MAKALAH ISLAM Membangun Kesadaran Politik Umat Menghadapi PEMILU
1 April 2014
Makalah Islam Membangun Kesadaran Politik Umat Menghadapi PEMILU
Ahmad Munif (Dosen STAI Indonesia Jakarta)
Jum’at, 9 April 2014 nanti, rakyat Indonesia akan menyelenggarakan even besar, yaitu pemilihan umum (pemilu). Even lima tahunan ini, akan menentukan wakilwakil rakyat yang akan duduk di kursi legislatif periode 2014-2019. Wakil-wakil rakyat terdiri atas, DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD, mereka-lah bersama presiden dan wakil presiden, yang memegang tampuk pemerintahan Negara ini lima tahun ke depan. Tidak semua masyarakat memiliki perasaan yang seragam. Sebagian masyarakat menyikapi hadirnya pemilu dengan penuh semangat. Namun ada juga yang menyikapinya dengan perasaan gundah, bahkan ada yang cenderung acuh tak acuh. Masyarakat yang penuh semangat, melihat pemilu ini sebagai salah satu wadah untuk memperbaiki negara ke depan. Mereka melihat, dengan memilih wakil rakyat yang baik akan memberikan perbaikan tata kelola negara ini ke depan. Bagi mereka, pemilu merupakan ajang yang tepat untuk menunjukkan eksistensi suara rakyat. Bagi masyarakat yang gundah, mereka melihat pemilu tak ubahnya sebuah pesta, yang benar-benar pesta.
Saat kampanye menjelang pemilu, akan marak beragam hiburan yang disuguhkan partai politik, dan ramai pula bagi-bagi duit. Bagi kelompok ini, adanya pemilu, tidak memberi pengaruh yang signifikan untuk perbaikan negara ini ke depan. Sementara satu lagi ada masyarakat yang acuh atak acuh, atau apatis. Hampir sama dengan kelompok kedua, kelompok ini melihat pemilu hanya sebuah rutinitas, tidak memberi manfaat untuk perbaikan ke depan. Kelompok ini juga berpandangan, toh, calon wakil rakyat ada masih itu-itu saja. Jadi kalau calon itu terpilih, akan
sama
saja
keadannya
dengan
lima
tahun
sebelumnya. Nah, menghadapi pemilu yang tinggal hitugan hari ini, kita perlu waspada dengan sikap-sikap yang bisa menciderai niatan baik pemilu. Sikap-sikap itu seperti golput dan praktek politik uang. MUI sebagai wadah atau perkumpulan ulama di Tanah
Air,
pernah
mengeluarkan
fatwa
yang
bersinggungan dengan aktivitas pemilu. Diantaranya, fatwa yang dikeluarkan tahun 2009 lalu, dimana saat itu
MUI mengeluarkan fatwa tentang haram untuk golput dalam pemilu. Dan yang selanjutnya pada pertengahan Maret
2014
ini,
MUI
menelurkan
fatwa
yang
menyebutkan dengan tegas keharaman praktek politik uang dalam pemilu. Dalam fatwa MUI tentang keharaman golput, MUI mengajak agar umat Islam Indonesia memberikan suaranya dalam even pemilu. Secara tidak langsung MUI tidak berharap di Indonesia lahir pemimpin atau wakil rakyat yang tidak mendapat legitimasi dari rakyat. Karena banyaknya pemilih yang golput. Fatwa ini memang mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebagian memandang fatwa ini diperlukan guna mendorong partisipasi masyarakat untuk memilih wakil rakyat dalam pemilu. Di tengah kegundahan masyarakat terhadap maraknya berita wakil rakyat yang melanggar hukum, masyarakat perlu suntikan untuk memulihkan kepercayaan mereka akan pentingnya wakil rakyat. Namun
sebagian
juga
memandang
negatif
terhadap fatwa haram golput ini. Ada yang menilai MUI
memaksa umat melaksakan hal yang memang semestinya tidak perlu diwajibkan. Bagian ini beralasan, pilihan politik dengan memberikan suara dalam pemilu adalah hal yang opsional. Bahkan, menurutnya, pemilu yang merupakan ciri khas demokrasi, juga mengenal istilah abstain, atau tidak memberikan suara. Terlepas dari pro dan kontra tersebut, perlu kita cermati dua diktum utama dalam fatwa MUI tentang asail asasiyah wathaniyah (Masalah Strategis Kebangsaan) ini. Misalnya di butir ke-4 yang menyatakan bahwa : Memilih pemimpin yang beriman dan bertaqwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai
kemampuan
(fathonah),
dan
memperjuangkan kepentingan umat Islam, hukumnya adalah wajib. Butir ini menegaskan komitmen MUI untuk mendukung lahirnya wakil rakyat atau pemimpin yang benar-banar capable dan berkualitas. Bahwa yang namanya wakil rakyat atau pemimpin adalah orang yang memiliki ketundukan yang tinggi kepada Tuhan (iman dan taqwa). Landasan religius ini akan menjaga seorang wakil rakyat atau pemimpin dari melanggar larangan
Tuhan, seperti korupsi yang belakangan kian marak. Juga ia mampu menjadi penyambung lidah umat yang baik, bisa memahami dengan cermat kebutuhan rakyat, dan tidak hanya memikirkan kebutuhan perut sendiri. Kemudian pada butir ke-5 disebutkan, Memilih pemimpin
yang
tidak
memenuhi
syarat-syarat
sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat, hukumnya adalah haram. Butir ini kembali menegaskan agar selektif dan teliti dalam memilih calon. Jangan sampai kita asal coblos saat di bilik suara nantinya. Selagi masih ada waktu, coba kita telisik informasi tentang calon-calon yang maju sebagai calon wakil rakyat. Kriteria yang ditawarkan dalam butir ke-4 fatwa MUI ini bisa dijadikan acuan. Jadi jelas, dalam pemilu, dalam perspektif fatwa MUI ini, kita harus aktif memberikan suara kita dengan mencoblos di bilik suara. Tentunya dengan mencoblos nama dan (atau) parpol yang benar-benar memenuhi kriteria yang baik dan layak. Kemudian pada pertengah Maret 2014 ini, MUI mengeluarkan fatwa keharaman
transaksi politik uang dalam pemilu. Ketua umum MUI, Din Syamsudin, dalam jumpa pers mengatakan, "Harus dihindari dan ditolak politik uang. Fatwa Majelis Ulama Indonesia politik uang adalah haram karena termasuk rasywah. Pemberi dan penerimanya dilaknat Allah SWT. Sebagaimana hadist Nabi, La'natullahi 'ala-rosyi wamurtasyi fil hukmi," (suaramerdeka.com, 19/3). Setiap menjelang hari-H pencoblosan, di samping makin ramainya poster, spanduk, baliho, bergambar calon wakil rakyat, kita juga disuguhkan aktivitas para calon wakil rakyat yang luar biasa. Mereka bergerilya ke berbagai penjuru sudut pemukiman penduduk, demi memperkenalkan diri dan agar nantinya pemilih mau mencoblosnya. Tidak hanya bergerilnya dengan tangan kosong, pasti ada buah tangan yang dibawa sang calon wakil rakyat
ini.
Pertanyaannya,
buah
tangan
tersebut
merupakan sedekah, hibah, hadiah, atau itu merupakan sogokan kepada pemilih? Kalau kita cermati, istilah itu sama-sama merupakan bentuk pemberian kepada orang lain. Dalam
Islam, hadiah, hibah, dan sedekah memang sangat dianjurkan. Sementara sogokan itu termasuk rasywah yang dilarang. Berkenaan dengan itu, Ketua MUI Umar Syihab menerangkan, bahwa politik uang yang dimaksud MUI jangan diartikan hanya uang semata, namun bisa juga berarti transaksi suara rakyat dengan pemberian proyek pembangunan fisik, pembangunan jalan, jembatan dan sebagainya. Lebih detail lagi dikatakan Umar, "Apabila sudah didasarkan niat transaksional untuk menghargai suaranya, dengan proyek pembangunan, maka itu dapat diartikan minta disuap. Dan yang seperti itu juga perbuatan tercela dan dilaknat Allah. Jadi melihat realita yang ada, dan memperhatikan fatwa MUI di atas, jangan sampai kita menjadi golput dalam pemilu nanti. Meskipun saat ini makin marak berita perilaku anggota dewan yang melanggar hokum, kita harus tetap yakin masih ada calon wakil rakyat yang baik dan bermartabat. Dan untuk menjamin terpilihnya wakil rakyat yang baik, seharusnya kita menghindari praktik politik uang menjelang hari-H pencoblosan.
Kita sebagai bagian dari entitas Negara RI, mempunyai tanggung jawab untuk ikut menjaga keberlangsungan
Negara
ini,
diantaranya
dengan
partisipasi aktif dalam pemilu. Semoga pemilu 2014 ini, menghasilkan wakil-wakil
rakyat
yang
baik dan
memberikan perbaikan untuk negara ini. Amin.
Sumber : bimasislam.kemanag.go.id/informasi/opini