KEBIJAKAN POLITIK ASOSIASI PENDIDIKAN KOLONIAL TERHADAP UMAT ISLAM TAHUN 1890-1930
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana (S1) Humaniora (S.Hum)
Oleh : Amalia Rachmadanty NIM. 1111022000036
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016 M/1438 H
DEDIKASI Teruntuk Ayahanda Bambang Eddy Usmanto, Ibunda Nurochwati, Mas Geno Mohamad Nurdiansah, Mas Dio Mohamad Nurdiansah, Mba Wienarti, dan semua yang telah terlibat dalam penyelesaian skripsi ini.
ABSTRAK Judul: Kebijakan Politik Asosiasi Pendidikan Kolonial Terhadap Umat Islam Tahun 1890-1930 Penelitian ini bertujuan menjawab pertanyaan mengenai apa saja motif dan kebijakan yang dibuat pemerintah Belanda terhadap pendidikan umat Islam di Hindia Belanda (18901930) salah satunya adalah politik asosiasi pendidikan yang diprakarsai Snouck Hurgronje. Dan bagaimana kondisi pendidikan masyarakat di Hindia Belanda, baik pendidikan model Barat dan pendidikan Islam pada masa kolonial Belanda. Karena pada masa, itu Pemerintah Belanda sangat mengawasi pendidikan khususnya lembaga pendidikan Islam. Penelitian ini bersifat deskriptif analitif, karena itu, metode yang penulis gunakan adalah kajian kualitatif, dan data penulis peroleh melalui penelusuran literatur. Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya, yaitu; heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Dalam penelitian ini penulis menemukan fakta-fakta terkait kebijakan pemerintah Belanda terhadap pendidikan umat Islam di Hindia Belanda (1890-1930). diantaranya; pertama timbulnya keresahan akibat diskriminasi pendidikan yang dilakukan pemerintah Belanda khususnya Islam, kedua modernisasi pendidikan menumbuhkan semangat kebangsaan baik dari basis pendidikan barat maupun basis pendidikan Islam sebagai respon dari kebijakan pendidikan Belanda. Skripsi ini juga ingin meningkatkan kajian sejarah dari sudut pandang pendidikan dengan pendekatan politik dan sosial. Dari hasil analisa dengan menggunakan pendekatan tersebut, penulis simpulkan bahwa asosiasi pendidikan yang awal mulanya diadakan untuk menarik beberapa orang saja tidak sepenuhnya mencapai sasaran. Kebijakan Pemerintah Belanda terhadap pendidikan bak pedang bermata dua, malah memperkuat Elit Intelektual barisan nasionalis baik sekuler maupun Islam, yang menjadi ancaman bagi keberlangsungan pemerintahan kolonial dan menjadi sarana penyadaran sosial bagi masyarakat pribumi. Kata Kunci: Snouck Hurgronje, Kebijakan Belanda, Pendidikan, Elit Intelektual
vi
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan petunjuk dan kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya yang selalu bersyukur. Shalawat beriring salam selalu terlimpah curahkan kepada baginda alam yakni Nabi besar kita Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Syukur Alhamdulillah dengan do’a dan usaha akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, walaupun tentunya banyak hambatan dan rintangan yang senantiasa silih berganti. Penulis menyadari skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari semua pihak, baik dukungan moril maupun materil. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. H. Nurhasan, MA, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Solikhatus Sa’diyah, M.Pd, selaku sekeretaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam yang dengan sabar memberikan pelayanan terkait administrasi yang penulis butuhkan. 5. Prof. Dr. Budi Sulistiono, M. Hum, selaku dosen pembimbing skripsi, yang dengan sabar memberikan arahan, kritik dan saran, terutama kesediaan waktunya dalam membimbing, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
vii
6. H. Nurhasan, MA, selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis selama perkuliahan. 7. Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, M.A. selaku dosen penguji I sekaligus penasihat akademik yang baik dalam memberikan, masukan, arahan dan motivasi yang baik bagi penulis.
8. Drs. Tarmizy Idris, M.A. selaku doen penguji II yang telah membantu penulis dalam memperbaiki skripsi ini baik dari segi isi, maupun kalimatnya. Dari perbaikan ini, penulis belajar bagaimana menulis tulisan yang akademik, dan lebih enak dibaca.
9. Bapak dan Ibu Dosen Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya kepada penulis selama perkuliahan. 10. Seluruh staff dan pegawai Fakultas Adab dan Humaniora yang telah membantu baik dalam urusan akademik maupun acara kemahasiswaan. 11. Karyawan/Karyawati Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan UI, Perpustakaan Nasinonal, ANRI yang telah memberikan pelayanan dan menyediakan fasilitas dalam penulisan skrispi ini. 12. Orang tua tersayang, ayahanda Bambang Eddy Usmanto dan ibunda Nurochwati yang tiada hentinya memberikan do’a, nasehat, dan kasih sayangnya. Tiada henti menanyakan kapan ananda menyelesaikan studi. Ananda meminta maaf
dan mengucapkan terimakasih dari hati yang
paling terdalam. Semoga Allah selalu memberikan keberkahan, kemudahan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Amin.
viii
13. Kakak tercinta mas Geno Mohamad Nurdiansah, mas Dio Mohamad Nurdiansah dan ipar tersayang Mbak Wien Winarti, yang selalu memberikan do’a dan dukungan kepada penulis agar terus melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Serta kepada keluarga Soemito, Mbak Mamah, Oom Miran, Oom Aris yang tak henti dan mendorong penulis untuk cepat menyelesaikan studi. 14. Sahabat-sahabat seperjuangan BPH HMJ SKI, Muhammad Naufan Faikar, Lilis Shofiyanti, Wilda Eka Safitri, Mitra Zalman, dan Presidium HMI KOFAH Muhammad Naufan Faikar, Lilis Shofiyanti, Yudha Adipradana, Ahmad Alfaiz, Dini Hafidzah, Nurfika Arafah atas dedikasi dan Pengalamannya. 15. Kepada Sulastri, Siti Rahmawati, Syifa Fauziah, Amanah, Yanti Susilawati, Silpa Ul’haq, Masitah, Asep Halimi, Budi Permana, Mirza Rezadi dan Dirga Fawakih penulis hanturkan terima kasih yang mendalam telah memberikan warna selama masa perkuliahan. Selalu memberikan semangat dan motivasi baik dari masa awal perkuliahan sampai pada masa akhir perkuliahan. Semoga Allah senantiasa memberikan nikmat dan karuniaNYA untuk kalian semua. 16. Sahabat-sahabat SKI seperjuangan angkatan 2011 terima kasih atas kerjasamanya selama perkuliahan. Semoga kita dipertemukan dalam keadaan sukses. 17. Teruntuk kakak-kakak yang selalu membimbing penulis, Ka Ervan Anwarsyah, Ka Mughni Labib, Ka fauzan Baihaqi, Ka Candra Fivetya, Ka Novita Puspa, Ka Johan Eko Prasetyo, Ka Agus Nawawi dan Ka
ix
Firman Faturohman yang tak henti memberikan motivasi dan arahan selama masa perkuliahan dan berorganisasi. Adinda Syanti Soraya, Andika Ripwan, Muhammad Mir Atul Hayat
penulis haturkan pula
terima kasih sudah mau membantu penulis. 18. Keluarga besar HMI Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora (KOFAH), Kohati Komisariat HMI KOFAH, KOHATI HMI cabang Ciputat, terimakasih atas pengertian-pengertiannya selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 19. Keluarga besar LKK Kohati Cabang Ciamis dan LK2 HMI Cabang Bandung yang pernah menemani penulis berproses dalam himpunan tercinta. 20. Teman-teman di Kuliah Kerja Nyata (KKN) Pelita di Desa Cibeber, Klapanunnggal, Bogor tahun 2014 atas cerita dan pengalamanya.. Semoga Allah SWT selalu membalas segala amal baik kepada pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi lebih baiknya skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Jakarta, 24 November 2016
Amalia Rachmadanty
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................ii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii DEDIKASI .............................................................................................................. v ABSTRAK ............................................................................................................. vi KATA PENGANTAR ..........................................................................................vii DAFTAR ISI.......................................................................................................... xi DAFTAR ISTILAH .............................................................................................xii DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah........................................................................... 8 C. Kerangka Tujuan ............................................................................... 9 D. Batasan Masalah ................................................................................ 9 E. Manfaat Penelitian ............................................................................. 9 F. Metode Penelitian............................................................................. 10 G. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 12 H. Kerangka Teori ................................................................................. 16 I. Sistematika Penulisan ........................................................................ 17 BAB II Kondisi Masyarakat dan Pendidikan di Hindia Belanda 1890-1930 19 A. Keadaan Masyarakat di Hindia Belanda Masa Kolonial ................. 19 B. Pendidikan Masyarakat di Hindia Belanda...................................... 25 C. Kebijakan Politik Asosiasi Pendidikan Terhadap Masyarakat Pribumi ........................................................................................... 38 BAB III Kebijakan Politik Asosiasi Pendikan Bagi Umat Islam 1890-1930 . 48 A. Pendidikan Umat Islam Masa Kolonial ........................................... 48 B. Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Islam ......................... 66 C. Dampak Politik Asosiasi Pendidikan Bagi Umat Islam .................. 73 BAB IV Respon Umat Islam Terhadap Dampak Politik Asosiasi Pendidikan 1890-1930 ............................................................................................. 78 A. Keresahan dan Perlawanan Umat Islam Terhadap Politik Asosiasi Pendidikan ....................................................................................... 78 B. Pertumbuhan Semangat Kebangsaan Umat Islam Dalam Melawan Sistem Kolonial ............................................................................... 96 BAB V PENUTUP........................................................................................... 105 A. Kesimpulan .................................................................................... 105 B. Saran .............................................................................................. 106 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 108 LAMPIRAN........................................................................................................ 113
DAFTAR ISTILAH Ambacthschool
Sekolah Petukangan
Asosiasi
Mempertemukan Kebudyanaan Dua Negeri yang Berbeda Sebagai Teman
de Schoolen de Eeerste Klasse
Sekolah Kelas Satu untuk anak terkemuka
de Schoolen de Tweede Klasse
Sekolah Kelas Dua didirikan untuk rakyat pribumi
Etische Politiek
Politik Balas Budi
Hoofdenschool
Sekolah untuk Calon Pegawai
Klein Ambtearen
Pegawai Rendah
Menak
Kelas sosial dalam golongan bangsawan Sunda
Priayi
Kelas sosial dalam golongan bangsawan Jawa
Pribumi
Masyarakat asli Hindia Belanda (Indonesia)
Vervolgschool
Sekolah Sambungan
Rechtschool
Sekolah Hakim
Binnelands Bestuur
Pegawai Pemerintahan Dalam Negri
Indlandsche geneeskunde
Ahli Kesehatan Pribumi
xii
DAFTAR SIGKATAN
AMS
Algemeene Midlebare School
ANRI
Arsip Nasional Republik Indonesia
ELS
Europeeche Large School
GHS
Geneskundige Hoge School
HBS
Hogere Burger School
HCS
Hollandsch Chineesche School
HIK
Hollandsch Indlandsch Kweekschool
HIS
Hollandsch Indlandsch School
MLS
Middlebare Landbrouw School
MULO
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
NIAS
Nederlansche Indische Artsen School
OSVIA
Opleiding School oor Indlandsche Ambtenaren
PNRI
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
RHS
Rechtskundige Hoge School
STOVIA
School toot Opleiding voor Indlansdch Artsen
THS
Technise Hoge School
VOC
Verenigde Oost-Indische Compagnie
xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dua dasawarsa akhir abad ke-19 dan dua dasawarsa pertama abad ke-20 dikenal sebagai puncak abad imperialisme, di mana merupakan masa keemasan bagi bangsa-bangsa Eropa yang memiliki nafsu membentuk kekaisaran seperti Inggris, Peranci, dan lain-lain yang merajalela di Afrika dan Asia dan mengancam negara yang sudah merdeka masuk ke dalam bagian provinsi Eropa. Lain hal dengan Belanda yang sudah memulai politik ekspansinya jauh sebelum itu.1 Usaha untuk tetap mempertahankan eksistensi dan kekuasaannya di negeri jajahan, Islam dipelajari di negeri Belanda untuk mengenal lebih jauh segala sesuatunya tentang Islam dan pribumi Indonesia atau masyarakat Hindia Belanda demikian mereka disebut dahulu. Ketakutan Belanda lebih besar dibandingkan harapannya mengenai masa depan Islam Hindia Belanda menjelang akhir abad ke19, karena tidak adanya kepastian kebijakan politik yang mengatur dan memberikan batasan-batasan untuk umat Islam di Hindia Belanda. Dari sini muncullah Islam Politiek yaitu kebijakann pemerintah Hindia Belanda dalam menangani masalah Islam.2 Babakan baru ini berada di bawah pengaruh seorang
1
Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda; het Kantoor voor Inlandsche zaken (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 9. 2 Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda. h. 2.
1
2
orientalis terkemuka pada masa itu, Dr. Christian Snouck Hurgronje3, selanjutya disebut Snouck yang menjadi peletak dasarnya. Snouck datang ke Hindia-Belanda pada tahun 1889, dan pada 1899 -1906 ia ditunjuk
sebagai
penasehat
pada
Kantor
Urusan
Orang Pribumi
dan
Arab (Kantoor voor Inlandsche Zaken)4, kantor ini merupakan alat untuk melaksanakan ide Snouck dalam menangani umat Islam di Hindia Belanda. Kantoor voor Inlandsche Zaken – yang berwenang memberikan nasehat kepada pemerintahan dalam masalah pribumi, berdiri sejak tahun 1899, tahun di mana kedatangan Etische Politiek5 sudah di ambang fajar.
3
E. Gobee, dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936. Jilid I. Terj. Sukarsi. (Jakarta: INIS, 1990), h. v dan Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, h.119. Snouck Hurgronje merupakan anak keempat pasangan pendeta JJ. Snouck Hurgronje dan Anna Maria, putri pendeta D. Christian de Visser. Snouck Hurgronje memasuki sekolah lanjutan H.B.S. di Breda untuk mempelajari bahasa Latin dan Yunani (Greek). Kemudian ia masuk Universitas Leiden pada 1875, dalam usia 18 tahun. Mula-mula masuk Fakultas Teologi, kemudian pindah ke Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Arab. Pada 24 Nopember 1880 studinya di Leiden berakhir dan ia meraih gelar doctor sastra Arab, tamat dengan predikat cumlaude dengan disertasi Het Mekkaansche Feest (Perayaan di Makkah). Lihat juga Muin Umar, Orientalisme dan Studi Tentang islam (Jakarta : Penerbit Bulan Bintang, 1978).h 61-76. Lihat juga Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia,(Jakarta: Mizan, 2012). h. 165-172. Snouck tiba di Hindia Belanda pada Mei 1889 setelah penelitiannya tentang Komunitas Jawi di Mekkah dan ia pun menetap di Buitenzorg (Bogor) kediaman K.F. Holle, ia pernah mengunjungi negri Arab pada 1884 dan sampai ke Mekkah. Beberapa tulisan mengenai Islam diantaranya nerhubungan dengan hajj di Mekah yang dicetak di Leiden beberapa karyanya antara lain : De Atjehers – Het Gajoland – Arabic en Oost Indie, Het Mekkaanse Feast yang berisi tentang ibadah haji yang dilakukan kaum muslimin pada tiap bulan Zulhijah. 4
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, h. 118-119. Takashi Siraishi menyebutkan bahwa zaman etis “politik eties” adalah zaman modern yang merupakan zaman baru dalam politik kolonial dimulai. Semboyan dari zaman baru ini adalah “kemajuan”. Kata-kata yang menandakan kemajuan, seperti “vooruitgan, opheffing (kemajuan) ontwikkeling (perkembangan), dan opvoding (pendidikan), membubuhi bahasa saat itu bersama bervoedering van welvaart (memajukan kesejahteraan). Takhasi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti, 1997) cet. I, h. 35. Lihat juga Robert Cribb, Audrey Kahin, Kamus Sejarah Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), h. 431, Tentang Politik Ethis (Ethisce Politik). 5
3
Berkat pengalamannya di Timur Tengah dan mempelajari tentang Islam, dan juga mempelajari tantang Aceh, ia berhasil menyelesaikan perang Aceh, Snouck mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam penyelesaian perang Aceh ini, ia berhasil menemukan suatu pola dasar bagi kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda untuk menghadapi Islam di wilayah Hindia-Belanda,6seperti yang dijelaskan oleh Aqib Suminto pola ini yang menjadi landasan kerja bagi para adviseur voor Inlandsche zaken berikutnya untuk melaksanakan tugasnya sebagai penasehat Gubernur Jenderal dalam menangani masalah pribumi. Pemerintah Belanda pun tidak melupakan kenyataan bahwa berbagai perlawanan umat Islam di Hindia Belanda memang banyak dimotori oleh para haji dan ulama. Kenyataan ini menimbulkan banyak suara di kalangan pejabat pemerintah Hindia Belanda yang menginginkan agar pemerintah melarang orang Islam berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji.7 Sebab ibadah haji dinilai akan menyebabkan kaum pribumi menjadi fanatik. Pemerintah Hindia Belanda pun kemudian mengeluarkan bermacam-macam peraturan yang membatasi dan mempersulit pelaksanaan ibadah haji, untuk menekan pergerakan pribumi. Harry J. Benda melukiskan pembagian Islam oleh Snouck menurut dua aspek yang
dapat
dipisahkan:
Islam
religius
dan
Islam
politik8,
Snouck
memformulasikan dan mengkategorikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian,
6
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia-Belanda. h. 2. Suminto. h. 7 8 Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari terbit, Islam Indonesia Pada masa Pendudukan Jepang,. Daneil Dhakidae (terj) (Jakata: PT Pustaka Jaya, 1980). h..44. 7
4
yaitu ; bidang agama murni, bidang sosial kemasyarakatan, bidang politik. Pembagian kategori pembidangan ini juga menjadi landasan dari doktrin konsep Splitsingstheori.9 Dalam bidang agama murni, pemerintah memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajarannya, pemerintah juga harus memperlihatkan sikap seolah memperhatikan umat Islam. Dalam bidang sosial kemasyarakatan pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dan menggalakkan agar rakyat tetap berpegang teguh pada adat tersebut, sehingga ajaran Islam sangat dibatasi agar tidak meluas. Untuk membendung hukum Islam, Snouck mengemukakan Theori Reseptie.10 Terakhir dalam bidang politik, Snouck menyarankan pemerintah Belanda untuk melakukan politik asosiasi, yang lebih menekankan pada pendidikan bercorak barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa dan kaum pribumi. Sebelum kedatangan Snouck Tahun 1819 Gubernur van de Capelen mengeluarkan surat edaran yang menyatakan secepat mungkin untuk meratakan kemampuan membaca dan menulis masyarakat pribumi agar lebih mudah dalam menaati undang-undang dan hukum negara,11 hal tersebut agar dapat mewujudkan apa yang di cita-citakan pemerintah pada awal kedatangan Belanda ke Hindia Belanda yang sedikitnya ada tiga (tri G), pertama mendapatkan
9
Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda. h. 12 Yayan Sopyan ,Islam Negara Transormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: RMBooks, 2012) , h. 6. Teori ini menegaskan bahwa hukum islam berlaku secara efektif di kalangan umat Islam jika hukum Islam tersebut sejalan dengan hukum adat di Indonesia. Hukum yang berlaku di Indonesia tidak di dasarkan pada ajaran agaman tetapi lebih pada hukum adat setempat. 11 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), h.1. 10
5
keuntungan ekonomi (Gold), kedua mendapatkan kekuasaaan politik (Glory), ketiga menyebarkan missi ideologi dan keagaaman(Gospel). Pemerintah Belanda sangatlah telat dalam memajukan negara jajahannya dibandingkan dengan Inggris dan Prancis yang sudah mendirikan sekolah terlebih dahulu di daerah jajahannya. Karena pada dasarnya pendidikan merupakan fondasi dasar dari berbagai sistem yang berlaku di Hindia Belanda untuk membangun negara dan meningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Sebelum pemerintah Belanda mendirikan sekolah sudah berdiri lembaga pendidikan Islam seperti surau, madrasah dan pesantren yang berkembang di daerah-daerah untuk memberikan pendidikan agama, meskipun masih menganut pendidikan tradisional namun lembaga ini memiliki peran penting dalam memajukan masyarakat setempat jauh sebelum pendidikan Belanda masuk, hingga lembaga-lembaga ini bertransformasi menjadi pendidikan modern sebagai respon modernisasi pendidikan Islam yang tertinggal dibandingkan pendidikan yang dilakukan pemerintah Belanda, sehingga menurut pemerintah Belanda surau, madrasah, dan pondok pesantren ini merupakan ancaman bagi pemerintah Belanda, hingga perlu dibuat kebijakan-kebijakan di dalam kurikulum pendidikan yang diajarkan. Awal abad ke 20-politik etis12 pun mulai dilancarkan, sekolah-sekolah mulai didirikan dan diperluas. Beberapa sekolah yang didirikan pemerintah Belanda
12
Takhasi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti, 1997) cet. I, h. 35. Politk Etis juga nama umum yang diberikan untuk kebijakan kolonial Belanda pada dasawarsa-dasawarsa awal abad ke-20. Kebijakan ini diambil setelah pidato yang
6
menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sejak tahun 1914 masyarakat mulai mengecam politik etis yang gagal, ditambah pada 1930 banyak masyarakat pribumi yang belum melek huruf, angka kesadaran dan kemelekan huruf sangatlah rendah, hal ini yang membuat masyarakat masih melekat segala macam bentuk prasangka, stereotip, dan lain-lain sebagainya dalam diri umat Islam. Melek huruf di sini diartikan sebagai melek huruf latin, menyebabkan tidak dihitungnya mereka yang paham dalam membaca dan menulis Arab maupun yang membaca dan menulis daerah, sehingga mereka yang hanya bisa membaca dan menulis Arab dan daerah tidak mempunyai banyak kesempatan untuk bekerja di pemerintahan dan pabrik13. Rendahnya melek huruf ini mencerminkan hasil yang tidak berarti dari komitmen pemerintah Belanda terhadap kebijakan politik etis tahun 190114 yang di dalamnya berkembang pula politik asosiasi pendidikan yang dilancarakn pemerintah Belanda, politik asosiasi melalui jalur pendidikan ini merupakan ide dari Snouck Hurgronje dalam menangani masyarakat Muslim pribumi di Hindia Belanda.
dilakukan Ratu Wilhelmina dari takhtanya pada 1901 dengan mengumumkan : “sebagai sebuah kekuatan kristen, Belanda wajib melakukan kebijakan pemerintah di hindia belanda dengan kesadaran bahwa belanda memiliki kewajiban moral kepada rakyat di wilayah-wilayah tersebut.” Kebijakan tersebut diungkapkan dengan kesediaan baru pemerintah untuk melibatkan dirinya sendiri dalam urusan ekonomi dan sosial di nusantara atas nama efisiensi rasional. Inilah waktu peningkatan pelayanan kesehatan, perluasan pendidikan, perluasan fasilitas komunikasi, irigasi dan infrastruktur lainnya, serta pelaksanaan tindakan transmigrasi yang membawa keuntungan untuk kepentingan perniagaan barat serta orang indonesia sendiri. 13 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Yayasan bentang Budaya, 1995), h. 186. 14 M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa.(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013) ,h. 63.
7
Politik asosiasi ini bertujuan untuk mengasimilasi15 elit modern ke dalam budaya sekuler Barat modern melalui pendidikan dan pemanfaatan adat dan membuka posisi-posisi pemerintahan bagi masyarakat Hindia Belanda yang memenuhi kualifikasi. Dengan adanya asosisasi ini masyarakat Hindia Belanda bisa memanfaatkan kebudayaan Belanda tanpa mengabaikan kebudayaan sendiri. Hasil dari politik asosiasi pendidikan ini adalah menjauhkan masyarakat dari sistem Islam dan ajaran Islam, dan ditarik ke dalam orbit Westernized, dengan tujuan akhir bukanlah Hindia Belanda yang diperintah dengan corak adat istiadat, namun Hindia Belanda yang diperbaratkan16. Politik Asosiasi pendidikan ini lebih banyak melirik para bangsawan atau elit pribumi. Snouck merekomendasikan bahwa untuk mengalahkan pengaruh Islam di Hindia Belanda, kaum priyayi atau elit pribumi harus diberi pendidikan Barat, sehingga terjauhkan dari agamanya dengan tujuan untuk menempatkan para elit ini di berbagai jabatan yang strategis agar Hindia Belanda dapat dipimpin oleh pribumi yang ke-baratan, serta patuh pada pemerintah Belanda. Ini yang membuat penulis tertarik menulis kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda, khususnya politik asosiasi yang lebih menekankan pada pendidikan pribumi khususnya umat Islam. Pendidikan hanya bisa dirasakan oleh kaum elit pribumi yang di dalamnya terdapat banyak kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda, khususnya asosiasi pendidikan yang 15
Istilah asosiasi sering dipergunakan dalam pengertian yang sama dengan istilah asimilasi. Kalau asosisasi lebih bersifat mempertumakan antara dua negeri yang berbeda sebagai teman, sedangkan asimilasi cenderung untuk menyatukan keduanya. Encyclopaediae van Nederlandsch-Indie (ENI, jilid I. (‘s-Gravenhage, 1917), h. 67. 16 Harry J Benda, h.47. lihat juga Budi Ichwayudi, Hipokritisme Tokoh Orientalis Christian Snouck Hurgronje , Jurnal Religio, Vol 1, No 1, Maret 2011, h. 67-68
8
sangat kebarat-baratan untuk mengikis budaya masyarakat Hindia Belanda yang dari awal dibuat kebijakannya adalah untuk menarik elite intelektual ke dalam lingkaran kolonial dan menekan laju Islam, namun dalam praktiknya banyak respon dari elit intelektual dan umat Islam yang tidak sesuai dengan kebijakan awal politik asosiasi tersebut dan jauh dari perkiraan cita-cita Snouck Hurgronje dalam melancarkan politik asosiasi ini. Untuk itu skripsi ini berjudul “KEBIJAKAN
POLITIK
ASOSIASI
PENDIDIKAN
KOLONIAL
TEHADAP UMAT ISLAM TAHUN 1890-1930” B. Identifikasi Masalah Kebijakan baru mengenai pendidikan terdapat beberapa permasalahan yang penulis berhasil identifikasi dan berpotensi untuk dijadikan kajian terkait kondisi masyarakat muslim masa pemerintah Hindia Belanda, 1. Siapa saja yang terlibat dalam politik Asosiasi pendidikan Kolonial terhadap umat Islam di Hindia Belanda? 2. Apa motif diterapkannya politik asosisi pendidikan bagi umat Islam di Hindia Belanda? 3. Bagaimana kebijakan pemertintah Hindia Belanda dalam menerapkan politik Asosiasi pendidikan? 4. Apa dampaknya bagi umat Islam di Hindia Belanda? 5. Bagaimana respon umat Islam terhadap politik asosiasi pendidikan?
9
C. Kerangka Tujuan Adapun tujuan dalam penelitian skripsi ini adalah ingin mengetahui motif diberlakukannya politik asosisasi pendidikan terhadap umat Islam di Hindia Belanda. Hingga dampak yang dirasakan sampai munculnya respon umat Islam di Hindia Belanda terhadap penerapan asosiasi pendidikan. D. Batasan Masalah Agar tulisan dalam skripsi ini tidak melebar dan meluas, maka perlu diadakan pembatasan dan rumusan masalah agar tujuan yang ingin dicapai dapat terarah. Adapun batasan masalah dalam penulisan ini sebagai berikut: 1. Kondisi masyarakat dan pendidikan masyarakat di Hindia Belanda. 2. Kebijakan pemerintah Belanda dalam mengeluarkan kebijakan khusus yaitu Asosiasi Pendidikan untuk menekan laju umat Islam dan mempertahankan kekuasaan kolonial. Serta dampak yang ditimbulkan dari kebijakan asosiasi pendidikan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda. 3. Respon umat Islam di Hindia Belanda terhadap penerapan asosiasi pendidikan. E. Manfaat Penelitian Penulis berharap hasil penelitian ini dapat melengkapi studi-studi yang sudah ada, terutama terkait dengan pendidikan. Artinya, skripsi ini bisa menjadi rujukan bagi akademisi yang ingin mengambil kajian tentang pendidikan, khususnya politik pendidikan masa Kolonial.
10
Sebagai pemacu sejarawan muslim khususnya dan generasi muda pada umumnya, yang akan meneliti tentang sejarah pendidikan Islam, terutama pendidikan Islam masa Kolonial, yang masih bisa dirasakan hingga saaat ini. F.
Metode Penelitian Dalam Penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analitik, yakni
dengan memberi pemaparan umum tantang kebijakan pendidikan pemerintahan Hindia Belanda serta analisis lebih fokus menyangkut Pendidikan terhadap masyarakat Pribumi Islam. Dalam hal ini metode yang digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya dalah heuristic atau pengumpulan data, kritik sumber baik intern maupun ekstern, iterpretasi atau penafsiran dan tahap terakhir adalah historiografi atau penulisan.17 Pada tahap heuristik penulis
mengumpulan data-data, dimana penulis
mengunjungi beberapa tempat untuk mencari sumber-sumber mengenai kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan masyarakat pribumi, penulis temukan di Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan UI, Arsip Nasional Republik Indonesia. Penulis mendapatkan Staastblad van Nederlandsch-Indie tahun 1893 no 125, 1905 no 550 dan 1925 no 219, serta Bijblad op het Staatsblad van Nedelandsch-Indie no 6639 dan 7123, Regerings Almanak dan Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie di ANRI (Arsip
17
h. 89.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995),
11
Nasional Republik Indonesia),18 Penulis menemukan buku karya Robert Van Niel Munculnya Eite Modern di Indonesia di
Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia (PNRI),19 penulis menelusuri Perpustakaan Utama UIN Jakarta menemukan
Koleksi
Nasihat-Nasihat
C.
Snouck
Hurgronje
Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Islam di Hindia Belanda Karangan Snouck Hurgronje, serta buku karangan Aqib Suminto Politik Islam Hindia Belanda, sedangkan Kumpulan karangan Snouck Hurgronje oleh E. Gobee dan C Adriaanse penulis temukan di Perpustakaan UI, dan beberapa sumber lainnya yang pernulis dapatkan atas rekomendasi dosen, rekomendasi teman dan intenet. Tahap selanjutnya verifikasi atau kritik sumber, pada tahap ini penulis melakukan kritik mengenai keabsahan sumber primer dan sekunder. Berdasarkan atas kritik sumber terhadapap Staatsblad van Nederlanch-Indie tahun 1893 no 125 dan 1905 no 550, penulis menemukan lembaran kertas Staatsblad ini masih amat rapih dan bagus sehingga masih dapat terbaca tulisan diatasnya, sedangkan untuk staatsblad tahun 1905 no 219, sudah mulai rapuh dan beberapa tulisan tidak dapat dibaca karena sebagian kertas sudah robek dan terpisah. Untuk Bijblad no 6639 dan 7123 lembaran kertasnya juga masih rapih sehingga tulisan diatasnya masih dapat dibaca dengan jelas. Setelah itu penulis melakukan interpretasi, dimana penulis melakukan penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah diseleksi untuk kemudian
18 19
Jl. Ampera Raya No. 7, Jakarta 12560. Jl. Salemba Raya 28A, Jakarta 10430.
12
dilakukan tahap historiografi, yang merupakan cara penulisan, pemaparan atau laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan20. Tahap ini adalah rangkaian dari keseluruhan dari teknik metode pembahasan. Adapun buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” menjadi buku acuan yang penulis gunakan untuk membantu dalam hal teknik penulisan skripsi ini. G. Tinjauan Pustaka Dalam penelitian skripsi ini, buku yang menjadi
inspirasi untuk menulis
penelitian skripsi yang berjudul “KEBIJAKAN POLITIK ASOSIASI PENDIDIKAN KOLONIAL TEHADAP UMAT ISLAM TAHUN 18901930” antara lain Buku Politik Islam Hindia Belanda21 karya Aqib Suminto yang mana di dalamnya dijelasakn kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam menangangi Islam khususnya dengan beberapa kebijakan politik yang dibuat oleh Snouck Hurgronje untuk menekan gerakan-gerakan muslim. Politik asosiasi salah satunya, asosiasi berdasarkan pemanfaatan adat dan pendidikan yang mana pembahasan dalam buku ini sangat membatu penulis dalam melakukan penelitian. Namun Aqib Suminto dalam pengantarnya lebih menekankan tulisannya pada Het Kantooor Voor Inlandsche Zaken, peran het Kantoor voor Inlandsche zaken atau kantor urusan pribumi. Peranan Kantoor voor Inlandsche zaken- yang berwenang
20
. Dudung Abdurahman. Metodologi Penelitian Sejarah. h. 76. Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda; het Kantoor voor Inlandsche zaken (Jakarta: LP3ES, 1986). 21
13
memberikan nasehat kepada pemerintahan dalam masalah pribumi- berdiri sejak tahun 1899 diawal munculnya politik etis yang tak luput dari peran seorang Adviseur voor Inlandsche zaken. Penulis juga mengambil sumber dari buku karangan Snouck Hurgronje yang berjudul Islam di Hindia Belanda.22 Dalam buku ini snouck menggambarkan kondisi agama Islam di Hindia Belanda, menjelaskan masuknya Islam ke Indonesia dan perkembangannya sehingga banyak masyarakat pribumi yang menganut agama Islam. Snouck juga menceritakan gambaran umat Islam dalam melaksanakan ibadatnya, seperti berpuasa sebulan penuh dan merayakan Idul fitri, zakat, pernikahan. Buku ini lebih banyak menggabarkan kehiduapan masyarakat Islam Hindia Belanda dari segi sosial keagamaan. Buku karya Robert Van Niel yang berjudul Munculnya Elit Modern di Indonesia,23 yang menggambarkan stratifikasi masyarakat Hindia Timur dalam kurun waktu 1900, akselerasi perubahan antara 1900-1914 dari mulai Politik Etis dalam teori dan praktek sampai kebijaksanaan politik dan sikap pemerintah terhadap masyarakat pribumi dan menggambarakn lahirnya elit Indonesia modern yang menyuarakan perubahan-perubahan untuk kemaslahatan masyarakat di Hindia Belanda. Robert van Niel menulisnya dengan sangat apik sehingga buku ini sangat membantu penulis dalam melihat kondisi masyarakat Hindia Belanda pada saat itu khususnya dalam stratifikasi social masyarakat Hindia Timur yang di 22
C Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda. (Jakarta; PT Bhratara Karya Aksara,
1983) 23
Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia , Ny. Zahara Deliar Noer (terj)(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984)
14
mulai dari orang Eropa, orang Cina dan Arab dan terakhir orang Indonesia. Hingga perubahan-perubahan yang terjadi pada kurun 1900-1914 karena kebjakan-kebijakan pemerintah Belanda sampai munculnya elite baru yang memiliki intelektual tinggi yang ia sebut dengan elit modern sebagai respon dari kebijakan pemerintah Belanda. Pada buku ini lebih digambarkan elit modern yang terpengaruh pendidikan barat dari kalangan masyarakat elit bangsawan. Pesantren, Madrasah dan Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern 24 karya Karel A Steenbrink juga menjadi sumber dalam penulisan ini, buku tersebut menggambarkan pendidikan Islam awal abad ke 20 dari awal pendidikan Islam yang masih sangat tradisional hingga berkembang menjadi lembaga-lembaga pendidikan modern. Steenbrink menulisakan dalam bukunya awal mula system pendidikan yang ada di Indonesia, bagaimana pendidikan tradisional yang ada di Indonesia bertransformasi menjadi lembagaa lembaga pendidikan yang modern, Buku ini lebih menggambarkan perubahan atau transformasi pendidikan tradisional yang di jelaskan sekilas pada bab-bab awal buku ini, hingga pada penjelasan lembaga pendidikan yang lebih kontemporer. Buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid V25 Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto masuk juga kedalam daftar bahan yang penulis pakai, di dalam buku ini menjelaskan Jaman kebangkitan nasional dan masa akhir Hindia Belanda. Menggambarkan politik kolonial dan transformasi politik itu sendiri mulai dari
24
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994) 25 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V. PN Balai Pustaka, 1984
15
datangnya VOC sampai dasawarsa terakhir Hindia Belanda. Menjelaskan struktur sosial hingga pergerakan Nasional yang terjadi di Indonesia pada awal abad ke 20. Beberapa bab dalam buku ini menjelaskan tentang kemerosotan politik yang dilancarkann oleh pemerintah Belanda terhadap pribumi dan juga menjelaskan munculnya mobilitas social di kalangan masyarakat pribumi, hal ini membantu penulis dalam menuliskan respon yang dilakukan pribumi terhadap kebijakan pemerintah Belanda. Buku Indonesia dalam Arus Sejarah jilid V
26
masa pergerakan kebangsaaan
tak lupa penulis jadikan rujukan. Buku ini ditulis beberapa sejarawan dalam bentuk bab per bab, salah satu yang penulis jadikan rujukan adalah bab 7 tulisan Prof. Dr. Soegijanto Padmo (alm) yang menuliskan tentang perkembangan sosial ekonomi pribumi sedikitnya membahas pendidikan pribumi. Bab 8 tentang Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elite Modern yang ditulis oleh Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, di dalamnya mengulas perkembangan baru pada abad 19, sekolah sekolah kejurusan yang didirikan Belanda, sekolah Belanda untuk pribumi, membahas politik etis yang dilancarkan pemerintah pada awal abad 20, perguruan tinggi dalam dan luar negri, sekolah-sekolah swasta yang tidak bersubdisi, latar belakang sosial murid sekolah pemerintah, tak lupa pendidikan wanita sampai mobilitas dosial dan munculnya elit modern. Tulisan Dr. Muhamad Hisyam pada bab 11 yaitu Reformasi Islam dan kebangkitan kebangsaan dari mulai akar dan persebaran pemikiran reformis, reformasi Islam rintisan abad ke 19, lembaga pendidikan dan organisasi modern, hingga reformasi dalam dan 26
Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve), 2012
16
kesadaran kebangsaan. Buku yang ditulis oleh beberapa penulis ini memberikan warna dalam penulisan ini, karena beragam penjelasaan diterangkan dalam buku ini yang lebih banyak fokusnya pada akhir adab ke 19 samai awal abad ke 20 khususnya tentang pendidikan serta mobilitas masyarakat Hindia Belanda. H. Kerangka Teori dan Pendekatan Konseptual Prof. W.F. Wertheim mengatakan bahwa : Apapun politik terhadap Islam yang dilancarkan oleh kekuasaan non Islam, hasilnya senantiasa berbeda dari apa yang ingin dikejar oleh kekuasaan tersebut.27 Yang dimaksud adalah kekuasaan Pemerintah Koloial dalam mengambil kebijakan terhadap umat Islam di Hindia Belanda dalam kenyataan yang dihasilkan oleh politiknya bertentangan dengan apa yang diharapkan. Seperti kebijakan politik asosiasi yang di prakasai oleh Snouck Hurgronje. Pada dasarnya sistem asosiasi pemerintah Kolonial dalam mempertahankan tanah jajahannya yang memggambarkan bahwa suatu struktur atas (bovenbow) pemerintah kolonial menjurus pada konservatisme yang hendak mempertahankan sistem kolonial dengan menjadikan kesatuan etis, kultural dan politik masyarakat elit tradisional sebagai bawahan (onderbow).28 Munculnya elit intelektual dikalangan elit tradisional yang menentang Belanda, merupakan bukti bahwa apa yang di cita-citakan Snouck tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Karena sistem asosiasi sebagai alat tidak dapat dipakai untuk mencapai tujuan yang telah
27
Harrry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Terj. Daniel Dhakidae.(Jakarta: Pustaka Jaya, 1980) h. 345 28 Marwati Djoened, Sejarah NasionalIndonesia JIlid V, h. 65.
17
digariskan seperti kesejajaran kepentingan antara kaum pribumi dan golongan Belanda.
Asosiasi
berdasarkan
Encyclopedie
van
Nedelandsch-Indie
sering
dipergunakan dalam pengertaian yang sama dengan asimilasi. Ada tiga istilah yang saling bekaitan satu sama lain, yaitu unifikasi, asimilasi dan asosiasi.29 Asosiasi disini lebih bersifat mempertemukan dua negri yang berbeda sebagai teman, sedangkan asimilasi cenderung untuk menyatukan keduanya. Baik asosiasi atau asimilasi memiliki pengertian yang sama dengan unifikasi, yaitu kesatuan hukum bagi seluruh penduduknya apapun asal usulnya, dapat diartikan pula sebagai usaha untuk menyamakan semua peraturan Kolonial di daerah jajahan dengan peraturan yang berlaku di negri penjajah. Terutama menyangkut istilah asimilasi, yang mengandung arti bahwa keperluan Hindia akan dipenuhi dengan syarat-syarat Barat.30 Sedangkan umat Islam yang dimaksud dalam penulisan ini bukanlah umat Islam secara keseluruhan melainkan umat Islam dari kalangan priayi, menak atau bangsawan yang memeluk agama Islam yang merupakan tujuan utama dari politik asosiasi pendidikan yang dilancarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. I.
Sistematika Penulisan Untuk menyajikan laporan dan penulisan penelitian, sekaligus memberikan
gambaran yang jelas dan sistematis tentang materi yang terkandung dalam skripsi
29 30
Encyclopedie van Nedelandsch-Indie, I (s’-Gravehagen, 1917), h. 67. Aqib Sumito, h. 39
18
ini. Penulis menyusun sistematika penulisan ini ke dalam 5 bab beserta bibliografi dengan urutan sebagai berikut. BAB I ; berisikan latar belakang masalah, identifikasi masalah, kerangka tujuan, batasan masalah, manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori dan sistematika penulisan. BAB II ; membahas kondisi masyarakat dan pendidikan masyarakat Hindia Belanda, juga membahas kebijakan politik asosiasi pendidikan Pemerintah Hindia Belanda bagi masyarakat pribumi. BAB III ; membahas kebijakan politik asosiasi pendidikan bagi umat Islam masa Pemerintah Kolonial Belanda dan dampak yang ditimbulkan. BAB IV; membahas respon umat Islam terhadap dampak politik asosasi pendidikan. BAB V ; Penutup yang berupa kesimpulan dan saran untuk kebaikan dalam penulisan ini.
BAB II
KONDISI MASYARAKAT DAN PENDIDIKAN DI HINDIA BELANDA 1890-1930 A. Keadaan Masyarakat di Hindia Belanda Masa Kolonial Nusantara negeri bak surga yang tumbuh subur dengan keaneka ragaman sumber daya alam dan budaya, negeri yang dilirik oleh para pedagang Eropa dengan hasil buminya yang mahal, rempah-rempah. Harta karun yang diperebutkan bangsa Eropa untuk menghasilkan pundi pundi uang, dari mulai Spanyol, Portugis, Belanda. Bukan hanya sekedar memperebututkan komoditi rempah tersebut, negara-negara Eropa ini membawa missi yang sangat penting, yaitu misi kristenisasi. VOC ( Vereniging oost Indische Compagnie) sebuah persahaan dagang Belanda datang ke Hindia Belanda tahun 16021 dengan tujuan berdagang, hingga akhirnya dapat menancapkan kakinya ditanah Hindia, VOC pun
mulai
mengegrogoti dan ingin menguasai sumber daya alam yang ada karena awal kedatangannya kapal dagang VOC memang dengan motif hegemoni rempah dan perdagangan di tanah Hindia, namun berubah haluan pada penghujung abad ke19. Setelah berhasil mempertahankan hegemoni politiknya selama satu abad lambat laun ekspansi ekonomi Belanda berubah haluan menjadi ekspansi kolonial. Seiring dengan kemerosotan VOC yang diakibatkan faktor internal yang terjadi 1
R.Z. Leirissa, ”Verenigde Oost Indische Comagnie (VOC)”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve), h 21. VOC didirikan pada 20 Maret 1602 di Amsterdam, pembentukan VOC pada mulanya dimaksdukan untuk menghilangkan persaingan antara para pengusaha Belanda dan memperkuat diri untuk bersaing dengan perusahaan dagang Negara lain, seperti Inggris dan Portugis.
19
20
pada tahun 1795 dikarenakan izin oktroinya ditiadakan, hingga pada 1798 VOC dibubarkan karena banyak kasus yang didapat dalam pengelolaan pembukuan yang curang, pegawai yang korup dan hutang besar, sehingga VOC mendapat kerugian sebesar 134,7 juta gulden.2 Sedangkan faktor eksternal disebabkan persaingan dagang dengan negara kolonial Inggris dan kondisi eksternal negeri Belanda yang berada di bawah ekspansi kolonial Prancis telah mengantarkan perubahan yang cukup signifikan, sehingga pada akhirnya Napoleon berhasil menguasai Belanda sepenuhnya, kompeni yang dibungkus dalam VOC akhirnya menemukan ajalnya.3 Sehingga secara resmi pemerintah Indonesia di bawah naungan VOC pindah ke tangan pemerintah Belanda. Selama masa pemerintahan Belanda, pemerintah membuat sistem pelapisan stratifikasi sosial masayarakat Hindia Belanda. Sistem pelapisan sosial ini secara umum dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan penjajah atau penguasa dan golongan terjajah atau rakyat. Penggolongan ini berdampak pada hak dan kewajiban masing masing golongan masyarakat kolonial yang bersifat diskriminatif. Golongan pertama tinggal di pusat-pusat kota dan berhak mendapatkan fasilitas lebih dalam hal ekonomi, hukum, kesehatan, serta pendidikan. Sedangkan golongan kedua hanya tinggal di kampung-kampung dengan fasilitas yang sangat sederhana. Di dalam golongan pertama ini terdapat para pejabat tinggi, tentara, pegawai-pegawai Belanda dan orang-orang Timur asing, mereka semua dianggap sebagai warga kota. Sedangkan orang-orang 2
Marwati Djonoed Pusponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V. (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h.1. 3 M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dai Masa Prasejarah sampai Kontemporer, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 294.
21
pribumi dianggap sebagai orang asing yang tidak boleh tinggal dipusat kota, melainkan harus tinggal di pinggir kota dan di desa. Dalam kenyataannya, pelapisan sosial pada masa Hindia Belanda sebenarnya sangat berlapis-lapis. Seperti dalam peraturan hukum ketatanegaraan Hindia Belanda (Indische Staatsregeling) tahun 1927, lapisan sosial masyarakat yang dibagi oleh Pemerintah Kolonial dibedakan menjadi 3 golongan4 yaitu: a.
Golongan Eropa dan yang dipersamakan, golongan ini terdiri atas: 1.
Orang-orang Belanda dan keturunannya.
2. Orang-orang Eropa lainnya seperti Inggris, Prancis Portugis, dan lainlain. 3.
Orang-orang yang bukan bangsa Eropa tetapi telah masuk menjadi golongan Eropa atau telah diakui sebagai golongan Eropa.
b.
Golongan Timur Asing, didalamnya adalah orang Cina, Arab, India, Pakistan, serta orang-orang kawasan Asia lainnya.
c.
Golongan Pribumi yaitu orang-orang yang asli Indonesia yang disebut inlander.5
Kebanyakan masyarakat Eropa tinggal di perkotaan, pusat perkotaan bukan hanya menjadi tempat berdagang namun sekaligus menjadi tempat berkumpulnya orang-orang Eropa. Kalangan orang Eropa yang berpendidikan dan orang eropa golongan menengah membawa kebudayaan Barat, mereka membentuk suatu 4
Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No 2/1989I, (Jakarta : INIS, 2004) h.25. 5 Robert Van Niel, Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia , Ny. Zahara Deliar Noer (terj)(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).h. 15-43.
22
dunia Barat di tengah tengah masyarakat perkotaan di daerah Jawa. Sekitar tahun 1900, wanita-wanita Eropa berdatangan ke tanah Hindia, sejak itu jumlah masyarakat Eropa bertambah secara signifikan. Kurang lebih ada sekitar 70.000 orang Eropa di Jawa, bisa dikatakan hanya seperempat saja Eropa totok yang lahir di Eropa dan datang ke Jawa. Yang seperempat itu kebanyakan terdiri dari para pedagang dan pengusaha, sebagian besar wakil-wakil dari urusan keuangan dan kebanyakan pegawai sipil Eropa. Beberapa orang Eropa juga ada yang melangsungkan pernikahan dengan penduduk setempat, sehingga ia banyak beranak pinak dan memiliki banyak keturunan. Kaum Indo, sebutan untuk anak keturunan campuran Indo-Europeanen banyak mengalami tekanan dan hidupnya terombang ambing. Orang-orang Eropa totok banyak yang merendahkan orang Indo, meskipun orang Indo dapat memiliki hak dan kewajiban yang sama apabila ayahnya mengakuinya sebagai orang Eropa, sehingga mereka menjadi bagian masyarakat Hindia Belanda.6 Pada tahun 1900 golongan Timur asing yang terdiri dari orang Cina dan Arab tinggal di Hindia sebagai pedagang, Orang Cina merupakan kelompok terbesar di luar masyarakat Hindia Belanda di Jawa, jumlah mereka kira-kira 280.000. Menjelang tahun 1900 sebagian besar orang Cina sudah beranak pinak dan memiliki banyak keturunan di Jawa, namun mereka tetap memegang teguh kebudayaan asal Negeri mereka meskipun sudah lama tinggal di Hindia Belanda. Kebanyakan orang Cina datang untuk berdagang dan menempatakan diri dengan
6
Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia , Ny. Zahara Deliar Noer (terj)(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984). h.15-28.
23
sifat tegas, semangat dan penuh energi hingga mereka dapat secara luas menguasai kedudukan sebagai perantara dalam struktur ekonomi Hindia Belanda.7 Sedangkan orang Arab sebagaimana dipanggil di Jawa bukan hanya mereka yang berasal dari negeri Arab, sebutan itu digunkan untuk orang orang perantau dari Timur dekat maupun Timur Tengah termasuk juga India Muslim. Tahun 1900-an perkiraan masyaraat Arab di Hindia Belanda berkisar 18.000 orang, kebanyakan mereka adalah pedagang kecil, saudagar, dan rentenir uang hampir serupa dengan orang Cina.8 Sedangkan dikalangan masyarakat pribumi, terdapat pula stratifikasi social di kalangan pribumi seperti di daerah Jawa dan Sunda. Masyarakat Jawa dan Sunda membuat stratifikasi social berdasarkan tingkatan masyarakat umum dikenal adanya beberapa lapisan berdasarkan status sosialnya, yaitu lapisan bawah, menengah dan atas. Lapisan bawah ialah yang umum disebut rakyat jelata dan merupakan masa yang terbesar dan hidup melarat. Terdapat di desa-desa sebagai petani dan buruh perkebunan, di kota-kota sebagai buruh kecil, tukang-tukang dan sebagainya. Lapisan menengah meliputi para pedagang kecil dan menengah, petani-petani kaya dan pegawai pemerintahan. Adapun lapisan atas terdiri dari keturunan bangsawan dan kerabat raja yang memerintah daerah tersebut dan umumnya mereka terbagi lagi dalam berbagai tingkatan dan gelar yang berbeda sesuai dengan tingkat hubungan mereka dengan raja. Bisa dikatakan sifatnya yang turun temurun itu tidak pernah berubah sampai akhir abad ke 19. Karena itu 7
Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia , Ny. Zahara Deliar Noer (terj)(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984). h. 30. 8 Robert Van Niel, h. 31
24
mereka biasa disebut elit atau Priayi9 di Jawa dan menak10 di Sunda, yang disebut elite adalah sesuatu kelompok yang berpengaruh dalam suatu lingkungan masyarakat. Biasanya mereka dijadikan Admininstratur, pegawai pemerintah oleh pemerintah Belanda. Secara teknis kaum ningrat merupakan kelompok terpisah, namun masyarakat pribumi dengan sendirinya memasukan kaum ningrat ke dalam golongan priayi.11 Sedangkan masyarakat muslim pada masa itu dipandang sama dengan pribumi atau rakyat biasa (indigenousness).12 Dari stratifikisai sosisal inilah dapat dilihat bagaimana pemerintah Belanda mengambil kebijakan untuk masyarakat di tanah jajahannya. Pemerintah Belanda menyadari bahwa untuk dapat mempertahankan kekuasaannya di Hindia Belanda, mereka berusaha memahami dan mengerti tentang seluk beluk penduduk pribumi yang dikuasainya. Mereka pun tahu bahwa agama penduduk yang dijajahnya itu mayoritas beragama Islam sehingga mereka sangat berhati-hati dalam mengabil kebijakan. Kedatangan bangsa Barat disatu pihak membawa dampak pada kemajuan teknologi, kendati kemajuan tersebut tidak secara menyeluruh dirasakan oleh
9
Istilah ini pertama kali dipakai oleh Clifford Geertz dalam kajiannya The Religion of Java diterjemahkan ke dalam Agama Jawa, yang membedakan masyarakat Muslim Jawa atas tiga kategori Priayi (pejabat pemerintah), Santri ( muslim yang menjalankan agama, pedagang), dan abangan ( masayarakat yang tinggal di pedesaan). Dalam Robert Van Niel, h. 31 dijelaskan pula maksud Priayi. Priayi adalah kelompok yang disebut elit, bagi masyarakat Indonesia berarti siapa saja yang berdiri diatas rakyat Jelata dalam hal memimpin, memberi pengaruh, mengatur dan menuntun masyarakat Indonesia. 10 Nina H. Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942.(Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998). h. 2. Beliau mengutip C. Van Vollenhoven yang menjelaskan sebutan menak yang digunakan dalam tradisi Jawa di daerah Sunda dipergunakan untuk menyebut semua orang yang sangat di hormati baik para bangsawan maupun pejabat tinggi. 11 Robert Van Niel, h. 31-32 12 Alwi Sihab, Membendung Arus Respon Gerakan Muhamadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), h. 69.
25
masyarakat pribumi. Tujuannya tak lain hanya untuk meningkatkan hasil jajahannya, begitu pula dengan pendidikan.13 Pemerintah memperkenalkan sistem dan metodologi baru yang lebih efektif, namun hanya sekedar untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu disegala bidang. Pendidikan yang didapat para calon pegawai Hindia tidak serta merta diberi pendidikan yang sangat luas, mereka dididik agar dapat mandiri dan memiliki daya tangkap sebagaimana yang diperlukan.14 B.
Pendidikan Masyarakat di Hindia Belanda Kenyataannya
Belanda
sebagai
penjajah
benar-benar
mengeruk
keuntungan yang sebesar- besarnya, dengan memeras tenaga, sumber alam dan sebagainya, sementara di lain pihak juga diadakan semacam pembodohan terhadap penduduk pribumi. Karena itu, Belanda sebagai penjajah berbeda sekali dengan kaum penjajah yang lain, seperti Inggris dan Jepang. Belanda benar-benar sangat lambat dari negara-negara Kolonial lainnya. Inggris meskipun mereka sebagai kolonialis, mereka tidak mengesampingkan kemajuan pribumi terutama di bidang pendidikannya. Hal ini bisa dilihat dari beberapa negara bekas jajahan Inggris seperti Malaysia, Singapura, Hongkong dan sebagainya. Sekarang semua negara tersebut masuk ke dalam kategori negara maju.
13
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, lintasan Sejarah, Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta:Diterbitkan Kerjasama dengan Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan dan PT Raja Grafindo Persada, 1996), Cet ke 2, h. 47-48 14 E. Gobee dan C Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid IV (Jakarta : Indonesian Netherlands Coorperation in Isalamic Stuidie (INIS), 1991). h. 477-479.
26
Tahun 1819 Gubernur van de Capelen mengeluarkan surat edaran yang menyatakan secepat mungkin untuk meratakan kemampuan membaca dan menulis masyarakat pribumi agar lebih mudah dalam menaati undang-undang dan hukum negara.15 Maksud dari surat instruksi tersebut adalah perlunya didirikan Sekolah Dasar (SD) pada zaman itu. Sebab pendidikan Islam yang ada di Surau, Masjid, langgar dan Pondok Pesantren dianggap tidak membantu pemerintah Hindia Belanda. Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan itu adalah Westernisasi dan Kristenisasi yaitu untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan pemerintah Belanda di Hindia Belanda.16 Perhatian pemerintah terhadap pendidikan pribumi hanya untuk mendapatkan ternaga terdidik dengan upah yang minim, karena apabila mendatangkan langsung tenaga terdidik atau pegawai administrasi pemerintah dan pekerja bawahan dari Belanda pastilah dibutuhkan biaya yang cukup besar sehingga sangat lah dibutuhkan seorang pribumi yang terdidik, alasan ini digunakan oleh Van den Bosch yang merasa sangat membutuhkan tenaga pribumi untuk memajukan perkembangan ekonomi di Hindia Belanda. Dibukalah pendidikan untuk golongan pribumi dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Pada abad ke-20 sebuah zaman baru dalam politik kolonial dimulai, yaitu zaman etis. Semboyan dari zaman ini adalah “kemajuan”. Kata-kata yang
15
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), h.1. 16 Zuhairini, dkk, Sejarah Pedidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1986), h. 145.
27
menandakan kemajuan seperti vooruitgang, opheffing (kemajuan), ontwikkeling (perkembangan), dan opvoeding (pendidikan), membubuhi bahasa saat itu bersama bervoedering van welvaart (memajukan kesejahteraan).17 Kebijakan politik ini berkonsentrasi pada modernisasi masyarakat Hindia Belanda dan membebaskan dari kekuasaan Kolonial. Adalah C.Th. Van Deventer yang menerbitkan sebuah artikel yang berjudul “Een Ereschuld (Suatu hutang kehormatan), di dalam jurnal Belanda de Gids, dia menyatakan bahwa negeri Belanda berhutang kepada bangsa Hindia Belanda atas semua kekayaan yang sudah di peras dari negeri mereka. Hutang ini sebaiknya dibayar kembali dengan jalan memberikan prioritas utama kepada kepentingan rakyat Hindia Belanda didalam kebijakan kolonial. 18 Ide ide politik etis antara lain adalah irigasi, emigrasi dan pendidikan. Pendidikan memiliki skala yang paling penting melihat populasi masayarakat pribumi sehingga mereka berpikir untuk memajukan dan meningkatkan pendidikan masyarakat pribumi. Kebijakan ini mulai diberlakukan sejak diangkatnya Alexander W.F Idenburg sebagai menteri urusan jajahan.19 Pendidikan dan emansipasi masyarakat Hindia Belanda secara berangsurangsur itulah inti dari Politik Etis. Pendidikan masyarakat Hindia Belanda harus di arahkan dari ketidak matangan yang di paksakan agar berdiri di atas kaki sendiri. 17
Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Perpustakaan Utama Garffiti,1997), h. 35 18
M.C Ricklefs, M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), h.328. 19
Robert Van Niel, h. 55
28
Bersainglah dua aliran dalam lingkaran Kolonial. Aliran pertama menyukai pendidikan dalam bahasa Belanda untuk elite pribumi, menurut mereka cara ini akan memperkuat komitmen para elite pada kebudayaan Barat dan dapat menghasilkan pemimpin pribumi yang dapat bekerjasama dengan para tuan Belanda pada era Etis baru. Usaha Westernisasi penduduk asli kemudian dikenal sebagai asosiasi. Tujuannya ialah menjembatani Timur dan Barat, kalangan pribumi dengan orang Belanda, yang di jajah dengan yang menjajah. Bahwa timbul asimlasi yang bertujuan memberikan tanah jajahan struktur sosial dan politik yang sama dengan negeri Belanda. Profeor C. Snouck Hurgronje merupakan tokoh dominan aliran ini.20 dan direktur pendidikan politik Etis yang pertama yaitu J.H. Abendanon (1900-1905). Dalam pandangan keduanya, memberikan pendidikan Barat kepada kelas penguasa pribumi merupakan sesuatu yang sangat penting untuk melatih elit pribumi yang setia dan kooperatif, yang para anggotanya memiliki kesanggupan untuk menangani pekerjaan pemerintahan sipil Belanda. Lebih dari itu, pilihan ini juga bisa memangkas biaya-biaya administratif, menghambat ‘fanatisme’ Islam, dan pada akhirnya menciptakan contoh yang bisa memberi inspirasi bagi kalangan-kalangan terbawah dari masyarakat Hindia21 Seperti yang digambarkan oleh Robert Van Niel, Niel menyebutkan bahwa Snouck Hurgronje banyak menyumbangkan saran kepada pemerintah kolonial untuk memberikan pendidikan yang bercirikan Barat kepada
20
M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 451-452. 21 Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, Geneologi Intelegensia muslim Indonesia abad ke 20,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), h. 102
29
golongan elit pribumi.22 Sedangkan aliran pemikiran lainnya lebih menyukai pendidikan dasar yang menggunakan bahasa pribumi bagi masyarakat pribumi dan lebih menekankan pada kesejahteraan langsung. Disisi ini ada Gubernur Jendral J.B van Heutsz dan A.W.F. Idenburg yang mendukung pendidikan yang lebih dasar dan praktis yang diperuntukkan bagi kalangan masyarakat yang lebih luas sehingga bisa memberikan sumbangan bagi keberhasilan Politik Etis.23 Dalam penerapannya pemerintah membuat sruktur pendidikan dan sistem yang masih mengikuti konsep stratifikasi Kolonial berdasarkan penduduk tanah jajahan, dimana stratifikasi ini mengenal jenjang tinggi-rendah pembagian warga masyarakat, dari yang paling atas terdiri dari penduduk Eropa, disusul Timur Asing (teruama Arab dan China), arsitokrat pribumi lebih dikenal dengan priayi dan rakyat umum atau pribumi24. Sebelum pemerintah Belanda membuka secara umum pendidkan untuk pribumi, pendidikan sudah berlangsung di kalangan masayarakat pribumi. Anak rakyat umum pribumi dari kalangan bawah lebih memilih untuk menempa ilmu agama Islam di Pesantren-pesantren sedang kan untuk para anak pejabat dan bangsawan lebih memilih untuk memanggil guru privat orang Belanda seperti yang dilakukan oleh beberapa bupati seperti bupati Serang, bupati Sumedang, bupati Galuh, dimana mereka melangsungkan proses belajar mengajar di
22
Niel. h. 60. Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, Geneologi Intelegensia muslim Indonesia abad ke 20,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), h. 102 24 Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h.28 23
30
pendopo.25pelajaran yang diajarkan antara lain menulis dan membaca Melayu (latin dan Arab), berhitung. Guru yang mengajar mendapat honor tinggi dari bupati, hal ini merupakan suatu perubahan dalam kemajuan pendidikan pribumi. Untuk
mengatur
pendidikan
bagi
pribumi,
pemerintah
kolonial
mengeluarkan Indische Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1893 Nomor 12526 yang menetapkan pembagian sekolah pribumi menjadi sekolah dasar kelas satu dan sekolah dasar kels dua27. Atas kebijakan ini lah kondisi pendidikan masyarakat pribumi masa kolonial semakin memprihatikan karena adanya diskriminasi sosial yang terlihat pada pendidikan masyarakat pribumi, terlihat pada didirikannya sekolah yang membedakan antara sekolah untuk rakyat biasa dan kaum bangsawan, pemerintah Belanda mendirikan sekolah kelas satu (de Schoolen de Eeerste Klasse) untuk anak tokoh terkemuka dan orang-orang pribumi yang terhormat, sedangkan sekolah dasar kelas dua (de Schoolen de Tweede Klasse) 28 didirikan untuk rakyat pribumi. Sekolah kelas satu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pegawai pemerintah, perdagangan, dan perusahaan. Pelajaran yang didapatkan adalah membaca, menulis,
berhitung,
ilmu
bumi, sejarah, pengetahuan
alam,
menggambar, dan ilmu ukur tanah ditempuh dalam masa belajar 5 tahun dengan guru sekolah lulusan Kweekschool. Bahasa pengantar yang digunakan adalah
25
Sugijanto Padmo (alm), “Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”., h.237. lihat juga Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h.208 26 Lihat Staatsblad van Nederlandsch-Indie no 129 tahun 1893. 27 Sugijanto Padmo (alm), “Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”., h. 202. 28 Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011), h 280.
31
bahasa daerah dan bahasa Melayu. Lain halnya dengan sekolah kelas dua yang diperuntukan bagi anak rakyat biasa, sekolah ini hanya untuk memenuhi syarat kebutuhan pendidikan rakyat umum dengan lama belajar 3 tahun. Mata pelajaran yang diberikan antara lain membaca, menulis, dan berhitung dengan bahasa daerah dan Melayu sebagai bahasa pengantar. Tidak ada kualifikasi khusus guru yang mengajar seperti sekolah kelas satu. Beberapa sekolah yang didirikan Belanda untuk kepentingan kepegawaian pemerintah antara lain Hoofdenschool, Sekolah Pertukangan (Ambachtsschool) sekolah Kristen di Batutulis, Batavia, Sekolah Pendidikan calon Guru ( Hollandsh Indlandsche Kweekschool / HIK), STOVIA ( Scool tot Opleiding voor Indlandsche Arsten) atau lebih dikenal dengan sekolah dokter Jawa29. Hoofdenschool adalah sekolah untuk calon pegawai pemerintah, sekolah yang didirkan untuk kaum bangsawan dan anak-anak raja, bupati dan tokoh terkemuka. Didirikan pada 1878 di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Sekolah ini disebut juga dengan Sakola Menak (bangsawan). Awal mula murid Hoofdenschool
hanya 44 orang bangsawan terkemuka, mata pelajaran yang
diajarkan antara lain membaca, berhitung. Bahasa pengantar menggunakan bahasa Belanda dimana pada awal tahun ajaran pertama murid hanya sebagai “murid pendengar”. Tahun 1882 Hoofdenschool merubah arah tujuan pendidikannya, sekolah ini menjadi sekolah menengah yang mencetak lulusan murid terdidik sebagai calon pegawai pemerintah sesuai keinginan pemerintah, karena 29
Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve), h.238-240
32
pemerintah merasa masih membutuhkan tenaga pegawai pribumi yang terdidik dan berkualitas. Jumlah murid semakin bertambah pada tahun 1890 dan akhirnya berdasarkan keputusan Gubernur Jendral nomor 11 tanggal 19 agustus 1899 Hoofdenschool berubah menjadi OSVIA ( Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren) Sekolah Pendidikan Untuk Pejabat Pribumi.30 Sekolah untuk para pejabat pribumi yang menghasilkan pegawai pemerintahan dalam negri (Binnelands Bestuur). Tidak ada diskriminasi lagi dalam penerimaaan murid pada sekolah menengah ini, sekolah ini dibuka untuk umum bukan hanya untuk para anak bangsawan dan raja-raja. Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK) adalah sekolah pendidikan calon guru.31 Maksud didirikanya sekolah ini adalah sebagai persiapan pembangunan sekolah untuk pribumi. Tahun 1834 sekolah ini pertama kali dibuka atas usaaha yang dilakukan swasta di Ambon, sedang di pualu Jawa, HIK pertama kali dibuka pada 1852 oleh pemerintah di Surakarta. Setelah pembukaannya di Surakarta pada 1866, HIK Surakarta memiliki peningkatan jumlah murid hingga tidak dapat di tampung lagi. Atas dasar itu K.F. Holle32 pada pertengahan 1866
30
M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dai Masa Prasejarah sampai Kontemporer, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 452. 31 Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve), h.238 32 K.F Holle tiba di Hindia Belanda pada umur 14 tahun dan menetap di daerah Priangan dekat Buitenzorg (Bogor), memulai kariranya sebagai seorang juru tulis di sebuah kantor pemerintah pada 1846. Ia brhubungan dekat dengan beberapa menak salah satu hubungan karibnya ia jalin dengan Raden Haji Moehammad Moesa (1822-1886) yang merupakan kepala penghulu Garut, ia menikahi mojang priyangan seperti kebanyakan orang Belanda. pada 1871 ia menjabat sebagai penasihat kehormatan untuk Urusan-urusan masyarakat Pribumi dalam Pemerintah Kolonial. Hubungan Holle dan Moesa sebagai informan kuncinya membuat hubungannya semakin dekat, hingga Holle berusaha menarik para elite Priangan ke dalam lingkaran Kolonial dan merekomendaskan pada para penghulu agara menggunakan bahasa latin dalam setiap karyanya sebagai pengganti bahasa arab. Holle memuka sebuah jalan yangkemudian diikuti oleh sahabat dan
33
membuka HIK di Bandung biasa disebut dengan sekolah Raja. Murid pertama berjumlah 27 orang,
antara lain adalah murid pindahan dari HIK Surakarta.
Bahasa pengantar yang digunakan dalam proses belajar menggunakan bahasa Melayu, kemudian tahun 1865 diajarkan bahasa Belanda dan sejak 1871 bahasa Belanda digunakan sebagai bahasa pengantar. Dengan adanya HIK di Bandung, pendidikan pribumi di Priangan dapat berkembang dengan pesat dikarenakan adanya tenaga guru pengajar baik di sekolah pemerintahan maupun di sekolah swasta seperti HIS.33 STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Arsten) lebih dikenal dengan sebutan sekolah dokter Jawa. STOVIA dibuka pada 1851 dengan jumlah murid 13 orang, dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.34 Pendidikan dokter sudah dimulai sejak awal abad 19 pada 1811 ketika maraknya penyakikt cacar yang menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat pribumi, akhirnya beberapa orang dilantik oleh para penilik vaksin untuk menjadi juru cacar. Menjelang pertengahan abad 19 lembaga tersebut dilakukan secara reguler berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 2 Januari 1849 didirikanlah sekolah ahli kesehatan, untuk membantu rumah sakit militer di Batavia yang dikenal dengan nama STOVIA. Pendidikan juru cacar yang hanya satu tahun diperpanjang menjadi 2 tahun pendidikan dan bukan hanya cacar saja tetapi ditambahkan beberapa mata pelajaran tentang penggantinya Snouck Hurgronje dimana keduanya fokus pada pembentukan Muslim yang terkolonisasi. Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia,(Jakarta: Mizan, 2012). H 161-165 33 Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, h. 238-239. 34 M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dai Masa Prasejarah sampai Kontemporer, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 452.
34
kesehatan agar lulusannya paham tentang penyakit dan kesehatan lainnya sehingga dapat melakukan operasi ringan dan merawat pasien. Setelah 2 tahun masa pendidikan para siswa diuji oleh beberapa dokter dan apoteker militer, jika lulus mereka mendapat gelar dokter Jawa. Tahun 1864 masa belajar di STOVIA diperpanjang menjadi 5-6 tahun, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar. Diberikan pula pelajaran bahasa Belanda selama 2-3 tahun bagi murid-murid yang bukan berasal dari sekolah yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Belanda. Tahun 1875 gelar dokter Jawa diubah menjadi Indlandsche geneeskunde atau ahli kesehatan pribumi. 35 Akhir abad 19 dan awal abad 20, penguasa perkebunan di Sumatra Utara membutuhkan tenaga medis yang terbilang murah karena tenaga medis dari Eropa sukar untuk dijangkau. Adanya STOVIA dengan mendidik pribumi mengenai ilmu kesehatan merupakan jalan keluar dari permasalah itu. Dibawah pimpinan K.F. Roll dan Departemen Pendidikan yang mendukung program pendidikan kedokteran, melakukan upaya peningkatan kinerja STOVIA dengan lama belajar menjadi 6 tahun, 3 tahun tingkat persiapan bagi sebagian besar mahasiswa. Kedudukan dokter sangat dijunjung tinggi di tengah masyarakt pribumi, maka dari itu dilakukan berbagai macam upaya untuk menarik minat para pelajar. Tahun 1891 telah diputuskan mengizinkan semua pemuda yang berminat pada pendidikan dokter dapat mendaftar dan mengikuti sekolah dasar Eropa tanpa dipungut biaya dengan perjanjian yang ditandatangani orang tua bahwasanya anak mereka setelah lulus akan bekerja pada pemerintah selama beberapa tahun. Gaji 35
Sekolah dokter Jawa berubah pada 1902 menjadi STOVIA. Sugijanto Padmo (alm), “Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”., h. 204.
35
dokter sangat rendah dibandingkan dengan praktik swasta yang sangat tinggi. Tahun 1904 daya tarik ditambah dengan memberikan gaji f150 sebulan bagi mahasiswa yang berprestasi. Reorganisasi STOVIA dilakukan pada 1900-1902, untuk masuk STOVIA di tetepkan lulusan sekolah Belanda dan memiliki kemampuan pengantar bahasa Belanda sebagai syarat masuk, hal ini memberi peluang mendapatkan pendidikan lanjut untuk masuk ke sekolah dokter di negri Belanda.
STOVIA
ditingkatakan
menjadi
perguruan
tinggi
kedokteran
Geneskundige Hoge School (GHS) pada 192736. Pemerintah juga mendirikan Sekolah untuk pribumi, bukan dari golongan bangsawan, dikalangan Belanda beranggapan perlu pengembangan pendidikan yang bercorak barat bagi masayarakat pribumi dengan tujuan untuk keperluan perluasan birokrasi dan jaringan admininstrasi pemerintah kolonial, sesuai dengan pendapat
van
der
Prijs
untuk
membentengi
“Volkano
Islam”.37Pada
perkembangan awal abad ke 20 Gubernur Van Heutz di bawah kepemimpinannya sistem pendidikan diperluas sampai ke desa-desa untuk orang-orang biasa dan penduduk desa, disebut dengan volksschool atau desaschool dengan lama belajar tiga tahun, itupun di bangun dengan sangat sederhana dan tidak dibiayai oleh pemerintah, dari ide kecil ini penduduk pribumi dapat menerima pelajaran membaca, menulis, berhitung dan menggambar.38 Dapat dilihat bahwasanya
36
Sugijanto Padmo (alm), “Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”., h. 204. Lihat juga Nina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V. h. 247. 37 Nina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V. h. 241-243. 38 I.J Brugmans “Politik Pengajaran” dalam H. Baudet dan I.J Brugman (ed), Politik Etis dan Revolusi kemerdekaanI. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), h. 181.
36
pemerintah sangatlah pilih kasih dalam menangani pendidikan pribumi. Jika sudah pandai siswa dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang selanjutnya yaitu sekolah sambungan atau vervolgschool dengan masa belajar 2 tahun. Sistem ini menggantikan kedudukan sekolah kelas dua sebagai lembaga pendidikan yanng penting untuk masyarakat pribumi. Sedangkan, Sekolah-sekolah Pribumi Kelas Dua (Tweede Klasse School) bermetamorfosis menjadi apa yang disebut Standaardscholen (sekolah-sekolah standar) pada tahun 1908. Sekolah-sekolah ini diperuntukkan bagi kalangan keluarga pedagang atau para petani di desa.39 Abad 20 Sekolah kelas satu berkembang menjadi HIS (Hollandsch Indlandsch School). Sekolah ini dibuka bukan karena pemerintah melainkan desakan masyarakat yang merasa bahwa sekolah kelas satu tidak memenuhi syarat untuk melanjutkan ke pendidikan selanjutnya. Budi Utomo mendesak pemerintah untuk mendirikan sekolah bercorak baru. Karena diskriminasi ras juga sangat dirsasakan pada klasifikasi sekolah. Pemerintah membuka sekolah sekolah pada tingkatan dasar berdasarkan ras keturunan seperti Europeeche Lagere School (ELS) dikhususkan untuk anak-anak Eropa, Hollandsh Chinese School dikhususkan untuk anak-anak China dan keturunan Asia Timur40. Masyarakat juga meminta agar kesempatan untuk masuk ke sekolah Belanda diperluas agar mereka dapat mengikuti ujian pegawai rendah (klein ambtenaar). Pemerintah pun mengubah peraturan masuk sekolah Belanda pada 1911. HIS dibuka sebagai
39 40
Yudi Latif, h. 103. Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h.28
37
penjelmaan sekolah kelas satu pada 1914 dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya dan lama belajar 7 tahun.41 Siswa yang berbakat dapat melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yaitu sekolah lanjutan pertama. Setelah lulus dapat melanjutkan ke sekolah menengah selanjutnya yaitu AMS (Algemeene Middlebare School). Tahun 1920 jika siswa dapat lulus dengan peringkat yang baik mereka dapat meneruskan ke perguruan tinggi. Selain MULO dan AMS ada juga HBS (Hogere Burgerschool). Pada perguruan tinggi pemerintah mendirikan MLS (Middlebare Landbrouw School). THS (Technise Hoge School) untuk memunjang kebutuhan insiyur dan orangorang yang ahli dalam bidang tekhnologi khususnya tekhnologi pengairan guna menunang industri gula di Jawa yang dirasakan kebutuhannya setelah tahun 1920, sekolah ini merupakan pendidikan tinggi di Hindia Belanda yang memenuhi syarat sebagai perguruan tinggi, perguruan tinggi ini menerima lulusan AMS dan HBS dengan lama belajar 5 tahun. Ada juga RHS (Rechtskundige Hoge School) perguruan tinggi yang fokus pada bidang hukum, ekonomi dan ilmu ilmu social didirikan pada 1924 dengan lama belajar 5 tahun, sebelumnya sudah ada sekolah Rechtschool (sekolah hakim) didirikan di Batavia pada 1909, terdiri menjadi dua bagian, yaitu bagian persiapan dan bagian pendidikan kejuruan dengan lama belajar masing masaing 3 tahun dan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Tahun 1913 di Surabaya
41
241.
Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, h.
38
dibuka pula sekolah semacam STOVIA dengan nama Nederlansche Indische Artsen School (NIAS)42 Sekolah yang didirkan pemerintah semakin banyak menarik perhatian masayarakat pribumi. Sekolah dianggap sebagai alat untuk dapat memasuki lingkungan hidup baru atau hidup kerpiyaian, hidup sebagai menak bagi masyarakat golongan bawah, dan legitimasi bagi masyarakat atas. Namun meskipun sudah banyak yang mencicipi bangku sekolah pada 1930 menurut sensus mengatakan masyarakat pribumi masih banyak yang buta huruf , hanya 6,44% masyarakat pribumi yang dapat membaca.43 C.
Kebijakan
Politik
Asosiasi
Pendidikan Terhadap
Masyarakat
Pribumi Harry J. .Benda melukiskan pembagian Islam oleh Snouck menurut dua aspek yang dapat dipisahkan: Islam religius dan Islam politik,44 Snouck memformulasikan dan mengkategorikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian,
42
Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h.30. lihat juga Nina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V. h. 247, dan M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dai Masa Prasejarah sampai Kontemporer, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 452. Perguruan tinggi yang didirika masa pemerntah Kolonial menjelma sebagai perguruan tinggi yang ada di Indonesia, THS kini ITB, MLS kini IPB, GHS kini FK UI, RHS kini dipecah menjadi fakultas fakultas hukum, ekonomi dan ilmu sosial dan politik di lingkungan UI, NIAS kini FK Unair. 43 Nina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V,. h.242. lihat juga Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda,. h. 48. Buta huruf yamg dimaksud adalah buta huruf latin, masyarakat yang dapat membaca huruf arab tidak masuk dalam hitungan dapat membaca. 44
Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari terbit, Islam Indonesia Pada masa Pendudukan Jepang,. Terj.Daneil Dhakidae dari The Cressent and the Rissing Sun (Jakata: PT Pustaka Jaya, 1980),, h.44.
39
yaitu ; bidang agama murni, bidang sosial kemasyarakatan, bidang politik. Pembagian kategori pembidangan ini juga menjadi landasan dari doktrin konsep Splitsingstheori45. Prinsip yang dikemukan Snouck dalam bidang kemasyarakatan dan politik adalah menggalakan pribumi agar dapat menyesuaikan diri dengan kebudayaan Belanda. Prinsip ini tidak dapat terlepas dari eksistensi kekuasaan Belanda di tanah jajahannya ditambah untuk merebut kemenangan dalam persaingan dengan Islam. Belanda memanfaatkan asosiasi dan pemanfaatan adat untuk tetap bertahan di tanah jajahannya. Dan melalui pendidikan sebagai jalan utamanya. Dengan mengabulkan keinginan penduduk Hindia Belanda memperoleh pendidikan, menurut Snouck akan menjamin kekalnya loyalitas mereka terhadap pemerintah kolonial, dan akan berdampak menghilangkan cita-cita Pan Islam46 dari segala kekuatannya. Secara tidak langsung juga akan bermanfaat bagi 45
Aqib Suminto. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES,198), cet
I,. h. 12 46
Pengertian Pan-Islam secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama yang dikepalai seorang khalifah. Secara modern dapat diartikan bahwa kepemimpinan khalifah tersebut hanya meliputi bidang agama. Pada masa Usmani Muda, Turki berusaha menggunakan Pan-Islam untuk menyatukan seluruh umat Islam di bawah Kesultanan Usmani. Usaha ini cepat menarik perhatian Asia Afrika yang pada waktu itu hampir seluruhnya sedang dijajah oleh Barat. Ide Pan-Islam ini akan memanfaatkan kemajuan Barat dan menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, Pan-Islam sekedar berusaha untuk menyatukan seluruh umat Islam dalam satu ikatan setia kawan, atau menghidupkan rasa Ukhuwah Islamiyah di kalangan dunia Islam. Meskipun demikian, Pan-Islam dalam pengertian ini tetap dianggap berbahaya oleh negara-negara penjajah, karena bisa membangkitkan perlawanan bangsa-bangsa Islam yang dikuasainya. Umat Islam di suatu tempat berkat adanya Pan-Islam akan bisa merasakan penderitaan saudaranya di tempat lain. Pada 1884 Jamaluddin al Afghani bersama Muhammad Abduh menerbitkan majalah Al Urwatul Wutsqa di Paris. Melalui majalah ini mereka berusaha menyadarkan dunia Islam agar menemukan kembali kepribadiannya. Diimbaunya dunia Islam agar berpegang teguh kepada agamanya, sebab disitulah terletak kekuatan Islam. Meskipun demikian tidak digalakkannya ta’assub berlebihan sehingga merusak hak orang lain, atau berusaha memusnahkan agama lain. Setiap kepala pemerintahan muslim diserukannya harus berpegang teguh pada hukum syariah. Dicanangkannya persatuan sesama umat dan bangsa Islam. Seorang muslim sehatusnya merasa sedih dan prihatin tatkala mendengar berita kejatuhan suatu negara Islam ke tangan negara bukan Islam. Aqib, h 80
40
penyebaran agama Kristen, sebab penduduk pribumi yang telah berasosiasi akan lebih mudah menerima panggilan missi.47 Sudah dijelaskan pula diatas perlakuan Belanda yang berbeda terhadap negara jajahannya yang tidak sama dengan Negara penjajah lainnya yang sudah terlebih dahulu mendirikan sekolah daripada Belanda, seperti penjajah Spanyol dan Inggris yang mensejahterakan negara dibawah kekuasanya dengan mendirikan lembaga pendidikan lebih awal daripada Belanda yang sangat lambat. Abad ke-16 Spanyol sudah mendirikan Universitas di Filipina begitu pula dengan Inggris mendirikan Universitas di India pada abad ke-17, Belanda baru mendirikan sekolah di penghujung akhir abad ke-19. Snouck melihat guru-guru agama dan ahli kitab suci Islam, kiai dan ulama merupakan unsur sosial yang paling penting dalam tatanan masyarakat Hindia Belanda. karena maraknya perlawanan yang dipimpin oleh para Kiai dan ulama terhadap pemerintah, maka golongan ini dianggap berbahaya oleh pemerintah Belanda, terlebih lagi orang-orang yang pulang dari ibadah Haji dan lama bermukim disana untuk menimba ilmu agama, karena alasan inilah pemerintah membuat kebijakan tentang pembatasan pergi Haji dan mengawasi masyarakat Hindia Belanda yang pergi Haji selama beribadah sampai kembali ke tanah air.48 Karena banyak dari mereka yang pulang ke tanah air mendirikan halaqah halaqah 47
Suminto. h.40 Aqib Suminto, h. 92-96 tentang haji dan Pan Islam. lihat Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda,(Bandung: Mizan,1996), cet I, h.44.dan juga Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari terbit, Islam Indonesia Pada masa Pendudukan Jepang, Terj. dari The Crescent and The Rising Sun, Indonesian islam under the Japanese occupation 1942-1945 oleh Daneil Dhakidae (Jakata: Mizan, 1980), cet I. h.42. dan jga G.J. Pijper, “Politik Islam pemerintah Belanda” dalam H. Baudet dan I.J Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan oleh Amir Sutaarga,. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987),. h. 242. 48
41
kecil sampai pesantren guna memberikan pendidikan agama pada masyarakat muslim pribumi. Melihat hal ini Snouck tak tinggal diam. Ia membuat kebijakan khususnya untuk masyarakat pribumi yang beragama Islam agar terlepas dari ajaran agama. Seperti prinsipnya dalam bidang kemasyarakatan, ia menggalakan pribumi untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan barat (asosiasi kebudayaan). Dengan cara mendirikan sekolah berpendidikan barat untuk menyaingi eksistensi pendidikan agama yang diajarkan di surau, masjid, madrsah dan pesantren yang dibawa oleh para haji dan ulama tersebut. Dalam melancarkan politik asosiasi pendidikan, Belanda mendirikan sekolah untuk masyarakat pribumi. Namun banyak terjadi diskriminasi yang sangat terelihat dalam mendirikan sekolah. Dari mulai kurikulum yang diajarkan dan pengelompokan sekolah berdasarkan warna kulit dan ras. Awalnya hanya anak-anak keturunan bangsawan yang dapat menikmati sekolah karena memang itu misi awal Snouck, memilih anak-anak bangsawan untuk melancarkan misi nya memishakan mereka dari kebudayaan asli, adat dan agama hingga mereka dapat berpegang pada kebudayaan barat.49 Snouck dan J.H. Abendanon melakukan upaya khusus untuk memberi jalan bagi anak-anak dari keluarga terkemuka agar bisa memasuki tingkatan pendidikan yang lebih tinggi di negeri Belanda. Sehingga, pada tahun 1900 telah ada sekitar lima orang mahasiswa Hindia di negeri Belanda. Pada tahun-tahun
49
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, h.41. dan juga Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda,. (Bandung: Mizan, 1996). h.30.
42
berikutnya, jumlah itu meningkat semakin cepat mencapai sekitar 25 pada tahun 1908.50 Sekolah-sekolah
yang
dikembangkan
pemerintah
bukanlah
hasil
pertumbuhan lokal, melaikan hasil manipulasi kebudayaan model Barat yang berakar pada negri asal penjajah, baik organisasi maupun kurikulumnya. Sekolah kolonial diorganisir secara hirarkis menurut umur dan tingkatan sekolah berdasarkan batas perkembangan sesuai dengan kepentingan pemerintah. Masyarakat tidak bisa dengan sendiriya masuk dan memilih sekolahnya sendiri, sebagai akibat bahwa sistem pendidikan yang berkembang bukanlah merupakan tuntuan lokal tetapi mencerminkan kepentingan kolonial, dimana pendidikan moral dan agama serta bahasa negara jajahan merupakan bagian yang kurang penting disamping keterampilan birokrasi untuk memperkokoh kekuasaan Belanda. Seperti pelajaran sejarah dan geografi yang tidak masuk dalam kurikulum dan pengetahuan bahasa lokal, dikarenakan semua itu akan melibatkan pelajaran tentang kebudayaan dan identitas lokal. Seberapa banyak sekolah yang didirikan Belanda berkaitan erat dengan apa yang diharapkan dari lembaga pendidikan yang didirikan itu, pemerintah Belanda ingin mengeksploitasi pendidikan demi kepentingan kolonial. Resep yang paling ampuh adalah dengan mengontrol kurikulum yang diajarkan. Kontrol kurikulum ditentukan atas dasar kepentingan kolonial dengan memberikan beberapa subjek mata pelajaran yang dibutuhkan bagi kebutuhan administrasi. Pemerintah sangat berhati-hati dalam memilih subjek mata pelajaran. Adapun 50
Yudi Latif, h. 106.
43
pelajaran yang diberikan meliputi pengetahuan dasar mengenai kemampuan membaca, menulis bahasa Melayu (latin), berhitung, membuat surat, pembukuan, pengetahuan pertanian, dan kesehatan. Hingga akhir abad 19 ditambah dengan bahasa Belanda, menggambar, menyanyi, geografi serta pelajaran teknik pertanian dan kesehatan.51 Meskipun mata pelajaran yang diajarkan mencontoh pendidikan Barat, namun dalam prakteknya materi yang diajarkan sangat terbatas dan jauh berbeda, baik dari substansi dan relevansinya dengan hakikat pendidikan dan lingkungan kebudayaan murid. Pemerintah sering memberikan pelajaran bahasa Belanda, pelajaran bahasa dengan sendirinya akan melibatkan pelajaran kebudayaan, nilai-nilai dan pandangan hidup yang luas. Berbagai kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang diskriminatif sejalan dengan prinsip kolonial sebagai berikut: 1. Pemerintah kolonial berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu 2. Pendidikan diarahkan agar para tamatannya menjadi pencari kerja, terutama demi kepentingan kaum penjajah. 3. Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat. 4. Pendidikan diarahkan untuk membentuk golongan elite sosial Belanda. 5. Dasar pendidikannya adalah pendidikan barat yang berorientasi pada pengetahuan dan kebudayaan barat.52
51 52
Nina Lubis, h. 254. Abudin Nata, h. 282
44
S. Nasution berpendapat dalam Abuddin Nata, bahwasanya politik kolonial erat hubungannya dengan kepentingan kolonialisme, yang didominasi oleh para penguasa dan tidak di dorong oleh nilai etis. Ciri politik dan praktik pendidikan kolonial, khususnya pemerintah Belanda di tanah jajahan Hindia Belanda adalah sebagai berikut : a. Diskriminasi yang luar biasa dalam penyediaan pendidikan bagi masyarakat pribumi di Hindia Belanda. b. Diskriminasi dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam antara pendidikan Belanda dengan pendidikan pribumi. c. Kontrol sosial yang kuat. d. Keterbatasan tujuan sekolah pribumi dan peranan sekolah dalam menghasilkan pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan pendidikan. e. Prinsip konkordansi yang menyebabkan sekolah di Indonesia sama dengan di negri Belanda. f. Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan anak pribumi.53 Kebijakan pemerintah dalam masalah pendidikan untuk memajukan masyarakat pribumi hanayalah bualan belaka, bukti nyata tentang kebijakan pemerintah adalah adanya diskriminasi pendidikan terhadap masyarakat pribumi dengan mengusahakn pendidikan serendah rendahnya dan memperlambat lahirnya
53
Abudin Nata, h. 285.
45
sekolah yang setaraf dan memiliki keunggulan yang baik seperti sekolah sekolah anak-anak Eropa. Antara pemerintah dan masyarakat setempat memiliki pendapat yang berbeda pandangan terhadap lahirnya sekolah- sekolah, namun dalam pandangan masyarakat kolonial juga terdapat perbedaan persepsi, Orang Eropa yang tidak percaya dengan kemampuan masyarakat pribumi dan masyarakat pribumi yang juga tidak percaya dengan kemampuan mereka sendiri.54 Sementara ada juga kelompok sosial yang melihat kahadiran pendidikan Belanda sebagai peluang yang
menguntungkan,
keanekaragaman
pandangan
tersebut
memberikan
gambaran bahwa dalam situasi kolonial, orang tak lagi bebas menentukan pilihan atau arah bagi pendidikan anak-anak mereka, yang ada hanya dua pilihan menerima atau menolak kebijakan yang sudah ditawarkan oleh pemerintah Belanda. Sesusai dengan yang digambarkan oleh Aqib Suminto politik Asosiasi ini memiliki tujuan mempererat ikatan antara negeri jajahan dengan negara jajahan melalui kebudayaan, khususnya di bidang pendidikan yang menjadi fokus utama dalam penerapannya.55 Politik Asosiasi juga mencita-citakan suatu masyarakat Hindia Belanda dimana dua golongan yaitu Eropa dan Pribumi dapat hidup berdampingan dalam satu masyarakat, golongan pribumi yang telah mendapatkan pendidikan Barat diharapakn dapat bekerjasama dengan golongan Belanda.56 Dalam
prakteknya, 54
penerapan
politik
asosiasi
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda,. h. 42 Aqib Suminto, h. 39. 56 Marwati Djoened Pusponegoro, h.61. 55
ini
bukanlah
untuk
46
mengembangkan pendidikan seluruh masyarakat pribumi, secara keseluruhan hanya beberapa individu yang diusahakan untuk dilepas dari masyarakat pribuminya. Snouck memilih anak dari kalangan anak-anak raja atau para bangsawan pribumi. Karena menurut Snouck, Belanda berfungsi sebagai wali dan fungsi wali inilah yang mewajibkan Belanda untuk mendidik Indonesia.57 Murid Snouck yang sangat terkenal dan cemerlang adalah Pangeran Aria Hosein Djajadiningrat 58, berhasil ditempatkan di sekolah Belanda (ELS dan HBS) dan melanjutkan pendidikan ke Universitas Leiden disana ia mendapatkan gelar Cumlaude ia merupakan anak keturunan bupati Banten. Snouck juga memberi kesempatan pada Wiranatakusumah, tahun 1906 ia dipindahkan sekolahnya dari kelasnya di OSVIA dan mensponsorinya di Sekolah menengah Belanda di Batavia yang memiliki pendidikan lebih baik. Wiranatakusumah tidak pernah menamatkan sekolahnya namun ia masih dapat mendapatkan kedudukan tinggi dan menjadi salah satu tokoh terkemuka di Jawa Barat.59 Snouck juga memiliki delapan anak asuh yang berada di bawah pengawasannya, antara lain Tuanku Ibrahim, Teungku Pakeh, Teuku Usoih
57
Aqib Suminto ,.h.41 G.J. Pijper, Beberapa Studi Tentang Islam di Indonesia 1900-1950, Terj. dari Studien over de Geshiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950 oleh Tujimah dan Yessy Augusdin (Jakarta: UI-Press, 1985), cet II. H .9. lihat juga Aqib Suminto,Politik Islam Hindia Belanda, h. 41.dan juga G.J. Pijper, “Politik Islam pemerintah Belanda” dalam H. Baudet dan I.J Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan oleh Amir Sutarga,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), h.245. juga Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve), h 263. 58
59
Robert Van Niel. h.78.
47
(Keumangan), Teuku Tajeb (Peureula), Teuku Mahmud (Pidie) di Aceh, Raja Mahmud Indragiri di Bandung, Raden Muhammad di Bogor dan Syarif Kasim (Siak) di Jakarta, setelah kepergian Snouck pada 1906 ia menyerahkan pengawasan teradap delapan anak asuhnya pada Dr. G.A.J Hazeu.60 Minat dan perhatian Snouck membuat anak asuhnya amat terpengaruh dengan kebudayan Barat.61 Gagasan untuk mendidik anak anak pribumi ini kemudian di putuskan oleh pemerintah, sehingga secara resmi mereka dibiayai oleh pemerintah Belanda sampai tahun 1931.62 Sekolah sebagai lembaga pendidikan, umumnya mencerminkan kekuatan dan kepentingan pemerintah kolonial. Pendidikan mulai dari tingkat bawah sampai tingkat tinggi umumnya bukan dimaksudkan untuk mencerdaskan masyarakat Hindia Belanda, melainkan sekedar memberi kesempatan kepada keluarga golongan tertentu yang dipercaya untuk ikut serta dalam mempertahankan kelangsungan kolonial. Walaupun sistem pendidikan yang dikembangkan sedikit banyak telah memberikan peluang untuk anak-anak pribumi, sebagai hasil interaksi antara penguasa kolonial dan penduduk setempat, sekolah sekolah yang didirikan fungsinya untuk memenuhi kepentingan kolonial, antara lain untuk mengisi kekurangan tenaga pegawai dalam birokrasi kolonial di tingkat bawah atau menjadi pegawai pada perusahaan-perusahaan industri dan perdagangan swasta yang erat hubunganya dengan pemerintah.
60
Aqib, h.42 Van Niel. h. 79 62 Lihat Bijblad no 6639 dan no 7123 61
BAB III KEBIJAKAN POLITIK ASOSIASI PENDIDIKAN BAGI UMAT ISLAM A. Pendidikan Umat Islam Masa Kolonial Pendidikan tidak akan mempunyai arti tanpa manusia di dalamnya. Karena manusia merupakan subjek dan objek pendidikan yang memilik arti bahwa manusia tidak akan berkembang dan mengembagkan kebudayaannya secara sempurna bila pendidikan tidak ada. Pendidikan merupakan alat untuk meneruskan dan mengekalkan kebudayaan manusia. Pada abwal abad ke 20, terdapat dua corak pendidikan yaitu Pesantren dengan sistem pendidikan yang tradisional mengajaarkann pengetahuan dan ketrampilan yang berguna bagi penghayatan agama dan pendidikan Barat yang sekuler yang hanya mengajarkan pengetahuan umum dan ketrampilan. Lembaga pendidikan di Hindia Belanda muncul secara bertahap mulai dari pendidikan tradisional hingga tahap-tahap yang terhitung modern dan lengkap. Lembaga pendidikan Islam menjalankan peran dan fungsi sesuai dengan tuntutan masyarakat dan zaman.1 1. Macam-macam Lembaga Pendidikan. Lembaga pendidikan yang amat tradisional yang pertama adalah Surau, merupakan tempat untuk berkumpul, rapat dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang sudah baligh atau orang tua yang sudah uzur dalam tradisi adat Minangkabau. Fungsi surau sebagai tempat tidur laki-laki karena dalam adat 1
Absari, “Sejarah dan Dinamika Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara”, dalam Samsul Nizar (ed), Sejarah Pendidikan Islam, menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia., (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2007)., h.279.
48
49
Minangkabau laki-laki yang sudah baligh tidak mendapatkan kamar dalam rumah orang tua nya, tempat ini amat penting untuk perkembangan pendewasaan diri generasi Minangkabau dari segi pengetahuan dan ketrampilan.2 Sebagai lembaga pendidikan tradisional, sistem pendidikan yang digunakan adalah halaqah3. Materi yang diajaarkan seputar huruf hijaiyah dan membaca AlQuran, tentang keislaman, keimanan, akhlak dan ibadah, sedangkan pada tingkatan yang lebih tinggi diajarkan pengajian kitab seputar ilmu sharaf dan nahu, ilmu fikih, ilmu tafsir dengan membaca kitab arab dan diterjemahkan dan dilaksanakan pada malam hari. Metode pendidikan surau memiliki kelemahan dan kelebihan. Kemampuan menghafal muatan teoritis keilmuan merupakan bentuk kelebihan dari pendidikan surau, sedangkan bentuk kelemahannya terletak pada sulitnya memahami dan menganalisis teks, dan terlebih lagi siswa bisa menghafal seluruh isi kitab namun tidak dapat menulis apa apa yang sudah mereka baca dan hafal. Lembaga pendidikan selanjutnya adalah Meunasah berasal dari bahasa Arab yang artinya Madrasah. Meunasah merupakan bangunan yang terdapat di setiap kampung, seperti rumah namun tidak memiliki jendela, digunakan sebagai tempat diskusi, belajar dan tempat berkumpul anak-anak muda. Setelah Islam masuk meunasah menjadi tempat Ibadah bagi umat Islam. fungsi lain dari meunasah adalah sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan penyalurannya,
2
Absari, “Sejarah dan Dinamika Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara”.,
3
Halaqah merupakan system belajar dengan cara membuat lingkaran
h.280
50
sebagai lembaga pendidikan Islam dimana diajarkan pelajaran membaca Al-Quran dan pengajian bagi orang dewasa yang dilakukan pada malam hari.4 Pendidikan di meunasah dipimpin oleh Teuku Meunasah dan perempuan diajar oleh Teuku Inong biasanya dibantu oleh beberapa murid yang lebih menonjol daripada murid lainnya disebut Sida. Tidak ada batasan tertentu untuk lama pendidikan di meunasah, umumnya berlangsung selama dua atau sampai sepuluh tahun. Materi pendidikan yang diajarkan adalah membaca Al-Quran dalam bahasa Aceh yang disebut Beuet Quran. Membaca Quran dengan tajwidnya, menghafal surat pendek (Juz Amma) pelajaran menyanyi yang berhubungan dengan agama dalam bahasa Aceh dike atau seulaweut (dzikir atau sholawat). Buku yang digunakan menggunakan Kitab Parukunan dan Risalah Masail al Muhtadin yang menggunakan bahas Melayu. 5 Belajar di Meunasah tidak memerlukan biaya, karena para pengajar beranggapan mengajar adalah suatu bentuk ibadah. Meunasah merupakan lembaga pendidikan yang wajib diikuti oleh para masyarakat Aceh, tak heran apabila orang Aceh memiliki fanatisme agama yang sangat besar. Bisa dikatakan karena fanatisme agama yang besar memunculkan semangat nasioanlisme dalam diri rakyat Aceh, untuk melawan penjajah Belanda. Alasan ini yang membuat Snouck merasa perlu ikut campur dalam menangani masyarakat Aceh dengan
4
Absari, “Sejarah dan Dinamika Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara”, dalam Samsul Nizar (ed),. h.18. 5 Absari, “Sejarah dan Dinamika Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara”, dalam Samsul Nizar (ed),. h.19
51
memasukan salah satu orang kepercayaannya yaitu Hasan Moestopa6 yang telah mendapat pendidikan Belanda dan menjadi menak.7 Lembaga pendidikan Islam tradisional lainnya adalah Pesantren, dalam bukunya Tradisi pesatren Zamakhsyari Dhofier menyatakan bahwa pondok, masjid,santri, pengajaran kitab kitab Islam klasik dan kyai merupakan elemen dasar dari tradisi pesantren.8 Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa pesantren mengandung makna keIslaman sekaligus keaslian Indonesia. Kata “pesantren” mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren. Sedangkan kata santri diduga berasal dari istilah sasthri yang berarti melek huruf, atau dari bahasa Jawa Cantrik yang berarti seseorang yang mengikuti gurunya kemanapun pergi.9 Materi pelajaran dan metode pengajaran yang digunakan di pesantren antara lain, wetonan yakni metode yang digunakan dimana santri mengikuti pelajaran dengan cara duduk disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran, seorang santri menyimak dan mencatat pelajaran yang sudah diberikan oleh kiai. Ada pula metode sorogan yaitu metode dimana santri menghadap kiai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaanan dan kedislipinan para santri. Dan metode hafalan
6
Hasan Moestapa merupakan seorang anak bangsawan Garut yang mendapat kesempatan untuk belajar di Sekolah Belanda, ia merupakan tangan kanan Snouck Hurgonje, juru kunci Snouck Hurgronje dalam urusan masyarakat muslim pribumi merupakan contoh dari penghulu yang terkolonisasi 7 Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia,(Jakarta: Mizan, 2012),. h.165. 8 Zamaksyari Dzofier, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai ( Jakarta: LP3ES, 1994) h. 35 9 Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004). h. 14
52
yakni metode dimana santri menghafal teks kalimat dari kitab yang telah mereka pelajari.10 Hampir di seluruh penjuru Hindia, terutama di pusat-pusat Kerajaan Islam telah banyak para ulama yang mendirikan pondok pesantren dan mencetak ratusan bahkan ribuan alumni yang mumpuni di medan perjuangan masyarakat pribumi. Dalam perkembangannya, pesantren tetap kokoh dan konsisten dalam mengikatkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan dan mengembangkan nilain-nilai Islam. Realitas ini dapat dilihat ketika pesantren menghadapi banyak tekanan dari pemerintah Belanda.
Sebelum Kolonial Belanda masuk ke Hindia Belanda, pesantren tidak hanya berperan sebagai lembaga pendidikan yang berfungsi menyebarkan ajaran Islam sekaligus juga mengadakan perubahan-perubahan tertentu menuju keadaan masyarakat yang lebih baik.
Lembaga pendidikan Islam berkembang dari mulai yang tradisional sampai modern, mulai dari surau, meunasah, dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dalam bentuk pengajian Al-Quran dan pengajian kitab. Lembaga pendidikan Islam semakin berkembang dari segi kelembagaan sampai materi ajar, metode maupun struktur, lembaga pendidikan melahirkan bentuk baru dalam bentuk madrasah.
10
Absari, h. 287
53
2. Lembaga Pendidikan Islam di Hindia Belanda a. Sumatera Di Sumatera banyak berdiri madrasah-madrasah dan lembaga pendidikan Islam pada masa pemerintah Belanda, beberapa ada di Minangkabau, Sumatera Barat. Lembaga pendidikan di Minangkabau sendiri diantaranya adalah Madrasah Adabiyah Madrasah ini didirikan di Padang Panjang pada tahun 1907 oleh H. Abdullah Ahmad. Lalu Sumatra Thawalib yang asal ususl didirikanya dari suatu surau yang disebut surau Jembatan Besi, yang pada mulanya juga memberikan pelajaran agama secara tradisional,
11
Lembaga lain yang sebagian merupakan
bias dari perkembangan surau Jembatan Besi adalah Diniyah School yang didirikan di Padang Panjang tahun 1915. dengan menggunakan sistem ke-edukasi sekolah campuran yang dicontohkan dari kebiasaan yang berlaku di sekolahsekolah pemerintahan.12 Diniyah School didirikan oleh Zaninudin Labai ElYunusi, merupakan sekolah agama pertama yang melaksanakan sistem pendidikan modern dengan menggunakan alat tulis dan alat peraga yang biasa disebut system klasikal, meskipun dalam proses belajar mengajarnya masih berada di Surau belum berbentuk kelas. Kurikulumnya tidak hanya mengajar pengetehuan agama, tetapi juga pengetahuan umum terutama sejarah dan ilmu bumi. Kelas yang paling tinggi menggunakan buku-buku berbahasa Arab dikarenakan kurikulumnya bersifat ekstra bahasa Arab daripada ilmu bumi dan
11
Deliar Noer, Gerakan Modernisasi di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1991), h.
52-53 12
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, h. 63
54
sejarah13, madrasah diniyah di topang oleh kemampuan bahasa asing yang dimiliki Zainudin Labai El-Yunusi yang sangat memahami dan mengembangkan pengetahuan, sedikit berbeda dari sekolah Adabiyah yang lebih pada pengetahuan umum. Sekolah diniyah mendapat sambutan hangat dari masyarakat Islam di Minangkabau. Sampai pada tahun 1922 tercatat ada 15 sekolah ynag menggunakan sistem pendidikan seperti ini. Tidak ada keterkaitan antara sekolah lain dengan sekolah diniyah, hanya memiliki kesamaan pada jiwa dan semangat dalam mengembangkan pendidikan Islam. Sekolah Diniyah dilanjutkan oleh Rahmah El-Yunusi adik Zainudin Labai El-Yunus setelah beliau wafat. Rahmah mendirikan juga sekolah untuk putra dan putri dengan sistem ko-edukasi, karena ia berpendapat bahwa terdapat masalah yang dialami oleh wanita dan hanya dapat dipecahkan oleh wanita itu sendiri maka perlu didirikannya sekolah untuk wanita.14 Pada 2 November 1923 didirikanlah sekolah putra-putri dinamakan alMadrasah al-Diniyah. Madrasah Diniyah terdiri dari tujuh kelas, berupa selolah rendah seperti yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda yaitu HIS, bukubuku yang digunakan berupa buku yang dipakai di sekolah Mesir sedang untuk tingkat rendah buku yang dipakai adalah buku yang ditulis sendiri oleh Zainudi Labai seperti Aqaid Diniyyah, Mabady Arabiah, dan sebagainya.15 Pendidikan Islam di Sumatera Utara ditandai oleh tumbuhnya berbagai pesantren dan madrasah dalam mencetak kader penerus cita-cita bangsa dan 13
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,.49. Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), h. 158 15 Hanun Asrohah, h.159. 14
55
agama. Diantara pesantren yang terkenal adalah pesantren Syekh Hasan Ma’sum yang dirikan pada tahun 1916 di Medan. Madrasah Aziziyah yang didirikan pada tahun 1923, Maktab Islamiyah Tapanuli Medan didirikan pda tahun 15 Mei 191816 Maktab Islamiyah Tapanuli merupakan tambahan pendidikan agama pada siang hari untuk murid-murid sekolah pemerintah Belanda. Sistem
pengajaran
di
pesantren
dan
Madrasah
tersebut
sudah
mempraktikan rencana pengajaran yang tersusun rapi dengan memakai sistem klasikal, mempelajari ilmu pengetahuan umum dan bertingkat bagi madrasah, sedangkan di pesantren memplejarai kitab klasik.17 Sedangkan sistem pengajaran di pesantren dan madrasah di Sumatera Selatan dalam pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan pendidikan Islam di Jawa, begitupun kitab-kitab yang digunakan di lembaga pendidikan Islam tersebut. Pesantren dan Madrasah yang terkenal antara lain : Sekolah Ahliyah Diniyah, madrasah Nurul Falah,18 Madrasah Al-Quraniyah didirikan pada tahun 1920 dan dipimpin oleh KH Abu Bakar Al-Basri dan Madrasah Darul Funun didirikan pda tahun 1928 dipimpin oleh Ibrahim.19
16
Enung K. Rukiati, Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,(Bandung: Pustaka Setia, 2006) cet 1, h.40 17 Rukiati, h. 40 18 Enung Rukiati, h. 40 19 Maswadi, “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam di Nusantara pada Masa Awal Sampai Sebelum kemerdekaan, Kasus Kebijakan Politik Kolonial Belanda Terhadap Gerakan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia” dalam Samsul Nizar (ed), Sejarah Pendidikan Islam, menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia., (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2007) h. 304.
56
b. Jawa Beberapa pondok pesantren yang termahsyur di Jawa terletak di Timur Jawa, diantaranya adalah Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Pondok Pesantren Sayikhonan Kholil, Bangkalan, Madura, Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Sedangkan Pondok Pesantren di Jawa Tengah berpusat di sekitar Kudus. Ratusan pondok pesantren dan madrasah tersebar di seluruh pelosok Kudus. Antara lain : Aliyatus-Saniyah MuawananatulMslimin, Kudsiyah, Tsywiqut Tullab Balai tengahan School, Mahidud Diniyah AlIslamiyah Al-jawiyah, dan lain sebagainya. Sedangkan Pondok pesantren yang terkenal di Jawa Barat antara lain pesantren yang didirikan Majalengka pada 1917 oleh Perserikatan Umat Islam, Pesantren yang cukup berpengaruh adalah Pondok Pesantren Gunung Puyuh di Sukabumi. Ada juga Pondok Pesantren Islam (PERSIS).20 1. Pondok Pesantren Tremas, Pacitan Pondok Pesantren Tremas terletak di Desa Tremas, kecamatan Arjosari, kabupaten Pacitan. Pondok Pesatren ini merupak pondok yang berusaha untuk tetap eksis baik intern maupun ekstern dan mampu menjaga tradisi lama. Pondok ini didirikan oleh K.H. Abdul Manan pada 1830 merupakan pondok pesantren tertua di Jawa Timur. Letak pondok ini awalnya di Semanten, 2 km dari utara kota Pacitan kemudian dipindahkan ke Tremas. Pondok Tremas didirikan berdasarkan
20
http://arihartono20.blogspot.co.id/2015/03/peranan-dan-perkembangan-pesantrenpada.html diakses pada tanggal 24 april 2016, pukul 11.00 WIB.
57
pengalaman K.H. Abdul Manan yang telah menimba ilmu di pondok Tegalsari, Ponorogo dibawah asuhaj K.H. Hasan Besari.21 Awal mula perintisannya dibangun sebuah masjid untuk pengajian dan asrama yang terbuat dari bambu untuk tempat tinggal para santri yang berasal dari daerah sekitar. Pendidikan yang diajarkan pada masa awal berupa pendidikan kitab-kitab klasik seperti fiqh, tafsir dan lain sebagainya. Sepeninggalan KH. Abdul Manan, kepemiminan pondok dilanjutkan oleh putra pertama beliau yaitu K.H. Abdullah. Semasa kecilnya ia diberi pelajaran agama langsung oleh ayahnya di pondok Tremas. Setelah dewasa, beliau diajak ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim untuk menuntut ilmu diasana. Setelah pulang dari Mekkah beliau membantu ayahnya mengajar di pondok Tremas. Pada periode beliau lah banyak berdatangan santri-santri dari daerah lain seperti Pacitan, Tegalsari, Purworejo, Kediri. Sehingga pada masa beliau pondok Tremas mengalami kemajuan, dan dibangunlah sebuah asrama di selatan jalan dan dikenal dengan nama “pondok wetan”. Dalam masalah pendidikan, diabwah kepemimpinan K.H. Abdullah mengalami perkembangan, para santri sudah banyak yang menghatam kitab-kitab, santri lama yang sudah menguasai ktab-kitab ikut andil dalam mengajarkan santri baru di pondok tersebut. Sama halnya dengan ayahanda tercinta, beliau membawa putra-putranya ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim disana untuk menuntut Ilmu. Putra pertama beliau Syikh Mahfudz sudah telebih dahulu bermukim di
21
http://www.alkhoirot.net//2011/09/pondok-pesantren-tremas-pacitan-jawa.html?m=1 diakses pada tanggal 30 Oktober 2016.
58
Mekkah sebelum adik-adiknya Dimyathi, Dahan dan Abd. Razzaq. Sayikh Mahfudsz meninggal di Mekkah pada saat beliau menuntut ilmu disana, sehingga sepeninggalan KH. Abdullah kepemimpinan pondok Tremas diambl alih oleh K.H. Dimyathi.22 K.H. Dimyathi meruakan putra keempat dari Sembilan bersaudara, pada perider beliau pondok Tremas merupakan masa keemasan yang pertama. Pada peride beliau jumlah santri yang dating bukan hanya dari daerah sekitar bahkan dari Malysia, Singapura, Thailand dan Filiphina. Karena ilmunya K.H.Dimyathi lebih dikenal dengan sebutan “Mbah Guru”, sehingga pondok Tremas lebih dikenal dengan “Perguruan Islam Pondok Tremas” yang mengandung pengertian tempat berguru. Dengan datangnya para santri baru, pembangunan srama bru pun dilakukan dan diberi nama sesuai denga daerah asal para santri,bangnan masjid pun dipindahkan di tengah pekarangan. Bukan hanya dalam hal pembangunan, K.H DImyathi juga melakukan perkembangan dalam bidang pendidikan, dibangunlah madrasah sebagai tempat belajar. Pada awal permulaan pengajian masih ditangai oleh Kyai namun semakin banyak santri yang sudah pandai, pengajian dibantu oleh para santri yag dianggap sudah mahir dan menguasai kitab-kitab untuk dijelaskan kepada santri lainnya. Kitab-kitab tersebut diajarkan dengan sistem wetonan dan sorogan, dan pada 1928 mulai dirintis sitem madrasah atau kalsikal.
22
Salis Umudiyah, Skripsi,”Relevansi Kurikulum Pondok Pesantren Dengan Kebutuhan Masyarakat , Studi Analisis Pada Perguruan Islam Pondok Tremas Pacitan Jawa Timur” (Salatiga: IAIN Salatiga, 2015) h. 5
59
Pendidikan yang diajarkan di Pondok Pesantren ini mengedepankan dua aspek yaitu aspek formal dan non-formal. Pendidikan formal yang berkembang di pondok Tremas ini berupa Madrasah Diniyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah dan untuk pendidikan non-formal masih bersifat pendidikan kitab-kitab klasik seperti wetonan dan bandongan. 23 2. Pondok Pesantren Syaikhona Mohammad Kholil, Bangkalan, Madura Syaikhona Kholil merupakan seorang kyai yang lahir dari keturunan alim ulama yang kharismatik, yakni Kyai Abdul Latief bin K.H Hamim bin K.HAbdul Karim bin K.H Muharrom, isrtinya bernama Siti Khodijah. Syaichona Cholil dilahrikan di Desa Lagundih (Desa Kramat), Kecamatan Ujung Piring, Kabupaten Bangkalan pada 20 September 1834. Beliau meninggal pada 24 April 1925 dalam usia 91 tahun. Syaikhona Kholil memiliki 5 (lima) jalur silsilah yang tersambung hingga ke Rasulullah SAW, yaitu Jalur Sunan Kudus (Sayyid Ja’far Shodiq), Jalur Sunan Ampel (Raden Rahmad), Jalur Sunan Giri (Sayyid Muhammad Ainul Yaqin), Jalur Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), dan Jalur Basya’iban.24 Syaikhona Kholil mengenyam dua masa pendidikan, yakni pendidikan di pesantren dan pendidikan di Tanah Suci Makkah.Awalnya Syaikhona Kholil memperdalam ilmu agama di beberapa pesantren Bangkalan, diantaranya adalah Guru Dawuh dan Guru Agung. Kemudian melanjutkan di beberapa pondok pesantren di Jawa, seperti Pondok Pesantren Bungah, Gersik asuhan Kiai Sholeh, 23
Salis, h 7. M. Ali Haidar, “Tarekat Qodariyah Wa Naqsabandiyah Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan Tahun 1834-1925 “, Avatara, e-Journal Pendidikan Sejarah. Vol 1, No 2, Mei 2013, h. 91. 24
60
Pondok Pesantren Langitan, Tuban asuhan KH Muhammad Noer, Pondok Pesantren Cangaan, Bangil Jatim asuhan KH Asyik, Pondok Pesantren Darussalam, Kebon Candi Pasuruan asuhan Kiai Arif, Pondok Pesantren Sidogiri, Kraton, Pasuruan asuhan Kiai Noer Hasan, Pondok Pesantren Winongan asuhan Kiai Abu Dzarrin, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah ,Stail, Banyuwangi asuhan Kiai Abdul Bashar). Syaikhona Kholil merupakan seorang yang selalu haus akan ilmu, sehingga menginginkan untuk memperdalam ilmu agamanya di Makkah. Setelah mendapat restu dari guru-gurunya, Syaikhona Kholil mulai melakukan pengembaraan ilmu ke Makkah pada tahun 1859.25 Sepulangnya dari menemba ilmu di Mekkah Kyai Kholil dikenal sebagai pakar segala macam disiplin ilmu, kemdian beliau mendirikan podok di Jengkibuan, Bangkalan. Pondok Pesantren Syaikhona Mohammad Kholil didirikan pada tahun 1894, Pada awalnya metode pengajian yang diterapkan masih sangat sederhana dan tradisional (salafiyah). Metode sorongan dan sistem mudzakarah sebagaimana diterapkan pada pesantren salaf pada umumnya. Kealimannya menyebar hingga ke pelosok Madura, santri-santri mulai berdatangan untuk mengaji di Pesantren ini. Pondok Pesantren Sayikhonan Mohammad Kholil pun semakin ramai, tidak hanya disekitar Bangkalan tapi sudah menyebar ke Madura, santri pertama adri luar Madura adalah Hasyim
25
M. Ali Haidar, h. 92
61
As’ari dari Jombang yang kelak muncul sebagai ulama besar, bahkan berhasil mendirikan oragnisasi Islam terbesar yaitu Nahdlatul Ulama.26 Jenis dan jenjang Pendidikan Pondok Pesantren Syaikhona Mohammad Kholil Bangkalan. Pendidikan non formal: 1). Ma’hadiyah : Bansus Al-Qur’an, Tahfidz Al-Qur'an, Tahfidz Al-Fiyah, Tahfidz Al-Zubat, Pengajian kitab kuning, Majelis musyawarah ma’hadiyah. 2). Madrosiyah: Madrasah Diniyah Ibtida’iyah, Madrasah Diniyah Tsanawiyah, Madrasah Diniyah Aliyah 3. Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang Pondok Pesantren yang cukup terkenal di Jawa Timur adalah Tebuireng, didirikn oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada tahun 1899. Awal mula berdirinya hanya diajarkan agama dan bahasa Arab, Tebuireng merupakan nama dari sebuah dusun kecil yang masuk wilayah Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Menurut cerita masyarakat setempat Tebuireng berasal dari kata “kebo ireng” atau kerbau hitam. Versi lain mengatakan bahwa tebuireng diambil dari nama punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan bermukim disekitar dusun tersebut.27 Sistem pendidikan pondok Pesantren Tebuireng mengalami perubahan seiring dengan bertabanyak jumlah santri yang masuk. System pengajaran awal yang digunakan adalah metode sorogan, weton, bandongan dan halaqah. Semua bentuk pelajaran tersebut dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan tingkat 26
SIti Fatimah, skripsi Peran KH Muhamad Cholil dalam Mengambangkan Islam di Bangkalan Madura, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. h. 4-5. 27 Maswadi, h. 303 lihat juga www.tebuireng.org diakses pada tanggal 24 Oktiber 2016 pkl. 9.05 WIB
62
penddikan dinyatakan dengan bergantinya kitab yang khatam dikaji oleh para santri. Materi pelajarannya pun berkisar tentang pengetahuan agama Islam, ilmu syariat dan bahsa Arab. Perubahan system pendidikan pertama kali diadakan pada tahun 1919 oleh KH Hasyim Asy’ari dengan penerapan system madrasah (klasikal) dengan mendirikan Madrsah Salafiyah, system pengaaran disajikan dengan cara berjenjang yakni Shifir Awal dan Shifir Tsani. Tahun 1929 dilakukan pembaharuan kembali dengan memasukan pelajaran umum ke dalam struktur kurikulum pengajaran seperti berhitung, bahasa melayu, Ilmu bumi dan menulis huruf latin.28 Banyak respon dari kalangan wali santri karena pada saat itu pelajaran umum dianggap sebagai kemunkaran, budaya Belanda da semacamnya hingga banyak wali santri yang memindahkan anaknya, namun kurikulum ini terus berjalan, karena melihat ilu pengetahuan umum sangat diperlukan bagi para lulusan pesantren.29 c. Kalimantan Terdapat madrasah-madrasah yang mengajarkan agama serta pelajaran umum di Kalimantan, dianatara Madrasah tersebut Madrasah yang paling tertua terletak di Kalimantan Barat adalah Madrasatun Najah Wal Fatah didirikan pada tahun 1918 di Sei Bakau Besae Mempawah. Madrasah al-Sutaniah yang didirikan
28
Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan,( Jakarta: Paramadina, 1997), cet I, h. xv. 29 http://megapolitian.kompas.com/read/2010/03/19/03301099/Kultur.Pesantren..kekuatan .NU diakses pada tanggal 24 Oktober 2016 pkl. 9.30 WIB.
63
di Samba Kalimantan Barat pada tahun 1922.30 Dan Madrasah Normal Islam Amuntai yang dikenal dengan Arabische School didirikan pada tahun 1922.31 Madrasah Normal Islam Amuntai atau lebih dikenal dengan Arabische School ini didirikan pada tanggal 13 Oktober 1922, berawal dari rumah sederhana yang terletak di d Desa Pekapuran Amuntai, Pesantren ini didirikan oleh Abdurrasyid
seorang
alumni
Universitas
Al-Azhar
Cairo,
Mesir
yang
menamatkan sekolahnya pada tahun 1912-1922.32 Ketika kawan-kawannya bersekolah di Indlandsch School, beliau mempelajari Al-Quran dari seorang guru di kampungnya, beliau pun hatam Al-Quran pada usia 7 tahun. Abdurrasyid membuka penyelenggaraan pendidikan di rumah sendiri dan beliau pun bertindak sebagai pengajar tunggal dengan menggunakan sistem halaqah, wetonan dan sorogan. Lambat laun santrinya pun bertambah sehingga tidak dapat di tamping dalam rumah, untuk itu tempatnya dipindahkan di sebuah surau yang letaknya berhadapan dengan rumah beliau yang terletak ditepi sungai Tabalong. Dengan perpindahan tersebut dibarengi pula dengan sistem atau metode yang diajarkan pada kurikulum yang awalnya bersifat halaqah berubah menjadi system klasikal, dimana dilengkapi meja, kursi dan papan tulis. Sistem pengajaran yang diajarkan oleh Abdurrasyid mendapatkan sambutan dari masyakat.33
30
Rukati, h. 47. Maswadi, h. 304. 32 Beliau anak dari seorang petani sederhana yang taat beragama. Ayahnya bernama Haji Ramli, ibunya bernama Khadijah. 31
33
http://www.ponpes-rakha.com/2014/12/sejarah-rakha.html?m=1 Selayang Pandang Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2016 pkl 12.14 WIB
64
d. Sulawesi Banyak Pesantren yang didirikan dan berkembang dengan sangat pesat seiring dengan berkembangnya ajaran Islam di Sulawesi. Perkembangan ini mulai marak semenjak adanya alim ulama Bugis yang datang dari Mekah yang bermukim disana selama beberapa tahun. Syekh As’ad dari Sengkang salah satu orang yang berjasa dalam perkembangan pondok pesantren. beliau mendirikan madrsah, yaitu Madrsah Wajo Tarbiyah Islamiyah pada tahun1931. Kemudian madrasah ini berubah nama menjadi Madrsah As’adiyah, meskipun Madrasah ini sudah memulai aktivitas pengajiannya pada tahun 192834. Madrasah tersebut dibagi menjadi beberapa tingkatan antara lain tingkata Awaliyah; tingkat Ibtidaiyah; tingkat Tsanawiyah; dan tingkat Aliyah. System dan rencana pengajaran di Sulawesi hampir sama dengan system pengajaran di Sumatera dan Jawa, yaitu sama-sama bersumber dari Mekah. Berangsur angsur didirikan madrasah-madrasah yang memakai bangku, meja dan papan tulis.35 Semua perkembangan yang merepresentasikan proses formasi awal dari bentuk sekolah Islam baru, yang lebih populer disebut sebagai madrasah, di Hindia Belanda. Dalam banyak kasus, perintis awal dari madrasah ini memulai aktivitas-aktivitasnya di sekolah tradisional, hingga mereka mampu secara berangsur-angsur melakukan pembaharuan terhadap sekolah itu, atau malah mendirikan sebuah sekolah baru yang berdiri sendiri. Dengan mengadopsi metode-metode, kurikulum dan metode pendidikan Barat, kemunculan madrasah 34
http://asadiyahpusat.org/2013/09/tentang-pesantren-asadiyah/ diakses pada tanggal 25 Oktober 2016 pkl 13.36 WIB. 35 Rukati h. 50-51.
65
ini memperlihatkan adanya sebuah usaha baru dari ummat Islam untuk menghadapi tantangan-tantangan yang dimunculkan oleh sistem sekolah gaya Barat. Meskipun proses masuk ke sekolah-sekolah pemerintah telah menjadi lebih mudah setelah diterapkannya Politik Etis, namun jumlah sekolah-sekolah itu tak mencukupi untuk bisa mengakomodasi jumlah pelajar pribumi yang ingin belajar di sana. Pada saat yang sama, banyak kaum Muslim yang tetap enggan untuk masuk sekolah-sekolah pemerintah. Maka, madrasah merupakan sebuah pendidikan alternatif bagi mereka yang tak bisa atau tak ingin masuk sekolah pemerintah Belanda.36 Dengan demikian, madrasah berada pada posisi di antara sekolah agama yang tradisional dengan sekolah modern yang sekuler. Berdirinya organisasi Islam yang modern telah melahirkan jaringan madrasah yang mengajarkan pelajaranpelajaran umum seperti aritmatika, sejarah, sastra, geografi dan sebagainya dan penerapan metode organisasi yang modern seperti jam pelajaran yang reguler, ujian, pemberian nilai, ijasah dan juga memperkerjakan para guru ‘orang biasa’ (bukan ulama), dan bahkan memberikan pendidikan kepada para siswa perempuan. Dengan begitu, madrasah dijalankan selaras dengan kemajuan untuk Hindia Belanda, namun pada saat yang bersamaan masih berakar pada cara pandang Islam.37 Begitu pula dengan pesantren, lembaga pendidikan tradisonal pesantren memberikan respon terhadap perubahan di sekelilingnya, dengan memasukan kurikulum 36
modern.
Pesantren
Latif, h. 144. Yudi Latif, h. 145.
37
tidak
tergesa-gesa
namun
pasti
dalam
66
mentransformasikan kelembagaan pesantren menjadi lembaga pendidikan modern Islam namun masih mempertahankan kebijakan hati-hati dalam hal mereka mau menerima pembaharuan atau modernisasi pendidikan Islam hanya dalam skala yang terbatas, sebatas mampu menjamin pesantren masih tetap eksis.38 B. Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Islam Meskipun sudah banyak lembaga pendidikan yang sudah didirikan oleh pemerintah Belanda dari sebelum datangnya Snouck, namun pendidikan yang di maksud belum lah sampai pada cita-cita Belanda. Banyak pribumi yang sudah menikmati jenjang pendidikan di sekolah sekolah Barat namun hanya sebatas mengenal baca dan tulis. Seperti tujuan awal didirikan sekolah di Hindia Belanda hanyalah sebatas agar masyarakat pribumi dapat membaca dan menulis dalam artian dapat memahami hukum yang ada di Hindia Belanda yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda. Banyak memang yang sudah dapat membaca dan menulis, namun dirasa kurang oleh Snouck karena masyarakat pribumi yang mayoritas Islam masih berpegang teguh pada ajaran-ajaran Islam, Islam bukan saja dianggap sebagai agama melainkan politik.39 Pentingnya arti politik Islam bagi masyarakat Hindia Belanda berakar pada suatu kenyataan yang menyebutkan bahwa didalam Islam batas antara agama dan politik sangatlah tipis, Islam sebagai way of life dan agama. 38
Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997) h. xvi 39 Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari terbit, Islam Indonesia Pada masa Pendudukan Jepang,. Daneil Dhakidae (terj) (Jakata: PT Pustaka Jaya, 1980), h.32.
67
Yudi Latif dalam bukunya Intelegensia Muslim dan kuasa mengemukakan bahwa politik asosiasi beranjak dari kewaspadaan dan ketakutan pemerintah Kolonial terhadap agama Islam. Snouck melihat kepemimpinan di Hindia Belanda ke depan tidak bisa dipercayakan kepada kaum Muslim yang taat dan para tetua adat. Alasannya kaum muslim tidak bisa mengembangkan ikatan yang lestari antara Hindia Belanda dengan Belanda. Sementara itu para tetua adat yang kerap bersinggungan dengan kaum Muslim dinilai terlalu konservatif.40 Islam dipandang bukan saja sebagai ancaman dari kebijakan Keamanan dan Ketertiban (Rust en Orde), melainakn juga terhadap masa depan keberlanjutan pendudukan dan penjajahan di tanah Hindia. Ricklefs dalam Latif menyatakan bahwa Snouck Hurgronje dan direktur pendidikan politik Etis yang pertama (1900-1905), yaitu J.H.Abendanon, berambisi untuk mentransformasikan priyayi tradisional menjadi sebuah elit baru yang terdidik secara Barat. Dalam pandangan keduanya, memberikan pendidikan Barat kepada kelas penguasa pribumi merupakan sesuatu yang sangat penting untuk melatih elit pribumi yang setia dan kooperatif, yang para anggotanya memiliki kesanggupan untuk menangani pekerjaan pemerintahan Belanda. Lebih dari itu, pilihan ini juga bisa memangkas biaya-biaya administratif, menghambat ‘fanatisme’ Islam, dan pada akhirnya menciptakan contoh yang bisa memberi inspirasi bagi kalangan-kalangan terbawah dari masyarakat Hindia.41
40
Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, Geneologi Intelegensia muslim Indonesia abad ke 20,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005). h.82. 41 Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, Geneologi Intelegensia muslim Indonesia abad ke 20,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005). h. 102.
68
Dalam rangkaian ceramah yang disampaikan Snouck Hurgronje pada Akademi Studi Administratif Hindia Belanda (The Dutch East Indian Academy of Admininstrative Studies) di Leiden pada 1911, Snouck mempromosikan kebijakan Etis “Asosiasi”. Berharap dari muslim yang telah teremansipasikan akan lahir di Hindia Belanda.42 Mengutip kata kata Snouck dalam Jajat Burhanudin ”…… Lahirnya sebuah Negara Belanda, yang terdiri dari dua negarayang secara geografis berjauhan tetapi secara spiritual satu kesatuan, salah satunya di Eropa barat laut dan yang lainnya di Asia Tenggara….”43 Politik yang dianjurkan Snouck tersebut adalah merupakan bagian dari pandangannya mengenai masa depan Hindia Belanda. Dia ingin menciptakan masa depan Hindia Belanda yang modern dan maju. Karena itulah dia juga menginginkan adanya proses ke arah “Indonesianisasi”. Melalui gagasannya ini, penguasa Belanda di Hindia Belanda didorong untuk memiliki rasa tanggung jawab moral dalam mengangkat harkat penduduk tanah jajahannya, baik melalui pendidikan Barat maupun melalui penyebarluasan kebudayaan Barat.44 Dalam penglihatannya Snouck menganggap bahwa kalangan pribumi yang berkebudayaan tinggi relative jauh dari pengaruh ajaran Islam, mereka lebih dipengaruhi oleh kebudayaan barat yang membuat mudahnya masyarakat ini untuk dipertemukan dengan pemerintah Eropa, Snouck pun merasa optimis lambat laun rakyat umum akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka.
42
Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan. h. 227 Burhanudin, h. 227 44 Effendi, ”Politik Kolonial Belanda Terhadap Islam Di Indonesia Dalam Perspektif Sejarah (Studi Pemikiran Snouck Hurgronye) ”. Jurnal TAPIs Vol.8 No.1 Januari-Juni 2012, h. 101 43
69
Pandidikan kolonial sangatlah berbeda dengan pendidikan Islam tradisional. Metode yang diterapkan jauh lebih maju dari sistem pendidikan tradisional.
Tujuan
didirikannya
sekolah
bagi
pribumi
adalah
untuk
mempersiapkan pegawai-pegawai yang bekerja untuk Belanda. Karenanya pemerintah tidak mengakui lulusan pendidikan tradisional. Seperti yang sudah disebutkan dalam surat edaran Gubernur J Van den Capellen bahwasanya dianggap penting untuk secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar dapat memahami dan mematuhi undang-undang dan hukum negara. Surat edaran tersebut sangatlah memojokan umat Islam, mereka yang belajar di lembaga pendidikan Islam dianggap buta huruf karena tidak dapat membaca huruf latin yang menimbulkan kecurigaan, pemerintah menaruh anggapan negatif bahwa mereka cenderung dianggap sebagai pembakang karena tak mampu memahami undang-undang dan hukum negara.45 Sikap Kolonial Belanda dapat dilihat dari kebijakan yang sangat diskriminatif secara sosial, ras, anggaran terhadap pendidikan Islam. seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya diskriminasi sosial dapat dilihat dari perbedaan didirikannya sekolah yang membedakan antara sekolah untuk rakyat biasa dan kaum bangsawan, Belanda mendirikan sekolah kelas satu (de Schoolen de Eeerste Klasse) untuk anak tokoh terkemuka dan orang-orang bumiputra, sedangkan sekolah dasar kelas dua (de Schoolen de Tweede Klasse)
45
46
didirikan
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos, 1999), h.153. Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011), h 280. 46
70
untuk rakyat pribumi kalangan biasa, yang mana Islam di katagorikan sebagai rakyat pribumi. Diskriminasi ras terlihat pada klasifikasi sekolah. Pemerintah membuka sekolah sekolah pada tingkatan dasar berdasarkan ras keturunan seperti Europeeche Lagere School (ELS) dikhususkan untuk anak-anak Eropa, Hollandsh Chinese School dikhususkan untuk anak-anak China dan keturunan Asia Timur, Hollandsh School lebih dikenal dengan sebutan sekolah bumiputra dikhususkan untuk anak pribumi kalangan ningrat, dan terakhir Inlandsch School yang disediakan untuk anak pribumi pada umumnya. Diskriminasi anggaran pada pemberian anggaran yang lebih besar kepada sekolah untuk anak Eropa dibandingkan dengan sekolah bumiputra yang notaben nya sekolah bumiputra memiliki siswa lebih banyak. Sekolah Eropa mendapatkan anggaran dua kali lebih banyak dibandingkan sekolah bumiputra pada 1909-1915 dimana tiap tahunnya sekolah bumiputra banyak mengalami peningkatan jumlah siswa. Pemerintah menolak untuk memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah Islam karena Gubernur Jenderal tidak ingin menghabiskan keuangan Negara untuk mengembangkan sebuah sistem pendidikan yang mungkin pada akhirnya akan menentang pemerintah Belanda.47 Keadaan ini memperlihatkan sebuah perbandingan yang amat tidak seimbang dan terus berlanjut. Pemerintah Kolonial memelihara dan membiarkan strata dan kesenjangan terus berlangsung.48
47 48
h.145.
Yudi latif, h. 115. Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 2003), cet II,
71
Diskriminasi dalam hak kepemelukan agama terlihat pada kebijakan Belanda yang mengonsentrasikan wilayah yang mayoritas penduduk beragama Kristen, seperti Batak, Manado, dan Kalimantan. Pesantren yang merupakan basis dari pendidikan muslim tidak mendapatkan perhatian sama sekali dari pemerintah Belanda, diperparah dengan memusuhi umat Islam. Padahal merujuk pada kebijakan yang dibuat oleh Snouck, bahwa dalam hal agama pemerintah haruslah bersifat netral,49 namun dalam praktiknya tidak sesuai, pemerintah lebih berpihak pada agama kristen. Politik yang dijalankan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat Hindia Belanda yang mayoritas beragama Islam sebenarnya didasarkan oleh rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya yaitu Kristen dan rasa kolonialismenya sehingga mereka tetapkan ketentuan atau peraturan yang menyangkut pendidikan agama Islam untuk menahan laju Islam. Pendidikan
Barat
di
formulasikan
sebagai
faktor
yang
akan
menghancurkan kekuatan Islam di Hindia Belanda yang di yakini Snouck bahwa Islam tidak akan mampu melawan pendidikan bercorak barat, Islam dianggap sebagai agama kaku dan penghalang kemajuan sehingga harus diimbangi dengan meningkatkan taraf kemajuan pribumi.50 Pada 1890, K.F Holle menyarankan agar
pendidikan agama Islam
diawasi, karena banyak pemberontakan yang terjadi melawan kekuasaan Belanda dimotori oleh para ulama dan Haji.51 Untuk penyeragaman Holle menyarankan 49
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES,198), cet I, h.12. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda,h. 49. 51 Jajat Burhanudin, “The Dutch Colonial Policy On Islam, Reading The Intellectual Journey Of Snouck Hurgronje”, Al-Jamiah,Vol 52, No 1, 2014 M/1435 h.26 50
72
agar para Bupati melaporkan para guru di daerah masing-masing. Snouck menyarankan pada 1904 untuk mengawasi tindak tanduk para pengajar, para pengajar harus mendapatkan izin khusus dari Bupati, dan pengawasan oleh Bupati yang dilakaukan oleh panitia kecil. Tahun 1905 keluar peraturan Ordonansi Guru pertama, yang mana peraturan tersebut berisikan bahwasanya seorang guru agama Islam baru dibenarkan mengajar bila memperoleh izin dari Bupati. Izin tersebut baru diberikan bila guru agama tersebut jelas-jelas bisa dinilai sebagai orang baik, dan pelajaran yang diberikannya tidak bertentangan dengan keamanan dan ketertiban umum. Guru agama Islam tersebut harus mengisi daftar murid, disamping harus menjelaskan mata pelajaran yang harus diajarkan. Bupati atau instasi yang berwenang boleh memeriksa daftar itu sewaktu-waktu. Guru agama Islam bisa dihukum kurung maksimum delapan hari atau denda maksimum dua puluh lima rupiah, bila mengajar tanpa izin atau lalai mengisi/mengirimkan daftar tersebut, atau enggan memperlihatkan daftar itu kepada yang berwenang, berkeberatan memberi keterangan atau enggan diperiksa oleh yang berwenang. Izin itu pun bisa dicabut bila ternyata berkali-kali guru agama tersebut melanggar peraturan, atau dinilai berkelakuan kurang baik.52 Ordonansi guru 1905 dinilai kurang efisien, sehingga pada 1925 dikeluarkan ordonansi guru baru yaitu bahwa setiap guru agama harus mampu memperlihatkan bukti tanda terima pemberitahuanya, ia harus mengisi daftar
52
Saatsblad 1905 no 550. Ordinansi guru ini berlaku sejak 2 November 1905, berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura.
73
murid dan daftar pelajaran yang sewaktu-waktu dapat diperiksa oleh pejabat setempat, boleh memberikan pelajaran mengaji terkecuali telah mendapat semacam rekomendasi atau persetujuan pemerintah Belanda.53 Kedua ordonansi guru ini merupakan alat pengontrol pemerintah Kolonial untuk mengawasi para pengajar agama Islam di Hindia Belanda. Bagi suatu sekolah yang memiliki organisasi teratur, tuntutan ordonansi ini memang tidak menjadi masalah. Tapi bagi guru-guru agama pada umumnya yang tidak memiliki administrasi yang memadai dalam mengelola pengajiannya, peraturan ini terasa memberatkan. Selain itu, banyak di antara guru agama waktu itu yang tidak bisa membaca huruf Latin, sedangkan yang bisa pun sangat jarang yang mempunyai mesin tulis untuk mengisi sekian lembar daftar laporan. 54Seperti halnya Ordonansi Guru sebelumnya, ordonansi baru ini pun dalam praktiknya dipergunakan untuk menghambat agama Islam, meskipun bukan itu tujuan yang tercantum dalam ketentuan ordonansi tersebut.55 C. Dampak atas Politik Asosiasi Pendidikan Awal abad ke 20 atas usul Snouck, pemerintah Belanda membuka sekolah bersistem pendidikan barat guna menyaingi pesantren. Tujuannya tak lain adalah untuk memperluas pengaruh pemerintahan Belanda dengan anggapan bahwa masa depan penjajahan Belanda bergantung pada penyatuan wilayah dengan kebudayaan Belanda. Sekolah yang dikhususkan untuk anak priayi dan kalangan 53
Staatsblad 1925 no 219. Sejak 1 Januari 1927 tidak hanya berlaku di Jawa Madura, tetapi berlaku pula untuk Aceh, Sumatera Timur, Riau, Palembang, Tapanuli, Manado, dan Lombok. Pada tahun 1930-an berlaku pula untuk Bengkulu. 54 Deliar Noer,. h 194. 55 Suminto, h. 55
74
ningrat ini memiliki tujuan untuk menarik para anak-anak priayi ke dalam lingkaran
kolonial,
menjadikan
masyarakat
pribumi
yang
terbaratkan
(westernisasi). Takashi Sirashi menjelaskan bahwa pendidikan gaya barat memberikan mobilitas, mobilitas yang dimaksud adalah mobilitas dalam tatanan social. Pengalaman yang diperoleh dari pendidikan barat membuat para kaum terpelajar menyebut dirinya kaum muda, kaum muda ini merasa dirinya lebih modern dan maju ketimbang orang tua mereka. Kaum terpelajar yang masuk sekolah dasar dan menengah Belanda, lebih maju dan modern dibandingkan para pelajar yang bersekolah di sekolah bumiputra. Kunci utama masuk ke sekolah Belanda adalah kemampuan
bahasa
Belanda.
karena
lewat
bahasa
secara
otomatis
memperkenalkan budaya Belanda dengan sendirinya. Belanda memberi contoh tentang modernitas dan membuka dunia dan zaman baru bagi kehidupan elit intelektual di kalangan pribumi. Bagi kaum muda, kaum elite intelektual yang telah berpendidikan barat ditandai dengan cara komunikasi mereka sehari-haari menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pergaulan dalam keseharian. Cara berpakaian mereka, dengan menggunakan jas, dasi, kebiasan pergi ke restaurant untuk meminum limun, pergi ke bioskop, dan lebih suka mendengarkan music daripada gamelan. 56 Hal yang demikian membuktikan bahwa banyak kaum elit intelektual sudah terasosiasi dengan kebudayaan barat.
56
Takashi Siraishi, h. 39-40.
75
Dalam kebijakan ini Snouck mengharapkan kalangan bangsawan dapat menjadi partner dalam kehidupan sosial budaya pemerintah kolonial, di samping menjadi pewaris pola asosiasinya. Harapan Snouck tercapai karena tidak sedikit dari kalangan pribumi dari strata bangsawan yang menjadi kaki tangan pemerintah kolonial.57 Sebagaimana yang telah dijelasakan, tujuan pendidikan dalam politik asosiasi pendidikan yang diberikan pemerintah kolonial setidaknya mencakup dua hal: pertama, membentuk masyarakat pribumi yang berjiwa Barat, kedua, membendung atau menyaingi pengaruh agama Islam yang ketika itu merupakan ruh perlawanan bagi penjajah. Hal ini dapat dilihat dari pelajar pribumi yang masuk ke sekolah Barat berasal dari keluarga priyai Muslim yang taat, seperti yang ditulisakn oleh Yudi latif: “…..Sejumlah pelopor dari gerakan proto-nasionalisme, seperti Tjipto Mangunkusumo, Sutomo, Tirto Adhi Surjo, dan produk-produk awal dari kebijakan ‘asosiasi’ seperti Djajadiningrat bersaudara (Ahmad, Hasan dan Husein), serta figur-figur berpengaruh dari Sarekat Islam (SI), seperti Umar Said Tjokroaminoto, merupakan anak-anak dari priyayi Muslim yang taat…..”58 Pendidikan modern barat yang dijalankan dalam kebijakan politk asosisasi memang dapat menjauhkan seorang muslim dari lingkaran agama. Efek pendidikan modern barat yang intens juga bisa dikatakan membuat komiten seorang muslim menjadi pudar. Hal ini pernah terjadi pada seorang Agus Salim. Ia mengakui meski mendapat pendidikan agama sejak kanak-kanak, namun
57
Aqib Suminto, h.42. Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, Geneologi Intelegensia muslim Indonesia abad ke 20,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005). h. 108. 58
76
sekolah di lembaga pendidikan Belanda menjauhkannya dari ajaran Islam. Namun pertemuannya dengan Akhmad Khatib, ulama Hindia Belanda di Haramain, dan Tjokroaminoto dapat mengembalikan komitmen keIslamannya.59 Tak menutup kemungkinan pula bahwa, Di Hindia Belanda selama periode kolonial, karena pihak Belanda berusaha untuk menjauhkan kelas priyayi yang berkuasa dari pengaruh Islam, maka pendidikan Belanda yang lebih mengutamakan kelas priyayi tersebut telah mentransformasikan elit Hindia menjadi elit yang sekuler. Sebagai konsekuensinya, hanya sedikit elit yang terdidik secara Barat di Hindia Belanda yang mendukung “modernisme Islam”.60 Menurut Alwi Sihab, didaerah Jawa khususnya memiliki elit kembar yaitu elit dari kaum priayi, kaum muslim yang dangkal tingkat komitmen keIslamannya, dan elit dari kalangan santri, kaum muslim yang sangat taat. Hubungan antara kedua kelompok Muslim tersebut meliputi baik pertentangan dan juga kerjasama yang saling menguntungkan.61 Kedua kelompok ini memiliki jalan masing-masing dalam hal melawan kebjakan pemerintah Belanda di tanah Hindia Belanda. Ramalan Snouck tentang Islam tidak akan mampu melawan pendidikan bercorak barat dan juga menganggap Islam sebagai agama kaku dan penghalang kemajuan
agaknya
belum
memperhitungkan
kemampuan
Islam
untuk
mempertahankan diri di Negara ini, juga belum memperhitunkan factor kesanggupan Islam menyerap factor kekuatan dari luar untu meningatkan diri. 59
Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa. h. 111. Yudi Latif, h. 124-125. 61 Alwi Sihab, membendung Arus, h. 135 60
77
Melihat kondisi pendidikan Islam62 pada waktu itu nampaknya membuat Snouck optimis sehingga ia memperkirakan Islam tidak akan mapu menghadapi superioritas Barat, tidak akan mampu untuk melawa pendidikan Kristen yang jauh leih maju daripada pendidikan Islam itu sendiri dalam segala bidang, dan tidak akan bisa dalam melawan sifat diskriminatif dari pemerintah Kolonial Belanda. Namun ternyata dugaan itu salah, kondisi agama Islam berkembang menjadi berbeda dengan perhitungan dan ramalan yang dibuat oleh Snouck.63
62
Pendidikan Islam yang dikemas dalam dunia Pesantren sebagai lebaga pendidikan Islam pada sekitar tahun 1850 dinilai hanya merupakan tempat lahirnya kepercayaan bodoh dan asusila, Snouck Hurgronje pernah menyatakan bahwa dilihat dari sudut pandang pendidikan, pesantren tidak memiliki makna yang berarti. Dikatakan bahwa para santri membuang waktu dengan menelusuri ilmu moral, dan kadang kadang mengarah ke inttoreansi, baru duabelas tahun kemudian pesantren diakui mampu mendidik murid ke engertian yang lebih jelas. 63 Aqib Suminto, h.50
BAB IV RESPON UMAT ISLAM TERHADAP DAMPAK POLITIK ASOSIASI PENDIDIKAN A.
Keresahan
dan Perlawanan Umat Islam Terhadap Asosiasi
Pendidikan Sekolah tidak hanya dilihat sebagai alat menuju arah pembaharuan masyarakat, meningkatkan kecerdasan dan alat bagi terbukanya mobilitas social namun merupakan penjelmaan dari kebijakan Kolonial atas dasar etis yang bersifat rasional. Sekolah yang didirikan dan diperkenalkan kepada masyarakat pribumi oleh pemerintah Hindia Belanda serba terbatas. Hingga muncul pemberontakan dan keresahan di kalangan masyarakat pribumi pada pemerintah, namun pemberontakan tersebut bukanlah bersifat fisik. Sebelumnya dijelaskan bahwa ada dua elit kembar dari kalangan priayi dan santri. Keresahan terhadap kebijakan pemerintah dalam hal pendidikan dirasakan oleh semua kalangan masyarakat. Dengan adanya diskriminasi sekolah yang didirikan pemerintah dari mulai diskriminasi sosial, diskriminasi rasial, diskriminasi kepemelukan agama sampai pada diskriminasi anggaran membuat banyak keresahan di kalangan masyarakat. Sudah banyak golongan terpelajar dari kalangan priayi yang notabennya bukan berasal dari kelas bangsawan yang sesungguhnya, sebutlah sebagai priayi rendah yang diangkat sebagai priayi karena pendidikan Belanda yang sudah ia dapatkan.
78
79
Meskipun awalnya pendidikan hanya untuk golongan priayi tinggi, namun seiring berjalannya waktu banyak lembaga lembaga yang dibuka oleh pemerintah Hindia Belanda sehingga banyak diterima pelajar dari kalangan priayi rendah. Keresahan pun dirasakan oleh kalangan priayi rendah. Para pelajar ini sesudah tamat dari sekolah banyak yang menentang pembatasan dalam pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. mereka ingin menghapus batasan batasan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda, seperti pembatasan masuk HIS yang pada mulanya ditanyakan terlebih dahulu latar belakang keluarga, pekerjaan ayahnya, dan dilihat berdasarkan status sosial.1 Pengaruh pemikiran Barat telah membuat orang pribumi mencari identitas sosial. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya golongan priyayi Jawa yang kehilangan keyakinan terhadap mobilitas status yang diperoleh berdasarkan keturunan. Mereka memasuki dunia intelektual yang agak terbebas dari tradisi kultural yang penuh dengan sikap hormat berlebihan. Dari mereka inilah lahir golongan yang berusaha mencari alternatif lain dari corak sosial dan sistem status masyarakat. Setelah memperoleh pendidikan Barat elit modern ini memiliki pemikiran faktor mobilitas sosial tidak lagi dipandang berdasarkan garis keturunan. Mereka beranggapan status sosial yang meningkat karena prestasi dibidang pendidikan, ekonomi dan lainnya lebih berhasil dan terpandang. Hal Ini disebabkan status sosial yang diperoleh murni hasil kerja keras diri sendiri lebih
1
Robert Van Niel, h. 252.
80
baik ketimbang hanya memperoleh peningkatan status sosial dari garis keturunan bangsawan yang merupakan pemberian keluarga.2 Hal ini menandakan keresahan yang terjadi di kalangan masyarakat bahwa pendidikan seharusnya bisa dirasakan oleh semua kalangan bukan hanya sekedar pada golongan tertentu saja, khususnya golongan bangsawan tinggi yang memiliki kedudukan. Pendidikan seharusnya bisa dirasakan bagi mereka yang ingin dan mampu dalam mengenyam pendidikan. Karena hal ini banyak masyarakat yang tidak dapat menyekolahkan anaknya di sekolah pemerintah memillih untuk menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan Islam tradisional baik pesantren maupun madrasah. Menjelang akhir abad ke 19 para ulama Hindia menyadari bahwa metode dan tatanan berfikir tradisonal dalam Islam tidak akan sanggup menghadapi tantangan kolonialisme dan peradaban modern. berbekal pengalaman para ulama di Timur Tengah dan pengenalan pendidikan asosiasi bergaya Barat ini lah, mereka mulai mempromosikan modernisasi atas sekolah-sekolah Islam. Dengan mengkombinasikan antara pengajaran-pengajaran keagamaan dengan pelajaran umum, dan mengadopsi metode dan teknologi pendidikan dari sekolah-sekolah Barat. Sekolah-sekolah Islam modern ini merepresentasikan suatu bentuk baru sistem pendidikan Islam yang disebut dengan Madrasah. Madrasah inilah yang menjadi lahan persemaian munculnya ”Clerical Intelegensia” begitu Yudi Latif
2
Iskandar P Nugraha. Teosofi, Nasionalisme dan Elit Modern Indonesia. (Jakarta : Komunitas Bambu). h. 76.
81
menyebutnya, yang lebih dikenal dengan Ulama Intelek yaitu para ahli keagamaan yang melek pengetahuan saintifik modern.3 Seperti di daerah Minangkabau, modernisasi ini ditandai oleh berdirinya institusi pendidikan Islam yang modern, seperti Sekolah Adabiyah, Sumatra Thawalib, Madrasah Diniyah yang cikal bakalnya dari surau Jembatan Besi. Model-model lembaga pendidikan seperti Sumatra Thawalib, Adabiyah dan Madrasah Diniyah tersebut menggunakan kurikulum yang tidak hanya mengajarkan pendidikan agama, tetapi juga memasukkan pelajaran umum.4 Beberapa Organisasi yang mendirikan lembaga pendidikan Islam di Hindia Belanda yang mendirikan sekolah dengan kurikulum modern ataupun madrasah antara lain: Jamiat Khair (1905), merupakan organisasi pelopor awal dari kemunculan ideologi dan madrasah modern di Hindia Belanda yang didirikan oleh komunitas keturunan Arab, dan dikembangkan lebih lanjut pula oleh para santri pribumi yang baru pulang dari Timur Tengah.5 Jamiat Khair mendirikan sekolah dasar pada tahun 1905. Sekolah dasar ini mencampurkan sekolah agama dan umum dan menggunakan sistem klasikal. Mata pelajaran yang diajarkan antara lain berhitung, sejarah dan ilmu bumi. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Melayu ditambah dengan bahasa Inggris sebagai pelajaran wajib 3
Yudi Latif, h. 112. Deliar Noer, Gerakan Modernisasi Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1991), h.51-65. 5 Deliar Noer, h. 68. Jamiat Khair merupakan organisasi pertama yang didirikan oleh orang bukan orang Belanda yang mendirikan sekolah dan keseluruhan kegiatannya diselenggarakan berdasarkan sistem Barat, sehingga organisasai ini dapat memenuhi persyaratan untuk mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah Belanda. Hingga akhirnya ada konflik internal yang membuat beberapa anggotanya mendirikan organisasi baru yaitu al-Irsyad. 4
82
menggantikan bahasa Belanda, yang mana bahasa Belanda merupakan bahasa wajib di sekolah-sekolah Belanda. Kurikulumnya pun disusun sedemikian rupa. Mayoritas muridnya adalah keturunan Arab, namun anak-anak pribumi non Arab juga terdaftar disana.6 Tenaga guru diambil dari beberapa guru dari daerah dan luar negri. Salah satunya Haji Muhammad Manshur seorang guru dari Padang yang mulai mengajar pada 1907, dipilih karena kemampuannya dalam menguasai bahasa Melayu dan ahli dalam bidang agama.7 Salah satu guru yang terkenal adalah Syaikh Ahmad Soerkatti dari Sudan, mulai mengajar di sekolah ini pada tahun 1911.8 Al-Irsyad (1913) merupakan pecahan dari Jamiat Khair, dan mendapatkan pengesahan dari Belanda pada tanggal 11 Agustus 1915.9 Tujuan utama organisasi ini yang pertama adalah merubah tradisi dan kebiasaan orang-orang Arab tentang kitab suci, bahasa Arab, bahasa Belanda dan bahasa-bahasa lainnya. Kedua, membangun dan memelihara gedung pertemuan, sekolah dan unit percetakan. Perubahan yang dilakukan Al-Irsyad adalah pebaharuan di bidang pendidikan. Pemimpin-pemimpin Al-Irsyad dalam bidang pendidikan banyak dipengaruhi oleh Muhammad Abduh. Al-Irsyad mendirikan sebuah perguruan modern di Batavia pada 1913, menggunakan sistem kelas klasikal dengan menggabungkan materi pelajaran umum disamping pelajaran agama. Sekolah-sekolah Al-Irsyad berkembang dan meluas sampai ke koat-kota dimana Al-Irsyad memiliki cabang. Al-Irsyad
6
Steenbrink, h. 60. Deliar Noer, h. 69 8 Steenbrink h. 61 9 Karel Steenbrink, h. 60. Deliar Noer, h. 73. 7
83
mendirikan sekolah guru di Batavia dan Surabaya untuk melatih dan mendidik calon-calon guru bagi kebutuhan sekolah al-Irsyad sendiri. Selain itu di Batavia dibuka kursus yang bersifat khusus dengan lama belajar dua tahun. Para siswa kursus ini dapat memilih salah satu spesialisasi dari mata pelajaran agama, pendidikan atau bahasa.10 Sebuah peraturan di buat tahun 1924 yang menetapkan bahwa hanya anak-anak dibawah umur 10 tahun yang dapat diterima pada kelas satu sekolah dasar dengan lama belajar 5 tahun. Murid di sekolah guru juga berusia diatas 10 tahun dapat masuk ke kelas-kelas yang lebih tinggi, tergantung pada kemampuan yang diperlihatkan oleh si pelajar pada ujian masuk. Salah satu langkah yang dilakukan Al-Irsyad pada tahun 1930 adalah disediakannya beasiswa untuk beberapa lulusannya belajar di luar negri, terutama Mesir. Meskipun kontribusi yang diberikan oleh para alumni tidak sebanding dengan mereka yang pergi belajar ke luar negri dengan biaya sendiri, namun upaya tersebut dapat dikatakan sebuah langkah maju untuk perkembangan pendidikan Islam pada masa itu.11 Muhammadiyah (1912) didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta atas saran murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo.12 Ahmad Dahlan tidak pernah menempu pendidikan modern. Beliau kemudian menjadi anggota dari beberapa perhimpunan, termasuk Jamiat Khair dan Budi Utomo, lewat aktivitasnya di Budi Utomo ini beliau ditawari untuk memberikan ceramah-ceramah agama kepada para pelajar sekolah guru lokal dan
10
Deliar Noer, h. 75. Hanun Asrohah, h. 163. 12 Deliar Noer, h. 84. 11
84
para pelajar STOVIA di Magelang.13 Aktifnya beliau di Budi Utomo bermaksud untuk memberikan pelajaran agama kepada anggota-anggotanya. Dengan jalan ini ia berharap akhirnya akan dapat memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah.14 Setelah kepulangan Ahmad Dahlan dari Mekah yang kedua, beliau mendirikan sebuah madrasah percobaan dimana di dalamnya bahasa Arab menjadi bahasa pengantar pengajaran disertai penggunaan meja dan papan tulis. Ia membuat langkah baru dalam merintis pendidikan modern yang memadukan pelajaran agama dan umum.15Ahmad Dahlan mendirikan lembaga pendidikan dasarnya yang pertama pada 1915, kurikulumnya menggabungkan pengetahuan umum disamping pengetahuan agama, dilanjutkan dengan berdirinya sekolahsekolah Muhamdiyah di pelosok Hindia Belanda. Karena pada 1920 Muhamadiyah sudah mulai meluas seluruh Pulau Jawa dan tahun berikutnya 1921 ke seluruh Hindia Belanda,16dan mendirikan cabang baru Muhamadiyah identik dengan mendirikan sekolah baru. Perubahan juga dilakukan Muhamadiyah dengan menggabungkan model sekolah dengan sistem pendidikan gubernemen pada akhir tahun 1923, dilanjutkan dengan membangun empat sekolah dasar di Yogyakarta, mendirikan sekolah HIS di Yogjakarta dan Batavia, mendirikan sekolah pendidikan guru, mendirikan sekolah yang bersifat agama yang hampir menyerupai sekolah di Minangkabau, 13
Yudi atif, h. 141, dan lihat juga Noer, h. 85. Noer, h. 86. 15 http://www.muhammadiyah.or.id/id/4-content-179-det-sejarah-berdiri.html pada tanggal 3 Mei 2016 pkl 19.00 WIB 16 Deliar Noer, h. 87. 14
diakses
85
yang mana sekolah ini dimaksudkan untuk mengganti dan memperbaiki pengajian Al-Quran yang tradisional.17 Tahun 1925, Muhamadiyah mempunyai 8 HIS, sebuah sekolah guru di Jogjakarta, 32 buah sekolah dasar lima tahun, sebuah Schakel School, dan 14 buah madrasah yang seluruhnya dengan 119 orang guru dan 4.000 murid, pada tahun 1929 organisasi ini mempublikasikan penerbitan sejumlah 700.000 buah buku dan brosur.18 Muhamadiyah juga mendirikan pondok Muhamadiyah sebagai sekolah pendidikan guru agama pada 1921. Selanjutnya ada Persatuan Islam, Persatuan Islam didirikan pada tanggal 12 September 1923 di Bandung oleh sekelompok orang Islam yang berminat dalam studi dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Zamzam dan Mahmud Yunus.19 Seperti organisasi lainnya, Persis mendirikan lembaga pendidikan, baik berupa sekolah, kursus, kelompok studi atau diskusi, pengajian dan pesantren. tahun 1927, Persis telah memiliki kelompok diskusi keagamaan yang diikuti oleh anak-anak muda yang telah menjalani masa studinya di sekolah-sekolah menengah pemerintah dan yang ingin mempelajari Islam secara sungguhsungguh. Kelompok ini dipimpin oleh Hasan, mereka yang mengikuti diskusi ini antara lain : Muhamad Natsir, Fakhruddin al-Khairi, Rusbandi, Cayo dan lainnya.20 Diadakan pula kursus dalam masalah agama untuk orang dewasa. Hasan dan Zamzam mengajar pada kursus-kursus ini. Dalam kursus dibahas soalsoal iman serta ibadah dengan menolak segala kebiasaan bid’ah.
17
Steenbrink,. h. 54-56. Deliar Noer, h. 95. 19 Hanun, h. 167. 20 Noer, h. 101. 18
86
Persis mendirikan sebuah madrasah yang pada awalnya dimaksudkan untuk anak-anak dari anggota Persis, namun kemudian, madrasah ini di buka bagi anak-anak lainnya. Kegiatan lain yang penting dalam kegiatan pendidikan Persis adalah lembaga pendidikan Islam, sebuah proyek yang ditangani oleh Natsir. Lembaga ini berhasil mendirikan Taman Kanak-Kanak, HIS pada tahun 1930 dan sekolah MULO pada 1931 serta Sekolah guru pada 1932. Inisiatif Natsir ini merupakan jawaban terhadap tuntunan dari berbagai pihak, termasuk beberapa orang yang mengambil pelajaran privat bahasa Inggris dan berbagai pelajaran lainnya kepadanya, hal ini terjadi karena melihat bahwa sekolah swasta di Bandung pada waktu itu tidak diajarkan pelajaran agama.21 Diantara organisasi Isam lain yang mementingkan pendidikan dan pengajaran terhadap umat Islam adalah Nahdlatul Ulama (1926) disingkat NU di Surabaya.22 Pada 1927 NU merumuskan tujuan organisasinya. NU memilki tujuan memperkuat ikatan salah satu dari empat mahzab serta untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat untuk anggota, sesuai degan Islam. kegiatan ini meliputi usaha untuk meperkuat persatuan di antara para ulama yang masih berpegang teguh pada mahzab, pengawasan terhadap pemakaian kitab-kitab di pesantren, penyebaran
21
Asrohah, h. 169. Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, Biografi K.H. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 78-79. Lihat juga Deliar Noer, h. 242, Keinginan untuk mendirikan organisasi ini telah muncul sejak 1924, namun K.H. Hasyim Asy’ari masih belum berkenan dengan ajakan K.H.A Wahab Hasbullah yang menyadari arti pentingnya sebuah organisasi untuk memperkokoh kesatuan diantara ulama. K.H Hasyim As’ari merestui organisasi ini juga dikarenakan desakan-desakan situasi yang ada pada saat itu dan juga telah memperoleh restu dari K.H Khalil Madura, maka berdirilah organisasi para ulama pada 31 Januari 1926 yang disebut Jami’yah Nadlatul Ulama. 22
87
Islam, seperti yang diajarkan oleh mahzab yang empat, perluasan jumlah madrasah serta perbaikan jumlah organisasinya, bantuan kepada masjid, langgar dan pesantren juga pemeliharaan anak yatim dan fakir miskin. Maksud lain yang penting dari organisasi ini ialah pembentukan badan-badan untuk memajukan usaha para anggota Nahdlatul Ulama.23 Pada
awal
berdirinya
NU
membicarakan
secara
tegas
tentang
pembaharuan pendidikan. Sehingga NU mendapat dukungan dari para pemimpin pesantren yang dikenal memiliki resistensi kuat untuk mempersatukan pesantren di seluruh Jawa di bawah naungan NU. Semua untuk menjaga kemurnian paham yang diyakininya dan menyebarluaskan pandangan yang dianggap penting. Meski terbatas di lingkungan perkotaan, NU mendirikan madrasah-madrasah dengan model Barat. Sampai akhir tahun 1938 Komisi Perguruan NU mengeluarkan reglement tentang susunan madrasah-madrasah NU, yang terdiri dari : Madrasah Awaliyah dengan lama belajar 2 tahun; Madrasah Ibtidaiyah dengan lama belajar 3 tahun; Madrasah Tsanawiyah dengan lama belajar 3 tahun; Madrasah Mu’alimin Wusta dengan lama belajar 2 tahun; dan Madrasah Mu’alimin Ulya dengan lama belajar 3 tahun.24 Selanjutnya ada Al-Khairat. Perguruan Islam Al-Khairat selanjutnya disebut Al-Khiarat resmi menjadi sebuah organisasi sosial keagamaan sejak tahun 1956. Sebelum menjadi organisasi, Al-Khairat hanyalah sebuah lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah dengan nama Madrasah Al-Khairat Al-
23
Noer, h. 251 Asrohah, h. 170.
24
88
Islamiyah yang didirikan oleh Sayyid Idrus bin Salim Aljufri pada tanggal 30 Juni 1930 di Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah sekarang.25 Sistem pengajaran yang digunakan proses transfer keilmuan dimulai dari kontak pribadi maupun kolektif antara mubalig (pendidik) dengan peserta didiknya dengan materi pelajarannya ialah pengajaran ilmu-ilmu agama yang dikonsentrasikan dengan membaca kitab-kitab klasik yag dilakukan di rumah Kyai atau ulama serta rumahrumah penduduk secara bergiliran hal ini dilakukan sebelum adanya masjid, surau, dayah atau pesantren yang merupakan tempat berlangsungnya proses belajar mengajar pendidikan Islam. sebelum tahun 1930 Al-Khairat hanyalah sebuah lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah yang menggunakan toko milik H. Quraish lalu pindah ke rumah petak dalam proses pelaksanaan belajar mengajarnya. Rumah yang digunakan adalah rumah Daeng Marotja26yang letaknya berhadapan dengan Masjid Jami. Tempat ini dipilih karena letaknya yang strategis --berdekatan dengan masjid-- sehingga memudahkan anak didik untuk melaksanakan praktek ibadah di masjid. Proses belajar mengajar di rumah panggung ini berlangsung dari tahun 1930 hingga 1933. Setelah itu, Al-Khairat telah memiliki sebuah gedung madrasah permanen yang digunakan sebagai tempat belajar mengajar yang dibangun dari hasil kerja sama antara Sayyid Idrus dengan masyarakat muslim Palu.27 Pendirian sekolah-sekolah yang dilakukan oleh Jamiat Khair, Al-Irsyad, Muhamadiyah, Persatuan Islam, Nahdlatul Ulama dan Madrasah Al-Khairat 25
www.Alkhoirot.net diakses pada tanggal 31 Oktober 2016. Beliau merupakan tokoh masyarakat sekaligus Pemimpin Partai Sarekat Islam Indonesia
26
Palu. 27
www.Alkhoirot.net diakses pada tanggal 31 Oktober 2016.
89
merupakan alternative lain dalam menempa ilmu pengetahuan dikalangan masyarakat pribumi terhadap kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah Belanda yang hanya mendirikan sekolah untuk kalangan anak-anak bangsawan saja. Pendirian sekolah yang dilakukan guna menyaingi sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai perlawanan terhadap sistem pendidikan yang sangat diskriminasi terhadap masyarakat muslim Hindia Belanda yang dilakukan oleh pemerintah. Sehingga masyarakat yang tidak bisa masuk ke sekolah pemerintah memilih untuk bersekolah di lembaga pendidikan Islam tradisional maupun modern. Keresahan juga dirasakan oleh para guru agama atau madrasah, dengan adanya ordonansi guru yang mengharuskan para guru mendapatkan izin dan melapor kepada petugas yang berwajib dalam memberikan pengajaran dirasa sangat
menyulitkan.
Pemberitahuan
secara
berkala
tentang
kurikulum,
mengharuskan memberi daftar guru-guru dan murid-murid dirasa sebagai beban berat, terutama karena guru-guru madrsah dan lembaga pendidikan Islam yang tidak memiliki biaya untuk menyelenggarakan admininstrasi sekolah dengan baik. Kesulitan untuk memenuhi tuntutan peraturan ini adalah adanya kenyataan bahwa formulir untuk kesemuanya itu ditulis dalam bahasa Belanda, yang mana hampir semua guru agama itu hanya memahami bahasa sendiri dan paling-paling bahasa Arab.28 Bahkan sekolah-sekolah agama yang telah menempuh semua prosedur yang diteteapkan masih harus menghadapi resiko tidak diberi izin beroperasi karena alasan-alasan yang subjektif dan sepele yang dibuat oleh pemerintah 28
Deliar Noer, h. 195.
90
Belanda. sejak ordonasi ini berlaku Islam hamir tidak dapat ditemukan, data dilihat pula dalam dekrit penasihat Belanda untuk wilayah di luar Jawa. Dekrit itu menyatakan pelarangan tegas terhadap seorang muslim untuk berdiam selama lebih dari 24 jam di Wilayah Kristen seperti Tapanuli, Sumatera29. Hal ini sangat lah menghambat laju umat Islam dalam memberikan pengajaran. Sekolah yang diperkenankan pemerintah menjadi alat mobilitas sosial dan jalan bagi terwujudnya transformasi sosial. Sekolah yang diperkenalkan untuk mendapatkan pegawai untuk tenaga administrasi pemerintahan, dikembangkan oleh para penganut kebijaan etis agar terjalin hubungan kultural yang erat dan abadi antara Belanda dan Hindia Belanda tidak berjalan semulus yang direncanakan. 30 Dengan didirikannya sekolah sekolah tersebut jumlah rakyat Hindia Belanda yang terdidik di sekolah-sekolah Barat meningkat. Meskipun pada awal didirikanya Belanda tidak memiliki komitmen yang utuh untuk memajukan pendidikan seperti yang diterapkan oleh Inggris di Malaysia, India, dan Amerika Serikat di Filipina.31 Namun reformasi etis dalam bidang pendidikan telah menciptakan sebuah lapisan baru dalam masyarakat Hindia Belanda yang akrab dengan modernitas, yang disebut oleh Robert Van Niel dengan istilah “elit Indonesia Modern”. Mereka berbeda dari elite tradisional yang kedudukannya semata-mata berdasarkan kelahiran dan keturunan.32 Menurut Nina Lubis
29
Suminto, h. 53 Nina H Lubis, Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya Elit Modern. h. 265. 31 Ricklefs, h.203 32 Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan. h. 230 30
91
golongan elit pribumi modern ini muncul sebagai musuh dari sistem yang melahairkannya yaitu pendidkan Barat itu sendiri33 Dengan adanya diskriminasi seperti yang telah digambarakan diatas merupakan suatu keanehan yang terlihat jelas. Hal tersebut dipandang bahwa kebijakan yang dibuat pemerintah sangatlah bertentangan dengan semua konsep modern mengenai hubungan yang pas antara agama dan Negara. Ketidak puasan besar di kalangan masyarakat Muslim di Hindia Belanda terhadap kebijakan pemerintah Belanda mengenai Islam muncul pada dekade awal abad ke 20. Kebijakan yang disebut sebagai “netral terhadap agama” hanyalah bualan belaka. Dari sinilah yang melatarbelakangi gerakan reformis yang mulai tumbuh, baik yang bercorak nasionalis maupun religius. Perkembangan yang didasarkan oleh politik kesejahteraan rakyat dan politik aosisasi menimbulkan golongan intelektual yang penuh dengan kesadaran akan dirinya dan keterbelakangan masyarakat sekitarnya. Timbulah suatu gerakan dari para kaum intelektual ini yang menimbulkan suatu faktor kekuatan sosial baru. Perluasaan pendidikan Barat secara horizontal dan vertical dapat disebut bak pedang bermata dua, maksud awal memberikan pendidikan adalah untuk mencari tenaga terdidik yang dapat digaji rendah dan masuk dalah lingkaran kolonial, namun sebaliknya lewat pendidikan Belanda lahirlah elite modern yang
33
Nina H Lubis, Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya Elit Modern. h. 265.
92
membicarakan gagasan gagasan kemajuan di tengah tengah masyarakat Hindia Belanda.34 Bersamaan dengan timbulnya elit modern karena pengaruh pendidikan Belanda, para terpelajar ini mulai merambah dan berkecimpung di berbagai bidang, seperti politik, sosial, budaya dan pendidikan. Tujuan mereka sama, yaitu memperoleh hak – hak layak hidup sebagai manusia yang bebas. Tidak terkecuali kesempatan mengenyam pendidikan bagi masyarakat pribumi, sampai kepada tuntutan kebebasan yang pada akhirnya berujung pada konsep kemerdekaan. Elit modern inilah membentuk suatu organisasi, salah satunya Sarekat Dagang Islam yang didirikan di Bogor oleh Raden Mas Tirtoadisurjo. Raden Mas Tirtoadisurjo merupakan seorang priayi Jawa baru yang mengawali pendirian sebuah organisasi modern dengan label Islam dan dibentuk sebagai penggerak bagi kemajuan. Dilahirkan di Blora, Jawa Tengah dikalangan keluarga priayi, ia berasal dari keluarga bupati Brojonegoro. Seperti priayi pada masanya ia mendapatkan pendidikan Belanda sebagaimana Abdul Rifai dan Wahidin Soedirohusoedo, ia bersekolah di STOVIA namun tidak tamat. Ia lebih tertarik dalam dunia jurnalistik ketimbang menyelesaikan ujian akhrinya dan menolak menjadi pegawai sipil pemerintah sebagai Pangreh Praja.35 Tirto sudah menjadi jurnais sejak usia 21 tahun. Mula-mula menjadi koresponden untuk Hindia Ollanda pada 1894, lalu menjadi pemimpin redaksi
34
Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve), h.256. 35 Burhanudin,. h. 235
93
Pemberita Betawi tahun 1902-1903. Dan menerbitkan majalahnya sendiri yaitu Soenda berita pada 1903. Namanya mulai melambung ketika menerbitkan Medan Priaji. Majalah ini dibuat untuk mewakili aspirasi Sarekat Priayi yang ia dirikan pada 1906.36 Tirto berusaha keras memperoleh dukungan dari kalangan Priayi , hingga akhirnya ia dikenal sebagai pengusaha yang kemudian mendirkan Sarekat Dagang Islam pada maret 1909, dengan missi utama memperjuangan kepentingan umat Muslim Hindia Belanda. melalui SDI, Tirto memelopori berdirinya sebuah orgaisaasi dimana baik elite maupun orang hadrami yang terlibat dalam usaha ekonomi dan menjadikan Islam sebagai identitasnya. Baginya SDI merupakan wadah untuk umat Muslim Hindia Belanda dalam memperjuangnkan dan memperbaiki lemahnya kemampuan manajerial mereka dalam bidang ekonomi. 37 Tirto sudah terkenal dengan Medan Priajinya ia dikenal dan dihubungkan erat dengan ide dan gagasan dalam mengembangkan kemajuan umat Muslim. Kepada Tirtolah, H. Samanhoedi seorang pengusaha batik dari Solo berkonsultasi untuk mendirikan Sarekat Dagang Islam di Solo pada 1911,38 Tirto diminta untuk membuat rancangan anggaran dasar pertama SDI pada 11 November 1911 dan menjadi hari lahirnya Sarekat Islam (SI).39 SI dirikan atas semangat kemajuan dan
36
Siraishi,. h.43. Burhnudin,. h. 237 38 Samanhoedi telah lama teribat dalam upaya melindungi para pengusaha batik pribumi dari eksploitasi pengusaha China dengan membangun sebuah organisasi yang disebut Reso Roemekso. Siraishi,. h. 55-56 39 Deliar Noer,. h. 115. 37
94
memfokuskan diri pada upaya peningkatan kesejahteraan, kemakmuran dan kejayaan negri.40 Gerakan social-ekonomi SI terus berkembang, hingga naiknya H.O.S Tjokroaminoto dari Surabaya sebagai pemimpin tertinggi SI tahun 1916, setelah sebelumnya SI di Surabaya sudah aktif dari 1912. Tjokroaminoto dipercaya untuk merubah anggaran dasar SI guna menyusul kebijakan Pemerintah Belanda yang menunda dalam pemberian izin pada agustus 1912 dan lebih melihat sebagai ancaman bagi rust en orde. Tampilnya Tjokroaminoto memberikan gambaran baru SI sebagai sebuah gerakan politik. Tjokroaminoto mengubah haluan SI dari penciptaan kemajuan bagi rakyat Hindia Belanda menjadi perjuangan untuk pemerintahan sendiri atau setidaknya rakyat Hindia Belanda diberi hak menyuarakan aspirasi mereka dalam persoalan-persoalan politik. Tjokroaminoto selalu menganggap dirinya sama sederajat dengan pihak manapun, baik itu seorang Belanda ataupun dengan seorang pejabat pemerintahan. Ia ingin sikap ini juga dimiliki oleh kawan sebangsanya yag lain.41 SI memberikan perhatian kepada persoalan pendidikan sejak 1917. SI menuntut penghapusan peraturan yang mendiskriminasai penerimaan murid di sekolah-sekolah, menuntut wajib belajar bagi seluruh penduduk sampai umur 15 tahun, perbaikan lembaga pendidikan bagi segala tingkat, bertambahnya jumlah sekolah, memasukan pelajaran ketrampilan, perluasan sekolah hukum dan sekolah kedokteran menjadi Universitas dan pemberian beasiswa kepada para pemuda
40 41
Noer,. h. 117. Deliar Noer,. h.121.
95
berprestasi untuk belajar ke luar negri.42 Melalui kongres Al-Islam tahun 1922 SI menuntut pemerintah agar mencabut ordonasni guru 1905 semua peraturan yang menghambat penyebaran Islam dan menghambat kegiatan guru agama Islam.43 Pada tanggal 21 Juni 1921 dibentuklah sekolah SI di Semarang, menggunakan ruang sidang gedung SI-Semarang sebagai ruang kelas. Pemimpin sekolahnya ialah Tan Malaka dengan jumlah murid pertama sebanyak 50 orang. Sekolah-sekolah didirikan dan diusahakan oleh SI, murid muridnya berasal dari anak para anggota SI, yang dididik dengan tujuan bahwa mereka kelak akan berdampingan dengan rakyat dalam perjuangan ekonomi dan politik.44 Sudah ada 12 sekolah SI yang tersebar di berbagai tempat di Hindia Belanda. Tiap tempat rata-rata menampung lebih kurang 250 orang murid, sehingga jumlah murid seluruhnya ada lebih kurang 3.000 orang. Rahasia kemajuan pesat sekolah SI antara lain disebabkan karena pemerintah sendiri belum mampu untuk mengadakan sekolah yang mencukupi untuk penduduk pribumi. Akan tetapi lebih dari itu adalah kenyataan bahwa berdirinya sekolahsekolah itu sejalan dengan perkembangan SI sebagai organisasi massa, serta kesadaran yang mulai tumbuh mengenai pentingnya pengajaran.45 Terjadi perpecahan di dalam tubuh SI dikarenakan organisasi ini bersifat heterogen, pada 1918 dengan masuknya gagasan komunis yang dibawa oleh
42
Noer, h. 128. Noer, h. 195 44 Mumuh Muhsin, “Kesadaran Nasionaldan Sekolah Sarekat Islam (1900 – 1942) Makalah Disampaikan Dalam Penataran Pengayaan Kurikulum Mulok Sejarah Perjuangan Syarikat Islam (SPSI) Di Aula Gerkopin, 13 Januari 2013 (Jatinangor: UNPAD, 2013), h. 15-16 45 Mumuh Muhsin, h, 17 43
96
Semaun pepecahan dikalangan pemimpinnya makin menjadi.46 maka pada bulan April 1924 sekolah-sekolah SI menjadi Sekolah Rakyat. Tindakan-tindakan pemerintah jajahan menyebabkan banyak Sekolah Rakyat ditutup atau diserahkan kepada badan lain, seperti kasus sekolah di Bandung yang diserahkan pada Soekarno dan dialihkan menjadi Taman Siswa.47 Peningkatan kurikulum pendidikan tradisional menjadi modern hingga terbentuknya organisasi-organisasi yang berlandaskan Islam, sampai pada kesadaran para elit modern yang telah mendapatkan pendidikan Barat dalam mendirikan suatu organisasi sebagai bentuk pergerakan nasional, merupakan bentuk pemberontakan yang terjadi di kalangan masyarakat pribumi terhadap sistem kebijakan yang selama ini dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda. Khusunya dalam masalah pendidikan. B.
Pertumbuhan Semangat Kebangsaan Umat Islam Dalam Melawan
Sistem Kolonial Pada 1873 Kantor Inpeksi Pendidikan Pribumi yang didirian oleh J.A van der Chijs membuat laporan bahwasanya jumlah pesantren di Hindia Belanda mencapai 20-25.000 dengan total santri yang berjumlah 300.000. Meningkatnya jumlah
sekolah
tradisional
Islam,
yang
berkombinasi
dengan
tetap
dipertahankannya ikatan-ikatan intelektual dan emosional antara kyai dan santri, dan antar pesantren yang tersebar di berbagai wilayah, jaringan intelektual Islam tradisional tetap terjaga. Hal ini memfasilitasi terciptanya kesinambungan dalam
46 47
Alwi Sihab, h. 103 Mumuh, h. 18.
97
pendidikan Islam. Sehingga, meskipun terdapat diskriminasi kolonial yang nyata dan pembatasan-pembatasan terhadap pengajaran Islam, namun pada tahun 1890, Snouck Hurgronje mengungkapkan informasi bahwa jumlah pesantren sedang meningkat.48 Jika dua puluh tahun kemudian dia merayakan kemenangan awal sekolah-sekolah bergaya Barat atas sekolah-sekolah Islam, barangkali karena dia meremehkan proses transformasi yang sedang berlangsung di sekolah-sekolah Islam dan juga kemampuan para intelektual Islam untuk menghadapi lingkungan yang sedang berubah. Snouck pernah sesumbar meramalkan bahwa dalam persaingan melawan daya tarik dari pendidikan Barat dan asosiasi kultural dengan Barat, Islam pastilah akan menjadi pihak yang kalah,49 Namun, hingga awal era politik Etis, masih banyak yang harus dilakukan oleh peradaban Barat jika ingin menaklukkan Islam di Hindia Belanda. Bagi sebuah agama yang tidak memiliki organisasi hirarkis yang efektif, dan bagi suatu komunitas Islam yang hidup ditengah-tengah masyarakat Hindia yang plural, pendidikan memainkan peran kunci dalam perjuangan Islam. Ketiadaan struktur kependetaan dalam Islam50 jelas membuat sekolah Islam menjadi satu-satunya sarana untuk menanamkan doktrin-doktrin keagamaan. Dalam konteks Hindia Belanda, paling tidak ada tiga alasan tambahan mengapa umat Islam mengembangkan sekolah-sekolah Islamnya sendiri. Pertama, karena adanya keanekaragaman kepercayaan dan sistem nilai yang saling bersaing di Hindia Belanda, sekolah Islam memainkan sebuah peran kunci dalam membangun 48
Benda, h. 27 Benda, h. 27. 50 Snouck Hurgrnje, Islam di Hidia Belanda,h. 16. 49
98
sebuah identitas yang jelas dan positif bagi Islam Hindia. Kedua, pendidikan Islam merupakan alat ideologi Muslim dalam menjawab diskriminasi dan penindasan yang dilakukan oleh kebijakan-kebijakan kolonial. Yang terakhir dan tak kalah pentingnya, kurangnya peluang bagi anak-anak dari kalangan santri untuk masuk sekolah-sekolah pemerintah, ditambah dengan ketidak tertarikan pihak pemerintah Belanda untuk memajukan sekolah-sekolah Islam, memaksa ulama untuk mengembangkan sekolah-sekolahnya sendiri. Karena sekolah Islam merupakan benteng perjuangan Islam untuk bisa bertahan hidup, maka para pemimpin
Islam
berusaha
sekuat
mungkin
untuk
mempertahankan
keberadaannya.51 Kemunculan madrasah dan modernisasi pesantren merepresentasikan suatu sejarah Islam yang baru. Madrasah merupakan perwujudan dari rencana untuk memulihkan dan meremajakan kembali masyarakat Islam. Sekolah ini merepresentasikan ide-ide pembaharuan Islam. Karena adopsinya terhadap pendekatan-pendekatan dan instrumen-instrumen modern, seperti rasionalisme modern, kurikulum pendidikan Barat, dan metode yang modern, sekolah ini merepresentasikan ide-ide modernisme Islam. Karena pengajarannya yang memasukkan pengetahuan agama maupun pengetahuan umum modern, madrasah berfungsi sebagai ladang persemaian utama bagi pembentukan ‘ulama-intelek’ yang akan menjadi pasangan utama bagi elit intelektual dalam mengarahkan
51
Yudi Latif, h. 131.
99
masyarakat Hindia Belanda kearah kemajuan.52 Sehingga timbulah semangat dalam melawan sistem Kolonial. Ketidakpuasan besar di kalangan umat Islam terhadap kebijakan pemerintah Belanda mengenai Islam muncul dekade awal abad ke 20. Kebijakan yang di klaim oleh pemerintah sebagai netral terhadap agama terbukti hanya bualan belaka. Sebagai akibat dari semakin intensnya keinginan penguasa Kolonial Belanda untuk mengontrol daerah jajahan, memunculkan respon untuk mengimbangi kekuasaan Kolonial tersebut dalam wujud pergerakan nasional. Kemunculan kesadaran nasional ini disebabkan oleh kesadaran bahwa tantangan asing tidak hanya dapat dihadapi dengan cara dan pandangan lama yang masih bersifat tradisional. Namun harus dengan pemikiran baru yang modern. Respon terhadap kolonialisme dengan gaya modern muncul dalam bentuk organisasi modern seperti organisasi social, pendidikan dan politik. Organisasi ini banyak tumbuh di wilayah-wilayah. Pada akhirnya gerakan organisasi ini baik yang bercorak nasionalis maupun religius terbukti merupakan ancaman serius bagi rezim pemerintah Belanda.53 Perkembangan modernisasi di Eropa berdampak secara tidak langsung kepada kehidupan di daerah jajahan seperti Hindia Belanda. Mengutip pernyataan Niel politik etis memberikan rangsangan menimbulkan kesadaran pada angkatan muda Hindia Belanda. Suasana yang sama juga memberikan rangsangan R.A. Kartini, di mana pendidikan menghasilkan wanita-wanita muda dan pemuda-
52
Latif, h. 146. Alwi Sihab, h. 90.
53
100
pemuda elit Indonesia yang berpendidikan dalam kehidupan masyarakat yang berubah.54 Beberapa elit tradisional yang telah mendapat pendidikan dan pengaruh Barat telah secara tidak sengaja memiliki pemikiran Barat. Salah satu contoh sederhana yaitu konsep identitas bangsa dan nasionalisme yang sudah mulai dikaji dan dipelajari. Sementara pada masa tradisional sebelum memperoleh pengaruh Barat, tidak pernah terpikirkan konsep identitas dan nasionalisme oleh para elit tradisional. Pada tahap awal para elit modern ini biasanya muncul dan berkembang setelah mendapat pendidikan di Eropa. Seperti contoh, Achmad Djajadiningrat seorang anak bangsawan Banten dan keturunan Paku Alam yang banyak melanjutkan studi di Eropa. Namun berikutnya setelah didirikannya sekolah dokter STOVIA pada 1902 di Jawa, maka banyak muncul elit – elit modern yang memiliki
pemikiran-pemikiran
Barat
yang
brilian
seperti
Radjiman
Wideodiningrat, Tjipto Mangunkusumo, Wahidin Sudirohoesodo, Abdul Rifai dan lainnya. Abdul Rifai seorang lulusan Sekolah Dokter Jawa menerbitkan Bintang Hindia- nya bersama H.C.C Clockener Brousson di Belanda, 55 sebuah majalah berbahasa melayu didesain dalam kerangka politik etis. Tujuan diterbirknanya adalah untuk memperkenalkan perkembangan budaya penduduk pribumi dan memperkuat ikatan antara Belanda dan daerah jajahan. Gagasan kemajuan ini 54
Robert Van Niel. Munculnya elit Modern. h. 60. Siraishi,. h. 40.
55
101
bertujuan mencapai standar modernitas barat. Namun melalui majalah ini Abdul Rifai menyampaikan ide kemajuan masyarakat Hindia Belanda, pentingnya rakyat Hindia Belanda memiliki pengetahuan sebagai landasan untuk mencapai kemajuan dan bangsawan pikiran (kemuliaan karena memiliki intelektualitas). Bangsawan pikiran , dengan pengetahuan yang mereka pelajari di Belanda akan membawa Hindia Belanda kearah kemajuan.56 Rifai tampil sebagai pejuang politik etis yang sangat mendorong rakyat Hindia Belanda untuk beradaptasi di dalamnya dan mengambil keuntungan dari apa saja yang ditawarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Abdul Rifai dan menyerukan pendirian Perhimpunan Kaum Muda pda 1905. Gagasan dalam mendirikan perhimpunan Kaum Muda ini merupakan suatu langkah awal dari Wahidin Sudirohusodo ketika ia mendirikan Budi Utomo tahun 1908. Meskipun sama-sama menamati sekolah di sekolah Dokter Jawa, Wahidin berbeda dengan Abdul Rifai, ia lebih mengabdikan dirinya untuk peningkatan status priayi dan lebih mengarahkan Budi Utomo pada penyediaan pendidikan Barat bagi kaum priayi Jawa.57 Abdul Rifai dengan Bintang Hindia digambarkan sebagai penyebar nasionalisme
Indonesia.
Dikarenakan
majalah
ini
yang
pertama
kali
memperkenalkan dan mempopulerkan istilah bangsa Hindia. Rifai telah mempopulerkan ide kemajuan dan menghubungkannya dengan “kaum muda”, dia telah berkontribusi memperkenalkan ide tersebut ke dalam pusat masyarakat Hindia Belanda.58
56
Jajat, h. 233. M.C. Ricklefs, h. 2017-208 58 Jajat Burhanudin. h. 233-234 57
102
Sedangkan dalam tubuh Sarikat Islam, ditandai dengan munculnya kepemiminan baru dalam Islam Hindia Belanda, dimana figure jurnalis Tirtadisurjo, pedagang batik Samanhoedi dan juga Tjokroaminoto muncul sebagai pemimpin baru Muslim Hindia Belanda yang lebih banyak menyuarakan ide ide kemajuan. SI didefinisikan sebagai asosiasi umat Muslim yang bekerja dalam kerangka semangat etis kemajuan, dimana Islam dijadikan sebagai penanda kepribumian dan sebagai motor penggerak perjuangan demi kemajuan.59 Meskipun dalam perkembangannya SI tidak bertahan lama seperti organisasorganisasi Islam lainnya yang masih eksis sampai sekarang ini. Kesadaran akan ide kemajuan yang muncul di tengah-tengah Muslim di daerah-daerah perkotaan di Hindia Belanda yang jumlahnya semakin meningkat pada awal abad ke 20.60 Kebanyakan dari mereka tinggal di kantong-kantong Muslim di perkotaan, mereka akrab dengan gaya hidup masayarkat modern perkotaan dan lebih cepat dan mudah beradaptasi dengan ide kemajuan. Kaum Muslimin yang tinggal di perkotaan inilah yang memberi arah baru dalam memberikan kesadaran tentang ide-ide kemajuan yang dikemas dalam tema keIslaman.61 Para pelajar yang telah mendapatkan pendidikan Barat seperti Abdul Rifai, RM Tirtoadisurjo, Tjokroaminoto sedikit banyak memang sudah terasosiasi dengan pendidikan Barat. Dari cara berpakaian dan berpikir yang sudah ke Baratbaratan. Namun dengan pendidikan Belanda yang mereka peroleh timbul semangat kesadaran untuk memajukan kaumnya, yaitu memajukan masyarakat 59
Siraishi,. h. 63. Takashi SIraishi,. h. 23-25. 61 Burhanudin,. h.235. 60
103
Muslim Hindia Belanda. Tak lupa pula para elit Muslim yang mengemban ilmu di Timur Tegah dan lebih banyak mendapat kan pendidikan Islam tradisional. Seperti K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. Kedua elit ini baik dari kalangan santri dan priayi memiliki tujuan yang sama yaitu kemajuan untuk bangsanya. Ada yang menggunakan surat kabar untuk merealisasikan pikirannya untuk mengajak masyarakat pribumi akan kemajuan untuk bangsanya, dan juga mengkritik kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda, dan ada
yang mengguanakan
organisasi
sebagai
wadah
untuk
memajukan
kemaslahatan masyarakat pribumi di Hindia Belanda. Bukan saja dari segi pendidikan, namun dari segi sosial, politik dan ekonomi. Tidak semua pribumi yang ditempa dalam pendidikan dan lingkungan Barat otomatis melupakan budanya nya, tidak sedikit pula jumlah elit tradisional hasil didikan Barat yang berjuang melalui gerakan nasionalis Islam, dan bahu membahu dengan alumni pesantren dan lulusan Timur Tengah. Hal ini jauh dari cita-cita Snouck yang mengharapkan elit tradisional yang sudah terkolonisasi dapat tunduk dan patuh pada pemerintah Hindia Belanda dan dapat membawa serta para pengikut dibawahnya yang terdiri dari masyarakat pribumi, memang beberapa elit sudah terasosiasi dengan kebudayaan Barat namun tidak serta merta tunduk dan patuh oleh pemerintah Hindia Belanda. karena para elit tradisional yang sudah terasosiasi ini menjelma menjadi elit modern yang lebih banyak menyuarakan pendapatnya untuk bergerak maju dalam melawan Pemerintah Hindia Belanda dan membangkitkan semangat nasinonalisme.
104
Mengamati perjalanan sejarah politik Kolonial Belanda terhadap Islam yang telah digariskan oleh peletak dasarnya Snouck Hurgronje, setidaknya ada dua hal yang menarik. Pertama, munculnya tokoh Snouck menjadi seorang negarawan Kolonial Belanda yang paling Legendaris; kedua, kenyataan yang dihasilkan oleh politiknya bertentangan dengan apa yang diharapkan. Dari sini kita dapat menarik suatu pelajaran seperti yang dikatakan oleh Prof. W.F. Wertheim ketika mengomentari hasil karya Dr. Harry J Benda, bahwa: “…..Apapun politik terhadap Islam yang dilancarkan oleh kekuasaan non Islam, hasilnya senantiasa berbeda dari apa yang ingin dikejar oleh kekuasaan tersebut.…..”62 Masa-masa ini merupakan masa dimana keadaan sosial menyadarkan masyarakat akan kesadarn sosial. Sadar bahwa rakyat sesamanya tertindas, sadar akan diskrimininasi yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda, sadar akan hak dalam memiliki kebebasan tak terpenuhi. Sehingga timbul semangat kebangsaan untuk lepas dari ketertindasan.
62
Harrry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Terj. Daniel Dhakidae.(Jakarta: Pustaka Jaya, 1980) h. 345
BAB V KESIMPULAN Kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah bukanlah untuk mencerdaskan masyarakat pribumi, dapat dilihat dari diskriminasi yang terjadi dari mulai diskriminasi sosial, diskriminasi rasial, diskriminasi anggaran dan diskriminasi dalam kepemelukan agama. Hanya golongan tertentu saja yang dapat menikmati pendidikan. Sehingga masyarakat yang tidak dapat masuk sekolah pemerintah memlih untuk memasukan anaknya ke lembaga pendidikan Islam baik itu tradisonal maupun modern, dimana lembaga
pendidikan Islam seperti
madrasah dan pesantren mengubah kurikulumnya menjadi lebih modern dengan menggabungkan kurikulum agama dan ilmu-ilmu pengetahuan umum agar dapat menyaingi dan mengimbangi sekolah yang didirikan oleh pemerintah. Snouck Hurgronje sangat yakin akan politik asosiasi yang dimasukan dalam pendidikan Barat. Memilih anak-anak priayi dan para bangsawan terkemuka masuk ke dalam lingkaran pendidikan Barat yang sudah terkolonisasi dan dapat dengan mudah menjadi patuh dan tunduk pada pemerintah Belanda dan jauh dari ajaran Islam, sehingga dapat diikuti oleh masyarakat bawah yang senantiasa tunduk pada elit tradisional. Namun ternyata dalam prakteknya, meski banyak elit tradisional yang sudah terasosiasi dengan kebudayaan Barat Seperti Husein Djajadiningrat, Abdul Rifai dengan Bintang Hindia-nya, Raden Mas Tirtoadisurjo dengan Medan Priaji-nya dan pendirian SDI, HOS Tjokroaminoto yang disebut-sebut sebagai pemimpin karismatik dalam SI, dan juga Agus Salim. Mereka merupakan anak anak priayi muslim yang taat, namun mereka menjelma 105
106
menjadi elit modern yang penuh dengan kesadaran akan dirinya dan keterbelakangan masyarakat sekitarnya. Mereka menyuarakan aspirasinya untuk kemajuan umat Islam di Hindia Belanda mau tak mau, suka tak suka hal ini merupakan hasil dari asosiasi pendidikan yang dapat dilihat dengan munculnya elit modern yang mendirikan organisasi yang bersifat nasionalis baik sekuler maupun Islam. Kebijakan Pendidikan oleh pemerintah khususnya kepada umat Islam pada kenyatannya malah memeberikan semangat kebangsaan karena rasa diskriminasi yang dirasakan bersama. Hal ini membuktikan bahwa keadaan sosial pada waktu itu menimbulkan kesadaran social dikalangan para terpelajar. Kesadaran akan kepemilikan hak yang sama dan kebebasan untuk merdeka. Saran Penulis memahami betul dalam tulisan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan saran sangat dibutuhkan demi baiknya tulisan/karya ini. Dari beberapa kebijakan pendidikan Belanda dapat dilihat hikmah dan menjadi cermin untuk kemajuan Indonesia mendatang. Melihat kondisi sekarang yang hampir sama dengan masa Kolonial, pendidikan belumlah sama rata dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Alangkah indahnya apabila pemerintah dapat memberikan kesempatan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Bisa dirasakan bahwa pendidikan yang bermutu sekarang ini selalu dimenangkan oleh masyarakat kelas menengah atas
107
yang memiliki ekonomi yang baik. Perbedaanya adalah masa Kolonial pendidikan bermutu dirasakan oleh masyarakat menengah berdasarkan factor keturunan yang merukapan ketentuan dari pemerintah, sedangkan sekarang faktor ekonomi bisa jadi menjadi kriterianya. Jika masa Kolonial keadaan sosial membangun kesadaran sosial, kebalikan dengan masa sekarang kesadaran sosial belum tentu dapat mengubah keadaan sosial meskipun hal ini tidak dapat di generalisirkan. Untuk generasi selanjutnya akan lebih bagus lagi jika mengkaji lebih mendalam dan memunculkan ide-ide yang cemerlang untuk menggali tulisan khusus kebijakan-kebijakan yang dibuat Belanda di Indonesia akhirnya akan memperkaya khazanah keilmuan sejarah.
yang pada
108
DAFTAR PUSTAKA Arsip Bijblad op het Staatsblad van Nedelandsch-Indie no 6639 Bijblad op het Staatsblad van Nedelandsch-Indie no 7123 Encyclopaediae van Nederlandsch-Indie (ENI), jilid I. ‘s-Gravenhage, 1917 Regerings Almanak Tahun 1914 Staastblad van Nederlandsch-Indie no 125 Tahun 1893 Staastblad van Nederlandsch-Indie no 219 Tahun1925 Staastblad van Nederlandsch-Indie no 550 Tahun 1905 Buku Abdurahman, Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar Ruzz Media,1999 Absari, “Sejarah dan Dinamika Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara”, dalam Samsul Nizar (ed), Sejarah Pendidikan Islam, menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia., (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2007) Algadri, Hamid, C. Snouk Hurgronje.Politik Belanda TerhadapIslam dan Keturunan Arab. Jakarta; Sinar Harapan 1984. _________, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda. Bandung; Mizan, 1996 Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999) Azra, Azyumardi, “Surau di Tengah Krisis: Pesantren dalam Prespektif Masyarakat” dalam M.Dawam Raharjo (ed) Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1983) _________, Pendidikan Islam “Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru”, (Ciputat: Logos, 1999) Benda, Harry J, Bulan Sabit dan Matahari terbit, Islam Indonesia Pada masa Pendudukan Jepang, Terj. dari The Crescent and The Rising Sun, Indonesian islam under the Japanese occupation 1942-1945 oleh Daneil Dhakidae (Jakata: Mizan, 1980), cet I.
108
109
Brugmans, I.J. “Politik Pengajaran” dalam H. Baudet dan I.J Brugman (ed), Politik Etis dan Revolusi kemerdekaanI. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987) Burhanudin, Jajat, Ulama dan Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia,(Jakarta: Mizan, 2012) Cribb, Robert, Audrey Kahin, Kamus Sejarah Indonesia, Jakarta: Komunitas Bambu, 2012. Djamaluddin, Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung : Pustaka Setia , 1998) Dzofier, Zamaksyari, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kya ( Jakarta: LP3ES, 1994) Gobee, E, dan C Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid IV (Jakarta : Indonesian Netherlands Coorperation in Isalamic Stuidie (INIS), 1991). ______, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid I (Jakarta : Indonesian Netherlands Coorperation in Isalamic Stuidie (INIS), 1991). Graves, Elizabeth, “The Minangkabau Response to the Dutch Colonial Rule in the Nineteent Century”,(New York: Cornel University, 1981) Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. terj: Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press.1983) Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, lintasan Sejarah, Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta:Diterbitkan Kerjasama dengan Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan dan PT Raja Grafindo Persada, 1996), Cet ke 2 Herlina, Nina Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942.(Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998) _______, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve) Hurgronje, C Snouck, Islam di Hindia Belanda. Terj S. GunawanJakarta; PT Bhratara Karya Aksara, 1983. ________, Kumpulan Karangan C. Snouck Hurgronje. Jakarta; INIS, 1993. Isjwara, F, Pengantar Ilmu Politik, penerbit Binacipta, 1974
110
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Yayasan bentang Budaya, 1995) Latif, Yudi , Intelegensia dan Kuasa, Geneologi Intelegensia muslim Indonesia abad ke 20,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005) Leirissa, R.Z. , ”Verenigde Oost Indische Comagnie (VOC)”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V, (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve) Maswardi, “ Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam di Nusantara pada Masa Awal Sampai Sebelum kemerdekaan, Kasus Kebijakan Politik Kolonial Belanda Terhadap Gerakan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia” dalam Samsul Nizar (ed), Sejarah Pendidikan Islam, menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia., (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2007) Madjid , Nurcholis, Indonesia Kita, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004) _________, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997) Maftuh, “Kebijakan Politik Hindia Belanda dan Implikasinya Bagi Pendidikan Islam 1900-1942”. Tesis (Jogjakarta : UIN Sunan Kalijaga 2008) (Tidak DIterbitkan) Nata Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, Niel, Robert van, Munculnya Elit Modern Indonesia , Ny. Zahara Deliar Noer (terj)(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984) Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1991) Padmo, Sugijanto (alm), “Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve) Pijper, G.F “Politik Islam pemerintah Belanda” dalam H. Baudet dan I.J Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan oleh Amir Sutaarga,. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987) _________, Beberapa Studi Tentang Islam di Indonesia 1900-1950, Terj. dari Studien over de Geshiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950 oleh Tujimah dan Yessy Augusdin (Jakarta: UI-Press, 1985), cet II Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV. PN Balai Pustaka, 1977.
111
_________, Sejarah Nasional Indonesia V. PN Balai Pustaka, 1984. Ricklefs, M.C Mengislamkan Jawa. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013 _________, Sejarah Asia Tenggara dai Masa Prasejarah sampai Kontemporer, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013) _________, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008) Ridwan, Kafrawi, Ensiklopedi Islam, jilid I , (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hove, 1993) Sihab, Alwi, Membendung Arus Respon Gerakan Muhamadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998) Sirozi, Muhammad, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokohtokoh Islam dalam Penyusunan UU No 2/1989I, (Jakarta : INIS, 2004) Sopyan, Yayan, Islam Negara Transormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional. Jakarta: RMBooks, 2012 Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia-Belanda: het Kantoor voor Inlandsche zaken. Jakarta: LP3ES, 1986. Steenbrink, Karel A. Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994) Shiraishi, Takhasi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti, 1997) Umar, Muin, Orientalisme dan Studi Tentang islam (Jakarta : Penerbit Bulan Bintang, 1978) Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,( Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995) Zuhairini, dkk, Sejarah Pedidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1986) Jurnal Bani, Sudin, “Politik Etis”, Jurnal Politik Pofetik, Vol 1, No 1, 2013 Burhanudin, Jajat, The Dutch Colonial Policy On Islam, Reading The Intellectual Journey Of Snouck Hurgronje, Al-Jamiah,Vol 52, No 1, 2014 M/1435 H Effendy, “Politik Kolonial Belanda Terhadap Islam Di Indonesia Dalam Perspektif Sejarah (Studi Pemikiran Snouck Hurgronye) ”Jurnal TAPIs Vol.8 No.1 Januari-Juni 2012
112
Haidar, M Ali “Tarekat Qodariyah Wa Naqsabandiyah Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan Tahun 1834-1925 “, Avatara, e-Journal Pendidikan Sejarah. Vol 1, No 2, Mei 2013 Ichwayudi, Budi, Hipokritisme Tokoh Orientalis Christian Snouck Hurgronje, Jurnal Religio, Vol 1, No 1, Maret 2011 Muhamad, Gusti, “Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda Di Surabaya Tahun 1901-1942 Education On Dutch Government In Surabaya At 1901-1942”, Publika Budaya, Vol 1, No 3, Maret 2015 Makalah Muhsin, Mumuh “Kesadaran Nasional dan Sekolah Sarekat Islam (1900 – 1942) Makalah Disampaikan Dalam Penataran Pengayaan Kurikulum Mulok Sejarah Perjuangan Syarikat Islam (SPSI) Di Aula Gerkopin, 13 Januari 2013 (Jatinangor: UNPAD, 2013) Internet http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-178-det-sejarah-singkat.html diakses pada tanggal 3 Mei 2016 pkl 19.00 WIB http://www.muhammadiyah.or.id/id/4-content-179-det-sejarah-berdiri.html diakses pada tanggal 3 Mei 2016 pkl 19.00 WIB http://www.republika.co.id/berita/koran/islam-digest-koran/15/08/23/ntj73s1kebangkitan-nasionalisme-indonesia-di-tangan-islam www.tebuireng.org diakses pada tanggal 24 Oktiber 2016 pkl. 9.05 WIB http://megapolitian.kompas.com/read/2010/03/19/03301099/Kultur.Pesantren..kek uatan.NU diakses pada tanggal 24 Oktiber 2016 pkl. 9.30 WIB http://www.ponpes-rakha.com/2014/12/sejarah-rakha.html?m=1 Selayang Pandang Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2016 pkl 12.14 WIB http://asadiyahpusat.org/2013/09/tentang-pesantren-asadiyah/ diakses pada tanggal 25 Oktober 2016 pkl 13.36 WIB www.media-kitlv.nl
113
Lampiran 1:
Staatsblad van Nederlandsch-Indie no 125 tahun 1893. Tentang pembukaan sekolah kelas satu (de scholen de eerste klasse) dan sekolah kelas dua (de scholen de tweede klasse). Sumber : ANRI.
114
Lampiran 2:
Staatsblad no 550 Tahun 1905, tentang Kebijakan Ordonansi Guru pertama. Sumber : ANRI.
115
Lampiran 3 :
Staatslad no 219 Tahun 1925,tentang Ordonansi guru perubahan Ordonansi guru 1905. Sumber : ANRI
116
Lampiran 4 :
Bijblad op het Staatsblad van Nedelandsch-Indie no 6639, tentang perintah untuk Adviseur voor Inlandsch Zaken dalam menangani pendidikan pribumi. Sumber : ANRI.
117
Lampiran 5 :
Bijblad no 7123, tentang instruksi kepada Adviseur voor Indlandsch zaken. Sumber :ANRI.
118
Lampiran 6:
Islamoloog C. Snouck Hurgronje (1857-1936). Sumber : media-kitlv.nl
119
Lampiran 7:
Karel Frederick Holle, Sumber : media-kitlv.nl
Mr. J.H. Abendanon, van 1900-1905 directeur van het Departement van Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid te Batavia, Sumber: media-kitlv.nl
120
Lampiran 8:
Pemuda (santri) Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Sumber: media-kitlv.nl
121
Lampiran 9:
Pemuda di sebuah Pesantren. Sumber: media-kitlv.nl
Sumatra Thawalib. Sumber : JPPN.COm
122
Lampiran 10 :
School voor Technisch Onderwijs in Nederlands-Indie. Sumber: media-kitlv.nl
School tot Opleiding van Inlandse Artsen (STOVIA) Batavia. Sumber: media-kitlv.nl
123
Lampiran 11 :
Murid OSVIA di Madiun antara 1918-1919. Sumber: media-kitlv.nl
Suasana belajar di kelas, HBS Surabaya tahun 1927, Sumber : Sumber: media-kitlv.nl
124
Lampiran 12 :
MULO Bandoeng. Sumber:
media-kitlv.nl
MULO Purwokerto 1910. Sumber: media-kitlv.nl
MULO Ambon, 1925. Sumber:
media-kitlv.nl