Hukum, Moral, dan Politik
Materi Studium Generale untuk Matrikulasi Program Doktor Bidang Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro, Semarang, tanggal 23 Agustus 2008 Studium Generale ini akan mengupas hubungan antara hukum, moral, dan politik. Masalah utama yang akan dibahas adalah sulitnya pembuatan dan penegakan hukum yang responsif di Indonesia karena, antara lain, lemahnya moralitas para pembuat dan penegaknya serta sistem politik yang tidak kondusif. Dasar etik dan moralitas hukum Pembahasan mula-mula akan ditekankan pada hubungan hukum dengan etika dan moral terutama dalam kaitannya dengan hukum sebagai kristalisasi dari nilai-nilai etik dan moral yang diformalkan secara gradual menjadi hukum. Materi ini dimaksudkan untuk menyegarkan ingatan para penstudi hukum bahwa dilihat dari sumber materiilnya hukum adalah kristalisasi atau formalisasi dari kaidah-kaidah atau norma lainnya di dalam masyarakat yang kemudian mempunyai sifat sendiri yakni bersifat memaksa dan dapat dipaksakan dengan kekuatan penegak hukum. Salah satu masalah yang sekarang timbul adalah terlepasnya sukma hukum yakni keadilan dari banyak proses penegakan hukum karena hukum kemudian lebih banyak dihayati sebagai persoalan teknis-prosedural semata. Banyak sekali orang yang melanggar etika dan moral tetapi merasa atau bersikap seakan-akan tidak bersalah karena belum diproses secara hukum, tepatnya belum dibuktikan sebagai tindakan yang salah secara hukum oleh pengadilan. Padahal pada waktu yang bersamaan proses hukum di lembaga peradilan juga menghadapi masalah besar karena banyak dihinggapi oleh penyakit judicial corruption.
Akibatnya, hukum kemudian menjadi alat permainan untuk mencari kemenangan di dalam sengketa atau berperkara di pengadilan dan bukan untuk menegakkan keadilan, kebenaran, dan ketertiban di dalam masyarakat. Penegakan hukum kemudian bermain atau terjebak di dalam permainan normanorma tanpa mempedulikan manusianya sebagai subyek yang harus dilayani dengan hukum yang bersukmakan keadilan serta berlandasan etika dan moral. Di sinilah letak perlunya upaya mendiagnosis letak etika dan moral dalam perkembangan hukum kita pada saat ini. Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari etika dan moral, masalah lain yang kita hadapi adalah hubungan antara hukum dan politik sebagai dua subsistem kemasyarakatan. Dalam hal-hal penting tertentu hukum lebih banyak didominasi oleh politik sehingga sejalan dengan melemahnya dasar etik dan moral, pembuatan dan penegakan hukum banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik kelompok dominan yang sifatnya teknis, tidak subtansial, dan bersifat jangka pendek. Secara teoritis hubungan antara hukum dan politik memang dapat dibedakan atas tiga model hubungan. Pertama, sebagai das Sollen, hukum determinan atas politik karena setiap agenda politik harus tinduk pada aturanaturan hukum. Kedua, sebagai das Sein, politik determinan atas hukum karena dalam faktanya hukum merupakan produk politik sehingga hukum apa pun yang ada di depan kita tak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum berhubungan secara interdeterminan karena politik tanpa hukum akan zalim sedangkan hukum tanpa pengawalan politik akan lumpuh. Pembahasan kita dalam studium generale ini akan menyorot teori atau berangkat dari asumsi bahwa sebagai kenyataan “politik determinan atas hukum.” Pilihan kita pada fokus ini sejalan dengan masalah terlepasnya keadilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari etika dan moral.
Dengan demikian di dalam studium generale ini kita akan membedah hubungan sebab akibat dan kait kelindan antara hukum, moral, dan politik.
Perubahan politik dan perubahan hukum1 Meskipun reformasi yang berintikan penegakan supremasi hukum sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun (sejak Mei tahun 1998) namun sekarang ini masih banyak keluhan bahwa supremasi hukum tak tegak-tegak.2
Mestinya
dengan adanya reformasi situasi penegakan hukum dapat lebih baik, tetapi nyatanya tidak juga. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) masih merajalela, mafia peradilan, tepatnya judicial corruption, ditengarai semakin menggila. Melihat situasi yang buruk itu seorang peserta program doktor di Undip Semarang pernah bertanya kepada penulis: mengapa hukum tetap buruk meski sudah ada reformasi? Bukankah kita melakukan reformasi karena ingin membangun demokrasi agar hukum bisa berjalan baik dan dapat ditegakkan? Apakah tesis Bapak bahwa hukum berubah jika politik berubah tidak berlaku untuk kasus Indonesia?3 Penulis menjawab bahwa hal itu terjadi karena perubahan politik kita di era reformasi ini bukan berubah dari otoriter ke demokratis melainkan dari otoriter ke oligarkis, meskipun pada awalnya agak demokratis juga. Hukum adalah produk politik sehingga jika politiknya tidak baik, maka hukumnya pun
1
Bagian ini dan butir-butir berikutnya disunting dan ditulis kembali dari beberapa makalah saya, antara lain, Sepuluh Tahun Penegakan Hukum dalam Pemerintahan RI Pasca Reformasi,yang dipresentasikan pada Seminar Nasional tentang Sepuluh Tahun Pembangunan Hukum, Ekonomi, dan Kiprah Otonomi Daerah Bagi Kesejahteraan dan Kemakmuran Rakyat yang diselenggarakan dalam rangka Pelantikan Pengurus Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (IKA-UII) Propinsi Jambi tanggal 5 Juni 2008 di Jambi. 2 Pada bulan Mei tahun 2007 saya meluncurkan buku Hukum Tak Kunjung Tegak (PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2007) yang berisi kumpulan artikel tentang betapa mandulnya hukum kita jika berhadapan dengan politik. 3 Pada tahun 1993 saya menulis disertasi doktor di UGM yang salah satu temuan tesisnya menyebutkan bahwa karena hukum adalah produk politik maka jika politik berubah hukum pun akan berubah; politik yang demokratis akan melahirkan hukum yang responsif sedangkan politik yang otoriter akan melahirkan hukum yang ortodoks.
tidak akan baik. Demikianlah penulis menjawab kepada mahasiswa program doktor yang tampak sangat kecewa dengan perjalanan reformasi kita itu. Berdasar asumsi bahwa hukum adalah produk politik4 maka tampaklah fakta di depan kita bahwa begitu politik berubah hukum juga berubah. Perubahan itu akan sejalan dengan perubahan sistem politiknya. Kita menyaksikan sendiri betapa begitu rezim Orde Baru jatuh maka hampir semua hukum atau UU produk politik Orde Baru diganti. Begitu juga di masa yang lebih lampau kita menyaksikan penggantian hukum-hukum yang dibuat oleh Orde Lama begitu Orde Baru menggantikan rezim yang diperintah oleh Presiden Soekarno itu. Bahkan tampak jelas juga bahwa hukum-hukum lama segera harus diganti begitu politik kolonial (penjajahan) diganti dengan politik nasional (kemerdekaan, kebangsaan) pada tahun 1945. Pada era reformasi penggantian hukum (terutama dalam arti peraturan perundang-undangan) itu mula-mula menyentuh level UU yang secara lebih khusus berbagai UU dalam bidang politik, sehingga kita melihat terjadinya penggantian UU kepartaian, UU lembaga perwakilan, UU pemilu, UU Pemerintahan Daerah, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Tindak Pidana Korupsi, Pencabutan UU Subversi, dan sebagainya. Sampai dengan tahun 2008 ini rezim reformasi sudah melahirkan tidak kurang dari 200 UU yang lebih dari 30 di antaranya adalah UU yang lahir dari hak inisiatif DPR. Perubahan itu kemudian (sejak tahun 1999) menyentuh level yang lebih tinggi daripada UU yakni Tap MPR dan UUD. Mula-mula beberapa Tap MPR dicabut dan diganti serta dibuat Tap-tap MPR yang baru yang dianggap lebih demokratis. Kemudian dilakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD yang dikerjakan dalam empat tahap dan meniadakan Ketetapan MPR sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan di dalam tata hukum kita. Tentang ini pada tahun 2003 MPR mengeluarkan Tap No. I/MPR/2003 yang oleh masyarakat dikenal sebagai Tap Sapu Jagat yang berisi pemosisian kembali secara hukum 4
Secara ilmiah ada dua asumsi lain mengenai hubungan antara politik dan hukum yaitu asumsi bahwa hukum determinan atas politik dan asumsi bahwa politik dan hukum berhubungan secara interdependen atau interdeterminan.
semua Tap MPR/S yang pernah ada sebagai peraturan perundang-undangan level kedua (di bawah UUD, di atas UU). Di dalam Tap Sapu Jagat ini ada Tap MPR yang dinyatakan masih berlaku, ada yang dinyatakan dicabut, ada yang dinyatakan berlaku sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilu tahun 2004, ada
yang
dinyatakan
masih
berlaku
sampai
dibentuknya
UU
yang
menggantikannya, ada yang dinyatakan masih berlaku sampai selesai isi perintahnya (seperti Tap tentang Timtim) dan ada yang dinyatakan tidak berlaku dengan sendirinya karena sifatnya yang einmalig (sekali berlaku dan selesai). Menurut penulis, perubahan UUD kita setelah reformasi ini hanyalah satu kali tetapi disahkan dalam empat tahap. Mengapa? Karena sebenarnya selama empat tahun MPR tak berhenti membahas perubahan itu, hanya saja pengesahannya dilakukan setiap bulan Agustus sesuai dengan capaian tahapan perubahan itu. Antara bulan Agustus setelah pengesahan ke bulan Agustus tahun berikutnya MPR melalui Panitia Ad Hoc I tak pernah berhenti membahas perubahan UUD tersebut. Oleh sebab itu tidaklah benar kalau dikatakan bahwa MPR terlalu ceroboh karena dalam empat tahun mengubah UUD sampai empat kali. Yang benar selama empat tahun itu MPR hanya sekali mengubah UUD karena faktanya perubahan itu berkelanjutan dan bukan mengamandemen terhadap hasil amandemen tahun sebelumnya. Perubahan itu didasarkan pada kesepakatan dasar dengan satu konsepsi tertentu yang dipatok sejak tahun 1999. Namun
karena
proses
pembahasan
dan
perdebatannya
panjang
maka
pengesahannya dilakukan secara bertahap setiap Sidang Tahunan MPR pada bulan Agustus sesuai dengan capaian pembahasan dan kesepakatan setiap tahun.5 Bahwa hasilnya menimbulkan perdebatan dan kekecewaan di kalangan sebagian masyarakat itu adalah biasa, sebab, apa pun isi dan hasil amandemen itu merupakan kesepakatan politik yang pasti ada yang setuju dan ada yang tak 5
Dalam makalah yang saya presentasikan 21 Nopember 2007 di kampus UI, Depok Jakarta, saya membuat perbandingan tentang waktu yang diperlukan serta keseriusan pembahasan antara UUD 1945 asli oleh BPUPKI dan PPKI pada tahun 1945 dan UUD 1945 hasil amandemen oleh MPR yang ternyata UUD hasil amandemen jauh lebih lama dibahas dan didiskusikan dengan serius jika dibandingkan dengan UUD 1945 yang asli yang menurut Bung Karno sendiri merupakan UUD kilat sebagai produk situasi darurat agar segera merdeka. Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Penjajakan Materi dan Agenda Perubahan Kelima UUD 1945,” makalah untuk Seminar Sehari Meninjau Kembali Prospek dan Agenda Perubahan UUD 1945 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UI tanggal 21 Nopember 2007.
setuju. Yang penting prosedurnya benar dan demokratis, sebab kata KC Wheare konstitusi itu merupakan resultante atau kesepakatan-kesepakatan politik sesuai dengan situasi poleksosbud pada waktu dibuat. Sebagai kesepakatan politik amat sulit mengharapkan sebuah konstitusi disetujui oleh semua orang. Bahwa hasil perubahan yang ada sekarang itu secara struktur dan sistematika terlihat kurang baik, juga disebabkan oleh karena kesepakatan-kesepakatan yang harus dibuat dan kemudian tak dapat dihindari.
Hukum belum efektif Jika kita amati dan rasakan, ternyata sampai saat ini hukum belum efektif memberantas korupsi, terlihat dari berita tentang korupsi sehari-hari di media massa kita dan dari hasil survei Transparency International Indonesia (TII) yang setiap menempatkan Indonesia sebagai negara yang indeks persepsi korupsinya selalu rendah, dalam arti selalu menjadi salah satu negara dari lima negara yang paling korup di dunia. Mungkin banyak di antara kita yang kecewa ketika ternyata setelah sepuluh tahun reformasi KKN bukannya hilang, tetapi semakin merebak dan menjadi wabah menular termasuk kepada mereka yang dulu dikenal sebagai pejuang-pejuang reformasi. Kita dikejutkan oleh tragedi korupsi di KPU yang melibatkan mantan aktivis LSM penegakan hukum dan HAM serta beberapa guru besar yang dulunya menawarkan konsep-konsep reformasi.6 Kita tersentak ketika Menteri Agama dan salah seorang dirjennya dijatuhi hukuman penjara karena terbukti mengorupsi Dana Abadi Ummat. Bahkan kita bergidik ketika Dirut Bulog ditangkap dengan tuduhan korupsi ratusan miliar rupiah yang diduga melibatkan istri, anak, saudara, dan menantunya. Kita bergidik dan geram ketika ternyata ada jaksa dan beberapa anggota DPR ditangkap oleh KPK karena nekat melakukan korupsi pada saat kita (dan mereka) sedang berteriak keras untuk memberantas korupsi.
6
Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Sudah Habis Teori di Gudang,” dalam harian KOMPAS, 11 Oktober 2005.
Yang paling spektakuler adalah kasus penyuapan Artalyta Suryani (Ayin) terhadap jaksa Urip Tri Gunawan yang megguncang dunia hukum pada tahun 2008. Jaksa Urip Tri Gunawan digelandang ke pengadilan Tipikor karena tertangkap basah menerima suap lebih dari Rp 6.000.000.000,- (enam miliar) dari Artalyta Suryani yang didakwa mengurus perkara BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim. Spektakulernya, karena ternyata selain uang yang diurus berjumlah triliunan rupiah, semula keduanya menyangkal uang yang disita karena tertangkap tangan itu sebagai suap. Tetapi rekaman-rekaman penyadapan telepon yang kemudian tidak dapat disangkal oleh keduanya telah meyakinkan majelis hakim Tipikor bahwa tindak pidana penyuapan itu adalah benar atau terbukti secara sah dan meyakinkan sehingga Ayin dijatuhi hukuman pidana penjara maksimal sebagai penyuap yakni lima tahun penjara. Korupsi telah menjadi penyakit yang sangat berbahaya yang menyebar di semua lini kehidupan masyarakat serta melibatkan banyak yang tadinya tidak kita sangka akan terlibat. Dalam satu tulisan penulis pernah mengemukakan, akibat ranjau korupsi yang menggila dan melibatkan banyak tokoh seperti itu maka banyak politisi dan aparat penegak hukum yang kemudian melakukan politik kancil pilek atau politik sariawan. Para politisi yang tadinya galak kemudian menjadi berperangai halus dan arif dan meminta tak buru-buru memvonis orang korupsi serta bersuudzdzan. Aparat penegak hukum jerih, saling lempar badan karena tak mau berbenturan dengan partai politik yang pimpinannya diindikasikan terlibat korupsi. Padahal semua aparat penegak hukum langsung dapat bergerak untuk memroses dugaan tindak pidana yang bisa dijerat dengan berbagai kategori: korupsi, pencucian uang, gratifikasi, dan lain-lain. Mengapa KKN merajalela dan hukum tetap tak tegak? Jawabannya dapat diberikan dengan analisis dari sudut politik maupun dari sudut pembangunan hukum.
Penulis mencatat sekurang-kurangnya ada empat hal yang menyebabkan keadaan ironis terus berlanngsung. 7 1. Reformasi hanya memotong puncak Ketika melakukan reformasi pada 1998 kita hanya memberhentikan presiden dan kabinetnya tanpa sekaligus melakukan reformasi birokrasi, padahal birokrasi yang mencakup sistem, prosedur dan para pejabatnya merupakan birokrasi yang sangat korup karena dibangun secara korup pula selama puluhan tahun. Dalam upaya menangani kasus-kasus korupsi di dalam birokrasi yang masih korup ini yang terjadi adalah situasi saling blokade dan saling ancam di antara mereka yang harus ditindak dan harus melakukan tindakan karena samasama punya masalah korupsi. Seorang yang bertugas melakukan tindakan hukum terpaksa harus berhenti ketika pihak yang akan ditindak menunjuk balik bahwa dirinya pun sebagai aparat yang harus memeriksa juga punya catatan tidak bersih. Orang-orang baru yang ’reformis’ bisa dikepung oleh kawanan birokrat lama untuk tidak dapat berdaya menghadapi korupsi yang terus berjalan tanpa takut, malah pejabat baru yang hadir dengan misi memberantas korupsi itulah yang dapat terlempar jika mau nekat membersihkan birokrasi.8 Dalam situasi seperti ini maka seringkali, dan banyak sekali, kasus yang menggegerkan masyarakat tiba-tiba hilang dari pemberitaan yang ketika ditanya ke mana kasus itu jawabannya adalah ’tak cukup bukti.’ Padahal yang terjadi di sini adalah saling
7
Ketika menjadi Presiden Megawati pernah mengatakan bahwa dirinya bisa saja memegang leher para menteri untuk memberantas korupsi tetapi karena birokrasinya korup maka para menteri itu pun tak bisa berbuat apa-apa. Kata Megawati dirinya mewarisi birokrasi “tong sampah.” Itu adalah pernyataan yang benar dan sangat mudah dibuktikan. 8 Di awal reformasi ada seorang pejabat baru yang menemukan pengeluaran uang negara oleh sebuah kementerian sampai bermiliar-miliar rupiah di luar ketentuan yang harus dibayarkan oleh negara kepada pihak ketiga. Ternyata kelebihan uang itu dijadikan bancakan oleh kroni dan anak pejabat di kementerian itu. Ketika dilapori Presiden setuju untuk diusut dan dilaporkan ke kajaksaan agung. Ketika pelaporan itu sudah berproses sang pejabat baru yang menemukan kasus itu tiba-tiba dipindah untuk menduduki jabatan lain (disingkirkan secara halus) dan kasus itu jadi lenyap dari peta korupsi.
menutupi dari borok korupsi masing-masing dan bukan benar-benar tak cukup bukti awal untuk terus diproses secara hukum.9 2. Masih dominannya pemain-pemain lama Selain itu keadaan sekarang ini disebabkan juga oleh masih leluasanya pemain-pemain politik lama yang dulunya ikut membangun sistem yang korup untuk terus menguasai panggung politik. Semula, atas nama demokrasi dan perlindungan HAM, kita tidak punya alasan untuk melarang orang tetap aktif di panggung politik. Tapi justru itulah pula yang menyebabkan banyaknya tokoh lama yang tetap leluasa menjadi aktivis parpol. Ketika harus terlempar dari wadah yang lama mereka bisa berloncatan dari parpol lama ke parpol lama yang lain atau mendirikan parpol baru. Oleh sebab itu dalam keadaan seperti sekarang ini tidak dapatlah kita mengatakan ada parpol yang baik atau jelek, sebab dalam kenyataanya di setiap parpol ada orang-orang yang jelek dan ada orang-orang yang baik secara bercampur-baur dengan kecenderungan institusional yang korup. Oleh sebab itu cap ”reformis” atau ”antireformasi” tak dapat dilekatkan pada satu parpol mana pun melainkan pada orang-orang yang mengendalikan parpol yang dapat berada di parpol mana saja.10 3. Politisi baru yang tanpa visi Banyak juga politisi baru yang hadir ke panggung politik melalui parpol tanpa visi dan misi untuk melakukan reformasi. Mereka hadir ke panggung 9
Sebagai contoh kasus pembongkaran ijazah yang diperoleh secara tidak wajar seperti membeli tanpa belajar atau mendapat ijazah kehormatan tanpa kriteria yang jelas, seperti yang pernah ditulis sebagai Doktor Kucing oleh mantan Rektor Undip Eko Budihardjo. Semula diumumkan oleh Polri adanya puluhan ribu kasus seperti itu namun ternyata sampai sekarang tak ada kabarnya lagi. Katanya sulit mencari ketentuan itu di dalam hukum pidana; padahal kalau mau bersungguh-sungguh hal itu bisa dijerat dengan ketentuan pidana yang ada di dalam UU Sisdiknas maupun KUHP seperti berdasar hasil kajian beberapa perguruan tinggi. Sebenarnya masalahnya bukan tidak ada ketentuan hukum pidana yang mengancam itu melainkan karena banyak perwira tinggi Polri, perwira TNI, dan mantan pejabat tinggi yang disebut-sebut juga memiliki ijazah secara tidak wajar seperti yang nama-namanya pernah dimuat di berbagai media massa.. 10 Ketika oleh beberapa Penggugat saya diminta menjadi saksi untuk pembubaran Golkar di Mahkamah Agung pada tahun 2001 saya menolak karena, dengan bercampurbaurnya tokoh-tokoh parpol seperti sekarang, tak mungkin kita menyalahkan satu parpol untuk dibubarkan sambil mengatakan bahwa parpol lain bersih. Bagi saya yang penting untuk diburu dan diadili bukanlah partai politiknya melainkan oknumoknum koruptornya yang itu bisa ada di partai mana pun, termasuk di dalam partai yang meneriakkan adanya korupsi di partai lain.
politik karena tiba-tiba mendapat peluang atas wadah yang harus mereka isi tanpa syarat kualitas tertentu karena memiliki massa pendukung. Bahkan jika dilihat dari fakta banyaknya tokoh-tokoh parpol, terutama di tingkat lokal, yang bermasalah dengan hukum karena KKN, dapat dikatakan bahwa mereka hadir ke panggung politik bukan dengan misi untuk memperbaiki melainkan ingin ikut menikmati juga peluang-peluang KKN yang dulunya tak dapat mereka peroleh. Keadaan ini disebabkan oleh tidak adanya sumber daya manusia yang cukup berkualitas di kalangan parpol-parpol terutama di tingkat lokal sebagai akibat dari sistem politik Orde Baru yang puluhan tahun sangat hegemonik. 4. Rekrutmen politik yang tertutup Penyebab lainnya adalah sistem rekrutmen politik yang tertutup baik untuk legislatif maupun untuk eksekutif. Jika mengambil contoh kabinet yang memimpin eksekutif sekarang ini maka terlihat bahwa penempatan pejabatpejabat puncak di eksekutif yang secara formal menjadi hak prerogatif presiden, dalam praktiknya harus dilakukan melalui negosiasi politik antara presiden dan elit parpol atau pendukung kampanye pilpres dalam rangka kompensasi politik sekaligus menjaga stabilitas pemerintahan. Presiden yang mempunyai niat baik untuk mebentuk kabinet yang terdiri dari para ahli dan profesional terjebak dalam transaksi politik yang tak dapat dihindari.
Akibatnya, pembentukan
zaken kabinet (kabinet ahli dan profesional) yang dijanjikan tak bisa dilakukan dengan leluasa, bahkan fit and proper test yang semula dilakukan untuk calon pejabat pada saat terakhir pembentukan kabinet tidak lagi menjadi pertimbangan utama, lebih-lebih pada saat reshuffle. Untuk lembaga legislatif rekrutmen politik yang tertutup ini terutama melekat pada sistem pemilu yang dipergunakan untuk merekrut wakil-wakil rakyat yakni sistem proporsional, dimana penentuan anggota lembaga perwakilan rakyat dapat dikatakan sepenuhnya tergantung pada pimpinan partai, rakyat hanya memilih gambar parpol sedangkan calon-calon ditetapkan oleh pengurus parpol berdasarkan nomor urut yang dapat disusun berdasar posisi, transaksi, atau kedekatan politik.
Dalam hal-hal yang penting situasi tersebut telah menimbulkan sistem politik yang oligarkis, bukan lagi demokratis, karena demokrasi itu sendiri telah dirampok oleh para elitenya. Maka jangan heran jika kemudian hukum tidak responsif dan dunia peradilan juga korup sebab tak mungkin hukum dan peradilan itu menjadi baik jika politik yang melatarbelakanginya tidak demokratis melainkan oligarkis seperti sekarang ini.
Peradilan yang korup Selain lembaga legislatif dan eksekutif kita juga merasakan bahwa judicial corruption di lembaga yudikatif tak kalah maraknya. Kebebasan lebih luas yang diberikan oleh UU Kekuasaan Kehakiman yang baru (mula-mula dimuat di dalam UU No. 35 Tahun 1999) kepada para hakim bukan hanya digunakan oleh hakim untuk bebas dari intervensi kekuatan luar dalam memutus perkara tetapi juga oleh sebagian hakim digunakan sebagai kebebasan untuk melakukan korupsi peradilan dengan berbagai variasinya. Ada kasus Herman Alositandi dan ada kasus Harini Wijoso yang semuanya sudah dihukum, dan ada kasus penyuapan jaksa Tri Urip Gunawan dan Artalyta Suryani yang kini penyuapnya sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa yang bersangkutan memang menyuap. Ini tragis, sebab lembaga peradilan adalah leading sector dalam pemberantasan KKN. Logikanya begini: Indonesia hancur dan terperosok ke dalam krisis karena korupsi, korupsi subur dan sulit diberantas karena lembaga peradilan juga korup. Karena lembaga kekuasaan kehakiman yang korup maka lembaga-lembaga penegak hukum yang lain seperti kejaksaan, kepolisian, dan pengacara juga menjadi semakin korup.11
Kreativitas korupsi 11
Dua tahun lalu ini ada dua jaksa yang dipecat karena meminta uang suap dalam satu kasus, sekarang banyak polisi (sampai tingkat perwira) yang diadili karena korupsi. Kita tentu belum lupa ketika seorang pengacara kondang dilaporkan telah merekayasa saksi untuk memberi keterangan palsu dengan imbalan tertentu, tapi kasus ini sekarang menguap mungkin karena kolusi juga.
Ada yang mengatakan bahwa keadaan ini adalah
warisan budaya
Indonesia. Karena merupakan warisan budaya maka kita sangat banyak akal untuk selalu korupsi.
Bagaimana pun kita mengatur hal-hal penting agar
menjadi baik atau menjadi bersih dari KKN maka peraturan itu menjadi tidak efektif karena selalu dapat diakali untuk dikorupsi atau dimanipulasi.12 Seperti akan dikemukakan kemudian penulis sendiri tidak terlalu percaya bahwa keadaan buruk ini timbul dan berlangsung karena budaya kita memang budaya korup sehingga sangat kreatif untuk korupsi; namun marilah kita lihat contoh betapa memang kreatifnya banyak di antara kita untuk melakukan korupsi. 1. Penyatuatapan pembinaan hakim Dulu kita berteriak agar pembinaan hakim diletakkan di bawah satu atap Mahkamah Agung (MA). Asumsinya jika para hakim bebas dari pengaruh atau intervensi pemerintah maka kinerja hakim akan lebih baik karena dia dapat memutus perkara tanpa harus takut berefek pada status kepegawaian dan stabilitas finansialnya. Namun setelah penyatuatapan itu dilakukan, seperti dikemukakan di atas, dunia peradilan bukan menjadi lebih baik sebab ”mafia peradilan” dan judicial corruption yang melibatkan hakim malah semakin marak. Kebebasan yang diberikan kepada hakim ternyata oleh sebagian hakim digunakan bukan sekedar untuk membebaskan diri dari intervensi pemerintah melainkan digunakan untuk berbuat berbagai hal yang tidak patut, termasuk melakukan korupsi. 2. Penghapusan recall anggota DPR/DPRD Dulu kita juga selalu berteriak agar tidak ada recall (pemberhentian di tengah jalan) bagi anggota DPR/DPRD kecuali karena meninggal, mengundurkan diri, atau dijatuhi hukuman pidana dengan kualifikasi tertentu. Maksudnya agar para wakil rakyat bisa kritis dan tidak takut untuk menyuarakan aspirasi rakyat. 12
Perlu ditekankan bahwa istilah korupsi tidak harus diartikan menurut hukum yang mensyaratkan tiga unsur komulatif, yaitu: 1)melawan hukum, 2)memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, 3)merugikan keuangan negara. Secara umum korupsi bisa berupa tindakan memanfaatkan kedudukan untuk menguntungkan diri sendiri yang dalam praktik dapat berupa korupsi konvensional dan korupsi nonkonvensional.
Tetapi setelah tak bisa direcall banyak anggota lembaga perwakilan rakyat yang berperilaku korup dan amoral, banyak yang terlibat korupsi, perjudian, perbuatan asusila, penyalahgunaan narkoba dan sebagainya. Ketika disorot mereka seakan menantang balik karena tidak bisa direcall kecuali setelah ada putusan pengadilan, padahal selain lama, proses peradilan itu masih bisa dikolusikan. 3. Otonomi luas bagi Daerah Dulu kita juga meneriakkan agar sistem desentralisasi kita menganut asas otonomi luas dan DPRD diberi kedudukan politik yang kuat sebagai lembaga Legislatif Daerah yang sejajar dengan lembaga Eksekutif Daerah. Tapi yang terjadi sesudah itu adalah merebaknya korupsi di kalangan oknum-oknum anggota DPRD. Banyak anggota DPRD yang kemudian berkolusi atau bahkan memeras kepala daerah dengan ancaman ’halus’ LPJ-nya akan ditolak dan/atau akan dijatuhi mosi tak percaya jika permintaan itu tak dipenuhi. Saat pemilihan kepala daerah yang menurut UU No. 22 Tahun 1999 dipilih oleh DPRD banyak oknum anggota DPRD yang diberitakan menjual suaranya kepada calon tertentu. Yang kemudian muncul sebagai pemenang adalah kepala daerah yang mampu membeli suara terhadap lebih dari separoh dari seluruh anggota DPRD, bukan kepala daerah yang berkualitas dan amanah. 4. Penghidupan recall dan Pilkada langsung Berdasar pengalaman buruk atau rapor anggota DPRD berdasar UU No. 22 Tahun 1999 itu maka pada tahun 2002 UU tentang Parpol dan UU tentang Susduk MPR/DPR/DPD/DPRD diubah lagi dengan menghidupkan kembali lembaga recall yang diserahkan kepada Pimpinan Parpol.
Pemilihan kepala
daerah pun diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 menjadi pemilihan langsung sehingga anggota DPRD tak bisa lagi menjual suaranya kepada calon kepala daerah. Tetapi lagi-lagi kreativitas korupsi muncul dari pintu lain. Kalau dulu anggota DPR/DPRD bisa melakukan manipulasi karena tak dapat direcall,
sekarang gantian pengurus parpol yang dapat mengancam akan (dan sudah terbukti ada yang) merecall anggotanya dengan alasan yang masih kontroversial. Pada pihak lain setelah calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung dan anggota DPRD tak dapat menjual suaranya secara eceran maka giliran oknum pengurus parpol yang kini gencar diberitakan memungut uang yang tidak sedikit untuk keluarnya sebuah rekomendasi pencalonan.
Kasus
pilkada DKI dulu diramaikan oleh gugatan calon-calon yang gagal diusung karena mereka telah membayar uang kepada (oknum) parpol.13 Sungguh, orang kita ini sangat kreatif untuk korupsi.
Apakah karena budaya? Tampak dan terasalah bahwa berbagai peraturan perundang-undangan untuk membetrantas KKN dan menegakkan hukum selalu bisa diakali untuk dikorupsi. Itulah yang kemudian dijadikan salah satu argumen untuk mengatakan bahwa korupsi adalah budaya kita; sebab bagaimana pun kita mengatur untuk mengubah kebiasaan korup itu ternyata selalu muncul kreativitas untuk mengakalinya lagi. Benarkah begitu? Sabastian Pompe, penulis buku
The Indonesian
Supreme Court, A Study of Institutional Collapse, mengatakan ”nonsens” jika dikatakan korupsi merupakan budaya bangsa Indonesia. Dalam kaitannya dengan dunia peradilan menurut Pompe judicial corruption baru muncul setelah peristiwa Malari tahun 1974 ketika lembaga peradilan dibina dengan sistem (dan mulai dimasuki oleh) kepemimpinan militer. Itu terjadi ketika Soeharto mulai melangkah untuk mengokohkan kekuasaannya dengan mengkooptasi kekuasaan
13
Saat ini sudah ada UU No. 10 Tahun 2008 yang membuka pintu bagi calon perseorangan (sering disebut sebagai calon i ndependen) di dalam Pilkada. UU merupakan follow up atas putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa calon perseorangan harus diberi peluang mengikuti pilkada sebab banyak calon yang potensial tetapi tidak mendapat parpol pendukung sebagai kendaraan untuk berkompetisi di dalam pilkada.
kehakiman.
14Sejak
itu, kata Pompe, terjadilah kebiasaan melayani (pemberian
amplop atau upeti) di kalangan hakim.15 Penulis sependapat dengan Pompe. Hasil studi yang pernah penulis lakukan menujukkan bahwa dalam periode tertentu sejarah Indonesia, tepatnya pada tahun 1950-an, ternyata hukum dapat ditegakkan dengan baik melalui pimpinan-pimpinan yang tegas dan penuh integritas.
Pada periode itu kita
mencatat nama harum Jaksa Agung Soeprapto yang tegas mengajukan siapapun, termasuk menteri, ke pengadilan karena melakukan tindak pidana; begitu juga pada saat itu terlihat munculnya hakim-hakim yang jujur dan berani menghukum pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana. Dengan demikian pandangan bahwa korupsi adalah budaya bangsa tidak dapat kita terima karena dua hal. Pertama, pandangan itu bertentangan dengan fakta sejarah; kedua, kalau kita mempercayai pandangan itu berarti percaya pula bahwa apa pun yang akan kita lakukan akan cenderung gagal sebab budaya itu sangat sulit untuk diubah.
Etika dan Moral Tak Landasi Penegakan Hukum16 Selanjutnya marilah kita lihat hubungan antara hukum, khususnya penegakan hukum, dengan etika dan moral. Seperti dikemukakan di atas, banyak sekali pelanggar hukum (termasuk penegak hukum yang sengaja melanggar hukum melalui judicial corruption) yang mempermainkan formalitas hukum untuk melemahkan hukum itu sendiri. Atas nama kepastian hukum banyak pelanggar hukum yang bersikap dan berlagak tidak salah hanya karena belum dibuktikan kesalahannya di pengadilan. Padahal secara etik dan moral mereka 14
Pada era Orde Lama di bawah Bung Karno pengadilan juga dikooptasi oleh eksekutif sehingga tak berdaya, tetapi ketika itu ketidakberdayaan lembaga peradilan lebih merupakan ketidakberdayaan politik yang kemudian dituangkan secara resmi di dalam UU bahwa Presiden dapat mengintervensi Pengadilan. Buruknya dunia peradilan sekarang bukan pada soal politik tetapi disinyalir lebih dipengaruhi oleh jual beli perkara. 15 Lihat dalam majalah mingguan GATRA No. 21 Tahun XII, tanggal 8 April 2006. 16 Bagian ini dan beutir-butir berikutnya disunting dan ditulis ulang dari makalah penulis yang disampaikan sebagai orasi ilmiah pada wisuda sarjana Universitas Islam Kadiri (UNISKA) tanggal 15 Desember 2007 yang kemudian ditulis ulang dan dipresentasikan dengan judul “Kepemimpinan Nasional yang Berbasis Konstitusi” pada Seminar Nasional tentang Kepemimpinan Nasional yang diselenggarakan oleh Keluarga Alumni UII Wilayah Sulawesi Selatan dan CDLS Yogyakarta di Palembang tanggal 5 Mei 2008.
ini nyata-nyata bersalah atau
sekurang-kurangnya ada common sense
(pandangan umum yang wajar) bahwa mereka bersalah. Mereka bebas berkeliaran kemana-mana sambil berorasi tentang pembangunan dan penegakan hukum. Mereka tidak mau mundur dari jabatannya dengan alasan belum dibuktikan oleh pengadilan dirinya bersalah, padahal pengadilan selain memakan waktu lama juga mengalami krisis kepercayaan. Akibatnya, ada guyonan agak sinis bahwa negara kita ini dipimpin oleh para pelaku kriminal, utamanya para koruptor, yang berlindung di bawah formalitas-formalitas hukum. Hal ini ada kaitannya dengan pelaksanaan pendidikan kita yang lebih banyak berorientasi pada keahlian teknis bahkan lebih buruk dari itu berorientasi pada pengeluaran ijasah untuk dijadikan tiket meraih kedudukan tertentu di pemerintahan dan di tengah-tengah masyarakat. Marilah kita fokuskan perhatian kita pada kinerja hukum sebagai akibat runtuhnya etika keilmuan dan integritas kecendekiawanan dari konsepsi pendidikan yang juga salah dalam bidang hukum. Pada saat ini banyak sekali orang melakukan pelanggaran hak-hak negara dan hak masyarakat tetapi merasa tidak bersalah karena tidak merasa melanggar hukum formal. Mereka dengan senaknya merampok hak-hak masyarakat tetapi karena tidak salah secara hukum formal maka mereka merasa tak melakukan kesalahan apa pun. Hukum formal kemudian dijadikan alasan untuk berlindung dari kejahatan etik dan moral padahal hukum formal itu merupakan legalisasi dari etika dan moral. Artinya sebenarnya semua hukum formal itu adalah etika dan moral yang diformalkan. Oleh sebab itu seharusnya etika dan moral itu lebih diutamakan dari sekadar formalitas-formalitas hukum. Dalam kaitan etika ini penulis pernah menyajikan artikel di Harian Jawa Pos berjudul “Politik-Hukum Kancil Pilek,”17 Di dalam cerita fiktif ini dikisahkan bahwa orang bisa menjadi tak jujur dan tidak berani berbicara apa adanya karena tersandera oleh keadaan, dihegemoni oleh kekuatan di luar dirinya, dan takut untuk mengatakan sesuatu yang salah karena dirinya sendiri melakukan 17
Moh. Mahfud MD, “Politik-Hukum Kancil Pilek,” dalam harian Jawa Pos, (tanggal, tak terlacak tapi sekitar Mei 2007).
kesalahan yang sama sehingga dia bersikap seperti kancil pilek dalam cerita di bawah ini. Syahdan di sebuah hutan rimba hiduplah harimau si raja rimba yang memerintah rimba itu dengan sewenang-wenang dan kejam. Pada suatu hari sang harimau mendengar kabar, di kalangan rakyatnya beredar gunjingan bahwa badan sang raja bau, pesing, dan membuat mual binatang lain. Merasa risih dengan desas desus itu. Si raja rimba memanggil tiga pimpinan binatang untuk mendapat kepastian. Mula-mula dia memanggil pimpinan binatang anjing, seekor herder yang besar. “Menurutmu benarkah badan saya ini bau?” tanya harimau sambil menyorongkan badannya kepada herder itu agar dibau. “Ampun tuan raja yang mulia, memang benar badan tuan bau dan memualkan,” jawab herder tersebut dengan jujur. Mendengar itu sang harimau jadi marah. “Kurang ajar, berani benar kamu menghina raja di rimba ini,” kata sang harimau sambil menerkam dan merobek-robek si herder sampai lumat. Kemudian dipanggillah pimpinan rakyat kijang. “Apakah menurutmu badanku ini bau?” tanya harimau kepada pimpinan kijang itu. Karena takut dirobek-robek seperti herder maka, setelah membau badan harimau, pimpinan kijang itu
berkata. “Ampun yang mulia, ternyata badan yang mulia harum
menyegarkan,” katanya. Tapi tiba-tiba sang harimau menerkam pimpinan kijang sambil mengaum keras. “Kurang ajar, munafik; berani benar kamu membohongi raja,” teriaknya sambil mencabik-cabik tubuh pimpinan kijang. Berikutnya dipanggillah pimpinan rakyat kancil yang kemudian datang dengan gelisah dan ketakutan. Bagaimana dirinya harus menjawab pertanyaan harimau si raja rimba? Kalau menjawab jujur seperti herder bisa dirobek-robek karena dianggap berani kurang ajar, kalau berbohong agar raja senang bisa dicabik-cabik seperti kijang. Ketika membau tubuh harimau si kancil bersin (wahing) karena tubuh raja rimba itu baunya memang menyengat. “Bagaimana menurutmu, kancil? Apa badan saya memang bau?,” tanya harimau sambil membentak. Dengan gemetar kancil itu menjawab. “Maaf raja rimba yang mulia, saya sedang pilek, hidung lagi mampet; jadi tak tahu apakah badan tuan bau atau tidak,” jawab sang kancil.
“Kok, tadi kamu bersin? Apa karena badan saya bau?” kejar sang harimau. “Ya, saya bersin justru karena pilek itu,” jawab kancil lebih berani. Sang harimau akhirnya melepaskan sang kancil yang cerdik itu. Dari cerita itulah di dalam dunia politik kita sering mendengar istilah “politik kancil pilek,” yang biasa diartikan sebagai politik diam meski melihat kemungkaran karena ingin selamat dari kekejaman penguasa.
Politik kancil
pilek di Indonesia bukan hanya karena dalam posisi lemah dan takut kepada penguasa yang busuk (harimau bau) melainkan juga banyak diantaranya yang menjadi kancil pilek karena mereka sendiri menjadi bagian dari kebusukan itu (ikut bau). Oleh sebab itu mereka menjadi takut berbicara yang sebenarnya dan menjadi kancil pilek jika ditanya tentang korupsi karena mereka sendiri ternyata juga korupsi. Jadi mereka takut pada perbuatannya sendiri, bukan takut pada penguasa yang kuat dan kejam. Lihat saja sekarang ini, banyak tokoh yang semula galak tiba-tiba
menjadi
pendiam
dan
menyerukan
kearifan
untuk
tidak
mempersoalkan sangkaan korupsi atas orang lain, padahal dulunya galaknya setengah mati meneriakkan pemberantasan korupsi. Mereka lalu berpura-pura pilek karena ternyata mereka juga terjerat kasus korupsi. Mereka ini kemudian berbicara secara sangat normatif (tapi palsu) agar semua masalah dikembalikan kepada hukum. Padahal menurut teori dan fakta, hukum itu baru bisa ditegakkan kalau ada dukungan politik, sekurang-kurangnya kalau ada imbangan politik atas kekuatan politik lain yang selalu menelikung hukum. Dalam pada itu lembaga penegak hukum sendiri juga terserang penyakit kancil pilek dan tidak berani melakukan tindakan hukum karena takut pada terkaman harimau jahat, takut dicopot. Yang menjadi harimau jahat sekarang ini adalah oligarki politik. Contoh paling aktual tentang ini adalah tindak lanjut hukum atas vonis kasus korupsi dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang telah menghukum (dan berhenti pada) mantan menteri DKP Rokhmin Dahuri. Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK sekarang ini sering membuang badan untuk menangani kelanjutan kasus korupsi yang menyangkut tokoh-tokoh politik kuat; padahal kasus itu sekurang-kurangnya dapat dikaitkan dengan
empat tindak pidana pidana lain oleh para penerimanya seperti penadahan, (ikut) korupsi, gratifikasi, dan pencucian uang. Alasan yang dikemukakan bermacam-macam, seperti karena belum adanya bukti awal (padahal bukti awal sudah sangat jelas), karena tidak ada laporan atau pengaduan (padahal kasusnya bukan delik aduan), karena kasusnya secara administratif menjadi domain lembaga lain seperti KPU (padahal kasus itu bersifat concursus atau gabungan tindak pidana yang bisa diurus oleh beberapa lembaga dari aspek hukumnya masing-masing sehingga kasus pidananya bisa ditangani kepolisian, kejaksaan, dan KPK).
Persoalan Etika Hal-hal tersebut pada saat ini menjadi problem besar di negara kita. Hukum bisa dipermainkan dengan formalitas-formalitas belaka dan dilepaskan dari ruh etiknya. Para penegak hukum bukan lagi mencari kebenaran melainkan bagaimana mencapai kemenangan riil sesuai dengan yang diinginkan dirinya maupun klien yang memesannya. Penyelesaian kasus-kasus hukum di pengadilan pun tidak lagi mengandalkan kekuatan argumen yang murni hukum melainkan diselesaikan
melalui lobi-lobi politik dan negosiasi tentang cara
penyelesaian atau materi putusan yang dapat dinilai dengan harga uang tertentu. Sekarang ini banyak orang melanggar hak-hak masyarakat, tetapi tetap bersikukuh tak bersalah hanya karena tidak atau belum dibuktikan secara formal melalui proses peradilan, padahal proses peradilan pun sudah berjalan dengan penuh judicial corruption. Orang yang bersalah kemudian melenggang dengan tenang dan tetap mengelabuhi masyarakat tanpa tahu malu dengan selalu berlindung di balik asas praduga tak bersalah. Sangat terasa bahwa buruknya kinerja penegakan hukum belakangan ini karena hukum sudah dilepaskan dari etika dan moral, orang yang melanggar etika merasa tidak bersalah karena merasa tak melanggar hukum padahal etika adalah dasar dari adanya hukum; atau hukum merupakan peningkatan gradual (legalisasi atau formalisasi) dari etika. Sebenarnya sudah sejak lama kita mengidentifikasi masalah tersebut sebagai salah satu penyebab buruknya penegakan hukum di Indonesia. Itulah sebabnya pada tahun 2001 kita mengeluarkan Tap MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang menekankan pentingnya etika dalam kehidupan berbangsa agar kita tidak disandera oleh krisis yang berkepanjangan. Namun sampai sekarang Tap MPR tersebut masih tumpul dan seperti tak pernah dihiraukan termasuk oleh mereka yang dulu ikut membuatnya. Tidaklah heran jika kita melihat banyak orang yang terus bermain pelesetan hukum dalam kenyataan hidup yang sebenarnya sangat serius ini. Kalau pelesetan kata di dalam ketoprak humor atau di dalam parodi “Republik Mimpi” bisa menggelikan dan menghibur. Misalnya memlesetkan Yusuf Kalla menjadi Ucup Kelik, memlesetkan kepanjangan JK menjadi Jarwo Kuwat, memlesetkan pepatah
“hujan batu” di negeri sendiri menjadi “hujan babu” di negeri sendiri merupakan contoh pelesetan kata yang lucu dan menggelikan. Tetapi kalau pelesetan hukum bukanlah permainan kata melainkan pembelokan kasus hukum. Ada kasus yang berindikasi kuat sebagai kasus pidana tetapi prosesnya menjadi mandek karena diselesaikan secara adat. Korupsi Dana Abadi Umat yang fantastis berhenti pada penghukuman mantan menteri agama dan seorang dirjennya sebagai tumbal padahal dana itu mengalir ke berbagai pejabat. Ada juga orang yang ingin kembali ke jabatannya setelah dihukum karena
kasus
korupsi
dengan
alasan
belum
pernah
menerima
surat
pemberhentian. Di sini ada dua pelesetan, yang pertama pelesetan orang yang tak tahu diri karena sudah merusak negara dengan korupsi tetapi masih mau menjabat, yang kedua pelesetan karena kelalaian pemerintah yang ternyata tidak segera mengeluarkan SK pemberhentian begitu yang bersangkutan dinyatakan bersalah dan vonis pengadilan tentang itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Agak sejalan dengan ini, ada juga yang ingin atau mau didudukkan di dalam jabatan publik padahal yang bersangkutan sedang menjadi tersangka dalam kasus korupsi. Ini lebih banyak menyangkut etika dan moral. Ada contoh lain lagi dalam kasus ini, yakni, adanya pejabat yang menyalahgunakan wewenang dan terindikasi kuat melanggar hukum tetapi mengaku tak bersalah. Mereka mau bertahan pada jabatannya dengan alasan, tak ada putusan pengadilan bahwa dirinya bersalah. Padahal kita tahu untuk pejabat tinggi level tertentu aparat penegak hukum selalu tak berani menyentuh sehingga selama dia menjabat kecil kemungkinannya disentuh oleh hukum. Harus diingat, menurut Tap MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa seorang pejabat publik harus berhenti dari jabatannya jika membuat kebijakan atau melakukan sesuatu yang menimbulkan keresahan atau sorotan publik. Menurut Tap MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa itu pejabat publik harus mengundurkan diri tanpa harus lebih dulu terbukti bersalah secara hukum jika membuat policy atau melakukan sesuatu yang menimbulkan sorotan atau ketidakpercayaan publik. Tegasnya, menurut Lampiran Tap MPR No. VI/MPR/2001 (Bab II butir 2) setiap pejabat harus jujur…, dan “siap mundur” dari jabatannya apabila… “secara moral” kebijakannya bertentangan
dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat; yang harus diwujudkan dalam bentuk … tidak melakukan “kebohongan publik.” Ingat, di sini ada soal moral, rasa keadilan, dan kebohongan publik. Selain itu pada tahun yang sama MPR mengeluarkan
Tap
No.
VIII/MPR/2001
tentang
Arah
Kebijakan
dan
Rekomendasi Pembarantasan KKN yang juga berisi ketentuan bahwa pejabat publik dapat dikenakan tindakan administratif jika terlibat kasus hukum tanpa harus menunggu vonis pengadilan lebih dulu. Oleh sebab itu agak kurang tepat ketika Presiden menyatakan bahwa para menterinya sudah menandatangani surat pernyataan bersedia mengundurkan diri apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum. Kurang tepat, karena kalau sudah terbukti melakukan pelanggaran hukum mestinya tak perlu bersedia mengundurkan diri melainkan harus langsung diberhentikan meskipun tak bersedia mengundurkan diri. Tuntutan untuk bersedia mengundurkan diri itu bukannya setelah terbukti bersalah secara hukum atas putusan poengadilan, melainkan cukup membuat kebijakan atau melakukan kecerobohan atau kesalahan yang mendapat sorotan negatif dari publik karena sangat tidak wajar tanpa harus dibuktikan lebih dulu melalui putusan pengadilan. Ini adalah soal etika yang dihukumkan melalui Tap MPR No. VI/MPR/2001. Perlu ditegaskan bahwa Tap MPR No. VI/MPR/2001 dan Tap No. VIII/MPR/2008 itu menurut Tap MPR No. I/MPR/200318 masih berlaku sampai ada UU yang menggantikannya.19 Paradigma UUD 1945 Dari sudut konstitusi penekanan pada pentingnya pemenuhan rasa keadilan di negara hukum Indonesia sebenarnya sudah lama menjadi landasan resmi politik hukum kita. Adanya dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan kaidah 18
Sebenarnhya sejak amadnemen UUD 1945 tata hukum kita tidak lagi mengenal Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan, tetapi ada satu Tap terakhir yakni Tap No. I/MPR/2003 yang memosisikan kembali untuk terakhir kali semua Tap MPRS/MPR yang sudah terlanjur ada sehingga ada yang dinyatakan dicabut, ada yang dinyatakan berlaku dengan ketentuan, ada yang dinyatakan berlaku sampai waktu atau keadaan tertentu, ada yang dinyatakan berlaku sampai ada UU yang menggantikannya, dan ada yang dinyatakan tidak memerlukan tindakan hukum karena sudah selesai dengan sendirinya. 19 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Paradoks Pelesetan Hukum,” dalam Harian KOMPAS tanggal 28 Agustus 2007; juga dalam Moh. Mahfud MD, “Surat Terbuka Kepada Presiden SBY, Masyarakat Risau Soal Syamsul Bahri,” dalam Harian Jawa Pos tanggal 15 Oktober 2007.
penuntun toleransi beragama yang berkeadaban dan berkeadilan sebenarnya harus dipahami sebagai landasan etika dan moral dalam pembangunan hukum kita. Pilihan landasan ini kemudian diperkuat ketika kita melakukan amandemen atas UUD 1945 (1999-2002) yang memindah ketentuan tentang negara hukum ke dalam pasal 1 ayat (3) dengan meniadakan istilah rechtsstaat. Melalui amandemen tersebut istilah rechtsstaat yang semula dimuat di dalam Penjelasan Umum UUD 1945 dihapuskan sehingga istilah negara hukum tidak lagi disambung dengan istilah rechtsstaat yang diletakkan di dalam kurung. Melalui amandemen tahap ke tiga (tahun 2001) istilah negara hukum itu dipindahkan20 ke dalam pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Tampak jelas bahwa di dalam kalimat tersebut kata rechtsstaat tidak lagi dipergunakan karena sebenarnya negara kita tidak hanya menganut rechtsstaat tetapi juga menganut the Rule of Law dan sistem hukum lainnya dengan inti filosofinya masing-masing yang kemudian digabungkan sebagai paradigma negara hukum Pancasila. Paradigma yang penulis sebut sebagai prismatik (mengambil dari Fred W. Riggs) ini merajut nilai-nilai baik semua sistem hukum secara eklektis sehingga menjadi hukum nasional Indonesia. Secara lebih jelas dapat dikemukakan bahwa penghilangan istilah rechtsstaat dari UUD tersebut bukanlah masalah semantik semata melainkan juga menyangkut masalah yang substantif dan paradigmatik. Sebab, seperti diketahui, ada dua istilah yang berbeda yaitu rechtsstaat dan the Rule of Law (RoL). Kedua istilah tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dalam satu istilah yang sama, yaitu, negara hukum padahal kedua istilah (rechtsstaat dan RoL) meempunyai konsepsi dan pelembagaan secara berbeda. Istilah rechtsstaat adalah istilah untuk negara hukum yang dipakai negara-negara kawasan Eropa Kontinental yang lebih menekankan pada pentingnya “hukum tertulis (civil law)” dan kepastian hukum. Kebenaran dan keadilan hukum di dalam rechtsstaat lebih berpijak atau menggunakan ukuran formal; artinya yang benar dan adil itu adalah apa yang ditulis di dalam hukum 20
Pemindahan isi ini dilakukan juga sebagai konsekuensi dari salah satu kesepakatan dasar dalam perubahan UUD 1945 yakni meniadakan Penjelasan dan memindahkan isinya yang bersifat normatif ke dalam pasal-pasal UUD.
tertulis. Titik berat penegakan hukum di dalam rechtsstaat adalah kepastian hukum sehingga hakim yang baik adalah hakim yang dalam membuat putusan dapat menemukan hukum-hukum tertulis yang pasti. Di dalam rechtsstaat hakim merupakan corong UU. Sedangkan the Rule of Law (RoL) adalah istilah untuk negara hukum di negara-negara kawasan Anglo Saxon yang lebih menekankan pada pentingnya “hukum tak tertulis” (common law) demi tegaknya keadilan substansial. Kebenaran dan keadilan hukum di dalam RoL lebih berpijak atau menekankan tegaknya substansi keadilan daripada kebenaran formal-prosedural semata; artinya yang benar dan adil itu belum tentu tercermin di dalam hukum tertulis melainkan bisa yang tumbuh di dalam sanubari dan hidup di dalam masyarakat; dan karenanya hukum tertulis (UU) dapat disimpangi oleh hakim jika UU itu dirasa tidak adil. Karena titik berat RoL adalah keadilan maka dalam membuat putusan hakim tidak harus tunduk pada bunyi hukum tertulis melainkan dapat membuat putusan sendiri dengan menggali rasa dan nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat. Sejak perubahan tahap ketiga UUD 1945 konstitusi kita sudah mengarahkan agar penegakan hukum di Indonesia secara prinsip menganut secara seimbang segi-segi baik dari konsepsi rechtsstaat dan The Rule of Law sekaligus yakni menjamin kepastian hukum dan menegakkan keadilan substansial. Bahkan kalau kita telah lebih jauh UUD 1945 hasil amandemen bukan hanya menekankan pentingnya asas kepastian hukum dan keadilan tetapi juga menekankan pada pentingnya asas manfaat yakni asas yang menghendaki agar setiap penegakan hukum itu harus bermanfaat dan tidak menimbulkan kerusakan atau mudharat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.21 Penganutan lebih dari satu asas yang berasal dari konsepsi, tradisi, dan kawasan yang berbeda ini secara literatur penulis sebut sebagai konsepsi
21
Baik asas keadilan maupun asas manfaat seringkali diperdebatkan karena bisa selalu menjadi kontroversi karena ukurannya tidak pasti, tetapi jika putusan itu jelas dasar argumen keadilan dan kemanfaataannya yang didukung oleh suasana kebatinan yang berkembang di dalam masyarakat maka hal itu dapat dilakukan atau diformulasikan oleh para hakim; buktinya di negara-negara Anglo Saxon hampir tak ada putusan hakim yang tidak dianggap sebagai hukum yang final karena argumen untuk memunculkan keadilan itu di sana dapat diurai dengan baik oleh para hakim.
prismatik. Istilah ini diambil dari Fred W. Riggs22 di dalam bukunya, Administration in Developing Countries, yang menunjukkan adanya pemaduan antara konsep-konsep yang sebenarnya tidak sama. Di dalam prismatika sistem hukum Pancasila saya melihat bahwa negara hukum kita memadukan secara harmonis unsur-unsur baik dari rechtsstaat (kepastian hukum) dan the Rule of Law (keadilan substansial). Di dalam konsepsi ini prinsip rechtsstaat dan the Rule of Law tidak diposisikan sebagai dua konsepsi yang bersifat alternatif atau kompilatif yang dalam penerapannya bisa dipilih berdasar selera sepihak, melainkan sebagai konsepsi yang kumulatif sebagai satu kesatuan yang saling menguatkan. Menurut penulis, pengambilan konsepsi prismatika ini tepat karena sesuai dengan nilai-nilai hukum yang memang akan kita tegakkan. Tidaklah mungkin kita hanya mengambil salah satunya secara mutlak-kategoris, seperti halnya tidak mungkinnya kita mengambil salah satu antara “individualisme” dan “komunalisme” atau antara “negara agama” dan “negara sekuler.” Konsepsi prismatik memungkinkan kita mengambil unsur-unsur yang baik dari konsepkonsep yang berbeda itu sebab sistem kemasyarakatan kita pun, sejak dulu, sebenarnya bersifat prismatik. Penegasan konstitusi kita tentang pentingnya pengambilan asas kepastian hukum, keadilan, dan manfaat dalam penegakan hukum kita ini bukan hanya dapat dinukil dari ketentuan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menetralkan negara hukum kita dari istilah rechtsstaat atau istilah asing lainnya melainkan juga tertuang, sekurang-kurangnya, di dalam pasal 24 ayat (1), pasal 28D ayat (1), dan pasal 28H ayat (2) yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 ayat (1): Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan “keadilan.” Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
22
Fred W. Riggs, Administration in Developing Countries, the Theory of Prismatic Society, Houghton Mifflin Company, Boston, 1964.
Pasal 28 H ayat (2):
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan “manfaat” yang sama guna persamaan dan “keadilan.”23 Dari uraian itu penulis berpendapat bahwa kepastian hukum haruslah dibangun untuk memastikan bahwa keadilan itu dapat tegak sesuai dengan penegasan pasal 28D ayat (1) yang menegaskan perlunya “kepastian hukum yang adil” dan bukan kepastian sekedar kepastian. Oleh karena keadilan itu selalu dapat tercermin dan dipenuhi oleh hukum-hukum tertulis, maka di sinilah letak pentingnya “etika” sebagai sumber isi dan dasar penegakan hukum di dalam negara hukum Pancasila yang bersifat prismatik ini. Sudah jelas bahwa salah satu persoalan pokok yang kita hadapi dalam penegakan hukum adalah tidak sinkronnya pelaksanaan etika dan norma dengan implementasi hukum di lapangan. Sekarang ini banyak sekali “terduga, terdakwa, dan tertuduh” pelanggar hukum tampil dan berargumen ke depan publik bahwa dirinya tidak bersalah karena belum ada putusan pengadilan yang mengadili atau putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kalau melanggar etika dan moral mereka merasa tidak bersalah karena “demi kepastian hukum” pengadilan belum pernah memutus bahwa mereka bersalah; padahal pengadilan pun sangat kolutif dan dililit oleh judicial corruption. Kalau diadili mereka dan para pengacaranya berkelit-kelit di seputar pasal-pasal formal tanpa peduli pada rasa keadilan yang diteriakkan oleh nurani yang sehat. Kelitan ini ditengarai dapat pula dimainmatakan dengan hakim maupun jaksa sesuai dengan transaksi yang dapat dilakukan di dalam proses judicial corruption itu. Dengan demikian salah satu agenda penting dalam pembangunan hukum kita adalah, bagaimana meletakkan etika dan moral sebagai sumber norma
23
Tanda petik dalam pasal-pasal yang dikutip berasal dari saya (pengutip) untuk menunjukkan letak asas hukum kita.
hukum serta dasar implementasi atau penegakan hukum itu. Dalam situasi seperti ini diperlukan munculnya hakim, jaksa, dan pengacara yang tidak terbelenggu oleh hukum yang formal prosedural serta dapat bersikap progresif untuk menegakkan keadilan dan menjadikan etika dan moral sebagai fondasi penegakan hukum. Etika dalam pendidikan hukum Untuk jangka panjang, pendidikan hukum di negara kita haruslah ditata sedemikian rupa agar hukum tidak hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang kaku dan harus dilaksanakan melainkan harus dikuatkan juga dengan pendidikan atau nilai-nilai moral dan etika sebagai sumber kristalisasi dan legalisasi hukum. Masalah ini tak dapat dilepaskan juga dari orientasi pendidikan hukum yang kita selenggarakan. Terkait dengan ini perlu diingat bahwa salah satu landasan filosofi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang kita anut adalah filosofi bahwa Iptek itu dalam pengembangannya tidak boleh dinetralkan. Iptek hanya dapat dikembangkan jika tidak merusak dan membahayakan masyarakat. Berdasarkan itu
ada dua batas pengembangan Iptek; Pertama, Iptek
dikembangkan dengan wawasan rasional tetapi tidak berdasar rasionalisme, sebab bagi bangsa yang bertuhan (menganut agama) sumber kebenaran bukan hanya yang rasional atau bisa diuji secara ilmiah dengan berbagai metode dan eksperimen melainkan juga mencakup hal-hal yang secara ilmiah dan rasionalitas manusia tidak dapat dijangkau (ghaib). Kedua, Iptek hanya boleh dikembangkan sejauh tidak membahayakan umat manusia dan alam sehingga Iptek,
meski
dasar
teorinya
dapat
netral,
tetapi
penerapan
dan
pengembangannya tetaplah harus memihak bagi kemaslahatan ummat. Itulah dasar etik dan moral yang harus dikuatkan dalam proses pendidikan dan penguatan profesi hukum kita. Ketentuan yang demikian kemudian menuntut munculnya integritas kecendekiawanan sehingga tugas universitas bukan hanya mencetak ijasah melainkan mendidik dan memanusiakan sivitas akademikanya agar berakhlak atau beretika di dalam kehidupannya. Sikap kecendekiawanan adalah sikap
penuh tanggung jawab atas kemaslahatan masyarakat. Oleh sebab itu sarjana dan cendekiawan itu berbeda, sebab sarjana lebih menekankan pada kecerdasan otak,
sedangkan
cendekiawan
menekankan
pada
keseimbangan
antara
kecerdasan otak dan keluhuran watak. Masalahnya sekarang ini banyak sekali lembaga pendidikan yang tidak lagi mengindahkan filosofi yang harus menjadi landasan etik dan moral. Banyak lembaga pendidikan, mulai dari tingkat SD sampai peruruan tinggi, yang hanya mengeluarkan ijazah untuk keperluan formalitas orang mencari kerja dan mengejar jabatan. Kedalaman ilmu dan landasan etik dan moral tidak terlalu diperhatikan sehingga banyak lulusan universitas yang bukan saja tidak mampu memajukan masyarakat tetapi sebaliknya merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat. Kita dapat mencatat adanya kesalahan pendidikan kita karena dalam praktiknya menekankan pada ijazah formal, bukan pada substansinya untuk memanusiakan manusia. Dengan praktik pendidikan yang menekankan pada “ijazah sekolah formal” yang dianut seperti sekarang, maka jabatan seseorang di tengah-tengah masyarakat ditentukan oleh ijazah sekolah yang dimilikinya, bukan ditentukan oleh kompetensi dan kualitas riilnya. Semakin tinggi ijazah formal yang dimiliki seseorang akan semakin tinggi kedudukannya di dalam masyarakat. Jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan kedudukan bergengsi di tengah-tengah masyarakat biasanya bisa dimasuki oleh seseorang dengan ukuran ijazah tertentu. Betapa pun seseorang bodoh, jika memiliki ijazah sekolah formal maka ia bisa meraih jabatan-jabatan penting. Sebaliknya betapa pun pandainya seseorang, biasanya sulit untuk menduduki jabatan pemerintahan kalau tak punya ijazah formal sekolah. Akibat konsepsi pendidikan yang seperti itu di negara kita banyak sekali orang memburu ijazah formal hanya karena ingin gengsi-gengsian dan mendapat jabatan resmi. Orang belajar ke sekolah bukan untuk mencari ilmu tetapi untuk mencari ijazah demi syarat formal untuk mendapat kedudukan. Mutu pendidikannya sendiri kemudian menjadi tidak terlalu penting. Janganlah heran kalau ribuan orang beken dan penting di negara kita memburu ijazsah dengan cara haram. Pada penghujung tahun 2005 kita
diributkan oleh ditemukannya banyak pejabat, pengusaha, pegawai negeri yang ternyata menggunakan ijazah aspal. Bahkan ada orang yang tiba-tiba menjadi profesor, padahal profesor adalah jabatan akademik yang hanya bisa diraih jika seseorang mengajar di perguruan tinggi dalam minimal waktu dan kompetensi tertentu dengan mengumpulkan angka kredit prestasi minimal tertentu pula yakni angka kredit 850 untuk profesor madya dan 1000 kredit untuk profesor.24 Bahaya praktik pendidikan yang seperti itu pernah juga dikemukakan oleh Ivan Illich
melalui bukunya Deschooling Society yang mengusulkan
pembentukan “masyarakat bebas sekolah.” Kata Illich, yang diperlukan adalah pendidikan
yang
membebaskan
manusia,
bukan
sekolah
yang
hanya
mengeluarkan ijazah. Sistem pendidikan formal dengan berbagai jenis dan jenjang sekolah, menurut Illich, hanya memproduksi ijazah yang kemudian menciptakan kasta-kasta dan ketidakadilan di dalam masyarakat karena dengan ijazah sekolah itulah kedudukan seseorang ditentukan. Ini menyebabkan banyak orang yang hanya ingin mendapat ijazah tetapi tidak ingin mendapat, apalagi mengembangkan, ilmunya. Dan untuk ini ijazah bisa dicari dengan berbagai cara termasuk dengan membeli, menyuap, dan memalsukannya yang kemudian dijadikan syarat untuk menduduki jabatan penting. Tentu kita tidak harus mengikuti Illich untuk membangun masyarakat yang bebas sekolah. Sekolah dengan berbagai jenjang dan jenisnya tetap harus ada. Ijazah formal sekolah tetap diperlukan untuk menunjukkan tingkat-tingkat kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya saja lembaga pendidikan harus dikontrol dan diarahkan sedemikian rupa agar tumbuh secara bermutu sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak sekedar menjadi tempat jual beli ijazah. Ivan Illich benar sebab kesalahan praktik atau implementasi pendidikan yang seperti itu kemudian telah merusak etika dan menyuburkan ketidakjujuran ilmiah. Sekarang ini banyak bermunculan karya tulis ilmiah yang tidak ilmiah karena hanya dibuat secara formalitas untuk mendapat ijazah atau untuk naik pangkat. Yang lebih parah dari itu banyak karya ilmiah yang merupakan hasil 24
Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Pendidikan yang Tak Membebaskan,” dalam Harian Seputar Indonesia, tanggal 20 September 2007
jiplakan dari karya orang yang kemudian diklaim sebagai hasil karya sendiri. Ada yang asal tulis tapi bisa terbit karena mampu membayar penerbit instant yang mau menerbitkannya asal penulisnya mau membayar mahal. Banyak juga politisi yang menulis buku atau artikel di media massa, tetapi dituliskan oleh orang lain alias “ghost writer”. Ada juga politisi yang suka mengomentari
sesuatu
di
koran
kemudian
komentar-komentar
itu
disuruhtuliskan kepada seorang wartawan agar diberi landasan teori dan analisis, padahal wartawan itu tak kompeten di bidang itu. Seorang dirjen di satu departemen pernah dengan bangga menyerahkan buku kepada saya yang berisi masalah-masalah hukum. Ternyata buku itu merupakan himpunan pidatonya yang semula dituliskan oleh stafnya untuk kemudian disuruh menulis kepada seorang wartawan menjadi buku. Karena wartawan itu hanya bagus dalam menulis berita atau artikel pop tapi jarang menulis ilmiah, maka buku itu menjadi aneh dan sama sekali tidak ilmiah. Jangankan membuat sitasi rujukan, menulis daftar pustaka saja tidak benar. Tradisi keilmuan kita menjadi lebih buruk karena banyaknya tulisan sekarang ini jiplakan bukan hanya menjadi trend politisi atau pejabat birokrasi yang ingin gengsinya naik, tetapi juga banyak melanda kalangan akademisi, mahasiswa pascasarjana, bahkan dosen yang ingin menaikkan jabatan akademiknya. Mereka ini kerapkali menggunakan penulis hantu (ghost writer), misalnya wartawan pop atau mahasiswa, untuk menulis karya atas namanya guna dipublikasikan ke tengah-tengah masyarakat dalam bentuk buku maupun dalam bentruk artikel untuk dimuat di media massa. Si ghost writer mendapat uang, sedangkan si dosen atau figur publik yang sejatinya agak bodoh mendapat nama sebagai penulis. Orang seperti ini sama sekali tidak punya integritas keilmuan (kejujuran ilmiah) dan tak mungkin dapat memberi sumbangan apa pun bagi kemajuan pendidikan. Malah dosen yang seperti ini membuat mutu perguruan tinggi kita jadi berantakan. Orientasinya hanya ingin naik jabatan akademik tetapi tak mau berpikir dan bekerja secara ilmiah sehingga dia suka menyewa ghost writer atau menjiplak.
Penulis pernah diminta menjadi penelaah sebuah disertasi yang isinya bagus, tetapi setelah diuji ternyata yang bersangkutan sama sekali tak menguasai isinya. Ternyata sebagian besar isinya menjiplak karya orang lain. Penulis memrotes
keras
dan
menyatakan
bahwa
demi
integritas
ilmiah
dan
menyelamatkan dunia akademik yang bersangkutan harus di-drop out atau harus memulai dari awal lagi. Berdasar hasil perbincangan penulis dengan banyak akademisi, sekarang ini memang banyak dosen yang menggunakan ghost writer baik untuk menulis disertasi maupun untuk menulis makalah, bahkan menulis kolom-kolom di koran. Untuk naik pangkat tak jarang ada dosen yang mencuri karya temannya bahkan ada yang mencuri data dan analisis karya mahasiswa yang dibimbingnya yang kemudian diklaim sebagai karyanya sendiri.25 Orang yang tak punya integritas keilmuan dengan mengaku-aku dan mencuri karya orang lain pasti tidak akan jujur kepada masyarakat. Kalau ada peluang korupsi, orang yang seperti ini akan korupsi juga terhadap hak-hak masyarakat. Malahan kalau tak ada peluang dia akan mencari-cari dan membuat peluang untuk korupsi. Menurut penulis, itulah salah satu penjelasan mengapa bangsa kita sekarang ini terjerembab ke dalam krisis multidimensi, yakni, karena banyak pengelola lembaga pendidikan dan lulusan perguruan tinggi yang tidak lagi memiliki integritas kecendekiawanan. Dalam kaitan ini saya teringat ketika saya akan mengakhiri pendidikan doktor di UGM pada tahun 1993. Saat itu saya dinasehati oleh Prof. Koesnadi Hardjasoemantri dan Prof. Sri Soemantri agar saya dan para sarjana hukum menjaga integritas kecendekiawanan, yakni sikap untuk membangun dan memihak kepentingan masyarakat seperti meneriakkan dan berusaha agar politik selalu tunduk pada hukum. Kata kedua profesor itu, ilmu bukanlah untuk ilmu semata, tetapi untuk kebaikan bagi masyarakat. Ilmu jangan hanya mengandalkan logika tetapi juga harus berlandaskan moral dan etika untuk menyelamatkan masyarakat dari tindakan sewenang-wenang. Ilmuwan harus mempunyai integritas kecendekiawanan, yakni cerdas otaknya dan luhur 25
Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Ancaman Lunturnya Kejujuran Ilmiah,” dimuat dalam Harian Kedaulatan Rakyat, tanggal 16 Oktober 2007
wataknya. Meminjam ungkapan Gus Dur, kita tak boleh menjadi ilmuwan tukang yang dapat membuat pandangan-pandangan yang “seolah-olah ilmiah” berdasar pesanan atau kepentingan politik. Pesan
ini
sangat
penting
karena
sekarang
ini
hukum
banyak
diporakporandakan oleh demagogi politik seperti yang dicemaskan oleh kedua Soemantri itu. Itu disebabkan oleh lunturnya integritas kecendekiawanan. Ilmuwan kita banyak yang suka memanipulasi logika di atas etika dan moral karena
kepentingan
kue
politik.
Gubernur
Lemhanas
Muladi
pernah
mengemukakan bahwa sekarang ini banyak ilmuwan hukum yang menjadi saksi ahli di pengadilan dengan mendapat bayaran tinggi agar bersaksi untuk menyelamatkan koruptor; misalnya membelokkan kasus pidana menjadi kasus perdata atau administrasi. Di kalangan akademisi sekarang ini banyak yang suka melacurkan diri dengan menjadi ilmuwan tukang yang siap memberi fatwa ilmiah sesuai dengan keinginan pemesan asal dibayar dengan harga (uang, proyek, atau posisi) tertentu.26 Itulah salah satu masalah serius yang kita hadapi, yakni, membusuknya integritas kecendekiawanan dan hilangnya kejujuran secara masif yang kalau dibiarkan dapat mengancam eksistensi bangsa dan negara Indonesia.
Ranah pembangunan hukum kita Jika kita menggunakan teori yang ditawarkan oleh Lawrence M. Friedman maka kita akan dapat menemukan kerangka penjelasan atas berbagai persoalan tersebut. Seperti diketahui ranah pembangunan hukum menurut Lawrence M. Friedman sekurang-kurangnya harus menyangkut tiga hal yakni substance (isi atau materi hukum), structure (aparat penegak hukum), dan culture (budaya hukum).
26
Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Integritas Kecendekiawanan,” dalam Koran Seputar Indonesia, tanggal 3 Oktober 2007; juga dalam Moh. Mahfud MD, Aroma Busuk Dunia Akademik, dalam majalah GATRA, edisi 24 Januari 2007.
Perubahan yang terjadi pada era reformasi sebagian besar menyangkut pada isi hukum, sedangkan pembangunan struktur hukum baru menyangkut struktur organisasi penegakan hukum tanpa menyentuh para penegak hukumnya. Begitu juga budaya hukum belum banyak disentuh dalam proses reformasi. Seperti kita ketahui begitu rezim Orde Baru runtuh maka diubahlah semua
perundang-undangan
yang
dianggap
tidak
kondusif
bagi
demokratisasi dan penegakan hukum, mulai dari undang-undang bidang politik, bidang HAM, bidang peradilan, korupsi, pencucian uang dan sebagainya. Kita juga sudah mengubah bahkan menambah struktur lembaga penegak hukum dengan tujuan agar penegakan hukum, terutama untuk memberantas KKN, bisa berjalan efektif. Pembinaan hakim sudah disatuatapkan di bawah Mahkamah Agung. Kita juga sudah membentuk Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial melalui amandemen konstitusi; bahkan kita juga sudah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi, Peradilan HAM, Peradilan Tipikor, dan berbagai peradilan khusus lainnya. Namun dalam kaitan structure ini kita belum memperbaiki birokrasi dalam arti pejabat penegak hukum sehingga upaya pemberantasan KKN mengalami komplikasi bahkan blokade dari dalam diri aparat sendiri. Pembangunan budaya hukum belum efektif karena tampaknya belum dilakukan secara sungguh-sungguh. Pembangunan budaya hukum di sini harus diartikan sebagai upaya mengubah pemahaman, penghayatan, dan perilaku masyarakat dalam bidang hukum agar menjadi kondusif bagi penegakan hukum. Pembangunan budaya hukum harus dilakukan bukan karena budaya hukum kita merupakan budaya korup, melainkan karena kita perlu menghidupkan kembali budaya hukum yang baik yang telah lama kita miliki. Belajar dari fakta sejarah, ketegasan dalam penegakan hukum merupakan kunci penting untuk mengatasi berbagai problem yang kita
hadapi terutama untuk membangun budaya disiplin dan ketaatan hukum. Selama ini kita sudah sangat banyak memproduk berbagai undang-undang untuk mengatur langkah mencapai tujuan reformasi, tetapi belum banyak pemimpin-pemimpin yang tegas dan berani menegakkan hukum. Langkah-langkah Mengingat berbagai persoalan yang dikemukakan pada awal makalah ini maka selain mencari ”penegak hukum” yang tegas dan berani ada beberapa langkah lain yang juga perlu dilakukan secara serius dan simultan. Pertama, melakukan reformasi birokrasi agar segera bersih dari sistem, prosedur, dan pejabat-pejabat yang korup. Selama ini kita selalu menyatakan yakin bahwa salah satu kunci penting keberhasilan reformasi adalah reformasi birokrasi, tetapi langkah nyata dan tegas ke arah itu belum juga dilakukan. Kedua, memutus hubungan secepatnya dengan persoalan-persoalan KKN yang diwariskan oleh Orde Baru agar kita keluar dari blokade yang mengepung dari berbagai lini. Pemutusan hubungan ini bisa dengan radikal (amputasi tanpa pandang bulu) dan bisa juga dengan kompromi (ampuni dan rekonsiliasi dengan permakluman) yang kemudian ditindaklanjuti dengan tindakan-tindakan tegas. Ketiga, membangun sistem rekrutmen politik yang demokratis dan terbuka melalui pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Pemilu dengan sistem proporsional terbuka dapat menyeimbangkan peran parpol untuk menyeleksi kader-kadernya dan peran rakyat pemilih untuk menentukan sendiri wakil-wakilnya yang akan duduk di legislatif sesuai dengan yang ditawarkan oleh parpol. Pemilu dengan sistem proporsional terbuka juga lebih sesuai dengan realitas bangsa Indonesia yang majemuk. Untuk lembaga eksekutif sistem pemilihan presiden secara langsung harus disertai dengan instrumen atau subsistem rekrutmen pejabat yang mendorong Presiden membentuk zaken kabinet (kabinet ahli, bersih, dan profesional) dengan membebaskan presiden dari belenggu untuk melakukan itu karena
transaksi politik kompensasi dan dukungan. Adalah fakta sekarang ini presiden tidak sekuat yang dibayangkan ketika kita menetapkan pemilihan presiden langsung agar presiden lebih kuat. Sekarang ini presiden tampak tersandera oleh, dan karenanya selalu memberi kompensasi politik, kepada parpol-parpol agar kebijakannya tidak diganggu. Seleksi pejabat kemudian tidak lagi berdasar keahlian dan profesionalitas melainkan berdasar hasil kompromi dan pertimbangan kompensasi politik.27 Tak kalah penting dari semua itu, ada masalah yang lebih mendasar yang harus kita perhatikan secara sungguh-sungguh, yakni memosisikan kembali etika dan moral sebagai sumber materiil hukum yang sekaligus menjadi dasar tindakan dalam semua proses penegakan hukum dan hukum sukmanya, yakni keadilan.
27
Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Presidensiil Bergaya Parlementer,” dalam majalah GATRA edisi 16 Maret 2007.
Daftar Pustaka Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, CV Mandar Maju, Bandung, 1995. Carl J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America, Weldham, Mass: Blaisdell Publishing Conmpany, 5th edition, 19673. Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1978. David kairys, The Politics of Law, A Progressive Critique, Pantheon Books, New York, 1982. Edward S. Corwin dan JW Peltason, Understanding Constitution, Holt, Rinehart and Winston, Inc., New York, Chicago, San Fransisco, Toronto, London, 1967. Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas, Tinjauan Etis dan Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1987. Fred W. Riggs, Administration in Developing Countries: The Thoery of Prismatic Society, Houghton Mifflin Company, Boston, 1964. Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, Cornell University Press, Ithaca-London, 1978. Harsya W. Bachtiar, Percakapan dengan Sidney Hook tentang Empat Masalah Filsafat: Etika, Ideologi Nasional, Marxisme, Eksistensialisme, Djambatan, Jakarta, 1980. James A. Curry, Ricard B. Railey, dan Richard M. Battistoni, Constitutional Government, The American Experince (1989), Jason L. Finkle dan Richard W. Gable, Political Development and and Social Change, John Wiley & Sons, Inc. Second Edition 1970. John Rawls, A Theory of Justice, Oxford University Press, London, 1973.
KC Wheare, the Modern Constitutions, Oxford University Press, 3rd Impression, London-New York, Toronto, 1975. Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
Republik
Indonesia,
Panduan
Pemasyarakatan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Setjen MPR-RI, Cet. III, Juni 2007. Moh. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum, Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Karakter Produk Hukum, disertasi Bidang Ilmu Hukum di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1993. Moh. Mahfud MD, Amandemen Konstitusi dalam Rangka Reformasi Tata Negara, UII Press, Yogyakarta, 1999. Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006. Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2007. Moh. Mahfud MD, Hukum Tak Kunjung Tegak, PT Citra Aditya Bhkati, Bandung, 2007. RAB Kusumah, Lahirnya UUD 1945, Penerbit Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2004. Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis, Antara Otonomi dan Kontrol, Rajawali, Jakarta, 1985. Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Sinar Baru, Bandung, 1985. Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003. Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif, Penjelasan Satu Gagasan, dalam majalah Newsletter, Kajian Hukum Ekonomi dan Bisnis, No. 59, Desember 2004. Satjipto Rahardjo, Mendudukkan Undang-Undang Dasar, Suatu Pembahasan dari Optik Ilmu Hukum Umum, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007.
Thomas
Paine,
Rights
of
Man
(1792),
Constitution
http://www.constitution org/tp/rightsma2.htm 9 Maret 2003.
Society