“Dalam politik, umat Islam seperti menumpang perahu yang berlayar di laut lepas, tanpa bintang, tanpa kompas, tidak tahu tujuan dan tidak tahu cara berlayar. Kadang-kadang umat dibuat bingung sebab panutannya berbuat seenanknya. Karenanya, kaidah politik umat Islam harus ditentukan dengan jelas, sehingga umat terbebasdari temperamen pribadiseorang pemimpin. Bahkan, seorang pemimpin harus mengikuti kaidah,dan bukan sebaliknya, menentukan kaidah”1 Dari kutipan tersebut kita dapat memahami betapa perlunya sebuah kaidah bagi setiap orang untuk melakukan sesuatu. Dan hal tersebut juga berlaku bagi umat Islam yang berpolitik, sebagai pedoman agar tujuan mulia politik tetap menjadi mulia dengan proses yang mulia pula. Politik akan semakin mulia terlebih ketika dilakukan oleh umat Islam yang notabennya biasa menganggap diri mereka adalah umat yang mulia, maka terdapat kemuliaan ganda di dalamnya. Di Indonesia, terdapat sebuah pedoman bagi semua umat manusia, termasuk umat Islam. Sebuah pedoman yang dirundingkan oleh banyak orang dan mendapat persetujuan darinya. Sebuah pedoman yang diyakini dapat mewujudkan proses politik yang mulia, yang berperikemanusiaan, yang mempertimbangkan hak minoritas. Pedoman tersebut adalah Pancasila. Seperti namanya, pedoman yang berisi lima pokok penting yang sekali lagi “diyakini” dapat membawa keadilan yang mensejahterahkan rakyat Indonesia, keyakinan tersebut semakin kuat mengingat yang merumuskannya adalah mayoritas umat Islam, yang berkeyakinan dapat mewujudkan dunia yang damai, dan poin-poin dalam Pancasila tersebut tidak satupun bertentangan dengan nilai-nilai ke-Islaman, dan justru sebalikanya, sangat sejalan dengan pemikiran dan nilai-nilai politik Islam seperti yang ditulis oleh sejarah, terutama sejarah awal sejak Nabi wafat dan pada masa kontemporer dengan beberapa tokoh intelektualnya, termasuk yang ada di Indonesia. Dengan Pancasila sebagai pedoman, atau bisa kita sebut sebagai ideologi dan umat Islam sebagai mayoritas, kenapa hingga saat ini Indonesia masih belum mampun benar-benar mewujudkan tatanan kehidupan, termasuk politik seperti yang diyakini dahulu, 69 tahun 10 bulan yang lalu ketika Pancasila dicetuskan oleh Soekarno pada I Juni 1945 dalam sidang BPUPKI? Pertanyaan yang sangat fundamental dalam melihat realita yang ada dewasa ini. Jawabannya tentu sangat beragam, tergantung perspektifapa yang digunakan. Namun, apa yang ditulis oleh Kuntowijoyo seperti yang penulis kutip pada paragraf awal, yaitu tentang 1
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung, 1997, h. 219.
1
umat Islam yang seperti masih belum menentukan sendiri kaidah yang akan dipakai dalam berpolitik. “Lah, kenapa? Kan ada Pancasila!” Mungkin itu yang terlintas dalam benak kita. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tersebut, Kuntowijoyo, dalam “Identitas PolitikUmat Islam” menjelas bahwa masyarakat Indonesia masih menganggap Pancasila sebagai mitos, termasuk umat Islam sendiri. Meskipun pada hakikatnya umat Islam tidak diperkenankan meyakini hal-hal yang berbau mitos, namun itulah jawaban yang paling tepat menurut Kuntowijoyo.
a. Pancasila Sebagai Mitos Selama ini Pancasila memang efektif sebagai ideologi yang mempersatukan Indonesia secara politis, tetapi belum efektif sebagai ideologi ekonomi, sosial, dan budaya. Karena mayoritas masyarakat Indonesia masih memahami Pancasila sebagai sebuah mitos. Bukti bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang mengeramatkan Pancasila adalah dengan adanya Hari Pancasila Sakti. Mungkin secara politis peringatan hari tersebut memiliki maksud lain, namun secara langsung ataupun tidak langsung hal tersebut merupakan bukti bahwa Pancasila masih dianggap sesuatu yang mitos, keramat. Kata sakti mengandung unsur mistik, seolah Pancasila itu makhluk sakti mandraguna yang mempunyai kehidupannya sendiri, lepas dari bangsa Indonesia yang melahirkan dan mendukungnya.2 Konsep hanyalah konsep, yang menjadikan konsep itu baik atau buruk adalah siapa yang menggunakannya dan untuk tujuan apa penggunaannya. Pun begitu dengan Pancasila, dilihat tiap-tiap butirnya tidak ada satupun kecacatan di dalamnya, tidak satu agamapun mempertentangkan nilainya, tidak satu kejahatanpun terkandung di dalamnya. Tapi kenapa? Sekali lagi kenapa Pancasila tidak efektif untuk memajukan kehidupan bangsa yang telah melahirkannya? Manusia Indonesialah yang sebenarnya menjadi inti permasalahan, entah nilai-nilai budayanya, entah nilai-nilai sosialnya, entah nilai-nilai kepercayaannya, yang pasti ada ketidakberesan masal dalamkehidupan bangsa Indonesia, yaitu anggapan bahwa Pancasila adalah sesuatu yang sakti, yang keramat dan yang ajaib. Selama kita, masyarakat Indonesia masih menganggap Pancasila sebagai mitos, maka selama itu pula Pancasila hanya akan efektif secara politis saja, tetapi tidak dalam hal lainnya. menurut George Sore, seperti dikutip oleh Kuntowijoyo dalam karyanya Identias Politik 2
Ibid, h. 79-80.
2
Umat Islam, Mitos dan Ideologi memiliki perbedaan yaitu, mitos bersifat irasional dan gunanya adalah untuk konsensus, sedangkan ideologi bersifat rasional dan gunanya adalah untuk kepentingan. Meskipun secara kegunaan mitos dan ideologi tidak jauh berbeda, dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai kepentingan, tetapi dilihat dari sifatnya, mitos dan ideologi jelas berbeda.3
b. Pancasila sebagai Ideologi Setelah cukup lama Indonesia merdeka, tentu permasalahan yang dihadapi akan semakin bertambah. Bukan hanya soal bagaimana mempersatukan bangsa lagi, bukan hanya soal baga imana perpecahan dapat dihindari. Tetapi bangsa ini sudah harus berpikir bagaimana caranya bisa sejajar dengan bangsa yang lebih dulu maju. Oleh karena itu, paradigma bahwa Pancasila adalah mitos haris diubah menjadi sesuatu yang lebih rasional, yaitu Pancasila sebagai ideologi. Ini berarti bagaimana pandangan kita selama ini yang menganggap bahwa Pancasila adalah sakral, sakti, dan mistis harus diubah menjadi lebih rasional. Dengan itu kita akan beranggapan bahwa Pancasila adalah bagian dari kita, sehingga tidak ada keraguan untuk menerapkannya dalam bertindak, dalam menentukan keputusan. Sebagai ideologi,Pancasila dituntut untuk tetap pada jati dirinya sebagai Pancasila, baik ke dalam (segi insitrik) ataupun keluar (segi Eksintrik). Ke dalam berarti Pancasila harus konsisten, koheren dan koresponden. Sedangkan ke luar, Pancasila berarti harus penyalur dan penyaring kepentingan secara horizontalmaupun vertikal.4 Konsisten adalah berdiri sendiri, sesuai, harmoni. Ini berarti bahwa Pancaila merupakan kesatuan yang padu, misalnya sila ke-1 Ketuhanan Yang Maha Esa mempunyaihubungan logis dengan pasal 29 UUD 1945 tentang agama. Artinya bahwa Pancasila sebagai ideologi harus konsisten dan menyatu dengan pilar-pilar penyokong bangsa lainnya. koheren adalah lekat satu dengan lainnya, ini artinya bahwa Pancasila sebagai ideologi
harus berkaitan satu siladengan silalainnya dan tidak boleh bertentangan.
Koresponden adalah bersama, artinya bahwa Pancasila sebagai ideologi harus sesuai antara praktek dan teori, harus cocok antara kenyataan dan ideologi. Di Indonesia sendiri kenyataannya mewujudkan Pancasila yang koresponden tidak selalu berjalan mulus, dalam
3 4
Ibid, h. 80-81. Ibid, h. B2.
3
sejarah diceritakan bagaimana bangsa inimentoleransi partai komunis (PKI) yang tidak percaya akan adanya pengaruh ketuhanan (ateis),meskipun banyak tokoh PKI adalah orang yang berpendidikan agama tinggi, hal ini sangat bertentangan dan tidak koresponden dengan Pancasila silapertama. Sebagai ideologi, Pancasila juga diharapkan dapat menjadi penyalur sekaligus penyaring berbagai kepentingan baik secara horizontal ataupun secara vertikal. Ini berarti Pancasila harus dapat menyesuaikan diri dengan siapa dia berhadapan. Setiap orang tentu memiliki kepentingan sendiri, dan mungkin kepentingan tersebut dapat dikelompokkan atas dasar kelas, maka adanya stratifikasi kelas sebenarnya mempermudah Pancasila untuk menyesuaikan diri. Menghadapi kepentingan para pedagang, Pancasila harus seperti pedagang, begitu juga dengan kelompok-kelompoklainnya. Hal ini diharapkan agar Pancasila dapat menjadi penyalur dan penyaringyang cocok untuk semua kepentingan, tidak hanya kelas atas, tetapi juga kelas bawah.
c. Pancasila dan Islam Pancasila sebagai sebuah ideologi, jika disandingkan dengan agama maka akan timbul beberapa pertanyaan fundamental yang bersifat meragukan kecocokannya. Misalnya bagaimana menghubungkan sesuatu yang samasekali berbeda, yakni Pancasila dan agama? Apayang dapat dilakukan atau apa fungsi agama terhadap Pancasila dan atau sebaliknya? Ideologi adalah sesuatu yang bersifat sekuler sedangkan agama, tidak jauh berbeda dengan mitos, terdapat nilai-nilai yang terkadang berada diluar nalar manusia normal. Misalnya tentang surga dan neraga, pahala dan dosa, halal dan haram, atau yang lainnya. Prinsip dasar inilah yang menurut penulis, membuat banyak orang menjadi ragu akan kecocokannya. Namun, Pancasila dinyatakan tidak sekuler, tapi juga bukan agama. Sebagai ideologi, Pancasila adalah objektivikasi dari agama-agama. Ini berarti bahwa unsur-unsur objektif agama-agama ada dalam Pancasila.5 Hal ini terbukti dengan banyaknya tokoh agama terlibat dalam perumusannya. Selain itu, seperti telah disebutkan pada halaman sebelumnya, bahwa tidak ada satupun nilai-nilai keagamaan yang bertentangan dengan Pancasila. Meskipun pada
5
Ibid, h.85.
4
dasarnya Indonesia adalah negara sekuler karena bukan negara agama. Tapi, karena landasan negara yaitu Pancasila bersahabat dengan agama, karena merepresentasikan nilai-nilai agama.6 Islam dan Pancasila memiliki posisinya masing-masing. Islam sebagai agama, dan Pancasila sebagai Ideologi. Meskipun banyak kalangan yang menjadikan Islam sebagai Ideologi. Tapi kenyataaanya yang lebih diterima adalah Pancasila. Akibat perbedaan yang mendasar tersebut, terkadang Pancasila dan agama menjadi isu yang sangat sensitif, sehingga tidak banyak orang yang mau membahas persoalan ini. Sejarah Indonesia, pada masa orde baru dimana banyak pengamat mengatakan adanya proses deislamisasi karena tidak adanya partai yang berideologi Islam, semua partai harus berideologi Pancasila. Pancasila menjadi satu-satunya asas tunggal yang diakui, seakan mengecilkan peran agama, seakan Pancasila lebih baik dari pada agama. Namun tidak banyak orang yang mengkritiknya. Menurut penulis ada dua kemungkinan kenapa masyarakat hanya diam, pertama karena takut bersuara yang disebabkan oleh tekanan pemerintah. Kedua, karena takut menimbulkan gejolak besar karena Pancasila dan agama keduanya adalah sensitif sekali untukdibahas diruang publik. Islam dan Pancasila, secara maknawi memang tidak satupun yang dapat dipertentangkan, seperti yang dikatakan Azumardi Azra, bahkan Pancasila sangat merepresentasikan nilai-nilai agama, termasuk Islam. namun menurut Kuntowijoyo, perseteruan antara agama dan Pancasila ini tidak berapa pada tataran maknawi, tetapi berada pada tataran praktik. Di pihak Islam, ada ketakutan yang sungguh-sungguh bahwa Pancasila akan menjadi agama. Adanya aliran kepercayaan yang menyebut diri dengan agama Pancasila cukup menjadi bukti bahwa secara potensial Pancasila dapat menjadi agama.7 Untuk mengatasi kekhawatiran dan ketakutan tersebut, kita perlu membedakan Pancasila sebagai ideologi murni dan sebagai ideologi praktis. Ideologi murni adalah hasil proses sejarah yang panjang dan dirumuskan dalam kata-kata. Sebagai ideologi murni, itu berarti Pancasilaadalah final, tidak perluadanya perubahan. Sedangkan ideologi praktis adalah sesuatu yang dapat kita temukan dalam praktik politik sehari-hari dan dapat dengan mudah berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan kepentingan yang melatarbelakanginya. Misalnya adalah perubahan asas suatu partai tertentu yang jelas-jelas bertujuan untuk memperluas sasaran konstituen untuk menguatkan legitimasinya sebagai partai yang dapat
6 7
Azumardi Azra, Pancasila Bersahabat dengan Agama, Republika.co.id, 2 jiuni 2015. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung, 1997, h. 87.
5
menerima semua kalangan meskipun pada kenyataannya adalah untuk menguatkan kemungkinan menang dalam pertarungan politik, sangat praktis. Dalam sejarah politik, Pancasila adalah Pancasila, tiap poinnya mengandung nilainilai ideologi murni sejalan dengan nilai-nilai keIslaman. Meskipun dalam praktek politiknya sangat kondisional. Islam pun begitu, sebagai agama Islama dalah murni. menurut Kuntowijoyo, keinginan umat Islam tentang ideologi nasional hanyalah sederhana, yaitu satunya idologi dengan kenyataan, murni dan praktis, satunya kata dengan perbuatan. Seperti orde baru yang menginginkan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, umat Islam juga menginginkan pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen.8 Sebagai ideologi, Pancasila juga sangat demokratis, kita dapat melihat dari tiap poinnya. Hal ini juga menjadikan dilema, mengingat Islam, oleh Samuel Huntington diklaim sebagai agama yang tidak cocok dengan demokrasi, salah satu argumennya adalah mengatakan bahwa Islam adalah agama yang intoleran. Hal ini perlu diperjelas lagi batasan definisi karena akan sangat berpengaruh pada pemahaman kita yang tidak tahu akan kenyataannya. Dalam bukunya Mulim Demokrat, Saiful Mujani menentang argumen Samuel Huntington tersebut dengan tesis yang berlawanan, bahkan dengan data yang akurat. Saiful Mujani menjelaskan bahwa Huntington yang mengklaim Islamsebagai agama yang intoleran hanya benar jika Islam diartikan sebagai Islamisme dan toleransi diartikan sebagai toleransi terhadap agama kristen atau agama lain.9 Tetapi jika Islam adalah sesuatu yang luas, maka kita dapat menemui bahwa salah satu kelompok manusia yang paling toleran adalah umat Islam. kita bisa melihat bagaimana praktek ibadah nyeleneh dikalangan Islam sendiri hanya sekedar mendapat kritikan, bukan larangan, kita bisa melihat bagaimana dalam Islam sendiri terdapat identitas keorganisasian yang beragam tetapi tidak pernah mengahncurkan identitas besar sebagai Indonesia dengan Pancasila sebagai ideologinya, kita bisa melihat bagaimana Islam dengan umat mayoritasnya di Indonesia tetapi tidak memaksakan dasar negara berdasarkan Islam. ini artinya untuk mendukung klaim Huntington, Islam harus dimaknai sesempit mungkin. Bukankah menilai sesuatu dengan hanya melihat satu sisi saja adalah tindakan intoleran, berarti Hntington secara intoleran mengklaim Islam sebagai agama yang intoleran dan tidak cocokdengan demokrasi, sungguh dilematis.
8 9
Ibid. H. 89. Saiful Mujani, Muslim Demokrat, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, 2007, h. 186.
6
Melanjutukan argumennya, SaifulMujani mengakatan keterlibatan umat Islam dalam kelompok kewargaan Islam merupakan variabel yang memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap toleransi politik. kelompok kewargaan Islam ini, dimana umat Islam terlibat aktif dalam politik, cenderung berfungsi sesuai dengan yang diprediksi dalam teori tentang civil society, yakni bahwa kelompok sejenis itu dapat menumbuhkan toleransi. Selain soal toleransi, Islam juga mengindikasikan memiliki kolerasi yang positif dan signifikan dengan dua unsur budaya demokrasi, yaitu keterlibatan politik dan kepercayaan pada insititusi politik.10
d. Pemasyarakatan Pancasila Pada pembahasan sebelumnya kita telah mafhum betul bahwa kita perlu mengubah paradigma mayoritas yang menganggap Pancasila sebagai sesuatu yang sakti, sakral ajaib mandera guna sehingga menjauhkannya dari nalar rasional kita dan berdampak jauhnya dari praktik politik kita sehari-hari. Paradigma tersebut harus dirubah menjadikan Pancasila sebagai suatu ideologi yang lekat dalam kehidupan politik kita sehari-hari. Dalam pemasyarakatkan Pancasila, Kuntowijoyo menawarkan perubahan pendekatan, dimana yang sebelumnya kita menggunakan pendekatan teologi dirubah menjadi pendekatan ilmu. Pancasila yang dikaitkan dengan Islam dan agama, jelas sangat teologis, terlebih bahwa perumus Pancasila sendiri adalah tokoh-tokoh agama. Butir-butir Pancasila yang merupakan tafsiran dari sila-sila juga diperluas mengarah ke wilayah keagamaan,sehingga dapat membingungkan masyarakat mana agama dan mana Pancasila. Pendekatan seperti itu, agar lebih dapat diterima oleh semua kalangan dan lebih rasional harus diubah dengan pendekatan ilmiah. Setidaknya ada dua keuntungan menurut Kuntowijoyo ketika pendekatan teologi digantikan dengan pendekatan ilmiah.11 Pertama, Teologi itu menghujam jauh ke dalam kesadaran, sehingga perubahan teologi itu akan sulit. Keuntungan pertama menurut Kuntowijoyo ini penulis masih sedikit kurang paham. Karena menurut penulis, semakin dalam kita memaknai sesuatu dan kita tanamkan lekat-lekat dengan kesadaran kita, maka kita akan bertindak akan didasari apa yang kita sadari. Misalnya kita memaknai dan memahami Islam sebagai agama dan
10 11
Ibid, h. 217. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung, 1997, h. 90.
7
menanamkannya dalam kesadaran kita secara utuh (Kaffah)i, maka kita akan bertindak layaknya orang beragama, meskipun dalam hal sepele sekalipun, kenapa? Karena agama telah ada dalam kesadaran kita. Begitu pula dengan Pancasila, jika kita menanamkannya jauh dalam kesadaran kita, menurut penulis kita akan melakukan praktik politik sesuai dengan Pancasila. Oleh karena itu, keuntungan pertama menurut Kontowijoyo ini, penulis sangat tidak setuju. Bahkan jika dirubah dengan pendekatan ilmiah, dengan berbagai pertimbangan rasional, justru akan menjauhkan Pancasila dari praktik dan kenyataan, karena, pendekatan ilmiah terlalu banyakmenggunakan pertimbangan rasional, jika tidak rasionalmaka tidak ilmiah, dan rasional erat kaitannya dengan untung dan rugi. Maka tidak aneh jika melihat praktik politik yang ada di indonesia sarat dengan kepentingan tanpa menghiraukan ideologi, karena pendekatan yang dipakai adalah pendekatan ilmiah yang rasional. Kedua, dinyatakan bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka, artinya sanggup menyerap unsur-unsur luar. Keuntungan kedua ini sangat jelas dan penulis sepakat akan itu. Pancasila dapat bertemu dan serasi dengan Islam adalah karena Pancasila sejak awal adalah ideologi yang terbuka. Selain itu, keterbukaan Pancasila lah yang membuatnya dapat terus bertahan dan tanpa mengurangi perannya sebagai ideologi negara. Namun, menurut penulis, pendekatan ilmiah yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang terbuka dapat menjadi pisau bermata dua, selain memiliki dampak besar yang positif, Pancasila juga dapat menjadi ideologi yang hanya sekedar ideologi, tetapi tidak diperlakukan layaknya ideologi. Pancasila dapat dimanfaatkan sebagai penyokong kepentingan, sebagaimana orde baru menggunakan Pancasila sebagai senjata penguat kekuasaan pemerintah.
8