Daftar Isi Kata Pengantar I Sebuah Imbauan A Sajak-Sajak i Pendirian, Pembangunan dan Perkembangan Ureca Siauw Tiong Djin: Baperki, Ureca Dan Siauw Giok Tjhan 1 Go Gien Tjwan: Riwayat Ureca
Dali Santun Naga: Pendidikan Dan Jiwa Ureca
39 64
Kegiatan Organisasi Kemahasiswaan Ureca Sie Ban Hauw: Pendirian Dan Perkembangan Ureca 73 Benny Setiono: Ureca Mengubah Perjalanan Hidup Saya 94 Kwan Siu Hwa: Ureca & The Sense Of Belonging 115 Nancy Wijaya: Kenangan Manis Tour Kesenian Ureca
124
Liem Tjwan Gie: Resimen Mahajaya Ureca 131 Serba-serbi Kenangan dan Pengalaman berkuliah di Ureca Oey Jam Tjhioe: Pembangunan Fakultas Teknik Ureca
135
Tan Sien Tjhiang: Fakultas Sastra Ureca 143 Liem Heng Hong: Berkuliah Di Fakultas Hukum Ureca
149
Ang Hong Beng: Perkembangan Fakultas Teknik Ureca 159 Yap Tjay Hian: Ureca Yogyakarta 166 Muhammad Khairul: Kenangan Indah Di Ureca 169 George Tabaluyan: Fakultas Kedokteran Gigi Ureca
180
Liem Djie Gwan: Fakultas Teknik Dan Perkembangannya 186 Tony Setiabudhi: Fakultas Kedokteran Universitas Baperki 192 Liem Lun Tiong: Fakultas Hukum Ureca 200 Harry Singgih: Sebagai Mahasiswa Dan Milis Ureca Adi Purnomo: Perpeloncoan Di Ureca
205
220
Akhir Hidup Ureca Tan Ping Ien: Pembakaran Ureca 223 Tan Swie Ling: Mengapa Ureca Dibakar? 234 Jiwa Ureca tetap hidup: Reuni dan Milis Ureca Liem Heng Hong: Reuni Meneruskan Jiwa Ureca 237 Siauw Tiong Tjing: Milis Ureca Berkiprah 244
KATA PENGANTAR Hampir setengah abad yang lalu, tepatnya pada tanggal 15 Oktober 1965, sebuah universitas swasta yang bernama Universitas Res Publica (Ureca) dibakar oleh massa yang dikerahkan oleh sebuah rezim militer baru – di bawah pimpinan Jendral Suharto. Rezim Militer yang didukung oleh blok barat, yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Lahan dan fasilitas Ureca kemudian diambil-alih -- berdasarkan keputusan pemerintah yang dikontrol oleh Jendral Suharto -- oleh Yayasan Trisakti yang mengelola Universitas Trisakti. Persoalan kepemilikan lahan di mana Universitas Trisakti berada, kini dalam persengketaan antara Yayasan Trisakti dan pihak rektoriat. Universitas Res Publica (Universitas untuk kepentingan umum), didirikan, diasuh dan dikembangkan oleh Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Dalam waktu sangat singkat, sebelum akhir 1965, universitas ini berkembang sebagai sebuah universitas swasta yang terbesar di Indonesia, dengan mutu pendidikan setaraf dengan banyak perguruan tinggi nasional se perti Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung. Pergantian politik drastik yang terjadi setelah peristiwa G30S – 1 Oktober 1965 mengubah peta politik Indonesia. Kekuatan politik yang bisa dikatakan berada di atas angin sebelumnya, dalam waktu sekejap dinyatakan sebagai golongan yang harus diganyang dan dihilangkan dari permukaan politik Indonesia. Kekuatan kelompok “kiri” ini bergabung dalam sebuah koalisi politik yang melibatkan PKI (Partai Komunis Indonesia), Presiden Sukarno dan beberapa partai dan ormas, termasuk Baperki. Baperki adalah sebuah organisasi massa yang sebagian besar anggotanya terdiri dari komunitas Tionghoa. Sejarah menunjuk-kan bahwa kekuatan “kiri” yang di singgung di atas, terutama Presiden Sukarno adalah pendukung sekaligus pelindung Baperki yang tujuan utamanya mengajak semua orang Tionghoa di Indonesia – baik yang peranakan maupun yang totok – untuk menjadi patriot Indonesia, mencintai Indonesia sebagai tanah airnya dan memiliki status hukum sebagai warga negara Indonesia. Baperki menentang semua kebijakan rasis yang dikeluarkan pemerintah dan yang dirumuskan oleh banyak pimpinan partai politik yang bergabung di kelompok “kanan”. Itulah alasan utama mengapa Baperki masuk dalam kelompok “kiri” yang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Keberadaan Baperki di kelompok “kiri” tersebut menyebabkan ia turut tergulir dan diganyang oleh kekuatan “kanan” yang dipimpin oleh Jendral Suharto. Kekuatan militer yang membunuh lebih dari satu juta orang yang kiri tidak bersalah dan melakukan persekusi masal, sehingga seratus ribu orang berada dalam tahanan berbelas I
tahun tanpa proses pengadilan apa-pun dan ratusan ribu lainnya masuk dalam kategori “tidak bebas G30S/PKI”, sehingga tidak bisa menikmati hak-hak wajar sebagai warga negara Indonesia. Langgam perjuangan Baperki bersifat membangun. Ia tidak melawan rasisme di berbagai bidang dengan slogan-slogan anti rasisme. Baperki melawan arus rasisme dengan merumuskan dan melaksanakan berbagai langkah konstruktif (membangun) sebagai jalan keluar yang menyebabkan dampak rasisme berkurang atau hilang sama sekali. Pendirian Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki yang dipimpin oleh ketua umumnya, Siauw Giok Tjhan merupakan contoh kongkrit langgam perjuangan yang membangun ini. Dalam waktu singkat, yayasan yang didirikan pada tahun 1958 menjalan-kan ratusan sekolah di berbagai kota besar Indonesia. Dan pada akhir 1958, ia mendirikan pula sebuah Universitas Swasta. Tindakan membangun ini menyebabkan puluhan ribu pelajar Tionghoa tertampung, bisa terdidik dengan kurikulum nasional. Dan ribuan pemuda Tionghoa, baik yang berkewarganegaraan Indonesia atau berstatus asing memperoleh kesempatan belajar di perguruan tinggi. Tanpa Baperki, kemungkinan ini tidak akan ada, karena pada waktu itu jumlah perguruan tinggi sedikit dan jumlah Tionghoa berkewarganegaraan Indonesia yang masuk sangat dibatasi. Tionghoa yang berstatus asing lebih tidak berharapan. Pendirian dan pengembangan sekolah-sekolah dan universitas Baperki dilakukan dengan semangat gotong royong dan berdikari, melibatkan para simpatisan Baperki, komunitas pedagang Tionghoa baik yang besar maupun yang kecil, para cendekiawan , para orang tua dan para pelajar dan mahasiswa Baperki. Pembangunan beberapa gedung di berbagai kampus Ureca diba-ngun oleh para mahasiswa-nya sendiri. Ureca adalah satusatunya universitas yang dibangun oleh mahasiswa-nya sendiri. Kebijakan pimpinan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki mampu menarik para cendekiawan sebagai tim pengajar yang berkaliber tinggi, sehingga mutu akademik yang ditawarkan dihargai oleh masyarakat, baik Tionghoa maupun non Tionghoa. Oleh kekuasaan militer Ureca dianggap sebagai universitas komunis, sehingga ada dasar untuk dihancurkan. Tulisan-tulisan di buku ini membantah tuduhan itu. Tidak ada indoktrinasi komunisme di Ureca. Yang ada hanyalah dorongan untuk mengerti ideologi negara, untuk mencintai Indonesia dengan mengenal kebudayaan Indonesia, untuk meraih ilmu pengetahuan praktis supaya bisa cepat membaktikan pengetahuan demi pembangunan Indonesia. Ureca adalah satu-satunya universitas di Indonesia yang memberi bimbingan dan dorongan yang bersandar atas prinsip pembangunan nasion Indonesia. II
Proses peng-Indonesiaan yang dilakukan Ureca ternyata sangat efektif. Dalam waktu singkat, ribuan mahasiswa yang karena latar belakang pendidikan Tionghoa-nya tidak mengenal Indonesia, berubah menjadi orang-orang Indonesia yang mengenal sejarah Indonesia, mengenal kebudayaan Indonesia dan karena itu, mencintai Indonesia. Setengah abad setelah Ureca terpaksa dihentikan, kecintaan terhadap Indonesia masih melekat di setiap alumni Ureca. Karena situasi politik di luar kontrol Baperki, Ureca tidak sempat melahirkan ribuan sarjana. Akan tetapi sebagai institusi pendidikan, ia berhasil meng-Indonesiakan ribuan orang yang tadinya tidak mengenal Indonesia dan tidak menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Ia merupakan satu-satunya perguruan tinggi dengan prestasi ini. Ureca berperan dalam pembangunan nasion Indonesia, nasion yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Buku ini disusun untuk menggambarkan sejarah pendirian, perkembangan Ureca dan bagaimana kecintaan para mahasiswanya terhadap Ureca. Juga dituturkan bagaimana jiwa mulia Ureca masih dipertahankan oleh para alumni Ureca hingga sekarang. Generasi muda dan mendatang harus tahu tentang keberadaan Ureca yang diasuh dan dibina oleh Baperki dalam sejarah Indonesia. Penyusunan buku ini diprakarsai oleh Liem Heng Hong, Tan Ping Ien, Jo Goan Lie (Dali Santun Naga), Sie Ban Hauw dan para teman lain. Kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua penyumbang tulisan dan semua pihak yang telah banyak membantu sehingga penerbitan buku ini bisa dilakukan. Beberapa tulisan yang kami terima telah disunting untuk penyesuaian bahasa termasuk ejaan baru. Semua kesalahan yang berkaitan dengan tindakan penyuntingan ini adalah tanggung jawab penyunting , Siauw Tiong Djin. Panitia Penyusun Buku Ureca Maret 2014.
III
Sebuah Imbauan Sie Ban Hauw Di reuni URECA ke 7 di Hotel Seruni , Cisarua 22-25 Mei 2012 yg lalu, banyak teman, termasuk bapak Prof. Ir. Jo Goan Lie, mendorong kami untuk menulis dan menerbitkan sebuah buku kenangan tentang riwayat Ureca yang kita cintai. Ureca didirikan oleh Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki yang mewujudkan inspirasi dan angan-angan bapak Siauw Giok Tjhan. Karena Ureca dibangun dengan semangat gotong royong melibatkan para pengajar, para mahasiswa yang berkuliah di sana dan para penyumbang, terdapat banyak kenangan, sekaligus kebanggaan. Dari pihak luar, bangkit dan berkembang kekaguman, karena Ureca memiliki keunikan dan mencerminkan kekuatan gotong royong dan semangat berdikari. Bapak Go Gien Tjwan dalam tulisannya-pun pernah menyatakan bahwa Ureca adalah universitas yang memiliki keunikan tersendiri, dan tidak ada yang menyamainya di Indonesia. Atas dasar semangat gotong-royong, pimpinan yayasan didukung oleh masyarakat Tionghoa, masyarakat civitas academica, para pengusaha serta tokoh-tokoh pejuang angkatan 45 dan para mahasiswa Ureca telah mengembangkan sebuah universitas swasta terbesar dan bermutu di Indonesia. Mereka juga berhasil membangun berbagai gedung dan fasilitas dengan prinsip berdikari. Inilah ciri khas Ureca. Para mahasiswa Ureca dan para dosennya, sebelum Ureca di serang pada tanggal 15 Oktober 1965, sedang dalam persiapan membangun gedung baru berlantai 3. Kami baru sampai tahap pengecoran fondasi. Pembangunan seyogyanya dilakukan sen-diri oleh para mahasiswa Ureca. Upaya agung itu tidak bisa dilanjutkan karena Ureca diserang, dibakar dan dirusak oleh kekuatan massa yang dikerahkan militer pada tanggal 15 Oktober 1965. Semua gedung Ureca di kedua kampus, kampus A dan Kampus B, termasuk asrama mahasiswa yang dibangun sendiri oleh para mahasiswa hancur. Semangat kecintaan kepada Alma mater, kebersamaan saat kita belajar bersama, kegotong-royongan membangun asrama mahasiswa, kegiatan bersama membangun fondasi gedung baru, ke-setia-kawanan sesama Alma mater dan gemblengan para pengajar Ureca telah menempa kita semua, sehingga walaupun banyak di antara kita putus kuliah, kita semua mampu terjun A
dalam masyarakat dengan bekal pengetahuan dan semangat yang kuat. Kuliah Studium Generale yg diberikan oleh bapak Siauw Giok Tjhan tentang Nation and Character Building serta perjuangan para warga keturunan Tionghoa dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan – pun merupakan gemblengan yang sangat berguna dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup setelah tahun 1965. Kami harapkan buku yang menggambarkan riwayat sebuah Universitas Unik -- Ureca -- , dan menunjukkan kegigihan semua civitas academica yang ikut serta memperjuangkan kebesaran, kemuliaan dan kekompakan dalam mencapai mutu pendidikan tinggi untuk semua warga negara Indonesia dalam membangun nasion Indonesia yang pluralis. Generasi mendatang harus tahu bahwa di bumi ini ada lembaga pendidikan unik yang luar biasa dan berjasa untuk pembangunan Nasion Indonesia yang bernama Universitas Res Publica. Diharap penuturan ini dijadikan sebuah contoh atau pedoman untuk semua pihak yang berhubungan dengan dunia pendidikan . Sie Ban Hauw Mantan Ketua Dewan Mahasiswa Ureca
B
Sajak-Sajak Aku dan Ureca (oleh Harry Singgih) akhir tahun enam puluh dua Aku tiba di Ureca Setahun kemudian ku tinggalkan dia karena aku pindah kuliah ke mancanegara apa yang tersisa hanyalah pengenalan sebatas selayang pandang lewat setengah abad tak kunyana, tak kusangka berjumpa aku dengan Milis Ureca serta-merta aku melihatnya sebagai wahana tingkatkan pengenalan sebatas selayang pandang jadi pershabatan dilandasi kesetaraan & kebersamaan tak kenal batas ras dan agama
i
Siauw Giok Tjhan Dalam Kenangan (Oleh Anak Teratai) Sandal jepit yang menopang kaki Itulah kesederhanaan panutan kami Ajaran civic kebersamaan yang disampaikan Untuk mengabdi bumi persada Indonesia Wahana inspirasi yang tak lentur oleh jaman Gelombang pasang menerpa bumi kita berpijak Ibu pertiwi dalam konflik kepentingan Olengan kapal melelahkan pengemudi Karno terhempas dari singgasana pengabidian Trenyuh juga karena perang dingin Jalinan persatuan terpecah belah Hasutan kebencian merana tak berkunjung Aku putih engkau merah terpisahkan Nandung kesedihan melantunkan irama duka Derita kesunyian berpagar tembok Asa dan harapan tak pernah meluntur Lamunan sepi tentang bakti pertiwi Abadi membara dalam tubuh yang renta Menguatkan tekad persatuan dalam kebhinnekaan Keberanian prinsip tetap tak berubah Ejekan, fitnahan, cercaan terpatri Nasib dipaksa berpisah meninggalkan Tanah Air Anggota keluarga porak poranda ke manca negara Niat cinta rayuan pulau kelapa tetap membahana Getaran kesetiaan tak punah dalam kematian Akhir hayat tak akan membendung semangat Namamu senantiasa terkenang dalam hati
ii
Lambang Baperki
Sejarah dan Perkembangan
Baperki, Ureca dan Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan Nasion Indonesia Siauw Tiong Djin Pendahuluan Keberadaan dan perkembangan Ureca – Universitas Res Publica -- tidak bisa dipisahkan dari kehadiran Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) dalam kancah politik Indonesia. Perkembangan Baperki sangat tergantung pula atas dasar dan sikap perjuangan serta sepak terjang ketua umumnya, Siauw Giok Tjhan dan para teman seperjuangannya. Sejak Siauw Giok Tjhan terjun dalam berbagai kegiatan sosial dan politik pada tahun 1932 di Surabaya, dunia pendidikan untuk komunitas Tionghoa sudah menjadi perhatiannya. Ini ternyata berupa salah satu komitmen perjuangan jangka panjangnya. Oleh karena itu untuk mengerti mengapa Ureca berkembang sebagai sebuah universitas yang unik, lain dari yang lain untuk ukuran Indonesia, bahkan internasional, kita perlu meneropong sejarah perjuangan Siauw. Siauw masuk ke dalam gerakan politik pada usia muda di zaman penjajahan Belanda karena terpanggil untuk mencari jalan keluar untuk komunitas-nya, komunitas Tionghoa di Surabaya. Pada ketika itu jarang sekali pemuda Tionghoa, terutama dari kelas menengah atas seperti Siauw, yang memiliki kesadaran untuk ber-politik, apalagi terjun dalam kegiatan mendukung kemerdekaan Indonesia. Sebuah kegiatan yang mengandung resiko besar karena penjajah Belanda bersikap ganas terhadap para pejuang kemerdekaan. Para guru politiknya, di antaranya Sutomo, Tjipto Mangunkusumo, Liem Koen Hian dan Tan Ling Djie menanamkan kesadaran bahwa dalam menghadapi masalah, yang harus dilaksanakan adalah pencarian dan realisasi jalan keluar dari masalah yang dihadapi, bukan hanya sekedar menentang apa yang tidak berkenan dan merugikan golongan yang dibela. Sikap perjuangan membangun inilah yang menjadi langgam kerja Siauw sebagai seorang politikus dan pemimpin organisasi massa. Sejak zaman penjajahan ia menyadari bahwa penyelesaian masalah Tionghoa merupakan bagian pembangunan bangsa – nasion – Indonesia. Kemerdekaan mutlak dan pembangunan masyarakat adil dan makmur merupakan penyelesaian yang
1
Universitas Res Publica menjamin keamanan dan ketentraman hidup komunitas Tionghoa di Indonesia. Sejak awal kemerdekaan Siauw dipilih mewakili komunitas Tionghoa di badan-badan legislatif, turut membuahkan berbagai undang-undang yang dianggapnya conducive untuk Indonesia secara keseluruhan dan Tionghoa khususnya. Landasan perjuangannya adalah Manifesto Politik 1945 yang berjanji me-ngajak semua warga negara Indonesia keturunan asing untuk menjadi patriot Indonesia sejati, membangun nasion Indonesia. Baperki lahir sebagai respons positif terhadap berkembangnya rasisme dan keinginan sebagian tokoh politik untuk mengasing-kan sebanyak mungkin orang Tionghoa di Indonesia. Baperki mencanangkan berbagai jalan keluar politik dan sosial untuk mengikis habis rasisme yang menurutnya adalah warisan kolonialisme. Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki yang mengasuh dan membina ratusan sekolah dan universitas Baperki yang kemudian dinamakan Universitas Res Publica (Ureca), pun lahir sebagai respons positif terhadap diskriminasi rasial dalam bidang pendidikan. Sekolah-sekolah dan universitas Baperki menampung puluhan ribu siswa Tionghoa yang tidak bisa ditampung untuk mengejar ilmu sebagai bekal hidupnya. Kegiatan Politik Siauw Giok Tjhan hingga terbentuknya Baperki Pada tahun 1932, Siauw menjadi yatim piatu pada waktu berusia 18 tahun. Ketika ia masih duduk di tingkat terakhir pendidikan Belanda elite – HBS – di Surabaya, di sekolah mana, beberapa tokoh nasionalis Indonesia juga bersekolah, antara lain Bung Karno dan Ruslan Abdulgani. Sebenarnya setelah menjadi yatim piatu, Siauw tidak lagi mampu menyelesaikan pendidikan HBS yang uang sekolahnya tinggi. Karena prestasi akademik-nya, kepala sekolah dan beberapa guru HBS bersepakat memberi Siauw beasiswa selama kurang lebih enam bulan, sehingga ia bisa menyelesaikan HBS. Setelah lulus HBS, mengingat pengalamannya sebagai seorang yang hampir terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena tidak memiliki biaya, ia terdorong untuk membantu sebanyak mungkin teman-teman Tionghoa sebaya di daerah Kapasan -di mana ia lahir dan tumbuh besar – yang tidak berkesempatan untuk sekolah. Dengan gotong royong, ia berhasil mendirikan “sekolah” – tingkat sekolah menengah -- cuma-cuma untuk
2
Sejarah dan Perkembangan
mereka yang tidak bisa memperoleh pendidikan. Siauw sendiri turut mengajar dan berfungsi sebagai “kepala sekolah”. Terbentur oleh berbagai masalah praktis, Siauw kemudian mengubah program pendidikan sekolahnya, menuju ke arah ketrampilan. Usaha selama setahun ini tidak berjalan baik, karena sepenuhnya tergantung atas tenaga guru yang sukarela. Kesibukan dan kebutuhan untuk mengongkosi penghidupan para guru sukarela terpaksa menghentikan “sekolah” tersebut. Ternyata komitmen dalam bidang pendidikan ini tetap melekat di benak Siauw dan menjadi bagian perjuangan politiknya. Sebagai yatim piatu, ruang lingkup persahabatan Siauw pun berubah. Ia lebih banyak berkumpul dengan mereka yang tidak mampu. Dan ia lalu terdorong untuk masuk study clubs yang dipimpin oleh Dr. Sutomo. Dan di sinilah ia berkenalan dengan Liem Koen Hian, seorang tokoh Tionghoa, yang menanamkan keIndonesia-an dalam benak Siauw, dasar perjuangan politik yang ia pegang teguh hingga akhir hayatnya 50 tahun kemudian. Liem Koen Hian mengajaknya bekerja sebagai wartawan. Permulaan di harian Sin Tit Po yang ia pimpin. Kemudian ia mengenalkan Siauw dengan Kwee Hing Tjiat yang dimodali Oei Tjong Houw, putra Oei Tiong Ham – seorang Raja Gula terkenal di Hindia Belanda -- untuk memulai sebuah harian di Semarang. Harian Matahari, yang dipimpin oleh Kwee mulai terbit di awal 1934. Siauw pindah dari Sin Tit Po Surabaya ke Matahari di Semarang pada tahun 1934. Liem Koen Hian mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1932. Program politiknya menghebohkan komunitas Tionghoa. Ia mengajak komunitas Tionghoa untuk menganggap Indonesia sebagai tanah airnya, menolak arus harian Sin Po yang mengajak komunitas Tionghoa untuk tetap menerima Tiongkok sebagai negara leluhur. Sekaligus menolak aliran Chung Hua Hui yang mengajak komunitas Tionghoa untuk membela kehadiran penjajah Belanda di Indonesia. Siauw, yang sudah berkenalan dengan Liem dan menjadi salah seorang pendukungnya, di usia 18 tahun, menjadi salah satu pendiri PTI termuda. Kwee Hing Tjiat adalah salah satu pendukung Liem. Iapun bersependapat bahwa komunitas Tionghoa, terutama peranakannya, lahir, besar dan meninggal di Indonesia. Tiongkok bukan tempat yang cocok untuk Tionghoa Indonesia. Penjajahan Belanda bukan jalan keluar jangka panjang yang menjamin keamanan dan ketentraman hidup komunitas Indonesia. Satu-satunya jalur selamat untuk Tionghoa Indonesia adalah mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia. Indonesia
3
Universitas Res Publica yang merdeka adalah tempat abadi untuk komunitas Tionghoa. Sikap dan kebijakan PTI ternyata ditentang oleh sebagian besar komunitas Tionghoa yang memiliki kesadaran politik. Ini wajar. Pada waktu itu tidak terbayang bahwa Indonesia bisa mencapai kemerdekaan. Kekuatan penjajah Belanda dianggap absolut. Tiongkok dianggap negara besar yang cukup kuat, apalagi kebijakan kewarganegaraannya adalah: setiap orang yang lahir sebagai Tionghoa tetap warga negara Tiongkok. Melalui terompet media PTI, Sin Tit Po dan Matahari, ide menerima Indonesia sebagai tanah air dan mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia disebar luaskan ke komunitas Tionghoa peranakan. Ketika Liem Koen Hian pindah ke Jakarta pada tahun 1935, pimpinan harian Sin Tit Po pindah ke tangan Tan Ling Djie, yang baru kembali dari negeri Belanda. Tan bersama Tjoa Sik Ien, mendirikan SPTI – Serikat Persatuan Tionghoa Indonesia di Belanda, yang mencerminkan sikap PTI. Tjoa, yang kemudian menjadi pemilik percetakan Sin Tit Po pun kembali ke Surabaya dari negeri Belanda sekitar tahun 1935. Ke-empat tokoh Tionghoa ini, Liem Koen Hian, Kwee Hing Tjiat, Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien menjadi guru-guru politik Siauw Giok Tjhan. Kwee tidak berumur panjang. Pada tahun 1939 ia meninggal dunia. Siauw menggantikannya sebagai Pemimpin Redaksi harian Matahari. Posisi inilah yang memungkinkan Siauw kerap berhubungan dengan para tokoh nasionalis baik yang sedang diasingkan di luar pulau Jawa atau yang berada di pulau Jawa, antara lain Sukarno, Hatta, Moh. Yamin, Tjipto Mangunkusumo, Amir Sjarifuddin, Sjahrir, Achmad Subardjo dll. Tulisan-tulisan mereka dimuat dalam harian Matahari. Di zaman pendudukan Jepang, kegiatan mereka sebagai wartawan terhenti. Karena sikap anti Jepang, mereka menjadi buronan Jepang. Liem tetap bermukim di Jakarta. Tan bersembunyi di Sukabumi. Siauw menetap di Malang, menjadi pemilik toko kelontong kecil sambil menyusun kekuatan politik dan berhubungan dengan laskar-laskar pemuda nasionalis di Jawa Timur. Menjelang kemerdekaan di awal 1945, Liem Koen Hian, Tan Ling Djie , Tjoa Sik Ien dan Siauw Giok Tjhan berkali-kali bertemu di Surabaya untuk merumuskan kepentingan Tionghoa dalam negara kemerdekaan yang akan dibentuk. Liem Koen Hian adalah anggota Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dibentuk oleh Jepang dan diketuai oleh Sukarno. Formulasi ke empat tokoh Tionghoa ini tercermin dalam pidato Liem di
4
Sejarah dan Perkembangan
Badan tersebut. Di samping itu, dibicarakan juga program politik yang harus ditempuh komunitas Tionghoa di alam kemerdekaan. Mereka sepenuhnya bersepakat bahwa komunitas Tionghoa adalah bagian yang tak terpisahkan dari nasion Indonesia yang akan mengisi kemerdekaan. Harus pula diperjuangkan keberadaan Tionghoa sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban sama dengan semua suku yang bergabung dalam nasion Indonesia. Oleh karena itu diputuskan untuk tidak membentuk PTI lagi. Kegiatan politik harus dilaksanakan melalui partai-partai politik nasional. Inilah yang menyebabkan Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien dan Siauw Giok Tjhan pada tahun 1945 masuk dalam Partai Sosialis. Tan Ling Djie menjadi Sekretaris Jendral yang sangat berpengaruh di partai yang diketuai oleh Amir Sjarifuddin. Siauw, Tjoa dan Oei Gee Hwat (salah satu anggota pengurus PTI lainnya) dan Go Gien Tjwan, kawan dekat Siauw dari Malang, menduduki posisi-posisi yang berpengaruh dalam dewan pimpinan partai tersebut. Tan dan Siauw mewakili Partai Sosialis dalam KNIP dan Badan Pekerja KNIP. Kehadiran mereka dalam kancah nasional dan KNIP – Komite Nasional Indonesia Pusat, lembaga legislatif di awal kemerdekaan, berhasil memperjuangkan keluarnya UU Kewarganegaraan 1946, yang sesuai dengan apa yang diperjuangkan PTI sejak ia berdiri, yaitu semua orang yang lahir di Indonesia, termasuk keturunan Tionghoa, Arab, India, Eropa dll, menjadi warga negara Indonesia, kecuali mereka menolak kewarganegaraan Indonesia. Partai Sosialis adalah partai yang paling berpengaruh di awal kemerdekaan Indonesia. Persatuan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin di partai tersebut mendominasi pemerintahan RI dari 1945 hingga 1948. Siauw menjadi menteri negara di kabinet Amir Sjarifu-ddin dengan tugas khusus menangani masalah minoritas, yang di awal kemerdekaan merupakan senjata politik pihak Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Akan tetapi, sebagian besar komunitas Tionghoa, yang menjadi korban ekses-ekses revolusi kemerdekaan yang mengandung rasisme – sebagai warisan penjajahan kolonialisme yang senantiasa melaksanakan kebijakan divide and rule – tetap menolak ajakan para tokoh Tionghoa di Partai Sosialis untuk mendukung RI. Mereka menganggap lebih aman mendukung kembalinya penjajahan Belanda atau tetap menjadi warga
5
Universitas Res Publica negara Tiongkok, yang setelah Perang Dunia II berakhir menjadi salah satu Big Five di PBB. Setelah peristiwa Madiun pada tahun 1948, Partai Sosialis yang menjelma menjadi FDR - Front Demokrasi Rakyat dibawah pim pinan Amir Sjarifuddin bubar. Ketika kelompok-kelompok yang tadinya bergabung dalam FDR berhaluan kiri berkesempatan membentuk partai-partai politik pada tahun 1949, Siauw mengambil keputusan untuk tidak berpartai. Dengan demikian kehadirannya di badan legislatif – parlemen (DPR) sebagai wakil minoritas yang tidak berpartai. Bertentangan dengan tuduhan para lawan politiknya, Siauw tetap tidak berpartai hingga ia ditahan oleh rezim Suharto pada tanggal 4 November 1965. Sikap ini diambil karena ia merasakan kepentingan partai politik nasional kerap berbeda dengan kepentingan minoritas Tionghoa yang ia perjuangkan. Disiplin partai membatasi ruang lingkupnya sebagai wakil minoritas Tionghoa di Parlemen. Walaupun komunitas yang ia wakili dan perjuangkan kepentingannya kerap menolak ajakannya, ia tetap teguh dengan pendiriannya bahwa Indonesia adalah tanah air komunitas Tionghoa dan penyelesaian masalah minoritas adalah bagian dari pembangunan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Ia tetap berjuang di parlemen mengukuhkan berbagai UU dan Peraturan Pemerintah (PP) yang menguntungkan Indonesia secara keseluruhan dan dengan gigih menentang berbagai bentuk kebijakan rasis. Sikap politik ini menyebabkannya diterima oleh sebagian besar politikus nasional. Ia berhasil membentuk sebuah Fraksi di Parlemen yang cukup berpengaruh, dinamakan Fraksi Nasional Progresif (Naspro) beranggotakan partai-partai nasionalis kecil, seperti Murba, PIR, PRN, Acoma, SKI dan tokoh-tokoh tidak berpartai seperti Iwa Kusuma Sumantri dan Mohamad Yamin. Selama zaman Demokrasi Parlementer (1949-1959), Naspro dipimpin oleh Siauw. Beberapa anggota fraksi ini menjadi menteri-menteri di berbagai kabinet pemerintah di zaman itu. Lahirnya dan Berkembangnya Baperki Demokrasi Parlementer, setelah berakhirnya Republik Indonesia Serikat dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, ternyata membuahkan pergantian kabinet secara berturutturut. Hampir setiap tahun kabinet jatuh. Kabinet - kabinet dibentuk atas dasar kekuatan partai politik yang mampu memperoleh dukungan berbagai partai politik di parlemen. Kekuasaan bersandar atas dana partai dan kekuatan ekonomi
6
Sejarah dan Perkembangan
para donatur partai. Ini mendorong keinginan para tokoh politik untuk berdagang dengan dalih mengumpulkan dana untuk partai-nya atau memberi berbagai fasilitas kepada mereka yang memiliki kekuasaan politik. Akibatnya timbullah keinginan mengambil alih posisi para pedagang Tionghoa yang sudah sejak zaman penjajahan Belanda menguasai beberapa bidang perdagangan terutama transportasi, penggilingan padi, distribusi, ekspor dan impor. Keluarlah berbagai kebijakan rasis yang ditujukan memperkecil ruang lingkup pedagang Tionghoa. Siauw berhasil memperoleh dukungan Fraksi Nasional Progresif yang ia pimpin dan beberapa partai lainnya di parlemen untuk melawan arus rasisme ini, dengan dalih para pedagang Tionghoa adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban sama dengan mereka yang dinamakan “asli” atau “pribumi”. Ironisnya, keberhasilan Siauw dan para pendukungnya ini melahirkan arus baru, yaitu kebijakan meng-asing-kan semua Tionghoa, sehingga berbagai izin perdagangan tidak berlaku lagi untuk para pedagang Tionghoa. Keluarlah Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan pada tahun 1953 de-ngan tujuan membatalkan UU Kewarganegaraan 1946 yang bersandar atas stelsel pasif (semua yang lahir di Indonesia menjadi WNI kecuali bila menolak) dan mengubahnya dengan stelsel aktif (semua keturunan Tionghoa dianggap asing kecuali menyatakan ingin menjadi WNI dengan syarat ia memiliki bukti bahwa ia dan ayahnya lahir di Indonesia). Lagi-lagi, Siauw memperoleh dukungan Fraksi Naspro dan para anggota parlemen lainnya sehingga berhasil memaksa pemerintah menarik kembali RUU kewarganegaraan tersebut. UU kewarganegaraan 46 tetap berlaku. Pada waktu yang bersamaan PDTI – Partai Demokrat Tionghoa Indonesia yang dipimpin oleh Thio Thiam Tjong beranggapan partai-nya tidak efektif membela kepentingan komunitas Tionghoa. Pimpinan PDTI, termasuk Oei Tjoe Tat, ingin mendirikan sebuah organisasi massa Tionghoa yang bisa memperoleh dukungan luas sehingga mampu melawan arus rasisme di berbagai bidang, terutama melawan arus politik yang ingin meng-asing-kan WNI keturunan Tionghoa. Terbentuklah panitia pembentukan Baperwatt – Badan Permusyawaratan Warga Negara turunan Tionghoa pada awal Maret tahun 1954. Panitia menginginkan semua tokoh Tionghoa yang berpengaruh
7
Universitas Res Publica terutama mereka yang duduk di Parlemen berpartisipasi di dalamnya. Mereka melihat keunggulan dan keberhasilan Siauw di Parlemen. Oleh karenanya para anggota panitia pembentukan Baperwatt mencalonkan Siauw sebagai ketua umumnya. Sampai saat itu Siauw selalu menolak ajakan masuk ke dalam berbagai organisasi Tionghoa atau mendirikan organisasi Tionghoa baru. Ia tetap memegang janji yang dibuat bersama de-ngan ketiga tokoh Tionghoa lainnya, Liem Koen Hian, Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien di Surabaya pada tahun 1945 untuk tidak lagi mendirikan organisasi berdasarkan etnisitas Tionghoa. Akan tetapi Siauw merasakan perjuangannya di Parlemen tidak memperoleh dukungan kongkrit komunitas Tionghoa yang ia wakili dan bela. Ia tidak memiliki jalur untuk mempengaruhi sebagian besar komunitas Tionghoa. Ia merasa menjadi pejuang yang terpisah dari massanya. Oleh karenanya, ketika undangan panitia pembentukan Baperwatt tiba, ia bersama Go Gien Tjwan yang juga diundang, menyatakan bersedia datang. Tetapi mereka berdua memiliki agenda lain. Pada rapat pembentukan Baperwatt tanggal 12 dan 13 Maret itulah, Siauw berhasil meyakinkan para peserta untuk membatalkan rencana membentuk Baperwatt tetapi mendirikan Baperki – Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia. Argumentasi Siauw diterima: Komunitas Tionghoa adalah bagian dari bangsa Indonesia. Penyelesaian masalah Tionghoa adalah bagian dari upaya membangun nasion Indonesia. Masalah Kewarganegaraan Indonesia hanya bisa diselesaikan melalui perjuangan politik yang membutuhkan dukungan partai-partai politik Indonesia. Rasisme hanya bisa dikikis habis bilamana warisan kolonialisme dihancurkan dan sikap mayoritas Indonesia diubah melalui perjuangan dan pendidikan politik. Untuk meraih keberhasilan yang diinginkan, Siauw berargumentasi, Baperki harus berbentuk organisasi nasional, bukan organisasi Tionghoa. Rapat pembentukan tidak mengikutsertakan tokoh-tokoh nasional. Akibatnya semua anggota pengurus Baperki yang dike-tuai oleh Siauw Giok Tjhan tidak bisa tidak adalah tokohtokoh Tionghoa yang hadir dalam rapat pembentukan. Siauw ingin mengubah persepsi masyarakat bahwa Baperki adalah organisasi Tionghoa. Keesokan harinya ketika cabang Jakarta Raya dibentuk, Siauw mendorong kedua teman akrab-nya, tokoh-tokoh nasional, Sudarjo Tjokrosisworo - ketua Persatuan Wartawan Indonesia - dan DS Diapari – pimpinan SKI, anggota Fraksi Naspro - untuk menjadi ketua dan wakil ketua.
8
Sejarah dan Perkembangan
Pembentukan cabang-cabang Baperki di berbagai tempat juga mengikutsertakan beberapa tokoh nasional dan etnis keturunan asing lainnya. Akan tetapi animo besar pembentukan dan partisipasi dalam kepengurusan Baperki hanya datang dari komunitas Tionghoa. Akhirnya Baperki lahir dan berkembang sebagai organisasi massa Tionghoa. Dalam hal ini Siauw gagal membentuk organisasi nasional. Walaupun nama organisasi dan program politik-nya mencerminkan sifat nasional Indonesia, sebagian terbesar pe-ngurus dan anggotanya adalah Tionghoa. Dan Baperki tercatat dalam sejarah sebagai organisasi massa Tionghoa. Keberadaan Baperki menanggulangi masalah yang sebelumnya dihadapi Siauw yaitu kegiatan dan aspirasi politik Siauw di parlemen sering kali tidak berhubungan dengan Komunitas Tionghoa. Sebagian besar komunitas Tionghoa tidak mengerti apa dan dampak yang diperjuangkan Siauw. Baperki sebagai organisasi massa merupakan aparat dan alat yang ampuh untuk mengubah ini. Ketika Pemilu pertama pada tahun 1955 direncanakan, Siauw didukung pimpinan Baperki memutuskan untuk ikut, mewakili komunitas Tionghoa. Kali ini Siauw tidak lagi memaksakan posisi Baperki sebagai organisasi Nasional -non Tionghoa. Tjoa Sik Ien yang tadinya masuk dan mendukung Baperki menentang keputusan ini. Perdebatan antara Tjoa dan pimpinan Baperki menyebabkan Tjoa pada tahun 1955 menyatakan tidak aktif di Baperki. Ia baru aktif kembali pada tahun 1964, memimpin Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki Jawa Timur. Baperki ikut pemilu berdasarkan pertimbangan praktis. Siauw beranggapan bilamana perwakilan minoritas diserahkan sepenuhnya ke partai-partai politik, aspirasi komunitas Tionghoa tidak akan sepenuhnya disuarakan di Parlemen. Program partai-partai politik tidak selamanya sama dengan kepentingan minoritas. Ikutnya Baperki dalam pemilu, menurutnya, menghilangkan korupsi perwakilan semacam itu. Ikutlah Baperki dalam pemilu pertama dan berhasil memperoleh satu kursi untuk Parlemen (diisi oleh Siauw sendiri) dan dua kursi di Konstituante (Siauw dan Oei Tjoe Tat). Akan tetapi setelah Siauw mengajukan interplasi di parlemen, lagi-lagi didukung oleh Fraksi Naspro dan para anggota parlemen lainnya, Baperki berhasil mendapat tambahan perwakilan, dua kursi di parlemen dan sembilan kursi di Konstituante. Kampanye Baperki di seluruh Indonesia digunakan Siauw dan
9
Universitas Res Publica para tokoh Baperki lainnya untuk memperkenalkan Baperki dan mendidik komunitas Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya dan menjadi warga negara Indonesia. kesempatan yang tidak dimilikinya sebelum Baperki berdiri. Kampanye bisa dikatakan berhasil karena sebagian besar penduduk Tionghoa yang berhak berpartisipasi dalam pemilu memilih Baperki. Keberadaan Baperki yang kemudian didukung oleh Berita Baperki dan Harian Republik sebagai terompet-nya mempercepat proses peng-Indonesia-an komunitas Tionghoa dengan konsep integrasi, yaitu berpartisipasi dalam semua kegiatan pembangunan nasion Indonesia tanpa menanggalkan ke - Tionghoa-an baik itu berupa nama, kultur maupun ciri-ciri biologis. Dan perjuangan Siauw dan para rekannya di Parlemen dan Konstituante kini lebih banyak diikuti dan didukung oleh massa Tionghoa. Pelaksanaan kebijakan rasis di daerah-daerah lebih cepat diperdebatkan di Parlemen. Dan peraturan-peraturan baru yang berdampak terhadap usaha dagang maupun keberadaan komunitas Tionghoa di berbagai lokasi-pun lebih mudah untuk disampaikan. Dengan perwakilan di Parlemen dan dukungan Fraksi Nasional Progresif yang tetap dipimpin Siauw, Baperki berkembang sebagai organisasi yang efektif, memiliki kekuatan politik melawan arus rasisme dan memiliki program politik yang didukung partaipartai berpengaruh, terutama PKI, terkadang PNI dan NU. Penyelesaian masalah Dwi Kewarganegaraan dengan RRT dan perdebatan yang melahirkan UU Kewarganegaraan 1958 tidak sepenuhnya memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Baperki, akan tetapi tanpa kehadiran dan perjuangan Baperki, dampaknya akan jauh lebih merugikan posisi komunitas Tionghoa, dalam pengertian, sebagian besar Tionghoa di Indonesia akan menjadi warga negara asing. Inilah warisan perjuangan Baperki dan Siauw untuk generasi muda Tionghoa di masa kini – Kewarganegaraan Indonesia. Yang menarik adalah sikap pragmatis Siauw dalam membela kepentingan komunitas Tionghoa. Pidato-pidato dan tulisantulisannya senantiasa menekankan skala nasional. Akan tetapi ia tidak segan membela kepentingan Tionghoa dengan berbagai argumentasi yang terkadang bertentangan dengan prinsip politiknya. Siauw jelas seorang Marxist yang mendambakan sosialisme. Pada
10
Sejarah dan Perkembangan
Siauw Giok Tjhan dengan Bung Karno 1 Januari 1960
11
Universitas Res Publica tahun 50-an, pengertian sosialisme dan komunisme menentang dipertahankannya modal-modal kapitalis. Dalam hal ini Siauw mencanangkan konsep perkawinan kapitalis dan sosialis yang baru tahun 80-an mulai dilaksanakan oleh RRT dan dampaknya terasa pada akhir abad ke 20. Ia bertentangan dengan fraksi PKI. Argumentasinya, modal domestik yang berada di tangan pedagang Tionghoa seharusnya dilindungi dan dibantu untuk berkembang. Kapitalis domestik sekaliber para pedagang Tionghoa ini, menurutnya dibutuhkan untuk membangun ekonomi Indonesia. Ir. Sakirman dari fraksi PKI menginginkan kepemilikan usaha transportasi dialihkan dari tangan pedagang Tionghoa ke tangan negara. Siauw sangat mendukung nilai-nilai demokrasi. Dalam berbagai perdebatan di Konstituante yang bertugas melahirkan UUD baru – menggantikan UUDS 1950, Siauw cenderung mempertahankan UUDS-50 dengan berbagai perubahan. Ia tidak menginginkan bentuk UUD 45. Akan tetapi di masa akhir Konstituante, ia mengajak fraksi Baperki di Konstituante untuk mendukung anjuran Bung Karno untuk kembali ke UUD 45. Dasar keputusan ini-pun pragmatis. Bilamana Baperki menentang UUD 45, Baperki masuk dalam kelompok partai-partai politik yang justru memilki kebijakan rasis terhadap Tionghoa. Dan ia melihat Bung Karno sebagai kekuatan yang bisa diandalkan untuk penyelesaian masalah Tionghoa. Dalam konteks inilah ia bertentangan dengan Yap Thiam Hien, salah satu wakil Baperki di Konstituante. Yap beranggapan bahwa UUD 45 tidak mendukung nilai demokrasi. Pengembangan konsep Demokrasi Terpimpin–pun Siauw dukung dan dijadikan salah satu dasar kebijakan Baperki. Lagilagi keputusan ini berdasarkan keinginan memprioritaskan posisi komunitas Tionghoa. Dekat dengan Sukarno dan partai-partai yang mendukungnya secara politis lebih bijaksana ketimbang melawannya. Siauw seperti banyak pimpinan partai politik lainnya menjadikan Sukarno sandaran politik utama. Timbal balik dukungan ini adalah diturut-sertakannya Siauw dalam kelompok “inner-circle” Sukarno. Selain mempertahankan kedudukannya di DPR dan MPRS, ia juga diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dan berbagai kebijakan dan program politik yang dicanangkan Siauw dan Baperki, terutama yang berkaitan dengan perlindungan modal domestik masuk dalam berbagai Garis Besar Haluan Negara – GBHN MPRS pada tahun 1964. Demikian juga konsep integrasi yang bertentangan de-ngan paham asimilasi yang diajukan LPKB – Lembaga Pembina
12
Sejarah dan Perkembangan
Kesatuan Bangsa - yang didukung Angkatan Darat, didukung pula oleh Sukarno. Polarisasi politik yang meruncing setelah tahun 1963 ternyata mendorong Sukarno membawa Indonesia ke kiri. Ini menyebabkan Siauw membawa Baperki ke kamp kiri pula. Pilihannya bukan sekedar berada di kamp kiri, tetapi berada di satu perahu para pendukung Sukarno dan didukung oleh Sukarno. Kiranya Siauw tidak memiliki pilihan lain. Mendukung Sukarno adalah satu-satunya jalan yang bisa ditempuh. Selain itu, sebagai pengagum Sukarno, berbagai konsep politik Sukarno tidak jauh berbeda dengan keyakinan dan prinsip politiknya. Demi-kianlah, Baperki secara organisasi masuk dalam kelompok kiri, yang dipimpin oleh Sukarno. Pilihan ini memiliki dampak politik yang besar sekaligus fatal. Ketika Indonesia jatuh ke tangan Jendral Suharto yang didukung oleh kekuatan kanan dan kemenangan ini didukung oleh Amerika Serikat dan Inggris pada tahun 1965, Semua kekuatan kiri diganyang. Baperki dan semua institusi pendidikannya, turut menjadi korban. Sukarno sendiri akhirnya lengser pada tahun 1967 sebagai keberhasilan kudeta bertahap yang secara trampil dilaksanakan oleh Jendral Suharto. Kehancuran Baperki disebabkan sikap dan pilihan politik yang dipilih para pimpinannya, terutama Siauw Giok Tjhan. Akan tetapi bangkit dan berkembangnya kebijakan anti Tionghoa di Indonesia, tidak bisa dikaitkan dengan sikap dan pilihan politik Baperki dan Siauw. Kebijakan anti Tionghoa ini lahir se-bagai manifestasi keinginan rezim Suharto mengikuti Amerika Serikat yang pada waktu itu getol mengembangkan dan melaksanakan China Containment Policy – kebijakan anti Tiongkok - di kawasan Asia, terutama Asia Tenggara. Keterlibatan Baperki dalam bidang Pendidikan Sebelum Perang Dunia II sebagian besar siswa Tionghoa belajar di sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa, yang pada umumnya dijalankan oleh Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK). Mereka yang berada mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah berbahasa Belanda (HCS, ELS, MULO, AMS atau HBS). Hanya sebagian kecil mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah berbahasa Indonesia. Di zaman pendudukan Jepang, sekolah-sekolah Belanda ditutup dan siswa-siswa Tionghoa tidak diizinkan untuk pergi ke sekolah-sekolah berbahasa Indonesia. Oleh karena itu, semua siswa Tionghoa tidak ada pilihan lain melainkan pergi ke sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa.
13
Universitas Res Publica Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, penduduk peranakan di beberapa kota besar mulai mengorganisasi sekolah-sekolah yang menggunakan kurikulum Belanda. Sekolah-sekolah ini mengakomodasi ribuan siswa yang ingin meneruskan pelajaran dalam bahasa Belanda. Sebagian dari mereka ini ingin meneruskan studi-nya di negeri Belanda. Angkatan Muda Tionghoa (AMT) yang dibentuk oleh Siauw Giok Tjhan dan dipimpin oleh adiknya, Siauw Giok Bie, di Malang pada tahun 1945, juga mendirikan sekolah yang menampung ratusan siswa Tionghoa yang ingin meneruskan pendidikan Belanda. Sekolah AMT berlangsung hingga tahun 1948. Setelah kemerdekaan, hingga akhir tahun 50-an, sebagian besar komunitas Tionghoa masih mengirim anak-anaknya ke sekolahsekolah Tionghoa. Bukan karena mereka tidak menginginkan anak-anaknya memperoleh pendidikan Indonesia, tetapi karena tempat di sekolah-sekolah negeri terbatas dan mereka merasa mutu pendidikan yang anak-anaknya peroleh di sekolah-sekolah Tionghoa memenuhi harapannya. Adanya kenyataan bahwa banyak siswa Tionghoa WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa pada tahun 50-an menimbulkan sebuah kontroversi. Pada awal tahun 1954, Sutan Takdir Alisjahbana, seorang penulis yang ternama dan anggota DPRD Jakarta mewakili PSI, mengajukan mosi di DPRD menuntut dikeluarkannya 200.000 siswa Tionghoa WNI dari sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa yang dijalankan oleh organisasi-organisasi Tionghoa asing. Mosi-nya juga menuntut diubahnya sekolahsekolah berbahasa Tionghoa ini menjadi sekolah-sekolah nasional, kalau jumlah WNI yang belajar di sana melebihi 25%. Walaupun Takdir mengakui bahwa jumlah sekolah nasional tidak cukup untuk menampung siswa-siswa WNI yang pada waktu itu belajar di sekolah-sekolah Tionghoa, ia menyatakan bahwa masyarakat Tionghoa cukup kaya untuk bisa membangun sekolah-sekolah yang ber-kurikulum nasional untuk anakanaknya. Siauw Giok Tjhan mengecam mosi ini. Dalam pernyataan yang dimuat dalam beberapa surat kabar pada bulan Juli 1954, Siauw mengatakan bahwa sampai pemerintah menyediakan sekolah-sekolah yang bisa menampung semua warga negaranya, siswa-siswa Tionghoa WNI harus diberi kebebasan memilih tempat di sekolah-sekolah yang bisa menampungnya. Banyaknya siswa Tionghoa WNI yang belajar di sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa tidak bisa diartikan mereka tidak bersedia mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah nasional. Mereka
14
Sejarah dan Perkembangan
terpaksa berbuat demikian karena memang sekolah-sekolah nasional tidak bisa menampungnya. Untuk mencapai kesepakatan, Siauw mengundang Sutan Takdir Alisjahbana untuk bertemu dengan beberapa pemimpin Baperki lainnya. Pertemuan ini diadakan pada tanggal 4 Agustus 1954. Walaupun pertemuan itu tidak melahirkan sebuah kesimpulan kongkrit, ia berhasil mematahkan upaya sementara tokoh politik yang berkeinginan mengeluarkan peraturan melarang siswasiswa Tionghoa WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa. Pada bulan Maret 1955, pemerintah mendirikan beberapa Sekolah Rakyat Percobaan khusus untuk masyarakat Tionghoa WNI. Siauw menganggap konsep ini mendorong diulanginya sistim penjajahan Belanda yang meng kotak-kotakan masyarakat. Sesuai dengan langgam kerja Siauw untuk melahirkan jalan keluar dari masalah yang dihadapi, pada bulan Mei 1955, Baperki menyelenggarakan sebuah konperensi tentang pendidikan dan kebudayaan. Konperensi ini menentang program Sekolah Rakyat Percobaan. Konperensi ini menyepakati Baperki mendirikan sekolah-sekolah yang memiliki kurikulum nasional, yang terbuka untuk semua WNI. Akan tetapi karena kesibukan Baperki dalam kampanye Pemilihan Umum 1955, dan fokus perjuangan yang berkaitan dengan masalah Kewarganegaraan Indonesia menangguhkan rencana pendirian sekolah-sekolah Baperki. Walaupun demikian beberapa cabang Baperki di daerah mendirikan sekolah-sekolah dasar pada tahun 1956. Dimulai dari Jakarta, Garut, Tanggerang, Cilamaya, Kudus dan Kediri di pulau Jawa dan Bagan Siapiapi di Sumatra. Berdirinya Sekolah-Sekolah Baperki Masalah kehadiran siswa-siswa Tionghoa WNI di sekolah-sekolah Tionghoa diangkat ke permukaan lagi pada tahun 1957. Setelah Keadaan darurat (SOB) diumumkan pada tahun 1957, penguasa militer di berbagai daerah, terdorong oleh perasaan anti-komunis, menutupi sekolah-sekolah Tionghoa asing dan melarang WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa. Ini dimulai di Nusatenggara Barat pada bulan Mei 1957. Semua sekolah Tionghoa di kawasan itu ditutup. Dalam beberapa bulan, penguasa militer di kota-kota lainnya melakukan hal yang sama. Pada bulan November 1957, kebijakan ini dilaksanakan
15
Universitas Res Publica di Jakarta. Walaupun tidak semua sekolah Tionghoa ditutup, jumlah yang diizinkan untuk berjalan jauh lebih sedikit. Peraturan dikeluarkan untuk mempertegas definisi sekolah nasional. Sekolah-sekolah nasional harus dipimpin oleh kepala sekolah yang WNI dan guru-guru yang mengajar-pun harus WNI. Pada tahun yang sama, peraturan ini diperkeras. Semua kepala sekolah dan guru dari sekolah-sekolah Tionghoa diwajibkan lulus ujian bahasa Indonesia (tertulis dan lisan). Jumlah guru yang berstatus asing harus dibatasi. Pada bulan Juli 1958, jumlah sekolah Tionghoa turun dari 2000 hingga 850 dan jumlah murid yang belajar di sekolah-sekolah Tionghoa turun dari 425.000 hingga 150.000. Sebagian besar dari 250.000 yang dikeluarkan dari sekolah-sekolah Tionghoa adalah siswa-siswa Tionghoa WNI. Situasi yang digambarkan ini mendorong Baperki untuk mendirikan lebih banyak sekolah yang bisa menampung para siswa yang kehilangan tempat sekolah. Pada 8 Pebruari 1958 Baperki mendirikan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan, yang diketuai oleh Siauw Giok Tjhan. Yaya-san ini ditugaskan untuk membangun, mengasuh dan mengontrol jalannya sekolah-sekolah Baperki. Baperki bergerak cepat. Atas bantuan para kawan dekat Siauw yang menjadi pimpinan Chiao Chung, terutama Sito Chang, Go Gak Cho, Kho Nai Chong dan Kho Ie Sioe, Baperki bekerja sama dengan para pengelola sekolah-sekolah Tionghoa. Dalam waktu singkat, Baperki bisa memiliki gedung-gedung sekolah menampung ribuan siswa yang kehilangan tempat sekolah. Pada tahun 1960, jumlah sekolah yang dijalankan oleh Baperki adalah 96, sebagian besar darinya adalah sekolah-sekolah dasar dan menengah. Baperki mengambil alih gedung-gedung sekolah-sekolah Tionghoa yang ditutup. Terdapat juga sekolah-sekolah besar yang dibagi dua. Murid-murid WNI ditampung oleh sekolah Baperki. Kalau jumlah yang WNI lebih besar, maka bagian Baperki lebih besar pula. Penyerah-terimaan sekolah-sekolah ke tangan Baperki dilaksanakan secara cuma-cuma. Baperki berhasil meyakinkan pimpinan Chiao Chung dan para pengelola sekolah Tionghoa bahwa mereka-pun harus turut berpartisipasi membantu komunitas Tionghoa WNI.
16
Sejarah dan Perkembangan
Baperki berhasil pula mendorong sumbangan besar para pedagang Tionghoa, sehingga dalam waktu singkat, sekolahsekolah Baperki ini berjalan lancar dan dapat menjamin kualitas pendidikannya. Keterlibatan Baperki dalam bidang pendidikan dan pemilikan sekolah-sekolah sempat menjadi topik perdebatan dalam sebuah rapat pimpinan Baperki. Yap Thiam Hien khawatir kegiatan Baperki dalam bidang pendidikan akan memperlemah upayanya mengatasi masalah kewarganegaraan dan arus rasisme. Yap juga khawatir bahwa Baperki tidak akan mampu menjalankan sekolah-sekolah dengan baik karena masalah dana. Akan tetapi Siauw berhasil meyakinkan Yap bahwa keterlibatan Baperki dalam bidang pendidikan secara langsung menanggulangi masalah kongkrit yang dihadapi komunitas Tionghoa dan ini memperbesar dukungan komunitas Tionghoa. Siauw yakin bahwa dana untuk pengelolaan institusi pendidikan akan terus mengalir. Ternyata dugaan Siauw tidak meleset. Semasa hidupnya, Baperki tidak pernah mengalami kesulitan dana untuk kegiatan dalam bidang pendidikan. Sebagian besar kebutuhan dana tertutup oleh uang sekolah. Orang tua yang mampu diimbau untuk memberi sumbangan besar sedangkan yang tidak mampu diberi tarif murah, bahkan cuma-cuma. Untuk pembangunan gedung dan fasilitas baru, Baperki berpaling ke para pedagang Tionghoa yang pada umumnya selalu bersedia menyumbang. Jumlah sekolah Baperki meningkat pesat sejak pendirian Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki pada tahun 1958. Pada tahun 1961, jumlah sekolah yang terdaftar adalah 107. 27 di Jakarta, 17 di Jawa Barat, 12 di Jawa Tengah, 33 di Jawa Timur, 4 di Sumatra Selatan, 10 di Sumatra Utara, 1 di Bali dan 2 di Sulawesi. Pada tahun 1965, jumlah ini meningkat melebihi 170. Di kota-kota besar, mutu pendidikan sekolah Baperki dianggap tinggi dan tidak kalah dengan sekolah-sekolah swasta yang terkenal. Banyak guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah swasta mahal ini juga mengajar di sekolah-sekolah Baperki. Lahirya Universitas Baperki Setelah mendirikan beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA), Baperki menghadapi dilema baru. Lulusan sekolah-sekolah ini tetap mengalami kesulitan untuk mendapatkan tempat di universitas-universitas negara, yang pada umumnya memberi
17
Universitas Res Publica pembatasan untuk siswa Tionghoa. Jumlah siswa Tionghoa tidak bisa lebih dari 10% dari jumlah total siswa yang diterima. Pada tahun 1958, beberapa siswa Tionghoa yang lulus SMA dengan angka gemilang ternyata tidak bisa masuk Universitas Indonesia. Walaupun tidak ada penjelasan dari pihak universitas, para siswa ini mengetahui bahwa kegagalannya untuk masuk Universitas Indonesia disebabkan oleh ke-Tionghoa-annya. Situasi ini mendorong pimpinan Baperki untuk mendirikan universitas Baperki. Yang pertama didirikan adalah Akademi Fisika dan Matematika dengan tujuan mendidik guru-guru sekolah menengah. Setelah Baperki mendapatkan dana yang lebih besar, Baperki mulai mewujudkan pendirian Universitas Baperki yang disingkat UBA. Pada bulan September 1959, Fakultas kedokteran Gigi didirikan. Pada bulan November di tahun yang sama, Fakultas Teknik yang mencakup teknik mesin, elektro dan sipil, dimulai. Pada tahun 1962, Fakultas Kedokteran dan Sastra diresmikan. Dalam mengembangkan universitas Baperki, Siauw banyak menengok pada keberhasilan RRT mencapai kemajuan pesat dalam waktu yang singkat. Menurutnya, kemajuan pesat itu dicapai karena adanya pengembangan bidang teknologi. Oleh karenanya, dalam berbagai rapat Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, ia menitik beratkan pendidikan teknologi dengan penekanan teknologi praktis. Dalam konteks ini, Siauw menganjurkan para dekan Universitas Baperki untuk mengembangkan program pendidikan yang mengawinkan teori dan praktek, sehingga lulusan-lulusan universitas Baperki bisa dengan cekatan mengetrapkan pengetahuannya dalam masyarakat. Siauw gagal menarik banyak tokoh politik “asli” untuk aktif dalam Baperki. Akan tetapi ia cukup berhasil menarik banyak akademikus non-Tionghoa untuk membantu pengembangan universitas Baperki, diantaranya Pudjono Hardjo Prakoso sebagai Dekan Fakultas Teknik, dan Ernst Utrecht sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Hukum. Yang menjadi Rektor pertama adalah kawan Siauw di parlemen, Ferdinand Lumban Tobing. Ia adalah seorang dokter Batak yang pernah menjadi menteri di dalam beberapa kabinet di zaman Demokrasi Parlementer. Pada waktu Tobing dikukuhkan sebagai rektor, Siauw menyatakan bahwa dipilihnya Tobing sebagai Rektor mencerminkan semangat Bhinneka Tunggal Ika, dasar perjuangan Baperki.
18
Sejarah dan Perkembangan
Beberapa bulan setelah Universitas Baperki didirikan, Tan Kah Kee, pemimpin Tionghoa yang menetap di Singapura yang mengenal Siauw sejak zaman pendudukan Jepang ketika ia bersembunyi di Batu, menawarkan Siauw untuk mengambil tanah miliknya yang terletak dekat Ancol, Jakarta untuk digunakan sebagai lahan universitas Baperki, cuma-cuma. Setelah ditinjau, tanah ini memerlukan ongkos pengurukan yang besar. Oleh karenanya diputuskan untuk membangun gedunggedung universitas di tanah yang disediakan untuk Baperki oleh Gubernur Jakarta, Sumarno, di Grogol. Pada tahun 1962 Baperki mendirikan kampus di Surabaya dengan fakultas-fakultas Teknik, Hukum dan Farmasi. Cabang Surabaya ini dipimpin Profesor Gondowardojo, rektor Universitas Airlangga. Jumlah mahasiswa pada tahun ini meningkat tinggi. Jumlah mahasiswa yang tercatat melebihi 3000 orang, 2,490 di Jakarta dan 592 di Surabaya. Ketika Rektor Tobing meninggal pada tahun 1963, Siauw menunjuk Nyonya Utami Suryadarma, isteri Kepala Staf Angkatan Udara, Komodor Suryadarma, untuk menggantikannya. Ia menjadi Rektor perempuan pertama di Indonesia. Pada tahun yang sama, Siauw menganjurkan pengubahan nama universitas Baperki menjadi Universitas Res Publica, diambil dari pidato Soekarno, yang diucapkan di Konstituante pada tahun 1959 berjudul: “Res Publica, sekali lagi Res Publica”. Siauw menganggap nama Res Publica mencerminkan semangat dan jiwa Baperki dalam dunia pendidikan. Res Publica berarti untuk kepentingan umum. Universitas Baperki didirikan sebagai respons positif terhadap adanya diskriminasi rasial. Universitas Baperki menentang diskriminasi yang merusak pembangunan bangsa. Sejak saat itu universitas ini lebih dikenal sebagai Ureca. Demikianlah Ureca berkembang maju. Daftar dosen yang mengajar di Ureca sangat mengesankan. Banyak dosen ternama yang mengajar di UI dan ITB, mengajar pula di Ureca. Banyak pula tokoh teknorat yang ternama memperkuat tim pengajar Ureca. Pada tahun 1964, departemen PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan) menyamakan lulusan sarjana muda dalam bidang teknik, kedokteran gigi, ekonomi dan hukum dari Ureca dengan lulusan sarjana muda para universitas negara. Pada tahun 1965, lulusan fakultas teknik dan kedokteran gigi Ureca juga diakui sebagai sarjana penuh.
19
Universitas Res Publica
Peresmian Gedung baru Universitas Baperki di Grogol 1961
20
Sejarah dan Perkembangan
Pada tahun 1964, jumlah mahasiswa Ureca tercatat 4000, 300 darinya adalah sarjana muda yang diakui sah oleh negara. Pada tahun 1965, sebelum pergantian politik pada bulan Oktober, jumlah mahasiswa yang terdaftar melebihi 6000. Ureca menjalankan program orientasi yang unik. Perpeloncoan untuk mahasiswa baru dilarang. Para mahasiswa baru ditugaskan untuk membersihkan jalan-jalan di daerah kota sebagai tanda terima kasih atas bantuan yang diberikan oleh para pe-dagang Tionghoa. Para mahasiswa Ureca diimbau untuk membantu usaha pembangunan gedung-gedung universitas. Para mahasiswa teknik-nya bekerja sama dengan para dosen untuk mendesain gedung-gedung serta fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan. Dengan jalan gotong royong ini, banyak gedung bisa diselesaikan pada waktunya dengan ongkos pembangunan yang relatif rendah. Ureca adalah satu-satunya universitas di Indonesia yang dibangun oleh para mahasiswanya. Sesuai dengan prinsip Res Publica yang digambarkan di atas, Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki mengeluarkan kebijakan untuk tidak melaksanakan diskriminasi atas dasar ras, agama, aliran politik maupun status kewarganegaraan. Oleh karena itu yang diterima benar-benar mewakili aneka ragam latar belakang. Ada yang berhaluan kiri, ada yang berhaluan kanan, banyak yang beragama Buddha dan Kong Hu Cu, cu-kup banyak yang beragama Katolik dan Kristen. Ada pula pribumi, walaupun merupakan minoritas. Sebagian besar yang masuk adalah Tionghoa. Dan cukup banyak adalah Tionghoa totok yang berstatus asing. Banyak pula yang masuk dari sekolah-sekolah Tionghoa. Ketika hal ini dimasalahkan, Siauw menegaskan bahwa walaupun mereka berstatus asing, mereka tetap penduduk Indonesia yang bisa menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk membangun Indonesia. Di samping itu, Siauw menegaskan bahwa salah satu tugas Baperki adalah mengajak sebanyak mungkin komunitas Tionghoa untuk menjadi WNI. Kebijakan ini mendorong lebih banyak lagi orang Tionghoa totok memberikan sumbangan-sumbangan dalam jumlah besar. Karena reputasi Ureca baik dan kualitas pendidikannya dianggap tinggi, cukup banyak mahasiswa “asli” yang tertarik untuk masuk. Beberapa rekan Siauw di DPRGR meminta bantuannya supaya anak-anak mereka bisa diterima di Ureca.
21
Universitas Res Publica Untuk mendorong masuknya mahasiswa-mahasiswa “asli”, Baperki mengadakan persetujuan dengan Taman Siswa. Baperki memberi beasiswa pada beberapa mahasiswa Taman Siswa yang berprestasi untuk belajar di Ureca. Menjelang Mei 1965, Ureca mempunyai cabang-cabang di beberapa kota besar lainnya termasuk Medan (Fakultas Ekonomi dan Pendidikan), Semarang (Fakultas Kedokteran), Yogjakarta (Fakultas Ekonomi). Sebelum peristiwa G30S, pembangunan gedung-gedung Ureca di Malang, Solo, Cirebon, Bandung juga sudah dimulai. Upaya yang berkembang dengan pesat ini buyar dalam sekejap mata, karena pergantian politik pada bulan Oktober 1965. Bisa dibayangkan bagaimana besar dan positif dampak kehadiran cabang-cabang Ureca di berbagai pelosok Indonesia. Institusi-institusi pendidikan yang akan menghasilkan banyak ahli membangun Indonesia. Kegiatan Politik di Sekolah-Sekolah Baperki dan Ureca Siauw menggunakan institusi pendidikan Baperki memperdalam pengertian kewarganegaraan dan pembangunan nasion Indonesia. Ia berkeyakinan bahwa pendidikan dari SD hingga tingkat universitas adalah sarana efektif mendidik komunitas Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah air dan mengajaknya untuk berpartisipasi membangun nasion Indonesia. Siauw menyenangi penggunaan definisi-definisi yang sederhana untuk memperbesar animo orang berpartisipasi dalam ber bagai kegiatan politik dan sosial. Sekolah-sekolah dan universitas Baperki didorong untuk memahami Panca-Cinta:
a. Cinta tanah air dan bangsa Indonesia b. Cinta kemanusiaan dan perdamaian c. Cinta pengetahuan dan kebudayaan a. Cinta bekerja a. Cinta orang tua Mata pelajaran wajib Civic di Ureca dibina dan dikelola oleh Siauw sendiri. Siauw menguraikan perkembangan sejarah dan partisipasi golongan Tionghoa dalam mencapai kemerdekaan.
22
Sejarah dan Perkembangan
Siauw Giok Tjhan bersama para mahasiswa Ureca
Siauw diapit oleh Prof. Pudjono Hadjo Prakoso dan Ir. Tan Hing Bwan
23
Universitas Res Publica Masalah Nation Building dan pengintegrasian suku Tionghoa ke dalam tubuh bangsa Indonesia menjadi inti pendidikan politik di Ureca. Diktat-diktat kuliah Siauw dijadikan bahan bacaan untuk semua mahasiswa. Bahan-bahan inilah juga dipergunakan oleh ba-nyak guru-guru civic di sekolah-sekolah Baperki sebagai pedoman bahan pengajarannya. Penekanan untuk menjadi orang Indonesia yang baik dan menerima manipol sebagai pedoman politik, menyebabkan institusi pendidikan Baperki unik. Di situlah pemuda pemudi Indonesia melalui sebuah proses peng-Indonesia-an yang efektif, proses pembangunan nasion Indonesia yang bernuansa politik. Bahan pendidikan yang digunakan sekolah-sekolah Tionghoa yang berhaluan kiri diperoleh dari Tiongkok. Kurikulum pendidikannya didasari atas kebutuhan untuk mempersiapkan para siswa supaya bisa meneruskan studi-nya di universitasuniversitas Tiongkok. Bahan pendidikan yang berkaitan dengan sejarah dan politik memiliki penekanan nasionalisme Tiongkok dan penuturan sejarah perjuangan Mao Ze Dong dalam memenangkan revolusi Tiongkok. Oleh karena itu bahan-bahan yang mendekatkan para siswa dengan kebudayaan Indonesia dan politik Indonesia sangat terbatas. Di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca, yang digunakan adalah kurikulum nasional. Hubungan pelajar dengan sejarah, kebudayaan dan politik Indonesia dipererat. Para siswa Baperki didorong untuk mengenal dan mencintai kebudayaan Indonesia. Pendidikan menanamkan pengertian bahwa Tiongkok bukan tanah air para siswa Baperki. Indonesia-lah tanah air mereka. Dengan demikian, melalui program pendidikan semacam ini, Baperki secara sistimatik meng-Indonesia-kan para siswa-nya, baik yang peranakan maupun yang totok. Yang menarik adalah kenyataan bahwa sebagian besar pimpinan organisasi pelajar dan mahasiswa di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca berasal dari kelompok totok. Mereka lebih militan dan mempunyai kesungguhan dalam keaktifan di bidang politik. Ini disebabkan latar belakangnya. Pendidikan sekolah-sekolah Tionghoa memperkenalkan mereka tentang kisah-kisah militan revolusi Tiongkok. Mereka lebih siap terjun dalam kegiatan politik dibandingkan para siswa yang berasal dari kelompok peranakan. Pada tahun 1959, Siauw mendorong dibentuknya PPI (Permusyawaratan Pemuda Indonesia) di Jakarta. Keanggotaannya
24
Sejarah dan Perkembangan
Kunjungan Ibu Hartini Sukarno ke Ureca - 1963 Drg. Be Wie Tjoen berdiri di sampingnya
25
Universitas Res Publica mencakup pelajar dan pemuda. Banyak pelajar sekolahsekolah Baperki dan mahasiswa-mahasiswa Ureca menjadi anggotanya. Organisasi ini diberi tugas untuk menyebar-luaskan program-program Baperki dan mempromosikan kebudayaan Indonesia. Dalam bidang kebudayaan, para anggota PPI didorong untuk menguasai tarian-tarian Indonesia. Para anggota PPI inilah yang mendorong terbentuknya Tim Kesenian Ureca. Acaraacara kesenian yang diselenggarakan di kampus URECA senantiasa menonjolkan kebudayaan Indonesia. Baperki sering menyatakan bahwa ke-Indonesia-an para pemuda Baperki tercermin dari kemampuannya mementaskan kebudayaan Indonesia de gan baik. Kualitas tarian dan kemampuan para penari pemuda pemudi Baperki menyebabkan Sukarno beberapa kali memintanya melakukan pertunjukan di acaraacara resmi pemerintah. Kegiatan PPI didukung oleh organisasi-organisasi pelajar yang didirikan di setiap sekolah Baperki, dinamakan Ikatan Pelajar. Anggota-anggota Ikatan Pelajar ini dilatih untuk berorganisasi, melakukan diskusi-diskusi politik dan mengeluarkan majalahmajalah berkala. Kegiatan agrikultur dianjurkan di sekolah-sekolah Baperki. Pada waktu Sukarno mencanangkan konsep Berdikari pada tahun 63, tanah-tanah kosong di setiap sekolah Baperki diubah menjadi perkebunan jagung. Para mahasiswa teknik Ureca didorong untuk belajar membuat alat-alat pertanian. Pada tahun 1965, program kerja sama antara Ureca dan BTI (Barisan Tani Indonesia) disetujui. Ini dijadikan landasan usaha penelitian Ureca untuk menghasilkan produk yang bisa digunakan oleh para petani. Kegiatan politik di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca lebih menonjol setelah tahun 1964. Kongres Baperki pada tahun 1964 menyetujui usul agar para pelajar sekolah-sekolah Baperki masuk ke IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Tidak lama setelah itu, Siauw mengumumkan bahwa 6000 pelajar Baperki menjadi anggota-anggota IPPI. Cukup banyak pelajar-pelajar sekolah Baperki menjadi pimpinan IPPI. Menjelang akhir 1965, Siauw dan Goei Hok Gie, ketua umum Perhimi mempersiapkan persetujuan di mana Perhimi dijadikan afiliasi organisasi mahasiwa Baperki. Persetujuan belum sampai diresmikan ketika peristiwa G30S meletus. Mahasiswa Ureca, seperti para siswa di sekolah-sekolah Baperki dianjurkan untuk belajar berorganisasi. Setiap Fakultas memiliki
26
Sejarah dan Perkembangan
Ny. Lie Tjwan Sien - Sek Jen Baperki turut bekerja bakti membangun Ureca
27
Universitas Res Publica Senat Mahasiswa yang mengkoordinasi berbagai kegiatan organisasi ke-mahasiswaan di fakultas tersebut. Ketua dan wakil ketua setiap Senat bergabung di dalam sebuah wadah yang dinamakan Dewan Mahasiswa. Melalui pimpinan Dewan Mahasiswa inilah berbagai kebijakan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, terutama garis perjuangan Baperki disebar luaskan ke para mahasiswa. Mulanya kegiatan politik di kampus-kampus Ureca terbatas pada inisiatif yang diambil oleh PPI. Akan tetapi setelah tahun 1962, kegiatan politik di kampus-kampus didominasi oleh Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia yang di pada tahun 50-an bernama Ta Hshue Hsue Seng Hui). Disamping Perhimi, aktif juga PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Indonesia) dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia). Siauw sendiri kurang menyetujui arus ke kiri yang berkembang di Ureca. Ia memang cenderung meletakkan posisi Baperki dan semua institusi pendidikannya di posisi netral. Polarisasi politik yang mengarah ke kiri setelah tahun 1963 ternyata sulit diben-dung. Pengaruh PKI di berbagai lapisan menanjak. Siauw mengkhawatirkan para mahasiswa Ureca akan disalah gunakan. Kegiatan politik di kampus Ureca-pun mencerminkan polarisasi politik. CGMI yang kiri cukup sering bertentangan dengan PMKRI yang kanan. Akan tetapi pertentangan ini tidak mencapai sifat destruktif. Semangat bekerja sama dan kesetiakawanan masih terpupuk baik. Menjelang akhir 1965, banyak pimpinan dewan mahasiswa Ureca masuk Pemuda Rakyat dan CGMI, kedua-duanya berafiliasi dengan PKI. Pada acara-acara perayaan organisasiorganisasi ini, sumbangan tenaga dan materi para mahasiswa Baperki sangat diharapkan. Inilah yang menyebabkan banyak yang menjadi korban keganasan rezim Orde Baru. Cukup banyak pimpinan Dewan Mahasiswa yang ditahan, bahkan ada yang dibuang ke pulau Buru. Berakhirnya Ureca Peristiwa G30S sekejap mengubah politik Indonesia secara dramatik. Kekuatan kiri yang tampak berada di atas angin sebelum 1 Oktober 1965, dalam sekejap berubah menjadi buronan dan kekuatan yang dipersekusi. Dalam waktu singkat
28
Sejarah dan Perkembangan
setelah 1 Oktober 1965, Jendral Suharto berhasil memobilisasi Angkatan Darat dan sebagian besar kekuatan politik kanan yang sebelum 1 Oktober berada di posisi yang terpojok, melakukan pembantaian yang luar biasa kejamnya. Sekitar dua juta orang yang dianggap berkaitan dengan PKI dan para ormasnya dibantai. 500 ribu orang lainnya dimasukkan ke dalam penjara. 100 ribu diantaranya, termasuk Siauw Giok Tjhan dan banyak pimpinan Baperki lainnya, harus meringkuk dalam penjara tanpa proses pengadilan apa-pun selama belasan tahun. Teror kejam ini dilakukan oleh negara dan aparat militer yang seharusnya melindungi rakyat dan menegakkan hukum. Tuduhannya adalah G30S didalangi oleh PKI. Padahal jelas PKI dan para ormasnya tidak siap dan tidak tahu menahu tentang G30S. PKI dan seluruh ormas yang berafiliasi dengannya dibubarkan. Gedung-gedung milik mereka diserang dan dibakar. Semua terjadi tanpa perlawanan apapun. Semua organisasi dan partai yang berada dalam kamp kiri menjadi sasaran. Dengan demikian Baperki-pun turut menjadi sasaran. Pada tanggal 15 Oktober 1965 kampus Ureca diserbu massa yang jelas didukung dan dikoordinasi oleh kekuatan militer. Kampus A atau Kampus Timur Ureca yang menjadi tempat perkuliahan Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, Hukum, Ekonomi dan Sastra diserang ribuan orang. Berbeda dengan gedung-gedung PKI dan ormas-ormas-nya, Gedung-gedung Ureca dijaga dan dikawal oleh ratusan mahasiswa Ureca dengan jiwa militansi yang besar. Seminggu sebelum serangan tersebut, ratusan mahasiswa ini sudah ber-jaga-jaga dan menginap di gedung-gedung Ureca. Ancaman bahwa tindakan demikian akan membahayakan keselamatan mereka sendiri tidak dihirau. Mereka rela berkorban demi mempertahankan gedung-gedungnya. Mereka benarbenar merasa bahwa gedung-gedung beserta isinya adalah milik pribadi mereka. Ketika serangan yang mengikutsertakan ribuan orang itu tiba, dengan gagah berani para mahasiswa Ureca melawannya. Jumlah penyerang jauh lebih banyak dan satu jam kemudian para mahasiswa Ureca terpaksa mundur dan menyaksikan kampus yang dicintainya itu dihancurkan dan dibakar. Pada waktu bersamaan kelompok penyerang lain menyerang kampus Timur atau Kampus B, di mana perkuliahan Fakultas
29
Universitas Res Publica Teknik diadakan. Terjadi pula pembakaran beberapa gedung. Siauw memperoleh peringatan akan adanya penyerangan ketika ia berada di gedung DPR. Ia segera menuju ke istana menghadap Sukarno meminta bantuan. Bantuan yang diharapkan tidak bisa dipenuhi. Sukarno hanya bisa mengajak Siauw untuk menyaksikan penyerangan dan pembakaran itu dari helicopter. Siangnya ia bergegas ke kampus Ureca. Dengan air mata berlinang, di hadapan ratusan Mahasiswa Ureca yang berkumpul untuk mempertahankan gedung-gedung Ureca, ia berjanji untuk membangun kembali Ureca. Janji yang tidak pernah bisa ia penuhi karena ia sendiri ditahan selama 12 tahun oleh rezim yang mengkoordinasi pengrusakan dan pembakaran Ureca. Dan sikon politik tidak memungkinkan berdiri kembalinya Ureca. Akan tetapi Siauw tetap berupaya. Bersama dengan Rektor Ureca, nyonya Utami Suryadarma, ia pergi menemui Sukarno pada minggu terakhir Oktober 1965. Sukarno berjanji akan meme-rintahkan pembukaan dan pembangunan Ureca. Pertemuan itu kemudian dilanjuti oleh Siauw dan Go Gien Tjwan dengan menteri pendidikan Syarif Thayeb. Sadar akan kelemahan posisi politik mereka, Siauw dan Go berkeinginan untuk menyerahkan manajemen Ureca ke tangan pemerintah, dengan harapan perkuliahan bisa segera dimulai untuk semua mahasiswa Ureca. Bukan Ureca yang dibuka dan dibangun kembali, melainkan Universitas Trisakti dibawah asuhan musuh politik Baperki, LPKB. Sebelum pengambil alihan tersebut dan sebelum Siauw masuk penjara, ia masih sempat bertemu dengan Ferry Sonneville yang ditugaskan LPKB untuk menangani pembangunan Universitas Trisakti. Permintaan Siauw kepada Ferry Sonneville pada awal bulan November 1965 adalah: lanjutkanlah upaya Baperki memberi peluang sebaik mungkin untuk para mahasiswa Ureca dan mereka yang tidak bisa diterima di perguruan tinggi. Akan tetapi yang berkembang berbeda dengan harapan Baperki dan para mahasiswa Ureca. Sebagian besar mahasiswa Ureca di awal hidup Universitas Trisakti tidak diizinkan masuk sebagai mahasiswa. Diadakan screening. Mereka yang menjadi anggota CGMI dan Perhimi tidak diizinkan masuk. Ini yang menyebabkan ribuan mahasiswa putus sekolah. Siauw dan banyak pimpinan Baperki lainnya hanya bisa menerima kenyataan ini dengan sedih di penjara. Mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
30
Sejarah dan Perkembangan
Dosen-dosen yang dianggap berhaluan kiri pun kena persekusi. Mereka ditangkap atau tidak diizinkan mengajar di Universitas Trisakti. Program pendidikan Ureca yang besandar atas prinsip “Pendidikan Bukan Barang Dagangan” tidak dilanjutkan. Universitas Trisakti berkembang sebagai universitas swasta untuk mereka yang mampu membayar. Yang tidak mampu walaupun memiliki prestasi pendidikan baik harus menggigit jari, tidak bisa masuk. Akan tetapi Upaya meng-Indonesiakan komunitas Tionghoa di dalam tubuh Baperki dan institusi pendidikannya jelas nampak. Sejarah tidak akan bisa menyangkal peran yang dimainkan URECA dalam pembangunan nasion Indonesia. 50 tahun setelah Ureca dibakar, para mahasiswa yang sempat melalui pendidikan politik di Ureca menunjukkan bahwa kecintaan mereka terhadap Indonesia tidak luntur. Walaupun dalam bidang akademik upaya Baperki melahirkan ribuan sarjana gagal, tetapi pendidikan politik-nya berhasil meng-Indonesia-kan ribuan mahasiswa Tionghoa, berhasil me-ngubah mind-set mereka untuk mencintai kebudayaan Indonesia, menerima Indonesia sebagai tanah airnya. Hal yang serupa bisa dikatakan untuk puluhan ribu pelajar yang sempat menikmati pendidikan di sekolah-sekolah Baperki dan mereka yang masuk dalam PPI. Dalam hal ini, upaya Baperki dan impian Siauw yang terbentuk sejak berdirinya Partai Tionghoa Indonesia sejak tahun 1932, bisa dikatakan sebagian terwujud. Kesimpulan Keputusan Siauw Giok Tjhan untuk mengajak Baperki dan massa-nya mendukung kebijakan Sukarno pada tahun 1959 dan mendukung Demokrasi Terpimpin yang bersandar atas kekuatan Angkatan Darat memang bisa dikatakan kontroversial bilamana diteropong dengan kaca mata sekarang. Demokrasi Terpimpin dan Dwi Fungsi ABRI yang lahir karena Sukarno memerlukan Jendral Nasution mendukungnya sebagai sebuah kekuatan kongkrit sebenarnya merupakan “racun” politik yang membunuh demokrasi dan akhirnya kekuatan kiri. Ironis-nya justru inilah yang sepenuhnya didukung oleh kekuatan kiri, termasuk Siauw Giok Tjhan dan Baperki. Apa ada jalan lain? Bagi Siauw, saat itu, rupanya tidak ada. Tidak
31
Universitas Res Publica mendukung Sukarno, berarti membawa Baperki ke kelompok di mana tokoh-tokohnya getol mengeluarkan kebijakan rasis anti Tionghoa. Sejarah memang menunjukkan bahwa di bawah pimpinan Siauw, Baperki berkembang sebagai sebuah organisasi massa Tionghoa terbesar dalam sejarah Tionghoa di Indonesia. Iapun berhasil memobilisasi massa Tionghoa untuk aktif berpolitik dan aktif menyebarluaskan paham integrasi – menjadi patriot Indonesia tanpa menanggalkan etnisitas ke-Tionghoa-an. Tanpa gerakan politik, tanpa dorongan yang mengandung idealisme politik, kemungkinan besar institusi pendidikan Baperki, terutama Ureca tidak akan berkembang seperti yang disaksikan. Kiranya sulit membangun animo para dosen dan para mahasiswanya untuk bekerja bakti sedemikian rupa, untuk mengawinkan teori dan praktek sedemikian rupa dan memperoleh dana bantuan komunitas Tionghoa sedemikian rupa. Di masa kini, tidak terbayangkan pengalaman Ureca bisa terulang lagi. Perbedaan utama antara yayasan pendidikan Tionghoa lainnya seperti Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) atau Sin Ming Hui (Candranaya) dan Baperki justru terletak pada adanya pendidikan politik. Institusi pendidikan THHK dan Candranaya tidak mengandung penekanan politik. Apa yang dilakukan oleh Sin Ming Hui atau Candranaya yang mendirikan Universitas Tarumanagara ternyata tidak membuahkan prestasi segemilang Ureca di zaman Demokrasi Terpimpin. Universitras Tarumanagara tidak mampu menampung mahasiswa sebanyak Ureca dan tidak bisa berkembang di kotakota lain. Akan tetapi Candranaya yang tidak menitik beratkan kegiatan politik tidak menjadi sasaran ganas kekuatan kanan pada tahun 1965-1968. Universitas Tarumanagara tidak diserbu dan dibakar. Sulit untuk dipastikan jalur mana yang lebih tepat. Baperki tidak menentukan cuaca politik Indonesia yang merupakan bagian percaturan dunia di mana ada dua kekuatan raksasa yang berperang dingin. Baperki dan Ureca ikut tergulir menjadi korban. Dengan jatuhnya kekuasaan Sukarno pada tahun 1966, berdirilah sebuah rezim militer yang diktatorial. Indonesia berubah menjadi sebuah lahan pembunuhan masal dan persekusi terhadap
32
Sejarah dan Perkembangan
orang-orang yang dianggap kiri. Kebijakan musuh politik Baperki, asimilasi dijadikan kebijakan resmi pemerintah Suharto. Hubungan diplomatik dengan RRT diputuskan pada tahun 1967 (baru dipulihkan kembali pada tahun 1990). Identitas Tionghoa selama 32 tahun ingin dipaksakan hilang. Istilah Tiongkok dan Tionghoa diubah dengan “Cina’, yang mengandung konotasi penghinaan. Penggunaan huruf Tionghoa dilarang. Demikian juga perayaan tahun baru Imlek. Nama-nama Tionghoa didorong untuk dihilangkan. Berbagai peraturan pemerintah mendiskriminasikan komunitas Tionghoa di banyak bidang. Lengsernya Suharto pada bulan Mei 1998 membuka lembaran baru dalam dunia politik di Indonesia. Komunitas Tionghoa yang menjadi sasaran keganasan ledakan rasis pada bulan yang sama se-olah-olah bisa bernapas wajar kembali. Selama 32 tahun sebelumnya, komunitas Tionghoa, karena penindasan terhadap kaum kiri ganas yang merembet ke sikap anti Tiongkok dan anti Tionghoa di awal berdirinya rezim Orde Baru pada tahun 1965-1968, menjadi komunitas yang tidak berani berpolitik, tidak berani berorganisasi dan bahkan tidak berani berurusan dengan apapun yang berhubungan dengan aparat negara. Lengsernya Suharto menyadarkan komunitas Tionghoa bahwa kebijakan asimilasi total yang dilaksanakan selama 32 tahun tidak berhasil. Banyak Tionghoa yang sudah ganti nama, sudah menanggalkan ke Tionghoaan-nya, bahkan yang masuk Islampun, turut menjadi korban keganasan anti Tionghoa pada bulan Mei 1998. Zaman pasca Suharto dinyatakan sebagai masa reformasi. Banyak Tionghoa yang kemudian terdorong untuk aktif dalam kegiatan LSM atau mendirikan organisasi-organisasi yang menonjolkan ke Tionghoa-an dengan tujuan membela kepentingan komunitas Tionghoa yang selama 32 tahun sebelumnya tidak ada yang membela. Berdirilah berbagai organisasi yang dipimpin oleh orang-orang Tionghoa, seperti SIMPATIK (Solidaritas Pemuda-Pemudi Tionghoa untuk Keadilan), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Solidaritas Nusa dan Bangsa (SNB), Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI) dll. Ada pula yang memulai majalah untuk membahas masalah Tionghoa yang dikaitkan dengan pembangunan bangsa, antara lain majalah Sinergi. Diskusi-diskusi terbuka tentang pemecahan masalah Tionghoa-pun diadakan diberbagai forum.
33
Universitas Res Publica Pendidikan politik dan berorganisasi yang dilakukan oleh Baperki di institusi pendidikannya – sekolah-sekolah Baperki dan Ureca serta gerakan pemudanya – PPI (Permusyawaratan Pemuda Indonesia) ternyata melahirkan ketrampilan dan animo berorganisasi di awal zaman reformasi ini. Banyak pengambil inisiatif pendirian organisasi-organisasi dan mengisi pengaturan organisasi berdasarkan pengalaman yang dibina sebelum Baperki dan institusi pendidikannya bubar pada tahun 1965, adalah alumni Ureca dan alumni sekolah-sekolah Baperki atau para mantan anggota PPI. Menjelang perayaan setahun peristiwa Mei pada tahun 1999, Hasta Mitra menerbitkan buku yang berjudul “Siauw Giok Tjhan, perjuangan seorang Patriot membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhinneka Tunggal Ika” karya Siauw Tiong Djin. Siauw Giok Tjhan adalah ketua Umum Baperki dan ketua Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki yang mendirikan dan mengasuh Ureca. Buku ini diluncurkan pada tanggal 15 Mei 1999 di Perpustakaan Nasional Jakarta. Para alumni Ureca dan mantan angota PPI menyambut buku ini dengan antusias. Tidak lama setelah buku tersebut diluncurkan, Ali Sutra selaku pimpinan SIMPATIK yang turut aktif mempersiapkan acara peluncuran buku mendatangi seorang mantan pengurus Dewan Mahasiswa Ureca, Liem Heng Hong dan menantang: “ Beranikah bapak mengadakan acara bedah buku Siauw Giok Tjhan?”. Liem Heng Hong spontan menjawab: “Tentu saja berani, kenapa takut?”. Ia segera menghubungi beberapa alumni Ureca lainnya, terutama Tan Ping Ien, mantan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa Ureca, untuk membahas rencana ini. Sambutan mereka antusias. Pada waktu yang hampir bersamaan beberapa alumni Ureca terutama Benny Setiono mendorong teman-teman lain untuk juga mengadakan acara bedah buku. Gayung bersambut. Terbentuklah panitia penyelenggara acara bedah buku. Ketua panitia adalah Tan Ping Ien. Liem Heng Hong diangkat menjadi sekretaris. Beberapa anggota panitia penyelenggara yang terbentuk adalah alumni Ureca. Pemuda-pemuda SIMPATIK turut aktif di dalam panitia dan banyak membantu. Acara bedah buku dilakukan pada tanggal 28 Agustus 1999 di hotel Omni Batavia, di daerah Kota. Para pakar seperti Prof. Dan Lev dari Amerika Serikat, Prof. J.E Sahetapy, Prof. Franz Magnis Suseno, Dr. Daniel Sparinga, A.S Hikam dan Dr. Karlina Supelli berbicara di acara tersebut. Sebuah acara yang untuk pertama kalinya dalam 32 tahun yang membahas kegiatan
34
Sejarah dan Perkembangan
Kwan Siu Hwa dan Siauw Tiong Djin di acara Bedah Buku Siauw Giok Tjhan 28 Agustus 1999
Suasana Acara Bedah Buku Siauw Giok Tjhan 28 Agustus 1999
35
Universitas Res Publica Siauw Giok Tjhan dan Baperki secara terbuka. Desas desus berupa ancaman sementara pihak untuk tidak mengikuti acara tersebut ternyata tidak digubris oleh para peserta. Yang hadir lebih dari 500 orang dan banyak di antaranya adalah alumni Ureca. Acara ini sukses dan hadirin terlihat tidak menghendaki acara selesai walaupun berlangsung dari pukul 9 pagi hingga 5:30 sore. Bagaimana Indonesia 50 tahun setelah Ureca dibakar? Apakah organisasi massa dengan program dan langgam kerja seperti Baperki bisa berdiri dan berkembang lagi? Tuntutan zaman tentunya sudah berubah. Alasan hidup dan berkembangnya Baperki pada tahun 50-an dan 60-an bisa dikatakan tidak ada lagi. Masalah kewarganegaraan bisa dikatakan selesai. Sebagian besar komunitas Tionghoa sudah menjadi warga negara Indonesia. Yang membutuhkan kewarganegaraan Indonesia, bilamana membutuhkannya, memenuhi persyaratan hukum yang berlaku dan modal cukup, bisa memperolehnya. Apa yang diperjuangkan oleh Siauw dan Baperki dalam hal hukum bisa dikatakan telah tercapai. Rasisme diundangkan sebagai tindakan yang melanggar hukum. Semua warga negara secara hukum memiliki hak dan kewajiban yang sama. Ketentuan presiden harus seorang asli sudah ditiadakan. Imlek dijadikan hari raya nasional. Dalam pemilihan umum tahun 2014, terdapat calon wakil presiden Tionghoa. Di dalam kabinet ada menteri Mari Pangestu, seorang Tionghoa. Dan seorang Tionghoa menjadi wakil gubernur Jakarta Raya, Ahok. Jumlah perguruan tinggi juga sudah bertambah secara drastik. Walaupun masih banyak pelajar tidak mampu meneruskan studi di perguruan tinggi, baik non Tionghoa maupun Tionghoa, penampungan mahasiswa bisa dikatakan tertanggulangi. Cukup tempat untuk mereka, Tionghoa maupun non Tionghoa yang ingin dan mampu masuk ke universitas. Para universitas malah berlomba memperoleh jumlah mahasiswa yang diinginkan. Di samping kesemuanya ini, tumbuhnya Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi membangkitkan pula keinginan di kalangan komunitas Tionghoa di kota-kota besar untuk menjadi bagian dari kesuksesan Tiongkok. Berkembanglah berbagai keganjilan di mana kemampuan berbahasa Mandarin dianggap sebagai hal yang membanggakan, seperti kemampuan berbahasa Belanda di zaman penjajahan belanda, dan berbahasa Inggris
36
Sejarah dan Perkembangan
di zaman pasca Demokrasi Terpimpin. Para “the Haves” komunitas Tionghoa berlomba memamerkan kekayaannya baik dalam berbagai kemewahan termasuk kemampuan pesta besar-besaran di tempat-tempat mahal, di tengah kemiskinan rakyat. Ini berlangsung tanpa gangguan berarti. Apakah keadaan yang digambarkan ini berarti rasisme lenyap dari permukaan bumi Indonesia dan perjuangan melawannya patut dihentikan? Kiranya tidak. Keberadaan hukum yang favourable tentunya merupakan langkah pertama. Akan tetapi itu saja tidak menjamin adanya dan berkembangnya keharmonisan masyarakat yang menjamin keamanan dan ketentraman hidup komunitas Tionghoa di Indonesia. Benih-benih rasisme masih tetap ada. Bilamana kesenjangan ekonomi terjadi di Indonesia, jurang antara kaya dan miskin membesar dan pimpinan politik yang berpengaruh menjadikan komunitas kambing hitam, ledakan-ledakan rasisme yang ganas dan brutal bisa terulang lagi. Dalam konteks ini, apa yang dicanangkan Siauw dan Baperki – paham integrasi, di mana komunitas Indonesia terjun ke dalam berbagai kegiatan masyarakat dan turut mendidik masyarakat untuk menghilangkan benih-benih rasisme dengan tindakantindakan membangun, tanpa menanggalkan latar belakang etnisitas ke Tionghoa-an, masih sangat relevan. Paham Integrasi kini lebih dikenal sebagai multikulturalisme di negara-negara maju. Bahkan di Australia dan Canada, sebagai negara di mana jumlah penduduknya terdiri dari berbagai komunitas etnis non Anglo Saxon, paham multikulturalisme diundangkan. Organisasi semacam Baperki yang mampu dengan efektif menyuarakan aspirasi dan membela kepentingan komunitas yang diwakilinya masih diperlukan. Yang penting kiranya belajar dari pengalaman Baperki, untuk tidak terlalu menggantungkan diri pada sebuah kekuatan politik penguasa. Organisasiorganisasi yang dimaksud hendaknya merakyat – bekerja untuk wong cilik dan mendapat dukungan rakyat terbanyak. Ini merupakan jalan selamat jangka panjang, walaupun hasil yang diperoleh memakan waktu.
37
Universitas Res Publica
Go Gien Tjwan di Jakarta 2007
Go Gien Tjwan Bersama Para Alumni Ureca Setelah Acara Bedah Buku-nya di Jakarta 2007
38
Sejarah dan Perkembangan
Riwayat Ureca Go Gien Tjwan Beberapa bulan setelah pembentukannya, pada tanggal 13 Maret 1954, Baperki dihadapkan dengan masalah pendidikan untuk umumnya orang-orang Tionghoa dan khususnya untuk generasi mendatang masyarakat Peranakan, yang harus dididik untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna untuk masyarakat. Sekitar pertengahan tahun 1954 mosi Takdir Alisjahbana (PSI) dengan suara bulat disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara Jakarta Raya. Mosi itu menyatakan bahwa anak-anak yang berkewarganegaraan Indonesia harus dilarang untuk masuk ke sekolah-sekolah asing dan juga status sekolah-sekolah tersebut harus diubah menjadi sekolah nasional Indonesia apabila seperempat dari jumlah siswanya terdiri dari Warga Negara Indonesia. Mosi Takdir Alisjahbana – tokoh terkenal gerakan budaya nasionalis Pujangga Baru zaman sebelum perang dan anggota PSI (Partai Sosialis Indonesia) – merupakan bukti nyata akan a-danya gerakan anti komunis. Sebagian besar sekolah-sekolah Tionghoa asing itu disebut sekolah RRT, yang mengacu pada Republik Rakyat Tiongkok – dianggap sekolah-sekolah komunis – dan bukan mengacu pada Guomindang di Taiwan. Bahasa pengantarnya tentu bahasa Mandarin. Perumusan Mosi tersebut sangat baik. Tidak ditemukan perkataan-perkataan yang menunjukkan sikap anti komunisme, tetapi mengimbau masyarakat Tionghoa untuk menunjukkan perasaan bangga terhadap bangsa Indonesia yang baru saja memperoleh kedaulatannya. Oleh karena itu tidak pada tempatnya jika orang-orang Tionghoa yang telah memilih untuk menjadi warga negara Indonesia, mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah asing dan tidak belajar bahasa Indonesia. Baperki tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengeluarkan sebuah pernyataan yang mendukung mosi tersebut, tetapi menyesali dampak psikologisnya pada rakyat. Mosi itu seolaholah memberi kesan bahwa warga negara keturunan Tionghoa kurang antusias untuk mengirim anak-anak mereka ke sekolah Indonesia. Baperki menyatakan bahwa mereka terpaksa mengirim anak-anaknya bersekolah di sekolah-sekolah Tionghoa karena kondisi historis. Invasi Jepang tidak hanya menutup semua sekolah Belanda,
39
Universitas Res Publica tetapi juga semua sekolah Tionghoa. Tidak lama kemudian sekolah-sekolah Tionghoa dibuka kembali oleh Jepang. Sekolah-sekolah tersebut merupakan satu-satunya tempat yang memungkinkan pendidikan untuk anak-anak Tionghoa, apakah mereka bekas kaula Belanda maupun Tionghoa asing. Pada masa revolusi di Jawa (1945-1950) para bekas murid Tionghoa dari sekolah-sekolah Belanda dan perguruan tinggi di Jakarta mencoba untuk meneruskan studi mereka di institusiinstitusi yang disebut sekolah-sekolah darurat Belanda yang pada waktu itu dibuka kembali. Setelah pengukuhan kedaulatan Indonesia, semua warga negara Indonesia secara resmi bisa mengikuti semua lembaga pendidikan untuk pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Namun pada kenyataannya, sebagian besar etnis Tionghoa masih lebih menyukai sekolah-sekolah swasta Tionghoa karena disamping sekolah pemerintah tidak bisa menampung pelajar Tionghoa yang berjumlah sangat besar, tetapi juga ada anggapan sekolah-sekolah Tionghoa memiliki mutu lebih tinggi. Pernyataan Dewan Pengurus Baperki yang bersejarah dan bernuansa politik tersebut di atas dimuat di dunia media pers untuk membantah kesan yang terkandung di dalam mosi Takdir Alisjahbana itu. Karena sebelum pernyataan Baperki dikeluarkan, yang ada di media hanyalah sambutan positif. Tentu saja, pernyataan Baperki tersebut tidak menyelesaikan masalah pendidikan untuk anak-anak Tionghoa. Jalan keluar yang memuaskan juga tidak bisa diharapkan dari pemerintah. Baperki bertujuan untuk menyadarkan mereka yang di zaman Belanda berstatus Kaula Belanda atau secara hukum kolonial berstatus “Timur Asing” bahwa mereka secara politik adalah sepenuhnya orang Indonesia. Bila mereka ingin menjadi anggota bangsa Indonesia, maka mereka harus secara aktif ikut ambil bagian dalam pemilihan umum yang berada di ambang pintu (1955), dan juga harus ikut ambil bagian dalam kehidupan masyarakat Indonesia dalam arti yang luas. Ini berarti orang Tionghoa Indonesia harus berpartisipasi dalam pengembangan kebudayaan Indonesia modern yang masih baru itu, di mana mereka turut memperkaya kebudayaan Indonesia. Untuk mematangkan pelaksanaan praktis tujuan ini diselenggarakanlah konperensi di Tawamangu pada Mei 1955. Guru Besar ahli kebudayaan Tionghoa Tjan Tjoe Som menyampaikan ceramah utama. Dua pakar pendidikan, Oei Boen Kong – beliau ini, sepupu saya, sudah dari masa
40
Sejarah dan Perkembangan
sebelum perang memimpin pusat pendidikan Chung Hua Hui di Semarang – dan Prodjohartono dari Solo – beliau adalah salah satu orang Indonesia pertama dari kelompok “pribumi” yang mendukung Baperki dan terdaftar sebagai calon kami untuk pemilihan parlemen – mendorong Baperki agar sebanyak mungkin – terutama di daerah-daerah – mendirikan sekolahsekolah swasta membantu pemerintah menjamin tersedianya pendidikan untuk sebanyak mungkin warga negara. Saran terpenting dari kedua pakar ini berkaitan dengan bagaimana sekolah-sekolah tersebut dibentuk dan diatur dengan cara yang berbeda dengan sekolah-sekolah pemerintah. Menurut kedua pakar tersebut, sekolah-sekolah pemerintah yang ada masih berbentuk kelanjutan sistem pendidikan kolonial yang tidak sesuai dengan keinginan mempertinggi nilai pendidikan Indonesia yang bersifat nasional. Sekolah-sekolah Baperki harus terbuka untuk seluruh masyarakat Indonesia, tanpa memandang asal etnis atau agama mereka. Dalam ceramahnya, Tjan Tjoe Som menggambarkan masalah pelik yang dihadapi minoritas Tionghoa dalam menjalankan way of life (kebiasaan hidup) berdasarkan kebudayaan Tionghoa di dalam kebudayaan Indonesia baru yang sedang dalam proses pembentukan. Tjan juga menyatakan bahwa semua budaya memiliki nilai yang sama selama ia berakar pada kehidupoan rakyat jelata. Pengembangan kebudayaan Indonesia baru hanya bisa berlangsung bilamana standard hidup ekonomi Indonesia ditingkatkan sehingga tenaga dan ketrampilan rakyat bisa berkembang sepenuhnya. Rumusan Tjan yang bagus ini diterima oleh konperensi secara bulat. Konperensi akhirnya memutuskan untuk mendirikan sekolahsekolah Baperki, terutama di daerah, sebagai pemecahan masalah pendidikan yang dibahas. Awalnya – sampai tahun 1958 – pendirian sekolah-sekolah dilakukan sebagai kegiatan sampingan organisasi politik Baperki. Setelah tahun 1958, hal itu berangsur-angsur berubah menjadi kegiatan utama. KSAD Jenderal Nasution, orang kuat kedua setelah Bung Karno sejak tahun 1957, telah memaksa Baperki untuk menjalankan kegiatan itu. Di luar Jawa, terutama di Sumatera dan Sulawesi, pemberontakan PRRI/Permesta mengamuk. Gerakan militer pembangkang itu didukung oleh Amerika dan Taiwan. Seorang pembom B-29, yang lepas landas dari sebuah pangkalan udara Taiwan, ditembak jatuh di atas Sulawesi. Dengan demikian terbukti keterlibatan Amerika dan boneka negara itu (Taiwan). Nasution
41
Universitas Res Publica menyita semua harta para pengikut Guomindang di Indonesia dan sekolah-sekolah mereka ditutup. Sekolah-sekolah Indonesia dilarang menerima anak-anak Tionghoa yang tidak memiliki kewarganegaraan Indonesia dan sekolah Tionghoa asing tidak boleh menerima murid Indonesia. Hal ini terjadi pada saat diberlakukannya Negara Dalam Keadaan Darurat Perang (SOB, Staat van Oorlog en Beleg). Pihak militer mengambil alih kekuasaan pemerintahan sipil. Pemerintah pusat di Jakarta mengambil alih tindakan yang sebelumnya dilaksanakan oleh Nasution dan tiba-tiba saja Baperki memperoleh ratusan sekolah di bawah kepengurusannya. Hal itu disebabkan karena sekolahan yang berorientasi Republik Rakyat Tiongkok diharuskan mengeluarkan semua anak-anak yang berkewarganegaraan Indonesia. Ini merupakan sebuah masalah yang sangat besar, sehingga Baperki memutuskan untuk mendirikan sebuah yayasan: Jajasan Pendidikan dan Kebudajaan Baperki, sebuah badan hukum yang disahkan di depan Notaris Sie Khwan Djoe. Yayasan ini bukan hanya harus menanggulangi dampakdampak politik, tetapi juga berbagai dampak yang berkaitan dengan hukum perdata. Baperki seketika menjadi pemilik sekolah-sekolah yang dulunya sekolah asing itu. Siauw Giok Tjhan diangkat menjadi Ketua yayasan itu dan saya menjadi Sekretaris. Yang menjadi Bendahara adalah Oei Phoei Tjhiep, tamatan sekolah THHK (Tiong Hoa Hwee Koan) dan Tan Hoan Soei yang memiliki kontak baik dengan Pintu Kecil (pusat kegiatan perdagangan dan bisnis Tionghoa kala itu); Drs. Tjoa Soe Tjong, mantan direktur perusahaan Oei Tiong Ham/Kian Gwan, dan beberapa pakar pendidikan lainnya melengkapi kepengurusan yayasan tersebut. Dengan para pengurus sekolah asing di seluruh negeri, kami mengadakan negosiasi, menawarkan untuk mengambil alih sekolahan mereka dan mengubahnya menjadi sekolah nasional Indonesia. Itulah jalan keluarnya, sebab pada waktu itu tidak ada hukum yang melarang sekolah swasta untuk menerima murid Tionghoa asing. Penerimaan anak-anak yang disebut murid WNA di sekolah-sekolah Baperki merupakan saat yang penting dalam sejarah organisasi politik ini. Terjunnya Baperki dalam dunia pendidikan membuat Baperki tidak lagi dilihat sebagai organisasi politik yang semata-mata menentang diskriminasi rasial, tetapi lebih sebagai organisasi sosial yang memenuhi kebutuhan kebudayaan tradisional
42
Sejarah dan Perkembangan
Tionghoa: sebuah organisasi pendidikan seperti halnya THHK pada tahun 1900. Fokus budaya Tionghoa pada saat itu dan juga kini adalah Konfusianisme (Kong Hu Cu/Konfusius, 552-479 SM), yang merupakan agama rakyat Tiongkok yang paling penting. Paham itu merupakan etika tradisional Tionghoa baik untuk orang Tionghoa kuno maupun modern dan juga untuk keturunan mereka di Indonesia. Guru Besar Kung mengajarkan bahwa masyarakat – ingat yang dimaksud dengan masyarakat di sini adalah masyarakat Sebelum Masehi – terdiri dari empat kelas hierarki sosial: sarjana yang berbudi luhur (Shenshi) di hierarki paling atas, lalu diikuti dengan kalangan petani, pengrajin, dan kemudian pada bagian yang paling bawah, kalangan pedagang. Dari tangga sosial tertinggi yaitu kalangan sarjana – yang setelah lulus ujian negara dalam pengetahuan tentang sejarah dan filsafat Konfusianisme yang terkandung dalam kitab suci agama Konghucu Su Si dan Ngo Keng (Kitab Suci Su Si terdiri atas 4 kitab dan Ngo Keng terdiri atas 5 kitab) – direkrut sebagai pegawai negeri: penguasa politik. Tentu saja penguasa ini mampu memperoleh tanah di pedesaan Tiongkok sehingga memiliki kekuasaan ekonomi. Dia adalah seorang pejabat pemerintah dan juga tuan tanah. Petani miskin dari Tiongkok kuno, kuli becak di kota besar dan pedagang Tionghoa di Indonesia (yang di Tiongkok kuno berada di anak tangga sosial terendah) mengetahui motto hidup Tionghoa: Pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan adalah kekuasaan. Pada masa VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie, biasanya disebut ‘Kompeni’) orang Tionghoa memiliki sekolah sendiri, kemudian (di Jawa) ada guru keliling yang mengajar dari satu tempat ke tempat lain memberi pelajaran tentang pengetahuan dasar seperti yang diberikan di sekolah-sekolah Hokkian. Mereka ini memenuhi kebutuhan budaya kala itu: mereka me-ngajar bagaimana menggunakan swipoa, sejarah prinsip-prinsip utama etika Konfusianisme, dan untuk kalangan elit, mereka mengajar tulisan kaligrafi. Setidaknya untuk memenuhi persyaratan zaman feodal. Sekitar pergantian abad ke-19 dan ke-20 pemerintahan feodalkolonial Indonesia beralih menjadi negara modern: Hindia Belanda. Pedagang Tionghoa, yang sangat sensitif terhadap fluktuasi harga barang-barang impor dan ekspor, segera menyadari
43
Universitas Res Publica bahwa pendidikan harus dimodernisasi. Pada tahun 1900, di Jakarta oleh petinggi Tionghoa Peranakan –dua atau tiga Tionghoa totok juga berada di sana – didirikan sebuah perkumpulan dengan nama Hokkian, yaitu Tiong Hoa Hwee Koan. Tujuan perkumpulan itu ada dua: I. Dengan sabolehnya ditoeroet atoeran-atoeran jang bersatoedjoe sama pengadjaran Nabi Khong Hoe Tjoe. II. Didalam hal bikin madjoe pengatoean atas hal soerat-soerat dan bahasa-bahasa nanti, nanti diadakan roemah-roemah sekolah.1 Setelah hampir dua tahun, tujuan I ditinggalkan dan hanya tujuan II yang dijadikan tujuan utama. Pada tahun 1908, atas pertanyaan seorang pejabat tinggi L.H.W. Sandick2, barulah tujuan THHK dirumuskan: “…dengan maksoed apa Tiong Hoa Hwee Koan soeda didirikan? sebagai jawabannya: “Tiong Hoa Hwee Koan telah didirikan dengan maksoed aken bikin madjoe hal pengatahoean dan prisopan antara orang-orang bangsa Tjina soepaja orang tiada tinggal bodo atawa tinggal berderadjat rendah” (hendak Ber-emanpasi)3 Tidak lama setelah pembentukan Baperki pada tanggal 13 Maret 1954, masyarakat Tionghoa diguncang oleh sebuah insiden yang menunjukkan betapa mengkhawatirkannya masalah pendidikan untuk orang-orang Tionghoa. Setiap tahun Jakarta menyerahkan sebuah piala untuk siswa SMA terbaik di namakan piala Bintang Pelajar, yang secara langsung diserahkan oleh Gubernur Jakarta. Kebetulan pada tahun 1958 yang menjadi Bintang Pelajar adalah siswa keturunan Tionghoa dari SMA ‘Pintu Air’. Namun siswa tersebut tidak diterima di Fakultas Kedokteran universitas bergengsi Universitas Indonesia (UI), karena di UI ada Numerus Clausus (penjatahan jumlah) khususnya untuk orang Tionghoa. Diskriminasi ras ternyata bukan saja dalam ekonomi, tetapi juga
1 Nio Yoe Lan , Riwajat 40 Taon THHK, Batavia, hal. 8 2 Terkenal dengan buku karangannya Chinezen buiten China, 1909 3 Nio Yoe Lan , Riwajat 40 Taon THHK, Batavia, hal. 9 44
Sejarah dan Perkembangan
dalam kebudayaan. Di awalnya universitas bisa menerima sepuluh persen orang Tionghoa yang mengajukan permohonan pendidikan di fakultas kedokteran. Ini kemudian turun menjadi lima persen. Pemilihan mahasiswa dilakukan dengan tidak baik. Sistem undian atau seleksi tidak berlaku untuk calon mahasiswa keturunan Tionghoa. Dengan demikian hanya mahasiswa Tionghoa kaya saja dengan menyuap bisa diterima di fakultas kedokteran dan calon mahasiswa yang kurang mampu tidak bisa mendapatkan kesempatan ini. Pers mendapat angin dan masyarakat Tionghoa sangat terkejut dengan diskriminasi rasial yang kasar dan sudah beberapa kali terjadi ini, tidak tinggal diam. Mereka berhasil mendorong Kepala Sekolah SMA swasta Tionghoa untuk protes terhadap pemimpin Universitas Indonesia. Masyarakat Tionghoa melancarkan aksi protes pula. Dengan bantuan media pers yang gencar mempublikasikan masalah ini, siswa itu akhirnya diterima di UI. Organisasi sosial terbesar Peranakan Tionghoa Jakarta, Sin Ming Hui memutuskan untuk mengadapak rapat mengundang para akademisi terkemuka keturunan Tionghoa untuk menyelidiki kemungkinan dibentuknya fakultas kedokteran swasta. Saya turut hadir dalam rapat tersebut. Sebelum hadir, saya sudah menduga bahwa rapat pertemuan itu tidak akan mencapai hasil-hasil kongkrit. Akademisi sering tidak memiliki pengalaman organisasi, kecuali dalam hal memenuhi jabatan kehormatan dalam sebuah organisasi sosial-budaya dan sejenisnya. Dan meskipun Sin Ming Hui adalah organisasi sosial terbesar peranakan Tionghoa di Jakarta, pembentukan sebuah lembaga pendidikan tingkat perguruan tinggi, berada di atas kemampuannya. Dr. Kwa Tjoan Sioe, pendiri Rumah Sakit Yang Seng Ie Jakarta yang terkenal (sekarang Rumah Sakit Husada) mungkin salah satu pengecualian. Sepengetahuan saya, direktur medis rumah sakit etnis Tionghoa biasanya diangkat dan dibayar oleh organisasi sosial. Dugaan pesimis saya ternyata benar: salah seorang dari mereka mengatakan bahwa untuk jurusan A tidak bisa didapatkan seorang dosen pun dari kalangan orang Tionghoa, dan yang lainnya, seorang ahli ekonomi, menanyakan apakah tidak lebih bijaksana untuk mendirikan fakultas yang lain dan yang lainnya lagi menjelaskan bagaimana universitas di Indonesia seharusnya didirikan dan masih ada lagi yang lain yang mengemukakan tentang masalah kebudayaan Tionghoa di Indonesia. Pertemuan itu gagal total. Keesokan harinya saya langsung me-laporkan hasil pertemuan itu ke Siauw Giok Tjhan,
45
Universitas Res Publica Ketua Yayasan Baperki. Kami berpendapat bahwa masyarakat Peranakan Tionghoa sendiri yang harus mewujudkan pendidikan perguruan tinggi itu. Menurut Siauw gagasan itu hanya bisa diwujudkan bilamana ia didukung oleh sebagian besar masyarakat. Apabila Baperki mengambil inisiatif tersebut, dan masyarakat tahu bahwa kami adalah organisasi politik, Siauw menduga Baperki tidak akan mendapatkan dukungan luas dan oleh sebab itulah ia meminta saya untuk hadir dalam rapat pertemuan Sin Ming Hui itu, agar saya bisa menjajaki pendapat para elit masyarakat Peranakan. Laporan saya dan desakan isteri saya telah meyakinkan Siauw untuk mendirikan perguruan tinggi Baperki. Demi kewajiban moral dan sosial hanya Baperki sebagai organisasi terbesar dari Peranakan di negara ini yang harus mendirikan perguruan tinggi tersebut. Oleh karena itu Siauw dan pengurus harian Baperki memutuskan untuk melakukannya. Langkah pertama saya adalah ke bendahara kami, oom Ang Yan Goan, dan itu rupanya juga merupakan penjajakan terakhir saya. Beliau adalah direktur Sin Po, koran harian terbesar dan sekaligus penerbit Tionghoa terbesar di Indonesia yang menerbitkan majalah. Selain itu, beliau juga seorang mantan guru sekolah Tionghoa dan salah satu pengurus utama THHK Jakarta, pelopor gerakan THHK yang sudah didirikan pada tahun 1900. Saya ceritakan kepadanya masalah kami: Baperki telah memutuskan untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi, kalau bisa sekolah tinggi kedokteran atau mungkin sebuah universitas? Menurut pendapatnya memang Baperki sendiri sebagai organisasi terpenting masyarakat etnis Tionghoa (Sia Hwee) – jadi juga termasuk apa yang disebut Warga Negara Asing – harus menyediakan pendidikan untuk anak-anaknya. Apalagi mengingat pemerintah tidak mungkin dapat memenuhi permintaan yang begitu besar dalam bidang pendidikan pada umumnya. “Tapi”, ia bertanya, “apakah bijaksana untuk langsung menggapai tujuan yang tinggi. Nip (dari kata belanda neef yang berarti ‘keponakan’), kamu harus tahu sejarah”. Sejak tahun 1937, setelah perang melawan Jepang, kami tidak pernah mampu lagi merekrut guru-guru Tionghoa yang berkualifikasi untuk pendidikan menengah kami (Chu Zhong, SMP dan Gao Zhong, SMA). Hal ini telah berlangsung selama dua puluh tahun dan kebutuhan itu makin mendesak, sebab juga dari RRT kami tidak bisa mengharapkan seorangpun. “Jadi”, tanya saya, “bukan universitas, tapi pertama-tama sebuah “institut pendidikan guru”? “Ya, benar”, katanya, “karena hanya
46
Sejarah dan Perkembangan
dengan gagasan itu maka kamu bisa dapat mengharapkan dukungan, bahkan juga dari masyarakat Tionghoa totok”. Baperki bisa tetap memutuskan untuk membangun sebuah universitas swasta, tetapi secara bertahap. Saya sangat gembira dan Siauw juga antusias. Dia selalu menekankan bahwa Indonesia lebih membutuhkan tenaga teknis menengah ketimbang insinyur lulusan universitas. Maka, pada saat itu, kami mulai mendirikan sebuah Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Teknik. Salah seorang sepupu saya yang sudah pensiun, Ir. Li Tjwan Tjay4, alumnus Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hogeschool) Delft dan terakhir - hingga invasi Jepang, direktur KWS (Koningin Wilhelmina School), sebuah sekolah yang merupakan persilangan antara MTS dan HTS (sekolah teknik menengah dan sekolah teknik tinggi di Belanda) tapi berprestasi karena sebelum Perang Dunia II hanya itu yang ada di Batavia dan yang serupa di Surabaya, KES (Koningin Emma School) - menyetujui permintaan saya untuk menjadi dekan Pendidikan Guru Teknik kami. Pendidikan Guru Teknik ini akan melatih para guru untuk mata pelajaran teknik dari HTS/MTS, dengan harapan lembaga itu bisa menjadi fakultas teknik. Seorang pemuda asal Delft, Ir. Lie Thiam Hok, antusias dengan gagasan untuk memiliki sebuah institusi pendidikan tinggi dan universitas swasta, mampu memobilisasi kolega-koleganya dalam waktu singkat. Kami mulai sekitar awal 1959 di sekolah Pasar Baru yang
4 Ang Yan Goan dalam “Memoarnya” (2009, hlm. 304) menyebut arsitek Liem Bwan Tjie sebagai kepala sekolah. Ini adalah kekhilafan Ang Yan Goan. Kepala sekolahnya bukan Liem Bwan Tjie tetapi Li Tjwan Tjay. Ketika Liem Bwan Tjie masih muda dan tinggal di Belanda, ia terkenal sebagai orang “kiri”, bahkan ia pernah kandas di Tiongkok pada waktu ia ingin kembali ke Indonesia. Pemerintah Belanda menganggap dia sebagai komunis. Kata orang, ia bisa pulang ke Semarang dengan bantuan beberapa orang penting, di mana ia kemudian menjadi arsitek terkenal yang membangun rumah-rumah besar untuk para orang Tionghoa kaya, misalnya Ijen Boulevard di Malang, kota tempat ia tinggal pada masa pendudukan Jepang. Begitu pendudukan Jepang berakhir, ia pindah ke Jakarta. Antara tahun 1946 dan 1950 ia menjadi perantara yang mengurus mahasiswa Tionghoa yang ingin mendapatkan bea siswa untuk kuliah di Belanda. 47
Universitas Res Publica sebelumnya disebut sekolah Sin Hoa, di lantai dua sekolah dasar yang merupakan sekolah siang itu. Jadi, kuliah-kuliah itu diberikan pada malam hari. Modal kami sedikit sekali, hanya semangat tinggi dibantu teman-teman dan relasi. Untuk urusan listriknya, saya minta bantuan ayah salah seorang ipar saya, yang memiliki perusahaan instalasi listrik, Liem Tjia Lee. Jadi, kami mendapatkan secara gratis pemasangan fasilitas instalasi listrik berikut dengan lampu-lampu pijar yang diperlukan. Tidak lama setelah itu Akademi pendidikan ini, karena desakan berbagai pihak, diubah menjadi fakultas teknik. Dan diputuskan pula mendirikan fakultas kedokteran gigi. Dengan demikian Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, pada tanggal 28 Oktober 1960, secara resmi mendirikan UBA (Universitas Baperki), yang kemudian berkembang dengan pesat. Dokter gigi Be Wie Tjoen, dibantu oleh Drg. Tjia Soen Lee, seorang yang betul-betul gigih dengan gagasan-gagasan yang bagus, sebenarnya sudah memiliki Blue Print (Cetak Biru) untuk pendirian fakultas kedokteran gigi dengan keyakinan akan setaraf dengan fakultas kedokteran gigi Universitas Indonesia, yang pada saat itu juga masih dalam “proses pendirian”. Dengan demikian UBA mendirikan Fakultas Kedokteran Gigi lebih awal dari UI dan pada tahun 1965, Ureca meluluskan dokter-dokter gigi lebih awal dari Universitas Indonesia. Pada tahun yang sama, lulusan fakultas teknik Ureca-pun diakui sebagai sarjana penuh. Mengenai masalah apakah ijazah insinyur dan dokter gigi yang diberikan oleh Ureca bisa mempunyai Civil Effect (disahkan oleh pemerintah) atau tidak, Siauw Giok Tjhan berpendapat bahwa dalam semangat ‘pembangunan revolusioner’ negara, masyarakatlah yang harus menentukan apakah lulusan kami merupakan akademisi yang berkualitas atau tidak. Apabila pemerintah menolak memberikan pengakuan resmi kepada universitas kami, maka biarlah para insinyur kami menunjukkan keahlian mereka tanpa memiliki gelar resmi, dan para dokter gigi kami - jika perlu - membuka praktik sebagai tukang gigi, begitulah ketua Siauw mengungkapkan. Untuk kegiatan pengembangan universitas Baperki, saya masih bisa ikut berpartisipasi sebelum saya berangkat ke Köln (Jerman) pada tahun 1959. Di kota itu saya tinggal selama empat tahun untuk mendirikan kantor berita nasional Antara di luar negeri dan sekaligus juga untuk memenuhi kebutuhan kedutaan-kedutaan Indonesia akan home news melalui telekomunikasi modern. Masyarakat
Tionghoa,
khususnya
48
masyarakat
Tionghoa
Sejarah dan Perkembangan
totok Pintu Kecil, pusat bisnis Tionghoa, di antaranya Kho Nai Chong, Yan Sin, Ging Hui dan Too Sam menyatakan bersedia menyumbangkan dana yang besar. Juga perlu dicatat sumbangan Liem Hie Sing, pemilik perusahaan transport terbesar HIBA dan Liem Djoen San, pengusaha pengangkutan. Dan masyarakat Peranakan Tionghoa bersedia menyumbangkan keahlian akademisnya. Di daerah Grogol ada kuburan Tionghoa tua terbengkalai. Bersama bendahara Oei Phoei Tjhiep, saya mengunjungi lokasi itu. Di sana-sini masih berserakan tulang manusia. Para pekerja pembersih rupanya bekerja begitu ceroboh. Tetapi lokasinya baik dan luas lahannya cukup besar untuk membangun sebuah universitas berikut perumahan dosen dan lima belas villa besar. Dewan Pengurus menerima laporan kami dan medukung pendapat bahwa tempat itu adalah tempat yang tepat untuk kampus baru Universitas Baperki, yang kemudian dikenal sebagai Kampus B – lahan yang dipergunakan untuk fakultas teknik Dewan menyusun rencana untuk membiayai pembelian kuburan tersebut. Untuk bisa membiayai jumlah total harga pembelian tanah, lima belas sampai dua puluh orang dapat membeli satu atau dua petak kaveling untuk bisa membangun villa di lahan itu. Para pembeli tersebut harus menyerahkan sepertiga dari tanah kepada Yayasan untuk pembangunan universitas dan perumahan dosen. Tetapi untuk membeli tanah kuburan itu – ternyata adalah milik Kong Koan (Dewan Pengurus Tionghoa pada zaman kolonial) – masih ada masalah hukum yang perlu diselesaikan dulu: Orang-orang Tionghoa, bahkan yang sudah menjadi warga negara Indonesia, tidak bisa membeli tanah. Hal ini juga merupakan ketentuan dari zaman kolonial. Masalah itu rupanya dapat diselesaikan dengan cukup sederhana. Buyung Saleh, sekretaris dewan pengurus Baperki adalah seorang pribumi. Tanah itu akhirnya dibeli atas namanya dan sampai saat tulisan ini dibuat (2014), secara hukum tanah itu adalah miliknya. Perjanjian pembelian ditandatangani di kantor notaris Sie Khwan Djoe dan salinan akta jual beli, serta semua “akta jual beli kaveling-kaveling” disimpan oleh Dr. Tan Eng Tie, salah seorang pembeli kaveling itu. Dalam waktu empat tahun selama saya menetap di luar negeri, Ketua Umum Siauw Giok Tjhan berhasil membangun universitas di Grogol, yang awalnya bertempat di lantai atas SD Sin Hoa,
49
Universitas Res Publica di sudut Pasar Baru dan Pintu Besi. Dalam pembangunan universitas tersebut, ia dibantu oleh teman-teman lama seperti Dr. Lie Tjwan Sien dan isterinya Go Tjoe Nio, Liem Koen Seng SH, Drg. Be Wie Tjoen, Drg. Tjia Soen Lee, dan yang tidak boleh dilupakan juga Ir. Tan Hing Bwan dan para dosen Perguruan Tinggi Pendidikan Guru. Perlu diingat bahwa Siauw bekerja full time sebagai anggota DPR. Demikian juga para sarjana dan simpatisan yang membantunya. Dewan Mahasiswa Ureca yang dipimpin oleh Sie Ban Hauw dan Tan Ping Ien sangat membantu manajemen universitas. Sebagian bangunan universitas ini dibangun oleh mahasiswa kami sendiri, laki-laki dan perempuan tanpa pandang bulu. mereka memenuhi seruan Bung Karno agar sarjana turba turun ke bawah. Mereka membangun jembatan di atas parit yang memisahkan halaman depan dari jalan raya. Mahasiswamahasiswa itu, baik lelaki maupun perempuan, membantu para tukang bangunan dalam menembok dan juga memasang genteng dan bahkan di luar kampuspun mereka menunjukkan bahwa pekerjaan yang menggunakan kemahiran otak atau kemahiran tangan bisa dilakukan oleh orang yang sama: mereka tidak hanya me-ngaspal jalan di kampus mereka, tetapi juga mengaspal jalan tempat perdagangan penting Pintu Besar untuk membantu Jakarta dalam pembangunan Ibu Kota Indonesia. Yang mengerjakan pekerjaan kasar tersebut adalah para pemuda Tionghoa, bukan tukang-tukang Indonesia. Merekalah yang bekerja di bawah terik matahari memperbaiki jalan-jalan tempat rumah-rumah dagang orang Tionghoa kaya berdiri. Dampak psikologis positif terhadap para importir dan eksportir serta para pengusaha Tionghoa amat besar. Bahkan Oei Yong Tjioe SH yang mulanya tidak terlalu simpatik terhadap Baperki yang bersifat “kiri” itu, menawarkan bantuannya kepada saya. Oei Yong Tjioe SH adalah asisten pribadi Wapres Mohammad Hatta, dan pemilik pabrik keramik besar di Belitung. Uang juga masuk untuk pembangunan klinik gigi. Fakultas teknik bisa mendirikan laboratorium-laboratorium dan bahkan juga bisa mendirikan gedung teknik pengecoran logam. Ir Tan Boen Liam, ahli metalurgi, lulusan Delft turut berjasa dalam pendirian fasilitas pengecoran ini. Salah satu hasil pengecoran logam ini adalah pompa air yang dinamakan Res Publica, dipersembahkan Ureca ke ketua BTI - Barisan Tani Indonesia, Pak Asmu. Pembangunan ini dimungkinkan pula oleh adanya sumbangan besar dari ayah menteri Oei Tjoe Tat. Dalam rangka memperingati hari ulang tahunnya yang ke-80, beliau menyumbangkan semua hadiah
50
Sejarah dan Perkembangan
Pembangunan Gedung Ureca oleh para mahasiswanya sendiri dengan semangat gotong-royong
51
Universitas Res Publica uang yang ia terima kepada fakultas teknik. Fakultas ekonomi dan hukum tidak mempunyai masalah keuangan. Tanpa harus membuat perkiraan pengeluaran biaya yang sesungguhnya, saya sudah tahu bahwa uang kuliah mahasiswa dari kedua jurusan ini cukup untuk membayar honor dosen. Kecuali beberapa dosen inti, yakni para dosen yang selain me-ngajar juga melakukan tugas manajemen, tidak menerima gaji, tapi hanya honor saja. Honor itu jumlahnya berdasarkan jumlah jam kuliah yang mereka berikan dan pekerjaan itu hanya merupakan pekerjaan sambilan yang mereka lakukan atas dasar rasa simpati untuk tujuan mulia itu. Pada tahun 1963 kecuali fakultas-fakultas yang telah disebut sebelumnya, kami juga memiliki fakultas kedokteran dan fakultas sastra. Dengan berdirinya empat fakultas itu (teknik, gigi, hukum dan fakultas ekonomi) kami beranggapan bahwa kami berhak untuk menyebut pendidikan tinggi kami sebagai universitas. Pada kesempatan ini rektor pertama adalah seorang anggota DPR dari partai kecil SKI (Serikat Kerakyatan Indonesia), yang juga bergabung dalam fraksi Nasional Progresif seperti Siauw di parlemen pada zaman demokrasi parlementer: Dr. Ferdinand Lumban Tobing. Pada tahun 1963 nama Universitas Baperki (UBA) diganti menjadi Universitas Res Publica (Demi Kepentingan Umum), disingkat Ureca. Dengan demikian, Baperki ingin membuktikan bahwa universitas tersebut tidak hanya ditujukan untuk orang Tionghoa dan tidak ada tujuan khusus untuk kepentingan Tiongkok. Nama Res Publica ini diambil dari judul pidato Presiden Soekarno di akhir masa Konstituante pada tahun 1959. Ia menggunakan istilah itu untuk menekankan kepentingan umum sebagai tujuan utama politik Indonesia. Alasan berikutnya yalah, dengan nama baru itu, Baperki menunjukkan secara politis bahwa keberadaan Ureca berkaitan dengan ideologi negara. Masa jabatan rektor Dr. Tobing singkat, karena beliau meningggal dunia. Kami beruntung atas kesediaan seorang grande dame Utami Suryadarma, istri Marsekal Udara Suryadarma untuk memangku jabatan rektor tersebut. Saya sangat bersuka cita dengan pengukuhannya sebagai rektor baru, karena ibu Utami semasa kuliah di Belanda adalah anggota Perhimpunan
52
Sejarah dan Perkembangan
Indonesia dan mempunyai hubungan yang dekat dengan teman saya Sunito Djojowirono5, yang saya bujuk untuk menukar jabatannya sebagai sekretaris parlemen dengan jabatan sekretaris di Ureca. Karakter nasional Indonesia Ureca kami perlihatkan dengan pemilihan dekan dari kalangan non-Tionghoa. Dekan-dekan fakultas teknik, ekonomi dan kedokteran, masing-masing adalah Ir. Pudjono Prodjonegoro, seorang pakar Indonesia, Drs. E. Utrecht, yang kemudian diganti oleh Carmel Budiardjo M.E., dan dokter Gudadi. Dekan fakultas hukum, Profesor Mr. Lie Oen Hock adalah guru besar di Universitas Indonesia. Seorang pakar kebudayaan Jawa profesor Tjan Tjoe Siem diangkat sebagai dekan fakultas Sastra. Sampai tahun 1965, ketika Ureca dihancurkan oleh gerombolan Orde Baru, kedua fakultas termuda, fakultas hukum dan sastra belum menghasilkan calon sarjana. Begitu juga Fakultas Ekonomi, yang lebih tua. Berbeda dengan ketiga fakultas lainnya: teknik, gigi dan kedokteran; dari awal kami melakukan saringan yang ketat berdasarkan nilai rapor dan latar belakang sosial calon mahasiswa. Pada saat itu, minat calon mahasiswa untuk studi praktis ini besar sekali. Setelah Ernst Utrecht yang terlalu banyak memiliki pekerjaan lain digantikan oleh Carmel Budiardjo, fakultas ekonomi memperoleh dorongan untuk berkembang sehingga banyak mahasiswa tertarik masuk ke fakultas ini. Dengan pengangkatan Profesor Lie Oen Hock sebagai dekan, prestise Ureca sangat meningkat. Tindakan pertama beliau adalah membeli – atas usul Liem Koen Seng – perpustakaan swasta Mr. Bouwman yang memiliki koleksi buku hukum terbaik di Jakarta. Mr. Bouwman adalah pembela Jungschläger, yang
5
Pada bulan November 1952 Sunito dan saya memegang jabatan ketua dan sekretaris Perhimpunan Indonesia, benar-benar ditarik begitu saja dari tempat tidur kami dan digiring ke kantor polisi pusat di Marnixstraat, Amsterdam. Di sana kami ditahan sampai bulan Februari 1953. Karena kami bukan terdakwa kriminal, maka secara hukum kami tidak bisa disebut tahanan, yang seharusnya bisa dibawa ke penjara biasa yang keadaannya lebih nyaman. Sebagai orang asing yang tidak diterima, persona non-grata, karena “aktivitas komunis”, kami seharusnya diusir dari Belanda. Meskipun sudah melalui prosedur hukum yang dipimpin oleh profesor mr. Sjoerd Gerbrandy – putra perdana menteri Belanda Gerbrandy di (kabinet) London semasa PDII – guna menghalangi pengusiran kami sampai pada tingkatan Mahkamah Agung, kami tetap kalah. Hal itu terjadi pada masa perang dingin. Anggota Pengurus harian ketiga Perhimpunan, Sudirdjo Harsono, dapat lolos karena dia pada waktu ada penangkapan sedang tidak di rumah. Sudirjo adalah salah seorang pemuda Indonesia yang pada jaman pendudukan Jepang bertugas sebagai “milisi pribumi” dan kemudian sebagai markonis di kapal perang Belanda yang masih mengalami penyerbuan Normandia.
53
Universitas Res Publica dicurigai oleh pemerintah sebagai penghasut atau orang yang terlibat gerakan pemberontak; dan pembelanya di kemudian hari dituduh melakukan kegiatan subversif. Profesor Tjan Tjoe Siem dengan ketenaran namanya juga meningkatkan prestise Fakultas Sastra. Satu-satunya jurusan di fakultas yang masih muda itu, yakni jurusan bahasa dan sastra Inggris, dipimpin oleh seorang rekan wanitanya dari Universitas Indonesia, Nyonya Kurnianingrat MA. Ibu Kurnianingrat ini tidak lama setelah jatuhnya Soekarno menikah dengan mantan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Fakultas Sastra yang dipimpin Tjan Tjoe Siem, menentang tradisi, karena fakultas itu mengangkat seorang dosen yang tidak bergelar sarjana, yaitu: penulis Pramoedya Ananta Toer. Mengapa sastra Indonesia hanya diajarkan oleh para akademisi yang biasanya bukan penulis sastra, tetapi ilmuwan ahli tata bahasa ? Buyung Saleh, Sekretaris Pengurus Pusat adalah orang yang mengusulkan Pramoedya untuk menjadi dosen dan kuliahnya disebut “sejarah sastra Indonesia.” Saya sebagai sekretaris Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, menandatangani keputusan pengangkatannya. Pada waktu itu, saya tidak bisa menyadari bahwa saya bukan saja melakukan tindakan politik progresif - yaitu melanggar tradisi akademis bahwa hanya orang bergelar bisa menjadi dosen perguruan tinggi - tetapi juga menjunjung nama kehormatan Baperki, karena mengikutsertakan seorang dengan kualitas kelas dunia yang bersedia menjadi pendukung Ureca. Ureca tidak melakukan diskriminasi dalam penerimaan mahasiswa. Tidak ada pengertian “asli” atau “tidak asli”. Komandan Kodam Kalimantan Selatan JenDral Basri datang mengantar anaknya untuk mendaftar. Cukup banyak mahasiswa “asli” memperoleh beasiswa. Keberhasilan Ureca di ibu kota merangsang cabang-cabang Baperki di daerah. Di Medan, Surabaya, Semarang dan Malang, yayasan-yayasan secara tergesa-gesa bekerja untuk pendirian cabang Ureca. Medan sudah memulai dengan beberapa kuliah, antara lain mata kuliah Kimia yang diberikan oleh Ir. Tjeng Tjong Djien, yang sudah memiliki paten untuk penemuannya. Yayasan di tiga kota tersebut siap mendirikan jurusan kedokteran. Malang sudah membeli sebidang tanah di Karanglo untuk pembangunan fakultas pertanian. Semua rencana idealis itu hancur berantakan ketika tiba-tiba ada bencana yang benarbenar tak terduga: kudeta militer oleh Jenderal Soeharto pada bulan September-Oktober 1965.
54
Sejarah dan Perkembangan
Teror Orba dan akhir Universitas Res Publica Baperki adalah organisasi yang unik. Organisasi itu adalah organisasi politik tapi bukan partai politik, karena anggota organisasi itu juga bisa menjadi anggota partai politik dengan latar belakang ideologi yang berbeda. Pada pemilu demokratis pertama untuk anggota DPR dan Konstituante tahun 1955, orga-nisasi itu memang bekerja sama dengan partai politik lain untuk mendapatkan kursi. Tapi itu semua karena undangundang Pemilihan Umum memberikan Jaminan Perwakilan bagi golongan-golongan minoritas, yaitu 9 kursi untuk minoritas Tionghoa, 6 untuk minoritas Indo-Eropa dan 3 untuk minoritas Arab. Baperki ikut bersaing untuk mendapatkan kursi untuk menjamin jatah kursi tersebut benar-benar hanya dimaksudkan untuk membela kepentingan minoritas dan tidak disalahgunakan partai-partai politik lain. Walaupun demikian Ketentuan dalam UU Pemilu ini tetap disalahgunakan. Hal itu bisa terjadi karena ada ketentuan yang mengungkapkan bilamana kelompok minoritas tidak bisa memenuhi Bila-ngan Pembagi Pemilih (BPP) untuk mengisi kursi yang disediakan, maka kursi ini akan diisi oleh pengangkatan yang dilakukan pemerintah. Itulah yang terjadi pada saat itu. Dalam pemilu, Baperki hanya memperoleh satu kursi untuk DPR dan dua kursi untuk Konstituante. Siauw untuk DPR dan dia pula bersama Oei Tjoe Tat untuk Konstituante. Sayangnya, jatah yang disediakan untuk wakil dari kelompok minoritas masih disalahgunakan. Pada daftar calon Baperki untuk Kontstituante Oei Tjoe Tat adalah calon nomor dua setelah Siauw dan saya nomor 3. Sebagai akibat dari hasil pemilu, saya tidak terpilih menjadi anggota Konstituante, tetapi pemerintah yang menunjuk calonnya. Dan yang benar-benar lucu untuk diceritakan di sini adalah cerita tentang Ko Kwat Oen. Ko Kwat Oen adalah seorang pemilik apotek di Bandung yang beragama Protestan, tetapi dia juga pemasok obat-obat kuat Rois Aam dari Nadlatul Ulama (NU). Lucunya Ko Kwat Oen ini justru masuk di Konstituante untuk kursi minoritas Tionghoa mewakili NU di Konstituante. Demokrasi Aneh! Kalau kita mencari apa yang paralel dengan Baperki dalam sejarah? Maka saya langsung teringat pada N.A.A.C.P. (National Association for the Advancement of Colored People). N.A.A.C.P. adalah suatu organisasi “black Americans” yang berjuang melawan politik segregasi rasial “whites” dan juga
55
Universitas Res Publica berjuang untuk mengembangkan Kewarganegaraan Amerika (American Citizenship) yang benar-benar demokratis. Yang sama uniknya dengan Baperki adalah Ureca. Ureca diba-ngun tanpa dukungan pemerintah, tetapi universitas ini membimbing mahasiswanya dalam semangat yang berpedoman pada kebijakan resmi pemerintah, sesuai dengan yang digariskan Presiden Soekarno. Soekarno menginginkan agar masyarakat Indonesia, dari cindil-cindil (sic) sampai sarjana-sarjana, dari anggota parlemen sampai menteri, singkatnya, seluruh rakyat Indonesia, di-Manipol-kan dan oleh karena itu Manipol harus diajarkan di sekolah dasar sampai juga di perguruan tinggi. Ureca adalah satu-satunya universitas di Jakarta yang memang memasukkan Manipol ke dalam kurikulum sebagai kuliah wajib. Dosennya adalah politikus Siauw Giok Tjhan. Oleh karena itu Ureca memperoleh stigma universitas komunis, karena untuk para perwira militer anti-Sukarno dan politisi, Manipol adalah aliran komunisme dan oleh sebab itu harus diganyang. Siang dan malam saya sibuk berpartisipasi dalam pembangunan Ureca, sampai pada tanggal 15 Oktober 1965 ketika kelompokkelompok fasis menyerbu universitas kami, dua minggu setelah peristiwa berdarah dan menggoncangkan yang mengiringi jatuhnya pelindung Baperki : Soekarno. Pada akhir September CGMI melakukan sebuah pertemuan akbar yang menurutsertakan banyak anggota dari luar Jawa. Setelah peristiwa G30S ada sekelompok anggota CGMI dari Ambon dan beberapa daerah lain luar Jawa menginap di kampus Ureca. Mereka itu menginap di Ureca tanpa persetujuan kami. Mereka terpaksa menginap di sana, karena diusir dari stadion olahraga Senayan dan tidak ada tempat tinggal lain yang bisa mereka temukan kecuali di Ureca. Kemungkinan sekali keberadaan mereka di sana atas undangan dari cabang CGMI Ureca. Hal ini menimbulkan sebuah dilema untuk pimpinan Ureca. mengusir mereka bisa diartikan Ureca melanggar solidaritas Nasakom. Di lain pihak, membiarkan mereka tinggal bisa mengundang militer untuk menyerbu. Pada tanggal 15 Oktober 1965, setelah berkonsultasi dengan Siauw dan Ibu Utami, masing-masing Ketua Yayasan Pendidikan Kebudayaan Baperki dan rektor Ureca, Sunito, sekretaris universitas (Suhario, sekretaris lain Ureca sedang berada di luar negeri, yaitu di Beijing), dan saya pergi ke Ureca untuk meminta para mahasiswa “komunis” CGMI mencari tempat lain untuk menetap karena keberadaan mereka di tempat itu merupakan
56
Sejarah dan Perkembangan
“als een rode lap op een stier” (seperti kain merah membuat si banteng ngamuk): dapat membangkitkan kemarahan. “Anda datang ke sini untuk memperlihatkan manifestasi PKI, tetapi kami Baperki, bukanlah organisasi massa Partai Komunis. Kehadiran anda sekalian di sini, seperti layaknya een rode lap op een stier.” Pada saat saya ingin menterjemahkan ungkapan Belanda itu ke dalam bahasa Indonesia, saya mendengar di luar ada suara lolongan seperti suara serigala, suara jeritan burung pemakan bangkai yang berebut mayat. Ternyata mereka – gerombolan massa pembangun Orde Baru semacam gerombolan Hitler Jugend – berada di luar pintu gerbang yang tertutup. Pintu gerbang untuk dapat masuk ke halaman dan pintu masuk utama gedung universitas. Saya berjalan keluar dari ruang kuliah dan berteriak di depan pintu masuk utama: “Bawa pemimpin kalian ke sini dan kita akan berbicara”. Saya ulang-ulang seruan saya. Tetapi hanya mendapatkan lolongan binatang haus darah sebagai jawabannya. Seorang pria berjanggut dengan salib yang menyolok di dadanya melakukan tanda salib dengan menyentuhkan jari di dahi, turun ke dada, bahu kiri dan kanan. Rupanya dia mahasiswa PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Dan kemudian mereka menyerbu masuk ke dalam: massa “pembangun orde baru” yang dipenuhi rasa kebencian: benci komunis dan benci Tionghoa. Yang membuat saya kaget dan takut, di belakang mereka ikut masuk sejumlah polisi militer, dan di belakangnya lagi beberapa kendaraan pemadam kebakaran yang besar. Kelihatannya seperti sebuah pogrom terorganisir. Hanya lebih dari seratus mahasiswa dan mahasiswi harus melawan massa liar yang tak terhitung jumlahnya. Banyak dari mereka yang memakai jaket baru Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Entah bagaimana mahasiswamahasiswa itu dalam waktu yang singkat bisa mendapatkan jaket kuning baru. Kami bisa bertahan selama dua setengah jam, sementara kantor PKI dalam satu jam saja sudah bisa dilumpuhkan. Mahasiswa-mahasiswa Ureca itu berkelahi dengan menggunakan lengan kursi yang ada di gedung itu, dengan botol dan juga dengan tangan telanjang, dengan rantai sepeda dan batu. Mahasiswi-mahasiswi Ambon paling berapiapi dan saya hanya bisa berteriak-teriak: “Itu di sana dan di sini dan babat orang itu dan ... hei kalian yang di sana, pergi ke lab di lantai pertama dan jangan biarkan siapapun bisa masuk
57
Universitas Res Publica ke situ.” Dan pada saat itulah akhir dari semuanya itu dimulai; karena di tempat itulah para mahasiswa CGMI menginap. Barang-barang dan kasur mereka dibakar oleh para penyerbu sehingga menyebabkan bensin dan bahan kimia lainnya di dalam laboratotium jurusan farmasi meledak seperti bunyi tembakan. Dengan menggenggam batu yang tidak sampai saya lemparkan ke gerombolan liar anti-Soekarno, anti-komunis dan anti-Tionghoa, saya sebagai komandan di tengah medan perkelahian tanpa persiapan strategi, hanya bisa memberikan perintah-perintah taktis : “lindungi perpustakaan hukum, di sana ada banyak bahan-bahan ilmiah yang berharga dan mudah terbakar, buku-buku Bouwman”. Itulah yang pertama mampir di kepala saya dan sebenarnya itulah satu-satunya yang menjadi komando saya. Klinik Ilmu Kedokteran Gigi yang ada di pinggir jalan adalah gedung pertama yang dimusnahkan gerombolan tersebut. Klinik ini adalah tempat yang kerap dikunjungi para penduduk miskin yang tinggal di sekitar untuk mencabut atau menambal gigi dengan ongkos beberapa rupiah saja. Massa penyerbu yang histeris itu tidak punya strategi: Apa yang harus mereka musnahkan? Sebuah gagasan komunisme dan Ketionghoaan? Kemudian datang Polisi Militer dengan senjata menembaki laboratorium. Saya ditarik, diamankan dari tempat itu oleh para mahasiswa Ureca yang sangat marah sekali. Salah seorang dari mereka, Khouw Thian Tiong alias Benny G. Setiono yang pada tahun 2008 menerima Wertheim Award, masih memegang rantai sepeda di tangannya. Saya menghibur mereka dengan janji penuh kegeraman: “Kita akan membangun Ureca yang lebih bagus lagi, kita akan menang!”. Ini adalah kata-kata yang keluar dari kemarahan, kebencian dan keyakinan yang saya rasakan pada saat itu. Di antara para pembela Ureca juga ada keponakan saya Liem Soei Liong, mahasiswa kedokteran dan anggota Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Dia marah sekali ketika melihat di antara para penyerang itu ada juga sesama anggota organisasinya yang juga mahasiswa Ureca. Ia ikut berkelahi di pihak kami, dan tak lama setelah peristiwa itu, ia menjadi anggota gerakan pemuda nasionalis kiri, GMD (Gerakan Mahasiswa Djakarta). Begitu serangan dimulai, saya meminta Sunito untuk meminta bantuan dan perlindungan dari pos polisi di belakang universitas.
58
Sejarah dan Perkembangan
Tetapi, kemudian saya dengar dari dia sendiri bahwa waktu itu polisi bukannya mengusir para agresor tetapi Sunito malah langsung ‘in Schutzhaft’ (istilah khas Orba: “diamankan”). Yang pertama memeluk saya seusai “battle of URECA” itu, adalah Anton Siauw Giok Bie yang kebetulan hadir ketika di rumah kakaknya ketika keputusan diambil untuk menyingkirkan mahasiswa CGMI yang tidak diundang itu, dari kompleks Ureca. “Kalian pergi saja duluan, saya nanti menyusul” katanya kepada Sunito dan saya. Ternyata ketika ia tiba di kampus Ureca, ia tidak bisa masuk, walaupun berkeinginan masuk membantu saya. Ia berkata –dengan nada marah dan bingung, dalam bahasa Indonesia dialek Tionghoa Jawa Timur “mbok kira gua ndak tamsuya, tapi baju ijo dan di belakangnya pemadam api mencegah gua” (= jangan kira kira saya tidak setia kawan, tetapi tentara dan di belakangnya pemadam api mencegah saya). Inilah bukti bahwa penghancuran Ureca itu terorganisir. Pogrom Yahudi Eropa tidak pernah spontan, tapi selalu dipersiapkan dengan matang sebelumnya, maka begitu pula pogrom Tionghoa di masa Indonesia modern pada saat munculnya Orba, yaitu Orba yang dipimpin oleh militer. Sebuah universitas yang unik telah dibangun, setelah selama bertahun-tahun didorong oleh idealisme tanpa pamrih Pengurus Yayasan dan khususnya para dosen dari dua fakultas tertua, Fakultas Teknik dan Fakultas Kedokteran Gigi. Universitas ini berdiri sebagai respons dari kebijakan pemerintah yang melakukan diskriminasi rasial Tionghoa. Ia didirikan karena Baperki sadar sebagai organisasi yang para anggotanya adalah warga negara Indonesia yang baik, dengan kemampuan sendiri dan modal sendiri, sesuai dengan harapan Presiden Sukarno untuk Berdikari: berdiri di atas kaki sendiri harus berpartisipasi dalam menjamin tersedianya pendidikan untuk sebanyak mungkin warga negara Indonesia. Baperki membangun sebuah universitas untuk seluruh bangsa Indonesia, baik untuk “WNI” maupun untuk “WNA” dan juga “asli”. Ilmu pengetahuan adalah universal. Dalam waktu sekejap itu dihancurkan. Berhari-hari setelah kejadian itu Kiem Goan, penjaga universitas kami – oleh para mahasiswa ia mendapat nama panggilan yang kurang terhormat “centeng” – melaporkan bahwa truk-truk masih terus berdatangan untuk mengangkut barang-barang yang tidak rusak, terutama yang dari Fakultas Teknik. Dia juga melaporkan bahwa setelah para pemiliknya melarikan diri, penduduk kampung yang tinggal di belakang kompleks Ureca menduduki rumah dosen dan juga lahan-lahan kaveling kosong milik para
59
Universitas Res Publica pembeli tanah Ureca. Kuliah tidak berjalan lagi. Para mahasiswa berada dalam ketidakpastian masa depan mereka. Setelah beberapa hari berada dalam ketegangan yang tak terhingga, ketua yayasan Siauw menyarankan kepada saya untuk pergi bersama-sama ke Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan. Dalam situasi yang diwarnai intimidasi ini, tidaklah mungkin bagi kami untuk mengadakan rapat yayasan. Tujuan kami ke Departemen tersebut adalah untuk mengusulkan bahwa demi kepentingan mahasiswa kami, selama kepengurusan Yayasan Baperki tidak dapat memenuhi tugasnya, manajemen Ureca kami serahkan kepada pemerintah. Teks surat usulan telah ditulis dan diketik Siauw sebelumnya. Saya hanya harus membubuhkan tanda tangan saya di surat itu. Sekjen Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan pada waktu itu, Jenderal Prof. Dr. Syarif Thayeb, dan menteri, yang juga seorang perwira, menerima pernyataan kami dengan dingin. Dia mengganti nama Ureca dengan Unversitas Trisakti, judul salah satu pidato Bung Karno -- se-olah-olah mengikuti apa yang Baperki lakukan -- dan menunjuk seorang beragama Katolik, Drs. Ferry Sonneville, pemain bulu tangkis terkenal, sebagai Ketua Yayasan Trisakti. Di mata saya hal ini bisa dikatakan sebuah tindakan aneksasi ilegal atas Ureca – Pengurus Yayasan Pendidikan dan Kebuda-yaan Baperki hanya menyerahkan manajemen universitas, bukan menyerahkan hak milik hukum Ureca. Saya adalah sekretaris yayasan yang masih hidup. Hak milik di sini termasuk gedung-gedung, rumah-rumah para dosen dan kaveling-kaveling tanah yang masih kosong di bekas kuburan kuno milik para pembeli - seperti yang telah disebut sebelumnya - yang dengan pembelian kaveling itu mereka telah memberikan dukungan materi untuk pembangunan Ureca. La-han kompleks Ureca sampai sekarang secara hukum masih dimiliki oleh Buyung Saleh. Akibat kelalaian pengurus Yayasan, di mana saya juga salah seorang anggotanya, proses balik nama tidak pernah dibuat. Surat akta kepemilikan tanah dari para pemilik kaveling yang bukan hanya disimpan oleh notaris Sie Khwan Djoe, tetapi juga oleh Dr. Tan Eng Tie, harus diserahkan kepada rektor Drs. Ferry Sonneville. Tampaknya pada tahun 2014 sekarang ini, pada waktu saya menceritakan kisah tentang Ureca ini, di Jakarta dibuka kembali persidangan mengenai perkara hak milik Ureca. Semoga cerita saya dapat memberikan sumbangan sejarah Ureca yang sebenarbenarnya.
60
Sejarah dan Perkembangan
Epilog Saya pernah membaca laporan wartawan Aad van den Heuvel (pada tahun 1991 diterbitkan sebagai buku, berjudul, Stenen Tijdperk). Sepulangnya Van den Heuvel dari Indonesia, professor W.F. Wertheim, teman baik saya, bertemu dengan Van den Heuvel, yang menerangkan bahwa seorang Pater Beek, yang menyuruh mahasiswa asuhannya untuk menghancurkan Ureca. Keterangan ini menerangkan bahwa Pater Joop Beek S.J. memegang peranan yang sangat penting dalam merencanakan siasat menggulingkan pemerintahan Sukarno “yang komunis”. Kesimpulan saya setelah membaca buku itu yalah bahwa pater ini banyak belajar dari sejarah kaum Nazi Jerman bagaimana membasmi komunis. Di Jerman antisemitisme dipakai untuk membasmi komunisme. Di Jakarta pater Beek menggunakan “masalah Cina” (=anti Cinicisme) sebagai dongkrak untuk menghasut masa mengganyang Cina sekaligus komunis. De-ngan menggunakan kaum minoritas Tionghoa sebagai dongkrak untuk menghapus ‘masalah Cina’ seperti yang Hitler lakukan terhadap orang Yahudi. Setelah Jenderal Suharto lengser (1998), diterbitkan beberapa buku lain tentang rohaniawan Jesuit itu. Konon dialah orang CIA yang menentukan siasat penggulingan, bahkan yang menulis pidato-pidato jenderal Ali Murtopo, yang anti-Sukarno, demikian menurut Giebels dalam bukunya berjudul De stille genocide Genosida tersembunyi -. Dalam buku ini diceritakan bahwa Pater Beek adalah moderator Kongregasi Maria – organisasi pemuda di bawah asuhan ordo Jesuit, yang juga mencakup PMKRI, dan di antara para mahasiswa itu ada yang “berdedikasi untuk melawan komunisme”. Ia menyebut nama empat mahasiswa, yaitu Cosmas Batubara (Ketua PMKRI) dan tiga nama Tionghoa, yaitu Harry Tjan Silalahi - oleh Giebels salah dinyatakan sebagai Tjan Tjoe Som, profesor Sinologi kenamaan dan beragama Islam -, dan dua bersaudara Liem Bian Kie dan Liem Bian Kun (kemudian mereka berganti nama keluarganya, menjadi Wanandi). Melalui Kaderisasi Sebulan (Kasbul) di Wisma Retret Samadi di Jakarta Timur mereka digembleng jasmaniah dan diindoktrinasi dengan sangat intensif untuk membasmi komunisme dan “Cina merah”. Doktrin Nazi “Der Bolsjewismus von Mozes bis Lenin” – Doktrin Bolsyewisme, dari Yahudi Musa hingga Komunis Lenin diterapkan di Indonesia dengan semboyan “Komunis adalah Cina”, “Baperki Kasir PKI”, “SubanDrio anjing Peking”. Pada bulan
61
Universitas Res Publica April tahun1966 Jozef Liem Bian Kun (belum ganti nama menjadi Wanandi) menyerukan di Lapangan Banteng dalam rangka pengganyangan “Komunis dan Cina”: “sediakan beberapa kapal di Tanjung Priok, muat di situ semua Cina, layar ke Teluk Jakarta, lempar ke laut Komunis itu, suruh berenang kembali ke Negeri Cina”. Di Lapangan Banteng terletak Kilidikus (Kompi Penyelidik Khusus), tempat tahanan G30S sebelum mereka dipindahkan ke Penjara Salemba atau dibebaskan. Kata-kata yang keluar dari seorang yang dirinya sendiri berasal dari etnis Tionghoa, masih menggema dalam telinga saya, seorang etnis Tionghoa pula yang pernah meringkuk di Kilidikus itu. Ini pengalaman pribadi saya. Giebels menulis: “... Pater Beek heeft over twee van zijn studenten verteld dat ze de stelling huldigden –en in praktijk brachten op 16 oktober 1965- ‘iedere dag tenminste éen communist om zeep brengen’ ” (Pater Beek menceritakan bahwa dua muridnya berpendirian – dan juga mempraktekkannya pada tanggal 16 Oktober 1965 - ‘tiap hari sedikitnya kita habiskan satu orang komunis’). Dengan tulisan ini, tercatat dalam sejarah etnis Tionghoa, bahwa pada kurun waktu pemerintahan Orde Baru pertama kali seorang etnis Tionghoa dengan politik asimilasinya dan peng-ganyangan Baperki dan PKI menjalankan genosida pada golo-ngannya sendiri.
62
Sejarah dan Perkembangan
Go Gien Tjwan, Siauw Giok Tjhan dan Tjoa Sik Ien Amsterdam 1980
63
Universitas Res Publica Sejarah Pendidikan Indonesia dan Jiwa Ureca Dali Santun Naga Uraian sejarah tentang perguruan di Indonesia bukanlah hal yang sederhana. Dikatakan kita tidak mengetahui sejarahnya, rasanya kita tahu. Tetapi kalau dikatakan kita mengetahui sejarahnya, rasanya sepertinya kita tidak tahu. Karena itu, tulisan tentang sejarah perguruan di Indonesia dari sekolah sampai perguruan tinggi ini adalah kisah seadanya. Kisah ini berasal dari beberapa sumber. Dan salah satu sumber kisah ini adalah buku Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1979. Kesulitan pertama dalam menguraikan sejarah sekolah adalah apa yang dinamakan sekolah? Pendidikan bagaimana yang dapat dianggap sebagai sekolah dan pendidikan bagaimana yang tidak dapat dianggap sebagai sekolah? Pengertian sekolah ini akan membedakan sejarah sekolah dari sejarah bukan sekolah. Banyak hal tentang sekolah yang tidak pasti, namun ada hal yang pasti yakni asal usul kata sekolah. Kata sekolah berasal dari Yunani kuno lebih dari dua ribu tahun yang lampau. Di Athena, pada zaman itu, anak-anak yang sedang skhole, biasanya belajar dari para paedagogos. Di sini skhole berarti waktu senggang. Jadi kata skhole yang berarti waktu senggang inilah yang kemudian berubah menjadi kata sekolah yang kita kenal sekarang. Kata sekolah ini masuk ke Indonesia melalui beberapa jalur yakni melalui bahasa Portugis dan bahasa Belanda. Di dalam tulisan ini, kata sekolah kita berikan arti yang bersifat karet. Asal berkenan di hati, semua macam pendidikan kita terima sebagai sekolah. Belajar di langgar, di pesantren, guru ke rumah, ya, boleh juga dianggap sebagai sekolah selama anggapan ini berkenan di hati. Dengan arti karet seperti ini, maka sesungguhnya sekolah sudah ada di Indonesia sejak berabad-abad yang lampau. Sekolah sudah ada sejak zaman kedatuan Sriwijaya. Pendeta Yi-cing yang berlayar dari Guang Zhou menuju India pada abad ke-7 telah singgah dan tinggal sementara di Sriwijaya. Di Sriwijaya, ia menemukan ratusan pelajar yang sedang belajar agama Buddha. Pelajaran ini adalah pelajaran pendahuluan sebelum mereka meneruskan pelajaran mereka ke India. Bahkan sebelum meneruskan perjalanan ke India, Yicing belajar bahasa Sansekerta di Sriwijaya. Salah seorang
64
Sejarah dan Perkembangan
guru yang tenar pada zaman itu bernama Sakyakirti. Dengan demikian, sekolah sudah ada sejak zaman Sriwijaya. Pada zaman Singasari dan Majapahit, dari abad ke-11 sampai abad ke-15, kita mengenal sejumlah empu seperti Empu Kanwa, Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Dharmaja, Empu Prapanca, Empu Tantular. Mereka merupakan empu terpelajar yang menulis sejumlah karya yang terkenal seperti Arjuna Wiwaha, Nagarakratagama, sampai karya terkenal lainnya seperti Sotasoma dan Pararathon. Sebelum menjadi empu, di manakah mereka ”bersekolah?” Ternyata pada zaman itu terdapat dua macam guru. Ada guru yang diundang dan tinggal di keraton untuk mengajar kaum bangsawan. Ada juga guru yang bertapa di tempat yang sunyi dan didatangai oleh orang awam untuk berguru. Pada zaman kerajaan Demak, pendidikan terjadi di langgar, di pesantren, dan di madrasah. Dengan arti yang serba karet, pendidikan di langgar dan di pesantren kita golongkan juga ke dalam sekolah pada zaman itu. Sebenarnya pesantren sudah ada sejak zaman sebelum kerajaan Demak yang dilakukan oleh para pendeta Hindu. Kemudian pada zaman kerajaan Demak, pesantren diteruskan oleh para kiai serta terus ada sampai sekarang. Madrasah yang dirintis oleh Nizam el-Mulk pada abad ke-11 di dunia Arab masuk ke Indonesia dan bertahan sampai sekarang, tentunya, dengan sejumlah pembaharuan pada sistem pendidikannya. Kemudian datang orang Portugis untuk mencari rempah-rempah di Maluku. Pada waktu bersamaan, biarawan ordo Fransciscus dan ordo Jesuit melaksanakan pendidikan agama Katolik di Maluku. Salah satu nama pada zaman itu yang terkenal sampai sekarang adalah Xaverius dari ordo Fransiscus. Pada tahun 1536, Antonio Galvano, sebagai pejabat Portugis, mendirikan sekolah seminari di Maluku. Namun setelah itu Belanda datang dan berkuasa di Indonesia sehingga kisah sekolah beralih dari tangan Portugis ke tangan Belanda. Mula-mula pendidikan dilakukan pada zaman VOC dan kemudian pada zaman pemerintah Hindia Belanda. Agama utama Portugis adalah Katolik sedangkan agama utama Belanda adalah Protestan. Pengaruh VOC sudah ada di Maluku sejak tahun 1605. Sejak waktu itu, sekolah Portugis yang Katolik diambil alih oleh VOC yang orang Belanda dan diubah menjadi sekolah Protestan. Pada tahun 1607 Cornelis Matelief berusaha menjadikan Ambon sebagai koloni Belanda
65
Universitas Res Publica dengan menjadikan bahasa Belanda sebagai bahasa seharihari. Dari Maluku, pengaruh Belanda menyebar ke utara sampai ke Sulawesi Utara termasuk kepulauan Sangir, Talaud, dan Siau. Pada tahun 1695 di wilayah itu sudah ada 29 sekolah. Pengaruh VOC kemudian melebar ke tenggara Maluku sampai ke Timor. Di bagian barat Indonesia, VOC mulai mendirikan sekolah di Batavia. Sekolah pertama didirikan pada tahun 1617 yang kemu dian berkembang menjadi sekolah Betawi (Bataviasche School). Pada tahun 1630, sekolah Betawi ini berubah menjadi sekolah penduduk (Burgerschool). Pada tahun 1636 Burgerschool bertambah menjadi tiga sekolah. Semua sekolah itu adalah sekolah dasar. Di samping itu, di Batavia pernah juga berdiri sekolah Latin yang menggunakan bahasa Latin, namun sekolah ini tidak lama berdiri. Demikian pula dengan Seminarium Theologicum yang dibuka dan tidak lama kemudian ditutup. Nasib yang sama dialami oleh Akademi Pelayaran (Academie der Marine). Pada waktu itu, orang Tionghoa tidak memperoleh kesempatan untuk bersekolah. Paling-paling mereka mengundang guru untuk belajar ajaran Konghucu di rumah. Pada tahun 1737, VOC membuka sekolah untuk anak-anak Tionghoa yang miskin. Namun tiga tahun kemudian ketika terjadi pembunuhan orang Tionghoa pada tahun 1740, sekolah itu pun tutup. Pada tahun 1735 dan 1787 sekolah demikian dibuka kembali namun diselenggarakan dengan biaya masyarakat Tionghoa sendiri. Pada akhir abad ke-18, VOC mengalami kebangkrutan. Daerah VOC di Indonesia diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Sejak saat itu secara resmi wilayah Indonesia menjadi tanah jajahan yang dikenal sebagai Hindia Belanda. Sekolah pun berada di bawah pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah negeri dengan berbagai nama dan versi. Pada zaman Hindia Belanda, dikenal adanya sekolah negeri dan sekolah swasta. Sekolah negeri terbagi menjadi sekolah umum, sekolah khusus, dan sekolah kejuruan. Rinciannya cukup rumit karena ada sekolah yang dibuka dan kemudian ditutup, ada sekolah yang berganti nama, ada sekolah yang lama studinya bertambah, serta ada sekolah dengan jenjang berbeda dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Ada juga sekolah dengan peruntukan yang berbeda berdasarkan golongan masyarakat seperti kaum bangsawan dan umum, etnis Eropa, etnis bumiputera dan etnis Tionghoa. Kita lihat sekolah umum negeri. Pada tahun 1818, Belanda
66
Sejarah dan Perkembangan
mendirikan sekolah dasar tujuh tahun khusus untuk orang Belanda dengan nama Europeesche Lagere School (ELS). Kemudian pada tahun 1860, Belanda mengadakan lagi sekolah menengah khusus untuk orang Belanda dengan nama Gymnasium Willem III yang kemudian diubah namanya menjadi sekolah menengah lima tahun dengan nama Hogere Burgerschool (HBS). Pada tahun 1848 Belanda mendirikan dua macam sekolah dasar lima tahun khusus untuk bumiputera dengan nama Sekolah Dasar Kelas Satu (De Scholen der Eerste Klasse) bagi kaum priyayi serta Sekolah Dasar Kelas Dua (De Scholen der Tweede Klasse) bagi kaum bumiputera. Pada tahun 1914, Sekolah Dasar Kelas Satu diubah menjadi sekolah dasar tujuh tahun dengan nama Hollandsch Inlandsch School (HIS). Khusus di Ambon pada tahun 1922 diadakan Ambonsche Burgerschool yang kemudian berubah menjadi HIS. Selain itu pernah ada sekolah Jawa dengan nama Hollandsch Javaansche School. Pada tahun 1908, Belanda mendirikan sekolah dasar khusus untuk golongan Tionghoa dengan nama Hollandsch Chineesche School (HCS). Dengan demikian, anak Belanda masuk ELS, anak bumiputera masuk HIS, dan anak Tionghoa masuk HCS. Sebagai kelanjutan dari HIS, pada tahun 1914, diadakan sekolah lanjutan tiga sampai empat tahun dengan nama Meer Uitgebreide Lager Onderwijs (MULO). (Beberapa waktu yang lalu Sekolah Menengah Pertama diberi nama Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yakni nama yang meniru MULO). Pada tahun 1915, sebagai kelanjutan dari MULO, diadakan sekolah tiga tahun dengan nama Algemeene Middelbareschool (AMS). (Nama Sekolah Menengah Umum (SMU) adalah nama yang meniru AMS). MULO dan AMS juga terbuka untuk lulusan HCS. Ada juga lulusan HCS yang masuk HBS. Pada tahun 1907, di desa, Belanda mendirikan sekolah desa tiga tahun dengan nama Volkschool dan pada pada tahun 1914 diadakan lanjutan dua tahun bagi sekolah desa dengan nama Vervolgschool. Untuk itu sebagai peralihan diadakan Schakelschool. Di sejumlah desa sekolah tiga tahun ini dikenal sebagai Bestuur Volkschool (BVS). Selain sekolah umum terdapat sekolah khusus. Pada umumnya sekolah khusus diadakan bagi bumiputera untuk dapat diangkat menjadi pegawai. Pada tahun 1865 Belanda mendirikan sekolah raja atau Hoofden School. Pada tahun 1900, sekolah ini diubah menjadi Opleidingschool voor Inlandsche Amtenaren (OSVIA).
67
Universitas Res Publica Kemudian diadakan lagi sekolah tingkat menengah dengan nama Middelbaar OSVIA (MOSVIA). Dan khusus untuk serdadu di Ambon diadakan Ambonsche Soldatenschool. Sekolah kejuruan banyak jenisnya. Ada sekolah guru yang didirikan di Ambon pada tahun 1834 dengan nama Kweekschool. Pada tahun 1851, dikenal tiga macam sekolah guru yakni Normaalschool, Kweekschool, dan Hollandsch Inlandsch Kweekschool (HIK). Selain itu ada sekolah kejuruan pertukangan yang didirikan pada tahun 1856 dan kemudian lagi pada tahun 1873 dengan nama Ambachtsschool dan pada tahun 1906, sekolah ini berubah menjadi sekolah teknik dengan nama Technisch Onderwijs. Ada juga sekolah pertukangan dengan nama Ambachts Leergang serta pada tahun 1881 muncul sekolah pekerjaan tangan dengan nama Handwerkschool serta sekolah kerajinan tangan dengan nama Nijverheidschool. Pada tahun 1911 Belanda mendirikan sekolah dagang dengan nama Handels Onderwijs. Ada juga sekolah pertanian yang dimulai pada tahun 1903 dengan nama Landbouwschool, pada tahun 1911 sekolah ini menjadi Cultuurschool, dan pada tahun 1911 juga, sekolah ini dilengkapi dengan sekolah menengahnya yang bernama Middelbaar Landbouwschool. Untuk para putri, pada tahun 1824 Belanda mendirikan sekolah gadis bernama Instittut voor de Opvoeding van Jonge Jufvrouwen. Pada tahun 1918 muncul sekolah anak perempuan bernama Meisjes Vakonderwijs. Pendidikan kedokteran dimulai dari pendidikan juru cacar pada tahun 1811. Pada tahun 1849 Belanda mendirikan pendidikan dokter Jawa. Pada tahun 1875, mereka dijadikan ahli kesehatan bumiputera yakni Inlandsche Geneeskundige. Pada tahun 1902 mereka dijadikan dokter bumiputera atau Inlandsche Arts melalui pendidikan di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA). Pada tahun 1913 sekolah ini diubah menjadi Nederlandsch Indische Artsenschool (NIAS) untuk menghasilkan Indische Arts. Dan pada tahun 1927, sekolah ini diubah lagi menjadi sekolah tinggi kedokteran dengan nama Geneeskundige Hoogeschool (GHS). Pada tahun 1922 Belanda mendirikan sekolah hukum bernama Rechtschool dan pada tahun 1924 sekolah ini dijadikan sekolah tinggi hukum bernama Rechts Hoogeschool (RHS). Dan pada tahun 1920 di Bandung didirikan sekolah teknik tinggi dengan nama Technische Hoogeschool (THS). Tiga sekolah ini yakni GHS, RHS, dan THS merupakan perguruan tinggi pada zaman Hindia Belanda. Mereka kemudian menjadi cikal bakal Universiteit van
68
Sejarah dan Perkembangan
Indonesie setelah Perang Dunia kedua. Selain sekolah negeri, pada zaman Hindia Belanda, terdapat sejumlah sekolah swasta. Pesantren yang awalnya adalah pendidikan Hindu, kemudian digunakan untuk pendidikan Islam. Biasanya para santri datang untuk belajar pada kiai tertentu sehingga terbentuklah pesantren. Madrasah yang dimulai oleh Nizam El-Mulk pada abad ke-11, berkembang menjadi madrasah ibtidaiyah setara dengan SD, madrasah tsanawiyah setara dengan SMP, madrasah aliyah setara dengan SMA, dan madrasah ma’had sebagai persiapan untuk masuk perguruan tinggi. Sekolah swasta juga didirikan oleh kelompok Kristen. Pada tahun 1898 didirikan Lyceum dan kemudian didirikan berbagai sekolah sehingga pada tahun 1938 tercatat sebanyak 1899 sekolah kristen. Sekolah swasta juga didirikan oleh kelompok Katolik sejak VOC membolehkan pendirian sekolah katolik. Pada tahun 1889, para biarawati dari Santa Ursula mendirikan sekolah guru putri. Kemudian berdiri berbagai sekolah katolik lain sehingga pada tahun 1938 tercatat sebanyak 689 sekolah katolik. Tiong Hoa Hwee Koan mendirikan sekolah pada tahun 1901 dan disusul oleh sekolah sejenis di berbagai daerah sehingga mencapai 235 sekolah Tiong Hoa Hwee Koan di berbagai daerah. Pada tahun 1911, KHA Dahlan mendirikan perguruan Muhammadiyah dengan berbagai sekolah sehingga kemudian pada tahun 1938 tercatat sebanyak 881 sekolah. Taman Siswa mulai mendirikan sekolah sejak tahun 1922 sehingga pada tahun 1942 tercatat sebanyak 766 sekolah. Nahdatul Ulama mendirikan sekolah ma’arif sejak tahun 1932. Sekolah swasta ini terdiri atas SD, SMP, dan SMA termasuk Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. Pada tahun 1942, tentara Jepang menduduki Indonesia. Semua sekolah Belanda ditutup dan bahasa Belanda dilarang. Sekolah lainnya dipilah sehingga ada sekolah yang boleh terus berlangsung dan ada sekolah yang ditutup. Perguruan tinggi yang ada diberi nama Jepang. Dengan dilarangnya bahasa Belanda maka sekolah dan perguruan tinggi menggunakan bahasa Indonesia. Hal in berlangsung sampai tahun 1945 pada saat tentara Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Semua perguruan ini merupakan perintis dari semua perguruan yang ada ketika negara Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
69
Universitas Res Publica Setelah proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, sekolah yang ada sebelumnya terus berlangsung. Ada sekolah yang terus menggunakan bahasa Indonesia namun ada sekolah yang kembali menggunakan bahasa Belanda sementara sekolah Tionghoa menggunakan bahasa Tionghoa. Baru pada tahun 1952 sekolah berbahasa Belanda mulai beralih ke bahasa Indonesia. Perguruan tinggi mengalami perubahan. Pemerintah mendirikan Universiteit Gadjah Mada di Yogyakarta. Belanda yang kembali ke Jakarta menggabungkan perguruan tinggi menjadi Universiteit van Indonesie. Dan pada tahun 1950 Universiteit van Indonesia menjadi Universiteit Indonesia. Dan pada tahun 1956, isitilah perguruan tinggi diseragamkan menjadi universitas. Menjelang akhir tahun 1950-an dan tahun 1960-an, kampus Universitas Indonesia di luar Jakarta dilepaskan dari Universitas Indonesia menjadi institut dan universitas yang berdiri sendiri. Bersama itu di setiap provinsi mulai didirikan universitas negeri. Jiwa Ureca Menjelang akhir tahun 1950-an tidak mudah bagi lulusan SMA untuk dapat diterima menjadi mahasiswa di perguruan tinggi. Pada waktu itu, calon mahasiswa sangat banyak tetapi jumlah perguruan tinggi sangat sedikit. Banyak calon mahasiswa memperebutkan daya tampung yang kecil di perguruan tinggi yang ada. Banyak calon mahasiswa yang tidak berkesempatan menjadi mahasiswa apalagi kalau para lulusan SMA itu Tionghoa. Untuk menampung aspirasi demikian banyaknya lulusan SMA yang ingin menjadi mahasiswa, mulai lahirlah perguruan tinggi swasta. Pada tahun 1958, lahirlah Universitas Baperki dan pada tahun 1959, lahir juga Universitas Tarumanagara. Perguruan tinggi swasta lainnya lahir secara susul menyusul. Bahkan perguruan tinggi negeri pun kemudian didirikan di setiap provinsi. Pada awalnya Universitas Baperki lahir di Jakarta dengan dua fakultas yakni Fakultas Kedokteran Gigi dan Fakultas Teknik. Fakultas Kedokteran Gigi menempati gedung Sekolah Sin Hoa di Pasar Baru, Jakarta. Fakultas Teknik menempati ruang seperti gudang di Jalan Bandengan Selatan, Jakarta. Pada awal tahun 1960, saya menjadi dosen tetap pertama di Fakultas Teknik dengan berbagai tugas, termasuk tugas mengajar sampai ke Fakultas Kedokteran Gigi. Namun tidak lama kemudian, Fakultas Teknik berpindah alamat dari Jalan Bandengan Selatan ke Jalan Gunung Sahari II nomor 5.
70
Sejarah dan Perkembangan
Tugas saya meliputi jabatan sebagai ketua jurusan teknik elektro, membina perpustakaan, mendirikan laboratorium fisika dan laboratorium teknik elektro, serta berbagai pekerjaan lainnya. Berbeda dengan sekarang, struktur pimpinan fakultas pada zaman itu adalah dekan dan sekretaris. Dengan struktur seperti ini, pada suatu kurun waktu tertentu, saya sempat menjabat sebagai Sekretaris Fakultas Teknik. Tidak lama kemudian masuk dosen tetap lainnya. Tjan Soan Beng menjadi dosen tetap dan menjabat sebagai ketua jurusan teknik sipil. Setelah itu Pouw Tek Sioe menjadi dosen tetap dan menjabat sebagai ketua jurusan teknik mesin. Kemudian datang Tan Hing Bwan yang menjadi orang pertama yang menjabat sebagai Sekretaris Fakultas Teknik. Semangat belajar para mahasiswa Universitas Baperki sangat tinggi sekalipun pada waktu itu belum ada orang yang mengetahui bagaimana caranya mahasiswa ini lulus dan bisa memperoleh gelar akademik. Pada waktu itu, pemberian gelar akademik hanya dilakukan oleh perguruan tinggi negeri. Bagaimana caranya lulusan perguruan tinggi swasta memperoleh gelar akademik masih merupakan sebuah misteri. Sekalipun demikian, Universitas Baperki terus bertumbuh dengan menambah jenis fakultas serta menambah kampus di luar Jakarta. Merasa sudah cukup besar, pada tahun 1963 Universitas Baperki menjelma menjadi Universitas Res Publica dan dikenal dengan singkatannya Ureca. Bersama itu fakultas di Jakarta berpindah dari Pasar Baru dan Gunung Sahari ke kampus di Grogol. Rektor pertama adalah Ferdinand Lumban Tobing. Dan ketika rektor pertama meninggal dunia, diangkat sebagai rektor kedua Utami Suryadarma. Fakultas Teknik Ureca sempat meluluskan tiga orang dengan status lulusan lokal yang diakui oleh departemen PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan). Tetapi sebelum lulusan-lulusan lokal ini bermunculan, terjadilah perubahan politik yang melahirkan pemerintah orde baru dengan kebijakan baru yang berkaitan dengan perubahan politik pada akhir tahun 1965. Orde Baru di bawah pimpinan Jendral Suharto berdiri. Pada awal zaman orde baru inilah kampus Ureca di Grogol dibakar dan diambil alih. Di atas kampus Ureca ini muncul Universitas Trisakti. Sejak saat itulah Ureca menjadi almarhum dan mahasiswanya berpencaran. Sebagian mahasiswa Ureca ditampung oleh Universitas Trisakti dan sebagian lainnya tidak memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi mereka.
71
Universitas Res Publica Karena itu, sebagian di antara mereka tidak melanjutkan studi dan sebagian lagi pergi bermukim ke luar negeri. Demikianlah mantan mahasiswa Ureca berpencaran ke berbagai tempat. Ada di antara mereka tetap di Indonesia, ada yang di Tiongkok, ada yang di Belanda, ada yang di Jerman, dan entah di mana lagi. Sekalipun Ureca sebagai lembaga sudah tidak ada namun jiwa Ureca masih bermukim di setiap mantan mahasiswanya yang kini sudah berpencar ke segala penjuru dunia. Kemudian para mantan mahasiswa Ureca menyelenggarakan reuni. Reuni yang satu disusul oleh reuni berikutnya. Reuni pada tahun 2010 diselenggarakan di kota Cirebon. Dengan adanya teknologi informasi, selain reuni, para mantan mahasiswa Ureca membentuk sebuah mailing list. Setiap hari puluhan surat elektronik berlalu lalang di internet di antara para anggota mailing list. Belakangan ini di dalam lalu lalangnya surat elektronik tersebut muncul pertanyaan baru. Kalau Sekolah Pahoa yang ditutup pada tahun 1966, kemudian hidup kembali pada tahun 2008, apakah tidak mungkin, Ureca juga dihidupkan kembali. Entah sampai di mana pertanyaan ini akan bergulir namun itu mencerminkan sebuah kenyataan bahwa jiwa Ureca masih hidup. Dalam kondisi sekarang ini, jiwa itu akan bertahan hidup sepanjang umur para mantan mahasiswanya. Dan umur itu makin lama makin menjadi tua.
72
Organisasi dan Kemahasiswaan
Perndirian dan Perkembangan URECA Sie Ban Hauw Pendahuluan Pada tahun 1957 sebagian besar siswa Tionghoa bersekolah di sekolah-sekolah Tionghoa, yang bahasa pengantarnya bahasa Tionghoa. Pada waktu itu bahasa Tionghoa yang digunakan sehari-hari di sekolah-sekolah Tionghoa dikenal sebagai Tjeng Iem atau Kuo Yu. Kini lebih dikenal sebagai bahasa Mandarin. Pada tahun itu keluar Peraturan Pemerintah yang mengharuskan siswa WNI keluar dari sekolah-sekolah Tionghoa dan diharuskan masuk ke sekolah negeri atau swasta nasional. Sekolah-sekolah Tionghoa hanya diperkenankan menerima siswa WNA (Warga Negara Asing). Adanya Peraturan Pemerintah tersebut mendorong Asosiasi Perkumpulan – Perkumpulan Tionghoa – Chiao Lien/Chung Hua Chung Hui berinisiatif mencari jalan keluar supaya murid-murid sekolah Tionghoa yang orang tuanya berkewaraganegaraan Indonesia atau ingin menjadi warga negara Indonesia, bisa meneruskan pendidikan mereka. Maka dibentuklah sekolahsekolah penampungan, seperti YPP Jakarta, sekolah Indonesia Tionghoa (In Hwa) Semarang, YPPI Surabaya dan lain lainnya. Pada waktu yang bersamaan pengurus pusat Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI) ikut bergerak di bidang pendidikan. Baperki memperoleh simpati dan bantuan dari pengurus sekolah-sekolah Tionghoa, terutama bantuan dalam bentuk penyerah-terimaan gedung-gedung sekolah yang dibangun dengan dana komunitas Tionghoa di kota-kota besar. Pola kerja, komitmen dan kemampuan Baperki dalam mengelola institusi pendidikan penting artinya karena inilah sandaran kepercayaan komunitas Tionghoa terhadapnya. Pada tahun 1958 BAPERKI mendirikan dan meresmikan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki (YPK Baperki) yang dipimpin langsung oleh ketua umumnya, Siauw Giok Tjhan. Sekolah-sekolah dibawah YPK BAPERKI dirintis mulai dari Sekolah Dasar (SD), sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Setelah mendirikan SMA, BAPERKI menghadapi permasalahan baru, yaitu para lulusan Tionghoa SMA Baperki dan sekolah nasional swasta lainnya, tetap mengalami kesulitan untuk meneruskan studinya di UniversitasUniversitas Negeri, yang pada umumnya membatasi jumlah
73
Universitas Res Publica penerimaan mahasiswa Tiongjhoa tidak lebih dari 10%. Situasi inilah yang mendorong pimpinan BAPERKI untuk mendesak Siauw Giok Tjhan mendirikan Universitas Baperki. Langkah Besar Telah Ditetapkan Pada tahun 1958, Baperki mendirikan Akademi Ilmu Fisika dan Matematika. Tujuan utamanya adalah menghasilkan tenaga guru dalam bidang Fisika dan Matematika untuk kemudian mengajar di sekolah-sekolah Baperki. Pada waktu itu Baperki menghadapi kenyataan kurangnya tenaga pengajar dalam bidang ini. Sebagai Dekan pertama diangkat Ir. Lie Tjwan Tjay. Keberhasilan Baperki dalam mendirikan sekolah-sekolah dengan mutu pendidikan yang tinggi memperbesar animo para pedagang Tionghoa untuk menyumbang dana, sehingga Baperki memiliki kemampuan untuk terus berkembang dan meningkatkan kualitas institusi pendidikannya. Pada bulan September 1959 Fakultas Kedokteran Gigi dimulai dengan Drg. Be Wie Tjoen sebagai Dekan, dibantu oleh Drg. Tjia Soen Lee sebagai Sekretaris. Ini merupakan Fakultas Kedokteran Gigi swasta pertama di bumi Nusantara. Pada tanggal 10 November di tahun yang sama, Akademi Fisika dan Matematika diubah menjadi Fakultas Teknik dengan jurusan Mesin, Elektro dan Sipil. Ir. Poedjono Hardjoprakoso, kepala Pekerjaan Umum Kota Praja Jakarta Raya diangkat sebagai Dekan. Ir. Tan Hing Bwan diangkat sebagai Sekretaris. Ir. Tjan Swan Bing mengepalai jurusan Sipil, Ir. Jo Goan Lie jurusan Elektro dan Ir. Pouw Tek Sioe jurusan Mesin. Pada tahun 1960 Fakultas Ekonomi didirikan. Prof Dr. Ernst Utrecht diangkat sebagai Dekan, dibantu oleh Drs. Kho Tjong Kwie sebagai Sekretaris. Drs. Kho kemudian diganti oleh Drs. Sukotjo. Pada tahun yang sama Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat didirikan. Lie Oen Hock SH diangkat sebagai Dekan, dibantu oleh Sunito SH sebagai Sekretaris. Fakultas ini kemudian diubah namanya menjadi Fakultas Hukum. Pada tanggal 28 Oktober 1960, Hari Sumpah Pemuda, Baperki secara resmi mendeklarasikan berdirinya Universitas Baperki dengan keempat fakultas yang disebut di atas. Sebagai Rektor pertama, diangkat Dr. Ferdinand Lumban Tobing, teman baik Siauw Giok Tjhan di Parlemen. Dr FL Tobing adalah seorang dokter keturunan Batak yang pernah menjadi Menteri di dalam
74
Organisasi dan Kemahasiswaan
beberapa Kabinet di era Demokrasi Parlementer. Lahirlah sebuah universitas swasta yang kelak disegani masyarakat karena mutu pendidikannya. Pengukuhan Dr. FL Tobing sebagai Rektor dan Drs. Oey Hong Lee sebagai Sekretaris Universitas dinyatakan oleh Siauw Giok Tjhan sebagai pencerminan semangat Bhinneka Tunggal Ika, landasan program politik Baperki. Pada tahun 1962, Fakultas Kedokteran didirikan dengan Dr. Goedadi Wreksoatmodjo sebagai Dekan dan Dr. Tan Eng Tie sebagai sekretaris. Ini disusul dengan pendirian Fakultas Sastra, dengan Prof. Tjan Tjoe Siem sebagai Dekan dan Drs. Tan Sing Kwie sebagai Sekretaris. Pada tahun 1963, Rektor Dr. FL Tobing wafat. Siauw Giok Tjhan dan pengurus Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki mengangkat Nyonya Utami Suryadarma, isteri Kepala Staf Angkatan Udara Indonesia, Komodor Suryadarma, sebagai penggantinya. Ia menjadi rektor wanita pertama di Indonesia. Ia dibantu oleh Ir Soeharjo sebagai Sekretaris. Pada tanggal 28 Oktober 1963 berketepatan dengan ulang tahun Universitas Baperki ke 3 dan peringatan hari Sumpah Pemuda, Universitas Baperki diubah namanya menjadi Universitas Res Publica. Siauw Giok Tjhan memilih nama ini dan diambil dari judul pidato Presiden Soekarno di sidang Konstituante pada tahun 1959: “Res Publica, sekali lagi Res publica” (untuk kepentingan publik atau umum). Pada tahun 1963, setelah kongres Baperki yang dibuka oleh Presiden Soekarno di Senayan, diresmikan pula Fakultas ilmu Pendidikan dengan Dr. Busono Wiwoho sebagai Dekan dan Drs. Soeprijo sebagai Sekeretaris. Pada tahun 1959, Tan Kah Kee, pemimpin Tionghoa yang menetap di Singapura, teman Siauw sejak zaman pendudukan Jepang, menawarkan kepada Siauw tanah miliknya yang terletak di dekat Ancol Jakarta untuk membangun gedung Universitas secara cuma-cuma. Akan tetapi setelah ditinjau, tanah itu memerlukan ongkos pengurukan yang besar. Oleh karena itu diputuskan untuk membangun gedung universitas di tanah yang disediakan untuk Baperki oleh Gubernur Jakarta, Sumarno, di Grogol, yang dikenal sebagai Kampus A. Sebelum gedung-gedung di kampus A selesai dibangun, kuliahkuliah kedokteran gigi diadakan di sekolah-sekolah Sin Hwa di Pasar Baru, sedangkan untuk fakultas teknik diadakan di
75
Universitas Res Publica Bandengan Utara, kemudian pindah ke Gunung Sahari. Setelah universitas Baperki resmi didirikan pada tahun 1960, semua kuliah untuk Fakukltas Kedokteran Gigi, Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum dan Fakultas Kedokteran diadakan di Kampus A. Kuliah-kuliah para Fakultas lainnya masih menumpang di sekolah-sekolah Baperki. Ureca berkembang pesat. Kampus A yang sudah selesai dibangun tidak cukup menampung jumlah mahasiswa baru. Fakultas Teknik membutuhkan lahan baru untuk berbagai fasilitas-nya. Beberapa Fakultas lain membutuhkan pula tempat kuliah. Siauw Giok Tjhan dikenal sebagai seorang tokoh yang berpengaruh di kalangan komunitas Tionghoa dan tokoh-tokoh partai politik. Ia dikenal pula sebagai seorang tokoh yang mahir dalam menyelesaikan berbagai masalah pelik. Jalan keluar untuk masalah ini-pun ia peroleh. Tidak jauh dari kampus A, diketahui ada lahan yang lebih besar dari kampus A, dimiliki oleh Kong Koan – Majelis Urusan Tionghoa, tanah bekas kuburan. Dikabarkan, tanah ini bisa dibeli dari Kong Koan. Akan tetapi Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki tidak memiliki dana untuk membelinya. Ada pula undang-undang kolonial yang masih berlaku yang tidak mengizinkan sebuah Yayasan yang dikelola oleh non pribumi untuk memiliki tanah. Siauw dan pimpinan Baperki berhasil meyakinkan para simpatisan Baperki untuk memberi sumbangan sehingga dana terkumpul untuk membeli lahan tersebut. Untuk mempercepat proses pengambil-alihan, sekretaris Baperki pusat, Buyung Saleh, seorang pribumi, dijadikan pembeli resmi. Lahan ini, dikenal sebagai Kampus B, kemudian digunakan untuk membangun gedung-gedung kuliah dan laboratorium Fakultas Teknik Ureca dan perumahan mahasiswa. Seharusnya dilakukan peralihan nama dari Buyung Saleh ke Yayasan, akan tetapi karena kesibukan organisasi, hal ini tidak sempat dilakukan, hingga Baperki dibubarkan pada tahun 1966. Dengan demikian, lahan tersebut secara resmi masih dimiliki oleh Buyung Saleh, dan karena beliau almarhum, dimiliki oleh para ahli warisnya. Akan tetapi Buyung Saleh sempat memperoleh pesan Siauw Giok Tjhan sebelum ia meninggal pada tahun 1981, bahwa
76
Organisasi dan Kemahasiswaan
kepemilikan tersebut bilamana bisa diurus, dijadikan dana membantu para anggota Baperki dan keluarganya yang memerlukan bantuan. Buyung Saleh sendiri-pun sebelum meninggal pada tahun 90-an menyatakan hal ini kepada beberapa anaknya. Sebelum gedung-gedung permanen dibangun, disiapkanlah gedung-gedung sementara, yang terdiri dari kerangkakerangka besi pabrik dan berbagai bangunan semi-permanen. Bangkitlah semangat gotong royong yang langka. Pembangunan gedung-gedung dan fasilitas-fasilitas Ureca di kampus B dilakukan sendiri oleh para mahasiswa dan dosennya. Para dosen fakultas Teknik melakukan perhitungan fondasi dan struktur bangunan. Seluruh mahasiswa Ureca dikerahkan untuk bekerja bakti membangun gedung-gedung ini, termasuk ruangruang kuliah, laboratorium dan perumahan mahasiswa. Rancangan untuk membangun gedung baru berlantai 3 sudah disiapkan. Fondasi untuknya sudah dicor pada tahun 1965. Akan tetapi sebelum pembangunan dimulai telah terjadi perubahan politik drastik pada bulan Oktober 1965. Rancangan tetap berupa rancangan belaka. Dana untuk pembangunan tersebut diperoleh dari para orang tua mahasiswa dan para pengusaha simpatisan Baperki. Pada tahun kuliah 1963-1964, Fakultas Teknik bertambah jurusan, yaitu Arsitektur, berkuliah di Kampus B. Disamping keberhasilan menggalang dana dan mendorong motivasi para mahasiswa Ureca untuk bergotong-royong bekerja bakti membangun gedung-gedung dan prasarana di Kampus B, Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki berhasil pula melahirkan kurikulum pendidikan dan membentuk tim staf pengajar yang berkualitas tinggi. Dengan demikian mutu pendidikan Ureca diakui tinggi. Pada tahun 1964, kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia memberi status persamaan bagi lulusan Sarjana Muda Kedokteran Gigi, Teknik, Ekonomi dan Hukum. Dan pada tahun 1965, lulusan Fakultas Teknik dan Fakultas Kedokteran Gigi Ureca diakui sebagai sarjana penuh. Para pendiri Ureca dan para mahasiswanya bisa turut bangga mengingat Ureca pada waktu itu disegani para universitas negeri top termasuk Universitas Indonesia dan Intitut Teknologi Bandung. Para mahasiswa Ureca yang terpaksa melanjutkan
77
Universitas Res Publica pendidikannya di luar negeri seperti Eropa Barat, ternyata menunjukkan bahwa dasar pendidikan yang diperolehnya di Ureca cukup baik sehingga bisa tetap berprestasi di luar negeri. Jumlah mahasiswa Ureca Jakarta bertambah dari 3000 menjadi 4000 di periode 1963-1964. Dari 4000 mahasiswa itu, 300 berhasil memperoleh status sarjana muda yang diakui oleh pemerintah. Para mahasiswa tingkat I di semua fakultas wajib mengikuti mata kuliah Civic yang dibawakan sendiri oleh Siauw Giok Tjhan sebagai dosen. Melalui kuliah-kuliah mata pelajaran Civic ini, Siauw menguraikan perkembangan sejarah Republik Indonesia, ideologi ne-gara dan partisipasi komunitas Tionghoa dalam mencapai kemerdekaan. Masalah Nation Building dan peng-integrasian suku Tionghoa kedalam tubuh Bangsa Indonesia, menjadi inti pendidikan politik yang ditangani Siauw sendiri. Siauw mencanangkan pemaduan antara pendidikan dan pengabdian terhadap orang tua dan tanah air dengan konsep Panca Cita: 1. Cinta tanah air dan bangsa Indonesia 2. Cinta kemanusiaan dan perdamaian 3. Cinta pengetahuan dan kebudayaan 4. Cinta bekerja 5. Cinta orang tua Aktifitas Kemahasiswaan Setelah Universitas Baperki diresmikan pada tgl 28 Oktober 1960, timbullah keinginan untuk membentuk sebuah organisasi Mahasisa Baperki. Senat-senat mahasiswa FKG, FT, FH dan FE, mengirim perwakilan terdiri dari Ketua dan Sekretaris untuk mengadakan sebuah musyawarah pembentukan Dewan Mahasiswa Universitas Baperki. Musyawarah tersebut memutuskan membentuk Pengurus Ha-rian dengan masa jabatan dua tahun, terdiri dari: ketua, wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, bendahara dan wakil bendahara. Para ketua Senat fakultas berfungsi sebagai komisaris Dewan Mahasiswa.
78
Organisasi dan Kemahasiswaan
Dibentuk pula seksi-seksi untuk membantu Pengurus Harian. Pe-ngurus Harian dan seksi-seksi ditambah para ketua Senat merupakan Pengurus Pleno. Ketua Dewan Mahasiswa ditentukan bergilir berdasarkan urutan kelahiran Fakultas: Periode 1
dari Fakultas Kedokteran Gigi
Periode 2
dari Fakulttas Teknik
Periode 3
dari Fakultas Hukum
Periode 4
dari Fakultas Ekonomi
Periode 5
dari Fakultas Kedokteran
Periode 6
dari Fakultas Sastra
Periode 7
dari Fakultas Ilmu Pendidikan
Kepengurusan Dewan Mahasiswa terdiri dari ketua-ketua Senat sebagai komisaris dan tiga wakil setiap Fakultas sebagai anggota personalia. Pada periode pertama (1960-1962) jumlah personalia yang terdaftar adalah 20, 8 ketua dan sekretaris Fakultas dan 12 anggota dari empat fakultas. Ketua pertama adalah Tan Hian Seng dari FKG. Sekretaris, Wiratmo dari FH. Pada periode pertama, peran Dewan Mahsiwa belum nampak. Senat-Senat Fakultas masih mendominasi kegiatan mahasiswa di kampus. Ini tampak dari bentuk dan gaya perpeloncoan. Setiap Fakultas memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan metode perpeloncoan di mana para mahasiswa baru dipaksa untuk melakukan para senior-nya sebagai tuan. Bentakan-bentakan dari para senior sering terdengar. Ada yang melakukannya dengan cara yang lebih ramah dan bersahabat. Para mahasiswa baru diperkenalkan dengan para senior-nya dengan ramah tamah. Pada periode pertama inilah dibentuk Persatuan Judo Baperki. Dewan Mahasiswa perpeloncoan.
tidak
banyak
Periode II (1962-1964)
79
berperan
di
masa
Universitas Res Publica Dengan bertambahnya 2 fakultas, yaitu Fakultas Kedokteran dan Fakultas Sastra, maka jumlah personalia Dewan Mahasiswa bertambah menjadi 30 orang. Sebagai ketua Dewan Mahasiswa dipilih Wiratmo dari FH dan sekrtaris, Sie Ban Hauw dari FT. Pada periode ini mulai nampak peran Dewan Mahasiswa yang giat mengelola berbagai partisipasi dan kegiatan, di antara-nya GANEFO (Games of The New Emerging Forces), Pekan Olah Raga Mahasiswa (POM) Surabaya, pembentukan resimen Mahajaya, dan penyelenggaraan Forum Intra Universitas seluruh Indonesia – Musyawarah Mahasiswa Indonesia yang mengadakan kongres di Malino. Pembukaan kongres Baperki di Istora Senayan oleh Bung Karno, dan pengubahan nama dari Universitas Baperki menjadi Ureca mendorong Dewan Mahasiwa untuk lebih aktif dalam berbagai kegiatan. Pimpinan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, Liem Koen Seng dan Go Gien Tjwan aktif memberi pengarahan. Di periode ini, Dewan Mahasiswa memutuskan untuk mengubah metode perpeloncoan. Masa perkenalan mahasiswa baru diisi oleh berbagai ceramah dan pengarahan tokoh-tokoh politik yang direkomendasi oleh Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki. Masa perkenalan ini digunakan untuk mendalami pengertian Nation-Building, persatuan dan kesatuan bangsa, dan kegiatan akademi para Fakultas. Para mahasiswa diajak untuk melakukan berbagai kegiatan kerja bakti untuk menanamkan rasa memiliki Alma Mater. Salah satu kegiatan kerja bakti berbentuk pembersihan jalan-jalan di daerah kota, sebagai tanda terima kasih terhadap para pedagang Tionghoa yang telah memberi sumbangan besar untuk pembangunan gedung-gedung Ureca. Tidak ada lagi bentuk perpeloncoan yang lazimnya dilakukan di universitas-universitas negeri maupun swasta. Metode baru ini sesuai dengan falsafah Panca Cinta yang dicanangkan oleh Siauw Giok Tjhan. Sesuai yang diharapkan oleh Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, kehidupan di kalangan mahasiswa Ureca berjalan lancar dan damai. Semua kegiatan di kampus maupun di luar kampus berjalan baik dan penuh kerukunan. Tidak ada perpecahan.
80
Organisasi dan Kemahasiswaan
Salah satu peran Dewan Mahasiwa adalah pembuatan lambang Ureca. Lambang ini selesai dirancang oleh Goei Wie San, Liem Beng Hwie dan Sie Ban Hauw, yang sebelumnya membuat lambang Universitas Baperki. Lambang Ureca ini berbentuk bunga teratai yang memiliki kelopak bunga berjumlah 10, menandakan bulan Oktober, adanya ranting-ranting daun di tiga sudutnya, berjumlah 18. Jumlah ranting dan kelopak bunga = 18 + 10 = 28. Lambang ini mencerminkan hari lahirnya Ureca, 28 Oktober. Gambar bunga teratai dan ranting2nya diberi bingkai segitiga garis lengkung, kemudian bingkai luarnya berupa segi lima juga dengan garis lengkung. Warna di dalam segi tiga lengkung, untuk kesemua fakultas dan universitas adalah kuning. Antara garis lengkung segitiga dan garis lengkung segi lima, diberi warna berbeda-beda berdasarkan Fakultas: Universitas : Hitam Fakultas Kedokteran Gigi :
Ungu- Violet
Fakultas Teknik
:
Biru
Fakultas Ekonomi
:
Kuning
Fakultas Hukum
:
Merah
Fakultas Kedokteran
:
Hijau Biru
Fakultas Sastra
:
Abu-abu
Fakultas Ilmu Pendidikan :
Putih
Nama fakultas masing2 diletakkan di kanan kiri garis lengkung segitiga, sedangkan Universitas Res Publica diletakkan diatas dan bawah segitiga lengkung, kesemua huruf berwarna emas. Garis lengkung segitiga untuk semua fakultas dan universitas berwarna emas. Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki kemudian merestui desain lambang tersebut di atas pada periode ke dua ini. Dewan Mahasiswa di periode ke dua ini sangat aktif. Wiratmo dan Liem Heng Hong ikut dalam kongres dewan-dewan mahasisa universitas seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Malino, dekat Makasar. Diikutsertakannya Universitas Baperki di dalam kongres tersebut memungkinkan Universitas Baperki berpartisipasi dalam Pekan Olah Raga Mahasiswa ke VI di
81
Universitas Res Publica
82
Organisasi dan Kemahasiswaan
Surabaya pada tahun 1962. Tim Olah Raga Universitas Baperki dibentuk dan dipimpin oleh Go Hian Liat dan Sie Ban Hauw. Go Hian Liat, seorang Judoka kawakan membentuk Persatuan Judo Baperki - Perjuba. Dibentuklah barisan Universitas Baperki untuk POM ke VI dan mengikutsertakan para olahragawan terkenal dan trampil, di antaranya Kwee Kiat Sek – pemain sepak bola nasional, Lee Ien Lian – pemain tenis meja nasional, Kwee Yee, Tjen Ing, Kho Hwe Lan, Tjioe Liam Ing dll dari berbagai bidang olah raga termasuk basket, volley dll. Ma Tjiok San, menjadi sponsor untuk seragam tim Universitas Baperki, berwarna biru muda. Biaya transportasi disediakan oleh Jawatan Angkutan Angkatan Darat yang juga menyediakan dana untuk Universitas Indonesia. Kehadiran Universitas baru di POM ke VI ini cukup mengagumkan. Juara pertama Judo diraih oleh Go Hian Liat. Juara pertama tenis meja diraih oleh Lee Ien Lian. Juara bola basket pu-teri diraih oleh Universoitas Baperki dan top scorer bola basket dipegang oleh Kwee Yee. Melalui POM ke VI dan juara-juara inilah nama Universitas Baperki dikenal oleh para peserta dari universitas lain. Dan Universitas Baperki/Ureca kemudian mengikuti POM-POM selanjutnya, hingga tahun 1965, di mana ada perubahan. POM kemudian tidak lagi berbentuk pertandingan antar universitas, melainkan pertandingan antar propinsi. Akan tetapi perubahan ini tetap menurut sertakan banyak mahasiswa Ureca di berbagai kota di mana Ureca sudah mendirikan universitas dalam berbagai bidang pertandingan. Sebagai pimpinan kontingen Ureca di POM-DA Jakarta, ditunjuk Tan Ping Ien, wakil ketua Dewan Mahawiswa. Dan Tan berhasil mendatangkan para mahasiswa Ureca daerah yang turut bertanding di berbagai POM daerah untuk datang mengunjungi Ureca Jakarta.. Ketika Ureca membuka kampus di Surabaya, diadakan juga pertemuan antara Dewan Mahasiswa Ureca Jakarta dengan Dewan Mahasiwa Ureca Surabaya. Pertemuan yang dinisiatifkan Wiratmo sebagai ketua Dewan Mahasiswa Jakarta ini diadakan di sekolah Hwa Ing di Semarang. Dewan Mahasiwa Ureca juga aktif mengkoordinasi mahasiswa Ureca sebagai massa dalam berbagai acara pembentukan
83
Universitas Res Publica dan penutupan Asian Games dan Ganefo. Para mahasiswa Ureca-pun turut berpartisipasi dalam paduan suara masal di acara Ganefo. Periode III (1964 – 1966) Pada periode III, telah terpilih sebagai ketua Dewan Mahasiswa Sie Ban Houw dan wakil ketua I, Tjoa Sien Tjoei (Fakultas Ekonomi), wakil ketua II Tan Ping Ien (Fakultas Kedokteran), Sekretaris I Liem Heng Hong (Fakultas Hukum) Bidang Kesenian Permusyawaratan Pemuda Indonesia (PPI) – organisasi pemuda Baperki mengkoordinasikan berbagai kegiatan kesenian Indonesia yang beraneka ragam. Para mahasiswa Ureca sangat aktif berpartisipasi dalam kegiatan ini. Kemampuan para mahasiswa Ureca dalam bidang kesenian Indonesia jelas nampak, karena animo untuk menjiwai dan mengembangkan kesenian daerah sangat besar. Ini membangkitkan hasrat untuk mendirikan tim Kesenian Rakyat Indonesia yang dikelola oleh Dewan Mahasiswa Ureca. Atas desakan dan pengarahan Na Hong Tik, Tata Usaha universitas, dibentuklah Seksi Kesenian inti Ureca. Salah satu pendiri kelompok kesenian ini adalah Auwyang Tjhoi Hauw. Dewan Mahasiswa kemudian mengambil inisiatif untuk mengimbau mereka yang bergabung di paduan suara “Gembira” untuk turut memperkuat tim kesenian Ureca, antara lain Khang Sioe Bing. Mereka ternyata menyambut ajakan ini dan aktif mengembangkan paduan suara Ureca. Seksi Kesenian diperkuat dengan masuknya Liem Kok Hie, yang kemudian mempelopori berkembangnya seni drama. Kesemuanya ini memperkokoh Tim Kesenian Dewan Mahasiswa Ureca yang terdiri dari berbagai penari tarian Indonesia, paduan suara yang dipimpin oleh Liem Sian Tjay dan drama. Ternyata Tim Kesenian disambut hangat oleh para mahasiswa Ureca. Ini menyebabkan tidak sulit merekrut penari-penari baru yang sejak SMP dan SMA Baperki maupun sekolah-sekolah Tionghoa sudah terlibat dalam berbagai kegiatan kesenian. Dalam waktu singkat, terkumpul 40 orang perserta. Tim ini juga diperkuat oleh berbagai anggota yang trampil menangani peralatan produksi – panggung, lighting, sound system dan dekorasi panggung. Kebetulan saya pernah terlibat dalam berbagai kegiatan PPI
84
Organisasi dan Kemahasiswaan
Jakarta dan acara tour kesenian gabungan PPI Jakarta dan PPI Bandung (yang mahir dalam musik kecapi dan tarik suara) ke Jawa Timur dan Bali. Dan atas anjuran Na Hong Tik, saya-pun mendalami pengaturan panggung dan belajar dari Steve Liem, seorang tokoh drama yang sangat menguasai pementasan panggung dan seni drama. Atas bantuan Steve Liem saya berhasil membentuk tim panggung yang terdiri dari: Bagian listrik/ Sound System - Tjong Kang (FT) Bagian Dekorasi (dari jurusan Arsitektur FT) Bagian Layar - Kho Sam To, (FT) Keberadaan tim ini menyebabkan koriografi berbagai pertunjukan mahasiswa Ureca selalu mengesankan. Suasana panggung bisa diatur sedemikian rupa mencerminkan suasana pagi hari, atau siang atau sore dan senja. Keahlian para teman dari Fakukltas Elektro kami gunakan untuk menciptakan suasana seperti itu. Suara hujan kami ciptakan dengan menggunakan perputaran biji-biji kacang hijau. Suara guruh kami ciptakan dari bola besi yang digulingkan di balakang layar. Suara kilat kami keluarkan dengan lembaran seng yang dikibarkan. Ilustrasi kilat diciptakan menggunakan tripleks yang dilobangi dengan bentuk petir dan diberi sinar lampu. Saya pun belajar organisasi panggung dan teknik pementasan dari tim kesenian rakyat Jepang, Shin Se Sakusa. Teknik pementasan yang menjamin perubahan acara dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin sehingga acara dua jam sangat dinikmati oleh para hadirin dan tanpa terasa sudah selesai. Biasanya acara disusun dan diatur sbb: Seksi acara ditugaskan menyusun acara pementasan. Kemudian dibentuk kelompok penari A, B dan C. Susunan acara 1,2,3 dan seterusnya harus disusun sedemikian rupa sehingga semakin kebelakang semakin menarik. Contohnya, tari Tanduk Majeng diletakkan sebagai acara klimaks karena tarian ini dianggap favorit dan sangat disukai hadirin. Acara tari-tarian biasanya diawali dengan acara paduan suara. Persiapan kostum dan penari diatur rapih dengan disiplin yang bagus, sehingga tidak ada waktu yang hilang. Hal ini bisa terlaksana bila ada kerja sama yang baik dan disiplin yang bagus. Perlu diakui bahwa memimpin para seniman dan seniwati lebih sulit dari pada memimpin tim olahragawan.
85
Universitas Res Publica
Para Penari Tanduk Majeng dan Tim Kesenian Ureca
86
Organisasi dan Kemahasiswaan
Di samping persiapan panggung, kostum, dekorasi panggung dan infrastruktur teknis pun harus dipersiapkan dengan baik. Tim peralatan pentas dan panggung dipimpin oleh Tan Boen Hok. Cukup banyak dana yang dibutuhkan untuk itu semua. Untunglah kami memperoleh bantuan dari cukup banyak simpatisan Baperki. Bendahara Baperki pusat, Oei Phoei Tjhiep, pemilik Toko Eropa di Pasar Baru, menyumbangkan kain untuk kebutuhan kostum. Donatur lain menyumbangkan dana untuk transportasi dan kebutuhan lain. Dewan Mahasiwa memutuskan untuk mengirim tour kesenian Ureca ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Persiapan dilakukan untuk melakukan tour kesenian mahasiswa Ureca pertama pada akhir tahun 1964. Sebelum berangkat, Tim Kesenian memutuskan untuk menyelenggarakan sebuah acara di Jakarta di Gedung Kesenian Jakarta. Acara ini mementaskan tari-tarian, paduan suara dan deklamasi berjudul Boyolali yang dibacakan oleh Ma Yung Nan. Acara dihadiri oleh para mahasiswa Ureca Jakarta, para dosen, para anggota pengurus Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki dan para anggota Baperki lainnya. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa persiapan tour kesenian sudah matang. Tan Boen Hok kemudian ditugaskan untuk mengunjungi tempattempat di mana acara kesenian dipentaskan melakukan survey lapangan. Liem Heng Hong dan Sie Ban Hauw ditugaskan untuk mendiskusikan rencana tour kesenian dengan pimpinan Baperki Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menjamin adanya dukungan. Yang ditemui antara lain adalah Ong Tiong Liep, ketua Baperki Jawa Tengah, Koo Tjan Koen Ketua Baperki Kediri, Liem Tik Tjiauw bendahara Baperki Jawa Timur dan Siauw Giok Bie, ketua Baperki Jawa Timur. Sempat terjadi kesimpang siuran tentang masalah tour kesenian ini. Pada waktu yang bersamaan, pihak PPI - Permusyawaratan Pemuda Indonesia, di bawah pimpinan The Djong Tjwan, sudah merencanakan tour kesenian serupa, di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pimpinan Baperki daerah yang dikunjungi sempat menyatakan bahwa tidak perlu diadakan tour kesenian yang sama, oleh Ureca Jakarta. Akan tetapi kami ketengahkan bahwa tour kesenian Ureca Jakarta ini ingin memperkenalkan Ureca ke masyarakat di daerah dengan penekanan kecintaan terhadap ke Bhinneka Tungal Ika-an Indonesia melalui kesenian. Pada waktu itu
87
Universitas Res Publica
Tim Kesenian Ureca
Para Penari Ureca - Hari Wanita Internasional 1965
88
Organisasi dan Kemahasiswaan
masyarakat Tionghoa di daerah-daerah mengenal keberadaan Ureca.
belum
banyak
Akhirnya pimpinan daerah Baperki menerima dan mendukung tour kesenian ini dan menyanggupi membantu semua persiapan serta menyediakan tempat-tempat penginapan. Sebuah kompromi disetujui. Tour kesenian PPI akan lebih banyak melakukan pertunjukan di Jawa Tengah. Sedangkan tour kesenian Ureca lebih banyak mengadakan pertunjukan di Jawa Timur. Dilaksanakanlah tour yang berlangsung selama 10 hari ke beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada akhir 1964 hingga awal 1965. Rencana perjalanan dan pementasan diatur sedemikian rupa sehingga ada kerja sama yang baik antara tim kesenian Ureca dan tim kesenian PPI. Di beberapa acara, para anggota kedua tim bekerja sama. Tim Kesenian Ureca yang terlibat di dalam tour ini berjumlah cukup besar, sekitar 40 orang. Menggunakan dua bis dan satu truk untuk mengangkut berbagai peralatan panggung. Ongkos perjalanan ditekan serendah mungkin. Kami tidak menggunakan tempat-tempat penginapan, melainkan tinggal di sekolahsekolah Baperki atau yang ber-afiliasi dengan Baperki. Berkat persiapan matang, kerja sama dan koordinasi yang baik, tour kesenian mahasiswa URECA pertama pada akhir tahun 1964 sukses. Para hadirin di kota-kota yang kami kunjungi umumnya memberi pujian dan komentar positif. Dan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki memberi pujian dan penghargaan tinggi atas hasil yang dicapai. Semangat kerja sama dan kebersamaan para mahasiswa dari berbagai Fakultas dan keberhasilan tour kesenian Ureca, pada akhir 1964 mendorong pula dibentuknya sebuah barisan Drum Band Ureca, yang dipimpin oleh Kwee Hong Tien, FT. Peralatan dan seragam barisan drum band dibeli dengan dana bantuan para donatur, antara lain Oei Phoei Tjhiep. Seragam untuk pria jas berwarna merah, dengan strip kuning dan celana hitam. Seragam untuk wanita, jas merah, dan rok hitam, dilengkapi dengan topi hitam. Barisan Drum Band Ureca tampil resmi dengan kerapihan yang mencolok untuk pertama kalinya pada acara 17 Agustus 1965 di hadapan Presiden Soekarno. Sebuah prestasi yang membanggakan
89
Universitas Res Publica para mahasiswa Ureca. Barisan Drum Band Ureca juga tampil mementaskan kemampuannya di pawai pembukaan Pekan Olah Raga Mahasiswa Jakarta Raya. Kegiatan Politik Di Kampus Rezim militer menuduh Ureca adalah sebuah universitas komunis. Oleh karenanya patut untuk dihentikan dan gendunggedungnya dibumi hanguskan. Tuduhan ini sama sekali tidak tepat. Ureca adalah universitas yang dikelola dan diasuh oleh Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki. Dengan sendirinya, bilamana ada pendirian atau garis politik, kebijakan politik Baperki-lah yang dijadikan pegangan. Baperki bukan organisasi massa PKI. Dewan Mahasiswa Ureca sepenuhnya mengikuti garis pendirian politik Baperki. Dan garis politik Baperki itu jelas, yaitu mendukung kebijakan pemerintah RI yang pada waktu itu dipimpin oleh Presiden Sukarno. Apa-pun yang dijadikan program politik Bung Karno, Baperki ikuti. Dewan Mahasiswa mengerahkan para mahasiswa Ureca untuk turut memeriahkan berbagai acara pemerintah RI pada waktu itu berbentuk turut serta dalam berbagai pawai dan pengerahan massa untuk memeriahkan acara GANEFO. Dewan Mahasiswa tidak mengkoordinasikan massa Ureca untuk kegiatan demonstrasi yang kerap terjadi di saat-saat terakhir zaman Demokrasi Terpimpin pada tahun 1964-1965. Misalnya tidak ada pengerahan massa Ureca untuk demonstrasi ganyang HMI yang dilancarkan oleh PKI. Memang CGMI - Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia yang berafiliasi dengan PKI berkembang pesat di Ureca, terutama di Fakultas Teknik. Bahwa adanya sekolompok mahasiswa yang terlibat dalam berbagai kegiatan demonstrasi tersebut tidak berarti Ureca secara institusi langsung terlibat. Selain CGMI, ada Perhimi - Perhimpunan Mahasiswa Indonesia. Dan tentunya ada pula PMKRI - Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, GMKI - Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, GMNI - Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, HMI - Himpunan Mahasiswa Islam dan lain-lainnya. Yang paling banyak menarik mahasiswa Ureca untuk masuk ke dalam organisasi-organisasi ini adalah Perhimi, CGMI dan PMKRI. Walaupun polarisasi politik menyebabkan adanya pertentangan
90
Organisasi dan Kemahasiswaan
di antara organisasi-organisasi mahasiswa yang mendukung garis kanan maupun kiri, hubungan antar mahasiswa di kampus Ureca relatif baik dan damai. Semua pihak bisa dikatakan menjaga kerukunan keluarga Ureca. Salah satu tugas yang diemban oleh pimpinan Dewan Mahasiswa, sesuai garis Baperki adalah mencegah berkembangnya pertentangan ini di kampus. Penutupan Sebelum akhir masa jabatan Dewan Mahasiswa periode ke dua ini, telah direncanakan pembentukan Kooperasi Mahasiswa Ureca. Siem Giok Lan dari FKG mempelopori pengelolaan kantin di kampus A. Tapi peristiwa G-30-S pada tahun 1965 membatalkan rencana ini. Kesibukan saya di Dewan Mahasiswa mendorong renacana adanya pembagian tugas baru. Koordinasi kegiatan Olah Raga akan diserahkan ke Tan Ping Ien. Untuk kesenian akan diserahkan ke Liem Heng Hong. Rencana pembagian tugas ini belum terlaksana penuh karena peristiwa G30S pada akhir tahun 1965. Pada 15 Oktober 1965, Kampus A diserang oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Gedung-gedung di kampus A dirusak dan dibakar. Sebelum kampus Ureca diserang, para mahasiswa Ureca mengusulkan untuk melakukan penjagaan kampus untuk mencegah dihancurkannya gedung dan fasilitas yang sudah susah payah dibangun dengan semangat gotong royong melibatkan Baperki, masyarakat Tionghoa, para orang tua, para dosen dan para mahasiswa Ureca. Sie Ban Hauw sebagai ketua Dewan Mahasiswa ditugaskan memimpin kelompok mahasiswa menjaga kampus B - lahan Fakultas Teknik. Wakil Ketua Dewan Mahasiswa, Tan Ping Ien ditugaskan memimpin kelompok mahasiswea menjaga kampus A - lahan Fakultas Kedokteran Gigi, kedokteran, sastra, Hukum dan Ekonomi. Penjagaan siang malam ini dilakukan berhari-hari sebelum penyerangan. kami menginap di kampus ber hari-hari. Penyerangan yang terjadi pada tanggal 15 Oktober itu dilakukan oleh dua kelompok besar yang berbeda, hampir berbarengan. Jumlah yang menyerang kampus A mungkin lebih besar. Karena terpisahnya ke dua lokasi ini, kelompok yang menjaga kampus B tidak bisa mengikuti apa yang terjadi di kampus A. Demikian juga sebaliknya.
91
Universitas Res Publica Penyerangan di Kampus B dilakukan oleh jumlah massa yang jauh lebih besar dari kelompok penjaga. Kami tidak berdaya mencegah penyerbuan dan pembakaran yang melalap gedung kantin dan asrama yang dibangun oleh para mahasiswa Ureca. Bengkel dan laboratorium dirusak tetapi tidak bisa dihancurkan karena berbentuk kerangka besi baja. Isinya saja yang dihancurkan. Kami yang menjaga semua kemudian dikumpulkan oleh militer dan ditahan hingga esok harinya. Di Kampus A sempat terjadi persetruan sengit antara pihak penyerang dan mahasiswa Ureca. Cukup banyak mahasiswa Ureca yang cedera dan harus dirawat di rumah sakit. Akan tetapi jumlah penyerang jauh lebih besar dan jelas didukung oleh militer. Di Kampus A tidak terjadi penahanan. Semua mahasiswa yang menjaga diizinkan pulang pada malam harinya. Berbagai fasilitas di kedua kampus hancur. Semua peralatan kesenian termasuk kostum turut terbakar. Demikian juga berbagai perlengkapan olah raga dan drum band. Apa yang pernah membuat Ureca berprestasi dalam bidang kesenian, olah raga dan barisan drum band, turut hancur dengan dibakarnya gedung-gedung Ureca. Bisa dibayangkan bagaimana sedihnya semua yang pernah terlibat dalam pembangunan dan perkembangan Ureca, termasuk para mahasiswa, pimpinan Dewan Mahasiswa Ureca, pimpinan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, terutama Siauw Giok Tjhan dan Go Gien Tjwan. Upaya mulia untuk menyediakan pendidikan tingkat universitas ke banyak orang yang tidak memperoleh kesempatan, turut hancur dengan pembakaran Ureca dan pembubaran Baperki.
92
Organisasi dan Kemahasiswaan
Para Mahasiswa Universitas Baperki
Para Mahasiswa Kedokteran Gigi dengan Dr. Oei Beng Pho
93
Universitas Res Publica URECA Mengubah Perjalanan Hidup Saya Benny G.Setiono. Pendaftaran Pada tahun 1962 saya berhasil lulus dari SMAK Pintu Air/ Gunung Sahari, walaupun kelulusan tersebut diperoleh dengan susah payah. Bukan apa-apa karena soal-soal ujian SMA bagian C tahun 1962 di Jakarta dinyatakan bocor dan harus diulang kembali. Soal-soal ujian ulangan ternyata sangat sulit dan lebih separuh dari murid-murid sekelas saya tidak lulus. Tetapi saya termasuk beruntung karena berhasil lulus walaupun dengan angka-angka yang kurang memuaskan. Saat itu saya sangat bersedih karena sebagian besar teman-teman baik atau “gang” saya banyak yang gagal. Walaupun lulus, saya sebenarnya telah memutuskan untuk tidak melanjutkan studi saya, mengingat keadaan orang tua saya yang telah setengah menganggur. Saya ingin segera bekerja saja untuk bisa meringankan beban mereka. Pada saat itu hanya kakak tertua saya saja yang telah bekerja. Saat itu menjelang berlangsungnya Asian Games dan Jakarta sedang demam Asian Games yang sangat menggemparkan. Kakak saya yang akan mencarikan kerja kemudian mengatakan bahwa urusan mencari kerja untuk sementara ditunda saja dulu sampai Asian Games selesai. Kemudian saya terlibat dalam bisnis catut tiket Asian Games yang hasilnya cukup lumayan. Setelah Asian Games usai dengan meninggalkan berbagai kontroversi yang menyebabkan IOC dan Federasi Asian Games memberikan sanksi kepada Indonesia (ingat insiden Sondhi), seorang teman datang dan mengajak saya untuk mengantar dia mendaftarkan diri di Fakultas Ekonomi Universitas Baperki di Grogol. Terus terang saja saat itu saya tidak terlalu mengenal Univeritas Baperki, karena yang menjadi favorit saat itu adalah Universitas Indonesia (UI) di Salemba dan Universitas Kristen Indonesia (UKI) di jalan Diponegoro. Saat pendaftaran teman saya mendesak agar saya ikut mendaftar, karena tidak harus membayar apa-apa maka saya iseng-iseng ikut mendaftarkan diri. Saya mendapat nomor registrasi FE 282 yang masih saya ingat sampai sekarang. Tidak
94
Organisasi dan Kemahasiswaan
nyana bahwa iseng-iseng mendaftarkan diri ini yang akan mengubah perjalanan hidup saya di kemudian hari. Sambil menunggu kuliah dimulai, seperti biasa saya masih tetap kumpul-kumpul dengan teman-teman, nonton bioskop, jajan dan setiap malam Minggu ikut dengan band di pesta-pesta dansa di Jakarta. Salah seorang teman baik saya juga isengiseng mendaftarkan diri masuk AMN, tenyata juga diterima. Dia sempat kebingungan karena sejak itu jalan hidupnya juga akan berubah, dari dunia sipil yang liberal menjadi dunia militer yang serba disiplin. Ternyata tindakan iseng-iseng dapat mengubah perjalanan hidup dan hari depan kami. Ketika mendengar saya mendaftar di Universitas Baperki, teman-teman langsung tertawa dan mengatakan di sana isinya kalau ga “encek” ya “jawa” melulu. Mapram Saat pembukaan Mapram saya tidak hadir karena tujuan saya memang hanya iseng-iseng saja, tidak serius, tetapi teman yang ikut Mapram tersebut datang dan mendesak saya agar mengikutinya. Dia bilang biar tambah pengalaman dan juga banyak cewenya yang masih “bego-bego”, maksudnya masih innocent, ingusan atau polos gitu. Karena rasa penasaran dan nieuwsgierig, keesokan paginya dengan ngegenjot sepeda dari rumah di gang Buddhing alias Batu Ceper berangkatlah saya dengan santai ke Grogol. Saat tiba ternyata acara sudah dimulai, tiba-tiba bagaikan suara guntur di tengah hari bolong saya dibentak-bentak, disuruh menggulung celana dan menggotong sepeda. Wah, sebuah hal yang tidak bisa saya terima, walaupun saya sudah banyak mendengar bahwa dalam setiap dimulainya masa kuliah bagi setiap mahasiswa baru diharuskan mengikuti masa perkenalan. Tetapi saya tidak menyangka bahwa di Universitas Baperki yang relatif masih baru juga dijalankan praktek perpeloncoan. Dengan sendirinya saya yang berjiwa pemberontak tidak bisa menerima dan berusaha menentangnya. Malamnya saat usai acara Mapram, saya menunggu salah seorang anggotanya yang paling galak, dari seksi keamanan di jembatan Jeling, jembatan banjir kanal di sebelah R.S Sumber Waras dan mengatakan kepadanya bahwa tujuan saya masuk
95
Universitas Res Publica
Suasana Mapram Ureca 1964, Sesudah Perpeloncoan Dihentikan
Bentuk Perpeloncoan Sebelum 1963 Yang Ditentang Mahasiswa Ureca
96
Organisasi dan Kemahasiswaan
Universitas Baperki untuk kuliah bukan untuk dibentak-bentak dan saya minta dia berjanji agar tidak melakukannya kepada saya lagi. Setelah kejadian tersebut saya dapat dengan aman mengikuti Mapram, tanpa dibentak-bentak dan disuruh-suruh melakukan yang mboten-mboten lagi. Terus terang saja mengikuti Mapram tersebut membuat saya mengambil keputusan untuk terus kuliah dan menghentikan niat saya untuk bekerja. Untuk saya kejadian ini menjadi sebuah tantangan yang menarik. Ternyata apa yang menjadi guyonan teman-teman saya benar adanya, di sekeliling saya terdengar percakapan kalau tidak dalam bahasa Tionghoa ya dalam bahasa Jawa. Tetapi karena buat saya hal ini sesuatu yang baru justru membuat saya semakin interesan. Saya masih ingat yang pertama saya kenal, mahasiswa-mahasiswa baru dari sekolah Tionghoa adalah Trio Lie Hwei Tjin, Oey Bie Nio dan Lo Mie Tjin, ketiganya dari sekolah Pa Chung. Lie Hwei Tjin yang rumahnya di Jalan Tangerang 44 adalah yang paling “bawel” yang “bawelnya” rupanya bertahan sampai sekarang tetapi yang paling ramah dan baik hatinya karena suka membantu sampai sekarang, saat bersama-sama aktif di Perhimpunan INTI. Oey Bie Nio ternyata rumahnya di seberang rumah sahabat saya Teddy Njoo (adik petinju ternama, Bobby Njoo) di Gang Kelinci di belakang gereja yang setiap minggu saya kunjungi. Herannya saya tidak mengetahuinya padahal saya sering bermain di rumah Teddy, maklum lingkungan dan dunia kita berbeda. Sesungguhnya Mapram yang saya alami di Universitas Baperki khususnya di FE tidak sekonyol di fakultas-fakultas lainnya dan saya juga sudah mendapat “dispensasi” sehingga tidak mengalami ekses-ekses yang terlalu negatif. Tetapi di samping itu rupanya (ini yang saya tahu kemudian) ada juga senior yang aktif menentang praktek perpeloncoan. Saat itu ada seorang senior yang menarik perhatian saya, orangnya tampan dan ramah, dia selalu menganjurkan agar kita melawan setiap pe-rintah untuk melakukan hal-hal yang bukan-bukan dan aneh - aneh. Dialah yang bernama Tjoa Sin Tjoei yang kemudian menjadi idola dan panutan saya. Dialah yang sangat berpengaruh dalam mengubah perjalanan hidup saya. Dialah yang menjadi sahabat yang sangat saya hormati sampai saat ini. Sungguh sangat memprihatinkan di hari tuanya keadaan kesehatannya sangat menyedihkan.
97
Universitas Res Publica Di akhir Mapram, rupanya dimulai kampanye yang dilakukan berbagai organisasi extra universiter untuk mencari anggota baru, antara lain yang paling aktif PMKRI, PERHIMI dan GMKI. Ternyata Sin Tjoei ini berasal dari organisasi yang berbeda, secara sembunyi-sembunyi dia membagikan formulir CGMI yang baru pertama kali saya tahu. Melihat itu saya minta saja segepok formulir tersebut dan membagikannya secara terbuka di antara teman-teman baru terutama yang berasal dari sekolah-sekolah Tionghoa, padahal saya tidak mengetahui CGMI itu organisasi apa. Yang saya tahu Sin Tjoei orangnya baik dan simpatik serta anti perpeloncoan, jadi saya yakin bahwa organisasi ini organisasi yang baik. Ternyata banyak juga yang tertarik untuk menjadi anggota. Acara perkenalannya juga jauh dari praktek perpeloncoan dan anggotanya dari berbagai universitas tetapi sedikit sekali yang berasal dari kalangan Tionghoa. Para senior dari Unba – Universitas Baperki yang saya ingat beberapa orang dari FT, FH, FE dan FK antara lain Hie Kim Hwa si cabe rawit yang juga berasal dari SMPK Pembangunan dan SMAK Pintu Air. Tidak ada perlakuan yang bersifat diskriminatif dan kita diperlakukan seperti keluarga sendiri. Acara yang paling menarik adalah acara Cross Country, yaitu acara bermalam di desa, di rumah-rumah para pe-tani dengan tujuan utama mengenal kehidupan para petani, makannya, tidurnya, mandi, buang hajat dsbnya. Di samping itu kita membantu mereka dalam membuat dan membersihkan saluran, membasmi hama tikus, melakukan imunisasi cacar dsbnya. Inilah yang dinamakan integrasi dengan para petani. Saya masih ingat Cross Country pertama yang saya ikuti di desa Dadap, sebuah desa yang penduduknya kebanyakan komunitas yang disebut Cina Benteng. Desa Dadap ini juga yang menjadi objek penelitian Go Gien Tjwan, Sekjen Baperki dalam menyusun thesis untuk meraih gelar Doktornya. Masa kuliah Rektor Universitas adalah Dr. Ferdinand Lumban Tobing yang saya tidak pernah melihatnya karena kabarnya sedang sakit. Dekan fakultas ekonomi saat itu Prof. Ernst Utrecht yang juga menjadi dosen di universitas Tawang Alun, Jember. Orangnya sangat sederhana malahan terkesan kemproh, kalau datang ke kampus pakaiannya kumal dan pakai sandal jepit saja. Se-
98
Organisasi dan Kemahasiswaan
kretarisnya Drs. Kho Tjong Kwie yang masih muda dan ganteng berasal dari Gombong dan lulusan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Kepala perpustakaan yang kemudian diberi nama Perpustakaan Dr. Ferdinand Lumban Tobing, Fauzi Uning yang kemudian diganti oleh Faisal Abdi, mahasiswa FS jurusan Perpustakaan UI yang kemudian terkenal dengan cerpennya “Bernafas Dalam Lumpur “. Masa kuliah dimulai dengan mata pelajaran Ideologi Negara yang diberikan oleh bapak Siauw Giok Tjhan. Terus terang saja walaupun saya sering mendengar namanya disebut-sebut dalam pembicaraan papa saya dengan teman-temannya, saya sendiri belum pernah bertemu dan melihat orangnya. Ternyata orangnya sangat sederhana, setiap memberikan kuliah beliau memakai kemeja putih dan celana drill dan memakai sepatu sandal saja. Pelajaran Ideologi Negara ini yang intinya indoktrinasi Manipol sesuai dengan arahan Bung Karno hanya diberikan di tingkat persiapan, satu kali seminggu dan digabung bersama mahasiswa dari Fakultas Hukum bertempat di Aula kampus A. Jadi dapat dibayangkan betapa ramainya suasana saat berlangsungnya kuliah tersebut. Tetapi pak Siauw dengan suaranya yang lembut dan sikapnya yang sabar dapat menguasai jalannya kuliah. Salah satu pelajarannya yang saya ingat terus sampai sekarang yaitu mengenai definisi rasisme yaitu “sikap yang menganggap suatu ras lebih unggul dari ras lainnya”. Ini sangat penting dan berkesan bagi saya, karena sering kali kita sebagai orang Tionghoa merasa lebih superior dari ras atau golongan lainnya, seolah-olah orang Tionghoa itu paling hebat dan sempurna di dunia. Diberi contoh oleh beliau, pendapat yang mengatakan orang Indonesia itu bodoh-bodoh ternyata tidak benar karena ternyata pilot-pilot Indonesia pandai-pandai tidak kalah dengan pilot-pilot orang kulit putih. Mata pelajaran yang juga digabung dengan fakultas hukum adalah Pengantar Ilmu Hukum atau PIH yang diberikan oleh Prof. Lie Oen Hock SH. Kalau Prof ini penampilannya justru sebaliknya selalu perlente, memakai dasi dengan sepatunya yang selalu mengkilat. Mata kuliahnya selalu dicampuri dengan humor-humor yang nyerempet-nyerempet porno sehingga terkesan agak “genit”. Untuk dapat lulus dari mata pelajaran ini
99
Universitas Res Publica juga memerlukan perjuangan yang cukup berat. Pasal hukum perdata yang terus diulang-ulangnya adalah pasal 34 BW. Tentu masih banyak ceritera mengenai dosen-dosen lainnya tetapi saya kira terlalu panjang dan membosankan membacanya, apalagi bagi mahasiswa-mahasiswa dari fakultas lainnya. Pada tahun 1963 setelah Dr.Ferdinand Lumban Tobing meninggal, agar kekosongan tidak berjalan terlalu lama maka diangkatlah Ibu Utami Suryadarma untuk menjadi rektor Universitas Baperki yang baru. Entah apa pertimbangan pimpinan Jajasan Pendidikan dan Kebudajaan Baperki mengangkatnya menjadi rektor. Tetapi kami sangat gembira menyambutnya karena ibu Utami selain cantik, anggun, selalu rapih dan harum semerbak, orangnya cerdas dan ramah. Pernah suatu hari karena ada suatu keperluan Sin Tjoei sebagai Wakil Ketua Dewan Mahasiswa mengajak saya sebagai ketua seksi public relation atau purel pergi ke sebuah tempat, tetapi karena kesulitan kendaraan, kemudian oleh ibu Utami dipinjami mobil Ford nya, aduuuuuh, harumnya bukan main, terasa terus sampai sekarang. Beberapa waktu kemudian ibu Utami mendapat gelar DR. Honoris Causa dari Universitas Pyongyang, Korea Utara sehingga sejak saat itu beliau menjadi DR. Utami Suryadarma. Pada tahun 1963 Universitas Baperki resmi berganti nama menjadi Universitas Res Publica yang diambil dari pidato Bung Karno di hadapan Konstituante yang berjudul “Res Publica, sekali lagi Res Publica”. Res Publica artinya untuk kepentingan publik atau kepentingan umum, nama yang tepat sekali sesuai dengan visi dan misi JPK Baperki. Selanjutnya Universitas Res Publica disingkat menjadi Ureca. Pada tahun yang sama berlangsung Kongres Baperki. Kongres dibuka oleh Presiden Soekarno di Istora Senayan dan selanjutnya kongres berlangsung di kampus A Ureca. Ruang-ruang kelas dipakai sebagai tempat akomodasi delegasi dan aula dipakai untuk sidang-sidang pleno. Saat berlangsung kongres kami aktif membantu sebagai anggota keamanan resmi maupun tidak resmi, hal ini pernah menimbulkan kesalah-pahaman dengan ketua seksi keamanan resmi yaitu sdr. Go Hian Liat ketika dia menemukan ada anggota keamanan di luar pengetahuan dan kendali dia, tetapi memakai atribut seksi keamanan yang resmi
100
Organisasi dan Kemahasiswaan
dari panitia saat berlangsung acara di Sin Hoa Lithang, jalan Lauze, Pasar Baru. Hehehehe..... Itulah uniknya Ureca. Kami juga secara aktif membantu panitia baik siang maupun malam saat berlangsung sidang-sidang Kongres sambil mencari uang untuk kas Kombes CGMI. Saya juga masih ingat bagian konsumsi dipimpin oleh Ibu Dr. Tan Eng Tie dibantu antara lain oleh Siem Giok Lan dari FKG asal Sidoarjo, entah apa kabarnya dengan Giok Lan sekarang. Saat berlangsung kongres tersebut bertepatan dengan musim hujan, hujan turun setiap hari sampai halaman depan banjir dan harus dipasang semacam jembatan atau pematang dari papan agar yang ingin keluar masuk kampus tidak usah ngerobok. Nah, kesempatan emas ini digunakan untuk mencari uang dengan cara menjual rokok, makanan kecil, keperluan mandi dsbnya sambil menodong sumbangan dari para peserta Kongres yang menaruh simpati kepada kami. Pada tahun 1964 Dekan Fakultas Ekonomi diganti oleh Drs Carmel Boediardjo, sebelumnya sebagai Sekretaris Universitas diangkat Ir. Soeharjo yang kemudian karena sakit berkepanjangan dan harus berobat ke Peking, beliau digantikan untuk sementara oleh Sunito S.H. Para pekerja dan staf sekretariat yang masih saya ingat adalah Om Oei Kim Gwan sebagai kepala pool kendaraan dengan sopirnya antara lain Wahono dan Samino. Staf sekretariat antara lain zus Thennu yang adalah kakak artis terkenal Farida Ariany, Rafdi dan Mohammad Basar. Penjaga kampus pak Husin yang orangnya pendiam dan tertutup. Pada tahun itu juga berdiri kantin yang baru, cukup representatif dan membanggakan untuk masa itu dengan desainnya yang modern dan minimalis. Dengan berdirinya kantin tersebut, jadilah tempat tersebut tempat berkumpul dan omong-omong kedua setelah perpustakaan. Makanannya juga cukup enak dan tidak menguras kantong kami. Juga berdiri laboratorium anatomi yang berisi kadafer sumbangan RS. Permina di Cepu yang menurut keterangan Om Wim atau Go Gien Tjwan diantar oleh Dr. Han Hwie Song. Tahun sebelumnya juga telah selesai dibangun dan ditempati perumahan dosen di kompleks belakang kampus.
101
Universitas Res Publica
Foto Jadoel - Mahasiswa Ureca
102
Organisasi dan Kemahasiswaan
Pada tahun 1964 diresmikan laboratorium pengecoran logam di kampus B yang dihadiri oleh ibu Hartini Soekarno. Beliau juga mengunjungi kampus A, meresmikan pembukaan Klinik Gigi Ureca yang memberi perawatan gigi murah untuk penduduk setempat. Acara berlangsung dengan meriah. Pada awal tahun 1965 di Aula kampus A dilangsungkan Simposium Dekon atau Deklarasi Ekonomi dipimpin oleh dekan FE Dra. Carmel Boediardjo. Deklarasi Ekonomi dicanangkan Bung Karno dalam rangka usaha Berdikari di bidang ekonomi sebagai penjawantahan Trisakti yaitu Berdaulat di bidang politik, Berdikari di bidang ekonomi dan Berkepribadian di bidang kebudayaan. Dengan semangat Berdikari tersebut pimpinan JPK Baperki dan pimpinan universitas serta pimpinan fakultas teknik melakukan pembangunan kampusnya. Kampus dibangun oleh para mahasiswa dan dosen-dosennya sendiri mulai dari rancang ba-ngun sampai pembangunan fisiknya. Para mahasiswa baru diharuskan mengikuti kerja bakti membangun kampus secara rutin sesuai jadwal, mulai dari mengaduk bahan bangunan sampai menjadi tukang batu dengan tidak membedabedakan gender-nya. Demikian juga tidak jarang kita menjumpai mahasiswa-mahasiswi FT Ureca yang sedang kerja bakti memperbaiki jalan-jalan yang rusak setelah musim hujan berakhir, malahan ada yang sedang mengendarai stoomwals atau mesin giling. Pada saat itu juga sedang terjadi krisis pangan secara nasional, pembelian beras harus dijatah dengan sistem kupon yang dibagikan melalui RT masing-masing. Digencarkan kampanye makan jagung sebagai pengganti nasi baik melalui radio, TV maupun media cetak. Lagu menanam jagung yang dibawakan Pattie Bersaudara berkumandang setiap hari. Nah, untuk menjawab seruan tersebut maka pimpinan FT mendorong mahasiswanya untuk menanam jagung di halaman kampus B yang cukup luas bersebelahan dengan kampus Universitas Tarumanegara. Kehidupan kemahasiswaan Sejak saya memutuskan untuk kuliah dan menjadi aktivis mahasiswa, maka saya telah menentukan arah hidup saya ke depan, walaupun saya menyadari bahwa saya sedang
103
Universitas Res Publica memasuki dunia yang sama sekali baru bagi saya. Tidak mudah bagi saya untuk meninggalkan dunia dan pergaulan saya yang lama. Tetapi tekad untuk melakukan perubahan yaitu membersihkan praktek perpeloncoan yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial Belanda, setidak-tidaknya di kampus Ureca yang didirikan Baperki telah berhasil membuat saya meninggalkan kehidupan lama saya yang serba seenaknya dan liberal. Karena menurut pendapat saya praktek perpeloncoan ingin menjadikan kaum intelektual Indonesia menjadi intelektual yang penurut dan berjiwa nrimo dan feodal sehingga mudah dikendalikan. Sedangkan para pemuda dan mahasiswa adalah tulang punggung untuk melakukan perubahan atau agen perubahan suatu bangsa. Saya dan teman-teman juga menyadari bahwa untuk menghapus praktek perpeloncoan, kuncinya adalah di Dewan dan Se-nat-senat Mahasiswa. Karena Senat Mahasiswa-lah yang membentuk Panitia Mapram dan Panitia Mapramlah yang membuat peraturan dan menyusun agenda Mapram. Tidak mudah untuk merebut kepengurusan Senat terutama di FKG dan FK karena posisi ini telah dikuasai dan didominasi para senior yang pada umumnya dari kelompok mahasiswa yang pro perpeloncoan yaitu anggota-anggota PMKRI dan PERHIMI. Para alumni SMAK Pintu Air pada umumnya masuk PERHIMI dan tidak terlalu ba-nyak yang masuk GMKI, tetapi para mahasiswa Katolik hampir semuanya masuk PMKRI. Jadi tidak benar apa yang dinyatakan Harry Tjan pada Seminar bedah buku Siauw Tiong Djin di Mercantile Club bulan Mei 2010 bahwa Pak Siauw tidak suka kepada mahasiswa Katolik di Ureca, karena pada kenyataannya justru Senat-Senat Mahasiswa banyak didominasi para mahasiswa Katolik yang pada umumnya fanatik dan militan serta patuh kepada pembinanya yaitu Pater Joop Beek S.J yang notorious dan sangat anti komunis. Rupanya saat pertama kali didirikan Fakultas Kedokteran Gigi dan Fakultas Kedokteran kebanyakan yang diterima calon mahasiswa Katolik. Para kader PMKRI digembleng secara spartan dalam program Kasebul (Kader Sebulan) di Pulo Gadung. Sedangkan para anggota PERHIMI yang Pengurus Cabang dan Pengurus Pusatnya di PPMI berada dalam satu kubu dengan CGMI, GMNI, GMD, GERMINDO dllnya yang juga menentang praktek perpeloncoan tetapi pada kenyataannya
104
Organisasi dan Kemahasiswaan
mereka pro dan menikmati tradisi perpeloncoan. Dalam waktu setahun saja karena kegiatan-kegiatan yang positif dan dianggap bermanfaat oleh para mahasiswa, terutama oleh para mahasiswa yang berasal dari sekolah Tionghoa, CGMI berkembang dengan pesat. Kegiatan latihan testing untuk membantu para calon mahasiswa terutama dari FK dan FKG dan RBB atau Regu Belajar Bersama menjadi daya tarik para mahasiswa untuk bergabung dengan CGMI. Atas inisiatif para kadernya yang militan berbagai kegiatan pengumpulan dana dilakukan antara lain pertunjukan perdana film-film Tiongkok yang disewa dari importirnya Merpati Film yang direktur-nya Adam Malik, penjualan buku tulis, pin, logo, peci dsbnya. Karena pertumbuhannya yang demikian pesat maka perlu dilakukan restrukturisasi organisasi agar dapat menampung seluruh kegiatan dan kadernya. Akhirnya setelah berkonsultasi dengan Pimpinan Cabang, maka dibentuklah Komisariat Besar (Kombes) Ureca walaupun tidak ada di dalam AD/ART. Untuk melancarkan kegiatan sehari-hari maka kebutuhan sekretariat sangat mendesak. Setelah berembuk maka akhirnya diputuskan untuk mengontrak sebuah rumah di jalan Dr. Susilo 2 gang 3 no. 39, Grogol dengan cara patungan (sharing) dengan beberapa orang mahasiswa. Para mahasiswa menggunakan ketiga kamar tidurnya dan Kombes menggunakan ruang tamu dan keluarganya. Dengan adanya Kombes dan sekretariat kegiatan menjadi lebih terkoordinir dan rapih. Sebagai media informasi setiap bulan diterbitkan buletin stensilan yang dibagikan secara cumacuma. Kemudian untuk penambah semangat dibentuk barisan drumband yang saat itu sedang menjadi trend. Kami juga secara aktif ikut mensukseskan Ganefo dengan menjadi guide dan liaison officer. Demikian juga dengan Konperensi Wartawan Asia Afrika dan menyambut kedatangan Ensemble tari dan nyanyi Shin Shei Shakusa dari Jepang. Sebagai organisasi extra universiter sudah tentu kami juga banyak mengikuti kegiatan-kegiatan di luar kampus sesuai dengan arahan organisasi induknya yaitu PPMI singkatan dari Persatuan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia yang dipimpin Bambang Kusnohadi dari GMNI. Selaras dengan terjadinya Perang Dingin, maka dengan sendirinya organisasi-organisasi mahasiswa ini
105
Universitas Res Publica terbagi dalam kelompok kiri dan kelompok kanan. Aksi-aksi demo mengganyang Malaysia di Kedubes Inggris, mengganyang AMPAI dan Anti Pangkalan Militer Asing yang diorganisir oleh KIAPPMA atau Komite Indonesia Anti Pangkalan Pangkalan Militer Asing yang dipimpin oleh ibu Utami Suryadarma adalah antara lain aksi-aksi yang kita ikuti. Di dalam kampus sendiri konflik secara terbuka dengan PMKRI sebagai organisasi yang secara ideologi berseberangan hampir tidak pernah terjadi. Pada umumnya pertentangan timbul saat pemilihan Senat Mahasiswa dan Pembentukan Panitia Mapram. Cuma pernah terjadi sebuah insiden kecil di kampus B ketika ada seorang anggota PMKRI dipukul oleh anggota CGMI karena anggota PMKRI tersebut tertangkap basah merobek poster CGMI yang berisi karikatur anti Manikebu atau Manifesto Kebudayaan. Pada tahun 1964 selaras dengan makin banyaknya mahasiswa yang berasal dari sekolah Tionghoa maka pada umumnya Se nat-Senat Mahasiswa sudah dijabat oleh mahasiswamahasiswa yang anti perpeloncoan. Dewan Mahasiswa yang baru dipimpin oleh Sie Ban Hauw dari FT menggantikan Wiratmo dari FH. Wakil ketuanya Tjoa Sin Tjoei dari FE, Tan Ping Ien dari FK dan Sekretarisnya Liem Heng Hong dari FH. Mulai tahun 1964 juga dibentuk Panitia Mapram Dewan Mahasiswa yang mengkoordinir seluruh kegiatan Mapram di Ureca. Pada saat itu praktek-praktek perpeloncoan sudah dapat dikatakan minim sekali. Panitia Mapram Dewan Mahasiswa dipimpin oleh Tjoa Sin Tjoei dan saya menjadi sekretarisnya. Pada saat itu Ketua Senat FE dipimpin oleh Liem Bing Hoei yang berasal dari Solo. Kehidupan sebagai mahasiswa sudah tentu tidak terlepas dari kegiatan para remaja pada umumnya, sedikit hura-hura. Masing-masing berusaha mencari pasangannya yang cocok untuk dijadikan “pacar”. Sayang dalam urusan ini saya kurang beruntung seperti orang lain, karena terlalu disibukkan oleh studi dan berbagai kegiatan sehingga kurang serius untuk berpacaran. Slogan saat itu Studi, Organisasi dan Revolusi (SOR) menjadi acuan saya. Saya memang banyak mendekati temanteman perempuan, tetapi itu saya lakukan agar mereka mau aktif berorganisasi dan dapat menjadi kader yang handal.
106
Organisasi dan Kemahasiswaan
Tetapi sebagai anak muda sudah tentu saya juga pernah tertarik dan agak dekat dengan seseorang. Dia biasa saya panggil Ully, anaknya pendiam, tidak suka menonjolkan diri, suaranya lembut, matanya besar dan bening, rambutnya sebahu dan senyumnya manis menawan. Di mata saya saat itu dia cantik sekali. Semua itulah yang menyebabkan saya tertarik kepadanya, tetapi dia bukan aktivis. Sayangnya saya ga pernah mikir atau tepatnya ga berani mikir untuk punya pacar pada masa itu, jadi saya simpan saja semua perasaan itu, sehingga hubungan tersebut hanya sebatas persahabatan saja. Mungkin kalau istilah ABG sekarang ga berani nembak gitooo. Pernah suatu malam saya mengantarnya pulang dari Gedung Pemuda, di sebelah istana naik beca berdua saja. Dada saya berdebar-debar, rambutnya menempel di telinga saya, tetapi melihat wajahnya yang begitu innocent saya batalkan segala niatan untuk merayunya. Entah si Ully sekarang berada dimana, semoga saja dia masih mengingat saya. G30S Pada tanggal 29 September 1965, bertempat di Istora Senayan berlangsung acara pembukaan Kongres CGMI yang dihadiri Presiden Soekarno dan DN. Aidit selaku Ketua CC PKI. Dalam pidatonya Aidit mendesak agar Presiden Soekarno membubarkan HMI dan menyatakan apabila kader CGMI tidak dapat membubarkan HMI lebih baik sarungan saja. Ternyata Presiden Soekarno tidak melayani atau memberikan reaksi atas desakan tersebut. Perlu diketahui bahwa seluruh rangkaian Kongres berlangsung di kompleks perumahan atlit Senayan yang sekarang menjadi Mall Plaza Senayan. Sebagai akomodasi, para peserta Kongres ditempatkan dalam tenda-tenda yang khusus dipa-sang untuk menghemat biaya. Pada tanggal 30 September sore, bertempat di Gedung KONI, Senayan selaku wakil ketua panitia saya sempat memberikan sambutan. Malamnya saya bermalam di Gedung Pemuda yang menjadi Sekretariat Panitia Kongres. Keesokan harinya tanggal 1 Oktober, subuh jam 5 pagi saya keluar untuk mengisap rokok, tetapi saya kaget sekali karena di halaman Gedung Pemuda dan di jalan Merdeka Utara di depan istana sudah penuh dengan tentara bersenjata lengkap. Kami tidak tahu mereka berasal dari kesatuan mana karena seluruh tanda-
107
Universitas Res Publica tandanya sudah dicopot, mereka hanya memakai pita aneka warna di lengan kiri atasnya. Tetapi sikap mereka tidak sangar dan garang. Dengan ramah mereka bercakap-cakap dengan kami. Tetapi saat ditanya mereka sedang tugas apa, mereka hanya mengangkat bahu dan tidak menjawabnya. Rupanya mereka sendiri tidak tahu tugas apa yang diembannya dan hanya menjalankan perintah saja. Kami semua bingung dan bertanya-tanya apakah ini kudeta Dewan Jenderal? Mencoba mencari keterangan keluar, tetapi telponnya mati. Rupanya seluruh jaringan telpon telah dimatikan. Baru saat warta berita RRI jam 7.00 pagi ada pernyataan bahwa telah terjadi gerakan militer di dalam tubuh Angkatan Darat dengan dibantu oleh pasukan-pasukan angkatan lainnya yang dilakukan oleh Gerakan 30 September di bawah pimpinan Letkol Untung Samsuri, Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Tjakra Birawa, pasukan pengawal pribadi Presiden Soekarno. Gerakan telah menangkap sejumlah jenderal yang menjadi anggota Dewan Jenderal yang ingin melancarkan kudeta pada tanggal 5 Oktober dan telah menguasai dan mengamankan sejumlah objek vital seperti alat-alat komunikasi dllnya. Dinyatakan juga bahwa Presiden Soekarno berada dalam keadaan selamat dan aman di bawah perlindungan G30S. Pada jam 13.00 disiarkan dua keputusan Gerakan 30 September, yang pertama pembentukan Dewan Revolusi yang dipimpin Letkol Untung berikut daftar nama 45 orang anggotanya. Keputusan yang kedua adalah penghapusan seluruh pangkat dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di atas Letnan Kolonel atau setingkat. Letnan Kolonel adalah pangkat tertinggi dalam ABRI. Semua tamtama dan bintara dari semua Angkatan Bersenjata RI yang mendukung G30S pangkatnya dinaikkan satu tingkat lebih tinggi dari sebelum tanggal 30 September 1965. Khusus bagi semua tamtama dan bintara yang turut mengambil bagian dalam gerakan pembersihan terhadap anggota Dewan Jenderal pada 30 September malam di Jakarta, dinaikkan pangkatnya dua tingkat lebih tinggi dari sebelum tanggal 30 September 1965. Setelah mendengar pengumuman tersebut, dalam keadaan bingung dan penuh tanda tanya saya pulang untuk mandi
108
Organisasi dan Kemahasiswaan
dan ganti pakaian. Sore hari jam 5.00 saya kembali ke Gedung Pemuda, namun betapa kagetnya saya melihat suasana yang sangat sepi, seluruh tentara sudah tidak ada seorangpun, rupanya seluruh pasukan sudah ditarik dan suasana terasa mencekam. Buru-buru saya balik pulang ke rumah. Pada jam 19.00 saya kembali dikejutkan dan dibuat bingung ketika mendengar pidato singkat Panglima Kostrad yang telah menyatakan diri sebagai pimpinan sementara Angkatan Darat Republik Indonesia, Mayjen Soeharto yang disampaikan melalui RRI. Ia menyatakan bahwa pada tanggal 1 Oktober 1965 di Jakarta telah terjadi suatu gerakan kontra revolusioner yang menamakan dirinya Gerakan 30 September. Mereka telah menculik beberapa orang perwira tinggi AD yaitu Letjen A.Yani, Mayjen Soeprapto, Mayjen S.Parman, Mayjen Harjono M.T., Brigjen D.I. Pandjaitan dan Brigjen Soetojo Siswomihardjo. Pembakaran kampus Ureca Keesokan harinya saya pergi ke kampus Ureca dan bertemu dengan beberapa teman antara lain Tjoa Sin Tjoei, Lu Kim Liang/ FH dan Sie Ban Hauw untuk berunding tindakan apa yang harus kita ambil. Kemudian diputuskan bahwa kami harus tetap tenang dan segera menarik semua anak-anak Ureca yang membantu panitia Kongres di Senayan. Selanjutnya kami secara bergantian harus menjaga keamanan kampus siang dan malam. Koordinasi dengan pihak universitas, Dewan Mahasiswa dan senat-senat dilakukan oleh Sie Ban Hauw dan koordinasi anak-anak CGMI dilakukan Tjoa Sin Tjoei, Lu Kim Liang dan saya sendiri dengan dibantu pengurus Kombes. Sejak hari itu siang malam kami bergantian berjaga-jaga di kampus A sedangkan teman-teman FT menjaga kampus B. Dalam kenyataannya kebanyakan yang menjaga kampus adalah anak-anak CGMI yang siap mempertaruhkan nyawanya untuk membela kampus yang sangat dicintainya. Sementara itu atas izin Sekretaris Universitas bapak Sunito SH dengan pertimbangan kemanusiaan, limabelas orang delegasi ke Kongres CGMI dari Sulawesi Utara diizinkan bermalam sambil menunggu jadwal kapal yang akan memulangkan mereka ke Manado. Jadi tidak benar kalau ada yang menyampaikan informasi kepada pimpinan JPK Baperki bahwa mereka menumpang bermalam tanpa izin dari pimpinan universitas. Kalau mereka memang
109
Universitas Res Publica tidak di-izinkan sejak awal tentu mereka sudah diusir dari kampus Ureca. Hari-hari berjalan seperti biasanya cuma suasana diliputi ketegangan. Pada suatu siang tiba-tiba datang beberapa orang polisi bersenjata, tentu saja kami dibuat kaget. Ternyata mereka mencari pak Husin, penjaga sekolah yang tinggal di sebuah barak di samping perpustakaan. Pak Husin ditangkap dan dibawa pergi. Kami hanya bisa menduga-duga saja, ada apa gerangan dengan pak Husin yang sederhana dan pendiam itu? Ada info pak Husin dicokot keluarganya dan dari kamarnya ditemukan pita warna warni yang dipakai pasukan G30S. Pada tanggal 7 Oktober siang tiba-tiba ada info bahwa sekretariat Kombes CGMI didatangi polisi Pesing dan disegel. Khoe Tjwan Sioe /FH, Tan In Toan//FE dan Tjong Tiong Liat/ FKG yang tinggal disana dibawa ke kantor polisi Pesing. Untuk mengecek kebenaran berita tersebut berangkatlah beberapa orang teman di antaranya Yoe Lan Sing/FE dan Goei Kim Tjoei/ FH untuk mengeceknya, tetapi karena mendapat firasat kurang enak setengah jalan Kim Tjoei kembali ke kampus. Ternyata setiba-nya disana Lan Sing langsung ditahan. Sudah tentu kejadian ini sangat mengejutkan dan memukul semangat kita semua. Lan Sing dan Tiong Liat karena segera diurus keluarganya beberapa bulan kemudian berhasil dibebaskan, tetapi Tjwan Sioe dan In Toan ternyata ditahan selama lebih dari sepuluh tahun, malahan Tjwan Sioe dikirim ke pulau Buru dan baru dibebaskan pada akhir tahun 1979. Lebih dari 14 tahun lamanya dia ditahan tanpa pernah diadili dan mengerti apa kesalahan yang telah dilakukannya berkaitan dengan G30S. Hilang masa remajanya karena kekejaman rezim diktatur militer Soeharto. Setiap malam saya bersama teman-teman dengan semangat tinggi tetap menjaga kampus. Sejak tanggal 2 Oktober telah diberlakukan jam malam mulai dari jam 18.00 sampai jam 6.00 pagi. Pada suatu malam ketika saya dan beberapa orang teman sedang melihat suasana dan keadaan di luar pagar kampus dari pohon yang ada di halaman depan dekat pagar di seberang parit, tiba-tiba lewat sebuah power wagon bak terbuka yang dipenuhi tentara. Mungkin karena melihat ada gerakan-gerakan di atas pohon maka mobil tersebut berhenti dan beberapa orang tentara dengan menodongkan bayonetnya menyuruh
110
Organisasi dan Kemahasiswaan
kita turun . Wah, bukan main kagetnya kami semua, dengan galak salah seorang dari mereka menanyakan apa yang sedang kita kerjakan disitu, padahal saat itu sedang berlangsung jam malam. Setelah kita tunjukkan kartu mahasiswa dan jelaskan bahwa kami sedang menjaga kampus akhirnya mereka pergi. Pernah juga saat kami ketiduran karena kecapaian di lantai kantin, tiba-tiba sekitar jam 4.00 pagi dibangunkan oleh sepasukan tentara yang menodongkan bayonetnya di tengkuk kami. Sudah tentu kami semua merasa terkejut. Kami semua dikumpulkan di halaman belakang, di depan laboratorium anatomi seperti apel pagi. Setelah dihitung dan nama dicatat akhirnya kami dibebaskan dan mereka pergi begitu saja. Sejak tanggal 10 Oktober kami mendapat info bahwa kampus Ureca akan diserbu dan untuk mengantisipasinya kami mempersiapkan diri dengan mengumpulkan batu-batu, rantai sepeda, katapel, lembing, tongkat bambu dllnya. Yang paling utama kami membulatkan semangat dan tekad untuk berjibaku demi mempertahankan kampus yang kita cintai. Kami mengorganisir diri dengan membagi regu untuk bertahan di halaman depan, di ruangan dalam dan di halaman belakang. Pada tanggal 13 Oktober siang sekelompok massa liar dengan menggunakan beberapa truk melakukan provokasi, bersoraksorak di hadapan kampus tetapi mereka kemudian pergi begitu saja. Tanggal 14 Oktober siang mereka kembali lagi dengan jumlah yang lebih banyak, mereka mulai melempar batu dan ada beberapa orang yang turun menghampiri pintu halaman di ujung jembatan tetapi karena mendapatkan perlawanan mereka kemudian pergi. Ini membuktikan bahwa mereka hanya massa liar yang dibayar dan takut menghadapi perlawanan kami. Tanggal 15 Oktober suasana semakin tegang dan mencekam karena kami mendapat info yang valid bahwa mereka akan datang menyerbu dengan jumlah massa yang lebih banyak dan dipimpin langsung oleh para mahasiswa terutama dari PMKRI. Mereka juga akan mendapatkan back-up militer. Mendengar ini kami tidak menjadi gentar tetapi justru lebih bersemangat. Kami melihat teman-teman dari FK dan FKG mulai mengamankan mikroskop-mikroskop ke RS. Sumber Waras. Tan Ping Ien memindahkan mobil Mercy berwarna putih milik Om
111
Universitas Res Publica Wim atau Go Gien Tjwan, mungkin juga ke RS Sumber Waras. Semakin siang suasana semakin tegang. Teman-teman CGMI dari Sulawesi Utara turut memperkuat barisan pertahanan, semuanya bersatu padu membulatkan tekad untuk melawan demi mempertahankan kampus tercinta. Tidak ada kata menyerah! Sekali lagi ini membuktikan bahwa mereka ikut melebur untuk mempertahankan kampus Ureca Dengan berbekal rantai sepeda saya memimpin barisan depan persis di belakang pintu besi halaman kampus. Hampir semua yang berjuang mempertahankan kampus Ureca adalah anggota CGMI yang militan dan loyal kepada kampusnya. Itulah sebabnya ada yang mencoba meniup-niupkan info negatif bahwa kampus Ureca diserbu karena menjadi sarang CGMI sehingga ada sementara pimpinan Baperki yang termakan informasi yang menyesatkan tersebut. Ada atau tidak ada CGMI, kampus Ureca akan tetap diserbu, diduduki dan diambil alih. Karena ini merupakan puncak konflik Baperki dan LPKB yang didukung militer. Penyerbuan ini telah direncanakan secara matang oleh mereka dengan pelaksananya kaderkader PMKRI yang telah dilatih dalam program Kasebul di bawah pimpinan Pater Joop Beek. Jangan lupa bahwa saat itu kita sedang berada di puncak Perang Dingin dimana posisi Amerika dan antek-anteknya berada dalam keadaan terdesak. Kampus Ureca kedua yang mahasiswanya melakukan perlawanan secara heroik adalah kampus Ureca Semarang di jalan Pemuda. Setelah kampus Ureca, LPKB di bawah pimpinan Sindhunata secara aktif mengambil alih sekolah-sekolah milik atau di bawah naungan JPK Baperki termasuk sekolah JPP di Patekoan yang kemudian dijadikan sekolah negeri. Kemudian apa yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul. Beberapa truk yang penuh massa dengan dipimpin oleh para mahasiswa yang dapat dikenali dari jaket dan peci yang dipakainya datang dan berhenti di jalan di depan kampus. Dari jauh kelihatan baret merah Dunhill dengan umbul-umbul kuning PMKRI yang dipakai kadernya yang sedang memberi perintah kepada gerombolan liar yang dibawanya agar menyerbu kampus dengan menerjang pintu pagar halaman. Ada yang memberi tahu saya bahwa di antara anak-anak PMKRI tersebut ada beberapa mahasiswa Ureca.
112
Organisasi dan Kemahasiswaan
Dengan spontan kami melakukan perlawanan. Gerombolan liar yang ingin menyerbu tersebut dihujani batu sehingga banyak juga yang terluka. Yang mencoba mendekati pintu pagar mendapat sabetan rantai sepeda. Di antara para teman juga ada yang terluka di kepalanya, entah terkena batu entah terkena pentungan. Yang saya masih ingat Chang Chai Ping dari FKG asal Banjarmasin, kepala dan telinganya luka penuh darah. Kemudian Om Wim – Go Gien Tjwan muncul tetapi segera kami amankan dan bawa masuk kembali ke dalam ruangan. Setelah hampir sejam perang batu dan usaha menyerbu yang selalu berhasil digagalkan, tiba-tiba muncul sepasukan tentara yang dengan gencar melakukan penembakan ke arah kampus. Menghadapi tembakan-tembakan itu sudah tentu kami tidak mau mati konyol dan mundur ke belakang. Gerombolan liar tersebut akhirnya berhasil memasuki kampus dan berusaha masuk ke dalam gedung tetapi terhalang oleh pintu besi. Mereka akhirnya meluruk melalui samping gedung dan terjadilah pertempuran secara terbuka, face to face. Rantai sepeda, tongkat bambu, kopel riem dllnya digunakan untuk menghalangi serbuan gerombolan liar tersebut. Karena kalah jumlah akhirnya mereka berhasil masuk dan mengobrakabrik klinik gigi dan rangan-ruangan kuliah dan membakarnya. Di dalam mereka juga menghadapi perlawanan dari teman-teman yang bertahan di dalam. Gho Tjeng Hok/FT asal Temanggung jatuh pingsan karena terlampau banyak menghirup asap. Ia kemudian digotong ke RS. Sumber Waras. Menyaksikan apa yang terjadi, akhirnya kami semua mundur ke belakang ke dekat perumahan dosen. Dengan air mata berlinang kami menyaksikan kampus tercinta habis dilalap api. Setelah melakukan pembakaran gerombolan liar tersebut akhirnya pergi begitu saja. Setelah mereka pergi, kami berkumpul di dekat kantin. Saya lihat Ping Ien menangis ngegukguk dan saya hibur dia dengan mengatakan bahwa pasti gedung universitas akan di bangun kembali dengan lebih hebat. Kemudian muncul Pak Siauw Giok Tjhan dan Om Wim Go Gien Tjwan, di atas puing reruntuhan pak Siauw berdua sambil berlinang air mata berjanji untuk membangun kembali gedung universitas yang lebih modern. Kemudian bersama Sin Tjoei, Kim Liang dan beberapa teman
113
Universitas Res Publica lainnya kami berembuk dan akhirnya diputuskan karena tidak ada lagi yang perlu dipertahankan kami bubarkan temanteman untuk pulang ke rumah masing-masing. Kami juga berpesan agar hati-hati dan waspada karena kami menyadari bahwa akan ada gelombang persekusi dan penangkapan kepada para aktivis Ureca. Sebelum pulang, saya masih menengok lagi ke arah gedung yang telah hangus untuk terakhir kalinya, tanpa terasa air mata kembali menitik. Dengan perlahan saya berbisik good bye Ureca! Itulah terakhir kalinya saya melihat apalagi menginjakkan kaki di kampus Ureca sampai saat ini. Kalaupun saya melintasinya saya tidak pernah mau melihatnya lagi walaupun sepintas. Terlampau banyak kenangan, baik manis maupun pahit yang saya alami di kampus Ureca yang tidak akan pernah saya lupakan sepanjang perjalanan hidup saya. Terima kasih Ureca, terima kasih JPK Baperki dan terima kasih Pak Siauw Giok Tjhan. Dengan tergesa-gesa saya mencari kendaraan untuk pulang karena sebentar lagi akan dimulai jam malam. Dunia terasa sunyi dan terbayang lorong di depan mata yang harus saya tempuh sangat gelap, gelap sekali! Inilah akhir pengalaman saya selama tiga tahun kuliah di Ureca yang telah mengubah perjalanan hidup saya. Lebih banyak sukanya dari pada dukanya. Walaupun saya menyadari bahwa hari depan saya akan terasa suram tetapi saya tidak akan pernah merasa menyesal dan menyerah menghadapi keadaan apapun.
114
Organisasi dan Kemahasiswaan
URECA Membangkitkan the Sense of Belonging Kwan Siu Hwa Sejak kecil saya bercita-cita untuk menjadi seorang dokter. Saya ingin mengabdi sebagai dokter. Harapan ini mulai terbentuk ketika ibu saya membawa saya ke kota Malang, ketika saya duduk di SMA 2 pada tahun 1962, di sekolah Tionghoa yang dinamakan Lung Hwa, Tiong Hoa Hwee Kwan Semarang. Seperti diketahui, lulusan-lulusan sekolah Tionghoa tidak memiliki harapan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri. Apa lagi saya pada waktu itu masih berstatus Warga Negara Asing – mengikuti kewarganegaraan ayah saya yang memang lahir di Tiongkok. Ibu saya mengetahui kehendak saya untuk menjadi dokter. Dan ia mengetahui harapan satu-satunya untuk saya masuk ke perguruan tinggi adalah Universitas Baperki. Ternyata di Malang ia membawa saya ke rumah Siauw Giok Bie, ketua Baperki Jawa Timur. Ibu saya menyatakan ke oom Anton, demikian ia saya panggil, bahwa saya ingin sekali masuk kedokteran di Universitas Baperki. Ibu saya mengatakan ke Siauw: “tolong deh anak saya ini diterima. Kalau tidak ada tempat, saya akan sediakan bangku sendiri..” . Siauw dengan ramah menyatakan bisa saja, asal lulus SMA. Tapi ia berkata: “Sebaiknya kau masuk fakultas teknik. Indonesia sedang membangun dan membutuhkan banyak insinyur”. Saya jawab: “Saya dari kecil ingin menjadi dokter oom…”. Rupanya pembicaraan tadi cukup untuk mengukuhkan koneksi untuk masuk ke Universitas Baperki. Demikianlah, setelah saya lulus SMA pada tahun 1963, saya pergi ke Jakarta untuk mendaftarkan diri di Universitas Baperki yang berlokasi di Grogol, dareah yang masih sangat sepi ketika itu. Saya daftar ke empat fakultas, kedokteran, kedokteran gigi, sastra dan teknik farmasi, yang baru dibuka. Ternyata saya tidak berhasil masuk fakultas kedokteran. Jumlah pendaftar terlalu tinggi. Tetapi saya diterima di fakultas kedokteran gigi, fakultas sastra dan fakultas teknik farmasi. Saya tetap tidak menyerah. Saya tunggu pengumuman terakhir, siapa tahu ada yang mundur sehingga saya yang terdaftar sebagai cadangan bisa masuk. Akan tetapi harapan saya tidak terpenuhi. Masuklah saya ke fakultas kedokteran gigi. Dari angkatan saya di Lung Hwa Semarang, ada 12 siswa yang
115
Universitas Res Publica masuk ke Universitas Baperki. Dua masuk ke fakultas kedokteran gigi, tiga masuk fakultas farmasi dan yang lain masuk ke fakultas teknik. Karena menunggu terus sampai kuliah dimulai, saya tidak bisa mengikuti mapram fakultas kedokteran gigi pada tahun 1963. Saya ternyata bisa hutang, jadi ikut mapram di tahun berikutnya pada tahun 1964. Menjelang akhir 1963, nama Universitas Baperki diubah menjadi Universitas Res Publica – Ureca. Mapram di Ureca berbeda dengan mapram-mapram di universitas lain. Mapram di Ureca lebih banyak bersifat bekerja bakti dan mendengar berbagai kuliah tentang Ureca, Baperki dan tujuan belajar. Salah satu acara mapram adalah mengikuti kuliah tentang Nasakom yang dilakukan di istora Senayan selama tiga hari. Karena saya sudah kuliah setahun, sebenarnya saya sudah mengenal banyak senior yang memimpin acara mapram. Dan karena saya aktif di seksi kesenian Ureca, saya beberapa kali diajak mengikuti acara tim kesenian. Jadi saya tidak mengikuti seluruh acara mapram. Nenek saya adalah seorang pribumi yang pada masa mudanya kerap menari di keraton Yogyakarta. Saya sering diajaknya untuk menonton tarian wayang orang dan ketoprak di gedung Hwa Yu Hwee Kwan. Terkadang sampai jauh malam. Ini yang menyebabkan saya menyenangi tari-tarian Jawa. Sekolah Tionghoa Lung Hwa sering mementaskan berbagai tarian yang populer, bukan saja tarian Tiongkok, tetapi juga tarian Muangthai. Dan saya sering menjadi penari di sekolah tersebut. Walaupun demikian, kesenian Indonesia tidak ditekankan dan pengetahuan saya tentang kesenian Indonesia terbatas pada perwayangan saja. Ternyata hobby menari ini bisa berkembang di Ureca. Tidak lama setelah saya masuk, seorang senior saya dari Semarang, Kho Hui Lan mengajak saya untuk bergabung ke Tim Kesenian Ureca yang dibina oleh Dewan Mahasiswa-nya. Di sinilah saya mengembangkan bakat saya. Berbagai tarian Indonesia kami yang bergabung di Tim Kesenian pelajari. Yang menarik, kami yang Tionghoa, bahkan Tionghoa totok, bisa menguasai dan menjiwai berbagai tarian Indonesia tersebut. Pada awalnya hanya tari-tarian populer, seperti tarian payung, tarian piring dan tarian lilin yang kami kuasai. Kebanyakan tari-tarian dari Minangkabau yang lemah gemulai. Tari-tarian
116
Organisasi dan Kemahasiswaan
dari Thailand, Vietnam dan minoritas Tiongkok-pun kerap dipentaskan. Menjelang akhir 1964, kami mulai mementaskan tari-tarian yang mencerminkan penghidupan rakyat, seperti tarian tandur jagung, tanduk majeng dan genjer-genjer. Di waktu itulah kami menjiwai dan menyelami penghidupan rakyat Indonesia. Para pelatih adalah para mahasiswa yang aktif di PPI - Permusyawaratan Pemuda Indonesia, pemuda Baperki, di antaranya Auwyang Tjhoi Hauw, Lay Te Pen, Liem Han Kwie. Saat saya bergabung di tim kesenian Dewan Mahasiswa itu, mayoritas peserta berasal dari sekolah-sekolah Tionghoa baik dari Jakarta maupun dari luar kota dan daerah-daerah lain. Inilah kehebatan program Ureca, program Baperki yang dengan efektif dan tanpa paksaan meng-Indonesiakan kami yang tadinya tidak mengenal kebudayaan Indonesia. Para penari di seksi kesenian yang masih saya ingat termasuk antara lain: Tan Lioe Ie, Tan Ie Ming, Pit Shia, Kiet Tjiauw, Lie Hwie Tjin berasal dari Jakarta. Dari luar Jakarta termasuk: Njoo Lian Nio (alm, isteri Lie Swan Tiong alm), Tjoa Siu Kam, Tan Kiem Lie, Siem Thao Hoa, Tan Siok In, Yang Tjee Hwa, Liem Fang Kwie, Kwan Siu Hwa dan Sie Hwie Ing. Penari Pria adalah: Lay Tek Pen, Khouw Tjong Boe, Liem Han Kwie, Auwyang Tjhoi Hauw. Mereka semua aktif di PPI. Ada pula Thio Tek Beng, Liem An Tay, Tan Ing San, Liong Fuk Thien, Liong Tjen. Pada umumnya mereka adalah penari-penari di sekolahsekolah mereka, sehingga kegiatan kesenian sudah mendarah da-ging. Tidak perlu susah payah mempelajari kesenian baru. Tempat latihan di lorong lantai dua Fakultas Kedokteran Gigi. Terkadang kami adakan di perpustakaan. Lantai perpustakaan kami kosongkan dengan memindahkan bangku-bangku. Terkadang latihan kami lakukan juga di Kampus B, lokasi Fakultas Teknik, yang masih sangat sepi. Kalau malam, lampu-lampu rumah dan jalanan terlihat kelap-kelip dari jauh. Memang bilamana siap pentas, latihan dilakukan sampai jauh malam. Belum ada AC saat itu, kipas anginpun tidak disediakan, belum ada air mineral pula. Jadi ya kepanasan, kehausan, kecapaian, ngantuk ...jadi satu, karena latihan selalu diadakan di malam hari, untuk tidak mengganggu jam kuliah masing-masing . Yang menonjol adalah suasana kekeluargaan dan semangat
117
Universitas Res Publica
Tim Kesenian dengan Siauw Giok Tjhan
Para Penari Ureca
118
Organisasi dan Kemahasiswaan
gotong royong serta kesamaan tekad. Itulah yang membuat kami melaluinya dengan penuh kegembiraan. Tidak ada keluhan sama sekali, bahkan selalu antusias menanyakan kapan akan latihan lagi dan kapan akan pentas lagi. Karena sebagian besar dari Jawa Tengah, maka percandaan dan celotehan dalam bahasa Jawa selalu terdengar pada saat latihan. Kalau pulang latihan, kami jalan bersama-sama, karena kebetulan kami semua kost di daerah Grogol, tentunya diantar oleh yang laki-laki . Suasana latihan sangat mengesankan. Kami datang dari tempat yang berbeda-beda, fakultas yang berlainan dan berlatar belakang berbeda pula. Akan tetapi di Tim Kesenian itulah kami dipersatukan untuk menyalurkan hobby yang sama dengan sifat kekeluargaan yang sangat hangat dan membangun. Kami semua merasa memiliki tujuan yang sama dalam keluarga besar Ureca. Benar-benar merupakan sebuah kenangan manis yang tidak terlupakan. kegiatan yang membangkitkan dan mengembangkan rasa the sense of belonging, perasaan yang tidak pernah saya peroleh diberbagai kegiatan lain setelah Ureca berakhir. Saya cukup aktif di Tim Kesenian Ureca sehingga turut di hampir seluruh acara yang dipentaskan Tim Kesenian. Sekretaris Dewan Mahasiswa ketika itu adalah Liem Heng Hong, yang turut giat memimpin dan mengatur berbagai acara kesenian. Karena itulah percintaan kami terjalin. Heng Hong kemudian menjadi suami saya. Kami berkali-kali tampil di gedung Kesenian, dan berbagai acara Baperki dan Ureca yang dilakukan di aula kampus A, di Kampus B dan di berbagai panggung terbuka. Terkadang kami untuk mencapai lokasi pementasan naik truk terbuka. Dandan dan mengenakan kostum sendiri. Kostum penari biasanya kami pinjam dari Chiao Chung atau PPI. Karena beberapa hal, saya tidak ikut tour kesenian Ureca ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tour yang sangat sukses. Di mana-mana Tim Kesenian memperoleh sambutan luar biasa. Di setiap tempat di mana mereka mengadakan pertunjukan, ruang selalu penuh. Dalam rangka ulang tahun Baperki ke 11 pada bulan Maret tahun 1965, Tim Kesenian mengadakan pertunjukan di panggung terbuka di daerah Cengkareng untuk memberi hiburan ke
119
Universitas Res Publica penduduk setempat. Pertunjukan berlangsung lebih dari dua jam dan para penonton yang terdiri dari rakyat setempat memberi sambutan yang sangat antusias. Kami tentu bangga, bisa menghibur rakyat setempat dengan tari-tarian Indonesia. Tidak terpikir ketika itu apa yang ada di dalam benak para penonton yang sebagian besar terdiri dari pribumi. Bagaimana mahasiswa-mahasiswa Tionghoa memerlukan datang ke sebuah desa untuk mengadakan pertunjukan mempromosikan kebudayaan Indonesia? Yang menarik adalah kenyataan mereka yang bergabung dalam Tim Kesenian ini pada umumnya masuk dalam golongan yang dianggap kiri, para anggota Perhimi dan CGMI. Saya sendiri tidak pernah masuk ke dua organisasi ini. Tidak banyak dari mereka yang berada di golongan kanan ikut. Entah mengapa mereka yang berada di golongan kanan tidak tertarik untuk terjun dalam kegiatan ini. Salah satu kegiatan lain yang mengesankan adalah Turba – turun ke bawah. Saya pernah mengikuti kegiatan Turba ini, naik truk terbuka ke daerah Kebon Jeruk di Jakarta. Pada waktu itu, daerah itu masih berupa perkampungan rakyat, yang masih serba sederhana, bukan seperti real-estate yang kita sekarang ketahui. Kami tinggal di rumah-rumah penduduk setempat dan di sana kami bekerja bakti, membersihkan jalan-jalan, membersihkan saluran air dan berbagai lain kegiatan. Sambutan penduduk sangat hangat. Mereka bukan saja menyediakan tempat tinggal, walaupun sangat sederhana, tetapi juga menyediakan makanan pagi dan siang. Salah satu kegiatan Turba lain adalah pergi menyacar penduduk di daerah Kebon Jeruk pula. Karena kegiatan Turba ini dilakukan beramai-ramai dan berbentuk kerja bakti, kami sa-ngat menikmatinya. Tidak ada yang mengeluh walaupun melalui saat-saat yang tidak biasa dilalui orang-orang kota. Melalui kegiatan ini kami bisa berinteraksi dengan penduduk miskin di kampung-kampung. Menyelami apa yang mereka hadapi sehari-hari. Secara tidak sadar, ke-Indonesiaan kami merupakan program pendidikan Baperki. Siauw Giok Tjhan sebagai ketua umum Baperki dan ketua Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki menjadi dosen dalam mata kuliah Ideologi Negara. Setiap mahasiswa tingkat satu dari seluruh jurusan diwajibkan mengikuti mata kuliah tersebut. Pembawaan Siauw sangat mengesankan. Sederhana, selalu
120
Organisasi dan Kemahasiswaan
mengenakan kemeja putih. Cara penyampaian kuliah lemah lembut dan selalu disertai senyum simpatik. Mata kuliah yang berat ini ternyata digemari kami. Saya yang berasal dari sekolah Tionghoa yang ber-orientasi ke RRT, cukup sering membaca dan mendengar hal-hal yang dikemukakan dosen Siauw. Yang ditekankan tentunya adalah bagaimana menjadi seorang Indonesia yang baik dan mencintai Indonesia sebagai tanah air. Tanpa terasa ini nyambung dengan kegairahan menari taritarian Indonesia. Kami didorong untuk mencintai kebudayaan Indonesia, mengenal dan mencintai Indonesia. Dan dampak sampingannya, adalah kami jadi mencintai Ureca yang menjalankan program yang kami senangi. Bangkitlah the sense of belonging di antara kami semua. Suka duka kuliah tentunya ada. Tidak semua dosen ramah seperti dosen Siauw yang murah senyum. Ada juga yang galak dan ketus, seperti Drs. Tan Tek Seng. Bahkan Dekan Fakultas Kedokteran Gigi, Be Wie Tjun pun terkenal galak. Beberapa senior saya di fakultas kedokteran gigi ternyata berbaik hati. Mereka yang bergabung dengan CGMI ini kerap mengajak para mahasiswa junior untuk berkumpul di sebuah rumah mereka untuk diberi coaching atau tutorial. Semua dilakukan dengan cuma-cuma. Tidak ada ongkos Les. Karena kegiatan ini, kami selalu memperoleh angka baik, karena sudah dipersiapkan dengan baik sebelum ujian-ujian. Berbeda dengan banyak anggapan orang, kelompok belajar ini tidak melakukan kegiatan politik apa-pun. Walaupun banyak yang kemudian masuk CGMI, tapi waktu berkumpul digunakan untuk belajar, bukan untuk kegiatan politik. Suasana kuliah di Ureca yang unik dan mengesankan ini mendadak terhenti dengan meletusnya peristiwa G30S pada tahun 1965. Beberapa hari sebelum kampus Ureca dibakar pada bulan Oktober 1965, Heng Hong mengantar beberapa teman mahasiswi yang berasal dari Semarang untuk kembali ke Semarang, menghindar malapetaka yang diperkirakan akan menimpa Ureca. Oleh karena itu, kami tidak menyaksikan pembakaran dan pengrusakan yang dilakukan terhadap kampus Ureca yang amat kami cintai. Mendengar banyak teman Dewan Mahasiswa, yang juga aktif di Tim Kesenian ditahan atau dikejar, saya memutuskan untuk tetap di Semarang. Pada tahun 1967, saya mendaftar di Fakultas Kedokteran Universitas 17 Agustus Semarang. Setelah kuliah dua tahun, saya sadar bahwa program pendidikan ini tidak memiliki kepastian kapan saya bisa lulus sebagai dokter.
121
Universitas Res Publica Pada tahun 1969, beberapa kawan di Jakarta menyatakan bahwa mereka sudah bisa kuliah kembali di Universitas Trisakti, nama universitas yang menggantikan Ureca. Mereka mendorong saya untuk masuk pula ke fakultas kedokteran gigi di Trisakti. Pergilah saya ke Jakarta untuk mendaftar. Ternyata data pendidikan saya di Ureca masih ada. Dan me-reka menyatakan bahwa saya bisa masuk ke tingkat tiga langsung. Akan tetapi sebelum masuk saya sempat melalui proses screening. Salah seorang yang melakukan screening adalah aktivis PMKRI yang pernah kuliah di Ureca pula. Ia bertanya: “Kamu kan yang sering menari di Ureca dulu?” Jawaban saya: “betul, tapi saya tidak ikut organisasi apa-apa”. Akhirnya saya lolos screening dan bisa menyelesaikan studi saya sebagai dokter gigi lulusan Universitas Trisakti. Akan tetapi masa kuliah di Trisakti sangat berbeda dengan masa kuliah di Ureca. Semasa kuliah di Ureca, saya selalu aktif mengikuti berbagai kegiatan di luar kuliah yang diadakan di kampus. Dengan senang hati dan bangga ikut memperkuat Tim Kesenian Ureca. Di Trisakti, tidak ada kegiatan yang mengesankan. Tidak ada dorongan untuk bekerja bakti. Tidak ada kegiatan untuk mengenal dan mencintai kebudayaan Indonesia. Yang kerap diadakan malah acara pemilihan Miss University. Akhirnya saya hanya ke Trisakti untuk kuliah saja. The sense of belonging yang dulu melekat di diri saya hilang sama sekali. kenangan manis dan indah di Ureca tidak akan terlupakan dalam hidup saya.
122
Organisasi dan Kemahasiswaan
Klinik Gigi - Fakultas Kedokteran Gigi Ureca
Kunjungan Ibu Hartini Sukarno di Ureca - Pembukaan Klinik Gigi
123
Universitas Res Publica KENANGAN MANIS TOUR KESENIAN URECA Nancy Widjaja Pada Juni 1964 saya lulus SMA di sekolah Hua Qiao Bandung. Saya tidak jadi berangkat ke RRT untuk melanjutkan studi saya karena toko orangtua saya dirusak. Barang dagangannya dibakar oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab dalam peristiwa kerusuhan rasialis 13 Mei 1963 yang terjadi di Garut. Koper dan keranjang rotan besar yang isinya penuh dengan perlengkapan untuk sekolah di RRT habis dibakar oleh para perusuh. Saya ditawari untuk menjadi guru di sekolah Hua Qiao Garut, tetapi ayahku tidak setuju mengingat ilmu saya belum cukup. Oleh karenanya ayahku terpaksa menyuruh saya kuliah di Ureca, dengan syarat harus part-time jadi guru les untuk meringankan beban orangtua. Atas anjuran guru wali kelas, murid yang bagus nilai rapornya harus masuk ke Ureca Fakultas Sastra. Teman sekelas yang juara pertama Khou Wu Ming beserta 10 besar lainnya, diantaranya Liu Tian Zhen, Liau Su Tjhen dan saya sendiri. Ayah saya tidak setuju saya mengambil jurusan sastra Indonesia, mengingat di kemudian hari saya akan melanjutkan sekolah di RRT, tetapi saya beranggapan bahwa di kemudian hari RRT juga memerlukan mahasiswa jurusan sastra Indonesia dan berguna untuk mempererat hubungan baik antara Tiongkok dan Indonesia Saya menulis dengan bahasa mandarin sebuah artikel tentang tekad saya belajar sastra Indonesia, dan telah dimuat di beberapa koran bahasa mandarin. Akhirnya ayah saya dapat menerima argumen saya tentang tujuan dan gunanya belajar sastra Indonesia. Waktu mapram (masa prabakti mahasiswa) baru saya menyadari alangkah minimnya kosakata bahasa Indonesia saya. Di program mapram itulah saya baru mengenal arti kata diktat, dekan, dosen, almamater, senat, dewan, dan lainlainnya. De-ngan penuh antusias saya bertanya kepada raka dan rakanita tentang perploncoan dan mapram. Sesudah mapram saya dapat merasakan dan memahami artinya mapram. Mapram adalah masa yang dipergunakan untuk membimbing dan mengantarkan mahasiswa baru ke arah pengertian dan penyesuaian diri dalam kehidupan
124
Organisasi dan Kemahasiswaan
kekeluargaan di kampus, terutama di bidang studi organisasi dan hubungan sosial. Sedangkan perploncoan adalah balas dendam berupa penyiksaan, penghinaan dari senior kepada junior. Di kemudian hari, pada tahun 1968, ketika saya kuliah di ABA mengalami perploncoan yang berupa penghinaan dan diskriminasi. Mapram di Ureca jauh dari hura-hura, penghinaan dan penyiksaan. Acara Mapram Ureca bertujuan : a. Ke dalam mengutamakan kehidupan kekeluargaan di kampus yang berupa indoktrinasi atau penerangan; pembinaan mental dan fisik melalui olahraga dan kesenian. b. Keluar mengutamakan usaha pembaktian / berbakti kepada masyarakat sekelilingnya yang sesuai dengan tugas Perguruan Tinggi, misalnya : Turba (turun ke bawah atau pergi ke kampung), kerja bakti, dll. Selama 12 tahun saya belajar di sekolah Tionghoa, paradigma pemikiran saya adalah Chinese-oriented. Saya lebih fasih berbahasa mandarin daripada Indonesia, padahal saya lahir di Indonesia dan besar di Indonesia. Sewaktu mapram saya masih terbiasa dengan bercakap, bernyanyi dalam bahasa mandarin sehingga dijuluki radio Peking. Untuk menambah kosakata dan memperlancar bahasa Indonesia, saya mulai belajar berdeklamasi dalam bahasa Indonesia, pertama kali saya deklamasi dengan judul “Di Shanghai”, selanjutnya “Tak Seorang Berniat Pulang”, “Karang Berdarah”, “Boyolali”. Sehingga saya bisa terpilih ikut serta tour kesenian Ureca ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, mulai tanggal 27 Desember 1964 sampai dengan 12 Januari 1965. Saya masih ingat pesan-pesan dari pimpinan Ureca bahwa tujuan tour adalah: 1. Mempertinggi nama Ureca, Universitas swasta yang makin lama makin dikenal oleh masyarakat. 2. Mengganyang terus dan mengikis habis manikebu (manifesto kebudayaan) karena bertentangan dengan manipol (manifesto politik).
3. Memperlihatkan keistimewaan dan keindahan kese- nian nasional.
125
Universitas Res Publica Ini sesuai dengan anjuran pidato Bung Karno yang berjudul TAVIP (Tahun Viveri Perikoloso): “Kita harus menjunjung tinggi kebudayaan yang berkepribadian nasional; Kita harus mendapat kedaulatan dan kebebasan dalam politik; Kita harus berdiri di atas kaki sendiri di dalam bidang ekonomi”. Pimpinan Universitas mengingatkan mahasiswa yang ikut tour harus disiplin, tunduk kepada pemimpin, jangan suka membangkang atau keras kepala. Masyarakat Indonesia tidak membutuhkan heroik yang individual, tetapi membutuhkan heroik yang kolektif. Dalam perjalanan antara mahasiswa harus saling menghormati, saling bantu-membantu, saling kritikmengkritik. Tiap peserta harus rendah hati, bisa menguasai diri sendiri, dan tidak mudah emosi. Beliau menambahkan, kita berkunjung ke suatu kota, bukan sekedar jalan-jalan saja atau mengadakan pertunjukanpertunjukan saja, tetapi akan mendapat kesempatan yang baik untuk belajar lagu-lagu, tarian-tarian, drama dari senimanseniman di kota lain. 27 Desember 1964 pagi kami berangkat dari kampus Ureca, berhenti makan siang di Cirebon, tengah malam sampai dan menginap di Semarang. Sepanjang jalan tour, dalam bus besar kami menyanyikan lagu-lagu revolusioner seperti “Nasakom”, “Resopim”, “She hui zhu yi hao”. Ada juga yang suka nyanyi lagu barat atau lagu yang disebut Bung Karno lagu Ngak-Ngik-Ngok. 28 Desember 1964 drama “Bai Mao Nii (Perempuan Berambut Putih)” pertama kali main di Semarang, Ji Po Ting yang berperan sebagai Bai Mao Nii mendapat tepuk tangan meriah. 29 Desember 1964 dari Semarang menuju Madiun, pertunjukan kesenian Ureca dapat sambutan yang hangat dari Baperki Madiun. Pertunjukan kesenian seperti tari Layang-layang, Tanduk Majeng, Gadis Tirana, Camrong, dan paduan suara makin mantap, serta mendapat pujian dari penonton. 30 Desember 1964 pertunjukan drama kedua kali di Madiun. Betty Ong yang berperan sebagai nyonya tuan tanah dan Han Guo yang menjadi anak tuan tanah, mereka bermain sangat bagus sehingga banyak penonton yang memaki-maki mereka. 31 Desember 1964 jalan-jalan ke Sarangan dan dilanjutkan ke kota Malang. 1 Januari 1965 Old and New di Malang. Kawan-kawan berlenso sambil saling memberikan ucapan selamat tahun baru.
126
Organisasi dan Kemahasiswaan
Tour Tim Kesenian Ureca ke Jawa Tengah dan Jawa Timur 1965
127
Universitas Res Publica 2 Januari 1965 pertunjukan kesenian, bagian dekorasi Tarian Tanduk Majeng bekerja keras membuat ombak buatan yang bisa menakjubkan penonton, sehingga mendapat tepuk tangan meriah. 3 Januari 1965 meninggalkan kota Malang menuju kota Kediri. 4 Januari 1965 pertunjukan kesenian di kota Kediri. Garagara deklamasi saya yang berjudul “Boyolali”, ketua dewan mahasiswa yang merangkap ketua tour, Sie Ban Hauw dipanggil oleh DPKN (Dinas Pengawasan Keamanan Negara). Saya baru tahu hal ini setelah tahun 2005. Waktu itu saya tidak diberi tahu, khawatir saya ketakutan dalam pertunjukan selanjutnya. 5 Januari 1965 pertunjukan drama di Madiun, Sim Lian Xiang menggantikan Betty Ong berperan sebagai Nyonya tuan tanah, berhubung Betty Ong dapat kecelakaan kakinya terjepit oleh bangku yang roboh. Untung Sim Lian Xiang bisa bermain dengan bagus. Selain Betty Ong yang dapat musibah, banyak teman-teman yang mulai terganggu kesehatannya karena kelelahan dalam perjalanan. 6 Januari 1965 dari Kediri ke Surabaya. 7 Januari 1965 pertunjukan kesenian Tari-tarian mendapat pujian. Akan tetapi deklamasi “Boyolali” yang saya bacakan di caci maki karena dianggap deklamasi tersebut tidak pada tempatnya. Dianggap merupakan propaganda sentimentil yang membongkar lagi peristiwa “Boyolali” yang telah dilarang. Deklamatris dianggap terlampau sentimen. 8 Januari 1965 pertunjukan drama “Bai Mao Nii” mendapat sambutan yang paling meriah, gedung pertunjukan penuh sesak dengan penonton. 9 Januari 1965 berkunjung ke pabrik semen Gresik. Siang harinya berangkat ke Muntilan. 10 Januari 1965 pagi tiba di Muntilan. Rombongan menginap di rumah Tan Sien Tjhiang, mendapat sambutan yang hangat, bagaikan di rumah sendiri. 11 Januari 1965 pertunjukan drama. Sebelumnya ada pertunjukan paduan suara. Saudara Adi Purnomo suaranya serak, meminta saya menggantikannya berdeklamasi sebagai berikut: Dimana kota kita dihancurkan, Dimana kita menanam abu orang-orang tercinta,
128
Organisasi dan Kemahasiswaan
Dimana rumput hijau dan gandum tumbuh melambai- lambai, Tiada panen lagi karena bom atom, Kawan-kawan, Waspadalah, Bom atom ketiga jangan terulang lagi, Kawan-kawan, Pangkalan militer asing mari kita hancurkan. 12 Januari 1965 kembali ke Jakarta. Tour kesenian Ureca telah membawa saya keliling kota Cirebon, Semarang, Madiun, Sarangan, Malang, Kediri, Surabaya, Gresik dan Muntilan. Ini merupakan pertama kali saya menginjak kotakota tersebut. Kuliah di Ureca telah membuka wawasan saya, mengubah paradigma saya, saya lahir di Indonesia, saya besar di Indonesia, saya cinta tanah air Indonesia. Satu tahun kenangan manis kuliah di Ureca, menjadikan saya cinta Indonesia. Ureca selalu dalam kenangan manis. Untuk mengenang kawan-kawan Ureca, saya menyampaikan sajak “Tak Seorang Berniat Pulang, Walau Mati Menanti” karya Amarzam : Barisan menyongsong hari datang, Kuwakili kini ini, Derita dan duka dari jamanku, Kudukung di punggung, Tak seorang berniat pulang, Walau mati menanti. Jalan ini menuju fajar menyingsing, Dan nyanyi yang nyaring, Cita melahirkan cinta, Pada hidup dikecap langsung, Tak seorang berniat pulang,
129
Universitas Res Publica Walau mati menanti.
Tim Kesenian Ureca - Borobudur 1965
130
Organisasi dan Kemahasiswaan
Resimen Mahajaya Ureca Liem Tjwan Gie Pada tahun 1959 Jendral Nasution memprakarsai pembentukan Resimen mahasiswa - ResMa. Pembentukan Resimen Mahasiswa pertama dilakukan di Jakarta, dengan nama Resimen Mahasiswa Jaya-Karta, disingkat Resimen Mahajaya. Pada tahun 1961, ada beberapa mahasiswa Ureca yang ikut latihan militer yang diselenggarakan oleh Mahajaya, di antaranya adalah Thio Eng Tjoen dari Fakultas Kedokteran Gigi. Pada tahun 1963, dalam rangka mengikuti program pemerintah yang berkaitan dengan aksi Dwikora (Pengganyangan Malaysia) dibentuklah Resimen Mahajaya Ureca. KODAM V Jakarta menunjuk Kapten Mohamad Dong sebagai komandan Resimen Mahajaya, yang bermarkas di Jalan Abdurachman Saleh, bersebelahan dengan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. (RSPAD). Mahasiswa Jakarta sangat antusias mendaftarkan diri menjadi anggota Resimen Mahajaya. Para mahasiswa URECA secara spontan menyatakan ikut serta dan menjadi anggota Resimen Mahajaya. Sikap ini direstui oleh Rektor Universitas Res Publica, Nyonya Utami Suryadarma. Oleh karena itu seluruh mahasiswa URECA yang pada tahun 1963 berjumlah sekitar 3000 orang bisa dikatakan menjadi anggota Resimen Mahajaya. Sejak itu, semua mahasiswa baru yang masuk Ureca diharuskan ikut latihan untuk jangka waktu seminggu atau dua minggu. Dari sekian pengikut latihan, dipilih sejumlah mahasiswa untuk meneruskan latihan yang lebih intensif selama sebulan. URECA mengangkat Thio Eng Tjoen dari Fakultas Kedokteran Gigi sebagai Komandan Batalion URECA - RESIMEN MAHAJAYA. Dan di masing2 Fakultas dibentuk Kompikompi Resimen Mahajaya. Saya diangkat sebagai wakil. Anggota Batalion Resimen Mahajaya URECA menempati urutan pertama sebagai jumlah anggota yang terbanyak dan paling aktif mengikuti aktivitas-aktivitas yang diadakan. Dan mereka mengikuti pendidikan kemiliteran pada setiap hari Sabtu di lapangan Banteng, Jakarta. Disamping latihan rutin di Lapangan Banteng, para mahasiswa juga diimbau secara aktif mengikuti perkembangan politik,
131
Universitas Res Publica
Barisan Mahajaya Mahasiswi Ureca
132
Organisasi dan Kemahasiswaan
ekonomi dan memperhatikan kegiatan-kegiatan yang ada di lingkungan kediaman masing-masing, agar keamanan dan keter-tiban lingkungan terjaga dengan baik. Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh Batalion Mahajaya Ureca antara lain sbb: Pada tanggal 10 Mei 1963 terjadi gerakan rasis pertama di Kota Bandung. Toko-toko dan rumah-rumah penduduk Tionghoa dibakar dan dijarah. Tindakan ini dilakukan oleh sekelompok tukang beca dan para preman di Jalan Braga dan berbagai jalan lain di daerah Bandung. Kejadian di Bandung ini mengkhawatirkan dan diduga bisa menjalar ke kota-kota lain di Indonesia. Resimen Mahajaya diminta memantau secara seksama peristiwa ini. Para komandan Batalion Resimen Mahajaya seluruh Jakarta memutuskan untuk mengadakan rapat koordinasi untuk mencegah ledakan aksi rasis di Jakarta. Saya mewakili Batalion Ureca. Di dalam rapat itu tampak sikap rasis di kalangan batalion universitas-universitas lain. Ada wakil Batalion yang mendukung tindakan brutal terhadap komunitas Tionghoa di Bandung. Saya menentangnya dan mendorong rapat untuk lebih menitikberatkan upaya pencegahan bangkitnya rasisme di Jakarta. Akhirnya pendapat ini didukung dan dijadikan keputusan rapat gabungan tersebut. Syukur peristiwa di Bandung tidak sampai menjalar ke Jakarta. Sebagian besar Batalion Mahajaya Ureca menjadi figuran dalam pembukaan Games of New Emerging Forces (Ganefo) di Gelora Bung Karno, Senayan. Pada upacara Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1964, sebagian besar anggota Batalion Mahajaya Ureca mebentuk barisan Pagar Betis terdepan setelah Pasukan Cakrawibirawa, di bawah panggung di mana Presiden Sukarno berpidato dalam rangka Hari Kemerdekaan itu, yang berjudul TAVIP (Tahun Vivere Pericoloso). Ketika Bung Karno meresmikan Tugu Tani di taman perampatan Menteng, Batalion Mahajaya Ureca turut berpartisipasi membentuk barisan pagar betis melindungi keamanan Bung Karno. 10 Anggota Batalion Mahajaya Ureca – mahasiswi terpilih untuk mengikuti latihan kemiliteran KOWAD (Korps Wanita Angkatan Darat) di Lembang, Bandung, selama satu bulan. Yang turut
133
Universitas Res Publica latihan ini antara lain adalah Elizabeth Tan Djoe Lan, Agnes dan Marta Simanjuntak. Mereka memperoleh pujian pimpinan KOWAD karena ketekunan dan disiplin yang tinggi. Batalion Mahajaya URECA selalu berfungsi sebagai Seksi Keamanan di berbagai acara yang diselenggarakan oleh Baperki, terutama di kampus Ureca. Pada waktu massa menyerang kampus Ureca pada tanggal 15 Oktober 1965, banyak anggota Batalion Resimen Mahajaya turut melawan serangan mencegahnya hancurnya gedunggedung dan fasilitas Ureca. Pada waktu itu saya memiliki sebuah pistol yang dipinjamkan oleh KASAU Laksamana Suryadharma. Saya siap menembak seorang pemimpin serbuan yang mengendarai mobil mewah BMW, seorang Tionghoa. Tetapi Tan Ping Ien segera mencegah tembakan saya. Selamatlah dia dan sekarang menjadi tokoh masyarakat dan pengusaha terkemuka.
134
Kenangan dan Pengalaman
Pembangunan Gedung dan Fasilitas Fakultas Teknik URECA Oey Jam Tjhioe Saya berasal dari pendidikan Tionghoa di Surabaya, hingga tingkat kelas satu SMA Chung Chung. Setelah itu, pada tahun 1957, saya masuk ke SMA PETRA – BPK Penabur di Surabaya. Saya lulus SMA pada tahun 1960 dan mencoba masuk ke ITB – Institut Teknologi Bandung, ITS – Institut Teknologi Surabaya dan Universitas Gajah Mada di Yogyakarta. Akan tetapi upaya untuk masuk ke universitas-universitas negeri ini gagal. Timbullah keinginan untuk “pulang” ke Tiongkok. Pada waktu itu, sebagai akibat pelaksanaan PP10, banyak orang Tionghoa, baik yang WNI maupun yang berstatus asing, merasa terpaksa “pulang” ke Tiongkok. Akan tetapi orang tua tidak mengizinkan saya berangkat ke Tiongkok. Pada waktu bersamaan saya memperoleh berita bahwa di Jakarta ada sebuah universitas swasta yang diselenggarakan oleh BAPERKI. Meskipun kuliah sudah berjalan satu bulan, saya memperoleh informasi bahwa universitas tersebut masih bersedia menampung mahasiswa baru. Oleh karena itu saya berangkat ke Jakarta mendaftarkan diri. Ternyata seperti yang diberitakan, tanpa bertele-tele dan tanpa banyak persyaratan, de-ngan hanya menunjukkan ijazah SMA, saya diterima di Universitas BAPERKI yang ketika itu berlokasi di jalan Gunung Sahari II No12. Saya putuskan untuk masuk ke jurusan Teknik Sipil yang pada waktu itu populer. Akan tetapi dipengaruhi oleh seorang teman, Liem Hui Chang, saya kemudian pindah ke jurusan Teknik Mesin. Keberadaan universitas Baperki ini saya siarkan ke teman-teman ex SMA PETRA. Mereka ber-bondong-bondong datang ke Jakarta untuk mendaftarkan diri. Bersama dua teman sekelas di Surabaya Liem Boen Hwie dan Ong Ho Ham, kemudian menyusul Tjoa Liang Djoen dari SMA Negeri Surabaya, saya inde-kost di Jatinegara Timur. Saya-lah yang mengatur tempat tinggal tersebut. Di sana kami ber-tetangga-an dengan teman se-universitas lain, di antaranya Tan Tjong Boe yang berasal dari SMA Tionghoa di Jakarta. Teman-teman PETRA lain banyak menyusul juga, namun tinggal di tempat lain antara lain Liem Hui Chang, Hioe Djien Djan, Kang Pwee Nio. Tjoa Bing sian. Ada pula dari angkatan senior di PETRA yaitu Ang Sing Tian dan Liem Pik Tjwan.
135
Universitas Res Publica Berita yang menggembirakan ini saya siarkan pula ke temanteman yg masih sempat melanjutkan pendidikan sekolah Tiong Hoa Hwee Koan di Kediri, kota kelahiran saya. Masuklah mereka di Universitas Baperki, di antaranya Tjuang Te Yong, Hoo Swie Thang, dan Go Hwat Bo. Dari SMA DEMPO Malang masuk pula di Fakultas Teknik Go Ing Hok, Liem Djie Gwan, Sie Sek Tjo, The Khee Gwan dan lain-lain. Kesemua di atas menunjukkan bagaimana Universitas Baperki memperoleh sambutan baik para siswa Tionghoa yang tidak bisa masuk ke universitas-universitas negeri karena dilaksanakannya pembatasan quota untuk siswa Tionghoa. Cukup banyak teman Tionghoa lulusan PETRA memilih pergi ke Tiongkok atau Taiwan. Ada juga yang ke Eropa dan Amerika Serikat. Pada waktu itu fasilitas Universitas Baperki masih sederhana. Kuliah-kuliah diadakan di ruang-ruang di Gunung Sahari dan SMA Pasar Baru. Laboratorium Fisika sekolah Tionghoa Ba Zhong di Mangga Besar digunakan sebagai laboratorium Fakultas Teknik. Yang paling berperan dalam pengelolaan dan pembangunan Fakultas Teknik adalah Ir. Tan Hing Bwan, lulusan ITB dan Delft. Pengaturan fasilitas dan dosen-dosen dipimpin oleh Ir. Tan yang sangat trampil ini. Pembangunan Fasilitas Fakultas Teknik URECA Baru setelah tahun 1962, Universitas Baperki memiliki wilayah sendiri. Tidak lagi meminjam ruang-ruang yang terpencarpencar di Jakarta. Universitas Baperki kemudian berlokasi di daerah Grogol. Namanya kemudian diubah menjadi Universitas Res Publica – lebih dikenal sebagai URECA. Ir Tan Hing Bwan berperan dalam pengaturan pindahan dari Gunung Sahari ke Grogol. Walaupun berada di lahan sendiri, fasilitas masih sangat sederhana. Ruang-ruang kuliah bersifat darurat – berdinding kayu dan lantai sekedar plesteran. Banyak dosen dipinjam dari universitas-universitas lain, termasuk ITB. Untuk kegiatan laboratorium URECA masih meminjam fasilitas STM penerbangan di Kebayoran Baru dan STM di Kampung Jawa, daerah Glodok. Ir. Tan sangat dipengaruhi dorongan Siauw Giok Tjhan, ketua umum Baperki dan ketua Yayasan Pendidikan dan Kebuda-yaan Baperki, untuk membangun fasilitas Fakultas Teknik dengan pola kerja Berdikari. Pada waktu itu, ucapan Berdikari dan gotong royong sering digunakan, terutama oleh Presiden Sukarno.
136
Kenangan dan Pengalaman
Universitas Baperki mempraktekkan pola kerja Berdikari dan gotong royong ini dengan penuh kesungguhan. Dan Ir. Tan adalah motor utamanya. Ir. Tan mencari jalan keluar yang praktis. Ia berhasil memperoleh kerangka baja eks pabrik tekstil yang diperolehnya secara cuma-cuma. Para mahasiswa teknik sipil diwajibkan mendirikan kerangka baja tersebut sebagai ruang laboratorium baru. Inisiatif ini lalu berkembang menjadi upaya yang mewajibkan para mahasiswa teknik untuk membangun gedung-gedung kuliah sendiri. Ini dilakukan oleh dengan sukarela dan gotong ro-yong. Berdirilah gedung-gedung URECA ini. Tan Hing Bwan juga mengimbau banyak rekannya yang mengajar di ITB untuk menjadi dosen-dosen di Fakultas Teknik URECA antara lain Kwa Tjong Lim, Pouw Tek Sioe, Han Gwa Tek, Liem Koen Liang, The Tjing Bie, Teng Tek Hien. Ada pula lulusan baru ITB yang diminta untuk mengajar antara lain Tjan Swan Bing, Tjoa Ping Hoo. Ia dibantu pula oleh Jo Goan Lie dan Lim Koen Kong yg mengajar Fisika dan Matematika. Kemudian masuk pula dosen-dosen baru lulusan RRT. Pada waktu pembangunan fasilitas dimulai pada tahun 1962, Grogol dilanda kebanjiran besar. Mesin diesel eks pabrik tekstil yang sudah diperoleh itu terendam air banjir. Para mahasiswa teknik URECA ternyata tidak putus asa. Mesin yang terendam air itu dikeringkan dan dirapihkan. Yang harus direparasi, direparasi. Bisa dibayangkan bagaimana gembira dan bangganya kami ketika mesin diesel itu bisa dijalankan kembali. Keberhasilan ini dikaitkan dengan kuliah motor bakar yang dibawakan oleh dosen pinjaman dari ITB, Ir. Kwa Tjong Lim, yang sangat populer karena pembawaannya dan keakraban beliau dengan para mahasiswa dan dosen. Tidak lama setelah itu, Ir. Tan Hing Bwan mendorong para mahasiswa untuk menyumbang dari kantongnya sendiri pembelian sebuah mesin bubut buatan RRT. Saya turut menyumbang Rp10.000, yang waktu itu merupakan ongkos hidup saya sebulan. Para teman lain pun ikut menyumbang sehingga terbeli-lah mesin bubut buatan RRT tersebut. Mesin bubut buatan RRT ini adalah jiplakan mesin Jerman. Barangbarang Jepang belum masuk ke Indonesia ketika itu. Dengan adanya mesin bubut di laboratorium itu, pada tahun 1963, Ir. Tan Hing Bwan memutuskan untuk mengadakan Pameran Laboratorium Fakultas Teknik. Para mahasiswa tercengang. Apa
137
Universitas Res Publica
Laboratorium Elektro - Fakultas Teknik Ureca
Fakultas Teknik Ureca
138
Kenangan dan Pengalaman
yang ingin dipamerkan? Para orang tua mahasiswa diundang untuk melihat “pameran” tersebut. Pada waktu para orang tua masuk ke ruang “pameran”, mereka-pun tercengang karena yang ditunjukkan hanyalah sebuah mesin bubut buatan RRT. Rencana dan kreatifitas Ir. Tan menjadi jelas ketika ia berpidato di depan para pengunjung “pameran”. Dijelaskan olehnya bahwa mesin bubut itu dibeli secara gotong royong oleh para mahasiswanya. Dan mereka membutuhkan bantuan untuk bisa memiliki fasilitas baik untuk mempertinggi ilmu pengetahuannya. Para pengunjung diimbau untuk membantu dengan teguran halus: “apa para hadirin tidak malu melihat fakultas di mana anak-anaknya kuliah, fasilitas praktek universitas harus dibeli oleh anak-anak itu sendiri?” Para orang tua yang hadir ternyata sangat tergerak dengan imbauan Ir. Tan. Sambutan mereka spontan dan datanglah berbondong-bondong sumbangan para orang tua berupa baik mesin bekas, maupun baru, dan beberapa peralatan test bench untuk test motor bakar. Sosok Ir. Tan perlu digambarkan di sini. Ia sebenarnya lulusan bidang elektro arus kuat. Akan tetapi ia memiliki visi yang berkaitan dengan manufacturing technology (teknik produksi) dengan landasan teknik praktis. Ia menitik beratkan pendidikan URECA yang berhubungan dengan manufacturing engineering (teknik produksi) ketimbang mengembangkan conventional mechanical engineering (teknik mesin yang konvensional). Di Indonesia pada waktu itu manufacturing engineering sebagai jurusan mata kuliah di perguruan tinggi, yaitu ilmu yang berkaitan dengan kegiatan pabrik atau produksi praktis, bisa dikatakan langka. Ir. Tan Hing Bwan mendorong pengembangan ilmu yang bersandar atas perkawinan praktek dan teori dalam arti sesungguhnya. Para mahasiswa Fakultas Teknik didorong untuk memba-ngun bengkel mesin, bengkel bubut, bengkel tenaga listrik dan bengkel pengecoran sebagai pemahaman ilmu yang bersandar perkawinan teori dan praktek tersebut. Teori pengecoran besi datang dari Ir. Teng Tek Hien, teman sekuliah Ir Tan Hing Bwan di Delft – Belanda. Ia memiliki bengkel pengecoran besi di Madiun dan mesin pecah kulit beras dan mesin poles beras yang terkenal di Surabaya. Ir. Teng Tek Hin pada waktu itu dikenal sebagai salah seorang ahli Metalurgi di Indonesia. Pengetahuannya tentang Metalurgi
139
Universitas Res Publica dihargai oleh universitas-nya di Delft. Dan karena keahliannya dalam pengecoran besi ini, ia dijadikan penasehat pemerintah RI dalam pengembangan industri besi baja. Oleh Ir Tan Hing Bwan, ia-pun dijadikan pembimbing jarak jauh untuk para mahasiswa teknik mesin. Pengetahuan dalam bidang teknik produksi praktis (manufacturing) diperoleh dari para ahli teknik yang bernaung di perkumpulan pekerja Kongfu - Kuang Sao Hwee Koan. Banyak tukang handal berada di bengkel-bengkel mesin mereka. Ternyata mereka antusias membantu. Mereka datang ke kampus Ureca memberi pengarahan dalam pengecoran, las dan permesinan. Pembangunan laboratorium Listrik bersandar atas pola kerja yang sama. Ir Tan Hing Bwan dan Ir The Tjeng Bie, lulusan California Institute Of Technology di Amerika Serikat memimpin langsung pembangunannya. Ir The bisa dikatakan ujung tombak bidang studi kelistrikan praktis di Indonesia ketika itu. Beliau lah yang melahirkan mesin las velg (wheel rim) sepeda - lengkap dengan kemampuan chrome plating. Mahasiswa jurusan Sipil juga dipicu untuk berkembang dengan cara yang sama. Kalau kami dari jurusan mesin dan listrik didorong untuk membangun fasilitas-fasilitas mesin dan listrik dengan perkawinan teori dan praktek, para mahasiswa sipil di bawah bimbingan para dosennya didorong untuk membangun gedung-gedung kuliah fakultas teknik URECA. Desain fondasi bangunan harus disesuaikan dengan kondisi tanah di Grogol yang kerap banjir. Konstruksi beton yang canggih dibutuhkan untuk menunjang gedung-gedung yang didirikan. Lahirlah konstruksi fondasi berbentuk kapal yang harus dilakukan tanpa berhenti hingga selesai. Para mahasiswa URECA bergotong royong melakukan pengecoran ini. Mahasiswa Sipil bertanggung jawab atas pengadaan beton, mahasiswa mesin bertanggung jawab atas pencampuran beton – concrete mixing dan beton tiller (concrete vibrator). Mahasiswa listrik ditugaskan menyediakan segala yang berkaitan dengan listrik. Ketika generator listrik karena beberapa hal mati, para mahasiswa berbondong membawa sepeda-sepeda motor dan menyalakan lampu sehingga kegiatan pengecoran bisa dilanjutkan. Rupanya semangat kerja dan gotong royong yang demikian hebatnya menarik perhatian seorang wartawan Perancis. Ia datang menyaksikan pembangunan gedung-
140
Kenangan dan Pengalaman
gedung universitas yang dilakukan oleh para mahasiswanya sendiri. Ir. Tan Hing Bwan sangat terlibat dalam berbagai kegiatan tersebut di atas. Ketika para mahasiswa bekerja bakti membangun gedung-gedung kuliah dan fasilitas, ia kerap datang membawa keranjang rambutan aceh lebak penyegar dahaga. Jasa Ir. Tan Hing Bwan untuk Ureca dan para mahasiswa didikannya patut dicatat. Inisiatif-nya membangkitkan semangat para mahasiswa membangun gedung-gedung dan fasilitas-fasilitas Fakultas Teknik, dibantu oleh berbagai kelompok masyarakat, sehingga URECA memiliki fakultas teknik yang handal dan memiliki karakteristik tersendiri. Bagi saya pola pendidikan teknik di URECA sangat mengesankan. Di satu pihak kami dibina secara teori oleh para insinyur lulusan Delft yang ternama, di lain pihak kami dibimbing oleh para ahli praktis perkumpulan Tionghoa dari industri besi. Sebuah pengalaman unik yang tidak akan diperoleh bilamana kami belajar di universitas lain. Kami dibina untuk menjadi ahli-ahli baru dengan pengetahuan teori dan praktek yang bisa diterapkan untuk membangun Indonesia yang serba kekurangan pada waktu itu dengan pola kerja Berdikari. Sarjana lulusan Fakultas Teknik URECA Pengalaman dan kegiatan membangun pengecoran menyebabkan Ir. Tan Hing Bwan mendorong beberapa mahasiswa yang sudah mencapai tingkat terakhir untuk menulis tesis tentang pembangunan pengecoran. Karena ia sendiri adalah insinyur arus kuat, ia meminta bantuan rekannya Ir Teng Tek Hien di Surabaya untuk membimbing para mahasiswa tersebut. Atas bimbingan gabungan kedua ahli ini, Ang Sing Tian dan Ang Hong Bing menyelesaikan tesis sarjana teknik. Apa yang dipaparkan dalam tesis-tesis tersebut dilaksanakan dalam bentuk pembangunan dapur kupola di URECA di bawah pengawasan Ir. Tan Hing Bwan sebagai penguji. Kedua tesis dinyatakan lulus dan hasilnya diakui oleh Departemen PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan). Dari jurusan listrik, Kang Tiong Lee yang aktif membangun bengkel listrik URECA juga berhasil menyelesaikan tesisnya. Lulus-lah ketiga sarjana teknik dengan gelar insinyur angkatan pertama URECA.
141
Universitas Res Publica Saya bersama Kam Liang Djien dikirim ke Surabaya untuk dibimbing pula oleh Ir. Teng Tek Hien. Saya menjalankan praktek kerja di pabrik pengecoran teman Ir. Teng Tek Hien. Praktek kerja ini mencakup dari pembuatan pattern dan sand moulding hingga menjalankan dapur kupola untuk pengecoran benda “tanggem atau vice”. Pembuatan tanggem dari desain hingga pengecoran dijadikan bahan ujian kesarjanaan. Selama tiga bulan saya mengikuti praktek kerja lapangan dan membuat rancangan mendetail, baik untuk bentuk dan produk maupun cara pengecoran yang ber-beda-beda. Sekembalinya dari praktek kerja di Surabaya, saya melanjutkan upaya pembangunan laboratorium pengecoran di URECA dengan bantuan para ahli pengecoran konghu Kuang Sao Hwee Koan. Para mahasiswa lain seperti Go Ing Hok dan Tan Djoen Hian turut aktif membantu pembangunan fasilitas-fasilitas pen-ting ini. Kami mendalami ketrampilan dalam bidang manufacturing yang sangat dibutuhkan dalam mempertinggi kemampuan membangun industry permesinan di Indonesia. Karena kesibukan ini, saya tidak sempat menyelesaikan tesis kesarjanaan. Perubahan politik dan dibakarnya kampus URECA pada bulan Oktober 1965 menghentikan semua program pendidikan langka yang seyogyanya sangat berguna untuk pembangunan Indonesia. Harapan untuk menjadi insinyur tidak bisa dipenuhi. Akan tetapi pengalaman dan pendidikan yang kami peroleh di URECA tidak sia-sia. Setelah URECA dibakar dan saya tidak bisa meneruskan kuliah, saya berkesempatan bertemu kembali dengan Ir. Tan Hing Bwan, Ir. Ang Sing Tian, Ir. The Koen Liang dan Ir. The Tjeng Bie. Kami bentuk sebuah pabrik lead acid battery accumulator (akumulator aki) dan mengembangkan berbagai keahlian yg diperoleh dari URECA. Banyak peralatan mesin keperluan produksi aki kami desain dan produksikan. Ini dituturkan untuk membuktikan bagaimana pola pendidikan Fakultas Teknik URECA berhasil memberi bekal kepada para mahasiswanya dalam pekerjaan praktis yang berguna untuk pembangunan industri Indonesia.
142
Kenangan dan Pengalaman
Fakultas Sastra Ureca Tan Sien Tjhiang Saya berasal dari kota Muntilan. Ayah saya turut aktif mendirikan Baperki Muntilan dan menjadi ketua-nya. Perkenalannya dengan Siauw Giok Tjhan sudah terjalin di zaman revolusi. Siauw sebagai menteri negara di zaman itu bilamana ke Muntilan selalu singgah ke rumah kami. Oleh karena itu sejak remaja, saya sudah mengenal Baperki. Dan sering mendengar tentang kegiatan politik dan makna perjuangan ketua umumnya, Siauw Giok Tjhan. Paman saya kepala sekolah Tionghoa Hwa Ing yang ternama di Semarang, Koo Tjeng Toen. Ia bisa dikatakan tokoh pendidikan sekolah Tionghoa di Jawa Tengah. Ia ternyata juga dekat Siauw. Kalau ia ke Semarang, selalu mengunjungi paman saya. Saya cukup sering ke rumah Siauw di Jalan Tosari di Jakarta, mengantar paman saya, yang cukup sering berkunjung ke Jakarta. Keluarga saya adalah keluarga warga negara Indonesia. Oleh karena itu ketika ada peraturan yang melarang saya belajar di sekolah Tionghoa, saya sudah pindah ke sekolah nasional. Di Semarang saya-pun masuk SMA – In Hwa, sekolah nasional. Akan tetapi saya tidak lama di sekolah itu. Pasalnya saya melakukan sebuah protes terhadap tindak tanduk seorang guru yang mengajar mata pelajaran Ekonomi. Guru tersebut menyenangi murid-murid perempuan yang cantik dan sering berbisik-bisik dengan mereka ketika mengajar di kelas. Saya protes: “kok kita sama-sama bayar uang sekolah tetapi yang memperoleh perhatian hanya satu-dua orang saja?”. Ini menimbulkan rasa sentimen darinya terhadap diri saya, sehingga saya hanya memperoleh angka 2 untuk mata pelajaran ekonomi, berarti saya tidak akan naik kelas. Mengetahui ini saya protes ke Wakil kepala sekolah di ruang istirahat para guru dan menceritakan apa yang berlangsung. Pada waktu yang bersamaan di papan-papan tulis kelas terdapat corat-coret para siswa yang juga menggambarkan tingkah laku sang guru. Saya dituduh sebagai biang kerok-nya. Oleh karena itu saya dikeluarkan dari sekolah tersebut. Paman Koo Tjeng Toen cukup bijaksana. Walaupun tidak senang dengan perkembangan ini, ia menemui Kepala Sekolah In Hwa ia kenal baik dan mengajak saya menemui Kepala Sekolah dan saya diminta bicara secara jujur menceritakan. Maka saya
143
Universitas Res Publica tidak jadi dipecat tapi diskors selama satu tahun. Oleh karena itu ia mengatur supaya saya bisa dijadikan WNA, sehingga bisa masuk kembali ke sekolah Tionghoa, Hwa Ing. Dari sana-lah saya lulus SMA. Begitu lulus saya mendaftar ke Universitas Res Publica di Jakarta. Paman Koo menganjurkan agar saya masuk fakultas sastra Indonesia. Paman dan ayah saya berharap saya setelah lulus dari Sastra Indonesia, saya bisa meneruskan kuliah di Tiongkok. Dan saya diharap bisa membantu upaya menjembatani sastra Tionghoa dengan sastra Indonesia. Pada tahun 1963 itu, masuklah saya ke Fakultas Sastra yang baru memasuki tahun kuliah kedua, karena ia didirikan pada tahun 1962. Ada tiga jurusan utama: Sastra Inggris, Sastra Tionghoa dan Sastra Indonesia. Jumlah mahasiswa belum terlalu banyak. Sekitar 60 di sastra Inggris, 40 di sastra Tionghoa dan hanya 20 orang di sastra Indonesia. Dan hampir 75% terdiri mahasiswi alias kaum Hawa. Dekan Sastra adalah Profesor Tjan Tjoe Siem, seorang ahli dalam hal sastra Jawa. Ia dan kakaknya, profesor Tjan Tjoe Som, ahli sinologi di Universitas Indonesia adalah kedua cendekiawan Tionghoa yang dihormati dan beragama Islam. Tidak banyak orang Tionghoa yang masuk Islam pada waktu itu. Tjan Tjoe Siem sendiri mengajar mata kuliah Islamologi, sebuah mata pelajaran yang menurut saya sangat menarik karena di kuliah-kuliah itulah kami mendalami ilmu yang berkaitan dengan agama Islam. Cukup banyak mahasiswa yang tadinya sinis terhadap Islam, setelah mengikuti kuliah Prof Tjan Tjoe Siem berubah pandangannya. Para dosen yang mengajar di fakultas sastra ternyata memiliki nama yang tenar, di antaranya selain Prof Tjan Tjoe Siem ada Bakrie Siregar, T.W. Kamil, Buchori, Lie Han Bing, Oei Erti, Tarigan, Sukrie, Siauw Gien Hwa, Gelungan, Shahab dan Pramudya Ananta Toer. Pengangkatan Pramudya sebagai dosen mengesankan. Ia tidak memiliki gelar kesarjanaan. Ureca lagi-lagi menunjukkan keberaniannya untuk memulai sebuah tradisi baru di perguruan tinggi. Dosen tidak harus memiliki kualifikasi kesarjanaan. Di samping inisiatif maju ini, Ureca juga merupakan universitas unik. Program perpeloncoannya berbeda dengan perpeloncoan universitas-universitas lainnya. Banyak bangunannya dibangun
144
Kenangan dan Pengalaman
sendiri oleh para mahasiswanya. Dosen Pramudya membawa mata pelajaran sejarah sastra. Cara mengajarnya sangat unik dan efektif. Para mahasiswa sastra diharuskan melakukan riset lapangan. Kami diharuskan pergi ke Museum Nasional. Kami dibagi dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok diwajibkan melakukan penelitian tentang kebudayaan yang terkandung di dalam penerbitan surat-surat kabar di zaman lampau. Setiap kelompok di beri periode tertentu, misalnya kelompok saya diharuskan meneliti apa yang dimuat oleh harian Sin Po pada tahun 20-an. Setelah penelitian itu berakhir, kami diminta untuk membuat sebuah laporan. Setelah itu kami diminta untuk melakukan penelitian di periode berbeda. Dengan demikian kami mempelajari sejarah sastra Indonesia dengan meneropong apa yang dimuat di berbagai surat kabar. Sebuah program pendidikan yang unik dan menarik. Banyak hal praktis yang kami pelajari dari mata kuliah ini. Karena tempat kuliah di kampus A di Grogol terbatas, fakultas sastra kebagian kuliah di sore hari, dari pukul 5 sore hingga 9 malam. Rupanya ini juga sebuah pengaturan waktu yang baik. Dengan demikian para dosen ternama yang mengajar di Universitas Indonesia bisa meluangkan waktunya untuk mengajar di kampus kami. Kami juga diharuskan mengikuti mata kuliah Ideologi Negara yang dibawa oleh ketua umum Baperki, Siauw Giok Tjhan. Siauw pembawaannya sangat sederhana, tetapi dihormati para mahasiswa. Mata pelajarannya menarik karena menekankan betapa pentingnya orang Tionghoa menerima Indonesia sebagai tanah airnya. Yang dicanangkan adalah Manipol dan bagaimana para mahasiswa setelah lulus kelak harus turut mengemban tugas membangun nasion Indonesia. Ia sering menekankan perkawinan teori dan praktek sehingga lulusan Ureca bisa menjadi manusia yang berguna dan efektif dalam pembangunan bangsa. Penekanan ini rupanya dilaksanakan secara kongkrit. Kami sering ikut kegiatan Turba di mana kami melakukan berbagai kegiatan kerja bakti di daerah-daerah miskin di sekitar Jakarta. Yang menarik untuk saya adalah kenyataan 70% mahasiswa fakultas sastra berasal dari sekolah-sekolah Tionghoa. Program pendidikan Baperki di Ureca ternyata mendorong semua yang belajar di Ureca untuk mencintai Indonesia dan mengenal kebudayaan Indonesia. Proses peng-Indonesiaan sangat
145
Universitas Res Publica nampak. Dan saya yakin ini tidak berlangsung di perguruan tinggi lainnya. Saya mulai terjun dalam kegiatan organisasi mahasiswa melalui Senat Fakultas Sastra. Saya diangkat sebagai ketua Senat. Dengan demikian saya turut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan Dewan Mahasiswa. Setiap ketua Senat fakultas adalah komisaris Dewan Mahasiswa. Pada awalnya cukup banyak mahasiswa fakultas sastra yang masuk ke Perhimi dan PMKRI. Tetapi di tahun ke dua, setelah 1964, berbondong-bondong mahasiswa masuk ke CGMI. Mengapa? Karena para anggota CGMI sering mengadakan studi bersama. Banyak yang berasal dari sekolah Tionghoa menghadapi kendala menguasai bahasa Indonesia yang bisa dikatakan asing untuk mereka. Di studi-studi bersama yang diselenggarakan para anggota CGMI inilah mereka tertolong. Organisasi mahasiswa lainnya tidak menyediakan bantuan semacam ini. Oleh karena itu saya bisa memastikan bahwa masuknya banyak mahasiswa ke CGMI lebih bersifat ikut-ikut-an, bukan karena ada kesadaran politik tinggi. Di saat-saat berkumpul, tidak terdapat diskusi politik mendalam. Diskusi tentang Mata Kuliah dan senda gurau-lah yang berlangsung. Tidak ada indoktrinasi komunisme. Berbeda dengan kegiatan intensif CGMI di fakultas teknik, para mahasiswa fakultas sastra tidak terlalu sering mengikuti pawaipawai atau demonstrasi-demonstrasi politik(maklum terdiri kaum Hawa). Seingat saya, kami hanya ikut dalam dua atau tiga acara saja. Saya-pun aktif dalam bidang kesenian. Ikut berpartisipasi dalam berbagai pementasan kesenian. Saya turut membantu pementasan acara “wanita beramput Putih”. Saya-pun ikut tour ke-senian Ureca ke Jawa tengah dan Jawa timur. Rombongan ini tinggal di rumah saya di Muntilan ketika melewati kota tersebut. Karena kami berkuliah di malam hari, interaksi dengan para mahasiswa di fakultas-fakultas lain terbatas. Saya-pun masuk ke CGMI tetapi karena mengikuti sikap Siauw Giok Tjhan yang bisa menerima berbagai perbedaan dan merangkul siapa saja yang bisa dirangkul, saya tetap berhubungan baik dengan mereka yang bernaung di PMKRI, GMKI, Perhimi dan lainnya. Setelah peristiwa G30S, saya turut dalam kelompok yang menjaga kampus Ureca. Para mahasiswa yang ditugaskan
146
Kenangan dan Pengalaman
Mahasiswa Ureca berpartisipasi dalam Proyek Karangkates
147
Universitas Res Publica dibagi dalam dua kelompok. Kelompok penjaga kampus A dan kelompok penjaga kampus B. Saya ditugaskan menjaga kampus B, yang dipimpin oleh Sie Ban Hauw. Pada tanggal 15 Oktober 1965, kedua kampus Ureca diserang oleh kekuatan massa yang jauh lebih besar dari jumlah mahasiswa Ureca yang dengan gagah berani menjaganya. Pertempuran sengit sempat terjadi di kampus A. Kami yang menjaga kampus B tidak berdaya mencegah serangan dari kelompok yang jauh lebih besar. Kami yang menjaga kampus B ditahan semalam oleh tentara yang jelas mendukung serangan massa tersebut. Baru dibebaskan keesokan harinya, tanggal 16 Oktober. Kedua kampus Ureca yang sangat kami cintai hancur dirusak. Alasannya Ureca adalah universitas Komunis. Entah apa dasar tuduhan itu, karena selama saya berkuliah, kami tidak pernah memperoleh indoktrinasi komunisme. Kami hanya didorong untuk mencintai Indonesia, untuk mengawinkan teori dan praktek dalam kehidupan sehari-hari sehingga di kemudian hari bisa menyumbangkan tenaga dan pikiran demi pembangunan Indonesia. Banyak teman kemudian dipaksa berhenti sekolah. Banyak pula yang ditahan bertahun-tahun, seperti saya, tanpa proses pengadilan apapun. Akan tetapi walaupun pendidikan di Ureca berjangka waktu pendek, dampaknya luar biasa untuk penghidupan banyak mahasiswa-nya. Kami ditempa untuk bisa menghadapi berbagai tantangan hidup, untuk senantiasa gigih menghadapi kesulitan apa-pun dan merakyat. Oleh karena itu, walaupun saya turut menjadi korban kejahatan negara, saya tidak pernah menyesal belajar di Ureca dan aktif dalam kegiatan mahasiswa di sana.
148
Kenangan dan Pengalaman
Pengalaman Kuliah di Fakultas Hukum Universitas Baperki/Ureca Liem Heng Hong. Semenjak saya memulai sekolah dari SR, SMP dan SMA, selalu dilingkup pendidikan Tionghoa, yaitu di Sekolah Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) Jakarta, atau yang lebih terkenal dengan nama PA HOA, yang terletak di Jalan Perniagaan No 31 atau dulunya terkenal dengan nama Jalan Patekoan. Ini berakhir pada akhir tahun 1957, di mana ada Peraturan Pemerintah yang melarang murid-murid Warga Negara Indonesia bersekolah di Sekolah A-sing. Maka saya pun pindah ke Sekolah YPP (Yayasan Pendidikan dan Pengajaran) yang berada di bawah naungan Yayasan Pendidikan BAPERKI, gedung sekolahnya sama yaitu di Per-niagaan 31. Sekolah YPP disamping menampung murid-murid ex Pa Hoa juga menampung murid-murid yang berkewarganegaraan Indonesia berkewarganegaraan Indonesia dari Pa Chung, Hua Chung, Sang Siauw, dan lain-lain. Sehingga gedung sekolah Patekoan 31 terasa penuh sesak dengan murid-murid pindahan. Oleh karena itu sekolah dibagi dua sesi, pagi dan sore. Sekolah PaHoa, memang lain sekolah-sekolah Tionghoa lainnya. Sekolah Rakyat-nya yang sekarang disebut Sekolah Dasar (SD) memiliki pola pendidikan sama dengan Sekolah Tionghoa lainnya, dengan bahasa pengantar Tionghoa yang kini lebih dikenal sebagai bahasa Mandarin. Akan tetapi, mulai kelas 5 di-tambah dengan pelajaran bahasa Inggris. Pada waktu memasuki SMP kelas 1, para pelajar mulai memperoleh pelajaran Aljabar dan ilmu Ukur. Buku yang digunakan adalah Elementary Algebra dan Elementary Geometry. Untuk bahasa Inggris digunakan buku terbitan Inggris yaitu New Me-thod Readers dan New Royal Readers. Oleh karena itu, para murid Pa Hoa memiliki keunggulan dalam berbahasa Inggris dibandingkan murid-murid sekolah Tionghoa lainnya. Kurikulumnya juga disesuaikan dengan kurikulum Sekolah Negeri, sehingga pada waktu mengikuti Ujian Akhir yang diadakan oleh Negara, murid-murid YPP tidak mengalami kesulitan. Pada waktu tingkat saya mengikuti Ujian Negara, hanya seorang saja yang tidak lulus, itupun karena teman tersebut sedang sakit.
149
Universitas Res Publica Meneruskan Kuliah Tidak semua teman yang lulus SMA melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi. Saya termasuk salah satu yang beruntung dapat melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Masalah yang dihadapi yaitu ke mana akan melanjutkan pendidikan selanjutnya. Pada waktu itu (1959) jumlah Perguruan Tinggi di Indonesia, baik Swasta dan negara masih sedikit sekali. Perguruan Tinggi Negara di Jakarta pada waktu itu adalah: Universitas Indonesia IKIP (Institut Kejuruan dan Ilmu Pendidikan)- Rawamangun Sedangkan yang Swasta adalah:
Universitas Nasional
Universitas Krisnadwipayana
Universitas Kristen Indonesia
Universitas Jayabaya
Universitas Sawerigading
Universitas Mpu Tantular
Universitas Ibnu Chaldun
Perguruan Tinggi Publistik
Saya dan beberapa teman memilih untuk melanjutkan kuliah ke UKI. Saya memilih untuk kuliah pada Fakultas Hukum dan ada beberapa yang masuk ke Fakultas Ekonomi. Suasana, pergaulan dan lingkungan kami di saat kuliah sangat berbeda dengan semasa kami di Sekolah Tionghoa. Awalnya kami sangat canggung, tetapi lama kelamaan kami bisa beradaptasi dengan lingkungan baru, bisa berbaur dengan para teman yang bukan dari ras Tionghoa. Perkuliahan-pun bisa kami ikuti dengan baik dan lancar. Sampai pada tahun 1961 termuat di iklan Harian Warta Bakti, UNIVERSITAS BAPERKI membuka Fakultas Hukum, dan sekaligus bisa menerima mahasiswa tingkat I dan II.
150
Kenangan dan Pengalaman
Para Dosen Ureca Kami lihat daftar dosennya sangat mengesankan karena terdiri dari para dosen yang sudah terkenal di dunia Perguruan Tinggi, dan juga ahli-ahli hukum sangat ternama di Indonesia, antara lain: Prof. Mr. Lie Oen Hock: Memberikan kuliah: -
Pengantar Ilmu Hukum (PIH)
-
Hukum Acara Perdata
-
Hukum Perdata I dan II
Prof. Dr. Tjan Tjoe Siem: Memberikan kuliah Hukum Islam Prof. Dr. Mr. Ernst Utrecht: Mengajar Hukum Administrasi Negara Mr. Han Bing Siong: Mengajar Hukum Pidana I dan II Drs. Oey Hong Lee: Mengajar Sosiologi Dr. Koo Kwan Sik: Mengajar Hukum Internasional Mr. Loa Wan Leng: Mengajar Hukum Acara Pidana Drs. Jan B Ave: Mengajar Antropologi Saya dan lebih dari 30 orang teman-teman yang awalnya kuliah di Tingkat Persiapan UKI pindah dan meneruskan kuliah ke tingkat Sarjana Muda Fakultas Hukum Universitas Baperki. Saya mau membagi cerita tentang dosen-dosen FH Universitas Baperki yang kemudian pada tahun 1963 berubah namanya menjadi Univeristas Res Publica – Ureca. Prof. Lie Oen Hock: Biasanya beliau kami panggil Pak Lie. Ia adalah Dekan FH Ureca. Dan mengajar PIH, Hukum Perdata I dan II, dan Hukum Acara Perdata di Universitas Indonesia. Sebelum menjadi dosen, beliau adalah Hakim Pengadilan Negeri di berbagai kota, terakhir di Jakarta. Sebelum pensiun beliau adalah Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta. Beliau seorang sangat perfek, berpakaian sangat rapih dan selalu mengenakan kemeja putih lengan panjang dan berdasi. Sepatu selalu mengkilat. Datang ke kampus mengendarai mobil VW Kodok, yang dikemudikan oleh ibu Lie. Pada waktu memberikan kuliah, Pak Lie selalu membawa
151
Universitas Res Publica beberapa Asisten perempuan yang cantik-cantik, biasanya mereka ini adalah Mahasiswa tingkat terakhir di UI. Kalau memasuki ruang kuliah Pak Lie jalan dimuka kemudian diiringi 2 atau 3 asisten yang kami juluki para dayang Pak Lie. Kuliah-kuliah Pak Lie pada umumnya sangat menyenangkan. Pasal demi pasal dibahas secara menarik dan mendetail. Membahas mengenai Hak dan kewajiban seorang manusia sejak ia lahir, dari bayi menjadi dewasa kemudian menikah dan mempunyai anak sampai ia meninggal dunia, tidak lepas dari aturan hukum yang mengikatnya. Perkuliahan diberikan dengan contoh yang menarik dan kejadian2 yang biasa terjadi masyakat dan juga kadangkadang menyerempet yang berbau vulgar. Semua ujian mata kuliah Pak Lie dilakukan secara lisan, jadi tidak ada alasan untuk tidak mempersiapkan diri secara baik. Seluruh bahan kuliah dari A samopai Z pasti diuji. Kalau kami tidak belajar pasti ketahuan dan tentunya otomatis tidak lulus. Ujian biasanya dilakukan di rumah beliau, di Jalan Serang 10. Ada hal yang menarik pada waktu dilangsungkan ujian lisan ini, selain bahan kuliah yang diuji, kadang-kadang beliau mengambil sejilid buku dari lemari bukunya dan menanyakan pada kami apa judul buku tersebut. Kami harus menjawabnya dengan baik, kalau saja kami tidak bisa menjawabnya maka kami tidak akan lulus, karena kita dianggap tidak pernah memperhatikan dan belajar. Demikian juga kalau sedang ujian kami harus membawa buku kumpulan Peraturan dan Perundang-undangan yang disusun oleh Engelbrecht. Bukunya sangat tebal kira-kira 10 cm. Pada waktu ujian lisan Buku Engelbrecht ini wajib dibawa. Biasanya Pak Lie akan menanyakan misalnya tentang Hukum Waris ada di pasal berapa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan kami harus menyebutnya pasal-pasal yang berhubungan dengan warisan dan kami harus menunjukkan dan membacanya isi pasal-pasal tersebut yang dalam Buku Engelbrecht itu masih tertulis dalam bahasa Belanda. Bilamana pada waktu menunjukkan pasal-pasal tersebut kami masih terlihat ragu-ragu dan masih mencari di daftar isi buku, kami pasti akan mendapatkan dampratan dari beliau, karena dianggapnya tidak pernah membuka buku tersebut. Kebiasaan saya setelah selesai mengikuti kuliah, di rumah saya
152
Kenangan dan Pengalaman
ketik ulang bahan-bahan kuliah. Ternyata ini memudahkan saya pada waktu belajar, pertama catatan saya rapih dan kedua berarti saya sudah mengulang apa yang dikuliahkan. Semua pertanyaan yang ditanyakan pada waktu kuliah saya catat baik-baik, saya pikir pada waktu ujian pertanyaan-pertanyaan ini akan ditanyakan. Bahan kuliah yang sudah saya ketik ini, saya copy dan saya bagikan pada para teman se grup belajar. Pertanyaan-pertanyaan ini ternyata menyebar ke temanteman. Pak Lie mengetahui bahwa ada pertanyaan-pertanyaan dari bahan kulahnya tersebut beredar di kalangan mahasiswa. Ia marah besar dan menanyakan sumbernya. Ini kesalahan teman-teman sendiri yang hanya mempelajari pertanyaan saja dan tidak catatan kuliahnya. Prof. Dr. Mr. Ernst Utrecht. Beliau mengajar kami Hukum Administrasi Negara. Kalau melihat namanya tanpa melihat orangnya, pasti bayangan kita: beliau seorang Profesor yang bertampang bule, berkepala botak dan berpakaian rapih. Tapi kenyataannya jauh berbeda. Prof. Utrecht adalah seorang yang sangat sederhana. Bertubuh besar, kulit hitam layaknya orang Indonesia Bagian Timur. Berkemeja putih yang ke-abu-abu-an dan kumal. Celananya pun demikian kedombrongan. Selalu memakai sepatu sandal yang tidak pernah mengenal semir. Kuliah yang diberikan sangat menarik. Hanya saja jadwal kuliah tidak menentu. Bisa satu minggu berturut-turut, kemudian dua bulan tidak ada kuliah. Ini kemungkinan kesibukan beliau yang memberikan kuliah di beberapa Universitas dan juga menjadi Rektor di Universitas Negeri Brawijaya di Jawa Timur. Di samping mengajar Hukum Administrasi Negara, di Perguruan Tinggi lain beliau mengajar Hukum Pidana. Dan beliau juga menulis Buku Hukum Pidana yang menjadi buku wajib di fakultas hukum. Pada suatui waktu beliau menawarkan kepada kami apabila ada yang mau pindah kuliah ke Universuitas Negeri Brawijaya, beliau akan menerimanya. Ini satu bukti bahwa mutu Fakultas Hukum Ureca sudah diakui oleh Perguruan Tinggi Negeri.
153
Universitas Res Publica Prof. Mr. S A Hakim: Beliau mengajar Hukum Adat I ditingkat Sarjana Muda dan Hukum Adat II. Pada tingkat Sarjana. Dan beliau ketika itu juga masih menjabat sebagai Hakim Agung di Mahkamah Agung RI dan Rektor di Universitas Jayabaya. Terus terang pelajaran Hukum Adat yang diberikan oleh Prof. Hakim merupakan titik lemah dari Fakultas Hukum Ureca. Kuliah hanya sekitar JUAL LEPAS, JUAL GADAI dan JUAL TAHUNAN, sebagaimana buku tipis yang beliau tulis. Literatur-literatur lain juga tidak diwajibkan, sehingga kami kalau mau memperdalam Hukum Adat harus mencari sendiri misalnya buku dari Prof. Kuntjaraningrat dll. Mr. Han Bing Siong. Seorang yang berperawakan tinggi besar, kulitnya putih, berpakaian sederhana tetapi rapih. Beliau memberi kuliah Hukum Pidana I dan Hukum Pidana II. Kalau di UI beliau ini terkenal sekali sebagai KILLER mata kuliah Hukum Pidana. Untuk lulus mata kuliah Hukum Pidana darinya sangat sulit. Untuk mengerti apa yang dikuliahkan. Kami harus benar-benar konsentrasi, selain kuliahnya sulit dan banyak istilah-istilah hukum dari Bahasa Belanda. Kalau kita bandingkan cara memberikan kuliah antara Prof. Lie Oen Hock dengan Mr. Han Bing Siong sangat berbeda sekali. Kalau Pak Lie membahas pasal demi pasal yang terdapat di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan juga arti dari sebuah istilah Hukum. Sedangkan Pak Han lebih menekankan pada istilah-istilah Hukum Pidana seperti arti dari PLEGEN (melakukan), DOEN PLEGEN (menyuruh melakukan, MEDEPLEGEN (turut melakukan), UITLOKKEN (membujuk), MEDEPLICHTEGHEID (membantu melakukan) dan seterusnya. Sering juga membahas istilah hukum yang menjadi polemik antara Pak Han dengan para Profesor-profesor baik yang berada di Indonesia maupun yang ada di Negeri Belanda. Mengenai pasal-pasal yang terdapat di Kitab UndangUndang Hukum Pidana hampir dikatakan tidak dibahasnya,
154
Kenangan dan Pengalaman
dianggapnya kami bisa membacanya sendiri; yang penting arti dari istilah-istilah yang ada. Pasal yang disinggung terbatas pada Pasal 1 dan pasal 55 KUH Pidana. Pasal 1: Seseorang itu baru bisa apabila ada peraturan yang menyebutnya. Pasal 55: Mereka yang dapat dihukum sebagai pembuat tindak pidana. DR. Koo Soan Sik SH. Pak Koo mengajar kami Hukum Internasional. Beliau memiliki dua asisten. Satu di antaranya bernama Nursewan Tirtaamijaya SH. Beliau mengajar Hukum yang berkenaan dengan PIAGAM PBB yang berkaitan dengan Human Rights. Pak Nursewan T selain seorang Sarjana Hukum juga seorang pemerhati, pengembang dan perancang batik yang yang terkenal dengan nama Iwan Tirta. Pak Koo adalah Sarjana Hukum termuda yang berhasil meraih gelar Doktor Hukum Internasional. Mr. Loa Wan Leng. Beliau dosen Hukum Acara Pidana. Beliau juga seorang jaksa di Kejaksaan Agung, dan juga seorang Jaksa yang terkenal dan disegani. Kuliah yang diberikan oleh beliau, enak diikuti. Bahasa yang digunakan, bahasa sehari-hari Betawi atau bahasa Melayu Tionghoa. Drs. Oey Hong Lee. Beliau mengajar SOSIOLOGI. Karena saya masuk di FH URECA tingkat II, maka saya tidak pernah menerima kuliah dari beliau, karena Sosiologi diajarkan pada tingkat Persiapan. Pak Oey Hong Lee, seorang Sosiolog lulusan Universitas Sorbonne Prancis. Dan pengisi rubrik tetap Perang Dunia II di Majalah Star Weekly. Beliau wafat di negeri Belanda.
155
Universitas Res Publica
Wisuda Sarjana Muda Fakultas Hukum Ureca dengan Prof. Lie Oen Hock
156
Kenangan dan Pengalaman
Prof. Tjan Tjoe Sim. Beliau seorang Keturunan Tionghoa yang memeluk agama Islam. Dan seorang Ahli Hukum Islam yang sangat terkenal dan disegani. Menjadi Dosen di beberapa Perguruan Tinggi, dan menjadi Dekan Fakultas Sastra URECA. Sangat menyesal saya tidak pernah mengecap pendidikan Hukum Islam dari beliau. Hukum Islam I saya terima di UKI. Hukum Islam II saya terima dari Bapak Abdurachman SH, Hakim Agung di Mahkamah Agung RI. Drs. J B Ave. Pak Ave mengajar kami ditingkat II ilmu ANTROPOLOGI. Pak Ave pada waktu itu adalah Anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dari Utusan Golongan Eropa. Seperti kita ketahui Hukum Indonesia merupakan warisan Hukum Belanda, jadi untuk bisa mengerti secara benar maka harus mengerti dan bisa bahasa Belanda. Untuk ini maka pihak Fakultas Hukum menyediakan Dosen yang mengajar Bahasa Belanda. Dosen tersebut ialah Bapak Said, yang pada waktu itu adalah Ketua TAMAN SISWA. Itulah sekelumit cerita tentang Dosen-dosen URECA di Fakultas Hukum. Kami Mahasiswa Fakultas Hukum URECA sangat bangga dengan Dosen-Dosen kami. TIDAK KALAH dengan Dosen-Dosen Fakultas Hukum Perguruan Tinggi lainnya, termasuk Universitas Indonesia. Kegiatan kemahasiswaan ketika kuliah di URECA Sebagaimana lazimnya seorang mahasiswa, kegiatan di kampus biasanya berupa: membentuk study group - untuk memudahkan belajar; mengikuti kegiatan kemahasiswaan di Senat Mahasiswa dll. Anggota Study Grup saya terdiri dari teman-teman yang merasa lebih cocok dibandingkan teman-teman lainnya, tanpa melihat keanggotaan Organisasi Mahasiswa yang dimasukinya. Selain saya, group in terdiri dari:
157
Universitas Res Publica Sdr. Lauw Djioe Gay – tidak masuk organisasi mahasiswa Sdr. Sim Teng Han – Perhimi Sdr. Tjio Djin Han – Germindo. Kegiatan saya lebih banyak di Senat Mahasiswa Fakultas Hukum sebagai wakil ketua dan di Dewan Mahasiswa sebagai sekretaris. Saya pun aktif di tim kesenian mahasiswa. Pada tahun 1964, Sdr. Tjoa Sin Tjoei dari FE, sdr. Wiratmo dari FH dan saya mewakili Dewan Mahasiswa URECA sebagai delegasi Ureca ke Kongres Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI) di Malino, Sulawesi. Berangkat kesana bersama dengan Delegasi - Delegasi Mahasiswa lainnya antara lain para mahasiswa dari Universitas Cendrawasih Irian Barat, menggunakan Kapal ADRI (Angkatan Darat Republik Indonesia). Kegiatan lainnya: pernah mewakili Dewan Mahasiswa menghubungi Pimpinan Dewan Daerah BAPERKI Jawa Timur membicarakan rencana mengadakan Tour Kesenian Dewan Mahasiswa ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setelah kampus URECA dibakar “massa” dan ditutup oleh Pemerintah, saya pernah menghubungi Prof. Lie Oen Hock di rumahnya. Beliau menyarankan saya untuk bersabar dan menunggu panggilannya untuk kuliah kembali. Panggilan yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang sampai beliau wafat. Dengan wafatnya Pak. Lie Oen Hock, maka putuslah harapan saya untuk bisa melanjutkan kuliah menjadi seorang Sarjana Hukum.
158
Kenangan dan Pengalaman
Perkembangan Fakultas Teknik Universitas Baperki/Universitas Res Publica Ang Hong Beng Nama saya Ang Hong Beng. Saya lahir di Bandung pada tanggal 16 Agustus 1935. Saya lulusan SMA Chiao Chung (Sekolah menengah atas Tionghoa) di Bandung pada tahun 1956. Setelah lulus, saya coba merantau ke pulau Bangka dan mengajar di SMP di kota Pangkal Pinang untuk satu tahun lamanya dan kembali ke Bandung tahun 1958. Selanjutnya saya sekolah kembali di SMA Margaluyu untuk mengambil ijazah SMA. Pada July 1959 saya menerima telepon dari Jakarta bahwa di Jakarta baru didirikan sebuah Universitas baru, Universitas Baperki dan membuka Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil, Mesin dan Elektro serta Fakultas Kedokteran Gigi. Pada tahun 1959 itu juga saya pindah dari Bandung ke Jakarta dan segera mendaftarkan diri di Universitas Baperki jurusan mesin dengan nomor lnduk 46. Mulailah saya berkuliah di jalan Bandengan Selatan yang letaknya tidak jauh dari pabrik bir Heineken. Saya ingat kami mulai kuliah di ruangan bekas gudang dengan dinding kayu. Saya juga ingat bersama para mahasiswa lain pernah foto bersama di depan kelas tersebut, sayang foto tersebut tidak berhasil saya temukan. Waktu itu saya indekost di Jalan Jambu (Menteng). Jaraknya jauh dari Universitas yang berlokasi di kota. Dengan naik sepeda saya pulang pergi ke jalan Bandengan Selatan, terasa jauh sekali dan cukup melelahkan. Akan tetapi hati saya gembira karena saya sudah menjadi mahasiswa. Usia saya waktu itu sudah 24 tahun, mungkin yang tertua di dalam kelas. Sekarang usia saya sudah 78 tahun. Pada tahun 1959 Jakarta masih lengang dan kendaraan mobil masih sedikit. Saya tidak akan bisa lupa waktu itu masih ada trem listrik, dengan route dari Utara (Pasar Ikan) ke Timur (Jatinegara). Hampir setiap hari saya harus melewati jalan Gajah Mada dan terkadang ban sepeda saya masuk terperangkap diantara 2 rel persimpangan trem listrik tersebut. Kali Ciliwung di jalan Gajah Mada ramai penuh dengan penduduk setempat yang mandi dan mencuci pakaian. Belum satu tahun kuliah di jalan Bandengan, Universitas Baperki pindah ke jalan Gunung Sahari II dan mulai kuliah di gedung bertingkat 3. Pada tahun kedua – akhir tahun 1960, Fakultas Teknik menerima mahasiswa baru dan teman-teman sekuliah
159
Universitas Res Publica saya dengan semangat menyambut mahasiswa baru melalui masa perpeloncoan (mapram). Saya sendiri tidak ikut melakukan perpeloncoan, karena saya tidak suka dan saya sendiri tidak pernah mendapat perlakuan seperti itu. Karena ruang kuliah terbatas, jadwal kuliah di Gunung Sahari II sering tidak teratur dan harus bergiliran. Beruntung waktu itu saya sudah punya sepeda motor meski bekas. Pada tahun 1962 Universitas pindah lagi ke Grogol. Ada dua lokasi di mana Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Gigi serta Fakultas Hukum menempati gedung yang terletak bersebelahan dengan Rumah Sakit Sumber Waras. Fakultas Teknik berada terpisah di ujung jalan Kiayi Tapa – Grogol. Ir. Tan Hing Bwan Keberadaan dan perkembangan Fakultas Teknik Ureca tidak bisa dipisahkan dari peran sosok seorang yang sederhana, berkaca mata tebal, murah senyum dan selalu siap menerima berbagai saran. Beliau adalah Sekretaris Fakultas Teknik Universitas Res Publica. Pak Tan (panggilan akrab sehari-hari) sangat berprinsip dan sangat teguh pendiriannya. Ia selalu siap turun ke bawah. Perkembangan Fakultas Teknik Universitas Baperki yang sederhana ke Universitas Res Publica (Ureca) tidak lepas dari peran Ir. Tan, lulusan Delft TH di Belanda. Sebidang tanah yang cukup luas untuk sebuah Universitas yang masih muda itu atas bantuan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki yang didukung oleh para dermawan, berhasil dibangun dan dikembangkan. Yang pertama dibangun adalah sebuah bangunan kerangka baja yang dijadikan Bengkel Teknologi Mekanik, beberapa ruang kelas, ruang praktikum Elektro dan Fisika. Di bagian atas dipergunakan sebagai ruang Dekan, Ketua Bagian, sekretaris Fakultas dan sekretariat dan administrasi. Di samping itu Ureca juga memiliki beberapa bangunan sederhana yang dipergunakan sebagai ruang kuliah semi permanen. Ir. Tan menginginkan mahasiswa Fakultas Teknik Ureca memiliki pengalaman praktek kerja di lapangan sesuai dengan jurusannya masing-masing. Bagian Sipil diarahkan membangun gedung-gedung di Ureca. Mahasiswa jurusan Elektro dan Mesin diarahkan untuk membangun bengkel teknologi mekanik yang dilengkapi oleh beberapa mesin bubut, mesin frais, mesin bor, gergaji dan las. Di bengkel inilah para mahasiswa mesin berlatih
160
Kenangan dan Pengalaman
Fakultas Teknik Mesin Ureca
161
Universitas Res Publica membubut, mengelas dibawah bimbingan instruktur. Latihan praktek dasar ini membangkitkan semangat kami untuk belajar lebih giat. Ir. Tan mewujudkan cita-citanya dengan mengarahkan para mahasiswa Fakultas teknik membangun sebuah bangunan berbentuk hangar kecil yang dikerjakan oleh mahasiswa Sipil yang dikaitkan dengan mata pelajarannya. Saya dan teman sekelas saya Ang Sing Tian, diberi tugas memimpin pembangunan Dapur Cupola (dapur pengecoran besi) di dalam bangunan hangar tersebut, mulai dari perencanaan, konstruksi hingga pengecoran benda-benda yang berguna. Oleh Ir. Tan tugas tersebut dijadikan tugas akhir kesarjanaan kami. Bagi saya pribadi, tugas ini sangat menggembirakan. Pada waktu itu saya sudah menikah (isteri saya Hie Kiok Hoa, lulusan Pa Hoa JPP angkatan 1960. Kami menikah Desember 1963 dan kontrak rumah kecil di jalan Dr. Susilo, Grogol. Saya anggap tugas itu adalah hadiah perkawinan kami. Isteri saya mendukung upaya pembangunan dapur cupola tersebut. Dengan semangat tinggi sambil mengenakan baju kerja (werkpak) layaknya buruh pabrik, maka kami bersama-sama dengan Ang Sing Tian(almarhum), Oey Jam Tjhioe, Kam Liang Djin, Oey Tjeng Lee (almarhum) , Lie Beng Tjoe, Tan Djun Hian (almarhum) dan Oey Tjeng Han bahu membahu membangun sebuah Dapur Cupola yang merupakan kerja praktek. Yang paling bermanfaat bagi kami selanjutnya adalah kerja praktek di Pabrik Pengecoran Logam milik bapak Ir. Teng Tek Hien Dosen dan pembimbing ilmu Logam kami di Madiun. Kami belajar mengecor dan membuat pisau gigi penggiling kopi. Keberhasilan ini menjadi kebanggaan Fakultas Teknik Ureca u-mumnya dan Bagian Mesin khususnya. Ia merupakan hal yang memuaskan Ir Tan Hing Bwan karena gagasannya terwujud dengan baik. Pernah pada suatu hari Dapur Cupola dan upaya pengecoran dipamerkan kepada para pejabat pemerintah yang diundang hadir oleh ketua umum Baperki, Siauw Giok Tjhan. Dosen Fakultas Teknik Jurusan Mesin Meskipun Ureca adalah universitas yang masih muda, akan tetapi kami mahasiswa Mesin sangat bangga karena khususnya para dosen Mesin yang memberi kuliah mata pelajaran penting
162
Kenangan dan Pengalaman
hampir semuanya lulusan dari Delft TH Belanda yang sangat terkenal. Hal ini tidak lepas dari peran Ir. Tan yang juga lulusan Delft TH Belanda. Dosen-dosen yang saya ingat adalah sbb: Ir. Tan Tiang Gie (Delft TH)- Ketua Bagian Mesin, dosen Mekanika Teknik IV. Ir. Kwa Tjong Lim (Delft TH)- Motor Bakar, Minyak Pelincir & Bahan Bakar, Teknik Pembakaran, Prof. Dr. Han Kwat Tik(Guru Besar ITB ) - Teknik Analisa, Ir. Teng Tek Hien (Delft TH) – logam, Ir. Tan Kun Liang (Delft TH) – Pompa, Ir Lie Gie Teng (Delft TH)- Mesin Perkakas, Ir. Thung Djie Le (Delft TH)- Hukum Milik Perusahaan/ Management, Ir. Pouw Tek Sioe (Delft TH)- Pengukuran Teknik, Ir. Tjan Soan Beng (ITB)- Ketua Bagian Sipil, dosen Mekanika Teknik. Kerja Praktek Salah satu tugas yang pernah saya lakukan adalah kerja praktek di atas kapal penumpang Abu Lombo dengan bobot diatas 10.000 ton. Saya mendapat tugas membantu para montir yang sedang melakukan turun mesin dari mesin penggerak kapal tersebut. Ukuran mesinnya sangat besar, 8 silinder dan ukuran silindernya bisa masuk 3 orang sekaligus. Besarnya mesin diesel tersebut bisa dibayangkan karena untuk menaik turunkan toraknya, dibutuhkan krans yang besar pula. Pada waktu istirahat dan waktu makan siang, kami makan bersama di ruang makan Kapten kapal. Sungguh mewah dan menyenangkan. Tugas lain yang mengesankan saya adalah ketika saya dan Ang Sing Tian dikirim ke pabrik Mesin BOMA yang terletak di kota Lamongan, Jawa Timur. Pabrik mesin Boma sangat besar. Mesin-mesin berukuran besar, karena pabrik ini mengerjakan perbaikan mesin untuk pabrik galangan kapal, mesin-mesin pabrik gula dan lain-lain. Kerja praktek berikutnya yang sangat bermanfaat adalah kerja di pabrik pengecoran logam milik Ir Teng Tek Hien, dosen dan pembimbing logam kami di Madiun. Kami belajar mengecor dan membuat pisau gigi penggiling kopi. Pisau gigi mesin giling kopi harus kuat dan tahan lama. Bahan besi cor harus diolah melalui teknik pengerasan menjadi mirip sekeras baja. Pengetahuan yang kami peroleh sangat terkait dengan bahan untuk membangun Dapur Cupola dalam rangka ujian akhir kesarjanaan kami. Ujian Negara: Saya telah mengikuti 2 kali ujian akhir untuk kesarjanaan saya. Tugas ljazah kedua: Saya diuji oleh Ir Tan Tiang Gie, yang selain menjabat sebagai Ketua Jurusan Mesin Fakultas Teknik Ureca,
163
Universitas Res Publica juga sebagai Direktur Pelabuhan VI Tanjung Priok, berkantor di Gedung Direktorat Jendral Pelabuhan Laut, di depan Stasiun Gambir. Ketika menunggu di luar kantornya, saya gelisah dan tegang, karena sebentar lagi saya akan maju untuk ujian ke-sarjanaan dan di kantor inilah saya diuji berhadapan dengan Ir. Tan Tiang Gie. Yang diuji adalah Tugas Ijazah sekunder: Jigs and Fixtures. Sebuah perangkat alat yang dirancang khusus dan selalu diperlukan pada proses mass production. Ini dibutuhkan untuk mengurangi waktu produksi, keseragaman mutu produksi, dan mengurangi ketergantungan atas ketrampilan buruh, sehingga biaya produksi menjadi rendah. Tugas ljazah Utama: Oleh Ir. Tan Hing Bwan saya diminta pergi menemui Dr. Ir. Purnomo Sidi untuk menempuh Ujian Akhir Sarjana. Pagi itu saya dibonceng sepeda motor pergi menuju gedung Conefo, sekarang gedung MPR. Pada saat itu gedung MPR belum rampung. Yang diuji adalah: Rencana, Konstruksi dan Operasi Dapur Cupola.
Menjadi Sarjana Ureca Pertama Fakultas Teknik mengajukan 3 mahasiswa yang dianggap siap untuk mengikuti Ujian Akhir Sarjana, 2 (dua) dari Jurusan Teknik
164
Kenangan dan Pengalaman
Mesin, yaitu Ang Sing Tian dan saya sendiri, satu orang lagi Kang Tiong Lee dari Jurusan Teknik Elektro. Kami bertiga dinyatakan lulus ujian dan masing-masing menerima ijazah Universitas Respublica, Jakarta, Fakultas Teknik Terdaftar pada Departemen Perguruan Tinggi dan llmu Pengetahuan. ljazah diberi penghargaan sama dengan ljazah Perguruan Tinggi Negeri yang setaraf menurut Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan llmu Pengetahuan No. 47 tahun 1964. ljazah kami tersebut tertanggal 14 Agustus 1965. Dengan Ketua Pengawas Ujian: Prof. Ir. Roosseno Soerjohadikusumo. Upacara penyerahan ljazah dilaksanakan di Gedung Kedokteran dan ijazah diserahkan oleh Nyonya Utami Suryadarma selaku Rektor Ureca. Untuk peristiwa yang penting artinya untuk hidup saya dan yang tidak akan terlupakan ini, dengan rendah hati saya menghaturkan rasa terimakasih dan rasa hormat sedalamdalamnya kepada pendiri Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, Siauw Giok Tjhan serta pendiri-pendiri lainnya dan juga kepada para dosen dan dosen pembimbing kami, terutama Ir. Tan Hing Bwan, Sekretaris Fakultas Teknik, yang juga berfungsi sebagai penasehat dan pembimbing kami dari awal, pembangunan dapur Cupola dan sekaligus penasehat dan mendorong kami dari awal untuk membangun Dapur Cupola, sampai persiapan kami mengikuti ujian kesarjanaan. Semua dicapai karena kegigihan dan perjuangan beliau. Tanpa beliau, peristiwa yang penting artinya untuk hidup saya tidak akan terjadi. Sungguh sayang tidak lama kemudian terjadilah peristiwa yang juga tidak bisa saya lupakan. Hasil jerih payah para pendiri Universitas Res Publica dijarah dan dibakar pada tanggal 15 Oktober 1965. Demikianlah kesan-kesan saya sebagai mahasiswa angkatan I jurusan Mesin di Universitas Res Publica.
165
Universitas Res Publica Universitas Res Publica Yogyakarta Yap Tjay Hian Pendahuluan Saya berasal dari Muntilan. Pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dilalui di sekolah Tionghoa. Pada tahun 1959 sekolah-sekolah Tionghoa di Muntilan ditutup. Saya pindah ke SMP negeri. Setelah selesai saya masuk ke sekolah Katolik, SMA Pendowo di Magelang. Oleh karena latar pendidikan inilah saya mahir berbahasa Tionghoa Mandarin maupun Indonesia. Ibu saya meninggal pada tahun 1956 ketika saya baru berumur 13 tahun. Lima tahun kemudian ayah saya meninggal pula. Oleh karena itu keadaan ekonomi keluarga kami bisa dikatakan pas-pas-an. Ayah saya cukup aktif di Baperki, walaupun tidak menduduki posisi apa-apa. Oleh karena itu, saya-pun mengenal keberadaan Baperki. Selama saya di SMA Pendowo, saya masuk dan aktif di PPI – Permusyawaratan Pemuda Indonesia – organisasi pemuda Baperki. Melalui kegiatan itu saya mengenal dan mencintai kesenian Indonesia. Setelah lulus SMA pada tahun 1963 saya berhasil masuk Universitas Gajah Mada, Fakultas Biologi. Di situ saya merasa terasing. Organisasi mahasiswa yang mendominasi kampus Gajah Mada adalah HMI dan GMNI. Latar belakang keluarga dan lingkungan di Muntilan mendorong saya untuk masuk CGMI. Tidak lama kemudian saya mendengar bahwa Baperki mendirikan Universitas Res Publica di Yogyakarta. Karena merasa kenal dengan Baperki, saya putuskan untuk pindah ke Ureca. Saya mendaftar dan tanpa kesulitan apa-apa, saya masuk ke Ureca. Pada waktu itu hanya ada Fakultas Ekonomi. Masuklah saya ke Fakultas tersebut. Ureca Yogyakarta Universitas Res Publica di Yogyakarta dimulai pada tahun 1964, dengan sebuah Fakultas Ekonomi. Tempat kuliah berada di belakang Gedung C.H.T.H (Chung Hua Tjung Hui) di sebelah Gedung Bank Negara Indonesia, di dekat Alun-alun Utara Yogyakarta. Jumlah mahasiswa Fakultas Ekonomi pada waktu itu kurang lebih 150 orang. Yang menarik adalah dari sekian mahasiswa
166
Kenangan dan Pengalaman
Ureca, jumlah mahasiswa Tionghoa kurang dari 50%. Cukup banyak dari mereka yang dinamakan pribumi adalah orang-orang Batak. Juga banyak mereka yang datang dari Sulawesi, selain berbagai tempat lainnya. Ini menandakan Ureca benar-benar membuka pintu untuk semua golongan yang ingin memperoleh pendidikan di perguruan tinggi. Perpeloncoan diadakan, tapi sifatnya berbeda dengan perpeloncoan biasa. Perpeloncoan Ureca Yogyakarta mengikutsertakan kuliah-kuliah politik. Cukup banyak pengarahan tentang kebijakan dan program Baperki. Karena yang ada hanya satu fakultas, organisasi yang terbentuk adalah Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi Ureca, yang di-ketuai oleh Oei Yan Tiek. Walaupun terdapat berbagai golongan dari berbagai suku, mereka jelas mendukung Baperki. Sebagian besar masuk di Perhimi dan CGMI. Sedikit yang masuk GMNI atau PMKRI. Kegiatan politik di kampus terbatas. Tidak banyak diskusi dan kegiatan politik yang berarti. Tidak ada kegiatan pawai atau demonstrasi. Masuk ke dalam CGMI dan Perhimi lebih banyak bersifat ikut-ikutan. Tidak ada kesadaran politik tinggi. Yang kami ketahui adalah kami berada di dalam barisan kiri. Dan yang kami inginkan adalah bentuk sosialisme karena pengertian Manipol. Lebih dari itu tidak. Akan tetapi kami cukup sering melakukan Turba – Turun Ke bawah, dan melakukan kegiatan yang kini dikenal sebagai Baksos – Kebaktian Sosial. Kami berkali-kali mengunjungi berbagai daerah di sekitar Yogyakarta untuk bekerja bakti. Dosen-dosen yang mengajar di Ureca-pun tampak memiliki visi yang sama. Banyak tema kuliah berkaitan dengan Manipol. Dosen-dosen ini sangat disiplin. Mereka jelas memiliki komitmen tinggi untuk mengajar. Dosen-dosen dan Asisten Dosen yang saya ingat termasuk Drs. Busono Wiwoho, Ir. Liem Bian Tjien, Drs. Lie Pek Tjay, Liem Liong San dan Drs.Talib. Mata kuliah Ideologi Negara dibawa oleh dosen yang bernama Drs. Sofian Wahluyo. Ketua Baperki Jawa Tengah, Ong Tiong Liep kerap datang mengunjungi kampus Ureca Yogyakarta. Menteri Negara Oei Tjoe Tat juga pernah mengunjungi kampus kami tersebut pada tahun 1964 atau 1965. Pada tahun 1965, didirikan pula Fakultas Teknik Sipil.
167
Universitas Res Publica Sebenarnya, salah seorang simpatisan Baperki dan dosen yang bernama Ir. Liem Bian Tjien sudah membeli tanah yang cukup luas di jalan Ngabean untuk dijadikan lahan kampus Ureca Yogyakarta. Belum sampai kegiatan pembangunan, politik sudah berubah. Kegiatan ini tentu batal. Ditutupnya Ureca Pada tanggal 20 Oktober 1965, semasa Mapram – Masa Prabakti Mahasiswa Baru, terjadilah sebuah tragedi. Di alun-alun utara Yogyakarta diadakan sebuah rapat massa. Melihat kejadian itu, para mahasiswa Ureca dan simpatisan Baperki, sepakat untuk berkumpul melindungi gedung Ureca yang kelihatannya akan diserbu massa. Pada waktu itu telah terjadi banyak pengrusakan terhadap gedung-gedung yang dimiliki para organisasi yang dianggap musuh penguasa yang dipimpin oleh militer. Kami berhasil memperoleh bantuan sebuah batalion tentara, sehingga massa tidak berani menyerang gedung Ureca. Selamatlah gedung tersebut. Tidak dijarah dan tidak dirusak. Akan tetapi tidak lama setelah itu, 160 orang yang berkumpul dan menjaga gedung itu, termasuk saya, ditahan oleh tentara. Banyak diantaranya ditahan untuk jangka waktu lama. Kami dituduh berkumpul untuk membumi hanguskan kota Yogyakarta. Sejak saat itu, Ureca yang baru berumur satu tahun, ditutup. Semua mahasiswa terpaksa tidak dapat meneruskan kuliah. Mereka tersebar di mana-mana. Demikian juga para dosen dan asisten dosen Ureca Yogyakarta. Banyak di antara mereka, termasuk saya masuk penjara. Saya meringkuk dalam penjara selama 8 tahun tanpa proses hukum apa-pun. Kesalahan apa yang kami lakukan? Tidak ada yang bisa menjawab. Sebuah harapan ludas karena perubahan politik. Kami semua menjadi korban perubahan politik tersebut.
168
Kenangan dan Pengalaman
Kenangan Indah Di Ureca Muhammad Khairul Sering kali bila aku melewati gedung di jalan Kyai Tapa tersebut, kusempatkan untuk berhenti dan memarkir kendaraanku sejenak. Kulayangkan pandanganku pada bangunan yang sudah berubah 100 % tersebut. Tembok beton kukuh di bagian depan dengan bangunan bertingkat 8 berdiri megah, sementara di belakangnya, beberapa gedung megah lainnya dan lebih ke belakang lagi sedang di bangun pula gedung bertingkat 10 yang tak kalah megahnya. Dulu, pada tahun 1964 aku pernah sangat akrab dengan lokasi seluas lebih dari 5 hektar ini. Di lokasi inilah berdiri gedung dua lantai dengan beberapa bangunan penunjang lainnya yang saat itu sebagian masih dalam tahap pembangunan, tempat aku pernah menggantungkan cita-citaku untuk menjadi seorang dokter. Menjadi mahasiswa di Universitas Res Publica milik Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI). Res Publica artinya untuk kepentingan umum yang diambil dari salah satu judul pidato Presiden Soekarno waktu itu. Beberapa hari setelah terjadinya tragedi nasional peristiwa G30S tahun 1965, Gedung Res Publica kemudian dibakar dan dijarah orang-orang tak bertanggung jawab yang digerakkan secara sistimatis oleh tangan-tangan jahat. Lembaga pendidikan ini kemudian dirampas dan diambil alih oleh kekuasaan dan di ubah namanya menjadi Universitas Trisakti. Saat ini Universitas Trisakti telah berkembang menjadi sebuah univesitas swasta megah dan terkemuka di tanah air. Sebuah kemegahan yang dibangun di atas harta rampasan dan penderitaan sekian ribu mahasiswa Ureca yang diputus paksa tak boleh melanjutkan pendidikannya. Kutarik napas dalam-dalam, pikirannku melayang jauh ke masa lampau, sekitar 48 tahun silam, saat-saat indah menuntut ilmu di gedung tersebut. Terbayang kembali gambaran lama, suasana dan pengalaman yang kualami selama setahun lebih menjadi mahasiswa di tempat itu. Di atas pintu masuk kampus terbayang jelas tulisan tidak terlalu besar UNIVERSITAS RES PUBLICA, dan di bawahnya ada tulisan lebih kecil DIASUH OLEH JAJASAN
169
Universitas Res Publica PENDIDIKAN & KEBUDAJAAN BAPERKI (ejaan lama). Ada kata “Diasuh”. Wow…, satu kata yang sangat menyejukkan hati dan mengandung makna mulia, di mana terselip makna penuh perhatian dan rasa kasih sayang, mengutip bagian dari tiga serangkai kata mutiara dalam bahasa Indonesia yaitu sa-ling asah, asih dan asuh. Bandingkan bila digunakan kata “dikelola” misalnya, yang bisa diartikan hanya melaksanakan tugas pengaturan tanpa harus memikirkan sisi-sisi kemanusiawian lainnya. Awal Mula Cerita Setamat dari SMA Katolik St. Thomas Medan pada tahun 1964, keinginanku untuk melanjutkan pendidikan ke pulau Jawa mendapat dukungan penuh kedua orang tuaku. Aku tinggalkan kota Medan yang penuh kenangan, dengan tujuan utama kota Bandung. Saat itu aku dibekali 2 surat rekomendasi. Rekomendasi pertama dari Gubernur Sumatera Utara untuk rekan beliau, seorang pembantu rektor ITB (Institut Teknologi Bandung) dan satu lainnya adalah rekomendasi dari Monsignor keuskupan Medan untuk pimpinan Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Kedua rekomendasi itu tentulah bermaksud agar aku mendapatkan kesempatan menuntut ilmu di salah satu lembaga pendidikan tinggi tersebut. Rekomendasi pertama kuperoleh dari ayahku yang waktu itu menduduki jabatan teras di kantor pemerintahan daerah Sumatera Utara sedangkan rekomendasi kedua karena prestasi nilaiku di SMA Katolik Medan yang cukup meyakinkan. Tapi nasib berkata lain. Walaupun dalam waktu kurang dari 2 minggu berikutnya kuperoleh kabar bahwa aku diterima di Fakultas Teknik Parahyangan sementara kabar dari ITB tak kunjung muncul, aku memutuskan untuk meninggalkan kota Bandung menuju Jakarta. Keluarga Medan kukabari bahwa aku tidak tertarik untuk mengikuti kuliah di fakultas teknik, kecuali kalau diterima di ITB. Aku lebih tertarik memilih jurusan kedokteran yang ada di Jakarta. Universitas Indonesia? Bukan! Atas bisikan dan ajakan seorang teman ayahandaku yang tinggal di Jakarta, aku didaftarkan di FK URECA dan setelah mengikuti beberapa
170
Kenangan dan Pengalaman
jenis test masuk, tanpa urusan yang bertele-tele aku diterima sebagai mahasiswa baru di universitas itu. Nama URECA masih asing bagiku dan belum pernah kudengar sebelumnya. Katanya, sebuah universitas baru yang sedang berkembang. Namun melihat kondisi gedung yang tergolong bagus dan banyaknya anak-anak muda mahasiswa berseliweran dengan wajah cerah, ceria dan gembira, hatiku lega. Tentulah ini sebuah universitas yang bermutu dan diasuh secara professional oleh Baperki. Belakangan kutahu bahwa URECA memilikki 2 kampus yang letaknya berdekatan dengan jumlah mahasiswa mendekati jumlah 5.000 orang. Di kampus pertama (Kampus A), selain Fakultas Kedokteran Umum ada Fakultas Kedokteran Gigi, Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, dan Fakultas Sastra. Sementara di kampus kedua (Kampus B) adalah tempat kuliah mahasiswa/i Fakutas Teknik dengan 3 jurusan, yaitu jurusan-jurusan sipil, elektro dan mesin. Fakultas Ilmu Pendidikan masih berkuliah di Gunung Sahari 2. Pengalaman Pertama Kegiatan pertama yang harus kulalui sebagai mahasiswa adalah masa perkenalan mahasiswa yang berlangsung selama seminggu. Berbagai peralatan yang sesuai dengan instruksi telah kupersiapkan beberapa hari sebelumnya. Sebuah identitas diri, yang terbuat dari kertas putih tebal, bertuliskan nama panggilanku “Dodol”, sebuah caping (tutup kepala) anyaman daun pandan, bagian depan bertuliskan URECA sedangkan bagian belakangnya bertuliskan inisial FK. Peralatan tulis-menulis dalam sebuah kantong kain. Keluarga tempatku menumpang, meminjamkan sepeda ontel untuk tunggangan selama masa perkenalan tersebut. Pada hari pertama masa perkenalan, aku bangun dan mandi pagi sekali. Lebih setengah jam aku mematut diri di depan kaca. Segala peralatan telah terpasang ditempatnya. Terbersit rasa bangga dalam hatiku. Sekarang aku seorang mahasiswa sebuah universitas, terlebih inisial FK di bagian belakang caping yang menunjukkan fakultasku, Fakultas Kedokteran! Sebuah nama yang menjadi dambaanku sejak masih di SMA. Ada juga perasaan ragu dan kecut saat aku melangkahkan kaki di gerbang kampus. Dalam pikiranku terbayang tindakan kasar
171
Universitas Res Publica dan keras para senior terhadap juniornya seperti yang pernah aku dengar dalam kegiatan serupa di berbagai universitas. Seperti apakah itu? Inilah saatnya aku bakal diplonco oleh para senior, pikirku. Aku pasrah! Ternyata yang kuhadapi adalah hal yang berbeda. Hari pertama itu terasa sangat menyenangkan. Kami, seluruh calon mahasiswa baru, lebih dari 300 orang dari beragam fakultas (tampak dari inisial fakultas di belakang caping mereka masingmasing) dikumpulkan di lapangan bagian belakang kampus, diberi pengarahan oleh pimpinan universitas dengan kata-kata sambutan yang menyejukkan hati. Kemudian diikuti pengarahan para senior masing masing fakultas yang diserahkan tanggung jawab melaksanankan kegiatan Mapram tersebut. Hari-hari selanjutnya berjalan mengesankan. Kami melakukan kegiatan-kegiatan menguji pengetahuan umum, ketrampilan dan kemahiran berekspresi, mendengarkan ceramah dan melakukan permainan yang menggembirakan hati. Kegiatan pengumpulan tanda-tangan senior sebagai perkenalan secara langsung kepada para senior yang beragam tingkahnya cukup mengesankan. Terkadang menggembirakan tapi tak jarang pula mengesalkan hati karena tugas-tugas yang diberikan. Seluruh kegiatan berlangsung berganti-ganti sesuai peruntukannya. Terkadang berlangsung di udara terbuka, terkadang di dalam aula kampus. Kejutanpun terjadi di hari ke 4. Hari itu aku terlambat bangun dan tentu saja terlambat datang di kampus. Di depan gerbang kampus seperti biasa telah berjaga beberapa orang senior yang mendata siapa-siapa yang datang terlambat. Akupun digiring menghadap seorang senior lelaki bertubuh besar dan berkulit agak gelap. Di depannya aku disuruh jongkok. Kutundukkan wajahku. Hatiku kecut, namun sebagai perantau yang datang dari Medan - dan saat itu istilah “anak Medan” boleh dikata cukup popular - kukuat-kuatkan hatiku. Kudengar suaranya yang agak serak dan keras: “Hey…kau jangan menunduk. Lihat kemari. Siapa nama mu?” “Dodol, raka”’ kataku pelan. Kusebutkan nama panggi
172
Kenangan dan Pengalaman
lan sesuai instruksi. “Yang keras bicaranya”, teriaknya. “Doodoool, rakaaaa”, teriakku. Rupanya dia kaget dan tidak senang mendengar suaraku yang keras tersebut. “Hey dodol, kau pikir semua yang ada disini tuli ya… sampai kau berteriak begitu kerasnya. Ulang sebut namamu”, katanya kasar.
Akupun menyebut namaku sedikit lebih lunak. Beberapa senior lain mulai ikut nimbrung dengan kata-kata yang keras pula. Pertanyaan demi pertanyaan mereka ajukan sehubungan dengan keterlambatanku tadi. Sesekali aku jawab terpaksa. Tapi lebih banyak hanya diam, aku merasa dipermalukan. Tak lama kulihat senior berkulit gelap tadi bisik-bisik dengan beberapa senior lainnya. Tak tahu apa yang dibicarakan mereka. Si kulit gelap lalu menarik kerah bajuku dengan kasar. “Hey dodol, berdiri”, katanya. “Kau lihat lapangan di depan temantemanmu itu? Sebagai hukuman, kau harus berlari memutari lapangan itu sepuluh kali. Kau dengar 10 kali lari mengitari lapangan itu. Biar badanmu sehat dan besok tidak terlambat lagi. Jelas?”, lanjutnya. Tanpa menjawab, aku mengarah ke lapangan yang ditunjuk itu. Di hadapan ratusan teman-teman lainnya, aku mulai berlari dan berlari. Sesekali kudengar teriakan kerasnya berisi perintah untuk berlari lebih cepat. Putaran demi putaran kujalani dengan baik. Tapi memasuki putaran ke 5, kakiku mulai terasa lemas. Tapi tetap kupaksakan berlari, sampai kudengar suara merdu, suara perempuan:“Sudah cukup, kembali ke dalam barisan fakultasmu!”. Rupanya seorang Rakanita yang berdiri bersama seorang Raka lainnya di jalur tempatku berlari merasa kasihan melihat aku mulai goyah. Kuarahkan pandanganku ke Raka berkulit gelap, yang belakangan kutahu namanya Ayub Sani. Kulihat matanya melotot ke arah dua senior yang menyuruhku berhenti. Ada nada protes sambil mengangkat tangannya, namun kedua senior yang baik hati itu tetap pada putusannya. Mereka saling bersitegang. Ah….urusan mereka lah itu, pikirku. Belakangan
173
Universitas Res Publica aku tahu nama kedua senior baik hati tadi adalah Hie Kim Hua dan Tjoa Hoey Tjoan. Seminggu masa perkenalan berlangsung dengan pengalaman suka duka. Pada hari terakhir, kami semua dibawa naik truk ke pantai Cilincing. Berbagai kegiatanpun berlangsung di sana sambil bergembira ria dan menghirup segarnya udara pantai. Secara keseluruhan Masa Perkenalan Ureca telah menumbuhkan kesan tak terlupakan. Pada malam inaugurasi, para Raka dan Rakanita menyalami kami semua, saling maaf memaafkan satu dengan lainnya. Segala perasaan negatif dan ketersinggungan yang timbul saat Mapram lebur. Yang ada adalah rasa persahabatan yang mulai bersemi. Kami menyanyi dan menari bersama pada malam gembira yang diselenggarakan sampai larut malam. Persahabatan Dan Persaudaraan Ureca Perkuliahan berlangsung hampir setiap hari, pagi ataupun siang hari. Ada kuliah umum untuk beberapa mata kuliah yang diikuti oleh mahasiswa-mahasiswa beberapa fakultas. Ada kuliah khusus untuk Fakultas Kedokteran. Untuk praktek biologi biasanya berlangsung siang hari. Dalam salah satu kuliah umum, seorang dosen mengawali paparannya dengan kata-kata yang takkan kulupakan: “Saudara-saudari mahasiswa baru, kalian adalah manusia-manusia terpilih untuk dapat menuntut ilmu di Ureca ini. Di sini kalian akan dididik menjadi calon-calon pimpinan bangsa masa depan yang kritis, berilmu, mencintai rakyat dan ibu pertiwi Indonesia. Coba kalian perhatikan dengan baik wajah rekan-rekanmu di sisi kanan maupun kiri, di baris depan ataupun di belakangmu. Seluruhnya tampak ceria dan bersemangat. Namun seiring dengan perjalanan waktu, seleksi alami akan berjalan sebagaimana mestinya. Dengan berbagai alasan yang disengaja maupun yang tak terduga, mungkin besok, lusa ataupun bulan depan dan mungkin tahun depan, mereka bisa saja tidak lagi berada di sana. Mereka drop-out dan tak lagi dapat melanjutkan kuliahnya. Tapi apapun yang akan terjadi, pertemuan kalian saat ini adalah merupakan awal persahabatan dan persaudaraan yang harus tetap kalian bina sepanjang masa”. Pelan namun pasti, aku mulai memahami bahwa URECA
174
Kenangan dan Pengalaman
mempunyai cita-cita sangat mulia, yaitu selalu bertujuan untuk meningkatkan semangat dalam mempertajam kecerdasan anak bangsa yang dipadukan dengan pendidikan etika yang berbudi luhur untuk disumbangkan demi kemakmuran rakyat Indonesia. Setiap insan yang bergabung di URECA, baik mahasiwa maupun para dosen dan staf universitas selalu diarahkan sejalan dengan kebijakan umum pimpinan universitas untuk selalu berintergrasi secara aktif dalam kegiatan masyarakat yang multi-kompleks, bahu membahu bersama rakyat dalam kegiatan social, politik dan kebudayaan dalam pengabdian membangun kehidupan berbangsa dan bertanah air yang demokratis. Tak ada rasa canggung bagiku untuk bergaul dengan temanteman setingkat maupun dengan para senior lainnya yang umumnya berasal dari etnis Tionghoa. Dulu pun, sewaktu bersekolah di Medan, pergaulanku dengan saudara-saudara dari etnis Tionghoa sudah biasa dan berlangsung sangat baik. Dari kegiatan perkuliahan yang berlangsung sangat intensif sampai dengan pergaulan dan pertemuan-pertemuan yang kuhadiri, akhirnya tanpa ragu aku menerjunkan diri dan bergabung pada salah satu organisasi mahasiswa extrakurikuler yang sangat intens dalam melakukan pendampingan dan pengarahan bagi kesuksesan menuntut ilmu dan kesiapan saat nanti terjun di masyarakat. Quintet LOKOMANTANO Kebutuhan untuk membentuk kelompok belajar mulai terasa saat perkuliahan mendekati masa ujian. Atas inisiatif, Oman (Tan Pao Han), beberapa orang diajak berkumpul di rumahnya, di Jalan Museum 8, untuk belajar bersama. Gayung bersambut dengan berkumpulnya 4 pemuda lainnya yaitu Ansori, Sie Toan Lok, Tan Sie Tik dan aku sendiri. Sesekali, Durmin yang sering berboncengan motor Ducati-nya Sie Tik, turut pula bergabung. Kelompok belajar antara 5 orang pemuda yang dinamis, bersemangat dan bercita-cita tinggi walaupun memilikki karakter pribadi berbeda, tumbuh dan terjalin menjadi persahabatan yang erat dan kuat melewati batas-batas etnis dan daerah asal. Rahasia pribadipun tak mampu membendung ikatan yang erat ini. Kami saling curhat dan saling dukung dalam masalahmasalah pribadi. Saat itu Ansori yang mulai menaruh hati pada
175
Universitas Res Publica
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Ureca 1963
176
Kenangan dan Pengalaman
teman setingkat, Irma (FK-64), si gadis manis berambut panjang asal Minang, menjadi perhatian serius kami. Tak jarang kami bergantian menemani Ansori untuk “wakuncar”, wajib kunjung pacar. Perjalanan cinta mereka ibarat kisah Romeo dan Juliet abad ke XX, penuh suka dan duka. Bedanya, Romeo dan Juliet berakhir tragis, sementara Ansori dan Irma hidup bahagia menjadi pasangan abadi hingga sekarang. Omanpun menjadi perhatian kami dari “cinta monyet” dengan seorang gadis indo bernama Frida dari luar kampus, yang kemudian berantakan tergilas dampak peristiwa 65. Sementara tiga lainnya, tampak masih malu-malu atau tak punya keberanian untuk memulai kisah cinta mereka. Kelompok belajar ini kami beri nama QUINTET LOKOMANTANO yang terbentuk dari potongan-potongan nama anggotanya: Sie Toan LOK (dari Cirebon), OMan (dari Jakarta), ANsori (dari Lampung), TAN Sie Tik (dari Malang) dan Onny (nama kecilku, dari Medan). Hampir setiap hari sebelum ataupun sesudah kuliah, bahkan pada hari liburpun kesempatan berkumpul tak kami lewatkan. Tugas sampingan LOKOMANTANO adalah sikap solidaritas bagi setiap anggota yang datang lebih dahulu di ruang aula, untuk mem-bezet sedikitnya 10 bangku bagi kamikami yang datang terlambat. Keramah-tamahan seluruh anggota keluarga Oom Tan Thong Hoo (papanya Oman, berprofesi sebagai dokter internist yang praktek di RS St Carolus dan sekaligus dosen URECA) adalah pula merupakan magnet pengikat yang kuat, yang membuat Jalan Museum 8 menjadi pos berkumpulnya kami, pemudapemuda perantau yang jauh dari sanak keluarga dan orangtua. Untuk kami berkumpul tersedia sebuah kamar berukuran 2x3 meter, dibagian belakang bangunan utama. Seringkali Oom Tan Thong Hoo menyambangi kami, untuk berdiskusi masalah sosial politik yang berkembang maupun sekadar menanyakan kondisi perkuliahan ataupun kehidupan kami sehari-hari. Di saat-saat senggang selepas belajar bersama, kami luangkan waktu untuk bersantai, main gitar dan bernyanyi dengan peralatan sederhana. Dua gitar tua milik Oman menjadi andalan. Oman tampaknya lebih senang berperan sebagai pemain bass gitar, aku sebagai gitar melodi dan rithem, Toan Lok memilih perannya sebagai pemain drum dengan peralatan seadanya.
177
Universitas Res Publica Ansori dan Sie Tik lebih berperan sebagai penggembira sekaligus penyanyi walaupun dengan suara parau dan sedikit sumbang. Rupanya bakat-bakat terpendam di bidang musik dan tarik suara ini telah menginspirasi Oman untuk kembali menyampaikan ide briliannya membentuk LOKOMANTANO menjadi sebuah band. Sebuah kebutuhan konkrit ada di depan mata. Unen, adik perempuan Oman akan berulang tahun bulan berikutnya dan band Lokomantano dipersiapkan untuk memeriahkan pesta itu. Bagaimana caranya? Dengan uang dari kantong sendiri, terkumpullah sejumlah dana untuk menyewa peralatan sebuah band untuk latihan 2 kali seminggu dengan mendatangi studio music di Jalan Salemba. Pada hari H, peralatan lengkap sebuah band yang kami sewa telah terpasang di rumah Oman sejak pagi hari untuk menyemarakkan sebuah pesta HUT di kalangan keluarga pada malam harinya. Usaha keras kami berlatih ini berbuah manis. Pesta yang dihadiri oleh para kerabat Oman serta beberapa teman-teman mahasiswa URECA tersebut berlangsung meriah. Hadirin menikmati permainan musik atau iringan lagu-lagu yang kami mainkan. Yang lebih menggembirakan adalah kehadiran 5 orang teman-temanku, anggota Ensemble Nyanyi Maju Tak Gentar dari Medan, yang saat itu sangat tenar di tanah air dan sedang melakukan tur di Jakarta. Mereka menyumbangkan suara emas untuk melantunkan beberapa lagu dengan iringan band kami. Sukses pertama ini membuat kami lebih bersemangat untuk berlatih. Kemahiran Oman bermain bass gitar dan Toan Lok de-ngan permainan drumnya tambah meningkat. Tawaran dan undangan bermain berikutnya datang dari Chun Mey (saudara sepupu Oman, dan juga mahasiswa Sastra Inggris URECA) yang segera pula berulang tahun. Pada kami Chun Mey memperkenalkan 3 orang rekan FH URECA yaitu Nana Digo Supeno, penyanyi yang memiliki suara indah, Oen Kie pemain gitar, dan Robert pemain drum yang cukup mumpun. Pesta HUT Chun Mey yang berlangsung di kediaman keluarganya di Kp Duku, Pasar Rebo Jakarta berlangsung sampai larut malam dengan jumlah undangan lebih besar. Di antara yang hadir tampak Tan Soey Hok (FK 63) dan Albert. Saat itu, Toan Lok dan Robert bergantian sebagai penabuh drum.
178
Kenangan dan Pengalaman
Kenangan paling tak terlupakan adalah sewaktu Kho Tjoan Shiu mendatangi kami untuk bisa bermain di Gedung Pemuda pada Malam Kesenian yang akan dihadiri oleh beberapa pejabat negara dan petinggi politik tanah air. Kesempatan emas tersebut tentu saja kami manfaatkan dengan berlatih keras. Personalia band disempurnakan agar dapat tampil lebih memuaskan. Oman (FK) tetap sebagai bass gitar, Oen Lie (FH) sebagai gitar pengiring, Robert (FH) sebagai penabuh drum, Nana (FH) sebagai penyanyi dan aku sebagai lead gitar. Atas kesepakatan bulat LOKOMANTANO sebagai organisasi induk, nama band diganti menjadi CORONA BAND yang berasal dari C(haerul), O(man), R(obert), O(en Lie) dan NA(na). Kebanggaan kami memuncak saat pembawa acara mengungkapkan bahwa malam kesenian ini dimeriahkan oleh CORONA BAND dari URECA. Itulah sekedar kenangan manis yang sangat kusyukuri dapat bergabung menjadi mahasiswa selama lebih dari setahun kuliah di URECA, mendapat bimbingan dan berkenalan dengan orangorang yang memilikki wawasan luas dan rasa persahabatan serta persaudaraan sejati. Pendidikan dan ilmu yang dicitacitakan memang tak kesampaian, namun hal terpenting yang kudapat dalam waktu yang relatif singkat itu adalah pemdidikan membentuk diri menjadi insan Indonesia yang realistis dan mencintai rakyat sebagai pemilik dan penguasa tanah air tercinta, Indonesia. Terima kasih URECA.
179
Universitas Res Publica Fakultas Kedokteran Gigi Ureca George Tabaluyan Pada tahun 1960 saya tamat SMA di Boedi Oetomo. Saya segera daftar di ITB Bandung dan Universitas Baperki di Jakarta. Ternyata di kedua universitas itu saya diterima. ITB tentunya lebih tenar. Sedangkan Universitas Baperki baru saja berdiri. Kampusnya saja masih belum tetap. Akan tetapi ibu saya mendorong saya masuk ke Fakultas Kedokteran Gigi di Universitas Baperki. Karena dorongan itu, saya masuk ke Universitas Baperki, yang pada waktu itu disingkat sebagai UBA atau UnBap. Fakultas Kedokteran Gigi UBA adalah fakultas kedokteran gigi swasta pertama di Indonesia. Bahkan ia didirikan lebih awal dari fakultas kedokteran gigi di Universitas Indonesia. Pada waktu itu, setahu saya FKG hanya ada di Universitas Airlangga di Surabaya dan Universitas Gajah Mada di Yogyakarta. Pada tahun 1963 Universitas Mustopo mendirikan juga sebuah fakultas kedokteran gigi. Ini menandakan yayasan Pendidikan Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan memiliki visi jauh tentang fakultas apa yang harus didirikan di awal hidup Universitas Baperki. Karena belum ada kampus yang tetap, para mahasiswa yang terdaftar di fakultas tersebut berkuliah di gedung sekolah Sin Hoa di Pasar Baru di Jalan Krekot Bunder. UnBap ternyata sudah memilki lahan di Grogol dan pada waktu itu sedang dibangun. Sekitar akhir tahun 1960 dan awal 1961, kuliah pindah ke kampus baru. Kampus ini disebut kampus A, karena tidak lama kemudian ada Kampus B, di Grogol pula, yang dibangun untuk menampung Fakultas Teknik. Di kampus A, beberapa fakultas yang sudah terbentuk bergabung: Fakultas kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran, Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum. Gedung yang sudah dibangun bertingkat dua dan di dalamnya ada sebuah aula besar. Di tingkat satu, ternyata kami berhadapan dengan tekanan akademik yang luar biasa. Banyak mata kuliah dan banyak sekali praktikum yang harus kami lalui, termasuk biologi, kimia, fisika, anatomi, dental material, dan berbagai tugas mengukir dari bahan gips membuat gigi seri, premolar maupun molar dalam skala 10 kali diperbesar. Setiap hari kuliah dan praktikum
180
Kenangan dan Pengalaman
dari pagi hingga sore. Di tingkat dua para mahasiswa diharuskan mencari gigi geligi asli yang bekas pencabutan, maupun gigi-gigi orang-orang yang sudah meninggal. Gigi geligi tersebut kami susun seperti model yang kami buat dengan gips, sesuai dengan bentuk ra-hang orang yang terbuka. Mulailah kami diajar untuk menambal gigi dengan gigi-gigi manusia sesungguhnya. Pada waktu itu kami diajar mengebor gigi dengan menggunakan trap boor – mesin yang berjalan dengan memompa dengan kaki, seperti cara memompa mesin jahit. Walaupun memompa dengan kencang, tapi hasilnya minimum. Di tingkat dua itu kami memperoleh berbagai mata kuliah termasuk Orthodontik, Oral Surgery dan Fisiology. Di tingkat ke tiga kami memperoleh pula berbagai mata kuliah termasuk Oral Medicine, General Surgery dan Radiology. Di tingkat ini kami mulai sering berkuliah di rumah sakit Yang Seng Ie di Mangga Besar. Kuliah biasanya dimulai pada pukul 7 pagi. Di situ ada sebuah kejadian yang cukup menggelikan. Pada saat kami menunggu dosen di pagi hari, sang dosen tidak datang. Para mahasiswa lelaki menjadi bosan menunggu. Di saat-saat bosan menunggu itu datanglah beberapa juru rawat berlalu lintas di depan ruang kuliah. Mulailah para mahasiswa yang iseng itu bersiul lagu The Bridge on The River Quay sambil bertepuk tangan ketika para juru rawat berjalan di depan kami. Karena ramai bersiul disertai tepuk tangan hiruk pikuk, para juru rawat menjadi salah tingkah dan lari meninggalkan ruang tugasnya. Hal ini masuk ke telinga dosen Tan King Poo yang memanggil para pentolan mahasiswa itu untuk dicaci maki. Untung kami tidak dihukum skors. Dr. Tan King Po ini adalah seorang ahli bedah. Kami semua turut menyaksikan berbagai operasi yang dilakukannya, termasuk operasi untuk usus buntu dan hernia. Pengalaman kuliah di tingkat tiga cukup mengesankan. Sekitar 100 mahasiswa mengikat tali persahabatan dan persaudaraan erat walaupun terkadang bisa dianggap aneh. Secara alamiah, terbentuk kelompok yang kami namakan Cit Heng Te – persaudaraan tujuh kakak beradik. Bilamana bertemu dan saling tegur, kami menggunakan istilah toa-ko (kakak tertua), jiko (kakak kedua) atau ji-te (adik kedua), sam-ko (kakak ketiga) atau sam-te (adik ketiga), sit-ko (kakak keempat) atau sit-te
181
Universitas Res Publica (adik keempat), go-ko (kakak kelima) atau go-te (adik kelima), liok-ko (kakak ke enam) atau liok-te (adik keenam), dan cit-te (adik ketujuh) untuk yang paling bontot, bagaikan pendekarpende-kar di buku silat. Saya yang paling junior. Jadi menjadi cit-te. Semua yang lain harus saya panggil ko atau kakak. Panggilan ini kami pertahankan sampai kami semua lulus sebagai dokter gigi. Barus setelah kami semua berkeluarga, panggilan ini hilang dan kami kembali menggunakan istilah gua dan lu… Di tingkat ke tiga itu terjadi peristiwa rasis yang menelan korban dan kerusakan properti yang dimiliki komunitas Tionghoa di Jawa Barat. Banyak rumah dan toko di kota-kota di Jawa barat dirusak, dibakar dan dijarah. Peristiwa itu dikenal sebagai peristiwa Mei 1963. Secara serentak semua mahasiswa Ureca memutuskan untuk menjaga kampus siang dan malam, siap melawan siapa-pun yang akan datang menyerang dan menjarah. Pada suatu tengah malam, ketika kami menjaga kampus, terlihat sekelompok pemuda berdiri di jembatan dekat kantor pos Grogol yang tidak jauh dari kampus. Terlihat para pemuda tersebut memperhatikan kampus kami. Saya bersama toa-ko, ji-ko dan si-ko dengan berani mendatangi mereka dan bertanya dengan sopan apa yang mereka lakukan di situ. Ternyata mereka itu adalah para anggota Pemuda Rakyat yang ditugaskan pimpinan mereka untuk menjaga kampus Ureca. Segeralah kami berangkulan dengan mereka. Di tingkat ke empat, barulah kami masuk Klinik Pergigian. Di saat itulah kami diajar membersihkan karang gigi dan dimulai pencabutan dan penambalan gigi. Di tingkat ke 5 praktikum klinik ditambah. Kami mulai membuat crown dan bridge, gigi geligi tiruan, operasi gigi dan lain-lain. Kami setiap hari capai setelah berbagai kegiatan praktikum itu yang dilakukan dari pagi hingga sore. Dosen-dosen yang saya ingat adalah sebagai berikut. Dekan FKG yg pertama adalah drg. Bee Wie Tjoen yang terkenal keras dan disiplin. Ia pernah memperingatkan kami semua bahwa bilamana terjadi perkelahian antara kami dengan mahasiswa fakultas lain, kami akan dikeluarkan. Setelah beliau meninggal pada tahun 1964, drg. Liem Soen Yoe menggantikannya. Dia adalah pelatih sepak bola UMS dan PSSI yang ternama. Tidak
182
Kenangan dan Pengalaman
lama kemudian, ia diganti oleh drg. Tjia Soen Lee. Dosen Orthodontik adalah drg. Tan See Siong. Dosen Oral Surgery adalah Letkol Udara Tan Hong King. Dosen General Surgery adalah dr. Tan King Poo. Dosen Gigi Geligi Tiruan adalah drg. Goei Ing Tjuan. Dosen Fisiology adalah dr. Lie Tjwan Sien. Dosen Oral Medicine adalah drg. Bee Kok Hin. Ketika drg Liem Soen Yoe mengambil alih pimpinan, tidak banyak perubahan arah kuliah. Perbedaan utama ada dari segi penampilan. Drg Liem Soen Yoe orangnya merakyat, sederhana, tegas dan disiplin. Ia berkendaraan sepeda motor. Hujan atau tidak datang dengan sepeda motor. Pernah saya berada di ruang praktikum mengenakan jubah praktikum bekas dan dianggap tidak cukup rapih. Saya dipanggil dan disuruh mengenakan jubah praktikum miliknya. Seusai praktikum saya ingin mengembalikannya. Dia menyatakan bahwa saya bisa terus memakainya. Saya masuk PMKRI pada tahun 1960. Tapi tidak pernah terlalu aktif. Ada Pastur Daniel yang mendominasi kegiatan di Sam Ratulangi, di mana kami harus ikut studi club. Saya tidak menyenangi-nya karena terlihat sangat anti komunis dan anti Tiongkok. Ketika harus memperoleh tanda tangannya untuk lulus perpeloncoan, saya putuskan untuk tidak mencarinya. Saya juga diharuskan meminta tanda tangan pimpinan PMKRI, Harry Tjan, yang saya tidak sukai pula karena suka membentakbentak orang. Saya tidak mencarinya untuk meminta tanda tangan-nya. Saya tidak senang dengan sikap yang berlebihan. Pastur Daniel tampak ekstrim anti Tiongkok. Tapi ada pula dosen yang ekstrim pro Tiongkok, dr. Lie Tjwan Sien. Samar-samar saya ingat kedatangan ibu Hartini ke Fakultas Kedokteran Gigi Ureca. Demikian juga Wakil Perdana Menteri Subandrio yang menandakan adanya penghargaan atas mutu Ureca sebagai sebuah universitas swasta pertama di Indonesia. Pada tanggal 29 September 1965, setelah selesai praktikum Gigi Geligi Tiruan di laboratorium sekitar pukul 4 sore, saya pulang ke rumah, untuk langsung ke Purbalingga karena ada anggota keluarga yang sakit. Ternyata tidak lama setelah saya meninggalkan kampus ada peralatan yang hilang dicuri orang dari ruang praktikum. Karena saya pergi bergegas, oleh drg. Liem Soen Yoe saya
183
Universitas Res Publica dituduh sebagai orang yang mencurinya. Toa-ko saya segera turun ta-ngan dan menjamin bahwa yang mencuri bukan saya. Ia mengingatkan drg Liem Soen Yoe bahwa saya-lah yang ia berikan jubah praktikum. Tuduhan terhadap saya kemudian hilang dan diadakan inspeksi ketat. Tetangkaplah kedua mahasiswa yang ternyata sudah lima tahun sering mencuri barang-barang mahasiswa. Kedua orang ini segera dikeluarkan dari Ureca. Sesampainya saya di Purbalingga, peristiwa G30S meletus. Setiap hari saya mendengar radio tentang perkembangan di ibu kota. Ketika saya kembali ke Jakarta pada tanggal 15 Oktober, berlangsung jam malam. Penduduk Jakarta tidak boleh keluar rumah setelah pukul 6 sore. Saya tiba di Stasion Gambir pukul 12 malam. Jadi tidak bisa keluar statsion. Di sana saya temukan koran PosKota di sebuah tumpukan yang mengabarkan pembakaran gedung Ureca. Tentu saja saya kaget mengetahui Universitas yang saya cintai dibakar. Kuliah segera terhenti. Padahal saya sudah di tingkat terakhir. Tidak lama kemudian saya bisa masuk kembali tetapi nama universitas diubah menjadi Trisakti. Salah satu tugas kerja bakti adalah membersihkan puing-puing gedung akibat pengrusakan pada tanggal 15 Oktober 1965. Karena lulusan FKG Trisakti tidak diakui oleh negara, untuk bisa menjadi dokter gigi kami diharuskan mengikuti ujian negara. Ujian negara pertama diadakan pada tahun 1968. Saya tidak ikut ujian pada waktu itu. Baru ikut pada tahun 1971. Untunglah saya lulus dan bisa meraih gelar dokter gigi. Setelah tahun 1971, lulusan KKG Trisakti diakui pemerintah. Jadi para lulusan FKG Trisakti tidak lagi perlu mengikuti ujian negara.
184
Kenangan dan Pengalaman
Di halaman RS Jang Seng Ie: Berdiri dari kiri:Toa-ko Jioe Jang Tjiang, Ji-ko Pauw Whie Seng dan Sam-Ko Tee Eng Hong Berjongkok: Yap Siang Hoa (saya), liok-ko Hoo Soei Tjoen dan Si-ko Tio Sie Tjeng Tjoan
Berdiri paling kiri ji-ko Pauw Whie Seng, kedua Toa-ko Jioe Jang Tjiang, ketiga Liok-ko Hoo Sioe Tjoen, keempat ngo-ko Lie Boen Hoei, kelima Sam-ko Tee Eng Hong, keenam Sie-ko Tio Sie Tjeng Tjoan. Di Vespa saya(Yap Siang Hoa) dan Lie Gien Hwa FE 1961
185
Universitas Res Publica Fakultas Teknik Ureca dan perkembangannya Liem Djie Gwan Perkuliahan Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil, Teknik Mesin, Teknik Elektro diadakan di Jalan Gunung Sahari II No. 5, Jakarta Pusat. Pada tahun 1963 dengan selesai dibangunnya beberapa ruangan untuk perkuliahan di Kampus Barat (Kampus B) URECA Grogol, seluruh perkuliahan Fakultas Teknik dialihkan ke sana. Pada saat itu di Kampus Barat terdapat 3 gedung kuliah semi permanen. Setiap gedung memiliki 4 ruang kuliah dan setiap ruang kuliah dapat menampung 40 mahasiswa. Jadi gedunggedung tersebut bisa menampung 480 mahasiswa. Disamping gedung-gedung kuliah tersebut, sudah dibangun pula sebuah gedung permanen konstruksi baja untuk praktikum Mekanik dan Perbengkelan. Berbagai peralatan praktek mekanik dan elektronika sudah tersedia di bangunan tersebut. Dan ada juga gedung dua lantai untuk kuliah Arsitektur dan praktikum elektronika. Lantai atas digunakan untuk administrasi. Bangunan konstruksi baja tersebut berisikan juga dokumendokumen fakultas teknik yang dikelola oleh para asisten dosen yang membantu Ir. Tan Hing Bwan, Ir. Tjan Swan Bing dan Ir. Jo Goan Lie. Ketika itu daerah Grogol di mana kedua kampus Ureca berada, masih sangat sepi. Pada pukul 5 sore sudah jarang orang berlalu lalang di sana. Ir Tan Hing Bwan sebagai sekretaris Fakultas Teknik berfungsi pula sebagai penanggung jawab keamanan kampus. Ia menempatkan keponakannya Tan Tjoen Djan untuk tinggal di dalam bengkel! Ir. Tan Hing Bwan juga meminta beberapa mahasiswa yang indekost di daerah Grogol untuk dapat juga tinggal di Kampus sambil menjaga keamanan kampus, antara lain: Tan Yong Som, Oei Tiang Gwan, Oei Tiang Ho dan saya sendiri. Kami berempat tinggal di bangunan ruang kuliah bagian depan di ujung sebelah kiri. Kami makan di “Kantin Encim” yang berada di luar Kampus.
186
Kenangan dan Pengalaman
Kerja Bakti Membangun Asrama Mahasiswa Ureca
187
Universitas Res Publica Membangun Asrama Mahasiswa Pada tahun 1964 menjelang ujian Sarjana Muda, sekelompok mahasiswa teknik sipil, termasuk saya, diharuskan membuat perencanaan dan perhitungan pembangunan gedung konstruksi beton bertulang. Ir. Tan Hing Bwan yang serba kreatif itu menyatakan kepada para mahasiswa tersebut untuk tidak perlu memenuhi persyaratan Sarjana Muda asal bersedia membangun asrama mahasiswa – dari desain sampai selesai dengan prinsip Berdikari. Kami belum punya pengalaman baik teori maupun praktek untuk membangun sebuah gedung. Dengan sendirinya sulit untuk memenuhi permintaan dosen Tan. Beberapa hari kemudian Ir. Tan mendorong kami membuat bouwplank (papan ukuran bangunan) untuk membangun gedung terdiri dari 10 kamar yang dapat memuat 40 orang mahasiswa. Asrama Mahasiswa ini digunakan untuk menampung mahasiswa yang berasal dari luar Jakarta, karena tempat kost de-ngan harga yang relatif murah di sekitar Grogol pada waktu itu masih sedikit sekali. Akhirnya ide Ir. Tan untuk membangun Asrama Mahasiswa dengan berdikari itu kami sambut dengan antusias. Kami mulai membangun Asrama dengan menggali tanah, memasang fondasi batu kali, memotong, meluruskan dan membengkokkan besi beton, membuat begel, mengikat besi untuk sloof, kolom dan ring ball. Memasang batu bata dinding dan memplesternya. Kusen, daun pintu dan rangka atap dikerjakan oleh beberapa tukang kayu dibantu oleh para mahasiswa. Pemasangan ubin lantai dikerjakan pula oleh beberapa tukang batu. Tetapi para mahasiswa membantu pengadukan semen dan pasir. Pemasangan instalasi listrik dikerjakan oleh mahasiswa Fakultas Teknik Elektro. Pemasangan instalasi ledeng dikerjakan oleh mahasiswa dari Fakultas Teknik Mesin. Pengecatan dinding, kusen pintu dan jendela dikerjakan oleh mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai Fakultas.
188
Kenangan dan Pengalaman
Mahasiswi Ureca ikut bekerja bakti dengan semangat gotong royong
189
Universitas Res Publica Saya ditunjuk sebagai ketua pembangunan Asrama Mahasiswa ini. Para mahasiswa seluruh Fakultas yang ada di URECA membantu membangun Asrama Mahasiswa dengan kerja bakti dan ini dikoordinasi oleh para Senat Mahasiswa. Adanya Asrama Mahasiswa ini juga menginspirasi para penghuni asrama untuk membuat Kantin Mahasiswa untuk meringan-kan pengeluaran beaya makan. Pembangunan Kantin Mahasiswa ini dipimpin dan dipelopori oleh Tan Tjien Tiam, Tan Boen Hok dan Oei Tiang Gwan. Setelah selesai pengelolaan dilakukan oleh para penghuni asrama mahasiswa yang selesai dibangun sebelumnya. Awalnya sebagai juru masak adalah ketiga pelopor tersebut yang kebetulan hobby masak. Para penghuni asrama lain membantu pembelian sayur mayur. Subuh mereka ke Pasar Senin. Semua kegiatan dilakukan secara gotong royong. Karena kian hari jumlah pelanggan kantin kian banyak, dan banyak pula yang datang bukan saja mahasiswa, tetapi para dosen, disepakati mengambil juru masak dari Tangerang. De-ngan demikian para teman yang menjadi juru masak bisa konsentrasi kembali untuk kuliah. Kantin ini kami beri nama KANTIN BERDIKARI. Kantin tambah lama tambah maju. Kebutuhan peralatan kantin pun bertambah banyak. Untung ada pabrik PANCI GROGOL, yang bossnya berbaik hati memberikan discount 50% untuk membeli peralatan dapur dari pabriknya. Kebutuhan ayam pun sangat banyak. Sehari lebih dari 100 ekor dipotong. Yang memotong ayam adalah para mahasiswa asrama tersebut – tanpa mengucap bismilah… Penutup Kehidupan yang penuh keharmonisan, kekeluargaan, kebahagiaan itu terhenti seketika.
keakraban,
Pada bulan Oktober 1965, terjadi kekeruhan, kebrutalan yang tidak beradab dan tidak ber-prikemanusiaan. Kampus Universitas Res Publica bagian Timur (Kampus A) yang
190
Kenangan dan Pengalaman
digunakan untuk perkuliahan Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, Hukum, Ekonomi dan Sastra dijarah dan dibakar oleh segerombolan orang. Sementara api masih berkobar, massa dengan hiruk pikuk bergeser menuju ke kampus Barat (Kampus B) tempat kuliah Fakultas Teknik. Penjarahan juga terjadi di kampus ini. Asrama Mahasiswa dan Kantin Berdikari yang dibangun dengan keringat kami musnah dibakar. Situasi sangat sulit dikendalikan. Petugas Keamanan dan Polisi yang seharusnya melindungi kami, tidak berbuat apa-apa atas tindakan brutal dari massa. Karena tidak ada kuliah, jumlah mahasiswa yang ada tidak banyak. Tidak mampu menahan penghancuran yang dilakukan oleh penyerang yang jumlah jauh lebih banyak. Para Civitas Akademika yang berada sekitar kampus yang terbakar hanya bisa menyaksikan dengan hati yang luluh, air mata pun tidak bisa menetes. Perasaan geram menyelimuti hati kami, para pemilik Universitas Res Publica. Setelah malam hari, api masih membara. Sebagian penghuni asrama yang tidak punya keluarga di Jakarta, yang memiliki militansi tinggi, disertai dengan mahasiswa yang tinggal di Grogol berusaha kembali ke kampus untuk mempertahankan hak kepemilikan sambil menunggu perkembangan lebih lanjut. Hari berikutnya datang segerombolan orang dengan berseragam hijau seperti seragam Resimen Mahajaya, mengendarai beberapa truk, mendobrak bengkel yang tidak terbakar dan mengangkut barang2 seperti ubin dan alat sanitasi, dan barang-barang lain yang mudah diangkat. Situasi sudah tidak mungkin dipertahankan lagi. Atas anjuran dan saran berbagai pihak, kami tinggalkan Kampus URECA yang sangat kami cintai. Yang tertinggal hanyalah kenangan indah, suka dan duka yang tidak akan terlupakan.
191
Universitas Res Publica Fakultas Kedokteran Universitas BAPERKI Tony Setiabudhi Pendahuluan Saya masih ingat jelas bahwa Fakultas Kedokteran pada tahun 1961 merupakan fakultas yang menjadi IDOLA setiap orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Akan tetapi juga merupakan fakultas yang paling sulit untuk dimasuki. Hal yang sama terjadi pada orang-tua saya. Ketika pada tahun 1961 saya lulus dari SMA, orang tua saya menghendaki saya masuk ke Fakultas Kedokteran. Saya lulusan dari SMA Katolik di Malang - yang dikenal sebagai SMA DEMPO - St Albertus. Saya didaftarkan di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaya. Ujian masuk ternyata sulit. Akan tetapi kualitas pendidikan DEMPO cukup tinggi sehingga setiap tahun lulusan DEMPO yang diterima di Fakultas kedokteran Airlangga atau yang diterima di ITB biasanya di atas sepuluh orang. Namun pada pengumuman pertama saya ternyata tidak diterima. Saya segera mencari jalan untuk memperoleh SURAT SAKTI dari Uskup Malang yang ditujukan ke Mgr Geisse, yang menentukan penerimaan Mahasiswa di Universitas Parahyangan di Bandung pada waktu itu. Berangkatlah saya bersama Agus Berek, keponakan Monsigneur Manek dari NTT (Ia juga jadi dokter dari Airlangga dan sudah almarhum) dengan kereta api ke Bandung. Kami menginap di indekostnya teman-teman Dempo di Jalan Raya Barat Kosambi dan langsung menghadap Mgr Geisse. Setelah melihat angkaangka kami – beliau kelihatannya puas. Tanpa menga-lami prosedur berbelit, kami berdua diterima di Fakultas Teknik. Ternyata, pada waktu tiba kembali di Jawa Timur, ada pengumuman gelombang kedua dari Fakultas Kedokteran Airlangga yang menyatakan kami berdua diterima. Sudah tentu kami berdua sangat bergembira! Namun jalan hidup berbicara lain. Karena sesuatu hal, saya
192
Kenangan dan Pengalaman
dinyatakan gagal dalam test berikutnya. Berbekal diterimanya saya di Fakultas Kedokteran Airlangga itu, saya menulis surat ke Universitas BAPERKI yang pada tahun itu baru saja membuka Fakultas Kedokteran. Setelah surat menyurat berlangsung, saya dinyatakan diterima dan langsung diantar oleh ayah saya pakai SEPEDA MOTOR Matchless 350 cc dari Lawang (18 km di utara Malang) ke Jakarta. Pada hari pertama kami sampai di Semarang. Di sana menginap di tempat bibik saya yang suaminya adalah Kepala Chung Hua Chung Hui Semarang. Keesokan harinya melanjutkan perjalanan, menginap di Sumedang di salah satu hotel kecil. Di hari ketiga sampai di Jakarta, sambil melewati Puncak, menikmati pemandangan indah. Di Puncak, ayah saya menyatakan: “Hwat Tjien musti ingat, Kita sudah melalui perjalanan yang begitu panjang dan sulit - mencapai Jakarta, jangan sampai sekolahnya terputus!”. Nasehat yang selalu terngiang selama saya kuliah. Kami tidak mengenal siapapun di Jakarta. Kami menginap di Hotel milik seorang Ibu Belanda di Jalan Tanah Abang Barat. Kami tidur di sebuah kamar yang dihuni oleh delapan orang. Baru besoknya saya diantar ayah ke Kampus FK/ FKG di Grogol - sekarang jalan Kyai Tapa. Di situ kami bertemu dengan Na Hong Tik, yang ternyata adalah teman ayah dari Malang. Pembicaraan lalu merembet ke nama para teman mereka di Malang. Pembicaraan ini memungkinkan kami mencari Dr. Kho Tjok Khing yang rumahnya dihuni oleh Sie Yoeng Kwie, teman sekelas dari Dempo yang sudah masuk FK Baperki gelombang satu, dan Go Ing Hok (Joseph Dharmabrata) yang ternyata akan menjadi ketua Dewan Mahasiswa TRISAKTI pada tahun1965. Setelah itu kami kunjungi pula Liem Koen Seng dan Dr Kwee Tien Boh. Kami kemudian mencari tempat tinggal. Pada waktu itu kost di daerah Grogol sudah penuh. Akhirnya saya mendapatkan tempat kost di jalan Biak 58, dekat bioskop Roxy. Kamar tidurnya kecil, bekas kamar pembantu, seluas 1.2 m x 2 m. Tidak ada ruangan untuk tempat duduk. Cukup ranjang saja.
193
Universitas Res Publica
Para Mahasiswa Fakultas Kedokteran dari dua angkatan dengan Dr. Tan King Po di Depan RS Jang Seng Ie
194
Kenangan dan Pengalaman
Di atas ujung ranjang, bagian kepala, ada sebuah rak untuk meletakkan koper. Ada juga sebuah lemari kecil, serupa lemari kecil di samping tempat tidur di rumah sakit. Kondisi kamar seperti itu terpaksa kami terima karena ayah harus segera kembali ke Lawang, dengan sepeda motor sendiri. Tidak lama kemudian saya dikirimi sepeda yang harus diambil dari Stasiun Gambir, dipakai sebagai kendaraan bersekolah dan kendaraan selama di pelonco. Masa Perpeloncoan dan Kuliah Karena Fakultas Kedokteran baru dimulai, kami tidak memiliki senior. Masa perpeloncoan dijadikan satu dengan perpeloncoan Fakultas Kedokteran Gigi. Setelah masa perpeloncoan yang dikenal pula sebagai masa perkenalan itu, saya mulai kuliah. Yang paling mahasiswa kedokteran segani adalah mata kuliah Kimia Organik, karena dosennya terkenal galak, Drs. Tan Tek Seng, pemilik apotik Odopharm di Jalan Hayam Wuruk. Ketika Ureca dibakar, ijazah-ijazah para mahasiswa diselamatkan di tempat ini. Beberapa dosen lain saya ingat, seperti Khouw Tjoe Hee, dosen Biologi, Tjoa Ping Hoo dosen Fisika dan The Sik Ho dosen Kimia Organik. Ada juga asisten dosen untuk praktikum yang dijabat oleh kakak kelas dari FKG seperti Khoe Khong Hwa (yang akhirnya menjadi seorang Guru Besar), Khong Bie dan Tjeng Swan. Tugas-tugas praktikum tidak terlalu mengesankan. Akan tetapi kami sangat lega melewati tingkat 1 karena bebas dari dosen Tan Tek Seng. Seingat saya, tingkat dua merupakan tingkat yang paling berat di Fakultas kedokteran. Mata kuliah Anatomi sepenuhnya berdasarkan hafalan. Saya tidak menyukai hafalan, oleh karenanya saya selalu memperoleh angka merah di mata pelajaran sejarah. Tentunya untuk lulus, saya memaksakan diri untuk menghafal. Di Tingkat dua ada pula seorang dosen killer, yaitu Dr. Liem Hian Tjong, dosen Susunan Saraf Pusat, sebuah mata kuliah yang rumit. Tetapi karena saya menyukai mata pelajaran tersebut,
195
Universitas Res Publica saya bisa mengatasinya dengan baik. Banyak mata kuliah lain juga mengandung banyak hafalan. Tetapi yang paling mengesankan adalah dosen Biokimia, Dr .Oen Liang Hie (yang kemudian menjadi Profesor). Ia tidak pernah membawa buku, tetapi sangat pandai mengutarakan berbagai macam teori dan rumus Kimia dengan jelas. Semua dihafal dengan baik olehnya. Cara mengajarnya-pun enak dinikmati oleh para mahasiswanya. Kenaikan dari tingkat ke dua ke tingkat tiga cukup sulit. Dari 96 mahasiswa hanya 50 yang lulus. Dari tingkat satu ke tingkat dua seingat saya yang tidak lulus jauh lebih sedikit, dari 134 orang ke 96 orang. Di tingkat tiga, mulailah kami memperoleh pelajaran yang berkaitan dengan penyakit. Dosen Patologi adalah Dr. Oei Beng Pho, dosen yang memimpin klinik Patologi adalah seorang perempuan, Dr. Nyoo Sian Nio, Dosen Mikrobiologi adalah Prof. Abdulrachman dan Farmakologi diajar oleh Dr. Tan Lauw Giok Hwa. Saya terus naik tingkat. Pada tahun 1965, saya sudah duduk di tingkat ke lima. Saya sudah mulai masuk rumah sakit pendidikan, di mana saya bertemu dengan banyak dosen yang memiliki keahlian di bidangnya masing-masing. Dr. Tan King Po, ahli bedah, sekaligus ahli akupunktur. Dr. Djoa Liang Ham specialist penyakit dalam, direktur Rumah Sakit Jang Seng Ie. Di situlah kami berfoto bersama dengan banyak alumni FK angkatan 61. Dosen Internis yang mengesankan adalah Dr. Tan Thong Hoo, ayah Urecawan Tan Po Han (Oman). Ia berpraktek di Rumah Sakit St Carolus dan mengizinkan kami untuk menemui para pasiennya sambil mendemonstrasikan keahliannya. Keahliannya tentu dikenal karena ia adalah dokter pribadi Fatmawati. Saya berjumpa kembali dengannya di Belanda ketika saya bertugas memperdalam ilmu jiwa di Belanda pada tahun 1980. Ia diminta memberi ceramah di Bloemendaal Psychiatrisch Centrum tentang pengalamannya mengajar di Ureca. Di acara itu hadir pula Siauw Giok Tjhan dan Dr. Lie Tjwan Sien yang kebetulan berada di Belanda.
196
Kenangan dan Pengalaman
Ilmu Penyakit anak diajar oleh Dr. Kho Lien Kheng, seorang ahli Haematology (darah). Ia juga seorang yang pintar. Mengajar tanpa membawa buku dan memimpin tim dokter Dr. Poey Seng Hien ahli gizi anak dan Dr. Liem Djwan Lioe. Ahli penyakit mata yang sangat terkenal di Indonesia dan Belanda, Dr. Sie Boen Lian juga menjadi dosen kami. Ada pula serentetan ahli yang termahsyur sebagai dosen-dosen kami, diantaranya Dr. Sie Pek Giok (Priguna Sidharta) yang mengarang text book berbahasa Indonesia tentang Neurology, Dr. Tan Eng Tie, specialist kulit yang aktif di Ikatan Dokter Indonesia sejak didirikan, Dr. Djwa Djing Som (yang kemudian menjadi Profesor), Dr. Kwee Hok Liang dosen THT dari Jang Seng Ie dan kebidanan diajar oleh Dekan FK URECA Dr. Gudadi Wreksoatmojo. Selama berkuliah kami penuh dengan kegembiraan. Sungguh sebuah masa yang indah untuk saya. Ada kelompok yang oleh Ek Hok dinamakan GGT: Gelap Gelap Terang. Ada pula cerita yang kemudian dikenal sebagai cerita berjudul “nenek-nenek antri coklat”. Ini berkaitan dengan antrian yang berlangsung di zaman “orde lama”, untuk beras dan gula misalnya. Ada pula antrian untuk suntikan penisilin untuk para wanita tuna susila - WTS (yang kini lebih dikenal sebagai pekerja seks komersial). Pada suatu hari ada antrian ini. Ada beberapa wanita tua melihat antrian ini bertanya ke salah satu wanita yang antri: “neng ini antri untuk apa?”. Oleh si WTS dijawab: “Ini antri untuk coklat, nek...”. Para mantri yang siap menyuntik menjadi terheran melihat cukup banyak wanita tua yang turut antri. Masa Terakhir Ureca - 1965 Pada tahun 1965 Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) mulai banyak melakukan kegiatan yang terkoordinasi baik. PKI-pun berkembang sehingga banyak yang bersedia masuk ke dalamnya. Tidak heran di kampus Ureca terjadi pula kegiatan politik dan mulai ada pertentangan politik yang berkaitan dengan Manipol USDEK dan pengganyangan Manikebu (Manifesto Kebudayaan - kelompok yang bertentangan dengan LEKRA - Lembaga
197
Universitas Res Publica Kebudayaan Rakyat). Di FK Ureca yang sangat dirasakan adalah pertentangan antara BAPERKI dan LPKB. Pada suatu ketika, saya sebagai komisaris tingkat (Ketua tingkat lima) dipanggil oleh Drs. Tan Tek Seng. Saya ditanya tentang pengetahuan saya tentang tulisan Johanes Lembong tentang asimilasi. Juga ditanya tentang LPKB. Pada waktu itu-lah saya baru mengerti tentang adanya pertentangan politik tersebut. Tidak lama kemudian Drs. Tan Tek Seng masuk ke ruang kuliah dan mengecek daftar absensi. Olehnya diketemukan banyaknya tanda tangan palsu, menandakan bahwa kehadiran mahasiswa dipalsu. Sebagai ketua kelas saya disalahkan dan hal ini lalu merembet ke hal-hal lain. Sebagai akibat saya di-skors (dilarang ikut kuliah) selama 6 bulan. Saya dan Liong Kwat Khong yang juga di skors segera menemui Dekan FK, Dr. Gudadi untuk minta bantuan. Olehnya dikatakan: terima saja hukuman ini karena kami sudah dipersiapkan untuk menjadi asisten di laboratorium di Jawa Tengah. Tidak lama kemudian terjadi peristiwa G30S. Pada tanggal 1 Oktober 1965, saya baru pulang dari Lawang, dan mencari Dr. The Kok Kiat - psikiater yang menjadi pejabat di Departemen Kesehatan. Maksud kunjungan itu adalah memohon hukuman skors saya ditinjau kembali. Saya membawa surat Baperki Lawang dan juga surat ayah saya yang mengenal Dr The tersebut. Dr. The dengan baik hati mempertemukan saya dengan DR. Sie Pek Giok yang ternyata juga sudah mendengar tentang kasus hukuman saya. Ia berjanji membantu. Belum sampai diproses, kampus Ureca dibakar. Saat itu saya berada di Jalan Cideng Barat 25, di rumah Tan Ho Ung (Sujudi Mangunrahardjo) yang pada waktu itu menjadi “markas” mahasiswa FK URECA angkatan 1961. Kami segera mengambil inisiatif melarikan barang-barang FK yang bisa diselamatkan. Sekitar 100 mikroskop kami bawa dan amankan di Cideng. Ijazah dan berbagai dokumen lain kami bawa ke apotek yang dimiliki oleh Drs. Tan Tek Seng - Odofarm.
198
Kenangan dan Pengalaman
Karena kami sangat mencintai kampus Ureca, kami segera mengambil tindakan menjaga. Yang kami perhatikan adalah buku-buku di perpustakaan yang gedungnya sudah dirusak. Saya tahu buku-buku tentang Hukum di Ureca cukup lengkap. Saya segera memalang pintu dengan papan supaya tidak ada seorang-pun bisa masuk. Saya ingat Utami Suryadarma sebagai Rektor baru saja meresmikan perpustakaan Ureca tersebut, yang dinamakan Perpustakaan Dr. Ferdinand Lumban Tobing, nama Rektor URECA yang pertama. Pimpinan Perpustakaan adalah Fauzi Uning. Saya berupaya untuk menyelamatkan buku-buku tersebut dan ketika dialihkan ke TRISAKTI, saya menjadi kepala perpustakaan Universitas Trisakti yang pertama.
199
Universitas Res Publica Fakultas Hukum Ureca Lim Lun Tiong Masih teringat tahun 1959 adalah tahun kelulusanku di SMA Jajasan Pendidikan dan Pengajaran (JPP) di Jl. Perniagaan 31 Jakarta. Dulu sekolah ini adalah sekolah PA HOA atau sekolah Tiong Hoa Hwe Koan. Karena adanya Peraturan Pemerintah tahun 1957 dimana semua orang keturunan Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia tidak boleh bersekolah di sekolah asing - Sekolah Tionghoa. Sebelum PP itu memang diperbolehkan oleh pemerintah, sehingga kebanyakan warga Tionghoa bersekolah di sekolah Asing Tionghoa. Hanya ada beberapa saja yang belajar di sekolah Negeri. Demikian juga saya, karena warga Negara Indonesia, maka saya harus pindah ke sekolah nasional. Oleh karenanya saya pindah ke sekolah JPP. Sebelum itu saya sekolah di “Sang Siau” yang terletak di Jalan Gajah Mada, karena terpengaruh oleh ketenaran sekolah Pa Hoa, maka saya pindah ke Pa Hoa. Pada zaman itu masuk atau pindah ke sekolah lain bisa dilakukan tanpa ujian masuk. Yang penting angka di rapor bagus dan tidak ada angka merahnya. Kita bisa diterima di sekolah yang kita kehendaki. Juga tidak ada berbagai uang masuk seperti “uang pangkal”, “uang bangku” dan uang-uang sumbangan lainnya seperti sekarang ini. Sekolah Pa Hoa atau JPP saat itu sangat terkenal di Jakarta. Ia mengajarkan tiga bahasa (trilingual) yaitu bahasa Indonesia, bahasa Mandarin atau Kuo Yu dan bahasa Inggris. kurikulumnya disesuaikan dengan kurikulum Sekolah Negeri. Sehingga para siswanya bisa mengikuti Ujian Negeri yang setiap tahunnya diselenggarakan oleh Negara. Banyak lulusan Pa Hoa atau JPP bisa memasuki Universitas yang ada di Indonesia dan berprestasi di sana. Yang melanjutkan kuliah di Universitas yang berada di luar negeri-pun ternyata tidak mengalami kesulitan, karena penguasaan bahasa Inggrisnya cukup baik.
200
Kenangan dan Pengalaman
Melanjutkan kuliah ke Universitas Kristen Indonesia (UKI) Setelah lulus SMA dari JPP pada tahun 1959, saya mencoba mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Untuk bisa diterima di Perguruan Tinggi Negeri pada waktu itu sangat sulit. Tempat yang tersedia juga sangat terbatas. Walaupun saya sudah mempersiapkan diri dengan baik, nyatanya tidak diterima juga. Perlu diingat pada zaman itu diskriminasi bagi keturunan Tionghoa sudah terjadi di bidang pendidikan. Keturunan Tionghoa hanya mendapat jatah 10% saja dari jumlah mahasiswa yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri! Hanya seorang teman saja dari sekelas yang diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Walaupun demikian saya berbangga hati, karena teman sekelas tersebut setelah lulus dari FE UI kemudian menjadi seorang Akuntan Publik yang terkenal, dan kantor Akuntan Publiknya merupakan salah satu dari Enam Besar yang ada di Indonesia. Karena gagal diterima di UI, saya dan beberapa teman dari JPP masuk kuliah di Universitas Kristen Indonesia (UKI). Ada yang mengambil kuliah di Fakultas Ekonomi dan ada juga yang ke Fakultas Hukum. Salah satunya saya. Setelah setahun kuliah di FH UKI dan lulus dengan nilai bagus dari tingkat Persiapan, saya mengetahui bahwa BAPERKI mendirikan UNIVERSITAS BAPERKI. Oleh karena itu saya putuskan pindah ke Universitas BAPERKI, yang kampusnya terletak di Grogol. Masuk ke Universitas Res Publica Pada tahun 1960 saya mendapat kabar bahwa BAPERKI mendirikan UNIVERSITAS BAPERKI yang terdiri dari Fakultas Teknik jurusan Sipil, Mesin dan Elektro, Kedokteran Gigi. Dan baru dibuka fakultas baru yaitu Fakultas Hukum yang menerima mahasiswa baru untuk Tingkat I dan II (Sarjana Muda). Diketahui pula oleh saya bahwa banyak dosennya menjadi dosen pula di UI dan Universitas negeri lainnya. Beberapa teman yang berasal dari JPP juga yang pindah ke
201
Universitas Res Publica UNIVERSITAS BAPERKI. Pertimbangan kami pindah kuliah adalah: 1. Letak kampusnya dekat dengan rumah kami. Saya tinggal di Tangerang, sedangkan kampus terletak di Jalan Grogol yang kini disebut Kyai Tapa. 2. Para dosennya sangat terkenal dan juga menjadi dosen di UI, antara lain : Mr. Han Bing Siong yang mengajar Hukum Pidana, Prof Mr. Lie Oen Hock, mantan Hakim Pengadilan Negeri yang telah bertugas selama 26 tahun menjadi hakim dan kemudian menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta. Dan banyak hakim dari Mahkamah Agung menjadi dosen di Universitas tersebut. 3. Secara tidak langsung UNIVERSITAS BAPERKI menjadi saingan UI, terutama Fakultas Hukum. Perkuliahan berjalan dengan lancar dan teratur. Prof. Lie Oen Hock mengajar kami Hukum Perdata. Beliau sangat mahir dan menguasai semua permasalahan di bidang Hukum Perdata. Banyak membahas persoalan-persoalan dan perkara-perkara Perdata yang dialami selama beliau menjabat sebagai Hakim. Salah satu nasehat beliau yang masih teringat benar sampai sekarang: “Kalau saudara berhutang dan sang piutang tidak mau menerima pembayarannya, cukup kamu bayarkan dan titip di Pengadilan Negeri”, ini adalah kasus Perdata. Prof. Lie Oen Hock adalah seorang dosen yang sangat disiplin, patuh, dan keras dalam tata susila. Beliau selalu tepat waktu pada waktu memberikan kuliah. Berpakaian sangat “necis”, selalu berdasi dan sepatu selalu mengkilat. Pada suatu siang hari, karena ada urusan keluarga saya minta izin pada beliau untuk bisa pulang terlebih dahulu, dan secara kebetulan pula saya berpapasan dengan beliau di tangga lantai II, dan sayapun menyapanya dan meminta izin untuk pulang; tetapi tanpa saya sadari bahwa tangan saya yang satu berada di saku celana saya.
202
Kenangan dan Pengalaman
Beliau menepis tangan yang berada di saku celana dan membentak “kamu bicara dengan siapa, begitu tidak sopan. Keluarkan tanganmu dari saku celanamu”. Mukaku merah padam dan tersipu malu, dan meminta maaf pada beliau. Itulah pengalaman saya selama kuliah di URECA, ditegur oleh seorang Profesor. Malu benar ! Persahabatan, kegotong-royongan antar mahasiswa sangat terasa sekali, Studi grup berjalan dengan baik, terutama menjelang ujian. Kalau ada kuliah yang tertinggal, teman-teman dengan senang hati meminjamkan catatan kuliah untuk disalin. Ujian lisan mata kuliah Hukum Perdata biasanya selalu di rumah kediaman Prof. Lie Oen Hock yang terletak di Jalan Serang. Menghadapi ujian lisan dengan Prof. Lie Oen Hock sangat menegangkan, hingga peluh bercucuran. Padahal semua bahan kuliah sudah dipelajari dengan baik, tetapi rasa takut selalu mencekam terutama ketika sedang menunggu giliran untuk diuji. Saya gagal di Ujian lisan pertama, mungkin kegugupan yang menghinggapi saya. Untung pada ujian ulangan yang kedua saya lulus. Pada tahun ke 4 para mahasiswa Fakultas Hukum diharuskan memilih jurusan yang akan diambil dan mempersiapkan skripsi untuk tingkat Sarjana Hukum. Saya sangat tertarik dengan Hukum Internasional, dan saya memilih Hukum Antar Golongan (Hukum Intergentil). Yang mengajar bidang ini adalah Ibu Sri Widowati SH, seorang hakim dari Mahkamah Agung. Saya sudah menentukan pilihan hidupku yaitu menjadi seorang Sarjana Hukum, menjadi seorang Pengacara yang handal yang mampu membantu mereka yang didiskriminasi di bidang hukum, dan mereka yang kurang mampu menghadapi perkara hukum. Cita-cita boleh setinggi langit. Tetapi jalan hidup yang menentukan lain. Peristiwa 30 September 1965 mengubah jalan hi-dup saya. Semua yang dicita-citakan, dan apa yang sudah di depan mata dan tinggal meraihnya, hilang dengan demikian cepatnya bagai ditelan bumi!
203
Universitas Res Publica BAPERKI yang mendirikan URECA dibubarkan, dianggap terlibat dengan Peristiwa G30S. Sedangkan Kampus URECA dibakar massa! Hancur luluh lantah! Demikian juga dengan cita-citaku, habis, musnah dan ludes terbakar bersama gedung kampus yang sangat kucintai dan yang tadinya menjadi dasar harapan yang setinggi langit. Walaupun demikian saya kini tetap PENGANGGURAN YANG PENUH ACARA.
204
jadi
PENGACARA,
Kenangan dan Pengalaman
Kesan & Pengalaman Sebagai Mahasiswa Dan Anggota Milis Ureca Harry Singgih I have a dream that my four little children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin but by the content of their character.[Speech by Martin Luther King, Jr. at the March on Washington for Jobs and Freedom on August 28, 1963] Sesudah menamatkan SMA-B di SMA VI Jalan Bulungan Kebayoran Baru pada tahun 1962, saya mencoba memasuki ITB, tetapi sayang gagal. Pada masa itu Universitas Baperki, di mana di dalamnya terdapat fakultas teknik, merupakan salah satu universitas swasta terbaik di Jakarta. Maka setelah gagal memasuki ITB, perhatian saya tertuju kepada Universitas tersebut. Namun saya sudah terlambat untuk mendaftarkan diri sebagai mahasiswa baru. Berkat pertolongan Siauw Giok Tjhan, saya telah diterima menjadi mahasiswa Fakultas Teknik tahun kuliah 1962/1963 Universitas Baperki/Res Publica (Ureca). Semoga Almarhum mendapat tempat di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai mahasiswa Ureca Melalui tulisan tentang kesan dan pengalaman ini, saya mencoba di samping untuk mengenang juga untuk merenungkan kembali pengalaman saya sebagai mahasiswa Ureca, kendatipun hanya selama satu tahun kuliah. Dalam proses penulisan, baru saya menyadari bahwa Ureca sejatinya punya tempat yang khusus dalam kehidupan saya. Mengapa? Karena, pertama, di tempat inilah untuk pertama kali saya mendapat status sebagai “mahasiswa”. Dan kedua, di tempat ini pulalah untuk pertama kali saya menuntut ilmu dengan lingkungan sosial yang berbeda dengan lingkungan sosial ketika di SD, SMP dan SMA. Bila di jenjang pendidikan sebelum masuk Ureca, teman-teman sekelas bahkan sekolah hampir seratus persen atau bahkan seratus persen adalah pelajar non-Tionghoa. Sedangkan di Ureca mayoritas mahasiswanya berasal dari etnik Tionghoa. Saya tidak tahu persis sejak kapan, namun setidak-tidaknya sejak di SMA, saya memang bukan termasuk mereka yang memiliki prejudice atau vooroordelen atau prasangka terhadap komunitas Tionghoa. Oleh karenanya, perubahan lingkungan sosial tersebut sama sekali tidak menjadikan saya merasa berada di planet lain, sebaliknya, hal itu justru saya rasakan sebagai suatu
205
Universitas Res Publica peluang mengenal dari dekat etnik Tionghoa (sekalipun) dalam format mini. Lagi pula saya beranggapan bahwa mengenal lebih dekat etnik lain, akan memperkokoh wawasan Bhinneka Tunggal Ika saya sebagai manusia Indonesia. Ketidaksukaan sering terjadi dikarenakan oleh kekurangan pengenalan. “Tak kenal maka tak sayang”, kata peribahasa. Menjelang sebuah kuliah dimulai, atau pada waktu istirahat, sebagaimana galibnya, para mahasiswa dan mahasiswi berkelompok-kelompok di koridor ngobrol satu sama lain. Banyak di antara teman-teman satu kuliah ini berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Cara mereka berbicara di mana bahasa Jawa dan Indonesia tercampur aduk sangat mengesankan saya. Karena fenomena seperti itu belum pernah saya lihat semasa di SD, SMP maupun SMA. Saya melihatnya sebagai sebuah perkembangan interaksi konstruktif antara etnik Tionghoa dengan masyarakat Jawa yang melingkunginya. Dalam pada itu kita semua masih ingat tentunya bahwa pada masa itu (awal tahun 60-an) terdapat “pro” dan “kontra” di kalangan mahasiswa mengenai masalah perploncoan. “Perpeloncoan adalah bagian dari kehidupan mahasiswa”, kata kelompok “pro”. “Perploncoan adalah warisan kolonial”, kata kelompok “kontra”. Saya pribadi tidak menentang perploncoan, sepanjang itu merupakan sebuah proses introduksi yang intinya memberikan “peringatan dini” kepada mahasiswa baru bahwa mereka di universitas harus punya jangkauan pikir yang lebih tinggi dan lebih jauh serta sikap yang lebih dewasa ketimbang di jenjang pendidikan sebelumnya. Sebagaimana terjadi di berbagai fakultas di Jakarta, Senat Mahasiswa Fakultas Teknik, lewat Panitia Masa Perkenalan sebagai pelaksana lapangan, juga mempersiapkan masa introduksi dengan nama Masa Perkenalan. Aktivitas ini berlangsung selama sepuluh hari sampai dua minggu. Rentang waktu persisnya saya sudah lupa. Pada Masa Perkenalan, salah satu tugas yang harus dilaksanakan oleh mahasiswa “junior” yalah harus mengumpulkan tanda tangan mahasiswa “senior” sebanyak jumlah yang telah ditetapkan untuk dimasukkan ke dalam Buku Masa Perkenalan. Tanda tangan para anggota Senat Mahasiswa dan Panitia Masa Perkenalan harus dikumpulkan untuk masuk dalam Buku Masa Perkenalan. Pada suatu kali, saya berpapasan dengan seorang mahasiswa “senior” dan sekaligus salah satu anggota Panitia yang kelihatan “angker” di salah satu koridor gedung Fakultas. Dengan hati-hati saya bertanya kepada mahasiswa “senior” itu: “Koh, boleh tidak
206
Kenangan dan Pengalaman
saya meminta tanda tangannya”? “Jangan panggil saya ‘koh’. Di sini bukan di Glodok”, jawab mahasiswa “senior” itu dengan nada rada marah. “Maaf, ’senior’”, reaksi spontan saya penuh keheranan. Dalam hati saya: “Kenapa dia harus marah? Saya memanggil orang yang lebih tua dengan ‘koh’, (atau ‘mas’ dalam bahasa Jawa) kan tidak salah”? Belaka-ngan baru saya sadari bahwa di Masa Perkenalan, istilah “koh” memang tidak seharusnya saya pakai sebagai pengganti istilah resmi “senior”. Teguran mahasiswa “senior” tersebut memang berdasar. Masa Perkenalan tentunya mempunyai tata kramanya sendiri yang bagaimana pun harus saya taati. Tampaknya pada waktu itu saya memang belum menyadari sepenuhnya bahwa saya bukan lagi seorang siswa “biasa” melainkan sudah menjadi seorang “maha” siswa. Pada kesempatan lain, di salah satu tempat ngobrol di gedung Fakultas, saya berjumpa dengan seorang mahasiswa “senior” yang berperawakan seperti tokoh pewayangan Bhima. Saya bertanya kepada mahasiswa “senior” itu apakah berkenan membubuhkan tanda tangannya di Buku Masa Perkenalan. Tanpa bla bla bla, dengan sikap dan wajah yang ramah ia telah mengambil Buku Masa Perkenalan saya lalu membubuhkan tanda tangannya. Selanjutnya sambil tersenyum mahasiswa “senior” itu bertanya apakah saya mengenalnya. Saya jawab dengan jujur: “Tidak”. Ternyata mahasiswa “senior” tersebut adalah Go Hian Liat, juara judo POM (Pekan Olahraga Mahasiswa) ke-6 di Surabaya dari 29 Juni sampai dengan 5 Juli 1962. Dalam kisah selanjutnya, tak disangka tak dinyana, seorang teman di Millis Ureca telah mempertemukan kembali Go Hian Liat dengan saya di Reuni Alumni Ureca ke-7 2012 di Cisarua. Setengah terkejut saya saat melihat sang juara judo POM ke-6 di Surabaya itu pada kesempatan Reuni tersebut. Perawakannya yang seperti Bhima telah berubah drastis menjadi ramping, atletis. Akan tetapi tutur katanya yang santun, sikapnya yang simpatik, hangat serta ramah, tetap tidak berubah sebagaimana setengah abad yang lewat. Segala sesuatu ada awal dan akhirnya. Akhir Masa Perkenalan pun tiba. Pada sore hari terakhir Masa Perkenalan, Panitia mengadakan pertandingan judo persahabatan antara judokajudoka mahasiswa “junior” versus judoka-judoka mahasiswa “senior”. Pertandingan digelar di salah satu lantai gedung Fakultas. Usai pertandingan, Panitia membagikan kepada para mahasiswa “junior” peci mahasiswa Fakultas Teknik sebagai simbol berakhirnya Masa Perkenalan. Sesudah itu kami bersama-
207
Universitas Res Publica sama menyanyikan lagu Gaudeamus igitur, iuvenes dum sumus, ... [Marilah kita bersuka ria, selagi masih muda, ...] yang disusul kemudian dengan berbagai lagu Masa Perkenalan lainnya, dan diakhiri, sebagaimana sudah menjadi tradisi, dengan Auld Lang Syne. Lebih lanjut, sebagai acara penutup sore itu, dibagikan kepada semua yang hadir satu snack box cukup besar berisi aneka ragam snack serba enak yang tentu saja menggembirakan semua orang. Selesailah Masa Perkenalan mahasiswa baru Fakultas Teknik tahun kuliah 1962/1963. Sepanjang Masa Perkenalan, saya pribadi tidak pernah mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan seperti tekanan fisik atau mental, yang menurut saya menyimpang dari makna dan tujuan masa introduksi. Dari teman-teman “junior” lainnya saya juga tidak pernah mendengar keluhan atau kecaman tentang jalannya Masa Perkenalan. Di samping acara introduksi tentang seluk-beluk Fakultas, Panitia menyelenggarakan berbagai acara menarik seperti memilih “Jendral” dan “Jendril”, menyanyikan bersama lagu-lagu Masa Perkenalan, menggelar pertandingan judo antara judoka-judoka mahasiswa “junior” versus judoka-judoka mahasiswa “senior”, dan lain sebagainya. Sikap dan perilaku para “senior”, anggota Panitia dan Senat pada saat para “junior” meminta tandatangan, menurut saya masih dalam batas kewajaran. Saya tidak pernah menyaksikan terjadinya ekses-ekses seperti pelecehan, penghinaan, atau penggunaan kekerasan fisik pada kesempatan tersebut. Menurut saya Panitia Masa Perkenalan mahasiswa baru Fakultas Teknik tahun kuliah 1962/1963 telah melakukan tugasnya dengan baik -- sesuai dengan makna dan tujuan masa introduksi. Komplimen dari saya. Pada pertengahan Maret 1963, dalam perjalanan menuju ke Istana Olahraga Senayan dengan mobil kepresidenan bersama Bung Karno (berkenaan dengan pembukaan Kongres Nasional Baperki ke-8), Siauw Giok Tjhan mengemukakan rencana pe-ngangkatan Nyonya Utami Suryadarma sebagai Rektor Universitas Baperki, menggantikan Dr Ferdinand Lumban Tobing yang tutup usia. Bung Karno menyambut rencana tersebut. [Renungan Seorang Patriot Indonesia Siauw Giok Tjhan. Editor Siauw Tiong Djin. Lembaga Kajian Sinergi Indonesia 2010]. Antara Maret dan Oktober 1963, Utami Suryadarma telah dikukuhkan sebagai Rektor Universitas Baperki yang telah diubah namanya menjadi Universitas Res Publica. Menurut saya, ini adalah sebuah langkah yang sangat bijaksana. Di satu sisi merupakan bentuk konkrit dukungan Baperki terhadap terwujudnya emansipasi bagi kaum wanita di Indonesia, di
208
Kenangan dan Pengalaman
sisi lain merupakan “statement” Baperki kepada masyarakat bahwa universitas yang dibangun olehnya bukanlah untuk kelompok tertentu saja, melainkan untuk semua, untuk publik (atau res publica, dalam bahasa Latin). Pada waktu itu Fakultas Teknik masih berlokasi di Jalan Gunung Sari 2, Saya bisa mencapai kampus dengan kendaraan umum. Namun tatkala Fakultas Teknik dipindahkan ke gedung baru di Grogol, masalah trasportasi menjadi problem untuk saya. Terlalu rumit mencapai lokasi itu dengan kendaraan umum dari Keba-yoran Baru. Kerumitan itu selain memperpanjang waktu perjalanan, juga telah mempertinggi biaya transportasi. Apabila uang kuliah, uang buku, uang saku dan biaya transportasi dijumlahkan, biaya kuliah saya yang harus ditanggung oleh orangtua tidaklah ringan. Dilatarbelakangi kehendak untuk tidak membebani orang tua, lewat Departemen PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan) saya berupaya mendapatkan beasiswa yang ditawarkan berbagai negara kepada pemerintah Indonesia. Ternyata upaya itu berhasil. Maka sebagaimana dijadwalkan Departeman PTIP, pada akhir Oktober 1963 bertolaklah saya meninggalkan Indonesia -- yang berarti juga meninggalkan Ureca -- guna melanjutkan studi di luar negeri atas biaya pemerintah setempat. Sangat disayangkan sudah tentu, tapi apa hendak dikata, demi tidak membebani orang tua, langkah itulah yang harus saya tempuh. Demikianlah kesan dan pengalaman saya sebagai mahasiswa Fakultas Teknik selama satu tahun kuliah yang saya tulis berdasarkan ingatan saya dan ingatan teman-teman yang saya mintai informasi. Oleh karena itu bisa saja terjadi kesalahan dan kekurangan. Untuk itu saya mohon maaf. Kepada alumnus Ureca, yang lebih mengetahui ketimbang saya tentang hal atau hal-hal yang saya gambarkan di atas, sudilah untuk meluruskannya. Untuk itu, dari lubuk hati saya ucapkan terima kasih sebelumnya. Sebagai anggota Milis Ureca Dalam perbincangan dengan seorang teman di sebuah pertemuan di Amsterdam awal tahun 2011, nama Ureca masuk ke ajang perbincangan kami. Ternyata kami sama-sama mantan mahasiswa Ureca. Teman itu bertanya kepada saya apakah mau digabungkan ke dalam Milis Ureca. Dengan serta merta saya jawab: “Ya, saya mau”. Dan apa yang saya inginkan ternyata memang terjadi. Pada 31 Januari 2011, menurut
209
Universitas Res Publica rekaman komputer saya, saya telah digabungkan oleh teman Moderator ke dalam Milis Ureca. Pengenalan saya atas teman-teman asal etnik Tionghoa di Fakultas Teknik lima dasawarsa yang silam hanyalah pengenalan selayang pandang. Saya ingin melanjutkan pengenalan itu lebih jauh lagi lewat berbagi, berkomunikasi dan berdiskusi bukan hanya dengan teman-teman alumni Fakultas Teknik saja, melainkan juga teman-teman alumni fakultas lain. Tujuan saya melanjutkan pengenalan itu yalah untuk membangun persahabatan yang dilandasi oleh kesetaraan dan kebersamaan (sementara di sisi lain membolehkan perbedaan). Inilah tujuan saya untuk bergabung di Milis Ureca. Saya percaya bahwa Milis Ureca adalah wadah yang tepat untuk membangun persahabatan yang diinginkan. Dan ternyata, sebagaimana saya harapkan, Milis Ureca benar merupakan sebuah forum multifungsi. Forum yang mencanangkan saling berbagi, berkomunikasi dan berdiskusi, dan tempat untuk mendorong perkembangan satu sama lain. Tanpa Milis Ureca, kemungkinan saya tidak akan pernah tahu tentang berbagai kegiatan seperti PELANGI membantu anakanak yang ingin bersekolah/melanjutkan sekolah namun terbentur tembok kesulitan ekonomi; kegiatan INTI melalui proyek Gerobak Kuliner membantu pedagang-pedagang kecil kuliner yang punya semangat untuk eksis namun terbentur kesulitan mendapatkan modal; dan aktivitas Rumah Sakit Apung (Floating Hospital) pimpinan Dr. Lie A. Dharmawan memperbaiki kondisi kesehatan saudara-saudara setanah air di berbagai pelosok Indonesia Timur yang tidak terjamah oleh instansi kesehatan Pemerintah. Beberapa teman di Milis Ureca telah mendorong saya untuk menulis artikel atau puisi yang bermanfaat bagi terwujudnya Indonesia yang lebih cerah. Salah satu teman ini berasal dari Minangkabau. Saya senang mendapat dorongan dari teman ini. Sebab kita tahu bahwa dalam soal pantun, gurindam, pepatah dan petitih – putra putri Minang/Melayulah jagonya. Ada pula seorang teman se-Milis asal Malang, seorang dokter, juga turut nimbrung senada dengan teman asal Minang tersebut. Kendatipun saya bukan seorang penulis atau pun penyair, demi memenuhi harapan tulus teman-teman se-Milis itu, tentu saja saya akan berusaha meluangkan waktu untuk menulis di Milis ini. Belajar menulis lewat menulis – kata sebuah petuah yang pernah saya dengar.
210
Kenangan dan Pengalaman
Membaca buku adalah kegemaran saya. Karena itu adalah cara saya mencari sumber acuan untuk menulis. Mengetahui hal ini, seorang teman se-Milis telah mengirimi saya buku Resimen Pelopor; Pasukan Elite Yang Terlupakan tulisan Anton Agus Setyawan & Andi M Darlis. Di halaman paling depan tertera nama si pengirim. Namun nama yang tertera di situ tidak pernah saya jumpai di Milis Ureca. Saya ingin mengucapkan terima kasih, tapi saya menemui kesulitan kepada siapa ucapan itu harus ditujukan. Belakangan baru saya ketahui bahwa nama si pengirim yang tertera di halaman paling depan buku itu memang bukan nama lahir yang diberikan dengan segala harapan terbaik oleh orang tua atau sesepuh lainnya, melainkan nama wajib agar “memudahkan” yang berganti nama membaurkan diri dengan masyarakat sekeliling. Nampakya di samping aspek “memudahkan” pembauran, nama wajib punya pula aspek yang bisa menyulitkan orang. Seorang teman se-Milis yang lain, atas prakarsanya sendiri telah memberi saya buku Geger Pecinan, tulisan KRMH Daradjadi. Yang mengundang respek saya terhadap teman ini yalah bagaimana ia bisa tahu bahwa Geger Pecinan itu sangat bernilai bagi saya? Jawaban dari pertanyaan ini yang paling kena ialah karena teman ini mengenal dengan baik pandangan saya mengenai ras dan agama. Pada suatu ketika, Menteri Urusan Jajahan pemerintah kolonial Belanda (1840-1848), Jean-Chrétien Bau pernah berucap: “Wij zijn de overheerschers, zij de overheerschten”. [“Kita adalah penguasa, mereka adalah yang dikuasai”. Bert van der Velden. Begrippenlijst Nederlands-Indië]. Pertanyaannya sekarang: Siapa saja yang termasuk “mereka” di sini? Menurut hemat saya, yang termasuk “mereka” di sini ialah semua kelompok di Oostindië/ Nederlands-Indië, tak peduli etnik/suku dan agamanya, yang ditindas, dihisap, diperbudak, dikuasai, pendeknya yang dikejami kekuasaan kolonial Belanda. Etnik Tionghoa, sejauh kita memandangnya sebagai kelompok etnik seutuhnya (en bloc) -- bukan sempalan berupa individu atau individu-individu tertentu -- juga tergolong ke dalam “mereka”. Adanya segelintir Tionghoa yang dipekerjakan oleh Belanda sebagai: bupati, opsir, amtenar, pemungut pajak, mandor dan sebagainya; serta adanya oknum-oknum etnik ini yang menjadi elemen-elemen asosial, tidak bisa dijadikan dasar argumentasi bahwa Tionghoa seutuhnya di luar lingkup “mereka” yang dikejami kekuasaan kolonial Belanda. Berbagai fasilitas yang diberikan oleh penguasa kolonial itu,
211
Universitas Res Publica hanyalah dinikmati oleh sejumlah kecil elite etnik Tionghoa, bukan oleh seluruh etnik; dan tentang elemen-elemen asosial se-bagaimana disebut di depan, mereka itu hanyalah minoritas kecil. Jalinan kehidupan ekonomi dan budaya antara komunitas etnik Tionghoa dengan masyarakat di mana mereka beranak cucu, membuktikan etnik ini telah diterima oleh masyarakat setempat sebagai anggota masyarakat yang normal. Jalinan kehidupan ekonomi dan budaya tersebut tidak akan pernah ada andaikan seluruh atau mayoritas etnik Tionghoa adalah elemen-elemen asosial. Bagaimana pun juga, penderitaan yang dialami bagian terbesar etnik Tionghoa di pelosok-pelosok Kalimantan Barat, Sumatera Timur, Riau, Bangka-Belitung, pesisir utara Jawa dan tempat-tempat lain, tidaklah berbeda dengan penderitaan yang dialami bagian terbesar suku-suku lainnya di Oostindië/Nederlands-Indië di bawah penindasan kekuasaan kolonial Belanda. Etnik Tionghoa Indonesia terbentuk seiring dengan terbentuknya nasion (bangsa) Indonesia dalam sebuah proses sejarah yang panjang. etnik Tionghoa turut memberi sumbangsih dalam sejarah perjuangan menentang Belanda dan mencapai kemerdekaan. Oleh karena itu Etnik Tionghoa adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia. Indonesia tidaklah lengkap manakala di dalamnya tidak terdapat etnik Tionghoa. Dan sebagai konsekuensi timbal baliknya, etnik Tionghoa, sebagaimana eksistensinya sekarang ini, juga tidak akan pernah ada sekiranya proses sejarah tidak melahirkan nasion Indonesia di bumi Nusantara. [Oostindië dan Nederlands-Indië -- nama Indonesia, masing-masing di masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan pasca-VOC]. Nasion, menurut pengertian saya, adalah kelompok manusia yang dalam proses sejarah yang panjang membentuk diri menjadi kesatuan yang stabil karena faktor-faktor: kesamaan wilayah, kesamaan bahasa, jalinan kehidupan ekonomi dan budaya, kesamaan nasib, dan tentu saja kesatuan jiwa. Adalah sebuah kenyataan sejarah bahwa etnik Tionghoa sudah ratusan (kalau bukan malah ribuan) tahun hidup di bumi Nusantara, menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa suku setempat dalam berkomunikasi, dan punya jalinan kehidupan ekonomi serta budaya dengan masyarakat setempat di mana mereka beranak cucu. Namun amat sangat disayangkan, bahwa hingga hari ini di masyarakat kadang kala masih terembus stereotip negatif tentang etnik Tionghoa, sebagai dampak dari: a) politik pecah-belah-dan-kuasai dan politik segregasi rasial penguasa
212
Kenangan dan Pengalaman
kolonial Belanda di masa lampau; b) perilaku tidak simpatik dari individu atau individu-individu tertentu dari kalangan elite etnik Tionghoa; dan c) kurangnya pengungkapan aspek kesamaan nasib dan kesatuan jiwa etnik Tionghoa dalam nasion Indonesia, khususnya dalam sejarah perjuangan menentang penindasan kolonial dan perjuangan merebut kemerdekaan. Geger Pecinan sangat bernilai untuk saya justru karena ia mengungkap kesetiakawanan – sebagai manifestasi kesamaan nasib dan kesatuan jiwa – di antara para pejuang laskar persekutuan Tionghoa-Jawa dalam perang besar (1740-1743) melawan penindasan VOC alias Kompeni. Walaupun laskar persekutuan Tionghoa-Jawa tersebut, akhirnya mengalami kekalahan, namun perang persekutuan Tionghoa-Jawa versus VOC tersebut telah menunjukkan adanya sebuah preseden dalam sejarah Indonesia: bahwa perbedaan ras dan agama bukanlah penghalang untuk bersatu melawan musuh bersama. Selanjutnya di bawah ini akan saya kisahkan beberapa pengalaman unik sesudah menjadi anggota Milis Ureca. Saya katakan “beberapa”, karena masih banyak lagi pengalaman unik yang lain yang tak mungkin semuanya dipaparkan di sini. Sudah sejak lama ingin saya memiliki buku “Sendi-Sendi Hukum Tanah Di Indonesia” karangan Singgih Praptodihardjo, terbitan Jajasan Pembangunan Djakarta, 1951 (1952, 1953). Saya tertarik pada buku itu karena banyak pemikiran yang tertuang di buku tersebut bersesuaian dengan isi UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) Tahun 1960 -- undang-undang pertanahan berwatak nasional yang menggantikan Agrarische Wet 1870 [UndangUndang Agraria 1870] yang berwatak kolonial. Bagaimana nasib UUPA Tahun 1960 itu sekarang, saya tidak tahu. Pertengahan 2011, menjelang keberangkatan saya dan isteri ke Indonesia, saya menelepon seorang teman semilis Ureca, yang baru saya kenal dua bulan, menanyakan apakah ia berkenan mencarikan “Sendi-Sendi Hukum Tanah Di Indonesia” di atas. Berkat upayanya, dalam waktu 2 hari buku tersebut sudah berada di tangan Urecawan yang saya telepon itu. Buku tersebut ia beli lewat internet dari penjual buku-buku jadul di Sidoarjo. Baru saya sadari bahwa teman yang membantu saya memperoleh buku itu kurang sehat, masih dalam periode pemantapan, menyusul operasi yang dijalaninya beberapa bulan sebelumnya. Beberapa hari setiba saya di Jakarta, Urecawan teman se-Milis tersebut memberikan buku “SendiSendi Hukum Tanah Di Indonesia” kepada saya sebagai sebuah tanda mata. Budi baik dan persahabatan yang diusung buku
213
Universitas Res Publica tersebut, tak ayal lagi akan selamanya tersimpan di hati sanubari saya. Pertemuan makan siang di salah satu rumah makan di bilangan Jakarta Utara, merupakan perjumpaan langsung untuk pertama kali dengan sejumlah teman-teman alumni Ureca. Menyusul pertemuan makan siang tersebut, seorang Urecawati, yang juga teman se-Milis, mengajak kami melihat-lihat bagian kota Jakarta, yang di masa kanak-kanak saya dikenal sebagai “Kota”. Berapa puluh tahun sudah saya tidak melihat kawasan “Kota” ini. Sebuah kawasan di mana kami berkesempatan melihat di sana sini berbagai bangunan yang jelas merupakan peninggalan Belanda. Sayang banyak di antaranya dalam keadaan kurang terawat. Di tengah peninjauan kota itu baru kami sadari bahwa sebenarnya perkenalan kami itu baru berlangsung beberapa jam walaupun percakapan sepanjang jalan solah-olah dilakukan oleh kedua teman yang sudah bertahun-tahun bersahabat. Seorang Urecawan yang tinggal di Bekasi mengundang kami untuk menginap di rumahnya. Untuk menunjukkan kesungguhannya teman ini mengirim mobil ke Kebayoran Baru, khusus untuk menjemput kami. Setiba di rumahnya, ia menempatkan kami di kamar tamu rumahnya dengan akomodasi yang luks (luxe). Beberapa hari di rumahnya menunjukkan bahwa undangannya bukan sebuah formalitas belaka melainkan merupakan tanda persahabatan yang tulus. Keaktifan dan keramahan isteri Urecawan tersebut bercengkerama dengan isteri saya, isteri saya merasa krasan di rumah pasangan suami isteri anggota keluarga besar Ureca ini. Padahal kami belum lama berkenalan secara langsung dengan pasangan suami isteri dari keluarga besar Ureca yang berdomisili di Bekasi tersebut. “Raar, maar waar” [Aneh, tapi nyata] -- kata orang Belanda. Sepasang suami isteri Urecawan, tetangga Urecawan tersebut di atas juga datang bertandang meramaikan silaturahmi. Sesudah mentraktir kami semua makan siang di sebuah rumah makan Padang, pasangan tetangga memberi kami cendera mata, dan kemudian mengantar kami pulang dengan mobil pribadinya ke Kebayoran Baru. Bukan main! Budi baik dari teman-teman yang baru saya kenal dalam satu dua hari. Ikatan batinnya adalah Ureca. Seorang Urecawati yang tinggal di Bandung, mengetahui keinginan kami melihat kota tempat tinggalnya, mengundang kami ke kota yang pernah dapat julukan “Parijs van Java” tersebut. Di samping itu, ia juga mengajak kami ke Garut, “kota
214
Kenangan dan Pengalaman
dodol”, yang belum pernah kami kunjungi. Sudah barang tentu undangan itu kami sambut dengan antusias. Setiba di Bandung, kami diatur oleh Urecawati yang juga teman se-Milis di atas, menginap di sebuah gedung penginapan dengan halaman yang luas sekali. Di gedung utama terdapat sebuah ruang pertemuan yang cukup besar lengkap dengan panggung yang cukup memadai. Sore hari itu ada kegiatan gerak jalan dari perkumpulan olahraga di mana Urecawati tersebut adalah salah satu anggotanya. Selesai kegiatan, di ruang pertemuan gedung utama, anggota perkumpulan yang hadir sore itu sambil beristirahat, mengobrol, makan makanan kecil, minum minuman segar menikmati acara nyanyi sukarela di panggung dengan diiringi keyboard yang dimainkan dengan piawai oleh seorang musisi. Sang musisi sendiri kadang-kadang juga menyanyi bila kebetulan belum ada relawan yang berani tampil menyanyi. Singkat kata, suasana sore itu gezellig [mengasyikkan]. Sekonyong-konyong acara dihentikan. Saya tanya kepada salah seorang hadirin yang duduk tak jauh dari saya, mengapa acara tiba-tiba dihentikan. ia menjelaskan kepada saya bahwa acara dihentikan selama kurang lebih setengah jam berhubung dengan tibanya saat salat magrib. Dalam hati berkata saya kepada diri sendiri: “Semoga toleransi seperti ini merupakan ‘lalu lintas dua arah’”. Saya percaya bahwa masyarakat penuh toleransi betapa pun lebih indah ketimbang masyarakat sarat konfrontasi. Dalam pada itu, sebagaimana halnya kejadian di “Kota” yang telah saya kisahkan di muka, tidak seorangpun handai tolan Urecawati yang membawa kami ke Bandung dan Garut itu, menduga bahwa kami baru mengenalnya beberapa hari saja. Terciptanya suasana seperti itu adalah berkat peranan dari Urecawati yang telah membawa kami ke kedua kota tersebut, yang memang dikenal oleh banyak teman alumni Ureca sebagai figur yang sosial. Di dalam pengisahan pengalaman unik di atas, sengaja saya tidak menyebut nama. Hal itu saya lakukan karena aksentuasi dari pengisahan memang bukan mengenai persahabatan perseorangan antara satu individu “H” dengan individu “A” atau “B”, melainkan mengenai persahabatan kolektif alumni Ureca. “Unik”, sebuah kata yang berasal dari bahasa Perancis “unique”, berarti “luar biasa”. Mengapa saya katakan bahwa pengalaman yang saya kisahkan di atas merupakan sebuah
215
Universitas Res Publica pengalaman yang unik, yang luarbiasa? Karena, pertama sikap bersahabat terhadap saya (dan isteri saya) dalam berbagai peristiwa tersebut di atas, merupakan ekspresi hati nurani individu-individu yang saya kenal hanya lewat Milis Ureca, atau yang saya kenal secara langsung baru beberapa jam atau beberapa hari saja. Kedua, pengalaman hidup seperti itu belum pernah saya alami sebelumnya. Dan ketiga, pengalaman yang saya kisahkan di atas membuktikan bahwa faktor beda ras dan agama bukanlah tembok beton yang bisa memblokir orang membangun persahabatan yang dilandasi oleh kesetaraan dan kebersamaan. Reuni Alumni Ureca ke-7 2012 di Cisarua Reuni Alumni Ureca ke-7 di Cisarua yang diselenggarakan dari 21 Mei sampai 24 Mei 2012 dihadiri oleh sekitar tiga ratus dua puluh orang itu, tidak pelak merupakan sebuah peristiwa pen-ting dalam perjalanan saya mengenal lebih dekat etnik Tionghoa. Milis Urecalah yang telah memungkinkan saya turut serta dalam Reuni tersebut. Seorang alumnus Ureca memperkenalkan saya dengan keluarga almarhum seorang sastrawan terkemuka dan yang belakangan juga menjadi penterjemah. Isteri almarhum memberi saya sebuah buku berisi kumpulan berbagai artikel tulisan almarhum sastrawan terkemuka tersebut. Adalah suatu kebahagiaan bagi saya mendapat buku berisi kumpulan berbagai artikel tulisan sastrawan terkemuka yang isi dan gaya penulisannya saya sukai itu. Di depan telah saya tuturkan bahwa di Reuni ke-7, seorang teman di Milis Ureca telah mempertemukan saya dengan mantan “senior” Go Hian Liat, sang juara judo POM ke-6 tahun 1962 di Surabaya. Tak pernah terpikir sebelumnya, Reuni ke-7 ternyata telah mempertemukan pula saya dengan Pak Jo Goan Lie, mantan dosen Ilmu Panas di Fakultas Teknik. Pembawaan beliau yang tenang, tidak terlalu gemar bercengkerama, namun hangat dan ramah – tidak berubah sebagaimana lima puluh tahun yang lalu. Walaupun saya menjadi murid Pak Jo hanya selama satu tahun kuliah saja, namun saya tetap memandang beliau sebagai sosok seorang guru yang saya hormati; guru, yang konon menurut orang Jawa kependekan dari digugu lan ditiru [dipercayai (ucapannya) dan ditiru (perilakunya)]. Pada suatu makan pagi, para peserta Reuni dihibur oleh satu grup pemusik kolintang beserta seorang vokalis wanita kawanua yang suaranya mirip-mirip Whitney Houston. Sejatinya saya tidak
216
Kenangan dan Pengalaman
bisa menyanyi. Namun mendengar grup pemusik asal Minahasa itu memainkan kolintang begitu piawai, serta mende-ngar suara sang “Whitney Houston” menyenandungkan O Ina Ni Keke dan Esa Mokan, timbul selera saya untuk mecoba menyanyi. Saya tanya kepada pemimpin band, apakah berkenan mengiringi saya menyanyikan Burung Tantina. Ternyata ia tidak keberatan. Maka menyanyilah saya: Sio tantina, burung tantina ... dan seterusnya. Tidak saya duga sama sekali, ternyata sejumlah hadirin peserta Reuni memberikan tepuk tangan seusai saya menyanyikannya. Nampaknya suara saya, sekurang-kurangnya, tidak vals (pada waktu makan pagi hari itu). Ah ya, itulah bunga kehidupan. Demikianlah, Reuni ke-7 telah mempertemukan saya selain dengan banyak sahabat lama, juga dengan sang juara judo POM ke-6, mantan dosen yang tetap saya pandang sebagai sosok seorang guru, keluarga almarhum sastrawan terkemuka yang isi dan gaya penulisannya saya sukai, dan … segudang sahabat baru. Ini semua tidak akan terjadi seandainya saya bukan anggota Milis Ureca. Jarum jam Big Ben di London, yang konon panjangnya masingmasing 2,7 meter dan 4,3 meter, kalau kita mau, memang bisa kita putar kembali. Namun “jarum jam” sejarah tidak seorangpun bisa memutarnya kembali. Sudah menjadi kenyataan sejarah yang tak terputarkan kembali, bahwa Universitas Res Publica sudah tiada. Geschehen ist geschehen! [Nasi sudah menjadi bubur!]. Diskusi tentang proses peniadaan universitas tersebut beserta dampaknya, saya lihat saat ini selain tidak punya arti praktis juga hanya akan merenggangkan kohesi di antara para alumninya. Karenanya, pada hemat saya, biarlah tiap-tiap alumnus Ureca merekam proses peniadaan universitas tersebut beserta dampaknya menurut versinya sendiri di pikiran masing-masing. Namun, adalah amoral manakala para alumninya membiarkan Ureca hilang begitu saja (geruisloos) ditelan zaman. Ureca dibangun dengan keringat mahasiswa-mahasiswanya. Berdirinya Ureca adalah juga berkat “banjir bantuan” tanpa harapan imbalan dari beragam kalangan menurut kemampuan masing-masing. Ureca adalah lambang kekuatan kolektif. Pendirian Ureca adalah langkah yang perlu diambil guna memecahkan masalah ribuan remaja asal etnik Tionghoa yang ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi tapi menemui jalan buntu.
217
Universitas Res Publica Namun demikian Ureca tidaklah dimaksudkan untuk para remaja asal etnik Tionghoa saja. Guna mempertegas hal ini, Baperki telah mengubah nama semula -- Universitas Baperki – menjadi Universitas Res Publica, yang bermakna universitas untuk publik, untuk umum. Dan yang tak kalah pentingnya lagi untuk dicerahkan, Ureca adalah sebuah perguruan tinggi murni, tidak ada kaitannya samasekali baik dengan eksklusivisme, politik praktis, maupun bisnis. Menurut hemat saya, nilai-nilai dan fakta-fakta ini semua patut diwariskan dan dipaparkan kepada generasi pelanjut semangat Ureca, semangat Baperki. [“banjir bantuan”, term yang saya ambil dari Seorang Patriot Indonesia Siauw Giok Tjhan. ... ]. Memang benar, apa yang saya tulis ini merupakan paparan kesan dan pengalaman saya sebagai mahasiswa dan anggota Milis Ureca yang sebagian besar terdiri dari teman-teman berasal dari etnik Tionghoa. Namun sejatinya paparan ini mencerminkan dambaan saya akan terwujudnya integrasi nasional yang harmonis. Bagi nasion Indonesia yang terdiri dari berbagai suku/ etnik dengan beragam adat, agama dan keyakinan itu, menurut hemat saya, prinsip -- saling mengenal, saling bersikap toleran, sama hak sama kewajiban, secara damai hidup berdampingan -- adalah landasan bijak untuk mewujudkan integrasi nasional yang saya dambakan itu. Dan hanya dengan adanya integrasi nasional sebagaimana saya uraikan tersebut, barulah kita bisa membangun Indonesia yang kuat di bidang politik, sosial dan ekonomi. Indonesia, yang sumber daya manusianya sangat potensial, dan sumber daya alamnya super kaya, jelas memiliki peluang sangat besar untuk dibangun menjadi suatu negara kuat yang demikian. Adalah sebuah kehormatan bagi saya mendapat peluang mengisi buku kenangan tentang Ureca. Kepada Tim Penyusun buku kenangan tentang Ureca yang telah memberi peluang tersebut, dari lubuk hati saya ucapkan terimakasih tak terhingga. Saya tidak tahu apakah apa yang saya tulis ini memenuhi harapan Tim Penyusun. Sebagai seorang manusia biasa, tentu saja saya punya keterbatasan. Namun demikian, tanpa maksud memustahilkan adanya kekurangan dan kesalahan, saya berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membacanya. Perkenankanlah saya menutup tulisan ini dengan menurunkan puisi yang saya tulis di Jakarta pada 21 Mei 2012.
218
Kenangan dan Pengalaman
Reuni ke-7 Cisarua Kita datang ke Reuni ke-7 Cisarua Dengan dipandu kecerahan pikiran Mengutamakan kebersamaan Mengebawahkan perbedaan Namun tetap membolehkan orang Pada pandangan dan keyakinannya Dikelilingi keindahan Cisarua Berjumpa kita sahabat lama Bertemu sahabat baru Bergembira ria bersama Dalam satu keluarga besar Ureca Apa pun kan terjadi di hari kemudian Persahabatan Urecawati/Urecawan Kan tetap berjaya, tak terbinasakan
Rektor Ureca , Dr. Utami Suryadarma, di kelilingi para mahasiswa Ureca - di depan gedung utama di Kampus A - Grogol.
219
Universitas Res Publica Perpeloncoan di Ureca Adi Purnomo Perpeloncoan adalah sebuah ritual (tatacara) orientasi mahasiswa-mahasiswa baru di perguruan tinggi menjelang bergabung dalam organisasi intra universitair. Perpeloncoan sudah lazim dilakukan di universitas-universitas diseluruh dunia. Konon perpeloncoan itu bermula di Universitas Cambridge, Inggris menjalar ke seluruh dunia. Perpeloncoaan selalu identik dengan kekerasan, penghinaan, olok-olok dan sejenisnya yang dilakukan oleh mahasiswamahasiswa senior terhadap mahasiwa baru. Tujuannya tidak lebih untuk mempermalukan mahasiswa-mahasiswa baru. Mahasiswa senior mempunyai kekebalan untuk melakukan penghinaan apapun bentuk dan caranya terhadap mahasiswa-mahasiswa baru. Dan mahasiswa-baru wajib menerimanya. Perpeloncoan menjadi semakin kejam karena para senior baru yang pernah menerima perlakuan brutal dari senior terdahulu seakan mendapat kesempatan untuk membalaskan dendamnya terhadap juniornya. Perpeloncoan menjadi beruntun dari tahun ke tahun menimpa setiap mahasiswa baru. Di Indonesia ritual itu disebut perpeloncoan, karena sesuai tradisinya kepala mahasiswa-mahasiswa baru itu di gunduli yang dalam istilah Jawa dipelonco. Cara menggunduli kepala itu terserah kepada selera masing-masing mahasiswa senior. Ada yang digundul pelontos, ada yang disisakan separoh, ada yang dikuncung, pokoknya yang aneh-aneh sekehendak sang senior. Perpeloncoan di Indonesia adalah warisan kolonial. Pada tahun 1851 di Batavia didirikan Sekolah Dokter Jawa. Pada tahun 1902 diubah namanya menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia. Tahun 1927 diubah menjadi Geneeskundinge Hooge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran. Pada masa masih bernama STOVIA, sudah berlangsung tradisi Ontgroening (perpeloncoan). Terakhir STOVIA menjadi Fakultas Kedokteran UI Salemba. Pada tahun 1920 di Bandung didirikan Technishe Hooge School (THS). Soekarno muda yang kelak menjadi Proklamator
220
Kenangan dan Pengalaman
Kemerdekaan RI pernah menjalani ontgroening di Kampus ini. Pada tahun 1959 THS berubah nama menjadai ITB. Pada Tahun 1938 didirikan Landbouw Hogesschol (Sekolah Tinggi Pertanian). Terdiri dari lima disiplin ilmu, yakni pertanian, kehutanan, dan kedokteran hewan. Virus ontgrouning juga mewabah di Kampus ini. Sekolah pertanian ini sempat bernaung pada Universitas Indonesia (UI) yang akhirnya berpisah pada 1963 menjadi IPB. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, perpeloncoan sebagai peninggalan kolonial itu tidak serta merta bisa dihapus bahkan semakin semakin menjadi-jadi. Sejak tahun 1947 banyak berdiri berbagai perguruan tinggi dan tentu saja semuanya mengadopsi perpeloncoan. Korban-korban perpeloncoan pun berjatuhan. Pada tahun 1960 mulai terjadi penolakan-penolakan terhadap perpeloncoan oleh sebagian masyarakat Kampus maupun masyarakat di luar Kampus. Gelombang antiperpeloncoan semakin meluas, tetapi pihak-pihak yang ingin mempertahankan tradisi pepeloncoan juga masih kuat. Sementara berbagai institusi perguruan tinggi bersikap ambivalen. Universitas Res Publica sejak sekitar tahun 1963, secara institusi menolak dan melarang perpeloncoan. URECA adalah Universitas pertama di Indonesia yang secara institusi berani bersikap tegas menolak pepeloncoan. Sikap tegas pimpinan URECA ini menumbuhkan rasa bangga di kalangan mahasiswa URECA disamping rasa bahagia karena mereka tak pernah mengalami pelecehan. Kehidupan Kampus semakin damai tiada dendam. Apa bentuk perpeloncoan di Ureca? Kegiatan perpeloncoan di Ureca berbentuk masa perkenalan antara mahasiswa senior dengan yang baru masuk; diskusi umum termasuk perkenalan tentang Baperki dan tujuan perjuangan Baperki; orientasi Universitas dan strukturnya; perkenalan dengan para dosen; kerja bakti – membersihkan jalan-jalan raya; Turba ke desa-desa sekitar Jakarta. Pokoknya perpeloncoan di Ureca sangat membangun, bermanfaat dan mengesankan. Tidak ada pelecehan. Tidak ada penghinaan. Tidak ada pengembangan rasa dendam
221
Universitas Res Publica terhadap para senior. Benar-benar merupakan sebuah masa perkenalan yang berguna. Demikianlah salah satu kegiatan Ureca yang unik ini. Tadinya saya berkuliah di Universitas Indonesia. Akan tetapi saya tertarik dengan sikap Ureca yang sangat progresif dan berbeda dengan universitas-universitas lainnya. Saya masuk Fakultas Ekonomi Ureca pada tahun 1963. Ketika itu Dekan baru adalah Dra. Carmel Boediardjo. Banyak mata kuliah yang saya gemari. Penekanan bahan adalah perkawinan teori dan pratek. Yang paling menarik untuk saya adalah sikap para teman di Ureca. Walaupun mereka adalah keturunan Tionghoa, banyak yang totok pula, tapi mereka sangat mencintai Indonesia. Salah satu mata kuliah yang wajib dipelajari para mahasiswa di tingkat pertama adalah Ideologi Negara yang dibawa oleh Pak Siauw Giok Tjhan, ketua umum Baperki. Beberapa mahasiswa dari sekolah-sekolah Tionghoa, karena kesulitan bahasa tidak bisa mengikutinya dengan baik. Saya mengambil inisiatif membuat diktat-diktat tambahan, membantu para mahasiswa yang membutuhkan bantuan bahasa. Sebelum diktat-diktat ini saya sebar, saya perlukan menemui pak Siauw di rumahnya untuk memastikan akurasi bahan. Dari pertemuan-pertemuan itu saya mengetahui bahwa Pak Siauw sangat menguasai bidang ini. Wajar karena beliau adalah seorang politikus yang menjiwai Ideologi Negara. Di bawah pimpinan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki dengan program pendidikan bernuansa politik maju, tidaklah heran, Ureca berkembang sebagai sebuah universitas yang unik, yang sangat berbeda dengan universitas lainnya, tetapi tetap mempertahankan mutu pendidikan perguruan tinggi. Saya tentu sangat sedih melihat Ureca dibakar pada tanggal 15 Oktober 1965. Saya datang ke kampus setelah gedung-gedung habis dirusak. HiIanglah keberadaan sebuah universitas yang memiliki program pendidikan yang sangat membangun.
222
Akhir Hidup Ureca
Pembakaran Ureca Tan Ping Ien Peristiwa G30S pada bulan Oktober 1965 merembet ke ber-bagai arah yang tidak dapat diduga. Ini mendorong pimpinan Dewan Mahasiswa dan para fungsionaris Ureca untuk mengambil alih tanggung jawab pengawasan dan aktivitas lingkungan kampus dan karyawan Ureca. Para karyawan Ureca diharuskan bertanggung jawab pada pimpinan Dewan Mahasiswa. Atas hasil kesepakatan bersama, tanggung jawab seluruh Kampus A berada di bawah koordinasi wakil ketua Dewan Mahasiswa Tan Ping Ien. Kampus A terdiri dari Fakultas Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi dan Fakultas Sastra, klinik gigi, Laboratorium Fisika, Bio-kimia, anatomi, biologi dan perpustakaan, ruangan pimpinan Universitas, kantor pimpinan Dewan Mahasiswa dan ruang-ruang kuliah. Sedangkan Kampus B yang mencakup Fakultas Teknik dengan berbagai ruang kuliah dan laboratorium teknik serta perumahan mahasiswa dan dosen berada di bawah koordinasi ketua Dewan Mahasiswa, Sie Ban Hauw. Kami berdua memperoleh bantuan dan kerjasama para fungsionaris dan mahasiswa dari berbagai fakultas dan anggota Ormas Kemahasiswaan, seperti PMKRI, GMKI, HMI, Perhimi dan CGMI. Tujuan aksi ini adalah mengamankan seluruh asset Universitas dari gangguan semua pihak yang tidak bertanggung jawab. Tanggung jawab keamanan Kampus A berat, karena kampus ini mudah diakses dari berbagai lokasi di sekitarnya dan kerap dikunjungi oleh masyarakat karena: 1. Sering dipakai untuk jalan pintas ke belakang kampus yang padat penduduknya 2. Jumlah pasien rawat gigi sangat tinggi 3. Ruang kuliah selalu penuh dipakai oleh para mahasiswa dari berbagai fakultas Oleh karena itu, saya sebagai penanggung jawab segera mengimbau agar untuk sementara; 1. Perkuliahan dihentikan 2. Praktikum dihentikan
223
Universitas Res Publica 3. Mahasiswa tidak diizinkan membawa motor/mobil 4. Setiap pengunjung diwajibkan membawa kartu identitas diri 5. Melarang kehadiran pengunjung yang tidak berkepentingan di berbagai gedung Secara jujur harus saya akui bahwa kami-pun bingung dan tidak memiliki rencana kongkrit bagaimana melakukan tugas pengamanan yang telah diserahkan Dewan Mahasiswa. Setiap kegiatan diputuskan secara ad-hoc dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Tidak ada pola pegangan. Tidak ada prosedur yang jelas. Pernah karena sebuah hal, kami putuskan untuk menghentikan kegiatan klinik gigi. Tetapi rencana ini tidak bisa dilaksanakan karena ternyata di dalam ruang klinik masih terdapat cukup banyak pasien yang sedang melalui proses perawatan. Menghentikan kegiatan kuliah jauh lebih mudah, karena kami hanya perlu menghubungi dosen yang bersangkutan untuk membatalkan kuliah dan pengumuman dilakukan melalui pimpinan senat-senat yang bersangkutan. Perkembangan di luar kampus mulai menunjukkan bahwa Ureca akan menjadi sasaran serangan. Gedung-gedung milik PKI dan para ormasnya sudah diserang, dibakar dan dijarah. Ada desas desus bahwa Ureca akan diserang dan dibakar. Tokoh-tokoh seperti Tjio Keng Liong dari PMKRI dan Ayub Sani dari HMI menyatakan bahwa Ureca tidak akan luput dari serangan massa yang terkoordinasi. Mereka menganjurkan kami untuk membubarkan konsentrasi mahasiswa yang bertujuan menjaga gedung-gedung Ureca, demi keselamatan kami semua. Mereka yang turut berbagai pertemuan organisasi memperoleh kesan bahwa gerakan pembasmian golongan kiri secara besarbesaran sudah dimulai. Tuduhan adanya keterlibatan RRT dalam peristiwa G-30-S sudah didengungkan. RRT sebagai musuh utama Amerika Serikat telah menjadi sasaran. Dengan sendirinya Baperki dan Ureca akan menjadi sasaran. Para mahasiswa yang berkumpul di kampus-kampus Ureca menghadapi sebuah dilema pelik. Meneruskan upaya pertahanan tidak praktis karena merasa bukan tandingan pihak para penyerang. Akan tetapi kami-pun tidak rela bubar, tidak menjaga gedung-gedung Ureca, karena kami semua sangat mencintai Ureca.
224
Akhir Hidup Ureca
Pada waktu bersamaan kami-pun sudah mendeteksi adanya perubahan sikap dari para penduduk di sekitar kampus. Kami khawatir mereka-pun sudah disiapkan untuk turut menyerbu kampus Ureca pada saat yang ditentukan. Kami coba untuk tidak memiliki prasangka ini. Akan tetapi sulit untuk tidak. Berdasarkan perkembangan yang digambarkan di atas itu, pada sebuah sore hari sekitar tanggal 12 Oktober 1965, saya sebagai wakil ketua Dewan Mahasiswa memutuskan untuk memberi tahu semua mahasiswa yang telah berkumpul untuk mempertahankan Ureca bahwa situasi politik sudah berubah dengan sebuah kemungkinan bahwa Ureca akan diserbu dan dibakar. Oleh karena itu keberadaan kami semua di kampus Ureca merupakan tindakan yang berbahaya. Mengingat faktor keselamatan para teman, saya memberi kebebasan kepada semua teman yang berkumpul untuk memilih, tetap berada di kampus atau pulang ke rumah masing-masing sebelum jam malam tiba. Saya tegaskan bahwa saya dan beberapa teman lain akan tetap berada di posisi untuk melakukan apa-pun yang kami bisa lakukan melindungi kampus Ureca. Saya sangat terkejut dan terharu ketika respons puluhan teman yang berkumpul itu sangat spontan. Mereka semua menyatakan akan tetap berada di posisi untuk mempertahankan Ureca dan berani menanggung resiko apapun yang akan dihadapi. Tanggal 13 Oktober 1965 Pada pagi hari, saya menginstruksikan para teman untuk menjaga pintu gerbang dengan lebih seksama. Jelas teringat di pagi hari itu, teman-teman yang bernaung di PMKRI, GMKI dan HMI datang berkunjung dan menemani kami yang bertugas di kampus Ureca. Mereka baru datang dari pertemuan di Universitas Indonesia dan memperoleh informasi bahwa gedung-gedung LEKRA, Universitas Rakyat, Pemuda Rakyat dan PKI sudah dihancurkan. Dikabarkan pula bahwa sasaran selanjutnya adalah Ureca. Mereka menganjurkan kami untuk bubar supaya tidak timbul kesan di pihak penyerang bahwa ada barisan pertahanan besar di Ureca, karena ini akan mendorong mereka untuk melakukan penyerangan dengan kekuatan yang jauh lebih besar lagi, sebuah tindakan yang luar biasa dan jauh lebih ganas daripada tindakan-tindakan sebelumnya. Mereka penuh dengan keyakinan bahwa tidak akan mudah menghancurkan Ureca dan dan tidak mungkin semudah upaya penghancuran gedung-gedung PKI dan para ormasnya. Gedung-gedung ini diserang tanpa perlawanan apapun.
225
Universitas Res Publica Pola yang dilakukan adalah sama: demonstrasi massa datang, gedung didobrak, tidak ada orang, dirusak, diduduki sebagai markas. Selesai. Tidak ada perlawanan apapun, karena jauh hari sebelum diserang, gedung-gedung itu sudah ditinggalkan para penghuninya. Saya segera mengumpulkan para teman dan saya teruskan kemungkinan adanya gelombang besar menyerang dan menghancurkan kampus Ureca. Resiko untuk kami yang telah berhari-hari tidur di kampus kami terka. Akhirnya diputuskan untuk menghilangkan rasa khawatir dan kebingungan, kami lalui waktu-waktu bersama itu dengan nyanyi makan dan bergembira ria. Dari Sie Ban Hauw yang berada di Kampus B, kami ketahui bahwa jumlah mahasiswa yang berada di sana ternyata lebih banyak dan suasana di sana jauh lebih meriah. Karena suasana serba tidak menentu dan jam malam berlangsung dengan ancaman tembak di tempat, saya anjurkan para teman untuk tidak keluar dari kampus tanpa memberi tahu dan juga tidak keluar dari kampus setelah pukul 18:00. Tanggal 14 oktober 1965 Pada pukul 14:00, beberapa teman dari PMKRI, HMI dan GMKI tergopoh-gopoh menemui saya. Dengan penuh keseriusan mereka menyatakan bahwa rapat koordinasi yang mereka hadiri telah memutuskan untuk mengadakan aksi besar dengan sasaran rumah-rumah menteri dan pejabat negara, gedunggedung kementerian dan Ureca. Yang dianggap sebagai tujuan inti adalah penghancuran Ureca. Menurut mereka penghancuran Ureca akan dipergunakan untuk menunjukkan ke dunia Internasional (baca Amerika Serikat dan Inggris) sebagai manifestasi kebencian rakyat terhadap etnis Tionghoa. Mereka pun mengetahui bahwa kampus-kampus Ureca dijaga oleh para mahasiswa Ureca dan beranggapan bahwa akan ada perlawanan sengit dari pihak mahasiswa Ureca. Oleh karena strategi serangan adalah: sebagian mahasiswa dan pelajar akan dikerahkan menyerbu rumah-rumah menteri dan berbagai gedung lembaga negara, sedangkan penyerbuan dan penghancuran Ureca akan dilakukan oleh sedikit mahasiswa, didukung oleh sebuah grup yang dikenal sebagai grup X. Grup X ini, menurut teman-teman yang memberi informasi ini selalu menyusup ke berbagai aksi demonstrasi dan penyerbuan.
226
Akhir Hidup Ureca
Jumlahnya bisa kecil dan besar tergantung aksi apa yang dilakukan. Mengingat penghancuran Ureca adalah aksi inti dan akan ada resiko perlawanan sengit, mereka perkirakan jumlahnya Grup X yang selalu dipersenjatai akan besar. Informasi ini segera saya sampaikan ke pada para teman dan saya persilakan para teman untuk mengambil keputusan masing-masing: tetap menjaga kampus atau pulang ke rumah masing-masing. Berdasarkan informasi ini, kami putuskan untuk menutup kampus 100% pada esok harinya. Semua lalu lintas keluar masuk diperketat. Yang dicurigai tidak diizinkan masuk. Yang ingin masuk ke pemukiman perumahan dosen bilamana dicurigai akan diminta mutar, tidak masuk melalui kampus. Kami juga segera mengkoordinasikan penjagaan dengan para teman yang berada di kampus B. Pada malam harinya penjagaan di ke dua kampus kami perketat. kami tidur bergilir dan minum banyak kopi. Salah satu teman dengan bergurau menyatakan: Ini adalah kesempatan terakhir untuk dengan bangga menunjukkan ke orang bahwa kita adalah mahasiswa Ureca. Sebuah sikap yang gagah dan sangat heroic. Tanggal 15 oktober 1965 Pagi yang sangat cerah. Akan tetapi karena kurang tidur, walaupun sudah mandi, saya tetap merasa tidak segar bahkan agak lemas. Saya keliling memeriksa apakah pintu gerbang depan sudah diikat dengan rantai dan meyakinkan keberadaan semua teman dan karyawan yang bertugas. Saat saya berada di Aula, terdengar kegaduhan di depan pintu gerbang. Ternyata ada beberapa orang asing di luar. Tindak tanduknya dan peralatan yang dibawa memberi kesan bahwa mereka adalah wartawan-wartawan. Ada yang bule, ada yang Asia. Mereka berkumpul di depan pintu. Saya segera hampiri mereka dan memastikan tujuan mereka itu apa. Saya nyatakan bahwa kampus tutup. Tidak akan ada wawancara. Yang berkulit putih, seorang wartawan TV Belanda menjadi juru bicara kelompok wartawan yang berkumpul itu. Ia menyatakan bahwa mereka datang bukan untuk wawancara. Mereka baru saja meninggalkan kampus Universitas Indonesia di Salemba dan mendahului para demonstran yang sedang menuju Ureca untuk menghancurkan gedung-gedung Ureca. Ketika saya berbicara dengan para wartawan tersebut, Tjio
227
Universitas Res Publica Keng Liong dan Ayub Sani tergopoh-gopoh datang. Dengan air mata berlinang, Tjio Keng Liong meminta saya dan para teman untuk segera meninggalkan kampus dari pada mati konyol. Instruksi para penyerbu adalah membunuh siapa saja yang mempertahankan Ureca. Suasana sangat tegang. Saya tidak ada waktu untuk berkonsultasi dengan para teman. Tiba-tiba datang beberapa kendaraan militer, jeep dan lain-lain yang dikendarai mereka ber baret merah, hijau dan biru. Mereka berhenti di depan pintu gerbang dan menanyakan siapa yang bertanggung jawab di kampus. Saya segera menjawab bahwa saya adalah ketua Dewan Mahasiswa yang bertugas pagi ini. Seorang tentara yang kelihatan senior dan berpangkat dengan sopan meminta saya membukakan pintu gerbang dan memberikan jalan mereka masuk. Sekitar 20 tentara masuk. Tjio Keng Liong dan Ayub Sani melihat perkembangan ini pergi meninggalkan kampus dengan melambaikan tangan selamat berpisah. Di tengah pembicaraan dengan bapak yang sopan, yang kemudian saya ketahui adalah Mayor C.I Santosa, rombongan wartawan baik asing maupun lokal sibuk mengabadikan apa yang terjadi. Dengan halus Mayor Santosa meminta saya masuk ke dalam kampus dan untuk mendorong para teman untuk tidak terprovokasi mereka yang berdiri di luar. Ia lalu mengeluarkan sebuah denah Kampus A dan meminta saya membawa para teman untuk mundur dan berlindung di perumahan dosen di belakang Kampus A. Permintaan itu saya tanggapi: tidak mungkin, karena para mahasiswa yang berada di sana semua relawan yang ingin menyelamatkan kampus dari segala upaya penghancuran dan pembakaran. Karena mereka relawan, mereka tentunya tidak akan ikut komando saya untuk mundur meninggalkan gedunggedung yang dijaganya. Tiba- tiba terdengar suara- suara yang sangat gemuruh dan ternyata banyak bis dan truk yang penuh berisi penumpang berjaket Kuning, Biru, Hijau tiba di depan pintu dengan suara yel-yel hancurkan Ureca, bakar Ureca, bubarkan Ureca dengan nada yang sangat ganas. Mereka turun dari truk dan bus yang membawanya dan mulai melempari batu ke arah para teman yang sudah siap siaga di belakang pintu gerbang masuk. Para teman yang sudah menyiapkan banyak batu sebelumnya spontan dan dengan
228
Akhir Hidup Ureca
gagah berani membalas lemparan batu. Terjadilah hujan batu antara kami dan para demonstran. Perang batu tidak dapat dihindarkan lagi. Karena saya sedang melayani Mayor Santosa, perang batu tidak saya ikuti. Perang batu terus berlanjut dan para demonstran ramai berteriak-teriak tapi mereka tidak maju masuk ke kampus. Ini berlangsung cukup lama dan jelas keadaan menjadi kacau dan tegang. Jelas tampak para mahasiswa Ureca bertekad dengan penuh keberanian mempertahankan posisi mereka. Tidak mundur. Melihat perkembangan ini Mayor Santosa terlihat marah dan dengan muka merah ia mengeluarkan pistol yang ditodongkan ke perut saya dengan hardikan: “Perintahkan semua temanmu untuk mundur!”. Akan tetapi tidak lama kemudian ia berbisik dengan halus: “Percuma dik. Tidak ada gunanya melawan. Mereka bukan mahasiswa. Rekan-rekan mu bukan tandingannya...”. Saya sadar bahwa kalimat terakhir lebih bersifat sebuah imbauan agar kami tidak mati konyol. Akhirnya saya putuskan untuk meminta para teman untuk mundur masuk dan berkumpul di aula. Pada waktu sebagian kami menuju ke aula, terdengar sorak sorai gemuruh. Para penyerbu mengikat tali di pintu gerbang dan pintu ditarik dengan truk. Mulailah secara bergelombang, para penyerbu masuk. Teman-teman yang masih berada di sekitar pintu gerbang tetap melawan dan melawan sebisanya, dengan senjata apa-pun yang mereka miliki, berupa rantai sepeda, pentung kayu dll. Tetapi jumlah para penyerang jauh lebih besar. Akhirnya para mahasiswa Ureca terpaksa mundur dan masuk ke dalam aula bersama, kemudian mundur pula ke perumahan para dosen. Dengan leluasa para penyerbu masuk dan melakukan pengrusakan ganas. Dari belakang kami hanya mampu melihat dengan sedih bercampur geram apa yang para penyerbu lakukan. Sebagian dari mereka masuk ke ruang aula dan mengobrak-abrik isinya. Kursi-kursi dikumpulkan dan dilempar keluar. Tidak lama kemudian, kami lihat para tentara berseragam turun dari lantai ke dua dan memberi aba-aba ke para penyerang untuk naik ke lantai 2. Kami tidak bisa melihat apa yang mereka lakukan di atas. Tetapi tidak lama kemudian terdengar ledakan kecil dan terlihat api membara membakar atap gedung. Dari situ kami tahu bahwa yang naik ke lantai 2 adalah grup pembakar dan mereka melakukan pembakaran di seluruh gedung secara
229
Universitas Res Publica serentak dari setiap pelosok gedung. Kami yang berkumpul di belakang itu dikawal ketat oleh grup tentara berbaret hijau. Tidak jelas apakah kami dikawal untuk dilindungi atau dicegah melakukan perlawanan terhadap upaya pengrusakan. Kami tidak tahu lagi apa yang terjadi di depan. Keadaan simpang siur. Yang paling menyedihkan hati adalah sikap dan ulah sebagian penduduk di belakang kampus. Mereka memperlihatkan sikap mengancam dan membenci. Padahal sebelumnya hubungan kami dengan mereka baik. Ada beberapa teman yang meninggalkan barisan untuk keluar kampus melalui jalur belakang dicegat dan dipukuli penduduk di belakang kampus. Pasukan PM ternyata melindungi para teman ini dan dibawanya kembali ke tempat kami semua berkumpul. Ada dari mereka yang berlumuran darah akibat pemukulan penduduk. Mayor Santosa sekali lagi menginstruksikan saya untuk melarang para teman meninggalkan kampus. Dari jauh kami hanya bisa melihat berkobarnya api melanda gedung-gedung Ureca yang telah dibangun dengan susah payah. Tentu saja kami sedih sekali melihat gedung-gedung dan berbagai fasilitas di dalamnya itu habis terbakar. Pada tengah hari, setelah Kampus A hampir menjadi puing dan hancur luluh, para penyerang mulai meninggalkan lokasi. Yang masih utuh berdiri adalah gedung kantin yang berada di tengah kampus. Karena terpisah dari gedunggedung lain yang dibakar, api tidak menjalar dan melalapnya. Mayor Santosa meminta saya untuk mengumpulkan temanteman dan dipindah ke kantin agar mudah menjaganya. Maka berpindahlah kami semua ke gedung kantin. Setelah itu, militer mulai meningkatkan penjagaan di belakang gedung. Akses jalan keluar kampus ditutup total. Tidak ada yang boleh keluar/ masuk, termasuk penduduk belakang. Ini memudahkan mereka menjaga kita. Sekitar pukul 15:00, saya melihat adanya dua mobil yang berhenti di depan gedung dengan pengawalan militer. Ternyata yang turun dari mobil adalah ibu Rektor yang sangat kami cintai, Utami Suryadarma dan salah satu pimpinan Baperki pusat, Phoa Toan Hian. Segera kami maju menyongsong kedatangan mereka, dan dengan air mata berlinang air mata kami laporkan apa yang terjadi sejak pagi hari dan kami mohon maaf karena tidak sanggup mencegah pembakaran dan
230
Akhir Hidup Ureca
pengrusakan. Ibu Utami menghela napas panjang dan menitikkan air matanya. Ia tidak bisa banyak bicara dan hanya menggenggam tangan saya, tanpa berkata apapun. Tidak lama kemudian setelah dibisiki salah satu pengawal beliau dari Angkatan Udara, mereka beranjak pergi sambil berpesan: “hati-hati”. Setelah malam hari tiba, kami tetap di sana. Kami mengirim beberapa teman untuk mencari makanan di luar dan mereka yang diutus membeli makanan ini dikawal. Mayor Santosa kemudian memberi tahu saya bahwa mereka akan melakukan pendataan semua mahasiswa yang terkumpul. Ternyata ini dilakukan dalam bentuk interogasi. Meja-meja disiapkan dan pendataan dilakukan serentak. Pendataan dilakukan dengan lilin dan setiap teman dicatat nama, fakultas, alamat tinggal, alamat kota asal, jabatan di organisasi kemahasiswaan dll. Saya mendapatkan giliran yang terakhir dan ditanyai oleh Mayor Santosa sendiri. Ternyata Mayor Santosa tetap ramah. Sambil mencatat informasi saya, ia menyatakan bahwa ia ditugaskan untuk mencegah pertumpahan darah. Oleh karenanya ia dan regunya berangkat lebih pagi dari pihak penyerang untuk memaksa para mahasiswa yang siap melawan untuk bubar sebelum serangan terjadi. Ia sangat terkesan dengan keberanian dan komitmen para mahasiswa Ureca dalam membela gedung-gedung yang diserang. Ia juga menyatakan bahwa banyak yang menyerang bukanlah mahasiswa. Mereka jauh lebih profesional dan tahu bagaimana melakukan penyerangan. Ia juga menyatakan bahwa merekapun bingung bagaimana bisa melaksanakan tugasnya melihat perkembangan suasana di Ureca. Pendaftaran selesai sekitar pukul 24:00 malam. Mayor Santosa memanggil saya dan menyatakan bahwa karena yang kami lakukan bersifat membela milik swasta, kami tidak melakukan pelanggaran hukum. Dengan demikian kami tidak perlu ditahan. Kalau kesimpulan ini tidak diambil, pihaknya bisa saja mengambil keputusan untuk menahan semua pembela Ureca untuk masuk penjara tanpa periode yang jelas. Kami boleh meninggalkan kampus. Karena letak kampus A tidak berjauhan dengan markas besar pasukan Letkol Latief yang berada di luar kontrolnya, Mayor
231
Universitas Res Publica Santosa menggambarkan sebuah route perjalanan yang dijaga oleh anak buahnya, dari kampus A hingga perempatan Roxy yang dianggap aman. Ia meminta saya memberi tahu route ini kepada para teman sambil menghapal kode jam malam, yang sudah tidak saya ingat lagi. Ia menginstruksikan kami pulang secara bergelombang. Satu grup tidak boleh melebih 5 orang. Dan kami diperintahkan untuk mengikuti jalur yang ditentukan dengan aba-aba jam malam tertentu, mencegah masalah kalau dipergoki regu patroli di jalan-jalan. Akhirnya ia berpesan: “jangan gegabah di kemudian hari. Ini bukan revolusi, tetapi pembasmian...” Sebelum berpisah saya jabat tangganya dengan ucapan banyak terima kasih. Tidak terbayang apa yang akan terjadi tanpa kehadiran Mayor Santosa di Ureca pada tanggal 15 Oktober 1965. Dari jauh saya lihat perkembangan Mayor Santosa yang kemudian naik pangkat sebagai Letnan Kolonel dengan perkembangan karier jangka panjang yang baik. Keesokan saya kembali sebagai seorang “tourist”, melihat kerusakan dialami baik di Kampus A maupun Kampus B. Kesedihan melanda hati saya. Cerita masih panjang, namun saya kira cukup sedemikian saja… Seorang Jendral pernah menyatakan: We lose the battle but win the war – kita kalah dalam pertempuran tetapi menang dalam perang. Gedung-gedung habis dibakar. Tetapi pembakaran ini tidak menghilangkan komitmen kami untuk tugas mulia Ureca. Kisah di atas mencerminkan kecintaan dan komitmen setiap insan Ureca untuk Alma-mater-nya, terutama untuk seluruh jajaran pimpinan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki. Kami semua bangga menjadi bagian dari Ureca dan dasar kehadirannya di sejarah Indonesia.
232
Kenangan dan Pengalaman
Pengrusakan gedung Ureca yang dilakukan oleh “massa” pada tanggal 15 Oktober 1965
233
Universitas Res Publica Mengapa Ureca dibakar Tan Swie Ling Mengapa pada tahun 1965 sebagian kecil warga bangsa Indonesia berpandangan harus membakar Universitas Res Publica? Padahal universitas adalah pabrik penghasil cerdik pandai, penerus kelangsungan keberadaan sebuah bangsa yang berkeinginan hidup setara di tengah masyarakat bangsabangsa di dunia? Apakah disebabkan sebahagian warga bangsa yang dimaksud berkehendak menjadikan bangsa Indonesia te-rus menerus menjadi bangsa terbelakang? Rasanya tidak juga. Lalu karena apa mereka membakar sebuah pabrik penghasil cerdik pandai Indonesia? Sebabnya yalah karena pada tahun itu ada adi daya dunia yang dalam upayanya memenangkan kepentingan golongannya sendiri dalam pertarungan menghadapi kepentingan golongan sesama adi daya pihak lain, merasa perlu menggelar perang dingin di negeri kita. Perang dingin yang sesungguhnya sudah berlangsung sejak Perang Dunia II berakhir pada tahun 1945. Perang dingin yang sejak mulai dilaksanakannya telah mengubah prilaku masyarakat politik seluruh dunia. Prilaku tidak lagi merasa dan membutuhkan perlunya menjalin dan memelihara hubungan antar sesama masyarakat politik berbeda ideologi, apalgi kerja sama antara kekuatan politik yang menganut pandangan kapitalisme dengan komunisme. Seperti yang terjadi selama menjelang dan masa berlangsungnya Perang Dunia II. Sebagaimana yang terjadi dengan kerjasamanya Negara dan komunitas negeri-negeri kapitalis maupun komunitas negeri-negeri sosialis, dalam wujud Front Anti Fasis, demi untuk melawan dan mengalahkan fasisme baik di Eropa maupun Asia. Akan tetapi sayang sekali. Setelah Fasisme berhasil dikalahkan, dan Perang Dunia II berakhir, Negara dan komunitas negerinegeri kapitalis kembali pada sikapnya yang tidak bersedia berbagi kehidupan dengan Negara dan masyarakat negerinegeri sosialis. Maka ketegangan pun kembali terjadi antara dua kubu kepentingan golongan. Kepentingan golongan kapitalisme dengan kepentingan golongan sosialisme. Ketegangan yang disikapi dengan sikap harus terus melakukan perang. Sekalipun bukan perang konvensional, melainkan perang dingin. Mengingat kedua kubu yang pecah kongsi tersebut, kedua-duanya sama-sama dalam
234
Akhir Hidup Ureca
keadaan letih akibat baru saja keluar dari Perang Dunia II. Di samping ke dua kubu yang berlawanan itu sama-sama menyadari bahwa berakhirnya Perang Dunia II memang membuat perseteruan kedua kubu itu tidak bisa dilanjutkan dalam perang konvensional menuju Perang Dunia III. Mereka sadar bahwa bilamana Perang Dunia III terjadi, dengan kekuatan persenjataan canggih, kedua belah pihak akan hancur. Perang Dingin-lah yang dipergunakan untuk saling menghantam lawan. Perang dingin menggunakan metode perang Gerilya Modern, berbentuk perang ideologi, di mana basis kekuatannya hampir sepenuhnya terletak pada kemampuan dinas inteligen. Secara aktif melakukan infiltrasi dan intervensi. Hal yang membuat perekrutan oknum lokal berpengaruh di masing-masing negeri menjadi target pelaksanaan. Sukses prekrutan oknum lokal berpengaruh di Uni Soviet dan negeri-negeri sosialis di Eropa Timur oleh blok Barat merupakan rahasia runtuhnya komunisme di wilayah tersebut. Dan efektivitas Perang Dingin tersebut sungguh luar biasa. Melalui perang dingin, Amerika Serikat berhasil menghancurkan komunisme Uni Soviet dan negeri-negeri Komunis di Eropa Timur, tanpa kerugian seorang serdadu-pun di blok Barat. Bandingkan dengan kegagalan Amerika Serikat di Vietnam yang bersandar atas perang konvensional. Indonesia setelah mencapai kemerdekaan menghadapi tanda-tanda rawan perselisihan dengan berdirinya DI-TII yang berkelanjutan pada PRRI-Permesta. Pertentangan dan perpecahan yang tidak sesuai dengan semangat persatuan Presiden Sukarno, tokoh yang menjadi pengobar semangat anti kolonialisme dan imperialisme di negerinya sendiri maupun di panggung dunia. Karena kemampuannya mengobar semangat inilah Sukarno dikenal di banyak negeri. Di Maroko ada jalan yang dinamakan Jalan Sukarno. Jalan Sukarno ini merugikan kepentingan blok Barat sehingga mengundang infiltrasi serta subversi blok barat di negeri kita. Sikap Sukarno membawa Indonesia sebagai lawan blok Barat. Dengan semakin tegangnya pertentangan antara blok Timur dan blok Barat, blok Barat merasa perlu menggelar jalur perang dingin di Indonesia untuk menghancurkan kekuatan politik Sukarno. Seluruh kekuatan kiri yang mendukung Sukarno harus dihancurkan. Sudah barang tentu Baperki sebagai pendukung Sukarno tidak luput dari malapetaka akibat perang dingin yang
235
Universitas Res Publica dimenangkan blok Barat. Itulah alur dongeng mengapa pada tahun 1965 ada sebagian kecil warga bangsa Indonesia yang menginginkan Ureca dibakar. Ureca identik dengan Baperki dan Baperki identik dengan Bung Karno. Sedangkan Bung Karno identik dengan penghalang upaya Amerika Serikat dan sekutunya untuk menguasai Asia. Ureca memang faktanya didirikan oleh Baperki, sebuah badan perjuangan yang gigih melawan diskriminasi rasial, di samping mencari jalan keluar untuk para korban diskriminasi rasial semasa itu. Juga merupakan fakta sejarah bahwa Ureca didirikan untuk menampung sejumlah siswa yang tidak bisa masuk ke perguruan tinggi karena alasan ras. Pimpinan Baperki tergugah kewajiban sosialnya. Dengan susah payah Baperki bersama para orang tua mahasiswa Ureca serta para simpatisan secara swadaya membangun Ureca. Ureca terbuka untuk siapa saja. Baperki dekat dengan Sukarno karena memiliki visi yang sama. Misi membangun Nasion Indonesia yang harmonis dan sinergis. Konsekwensi dari kedekatan ini adalah sama-sama menolak praktek diskriminasi rasial. Akan tetapi dalam perkembangan dan perubahan politik yang dipengaruhi perang dingin, kedekatan yang berdasar atas kesamaan visi tersebut, dibayar dengan dibubarkannya Baperki dan dibakarnya Ureca. Saya adalah salah seorang sisa mantan aktivis Baperki yang masih hidup. Dalam buku saya yang berjudul: “G30S 1965, Perang Dingin dan Kehancuran Nasionalisme”, saya katakan bahwa hubungan antara manusia dan politik sesungguhnya memang laksana hubungan antara sosok dan bayangan. Kehidupan manusia tak akan pernah lepas dari kehidupan politik yang selalu setia membayanginya. Maksudnya betapapun benci seseorang pada politik, tidaklah mungkin orang yang bersangkutan mampu menghindar atau menjauhkan diri dari pengaruh hukum dan politik. Oleh sebab itu manakala seseorang tertimpa malapetaka politik, hal tersebut tidak otomatis disebabkan adanya kegiatan politik orang atau kaum yang bersangkutan. Contoh kongkritnya adalah manusia perahu – yaitu komunitas Tionghoa yang oleh karena kondisi politik di negaranya, Vietnam, harus memberanikan diri mengarungi samudra demi mencari ketentraman hidup di kawasan lain. Padahal sebagian
236
Akhir Hidup Ureca
terbesar dari mereka yang disebut manusia perahu tidak terlibat dalam kegiatan politik apapun. Semua terjadi bukan karena ulahnya, bukan karena kehendaknya sendiri, melainkan karena perkembangan politik yang berada di luar kontrol-nya.
237
Universitas Res Publica Reuni Alumni Ureca menyambung Semangat Ureca Liem Heng Hong Pertemuan-pertemuan yang berkaitan dengan pengaturan acara bedah buku yang ditulis oleh Siauw Tiong Djin mengenai biografi ayahnya, Siauw Giok Tjhan pada bulan Agustus 1999 di antara alumni Ureca ternyata mendorong kegiatan-kegiatan lain. Dalam sebuah perbincangan melalui telpon dengan Benny Setiono tercetus ide untuk mengumpulkan teman-teman dari masa kuliah di Ureca. Mereka sudah sejak Ureca dibakar pada bulan Oktober 1965 tidak pernah bertemu dan berhubungan. Benny Setiono mengetahui saya aktif di Seksi Kesenian Ureca dan juga masih menjalin hubungan dengan teman-teman tersebut baik melalui telpon ataupun menyambangi ke rumah mereka. Benny kemudian meminta saya untuk mengemukakan ide reuni ini kepada para teman. Mulailah saya bergerak. Saya menelpon Sie Ban Hauw, mantan ketua Dewan Mahasiswa Ureca yang bermukim di Surabaya. Lalu saya hubungi beberapa mantan pengurus Dewan Mahasiswa lainnya, Tjoa Sin Tjoei, mantan wakil ketua Dewan Mahasiswa, Tan Ping Ien, mantan wakil ketua Dewan Mahasiswa, Tan Sien Tjhiang, mantan ketua Senat Fakultas Sastra, Anton Liem Kok Hie, mantan pengurus Seksi Kesenian Ureca, dan para teman alumni Ureca lain seperti Yang Tze, Kiem Pit, Yanuar Kho, Lim Tjeng Ting dan banyak teman lain. Semua menyambut gagasan in dengan antusias. Rupanya gayung bersambut. Maka dimulailah penyusunan rencana untuk sebuah pertemuan dengan teman-teman yang sudah puluhan tahun tidak pernah bertemu dan berkumpul sejak Ureca ditutup oleh pihak penguasa Orde Baru [pada tahun 1965. Mulailah saya dan isteri saya, Kwan Siu Hwa sibuk menghubungi sebanyak mungkin teman yang ada di Jakarta maupun di berbagai daerah. Ada yang menyambut secara antusias, ada pula yang menolak dengan berbagai alasan. Saya sadar bahwa mereka yang menolak masih trauma dengan kejadian tahun 1965. Cukup banyak teman yang menjadi pelarian dikejar dan dicari oleh militer. Banyak pula yang masuk dalam berbagai tahanan. Bahkan ada pula yang dibuang ke pulau Buru dan Nusa kambangan, bertahun tahun menderita tanpa proses peradilan walaupun tidak bersalah. Kegiatannya dalam organisasi-organisasi mahasiswa di Ureca-lah dasar persekusi
238
Penerusan Jiwa Ureca
Pramudya Anantatoer - memberi sambutan di acara reuni Alumni Ureca pertama di Cimacan 2000
Kedua tokoh Fakultas Teknik Ureca - Prof Jo Goan Lie dan Ir Tan Hing Bwan di acara Reuni Alumni Ureca 2005
239
Universitas Res Publica dan penahanan yang dialami banyak teman. Saya sendiri pernah ditahan beberapa bulan, hanya karena saya adalah sekretaris Dewan Mahasiswa Ureca. Apakah salah seorang mahasiswa menjadi aktivis di Senat atau di Dewan Mahasiswa di universitas-nya sendiri? Kami tidak pernah melakukan kegiatan yang melanggar hukum. Kegiatan kami sepenuhnya berkaitan dengan upaya Baperki untuk menjadi orang Indonesia yang baik. Kegiatan Dewan Mahasiswa lebih banyak berkaitan dengan kesenian dan olah raga, mendorong setiap mahasiswa Ureca untuk mencintai Indonesia melalui kebudayaan dan kesenian Indonesia. Para mahasiswa Ureca juga didorong berpartisipasi dalam berbagai kegiatan olah raga, bersahabat dengan para universitas lainnya melalui pertandingan olah raga. Seksi Kesenian didirikan oleh Dewan Mahasiswa sepenuhnya menonjolkan kebudayaan dan kesenian Indonesia. Banyak mahasiswa Ureca yang tadinya tidak mengenal kebudayaan Indonesia kami ajak untuk bukan saja mengenalnya tetapi juga mencintainya. Kami sama sekali tidak tahu menahu tentang peristiwa G-30-S. Pada tanggal 17 Agustus 1999, diadakanlah pertemuan pertama setelah 34 tahun sejak kampus Ureca dibakar di hotel Santika, Jakarta. Sebuah pertemuan yang mengharukan. Banyak teman meneteskan air mata. Hie Kim Hwa dan Adi Purnomo mantan pengurus Dewan Mahasiswa Ureca, dengan suara yang tergetar dan sambil meneteskan air mata menyampaikan kesannya. Tidak ada yang mengira bahwa kami semua bisa bertemu dan berkumpul kembali. Oey Hay Djoen, mantan Sekretaris Jendral Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), yang dekat dengan Siauw Giok Tjhan hadir pula dalam acara itu. Pertemuan itu melahirkan panitia penyelenggaraan Grand Reuni alumni Ureca. Ketua panitia adalah Tan Ping Ien. Saya menjadi sekretaris panitia. Tempat Reuni Akbar pertama ditentukan Vila Renata, Cimacan, Puncak Jawa Barat pada tanggal bulan Agustus 2000. Lahirlah cikal bakal ke delapan reuni alumni Ureca. Untuk menjamin keberhasilan Reuni Akbar pertama ini, diputuskan mengadakan road show keliling pulau Jawa. Benny Setiono, Siu Hwa dan saya, bersama beberapa pemuda dari SIMPATIK Erik Erensen dan Alex Surya berangkat keliling. Tujuan utamanya adalah memberitakan akan adanya Reuni Akbar pertama di Cimacan dan memperkenalkan berdirinya Perhimpunan Indonesia Tionghoa – INTI, di mana empat pendirinya adalah alumni Ureca: Benny Setiono, Nancy Wijaya – Ma Yung Nan, Evie Sari Lie Hwie Tjin dan saya sendiri.
240
Penerusan Jiwa Ureca
Pertama kami berhenti di Cirebon, disambut oleh para teman di sana, antara lain Tan Tjoan Lim, Thio Tek Beng, Oey Yang Hoey, Tjie Te Siang dan para teman lainnya. Sambil menikmati hidangan yang disediakan mereka, kami diskusikan rencana reuni dan pendirian INTI. Dari Cirebon kami menuju ke Pekalongan, di mana kami temui Khouw Tjin Liep, mantan Wakil Ketua Senat Fakultas Sastra Ureca. Sayangnya Tjin Liep sudah kena stroke sehingga tidak mungkin ikut acara reuni. Kemudian perjalanan dilanjutkan ke Cepiring untuk menemui Tjong Tiong Liat, dari Fakultas Kedokteran Gigi, yang sekarang sudah menjadi pemilik sebuah toko emas. Tapi kami tidak berhasil menemuinya karena kebetulan ia berada di luar kota. Perjalanan kami lanjutkan ke Semarang dan kami bermalam di kota ini. Di sana kami temui Liem Biauw Goan dan para teman lain. Kemudian kami lanjutkan perjalanan ke kota Solo, dan bermalam di sana. Di sini kami bertemu dengan cukup banyak teman alumni Ureca dari berbagai fakultas antara lain Hong Tien Fakultas Teknik, Tan Tjing Liat Fakultas Ekonomi, Liem Bun Ging Fakultas Hukum, Ma Hwie Ing Fakultas Kedokteran Gigi dan banyak teman lain. Sayang mantan ketua Senat Fakukltas Ekonomi Liem Bing Hoey tidak bisa hadir karena stroke. Dari Solo kami langsung ke Surabaya. Disini kami bertemu Sie Ban Hauw, mantan Ketua Dewan Mahasiswa Ureca. Besoknya kami kembali ke Jakarta melalui Semarang, Muntilan, dan Magelang. Di Magelang kami temui Lee In Lian dari Fakultas Kedokteran Gigi dan Giam Him Nio dari Fakultas Teknik. Di Muntilan, kami sempat bertemu dengan Goei Kim Tjoei dari Fakultas Hukum. Sebuah perjalanan yang meletihkan, tetapi sekaligus menggembirakan karena sambutan para teman antusias. Akhirnya Reuni Akbar pertama di Cimacan berhasil diadakan pada bulan Agustus 2000. Acara tiga hari itu sangat mengesankan. Sekitar 200 peserta hadir dari berbagai daerah. Ada pula yang hadir dari Hongkong, antara lain Chong Chung Ling dari Fakultas Teknik, Sie Hwie Ing dari Fakultas Kedokteran Gigi dan The Peng Kiauw dari Fakukltas Sastra. Beberapa dosen antara lain Pramudya Anantatoer, Jo Goan Lie dan Tan Hing Bwan turut memeriahkan acara reuni. Tan Hing Bwan, mantan Sekretaris Fakultas Teknik Ureca, memberi sambutan menggambarkan ke-unikan Ureca sebagai
241
Universitas Res Publica
Para dosen Ureca Turut Memeriahkan Acara Reuni Ureca 2007
Alumni Fakultas Teknik Ureca dengan para Dosen - Reuni 2005
242
Penerusan Jiwa Ureca
universitas di Indonesia di mana banyak bangunannya didesain dan dibangun oleh para mahasiswa-nya sendiri. Ia-pun menggambarkan bagaimana ia bangga turut berpartisipasi sebagai dosen sebuah universitas yang berprestasi. Pramudya menggambarkan bagaimana sebagai seorang yang tidak memiliki gelar akademik diminta oleh Baperki untuk berfungsi sebagai dosen di Fakultas Sastra. Oleh karena itu iapun menjalankan sistem pengajaran yang unik, mengawinkan teori dan praktek. Ia ingat bagaimana ia mengajak para mahasiswa sastra ke perpustakaan nasional Jakarta untuk melakukan berbagai penelitian Sastra Indonesia – mengenal apa yang diberitakan berbagai surat kabar di masa lampau. Benny Setiono sebagai salah satu pembicara mengutarakan pentingnya “obor” Ureca dilanjutkan, sehingga kecintaan terhadap Indonesia diteruskan oleh generasi selanjutnya. Ia mengajak para alumni Ureca untuk menghilangkan phobia, menghilangkan rasa takut menceritakan apa itu Ureca dan keberadaan kami semua di Ureca kepada para anak dan cucu kami. Pada akhir acara Reuni Akbar pertama itu diputuskan untuk mengadakan reuni-reuni selanjutnya, dua tahun sekali. Berjalanlah reuni-reuni selanjutnya, setiap dua tahun. Jumlah peserta kian meningkat. Jumlah yang datang dari luar negeri pun, termasuk Eropa semakin banyak. Dosen-dosen sebisanya diajak berpartisipasi. Walaupun banyak yang belajar di Ureca putus kuliah setelah Ureca dibakar pada tahun 1965, cukup banyak pula yang berhasil meneruskan kuliah dan meraih berbagai gelar, antara lain insinyur, dokter, dokter gigi, sarjana hukum dll. Ada pula yang mencapai tingkat profesor. Cukup banyak yang putus kuliah berhasil menjadi pedagang sukses. Ada yang memiliki usaha-usaha dari kecil hingga besar. Yang menggembirakan adalah ketika reuni semua berkumpul tanpa kecanggungan. Gelar maupun kesuksesan berdagang tidak dipakai sebagai ukuran yang menentukan. Tidak ada perbedaan. Semua adalah alumni Ureca. Semua bernostalgia mengenang masa Ureca, bagaimana semua bersemangat belajar sambil membangun gedung-gedung dan persahabatan yang dikembangkan di sana. Yang menyedihkan, karena lanjutnya usia, banyak yang hadir
243
Universitas Res Publica di reuni-reuni awal sudah meninggal dunia. berguguran.
Satu persatu
Semoga reuni-reuni Ureca terus berlangsung hingga alumni Ureca yang terakhir dan obor Ureca yang mencerminkan semangat dan persahabatan kekal Ureca terus menyala. Diharap pula pembentukan Perkumpulan Res Publica Indonesia (Perpindo) yang tidak terbatas atas alumni Ureca, menjamin jiwa Ureca akan terus hidup di Indonesia untuk selamanya.
Foto Bersama Reuni Alumni Ureca di Cisarua 2012 Acara Reuni yang ke 7 dan terbesar sejak diadakan Reuni
244
Penerusan Jiwa Ureca
Milis URECA Berkiprah Siauw Tiong Tjing Ide pembentukan milis Ureca lahir pada tanggal 17 November 2007. Benny Setiono (Khouw Thian Tong) yang sedang berkunjung ke Hongkong, bersama Yap Ie Hoey dan saya bertemu di hotel Park Lane. Dalam pertemuan itu dibicarakan bagaimana para mantan mahasiswa Ureca yang terpencar di berbagai penjuru dunia bisa dihubungkan dan dipersatukan kembali. Muncullah ide pembentukan milis Ureca, sebagai wadah yang bisa dengan efektif menyatukan kembali para alumni Ureca. Milis ini bisa menjadi wadah yang mempertemukan kawan lama yang sudah puluhan tahun terputus hubungan, untuk saling memperhatikan dan peduli satu sama lain, kembali bernostalgia kenangan ketika bersama URECA. Milis Ureca diharapkan berfungsi sebagai upaya mempererat PERSAHABATAN KELUARGA BESAR URECA! Di zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965), terutama setelah tahun 1963, polarisasi politik di Indonesia meruncing – antara kanan dan kiri. Dengan sendirinya pernah timbul sedikit gesekan di dalam kampus Ureca, antara para mahasiswa yang masuk PMKRI, HMI dan GMKI dengan mereka yang masuk CGMI dan mungkin juga Perhimi. Setelah Ureca dibakar pada tanggal 15 Oktober 1965, semua mahasiswa Ureca berhenti kuliah. Tidak lama setelah itu, Yayasan Trisakti yang dipimpin oleh para tokoh LPKB mengambil alih kepengurusan universitas, yang dibuka kembali dengan nama Universitas Trisakti. Banyak mahasiswa yang menjadi anggota CGMI dan Perhimi ternyata dilarang masuk kembali ke Universitas Trisakti. Ribuan mahasiswa putus sekolah karena kebijakan ini. Akan tetapi cukup banyak pula alumni Ureca yang berhasil menyelesaikan studi-nya di Universitas Trisakti. Milis Ureca tidak membedakan kedua golongan yang disinggung di atas. Semua yang pernah belajar di Ureca, baik yang aktif di kelompok yang semasa kuliah di Ureca dikenal kiri atau mereka yang berada di kelompok kanan bisa dan diajak untuk masuk Milis. Demikian juga mereka yang berhasil lolos Screening dan bisa melanjutkan kuliah di Universitas Trisakti hingga tingkat kesarjanaan, boleh dan diajak masuk Milis.
245
Universitas Res Publica Yang ingin dibina adalah persatuan semua alumni Ureca – dari semua golongan dan aliran apapun. Prinsip Milis Ureca ini mencerminkan kebijakan Yayasan Pendidikan Kebudayaan dan Pendidikan Baperki dalam mengelola Ureca. Tidak ada praktek diskriminasi. Universitas yang terbuka untuk umum. Milis Ureca diharap menghilangkan semua gesekan yang pernah terjadi pada zaman itu dan mengubahnya dengan niat mempererat persahabatan para Urecawan dan Urecawati. Berdasarkan kesadaran itulah dengan cepat diambil keputusan. Beban pembentukan milis URECA jatuh di atas pundak saya yang kebetulan berpengalaman mengelola milis baik di Yahoo maupun Google. Karena saat itu merasa Google lebih unggul dari Yahoo, diputuskan menggunakan Google yang gratis dengan kapasitas yang lebih besar dari Yahoo. Pada tanggal 18 November 2007 malam, saya berhasil bentuk milis URECA. Dimulailah pembangunan Rumah URECA kosong di Google karena belum menggabungkan anggota dengan link: http://groups.google.com/group/Ureca dan setting tertutup hanya untuk anggota yang tergabung saja. Kami bertiga membuat kesepakatan bahwa hanya mantan Mahasiswa/Mahasiswi URECA dan anak-anak BAPERKI yang berhak bergabung. Orang luar TIDAK BISA masuk ke rumah URECA ini untuk melihat isi yang kita bicarakan. Jadi hanya untuk distribusi dan konsumsi alumni URECA saja. Oleh karenanya apa yang kita bicarakan dan diskusikan di milis URECA TIDAK BOLEH dibawah keluar untuk orang lain, kecuali mendapatkan izin dari sipenulisnya. Kesibukan menggabungkan anggota dimulai dengan memasukkan alamat email kawan-kawan URECA yang ada di tangan saya. Tentu dengan keterbatasan yang diberikan Google memasukkan untuk 10 alamat email/hari. Sungguh bersyukur, pembentukan rumah URECA ini didukung oleh Eva Kwee Ai Hwa di Jerman. Dengan demikian saya dan Eva berfungsi sebagai moderator milis URECA ini. Pada tanggal 2 Desember 2007 malam email pertama berhasil saya keluarkan di milis URECA. Mengirimkan foto yang diperoleh dari Ie Sian Nio di Guang Zhou. Foto bersama Ibu Utami didepan Gedung URECA sesaat sebelum Sian berangkat ke Tiongkok pada tahun 1965. Ternyata ini merupakan TEMBAKAN PERTAMA dengan foto jadoel yang luar biasa! Sekalipun sudah hampir jam 01:00 tanggal 3 Desember, jawaban dari Yap Ie Hoey yang kebetulan belum tidur, tiba. Ia menyatakan
246
Penerusan Jiwa Ureca
berhasil menerima kiriman foto Sian itu. Dan ini disambut oleh beberapa kawan yang sudah tergabung lebih dahulu. Oey Jam Tjhioe menyampaikan cerita pengalaman berkuliah di URECA, cerita bersambung mengenai pembangunan Fakultas Teknik. Sebuah pengalaman yang menggambarkan keunikan URECA yang dibangun dan dikembangkan secara gotong royong, mengikut sertakan Baperki dan para anggotanya, masyarakat Tionghoa, para orang tua mahasiswa, para dosen dan para mahasiswa. Begitulah milis Ureca mulai berkiprah. Ada beberapa contoh kegiatan Milis ini yang bisa ditonjolkan di sini: Milis URECA membangkitkan rasa setia kawan dan persahabatan kental Perkenalan baru dan lama mempererat PERSAHABATAN KELUARGA BESAR URECA. Hanny Kilapong pada tanggal 3 Desember menyambut dan memberikan “SALAM KENAL” dengan memperkenalkan diri dari FT-Elektro tahun 1961, kemudian tahun 1962 pindah ke FT- Sipil sampai 1965, sekarang menetap di Menado. Saya teringat pernah melakukan sebuah kesalahan yang memalukan. Saya menyebutnya Ci Hanny. Ternyata Hanny Kilapong adalah lelaki gagah bertubuh tinggi besar. Saya perlukan berkenalan secara khusus pada saat bertemu di Reuni ke-6 URECA di Cirebon, tahun 2010. Sebuah pertemuan yang sangat mengesankan. Hanny Kilapong ternyata adakah seorang aktivis MATAKIN yang berhasil mempertahankan keharmonisan hidup bermasyarakat di Menado. Ternyata perkenalan dan persahabatan yang mengesankan itu tidak berumur panjang. Hanny Kilapong, yang semula bernama Tjia Keng Han, tidak lama setelah pulang dari Reuni URECA di Cirebon, pada tanggal 25 Maret 2011, meninggal dunia. Berita duka ini menggelegar di milis Ureca, disampaikan Novi Kilapong, anak ke-2 Hanny Kilapong yang menggunakan alamat email ayahnya. Bilamana tidak ada milis Ureca ini, kemungkinan besar kepergian Hanny Kilopang yang terpencil hidup di Menado tidak akan kita ketahui.
247
Universitas Res Publica Saya pun berkenalan dengan Daswi Asrigo (Go Kong Hui), anak Minang yang gagah dan tabah. Walaupun mende-rita kanker pankreas, usus 12 jari, ia masih tetap tabah dan bertekad melawan penyakit yang dideritanya. Setelah dioperasi di Singapore, ia dengan tabah memutuskan tidak menjalani kemoterapi. Ia memutuskan untuk lebih banyak makan sayurbuah, jamu ramuan obat tradisional dan berolah raga setiap hari dengan teratur dan penuh disi-plin. Ia bertahan dan cukup kuat menghadiri Reuni Ke-7 di Cisarua pada tahun 2012. Keberadaan Milis Ureca juga mendorong tekad bertemu dengan para teman lama yang sudah puluhan tahun tidak berhubungan. Eva Kwee, sahabat lama Kong Hui di Ureca akhirnya bertemu muka dengannya di reuni Cisarua, setelah hampir setengah abad tidak berhubungan. Berita duka wafatnya Kong Hui pada pukul 1:00 27 Januari 2013 disampaikan oleh Anton, Liem Kok Hie di milis URECA. Beberapa hari kemudian, putra Kong Hui di Canada, menggunakan email ayahnya menyatakan bahwa ibu-nya, Chiu Jung, berharap bisa terus mengikuti pembicaraan para Urecawan di milis URECA. Begitulah, sekalipun terkadang apa yang dibicarakan dan dikeluarkan di milis URECA mungkin dirasakan ngaco, tidak berarti dan membosankan, tetapi ternyata kesetia-kawanan dan persahabatan keluarga besar URECA berkembang di milis URECA ini. Milis URECA ajang tukar pikiran Milis URECA menjadi ajang tukar pikiran dan diskusi yang sehat. Setelah lima tahun terbentuk, sering kali terjadi tukar pikiran dan diskusi di antara alumni Ureca. Topik yang diangkat-pun beraneka ragam. Dari masalah makanan, pendidikan, tempat wisata, sastra, musik, ke-sehatan, masyarakat, ekonomi, budaya, agama hingga politik. Diskusi terkadang mengarah ke perdebatan yang cukup sengit. Namun semua pihak bisa menahan emosi, membawakan masalah dan persoalan tanpa menyerang pribadi lawan diskusi. Sekali lagi menunjukkan kesetiakawanan dan persahabatan keluarga
248
Penerusan Jiwa Ureca
Hanny Kilapong (Tjia Keng Han)
Daswi Asrigo (Go Kong Hui)
249
Universitas Res Publica besar URECA. Maklumlah, banyak alumni URECA sudah teruji dan tergembleng dalam perjuangan hidup yang dihadapinya setelah Ureca dibakar dan diubah menjadi Universitas Trisakti. Milis ini kerap memuat berbagai berita dan makalah yang dianggap relevan untuk para anggota milis. Cukup sering berkembang pula diskusi tentang berbagai topik. Masalah G30S dan siapa yang mendalanginya sempat didiskusikan panjang lebar. Masalah Baperki, URECA, rasisme, demokrasi, perkembangan di RRT, masalah kesehatan dan musik adalah topik-topik yang didiskusikan panjang lebar. Para akhli yang bergabung di milis kerap membagi pengetahuannya dan memperkaya pengetahuan para anggotanya. Cukup banyak dokter, insinyur dan pengamat politik yang turut berdiskusi sehingga pertukar-pikiran memiliki bobot. Milis URECA berperan sebagai Dinding Pengumuman Milis URECA memainkan peran seperti Dinding PENGUMUMAN di institusi pendidikan dahulu. Panitia-panitia reuni menggunakannya sebagai tempat di mana berbagai pengumuman disebarkan. Jumlah yang datang ke acaraacara reuni kian bertambah. Milis URECA banyak berperan untuk menyebar luaskan rencana dan acara reuni-reuni ke semua alumni URECA yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Berbagai berita pribadi yang berkaitan dengan kesehatan seorang teman atau acara berkumpul-kumpul pun kerap diumumkan di Milis. Foto-foto pertemuan atau Meok ditayangkan di Milis ini. Siapapun bisa memberi pengumuman tentang berita keluarga, rencana perjalanan, pertemuan, seminar-seminar dan peristiwa apa yang ingin disampaikan ke semua alumni URECA yang bergabung di Milis ini. Milis URECA berfungsi sebagai Wadah Milis URECA juga menjadi wadah untuk ngobrol santai sesama kawan yang berjauhan tempat tinggal, menyampaikan music ataupun foto dan video yang menarik untuk dinikmati bersama. Milis URECA pertama menggunakan Google Groups dari 2
250
Penerusan Jiwa Ureca
Nopember 2007 hingga 23 Pebruari 2012. Karena beberapa kesulitan teknis pindah ke Yahoo Groups pada tanggal 23 Pebruari 2012. Dari dimulai sampai akhir September 2013, telah tertayang 44361 email messages. Ini menunjukkan milis URECA mendapat sambutan hangat dari keluarga URECA. Jumlah anggota yang mendaftar-pun kian meningkat sehingga bangkitlah kegairahan untuk ikut bersuara. Tentunya sebagian besar lebih senang membaca dan mengikuti pembicaraan tanpa berkomentar. Mudah-mudahan saja usia lanjut dan gaptek tidak menjadi penghalang kawan-kawan yang belum tergabung di milis URECA untuk menggabungkan diri, apalagi sekarang Milis Ureca bisa diikuti melalui telpon genggam.
251
Universitas Res Publica
252