Konsep Masyaraka Madani (Civility Society) dan Pengembangan Masyarakat Islam Raudhah Melliza, Imam Wahyu
[email protected] Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh ABSTRACT Diskursus masyarakat madani memang bukan hal yang baru lagi untuk diperbincangkan. Namun di dalam perjalanannya terdapat tumpang tindih konsepsi dengan civil society yang di samarkan oleh para teolog barat. Adapun konsep masyarakat madani sejatinya diadopsi dari konsep Rasulullah ketika membangun masyarakat madiah, telah mengalami pereduksian esensi dan konsep antara konsep civilis society dengan konsep masyarakat madani dalam perspektif islam, yang sejatinya sangat kontradiktif. Tulisan ini berupaya menghadirkan kembali karakteristik konsep masyarakat madani dalam perspektif islam guna membangun masyarakat madani, yang mengambil titik tolak dari aktualisasi konsep rasulullah pada masyarakat madinah. Masyarakat madani merupakan konsep yang mengalami proses yang sangat panjang. Masyarakat madani muncul bersamaan dengan adanya proses modernisasi, terutama perlu strategi dalam upaya pengembangan konsep masyarakat islam, dengan pada saat transformasi menuju masyarakat modern. Maka tulisan ini menghadirkan karakteristik keislaman yang menjadi konsep dan pondasi msayarakat islam yang madani dalam perspektif islam yaitu, msyarakat islam yang humanis, islam yang moderat, dan masyarakat islam yang toleran.
Kata kunci: Masyarkat Madani, Civil Society, Islam, Konsepsi.
1
A. Pendahuluan 1. Definisi Masyaraka Madani (Civility Society) Istilah masyarakat madani pertama kali dicetuskan oleh Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia.1 Beliau mendefinisikan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat madani memiliki ciri-ciri yang khas, yaitu kemajemukan budaya (multicultural), hubungan timbal balik (reprocity), dan sikap saling memagami dan menghargai.2 Karakter masyarakat madani merupakan “guiding ideas”, meminjam istilah, Malik Bennabi, dalam melaksanakan ide-ide yang mendasari masyarakat madani, yaitu prinsip moral, keadilan, kesamaan, musyawarah dan demokrasi.3 Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama. Menurut Azyumardi Azra, masyarakat madani lebih dari sekadar gerakan pro-demokrasi, karena ia juga mengecu pada pembentukan masyarakat berkualitas dan bertamadun (civility). Menurut Nurcholish Madjid, makna masyarakat madani berasal dari kata civility, yang mengandung makna toleransi, kesediaan pribadipribadi untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan tingkah laku
1
Mansur Hidayat, Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani, (JurnalKomunitas, vol. 4, no. 1, Juni 2008), h. 10. 2
Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos,2002), h. 93. 3
Ubaedillah, A., dkk, Pendidika Kewarganegaraan (Civit Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidaytullah Jakarta, 2008), h. 177.
2
sosial.4 Namun sebenarnya, istilah tersebut dikemukakan oleh Cicero dalam filsafah politiknya, ia menyebut dengan istilah Societies civillis.5 A.S Hikam6 mendefinisikan pengertian masyarakat madani berdasarkan istilah civil society. Menurutnya, civil society didefinisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisir dan bercirikan: a.
Kesukarelaan
(voluntary),
artinya
tidak
ada
paksaan,
namun
mempunyai komitmen bersama untuk mewujudkan cita-cita bersama. b. Keswasembadaan (self generating), artinya setiap anggota mempunyai harga diri yang tinggi. c.
Keswadayaan (self supporting), artinya kemandirian yang kuat tanpa menggantungkan pada negara, atau lembaga dan organisasi lain.
d. Kemandirian yang tinggi terhadap negara, artinya masyarakat madani tidak tergantung pada perintah orang lain termasuk negara. e.
Keterkaitan dengan norma-norrma hukum, artinya terkait pada nilainilai hukum yang disepakati bersama.7
2. Islam dan Masyarakat Madani a. Pengertian Masyarakat Pengertian masyarakat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan
4
Ibid., h. 303.
5
Suyatmi, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA/MA Kelas XI, (Jakarta: Cendasa Press, 2010), h. 50. 6
A.S. Hikam, Nadlatul Ulama, Civil Society dan Proyek Pencerahan, kata pengantar dalam Ahmad Baso, Civil society versus Masyarakat Madani: Arkeologi pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke 1, h. 9-14. 7
Suyatmi, Pendidikan Kewarganegaraan, h. 51.
3
yang mereka anggap sama.8 Kata masyarakat tersebut, berasal dari bahasa Arab yaitu syarikat yang berarti golongan atau kumpulan.9 Sedangkan dalam bahasa Inggris, kata masyarakat tersebut diistilahkan dengan society atau community. Dalam hal ini, terdapat kata kunci yang bisa menghampiri kita pada konsep masyarakat madani (civil society), yakni kata “ummah” dan “madinah”. “Ummah” dalam bahasa arab menunjukan pengertian komunitas keagamaan tertentu, yaitu komunitas yang mempunyai keyakinan keagamaan yang sama. Secara umum, seperti disyaratkan al-Qur’an, “ummah” menunjukan suatu komunitas yang mempunyai basis solidaritas tertentu atas dasar komitmen keagamaan, etnis, dan moralitas.10 Mendalami Perspektif sejarah, “ummah” yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah dimaksudkan untuk membina solidaritas di kalangan para pemeluk Islam (kaum Muhajirin dan kaum Anshar). Khusus bagi kaum muhajirin, konsep “ummah” merupakan sistem sosial alternatif pengganti sistem sosial tradisional, sistem kekabilahan dan kesukuan yang mereka tinggalkan lantaran memeluk Islam.11Hal di atas menunjukan bahwa konsep “ummah” mengundang konotasi sosial, ketimbang konotasi politik. Istilah-istilah yang sering dipahami sebagai cita-cita sosial Islam dan memiliki konotasi politik adalah “khilafah”, “dawlah”, dan “hukumah”. Kata “ummah” disebut sebanyak 45 kali dalam alQur’am. Baik dalam bentuk tunggal maupun dalam bentuk jamak. Penyebutan alQur’an dan juga hadis menunjukan masyarakat madani. Sebagai masyarakat madani, konsep umat Islam ditegaskan atas dasar solidaritas keagamaan dan
8
Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawi, (Surabaya:Pustaka Progessif, 1984), h.
82. 9
Ibid., h. 96.
10
Syamsuddin, Etika Agama, h. 97.
11
Ibid., h. 95.
4
merupakan manifestasi dari keprihatinan moral terhadap eksistensi dan kelestarian masyarakat yang berorientasi kepada nilai-nilai Islam.12 Islam merupakan agama yang universal (rahmatan lil-alamin), maka nilai-nilai Islam harus mendatangkan kebaikan bagi alam semesta. Prinsip kerahmatan dan kemestaan ini menuntut adanya upaya universalisai nilai-nilai Islam untuk menjadi nilai-nilai nasional ataupun global. “Ummah Islamiyah” yang di bangun Nabi Muhammad di Madinah merupakan model yang baik (uswatun hasanah) yang mengandung nilai-nilai ideal pada masanya (abad ke-7). Ia mungkin saja tidak seluruhnya relevan dengan kehidupan masyarakat pada abad modern dewasa ini (abad 21). Masyarakat Madani sebagai cita-cita sosial Islam perlu memiliki relevansi dengan kemodernan dan dinamika kebudayaan. b. Pengertian Madani Jika konsep “ummah” merupakan piranti lunak (software) dari cita-cita sosial Islam (masyarakat madani), maka konsep “madinah” merupakan piranti kerasnya (hardware). “Madinah” yang berarti kota berhubungan dan mempunyai akar kata yang sama dengan kata ‘tamaddun” yang berarti peradaban. Perpaduan pengertian ini membawa suatu persepsi ideal bahwa “madinah” adalah lambang peradaban yang kosmopolit. Bukan suatu kebetulan bahwa kata “madinah” juga merupakan kata benda tempat dari kata “din’ (agama). Korelasi demikian menunjukan bahwa cita-cita ideal agama (Islam) adalah terwujudnya suatu masyarakat kosmopolitan yang berperadaban tinggi sebagai struktur fisik dari umat Islam.13 Berdasar pada pengertian “masyarakat” dan “madani” yang telah diuraikan maka istilah “masyarakat madinah” dapat diartikan sebagai kumpulan manusia dalam satu tempat (daerah/wilayah) di mereka hidup secara
12
Ibid., h. 96.
13
Ibid., h. 98.
5
ideal dan taat pada aturan-aturan hukum, serta tatanan kemasyarakatan yang telah di-tetapkan. Dalam konsep umum, masyarakat madani tersebut sering disebut dengan istilah civil society(masyarakatsipil) atau al-mujtama’ almadani, yang pengertiannyaselalumengacupada “polahidupmasyarakat yang berkeadilan, danberperadaban”.Dalam istilah Alquran, kehidupan masyarakat madani tersebut dikonteks-kan dengan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr yang secara harfiyah diarti-kan negeri yang baik dalam keridhaan Allah.Istilah yang digunakan Alquran sejalan dengan makna masyarakat yang ideal, dan masyarakat yang ideal itu berada dalam ampunan dan keridahanNya. “Masyarakat ideal” inilah yang dimaksud dengan “masyarakat madani” 14
3. Karakteristik Masyarakat Madani Konsep masyarakat madani yang dibahas menurut Umar Abdul Aziz Quraysy merupakan agama yang sangat toleran, baik di dalam masalah akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlaknya. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa Rasulullah mengajarkan tiga karakteristik keislaman yang menjadi fondasi pembangunan masyarakat madani,15 yaitu : a. Islam yang Humanis (al-insâniyyah)16 Yang dimaksud dengan Islam yang humanis di sini adalah bahwa substansi ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah, sepenuhnya kompatibel dengan fitrah manusia.
14
Ahmad Satriawan Hariadi, Masyarakat Madani dalam perspektif Islam: konsepsi Subtansif, Aplikatif, dan Solutif, (Jurnal HIMMAH PPMI Mesir, Agustus 2012), vol. 7 no.2., h. 5. 15
Ibid., h. 6
16
Karakteristik yang menjadi paradigma integral setiap muslim dari masa ke masa, alinsâniyyah adalah karakteristik yang fundemental yang menjadi tolak ukur pembangunan masyarakat madani yaitu Humanisme.
6
"Maka hadapkalah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah di atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah tersebut. Tidak ada perubahan terhadap fitrah Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya."17 Karena itu, dalam aktualisasinya, ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah dengan mudah diterima oleh nurani dan nalar manusia. Dengan kata lain, ajaran Islam sejatinya adalah ajaran yang memanusiakan manusia dengan sebenarbenarnya. Islam, diturunkan tiada lain untuk mengarahkan manusia kepada hal yang bersifat konstruktif dan mendatangkan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Di sinilah Islam dengan karateristiknya yang spesial, memiliki cara tersendiri dalam upaya untuk mengatur tatanan kehidupan manusia. Islam berhasil mengatur hakhak personal dan hak-hak sosial secara seimbang, sehingga melahirkan nilai-nilai persaudaraan, kesetaraan, dan kebebasan universal18 yang salah satu upaya untuk mengatur tatanan kehidupan manusia.19 Free public shere20 adalah ruang publik yang bebas sebagai sarana untuk mengemukakan pendapat warga masyarakat. Dalam permasalahan ini, manusia diberi kebebasan untuk memilih jalannya sendiri tatkala telah dijelaskan, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang terpuji dan mana yang tercela.21
17
Allah berfirman dalam Q.S al-Rum ayat 30.
18
Yusuf al-Qodradhawi, Al-Khasha’ish Al-‘Ammah Li al-Islam, (Kairo: Maktabah alUsrah, 2002) Vol. 1, h. 52 19
Ibid.,h. 70.
20
Rosyada, Dede. Dkk., Pendidikan Kewarganegaraan (civic Education): Masyarakat Madani, (Bandung: Revisi, 2003), h. 247. 21
Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Az-Hammah Al-Islam, (Kairo: Maktabah Al-Usrah, 2002), Vol. 1, h. 21-22.
7
Hal lain yang perlu ditekankan pada poin ini adalah bagaimana Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan naluri dan tabiat manusia itu sendiri. Secara naluriah, setiap manusia memiliki keinginan untuk hidup aman, damai, dan sejahtera dalam konteks personal maupun komunal. Manusia juga telah diberikan berbagai kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk Allah lainnya.22 Dengan keistimewaan-keistimewaan tersebut, manusia dianggap sebagai makhluk yang paling sempurna. Kesepurnaan itu akan berimplikasi pada kesempurnaan tatanan hidup bermasyarakat jika manusia mengikuti instruksi-instruksi Allah.23 b. Islam yang Moderat (al-wasathiyyah). Islam yang moderat adalah keseimbangan ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, baik pada dimensi vertikal (al-wasathiyah aldîniyah) maupun horizontal (al-tawâzun al-ijtimâʻiy). Kemoderatan inilah yang membedakan substansi ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah dengan ajaranajaran lainnya, baik sebelum Rasulullah diutus maupun sesudahnya Rasulullah diutus. Secara etimologis, kata 'moderat' merupakan terjemahan darial-wasathiyah yang memiliki sinonim al-tawâzun (keseimbangan) dan al-iʻtidal (proporsional).24Dalam hal ini Allah menjelaskan karakteristik umat Rasulullah sebagai umat yang moderat.25 Dalam catatan sejarahnya, karakteristik ini teraplikasikan secara sempurna pada diri Rasulullah. Sesuai Hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah pernah mengatakan dalam penggalan doanya, "Ya Allah, perbaikilah agamaku sebab ia adalah penjaga urusanku.
22
Ibid., h. 38-41.
23
Ibid. Sebagaimana yang termaktub dalam Surat al-Isrâ’ ayat 23-34.
24
Yusuf al-Qodradhawi, Al-Khasha’ish, h. 115
25
Sebagaimana allah berfirman kepada umat islam didalam Q.S. Al- Baqarah ayat 143, “dengan demikianlah kami telah menjadikan kalian wahai ummat islam sebagai ummat yang moderat agar kalian menjadi saksi atas perbuatan kalian.”
8
Perbaikilah pula duniaku karena di sinilah tempat hidupku. Dan perbaikilah pula akhiratku kerena di sanalah tempat kembaliku."26 Jadi, kemoderatan merupakan salah satu karakteristik fundamental Islam sebagai agama paripurna. Kemoderatan inilah yang sesungguhnya sangat kompatibel dengan naluri dan fitrah kemanusiaan. Kemoderatan ini juga yang membuat Islam dengan mudah diterima akal sehat dan nalar manusia. Diakui atau ibid., universalitas ajaran Islam sebagai agama penutup. Dari kemoderatan inilah konsepsi-konsepsi kemasyarakatan yang asasi diturunkan menjadi konsep yang utuh dalam membangun masyarakat Madinah yang solid dan memegang teguh nilai-nilai dan norma keislaman. Konsep-konsep kemasyarakatan tersebut adalah keamanan, keadilan, konsistensi, kesolidan, superioritas, dan kesentralan.27 Dalam hal ini Sayyid Quthb28 dalam bukunya al-Salâm al-ʻÂlamy wa al-Islâmy mengamini bahwa keseimbangan sosial(al-tawâzun al-ijtimâʻiy) merupakan fondasi utama guna mewujudkan keadilan sosial (al-ʻadâlah al-ijtimâʻiyah) di tengah-tengah masyarakat. Nilai keseimbangan sosial ini dalam tahapannya menjadi tolak ukur untuk mewujudkan ketenteraman dan kedamaian di dalam kehidupan bermasyarakat dalam konteks pembangunan masyarakat madani.29 c. Islam yang Toleran (al-samâhah).30 Kata toleran merupakan terjemahan dari al-samâhah atau al-tasâmuhyang merupakan sinonim dari kata al-tasâhul atau al-luyûnah yang berarti keloggaran, 26
Shahih Muslim no. 2720.
27
Yusuf al-Qodradhawi, Al-Khasha’ish, h. 119
28
Sayyid Quthb, al-Salam al-Alamy Wa al-Islamy, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2010 ), cet. XV, h. 129. 29
Ibid., h.130-135.
30
Al-Fayruzababy, Al-Qamus al-Muhith, (Kairo: Mu’assasah Al-Mukhtar, 2010), cet. Ke-2 h. 197., demikian pula dalam, Majma’, al-Lughah Al-Arabiyah, (Kairo: Dar al-Sa’adah, 2001) h. 465.
9
kemudahan, fleksibelitas, dan toleransi itu sendiri.31 Kata 'toleran' di dalam ajaran Islam memiliki dua pengertian, yaitu yang berkaitan dengan panganut agama Islam sendiri (Muslim), dan berkaitan dengan penganut agama lain (Nonmuslim). Jika dikaitkan dengan kaum Muslimin, maka toleran yang dimaksud adalah kelonggaran, kemudahan, dan fleksibelitas ajaran Islam bagi pemelukpemeluknya.32 Sebab pada hakikatnya, ajaran Islam telah dijadikan mudah dan fleksibel untuk dipahami maupun diaktualkan. Sehingga Islam sebagai rahmatan li al-ʻâlamîn benar-benar dimanifestasikan di dalam konteks masyarakat Madinah pada masa Rasulullah.33 Untuk itu, sebagai konsekuensi logis dari Islam sebagai rahmatan li alʻâlamîn yang shâlih li kulli zamân wa makân, maka substansi ajaran Islam harus benar-benar mudah dipahami dan fleksibel untuk diaplikasikan. Banyak didapati teks-teks al-Qur’an dan Hadis yang menyinggung masalah tersebut. Allah berfirman, Q.S al-Baqarah: 286. Artinya : "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orangorang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; 31
Al-Fayruzababy, Al-Ammah Li Al-Lisan, (Kairo: syuruq, 2010), h. 197.
32
Menyinggung masalah tersebut Allah berfirman, dalam Q.S Al-Baaqarah 286, “Allah tidak membebani seorang hamba, melainkan pembebanan tersebut sesuai dengan kesanggupannya. Demikian juga dengan Q.S Al-Baqarah 185. 33
Muhammad Jamaluddin, Konsep Negara Ideal dalam Perspektif Islam, (Jurnal HIMMAH, vol. 7, no. 1, 1, Juni 2008), h. 10-13.
10
ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".34 Maka tatkala ajaran Islam memiliki konsekuensi untuk kompatibel dengan fitrah dan kondisi manusia, Allah pun mengetahui sifat lemah pada diri manusia sehingga Ia menyatakan. Artinya : "Allah hanya menghendaki keringanan untuk kalian, dan manusia telah diciptakan dalam keadaan lemah."35 Adapun teks-teks dari Hadis mengenai keringanan dan kemudahan tersebut dapat dilihat tatkala Nabi hendak mengutus Muʻadz dan Abu Musa ke negeri Yaman, dalam hal ini Nabi berpesan, "Permudahlah, jangan mempersulit."36 Masih dalam konteks yang sama, Nabi bahkan mengonfirmasi bahwa ajaran agama Islam memang penuh dengan kemudahan dan fleksibelitas. Di samping itu, Aisyah pernah bercerita tentang tabiat sang Nabi yang senang dengan kemudahan dan fleksibelitas, ia engatakan, "Tidak pernah Nabi diberi pilihan kecuali ia memilih yang paling mudah di antaranya, asalkan tidak ada larangan untuk hal tersebut."37 Inilah bentuk kemudahan dan fleksibelitas ajaran Islam, dan tentu masih banyak teks-teks al-Qur’an dan Hadis yang menjadi bukti eternal betapa ajaran Islam sangat mencintai kemudahan, kasih sayang, dan kedamaian bagi para pemeluknya, maupun terhadap mereka yang berbeda agama, sebagai upaya mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai dan norma keislaman. Sehingga ajaran Islam yang mengarahkan kepada kekerasan 34
Demikian juga teks al-Qur'an yang mengatakan, Q.S al-Baqarah: 185.
35
Dalam Q.S al-Nisa: 28.
36
Shahih al-Bukhari no. 6124.
37
Ibid., no. 39.
11
dan sikap kompulsif tidak akan didapati sedikit pun, kecuali pada dua hal; pertama, ketika berhadapan dengan musuh di dalam peperangan, bahkan Allah memerintahkan untuk bersikap keras, berani, dan pantang mundur. Hal tersebut diperintahkan sebagai bentuk konsekuensi dari keadaan yang tidak memungkinkan untuk bersikap lunak dan lemah lembut, agar totalitas berperang benar-benar tejaga, untuk meraup kemenangan yang gemilang.38 Kedua, sikap kompulsif dalam menegakkan dan mengaktualkan hukuman syariat tatkala dilanggar. Dalam hal ini Allah tidak menghendaki adanya rasa iba hati dan belas kasih, sehingga hukuman tersebut urung diaktualkan. Sikap kompulsif ini tiada lain merupakan upaya untuk menghindari penyebab terganggunya konstelasi kehidupan bermasyarakat yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma kemanusiaan.39 Sedangkan jika kata toleran dikatikan dengan Nonmuslim, maka yang dimaksud adalah nilai-nilai toleransi yang dipahami oleh khalayak pada umumnya. Dalam hal ini, ajaran Islam sangat menghargai perbedaan keyakinan. Mereka yang berbeda keyakinan akan mendapatkan hak-hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Dengan kata lain, Islam benar-benar menjamin keselamatan dan keamanan jiwa raga mereka, selama mereka mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama. Darah mereka haram ditumpahkan sebagaimana darah kaum Muslimin. Allah berfirman,40artinya: " Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi
38
Ahmad Satriawan H, Masyarakat Madani,h. 5.
39
Muhammad, Konsep Negara, h. 15.
40
Ibid., h. 17.
12
rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, “dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).”41 Rasulullah juga bersabda, "Barang siapa yang membunuh dzimmi (Nonmuslim yang hidup di daerah kaum Muslimin dengan ketentuan yang telah disepakati) tanpa alasan yang jelas, maka Allah mengharamkan baginya masuk surga."42 Umar Abdul Aziz Quraisyi menjelaskan bahwa sikap toleran Islam terhadap penganut agama lain dibangun atas empat dasar: pertama, dasar nilai-nilai keluruhan sebagai sesama manusia, meskipun dari beragam agama, etnis, dan kebudayaan;43 kedua, dasar pemikiran bahwa perbedaan agama merupakan kehendak Allah semata;44 ketiga, dasar pemikiran bahwa kaum Muslim tidak berhak sedikit pun untuk menjustifikasi kecelakaan mereka yang berlainan keyakinan selama di dunia, karena hal itu merupakan hak prerogatif Allah diakhirat kelak45 sedangkankeempat adalah pemikiran bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil dan berakhlak mulia, meskipun terhadap mereka yang berlainan agama.46
41
Q.S al-An’am ayat 151.
42
Raghib al –Sirjany, fann al-Ta’amul al-Nabawy ma’a Ghayri al-Muslim, (Kairo: Dar Aqlam, 2010), cet. 2, h. 22 43
Umar Abdul Aziz Quraysyi, Samahah al-Islam, (Kairo: Dar al-Salaf, 2011) h. 11
44
Ibid., h. 13.
45
Lihat Q.S al-Nahl: 44.
46
Ibid., h. 19.
13
B. Pengembangan Masyarakat Islam Membangun (mengembangkan) suatu masyarakat agar menjadi maju, mandiri dan berbudi bukanlah sesuatu yang mudah, seperti membalikkan telapak tangan. Upaya tersebut tidak saja membutuhkan tekad dan keyakinan, tetapi juga kerja keras dan tak kenal lelah. Berbagai teori pembangunan bermunculan, dan dianut oleh berbagai bangsa dan negara seperti teori pertumbuhan yang dikembangkan oleh Rostow dan Harrod Domar, dan konsep ini pula tampaknya telah diadopsi pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru dengan Istilah masyarakat tingggal landas. Walaupun pada akhirnya keadaan ekonomi bangsa Indonesia terpuruk ke titik nadir karena tidak mempertimbangkan pembangunan dari aspek mental bangsa.47 Pengembangan masyarakat merupakan proses belajar dan pencerahan masyarakat yang terus menerus untuk meningkatkan kualitas hidup, harkat dan martabatnya lewat kegiatan emansipasi dan pencerahan sosial yang terencana, terarah dan terkendali secara berkelanjutan. 48 Sedangkan yang akan ditinjau dalam pengembangan masyarakat Islam adalah masyarakat Islam Ideal, seperti gambaran masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah bersama umat Islam pada awal kehadirannya di Madinah, kota yang dahulu bernama Yatsrib dirubah dengan nama baru “Madinah al-nabi” dari asal kata madaniyah atau tamaddun (civilization) yang berarti peradaban, maka masyarakat Madinah atau Madani (civil Society) adalah masyarakat yang beradab
47
M. Jakfar Puteh, Islam dan Pemberdayaan Masyarakat: Tinjauan Teoritik dan Aplikatif, (Yogyakarta: Kreasi Utama, 2014), h. 35., dan Suisyanto, Arah dan Tujuan Pengembangan Masyarakat Islam, dalam Populis, edisi No.III/2003, h. 35. 48
Ade Ma’ruf dan Zulfan Heri, Muhammadiyah dan Pemberdayaan Rakyat,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 40.
14
yang dilawankan dengan masyarakat Badui, yang berarti masyarakat yang pola kehidupannya berpindah (Nomaden) dan belum mengenal norma aturan.49 1. Metode Pengembangan Masyarakat Untuk menjangkau masyarakat secara luas pendekatan yang digunakan oleh yaitu pembinaan melalui pembinaan sumberdaya manusianya seperti pembinaan kelompok dan kader lokal.50 a. Pembinaan melalui kelompok mempunyai beberapa kelebihan antara lain:Mempermudah pengorganisasian, Memperlancar pencapaian tujuan bersama, Meningkatkan kerjasama dan gotong-royong b. Pembinaan kader lokal diharapkan membentuk seseorang menjadi motivator, fasilitator dan katalisator bagi masyarakat sendiri sehingga keberlanjutan kegiatan diharapkan dapat lebih terjamin. Atau menggunakan metode yang lain, misalnya:51 a. RRA (Rapid Rural Appraisal) merupakan metode penilaian keadaan desa secara cepat, yang dalam praktek, kegiatan RRA lebih banyak dilakukan oleh “orang luar” dengan tanpa atau sedikit melibatkan masyarakat setempat. Meskipun sering dikatakan sebagai teknik penelitian yang “cepat dan kasar/kotor” tetapi RRA dinilai masih lebih baik dibanding teknik-teknik kuantitatif klasik. b. PRA (Participatory Rural Appraisal) merupakan penyempurnaan dari RRA. PRA dilakukan dengan lebih banyak melibatkan “orang dalam”
49
Madjid Nurcholis, Islam,Kemoderenan, dan KeIndonesiaan, (Yogyakarta: Mizan, 1992), h. 312-315. 50
Suisyanto, Arah dan Tujuan, h. 36.
51
http://kumpulan-segalailmu.blogspot.com/2013/07/arah-dan-tujuan-pengembanganmasyarakat.html, Minggu, 31 Januari 2016 (10.45).
15
yang terdiri dari semua stakeholders dengan difasilitasi oleh orang-luar yang lebih berfungsi sebagai narasumber atau fasilitator dibanding sebagai instruktur atau guru yang menggurui. c. Diskusi Kelompok yang Terarah sebagai suatu metode pengumpulan data, merupakan interaksi individu-individu (sekitar 10-30 orang) yang tidak saling mengenal dan oleh seorang pemandu (moderator) diarahkan untuk mendiskusikan pemahaman dan atau pengalamannya tentang sesuatu program atau kegiatan yang diikuti dan atau dicermatinya.
2. Tujuan Pengembangan Masyarakat Secara sistematis arah tujuan pengembangan masyarakat Islam trsebut adalah sebagai berikut: a. Menganalisis problem sosial secara umum dan keagamaan secara khusus yang muncul dalam kehidupan masyarakat sebagai akibat adanya perubahan sosial. b. Merancang kegiatan pengembangan masyarakat berdasarkan problem yang ada, berdasarkan skala prioritas. c. Mengelola dan melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat berdasarkan rencana yang disepakati (kemampuan menjadi pendamping) d. Mengevaluasi seluruh proses pengembangan masyarakat (evaluasi pendampingan) e. Melatih masyarakat dalam menganalisis problem yang mereka hadapi, merancang, mengelola, dan mengevaluasi kegiatan pengembangan masyarakat (pelatihan pelatihan pendampingan).52
3. Pokok Kajian
52
M.Jakfar, Islam dan Pemberdayaan, h. 38-39.
16
Pokok kajian pengembangan masyarakat yang mendesak untuk diperjuangkan dalam konteks keumatan masa kini, yakni pengembangan dalam tataran ruhaniah, intelektual, dan ekonomi.53Pengembangan pada wilayah ruhaniah, degradasi moral atau pergeseran nilai masyarakat Islam saat ini sangat mengguncang kesadaran Islam. Kepribadian umat Islam terkhusus generasi muda sudah terkooptasi oleh budaya barat yang merupakan antitesa dari nilai-nilai Islam.54 Menurut Dr.Mohammad Nasih dalam bukunya Masyarakat Islam dan Demokrasi dijelaskan bahwa system pendidikan saat ini masih menekankan pada aspek penalaran dan rasionalitas, sehingga membawa implikasi pada keengganan untuk menerima hal-hal yang tidak dapat ditampilkan secara observasional, sikap menjauhi hal-hal ilmiah.55 Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang memfungsikan kedua belahan otak dan memfungsikan hati sanubari secara seimbang.Pengembangan intelektual, menurut Agu Effendi, masyarakat Islah harus berani mengedepankan jargong teologi sosial dibawah ini: a. Malas belajar adalah dosa besar sosial Islam. b. Pengembangan intelektual harus merupakan gerakan semua lini keumatan. c. Setiap dukungan terhadap gerakan pemberdayaan intelektual harus dipandang sebagai jihad besar yang harus diakselerasikan. Pengembangan ekonomi, masalah kemiskinan menjadi identik dengan masyarakat Islam di Indonesia. Pemecahannya adalah tanggung jawab masyarakat Islam itu sendiri, yang selama ini selalu terpinggirkan. Umat Islam harus memiliki pengalaman, kemampuan sarana dan peralatan yang menjadikan iamampu untuk
53
Effendi Agus, Islam Konseptual dan Kontekstual, (Bandung:Itqan, 1993), h .4-5.
54
Ibid., h. 6.
55
Nasih Mohammad, Masyarakat Islam dan Demokrasi, (Jakarta: Nasihah, 2000), h. 9.
17
berproduksi guna memenuhi kebutuhannya. Beberapa cara untuk menuju kemandirian ummat menurut Yusuf Qardhawi, antara lain:56 a. Planning b. Mempersiapkan SDM yang berkualitas c. Memfungsikan asset secara maksimal d. Melakukan koordinasi antara sector-sektor produksi e. Mengembangan kekayaan financial.
C. Kesimpulan Masyarakat madani secara umum adalah sekumpulan orang dalam suatu bangsa atau negara di mana mereka hidup secara ideal dan taat pada aturan-aturan hukum islam, serta tatanan kemasyarakatan yang telah ditetapkan. Masyarakat seperti ini sering disebut dengan istilah civil society (masyarakat sipil) atau yang pengertiannyaselalumengacupada “polahidup masyarakat yang ideal, tebaik, dan berperadaban”. DalamistilahAlquran, proses kehidupanmasyarakatislam yang diterapkan oleh Rasulullah SAW yaitu, Islam yang Humanis, Islam yang Moderat, Islam yang Toleran. Konsep masyarakat madani memiliki akar kesejarahan dalam tradisi Islam dan telah dipraktikkan sejak Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat Madinah. Banyak contoh tentang bagaimana ummat Islam telah mempraktikkan citacita masyarakat madani. Tetapi tentu saja bukan tujuan kita untuk mengemukakan sebanyak-banyaknya contoh tersebut. Yang jauh lebih penting bagi kita barangkali adalah bagaimana kita bisa mengambil manfaat dari apa yang telah mereka lakukan, untuk kita terapkan dalam kehidupan kita sekarang di dalam mewujudkan masyarakat madani Indonesia. Bahwa meskipun wacana 56
Ibid., h. 20.
18
“masyarakat madani” ini mungkin terasa masih baru, tetapi dari contoh tersebut di atas kita jadi tahu, bahwa sesungguhnya cita-cita masyarakat madani tersebut telah lama dipraktikkan oleh para pendahulu kita. Boleh jadi, wacana masyarakat madani ini telah didiskusikan dan dipraktikkan oleh orang-orang Islam, jauh sebelum orang-orang Barat membicarakannya. Metode yang tepat untuk diterapkan dalam pengembangan masyarakat yaitu pembinaan melalui pembinaan sumber daya manusianya seperti pembinaan kelompok dan kader lokal.Pengembangan masyarakat merupakan proses belajar dan pencerahan masyarakat yang terus menerus untuk meningkatkan kualitas hidup, harkat dan martabatnya lewat egiatan emansipasi dan pencerahan sosial yang terencana, terarah dan terkendali secara berkelanjutan.
19
Daftar Pustaka Ade Ma’ruf dan Zulfan Heri, Muhammadiyah dan Pemberdayaan Rakyat,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. Agus, Effendi,Islam Konseptual dan Kontekstual, Bandung:Itqan, 1993. Ahmad Baso, Civil society versus Masyarakat Madani: Arkeologi pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999. Ahmad Satriawan Hariadi, Masyarakat Madani dalam perspektif Islam: konsepsi Subtansif, Aplikatif, dan Solutif, Jurnal HIMMAH PPMI Mesir, Agustus 2012. Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawi, Surabaya: Pustaka Progessif, 1984. Al-Fayruzababy, Al-Qamus al-Muhith, Kairo: Mu’assasah Al-Mukhtar, 2010. ------------------ , Al-Ammah Li Al-Lisan, Kairo: syuruq, 2010. M. Jakfar Puteh, Islam dan Pemberdayaan Masyarakat: Tinjauan Teoritik dan Aplikatif, Yogyakarta: Kreasi Utama, 2014. Majma’, al-Lughah Al-Arabiyah, Kairo: Dar al-Sa’adah, 2001. Mansur Hidayat, Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani, Jurnal Komunitas, vol. 4, no. 1, Juni 2008. Mohammad, Nasih,Masyarakat Islam dan Demokrasi, Jakarta: Nasihah, 2000. Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Az-Hammah Al-Islam, Kairo: Maktabah Al-Usrah, 2002. Muhammad Jamaluddin, Konsep Negara Ideal dalam Perspektif Islam, Jurnal HIMMAH, vol. 7, no. 1, 1, Juni 2008. Nurcholis, Madjid,Islam, Kemoderenan, dan KeIndonesiaan,Yogyakarta: Mizan, 1992.
20
Raghib al –Sirjany, fann al-Ta’amul al-Nabawy ma’a Ghayri al-Muslim, Kairo: Dar Aqlam, 2010. Rosyada, Dede. Dkk., Pendidikan Kewarganegaraan (civic Education): Masyarakat Madani, Bandung: Revisi, 2003. Sayyid Quthb, al-Salam al-Alamy Wa al-Islamy, Kairo: Dar al-Syuruq, 2010. Suisyanto, Arah dan Tujuan Pengembangan Masyarakat Islam, dalam Populis, edisi No.III/2003. Suyatmi, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA/MA Kelas XI, Jakarta: Cendasa Press, 2010. Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos, 2002. Ubaedillah, A., dkk, Pendidika Kewarganegaraan (Civit Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidaytullah Jakarta, 2008. Umar Abdul Aziz Quraysyi, Samahah al-Islam, Kairo: Dar al-Salaf, 2011. Yusuf al-Qodradhawi, Al-Khasha’ish Al-‘Ammah Li al-Islam, Kairo: Maktabah al-Usrah, 2002. http://kumpulan-segalailmu.blogspot.com/2013/07/arah-dan-tujuanpengembangan-masyarakat.html, di akses pada Minggu, 31 Januari 2016 (10.45).
21