Daftar Isi Interfaith Dialogue dalam Mengembangkan Kehidupan Beragama yang Harmoni dan Damai Interfaith Dialogue in Developing Inter-Religious Life of Peace and Harmony— 625 Nasaruddin Umar
Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi Multikultural Harmony of Islam and the West in the Frame of Multicultural Communication — 645 Abd. Muid N.
Islam dan Dialog Antar Agama di Indonesia Dari Dialog Teologis Menuju Dialog Antropologis Islam and Interfaith Dialogue in Indonesia From Teological Dialogue to Antropological Dialogue — 671 Aan Rukmana
Rumusan Politik Islam Upaya Membangun Masyarakat Madan Formulation of Political Islam: a Civil Society Building Effort — 692 Adlan Nawawi
ISLAM di SICILIA; Sampel Toleransi Dua Peradaban ISLAM in SICILIA; Tolerance Samples in Two Civilizations — 715 Faried F. Saenong
Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Reformulasi Dakwah Melalui Metode Problem Best Learning dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Dakwah di Era Kontemporer Dakwah Reformulation Through Problem Best Learning Method and The Implication Toeard The Development of Dakwah in This Contemporary Era — 729 Nella Lucky
Tren Modern dalam Islam (di) Turki; Telaah Penafsiran Bediuzzaman Said Nursi. Modern Trend in Turkish Islam A Closer Look at the Qur’anic Exegesis of Bediuzzaman Said Nursi — 758 Labib Syauqi
Interfaith Dialogue in Developing Inter-Religious Life of Peace and Harmony
Interfaith Dialog Dalam Mengembangkan Kehidupan Beragama yang Harmoni dan Damai
Nasaruddin Umar Institut PTIQ Jakarta email:
[email protected]
Abstract : Indonesian Muslims have a double duty, such as strengthening brotherhood as fellow of the same religion (ukhuwah Islamiyah), as well as Indonesian develop fraternity (ukhuwah wathaniyah), and finally also create and practice brotherhood among mankind (ukhuwah basyariyah). In fact we have determined to make Indonesia as a model of tolerance in the world. In addition, a number of facts about Muslims in Indonesia will be very supportive of our efforts to make Indonesia as a model of tolerance for the other world. Although there are several events and violence in the name of religion, many world leaders who recognize the greatness of tolerance in Indonesia.
Abstraksi : Umat Islam Indonesia memiliki tugas ganda, yaitu merekatkan persaudaraan sebagai sesama umat seagama (ukhuwah Islamiyah), sekaligus juga mengembangkan persaudaraan sebagai bangsa Indonesia (ukhuwah wathaniyah), dan akhirnya juga menciptakan dan mengamalkan persaudaraan sesama umat manusia (ukhuwah basyariyah). Bahkan kita harus bertekad menjadikan Indonesia sebagai model toleransi
626_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013 dunia. Selain itu, sejumlah fakta tentang umat Islam di Indonesia akan sangat mendukung upaya kita menjadikan Indonesia sebagai model toleransi bagi masyarakat dunia lainnya. Meski terdapat beberapa kejadian dan peristiwa kekerasan berbasis agama, sudah banyak tokoh dunia yang mengakui kehebatan toleransi di Indonesia. Keywords: Interfaith, Religion, Muslim Indonesia
A. Pendahuluan Tanggal 15 April 2013, dunia kembali dikejutkan dengan dua bom yang meledak di tengah-tengah keramaian lari Marathon di kota Boston, Amerika. Dari pantauan beberapa CCTV, otoritas-otoritas Amerika telah menyebut dua bersaudara Tamerlan Tsarnaev dan Dzhokar Tsarnaev, dua anak muda Amerika asal Rusia/Chechnya sebagai terduga kuat pelaku peledakan bom Boston. Polisi berhasil menembak mati Tamerlan dan menangkap hidup-hidup Dzhohar yang bersembunyi di dalam sebuah perahu. Penduduk kota Boston khususnya, dan masyarakat dunia kembali berbahagia dan bersuka cita ketika mendengar terduga pelaku ini ditembak dan ditangkap. “CAPTURED!!! The hunt is over. The search is done. The terror is over. And justice has won. Suspect in custody,” demikian tweet Polisi Boston saat mengumumkan bahwa Dzhohar tertangkap. Yang lebih menyedihkan buat kita, adalah, sebagaimana yang ramai diwacanakan di media-media elektronik dan sosial, kedua terduga dibesarkan sebagai Muslim. Sebuah laporan bahkan menunjukkan bahwa mereka terindikasi menjadi pengikut dua ulama yang dicap radikal, yaitu Abdel al-Hamid al-Juhani, ideolog al Qaeda di Chechnya dan Kaukasus, dan Feiz Mohammed, tokoh Muslim berdarah Lebanon kelahiran Sydney-Australia. Tamerlan Tsarnaev telah memposting khutbah dan ceramah bernuansa keras dari kedua tokoh Muslim itu
Interfaith Dialogue dalam Mengembangkan Kehidupan Beragama _627
di laman YouTube-nya. Penulis tidak bermaksud kedua anak muda ini bersalah. Keluarga terduga juga menuntut pembuktian atas tuduhan itu, karena mereka tidak melihat ciri-ciri teroris pada anak mereka. Betapapun, pemberitaan seputar bom Boston ini telah membuat Islam kembali tersudut. Penulis pribadi meyakini, sebagaimana keyakinan kita semua, Islam tidak mengajak kita berbuat kekerasan. Islam mengecam semua upaya yang ingin merampas hak hidup manusia. Islam menolak fanatisme, radikalisme dan terorisme. Hal yang paling mudah kita katakan adalah bahwa ketika seseorang berbuat dosa besar, maka sebenarnya keimanan sedang meninggalkan dirinya. Paper ini mengajak kita merenung kembali tentang berbagai kekerasan dan konflik atas nama agama, untuk mencari solusinya yang tepat. Paper ini juga ingin menjelaskan argument teologis Islam seputar kerukunan beragama. Selain itu, paper ini juga akan menawarkan bentuk-bentuk interfaith dialogue yang efektif bagi masyarakat beragama di Indonesia khususnya, dan masyarakat internasional umumnya. Dalam aktivitas kita sehari-hari, kita sering mlihat dengan mata telanjang, jarak yang menganga antara ajaran agama dan realitas sosial, sehingga tidak jarang kita temukan orang mengalami kepribadian ganda dalam kehidupan beragama. Ada suasana hipokrit dan antagonistik yang dialami banyak orang dewasa ini. Dari satu sisi ia harus berpegang teguh terhadap ajaran agamanya tetapi pada sisi lain, realitas sosial kehidupannya begitu banyak berubah dengan cepat, sehingga sedang terjadi jarak yang semakin melebar antara agama dan para pemeluknya. Sebagai seorang yang beragama, ia mengesankan agama itu terlalu normatif, lebih bersifat doktrinal, membatasi, lebih berorientasi masa lampau, terkesan konservatif, statis, terlalu tekstual, emosional, lebih bersifat kualitatif dan pendekatannya lebih bersifat deduktif. Sementara dalam kehidupan real masyarakat sedemikian rasionalnya, bahkan cenderung liberal, membebaskan, lebih berorientasi masa depan,
628_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
lebih dinamis dan mobile, sophisticated, lebih bersifat kuantitatif dan pendekatannya lebih bersifat induktif. Tentu saja memecahkan persoalan ini tidak mudah karena dimensinya sangat kompleks. Yang pasti umat beragama dituntut untuk sesegera mungkin melakukan penyerasian antara tuntunan agama dan tuntutan kehidupan real di dalam masyarakat. Laju perkembangan globalisasi yang dipicu oleh perkembangan sains dan teknologi serta media informasi, telekomunikasi, dan transportasi yang begitu canggih. Perkembangan yang sedemikian cepat ini seolah melahirkan multiple shock dalam masyarakat kita. Ini semua mencakup theological shock, cultural shock, political shock, economical shock, science & technological shock.
B. Kekerasan atas Nama Agama Kekerasan atas nama agama telah berlangsung sejak agama dilahirkan. Adanya konflik bernuansa agama di suatu wilayah dikarenakan adanya keragaman agama yang belum terkelola dengan baik, sekaligus struktur sosial yang belum tertata. Pemilahan sosial secara terkonsolidasi dalam keragaman agama ini pada tingkat per mu kaan seringkali dianggap sebagai penyebab konflik kekerasan (violent conflict) yang sebenarnya lebih banyak bersumber dari penyakit struktural seperti ketimpangan sosial, ketidakadilan, eksploitasi, marginalisasi, kemiskinan, dan lainlain. Kelompok-kelompok dalam masyarakat suatu bangsa atau nega ra yang mengalami pemilihan sosial secara terkonsolidasi, termasuk Indonesia tentunya, cenderung mengembangkan identitas kelom pok yang kuat dan lebih mudah menciptakan kohesi kelompok yang kokoh. Dalam kelompok-kelompok yang semacam inilah kesadaran konflik cen derung tinggi. Sebagai akibatnya, ketika sebuah kelompok terlibat konflik dengan kelompok yang lain maka intensitas konflik tersebut cenderung tinggi. Individu-individu dalam masyarakat dengan konfigurasi pemilahan sosial yang terkonsolidasi cenderung lebih mudah melakukan
Interfaith Dialogue dalam Mengembangkan Kehidupan Beragama _629
subyektivitas konflik. Mereka juga lebih mudah untuk menerjemahkan konflik yang menyangkut kondisi obyektif (objective conflict) menjadi konflik yang menyangkut pribadi (subjective conflict), misalnya konflik mengenai persoalan ekonomi atau kriminal biasa berkembang menjadi konflik etnik atau konflik agama, baik konflik antaragama yang berbe da (inter-religious conflict) maupun konflik antarumat satu agama (intrareligious conflict). Dalam konteks ini dapat dipahami mengapa di Indonesia persoal an yang sebenarnya sepele dapat dengan mudah menjadi konflik yang meluas dan berubah menjadi konflik agama, seperti yang terjadi pada peristiwa Situbondo (10 Oktober 1996), Tasikmalaya (26 Desember 1996), Ambon (1999), Pekalongan (24-26 Maret 1997), Temanggung (6 April 1997), Banjarnegara (9 April 1997), dan lain-lain. Konflik agama tidak hanya menimbulkan korban harta benda dan jiwa, yang tak kalah pentingnya adalah merusak harmoni kehidupan masyarakat yang telah terbentuk sekian lama. Referensi masyarakat heterogen dalam wawasan kebang saan tidak hanya menghadapi tantangan serius pada tataran realitas, tetapi juga pada tataran konsep. Ide separatisme kembali menguat seja lan dengan semakin lemahnya Negara berhadapan dengan masyarakat. Di samping itu, kerukunan hidup antarumat beragama di negeri ini yang di masa lalu sering dibanggakan juga menghadapi tantangan se rius karena setiap kerusuhan sosial yang terjadi selalu menyeret aspek agama.1 Sayangnya, penyelesaian konflik sosial yang terjadi di Indonesia seringkali dilakukan dengan ti dak terlebih dahulu memahami akar persoalan yang menjadi penyebab meledaknya konflik tetapi lebih ba nyak dilakukan dengan menggunakan tindakan represif. Penggunaan tindakan-tindakan represif dalam penyelesaian konflik sosial tersebut bukan saja tidak menyelesaikan konflik yang terjadi, melainkan juga mengakibatkan meluasnya konflik yang pada gilirannya berubah men jadi gerakan revolusioner yang keras.
630_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Dalam upaya mencegah berulangnya konflik sosial yang terjadi, penyelesaian konflik atau resolusi harus dilakukan dengan mengguna kan berbagai pendekatan secara komprehensif-holistik. Cara tersebut adalah dengan memelihara perdamaian (peace keeping), mendorong transisi dan transformasi konflik dengan upaya membentuk perdamaian (peace making), serta mendorong rekonsiliasi dengan mem ba ngun perdamaian (peace building). Resolusi konflik mestinya juga dilakukan dengan merujuk pada penyelesaian nyata dengan melakukan perubahan sikap, pandangan, tingkah laku dan juga tujuan akhir pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Penggunaan pendekatan komprehensif-holistik dalam resolusi konflik tersebut dimaksudkan untuk memberikan penyelesaian yang dapat menerima semua pihak yang terlibat tersebut. Hal ini akan membuat semua pihak yang terlibat dalam konflik tersebut merasa berkepentingan untuk penyelesaian yang dapat diterima semua pihak. Di sinilah dapat dipa hami mengapa pema haman mengenai 2 resolusi konflik menjadi begitu penting.
C. Argumen Teologis Kerukunan Beragama Untuk lebih memahami nilai-nilai luhur agama, pada kesempatan ini, penulis ingin mengangkat beberapa peristiwa historis yang menjadi amalan kehidupan Nabi Muhammad saw., beserta nilai-nilai toleransi yang terkandung di dalamnya: 1. Suatu ketika di suatu perang, seorang Sahabat Nabi telah mengurung rapat seorang kafir. Karena telah tersudut dan tidak ada jalan keluar sekecil apapun, musuh kafir ini bersyahadat agar terhindar dari pembunuhan. Sang Sahabat tidak bergeming sedikitpun. Ia menghunus pedang dan membunuhnya. Singkat cerita, berita tentang peristiwa ini sampai kepada Nabi. Nabi kemudian mempersalahkan sang Sahabat. Peristiwa inilah yang kemudian menjadi asbab alwurud atau sebab-sebab historis yang membuat Nabi mengatakan suatu perintah (Hadis), yaitu Hadis: nahnu nahkumu biz-zawahir wa
Interfaith Dialogue dalam Mengembangkan Kehidupan Beragama _631
Allah yatawalla al-sara’ir; bahwa kita manusia menetapkan hukum berdasarkan bukti-bukti faktual, sedangkan apapun yang berada dalam hati dan benak manusia menjadi wilayah hukum Allah SWT. Pesan dari peristiwa ini adalah bahwa seorang Muslim tetap Muslim dan mesti dianggap Muslim selama ia bersyahadat, terlepas dari model dan orientasi ke-Islam-annya. Seorang Muslim tidak boleh menuduh Muslim lainnya sebagai orang kafir, meski mereka berbeda keyakinan dan kelompok. Ini merupakan nilai-nilai penting bertoleransi sesama umat seagama. 2. Kita juga bisa belajar dari peristiwa penulisan teks perjanjian Hudaybiyah. Para Sahabat Nabi memaksakan penulisan basmalah pada awal teks dan nama Nabi Muhammad Rasulullah (Muhammad utusan Allah) di akhir teks. Hal ini di-veto oleh musuh dari kalangan orang-orang Mekah. Nabi tampil dengan tegas menghapus kalimat basmalah dan mengganti Muhammad Rasulullah (Muhammad utusan Allah) menjadi Muhammad bin Abdullah (Muhammad putra Abdullah). Ini memberi pesan bahwa teks atau bahasa hanyalah medium (pengantar), sementara terdapat substansi yang lebih penting mesti tetap dan harus diperjuangkan, sebagaimana yang tertulis dalam isi perjanjian Hudaybiyah yang menguntungkan umat Islam. 3. Suatu waktu, Nabi menerima kedatangan rombongan pemimpin agama Nasrani di Mesjid Nabi di Madinah. Atas permintaan mereka, Nabi mempersilahkan pemimpin-pemimpin Nasrani itu melakukan kebaktian di kompleks Mesjid Nabi. Pembolehan kebaktian di kompleks masjid adalah hal yang sangat langka. Di masa sekarang ini, jangankan membolehkan penganut agama lain beribadah di sekitar atau kompleks masjid, mendirikan rumah ibadah sekalipun sudah menjadi persoalan rumit di masyarakat kita. Kita mesti ingat kembali salah satu perintah Allah dalam al-Qur’an untuk menghormati dan melindungi tempat-tempat ibadah agama apapun, bukan malah menyegel atau menghancurkan tempat-tempat ibadah:
632_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
“(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di banyak disebut Allah. Sesungguhnya Allah menolong dalamnya nama pasti orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa,” (QS. al-Hajj/22: 40)
Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa Allah tidak setuju dengan bentuk-bentuk kekerasan dan keganasan. Allah bahkan melindungi rumah-rumah ibadah dari kehancuran dengan cara mencegah manusiamanusia yang tidak memahami agamanya secara utuh.
banyak di antara umat Islam yang memukul rata bahwa semua Masih
non-Muslim pasti membenci dan selalu mau menghancurkan Islam. Padahal Al-Qur’ân bahwa tidak semua non-Muslim sendiri menunjukkan demikian. Namun al-Qur’ân tidak mengingkari ada non-Muslim yang selalu memusuhi Islam. Karenanya al-Qur’ân menggunakan kriteria-kriteria dan terma-terma tertentu dalam menyebut atau menamai golongan-golongan non-Muslim. QS. al-Baqarah/2: 120, misalnya, membuat perbedaan kebencian yang dimiliki umat Yahudi dan Nasrani atas umat Islam.
Interfaith Dialogue dalam Mengembangkan Kehidupan Beragama _633
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Allah tidak lagi kemauan maka pelindung dan penolong (QS. al-Baqarah/2: 120) menjadi bagimu.”
Dalam ayat Allah menggunakan negasi “lan” (tidak akan) ini, bagi Yahudi dan negasi “la” (tidak) bagi Nasrani. Jadi kebencian beberapa golongan Yahudi atas Islam melebihi kebencian beberapa golongan Nasrani atas umat Islam.
Di tempat lain, Allah menegaskan bahwa Yahudi selalu berada di posisi yang paling keras kepada Islam. Sementara itu, beberapa golongan Nasârâ (Nasrani) selalu baik kepada umat Islam.
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang
634_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
kamu dapati yang paling musyrik. Dan sesungguhnya dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya orang Nasrani”. demikian ini Yang itu disebabkan karena kami di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahibrahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (QS. Al-Mâidah:82) Ini tidak berarti bahwa Islam juga selalu membenci Yahudi. Di tempat lain Allah menegaskan:
“Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak ayat-ayat Allah dengan yang sedikit.Mereka memperoleh menukarkan harga pahala di sisi Tuhannya.Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Al Imrân/3: 199)
Ayat ini menunjukkan ada golongan non-Muslim (termasuk Yahudi) yang memang menjalankan ajaran agamanya dengan benar dan konsekuen. Karenanya, untuk menyebut golongan Yahudi yang menjalankan agamanya dengan baik dan benar, Allah tidak menggunakan istilah al-Yahûd (Yahudi), tetapi Allah memakai istilah al-ladzîna hâdû (orang-orang yang memeluk agama Yahudi). Karenanya, tidak semua sikap Ahlul Kitab (non-Muslim) kepada Islam/Muslim sama:
Interfaith Dialogue dalam Mengembangkan Kehidupan Beragama _635
Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).» (QS. Al Imrân/3: 113) A. Mengapa Perlu Interfaith Dialogue Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik bernuansa agama adalah dengan melakukan dialog antariman. Secara teoritik, ada dua nilai positif dengan adanya dialog, yaitu: 1) saling memahami, yang disusul dengan saling menghargai; dan 2) melihat kemungkinan untuk bekerja sama.3 Lalu, bagaimana dialog antariman itu mesti dijalankan, bagaimana bentuk dan batas pelaksanaan keterlibatan umat beragama. “Bentuk” dialog ialah cara pengungkapan dialog. Istilah cara di sini tidak hanya menunjuk pada arti metode atau aturan prinsip-prinsip di jalankannya dialog, melainkan juga mencakup arti obyek atau tema yang didialogkan. Dan karena dalam kenyataan, obyek atau tema yang didialogkan beraneka ragam bobotnya, maka subyek yang melibatkan diri dalam dialog itu juga perlu pembedaan-pembedaan. Mengutip Armada Riyanto,4 bentuk dialog antariman yang dapat dilakukan berupa: 1. Dialog kehidupan. Dialog kehidupan diperuntukkan bagi semua orang dan sekaligus merupakan level dialog yang paling mendasar. Sebab, ciri kehidupan bersama sehari-hari dalam masyarakat majemuk yang paling wajar dan mendasar ialah ciri dialog.
636_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
2. Dialog karya. Dialog karya memaksudkan kerja sama yang lebih intens dan mendalam dengan para pengikut agama-agama lain. Dialog karya dapat dikatakan sebagai dialog yang memiliki bobot sedikit di atas dialog kehidupan. Sasaran yang hendak diraih jelas dan tegas, yakni pembangunan manusia dan peningkatan martabat manusia. 3. Dialog pandangan teologis. Sebenarnya dialog teologis tidak hanya dikhususkan untuk para ahli melainkan juga siapa saja yang memiliki kemampuan untuk itu. Tetapi karena menyangkut soalsoal teologis yang tidak jarang rumit, dialog semacam itu lebih tepat untuk para ahli. Dalam dialog teologis, orang diajak untuk menggumuli, memperdalam, dan memperkaya warisan-warisan keagamaan masing-masing sekaligus untuk mengetrapkan pandangan-pandangan teologis dalam menyikapi persoalanpersoalan yang dihadapi umat manusia pada umumnya. 4. Dialog pengalaman keagamaan. Dialog pengalaman keagamaan atau lebih baik disebut pengalaman iman, merupakan dialog tingkat tinggi. Dialog pengalaman iman dimaksudkan untuk saling memperkaya dan memajukan penghayatan nilai-nilai tertinggi dan cita-cita rohani masing-masing pribadi. Dalam dialog ini, pribadi-pribadi yang berakar dalam tradisi keagamaan masing-masing berbagi pengalaman doa, kontemplasi, meditasi, bahkan pengalaman iman dalam arti yang lebih mendalam (pengalaman mistik, misalnya).5
Namun demikian, dialog antariman dengan bentuk-bentuk seperti di atas perlu disadari tidak mudah pula dilakukan pada tataran praktis. Dialog antariman mesti dilakukan dengan persiapan pembekalanpembekalan pandangan yang seimbang, seperti: a) Dialog meminta keseimbangan sikap. Dialog menuntut sikap
Interfaith Dialogue dalam Mengembangkan Kehidupan Beragama _637
yang seimbang dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Mereka tidak boleh (dan jangan sampai) bersikap tidak jujur. Juga hendaknya dihindarkan kecenderungan yang mengeritik, biarpun untuk itu didukung dengan kutipan-kutipan dari Kitab Sucinya dan berdasar wahyu tertulis sekalipun. Sikap-sikap terbuka, mau mendengarkan, tidak egois, tidak berprasangka perihal perbedaan-perbedaan yang muncul haruslah dipupuk dan diusahakan dalam persahabatan yang mantap. b) Dialog meminta kemantapan dan menolak indiferentisme. Dialog antariman tidak mungkin dijalankan dalam kerapuhan dan keragu-raguan mengenai imannya. Ia menuntut kemantapan seraya tetap harus mengusahakan pandangan yang terbuka dan positif terhadap agama-agama lain. c) Dialog tidak menghendaki teologi universal. Perlu dicatat bahwa dialog antariman tidak (atau kurang) menghendaki usahausaha menguniversalkan teologi dari agama-agama yang terlibat dalam dialog. Dialog justru mengandaikan bahwa keunikkan teologi masing-masing agama yang terlibat dalam dialog (dialog teologis), bila dipertahankan dan diperkembangkan, malah sangat mengkayakan satu sama lain. Dialog tidak menghendaki teologi universal tentang agama-agama, sebab dapat membawa kecenderungan-kecenderungan sikap indiferent.
B. Interfaith Dialogue di Indonesia Pemerintah melalui Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) menginisiasi dialog antarumat beragama lewat gagasan trilogi kerukunan (zaman Alamsyah Prawiranegara), Lembaga Pengkajian untuk Kerukunan Umat Beragama (LPKUB, 1993), dan Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB, 2001). Sedangkan Departemen Luar Negeri menjalankan Diplomasi Total sebagai cara untuk memandang isu secara
638_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
komprehensif dengan memaksimalkan komunikasi antar komponen bangsa, salah satunya lewat program Foreign Policiy Breakfast. Di luar pemerintah, beberapa ormas (MUI, PGI, KWI) dan LSM (LkiS, Percik, Wahid Institute, Dian Interfidei, Fahmina Institute, PSAP, Kapal Perempuan dan beberapa lainnya) konsisten menyuarakan pentingnya dialog antar umat beragama sebagai perspektif maupun tindakan. Di ranah kampus, gagasan dialog antarumat beragama diterjemahkan dalam konteks pengajaran mata kuliah maupun pembentukan pusat studi yang berkonsentrasi pada dialog antar agama. Pada titik ini, beberapa UINIAIN, UKDW Jogja dan UKSW Salatiga merupakan sedikit kampus yang menerapkan mata kuliah intefaith religion sebagai perspektif pengajaran. Di Jogjakarta, konsorsium tiga universitas (UGM, UIN Sunan Kalijaga dan UKDW) menyelenggarakan kuliah doktoral dalam sebuah lembaga bernama ICRS (International Concosium for Religious Studies). C. Interfaith Dialogue Indonesia dengan Dunia Sebuah pengalaman menarik baru saja dijalani oleh kelompok interfaith di Indonesia, yaitu melakukan perjalanan bersama tokoh lintas agama Indonesia dan Amerika Serikat. Interfaith journey ini tergolong unik, bahkan mungkin belum pernah terjadi sebelumnya. Sekelompok aktifis Abrahamic Religion melakukan perjalanan bersama di tiga negara, yaitu Indonesia, Yordania, Palestina, dan AS. Rombongan dari Indonesia terdiri atas tokoh-tokoh agama dari Islam, Protestan, dan Katolik. Sedangkan rombongan AS terdiri atas tokoh-tokoh agama Islam, Katolik, Protestan, dan Yahudi. Mereka menghabiskan watu selama 11 hari di perjalanan yang diawali rombongan AS mengunjungi Indonesia kemudian bergabung rombongan dari Indonesia. Selama di Indonesia mereka melakukan serangkaian diskusi dan kunjungan ke beberapa tempat seperti mengunjungi Pondok Pesantren, rumah-rumah ibadah, dan berdiskusi dengan aktifis LSM yang concern terhadap masalah-masalah keagamaan.Yang paling terperangah
Interfaith Dialogue dalam Mengembangkan Kehidupan Beragama _639
di antara kelompok tersebut ialah tokoh-tokoh agama Yahudi. Mereka sebelumnya berasumsi bahwa masyarakat Islam di seluruh negeri sama saja, yaitu mereka menaruh rasa curiga dan rasa benci terhadap dunia Barat, terutama orang-orang yahudi. Namun kenyataan yang di alami di Indonesia samasekali berbeda dengan apa yang diduga sebelumnya. Ketika mengunjungi Pondok Pesantren Darun Najah Kebayoran Lama Jakarta Selatan, mereka sempat dijemput dengan para santri dengan ramah. Para santri menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Arab dan bahasa Inggris dengan fasih. Mereka bercanda dengan para tamu yang mengunjungi pondok mereka. Tidak sedikit pun yang menggambarkan adanya rasa antipati terhadap mereka. Bahkan mereka mengamalkan ajaran hadis Nabi: “Muliakanlah tamu kalian walaupun ia kafir”. Di tempat yang lain, para tamu interterfaith dari AS juga sangat tertarik menyaksikan pemandangan di Mesjid Istiqlal. Para jamaah di mesjid Istiqlal menyambut mereka dengan ramah. Mereka bercanda dan berdiskusi satu sama lain tentang perkembangan Islam di AS. Para tamu juga mengaku baru menjumpai sebuah mesjid di mana kaum perempuan berada di samping laki-laki. Biasanya di mesjid di Timur-Tengah atau di tempat lain, kaum perempuan ditempatkan di bagian belakang. Keramahan masyarakat Indonesia di pusat-pusat perbelanjaan dan di tempat-tempat rekreasi sangat mengesankan. Sungguhpun di antara mereka menggunakan topi khas Yahudi (Kappa), namun tak seorang pun yang mencemohnya seperti pengalaman mereka di negara-negara lain. Selama berada di Indonesia tidak pernah melepas topi dan tak seorang pun yang menyarankan untuk membuka topi tersebut. Berbeda di ketika rombongan transit di Dubai, petugas Air Port menyarankan mereka agar membuka topi Yahudi mereka atau menggunakan topi bagian luar untuk menutupi topi Kappa mereka. Hal yang sama juga disarankan ketika rombongan berada di Yordania. Indonesia betul-betul menakjubkan bagi mereka. Mereka memberikan pernyataan pers di beberapa tempat yang intinya sangat mengesankan
640_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
ketika berada di Indonesia. Mereka mengucapkan selamat dan terima kasih kepada masyarakat Indonesia yang sangat ramah. D. Argumen Teologis Interfaith Dialogue Dalam semua agama, iman yang sempurna adalah iman yang dipersembahkan secara total kepada Sang Maha Kuasa, yang kemudian terejawantah dalam penghormatan atas kemuliaan umat manusia. Akhlak sosial yang adil bijaksana terhadap sesama manusia, merupakan buah dan konsekuensi logis atas keimanan yang kuat atas Tuhan. Karenanya, kita perlu memahami bahwa kesalehan vertikal kita sebagai umat beragama mesti dibarengi dengan kesalehan horizontal dan akhlak sosial. Mengaku beriman kepada Tuhan, tetapi pada saat yang sama menyakiti umat manusia, merupakan pengakuan palsu. Dalam Islam misalnya, Nabi Muhammad saw selalu menegaskan bahwa orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, pasti dan otomatis selalu menyambung silaturrahmi, memperkuat persaudaraan umat manusia, dan memuliakan tetangga. Dalam Hadis yang lain, Nabi memperingatkan bahwa seseorang, jika ia beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, maka ia pasti selalu dan senantiasa berkata benar (khayran). Jika ia tidak mampu berkata benar, maka hendaklah ia diam. Sejatinya, jika umat beragama memahami dengan baik konsep dan ajaran agamanya, maka tidak ada lagi pelecehan atas nilai dan martabat manusia sebagai makhluk termulia. Dalam hal pemuliaan nilai-nilai kemanusiaan dan hubungannya dengan pengamalan ajaran-ajaran agama yang luhur, sebagai umat beragama, kita mesti menunjukkan kekuatan agama sebagai potensi sentripetal (pemersatu) dari pada sebagai potensi sentrifugal (pemecah-belah). Kedua kekuatan agama ini memiliki porsi dan potensi yang sama. Agama dapat menjadi the most powerful cohesive command (sentripetal), dan pada saat yang sama dapat menunjukkan daya perusak yang luar biasa (sentrifugal). Dalam kasus Komando Jihad oleh Bung Tomo pada10 November yang sekarang kita peringati sebagai Hari Pahlawan di Indonesia, kita
Interfaith Dialogue dalam Mengembangkan Kehidupan Beragama _641
dapat belajar bahwa agama menjadi kekuatan pelekat yang mengikat persatuan dan kesamaan nasib kita sebagai bangsa terjajah. Tetapi, di lain waktu, agama menjadi argumen konflik sosial yang paling sensitive dan berdaya ledak cepat dan efektif. Dalam hubungannya dengan kondisi bangsa kita yang sangat majemuk, kedua kekuatan ini agama ini dapat menjadi alat pemersatu bangsa (sentripetal), tetapi juga sangat potensial menjadi kekuatan pemecah-belah (sentrifugal). Kita semua bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, patut bersyukur karena, mayoritas umat Islam di Indonesia terasosiasi dengan Sunni yang memiliki pandangan politik yang lebih inklusif, toleran dan terbuka. Pandangan politik sunni misalnya beranggapan bahwa lebih baik berada di bawah kepemimpinan otoriter dalam waktu yang lama dari pada hidup sehari tanpa pemimpin. Ini berarti bahwa kepemimpinan itu mutlak ada, terlepas dari siapapun dia atau dari mana pun ia berasal. Adagium politik Sunni lainnya yang dapat kita angkat di sini adalah, bahwa lebih baik hidup barada di bawah kepemimpinan non-Muslim tetapi adil, dari pada berada di bawah kepemimpinan Muslim tetapi zhalim. Ini juga berarti bahwa umat Islam sebenarnya mesti siap dipimpin oleh siapa saja selama pemimpin itu menjalankan pemerintahannya dengan nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan demokrasi yang disepakati bersama. Tentu saja, memiliki pemahaman yang baik dan holistik atas ajaran agama, akan selalu menghindarkan kita dari konflik-konflik beragama yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Dengan pemahaman seperti ini, elitelit umat beragama justru harus berdiri di garda terdepan menghindari konflik sosial berbasis agama. Jika konflik telah terjadi, elit-elit agama dituntut mampu mencari resolusi konflik yang bijak. Pemimpin umat diciptakan bukan mengadu domba umat manusia, tetapi mendamaikan dan meminimalisir konflik. Anehnya, dengan menyesal kita beranggapan bahwa kompleksitas resolusi konflik juga terjadi di level elit dan pemegang kebijakan. Model desentralisasi yang kita pilih sementara ini sebagai model terbaik, justru memberi efek negatif lain, berupa kuatnya otoritas dan kekuasaan
642_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
daerah. Multitafsir undang-undang dan peraturan, pusat dan daerah, menambah runyam model resolusi konflik yang memuaskan semua pihak. Karenanya, perlu pendekatan holistik dalam menyelesaikan konflik-konflik beragama di Indonesia. Penentuan otoritas dan tafsir tunggal atas undang-undangan dan peraturan, dalam konteks ini, sangat mendesak. E. Penutup Membangun kehidupan keagaman yang damai tidak hanya tugas pemerintah atau kalangan tertentu. Seluruh elemen umat beragama memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dalam mengemban misi mulia ini. Selain mengamalkan ajaran mulia agama, misi membangun kehidupan beragama yang harmoni dan damai juga menjadi amanat Undang-Undang yang telah digariskan oleh para pendiri bangsa ini. Tentu, di tengah arus perpolitikan dunia yang kian penuh dengan konflik sektarian, bangsa Indonesia harus menunjukkan peran yang lebih tegas dan luas dalam membangun dan menjaga kerukunan kehidupan beragama. Misi ini tentu sangat berat namun juga menjadi tantangan bagi kita sebagai bangsa dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Interfaith Dialogue dalam Mengembangkan Kehidupan Beragama _643
Daftar Pustaka
Almirzanah, Syafa`atun, When Mystic Masters Meet: Paradigma Baru dalam Relasi Umat Kristiani-Muslim, Yogyakarta: Kanisius, 2010. Jamil, M. Mukhsin, Mediasi dan Resolusi Konflik, Semarang: Walisongo Mediation Centre, 2007 Jajat Burhanuddin. Ed., Sistem Siaga Dini terhadap Kerusuhan Sosial, Ja karta: Badan Litbang Agama Depag RI dan PPIM, 2000 J.B. Banawiratma dkk., Dialog Antarumat Beragama: Gagasan dan Praktik di Indonesia, Bandung: Mizan, 2010 M. Nur Kholis Setiawan (ed.), Meniti Kalam Kerukunan, Beberapa Istilah Kunci Islam-Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia 2010 Riyanto, E. Armada, Dialog Interreligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah, Yogyakarta: Kanisius, 2010 Samosir, Leonardus, Agama dengan Dua Wajah: Refleksi Teologis atas Tradisi dalam Konteks, Jakarta: Obor, 2010
644_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Endnotes
1. M. Mukhsin Jamil, Mediasi dan Resolusi Konflik, Semarang: Walisongo Mediation Centre, 2007, h. xviii-xxi.
2. Jajat Burhanuddin. Ed., Sistem Siaga Dini terhadap Kerusuhan Sosial, Jakarta: Badan Litbang Agama Depag RI dan PPIM, 2000, h. 4.
3. Leonardus Samosir, Agama dengan Dua Wajah: Refleksi Teologis atas Tradisi dalam Konteks, Jakarta: Obor, 2010, h. 105. Bandingkan, M. Nur Kholis Setiawan (ed.), Meniti Kalam Kerukunan, Beberapa Istilah Kunci Islam-Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia 2010 h. v
4. E. Armada Riyanto, Dialog Interreligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah, Yogyakarta: Kanisius, 2010, h. 210-215; Bandingkan dengan J.B. Banawiratma dkk., Dialog Antarumat Beragama: Gagasan dan Praktik di Indonesia, Bandung: Mizan, 2010, h. 231-234.
5. Baca misalnya, Syafa`atun Almirzanah, When Mystic Masters Meet: Paradigma Baru dalam Relasi Umat Kristiani-Muslim, Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Harmony of Islam and the West in the Frame of Multicultural Communication
Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi Multikultural
Abd. Muid N. Institut PTIQ Jakarta email:
[email protected]
Abstract : Islam and the West has been experiencing disharmony in a very long time. History that connects them produces memory sediments containing endless hatred between them. At the present time, the hatred constantly reproduced through terrorism of Islam and excessive suspicion of the West. The role of the mass media, which in essence is a mutually enlightening communication bridge between Islam and the West are often precisely the opposite function. Mass media became a tool of hatred fertilizer through information warfare widen the communication gap. Therefore, filed a bid worth more effective communication to build a common future that more harmonious and peaceful for a better world in the future. The offer was called multicultural communications. The main purpose of this communication is building a multicultural dialogue among civilizations. Cases discussed in this paper is the phenomenon of Muslim minorities in Europe.
646_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Abstraksi : Islam dan Barat telah mengalami ketidakharmonisan dalam waktu yang sangat lama. Sejarah yang menghubungkan mereka menghasilkan sedimen memori yang berisi kebencian tak berujung antara mereka. Pada saat ini, kebencian terus-menerus direproduksi melalui terorisme Islam dan kecurigaan berlebihan Barat. Peran media massa, yang intinya adalah jembatan komunikasi saling mencerahkan antara Islam dan Barat sering justru fungsi sebaliknya. Media massa menjadi pupuk kebencian melalui perang informasi yang memperlebar kesenjangan komunikasi. Oleh karena itu, perlu diajukan sebuah tawaran komunikasi yang lebih efektif untuk membangun masa depan bersama yang lebih harmonis dan damai untuk dunia yang lebih baik di masa depan. Tawaran itu disebut komunikasi multikultural. Tujuan utama dari komunikasi ini adalah membangun dialog multikultural antarperadaban. Kasus yang dibahas dalam tulisan ini adalah fenomena minoritas Muslim di Eropa. Keywords: multicultural communications, Muslim minorities, alienation, ghettoization
A. Pengantar Paus Benediktus XVI pernah menyampaikan bahwa ada hubungan antara Kristen dengan rasionalitas yang ada di Barat kini. Ketika itu, sang Paus sama sekali tidak menyebutkan Islam sebagai bagian yang turut membangun Barat, bahkan dalam hal rasionalitasnya sekalipun. Ungkapan seperti ini adalah bentuk tidak adanya komunikasi multikultural antara Islam dan Kristen atau antara Islam dan Barat. Yang ada dalam pemikiran sang Paus adalah monokultur yang membangun Barat, tanpa keterlibatan budaya-budaya lain sama sekali. Hal sama terjadi pada kasus Turki, yang oleh Kardinal Ratzinger dianggap tidak pernah dan tidak akan bisa mengklaim sebuah kultur Eropa yang autentik, karena Eropa berhubungan dengan Yunani dan Kristen.1 Ada kesan kuat bahwa upaya-upaya untuk mengeksklusi Islam dari peradaban Barat ini berasal dari kecurigaan berlebihan yang berkaitan
Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi Multikultural _647
dengan isu-isu keamanan yang—pada kasus imigran Muslim di Eropa— dianggap sebagai cikal bakal tindak terorisme. Bagi jutaan masyarakat Muslim di Eropa, ini adalah kenyataan sehari-hari.2 Ini adalah sebuah pandangan yang rasial. Padahal untuk menciptakan kedamaian di atas dunia, loyalitas manusia harus melampui ras, suku, kelas, dan negaranya. Tulisan ini menawarkan sebuah konsep komunikasi multikultural sebagai solusi bagi persoalan hubungan antara Islam dan Barat yang memang diwarnai oleh kecurigaan-kecurigaan hasil hubungan keduanya dalam sejarah masa silam. Sebagai kekuatan yang sangat besar, disharmoni antara keduanya merupakan ancaman besar bagi perdamaian dunia.
B. Problem Sesungguhnya Umat Muslim di Eropa telah berada di wilayah itu selama beberapa dekade, namun tampaknya mereka gagal berintegrasi. Harus diakui penyebabnya berasal dari dua pihak, baik masyarakat Eropa maupun umat Muslim itu sendiri. Menurut Bikhu Parekh, banyak kalangan umat Muslim yang tidak memperlihatkan komitmen terhadap institusi demokratis yang sudah ada di Eropa. Di antara mereka juga banyak yang tidak marasa sedang berada di Eropa dalam lingkungan masyarakat Eropa. Mereka merasa nyaman dengan keadaan mereka sendiri dan karena itu, menciptakan kelompok-kelompok sendiri dengan sesama mereka sendiri dengan mengalienasi diri dari lingkungan. Perasaan sebagai bagian dari umat Islam seluruh dunia justru membuat masyarakat Muslim tersebut melupakan bahwa mereka adalah warga lingkungan terdekatnya, yaitu masyarakat Eropa.3 Di sisi lain, masyarakat Eropa seperti tidak menghendaki kehadiran umat Muslim di lingkungan mereka. Secara stereotif, masyarakat Eropa menganggap umat Muslim bukan hanya tidak mau berintegrasi, tetapi juga tidak mampu. Umat Musim mempunyai gaya hidup yang secara fundamental tidak sesuai dengan gaya hidup Eropa. Umat Muslim suka
648_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
berkumpul dengan kelompoknya sendiri, tidak toleran, otoritarian, tidak liberal, dan teokratis.4 Kondisi umat Muslim masa kini di Eropa mengingatkan masyarakat Eropa pada umat Kristen sepanjang Abad Pertengahan. Karena itu, masyarakat Eropa memandang integrasi umat Islam dengan kebudayaan Eropa memerlukan waktu yang tidak sedikit. Kenyataanya, banyak kalangan umat Muslim yang memandang reformasi model umat Kristen di masa lalu adalah langkah penting menuju sekularisasi yang menurut mereka adalah ancaman serius bagi kemurnian agama Islam itu sendiri. Karena itu, kehadiran umat Islam di tengah-tengah masyarakat Eropa dianggap tidak lebih sebagai musuh dalam selimut. Mereka saling menyandera kepentingan masing-masing.5 Lalu apa yang sebenarnya terjadi di antara Islam dan Barat? Sebagaimana digambarkan oleh Parekh sendiri, salah satu persoalannya adalah ketidaksabaran pihak Barat. Mereka menginginkan dengan paling tidak generasi ketiga umat Muslim Eropa telah berintegrasi dengan baik dengan tetangga mereka masyarakat Eropa.6 Ini menjadi masalah, karena jika dihitung, umat Muslim yang sekarang hidup di Barat adalah generasi keempat. Generasi pertama mereka adalah para imigran yang belum punya wawasan lingkungan yang baik karena mereka menganggap Eropa adalah wilayah sementara semata. Sama sekali tidak ada kehendak mereka untuk menjadi warga Eropa. Mereka adalah para imigran yang mencari lapangan pekerjaan dan harapan mereka suatu saat nanti akan kembali ke kampung halaman. Memori tentang kampung halaman mereka sebenarnya tidak begitu terang sehingga mereka menggantinya dengan ingatan keagamaan yang berfungsi sekaligus untuk mengeratkan ikatan emosional dengan sesama imigran dari bangsa lain tetapi beragama yang sama, Islam.7 Tindakan seperti ini lalu memicu tindakan selanjutnya, yaitu fenomena alienasi dan ghettoisasi. Alienasi adalah istilah Tariq Ramadan yang
Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi Multikultural _649
diartikannya sebagai penampilan pemahaman kebenaran yang eksklusif; kebenaran yang buta dan membutakan; kebenaran yang mengungkung, bukan yang membebaskan; padahal menafikan keragaman yang merupakan kehendak Tuhan sendiri.8 Dalam kenyataannya, bentuk alienasi ini bisa bermacam-macam, dan tentunya, atas nama Islam. Contohnya ada kelompok yang bersikeras untuk menerapkan “hukum syarî’ah”. Persoalannya, otoritas terhadap interpretasi hukum Islam itu tidak eksklusif pada sekelompok orang. Persoalan lainnya adalah bahwa sering terjadi “hukum syarî’ah” ini dilaksanakan oleh kekuasaankekuasaan diktator untuk melecehkan perempuan, orang miskin dan saingan politiknya lewat sesuatu aksi “legal”. Sering juga terjadi bahwa gerakan untuk menerapkan “hukum syarî’ah” dilancarkan sebagai perlawanan terhadap “Barat” sehingga yang muncul adalah “karakter Islam” sebagai lawan bagi Barat, berdasarkan alasan yang simplistik yaitu: “semakin tidak Barat, semakin Islami”. Bagi Tariq Ramadan, umat Muslim seharusnya melakukan rekonsiliasi antara keinginannya dengan pesan-pesan keadilan, kesetaraan, dan pluralisme, daripada terobsesi terhadap aplikasi formalistik atas hukuman-hukuman dalam Islam yang sebenarnya lebih merupakan bentuk frustrasi atau perasaan ter-alienasi terhadap kenyataan dominasi Barat. Di sini lah pentingnya dibuka pintu-pintu ijtihâd.9 Sikap alienasi oleh umat Muslim ini juga bisa berasal dari perasaan “menjadi korban” yang mengurung semangat warga negara Muslim di Eropa. Perasaan tersebut membawa mereka menyalahkan the other, negara, kebijakan, dan “orang Yahudi yang memang tidak menyukai kami dan menipu kami…”10 Adapun ghettoisasi atau ghettoization adalah yaitu upaya sekelompok masyarakat untuk menutup diri akibat kekhawatiran kehilangan identitas budayanya.11 Kecenderungan hilangnya kreativitas tersebut dapat dilihat dari upaya membentuk ghettoization justeru dengan retorika perlindungan “identitas,” pembelaan “nilai-nilai Barat,” pembatasan yang ketat terhadap sesuatu yang “asing,” tentu saja, dengan alasan
650_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
keamanan dan perang terhadap terorisme.12 Ghettoization ini bisa secara fisik, sosial, intelektual, atau mental. Sikap ini memelihara pemahaman terhadap diri sendiri atau terhadap dunia sekitar dalam bentuk imajinasi, bukan sebenarnya.13 Model ghettoization ini tidak hanya menjangkiti umat Muslim yang memang minoritas di Barat, namun sampai pada level internasional. Ghettoization mengakibatkan afiliasi antarnegara menjadi sangat sempit, humanisme menjadi sejenis insting kesukuan, dan universalisme tidak terlalu baik hati sehingga ketika manusia mengatakan ‘kami’, hal itu tidak merujuk kepada penghormatan terhadap sesama, tetapi justeru pembatasan diri pada sesuatu yang khusus.14 Yang terjadi sebenarnya adalah bahwa kehadiran warga negara baru bernama umat Muslim dan arus imigran yang terjadi terus-menerus melahirkan sebentuk ketakutan bagi warga Eropa akan kehilangan identitas dan budaya mereka, larut dalam keragaman atau adalah yang paling mengkhawatirkan adalah hilang begitu saja ditelan oleh keberadaan umat Muslim.15 Bagi Ramadan, pandangan ini justeru merupakan alamat bahaya bagi inti pluralisme, yaitu ketika yang menjadi perhatian utama adalah ketika orang-orang Eropa mulai berfikir tentang identitas mereka dan apa yang membuat mereka secara historis bisa disebut “Barat”, “Eropa”, atau “Perancis”, “Italia”, “Inggris”, atau “Amerika” dalam kerangka pemahaman warisan budaya dan agama yang telah mapan. Hasil dari kerangka berfikir seperti itu adalah sebentuk penyederhanaan bahwa: Islam adalah “the other” meskipun hadir dan nyata di Eropa.16
C. Komunikasi Multikultural Hubungan Islam dan Barat tidak selalu harus dilihat dari trauma dan luka-luka sejarah. Tidak juga harus dilihat dari perbedaan-perbedaan prinsip dalam peradaban. Kenyataan bahwa Islam dan Barat berada dalam bumi yang sama, bahkan dalam wilayah yang sama dan juga keinginan untuk sebuah kehidupan yang baik bersama adalah alasan
Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi Multikultural _651
yang cukup kuat untuk membangun sebuah komunikasi yang lebih baik dan membangun. Seharusnya yang dibangun adalah perasaan empati yang secara efektif mampu menciptakan hubungan yang damai. Di sini persoalan multikulturalisme mendapatkan tempat yang penting. Menurut Charles Taylor, kehidupan manusia secara fundamental mempunyai karakter dialog (komunikasi). Lewat dialog dan komunikasi itulah manusia menjadi manusia, yang mampu memahami dirinya, memahami identitasnya, melalui kekayaan bahasa. Bahasa di sini bukan hanya berada dalam bentuk kata-kata ketika manusia bicara, tetapi juga model ekspresi apapun yang dipakai manusia untuk mendefinisikan dirinya, termasuk “bahasa” kesenian, tubuh, cinta, dan bahasa suka. Namun kita mempelajari model-model ekspresi seperti ini melalui proses pertukaran dengan orang lain.17 Bahkan dialog itu terbangun tidak hanya dalam damai dan harmoni, tetapi juga dalam perjuangan dan perlawanan, juga terbangun dalam keadaan ketika lawan dialog itu telah tiada. Saling memengaruhi tidak hanya terjadi dalam damai dan juga tidak hanya terjad ketika sosok lawan dialog itu ada.18 Bahwa perang menuntut korban, itu memang demikian, tetapi perang adalah sebuah bentuk komunikasi dan juga proses peneguhan identias. Demikian halnya dengan sebuah komunikasi multikultural. Komunikasi semacam ini mengandaikan bahwa sebuah makna hanya hadir dalam kaitannya dengan makna dan konsep lain yang membedakan mereka.19 Komunikasi multikultural mengasumsikan perayaan perbedaan sebagai suatu kerangka kerja yang ada di dalamnya untuk menghargai banyak kelompok dan narasi khas mereka tentang pengalaman mereka. Di sini tidak ada pemaksaan bagi masing-masing kelompok yang berbeda untuk meleburkan diri dalam sebuah landasan yang sama, bahkan ada kesan komunikasi multikultural memandang perbedaan manusia lebih penting daripada persamaan mereka.
652_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Yang terlibat dalam komunikasi multikultural adalah budaya, bukan person; meski memang tanpa person tidak akan ada budaya karena budaya hanya berada di dalam pemikiran para antropolog atau filsuf sebagai sebuah sistem konsep. Yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya adalah budaya yang berdialog yang tersimpul dalam person-person yang meliputi cara mereka merasa, berfikir, dan berbuat; bagaimana mereka memahami diri dan dunia, menyadari kebahagiaannya, mengekspresikan moral, estetika, agama, dan nilainilai politiknya, serta membangun relasi partikular sebagai individu dan kelompok dalam setiap aspek kehidupan praktis.20
D. Menyoal Hubungan Islam dan Barat Yang diinginkan dalam sebuah komunikasi multikultural adalah setiap kelompok mampu “mengisahkan” kenyataan mereka secara khas dan hanya bisa disampaikan oleh mereka sendiri tanpa diwakili oleh orang lain. Orang luar tidak dapat berbicara atas nama mereka karena tidak menguasai posisi tersebut sehingga tidak dapat mengetahui bagaimana rasanya “menjadi mereka.”21 Memang dalam pandangan kaum multikulturalis, cerita yang paling memuaskan adalah yang memberi tempat bagi banyak narasi. Multikulturalisme adalah bentuk perlawanan terhadap narasi-narasi besar karena narasi-narasi besar mengucilkan secara total kelomopok-kelompok minoritas dan memusatkan perhatian besar pada kelompok-kelompok mayoritas.22 Pada level ini, komunikasi multikultural memberikan ruang bagi kaum minoritas dan kaum yang berbeda untuk mengekspresikan persoalan sendiri tanpa distorsi dan dalam posisi yang setara dengan kaum mayoritas, dalam hal ini, individu merupakan agenda utama. Masing-masing pihak Islam dan Barat seharusnya saling memberikan ruang pemahaman. Tidak boleh ada pihak yang dibungkam atau tidak diinginkan untuk menceritakan keadaanya sendiri lalu pihak lain yang menjadi juru bicaranya secara sewenang-wenang. Hubungannya dengan
Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi Multikultural _653
minoritas Muslim di Eropa, bahwa orang Eropa harus menerima fakta bahwa umat Muslim memiliki keyakinan tentang nilai-nilai universal dan itu tidak berarti umat Muslim tidak memahami persoalan relativitas dan keragaman karena memang tidak ada masalah antara keyakian universal dengan relativitas kemanusiaan. Pada level inilah komunikasi masa depan bisa dilaksanakan.23 Pada level yang lebih tinggi, di tingkat komunikasi massa, Barat memiliki peran yang sangat penting karena mereka memiliki kekuasaan besar untuk menentukan informasi yang diketahui umat manusia. Pada kasus ini, umat Islam juga menempati posisi minoritas yang sering dibungkam. Henry A. Giroux menegaskan bahwa isu-isu yang berkaitan dengan multikulturalisme sangat erat kaitannya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang ras dan identitas. Multikulturalisme adalah upaya yang lebih luas untuk memahami bagaimana isu-isu mengenai identitas, budaya, dan etnisitas bisa dipahami kembali dalam rangka membuat kelompokkelompok dominan untuk menguji, mengenali, dan belajar meninggalkan hak-hak pribadinya. Dalam hal ini, multikulturalisme bukan sekadar persoalan pengangguran, perumahan yang diskriminatif, sekolahsekolah yang sesak, tetapi lebih pada supremasi sebuah kaum atas kaum yang lain atau fokus eksklusif terhadap kelompok-kelompok subordinat.24 Harapannya adalah di antara kelompok-kelompok ada saling pengertian, kerjasama, dan transformasi sejarah yang berbeda, narasi-narasi budaya, representasi, dan institusi-institusi yang memproduksi rasisme dan segala bentuk diskriminasi.25 Multikulturalisme tidak menghendaki peleburan suatu identitas kepada identitas lainnya dengan alasan saling memahami, tetapi justeru perbedaan adalah jalan kepada dialog yang sebenarnya.26 Sebelum itu, sebuah komunikasi multikultural menganggap penting konsep kesamaan dalam perbedaan yang bisa secara sederhana disebut empati karena di dasar perbedaan individual mengendap keumuman dan persamaan akan penindasan, penderitaan, dan perasaan, termanifestasi dalam bentuk yang berbeda-beda. Misalnya, dalam hal kaum imigran,
654_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
meski berbeda-beda asal dan budayanya, mereka mempunyai kesamaan perasaan frustrasi terhadap bentuk-bentuk akulturasi (misalnya dalam bentuk ketidakamanan personal, rendah diri, rasa takut, mungkin juga status sosial ekonomi).27 Masalahnya, sikap empati menimbulkan kecurigaan ketika kelompok dominan berbicara tentang posisi terdominasi. Kenyataan bahwa mereka tidak mengalami realitas yang sama secara langsung; misalnya realitas kemiskinan, rasisme, atau seksisme atau lainnya adalah sebuah persoalan karena keterbatasan kemampuan untuk mengatakan yang sebenarnya dan itu juga menjadi kesempatan bagi kelompok dominan untuk melanggengkan dominasinya dan merampas narasi kaum tertindas. Sekelompok orang di sebuah lingkungan yang sama sebenarnya menghadapi persoalan yang sama. Misalnya ketika sebuah tempat menghadapi persoalan pendidikan yang tidak baik, maka itu adalah persoalan bersama tanpa melihat kelompok masyarakat itu adalah Muslim atau non-Muslim, demikian pula di Eropa. Dari sudut pandang umat Muslim, itu berarti mereka harus percaya diri dan merasa bawa mereka sedang berada di rumah dan itu berarti mereka harus melibatkan diri dalam persoalan masyarakat Eropa. Sikap umat Muslim yang reaktif yang diekspresikan lewat sikap peleburan diri ke dalam masyarakat tanpa kompromi atau justru mengambil posisi kekerasan tidak pas dengan upaya membangun masa depan yang dipayungi saling percaya, menghargai, dan kolaborasi.28 Persoalan yang dihadapi umat Muslim di Barat bukanlah nonMuslim tetapi persoalan bersama yang juga dihadapi oleh nonMuslim. Demikian pula persoalan yang dihadapi oleh Barat bukanlah kehadiran Islam. Di situlah makna dan identitas akan muncul karena kemunculannya berawal dari “dialog dengan” sesuatu atau “perjuangan melawan” sesuatu, kata Charles Taylor.29 Dan karena itulah posisi “the other” adalah sangat penting. Menemukan identitas diri tidak pernah terjadi dalam gelap, tanpa negosiasi lewat dialog dengan identitas yang
Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi Multikultural _655
lain. Bagi Taylor, posisi recognition (pengakuan) menjadi sangat penting, terutama untuk membangun sebuah komunikasi multikultural karena identitas siapa pun sangat bergantung pada relasi dialognya dengan “yang lain”.30 Recognition (pengenalan) juga penting dalam rangka membangun masyarakat yang demokratis. Penolakan untuk mengakui posisi penting the other bisa melahirkan kerusakan dan pemberontakan dari mereka yang tertolak dan terpinggirkan.31 Di satu sisi, umat Islam senantiasa mengingat bagaimana Islam mempunyai peran sangat besar dalam membentuk Eropa yang modern kini. Saat itu pada abad Pertengahan khususnya ketika Islam berkuasa di Spanyol. Umat Islam bangga akan kontribusi Islam dalam sebuah Barat yang sekuler, rasional dan modern.32 Namun kehadiran Islam di Barat masa kini bukanlah kehadiran yang sama pada waktu itu. Kehadiran Islam kini dimulai hanya sekitar enam puluh atau tujuh puluh tahun yang lalu. Itu artinya, Islam masih berada pada fase paling awalnya dalam rangka membangun identitas dalam interaksinya dengan warga negara yang lain apalagi sampai pada fase di mana umat Islam sudah merasa sebagai penduduk asli.33 Islam yang kini ada di Barat adalah Islam yang sedang menghadapi tantangan sebagaimana dalam ungkapan Serge Latouche bahwa “Apapun yang Barat berarti anti-Islam” atau “Islam tidak memiliki persamaan dengan Barat.”34 Masyarakat Muslim jadi terbelah menyikapi persoalan ini. Ada yang meleburkan diri ke dalam kehidupan masyarakat Barat di segala aspeknya dan meninggalkan tradisi Islamnya, tetapi ada pula yang justeru semakin memperkuat tradisi Islamnya dan menghadapi kebudayaan Barat secara frontal dan tanpa kompromi. Masyarakat Muslim di Barat kini sedang dalam “revolusi diamdiam” karena semakin banyak orang dan kaum intelektual yang aktif mengupayakan pencarian cara hidup harmonis antara keimanan mereka dengan partisipasi aktif dalam masyarakat setempat, suka atau tidak suka. Proses pendewasaan yang pasti berjalan lambat, tetapi tetap dalam jalan merangkai identitas sebagai Islam Eropa dan Amerika: tetap yakin
656_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
pada keimanan Islam, berdandan budaya Eropa dan Amerika, dan berakar pada masyarakat Barat.35 Dalam kerangka sebagaimana disebutkan di atas, selalu ada cara bagi kaum Muslim untuk mengekspresikan keberagamaan mereka dalam wilayah dan dalan lingkungan masyarakat Eropa yang memiliki budaya berbeda karena memang sangat mungkin kaum Muslim—yang budaya dan kebiasaannya diambil dari masyarakat Arab dan lainnya—tetap seperti itu tanpa harus berselisih dengan masyarakat setempat. Ini hanya persoalan bagaimana cara kaum Muslim mengintegrasikan perbedaanperbedaan besar budaya itu dalam konteks budaya masyarakat setempat.36 Sejarah telah membuktikan bagaimana Islam dari berbagai negara dan budaya tetap tampil sebagai Islam yang sebenarnya tanpa harus bertentangan dengan prinsip-prinsip universal Islam.37
E. Mengkomunikasikan Agama dan Budaya Kembali dihubungkan dengan agama, tentu yang dimaksud di sini adalah agama yang telah terinstitusikan (institutionalized religion/religious institutions). Agama dalam arti seperti ini—menurut Larry A. Samovar— yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat karena agama adalah sumber utama nilai, kebiasaan, dan kepercayaan yang diajarkan kepada anak-anak oleh orang tua mereka lewat yang namanya Kitab Suci. Ajaran-ajaran itu lalu mewujud menjadi agama yang memengaruhi nilai-nilai seseorang sangat dalam dan umumnya secara tidak sadar.38 Globalisasi dalam hal ini berimplikasi paradoks. Di saat bersamaan, globalisasi mampu melenyapkan norma-norma tradisional, sekaligus mampu membangunkan hasrat-hasrat terhadap identitas. Dunia Muslim juga terkena dampak fenomena ini hingga melahirkan pertahanan-diri, perlindungan-diri, dan kadang-kadang bahkan sebentuk pendefinisian diri dari ancaman fenomena yang disebutnya sebagai “megamesin Barat.” Cara pandang seperti ini melahirkan dunia yang simplistik yang pada praktiknya, Muslim yang menjaga tradisinya berarti mengisolasi, memarginalisasi diri mereka.39
Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi Multikultural _657
Bagi Samovar, pengaruh agama seperti ini jauh melampaui pengaruh struktur keluarga dan memengaruhi keseluruhan buatan sosial. Ketaatan beragama memberi dampak pada posisi seseorang dalam masyarakat dan kemudian melahirkan citra ukuran ketinggian moral. Bahkan di dalam masyarakat tertentu, pusat-pusat keberagamaan (seperti gereja dan masjid) juga adalah pusat-pusat kegiatan sosial.40 Namun perlu dipahami bahwa semata-mata memahami agama orang lain secara intelektual tidak akan membawa kepada sikap saling mengerti atau paling tidak memahami budaya orang lain. Ini khususnya karena agama adalah hanya salah satu elemen dalam budaya di mana di dalamnya termasuk juga ekspresi keberagamaan. Pada dasarnya agama tidak pernah menjadi masalah pada dirinya sendiri, juga terhadap kebudayaan. Yang sering menjadi permasalahan adalah ekspresi keberagamaan umat beragama, dan itupun tidak semua ekspresi, hanya ekspresi yang bersinggungan dengan kepentingan publik. Jelas bahwa umat Islam mempunyai tradisi keberagamaan yang dipahaminya dari warisan pendahulunya dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Sampai ukuran tertentu, ketika tradisi tersebut diekspresikan di negara-negara dengan mayoritas penduduknya Muslim, maka itu bukanlah masalah besar. Namun ketika ekspresi keberagamaan Muslim itu terjadi di wilayah-wilayah di mana umat Islam minoritas dan di mana tradisi dan budaya yang adalah budaya yang tidak sepenuhnya berkenalan dengan tradisi Islam, maka benturan di sana-sini dapat saja dengan mudah terjadi. Dalam hubungannya dengan komunikasi, agama beserta tradisi yang berlaku di dalamnya adalah sebentuk komunikasi, demikian Menurut Metin M. Cosgel dan Lanse Minkler ketika meneliti tentang pola konsumsi umat beragama yang dihubungkan dengan identitas mereka. Mereka mencontohkan umat Katolik yang tidak makan daging di hari Jumat pada waktu-waktu tertentu, vegetarianisme umat Hindu, serta tradisi tidak makan babi oleh umat Muslim dan umat Yahudi. Ketika
658_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
seorang penganut suatu agama menunaikan ritual agamanya, pada hakikatnya, dia memperolah sebuah identitas religius. Identitas tersebut perlu diekspresikan. Institusi konsumsi, seperti aturan makanan yang ada pada agama-agama tersebut di atas, memberi sumbangan pada komunikasi identitas religius kepada orang lain.41 Di atas segala keragaman kultural, esensi keimanan umat Islam, identitasnya, dan keberadaannya di bumi ini sama saja.42 Makanya, diperlukan sebuah studi yang sangat mendalam terhadap sumbersumber keilmuan Islam untuk memahami bagaimana kesatuan rujukan melahirkan manifestasi yang begitu majemuk di berbagai wilayah geografis karena pada dasarnya hanya ada satu Islam yang kemudian beradaptasi ke dalam berbagai lingkungan sosial dan budaya.43 Karena itu, Tariq Ramadan menyebutkan adanya istilah “common principles” (prinsip bersama). Tidak peduli di Timur dan di Barat, umat Islam di seluruh dunia senantiasa merujuk kepada makna universal yang dielaborasi dan dikonstruksi. “common principles” itu adalah istilah yang diterapkan Tariq Ramadan untuk norma-norma dalam Islam yang tidak pernah dan tidak akan berubah karena itu berada di luar budaya dan di luar kuasa manusia. Tariq Ramadan hanya menggarisbawahi bahwa “common principles” tidak akan membatasi kreativitas manusia bahwa dalam banyak hal justeru membimbing manusia ke arah yang lebih baik. Tariq Ramadan menegaskan bahwa tidak benar jika rujukan terus-menerus kepada Al-Quran dan Sunnah merupakan hambatan dan penolakan terhadap perubahan. Baginya, sejarah dan ayat-ayat yang ada dalam Al-Quran menolak hal itu. Memang Kalam Tuhan itu mutlak dan definitif, tetapi penerapannya pada situasi tertentu menuntut kreativitas manusia.44 Bagi Tariq Ramadan, ada beberapa poin yang penting diperhatikan, baik oleh umat Muslim maupun non-Muslim, yaitu pertama, Islam adalah agama yang diwahyukan secara suci lengkap dengan keyakinannya, konsep hidup dan mati, dan Islam pula bukan sekadar
Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi Multikultural _659
sebuah karakteristik kultural tertentu dari orang-orang yang berasal dari luar Eropa. Kedua, umat Muslim adalah mereka yang “merasa sebagai Muslim,” tanpa harus ada ukuran ketaatan atau tidak. Dan yang ketiga adalah universalitas Islam dan kesuciannya. Bagi Tariq Ramadan, keyakinan akan universalitas Islam tidak harus membuat seorang Muslim memaksakan pahamnya kepada orang lain. Yang penting adalah bagaimana bagaimana perasaan universalitas itu bersesuaian dengan perbedaan; dan bagaimana hubungan dengan Tuhan menggiring manusia utnuk memahami dan menghormati perbedaan kemanusiaan dan peradaban. Pemahaman seperti ini tidak perlu membuat seorang Muslim merelatifkan keyakinannya.45 Meski di satu sisi menegaskan adanya identitas Islam, tetapi di sisi lain Tariq Ramadan menolak budaya Islam yang kaku yang lalu memaksa umat Islam untuk menutup diri dan menolak apa yang disebut budaya Barat atau Eropa. Ramadan juga menolak budaya Islam yang terlalu cair sehingga melebur dengan budaya Barat dengan meninggalkan Islam sebagai agama. Yang diinginkan Ramadan adalah umat Islam memobilisasi keseluruhan budaya baru setempat dalam kerangka saling memperkaya antarbudaya.46 Bagi Ramadan, hubungan Islam dan Barat dalam hal ini bukan tentang relativisasi nilai-nilai universal Islam untuk memberikan kesan bahwa Islam bersedia mengintegrasikan dirinya kepada aturan rasional. Persoalan sebenarnya bagi Islam adalah bagaiamana Islam universal menerima dan menghargai pluralisme dan keyakinan yang lain dan berbeda (the Other).47 Dalam upaya seperti ini, Islam mempunyai cara sendiri yaitu ijtihâd yang adalah upaya pembacaan kritis terhadap al-Quran dan Sunnah agar umat Muslim mampu menyerap aspek kesejarahan keduanya, dan di saat bersamaan mengaktifkan kreativitas manusia untuk merespon problemproblem partikular masa kini.48 Dalam rangka mewujudkan ijtihâd ini, Ramadan memandang penting peran Barat dan para intelektualnya yang mempunyai tradisi kritis yang kuat, dan kemampuan untuk mendengarkan keberagaman suara umat Muslim, untuk bersamasama dengan intelektual Muslim membangun kebaikan bersama.49
660_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Selain kerjasama dengan kaum intelektual Barat, Tariq Ramadan juga melihat adanya kemungkinan kerjasama dengan agama berbeda, misalnya Kristen yang merupakan agama mayoritas di Barat. Bukan dalam rangka menciptakan aliansi religius baru melawan tatanan dunia yang telah “tersekularisasi” dan “immoral,” tetapi lebih kepada memberikan kontribusi dalam perdebatan “sekularisasi” dan “immoralitas” tersebut, dalam rangka melawan penghancuran terhadap kemanusiaan. Tujuannya adalah sebuah dialog yang konstruktif, jauh dari pertentangan antara kaum beriman tentang klaim-klaim dakwah agama dan kebenaran karena perseteruan semacam itu sebenarnya adalah sikap yang bertentangan dengan inti keyakinan mereka.50 Bahkan umat Muslim meniru mengambil kebudayaan Eropa yang memang sejalan dengan prinsip keberagamaan mereka lalu memberikan kontribusi bagai budaya Eropa meski tetap sebagai orang Muslim sambil juga tetap menghargai nilai-nilai Eropa.51 Bagi Ramadan, Islam mempunyai kemampuan diri untuk bisa berintegrasi dengan kebudayaan lain, termasuk Barat, karena pada dasarnya, dalam Islam, di mana pun ada hukum yang menghargai integritas Islam dan kebebasan beribadah, berarti itu adalah wilayah Islam juga dan masyarakatnya adalah masyarakat Islam juga dan karena itu, umat Islam juga harus melibatkan diri sebagai warga negara demi menciptakan wilayah yang baik dan semakin baik.52 Tawaran Parekh untuk sebuah komunikasi multikultral antara Islam dan Barat menarik untuk disimak. Menurutnya, salah satu jurang yang menganga antara masyarakat Barat dengan umat Islam adalah sikap terhadap agama. Masyarakat Barat mempunyai sejarah tidak harmonis dengan agama, khususnya agama Kristen karena tidak dalam agama, menurut mereka, tidak ada humanisme, individualisme, rasionalisme kritis, komitmen kepada ilmu, kebebasan berfikir dan berkeyakinan, namun yang ada adalah reaksi membabi buta kepada keyakinan berbeda.53
Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi Multikultural _661
Umumnya masyarakat liberal memahami bahwa negara harus berjalan di atas aturan-aturan yang sekuler karena negara berbicara tentang dunia saat ini bukan akhirat di saat nanti. Pada wilayah-wilayah sekuler, semua masyarakat bisa melibatkan diri di mana dalam bahasa agama tidak demikian. Pengalaman pahit perang sipil atas nama agama membuat masyarakat Barat memandang bahwa sekularisme adalah satu-satunya jalan bersama.54 Kehadiran umat Islam dengan keyakinan mereka yang sangat teguh kepada agama seperti hendak mengorek luka lama. Menurut masyarakat liberal, umat Islam bahkan melakukan religiusisasi banyak aspek kehidupan sekuler. Hal-hal seperti penyembelihan hewan, waktu ibadah yang bersamaan dengan waktu kerja, serta beberapa aturan dan hukum sangat bernuansa religius. Urusan politik pun diungkapkan lewat terminologi religius sehingga mengulang kembali persoalan apakah agama mengizinkan loyalitas kepada selain Tuhan, apakah agama sesuai dengan demokrasi, partisipasi politik, hingga kesetaraan laki-laki dan perempuan di ruang publik.55 Di sisi lain, kecurigaan masyarakat Barat liberal sebenarnya tidak terlalu beralasan. Beberapa kasus yang mereka saksikan tidak layak untuk dijadikan ukuran untuk menilai ajaran Islam secara keseluruhan. Masyarakat Barat tidak bisa begitu saja menyamakan Kristen dan Islam yang sangat jelas mempunyai pengalaman sejarah yang berbeda. Karena itu, ketakutan bahwa Islam akan mengulang kembali pengalaman Kristen di Abad Pertengahan sangat tidak beralasan dan hanya berlandaskan pada kecurigaan semata-mata. Keyakinan bahwa Islam pasti akan bermasalah dengan kehidupan masyarakat liberal juga adalah keputusan terburu-buru. Wacana tentang Islam dan sekularisme memang sangat berwarna, namun warna yang paling menonjol adalah Islam sangat mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan peradaban, termasuk liberalisme, sekularisme, pluralisme, dan demokrasi. Tentu juga tidak bijak memaksakan
662_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
peradaban Barat harus diterima oleh masyarakat Muslim secara bulatbulat karena setiap peradaban mempunyai konteksnya masing-masing. Mengeksluksi kebebasan beragama dari kehidupan umat manusia malah merupakan pengkhianatan terhadap liberalisme itu sendiri, karena salah satu hak asasi manusia adalah kebebasan untuk berkeyakinan dan mempraktikkan keyakinan itu dalam kehidupan sehari-hari. Walau demikian, para pemeluk sebuah keyakinan tidak layak memaksakan keyakinannya kepada orang lain. Demikian pula, praktik keyakinan apa pun tidak boleh menciderai hubungan kemanusiaan, terutama hubungan dengan mereka yang berbeda keyakinan.
F. Kesimpulan Sebuah komunikasi multikultural harus dibangun antara Islam dan Barat jika keduanya ingin hidup dalam harmoni. Kasus minoritas Muslim di Barat adalah contoh yang paling kasat mata, namun kasus tersebut bisa menjadi gambaran hubungan Islam dan Barat secara umum. Karena itu, komunikasi mutlikultural juga bisa dijadikan bentuk komunikasi dan cara pandang antara Islam dan Barat dalam aspek-aspek yang lain. Komunikasi multikultural memberikan ruang bagi kehadiran kelompok-kelompok yang berbeda untuk tetap bisa hidup tanpa mengalami penyeragaman dan pemaksaan karena inti komunikasi multikultural adalah perayaan perbedaan. Islam sebagai kelompok berbeda di Barat bisa mengomunikasikan kultur mereka dengan baik lewat komunikasi multikultural. Ini juga bisa menjadi pelajaran bagi umat Islam yang berposisi sebagai mayoritas bahwa kelompokkelompok minoritas di wilayah mereka juga mengalami kondisi sebagai mana kelompok-kelompok minoritas Muslim di wilayah lain.
Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi Multikultural _663
Daftar Pustaka
Barker, Chris, The Sage Dictionary of Cultural Studies, (London: Sage Publications, 2004) Brooks, Ann, Postfeminisms: Feminisms, Cultural Theory, and Cultural Forms, (London: Routledge, 1997) Cosgel, Metin M. dan Lanse Minkler, “Religius Identity and Consumption,” dalam Review of Social Economy, Volume 62, Issue 3, (New York: Routledge 2004) Giroux, Henry A., “The Politics of Insurgent Multiculturalism in the Era of the Los Angeles Uprising”, dalam Barry Kanpol dan Peter McLaren (ed.), Critical Multiculturalism: Uncommon Voices in a Common Struggle, (Westport: Bergin & Garvey, 1995). Mitias, Michael H. dan Abdullah Al-Jasmi‚ “Intercultural Dialogue”, Jurnal Dialogue & Universalism, Vol. 14, Issue 3/4, (Tahun 2004). Parekh, Bhikhu, “Europe, Liberalism and the ‘Muslim Question”, Tariq Modood, Anna Triandafyllidou, dan Ricard Zapata-Barrero, Multiculturalism, Muslims and Citizenship: A European Approach, (London: Routledege, 2006) Ramadan, Tariq, “Europe Hands its Soul to the Right”, dalam http://www. guardian.co.uk/commentisfree/2009/feb/23/eu, diakses pada 22 Februari 2010. ----------, Tariq, “Europeanization of Islam or Islamization of Europe?,” dalam Shireen T. Hunter (ed.), Islam, Europe’s Second Religion: The New Social, Cultural, and Political Landscape, (Westport: Praeger, 2002) ----------, Tariq, “In Case For Reform,” dalam New Stateman, 10 April 2006, Vol. 135 Issue 4787 ----------, Tariq, “Islam and Muslims in Europe,” dalam Yvonne Yazbeck
664_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Haddad (ed.) Muslims in the West: From Sojourners to Citizens, (New York: Oxford University Press, 2002) ----------, Tariq, “Muslims Against Anti-Semitism”, “Muslims Against AntiSemitism: Ways to Promote Common Values”, dalam dalam UN Chronicle, Desember 2004-Februari 2005, Vol. 41 Issue 1 ----------, Tariq, “Muslims, the Pope and European Identity,” http://www. digitalnpq.org/archive/2006_fall/05_ramadan.html (diakses pada 5 Oktober 2010) ----------, Tariq, “Roots of Rationality,” dalam http://www.guardian.co.uk/ commentisfree/2006/sep/22/thepopeandislamthetruede, diakses pada 22 Februari 2010. ----------, Tariq, “We Must Not Accept this Repression”, dalam http://www. guardian.co.uk/world/2005/mar/30/religion.uk, diakses pada 22 Februari 2010. ----------, Tariq, “Why I’m Going to Meet the Pope,” dalam http://www. guardian.co.uk/commentisfree/belief/2008/nov/03/catholicismislam, diakses pada 22 Februari 2010 ----------, Tariq, Islam, the West and the Challenge of Modernity, (Leicester: The Islamic Foundation, 2008) ----------, Tariq, The Quest for Meaning, (London: Penguin Books, 2010) ----------, Tariq, Western Muslims and The Future of Islam, (Oxford: Oxford University Press, 2004) ----------, Tariq, What I Believe, (Oxford: Oxford University Press, 2010) Ritzer, George, Postmodern Social Theory, (New York: McGraw-Hill, 1997) Samovar, Larry A., Understanding Intercultural Communication, (Belmont: Wadsworth, 1981) Taylor, Charles, “The Politics of Recognitioan,” Amy Gutmann, Multiculturalism, (Princeton: Princeton University Press, 1994).
Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi Multikultural _665
Triandafyllidou, Anna, Tariq Modood, dan Ricard Zapata-Barrero, “European Challenges to Multicultural Citizenship: Muslims, Secularism and Beyond,” Tariq Modood, Anna Triandafyllidou, dan Ricard Zapata-Barrero, Multiculturalism, Muslims and Citizenship: A European Approach, (London: Routledege, 2006)
666_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Endnotes 1. Tariq Ramadan, Roots of Rationality, dalam http://www.guardian.co.uk/
commentisfree/2006/sep/22/thepopeandislamthetruede, diakses pada 22 Februari 2010.
2. Anna Triandafyllidou, Tariq Modood, dan Ricard Zapata-Barrero, “European Challenges to Multicultural Citizenship: Muslims, Secularism and Beyond,” Tariq Modood, Anna Triandafyllidou, dan Ricard Zapata-Barrero, Multiculturalism, Muslims and Citizenship: A European Approach, (London: Routledege, 2006), h. 3.
3. Bhikhu Parekh, “Europe, Liberalism and the ‘Muslim Question”, Tariq Modood, Anna Triandafyllidou, dan Ricard Zapata-Barrero, Multiculturalism, Muslims and Citizenship, h. 179.
4. Bhikhu Parekh, “Europe, Liberalism and the ‘Muslim Question”, h. 180. 5. Bhikhu Parekh, “Europe, Liberalism and the ‘Muslim Question”, h. 180. 6. Bhikhu Parekh, “Europe, Liberalism and the ‘Muslim Question”, h. 180. 7. Bhikhu Parekh, “Europe, Liberalism and the ‘Muslim Question”, h. 181. 8. Tariq Ramadan, The Quest for Meaning, (London: Penguin Books, 2010), h. 45-46
9. Tariq Ramadan, “We Must Not Accept this Repression”, dalam http://www. guardian.co.uk/world/2005/mar/30/religion.uk, diakses pada 22 Februari 2010.
10. Tariq Ramadan, “Muslims Against Anti-Semitism: Ways to Promote Common Values”, dalam dalam UN Chronicle, Desember 2004-Februari 2005, Vol. 41 Issue 1, h. 37.
11. Kecenderungan seperti ini diamati oleh Tariq Ramadan terjadi pada partaipartai sayap kanan di negara-negara Eropa. Menurut pengakuannya hal itulah yang membuat Ramadan melancarkan kritik terhadap beberapa perwakilan partai-partai sayap kanan ekstrim seperti di Perancis dengan
Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi Multikultural _667 Jean-Marie Le Pen dan anaknya Marine dari Front National; di Inggris dengan perwakilan dari partai British National. Hal yang sama terjadi di Belanda, Denmark, Austria, Belgia, dan Italia. Bagi Ramadan, tidak ada diskusi dengan para ekstrim kanan. Tariq Ramadan, “Europe Hands its Soul to the Right”, dalam http://www.guardian.co.uk/commentisfree/2009/feb/23/ eu, diakses pada 22 Februari 2010.
12. Tariq Ramadan, “Muslims, the Pope and European Identity”. http://www. digitalnpq.org/archive/2006_fall/05_ramadan.html (diakses pada 5 Oktober 2010)
13. Tariq Ramadan, The Quest for Meaning, h. 40. 14. Tariq Ramadan, The Quest for Meaning, h. 146-147. 15. Tariq Ramadan, What I Believe, (Oxford: Oxford University Press, 2010), h. 82.
16. Tariq Ramadan, What I Believe, h. 80-81. 17. Charles Taylor, “The Politics of Recognitioan,” Amy Gutmann, Multiculturalism, (Princeton: Princeton University Press, 1994), h. 32.
18. Charles Taylor, “The Politics of Recognitioan,” h. 33. 19. Hal ini mengingatkan konsep Jacques Derrida, difference dan strukturalisme. Teori difference menegaskan bahwa kata dan konsep hanya mendapatkan makna dalam referensi relasional dengan kata-kata dan penanda lain yang menjelaskan makna secara berbeda dari mereka. Chris Barker, The Sage Dictionary of Cultural Studies, (London: Sage Publications, 2004), h. 119. Adapun strukturalisme memandang bahwa ada makna yang bermain di luar individu. Yang diinginkan strukturalisme adalah bahwa fenomena hanya mungkin memiliki makna ketika berhubungan dengan fenomena lain dalam sebuah struktur yang sistematis di mana tidak ada person khusus yang menjadi sumber. Karena itu, budaya adalah sistem relasi karenanya, hanya memiliki makna dalam hubungannya dengan budaya yang lain. Chris Barker, The Sage Dictionary of Cultural Studies, h. 189-191.
668_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
20. Michael H. Mitias dan Abdullah Al-Jasmi‚ “Intercultural Dialogue”, Jurnal Dialogue & Universalism, Vol. 14, Issue 3/4, (Tahun 2004), h. 144.
21. Sandra Harding mempertanyakan apakah benar hanya mereka yang tertindas yang dapat memperoleh pengetahuan penindasan. Bagi Harding, tidak hanya pengalaman yang bisa melahirkan pengetahuan, tetapi cara berfikir dari posisi berlawanan juga bisa menghasilkan pengetahuan. Jadi, bukan hanya warga kulit hitam, perempuan, buruh, dan Dunia Ketiga yang bisa berbicara tentang diri mereka. Warga kulit putih, laki-laki, majikan, dan Dunia Pertama juga bisa berbicara tentang lawan posisi mereka. Lih. Ann Brooks, Postfeminisms: Feminisms, Cultural Theory, and Cultural Forms, (London: Routledge, 1997), h. 19
22. George Ritzer, Postmodern Social Theory, (New York: McGraw-Hill, 1997), h. 194-195.
23. Tariq Ramadan, “Europeanization of Islam or Islamization of Europe?,” dalam Shireen T. Hunter (ed.), Islam, Europe’s Second Religion: The New Social, Cultural, and Political Landscape, (Westport: Praeger, 2002), h. 209.
24. Henry A. Giroux, “The Politics of Insurgent Multiculturalism in the Era of the Los Angeles Uprising”, dalam Barry Kanpol dan Peter McLaren (ed.), Critical Multiculturalism: Uncommon Voices in a Common Struggle, (Westport: Bergin & Garvey, 1995), h. 108
25. Henry A. Giroux, “The Politics of Insurgent Multiculturalism in the Era of the Los Angeles Uprising,” h. 109
26. Tariq Ramadan, “Europeanization of Islam or Islamization of Europe?,” h. 209. 27. Barry Kanpol, “Multiculturalism and Empathy: A Broader Pedagogy of Solidarity,” h. 180.
28. Tariq Ramadan, “Europeanization of Islam or Islamization of Europe?,” h. 217. 29. Charles Taylor, “The Politics of Recognitioan,” h. 33. Menurut Taylor, posisi “sang lain” yang penting itu tidak terbatas pada keberadaan sosok mereka tetapi juga ketika sosok itu telah tiada karena sebenarnya komunikasi tetap
Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi Multikultural _669 terus berlangsung.
30. Charles Taylor, “The Politics of Recognitioan,” h. 34. 31. Charles Taylor, “The Politics of Recognitioan,” h. 36. 32. Tariq Ramadan, “Islam and Muslims in Europe,” dalam Yvonne Yazbeck Haddad (ed.) Muslims in the West: From Sojourners to Citizens, (New York: Oxford University Press, 2002), h. 158.
33. Tariq Ramadan, “Islam and Muslims in Europe,” h. 158. 34. Tariq Ramadan, Western Muslims and The Future of Islam, (Oxford: Oxford University Press, 2004), h. 6.
35. Tariq Ramadan, Western Muslims and The Future of Islam, h. 4. 36. Tariq Ramadan, “Europeanization of Islam or Islamization of Europe?,” h. 210. 37. Tariq Ramadan, “Europeanization of Islam or Islamization of Europe?,” h. 210. 38. Larry A. Samovar, Understanding Intercultural Communication, (Belmont: Wadsworth, 1981), h. 101. Di dalam teks sebenarnya, kata “agama” oleh Samovar dkk. disebut church (gereja) dalam maksud kumpulan ajaran yang telah mengkristal (embodied religious belief). Namun di sini disebut agama agar lebih disesuaikan dengan konteks bahasan.
39. Tariq Ramadan, Western Muslims and The Future of Islam, h. 4-5. 40. Larry A. Samovar, Understanding Intercultural Communication, h. 101-102. 41. Metin M. Cosgel dan Lanse Minkler, “Religius Identity and Consumption,” dalam Review of Social Economy, Volume 62, Issue 3, (New York: Routledge 2004), h. 339.
42. Tariq Ramadan, Western Muslims and The Future of Islam, h. 9. 43. Tariq Ramadan, Western Muslims and The Future of Islam, h. 9. 44. Tariq Ramadan, Islam, the West and the Challenge of Modernity, (Leicester: The Islamic Foundation, 2008), h. 11-27.
45. Tariq Ramadan, “Europeanization of Islam or Islamization of Europe?,” h. 208.
670_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
46. Tariq Ramadan, “Islam and Muslims in Europe,” h. 163. 47. Tariq Ramadan, Western Muslims and The Future of Islam, h. 5-6. 48. Tariq Ramadan, “In Case For Reform,” dalam New Stateman, 10 April 2006, Vol. 135 Issue 4787, h. 26.
49. Tariq Ramadan, “In Case For Reform,” h. 27. 50. Tariq Ramadan, “Why I’m Going to Meet the Pope,” dalam http://www. guardian.co.uk/commentisfree/belief/2008/nov/03/catholicism-islam, diakses pada 22 Februari 2010.
51. Tariq Ramadan, “Europeanization of Islam or Islamization of Europe?,” h. 213. 52. Lih. Tariq Ramadan, Western Muslims and The Future of Islam, h. 5. 53. Bhikhu Parekh, “Europe, Liberalism and the ‘Muslim Question”, h. 188. 54. Bhikhu Parekh, “Europe, Liberalism and the ‘Muslim Question”, h. 188. 55. Bhikhu Parekh, “Europe, Liberalism and the ‘Muslim Question”, h. 188.
Islam and Interfaith Dialogue in Indonesia From Teological Dialogue to Antropological Dialogue
Islam dan Dialog Antar Agama di Indonesia Dari Dialog Teologis Menuju Dialog Antropologis
Aan Rukmana Paramadina University email :
[email protected]
Abstract : The last twenty years have been a time of serene optimism for those committed to Mission and Interreligious Dialogue. Of course there are still many difficulties and questions. But theologians have moved away from the limitations of the contect of Inclusivism, Exclusivism and Pluralism. This article try to find out the new approach of interfaith or interreligious dialogue from theological contect into anthropological. The anthropological dialogue assumes that the dialogue within activicty such as helping the needy people, educating the children and erasing the poverty in the society is the best way to promote the interfaith dialogue. Abstraksi : Dua puluh tahun terakhir telah menjadi waktu optimisme tenang bagi mereka berkomitmen pada Misi dan Dialog Antaragama. Tentu saja masih banyak kesulitan dan pertanyaan. Tapi para teolog sudah menghindar dari keterbatasan konteks Inklusivisme, Eksklusivisme dan Pluralisme. Tulisan ini mencoba untuk membedah
672_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013 pendekatan baru dialog antaragama atau antaragama dari konteks teologis menjadi antropologis. Dialog antropologi mengasumsikan bahwa dialog dalam aktivitas seperti membantu orang yang membutuhkan, mendidik anak-anak dan menghapus kemiskinan di masyarakat adalah cara terbaik untuk mempromosikan dialog antaragama.
A. Pendahuluan Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki penduduk terbesar keempat di dunia, sekitar 237,6 juta jiwa (BPS, 2010). Dari jumlah yang besar tersebut terdiri dari komposisi agama sebagai berikut, Islam (88,8 %), Protestan (5,7 %), Katolik (3,0 %), Hindu (1,7 %), Budha (0,6 %), Khonghucu (0,1 %) dan lainnya (0,1 %).1 Dengan populasi umat beragama yang begitu besar, sudah tentu keharmonisan hubungan antara agama di dalamnya akan memainkan peranan yang sangat penting bagi berjalannya kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebaliknya ketidakharmonisan antar agama juga akan berpengaruh signifikan bagi kehancuran kehidupan Indonesia. Di samping jumlah populasi yang besar, Indonesia memiliki kepulauan yang jumlahnya ribuan. Terdapat sekitar 17.506 pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Dan sekitar 6000 di antaranya tidak berpenghuni. Indonesia dihuni oleh sekitar 300 kelompok etnis, yang masing-masing memiliki budaya, bahasa serta “pengalaman hidup” yang berbeda satu dengan lainnya. Beberapa di antaranya dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab, Cina, Eropa, termasuk Melayu sebagai kebudayaan sendiri. Beberapa ekspresi seni juga banyak kita temukan di Indonesia. Mulai dari tarian Jawa dan Bali, seperti wayang kulit, dipengaruh langsung oleh ajaran Hindu. Dan beberapa seni lainnya, seperti Ratêb Meuseukat dan tari Seudati di Aceh, seni pantun dan gurindam ala Melayu, banyak dipengaruh oleh tradisi Islam. Perbedaan yang jumlahnya ribuan itu, tidak menyurutkan para pendiri bangsa ini (the founding fathers of this nation) berikrar bersama
Islam dan Dialog Antar Agama di Indonesia _673
untuk mewujudkan ikatan kebangsaan atas nama Indonesia. Mereka rela melepaskan semangat kesukuan (chauvinism), bahasa lokal, dan identitas setempat untuk menerima identitas baru sebagai sebuah bangsa. Bangsabangsa (nations) melebur menjadi satu (nation). Meski satu, namun identitas lokal tetap menjadi spirit yang mendorong kesatuan Indonesia. “Bhinneka Tunggal Ika” menjadi semboyan bersama dalam melangkah dan mewujudkan mimpi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 yang lalu.
B. Tantangan Memasuki Era Reformasi (1998), ikatan bersama atas nama Indonesia mulai digugat anak kandungnya sendiri. Perubahan dari sistem demokrasi tertutup menuju demokrasi terbuka telah membuka banyak “komunikasi sunyi” yang selama 32 tahun masa Orde Baru mengalami kemandekan. Identitas lokal yang sebelumnya mengendap-endap menjadi gerakan bawah tanah mulai berani menunjukan identitas aslinya. Banyak di antara masyarakat terperangah bahkan kaget secara psikologis karena ternyata Indonesia itu berbeda. Sebagai pilihan politik, identitas Indonesia memang dirasakan bersama, akan tetapi secara kultural, agama, dan bahasa ternyata berbeda. Penduduk yang berada di ujung Marauke merasa mereka berbeda dengan penduduk yang ada di Papua. Orang beragama Islam merasa berbeda dengan yang beragama Katolik, Hindu merasa berbeda dengan Protestan, begitupun Protestan merasa berbeda dengan Katolik. Pertanyaan seputar identitas pun kerap mewarnai suasana kebangsaan sejak saat itu, dan dampaknya masih terasa hingga saat ini. Sejak era itu, berbagai konflik yang sebelumnya berbentuk vertikal (dari masyarakat ke pemerintah atau sebaliknya) kini berubah menjadi konflik horisontal. Di banyak tempat terjadi berbagai konflik yang dilatarbelakangi ekonomi, agama, budaya dan lainnya. Sebagai contoh, terkait hubungan Islam dan Kristen, terjadi beberapa konflik yang mengkhawatirkan, seperti kasus perusakan tempat ibadah (respons
674_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
atas SKB no. 1 tahun 1969), amuk masa di Kupang (1998), amuk masa di Ketapang (1998), Amuk Masa di Mataram, NTB (2000), kasus Poso (1998 – 2002), kasus Ambon, Maluku (1999 – 2002), Kontroversi Otonomi Daerah dan Perda Syari’ah (UU 22 tahun 1999 dan 25 tahun 1999), Kontoversi UU Sisdiknas (no 20 tahun 2003) dan Tsunami Aceh (2004). Dari berbagai konflik yang terjadi tersebut, ratusan rumah ibadah hancur, ribuan orang terbunuh, dan terjadi migrasi besar-besaran (khususnya konflik Poso dan Ambon).
C. Dialog : Sebuah Upaya Mengenal “Yang Lain” Era Reformasi dengan berbagai dinamikanya telah berlalu. Berbagai upaya dialog mulai giat diselenggarakan. Ada secercah keterbukaan yang ditemukan dari masing-masing kelompok. Berbagai simpsosium diselenggarakan dan banyak buku yang diterbitkan. Lepas dari semua itu, konflik antar kelompok agamapun mulai mereda, meski ketegangan juga kerap terjadi. Ada kesadaran cukup kuat dari pada aktivis agama untuk mengenal “yang lain” lebih baik dan apa adanya. Di Indonesia sendiri telah berjamur banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berangkat dari keinginan untuk mengenal “yang lain” tadi. Sebut misalnya di NU, terdapat beberapa lembaga progesif yang dimotori anak-anak muda seperti Lakpesdam, P3M, dan Wahid Institute. Mereka aktif mengkampanyekan dialog antar berbagai kelompok, agama maupun suku. Ke dalam Islam sendiri, mereka membangun kesadaran umat agar menerima “yang lain” sebagai keniscayaan historis. Dan keluar, mereka aktif mengkampanyekan model Islam yang rahmatan lil-‘âlamin (berkah untuk sekalian semesta). Di Muhammadiyyah sendiri muncul organisasi serupa seperti Ma’arif Institute dan Jaringan Islam Muda Muhammadiyah (JIMM). Di luar lingkar NU dan Muhammadiyyah muncul Jaringan Islam Liberal (JIL) yang berupaya mengkampanyekan sisi rasionalitas dan liberal Islam. Jauh sebelum kelahiran LSM-LSM tersebut, sudah muncul Paramadina. Lembaga yang didirikan oleh almarhum Nurcholish Madjid
Islam dan Dialog Antar Agama di Indonesia _675
(1939 – 2005) ini berangkat dari sebuah keprihatinan mendalam terkait kehidupan keagamaan di Indonesia. Meski Islam di Indonesia adalah mayoritas, akan tetapi semangat kemajuan tidak juga kunjung datang. Bahkan ideologi developmentalism yang diusung pemerintahan Orde Baru mendapat serangan sengit dari pihak aktivis Islam. Terjadi “kebingungan umat” untuk membedakan antara wilayah sakral dan profan. Di tambah lagi terjadi kebuntuan yang akut hubungan antar agama di Indonesia. Sebuah ketegangan yang bisa dengan sangat mudah dipicu, bahkan oleh hal sepele sekalipun. Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish) bersama beberapa rekannya seperti Utomo Dananjaya, Usep Fathuddin yang dibantu beberapa penguasaha seperti Soegeng Sarjadi, Ahmad Ganis, termasuk Jusuf Kalla, merintis Paramadina. Dari rintisan tersebut muncul beberapa program terkait pencerahan umat seperti Majelis Reboan, Klub Kajian Agama (KKA) dan juga universitas. Semangat keterbukaan dan dialog dibuka selebar-lebarnya di Paramadina. Sejak saat itu (sekitar tahun 1980-an) muncul generasi baru kalangan Islam modernis yang terbuka, inklusif serta mendorong kemodernan. Visi menyatukan keislaman, keindonesiaan dan kemodernan menjadi semangat bersama para penggagasnya. Dari sinilah benih-benih ideal masyakarat madani muncul. Dan saat ini, mendiskusikan agama di pemerintahan menjadi hal lumrah. Agama sudah tidak lagi menjadi gerakan separatis yang berhadapan dengan penguasa. Di hotel-hotel berbintang, rumah-rumah mewah dapat kita temukan dengan mudah kajian agama. Ini berbeda dengan kondisi keagamaan pada masa Orde Baru yang cenderung lebih tertutup. Meski banyak hal positif bisa kita lihat dari kehidupan keagamaan kita di Indonesia, beberapa kejadian yang mengancam dialog dan mewartakan pesimisme tetap saja terjadi. Sebut misalnya beberapa persoalan yang muncul mulai dari kebangkitan Islam garis keras seperti FPI berbarengan dengan gencarnya semangat anti Islam liberal. Berbagai penganiayaan atas nama agama, perusakan tempat ibadah, isu perda syariah, masih menorehkan pekerjaan rumah (PR) bagi kita.
676_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
D. Dialog Teologis dari Masa ke Masa Dialog teologis berangkas dari keinginan mengenal “yang lain” berangkat dari asumsi-asumsi dasar nilai-nilai keimanan (faith) yang berasal dari agama masing-masing. Jika ada seorang Muslim, maka ia akan menggunakan nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an maupun al-Hadits untuk memahami nilai-nilai dialog, termasuk persoalanpersoalan yang terkait kehidupan sehari-hari seperti pluralisme, demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM) dan lain sebagainya. Berbagai teoripun dikeluarkan guna menopang nilai-nilai tersebut. Begitupun dengan agama lain, seperti Kristen, yang coba membangun teologi dialog berasal dari keyakinan mereka atas ajaran-ajarannya. Menurut Nurcholish Madjid (1939 – 2005), persoalan dialog teologis berangkat dari keyakinan yang kukuh agama-agama menyangkut persoalan makna hidup (the problem of ultimecy).2 Di mana masing-masing agama coba menawarkan jawaban dari persoalan makna hidup tersebut. Keterasingan hidup coba diatasi agama-agama dengan menawarkan para penganutnya untuk “terbuka” menyambut “yang lain” menggunakan medium dialog. Jika para penganut agama sungguh-sungguh mengamalkan ajaran mereka maka dialog yang tulus dapat terlaksana. Dan Allah menjanjikan akan memberikan kehidupan yang damai, sentosa, juga penuh kebahagiaan baik di dunia maupun akhirat. Bahkan lebih dari itu, Allah akan membukakan pintu rizki dan berbagai berkah-Nya dari langit (atas) dan dari bumi (bawah). Dalam dialog teologis ini peran kitab suci masing-masing agama sangat menentukan kualitas dialog yang dilaksanakan. Dimensi kitab suci suatu agama sangatlah vital. Di dalam kitab sucilah, doktrin agama dirumuskan yang akan menjadi rujukan bagi para pemeluk agama, baik dalam ritual, berketuhanan, kehidupan pribadi, sosial dan lain sebagainya.
Islam dan Dialog Antar Agama di Indonesia _677
Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Jakarta, menggarisbawahi empat referensi utama yang biasanya dijadikan rujukan dalam dialog teologis, yaitu.3 1. Kitab Suci Kitab suci ini diakui dan dimuliakan oleh masing-masing agama, bahkan lebih dari itu menjadi panduan hidup suci bagi penganut agamanya. Mereka akan rela membela mati-matian sumber utama yang merekam sabda ilahi tersebut. Kita suci inilah yang akan menjadi sumber utama dari inspirasi nilai dan kehidupan manusia, termasuk alasan mengapa dialog, dengan siapa berdialog dan untuk apa berdialog bersumber dari kitab suci ini. 2. Tradisi keagamaan Tradisi keagamaan sebagai refleksi dari sebuah keyakinan (faith) yang biasanya dijaga terus menerus dalam sebuah tradisi dan kebudayaan dari generasi ke generasi juga menjadi sumber dan referensi seseorang bertindak. Dalam tradisi inilah keyakinan agama diamalkan agar dipahami dan ditafsirkan sesuai dengan perubahan zaman. Sebagai contoh tradisi dialog antar seorang guru agama dengan para muridnya, yang dilaksanakan dalam bentuk halaqah-halaqah masih terus ditradisikan hingga saat ini. Kita dapat dengan mudah menemukan tradisi halaqahhalaqah keagamaan, khususnya di kampus-kampus negeri. 3. Karya Tulis Para Intelektual Yang menjadi referensi lain adalah karya tulis para intelektual. Sumber yang ketiga ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa para intelektual karena keluasan pengetahuan mereka serta kecakapannya dalam memberikan solusi-solusi praktis dari berbagai persoalan hidup dapat dijadikan juga sebagai sumber atau inspirasi melakukan dialog. Sebuah dialog akan berjalan dengan baik manakala dukungan para intelektual bagi kegiatan dialog begitu jelas terasa dalam karya-karya
678_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
mereka. Pun menjadi persoalan sebaliknya manakala para intelektual menyuarakan semangat anti-dialog yang berujung pada sulitnya membangun komunikasi di antara kelompok masyarakat yang ada. Misalnya terjadi Peperangan Salib di antara Islam dan Kristen pada masa abad pertengahan banyak dikuatkan juga oleh ketidakmengertian para cendekiawannya terhadap ajaran yang lainnya.4 4. Keyakinan dan Pengalaman Hidup Hal lain yang menentukan kualitas dialog seseorang adalah keyakinan dan pengalaman hidupnya. Jika seseorang pernah mengalami “kebuntuan dialog” atau memang “alienasi” dalam kehidupannya sehari-hari, maka dialog dapat menjadi media positif agar dirinya dapat menemukan kembali kebebasannya dari “alienasi” yang dialaminya sebelumnya. Sebagai contoh, masyarakat Eropa yang sudah melewati Perang Dunia Pertama dan Kedua, dikarenakan peristiwa traumatis pada masa peperangan tersebut, mendorong mereka untuk aktif dalam melakukan dialog antar mereka. Kita mengenal Zona Eropa sebagai suatu wacana kesepakatan politik yang bermula dari berbagai dialog yang intensif dilaksanakan. Manusia sebagai subyek dialog senantiasa membuka dirinya untuk berjumpa dengan “yang lain”. Karena manusia adalah makhluk dialogis (man is a dialogical being), maka manusia sejatinya senang bahkan tertarik untuk dialog. Dialog di sini banyak sekali bentuknya. Misalnya ada seseorang yang sedang berdiam diri sendirian, namun di hatinya selalu memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan, maka ia sebenarnya sedang melakukan dialog antara dirinya dengan Tuhan. Dialog tersebut akan mendorong manusia merasa ada orang lain dalam hidupnya. Ia tidak merasa sendirian, sepi, tak berkawan. Dialog membantu dirinya untuk menemukan makna hidupnya. Dialog juga menjadinya jiwanya senantiasa sehat dan selalu segar dikarenakan informasi baru yang ia dapatkan dari rekan dialognya.
Islam dan Dialog Antar Agama di Indonesia _679
Dalam dialog antar agama, mesti disadari adanya subyektivitas yang sangat tinggi. Ini dapat dibenarkan mengingat dialog agama bukanlah dialog keilmuan yang cenderung objektif, dan memiliki ketegasan antara subyek peneliti dan objek penelitiannya. Berbeda dengan agama, di mana sang penganut agama dapat benar-benar merasakan bahkan masuk jauh ke dalam relung batinnya yang paling dalam. Adanya unsur apologetik ini, mau tidak mau harus disadari bersama oleh para aktivis dialog antar agama. Dari posisi inilah aktivitas dialog antar agama yang berangkat dari teologi dapat berjalan dengan baik. Sedikit berbeda dengan keterangan di atas, di mana dialog antara agama dibangun diatas fondasi teologi, Seyyed Hossein Nasr, seorang pemikir tradisionalis Islam, menegaskan bahwa hanya lewan jalan tasawwuf, satu-satunya aspek dari Islam, yang bisa memberikan jawaban yang seadil-adilnya mengenai persoalan agama secara lebih mendasar.5 Bila kita hendak menguraikan persoalan dialog antar agama, harus kita ingat bahwa arti metafisik dari kehadiran masing-masing agama itu berbeda tergantung dari paradigma orang yang menjelaskannya. Jika ia seseorang yang berpikiran modern, tentu sulit bagi dirinya untuk menemukan titik-titik inti dari agama-agama yang ada. Modernisme yang lahir dengan menafikan metafisikan menjadi penghalang utama untuk memahami makna batin agama-agama.Berbeda dengan kalangan tradisional yang pikirannya dikuasai oleh seperangkat prinsip mengenai asal-usul kehidupan yang bersifat transenden dimana prinsip itu terus hidup di dalam masyarakat sehari-hari maka titik temu antar agama dapat mudah dijumpai. Mereka tidak memiliki sekat apalagi pengghalang untuk memahami yang lainnya. Sebelum zaman modern, para pendiri tiap-tiap agama tampil sebagai matahari dalam suatu tata surya di mana para pengikutnya lahir, hidup dan mati.6 Selama berabad-abad sebenarnya Islam dan Kristen sudah sering melakukan kontak. Meski kontak terjadi namun masing-masing tetap hidup dalam dunia tradisionalnya sendiri. Bagi kalangan tradisional
680_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
ini, mempelajari agama lain tidak lain sebagai upaya memperkaya batin agamanya. Ia merasa menemukan oase Tuhan yang Maha Luas yang terdapat pada sisi batin agama masing-masing. Berbeda dengan kalangan modern yang beranggapan bahwa agama yang satu dengan yang lainnya terpisah secara diametral. Tidak ada titik temu dari masing-masing agama tersebut. Sebagai contoh misalnya, bagi seorang tradisional Muslim yang hidup di Fez atau Mashad tidaklah perlu merasa pusing dengan adanya Budhisme atau agama Kristen. Pun tidaklah penting bagi seoran petani yang tinggal di bukit-bukit Italia atau Spanyol mempelajari agama Hindu. Kemajemukan bentuk-bentuk agama telah digunakan oleh sejumlah orang sebagai argumen untuk menyerang kebenaran semua agama. Ditambah lagi ideologi modernisme yang memang telah menghilangkan peran agama dalam kehidupan sehari-hari. Pertahanan yang paling ampuh bagi agama dalam menghadapi skeptisisme modern sebenarnya yaitu universalitas agama yang terangkum dalam sisi batin agama. Kesulitan mempelajari hubungan antar agama justru terletak pada orang-orang skeptis atau ilmuwan dan kaum sinkretis yang tidak pernah mentransendensikan setiap gejala yang ada kepada Tuhan.7 Perhatikan bait puisi yang disampaikan oleh Hatif Isfahani, penyair Persia yang memuji agama Kristen sebagai agama peneguh Tauhid di mana ajaran trinitasnya dipahami dalam artian metafisika. Ia menulis: “O dalam jidatmu aku tertawan! Dalam tali – temalimu tiap pucuk rambutku terikat! Berapa lama kau akan tetap seperti ini. Tak menemukan jalan menuju Tauhid? Berapa lama kau akan tetap membelokkan Yang Satu dari Trinitas? Apakah benar menyebut Tuhan Yang Esa sebagai Bapak? Anak atau ‘Roh Kudus’?
Islam dan Dialog Antar Agama di Indonesia _681
Ia membuka bibirnya yang manis dan berkata padaku Dan dengan tawa yang manis dicurahkannya gula dari bibirnya” “Jika kau paham Rahasia Tauhid, jangan lempari kami dengan noda kekafiran! Dalam tiga cermin Keindahan Yang Kekal melontarkan seberkas sinar. Dari Wajah-Nya yang berkilau-kilauan, Sutra tidak berubah menjadi tiga macam kain Jika kau menyebutnya Parniyan, Harir, dan Parand.” Sementara kami bercakap, nyanyian ini Bangkit di samping kami dari lonceng gereja: “Dia adalah Satu dan tiada selain Dia: Tiada Tuhan kecuali Dia sendiri!”8 Ada kisah lain yang menunjukan kedekatan yang begitu akrab dan harmonis antara Islam dan Kristen. Sufi Aljazair, Syaikh Ahmad al-‘Alawi menyuarakan pandangan yang sama ketika mengimbau agar semua agama bahu-membahu melawan kekafiran modern dan agar orang Islam memberikan perhatian kepada agama Kristen, yang memang dalam sejarahnya sudah memiliki kontak yang tidak terhitung jumlahnya, baik dalam tingkal formal maupun informal. Termasuk juga dengan agama-agama lainnya seperti Agama Hindu. Islam sangat menghargai Agama Hindu dikarenakan sisi metafisikanya. Sufi terkemuka Abdul Karim al-Jili menulis dalam bukunya Insan alKamil: “Ahli kitab dibedakan ke dalam banyak golongan. Mengenai orang barahimah (Hindu) diakui bahwa mereka termasuk penganut agama Ibrahim dan bahwa mereka adalah keturunannya dan memiliki cara beribadah sendiri….orang barahimah memuja Tuhan tanpa mengikuti
682_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
petunjuk nabi dan rasul. Dalam kenyataannya, mereka menyatakan bahwa dunia ini tak lain adalah ciptaan Tuhan. Mereka mengakui Keesaan Wujud-Nya, namun menolak nabi-nabi dan rasul sama sekali Pemujaan mereka terhadap Yang Benar serupa dengan pemujaan yang dilakukan oleh nabi-nabi sebelum memperoleh nubuwat. Mereka mengakui putra-putra Ibrahim – salawat atasnya – dan menyatakan bahwa mereka memiliki sebuah kitab yang ditulis buat mereka oleh Ibrahim sendiri, seli itu mereka mengatakan bahwa kitabnya itu berasal dari Tuhan. Di dalamnya kebenaran hal dibicarakan dan terdiri dari lima bagian. Mengenai yang empat bagian setiap orang diperbolehkan membacanya. Namun bagian yang kelima tidak diperbolehkan dibaca semua orang kecuali sekelompok kecil di antara mereka, disebabkan karena kedalamannya dan tak terhingga kandungannya. Mereka tahu bahwa siapa yang membaca bagian kelima kita mereka akan dipeluk oleh Islam dan masuk ke dalam agama Muhammad – atasnya salawat.”9 Demikian pandangan lain yang menjelaskan fenomena dialog antar agama dalam perspektif batin agama atau tasawwuf. Dalam tradisi tersebut perbedaan dipahami sebagai rahmat dan keindahan. Nasr menegaskan dalam akhir pemaparannya bahwa hanya seseorang yang telah mengenal puncak gunung akhir dari Yang Tak Terbatas sajalah yang mampu menjadi pendaki yang sejati yang tak terpengaruh oleh jalan yang ditempuh sahabatnya yang memiliki jalan lain, sebab hanya perjalanan yang ia tempuh sajalah yang bermakna bagi hidupnya.10 Kembali ke persoalan dialog agama yang terjadi pada masa kini yang dikenal sebagai masa modern. Masa modern merupakan puncak kejayaan rasio. Mulai masa ini, manusia sangat mendewa-dewakan rasio. Ia mempercayakan seluruh urusan hidup kepadanya. Karena rasio berlokus di dalam diri manusia maka manusia pun mendewadewakan dirinya sendiri. Ia menolak filsafat yang berbicara tentang metafisika, karena baginya metafisika tidak ada dan tidak perlu diadaadakan karena tidak memberikan manfaat sedikitpun. Dampak dari cara pandang seperti ini telah melahirkan perubahan yang sangat radikal.
Islam dan Dialog Antar Agama di Indonesia _683
Ilmu pengetahuan mengalami kemajuan pesat, teknologi merupakan contoh perwujudan dari pesatnya ilmu pengetahuan manusia. Manusia modern benar-benar mengalami kemajuan material. Namun pada sisi lain, sungguh memprihatinkan, seiring dengan berjalannya waktu manusia modern kini mengalami krisis spiritual. Kemajuan material yang pada mulanya sangat diagung-agungkan dan diklaim sebagai wujud kemajuan manusia dan diharapkan dapat memberikan kebahagiaan kepada manusia, ternyata tidak terbukti. Bahkan sebaliknya, dengan semakin majunya sisi material manusia, semakin jauh ia dari kebahagiaan. Sehingga kebahagiaan ibarat fatamorgana, semakin didekati ternyata bukan apa-apa, bahkan semakin tidak nyata kemudian hilang. Ilmu pengetahuan yang seharusnya dijadikan sebagai media pendekatan diri kepada Dia Yang Transenden dan diorientasikan untuk mencari jejak-jejak-Nya, berubah menjadi raksasa yang menakutkan yang berfungsi hanya untuk mengeksploitasi alam, bahkan lebih parah dari itu mencabut eksistensi manusia dari pusatnya. Maka berbagai krisis berdatangan bak sebatang pohon rindang yang sudah tercerabut dari akarnya yang tidak mampu lagi berdiri kokoh di tengah gempuran angin besar ataupun kecil. Dalam tradisi Islam ilmu pengetahuan merupakan media untuk menangkap tanda-tanda kebesaran Allah. Karena ilmu pengetahuan adalah sarana pencarian jejak-jejak ilahi, maka seluruh orientasi dari ilmu pengetahuan adalah untuk mendekatkan manusia menuju pusat kebenaran. Maka, alih-alih menjauhkan manusia dari kebenaran, bahkan menjadikan kebenaran itu sendiri lebih akrab dan berada langsung dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang lahir dari rahim renaisans Eropa di mana semangat yang melandasi ilmu pengetahuan adalah semangat pemberontakan terhadap Yang Sakral, penguasaan terhadap yang profan, dan mendudukan manusia menjadi tuhan di alam
684_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
semesta ini. Dengan begitu, manusia menjadi bebas untuk berkreasi dalam kehidupan ini tanpa harus merasa takut atau dipersalahkan dan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan, Sang Pemilik alam semesta ini. Dampak dari cara pandang sekular seperti itu, telah menjadikan yang sakral hilang dari kehidupan sehari-hari. Pembicaraan tentang yang sakral pun menjadi pembicaraan asing, yang walaupun ada, sering dianggap sebagai wacana yang sia-sia dan tidak jarang diklaim sebagai diskursus yang sudah ketinggalan zaman. Dari perkembangan intelektual tersebut maka tidak heran jika dialog agama seringkali menemukan kebuntuan dikarenakan doktrin modernitas yang menyapu metafisika menjadikan masing-masing agama tampil sendirian dan terputus antara satu dengan yang lainnya. Dalam paradigma ini, dialog sejati akan lahir manakala masing-masing meyakini sisi metafisika dalam agama. Dialog agama yang berangkat dari jenis teologi seperti ini sudah banyak dilakukan, maka perlu dicarikan cara baru atau “peta baru” dialog agama di Indonesia ini. Apalagi suasana dialog jika berhenti hanya kepada beberapa pemikir saja tentu menjadi hal elitis dan tidak membumi. Dikarenakan tidak membumi, maka transformasi masyarakat melalui dialog antar agama ibarat panggang jauh dari api. Semakin dialog digelorakan tetap saja konflik atas nama agama terjadi. Pendekatan antropologis harus mulai diperkenalkan di tengah kebuntuan diskursus saat ini.
E. Dialog Antropologis: Sebuah Tawaran Praksis Jika dilihat berbagai isu yang diangkat dalam dialog-dialog keagamaan saat ini, selain lebih banyak dimensi fikih-nya, sejak era Cak Nur (1970-an) persoalan teologi mulai mendapat tempat yang layak. Bahkan Cak Nur juga sempat merintis wacana dialog agama dalam konteks kehidupan nyata sehari-hari, meski Cak Nur tidak menggunakan istilah “dialog antropologis.”
Islam dan Dialog Antar Agama di Indonesia _685
Cak Nur pernah melihat Pancasila sebagai titik temu dari dialog antar agama. Pancasila sebagai falsafah negara merupakan akumulasi dari nilai-nilai yang tersebar di seluruh agama yang ada. Dikarenakan mencari titik temu antar umat beragama yang berbeda-beda itu adalah perintah agama, maka menemukan dan mengajak masyarakat bersatu dalam Pancasila adalah perintah agama.11 Untuk mendukung gagasan tersebut, Cak Nur menggarisbawahi beberapa pikiran pokoknya sebagai berikut: Pertama, keimanan dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa ini berarti bahwa masyarakat Indonesia menyadari betul asal-usul kehidupannya serta mengetahui apa tujuan tertinggi dari hidupnya. Dengan keyakinan kepada Yang Maha Esa ini, maka siapapun, dengan latar belakang agama apapun, menyadari dan menginsyafi dengan kesungguhan hatinya akan tugas utamanya di atas muka bumi ini. Dengan demikian masing-masing orang akan bertanggungjawab atas apa yang dikerjakannya dan mampu menanggung segala resiko yang lahir dari pilihan hidupnya. Kedua, karena dasar keimanan dan taqwa tersebut, maka seluruh umat beragama di Indonesia bekerja tidak atas dasar keyakinan keliru bahwa kebahagiaannya sebagai manusia yang utuh terletak bukan pada ekspedisi material dan fisik, melainkan dalam peningkatan kualitas jiwa dan ruhani. Dengan demikian seseorang tidak akan terjebak ke dalam pola hidup lebih mementingkan diri sendiri dan memenuhi keinginan rendah diri sendiri. Berbagai praktek yang merugikan orang lain seperti korupsi akan menjadi musuh bersama seluruh umat beragama. Ketiga, karena itu, umat beragama di Indonesia memiliki kemampuan dalam menunda kesenangan demi kesenangan sementara. Mereka tampil sebagai umat yang memiliki visi hidup jangka panjang. Ia berpegang teguh kepada prinsip hidup “defferd gratification” atau “ganjaran kenikmatan yang tertunda”, karena yakin di belakang hari, dalam jangka panjang, ada kebahagiaan yang lebih besar dan lebih hakiki. Prinsip “Berakit-rakit dahulu berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu
686_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
bersenang-senang kemudian” menjadi moto hidup bersama seluruh umat beragama. Keempat, umat beragama di Indonesia adalah manusia yang tabah, gigih, tahan menderita, karena yakin kepada masa depan. Karena keimanan dan ketaqwaannya, ia berpegang hanya kepada Allah Yang Maha Esa, sehingga jika menghendaki sesuatu yang tidak terjadi saat ini, mereka yakin suatu saat kelak akan terjadi, dan tentunya atas izin Yang Maha Esa. Hidup yang penuh harapan inilah yang menjadi roda pendorong bagi berbagai aktivitas positif di masyarakat sehari-hari. Kelima, umat beragama di Indonesia tidak memiliki dorongan hidup untuk hidup mewah dan berlebihan, sebaliknya ia hidup sederhana, penuh kepuasan positif, hemat, rendah hati dan bebas dari nafsu pamer atau penyakit “demonstration effect.” Masing-masing umat beragama akan menghargai yang lainnya penoh hormat, cinta dan ketulusan. Keenam, umat beragama di Indonesia mampu bersikap jujur dan berlaku adil, fair meskipun terhadap diri sendiri, kerabat dan handai taulan. Ia tidak mudah tenggelam dalam cinta sehingga buta terhadap kekurangan orang lain, juga tidak pula dirasuki rasa benci sehingga tertutup dari kebaikan orang.12 Keenam catatan yang disampaikan Cak Nur tersebut adalah bagian dari pengalihan dialog agama dari level teologi menuju level antropologis. Apalagi jika melihat konteks Indonesia sekarang berbeda dengan masa sebelum reformasi. Perlu ada usaha pengkajian ulang atas gerakan dialog agama yang diselenggarakan. Dialog ke depan idealnya berangkat bukan lagi dari ranah teologi, melainkan berangkat dari ranah praksis. Pendekatan teologis diganti dengan pendekatan antropologis. Pendekatan yang biasanya berkisar seputar ajaran dasar sebuah agama perlu dibalik. Jadi bukan dari agama melihat masyarakat, melainkan dari masyarakat kita berangkat mendekati agama. Karena berangkat dari masyarakat, maka isu-isu utama yang dihadapi masyarakat perlu menjadi titik temu (common platform) gerakan dialog antar agama yang akan dilaksanakan.
Islam dan Dialog Antar Agama di Indonesia _687
Di sini terdapat beberapa isu krusial yang sedang dihadapai Indonesia yang idealnya menjadi batu pijakan dialog antar agama: 1. Bencana Alam Sejak tahun 2004 yang dimulai dengan hantaman Tsunami yang meluluh-lantahkan Kota Serambi Mekah itu, terjadi banyak bencana alam yang memilukan lainnya. Gempa tektonik yang berkekuatan tinggi menghancurkan Padang, Jogja, dan beberapa wilayah di pesisir laut selatan. Belum lama ini kita juga dikagetkan dengan bencana gunung meletus di Jogjakarta, Tsunami di Mentawai, juga banjir bandang di Wasior menyisakan kepedihan yang amat mendalam. Belum lagi beberapa gunung yang sekarang sudah dalam posisi awas seperti Gunung Bromo dan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. Bagi kalangan agama berbagai peristiwa tersebut tidak cukup jika dipahami hanya secara mitis belaka. Perlu ada kerjasama kongkret antara berbagai kelompok agama. Jika sebelumnya dialog antar agama diadakan di gedung-gedung mewah kini saatya beralih diadakan di tempat-tempat yang terkena bencana alam. 2. Kemiskinan Kemiskinan di Indonesia masih sangat tinggi. Menurut data BPS tahun 2009, kemiskinan di Indonesia mencapai 32,53 juta jiwa (14,15 %) dari total seluruh penduduk Indonesia. Jumlah yang sangat besar. Jumlah yang miskin tersebut jauh lebih banyak dari seluruh penduduk Australia sekalipun (sekitar 21 juta). Kemiskinan idealnya menjadi titik temu bagi kalangan agama untuk dialog satu dengan yang lainnya dalam level praksis. Dengan jumlah penduduk yang mayoritas beragama tidak sulit sebetulnya untuk bersama-sama menggalang dana demi menghilangkan kemiskinan di Indonesia. Tidak perlu kita dipusingkan dengan identitas keagamaan tertentu. Kalau memang agama itu hal positif, meskinya kita berani turun langsung ke lapangan membantu mereka yang membutuhkan.
688_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
3. Buta Huruf Banyak yang belum menyadari bahwa Indonesia memiliki potensi cukup besar dari anak negerinya. Berbagai kompetensi internasional banyak dimenangkan oleh anak negeri ini. Namun sayang, kemenangan tersebut tidak menjadi semangat kolektif kebangsaan kita. Yang menang muncul hanya seperti sebatang lilin yang menerangi kegelapan hutan nusantara. Buta huruf masih menjadi penyakit akut yang melanda bangsa. Ia terus menaik linear dengan kemiskinan yang juga semakin membengkak. Apakah kita sebagai umat beragam masih tetap akan diam juga melihat kondisi tersebut? Tentu tidak. Untuk itu, perlu juga kita menyelenggarakan pendidikan untuk anak negeri ini secara bersamasama. 4. Kesehatan Masalah kesehatan masih menjadi barang langka di negeri ini. Untuk hidup sehat saja sulit, apalagi mendapatkan kesembuhan ketika mendapat penyakit. Persoalan hidup sehat adalah hak masing-masing indvidu masyakarat. Mereka berhak hidup sehat. Sebagai kalangan agama, idealnya kita juga menghampiri mereka yang sakit sebagai upaya memberikan rahmah kepada mereka. Dialog dalam bidang kesehatan ini bisa menjadi dialog antar agama yang juga menjanjikan di masa mendatang.
F. Penutup Sebagaimana saya tulis di awal makalah ini, bahwa andai melakukan hal besar kita tidak mampu, maka baiknya kita melakukan hal kecil akan tetapi dengan cinta yang besar. Bukanlah itu yang pernah dicontohkan oleh Bunda Teresa di Kalkuta di awal abad ke 20 ini. Di zaman Palestina purba, Nabi Isaiah pernah dengan gemas menyampaikan firman Yahweh (Nama Tuhan bagi Musa) yang penuh kemurkaan:
Islam dan Dialog Antar Agama di Indonesia _689
“Kamu boleh sembahyang banyak-banyak, Aku tak kan dengarkan! Tanganmu berlumuran darah, Cucilah dan bersihkanlah dirimu! Singkirkan kejahatanmu itu dari pandangan-Ku! Berhentilah berbuat keji! Cari keadilan! Bantu kaum tertindas! Perhatikan anak-anak yatim Santuni janda-janda miskin.”13 Nabi-nabi besar kita, mulai dari Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, sampai Nabi Muhammad melakukan dialog langsung dengan realitas. Mereka telah menyingsikan lengan baju dan bahu-membahu membebaskan umat dari kemiskinan, penyakit dan juga penderitaan hidup (seperti bencana alam). Mereka memulai dialog, berangkat dari realitas kemanusiaan sendiri. Jika kita memang mengikuti jalur mereka, mengapa harus menunda? Kita saatnya kita berkarya!
690_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Daftar Pustaka
Gaudeul,J.M. Encounters & Clashes: Islam and Christianity in History. Vatikan: Pontificio Instuto di Studi Arabi e d’Islamistica (P.I.S.A.I.), 2000. Madjid, Nurcholish. Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 2003. Nasr, Seyyed Hossein. Tasawuf Dulu dan Sekarang. Terj. Abdul Hadi W.M. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002. Troll, Christian W. Muslim Bertanya Kristen Menjawab. Terj. Markus Solo Kewuta. Jakarta, Elex Media Komputindo, 2011. Sumber Lain: www. kemenag.go.id
Islam dan Dialog Antar Agama di Indonesia _691
Endnotes
1. Sumber Data Keagamaan Tahun 2008, Kementerian Agama Republik
Indonesia (www. kemenag.go.id), yang diakses pada 26 November 2010. dengan komposisi sebagai berikut: Islam 192.932.919 (88, 8 %), Protestan 12.395.753 (5,7 %), Katolik 6.563.199 (3,0 %), Hindu 3.698.282 (1,7 %), Budha 1.306.248 (0,6 %), Khonghucu 205.808 (0,1 %) dan lainnya 243.931 (0,1 %).
2. Nurcholish Madjid. Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 2003, h. 90.
3. Komaruddin Hidayat pada Pengantar Buku Muslim Bertanya Kristen
Menjawab karya Christian W. Troll. Jakarta, Elex Media Komputindo, h. Xiii -Xiv.
4. Misalnya perdebatan yang terjadi di antara St. John of Damascus, Theodeore
Abu Qurra, The Catholicos Timothy I, ‘Ammar al-Basri, Abu Raitah dari para pemikir Kristiani dan ‘Ali Bin Sahl Bin Rabban al-Thabari, Amr Ibn Bahr al-Jahiz, al-Hashimi dan al-Kindi dari para pemikir Islam. Di mana masing-masing saling menyampaikan argumentasinya menyangkut ajaran yang lain tanpa sungguh-sungguh mengerti ajaran yang lain tersebut. Maka dialog yang terjadipun alih-alih saling “sinergis” dan “harmonis”, yang ada sebaliknya yaitu saling menyerang. Untuk lebih detailnya dapat dibaca J.M. Gaudeul. Encounters & Clashes: Islam and Christianity in History. Vatikan: Pontificio Instuto di Studi Arabi e d’Islamistica (P.I.S.A.I.), 2000.
5. Seyyed Hossein Nasr. Tasawuf Dulu dan Sekarang. Terj. Abdul Hadi W.M. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002, h. 176.
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Ibid., h. 177. Ibid, h. 181. Ibid. 196 – 197. Ibid. 201-202. Ibid. 218. Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, h. 98. Ibid, h. 99 – 100. Ibid, h. 101.
Formulation of Political Islam: a Civil Society Building Effort Rumusan Politik Islam Upaya Membangun Masyarakat Madani
Adlan Nawawi Indopol Research Centre, Jakarta email :
[email protected]
Abstract : Since the sticking issue of terrorism, especially after the events of 9/11, Islam is seen as a religion of violence, radicalism, intolerance and exclusiveness. In fact, when viewed more closely, the teachings of Islam and the historical evidence of the birth of this religion until the formation of Medina under the leadership of Prophet Muhammad SAW, which seem is the opposite. This period was a time of a very modern era. This paper attempts to describe the political views or political ideals of Islam as well as the concept of community development that proves that Islam is a tolerant, peaceful, and inclusive religion. This presentation will move from the life of Prophet Muhammad in Medina (Yathrib).
Abstraksi : Semenjak isu terorisme mencuat, terutama paska peristiwa “Sebelas September”, Islam seakan dipandang sebagai agama yang penuh kekerasan, radikalisme, intoleran dan anti-inklusivitas. Jika dilihat dari ajaran Islam dan awal sejarah kelahirannya hingga terbentuknya masyarakat Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, justru periode ini disebut sebagai masa yang amat modern di eranya. Tulisan ini
Rumusan Politik Islam Upaya Membangun Masyarakat Madan _693 mencoba memaparkan political view atau cita-cita politik Islam sekaligus konsepnya tentang pembangunan masyarakat, yang tentu saja tidak sejalan dengan pemahaman tersebut di atas. Pemaparan ini akan beranjak dari kehidupan Nabi SAW di Madinah (yang mana sebelum kedatangan Nabi SAW kota ini dikenal dengan nama Yastrib). Keywords: Madina Charter, Political Islam, Brotherhood, Openness, Development, Civil Society
A. Inspirasi Madinah Tatkala Nabi Muhamamad SAW sampai di Madinah setelah berhijrah dari Mekkah (622 Masehi)1, ada beberapa hal penting yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Pertama, pembangunan mesjid2. Dalam rangka membangun mesjid, tujuan Rasulullah membangun mesjid bukanlah semata-mata untuk menyiapkan tempat beribadah bagi kaum Muslim, melainkan pusat kegiatan umat Islam. Tak heran kemudian apabila mesjid Nabawi 3 lantas memiliki fungsi yang luas, seperti tempat untuk bermusyarawah, arena latihan bela negara, tempat pengobatan kaum Muslim, hingga tempat penampungan bagi mereka yang tidak memiliki tempat tinggal atau juga tempat bagi tahanan perang. Kedua, wadah persaudaraan (ukhuwah)4. Dalam rangka membangun persaudaraan tersebut, Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajir dan kaum Anshar5, Abdurahmman bi Auf dengan Sa’an bin Rabi, Abu Bakar dengan Kharijah bin Zaid, Umar Ibn al-Khattab dengan Ustman bin Malik, Utsman Bin Affan dengan Aus bin Tsabit, Hamzah bin Abdul Muththalib dengan Zaid bin Haristah dan lain sebagainya6. Momentum persaudaraan ini membawa dampak positif. Pertama, ketika kaum Muhajir berhijrah dari Mekkah ke Madinah, mereka tidak membawa bekal harta benda, lantaran dihalang-halangi oleh kaum musyrik Mekkah. Kalaupun mereka akhirnya dapat pergi ke Madinah, itu pun harus menyerahkan terlebih dahulu harta benda mereka. Prasyarat inilah yang dialami oleh Shuhaib7. Momentum persaudaraan membuat
694_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
kaum Anshar membuka hati dan tangan mereka untuk membantu kaum Muhajir. Problem ekonomi kaum pendatang pun dapat teratasi, meski untuk sementara. Kedua, momentum persaudaraan telah menghapus sekat-sekat perbedaan di antara kaum Muslim. Hal ini tampak dalam pertautan Hamzah dan Zaid. Hamzah merupakan keturunan orang terkemuka dari Mekkah dari suku Quraisy sementara Zaid merupakan bekas hamba sahaya. Ketiga, penggalangan kerukunan dan solidaritas8. Di Madinah, selain suku Aus dan Khrazraj, di tempat ini juga bermukim orang-orang Yahudi. Mereka terdiri dari tiga suku besar yakni Quraizhah, an-Nadhir dan Qainuqa. Untuk menjamin keamanan dan kedamaian yang dapat dinikmati oleh semua pihak, Rasulullah merumuskan apa kemudian yang dikenal luas sebagai Piagam Madinah. Piagam Madinah9 ini memuat pelbagai point. Di antaranya mencanangkan ketetapan bahwa kaum mukmin tidak boleh meninggalkan garapan pekerjaan yang dibutuhkan sampai kebutuhan tersebut terpenuhi. Kaum mukmin harus bertindak tegas terhadap setiap perbuatan tercela kendati kepada anak kandung mereka sendiri. Disebutkan pula di piagam tersebut bahwa orang Yahudi yang mau mengikuti aturan tersebut harus ditolong dan berhak mendapat perlakuan baik dan tidak boleh dianiaya sama sekali. Kaum Yahudi juga harus satu pihak dengan kaum mukmin dalam setiap peperangan. Dalam hal keyakinan, masing-masing pihak berhak menjalankan keyakinan mereka. Kedua belah pihak pun harus saling menolong demi mempertahankan kedamaian bersama terlebih dalam menghadapi siapapun yang mencoba menodai piagam bersama tersebut. Singkatnya, isi Piagam Madinah ini memuat dan menjelaskan pelbagai hak dan kewajiban umat (ummah)—di mana pengertian umat di piagam ini tidak sekadar mengacu kepada mereka yang memiliki persamaan agama saja namun juga mengacu kepada mereka yang berbeda-beda agama dan etnis10, pelarangan penganiayaan satu sama lain dan kepastian hukum.11
Rumusan Politik Islam Upaya Membangun Masyarakat Madan _695
Piagam Madinah merupakan dustur atau undang-undang yang mengatur seluruh penduduk Madinah. Tata bahasa yang dipergunakan mirip dengan tata bahasa undang-undang atau perjanjian yang bersifat rinci, jelas dan mencakup seluruh aspek kehidupan Madinah. Isi Piagam Madinah berlaku kepada tiap penduduk atau warga Madinah tanpa terkecuali12. Keempat, membangun pasar serta interaksi, sistem dan peraturannya13. Rasulullah menyadari bahwa kekuatan ekonomi merupakan pilar kehidupan masyarakat. Rasulullah pun membangun pasar yang berlokasi tidak jauh dari mesjid Nabawi. Untuk interaksi dan peraturanperaturannya, ia menekankan agar pelaku pasar tidak menipu, mengurangi timbangan serta menetapkan pajak atasnya. Rasulullah bersabda: ”Inilah pasar kalian, jangan sampai dikurangi dan jangan juga menetapkan pajak atasnya” (riwayatkan Hr. Ibnu Majah). Dalam hadist lain, ia menyatakan: “Siapapun yang menipu kami, maka dia bukan golongan kami (umat Islam)”14.
B. Rumusan dan Cita-Cita Politik Beranjak dari tipikal kehidupan politik awal di masa kerasulan itulah, kita dapat mencandra rumusan dan cita-cita politik Islam. Meski demikian, sebelum terlebih lanjut mengurai rumusan dan citacita tersebut, diskursus politik secara umum telah tersaji dalam praktik kehidupan masayarakat pada zaman Yunani Kuno dan di masa Abad Pencerahan di Eropa. Di masa inilah karakter dan idealisme politik yang terkait dengan konsepsi politik, khsuusnya konsep negara, asal-usul dan tujuan negara15. Contoh pemikiran politik (konsepsi negara) yang timbul di era Yunani kuno misalnya dikemukan oleh Protagoras (490-420 SM), Plato (427-347 SM) atau juga Aristoteles (384-322 SM). Protagoras berpandangan bahwa negara ada sebagai instrumen dalam mencapai tujuan-tujuan manusia. Ini lantaran manusia tidak dapat hidup dan mengatasi kesulitannya
696_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
sendiri-sendiri. Karena itulah negara dibentuk sebagai mekanisme yang digunakan manusia untuk mencapai apa yang dikehendakinya16. Plato beranggapan bahwa negara bukan hanya dibentuk atau terbentuk untuk mengatasi problem eksternal manusia melainkan juga untuk segenap kebutuhan internal manusia—dimana kebutuhan internal itu tidak dapat diwujudkan kecuali adanya kerjasama antara sesama manusia dalam suatu organisasi (yang bernama negara). Plato memandang bahwa tujuan negara adalah sebagai suatu sistem pelayanan yang mengharuskan setiap warga negara untuk saling mengisi, memberi dan menerima, membangun dan memperhatikan kebutuhan satu sama lain17. Konsepsi negara Plato adalah konsepsi negara yang menekankan kesejahteraan sosial. Sementara itu Aristoteles berpandangan bahwa negara terbentuk dalam proses perkembangan persekutuan hidup yang sesuai dengan kodratnya. Mula-mula pria dan wanita bergabung membentuk keluarga dan selanjutnya keluarga tumbuh dan berkembang menjadi banyak lantas terbentuklah kumpulan yang lebih besar (kalau dalam istilah kita saat ini mungkin ini mirip dengan desa). Kumpulan yang lebih besar tersebut, yang terdiri dari keluarga, selanjutnya berkembang dan lantas terbentuklah polis—secara harafiah kata ini berarti kota atau negara kota18. Berkaitan dengan tujuan negara, Aristoteles berpendapat bahwa tujuan dari negara adalah untuk mewujudkan kebaikan yang tertinggi. Oleh sebab itu negara harus menjamin adannya kebaikan semaksimal mungkin bagi seluruh warganya baik secara kualitas ataupun secara kuantitas19. Di masa yang lebih lanjut, utamanya pada masa abad Pencerahan20 konsepsi negara itu makin berkembang. Misalnya seperti yang dikemukan oleh John Locke (1632-1704), Montesquieu (1689-1755), Adam Smith (1723-1790) atau juga Karl Marx (1818-1883). John Locke memandang keberadaan negara untuk menjamin keamanan hak-hak induvidu. Hakhak yang diungkap oleh Locke di antaranya hak untuk hidup (life), hak
Rumusan Politik Islam Upaya Membangun Masyarakat Madan _697
atas kepemilikan (property) dan hak atas kebebasaan (liberty). Sementara itu, agar negara atau penguasa di dalam menjalankan fungsinya tidak terjatuh pada sikap sewenang-wenang atau tirani, maka diperlukan pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Montesquieu mengemukan konsep Trias Politica. Trias Politica ini adalah pembagian kekuasaan berdasarkan tiga bagian, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Legislatif adalah bagian kekuasaan pembentuk undang-undang. Eksekutif adalah bagian kekuasaan yang menjalankan undang-undang. Adapun yudikatif adalah bagian kekuasaan mengadili. Pembagian ketiga kekuasaan ini bagi Montesquieu bertujuan untuk menjamin adanya kemerdekaan. Apabila kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada tangan yang sama, tidak mungkin terdapat kemerdekaan. Jika kekuasaan yudikatif tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan legislatif, kemerdekaan itu pun juga tidak bisa ditegakkan. Adapun Adam Smith, kendati dia lebih dikenal sebagai pemikir ekonomi, pemikirannya yang berkaitan tentang bagaimana ekonomi dikelola memperlihatkan bagaimana pandangan politiknya. Dalam bidang ekonomi Smith menggagas sistem ekonomi liberal. Sistem ini digagas oleh Smith untuk menentang sistem ekonomi merkantalisme yang sangat menekankan campur tangan (intervensi) pemerintah dalam memajukan perekonomian. Untuk itu, Smith mengajukan teorinya tentang peran negara dimana menurut Smith peran negara mesti dibatasi. Peran negara itu seperti terbatas untuk pemeliharaan ketertiban, perlindungan hukum, dan pertahanan keamanan21. Sementara itu dalam bidang ekonomi, Smith lebih menghendaki adanya kebebasan dan tanpa campur tangan negara22. Berbeda dengan para pemikir sebelum, Marx memandang negara sebagai perwujudan kepentingan kaum elit (kapitalis). Negara dalam pandangan Marx tidak pernah benar-benar netral. Kaum proletar termarginalkan dan terasingkan. Oleh karena itu, Marx menghendaki adanya penghapusan negara dan bertujuan untuk menciptakan masyarakat tanpa negara.
698_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Bagaimana konsepsi Islam tentang negara? Islam sebetulnya tidak pernah berbicara (atau menentukan) tentang bentuk negara mana yang baik yang harus diikuti oleh umat Islam23. Kata daulah (negara) pun dalam al-Quran tidak pernah ditemukan kecuali hanya sekali yakni di Surat Al Hasyr ayat 7 dan itu pun tidak mengacu kepada pengertian negara melainkan dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan. Belakangan, dalam perjalanan waktu, makna harafiah ini baru berkembang untuk menyatakan kekuasaan politik karena kekuasaan itu selalu berpindah tangan24. Penjelasan ini tidak lantas menyimpulkan bahwa Islam menolak pendirian negara (apalagi meniadakan negara). Negara dalam pandangan Islam, seperti yang diungkapkan oleh pemikir Islam kontemporer, Fazlur Rahman (1919-1988) hanyalah sebagai alat (sarana) bagi agama, ia bukan sesuatu ekstensi dari agama25. Karena itu, seperti apa yang terlihat dari kehidupan Rasulullah saat di Madinah, ia membangun umat (ummah), bukan negara (daulah). Dalam bahasa lain, kekuasaan yang dipegang oleh Rasulullah dijadikan sebagai sarana untuk membangun umat. Rasulullah membangun umat baik dalam dalam kalangan internal atau lingkungan masyarakat muslim itu sendiri maupun umat dalam pengertian kumpulan orang-orang yang berbeda-beda agama dan etnis26. Dalam pembangunan umat, Rasulullah membangun mesjid (sebagai pusat kegiatan umat Islam) dan mempersaudarakan antara kaum Muhajir dan Ashar (untuk mengikat saling kepedulian, perhatian dan cinta). Dalam membangun umat, dalam pengertian kumpulan orang-orang yang berbeda-beda agama dan etnis, Rasulullah menginisiasi pedoman (Piagam Madinah) yang memuat hak dan kewajiban warga Madinah yang terdiri dari beragam agama dan etnis, di antaranya mereka harus saling tolong menolong dalam urusan bersama dan menghargai hak masing-masing dalam menjalankan keyakinan. Dengan adanya piagam ini, masyarakat untuk lebih memiliki komitmen, keterlibatan dan partisipasi dalam kaitannya sebagai warga (Madinah).
Rumusan Politik Islam Upaya Membangun Masyarakat Madan _699
Pandangan dan cita-cita politik Islam tersebut bukanlah kepada apa bentuk dan pola negara yang hendak dibangun melainkan bagaimana mengelola masyarakat. Dengan kata lain pandang dan cita-cita politik Islam adalah perihal pengelolaan masyarakat27. Dalam pengaturan atau pengelolaan masyarakat tersebut terdapat prinsip-prinsip yang harus dijalankan. Prinsip-prinsip tersebut adalah persamaan atau kesederajatan, keterbukaan atau inklusivitas, kepedulian atau persaudaraan (saling menghargai, membantu dan memperhatikan) dan keadilan.
C. Pembangunan Masyarakat Sejak awal, Rasulullah menghadapi persoalan yang tidak mudah. Madinah telah menghadapi pertentangan suku dan eonomi. Selain itu, ciri masyarakat lebih majemuk ketimbang masyarakat Makkah28. Di Madinah pun terdapat pelbagai keyakinan29 dan etnis30. Namun, kemajemukan atau keberagaman masyarakat sebelum Rasulullah bukanlah kemajemukan atau keberagaman yang konstruktif. Mereka satu sama lain saling menguasai, menghina, dan bukan membangun, menjaga atau menghormati31. Dalam kehidupan ekonomi, sistem pasar dikuasai oleh kaum Yahudi khususnya dari bani Qainuqa`. Praktik kecurangan, riba dan monopolistik masih tampak terlihat. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, Rasulullah melakukan konsolidasi, dengan mempersaudarakan antara pihak-pihak yang bertentangan32. Kebersamaan mereka semakin erat dengan berdirinya mesjid Nabawi secara bersama-sama. Di mesjid ini mereka dapat pula saling bermusyawarah dan bertukar pikiran untuk memecahkan persoalan umat. Rasulullah pun menginisiasi sebuah piagam (Piagam Madinah) yang memuat pelbagai hal yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat di Madinah. Seperti yang sudah disebutkan di awal tulisan ini, piagam ini memuat perlbagi hak dan kewajiban warga Madinah33. Jika ditilik, Piagam Madinah tersebut menyimpan berbegai prinsip atau asas
700_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
(semangat). Di antara prinsip atau asas itu adalah asas persatuan, asas kebersamaan, asas kebebasan beragama, asas keadilan, asas musyawarah dan lain sebagainya. Asas persatuan misalnya tercermin dari kalimat di Piagam Madinah yang menyatakan bahwa “Masyarakat Yahudi Bani ‘Auf adalah satu umat (kesatuan masyarakat) dengan orang-orang beriman”. Asas kebersamaan tercermin dari kalimat yang tertera di Piagam Madinah yang menyatakan bahwa “Orang-orang beriman harus membantu sesama mukmin dalam memikul beban utang yang berat atau dalam membayar tebusan tawanan dan diyah. Asas kebebasan beragama tercemin melalui bunyi kalimat di Piagam Madinah yang menyatakan bahwa “Masyarakat Yahudi bebas melaksanakan agama mereka (dalam piagam ini disebut sekian banyak kelompok Yahudi yang memiliki hak yang sama) dan kaum muslim pun demikian. Asas keadilan tercermin dari bunyi pasal Piagam Madinah yang menyebutkan bahwa “Seorang tidak boleh dihalangi dalam menutut haknya”. Dan asas musyawarah tercermin dari butir kalimat yang ada di Piagam Madinah yang menyatakan bahwa “Persetujuan damai orang-orang mukmin sifatnya satu sehingga tidak dibenarkan seorang mukmin mengadakan perjanjian sendiri dengan meninggalkan mukmin lainnya dalam keadaan perang di jalan Allah”.Menghadapi kondisi praktek ekonomi yang tidak sehat, Rasulullah membangun pasar34 yang menerapkan peraturan-peraturan yang melarang berbuat curang, menipu, berbohong serta riba35, termasuk menaikkan harga secara sepihak.36 Dengan demikian, ada beberapa hal yang menjadi rumusan dan cita-cita politik Islam yang tercermin dari kehidupan awal Rasulullah d Madinah. Pertama, pembangunan masyarakat dalam Islam mengutamakan persatuan37 dan perdamaian38. Lahirnya piagam Madinah adalah satu bentuk dari bagaimana Islam membangun persatuan dan perdamaian di antara masyarakat yang majemuk di Madinah. Islam mengedepankan persamaan, kebersamaan dan persaudaran. Kedua, pembangunan dalam Islam tidak menafikan perbedaan39. Ini terlihat saat Rasulluah memimpin
Rumusan Politik Islam Upaya Membangun Masyarakat Madan _701
Madinah dimana dalam Piagam Madinah seluruh entitas masyarakat mulai dari yang berlatar belakang etnis hingga agama yang diakui keberadaan dan dijamin hak-haknya. Ketiga, pembangunan masyarakat dalam Islam berlandaskan kemanusian.40 Hal ini terlihat dari bagaimana salah satu isi Piagam Madiah yang melarang melakukan penganiayaan dan membela mereka yang lemah. Keempat, pembangunan dalam Islam mengarahkan masyarakat menjadi adil, jujur, dan tidak saling mengobjektifisir satu sama lain. Hal ini terlihat tatkala Nabi Muhammad SAW membangun pasar. Pasar di Madinah sebelum kedatangan Nabi SAW kerap diisi dengan praktek riba, kecurangan, penipuan dan tipu muslihat. Padahal kegiatan ekonomi adalah salah satu sendi interaksi manusia. Jika interaksi manusia diisi dengan cara-cara yang semcam itu, bisa berdampak secara sosial seperti timbulnya keterpecahan sosial dan eksploitasi.41 Kelima, pembanguan masyarkat dalam Islam mengarahkan lahirnya komitmen, keterlibatan dan partisipasi masyarakat.42
D. Masyarakat Madani Secara umum, pembangunan masyarakat yang dilakukan oleh Rasulullah inilah yang disebut sebagai pembangunan “Masyarakat Madani”.43 Pembangunan masyarakat dalam Islam adalah pembangunan yang membangun masyarakat yang madani yang bercirikan keterbukaan, partisipasi, persaudaaran dan kesederajatan, menghargai perbedaan dan humanis. Dengan demikian, politik Islam adalah sebentuk pembangunan dan pengelolaan pengelolaan masyarakat.44 Sementara pembangun masyarakat dalam Islam adalah tentang pewujudan masyarakat madani. Kedua hal itu terbangun secara bersama. Pengelolaan masyarakat adalah bagaimana membangun koeksistensi (kebersamaan) sesama induvidu. Koeksistensi yang terbangun tersebut akan menjadikan induviduinduvidu bukan sekadar kerumunan orang melainkan sekumpulan orang yang memiliki “aturan” atau “struktur”.
702_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Persoalan kemudian, aturan atau struktur masyarakat seperti apa yang hendak dibangun? Di sinilah terlihat kaitan antara politik Islam dengan pembangunan masyarakat. Struktur atau aturan masyarakat yang dingin diwujudkan tersebut (dalam Islam) adalah struktur atau aturan masyarakat yang tiap anggotanya dimaknai sebagai bagian dari diri sendiri (persaudaraan dan kasih sayang)45, induvidu-induvidu yang sama-sama memiliki hak dan kewajiban (kesederajatan) dan saling hargamenghargai (keterbukaan). Politik itu dimaknai sebagai kendaraannya, sementara pembangunan masyarakat dalam Islam itu (seperti yang sudah dibahas sebelumnya), itu adalah arah dan tujuan yang hendak dituju. Dalam konteks di Indonesia, politik dan pembanguan masyarakat dalam Islam tersebut, sangat sesuai untuk diterapkan. Dengan kata lain, menjadikan Madinah sebagai paradigma membangun bangsa. Hal ini bukan karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, namun karena mengingat latar belakang sosio-politik-kultural negeri ini yang heterogen. Kesesuaian tersebut bisa diciptkan dengan cara: pertama, politik harus dimaknai sebagai sarana dan bukan tujuan. Ibn Taimiyah (661-729 H) dalam menafsirkan Surat Al-Hadid ayat 25 yang berbunyi: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia dan suapaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maka Perkasa”, mengatakan bahwa agama yang benar wajib punya “buku petunjuk” dan “pedang penolong”46. Maksud Ibn Taimiyah mengatakan demikian adalah bahwa di samping petunjuk maka Islam juga membutuhkan suatu organisasi politik (kekuasaan politik) yang disimbolkan dengan pedang (besi).
Rumusan Politik Islam Upaya Membangun Masyarakat Madan _703
Tapi perlu ditekankan di sini bahwa organisasi atau kekuasaan politik itu bukanlah agama. Dia hanya sarana (kendaraan) dan bukan ekstensi agama47. Dan seperti yang dapat dilihat, seluruh tindakan kehidupan Rasulullah saat memimpin kota Madinah memperlihatkan bagaimana politik itu dimaknai sebagai sarana. Kedua, pembangunan masyarakat (salah satunya dengan memanfaatkan kekuasaan yang diemban) haruslah diarahkan bagi pembentukan masyarakat yang madani. Tujuan itu dilakukan dengan: 1) terus mendorong rasa persaudaraan baik di kalangan umat Islam sendiri maupun masyarakat Indonesia sebagai bangsa; 2) mendirikan pusat-pusat kegiatan masyarakat dimana pusat kegiatan tersebut dijadikan tempat bersama untuk memusyawarahkan (menyelesaikan) persoalan masyarakat (umat); 3) membangun kesadaran masyarakat agar mempunyai komitmen, keterlibatan dan partisipasi sebagai warga negara; 4) membangun rasa penghormatan atas kemajemukan; dan 5) membangun pratek ekonomi, sosial, politik hingga budaya yang tidak meninggalkan nilai-nilai luhur (moralitas). Dengan demikian, kontekstualisasi kehidupan Islam di Madinah telah mencirikan sebentuk upaya polik dan pembangunan yang tidak hanya didasarkan atas bangunan simbol, tapi lebih kepada tujuan subtantif dari kehidupan masyarakat. Tentu saja, proses tersebut bisa diterima oleh semua kalangan, karena memiliki landasan yang universal. Hal itulah yang menjadikan kehidupan awal masa kerasulan Muhammad SAW di Madinah telah menginspirasi kehidupan politik modern48, termasuk upaya membangun masyarakat politik Indonesia saat ini.
704_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Daftar Pustaka
Al-Buraey, A. Muhammad. Islam Landasan Al-ternatif Administrasi pembangunan (ter.), Jakarta: CV. Rajawali, 1986. Al-Maududi, Abd A’la. Hukum Dan Konstitusi Sistem Politik Islam (ter.), Bandung: Mizan, 1995. Al-Bana, Gamal, Relasi Agama dan Negara, Jakarta: Mataair Publishing, 2006 Aqiel Siradj, Said. Islam Kebangsaan Fiqih Demokrasi Kaum Santri, (Jakarta: Psutaka Ciganjur, 1999). Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010. As’ad, Mahrus dkk, Ayo Mengenal Kebudayaan Islam, Jakarta: Erlangga, 2009. Asnawi, Muhammad, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: Aneka Ilmu, 2009. As-Siba’i, Musthafa Husni, Khazanah Peradaban Islam, Terjemahan Abdullah Zakiy Al-Kaaf, Bandung: Pustaka Setia, 2002. Darsono dan Ibrahim, Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam 1, Solo: Tiga Serangkai, 2009. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Duta Ilmu, 2006. Effendy, Bahtiar. Islam Dan Negara Transformasi Pemikiran Dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998. Eugene Smith, Donald. Agama Dan Modernisasi Politik Suatu Kajian Analitis (ter.), Jakarta: CV. Rajawali, 1985. Esposito, Jhon L. Islam Dan Pembangunan Ensiklopedi Masalah-Masalah (ter.), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994). Hal. 167. Fazrul Rahman. Tema Pokok Al-Qur’an (ter.), Bandung: Penerbit Pustaka, 1983. Khan, Qomaruddin, The Political Thought of Ibu Taimiyah, Islamabad:
Rumusan Politik Islam Upaya Membangun Masyarakat Madan _705
Research Intitute, 1973. Hisyam, Ibnu, Sirah Ibnu Hisyam, Jilid II, Mesir: Matba’ah Mustafa, 1937. Madjid, Nurcholish. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Paramadina, 1999. —, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987 Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI Press, 1985. Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996. —, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW dalam sorotan Al-Quran dan Hadist-hadist Shahih, Jakarta: Lentera Hati, 2011. —, Menabur Pesan Ilahi: Alquran dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Lentera Hati, 2006 —Lentera Al-quran: Kisah dan Hikmah Kehidupan, edisi ke-2, Jakarta: Mizan: 2008 Syafii Ma’arif, Ahmad. Studi tentang Percaturan Dalam Konstituante Islam Dan Masalah kenegaraan, Jakarta: Pustaka LP3ES, 1985, hal. 16. Syalabi, A, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1990. Syafri, Ulil Amri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-quran, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012. Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2011. Zuhairi, Misrawi, Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah dan Teladan Muhammad SAW, Jakarta: Kompas, 2009.
706_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Endnotes
1. Sebelum Rasululluah berhijrah ke Madinah, Rasulullah telah mengutus
Mus’ab bin Umer untuk mengajarkan Islam kepada penduduk Madinah (utamanya bani Aus dan Khazraj). Rasulullah SAW sendiri berhijrah ke Madinah bersama Abu Bakar sementara kaum muslim yang lain telah terlebih dahulu berangkat ke Madinah.
2. Gamal Al-Bana, Relasi Agama dan Negara (Jakarta, 2006) hlm.14. 3. Mesjid Nabawi pada awal pembangunannya hanya seluas 70 x 60 hasta
atau 31,5 x 27 meter. Lokasi tempat pembangunan mesjid Nabawi ini dipilih Rasulullah di tempat unta beliau pertama kali “duduk” kala sampai di Madinah untuk pertama kali. Pada awalnya, lokasi tempat pembangunan mesjid Nabawi tersebut adalah tanah tempat mengeringkan kurma milik dua anak yatim yang dipelihara oleh As’ad bin Zararah (yaitu Suhail dan Sahel, putra-putra dari Nafi’ bin Umar bin Tsa’labah), yang kemudian dibeli oleh Rasullullah SAW. Di areal tanah itu terdapat juga beberapa pohon kurma selain juga terdapat pula beberapa kuburan tua. Rasullah SAW kemudian memerintahkan menebang pohon kurma tersebut dan memindahkan kuburan itu guna kebutuhan pembangunan mesjid. Quraish Shibab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW dalam Sorotan Al-Quran dan Hadist-hadist Shahih (Jakarta, 2011), hlm. 510.
4. Gamal al-Bana, Op.cit. hlm 15. 5. Kaum Muhajir ini adalah orang-orang melakukan hijrah dari Mekkah
sementara kaum Anshar (kaum penolong) adalah orang-orang Madinah yang mengikuti mereka yaitu terdiri dari suku Aus dan Khazraj.
6. Khalid Muh.Khalid, Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah (Bandung, 1983).
7. Ketika Shuhaib berhijrah, ia diikuti oleh sekelompok kaum musyrik yang
tidak memperbolehkannya berhijrah kecuali apabila ia menyerahkan seluruh harta bendanya. Shuhaib akhirnya memilih menyerahkan harta bendanya. Atas kejadiannya ini, turun Firman Allah SWT yang menyatakan: “Di antara manusia ada orang yang menjual (mengorbankan) dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambanya (Al-Baqarah : 2007). Nabi Muhammad SAW membacakan ayat ini kepada Shuhaib seraya berujar, “Beruntung jual belimu, wahai Shuhaib.” Quraish Shihab, Membaca SIrah Nabi Muhammad SAW dalam Sorotan Al-Quran dan Hadist-hadist Shahih (Jakarta, 2011), hlm. 513.
8. Gamal al-Bana, Op.cit. hlm. 15.
Rumusan Politik Islam Upaya Membangun Masyarakat Madan _707
9. Piagam Madinah dimulai dengan kalimat: “Ini adalah keputusan Muhammad
sebagai Rasullullah. Kepada segenap kaum mukminin dan muslimin baik dari bangsa Quraisy, Yastrib serta para pengikut dan orang-orang berjuang bersama mereka, mereka adalah satu bangsa”. Dalam Piagam Madinah ini disebutkan pula nama-nama suku kaum Anshar seperti Bani Auf, Bani al-Haris, Bani Sa’idah, Bani Jasim, Bani Al Najar, Bani ‘Amru bin Auf, Bani al-Nabit dan Bani al-Aus. Lihat Gamal al Bana, Op.cit.
10. Quraish Shihab, Lentera Al-quran, Kisah dan Hikmah kehidupan (Bandung, 2008) hlm.306.
11. Isi piagam Madinah terdiri dari sejumlah butir (pasal). Berikut butir-
butir Piagam Madinah tersebut: (a) Kaum muslim baik yang dari Mekkah maupun yang bermukim di Yastrib serta yang mengikut dan menyusul mereka dalam berjuang bersama adalah satu umat (kesatuan). (b) Kaum Muhajir dari kalangan Quraisy tetap dapat melaksanakan adat kebiasan mereka yang baik dan berlaku di kalangan mereka seperti bersama-sama menerima dan membayar tebusan darah di antara mereka (tebusan darah di sini maksudnya adalah imbalan materi yang diberikan oleh orang yang menganiya atau keluarganya kepada mereka yang dianiaya atau keluarga) dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang mukmin, demikian juga Bani Auf (Bani Auf terdiri dari sekian banyak kelompok yang dalam piagam ini disebutkan satu per satu) menurut adat kebiasaan mereka yang baik. (c) Orang-orang beriman harus membantu sesama mukmin dalam memikul beban utang yang berat atau dalam membayar tebusan tawanan dan diyah. (d) Orang mukmin harus melawan orang-orang yang melakukan kejahatan atau permusuhan dan perusakan walau terhadap anak-anak mereka. (e) Orang mukmin tidak boleh membunuh orang mukmin demi kepentingan orang kafir. (f) Siapapun dari kalangan Yahudi yang bersedia memihak kepada kelompok atau mengikuti kaum muslim, maka ia berhak mendapat pertolongan dan persamaan. (g) Persetujuan damai orangorang mukmin sifatnya satu sehingga tidak dibenarkan seorang mukmin mengadakan perjanjian sendiri dengan meninggalkan mukmin lainnya dalam keadaan perang di jalan Allah. (h) Tidak dibenarkan melindungi harta dan jiwa kaum Quraisy (yang kafir) dan tidak boleh juga merintangi orang beriman (dalam perjuangannya). (i) Bilamana terjadi perselisihan antara para penanda tangan piagam ini, maka keputusan dikembalikan kepada Rasul SAW. (j) Masyarakat Yahudi harus menanggung biayar perang (pertahanan) selama masih dalam keadaan perang. (k) Masyarakat Yahudi Bani ‘Auf adalah satu umat (kesatuan masyarakat) dengan orang-orang beriman. Masyarakat Yahudi bebas melaksanakan agama mereka (dalam piagam ini disebut sekian banyak kelompok Yahudi yang memiliki hak yang sama) dan kaum muslim pun demikian, bahwa tidak seorang pun di antara mereka yang boleh keluar kecuali atas izin Muhammad SAW. (l) Seorang tidak boleh dihalangi dalam menutut haknya. Barang siapa yang diserang,
708_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013 maka ia bersama keluarganya harus menjaga diri kecuali yang berlaku aniaya. (m) Orang Yahudi menanggung nafkah sesama mereka, orang-orang mukmin pun demikian. Tetapi, mereka semua (Yahudi dan Mukmin) harus saling membantu menghadapi pihak yang menentang piagam ini. Mereka semua sama-sama berkewajiban nasehat-menasehati, bantu membantu dalam kebajikan dan menjauhi dosa dan keburukan. (n) Seseorang tidak boleh melakukan keburukan kepada sesamanya dan bahwa pertolongan atau pembelaan harus diberikan kepada yang teraniaya. (o) Kota Yastrib adalah kota Haram (suci/terhormat) bagi para penanda tangan piagam ini. Kota yang dihormati tidak boleh dihuni tanpa izin penduduknya. (p) Siapa pun yang keluar atau tinggal di kota Yastrib, maka keselamatanya terjamin kecuali yang melakukan kezaliman atau kejahatan. Quraish Shihab, op.cit, hlm.518-520.
12. 13. 14. 15.
Gamal al-Bana Op.cit. hlm 16. Quraish Shihab, Op.cit. hlm. 520-523. Ibid. Rasulullah juga melakukan sensus penduduk muslim. M. Arskal Salim G.P. Etika Intervensi Negara; Persepektif Etika Politik Ibnu Taimiyah (Jakarta, 1999), hlm 2-7.
16. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta, 1999), hlm.71-73. 17. Perlu ditambahkan di sini bahwa Plato juga menghendaki adanya suatu
sistem pengaturan hak kepemilikan kekayaan di dalam hirarki kelas masyarakat. Ini dimaksudkan Plato tampaknya untuk menciptakan keadilan dan keseimbangan sosial yang pada gilirannya akan memelihara keutuhan suatu negara dari kekacauan dan hiruk-pikuk pergolakan. J.H.Rapar, Filsafat Politik Plato (Jakarta, 1988), hlm. 61-62. M. Arskal Salim G.P. Etika Intervensi Negara; Persepektif Etika Politik Ibnu Taimiyah (Jakarta, 1999), hlm.2-3.
18. J.H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles (Jakarta, 1988), hlm. 38-39. 19. M. Arskal Salim G.P., Op.cit. 20. Masa Pencerahan (Aufklarung) adalah salah satu periodeisasi dalam sejarah
perabadan Barat. Dikatakan sebagai masa Pencerahan, lantaran pada masa ini, yang ada sekitar abad ke-17, timbul pelbagai pemikiran-pemikiran baru dimana pemikiran baru itu timbul atas kemerdekaan pikiran manusia yang tidak lagi dikukung oleh otoritas di luar pikiran itu sendiri. Di masa inilah banyak aliran-aliran bertumbuh dan berkembang, tak terkecuali pemikiran politik. Di bidang ini, timbullah gagasan-gagasan yang berbeda sebelumnya dibandingkan dengan masa Abad Pertengahan. Pada masa Aufklarung atau Pencerahan ini timbul gagasan-gagasan seumpama manusia mempunyai hak-hak politik yang tidak boleh diselewengi oleh raja, yang menurut pola pada masa itu raja merupakan sumber kekuasaan absolut. Kecaman atas hak kekuasaan yang absolut yang dimiliki raja ini pun mendapat dukungan
Rumusan Politik Islam Upaya Membangun Masyarakat Madan _709 dari kalangan masyarakat menengah yang saat itu mulai memiliki pengaruh berkat kedudukan ekonomi dan mutu pendidikan mereka yang meningkat. Masa Pencerahan ini, dalam sudut pandang sejarah diawali terlebih dahulu oleh Renaisans dan Reformasi. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Yogyakarta, 2004) hlm.94-112.
21. M. Arskal Salim G.P. Op.cit. hlm. 5. Charles Hession, The Development of
Econoic Ideas, dalam Arthur L. Grey dan Jhon E.Eliot, Economic Issues and Policies: Reading in Introductory Economics (USA, 1961), edisi kedua, hlm. 2122.
22. Ada ungkapan Smith yang terkenal yaitu the Invisible Hand. Ungkapan ini
untuk menggambarkan bahwa ekonomi masyarakat akan bergerak sendiri dan akan mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan yang lebih luas tanpa campur tangan pemerintah.
23. Agak mengapa Islam (baca: Al-Qur’an) tidak pernah menentukan bentuk
negara mana yang baik yang mesti diikuti oleh umat Islam, ini dapat dimengerti berdasarkan beberapa alasan. Pertama, Al-quran, yang merupakan sumber utama Islam, bukanlah berisi teori-teori kenegaraan melainkan berisin petujuk etis bagi manusia. Kedua, sudah merupakan kenyataan bahwa intitusi-intitusi sosio-politik dan organisasi manusia selalu berubah dari masa ke masa. Jadi yang ditekankan oleh Islam adalah ada pada bagaimana nilai-nilai dan perintah etik tersebut dinjunjung tinggi sekaligus bersifat mengikat atas kegiatan-kegiatan sosio-politik umat manusia. Nilai-nilai itu seperti keadilan, persamaan dan kemerdekaan. Dari sudut pandang ini, dapat juga dikatakan suatu negara memiliki corak Islam bila nilai-niai tersebut benar-benar hidup dan terwujud dalam suatu negara. Safii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante; Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta, 1985), hlm 15-16. Muhammad Asad, The Principles of State and Government in Islam (Berkeley, 1961).
24. Safii Maarif, Op.cit. hlm. 15. 25. Fazlur Rahman, Islam and State. Makalah yang disajikan pada the Conference
of Reliqious Conviction and Public Action: The Life of Faith in a Pluralistic Wold. hlm. 2.
26. Al-Quran menggunakan kata umat untuk arti yang menggambarkan adanya
ikatan-ikatan tertentu yang menghimpun sesuatu. Karena itu, manusia adalah umat pada saat terjalinnya ikatan yang menghimpun mereka, burung pun demikian dan lain-lain. Himpunan juga dinamai Al-quran umat seperti agama dan waktu. Dengan demikian, arti kata umat dalam Al-Quran begitu luwes dan luas. Dalam konteks kemasyarakatan (kenegaraan), kata umat ini, misalnya seperti yang diungkapkan Dr. Muhammad Imarah, cendekiawan Mesir kenamaan, masyarakat yang dibentuk oleh Nabi di Madinah, yang tampak secara jelas dalam piagamnya, telah dibedakan antara umat yang
710_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013 diikat oleh agama yang sama dan umat yang terdiri dari berbagai etnis (namun diikat oleh himpunan kebijakan politik yang sama). Kendati keduanya berbeda atau dibedakan secara jelas, keduanya dipadukan dalam satu wadah. Dan wadah ini dinamai umat.
27. Masyarakat merupakan tempat dimana induvidu saling berinteraksi,
bertemu, bergabung dan mengaktulisasikan kehidupan bersama. Dalam kontek kehidupan bersama, dimana keberadaan manusia yang satu pasti bersinggungan dengan kehidupan manusia yang lain, tentu di kondisi seperti itu dibutuhkan pengaturan atau pengelolaan. Tujuannya ialah agar orang-orang di dalamnya dapat memenuhi kebutuhan dan mengembangkan diri. Dengan adanya pengaturan dan pengelolaan itu, maka masyarakat bukan semata-mata menjadi kumpulan atau kerumunan orang melainkan adalah himpunan yang memiliki struktur dan aturan. Orang-orang yang terhimpun di dalamnya tidak hanya bertanggungjawab terhadap dirinya tetapi juga mempunyai hak dan kewajiban. Singkatnya, mereka menjadi warga dari kebersamaan dan bukan sekadar induvidu yang lepas dari induvidu lain. Dan politik Islam menjadi fungsi pengaturan atau pengeloaan itu, yaitu menciptakan atau menghasilkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan kehidupan bersama sehingga memungkinkan kehidupan bersama berlangsung terus. Persis seperti inilah semangat politik dalam Islam dan tentu saja seperti yang disampaikan di atas pengelolaannya harus berlandaskan pada prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang luhur seperti persamaan, persaudaraan, keadilan, keterbukaan dst.
28. Madinah Pra-Islam melewati sejumlah fase sejarah yang unik dan menarik.
Fase tersebut yaitu fase Yatsrib, Arab Amalekit, kaum Yahudi, dan suku Arab dari Yaman. Dalam setiap fase mempunya kekhasan tersendiri, yang merupakan karakter dari setiap kelompok. Awal mula kedatangan orang-orang di Madinah ini, oleh sebagian pakar, dikatakan berasal dari sebuah tragedi yang menimpa kaum Nabi Nuh A.S. Sebagian dari umatnya tenggelam terbawa banjir besar sedangkan sebagian lagi, mereka yang mengikuti Nabi Nuh, selamat. Setelah berada di atas kapal 1 tahun 10 hari banjir surut dan sebagian dari mereka yaitu Yatsrib bin Qaniyah bin Mahlail bin Iram bin ‘Abil bin ‘iWardh bin Iram bin Sam bin Nuh A.S, pergi ke sebuah tempat. Mereka kemudian datang ke tempat ini (Madinah) pada tahun 2600 SM. Lalu tempat ini dikenal dengan nama Yatsrib sesuai dengan nama orang yang pertama kali datang ke tempat ini. Zuhairi Misrawi, Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah, dan teladan Muhammad SAW (Jakarta 2009) dan Dr. Sami bin Abdullah al-Maghluts, Atlas Perjalanan Hidup Nabi Muhamad (Jakarta 2008).
29. Di samping pemeluk Islam, di Madinah ada juga agama Yahudi dan Paganisme.
30. Etnis atau suku di Madinah seperti Suku ‘Auf , Sa’idah, Suku Al-Harits,
Rumusan Politik Islam Upaya Membangun Masyarakat Madan _711 Suku Jusyam, Najjar, ‘Amr, An-Nabit, Suku ‘Auz, Hazraj, Suku Jafnah.
31. Pada tahun kesepuluh kenabian, beberapa orang Madinah dari bani Khazraj
berkata kepada Nabi: “Bangsa kami telah lama terlibat dalam permusuhan, yaitu antara suku Khazraj dan ‘Aus”. Ucapan ini menujukan bahwa penduduk Madinah kendatai terdiri dari pelbagai suku dan keyakinan namun satu sama lain tidaklah hidup dalam kerukukna. Kedatangan bani Khazraj tersebut betul-betul menyatakan bahwa mereka benar-benar merindukan perdamaian. H. Fatah Syukur, Hijrah Nabi, Pendidikan Islam dan Piagam Madinah (malakah). 2011.
32. Ketika kaum Muhajir tiba di Madinah, kaum Anshar banyak sekali
memberi bantuan. Dalam Al-Quran, kebaikan dan kedermawanan mereka ini diabadikan dalam surat Al-Hasyr ayat 9 yang berbunyi: “Dan orangorang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apaapa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
33. Piagam ini (secara mencengangkan) telah mengatur apa yang sekarang oleh banyak kalangan disebutkan sebagai hak-hak sipil (civil rights) atau lebih dikenal dengan hak asasi manusia (HAM). Jadi, jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American Declaration of Independence) pada 1776 atau Revolusi Perancis pada 1789 atau juga Deklarasi Universal PBB tentang HAM pada 1948 dikumandangkan, Islam melalui Piagam Madinah telah jauh memulai tentang penghargaan hak asasi manusia.
34. Inisiatif Nabi SAW untuk membangun pasar ini juga didukung oleh salah
seorang tokoh Yahudi yang bernama Ka’ab Ashraf. Ka’ab menyerahkan tanahnya kepada Nabi SAW untuk dijadikan pasar bagi kaum muslimin.
35. Dalam Al-quran tidak sedikit ayat yang mengecam dan melarang manusia
untuk meninggalkan riba. Ayat-ayat tersebut seperti dalam Surat AlBaqarah ayat 275-281, Surat Ar-rum ayat 39, Surat An-nisa ayat 160-161, atau juga surat Ali Imran ayat 130. Sementara itu tak sedikit pula hadist Nabi yang mengecam tentang riba ini. Contohnya seperti hadist Nabi SAW, yang disampaikan beliau saat 9 dzulhijjah tahun 10 hijriah, “Ingatlah bahwa kamu akan memghadap Tuhanmu dan dia pasti akan menghitung amalmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tudak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”
36. Dr. Yusuf Qordhowi, pakar Islam kontemporer, dalam karyanya “Daurul
Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishod al Islamy” menjelaskan empat ciri ekonomi Islam.
712_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013 Keempat ciri tersebut yakni ekonomi rabbani, ekonomi akhlaqi, ekonomi insani dan ekonomi wasati. Keempat ciri tersebut member arti bahwa tidak lepas dari nilai ketuhanan, menjunjung tinggi nilai etika, kemanuisan dan berada di tengah-tengah (moderat).
37. Di dalam Al-quran, terdapat ayat-ayat menginatkan tentang pentingnya
persatuan. Seperti di Surat Al-Hujarat ayat 13 : “Wahai manusia! Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan. Kami jadikan kamu berbagai bangsa dan berbagai puak, supaya kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu bagi Allah, ialah yang paling takwa di antara kamu. Sungguh, Allah Maha mengetahui. Maha sempurna pengetahuanNya”. Atau juga di Surat Ali-Imran ayat 103: “Dan teguhlah sekaliannya berpegang kepada tali Allah. Janganlah berpecah belah antara kamu, Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu, Ketika kamu saling bermusuhan, Lalu kami padukan hati-hatimu, Sehingga dengan karunia-Nya kamu manjadi bersaudara.”
38. Ayat di dalam Al-quran yang memerintah membangun perdamaian
misalnya seperti yang terdapat dalam surat Al-Hujarat ayat 9: “Apabila dua kelompok Mukmin berselisih, lakukanlah ishlah (perdamaian) di antara keduanya……”
39. Ayat Al-quran yang membicarakan perbedaan (keyakina) dan saling menghormati dalam perbedaan misalnya adalah dalam surat Al-kafirun 1-6.
40. Ayat di dalam Alquran yang mengedapankan sikap humanis (dan
mengecamki perbuatan zalim dan aniaya terhadap manusia lain) contohnya seperti yang tersebut dalam Surat As-Syura 42:” Sesungguhnya dosa besar itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih“. Adapun hadisthadist Nabi SAW yang mengajurkan umatnya untuk berbuat humanis (kebaikan terhadap sesama) seperti hadist yang diriwayatkan dari Anas r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Hendaklah kamu menolong saudaramu yang menganiaya dan yang teraniaya“, sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, (benar) aku akan menolong apabila ia dianiaya, maka bagaimana cara menolongnya apabila ia menganiaya?” . Beliau menjawab: “Engkau cegah dia dari (perbuatan) penganiayaan, maka yang demikian itulah berarti menolongnya” (HR. Bukhari).
41. Tidak sedikit pula ayat Al-quran yang memerintahkan manusia agar dalam
kegitan usahanya berlaku jujur dan menjauhi dusta atau tipu. Ayat tersebut seperti dalam Surat Al-Muthaffifin ayat 1-6: “Kecelakaan besarlah bagi orangorang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam”. Atau juga dalam Surat Al-Isra ayat 35: “Dan sempurnakanlah takaran
Rumusan Politik Islam Upaya Membangun Masyarakat Madan _713 apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. Hadist Nabi SAW pun ada yang mengingat (kepada para pedagang) agar dalam berusaha menjauhi sikap dusta dan tipu. “Sesungguhnya pedagang kelak di hari kiamat akan dibangkitkan sebagai pendurhaka, kecuali orang yang takut kepada Allah, baik dan jujur.” (Riwayat Tarmizi, Ibnu Majah dan Hakim. Kata Tarmizi: hadis ini hasan sahih). Atau juga hadist Nabi SAW berikut. Dari Abu Said, Nabi SAW berkata: Ada seorang Arab gunung berjalan membawa seekor kambing, kemudian saya bertanya kepadanya: Apa kambing itu akan kamu jual dengan tiga dirham? Ia menjawab: Demi Allah tidak! Tetapi tiba-tiba dia jual dengan tiga dirham juga. Saya utarakan hal itu kepada Nabi, maka kata Nabi: Dia telah menjual akhiratnya dengan dunianya.” (Riwayat Ibnu Hibban).
42. Ayat Al-Kahfi 83-98 yang menceritakan tentang Zulkarnaen. Di bagian ini
dicertika bagaimana Zulkarnaen bertemu dengan satu penduduk yang meminta pertolonganya untuk terhindari dari Ya’juj dan Ma’juj. Zulkarnaen membantu mereka dengan membuat tembok dinding. Dalam membuat tembok dinding tersebut Zulkaranepun melibatkan penduduk tersebut. Di sini ditunjukan bagaimana dalam pandangan Islam masyarakat mesti memiliki keterlibatan dan partisipasi.
43. Kata madani dalam masyarakat madani di sini diambil dari kata madinah.
Secara etimologis, madinah adalah turunan dari kosakata Arab yang mempunyai dua pengertian. Pengertian pertama adalah madinah yang berati kota atau disebut dengan ”masyarakat kota”. Pengertian kedua adalah “masyarakat berperadaban” karena madinah adalah juga derivasi dari kata tamaddun atau madaniyah yang berarti “peradaban”, yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai civility dan civilization. Kata sifat dari kata madinah adalah madani. Adapun secara terminologis, masyarakat madani adalah komunitas Muslim pertama di kota Madinah yang dipimpin langsung oleh Nabi SAW dan diikuti oleh keempat sahabat yang dikenal alKhulafa al-Rasyidun. Masyarakat madani yang dibangun pada zaman Nabi SAW tersebut secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban atau civility. Model masyarakat ini kerap dijadikan model masyarakat modern, sebagaimana yang diakui oleh seorang sosiolog kenamaan Barat, Robert N. Bellah, dalam bukunya The Beyond of Belief (1976). Bellah, dalam laporan penelitiannya terhadap agama-agama besar di dunia, mengakui bahwa masyarakat yang dipimpin Rasul Allah SAW itu merupakan masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempatnya karena masyarakat Islam kala itu telah melakukan lompatan jauh ke depan dengan kecanggihan tata sosial dan pembangunan sistem politiknya.
44. Dalam konteks ini, “Islam politik” atau “politik Islam” secara normatif bersih dari elemen-elemen yang destruktif serta tidak memberikan peluang bagi penguasa atau umat untuk mengumbar ‘syahwat politik’ dengan cara
714_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013 saling berebut kekuasaan. Ini sebab dalam Islam kekuasaan itu sendiri diorientasikan semata-mata untuk melayani umat (baca; kekuasaan sebagai sarana bukan tujuan). Dengan demikian, penguasa dalam pandangan Islam sesungguhnya adalah pelayan atau pengurus umat dan bukan sebaliknya. Dengan pemahaman semacam ini, politik Islam sejatinya adalah politik yang bernilai luhur dan sakral karena ia merupakan bagian integral dari agama; berbeda dengan politik yang berkembang saat ini yang bersifat profan dan kering dari nilai-nilai spiritual.
45. Agama berpesan bahwa hubungan antara manusia adalah hubungan
persaudaran dan bukan hubungan take and give. Dengan kata lain, Islam menganjurkan kepada kita untuk memperlakukan sesama manusia sebagai saudara. (Saudara dalam bahasa Al-Quran adalah akh. Di dalam Al-quran ditemukan kata akh dalam bentuk tunggal sebanyak 52 kali, sebagian dalam arti saudara kandung, lainnya lagi dalam arti saudara sebangsa meskipun tidak seagama seperti yang tercantum dalam firman Allah dalam Surat Hud ayat 65: “Kepada kaum Aad (yang durhaka) diutus saudara mereka (Nabi) Hud). Dan dalam persaudaraan itu menuntut hubungan yang serasi dan jalinan kasih sayang. “Kunjung mengunjungilh, bertukar hadiahlah,” sabda Nabi yang menganjurkan kita untuk saling berkasih saying. Dalam politik, kita pun mesti begitu. Dalam Islam, politik bukan dipahami sebagai penentuan lawan dan kawan. Politik adalah tentang pengelolaan masyarakat. Keyakinan dasar dari pengelolaan itu adalah ada pada keyakinan untuk membangun masyarakat yang memiliki asas persaudaraan, kesederajatan dan keterbukaan.
46. Qamaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taimiyah (Islamabad, 1973), hlm. 54.
47. Safiee Maarif, Op.cit. 48. Nurcholish Madjid, Islam kemoderenan dan Keindonesian, (Bandung, 1987) hlm. 62-63.
ISLAM in SICILIA; Tolerance Samples in Two Civilizations
ISLAM di SICILIA; Sampel Toleransi Dua Peradaban
Faried F. Saenong The Nusa Institute, Jakarta email :
[email protected]
Abstract : Sicilia is evidence of the influence of Islam against the West. Adoption tradition of Islamic art and architecture that occurred in Sicily, in some degree, describe tolerance are two of the world’s cultures, Islam and the West. Not limited to the adoption of the art of architecture, it also signifies the establishment of tolerance of two civilizations through art frame architecture. And, through the art of the universality of Islam is accepted by various civilizations, including in Sicilia. Abstraksi : Sicilia adalah bukti besarnya pengaruh Islam terhadap Barat. Adopsi tradisi seni dan arsitektur Islam yang terjadi di Sicilia, dalam tingkat tertentu, menggambarkan toleransi dua kebudayaan besar dunia, yaitu Islam dan Barat. Bukan sebatas adopsi seni arsitektur, hal ini juga menandakan terbangunnya toleransi dua peradaban melalui bingkai seni arsitektur. Dan, melalui seni inilah universalitas Islam diterima oleh berbagai peradaban, termasuk di Sicilia. Keywords: Civilization, Architecture, Tolerance
716_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
A. Pendahuluan Islam di Sicilia nampaknya kurang mengundang para peneliti untuk mengkaji serius wilayah ini. Tetapi persoalannya tidak terletak pada adanya rasa ketertarikan pada wilayah ini atau tidak. Persoalannya justru terletak pada persoalan psikologis global. Wilayah ini dewasa ini misalnya diklaim sebagai milik Barat, sejak masa peradaban Yunani, sampai kejayaan Eropa modern. Tidak ada masa yang lepas dari pengaruh Eropa di wilayah ini. Karya atau penelitian khusus di wilayah ini masih dapat dihitung jari. Sebutlah misalnya Michele Amari (Storia dei musulmani di Sicilia, Catania, 1933-1938), Ibn Al-Qaththâ’ Al-Lugawî (Târîkh Shiqilliyah), Abû ‘Alî Al-Hasan bin Yahyâ(Târîkh Shiqilliyah), Ibn Hauqal (Mahâsin `Ahl Shiqilliyah), atau `Amîn Taufîq Al-Thîbî (Dirâsah fî Târîkh Shiqilliyah al`Islâmiyah,Libya, 1995). Selain itu, penulis atau peneliti lainnya hanya menjadikan Sicilia sebagai sub bab. Bahkan Islam di Sicilia seakan-akan hilang dalam sejarah Islam. Nyaris tidak ada buku yang serius mengkaji Islam di Sicilia, kecuali di atas. Bahkan, karya eksemplar (standar) sejarah Islam yang dipegang kalangan Islamisis sekaliber The Venture of Islam yang tiga jilid karya Hudgson itu, hanya menjadikan menyebut Sicilia beberapa kali, sehingga hanya layak ditulis dalam indeks. Kaburnya sejarah Islam di Sicilia kemudian diperparah oleh metode penulisan sejarah oleh beberapa penulis dan peneliti. Jika diamati, metode penulisan sejarah ini cukup berbeda ketika ia dilakukan oleh kalangan Muslim dan non Muslim. Beberapa ungkapan yang digunakan Mazot -sebagaimana yang akan kita lihat nanti- cukup sinis dalam menjelaskan kekuasaan Islam di Sicilia. Bahkan dalam beberapa sumber, kekuasaan Islam hanya disebut satu kali, yang hanya digunakan untuk menjelaskan bahwa Islam pernah berada di Sicilia. Lihat misalnya penjelasan Encyclopaedia Britannica dalam entri “Sicily”.1 Bahkan buku sejarah sekaliber The History of Civilisations karya Weil Durant juga melakukan hal yang sama 2 Perbedaan itu sangat terasa dalam berbagai eksplorasi sehingga kemudian mencitrakan Islam di Sicilia secara berbeda.
ISLAM di SICILIA; Sampel Toleransi Dua Peradaban _717
B. Sekilas Sicilia Sicilia (Sicily [Inggris]; Sicilie [Perancis]; Shiqilliyah [Arab];Sicilia [Italia]) saat ini menjadi bagian kekuasaan Italia. Sicilia merupakan sebuah pulau yang terletak laut Mediterania (laut Tengah), tepatnya antara Tunis dan Italia. Pulau terbesar dan berpenduduk terbanyak ini berdampingan dengan pulau-pulau lainnya seperti Pantelleria, Ustica, Lipari, Egadi dan kawasan-kawasan penting Italia lainnya. Pulau ini juga pernah diberi nama Trinacria dan Triquetra, mungkin karena bentuknya yang mirip segitiga dengan dibatasi oleh 3 tanjung besar; Faro (Peloro) di timur laut, Passero (Pachino) di tenggara dan Boeo (Lilibeo) di barat laut. Pulau Sicilia sepanjang 160 km ini terpisah dari Italia oleh Selat Messina.3 Ptolemus pernah menggambarkan Sicilia dengan sangat indah. Di Sicilia bahkan tidak terdapat binatang buas yang berbahaya bagi manusia.4 Dengan posisi segitiga emas seperti itu, Sicilia menjadi sangat strategis bagi komunikasi Timur, Barat dan Afrika. Goitein menyebutnya sebagai jembatan ke Eropa.5 Berbagai kapal dari Timur, Barat atau Afrika harus melewati pulau tersebut, sehingga kekuatan-kekuatan besar dunia ketika itu, selalu berhasrat menguasai pulau ini. Tercatat, 3 peradaban besar dunia (Yunani, Romawi dan Arab) pernah menguasai pulau ini, sebagaimana yang akan penulis jelaskan berikut nanti. Di Sicilia ini terdapat banyak kota terbesar seperti Polermo, Catania dan Messina. Kota Polermo yang bertindak sebagai ibukota Sicilia memiliki karakter gabungan antara klasik dan modern. Polermo memiliki sejumlah monumen yang menggambarkan perpaduan 3 peradaban besar dunia; Arab-Norman, Renaissance dan Barok. Pada 1952, sebuah prasasti bergambar ditemukan di sebuah gua di Palermo yang menunjukkan tahun 15.000 SM. Gambar itu menunjukkan sejumlah figur manusia legenda. Diperkirakan, legenda Cyclops Odyssey pernah hidup di pulau Sicilia ini. Sicans atau Sicani merupakan manusia pertama yang pernah mendiami pulau ini. Sicel atau Siculi kemudian mengusir Sicans keluar dari pulau ini, sekaligus menyebut pulau ini
718_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
dengan namanya. Para ahli tidak mempersoalkan keduanya ini. Mereka justru menganggap keduanya sebagai satu keturunan Lybico-Iberian. Sicilia dikenal sebagai bagian dari peradaban Mycenaea-Creto sebelum kedatangan bangsa Phoenicia. Posisi strategis Sicilia serta kekayaan minyaknya mengundang perhatian para pelaut, termasuk Phoenicia yang membentuk kota perdagangan di sepanjang pesisir pulau ini. Ketika Yunani menemukan Messina pada 724 SM. dan menyebutnya dengan nama Zancle (Yunani Sabit), kedudukan bangsa Phoenicia di Sicilia dan sekitarnya terganggu. Yunani terus maju dan menguasai Gela, salah satu bagian barat-daya Sicilia. Akhirnya, bangsa Phoenicia dipungkul mundur ke Motya, Solus dan Panormus (sekarang bernama Palermo) serta pulau-pulau kecil di bagian barat Sicilia. Sicilia setelah itu mengalami pergantian atau perebutan kekuasaan antara orang Yunani sendiri. Sicilia kemudian dikuasai oleh bangsa Romawi sejak 202 SM., sampai memasuki masa abad pertengahan.6 Sicilia akhirnya dikuasai oleh Belisarius, salah satu pemimpin Bizantium Romawi, pada 535.7
C. ‘Ekspansi Militer Arab’ ke Sicilia Banyak data yang dikemukakan sejumlah peneliti dalam menjelaskan masuknya Islam di Sicilia. Secara tidak populer, Gabrieli mengemukakan bahwa pasukan Mu’âwiyah telah mendarat di pulau Sicilia tidak lama setelah Mu’âwiyah menaklukkan Cyprus (649/34) melalui Syiria. Seorang panglima Mu’âwiyah sudah mendarat di Sicilia dalam sebuah raiding expedition (misi pencaplokan). Bahkan pada 655/40, kemegahan Arab di perairan Sicilia sudah sangat kelihatan dan terus berlangsung menunjukkan supremasinya di kawasan itu di bawah kekuatan gabungan Mu’âwiyah dan ‘Abd Allâh bin Abî Sarh.8 Teori paling populer mengemukakan bahwa Sicilia pernah dikuasai oleh Islam dengan dua dinasti; dinasti `Aglabiyah9 yang berpusat di Kairwân-Tunis10, dan dinasti Fâtimiyah11 yang berpusat di Kairwân dan Cairo. Arab datang di Sicilia pada 827/212 melalui misi penaklukan
ISLAM di SICILIA; Sampel Toleransi Dua Peradaban _719
dinasti Bani `Aghlab masa Ziyâdah Allâh bin `Ibrâhîm yang dipimpin oleh salah satu panglimanya Al-Qâdhî `Asad bin Al-Furât12 bin Sinân13. Polermo kemudian dijadikan sebagai pusat pemerintahan Bani `Aghlab di Sicilia.14 Watt menambahkan bahwa jauh sebelum ini, Italia diwarnai dengan pertikaian internal antara pemimpin-pemimpin Lombard di Asia Tengah. Pertikaian ini kemudian memberi celah bagi Arab untuk masuk dan melakukan intervensi. Bahkan secara khusus, salah satu faksi yang bertikai di Asia Tengah, itu kemudian meminta bantuan dan memberi jalan masuk bagi dinasti Bani `Aghlab yang mendarat di Mazara pada 827/212.15 Ketika itu, Sicilia berada di bawah kekuasaan Patrick dari Kontantinopel.16 Sebab-sebab penaklukan ini secara sinis juga diungkap oleh Mazot. Menurutnya, pemerintah dinasti `Aglab di Kairouan sering kali menghadapi sejumlah pemberontakan yang dilakukan oleh para teolog dan ahli hukum yang sangat kritis terhadap pemerintah. Secara tidak langsung, Mazot ingin berkata bahwa kebiasaan Arab yang suka perang (warlike potential) memberi saham terbesar dalam sejumlah pemberontakan itu. Maka kemudian, Ziyâdah Allâh, salah satu raja `Aglab, sebagai politisi ulung, mengalihkan potensi itu pada jalur lain sambil menghadapi pasukan Barbar. Inilah yang kemudian dijadikan alasan utama penyerangan dinasti `Aglab ke terhadap Sicilia. Penaklukan ini menurut Mazot juga sangat mendapat apresiasi ulama yang -katanyaselalu menginginkan perang suci.17 Tepat pada 831/, Polermo berhasil dikuasai,18 dan pada 872/, Arab juga telah menguasai Messina,19 meskipun, hingga tahun itu, Arab belum menguasai Syiracusa. Arab secara penuh menguasai Sicilia baru pada 902.20 Kekuasaan dinasti Aglab di Sicilia berlangsung selama 82 tahun, yaitu sejak 827/212-909/296). Perkembangan kekuasaan dinasti `Aglab terus memasuki jantung Eropa. Dalam kronologi kekuasaan diniasti `Aglab yang dibuat oleh Mazot disebutkan bahwa atas permintaan dari Duke Andreas dari Naples -salah satu faksi di Italia Tengah- pada 835, dinasti `Aglab dapat menaklukkan Torento, Brindisi, Bari, serta wilayah Italia Tengah lainnya pada masa 840-842. Bahkan pada 846, dinasti ini telah -dalam istilah
720_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Mazot- menggarong (sacking)Roma. Pada 849, dinasti ini terus memasuki jantung Eropa dengan menggunakan kapal Ostia. Dinasti ini kemudian menguasai Malta pada 868 dan Syiracusa pada 876.21
Ketika kekuasaan dinasti `Aglab diruntuhkan oleh dinasti Fâtimiyah pada 909 di Kairwân, Sicilia kemudian menjadi salah satu propinsi dinasti Fâtimiyah.22 Dengan modal dan bantuan budak Kristen di Sicilia inilah, dinasti Fâtimiyah di bawah pimpinan panglima Jauhar Al-Kâtib menyerang Mesir dan Syria pada 970, dan kemudian menjadikan Cairo sebagai ibukota pemerintahan dinasti Fâtimiyah menggantilan ibukota Kairwân.23 Penempatan seorang gubernur di Sicilia menambah arti kontribusi Islam. Pada masa inilah, puncak kejayaan Islam di Sicilia semakin kelihatan. Kebudayaan dan peradaban Islam pada masa inilah yang mengakar kuat pada rakyat Sicilia. Toleransi keagamaan sangat marak. Perkembangan di sektor pertanian dan perdagangan juga sangat kelihatan.24 Kekuasaan dinasti Fâtimiyah di Sicilia berlangsung dalam 182 tahun, yaitu sejak 909-1091, meskipun pasukan Norman sudah menguasai Messina -salah satu bagian Sicilia- pada 1060. Ini berarti, pasukan Norman membutuhkan waktu 30 tahun untuk menguasai seluruh wilayah Sicilia. Ada informasi juga bahwa sebenarnya, kekuasaan Arab (Islam) berakhir di Sicilia pada masa pemerintahan dinasti Kalbid(AlQalbiyah),25 yang menguasai Sicilia setelah dinasti Fâtimiyah.26 Hal ini juga diakui oleh Mazot di mana ia menyebutkan bahwa Sicilia jatuh kembali ke tangan Eropa pada tahun-tahun terakhir kekuasaan dinasti Kalbid.27 Namun, hal ini tidak disebut-sebut dalam sejumlah literatur lainnya, yang boleh jadi karena peran dinasti Kalbid ini tidak banyak berpengaruh pada perkembangan seni dan kebudayaan Islam di Sicilia. Ini berarti terdapat 3 dinasti yang menguasai Sicilia sampai ia lepas kembali ke tangan Eropa.
ISLAM di SICILIA; Sampel Toleransi Dua Peradaban _721
D. Toleransi Dua Peradaban Sejak masa kekuasaan Yunani, Sicilia sudah memiliki peradaban serta kemajuan intelektualitas. Menjelang abad V SM., Siracusa dikenal sebagai kota terpenting dan terkuat di antara kota-kota Yunani lainnya. Sejumlah candi kemegahan Yunani di Siracusa, Catania, Messina, Agrigento, Selinunte dan Taormina, masih dapat dipandang di kawasan ini.28 Kota-kota perdagangan dengan berbagai peninggalannya juga telah dibangun sejak Sicilia dikuasai bangsa Phonesia dan Yunani.29 Setelah abad pertengahan, setelah melalui berbagai proses panjang, kehidupan keagamaan berlangsung sangat akrab di masa kekuasaan raja-raja Norman seperti Roger II (1130-1154), William I (1154-1166) dan William II (1166-1189). Tercatat beberapa lembaran sejarah hitam bagi umat Islam di sana. Ketika terjadi pemberontakan Islam pada 1224, Ferederick II membantai mereka dan mendeportasi sekitar 16.000 Muslim ke Lucera. Setelah itu, hubungan akrab sangat digiatkan. Tempattempat ibadah semua agama sangat dipelihara. Ketika raja-raja Kristen menyerukan Perang Salib, penguasa-penguasa Norman justru menjalin hubungan harmonis dengan Islam di Sicilia, meskipun Islam tidak lagi berkuasa.30 Di awal kekuasaan Frederick II, hubungan diplomatik antara Mesir (Islam) dan kekaisaran Romawi berjalan sangat akrab. Sejak mendapat gelar King of Jerussalem, ia –karena kegemarannya pada puisi dan ilmu alam- menjadi sangat akrab dengan Fakhr Al-Dîn, astrolog dan salah satu duta raja Al-Mâlik Al-Kâmil (1218-1238) di Cairo. Frederick II dan Al-Mâlik Al-Kâmil bahkan pernah membuat sebuah pact of mutual assistance pada 1226.31 Dampak pakta tersebut cukup berpengaruh. Peninggalan bersejarah dipelihara sedemikian rupa. Tidak sulit menangkap pengaruh seni dan arsitektur Islam di Italia Selatan. Sebelumnya, raja-raja Arab yang mendiami Polermo pada abad X, pindah ke benteng-benteng dan mendirikan mesjid besar. Pada 937 misalnya, dengan alasan-alasan strategis, dinasti Kalbid mendirikan kota kedua di dekat pelabuhan
722_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
bernama Al-Khalîshah, meskipun kota ini kemudian ditinggalkan oleh raja Norman yang kembali ke istana lama di Polermo. Istana raja di Polermo ini sangat mengakomodir berbagai administrasi dan kerajinan peninggalan Islam. Raja-raja Norman juga dikitari oleh sejumlah intelektual yang salah satunya adalah Al-`Idrîsî, pembuat peta dunia dan penulis Nuzhah al-Musytâq. Peninggalan peradaban Islam juga sangat kelihatan pada bentuk fisik istana Cappella Palatini, sebuah istana kedua bagi Roger II, yang dibangun pada 1140. Ornamen muqarna-nya menggambarkan kesejahteraan, kesempurnaan dan kekuatan. Di bagian lain, terdapat wajah dan garis muka, bentuk rambut perempuan, pakaian, perhiasan dan sebagainya yang menggambarkan kemiripan dengan istana al-Khair al-Garbî milik dinasti Umayyah, istana-istana Samarra di Cairo dan Fustat. Sejumlah ruangan juga dihiasi dengan sangat istimewa. Sebuah ruangan bernama Roger Hall memiliki mozaik di dinding berupa pohon palem, singa, macan tutul, angsa dan burung merak, yang kesemuanya mirip dengan istana Khirbah al-Mafjar milik dinasti Umayah. Mengikuti kebiasaan sebelumnya, raja-raja Norman membuat tamantaman di lantai dasar, sebagaimana yang dibuat oleh dinasti Kalbid. Taman-taman ini bahkan dinamakan denganParadise of the Earth sebagai terjemahan Jannah al-`Ardh, sebuah seni yang sangat mengandalkan kemewahan dan ekstravaganza warisan dinasti Islam. Peminjaman istilah Arab juga kelihatan dalam penamaan sejumlah istana mereka. Istana-istana yang khusus dibangun sebagai tempat peristirahatan di musim panas, dikelilingi oleh berbagai tanaman, anggrek dan buahbuah segar bagaikan istana-istana Umayyah dan istana al-Rusafâ` milih dinasti `Aglab. Selain itu, dekorasi ala muqarna juga memonopoli arsitektur istana La Zisa (1166) dan La Cuba (1180) yang didisain secara khusus agar dapat terproteksi dari panas. Di dalam istana La Zisa, juga terdapat dekorasi air mancur yang merupakan pengaruh dari tradisi bangunan Islam. Rice bahkan menyebut-nyebut bahwa pengaruh Islam
ISLAM di SICILIA; Sampel Toleransi Dua Peradaban _723
dalam seni di Sicilia tersekularisasi, sebagaimana yang terdapat dalam istana La Zisa.32 Bahkan di istana La Cuba terdapat kolam renang yang di tengahnya ada sebuah pulau kecil. Selain itu, pengembangan seni ukir gading (ivory carving) menemukan titik perkembangan yang sangat signifikan. Sicilia sebelumnya memang dikenal sebagai pusat seni ukir gading. Sicilia bahkan lebih unggul dari Spanyol dalam seni yang satu ini. Ketika Islam datang, bentuk ukiran gading dimeriahkan oleh tulisan-tulisan Arab model naskh dan kufi.33 Pengadobsian tradisi seni dan arsitektur Islam lainnya masih terdapat dalam banyak bangunan-bangunan indah di Sicilia.34
E. PENUTUP Adopsi tradisi seni dan arsitektur yang terjadi di Sicilia, dalam tingkat tertentu, menggambarkan toleransi dua kebudayaan besar dunia di Sicilia. Semua ini memberi gambaran besarnya pengaruh Islam di Sicilia. Dan fakta ini menunjukkan betapa besarnya pengarus Islam di dunia Barat. Meskipun, dalam tingkat tertentu, konflik abadi Muslim dan non Muslim selalu terjadi di bidang politik, namun kerja sama di bidang seni dan arsitektur tidak terpengaruh sama sekali. Mungkin benar kata orang bahwa seni bersifat universal, yang tidak mengenal ruang, waktu, batas geografis, warna kulit, apalagi politik. Wa Allâh `A’lam bi al-Shawâb.
724_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Daftar Pustaka
Durant, Weil, Qishshah al-Hadhârah; ‘Asr al-`Îmân, Cairo: Maktabah al`Usrah, 2001, terj. Muhammad Badrân, Juz 15-16 Encyclopaedia Britannica, CD ROM: Encyclopedia Britannica Inc., 1995. Fransesco Gabrieli, The Arabs; A Compac History, New York: Hawthorn Books, 1963, Terj. Salvatore Attanasio. Howard R. Marraro, “Sicily” dalam Encyclopedia Americana,Chicago: American Corp., 1972, Juz 9 Al-Jundî, Farîd ‘Abd Al-‘Azîz, Mu’jam al-Buldân, Beirut: Dâr al-Kutub al’Ilmiyah, tth., Juz 3 Ma`lûf, Louis, Al-Munjid fî al-Lugah wa al-`A’lâm, Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986 Payne, Robert, The History of Islam, New York: Dorset Press, 1959 Rice, David Talbot, Islamic Art, Toledo: Thames and Hudson, 1989, Revised Edition S.D. Goitein, Studies in Islamic History and Institutions, Leiden: E.J. Brill, 1968 Sibylle Mazot, “History of the Aghlabids” dalam Markus Hattsen dan Peter Delius (eds.), Islam; Art and Architecture,Cologne: Könemann, 2000 Al-Thîbî, `Amîn Taufîq, Dirâsah fî Târîkh Shiqilliyah al-`Islâmiyah, Libya: Dâr al-`Iqra`, 1995 Watt, W. Montgomery, The Influence of Islam on Medieval Europe, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1972. http://www.islamset.com/islam/civil/sicily.html http://www.islamset.com/islam/civil/sicily.html
ISLAM di SICILIA; Sampel Toleransi Dua Peradaban _725
Endnotes
1. Lihat entri “Sicily” dalam Encyclopaedia Britannica, CD ROM: Encyclopaedia Britannica Inc., 1995.
2. Weil Durant, Qishshah al-Hadhârah; ‘Asr al-`Îmân,Cairo: Maktabah al-`Usrah, 2001, terj. Muhammad Badrân, Juz 15-16, h. 253.
3. Lihat Howard R. Marraro, “Sicily” dalam Encyclopedia Americana, Chicago: American Corp., 1972, Juz 9, h. 778.
4. Farîd ‘Abd Al-‘Azîz Al-Jundî, Mu’jam al-Buldân, Beirut: Dâr al-Kutub al’Ilmiyah, tth., Juz 3, h. 474.
5. S.D. Goitein, Studies in Islamic History and Institutions,Leiden: E.J. Brill, 1968, h. 308.
6. Sejarah klasik Sicilia ini, penulis sadur dari Howard R. Marraro, ibid, h. 780. 7. Encyclopaedia Britannica, ibid 8. Fransesco Gabrieli, The Arabs; A Compac History, New York: Hawthorn Books, 1963, Terj. Salvatore Attanasio, h. 61.
9. Dinasti `Aglabiyah yang pernah berkuasa dari 800/184-909/296 didirikan oleh `Ibrâhîm bin `Aghlab di `Ifriqiyah. Singkat cerita, Hârûn Al-Rasyîd mempercayakan `Ibrâhîm bin `Aglab untuk menumpas pemberontakan di wilayah `Ifriqiyah, salah satu bekas jajahan Romawi dan wilayah warisan kekuasaan dinasti Umayyah. Sebagai balasan, Hârûn Al-Rasyîd menjadikan `Ifriqiyah sebagai daerah otonom dibawah kekuasaan `Ibrâhîm bin `Aglab, tetapi tetap mengirim upeti setiah tahun. Lihat Sibylle Mazot, “History of the Aghlabids” dalam Markus Hattsen dan Peter Delius (eds.), Islam; Art and Architecture,Cologne: Könemann, 2000, h. 130. Nama-nama penguasa dari bani `Ahlabiyah adalah `Ibrâhîm bin `Aghlab (800/185-811/196), Abû Al‘Abbâs bin `Ibrâhîm (811/196-816/201), Ziyâdah Allâh bin `Ibrâhîm (816/201-
726_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
837/222), Abû Al-‘Iqal bin `Ibrâhîm (837/222-840/225), Abû Al-‘Abbâs Muhammad (840/225-856/241), Abû `Ibrâhîm `Ahmad (856/241-863/248), Ziyâdah Allâh bin `Ahmad (863/248-864/249), Abû Al-Garânik bin `Ahmad (864/249-874/259), `Ibrâhîm bin `Ahmad (874/259-902/287), Abû Al-‘Abbâs ‘Abd Allâh (902/287-903/289) dan Abû Madhr Ziyâdah Allâh (903/289909/296).
10. Kota Kairwân ini didirikan pada 671 oleh ‘Ubah bin Nâfi’ (w. 683), salah satu panglima perang dinasti Umayyah.
11. Dinasti Fâtimiyah yang berkuasa sejak 910/297-1171/567 didirikan oleh ‘Ubaidi Allâh Al-Mahdî (910/297-934/322) dan diteruskan oleh Al-Qâ`im bi Amr Allâh (934/322-945/333), Al-Mansûr Ibn Al-Qâ`im (945/333-952/340), Al-Mu’izz li Dîn Allâh (952/340-975/364), Al-‘Azîz bi Allâh (975/364-996/385), Al-Hâkim bi `Amr Allâh (996/385-1020/409), Al-Zâhir (1020/409-1035/424), Al-Mustansir bi Allâh (1035/424-1094/485), Al-Musta’li bi Allâh (1094/4851101/491), Al-`Amîr bi `Ahkâm Allâh (1101/491-1129/520), Al-Hâfiz li Dîn Allâh (1129/520-1148/539), Al-Zâfir bi `Amr Allâh (1148/539-1153/545), Al-Fâ`iz bi Allâh (1153/545-1159/552) dan Al-‘Adîd li Dîn Allâh (1159/5521171/567).
12. Farîd ‘Abd Al-‘Azîz Al-Jundî, ibid 13. http://www.islamset.com/islam/civil/sicily.html 14. `Amîn Taufîq Al-Thîbî, Dirâsah fî Târîkh Shiqilliyah al-`Islâmiyah, Libya: Dâr al-`Iqra`, 1995, h. 17.
15. Relatif di waktu yang bersamaan, orang-orang Arab sudah mendarat di Napoli pada 837. Arab bahkan sudah menguasai Bari (bagian utara Brindisi di Adriatik) pada 841-847 dan dijadikan sebagai pusat selama 30 tahun. Meskipun belum dikuasai, Roma sendiri merasa sudah terancam. Bahkan, selama 2 tahun, Paus Johannes VIII (872-882) sudah harus membayar upeti kepada Arab. Lihat W. Montgomery Watt, The Influence of Islam on Medieval Europe, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1972, h. 4.
ISLAM di SICILIA; Sampel Toleransi Dua Peradaban _727
16. Farîd ‘Abd Al-‘Azîz Al-Jundî, ibid 17. Sibylle Mazot, ibid, h. 131. 18. Secara berbeda, menurut Mazot, dinasti `Aglab menaklukkan Polermo pada 832. Lihat ibid., h. 131.
19. Secara berbeda, menurut Mazot, dinasti `Aglab menaklukkan Messina pada 842. Lihat ibid., h. 131.
20. W. Montgomery Watt, ibid 21. Sibylle Mazot, ibid, h. 131 22. W. Montgomery Watt, ibid 23. Lihat uraian Robert Payne, The History of Islam, New York: Dorset Press, 1959, h. 207.
24. `Amîn Taufîq Al-Thîbî, ibid, h. 18. 25. Dinasti Kalbid berkedudukan di Polermo-Sicilia dan didirikan oleh AlHassan bin ‘Alî Al-Kalbî pada 948 dan berkuasa sampai 958. Raja-raja dinasti Kalbid lainnya adalah Ahmad bin Al-Hassan (958-969), Abû AlQâsim bin Al-Hassan (969-982), Jâbir bin Abû Al-Qâsim (982-983), Ja’far bin Muhammad (983-985), ‘Abd Allâh bin Muhammad (985-989), Abû Al-Futûh Yûsuf bin ‘Abd Allâh (989-997), Ja’far bin Abû Al-Futûh yang bergelar Tâj al-Daulah (997-1019), `Asad al-Daulah bin Tâj al-Daulah (1019-1026) dan Shimasham bin Tâj al-Daulah (1026-1040).
26. http://www.islamset.com/islam/civil/sicily.html 27. Lihat entri Sibylle Mazot “Fatimid Influence in Sicily and Southern Italy” dalam Markus Hattsen dan Peter Delius (eds.), Islam; Art and Architecture, ibid, h. 159.
28. Howard R. Morrero, ibid, h. 780. 29. Louis Ma`lûf, Al-Munjid fî al-Lugah wa al-`A’lâm,Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986, h. 346-347.
728_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
30. `Amîn Taufîq Al-Thîbî, ibid, h. 20. 31. Sibylle Mazot, “Fatimid Influence in Sicily and Southern Italy”, ibid, h. 159. 32. Lihat uraian David Talbot Rice, Islamic Art, Toledo: Thames and Hudson, 1989, Revised Edition, h. 155-162.
33. Ibid., h. 158. 34. Lihat eksplorasi ini dalam Sibylle Mazot, ibid., h. 160-162.
Dakwah Reformulation Through Problem Best Learning Method and The Implication Toeard The Development of Dakwah in This Contemporary Era
Reformulasi Dakwah Melalui Metode Problem Best Learning dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Dakwah di Era Kontemporer
Nella Lucky Universitas Abdurrab Pekanbaru, Riau email:
[email protected]
Abstract : Problems of Muslims in the contemporary era has always been the full attention of various circles, both scientists, theologians and politicians. One of which is the high crime rate is directly proportional to the number of Muslims is increasing as well. Various attempts have been made to suppress the problems, one of which is to strengthen the role and function of da’wah. Da’wah with various dimensions, continuously strengthened and developed through various innovations and breakthroughs, such as da’wah through the mass media. Nevertheless, it is still not up to curb crime, corruption and other crimes. The question is, why is the da’wah that has been formulated in such a way are not able to solve the problems of the ummah? This is where the reformulation of da’wah must be done so that the da’wah can become problematic existing solvers, both at the level of vertical, horizontal or at the level of inter-human conflicts. Abstraksi : Problematika ummat Islam di era kontemporer selalu menjadi perhatian penuh dari berbagai kalangan, baik ilmuan, agamawan maupun politikus. Salah satunya adalah
730_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013 tingginya angka kriminalitas yang berbanding lurus dengan jumlah kaum Muslimin yang semakin meningkat pula. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan tingginya problematika ini, salah satunya adalah dengan memperkuat peran dan fungsi dakwah. Dakwah dengan berbagai dimensinya, terus diperkuat dan dikembangkan melalui berbagai inovasi dan terobosan, misalnya dakwah melalui media masa. Namun demikian, hal ini masih saja belum maksimal menekan laju angka kriminalitas, korupsi dan kejahatan lainnya. Pertanyaannya adalah, mengapa dakwah yang telah diformulasi sedemikian rupa tidak mampu memecahkan problematika ummat? Di sinilah reformulasi dakwah harus segera dilakukan sehingga dakwah mampu menjadi pemecah problematika yang ada, baik pada tingkatan vertikal, maupun pada tingkatan konflik horizontal antar manusia. Keywords: Reformulate, Method, Preaching, Heteregonity, Human Conflicts
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dakwah merupakan kekuatan moral yang mampu menggerakkan perubahan sosial serta menawarkan satu alternatif dalam membangun dinamika masa depan umat, dengan menempuh cara dan strategi yang lentur, kreatif, dan bijak.1 Perintah dakwah telah digariskan sebagai kewajiban setiap muslim, sekaligus menjadi pembeda antara Muslim dan bukan Muslim.2 Hal ini ditegaskan dalam al Quran: “Dan hendaklah ada segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegak kepada yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung”3 ”Kalian adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar”4 “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu...”5
Reformulasi Dakwah Melalui Metode Problem Best Learning _731
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa tujuan dan substansi dakwah adalah terhindarnya manusia dari kejahatan sehingga tingkat kejahatan di muka bumi menurun. Secara substansial tujuan dan fungsi dakwah termaktub dalam beberapa ayat di atas. Dari sinilah kita sepakat begitu pentingnya fungsi dan tujuan dakwah dalam memecahkan konflik horizontal antar manusa. Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda: “Ibnu mas’ud ra. Berkata bahwa Rasulullah bersabda:” Tidaklah seorang Nabi sebelumku yang diutus kepada suatu ummat melainkan mempunyai penolong dan pengikut. Mereka mengikuti ajaran dan perintah nabi tersebut. Setelah mereka meninggal dunia maka mereka digantikan oleh orang-orang yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka perbuat dan melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad terhadap mereka dengan tanganya, maka dia adalah orang yang beriman. Barangsiapa yang berjihad terhadap mereka dengan hatinya maka ia adalah orang beriman. Barangsiapa yang berjihad terhadap mereka dengan lidahnya maka ia adalah orang yang beriman. Selain itu tidak ada keimanan sebesar biji sawi pun”6 Baik ayat al-Qur’an dan hadist di atas menjadi penjelas bahwa perintah dan kewajiban dakwah tidak bisa diubah lagi, karena salah satu fungsi dakwah adalah menghindarkan manusia dari perbuatan keji dan mungkar.7 Dalam hal ini, misi dakwah secara keseluruhan sangat besar terutama meredam konflik horizontal dan vertikal antar manusia. Sebagai sebuah metode yang memiliki visi, dakwah tentu mengalami proses yang belum tentu hasilnya berbanding lurus. Dalam konteks keindonesiaan misalnya, dakwah belum sepenuhnya mampu menghantarkan bangsa ini ke arah yang lebih baik. Hal ini terbukti dengan beberapa kasus kejahatan yang masih saja terjadi di Republik Indonesia pada khususnya. Hasil penelitian Fakultas Psikologi UNPAD (1992) misalnya, mencatat angka kenakalan remaja yang melakukan hubungan seks, seperti di Sukabumi 26,5%, di Bandung 21,7%, di Cirebon 31,6% dan Bogor 30,9%.8 Data lain menyimpulkan 62,7% remaja Indonesia
732_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
sudah tidak perawan pada usia rata-rata SMP dan SMA. Bahkan 21,2% remaja putri di tingkat SMA pernah aborsi. Sebanyak 15 juta remaja putri mengalami kehamilan dan 60% diantaranya berusaha aborsi.9 Pada tahun 1980, seorang ginekolog terkenal memprediksi, tiap hari di Jakarta terdapat lebih dari 200 kasus aborsi yang legal dan ilegal. Atau pada tahun itu 73.000 kasus aborsi, pada tahun 1997 146.000 bayi diaborsi.10 Padahal aborsi merupakan pelanggaran terhadap hak hidup. Fakta di atas seakan menegaskan kritik bahwa beragamnya model dakwah belum mampu menekan angka kejahatan dan kriminalitas di Indonesia. Dahulu penekanan pemaparan ajaran agama dititikberatkan pada usaha mengaitkan ajaran-ajarannya dengan alam metafisika, sehingga surga, neraka, nilai pahala dan beratnya siksaan mewarnai setiap ajakan keagamaan.11 Tidaklah salah memang, namun saat ini kita harus mencari dan memberikan alternatif formulasi dakwah yang lebih relevan dan tidak hanya terus mempertahankan metode dakwah konvensional. Dakwah keagamaan di masa depan bukanlah untuk membuat Tuhan tidak marah, tetapi bagaimana membuat manusia memiliki moralitas terbaik sebagaimana diajarkan al-Qur’an dan Hadits. Dakwah saat ini adalah dakwah yang bisa menjamin kepada kemakmuran masyarakat, kesadaran berkeadilan, dan lebih meningkatkan kepada kesejahteraan yang berperadaban, tidak lagi hanya menyampaikan pesan-pesan menakutkan, sehingga orang akan lari dan menjauh dari dakwah yang dilakukannya. Dalam menyampaikan pesan ajaran agama, dakwah harus bisa memotivasi umat dalam menyongsong jalannya pembangunan ke arah yang lebih relevan dan maju. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh M. Quraish Shihab, bahwa ajaran agama diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk lebih berpartisipasi dalam pembangunan, sambil membentengi penganut-penganutnya dari segala macam dampak negatif yang mungkin terjadi akibat pembangunan. Dalam konteks inilah strategi dakwah harus dikembangkan berdasarkan basis budaya lokal yang beragam, dengan tujuan meningkatkan
Reformulasi Dakwah Melalui Metode Problem Best Learning _733
kualitas kehidupan beragama dengan bertumpu pada kondisi sosial kemasyarakatan melalui proses kulturil dan induktif. Masyarakat sebagai sasaran dakwah selalu bersifat dinamis, senantiasa berubah mengikuti dinamika zaman dengan segala tuntutan dan konsekuensinya. Untuk alasan inilah maka dakwah pun harus mampu menyesuaikan dengan dinamika sosial, sehingga dakwah benar-benar solutif atas masalah yang ada. Sebuah metode dakwah tidak dapat dikatakan baik jika belum berbanding lurus dengan tujuan dan misi metode dakwah itu sendiri. Jika tujuan metode dakwah adalah penjaminan terhadap kesejahteraan manusia yang mencakup terjaganya hak manusia, terjaminnya keamanan terhadap manusia, perlindungan kepada manusia, maka idealnya metode dakwah yang ada –minimal- dapat mengurangi konflik horizontal antar manusia.12 Setidaknya, dakwah harus mampu mengikis dampak negatif dari kriminalitas melalui upaya pemahaman keagamaan. Berdasarkan latar belakang di atas maka menurut penulis perlu mereformulasi peran dan fungsi serta metode dakwah, khususnya di era kontemporer agar tujuan dakwah dapat terealisasi dengan baik sesuai dangan visi dan tujuan dakwah yang tercantum dalam al quran: “ Orangorang yang beriman, lelaki dan perempuan sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah kepada yang mungkar...”13
B. Seputar Metode Dakwah Sebagaimana fungsinya, dakwah secara bahasa ialah “da’a yad’u” yang berarti “memanggil”, seruan dan ajakan. 14Adapun menurut istilah pengertiannya banyak sekali, di antaranya adalah menurut syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dakwah adalah mengajak seseorang agar beriman kepada Allah dan yang dibawa oleh para rasul-Nya dengan cara membenarkan apa yang mereka beritakan dan mengikuti apa yang mereka perintahkan. 15 Dengan kata lain, dakwah adalah mengajak manusia dari perbuatan mungkar kepada perbuatan baik.
734_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Idealitas makna dakwah ini menyatu dengan tujuannya yaitu mengajak manusia dari perbuatan jahat kepada perbuatan baik. Jika dakwah tidak atau belum mencapai fungsinya maka dakwah belumlah dikategorikan sebagai dakwah sebagaimana mestinya. Jika dipetakan, ada beberapa gaya metode dakwah yang berkembang, diantaranya: 1. Dakwah ucapan (lisan) Dakwah dalam bentuk lisan dinamakan dengan ceramah, tabligh dan taushiyah-tausyah. Dakwah ini bisa berbentuk dialog maupun monolog.16 Dakwah dengan metode tabligh biasanya berbicara seputar perkara aqidah, ibada, syariah dan lain-lain. Dakwah dengan ucapan ini termaktub di dalam al Quran dan diakui sebagai salah satu metode yang populer dalam Islam. Hal ini sebagaimana firman Allah: Artinya : “wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? . Amat besar kebencian di sisi allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”17 Dalam ayat di atas terdapat kata”mengatakan” yang berarti bahwa ucapan merupakan salah satu metode dakwah yang tertulis di dalam al Quram. Metode ini tetap digunakan sejak masa Rasulullah hingga masa sekarang. 2. Dakwah aplikatif (bil hal) Dakwah bil hal dinamakan dengan dakwah menggunakan contoh kebaikan. Sang murobbi mempraktekan Islam dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat dicontoh oleh mutarobbi yakni pelajar yang sedang berguru kepada gurunya. 18 “ Abu sa’id al Kudri ra. Berkata” Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu maka hendaklah ia
Reformulasi Dakwah Melalui Metode Problem Best Learning _735
mengubah dengan lisannya. Jika ia tidak mampu maka hendaklah dengan hatinya, yang demikian ialah iman yang paling lemah”19 Hadist menegaskan bahwa mencegah kemungkaran dengan tangan berarti dakwah dengan perbuatan, memberikan tauladan yang baik sebagaimana dipraktekan baginda Rasulullah SAW. Jika penulis ingin memetakan pola dakwah, maka pola dakwah juga dapat dilakukan dengan membagi pola dakwah kepada dakwah verbal dan non verbal.20 1. Dakwah verbal adalah dakwah yang dilakukan dengan lisan baik melalui media maupun secara langsung. 2. Dakwah non verbal yaitu dakwah dengan menggunakan media tidak langsung seperti internet dan media masa maupun sejenisnya.21 Dalam hal ini perlu dibedakan antara metode dakwah (thariqah) dan cara (ushlub) dakwah. Metode dakwah tidak boleh berubah sekalipun zaman berubah.22 Namun cara dakwah dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Bagan metode dakwah: -
Lansung
Tabligh Tushyah Sarasehan Diskusi Publik Seminar Loka karya
-Media masa -Elektronika
Benda mati
Tidak langsung Makhluk Hidup
-Pendelegasian -Penugasan -Penampungan
736_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
C. Problematika Dakwah Jika dianalisa, ada beberapa permasalahan yang ditemukan seputar problematika realitas dakwah: Pertama, perilaku dakwah belum berbading lurus dengan moralitas Islam. Banyak orang rajin dakwah, hadir ke mesjid sepanjang waktu, dan melaksanakan hampir semua amalan sunnah namun tetap saja melakukan kemaksiatan. Di sinilah nampak apa yang terucap belum sejalan dengan apa yang diperbuat. Hal ini telah diingatkan dalam salah satu hadist Rasulullah SAW: “Abu Zaid, Usama bin Zaid bin Haritsah ra. berkata, Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Pada hari kiamat ada seorang lelaki didatangkan lalu dilemparkan ke neraka, ususnya keluar. Ia berputar-putar seperti keledai yang sedang dalam penggilingan. Penduduk neraka berkata, hai Fulan bukankah kamu yang menyuruh mengerjakan kebaikan dan melarang kemungkaran?” Dia menjawab, “Ya. Dulu akau menyuruh mengerjakan kebaikan tetapi aku tidak melakukan kebaikan itu. Aku juga mencegah kemungkaran, tetapi aku sendiri melakukan kemungkaran itu”23 Hal fatal yang sering terjadi dalam dunia dakwah adalah tidak melakukan apa yang ia ucapkan dan sebaliknya. Problematika ini menjadi problem penting dalam menganalisa penyebab gagalnya dakwah di era kekinian.24 Kedua, mengapa para shalafusholih bisa terlepas dari kemaksiatan dengan dakwahnya, sementara generasi kita masih terpuruk kedalam kemaksiatan? Bukankah tidak ada perbedaan antara dakwah shalafusholih dan para generasi Muslim sekarang? Ketiga, Mengapa ada sebagian kaum Muslimin yang “gelisah” ketika tidak melaksanakan dakwah namun tidak gelisah ketika melaksanakan kemungkaran?
Reformulasi Dakwah Melalui Metode Problem Best Learning _737
Berangkat dari permasalahan ini maka penulis ingin menjawab problem realitas. Penulis sengaja mengangkat tulisan ini dari problem realitas agar tulisan ini mampu memberi kontribusi dalam menjawab problem realitas. Karena itu penulis tidak memulai tulisan ini dari konsepsi, melainkan fakta realitas. Pemetaan problematika dakwah lain ialah: Pertama, perspektif prilaku (behaviouristic perspective). Salah satu tujuan dakwah adalah terjadinya perubahan prilaku (behaviour change) pada masyarakat yang menjadi obyek dakwah kepada situasi yang lebih baik. Tampaknya, sikap dan prilaku (behaviour) masyarakat dewasa ini hampir dapat dipastikan lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya. Kedua, tantangan dakwah dalam perspektif transmisi (transmissional perspective). Dakwah dapat diartikan sebagai proses penyampaian atau transmisi ajaran agama Islam dari da’i sebagai sumber kepada mad’u sebagai penerima. Ketika ajaran agama ditrasmisikan kepada masyarakat yang menjadi obyek, maka peranan media sangat menentukan. Ziauddin Sardar mengemukakan bahwa abad informasi ternyata telah menghasilkan sejumlah besar problem.25 Menurutnya, bagi dunia Islam, revolusi informasi menghadirkan tantangan-tantangan khusus yang harus diatasi, agar umat Islam harus bisa memanfaatkannya untuk mencapai tujuan dakwah. Ketiga, tantangan dakwah perspektif interaksi.26 Ketika dakwah dilihat sebagai bentuk komunikasi yang khas (komunikasi Islami maka dengan sendirinya interaksi sosial akan terjadi, dan di dalamnya terbentuk norma-norma tertentu sesuai pesan-pesan dakwah. Yang menjadi tantangan dakwah dewasa ini adalah, bahwa pada saat yang sama masyarakat yang menjadi obyek dakwah pasti berinteraksi dengan pihak-pihak lain atau masyarakat sekitarnya yang belum tentu membawa pesan yang baik, bahkan mungkin sebaliknya.
738_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
D. Analisis Dibalik Problematika Realitas Dakwah Dari tiga permasalahan di atas, tentu ada beberapa faktor penyebab mengapa problem ini terjadi. Jia kita analisis, ada beberapa kemungkinan faktor penyebab “kegagalan” dakwah kaum Muslimin sehingga dakwah tidak mampu menjadi problem solving permasalahan yang ada. Pertama, Faktor kualitas dakwah. Dakwah yang baik adalah bersfungsinya empat rukun dakwah, yaitu: orang yang menegur, orang yang ditegur, perbuatan yang ditegur dan esensi teguran. Jika salah satu rukun lemah, maka fungsionalisasi dakwah tidak akan terwujud sebagaimana mestinya.27 Allah berfirman : “ Kenapa engkau suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan engkau melupakan kewajibanmu sendiri”28 Juga firman Allah SWT: “Mengapa engkau tidak mengatakan apa yang tidak engkau perbuat?”29 Ayat ini menjelaskan bahwa ada perbedaan kualitas dakwah antara satu Muslim dengan Muslim lain, yaitu ketika ada mukmin yang berdakwah namun tidak dari hati atau tidak memberikan tauladan yang baik. Terlihat bahwa ada perbedaan signifikan antara dakwah yang berkualitas dengan dakwah yang tidak berkualitas. Mengenai bagaimana meningkatkan kualitas dakwah akan kita terangkan pada sub bab berikutnya. Kedua, faktor individu dan mind set kaum Muslimin yang menganggap dakwah hanya sebatas ritual saja sehingga tidak jarang dakwah hanya sebagai pelepas kewajiban. Dakwah ritual sah untuk dilakukan, namun dakwah ritual tidak berpengaruh besar terhadap perubahan sikap dan prilaku. Manusia akan terjebak dalam rutinitas, sementara tidak ada manfaat dari apa yang dilakukannya. Dalam hal ini, dakwah tidak lagi memperhatikan hasil, hanya pada proses.
Reformulasi Dakwah Melalui Metode Problem Best Learning _739
Problematika dakwah saat ini adalah problematika “gelisah”: gelisah ketika tidak melaksanakan dakwah, namun tidak gelisah ketika berbuat kemungkatan; gelisah ketika meninggalkan dakwah, namun tidak gelisah jika dakwahnya tidak berkualitas dan tidak berbekas kepada prilaku dan sikap; gelisah ketika tidak melaksanakan dakwah namun tidak gelisah ketika kejahatan disekitarnya. Ini semua dikarenkan problematika mid set kauma Muslimin yang menganggap bahwa dakwah sebatas ritual saja tanpa memperhatikan output dari pelaksanaan dakwah. Ketiga, tidak mentadabburi makna dakwah sehingga ia hanya merasa dilihat oleh Allah hanya ketika dakwah saja. Tidak mentadabburi dakwah akan menghantarkan kam Muslimin untuk bersikap jauh dari ihsan. Implikasinya, ia akan merasa jauh dari Allah ketika di luar dakwah. Dampak ini juga mengakibatkan menjamurnya tingkat kejahatan karena kurang mentadabburi makna dakwah. Dan problematika ini adalah problem komunal di sekitar masyarakat.30 Keempat, diantara penyebab dakwah tidak berbekas dalam kehidupan kaum Muslimin adalah dakwah yang tidak mampu menjawab problematika ummat. Dakwah yang saat ini hanya sebatas himbauan yang bersifat monolog tanpa mencerna problem bahkan akar problematika ummat. Implikasinya dakwah hanya menjadi syarat bahkan pemenuhan kebutuhan ruhiah semata tanpa melihat akar dan tujuan serta fungsi utama dakwah yaitu pemecah problematika ummat. Dakwah secara substansial akan mencapai fungsinya dengan baik jika dakwah mampu menjawab problematika ummat yang ada. Jika antara dakwah dan problematika hanya berjalan sendiri tanpa ada keterkaitan maka dakwah tidak akan mencapai fungsinya dengan baik. Ada tiga indikator jika dakwah tidak mampu menyelesaikan problematika ummat: 1. Subjek dakwah. Subjek dakwah disini adalah pelaku dakwah yang berislam secara
740_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
parsial dan tidak berislam secara menyeluruh. Subjek dakwah seperti yang tertera dalam hadist diatas menjadi faktor utama kegagalan dakwah ditengah problematika dakwah yang tidak selesai. Oleh karenanya subjek dakwah idealnya memperbaiki lisan, perbuatan dan perasaan agar perasaan, lisan maupun perbuatannya sesuai dengan ajaran Islam. Termasuk ciri utama yang membedakan seorang da’i yang berdakwah ke jalan Allah Azza wa Jalla adalah, bersikap ta`anni (tenang/tidak terburu-buru) dan tatsabbut (verifikasi/cek dan ricek) terhadap segala perkara yang terjadi dan semua berita yang ada. Maka janganlah dia bersikap tergesa-gesa sehingga menghukumi manusia dengan apa yang tidak ada pada mereka, yang dapat menyebabkan dia menyesal dan bersedih hati diakibatkan sikap ketergesa-gesaannya. Untuk itulah Allah SWT mengingatkan:
ِﱠ ِ ِ ُﺎﺳﻖ ﺑِﻨَﺒٍﺄ ﻓَـﺘَﺒـﻴﱠـﻨُﻮا أَن ﺗ ِ ﺼﻴﺒُﻮا ﻗَـ ْﻮًﻣﺎ َ َ ٌ َﻳﻦ َآﻣﻨُﻮا إن َﺟﺎء ُﻛ ْﻢ ﻓ َ ﻳَﺎ أَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﺬ ٍ ِ ِِ ﲔ َ ﺼﺒِ ُﺤﻮا َﻋﻠَﻰ َﻣﺎ ﻓَـ َﻌ ْﻠﺘُ ْﻢ ﻧَﺎدﻣ ْ ُﲜَ َﻬﺎﻟَﺔ ﻓَـﺘ
”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”31
Dalam hal ini seorang dai dituntut untuk tidak terburu-buru dalam menentukan sikap. Ia harus menguasai dan memahami setiap problematika yang ada dihadapannya. Dala hal ii, dai harus memiliki profil berikut ini, yaitu: memiliki komitmen tauhid, istiqamah dan jujur, memiliki visi yang jelas, memiliki wawasan keislaman, memiliki kemampuan memadukan antara dakwah bi al-lisan dengan dakwah bi al-hal, sesuai kata dengan perbuatan, berdiri di atas semua paham dan aliran, berpikir strategis, memiliki kemampuan analisis interdisipliner, sanggup berbicara sesuai dengan kemampuan masyarakat.32
Reformulasi Dakwah Melalui Metode Problem Best Learning _741
2. Proses transmisi dakwah. Proses transmisi dakwah yang dimaksud adalah proses pengkomunikasian dakwah. Jika dakwah berada dalam fase sulit maka salah satu kemungkinan penyebabnya dalah proses transmisi dakwah yang belum maksimal. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya fakta pengemban dakwah yang tidak memahami metode dakwah lisan yang baik sehingga komunikan atau pendengar tidak mampu memahami makna atau pesan dakwah yang diungkapkan oleh pengemban dakwah. Ketidakmampuan pengemban dakwah dalam mengkomunikasikan hal ini menjadi point kegagalan dakwah. Oleh karenanya pengemban dakwah harus memahami metode dan cara bagaimana mengkomunikasikan pesan dakwah dengan baik, lugas dan logis. Proses transmisi ini diperlukan dalam menghadapi komunikan yang heterogen. 3. Ketiga, objek dakwah yang tidak bisa menerima dakwah secara baik. Kesiapan objek dakwah menjadi sasaran utama suksesnya dakwah. Jika komunikan tidak siap secara perasaan dan fikiran maka peluang gagalnya dakwah akan meningkat. Oleh karenanya kesiapan komunikan secara internal harus benar-benar menjadi pertimbangan dalam proses dakwah.
742_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Bagan objek dakwah: Perorangan Objek
1. Belum Muslim : Seruan / Ajakan
2. Sudah Muslim : - Mempertahankan - Memperbaiki - Meningkatkan
1. Mayoritas : - Mempertahankan - Memperbaiki - Meningkatkan
2. Minoritas : - Mempertahankan - Memperbaiki - Mengembangkan
Heterogen
3. Heterogin : - Mempertahankan - Memperbaiki - Meningkatkan
4. Non Muslim : Ajakan / Seruan
E. Reformulasi Dakwah Di Era Kontemporer Dengan Metode Problem Best Learning Dengan semakin derasnya arus moderitas di satu sisi, dan misi dakwah
di sisi yang lain, maka sudah saatnya kita mereformulasikan kembali makna dan hakikat dakwah sebagai gerakan perubahan sosial menuju arah yang lebih baik. Kita harus secara terbuka mengakui kekurangan yang ada sekaligus menetapkan langkah perbaikan ke depan.
Reformulasi Dakwah Melalui Metode Problem Best Learning _743
Dari beberapa problematikan dan analisis perbedaan pemetaan masalah di atas setidak-tidaknya ada beberapa solusi yang harus kita lakukan agar dakwah berfungsi dan mampu mejawab problematika keumatan. Pertama, meningkatkan kualitas dakwah. Ada beberapa langkah yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas dakwah diantaranya menyempurnakan wudhu, menyempurnakan niat, menyempurnakan rukun dan syarat sah serta syarat wajib dakwah. Ketika ini sudah berjalan dengan baik, maka kita akan melangkah kepada solusi selanjutnya yaitu mentadabburi dakwah sehingga dakwah membekas dalam membentuk mind set berfikir ihsan. Adapun tata cara meningkatkan kualitas dakwah terdapat dalam hadist yang diriwayatkan oleh al Baihaqi: Saat berbicara kepada Nabi Daud AS, Allah SWT berfirman: Tahukah engkau apa yang aku lakukan kepada orang alim yag lebih mementingkan kesenangan nafsungnya daripada mencintaiKu? Wahai Daud, jangan kau tanyakan kepadaku mengenai orang alim yang mabuk demi kepentingan dunia. Karena ia akan menghalangimu dari jalan cintaKu. Wahai daud, ketika engkau melihat penuntut ilmu, maka jadilah engkau pelayannya. Wahai daud, siapa yang mengembalikan hamba yang telah menyimpang dari petunjuKu maka aku mencatatnya sebagai gugur dalam mati syahid. Dan barangsiapa yang telah aku catat sebagi orang yang gugur secara syahid maka selamanya aku tidak akan menyiksanya di dalam neraka.33 Dari hadist di atas jelas bahwa kualitas dakwah dinilai dari bagaiman dakwah diiringin dengn perasaan menyesal dan mengakui bahwa kita adalah bagian dari hamba Allah yang lemah dan tidak berdaya dan hanya Allah yang maha besar. Kedua, menghadirkan mind set bahwa dakwah tidak hanya sebagai ritual dan pelepas kewajiban, namun dakwah adalah upaya latihan untuk menciptakan pribadi unggul sesuai dengan perintah Allah. Ketika
744_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
melaksanakan dakwah, sadarilah bahwa dakwah adalah upaya untuk melatih diri menuju kualitas yang lebih baik. Persembahkan segala kebaikan hanya untuk Allah. Ketiga, selain melaksanakan dakwah dengan baik dan berkualitas, hal lain yang harus dipecahkan adalah bersikap ihsan. Yaitu sikap yang merasa diawasi oleh Allah, tidak hanya ketika pelaksanaan dakwah namun dalam 24 jam kehidupan kita. Sehingga muncul khauf dan raja; yaitu sikap takut kepada Allah dan sikap berharap akan ampunan Allah. “Ihsan adalah ketika kamu beribadah seakan-akan kamu melihat Allah, namun jika engkau tidak mengingat Allah maka yakinlah bahwa Allah melihat engkau” Hadist ar ba’in ini memberikan solusi utuh dalam kehidupan sosial. Kesadaran akan hubungan dengan Allah (idraksilabillah) akan menjadi pagar yang kokoh menghindarkan kita dari segala tindak kejahatan dan kemaksiatan. Keempat, menjaga lingkungan agar kualitas dakwah terjaga. Selain menjaga kualitas dakwah, menjaga mind set dalam dakwah dan bersikap ihsan dalam kehidupan, hal lain yang harus dituntaskan adalah menjaga lingkungan pergaulan agar dakwah sebagai wahana latihan tidak terganggu oleh hal-hal negatif. Dalam hal ini penulis tidak ingin memaparkan bagaimana dakwah menjauhkan kita dari realitas sosial, tapi lebih dari itu dengan dakwah kita mampu memetakan lingkungan mana yang harus kita ikuti dan lingkungan mana yang harus kita warnai.34 Dengan beberapa masalah, analisa masalah dan solusi ini, maka insya”allah menggapai dakwah fungsional dan aktual akan mampu dicapai dengan baik.
F. Dakwah Dengan Metode Problem Best Learning Dakwah yang dimaksud disini adalah dakwah dengan melihat realitas persoalan ummat dan memformulasikan dakwah sesuai dengan
Reformulasi Dakwah Melalui Metode Problem Best Learning _745
problematika ummat. Dakwah dengan metode problem best learning dinamakan juga dengan dakwah tematik. Adapun langkah dari metode dakwah ini ialah: Pertama, melihat fakta ummat saat ini. Dengan melihat fakta ummat saat ini, akan muncul analisa. Akal manusia memiliki empat komponen: empat komponen akal agar aktivitas akal (‘amalyah aqlyah), atau akal (‘aql) dan pemikiran (fikr) dapat terwujud adalah fakta, otak manusia yang normal, panca indra dan informasi terdahulu. Empat komponen akal ini secara keseluruhan haruslah dipastikan keberadaanya dan dipastikan kebesarannya. Maka berdasarkan penjelasan itu, defenisi aka (‘aql), pemikiran (fikr) dan kesadaran (al idrak) adalah pemindahan pengindraan terhadap fakta melalui panca indra ke dalam otak yang disertai adanya informasi-informasi terdahulu (ma’lumat stabiqah) yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut.35. Dari inilah manusia dapat memikirkan hal yang layak untuk ia fikirkan dan pertimbangkan. Pemikiran adalah aktivitas berpikir pada diri umat tentang realitas kehidupan yang mereka hadapi. Umat secara keseluruhan senantiasa mempergunakan informasi (pengetahuan) yang mereka miliki, ketika mengindera berbagai fakta ataupun fenomena untuk menentukan hakikat fakta atau fenomena tersebut. Dengan kata lain, umat harus senantiasa memiliki pemikiran yang mereka gunakan dalam menata kehidupan mereka. Disebabkan seringnya umat mempergunakan pemikiran yang cemerlang, maka muncul berpikir yang inovatif pada diri umat. Ummat Islam telah sepakat bahwa pemikiran Islam dan hukum syara’ sebagai solusi kehidupan jelas akan mengalami benturan dengan manusia yang kosong dari pemikiran dan metode berpikir. Juga akan berbenturan dengan kecenderungan terhadap pemikiran yang berkembang saat ini, termasuk dengan realitas kehidupan sehari-hari yang dikendalikan oleh sistem kapitalis. Oleh karena itu, selama pemikiran itu tidak kokoh hingga betul-betul menancap kuat dalam benak dan akal mereka, tidak mungkin
746_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
pemikiran itu akan menggoncang orang-orang tersebut, bahkan rasanya sulit memalingkan perhatian mereka. Sebab dengan pemikiran mereka ini, ia akan mampu membawa logika-logika yang lemah dan dangkal itu ke dalam proses berpikir yang mendalam. Dengan melakukan relaksasi terhadap fakta maka seorang dai harus terlebih dahulu memetakan hal apa saja yang harus diperhitungkan dalam rangka mengemban dakwah Islam. Dalam rangka mengemban dakwah, seorang komunikator haruslah masuk ke dalam problem realitas dan berusaha menjawab problem realitas yang ada.36 Hal ini dilakukan dengan cara mencari penyakit dan permasalahan ummat untuk kemudian dideteksi dengan baik. Dakwah yang ada selama ini hanya berputar kepada permasalahan ritual saja, dan tidak menyentuh ranah substansia. Dakwah seakan berdiri dibmenara yang tinggi dan realitas ada di bawahnya. Seorang dai harus mempu membumikan dakwah agar dapat menyentuh akar permasalahan. Sebagai sebuah contoh, problem realitas yang berkembang adalah perceraian dan konflik di dalam keluarga, maka upaya yang harus digalakkan adalah merumuskan fakta, menganalisis apa yang menjadi sumber konflik, dan memberikan formula dari analisis yang telah diberikan. Dengan cara ini maka dakwah penyajian dakwah yang lebih segar akan dirasa oleh ummat. Kedua, melakukan analisa di balik fakta.37 Analisa ini dilakukan oleh dai dengan analisa yang serius yang dapat mendatangkan jawaban dibalik problematika ummat. Manusia adalah makhluk yang memiliki kepentingan. Untuk menghindari pertikaian antar manusia karena adanya beragam kepentingan -bahkan kepentingan yang sama- maka seyogyanya ada regulasi yang fundamental untuk mendamaikan kepentingan ini. Inilah yang menjadi akar substansial dari dakwah.38Meredam kepentingan, demi kepentingan bersama merupakan perkara substansial dari dakwah Islam itu sendiri. Ketiga, memberikan resolusi dalam berbagai masalah yang ada.
Reformulasi Dakwah Melalui Metode Problem Best Learning _747
Islam adalah agama yang sempurna. Di dalamnya terdapat aturan yang mengatur interaksi antar umat manusia.39 Islam juga merupakan risalah paripurna dan universal yang mengatur seluruh masalah kehidupan, serta hubungan antara kehidupan itu dengan sebelum dan sesudahnya. Ia juga memecahkan seluruh masalah manusia serta dibawa oleh pemeluknya dengan metode yang sempurna.40 Implikasinya, apapun problematika kemanusiaan mampu diselesaikan dengan dakwah, dibutuhkan kecerdasan seorang dai agar mampu memuculkan Islam yang mampu menjawab problematika. Salah satu hal yang mutlak dilakukan seorang dai adalah dengan cara meletakkan fungsi dakwah pada tempatnya dan sesuai tujuan awal dakwah itu sendiri. Dalam berdakwah, hal yang menjadi point penting ialah melihat solusi di balik problem sosial dengan metode yang telah jelas, sehingga progresifitas Islam tetap terjaga.41 Bagan dakwah dengan metode Problem Best Learning: 1.Pendataan masalah
2. Pengumpulan data
3.Pengklasifikasian
Problem 4.Analisis
5.Solusi
Bagan Proses Berfikir Cepat dalam Meliat Realitas Problematika Dakwah: AKAL
Fakta
Kumpulan Fakta
Pengetahuan
sebelumnya
748_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
REFORMULASI DAKWAH MELALUI METODE PROBLEM BEST LEARNING Masalah
Analisis Masalah
1. M e n g a p a dakwah tidak menghantarkan pelakunya untuk terhindar dari maksiat? 2. Mengapa ada dua orang dakwah namun memiliki kualitas outpute prilaku yang berbeda? 3. M e n g a p a dakwahnya para shalafushalih menghindarkan mereka dari maksiat sementara dakwahnya g e n e r a s i Muslim saat inti tidak mampu melepaskan dari maksiat? 4. Mengapa banyak yang gelisah ketika dakwah namun tidak gelisah ketika bermaksiat
1. Faktor kualitas Dakwah. 2. Faktor mind set yang menganggap bahwa dakwah hanya sebatas ritual. 3. K u r a n g n y a melakukan tadabbur terhadap aktifitas dakwah. 4. Dakwah kurang menyentuk ke akar permasalahan. 5. D a k w a h hanya bersifat himbauan. 6. Dakwah hanya berisi teori dan konsepsi tanpa mampu menjawab problematika ummat.
Reformulasi Dakwah dengan Metode Problem Best Learnig 1. Tingkatkan kualitas dakwah dengan metode dakwah realitas. 2. Mind set bahwa dakwah hanya sebatas pelepas k e w a j i b a n diganti dengan dakwah sebagai fungsionalisasi problem solvng ditengah-tengah masyarakat 3. Reformulasi dakwah sesuai kebutuhan masyarakat yang heterogen 4. J a g a l a h lingkungan untuk mempertahankan kualitas dakwah. 5. R e f o r m u l a s i dakwah: Melihat fakta, menganalisa fakta dan solusi dibalik fakta.
Reformulasi Dakwah Melalui Metode Problem Best Learning _749
G. Penutup Dari pemaparan yang telah penulis paparkan di atas maka dakwah dengan metode problem best learning adalah dakwah realitas yang berangkat dari masalah, bukan berangkat dari konsepsi. Dakwah yang dimulai dari melihat fakta permasalahan yang ada, dilanjutkan dengan melakukan penganalisaaan terhadap fakta dan mencoba menjawab problematika yang ada merupakan point penting agar dakwah mampu menjawab problem realitas. Dengan demikian, dakwah akan mampu mencapai tujuan dan misi utama dakwah yakni memecah problematikan dan mencegah perbuatan keji dan menebar kebaikan.
750_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Daftar Kepustakaan
Abdul Kadir, Hatib, Tangan Kuasa di Atas Kelamin: Telaah Homoseks, Pekerja Seks dan Seks Bebas di Indonesia, Yogyakarta: Insist Press, 2007 Abdullah, Muhammad Husain, Mafahim Islamiyah: Pemahaman Islam terj M Romli, Bangil : al zzah, 1996
Menajamkan
Abdullah, Muhammad Husein, Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, Bogor: Pustaka Thoriqul Izzah, 2002. Anonim, Islam, Dakwah, dan Politik , terj Saifullah dkk, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002 Asep S Muhtadi dan Sri Handayani, Dakwah Kontemporer Pola Alternatif Dakwah Melalui Televisi, Bandung, Pusdai Press: 2000 Bachtiar, Wardi, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwa, Jakarta: Logos Wacana Imu, 1997 Bagus, Lorens Kamus Filsafat , Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005. Cangcara, Hafied, Perencanaan dan Strategi Komunikasi, Jakarta: Rajawali Press, 2013 Chirzin, Muhammad, Konsep dan Hikmah Akidah Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Effendy, Onong Uchjana Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000. Ghazali, Imam, Ringkasan Ihya Ulumuddin, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana Timur 2008 Harapah, Syahrin, Islam dan Implementasi Pemberdayaan, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 1999, Cet. I Hawari, Muhammad, Reideologi Islam: Membumikan Islam dalam Sebuah Sistem, Bogor: Al Azhar Press, 2007
Reformulasi Dakwah Melalui Metode Problem Best Learning _751
Idris, Malik, Strategi Dakwah Kontemporer, Makassar: Sawah Press, 2007 Kurnia,M.R Menjadi Pembela Islam, Bogor: al Azhar Press, 2007. Majmu’ Fatawa oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiyah 15/157. Mundiri, Logika , Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2012
al-Nabhani, Taqiyuddin, Attafkir, terj Taqiyuddin an Siba’i, Pustaka Thariqul Izzah, 2008.
Bogor:
______________________, Daulah Islam, Beirut: Dar Ummah, 2002
Qal’ahji, Muh. Rawwas, Siroh Nabawiyyah: Sisi Politia Perjuangan Rasulullah , al Azhar Press: Bogor, 2007 Rais, Amin, Tauhid Sosial, Bandung: Mizan, 1998 Rakhmat, Jalaludin, Menyerap Kearifan al Quran melalui Tafsir bil Ma’stur, Bandung: Mizan Pustaka Utama, 2012. Ryanto, Waryani Fajar Filsafat Ilmu: Topik-Topik Epistimologi: Revolusi Paradigma Keilmuan: Dari Positivisme Menuju IntegralismeInterkonektif , Interkoneksi antara Ilmu-Ilmu Agama, Ilmu-Ilmu Alam dan Ilmu-Ilmu Sosial, Yogyakarta: Paradigma Insan, 2009 Sardar, Zainuddin, Information and The Muslim World: A Strategy for The Twenty-First Century, diterjemahkan oleh Priyono dengan judul Tantangan Dunia Islam Abad 21 Menjangkau Informasi, Bandung: Mizan, 1996 Sarwono, Sarwito Wirawan, Teori-Teori Psikologi Sosial , Jakarta: Rajawali Press, 2008 Shihab,Quraish, Membumikan al Quran , Jakarta: Mizan Media Utama, 2007. ______________, Lentera Hati , Bandung:Mizan, 2000
752_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Subaiki, Pilar-pilar Nafsiah Islamiah, Bogor: Al Azhar Press, 2010. Sumawijaya, Amin, Paradidgma Qurani: Rangkaian ayat-ayat Suci al Quran, Jakarta: Indi Grafika, 2006 Surajiyo dkk, Dasar- dasar logika, Jakarta: Bumi Aksara, 2012 Thamrin, Husni, Fenomena Hukum Islam, Yogyakarta: Aswajapressindo, 2011 Wiscok, Yohanes P., Filsafat Manusi: Membuka Diskusi tanpa Henti, Bandung: Jendela Mas Pustaka, 2009 Yaqin, Haqqul, Agama da Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta: Elsaqq Press, 2009 Yasin bin Ali, Hukum-hukum Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Bogor: Pustaka Thatriqul Izzah, 2012 al Jazairi, Syaikh Abu Bakar Jabir, My Beloved Prophet: Teladan Sepanjang Zaman, Jakarta: Qisthi Press, 2007. Al Zuhaili, Wahbah, Al quran Menjawab Tantangan Zaman, terj, Beirut: Daar Fikr, 1993. Kamus Ash Shihah 6/2336, kamus Mu’jamul Wasit 1/286.
Reformulasi Dakwah Melalui Metode Problem Best Learning _753
Endnotes
1. Asep S. Muhtadi dan Sri Handayani, Dakwah Kontemporer Pola Alternatif Dakwah Melalui Televisi, Bandung: Pusdai Press, 2000
2. Kewajiban dakwah pada awalnya diturunkan dan diwajibkan kepada Rasulullah yang diwarisi oleh generasi sesudahnya. Lihat, Jalaludin Rakhmat, Menyerap Kearifan al Quran melalui Tafsir bil Ma’stur, Mizan Pustaka Utama: Bandung, 2012, h. 47
3. QS. Al Imrân: 104 4. QS. Al Imrân: 110 5. QS. Al Hijr: 94 6. HR: Muslim 7. Baca, Yasin bin Ali, Hukum-hukum Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Bogor: Pustaka Thatriqul Izzah, 2012
8. M.R Kurnia, Menjadi Pembela Islam, Bogor: al Azhar Press, 2007, h. 98. 9. Memang banyak faktor yang memunculkan kasus tersebut seperti misalnya dikecewakan pasangan, kemiskinan, maupun aspirasi material yang telah ia rasakan. Menurut Freud, seks bukan cuma objek seksual tetapi juga tujuan seksual. Dengan demikian, seksualitas merupakan tindakan yang bersifat majemuk yang merupakan interaksionasi yang melibatkan lebih dari risi sendiri. Lih. Hatib Abdul Kadir, Tangan Kuasa di Atas Kelamin: Telaah Homoseks, Pekerja Seks dan Seks Bebas di Indonesia, Yogyakarta: Insist Press, 2007, h. 19.
10. M.R Kurnia, Menjadi Pembela Islam..., h. 98. 11. M. Quraish Shihab, Lentera Hati, Bandung: Mizan, 2000, cet. Ke-20, h. 70. 12. Baca, Amin Rais, Tauhid Sosial, Bandung: Mizan, 1998 13. QS. At Taubah: 71
754_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
14. (kamus Ash Shihah 6/2336, kamus Mu’jamul Wasit 1/286). 15. (Majmu’ Fatawa oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiyah 15/157). 16. Kecenderungan dakwah lisan atau ucapan ini adalah mengajak manusia kepada iman melalui dua jalur. Pertama, dengan menggunakan akal fikiran dan memeriksa serta memikirkan secara teliti apa yang diciptakan Allah. Kedua, dengan mengerti nama-nama dan sifatnya dalam al Quran serta keimanan dan ketauhidan kepada Allah. Lihat, Muhammad Chirzin, Konsep dan Hikmah Akidah Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h. 23.
17. QS. Ash Shaff: 2-3 18. Dakwah dengan perbuatan kebanyakan memberikan contoh teladan. Dakwah bil hal telah dicontohkan oleh Rasulullah dengan keteladanan yang beliau miliki. Rasulullah adalah pengemban dakwah bil hal yang terbaik. Hal ini termaktub dalam al Quran : Sesunguhnya telah ada pada Rasulullah teladan yang baik, bagi siapa yang mengharapkan anugerah Allah dan ganjarangnya di hari kemudian, serta banyak menyebut nama Allah (QS. Al Ahzâb: 21). Teladan ini dilakukan oleh Rasulullah dengan tujuan-tujuan tertentu yaitu merubah kepribadian jahat menjadi baik dengan mengkaji realitas yang mengakibatkan manusai menjadi baik dan mengkaji realitas manusia menjadi negatif. Hal ini dilakukan dengan melihat latar belakang objek, pendidikan dalam lain sebagainya. Dakwah bil hal adalah dakwah aplikatif yang dilakukan para nabi-nabi sebelumnya. Lihat, Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, Jakarta: Mizan Media Utama, 2000, h. 24-35. Baca, Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi, My Beloved Prophet: Teladan Sepanjang Zaman, Jakarta: Qisthi Press, 2007. Baca, Muh. Rawwas Qal’ahji, Siroh Nabawiyyah: Sisi Politia Perjuangan Rasulullah, Bogor: al Azhar Press, 2007, h. 12-36.
19. HR: Muslim 20. Lihat, Bachtiar, Wardi, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwa, Jakarta: Logos Wacana Imu, 1997
21. Lihat Hafied Cangcara, Perencanaan dan Strategi Komunikasi , Jakarta: Rajawali Press, 2013)
Reformulasi Dakwah Melalui Metode Problem Best Learning _755
22. Metode berarti rangkaian yang sistematis dan merujuk kepada tata cara yang sudah dibina berdasarkan rencana yang pasti, mapan, dan logis. Onong Uchjana Effendy Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000, h. 9.
23. Muttafaq alaih 24. Diakui atau tidak, seluruh problematika yang ada tidak hanya menghambat laju perkembangan dakwah melainkan lebih dari itu, dakwah dihambat oleh beberapa kekuatan kemunafikan yang lain seperti godaan-godaan iblis, setan dalam menghambat kebaikan manusia. Namun pada satu sisi tidak dapat dipungkiri lemahnya metoda dakwah juga merupakan faktor penting gagalnya penyebaran nilai-nilai kebaikan ditengah-tengah manusia. Lihat, Amin Sumawijaya, Paradidgma Qurani: Rangkaian ayat-ayat Suci al Quran, Jakarta: Indi Grafika, 2006, h. 121.
25. Zainuddin Sardar, Information and The Muslim World: A Strategy for The Twenty-First Century, diterjemahkan oleh Priyono dengan judul Tantangan Dunia Islam Abad 21 Menjangkau Informasi, Bandung: Mizan, 1996)
26. Malik Idris, Strategi Dakwah Kontemporer, Makassar: Sawah Press, 2007. 27. Lihat, Imam Ghazali, Ringkasan Ihya Ulumuddin, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2008, h. 203.
28. QS. Al Baqarah: 44 29. QS. Al Shaff: 2 30. Masyarakat haruslah memahami kecenderungan universalitas dakwah Islam. Penjagaan terhadap universalitas Islam mutlak dilakukan agar Islam dapat menyentuh pada ranah hirizontal dan tidak ranah vertikal saja. Islam yang membumi ini dinnamakan dengan universalitas Islam. Men tadabburi dakwah dapat dikatakan memahami makna dakwah yang tidak hanya sekedar melakukan upaya dakwah ritual, namun juga melakukan upaya dakwah menyentuh ranah horizontal. Lihat, Wahbah Az Zuhaili, Al quran Menjawab Tantangan Zaman , terj Beirut: Daar Fikr, 1993,h. 186-190. Lihat juga, Quraish Shihab, Membumikan al Quran, Jakarta: Miza Media Utama,
756_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013 2007, h. 330.
31. QS Al Hujarat : 6 32. Syahrin Harapah Islam dan Implementasi Pemberdayaan, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 1999, Cet. I
33. Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin... h. 19 34. Dalam memilih pergaulan, Islam memiliki konsepsi yang jelas. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu hurairah Rasulullahbersabda, Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah dibawah naunganNya. Pada hari itu tidak ada naungan selain naungan-Nya, yaitu pemimpin yang adil, pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah semasa hidupnya, seorang yang hatinya senantiasa terpatri dengan mesjid. Dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah. Seorang laki-laki yang diajak oleh perempuan yang cantik dan berkedudukan untuk berzina dan ia berkata “Aku takut kepada Allah”, seseorang yang memberi sedekah tetapi ia merahasiakanya seolaholah ia tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kirinya dan seseorang yang mengingat Allah diwaktu sunnyi sehingga bercucuran air matanya. Dalam hadist ini jelas dikatakan dalam memilih lingkungan upayakan yang mengarahkan kepada kecintaan kepada Allah. Lihat, Subaiki, Pilar-pilar Nafsiah Islamiah, Bogor: Al Azhar Press, 2010, h. 50
35. Lihat, Taqiyuddin an-Nabhani, Attafkir, terj Taqiyuddin an Siba’I, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008,h.
25. Lihat selengkapnya, Muhammad
Husain Abdullah, Mafâhim Islamiyah: Menajamkan Pemahaman Islam, terj M Romli, Bangil: al Zzah, 1996, h. 29-33
36. Lihat, Husni Thamrin, Fenomena Hukum Islam, Ypgyakarta: Aswajapressindo, 2011
37. Proses penganalisaan yang ada bisa dilakukan dengan berfikir mendalam dan serius untuk menggali makna di balik fakta yang ada. Lihat, Mundiri, Logika, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012. Lihat juga, Surajiyo dkk, Dasardasar logika, Jakarta; Bumi Aksara, 2012
Reformulasi Dakwah Melalui Metode Problem Best Learning _757
38. Lihat, Sarwito Wirawan Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 2008, h. 139-140.
39. Muhammad Husein Abdullah, Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, Bogor: Pustaka Thoriqul Izzah, 2002, h. 117.
40. Taqiyuddin an-Nabhani, Daulah Islam, Beirut: Dar Ummah, 2002, h. 156160. Islam bukanlah agama sipiritual, ritual dan moril saja. Islam mencakup aturan dalam semua lini kehidupan yang terdiri dari tiga dimensi. Pertama, hubungan manusia dengan dirinya mencakup akhlak. Kedua, hubungan manusia dengan penciptanya mencakup ibadah, aqidah. Ketiga, hubungan manusia dengan manusia lain mencakup muamalah. Muamalah tidak hanya mengatur interaksi antar manusia saja, bahkan lebih dari itu Islam mengatur semua bidang kehidupan manusia diantaranya politik, ekonomi, sosial, pergaulan, budaya dan lain sebagainya. Dengan demikian Islam adalah agama yang komprehensif dan universal yang mampu menjawab problematika manusia. Islam juga tidak menutup mata membahas mengenai hak dasar manusia. Lihat, Anonim, Islam, Dakwah, dan Politik terj Saifullah dkk, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002, h. 130-131.
41. Nur Khalis Setiawan, Akar-Akar Pemikiran Progresif dalam Kajian Al Quran, Yogyakarta: El saq Press, 2008
Modern Trend in Turkish Islam A Closer Look at the Qur’anic Exegesis of Bediuzzaman Said Nursi
Tren Modern dalam Islam (di) Turki; Telaah Penafsiran Bediuzzaman Said Nursi.
Labib Syauqi Penyuluh Agama Islam, PP Lirboyo email :
[email protected]
Abstract : Intellectual output of Muslim thinkers, along with their response to worldly problems, can not be separated from social contexts where they live in. Islamic thought then is human-based social production emerged as their intimate engagement with problems in a certain society. Considering this discourse into account, this thesis will focus on the Qur’anic exegesis of Said Nursi. The focus of this research will be emphasized not on how his exegesis is a sort of politicization of the Qur’anic interpretation within “secular” Turkey, but an attempt to contextualize the very tenets of the Qur’an within early twentieth century Turkish society through his unique method of making Divine revelation dialogical with this-worldy-social life. By doing so, this research aims to comprehend modern trend of the Qur’anic exegesis by refuting the biased notion of textual closure and insignificance of the Holy Book and, consequently, corroborating dynamic hermeneutics within certain intellectual and social milieu in the aftermath of the post-Ottoman society.
Abstraksi :
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _759 Produk pemikiran serta respon yang dilakukan oleh seorang pemikir tidak dapat dilepaskan dari konteks ruang sosialnya. Sebuah karya serta pemikiran merupakan sebuah produk sosial dan karya manusia atas pergumulan serta respon terhadap dunianya. Pemikiran serta penafsiran kontekstual yang dilakukan Said Nursi, bukan berarti merupakan salah satu bentuk dari politasi ayat-ayat al-Qur’an. Namun lebih berupa upaya respon untuk mengkontekstualisasikan ayat-ayat al-Qur’an dan mendialogkannya dengan kehidupan sosial pada masanya, supaya ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya dipahami sebagai sebuah dokumen tekstual yang mati dan kehilangan signifikansinya dalam perilaku kongkrit masyarakat. dengan demikian, penelitian ini bermaksud untuk memahami tren modern dari penafsiran Qur’an dengan menolak pandangan bias bahwa teks quran itu tertutup dan tidak signifikan, dan oleh karena itu, berusaha untuk memperkuat argumen mengenai hermeneutika dinamis yang lahir dari keadaan sosial intelektual dalam masyarakat pasca-Usmani. Keywords: Modernization, Turkey, Exegesis, Said Nursi, Contexts
A. Pendahuluan Aksi para pembaharu Islam terhadap gejala modernisasi yang mendunia meniscayakan adanya perbedaan reaksi yang prinsipil menurut perbedaan konteks sosial hitoris. Hal tersebut dikarenakan mereka pasti tidak akan terlepas dengan konteks sosio historis yang berkembang di mana mereka berada1, karena seseorang merupakan produk dari zamannya. Ketika menyebutkan keterpengaruhan pemikiran terhadap kondisi lokal, maka hal yang muncul berikutnya adalah pandangan-pandangan baru tentang kontekstualitas al-Qur’an sebagai respon terhadap fenomena-fenomena baru yang muncul dari perubahan politik, sosial dan kultural dalam masyarakat muslim yang disebabkan oleh pengaruh peradaban Barat. Di antara tokoh pembaharu yang merespon isu-isu yang dibawa
760_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
peradaban Barat terhadap penafsirannya adalah Muhammad Abduh yang mengadopsi konsep Barat, bahwa sejarah manusia merupakan proses perkembangan yang sama dengan proses perkembangan individu. Abduh melihat bahwa umat Islam betul-betul dapat memasuki peradaban masa kini dan bahkan dapat memainkan peranan penting didalamnya, karena Islam adalah agama yang menjunjung tinggi akal dan kemajuan.2 Abduh mengedepankan rasionalitas dalam penafsirannya, seperti ketika menafsirkan kata jin yang berarti “sesuatu yang tertutup”, diartikan sebagai kuman yang tertutup3 atau tidak terdeteksi secara kasat mata atau disebut dengan mikroba yang banyak menyebabkan timbulnya penyakit. Dia juga menafsirkan burung-burung ababil yang melemparkan bebatuan kepada pasukan Raja Abrahah dengan “lalatlalat yang dapat menularkan penyakit kepada mereka melalui kakikainya yang mengandung kotoran dan virus.”4 Selain Abduh, terdapat sekelompok ulama yang menafsirkan alQur’an dengan penafsiran saintifik (tafsîr ‘Ilmi), Tafsîr ‘ilmi yang paling representatif pada abad ke – 20 adalah tafsir al-Jawâhir fi Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Karya ini merupakan ensiklopedi tentang ilmu-ilmu modern. Jawhari tidak menggunakan metode ini untuk bertujuan apologetik untuk membuktikan kemukjizatan al-Qur’an, akan tetapi dia ingin meyakinkan umat Islam bahwa pada masa modern, mereka seharusnya jauh lebih memperhatikan ilmu-ilmu pengetahuan modern daripada menyibukkan diri dengan perdebatan pembahasan hukum Islam.5 Karena menurut dia, dengan cara penguasaan ilmu pengetahuan modern, Islam akan dapat merebut kembali kemerdekaan dan kekuasaan. Masih banyak contoh kontekstualisasi pemikir terhadap konteks zamannya, belum lagi ketika mengambil contoh Indonesia, karena Islam yang ada di Indonesia akan berbeda dengan Islam yang berada di Timur Tengah, Mesir ataupun di Turki misalnya. Hal ini sejalan dengan al-Qur’an yang diyakini berdialog dengan zaman, dan pemahaman manusia pada masanya terhadap al-Qur’an akan banyak dipengaruhi oleh budaya dan perkembangan masyarakat pada zamannya.
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _761
Islam dalam pemahaman yang komprehensif merupakan agama yang membebaskan pemeluknya dari nilai-nilai relatif dan temporal,6 karena Islam adalah agama universal yang diperuntukkan kepada semua manusia untuk sepanjang zaman. Merespon isu modernitas ketika dihadapkan dengan Islam, tradisi dan juga westernisasi, salah seorang pemikir muslim abad 20 yang berasal dari Turki bernama Bediuzzaman Said Nursi, banyak menanggapi permasalahan tersebut dengan konsep modernitas yang dimilikinya, banyak isu-isu modern yang ditanggapinya dalam karya-karyanya. Said Nursi lahir pada tahun 1876 dan wafat pada 1960. Selama masa hidupnya, Said Nursi banyak menyaksikan peristiwa penting dalam sejarah Islam dan khususnya Turki, mulai dari rapuhnya kerajaan Islam terakhir hingga jatuh dan berubahnya Turki Utsmânî menjadi Republik sekular. Said Nursi dilahirkan ketika Kerajaan Turki Utsmânî sedang dalam keadaan mulai kehilangan otoritas dan kekuasaannya di bawah kekhalifahan Sultan abdul hamid II. Kondisi melemahnya Kerajaan Turki Utsmânî ini juga diikuti dengan keberadaan negara-negara Muslim lainnya7 yang bahkan berada di bawah jajahan dan hegemoni Barat. Pada tahun kelahiran Nursi, Turki Utsmânî beribukota di Istanbul, dimana ketika itu Islam dianggap memulai perjalanannya untuk masuk pada masa modernisasi.8 Hal ini ditandai dengan adanya gerakan Tanzimat (1839 - 1876)9 yang sedang tumbuh dan berkembang ketika itu. Gerakan ini mulai mengadakan perubahan-perubahan signifikan, mulai dari menata ulang sistem pemerintahan, hingga berbagai aspek kehidupan masyarakat dengan menggunakan cara dan paradigma Barat sebagai acuan. Ibrahim M. Abu Rabi’ dalam pengantar buku karya Şükran Vahide mengatakan bahwa, Nursi tampil sebagai seorang ulama dengan visi yang kuat untuk menyatukan dunia Islam yang mulai terpecah. Kehidupan Nursi adalah sebuah narasi sejarah yang melambangkan
762_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
kehidupan, bukan hanya kehidupan bangsa Turki, melainkan kehidupan seluruh umat Islam di zaman modern. Sepak terjang dan karya-karya Nursi memberikan wawasan luas dan gambaran yang mendalam tetang masa sejarah pasca Tanzimat di Turki, keadaan sulit yang dialami ulama tradisional, kegagalan gerakan reformasi Islam pada abad ke – 19 untuk memberikan sebuah solusi Islami dalam menghadapi ancaman westernisasi, landasan filsafat dan politik munculnya nasionalisme sekuler di Turki, penghapusan kekhalifahan Utsmânî pada tahun 1924, dan nasib agama di Turki pada masa pemerintahan Kemal Attaturk. 10 Karya Bediuzzaman Said Nursi yang menjadi masterpiece atas karya-karyanya adalah Risâlah al-Nûr. Dalam kitab ini, Nursi banyak menyinggung tentang moralitas yang merupakan platform pemikiran Nursi, karena Nursi hidup ketika materialisme dan komunisme sedang menggelora dengan dekadensi moral yang melanda dunia, sedangkan disisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi sedang menemukan surganya.11 Disamping masalah moral yang banyak dibahas, pokok tema dalam penafsiran Nursi juga banyak merespon isu relevansi Negara Islam, apakah masih patut diperjuangkan sebagai dasar negara atau tidak,12 dan juga banyak pembahasan tentang hubungan antara Islam dengan modernitas.13 Disamping juga yang tidak kalah pentingnya, bahwa masalah keadilan dan persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan juga menjadi pembahasan yang mendapat perhatian Nursi, terbukti bahwa ia mempunyai risalah khusus tentang perempuan. Jadi Nursi dalam karya-karyanya, banyak menanggapi isu-isu modern yang berkembang dan tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan modernisasi Turki pada waktu itu yang sedang melanda. Mulai dari moralitas, keimanan, ilmu pengetahuan dan teknologi, filsafat, hingga masalah persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dari latar belakang tersebut, dalam makalah yang singkat ini mari kita telusuri bagaimana tren perkembangaan Islam pasca modernisasi Turki
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _763
dalam bentuk negara Republik Sekuler serta bagaimana Bediuzzaman Said Nursi merespon modernisasi tersebut dengan karya tafsirnya serta gerakan jemaatnya.
B. Bediuzzaman Said Nursi Riwayat Hidup dan Karier Intelektual Said Nursi lahir menjelang fajar terbit pada 1293 H/1876 M.,14 di sebuah desa bernama Nurs, salah satu perkampungan di wilayah Bitlis15 yang terletak di wilayah timur Anatolia. Dia dilahirkan dalam sebuah keluarga petani yang sederhana. Ayahnya bernama Mirza, seorang sufi besar yang sangat wara’ dan diteladani sebagai seorang yang tidak pernah memakan barang haram dan hanya memberi makan anak-anaknya dengan makanan yang halal saja. Sedangkan ibunya bernama Nûriyyah yang terkenal hanya menyusui anak-anaknya dalam keadaan suci dan berwudu. Keluarganya tergolong dalam keluarga atau suku Kurdi. Said Nursi sendiri adalah anak keempat dari tujuh bersaudara. Said Nursi pertama kali mengenyam pendidikan formalnya di bangku madrasah pimpinan Muhammad Affandi di desa Thag. Di samping itu, ia juga belajar informal pada kakaknya Abdullah. Dia belajar di Thag tidak berlangsung lama, hanya sebentar saja, karena kegiatan belajarnya kemudian dilanjutkan di madrasah desa Birmis. Pada tahun 1888 M. ia pergi ke Bitlis dan mendaftarkan diri di sekolah Syaikh Amin Affandi, itupun tak berlangsung lama, sebab Syaikh tersebut enggan mengajarnya dengan alasan usia yang belum memadai. Hal ini sempat membuatnya bersedih. Akan tetapi kemudian ia mengalihkan perhatiannya untuk masuk ke sekolah Mir Hasan Wali di Muskus, kemudian di sekolah yang terletak di Waston, akan tetapi hanya bertahan satu bulan. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya di Bayazid,16 sebuah sekolah yang di sanalah dia kemudian belajar disiplin ilmu-ilmu agama dasar. Pada tahun 1889, Said Nursi berangkat menuju Bitlis untuk berguru pada Syaikh Muhammad Amin. Dan setelah dari sini ia melanjutkan
764_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
perjalanan intelektualnya menuju Syirwan dan kemudian menuju Si’rad untuk belajar pada seorang ulama kenamaan yang bernama Fathullah Afandi. Dan ketika Said Nursi berada di bawah bimbingan Syaikh Fathullah Afandi, ia secara intensif dalam jangka waktu satu minggu mampu membaca dan menghafalkan kitab jam’ul jawâmi’ karya Ibn asSubki.17 Tidak berselang lama, popularitas kejeniusan Said Nursi terdengar di mana-mana, para ulama tertarik untuk melakukan dialog ilmiah dengan Nursi, dan mengajukan berbagai pertanyaan yang menyudutkan Nursi. Akan tetapi semua pertanyaan dan masalah yang diberikan kepada Nursi dapat dijawab dengan sangat argumentatif, sehingga dia diberi gelar oleh mereka dengan gelar “Said Masyhur”. Setelah itu ia berangkat menuju Bitlis dan dilanjutkan menuju Tilalu atau Thillo. Dan selama ia berada di kota ini, Nursi selalu melakukan I’tikâf di tempat ibadah tertentu, dan di situlah ia menghafalkan kitab al-Qâmûs al-Muhîth, karya al-Fairûz Abadî sampai pada huruf Sîn.18 Pada tahun 1892 M. Said Nursi berangkat ke Mardin untuk menyampaikan pengajian di Masjid Raya dan dalam acara tanya jawab dengan penduduk setempat. Walikota setempat, Nadir Bek mendengar hal tersebut. Dan karena termakan oleh hasutan orang-orang yang tidak senang dengan Nursi, ia merasa bahwa Said Nursi adalah seseorang yang berbahaya dan perlu diwaspadai. Dengan adanya peristiwa tersebut, Nursi dideportasi untuk kembali ke kota Bitlis lagi.19 Lain halnya dengan walikota Mardin yang mengusir dan mendeportasinya, walikota Bitlis justru sangat memuliakan Said Nursi dengan memintanya untuk tinggal di rumahnya, meskipun permintaan itu sempat ditolak berkali-kali oleh Said Nursi. Selama berada di rumah walikota Bitlis, Said Nursi banyak menelaah dan menghafalkan kitab-kitab pokok tentang ilmu-ilmu keislaman. Terakhir kali Said Nursi diajar oleh seseorang adalah ketika dia berada di Bitlis. Pelajaran itu berasal dari seorang tokoh terkemuka di sana, yaitu
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _765
Syaikh Muhammad Kufrevi. Said Nursi memiliki cinta yang amat besar kepada syaikh-syaikh yang hebat dari Anatolia Timur. Empat di antara para Syaikh ini disebutkan di dalam biografinya. Mereka adalah Seyyid Nur Muhammad yang mengajarinya aliran Tharîqah Naqsyabandî, Syaikh Abdurrahman Tagi gurunya dalam mempelajari “jalan cinta (muhabbet); Syaikh Fehim guru yang mengajarinya “pemahaman tentang kenyataan” (‘ilm-i hakikat), dan Syaikh Muhammad Kufrevi, darinya dia menerima pelajaran terakhirnya. Disebutkan juga bahwa ada tiga ulama terkemuka yang telah mengajar Said Nursi dan sangat dicintai: yaitu Syaikh Emin Efendi dari Bitlis, Molla Fethullah dari Siirt, dan Syaikh Fethullah Verkanisi. Daftar singkat ini menggambarkan sebuah titik penting bahwa kebanyakan ulama terkemuka Anatolia Timur pada akhir abad ke-19 tampaknya muncul dari aliran Naqsyabandiyyah Khâlidiyyah. Mungkin karena ketradisionalannya serta jauhnya jarak dari ibukota, membuat sangat sedikit terdapat orang yang terpelajar secara formal dari kawasan ini.20 Dan hal ini yang menjadi motivasi Said Nursi dalam memandang sangat pentingnya reformasi pendidikan secara menyeluruh. Proses pembelajaran Said Nursi terhadap ilmu-ilmu umum tersebut, didapatkannya ketika berada di Van pada tahun 1892 M., dia berangkat kesana atas undangan dari walikota Van yang bernama Hasan Pasya supaya Ia tinggal bersamanya. Setelah Hasan Pasya tidak menjabat lagi, Said Nursi kemudian tinggal bersama Tahir Pasya, gubernur terpilih kemudian. Dan selama di sana, Said Nursi bertemu dengan banyak tokoh dan orang-orang yang menguasai berbagai disiplin ilmu modern. Ketika dia terlibat dialog dengan mereka, dirasakan bahwa penguasaannya terhadap ilmu-ilmu modern tersebut sangat terbatas. dia menyadari bahwa dalam bentuk tradisionalnya teologi Islam (Ilmu kalâm) tidaklah mampu menjawab keraguan-keraguan dan kritik yang telah dilontarkan kepada Islam masa kini. Hal inilah yang membuatnya mempelajari ilmuilmu pengetahuan modern. Sesuatu yang baru di antara para ulama di wilayah-wilayah timur. Dalam hal inilah dia menerima dukungan sebesarbesarnya dari Tahir Pasya. Dengan mempergunakan perpustakaan dan
766_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
koran-koran serta jurnal-jurnal yang disediakan untuk kantor Tahir Pasya, Said Nursi mulai mempelajari subyek-subyek ilmu pengetahuan seperti sejarah, geografi, matematika, geologi, fisika, kimia, astronomi, fisika dan filsafat, permasalahan terkini, perkembangan-perkembangan dalam kehidupan ‘Utsmânî serta, dunia Islam. Said Nursi melanjutkan mempelajari buku-buku yang dia anggap berarti tersebut, dan sekitar sembilan puluh judul buku pada masamasa dia berada di Van telah dibacanya. Dan pada saat inilah, karena hasil prestasinya, serta kecerdasan yang dia miliki, Said Nursi dikenal secara meluas dengan sebutan Badî’ al-Zamân21 atau Keajaiban Zaman, nama yang diberikan kepadanya beberapa tahun sebelumnya oleh Molla Fethullah dari Siirt.22 Karya-karya Ilmiah Bediuzzaman Said Nursi adalah seorang intelektual yang produktif dalam menghasilkan karya. Terbukti dengan karya-karya yang dia hasilkan dan telah disebarluaskan. Masterpiece karya Nursi adalah Risâlah al-Nûr. Risâlah al-Nûr atau dikenal juga dengan “Kulliyatu al-Rasâ’ili al-Nûr” adalah kumpulan kitab tafsir yang ditulis oleh Said Nursi yang diberi nama “Risâlah alNûr” dengan berbagai tema dan pembahasan. Adapun yang dimaksud Risâlah al-Nûr adalah kumpulan tulisan Said Nursi secara keseluruhan, yang kemudian oleh Ihsân Qâsim al-Sâlihî diterjemahkan kedalam bahasa Arab dan dicetak kedalam 10 jilid besar. Risâlah al-Nûr adalah karya monumental Said Nursi yang ditulisnya dengan tulisan tangan bersama murid-muridnya yang tebalnya mencapai kurang lebih 6000 halaman, yang didalamnya terdapat karya-karya Said Nursi yang ditulis pada masa Said Qadîm dan Said Jadîd23. Karya-karyanya yang terkumpul dalam Risâlah al-Nûr adalah; 1. Sözler
Sözler atau dalam judul bahasa Arabnya yang diedit dan diterjemahkan
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _767
oleh Ihsân Qâsim al-Sâlih adalah al-Kalimât, karya ini memuat 33 risalah. Tentang ibadah, hikmah-hikmah shalat, akidah, pandangan mukmin terhadap dunia, tugas-tugas manusia, perjuangan di jalan Allah dan tentang iman kepada-Nya. Dan terdapat juga risalah yang menerangkan tentang mukjizat al-Qur’an, dan masih banyak lagi. 24 2. Mektubat Mektubat dalam judul bahasa Arabnya adalah al-Maktûbât, karya ini juga memuat 33 risalah. Dimulai dengan masalah-masalah seputar Nabi Hidhr As. tentang hikmah kematian dan tentang neraka Jahannam, kemudian tentang perjalanan hidup Nursi dan perenungannya tentang pentingnya keimanan, tentang kisah pernikahan Nabi Muhammad Saw. dengan Zainab, dan juga menerangkan tentang bagaimana memahami syariat dan hikmahnya. Dalam al-Maktûbât juga berisi tentang macam-macam do’a dan rahasianya, di akhir kitab terdapat risalah tentang tasawwuf menimbang dari sisi positif dan negatifnya. 25 3. Lem’alar Lem’alar dalam judul bahasa Arabnya adalah al-Lama’ât, karya ini memuat 30 risalah yang memuat diantaranya kisah munajat Nabi Yûnus dan Nabi Ayyûb, risalah tentang makrifat pada Allah, juga terdapat risalah tentang penolakan terhadap kaum Naturalis, pentingnya hijab bagi perempuan, dan juga risalah yang mengupas tentang makna Asmâ’ al-Husnâ. 26 4. Şu’ala
Şu’alar dalam bahasa Arab berjudul al-Syu’â’ât, memuat 15 risalah tentang hubungan tauhid dengan keindahan dan keistimewaan alam, penjelasan tanda-tanda kiamat, hikmah tadabbur ayat al-Qur’an dan tentang iman pada malaikat. Dan juga menjelaskan tentang penyebab Nursi dipanggil oleh pengadilan Denizli dan Afyon dan beberapa risalah yang ditulis di dalam penjara. Di akhir kitab ini dijelaskan
768_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
pula argumen-ergumen yang kuat untuk membuktikan ketauhidan dan risalah kenabian. 27 5. Isyâratu al-I’jâz
Berisi tentang tafsir surat al-Fâtihah dan 30 ayat dari surat al-Baqarah. Nursi juga mengulas penafsirannya tersebut dengan menyebutkan munasabah satu ayat dengan yang lainnya, pembahasan dari sisi Balaghah-nya, disamping juga menjelaskan tentang Nahwu, Sharaf dan pembahasan mantiq-nya. Kitab tafsir ini berhasil ditulis selama Said Nursi ikut terlibat dalam pertempuran melawan Rusia. Penyusunannya dikerjakan dengan cara didiktekan kepada muridnya yang bernama Habib. 28
6. Al-Matsnawî al-‘Arabi al-Nûri
Karya ini berisi 12 risalah tentang penjelasan tauhid yang sebenarnya, makrifat Nabi, tentang pentingnya berpegang pada al-Qur’an dan juga tentang makrifat pada Allah Swt. 29
Menurut Hasbi Sen Wakil Ketua Yayasan Nur Semesta, sebuah Yayasan yang konsen dalam menerbitkan serta mempublikasikan karya-karya Said Nursi, dua karya ini, yaitu Isyâratul Ijâz dan Al-Matsnâwi al-‘Arabi an-Nûri adalah dua karya Said Nursi dalam Rislah al-Nur yang berbahasa Arab. Adapun karya Said Nursi yang lain dalam Risalah al-Nur adalah menggunakan bahasa asli Turki.
7. Barla Lahikası, Emirdağ Lahikası dan Kastamonu Lahikası Barla Lahikasi, Emirdag Lahikasi, Kastamonu Lahikasi, merupakan 3 karya Nursi yang merupakan kumpulan surat-surat kepada para muridnya yang berada di beberapa daerah, yaitu Barla, Emirdag, dan juga Kastamonu. Secara umum berisi tentang arahan dan petunjuk yang menjelaskan pentingnya Risalah Nur dan metode dakwahnya di masa kini. Karya- karya ini memuat anjuran untuk menguatkan iman, adab bergaul dengan orang lain, dan dorongan untuk tetap berpegang teguh pada al-Qur’an dan al-Sunnah. 30
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _769
8. Tarihçe-i Hayat Dalam bahasa arabnya, karya ini berjudul Shîrah al-Dzâtiyah. Berisi secara detail tentang biografi, pendidikan, dan perjuangan Nursi. 31 9. Saiqâl al-Islâm
Saiqâl al-Islâm adalah merupakan koleksi dalam Risâlah al-Nûr yang merupakan karya Nursi pada periode Said Qadim. Karya ini - Saiqâl al-Islâm – terdiri dari delapan bagian, 1. Muhâkamât ‘Aqliyyah, berisi tentang tafsir, balaghah, dan aqidah. 2. Qizl Îjâz, merupakan syarh terhadap kitab Sullam al-Munaurâq dalam ilmu mantiq. 3. Ta’lîqât, memberi keterangan pada kitab Kalnabawi dalam ilmu mantiq atau logika. 4. Al-Sânihât, berisi berbagai topik seperti kemukjizatan Al-Qur’an, keadilan, khilafah dan peradaban. 5. Al-Munâzarât, berisi tentang debat Said Nursi dengan masyarakat Turki Timur mengenai pemerintahan konstitusional, musyawarah, hukum dan lain-lain. 6. Al-Mahkamah al-‘Asykariyyah al-‘Urfiyyah, berisi tentang pendapat dan pembelaan-pembelaan Nursi terhadap tuduhan pemberontak yang dialamatkan padanya. 7. Al-Khutbah al-Syâmiyyah, tentang khutbah Nursi ketika berada di Syam, yang berisi tentang enam penyakit masyarakat dan obatnya. 8. Al-khutuwât al-Sitti, berisi tentang refleksi Nursi ketika Inggris hendak menduduki Turki. 32
Itulah karya-karya Said Nursi yang terangkum dengan sebuah judul besar Risâlah al-Nûr atau Kulliyyât Rasâ’ili al-Nûr. Secara global isi pokok dalam karya Risâlah al-Nûr tersebut mengupas tentang aqidah dan keimanan yang diindikasikan dengan ma’rifat Allah, ma’rifat Rasulullah, melalui manhâj al-Sunnah; penguatan aspek ibadah, akhlak dan moralitas atau adab-adab dalam Islam. Keberadaan Risâlah al-Nûr merupakan sumber dari pembahasan karyakarya Said Nursi yang kemudian dikumpulkan secara tematis menjadi bukubuku lain. Dan karya-karya Nursi dalam Risâlah an-Nûr telah diterjemahkan ke dalam sekitar 40 bahasa lebih, dan meluas dipelajari oleh jutaan orang di seluruh penjuru dunia.
770_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
C. Modernisasi di Turki Proses Modernisasi di Turki Perkembangan modernisasi di Turki sekarang ini, merupakan kelanjutan atas perjalanan perjuangan rakyat Turki untuk dapat menemukan formulasi ideal bagi kesejahteraan masyarakat yang telah dimulai sejak lama. Para tokoh dan gerakan yang mewarnainya juga berbeda dengan membawa visi yang beraneka ragam dengan kepentingan dan tujuan yang melatar belakanginya. Proses modernisasi Turki adalah proses perdebatan panjang yang terjadi di antara para pembaharu Turki tentang bagaimana menyikapi ide-ide Barat, ajaran Islam, dan budaya lokal Turki.33 Sebagaimana klasifikasi yang dibuat oleh Harun Nasution, bahwa gerakan modernisasi di Turki secara garis besar terbagi menjadi tiga kelompok, 34 yaitu: pertama, gerakan yang berorientasi dan masih berpegang ketat pada prinsip-prinsip Islam, yang disebut Islamisme. Kedua, gerakan yang banyak mengadopsi pemikiran, sikap hidup, atau terilhami oleh peradaban Barat, kelompok ini dinamakan Westernisme. Ketiga, gerakan yang menitikberatkan aspek keaslian Turki atau secara kenegaraan mereka selalu mementingkan sikap, pola pikir dan tindakan yang bersandar pada nilai-nilai lokal Turki. Rasa cinta Tanah Air, dan patriotisme yang tinggi membawa mereka lebih mengutamakan nasionalisme di atas segala-galanya. Kelompok ini dinamakan kelompok Nasionalisme. 35 Pertama, kelompok Islamisme terdiri dari para pembaharu yang mempunyai komitmen kuat atas nilai-nilai Islam, mereka berpegang pada prinsip-prinsip Islam dalam menapaki alur pembaruannya. Mereka berusaha untuk menggabungkan antara pemikiran-pemikiran modern dengan nilai-nilai Islam.36 Mereka tertarik dengan kemajuan yang terjadi di Jepang, di mana Jepang maju dengan cara mengambil ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, bukan mengambil perilaku dan
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _771
peradabannya. Jadi kekeliruan umat Islam bukan pada agamanya, akan tetapi pada sikap yang keliru dalam mengambil sesuatu yang datangnya dari Barat.37 Organisasi terpenting dari kelompok ini dikenal dengan sebutan Sirat-i Mustakim (Jalan Lurus), yang mencakup orang-orang seperti Said Halim Pasha, Mahmud Akif (1870-1936), dan Eşraf Edif. Hingga pada tahun 1912 kelompok ini terkenal dengan Sebilürreşat (Jalan Kebajikan).38 Mereka berpendapat bahwa, agama Islam tidak pernah menghambat kemajuan. Menurut golongan Islam, kelemahan umat Islam selama ini tidak terletak pada syari’at, tapi terletak pada syari’at yang tidak dijalankan dengan semestinya oleh umat Islam terutama sekali oleh khalifah ‘Utsmânî. Agar umat Islam tidak mundur, maka syari’at ini perlu untuk dijalankan. Pada tahun 1909 kelompok Islam pernah mengajukan konsep syari’at ke dewan parlemen.39 Menurut golongan ini, konstitusi tahun 1876 dianggap tidak tepat,40 karena dianggap tidak sesuai dengan moral Islam dan kondisi sosial politik Turki pada waktu itu, sehingga simbol Islam sebagai agama dalam bernegara tidak sesuai, dan juga Khalifah yang tidak memerintah berdasarkan nilai-nilai Islam akan cenderung melenceng, karena kontrol moral yang berdasarkan hukum Tuhan tidak dimilikinya. Dalam masalah persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan, pendapat mereka masih bias gender, bahkan menurut Musa Kazim – salah seorang tokoh golongan ini – perempuan tidak bisa diberi hak dan status yang sama dengan laki-laki, karena perempuan mempunyai tingkat emosional yang berbeda dengan laki-laki. Senada dengan pendapat ini adalah Said Halim yang menurutnya bahwa peradaban sering kali jatuh justru karena kebebasan yang diberikan pada perempuan. Mereka tidak pernah menolak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mungkin datangnya dari Barat, bahkan mereka setuju dengan dimasukkannya ke dalam kurikulum sekolah madrasah, akan tetapi mereka menolak konsep sekularisasi yang diterapkan melalui
772_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
modernisasi pendidikan. Golongan Islam ini juga tidak menentang konsep-konsep ekonomi modern, hanya saja mereka tidak menerima konsep kapitalisme dan ekonomi individual ala Barat, di samping itu kelompok ini juga menolak sistem ekonomi sosialis.41 Erik J. Zürcher memasukkan gerakan Nurculuk (para pembaca Risâlah al-Nûr atau para murid Bediuzzaman Said Nursi), termasuk pada gerakan modernis Islam penting yang muncul pada periode konstitusional kedua atau sekitar tahun 1930-an.42 Nursi pernah menjalin hubungan dengan para tokoh Turki Muda, hingga kemudian akhirnya bergabung dengan gerakan kontra revolusi yaitu gerakan Persatuan Muhammad (Al-Ittihâd Al-Muhammadî)43 pada tahun 1909, dan Nursi juga sempat menjadi propagandis Teşkilât-i Mahsusa44 pada Perang Dunia I, Nursi mendukung gerakan perlawanan nasional, akan tetapi dia juga mengingatkan tendensi-tendensi sekularisnya di tahun 1923. Sejak tahun-tahun pertama di abad itu, Nursi meraih reputasi sebagai seorang ahli agama terutama di daerah Timur, yang mempunyai pengaruh besar dengan karyanya Risâlah al-Nûr.45 Akan tetapi gerakan modernis Islam yang dibawa Said Nursi mempunyai konsep dan warna yang tidak bisa dianggap sama dengan para pembaharu Islam di atas. Dan secara lebih detail, akan dipaparkan penulis kedalam pembahasan tersendiri. Kelompok kedua, gerakan westernisme adalah gerakan yang terdiri dari orang-orang Barat yang mempunyai idealisme Barat atau para tokoh intelektual Turki yang terbaratkan pemikiran dan perilakunya. Golongan ini disebut dengan gerakan westernisme, karena banyak mengakomodasi pemikiran Barat dalam semua aspeknya. Gerakan westernisme meloloskan ide-ide sekularisme dalam basis kekuatannya. Mereka berupaya untuk mengadopsi pemikiran Barat secara intensif, sehingga aspek sosial kemasyarakatan selalu diteropong dengan pandangan-pandangan sekular. Golongan ini terdiri dari beberapa tokoh yang dalam gerakan pembaruan di Turki sebelumnya juga sudah banyak mengedepankan pemikiran Barat secara intensif,
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _773
namun tokoh yang dianggap mempunyai kapabilitas dan representatif bagi pemikiran-pemikiran tokoh sebelumnya adalah Tawfik Fikret (1867-1951), adalah seorang pemikir sekaligus sastrawan yang banyak mengkritik dan menentang kaum tradisional. Tokoh westernizer ekstrem lainnya adalah Abdullah Cevdat (1869-1932), Seorang intelektual bergelar Doktor yang dianggap salah satu pendiri Komite Persatuan dan Kemajuan.46 Mereka berkeinginan untuk meninggalkan Peradaban ‘Utsmânî yang tradisional dan mengadopsi cara-cara Eropa sepenuhnya sebagai penggantinya.47 Mereka banyak mengkritik ulama tradisional yang dianggapnya telah membawa umat Islam ke dalam kemunduran. Taklid buta pada para ulama, sikap menerima takdir dan berserah total pada nasib yang cenderung fatalis, sehingga mengakibatkan masyarakat enggan untuk melakukan perubahan, belum lagi ditambah bahwa umat Islam masih terjangkit penyakit bodoh dan malas. Kelemahan umat Islam saat itu bukan terletak pada ajaran Islam tapi terletak pada sistem sosial yang berdasar pada tradisi Islam dan sistem kekhalifahan. Sistem pemerintahan perlu disekularisasikan untuk memperjelas kepentingan bernegara yang berdasar negara, dan kepentingan agama hanya berdasarkan agama. Rasionalisasi pemikiran harus dilakukan, Barat dapat maju karena menerapkan sikap rasionalitas dalam kehidupannya dan rasionalitas itu menjadi pilar-pilar ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menjadi dasar mereka dalam beragama, yaitu agama yang rasional. Rasionalisasi dalam beragama mereka lakukan dengan menafsirkan alQur’an maupun Sunnah sesuai dengan tuntutan zaman. Islam harus kontekstual dan diusahakan cocok dengan pemikiran modern.48 Dalam masalah persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, mereka sangat antusias untuk memberikan hak dan kedudukan yang setara antara laki-laki dengan perempuan. Bahkan dalam hal ini Abdullah Cevdat mengatakan dalam tulisannya: “Bukalah al-Qur’an dan bukalah kerudung wanita”. Poligami juga dianggap hal yang merendahkan
774_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
kedudukan perempuan, sehingga mereka menuntut untuk dihapuskan. Peradaban Barat dapat maju karena mereka memberikan kedudukan yang sama antara laki-laki dengan perempuan.49 Golongan selanjutnya adalah gerakan Nasionalisme, yaitu gerakan yang berusaha untuk mencari berbagai alternatif dalam memecahkan berbagai permasalahan kehidupan rakyat Turki dengan mencoba mensintesakan antara ide-ide Westernisme dan pemikiran-pemikiran Islamisme. Usaha ini mereka lakukan untuk kepentingan yang mendesak, mengingat terpecahnya berbagai golongan di Turki, karena banyaknya kepentingan di antara rakyatnya. Beberapa tokoh penting gerakan ini antara lain : Yusuf Akçura (1876-1933), Ziya Gökalp (1875-1924) dan Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938). Yusuf Akçura merupakan tokoh pembaharu yang mengedepankan pemikiran untuk penghimpunan masyarakat Turki. Ia berusaha menyatukan visi masyarakat Turki baik yang ada di wilayah itu maupun mereka yang berada di wilayah Rusia (Kazan), Krimea, dan Azarbaijan sebagai satu bangsa. Pada saat itu ada tiga kekuatan yang berbeda di dalam kerajaan ‘Utsmânî. Mereka dari golongan Islam, Rakyat Turki dan Rakyat bukan Islam. 50 Dia mengatakan bahwa penciptaan atau bangsa Turki dari berbagai unsur yang ada di bawah kerajaan adalah suatu ilusi, karena negara-negara kolonial akan selalu menghadang upayaupaya untuk menciptakan suatu persatuan politis yang dilakukan oleh umat Islam sedunia, tetapi berbeda jika yang dikembangkan adalah PanTurkisme – persatuan bahasa dan bangsa Turki – akan didukung oleh semua bangsa Turki.51 Ide Nasonalisme selanjutnya dikembangkan oleh Ziya Gökalp, dia dianggap paling konsisten dalam mensintesakan berbagai unsur dalam warisan ‘Utsmânî (Islam, etnisitas Turki dan negara ‘Utsmânî ) dengan modernisasi madzhab Eropa. Menurut Gökalp, bangsa Turki memiliki kulturnya sendiri yang kuat, menyatu dengan peradaban abad pertengahan yang sebagian adalah Arab-Islam dan sebagian
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _775
lagi Bizantium. Solusi terbaik menurutnya adalah dengan mengganti peradaban ini dengan peradaban Eropa yang modern, dengan tetap berpegang pada kultur Turki52 (yang menurutnya adalah sebagai peradaban murni dari bagian kultur Islam). Kegagalan reformasi Tanzimat adalah karena penggabungan dengan peradaban Eropa yang menghilangkan kultur mereka sendiri.53 Dalam kehidupan bernegara, Turki harus berdasar hukum perundangundangan modern. Turki hendaknya mereproduksi kembali nilai-nilai hukum yang saat ini berkembang di Barat dan disesuaikan dengan kondisi rakyat Turki. Turki tidak perlu memakai syari’at Islam sebagai dasar negara. Negara hanya dapat berjalan berdasarkan perundangan negara, bukan perundangan agama. Agama perlu dipisahkan secara tegas dari kepentingan negara, begitu juga sebaliknya. Secara administratif, Turki perlu menata sistem pemerintahannya.54 Jadi, sekularisai dalam sistem pemerintahan masih dipertahankan. Pemindahan kekuasaan Mahkamah Syari’ah dari jurisdiksi Syaikh alIslâm menuju kepada Kementerian Kehakiman, begitu juga pemindahan madrasah dari kekuasaan Syaikh kepada Kementerian Pendidikan dan seterusnya. Meskipun Mahkamah Syari’ah bisa diberlakukan, namun fungsinya dialihkan pada aktivitas mu’âmalah saja. Jadi masalah-masalah agama berada pada wewenang ulama, sedangkan masalah-masalah kenegaraan berada di bawah kekuasaan pemerintah. Dengan demikian negara mutlak berdasarkan nilai-nilai sekuler. Sejumlah permasalahan yang berkaitan dengan isu-isu pembaruan modern seperti kedudukan, peranan dan hak wanita – yang sebelumnya diajukan oleh golongan Westernisme – mulai mendapat tanggapan dan disetujui oleh kaum Nasionalis. Wanita harus diikutsertakan dalam pergaulan sosial dan kehidupan ekonomi. Di Barat, wanita mempunyai hak dan kebebasan yang tinggi, sehingga kaum wanita dapat mengiringi kemajuan yang dicapai oleh kaum laki-laki. Sehubungan dengan hal ini, kaum Nasionalis juga menghapus ketentuan hukum seperti masalah
776_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
perceraian, perkawinan, dan poligami yang ada dalam hukum syari’at. Dalam bidang pendidikan, mereka berusaha untuk menciptakan sistem pendidikan yang khusus sesuai dengan kebudayaan Nasional Turki sendiri, tidak berdasarkan Islam, akan tetapi berazaskan nilai-nilai sekuler modern.55 Aplikasi ide pembaruan yang diusung oleh ketiga golongan di atas, meskipun masing-masing nampak terdapat perbedaan, namun fokus dan perhatian yang ingin dicapai adalah kemajuan rakyat Turki yang modern. Secara umum, permasalahan-permasalahan yang ditanggapi dan yang mendapat perhatian mereka adalah mencakup tiga hal, yaitu masalah hubungan agama dengan negara, apakah Islam masih perlu dipertahankan untuk diterapkan dalam negara, atau ditolak sama sekali, atau hanya diambil nilai-nilainya. Masalah ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berkembang di Barat dengan trend positivis, ataukah tetap mempertahankan ilmu agama dan kebenaran agama, dan direalisasikan dalam sistem pendidikan, serta masalah kontemporer tentang isu aktual tentang persamaan hak perempuan. Meskipun tindakan-tindakan yang mereka tempuh tidak serta merta merubah Turki menjadi modern, akan tetapi apa yang mereka lakukan adalah proses menuju hasil terwujudnya Turki modern sekarang ini. Nasionalisme di Turki Nasionalisme Turki merupakan faham yang relatif baru, pada awalnya muncul sebagai sebuah gerakan kultural pada dua dekade terakhir masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid. Nasionalisme bermula dari para Orientalis Eropa, seperti dua orang Perancis bernama de Guignes dan Cahun, serta seorang Hongaria bernama Vambery yang mempelajari warga Turki Asia Tengah di abad ke-19 dan mengkaji pula pengaruh Kerajaan Rusia terhadap warga Turki, terutama warga Tatar dan Azeris. Tokoh Turki dari Rusia yang aktif di Kerajaan ‘Utsmânî adalah orang Azeris bernama Huseinzade Ali (Turan) dan Ağaoğlu Ahmet, serta orang Tatar bernama Yusuf Akçura56 dan juga Ziya Gökalp.
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _777
Berbeda dengan tokoh-tokoh Nasionalisme di atas, Mustafa Kemal Attaturk merupakan tokoh nasionalis yang berusaha menggabungkan semua kepentingan, baik Islam, Barat, maupun nasionalisme Turki. Walaupun ide keislaman berada pada pertimbangan paling akhir dalam pertimbangan kepentingan, jika dibandingkan dengan ide-ide nasionalisme dan ide Barat, namun Islam tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pemikiran Mustafa Kemal Attaturk.57 Westernisme, sekularisme, dan nasionalisme merupakan dasar pemikiran Pembaruan Mustafa Kemal. Pembaruan pertama ditujukan pada bentuk negara. Pemerintah harus dipisahkan dari agama atau sekular. Makna konsep Sekulerisme Kemalis adalah pelaksaan strategi modernisasi yang berlandaskan pada visi dunia positivis, di mana agama dipandang sebagai penghambat kemajuan dalam proses modernisasi masyarakat dan negara. Sekularisme mereka - menurut pendapat Zürcher - bukan berarti pemisahan antara agama dan negara, tetapi lebih cenderung pada pengendalian dan integrasi agama ke dalam birokrasi negara.58 Setelah Mustafa Kemal berkuasa serangkaian pembaruan mulai gencar dilaksanakan, dengan berbagai kebijakan dan undang-undang yang ditetapkan. Sejumlah perundang-undangan59 yang lahir di bawah kekuasaannya di antaranya : 1. Pada tahun 1924, Kemal menghilangkan institusi keagamaan yang ada dalam pemerintahan.60 2. Pada 3 Maret 1924, undang-undang tentang unifikasi dan sekularisasi pendidikan.61 3. Kemudian pada 25 November 1925, undang-undang tentang pakaian kopiah.62 4. Tanggal 30 November 1925, undang-undang tentang pemberhentian petugas Jama’ah dan makam, penghapusan lembaga pemakaman serta undang-undang penghapusan pemakain gelar.63
778_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
5. Pada 17 Februari 1926, pemerintah mengadopsi – dengan sedikit modifikasi – UU Pidana Itali, UU Perdagangan Jerman dan UU Perdata Swiss. Dalam undang-undang Perdata baru64 ini dijamin kebebasan individu dalam beragama, sekularisasi upacara pernikahan, pengadopsian prinsip monogami, sekularisasi dalam perceraian dengan memberikan hak yang sama antara kedua pihak dalam menuntut talak, pembolehan pernikahan beda agama, pria dan wanita mempunyai hak yang sama atas anak, dan pemberian hak warisan yang sama antara pria dan wanita.65 6. 20 Mei 1928, undang-undang tentang penerapan angka-angka international. 7. 1 November 1928, undang-undang tentang penggunaan huruf-huruf latin untuk mengganti abjad Turki, dan penghapusan tulisan Arab.66 8. 26 November 1934, undang-undang tentang penghapusan gelar-gelar dan panggilan kebangsawanan, seperti Effendi, Bey, atau Pasha.67 9. 26 November 1934, undang-undang tentang larangan menggunakan pakaian asli Turki.68 Nasionalisme yang diusung Mustafa Kemal adalah nasionalisme yang sekular, dia menempatkan agama di bawah kontrol pemerintah. sedangkan sekularisasi yang dibawa adalah sinonim dengan westernisasi. Konsep nasionalisme dipahami bukan dalam konteks lokal Turki, akan tetapi dalam konteks Barat. Bangsa Turki akan eksis bukan sebagai kelompok rakyat yang memiliki kesamaan masa silam, akan tetapi sebagai kelompok rakyat yang memiliki kesamaan masa depan di antara bangsa-bangsa Barat yang berperadaban.69 Kebijakan dan undang-undang tersebut adalah produk dari sebuah negara yang berusaha mewujudkan ide-ide Barat ke dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui satu kerangka nasionalisme yang sekular.70 Hingga pada tahun 1937, barulah Republik Turki resmi menjadi negara sekular.71
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _779
Meskipun demikian, Mustafa Kemal sebagai tokoh Nasionalis dan juga pengagum peradaban Barat, akan tetapi dia tidak menentang agama Islam. Baginya Islam adalah agama yang rasional, tetapi rasionalitasnya telah dirusak oleh pemeluknya. Oleh sebab itu, ia melihat perlunya pembaruan dalam bidang agama supaya disesuaikan dengan bumi Turki. Al-Qur’an perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, agar dapat difahami oleh rakyat Turki. Demikian juga khutbah Jum’at harus disampaikan dalam bahasa Turki. Begitu juga azan dalam bahasa Turki mulai diberlakukan pemakaiannya di tahun 1931.72 Sekularisasi yang dijalankan Mustafa Kemal tidak sampai menghilangkan agama. Sekularisasinya berpusat pada menghilangkan kekuasaan agama dari bidang politik dan pemerintahan. Oleh karena itu, pembentukan partai yang berdasarkan agama dilarang. Negara harus dipisahkan dari agama. Institusi-institusi negara, sosial, ekonomi, hukum, politik, dan pendidikan harus dibebaskan dari kekuasaan agama dan syari’at, akan tetapi negara tetap menjamin kebebasan beragama bagi rakyatnya.73 Kebijakan-kebijakan maupun undang-undang untuk mendukung proyek pembaharuan dan nasionalisme Turki terus digalakkan, akan tetapi tidak lama setelah Mustafa Kemal meninggal pada 10 November 1938, gerakan-gerakan purifikasi serta seruan untuk kembali kepada agama mulai santer dan bermunculan kembali. Hal ini dikarenakan rasa keagamaan yang telah mengakar kuat pada masyarakat, Islam telah menyatu pada sistem sosial masyarakat Turki, sehingga upayaupaya modernisasi dengan cara nasionalisme yang sekular masih belum berhasil. Turki di Era Modern74 Cita-cita yang digagas oleh pemerintah Republik Turki di bawah gagasan-gagasan pembaruan, berupa Nasionalisme yang dikembangkan Mustafa Kamal tidak serta merta membawa Turki menuju seperti yang
780_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
dicita-citakan. Semasa Kemal masih hidup, pembaruan berjalan lancar meskipun banyak memperoleh tentangan dan tantangan dari para golongan Islam tradisional, akan tetapi setelah Kemal wafat, Nasionalisme dan Sekularisasi yang digagasnya semakin melemah pamornya, karena kuatnya tradisi Islam yang telah berakar pada masyarakat Turki sehingga sulit dipengaruhi dengan ide-ide Barat. Masyarakat Turki mempunyai ikatan batin yang kuat dengan Islam sebagai agama yang telah mereka anut semenjak berabad-abad lalu yang nilai-nilainya telah tertanam dalam tradisi kehidupan mereka.75 Semenjak tahun 1940-an, aktivitas-aktivitas keislaman mulai dihidupkan kembali, imam-imam tentara sudah diaktifkan lagi di dalam Angkatan Bersenjata Turki. Pada tahun 1949 pendidikan agama mulai dihidupkan kembali dan bahkan dijadikan mata pelajaran wajib di sekolah, setelah sebelumnya sempat dihapuskan. Mulai tahun 1950, pelarangan ibadah haji sebelumnya dengan alasan pemborosan ekonomi, mulai dicabut. Lembaga penerbitan Islam kembali menyiarkan ide-ide keislamannya. Para buruh dan petani yang dulu takut untuk mengikuti ajaran Tarîqah, nampak kini mulai berkembang. Organisasi-organisasi politik Islam yang dulu dibubarkan dan dimusuhi penguasa pembaharu, juga mulai memainkan peranannya.76 Melihat kondisi ide-ide pembaruan yang banyak terilhami oleh semangat nasionalisme dan sekularisasi yang semakin terdesak dan semakin tidak populer, maka ide-ide yang berorientasi pada pemurnian nilai-nilai Islam mulai mendapat perhatian baru. Sejumlah tokoh yang meskipun tidak antipati dengan ide pembaruan, namun sangat berkompeten untuk menegakkan citra Islam, mencoba membangun kembali kekuatan Islam yang berbeda dengan sebelumnya. Dalam hal inilah Bediuzzaman Said Nursi dan juga para pengikutnya banyak berperan untuk membangkitkan kembali semangat dan nilai-nilai Islam di Turki.77 Hingga pada tahun 1950-an, terkenal sebuah kelompok yang bernama Nurcu, yang sebelumnya pada tahun 1930-an gerakan ini dikenal
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _781
dengan sebutan Nurculuk (para pembaca Risâlah al-Nûr atau para murid Bediuzzaman Said Nursi). Meskipun Nurcu mengklaim diri mereka tidak terlibat dalam dunia politik, akan tetapi publikasi-publikasi yang mereka lakukan menunjukkan dengan jelas bahwa mereka menentang ide Republik Sekular yang menerapkan Nasionalisme kebarat-baratan dan ingin merestorasi menjadi Nasionalisme yang bernafaskan Islam.78 Dalam kehidupan bernegara, konstitusi Turki tahun 1961 – yang berlaku sampai sekarang ini - mengatur agama baik dalam teksnya sendiri maupun dalam rujukannya kepada serangkaian hukum organis. Walaupun kekuatan pesan yang terkandung dari konstitusi ini merupakan amandemen yang mengandung kekuatan atas produk hukum sebelumnya, namun pada intinya telah memberi peluang baru bagi Islam sebagai ajaran moral yang mengikat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta mengindikasikan adanya hakikat pembebasan atas pemberlakuan Islam sebagai pilihan masyarakat. Turki dewasa ini hanya meninggalkan sejarah tentang upaya modernisasi yang dijiwai oleh nasionalisme sekular yang kurang berhasil. Selain faktor sosial, politik, dan ekonomi, faktor keadilan sosial merupakan faktor yang sangat penting bagi masyarakat Turki, dan masyarakat Turki menyandarkan harapannya kepada jalur-jalur nilai Islam untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial ini. Citra Turki pada tiga dekade terakhir semakin menampakkan penekanan agama sebagai solusi untuk memperoleh legitimasi kekuatan dalam masyarakat luas. Dengan asumsi tersebut, maka Turki akan “kembali menjadi Muslim” baik secara esensial maupun eksistensial dalam setiap dimensi kehidupan di masa mendatang.79 Tak terkecuali dalam bidang politik, segala aspek modern mulai diperhatikan. Mulai dari perkembangan isu kesetaraan gender dan gerakan feminisme di Turki yang mulai bermunculan di tahun 1980an. Pada tahun 1982 di Istanbul dilaksanakan sebuah simposium yang membahas tentang isu feminisme. Pada tahun 1983 sebuah grup feminis
782_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
menerbitkan buletin Somut yang membahas tentang isu-isu perempuan di dalamnya. Dan pada tahun 1984 sekelompok feminis Istanbul mendirikan organisasi publik pertama kalinya yang diberi nama “Women Circle”. Pada tahun 1986 di Istanbul dan Ankara kelompok feminis bersama-sama membuat satu kampanye, yang berisi sebuah petisi pada pemerintah untuk menghilangkan segala macam diskriminasi dan penindasan pada perempuan.80 Dalam masalah kebebasan berjilbab, akhirnya pada tanggal 10 Februari 2008, parlemen menyetujui pencabutan larangan berjilbab di kampus, sedangkan baru bulan Oktober 2013 kemarin larangan berjilbab bagi pegawai negeri ataupun wakil rakyat juga sudah dihapuskan Begitu juga masalah isu-isu hubungan internasioanl modern juga mulai mendapat perhatian. Ide bahwa Turki harus bergabung dengan Eropa atau tertinggal untuk selamanya, semakin kehilangan signifikansinya. Para pemikir dan tokoh intelektual tidak lagi tertarik dengan isu tersebut, karena yang terpenting adalah bagaimana Turki bisa menjadi maju layaknya bangsa-bangsa Eropa, tidak penting apakah termasuk dan diakui secara yuridis atau tidak, akan tetapi serangkaian kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang saling tumpang-tindih, di mana negara-negara Eropa sedikit banyak akan bekerja sama pada bidang-bidang tertentu dan saling bersinggungan,81 maka bisa dikatakan, bahwa secara esensial Turki telah menjadi bagian dari Eropa.
D. Modernisasi Turki dan Said Nursi Respon Penafsiran Said Nursi terhadap Modernisasi Turki Seseorang adalah produk dari zamannya, ungkapan ini secara sederhana menerangkan bahwa seseorang pasti tidak akan bisa terlepas dari kehidupan sosialnya, yang pada akhirnya akan membentuk pribadinya dan mempengaruhi pemikirannya. Tak terkecuali hal tersebut akan dialami juga oleh seorang mufassir yang pada akhirnya akan mempengaruhi pemikiran dan penafsirannya.
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _783
Nursi adalah seorang ulama dengan visi yang kuat untuk menyatukan dunia Islam yang sedang retak-retak. Perjuangan dan karya-karya Nursi memberikan wawasan luas dan gambaran yang mendalam tetang masa sejarah pasca Tanzimat di Turki. Disamping masalah keimanan yang menjadi fokus utama Nursi waktu itu, yang menyebabkan bobroknya moral masyarakat, pokok tema dalam penafsiran Nursi juga banyak merespon isu relevansi tentang Negara Islam, apakah masih patut diperjuangkan sebagai dasar negara atau tidak, dan juga pembahasan tentang hubungan antara Islam dengan modernisasi yang berbentuk Nasionalisme Sekular82. Disamping juga yang tidak kalah pentingnya, bahwa masalah keadilan dan persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan juga menjadi pembahasan yang mendapat perhatian khusus oleh Nursi. Dalam pembahasan ini, penulis memfokuskan pembahasan pada tiga hal di atas yang menjadi isu penting ketika dikaitkan antara pengaruh modernisasi yang terjadi di Turki terhadap penafsiran Bediuzzaman Said Nursi. Yaitu hubungan agama dengan negara, mengenai seputar pertanyaan yang muncul apakah Islam masih perlu dipertahankan untuk diterapkan dalam bentuk negara, atau ditolak sama sekali, ataukah hanya diambil nilai-nilainya dan dikompromikan dengan budaya lokal. Kemudian masalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, apakah kita menerima begitu saja segala macam ilmu pengetahuan Barat yang dipenuhi dengan Filsafat Materialis dan Filsafat Empiris yang atheis, ataukah tetap mempertahankan ilmu agama dan kebenaran agama sebagai hakikat tertinggi, kemudian menggabungkan keduanya untuk saling melengkapi. Dan Juga masalah kontemporer tentang isu aktual tentang persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, apakah perempuan mempunyai hak bebas penuh maupun kewajiban yang sama persis dengan laki-laki ataukah hubungan antara perempuan dan lakilaki itu merupakan hubungan yang saling menyempurnakan kekurangan masing-masing untuk menuju kesejahteraan hidup. Tiga hal inilah yang kemudian akan menjadi fokus penelitian dalam makalah ini.
784_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
1. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Perkembangan ilmu pengetahuan adalah aspek paling penting yang dibutuhkan oleh suatu masyarakat, karena setiap sendi kehidupan bermasyarakat pasti berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Maju dan berkembangnya kehidupan suatu masysrakat tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Setiap pemikir maupun ulama, pasti memberikan perhatian khusus terhadap ilmu pengetahuan, tak terkecuali Nursi yang menekankan pentingnya pembelajaran dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi suatu masyarakat. Kekuasaan dan aturan-aturan akan dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan tersebut, karena setiap masyarakat akan diatur oleh ilmu pengetahuan yang berkembang pada masanya. Ilmu pengetahuan adalah apa yang diberikan oleh Allah pada mahluk-Nya melalui al-Qur’an, karena al-Qur’an adalah sumber segala pengetahuan secara universal. Dalam al-Baqarah/2: 31 Allah berfirman : “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar.” Allah mengajarkan segala sesuatu kepada Nabi Adam sebagai manusia pertama di muka bumi untuk mengenal alamnya. Nursi menyatakan : “Al-Qur’an berisi peristiwa-peristiwa yang sekilas tampak tidak penting. Masing-masing peristiwa menyembunyikan sebuah prinsip universal dan menyajikan gagasan awal dari sebuah ketentuan umum. Sebagai misal ayat : (Dia) mengajarkan kepada Adam nama-nama kesemuanya (al-Baqarah/2: 31) menyatakan bahwa Adam diajari “nama-nama” merupakan mukjizat yang menunjukkan superioritas Adam dibanding para malaikat berkat kesesuaian martabatnya sebagai Khalifah Allah di Bumi. Suatu ketentuan Allah di muka Bumi, walaupun tampaknya sebagai sebuah peristiwa remeh dan sederhana, kejadian ini telah membentuk titik awal bagi sebuah prinsip universal: karena
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _785
sifat Adam yang kaffah, komprehensif, maka umat manusia diberikan potensi untuk memperoleh sejumlah besar informasi, ilmu-ilmu yang berkenaan dengan segala aspek jagad raya serta pengetahuan yang luas tentang sifat dan tindakan Sang Pencipta. Semua ini menjadikan umat manusia lebih unggul dibanding para malaikat, langit, bumi, dan gunung-gunung; karena hanya manusialah yang sanggup memikul Amanah Agung. Itulah yang mendudukkan umat manusia sebagai pengatur bumi atas nama Allah”83. Ilmu pengetahuan akan berkembang secara bertahap menuju arah penyempurnaan. Apa yang dulu masih berupa angan-angan dan khayalan, bisa menjadi kenyataan pada masa datang. Temuan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat dan beragam macamnya seperti sekarang ini, berawal dari induk filsafat yang telah dikembangkan oleh para filosof termasuk juga oleh para filosof Islam seperti Ibnu Shina. Perkembangan ilmu pengetahuan merupakan perkembangan anti klimaks menuju kesempurnaan84. Untuk mengklasifikasi ilmu pengetahuan, Nursi mengatakan bahwa ilmu dibagi menjadi dua, yaitu ilmu pengetahuan positif (al-‘Ulûm alMâdiyyah)85 atau disebut dengan ilmu umum, dan ilmu pengetahuan metafisika (al-‘Ulûm al-Ilâhiyyât) atau disebut dengan ilmu agama. Ilmu pengetahuan positif adalah ilmu yang membutuhkan keberadaan ilmuilmu lain dan juga memerlukan pembuktian kebenarannya, berbeda dengan ilmu pengetahuan metafisika yang keberadaannya bersifat hakiki (ma’nâwiyyah) yang tidak membutuhkan pembuktian secara empiris.86 Pengetahuan yang sesungguhnya adalah pengetahuan metafisika (hakiki) yang bersifat ketuhanan, sedangkan pengetahuan positif itu diperlukan untuk mendukung kesempurnaan ilmu pengetahuan metafisika yang hakiki. Klasifikasi yang dibuat Nursi ini terdapat kesamaan dengan klasifikasi yang dibuat oleh al-Ghazali. Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi dua, yaitu ilmu syar’iyyah (agama) dan ilmu ‘aqliyyah (akal). Ilmu agama meliputi; ilmu Tauhid, kenabian, akhirat, al-Qur’an,
786_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
al-Hadits, ijma’, qiyas, ilmu tentang ibadah, dan ilmu akhlaq. Sedangkan ilmu akal mencakup; ilmu kedokteran, geometri, astronomi, musik, ilmu fisika, dan sejenisnya. Kemudian al-Ghazali membagi hukum mencari ilmu pengetahuan yang bersandar dari akal menjadi tiga bagian, terpuji, tercela, dan diperbolehkan. Secara umum hukum mencari ilmu pengetahuan akal dalam kategori terpuji adalah hukumnya fardhu alkifâyah. Jadi tidak ada hukum fardhu al-‘ain dalam mencari ilmu akal.87 Dari sini nampaknya al-Ghazali juga masih memprioritaskan ilmuilmu agama di atas ilmu-ilmu umum, begitu juga dengan Nursi, akan tetapi dalam masalah ilmu-ilmu positif atau umum, Nursi tidak lagi menyinggung hukum mempelajarinya apakah fardhu al-kifâyah atau bukan seperti yang dikatakan al-Ghazali, tetapi Nursi lebih menekankan pentingnya mempelajari ilmu pengetahuan umum untuk melengkapi dan sebagai sarana untuk lebih memahami ilmu-ilmu agama. Meskipun pengetahuan sesungguhnya adalah pengetahuan metafisika (hakiki), bukan berarti pengetahuan selain itu tidak penting atau bahkan tidak dibutuhkan. Nursi berpendapat bahwa ilmu pengetahuan modern perlu dipelajari, karena manusia akan mendapatkan kesejahteraan dan kesempurnaan hidupnya jika dia menguasai ilmu-ilmu modern juga. Nursi mengungkapkan, kenapa ilmu agama harus dikombinasikan dengan ilmu pengetahuan modern : “Apa hikmah penyatuan ilmu pengetahuan modern dengan ilmu pengetahuan agama, adalah untuk menyelamatkan pemikiran akal dari kesesatan, karena memancarnya cahaya hati adalah dengan ilmu-ilmu agama, sedangkan bersinarnya akal adalah dengan ilmu-ilmu modern. Maka menggabungkan keduanya akan memunculkan suatu hakikat”.88 Jadi, ilmu pengetahuan modern harus diintegrasikan dengan ilmu pengetahuan agama, supaya ilmu pengetahuan modern tidak hampa dan menjadikan seseorang melalaikan Tuhannya. Menurut Nursi, semangat al-Qur’an mengajarkan agar manusia mempelajari dan memanfaatkan alam untuk kesejahteraan dunia menuju
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _787
akhiratnya. Pemanfaatan ini membutuhkan ilmu pengetahun modern sesuai dengan perkembangan zamannya. Seluruh pengetahuan yang berkembang dari zaman ke zaman, semangat besarnya telah ada dalam kandungan al-Qur’an. 89 Akan tetapi tidak semua ilmu modern itu baik atau disarankan. Bahkan ada beberapa ilmu pengetahuan modern yang perlu diwaspadai. Ilmu filsafat Barat misalnya, menurut Nursi perlu dipilah dan dicermati. Nursi menolak filsafat Meterialisme90 (falsafah al-Mâdiyyah) dan Empirisme91 (falsafah al-Thabî’iyyah) yang merupakan sisi negatif ilmu pengetahuan modern. Filsafat ini dinilai sesat, karena akan menjerumuskan dan melalaikan manusia dari Tuhannya.92 Filsafat ini memahami alam hanya pada eksistensinya sendiri, dan tidak mempercayai adanya kekuatan sebenarnya yang ada di balik alam, yakni Tuhan. Nursi menjelaskan perbedaan pemahaman terhadap ego manusia dan alam, sisi pertama menggunakan dasar pemahaman kenabian dan sisi kedua berdasarkan atas pemahaman filsafat (materialisme). Sisi pertama memandang eksistensi ego bukan eksistensi yang abadi dan sesungguhnya, eksistensi bersifat harfîyyah, bukan substansi, wujudnya bersifat asesoris, sehingga tergantung Tuhan yang menggerakkan dan mewujudkannya. Sementara sisi kedua memahaminya bahwa eksistensi ego adalah Ismî, pengertian formal, bukan harfiyyah, dan dalam wujud asli, bukan asesoris, serta menganggap sebagai hakikat yang permanen, sehingga pemahaman dengan menggunakan sisi kedua mengakibatkan munculnya kaum imperialis kafir dan aliran pemikiran materialisme atheis yang menolak segala hal yang metafisik seperti Tuhan.93 Dari penjelasan di atas dapat difahami, bahwa Nursi hanya menerima filsafat yang sejalan dengan penguatan iman kepada Allah. Bahkan dia menyatakan pentingnya filsafat semacam ini, karena selaras dan akan menjelaskan ajaran al-Qur’an.94 Filsafat seperti ini akan mengarahkan pada arah keharmonisan yang ideal. Nursi menganggap bahwa setiap ilmu pengetahuan ataupun sains dan teknologi adalah netral dan bebas nilai pada asalnya, kebenaran
788_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
bisa datang dari mana saja, karena sebenarnya kebenaran tersebut telah tercakup dalam naungan universalitas Islam dan al-Qur’an. Sehingga ilmu pengetahuan umum yang menyimpang dari Islam perlu diislamkan supaya sesuai dengan nilai-nilai Universal Islam. Sedikit berbeda dengan Nursi, Osman Bakar mengatakan bahwa ilmu pengetahuan atau sains tidaklah bebas nilai dan juga tidak sepenuhnya universal. Setiap sains yang dikembangkan dalam sebuah ruang historis dan kultural memiliki dimensi universal yang juga diapresiasi oleh semua budaya serta dimensi partikular yang diarahkan oleh berbagai prioritas kultural yang inheren dalam nilai budaya yang bersangkutan. Setiap peradaban memilih mewarisi berbagai tradisi ilmiah peradabanperadaban lainnya hanya pada elemen-elemen yang dipandang sesuai dengan pandangan dunianya dan penting dari sudut pandang sistem nilainya, sehingga terdapat diskontinuitas atau keterputusan yang mencolok antara sains Islam tradisional dengan sains Barat modern. Sains Barat modern dituntun oleh sebuah paradigma dunia baru, yang dengan sadar memisahkan diri dari jalan keagamaan dan filosofis sains Islam, sedangkan sains Islam dibentuk dan diwarnai oleh keyakinan dan sistem nilai Islam.95 Nursi hidup ketika ilmu pengetahuan positif96 (umum) dan teknologi yang datang dari Barat sedang mendapatkan surganya, gerakan reformasi pendidikan sudah dimulai pada masa kesultanan Abdul Hamid.97 Dimana kondisi pendidikan sebelum itu berjalan dengan silabus dan kurikulum yang tidak pernah dirubah semenjak abad ke-15, infrastruktur bangunan madrasah yang hampir roboh, dan tidak tersedianya fasilitas-fasilitas yang mendukung berkembangnya para siswa.98 Kelompok Tanzimat yang dilanjutkan golongan Turki Muda semakin gencar melakukan reformasi dalam segala bidang, tak terkecuali bidang pendidikan ikut digarapnya. Reformasi pendidikan dilakukan dengan mengganti madrasah-madrasah dan seluruh lembaga ahli telah digantikan dengan sistem-sistem pendidikan dan hukum ala Barat.
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _789
Vahide mencatat bahwa Nursi sempat mengusulkan beberapa rancangan untuk reformasi pendidikan kepada Sultan Abdul Hamid, usulan tersebut kemudian dimuat dalam Şark Kürdistan Gazetesi (Surat Kabat Kurdistan dan Timur) yang tertanggal 19 November 1908.99 Dalam usulan reformasi pendidikan tersebut, Nursi mengulasnya dalam karya yang berjudul Munâzharât yang terdapat dalam kitab Saiqal Al-Islâm : “Untuk menanggulanginya: harus dibangun Universitas Medresetuz Zehra (sebagai saudara kembar Universitas al-Azhar), dan dibangun di tiga tempat, yaitu di Bitlis, di kota Van, dan di kota Driyarbakr, untuk dijadikan contoh yang harus ditiru, dan juga sebagai penyemangat serta perangsang. Sekolah-sekolah ini harus diperkenalkan dengan istilah yang sudah akrab, yaitu madrasah. Harus mengintegrasikan ilmu-ilmu modern sekaligus dengan ilmu-ilmu agama, serta menggunakan tiga bahasa dalam pengajarannya, bahasa Arab yang statusnya wajib, bahasa Kurdi hukumnya boleh, dan bahasa Turki statusnya adalah perlu. Para sarjana Kurdi yang dipercaya oleh bangsa Kurdi maupun Turki harus dipilih sebagai guru, sebagaimana juga mereka yang menguasai bahasa daerah, dan bahwa para guru itu perlu memperhitungkan kapasitas serta tingkat budaya masyarakat yang akan mereka layani. Madrasah-madrasah ini harus setaraf dengan sekolah-sekolah resmi lainnya, dan seperti mereka, ujian-ujian madrasah tersebut harus diakui. Dan juga, revitalisasi sejumlah madrasah lain akan menjadi cara yang efektif untuk menyelamatkan masa depan masyarakat baik secara material, moral, maupun spiritual. Dengan begitu, akan terbangun landasan pendidikan yang berkembang”.100 Inti dari usulan reformasi pendidikan Nursi adalah penyatuan tiga aspek. Pertama adalah penyatuan tiga cabang utama lembaga pendidikan, madrese atau sekolah agama tradisional, mekteb atau sekolah sekular baru, dan tekke atau lembaga-lembaga Sufi, disatukan kedalam sistem pendidikan dan disiplin ilmu yang mereka wakili. Bidang kedua adalah restrukturisasi pendidikan madrasah secara menyeluruh. Bidang ketiga adalah menyangkut para pengajarnya, yang membimbing publik secara umum.101 Meskipun Nursi menganggap peran yang akan dimainkan
790_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Medresetuz Zehra tersebut sangat vital untuk menyelamatkan masa depan Kurdistan pada awalnya dan persatuan kekaisaran, akan tetapi prinsip-prinsip umum yang dia kemukakan tersebut dapat diterapkan pada semua lembaga pendidikan. Agaknya apa yang diungkapkan Nursi ini selaras dengan pemikiran Muhammad Abduh (1845-1905 M.), Abduh juga menyatakan perlunya mengadakan pembaruan lembaga pendidikan Islam pada saat itu. Abduh memasukkan pengetahuan modern ke dalam kurikulum al-Azhar.102 Menurutnya, umat Islam mengalami problem autentisitas Islam yang dianutnya. Hal ini menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran. Islam yang dianut umat bukanlah Islam yang sebenarnya. Untuk meraih kejayaannya kembali, harus ada kesadaran untuk kembali kepada Islam sejati. Di samping juga melakukan gerakan pembaruan dan modernisasi dalam berbagai hal termasuk pendidikan. Sikap jumûd (statis) yang menghiasi alam pikiran dan prilaku umat Islam sebelumnya merupakan biang kemunduran yang menyebabkan mereka tidak dinamis, berhenti berpikir dan berusaha. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang mengandung unsurunsur gerak yang dinamis dan relevan untuk sepanjang masa. Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern. Kemajuan Islam sebagaimana yang pernah dicapai pada masa-masa keemasannya adalah karena mementingkan pengetahun. Yang berarti memberikan porsi yang besar bagi akal untuk memahami ayat-ayat Tuhan.103 Karenanya perlu memasukkan kurikulum baru mengenai ilmu pengetahuan modern ke dalam madrasah dan al-Azhar, sebagai salah satu syarat awal mencapai kemajuan tersebut. Abduh mengkritik sistem pengajaran yang berlaku di lembaga pendidikan Islam, madrasah maupun al-Azhar, yang dianggapnya beku, dogmatis, dan membelenggu pemikiran. Dia berpendapat bahwa pendidikan dan sains Barat modern adalah kunci kemakmuran dan kejayaan Eropa, dia memandang perlu digalakkan usaha-usaha pengembangan sistem pendidikan baru ke seluruh pelosok Mesir dan
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _791
negera-negara Islam yang berdekatan agar menjadi negara besar dan kuat. Pikiran senada juga dilontarkan oleh Fazlur Rahman (1919), kontribusi besarnya adalah upaya melakukan rekonstruksi sistemik terhadap epistemologi keilmuan, baik dengan memperbaiki cara berpikirnya, sistem pendidikannya ataupun corak keberagamaannya.104 Karena menurut Rahman hanya dengan cara inilah suatu kebangkitan kembali umat Islam dapat diwujudkan. 2. Nasionalisme Islami Proses modernisasi Turki adalah proses perdebatan panjang yang terjadi di antara para pembaharu Turki tentang bagaimana menyikapi ide-ide Barat, ajaran Islam, dan budaya lokal Turki. Hubungan agama dengan negara menjadi sorotan penting, apakah Islam masih perlu dibangkitkan dalam bentuk negara Islam, atau ditolak sama sekali, ataukah hanya diambil nilai-nilai Islamnya untuk diintegrasikan dalam bernegara105 dengan bentuk Nasionalisme. Merespon isu Nasionalisme yang waktu itu gencar dikumandangkan, dan dimotori di bawah komando Mustafa Kemal Attaturk, Nursi mempunyai persepsi dan konsepsi tersendiri dalam memandang Nasionalisme waktu itu. Ketika Nursi menafsirkan surat al-Hujurât/49: 13: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. Allah telah menciptakan kita bersuku-suku, bangsa-bangsa, dan kaum-kaum supaya kita saling mengenal, dan memahami hubungan sosial untuk saling menguatkan satu sama lain. Allah tidak menjadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling bermusuhan.106
792_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Berawal dari ayat ini juga, kemudian Nursi menyinggung tentang Nasionalisme, yang pada waktu itu sedang gencar-gencarnya diterapkan di Turki. Nursi melihat bahwa ide Nasionalisme (al-Qaumiyyah) dapat mengancam persatuan umat Islam. Nasionalisme adalah ide yang dipropagandakan Barat untuk memecah-belah persatuan umat Islam. Dengan Nasionalisme, umat Islam akan saling memperebutkan daerah teritorial masing-masing, sehingga akan muncul permusuhan dan peperangan di antara mereka, yang ujungnya akan memuluskan jalan bagi para imperialis Barat untuk menjajahnya.107 Nursi membedakan Nasionalisme menjadi dua, yaitu Nasionalisme Negatif (al-Qaumiyyah al-Salbiyyah), dan Nasionalisme Positif (alQaumiyyah al-Îjâbiyyah). Nasionalisme Negatif adalah suatu bentuk Nasionalisme yang akan menimbulkan permusuhan dan perpecahan, karena akan terjadi perebutan kekuasaan dan pengaruh dari masingmasing wilayah akibat dari sensitifitas nasionalismenya. Oleh karena itu, Allah melarang rasa kesukuan jahiliyyah (al-‘Ashabiyyah al-Jâhiliyyah). Allah memerintahkan untuk meninggalkan rasa kesukuan untuk menuju kepada persaudaraan umat dengan dasar taqwa. Dalam al-Qur’an surat al-Fath/48: 26 disebutkan : “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan Jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. Sejarah telah memperlihatkan dengan jelas tentang bahayanya Nasionalisme yang negatif ini. Dinasti Umayyah yang telah mengadopsi sebagian sistem nasionalisme ini, menyebabkan beberapa unsur masyarakat marah dan akibatnya terjadi sejumlah pemberontakan. Begitu juga ketika ide Nasionalisme modern dikembangkan di Eropa, sehingga terjadi pertentangan antara Perancis dan Jerman, sehingga kemudian terjadi perang dunia yang sangat mengerikan.108
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _793
Bentuk Nasionalisme yang kedua adalah Nasionalisme Positif (alQaumiyyah al-Îjâbiyyah), Nasionalisme ini tumbuh dari dalam kehidupan sosial bermasyarakat yang dapat menumbuhkan perasaan saling membantu. Munculnya kelompok-kelompok yang memperkuat kaumnya dalam masyarakat Muslim, adalah dengan tujuan supaya kelompok yang kuat tersebut dapat membantu kelompok yang lemah. Kelompok ini tidak bertujuan untuk memisahkan diri dari kelompok besar masyarakat Muslim, akan tetapi justru membantu memperkuatnya. Nasionalisme yang dikembang masyarakat Muslim adalah untuk membentengi alQur’an dan memperkuat Islam. Nasionalisme seperti ini selaras dengan apa yang ada dalam surat al-Mâ’idah/5: 54 disebutkan : “Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah” 109. Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa, konsep Nasionalisme menurut Nursi adalah Nasionalisme yang tidak tercerabut dari akar Islamnya. Nasionalisme yang bertujuan untuk memperkuat persatuan dan mempercepat kemajuan Islam, Nasionalisme yang bernafaskan al-Qur’an. Nasionalisme masing-masing kelompok yang berada di bawah satu payung Islam dan Iman, yang terlepas dari batas teritorial. Nasionalisme yang mirip dengan konsep negara federal atau negara dengan otonomi khusus. Nasionalisme yang digalakkan oleh Mustafa Kemal Attaturk semakin kebablasan, praktek nasionalisme yang dilakukan justru tercerabut dari akar budayanya dan mengarah pada westernisasi yang sekular. Banyak kebijakannya justru menghilangkan tradisi penduduk Turki setempat, seperti pelarangan memakai pakaian adat ataupun pakaian keagamaan dan diganti dengan pakaian ala Eropa. Akan tetapi disisi lain, dia juga kebablasan dalam meletakkan Nasionalisme tersebut, seperti adzan dan iqamah yang kemudian diganti dengan menggunakan bahasa Turki. Jadi
794_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
kebijakan-kebijakannya cenderung mempunyai standar ganda. Merespon Nasionalisme yang kebablasan ini, Nursi menanggapinya dalam al-Maktûbât pada surat kedua puluh sembilan bagian akhir. Nursi mengatakan bahwa alasan orang-orang yang berusaha mengubah simbol-simbol Islam ini mendasarkan atas apa yang terjadi di Barat, ketika orang-orang Islam yang ada di London dan wilayah lainnya, mereka mengumandangkan adzan dan iqamah dengan bahasa mereka sendiri, sedangkan dunia Muslim tidak menentang apa yang mereka lakukan. Kemudian Nursi menjawabnya : “Untuk wilayah-wilayah di mana orang-orang kafir hidup secara dominan disebut dengan ‘daerah kekuasaan perang’ dan terdapat beberapa hal yang secara agama diperbolehkan di ‘daerah kekuasaan perang’ tetapi tidak diperbolehkan di dunia Muslim. (alasan) Kedua, agama kristen dominan di Barat. Karena Barat bukanlah lingkungan yang secara normal mengilhami dan menanamkan makna istilah-istilah Islam dan kandungan kata-kata atau frase sakral, maka Muslim Barat mungkin merasa enggan untuk mengorbankan bahasa asli mereka untuk makna-makna sakral. Tetapi seluruh lingkungan di dunia Muslim mengajarkan umat Islam makna singkat dari kata-kata dan frase sakral tersebut. Semua wacana tentang tradisi-tradisi Islam, seluruh sejarah Islam, dan terutama sekali simbol atau tanda dan pilar-pilar islam, selalu dan terus-menerus memasukkan makna singkat frasa-frasa sakral itu kepada orang-orang mukmin. Disamping masjid dan institusi pembelajaran keagamaan, bahkan batu nisan dan tulisan pada batu nisan di negara ini mengingatkan, seperti seorang guru bagi orangorang mukmin tentang makna sakral simbol-simbol Islam”110. Inilah tanggapan Nursi, bahwa Nasionalisme yang digalakkan dengan justru menghilangkan simbol-simbol Islam adalah tindakan yang salah dan kebablasan. Dari uraian ini, dapat diketahui bahwa Nursi menolak upaya Nasionalisme yang sedang digalakkan waktu itu, karena meskipun disuarakan untuk memperkuat Islam, akan tetapi praktek yang ada,
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _795
Nasionalisme yang diterapkan adalah Nasionalisme yang sekular. Oleh karena itu, Nursi hanya menerima Nasionalisme berlandaskan Islam yang sesungguhnya. Nursi dalam tulisan-tulisannya, secara mendasar bertentangan dengan pemikiran banyak pemikir Islam pada masa itu. Para pemikir kontemporer seperti, Hassan al-Banna, Sayyid Qutb, dan ‘Allama alMaududi, masih menyokong kebangkitan kembali Islam sebagai sarana politik, bukan hanya Islam sebagai iman. Akan tetapi setelah perang dunia I, Nursi tidak lagi tertarik untuk mengusung Islam sebagai alat politik untuk sarana memelihara Islam.111 Nursi tidak lagi mengidealkan kebangkitan Islam sebagai suatu bentuk negara, akan tetapi yang lebih penting adalah Islam perlu ditegakkan dan diintegrasikan nilai-nilainya dalam bernegara maupun segala aspek kehidupannya. Pendapat Nursi ini berbeda dengan apa yang diperjuangkan oleh gerakan Islam fundamentalis112 sebelumnya, yaitu Ikhwanul Muslimin yang dirumuskan oleh Hasan al-Banna. Dia merumuskan ideologi Ikhwanul Muslimin yang menekankan kemampuan Islam sebagai ideologi yang total dan komprehensif. Ada dua program besar Ikhwanul Muslimin: pertama, internasionalisasi organisasi, guna membebaskan seluruh wilayah Muslimin dari kekuasaan dan pengaruh asing. Kedua, membangun pemerintahan Islam di wilayah Muslimin yang telah dibebaskan itu, serta mempraktekkan prinsip-prinsip Islam dan menerapkannya ke dalam sistem sosialnya secara menyeluruh. Sedangkan tujuan politik Ikhwanul Muslimin adalah pembentukan kekhalifahan yang terdiri dari negara-negara Muslimin yang merdeka dan berdaulat. Kekhalifahan ini harus didasarkan sepenuhnya pada ajaran al-Qur’an. Tujuan kekhalifahan adalah untuk mencapai keadilan sosial dan menjamin kesempatan yang memadai bagi semua individu Muslim. 113 Setelah meninggalnya Hasan al-Banna, perjuangan Ikhwanul Muslimin dieruskan oleh Sayyid Qutb.
796_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Salah satu doktrin sentral dalam fundamentalisme Qutb yang selanjutnya yang dianut oleh Ikhwanul Muslimin adalah konsep tentang “jahiliyyah modern”. Konsep jahiliyyah modern itu sendiri pertama kali dikembangkan pada 1939 oleh Abu al-A’lâ al-Maudûdî, tokoh terkemuka fundamentalis lainnya dan pendiri organisasi Jamâ’ât al-Islâmî, di anak Benua India. Al- Maudûdî merupakan pemikir muslim pertama yang dengan tegas mengutuk modernitas dan ketidaksesuaiannya dan bahayanya terhadap Islam.114 Kemudian Qutb mengelaborasi lebih jauh konsep ini. Dan menjadi tokoh fundamentalis pertama yang sampai pada pengutukan menyeluruh terhadap modernitas, ketidakcocokannya dengan Islam, dan bahaya yang dimunculkannya terhadap Islam. Jahiliyyah modern adalah situasi di mana nilai-nilai fundamental yang diturunkan Tuhan kepada manusia diganti dengan nilai-nilai artifisial atau palsu yang berdasarkan hawa nafsu duniawi. Jahiliyyah modern merajalela di muka bumi ketika Islam kehilangan kepemimpinan atas dunia, sementara pada pihak lain, Eropa mencapai kejayaannya. Menurut Sayyid Qutb, untuk menumpas jahiliyyah modern, masyarakat Muslim harus melakukan perubahan fundamental dan radikal, bermula dari dasar-dasar kepercayaan, moral dan etikanya. Dominasi atas manusia harus dikembalikan semata-mata kepada Allah, tegasnya kepada Islam yang merupakan suatu sistem holistik. Serangan menyeluruh dan sistematis, tepatnya jihad harus dilancarkan terhadap modernitas. Tujuan akhir jihad adalah membangun kembali “kekuasaan Tuhan” di muka bumi, di mana syari’ah memegang supremasi tertinggi. Syari’ah dalam arti lebih luas yang tidak hanya mencakup sistem hukum saja, akan tetapi mencakup segala aspek dalam kehidupan manusia. 115 Berbeda dengan apa yang diperjuangkan para golongan fundamentalis, Nursi tidak lagi tertarik dengan upaya kebangkitan Islam melalui terbentuknya negara Islam, akan tetapi perlunya diintegrasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara. Selaras dengan apa yang digagas oleh Nursi adalah pendapat Gamal al-Banna, dia tidak
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _797
lain adalah adik kandung dari Hasan al-Banna, peletak dasar gerakan Ikhwanul Muslimin. Gamal al-Banna meyakini bahwa negara Islam (daulah Islâmiyyah) memang pernah tegak berdiri. Tetapi itu hanya terjadi pada zaman Nabi Muhammad dan Khulafâ’ al-Râsyidîn. Setelah itu, pemerintahan Islam dikendalikan oleh pribadi-pribadi yang despotis atau lalim dan dipacu oleh panasnya syahwat kekuasaan semata. Karena itu, pembentukan pemerintahan Islam pasca Nabi dan Khulafâ’ al-Râsyidîn oleh gerakan-gerakan Islam kontemporer terasa utopia, bahkan banyak yang berakhir dengan kegagalan. Gamal al-Banna mengidealkan sebuah sosok pemerintahan yang lebih membumikan Islam dalam membangun kemaslahatan umat, karena yang terpenting adalah penerapan nilainilai Islam dan pendaratan kebajikan secara universal (al-Masâlih al‘Âmmah).116 3. Perempuan dan Persamaan Hak Nasionalisme yang mengarah pada sekularisme adalah praktek yang kemudian diterapkan oleh Mustafa Kemal waktu itu, meskipun pada konsep awalnya, Kemal mengidealkan bahwa Nasionalisme yang diusung adalah Nasionalisme Sekular yang mengintegrasikan nilai-nilai agama ke dalam birokrasi pemerintahan. Akan tetapi pada tataran praksis, bisa dianggap bahwa Nasionalisme diterapkan pada bentuk yang sinonim dengan Westernisasi sekular, dan bahkan tidak memperhitungkan aspek agama. Nasionalisme yang dijalankan tidak terkecuali pada bidang pemerintahan, hukum, pendidikan, ekonomi, maupun budaya. Akan tetapi masalah relasi hubungan laki-laki dengan perempuan – yang pada waktu itu masih dianggap isu yang baru – juga tidak luput dari perhatian. Momentumnya adalah ketika diberlakukannya UU Perdata sebagai ganti dari peraturan-peraturan Syari’at dan mengadopsi UU Perdata Swiss, yang kemudian memberlakukan sekularisasi upacara pernikahan, pengadopsian prinsip monogami, laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam menuntut talak, pembolehan pernikahan beda
798_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
agama, orang tua laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama atas anak, dan pemberian hak warisan yang sama antara pria dan wanita. Perubahan tersebut kemudian mempengaruhi relasi kehidupan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Hingga pada akhirnya, jika dulu perempuan bebas mengenakan jilbab, tetapi pada perkembangan selanjutnya, perempuan yang berjilbab semakin dipersempit ruang geraknya, mulai dari lembaga-lembaga pemerintahan hingga pada lembaga pendidikan,117 yang akhirnya mengakibatkan timbulnya pergaulan tidak sehat di kalangan para generasi muda. Nursi merasa prihatin dengan kondisi yang seperti ini, hingga dia memberikan perhatian khusus pada masalah perempuan dan permasalahan jilbab (hijâb)118 yang sedang terjadi waktu itu. Keprihatinan tersebut diwujudkan dalam bentuk sebuah tulisan yang berjudul Risâlah al-Hijâb, karya ini merupakan bagian dari Risâlah al-Nûr yang terdapat pada kitab al-Lama’ât kedua puluh empat, dan ditulis ketika Nursi diasingkan di Asbarithah tahun 1934. Dan karena Risâlah al-Hijâb ini juga Nursi akhirnya dituntut dan dipenjara di Eskisehir dengan tuduhan menyebarkan semangat keagamaan melalui penyebaran Risâlah alHijâb.119 Risâlah al-Hijâb ini berisi tentang bantahan Nursi terhadap persepsi peradaban modern yang mengatakan bahwa hijâb (jilbab) mengakibatkan ruang gerak seorang perempuan menjadi terbatas.120 Nursi memaparkan argumentasinya yang terinspirasi oleh Surat al-Ahzâb/33: 59 disebutkan : “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Argumentasi Nursi, bahwa hijâb adalah fitrah bagi perempuan, karena perempuan pada dasarnya diciptakan dalam fitrahnya yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Mereka membutuhkan seorang
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _799
pelindung laki-laki yang dapat melindungi mereka dan anak-anaknya. Perempuan memiliki kecenderungan fitrah untuk membuat dirinya dicintai, dan tidak ditolak secara kasar. Dengan argumentasi ini, Nursi menolak peradaban modern yang mencampakkan jilbab, karena telah berlawanan dengan fitrah. Nursi mengatakan : “Kesimpulannya adalah bahwa peradaban modern yang mencampakkan hijab, betul-betul berlawanan dengan fitrah manusia. Sesungguhnya perintah alQur’an untuk berjilbab, disamping merupakan fitrah, ia melindungi perempuan yang merupakan sumber kasih sayang dan teman setia abadi bagi suaminya dari kerendahan, kehinaan dan perbudakan secara maknawi, serta kemalangan”121. Dengan berjilbab, perempuan justru akan terlindungi dari kerendahan dan direndahkan, terbebas dari perbudakan secara maknawi, serta terselamatkan dari kemalangan, jika memang jilbab difungsikan sebagaimana mestinya dan dijadikan sebagai media kontrol bagi perempuan dari berbuat kotor dan hina. Menurut Nursi, penyebab kerusakan yang terjadi tersebut adalah karena kondisi pada waktu itu, dimana pembaruan pendidikan yang diterapkan pada waktu era reformasi Tanzimat yang diteruskan oleh gerakan Turki Muda, adalah sistem pendidikan sekular yang mengesampingkan nilai-nilai Islam di dalamnya, bahkan pelajaran agama mulai ditinggalkan pada tahun 1924 di masa Kemal. Nursi memaparkan: “Kemudian aku mencari sebab-sebab kerusakan tersebut. Akupun mengetahui ada beberapa lembaga rahasia yang berusaha menyesatkan dan merusak para pemuda dengan cara menyediakan berbagai sarana maksiat serta menjerumuskan mereka kepada kemaksiatan dan kesesatan guna merusak tatanan masyarakat Islam dan menyerang agama Islam. Aku juga merasakan dan mengetahui adanya berbagai lembaga yang bekerja secara efektif untuk mendorong para perempuan yang lalai agar terjerumus ke dalam dosa dan kesalahan. Menurutku, hal ini merupakan pukulan keras terhadap umat Islam. Aku jelaskan secara gamblang wahai para anak perempuanku yang masih remaja. Sesungguhnya solusi ampuh
800_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
untuk menyelamatkan perempuan dari kerusakan dunia dan akhirat, serta sarana satu-satunya untuk menjaga tabiat mulia yang menjadi fitrah mereka dari kerusakan adalah mendidik mereka dengan pendidikan agama dalam Islam”122. Pada waktu itu, sistem pendidikan sekolah diletakkan di bawah pengawasan Kementerian Pendidikan. Madrasah-madrasah ditutup dan digantikan dengan sekolah-sekolah sekular. Universitas-universitas mulai membuka Fakultas Teologi. Bahkan selanjutnya pendidikan agama ditiadakan di sekolah-sekolah pada tahun 1930.123 Sistem pendidikan sekular yang diterapkan mengakibatkan rusaknya tatanan masyarakat Islam, tak terkecuali bagi perempuan. Pendidikan sekular yang diterapkan justru merusak moral generasi perempuan, dan menjauhkan mereka dari fitrahnya yang penuh kasih sayang. Yang dihasilkan adalah generasi perempuan yang rusak akhlaknya dan lalai akan fitrahnya. Nursi menyadari pentingnya aplikasi nilai-nilai Islam supaya diterapkan dalam kehidupan perempuan sehari-hari, agar dipraktekkan dalam tindak laku akhlak kehidupan. Islam adalah agama yang ramah, syariatnya bukan berarti memenjarakan perempuan supaya terbelenggu, akan tetapi justru akan memerdekakan perempuan dari berbagai penjajahan dan kegelapan perilaku kotor masa lalu. Dalam penafsirannya, Nursi menempatkan perempuan pada tempat yang mulia, karena menurut Nursi perempuan adalah makhluk yang mempunyai fitrah mulia, dimana kasih sayang dan cinta sebagai fitrah yang memenuhi mereka, sehingga menjadikan mereka kuat dalam beragama karena keberagamaan mereka dipenuhi dengan cinta. Nursi menulis : “Hadis yang berbunyi; “kalian harus mengikuti agama para perempuan tua,”124 mendorong kita untuk mengikuti agama mereka. Artinya, iman yang kuat di akhir zaman nanti, akan dimiliki oleh para perempuan tua. Salah satu dari empat pilar Risalah Nur adalah kasih sayang.125 Karena para perempuan merupakan pahlawan kasih sayang, maka orang yang paling penakut di antara mereka sekalipun akan rela mengorbankan jiwa untuk menyelamatkan anaknya”126.
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _801
Nursi juga mengakui adanya hak dan kebebasan bagi perempuan untuk menentukan pilihannya, bahkan dalam menentukan laki-laki pilihannya untuk dijadikan suami, dan hak untuk bekerja maupun kebebasan beraktifitas bagi mereka. Dan Nursi menolak segala macam kejahatan, ataupun penindasan yang terjadi dan dialamatkan pada para perempuan : “Wahai saudara-saudara perempuanku. Secara khusus kukatakan hal ini kepada kalian. Bekerjalah mencari nafkah dengan tangan sendiri seperti para perempuan desa. Lalu berusahalah hidup hemat dan qana’ah, dua sifat yang tertanam dalam fitrah kalian. Hal ini lebih baik daripada kalian merusak diri kalian sendiri karena tuntutan hidup dengan tunduk pada dominasi seorang suami yang jahat, berperilaku buruk, dan kebarat-baratan”127. Dari beberapa kutipan ini dapat ditangkap bahwa, Nursi sudah mempunyai wacana persamaan hak dalam perspektif gender. Nursi menganjurkan perempuan untuk bekerja dan menolak segala macam penindasan serta penyimpangan dalam relasi antara perempuan dan laki-laki. Peran perempuan didedikasikan untuk menguatkan eksistensinya dalam masyarakat, kebudayaan, ataupun pendidikan.128 Jadi relasi antara perempuan dan laki-laki adalah hubungan yang saling menyempurnakan dan saling menutupi kekurangan masing-masing untuk menuju keharmonisan dalam berumahtangga yang didasarkan pada nilai-nilai Islam. Ada beragam pendapat di kalangan ulama dalam menanggapi masalah hijab ini. Para ulama salaf berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, termasuk wajah dan kedua telapak tangan. Al-Alûsî mengatakan bahwa surat al-Ahzâb/33: 59 yang menerangkan tentang perintah untuk mengulurkan Jilbab atas tubuh mereka ( نم نهيلع نيندي ) نهبيبالج, maka kata نهيلعyang dimaksud adalah ke seluruh tubuh mereka.129 Senada dengan al-Alûsî, al-Biqâ’î dalam tafsirnya Nazhm al-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa al-Suwar menyebutkan beberapa pendapat tentang
802_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
makna jilbab. Antara lain, baju yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita, atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya, atau semua pakaian yang menutupi badan wanita. Semua pendapat ini menurut al-Biqâ’î dapat merupakan makna kata tersebut. Jika yang dimaksud dengan jilbab adalah baju, maka ia adalah pakaian yang menutupi tangan dan kaki. Jika yang dimaksud adalah kerudung, maka perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan lehernya. Dan jika yang dimaksud adalah pakaian yang menutupi badan, maka perintah mengulurkannya adalah membuatnya longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaian.130 Meskipun pada awal tujuan diturunkannya ayat ini adalah untuk membedakan antara perempuan merdeka dengan perempuan sahaya, akan tetapi menurut pendapat ulama salaf kandungan ayat tersebut tetap berlaku sampai sekarang dan untuk masa datang. Sementara para cendekiawan kontemporer seperti Qasim Amin dalam bukunya Tahrîr al-Mar’ah, menyatakan bahwa tidak ada satu ketetapan agama (nash dari syariat) yang mewajibkan pakaian khusus seperti hijâb atau jilbab bagi perempuan, sebagaimana yang dikenal selama ini dalam masyarakat Islam. Dia mengatakan bahwa pakaian tersebut adalah adat kebiasaan yang lahir akibat pergaulan masyarakat Mesir (Islam) dengan bangsa-bangsa lain, yang mereka anggap baik dan kemudian menirunya lalu menilainya sebagai doktrin agama. Dia juga berpendapat bahwa alQur’an membolehkan perempuan untuk menampakkan sebagian dari anggota tubuhnya di hadapan orang-orang yang bukan mahramnya, akan tetapi al-Qur’an tidak menentukan bagian mana dari anggota tubuh itu yang boleh dibuka.131 Pendapat Muhammad Syahrur bisa dikatakan meneruskan pendapat Qassim Amin. Syahrur dalam bukunya al-Kitâb wa al-Qur’ân; Qira’ah Mu’âshirah menjelaskan bahwa, pakaian tertutup yang kini dinamai hijab (jilbab) bukanlah suatu kewajiban agama, akan tetapi hal tersebut merupakan suatu bentuk pakaian yang dituntut oleh kehidupan
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _803
masyarakat dan lingkungan, sehingga dapat berubah dengan perubahan masyarakat dan lingkungan yang berbeda. Ayat tentang jilbab di atas yang memerintahkan Nabi saw. untuk menyampaikan kepada istri, anak-anak perempuannya, serta wanita Muslimah agar mengulurkan jilbab mereka adalah dalam konteks untuk membedakan antara wanita merdeka dengan para sahaya. Hal ini merupakan suatu tindakan pengaturan untuk menanggulangi situasi khusus yang terjadi di Madinah waktu itu.132 Tetapi ada juga pendapat yang dengan terang-terang mengatakan bahwa pakaian wanita yang tertutup merupakan suatu bentuk perbudakan pria terhadap wanita, seperti apa yang ditulis oleh Nawâl al-Sa’dawî dan Hibah Ra’ûf Izzat. Mereka mengatakan bahwa hijab yang bersifat material maupun immaterial telah menutup keterlibatan wanita dalam kehidupan, politik, agama, akhlak, dan bidang-bidang lainnya. Lebih tegas lagi, ada yang mengatakan bahwa, “saya menolak hijab (pakaian tertutup), karena menutup ataupun telanjang, keduanya menjadikan wanita sebagai jasad semata. Ketika saya menutup badan saya, maka itu mengandung arti bahwa saya adalah fitnah (penggoda/perayu) dan akan merayu pria bila membuka pakaian. Ini salah, karena saya adalah akal dan bukan jasad yang mengandung syahwat atau rayuan.”133 Pendapat ini terdengar lebih berani dan berbeda dengan dua pendapat di atas. Pendapat Nursi seakan mencari jalan tengah, beliau tetap mewajibkan perempuan untuk memakai hijab atau jilbab yang menjadi fitrah mereka, akan tetapi dengan adanya jilbab tersebut tidak berarti akan menjadi penghalang bagi perempuan untuk bersosialisasi dalam kehidupan sosialnya, sehingga Nursi tidak melarang wanita untuk beraktifitas di luar maupun bekerja. Nursi juga menolak segala macam penindasan terhadap perempuan dalam kehidupan berumah tangga. Nursi memaknai hubungan perempuan dengan laki-laki sebagai suatu hubungan yang saling menyempurnakan kekurangan masing-masing pihak untuk dapat membentuk keharmonisan dalam kehidupan.
804_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Kontekstualisasi Posisi pemikiran Nursi yang rasional dan moderat ini, sungguh menemukan signifikansinya di Indonesia. Di mana masyarakat Indonesia terbiasa membangun argumentasinya dengan menyandarkan pada teks-teks agama, sehingga dibutuhkan suatu pemikiran agamis yang argumentatif. Juga merupakan masyarakat Muslim yang plural dengan berbagai madzhab dan bahkan aliran, sehingga diperlukan pemikiranpemikiran moderat yang dapat merangkul semua golongan. Hal tersebut dapat kita lihat dan kita amati dengan gejala-gejala yang terjadi di Indonesia. Dalam menyikapi perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi di Indonesia dapat kita lihat di antaranya, adalah dengan adanya perubahan lembaga pendidikan Islam secara khusus yang mulai bergeser meluas menuju lembaga pendidikan yang bersifat umum dengan memadukan pengetahuan Islam di dalamnya. Misalnya perubahan IAIN yang dulu hanya concern dan menekuni ilmu pengetahuan Islam secara khusus, kemudian bergeser menjadi UIN yang kemudian di samping membuka jurusan-jurusan keislaman akan tetapi juga menyediakan fakultas maupun jurusan-jurusan umum, supaya ilmu pengetahuan Islam dapat diintegrasikan kedalamnya. Tujuannya secara sederhana adalah supaya dapat menelorkan para sarjana-sarjana yang misalnya tidak hanya paham dengan Yurisprudensi Islam, akan tetapi setidaknya juga tanggap terhadap isu bail-out Bank Century. Begitu juga sebaliknya, tidak hanya meluluskan para dokter yang cerdas mengidentifikasi penyakit pasiennya, akan tetapi juga menyiapkan seorang dokter yang setidaknya fasih dalam berbicara masalah hukum nikah sirri dan poligami misalnya. Akan tetapi justru ketimpangan yang justru terjadi, semakin lama peminat fakultas agama semakin habis, sementara peminat fakultas umum semakin tak tertampung. Sehingga fenomena yang terjadi kemudian adalah, banyak sarjana fakultas agama yang tidak lancar membaca al-Qur’an, sedangkan banyak sarjana fakultas umum yang
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _805
bahkan tidak bisa membaca huruf arab sama sekali, sungguh fenomena yang ironis. Dalam kehidupan bernegara, Nasionalisme Islami yang digagas Nursi, mungkin perlu coba diterapkan di Indonesia. Yaitu dengan memberikan otonomi khusus pada daerah-daerah dengan APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) yang relatif mapan, seperti pada Nangroe Aceh Darussalam, maupaun Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan tujuan supaya dapat membantu memajukan daerah-daerah lain yang mungkin tertinggal. Akan tetapi pemberian otonomi khusus tersebut jika tanpa dimaknai dengan semangat persatuan dan kebersamaan, justru akan memicu timbulnya semangat disintegrasi dengan munculnya gerakan-gerakan separatisme. Sebut saja gerakan RMS (Republik Maluku Selatan) ataupun gerakan Bintang Kejora Papua yang terus mengancam. Bukti nyata yang dapat kita lihat adalah lepasnya daerah yang dulunya Timor-Timur, dan sekarang menjadi negara Timor Leste. Maka gerakan-gerakan separatis yang mengancam kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia harus diwaspadai. Dalam masalah relasi antara laki-laki dengan perempuan, Nursi menolak segala macam tindakan represi ataupun penindasan terhadap perempuan, Nursi juga menganjurkan perempuan untuk beraktifitas dalam kehidupan sosialnya baik bekerja maupun mencari ilmu untuk kebaikan hidupnya. Hal tersebut juga dapat kita tangkap dalam konteks Indonesia, dimana banyak lembaga-lembaga yang bermunculan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang dirasa telah terampas atau setidaknya telah disalah artikan. Dalam hal politik, sekarang telah terdapat undang-undang yang mengatur untuk memberikan keterwakilan perempuan sebanyak 30 % dalam lembaga legislatif, adanya Komnas Perempuan yang menjadi representasi perempuan dalam menyuarakan pendapatnya. Belum lagi banyak juga organisasi-organisasi non pemerintah yang bergerak dan menggeluti isu seputar perempuan dan gender.
806_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Sebut saja YJP (Yayasan Jurnal Perempuam) yang menekankan concern-nya untuk mengkaji isu-isu perempuan dalam hal budayanya, kemudian terdapat juga yayasan Rahima yang fokus untuk mengkaji doktrin-doktrin hukum syariah dengan perspektif gender, dan banyak juga partai yang telah memberikan perhatiannya pada peran perempuan dalam kehidupan politik. Faham, gerakan, maupun organisasi yang berbasis perjuangan hakhak perempuan bukanlah dilandaskan atas semangat kebencian terhadap masing-masing kelompok yang justru akan semakin memperpanjang proses tindas-menindas yang tiada ujung, akan tetapi perjuangan tersebut harus dilandasi dengan semangat untuk saling menyempurnakan dan saling menutupi kekurangan masing-masing saling mengisi untuk menuju keharmonisan dalam kehidupan yang didasarkan pada nilainilai Islam. Kita lihat bahwa, pemikiran-pemikiran Nursi tetap memperoleh signifikansinya untuk bisa kita aplikasikan tidak hanya di Turki khususnya, akan tetapi di dunia Islam lain dan bahkan di Indonesia secara umum.
E. Penutup Kesimpulan Tren modern dari penafsiran al-Qur’an Said Nursi dengan menjawab pandangan bias bahwa teks al-Qur’an itu tertutup dan tidak signifikan, maka Said Nursi mempraktekkan argumen mengenai hermeneutika dinamis yang lahir dari keadaan sosial intelektual dalam masyarakat pasca-Usmani. Kontekstualisasi pemikiran dan penafsiran Nursi dalam karyanya Risâlah al-Nûr dapat kita lihat bahwa, dalam tafsirnya dapat kita temui banyak menanggapi isu-isu yang sedang terjadi pada waktu itu. Banyak hal yang ditanggapi oleh Nursi dalam tafsirnya ketika merespon peristiwa yang sedang terjadi dalam dunia sosialnya waktu itu. Mulai
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _807
dari masalah krisis keimanan yang sedang melanda masyarakat Turki khususnya, kemudian berbagai kebijakan pemerintah yang mungkin Nursi tidak sependapat dengannya, di mana faham sekular mulai digalakkan didalamnya, hingga masalah budaya dan dekadensi moral yang menjadi akibat buruk oleh proses modernisasi waktu itu. Kontekstualisasi tersebut, setidaknya dapat kita lihat dari tiga hal yang dijadikan sample pembahasan dalam makalah ini. Yaitu mengenai perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi, kemudian dalam masalah hubungan agama dan negara, dan juga dalam masalah relasi antara peremuan dan laki-laki. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang datangnya dari Barat apakah perlu kita tolak secara keseluruhan ataukah kita ambil semuanya. Nursi menjawabnya bahwa ilmu pengetahuan mempunyai sifat yang netral, maka dari itu perlu diapresiasi, entah datangnya dari Islam maupun dari Barat sekalipun. Akan tetapi perkembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi tersebut haruslah selaras dengan nilainilai Islam, sehingga akan menguatkan keberagamaan seseorang. Dalam kehidupan bernegara apakah kita harus membangkitkan Islam dan mewujudkannya dalam bentuk Nasionalisme sekular yang selaras dengan Westernisme ataukah dalam bentuk Nasionalisme Islam yang berpijak pada kebajikan Islam dan kearifan lokal. Nursi memberikan formulasi, bahwa Nasionalisme yang diwujudkan dalam bentuk sekularisasi buta atau westernisasi kebablasan adalah salah. Karena Nasionalisme justru akan menemukan bentuk idealnya jika diintegrasikan dengan nilai-nilai Islam dan tidak tercerabut dari akar budaya lokalnya. Kemudian persamaan hak dan relasi antara laki-laki, apakah relasi yang dikembangkan adalah dengan cara membatasi ruang gerak perempuan ataukah perempuan mempunyai hak bebas penuh maupun kewajiban yang sama persis dengan laki-laki? Nursi menegaskan bahwa relasi laki-laki dengan perempuan haruslah diwujudkan dengan tujuan
808_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
untuk saling menyempurnakan kekurangan masing-masing supaya terwujud suatu kehidupan yang harmonis dan dinamis, bukan dalam bentuk yang saling menindas atau untuk saling menguasai. Nursi tidak hanya melihat ayat-ayat al-Qur’an dari sisi tekstualnya yang terbatas saja, akan tetapi Nursi juga mengkontekstualisasikan ayat-ayat tersebut kedalam kehidupan masa kini dan menggunakan pendekatan rasional dalam menjelaskannya, serta menyandarkan pendekatan-pendekatan rasionalisme berpikirnya pada keyakinan atas kebenaran teks-teks agama tersebut. Melihat sifat penafsiran kontekstual yang dilakukan Nursi, bukan berarti merupakan salah satu bentuk dari politisasi ayat-ayat al-Qur’an. Namun Nursi berupaya untuk mengkontekstualisasikan ayat-ayat alQur’an dan mendialogkan dengan kehidupan sosial pada masanya, supaya ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya dipahami sebagai sebuah dokumen tekstual yang mati dan kehilangan signifikansinya dengan perilaku kongkrit masyarakat pada zamannya. Karena letak kekuatan al-Qur’an adalah justru pada kekuatan ayat-ayatnya yang universal dan telah diproyeksikan untuk bisa menjadi bagian penting dalam proses kritik sosial dalam kehidupan masyarakatnya.
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _809
Daftar Pustaka ‘Abduh, Muhammad. Tafsîr Juz ‘Amma. t.tp.: Dâr Wamathâbi’ Al-Syu’ab, t.t. ________, Ilmu dan Peradaban; Menurut Islam dan Kristen. Penerjemah Mahyuddin Syaf & A. Bakar Usman. Bandung: Diponegoro, 1992. al-Alûsî, Syihâb al-Dîn Mahmûd. Rûhul Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa al-Sab’i al-Matsânî. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994. Atsîr, Majd al-Dîn Ibnu. Jâmi’ al-Ushûl fî Ahâdîts al-Rasûl, vol. 1. t.tt.: Maktabah al-Halwânî, t.t. Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam; Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Moderdisme. Jakarta : Paramadina, 1996. Bakar, Osman. Hierarki Ilmu; Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu. Penerjemah Purwanto. Bandung: Mizan, 1992. al-Banna, Gamal. Relasi Agama & Negara. Penerjemah Tim MataAir Publishing. Jakarta: MataAir Publishing, 2006. al-Biqâ’î, Ibrâhîm bin ‘Umar. Nazhm al-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa alSuwar, vol. 15. Kairo: Dâr al-Kutub al-Islâmî, 1992. Black, Antony. Pemikiran Politik Islam; Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini. Penerjemah Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati. Jakarta: Serambi, 2006. al-Dzahabî, Muhammada Husein. Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Kairo: Madanî, 2000. al-Farmawî, ‘Abd Hayy. Al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû’î. Kairo: alHadârah al-‘Arabiyyah, 1997. Gökalp, Ziya. The Principles Of Turkism. Leiden: E.J. Brill, 1968. Goldziher, Ignaz. Madzhab Tafsir; Dari Aliran Klasik Hingga Modern, Penerjemah M. Alaika Salamullah dkk. Yogyakarta: eLSAQ, 2003.
810_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Hiro, Dilip. War Without End; The Rise of Islamist Terrorism and Global Response. New York: Routledge, 2003. Jameelah, Maryam. Islam dan Modernitas. Penerjemah A. Jainuri dan Syafiq A. Mughni. Surabaya: Usaha Nasional, t.t. Jamil, Asriati. dan Lubis, Amany. Pengantar Kajian Gender. Jakarta: PSW UIN, 2003. Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat. Penerjemah Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996. Katsîr, Ibn. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 7. t.tp.: Dâr Tayyibah li alNatsr wa al-Tauzî’, 1999. Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikirn dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975. al-Nûrsi, Badî’ al-Zamân Sa’îd. Isyârat al-Ijâz. Qâhirah: Sözler, 2004. ________, Al-Kalimât. Penerjemah Ihsân Qâsim al-Shâlihi. Qâhirah: Sözler, 2004. ________, Al-Lama’ât. Penerjemah Ihsân Qâsim al-Sâlihi. Qâhirah: Sözler, 2004. ________, Al-Maktûbât. Penerjemah Ihsân Qâsim al-Shâlihi. Qâhirah: Sözler, 2004. ________, Al-Malâhiq. Penerjemah Ihsân Qâsim al-Sâlihi. Qâhirah: Sözler, 2004. ________, Al-Matsnawî al-‘Arabi al-Nûri. Qâhirah: Sözler, 2004. ________, Al-Malâhiq; Mulhaq Amîrdâgh. Penerjemah Ihsân Qâsim alShâlihi. Qâhirah: Sözler, 2004. ________, Shaiqâl al-Islâm. Penerjemah Ihsân Qâsim al-Sâlihi. Qâhirah: Sözler, 2004. ________,. Shaiqal al-Islâm; Muhâkamât ‘Aqliyyah, Penerjemah Ihsân Qâsim
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _811
al-Shâlihi. Qâhirah: Sözler, 2004. ________, Shaiqal al-Islâm; Munâzharât. Penerjemah Ihsân Qâsim alShâlihi. Qâhirah: Sözler, 2004. ________, Shîrah al-Dzâtiyah. Penerjemah Ihsân Qâsim al-Shâlihi. Qâhirah: Sözler, 2004. ________, Al-Syu’â’ât. Penerjemah Ihsân Qâsim al-Shâlihi. Qâhirah: Sözler, 2004. al-Qottôn, Mannâ’. Mabâhits Fî ‘Ulûmil al-Qur’ân. Mansyûrât al-‘Ashr alHadîts. t.tp.: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîts, t.t. Rahman, Fazlur. Islam Dan Modernitas; Tentang Transformasi Intelektual. Penerjemah Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1995. Rahnema, Ali, “Ciri Khas Tokoh Kebangkitan Islam,” dalam Ali Rahnema, ed. Para Perintis Zaman Baru Islam. Penerjemah Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1998: h. 11. Razak, Yusron, ed. Sosiologi Sebuah Pengantar; Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam. Tangerang: Laboratorium Sosiologi Agama, 2003. Ridhâ, Muhammâd Rasyîd. Tafsîr Al-Manâr, vol. 3. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t. Ritzer, George. dan Ritzer, Douglas J. Ritzer. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana, 2007. al-Shâbûnî, Muhammad ‘Alî. Safwat al-Tafâsîr, vol. 3. Beirut: Dâr al-Fikr, 2001. Salih, Ihsan Kasim. Said Nursi; Pemikir & Sufi Besar Abad 20, Penerjemah Nabilah Lubis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Sani, Abdul. Lintasan Sejarah Pemikiran; Perkembangan Modern Dalam Islam. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1998. Shihab, M. Quraish. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; Pandangan Ulama Masa Lalu & Cendekiawan Kontemporer. Jakarta: Lentera Hati, 2004.
812_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Endnotes 1. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’ân: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, h. 87.
2. Rotraud Wielandt, “Tafsir Al-Qur’an; Masa Awal Modern dan Kontemporer,” Penerjemah Sahiron Syamsuddin, Taswirul Afkar, Edisi No.18 (Tahun 2004): h. 65
3. Muhammâd Rasyîd Ridâ, Tafsîr Al-Manâr, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t., vol. 3, h. 96.
4. Muhammad ‘Abduh, Tafsîr Juz ‘Amma, t.tp.: Dâr Wamatâbi’ Al-Syu’ab, t.t., h. 120.
5. Wielandt, “Tafsir Al-Qur’an; Masa Awal Modern dan Kontemporer,” h. 70. 6. Ignaz Goldziher, Madzhab Tafsir; Dari Aliran Klasik Hingga Modern, Penerjemah M. Alaika Salamullah dkk, Yogyakarta: eLSAQ, 2003, h. 381
7. Pada tahun 1881 Tunisia dijajah Perancis. Tahun 1882 Mesir, India, Sudan, dan Malaysia dijajah Inggris. Yang bertepatan juga waktu itu Indonesia dijajah Belanda dan Asia Tengah dikuasai Rusia. Lihat Şükran Vahide, Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi; Transformasi Dinasti ‘Utsmânî Menjadi Republik Turki, Penerjemah: Sugeng Haryanto, Sunoko, Jakarta; Anatolia, 2007, h. xvii
8. Dilip Hiro, War Without End; The Rise of Islamist Terrorism and Global Response, New York: Routledge, 2003, h. 42.
9. Kelompok Tanzimat adalah generasi penerus dari ide-ide Mahmud II yang banyak berperan untuk mewujudkan perbaikan, pengaturan dan penyusunan undang-undang baru baik di bidang ekonomi, pendidikan, militer, pemerintahan, dan sosial di Turki, ketika usaha modernisasi di Turki sedang gencar-gencarnya digalakkan. Gerakan ini bertujuan mengembalikan reputasi dan kekuasaan Kesultanan dari ancaman Eropa. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikirn dan Gerakan , Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 97.
10. Şükran Vahide, Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi, h. xii. 11. Said Nursi, Risâlah An-Nûr; Sinar Yang Mengungkap Sang Cahaya, Penerjemah
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _813 Sugeng Hariyanto, Sukono Mukidi, Moh. Rudi Atmoko, Jakarta; Kencana, 2003, h. xiii
12. Nursi dalam tulisan-tulisannya pada masa pasca-Utsmânî, secara mendasar bertentangan dengan pemikiran banyak pemikir Islam pada masa itu. Para pemikir kontemporer seperti Muhammad Iqbal, Allama Maududi, Hassan Banna, dan Sayyid Qutb masih menyokong kebangkitan kembali Islam sebagai politik dan bukan hanya Islam sebagai iman. Akan tetapi setelah perang dunia I, Nursi tidak lagi tertarik untuk mengusung Islam sebagai politik untuk sarana memelihara Islam. Lihat Şükran Vahide, Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi, h. xiv
13. Şükran Vahide, Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi, h. xvii 14. Terdapat perbedaan dalam penyebutan tahun kelahiran Nursi, dalam kedua buku biografi Nursi karya Ihsan Kasim Salih dan Sukran Vahide keduanya berbeda, Ihsan menyebutkan 1876 sedangkan Vahide menulis 1877. Lihat Ihsan Kasim Salih, Said Nursi; Pemikir & Sufi Besar Abad 20, Penerjemah Nabilah Lubis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, h. 8, dan Şükran Vahide, Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi, h. 3.
15. Bitlis tergabung dengan dua propinsi lainnya; Erzurum dan Van. Secara teritorial, Bitlis dibatasi oleh propinsi Erzurum (di sebelah Utara), Marmuret al-Aziz (di sebelah Barat), Diyarbakir (di sebelah Selatan) dan Van (di sebelah Timur). Sebelum ditaklukkan oleh Turki Utsmani (abad ke – 16), daerah-daerah tersebut berada dalam otonomi kekuasaan penguasa suku Kurdi. Daerah-daerah ini sangat kuat dengan sistem tribal (kesukuan) dan kelompok keagamaan, yang pada akhirnya sistem ini ikut mempengaruhi karir Said Nursi. Moh. Asror Yusuf, Persinggungan Islam dan Barat; Studi Pandangan Badiuzzaman Said Nursi, Kediri, STAIN Kediri Press, 2009, h. 23.
16. Ihsan Kasim Salih, Said Nursi; Pemikir & Sufi Besar Abad 20, h. 9-10, Lihat juga Sikran Vahide, Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi, h. 9-10
17. 18. 19. 20.
Şükran Vahide, Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi, h. 11-12. Şükran Vahide, Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi, h. 12-13. Şükran Vahide, Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi, h. 13. Lihat Şükran Vahide, Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi, h. 30
814_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
21. Badî’uzzamân berarti keajaiban zaman, Nursi menggunakan gelar ini bukan dalam bentuk kesombongan, akan tetapi dia menggunakan nama itu sebagai bentuk untuk menunjukkan karunia ilahi, dan dia mengatakan bahwa gelar Bediuzzaman lebih merupakan gelar maknawi bagi Risalah al-Nur. Lihat Badî’ Al-Zamân Sa’îd Al-Nûrsi, Shîrah Dzâtiyyah. Penerjemah Ihsân Qâsim Al-Shâlihi, Qâhirah: Sözler, 2004, h. 64.
22. Lihat Şükran Vahide, Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi, h. 31-33, lihat juga Ihsan Kasim Salih, Said Nursi;... h. 14.
23. Said Qadim dimulai dari masa kelahirannya 1876 M. sampai tahun 1926 M, atau sekitar 50 tahun, sedangkan Said Jadid dimulai dari tahun 1926 M. sejak kehidupannya di pengasingan di Barla, sampai beliau wafat tahun 1960 M. Lihat Ihsan Kasim Salih, Said Nursi;... h. 90-91.
24. Lihat Badî’ Al-Zamân Sa’îd Al-Nûrsi, Al-Kalimât. Penerjemah Ihsân Qâsim Al-Shâlih, Qâhirah: Sözler, 2004.
25. Lihat Badî’ Al-Zamân Sa’îd Al-Nûrsi, Al-Maktûbât. Penerjemah Ihsân Qâsim Al-Shâlihi, Qâhirah: Sözler, 2004.
26. Lihat Badî’ Al-Zamân Sa’îd Al-Nûrsi, Al-Lama’ât. Penerjemah Ihsân Qâsim Al-Shâlihi, Qâhirah: Sözler, 2004.
27. Lihat Badî’ Al-Zamân Sa’îd Al-Nûrsi, Al-Syu’â’ât. Penerjemah Ihsân Qâsim Al-Sâlihi.
28. Lihat Badî’ Al-Zamân Sa’îd Al-Nûrsi, Isyâratu al-Ijâz. Lihat juga Ihsan Kasim Salih, Said Nursi;... h. 29.
29. Lihat Badî’ Al-Zamân Sa’îd Al-Nûrsi, Al-Matsnawî al-‘Arabi al-Nûri, Qâhirah: Sözler, 2004.
30. Lihat Badî’ Al-Zamân Sa’îd Al-Nûrsi, Al-Malâhiq. Penerjemah Ihsân Qâsim Al-Shâlihi.
31. Lihat Badî’ Al-Zamân Sa’îd Al-Nûrsi, Shîrah al-Dzâtiyah. Penerjemah Ihsân Qâsim Al-Shâlihi, Qâhirah: Sözler, 2004.
32. Lihat Badî’ Al-Zamân Sa’îd Al-Nûrsi, Shaiqâl al-Islâm. Penerjemah Ihsân Qâsim Al-Shâlihi, Qâhirah: Sözler, 2004. Lihat juga Hasbi Sen, “Prinsip-prinsip Politik Islam Menurut Bediuzzaman Said Nursi,” Tesis Program Pascasarjana, Institut Agama Islam Negeri, Raden Fatah Palembang, 2007, h. 31.
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _815
33. Moh. Asror Yusuf, Persinggungan Islam dan Barat;.. h. 18. 34. Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 126.
35. Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran; Perkembangan Modern Dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, h. 110.
36. Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran, h. 111. 37. Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam, h. 131. 38. Erik J. Zürcher, Sejarah Modern Turki. Penerjemah: Karsidi Diningrat R. ,Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, h. 165.
39. Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran, h. 113. 40. Dalam konstitusi 1876, tercantum bahwa agama kerajaan ‘Utsmânî adalah Islam. Nasution, Pembaruan Dalam Islam, h. 133.
41. Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran, h. 115. 42. Erik J. Zürcher, Sejarah Modern Turki, h. 165. 43. Al-Ittihâd Al-Muhammadî organisasi kontra revolusi, yang berdiri tahun 1009. Merupakan salah satu organisasi oposisi yang berasal dari kelompok agamis konservatif, kelompok ini mengorganisir propaganda berskala luas menentang kebijakan-kebijakan dan sekularisme yang dikembangkan oleh kelompok Turki Muda. Erik J. Zürcher, Sejarah Modern Turki, h. 119.
44. Teşkilât-i Mahsusa atau (Organisasi Khusus) adalah organisasi yang diresmikan tahun 1914, yaitu kelompok perwira sukarela di bawah pimpinan Mayor Enver. Dalam Perang Dunia I organisasi itu memainkan peranan penting dalam menumpas gerakan-gerakan separatis, dan juga dalam kampanye teror terhadap bisnis-bisnis Yunani di sebelah Barat Asia Kecil. Kelompok ini juga beroperasi di luar kerajaan, mereka berupaya menyalakan Barlawanan Muslim terhadap Rusia, Prancis dan Inggris di kerajaan atau wilayah kolonial mereka masing-masing. Erik J. Zürcher, Sejarah Modern Turki, h. 138.
45. 46. 47. 48.
Erik J. Zürcher, Sejarah Modern Turki, h. 250. Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran, h. 116. Erik J. Zürcher, Sejarah Modern Turki, h. 162. Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran, h. 118-119.
816_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
49. 50. 51. 52.
Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam, h. 137. Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran, h. 120. Erik J. Zürcher, Sejarah Modern Turki, h. 164. Lihat secara lengkap bagaimana rasionalisasi dan narasi berpikir yang digunakan Ziya Gökalp untuk menuangkan berbagai ide-idenya tentang bagaimana memposisikan peradaban Barat, tradisi Islam dan Nasionalisme Turki. Hal ini diungkap gamblang dalam karyanya. Lihat Ziya Gökalp, The Principles Of Turkism ,Leiden: E.J. Brill, 1968.
53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60.
Erik J. Zürcher, Sejarah Modern Turki, h. 166. Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran, h. 119-121. Lihat Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran, h. 122-123. Erik J. Zürcher, Sejarah Modern Turki, h. 162. Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran, h. 123. Erik J. Zürcher, Sejarah Modern Turki, h. 306. Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran, h. 128. Jabatan Syaikhul Islam dan Kementerian Syari’at dihapuskan. Bersamaan dengan itu dihapus pula Mahkamah Syari’at, dan Hukum Syari’at dalam masalah perkawinan diganti dengan hukum Swiss. Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam, h. 152.
61. Seluruh sekolah diletakkan di bawah pengawasan Kementerian Pendidikan. Madrasah-madrasah ditutup dan digantikan dengan sekolah untuk membina imam dan khatib. Di Universitas Istanbul dibuka fakultas Ilahiyat. Selanjutnya pendidikan agama ditiadakan di sekolah-sekolah perkotaan pada tahun 1930, sedangkan di daerah pedesaan pada tahun 1933. Nasution, Pembaruan Dalam Islam, h. 152. Lihat juga penjelasan secara lebih lengkap pada, Binnaz Toprak, Islam dan Perkembangan Politik di Turki, Penerjemah Karsidi Diningrat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, h. 92-94.
62. Pengadopsian topi dan gaya berpakaian ala Barat. Pemakaian terbus ataupun fez dilarang dan digantikan dengan pemakaian topi ala Eropa. Lihat Binnaz Toprak, Islam dan Perkembangan Politik di Turki, h. 84.
63. Pada tahun ini juga dilakukan pengadopsian kalender Georgia dan diperkenalkannya musik Barat di sekolah-sekolah. Binnaz Toprak, Islam dan
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _817 Perkembangan Politik di Turki, h. 84.
64. Pengadopsian UU Perdata baru ini, merupakan suatu tonggak kebijakan penting menuju emansipasi kaum wanita di Turki, hingga pada tahun 1934, kaum wanita Turki diberi hak untuk memilih dan dipilih di Parlemen. Binnaz Toprak, Islam dan Perkembangan Politik di Turki, h. 100.
65. Binnaz Toprak, Islam dan Perkembangan Politik di Turki, h. 98-99. 66. Perubahan alfabet dari Arab ke Latin. Usaha konkretnya adalah dengan mengubah kosakata dengan kata-kata baru bahasa Turki. Pelajaran Bahasa Arab dan Persia yang terdapat dalam kurikulum sekolah dihapuskan, dan Tulisan Arab diganti dengan tulisan Latin. Tujuan pokok pembaruan ini tidak sekedar tujuan pedagogis, tatapi lebih untuk tujuan sosio kultural. Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam, h. 152. Lihat juga Binnaz Toprak, Islam dan Perkembangan Politik di Turki, h. 75.
67. Di samping penghapusan nama gelar dan panggilan kebangsawanan, Harun Nasution menulis, bahwa pada tahun 1935 dikeluarkan undang-undang yang mewajibkan warga Turki untuk mempunyai nama belakang. Dan hari cuti mingguan yang sebelumnya hari Jum’at menjadai hari Minggu. Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam, h. 152. Lihat juga Binnaz Toprak, Islam dan Perkembangan Politik di Turki, h. 84.
68. Pakaian Keagamaan dilarang dan rakyat Turki baik laki-laki ataupun perempuan harus mengenakan pakaian ala Barat. Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam, h. 152.
69. 70. 71. 72. 73. 74.
Binnaz Toprak, Islam dan Perkembangan Politik di Turki, h. 70. Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran, h. 128. Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam, h. 151. Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam, h. 153. Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam, h. 153. Era Modern yang di asumsikan penulis adalah, Turki pada masa-masa setelah gerakan modernisasi yang digalakkan di Turki, yaitu periode setelah Republik Turki dengan Nasionalisme sekularnya di bawah kekuasaan otoriter Mustafa Kemal Attaturk pasca Turki Usmani.
75. Lihat Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran, h. 131.
818_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
76. Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam, h. 154. 77. Lihat Maryam Jameelah, Islam dan Modernitas. Penerjemah A. Jainuri dan Syafiq A. Mughni, Surabaya: Usaha Nasional, t.t., h. 267. Lihat juga Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran, h. 132.
78. Binnaz Toprak, Islam dan Perkembangan Politik di Turki, h. 157 79. Lihat Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran, h. 133. 80. Baca, Sirin Tekeli, ed., Women In Modern Turkish Society, London: Zed Books, 1995, h. 14.
81. Erik J. Zürcher, Sejarah Modern Turki, h. 435. 82. Şükran Vahide, Bediuzzaman Said Nursi, h. xvii. 83. Bediuzzaman Said Nursi, Dari Balik Lembaran Suci Penerjemah Sugeng Hariyanto, Jakarta: Siraja, 2003, h. 18-19.
84. Ilmu Pengetahuan berkembang secara kumulatif, dimana setiap tahap kemajuan yang dialami ilmu pengetahuan adalah dibangun di atas seluruh kemajuan yang telah dicapai oleh perkembangan sebelumnya. Namun teori ini kemudian ditolak oleh Thomas Kuhn pada tahun 1962 dalam karyanya The Scientific Revolution, yang menerangkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bukanlah terjadi secara kumulatif, akan tetapi terjadi secara revolusi. Lihat Yusron Razak, ed., Sosiologi Sebuah Pengantar; Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam, Tangerang: Laboratorium Sosiologi Agama, 2003, h. 26.
85. Dalam Shaiqal Al-Islâm, Nursi menggunakan istilah al-‘Ulûm al-Mâdiyyah, sedangkan dalam Isyârât al-Ijâz, Nursi menggunakan istilah Funun untuk menyebut istilah ilmu pengetahuan positif (umum). Lihat Badî’ Al-Zamân Sa’îd Nûrsi, Shaiqal Al-Islâm; Muhâkamât ‘Aqliyyah, h. 33. Badî’ Al-Zamân Sa’îd Al-Nûrsi, Isyârât al-Ijâz, Qâhirah: Sözler, 2004, h.173.
86. Badî’ Al-Zamân Sa’îd Nûrsi, Shaiqal Al-Islâm; Muhâkamât ‘Aqliyyah, h. 33. 87. Baca Osman Bakar, Hierarki Ilmu; Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu. Penerjemah Purwanto, Bandung: Mizan, 1997, h. 231-242.
88. Badî’ Al-Zamân Sa’îd al-Nûrsi, Shaiqal Al-Islâm; Munâzharât. Penerjemah Ihsân Qâsim Al-Sâlihi, Qâhirah: Sözler, 2004, h. 428.
89. Badî’ Al-Zamân Sa’îd Al-Nûrsi, Isyârât al-Ijâz, Qâhirah: Sözler, 2004, h. 180.
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _819 Sebagai contoh bulatnya bumi, yang merupakan permasalahan mendasar yang ada dalam ilmu Geografi, telah diterangkan dalam al-Qur’an. Lihat Badî’ Al-Zamân Sa’îd Nûrsi, Shaiqal Al-Islâm; Muhâkamât ‘Aqliyyah, h. 24.
90. Filsafat Materialis adalah filsafat yang menganggap bahwa materi adalah satu-satunya hal yang nyata. Materi adalah hal yang terdalam dan bereksistensi atas kekuatannya sendiri, dan tidak memerlukan suatu prinsip yang lain untuk menerangkan eksistensinya sendiri. Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat. Penerjemah Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996, h. 123.
91. Filsafat Empirisme adalah filsafat yang mendasarkan pengetahuan berdasarkan pengalaman dan juga fakta yang dialaminya secara pribadi. Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, h. 122.
92. Badî’ Al-Zamân Sa’îd Al-Nûrsi, Al-Malâhiq; Mulhaq Amîrdâgh. Penerjemah Ihsân Qâsim Al-Shâlihi, Qâhirah: Sözler, 2004, h. 286. Lihat juga Badî’ AlZamân Sa’îd Al-Nûrsi, Al-Matsnâwî al-‘Arabî al-Nûrî, Qâhirah: Sözler, 2004, h. 329.
93. Badiuzzaman Said Nursi, Al-Matsnawi An-Nuri; Menyibak Misteri Keesaan Ilahi. Penerjemah Fauzy Bahreisy, Jakarta: Anatolia,t.t., h. 369.
94. Badî’ Al-Zamân Sa’îd Al-Nûrsi, Al-Malâhiq; Mulhaq Amîrdâgh, h. 286-287. 95. Osman Bakar, Tauhid & Sains; Perspektif Islam tentang Agama & Sains. Penerjemah Yuliani Lupito dan M.S. Nasrullah, Bandung: Pustaka Hidayah, 2008, h. 37-38.
96. Ilmu pengetahuan positif (positive science) adalah buah dari faham positivisme yang dipelopori oleh Agust Comte (1798-1857), kemudian diteruskan oleh John Stuart Mill (1806-1873) dan Herbert Spencer (1820-1903). Positivisme adalah kelanjutan dari faham Empirisme yang berkembang pada abad ke-17 dengan tokohnya antara lain Thomas Hobbes (1588-1679) dan Jhon Locke (1632-1704). Baik empirisme maupun positivisme, sama-sama mendasarkan pengetahuan berdasarkan pengalaman dan fakta. Hanya saja perbedaannya adalah, positivisme membatasi pengetahuan pada sesuatu yang objektif saja, sementara empirisme menerima juga pengetahuan yang bersumber dari intuisi dan pengalaman subjektif. Yusuf, Persinggungan
820_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013 Islam dan Barat, h. 117. Lihat Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, h. 119.
97. Şükran Vahide, Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi, h. 42. 98. Şükran Vahide, Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi, h. 51. 99. Şükran Vahide, Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi, h. 50. 100. Badî’ Al-Zamân Sa’îd Al-Nûrsi, Shaiqal Al-Islâm; Munâzharât, h. 427-429 101. Şükran Vahide, Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi, h. 52. 102. Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam, h. 57-61. 103. Lihat Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam, h. 61-64. Akal digunakan untuk memikirkan sebab musabab dan juga segala akibat, sementara hati digunakan untuk merasakan pergolakan yang terjadi dalam jiwa dan diri. Maka ilmu yang sehat akan membimbing perasaan, sementara perasaan yang sejahtera akan jadi pembantu utama bagi ilmu. Tegasnya, agama yang sempurna merupakan gabungan antara ilmu dan perasaan, akal dengan hati, pembuktian dan kepatuhan, serta pemikiran dan kepercayaan. Persoalan dunia ini akan berakhir dengan terpadunya ilmu dengan agama menurut al-Qur’an dan Sunnah. Lihat Syekh Moh. ‘Abduh, Ilmu dan Peradaban; Menurut Islam dan Kristen. Penerjemah Mahyuddin Syaf & A. Bakar Usman, Bandung: Diponegoro, 1992, h. 168-169.
104. Lihat Fazlur Rahman, Islam Dan Modernitas; Tentang Transformasi Intelektual. Penerjemah Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1995, h. 184.
105. Erik J. Zürcher, Sejarah Modern Turki, h.161. 106. Pada umumnya ayat ini ditafsirkan oleh para ulama klasik dalam konteks sosial kemasyarakatan, untuk memaknai bagaimana adanya perbedaan suku-suku dan kabilah adalah justru untuk membuat saling mengenal satu dan yang lainnya untuk membangun ukhuwwah. Ulama klasik dalam menafsirkan ayat ini, belum sampai pada suatu konsep tertentu dalam wujud formulasinya, tapi masih dalam tataran konsep normatif. Lihat Mahmûd al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîri al-Qur’ân al-Azîm wa al-Sab’i alMatsânî, vol. 19, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994, h. 289. Lihat juga Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 7, t.tp.: Dâru Tayyibah li al-Natsri wa al-Tauzî’, 1999, h. 386. Sama juga dengan apa yang dikatakan al-Sâbûnî, lihat Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî, Shafwat al-Tafâsîr, vol. 3, Beirut: Dâr al-
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _821 Fikr, 2001, h. 219. Berbeda dengan Said Nursi yang berangkat dari ayat ini juga, kemudian Nursi sampai pada konsep Nasionalisme Islami yang diterangkan dalam karyanya al-Maktûbât.
107. Badî’ Al-Zamân Sa’îd Al-Nûrsi, Al-Maktûbât. Penerjemah Ihsân Qâsim AlShâlihi, Qâhirah: Sözler, 2004, h. 414.
108. Badî’ Al-Zamân Sa’îd Al-Nûrsi, Al-Maktûbât, h. 414. 109. Badî’ Al-Zamân Sa’îd Al-Nûrsi, Al-Maktûbât, h. 415-416. 110. Said Nursi, Menjawab Yang Tak Terjawab, Menjelaskan Yang Tak Terjelaskan. Penerjemah Sugeng Hariyanto dkk., Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, h. 574-575.
111. Lihat Şükran Vahide, Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi, h. xiv. Lihat juga Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996, h. 118.
112. Fundamentalis adalah istilah yang relatif baru dalam kamus peristilahan Islam. Istilah fundamentalisme Islam di kalangan Barat mulai populer berbarengan dengan terjadinya Revolusi Islam Iran pada 1979, yang memunculkan kekuatan Muslim Syi’ah radikal dan fanatik yang siap mati melawan the great satan, Amerika Serikat. Setelah Revolusi Islam Iran, istilah fundamentalisme Islam digunakan untuk menggeneralisasi berbagai gerakan Islam yang muncul dalam gelombang yang sering disebut sebagai “kebangkitan Islam”. Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996, h. 107.
113. Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, h. 117, Lihat juga Antony Black, Pemikiran Politik Islam; Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini. Penerjemah Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati, Jakarta: Serambi, 2006, h. 573.
114. Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, h.118 115. Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, h. 120. 116. Baca Gamal al-Banna, Relasi Agama & Negara. Penerjemah Tim MataAir Publishing, Jakarta: MataAir Publishing, 2006, h. 331- 361.
117. Larangan berjilbab bagi para mahasiswi di lembaga pendidikan ditetapkan pada tahun 1997, meskipun larangan tersebut akhirnya dapat diamandeman
822_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013 atas persetujuan Parlemen pada tanggal 10 Februari 2008.
118. Hijâb yang berati tutup, dimaksudkan Nursi adalah makna hijab secara lebih luas, tidak hanya dimaknai sebagai sebuah bentuk jilbab atau kerudung, akan tetapi keharusan perempuan untuk menutup auratnya, hal ini diindikasikan dengan ulasan Nursi dalam risalah ini yang mengulas dan menerangkan bahayanya perempuan yang membuka auratnya, sehingga dari situ akan menjadi sumber terjadinya malapetaka dan dekadensi moral.
119. Lihat Salih, Said Nursi, h. 65. 120. Lihat Badî’ Al-Zamân Sa’îd Al-Nûrsi, Al-Lama’ât, Penerjemah Ihsân Qâsim Al-Shâlihi, Qâhirah: Sözler, 2004, h. 300.
121. Said Nursi, Menikmati Takdir Langit. Penerjemah: Fauzy Bahreisy, Joko Prayitno, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, h. 368.
122. Said Nursi, Menikmati Takdir Langit, h. 379. Lihat juga Nursi, Tuntunan Bagi Perempuan, h. 30.
123. Lihat Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam, h. 152. 124. Hadis riwayat al-Dailâmî, dari hadis Ibnu ‘Umar yang terdapat dalam alDurar al-Mantsûriyyah karya al-Suyûtî. Lihat juga Majd al-Dîn Ibnu Atsîr, Jâmi’ al-Ushûl fî Ahâdîtsi al-Rasûl, vol. 1, t.tt.: Maktabah al-Halwânî, t.t., h. 292.
125. Tiga pilar Risâlah al-Nûr yang lainnya adalah berfikir yang dilandasi keimanan pada Allah (tafakkur), ketidak berdayaan di hadapan Allah (‘ajz), dan kefakiran di hadapan Allah (faqr).
126. Said Nursi, Tuntunan Bagi Perempuan, h. 27. 127. Said Nursi, Menikmati Takdir Langit, h. 23. Lihat juga Nursi, Tuntunan Bagi Perempuan, h. 29.
128. Baca Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan; Membaca Kembali Kitab Suci Dengan Semagat Keadilan. Penerjemah Abdullah Ali, Jakarta: Serambi, 2006, h. 180.
129. Mahmûd al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîri al-Qur’ân al-Azîm wa al-Sab’i alMatsânî, vol. 11, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994, h. 263-265.
130. Ibrâhîm bin ‘Umar al-Biqâ’î, Nazmu al-Durar fî Tanâsubi al-Âyât wa al-Suwar, vol. 15, Kairo: Dâr al-Kutub al-Islâmî, 1992, h. 411-412.
Tren Modern dalam Islam (di) Turki _823
131. M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; Pandangan Ulama Masa Lalu & Cendekiawan Kontemporer, Jakarta: Lentera Hati, 2004, h. 166-167.
132. Muhammad Syahrûr, al-Kitâb wa al-Qur’ân; Qira’ah Mu’âshirah, Dimasyqa: alAhâlî li al-Tibâ’ah wa al-Nasyri wa al-Tauzî’, 1990, h. 614-615.
133. M. Qurash Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, h. 173.
824_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Pedoman Transliterasi
Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _413
414_Jurnal Bimas Islam Vol.5. No.2 2012
Ketentuan Tulisan _825
A. Ketentuan Tulisan 1. Tulisan merupakan hasil penelitian di bidnag zakat, wakaf, dakwah Islam, pemberdayaan KUA dan hal-hal terkait pengembangan masyarakat Islam lainnya. 2. Karangan ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan perangkat lunak pengolah kata Microsoft Word , font Palatino Linotype, maksimum 25 halaman kuarto minimum 17 halaman dengan spasi satu setengah. 3. Karangan hasil penelitian disusun dengan sistematika sebagai berikut: Judul. Nama Pengarang. Abstract . Keywords . Pendahuluan. Metode Penelitian. Hasil Penelitian. Pembahasan. Kesimpulan dan Saran. Daftar Kepustakaan. Sistematika tersebut dapat disesuaikan untuk penyusunan karangan ilmiah. 4. JUDUL a. Karangan dicetak dengan huruf besar, tebal, dan tidak melebihi 18 kata. b. Nama Pengarang (tanpa gelar), instansi asal, alamat, dan alamat e-mail dicetak di bawah judul. c. Abstract (tidak lebih dari 150 kata) dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), dan Keywords (3 sampai 5 kata) ditulis dalam bahasa lnggris, satu spasi, dengan huruf miring. d. Tulisan menggunakan endnote e. Daftar Kepustakaan dicantumkan secara urut abjad nama pengarang dengan ketentuan sebagai berikut: • Untuk buku acuan (monograf): Nama belakang pengarang diikuti nama lain. Tahun. Judul Buku. Kota Penerbit: Penerbit. • Untuk karangan dalam buku dengan banyak kontributor: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Dalam: Nama Editor. Judul Buku. Kota
826_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _415
Penerbit: Penerbit. Halaman. • Untuk karangan dalam jurnal/majalah: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Nama Majalah, Volume (Nomor): Halaman. • Untuk karangan dari internet: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Alamat di internet ( URL ). Tanggal mengakses karangan tersebut. 5. Gambar diberi nomor dan keterangan di bawahnya, sedangkan Tabel diberi nomor dan keterangan di atasnya. Keduanya sedapat mungkin disatukan dengan file naskah. Bila gambar/tabel dikirimkan secara terpisah, harap dicantumkan dalam lembar tersendiri dengan kualitas yang baik. 6. Naskah karangan dilengkapi dengan biodata singkat pengarang dikirimkan ke alamat kantor Jurnal Bimas Islam berupa naskah tercetak (print out) dengan menyertakan soft copy dalam disket/ flash disk atau dapat dikirim melalui e-mail Jurnal Bimas Islam (
[email protected]).