www.ireyogya.org
FLAMMA Edisi 34, April - Juni 2012
Manifesto;
Memperkuat Representasi Politik Warga
12336
ISSN 1413-6392
9 771413 639002
CSR Pro Poor Rp. 9.500,-
VISI Menjadi organisasi yang berperan dalam mengembangkan pengetahuan untuk mempengaruhi kebijakan strategis menuju terwujudnya negara yang kuat dan masyarakat lokal yang mandiri.
MISI Sesuai dengan mandat dan visinya, IRE mengemban sejumlah misi sebagai berikut: 1. Mengembangkan pengetahuan melalui penelitian, pengembangan kapasitas, dan publikasi. 2. Membangun persenyawaan (engagement) multipihak untuk reformasi kebijakan. 3. Mendorong negara bertanggung jawab memenuhi hak-hak warga dan komunitas. 4. Memperkuat emansipasi entitas lokal yang berorientasi kesejahteraan.
PRINSIP Dalam mewujudkan visi, misi, dan strategi, IRE berpegang teguh pada prinsip: kebebasan, persaudaraan, kesetaraan, keterbukaan, kemitraan, toleransi, dan akuntabilitas.
daftar isi daftar isi
daftar isi
daftar isi
daftar isi daftar isi
daftar isi daftar isi
daftar isi
daftar isi
34
daftar isi
daftar isi
April - Juni 2012
Gagas Sorot Tata kelola kemitraan antarpihak diperlukan di daerah tambang dan gas untuk percepatan peQDQJJXODQJDQNHPLVNLQDQ0DVLQJPDVLQJSLKDNGL harapkan menanggalkan egoisme dan bisa berbagi peran dengan jelas agar tercipta pola kolaborasi \DQJLGHDOGDQNXDW
Wawancara
4
12
Di daerah industri pertambangan dan migas, CSR merupakan salah satu model dalam upaya penangJXODQJDQ NHPLVNLQDQ 1DPXQ VHULQJNDOL SURJUDP CSR terlihat kurang mengakomodir kepentingan PDV\DUDNDW+DOLQLGLVHEDENDQSURJUDP&65\DQJ dibuat bukan berbasis pada HPSRZHUPHQW kepada PDV\DUDNDWWHWDSL6HNDGDUVWUDWHJLELVQLVVHPDWD Karena itu, diperlukan program CSR SURSRRU yang digadang-gadang sebagai salah satu upaya perFHSDWDQSHQDQJJXODQJDQNHPLVNLQDQ
14
Isu kesejahteraan dan SURSRRU SROLFLHV pelan-pelan menjadi isu politik yang mengemuka seiring dengan adanya perubahan politik yang sangat kuat di aras naVLRQDOPDXSXQORNDOGDODPVDWXGHNDGHWHUDNKLU7LGDN sedikit kabupaten/kota di Indonesia yang berusaha mengembangkan berbagai skema kebijakan agar warga bisa mengakses layanan publik dasar lebih mudah dan mendorong skema jaminan sosial yang semakin menguat GDODP VDWX GDVDZDUVD WHUDNKLU %HEHUDSD GDHUDK RWR nom berusaha untuk memberikan layanan pendidikan dasar yang murah sedangkan daerah otonom yang lain mencoba untuk mendesain skema jaminan kesehatan, bantuan untuk komunitas miskin, dan jaminan sosial EDJLDQJJRWDNRPXQLWDVNRPXQLWDV\DQJWHUHNVNOXVL
Kupas
34
Liberalisasi politik yang bergulir sejak 1998 membawa EHUNDKEDJLHWQLV7LRQJKRDGL,QGRQHVLD'DPSDNEHVDU bagi etnis Tionghoa setelah liberalisasi politik bergulir adalah terbitnya UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan menggantikan UU 62/1968 yang selama ini mendiskrimiQDVLHWQLV7LRQJKRD
Perspektif ........................3 Sorot ........................4 Wawancara .....................12 Gagas .......................14 Manifesto .....................20 Kupas .........................34 Pustaka .........................36 Potensi .........................38 Forum ..................... 40 Sosok ..................... 42 5HÁHNVL
Penanggungjawab Sukasmanto Pemimpin Umum Abdur Rozaki Pemimpin Redaksi M Zainal Anwar Redaktur Senior Sutoro Eko, Bambang Hudayana, Arie Sujito, Krisdyatmiko Redaktur Pelaksana Sugeng Yulianto Sidang Redaksi Abdur Rozaki, Arie Sujito, Dina Mariana, Bornie Kurniawan, Bambang Hudayana, Krisdyatmiko, Machmud NA, Sugeng Yulianto, Sunaji Zamroni, Titok Hariyanto Reporter Anik Susiyani, Melanie Jayanti, Fathor Rahman, Mohamad Fathollah Kontributor Ashari CE (Dellaware USA) $UWLVWLN )RWRJUDÀ Candracoret, Ompae, Wiwid W Pemimpin Perusahaan Hesti Rinandari Sirkulasi, Iklan, & Pemasaran Machmud NA Alamat Redaksi Jalan Palagan Tentara Pelajar Km 9,5 Dusun Tegalrejo, Desa Sariharjo, Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta Telp/Faks +62 274 867-686 atau 748-2091 Email RIÀFH#LUH\RJ\DRUJWebsite ZZZLUH\RJ\DRUJ 5HGDNVLPHQHULPDVXPEDQJDQWXOLVDQRSLQLDWDXWXOLVDQUHSRUWDVH IRWRJUDÀLOXVWUDVL\DQJVHODUDVGHQJDQYLVLGDQPLVLSHPEHUGD\DDQ,5(
1
beranda
Review Flamma Edisi 33
Flamma Edisi 33 -DQXDUL0DUHW PHQ\DMLNDQLVXODPD\DQJWLGDN SHUQDKWXQWDVXQWXNGLEDKDV\DNQL SHQDQJJXODQJDQNHPLVNLQDQ/DSRUDQ XWDPD)ODPPDPHQJXSDVVHQJNDUXW SHQDQJJXODQJDQNHPLVNLQDQ\DQJGLWDQGDL IUDJPHQWHGSURJUDPGDQDQJJDUDQ OHPDKQ\DNRRUGLQDVLDQWDUSLKDNGDQ VLQNURQLVDVLDQHNDSURJUDPKLQJJD NHOXKDQGDHUDKWHUKDGDSGHVDLQSURJUDP SXVDW\DQJPDVLKEHUQXDQVDVHQWUDOLVWLV GDQVHUDJDP)ODPPDHGLVLWHUVHEXW PHQ\DMLNDQUDJDPJDJDVDQXQWXNFRED NHOXDUGDULVHQJNDUXWWHUVHEXW
M
Mungkin sudah sekitar satu tahun ini Flamma tidak hadir menyapa pembaca. Tentu, dalam rentang waktu tersebut, ada banyak hal yang terjadi, baik dalam dinamika redaksi Flamma maupun di IRE Yogyakarta sendiri. Ada banyak hal yang bisa ditulis disini, misalnya, pergantian posisi pemimpin redaksi dari Ashari Cahyo Edi, yang harus melanjutkan studi master ke Universitas Dellaware di Amerika Serikat, ke M. Zainal Anwar, lalu Bambang Hudayana, akrab dipanggil pak Hud, salah seorang staf senior IRE Yogyakarta, yang berhasil mendapatkan gelar dok-
2
toral di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Rentetan peristiwa ini Sekadar menggambarkan situasi terkini dibalik dapur redaksi Flamma. Selain itu, satu peristiwa yang menjadi penanda penting perjalanan IRE Yogyakarta ke depan adalah peresmian sanggar belajar yang dibangun di sebelah barat kantor IRE Yogyakarta serta diberi nama Joglo Winasis. Cita-cita lama warga IRE yang ingin memiliki suatu tempat khusus untuk menggelar pertemuan Foto: Dok. IRE dengan publik ini akhirnya terwujud. Tentu ada banyak harapan dan doa agar sanggar belajar ini tidak hanya bermanfaat bagi warga IRE semata, tapi juga pada masyarakat luas.
perspektif
TIRAI KESEJAHTERAAN Sebagian besar anak bangsa ini berharap negara-pemerintah mampu memainkan peran yang besar dalam mengatasi persoalan kemiskinan. Harapan ini begitu lekat dalam benak setiap orang karena begitulah tanggung jawab normatif negara sebagaimana tertuang dalam konstitusi. Sayangnya, negara makin kehilangan peran pentingnya untuk mengatasi persoalan ini. Jangankan menanggulangi kemiskinan, menyediakan data akurat tentang jumlah orang miskin by name dan by address saja, sejauh ini, pemerintah pusat belum punya kepastian data. Lalu, bagaimana dengan pemerintah daerah? Seorang mantan Bupati di salah satu Kabupaten di Yogyakarta dalam suatu kesempatan diskusi pernah mengatakan,”kalau bertanya kepada Bappeda berapa jumlah orang miskin di wilayahnya, jawabannya pasti tidak tahu. Begitu juga kalau bertanya kepada Dinas Kesehatan, berapa jumlah ibu hamil yang mengalami kerentanan sehingga potensial jika melahirkan akan mengalami kematian, jawaban pasti tidak tahu juga”. Realitas semacam ini menandakan betapa pentingnya kerjasama multipihak untuk mengatasi persoalan kemiskinan yang dari tahun ketahun terus meningkat, setidaknya jika dilihat dari jumlah para pencari kerja dari desa yang ke kota dan juga mancanegara sebagai TKI. Negara-pemerintah tidak bisa lagi bekerja sendirian, ia perlu mensinergikan programnya dengan jejaring pasar-perusahaan yang memiliki program Corporate Social Responsibility (CSR) dan juga organisasi masyarakat sipil. Ketiganya memiliki potensi untuk saling mengisi keterbatasan yang dimiliki, dengan bersinergi dimungkinkan lebih menghasilkan capaian yang lebih nyata untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan di pedesaan dan perkotaan.
Negara perlu samakin memberi akses terhadap keterlibatan masyarakat sipil dalam pembangunan, sedangkan pasar perlu terus mempromosikan program CSR-nya agar semakin dominan pada pendekatan pemberdayaan (empowerment) dibandingkan dengan pendekatan charity. Perusahaan bisa menempuh pemberdayaan dengan cara pengelolaan kluster secara integratif, seperti pendidikan, kesehatan, kewirausahaan/ekonomi dan lingkungan. Jika negara dan perusahaan serta masyarakat sipil terus berupaya untuk memperkuat akses dan
aset warga untuk kehidupan yang lebih baik, pasti kita akan memperoleh capaian pembangunan yang berkualitas sebagaimana yang menjadi harapan dari Millenium Development Goals (MDG’s). Dalam memainkan peran bersinergi ini, agar saling menimbulkan trustee satu sama lain maka sangat diperlukan prinsip
dalam melakukan kerjasama, yakni adanya akuntabilitas, transparansi dan responsibilitas pada sisi proses perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dan evaluasi program penanggulangan kemiskinan. Tanpa prinsip ini maka kerjasama akan terjebak pada sirkulasi “bancaan” proyek. Memang tidak mudah membangun kerjasama yang saling didasari trustee multipihak ini. Namun demi kepentingan nasional, komitmen untuk meningkatkan kualitas kehidupan warga semestinya mulai diinisiasi, dipupuk dan dikembangkan. Peluang itu sebenarnya mulai terbuka, misalnya ketika di beberapa daerah mulai ada inisiatif untuk saling mengintegrasikan antara perencanaan pembangunan dari tingkat Musrenbangdes sampai Musrenbangkab dengan program CSR perusahaan, juga lembaga donor dan organisasi warga. Peluang ini akan dapat membuahkan hasil jika ketiganya mampu melepaskan ego masing-masing, seperti: para aktor dari ketiganya-birokrasi pemerintah, karyawan perusahaan, aktivis masyarakat sipil mulai mengubur jauh-jauh kebiasaan bekerja berbasis proyek. Disamping itu, program-program penanggulangan kemiskinan dengan disain dari atas (pemerintah pusat) ke bawah (daerah-desa), khususnya seperti bantuan langsung masyarakat (BLM) tidak terus menerus direproduksi karena itu hanya memperlemah aset masyarakat dalam memberdayakan diri. Terlebih jika BLM itu berbasis utang luar negeri ke depannya tentu akan menciptakan postur anggaran negara yang tidak sehat. Juga perusahaan tak lagi menjadikan program CSR sekadar sebagai media pencitraan yang minus makna untuk kehidupan masyarakat yang lebih berkualitas. Tirai kesejahteraan warga perlu disingkap dengan sinergi multistakeholders ini. 3
Sorot
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Pengantar Pada akhir Januari 2012 lalu, IRE Yogyakarta menyelenggarakan Lokakarya Nasional III dengan tema “Percepatan Penanggulangan Kemiskinan di Daerah Eksplorasi Tambang dan Migas melalui Kemitraan Perusahaan, Pemda dan Organisasi Masyarakat Sipil.” Kegiatan ini didukung oleh UNDEF (United Nation for Democracy Fund, yaitu salah satu badan PBB yang mempromosikan demokrasi untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat) dan bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup (Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan/ Asisten Deputi Urusan Pengendalian Pencemaran Pertambangan, Energi Dan Migas) dan BP. Migas. Intisari dari kegiatan tersebut akan disajikan dalam laporan SOROT Flamma Edisi 34 ini.
Mempercepat Penangulangan Kemiskinan dengan
Kemitraan
7DWDNHORODNHPLWUDDQDQWDUSLKDNGLSHUOXNDQGLGDHUDKWDPEDQJGDQ JDVXQWXNSHUFHSDWDQSHQDQJJXODQJDQNHPLVNLQDQ0DVLQJPDVLQJSLKDN GLKDUDSNDQPHQDQJJDONDQHJRLVPHGDQELVDEHUEDJLSHUDQGHQJDQMHODV DJDUWHUFLSWDSRODNRODERUDVL\DQJLGHDOGDQNXDW
P
Potret kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat Indonesia di beberapa daerah masih mencerminkan kisah paradoks jika diukur dari kekayaan alam di sekitarnya. Kepulauan Anambas-Kepulauan Riau, misalnya, mempunyai sumber daya alam yang melimpah. Disana terdapat banyak kekayaan alam seperti, minyak, tambang, bauksit, gas bumi dan kekayaan alam yang melimpah lainnya. Krisdyatmiko, peneliti IRE, menuturkan, di kepulauan Anambas jumlah masyarakat miskin tahun 2008 berkisar 21,96 % dari jumlah penduduk sebanyak 9.440 KK. Ironisnya, didekat perusahaan tambang dan gas tersebut masih banyak masyarakat yang masih miskin. Kenyataan serupa juga datang dari Kabupaten Bojonegoro-Jawa Timur, sebagaimana dijelaskan Bambang Hudayana, 4
dosen Antropologi UGM. Menurutnya, 80 % masyarakat yang berada di sekitar wilayah kerja industri minyak blok Cepu hidup dalam kategori miskin dan rentan miskin. Sedangkan pemerintah daerah tidak cukup sigap menyelesaikan masalah tersebut, karena anggaran belanja daerah banyak terserap untuk pembayaran gaji pegawai. Kondisi yang tak seharusnya terjadi mengingat wilayah tersebut sebagai daerah penghasil sumber minyak. Hal itu terjadi karena program CSR tidak dikelola dengan kerjasama antar pihak. Para pihak (stakeholders) berjalan sendirisendiri untuk mengatasi program penanggulangan kemiskinan. Corporate Social Responsibility (CSR) atau yang sering disebut dengan tanggung jawab sosial perusahaan perlu di-
dorong untuk mengarah pada programprogram penanggulangan kemiskinan. Sebab selama ini, program CSR belum secara maksimal diarahkan untuk mengatasi persoalan kemiskinan di masyarakat. Penanggulangan kemiskinan akan memperoleh hasil yang maksimal bila didorong oleh semua pihak (stakeholders), baik itu pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sipil. Dalam konteks inilah sangat diperlukan adanya kemitraan yang strategis untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan di masyarakat. Konsep dasar dan prinsip dalam kemitraan sebagai dasar pijakan diperlukan dalam penanggulan kemiskinan untuk memperoleh hasil yang diharapkan. Menurut Sutoro Eko, peneliti senior IRE, kemitraan merupakan perkumpulan orang-orang atau institusi dari kombinasi pemerintah, swasta maupun organisasi masyarakat sipil yang bekerjasama atau bersenyawa (engagement) secara sukarela, saling menguntungkan dan inovatif, guna menangani tujuan-tujuan sosial bersama melalui pemaduan (sinergi) sumberdaya dan kompetensi.
Bersatu Melawan
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012 Ia juga menambahkan, prinsip dasar dalam kemitraan adalah hubungan setara, saling percaya dan saling membutuhkan antara pemerintah dan masyarakat, adanya learning dan sharing satu sama lain, tidak dimaksudkan sebagai alat pemerintah, tidak merupakan duplikasi dari program pemerintah atau lembagalembaga non pemerintah, tidak terlibat secara langsung dalam aktivitas komersial, tidak didominasi oleh perwakilan dari elemen manapun, serta tidak mewakili kepentingan khusus dari sesuatu golongan secara tersendiri. Untuk membentuk sebuah kemitraan, bentuk relasi antara identitas organisasional dan mutualitas harus sama-sama tinggi. “Semua pihak dalam merintis terbentuknya kemitraan antar pihak, perlu dibangun sejumlah instrumen seperti tata kelola, aturan main dan sebagainya agar forum tersebut bisa semakin bermakna dan dirasakan manfaatnya,” tegas Sutoro Eko. Hal senada diungkapkan Ir. Muhammad Taswin, Kasubdit Hubungan Komersial Batubara, Dirjen Mineral dan BatubaraDirektorat Pembinaan Pengusahaan Batubara-Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Menurutnya, kerja kemitraan pada satu sisi bisa berfungsi sebagai upaya saling belajar antar stakeholders dalam program-program penanggulangan kemiskinan. Di lain pihak, Taswin juga berharap perguruan tinggi dan NGO juga ikut andil. “Hal itu guna memperkaya perspektif dan pendekatan sehingga dapat mempercepat agenda penanggulangan kemiskinan di daerah industri pertambangan,” imbuhnya. Lebih lanjut, dalam pandangan Sutoro Eko, ada empat bentuk dan level dalam kemitraan. Level yang pertama adalah komunikasi, yaitu saling belajar dan bertukar informasi antar stakeholders tetapi tetap dalam organisasi dan tindakan yang terpisah, selain itu sifatnya sangat longgar. Level kedua adalah koordinasi, yaitu bekerja secara terpisah, tetapi mempunyai pemahaman bersama, dan menghindari tumpang tindih tindakan. Level ketiga adalah kolaborasi, yaitu bekerja bersama dalam cara yang kohesif. Masing-masing aktor tetap menjalankan mandat sesuai kompetensinya. Biasanya kolaborasi dibangun untuk kegiatan speVLÀNGDQad hoc. Sedangkan level keempat adalah integrasi, yaitu Pemda, perusahaan dan NGO bekerja bersama dalam satu wadah/organisasi yang dibentuk bersaPDXQWXNPHQDQJDQLLVXVSHVLÀNMDQJND panjang. Namun, dalam level integrasi ini, tidak bisa lepas dari politisasi dan birokratisasi, sehingga pelaksana harian tidak bisa leluasa dan independen.
KEMISKINAN Tabel Bentuk dan Level Kemitraan
Sumber: Sutoro Eko (2012) Dalam kemitraan, lempar tanggung jawab-pun terjadi antar stakeholders di dalamnya. Hal itu terjadi karena tidak adanya kolaborasi dan pembagian tugas yang jelas. Prof. Susetiawan mengatakan, adanya egoisme dari masing-masing pihak justru memicu terjadinya saling lempar tanggung jawab. Sehingga diperlukan satu komitmen bersama sejak dalam pembagian tugas. Pembagian tugas dalam kemitraan itupun perlu dijalankan. Kemitraan yang dilakukan oleh ketiga pihak diatas diharapkan berkolaborasi secara ideal, maksudnya adalah merencanakan pembagian tugas (division of labour) kemudian dibuat komitmen demi kepentingan rakyat. Hal itu dikatakan oleh Prof. Susetiawan. Sosiolog Universitas Gadjah Mada Yogyakarta saat ditemui majalah Flamma disela-sela kesibukannya. “Harus ada pembagian tugas yang jelas antara Pemerintah, Perusahaan, dan Masyarakat sehingga terbentuk skema kolaborasi yang ideal,” ujarnya. Menanggapi hal tersebut, Sutoro Eko mengatakan, dalam mendorong tumbuhnya kemitraan, IRE mengajak semua pihak untuk duduk bersama membangun perspektif, aturan main, model komunikasi dan sebagainya sehingga secara sedikit demi sedikit bisa meruntuhkan suasana distrust atau ego sektoral. Bambang Hudayana, manajer program IRE-UNDEF mengatakan, berdasarkan pengalaman program yang dilakukan oleh IRE-UNDEF, promosi kemitraan ke depan tidak lain adalah mengembangkan iklim kerjasama, kolaborasi dan payung hukum yang mempertemukan
sinergisasi peran perusahaan, pemda dan NGO lokal.
CSR; Tidak Sekadar Sumbangan atau Peredam Amarah Dalam membangun kemitraan, peran antar pihak menjadi sangat penting dalam program penanggulangan kemiskinan. Perusahaan berperan untuk mendorong terwujudnya kepekaan dan kepedulian sosial. Sebagai pemilik dana CSR, perusahaan perlu didorong untuk benar-benar mempunyai komitmen dalam pemberdayaan masyarakat melalui program penanggulangan kemiskinan. Menurut Bambang Hudayana, kemitraan harus dibentuk karena dalam melakukan CSR, perusahaan kurang inovasi atau instrumen karena harus tetap fokus pada bisnis. Selain itu, perusahaan menghadapi high social cost sehingga dana CSR tidak menggelontor ke orang miskin. “Perang terhadap kemiskinan menjadi strategi marketing, bukan menjadi social trust. Persoalan lain yang dihadapi adalah perusahaan tetap dapat mengalami distrust sekalipun sudah memperbaiki CSR dan strategi empowerment,” tegas Bambang. Prof. Susetiawan menambahkan, perusahaan hanya memberikan sumbangan dan dana saja yang kemudian terpaksa dikeluarkan untuk meredam kemarahan masyarakat. “Selama ini yang terjadi, perusahaan hanya dijadikan layaknya “sapi perah” yang hanya bisa mengeluarkan dana-nya untuk program penanggulangan kemiskinan,” ujar Susetiawan. Ironisnya CSR hanya hadir dalam bentuk dana 5
Sorot pemadam kebakaran. Hal ini yang kemudian perlu diarahkan kepada perusahaan untuk memberikan dana CSR-nya dalam penanggulangan kemiskinan. (Lebih lanjut: baca rubrik Wawancara) Oleh karena itu, perusahaan tidak bisa mengelolanya sendiri. Program CSR dari perusahaan membutuhkan pihak-pihak lain untuk mengelolanya. Ir. Muhammad Taswin, Kasubdit Hubungan Komersial Batubara mengatakan, dalam penyusunan program CSR, perusahaan juga perlu menjalin mitra kerjasama dengan pemerintah dan organisasi sosial kemasyarakatan dalam penanggulangan kemiskinan. Adapun teknik penyusunannya beberapa diantaranya adalah dialog dan konsultasi, musyawarah, analisis terhadap kondisi masyarakat, pemetaan, pemahaman dan pengembangan partisipatif, pemanfaatan sumber daya lokal, perencanaan aksi, penguatan lembaga pada masyarakat sekitar tambang, penguatan jaringan kerja serta evaluasi dan mengakomodasi partisipatif masyarakat. Semua teknik penyusunannya dilakukan bersama-sama dengan pihak yang terkait (stakeholders). Dalam Policy Paper IRE (2011) berjudul Menjadi Katalis Perubahan; Reposisi CSR untuk Penanggulangan Kemiskinan dalam Konteks Desentralisasi disebutkan ada tiga model pendanaan yang bisa menjadi referensi bagi perusahaan. Pertama, model memberi (giving), yaitu perusahaan memberikan dukungan dana kepada inisiatif NGO yang dianggap relevan dengan visi-misinya. Kedua, model belanja (shopping), yakni perusahaan mempunyai program-program dan dana pemberdayaan yang digerakkan oleh perusahaan, tetapi pelaksanaannya dikompetisikan kepada pihak NGO. Ketiga, model investing, artinya perusahaan memberikan dua komponen sekaligus (dana program dan pengembangan kapasitas) kepada NGO lokal. Ketiga-tiganya dapat diterapkan dalam pengembangan program CSR yang dikeluarkan oleh perusahaan. Sebagai pemegang kekuasaan dan kebijakan, peran pemerintah dalam mendorong terwujudnya kemitraan diantara stakeholders menjadi sangat penting dan strategis. Pemerintah perlu didorong untuk membentuk sebuah institusi bernama Forum Kemitraan Stakeholders CSR. Selain itu, Pemerintah berperan menjaga akuntabilitas politik (political accountability), membuat regulasi serta memfasilitasi koordinasi dan pengawasan program CSR. Selain itu, pemerintah daerah harus mencegah terjadinya benturan antara perusahaan dengan masyarakat. Pemerintah daerah dapat menjadi mediator di antara NHGXDQ\DNHWLNDDGDNRQÁLN Adapun dari pihak masyarakat atau organisasi sosial kemasyarakatan, dapat 6
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012 bekerja aktif dalam mengoreksi dampak pembangunan, serta dapat menyampaikan aspirasi publik melalui mekanisme yang disepakati. Namun tidak lantas masyarakat hanya menjadi subjek yang terus-menerus meminta tanpa ada upaya untuk mengembangkan diri lewat dana CSR. Artinya, dana CSR ini dapat dipakai untuk pengembangan masyarakat, bukan kemudian langsung habis pakai. Ke depan, Bambang Hudayana mengusulkan agar semua pihak bisa berperan maksimal dalam mewujudkan kemitraan. Pertama, NGO lokal tidak hanya menjalankan fungsi advokasi dan mengontrol kinerja pemda dan sektor swasta tetapi juga mampu berperan sebagai mitra perusahaan. Kedua, perusahaan sebaiknya juga turut memfasilitasi penguatan peran NGO lokal dan Community Based Organization (CBO) dalam menjalankan fungsi pemberdayaan masyarakat. Ketiga, pem-
da juga memperkuat kerjasama dengan NGO lokal dan perusahaan dengan berperan sebagai koordinator, fasilitator atau regulator yang relevan untuk mendukung kelembagaan kemitraan. Hasil yang ingin diharapkan dari program kemitraan ini adalah, terselenggaranya program kemitraan dengan baik dalam rangka upaya penanggulangan kemiskinan. Terbentuknya Forum Multistakeholder untuk Corporate Social Responsibility (MSH CSR) pun juga diharapkan sebagai upaya untuk menerapkan pola dan praktek implementasi CSR agar dapat memberikan manfaat yang besar bagi penanggulangan kemiskinan. “Dengan upaya itu, maka tidak ada lagi masyarakat yang hidup miskin terutama yang berada di wilayah atau area perusahaan,” imbuh Bambang Hudayana. Anik Susiyani dan Fathor Rohman
Belajar dari Kutai Timur SALAH satu contoh dalam pola kemitraan integrasi adalah Forum CSR Multi-stakeholders. Wadah ini memperlihatkan integrasi yang kuat tetapi tidak bisa lepas dari politisasi dan birokratisasi, sehingga pelaksana harian tidak bisa leluasa dan independent. Hal ini menunjukkan bahwa ada salah satu pihak dalam kemitraan yang kemudian mendominasi, sehingga menjadi tidak independent. Model kemitraan integrasi ini pernah diterapkan di daerah Kutai Timur pada tahun 2006. Kemitraan dibentuk melalui pelembagaan multistakeholder untuk program CSR atau yang disebut dengan Multistakeholder Corporate Social Responsibility (MSH-CSR). Forum tersebut adalah wadah bagi para stakeholders untuk membentuk mekanisme pelaksanaan program CSR di Kabupaten Kutai Timur. Forum ini sebagai bentuk kemitraan antara pemerintah daerah, perusahaan dan masyarakat setempat. Hal itu dimaksudkan agar masing-masing pihak dapat terlibat dan memahami tugas, tanggung jawab, dan kewenangannya masing-masing. Di daerah kabupaten Kutai Timur, terdapat 60 perusahaan tambang yang beroperasi. Karena terdapat banyaknya perusahaan tambang di dalamnya, maka dibentuklah forum Multi Stakeholder (MSH)-CSR untuk mengatur mekanisme pelaksanaan CSR. Forum MSH-CSR ini pada awalnya dibentuk pada tahun 2005 yang disahkan oleh bupati Kutai Timur.
Awalnya dibentuk dengan niat baik, yaitu agar forum tersebut bisa sebagai wadah bagi stakeholder untuk membentuk mekanisme pelaksanaan program CSR. Namun, setelah dibentuk sistem tersebut, banyak kepentingan yang masuk didalamnya. Mahmud, N.A, salah satu staf IRE mengatakan, forum MSH-CSR ini hanya bagus di konsep, namun implementasi di lapangan berbeda karena banyak kepentingan yang masuk di dalamnya. “Konsep ini bagus, namun sayangnya setelah dibentuk forum MSH-CSR, yang terjadi adalah forum tersebut hanya menjadi tempat pembuangan proposal masyarakat. Selain itu, dalam forum tersebut, banyak kepentingan politik dan kepentingan birokrat karena forum tersebut diduduki oleh para birokrat,” ujar Mahmud. Hal itu yang menjadi hambatan bagi forum tersebut dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Sampai saat ini, perusahaan yang masih bertahan dalam pemberian dana CSR hanya perusahaan Kaltim Prima Coal, dimana perusahaan tersebut masih memberikan dana CSR untuk masyarakat. Meskipun begitu, sampai saat ini, forum tersebut masih berlanjut karena diharapkan forum ini masih dipercaya sebagai salah satu upaya penanggulangan kemiskinan. Anik Susiyani dan Fathor Rohman
Bersatu Melawan
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
KEMISKINAN
3HUXVDKDDQGLGDHUDKPLJDVGDQWDPEDQJ VHEHWXOQ\DPHPLOLNLSRWHQVLNXDWXQWXN EHUNRQWULEXVLGDODPSHPEDQJXQDQGDHUDK 6HMDXKLQLKDOWHUVHEXWNXUDQJEHUMDODQ GHQJDQPDNVLPDO0XQFXOJDJDVDQDJDUSLKDN SHUXVDKDDQOHELKDNWLIWHUOLEDWGDODPWDWD NHORODSHUHQFDQDDQSHPEDQJXQDQ
Melibatkan Sektor Perusahaan dalam Skema
Perencanaan Pembangunan
D
Di daerah pertambangan di Indonesia, saat ini memperlihatkan dua wajah yang kontras, roda pembangunan yang dilakukan perusahaan dengan kencang ternyata tidak diikuti dengan meningkatnya pendapatan masyarakat secara keseluruhan. Akibatnya, kemiskinan tidak kunjung berkurang. Kesejahteraan masyarakat terutama yang berada di sekitar daerah tambang acap kali berbeda dari realitas yang ada dalam perusahaan. Adanya kesenjangan pendapatan antara orang-orang yang bekerja di dalam perusahaan dan yang di luar perusahaan seringkali menjadi pemicu kecemburuan. Realitas lingkungan di daerah tambang yang jauh dari realitas perusahaan menjadikan harapan pengentasan kemiskinan semakin jauh dari kenyataan. Tidak dipungkiri lagi, saat ini berbagai stakeholder telah bekerja keras untuk mendorong hadirnya kesejahteraan sekaligus memerangi kemiskinan di daerah tambang. Baik pemerintah daerah
(provinsi atau kabupaten) maupun perusahaan, melalui kegiatan Community development (Comdev) atau Corporate Social Responsibility (CSR). Mereka telah bekerja keras menciptakan program dan kegiatan untuk memajukan daerah dan mengurangi kemiskinan terutama di daerah tambang. Namun angka kemiskinan di daerah khususnya di lokasi industri pertambangan saat ini masih relatif tinggi. Papua, wilayah paling timur Indonesia itu bahkan terkenal dengan produksi emasnya yang terbesar di dunia, memiliki penduduk miskin mencapai 80,07 persen atau sekitar 1,5 juta jiwa dari 1,9 juta penduduk Papua (Data BPS tahun 2011). Data tersebut menunjukkan bahwa daerah tambang atau daerah yang kaya SDA ternyata mengalami kemiskinan yang luar biasa, dimana tingkat kemiskinan daerah ini di bawah angka kemiskinan provinsi dan angka kemiskinan nasional. Bahkan ketika perusahaan pertambangan
telah beroperasi dan melakukan program CSRpun, angka kemiskinan penduduk lokal tidak serta merta turun secara drastis. Program pembangunan di Indonesia sebetulnya diusung dengan skema musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang diawali dari tingkat desa. Hasil musrenbang desa ini selanjutnya akan diusulkan hingga ke musrenbang tingkat nasional atau pusat. Sayangnya, tidak semua usulan tersebut bisa diakomodir dengan berbagai alasan misalnya keterbatasan anggaran. Meski sudah ada sistem perencanaan yang mengakomodasi kebutuhan desa untuk melaksanakan program pengentasan kemiskinan, tetapi fakta yang ada kemiskinan di desa masih relatif tinggi. Selain itu, berbagai kebutuhan masyarakat dalam bentuk tersedianya infrastruktur yang layak dan mata pencaharian hidup yang sustainable belum terpenuhi secara maksimal. 7
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Perencanaan Pembangunan Berbasis Kemitraan Daerah tambang selama ini sering disebut sebagai daerah kaya program yang diusulkan”, ungkapnya. Hal ini tentu berbeda raya yang ditunjukkan dengan total APBD lebih dari 1 trilyun jika terlibat dalam level kabupaten yang biasanya lebih barupiah. Di Kutai Timur, dari total APBD Tahun Anggaran 2012, nyak bersifat memutuskan suatu usulan. mencapai Rp 2,4 triliun. Sedangkan APBD Bojonegoro tahun Selain itu, musrenbang di level kecamatan juga meru2012 Rp1,5 triliun. Tidak berlebihan jika dengan anggaran yang pakan arena yang mempertemukan banyak pihak mulai dari besar tersebut, maka diharapkan skema pembangunan dan delegasi desa, perwakilan SKPD bahkan anggota DPRD. Perpengentasan kemiskinan berlangsung secara optimal. Hanya temuan ini diharapkan bisa memunculkan adanya pembagian saja, pada faktanya, seringkali anggaran yang terlihat besar peran antara satu pihak dengan yang lain. Untuk memaksitetap tidak mencukupi untuk mendorong program yang ber- malkan pembagian peran tersebut, maka pelembagaan kemipihak pada penanggulangan kemiskinan. Dalam situasi yang traan bisa dijadikan alternatif untuk mewadahi kepentingan demikian, diperlukan sebuah terobosan perencanaan pemba- berbagai pihak. ngunan terutama di daerah tambang untuk mempercepat peAgus juga mengusulkan agar untuk mengefektifkan sinanggulangan kemiskinan. nergi perencanaan antara swasta dan pemerintah maka perPada saat lokakarya nasional III UNDEF yang di lak- lu dibentuk Forum Komunikasi CSR dan Musrenbang yang sanakan oleh IRE atas kerjasamanya dengan UNDEF, muncul akan menjadi forum kerjasama swasta dan pemerintah dalam gagasan segar mengenai pengembangan sistem perencanaan proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantaupembangunan desa yang lebih memperhatikan agenda kemi- an, dan evaluasi berbagai program/kegiatan penanggulangan traan. Selama ini, musrenbang di tingkat kemiskinan. desa-kecamatan hingga kabupaten hanya Pandangan berbeda disampaikan Drs. Wijanarko Setyawan, MSC, Asisten Demelibatkan kelompok sektoral tetapi ku8QWXN puti 2 Urusan Pemberdayaan Masyarakatrang melibatkan perusahaan migas dan PHQJHIHNWLINDQ Kemenkoksera. Menurut Wijanarko, identambang. Padahal, perusahaan tersebut memiliki sumber daya yang sangat kuat VLQHUJLSHUHQFDQDDQ WLÀNDVLSHUDQGDQSURJUDPDWDXNHJLDWDQ yang hendak dilakukan CSR bisa dilakudan memiliki program CSR yang bisa DQWDUDVZDVWDGDQ kan pada waktu forum SKPD. Sedangkan bersinergi dengan progam desa maupun dalam forum musrenbang kabupaten/ pemda. Apabila terjadi sinergisasi, maSHPHULQWDKPDND kota, pengelola CSR bisa memberikan koka banyak masalah desa yang selama SHUOXGLEHQWXN mitmen atau kesepakatan terkait program ini kurang dapat dipecahkan oleh pihak atau kegiatan yang hendak didanai. pemerintah desa atau pemda bisa diatasi )RUXP.RPXQLNDVL Selain itu, dalam konteks sistem pedengan kehadiran perusahaan tersebut. &65GDQ0XVUHQEDQJ rencanaan pembangunan, Wijanarko Namun permasalahannya, saat ini menjelaskan bahwa program CSR disusun banyak perusahaan yang masih berangberdasarkan Rencana Jangka Menengah gapan bahwa CSR merupakan politik Daerah (RPJMD). Wijanarko menerangbalas budi (politik etis). Hal tersebut dikarenakan perusahaan telah mengambil kekayaan daerah kan bahwa di Kota Solo, Program TIM CSR Kota Solo disudalam jumlah yang besar. Warga yang datang untuk menun- sun berdasarkan RPJMD Kota Solo. Dengan bercermin pada tut kepedulian dari perusahaan, umumnya dianggap hal yang RPJMD, maka program CSR diharapkan bisa mendukung mengganggu oleh pihak perusahaan. Sehingga bentuk dari program pembangunan pemerintah, baik di level desa hingga politik etis itu adalah dana karitatif jangka pendek untuk men- kabupaten, yang telah disusun dan disepakati oleh berbagai stakeholder di daerah yang bersangkutan. gamankan perusahaan. Sementara itu, dalam pandangan Soeharman Noerman, Perusaahaan-perusahaan tambang tersebut telah beranggapan bahwa sebelum perusahaan pertambangan beroperasi, mere- Chair for Partnership, Institutional and Advocacy-Corporate ka sudah peduli terhadap rakyat. “Tapi, kepedulian mereka itu Forum For Community Development (CFCD), keterlibatan merupakan bagian dari biaya produksi”, kata Prof. Susetiawan, sektor perusahaan dalam sistem perencanaan pembangunan Sosiolog dan pengamat CSR. Bentuk CSR yang umum ada pada yang didorong oleh pemerintah sebaiknya dilakukan dengan perusahaan saat ini adalah bagian dari strategi perusahaan semangat keterbukaan dan akuntabel sehingga tidak terjadi yang dikaitkan dengan biaya produksi sehingga perusahaan tumpang tindih pembiayaan program atau kegiatan. Hal ini itu merasa diuntungkan dengan kehidupan masyarakat sekitar. dikhawatirkan bisa membuka peluang untuk terjadinya tinBiaya produksi ini akan dikeluarkan untuk kepentingan masya- dakan korupsi di mana satu program atau kebutuhan dibiayai rakat agar masyarakat tidak mengganggu. secara ganda melalui dana APBN/APBD dengan dana yang Agus Manshur, SE, MA., Kasubdit Analisa Kebijakan Pe- bersumber dari CSR. Prof. Susetiawan mengingatkan bahwa pelaksanaan perngurangan Kemiskinan, Direktorat Penanggulangan Kemiskinan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAP- encanaan pembangunan di daerah pertambangan dan migas PENAS menyampaikan gagasan yang menarik terkait wacana sebaiknya dilakukan dengam model kerjasama antara pemerperencanaan pembangunan di daerah tambang. Menurut Agus, intah, perusahaan dan masyarakat dengan prinsip division of keterlibatan pihak perusahaan melalui divisi Comdev atau labour atau pembagian kerja yang jelas. “Hal tersebut dilakupengelola CSR bisa dilakukan di level musrenbang tingkat kan untuk menanggulangi terjadinya lempar tanggung jawab kecamatan. “Pilihan terhadap kecamatan ini karena biasanya antara pemerintah dan perusahaan dari perencanan pembandelegasi dari desa masih cukup banyak serta bisa dilakukan gunan yang telah direncanakan sebelumnya,” ujarnya. sinkronisasi dan konsolidasi terhadap berbagai kegiatan atau Melani Jayanti 8
Kenapa
Sayaharus
Beriklan
di majalah
?
DIDISTRIBUSIKAN ke komunitas masyarakat desa dampingan IRE di seluruh Indonesia, terutama di JatengDIY, LSM mitra se-Indonesia, pusat studi, perpustakaan sejumlah kampus, lembaga donor, serta kedutaan besar sejumlah negara. SEBARAN majalah mencapai sebagian besar wilayah Indonesia. Memuat LAPORAN JURNALISTIK mendalam dan publikasi PENELITIAN perihal desentralisasi, ƉŽůŝƟŬůŽŬĂů͕ĚĂŶƚĂƚĂŬĞůŽůĂ (governance). DITULIS dengan bahasa ^Z,EͳWKWh>Z sehingga dipahami pembaca dari beragam kalangan. Berita dan tulisannya dijadikan BAHAN REFERENSI dan
SUMBER INFORMASI. Oplah mencapai 2000 eksemplar Dikerjakan secara PROFESIONAL ŽůĞŚĂŬƟǀŝƐ>^DLJĂŶŐŵĞŵŝůŝŬŝ pengalaman ũƵƌŶĂůŝƐƟŬ
No UKURAN
Sasaran Pembaca: LSM/NGO Dosen dan Mahasiswa Pusat studi dan advokasi Lembaga donor Kedutaan besar Aparat Desa Masyarakat Desa Pemerintah daerah DPRD
PENEMPATAN
1
1 Halaman 22 X 28 Cm
2
½ hal Horizontal 14 Cm
5
1 Halaman
6
½ Hal Horizontal 11 X 14 cm
7
1 Halaman
8
½ Hal Horizontal 11 X 14 cm
11 X
ŽǀĞƌĞƉĂŶ Dalam ŽǀĞƌĞƉĂŶ Dalam
FC
Rp 650,000.00
FC
Rp 325,000.00
FC
Rp 1,150,000.00
ŽǀĞƌĞůĂŬĂŶŐ
FC
Rp 700,000.00
ŽǀĞƌĚĂůĂŵ Belakang
FC
Rp 700,000.00
ŽǀĞƌĚĂůĂŵ Belakang
FC
Rp 400,000.00
Halaman Dalam Halaman Dalam ĚǀĞƚŽƌŝĂů
FC FC B/W
Rp 450,000.00 Rp 250,000.00 Rp 600,000.00
ĚǀĞƚŽƌŝĂů
B/W
Rp 300,000.00
22 X 28 Cm ŽǀĞƌĞůĂŬĂŶŐ
22 X 28 cm
11 1 Halaman 22 X 28 Cm 12 ½ Halaman 22 X 28 Cm 16 1 Halaman 22 X 28 cm ½ Halaman Horizontal 17 11 X 14 cm
WARTARIF NA
Sorot :DODXSXQ EHUEDJDLUHJXODVL GDQSURJUDP SHQDQJJXODQJDQ NHPLVNLQDQWHODK GLFDQDQJNDQ SHPHULQWDK WHWDSLDQJND NHPLVNLQDQ WHUXWDPDGL SHGHVDDQWPDVLK WHWDSWLQJJL
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Agar CSR
Pro Orang Miskin
.HGHSDQ GLSHUOXNDQ ODQJNDK SHUFHSDWDQ XQWXN PHODNXNDQ SHQJXUDQJDQ NHPLVNLQDQ
S
Salah satu upaya pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan yang masih bergulir ialah melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). PNPM ini resmi dibentuk sejak April 2007 dengan peraturan menteri keuangan (PMK) nomor: 168/ PMK.07/2009 tentang Pedoman Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah Untuk Penanggulangan Kemiskinan. Terdapat dua program utama PNPM Mandiri yang memerlukan DDUB (Dana Daerah Untuk Urusan Bersama) yang bersumber dari APBD Kabupaten/Kota, yaitu: PNPM Mandiri Perdesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan. Program PNPM Mandiri pedesaan sendiri sejatinya hasil adopsi mekanisme dan prosedur Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang telah dilaksanakan sejak 1998. Untuk daftar lokasi dan alokasi bantuan langsung masyarakat (BBLM) PNPM Mandiri tahun 2012 wilayah perdesaan meliputi; PNPM Mandiri Perdesaan, PNPM Mandiri Pengembangan Infrastruktur Sosial dan Pengembangan Ekonomi Wilayah (PISEW), PNPM Mandiri Infrastruktur Perdesaan (RISPNPM). Diperkirakan program PNPM Mandiri ini akan berakhir pada 2014 atau 2015. Dalam prakteknya program pemerintah pusat dan daerah ini memusatkan kegiatan bagi pemberdayaan masyarakat miskin yang telah ditentukan oleh pokja PNPM Mandiri pusat melalui mekanisme hasil pendataan program layanan sosial (PPLS) tahun 2008 dan data potensi 10
Foto: Dok. IRE
daerah (Podes) tahun 2008. Program ini menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai fasilitasi pemberdayaan masyarakat atau kelembagaan lokal, pendampingan, pelatihan, serta bantuan langsung untuk masyarakat (kelompok) sebagai modal usaha dengan kisaran Rp. 750 juta hingga Rp. 3 miliar per kecamatan sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan (http://www.pnpm-mandiri.org). Laporan dari Badan Pusat Statistik (Maret, 2012) mengungkapkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan September 2011 sebesar 29,89 juta orang (12,36%). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2011 yang berjumlah 30,02 juta orang (12,49%), hal ini berarti terjadi pengurangan sekitar 0,13 juta orang. BPS juga mencatat bahwa sebagian besar (63,35%) penduduk miskin berada di daerah pedesaan. Kemiskinan di wilayah perdesaaan lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan di perkotaan. Dalam diskusi mingguan majalah Flamma pada awal Maret 2012, hal tersebut dikarenakan adanya sumber daya manusia terbatas sehingga tercipta ketidakseimbangan antara kemampuan kerja, pendapatan, dan pengeluaran yang ada. Maka program pemberdayaan terhadap masyarakat (miskin) dapat menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional. Kemiskinan di daerah pedesaan menjadi soalan utama dalam pencapaian masyarakat sejahtera (welfare society). Hingga kini beberapa wilayah di Indonesia telah melakukan upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan semua pihak
(kemitraan). Adanya kesigapan pengetasan kemiskinan dapat dilakukan semua pihak. Pengentasan kemiskinan tidak hanya dapat dilakukan oleh pemerintah. Pihak korporasi sebagai penghasil laba terbesar dalam proses pembangunan dapat pula ikut serta menanggulangi kemiskinan.
Mendorong CSR Pro Poor Tidak bisa dipungkiri, pembangunan terutama di daerah pedesaan saat ini banyak digerakkan oleh skema yang berasal dari PNPM dengan berbahai model programnya. Hal ini tidak terlepas karena program pembangunan yang diusulkan lewat mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan seringkali menemui jalan buntu. Akibatnya, banyak desa menggerakkan roda pembangunan dengan mengharapkan alokasi dana yang berasal dari skema PNPM. PNPM Mandiri sendiri bersumber dari alokasi dana APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) atau APBD (anggaran dan pendapatan belanja daerah) yang sejauh ini tersedot besar-besaran untuk menyokong kinerja pegawai negeri sipil. Belum lagi budaya korupsi yang melekat pada beberapa oknum pemerintah (eksekutif dan legislatif) membuat proses pembangunan dan pengentasan kemiskinan terhambat. Terbatasnya anggaran pemerintah, baik melalui stimulus dana cepat dan atau melalui PNPM Mandiri misalnya, memberikan peluang dari sumber lain untuk melakukan peningkatan kesejahteraan
Bersatu Melawan
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012 masyarakat. Salah satunya ialah alokasi dana CSR perusahaan. Beberapa perusahaan telah melakukan program CSR (corporate social responsibility) dengan mengedepankan nilai dan etika kemanusiaan. Namun demikian ada pula beberapa perusahaan yang belum mempunyai ikhtiar melakukan pemberdayaan kepada masyarakat dan atau melakukan program pengentasan kemiskinan. Sebagaimana dikatakan Abdur Rozaki, peneliti IRE, bahwa CSR beberapa perusahaan warna hitam (black corporation) menjadikan semangat CSR sebagai kedok untuk mengeruk laba yang lebih besar. “Beberapa perusahaan sengaja mendirikan suatu yayasan social, dan dana CSR yang telah ditetapkan pemerintah dialokasikan pada yayasan bersangkutan. Sehingga nilai capital berputar pada lingkaran yang sama. Hal tersebut tidak ubahnya beramal untuk dari diri sendiri, oleh dan untuk diri sendiri,” ungkap Rozaki di selasela diskusi mingguan Flamma. CSR atau Corporate Social Responsibility tidak asing di telinga kita. Berbagai perusahaan skala lokal ataupun nasional kerapkali membincangkan CSR. Bahkan ada yang terang-terangan mengatakan telah melakukan pemberdayaan masyarakat melalui program CSR perusahaan. Penyelenggaraan program CSR merupakan jembatan alternatif yang menghubungkan perusahaan dengan masyarakat. Masyarakat yang lingkungannya telah terekploitasi dan ‘dipaksa’ meng-
KEMISKINAN gunakan produk perusahaan, sebaiknya menjadi tanggung jawab perusahaan untuk melakukan pemerdayaan berkesinambungan. Hal tersebut menjadi semacam ‘simbiosis mutualisme’ yakni saling menguntungkan. Terkait pengetatan dana CSR, kini Kementerian Sosial (Kemensos) tengah menyusun draft Rancangan Undang-Undang Corporate Social Responsibility (RUU CSR) sebagai salah satu upaya mengatasi kemiskinan. RUU CSR tersebut merupakan derivasi dari UU 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin yang rencananya akan disahkan pada tahun ini. Dalam klausul RUU tersebut diatur mengenai keterlibatan perusahaan untuk ikut serta bersama-sama pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Sejatinya alokasi dana CSR dapat menjadi alternatif baik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sebagai biaya penanggulangan kemiskinan, terutama menjelang masa tenggang program PNPM Mandiri selesai. Soeharman Noerman, Chair for Partnership, Institutional and Advocacy-Corporate Forum for Community Development (CFCD), mengingatkan perlunya itikad baik keterlibatan pemerintah dan swasta dalam pengentasan kemiskinan (terutama di desa). “Keterlibatan sektor perusahaan dalam sistem perencanaan pembangunan yang didorong oleh pemerintah sebaiknya dilakukan dengan semangat keterbukaan dan akuntabel sehingga tidak terjadi tumpang tindih pembiayaan
program atau kegiatan. Hal ini dikhawatirkan bisa membuka peluang untuk terjadinya tindakan korupsi di mana satu program atau kebutuhan dibiayai secara ganda melalui dana APBN/APBD dengan dana yang bersumber dari CSR,” ungkap Soeharman. Sementara itu, Ryan B. Wurjantoro, Dinas Humas dan Hubungan Kelembagaan BP Migas, menuturkan bahwa CSR sebagai langkah baik pemberdayaan lingkungan dan masyarakat. Berdasarkan pengalaman BP-Migas, CRS dapat menjadi alternatif utama dalam pembiayaan program pengentasan kemiskinan terutama di sekitar daerah tambang. Ia mengatakan bahwa regulasi tersebut dapat dibuat bersama seluruh pihak dan dipatuhi bersama. “Karena itu, perlu langkah progresif dalam pengentasaan kemiskinan misalnya melalui alokasi dana CSR,” tandas Ryan. Ke depan, CSR perlu didorong secara maksimal dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Jika selama ini, kampanye tentang CSR banyak diarahkan untuk peduli pada lingkungan, tidak salah jika CSR pada masa mendatang juga didorong untuk pro pada penanggulangan kemiskinan. Selain itu, prinsip good corporate governance yakni transparansi, efesiensi, akuntabilitas, responsibilitas sosial dan lingkungan bisa ditambah dengan salah satu prinsip yakni penanggulangan kemiskinan. Mohamad Fathollah
Tidak Sekadar Sedekah ANGGAPAN perusahaan yang mengeruk sumber daya alam dengan keuntungan yang sebesar-besarnya kini perlu direvitalisasi mengenai pentingnya keterlibatan perusahaan dalam pembangunan. Paradigma “business is busness” tampaknya sudah mulai pudar dan ditinggalkan. Persaingan bisnis yang semakin ketat dan kompleksitas menghendaki reposisi paradigma pelaku bisnis dari single bottom line menuju triple bottom line. Konsep triple bottom line dicetuskan oleh John Elkington (1998) dalam bukunya yang berjudul “Cannibal with Forks: the Triple Bottom Line of 21 Century.” Dalam karyanya tersebut Elkington mengemukakan bahwa perusahaan seyogianya WLGDN ODJL PHPHQWLQJNDQ SURÀW ELVQLV VHPDWD 8QWXN PHQFDSDLSURÀW\DQJODELKEDLNSHUXVDKDDQNLUDQ\DGDSDWKDGLU dalam tiga wajah; economic prosperity, environmental quality, dan social justice. Tiga bentuk wajah tersebut diterjemahkan sebagai pengarusutamaan korporasi yang bersumber pada keseimbangan people (orang atau perusahaan), planet (alam), dan SURÀW(keuntungan). Secara konseptual ada dua hal yang diyakini sebagai energi yang melahirkan CSR yakni; etika bisnis (business ethics) dan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate gover-
nance). CSR versi lama ditempuh dengan cara membagi-bagi dana CSR untuk memperkecil risiko sosial dan lingkungan. Berangkat dari petuah etika dan moral bisnis, CSR generasi baru mengalami perubahan yang lebih dahsyat. CSR tidak lagi dimaknai sebagai bentuk sedekah atau pilantropi untuk mengurangi risiko jangka pendek, bukan juga sebagai beban bagi kegiatan bisnis, tetapi CSR juga menjadi bagian inti (core) dari bisnis yang berkelanjutan. CSR merupakan penghubung antara ekonomi pasar dan pembangunan berkelanjutan, dengan basiss WULSOHERWWRPOLQHSHRSOHSODQHWDQGSURÀW yang menjadi satu kesatuan dalam bisnis perusahaan. Dalam bahasa DE Hawkins (2006), sebagaimana dikutip dari Policy Paper IRE berjudul Menjadi Katalis Perubahan; Reposisi CSR untuk Penanggulangan Kemiskinan dalam Konteks Desentralisasi (2011), CSR adalah sebuah proses dan tindakan yang membuat keseimbangan antara keuntungan hari ini (WRGD\·VSURÀWDELOLW\) dan keberlanjutan esok hari (tomorrow’s sustainability). CSR adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. Mohamad Fathollah
11
Wawancara
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Prof.Susetiawan
“..Agar CSR tidak menjadi semacam pemadam kebakaran..”
D
Di daerah industri pertambangan dan migas, CSR merupakan salah satu model dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Namun, seringkali program CSR terlihat kurang mengakomodir kepentingan masyarakat. Hal ini disebabkan program CSR yang dibuat bukan berbasis pada empowerment kepada mas yarakat, tetapi Sekadar strategi bisnis semata. Karena itu, diperlukan program CSR pro-poor yang digadang-gadang sebagai salah satu upaya percepatan penanggulangan kemiskinan. Lantas, bagaimana merumuskan CSR pro-poor sehingga bisa menjadi bagian dari strategi mempercepat penanggulangan kemiskinan? Berikut wawancara khusus Flamma dengan Prof.Susetiawan, Sosiolog dan Dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Apa yang sebetulnya dimaksud dengan CSR pro-poor? Konsep CSR pro-poor yaitu program dimana dana tersebut digunakan untuk 12
program penanggulangan kemiskinan. Perusahaan didorong untuk benar-benar komitmen ikut serta dalam pembangunan. Program CSR digunakan sepenuhnya untuk program-program yang menyentuh sampai rakyat kecil atau sampai ke tataran akar rumput (grass root). Lantas, konkritnya seperti apa? Ya, perusahaan menyisakan hasil keuntungannya untuk sosial. Jadi, akumulasi hasil keuntungannya benar-benar untuk keperluan sosial kemasyarakatan yang salah satunya untuk penanggulangan kemiskinan. Bentuknya bisa bermacam-macam, salah satu contohnya adalah pemberdayaan kepada masyarakat terutama kepada masyarakat yang ekonominya lemah. Yang penting, masyarakat di daerah tambang merasakan kemakmuran (prosperity) yang dihasilkan dari industri tambang. Dengan begitu, kemiskinan tidak mungkin ada kalau itu dilakukan. Sejak awal seharusnya dalam pikiran perusahaan begini, “aku menam-
bang di sini adalah juga untuk sebagian besar masyarakat di sini”. Jadi, kalau ada SURÀW KDUXV GLNHOXDUNDQ VHNLDQ SHUVHQ untuk masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan. Apa Indikator yang bisa dipakai untuk menilai sebuah program CSR bisa dianggap pro-poor? Salah satu indikator utamanya adalah sebagian hasil keuntungan dari perusahaan itu dialokasikan untuk kepentingan masyarakat. Namun dana untuk CSR itu tidak termasuk biaya produksi. Perusahaan benar-benar menyisakan dana tanggung jawab sosial itu sebagai wujud komitmennya dalam pengembangan masyarakat sekitar. Soal pelaksanaannya nanti diatur agar lebih pro kemanusiaan dan pro kerakyatan. Bagaimana dengan kondisi CSR saat ini, terutama di daerah pertambangan? Pada umumnya perusahaan-perusahaan itu kalau ditanya selalu menga-
Prof. Susetiawan
takan, sebelum perusahaan pertambangan beroperasi, mereka sudah peduli terhadap masyarakat. Tapi kepedulian mereka itu masih merupakan bagian dari biaya produksi. Nah, itu menurut saya bukan merupakan bentuk CSR. Karena dana CSR yang mereka keluarkan masih termasuk ke dalam anggaran pengeluaran perusahaan. Itu adalah bagian dari strategi bagi perusahaan, sehingga seakan-akan kehidupan masyarakat merasa diuntungkan dengan adanya perusahaan. Selain itu, CSR itu dikeluarkan agar masyarakat tidak mengganggu proses kerja perusahaan. Jadi CSR itu semacam pemadam kebakaran. Lantas, hambatan apa saja dalam mengimplementasikan program CSR propoor? Sebenarnya dari perusahaan sendiri sejak dalam pikiran sudah ada nggak konsep yang seperti itu? Kalau sudah ada konsep semacam itu, maka itulah yang menjadi komitmen pelaksanaan CSR propoor. Hambatannya saat ini perusahaan masih menempatkan CSR sebagai suatu strategi dari sebuah keuntungan perusahaan. Perusahaan mengeluarkan bukan untuk kepentingan sebagian besar masyarakat, tapi dikeluarkan sebagai keuntungan perusahaan karena ingin memperoleh branding di mata masyarakat. Dalam pelaksanaan program CSR, perlu adanya kemitraan agar menyukseskan program penanggulangan kemiskinan. Sebenarnya, pola kemitraan yang bisa dibangun seperti apa? Ada beberapa stakeholders dalam kemitraan. Kemitraan itu dilakukan oleh perusahaan, pemerintah, dan masyarakat atau LSM. Kemitraan ini harus membentuk kolaborasi yang ideal. Kolaborasi ideal yang dimaksud disini adalah merencanakan pembagian tugas, lalu dibuat komitmen bersama demi kepentingan rakyat. Nah, didalam sebuah kemitraan, pemerintah harusnya memiliki suatu planning untuk membangun masyarakat setempat. Sebenarnya dari sebagian perencanaan yang akan diwujudkan oleh pemerintah itu, perusahaan akan menangani yang mana, pemerintah menangani yang mana? Bukan kemudian dananya perusahaan dari CSR tadi itu lalu diminta oleh pemerintah. Itu bukan begitu, karena pemerintah mempunyai anggaran sendiri. Oleh karena itu maksud pembagian tugas bukan kemudian dananya perusahaan diminta dan digunakan untuk itu. Bagi perusahaan bisa saja menjawab karena perusahaan telah membayar pajak. Hasil dari pembayaran pajak itu yang kemudian diturunkan oleh
pemerintah berupa pelayanan-pelayanan publik, pelayanan sosial, pelayanan kesejahteraan sosial. Nah perusahaan akan mengambil dan mengalokasikan itu untuk masyarakat dari sebagian keuntungan yang diperoleh. Tantangannya apa? Pada umumnya perusahaan itu menjadi sapi perahnya. Nah, oleh karena itu perlu adanya peran pemerintah dan civil society. Kolaborasi ideal itu dimaksudkan untuk bekerja bersama-sama, duduk bareng kemudian merencanakan pembagian tugas kayak apa yang harus dilakukan pemerintah, perusahaan, dan civil society. Setelah itu dibuat komitmen secara bersama-sama, dan aturan bersama demi kepentingan masyarakat. Kalau tidak ada komitmen bersama, itu merupakan tantangan bagi stakeholders dalam membentuk pola kemitraan. Perusahaan mengeluarkan dana CSR sebagai sebuah strategi untuk menguntungkan diri sendiri (dalam upaya branding diri sendiri). Begitupun dengan civil society yang kemudian hanya berkeinginan mendapatkan dana tanpa ada program yang jelas, atau tidak ada realisasinya. Pemerintahpun juga melempar tanggung jawab pada perusahaan atas program penanggulangan kemiskinan yang sebenarnya hal ini adalah tanggung jawabnya sebagai sebuah aparatus Negara. Tapi biasanya, tak jarang terjadi lempar tanggung jawab satu sama lain. Kenapa hal itu bisa terjadi? Hal itu terjadi karena ada egoisme masing-masing pihak. Hal itu sebenarnya tidak akan terjadi jika sudah ada sistem pembagian tugas untuk masing-masing pihak. Ketika pembagian tugas sudah jelas, maka masing-masing pihak akan bekerja sesuai tugasnya masing-masing. Jadi ego masing-masing pihak akan bisa diminimalisir. Itu semua dibutuhkan komitmen bersama antar pihak sejak dalam pembagian tugas. Kalau perlu dalam rencana pembangunan wilayah itu, perusahaan bisa diajak. Jadinya diikutkan secara bersama-sama.
Bagaimana kalau dibuat semacam forum atau kelembagaan untuk mengurusi masalah CSR ini? Kelembagaan dalam arti organisasi baik, tapi sebenarnya kelembagaan dalam organisasi itu tidak harus dikuasai oleh pemerintah. Tetapi, harus ada berbagai komponen yang masuk dalam kelembagaan itu dimana tugas fungsinya sudah diatur di dalam organisasi. Kemudian organisasi itu bisa berjalan karena ada anggaran dari pemerintah, ada anggaran dari perusahaan yang kemudian dialokasikan secara bersama-sama. Bukan semata-mata untuk kepentingan organisasi ini, tapi untuk kepentingan masyarakat yang lebih besar. Organisasi itu hanya alat saja untuk mengumpulkan komponen-komponen itu lalu diatur secara bersama-sama, diikat oleh suatu perjanjian dan peraturan. Bagaimana mendorong CSR yang pro terhadap pengentasan kemiskinan? Dorongan yang lebih konkrit untuk CSR pro poor sebenarnya tergantung pada perencanaan yang dilakukan oleh stakeholders. Jadi bukan berarti pro perusahaan dan pro pemerintah. Setiap pemerintah punya tugas dan fungsi pelayanan, perusahaan juga punya tugas fungsi pelayanan, community juga punya tugas fungsi pelayanan. Perusahaan punya dana, sedangkan pemerintah sebagai jembatan antara perusahaan dengan masyarakat, kemudian masyarakat tidak punya dana tapi punya tenaga dan melakukan prinsip pelayanan. Jadi bekerja secara bersama-sama. Intinya bekerja bersama-sama dengan prinsip division of labour untuk kepentingan rakyat dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Anik Susiyani dan Melani Jayanti
Foto: Dok. IRE
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
13
Gagas
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Mengabaikan Politik Redistribusi:
Orientasi Politik Kesejahteraan Pasca Desentralisasi
I
Isu kesejahteraan dan pro-poor policies pelan-pelan menjadi isu politik yang mengemuka seiring dengan adanya perubahan politik yang sangat kuat di aras nasional maupun lokal dalam satu dekade terakhir. Tidak sedikit kabupaten/kota di Indonesia yang berusaha mengembangkan berbagai skema kebijakan agar warga bisa mengakses layanan publik dasar lebih mudah dan mendorong skema jaminan sosial yang semakin menguat dalam satu dasawarsa terakhir. Beberapa daerah otonom berusaha untuk memberikan layanan pendidikan dasar yang murah sedangkan daerah otonom yang lain mencoba untuk mendesain skema jaminan kesehatan, bantuan untuk komunitas miskin, dan jaminan sosial bagi anggota komunitas-komunitas yang tereksklusi. Kecenderungan baru ini tampaknya mencerminkan pergeseran watak pradigmatik pembangunan dan perubahan sosial di Indonesia pasca desentralisasi dari sekadar dan hanya berorientasi pada pembangunan ekonomi semata menuju proses pembangunan yang juga berorientasi pada pembangunan sosial. Secara sederhana, kecenderungan ini dibangun di atas tiga elemen utama secara resultan. Pertama, ide pembangunan di ranah lokal yang mengalami proses pen-sosial-an di saat tidak lagi berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata tapi juga mulai menegaskan tentang pentingnya komitmen sosial. Pembangunan ekonomi memang masih diyakini sebagai fokus utama dan prioritas paling penting dikarenakan diyakini memiliki efek positif dan multiplier terhadap sektor lainnya. Namun pada saat yang sama, proses dan kebijakan pembangunan yang ada juga ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dengan mengarusutamakan pembangunan manusia sehingga seluruh energi dan aktivitas pemerintahan diharapkan mampu mendorong adanya peningkatan kualitas manusia dan memberikan keuntungan secara sosial. Satu poin menarik adalah bagaimana strategi pembangunan lokal di Indonesia juga diyakini sebagai proses untuk PHQGHÀQLVLNDQ DWDX PHPIRUPXODVLNDQ VXE\HN OLEHUDO³\DQJ PHPLOLNLMLZDNRPSHWLWLIGDQZLUDXVDKD³VHEDJDLEHQWXNZDU ganegara (citizen) yang ideal. Orientasi pembangunan lokal secara jelas bertujuan tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi tapi juga berusaha menciptakan subyek yang mandiri, otonom, inovatif dan kompetitif sekaligus memiliki spirit kewirausahaan (entrepreneurship) dan perilaku baik yang selaras dengan permintaan pasar dan tantangan globalisasi ekonomi. Kedua, pelembagaan gagasan good governance yang mengandaikan adanya hubungan sinergis antar pemangku kepentingan dan menata ulang pola relasi dalam politik. Gagasan good governance telah merubah makna dari proses politik dan 14
kategori subyek politik yang terlibat dalam proses politik untuk merumuskan urusan-urusan publik. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa indikasi berikut ini: (1) adanya pergeseran subyek politik dalam proses partisipasi dari warga yang basisnya kelas sosial atau identitas sosial lainnya ke pemangku kepentingan (stakeholder). Gagasan stakeholders membayangNDQVHWLDSZDUJDQHJDUDDGDODKLQGLYLGX\DQJRWRQRP³EXNDQ EDJLDQGDULLGHQWLWDVNROHNWLIQ\D³GDQPHPLOLNLNHSHQWLQJDQ GLUL \DQJ UDVLRQDO .HSHQWLQJDQ GL VLQL VHODOX GLGHÀQLVLNDQ sebagai sesuatu yang a-politis, yaitu kepentingan pragmatis tanpa perlu mempersoalkan relasi kuasa dalam politik keseharian, serta dibasiskan pada logika sektoral; (2) partisipasi sendiri lebih merupakan ekspresi dukungan terhadap proses pembangunan ekonomi yang selaras dengan mekanisme pasar dibandingkan dengan sebuah ekspresi artikulasi dan negosiasi kepentingan untuk mendesakkan sebuah agenda publik dengan nuansa politis yang sangat kuat. Ketiga, desentralisasi dan otonomi daerah yang membayangkan adanya peran daerah yang semakin kuat dalam proses pembangunan lokal sekaligus sebagai upaya untuk menata ruang untuk memaksimalisasi bekerjanya mekanisme pasar. Maka tidak mengherankan bila banyak daerah berusaha untuk memperbaiki tata kelembagaan, regulasi daerah, prosedur dan mekanisme yang bisa diskriminatif sekaligus tidak transparan dan menghalangi iklim investasi, seperti mendorong sistem one stop services, dsb. 'HVHQWUDOLVDVL³VHODUDV GHQJDQ JDJDVDQ good governance³GDODPNHQ\DWDDQQ\DOHELKVHULQJGLJXQDNDQVHEDJDL cara terbaik untuk memperkuat masyarakat sipil dengan mengurangi peran negara dan memperluas area kekuasaan pasar. Hal ini terlihat jelas dalam begitu banyaknya kebijakan pro-investasi yang mengabaikan hak-hak buruh di banyak daerah. Yang menarik, berbagai elemen utama di atas kemudian semakin terekspresikan secara lebih konkrit dalam praktik kebijakan dan politik keseharian dimana kecenderungan relasi politik yang ada dibangun di atas pola-pola clientelistic linkage. Dalam praktik politik yang ada, institusionalisasi berjalan melalui beberapa proses: Pertama, menghadirkan pemimpinpemimpin budiman yang berhasil melakukan konsolidasi politik secara sentripetal. Bukan hanya internal birokrasi, para pemimpin budiman ini berhasil mendorong kekuasaan menjadi jauh lebih monolitik dengan menundukkan kekuatan penyeimbang seperti parlemen daerah dan organisasi masyarakat sipil melalui mekanisme-mekanisme “stick and carrots”. Tidak ruang representasi politik yang betul-betul terbuka dimana warga bukan hanya bisa mengartikulasikan kepentingan tapi juga bisa menegosiasikan kepentingan-kepentingan
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Mengabaikan
Politik redistribusi
HASRUL HANIF Staf Pengajar di Jurusan Politik & Pemerintahan FISIPOL UGM
kolektif atau kelas sosial mereka. Singkat kata, para pemimpin budiman tersebut memainkan peran yang sangat kuat dalam alokasi sumberdaya publik dan cenderung mem-by pass institusi-institusi demokrasi formal yang ada. Hal yang sama juga terjadi dengan berbagai program kebijakan sosial atau program-program populis yang ada di daerah-daerah tersebut. Upaya menarik investasi besar-besaran tidak dibarengi dengan upaya serius memberikan jaminan sosial dasar buat para buruh. Sedangkan hampir semua berbagai program populis tersebut adalah semuanya mendorong polapola partisipasi yang “a-politis” yang ditandai oleh adanya PRELOLVDVL GDQD³\DQJ GLSDQWLN PHODOXL GDQD VWLPXODQ GDUL SHPHULQWDK³GDQ VXPEHUGD\D PDQXVLD MXVWUX GDUL PDV\D rakat dengan klaim gotong royong dan membangun hubungan sinergi antara negara dan masyarakat. Dalam banyak hal, program-program ini juga menjadi ruang tawar-menawar klientelistik antara pemimpin budiman dengan warga. Singkatnya, berbagai program populis yang ada lebih menyerupai transaksi klientelistik dan partisipasi a-politis daripada sebuah komitmen yang lahir dari sebuah kesadaran negara untuk memenuhi hak-hak dasar warganya. Alhasil, berbagai skema kesejahteraan atau pro-poor policies yang ada di Indonesia pasca desentralisasi memiliki kecenderungan dibangun pada proses penguatan politik inklusi bukan politik redistribusi. Asumsi dasarnya adalah kesenjangan sosial, kemiskinan dan ketidaksejahteraan merupakan efek dari kegagalan individu dalam mengakses pasar yang ada akibat lemahnya kapasitas dan keahlian serta aset mereka, bukan karena efek kesenjangan yang ditimbulkan oleh mekanisme pasar yang destruktif. Maka tawarannya jelas, yaitu: desain kebijakan sosial yang ada kemudian lebih banyak berorientasi pada penguatan kapasitas individu dalam mengakses pasar melalui penguatan modal, transformasi budaya kewirausahaan dan sebagainya daripada sebagai upaya politik untuk menata ulang proses distribusi sumberdaya publik dimana proses alokasinya selama ini sebenarnya masih sangat monolitik. Asumsi utama tersebut kemudian membentuk watak welfare governance yang memiliki beberapa karakteristik utama berikut. Pertama, proses pembentukan kewarganegaraan pasar (market citizenship) sebagai basis fondasi politik. Jargon-jargon seperti masyarakat dan birokrasi yang inovatif, mandiri, otonom serta memiliki mental wirausaha yang kuat sebenarnya merupakan simbol eksplisit dari format ideal subyek liberal yang menjadi fondasi utama bagi ide kewarganegaraan pasar. Dalam formasi kewarganegaraan pasar, politik kewarganegaraan dikerangkai
dalam logika pasar daripada sebagai bentuk oposisi atau kompensasi terhadap efek aktivitas pasar. Kedua, mendorong tata kelola sosial yang ada agar berjalan selaras dalam logika pasar daripada beroposisi. Konsekuensinya, berbagai kebijakan sosial dilahirkan tidak sebagai respon politik atas resiko sosial yang harus ditanggung akibat gagalnya pasar yang selalu destruktif melainkan upaya untuk memperbaiki kapasitas individu agar bisa mengakses pasar. Kebijakan VRVLDOGLGHVDLQXQWXNPHPEHULNDQNRQWULEXVLSURGXNWLÀWDVDWDX mendorong adanya partisipasi (baca: inklusi) yang lebih besar dalam aktivitas ekonomi. Dengan demikian program perbaikan kualitas kesehatan, pendidikan, dan sebagainya lebih dipahami sebagai human investment untuk mempersiapkan sumberdaya unggul bagi pembangunan daripada sebagai upaya pemenuhan hak dasar warga. Proses kebijakan sosial kemudian cenderung mengalami proses depolitisasi seiring dengan dikuatkannya isu-isu atau aspek-aspek teknokratis dan manajerial semata dalam setiap proses kebijakan yang ada. Isu penanggulangan kemiskinan lebih direpotkan dengan isu manajemen kelembagaan keORPSRN GDQ VRDO NHNXUDQJDQ PRGDO GDULSDGD UHÁHNVL WHUKD dap kesenjangan akses ke sumberdaya publik. Politik kebijakan yang demokratis dalam arti “kontrol publik terhadap sumberdaya dan urusan-urusan publik” yang penuh nuansa NHWHJDQJDQ NRQÁLN GDQ WDZDUPHQDZDU GLDEDLNDQ DWDX EDKkan diharamkan. Maka partisipasi dalam proses kebijakan kini ditafsir ulang mengalami proses individualisasi. Partisipasi kemudian lebih ditafsir sebagai kemampuan individual untuk memobilisasi sumberdaya atau bantuan yang bersifat individual berupa kapasitas atau aset. Dengan demikian, berbagai DVRVLDVLDVRVLDVL VRVLDO GLGHÀQLVLNDQ GDQ GLWDWDXODQJ³ORJLND NHODVVRVLDO\DQJNRQÁLNWXDOGLEDLNDQ³XQWXNPHQVHODUDVNDQnya dengan bentuk akses atau partisipasi dalam pasar. Ketiga, politik ditata ulang. Bangunan birokrasi, budaya biURNUDVLEHULNXWSURVHGXUWDWDKXEXQJDQPHUHNDGLWDWDXODQJ³ sebagai bagian dari proses menata ulang atau meregulasi XODQJWDWDNHORODVRVLDOGDQHNRQRPL³DJDUPDPSXPHQ\HGLD kan iklim yang kondusif bagi berjalannya mekanisme pasar secara optimal. Agar proses tersebut berjalan sempurna, pemimpin populis dihadirkan dan institusi-institusi demokratik yang formal di-by pass. Kondisi ini semakin tertegaskan ketika political linkage\DQJEHUNHPEDQJGLUDQDKSROLWLNORNDO³EDLN yang menggambarkan pola hubungan politik dalam internal birokrasi, hubungan antara kekuasaan eksekutif & legislatif PDXSXQQHJDUD ZDUJD³PHUHSUHVHQWDVLNDQSRODSRODclientelistic linkage yang tidak mudah dihapuskan. 15
Gagas
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Jangan Remehkan
Kelembagaan Lokal
R
Ratusan kepala desa dan perangkat desa se-Kabupaten Kebu- dan makelar yang dilakukan aparat pemerintah kabupaten men, Rabu 29 September 2010 lalu, turun ke jalan. Aksi yang kepada desa dengan cara menawarkan pembuatan LPJ ADD berlangsung dua hari berturut-turut tersebut bermuara di Ge- dengan imbalan tertentu. dung DPRD Kebumen. Demonstrasi ini dipicu oleh kebijakan *** Pemerintah Kabupaten Kebumen yang hendak memotong Tindakan pemotongan ADD yang dilakukan Pemkab Kebudana ADD menjelang APBD Perubahan Tahun Anggaran 2010 men di atas menandakan bahwa hingga saat ini desa masih menhingga 70 persen dari ketetapan awal yang mencapai Rp 37,5 jadi subyek kebijakan pembangunan yang paling mudah untuk milyar. Pemangkasan tersebut membuat desa-desa di Kebumen dipermainkan. Pemerintah kabupaten akan selalu gamang ketika khawatir karena harus menanggung rendahnya asupan angga- memangkas anggaran-anggaran publik yang notabene dialokasiran. Sementara pekerjaan rumah pembangunan di desa masih kan pada pos-pos pembangunan yang menjadi pundi-pundi uang banyak, terutama penanggulangan kemiskinan. bagi para benalu APBD. Karena saat pos-pos Aksi tersebut seolah menjadi kanal akhir ini dipotong, jelas kecil kemungkinan bagi para 3HPHULQWDK bagi ratusan perangkat desa untuk menyuarakapitalis birokrat untuk menyedot sebagian kan aspirasinya karena ruang politik negosiasi kue APBD guna memperkaya diri. Sebaliknya, VHKDUXVQ\D kebijakan secara formal saat ini mengalami akan dengan mudah memangkas EHUWHULPDNDVLK pemerintah kebuntuan. Ratusan perangkat desa tersebut secara sepihak pos-pos anggaran publik yang menumpahkan kekesalanya pada pemerintah bersentuhan langsung dengan kepentingan SDGDOHPEDJD kabupaten atas inisiatif pemotongan ADD. Dan masyarakat, walaupun harus memangkas hak OHPEDJDORNDO tidak hanya ADD, mereka juga menumpahkan kelompok miskin, rentan dan termarginalkan. segudang persoalan lain yang menyangkut keDalam ruang perebutan kue anggaran, \DQJDGDGL bijakan pembangunan terhadap desa. Secara kelompok miskin, rentan dan marginal terus GHVD.HOHPDKDQ menerus tersingkir dari gelanggang konbergantian perwakilan demonstran menyuarakan unek-unek mereka di atas panggung orasi. testasi politik anggaran. Sebagai pemenangSHPHULQWDK Seorang orator mengatakan bahwa selama nya adalah para elite birokrat, politisi, dan VXSUDGHVD ini distribusi anggaran pembangunan didasarpara pemburu rente APBD yang pada umkan atas pertimbangan like and dislike dan bukan umnya membangun kolusi dengan kelomPHQJKDSXV pada pertimbangan hak anggaran masyarakat pok birokrat dan politisi. Biarpun pemerindesa. Dikatakan pula, banyak anggaran publik tah telah menawarkan sistem perencanaan NHPLVNLQDQGL dari APBD, APBN dan lembaga donor yang penganggaran partisipatif, rakyat diGHVDEDUDQJNDOL dan justru dilempar ke desa-desa yang notabene sudorong aktif mengikuti musrenbang dusun, dah gendut dengan proyek dan uang. Padahal, desa, dan kecamatan, tetap saja masyarakat DNDQVHPDNLQ masih banyak desa yang tertinggal dan dihuni miskin harus menerima hak anggaran yang Q\DWDNHWLND warga miskin tidak memperoleh anggaran pemjauh dari azas pemenuhan hak dasarnya sebangunan, selain dari ADD. Belakangan terbagai warga negara. NHOHPEDJDDQ ungkap, tidak hanya ADD yang dipotong, tunDi sisi lain, biar pun kalah dalam arena ORNDOWLGDNKDGLU pertarungan politik anggaran, pemerintah jangan bagi perangkat desa pun akan dipangkas. Tidak berhenti di situ, kritik lemahnya supra desa tetap saja membiarkan desa dalam pendampingan dan asistensi penguatan kapasikesendirian, walau berbagai proyek dialirkan tas desa oleh pihak pemerintah kabupaten juga mereka lontar- ke desa. Hampir tiap kementerian memiliki desain program ke kan. Selama ini, desa terus ditekan untuk membuat dokumen desa. Kementerian Dalam Negeri menyelenggarakan proyek rencana pembangunan jangka menengah, tahunan, anggaran PPK yang saat ini bermetamorfosis menjadi PNPM Mandiri pendapatan dan belanja desa, sampai dengan LPJ Desa. Akan sejak 2007. Kementerian Pertanian mengusung Program Desa tetapi, asistensi oleh pihak pemkab nyaris tidak dilakukan. Pa- Mandiri Pangan dan proyek Pengembangan Usaha Agribisnis dahal, APBD telah menganggarkan dana pendampingan desa Pertanian (PUAP). Kementerian PDT mengusung program yang besarannya mencapai ratusan juta rupiah. Akhirnya, Bedah Desa untuk desa-desa tertinggal. Kementerian Kesemenurut salah satu orator, hal ini menimbulkan praktik joki hatan tak mau ketinggalan dengan mengusung program Desa 16
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Jangan Remehkan Kelembagaan Lokal
Oleh Borni Kurniawan Staf Peneliti IRE Yogyakarta
Siaga. Muara uang yang dibawa program-program ini semua masuk ke desa. Pertanyaannya, mengapa derajat kesejahteraan dan jaminan kabutuhan hak dasar masyarakat desa tak kunjung naik? Penurunan angka kemiskinan seperti di Kabupaten Kebumen, Serdang Bedagai, Gowa dan mungkin masih banyak di kabupaten lainya, rata-rata hanya berkisar 1 persen. Sementara uang yang masuk berjumlah milyaran rupiah. Kabupaten Kebumen misalnya, untuk PNPM Mandiri Perdesaan menggelontorkan dana Rp 55 milyar ke desa. Pendek kata, banyak uang masuk ke desa tapi desa tetap miskin. *** Secara garis besar, Pemerintah seharusnya berterima kasih pada lembaga-lembaga lokal yang ada di desa. Kelemahan pemerintah supra desa menghapus kemiskinan di desa barangkali akan semakin nyata, ketika kelembagaan lokal tidak hadir. Di Kebumen masyarakat desa mampu bertahan hidup meski dalam kondisi rentan terhadap kemiskinan dengan terus menerus mengembangkan tradisi orang desa seperti perkumpulan yasin-tahlil yang ternyata mampu melahirkan inisiatif arisan, jimpitan, dan simpan pinjam berbasis komunitas. Walaupun nominal uangnya terlihat jauh lebih sedikit dari proyek-proyek pemerintah maupun lembaga donor, tapi kontinuitas tradisi ini mampu berperan sebagai jaring pengaman sosial bagi masyarakat. RW 03 di Desa Logede, Kebumen, misalnya, mampu mengalokasikan dana santunan bagi warga miskin, biaya pengobatan buat warga miskin dari uang hasil jimpitan setiap tahunya. Warga miskin di setiap RT juga mendapat kemudahan mengakses modal usaha kepada masing-masing perkumpulanya dari uang kas yang terkumpul dari setiap kali arisan yang berjalan per bulan. Walaupun hanya sebesar Rp. 100.000,-, dan bermodal rasa saling percaya (mutual trust), modal ini sangat membantu, dari pada harus menunggu BLT yang hanya bersifat sesaat. Di Serdang Bedagai, masyarakat lokal di sana memiliki kelambagaan lokal yang disebut STM (Serikat Tolong Menolong). Di Desa Mlati II yang terdiri dari 23 dusun semuanya memiliki STM dengan jumlah keanggotaan rata-rata 150 KK. Di dalam tradisi ini masyarakat saling bahu membahu, menolong satu sama lain ketika diantara mereka sedang dirundung kesusahan. Selain menyelenggarakan arisan dan kas pinjaman, setiap STM juga menjalan usaha sewa tarub dan perabot rumah tangga. Ini ditujukan agar para anggotanya tidak perlu lagi menyewa ke pihak swasta yang umumnya lebih mahal.
Di Ambon, ada kelembagaan lokal yang dikenal dengan Pela Gandong. Kelembagaan lokal yang berkembang sejak peradaban awal masyarakat Maluku ini mampu menciptakan daya dukung terhadap pembangunan yang baik. Antar desa dan negeri adat di Ambon saling membantu agenda-agenda pembangunan satu sama lain tanpa harus diminta. Misalnya, negeri Paso pasti akan membantu warga negeri Batumerah saat negeri Batumerah punya gawe membangun rumah, tempat ibadah dan sebagainya. Di Desa Nania, masih di Kota Ambon, masyarakat lokal mampu membangun kelembagaan lokal yang setara dengan PDAM untuk tingkat kabupaten. Secara mandiri warga desa di Nania mampu mengangkat derita kekurangan air bersih desa setempat. Secara sadar masing-masing KK beriuran dengan status pinjaman untuk membeli mesin pompa air dan membangun sistem sanitasi komunitas. Walhasil, kini warga Nania bisa meneguk air bersih, memberi upah pada tim pengelola air minum. Tim pengelola air minum juga mampu mengembalikan dana pinjaman yang dulu dikumpulkan dari warga untuk membeli mesin pompa air. Walaupun kelembagaan lokal ini sempat tercabik-cabik oleh kerusuhan sepuluh tahun silam, Pela Gandong tetap relevan menjaga masyarakat terperosok dalam jurang kemiskinan dan perpecahan. *** Apa jadinya kalau kelembagaan lokal seperti di atas tidak hadir di tengah-tengah masyarakat, sementara negara belum sepenuhnya bisa berperan menjalankan tugasnya untuk mesejahterakan rakyatnya? Kini sudah saatnya negara, melalui berbagai agensinya di pemerintah pusat hingga daerah, lebih menghargai kelembagaan-kelembagaan lokal yang sudah ada ketika mendesain kebijakan, program hingga mengalirkan dana-dana proyek (implementasi) pembangunan ke desa. Sudah bukan rahasia, kalau proyek-proyek yang masuk ke desa selama ini berjalan sendiri-sendiri, memiliki skema program dan keuangan sendiri-sendiri, pemerintah desa di lewati, kelembagaan sosial desa hanya menjadi penonton, tapi minim keberhasilan. Sebagai modal sosial, kelembagaan-kelembagaan lokal ternyata mampu membuktikan diri sebagai penyangga utama derita masyarakat desa. Berbagai ragam kelembagaan lokal di nusantara ini sudah saatnya mendapat ruang yang layak dalam sistem pembangunan perdesaan, dan bukan malah ditinggalkan. Sudah saatnya pemerintah tidak malu untuk berterima kasih kepada orang desa, karena inisiatif mereka membangun kelembagaan lokal mampu menopang warga desa agar tidak jatuh miskin yang berlarut-larut. 17
Gagas
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Belajar
Menjadi Republik
S
“Suara lokal” versus “suara pusat” kini tengah berbenturan Kedua, rakyat merupakan hakekat demokrasi. Tetapi dedalam pembicaraan Rancangan Undang-undang Keistimewa- mokrasi tidak cukup dipahami dalam bentuk kehendak rakan (RUUK) Yogyakarta. Penentuan jabatan Gubernur selalu yat atau hanya dalam bentuk pemilihan. Sejak awal Plato menjadi medan tempur yang paling sengit. “Suara pusat” dan Aristoteles mengingatkan bahwa “kehendak rakyat” itu menghendaki pemilihan sesuai dengan prinsip demokrasi, se- akan menciptakan demokrasi sebagai pemerintahan yang dimentara “suara lokal” Yogyakarta menghendaki penetapan, pimpin oleh gerombolan rakyat yang bodoh dan rakus. Karesebab penetapan inilah yang secara historis menjadi ciri khas QDQ\DNHGXDÀORVRILWXPHQJDMDUNDQEDKZDGHPRNUDVLKDUXV keistimewaan Yogyakarta. “Suara lokal” dilengkapi dengan prinsip kebajikan, juga menuding pejabat pusat tidak pakewargaan, republikanisme dan konsti3UHVLGHQ\DQJ ham sejarah dan berbuat tidak adil terhatusionalisme (kekuasaan yang terbatas). dap rakyat Yogya. Sampai saat ini belum GLWXGLQJPHZDNLOL ditemukan jalan tengah sebagai perwuDua Prinsip Dasar ´VXDUDSXVDWµ judan “suara nasional” yang melampaui Memahami dan mendudukkan Yog“suara pusat” dan “suara lokal”. yakarta dalam kerangka Indonesia tentu PHQJHPXNDNDQ Presiden, yang dituding mewakili “subukan sebatas pertarungan antara pemiEDKZDSHPEDKDVDQ lihan versus penetapan. Prinsip demokrasi ara pusat”, mengemukakan bahwa pemdan kesejarahan juga tidak cukup dijadibahasan RUUK harus hati-hati dengan 588.KDUXVKDWL kan sebagai pertimbangan utama. Kita mempertimbangkan tiga hal: keistimewaKDWLGHQJDQ sebaiknya kembali pada dua prinsip daan, kesejarahan dan demokrasi. “Suara sar. Pertama, prinsip republik. Indonelokal” juga mempunyai argumen kesejaPHPSHUWLPEDQJNDQ sia adalah sebuah negara yang berbenrahan dan demokrasi yang bisa dicermati tuk republik. Artinya semua hal, yang secara kritis. Pertama, Kraton Yogyakarta WLJDKDO berkaitan dengan penyelenggaraan nedan Pakualaman mempunyai sumbangan NHLVWLPHZDDQ gara, harus dikelola dengan mekanisme sangat berharga kepada NKRI pada saatpublik, bukan dengan mekanisme prisaat genting tahun 1945-1950, sehingga NHVHMDUDKDQ sudah sewajarnya NKRI mengakui keisbadi, kelompok atau dinasti. Mekanisme GDQGHPRNUDVL timewaan atas kedua institusi itu. Sebenarpublik itu mengandung banyak makna: nya aspek kesejarahan dan sumbangan ini keterlibatan orang banyak dalam peme´6XDUDORNDOµMXJD sudah lewat. Semua daerah di Indonesia rintahan, setiap individu mempunyai hak PHPSXQ\DLDUJXPHQ mempunyai sumbangan berharga kepada dan kedudukan yang sama dalam politik NKRI. Kalimantan dan Papua, misalnya, dan hukum, kekuasaan yang dibatasi NHVHMDUDKDQGDQ tidak mempunyai sumbangan besar pada oleh konstitusi, institusi hukum sebagai GHPRNUDVL\DQJELVD saat-saat genting tahun 1945-1950, tetapi alat kontrol terhadap penyelenggarakedua pulau besar itu menyumbang suran pemerintahan dan tindakan pejabat GLFHUPDWLVHFDUD plus kekayaan alam untuk pembangunan. publik, dan lain-lain. Presiden, lembagaSebagai konsekuensi dari negara kesatuan, lembaga tinggi negara, menteri, guberNULWLV pemerintah pusat melakukan redistribusi nur, bupati/walikota maupun birokrat surplus kekayaan alam dari daerah-daerah adalah jajaran pejabat publik yang dibenkaya dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) kepada daerah- tuk, dijalankan, dibiayai dan dikontrol dengan mekanisme pudaerah lain, termasuk kepada DIY. blik. Provinsi dan Gubernur DIY juga merupakan bagian dari Sumbangan Yogyakarta kepada NKRI juga sudah selesai republik, sekaligus dibiayai dengan uang publik, sehingga habila kita lihat dari cara pandang Jawa. Menurut pemahaman rus dikelola dengan mekanisme publik. awam seperti saya, Jawa mempunyai makna prasaja (bersahaKedua, prinsip keragaman dan keistimewaan. Sesuai konja, wajar, tidak mengada-ada) dan legawa (tulus ikhlas). Kalau stitusi, NKRI mengakui keberagaman dan keistimewaan daekita telah memberikan sesuatu yang berharga kepada orang rah. Prinsip ini mengharuskan NKRI menerapkan desentrallain maka harus tulus ikhlas, tidak perlu diungkit-ungkit kem- isasi asimetris, yakni desentralisasi kekuasaan dan sumberdabali dan meminta imbal balik. ya ekonomi yang tidak seragam kepada seluruh daerah. Salah 18
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Belajar menjadi
Republik
Oleh Sutoro Eko Staf Peneliti IRE Yogyakarta Dosen STPMD APMD Yogyakarta
satu bentuk penerapan desentralisasi asimetris adalah peKetiga, memperkuat mekanisme publik dalam penyelengngakuan dan/atau pemberian “kewenangan khusus” kepada garaan pemerintahan provinsi dan gubernur DIY pasca penedaerah-daerah tertentu yang ditetapkan sebagai daerah khu- tapan. Prinsipnya, “sultan memang gubernur, tetapi gubernur sus atau istimewa. Kewenangan khusus antara lain mencakup bukan sultan”. Kalau Sultan tidak bisa disentuh (untouchable), penentuan pemimpin daerah, pembentukan institusi-institusi tetapi kalau gubernur sangat bisa dan harus disentuh dengan daerah yang sesuai dengan konteks lokal, maupun mengelola mekanisme publik. Penyelenggaraan pemerintahan sehariurusan-urusan yang bersifat asal-usul (adat). Dalam hal ini hari, kebijakan, tindakan, pengelolaan uang, maupun pertangNKRI memiliki Aceh, DKI Jakarta, DIY gungjawaban gubernur harus dikelola dan Papua yang berbeda dengan daedikontrol dengan mekanisme pu.DUHQDLWXWXOLVDQLQL dan rah-daerah lainnya. blik. Demikian juga dalam hal pemanPrinsip republik dan keistimewaan PHUHNRPHQGDVLNDQWLJD faatan tanah. Sultan ground maupun sebenarnya tidak bisa dipisahkan. KePakualam ground merupakan bentuk KDO3HUWDPDZDFDQD kewenangan khusus yang melekat pada duanya saling memperkuat, yang paDIY. Negara tidak akan campur tangan da dasarnya menegaskan spirit “lokal NHLVWLPHZDDQ\DQJ terhadap tanah adat itu. Tetapi jika pemenghormati pusat” dan “pusat mengEHUEDVLVSDGDGLPHQVL manfataan tanah-tanah itu merugikan hargai daerah”, guna memperkuat NKpublik, maka harus dikonRI. Penguatan republik bukan hadir NHVHMDUDKDQGHPRNUDVL kepentingan trol dengan mekanisme publik, dan berbentuk sentralisme di tangan pusat. GDQKXEXQJDQSXVDW negara juga berwenang untuk campur Sebaliknya pelembagaan keistimewaan tangan. bukan berarti pengukuhan terhadap loGDHUDKVHEDLNQ\D Ketiga hal itu menjadi bagian penkalisme, tetapi juga harus memperhating bagi upaya pemimpin dan masyaratikan prinsip republik. Republik akan GLSLQGDKNDQNHEDVLV Indonesia belajar menjadi republik. hancur juga digerogoti oleh sentralisme UHSXEOLN.HGXD588. kat UU Keistimewaan menjadi instrumen dan lokalisme. VHEDLNQ\DPHPLOLKYHUVL dan kesempatan bagi Yogyakarta untuk Tiga Pilihan belajar menjadi republik secara semSHQHWDSDQNHWLPEDQJ purna di masa depan. Belajar menjadi Pemerintah menghadapi dilema yang republik tentu membutuhkan waktu serius dalam RUUK. Pilihan atas keistimeYHUVLSHPLOLKDQ panjang dan inkremental (bertahap dan waan versi penetapan tampaknya berten.HWLJDPHPSHUNXDW tangan dengan prinsip republik, tetapi pelan-pelan). kalau pusat bersikeras memilih keistimeWarga Indonesia belajar dan sadar PHNDQLVPHSXEOLN waan versi pemilihan maka akan dituding memakai helm setelah lebih dari dua GDODPSHQ\HOHQJJDUDDQ dekade. Tahun 1980an, Polri memperkesentralisme dan tidak menghargai daerah. Karena itu tulisan ini merekomenpenggunaan helm hanya terbaSHPHULQWDKDQSURYLQVL nalkan dasikan tiga hal. Pertama, wacana keistas di jalan-jalan protokol sebagaimana timewaan yang berbasis pada dimensi GDQJXEHUQXU',<SDVFD dulu ada tulisan “Kawasan Jalur Helm”. kesejarahan, demokrasi, dan hubungan Lambat laun kawasan helm diperluas SHQHWDSDQ pusat-daerah sebaiknya dipindahkan ke dan pengendara motor wajib mengenabasis republik. Basis republik tentu akan kan helm. Tapi dasar orang Indonesia, menstransformasikan pertarungan antara suara lokal versus para pengendara motor kebanyakan bersiasat hanya memakai suara pusat menjadi suara nasional. helm asal-asalan, untuk sekadar menipu polisi. Kemudian Kedua, RUUK sebaiknya memilih versi penetapan ke- polisi memaksa pemakaian helm standar. Beberapa tahun tertimbang versi pemilihan. Di tengah konteks mass politics so- akhir pengendara motor sangat sadar memakai helm standar, ciety, versi pemilihan akan menimbulkan gejolak dan ketega- bahkan bagus-bagus. Bukan takut polisi, tetapi berkat belajar ngan yang berlarut-larut. Pemerintah tidak harus merasa ke- pada pengalaman banyaknya pengendara yang celaka di jalan hilangan makna demokrasi karena penentuan gubernur dan karena tidak memakai helm.[] wakil gubernur DIY dilakukan tanpa pemilihan. 19
Manifesto
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Sinergi Multipihak
Untuk CSR yang Berdaya Foto: Dok. IRE
K
Kita sudah sering mendengar bahwa program corporate social responsibility (CSR) perlu melibatkan kepentingan berbagai pihak. Akan tetapi, keterlibatan itu perlu diuji kembali karena prasangka dan stereotype masih saja ada di masing-masing pemangku kepentingan. Perusahaan sebagai pemilik dana memandang perguruan WLQJJL³VHSHUWL SXVDW VWXGL GDQ NRQVXOWDQ VL³EHNHUMD VHSHUWL SHQDEXK JHQGDQJ NHtika terlibat dalam program CSR. Mereka berperan hanya di awal (baseline, assessment, research) dan di akhir (monitoring dan evaluasi). Ketidakpuasan ini diperparah dengan ketakcukupan transaparansi dan akuntabilitas terutama jika berhubungan dengan aliran dana. Sementara itu, lembaga swadaya masyarakat lokal dicurigai sebagai “tukang proyek” yang bekerja dengan perspektif pencari uang untuk bisa bertahan hidup: melakukan viktimisasi dan kadangkadang bertindak sebagai provokator. “Mereka (LSM) tak lebih dari provokator. Selesai dikasih duit, diam. Duit habis, 20
Oleh: Abdul Rohman Staf Pengajar Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia
mereka bikin isu lagi biar masyarakat bergejolak,” demikian kata pegiat CSR suatu perusahaan suatu waktu. Kita miris mendengarnya, tetapi begitulah seiris realita dari LSM lokal di Indonesia. Di sisi lain, perusahaan ternyata juga masih banyak melihat CSR sebagai salah satu strategi komunikasi pemasaran yang ditujukan untuk membangun citra dan reputasi perusahaan. Dalam bahasa kritis, CSR menjadi sebuah kado yang terbungkus indah, berharap semua orang suka, tetapi setelah dibuka isinya belum tentu bagus. Tak sedikit CSR yang beraroma kebohongan dan isinya manipulasi. *** Pada tahun 2007, saya membaca statistik untuk implementasi program CSR di beberapa negara. Di Inggris, perbanding-
an antara perusahaan yang melakukan CSR dan tidak adalah 40:60, di Amerika (50:50), Jerman (51:49), dan Indonesia (30:70). Meski demikian, pada hasil survei yang lain diungkap bahwa motivasi dari pelaksanaan program CSR didominasi oleh motif ekonomi. Tak pelak, fakta ini menegaskan pentingnya pengkajian kembali pelaksanaan program CSR agar hirau dengan pemberdayaan dan berorientasi menyelesaikan masalah sosial yang ada. Memberdayakan CSR dapat dilakukan dengan berbagai jalan. Pertama, mainstreaming perspektif kemanusiaan dalam setiap tahapan sejak perencanaan, implementasi, hingga evaluasi. Ini adalah sebuah fondasi untuk keberhasilan program &65 ,GHQWLÀNDVL WHUKDGDS needs, wants, desires, dan interests dari sasaran program CSR yang ditransformasikan dalam bentuk rencana program yang konprehensif dan feasible dengan indikator yang tepat, diimplementasikan dengan keterlibatan terpadu antara pihak internal dan eksternal yang diakhiri dengan evaluasi yang
Sinergi multipihak untuk
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012 mengarah kepada proses keberlanjutan. Ini adalah langkah awal yang berdampak pada berdayanya CSR. Kedua, strategi kemitraan yang memberdayakan setiap elemen/mitra. Kemitraan strategis dilakukan dengan setiap elemen yang berkait dengan CSR. Sebagai contoh, kemitraan dengan LSM dan pemerintah setempat. LSM perlu terlibat karena mereka diasumsikan mengetahui dan berpihak kepada masyarakat, sedangkan pemerintah adalah katalisator untuk CSR. Jika keduanya tersinergikan, CSR sebagai salah satu alat perubahan sosial secara potensial dapat digunakan untuk meremediasi problem sosial yang ada. Hanya, saat ini kondisinya terbalik. LSM dalam program CSR acapkali dianggap lawan, bukan kawan. Citra pegiat LSM lekat dengan manusia proyek yang sibuk mencari sumber masalah untuk bernegosiasi mendapatkan proyek. Dan setelah proyek selesai, pundi-pundi pengelolanya penuh, LSM tersebut bubar. Bukan hanya itu, LSM juga tidak dipercaya karena inkapabilitasnya memahami CSR dan terlebih tentang CSR yang memberdayakan. Sementara itu, pemerintah sebagai katalisator justru dalam beberapa hal malah menjadi dekatalisator. Para elitnya menjadi raja-raja kecil yang meminta upeti, membuat implementasi regulasi jadi kompleks, dan penuh dengan prosedur yang tak transparan. Bahkan, regulasi tentang CSR yang ada riskan sekali terhadap penyelewengan, tumpang tindih antara pajak dan pungutan-pungutan liar. Ketiga, komunikasi melalui media menjadi hal krusial dalam memberdayakan CSR. Inisiator program CSR mengatakan ingin agar program CSR-nya dapat menginspirasi lembaga lain yang belum melakukan CSR. Di sisi lain, dengan melakukan ini pun lembaga pelaksana program CSR mendapatkan bonus berupa citra dan reputasi positif. Celakanya, pengomunikasian ini acapkali juga dilakukan untuk membuat pihak luar terkesan kendati realitanya tidak sungguh baik. Terkait dengan ini terdapat empat gaya dalam pengomunikasian CSR yaitu: (i) CSR yang baik dikomunikasikan baik; (ii) CSR buruk yang dikomunikasikan secara buruk; (iii) CSR buruk yang dikomunikasikan dengan baik; (iv) dan, CSR yang baik tetapi dikomunikasikan secara buruk. Lebih jauh terkait pengomunikasian CSR melalui media, ketika penulis meneliti selama periode Januari hingga Maret 2008, terungkap bahwa secara kuantitatif kemunculan isu CSR sebanyak 50,74 persen tersebar di halaman surat kabar dan majalah secara acak dan 16,81 persen di halaman iklan, dengan 0 persen kemunculan di halaman utama. Kemunculan ini pun diprakarsai oleh perusahaan swasta
Csr yang berdaya sebanyak 61,6 persen. Dengan kata lain, belum ada kemunculan program CSR di media karena inisiatif media untuk melakukan peliputan (“Potret Corporate Social Responsibility”, Rohman 2009). *** Kondisi menjadi lebih buruk ketika realita mengatakan bahwa media dan perusahaan sebagai pelaku program CSR memiliki prasangka buruk satu sama lain. Pertama, media menganggap bahwa korporat hanya terbuka saat tidak terjadi krisis. Dengan lain kata, korporat jarang sekali bersikap ramah terhadap media ketika sedang bermasalah. Mereka hanya melaksanakan media gathering sewaktu korporat dalam kondisi aman kemudian menjamu pekerja media untuk mendapatkan simpati yang berujung pada pembelian space. Kedua, media enggan memberitakan isu CSR karena menganggapnya tidak memiliki news value. Pekerja media rata-rata berpikiran bahwa bad news is good news, menyukai sesuatu yang bersifat instant, happening, dan booming. Sementara program CSR adalah kegiatan yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan berkesinambungan dengan dampak yang relatif lama. Ketiga, perusahaan masih meragukan kinerja media. Media belum memahami secara benar kegiatan mana yang merupakan realisasi dari program CSR dan mana yang bukan sehingga banyak sekali program CSR yang semestinya memiliki nilai berita luput. Akibatnya, CSR masih sedikit mendapat perhatian. Keempat, korporat menyikapi media sebagai space yang dapat dibeli. Di lapangan memang banyak sekali pekerja media yang masih menerima amplop dari korporat. Imbasnya, korporat pun menganggap bahwa selama ada uang maka media manapun dapat dibeli. Selain adanya stereotype di atas, kondisi dimana ada kecenderungan media enggan untuk memberitakan isu tentang CSR juga ikut berperan dalam rendahnya penetrasi CSR di Indonesia. Kengganan media untuk memberitakan CSR ini disebabkan oleh, pertama, adanya ketertarikan media untuk hanya merespon hal-hal yang besar, hebat, instant, dan mengabaikan hal-hal yang berusaha mencegah risiko besar namun berjalan dan dibangun dengan proses yang panjang. Kedua, karena alasan kepentingan komersial dan marketing dari perusahaan media yang bersangkutan. *** Meski demikian, baik media dan penyelenggara CSR dimungkinkan untuk berkolaborasi dalam menyelanggarakan program CSR melalui berbagai pemba-
gian peran: eksekutor, fasilitator, dan promotor. Sebagai eksekutor, media menjalankan program CSR sebagai sebuah bagian yang inheren dengan visi dan misinya. Media menjalankan CSR atas inisiasi sendiri dan ingin menjangkau target kegiatan sesuai dengan perencanaan program CSR. Media menjalankan program CSR ini menggunakan salah satu fungsi media yakni sebagai agen pendidikan bagi masyarakat. Media bukan hanya berebut rating atau pun oplah tetapi juga berusaha menampilkan keluaran yang mampu mendidik masyarakat, meningkatkan partisipasi publik dalam pembangunan, serta menciptakan masyarakat yang kritis terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Sebagai fasilitator, media menjadi lembaga penghimpun dana dari masyarakat kemudian menyalurkannya kepada yang membutuhkan. Fungsi ini menuai kritik karena media seolah seperti pemulung yang hanya memungut dana kedermawanan dari publik kemudian menyalurkannya. Media dianggap tidak terlalu banyak berkontribusi selain memberikan fasilitas. Seharusnya media mampu berperan lebih dari sekadar ini. Akan tetapi, harus realistis, melalui fungsi ini media mampu menghimpun dana dari publik yang sangat besar sehingga dapat disalurkan kepada sejumlah korban bencana alam. Fenomena ini begitu menyeruak saat tsunami dan gempa bumi melanda sejumlah wilayah di Indonesia. Sebagai promotor, media dapat berperan dalam kegiatan CSR melalui peningkatan peliputan pada isu-isu seputar CSR. Selama ini banyak pengamat menilai bahwa media kurang tertarik pada berita CSR. Anggapan CSR tidak memiliki nilai berita senantiasa menjadi alasan yang digunakan. Di satu sisi boleh jadi ini benar mengingat memang banyak dari praktisi bisnis yang melakukan CSR tanpa diserta strategi kreatif yang berdampak massal, di sisi lain memang masih banyak pekerja media yang belum memahami esensi dari kegiatan CSR. *** Berbagai uraian di atas ingin menunjukkan bahwa CSR memang membutuhkan sinergi banyak pihak. Tulisan ini juga telah berusaha mengelaborasi berbagai kerugian yang kian melemahkan CSR ketika antara perusahaan, LSM, pemerintah lokal dan media saling mengumbar prasangka. Harus segera disadari, bahwa perusahaan, pemerintah lokal, LSM, dan media masing-masing memiliki peran dan tanggung jawab agar CSR benar-benar berdaya. Jika tidak, CSR akan tetap ompong dan tanpa tenaga untuk mencapai tujuannya: pemberdayaan. 21
Manifesto
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Mendorong
Wirausaha Sosial
di Daerah Migas dan Tambang Pengantar 3URJUDP0HPSHUNXDW3HUDQ/60/RNDOGL'DHUDK,QGXVWUL3HUWDPEDQJDQ XQWXN3HQDQJJXODQJDQ.HPLVNLQDQGDQ3HPEHUGD\DDQ3HUHPSXDQ EHUWXMXDQPHQGRURQJWLJDVWDNHKROGHUV3HUXVDKDDQ3HPHULQWDK 'DHUDKGDQ/60ORNDOVHUWDFRPPXQLW\EDVHGRUJDQL]DWLRQ XQWXN PHPEDQJXQNHUMDVDPDNHPLWUDDQJXQDPHQJHPEDQJNDQSURJUDP SURJUDPSHQDQJJXODQJDQNHPLVNLQDQ\DQJEHUNHODQMXWDQ3URJUDP LQLGLODNVDQDNDQGL.DEXSDWHQ$QDPEDV.HSOXODXDQ5LDX .XWDL .HUWDQHJDUDGDQ.XWDL7LPXU.DOLPDQWDQ7LPXU .DEXSDWHQ6XPEDZD %DUDW1XVD7HQJJDUD%DUDW %ORUD%RMRQHJRURGDQ7XEDQ-DZD7LPXU DWDVGXNXQJDQ8QLWHG1DWLRQVIRU'HPRFUDF\)XQG81'() SDGDSHULRGH
P
Program penanggulangan kemiskinan yang dicanangkan dengan pendekatan pro-poor, pro-job dan pro-growth hampir tidak pernah bersentuhan dengan gagasan pentingnya wirausaha sosial. Pro-poor diartikan menyelamatkan kaum miskin dengan cara memberikan fasilitas gratis kepada kaum miskin sehingga mereka dapat mengakses kebutuhan energi, kesehatan, pendididikan dan sandang maupun pangan yang tidak pernah terjangkau dengan mengandalkan pendapatannya. Adapun pro-job fokus pada pemberian proteksi, subsidi dan bantuan kapasitas kepada kelompok miskin agar usahanya dapat memberikan penghasilan yang layak se22
cara individual. Sedangkan pro-growth fokus pada pengembangan investasi sehingga membuka lapangan kerja, peningkatan produksi dan pendapatan penduduk yang berimbas pada penduduk miskin. Ketiga pendekatan itu tidak keliru tetapi belum berhasil mengikis jumlah penduduk miskin. Pro-poor bervisi keadilan tetapi miskin kemakmuran, pro-job bervisi pemerataan, tetapi miskin pertumbuhan, pro-growth kaya pertumbuhan ekonomi tetapi rawan ketidakadilan sosial dan pemerataan. Pro-poor dapat meningkatkan belanja negara dan daerah untuk menyelamatkan orang miskin yang bisa bertambah terus
setiap tahunnya ketika terjadi badai krisis ekonomi, bencana alam, dan bekerjanya pasar yang manipulatif. Pro-job juga menyelamatkan orang miskin secara darurat karena pekerjaan yang diakukan orang miskin relatif sama, bergerak di sektor primer seperti pertanian, perikanan, dan sektor sekunder seperti kerajinan yang saling berkompetisi untuk memperebutkan akses pasar. Apa yang terjadi adalah kompetisi mereka sering berlangsung tidak sehat, saling menjatuhkan usaha dengan membanting harga atau mengeksploitasi diri agar tetap survive. Ketika salah satu pihak kemudian bisa bangkit usahanya karena adanya program pro-job, maka
Kemitraan penanggulangan
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Kemiskinan memperkuat usaha ekonominya di komunitas. Inisiatif Yunus berbuah, kaum miskin mempunyai kepercayaan diri dan tanggungjawab sosial secara bersama dan rasional untuk keluar dari jerat kemiskinan melalui kerja keras dan melawan belenggu sosial budaya yang menjeratnya. Prof. Yunus lalu mendirikan Grammen Bank yang artinya bank pedesaan dengan agenda kerja memerangi kemiskinan melalui kredit mikro dan usaha skala mikro penduduk miskin di seluruh wilayah Bangladesh. Kini ratusan ribu wanita di Bangladesh bisa hidup lebih baik, dan bekerjasama untuk memerangi kemiskinan ekonomi dan budaya serta mampu berjejaring untuk memperluas pemasarannya ke pasar regional dan nasional. Gagasan pentingnya wirausaha sosial bagi penanggulangan kemiskinan sudah didesiminasikan oleh program IRE–UNDEF dalam beberapa workshop di daerah
Foto: Dok. IRE
pihak yang lain mudah gulung tikar, sehingga program ini sepertinya bersifat gali lubang tutup lubang. Sementara itu, pendekatan pro-growth yang membuka investasi skala besar dapat juga menggilas usaha skala kecil dan mikro yang menjadi tumpuhan hidup kaum miskin melalui skema pro-job sekalipun. Wirausaha sosial kiranya akan menjadi solusi untuk menjawab kebutuhan semua pihak termasuk golongan miskin. Pertama, semangat wirausaha sosial adalah mengembangkan usaha yang bermanfaat bagi kemaslahatan hidup bersama. Kedua, memperkuat daya saing usaha sosial tersebut ke dalam pasar yang kompetitif dan meningkatkan jejaring usaha dengan para pengusaha yang relatif telah mapan. Ketiga, ia bukan berorientasi mengejar keuntungan maksimal dan mengkesploitasi dan mengontrol sum-
berdaya yang dikuasai warga, tetapi justru meningkatkan kontrolnya. Keempat, ia lebih berkepentingan memanfaatkan sumberdaya tersebut untuk dikelola sebagai bisnis rasional tetapi mempunyai tujuan sosial yang luas sehingga layak dilindungi pemerintah. Banyak contoh yang menggambarkan keberhasilan wirausaha sosial yang berimbas positif terhadap penanggulangan kemiskinan. Salah satu contoh wirausaha sosial adalah prakarsa Grameen Bank di bawah kepemimpinan Profesor Muhammad Yunus. Setiap hari Prof. Yunus dikelilingi oleh kaum miskin yang mengemis di seluruh penjuru kota, tidak terkecuali di kampusnya. Uang receh selalu mengalir ke mereka setiap hari tetapi jumlah kaum miskin terus bertambah. Yunus lalu tergugah mencanangkan dana bergulir untuk memperkuat usaha ekonomi kaum miskin, dan mendorong kaum miskin berjejaring
bagi kalangan CSO lokal selama tahun 2010. Gagasan itu secara kultural bukan sesuatu yang baru di desa. Dalam setiap budaya dan komunitas lokal, aktivitas ekonomi berbasis pada semangat wirausaha sosial. Hutan, terumbu karang, laut, irigasi dikelola oleh masyarakat dengan kearifan lokalnya yang disemai dengan menggunakan kekuatan modal sosial untuk kesejahteraan bersama. Dengan kearifan lokal dan modal sosial itu maka sumberdaya alam yang relatif terbatas bisa terjaga kelestariannya dan dapat menghidupi semua warga tidak terkecuali golongan miskin. Masalahnya adalah modernisasi, ekspansi pasar dan berbagai program pembangunan justru telah menimbulkan erosi kearifan lokal dan modal sosial. Kini kearifan lokal dan modal sosial justru berfungsi sebagai strategi orang miskin untuk bisa bertahan hidup dengan kemiskinannya, bukan keluar membangun kehidupan yang lebih sejahtera secara bersama dan rasional. Kearifan lokal dan modal sosial tidak dikembangkan untuk meningkatkan hak komunitas dan kesejahteraan sosial. Misalnya tolong menolong hanya menjadi tradisi konsumsi bukan lagi sebagai kegiatan produksi, dan arisan lebih sebagai ajang silaturohmi dan ajang konsumsi daripada membangun budaya saving (menabung) dan peningkatan ketahanan ekonomi. Wirausaha sosial akan cepat bangkit di komunitas lokal kalau segala bentuk kearifan lokal dan modal sosial direvitalisasi untuk mendorong munculnya berbagai insiatif aktivitas ekonomi di sektor riil yang menghasilkan produksi dan jasa yang kompetitif dan dibutuhkan masyarakat luas. Dengan cara seperti itu, maka akan lahirkelompok-kelompok warga yang produktif, inovatif dan mampu menggalang kerjasasama yang membuka peluang masuknya kerjasama kemitraan dengan perusahaan. Banyak potensi yang bisa digarap untuk wirausaha sosial, misalnya usaha air bersih, listrik mikro hidro, hutan, pasar, pembuatan sampah, pupuk organik, pelayanan irigasi, dan pengelolaan kawasan hutan, pantai dan laut. Dengan munculnya pengelolaan usaha di desa secara swakelola oleh masyarakat, maka hadirnya perusahaan besar bukan mengganti peran mereka, tetapi memperkuat kemandiriannya. Perusahaan air minum, misalnya bisa lebih berperan sebagai distributor dan kontrol kualitas daripada menguasai langsung sumberdaya air warga. Demikian pula, hadirnya lembaga perkreditan bisa langsung melayani kelompok-kelompok swadaya dalam masyarakat daripada hanya melayani bisnis kapitalis skala besar. 23
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Foto: Dok IRE
Masalah kedua di level komunitas muncul ketika wirausaha sosial tidak menemukan iklim usaha yang kondusif. Masalah ini muncul karena pemda sangat menganakemaskan investor daripada wirausahawan sosial. Dengan dalih mendapatkan upeti atau pajak, pemda lalu membuka kran investasi yang dalam jangka pendek atau panjang mendepak potensi masyarakat untuk mengembangkan wirausaha sosial. Iklim usaha wirausaha sosial membutuhkan dukungan regulasi yang kuat. Pemda hendanya memberikan stimulan kepada wirausahawan sosial yang bisa meningkatkan kapasitas masyarakat lapisan bawah dalam mengembangkan usaha dan pendapatannya. Pemikiran IRE-UNDEF itu kiranya bukan jauh dari dari realitas. Di Bojonegoro, misalnya, kelompok tani Rajakaya Makmur mempunyai obsesi untuk mengembangkan bisnis ternak kambing yang akan menggairahkan produksi kambing di kalangan keluarga miskin. Mereka tidak tertarik lagi hanya memelihara kambing secara secara sambal lalu dan dijual ke pasar lokal dengan harga tidak menentu dan dipermainkan oleh tengkulak. Mereka bermaksud untuk mensuplai daging kambing ke kotakota besar di Jawa secara teratur dengan harga yang kompetitif. Dengan cara itu maka akan banyak warga miskin yang nasibnya bergantung dari rumput kemudian mampu mengembangkan usaha peternakan secara lebih intensif. Masalahnya adalah lahan mereka kini semakin berkurang karena sebagian lahan dikonversi untuk instalisai perusahaan minyak. Untung ada semangat wirausaha sosial dari perhutani yang memberikan akses kepada warga untuk mengelola hutan dan sebagian dipakai untuk cadangan rumput. Keberuntungan akan itu akan bertambah ketika ada peluang dari perusahaan yang mendukung uipaya warga dalam meningkatkan pendapatan melalui usaha peternakan. Kebutuhan sekarang adalah mencari rakanan pengusaha yang siap mendukung bisnis Rajakaya Makmur. Program IRE-UNDEF pun turun tangan dengan memfasilitasi mereka mengenal dunia pasar dan menemukan wirausahawan yang bisa menjadi rekan bisnisnya.
Belajar dari program kerja petani Rajakaya Makmur di atas, maka pengembangan wirausaha sosial kiranya menjadi tantangan penting dalam program penanggulangan kemiskinan ke depan. Program bisa mengantarkan keluarga miskin mempunyai kemandirian ekonomi yang berjejaring dengan dunia pasar, sehingga bisa lebih berdaya dibandingkan dengan hanya menjadi buruh atau mempertahankan usahanya yang rapuh. Oleh karena itu penanggulangan kemiskinan dengan skema kemitraan hendaknya diarahkan untuk memperkuat wirausaha sosial daripada untuk program pro-poor, pro-job atau pro-growth yang masih kurang kuat dampaknya bagi kemakmuran rakyat kecil. Bambang Hudayana
24
Foto: Dok IRE
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Kunjungi website kami di
www.ireyogya.org
25
MANIFESTO
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Memperkuat
Representasi Politik Warga Pengantar
3URJUDPULVHWNHELMDNDQ GHQJDQWHPD´5HIRUPDVL 6LVWHP3HUHQFDQDDQ 3HPEDQJXQDQ1DVLRQDO XQWXN0HPSHUNXDW 5HSUHVHQWDVL:DUJD .DMLDQDWDV.HELMDNDQ GDQ3UDNWHN3HODNVDQDDQ 881R7DKXQµ EHUWXMXDQPHPEHUL NRQWULEXVLSDGDSHQJXDWDQ NDSDVLWDV'35XQWXN PHODNVDQDNDQPDQGDW PHUHNDGHPRFUDWLF PDQGDWH VHEDJDL SHUZDNLODQZDUJDGDODP VLVWHPSHUHQFDQDDQ SHPEDQJXQDQQDVLRQDO 3URJUDPLQLGLODNXNDQ SDGDDWDVGXNXQJDQ 3URJUDP5HSUHVHQWDVL 3URUHS 86$,' 26
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
S
Setiap tahun perencanaan dan penganggaran selalu hadir sebagai arena bagi demokrasi, terutama arena partisipasi warga, deliberasi multiaktor dan representasi rakyat melalui para wakil rakyat (lembaga representatif). Tetapi sistem dan praktik perencanaan dan penganggaran (PDP) saat ini sungguh merisaukan. Berbagai kekecewaan dan kritik ditujukan kepada sistem PDP selama beberapa tahun terakhir: usulan dari bawah yang naik ke atas; proses Musrenbang yang terjebak pada formalitas; partisipasi yang dangkal; dan masih banyak lagi. Berbeda dengan studistudi sebelumnya, tulisan ini mengambil fokus pada representasi warga dalam perencanaan dan penganggaran. Isu representasi warga ini penting karena rapuhnya relasi antara warga dan parlemen bukan hanya dalam ranah institusi demokrasi perwakilan, tetapi juga dalam ranah PDP. PDP menyajikan skema yang berbeda antara hubungan warga dengan eksekutif dan antara warga dengan legislatif (parlemen). Kedua jalur yang berbeda masing-masing mempunyai klaim representatif, tetapi secara institusional dan empirik, keduanya tetap saling mendistorsi sehingga memperlemah representasi warga dan merapuhkan proses dan hasil PDP.
Politik Akomodasi Kuat, Politik Representasi Lemah Sistem PDP lebih mengutamakan politik akomodasi ketimbang politik representasi. Ini diwujudkan dengan mewadahi beragam aktor beserta cara pandang
dan kepentingannya masing-masing. PDP mengakomodasi tiga pendekatan: politik (ranah pejabat politik seperti presiden, gubernur, bupati/walikota dan DPR/ DPRD); teknokratik (pendekatan yang mengutamakan keahlian dan kecermatan yang menjadi ranah birokrasi) dan partisipasi (ranah warga dan masyarakat). Negara, khususnya lembaga eksekutif, menyediakan Musrenbang dari bawah (desa) sampai nasional, sebagai arena representasi, partisipasi, dan deliberasi warga untuk terlibat dalam perencanaan. Selain itu, partisipasi, sebagai manifestasi pemerintahan dari rakyat, berhadapan dengan beberapa lapis keter-
batasan meskipun participatory planning telah menjadi mainstream. Secara normatif dan empirik, partisipasi yang terjadi adalah partisipasi berbasis teritorial atau spasial (dusun, desa, kecamatan, daerah dan seterusnya). Pola ini paralel dengan metodologi perencanaan yang membuahkan “hasil sektoral” tetapi ditempuh dengan “proses spasial”. Partisipasi yang dikelola secara komunal-spasial itu tidak mampu menjangkau isu-isu sektoral berskala besar, sehingga hanya mampu membuahkan usulan berskala lokal seperti perbaikan jalan kampung. Selain itu, SPPN tidak memberi ruang bagi partisipasi warga atau popular 27
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Tabel 1 Mekanisme kelembagaan bagi representasi warga dalam PDP Partisipasi
Deliberasi
Kontestasi (parlemen)
Perencanaan Partisipasi masyarakat berbasis teritorial (desa, kecamatan, kabupaten/kota) Delegasi masyarakat berpartisipasi dalam proses musyawarah (deliberasi) dengan aktor-aktor lain dalam Musrenbang Parlemen tidak berkewajiban menghadiri Musrenbang, dan parlemen tidak punya kewenangan perencanaan.
participation berbasis organized interest seperti serikat buruh, serikat tani, organisasi nelayan, gerakan perempuan dan sebagainya. Mereka tidak masuk ke ranah partisipasi masyarakat dan deliberasi dalam Musrenbang, melainkan membangun aksi kolektif melalui jalur partisipasi non-konvensional seperti aksi unjuk rasa. SPPN juga hanya membuka ruang partisipasi masyarakat (bukan warga) dalam perencanaan, tetapi melakukan pengabaian partisipasi dalam penganggaran. Pendekatan delegasi dari bawah ke atas membuat deliberasi dalam Musrenbang semakin lemah dan dangkal. Dengan pola yang komunal – ala demokrasi komunitarian – Musrenbang desa menyajikan deliberasi yang lebih semarak dan langsung. Berbagai lapisan warga masyarakat, termasuk orang miskin dan perempuan, terlibat dalam proses deliberasi itu, meskipun hasilnya seringkali bias elite, yakni usulan yang paling domiQDQ DGDODK VDUDQD ÀVLN NDPSXQJ 7HWDSL pendekatan delegasi (ala demokrasi delegatif) dari desa ke Musrenbang kecamatan, semakin mengurangi representasi warga. Demikian juga dengan Musrenbangda, apalagi Musrenbangnas. Deliberasi dalam Musrenbang bukan hanya menghadirkan pendekatan delegatif yang melemahkan partisipasi masyarakat, tetapi proses deliberasi sungguh dangkal. SPPN melakukan exclusion terhadap parlemen dalam ranah perencanaan, tetapi melakukan akomodasi dalam penganggaran. Parlemen memiliki alat kelengkapan yang masuk ke ranah anggaran seperti Badan Anggaran, tetapi institusi wakil rakyat ini tidak memiliki alat perencanaan. Badan Anggaran berwenang dan bertugas melakukan pembahasan anggaran bersama Tim Anggaran dari eksekutif. Sebelum menjalankan fungsi budgeting, setiap anggota parlemen memanfaatkan momen reses untuk pulang kampung, melakukan komunikasi dan jaring asmara bersama para konstituen mereka 28
Penganggaran Tidak ada
Tidak ada
Jaring asmara untuk memperjuangkan usulan masyarakat, membentuk Badan Anggaran untuk bernegosiasi dengan tim anggaran eksekutif
di dapil mereka. Ketika jaring asmara berlangsung, desa, pejabat daerah maupun kelompok-kelompok masyarakat tidak hanya menyampaikan aspirasi, tetapi juga sudah menyiapkan proposal untuk diperjuangkan dalam pembahasan APBN. Partisipasi masyarakat berbasis teritorial berjalan paralel dengan representasi-konstituensi teritorial yang dijalankan parlemen. Pada umumnya anggota parlemen berupaya menjaring pemilih sebanyak mungkin dengan basis konstituensi teritorial pada daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Andrew Rehfeld (2005) menilai, konstituensi teritorial merupakan tipe konstituensi paling lemah, bahkan menciptakan pengabaian (exclusion) terhadap konstituen, karena wilayah sebagai basis konstituensi menyediakan “community of interest” yang tidak jelas, heterogen dan meluas. Sangat jarang anggota parlemen yang mengembangkan basis konstituensi organisasional, yakni konstituen yang berbasis pada hak-hak fundamental dan kepentingan yang teroganisir. Tradisi “perburuan proyek” merupakan manifestasi konkret politik akomodasi dalam PDP. Di level daerah, misalnya, selama ini telah terbangun sebuah “konvensi politik” bahwa belanja publik dibagi dengan pola plafonisasi ala politik
6HWLDSDNWRUNHORPSRN PDV\DUDNDWNHSDOD GHVDSDUOHPHQ ELURNUDWGDQODLQ ODLQ PHPDQIDDWNDQ VHWLDSDUHQDGDODP3'3 VHEDJDLDMDQJXQWXN PHQFDULXDQJJXQD PHQGDQDLNHEXWXKDQ \DQJPHUHNDXVXONDQ
akomodasi: 20% plafon politik (10% untuk kepala daerah dan 10% untuk parlemen); 70% plafon sektoral di SKPD (yang didominasi oleh pendidikan, kesehatan dan pekerjaan umum); dan 10% plafon desa. Pada praktiknya, para pejabat politik memanfaatkan plafon politik sebagai “gentong babi” (pork barrel), yang mereka bagi-bagi secara populis kepada konstituen agar popularitas tetap terjaga. Setiap aktor (kelompok masyarakat, kepala desa, parlemen, birokrat, dan lainlain) memanfaatkan setiap arena dalam PDP sebagai ajang untuk mencari uang guna mendanai kebutuhan yang mereka usulkan. Ketika Musrenbang -- sebagai jalur utama – mengalami kemacetan, masyarakat lokal berupaya keras berburu proyek melalui jalur alternatif kepada parlemen. Melalui jaring asmara, parlemen membangun komunikasi dan deliberasi dengan konstituen, sekaligus membawa aspirasi (baca: usulan proyek) dari konstituen untuk diperjuangkan ke dalam proses penganggaran. Meskipun jaring asmara tidak dilembagakan secanggih Musrenbang, tetapi ada dua pendapat yang sering mengemuka. Pertama, pada umumnya parlemen menganggap bahwa jaring asmara (termasuk perjuangan memperoleh anggaran untuk konstituen di dapilnya masing-masing) merupakan strategi representasi yang mungkin bisa dilakukan. Bagi parlemen berhaluan elektoralis, keberhasilan memperoleh anggaran untuk konstituen merupakan bukti bahwa mereka representatif. Kedua, konstituen senang jika memperoleh uang proyek hasil perjuangan parlemen. Karena itu, jaring asmara sering dianggap jalur alternatif di luar musrenbang. Karena itu, simbiosis antara aspirasi konstituen dan perjuangan parlemen itu mampu melipatgandakan legitimasi anggota parlemen dalam pemilihan umum berikutnya. Pada akhirnya, hal ini menciptakan pola politik patron klien antara wakil dengan konstituen.
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Politik Representasi; Tidak Cukup Deskriptif, tetapi Substantif Apakah keberhasilan parlemen memperjuangkan dana proyek untuk konstituen bisa disebut sebagai politik representasi? Tampaknya ada dua pendapat yang mengemuka dari kalangan parlemen. Pertama, parlemen berhaluan elektoralis berpendapat bahwa mereka telah menjalankan fungsi representasi, karena berjuang dan bertindak untuk (acting for) memenuhi rakyat. Pendapat ini ada benarnya juga sebab dana untuk rakyat itu kalau tidak diperjuangkan tidak akan sampai ke rakyat. Kedua, parlemen berhaluan idealis berpendapat bahwa kebiasaan membawa dana proyek itu sebenarnya melakukan pembodohan terhadap rakyat sehingga tidak terbangun kedaulatan rakyat. IRE mengambil posisi pendapat parlemen berhaluan idealis. Perburuan proyek, dalam pandangan IRE, baru sebatas pada representasi deskriptif, bukan representasi substantif (Piktin, 1967; Tornquist, 2009). Artinya anggota parlemen membangun representasi baru sebatas berdiri untuk (stand for) konstituen karena kesamaan komunitas, kampung halaman, daerah pemilihan, atau karena disatukan oleh kesamaan kepentingan jangka pendek, yakni meraih dana proyek. Sementara representasi substantif yang ditopang oleh konstituensi organisasional jika mengandung tiga elemen penting: proteksi terhadap hak-hak dan kepentingan kelompok atau organisasi rakyat; merepresentasikan kepentingan lokal yang dimarginalkan oleh kepentingan nasional; dan mendidik keahlian atau keterampilan kewarganegaraan di kalangan warga (Kitschelt et. al. 1999).
dan deliberasi masyarakat khususnya dalam penganggaran. Ketiga, menata ulang pola representasi-kontituensi dalam konteks relasi antara parlemen dengan warga. Dari sisi regulasi, tentu dibutuhkan koherensi antara undang-undang SPPN, susunan dan kedudukan parlemen, undang-undang partai politik dan pemilihan umum. Tetapi yang paling substansial, dibutuhkan penguatan representasi substantif berbasis konstituensi organisasional. Artinya setiap anggota parlemen mempunyai konstituen yang berbasis pada organized interests yang jelas, seperti organisasi buruh, serikat tani, organisasi pedagang kaki lima dan sebagainya.
Apa yang dilakukan Muspani (anggota DPD 2004-2009 dari Bengkulu) dan Budiman Sudjatmiko (anggota DPR dari PDI Perjuangan 2009-2014) memberikan contoh wakil rakyat yang berupaya membangun model representasi substantif dengan basis konstituensi organisasional. Mereka melakukan jaring asmara bukan untuk keperluan “perburuan proyek” tetapi untuk memperjuangkan hak dan kepentingan hakiki kaum marginal atau kelas bawah, sekaligus melakukan pendidikan politik warga. Kedepan, upaya semacam ini bisa menjadi menjadi instrumen untuk membangun representasi substantif. Sumber: Disarikan dari Policy Brief
Rekomendasi Pertama, memperluas dan memperdalam partisipasi dalam PDP. Partisipasi masyarakat yang bersifat invited participation dan berbasis pada kebutuhan sangat penting tetapi tidak cukup. Partisipasi warga yang bersifat popular participation dan berbasis hak serta kepentingan merupakan pilihan untuk memperluas dan memperdalam partisipasi. Partisipasi model ini berangkat pada organized interests yang muncul dari berbagai organisasi rakyat seperti serikat tani, serikat buruh, organisasi perempuan, organisasi difabel, organisasi pemulung, pedagang kaki lima dan seterusnya. Kedua, integrasi antara perencanaan dan penganggaran. Rekomendasi ini mungkin tidak mampu mengurangi tradisi “perburuan proyek” yang dilakukan oleh masyarakat, tetapi integrasi PDP akan membuka (inklusi) bagi partisipasi 29
MANIFESTO
Desa Bergerak untuk Kemandirian dan Penanggulangan Kemiskinan Pengantar Program “ ϔ
ǣ dz ȋ
ȌǦ Ǥ
ͶͷͷǦͶͷǤ
S
Secara umum, Desa sering dipandang sinonim dengan kemiskinan, ketertinggalan hingga ketergantungan. Dalam situasi tersebut, tidak mengherankan jika desa menjadi hilir dari segala macam kebijakan dan terkadang menjadi semacam ajang percontohan untuk berbagai kebijakan dari lembaga pemerintah di level pusat. Di ranah hulu kebijakan, pemerintah sebenarnya tidak pernah berhenti melakukan intervensi terhadap kemiskinan, pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Selama ini pemerintah menghadapi dilema yang serius dalam menjalankan intervensi terhadap desa. Kalau pemerintah tidak intervensi salah, tetapi kalau melakukan intervensi seringkali membuahkan kegagalan. Para pihak menunjukkan bahwa masalah kemiskinan dan keterbe30
lakangan bisa terjadi karena pemerintah yang tidak hadir atau tidak melakukan intervensi. Tetapi pengalaman empirik menunjukkan bahwa intervensi pemerintah terhadap desa dan penanggulangan kemiskinan lebih banyak membuahkan kegagalan daripada keberhasilan. Selama beberapa tahun terakhir, anggaran penanggulangan kemiskinan mengalami peningkatan sebesar 250% tetapi penurunan angka kemiskinan hanya sebesar 2% (TNP2K, 2010). Keberhasilan yang minimal (jika bukan kegagalan) ini tidak lain karena intervensi yang ditempuh pemerintah menggunakan pendekatan yang keliru, misalnya pendekatan money driven development melalui distribusi Bantuan Langsung Masyarakat. Di ranah hilir kebijakan, desa memang merupakan hulu kemiskinan, tetapi seke-
cil apapun desa juga memiliki aset penghidupan (manusia, sosial, ekonomi) yang bisa menjadi modal emansipasi lokal atau people driven development untuk membangun kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan. Tetapi sayangnya, intervensi dari atas bukan membangkitkan emansipasi lokal justru menjadikan desa sebagai obyek penerima manfaat kebijakan pemerintah semata, aset penghidupan lokal mengalami erosi dan emansipasi lokal menjadi tumpul. Belakangan, desa maupun masyarakat tidak mau disebut miskin, tetapi ketika pemerintah hadir, baik dalam melakukan pendataan maupun memberikan bantuan keuangan, mereka menyebut dirinya miskin. Dalam situasi yang serba dilematis tersebut, diperlukan agenda penanggulangan kemiskinan dan kemandirian desa yang lebih cerdas dengan melakukan perubahan kebijakan pemerintah dari atas dan gerakan emansipasi lokal dari dalam dan dari bawah. Reformasi kebijakan diperlukan untuk mengubah cara pandang pemerintah yang keliru terhadap desa, sekaligus mengubah strategi intervensi pemerintah terhadap kemiskinan dan desa. Dalam konteks ini, IRE menaruh perhatian besar pada perubahan dari community driven development (yang digunakan Bank Dunia dan pemerintah Indonesia) menjadi people driven development, serta dari money driven development (yang dijalankan pemerintah melalui BLM) men-
Foto: Dok IRE
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012 jadi asset driven development melalui emansipasi lokal. Belakangan pembangunan yang digerakkan emansipasi lokal terus mengalami perkembangan di Indonesia. Emansipasi lokal itu digerakkan oleh berbagai kekuatan: kesadaran kolektif di level grass roots, partipasi masyarakat bawah termasuk kaum kaum perempuan, katalisasi yang dilakukan oleh NGOs, maupun regulasi seperti UU No. 25/2005 dan UU No. 32/2004 yang membuka ruang partisipasi warga maupun peran daerah dan desa. Otonomi desa tidak hanya disuarakan kekuatan-kekuatan lokal tetapi juga dihadirkan melalui rekayasa dan ekspesimentasi secara konkret di level bawah, dalam bentuk perencanaan dan penganggaran yang partisipatif, pengembangan sumberdaya alam berbasis desa, pengembangan ekonomi lokal dan sebagainya. Semua ini secara inkremental mendongkrak kemandirian desa, sekaligus memberikan kontribusi bagi penanggulangan kemiskinan dan pembangunan kesejahteraan yang berkelanjutan. Agenda emansipasi lokal itu relevan dengan agenda ACCESS-AUSAID. Program ACCESS (Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme) Phase II yang bekerja sejak Mei 2008 mengusung misi utama “warga dan organisasi mereka berdaya untuk melakukan interaksi aktif dengan Pemerintahan Lokal dalam upaya meningkatkan nilai-nilai pembangunan di kawasan timur Indonesia” tepatnya di 4 provinsi dan 16 kabupaten/kota yakni Provinsi Sulawesi Tenggara meliputi Kabupaten Baubau, Muna, Buton, dan Buton Utara, Provinsi Sulawesi Selatan meliputi Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Takalar, dan Gowa, Provinsi Nusa Tenggara Barat meliputi Kabupaten Bima, Dompu, Lombok Tengah dan Lombok Barat, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur meliputi Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Sumba Barat dan Sumba Timur. Berkaitan dengan dukungan terhadap pengembangan kemandirian desa dan penanggulangan kemiskinan, ACCESS bersama mitra telah mengembangkan berbagai program terkait perencanaan partisipatif desa, peningkatan pelayanan dasar, pengembangan ekonomi lokal, serta pengelolaan sumberdaya alam. Perencanaan dan penganggaran partisipatif berbasis desa menekankan pada proses perencanaan dengan partisipasi aktif dari seluruh warga (termasuk perempuan, orang miskin, pemuda dan kelompok marginal lainnya) untuk menyusun RPJM Desa dan RKP Desa secara partisipatif. Perencanaan desa ditujukan untuk mempersiapkan desa melakukan
6HODPDEHEHUDSDWDKXQ WHUDNKLUDQJJDUDQ SHQDQJJXODQJDQ NHPLVNLQDQPHQJDODPL SHQLQJNDWDQVHEHVDU WHWDSLSHQXUXQDQ DQJNDNHPLVNLQDQ KDQ\DVHEHVDU 713. musrenbang lebih lanjut di Kecamatan maupun di Kabupaten/Kota. Namun demikian, terdapat pula kegiatan-kegiatan yang akan dilanjutkan oleh desa melalui APBDes. Hasil dari kegiatan ini antara lain (1) Modul Pendekatan CLAPP (Community-Led Actions Participatory Process)meliputi Buku 1 “Mengelola Ruang Menggapai Impian”, Buku 2 “Perencanaan dan Pembangunan Desa, dan Buku 3 “Penganggaran Pembangunan Desa”; (2) Peta Sosial Desa yang menggambarkan secara rinci kondisi kesejahteraan warga dan potensi desa; (3) Kader desa (minimal 50% perempuan) yang telah dilatih dan memfasilitasi proses Perencanaan Desa; (4) Regulasi di tingkat desa yang mendukung pelembagaan perencanaan di desa; (5) Regulasi/Kebijakan di tingkat Kabupaten yang terkait dengan partisipasi warga dalam pembangunan; dan (6) hasil kajian atau penelitian terhadap perencanaan dan penganggaran desa. Beragam kegiatan yang telah dijalankan oleh ACCESS dan mitra lokalnya pada akhirnya telah menghasilkan setumpuk cerita perubahan yang menarik baik di tingkat aktor, OMS, maupun pemerintah daerah di 16 kabupaten/kota di daerah kerja ACCESS. Tidak kalah penting, lahir pula beberapa kebijakan di kabupaten/kota yang berbasis keberhasilan kegiatan, antara lain, antara lain Perda Perencanaan Partisipatif, Perda Pelayanan Publik, Perda Pendidikan, beberapa Peraturan Bupati/Walikota dan Peraturan desa. Peran perempuan, masyarakat miskin dan kelompok marginal yang sangat didorong oleh ACCESS telah membawa warna baru peran perempuan dan masyarakat marginal dalam pembangunan dan mencari jalan keluar secara kreatif mencapai impian barunya. Sebagai contoh munculnya inisiatif perda partisipasi/perda perencanaan partisipatif di Buton Utara, keterlibatan kelompok usaha kecil perempuan dalam proses PBJ
(Pengadaan Barang dan Jasa) di Lombok Barat dsb. Berbagai pengalaman selama lebih dari 3 tahun yang menghasilkan beberapa perubahan dari sisi gerakan lokal dan kebijakan pemerintah akan jauh lebih bermakna bila dikaji lebih mendalam. Pada level yang paling dasar, kajian dibutuhkan untuk mengungkap dampak, manfaat dan pembelajaran program ACCESS. Pada level yang lebih lanjut, hasilKDVLONDMLDQVDQJDWEHUJXQDXQWXNUHÁHNVL bagi ACCESS dan stakeholders terkait, dan yang lebih penting akan menjadi kekuatan inspirasi bagi pengembangan pengetahuan, gerakan lokal dan advokasi kebijakan yang berskala lebih luas. Dalam kajian ini, IRE akan berupaya menggali pengalaman dan pelajaran dari program ACCESS untuk ditransformasikan dalam reformasi kebijakan, yakni ke dalam ranah RUU Desa dan Program Nasional Penanggulangan Kemiskinan. Menghadirkan percikan pengalaman berharga gerakan pemberdayaan masyarakat desa yang dilakukan ACCESS di 16 kabupaten, kemudian dalam perjalanannya berkembang menjadi 20 kabupaten di empat provinsi merupakan inisatif yang VLJQLÀNDQ GLODNXNDQ %DJDLPDQDSXQ SH ngalaman dan pelajaran lokal memiliki daya ungkit untuk mempengaruhi kebijakan nasional yakni RUU Desa yang disiapkan pemerintah dan Kebijakan Nasional tentang Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan yang dijalankan TNP2K. Dua kebijakan nasional ini sangat strategis mendapat asupan substansial dari percikan pengalaman program dan gerakan pemberdayaan yang dilakukan ACCESS karena keduanya merupakan kebijakan yang menjadi rujukan nasional tentang arah dan kebijakan pengaturan desa, serta strategi penanggulangan kemiskinan di tingkat lokal. Kajian ini akan berikhtiar pula untuk mentransformasikan pengalaman berharga, inovasi dan skema pemberdayaan yang didedah ACCESS guna menemukan titik temunya dengan proses perumusan RUU Desa. Transformasi pengalaman ACCESS ini mempunyai posisi penting karena akan mendorong proses dan hasil rumusan Undang-undang desa yang berbijak pada bukti, pengalaman berharga, inisiatif dan inovasi pemberdayaan masyarakat di aras lokal. Secara umum, kajian ini berupaya mendorong kebijakan nasional baru yang secara substansial dan institusional lebih tepat, relevan dan berpihak terhadap pencapaian kemandirian desa dan penanggulangan kemiskinan. Borni Kurniawan dan M. Zainal Anwar
31
MANIFESTO
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Pengantar 3URJUDP$LGWR8SURRWHG 3HRSOHVLQ0DOXNX\DQJ NHPXGLDQGLNHQDOGHQJDQ SURJUDP0$7$6,5,GL$PERQ GDQ6HUDPEHUWXMXDQ PHODNXNDQSHPEHUGD\DDQ GDQSHQJRUJDQLVDVLDQ NHSDGDSDUDSHQJXQJVLGDQ PDQWDQSHQJXQJVLXQWXN WHUOLEDWGDODPSURVHV SHPEXDWDQNHELMDNDQ SXEOLNGLWLQJNDWORNDO GDODPUDQJNDPHPEDQJXQ SHUGDPDLDQGDQ SHPEDQJXQDQGL0DOXNX 3URJUDPLQLPHUXSDNDQ NHUMDVDPDDQWDUD,5( GHQJDQ0HUF\&RUSVGDODP NXUXQZDNWXKLQJJD Foto: Lensa indonesia.com
Inisiatif Mendorong Pembangunan
Peka Perdamaian di Ambon
S
6HEDJDL GDHUDK SDVFDNRQÁLN VDODK VDWX tantangan yang dihadapi pemerintah dan masyarakat sipil di wilayah Ambon dan Seram adalah membangun kepercayaan diantara berbagai pihak mulai kalangan masyarakat sipil hingga pemerintah daerah untuk menciptakan pembangunan berbasis perdamaian sekaligus menumbuhkan kesejahteraan warga di tingkat lokal. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan PHQJLQJDW WHUMDGLQ\D NRQÁLN VHEHWXOQ\D berakar pada adanya ketidakpercayaan (distrust) antara satu pihak dengan yang lain. Adanya ketidakpercayaan ini pada akhirnya memicu adanya ketersisihan (eksklusi) secara budaya-ekonomi-sosialpolitik terutama bagi pihak yang secara kuantitas lebih sedikit atau dengan kata lain dialami komunitas minoritas. Lebih dari itu, salah satu karakteristik daerah SDVFDNRQÁLNDGDODKPXQFXOQ\DNRPXQL tas “pengungsi” (atau lazim dikenal dengan sebutan internally displaced personsIDPs) yang muncul sebagai akibat dari NRQÁLN KRUL]RQWDO SDGD PDVD ODOX GDQ 32
sebagian besar kini telah kembali ke daerah asalnya atau telah dikembalikan melalui program pemerintah ke daerah resettlement. IDPs ini bisa dipahami orang atau komunitas yang secara sukarela atau terpaksa harus meninggalkan daerah asalnya sebagai akibat dari adanya perisWLZD NHNHUDVDQ DWDX NRQÁLN EHUVHQMDWD atau bencana alam tetapi kepindahannya tidak melampaui batas negara. Studi yang telah dilakukan oleh Mercy Corps, yang merupakan bagian dari program pengembangan ekonomi di Maluku, menyingkap kenyataan bahwa hingga lima tahun setelah kembali dari pengungsian, eks-IDPs masih berpendapatan lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah mengungsi. Fakta tersebut memunculkan kekhawatiran berikutnya bahwa, barangkali kelompok yang paling rentan adalah para IDPs yang tidak kembali ke kampung halamannya atau mereka yang tidak dimukimkan kembali. Banyak pengungsi yang masih menetap di daerah-daerah perkotaan, tinggal me-
numpang di rumah kerabat mereka atau menempati bangunan-bangunan terlantar, atau di tempat-tempat penampungan sementara. Tanpa kepemilikan lahan dan tempat tinggal, para mantan IDPs ini menghadapi banyak kesulitan dalam memperoleh pelayanan publik dan menunaikan hak politiknya. Keterputusan mereka dengan sumber penghidupan tradisional, yang mensyaratkan penguasaan atas lahan untuk berproduksi, dimana umumnya eksIDPs tidak siap dengan ‘cara’ ekonomi urban, terutama generasi muda yang tidak sempat terbekali pendidikan memadai karena hiruk-pikuk kerusuhan tersebut, kendala yang menghadang mereka menjadi berlipat. Pemerintah punya andil atas berlarutnya berbagai masalah yang telah diuraikan di atas. Bahkan setelah dimukimkan kembali oleh pemerintah, para pengungsi masih berupaya mencari hak miliknya di GDHUDK DVDO .HWLGDNMHODVDQ UHJXODVL³ kepemilikan atas tanah, relokasi, status GHVD³GDQ NHWLGDNFRFRNDQ ,'3V GHQJDQ pemerintah, telah melemahkan partisipa-
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012 si dan pelibatan warga dalam proses-proses sosial kemasyarakatan. Guna memberikan kontribusi untuk mengurai benang kusut persoalan di atas, European Union, Mercy Corps, dan Institute for Research and Empowerment (IRE) menjalin kerjasama di bawah payung program MATASIRI, untuk pemberdayaan para mantan pengungsi internal agar dapat berintegrasi menjadi masyarakat yang aman, produktif, dan berkeadilan demi mewujudkan perdamaian abadi dan pembangunan berkelanjutan di tanah Maluku. Proses integrasi tersebut diupayakan bersinergi dengan kegiatan-kegiatan penguatan negeri/desa sebagai salah satu basis penghidupan (livelihoods) masyarakat. Logika yang ingin dibangun adalah menguatnya kapasitas negeri akan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat, termasuk komunitas IDPs yang ada di dalamnya. Paling tidak ada tiga kelompok IDPs yang menjadi sasaran program ini, yakni mereka yang telah dimukimkam, yang telah dikembalikan ke daerah asalnya, dan yang masih dipengungsian. Selain itu, program ini diharapkan juga memberikan dampak terhadap keluarga-keluarga yang menjadi komunitas ‘tuan rumah’ bagi para IDPs, untuk kepentingan proses integrasi yang menyeluruh dan menghidari munculnya kecemburuan sosial. Program aksi ini berupa rangkaian kegiatan selama sekitar tiga tahun, dengan mengaplikasikan pendekatan terpadu guna membantu kelompok sasaran dalam mendapatkan akses yang lebih luas akan pembangunan ekonomi, kesehatan, air bersih dan sanitasi, serta hak-hak atas lahan, melalui penguatan governance. Dengan bekerja melalui dua arah, program aksi ini akan membenahi partisipasi dan integrasi para eks-IDPs. Perpaduan antara pemberdayaan eks-IDPs dan keterwakilan mereka (agar suaranya didengar), dengan peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan pemerintah lokal (agar mendengar dan merespon), harapannya akan membangkitkan kepercayaan (trust) dalam proses-proses yang sudah mapan (established) dan berlangsung, seraya mendorong agar proses-proses tersebut lebih akuntabel, setara, dan responsif terhadap kelompok yang paling marjinal. Upaya untuk berkontribusi tersebut dimulai dengan kegiatan stakeholder mapping yang dimaksudkan untuk mengidenWLÀNDVL EHUEDJDL stakeholder dan memetakan keterkaitannya dalam isu-isu IDP di Maluku, sehingga menghasilkan gambaran terang-benderang mengenai aktoraktor dan relasi di antara mereka. Sebelum rangkaian lokakarya dan pelatihan
digelar, sebuah assessment dilakukan guna memetakan organisasi masyarakat sipil (OMS) dan peluang keterlibatan mereka dalam sistem perencanaan pembangunan. Assessment tersebut menghasilkan beberapa temuan utama, pertama, rata-rata penempatan komunitas IDPs di suatu lokasi merupakan upaya masyarakat sendiri dan bukan program pemerintah. Selain itu, mereka masih menghadapi berbagai persoalan seperti yang telah diuraikan di atas, termasuk masalah akses pekerjaan dan tempat tiggal. Kedua, kendatai proses-proses perencanaan di tingkat negeri (Musrenbang) telah dilakukan, akan tetapi tingkat pelibatan dan partisipasi warga dan kelompok masyarakat masih rendah. Ketika ada keterlibatan pun, ‘suara’ mereka cenderung lemah, bahkan cenderung sayup tak terdengar. Ketiga, kelompok-kelompok masyarakat yang ada di tingkat negeri kurang terorganisir. Pengorganisiran mereka biasanya dapat berjalan manakala ada bantuan program, atau ketika proposal yang mereka ajukan ke suatu dinas disetujui. Jika tidak, mereka cenderung meredup dan kemudian hilang dengan sendirinya. Lokakarya yang sudah dilaksanakan adalah lokakarya pengembangan program MATASIRI untuk perencanaan pembangunan yang produktif dan mendukung perdamaian. Kegiatan tersebut menghasilkan beberapa poin penting, antara lain pertama, program akan berupaya mendorong adanya perencanaan pembangunan yang berlandaskan bina damai (peace building), yang menghasilkan kebijakan pembangunan yang menguntungkan semua pihak termasuk kelompok-kelompok rentan seperti IDPs, perempuan, dan orang miskin. Kedua, karena begitu kompleknya masalah yang berkaitan dengan IDPs, maka pemecahannya memerlukan kemitraan strategis antar pihak, yaitu pemerintah negeri, OMS, pemerintah daerah, pemerintah pusat dan pihak swasta. Selain itu, pendekatan yang digunakan tidak hanya pendekatan keamanan, akan tetapi juga pendekatan kemanusiaan, mengingat masalah yang mereka hadapi tidak hanya masalah permukiman kembali, namun juga persoalan sosial ekonomi dan sumber penghidupan. Ketiga, guna memastikan proses pembangunan yang sistematis, maka setiap pemerintahan negeri memerlukan dokumen perencanaan lima tahunan (RPJMDes) sebagai pedoman dalam merencanakan pembangunan negeri. Bagaimanapun, dokumen tersebut merupakan cerminan program dan agenda pembangunan yang menjadi prioritas negeri. Karena itu, siapapun yang hendak melakukan pro-
gram pembangunan, pendampingan, dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan negeri, harus berpedoman pada domumen tersebut. Keempat, secara normatif Musrenbang sangat bagus karena menggunakan pendekatan partisipatif dan pemberdayaan. Namun, dalam palaksanaannya Musrenbang juga punya beberapa kelemahan. Kehadiran program MATASIRI tidak untuk mengubah, tetapi mengatasi kelemahankelemahan tersebut. Misalnya, mengatasi problem keterputusan dalam proses perencanaan, dengan cara mendorong inisiatif lokal melalui tahap-tahap Musrenbang, termasuk penyiapan RPJMDes. Karenanya, diperlukan perubahan paradigma dalam perencanaan pembangunan negeri, dari ‘membangun negeri’ menjadi ‘negeri membangun’. Nantinya, pendekatan perencanaan pembangunan tidak hanya parWLVLSDWLI WHWDSL MXJD HPDQVLSDWLI³LQLVLD tif pemimpin untuk menggali persoalan warganya. Kelima, program MATASIRI tidak bermaksud untuk mengubah peran/kewajiban negera, tetapi menguatkan atau memberdayakan masyarakat untuk dapat mempengaruhi proses perencanaan melalui pemberdayaan kelompok-kelompok IDP dan fasilitator lokal yang telah digembleng, sehingga mereka akan dapat menjembatani antara masyarakat dan pemerintah. Selain assessment dan lokakarya, program ini juga telah menggelar pelatihan fasilitator lokal. Pelatihan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan dan keterampilan fasilitator lokal sebagai bekal mereka dalam melakukan pendampingan terhadap negeri, termasuk memberdayakan komunitas IDPs yang merupakan bagian dari warga negeri. Fasilitator-fasilitator lokal yang mengikuti pelatihan tersebut juga dibekali dengan modul yang telah disusun dan dipersiapkan oleh tim IRE. Modul tersebut selain mengulas tentang manajemen forum, juga memberikan guidance tentang metode fasilitasi dan petunjuk tentang pengorganisasian masyarakat dan teknik advokasi. Harapannya, fasilitator lokal langsung siap bekerja merintis perubahan begitu kembali ke negeri asalnya. Masih panjang, rangkaian kegiatan yang nantinya akan digelar melalui skema program MATASIRI ini, diantaranya beberapa pelatihan lanjutan, lokakarya, mentoring, dialog kebijakan, dan partisipasi dalam proses Musrenbang. Harapannya, kelancaran dan keberhasilan setiap tahap kegiatan akan selalu terjadi, namun hal itu bergantung pada komitmen, responsiviWDV GDQ UHVSRQVLELOLWDV NLWD VHPXD³SDUD pemangku kepentingan. Sg. Yulianto
33
Kupas
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Budi Ali Mukmin Sarumpaet Dosen FISIP, Universitas Negeri Medan
Foto: vhrmedia.com
Tionghoa Medan
P
Medan, Ibu Kota Provinsi Sumatera 8WDUDGLNHQDOPHPLOLNLNRQÀJXUDVLHWQLV yang beragam. Sebagian kalangan optimis, Kota Medan pasca Orde Baru akan menjanjikan sebuah pembangunan dan konsolidasi demokrasi yang lebih baik. Harapan akan terciptanya pembangunan dan konsolidasi demokrasi itu mulai terlihat ketika berbagai etnis, termasuk etnis Tionghoa, mendapatkan kesempatan yang sama untuk menggunakan hak-hak politiknya. Hanya saja, prospek pembangunan demokrasi di Kota Medan sangat mencemaskan. Masing-masing etnis yang tidak mendapatkan ruang kebebasan di masa Orde Baru justru kembali bangkit dan menjadikan liberalisasi politik sebagai arena pertarungan untuk mendapatkan 34
dalam Kontestasi Politik Lokal Oleh: Budi Ali Mukmin Sarumpaet
Dosen FISIP, Universitas Negeri Medan
sebuah pengakuan dan pengukuhan politik di tengah masyarakat yang plural. Dengan kata lain, ada sebuah kecenderungan bahwa setelah rezim Orde Baru turun, etnisitas seringkali menjadi dasar legitimasi sejarah sosial politik untuk memperebutkan kekuasaan dalam dinamika politik lokal (LSI, 09/2008). Liberalisasi politik yang bergulir sejak 1998 membawa berkah bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Dampak besar bagi etnis Tionghoa setelah liberalisasi politik bergulir adalah terbitnya UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan menggantikan UU 62/1968 yang selama ini mendiskriminasi etnis Tionghoa. Konsekuensi logis terbit-
nya UU 12/2006 adalah terbukanya kesempatan bagi etnis Tionghoa di Indonesia, termasuk etnis Tionghoa di Medan, untuk dapat menggunakan hak-hak politiknya. Bagi etnis Tionghoa di Medan, terbitnya UU tersebut berimplikasi kepada dua hal. Pertama, munculnya kesadaran etnis Tionghoa untuk mengamati perkembangan dunia politik. Bagi mereka yang punya pemahaman politik yang baik akan berdampak langsung terhadap kalkulasi kegiatan bisnis yang selama ini mereka geluti. Kedua, munculnya elit-elit politik baru dari kalangan etnis Tionghoa. Payung hukum UU 32/2004 tentang mekanisme pemilihan kepala daerah langsung dan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2009
Tionghua Medan
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012 yang mengesahkan sistem suara terbanyak dalam pencalonan anggota legislatif memberikan spirit tersendiri bagi etnis Tionghoa yang merupakan etnis terbesar ketiga di Kota Medan untuk maju dalam kontestasi politik lokal. Baik mencalonkan diri dalam pemilihan anggota legislatif maupun mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Politik Etnis Tionghoa Keterwakilan etnis Tionghoa dalam dinamika politik di Kota Medan telah di awali sejak 1957. Lie Tjik Le salah satu tokoh etnis Tionghoa yang berhasil menjadi anggota legislatif dari organisasi BAPERKI yang menjadi kontestan pemilu 1955 (J Anto, 2009). Ironisnya Lie Tjik Le mundur dari jabatannya ketika dia baru menjabat sekitar satu tahun karena merasa tertekan dan mendapatkan kecaman dari EHUEDJDLÀKDN Setelah vakum berpolitik selama Orde Baru, gairah etnis Tionghoa untuk kembali aktif dalam kontestasi politik kembali mencuat sejak pemilu 1999. Partai Bhineka Tunggal Ika yang di identikkan sebagai partai berbasis etnis Tionghoa mendapatkan sambutan cukup hangat dari etnis Tionghoa di Medan. Hanya saja partai tersebut tidak dapat berbuat banyak karena hanya mendapatkan 3,2 persen suara di Kota Medan (Kompas, 7/7/2004). Setelah gagal pada Pemilu 1999, etnis Tionghoa di Medan kembali mencari peruntungan politik di pemilu legislatif 2004. Bedanya, pada pemilu legislatif 2004 elit politik Tionghoa memformat ulang pergerakan politiknya. Mereka meleburkan diri ke dalam beberapa partai politik nasional yang dianggap mampu mengakomodasi kepentingan etnis Tionghoa. Strategi ini sekaligus untuk mencairkan ketegangan antara etnis Tionghoa dengan etnis pribumi lainnya yang selama ini terjadi. Pada pemilu legislatif 2004, etnis Tionghoa di Medan mencuatkan lima kandidat anggota legislatif dari berbagai bendera partai. Sayang, mereka kembali gagal untuk meloloskan ke lima wakilnya. Haryanto atau Goh Kie Seng memang berhasil menjadi anggota legislatif provinsi dari PKP. Tetapi, naiknya Haryanto bukan melalui mekanisme pemilu, melainkan sistem pergantian antar waktu. Menurut penulis, ada tiga hal meQJDSD HWQLV 7LRQJKRD³\DQJ QRWDEHQH etnis terbesar ketiga di Kota Medan dan GLGXNXQJ GDQD SROLWLN \DQJ EHVDU³JDgal dalam pemilu legislatif 2004. Pertama, para kandidat tidak memiliki program politik yang jelas. Mereka, sebagai new comers dalam politik, tidak dapat menun-
dalam konteks politik lokal
jukkan suatu program baru yang membedakannya dengan politisi pribumi pada umumnya. Kedua, minimnya pengalaman politik ternyata berimbas bagi pergerakan politiknya. Sesama kandidat etnis Tionghoa justru saling bertarung memperebutkan konstituen etnis Tionghoa di daerah pemilihan yang sama, sehingga suara etnis Tionghoa tidak solid dan terpecah-pecah. Ketiga, partai politik yang dijadikan sebagai kendaraan belum sepenuh hati memberikan “jalan tol” untuk berkreasi lebih jauh dalam politik. Faktanya, para kandidat sekadar jadi follower dan “mesin ATM” bagi partai. Kendati etnis Tionghoa dicalonkan dari partai politik nasional, etnis Tionghoa tetap mendapatkan nomor urut sepatu, karena dalam sistem pemilu 2004 partai politik masih memiliki kekuasaan absolut untuk menentukan siapa yang berhak untuk duduk menjadi anggota legislatif. Belajar dari kegagalan di pemilu 1999 dan 2004, pada pemilu legislatif 2009 etnis Tionghoa berhasil meraih prestasi tertinggi dalam panggung politik di Kota Medan. Dari 60 orang kandidat, etnis Tionghoa berhasil menempatkan enam wakilnya di lembaga. Dua orang diantaranya adalah anggota legislatif tingkat Provinsi yang mewakili PDI-P dan PPIB, sedangkan empat lainnya menjadi anggota legislatif Kota Medan yang mewakili PDI-P, Partai Demokrat dan dua orang PPIB. Dalam pemilu legislatif 2009, strategi politik etnis Tionghoa bisa dikatakan lebih rapi. Sepertinya mereka tidak lagi terlihat kaku ketika bersosialisasi saat berkampanye. Para elit politik Tionghoa sepertinya juga tidak ingin terkecoh sebagaimana pemilu tahun 1999 di mana mereka hanya dijadikan vote getter konstituen Tionghoa untuk mendongkrak perolehan suara partai politik tertentu. Berhasil atau tidak berhasilnya etnis Tionghoa di Medan dalam kontestasi politik lokal sebenarnya bukan esensi yang paling utama dalam tulisan ini. Justru bagi penulis yang menarik untuk di lihat adalah mengapa mereka mau merambah dunia politik yang selama ini menjadi tabu bagi mereka? Jika pemilihan anggota legislatif 2009 di sepakati menjadi salah satu indikasi bangkitnya etnis Tionghoa dalam politik praktis, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana politik yang diperagakan etnis Tionghoa ketika berkompetisi dengan etnis pribumi lainnya? Politik Berbasis Kekerabatan Dinamika politik Kota Medan yang tidak memiliki mayoritas etnis, memberikan peluang besar munculnya persaingan antar etnis untuk meraih ja-
batan-jabatan politik. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari sistem demokrasi yang memaksa munculnya sebuah kompetisi untuk memperebutkan kekuasaan. Oleh sebab itu, daerah-daerah yang tidak memiliki mayoritas etnis, sistem politik yang terbuka akan memberikan ruang bagi setiap etnis untuk masuk dalam ranah politik. Fenomena ini sebenarnya telah lama diisyaratkan oleh Cohen (1996). Ia mengatakan, sebenarnya etnis sangat dekat dengan ranah kekuasaan, karena pada dasarnya kelompok etnis tertentu akan terus memperjuangkan eksistensinya di tengah ketidakpastian di masyarakat yang plural baik dalam hal perluasan ekonomi maupun dalam bidang politik. Etnis Tionghoa di Medan sebagai etnis minoritas sepertinya akan terus berjuang untuk mempertahankan identitas-etnisnya ketika mereka berbaur dengan etnis dominan seperti Batak, Melayu maupun Jawa. Bagi etnis Tionghoa, saat ini kekuaWDQORELPDXSXQÀQDQVLDOGLUDVDNDQWLGDN lagi mencukupi untuk mengontrol berbagai kebijakan politik seperti yang pernah mereka lakukan di masa Orde Baru. Untuk mengatasi hal tersebut, jabatan-jabatan politik merupakan jalan yang harus diambil etnis Tionghoa di Medan untuk mengakomodasi segala kepentingan etnis Tionghoa di Medan. Ketika dihadapkan dalam kontestasi politik, maka politik kekerabatan adalah gaya yang kerap diperagakan etnis Tionghoa. Politik kekerabatan muncul dari sistem jejaring kekerabatan yang telah lama terbentuk sebagai warisan nilai leluhur mereka. Kesamaan suku, agama, asal-usul kedatangan, profesi, merupakan jejaring kekerabatan yang akan bermuara kepada bentuk paguyuban atau berbentuk organisasi. Di dalam politik kekerabatan Tionghoa terdapat sebuah pola relasi hubungan emosionalitas yang kuat, yang terdiri dari kepercayaan, loyalitas, solidaritas, yang mengikat seluruh anggotanya sehingga memunculkan sebuah patron terhadap perilakunya (Alhumami, kompas.co.id). Politik kekerabatan ini telah memberikan sebuah rasa kepercayaan yang tinggi ketika etnis Tionghoa berhubungan ataupun berkompetisi dengan komunitas etnis yang lain. Politik kekerabatan yang terlihat menonjol dalam pemilu legislatif di Kota Medan adalah politik kekerabatan sesama pengusaha dan organisasi yang memiliki tugas dan fungsi masing-masing. Jika jejaring kekerabatan sesama pengusaha berfungsi sebagai pencari dana politik, maka politik kekerabatan yang berbentuk organisasi ataupun berbagai macam paguyuban berperan sebagai vote getter untuk konsolidasi dukungan ataupun perlindungan politik. 35
Pustaka
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
NGO
P
dan Denyut Perdamaian
3HUVRDODQVHSXWDUNRQÁLNGDQSROLWLNORNDO merupakan tema yang jamak ditemui di Indonesia. Tak terkecuali dengan Papua, GDHUDK \DQJ VDUDW GHQJDQ NRQÁLN DQWDU suku hingga gesekan antara penambang lokal dengan perusahaan multinasional. Ini tentu masih ditambah dengan isu Papua merdeka atau separatisme yang sering meresahkan warga. Dalam kata pengantar buku, sebagaimana diakui para penulis, kajian mengenai demokrasi lokal bukanlah ranah anyar. Hanya saja, kali ini, para penulis mengambil “Non Government Organization” (NGO) sebagai subjek dalam melapangkan perdamaian di Papua. Sebagian besar buku yang terdiri dari 6 bab ini memuat tentang NGO dan geliatnya di beberapa daerah. Tulisan dalam buku ini dihidupi oleh para peneliti yang mumpuni di bidangnya, seperti Arie Sujito, Susetiawan, dan Heru Nugroho. Ditulis secara gotong royong, tulisan ini memadukan laporan penelitian dengan analisis seputar perdamaian berdasarkan assessment yang dilakukan Institute for Research and Empowerment (IRE) ke empat wilayah di Papua, yaitu Jayapura, Sorong, Merauke, dan Manokwari. Untuk menganalisis Papua serta peran NGO didalamnya, diperlukan pemahaman komprehensif tentang isu lokal. Di dua bab awal, ulasan-ulasan problem yang masih PHQ\LVD EDQ\DN GLEDKDV VHSHUWL NRQÁLN antar-komunitas adat, eksploitasi sumber daya, separatisme, hingga epidemi HIV/ AIDS. Tak luput, buku ini memuat persoalan pemekaran wilayah dan gonjang ganjing seputar otonomi khusus. Secara khusus, para penulis menekankan pentingnya keseimbangan antara pemenuhan hak-hak politik dan sipil dengan hak ekonomi, sosial, maupun budaya. Perlu diakui jika perusahaan asing, hingga kini, masih menguasai sumber daya alam yang ada di Papua. Sebaliknya, kesejahteraan masyarakat masih jauh dari kenyataan. Belum lepas dari persoalan tersebut, bahaya laten terkait kebijakan di Papua pun tumpang tindih. Salah satu yang mencolok adalah adanya dualisme pengaturan antara Undang-undang Republik Indone36
Judul Buku Meretas Jalan Perdamaian di Tanah Papua Penulis Arie Sudjito dkk Penerbit IRE Yogyakarta Cetakan Pertama, November 2009 Tebal x+157 halaman ISBN 978-979-8138-4-5
sia No.21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Undang-Undang No 32 tahun 2004. Dalam implementasiQ\D DOLKDOLK PHQ\HOHVDLNDQ NRQÁLN GDQ isu separatis, kedua regulasi tersebut justru tumpang tindih dan menimbulkan masalah baru yang meruwetkan. Dalam buku ini, tertera beberapa cacat UU Otsus, antara lain sebagai sumEHU NRQÀN EDUX WHUNDLW GDQD 2WVXV \DQJ dikorupsi oleh pejabat birokrasi Papua. Hal ini menjadi keprihatinan mengingat NGO telah turut membidani lahirnya UU 2WVXV$NLEDWQ\DNRQÁLNKRUL]RQWDOGDQ vertikal pun tak terhindarkan. Berbincang tentang kiprah NGO di Papua, bukanlah tanpa sejarah panjang. Dalam buku ini, pembaca seolah diajak beromantisme perihal kiprah NGO sejak Orde Lama hingga Reformasi. Meski diakui jika tiap orde memiliki semangat
dan fokus berbeda. Orde Lama ditandai dengan program yang berkonsentrasi pada pendidikan formal dan pelayanan kesehatan. Beranjak ke Orde Baru, spirit mengikuti kehendak penguasa, yaitu pembangunan di bidang ekonomi dan keamanan. Di era reformasi terjadi perubahan sosial politik \DQJFXNXSVLJQLÀNDQGL3DSXD6HQJNDUXW persoalan yang lama mengendap seolah muncul kembali, seperti diskriminasi dan kekerasan di masa lalu. Isu Papua merdeka kembali mencuat. Sayangnya, Otsus sebagai regulasi gagal dalam tataran implementasi. Jantung tulisan mulai terlihat ketika penulis mulai memunculkan optimisme terhadap NGO sebagai mediator. Sebagai semacam simpulan, buku ini menawarkan solusi bagi NGO Papua, yang dipandang telah banyak melakukan berbagai upaya pembangunan perdamaian. NGO Papua penting untuk terlibat dan memiliki keterampilan yang memadai dalam program Community Development (CD) dan Corporate Social Responsibility (CSR) yang gencar dilakukan pemerintah dan swasta dewasa ini. Namun, dalam buku setebal 157 halaman ini, para penulis tak banyak memuat temuan yang bersifat khusus atau lokal. Interaksi yang hanya sampai pada tataran pemerintah dan NGO memungkinkan kurangnya hal partikular dari sisi akar rumput (masyarakat sipil). Bahkan, sebagian temuan merupakan hal-hal umum yang sering dibaca di media massa. Lepas dari hal tersebut, buku ini perlu diapresiasi sebagai manifestasi konkrit NGO membaca dirinya sendiri. Meskipun sebagian terkesan normatif, namun kalimat dengan aksen advokatif dalam buku ini memberi kekuatan pada tulisannya. Perspektif yang digunakan juga suatu “kado spesial” bagi perwujudan perdamaian di Papua, bahkan di tanah air. Kenikmatan setelah membacanya adalah terus menerus memunculkan wacana agar tidak Sekadar menjadi obrolan. Nurhikmah Mahasiswa S2 Studi Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Foto: Adrozen Ahmad
Ya! Saya ingin berlangganan majalah FLAMMA Nama/lembaga :............................................................................................ Alamat :............................................................................................ ............................................................................................ Kota :.......................................................... Kode Pos:................. Telepon/fax :............................................................................................ Saya memilih untuk berlangganan majalah FLAMMA sebanyak (pilih salah satu): 1 edisi Rp. 9.500 6 edisi Rp. 45.000
4 edisi Rp. 32.000 8 edisi Rp. 56.000
(ditambah ongkos kirim, Jawa Rp. 6.000, Luar Jawa Rp 12.000)
Pembayaran: WĞŵďĂLJĂƌĂŶĚŝůĂŬƵŬĂŶĚĞŶŐĂŶƚƌĂŶƐĨĞƌŬĞZĞŬĞŶŝŶŐĂŶŬ͗ĂͬŶƌŝĞ^ƵũŝƚŽͬ,ĞƐƟZŝŶĂŶĚĂƌŝYY/Z͕ Bank Mandiri Cabang YKT MM UGM, Yogyakarta. A/C No: 137-00-0549310-7 ^ŝůĂŬĂŶŬŝƌŝŵŬĂŶďƵŬƟƚƌĂŶƐĨĞƌƚĞƌƐĞďƵƚŬĞƉĂĚĂ͗ ,ĞƐƟZŝŶĂŶĚĂƌŝ͕/ZzŽŐLJĂŬĂƌƚĂ͕ƵƐƵŶdĞŐĂůƌĞũŽ͕^ĂƌŝŚĂƌũŽ͕EŐĂŐůŝŬ^ůĞŵĂŶ͕zŽŐLJĂŬĂƌƚĂ dĞůƉ͗ϬϮϳϰͲϴϲϳͲϲϴϲŵĂŝů͗ŽĸĐĞΛŝƌĞLJŽŐLJĂ͘ŽƌŐ Website: www.ireyogya.org
Potensi
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Pedagang Guyub
Pasar tak Redup
S Foto: ompae
Selain dikenal sebagai kota pendidikan, city of tolerance, hingga kota budaya, belakangan Yogyakarta dikenal sebagai kota pemilik pasar tradisional terbaik di Indonesia. Pada tahun 2011 silam, Pasar Beringharjo dinobatkan sebagai pasar terbaik nomor satu dan pasar tradisional percontohan di Indonesia. Penobatan sebagai yang terbaik ini tentu tidak lepas dari tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pedagang dan para pembeli merasa di rangkul demi keberlangsungan pasar tradisional. Demikian pula tata kelola modern yang diterapkan Dinas Pasar menjadikan pasar tradisional dapat berkembang hingga kini. Dalam penelusuran Flamma, Pasar Beringharjo merupakan tempat yang digunakan untuk jual-beli rakyat sejak tahun 1758 M atas petunjuk Sri Sultan Yogyakarta.Sesuai dengan visi Pemkot Yogyakarta bahwa pasar tradisional akan tetap dijaga seiring dengan merebaknya pasar modern. Setidaknya hal tersebut termaktub dalam Perda No. 2/2009 tentang Pa38
'LWHQJDKSDVDUPRGHUQ\DQJPDNLQPHQ\HUXDNSDVDUWUDGLVLRQDOGL
sar. Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki komitmen untuk menyeimbangkan pasar tradisional dan pasar modern dengan pengelolaan yang baik dan menyeluruh. Salah satu yang dilaksanakan Pemkot Yogyakarta ialah melindungi pasar tradisional dengan manajemen modern. Politicalwill Pemkot Yogyakarta ialah mengembangkan pasar tradisional berbasis kebudayaan. Menurut Achmad Fadly, Kepala Dinas Pasar Kota Yogyakarta, keberadaan dan perkembangan pasar tradisional tidak lepas dari tanggung jawab bersama seluruh elemen. “Hal ini menjadikan pasar tradisional yang selama ini dikenal kumuh dan tidak terawat misalnya, tidak akan dijumpai lagi,” ujar Fadly yang juga meyakini bahwa pasar tradisional di Kota Yogyakarta siap bersaing dengan pasarpasar modern. Fadly menambahkan bahwa mengembangkan pasar tradisional tidak hanya membutuhkan managemen yang baik. “Pendekatan emosional dengan semua pi-
hak, terutama pedagang dan pembeli menjadi kekuatan utama pasar tradisional siap bersaing dengan pasar modern,” ungkap Fadly.Managemen yang dimaksud ialah memberikan pelayanan menyeluruh kepada pedagang dan pembeli serta mengakomodir keluhan yang ada. Hal senada juga diungkapkan Ujun Junaidi, salah satu ketua paguyuban pedagang pasar di Beringharjo yang ditemui Flamma. “Kita semua disini (pedagang pasar Beringharjo-red) merasa diwongke (dihormati) oleh Dinas Pasar. Semuanya merasa dilibatkan, sehingga kita dapat berdagang dengan nyaman dan menguntungkan. Walaupun sejak tahun lalu retribusi pasar dinaikkan, para pedagang tidak banyak mengeluh. Karena mereka diberikan pelayanan yang baik,” lanjut Ujun.
Menghidupkan Peguyuban Untuk menghilangkan ketergantungan pembeli di pasar modern misalnya, Fa-
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012 dly mengungkapkan strategi khusus. Dalam pemaknaan lebih luas pasar dijadikan tempat yang sangat teduh dan nyaman untuk siapapun. Terutama di Yogyakarta, budaya Yogyakarta dapat meluruh ke segala dimensi dan dinamika pasar tradisional. “Dengan adanya kenyamanan semuanya dapat berjalan dengan baik,” terang Fadly. Kerekatan budaya-emosional tersebut terlihat dari pemindahan pasar WDQSDNRQÁLN5HORNDVLSDVDU1JDVHPGDQ Klitikan misalnya, tidak menimbulkan perlawanan dari pedagang. Pasar tradisional burung yang karib dikenal pasar Ngasem dipindahkan ke Jl. Bantul Km 1 Yogyakarta. Kini pasar tersebut dikenal dengan Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta (Pasty). Tidak hanya itu, Dinas Pasar juga mengupayakan pasar burung tersebut dikembangkan sebagai pusat wisata dan tanaman hias. Belum lagi pasar yang kini mempunyai jargon ramah lingkungan tersebut disediakan tiga unit composer untuk mengolah limbah kotoran satwa yang ada di pasar untuk dimanfaatkan menjadi pupuk organik. Begitupula dengan pasar Klitikan. Pasar tradisional yang terkenal sebagai penyedia barang bekas yang semula berada di sepanjang jalan Mangkubumi dipindahkan ke kawasan Kuncen. Pemindahan pasar tradisional tanpa bentrok merupakan kunci sukses pemberdayaan pasar tradisional. Fadly mengatakan bahwa tidak adaQ\DNRQÁLNGDULSHGDJDQJWLGDNOHSDVGDUL adanya ikatan emosional yang dibangun secara berkesinambungan. Hal tersebut Fadly lakukan bersama jajarannya dengan mendekatkan diri ke segenap pedagang, misalnya dengan mengadakan pertemuan rutin pengajian malam Rabu di kediamannya di Mlati, Sleman dan menghidupkan kembali paguyuban pedagang yang sebelumnya mati suri. Tindakan sosial yang dilakukan Fadly diamini oleh pedagang pasar. Sutrisno, salah satu pedagang di pasar Klitikan, mengakui bahwa kepemimpinan Fadly menjawab keresahan para pedagang pasca relokasi. “Awalnya kami (pedagang) khawatir pemindahan dapat menyurutkan sumber rezeki kami. Beberapa pedagang memang tidak sepaham dengan beliau, namun langkah (relokasi) tersebut kini sudah dirasakan manfaatnya,” kata Sutrisno. Hal tersebut juga diakui Junaidi yang mengakatan bahwa pendekatan yang dilakukan Fadly bukan pendekatan struktural, akan tetapi lebih pada pendekatan non-struktural emosional. “Adanya kepemimpinan bersifat intermediary (penengah) yang dimiliki Fadly membuat
SDUDSHGDJDQJPHUDVDWHUOLQGXQJLDNWLÀtas berdagangnya,” ujar Junaidi.
Jaringan Community Development Menariknya, secara kelembagaan pasar-pasar tradisional di Kota Yogyakarta memiliki lurah. Lurah pasar merupakan kepanjangan tangan dari pihak Dinas Pasar, semacam koordinator lapangan.
)DGO\PHQJXQJNDSNDQ VWUDWHJLNKXVXV'DODP SHPDNQDDQOHELKOXDV SDVDUGLMDGLNDQWHPSDW \DQJVDQJDWWHGXK GDQQ\DPDQXQWXN VLDSDSXQ7HUXWDPD GL
Di Yogyakarta pasar tradisionalnya benar-benar terlihat dinamis. Khusus di pasar Beringharjo saja jumlah pedagang bisa mencapai kisaran 6000-an. Hal itu sebagai bukti bahwa pasar tradisional di kota Yogyakarta masih menjadi destinasi belanja yang cukup diminati oleh masyarakat. Sektor pasar rakyat terbukti masih hidup, meski pasar-pasar modern seperti mall, supermarket, minimarket sudah berjejer di banyak tempat. Menurut Imam Kusno, selaku lurah pasar Beringharjo sayap barat, kunci sukses pengelolaan pasar tradisional di Kota Yogyakarta juga didukung oleh keaktifan para pedagang itu sendiri. Keaktifan tersebut ia contohkan di pasar Beringharjo. Para pedagang memiliki paguyuban sebagai tempat mereka bermusyawarah dan memikirkan keadaan mereka sendiri. Hal tersebut terlihat di los atau blok pasar Metro yang lebih modern yang berada di dalam Beringharjo. Los tersebut dibangun oleh paguyuban pasar, sementara Dinas Pasar sebagai perantara. Jumlah paguyuban yang berada di lingkungan Pasar Beringharjo mencapai 16 paguyuban. Paguyuban itu terkategorikan oleh jenis komoditi dan baris los. “Keberadaan paguyuban pedagang tidak hanya berada di lingkungan pasar Beringharjo, tapi di pasar-pasar tradisional lain di Yogyakarta.” tutur Achmad Fadly. Achmad Fadly mengungkapkan bahwa potensi para pedagang dikembangkan dengan pola jaringan community development. “Modal sosial yang dimiliki pedagang menjadi kekuatan utama menjadikan pasar tradisional tetap hidup dan siap bersaing dengan pasar modern lainnya,” terang Fadly. Jaringan tersebut dirawat dengan baik sesuai kelas pasar. Dinas Pasar Kota Yogyakarta membawahi beberapa pasar kelas I hingga kelas V. Pasar kelas I melayani perdagangan tingkat regional, pasar kelas II melayani perdagangan tingkat kota, pasar kelas III melayani perdagangan tingkat wilayah bagian kota, pasar kelas IV melayani perdagangan tingkat lingkungan dan pasar kelas V melayani perdagangan tingkat blok. Adanya jaringan yang baik dari semua pihak membuat pasar tradisional di Yogyakarta siap bersaing dan tidak tiarap menghadapi banyaknya pasar modern. Pasar tradisional di Yogyakarta memberi banyak pelajaran tentang bagaimana sebuah pasar tradisional sebaiknya ditata sehingga ekonomi rakyat dapat terus berkembang dan memberi keuntungan semua pihak. Mohamad Fathollah dan Fathor Rahman
39
Forum
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
,QVWLWXVL6XEDN GDQ/HPEDJD 3HUNUHGLWDQ'HVD /3' GL%DOLDGDODK EXNWLEHWDSDNHWLND SHPHULQWDKPHQJDNXL PHPIDVLOLWDVLGDQ WLGDNPHQFDPSXUL PDNDLQVWLWXVLORNDO DNDQWHUXVDGD EHUNHPEDQJGDQ PHQ\HMDKWHUDNDQ UDN\DW
Kelembagaan Lokal;
Pilar Keberhasilan Pembangunan
S
Sayangnya, ketika pendekatan community driven development tengah jadi arus utama, nyaris semua proyek yang masuk desa mensyaratkan pembentukan institusi baru yang justru abai terhadap kelembagaan lokal yang telah ada, mengakar, dan terbukti tangguh. Untuk itu, pemerintah hendaknya mengurangi pendekatan interventif serta memberi pengakuan dan fasilitasi bagi berbagai institusi lokal yang justru menjadi pilar keberhasilan pembangunan. Hal tersebut diungkapkan oleh Peneliti Senior Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, Sutoro Eko, dalam Seminar Nasional “Pengembangan Kelembagaan Perdesaan” di Ballroom Hotel Akmani, Jakarta, 6 Desember 2010. Temuan tersebut dihasilkan dari kajian Direktorat Perkotaan dan Perdesaan Bappenas di Kabupaten Serdang Bedagai (Sumatra Utara), Gunungkidul (DIY), Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat), Gowa (Sulawesi Selatan), dan Kota Ambon (Maluku). Sutoro Eko dan Borni Kurni-
40
awan, dua peneliti IRE Yogyakarta yang melakukan studi tersebut, memfokuskan kajian pada bidang pembangunan perdesaan, khususnya aspek pengembangan kelembagaan perdesaan. Selain mempublikasikan hasil riset, seminar juga menghimpun input berbagai pihak bagi pengembangan kelembagaan desa dalam bingkai pembangunan nasional. Hadir pula beberapa panelis yakni Dr Arya Hadi Dharmawan dari Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor, Nanang Hari S dari Bina Desa, dan Prof Dr Robert Markus Zaka Lawang dari Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia. *** Studi kelembagaan desa, menurut Sutoro, berpijak pada dua perspektif yang saling berbenturan, yang selama ini mewarnai praktek pengembangan kelembagaan desa sebagai salah satu pilar pembangunan. Perspektif pertama, neo-
liberal, berupaya memasukkan institusi baru (nilai, wadah, proses) dalam bingkai good governance (partisipasi, transparansi, akuntabilitas) untuk mengelola pembangunan. Cara pandang kedua, komunitarian, meyakini social capital dan kearifan lokal dengan prinsip kemandirian lokal sebagai basis pengembangan kelembagaan. Akibatnya, muncul diferensiasi sosial dalam pembangunan sehingga kadar NHWHUOLEDWDQ PDV\DUDNDW ORNDO³VHEDJDL pelaku dan pemanfaat hasil pembangunDQ³PHQMDGL UHQGDK :DODX GHPLNLDQ Sutoro mengakui setiap institusi memiliki plus-minus dan tidak bisa dipisahkan secara hitam putih. Riset tersebut menemukan empat tipologi kelembagaan desa. Pertama, institusi parokhial yang ditandai kekerabatan dan keagamaan. Institusi tipe ini sudah tumbuh lama di dalam desa maupun antardesa. Fungsinya sebagai wadah untuk merawat kerukunan dan memberikan pelayanan sosial atau tolong menolong
Kelembagaan LOkal
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012 di antara mereka sendiri (self help). Contohnya, sumbangan maupun arisan menjadi pola self help seragam yang dimiliki oleh setiap institusi parokhial untuk menolong keluarga anggota organisasi ketika kelahiran anak, pernikahan, membangun rumah, kematian dan sebagainya. Kedua, institusi asli (indigenous institutions). Kelembagaan model ini beragam di lima daerah riset. Contoh tipologi ini adalah negeri (desa adat) di Kota Ambon. Di kota ini, ada 22 negeri, yang masingmasing memiliki struktur kekuasaan, harta kekayaan, komunitas dan hukum adat (sasi) sendiri. Hukum adat menjaga harmoni dan konservasi dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Di negeri juga eksis lembaga pela gandong (persaudaraan dan persahabatan) untuk merawat perdamaian antara umat Islam dan Nasrani. Uniknya, masyarakat di 22 negeri tampak lebih makmur dan mandiri daripada di 8 desa baru yang dibentuk pemerintah. Di Serdang Bedagai terdapat Serikat Tolong Menolong (STM) yang berbasis dusun, sebagai wadah tolong menolong dalam kegiatan pernikahan dan kematian. Di Gunungkidul, dukuh berperan sebagai wilayah, identitas, dan komunitas untuk merawat modal sosial tolong-menolong, kerjasama, dan jaringan. Tetapi dukuh juga kepanjangan tangan pemerintah sebagai wadah musyawarah pembangunan berikut pengelolaan dananya (yang berasal dari pemerintah). Di Gunungkidul ada pula tradisi bersih desa, suatu upacara adat syukur kepada Tuhan, yang berperan penting membangun kohesivitas sosial dan merawat kebersihan lingkungan. Kabupaten Lombok Barat memiliki banjar, sebuah bentuk ikatan sosial komunitas lokal, baik yang berbasis dusun maupun lintas dusun. Banjar menjaga kerukunan antarwarga dan juga untuk kepentingan tolong menolong sesama keluarga, termasuk dalam kematian. Kabupaten Gowa mempunyai sinoman (istilah yang diambil dari Kota Solo tahun 1990), yakni sebuah institusi berbasis dusun untuk memberikan pelayanan sosial pada upacara kematian warga. Tipologi ketiga adalah institusi korporatis formal. Tipologi ini ditemukan secara seragam di seluruh daerah penelitian, yang mencakup desa, pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) atau nama lainnya, Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Rukun Tetangga (RT), dan Karang Taruna. Lembaga-lembaga ini berada dalam satu garis pembinaan mulai dari Kementerian Dalam Negeri, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten, yang semuanya terjalin menjadi kesatuan sistemik dalam
Pilar keberhasilan pembangunan
domain pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan tingkat desa. Kepala desa sebagai pemimpin dan kepala pemerintah mempunyai kewenangan dan tanggungjawab untuk menghidupi berbagai lembaga formal desa itu. Kebutuhan dan kegiatan lembaga-lembaga ini didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan khususnya didanai dengan Alokasi Dana Desa (ADD) yang berasal dari pemerintah kabupaten. Terakhir adalah tipologi institusi sipil yang ditandai adanya organisasi petani, buruh, nelayan, LSM, dan sebagainya yang aktif memperjuangkan hak-hak mereka dan hirau dengan isu-isu publik. Sejauh ini, kelembagaan tipologi ini belum tumbuh di lima desa daerah penelitian. Di Ambon, LSM tidak tumbuh baik karena WHUODOX VHQVLWLI SDGD NRQÁLN 'L 6HUGDQJ Bedagai, LSM tumbuh menjamur namun dipandang bupati, dinas, maupun kepala desa sebagai “tumin” alias tukang minta. LSM dianggap selalu merecoki jajaran instansi pemerintah. Namun kehadiran mereka juga membawa hikmah. Setiap pejabat dan instansi pemerintah jadi selalu hati-hati dalam mengelola uang. Pasalnya, jika terjadi penyelewenangan, LSM akan menjadikan mereka “mesin ATM”. Hal itu berkebalikan dengan situasi di Lombok Barat, di mana LSM yang independen dan punya jaringan pendanaan selain dana pemerintah berkembang baik. Mereka bekerja di advokasi kebijakan dan pemberdayaan desa/kelompok masyarakat. LSM berjejaring kuat dengan Asosiasi Kepala Desa untuk menyuarakan aspirasi desa ke pemerintah daerah. Berbeda dengan Sergai dan Lombak Barat, relasi pemda-LSM di Gowa bersifat kemitraan. Misalnya, Pemda Gowa mengalokasikan dana untuk program pendampingan yang dilakukan LSM kepada pemerintah desa, badan usaha milik desa, kelompok tani dan organisasi P3A. Dalam paparannya, Sutoro juga menyingkap posisi desa terkait dengan kelembagaannya. Di Ambon, negeri tetap menampilkan fungsi-fungsi institusi korporatis seperti menjalankan tugas-tugas pemerintahan, administrasi dan pembangunan meski ciri utamanya tetap desa adat. Di Gowa, desa malah tampil sebagai institusi campuran antara institusi parokhial dan institusi korporatis. Ini ditandai adanya kombinasi ciri kekerabatan dan territorial yang melekat pada struktur pemerintahan dan institusi desa. Desadesa di Serdang Bedagai juga menunjukan karakter institusi korporatis yang sangat kuat. Pemerintah desa aktif memanfaatkan Alokasi Dana Desa dan bantuan lainnya, termasuk Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM),
untuk memberikan layanan kepada masyarakat . Kondisi berbeda tampak di Lombok Barat. Ikatan kekerabatan tak lagi menentukan pola struktur organisasi. Yang menonjol adalah tarik menarik antara korporatisme (yang dibuat oleh pemerintah daerah) dengan republikanisme (karakter institusi sipil yang digerakkan oleh asosiasi desa dan kekuatan LSM). Ciri ini disimpulkan Sutoro sebagai karakter transisi dari institusi korporatis menuju institusi sipil. Desa-desa yang bisa dikategorikan telah melampaui karakter transisi terdapat di Gunungkidul. Desa-desa mengembangkan semangat dan sistem yang lebih mandiri, akuntabel, transparan dan akuntabel. Semua institusi lokal dalam desa sangat aktif menjalankan perannya masing-masing: LPMD menjalankan fungsi partisipasi, PKK mewakili kaum perempuan, BPD mengontrol pemerintah desa. Inisiatif lokal untuk mandiri juga tumbuh, ditandai adanya pengembangan desa mandiri pangan dan eksistensi BUMDes. *** Guru Besar Sosiologi UI Robert Lawang dengan nada agak tinggi prihatin dengan kacau balaunya pembangunan desa. “Kementerian PU punya program infrastruktur di desa. Deptan, Dephut semuanya punya program di desa dengan skema, uang dan ego sendiri-sendiri,” ujarnya. Ia juga prihatin karena masyarakat desa justru turut memproduksi kelemahan sendiri dengan mengonsumsi produk luar daripada lokal. Pembicara kedua, Arya Hadi Dharmawan dari Pusat Studi Pertanian dan Perdesaan IPB, mengapresiasi hasil riset Bappenas. Namun Ia mengingatkan, “Di desa ditemukan kelembagaan yang bukan organisasi, organisasi yang bukan kelembagaan. Tapi ditemukan pula organsiasi yang kelembagaan. Kelembagaan desa hampir sama dengan organisasi desa. Ada kelembagaan yang juga organisasi, masih eksis, tapi mengalami pelemahan seperti nagari, kasepuhan, pakualaman, ketemenggungan, dan subak di Bali,” paparnya. Karena itu, Arya mengingatkan perlunya pendekatan yang berbeda ketika pembangunan akan diluncurkan ke desa. Sementara itu, Nanang Hari S dari Bina Desa, menjelaskan berbagai tekanan GHPRJUDÀV HNRORJLV EXGD\D HNRQRPL hingga politik) yang menjadi tantangan serius bagi desa untuk keluar dari kungkungan kemiskinan. Borni Kurniawan
41
Sosok
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Memahami Desentralisasi Melalui
Campursari
42
Dr. Priyambudi Sulistiyanto 10 tahun ini. Dalam amatannya, narasi-narasi desentralisasi sudah terlalu banyak dipenuhi wacana-wacana elit maupun orang-orang pusat. “Suara-suara orang biasa, seperti tukang becak, seniman jalanan maupun mbok-mbok bakul di pasar kurang mendapat tempat di antara belantara wacana desentralisasi,” imbuh Priyambudi, yang meraih gelar PhD dalam ilmu politik dari University of Adelaide, South Australia tahun 2000 ini. Baginya, dengan mengetahui suara-suara warga di tingkat bawah, maka sekaligus akan mendorong mereka menjadi warga yang aktif. M. Zainal Anwar
Foto: Facebook Dr. Priyambudi
B
Bagi sebagian orang, lagu campursari kerap jadi teman istirahat di siang hari. Sopir bis memainkannya agar tidak ngantu. Seorang buruh tani mendengarkan lagu campursari yang biasa diputar radio-radio di daerah Jawa tengah atau Yogyakarta sekadar untuk melepas penat. Namun bagi seorang Priyambudi Sulistiyanto, salah satu dosen di Flinders University, South Australia, campursari jadi salah satu cara untuk mengetahui apa yang menjadi pikiran maupun uneg-uneg rakyat kecil. Tak heran jika dalam Facebooknya, Mas Budi, sapaan akrab Priyambudi, menuliskan kata-kata berikut. “Lagi gandrung campursari mergo akeh cerito-cerito lan wejangan soko wong-wong biasa wae.” Artinya, sedang meggemari lagu campursari karena banyak cerita dan nasehat dari orang-orang biasa. Karena itu, katanya, lagu campursari tak hanya menjadi wahana klangenan semata. Selain menggemari campursari, mantan asisten profesor di National University of Singapore (NUS) ini juga menjadi pegiat aktivitas kebudayaan Indonesia terutama budaya Jawa di kampusnya. “Kebetulan kita punya pendopo di kampus. Setiap akhir semester, kita selalu mengadakan acara kebudayaan seperti tabuh gamelan atau jathilan,” jelas salah satu editor dan penulis buku Regionalism in Post Soeharto Indonesia (2005) dan Deepening Democracy? Direct Elections for Local Leaders (2009) ini. Awal Desember 2010 ini, ia mendapat kesempatan pulang ke Indonesia untuk menghadiri acara International Summit (IS 2010) yang digelar 16-18 Desember 2010 di Jakarta. Hanya saja, sebelum acara tersebut dimulai, ia memilih untuk nggelandang ke beberapa teman lamanya, baik di Yogyakarta maupun di Solo. Kebetulan, Senin (13/12), lalu, Priyambudi sempat mampir ke kantor IRE Yogyakarta untuk berbagi cerita tentang desentralisasi yang sudah memasuki usia
Sosok
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Irma Suzanti Setia Mendampingi Perempuan
Korban Kekerasan
U
Usianya masih cukup muda, 25 tahun. Tapi, soal pengalaman dan komitmennya melakukan pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan di Kebumen, tak usah lagi ditanya. Ya, perempuan kelahiran Kebumen pada 14 januari 1985 ini memang aktif mengorganisir dan berjejaring mengadvokasi para perempuan korban kekerasan di Kebumen. Mbak Irma, panggilan akrabnya, ini pada awalnya tidak pernah bermimpi untuk bekerja mendampingi para perempuan yang menjadi korban kekerasan rumah tangga. Ketertarikannya pada dunia advokasi baru muncul ketika menjadi peserta Pelatihan Pendidikan Politik untuk Perempuan dalam era Otonomi Daerah yang diselenggarakan Indipt Kebumen beberapa tahun silam. “Pada awalnya saya bingung, karena mendapat banyak kosakata yang aneh seperti subordinasi, stereotip, marji-
Foto: Dok. IRE
nalisasi, seks, kodrat, maupun kekerasan,” ujar perempuan bernama lengkap Irma Suzanti ini yang juga alumnus STAINU Kebumen. Sepulang dari kegiatan, kata Irma, Ia semakin resah melihat kondisi perempuan, terutama yang menjadi korban kekerasan. Bagaimana tidak? Selama ini, Irma menjelaskan, dirinya tinggal bersama kondisi keluarga yang nyaris tanpa gejolak. “Adanya gagasan yang mengatakan bahwa kodrat SHUHPSXDQ LWX KDQ\D SDGD ÀVLN GDQ RUgan yang memiliki fungsi reproduksi, dan penjelasan bahwa memasak atau mengasuh anak bukanlah kodrat perempuan, membuat saya harus berpikir ulang terhadap konstruksi pikiran saya tentang perempuan dan kekerasan terhadapnya,” ujarnya. Irma ingat betul terhadap salah satu studi kasus yang diberikan salah
satu fasilitator pelatihan yang ia ikuti. Fasilitator tersebut menceritakan kasus perkosaan yang menimpa siswi MTs yang diperkosa 8 pemabuk. Si siswi tersebut berpakaian rapi, memakai jilbab dan tidak mengundang nafsu untuk diperkosa. Akan tetapi, kenapa dia tetap diperkosa? “Hal seperti inilah yang menyadarkan saya akan banyaknya persoalan yang menimpa perempuan,” tuturnya. Pada tahun 2006, Irma yang juga salah seorang penulis buku Potret Kekerasan terhadap Perempuan di Kebumen memulai kerja advokasi terhadap perempuan. Irma yang juga koordinator Program Advokasi dan Penguatan Hak Asasi Perempuan di Inidpt pada tahun 2006 –2008 lebih banyak mendekati para perempuan dengan metode door to door. Berbekal data korban yang ia peroleh dari laporan yang datang ke LSM Indipt atau PPKPA (Pusat Pelayanan Kekerasan pada Perempuan dan Anak-Anak) Kabupaten Kebumen, Irma mendatangi satu persatu perempuan korban kekerasan tersebut. “Awal bertemu saya tidak langsung mengenalkan identitas sebenarnya. Hal ini saya hindari agar korban tidak merasa resisten ataupun jauh ketika mengetahui identitas saya sebenarnya,” katanya. Strategi ini terbukti membuatnya mudah diterima oleh korban yang bersangkutan. “Saya sering menyampaikan kepada korban agar mereka menganggap saya sebagai sahabat, anak atau saudara perempuan,” ujarnya. Proses mulai dari pertemuan pertama sampai dirinya dapat diterima oleh korban, biasa disebut sebagai “Lapis Bawang Bombay”. “Lapis pertama bertemu dengan korban. Lapis Kedua dapat diterima oleh korban dan lapis ketiga adalah korban sudah percaya kepada saya dan percaya bahwa saya adalah teman seperjuangannya,” tuturnya. Setelah lama berproses dengan para perempuan korban kekerasan, akhirnya terbentuk Komunitas Perempuan Pintar pada 9 Maret 2008. “Komunitas ini dibangun para perempuan korban kekerasan. Anggotanya terdiri dari mereka yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga atau perempuan yang anaknya menjadi korban kekerasan seksual,” ujar Irma. Setiap bulan, lanjutnya, Komunitas ini berkumpul untuk berdiskusi membahas persoalan yang mereka hadapi. Tidak itu saja, aktivitas komunitas ini juga berupaya melakukan audiensi dengan para wakil rakyat di Kebumen. “Mereka ingin wakil mereka di DPRD mendengar suara, kepentingan dan kebutuhan para korban ini,” tegasnya. M. Zainal Anwar
43
Refleksi
FLAMMA Edisi 34, APRIL - Juni 2012
Birokrasi dan Inovasi
B
“Birokrasi menjadi mesin inovasi, namun secara bersamaan sekaligus menjadi target reformasi,” ujar Peneliti Senior IRE Sutoro Eko dalam berbagai kesempatan diskusi. Sebagai mesin inovasi, birokrasi bersama dengan kepala daerah merancang desain kebijakan. Input tentang berbagai kondisi riil di lapangan serta rumusan-rumusan alternatif kebijakan merupakan domain birokrasi. Birokrasi, dengan pengalaman kinerjanya, biasanya juga cukup lihai menghadapi politisi di dewan legislatif lokal yang umumnya kurang memiliki kapasitas memadai dalam pembahasan kebijakan maupun anggaran. Posisi strategis ini berlanjut dalam level implementasi, dimana setelah suatu isu menjadi kebijakan publik, kepala daerah membutuhkan birokrasi sebagai pelaksana kebijakan. Baik buruk kebijakan, kemudian bertumpu pada bagaimana birokrasi menjalankannya. Jika birokrasi buruk, maka misi kebijakan tak tercapai, walaupun secara administrasi bisa jadi tidak terjadi masalah yang berarti. Sebaliknya, birokrasi juga menjadi target reformasi. Pertama, birokrasi tak bisa lepas dari jeratan nalar status quo serba rutin. Dalam perencanaan dan penganggaran, misalnya, birokrasi cenderung mengulang-ulang program tahun sebelumnya. Seolah tidak peduli dengan nature masyarakat dan kehidupan yang serba dinamis, program yang diusung hanya itu-itu saja. Beberapa kajian bahkan menemukan nama dan nomenklatur program tahun sebelumnya yang lupa diganti. Interest ekonomi politik birokrasi menghambat agenda poverty alleviation melalui politik anggaran. Belanja pegawai dan komponen belanja tidak langsung dalam belanja pembangunan mengJHURJRWLNDSDVLWDVÀVNDOSHPHULQWDKGDHUDK Masing-masing dinas fokus untuk menyelamatkan alokasi dana programnya, agar tahun ini ada proyek sehingga tidak hanya mendapatkan gaji pokok saja, namun lupa pentingnya perencanaan dan program yang benar-benar kontekstual dan sesuai kebutuhan warga. Kedua, sense bahwa program adalah untuk menyelesaikan persoalan publik diubah sebatas beresnya administrasi dan laporan keuangan proyek. Program seakan menjadi formalitas semata. Bukan rahasia lagi bila birokrasi lebih risau laporan 44
keuangannya keliru ketimbang gagalnya suatu program. Hal ini mengakibatkan maraknya praktik birokrasi membagibagikan pupuk, benih, bantuan peralatan, dan sebagainya tanpa hirau untuk mensupervisi, dan mengawal agar program benar-benar mencapai targetnya. Ketiga, pilihan untuk berpolitik demi menyelamatkan jabatan tak urung mendistorsi merit system dalam birokrasi. Pemilukada langsung ternyata tidak saja memberikan insentif berupa munculnya sosok walikota yang hirau dengan insentif politik menjadi inovator sebagaimana temuan Grindle (2007) di Meksiko. Pemilikada langsung juga memunculkan para birokrat politik, yang sibuk memikirkan keselamatan jabatan dengan menjadi tim sukses atau lingkaran inti incumbent. Seorang kepala daerah juga banyak yabng memilih mempolitisasi birokrasi, dengan mengamankan jabatan-jabatan basah, mengisi kursi kepala dinas strategis dengan para pendukungnya, betapapun hal itu merusak profesionalisme birokrasi. Misalnya, jabatan kepala pasar diserahkan pada seorang pendidik, dan seterusnya. Pertanyaannya, bagaimana meningkatkan kualitas kinerja lembaga birokrasi? Berbagai persoalan yang dihadapi birokrasi seyogyanya dipahami lebih dari soal kelembagaan semata, melainkan juga pelembagaan. Aspek-aspek kelem-
3HUWDQ\DDQQ\D EDJDLPDQD PHQLQJNDWNDQ NXDOLWDVNLQHUMD OHPEDJDELURNUDVL" %HUEDJDLSHUVRDODQ \DQJGLKDGDSL ELURNUDVLVH\RJ\DQ\D GLSDKDPLOHELKGD ULVRDONHOHPEDJDDQ VHPDWDPHODLQNDQ MXJDSHOHPEDJDDQ
bagaan memang penting, namun itu saja tidak cukup. Birokrasi butuh reorganisasi DJDU UDPSLQJ GDQ HÀVLHQ ,D MXJD EXWXK prosedur kerja baru yang menjamin ia akan bekerja secara transparan, partisipatif, akuntabel sekaligus produktif. Selain itu, iklim kerja yang kondusif perlu dilembagakan seperti dengan pembaruan struktur insentif (reward dan punishment yang tepat agar birokrasi terkondisikan bekerja) serta desain monitoring-evaluasi kinerja personel. Ilustrasi penguatan kapasitas baik sistem, mekanisme maupun personel salah satunya bisa kita tilik dari upaya beberapa lembaga donor yang mencoba untuk meningkatkan kualitas aspek-aspek kelembagaan tersebut. Dalam hal perencanaan misalnya, beberapa tahun belakangan diintrodusir prosedur, mekanisme, dan instrumen musrenbang agar birokrasi lebih maksimal didalam memfasilitasi masyarakat memahami persoalan dan membuat usulan yang evidence based dan memperhatikan perencanaan jangka panjang dan area yang lebih luas. Donor juga meningkatkan kapasitas lembaga birokrasi melalui serangkaian pelatihan dan pendampingan agar mereka mampu membuat perencanaan kerja yang lebih berbasis masalahan berorientasi kinerja. Hanya, pola-pola semacam ini umumnya bertumpu pada stimulan aktor luar (donor) dan rentan berhenti seelah diserahterimakan ke pemerintah daerah baik dukungan pendanaan maupun tanggung jawab pengelolaannya. Pembentukan tim ad hoc, entah fasilitator atau dengan nama lainnya, biasanya juga bekerja efektif ketika didampingi lembaga donor. Sesudahnya, bubar. Di titik inilah, reformasi berupa penguatan kelembagaan tidak cukup, dan butuh pelembagaan. Pelembagaan dalam hal ini berarti penguatan perspektif, dimana sistem, tujuan, mekanisme, desain kinerja, dan personil dalam birokrasi hirau (concerns) terhadap persoalan-persoalan mendasar di masyarakat, mencakup hirau kaum miskin (pro-poor), hirau gender, dan kemitraan (partnership). Penguatan lembaga dan perspektif dalam birokrasi merupakan tumpuan penting inovasi oleh, dalam, dan untuk birokrasi. Ashari Cahyo Edi
PROFIL PERPUSTAKAAN
DESKRIPSI PERPUSTAKAAN Perpustakaan IRE memeiliki kekhususan koleksi dalam bidang kajian Desa, Pemberdayaan Masyarakat Adat, Militerisme, Otonomi Daerah, Otonomi Desa, dan Keuangan Daerah. Perpustakaan IRE juga membangun koleksi khusus seputar kajian penanggulangan kemiskinan dan kesejahteraan. Pengunjung dapat meminjam koleksi Perpustakaan IRE dengan syarat meninggalkan kartu identitas yang masih berlaku. Pengunjung dapat bertanya perihal koleksi dan menyampaikan permohonan penelusuran informasi ke Perpustakaan IRE, baik melalui telepon selular maupun surat elektronik.
JAM BUKA/LAYANAN Senin - Jumat : 08.30 - 16.00 WIB Sabtu, Minggu & Hari Libur : Tutup
“Mempertemukan Dua Hulu” Buku ini menarasikan peristiwa dan kenyataan bahwa alokasi anggaran dari pusat yang mengalir ke sembilan desa di Gunungkidul, belum menghadirkan kesejahteraan desa. Alokasi anggaran dari pusat ke desa, ternyata tidak memperkuat kapasitas keuangan desa, tetapi justeru mempersempit diskresi desa dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Kebijakan ADD yang mulai menemukan ruhnya, harus melemah karena interupsi kebijakan cost sharing dari Pemerintah Pusat. Buku ini mengajukan argumen bahwa meskipun kemiskinan Gunungkidul bersifat natural, struktural dan kultural tetapi intervensi secara institusional merupakan pendekatan yang paling fisibel bagi penanggulangan kemiskinan. Mengapa? Buku ini memberikan keyakinan bahwa Gunungkidul mempunyai pemerintahan yang memerintah, mampu merumuskan kebijakan, serta memiliki SDM, teknologi, tanah, hutan maupun anggaran yang bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk menanggulangi kemiskinan. Negara tidak boleh menyerah pada alam (natural) dan kelembaman kultural atau meng-kambinghitamkan pada kondisi alam (natural) dan kultural untuk memaklumi kemiskinan di Gunungkidul. Negara bisa melakukan reformasi aset dan akses sebagaimana direkomendasikan oleh kaum strukturalis. Negara bisa membuat kebijakan dan alokasi anggaran yang membuat pendidikan dan kesehatan lebih pro poor atau yang mudah diakses oleh kaum miskin.
office