BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM Hukum merupakan landasan penyelenggaraan negara dan landasan pemerintahan untuk memenuhi tujuan bernegara, yaitu mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur. Untuk itu, supremasi hukum sebagai perwujudan Indonesia sebagai negara hukum tidak henti-hentinya diupayakan, dan dalam kurun waktu sepuluh tahun pelaksanaan reformasi di Indonesia, serta dalam periode 2004 – 2009 yang merupakan pelaksanaan Kabinet Indonesia Bersatu makin terlihat perwujudannya. Berbagai langkah untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut selama kurun waktu 2004 – 2009 meliputi, antara lain, pembenahan sistem dan politik hukum nasional melalui langkahlangkah penguatan substansi hukum, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun kekayaan kearifan lokal yang tumbuh di Indonesia; penguatan sistem kelembagaan hukum secara komprehensif di dalamnya dukungan sumber daya manusia, infrastruktur dan sistem informasi di bidang hukum, dan peningkatan penguatan pemberdayaan hukum rakyat sebagai upaya mewujudkan sistem budaya hukum yang sejalan dengan proses demokratisasi yang terus berkembang hingga saat ini. Sistem dan politik hukum di Indonesia pada dasarnya sangat menentukan arah kebijakan pembangunan nasional secara keseluruhan yang akan dilaksanakan dalam suatu periode tertentu. Karena arah kebijakan pembangunan nasional tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dan dalam undang-undang,
selama ini hal itu tertuang dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang merupakan kesepakatan antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Pemerintah dan merupakan perintah dari UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Selain melaksanakan peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis, upaya untuk memberdayakan nilai-nilai kearifan lokal agar sejalan dengan penghormatan hak asasi manusia dan sebagai sumber penyusunan peraturan perundang-undangan juga terus dilakukan. Dengan demikian, harmonisasi antara hukum tertulis dengan nilai-nilai kearifan lokal dapat berjalan seiring. Di samping pembenahan terhadap peraturan perundangundangan, berbagai upaya untuk mendorong kualitas penegakan hukum dan pelayanan hukum juga terus dilakukan. Lembaga hukum, seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan Agung, Departemen Hukum dan HAM, Komisi Yudisial, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai instansi yudikatif dan eksekutif yang melaksanakan fungsi pembangunan hukum terus melakukan pembenahan untuk meningkatkan kualitas, baik kelembagaannya maupun aparat pelaksananya untuk meningkatkan kinerja masing-masing. I.
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Dalam hal peraturan perundang-undangan nasional permasalahan paling mendasar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah jumlah peraturan perundang-undangan terlalu banyak. Kualitas peraturan perundang-undangan tersebut masih belum seperti yang diharapkan. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, dan/atau bertentangan antara satu dan yang lain baik secara vertikal maupun horizontal mengakibatkan kebingungan, baik di kalangan masyarakat maupun aparat hukum yang melaksanakannya. Hal tersebut tentunya akan menyebabkan tidak optimalnya pelaksanaan jalannya pemerintahan dan juga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat. Masih tingginya ego sektoral dan adanya pandangan bahwa segala permasalahan akan dapat diselesaikan apabila diatur dalam suatu undang-undang, mengakibatkan implementasi Prolegnas sebagai salah satu tahapan dalam perencanaan hukum nasional belum dapat 09 - 2
menggambarkan arah prioritas pembangunan ke depan. Target prioritas undang-undang yang masuk dalam Prolegnas menjadi sangat banyak, sedangkan implementasi setiap tahunnya jauh dari target yang sudah ditetapkan bersama antara Pemerintah dan DPR sebagai lembaga legislatif. Terkait dengan upaya pemberantasan korupsi beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat mendorong percepatan pemberantasan korupsi masih belum terbentuk. Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut antara lain seperti perubahan atau revisi KUHP, KUHAP, RUU Pengadilan Tipikor, dan RUU Penyitaan Aset. Adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum dan sumber daya manusia di bidang hukum menyebabkan kualitas penegakan hukum dan pelayanan hukum kepada masyarkat masih jauh dari yang diharapkan. Meskipun keberhasilan lembaga penegak hukum dalam menangani tindak pidana korupsi mulai dirasakan hasilnya, masih adanya anggapan bahwa penegakan hukum di luar tindak pidana korupsi masih bersifat diskriminatif dan kurang menguntungkan bagi masyarakat biasa. Di samping itu adanya pelanggaran hukum yang justru dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri menunjukan masih perlu ditingkatkannya kualitas dan khusus integritas aparat penegak hukum. Demikian juga dengan pemberian pelayanan hukum kepada masyarakat, kualitas sumber daya manusia yang melaksanakannya dengan dukungan dari sarana prasarana sangat menentukan kualitas pelayanan hukum tersebut. Adanya penilaian masih rendahnya kualitas pelayanan hukum di bidang keimigrasian dan pendaftara badan hukum menunjukan bahwa perlu segera dilakukan pembenahan untuk mengatasi masalah tersebut. Sejalan dengan upaya pelayanan hukum, pemberian bantuan hukum kepada masyarakat kurang mampu yang terlibat tindak pidana terus dilakukan. Namun, bantuan hukum itu oleh golongan kelompok masyarakat tersebut masih dirasakan tepat sasaran. Tingkat kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah juga merupakan kendala tersendiri untuk menciptakan masyarakat yang tahu akan hak dan kewajibannya. Kurangnya pemahaman dan 09 - 3
kesadaran masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundangundangan yang berlaku berpotensi menimbulkan persoalan dalam menerapkan hak dan kewajiban mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, permasalahan dalam akses, informasi, serta manfaat yang tidak setara, baik laki-laki maupun perempuan dalam menerima materi dari diseminasi, sosialisasi, pelayanan hukum serta penyuluhan hukum merupakan kendala tersendiri untuk meningkatkan kesadaran hukum sebagai individu yang sama di hadapan hukum. II.
LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN HASIL YANG DICAPAI
DAN
HASIL-
Dalam rangka perencanaan hukum upaya untuk meningkatkan kualitas perencanaan perundang-undangan melalui peningkatan kualitas program legislasi nasional terus dilakukan. Pemerintah telah menetapkan sebanyak 284 rancangan undang-undang (RUU) tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas 2005 menetapkan sebanyak 55 RUU terdiri atas 27 RUU baru, 22 RUU perubahan/revisi, dan 6 RUU konvensi. Tahun 2006 ditetapkan sebanyak 44 RUU yang terdiri atas 12 RUU Baru dan 32 RUU lanjutan Prolegnas 2005. Pada tahun 2007 telah disepakati sebanyak 78 RUU yang terdiri dari 30 RUU prioritas dan 48 RUU lanjutan. Pada 2008 telah ditetapkan sebanyak 99 RUU yang terdiri atas 31 RUU prioritas, 20 RUU kumulatif terbuka, dan 48 RUU yang diluncurkan. Sisanya sebanyak 8 RUU akan dilaksanakan pada tahun 2009. Sampai dengan tahun 2008 Pemerintah telah mengesahkan sebanyak 669 peraturan perundang-undangan, yang terdiri atas 127 UU, 327 peraturan pemerintah (PP) dan 249 Peraturan Presiden (Perpres). Terkait dengan pelaksanaan kebijakan dalam pembentukan peraturan daerah/perda dan dalam rangka pelaksanaan pembinaan dan pengawasan terhadap berbagai kebijakan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, telah dilakukan pengkajian evaluasi terhadap berbagai perda. Untuk mendukung program legislasi daerah (prolegda) selama kurun waktu 2006 – 2008, telah dilakukan beberapa kegiatan berupa kajian dan inventarisasi peraturan daerah. Dari kegiatan tersebut sampai dengan 10 Desember 2008, Pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri, Departemen 09 - 4
Keuangan, dan departemen teknis terkait telah mengevaluasi sebanyak 11.401 perda, telah dibatalkan 2.398 perda, direvisi, diubah, atau dicabut sendiri oleh Pemda yang bersangkutan sebanyak 144 perda dan Perda tidak bermasalah sebanyak 5.440. Sampai saat ini, terdapat 3.419 perda yang masih dalam proses evaluasi. Pembatalan Perda tersebut umumnya terkait dengan adanya ketentuan di dalamnya yang tertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan kecenderungan untuk menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Pada era otonomi daerah kecenderungan pembuatan legislasi lebih banyak diarahkan untuk bidang keuangan, restribusi, pajak dan lain-lain yang berhubungan dengan peningkatan keuangan daerah dan kurang mempertimbangkan peningkatan kesejahteraan, pembangunan dan peningkatan pelayanan publik. Proses pembuatan peraturan daerah tersebut seringkali juga dibuat dengan menduplikasi perda serupa dengan daerah yang berbeda. Padahal, seharusnya para legislatif drafter juga perlu mempertimbangkan aspek sosiologis daerah yang tentunya berbeda antara daerah satu dan daerah lainnya. Dalam rangka program pembentukan hukum, Pemerintah bersama-sama dengan DPR telah menetapkan undang-undang nasional. Pada tahun 2004 telah ditetapkan 33 UU antara lain adalah UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU Nomor 8 tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia; UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial; UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga; UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah; UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sementara itu, pada tahun 2005 telah ditetapkan 12 undangundang. Beberapa undang-undang yang penting antara lain adalah UU Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan Mulai berlakunya UU Nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU, UU Nomor 11 Tahun 2005 09 - 5
tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Pengesahan Internasional Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya); dan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Pengesahan Internasional Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Selanjutnya, pada tahun 2006 telah ditetapkan 23 undang-undang, salah satu yang penting adalah UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pada tahun 2007 telah ditetapkan 48 undang-undang, di antaranya adalah UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; UU Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara Menjadi UndangUndang. Sementara pada tahun 2008 telah ditetapkan 56 undangundang, antara lain adalah UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pengesahan Treaty on Mutual Legal Assistance In Criminal Matters (Perjanjian Tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana), UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis, dan UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden. Sementara itu, pada tahun ini tengah dilakukan pembahasan terhadap 16 rancangan undang-undang, yaitu, RUU Pelayanan Publik; RUU Pencegahan dan Penindakan Tindak Pidana Pencucian Uang; RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi; RUU tentang Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; RUU Perubahan UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial; RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sejalan dengan upaya pembentukan hukum, untuk mencegah terjadinya tumpang tindih dan pertentangan antara satu peraturan perundangundangan dan lainnya, dilakukan upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan. Pada tahun 2005 telah diharmonisasikan 31 09 - 6
RUU, 90 RPP, 41 rancangan Perpres, selanjutnya pada tahun 2006 telah diharmonisasikan 30 RUU, 85 RPP, 7 rancangan Perpres; pada tahun 2007 sebanyak 26 RU, 119 RPP, 9 Rancangan Perpres; pada tahun 2008 harmonisasi dilakukan terhadap 22 RUU, 112 RPP, 10 rancangan Perpres, sedangkan pada tahun 2009 saat ini sedang dilakukan harmonisasi terhadap 8 RUU, 51 RPP, dan 5 rancangan Perpres. Sebagai pelaksanaan amanat amendemen UUD 1945 dan pelaksanaan UU Nomor 24 Tahun 2003, kekuasaan kehakiman (yudikatif) dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengadilan yang berwenang untuk memeriksa perkara judicial review dan sengketa ketatanegaraan lain telah melakukan berbagai upaya penyempurnaan sistem manajemen penanganan perkara. Untuk menunjang sistem kinerja Mahkamah Konstitusi sesuai dengan tugas, pokok, dan kewenangannya, telah disusun dan diterapkan peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Peraturan itu berisi ketentuan hukum acara terkait perkara pengujian undang-undang, hukum acara penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum dan perselisihan hasil pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. MKRI juga mengatur hukum acara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Adapun hukum acara yang terkait dengan pembubaran partai politik, hukum acara pemakzulan (impeachment) Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta hukum acara saksi dan ahli, kuasa, serta pendamping dalam beracara di MK sedang dalam tahap pembahasan draftnya. Sementara itu, independensi kekuasaan kehakiman yang telah terwujud sejak tahun 2004 melalui pelaksanaan sistem satu atap di bawah Mahkamah Agung telah dilaksanakan. Namun, independensi tersebut tetap harus diimbangi dengan upaya pengawasan oleh lembaga independen untuk menghindari adanya kekuasaan kehakiman yang absolut. Sebagai pelaksanaan ketentuan amendemen UUD 1945 dan pelaksanaan dari UU Nomor 22 Tahun 2004, telah dibentuk Komisi Yudisial. Dalam melaksanakan salah satu fungsinya Komisi Yudisial memberikan masukan kepada DPR dalam proses seleksi hakim agung. Proses seleksi hakim agung itu terdiri atas tiga tahap yaitu tahap pertama terdiri atas seleksi administratif, tahap 09 - 7
kedua adalah profile assessment dengan melakukan penilaian terhadap karya ilmiah, karya profesi, studi kasus, kesehatan dan kepribadian. Tahap terakhir adalah melakukan investigasi dan wawancara. Sejak berdirinya instansi ini telah diseleksi 341 pendaftar calon hakim agung terdiri atas 162 pendaftar berasal dari hakim karier dan 179 pendaftar dari nonhakim karier. Dari jumlah tersebut sebanyak 42 kandidat dinyatakan lulus tahap akhir dan selanjutnya diajukan ke DPR. Dalam rangka melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim, Komisi Yudisial telah menerima 5.916 laporan pengaduan adanya dugaan pelanggaran kode etik. Dari jumlah laporan tersebut, sebanyak 1.571 laporan telah memenuhi syarat dan diregister, sedangkan 888 laporan masih diproses kelengkapan dokumennya dan 3457 laporan bersifat tembusan. Dari laporan yang telah memenuhi syarat tersebut, sebagian besar tidak dapat ditindaklanjuti karena tidak ditemukan adanya pelanggaran kode etik. Sementara itu, sisanya masih dalam proses pembahasan dan pemeriksaan melalui pemanggilan para pihak terkait. Terhadap laporan yang terbukti melakukan pelanggaran, akan dikeluarkan rekomendasi tentang usulan penjatuhan sanksi. Sampai saat ini telah dikeluarkan 12 rekomendasi penjatuhan sanksi terhadap 29 orang hakim yang terbukti telah melanggar kode etik hakim, bersikap tidak professional, dan melanggar prinsip imparsialitas. Seiring dengan upaya untuk meningkatkan akuntabilitas lembaga kehakiman, maka telah dilakukan secara bertahap reformasi birokrasi pada lingkungan lembaga pengadilan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, reformasi remunerasi terhadap aparat negara pada lingkungan tersebut telah dilakukan sehingga diharapkan dengan adanya peningkatan kesejahteraan aparatur penegak hukum ini integritas aparat dapat lebih baik. Adanya peningkatan kesejahteraan tersebut juga diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan kinerja aparatur penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses pembangunan hukum telah dilakukan upaya peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Melalui kegiatan penyuluhan hukum, diharapkan pengetahuan masyarakat tentang hukum serta kepatuhan masyarakat terhadap hukum juga makin meningkat. Pelaksanaan penyuluhan hukum di seluruh wilayah Indonesia dilakukan dengan 09 - 8
penentuan tema yang sesuai dengan permasalahan hukum yang banyak terjadi pada masyarakat setempat. Di samping itu, melalui kegiatan sosialisasi peraturan perundang-undangan kepada aparatur negara juga terus dilakukan. Sebagai contoh dalam rangka pemberantasan korupsi, melalui sosialisasi cara pengisian laporan harta kekayaan (LHKPN), tingkat kesadaran pejabat negara untuk menyampaikan laporan harta kekayaannya juga semakin meningkat, di samping juga kualitas dari laporan tersebut makin baik. Pada tahun 2005 jumlah LHKPN yang diterima adalah 51%, pada tahun 2006 56,90%, tahun 2007 89,74%, tahun 2008 85,99%, dan sampai dengan Juni 2009 adalah 87,29%. Adanya peningkatan tersebut, antara lain, disebabkan oleh banyaknya sosialisasi pencegahan korupsi yang dilakukan, baik pada instansi yudikatif maupun eksekutif di pusat dan daerah. Terkait dengan upaya pemberantasan korupsi, upaya yang bersifat represif dan preventif terus dilakukan. Hal itu secara tidak langsung berpengaruh luas kepada masyarakat dan aparatur negara dengan timbulnya iklim takut korupsi. Bahkan, timbul kecenderungan adanya keengganan aparatur negara untuk menjadi pengelola proyek serta panitia pengadaan barang dan jasa karena takut terlibat kasus korupsi. Upaya untuk melakukan sosialisasi pencegahan korupsi akan terus dilakukan dengan tujuan meningkatkan pemahaman peraturan perundang-undangan yang terkait agar masyarakat menjadi lebih paham yang boleh atau yang tidak boleh dilakukan. Upaya ini juga bertujuan menggugah aparatur negara agar dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Adanya dukungan sarana prasarana hukum, khususnya melalui pengembangan sistem informasi teknologi, diharapkan akan dapat meningkatkan transparansi, akuntabilitas serta kualitas lembaga hukum. Pembangunan sistem Kejaksaan Agung RI dimaksudkan untuk dapat meningkatkan kualitas penegakan hukum mulai proses penyidikan sampai dengan proses eksekusi di lingkungan Kejaksaan Agung RI. Di lingkungan lembaga pengadilan melalui beberapa proyek percontohan pada beberapa pengadilan telah dilakukan perbaikan sistem manajemen perkara sehingga masyarakat yang berperkara dapat mengetahui sejauh mana proses perkaranya dengan mudah melalui komputer yang tersedia pada pengadilan tersebut. Di samping itu secara bertahap juga sedang dikembangkan sistem 09 - 9
informasi manajemen keimigrasian untuk meningkatkan pelayanan di bidang keimigrasian dan pengawasan terhadap lalu lintas orang, baik masuk maupun ke luar wilayah Indonesia. Dalam rangka penyediaan layanan hukum di bidang pendaftaran badan hukum telah diupayakan peningkatan melalui perbaikan sistem manajemen untuk menghindari adanya biaya tidak resmi. Adanya keterbukaan informasi yang didukung oleh fasilitas teknologi informasi dapat memberikan peningkatan akses masyarakat yang membutuhkan informasi dan permasalahan mengenai hukum termasuk peraturan perundang-undangan yang berlaku di masyarakat. Adanya kebijakan Mahkamah Konstitusi yang memberlakukan ketentuan bahwa pada hari yang sama putusan pengadilan dikeluarkan dapat diakses langsung oleh masyarakat luas merupakan langkah yang tepat untuk lebih meningkatkan pemberdayaan masyarakat untuk mendapat informasi tentang peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. III.
TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Berbagai upaya untuk melakukan penyempurnaan proses penyusunan peraturan perundang-undangan terus dilakukan untuk meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan yang dihasilkan. Melalui proses koordinasi dan kerjasama yang lebih baik antarbiro hukum kementerian/lembaga diharapkan dapat mengurangi ego sektoral yang selama ini diindentifikasi sebagai salah satu penyebab banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan/atau bertentangan antara satu dan lainnya. Di samping itu, kualitas Prolegnas juga perlu ditingkatkan. karena tahun 2010 adalah tahun pertama RPJMN 2010 – 2014 yang diharapkan arah pembangunan nasional lima tahun ke depan dapat tergambarkan dalam politik hukum nasional melalui daftar prioritas undang-undang dalam Program Legislasi Nasional. Khusus dalam pemberantasan korupsi, penyusunan peraturan perundang-undangan yang terkait perlu segera diselesaikan untuk mendorong implementasi pelaksanaan Konvensi Anti Korupsi 2003. Perlu adanya dukungan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan upaya pencegahan, penegakan hukum, kerja sama 09 - 10
internasional, pengembalian aset hasil korupsi serta mekanisme pelaporan. Dalam rangka mendorong transparansi dan akuntabilitas lembaga hukum perlu didukung dengan sistem pengawasan, baik internal maupun pengawasan oleh lembaga independen. Di samping itu, dukungan sarana dan prasarana khususnya yang dapat mendorong sistem manajemen yang lebih baik juga terus dilakukan.. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraaan aparatur penegak hukum terus dilakukan dan disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara yang dilakukan secara bertahap. Diharapkan dengan adanya peningkatan kesejahteraan yang memadai bagi aparatur penegak hukum, tindakan yang mengarah dan berpotensi koruptif akan dapat diminimalisasi. Selain itu, peningkatan budaya taat hukum, di lingkungan aparatur penegak hukum dan penyelenggara negara serta masyarakat secara umum dilakukan melalui peningkatan kesadaran akan hak dan kewajiban hukum pada aparatur penegak hukum serta masyarakat.
09 - 11