PAJAK : ANTARA HUKUM DAN MORAL Oleh: Hari Sugiharto (Widyaiswara Madya – Balai Diklat Kepemimpinan Magelang)
PENDAHULUAN Pagar pada sebuah taman dapat dipandang sebagai sesuatu yang berfungsi untuk menjaga agar tanaman dalam pagar tersebut tidak merambah ke mana-mana. Itu satu hal. Tapi ia juga bisa dipandang sebagai sesuatu yang membatasi
ruang
gerak
pertumbuhan
tanaman
tersebut.
Menjaga
dan
membatasi adalah dua kata dengan konotasi berbeda yang dapat dilekatkan pada satu objek bernama pagar. Kita boleh mengatakan dua sudut pandang yang berbeda. Itu sah saja dan memang demikian faktanya. Menariknya adalah bahwa sudut pandang berbeda dapat berimplikasi pada tindakan yang berbeda. Demikian halnya dengan pajak, dapat dipandang sebagai sebuah kewajiban hukum yaitu untuk memaksa sekaligus menjaga ketaatan Wajib Pajak dalam membayar pajak demi tercapainya penerimaan yang diinginkan. Atau dapat juga dipandang sebagai kewajiban moral yang merupakan tindakan berdasarkan nurani
yang
berarti
juga
tindakan
penuh
dengan
kebebasan
dalam
pelaksanaannya. Jika ia dipandang sebagai kewajiban hukum maka membayar pajak merupakan tindakan hukum yang seringkali didasari pada keterpaksaan. Namun pembayaran pajak yang disadari sebagai kewajiban moral memberi nuansa yang berbeda bagi pembayarnya karena mestinya dilandasi pada keikhlasan bertindak sebagai makhluk sosial. Dua hal tersebut memberi implikasi yang berbeda pada tataran tindakan. Pilihan sudut pandang tentu saja terletak pada pelaku, baik masyarakat wajib pajak maupun fiskus, untuk bagaimana pajak diperlakukan.
HUKUM DAN MORAL Cerita berikut ini yang penulis ambil dari buku Sisi-sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, karya Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, (dikutip dari Hamilton & Sanders, Everyday justice – Responsibility and the Individual in Japan and the United States, 1992), kiranya dapat memperjelas bagaimana ranah hukum dan
Page 1
ranah moral bisa menjadi pembeda, meskipun keduanya memiliki idealismenya sendiri dan idealnya bisa saling beriringan. Pada tanggal 2 Agustus 1985, sebuah jet jumbo Delta Airlines telah jatuh di Dallas dan menewaskan 127 orang. Segera sesudah itu orang menyaksikan bergeraknya para lawyers Amerika menyongsong menggugat
peristiwa
antara
tersebut.
pihak-pihak
Perang
yang
tuntut
‘menyerang’
menuntut dan
dan
gugat-
‘mempertahankan’
berlangsung dengan seru. Berbagai dalih untuk menuntut dan menolakpun dikemukakan oleh lawyers mereka yang terlibat, yaitu pihak-pihak penumpang dan perusahaan Delta Airlines. Bagaikan
suatu
peristiwa
tandingan,
maka
sepuluh
hari
sesudah
terjadinya kecelakaan tersebut, yaitu pada tanggal 12 Agustus 1985, sebuah jet jumbo Japan Airlines (JAL) jatuh di Gunung Ogura di Pulau Honshu. Kesibukan apa yang kemudian menyusul sangat berbeda dengan yang terjadi di Amerika. Presiden JAL, Yasumoto Takagi, mendatangi para korban dan membungkukkan diri dalam-dalam dan lama kepada mereka itu. Dia lalu menghadapkan mukanya ke tembok yang dipenuhi oleh nama-nama para korban yang dipahatkan pada kayu. Sekali lagi dia membungkuk. Kemudian dengan suara yang kadang bergetar, Yasumoto Takagi, meminta maaf dan menerima tanggungjawab. Upacara tersebut menandai akhir dari kerja panjang berbulan-bulan untuk memperingati arwah 520 orang yang tewas dalam kecelakaan tersebut. Takagi dan
sekalian
pegawainya
telah
mempertanggungjawabkan
kesalahan
perusahaan mereka. Perusahaan membelanjakan 1,5 juta dollar AS dalam usaha memorial tersebut. Yasumoto Takagi segera minta mengundurkan diri sebagai tanda bertanggungjawab. Dua kejadian di atas memberi sedikit gambaran bagaimana hukum dan moral bertindak. Kejadian di Amerika menggambarkan bagaimana para lawyers bertindak atas nama hukum untuk memastikan hak-hak dan kewajibankewajiban, baik dari para korban maupun pihak maskapai, bisa direalisasikan. Sementara kejadian di Jepang merepresentasikan bagaimana suatu tindakan moral menyelesaikan kasus serupa. Dalam tulisannya Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, menyatakan bahwa, memang kita bisa memahami mengapa reaksi Amerika adalah seperti tersebut di muka, yaitu sebagai konsekuensi dan perwujudan dari suatu bangsa yang membanggakan dirinya sebagai bangsa yang mengunggulkan hukum (supremacy of law). Jepang sebagai negara
Page 2
modern juga memakai sistem hukum modern, tetapi di atas itu semua bangsa itu masih lebih mengunggulkan moralitas (supremacy of moral).
PAJAK SEBAGAI KEWAJIBAN HUKUM Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Pasal 1 UU KUP) Pajak dengan wajah hukum kentara sekali terlihat pada definisi pajak dalam Pasal 1 UU KUP di atas. Bahkan diperlukan setidaknya tiga frase untuk menggambarkan itu. Yaitu, kontribusi wajib, bersifat memaksa dan berdasarkan Undang-undang. Ketiga frase tersebut memberi warna yang sama bahwa pajak adalah tindakan hukum yang wajib dipenuhi. Sebagaimana lazimnya sebuah kewajiban hukum maka pelanggaran terhadapnya akan dikenai sanksi, baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana. Sanksi administrasi di bidang pajak meliputi sanksi administrasi berupa denda, bunga dan kenaikan. Sanksi pidana dapat berupa pidana kurungan maupun pidana penjara. Sanksi-sanksi inipun sejatinya dibuat agar dapat menumbuhkan sikap taat bagi setiap Wajib Pajak. Maka pengenaan sanksi mesti mempertimbangkan aspek keadilan baik keadilan yang tertulis maupun keadilan dalam praktik di lapangan. Pengenaan sanksi harus benar-benar tepat dalam perhitungan dan tepat sasaran dalam pengenaannya. Apabila sanksi yang tercantum dalam UU pajak sangat memberatkan baik dari sisi formal maupun material maka dapat menimbulkan ketakutan yang berlebihan dari Wajib Pajak. Sanksi pajak tentu saja menambah beban yang harus dipikul Wajib Pajak. Efek psikologis dari keadaan demikian, apalagi jika tarif pajak dianggap terlalu tinggi, akan membuat Wajib Pajak khawatir membayar pajak terlalu tinggi. Bagi Wajib Pajak, manajemen pajak akan selalu diupayakan agar pajak yang dibayar rendah. Kesan kuat pajak sebagai kewajiban hukum di atas kertas seringkali senada dengan yang terjadi di lapangan. Setiap tindakan yang dilandasi dengan keterpaksaan selalu melahirkan perlawanan apapun bentuknya. Meskipun tentu saja bukan sesuatu yang bisa dianggap keliru, namun wajah hukum (apalagi jika
Page 3
disalahartikan) cenderung membuat ‘kehidupan’ di dunia pajak menjadi ramai dengan konflik karena dipenuhi dengan upaya penghindaran oleh Wajib Pajak dan pengejaran oleh pihak fiskus. Penegakan hukum di bidang pajak tentu saja penting dalam upaya menyelaraskan upaya “nakal” wajib pajak dengan bagaimana ketentuan itu harus dilaksanakan. Namun demikian penegakan hukum yang dijalankan tanpa mempertimbangkan kewajaran dan tidak proporsional akan berdampak pada merosotnya kepercayaan Wajib Pajak terhadap fiskus. Sebab bagaimana hukum itu hidup bergantung pada bagaimana perilaku dari pelaku hukum itu sendiri dalam menjalankan hukum. Imej terhadap fiskus seringkali berkorelasi dengan imej terhadap pajak itu sendiri. Apabila imej terhadap pajak adalah negatif maka upaya menghidupkan kesadaran membayar pajak menjadi semakin sulit dan akan terperangkap dalam dunia hukum yang semakin kompleks dan rumit serta menjauhkan diri dari hakikat untuk apa hukum (tertulis) sendiri itu ada.
PAJAK SEBAGAI KEWAJIBAN MORAL Sesuai
definisinya
tujuan
pajak
adalah
bagi
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Semua sepakat bahwa untuk menuju kemakmuran rakyat diperlukan dana yang tidak sedikit. Semua pasti sepakat dan ingin berkontribusi dengan kemampuan yang berbeda-beda untuk hal tersebut. Sebagai makhluk sosial, memberikan sesuatu yang dimiliki untuk tujuan sosial adalah sebuah kebutuhan. Bukan hukum yang mewajibkan, tetapi panggilan dari hati nuranilah yang menjadi undang-undangnya. Tindakan berdasarkan panggilan nurani adalah tindakan luar biasa dan merupakan tindakan yang didasari pada kebebasan dan kebahagiaan bukan keterpaksaan. Tindakan demikian bukan hanya tindakan bermoral tetapi juga tindakan yang menyehatkan batin. Berkebalikan dengan tindakan hukum, tindakan moral yang berarti tindakan tanpa keterpaksaan adalah tindakan yang tidak melahirkan perlawanan. Maka tindakan demikian sejatinya takkan menimbulkan konflik atau sengketa. Kerjasama (bukan gugat menggugat) adalah bentuk terbaik hubungan antara masyarakat Wajib Pajak dan fiskus dalam ranah ini. Posisi pajak yang demikian sakral akan membuat fiskus bekerja ekstra hati-hati
dan
tidak
sembrono.
Pengendalian
lebih
dititikberatkan
pengendalian internal kepada diri dari pada pengendalian eksternal.
Page 4
pada
Kekurangan dalam membayar pajak, atau apabila penerimaan pajak tidak memenuhi kebutuhan rakyat banyak, akan menjadi tanggungjawab bersama seluruh rakyat Indonesia. Pencapaian penerimaan pajak dengan demikian mencerminkan semangat kedermawanan masyarakatnya. Semakin dermawan penerimaan pajak akan semakin tinggi, demikian sebaliknya. Bisa dibayangkan, dunia akan menjadi indah apabila penerimaan pajak dapat dipenuhi dengan keikhlasan pembayaran pajak tanpa adanya ancaman sanksi baik administrasi maupun pidana.
PAJAK DALAM DUA KUTUB Jika disederhanakan, tulisan ini ingin mengungkapkan bahwa pajak yang sekarang dijalankan berada di antara dua kutub yang saling berseberangan. Satu sisi terujung adalah kewajiban hukum yang dilandaskan pada keterpaksaan dan di ujung yang lain adalah sisi moral dimana pembayaran pajak didasarkan pada pengabdian murni. Masing-masing memiliki idealismenya sendiri. Porsi dari masing-masing kutub tergantung pada banyak hal, salah satunya karakteristik dari pelakunya (masyarakat itu sendiri). Apabila sebagian besar masyarakat cenderung tidak patuh dan rendah sifat kedermawanannya maka porsi hukum akan lebih besar daripada porsi moralnya. Sebaliknya apabila kapatuhan masyarakat tinggi maka mungkin dunia pajak menjadi lebih bersahabat dan minim konflik. Hal lain yang menentukan porsi dari masing-masing kutub adalah jumlah penerimaan pajak. Biasanya semakin berat tuntutan penerimaan pajak, akan membawa konsekuensi hukum yang tinggi. Penegakan hukum akan semakin ditingkatkan apabila tingkat kesadaran yang ada tidak mampu memenuhi tuntutan jumlah penerimaan pajak. Apabila ketergantungan APBN kita terhadap pajak semakin tinggi maka kemungkinan besar wajah hukum makin sering ditampilkan.
Dengan
demikian,
hukum
hadir
ketika
penerimaan
pajak
berdasarkan aspek moral semata tidak cukup untuk memenuhi kemakmuran rakyat.
Page 5
KESIMPULAN Tulisan ini sekedar memberikan gambaran, bagaimana dalam praktiknya, hukum dan moral dalam pembayaran pajak seringkali berada dalam dua kutub yang berlawanan. Penulis, seperti juga kebanyakan pembaca, menginginkan moral
menjadi
penentu
dalam
setiap
kasus
dalam
pembayaran
pajak
sebagaimana dianalogikan dalam kecelakaan pesawat di Jepang di awal tulisan. Apabila
masyarakat
wajib
pajak
lebih
fokus
pada
aspek
moral
dalam
pembayaran pajak maka akan semakin banyak wajib pajak yang patuh dan sadar pajak. Di pihak lain apabila fiskus juga lebih fokus pada aspek moral, maka tarif pajak semakin lama akan semakin mendekati kemampuan riil pembayarnya dan setiap peraturan, keputusan maupun kebijakan yang dibuat akan jauh lebih bersahabat karena didasarkan pada aspek-aspek moral bukan sanksi-sanksi semata.
Daftar Pustaka Satjipto Rahardjo, Prof. Dr. SH:, “Sisi-sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia”, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. Soemitro, Rochmat, Asas dan Dasar Perpajakan 3, Bandung, Eresco, 1991; Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009.
Page 6