Membangun Moralitas Politik Umat Oleh: Saidurrahman ∗ Abstrak Islam sebagai agama sering dipahami umatnya sebagai agama yang terdiri dari hukum dan aturan yang lengkap terrmasuk aturan tentang politik. Mereka meyakini bahwa pengakuan kemudian melaksanakan aturan-aturan tersebut dengan sepenuhnya akan menjamin kebahagiaan dan keselamatan mereka. Bagaimanapun juga, kadang orang menghadapi masalah bagaimana cara menerapkan aturan-aturan Islam yang sesuai yang barangkali membawa tujuan di dalam masyarakat, terutama aturan-aturan yang berkaitan dengan politik yang mengakibatkan lebih banyak kekuatiran daripada perdamaian. Tulisan ini mencoba mengeksplor masalah politik Islam yang diasosiasikan dengan diskursus moral dan etika kontemporer. Kata kunci: moral, politik islam, etika politik A. Pendahuluan Sebagai sebuah agama yang mengklaim dirinya mendunia dan mencakup, Islam diyakini pemeluknya mempunyai sejumlah hukum dan aturan, yang bila dilaksanakan secara baik niscaya mampu menjamin keselamatan dan kesejahteraan umat. Hukum dan aturan tersebut mencakup seluruh bidang kehidupan, tidak terkecuali dalam bidang hukum dan politik. Term politik merujuk kepada KBBI (Kamus besar bahasa Indonesia) berarti: (1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan seperti pemerintahan dan dasar pemerintahan; (2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain; dan (3) cara bertindak di dalam menghadapi atau menangani suatu masalah. Meskipun ketiga makna di atas terlihat netral, namun jelas tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan, bahkan banyak pakar menganggap bahwa politik identik dengan kekuasaan. Anggapan ini didasarkan pada pengaruh kekuasaan yang sangat luas terhadap keutuhan dan kelangsungan suatu negara1. Dalam realita penyelenggaraan negara dalam berbagai birokrasi tidak jarang kekuasaan dialihfungsikan dari alat untuk mewujudkan kepentingan ∗
Dosen tetap IAIN-SU (Lektor Kepala/IVa), alaumni S3 UIN Jakarta. Robert A. Dahl, Modern Political Analysis, (New Delhi: Prentice-Hall of India Private, 1987), p. 47. 1
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
688
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
bersama yang disepakati menjadi sesuatu yang diarahkan untuk mencapai keinginan-keinginan pribadi dan sekelompok penguasa. Karenanya, maka kekuasaan memiliki dua sisi yang bertentangan. Di satu sisi kekuasaan sebagai amanah dan ibadah, dan pada sisi lain kekuasaan merupakan sarana syetan untuk menggoda dan perluapan hawa nafsu. Sisi kedua ini merupakan kekurangan yang menyebabkan pelaksanaan kekuasaan itu sering terjadi dalam bentuk yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Tulisan ini mencari jawab tentang bagaimana ajaran Islam menjawab hubungan antara moralitas dengan politik, dalam kaitannya dengan kondisi kekinian. Karenanya, maka tulisan ini dicurai kepada: Antara Moral dan Politik, Moralitas Politik dalam Islam: Hakikat Kekuasaan dan Pertanggungjawaban Penguasa; serta Etika Politik: Upaya Pembumian. B. Antara Moral dan Politik Politik adalah upaya memperoleh, menjalankan, dan mempertahankan kekuasaan (dan biasanya ‘dalam realita’ tanpa mempedulikan moral), sementara Moral berarti bersikap sesuai prinsipprinsip nilai moral ‘yang biasanya sulit memperoleh kekuasaan’. Politik dinilai wajar meninggalkan moral sebab politikus bertugas mencari dan memanfaatkan celah untuk mendapat, mengoperasionalkan, maupun mempertahankan kekuasaan dengan dinamika yang tinggi dengan semboyan: tiada kawan yang abadi, tiada lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Moralis bertugas tetap waspada untuk berada dijalur moral yang biasanya cenderung pasif. Apakah moral diperlukan dalam berpolitik? Bagi Ibn Khaldun mutlak diperlukan, sebab dengan moral itulah hakikat kemanusiaan tidak terlalu jauh tereduksi. Karenanya, Ibn Khaldun berpendirian bawa politik harus tetap mempunyai kaitan yang menentukan dengan ketinggian budi pekerti manusia. Moralitas dan kekuasaan menurutnya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan2, bukan saja menjadi tujuan dilaksanakannya kekuasaan, tetapi juga proses pencapaian kekuasaan, sampai kepada penerapan kekuasaan haruslah mencerminkan keadilan, karena keadilan merupakan pusat gerak dari nilai-nilai moral yang pokok.3 Menyatukan etika dan politik adalah laksana menyatukan minyak dan air. Politik sering dipersepsikan bahkan terbukti menggunakan cara2 A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibn Khaldun, (Jakarta: Gremedia, 1992), pp. 139-140. 3 Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, terj. HM. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), p. 135.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
689
cara menghalalkan semua cara untuk mencapai tujuan kekuasaan. Lingkungan politik penuh dengan konflik, intrik dan perilaku yang sudah keluar dari batasan etika dan moral. Menurut Kant, politik menyatakan: cerdiklah seperti ular, sementara moral menyatakan tuluslah seperti merpati, Kant yakin ular dan merpati dapat hidup berdampingan yang pada akhirnya merpatilah yang akan menang. Walaupu filosof lainnya lebih pesimis dengan mengatakan ular dan merpati akan berbaring bersama, tetapi merpati akan sulit tidur4. C. Moralitas Politik dalam Perspektif Islam Islam sangat mementingkan moral. Dalam konsep Islam, istilah moral tampaknya tercakup dalam term akhlak5 (Arab: al-akhlak), yang seakar kata dengan Khaliq (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan; manusia). Dengan demikian, secara sederhana akhlak berarti perilaku manusia dalam rangka mengikuti kemauan sang penciptaNya, Allah s.w.t. Sejalan dengan keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad s.a.w. adalah rasul-Nya6, ditambah dengan keyakinan segala yang ada pada makhluk adalah milik sang Khalik dan (pada saatnya) sang makhluk pasti kembali kepada-Nya untuk mempertanggungjawabkan sekaligus menerima balasan amalnya7, terlihat betapa pentingnya moral dalam Islam. Begitu pentingnya sehingga Allah menegaskan bahwa pada diri Rasulullah terdapat akhlak yang tinggi8, dan penegasan Rasul bahwa beliau diutus adalah dalam rangka memperbaiki dan manyempurnakan kemualiaan akhlak9. 4
Dennis F. Thompson, Etika Politik Pejabat Negara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000) 5 Term akhlak lebih luas dari sekedar etika. Jika etika dibatasi pada sopan santun antar sesama manusia dan hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriyah, sementara akhlak mencakup akhlak terhadap Allah, juga terhadap sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan bernda-benda tak bernyawa lainnya), juga mencakup misalnya yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran. Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1996), p. 253; Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Quran, alih bahasa Agus Fahri Husein, et. al., (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), pp. ix-x. 6 Term Syahadat 7 Term Inna lillah wa inna ilaihi rajiun 8 QS. al-Qalam ayat 4. Secara tersirat hal ini juga menegaskan bahwa seorang pemimpin betapapun rendahnya pengaruh kepemimpinannya haruslah memperhatikan criteria akhlak sang pemimpin. 9 Hadis Riwayat Malik yang bermakna: ‘aku hanya diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak’. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
690
Akhlak yang dikembangkan disamping untuk kemashlahatan diri peribadi, tentu juga untuk kemashlahatan sesama manusia, tumbuhan, binatang dan alam semesta. Hal ini tampak dengan melihat akibat positif dari melakukan rukum Islam. Dengan shalat maka mushallin (orang yang mendirikan shalat) akan mempu tercegah dari perilaku yang jelek dan keingkaran. Dengan zakat maka muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) akan bersih jiwa dan hartanya. Dengan puasa, maka shoimin (orang yang berpuasa) akan mampu mengendalikan hawa nafsunya, dan dengan haji, maka hujjaj (orang yang melaksanakan haji) akan mampu mengurangi kecintaannya kepada dunia yang fana. Kemampuan bersih dari perilaku fakhsa dan munkar, otomatis berakhlak al karimah. Menurut Thabathabai10, akhlak yang terpuji tersebut berarti berlaku adil, yaitu mampu memanfaatkan ketiga potensi yang ada dalam diri manusia (potensi akal, potensi ghadab, dan potensi syahwat) sebagaimana semestinya.11 Berdasarkan hal tersebut, maka seorang Muslim yang berniat, mensponsori apalagi melakukan hal-hal yang nagatif, merupakan penyimpangan yang seharusnya tidak terjadi, terlebih bagi pemegang kekuasaan yang bahkan memayungi nasib banyak orang. Karenanya, dalam pandangan Islam, kekuasaan politik terkait dengan hakikat kekuasaan, pertanggungjawaban penguasa, dan pembentukan moralitas. Dalam prinsip Islam, kekuasaan Allah sangat luas dan tidak terbatas, bahkan merupakan hakikat segala kekuasaan yang ada. Allah adalah penguasa yang tunggal. Tetapi mengingat posisi manusia, sebahagian kekuasaan tersebut didelegasikan kepada manusia dengan 10
Muhammad Husain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, vol. 1., p. 372. Potensi akal (kecerdasan, kemampuan memilah baik/buruk, jelek indah) mampu ditempatkan secara jernih, cermat dan tanggap akan situasi sehingga berada pada posisi hikmah. Tidak terlalu bebas hingga tak terkendali yang akhirnya menimbulkan keangkuhan dan mengabaikan wahyu (Jarbazah), Juga tidak terlalu terkungkung sehingga berada pada posisi bodoh (Baladah). Potensi ghadabiyah (kemampuan untuk menolak bahaya) harus ditempatkan pada posisi syaja’ah (berani dengan penuh tanggungjawab), tidak terlalu obral sehingga emosi yang tidak terkendali tahawwur, juga tidak terlalu dipendam sehingga mengakibatkan seseorang menjadi jubun (pengecut). Potensi syahwaniyah (kemampuan untuk memperoleh keinginan), harus ditempatkan pada posisi al-‘iffah, yang dengannya muncul sifat qana'ah, hemat, pemurah, lemah lembut dan seterusnya. Tidak terlalu obral sehingga tidak terkendali yang memunculkan sifat thama’ (serakah). Juga tidak terlalu terpasung sehingga membuat seseorang menjadi khumud, lesu dan tak punya gairah dalam menghadapi kehidupan. Sifat adil adalah gabungan dari penempatan akal pada posisinya (hikmah), penempatan ghadab pada posisinya (syaja'ah), dan penempatan syahwah pada posisinya (‘iffah). 11
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
691
menjadikannya sebagai khalifah di muka bumi. Allah berfirman dalam alQur'an surat Ali 'Imran ayat 26 sebagai berikut: tΒ –“Ïèè?uρ â!$t±n@ £ϑÏΒ šù=ßϑø9$# äíÍ”∴s?uρ â!$t±n@ tΒ šù=ßϑø9$# ’ÎA÷σè? Å7ù=ßϑø9$# y7Î=≈tΒ ¢Οßγ‾=9$# È≅è% ∩⊄∉∪ փωs% &óx« Èe≅ä. 4’n?tã y7¨ΡÎ) ( çöy‚ø9$# x8ωuŠÎ/ ( â!$t±n@ tΒ ‘ΑÉ‹è?uρ â!$t±n@ Artinya: Katakanlah: Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ayat ini, di samping sejumlah ayat lainnya seperti: QS 3/Ali Imran 189; QS 2/al-Baqarah ayat 30; QS 30/ ayat 26; QS 6 ayat165; QS 10/ ayat 14 dan 73, serta QS 35/ ayat 39), menunjukkan bahwa kekuasaan, pada hakikatnya hanya milik Allah s.w.t. Kekuasaan sang khalifah merupakan amanah untuk mengatur dan mengelola dengan sebaik-baiknya berdasar ketentuan yang digariskan-Nya. Karenanya, kekuasaan tersebut bersifat nisbi dan kontemporer, dan kelak harus dipertanggungjawabkan kepada Allah yang memberi kekuasaan. Juga dipertanggungjawabkan kepada mereka yang berada di bawah kekuasaannya12. Dengan demikian, penyampaian amanah dalam konteks kekuasaan mengandung inplikasi bahwa ada larangan bagi pemegang amanah untuk melakukan abuse (penyalahgunaan) kekuasaan, sebab hal itu akan menghilangkan makna hakiki kekuasaan sebagai kerunia dan nikmat Allah menjadi bencana dan laknat Allah13. Mengingat posisi kekuasaan yang strategis, maka moralitas harus dijaga dari sejak proses sampainya seseorang kepada kekuasaan (kandidat), legitimasi dan keterwakilan dari kehendak rakyat atas kekuasaan yang digenggang, dan pertanggungjawaban atas kekuasaan yang ada dan atau perpanjangan kekuasaan, kepada rakyat dan yang tak kalah penting adalah pertanggungjawaban hakiki dan dan abadi kepada Allah sang pemberi amanat. Begitu sentralnya peranan penguasa, maka calon penguasa menurut Ibn Taimiyah mestilah dipilih secara cermat sebagai yang terbaik dari yang 12
Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta: Rajawali, 1983), pp. 46-47. Zainuddin A. Rahman, "Pokok-pokok Pemikiran dan Masalah Kekuasaan Politik" dalam Miriam Budiardjo, et. al., Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), p. 193. 13
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
692
ada dan mempunya “kekuatan dan amanah” (QS 28: 26). Bila sulit, maka dipilh orang yang lebih baik (afdhal). Bila terdapat pilihan antara ‘amanah’ di satu orang, dengan ‘kekuatan’ di sisi lain, maka tampaknya lebih didahulukan ‘kekuatan’. Ibn Hanbal mengatakan bahwa orang fasik tetapi kuat, maka kekuatannya berguna untuk kaum Muslimin, sedangkan kefasikannya menjadi tanggungan dirinya sendiri, sementara orang yang saleh tetapi lemah, maka kesalehannya berguna bagi dirinya sendiri, dan kelemahannya menimbulkan hal yang tidak baik bagi kaum Muslimin14. Dalam pemerintahan Islam, seperti yang dilakoni Nabi s.a.w. tampaknya terdapat 2 (dua) kata kunci dalam memandang kekuasaan, yaitu amanah dan landasan moral atau keadilan. Kekuasaan, amanah dan keadilan yang diterapkan Nabi di Madinah dinilai oleh Robert N. Bella— sarjana modern Barat dalam bidang sosiologi agama—merupakan landasan sebuah model yang terbaik bagi bangunan komunitas nasional modern yang bisa dibayangkan, dan sebagai tipe sesungguhnya nasionalisme partisipatif egaliter15. Dalam perkembangannya tidak terlalu lama bertahan sebab telalu modern untuk zamannya. Secara historis pula, setelah pemerintahan masa Nabi dan khulafa’ al-Rasyidin, para khalifah— khususnya kekhalifahan Umayyah dan Abbasyiah—dapat menguasai dunia dan memberi pencerahan dengan dasar-dasar moral yang melatarbelakanginya. D. Etika Politik dalam Wacana Kontemporer: Upaya Pembumian Persoalan etika politik adalah persoalan yang mendunia yang mencakup tidak hanya negara terbelakang dan berkembang, bahkan juga negara yang dinilai maju. Seperti yang dinyatakan Donald C. Menzel16 bahwa dalam politik Amerika ibarat sebuah mobil tua tahun 1700-an yang setiap pemilu diperbarui catnya, kelihatan bagus di luar namun di dalam kondisi mesinnya tidak terawat dengan baik, performance-nya rendah. Dengan demikian, diperlukan rekonstruksi total dari mesin agar pemerintahan dapat berjalan baik sebagus warnanya, dan rekonstruksi total dari mesin agar pemerintahan dapat berjalan baik sebagus warnanya, dan rekonstruksi tersebut dimulai dari membangun etika dalam politik.
14
Ibn Taimiyah, al-Siyasah al-Syar’iyah fi Ishlah al-Ra’I wa al-Ra’iyah, (Beirut: Dar alFikr wa al-Hadia, t.t.), pp. 20-29. 15 Robert N. Bellah, "Islamic Tradition and the Problem of Modernization", dalam Beyond Belief, (New York: Harper and Row, 1970), p. 151. 16 Donald C. Menzel, Political Ethics: Real or Myth?, Northern Illinois University, September 2000 issue of PA TIMES, monthly newpublication of the American Society for Public Administration. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
693
Dalam tulisan tersebut Menzel memberikan definisi etika politik yang dikutipnya dari web site from Learn-well yang mendeskripsikan political ethics as ethics that deal with acting ethically in politics memuat pemahaman bahwa dalam politik ada area good (debat isu politik dengan orang yang berbeda pendapat; dapat memutuskan bersama penggunaan sumberdaya yang terbatas; dapat membuat perubahan positip untuk membantu yang lain dalam masyarakat), dan ada area bad (korupsi; penipuan/kebohongan; kekerasan antargolongan/bangsa). Dengan kata lain, etika politik berhubungan dengan area politik yang memiliki evil, tetapi juga menyediakan kesempatan untuk berbuat baik kepada sesama. Etika tentu saja berhubungan sangat erat dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh individu, masyarakat, partai politik dan pemerintah sendiri. Terdapat sejumlah nilai yang melandasi etika dan prilaku yaitu: 1. Political Value (nilai-nilai politis) berpengaruh terhadap kepentingan politik/partai politik atau interest group. 2. Organization Values (nilai-nilai organisasi), yang dianut organisasi. 3. Personal Values (nilai-nilai pribadi), yang dianut orang perorang. 4. Policy Values (nilai-nilai kebijakan), yang didasarkan pada kepentingan dan harapan publik serta moral, dan 5. Ideological Values (nilai-nilai ideologi). Berdasar nilai yang dianut, bagaimanapun dalam realita terlihat berbagai tingkah laku yang di luar etika politik yang lazim, yaitu perilaku yang tidak dikehendaki yang disebut moral hazard, seperti: 1. Shirking, yaitu prilaku mengulur waktu, karena tidak senang dengan diberlakukannya kebijakan bersangkutan, yang mungkin baik secara langsung maupun tidak langsung, merugikan dirinya, atau mungkin juga demi keuntungan pribadi (opportunistic behaviour), 2. Hold-up, yaitu merongrong kebijakan dengan melakukan perampokan atau mengambil secara tidak sah demi keuntungan pribadi maupun kepentingan kelompoknya, 3. Risk-Aversion, yaitu prilaku yang menghindari risiko sehingga yang bersangkutan takut melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan, 4. Free raiders, yaitu prilaku demi mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok dengan ikut serta tapi tidak memberikan kontribusi apapun, 5. Rent seekers, yaitu jenis prilaku yang berupaya memburu keuntungan pribadi atau kelompok dengan tidak peduli apapun akibatnya. Karenanya untuk mencapai dan menjaga etika politik yang baik/tinggi, diharapkan peranan penting dari kandidat, pemimpin politik, dan masyarakat biasa. Masing-masing aktor dapat melintasi batas etik aktor lainnya dan bertanggungjawab untuk menjaga etika yang tinggi. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
694
Sebab, jika individu-individu tidak merupakan warga yang ‘beretika’, bagaimana mungkin kandidat yang dipilih dapat menjaga etika mereka. Salah satu cara untuk mengurangi etika politik yang tidak dikehendaki adalah dengan membangun standar dan kode etik. Amerika, misalnya, telah membuat standar moral untuk mengembangkan semangat profesionalisme (spirit of professionalism) dan meningkatkan kesadaran publik mengenai berbagai ukuran baku moral (moral standards) yang menetapkan 9 asas:17 1. pelayanan kepada rakyat adalah di atas pelayanan terhadap diri sendiri (service to the public beyond service to oneself). 2. rakyat adalah berdaulat dan mereka yang di dalam pemerintahan bertanggungjawab kepada rakyat (the people are sovereign and those in public service are ultimately responsible to them). 3. hukum mengatur semua tindakan dan akan berupaya untuk mengabdi kepada kepentingan-kepentingan yang terbaik dari rakyat (Laws govern alla action of the public service and will seek to serve the best interest of the public). 4. manajemen yang efektif dan efisien (Efficient and effective management) 5. sistem penilaian kecakapan kesempatan yang sama, dan asas-asas tindakan yang afirmatif akan didukung, dijalankan, dan dimajukan (The merit system, equal opportunity, and affirmative action principles will be supported, implemented, and promoted). 6. perlindungan terhadap kepercayaan rakyat adalah yang paling penting. Berbagai pertentangan kepentingan, suapan, hadiah atau pengistimewaan yang membawahkan jabatan publik pada keuntungan pribadi tidak dapat diterima (Safeguarding the public trust is paramount. Cinflics of interest, bribes, gifts, or favors which subordinate public position to private gains are unacceptable). 7. pelayanan kepada rakyat menciptakan tuntutan-tuntutan bagi kepekaan khusus pada ciri-ciri kualitas keadilan, ketabahan, kejujuran, kepantasan, kecakapan, dan welas asih. (Service to the public create demands for special sensitivle to the qualities of justice, courage, honesty, equity, competence, and compassion). 8. hati nurani menjalankan suatu peranan yang penting dalam memilih di antara langkah-langkah tindakan. Ini memperhitungkan berbagai makna ganda moral dalam kehidupan dan perlunya mengkaji berbagai prioritas nilai: tujuan yang baik tidak pernah membenarkan cara yang tidak bermoral. (Consciene performs a critical role in choosing among courses of action. It takes into account the moral ambiguities of life, and the necessity to eximine value priorities: goods ands never justify immoral means). 17
Dwight Waldo, The Enterprise of Public Administration, 1980
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
695
9. para penyelenggara negara tidak semata-mata terlibat dalam mencegah hal yang salah, melainkan dalam mengusahakan hal yang benar melalui pelaksanaan tanggung jawab mereka yang penuh semangat dan tepat waktu. (Public administrators are not engaged merely in preventing wrong, but in pursuing ringht through timely and energetic execution of their responsibilities). Juga seperti kode etik yang disusun American for Publik Administration yang mengikat para anggotanya dalam pelaksanaan tugas untuk: 1. menunjukkan standar yang tertinggi dalam integritas, kebenaran, kejujuran, dan ketabahan. 2. melayani rakyat secara hormat, perhatian, sopan dan tanggap. 3. berjuang ke arah keunggulan profesionan pada diri sendiri, rekan, dan mereka yang akan memasuki bidak administrasi negara. 4. menghampiri semua kewajiban dengan sikap yang positif dan mendukung komuniasi yang terbuka, kreativitas, pengabdian dan welas asih. 5. melaksanakan kewajiban resmi dengan cara yang tidak mendatangkan keuntungan pribadi yang tak semestinya. 6. menghindari kepentingan atau kegiatan yang bertentangan dengan penunaian kewajiban resmi. 7. menghormati dan melindungi keterangan yang khusus diperoleh dari pelaksanaan kewajiban resmi. 8. menjalankan wewenang kebijaksanaan untuk memajukan kepentingan umum. 9. menerima tanggungjawab untuk mengikuti perkembangan masalahmasalah baru dan mengelola urusan rakyat dengan kecakapan, sikap tidak memihak, efisiensi dan efektivitas. 10.mendukung, menjalankan, dan memajukan sistem penilaian kecakapan dan berbagai program tindakan yang afirmatif dalam penerimaan tenaga kerja. 11.melenyapkan semua bentuk pembedaan yang tidak sah, kecurangan, dan salah urus keuangan negara serta mendukung rekan-rekan dalam usaha demikian. 12.menghormati, mendukung, menelaah, dan bila perlu berusaha menyempurnakan konstitusi dan hukum yang mengatur berbagai hubungan dalam pemerintahan. Beranjak dari kondisi kekinian, maka sudah selayaknya penataan aturan yang terfokus pada kode etik bersama, untuk diciptakan dan disempurnakan, bagi sepenuh hati terlaksananya kebijakan untuk kemaslahatan anak bangsa. Anak bangsa, yang bagian intinya adalah umat, akan terpola kepada umara, ulama, para tokoh, dan masyarakat umum.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
696
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
Sebagai masyarakat agraris yang bersifat kharismatis,18 maka dalam mengembangkan suatu gagasan, termasuk pengamalan ajaran agama, terlebih mengawal politik yang bermoral, perlu adanya 'aktor' sebagai pemberi contoh, pendorong, dan pengendali pengamalan ajaran agama. Dengan merujuk kepada hadits Nabi Muhammad s.a.w. yang artinya: “Dua kelompok manusia yang apabila keduanya baik akan baiklah suatu bangsa, yaitu ulama dan umara” (H.R. Bukhari), maka aktor itu ialah ulama dan umara. Umara19 adalah pemimpin suatu masyarakat dan negara yang berperan sebagai figur sentral, sehingga ia berperan memberikan bentuk dan arahan ke mana suatu masyarakat dan negara dikembangkan. Dalam kaitan pengamalan keagamaan, paling tidak ada empat tugas yang harus dilaksanakan umara, yaitu: 1. memberikan ketauladanan yaitu dengan memberi contoh nyata (dakwah bil-hal) kepada masyarakat melalui aktifitas keseharian. 2. memberikan arahan kepada masyarakat akan pentingnya implementasi ajaran agama Islam, khususnya beretika-politik, karena dengan pengamalan itu manusia akan memperoleh kebahgiaan dunia dan akhirat. 3. merumuskan sejumlah aturan moral dan hukum sebagai dasar pijakan pegangan dalam impelemtasi ajaran agama Islam. Karena menyangkut hukum tentu melibatkan legislatif, maka umara dalam konteks ini selain ekskutif juga legislatif. Dengan adanya payung hukum selain sebagai pendorong pelaksanaan ajaran agama sekaligus sebagai tindakan pencegahan (preventif) munculnya pelanggaran ajaran agama. 4. memberikan sanksi. Konsekuensi dari poin tiga di atas, umara harus memberikan sanksi bagi pelanggaran hukum sebagai konseksuensi dari diterapkannya hukum di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, umara memiliki peran pre-emtif, preventif dan represif. Pre-emtif yaitu menjelaskan terhadap segala hal yang menyangkut dengan kehidupan manusia, seperti baik dan buruk, berguna dan tidak berguna, dan lain-lain. Preventif yaitu melakukan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya suatu pelanggaran sosial dan moral. Dengan kata lain, menutup kemungkinan terjadinya kejahatan, sedangkan represif ialah
18 Dalam masyarakat yang agraris, seperti Indonesia, faktor ketokohan sangat menentukan dalam mengembangkan suatu ide atau gagasan, karena masyarakat cenderung mengikuti apa kata figur sentral di dalam menentukan suatu sikap. 19 Kata umara adalah bentuk jama’ (plural) dari kata amir yang berarti penguasa. Para pemimpin Islam fase awal diberi gelar dengan amirul mukminin, yaitu penguasa orang Mukmin.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
697
memberikan ganjaran/sanksi kepada masyarakat yang melakukan pelanggaran hukum. Di samping umara, ulama20 adalah figur sentral lain yang berperan dalam mengendalikan masyarakat. Bersama umara, ulama adalah dua figur yang menentukan baik tidaknya suatu masyarakat, sesuai dengan hadits Nabi di atas. Adanya dua figur itu tidak terjebak pada dualisme, karena masing-masing berada pada porsinya secara proporsional dan profesional. Apabila umara memiliki tiga fungsi sekaligus, yaitu pre-emtif, preventif dan represif, maka ulama lebih ditekankan pada pre-emtif, yaitu memberikan kecerahan kepada umat, sedangkan pencegahan dan penanggulangan berada di tangan umara, sebagai penguasa potitik. Termasuk dalam hal ini pemikiran keagamaan yang aplicabel (bisa diaplikasikan) dan reliable (laiak diaplikasikan) dengan semangat modern. Namun demikian, ulama bersama rakyat tentu bisa juga melakukan preventif dan represif dalam bentuk lain. Misalnya dengan menutup peluang masyarakat melakukan kemaksiatan dengan kegiatan keagamaan. Demikian juga dengan represif dilakukan dalam bentuk sanksi sosial seperti tidak menghadiri acara hajatan para pelaku maksiat. Ada tiga tugas sekaligus yang harus inheren dalam kehidupan dan pengabdian seorang ulama, yaitu: 1. selalu mensosialisasikan nilai-nilai keislaman dengan semangat “balliguw ‘anniy walay ayah”, sampaikanlah dariku walaupun satu ayat (H.R. Muslim). Sosialisasi Islam harus menjadi bagian hidup, karena ia merupakan suatu kewajiban (Q.S. Ali Imran: 104),21 dan sebagai profesi terbaik, sesuai dengan maksud ayat al-Qur’an yang artinya: “Dan perkataan terbaik adalah mengajak umat untuk beriman dan beramal shaleh. (Q.S. Hamim Sajadah: 32). 2. selalu menjaga arus utama perkembangan pemahaman agama. Arus utama itu ialah Islam Jalan Tengah (shirat al-mustaqim). Munculnya aneka pemahaman adalah konsekuensi logis yang tidak bisa ditepis, sebagai akibat dari globalisasi, maka tugas yang harus dilaksanakan ialah tetap menjaga arus utama. 3. istiqamah, memiliki konsistensi, yaitu tetap melakukan tugas-tugasnya seperti disebut di atas. Ia tetap menggerakkan dakwah, dan pada saat yang sama menjaga arus utama Islam, sebagai jalan tengah. Kemudian 20 Kata ulama bentuk jama’ (plural) dari kata alim yang berarti mengetahui atau banyak mengetahui tentang Islam, sehingga ulama disebut dengan yang menguasai ajaran Islam. Untuk itu, seorang ulama harus memiliku pengetahuan agama Islam yang kuat dan metode memahami ajaran agama Islam seperti bahasa Arab. 21 Artinya: “Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan dan menyuruh kepada yang makruf serta menecegah dari yang munkar”.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
698
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
istiqamah dalam arti mampu menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas-tugas sebagai tokoh agama, yaitu tantangan dari dalam dirinya (min nafsihi), dari samping kiri kanannya (min bayni yadayhi), dari belakang (min khalfihi) dan depan (min amamihi), dari bawah (min asfalihi) dan tantangan dari atasnya (min tahtihi). Tantangan itu akan terus hadir, baik secara mandiri maupun bergerombolan, di sini seorang tokoh akan diuji, karena semuanya harus mampu dihadapi oleh seorang tokoh agama. Pada masa awal Islam sebenarnya konsep umara-ulama belum begitu menonjol, karena kedua fungsi ini berada pada satu figur. Namun, seiring dengan perkembangan politik, terutama sejak dinasti Umaiyah, dikhotomi umara-ulama menjadi sebuah teori baru dalam konsep kenegaraan dan keagamaan. Aktor ketiga yang juga berperan dalam aktualisasi ajaran agama Islam, yaitu para tokoh masyarakat selain umara dan ulama, seperti tokoh adat, tokoh pemuda, tokoh ekonomi (ekonom), tokoh politik (politisi), dan sebagainya. Sejalan dengan karakter masyarakat Indonesia yang dominan agraris, kalaupun sebagian sudah beralih ke industrialis, keberadaan figur masih menjadi faktor dominan dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, para tokoh masyarakat harus mengambil peran langsung dari upaya implementasi ajaran agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat yang religius. Karenanya mutlak disusun dan disosisalisasikan kode etik politik baik untuk ‘umara, ulama, tokoh masyarakat, yang dapat dikontrol oleh masyarakat secara berkesinambungan. Dengannya, maka jarak antara ideal etika dengan praktikal politik akan dapat didekatkan. Hal ini tampaknya penting dan mendesak di tengah riuhnya politisi yang menganggap dirinya pahlawan masyarakat, namun senyatanya belum berbuat apa-apa bagi kemaslahatan umat, kalau bukannya bahkan menjadi penggarong masyarakat. E. Penutup Ibarat menyatukan air dan minyak, membuat politik yang bermoral/beretika membutuhkan kemauan dan kerja keras dari seluruh pihak, baik kandidat, pelaku maupun masyarakat umum. Upaya ini tampaknya harus dimulai dari kesadaran bersama umat untuk secara serius menyusun kode etik yang dilengkapi dengan sanksi yang mengikat, serta konsistensi pelaksanaannya yang dapat dikontrol secara bersama. Perumusan, pengamalan dan pengawalan ini penting dan mendesak, di tengah apatisme masyarakat dalam memandang politik sebagai sesuatu yang jelek. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
699
Daftar Pustaka Bellah, Robert N., "Islamic Tradition and the Problem of Modernization", dalam Beyond Belief, New York: Harper and Row, 1970. Boisard, Marcel A., Humanisme Dalam Islam, terj. HM. Rasjidi, Jakarta: Bulam Bintang, 1980. Dahl, Robert A., Modern Political Analysis, New Delhi: Prentice-Hall of India Private, 1987. Izutsu, Toshihiko, Ethico-Religious Concepts in the Quran, alih bahasa Agus Fahri Husein, et.el., Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993. Menzel, Donald C., Political Ethics: Real or Myth?, Northern Illinois University, September 2000 issue of PA TIMES, monthly newpublication of the American Society for Public Administration. Noer, Deliar, Pengantar Ke Pemikiran Politik, Jakarta: Rajawali, 1983. Rahman, Zainuddin A., "Pokok-pokok Pemikiran dan Masalah Kekuasaan Politik" dalam Miriam Budiardjo, et. Al., Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan. Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1996. Taimiyah, Ibn, al-Siyasah al-Syar’iyah fi Ishlah al-Ra’I wa al-Ra’iyah, Beirut: Dar al-Fikr wa al-Hadia, t.t. Thompson, Dennis F., Etika Politik Pejabat Negara, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000. Zainuddin, A. Rahman, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibn Khaldun, Jakarta: Gremedia, 1992.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009