rani Sjamsinarsi kembali menekankan, bahwa Standard Operational Procedure (SOP) untuk penanganan erupsi Gunung Merapi periode ulang empat tahunan sebetulnya telah ada, yaitu berupa kontijensi plan. “Di dalamnya telah ada SOP mengenai keterlibatan dari pemerintah provinsi DI. Yogyakarta atau Sektor ke-PU-an untuk menangani Gunung Merapi. Namun untuk erupsi yang sebesar tahun 2010, memang belum ada SOP atau kontijensi plan-nya,” paparnya. Sedangkan untuk penanganan banjir lahar dingin dari sisi sungainya sendiri, menurut Rani Sjamsinarsi, ditangani oleh Pemerintah Pusat melalui BBWS SO. Pasalnya, WS di DIY merupakan WS yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. “Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten lebih banyak berkonsentrasi pada pengamanan warga atau permukiman di sekitar sungai. Termasuk dalam hal ini adalah mencarikan lokasi permukiman alternatif bagi daerahdaerah pinggiran sungai yang terkena dampak lahar dingin,” tuturnya. Meskipun demikian, Rani Sjamsinarsi menyatakan, bahwa pihaknya telah secara terus-menerus melaksanakan koordinasi dengan pihak BBWS SO. Koordinasi tersebut telah dilaksanakan sejak erupsi Gunung Merapi terjadi. “Ya…kita telah berkoordinasi dengan BBWS SO sejak erupsi Gunung Merapi terjadi beberapa waktu hingga saat ini. Seluruh jajaran ke-PU-an yang berada di wilayah Provinsi DI. Yogyakarta cukup solid bersama-sama dan bahumembahu untuk meringankan beban masyarakat,” katanya. Menurut Rani, sungai-sungai di DI. Yogyakarta berada dalam kewenangan BBWS SO, sehingga penanganannya lebih banyak dilakukan BBWS SO. Sedangkan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten melakukan perbaikan pada halhal terkait dengan lahan irigasi yang merupakan tanggung jawab pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. “Secara prinsip, penanganan sungai untuk mengamankan bangunan dan permukiman yang akan terkena dampak. Misalnya saja, normalisasi alur sungai, memperkuat tikungan luar dengan bronjong, memperpanjang usia tampung bangunan sabo, mengamankan konstruksi sabo dam yang masih ada agar berfungsi optimal, membuat kantong lahar dibeberapa lokasi, mengamankan jembatan-jembatan yang masih ada, memperbaiki tanggul sungai serta peninjauan RTRW terkait KRB, khususnya peruntukan lahan sekitar sungai-sungai yang berpotensi terkena banjir lahar dingin,” ungkapnya. sar/ad
17
SOROTAN
Dewan SDA Provinsi Sulut, Laksanakan Sidang Perdana Setelah dikukuhkan oleh Gubernur Sulawesi Utara, pada tanggal 11 Maret 2011 lalu, sebanyak 24 orang anggota Dewan Sumber Daya Air Provinsi Sulawesi Utara (Dewan SDAP Sulut) telah melaksanakan sidang perdananya di Kota Manado – Sulut, (12/5).
D
iawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, sidang perdana yang dipimpin oleh Kepala Bappeda Provinsi Sulut selaku Ketua Harian Dewan SDAP Sulut, Noeldy Tuerah, Ph.D dan didampingi Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) selaku Sekretaris Dewan SDAP Sulut, Ir. J.E Kenap, MM, membahas antara lain draft Tata Tertib Persidangan dan Tata Cara Pengambilan Keputusan, Pembagian komisi-komisi, dan pembahasan rencana program kegiatan lima tahun ke depan. Meski tidak dihadiri oleh seluruh Anggota Dewan SDAP Sulut yang seluruhnya berjumlah 30 orang berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulut No. 82 tahun 2009 tentang Pembentukan Dewan SDA provinsi Sulut, Ketua Harian Dewan SDAP Sulut menyatakan, rapat kali ini telah sah, dikarenakan telah memenuhi quarom.
18
Hasil Persidangan Dalam rapat pembahasan yang dilaksanakan, sebanyak 10 orang anggota dari unsur pemerintah dan 14 orang anggota dari unsur non pemerintah yang menghadiri sidang perdana ini, telah menyepakati Tata Tertib Persidangan dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Dewan SDAP Sulut. “Oleh karena itu, hasil kesepakatan ini akan disampaikan kepada Gubernur Sulut untuk memperoleh penetapan melalui Surat Keputusan Gubernur Sulut selaku Ketua Dewan SDAP Sulut,” ujar Tuerah. Begitu pula dengan pembahasan untuk pembagian komisi-komisi, telah disepakati ada 3 (tiga) komisi, yaitu Komisi I membidangi Konservasi Sumber Daya Air dengan Ketua Komisi Kepala Dinas Kehutanan, Ir. Herry Rotinsulu, Sekretaris Komisi ,Ir. Sofie Wantasen, MS
(Kelompok Pelestari Sumber Daya Alam) dan enam orang anggota komisi. Komisi II membidangi Pendayagunaan Sumber Daya Air dengan Ketua, Ir. Lambertus Tanujaya, M.Sc (Fakultas Teknik – Unsrat Manado), Sekretaris Komisi, Ir. Otniel Kojansow, M.Si (PT Air Manado), dan sembilan anggota komisi. Sedangkan Komisi III membidangi Pengendalian Daya Rusak Air dengan Ketua, DR. Peter K.B Assa, ST, M.Sc, Sekretaris Komisi, Olvie Atteng, SE, M.Si (Badan Lingkungan Hidup Sulut), dan tujuh orang anggota komisi. Selain itu, sidang perdana kali ini juga merumuskan Kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi Sulut tentang Sumber Daya Air dan menyepakati tiap komsi akan mempersiapkan dan menetapkan jadwal dan program kegiatan untuk lima tahun ke depan yang akan di pecahpecah menjadi per tahun kegiatan. jon/ad/edd
NUANSA
Danau Limboto, Butuh Perhatian TKPSDA WS Paguyaman Ruhban Ruzziyatno
Berbicara mengenai Danau Limboto, maka seharusnya berbicara dalam lingkup luas dari Provinsi Gorontalo. Provinsi ke-32 dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini mempunyai luas sekitar 11.257 km2 yang terbagi dalam tiga Wilayah Sungai (WS), yaitu WS Paguyaman, WS Randangan, WS Limboto-Bone-Bolango. Kalau berbicara mengenai Wilayah Sungai Paguyaman, maka disitulah letak Danau Limboto yang merupakan ikon Kota Gorontalo. Provinsi ini baru 10 tahun “merdeka”, lepas dari Provinsi Sulawesi Utara.
D
emikian hal tersebut dikatakan Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi II - Ir. Ruhban Ruzziyatno, MT saat ditemui Bulletin Dewan SDA Nasional di Jakarta belum lama ini. Menurutnya, provinsi ini baru berbenah diri dan perlu perhatian cukup serius untuk mengejar ketertinggalan dari provinsi lainnya. “Kalau kita lihat, keberadaan Danau Limboto di tengah Kota Gorontalo sendirilah yang menjadi kebutuhan masyarakat sekitarnya. Misalnya saja, untuk kebutuhan air baku, perikanan dan lain-lainnya. Namun saat ini kondisinya cukup memprihatinkan, dimana luasannya terus menyusut. Ini sangat menyedihkan,” katanya. Sedimentasi Dari tahun ke tahun, mulai tahun 2000 hingga saat ini, menurut Ruhban, luas Danau Limboto terus menyusut secara bertahap. Mulai luasan 5.000 Ha, 4.000 Ha, dan sekarang hanya tinggal 3.000 Ha. Begitu juga kedalamannya, mulai dari kedalaman 15 m, 9 m, 4,5 m dan sekarang rata-rata hanya berkedalaman sekitar 2,5 m. Kedalaman tersebut adalah tinggi muka air dari dasar sungai. Padahal fungsi danau ini diantaranya juga
sebagai penangulangan banjir. Ada sekitar 23 sungai yang berada di hulu mengarah ke Danau Limboto. Kemudian dari danau tersebut baru mengarah ke laut melalui Sungai Bone-Bolango. “Kita tidak bisa semena-mena mengadakan revitalisasi langsung terhadap Danau Limboto. Karena begitu parahnya, banyak eceng gondok dan adanya sedimentasi yang tinggi, sehingga kita harus menyelesaikannya dari hulu, tengah sampai hilirnya. Konservasi yang ada di hulunya seperti apa ? Harus terintegrasilah,” ujarnya. Misalnya, Sungai Alo yang berbatasan dengan Manado – Sulawsi Utara, karena sedimentasinya cukup tinggi maka degradasi pinggir sungainya terjadi sampai di banyak titik yang bisa memutuskan jalan nasional, yaitu jalan nasional dari Provinsi Gorontalo ke Provinsi Sulawesi Utara. “Nah…kalau ini tidak tertangani, lama-kelamaan bisa hubungan antara Sulawesi Utara dan Gorontalo akan terputus. Jadi karena parahnya kondisi DAS di hulu, hampir sungai-sungai di Gorontalo itu penuh dengan sedimen,” ungkap Ruhban. Selain itu, adanya pola tertentu dari masyarakatnya juga mempengaruhi kondisi daerah hulunya. Dengan
adanya ikon “Kota Jagung”, maka pola masyarakat yang terkenal saat itu adalah membakari lahan-lahan yang ada diperbukitan untuk ditanami jagung. Pasalnya, pada saat itu tanaman jagung telah menjadi idola masyarakat Gorontalo. Dari harga sebelumnya yang hanya Rp. 850,- per kilogramnya saat itu bisa melesat mencapai harga Rp. 2.500,- per kilogramnya. “Oleh karena keinginan masyarakat untuk berlomba-lomba menanam jagung cukup tinggi waktu itu, sehingga perhatian terhadap konservasi sangat kurang, malah kadang-kadang merusak lingkungan,” ucap Ruhban Ruzziyatno. Kemudian ditambah lagi dengan adanya perkembangan jumlah penduduk. Sekarang ini meskipun luasan Provinsi Gorontalo hanya 11.257 km2, dengan jumlah penduduk sekitar satu juta jiwa, maka tuntutan alih fungsi lahan menjadi perumahan, perkebunan dan sebagainya di daerah hulu juga kian meningkat. “Sebenarnya secara luasan, daya dukungnya masih tinggi. Kalau Danau Limboto mau ditangani kita harus mempunyai konsep hulu, tengah, hilir. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah melalui Gerakan Nasional
19 19
Sungai Alo, Sungai Pohu, dan Sungai Alopohu. “Kita sudah mengajukan rencana peralatan dan sekaligus juga peralatan untuk menangani eceng gondok. Sehingga jika nanti ada kejadiankejadian bencana kita sudah bisa action. Bagaimana untuk mengatasi longsor, mengantisipasi banjir, pompa pun juga harus tersedia, baik yang station maupun yang mobile,” papar Ruhban.
Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA) untuk penyelamatan konservasi air. Meski demikian, konsep-konsep penanganannya harus jelas dan riil, kapan akan dilakukan,” tuturnya. Kejelasan Sampai saat ini, Ruhban menyatakan, dikarenakan adanya sedimentasi yang cukup tinggi di Danau Limboto, banyak lahan-lahan kering yang bermunculan di sekitar pinggiran danau tersebut. Lahan-lahan itu dijadikan lahan penduduk untuk menanam macam-macam pohon. Misalnya, sayurmayur, kacang-kacangan dan tanaman padi. Anehnya lagi, Ruhban melanjutkan, bahwa lahan itu ada sertifikatnya meskipun berada agak di tengah danau yang sudah mengalami pendangkalan. Namun setelah pihak BWS Sulawesi II melakukan klarifikasi kepada Gubernur Gorontalo, disampaikan bahwa jika memang akan dilakukan pembenahan terhadap Danau Limboto, masalah lahan bersertifikat bisa dibatalkan oleh pemerintah daerah. “Nah…hal itu disampaikan juga saat Dirjen SDA – Kementerian PU menghadiri Pengukuhan dan Pelantikan TKPSDA WS Paguyaman. Gubernur juga sangat mengeluhkan sekali bahwa puluhan study sudah ada, AMDAL sudah, kemudian ada Perda mengenai Sempadan Danau. Tetapi, kejelasan waktu penanganannya yang saat ini amat diharapkan oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo,” ujar Ruhban.
20
Oleh karenanya, untuk penanganan Danau Limboto tersebut pihak BWS Sulawesi II berencana akan melaksanakannya secara One Integrated Management. Sehingga mau tidak mau penanganan pengendalian banjir terkait juga dengan pemanfaatan air baku, dan seterusnya. “Kalau hal ini tidak ada perhatian dari Pemerintah Pusat berkaitan dengan penanganan secara terintegrasi, maka lama-lama fungsi dari berbagai infrastruktur yang ada dan sangat vital tersebut akan menjadi terganggu,” jelasnya. Terlebih lagi, pihak BWS Sulawesi II hingga saat ini belum mempunyai alatalat berat untuk penanganan sedimentasi yang terjadi di Danau Limboto, akibat mengalirnya tiga sungai yang bersedimentasi cukup berat, seperti
Rumah Kolaborasi Lebih lanjut Ruhban menyampaikan, bahwa dari tiga WS yang ada di Gorontalo, baru ada satu Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai (TKPSDA WS) yang telah dikukuhkan, yaitu TKPSDA WS Paguyaman. “Diharapkan dengan adanya TKPSDA WS Paguyaman yang mana ketuanya adalah Ketua Bappeda disepakti bahwa kita harus mengadakan akselerasi untuk pembahasan mengenai isu-isu yang berkembang di Provinsi Gorontalo, diantaranya masalah konservasi, pengendalian banjir dan ketahanan pangan,” katanya. Dengan anggotanya yang berjumlah 18 orang dimana sembilan anggota berasal dari pemerintah dan sembilan orang dari non pemerintah, maka di dalam TKPSDA WS Paguyaman ini diharapkan ada ide-ide yang baik untuk mencari solusi setiap permasalahan yang dibicarakan bersama dan secepatnya membuat rekomendasi
untuk tindak lanjut. “Danau Limboto sudah masuk dalam agenda pembahasan TKPSDA WS Paguyaman. Nantinya diharapkan secepatnya ada penanganan-penanganan Danau Limboto. Artinya, kita akan mengadakan sidang-sidang yang berkaitan dengan isu-isu yang sekarang sedang berkembang terkait Danau Limboto,” ucap Ruhban. Kepala BWS Sulawesi II melanjutkan, untuk penanganan Danau Limboto ini sebetulnya sudah ada study macammacam. Sedangkan untuk konservasi, nantinya akan dibahas pada tingkat TKPSDA. Nantinya diharapkan rekomendasi dari TKPSDA itu masing-masing akan dilaksanakan di instansi terkait. “Mengenai konservasi akan dilaksanakan melalui Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) dan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GNKPA) yang dimotori oleh beberapa Kementerian antara lain: Kehutanan, PU, dan Pertanian. Syukur dapat kompak, sehingga bersama-sama menanganinya. Ada istilah ‘Rumah Kolaborasi’ untuk TKPSDA dimana setiap permasalahan yang ada, akan dibahas bersama disini,” tutur Ruhban. Untuk mendukung tugas-tugas TKPSDA tersebut, menurut Ruhban, perlu dibentuk Sekretariat TKPSDA WS yang bersangkutan. Oleh karenanya, pihak BWS Sulawesi II telah menyiapkan personil dan ruangan untuk tempat kesekretariatan. “Sekretariat sudah siap dan SK-nya juga sudah ada bersama dengan pengu-
kuhan TKPSDA WS Paguyaman. Sekretariat inilah yang akan mempercepat proses rekomendasi melalui sidangsidang. Syukur kalau menghasilkan produk-produk yang lebih banyak lagi rekomendasinya dan akan lebih mendorong instansi terkait untuk menangani permasalahan-permasa-lahan yang ada di Provinsi Gorontalo,” harapnya. Sedangkan mengenai personil Sekretariat TKPSDA WS Paguyaman, menurut Ruhban, untuk sementara masih dirangkap Kepala Sub Bidang Operasi & Pemeliharaan (OP) dan staff nya. Selain itu usulan kegiatan ke depan setiap tahun terus dilaksanakan. “Sehingga personilnya akan disesuaikan dengan kebutuhan dan sampai seberapa jauh kita dapat member-dayakan Sekretariat itu. Diharapkan
nantinya tidak ada hambatan berkaitan dengan rencana tindak TKPSDA itu sendiri,” ucapnya. Dengan begitu, Kepala BWS Sulawesi II juga berharap, ada suatu kolaborasi antara pihaknya dan TKPSDA WS Paguyaman. Sehingga permasalahan-permasalahan yang sekiranya lintas instansi yang agak sulit ditangani oleh BWS Sulawesi II bisa dicarikan bantuan pemecahannya melalui TKPSDA. “Meskipun hanya berupa rekomendasi yang nantinya akan ditindak lanjuti untuk masing-masing instansi. Kami harapkan juga TKPSDA akan berjalan secara dinamis, bukan statis. Produknya akan kelihatan terus. Agenda-agendanya juga kelihatan, sehingga nantinya ke depan akselerasi penanganan permasalahan yang ada di Provinsi Gorontalo jelas akan kelihatan sekali,” katanya. Sementara untuk dua WS lainnya, yaitu WS Randangan dan WS LimbotoBone-Bolango, Ruhban menjelaskan, akan secepatnya membentuk TKPSDAnya. Artinya, sampai saat ini sudah diadakan sosialisasi untuk TKPSDA WS Limboto - Bone - Bolango. “Tinggal nanti dibentuk secepatnya. Karena pembahasan yang akan dilakukan TKPSDA diantaranya adalah mengenai pola pengelolaan SDA di WS yang bersangkutan. Dan hal ini menyangkut macam-macam, misalnya tata ruang nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Itu akan disinkronkan semua,” ungkap Ruhban. ad/edd
21
INSPIRASI
Koordinasi, Kunci Keterpaduan Pelaksanaan Pengelolaan SDA Kita tentunya sering mendengar apa itu koordinasi. Sering kita mengartikannya dengan melakukan sesuatu secara bersama sama, bekerja bersama, atau mengatur secara bersama. Apalah itu artinya mungkin saja semuanya dapat diterima. Namun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata koordinasi berarti, perihal mengatur suatu organisasi atau kegiatan sehingga peraturan dan tindakan yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan atau simpang siur. Hal tersebutlah yang menarik perhatian dan sisi pandang berbeda dari staf Sekretariat Dewan Sumber Daya Air Nasional (Dewan SDA Nasional), Harry Kamajaya, SH. Dirinya mencoba menuangkannya ke dalam tulisan berikut ini.
K
oordinasi menjadi topik penting, karena perannya yang amat strategis dalam hal pelaksanaan IWRM (Integrated Water Resources Management) atau Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (PSDAT). Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) tidak dapat dipisahkan dengan komunitas seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan SDA, baik dari sisi konservasi SDA, pendayagunaan SDA maupun pengendalian daya rusak air. Oleh karena itu peranannya sangat diperlukan untuk mengharmonisasikan suatu kegiatan/peraturan/tindakan yang dilaksanakan oleh berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dalam hal ini khususnya mengenai pengelolaan SDA agar tidak saling bertentangan dan simpang siur. Dalam perjalanannya, untuk menjaga dan memelihara sarana dan prasa-
22
rana SDA, seringkali belum melibatkan stakeholders terkait lainnya, baik instansi maupun masyarakat. Karenanya, seringkali mereka kurang merasa ikut memiliki. Mereka cenderung memprioritaskan sektor dan kepentingannya masing-masing, sehingga kadangkala berakibat pada umur sarana dan prasarana SDA yang ada, tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sebut saja, kondisi hutan di bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) seringkali tidak dapat terjaga dengan baik. Pembalakan hutan liar yang acapkali melaksanakan penebangan hutan sewenang-wenang, tidak memperhatikan kaidah konservasi yang ada. Sebagai akibatnya, seringkali terjadi banjir dan tanah longsor yang menyebabkan sarana dan prasarana SDA yang ada di bagian hilirnya dapat mengalami kerusakan, kalaupun tidak mengalami kehancuran bangunannya.
Begitu juga contoh lainnya, bila suatu sarana SDA dibangun, misalnya saja bendung irigasi, kadangkala pemanfaatannya kurang optimal dikarenakan luas lahan sawah yang ada belum sesuai dengan kapasitas layanannya alias pencetakan sawah baru masih belum dilakukan oleh instansi terkait lainnya, seperti dari pertanian. Lalu bagaimana cara untuk membuat pengelolaan SDA menjadi lebih baik? Dengan mengusung IWRM dalam sistem pengelolaan SDA saat ini, maka jelas dibutuhkan upaya koordinasi yang menjadi kunci keterpaduan dalam hubungannya dengan pihak stakeholders. Upaya koordinasi merupakan hal yang sangat penting. Lebih-lebih hal tersebut dapat memberikan andil besar bagi keberhasilan dalam harmonisasi pengelolaan SDA yang berkelanjutan. Mengapa seperti itu? Koordinasi menciptakan suatu kesepahaman bersama yang nantinya dapat diterima oleh banyak pihak, termasuk regulator, operator, developer maupun masyarakat sekitar dalam kaitannya dengan upaya pengelolaan SDA. Dengan adanya kesepahaman dan harmonisasi dalam pengelolaan SDA, diharapkan masing-masing pemangku kepentingan dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya masing-masing dengan baik guna tercapai keberlangsungan pengelolaan SDA.
Turun Kinerja Dapat dibayangkan jika koordinasi tidak tercapai antar stakeholders (termasuk operator, developer, regulator, dan masyarakat) hal itu akan menurunkan kinerja dari pengelolaan SDA itu sendiri. Mengapa demikian? Sebab dapat dipastikan bahwa secanggih-canggihnya pemeliharaan dan pelaksanaan pengelolaan SDA, jika tidak dibarengi dengan koordinasi oleh pihak terkait, maka dapat saja terjadi kerancuan dalam pengelolaan SDA yang dapat berdampak terjadinya kekacauan sosial. Contoh kerancuan dalam pengelolaan SDA dapat saja terjadi karena faktor human error, yang dapat mengakibatkan kesalahan dalam pengelolaan SDA karena tidak adanya koordinasi dengan instansi lain yang tupoksinya berhubungan dengan pengelolaan SDA terkait, sehingga hasil yang diinginkan tidak tercapai secara optimal. Contoh lain adalah tidak terkoordinasinya antara prioritas kebutuhan masyarakat dengan data jumlah air yang tersedia. Kemudian tidak terkoordinasinya antara data pemetaan daerah rawan bencana dengan peruntukan daerah untuk hunian masyarakat. Hal-hal tersebut dapat mengakibatkan kerancuan dalam pengoperasiannya sehingga berdampak terjadinya kekacauan sosial yang bersumber dari konflik horisontal yang bisa terjadi diantara sesama anggota masyarakat pengguna air. Namun demikian, pelaksanaan koordinasi tidak semudah apa yang pernah dibayangkan. Diantaranya terdapat beberapa tantangan yang dihadapi, seperti masih kuatnya ego sektoral antara para pihak yang dalam hal ini adalah instansi-instansi yang cukup memegang peranan penting
terkait pengelolan SDA. Pasalnya, setiap sektor tentunya akan memperjuangkan kepentingannya masing-masing sehingga kerjasama antarsektor hanya dapat dijalin jika terdapat garansi bahwa kepentingannya juga turut diperhatikan. Bila ternyata tidak terjadi hal seperti itu, maka pelaksanan upaya koordinasi akan sia-sia dan dapat mengganggu pengelolaan SDA yang berkelanjutan. Terselenggaranya upaya koordinasi pengelolaan SDA, harus dipandang sebagai “kegiatan bersama” para pihak-pihak terkait dan bukan ajang untuk adu kekuasaan dan perebutan kewenangan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah kondisikondisi tersebut adalah dengan membentuk suatu komunitas bersama, dimana semua pemangku kepentingan dapat berdialog, bertukar informasi dan pengetahuan, serta saling memahami tupoksi masing-masing. Komunitas inilah yang disebut dengan wadah koordinasi yang dapat melaksanakan fungsi koordinasi dalam rangka
meyelaraskan pelaksanaan pengelolaan SDA. Oleh karena itu, koordinasi pengelolaan SDA baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota maupun tingkat Wilayah Sungai (WS), dapat menjadi kunci keterpaduan pengelolaan SDA dalam ranah kebijakan maupun implementasi di lapangan serta memberikan kontribusi positif dalam keberhasilan pengelolaan SDA yang berkelanjutan. Wadah koordinasi perannya cukup signifikan dalam mengakomodir, menjembatani, dan menganalisa kemampuan untuk mengelola SDA yang dimiliki masing masing instansi atau asosiasi/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan kebutuhan sosial di lapangan yang di perlukan. Singkatnya koordinasi yang baik oleh para pemangku kepentingan, akan menghasilkan harmonisasi dan kesepakatan dalam pelaksanaan pengelolaan SDA yang kemudian menciptakan suatu sistem Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (PSDAT) yang berkelanjutan.
TIPS SEHAT
Semangat Kerja Tanpa Stress Bila anda tidak mencintai pekerjaan anda, maka cintailah orang-orang yang bekerja di sana. Rasakan kegembiraan dari pertemanan itu. Dan, pekerjaan anda pun jadi menggembirakan. Bila anda tidak mencintai teman kantor anda, maka cintailah gedung dan suasana kantor. Ini akan memotivasi anda berangkat kerja dan melakukan pekerjaan kantor dengan lebih bersemangat. Bila ternyata anda tidak bisa melakukannya, cintai perjalanan pulang pergi dari dan ke tempat kerja anda. Perjalanan yang menyenangkan akan menjadikan tujuan perjalanan atau kantor tampak menyenangkan. Tapi jika anda pun tak menemukan kesenangan di perjalanan, cintai apapun yang bisa anda cintai dari tempat kerja anda. Bisa tanaman hias di meja kerja, barisan semut di dinding, atau burung-burung yang beterbangan di luar sana. Apa saja ! Jika tidak juga menemukan sesuatu yang bisa anda cintai dari kerja anda, kenapa anda masih di situ??? Cepat pergi dan carilah apa yang anda cintai, lalu bekerjalah di sana. Hidup cuma sekali. Tak ada yang lebih indah selain melakukan sesuatu dengan cinta yang tulus.
23
Kerusakan lingkungan hidup akibat lahar dingin Gunung Merapi di Kali Putih, DI. Yogyakarta.
24