Daftar Isi ISSN 2301-9816 Volume II Nomor 2 Oktober 2013
76 Pengantar Redaksi Adaptasi Teknologi dan Sirkulasi Kekuasaan 77 Agama dan Adopsi Media Baru: Penggunaan Internet oleh Gerakan Salafisme di Indonesia Asep Muhamad Iqbal
89 Blog sebagai Medium Karya Fiksi Erotis Penggemar K-Pop di Indonesia Afra Suci Ramadhan
Redaksi Ketua Penyunting
Ilya Revianti Sunarwinadi
99 Buku Pengembangan Diri Islami, Kepengaturan, dan Ideologi Islam Hariyadi
111
Penyunting Pelaksana
P. Tommy Pamungkas
Inaya Rakhmani Penyunting
A. G. Eka Wenats Wuryanta Awang Ruswandi Hendriyani Ignatius Haryanto Irwansyah Masmimar Mangiang Nadia Andayani Whisnu Triwibowo Asisten Redaksi
Levriana Yustriani Alamat Gedung Komunikasi Lantai 3 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Kampus UI Depok 16424
Dialektika Representasi Budaya Jawa: Hegemoni Kaidah Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa dalam Lirik Lagu Jogja Hip-hop Foundation
119
Mendefinisikan Ulang Film Indie: Deskripsi Perkembangan Sinema Independen Indonesia Idola P. Putri
129
Menjalin Interaksi dengan Konsumen melalui Facebook: Analisis terhadap Tiga Brand Perangkat Elekronik Laptop Snezana Swasti Brodjonegoro & Amelia Virginia
137
Tinjauan Buku
Mengurai Ketegangan antara Kesalehan dan SeniBudaya Ekky Imanjaya
141 Indeks Istilah
Telefon 021 78849014 021 78849015 021 78849018 Facsimile 021 78849019
E-mail jurnalkomunikasi.indonesia@ gmail.com
Jurnal ini terbuka bagi para peneliti, pengajar di perguruan tinggi, praktisi di bidang ilmu komunikasi, dan juga mahasiswa yang hendak mempublikasikan hasil penelitian atau hasil studi yang dilakukan. Syarat dan tata penulisan untuk Jurnal Komunikasi Indonesia dapat dilihat di halaman 145-146 dalam edisi ini. Hasil penelitian dan gagasan yang disampaikan lewat naskah yang dipublikasikan itu akan sangat bermanfaat bagi pengembangan ilmu komunikasi, untuk mempelajari berbagai fenomena di dalam masyarakat. 75
Pengantar Redaksi
D
Adaptasi Teknologi dan Sirkulasi Kekuasaan
alam buku yang berjudul Power/Knowledge, Foucault (1980) berargumen bahwa kekuasaan tidak “berfungsi dalam bentuk rantai – ia bersirkulasi. [Kekuasaan] tidak pernah dimonopoli oleh satu pusat. Ia disebarkan dan dipraktikkan melalui organisasi serupa jaringan” (hal. 98). Dalam beberapa subjek penelitian yang mencakup struktur yang tua dan besar, tentu hal ini patut dipertanyakan. Bagaimana pula kekuasaan, misalnya, berpindah tempat dalam situasi-situasi yang koersif? Jelaslah mereka yang menguasai sumber daya, akan menguasai pula cara pikir massa. Namun dalam kondisi di mana akumulasi pengetahuan bisa dilakukan hampir tanpa biaya, misalnya saja dengan adanya teknologi informasi dan komunikasi, tentu pernyataan Foucault (1980) ada benarnya. Jika produksi pengetahuan tidak hanya dapat dilakukan oleh pemilik sumber daya, menjadi mungkin pula kekuasaan menjadi juga dimiliki oleh para produsen pengetahuan – setidaknya untuk sementara. Kemunculan berbagai media alternatif yang dimungkinkan dengan kemampuan menggunakan teknologi media adalah salah satu dari banyak contoh yang mendukungnya. Meskipun idak semua artikel dalam edisi ini mengkaji media berbasis TIK, namun terdapat benang merah di antara argumen tiap penulis. Tampak dari temuan-temuan dalam edisi Jurnal Komunikasi Indonesia kali ini bahwa kelompok-kelompok di luar dan di dalam ‘struktur kekuasaan’ atau ‘budaya dominan’ (lihat Raymond Williams, 2005), memproduksi dan menyebarkan gagasan melalui ‘adaptasi teknologi’. Yang dimaksud dengan ‘adaptasi teknologi’ di sini adalah penggunaan media yang berada di dalam jangkauan pengguna, untuk tujuan-tujuan penyampaian pesan tertentu demi menegosiasikan posisinya di masyarakat.
*** Dalam Jurnal Komunikasi Indonesia edisi ini, seperti edisi-edisi sebelumnya, terdapat enam artikel dan satu tinjauan buku. Dalam artikel pertama mengenai penggunaan internet dalam gerakan salafisme di Indonesia, penulis berargumen bahwa teknologi media memberikan peluang baru bagi komunitas agama sesuai kepentingannya. Penulis berargumen bahwa kelompok agama yang konservatif pun perlu beradaptasi dengan modernisasi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara ideologis komunitas salafi adalah ultra ortodoks, berdasarkan penggunaan medianya, mereka tergolong modern. Artikel kedua mengangkat fiksi erotis penggemar K-pop di Indonesia melalui blog. Praktis tanpa biaya, para penggemar menciptakan narasinya sendiri yang turut membentuk interaksi dan konsumsi budaya melalui penggunaan blog. Hal tersebut dilihat oleh penulis sebagai wadah ekspresi perempuan muda yang terpendam, dengan memin-
76
jam materi budaya populer. Artikel ketiga mempelajari buku-buku pengembangan diri yang berkaitan dengan gerakan tarbiah. Penulis berargumen bahwa buku pengembangan diri islami adalah bentuk ‘pengaturan’, dengan memgangkat wacara-wacana dan menanamkan nilai-nilai tertentu. Tujuannya adalah sebagai bagian dari dakwah melalui tulisan yang ditargetkan kepada kaum muda muslim di Indonesia. Penulis artikel keempat mengkaji lirik lagu Jogja Hiphop Foundation (JHF), serta bagaimana ia mempertahankan kaidah-kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa. Dengan mengadaptasi genre musik rap yang lazim diasosiasikan dengan konotasi vulgar, JHF menafsirkan modernitas ke dalam tradisi Jawa serta mengkritisi penggerusan nilainilai keraton. Tulisan kelima menjabarkan dengan rinci perkembangan industri film independen di Indonesia. Tampak bahwa dengan adanya teknologi baru, serta bergantinya pemegang kekuasaan, definisi ‘film independen’ juga bertransformasi. Penulis menelusuri sejak awal lahirnya film independen sebagai sebuah gerakan di luar film arus utama, hingga kini yang diwarnai pula dengan penyelenggaraan festival film. Artikel keenam mengangkat penggunaan media sosial secara luas di Indonesia juga menciptakan tantangan baru bagi perusahaan untuk memasarkan produknya, sehingga interaktivitas para pengguna/konsumen melalui Facebook belum bisa dioptimalkan dalam pemasaran digital tiga brand perangkat elektronik laptop. Tinjauan buku pada edisi kali ini adalah terhadap buku yang berjudul Performance, Popular Culture, and Piety in Muslim Southeast Asia yang disunting oleh Timothy P. Daniels (2013). Buku ini mengangkat kasus-kasus ‘media’ di dua negara dengan populasi muslim mayoritas – yakni Indonesia dan Malaysia. Sang peninjau mempertanyakan pemilihan beberapa topik yang diangkat di tiap bab, sehingga sulit mencari benang merah antar kajian tiap penulis. Dengan membahas aspek sosial-budaya, buku ini menyajikan kesalehan dalam berbagai kasus seni pertunjukan (seperti tari dan teater) serta budaya pop (seperti film, sinetron, dan musik). Temuan dalam tiap artikel serta tinjauan buku, dengan berfokus pada jenis teknologi media dan tema-tema yang berbeda, mengarah kepada satu argumen dasar: bahwa ‘budaya dominan’ tidak memiliki kuasa penuh atas produksi gagasan. Dan, sulit dibantah, hal ini menjadi semakin mungkin dilakukan dengan teknologi media yang terus bertransformasi bersama dengan para penggunanya Ilya Revianti Sunarwinadi Ketua Penyunting
Volume II Nomor 2 Oktober 2013 ISSN 2301-9816
JURNAL KOMUNIKASI INDONESIA
Agama dan Adopsi Media Baru: Penggunaan Internet oleh Gerakan Salafisme di Indonesia Asep Muhamad Iqbal
Abstrak/Abstract Dengan memfokuskan analisisnya atas kasus Salafisme di Indonesia dan internet, tulisan ini berargumen bahwa tidaklah akurat pandangan yang menyatakan adanya ketidaksejalanan antara internet dan agama yang sebenarnya lebih didasarkan pada teori sekularisasi yang menekankan ketidaksepadanan hakiki antara agama dan modernitas. Internet pada kenyataannya menyediakan peluang-peluang baru yang ternyata disambut dengan baik oleh komunitas agama dan dijadikannya bagian dari budayanya sesuai kepentingan dan kebutuhannya. Media baru ini telah memberikan manfaat bagi agama dengan kemampuannya menjadi fasilitas dan alat baru bagi kepentingan agama dan penganutnya. Respon positif agama ini terlihat dalam penggunaan internet oleh Salafis yang dapat dikategorikan dalam empat bentuk: penggunaan: ideologis, polemis, kontekstual, dan strategis. Semua bentuk penggunaan internet ini menunjukkan dengan jelas adanya dampak positif internet bagi agama dan kemampuan agama untuk menjadi bagian dari modernitas demi kepentingan dan keperluannya dengan cara mengadopsi dan mengadaptasi produk modernitas seperti internet. Through analysis of the case of the internet and Salafism in Indonesia, this article argues that the notion of incompatibility between the internet and religion, which is based on the secularization theory that emphasizes on the inherent incompatibility between religion and modernity, is inaccurate and not empirically supported. In fact, the internet provides religion with new opportunities that have been eagerly welcomed, adopted and cultured by religious communities according to their religious purposes and communal interests. This new medium has become a new enabling tool that facilitates religion and religious communities to pursue their goals and advance their views. This positive response to the internet is represented in the ways Salafis in Indonesia are utilizing websites, which can be categorized into four types of usage: ideological, polemical, contextual and communicative uses. The internet is used by Salafis as a new medium for disseminating ideology, engaging in disputes, responding to contemporary issues and building linkage with one another. All this clearly demonstrates that the internet has positively impacted on religion and that religion is able to be part of modernity by adopting and adapting modernity products like the internet.
Kata Kunci/Keywords Agama, Indonesia, internet, salaf, salafisme Indonesia, internet, religion, salaf, salafism
Asia Research Centre, Murdoch University Kampus UI, Depok 16424
[email protected]
Pendahuluan
P
andangan tentang ketidaksepadanan agama dan modernisasi sebagaimana diutarakan oleh para pendukung teori sekularisasi sejauh ini telah digunakan untuk menjelaskan interaksi antara agama dan internet. Hal ini terlihat dalam kajian77
Asep Muhamad Iqbal, Agama dan Adopsi Media Baru kajian yang menyatakan bahwa internet merupakan sebuah produk modernitas yang berbahaya bagi agama dan penerimaannya oleh komunitas agama akan mengakibatkan agama kehilangan otoritas tradisionalnya. Armfield dan Holbert (2003), misalnya, mengungkapkan bahwa semakin religius seseorang, semakin cenderung ia tidak menggunakan internet karena teknologi ini dibangun di atas etos pandang-an dunia sekuler, yang dapat menghalangi orang-orang religius untuk menggunakan dan memanfaatkan internet. Senada dengan mereka, beberapa pengamat lain berpendapat bahwa internet merupakan ancaman potensial bagi agama karena ia tidak netral, membawa sistem nilai tertentu --utama-nya kapitalisme dan nilai-nilai keamerikaan-- yang asing dan berbahaya bagi penganut kepercayaan dan keagamaan Timur (Bockover 2003; Adamu 2002); dapat melemahkan otoritas tradisional keagamaan dengan kemampuannya menyediakan informasi alternatif dan menciptakan pemimpin-pemimpin baru yang kritis dan menantang legitimasi pemimpin agama tradisional dalam pengajaran keagamaan (Barker 2005); dan pengalaman keagamaan secara online menyebabkan tercerabutnya agama dari tempatnya yang riil, penganutnya yang riil, perasaan bersama dan harmoni kultural yang riil, dan kesadaran kolektif (Schroeder, et. al., 1998). Meskipun kajian-kajian di atas pada tingkat tertentu memberikan penjelasan penting atas hubungan antara internet dan agama, asumsi-asumsi yang disampaikannya yang dipengaruhi teori sekularisasi tentu saja tidak sepenuhnya dapat dipertahankan. Perkembangan kontemporer justru memperlihatkan kemampuan agama mengadopsi dan mengadaptasi teknologi modern sebagai bagian dari upaya-upaya mereka untuk bertahan, bahkan bangkit kembali di tengah masyarakat modern. Berbeda dari kajian-kajian di atas, tulisan ini berpendapat bahwa internet memberikan manfaat bagi agama dengan kemampuannya menjadi fasilitas dan alat baru bagi kepentingan agama dan penganutnya. Internet telah membukakan kesempatan-kesempatan baru yang ternyata disambut baik oleh komunitas agama dan dijadikannya sebagai fasilitas dan sumber daya penting untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan mereka. Untuk mendukung argumen ini, tulisan ini mengkaji gerakan keagamaan dan responnya atas internet dengan memfokuskan analisisnya pada gerakan salafisme di Indonesia. Ia bermaksud untuk mengungkapkan bagaimana pengikut salafisme merespon internet yang dilihat dari cara-cara mereka menggunakan media baru ini. Pilihan atas gerakan ini mempunyai signifikansi kuat mengingat bahwa salafisme merupakan gerakan Islam kontemporer yang ultra-konservatif, tetapi ia tanpa ragu menyambut internet dengan antusias, dan menggunakannya untuk kepentingan dan kebutuhan keagamaannya. Dengan kata lain, kenyataan bahwa kelompok agama paling konservatif pun merespon internet dengan baik memperlihatkan bahwa internet merupakan teknologi modern yang memiliki dampak positif bagi agama dan komunitas agama. Meskipun secara ideologi merupakan gerakan ultra-konservatif, salafisme adalah sebuah gerakan modern secara teknologi. Dengan upaya ini, tulisan ini dapat memberikan kontribusi bagi literatur yang mendukung 78
adanya hubungan baik dan interaksi dinamis antara komunitas keagamaan dan internet di mana antara keduanya terjadi proses saling mempengaruhi (misalnya Campbell 2005, 2010; Barzilai-Nahon dan Barzilai 2005; dan Kluver and Cheong 2007). Metodologi Data yang diperlukan untuk tulisan ini dikumpulkan melalui observasi online. Penelususan dengan menggunakan kata kunci “Salafi Indonesia” memperlihatkan sekitar dua puluh ribu hasil dengan dua ratus halaman dalam mesin pencari Google. Ketika dipilah secara teliti, terdapat sekitar 60-100 situs salafi aktif berbahasa Indonesia dan dikelola oleh komunitas salafi di Indonesia, yang terhubung dengan situs lokal dan global sejenis. Ini menunjukkan bahwa keberadaan dan informasi tentang salafi bukankah hal baru di Indonesia. Untuk kepentingan tulisan ini, analisis difokuskan pada sebuah situs salafi, yakni www.salafy.or.id. Pilihan ini didasarkan pada fakta bahwa situs ini mewakili gerakan salafi paling ortodoks, paling aktif dan paling banyak dirujuk oleh situs-situs salafi lainnya. Karenanya, hal ini dirasa memadai untuk dapat memberikan gambaran umum tentang respon gerakan salafisme di Indonesia atas internet. Isi situs (website content) berupa artikel-artikel yang diterbitkan oleh administrator situs dan kontributor dikumpulkan dari situs salafi di atas untuk mengungkap cara-cara yang dipakai oleh kaum salafi dalam menggunakan media baru internet sebagai respon mereka atas teknologi informasi dan komunikasi ini. Posting tersebut dinalisis untuk mengungkap topik, argumen, dan tipe respon yang dikandungnya. Metodologi yang digunakan dalam analisis ini melibatkan penggunaaan analisis tekstual dengan maksud untuk mengungkap kategori-kategori dari penggunaan internet oleh kaum salafi. Dalam analisis ini, teks dipahami dalam bentuk situs salafi www. salafy.or.id, termasuk artikel, posting dan gambar yang terdapat di situs tersebut.1 Salafisme di Indonesia Salafisme Salafisme (salafiyyah) adalah sebuah gerakan Islam yang menjadikan “salaf” (generasi pendahulu) sebagai model sempurna dan rujukan utama dalam upayanya memahami dan melaksanakan “Islam otentik dan ideal” di masa sekarang dan masa depan. Menurut salafis (salafiyyin), yakni para pengikut salafisme, istilah salaf merujuk kepada tiga generasi pertama kaum muslim yang terdiri dari sahabat Nabi Muhammad (sahabat), generasi setelah sahabat
1
Investigasi online untuk tulisan ini dilakukan utamanya pada tahun 2008. Karena sifat internet yang mudah dan cepat berubah, tampilan dan isi situs salafi sangat terbuka untuk berubah setiap saat. Karena itu, data yang disampaikan dianggap akurat pada saat investigasi online dilakukan.
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
Nabi (tabi’in), dan generasi setelah tabi’in (atba`altabi’in). Mereka percaya bahwa salaf adalah generasi-generasi muslim terbaik karena mereka belajar dan melaksanakan Islam yang murni di bawah bimbingan langsung Nabi Muhammad atau mereka yang kenal langsung dengan nabi. Dari sudut pandang sejarah, penggunaan awal istilah “salafisme” tidak merujuk kepada gerakan atau kelompok Islam tertentu. Ia lebih merupakan istilah yang dikaitkan dengan sikap atau cara berpikir dari masyarakat muslim pasca-abad pertama Hijriah tentang pentingnya mengikuti tokoh-tokoh keagamaan dan politik yang dipercaya melaksanaan pesan-pesan Islam yang murni secara konsisten sebagaimana diperintahkan oleh al-Quran, dan dicontohkan oleh ucapan dan perilaku Nabi Muhammad. Tetapi, pengikut gerakan salafi modern membatasi maknanya pada tiga generasi awal muslim sebagai model sempurna dalam memahami dan mengamalkan Islam. Jadi, salafisme modern dapat dikatakan sebagai sebuah proyek menghidupkan kembali warisan sejarah Nabi Muhammad, para sahabatnya, dan dua generasi muslim setelah mereka dalam upaya mewujudkan “Islam otentik” di masa sekarang dan masa akan datang (Duderija, 2007, h. 347). Salafisme merupakan sebuah gerakan keagamaan transnasional (lintas negara) yang memiliki tujuan menyatukan seluruh komunitas kaum muslim di seluruh dunia di bawah ideologinya. Meskipun jumlah pendukungnya tidak diketahui secara akurat, gerakan salafisme merupakan salah satu dari gerakan Islam kontemporer yang tumbuh dengan cepat dan menyebar hampir ke seluruh negara. Kehadirannya dapat dilihat di berbagai belahan dunia seperti di Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Australia, Eropa dan Amerika Serikat. Gerakan salafi modern berkembang berkat dukungan ideologis dan finansial dari negara-negara Teluk, khususnya Arab Saudi, yang memainkan peranan penting sebagai produser dan eksportir utama publikasi salafi, dakwah salafi, dan bantuan kemanusiaan (Noorhaidi, 2005, h. 29-55; Wiktorowicz, 2001, h. 20). Salafis yakin bahwa hanya ada satu kebenar-an agama yang akurat, yang diwahyukan Allah, disampaikan oleh Nabi Muhammad dan diikuti secara murni oleh tiga generasi muslim pertama setelah nabi (salaf). Beragam penafsiran atas kebenaran tunggal tersebut dipandang sebagai bid’ah (inovasi terlarang) dan penyimpangan dari Islam sejati. Sikap tegas dan kaku ini mendorong kaum salafi untuk tidak berkompromi terhadap sekte-sekte atau kelompok Islam yang dianggap sebagai sempalan atau menyimpang seperti kaum sufi dan syiah. Selain itu, salafis menganggap tradisi nabi (sunnah) sebagai petunjuk sempurna yang dapat memberikan jawaban atas semua persoalan masa sekarang dan mendatang. Nash (teks keagamaan) tidak boleh dipahami melalui realitas karena nash datang lebih dulu dan seharusnya membimbing realitas. Sebaliknya, realitas harus dipahami melalui nash sebagai sumber agama meskipun realitas memberikan kontribusi bagi pembentukan nash. Begitu pula, masa lalu, yakni masa kenabian, harus didahulukan dan tidak boleh dipahami melalui masa sekarang. Masa kenabian harus digunakan sebagai petunjuk bagi realitas masa sekarang. Karena itu, kemurnian identitas seorang muslim ditentukan
oleh sejauh mana tingkat kembalinya kepada nash dan masa historis nabi dan salaf (Duderija, 2007, h. 352). Menariknya, pandangan reduksionis dan kekakuan terhadap apa yang dipercaya sebagai “Islam murni’ inilah yang justru menjadi daya tarik luar biasa salafisme bagi muslim kebanyakan sehingga mampu menarik banyak pengikut dan menyebabkannya tersebar dengan cepat melintasi batas-batas negara (El Fadl, 2003; Adraoui, 2005). Komitmen salafi untuk memelihara ‘kemurnian Islam” sebagaimana diajarkan oleh salaf telah membawa aliran utama salafi untuk bersikap apolitis, non-revolusioner, tidak memiliki tendensi politik dan melibatkan diri dalam kegiatan politik.2 Kini, salafisme telah menjadi gerakan dakwah Islam yang tersebar, yang mengklaim tidak mengadopsi ide-ide dari kelompok lain dan memiliki tekad bulat untuk membangun “masyarakat muslim sejati” transnasional yang setia kepada “Islam sejati” (Wiktorowicz, 2001, h. 21). Meskipun demikian, salafisme pada hakikatnya bukanlah gerakan anti-modern. Sebenarnya, ia mencoba “untuk melakukan rekonsiliasi antara realitas modernitas dan era pasca-kolonial yang melahirkan nasionalisme Arab dengan tradisi Islam dengan cara membacakan nilai-nilai modernisme kepada sumbersumber Islam yang orisinal” (Duderija, 2007, h. 349). Sebagaimana dikatakan oleh Bassam Tibi (dalam Duderija, 2007, h. 349), salafisme berupaya untuk “memadukan modernitas institusional dan kultural dengan cara melakukan sintesis antara konsep-konsep ini dengan Islam, tapi mereka melakukannya tanpa memikirkan ulang pandangan dunia Islam tradisional yang teosentrik”. Jadi, Salafisme bukanlah gerakan yang memisahkan dirinya dari modernitas atau tidak mau melibatkan dirinya dengan modernitas. Sikap ini terlihat dengan jelas dalam upaya mereka mengadopsi teknologi informasi global seperti internet untuk tujuan keagamaan mereka sebagaimana akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. Perkembangan Salafisme di Indonesia Di Indonesia, gerakan salafisme dapat ditelusuri kehadirannya sejak pertengahan 1980-an. Gerakan ini dapat diidentifikasi dengan tanda-tanda tertentu seperti penampilan kaum lelaki mereka yang memakai pakaian Arab, ikat atau tutup kepala model Arab atau peci putih, celana yang panjangnya di atas mata kaki mereka, dan memelihara janggut, sementara kaum perempuan mereka memakai model pakaian perempuan Arab, yang biasanya berwarna hitam atau cokelat dan longgar, dan cadar penutup muka (Hasan, 2007). Keberadaan salafisme ini juga terlihat dari ko2
Perlu dicatat di sini bahwa Salafisme global bukanlah gerakan yang tunggal; ia terpecah ke dalam beberapa faksi disebabkan karena perbedaan dalam memahami doktrindoktrin Salafi ketika dihadapkan pada persoalan politik kontemporer. Secara umum, gerakan Salafi terbagi kepada tiga faksi: Salafi apolitis, Salafi politis, dan Salafi Jihadi. Konflik internal ini pun terlihat pula pada gerakan Salafi di Indonesia. Keterangan lebih lanjut, lihat Wiktorowicz (2006) dan Hasan (2009).
79
Asep Muhamad Iqbal, Agama dan Adopsi Media Baru munitas-komunitas salafis yang cenderung tertutup, yang dibangun secara terpisah dari masyarakat perkotaan umumnya. Mereka memiliki tekad untuk membentuk masyarakat alternatif yang berbeda dari model masyarakat yang ada atau model masyarakat Barat dengan cara menghidupkan kembali dan mengikuti sunnah secara literal yang dikembangkan oleh nabi dan salaf yang salih sebagai upaya mereka kembali kepada Islam yang ideal dan murni (Noorhaidi, 2005). Untuk meraih tujuan ini, salafis memiliki komitmen kuat kepada kegiatan dakwah untuk mengislamkan kembali masyarakat muslim dan mengajarkan mereka tentang “Islam sebenarnya” dengan cara membentuk halaqah (kelompok belajar agama) dan dawra (pelatihan agama). Mereka percaya bahwa umat Islam yang dicita-citakan dengan syariah sebagai hukum satu-satunya hukum yang sah hanya dapat diwujudkan melalui proses evolusioner yang melibatkan ‘pembersihan’ (tashfiyyah) dari tindakan dan pikiran yang tidak islami dan ‘pendidikan’ (tarbiah) tentang Islam sejati (Hasan, 2007). Pada awalnya, salafisme menyebar di Indonesia utamanya melalui para alumni Timur Tengah, khususnya mereka yang menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi di Saudi Arabia dan Yaman pada tahun 1980-an. Setelah menyelesaikan kuliah di kedua negara ini, para alumni bertekad untuk menyebarkan pikiran-pikiran salafi di tanah kelahiran mereka secara sistematis. Sekembalinya ke Indonesia, mereka melihat umat Islam Indonesia sangat memerlukan “pemahaman yang benar” tentang Islam dan menuduh organisasi-organisasi Islam yang ada telah kehilangan semangat “Islam sejati” seperti yang dilakukan oleh nabi dan para sahabat, memiliki kecenderungan ke arah rasionalisasi dan mengabaikan kepentingan umat Islam. Di antara pelopor gerakan salafi di Indonesia adalah Abu Nida, Ahmad Faiz Asifudin, dan Aunur Rafiq Ghufran, yang pernah mengajar di beberapa pesantren seperti Al-Mukmin, Ngruki, Jawa Tengah (Noorhaidi, 2005, h. 45). Para alumni Timur Tengah ini memulai kegiatan mereka dengan menyebarkan paham salafisme di kalangan mahasiswa. Adalah Abu Nida yang berinisiatif memperkenalkan ajaran salafisme di kampuskampus perguruan tinggi umum. Dengan dukungan dari Saefullah Mahyudin, ketua DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) cabang Yogyakarta, Abu Nida mulai mempromosikan ide-ide salafi dengan memberikan ceramah di Jama’ah Shalahudin,3 sebuah komunitas mahasiswa Muslim di Universitas Gadjah Mada, dan mengorganisir halaqah dan dawra di masjid-masjid yang ada di beberapa perguruan tinggi dan Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta (Noorhaidi, 2005, h. 46). Pada awal 1990-an, kedatangan alumni Timur Tengah lainnya memperkuat kegiatan dakwah kampus ini. Mereka adalah, di antaranya, Ja’far Umar Thalib, Yazid Abdul Qadir Jawwas, dan Yusuf Usman Baisa yang ditugaskan oleh LIPIA (Lembaga Ilmu Pendidikan Islam dan Arab) untuk mengajar di Pesantren al-Irsyad, Solo, Jawa Tengah. Para alumni ini menyebarkan paham salafime dengan cara mengorganisir kegiatan-kegiatan dakwah di Universitas
3
Tentang Jamaah Shalahudin, lihat Karim (2006).
80
Diponegoro, Universitas Sebelas Maret, Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Universitas Gajah Mada (Noorhaidi, 2005, h. 47). Upaya-upaya yang dilakukan oleh para alumni Timur Tengah ini ternyata membuahkan hasil. Komunitas-komunitas salafi, yang mana mahasiswa menjadi anggota intinya, mulai bermunculan di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Ketika lulusan perguruan tinggi Saudi Arabia lainnya kembali ke Indonesia, kegiatan dakwah salafi menyebar pula ke kota-kota lainnya seperti Semarang, Cirebon, Bandung, dan Makassar. Hasilnya, sejumlah komunitas salafi tumbuh secara signifikan di kota-kota ini di mana mereka mengorganisir penyebaran paham salafisme dengan cara-cara yang sistematis (Noorhaidi, 2005). Berdasarkan perjalanan lapangan penulis dan informasi yang diperoleh oleh penulis, keberadaan komunitas salafi kini hampir dapat ditemukan di wilayah-wilayah perkotaan di pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat. Untuk meningkatkan penyebaran salafisme dan memperkuat eksistensi komunitas salafi, alumni Saudi Arabia mendirikan yayasan-yayasan salafi. Melalui dukungan finansial dari sebuah yayasan amal dari Saudi Arabia, al-Mu’assasat al-Haramayn al-Khayriyya, dan sebuah yayasan dari Kuwait, alJam’iyya Ihya al-Turath al-Islami, mereka membentuk yayasan As-Sunnah, Majlis al-Turats al-Islami dan Islamic Centre Bin Baz di Yogyakarta. Di Jakarta, para pendukung salafisme mendirikan yayasan Al-Sofwah dan Lajnah al-Khayriyyah al-Musyarakah. Di Jawa Barat, mereka mendirikan yayasan AsSunnah (Cirebon) dengan dukungan dana dari yayasan Al-Sofwah Jakarta, Al-Huda (Bogor) dan Nidaus Sunnah (Karawang). Di Sulawesi, M. Zaitun Rusmin, lulusan Universitas Islam Madinah, mendirikan organisasi Wahdah Islamiyyah (Noorhaidi, 2005, h. 5052). Selain itu, salafis menyebarkan paham mereka melalui publikasi, di antaranya dengan menerbitkan As-Sunnah, majalah salafi pertama di Indonesia, dan mendirikan Pustaka Azzam, penerbit salafi, di Jakarta (Noorhaidi, 2005, h. 48-49). Salafisme dan Respon atas Internet Tentang Situs Salafi Situs yang dipilih untuk dikaji dalam tulisan ini, www.salafy.or.id, adalah milik komunitas salafi apolitis sebagai salafi arus utama di Indonesia dan dioperasikan oleh para pengikutnya dengan pengawasan dari pemimpin atau senior mereka. Ini tampak dalam susunan supervisor dan kontributor situs ini yang berasal dari tokoh-tokoh salafi apolitis Indonesia seperti Muhammad Umar As-Sewed dan Lukman Baabduh. Situs ini juga secara ekstensif memuat tulisan tokoh-tokoh salafi apolitis di Timur Tengah seperti Ibn Baz dan Rabi al-Madkhali dari Saudi, dan Muqbil al Wadi’i dari Yaman yang menjadi referensi para kontributor lokal. Semua ini sesuai dengan laporan dari International Crisis Group (2004) dan kajian oleh Noorhaidi (2005) bahwa salafi apolitis di Indonesia membuat situs sendiri, yakni www.salafy. or.id. Situs ini dirancang sebagai situs berbasis teks yang mudah digunakan dengan hijau—dipercaya se-
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
bagai warna Islam—sebagai warna dasarnya. Halaman utama situs ini menampilkan nama situs “Salafy Online Situs Ahlussunah wal Jamaah”, kata “AsSalafy” dalam aksara Latin dan Arab, dan judul kecil “Meniti jejak al-salaf al-salih”. Menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya, struktur situs ini sebagai berikut. Pertama, menu utama yang terdiri dari bagian “Home”, “Tentang Kami”, “Mengapa Harus Salafy”, “Info Kajian Salafy”, “Arabic Tool”, “Download Center”, “Forum Kita”, “Free Webmail”, dan “Kontak Kami”. Kedua, posting dikategorikan sebagai “Aqidah”, “Manhaj”, “Fiqh”, “Fatwa-fatwa”, dan “Info Dakwah”. Terakhir, link dan afiliasi yang menghubungkan situs salafi ini dengan situs salafi lainnya, baik lokal maupun global. Artikel-artikel yang dipublikasikan di situs ini ditulis dalam bahasa Indonesia oleh tokoh-tokoh salafi apolitis Indonesia seperti Muhammad Umar AsSewed, Lukman Baabduh, dan Abu Hamzah dengan banyak rujukan kepada tokoh-tokoh salafi global di Timur Tengah. Situs ini juga menyertakan tulisantulisan terjemahan dan fatwa tokoh-tokoh salafi Timur Tengah seperti Muhammad Nashirudin alAlbani, Rabi al-Madkhali, Abdullah bin Baz, Syaikh Utsaimin, Muqbil al Wadi’i, dan Fauzan Salih. Penggunaan Internet oleh Salafis Hasil investigasi penulis menunjukkan bahwa salafis merespon kedatangan dan maraknya internet di Indonesia dengan menggunakannya sebagai media untuk mempromosikan identitas kolektif mereka. Sebuah pernyataan dalam situs mereka menegaskan bahwa pengikut salafisme menganggap internet sebagai media dakwah yang dapat digunakan untuk mempromosikan identitas salafi.4 Penggunaan internet untuk artikulasi identitas kolektif ini terlihat dalam pemanfaatan situs internet oleh salafi untuk mempublikasikan artikel-artikel dan fatwa-fatwa yang berkaitan dengan ideologi salafisme, aturan berperilaku, jihad, dan politik. Temuan penulis menunjukkan bahwa pada dasarnya salafis merespon internet secara positif dengan menggunakannya untuk kepentingan dan kebutuhan keagamaan mereka, yang dapat dibagi ke dalam empat model penggunaan: ideologis, polemis, strategis, dan kontekstual. Penggunaan Ideologis Internet: Mempromosikan Manhaj Salaf
Melalui situs mereka, salafis mempromosikan ideologi salafisme dengan cara mempublikasikan artikel-artikel tentang doktrin-doktrin salafi yang ditulis oleh tokoh-tokoh salafi Indonesia, dengan banyak rujukan kepada ideolog salafi di Timur Tengah, dan tulisan-tulisan tokoh salafi Timur Tengah yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Posting jenis ini terutama mempromosikan manhaj salaf (metode salaf), yang diyakini sebagai satu-satunya jalan yang benar untuk memahami dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Metode ini dipercaya sebagai jalan terbaik dalam memahami 4
Artikel “Tentang Kami” pada http://www.salafy.or.id, diakses pada 17 Mei 2008.
dan mempraktikkan Islam karena ia diyakini sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan salaf yang saleh (al-salaf al-shalih). Salaf adalah generasi awal kaum muslim yang diyakini memperoleh metode terbaik dalam memahami dan melaksanakan Islam di bawah bimbingan langsung nabi. Dalam situs mereka, salafis menegaskan bahwa misi mereka adalah dakwah salafiyah, yang menjadi dasar paham dan praktik salafisme. Dengan ini, mereka menyeru umat Islam kepada ajaran “salaf yang benar”. Keyakinan ini didasarkan pada teks keagamaan (nash), ayat Qur’an dan hadis nabi, yang dianggap membenarkan generasi awal muslim sebagai model yang sempurna dalam memahami dan melaksanakan Islam. Nash yang sering dikutip sebagai rujukan adalah ayat “Kamu (wahai umat Muhammad) adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi (faedah) umat manusia, (karena) kamu menyuruh kepada kabaikan dan melarang segala perkara yang salah serta kamu beriman kepada Allah (dengan sebenar-benar iman)” (Ali Imran:110) dan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi Muhammad berkata: “Manusia terbaik adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, dan kemudian generasi sesudahnya.” Karena itu, salafis percaya bahwa mereka adalah kelompok yang selamat di antara berbagai macam kelompok Islam berdasarkan pemahaman mereka atas hadis nabi berikut: “Umat Yahudi terpecah ke dalam 71 golongan dan kaum Nasrani terpecah ke dalam 72 golongan. Umatku akan terpecah ke dalam 73 golongan yang semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan. Seseorang bertanya: “Siapa itu?” Nabi menjawab: “Mereka yang mengikuti aku dan sahabat-sahabatku.”5 Salafis juga menekankan dalam situs mereka bahwa inti dari misi mereka adalah ajakan untuk mengikuti tauhid (keesaan Allah) dan menghindari syirik (penyekutuan Allah dengan yang lain) sebagai pesan utama para nabi. Mereka sangat menekankan betapa pentingnya tauhid dalam keyakinan Islam dan berbahayanya syirik.6 Tapi, mereka berbeda dari kebanyakan muslim dalam hal bahwa mereka meng-adopsi cara-cara yang ketat dalam memahami dan melaksanakan doktrin tauhid dengan berupaya semaksimal mungkin membersihkan doktrin ini dalam keyakinan dan praktik dari segala bentuk inovasi dan pengaruh yang dipandang tidak Islami. Mereka percaya bahwa Nabi Muhammad memulai dan mengakhiri dakwahnya dengan ajaran tauhid.7 Dalam posting mereka, pendukung salafisme menjelaskan lebih jauh tentang metode salaf yang melibatkan dua tahap. Pertama, tashfiyyah, yakni upaya pembersihan Islam dari bid’ah. Tahap ini me5
6
7
Artikel “Hakikat dakwah Salafiyyah”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1112; “Manhaj Salaf”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=289.. Artikel “Kedudukan tauhid dalam Islam dan urgensinya”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/ print.php?id_artikel=153; “Awas, bahaya syirik merenggut Anda”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www. salafy.or.id/print.php?id_artikel=72. Artikel “Dakwah tauhid, dakwah para nabi dan rasul”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/ print.php?id_artikel=721.
81
Asep Muhamad Iqbal, Agama dan Adopsi Media Baru liputi gerakan membersihkan Islam dari semua bentuk keyakinan, pikiran, dan perilaku yang diyakini tidak memiliki dasarnya dalam Qur’an atau tidak ada contohnya dalam perilaku dan ucapan nabi dan salaf. Kedua, tarbiah, berupa tahap yang melibatkan upaya mendidik umat Islam dengan ajaran “Islam murni”. Ini dimaksudkan semacam reislamisa-si umat Islam agar mereka menjalani hidup sesuai dengan “Islam murni” tersebut.8 Dalam situs mereka, salafis juga berupaya untuk mempromosikan al-wala wal-bara, ajaran dasar lain dari ideologi mereka. Dengan doktrin ini, mereka meyakini bahwa seorang muslim harus melakukan al-wala, yakni mencintai, menolong, dan membela pendukung tauhid, dan pada saat yang sama ia harus melakukan al-bara, yakni menjauhi, membenci dan mengabaikan pendukung syirik. Doktrin ini menuntut adanya garis pemisah yang jelas antara muslim dan non-muslim, antara dunia kaum beriman dan dunia kaum kafir. Bagi salafis, doktrin ini meliputi pula larangan bagi muslim untuk meniru tradisi nonmuslim dan cara hidup mereka termasuk cara berpakaian. Mereka percaya bahwa doktrin al-wala walbara memiliki dasar yang kuat dalam nash agama (Qur’an Surat al-Mumtahanah:1, 4; al-Maidah:51; al-Tawbah:23; al-Mujadilah: 22) dan telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim, bapak agama tauhid, dan Nabi Muhammad. Tapi, tampaknya aplikasi al-wala walbara terbatas kepada mereka yang mengikuti atau menolak metode salaf sebagaimana yang dipahami oleh kaum salafi.9 Seperti halnya kelompok fundamentalis lainnya, salafis memiliki disiplin tinggi dalam hal perilaku mereka yang diatur oleh interpretasi yang ketat atas nash agama. Karena itu, melalui situs mereka, salafis menekankan pentingnya mengikuti cara-cara bagaimana Nabi Muhammad dan generasi awal muslim menjalani hidup mereka yang dianggap sebagai sunnah yang harus diikuti termasuk dalam tara-cara berpenampilan luar. Posting mereka menekankan wajibnya memanjangkan janggut dan mencukur kumis karena mereka percaya perilaku ini merupakan kewajiban agama yang tertulis dalam nash agama yang sahih dan dilakukan oleh nabi dan sahabatnya. Salafis laki-laki memakai pakaian model Arab seperti jalabiyya (jubah panjang longgar), ikat kepala model Arab, dan celana yang panjangnya mencapai betis di atas mata kaki. Sementara, salafis perempuan memakai niqab (pakaian longgar panjang berwarna hitam) yang menutupi seluruh tubuh mereka, termasuk wajah. Dalam pandangan kaum salafi, ini semua merupakan perintah agama yang dimaksudkan sebagai cara untuk membedakan kaum muslim dari kaum musyrik dan kafir. Umat Islam dilarang meniru mereka dalam segala aspek kehidupan termasuk urusan pribadi seperti janggut dan berpakai-
an.10 Salafis juga menggunakan situs internet untuk menyebarkan ideologi politik mereka. Mereka percaya bahwa mereka yang terlibat dalam politik dan menjadikannya sebagai sarana untuk mendirikan negara Islam bukanlah pengikut salaf. Mereka beralasan bahwa basis ideologis yang digunakan oleh orang-orang ini, yakni tawhid hakimiyyah (keesaan Allah dalam hal kedaulatan) yang diajarkan oleh Sayyid Qutb sang ideolog al-Ikhwan al Muslimun dari Mesir, untuk membenarkan kegiatan politik mereka adalah bid’ah yang terlarang yang tidak ada presedennya dalam perilaku nabi dan generasi awal muslim yang selamat.11 Sikap apolitik kaum salafi ini juga terbaca jelas dalam posting mereka yang berkaitan dengan doktrin mereka tentang larangan memberontak terhadap penguasa, kecaman terhadap pelaku terorisme yang salah memahami arti jihad, dan kritik pedas kepada gerakan-gerakan yang hendak mendirikan negara Islam dan khilafah seperti diusung oleh gerakan al-Ikhwan al-Muslimun dan Hizb al Tahrir.12 Penggunaan Polemis Internet: Cyberwar Melawan Musuh Salafis Pendukung salafisme juga menggunakan internet sebagai media untuk menyerang pihak-pihak yang dipandang sebagai musuh-musuh abadi mereka. Dalam hal ini, cyberspace (dunia maya) menjadi sebuah tempat baru untuk cyberwar (perang di dunia maya) di mana permusuhan offline (dunia nyata) diperluas ke permusuhan online (dunia maya; internet). Melalui situs mereka, salafis mengkritik bahkan mengutuk individu atau kelompok muslim lain yang dianggap telah melanggar “metode salaf yang murni” dalam memahami dan melaksanakan Islam. Serangan mereka tidak hanya ditargetkan kepada kelompok muslim yang dipandang sebagai bukan pendukung salafisme, tetapi juga terhadap mereka yang menyatakan diri mereka sebagai salafi, tapi dianggap menyimpang dari “jalan salaf yang murni”. Salah satu target serangan kaum salafis di dunia maya adalah muslim syi’ah. Dalam pandangan mereka, syi’ah bukanlah muslim yang benar karena mereka telah melanggar prinsip-prinsip “Islam murni”.
10
11
12 8
9
Artikel “Metode dakwah salafiyyah”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=432. Artikel “Al-wala wal-bara, sebuah keharusan”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/print. php?id_artikel=134; “Loyalitas dan kebencial yang disyariatkan”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www.salafy. or.id/print.php?id_artikel=409.
82
Artikel “Biarkan jenggot anda tumbuh” diakses pada 19 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=71. Artikel “Tidak ada istilah tauhid hakimiyyah/mulkiyyah dalam pandangan Islam”, diakses pada 19 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=152; “Lagi, tauhid mulkiyyah/hakimiyyah bukan dari Islam”, diakses pada 19 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/print. php?id_artikel=197. Artikel “Membongkar Kesesatan Hizbut Tahrir: Pemberontakan”, diakses pada 21 Mei 2008 dari http://www. salafy.or.id/print.php?id_artikel=981; “Membongkar pemikiran Sang Begawan teroris (1)”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=878; “Menyikapi Bom Bali 2: Terorisme itu sesat”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/ print.php?id_artikel=1010; “Mereka adalah teroris: Bantahan atas teroris”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http:// www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1016.
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
Dalam posting mereka, salafis mengutuk ajaran-ajaran syi’ah tentang taqiyyah,13 mut’ah14 dan terlindunginya imam mereka dari dosa (ma’shum). Lebih jauh, salafi menganggap syi’ah telah mengganti Qur’an dan Sunnah untuk kepentingan dan tujuan mereka sendiri. Mereka juga percaya bahwa syi’ah bukanlah pengikut salaf dan menuduh mereka telah menyebarkan kebencian dan kebohongan tentang salaf, istri-istri nabi dan sahabatnya. Bagi salafis, semua ini merupakan pelanggaran atas ajaran “Islam yang lurus” sehingga mereka berkesimpulan bahwa tidaklah mungkin untuk membangun dialog dan pendekatan antara muslim syi’ah dan sunni sebagaimana digagas beberapa tokoh.15 Salafis juga menggunakan situs mereka untuk menyerang Jaringan Islam Liberal (JIL), yang mereka anggap sebagai musuh Islam.16 Dalam posting mereka, kaum salafi memberikan label kepada anggota JIL sebagai “pengikut dan pemuja iblis”, “pelayan akal”, “neo-Mutazili”, dan “pendukung kafir” sehubungan dengan penggunaan akal oleh anggota JIL untuk memahami dan menafsirkan teks Qur’an dan Sunnah, bukan dengan cara-cara salaf.17 Mereka memandang pluralisme agama yang dipromosikan oleh JIL sebagai “ideologi yang murahan dan ketinggalan zaman” dan penghinaan terhadap Islam. Bagi salafis, para anggota JIL tidak diragukan lagi adalah para pendukung bid’ah dan bagian dari konspirasi Yahu-
13
14
15
16 17
Taqiyyah adalah ajaran bahwa seorang muslim boleh menyembunyikan keimanannya di depan mereka yang dianggap sebagai musuh, termasuk sesama muslim yang dianggap musuh, untuk menjaga imannya dan mencegah dirinya dari perlakuan yang membahayakan keselamatannya. Mut’ah adalah ajaran yang membolehkan seorang muslim untuk mengawini seorang perempuan, muslim atau nonmuslim, untuk periode waktu tertentu. Artikel “Membongkar kesesatan Syiah: Taqiyyah”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/print. php?id_artikel=950; “Membongkar kesesatan Syi’ah: Nikah mut’ah”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www. salafy.or.id/print.php?id_artikel=950; “Memuja imamnya”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www.salafy. or.id/print.php?id_artikel=900; “Benci pada istri Nabi”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/ print.php?id_artikel=899; “Cinta palsu pada ahlul bait”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/ print.php?id_artikel=897; “Menghina sahabat Nabi”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/ print.php?id_artikel=896; “Al-Qur’an diubah-ubah”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/print. php?id_artikel=895; “Bantahan singkat terhadap keyakinan Syiah tentang Mahdi”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1187. Tentang JIL, lihat, misalnya, Nurdin (2005) dan Ali (n.d). Artikel “Membongkar kedok JIL: Pengikut dan pemuja iblis”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www.salafy. or.id/print.php?id_artikel=994; “Seruan penyatuan agama”; “Membongkar Kedok JIL - Persatuan Hakiki ala Salaf (2)”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www. salafy.or.id/print.php?id_artikel=1002; “Membongkar Kedok JIL- Pengadilan terbuka atas mereka”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=997; “Membongkar kedok JIL, Ahlus sunna membungkamnya”, diakses pada 22 Mei 2008 dari http://www. salafy.or.id/print.php?id_artikel=998.
di-Kristen untuk menghancurkan Islam dan umat Islam. Sebagai konsekuensinya, mereka mendesak pemerintah untuk membawa para anggota JIL ke pengadilan dan menghukum mati mereka jika perlu, karena ide-ide mereka dianggap telah melanggar prinsip-prinsip pokok Islam. Kelompok Islam lain yang menjadi sasaran cyberwar yang dilancarkan oleh salafis adalah Hizbut Tahrir (Partai Pembebasan), sebuah gerakan fundamentalis transnasional yang menjadikan politik sebagai kendaraan dan arena operasinya. Salafis mengatakan bahwa para pendukung Hizbut Tahrir bukanlah pengikut sejati Qur’an dan Sunnah meskipun mereka mengaku menjalankan gerakan mereka di bawah petunjuk dua sumber utama Islam tersebut. Mereka bersalah, tegas salafi, karena menolak mengikuti metode salaf seperti terlihat dalam tujuan dan metode mereka. Penggunaan politik oleh Hizbut Tahrir untuk mendirikan sebuah negara Islam global (khilafah islamiyyah) membuat salafis menuduh mereka telah mengabaikan metode nabi dalam berdakwah. Dalam misinya, menurut salafis, Nabi Muhammad mengajak manusia kepada tauhid murni dan kepasrahan kepada Allah (ibadah), bukan kepada pengambilalihan kekuasan politik atas pemerintahan yang ada atau pendirian khilafah. Kemenangan politik bukanlah tujuan dari dakwah Islam, melainkan lebih merupakan hasil yang niscaya dari pendirian masyarakat yang dibimbing oleh Qur’an dan Sunnah. Hizbut Tahrir, dalam pandangan salafis, telah mengabaikan inti misi Islam, yakni seruan kepada tauhid, dan memberikan prioritas kepada tujuan sampingannya, yakni negara Islam.18 Di samping itu, salafi menggunakan cyberspace sebagai media untuk menyerang al-Ikhwan al-Muslimin (persaudaraan muslim), gerakan fundamentalis transnasional lainnya, yang berasal dari Mesir, yang pengikutnya di Indonesia mendirikan Partai Keadilan Sejahtera. Serangan mereka difokuskan khususnya pada Sayyid Qutb, sang ideolog gerakan ini. Dalam situs mereka, salafi menyatakan bahwa gagasan-gagasan Qutb, misalnya tentang takfir (menyatakan penguasa atau individu muslim yang tidak melaksanakan hukum Islam sebagai kafir), jahiliyyah modern, dan negara Islam, jelas menyesatkan. Ia juga keliru ketika ia mengatakan bahwa tawhid hakimiyyah (keesaan kedaulatan Allah) adalah elemen penting dari tauhid. Bagi salafi, ini disebabkan oleh kesalahpahaman Sayyid Qutb terhadap konsep La ilah illallah (tiada tuhan selain Allah), di mana ia mereduksi makna kata ilah kepada ‘penguasa’. Ini jelas sekali bertentangan dengan salaf yang menafsirkan kata ilah sebagai ‘satu-satunya yang berhak disembah’. Bagi mereka, gagasan Qutb merepresentasikan pemikiran para pendukung bid’ah dan merefleksikan pengaruh mu’tazilah, syi’ah dan khawarij—kelompok-kelompok yang menentang metode
18
Artikel “Manhaj dakwah para nabi – bantahan atas HT”, diakses pada 21 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/ print.php?id_artikel=83; “Membongkar selubung Hizbut Tahrir” , diakses 21 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/ print.php?id_artikel=35; “Membongkar kesesatan Hizbut Tahrir – khilafah islamyyah”, diakses pada 21 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=980.
83
Asep Muhamad Iqbal, Agama dan Adopsi Media Baru salaf.19 Yang lebih menarik adalah bahwa salafis juga menggunakan internet sebagai medan untuk ‘berperang’ di alam maya melawan kelompok salafi lainnya yang dianggap telah keluar dari jalan salaf yang benar. Penggunaan internet model ini menunjukkan adanya fragmentasi dalam gerakan salafi di mana konflik internal di antara pendukung salafisme di dunia nyata (offline) diperluas ke dunia internet (online). Dalam situs mereka, salafis menfokuskan serangan mereka terhadap dua yayasan salafi. Dua yayasan tersebut adalah yayasan al-Sofwah dan Majelis al-Turas al-Islami yang dipimpin oleh Abu Nida. Artikel-artikel Umar as-Sewed menegaskan bahwa yayasan al-Sofwah tidak mengikuti metode salaf karena memiliki afiliasi yang kuat dengan alMuntada Foundation di London yang dipimpin oleh Muhammad ibn Surur, salah seorang tokoh salafi politik yang secara pedas mengkritik kerajaan Saudi dan ulama yang dekat dengan pemerintah Saudi. Untuk mendukung ini, as-Sewed merujuk kepada Syaikh Rabi’ al-Madkhali, seorang ulama salafi di Arab Saudi, yang mengatakan bahwa “jika yayasan itu (al-Sofwah) sama dengan al-Muntada London, kami kira, ia akan menjadi musuh utama gerakan dakwah salaf di Indonesia”. Ia berargumen bahwa mereka yang terlibat di yayasan al-Sofwah bukanlah salafis karena mereka mendukung Ibn Surur dan al-Ikhwan al-Muslimin, tetapi mereka berpura-pura menjadi Salafis. As-Sewed menunjukan bukti-bukti penyimpangan yayasan al-Sofwah dari metode salaf seperti terlihat dalam upayanya untuk menerbitkan al-Bayan, sebuah majalah yang diterbitkan oleh alMuntada foundation London, dan buku-buku karya tokoh-tokoh pendukung al-Surur, mendukung kegiatan kelompok-kelompok yang dianggap sebagai pelaku bid’ah seperti tarekat sufi, al-Ikwan al-Muslimin, Negara Islam Indonesia (NII), dan Partai Keadilan Sejahtera, serta mengundang tokoh-tokoh pendukung al-Sururi (misalnya Ibrahim al-Duwasy) untuk memberikan ceramah di Indonesia.20 Diperluasnya konflik internal ke cyberspace terlihat juga dalam serangan salafi terhadap yayasan Majelis al-Turas al-Islami Indonesia. Salafis mengatakan bahwa mereka yang terlibat dalam yayasan ini menyimpang dari metode salaf yang benar karena mereka mengikuti metode yang diadopsi oleh al-Ikhwan al-Muslimin. Mereka dianggap sebagai pelaku bid’ah karena mendukung gagasan-gagasan Ibn Surur dengan melibatkan diri mereka dalam kegi-
19
20
Artikel “Bahaya pemikiran takfir Sayyid Qutb”, diakses pada 21 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/print. php?id_artikel=230. Artikel “Persaksian al-Ustadz Muhammad Umar asSewed”, diakses pada 21 Mei 2008 dari situs http://www. salafy.or.id/print.php?id_artikel=251; “Ihya al-Turats menyimpang dalam manhaj”, diakses 21 Mei 2008 dari situs http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1061; “Membongkar kejahatan Ihya Turas –musuh Salafiyyin”, diakses pada 21 Mei 2008 dari situs http://www.salafy.or.id/ print.php?id_artikel=1168; “Bahaya jaringan JI dari Kuwait dan al-Turas”, diakses pada 21 Mei 2008 dari situs http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=512.
84
atan politik dan parlemen. Ini didukung oleh fakta bahwa yayasan tersebut menjalin jaringan dengan Jam’iyyah Ihya al-Turas di Kuwait—sebuah yayasan yang mendukung gerakan salafi politik di bawah pimpinan Abd al-Rahman Abd al-Khaliq. Karena itu, salafis menyebut mereka yang mendukung Majelis Turas Indonesia sebagai “boneka-boneka Abd al-Rahman Abd al-Khaliq”. Mereka memandang Jam’iyyah al-Turas Kuwait menyediakan dukungan finansial bagi Majelis Turas Indonesia untuk menyebarkan ideologi Sururi-Ikhwani di Indonesia.21 Akibatnya, salafis mengingatkan pengikut setia salafisme akan bahaya yayasan-yayasan ini dan melarang penerbit dan toko buku untuk menerbitkan dan menjual buku-buku karya para pendukung yayasan-yayasan ini. Untuk memperkuat langkah ini, mereka menggunakan fatwa ulama-ulama salafi di Timur Tengah seperti Rabi bin Hadi al-Madkhali, Ubaid al-Jabiri, Muhammad bin Hadi al-Madkhali, dan Muqbil bin Hadi al-Wadi’i.22 Penggunaan Kontekstual Internet: Merespon Isu-isu Kontemporer Salafis menggunakan internet bukan hanya sebagai alat untuk mempromosikan ideologi salafisme dan menyerang mereka yang dianggap musuh-musuh salaf. Lebih jauh, internet juga digunakan sebagai media untuk menyampaikan perhatian dan pandangan mereka tentang isu-isu kontemporer yang muncul di masyarakat lokal dan global. Investigasi penulis terhadap isi situs salafi menunjukkan bahwa salafis menggunakan internet sebagai alat untuk menunjukkan perhatian mereka terhadap isu-isu sosial-keagamaan kontemporer di Indonesia. Misalnya, dalam merespon bencana gelombang tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004 dan gempa bumi di Yogyakarta pada 2006, salafis berkonsultasi dengan tokoh salafi di Saudi untuk meminta fatwa sebagai petunjuk bagi muslim Indonesia dalam menghadapi permasalahan yang timbul akibat tsunami. Mereka mempublikasikan fatwa-fatwa yang berkaitan de-
21
22
Artikel “Abd al-Rahman Abd al-Khaliq dan Ihya al-Turas”, diakses 21 Mei 2008 dari situs http://www.salafy.or.id/ print.php?id_artikel=263; “Abd al-Rahman Abd al-Khaliq –seorang mubtadi”, diakses pada 21 Mei 2008 dari situs http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=854; “Soaljawab tentang Abdurrahman Abdul Khaliq & at-Turas”, diakses pada 21 Mei 2008 dari situs http://www.salafy. or.id/print.php?id_artikel=275; “Ihya Turas- ulama tidak merekomendasi”, diakses 21 Mei 2008 dari situs http:// www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1153; “Ihya Turas menyimpang – boneka Abdurarahman Abdul Khaliq”, diakses pada 21 Mei 2008 dari situs http://www.salafy. or.id/print.php?id_artikel=1115. Artikel “Ihya ut Turas menyimpang dalam manhaj –fatwa ulama”, diakses pada 21 Mei 2008 dari http://www.salafy. or.id/print.php?id_artikel=1061; “Ihya ut Turas menyimpang dalam manhaj –khilaf dan ijtihadiyah” , diakses pada 21 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/print. php?id_artikel=1062; “Seruan terbuka bagi penerbit dan pemilik toko buku”, diakses pada 21 Mei 2008 dari http:// www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1113;“Hatihati dengan al-Sofwah dan Ihya Turas”, diakses pada 21 Mei 2008 http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=971.
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
ngan tsunami seperti tentang bagaimana memperlakukan ratusan ribu mayat muslim; apakah diperbolehkan untuk bekerja sama dengan orang-orang non-salafi dalam memberikan bantuan kepada korban yang selamat; dan pengutukan atas kerja misionaris Kristen yang dilakukan oleh beberapa organisasi bantuan internasional untuk mengkristenkan anakanak muslim dengan berselubung bantuan kemanusiaan.23 Di samping itu, salafis menggunakan cyberspace sebagai alat untuk merespon isu-isu internasional. Posting mereka menunjukkan bahwa mereka sadar akan isu-isu dan kejadian-kejadian global, khususnya yang berkaitan dengan Islam dan dunia Islam. Untuk merespon krisis dunia muslim seperti di Libanon, Palestina dan Irak, salafis memakai internet sebagai alat untuk mengkomunikasikan keyakinan mereka bahwa krisis tersebut terjadi karena umat Islam sudah mengabaikan ajaran-ajaran “Islam yang sebenarnya”, sehingga mereka tidak berada dalam bimbingan Allah. Akibatnya, kaum muslim menjadi lemah dan memberikan kesempatan kepada musuh untuk menguasai dan menghancurkan negara-negara muslim. Di Libanon, menurut salafis, Hizbullah adalah kelompok syi’ah yang telah melanggar prinsip-prinsip aqidah Islam, menghina sahabat-sahabat nabi yang terhormat, dan mengubah Qur’an seperti orang Yahudi mengubah kitab suci mereka. Dengan mengutip sebuah fatwa oleh Shalih bin Muhammad al-Luhadain dari Saudi Arabia, salafis menyebut kelompok ini bukan sebagai ‘partai Allah’ (hizbullah) seperti arti namanya, tapi sebagai ‘partai setan’ (hizbusy syaithan).24 Begitu juga dengan krisis yang terjadi di Irak dan Palestina. Dalam pandangan salafis, Hamas di Palestina adalah kelompok fanatik (hizb) yang memiliki ideologi sektarian dan mengabaikan ideologi “Islam sejati” seperti diajarkan oleh salaf. Mereka yang berperang melawan invasi Amerikat Serikat di Irak adalah penganut syi’ah yang membunuh para pendukung Sunnah (ahl al-sunnah).25 Kelompok-kelompok ini tidaklah berjihad sebagaimana diajarkan Allah dalam Qur’an dan dicontohkan oleh nabi dan para sahabatnya. Karena itu, melalui situs mereka, kaum salafis menyatakan bahwa satu-satunya solusi untuk mengatasi krisis ini dan meraih kemenangan atas musuh-musuh Islam adalah umat Islam harus
kembali kepada “Islam yang murni” sebagaimana dipraktikkan oleh nabi dan salaf.
Artikel “Bimbingan ulama menghadapi gempa dan Tsunami di Indonesia”, diakses pada 21 Mei 2008 dari http:// www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1068; “Nasehat dan renungan dalam masalah kristenisasi paska musibah di Indonesia”, diakses pada 21 Mei 2008 dari http://www. salafy.or.id/print.php?id_artikel=1067. 24 Artikel “Fatwa ulama dalam menyikapi krisis Libanon –bagian 1 dan 2”, diakses pada 21 Mei 2008 dari http:// www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1083; “Syaikh al-Luhadain: Hizbullah adalah hizbusy syaithan”, diakses pada 21 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/print. php?id_artikel=1086. 25 Artikel “Hamas adalah kelompok jihad menyimpang”, diakses pada 21 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/ print.php?id_artikel=578; “Menyoal Amerika-Iraq”, diakses pada 24 Mei 2008 dari http://www.salafy.or.id/print. php?id_artikel=140.
Kesimpulan
23
Penggunaan Strategis Internet: Membangun Jaringan Lokal dan Global Selain itu, internet bagi salafisme adalah sarana untuk membangun jaringan baik di tingkat lokal maupun global sebagai strategi memelihara solidaritas sesama pendukungnya. Lewat situs mereka, salafis telah mengembangkan tautan (link) dengan situs salafi lainnya yang sama-sama mempromosikan ideologi salaf. Mereka membangun afiliasi dengan puluhan situs salafi lokal Indonesia yang dijalankan oleh para pendukung salaf di beberapa kota di Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. Afiliasi ini salah satunya ialah sebuah situs salafi mempublikasikan-ulang artikel-artikel atau berita yang sebelumnya dipublikasikan oleh situs salafi lainnya. Pendukung salafisme tidak hanya membangun jaringan dengan pendukung salafisme lokal lainnya, tetapi juga dengan pendukung salafisme global. Situs mereka menunjukan bahwa salafi telah mengembangkan tautan dengan situs salafi global di berbagai tempat di dunia. Terdapat 19 situs berbahasa Arab dan 18 situs berbahasa Inggris, yang berlokasi di Timur Tengah (16 situs), Eropa (13 situs) dan Amerika Serikat (8 situs). Kebanyakan dari mereka dioperasikan sebagai situs masyarakat, tetapi ada juga beberapa situs yang milik pemerintah seperti http:// quran.al-islam.com dan http://hadits.al-islam yang dijalankan oleh Kementerian Urusan Islam, Wakaf dan Dakwah Pemerintah Saudi. Situs-situs ini jelas didedikasikan untuk menyebarkan salafisme ke seluruh dunia, mulai dari situs pribadi tokoh-tokoh salafi di Timur Tengah, seperti situs Ibn Baz, Utsaimin dan Rabi al-Madkhali, sampai layanan Qur’an dan Hadis online. Berdasarkan ini semua, penulis berpendapat bahwa dengan membangun tautan dengan situs-situs lain, salafi melakukan komunikasi dan membangun jaringan dengan kelompok-kelompok salafi lokal dan global dan meningkatkan dakwah salafi melalui cyberspace ke khalayak yang lebih luas melintasi batas nasional dan regional. Ini juga menunjukkan bahwa komunitas salafi lokal (dalam hal ini salafi Indonesia) dapat memiliki dampak global karena ia bagian dari jaringan global salafisme dan, pada saat yang sama, jaringan global salafisme bisa berdampak lokal karena kehadirannya dibutuhkan untuk memperkuat keberadaan komunitas salafi lokal. Eksplorasi atas penggunaan internet oleh salafisme di Indonesia menunjukan bahwa pada dasarnya pengikut gerakan ini merespon internet secara positif. Mereka menjadikan internet sebagai sarana untuk mengkomunikasikan, mempromosikan dan mempertegas identitas kolektif mereka. Secara lebih spesifik, respon ini terwujud dalam bentuk-bentuk berikut. Pertama, salafis menggunakan internet sebagai alat ideologis. Melalui internet, mereka mengkomunikasikan ideologi salafisme mereka dan menyebarkan dakwah salafi kapada khalayak yang lebih luas. Kedua, tampaknya, salafi memakai internet sebagai 85
Asep Muhamad Iqbal, Agama dan Adopsi Media Baru alat polemis dalam hal mereka menyatakan perang di cyberspace melawan mereka yang dianggap telah menyimpang dari “Islam otentik” yang diajarkan oleh salaf, seperti kelompok syi’ah, Ihkwan al-Muslimin dan Hizbut Tahrir. Cyberspace telah menjadi sebuah tempat baru bagi cyberwar (perang di dunia maya) di mana permusuhan dan konflik offline dibawa dan diperluas ke dunia online. Ketiga, bagi salafis, internet memainkan peranan sebagai medium untuk merespon isu-isu kontemporer yang muncul di masyarakat lokal dan global. Lewat situs mereka, salafi mengekspresikan pandangan dan perhatian mereka terhadap isu-isu global seperti konflik dan instabilitas ekonomi dan politik yang dihadapi negara-negara dunia Islam dan isu-isu lokal seperti tsunami yang melanda Indonesia pada tahun 2004. Hal ini merefleksikan paradoks gerakan transnasional seperti salafisme; ia beroperasi melewati batas-batas nasional sebuah negara dan menantang keberadaan negara-bangsa secara teritorial dan ideologis, tapi ia tidak dapat mengabaikan isu-isu baru yang muncul di negara di mana mereka beroperasi sebagai upayanya untuk meningkatkan pengaruhnya atau setidaknya mempertahankan kehadirannya dalam arena lokal-nasional. Terakhir, komunitas salafi menggunakan internet untuk tujuan membangun jaringan dan kaitan (network dan linkage). Mereka memakai cyberspace sebagai medium untuk memelihara solidaritas dan mengembangkan jaringan lokal (nasional) dan global di kalangan para pendukung salafisme lokal dan global. Ini menunjukan bahwa sebuah jaringan lokal salafi dapat mempunyai dampak global dan sebuah jaringan salafi global dapat memiliki pengaruh terhadap komunitas salafi lokal. Meskipun lingkup kajiannya terbatas, tulisan ini dengan jelas menunjukkan bahwa fenomena penggunaan internet oleh pengikut salafisme ini menjadi sebuah kritik atas pandangan bahwa internet tidak sejalan (incompatible) dengan agama dan komunitas agama sebagaimana dikemukakan oleh beberapa
studi tentang hubungan internet dan agama yang dipengaruhi oleh tesis sekularisasi. Mungkin benar bahwa pada tahap tertentu internet melemahkan struktur tradisional komunitas agama. Akan tetapi, seperti ditunjukkan dalam kasus salafisme ini, komunitas agama adalah agen aktif yang memiliki kemampuan untuk menggunakan kesempatan-kesempatan yang dibukakan oleh internet untuk kebutuhan dan kepentingan mereka. Dengan kata lain, bagi komunitas agama, efek positif internet melebihi konsekuensi negatifnya. Temuan-temuan dalam artikel ini membuktikan bahwa kelompok agama yang paling konservatif pun seperti komunitas salafis tidak hanya bertahan di hadapan modernisasi. Mereka juga mampu mentransformasi realitas-realitas modernitas seperti internet menjadi sebuah bentuk baru produk modern yang melayani kebutuhan dan kepentingan mereka dengan baik. Secara ideologis, komunitas salafi adalah ultra-ortodoks, tapi mereka adalah modern secara teknologi. Kasus salafisme dan internet ini juga memperlihatkan bahwa agama senantiasa berupaya untuk melakukan adaptasi dan rekonsiliasi dengan modernitas dengan cara membacakan nilai-nilai modernitas terhadap sumber-sumber keagamaannya. Ia berusaha untuk merespon proses modernisasi dengan cara mengadopsi dan mengadaptasi internet dan teknologi modern lainnya sesuai konteks komunalnya sesuai kebutuhan dan kepentingannya. Dengan kata lain, respon salafis atas internet ini merupakan bagian dari proses interaksi antara agama dan teknologi di mana komunitas agama terlibat dalam upaya menjadikan teknologi bagian dari budayanya (Barzilai-Nahon & Barzilai, 2005). Jadi, dapat disimpulkan bahwa gerakan keagamaan sebagaimana ditunjukkan oleh gerakan salafisme bukanlah realitas yang terpisahkan atau bertentangan dengan modernitas dan proses globalisasi, melainkan sebagai bagian integral dari modernitas dan globalisasi itu sendiri.
Daftar Pustaka Adamu, A. U. (2002). Islam and the internet. Diakses pada 12 Oktober 2009 dari http://www.kanoonline.com/publications/islam_and_ the_internet.htm. Adraoui, M.A. (2009). Salafism in France: Ideology, Practices and Contradictions. Dalam R. Meijer (ed.), Global Salafism, Islam’s New Religious Movement (h.364-383). New York: Columbia University Press. Ali, M. (n.d) “The Rise of the Liberal Islam Network (JIL) in Contemporary Indonesia”, The American Journal of Islamic Social Sciences 22:1, h.1-26. Armfield, G. G. & Holbert, R. L. (2003). The relationship between religiosity and internet use. Journal of Media and Religion, 2:3, h.129-144. Barker, E. (2005). Crossing the boundary: New challenges to religious authority and control as a consequence of access to the Internet. Dalam M. Højsgaard & M. Warburg (Eds.), Religion and Cyberspace (h.67–85). London: Routledge. Barzilai-Nahon, K. & Barzilai, G. (2005). Cultured technology. The Information Society 21, h.25-40. Bockover, M. (2003). Confucian values and the internet: A potential conflict. Journal of Chinese Philosophy, 30(2), h.159–175. Campbell, H. (2005). Spiritualizing the internet: uncovering discourse and narratives of religious internet use. Online-Heidelberg Journal of Religions on the Internet, 1: 1.
86
Campbell, H. (2010). When Religion Meets New Media. London: Routledge. Duderija, A. (2007). Islamic groups and their world-views and identities: Neo-Traditional Salafis and Progressive Muslims. Arab Law Quarterly 21, h.341-363. El Fadl, K. A. (2003) The ugly modern and the modern ugly: reclaiming the beautiful in Islam. Dalam O. Safi (ed.), Progressive Muslims, On Justice, Gender and Pluralism (h. 33-77). Oxford: One World. Hasan, N.(2007). The Salafi movement in Indonesia: transnational dynamics and local development. Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East, 27 (1), h.83-94. Hasan, N (2009), “Ambivalent Doctrines and Conflicts in the Salafi Movement in Indonesia”, in Roel Meijer (ed.) Global Salafism, Islam’s New Religious Movement, New York: Columbia University Press, h. 169-188. International Crisis Group (2004). Indonesia backgrounder: Why Salafism and terrorism mostly don’t mix. Asia Report No. 83, Southeast Asia/Brussels. Karim, A. G. (2006), ‘Jamaah Shalahuddin: Islamic student organization in Indonesia’s New Order,’ The Flinders Journal of History and Politics, Vol. 23, h.34-56. Kluver, R. & Cheong, P. H. (2007). Technological modernization, the internet and religion in Singapore. Journal of Computer-
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013 Mediated Communication 12, h.1122-1142. Noorhaidi. (2005) Laskar Jihad: Islam, militancy and the quest for identity in post-New Order Indonesia. Disertasi PhD. Utrecht: The University of Utrecht. Nurdin, A. A. (2005) ‘Islam and State: A Study of the Liberal Islamic Network in Indonesia 1999-2004’, New Zealand Journal of Asian Studies 7: 2, h.20-39.
Schroeder, R., Heather, N., & Lee, R.M. (1998). The sacred and the virtual: Religion in multi-user virtual reality. Journal of Computer-Mediated Communication 4 (2). Wiktorowicz, Q. (2001). The new global threat: Transnational Salafi and jihad. Middle East Policy, VIII (4), h.18-38. Wiktorowicz, Q. (2006). “Anatomy of the Salafi Movement”, Studies in Conflict and Terrorism, 29, h.207-239.
87
Volume II Nomor 1 April 2013 ISSN 2301-9816
JURNAL KOMUNIKASI INDONESIA
Jurnal Komunikasi Indonesia hadir melengkapi khazanah ilmu pengetahuan Indonesia dengan memfokuskan diri pada bidang komunikasi dan media. Berkala ilmiah ini, terbit sekali enam bulan, mempromosikan pendekatan interdisiplin yang mengakomodasi penelitian terkini di Indonesia terkait dengan komunikasi dan media. Jadikan Jurnal Komunikasi Indonesia sebagai referensi kajian komunikasi dan media di tanah air. Biaya berlangganan Rp 80.000 per tahun (dua edisi) atau Rp 50.000 per edisi Hubungi
[email protected] atau 021 78849014; 021 7884901415; 021 7884901418 .........................................................................................................................................
Formulir Berlangganan (Setelah diisi, kirimkan ke Gedung Komunikasi Lantai 3, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok 164240
Saya ingin berlangganan Jurnal Komunikasi Indonesia Nama
: ________________________________________________________
Alamat
: ________________________________________________________
________________________________________________________
________________________________________________________ Berlangganan 1 (satu) tahun mulai Volume ___ Nomor ___ Berlangganan 2 (dua) tahun mulai Volume ___ Nomor ___
_________________, ___________________ Pemohon,
_____________________________________
88
Volume II Nomor 2 Oktober 2013 ISSN 2301-9816
JURNAL KOMUNIKASI INDONESIA
Blog sebagai Medium Karya Fiksi Erotis Penggemar K-pop di Indonesia Afra Suci Ramadhan
Abstrak/Abstract Persinggungan antara budaya populer, internet, dan pornografi menjadi problem ketika kelompok pemuja K-pop mempraktikkan antusiasme menulis mereka melalui karya fiksi penggemar (fan fiction) dalam genre erotis dan mempublikasikannya secara online. Sentuhan erotis menjadi substansi yang terkait erat dengan cerita romantis karya fiksi penggemar K-pop. Banyaknya respon positif terhadap cerita romantis berbalut pornografi mendorong seorang fanatik K-pop untuk membuat blog khusus untuk genre tersebut, yang diberi nama KoreanNC (Korean No Children). Blog ini memiliki rekam jejak traffic yang luar biasa dengan interaksi aktif yang cukup intens. Blog semacam ini tidak luput dari unsur pornografi dalam dunia maya. Meskipun identik sebagai saluran yang lebih personal, blog juga menjadi sasaran dari kebijakan sensor. Tanpa memandang berbagai hambatan, pembaca setia dan penulis tetap mempertahankan interaksi dan konsumsi mereka melalui berbagai saluran, demi memenuhi hasrat terpendam akan karya fiksi penggemar. The intersection between pop culture, Internet, and pornography turns into problematic subject when group of K-pop fanatics exercises their writing passion with erotic genre of fan fiction and publish the work online. Eroticism is a substance that strongly related with romance fan fictions, and represented in many categories of K-pop fan fictions. A K-pop’s fan initiated special blog called KoreanNC (Korean No Children), because she received enormous positive responses for such content. This blog has impressive traffic record as well as intense interaction. However, blog, as the main medium and reference for fan fiction writers and devoted readers, cannot be detached from pornography within cyberspace. The censorship law is applied, despite the fact that the blog is well known as personal medium. Despite of all restrictions, the loyal readers and writers maintain their interaction and consumption through several channels to fulfill their invisible desire toward fan fictions.
Kata Kunci/Keywords blog, budaya pop, perempuan muda, pornografi internet blog, girl, netporn, pop culture,
Pamflet Jl. Kemang Raya no. 83H, Kemang, Jakarta 12720
[email protected]
Pendauluan
B
erkat kemunculan teknologi web 2.0 seperti yang digunakan dalam blog, peran aktif pengakses internet menjadi semakin tidak terbatas. Medium tersebut memberikan fasilitas bagi pengguna untuk membuat dan mendistribusikan isinya sendiri. Fitur ini kemudian dimanfaatkan oleh banyak pihak, tidak hanya dalam konteks politik-ekonomi, tetapi juga pada penyebaran budaya populer hingga isi yang bermuatan pornografi. Segala kemungkinan yang muncul sebagai akibat dari keberagaman isi yang diakses melalui internet membuat wacana tentang pornografi dan budaya populer sema89
Afra Suci Ramadhan, Blog sebagai Medium Karya Fiksi Erotis Penggemar K-pop Indonesia kin berkembang. Meskipun keduanya punya maksud penggemar dengan traffic paling ramai di Indonesia dan tujuan yang berbeda, keterkaitan antara kedua- adalah www.koreannc.wordpress.com (yang menjadi nya memiliki porsi tersendiri di internet. Oleh kare- bahasan utama dalam tulisan ini), yang hanya mena itu, tulisan ini akan membahas blog sebagai me- nampung karya ber-genre romantis-erotis. KoreanNC dium online yang mengakomodasi dua isu tersebut telah dikunjungi lebih dari 41.451.715 kali hingga 10 yang dimanifestasikan dalam karya fiksi penggemar. Januari 2013. Baik pembaca dan penulisnya aktif Blog merupakan salah satu medium yang mere- berinteraksi di dalam dan luar blog seperti Twitter. presentasikan teknologi web 2.0. Meskipun identik Berdasarkan pengamatan selama 2012, sebagian besebagai sarana untuk mempublikasikan catatan har- sar pembaca dan penulis masih berumur di bawah 25 ian personal, blog juga menjadi medium karya tu- tahun (admin situsnya berumur 21 tahun), yang ralis mandiri. Dengan adanya blog, individu ataupun ta-rata adalah penggemar artis K-pop. Blog ini menykelompok bisa mempublikasikan tulisannya untuk ajikan lebih dari satu genre karya fiksi penggemar, tidiakses pembaca di seantero dunia maya. Kehadir-an dak hanya narasi romantis dengan unsur erotis yang blog berkontribusi pada budaya populer sebagai salah eksplisit yang dominan, cerita hubungan sesama jesatu saluran bagi para penggemar untuk mengekpre- nis dan yang mengandung unsur kekerasan juga bisikan diri dan mendistribusikan karya fiksi pengge- sa diakses di dalamnya. Unsur erotis yang muncul di mar, terutama bagi penggemar berjenis kelamin perempuan. K-pop sendiri merujuk tidak hanya pada tipe alir-an musik tertentu tapi lebih kepada gerakan musik dan mulai berkembang sejak era 1990-an hingga saat ini di seluruh dunia (Shin Hyunjoon, 2009). Musik K-pop sendiri identik dengan musik yang mendapat pengaruh dari aliran musik yang berasal dari Amerika seperti R & B, hiphop, tekno, dan sedikit sentuh-an rock. Gerakan ini ditandai dengan kemunculan boy band dan girl band dengan ciri-cirinya bergaya unik disertai tarian. Seiring dengan perkembangannya, Kpop tidak hanya diasosiasikan dengan musik, dengan adanya peningkatan produksi film dan acara televisi. Kon- Gambar 1. Tampilan halaman muka blog KoreanNC. teks K-pop pun menjadi semakin luas. Perkembangan pesat itu juga tidak lepas dari du- dalam karya tersebut mengundang kontroversi baik kungan pemerintah Korea untuk berekspansi ke du- di kalangan pembaca maupun pemilik otoritas yaknia internasional dan mendukung industri hiburan ni apakah blog semacam KoreanNC mangandung undalam negerinya. sur pornografi. Dalam perkembangannya, peringatan K-pop termasuk salah satu budaya populer yang sensor kemudian muncul seiring dengan meningkatkonsisten memanfaatkan media online untuk pe- nya blog traffic, bahkan sejak April 2013 blog ini tinyebarannya di seluruh dunia. K-pop juga telah ber- dak bisa diakses atau resmi disensor oleh pemerinperan dalam mendorong kehadiran situs berbahasa tah. Indonsia yang dikelola secara kolektif untuk menyaBlog memberikan ruang yang leluasa bagi karya jikan informasi seputar artis Korea favorit dan bah- jenis apa pun untuk dipublikasikan secara online, sekan blog pribadi yang menampilkan detail gambar, hingga blog dilihat sebagai medium yang tepat untuk video, atau berita tentang idola mereka. Karya fiksi mempublikasikan tipe karya fiksi penggemar romanpenggemar (fan fiction) merupakan salah satu bentuk tis-erotis. Jika bukan karena blog dan internet, peperan aktif konsumen budaya pop dalam upaya mem- nyebaran karya fiksi penggemar genre ini masih terproduksi isi dengan cara pribadi atau kolektif. Den- batas di kalangan tertentu dan terlalu kontroversial gan menampilkan cerita karya mereka yang didasar- untuk diakses khalayak luas. Kemandirian penggekan pada artis idola beserta fenomena terkait, telah mar dalam mengelola blog mendorong distribusi dan terjadi transfer kuasa atas produsen isi (stardom) ke produksi isi tidak hanya merujuk pada produk butangan konsumen (fandom) K-pop (Noh Sueen, 2001). daya populer yang ada, tetapi juga mempresentasiBerawal melalui zine, karya fiksi penggemar kini su- kan kreativitas mereka dalam membuat isi dengan dah banyak diakses melalui internet, baik yang ter- unsur erotis yang kemudian dianggap sebagai bendapat dalam sejumlah forum online atau yang terse- tuk pornografi. Di sisi lain, budaya populer yang dibar di blog. manifestasikan dalam berbagai produk seperti musik Pada perkembangannya, karya fiksi penggemar atau film juga tidak lepas dari salah satu bentuk repmemiliki berbagai jenis genre dari horor hingga ro- resentasi dengan unsur pornografi. Di tingkat indusmantis. Salah satu genre yang paling banyak mun- tri, produsen bisa menyelaraskan keduanya dalam cul di internet adalah genre romantis. Tidak hanya satu saluran, misalnya film, yang kemudian dikonsebatas kisah percintaan, genre ini kemudian ber- sumsi oleh para penggemarnya. Berbeda dengan isi transformasi dengan tambahan unsur erotis dalam pornografi eksplisit yang beredar di internet, isi yang penceritaannya. Salah satu blog berisi karya fiksi dibuat oleh para penggemar dikemas dalam bentuk 90
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
cerita fiksi romantis (Driscoll, 2006). Sedangkan erotisme dan pornografi memiliki kaitan erat meskipun keduanya berbeda (Rea, 2001). Pornografi sendiri memiliki beragam definisi yang terus berkembang. Tulisan ini tidak akan mendebatkan perbedaan keduanya ataupun definisi itu sendiri, melainkan persinggungannya dengan budaya populer dan perkembangan media yang tercermin dalam bentuk karya fiksi penggemar yang dipublikasikan melalui blog KoreanNC. Keberlangsungan blog yang didukung oleh para pembacanya pada akhirnya terancam oleh wewenang pemerintah Indonesia di dunia maya. Blog yang dianggap sebagai medium de-ngan keleluasaan pada akhirnya tidak lepas dari sensor. Karena dianggap memuat isi pornografi, sejak April 2013 blog tidak bisa diakses, hingga kemudian diberhentikan sementara oleh administrator. Mengingat pandangan negatif terhadap pornografi sendiri sudah ada bahkan sebelum teknologi internet hadir, perkembangan wacana seputar pornografi di internet (netporn) sebenarnya menguji hakikat definisi pornografi yang dianggap terlalu sempit untuk mewakili perkembangannya saat ini (Shah, 2005, h. 32). Pembatasan akses tersebut tidak mengurangi dukungan para pembaca dan penggemar yang disalurkan melalui akun jejaring sosial KoreanNC (Facebook dan Twitter). Pembahasan dalam tulisan ini akan ditekankan pada gambaran mengenai bagaimana blog digunakan sebagai medium untuk mempublikasikan karya fiksi penggemar dengan muatan erotis yang kemudian dianggap mengandung unsur pornografi. Hal tersebut juga menunjukkan bagaimana relasi fans sebagai khalayak dari budaya populer mampu memproduksi dan memanfaatkan blog untuk sirkulasi karya fiksi penggemar dengan kategori spesifik. Selain itu, kajian ini juga menunjukkan bahwa medium blog (atau internet secara lebih luas) tidak menjamin keleluasaan khalayak yang aktif memproduksi karya hasil modifikasi dari budaya populer. Dengan anggapan bahwa isi blog KoreanNC mengandung unsur pornografi, intervensi otoritas pemerintah Indonesia di internet mampu membatasi blog, yang menjadi wadah para penggemar K-pop dalam mengekspresikan diri dan mendistribusikan karya fiksi penggemarnya. Karya Fiksi Penggemar dan Blog sebagai Peluangnya Penggemar seringkali hanya diasosiasikan dalam relasi konsumsi dibandingkan produksi (Jenkins, 1992). Khalayak media merupakan konsumen yang juga memproduksi, pembaca yang juga menulis, dan pengamat yang juga berpartisipasi. Penggemar adalah salah satu contoh simbolik dari pembaca yang berupaya mengkonstruksi makna dan menemukan kenikmatan dalam teks komersial, aktivitas mereka hanya dibedakan oleh tingkat strategi interpretasi yang diadopsi oleh para penikmat budaya massa tersebut (Fiske, 1989). Biasanya, produk budaya yang diciptakan oleh penggemar hanya dianggap sebatas interpretasi personal, bukan sebagai materi budaya yang berdampak khalayak yang lebih luas. Pada kenyataannya, berkat kemajuan teknologi, komunitas penggemar (fandom) berkembang menjadi komunitas yang lebih interaktif dan produktif. Menu-
rut Jenkins, karya fiksi penggemar adalah salah satu produk budaya yang berasal dari aktivitas menulis para penggemar dan dibangun berdasarkan praktik interpretasi oleh komunitasnya, dan kemudian mengambil teks kolektif sebagai dasar untuk membuat cerita baru yang nantinya disalurkan ke berbagai medium. Di satu sisi, klaim bahwa penggemar atau fans juga merupakan produsen sudah sering diangkat. Seperti kajian budaya, teori film kognitif, kritik respon pembaca, dan gerakan teori kontemporer lainnya telah mengidentifikasi seluruh penonton atau penikmat budaya populer sebagai ‘khalayak aktif’ (Lewis, 1992, h. 207). Produksi teks yang didasarkan pada suatu budaya populer tertentu dan menghasilkan berbagai bentuk aktivitas interpretasi. Dalam hal ini kemudian penggemar dilihat sebagai contoh simbolik dari upaya pembaca dalam memproduksi makna dan menggali ketertarikan pada teks komersial yang ada. Penggemar dianggap sebagai ‘khalayak’ dan mereka dilihat secara khusus dalam hal relasinya dengan teks (Jenkins, 1992). Pada kasus yang diangkat kali ini, karya fiksi penggemar tidak hanya memicu interaksi antar penggemar dalam sebuah komunitas yang cair lewat medium blog, tetapi juga memberikan gambaran bagaimana hasil interpretasi yang diproduksi kemudian dibaca kembali dengan lebih interaktif. Istilah Fan Fiction (karya fiksi penggemar) sendiri digunakan untuk menyebut karya tulis yang terinspirasi dari sumber tertentu (yang biasanya disebut sebagai kanon/canon) dan sumbernya bisa dari berbagai macam produk budaya populer (Evans, 2006). Ada karya fiksi penggemar yang terinspirasi dari karya sastra, serial televisi, film, animasi, atau game komputer. Jadi sumber atau kanon tersebut menghadirkan lingkungan atau alam semesta (universe) yang spesifik dan karakter tertentu. Melalui karya fiksi penggemar, fans sebagai produsen bisa menulis berdasarkan lingkungan dan karakter yang sudah ada dengan cerita berbeda, bahkan mereka bisa menggabungkan kedua unsur dari sumber yang berbeda. Umumnya, karya fiksi penggemar jenis ini hanya didistribusikan di kalangan penggemar, karena mulanya para penulis berniat membaginya dengan kelompok pemuja tersebut. Misalnya, karya fiksi penggemar Harry Potter didedikasikan untuk pecinta Harry Potter dan cerita fiksi Detektif Conan ditujukan untuk penggemar yang memahami karakter tersebut. Dan untuk menghindari permasalahan seputar hak cipta atau plot dan setting yang eksperimental, penulis akan membuat penyangkalan (disclaimer) di awal cerita. Seperti layaknya karya sastra atau budaya populer lainnya, karya fiksi penggemar memiliki berbagai macam genre atau kategori. Ada yang dibuat berdasarkan jenis cerita, panjang cerita, atau klasifikasi rating. Berdasarkan pernyataan dari komunitas FFIndo,1 klasifikasi rating dibuat berdasarkan penggunaan bahasa, adegan, dan elemen lainnya. 1
FFindo (Fan Fiction Indonesia) adalah komunitas penulis dan pembaca karya fiksi penggemar di Indonesia yang berkumpul di Facebook dan blog. Karya fiksi ditulis oleh penggemar K-pop. (http://ffindo.wordpress.com).
91
Afra Suci Ramadhan, Blog sebagai Medium Karya Fiksi Erotis Penggemar K-pop Indonesia ngan subur berkat interaktivitas di internet yang memicu budaya partisipatoris (participatory culture) sehingga mendorong perkembangan kontribusi aktif dari penggemar. Salah satu komunitas online yang paling dikenal dalam dunia karya fiksi penggemar di Indonesia adalah Infantrum (Indonesian Fan Fiction Author Forum). Komunitas ini awalnya tumbuh di dalam satu thread di forum FanFiction.net, setelah berkembang dengan pesat, mereka akhirnya mendirikan forum online sendiri (www.infantrum.co.nr ). Forum ini didirikan sejak 2007, dan sejak 2010 hingga kini setiap tahunnya selalu mengadakan penghargaan bagi karya fiksi penggemar berbahasa Indonesia “Indonesian Fan Fiction Award” (IFA). Melalui thread mereka di Fanfiction. net dan forum online di Facebook, Infantrum memelihara komunitas penu-lis dan pembaca karya fiksi penggemar di Indonesia dengan membuat penghargaan tersebut. Hingga pertengahan 2013, jumlah anggota forum Facebook IFA mencapai lebih dari 1.497 anggota.2 Jika di beberapa negara seperti Amerika Serikat perkembangan karya fikGambar 2. Cara penulis menginformasikan genre karya fiksi penggemar si penggemar mulai tumbuh melalui medium zine yang dengan penutup dinamakan “One-Shot” dan cerita dibagikan saat perkumpul-an karya penggemar (Jenbersambung seringkali dinamakan “Chaptered” atau kins, 1992), di Indonesia, forum dan medium online “Series Fic”. lainnya menjadi saluran utama bagi penyebaran dan Kehadiran karya fiksi penggemar sendiri di ta- aksesnya. Forum lebih berfungsi sebagai wadah konah air sudah dimulai jauh sebelum gelombang K- munikasi bagi sebuah komunitas yang menampung pop menerpa Indonesia. Khalayak Indonesia, teruta- banyak ragam cerita dan komunitas penggemar sema kelompok mudanya, sudah familiar dengan karya perti FanFiction.net yang menampung penggemar fiksi penggemar anime atau manga Jepang. Kemah- Harry Potter, Star Wars, hingga artis-artis K-pop dan syuran budaya populer dari Jepang tumbuh berir- komunitas dengan berbagai bahasa. Forum cendeingan dengan penetrasi internet di Indonesia pada rung lebih umum dan mengutamakan interaksi koawal tahun 2000an. Para penggemar anime dan man- munitas atau anggota di dalamnya. Seperti layaknya ga bergabung dalam forum-forum online untuk sal- sebuah teritori, di forum juga terdapat peraturan ing bertukar informasi dan berlanjut pada forum of- atau persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh fline. Meskipun budaya populer Jepang sudah mulai anggotanya. Pembaca pun perlu menjadi anggota terberkembang di Indonesia di awal 1990an lewat serial lebih dahulu jika ingin memberikan komentar terhaDoraemon dan Dragon Ball yang muncul di saluran dap sebuah karya fiksi penggemar yang dipublikasitelevisi hiburan (Shiraishi, 2000, h. 288). Invasi mere- kan di dalam forum. ka di dunia online Indonesia semakin mendorong Lain halnya dengan forum online, blog lebih terpopularitas dan pembentukan komunitas penggemar buka sehingga baik penulis maupun pembaca bisa online, yang gemar berbagi gambar dan cerita. Para berinteraksi lewat komentar tanpa perlu mendaftpenggemar musik pop Jepang seperti Ayumi Hama- ar menjadi anggota. Jika forum memang identik sesaki, L’arc en Ciel dan anime-manga seperti Drag- bagai wadah kolektif, blog sering dipandang sebaon Ball, Detektif Conan mulai mengakses karya fiksi gai sebuah bentuk ekspresi diri seperti jurnal atau penggemar yang ada di LiveJournal dan forum fan catatan pribadi. Karateristik tersebut muncul karena fiction mulai dikenal sebagai referensi. Sejauh ini, pe- struktur inti dari blog memang menyerupai catatan nulis belum menemukan informasi yang menyatakan pribadi (Nardi, Schiano, & Gumbrecht, 2004). Mengkapan karya fiksi penggemar pertama kali berkem- ingat fungsi dasarnya sebagai ekspresi pribadi, blog bang di Indonesia, namun sejak pertengahan 2000an bisa digunakan untuk mengekspresikan opini atau publikasi karya fiksi penggemar berbahasa Indonesia ide seseorang dalam proses berpikir melalui tulisan mulai muncul di forum FanFiction.net yang didiri- yang menunggu untuk dikomentari. Selain sebagai kan sejak 1998 dan menampung jutaan karya fiksi catatan pribadi, blog juga bisa menjadi salah satu penggemar dari berbagai belahan dunia dan bahasa. Forum online ini merupakan forum terbesar bagi karya fiksi penggemar yang menampung cerita dari 2 Forum terbuka IFA di Facebook: http://www.facebook.com/ lebih 30 bahasa (Buechner, 2012). groups/ifaffn/?fref=ts diakses pada 6 Juni 2013 pukul 15.05 Karya fiksi penggemar di Indonesia tumbuh deUntuk pembagian berdasarkan genre biasanya dibagi seperti kategori film, yaitu romantis, komedi, misteri, drama, dan lain-lain. Ada juga yang membagi karya fiksi penggemar berdasarkan rating umur, mirip dengan yang diberlakukan dalam film. Ada “G” (general) untuk dibaca oleh umum, “PG-13” (Parental Guidance for children under 13)” yaitu harus dalam pengawasan orang tua bagi yang berumur di bawah 13 tahun, “NC-17” (No Child under 17) yaitu hanya untuk pembaca di atas 17 tahun, dan lain-lain. Selain kategori jenis cerita dan umur ada juga klasifikasi berdasarkan panjang cerita. Untuk karya sebanyak 100-200 kata disebut dengan “Dribble”, sedangkan bagi cerita yang lebih panjang yang lengkap
92
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
medium untuk mempublikasikan tulisan secara ko- lasi luas, independen, dan tanpa sensor bagi karya lektif. Ada sebagian blog yang isinya tidak personal fiksi penggemar erotis, sehingga para perempuan biseperti diary, yang bahkan di dalamnya memapar- sa dengan sadar berbagi fantasi seksualnya tanpa kan hal yang politis secara eskplisit dalam konteks rasa khawatir (Hansen, 2010). Pembaca dan penulis yang lebih luas. Blog bahkan dilihat sebagai salah di blog KoreanNC sebagian besar adalah perempuan satu alat untuk melakukan aktivisme suatu isu ter- muda yang ingin menyalurkan imajinasi mereka tententu karena strukturnya bisa memuat tulisan dalam tang idolanya. Blog KoreanNC tidak hanya menyejumlah banyak dan bisa menampilkan tipe halaman diakan interaksi pembaca dan penulis sebatas di fitur yang berbeda (Steele, 2011). Pada akhirnya blog komentar blog, KoreanNC juga memiliki fan page di sering menjadi medium instan dalam mempublikasi- Facebook yang hingga kini memiliki hampir 20.000 kan sebuah karya, baik foto, tulisan, maupun karya penggemar dan lebih dari 10.000 pengikut di Twitter. seni. Peluang ini dimanfaatkan oleh para penulis dan Dalam wawancara dengan tiga pembaca setia blog pecinta karya fiksi penggemar. Cerita mereka ten- ini, mereka mengungkapkan bahwa salah satu keletu bukan produk dari sebuah industri yang ada pa- bihan blog seperti KoreanNC adalah menyediakan da arus utama, karya fiksi penggemar membutuhkan materi yang memiliki unsur pornografi namun bisa sebuah ruang independen untuk distribusi ke pem- diakses secara pribadi (dari ponsel atau laptop) dan bacanya, sehingga blog menjadi jalur mudah yang tidak seeksplisit materi lain seperti yang ada di sibanyak dipilih oleh para penulis atau pembaca, baik tus khusus pornografi.3 Hal ini membuat mereka tiatas inisiatif individual maupun kolektif. dak perlu khawatir atas rasa malu atau tidak nyaDi kalangan pecinta K-pop, inisiatif untuk mem- man yang timbul karena menikmati materi semacam publikasikan karya fiksi penggemar dalam blog su- itu. Internet, termasuk blog di dalamnya, bisa diakdah muncul sejak adanya LiveJournal. Namun seba- ses dengan banyak cara dari komputer desktop, lapgian besar karya fiksi penggemar yang bisa diakses top, hingga ponsel. Oleh karena itu, pornografi mendi dalamnya berbahasa Inggris. Biasanya, penulis jadi semakin mudah dan nyaman untuk diakses, karya berbahasa Indonesia akan mempublikasikan terutama oleh kelompok perempuan yang umumhasil tulisannya dalam blog pribadi atau kolektif jika nya tidak biasa mengakses materi tersebut secara sudah memiliki pembaca setia. Inisiatif tidak harus terang-terangan (Hellekson, 2006, h.13; Bleakley, datang dari penulis, bisa juga dari seorang pembaca 2011, h.314). Para pembaca dan penulis KoreanNC atau penggemar yang ingin mengumpulkan banyak pun umumnya menggunakan nama samaran dengan penulis dalam satu blog dengan bertindak sebagai unsur idolanya. pengelola. Blog seperti Fanficindo dan KoreanNC Sejak awal berdiri hingga saat ini, jumlah kateadalah contoh dari sebagian blog yang dibuat untuk gori dan kontribusi para penulis di KoreanNC selamenampung berbagai karya fiksi penggemar yang lu bertambah. Meskipun blog dianggap sebagai medibuat oleh lebih dari satu penulis. Selain menawarkan keleluasaan dalam hal teknis publikasi, medium blog dianggap lebih bebas dalam hal tema isi dan tidak perlu mengikuti peraturan tertentu seperti di forum. Keleluasan inilah yang membuat blog le-bih mudah untuk menampilkan isi yang dianggap sensitif atau vulgar. Dalam ranah K-pop, peselancar dunia maya bisa dengan mudah menemukan karya fiksi penggemar erotis di berbagai situs, baik forum, LiveJournal, atau blog se-perti Wordpress dan Blogspot. Umumnya cerita romantis yang memiliki unsur erotis masuk dalam kategori “Smut” di Asianfanfics.com dan “Yadong” di beberapa blog semisal KoreanNC & Fanficindo. Untuk cerita erotis yang diperankan Gambar 3. Fan page KoreanNC di Facebook oleh pasangan homoseksual diberi kategori “Slash” atau “Yaoi”. Hanya dengan kata kun- dium yang personal, pengelola dan pembuat blog ci tersebut, pengguna internet bisa langsung mem- KoreanNC mengundang hasil karya orang luar unperoleh hasil pencarian yang menampilkan sumber tuk dipublikasikan di blog-nya. Dengan membuat yang beragam. Sebagian besar dari pembaca dan aturan bagi pembaca setia agar selalu memberikan penulis karya fiksi penggemar adalah perempuan; komentar, interaksi di setiap posting selalu aktif. Behal ini tercermin dalam beberapa pengamatan dan berapa posting bahkan mampu menjaring lebih dari penelusuran akun media sosial. Berdasarkan survei 100 komentar. Penulis yang karyanya dipublikasiyang pernah dilakukan Alison Evans (2006), jika dil- kan di blog juga wajib merespon komentar pembaihat berdasarkan jumlahnya karya fiksi penggemar ca. KoreanNC juga memelihara komunitas pembaca di internet didominasi oleh perempuan muda (82%), dan penulis melalui Facebook dan Twitter. Sebagai dengan rata-rata umur 17 tahun. Dalam beberapa studi tentang karya fiksi penggemar kontemporer, internet memang diakui sebagai 3 Informan wawancara diperoleh berdasarkan rekomendasi satu dan yang lainnya dalam satu komunitas pecinta artis K-pop. medium yang menawarkan kemudahan untuk sirku93
Afra Suci Ramadhan, Blog sebagai Medium Karya Fiksi Erotis Penggemar K-pop Indonesia blog karya fiksi penggemar erotis yang paling banyak diakses, KoreanNC bahkan dianggap sebagai pelopor dan rujukan terpopuler untuk kategori romantis erotis. Blog ini pun semakin diakui kehadirannya di tengah para penggemar K-pop, ditandai dengan dukungan dari beberapa komunitas besar K-pop di Indonesia melalui Twitter. Yang menarik dari kegiatan mengakses karya fiksi penggemar melalui internet adalah kemudahan bagi penggemar untuk menempatkan dirinya di komunitas fans yang dia inginkan dan bagi pembaca karya fiksi penggemar, mereka bisa membaca karya dengan jaminan standar tertentu dari berbagai situs karya fiksi penggemar. Lebih dari itu, hubungan antar penggemar juga membangun sebuah rasa memiliki yang dibagi dengan komunitas global dengan ketertarikan yang sama dan interaksi antar penggemar, baik para penulis maupun pembaca. Interaktivitas ini kemudian mengembangkan interpretasi teks yang sebelumnya ditulis, sehingga perkembangan genre dan kategori karya fiksi penggemar semakin beragam dan terus bertambah. Blog KoreanNC: Medium Khusus untuk Interaksi Pembaca dan Penulis Karya Fiksi Penggemar dengan Unsur Erotis Karya fiksi penggemar dengan genre romantis yang umum biasanya disebut dengan istilah “fluff”. Cerita fluff, menurut pembaca KoreanNC, sebagian besar dirasa kurang seru karena plot atau manuvernya mudah ditebak. Bagi mereka, fluff juga terlalu sering mengulang akhir cerita bahagia yang mirip dari satu cerita ke cerita lainnya dan deskripsi umum tentang pasangan yang berkencan bukanlah hal yang menarik. Maka dari itu, cerita romantis yang dibumbui detail erotis dalam mendeksripsikan adegan dengan baik bisa membuat alur lebih berkesan. Meskipun perkenalan para pembaca dengan karya berkategori yadong dan yaoi berawal dari kegemaran membaca cerita romantis, mereka selalu ingin membaca kisah yang lebih menantang dan bergairah. Biasanya pencarian mereka berawal sesuai artis idola kemudian dalam sebuah forum atau blog seperti KoreanNC mereka akan berhadapan dengan ragam cerita dengan karakter yang berbeda. Pada saat itulah mereka menyadari bahwa sekali membaca akan sulit untuk berhenti. Menurut Driscoll (2006), karya fiksi penggemar bisa menjadi bagian dari diversifikasi komersial dari pornografi pada praktik seksual perempuan, tetapi ini juga merupakan salah satu model baru dalam fiksi romantis. Adanya unsur pornografi dalam kisah romantis pada karya fiksi penggemar menunjukkan bahwa genre tersebut tidak hanya cocok untuk digabungkan, tapi juga terkait secara intim. Pengakuan para pembaca bahwa dengan bumbu erotisme, kisah romantis jadi tidak biasa dan lebih menantang membuktikan bahwa romansa dalam karya tersebut dipertahankan oleh keberadaan elemen pornografi. Berikut beberapa kutipan dari karya fiksi yang terdapat di KoreanNC: “…Aku mencoba untuk mengalihkan tanganku, menuju ke atas untuk menyentuh pipinya. Kedua tanganku gemetar ketika aku menyentuh pipinya. Kemudian aku mendorong 94
wajahnya ke arah wajahku, dekat dengan mata seiring dengan wajahnya mendekatiku. Aku pun merasakan bibirnya yang lembut menyentuh bibirku. Aku bernafas terengah-engah dengan hidung. Wajar saja, itu adalah ciuman pertamaku…” “… Aku tersenyum dan merangkul pinggulnya, mengunyah bibirnya. Gerakan tersebut sengaja dilakukan untuk menutup bibirku agar tidak berteriak. Rasanya enak sekali. Jarinya menyentuh g-spotku. Aku mengigit bibirnya, dan ternyata sangat menikmati caranya menelusuri wilayah sensitif di sekitar tubuhku…”4 Kisah romantis, meskipun dibalut dengan erotis, mungkin terkesan klise, namun kemampuan penulisnya untuk menggiring pembaca dengan deskripsi detailnya cukup mengesankan. Setiap adegan dalam karya fiksi penggemar yang terdapat di blog KoreanNC dijelaskan dengan begitu nyata dan adegan seksual pun dideskripsikan secara bertahap. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu pembaca setia KoreanNC, kemampuan menulis pengarang karya fiksi penggemar sangat ekspresif sehingga mampu membuat pembaca membayangkan adegan-adegannya secara jelas. Beberapa jalan cerita dan deskripsi yang pernah dibuat oleh para pengarang bahkan sempat muncul dalam bayangan pembaca. Cerita tersebut dianggap membuat fantasi mereka menjadi lebih konkret. Bagi Driscoll (2006), karya fiksi penggemar semacam ini merepresentasikan romantisme dan hubungan seksual yang mirip dengan kenyataan, seperti yang bisa ditemui di pornografi kategori amatir. Dalam kerangka narasi romantis yang erotik, tingkat keintiman dan romantisme biasanya berbanding lurus dengan adanya peningkatan manuver seksual. Adanya unsur erotis dalam karya fiksi penggemar tidak terlepas dari fantasi para penggemar itu sendiri, bahkan dalam konteks sebuah karya fiksi penggemar, imajinasi pengarang tidak dibatasi. Driscoll (2006) juga menambahkan bahwa dalam wacana di kalangan komunitas karya fiksi penggemar, kisah romantis dan pornografi dianggap berlawanan, padahal genre ini bukan masing-masing kutub yang ada di ujung skala, melainkan titik di antaranya, sehingga bisa saja setiap cerita dianggap kurang atau lebih romantis dan kurang atau lebih porno. Pada dasarnya semua karya fiksi penggemar dalam kategori ini mengandung dua unsur tersebut. Lain dengan pendapat salah satu pembaca, menurutnya, konten di dalam KoreanNC bukanlah bentuk pornografi, cerita yang ada di dalamnya hanyalah kisah romantis berbalut adegan intim. Karena menurutnya KoreanNC tidak menampilkan gambar yang vulgar dan bahasa yang ia anggap jorok. Sedangkan dua pembaca lainnya menyadari bahwa KoreanNC merupakan wadah bagi cerita yang dianggap porno dan hal tersebut membuat mereka sering merasa bersalah saat menikmati cerita tertentu. KoreanNC sendiri diinisiasi oleh seorang perem-
5
Diakses di http://koreannc.wordpress.com/library/ pada 15 Januari 2013 pukul 23.35 WIB.
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
puan pecinta K-pop, yang pertama kali menerbitkan good story d^^b”. posting pada Oktober 2010 tentang seorang gadis yang jatuh cinta dengan kakak laki-laki tirinya. Wak “Kyahhhhhh chinguya, ternyata sequeltu itu inisiator yang saat ini bertindak sebagai admin nya udah muncul *sumpah seneng banget* (singkatan dari administrator atau pengelola), masih di season 1 dulu aku nemu ff ini di korean nc aku berumur 21 tahun. Berdasarkan tanya jawab yang udah ketingggalan ampe end, tapi aku komen di dilakukan melalui surel dengan admin, dia tidak mebagian ending-nya kok, kalo chinguya masi ingat miliki tujuan spesifik saat menciptakan KoreanNC. aku udah jatuh cinta sm ff ini sejak pertama baNamun dia menyadari bahwa modernisasi dan gloca, nyesek-nyeseknya dapet banget, meski berabalisasi telah mengubah cara pandang sebagian makhir sad aku yakin dirimu pasti buat sequel-nya syarakat terutama dalam hal nilai dan norma yang dan aku mulai putus asa saat korean nc di-pridianut. Dia mengakui bahwa blog adalah wadah yang vate T.T pokoknya daebak dehhh luuuupphh tepat untuk mempublikasikan cerita seper-ti itu, tanu:*” pa perlu khawatir dianggap menyimpang. Menurutnya, di satu sisi blog lebih tersegmentasi, hanya dikeDilihat dari interaktivitasnya, para pembaca metahui oleh pecinta K-pop atau karya fiksi penggemar. mang cenderung tidak menitikberatkan tanggaNamun di sisi lain, blog yang terbuka bisa diakses pan mereka pada unsur erotisnya, melainkan pada oleh publik di mana dan kapan saja. Dengan kesada- plot cerita, karakter, dan kesimpulan cerita. Meskiran untuk memiliki kontrol terhadap interaksi dan pun peng-akuan terhadap bagian erotis yang terisi dalam blog, dia bertindak sebagai admin tunggal. dapat dalam cerita tidak muncul secara eksplisit, elDialah yang menyeleksi tulis-an yang dikirim oleh emen erotis terbukti membuat cerita menjadi lebih para pengarang, sekaliseru dan bahkan bisa memgus bertindak sebagai buat konflik cerita menjadi pembuat peraturankompleks. Erotisme pun kernya. Setelah lebih dari ap digunakan sebagai twist dua tahun, admin bisa atau bagian yang tidak termenerima lebih dari 20 duga dalam plot cerita. Sepcerita setiap minggu, erti pendapat para pembaca namun dia hanya memyang diwawancarai, erotisme batasi untuk mempudiakui sebagai bagian pelengblikasikan satu cerikap yang menjadikan cerita ta setiap bulan. Selain lebih menantang dan tidak menampilkan kisah rodatar. Terlebih, unsur eromantis berunsur erotis tisme di dalam cerita mendodalam kategori yadong rong fantasi pembaca karena atau smut, KoreanNC deksripsi yang disajikan penjuga menampung kisah ulis cukup detail. Ada pemberkategori yaoi dan baca yang tidak menganggap yang memiliki unsur karya fiksi penggemar tersekekerasan atau angst. but pornografi karena menuSelain melalui warutnya setiap adegan bisa wancara dengan bebesaja diimajinasikan secara rapa pembaca setia Ko- Gambar 4. Contoh interaksi antara pembaca dan berbeda oleh pembacanya. reanNC, antusiasme Pilihan kata yang digunakan penulis. pembaca blog ini juga oleh para pengarang juga bunampak dari interaksi pembaca dan penu-lis di ba- kan kata yang tidak pantas dibicarakan sehari-hari. gian komentar (comments) pada blog. Berdasarkan Kerangka para pembaca dalam menikmati karya wawancara via surel, admin KoreanNC mengakui fiksi penggemar di KoreanNC tidak dibatasi oleh erbahwa terus bertambahnya cerita di KoreanNC salah otisme, tetapi ditentukan oleh unsur karakter, plot satunya didorong oleh tingginya antusiasme dan in- cerita, atau bahkan kanon yang mendasari karya fikteraktivitas pembaca yang tercermin dalam komen- si penggemar tersebut. Kemudian batasan apa yang tar. Berikut beberapa kutipan komentar dari pemba- dianggap pornografi dan apakah cerita tersebut meca karya fiksi penggemar bersambung (chaptered), miliki pengaruh tertentu bagi pembacanya menjadi ber-genre yadong dan yaoi yang berjudul “Sex Save”: sesuatu yang tidak bisa diartikan secara sempit. Sesuai dengan alasan pendiri blog KoreanNC, me “Anyeoong (halo) ^^ dium blog dipilih karena karakternya cocok untuk meski rada cengo (be-ngong) karemempublikasikan karya fiksi penggemar ber-genre na aku langsung baca season 2 ini, (T_T) romantis-erotis. Tentu medium ini cocok untuk isi tutapi tetep aja ceritanya bisa diikuti, lisan panjang sehingga bisa dimanfaatkan sebagai karena aku belum tau apa dan bagaimana bentuk publikasi mandiri. Kemandirian ini membericerita sex save season 1 berjalan, tapi kurasa kan keleluasaan pembuatnya untuk menentukan isi tidak ada salahnya mengikuti dari awal seablog itu sendiri. Berbeda misalnya dengan forum onson 2, mianhe (maaf) author, huhuhu anline seperti fanfiction.net yang punya peraturan dan dai aku sempat baca tentang sex save 1,,, ketentuan khusus. Tidak seperti situs biasa, blog bisalam kenal, miku imnida ^^ asanya memuat isi yang lebih personal atau untuk mianhe tanpa ijin menikmati ceritamu, it’s a segmentasi tertentu dan isinya mudah untuk diper95
Afra Suci Ramadhan, Blog sebagai Medium Karya Fiksi Erotis Penggemar K-pop Indonesia barui. Seperti fasilitas lain yang ada di internet, blog juga memberikan ruang untuk anonimitas baik bagi pihak yang mengunggah posting maupun pembaca yang memberi komentar. Penyebaran tautan juga tidak memerlukan iklan atau banner. Tautan blog dengan kategori tertentu disebarkan dari satu blog ke blog lainnya. Dengan fitur komentar yang bisa dimoderasi atau tidak, blog mendorong interaksi dua arah sehingga lebih kolaboratif seperti situs jejaring sosial. Dan yang dianggap paling penting bagi pendirinya, blog tidak seperti media cetak atau elektronik yang berada di bawah kontrol otoritas (dalam hal ini pemerintah). Hasil karya fiksi penggemar dengan genre seperti ini tentu sulit untuk dipublikasikan dalam media konvensional atau bahkan situs yang lebih mapan. Blog menjadi alternatif utama bagi mereka yang ingin mempublikasikan karya tulis yang bukan arus utama dan kontroversial, seperti di KoreanNC. Ketika jumlah pengunjung blog KoreanNC meningkat dengan tajam dan penyebarannya sudah menjangkau lebih banyak pembaca, KoreanNC menjadi sorotan. Jika dibandingkan dengan blog lain yang mempublikasikan karya fiksi penggemar, KoreanNC termasuk yang paling spesifik. Blog ini hanya memuat karya fiksi penggemar dengan kategori romantis-erotis seperti “yadong” dan “yaoi” dan semua karya fiksi penggemarnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Di Indonesia, tidak banyak situs yang berani mengangkat genre seperti ini dalam bahasa Indonesia dan sebagian besar ditulis oleh perempuan muda. Unsur erotis yang terdapat di berbagai karya fiksi penggemar KoreanNC dianggap terlalu vulgar dan menampilkan unsur pornografi. Anggapan yang dibenarkan oleh pembaca dan pendiri ini tidak dianggap penting karena blog dianggap sebagai medium yang lebih khusus. Oleh karena itu diharapkan para pengunjung yang sudah diperingati menyadari konsekuensi dari isi yang dibaca meskipun admin telah memberi peringatan di halaman awal. Karya Fiksi Penggemar dalam Blog KoreanNC: Pornografi 2.0 “The law of cyberspace is largely the law of pornography” (Bartow, 2008, h.101). Kasus dan perdebatan seputar pelarangan isi, hak cipta, nama domain, anonimitas, dan privasi berasal dari beberapa hal yang terkait dengan penyedia, konsumen, atau bahkan yang diduga sebagai penentang pornografi. Bahkan sebelum internet mendominasi dalam kehidupan sehari-hari. Bagi pandangan konvensional, pornografi adalah tampilan visual tertentu yang membatasi antara peraga dan penontonnya dengan jelas (Shah, 2005). Jika sebelumnya pornografi dikenal lewat film dan bentuk awal lainnya bergantung pada mempertontonkan tubuh, pornografi di internet atau disebut dengan netporn, justru memisahkan ketergantungan tersebut. Menurut Shah (2005), momen impas dari netporn, tidak seperti pendahulunya, yaitu ditandai dengan orgasme secara fisik oleh si produsen atau konsumen citranya, tetapi digambarkan dalam gairah atau orgasme yang diproyeksikan oleh pengisi konten atau pengguna alat virtualnya. Bersamaan dengan berkembangnya teknologi me96
dia, bentuk materi yang dianggap pornografi menjadi semakin kompleks dan menimbulkan beragam perdebatan. Jika sebelumnya dianggap sebagai pengaruh negatif, beberapa studi melihat bahwa netporn memberikan alternatif bagi para perempuan, yang belum terbiasa dengan paparan bentuk pornografi vulgar. Seperti dalam karya fiksi penggemar erotis yang menampilkan cara lain untuk mengkomunikasikan citra mainstream dari pornografi yang diakses laki-laki. Cara tersebut memberi ruang bagi erotika, sesuatu yang diasumsikan oleh perempuan sebagai unsur yang terpisah atau berbeda dengan seks atau kenikmatan seksual (Driscoll, 2006, h. 85). Karya fiksi penggemar romantis bercampur erotis adalah contoh untuk menggambarkan materi pornografi yang diproduksi dan dinikmati oleh perempuan, terutama dalam konteks KoreanNC adalah perempuan muda. Kedua elemen tersebut, fiksi romantis dan pornografi, sebagai bagian dari budaya populer dan ketika memasuki ranah publik, dipandang sebagai sesuatu yang inferior secara estetis, ambigu secara moral, dan gambaran akan rasa ingin tahu. Setelah melakukan studi selama lebih dari enam bulan terhadap KoreanNC, pada April 2013, akses terhadap blog tersebut tidak dapat dibuka. Pihak KoreanNC, seperti yang tertera di akun Facebook dan Twitter-nya, menyatakan bahwa blog akan dinonaktifkan selama beberapa bulan dengan alasan tertentu yang tidak bisa dijelaskan. Selang beberapa hari, KoreanNC dinyatakan telah diblokir dengan peringatan “Situs yang Anda buka tidak dapat diakses” dengan gambar slogan “Internet Positif”. Respon tersebut mungkin berbeda untuk tiap penyedia layanan internet di Indonesia. Menurut admin KoreanNC, blognya diubah menjadi privat agar pengakses luar tidak bisa masuk kecuali jika diberikan kata sandinya. Jauh sebelum admin menonaktifkan blog ini, KoreanNC sudah pernah mengalami pembatasan beberapa kali dan biasanya berbeda jenis pembatasannya tergantung penyedia layanan internet. Pada Januari 2013, muncul keluhan dari pembaca bahwa mereka tidak bisa membuka KoreanNC melalui Blackberry karena KoreanNC dianggap blog dewasa sehingga beberapa penyedia layanan internet memblok situs. Admin kemudian mengantisipasi hal ini dengan cara mengubah mode blog KoreanNC menjadi blog yang hanya bisa dibuka oleh pengguna internet di atas 17 tahun. Cara ini juga tidak berhasil, sebagian besar pembaca tetap tidak bisa mengakses KoreanNC jika menggunakan layanan internet tertentu. Pemblokiran blog yang dilakukan pemerintah dengan tuduhan bahwa konten blog tersebut mengandung unsur pornografi merupakan bentuk perlawanan dari apa yang disebut dengan pornografi 2.0. Menurut Bartow (2008), berbeda dengan pornografi arus utama, konten pornografi 2.0 tidak didistribusikan melalui saluran tradisional dengan prinsip dagang pada umumnya yang bermotif “mencari keuntungan”. Konten pornografi 2.0 didistribusikan melalui internet secara nonkomersil. ‘Pengguna’ diasumsikan mengunggah dan mengunduh pornografi, kemudian mengunggah hasil karyanya dan nantinya mengunduh hasil karya lain yang diunggah oleh pengguna lain. Distribusi isi pornografi dengan tipe seperti ini diasumsikan berada di luar radar sorotan otoritas dan menyebar dengan begitu cepat ser-
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
Indone-sia dengan penggemar dan komunitas yang cukup banyak, telah menjadi salah satu ruang aman bagi perempuan untuk memenuhi hasratnya, atau minimal rasa ingin tahunya tentang cerita fiksi erotis. Perlu dicatat bahwa ada lebih banyak pornografi di internet dibandingkan cerita fiksi penggemar, dan pornografi di internet didistribusikan secara anonim/nama samaran serta secara publik dan nampak Gambar 5. Peringatan ‘Internet Positif’ terhadap situs KoreanNC. dengan intens (Driscoll, 2006). Pornografi merupakan unsur yang suta biasanya anonim sehingga tidak mudah ditelusuri. lit dihindari di ranah dunia maya dan seringkali diaBudaya partisipasipatoris yang berlaku dalam kon- sosiasikan dalam format visual. Sehingga apa yang teks budaya populer juga menjalar ke ranah porno- disajikan oleh blog KoreanNC tidak de-ngan mudah grafi. Blog sebagai salah satu manifestasi teknologi diidentikkan dengan pornografi. Namun definisi por2.0 tidak lepas dari konteks ini, bahkan blog diang- nografi pun terus bertransformasi seiring perkemgap sebagai salah satu medium yang mampu mendis- bangan medium itu sendiri (Jacobs dkk, 2005, h. 3). tribusikan pornografi secara masif dan terus diperba- Pihak yang memiliki pandangan positif akan kerui. Bahkan menurut Bradford (2010), para blogger beradaan pornografi–terutama yang bersifat le-bih memandang diri mereka berada dalam garda de- personal dan subliminal, selalu dihadapkan denpan dunia pasca-pornografi (“bloggers do see them- gan kontrol dari otoritas. Meskipun pembatasan atau selves at the vanguard of a post-pornography world”). sensor di internet dianggap sebagai hal yang mustaFleksibilitas blog juga mendorong keberadaan blog hil, ada upaya yang muncul dari otoritas untuk menseks yang kebanyakan nonkomersil dan dibuat oleh gatur ranah internet. Aktivitas tersebut terus dilakukan dengan alasan mencegah dampak buruk. Salah perempuan. Akibat dari globalisasi, internet, dan meluasnya satu kasus yang mengaitkan blog, pornografi, dan berbagai bentuk budaya populer, liberalisasi seksu- seksualitas perempuan dengan baik adalah blogger al semakin dirasakan oleh kelompok anak muda di perempuan di Republik Rakyat Cina, Muzi Mei. Ia Asia sehingga menggiring mereka ke dalam revolu- mengunggah cerita pengalamannya bercinta dengan si seksual (Farrer, 2007). Sebagai medium yang di- banyak pria di blog pribadinya pada 2003. Seketika dominasi oleh laki-laki (Lim, 2011), internet memang blog-nya menjadi populer dan mengundang kontrobelum nampak sebagai ruang yang cukup progresif versi di negara dengan rezim otoriter tersebut. Hingbagi perempuan untuk memenuhi hasrat seksualnya. ga pemerintahnya kemudian memblokir blog, hasil Seperti yang dikemukakan oleh Cumberland (2000), pencarian, melarang penerbitan buku tentang Muzi paradoks internet sebagai medium yang bisa diak- Mei, dan memantau keseharian Muzi Mei. Di Indonesia sendiri, perlawanan terhadap libeses secara publik namun memungkinkan bagi penggunaan identitas anonim dan berlaku sebagai ruang ralisasi seksual tersebut semakin jelas disuarakan privat telah memberikan kesempatan bagi perem- dalam Undang-undang tentang Pornografi (UU Porpuan yang memiliki akses untuk menciptakan ruang nografi) tahun 2008. Dalam UU tersebut dijelaskan, permisif dan transgresif seperti yang sebelumnya setiap materi yang berhubungan dengan seks dianghanya dimiliki oleh laki-laki dalam klubnya. Perbe- gap merusak moral masyarakat. Kebijakan tersebut daan pornografi biasa dengan pornografi 2.0 direpre- merupakan representasi dari debat tanpa ujung tensentasikan dengan baik oleh blog seks ataupun ero- tang pembatasan isi di internet yang biasanya mengtis. Blog seks menjadi menarik karena medium ini gunakan alasan moral masyarakat dan ancaman dari mengupayakan apa yang tidak bisa dilakukan oleh arus informasi yang tidak terkontrol (Lim, 2011). Sepornografi biasa sejak lama, yaitu merepresentasi- bagai tindak lanjut dari kebijakan ini, Kementerian kan seksualitas perempuan yang sesungguhnya (Wil- Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mulai menjalankan kontrol terhadap isi online yang seliams, 1999). Baik admin KoreanNC, para pengarang cerita, bagian besar berlaku untuk situs yang mengandung serta pembacanya rata-rata menggunakan nama sa- materi pornografi. Kebijakan tersebut langsung dimaran dengan foto profil yang tidak memperlihatkan implementasikan oleh para penyedia layanan interwajah asli (biasanya memasang wajah artis K-pop). net di Indonesia, sehingga para pengguna mulai keDengan menggunakan nama samaran atau anonim sulitan mengakses situs dengan unsur-unsur berbau ketika tampil di internet, perempuan bisa langsung seks, meskipun tidak selalu berarti pornografi. Dalam jawaban yang diberikan oleh admin Koreberinteraksi—baik pembaca dengan pengarang atau sebaliknya—tanpa mengambil risiko terkait iden- anNC dijelaskan, pembatasan pengakses dalam fititas mere-ka. Di era sebelum internet hadir di ten- tur blog memang dilakukan untuk kebaikan penggegah masyarakat, para pembaca karya fiksi pengge- mar juga. Agar tetap bisa berinteraksi dengan para mar erotis hanya bisa mengakses cerita semacam itu penggemarnya, admin membuat laman Fan Page jika ada pertemuan atau konferensi para penggemar Facebook dan Twitter KoreanNC. Admin tidak bisa dan disebarkan melalui bentuk zine (Cumberland, memberikan jawaban terkait pemblokiran situs yang 2000). KoreanNC, sebagai wadah khusus yang ditu- dilakukan oleh pemerintah. Kemungkinan, meskijukan bagi karya fiksi penggemar erotis berbahasa pun tidak menyajikan pornografi secara visual (sep97
Afra Suci Ramadhan, Blog sebagai Medium Karya Fiksi Erotis Penggemar K-pop Indonesia erti situs yang diblok pada umumnya), tingginya traffic di situs tersebut bisa saja menimbulkan kecurigaan pihak terkait. Ia juga mengasumsikan bahwa pe-ngunjung yang berusia di atas 17 tahun sudah bisa menentukan pilihannya sendiri. Jika blog-nya dianggap sebagai sesuatu yang negatif, pengunjung berhak untuk meninggalkan blog dan sebaliknya. Ia menekankan bahwa internet adalah ruang yang leluasa di mana penggunanya bisa datang dan pergi, mengaktifkan atau menonaktifkan, semua keputusan ada di tangan penggunanya. Jika pengunjung menikmati karya fiksi penggemar erotis di KoreanNC, mereka dipersilahkan mengisi komentar dan bagi yang ingin berkontribusi bisa mengirimkan karyanya lewat surel. Kendati blog kini sedang diblokir, admin meyakinkan bahwa pemblokiran hanya sementara dan ia punya banyak cara untuk mengaktifkan wadah ini lagi. Sementara ini beberapa cerita diunggah melalui Facebook (hingga Agustus 2013). Menurut Shah (2005), hukum sebenarnya tidak mampu berurusan dengan dinamisnya kualitas pornografi di internet dan segala kemungkinan bahwa pornografi tidak selalu muncul dalam bentuk ‘vulgar dan mengundang nafsu’. Lebih jauh lagi, upaya tersebut tidak bisa menangani materi seksual dalam bentuk digital yang bisa didistribusikan dengan sangat mudah, atau hakikat pornografi sebagai sesuatu yang subversif dalam interaktivitas berselancar para pengguna internet. Berdasarkan studinya, Shah mengemukakan bahwa pihak yang berkepentingan hendaknya mengubah pandangan mereka terhadap pornografi dari kerangka moral dan kevulgaran menjadi sesuatu yang ada dalam satu paket dari arus informasi pada konteks globalisasi. Daripada membatasi akses terhadap internet yang ia anggap akan berakhir percuma, lebih baik memberikan edukasi bagi para pengakses atau pengguna internet. Mengingat pada akhirnya, keputusan dan kebijaksanaan
tergantung pada individu. Biar bagaimanapun, bagi perempuan muda yang memiliki akses terhadap internet, blog atau salur-an digital lainnya berhasil menciptakan ruang yang permisif untuk hasrat yang sebelumnya hanya dimiliki oleh laki-laki dan ditampung dalam media mereka (Cumberland, 2000). Banyak dukungan yang dilontarkan di Twitter dan Facebook oleh penulis dan pembaca KoreanNC agar admin kembali membuka akses bagi pembaca. Hal ini membuktikan bahwa ribuan perempuan muda yang mengakses tidak keberatan dan bahkan menikmati karya fiksi penggemar yang disajikan blog tersebut. Kekecewaan pembaca jika aksesnya dibatasi sudah mulai naik ke permukaan sejak KoreanNC sulit diakses melalui penyedia layanan internet tertentu. Berbagai upaya juga dilakukan admin agar blog ini tetap berjalan seperti biasa, meskipun ia harus menggunakan berbagai trik untuk mengakali larangan. Dalam pandangan Driscoll (2006), pornografi dan kisah romantis memiliki sejumlah kesamaan akan kontribusinya dalam kuasa sistem jender yang menentukan praktiknya, serta dalam menggerakkan khalayaknya, meskipun keduanya memiliki pendekatan yang berbeda. Segala pembatasan yang dilakukan baik oleh sesama pengguna internet maupun pihak yang berkuasa tidak mampu memisahkan keduanya dalam sebuah karya fiksi penggemar, karena terkait erat dan saling melengkapi. Blog sebagai salah satu medium yang tersedia di internet memberikan berbagai kemungkinan untuk dimanfaatkan sebagai wadah ekspresi perempuan muda, yang selama ini terpendam dengan meminjam materi dan citra dari budaya populer. Dan apakah batasan yang diberlakukan oleh pihak pemilik otoritas sanggup menghentikan ekspresi tersebut, jawabannya tergantung pada upaya dari pengelola blog, pengarang, pembaca, serta komunitas penggemarnya.
Daftar Pustaka Bartow, Ann. (2008). Pornography, Coercion, and Copyright Law 2.0. Diunduh pada tanggal 19 Juni 2013 dari http://works.bepress. com/ann_bartow/31. Bleakley. Amy, Hennessy. Micahel, & Fishbein. Martin. (2011). A Model of Adolescents' Seeking of Sexual Content in Their Media Choices. Journal of Sex Research, 48(4), h. 309-315. Bradford, Julie. (2010). Rewriting the Script: Women, Pornography and Web 2.0. University of Sunderland. Cumberland, Sharon. (2000). “Private Uses of Cyberspace: Women, Desire, and Fan Culture.” Driscoll, Catherine. (2006). One True Pairing, The Romance of Pornography and The Pornography of Romance. Dalam H. Karen & B. Kristina. Fan Fiction and Fan Communities in the Age of the Internet (h. 79-95). North Carolina: MacFarland & Company. Evans, Allison. (2006). “The Global Playground: Fan Fiction in Cyberspace”. Disertasi untuk program Children’s Literature di Roehampton University. Farrer, James. (2007). "Asian Youth Culture in a Globalizing World: Networked and Not Inhibited." Hansen, Brita. (2010). “The Darker Side of Slash Fanfiction on The Internet”. Dalam Aris Mousoutzanis & Daniel Riha. New Media and The Politics of Online Communities (h. 51). Oxfordshire: Inter-Disciplinary Press. Jenkins, Henry. (1992). Textual Poachers: Television Fans and
98
Participatory Culture. New York-London: Routledge. Lim, Merlyna. (2011). "Democratization and Corporatization of Media in Indonesia". Participatory Media Lab and Ford Foundation Nardi, B. A., Schiano, D. J., & Gumbrecht, M. (2004). Blogging as Social Activity, or, Would you let 900 million people read your diary? ACM Conference on Computer Supported Cooperative Work, (h. 222-231). Noh, Sueen. (2001). Reading YAOI Comics: An Analysis of Korean Girls' Fandom. Presented in academic conference of Korean Society of Journalism and Communication Studies. Rea, Michael C. (2001). What is Pornography? Dalam Nous 35:1. h. 118-145 Shah, Nishant. (2005). PlayBlog: Pornography, Performance, and Cybersphere. Dalam Jacobs. Katrien, Janssen. Marije, & Pasquinelli (Eds.), C’lick Me: A Netporn Studies Reader (h. 32). Amsterdam: Institute of Network Cultures. Shiarishi, Saya S. (2000). “Doraemon Goes Abroad”. Dalam Timothy J, Craig. Japan Pop!: inside the world of Japanese culture. New York: M.E. Sharpe. h.288. Steele, Catherine Knight. (2011). Blogging While Black: a critical analysis of resistance discourse by black female bloggers. Chicago: University of IIllinois. h.3. Williams, L. (1999) Hard Core: Power, Pleasure and the “Frenzy of the Visible”. Berkeley: University of California Press
Volume II Nomor 2 Oktober 2013 ISSN 2301-9816
JURNAL KOMUNIKASI INDONESIA
Buku Pengembangan Diri Islami, Kepengaturan, dan Ideologi Islam Hariyadi Abstrak/Abstract Buku pengembangan diri islami adalah buku-buku yang memberikan saran kepada anakanak muda mengenai bagaimana berperilaku atau bertindak sesuai dengan ajaran Islam. Buku-buku ini ditulis dengan uraian yang ringan dan bahasa sehari-hari, seperti yang digunakan oleh buku gaya hidup sekuler dan pengembangan diri untuk remaja. Dengan menggunakan perspektif Foucauldian, studi ini menemukan bahwa, seperti halnya buku pengembangan diri di Amerika, buku pengembangan diri islami juga dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk ‘pengaturan’. Para penulis buku pengembangan diri islami menggunakan teknologi manusia dalam wacana pengembangan diri untuk menanamkan nilai-nilai tertentu. Selain itu, ditemukan pula bahwa wacana buku pengembangan diri islami berkaitan dengan ideologi tertentu dari gerakan tarbiah. Gerakan Islam kontemporer tersebut sedang populer di Indonesia dan banyak penulis buku pengembangan diri islami berasal dari gerakan ini. Islamic self-help books are books that advise young people how to behave or act in accordance with Islamic teachings. They are written in friendly, colloquial language, like ‘secular’ lifestyle and self-help books for youth. Using a Foucauldian perspective, I found that, as with self-help books in America, Islamic self-help books in Indonesia could be categorised as a form of ‘governmentality’. The authors of Islamic self-help books employ human technologies of the self-help discourses in the endeavour to nurture particular values. I also found that the discourses of the Islamic self-help books resonate not only with the American self-help books but also with a particular ideology of the Tarbiyah movement, the increasingly prominent contemporary Islamic movement in Indonesia, to which many Islamic self-help writers belong.
Kata Kunci/Keywords Buku, Islam, pengaturan, pengembangan diri Book, Islam, governmentality, self-help
Universitas Jenderal Soedirman Jl. HR Boenyamin 708 Purwokerto
[email protected]
Pendahuluan
D
alam artikel ini, buku yang dibahas adalah buku pengembangan diri islami di Indonesia, terutama yang ditujukan bagi remaja. Buku pengembangan diri islami merupakan percampuran dari publikasi islami dan buku pengembangan diri. Pertama, didiskusikan kemunculan genre buku pengembangan diri yang berawal dari Amerika. Kemudian, didiskusikan peran penting yang dimainkan oleh para aktivis muslim; terutama kelompok Forum Lingkar Pena (FLP), dalam mengembangkan buku pengembangan diri di Indonesia. Setelah itu, dikaji wacana buku-buku pengembangan diri islami. Artikel ini dibuat berdasarkan kerja lapangan yang dilakukan di Jakarta dan Bandung selama 99
Hariyadi, Buku Pengembangan Diri Islami, Kepengaturan, dan Ideologi Islam November 2010-Maret 2011, sehingga buku-buku yang dianalisis dalam artikel ini adalah buku-buku yang dibaca oleh para informan (mahasiswa/i). Untuk menganalisisnya, digunakan pendekatan Foucauldian yaitu ‘kepengaturan’ (governmentality). Saat dilakukan analisis, ditemukan kaitan kuat antara wacana buku pengembangan mandiri islami dengan ideologi jemaah tarbiah, sebuah gerakan Islam budaya-sosial-politik populer di Indonesia. Buku Pengembangan Diri di Amerika Menurut Campbell dan Smith (2003, h. 177), dalam banyak kasus, istilah ‘pengembangan diri’ telah digunakan sebagai sinonim dari ‘biblioterapi’.1 Secara umum, buku pengembangan diri menyajikan penyimpangan perilaku dalam kehidupan sehari-hari, menyajikan identifikasi dan empati, memberikan harapan dan gagasan, menawarkan nasihat konkret serta teknik untuk memecahkan atau meringankan persoalan (Norcross, 2000, h. 370). Wilson dan Cash (2000, h. 120) berpendapat bahwa setiap tahun, jutaan orang beralih ke buku-buku ini untuk mendapat nasihat, gagasan, dan inspirasi dalam menyelesaikan masalah mereka baik personal maupun interpersonal. Menurut mereka, buku-buku pengembangan diri yang mendorong prinsip ‘lakukan sendiri’ mulai tumbuh pesat pada tahun 1970an. Sejak saat itu, bukubuku tersebut mulai menarik perhatian segmen pembaca yang besar di Amerika Serikat, tempat genre buku pengembangan diri, motivasi, peningkatan mandiri, atau manual kesuksesan berkembang pesat. Meski populer, buku-buku pengembangan diri telah banyak dikritik karena kekurangannya yang mendasar, yakni menerjemahkan nilai-nilai yang berasal dari dunia industri ke dalam tataran yang lebih personal di ranah privat (McGee, 2005, h. 176). Nilainilai industri, seperti memaksimalkan keuntungan, mungkin tidak tepat untuk hubungan interpersonal seperti di dalam keluarga atau antar-teman. Bukubuku pengembangan diri juga menawarkan kepada pembacanya solusi individu meskipun seringkali permasalahan mereka sejatinya merupakan masalah sosial, ekonomi dan politis (McGee, 2005, h. 182). Para penulis buku tersebut nampak mengasumsikan bahwa “diri” kian terisolasi dan bahwa pengembangan diri utamanya adalah usaha individual. Selain itu, penulis buku-buku motivasi menutup kesempatan pembaca untuk memahami bahwa persoalan atau kehilangan yang dialami adalah bagian dari ketidakadilan sosial bersifat sistematis. Oleh sebab itulah, sebagai contoh, di dalam wacana buku-buku pengembangan diri, kemiskinan adalah hasil dari kemalasan dan kebodohan individual, dan buku-buku pengembangan diri ada untuk membantu agar orang-orang tidak lagi malas atau bodoh. McGee (2005, h. 11) menyatakan bahwa genre ini adalah sebuah sektor di industri penerbitan Amerika yang meluas secara dramatis pada dekade akhir 1
Biblioterapi, atau membaca untuk terapi, adalah metode terapeutik yang sudah digunakan sejak zaman Yunani Kuno. Metode ini digunakan untuk memberikan informasi, mendapatkan pandangan, memancing diskusi, menumbuhkan kesadaran, dan menyediakan solusi (Campbell & Smith, 2003, h. 178).
100
abad keduapuluh. Tema-tema buku pengembangan diri bervariasi mulai dari psikologi populer, pelatihan motivasional, dan saran-saran manajemen sampai kesuksesan personal dalam bisnis. Namun, sebagian besar buku-buku ini serupa dalam struktur dan gaya selingkung, serta banyak pula yang mengandung kemiripan topik (Eaton, 1981, h. 32; Hilkey, 1997, h. 13). Banyak buku jenis ini memperkenalkan penulisnya secara personal dan menggunakan gaya tertentu seperti penyebutan orang pertama bagi penulis dan orang kedua bagi pembaca, pertanyaan retoris, ekslamasi dan ragam bahasa slang. Taktik ini digunakan untuk membuat pembaca menerima atau menyetujui bahwa penulis mengetahui permasalahan dengan baik, dan tentu saja mengetahui solusi lebih baik dari yang diketahui pembaca. Mereka juga membangun hubungan personal antara penulis dan pembaca. McGee (2005, h. 18) menunjukkan bahwa hampir semua buku pengembangan diri dalam studinya mendefinisikan pembaca mereka sebagai kelompok yang tidak cakap dan menawarkan isi buku sebagi solusi. Dari survei literasi singkat yang dilakukan, ditemukan bahwa banyak peneliti menghubungkan buku-buku ini dengan isu-isu kesehatan mental dan psikologis, bukan dengan moralitas dan religi. Meskipun McGee (2005, h. 5) berpendapat bahwa tradisi menulis tentang saran-saran peningkatan diri bisa dilacak mundur ke masa mulai beredarnya injil Johannes Gutenberg pada tahun 1456. Genre buku pengembangan diri sejatinya berasal dari Amerika Serikat, yakni dimulai dari publikasi tahun 1870 yang disebut Hilkey (1997, h. 3) sebagai ‘manual kesuksesan’ – berupa karya-karya non-fiksi didaktis, setebal buku, dengan janji akan menunjukkan cara mendapatkan kesuksesan dalam hidup. Menurut Lichterman (1992, h. 421), Hilkey (1997, h. 48) dan McGee (2005, h. 17), literatur pengembangan diri umumnya menyajikan karakter khas budaya Amerika: swa-intervensi, kemungkinan tanpa batas, dan kesukesan materi personal. Simonds (1992, h. 4) berpendapat bahwa karakteristik budaya ini tumbuh dari pandangan peningkatan diri kaum puritan pada abad ketujuhbelas, kebaikan Kristiani, serta ganjaran duniawi lainnya. Saat dilanda kesulitan, masyarakat Amerika biasanya beralih kepada bukubuku pengembangan diri untuk inspirasi, saran spesifik mengenai bagaimana menjalankan hidup mereka, dan mendapakan keyakinan saat menghadapi transformasi besar (McGee, 2005, h. 17). Philip (2007, h. 3) menyatakan bahwa genre buku pengembangan diri hanyalah satu dari sekian banyak media dengan wacana pengembangan diri; yang lainnya bervariasi mulai dari kaset audio, CD/VCDs, program TV, sampai kebijakan pemerintah. Penulis buku-buku pengembangan diri biasanya mencari sumber dari kalangan psikolog, mengingat semakin banyak psikolog yang mengambil peran sebagai pemandu di segala area, dari pendidikan sampai perilaku ekonomi (Illouz, 2008, h. 51). Meski banyak penulis mengaitkan saran pengembangan diri dengan isu kesehatan mental dan psikologis, Johnson dan Johnson (1998) menemukan bahwa para profesional kesehatan mental religius menyarankan klien mereka menggunakan buku-buku pengembangan diri yang dengan gamblang me-
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
nampilkan karakteristik religi. Hilkey (1997, h. 14) menyatakan, kaitan antara buku pengembangan diri dengan religi sangatlah dekat hingga buku manual kesuksesan sudah menyerupai buku yang paling serius dan poupuler di antara buku-buku lainnya, yakni injil. Woodstock (2002, h. 48-49) menambahkan bahwa banyak buku pengembangan diri telah sejak lama ditulis oleh tokoh religius, terutama dalam bentuk sub-genre dari literatur pengembangan diri, buku-buku pengembangan diri psiko-religi. Anker (1999) juga menulis mengenai bagaimana pemimpin agama mengadvokasi tulisan-tulisan pengembangan diri bertema agama sebagai cara untuk mengelakkan tantangan sekuler. Jadi, ‘kemenangan’ literatur pengembangan diri yang profesional, sekuler, dan berbasis kesehatan mental atas manual pengembangan diri berbasis religi tidaklah menyeluruh ataupun berlangsung lama (McGee, 2005, h. 19-20). Dengan kemunculan fundamentalisme agama di banyak tempat di dunia, nilai-nilai religi tradisional dan moral tetap terjalin dan sangat berpengaruh dalam genre buku-buku pengembangan diri. Buku Pengembangan Diri di Indonesia Saat ini, buku-buku pengembangan diri yang dijual di toko buku mana pun di Indonesia akan menunjukkan betapa luas area yang diberikan – banyak di antaranya berasal dari Amerika. Namun, rakrak buku pengembangan diri tidak hanya berisi buku Amerika non-religi yang sudah diterjemahkan. Banyak juga buku yang menyampaikan pengetahuan praktis melalui hikmah agama atau menjawab masalah sehari-hari melalui panduan keagamaan. Salah satu contohnya adalah seri La Tahzan (Don’t be Sad) yang ditulis oleh penulis Arab Saudi terkenal Aidh bin Abdullah al Qarni. Indonesia sendiri tidak kekurangan penulis buku pengembangan diri. Sama halnya dengan literatur pengembangan diri di Amerika, beberapa penulis populer buku pengembangan diri di Indonesia, seperti Tung Desem Wa-ringin, Mario Teguh, dan Gde Prama, tidak secara eksplisit mengacu kepada pengajaran agama, melainkan menawarkan nilai-nilai moral universal. Lalu, ada pula penulis yang menawarkan nilai-milai islami yang kentara. Contohnya adalah Abdullah Gymnastiar, yang lebih dikenal sebagai Aa Gym (“Aa” adalah “kakak lelaki”). Buku AA Gym yang merupakan dakwah televisi serta kepribadiannya telah menarik kaum muslim dan non-muslim. Hoesterey (2009) menyebut Aa Gym tidak hanya sebagai penulis buku pengembangan diri, tetapi juga ‘suhu’ pengembangan diri karena nasihatnya telah dipasarkan oleh berbagai media, mulai dari buku, dakwah publik, pelatihan motivasional dan kolom rutinnya di surat kabar, sampai radio dan stasiun TV. Ada ribuan buku yang tersedia di pasar yang bisa dikategorikan sebagai ‘buku pengembangan diri islami’. Sangat mudah untuk menemukan judul-judul seperti Beginilah Nabi Berwudhu, Sunnah-Sunnah Yang Dilupakan, Bagaimana Menerapkan Hukum Allah dan Dengan Al Qur’an Masuk Islamlah Mereka. Semua judul ini diterbitkan oleh Darus Sunnah, satu di antara banyak penerbit baru. Namun, juduljudul serupa dapat pula ditemukan di dalam daftar buku terbitan penerbit islami lainnya. Setelah mem-
baca bagian ringkasan, perkenalan atau kesimpulan dari sejumlah buku ini, dapat disimpulkan bahwa buku-buku tersebut menyajikan pengetahuan praktis mengenai cara mengimplementasikan prisip-prinsip islami dalam kehidupan sehari-hari, seperti apa yang dipraktikkan oleh Rasullullah SAW. Masuknya buku-buku nasihat ke toko-toko buku di Indonesia dimulai sejak pertengahan 1990an dan buku pengembangan diri islami mulai muncul tepat setelah era reformasi pada akhir tahun 1990an. Meski begitu (sepanjang pengamatan penulis, red), belum ada karya akademis mengenai kemunculan buku-buku pengembangan diri di Indonesia, terlebih lagi yang mengangkat orientasi ideologis dari buku pengembangan diri religius. Bahkan, studi mengenai naiknya gerakan pengembangan diri di Indonesia pun belum pernah dilakukan. Wacana dan Ideologi Buku Pengembangan diri Islami Ada beberapa wacana utama dan menonjol yang ditelaah di bagian ini. Ditemukan kesamaan ideologis antara apa yang disajikan dalam buku dengan ideologi dari gerakan budaya-politis yang lebih luas yang disebut dengan ‘jamaah tarbiah’. Tema-tema buku pengembangan diri islami Bagaimana seseorang bisa mentransformasi dirinya dan terlahir sebagai orang yang lebih baik, yang siap menghadapi tantangan masa depan, merupakan tema yang sering muncul dalam buku-buku pengembangan diri islami. Dari telaah yang telah dilakukan, wacana trasnformasi diri diperlihatkan oleh Change Now: Jurus Duahysat Muslim Huebat! yang diterbitkan oleh kelompok Era Muslim pada 2010. Penulisnya, Rahman Hanifan, berpendapat bahwa remaja muslim seharusnya meninggalkan segala kesalahan masa lalu dan membuka lembaran yang baru. Penulis buku ini menyatakan, karena era kontemporer selalu ditandai oleh perubahan dan karena anak muda adalah pemilik masa depan, maka anakanak muda perlu sadar dan membuat perubahan dalam kehidupan mereka. Kehidupan adalah semacam perjalanan, sehingga setiap orang perlu arahan. Jika anak muda ingin sukses, mereka harus bangun dari “tidur”, mentransformasi diri, dan melakukan yang terbaik. Jika mau menGambar 1. Sampul buku jalani hidup dengan Change Now! baik, mereka harus mengetahui tujuan hidup dan mengarahkan hidup sesuai dengan tujuan tersebut. Al Qur’an telah berbicara mengenai tujuan hidup seorang muslim, dan 101
Hariyadi, Buku Pengembangan Diri Islami, Kepengaturan, dan Ideologi Islam kitab suci ini harus, dalam kata-kata sang penulis, waktu, untuk bersikap positif terhadap hal-hal yang memandu segala transformasi yang mereka jalani. mereka hadapi, dan untuk membuat rencana sederGaya ilustrasi buku ini menyerupai manga (komik hana yang mudah untuk dilakukan sebagai langkah Jepang). Meski begitu, gambar buram sebuah mas- awal sebelum membuat dan melakukan rencana yang jid di latar belakang menunjukkan kepada pembaca lebih kompleks. Konsep manajemen waktu dan kecerbahwa buku ini bukanlah komik Jepang, melainkan matan dalam melangkah ini sangat mirip dengan buku islami. Tulisan di sepanjang buku jelas meng- sistem manajemen waktu Steven Covey, yang secara gunakan istilah-istilah dalam bahasa gaul, antara khusus menunjukkan instruksi terperinci mengenai lain istilah gw (aku), loe (kamu), BeTe (bad mood), doi cara mengatur waktu sesuai dengan peran dan ni(pacar atau cowok idola, tergantung pemakaian), ge- lai tertentu yang dimiliki seseorang (McGee, 2005, h. to (begitulah, seperti itulah; tergantung pemakaian), 153). Kemudian, konsep bahwa ‘manusia masa lalu’ dan ngepren (berteman). Gaya ini merupakan contoh akan menyalahkan orang lain dan ‘manusia masa debagaimana anak muda kontemporer menggunakan pan’ akan melihat kepada dirinya saat mereka mengbahasa. Mereka berimprovisasi dari standar bahasa Indonesia yang ada untuk membuat bahasa mereka sendiri.2 Menurut Smith-Hefner (2003), bahasa gaul adalah ragam bahasa yang banyak digunakan oleh anak muda Indonesia. Dasarnya adalah bahasa Indonesia, namun ragam bahasa ini juga meminjam kata dari bahasa Indonesia informal dan bahasa Inggris. Ragam ini mengekspresikan isi hati, pikiran dan aspirasi kaum urban muda Indonesia. Saat ini penggunaan bahasa gaul telah melampui komunikasi lisan, karena banyak buku dan majalah untuk anak muda, dan (sebagian besar) ditulis oleh orang muda, yang menggunakan ragam bahasa gaul. Bahasa gaul dalam buku pengembangan diri islami juga menggunakan bahasa Arab seperti insya Allah (dengan seizin Allah SWT) dan iqab (penalti), serta ada kalanya mencampurkan bahasa Arab dengan baha- Gambar 2. Sampul buku Upgrade Yourself dan Let's Go! sa Indonesia informal, seperti alhamdulillah Muslim Muda Berani Beda banget. Pencampuran bahasa Indonesia dan bahasa Arab dan juga bahasa Inggris adalah satu di hadapi kesulitan dan kemalangan, mirip dengan perantara banyak bukti bahwa budaya kaum muda In- nyataan Simonds (1992, h. 45) bahwa banyak buku donesia telah sedemikian terhubung dengan moder- pengembangan diri di Amerika mendorong pembaca nitas Barat (disimbolkan oleh bahasa Inggris) sekal- untuk menyalahkan diri sendiri. igus dengan gelombang kenaikan Islam. Wacana lainnya yang diekspresikan dalam buku Hal serupa muncul dalam buku pengembangan di- pengembangan diri islami adalah bagaimana menri lainnya, Upgrade Yourself atau Tingkatkan Dirimu jadi muslim yang lebih baik dan berbeda. Sebuah bu(2007) oleh Lukman Hakim. Buku ini berbicara men- ku pengembangan diri islami yang ditulis oleh Fadgenai bagaimana manusia, terutama anak-anak mu- lan Al Ikhwani pada 2009, Let’s Go! Muslim Muda da, dirancang oleh Tuhan untuk menjadi ‘manusia Berani Beda, menyampaikan wacana untuk mendumasa depan’. Buku ini menyimpulkan bahwa kaum kung setiap anak muda muslim untuk menjadi orang muda tidak boleh berhenti mencoba meningkatkan yang berbeda. diri mereka. Penulis buku ini membedakan antara Dengan sampul yang menarik, menampilkan ‘manusia masa lalu’ dengan ‘manusia masa depan’. gambar remaja lelaki muslim bermain papan pelunBentuk pertama dianggap sebagai kelompok berkua- cur – simbol gaya hidup Barat – di sebuah area maslitas rata-rata, tidak istimewa, dan selalu menyalah- jid, penulis jelas menyasar pembaca muda. Menurut kan orang lain ketika mereka menghadapi kesulitan. penulisnya, Fadlan Al Ikhwani, anak muda penuh Sementara itu, bentuk kedua memiliki tujuan jangka dengan energi dan antusiasme; alangkah sia-sia jika panjang dalam kehidupan, tidak pernah mengeluh- kedua kualitas ini tidak digunakan untuk kebaikan. kan orang lain, mempertahankan pandangan posi- Ia menyarankan bahwa menjadi orang yang berbetif mengenai masa depan, dan yang paling penting, da sama dengan menjadi lebih baik dari orang lainselalu berusaha mengembangkan diri. Penulis men- nya. Penulis buku ini juga menambahkan bahwa undorong pembaca muda untuk tidak menyia-nyiakan tuk menjadi orang yang berbeda, kaum muda muslim harus menghabiskan waktu senggangnya dengan melakukan hal yang berguna bagi diri dan agamanya. Buku ini merekomendasikan kaum muda mus2 Jika merujuk kembali kepada tulisan penulis di sampul lim agar berkomitmen mengambil ‘langkah-langkah belakang, ada dua istilah: huebat and duahsyat. Dalam bahasa Indonesia baku, ejaan yang seharusnya digunakan penulis kecil’ menuju pribadi yang lebih baik, dan berbeda adalah “hebat” dan “dahsyat”. Namun, Hanifan memilih dengan yang lainnya. Langkah-langkah demikian menambahkan huruf ‘u’ ke dalam kedua kata tersebut untuk dapat bervariasi mulai dari menunaikan shalat lima waktu, membuat rencana dan menjalaninya semenegaskan nuansa “hebat” dan “dahsyat.” 102
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
cara konsisten, hidup tertata, menggunakan jilbab dan lebih baik dibanding perempuan yang tidak ber(bagi perempuan), sampai dengan mengelola stres. hijab. Saran-saran ini menyerupai pendekatan Stephen CoBuku Beauty is Easy (2008) oleh Widiyah juga vey (1989, h. 169) yang mendorong pembacanya un- menempatkan usaha mempercantik diri sebagai batuk ‘memulai dengan akhir’. Covey juga memperke- gian sangat penting dalam membuat seorang muslim nalkan teknik manajemen waktu yang berdasarkan perempuan berbeda. pembedaan antara kegiatan yang genting/penting Buku ini mendeskripsikan bagaimana perempuan dengan tidak genting/tidak penting. Buku ini tidak bisa (atau, tepatnya, sebaiknya) memiliki mata, ramhanya menggunakan pendekatan Covey, tetapi but, bibir, kulit dan tangan yang cantik, serta memjuga mengutip Megatrend 2000 dari buat tubuh mereka lebih ramping. Penulis buku John Naisbitt untuk menyatakan ini menyatakan, usaha untuk membahwa di seluruh dunia ada kecendepercantik bagian-bagian tubuh harus rungan ‘ketersesatan jiwa’. Ikhwani dipahami seba-gai metafora mempermenyatakan cara mengatasi ketercantik ‘di bagian dalam’. Misalnya, ia sesatan ini telah diberikan Tuhan menyatakan bahwa mata yang indah kepada kaum muslim: anjuran unbisa menunjukkan kecantikan diri sertuk berdoa sebanyak mungkin di ta jiwa yang hebat, karena orang lain setiap waktu senggang, serta tidak dapat melihat kepribadian seseorang hanya pada saat membutuhkan melalui ma-tanya. Oleh sebab itu, pentjawaban atas persoalan kita. Di siing untuk menjaga mata agar tidak meni, penulis buku ini seolah telah lihat sesuatu yang tidak berguna, dan menggunakan wacana Barat untidak diguna-kan untuk melakukan tuk menegaskan ajaran-ajaran Ishal terlarang, seperti menggoda. Buku lam. tersebut adalah contoh dari yang diseSebuah buku berjudul Be Pebut Jones (2010, h. 92) sebagai meluasDe, Please!, semakin jauh mengnya gagasan ‘kecantikan spiritual’ yang angkat wacana untuk menjadi dipromosikan oleh gaya hidup islami dan orang yang lebih baik dan berbemedia mode untuk muslim perempuan da. Buku ini ditulis pada tahun Gambar 3. yang taat. Ide ini telah populer di kalan2010 oleh Fachmy Casofa, diter- Sampul buku Be PeDe, gan kaum muda Indonesia. ‘Kecantikan bitkan oleh salah satu penerbit Please! spiritual’ dipandang memiliki makna lebih buku Islam paling populer, Gedalam dan lebih menarik dibanding lawanma Insani Press. nya, ‘kecantikan sekuler’ (Jones, 2010, h. 105). Dari ilustrasi sampul depan, dengan tampilan fisik karakter gambar yang sekali lagi menyerupai Kepengaturan dan buku pengembangan diri islami manga, terlihat jelas bahwa buku tersebut ditujukan bagi pembaca muslim perempuan. Di sini, didiskusikan buku-buku Membandingkan Be PeDe, Please! pengembangan diri sebagai teknik ‘pendengan Let’s Go, bisa dilihat bahgaturan’ yang merupakan perpektif wa para penulisnya telah memperFoucauldian. Kepengaturan adalah seni tahankan bias jender konvensionkepemerintahan, strategi menata indivial. Buku Let’s Go menampilkan du, dan sebuah ‘teknologi politik’ untuk remaja lelaki muslim beraktivitas menata masyarakat. Dalam pendekatolahraga – menggambarkan bahan Foucauldian, secara umum pemewa lelaki selalu berada dalam perintah dipahami tidak sebagai instituran aktif. Sedangkan, buku Be Pesi negara, melainkan sebagai ‘penuntun De, Please! menampilkan sosok perilaku’ (condut of coduct), dan mengremaja perempuan muslim dalam acu pada berbagai bentuk yang memipose duduk, seolah perempuan seliki keragaman dari sisi waktu, metode, lalu menahan diri dan pasif. Penusubjek dan skala (Burchell, 1996, h. 19; lis Be PeDe, Please!, seorang lelaGordon, 1991, h. 2). Foucault (1982, h. ki, menyatakan bahwa lelaki yang 224-225) menjelaskan bahwa ada empaling pantas untuk dicintai oleh pat bentuk utama teknologi3 yang diguseorang perempuan muslim adalah nakan manusia untuk memahami dan mereka yang mendedikasikan diri mengatur diri sendiri. Keempat benuntuk dakwah. Lelaki demikian- Gambar 4. Sampul buku tuk teknologi tersebut adalah teknololah yang akan mampu memandu Beauty is easy gi produksi, teknologi sistem tanda, perempuan untuk menjadi musteknologi kekuatan, dan teknologi diri.4 lim yang lebih baik. Pandangan ini menempatkan le- Teknologi terakhir mengacu pada bagaimana setiap laki pada posisi le-bih tinggi – sebagai muslim yang lebih baik dan berpengetahuan – dibanding perempuan. Penulis buku ini menyarankan kepada pemba- 3 Di sini, teknologi merujuk kepada semua cara yang digunakan canya bahwa untuk menjadi berbeda dan lebih baik, individu untuk memperbaiki dirinya, kehidupannya, serta seorang perempuan muslim harus menjaga tampilan aspirasi dan norma yang menuntunnya (Rose, 1999, h. 95). fisiknya, dan bahwa, bagi penulis buku ini, seorang 4 Foucault (1982, h. 225) menegaskan bahwa hampir tidak perempuan muslim yang berhijab jelas lebih berbeda mungkin untuk memisahkan satu teknologi dari yang lain. 103
Hariyadi, Buku Pengembangan Diri Islami, Kepengaturan, dan Ideologi Islam individu berperilaku terhadap diri sendiri. Semua teknologi ini menjadi sarana bagi setiap individu, sendiri maupun dengan bantuan orang lain, untuk mengambil sejumlah tindakan atas diri dan jiwa, pikiran, perilaku dan eksistensi. Tindakan ini dilakukan guna mengubah seseorang agar dapat meraih rasa bahagia, kesucian, kebijakan, kesempurnaan ataupun kekekalan. Perlu dicatat bahwa kebahagiaan individu bukan hanya tujuan pemerintah dan individu itu sendiri, tetapi juga merupakan instrumen, hasil – sebuah persyaratan untuk kelangsungan hidup dan perkembangan negara (Foucault, 1981, h. 158). Oleh karena itu, teknologi diri sangat terkait dengan teknologi kekuasaan. Teknologi kekuasaan menentukan perilaku individu dan mengarahkannya untuk tujuan tertentu atau untuk menuju dominasi (Foucault, 1982, h. 225). Kepengaturan adalah nama yang diberikan Foucault untuk merujuk kepada keadaan saat teknologi kekuasaan dan teknologi diri bertemu. Selanjutnya, Miller dan Rose (2008, h. 15) mengembangkan argumen Foucault dengan menyatakan bahwa ‘kepengaturan’ memiliki dua aspek yang menonjol: rasionalitas pemerintahan dan teknologi. Di sini, rasionalitas mengacu pada proses memaknai pengalaman serta penataan benda dan manusia menurut kategori tertentu. Teknologi dipahami sebagai sekelompok aparat, metode, lembaga atau instrumen yang diperlukan untuk menuntun perilaku. Agar dapat terlaksana, rasionalitas membutuhkan teknologi untuk berdaya guna (Miller dan Rose, 2008, h. 16). Studi yang dilakukan oleh Rose (1999) serta Miller dan Rose (2008) menunjukkan betapa mendalam gagasan ‘pengaturan’ di era modern maupun postmodern, dan betapa beragamnya bentuk ‘pengaturan’- mulai dari lembaga pemasyarakatan, praktek pengakuan dalam Kristen, organisasi filantropi, serikat buruh, masyarakat yang ramah, pelayanan kesejahteraan, dan lembaga keagamaan, sampai dengan keahlian ‘psi’ (psikologi, psikoterapi, psikiatri). Mengikuti argumen Rose (1999) bahwa pengetahuan ‘psi’ adalah bentuk kepemerintahan. Pengetahuan ‘psi’ memobilisasi berbagai teknologi untuk ditindaklanjuti dan mencapai tujuan tertentu dari perilaku manusia. Oleh karena itu, dalam pemikiran Foucauldian, keahlian ‘psi’ bukan sekadar kemampuan negatif yang membatasi dan menghancurkan subjektivitas, tetapi juga positif - membentuk dan memproduksi subjektivitas. Rose (1999, h. 3) menyatakan bahwa pengetahuan ‘psi’ telah diguna-kan oleh para ahli subjektivitas untuk ‘merekayasa ulang’ jiwa manusia modern. Pengetahuan ‘psi’ memunculkan cara-cara baru dalam berpikir dan bertindak atas keyakinan pribadi, keinginan, aspirasi, ambisi, dan hubungan sosial, dan berkontribusi terhadap dekonstruksi tatanan yang ada. Pengetahuan ‘psi’ penting di masa modern/postmodern, karena menyediakan cara kontemporer untuk diatur dan sarana bagi individu memerintah dirinya sendiri (Rose, 1999, h. 10). Rimke (2000, h. 63) dan Hazleden (2003, h. 414) berpendapat bahwa saran motivasi diri yang terkandung dalam banyak media adalah jenis lain dari kepemerintahan yang menggunakan disiplin ‘psi’. Saran motivasi tersebut memanfaatkan tidak ha-nya daya tarik yang mendunia terhadap disiplin ‘psi’, tetapi juga kemunculan ‘keahlian psi’ yang menjadi tren 104
budaya global – sebagaimana dipelajari oleh Rose (1999).5 Melalui beragam media, termasuk buku, kaset audio, CD, DVD, koran, website, radio, dan TV, disiplin ‘psi’ memberitahukan cara membentuk dan menyelaraskan cita-cita dan aspirasi individu serta menghubungkan individu dengan tujuan yang lebih luas seperti konsumsi, pemasaran, efisiensi, moralitas dan tatanan sosial. Hazleden (2003, h. 424-425) menunjukkan bahwa buku motivasi diri menyajikan sebuah ‘wacana terapi’ yang bertujuan untuk membangun individu yang mengendalikan teknologi diri, seperti pengetahuan diri, penentuan pengaturan diri, dan disiplin diri. Meskipun demikian, teknik motivasi diri yang disediakan oleh buku-buku itu sendiri adalah sebentuk pemerintahan; di dalamnya, aparat pengetahuan menunjukkan cara hidup dan kehidupan tertentu bagi semua pembaca. Rimke (2000, h. 73) berpendapat bahwa semua manusia mengalami masalah psikologis di berbagai tingkatan, tetapi dengan cukup banyak bimbingan yang ditawarkan oleh literatur motivsasi, mereka harus mampu mengatasi masalah mereka sendiri. Pada akhirnya, literatur motivasi diri berjanji bahwa teknik yang disajikannya idealnya menghasilkan warga negara yang harmonis dengan masyarakat di tempat mereka tinggal. Literatur pengembangan pribadi juga menekankan pada pentingnya teknologi diri untuk dipelajari oleh semua individu, karena inilah hal terbaik untuk diri sendiri, serta bagi masyarakat luas. Buku pengembangan diri sekuler telah dipandang sebagai bentuk kepemerintahan. Sebagian besar dari buku ini menempatkan diri sebagai wadah transformasi terapeutik yang utama, terkadang satusatunya, dan memerintahkan pembaca untuk bekerja (Hazleden, 2003, h. 416). Pengasuhan diri adalah kegiatan yang harus dilakukan oleh pembaca dalam rangka menciptakan pola baru perilaku dan tanggapan emosional yang lebih disiplin. Secara umum, buku pengembangan diri memberitahu pembaca bahwa pedoman moral seseorang pun harus diarahkan secara internal (Woodstock, 2009, h. 176). Buku pengembangan diri sekuler di masyarakat Barat sejalan dengan nilai rasionalitas yang digaungkan dalam demokrasi liberal Barat (Rimke, 2000; Hazleden, 2003): individu ditinggikan atas kelompok sosial dan tidak ada rujukan kepada Wujud Tertinggi (Tuhan). Meskipun supremasi pengetahuan diri terkandung juga di dalam buku pengembangan diri berlandaskan agama, namun buku-buku ini selalu dengan jelas menyatakan bahwa seseorang tidak dapat mengendalikan diri tanpa iman dan tanpa bimbingan dari otoritas keagamaan. Berbeda dengan buku sekuler, buku agama mengidentifikasi bahwa keterpisahan pembaca dengan Tuhan adalah sumber petaka; keluhan duniawi tentang jurang tersebut hanyalah konsekuensi dari kegagalan individu untuk menjembatani jurang itu melalui iman (Woodstock, 2002, h. 49). Dalam buku pengembangan diri berlandaskan agama, seruan untuk kemandirian telah diperluas untuk mencakup ketergantungan pada Tuhan: tanpa iman, segala se5
Rimke (2000, h. 63) menjelaskan disiplin ‘psi’ sebagai memiliki otoritas budaya sebagai bentuk pengetahuan ahli. Dengan demikian, motivasi diri adalah perpanjangan logis dari 'budaya modern berorientasi psi'.
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
suatunya tidak berarti (Simonds, 1992, h. 151). Di Indonesia, wacana pengembangan diri menggandeng psikologi pop transnasional - yang mencakup cintadiri dan pengasuhan diri - serta doktrin Islam - yang menunjukkan Nabi Muhammad sebagai teladan moral yang utama dari kebajikan di masyarakat dan model untuk kosmopolitanisme muslim (Hoesterey, 2012, h. 39-41). Wacana pengembangan diri islami di Indonesia mengintegrasikan psikologi Barat – tanpa anjuran sekulernya - dengan ajaran-ajaran dari AlQur’an dan cerita-cerita sang Nabi (Hoesterey, 2009, h. 54). Dengan demikian, buku pengembangan diri islami memiliki perbedaan dengan buku pengembangan diri sekuler, serta persamaan. Dari empat teknologi utama wacana pengembangan diri yang berkaitan dengan keahlian ‘psi’ seperti dikemukakan Rose (1996), teknologi merupakan aspek kepemerintahan: mengkategorikan subjektivitas, mengukur subjektivitas, membangun otoritas etika, dan teknik diri. Secara singkat akan dijelaskan kategori ini untuk melihat bagaimana keahlian ‘psi’ digunakan dalam beberapa buku pengembangan diri islami. Pengkategorian subjektivitas berkaitan dengan cara bagaimana pembaca dapat dikategorikan. Beberapa buku menggunakan istilah psikologi pop, sementara yang lain menggunakan istilah-istilah agama. Buku Upgrade Yourself (2007) memperkenalkan istilah “gampang menyerah” (quitter), “pekemah” (camper) dan “pendaki” (climber), dan mengaitkan ketiganya dengan prestasi individu. Tipe quitter adalah orang yang selalu ingin bersantai dan tidak peduli tentang pencapaian. Kategori ini meliputi siapa saja yang malas dan tidak bersedia untuk mengembangkan diri. Camper mengacu pada rata-rata orang yang ingin bekerja, tapi tidak terlalu keras, dan tidak ingin mencapai sesuatu yang lebih baik. Istilah climber menggambarkan seseorang yang selalu ingin mengembangkan diri, yang tidak pernah berhenti belajar dan selalu ingin menjadi lebih baik. Contoh lain dari pengkategorian subjektivitas adalah buku-buku Change Now! (2010) dan Let’s Go! (2009). Buku-buku ini menjelaskan secara panjang lebar perbedaan antara keimanan dan keingkaran untuk menjauhkan para pemuda muslim dari kekeliruan. Orang beriman adalah yang menjadikan Tuhan sebagai tujuan utama, sedangkan orang-orang yang ingkar adalah mereka yang tidak menunjukkan komitmen kepada Tuhan. Mungkin saja, orang ingkar adalah juga kaum muslim, tetapi mereka tidak melaksanakan perintah dasar Islam: salat, zakat, dan berpuasa selama bulan Ramadhan. Buku-buku ini tidak menyebutkan dua prinsip dasar lainnya: syahadat (pernyataan keimanan kepada Allah dan kepercayaan kepada Nabi Muhammad) dan haji, mengingat mungkin, prinsip pertama sulit disaksikan (pembacaan syahadat hanya disaksikan saat seorang non-muslim masuk Islam) dan prinsip kedua membutuhkan kemampuan finansial yang tinggi untuk dipenuhi. Teknologi kedua dalam buku pengembangan diri Islami, mengukur subjektivitas, berhubungan erat dengan yang pertama. Teknologi ini menyangkut bagaimana pembaca didorong untuk mengukur dan menghargai perilaku mereka sendiri, dan melihat apakah mereka termasuk kategori tertentu. Dari semua buku tersebut, para penulis pengembangan
diri islami mendeskripsikan pesan Al-Qur’an dan Hadits serta temuan studi ilmiah. Deskripsi ini berkaitan dengan beberapa aspek keberhasilan pribadi, kesehatan, atau kesejahteraan. Ada banyak contoh, salah satunya adalah: Nabi telah berjanji bahwa jika seseorang bangun di tengah malam untuk salat, ia akan merasa jauh lebih segar di pagi hari, lebih sehat dari sebelumnya, dan memiliki semangat untuk menghadapi tantangan apa pun pada hari tersebut. Hal ini telah dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Sholeh, dosen di Institut Agama Islam Negeri Surabaya, untuk doktor dalam Kedokteran di Universitas Surabaya. Penelitiannya menemukan bahwa seorang muslim yang melakukan salat tengah malam secara rutin dan benar akan bebas dari infeksi dan kanker (Al Ikhwani, 2009, h. 26). Dalam contoh ini, Al Ikhwani memberikan informasi kepada pembaca tentang betapa pentingnya salat tengah malam. Salat tidak hanya meletakkan seseorang ke dalam golongan orang yang beriman, berbudi luhur, dan taat tetapi juga membuat orang tersebut lebih sehat secara fisik dan psikologis. Teknologi ini terdiri dari tindakan mengukur kesalehan, sebagaimana dibuktikan melalui praktik salat. Kesalehan merupakan aspek subjektivitas pembaca. Pelaksanaan salat menjadi penting karena mengaktifkan (dan mendata) kesalehan – bisa jadi, inilah yang dijelaskan Rose (1996, h. 26), mengikuti Foucault, sebagai normalisasi atau menjadikan penilaian sebagai sesuatu yang objektif (objectifying judgements). Teknologi ketiga yang digunakan dalam buku pengembangan diri Islam, yaitu membangun otoritas etis, berhubungan dengan cara penulis pengembangan diri muslim menyampaikan nasihatnya – tidak hanya bersifat otoritatif dan sah, tetapi juga beretika. Buku-buku tersebut memberikan nasihat kepada pembaca atas dengan berbagai isu, termasuk hubungan pribadi, kepercayaan diri, masalah keluarga, dan cinta. Dalam memberikan nasihat tersebut, beberapa penulis menampilkan diri sebagai pemilik pengetahuan yang bersikap netral, baik pengetahuan ilmiah atau agama. Secara gamblang, penulis menjelaskan bahwa ia tidak ingin mendikte tindakan pembaca, karena penulis hanyalah memaparkan temuan ilmiah ataupun pesan-pesan religiusnya. Pembacalah yang harus memutuskan langkah apa yang terbaik bagi dirinya. Misalnya, Hanifan (2010, h. 14) menulis: Dalam buku ini, saya tidak ingin mendikte Anda bahwa Anda harus melakukan itu atau ini. Saya hanya ingin berdikusi tentang perubahan. Saya berbagi dengan Anda apa yang saya tahu dari membaca beberapa artikel, buku, dan, tentu saja Alqur’an dan Hadits. Apa yang Anda lakukan dengan pengetahuan itu bergantung pada kepentingan Anda sendiri. Dalam contoh ini, penulis menggambarkan dirinya sebagai seorang ahli, menciptakan jarak antara 105
Hariyadi, Buku Pengembangan Diri Islami, Kepengaturan, dan Ideologi Islam dirinya dan pembaca dalam rangka membangun otoritas etis. Dengan hanya mendorong pembaca untuk menggunakan informasi dari beberapa sumber yang diakui, ia menetapkan dirinya di atas pembaca dan “mengizinkan” pembaca untuk menentukan apa yang paling tepat untuk dirinya. Penulis lain memilih untuk meyakinkan pembaca bahwa pesan yang disampaikan berasal dari peng-alaman pribadi, meskipun menggunakan ajaran agama dan pengetahuan ilmiah untuk menggambarkan perjalanan pribadi mereka menuju perubahan. Misalnya, Widiyah (2009) menulis tentang bagaimana ia dan keluarganya berhasil pulih setelah perusahaan ayahnya bangkrut akibat pengkhianatan oleh teman ayahnya, dan mereka harus menjual hampir semua yang mereka miliki untuk menutup hutang. Keluarga tersebut menerima saran dari mentor Islam dan termotivasi oleh kisah sukses pribadi dari beberapa tokoh masyarakat terkenal. Hikmah yang didapatkan penulis dari pengalamannya kemudian dituangkan untuk pembaca: bahwa keikhlasan penuh kepada Tuhan akan meredam kegelisahan jiwa. Setelah itu, penulis mengajak pembaca agar lebih kreatif dalam mencari jalan keluar dari masalah mereka. Gaya penulisan buku pengembangan pribadi ini sejalan dengan temuan Simonds (1992, h. 121): literatur pengembangan diri saat ini hampir telah sepenuhnya meninggalkan gaya narasi murni profesional yang kaku, yang menjadi ciri sebagian besar buku pengembangan diri sebelum tahun 1980an. Woodstock (2009, h. 328) menunjukkan bahwa pengalaman pribadi, berdasarkan keberhasilan transformasi individu, adalah salah satu tema utama dalam klaim para penulis buku pengembangan diri atas pengetahuan dan kemampuan mereka menolong pembaca. Melalui klaim, penulis dapat membangun otoritas etis. Pada gilirannya, otoritas etis penulis pengembangan diri mendorong pembaca untuk membandingkan pengalamannya sendiri dengan penulis, dan menilai apakah isi tulisan akan bermanfaat bagi mereka. Singkatnya, teknologi memungkinkan penulis Muslim pengembangan diri untuk menyajikan saran mereka sebagai etika, sejauh itu didasarkan pada kepentingan terbaik dari pembaca. Penulis pengembangan diri islam juga menjabarkan beragam “teknologi diri”, yakni teknologi keempat dari Rose sebagai cara untuk mengatur secara langsung perilaku setiap individu. Semua buku pengembangan diri muslim memotivasi para pembaca untuk melaksanakan segala bentuk ritual di dalam Islam, termasuk perkara-perkara yang tidak wajib, seperti salat dhuha dan tahajud. Dalam bukunya, Widiyah (2009) mengutarakan berbagai teknologi diri – utamanya adalah untuk berhati-hati dengan ucapan dan tata cara berbicara. Rasa menghargai diri akan nampak dari apa yang kita katakan dan cara penyampaiannya. Penulis lainnya, Casofa (2010) menegaskan bahwa seorang wanita haruslah memperhatikan penampilan dan perilakunya. Penampilan baik dan perilaku baik dari seorang wanita muslim akan memberikan kesan baik di mata orang lain. Kesan baik itulah yang akan menghasilkan rasa hormat terhadap wanita muslim tersebut. Hakim (2007), Al Ikhwani (2009), dan Hanifan (2010) menyerukan pembaca untuk meningkatkan diri dengan membuat perencanaan detail dalam hi106
dup. Perencanaan ini haruslah dimulai dengan pondasi dan perkara-perkara yang sederhana, misalnya tidak gampang menyerah, percaya diri, meningkatkan kualitas ritual keagamaan dan berlaku ikhlas. Dalam hal ini, keahlian psiko-religius terkait erat dengan praktik etika seseorang, sehingga praktik individu seorang muslim – seperti salat – menjadi objek dari pengetahuan psiko-religius. Buku pengembangan diri islami: sebuah kultur dari gerakan Jemaah Tarbiah? Perkembangan buku pengembangan pribadi islami adalah bagian dari gerakan sosial keagamaan di Indonesia yang disebut Jemaah Tarbiyah. Gerakan ini mencakup tidak hanya budaya dan agama, tetapi juga politik. Menurut Jung (2009, h. 202), tarbiah mengacu pada seluruh proses pendidikan yang mengarahkan seseorang untuk berubah menjadi muslim yang lebih baik. Kata ini juga merupakan agenda politik untuk membangun masyarakat Islam melalui proses evolusi: memelihara individu, membentuk keluarga dan kemudian membangun generasi baru muslim (Permata, 2010, h. 13). Kailani (2010, h. 72) berpendapat bahwa Jemaah Tarbiah berasal dari kegiatan dakwah yang dilakukan oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), tapi itu adalah model setelah Ikhwanul Muslimin, Ikhwanul Muslimin Mesir yang didirikan oleh Hasan Al Banna.6 Hubungan langsung antara gerakan pendidikan di Indonesia dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir adalah sebuah bukti akan pentingnya pemikiran Al Banna yang berkaitan dengan pendidikan jamaah ini, termasuk pula adanya penekanan akan keshalehan pribadi dan pembentukan kelompok-kelompok kader Islam (Bubalo, Fealy, & Mason, 2008, h. 52-53). Hubungan antara Ikhwanul Muslimin dan Jamaah Tarbiah begitu jelas, sebagaimana pemimpin-pemimpin DDII begitu aktif memperkenalkan pemikiran ‘Islam kaffah’ ala Ikhwanul Muslimin, yang sangat terkenal di antara para aktivis pemuda muslim di kampus. Meskipun anggota Jamaah Tarbiah tidak mendeklarasikan diri memiliki hubungan dengan Ikhwanul Muslimin, pelatihan keislaman dan orientasi keagamaan mereka sangat mirip dan mereka pun tidak menampik hubungan mereka dengan Ikhwanul Muslimin (Machmudi 2006, h. 136). Gerakan tarbiah terdiri dari liqa, pertemuan kelompok kecil para pemuda Islam aktivis di kampus (Jung, 2009, h. 201).7 Pada awalnya, pada tahun
6
Syamsuri (2009, h. 99) berpendapat bahwa Ikhwanul Muslimin adalah salah satu organisasi dakwah terbesar di dunia. Organisasi ini didirikan pada tahun 1928 dengan hanya seratus anggota di awal tahun, namun saat ini memiliki pengikut di semua negara-negara Arab maupun di Afrika Utara. Saat ini, Ikhwanul Muslimin merupakan organisasi oposisi politik terbesar di banyak negara Arab. Pendirinya Al Banna, adalah salah satu tokoh yang pertama berpengaruh internasional yang menganjurkan kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 2011 pemilihan parlemen di Mesir, Partai Kebebasan dan Keadilan yang didirikan oleh Ikhwanul Muslimin memenangkan mayoritas kursi di parlemen. Pada 2012, Ketua Partai, anggota terkemuka Ikhwanul Muslimin, Muhammad Murky, memenangkan pemilihan presiden.
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
1980an, gerakan ini tidak berjalan secara terangterangan, namun pada 1990an kegiatan gerakan tarbiah mulai dilakukan secara terbuka (Bubalo, Fealy, & Mason, 2008, h. 53-54). Beberapa aktivisnya mendirikan Nurul Fikri, sebuah organisasi yang menawarkan bantuan studi untuk siswa SMA dalam persiapan ujian pendaftaran universitas (Permata, 2008, h. 25-26). Baik Permata (2006, h. 26) maupun Jung (2009, h. 202) berpendapat bahwa setelah membuka kegiatan mereka kepada publik dan merekrut lebih banyak pengikut melalui Nurul Fikri, serta melalui majalah Islam seperti Sabili, Ummi, Saksi, dan Tarbawai, jumlah aktivis muda tarbiyah mulai bertumbuh dan hingga tingkat tertentu, menjadi dominan di kampus-kampus dengan mendirikan KAMMI atau Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia.8 Setelah 1994, untuk menggalang kesadaran politik di antara para anggotanya, Jemaah Tarbiah mengadakan program pendidikan politik dengan melibatkan beberapa akademisi terkenal seperti Arbi Sanit dan Deliar Noer (Jung, 2009, h. 202). Saat Reformasi terjadi di Indonesia, mantan aktivis mahasiswa yang berafiliasi dengan gerakan tarbiah - beberapa dari mereka memegang gelar universitas dari negara-negara Barat - membentuk partai politik Islam, Partai Keadilan (PK) pada tahun 1998, yang kemudian berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada tahun 2002 (Permata, 2008, h. 26; Permata, 2010, h. 16-17; Jung, 2009, h. 203).9 PK dan PKS menikmati debut sensasional di kancah politik Indonesia – menempati peringkat di sepuluh besar partai politik teratas dalam tiga pemilihan umum berturut-turut: 1999, 2004 dan 2009. Identitas Islamnya yang terbuka yang memicu kontroversi, dan banyak pengamat politik berkomentar bahwa partai ini merupakan bagian dari gerakan besar untuk mempromosikan pemahaman yang lebih literal terhadap Islam; beberapa khawatir bahwa PK/ PKS pada akhirnya akan mencoba memperkenalkan syari’ah (hukum Islam), yang dianggap bertentangan dengan pluralitas masyarakat Indonesia.10 Berbeda
7
8
9
Liqa adalah kelompok studi kecil, yang terdiri dari 5-7 orang, setiap kelompok diawasi oleh seorang mentor. Mereka mempelajari Islam bersama-sama, dan saling membantu, baik dalam kegiatan kampus dan di aspek lain dari kehidupan masing-masing. KAMMI berawal sebagai kelompok kecil di kota-kota di Jawa pada tahun 1990an. KAMMI semakin besar pada tahun 1999, Tiga tahun kemudian anggota KAMMI telah menempati posisi strategis dalam badan-badan mahasiswa di kampus, termasuk sebagai ketua Badan Eksekutif Mahasiswa. Kisah serupa terjadi pada banyak kampus di Indonesia. KAMMI juga memainkan peran penting saat terjadi protes mahasiswa di seluruh bagian negara pada periode Januari – Maret 1998, yang pada akhirnya melengserkan Presiden Soeharto setelah berkuasa 32 tahun, meskipun, pada kenyataannya, peristiwa ini lebih merupakan hasil rancangan politik dan bukan contoh kekuatan rakyat. Shihab dan Nugroho (2009, h. 235) menulis bahwa dalam dokumen resmi, partai membuat referensi yang jelas terhadap partai Masyumi yang dilarang Presiden Soekarno dan mendorong para pemimpin untuk membentuk DDII. Pada paragraf-paragraf sebelumnyadalam artikel ini telah disebutkan bahwa anggota DDII sangat aktif dalam mengembangkan Jemaah Tarbiah.
dengan partai lain seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan atau Partai Amanat Nasional (PAN), yang - paling tidak secara resmi - tidak memiliki hubungan dengan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah,11 PKS tidak memutuskan hubungan dengan Jemaah Tarbiah. Salah satu alasannya adalah karena Jemaah Tarbiah bukan organisasi formal, melainkan gerakan, sehingga tidak ada yang dapat menghubungkan keduanya secara pasti, sekaligus tidak ada yang bisa secara resmi melarang adanya hubungan tersebut. Faktor lain adalah, sebagaimana dinyatakan Jung (2009, h. 215), PKS perlu mempertahankan hubungannya dengan aktivis muda muslim untuk mempertahankan sumber-sumber rekrutmen. Gerakan tarbiah tidak terbatas pada bidang politik, tetapi juga berkembang di kancah budaya. Hal ini terlihat dari pembentukan organisasi sastra, Forum Lingkar Pena (FLP). Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan Mutmainah mendirikannya pada tahun 1997 dengan tujuan mengembangkan minat membaca dan menulis di kalangan muslim muda (Arnez, 2009, h. 48-49). Helvy Tiana Rosa dalam Arnez (2009, h. 51) menyatakan bahwa kegiatan mereka adalah bagian dari dakwah, menyebarkan ajaran Islam melalui tulisan. Arnez (2009, h. 53-54) menunjukkan bahwa FLP memiliki hubungan kuat dengan PKS. Situs PKS turut menyebarkan informasi tentang publikasi FLP dan beberapa blog anggota FLP mengakui bahwa FLP adalah sayap PKS di bidang budaya. Helvy Tiana Rosa dan Izzatul Jannah (pendiri lain FLP) sempat membangun karir politik mereka di PKS (Kailani, 2008, h. 69). Kemampuan FLP untuk mendirikan cabang di seluruh negara pun didukung oleh jaringan Jemaah Tarbiah yang telah berdiri sejak tahun 1990an. Hubungan antara buku pengembangan diri islami dan gerakan tarbiah cukup kuat, mengingat banyak penulis pengembangan diri islami yang diasuh oleh FLP selama bertahun-tahun. Salah satu penulis buku-buku yang dibahas di atas, anggota FLP, Rahman Hanifan, mengucapkan terima kasih kepada teman-temannya di PKS dalam halaman persembahan buku Change Now (2009, h. 5). Ucapan serupa juga dapat ditemukan dalam bukubuku karya penulis lain (juga anggota FLP). Kaitan ideologis antara buku-buku pengembangan diri islami dan gerakan tarbiah juga terlihat dalam tema dan bahasa yang digunakan dalam buku-buku tersebut. Buku-buku ini dikhususkan untuk membangkitkan kesadaran beragama, dan bukan mengangkat masalah di bidang yurisprudensi. Dengan demikian, tema mereka sejalan dengan apa yang diusung oleh gerakan tarbiah. Tak satu pun dari buku yang dibahas di sini menyebutkan kebutuhan untuk
10
11
Sebenarnya hanya dalam beberapa kasus PKS terlibat dalam penyusunan peraturan daerah syari'ah yang terkait. Penulis setuju dengan Jung (2002, h. 210) dan Mahmud (2006, h. 191201) bahwa PKS cenderung untuk membiarkan pihak lain melakukan 'islamisasi', tetapi mereka mendukung di latar belakang. Almarhum Abdurrahman Wahid dan Amien Rais masingmasing mendirikan PKB dan PAN. Wahid adalah ketua NU, dan Rais adalah pemimpin Muhammadiyah.
107
Hariyadi, Buku Pengembangan Diri Islami, Kepengaturan, dan Ideologi Islam menerapkan hukum Islam di depan umum. Machmudi (2006, h. 167) menunjukkan bahwa karakteristik yang khas dari gerakan tarbiah adalah komitmennya, di atas segalanya, untuk totalitas Islam yang meliputi semua aspek kehidupan manusia, dan penekanan pada kesadaran beragama. Dalam menanggapi masalah syariah, PKS, yang kerap dituding sebagai pihak yang menyebarluaskannya, telah berusaha untuk membuat syariah lebih diterima dalam kehidupan sehari-hari dan menggunakan istilah dakwah, bukan syariah. Tentu saja syariah tidak ditinggalkan, tetapi mereka telah mencoba untuk menghindari penggunaan istilah tersebut. Demikian pula semua buku pengembangan pribadi Islam yang dianalisis ini membahas pemaknaan spiritual atas semua kegiatan duniawi dalam lingkup Islam. Tulisan-tulisan dalam buku tersebut menekankan kebajikan individu dan kemurnian, praktik syariah dalam kehidupan seharihari (tanpa menyebutkan kata syariah), dan menghubungkannya dengan kebutuhan orang-orang muda. Sebagai contoh: para penulis Change Now! dan Be PeDe, Please! mendorong orang muda untuk berlatih salat baik wajib dan tidak wajib untuk menjaga kesehatan spiritual dan fisik. Dalam buku Let’s Go! Muslim Muda Berani Beda dan Upgrade Yourself, penulis buku meminta pemuda muslim untuk menyadari kesalahan mereka dan mengejar tujuan hidup dengan bim-bingan Al Qur’an dan Hadits. Istilah yang digunakan penulis buku dalam karya-karya mereka untuk menyebutkan rekan adalah ikhwan (pria) dan akhwat (perempuan): istilah ini juga digunakan oleh
PKS dan anggota tarbiah lainnya (Machmudi, 2006; Kailani, 2009 dan 2010). Keberhasilan gerakan tarbiah mengembangkan syariah di kalangan anak muda melalui buku pengembangan pribadi islami masih harus ditinjau, karena tidak semua anak muda muslim membacanya. Faktanya, sebagian anak muda hanya senang membaca fiksi, baik dari genre Islam atau lainnya. Kesimpulan Dalam tulisan ini, telah ditunjukkan bagaimana buku pengembangan diri islami di Indonesia merupakan replika buku pengembangan diri Amerika dari segi isi, meskipun ada pencampuran dengan ajaran Islam untuk menghasilkan hibrida. Wacana buku pengembangan diri berkaitan dengan gerakan Islam kontemporer yang semakin menonjol di Indonesia. Gerakan tersebut, yang diikuti oleh banyak penulis pengembangan diri islami, mempromosikan penerapan syariah dalam kehidupan sehari-hari umat Islam Indonesia, terutama kaum muda, meski tidak selalu menyebutkan label syariah. Penerbitan buku-buku pengembangan pribadi islami - banyak yang ditulis oleh anggota FLP - dengan teknologi manusia dalam wacana pengembangan diri, dapat menjadi sarana mencapai tujuan gerakan, yakni melakukan dakwah melalui tulisan, kepada kaum muda muslim di Indonesia. Namun demikian, masih diperlukan waktu untuk melihat tercapai tidaknya tujuan tersebut.
Daftar Pustaka Al Ikhwani, Fadlani. (2009). Let’s Go! Muslim Muda Berani Muda (Let’s Go! Young Muslims Dare to be Different). Yogyakarta: Book Magz Pro-U Media. Anker, Roy M. (1999). Self-Help and Popular Religion in Modern American Culture. Westport: Greenwood Press. Arnez, Monika. Dakwah by the Pen. Indonesia and The Malay World, Vol.37 No.107, Maret, h. 45-64. Bubalo, Anthony; Fealy, Greg; & Mason, Whit. (2008). Zealous Democrats: Islamism in Egypt, Indonesia and Turkey. Double Bay: Lowy Institute for International Policy. Burchell, Graham. (1996). “Liberal Government and Techniques of the Self” dalam Andrew Barry, Thomas Osborne & Nikolas Rose, Foucault and Political Reason: Liberalism, Neo-Liberalism and Rationalities of Government. London: UCL Press Limited. Campbell, Linda F & Smith, Thomas P. (2003). Integrating Self-help Books into Psychotherapy. JCLP/In Session: Psychotherapy in Practice, Vol.59 (2), h. 177-186. Casofa, Fachmy. (2010). BePeDe, Please! (Be Confident, Please!). Depok: Gema Insani. Covey, Stephen R. (1989). The Seven Habits Of Highly Effective People : Restoring The Character Ethic. Melbourne: Business Library. Eaton, Gale. 1981. Self-Help Book with Problems of Their Own. SLJ School Library Journal, February, h.32-33. Foucault, Michel. (1981). “The Political Technology of Individuals” dalam Luther H. Martin (ed), Technologies of The Self: A Seminar with Michel Foucault (h.145-158). Amherst, The University of Massachusetts Press. ______________. 1982. “Technologies of the Self” in Michel Foucault, Ethics, Subjectivity and Truth: The Essential Works of Michel Foucault 1954-1984. Volume One (edited by Paul Rabinow), h. 222-251. New York: The New Press. Gordon, Colin. (1991). “Governmental Rationality: An Introduction” dalam Graham Burchell, Colin Gordon & Peter Miller (eds.), The Foucault Effect: Studies in Governmentality with Two Lectures by and An Interview with Michel Foucault (h.1-52). Hertfordshire: Harvester Whesatsheaf.
108
Hakim, Lukman. (2007). Upgrade Yourself. Surakarta: Era Intermedia Hanifan, Rahman. (2010). Change Now: Jurus Duahsyat Muslim Huebat! (Change Now: The Great Movement from the Great Muslim). Yogyakarta: Pro U Media. Hazleden, Rebecca. (2003). Love Yourself: The Relationship of the Self with Itself in Popular Self-Help Texts. Journal of Sociology, Vol.39 (4), h.413-428. Hilkey, Judy. (1997). Character is Capital: Success Manuals and Manhood in Gilded Age America. Chapel Hill: The University of North Carolina Press. Hoesterey, James B. Sufis and Self-Help Gurus: Islamic Psychology, Religious Authority, and Muslim Subjectivity in Contemporary Indonesia. Thesis for the Degree of Doctor Philosophy at the University of Wisconsin-Madison. Illouz, Eva. (2008). Saving the Modern Soul: Therapy, Emotions, and the Culture of Self-Help. Berkeley: University of California Press. Johnson, Brad and Johnson, William. (1998). Self-Help Books Used By Religious Practitioners. Journal of Counselling and Development. Volume 76, Fall, h.459-466. Jowett, Garth & O’Donnell, Elizabeth. (2012). Propaganda & Persuasion. Thousand Oaks: SAGE. Jung, Eunsook. (2009). Taking Care of the Faithful: Islamic Organizations and Partisan Engagement in Indonesia. Thesis for the Degree of Doctor of Philosophy at the University of Wisconsin-Madison. Jones, Carla. (2010). Images of Desire: Creating Virtue and Value in an Indonesian Islamic Lifestyle and Magazine. Journal of Middle East Women Studies, Vol.6, No.3 (Fall), h.91-117. Kailani, Najib. (2009). Kami Adalah Mujahidin Berpedang Pena: Studi Gerakan Forum Lingkar Pena Yogyakarta (We Are Mujahidin with the Pen as Our Sword: A Study of Yogyakarta Pen Circle Forum Movement). Thesis for Master Degree in Anthropology at Universitas Gadjah Mada. ------------------. (2010). “Muslimising Indonesian Young peoples: The Tarbiyah Moral and Cultural Movement in Contemporary Indonesia” dalam Permata, Ahmad-Norma and Kailani, Najib,
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013 Islam and the 2009 Indonesian Elections, Political and Cultural Issues: The Case of the Prosperous Justice Party (PKS). Bangkok, IRASEC, h.71-94. Lichterman, Paul. (1992). Self-Help Reading as a Thin Culture. Media, Culture, and Society, 14, h.421-447. Machmudi, Yon. (2006). Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and The Prosperous Justice Party. Thesis for the Degree of Doctor of Philosophy at the Australian National University. McGee, Micki. Self-Help, Inc.: Makeover Culture in American Life. New York: Oxford University Press. Miller, Peter & Rose, Nikolas. (2008). Governing the Present:Administering Economic, Social and Personal Life. Cambridge: Polity Press. Norcross, John C. (2000). Here Comes The Self-Help Revolution in Mental Health. Psychotherapy: Theory, Research, Practice and Training, Vol.37, h.370-377. Permata, Ahmad-Norma. (2008). Ideology, Institutions, Political Actions: Prosperous Justice Party (PKS) in Indonesia. ASIEN, Vol.109, October, h.22-36. --------------------------------. (2010). “Islam and the 2009 Indonesian Elections, Political and Cultural Issues: the Case of the Prosperous Justice Party” dalam Permata, Ahmad-Norma & Kailani, Najib (eds). Islam and the 2009 Indonesian Elections, Political and Cultural Issues: The Case of the Prosperous Justice Party (PKS). Bangkok: IRASEC. Philip, Brigid. (2007). Governing liberal subjects: Foucault, Psychology and self-help books. http://arts.monash.edu.au/psi/news-
and-events/apsa/refereed-papers/political-theory/phillip.pdf, diakses pada tanggal 28 April 2012. Rose, Nikolas. (1996). Inventing Our Selves: Psychology, Power, and Personhood. Cambridge: Cambridge University Press. ____________. (1999). Governing the Soul: The Shaping of the Private Self, Second Edition. London: Free Association Books. Shihab, Najwa & Nugroho, Yanuar. (2009). The Ties That Bind: Law, Islamisation and Indonesia’s Prosperous Justice Party (PKS). Australian Journal of Asian Law, Vol.10 (December), h.233267. Simonds, Wendy. (1992). Women and Self-Help Culture: Reading Between The Lines. New Brunswick: Rutgers University Press. Smith-Hefner, Nancy J. (2007). Young people Language, Gaul Sociability and the New Indonesian Middle Class. Journal of Linguistic Anthropology, 17:2, h.184-203. Syamsuri, Ahmad R. (2009). Gerakan Dakwah Ikhwanul Muslimin dan Dakwah di Indonesia (The Proselytization Movement of Ikhwanul Muslimin and Proselytization in Indonesia). Jurnal El Hikmah, Vol.1, No.2 (May), h.99-108 Widiyah, T. (2008). Beauty is Easy. Jakarta: Studia Press. Wilson, Dawn M & Cash, Thomas F. (2000). Who Reads Self-Help Book? Development and Validation of the Self-Help Reading Attitudes Survey. Personality and Individual Difference. 29, h.119-129. Woodstock, Louise. (2005). Vying Constructions of Reality: Religion, Science, and “Positive Thinking” in Self Help Literature. Journal of Media and Religion, Vol.4:3, h.155-178.
109
Jurnal Komunikasi Indonesia kini dapat diakses secara online melalui http://journal.ui.ac.id atau http://journal.ui.ac.id/home/content/browse?key=J
110
Volume II Nomor 2 Oktober 2013 ISSN 2301-9816
JURNAL KOMUNIKASI INDONESIA
Dialektika Representasi Budaya Jawa: Hegemoni Kaidah Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa dalam Lirik Lagu Jogja Hip-hop Foundation P. Tommy Pamungkas Abstrak/Abstract Penelitian ini ingin mengkaji konsep representasi identitas budaya Jawa di dalam media dengan pendekatan kajian budaya kritis untuk membongkar ideologi anggota Jogja Hip-hop Foundation (JHF), sebagai bentuk representasi mental dalam pikiran dan kemudian diproyeksikan dalam representasi bahasa sebagai bentuk artefak budaya. Pertanyaan penelitian berfokus pada bagaimana hegemoni budaya Jawa terepresentasi dalam pesan lirik lagu JHF dan mengapa hegemoni budaya Jawa tersebut yang terbentuk dalam pesan lirik lagu. Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam menyikapi isu-isu negatif yang dekat dengan anak muda dalam masyarakat modern, orang-orang harus kembali ke seperangkat nilai dan perilaku yang sesuai dengan kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa agar tidak terjadi kehancuran. Dialektika dalam hegemoni muncul dalam representasi budaya Jawa di pesan lirik lagu mereka. This study observes the representation of Javanese cultural identity in the media with a critical cultural studies approach to dismantle the ideology of members of Jogja Hip-hop Foundation ( JHF ), as a form of mental representations in their minds and then projected in the representation of language as a form of cultural artifacts. The research question mainly focuses on how the cultural hegemony of Java represents in lyrics message and why this patticular hegemony could be formed in the lyrics. The results showed that in addressing the negative issues which are near to the lives of young people in modern society, people have to go back to a set of values and behavior in accordance with the basic rules of the Java community life in order to avoid destruction. Dialectics in hegemony emerges also as a part of the representation of Javanese culture in their song messages.
Kata Kunci/Keywords framing lagu, hegemoni, kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa, JHF, representasi bahasa, representasi mental framing, hegemony, JHF, language representation, mental representation, the basic rules of Javanese society
Universitas Indonesia Kampus UI, Depok 16424
[email protected]
Pendahuluan
S
ignifikansi budaya Jawa memiliki konteks yang kuat di Indonesia. Sejak kelahiran bangsa ini, ideologi yang mendasari pemikiran para nasionalis telah dipengaruhi dengan tradisi yang mencerminkan kebudayaan Jawa. Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto dikenal luas sebagai pengikut aliran Kejawen di mana langkah-langkah politik mereka sangat dipengaruhi dengan nilai-nilai dan terminologi Jawa (Gunn, 1979). Signifikansi tersebut ada karena sejarah bangsa ini yang dekat dengan eksistensi masyarakat Jawa dan dipertahankan hingga sekarang dengan konteks dan 111
P. Tommy Pamungkas, Dialektika Representasi Budaya Jawa mode yang berbeda, atau hegemoni budaya Jawa. Dalam konteks sejarah Jawa, setelah berakhirnya Perang Jawa pada tahun 1830, kaum bangsawan Jawa kehilangan fungsi pemerintahan dan kekuasaan yang dulu dimilikinya. Dilindungi penguasa kolonial, bangsawan yang dahulunya pejuang menjadi keluarga istana dan lalu mengembangkan suatu kebudayaan yang amat rumit serta berpusat di keraton. Beberapa perkembangan kebudayaan keraton yang tercermin dalam karya sastra besar pada abad ke-19 memiliki kecenderungan untuk mengembangkan kehalusan budi bahasa demi kepentingannya sendiri. Perkembangan yang disebut Niels Muelder sebagai involusi ini tidak disertai dengan pembaruan, yang diumpamakan sebagai tindakan yang mencekik diri sendiri, terlalu terspesialisasi seperti seekor dinosaurus, dan oleh karena itu akhirnya menuju kepunahan (Mulder, 1985). Sedikit banyaknya tampak bentuk-bentuk kebudayaan Jawa sedang mengalami pembangunan kembali. Akan tetapi bentuk-bentuk itu harus diturunkan terlebih dahulu ke tingkat yang lebih kasar, tingkat ngoko, sebelum dapat tumbuh dengan vitalitas baru. Pandangan bahwa yang halus adalah baik dan wajar, dan apa pun yang kasar harus dipandang rendah, adalah pandangan usang. Apabila kebudayaan rakyat pada masa lalu sedikit banyak ditahan oleh patokan kehalusan yang terkemuka, kini tampak kebudayaan dapat berfungsi sebagai suatu sumber yang amat penting bagi pembaruan dan inspirasi. Oleh karena itu Yogyakarta dicatat sebagai kota yang penuh dengan vitalitas dan bahwa rakyatnya akan memainkan peranan penting dalam mengisi kekosongan budaya yang ditimbulkan oleh rusaknya kebudayaan keraton yang dulu demikian penting. Pendukung dari kebudayaan yang diremajakan ini kebanyakan adalah anggota dari kelas menengah baru yang menyemangati dirinya dengan macammacam sumber inspirasi. Di antaranya, unsur Jawa memainkan peranan penting. Namun cara pengungkapan dan gaya mereka cenderung ke arah spontanitas dan keterbukaan pikiran, yang berlawanan dengan model lama (Mulder, 1985). Penulis Landung Simatupang mengamati perubahan yang tengah terjadi pada budaya Jawa kontemporer. Ia berharap bahwa akar kebudayaan Jawa masih dipelihara namun di saat yang sama menghimbau agar masyarakat Jawa juga mau membuka diri. Masyarakat Jawa tidaklah lepas dari masyarakat yang lebih luas, serta turut ambil bagian dalam dinamikanya, sehingga tidak hidup terisolasi dalam suatu kondisi. Harapan Simatupang adalah agar pengaruh-pengaruh tersebut direspon dan diambil yang sesuai dengan konteks budaya Jawa, dan agar masyarakat Jawa sendiri mau memberi hasil olahan kekayaan Jawa yang baru sebagai bentuk ekspresi kontemporer tanpa meninggalkan akar kebudayaan (Simatupang dalam Mohhamad & Hutagaol, 2010). Hal tersebut dilihat Frans Magnis-Suseno (1991) sebagai ciri khas kebudayaan Jawa. Ia berpendapat bahwa ciri khas budaya Jawa adalah terletak pada kemampuannya yang luar biasa untuk membiarkan dirinya dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar, dan dalam banjir itu, ia mempertahankan keasliannya. Kebudayaan Jawa justru tidak menemukan diri dan mengembang112
kan ciri khasnya dalam isolasi, melainkan melalui pencernaan masukan-masukan kultural dari luar. Hindu, Buddha, dan Islam dirangkul dan pada akhirnya budaya Jawa semakin menemukan identitasnya (Magnis-Suseno, 1991). Pada akhirnya penulis berpendapat bahwa di tengah gelombang modernisasi yang menghantam budaya Jawa, budaya Jawa tetap mampu menemukan identitasnya. Hal itu dapat dilihat dari fenomena rap Jawa, Jogja Hip-hop Foundation (JHF), di mana nilai-nilai dasar budaya Jawa masih dijumpai dalam pemikir-an dan karya seni kontemporer rap yang vulgar. Menurut Tony Mitchell (2001, 2001, 2009), musik rap sering melalui rekontekstualisasi sesuai dengan aspek ruang dan waktu yang mereka hadapi. Musik rap juga menjadi kendaraan dalam menyalurkan aspirasi dan pemikiran. Rekontekstualisasi dalam bentuk penggunaan dan pengemasan ulang musik rap oleh JHF menjadi sorotan utama dalam kajian ini terkait dengan kehadiran mereka sebagai pelaku media, agen budaya, dan seniman. Budaya Jawa yang terikat kuat dengan JHF menjadi panduan dalam cara JHF melakukan rekontekstualisasi. Rekontekstualisasi dilakukan atas muatan musik rap yang umumnya ditentang karena karakterisitiknya yang kontroversial – terutama dalam penggambaran kekerasan, seks dan materialisme – menjadi bermuatan lokal, pribumi serta berkaitan dengan budaya Jawa. Hal tersebut muncul karena dominasi budaya Jawa dalam realitas sosiokultural para pelaku, sehingga kemudian mereka mereproduksinya melalui medium dan bentuk yang dekat dengan mereka. Efek sosial dari ini adalah bahwa identitas budaya Jawa dapat dipertahankan melalui artefak budaya atau karya-karya JHF. Jogja Hip-hop Foundation (JHF) Musik rap Jawa di Yogyakarta sebenarnya sudah tersiar di radio lokal sejak tahun 1990-an. G-Tribe adalah pelopor dengan lagu-lagunya yang popu-ler seperti “Melu Menek Jambe”, “Jelangkung”, “Jogo Parkiran”, dan lain sebagainya. G-Tribe tersebut kemudian bubar dan berubah menjadi Caludra, atau yang sekarang terkenal dengan nama Rotra (Mohhamad & Hutagaol, 2010). Kehadiran G-Tribe disusul dengan grup Jahanam yang muncul pada tahun 2003 dengan lagunya yang terjual sebanyak 20.000 kopi, “Tumini” (Mohhamad & Hutagaol, 2010). Didirikan oleh Marzuki Mohammad alias Kill DJ pada tahun 2003, Jogja Hip-hop Foundation (JHF) terdiri dari personil-personil pribumi Yogyakarta yang fokus pada musik dengan genre rap/hip-hop. Sebagian besar dari mereka menggunakan bahasa Jawa tradisional (KilltheDJ, 2011). JHF beranggotakan beberapa musisi rap lokal Yogyakarta; seperti Rotra yang terdiri dari Janu Prihaminanto (atau biasa dipanggil Ki Ageng Gantas) dan Lukman Hakim (atau yang dikenal dengan Raja Pati). Jahanam terdiri dari Heri Wiyoso (atau biasa dipanggil M2MX [Momox]) dan Balance Perdana Putra, serta juga Soimah Pancawati dan Marzuki Mohammad (Mohhamad & Hutagaol, 2010). Kehadiran JHF pun semakin dikenal luas oleh masyarakat melalui karya-karyanya. Yang pertama adalah melalui album kompilasi yang tergabung
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
dalam Poetry Battle 1 dan Poetry Battle 2 (thebuzz, 2011). Serta juga melalui Hiphopdiningrat, sebuah film dokumenter potret perjalanan JHF yang menceritakan cara mereka mengawinkan musik urban dengan tradisi akar mereka, termasuk bahasa Jawa (Mohamad, 2011). Konser tunggal pun diadakan oleh JHF di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 27-28 April 2012. Sejumlah 800 tiket yang ditawarkan habis terjual pada kesempatan itu. Mereka juga telah mengadakan tur di Singapura, New York, dan sepuluh kota lain di Amerika Serikat pada November 2012 (Mohamad, 2011). Hegemoni Budaya Jaya: Representasi dalam Lirik Lagu JHF Budaya Jawa dalam kajian ini menyoroti kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa. Geertz (1961) mengemukakan bahwa ada dua kaidah hal yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah pertama mengatakan bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Kaidah kedua menuntut agar manusia dalam cara bicara dan dalam membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Magnis-Suseno (1991) menyebut kaidah pertama sebagai prinsip kerukunan, sedangkan kaidah kedua disebut dengan prinsip hormat. Kedua prinsip itu merupakan kerangka normatif yang menentukan bentuk-bentuk konkret semua interaksi. Tuntutan dua prinsip itu selalu disadari oleh orang Jawa. Sebagai anak, misalnya, seseorang telah membatinkannya dan sadar bahwa masyarakat mengharapkan agar perilakunya selalu sesuai dengan dua prinsip itu (Geertz, 1961). Melalui analisis Gamson (1996), makna dari pesan lagu yang hendak disampaikan oleh JHF digali. Analisis Gamson menjadi alat untuk melihat bagaimana makna dibangun oleh JHF dalam struktur pesan lagu. Lirik lagu didekati sebagai data primer dalam penelitian ini. Lirik ini menggambarkan peta konseptual individu atau subjek yang disebut sebagai representasi mental yang termanifestasi dan dikomunikasikan (Hall, 1997). Di sini, bahasa berperan untuk mengkonstruksi makna. Di dalamnya, peta konseptual tersebut tampak, baik melalui katakata tertulis, suara yang terucap atau gambar visual tertentu (Hall, 1997). Kemudian terpilihlah tiga lagu yang signifikan dalam isu kajian ini, yaitu “Kulonuwun” oleh Rotra, “Gangsta Gapi” oleh Jahanam dan Rotra, serta “Jula Juli Lolipop” oleh Kill the DJ (Marzuki Mohhamad) dan Rotra. Berdasarkan analisis framing terhadap lagu-lagu JHF ditemukan bahwa JHF memberikan respon spesifik terhadap tiap konteks yang mereka temui dalam masyarakat modern saat ini. Seperti dalam lagu “Kulonuwun”, konteks yang tertulis di lirik tersebut terkait dengan pergaulan antarteman di sebuah komunitas. Sedangkan di lagu “Gangsta Gapi”, konteks yang muncul adalah relasi mengenai anak dengan orangtua dan sekolahnya. Di lagu “Jula-Juli Lolipop”, konteks yang hadir adalah bagaimana relasi seorang seniman dengan masyarakat setelah mengalami kesuksesan. Dalam lagu “Kulonuwun”, kaidah dasar kehidu-
pan masyarakat Jawa ditekankan sebagai sesuatu yang harus diusahakan bersama. Potensi konflik disruptif menjadi semakin nyata ketika dua pihak bertentangan. Pihak pertama adalah yang sudah berlaku sesuai dengan kaidah dasar kehidupan tersebut, seperti berlaku prinsip hormat dan prinsip rukun, mencoba mewujudkan kondisi yang damai, tenang dan tentram (Wonten dinten menika mboten pareng crah sulaya. Supados kawontenan tansah tentrem, adem, ayem. Ati marem, mesam-mesem lan sumringah ugi bungah). Pihak pertama ini ditanggapi pihak kedua dengan buruk, dengan sikap sombong, merasa benar sendiri dan perilaku lainnya yang tidak sesuai dengan prinsip rukun dan kehormatan (Jarene wis ra sudi, kok isih dha ngrasani. Kanca-kanca sing arep dha mulai gapi. .... Kok wantun eyel-eyelan nopo pancen ampuh tenan). Disebutkan bahwa pihak yang tidak diperlakukan sesuai dengan kaidah dasar kehidupan masyarakat tersebut sudah siap untuk berkonfrontasi, mengangkat senjata dan mengamuk (Matek aji, gaman sami, dipun unus ing ngarsa Menawi mekaten mangga sinten badhe ngendika). Hal ini merupakan representasi lepasnya kontrol psikis yang mendorong seseorang untuk bereaksi secara konfrontatif dalam bentuk letusan kemarahan. Sedangkan dalam lagu “Gangsta Gapi”, JHF menekankan bahwa kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa dalam konteks keluarga digerakkan kekuatan simpati spontan, cinta, kasih sayang atau tresna. Saiki coba sapa sing wis ngragati, Ngrumat rupamu wiwit seko bayi, Nek mung dinengke kowe ra mbejaji, Mulane dhapurmu rasah dha kemaki. Walah le.. kowe arep dadi opo Nek arep tumindak ngiwa, Malah mesake wong tuwo, Eman eman sik ngeki upo, Tumindak culika mbok yo dipikir dawa, Rasah neko-neko urip sing prasaja. Anak di dalam masyarakat Jawa dianggap seba-gai pribadi Jawa yang belum dewasa. Mereka masih rawan akan egoisme dan hawa nafsu dalam berperilaku serta belum mampu menjadi bagian tatanan sosial dalam masyarakat dengan baik (Duit SPP malah nggo mabuk ro konco-konco, Ra mikir wong tuwo sing nggolek nganti ngoyo, Nganti ngelus dodo utang tonggo-tonggo. Karepe kabeh sing ngalah, karepe kabeh sing salah). Ada risiko hal ini akan memicu konflik terbuka di masyarakat dan mengganggu ketenteraman dan keselarasan (Nek ora nggugu awas mengko cilaka). Sehingga dalam tataran keluarga, kaidah dasar masyarakat Jawa diwujudkan melalui pendekatan tresna, termasuk dalam menangani anak yang pribadinya belum dewasa tersebut. Sedang dalam lagu “Jula-Juli Lolipop”, JHF mengaitkan kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa terkait pekerjaan dengan sikap luhur pribadi Jawa: sepi ing pamrih, rame ing gawe. Seniman dalam lagu digambarkan sebagai orang yang lupa akan hakikat tugasnya dan pentingnya peran masyarakat dalam tatanan sosial meskipun telah menjadi kaya. Ia berkarya karena insiatif dan tanggung jawab pribadi, yakni keuntungan komersial dan lakunya karya dia di pasaran, bukan pada pemenuhan tempat di mana ia tinggal serta patuh pada tatanan sosialnya. Seharusnya, sebagai seniman mampu menggambarkan 113
P. Tommy Pamungkas, Dialektika Representasi Budaya Jawa kondisi rakyat sekitar yang hidup menderita. Hal ini menjadi inti sikap luhur sepi ing pamrih, rame ing gawe. Kepengen mbeken pengen dadi ngetop karyane laris tur senine mati, sing dibojo nilai rupiah lan dolare re, golek cara ben payu laris dagangane ne, karya senine lali nggambarke rakyate te, rakyat sing urip sengsara apes nasibe e, inspirasine wis ilang dipendhem mati ti, rasa solidaritase wis podo lali li, karya seni kontemporer jaman saiki ki, mung koyo emutan ning ilat krasa legi gi. Keinginan untuk tetap laku, keren, dan unggul (atau mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan masyarakat) dalam lagu tersebut dinilai menyebabkan degradasi dalam peran seni di masyarakat (karya seni koyo dagangan jenang dodol seni kok saya mawut wis modhol-modhol). Perubahan sikap seniman terhadap masyarakat setelah keberhasilan komersial dianggap menimbulkan kejengkelan dan kekecewaan masyarakat. Akibatnya, pemenuhan fungsi dan tatanan pekerjaan seniman di dalam masyarakat yang tidak menjunjung sikap sepi ing pamrih rame ing gawe tersebut mengganggu keberlangsungan ketenteraman dan keharmonisan yang dicita-citakan kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa. Melalui analisis Gamson (1996) atas lirik JHF berdasarkan konsep kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa Magnis-Suseno (1991), bahwa lirik lagu JHF membentuk analisis tipos ideal. Tipos ini mengisi ruang kosong representasi bahasa dalam sistem representasi identitas budaya Jawa, terutama terkait kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa. Melalui penggunaan bahasa dalam lirik lagu-lagu tersebut, JHF ingin bertukar makna dan konsep mereka dengan para pendengar terkait fenomena dan isu yang mereka temui. Konsep dan makna yang mereka komunikasikan membentuk jalinan yang memberikan gambaran identitas budaya ideal, atau budaya yang hendak ditampilkan dalam lagu tersebut. Representasi identitas budaya Jawa dalam lirik lagu memiliki beragam konteks pada lagu JHF. Konsep-konsep seperti kesombongan dalam pergaulan manusia, hedonisme dalam perilaku anak, serta komersialisasi dalam seni, diangkat dalam lagu-lagu mereka. Di antaranya melalui “Kulonuwun”, “Gangsta Gapi” dan “Jula-Juli Lolipop”. Mereka menampilkan konsep-konsep tersebut dengan menggambarkan pengalaman orang lain yang mereka ceritakan melalui lagu. Penekanan diberikan pada sifat, sikap, cara bicara dan perilaku. Mereka menawarkan tanggapan, kritik, dan solusi bagi isu serta kondisi tersebut melalui lirik-lirik mereka. Mereka mengatakan bahwa apabila isu seperti kesombongan dalam pergaulan manusia, hedonisme dalam perilaku anak, serta komersialisasi dalam seni tersebut dibiarkan saja, maka hal tersebut akan menimbulkan konsekuensi berupa rentetan dampak negatif, bahaya, amukan, dan konflik, yang hadir di tengah kehidupan masyarakat. Yang utama, konsekuensi ini mengancam eksistensi identitas budaya Jawa dalam diri orang-orang tersebut. Pengenalan konsekuensi ini adalah respon terhadap kehancuran nilai sosial dalam masyarakat, kehancuran nilai batin dari anak 114
dalam keluarga, dan rusaknya nilai karya sebagai falsafah pekerjaan dalam masyarakat Jawa. Berikutnya JHF mengkonstruksi isu ini sebagai suatu hal yang dapat ditanggulangi dengan menerapkan kembali ke nilai Jawa. Hal ini dilakukan melalui kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa. Melalui lirik-lirik mereka, JHF memberikan solusi, nasihat dan harapan-harapan yang dalam budaya Jawa sangatlah sesuai dengan kaidah dasar kehidupan yang menjadi tumpuan masyarakat Jawa selama ratusan tahun. Dengan begitu mereka menekankan agar masyarakat modern, dalam menyikapi isu dan konteks negatif yang muncul di tengah mereka, untuk kembali kepada konsep nilai-nilai dasar yang sejak dahulu sudah mengatur kehidupan dan interaksi masyarakat Jawa. Hal ini sebagaimana dirangkum dalam prinsip kerukunan dan kehormatan. Kaidah dasar kehidupan tersebut menjadi inti agar tiap pribadi selalu menerapkan prinsip kerukunan dan kehormatan secara bersama-sama, mampu mengontrol hawa nafsu dan egoisme, serta setia terhadap peran dan tanggung jawab mereka dalam tatanan sosial yang dibangun bersama. Keadaan yang tenang, selaras, dan harmonis serta keteraturan hierarkis yang dicita-citakan bersama dalam masyarakat dapat terwujud apabila manusia kembali menghayati kaidah tersebut. Temuan tersebut menunjukan adanya hegemoni dalam representasi budaya Jawa, khususnya dalam pesan lagu JHF. Hal ini dikarenakan data framing yang didapat dari lagu “Kulonuwun”, “Gangsta Gapi” dan “Jula-Juli Lolipop” mengkonfirmasi paparan kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa oleh Frans Magniz-Suseno (1991). Di antaranya adalah cita-cita masyarakat yang damai, tenang dan selaras, nilainilai belas kasihan dan pengorbanan, pemaknaan sikap sepi ing pamrih rame ing gawe, dan sebagainaya. Dalam kajian budaya konsep hegemoni menunjukan bagaimana proses pemaknaan sehari-hari, representasi dan aktivitas yang ditentukan oleh kepentingan kelas dominan sebagai suatu hal yang alamiah, tidak terhindarkan, kekal, dan menjadi hal tidak dapat diperdebatkan. Ketika dominasi terjadi di tataran kesadaran dan representasi, maka akan teridentifikasi pula pengalaman sosial, budaya, dan individual yang berhubungan erat dengan struktur kekuasaan. Secara singkat, hegemoni menetralisasi apa yang secara historis merupakan pertentangan ideologi kelas tertentu, menjadi sesuatu yang umum, wajar, dan common sense (O’Sullivan, Hartley, Saunders, Montgomery, & Fiske, 1994). Dari perspektif teori ini, ranah budaya ditandai dengan perjuangan untuk berartikulasi, tidak berartikulasi, atau berartikulasi kembali. Hal ini bermanifestasi melalui teks dan praktik kultural terkait ideologi tertentu. Karena bermacam-macam makna berbeda diasosiasikan dengan teks atau praktik kultural yang sama, maka makna menjadi situs dan hasil dari perjuangan. Dengan demikian, hegemoni terlihat melalui representasi dalam teks media terkait konstruksi pemahaman dan ideologi dominan dalam sebuah konteks wacana (Storey, 2003). Teknik ilustratif membuktikan bahwa hegemoni kaidah dasar, yang terbagi menjadi prinsip kerukunan dan kehormatan, dikonstruksi dan dimaknai di dalam lagu. Konsep-konsep seperti perilaku rukun,
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
sikap hati, cara bicara dan pembawaan diri dalam tatanan sosial, dibangun melalui lirik sebagai medium bahasa. Dominasi nilai terkait kaidah dasar kehidupan Jawa dalam pesan lagu menunjukan adanya hegemoni. Representasi Mental JHF dan Budaya Jawa Representasi mental JHF ditelusuri melalui analisis wawancara mendalam dengan para personil JHF, yaitu Ki Ageng Gantas, Kill the DJ dan M2MX. Terkait dengan kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa, hasil analisis terbagi menjadi dua: prinsip kerukunan dan prinsip kehormatan. Tipos ideal prinsip kerukunan dapat dirangkum dalam dua pandangan utama. Pandangan pertama adalah bahwa prinsip kerukunan dalam budaya Jawa berhubungan dengan menghindari konflik dalam berinteraksi. Beberapa contoh antara lain adalah penyampaian kepentingan yang bertentangan dan penyampaian ketidakcocokan dengan cara tidak langsung; menjajaki situasi, ‘dibungkus’, tenang, tidak bingung, dan tidak menyinggung orang lain walau diri sendiri merasa jengkel dan kecewa; mendahulukan kepentingan masyarakat di atas kepentingan diri sendiri; mawas diri dalam mentoleransi kepentingan yang bertentangan; tidak merugikan orang lain dan gotong royong dalam bentuk membantu sesama serta memelihara hubungan baik dengan masyarakat. Menghindari konflik dalam berinteraksi serta mendahulukan kepentingan masyarakat di atas kepentingan diri sendiri – dalam prinsip kerukunan – sama-sama memiliki tujuan ketenangan dan keselarasan sosial dalam masyarakat. Pandangan kedua percaya bahwa masyarakat Jawa tidak lagi dapat dibatasi oleh prinsip kerukunan dalam berinteraksi, terutama ketika menghadapi kepentingan yang berlawanan serta ketidakcocokan. Hal tersebut terlihat melalui kesaksian salah seorang responden yang mengatakan bahwa konflik dalam bentuk argumentasi dan perdebatan membuat interaksi sosial lebih hidup. Lebih jauh lagi, ternyata ada yang menyampaikan langsung saat itu juga kepada orang yang bersangkutan, ada yang tidak langsung dan dijajaki terlebih dahulu, serta ada yang melihat konteks terkait pekerjaan atau tidak, dan melihat Jakarta sebagai referensi dalam interaksi mereka. Pandangan ini dalam kerangka budaya Jawa menjadikan penerapan prinsip kerukunan dalam masyarakat tidak berkesinambungan dan tidak diusahakan secara bersama. Pandangan ini tidak sesuai dengan prinsip kerukunan kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa karena memiliki potensi konflik yang mengganggu ketenangan dan keselarasan sosial dalam budaya Jawa JHF mengkonfirmasi bahwa prinsip hormat dalam masyarakat Jawa terhubung kuat dengan cara berbahasa. Bahasa krama menjadi bentuk penghargaan terhadap kedudukan dan derajat orang lain di mana yang lebih tinggi dihormati dan yang lebih rendah diayomi dan dirangkul dalam sikap kebapakan dan dengan tanggung jawab. Tipos ideal juga memberikan kesesuaian pembawaan diri berdasarkan prinsip hormat dalam pemahaman mereka. Pembawaan diri yang rendah hati atau tidak sombong, sopan, dan mampu menghargai orang lain – baik yang berposisi
hanya masyarakat kecil biasa hingga yang mempunyai uang, keturunan ningrat atau jabatan – merupakan nilai kehormatan Jawa. Pembawaan diri dan cara bicara tersebut, menurut mereka, dirangkum dalam unggah-ungguh, aturan dan tatanan yang berlaku di masyarakat Jawa, yang mengatur pribadi dalam bersikap yang lebih halus, lebih toleran, ada rasa malu dan menghargai saat berinteraksi dengan orang tua, dan orang asing. Akan tetapi penanaman unggah-ungguh prinsip hormat pada anak di lingkungan keluarga, dan masyarakat lah yang menimbulkan perbedaan dalam tipos ideal kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa. Distribusi prinsip yang secara adat Jawa biasa disokong perasaan wedi, isin, dan pakewuh tersebut, dipertanyakan kesesuaiannya dengan konteks masa kini karena menurut mereka hal tersebut konservatif dan tidak terlalu sesuai. Terkait konteks ini, ada beberapa poin yang ditekankan oleh JHF mengenai distribusi nilai kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa. Menurut dia, rap Jawa merupakan usaha untuk ikut melestarikan budaya Jawa dengan cara baru. Ia merasa anak muda Jawa di zaman sekarang juga mengalami kesulitan dalam mempelajari budaya Jawa, termasuk bahasa Jawa ngoko maupun krama. Dengan penggunaan bahasa Jawa, ia membuat pendekatan baru yang diharapkan lebih mudah untuk diserap oleh anak muda. Bahasa Jawa yang ia coba distribusikan akan membantu penanaman prinsip hormat apabila dilakukan dengan baik. Di sisi lain budaya Jawa pun akan terpengaruh oleh pemaknaan nilai-nilai di dalam lagu rap. Menurut Kill the DJ, budaya Jawa sudah mulai berubah. Pandangan yang berbeda ketika berinteraksi dengan kepentingan berbeda serta perasaan wedi, isin, dan sungkan dalam prinsip hormat, ia kaitkan dengan perubahan yang ada di sekitar. Menurutnya, pikiran manusia dipengaruhi oleh lingkungan termasuk kebudayaan sekitarnya. Pengaruh tersebut dapat datang dari keluarga, masyarakat, hingga informasi antarbenua yang semakin mudah diakses. Pengaruh yang bervariasi dari era ke era tersebut berdampak pada perubahan manusia, termasuk masyarakat Jawa dan tradisi Jawa. Ia mencotohkan bahwa Keraton Yogyakarta yang biasanya penuh aturan dan terasosiasi kuat dengan unggah-ungguh Jawa, yang dilihat banyak orang kini sebagai kota yang tradisional dan elitis-romantis mengenai budaya Jawa, kini turut bertransformasi. Sebuah ilustrasi adalah Sri Sultan yang mengundang JHF untuk masuk dan tampil di lingkungan keraton. Sri Sultan sebagai orang nomor satu di Yogyakarta dinilai memberi perbedaan pada tatanan sosial Jawa di masyarakat zaman sekarang. Oleh karena itu, pandangan tradisi dan kebudayaan Jawa yang ditemukan berbeda-beda tersebut diyakini Kill the DJ sebagai hal yang tidak bisa digeneralisasi (dialektika). Rumusan masalah kedua, terkait alasan hegemoni budaya Jawa, dapat dirangkum menjadi tiga hal. Pertama, adanya representasi mental yang mereka miliki tentang paham prinsip kerukunan dan prinsip hormat yang sesuai dengan uraian kaidah dasar ideal. Kedua, terkait dengan alasan mengapa isu dan konteks tersebut yang mereka ambil menjadi ide lagu. Misalnya, kritik terhadap hierarki komunitas rap, pengalaman pergaulan dengan anak muda yang 115
P. Tommy Pamungkas, Dialektika Representasi Budaya Jawa suka mabuk-mabukan, hingga kritik terhadap meledaknya pasar seni di Yogyakarta. Sementara poin ketiga terkait motivasi JHF menyanyi sebagai upaya ikut melestarikan budaya Jawa dengan cara yang baru. Hal ini memiliki implikasi terhadap nilai dan bahasa Jawa krama. Meskipun terdapat dialektika antara nilai-nilai budaya Jawa yang muncul dalam entitas JHF, ini ada sebagai bentuk respon JHF terhadap lingkungan sosiokultural sekitarnya -- termasuk keluarga -- yang masih terus menginternalisasi nilai tersebut (hegemoni). Tinjauan Kritis Kehadiran JHF Hal yang menarik dari hegemoni budaya Jawa yang tampak dalam lagu JHF tersebut adalah signifikansi historisnya, khususnya perubahan masyarakat Jawa setelah Perang Jawa hingga sekarang. Dalam penelusuran sejarah, Mulder (1985) menguraikan bahwa bangsawan keraton Jawa pada era kolonialisme tercabut dari masyarakat, kehilangan fungsinya, dan menjadi bawahan penjajah. Mereka memiliki kecenderungan untuk mengembangkan kehalusan budi bahasa untuk kepentingannya sendiri. Hal ini disebut Mulder sebagai involusi tanpa disertai pembaruan. Ia mengumpamakannya sebagai tindakan mencekik diri sendiri karena terlalu terspesialisasi, bak seekor dinosaurus, dan oleh karena itu akhirnya menuju kepunahan. Mulder mengatakan perkembangan kehidupan budayanya yang halus dan terlewat rumit lebih merupakan hasil dari ketidakberkuasaan terkait kolonialisme ketimbang ciri pembawaan Jawa yang khas. Sementara kebudayaan Jawa terisolasi di dalam lingkungank, gagasan-gagasan modern terus berdatangan. Pemikiran-pemikiran pada zaman kolonial datang dari peradaban Barat dan Timur Tengah. Pemikiran ini mulai mengembangkan pengaruh dan menyebabkan tumbuhnya elit kebudayaan baru yang tadinya bersifat pinggiran atau bahkan bertentangan dengan kebudayaan istana. Perubahan-perubahan tersebut terjadi dengan lebih cepat dibandingkan zaman sebelumnya, karena adaptasi masyarakat terhadap teknologi dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tatanan sosial yang dahulu berbasis hierarki Keraton, beserta seperangkat pengaturnya, bergeser menjadi bentuk lain. Namun setelah dikaji, hegemoni nilai-nilai dalam lagu-lagu JHF merupakan bentuk tanggapan terhadap perubahan masyarakat Jawa karena adanya pengaruh luar. Disebutkan bahwa dalam masyarakat modern, hierarki menguntungkan mereka yang memiliki uang dan orang-orang berusaha yang dekat dengan mereka juga merasa terjamin dan terlindungi karena sumber daya material mereka yang lebih unggul. Memperluas perlindungan dilakukan sambil mengumpulkan uang yang mereka perlukan untuk ambil bagian dalam kehidupan masyarakat modern. Mereka lebih suka memperhatikan urusan mereka sendiri tanpa peduli kebutuhan orang lain, terutama jika urusan tersebut mengancam sumber daya mereka, dan menambah beban. Isu orang yang memperluas perlindungan, sibuk mengumpulkan uang, tidak peduli urusan orang lain terutama yang mengancam sumber daya dan menambah beban, misalnya, diangkat dalam lagu “Jula-Juli Lolipop”. Mereka me116
masukkan isu tersebut dalam figur seorang seniman yang sibuk mengumpulkan uang dan menjadi kaku terhadap teman-temannya serta tidak mencirikan masyarakat sekitar dia yang kesusahan dan menderita. Perubahan masyarakat Jawa menjadi tergambar jelas pada narasi lagu tersebut, di mana meskipun hierarki berubah, nilai kebudayaan Jawa dipertahankan melalui lagu JHF. Lagu-lagu JHF tersebut juga mampu menggambarkan perubahan ikatan dalam masyarakat. Pengaruh-pengaruh dari luar membawa perubahan mendasar dalam ikatan masyarakat Jawa (Mulders, 1985). Masyarakat menjadi kurang berminat terhadap kerukunan, gotong royong, solidaritas, dan lebih berorientasi pada gaya hidup perkotaan. Ikatanikatan masyarakat tampak mengendur, yang tidak hanya disebabkan oleh keterlibatan yang lebih besar kepada dunia luar, tetapi juga pandangan bahwa sistem terdahulu mengenai kewajiban terhadap satu sama lain dipandang sebagai sesuatu yang menyusahkan. Dalam proses itu, hubungan-hubungan yang sebelumnya bersifat wajib cenderung untuk menjadi lebih praktis dan bisa ditebang pilih. Lagu “Jula-Juli Lolipop” mampu menggambarkan kurang berminatnya seseorang terhadap kerukunan, gotong royong, solidaritas, dan lebih berorientasi pada gaya kehidupan kota. Hal ini dilakukan melalui penggambaran seniman yang hanya menuruti keinginan pasar agar dagangannya laku, kehilangan rasa solidaritas dan berorientasi pada kehidupan perkotaan dengan hobinya yang suka berbelanja dan berwisata. Hubungan-hubungan yang sebelumnya bersifat wajib, kini cenderung menjadi lebih praktis dan bisa dipilih-pilih. Hal ini dapat dicermati dalam lagu Kulonuwun. Awalnya, dalam lagu tersebut, Rotra, sebagai pihak yang ingin memasuki sebuah masyarakat baru, sesuai dengan kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa. Akan tetapi ketika mendapat tanggapan negatif dari masyarakat yang ia tuju, mereka berubah dan tidak mampu lagi menyokong kaidah tersebut dalam interaksi, sehingga memancing konflik terbuka. Perilaku sopan dan unggah-ungguh Rotra pada awal kehadiran tersebut terkesan praktis dan pilih-pilih ketika rangsangan negatif muncul, tanpa ada penghayatan yang mendalam mengenainya. Bentuk sambutan negatif dari masyarakat yang mereka tuju tersebut juga menjadi bentuk bagaimana kaidah dasar tersebut sudah tidak berlaku wajib di tengah masyarakat. Perubahan perilaku dalam interaksi masyarakat lebih dijelaskan oleh Niels Mulder. Diuraikan bahwa banyak orang merasa lebih bebas untuk mengungkapkan pandangannya secara terbuka dan menangani urusannya sesuka hati mereka, sekurangkurangnya kalau dibandingkan dengan gaya yang lebih tenang dari masa lalu yang belum begitu jauh. Terutama mereka yang menjadi terserap ke dalam proses-proses masyarakat yang lebih luas, orientasinya cenderung untuk semakin didominasi oleh hubungan-hubungan pekerjaan, kalangan teman sejawat, dan hubungan-hubungan kekeluargaan yang luas sekali daripada terkurung di dalam masyarakat lingkungannya sendiri. Anomali sikap dan perilaku Kill the DJ melalui wawancara mendalam mendapatkan kerangka melalui penjelasan Niels Mulder tersebut. Sikapnya
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
dalam menghadapi kepentingan yang berlawanan dan ketidakcocokan secara langsung merupakan bentuk pengungkapan pandangan dia secara terbuka dan menangani urusannya sesuka hati dia. Hal tersebut berbeda dengan gaya yang lebih tenang yang terurai dalam kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa. Penuturan konteks di mana Kill the DJ menangani ketidakcocokan sesuai dengan jenis urusan seperti urusan pekerjaan atau hanya pergaulan, menjadikan sikap dia pilih-pilih dalam penegakan kaidah dan bentuk terserapnya dia ke dalam proses-proses yang didominasi orientasi pekerjaan masyarakat modern. Sistem hubungan masyarakat modern yang mengutamakan keamanan dan kesempatan ekonomi yang lebih luas tersebutlah yang menggerus cita-cita lama mengenai kedamaian dan ketentraman. Dalam proses itu banyak di antara kaidah dan kebiasaan dari adat istiadat lama kehilangan keabsahannya. Mulder (1985) mencatat ada dua kecenderungan yang berlangsung dalam masyarakat. Di satu sisi, ada kecenderungan matinya secara berangsur-angsur kebudayaan priyayi yang halus dan terpusat di Keraton, beserta kaidah-kaidahnya yang kaku tentang interaksi yang tepat dan ritualistik. Di sisi lain, orang-orang biasa dan cara-cara ekspresi mereka semakin maju. Kebudayaan mereka kurang memperhatikan ketepatan ritual dan lebih dipengaruhi oleh spontanitas, kurang memperhatikan kaidah-kaidah dan lebih memperhatikan kesesuaian dan keterusterangan (blaka sutha). Setelah terbebas dari kekangan kebudayaan Keraton yang dipaksakan, mereka lebih terpesona oleh kehidupan dan usaha yang mempertahankan kehidupan daripada memelihara bentuk yang “tepat”. Bentuk kecenderungan yang kedua tersebut yang menjadi sorotan dalam kajian kritis ini. Senimanseniman yang datang dari masyarakat biasa, bukan ningrat, menggunakan cara-cara ekspresi mereka yang kurang memperhatikan ketepatan ritual, lebih dipengaruhi oleh spontanitas tertentu, kurang memperhatikan kaidah-kaidah dan lebih memperhatikan kesesuaian dan keterusterangan untuk menjadikan produk seni kebudayan Jawa zaman sekarang. Produk tersebut memiliki kecenderungan untuk lebih berkiblat pada masa depan ketimbang menghidupkan unsur-unsur lama. Tetapi Mulder (1985) berargumen sekalipun mengandung unsur-unsur modernitas, kecenderungan itu dapat juga dikenali sebagai bersifat ke-Jawa-an dalam inspirasinya. Hal tersebutlah yang menjadi bentuk dialektika hegemoni budaya Jawa dalam lagu JHF. Lagu-lagu mereka merupakan bentuk ekspresi bebas, dipenuhi dengan spontanitas, keterusterangan melalui umpatan-umpatan, kata-kata provokatif akan konflik dan campuran ngoko, serta krama yang menjadi tidak sesuai dengan kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa yang baku. Terlebih isu-isu yang mereka angkat, yang berdasarkan kehidupan masyarakat modern yang berorientasi masa depan, mengeruhkan
gambaran kaidah dasar tersebut. Akan tetapi, ketika digali lebih dalam, dengan memahami konstruksi makna pesan lirik lagu, ternyata ditemukan unsurunsur yang bersifat ke-Jawa-an dalam inspirasinya: prinsip kerukunan dan kehormatan. Dengan begitu, lagu-lagu JHF menjadi bentuk dialektika hegemoni Jawa di mana di satu sisi mereka terbawa arus (tidak mau memperhatikan kaidah dasar yang kehidupan masyarakat Jawa yang susah dan rumit), dan di sisi lain masih terinspirasi kaidah tersebut dalam pandangan dan nilai mereka. Bentuk keterusterangan, spontanitas, dan ekspresi bebas yang modern dalam lagu mereka juga melancarkan kritik terhadap kehidupan masyarakat kontemporer yang terlalu terpengaruh dari luar masyarakat Jawa. Kesimpulan Melalui studi atas representasi budaya Jawa dalam lirik lagu Jogja Hiphop Foundation (JHF), ditemukan bahwa terdapat dialektika hegemoni yang, menurut Niels Mulder (1985), merupakan bentuk pembangunan kembali budaya Jawa. Mulder mengatakan bahwa bentuk-bentuk kebudayaan Jawa sedang mengalami pembangunan kembali, dan bahwa bentuk-bentuk itu harus diturunkan terlebih dahulu ke tingkat yang lebih kasar, tingkat ngoko sebelum bentuk-bentuk itu dapat tumbuh dengan vitalitas baru. Hal tersebut dapat terlihat dengan dominasi pemakaian bahasa Jawa ngoko dalam lagu JHF dengan menggunakan rima-rima yang menarik dan provokatif, spontan dan blaka sutha, sebagai bentuk usaha untuk mengkomunikasikan pesan-pesan ke para pendengar yang kebanyakan anak muda. Apabila kebudayaan rakyat di masa lampau banyak ditahan oleh patokan kehalusan yang terkemuka, kini budaya Jawa dapat berfungsi sebagai suatu panduan hidup yang penting karena melalui pembaruan dan pembangunan kembali. JHF sebagai seniman yang lahir dan besar di Yogyakarta mengkonfirmasi uraian Mulder akan bentuk pembangunan budaya Jawa dalam seni. Ia berujar bahwa sumber daya budaya yang dimiliki oleh Yogyakarta masih mampu beradaptasi dengan perkembangan baru yang ditemui. Seniman-seniman Yogyakarta dianggap mampu menafsirkan modernitas ke dalam perspektif Jawa, sehingga walau tatanan kebudayaan berubah serta manifestasi budayanya juga berbeda, Yogyakarta masih tetap diakui sebagai Jawa. Yogyakarta, melalui JHF, dicatat sebagai kota yang penuh dengan vitalitas di mana rakyat memainkan peranan penting. Hal ini signifikan terutama mengingat para seniman ini mencatat adanya kekosongan budaya yang ditimbulkan oleh rusaknya keraton. Yang berbeda dengan JHF, seperti argumen Mulder, adalah bahwa cara pengungkapan dan gaya mereka cenderung ke arah spontanitas dan keterbukaan pikiran yang berlawanan dengan model lama.
Daftar Pustaka Agger, B. (1992). Cultural Studies as Critical Theory. London: Falmer. Androutsopoulos, J., & Scholz, A. (2003). Spaghetti funk: ap-
propriations of hip-hop culture and rap music in Europe. Pop Music Soc, 26(4):463–79. Androutsopoulos, J., & Scholz, A. (2003). Spaghetti Funk: Ap-
117
P. Tommy Pamungkas, Dialektika Representasi Budaya Jawa propriations of Hip-Hop culture and Rap Music in Europe”,. Popular Music and Society, 468. Anggadha, A., & Rachmawati, G. (2012, 4 19). Newyorkarto, Aksi Hiphop Campur Gamelan. Dikutip dari Vivalife: http://life.viva.co.id/news/read/305958-newyorkarto-aksi-hip-hop-campur-gamelan, pada 23 September 2012 Barker, C. (2004). Cultural Studies Theory and Practice. London: Sage. Barker, C. (2004). The SAGE Dictionary of Cultural Studies. London, California, New Delhi: Sage. Bennett, A. (2000). Popular Music and Youth Culture: Music, Identity, and Place. New York: St. Martin’s Press, Inc. Bennett, T. (1998). Cultural studies: a reluctant discipline. Cultural Studies 4, 528-545. Binder, A. (1993). Constructing Racial Rhetoric: Media Depictions of Harm in Heavy Metal and Rap Music. American Sociological Review, 753-767. Bodden, M. ( 2005). Rap in Indonesian Youth Music of the 1990s: “Globalization,” “Outlaw Genres,” and Social Protest. Asian Music - Volume 36, Number 2, Summer/ Fall, 14. Bodden, M. (2007, 7 22). Urban Poetry. Dikutip dari Inside Indonesia: http://www.insideindonesia.org/feature-editions/ urban-poetry, pada 1 September 2012. Burr, V. (2006). An Introduction to Social Constructionism. London dan New York: Routledge. Carragee, K. M. (1993). A Critical Evaluation of the Media Hegemony Thesis. Western Journal of Communication 57, 330-48. . Condry, I. ( 2000). Japanese rap music: an ethnography of globalization in popular. US: Yale University Ph.D. Thesis. Dooley, J. (2007). Hip Hop World – Where the Local Meets the Global. Revisiting Critical Courses. Ottawa: Revisiting Critical Courses. Drissel, D. (2009). Hip-Hop Hybridity for a Glocalized World: African and Muslim Diasporic Discourses in French Rap Music. The Global Studies Journal, Vol 2 Number 3. Fairclough, N. (2003). Analysing Discourse: Textual analysis for social research. London: Routledge. Gamson, W. A. (1996). Media Discourse as a Framing Resource. Dalam A. N. Crigler, The Psychology of Political Communication. Ann Arbor: University of Michigan Press. Geertz, C. (1969). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. Geertz, C. (1969). The Religion of Java. New York: The Free Press. Geertz, H. (1961). The Javanese Family: A Study Kinship and Socialization. Amsterdam: The Free Press of Glencoe. Gibbs, G. (2007). Analyzing Qualitative Data. In U. FLick, The Sage Qualitative Research Kit. London: Sage. Guba, E. G., & Lincoln, Y. S. (1994). Competing Paradigms in Qualitative Research. Dalam Denzin, & Lincoln, Handbook of Qualitative Research (pp. 105-117). California: Sage. Gunn, G. C. (1979). Ideology and the Concept of Gouvernment in the Indonesian New Order. Asian Survey, 751-769. Hall, S. (1990). Cultural Identity and Diaspora. Dalam J. Rutherford, Identity: Community, Culture, Difference. London: Lawrence and Wishart. Hall, S. (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London, California, New Delhi: Sage. Hennink, M., Hutter, I., & Bailey, A. (2011). Qualitative Research Methods. London: Sage. Hiphopdinigrat. (2012, 8 24). Dikutip dari Luang Prabang Film Festival: http://luangprabangfilmfestival.org/?p=701,
118
pada 23 September 2012. Husserl, E. (1967). The Thesis of Natural Standpoint and Its Suspension. Dalam J. Kockelmans, Phenomenology (h. 68-79). NY: Doubleday. Jay, R. R. (1969). Javanese Villagers: Social Relations in Rural Modjokuto. Cambridge: M.I.T Press. Kellner, D. (1995). Media Communications vs. Cultural Studies: Overcoming the Divide. Communication Theory, 14682885. Kodiran. (1975). Kebudayaan Jawa. Dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (h. 332-345). Jakarta: Djambatan. Koentjaraningrat. (1954). Masyarakat Desa di Indonesia Masa Ini. Jakarta: FEUI. Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2007). Theories of Human Communication. California: Thomson Wadsworth . Magnis-Suseno, F. (1991). Etika Jawa: Sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Jakarta: Gramedia. Mitchell, T. (2001). Global Noise: Rap and Hip-Hop Outside the USA. Middletown Connecticut: Wesleyan University Press. Mitchell, T., & Pennycook, A. (2009). Hip-hop as dusty foot philosophy. Dalam H. Alim, A. Ibrahim, & A. Pennycook, Global Linguistic Flows: Hip-hop Culture, Youth Identities and Politics of Language (pp. 25-42). New York: Routledge. Moelong, L. J. (2000). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mohamad, M. (2011, 5 24). Mantra-Mantra Jawa di New York (sebuah catatan perjalanan). Dikutip dari Kill the DJ: http://killtheblog.com/2011/05/24/mantra-mantra-jawadi-new-york-sebuah-catatan-perjalanan-2/, pada 23 Semptember 2012. Moustakas, C. (1994). Phenomenological Research Methods. California: Sage. Mulder, N. (1978). Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java: Cultural Persistence and Change. Singapore: Singapore University Press. Mulder, N. (1985). Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan. Neuman, L. (2007). Basic Social Research: Qualitative and Quantitative Approaches. Boston: Pearson Education Inc. O’Sullivan, T., Hartley, J., Saunders, D., Montgomery, M., & Fiske, J. (1994). Key Concepts in Communication and Cultural Studies. New York: Routledge. Patton, M. (2002). Qualitative Reserch and Evaluation Methods. California: Sage. Poedjosodarmo, S. (1968). Javanese Speech Levels. Indonesia, 54-81. Robertson, C. (2007, 7 15). The History adn Genres of Rap Music. Dikutip dari Majon: http://www.majon.com/articles/ music-songs-music-websites/rap_635.html, pada 24 September 2012. Robertson, R. (1995). Glocalization: time-space and homogeneity-heterogeneity. Dalam M. Featherstone, S. Lash, & R. Robertson, Global Modernities. London: Sage. Schwandt, T. (2001). Dictionary of Qualitative Inquiry. California: Sage’. Seloesomardjan. (1962). Social Changes in Jogjakarta. NY: Cornel University. Storey, J. (2003). Inventing Popular Culture: From Folklore to Globalization. Oxford: Blackwell. Storey, J. (2009). Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction. Sunderland: Pearson Longman. Sutherland, H. (1979). The Making of Bureaucratic Elite: the Colonial Transformation of Javanese Priyayi. Singapore: Heinemann Educational Books.
Volume II Nomor 2 Oktober 2013 ISSN 2301-9816
JURNAL KOMUNIKASI INDONESIA
Mendefinisikan Ulang Film Indie: Deskripsi Perkembangan Sinema Independen Indonesia Idola P. Putri Abstrak/Abstract Tulisan ini memaparkan tentang industri film independen Indonesia; mulai dari bagaimana awal mulanya hingga saat film independen Indonesia menjadi bagian dari industri film Indonesia kini. Dengan menggunakan historiografi yang proses penulisannya memanfaatkan metode sejarah, tulisan ini mendeskripsikan perkembangan sinema independen Indonesia pada era Pasca Reformasi. Sejak kemunculannya pada tahun 1970an, seperti yang terjadi di belahan dunia lain, pengaruh film independen terhadap industri film nasional juga terlihat di Indonesia pada abad ke-20. Pada era Orde Baru, sinema independen Indonesia digerakkan oleh sineas muda yang berada di luar industri film mainstream. Namun dengan perkembangan teknologi serta bergantinya pemegang kekuasaan, definisi film independen Indonesia sangat mungkin telah bertransformasi sedemikian rupa. Kini, wajah sinema independen Indonesia tergambar dalam ragam festival film independen dan komunitas film independen yang hadir di Indonesia serta para sineas yang lahir dari keduanya. This paper describes the Indonesian independent film industry, ranging from how the it started until when it became part of the Indonesian film industry today. Employing historiography, this paper describes the development of independent cinema in Indonesia during the Post Reformation era. Since its emergence in the 1970s, not unline in other parts of the world, the influence of independent films on the national film industry was also apparent in Indonesia in the 20th century. During the New Order era, Indonesian independent cinema was driven by young filmmakers outside the mainstream film industry. However, the development of technology as well as the change of power holders enabled the definitive transformation of independent film in Indonesia. Today, the face of Indonesia independent cinema is illustrated by the variety of independent film festivals and independent film communities as well as filmmakers who emerged from both
Kata Kunci/Keywords Festival film, film independen, industri film Indonesia Film festival, independent film, Indonesian film industry
Institut Manajemen Telkom Jalan Telekomunikasi, Ters. Buah Batu, Dayeuh Kolot Bandung 40257
[email protected]
Pendahuluan
S
elama satu dekade terakhir terminologi sinema independen Indonesia begitu dekat dengan istilah film indie atau film pendek. Akan tetapi, dengan sejarah panjang sinema Indonesia yang dimulai dari tahun 1900, seperti apakah sesungguhnya arti dari sinema independen Indonesia? Tulisan ini menjelaskan kerangka kerja konseptual mengenai analisis sinema independen Indonesia berkaitan 119
Idola P. Putri, Mendefinisikan Ulang Film Indie: Deskripsi Perkembangan Sinema Independen Indonesia dengan industri film Indonesia. Beberapa pertanyaan diajukan: Bagaimanakah sejarah lahirnya film independen di Indonesia? Bagaimanakah sinema independen Indonesia diinterpretasikan dewasa ini? Fungsi apakah yang diperankan film independen Indonesia dalam industri film Indonesia? Dan bagaimanakah perkembangan sinema independen Indonesia dewasa ini? Lahirnya pertunjukkan film merupakan salah satu titik penting dalam perkembangan dunia hiburan. Sebagai image bergerak, film berkembang menjadi sebuah media ekspresi dan punya nilai komersial tinggi. Kemunculannya bersama bioskop sebagai media penjajanya kemudian menjadi suatu fenomena global, sejak awal penemuannya hingga masa sekarang. Film telah menjadi cerminan budaya bangsa dan melibatkan banyak pihak dalam pengelolaannya. Hal ini dikarenakan film adalah hasil kerja kolektif. Dengan kata lain, proses pembuatan film pasti melibatkan kerja sejumlah unsur atau profesi, seperti produser, sutradara, penulis skenario, penata kamera, penata artistik, penata musik, editor, pengisi dan penata suara, serta aktor dan aktris. Tidak hanya pelaku film tersebut, penikmat film itu sendiri serta pemerintah, melalui kebijakan undang-undang yang mengatur industri perfilman, ikut terlibat aktif dalam industri film Indonesia. Film juga merupakan bagian utama dari industri kreatif dan budaya (creative and cultural industries [CCIS]), yang menjadi semakin penting dalam penentuan kebijakan pemerintah karena dampaknya pada ekonomi, sosial dan budaya. Kementerian Perdagangan Indonesia pun telah mencantumkan film sebagai salah satu bidang ekonomi kreatif, berdampingan dengan video dan fotografi. Perkembangan sektor industri ekonomi kreatif di Indonesia sendiri telah dimulai sejak sepuluh tahun terakhir. Kini, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dalam Rencana Strategis 2011-2014 memasukkan industri film sebagai bagian dari program yang harus dicapai oleh Direktorat Perfilman, Seni Pertunjukan dan Musik Kemenparekraf (Investor Daily, 2013). Jika melihat bentuknya, film merupakan media komunal yang merupakan cangkokan dari berbagai teknologi serta penggabungan beragam unsur kesenian. Setidaknya, seni peran (drama atau teater), seni rupa (dalam tata-artistik), seni arsitektur, termasuk seni fotografi, hingga-kemudian-seni musik; bisa ditampilkan secara bersamaan dalam suatu sajian berupa film (Nugraha, 2008, h. 2). Di sisi lain, abad ke-20 adalah awal dari segala yang terkait dengan modernitas. Dengan bentuknya yang demikian, film akan selalu berkaitan dengan perkembangan teknologi serta perkembangan jenis-jenis seni lain1 yang memungkinkan film dan bioskop dengan begitu cepat merambah ke segala penjuru dunia. Dalam era
ini, ketersediaan barang dan jasa yang telah terstandarisasi bisa dikatakan cukup merata melintasi pasar nasional (Fraser dan Strasser dalam Chaney, 2004, seperti dikutip Nugraha, 2008, h. 4), bahkan dalam taraf internasional. Film kemudian menjadi sumber hiburan populer masyarakat dunia. Pada akhirnya, film dan bioskop telah menjadi bagian gaya hidup masyarakat, sekaligus tampil sebagai barang dagangan yang menguntungkan bagi para pengusaha. Dengan film sebagai bagian dari ekonomi kreatif, implikasinya, film menjadi industri dan melanggengkan prinsip ekonomi untuk turut campur pada proses kreatif pembuatan film. Film yang menjadi semakin komersial pada akhirnya menarik minat para pemodal besar untuk terlibat dalam industri sebagai usaha mendapatkan keuntungan dari bisnis perfilman dunia. Hal ini berakibat pada fokus pembuatan film terutama ditujukan guna mendukung sebuah sistem ekonomi. Sistem ini mendorong terjadinya sinergi dalam pemasaran, sinergi dengan produk non-film menjadi amat banyak, dan khususnya pada aspek pendanaan di mana para produser memasukan iklan produk sebagai bagian dari cerita (Sasono et al., 2011, h. 280). Sayangnya, yang sering terjadi adalah campur tangan investor pada proses kreatif pembuatan film sering kali menjadi hal-hal yang merusak keseluruhan cerita film.2 Sisi komersial dari film di sisi lain memunculkan perlawanan terhadap para pemodal besar yang melihat film hanya sebagai barang dagangan semata. Salim Said pernah menawarkan sebuah dikotomi dua jenis film yang diproduksi di Indonesia; pertama adalah buatan para pedagang yang memberlakukan film sebagai barang dagangan semata, dan kedua adalah film yang menjadi media untuk berekspresi para seniman (Sasono et al., 2011, h. 140). Dalam tataran manajemen produksi film, muncullah konsep major label dan indie label. Major label cenderung menitikberatkan pada aspek industri yang mempertimbangkan untung-rugi, sementara indie label lebih mementingkan faktor idealisme yang menjadi ciri utama (Baksin, 2002, h. 134). Kedua konsep ini selalu menjadi dua perspektif yang kontras, dimana major label akan memproduksi film-film arus utama (mainstream) yang menghasilkan keuntungan semata, sementara indie label memproduksi film-film yang lebih idealis. Jika film arus utama merupakan film dimana pendanaannya membutuhkan angka besar yang selalu dihitung biaya produksi dengan segala keuntungan dan kerugiannya, maka film independen diasumsikan sebagai film yang dibuat tidak sematamata mengandalkan pendanaan yang besar dan lebih mengutamakan materi atau skenario filmnya sendiri. Perbedaan Konseptual dalam Ragam Sinema 2
1
Efek kesinambungan film dengan perkembangan teknologi terasa cukup signifikan ketika dunia sinema berhasil mengawinkan teknologi suara pada 1927 dengan kemunculan film bersuara pertama Jazz Singer (Crossland, 1927). Hal ini berakibat pelipatgandaan jumlah penonton bioskop. Pada beberapa dasawarsa berikutnya, serupa dengannya, teknologi dolby dan stereo juga berhasil memberi nilai tambah psikologi hiburan dalam film (Nugroho, 1995, h. 27)
120
Dalam Di Bawah Lindungan Kabah (sutradara Hanny Saputra, 2011), harian Kompas mengkritisi product placement yang tidak sesuai dengan konsep sejarah di film itu. Bayangkan, dalam suasana tahun 1920an ada adegan orang menyuguhkan kacang garing dari kantong berlogo Kacang Garuda, ada adegan Rustam (paman Zainab yang gemar menghisap cerutu) memakan wafer bermerk Gery Chocolatos, serta adegan obat nyamuk bakar merek Baygon (yang baru diproduksi tahun 1975) dibakar di kamar tidur (Kompasiana, 2011, seperti dikutip oleh Eric Sasono et al., 2011, h. 168-169).
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
Secara konseptual, sesungguhnya terdapat tiga model konvensi sinematik, yaitu sinema Hollywood, sinema independen dan sinema nasional (Hofstede, 2000, seperti dikutip dalam Aartsen, 2011, h. 20). Sinema Hollywood diartikan sebagai sinema liga utama yang bersifat konvensional dan berfokus pada hiburan.3 Di sisi lain, sinema independen adalah liga kecil dan, berkebalikan dari sinema Hollywood, memiliki format yang unik dan berbeda, kurang komersial serta lebih tertarik dengan perolehan kekayaan budaya dan intelektual dan bukan keuntungan finansial semata.4 Dan yang terakhir, sinema nasional berorientasi lokal dan tidak ditujukan pada pasar internasional, sebagaimana dijelaskan Hofstede lebih lanjut pada tabel 1. Tabel 1. Prinsip Produksi dan Distribusi dalam Film Central Production Transnational Distribution
Global mainstream, Hollywood film
Local Distribution ---
Peripheral Production Independent film, film d’art et essai, festival film. National mainstream, telefilm, comedy
Sumber: Hofstede, 2000, dalam Aartsen, 2011, h. 20.
Pada perkembangannya, ketidakpuasan pelaku industri film terhadap dominasi pemodal besar menjadikan film independen sebuah isu yang semakin signifikan. Merujuk pada studi perkembangan sinema Amerika, film independen dideskripsikan sebagai film yang dihasilkan oleh studio film selain studio film besar Hollywood.5 Dengan kata lain, untuk sebagian besar orang dengan pengetahuan dasar perfilman Amerika, pembuatan film independen terdiri dari proyek berbiaya rendah yang dibuat oleh sebagian sineas muda dengan visi pribadi yang kuat; jauh dari pengaruh dan tekanan beberapa konglomerat atau pengusaha yang mengontrol ketat industri film Amerika (Tzioumakis, 2006, h. 1). Sejatinya, film independen adalah film baru berbiaya rendah, mendobrak gaya klasik dalam pembuatan film, menentang arus utama dan menggambarkan pandangan pribadi
dari pembuat film itu sendiri (Levy, 1999, seperti dikutip dalam Tzioumakis, 2006, h. 1). Pembatasan sinema tidak semudah seperti yang dideskripsikan di atas kertas. Pada kenyataanya, banyak terjadi pengecualian dalam praktik industri film. Misalnya saja, di pasar Amerika Serikat, daftar 20 film independen terbaik sepanjang masa menunjukkan kontradiksi antara definisi ideal sinema independen dengan realitas di industri (Screen International, 2001). Sepuluh besar dalam daftar tersebut yaitu The Lord of the Rings: The Fellowship of the Ring (Jackson, 2002); Rush Hour (Ratner, 1998), Rush Hour 2 (Ratner, 2001); Austin Powers: The Spy Who Shagged Me (Roach, 1999); Teenage Mutant Ninja Turtles (Barron, 1990); Spy Kids (Rodriguez, 2001), Scary Movie (K.I. Wayans, 2000); Dumb and Dumber (P. Farelly, 1994); Good Will Hunting (Van Sant, 1997); dan The Blair Witch Project (Sanchez and Myrick, 1999). Lord of the Rings, yang dibiayai dan didistribusikan oleh New Line Cinema, menghabiskan 300 juta dolar untuk ketiga setting tempat pembuatan film juga adalah salah satu film berbiaya termahal (Tzioumakis, 2006, h. 2). Ironis, bahwa hanya film The Blair Witch Project6 yang termasuk dalam film berbiaya rendah dari daftar tersebut (Tzioumakis, 2006, h. 2). Industri film sendiri adalah bentuk sinergi dari tiga rantai pembentuk industri film; rantai produksi, rantai distribusi, dan rantai ekshibisi (Effendy, 2008, h. 1).7 Rantai produksi merupakan tahapan mulai dari pencarian dana/investasi hingga film siap ditonton. Pada rantai produksi terdapat proses kreatif dari pembuatan film dan termasuk dalam rantai produksi adalah semua kru, perusahaan pembiayaan/investor, rumah produksi, perusahaan penyewaan alat, dan post-production house yang terlibat dalam pembuatan film (Effendy, 2008, h. 2). Sementara rantai distribusi film adalah sebuah ‘seni yang tak tampak’ karena sepenuhnya berjalan di belakang layar serta jauh dari hiruk pikuk produksi dan sorotan publik yang terjadi pada tahap ekshibisi (Sasono et.al., 2011, h. 191). Perusahaan distribusi film atau distributor memainkan peran utama dalam menyalurkan film dari produsen ke jaringan bioskop, televisi dan home video (DVD dan VCD; Effendy, 2008, h. 2). Sedangkan ekshibisi adalah muara dari rangkaian pengelolaan
6
3
4
5
Hofstede menyebutnya sebagai ‘liga utama’. Film yang dipertontonkan di bioskop menggunakan prinsip komersial dan dimaksudkan untuk khalayak penonton yang luas dan global. Hollywood memanfaatkan genre dan plot cerita yang mudah dipahami (Hotstede, 2000, seperti dikutip dalam Aartsen, 2011, h. 20). Menurut Hofstede, inovasi adalah salah satu faktor utama yang akan terus berkembang dalam sinema independen (Hotstede, 2000, seperti dikutip dalam Aartsen, 2011, h.20). Studio besar di Hollywood adalah Sony Columbia Pictures (mengakuisisi MGM and UA), News Corp. Fox/20th Century Fox, ABC Disney/Walt Disney Pictures/Touchstone Pictures, AOL Time Warner/Warner Bros. Pictures, Viacom Paramount/ Paramount Pictures (mengakuisisi Dreamworks SKG) dan NBC Universal/Universal Studios.
7
Segera setelah sebuah film independen memenangkan penghargaan pada festival film, film tersebut akan mendapat banyak perhatian dari media dan dibeli oleh sebuah studio film besar dan diputar di bioskop besar di seluruh negeri. Hal ini juga terjadi pada The Blair Witch Project. Pemutaran resmi pertama kali pada publik pada tanggal 23 Januari 1999 di Festival Film Sundance. Penulis-sutradara Daniel Myrick dan Eduardo Sanchez membuat film ini seharga 25,000 dolar AS. Pada akhir festival mereka menjual film mereka seharga 1.1 juta dolar AS untuk Artisan Entertainment, yang kemudian mendapatkan 248 juta dollar AS dari film ini (situs Make Independent Films). Rantai distribusi adalah semua pekerjaan penyebarluasan film untuk dinikmati penonton yang berada di bioskop, rantai ekshibisi adalah semua pekerjaan menayangkan film hasil produksi di bioskop oleh jaringan bioskop, dan rantai produksi film meliputi semua pekerjaan, mulai dari pemilihan ide cerita hingga film selesai dibuat dan siap didistribusikan (Effendy, 2008, h. 2).
121
Idola P. Putri, Mendefinisikan Ulang Film Indie: Deskripsi Perkembangan Sinema Independen Indonesia pasokan (supply chain management), di mana produk film dikonsumsi oleh penonton dalam berbagai outlet seperti pertunjukkan di gedung bioskop dalam negeri (juga luar negeri), video di rumah, televisi (kabel dan terestrial) (Sasono et.al., 2011, h. 275). Rantai ekshibisi biasanya dipegang oleh kelompok-kelompok bioskop dengan ribuan layarnya yang menjadi ujung tombak agar output rantai produksi dapat dinikmati oleh penikmat film bioskop (Effendy, 2008, h. 2). Meski industri film Indonesia telah lahir sejak lebih dari 80 tahun yang lalu, terseoknya kondisi politik dan ekonomi dalam negeri berpengaruh banyak pada industri film Indonesia. Dan, jika sekedar melihat dari terjalin utuhnya ketiga rantai pembentuk industri film, dapat dikatakan bahwa kita tidak pernah ‘memiliki’ industri film (Effendy, 2008, h. 1). Kualitas sumber daya manusia yang masih rendah, sulitnya mencari pembiayaan film, dan tidak ba-nyaknya pelaku bisnis yang terlibat dalam rantai distribusi dan ekshibisi menjadi pekerjaan rumah bagi industri film Indonesia. Rantai ekshibisi dan distribusi pada industri film Indonesia tidak memiliki banyak pelaku bisnis yang terlibat. Dari tahun ke tahun, mereka yang terlibat umumnya hanyalah orang atau perusahaan yang sama, tidak ada penambahan yang berarti (Effendy, 2008, h. 2). Dapat dikatakan pula bahwa yang terjadi di Indonesia bukanlah distribusi, melainkan ekspedisi. Hal ini terjadi karena jalur pasar hingga ke ujungnya (ekshibitor) telah dikuasai oleh pihak yang sama/tumpang tindih, sehingga terjadi kecenderungan monopoli/ologopoli yang kuat (Sasono et. al., 2011, h. 191). Sementara pada rantai ekshibisi, ratusan layar bioskop di seluruh negeri didominasi oleh jaringan bioskop 21 Cineplex yang tersebar di banyak kota besar di Indonesia. Tercatat hanya Blitz Megaplex yang muncul di tahun 2006 sebagai perusahaan pesaing. Di Indonesia, terminologi film independen sering kali dihubungkan dengan film pendek. Berdasarkan definisinya, film pendek berarti film berdurasi pendek. Namun, meskipun berhubungan dengan cerita yang pendek, cerita film ini bermakna besar. Film tersebut juga telah mengalami berbagai eksplorasi dari bentuk dan kreasi gaya pengambilan gambar maupun suara yang menghasilkan style yang sangat khas yang kadang-kadang disebut sebagai style MTV (Prakosa, 2001, h. 25-26). Film pendek disebutkan sebagai salah satu representasi dari film pinggiran selain film eksperimental (film yang mengandung unsur percobaan baik dari isi maupun bentuk) dan film dokumenter (film yang menceritakan sesuatu yang nyata seperti fakta atau realitas [Prakosa, 2008]). Hanya saja, walaupun sering kali film pendek mengusung gaya pengambilan gambar yang baru dan segar, tidak selamanya film pendek memiliki tema cerita yang menentang tema film arus utama. Di sisi lain, film independen juga tidak selalu berdurasi pendek. Dengan kata lain, terdapat perbedaan mendasar antara film pendek dan film independen. Kondisi inilah yang membuat terminologi film independen di Indonesia sedikit berbeda dari pengertian yang dibawa sinema Amerika Serikat. Meskipun demikian, studi sinema independen Amerika Serikat tetap berguna untuk menganalisis film independen di Indonesia. Hal ini dikarenakan studi-studi tersebut telah menyebutkan bahwa film independen adalah 122
film yang dibuat dengan biaya yang rendah, cenderung tidak komersial, membawa gaya dan pendekatan (baik segi teknis maupun teknologi) yang baru, bersifat pembaruan dan kadang-kadang memulai tayang pada jalur ekshibisi alternatif. Sementara itu, meskipun film independen tidak dapat diartikan secara sempit sebagai film pendek, dalam tulisan ini film pendek, film eksperimental, film dokumenter dan film animasi dianggap sebagai bagian dari pembentuk sinema independen Indonesia. Dengan demikian, pada tulisan ini film-film tersebut dikatakan sebagai film independen yang populer di Indonesia. Konteks Perkembangan Sinema Independen di Indonesia Seperti juga industri film Indonesia, sinema independen Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Berbeda dengan sinema independen Amerika, yang muncul dari gerakan perlawanan sutradara ternama (Steven Spielberg, George Lucas, John Cassavetes, Stanley Kubrick dan Martin Scorsese) terhadap studio film besar di Hollywood (Tzioumakis, 2006, h. 4), sinema independen Indonesia pada awalnya justru lahir dari pihak-pihak yang berada di luar industri film arus utama. Jika melihat hanya dari rangkai sejarahnya, industri film Indonesia masih terjebak antara komersialisme film dan kebijakan pemerintah yang kurang perhatian. Walhasil, sinema independen Indonesia sering kali terlihat bersikap oposisi terhadap industri film arus utama Indonesia yang dikembangkan oleh kelompok komersial dan pemerintah. Sebut saja film-film eksperimental yang diproduksi tahun 1980an dengan menggunakan pendekatan eksperimental. Antara lain, misalnya, film Gotot Prakosa Lukisan Warna, Telur & Singkong, dan Jakarta-Bandung yang berada di luar jalur dominasi film arus utama dengan genre drama; film Kuldesak (Riri Riza et al., 1998) yang dikerjakan bawah tanah dengan menggunakan format video digital serta mengusung konsep pengambilan gambar ala MTV; film Beth (Aria Kusumadewa, 2000) yang menggunakan format video digital dan diputar dari kampus ke kampus yang tidak menggunakan pola ekshibisi tradisional (jaringan 21 Cineplex), film Minggu Pagi di Victoria Park (Lola Amaria, 2010) yang secara gamblang menggambarkan kehidupan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Hongkong; serta film Kita Versus Korupsi (Ine Febriyanti et al., 2012) yang disponsori Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan digarap sineas berpengalaman. Secara historis, sinema independen Indonesia dipercaya lahir pada tahun 1970an ketika Institut Kesenian Jakarta (IKJ) berdiri. Pendirian IKJ diyakini sebagai titik awal dari munculnya sinema independen Indonesia, karena segera saja banyak mahasiswa IKJ yang antusias untuk membuat film dengan biaya sendiri. Film yang diproduksi para sineas muda independen ini lalu disebut sebagai film pendek. Tercatat ada 125 film lahir selama 1970-1971. Besarnya perhatian para film-enthusiast pada era tahun 1970an diapresiasi dengan diselenggarakannya Festival Film Mini oleh Dewan Kesenian Jakarta sejak tahun 1974, di mana format film yang diterima hanyalah seluloid 8mm. Populernya penggunaam seluloid 8mm melahirkan komunitas bernama Sinema 8 dimotori
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
Johan Teranggi dan Norman Benny. Komunitas ini menggunakan kamera 8 mm untuk membuat film dan secara simultan terus mengkampanyekan ke masyarakat bahwa seluloid 8mm dapat digunakan sebagai media ekspresi kesenian (Kusumayarti, 2013). Sayang, Festival Film Mini tidak lagi diselenggarakan sejak tahun 1981 karena kekurangan dana. Namun, semangat produksi film pendek tidak berhenti sampai di sana. Sepanjang era ini muncul nama-nama yang sukses membuat film untuk konsumsi festival film internasional, salah satunya film Gotot Prakosa yang diundang untuk diputar pada Oberhausen International Film Festival; festival film pendek tertua di Jerman. Penggerak sinema independen awal ini memperkenalkan pendekatan baru dari sebuah film, yaitu film eksperimental bersama dengan rekannya Henri Darmawan dan Hadi Purnomo. Di lain pihak, ada pula pendekatan film dokumenter yang aktif dikenalkan oleh D.A. Peransi. Pada tahun 1984,8 sepulangnya Prakosa dari Jerman, berdiri Forum Film Pendek di Jakarta yang berisikan para seniman, praktisi film, mahasiswa dan penikmat film dari berbagai kampus (Kusumayarti, 2013). Forum ini lahir untuk meneruskan gagasan Sinema 8 sebagai sebuah gerakan film di Indonesia (Kusumayarti, 2013; Andrie, 2007). Meskipun forum ini hanya bertahan selama dua tahun, sinema alternatif yang diusung sejak generasi ini mampu berbicara dan eksis di dunia internasional, melalui festival film internasional. Sejak Forum Film Pendek terhenti pada tahun 1986, sayangnya, belum lahir lagi kelompok kecil yang menyatakan diri sebagai penggerak sinema independen. Kebijakan dan aturan perundang-undangan pada era pemerintahan Soeharto berperan banyak menghambat industri film Indonesia terutama perkembangan sinema alternatif di luar industri film arus utama. Pertama, selama masa pemerintahan Orde Baru, negara menetapkan berbagai syarat untuk memproduksi film; mulai dari izin Departemen Penerangan, aktor maupun aktris film harus ikut anggota Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi), awak film harus jadi anggota organisasi Karyawan Film dan Televisi (KFT), dan pembuat film harus ikut Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI). Tidak hanya itu, untuk jadi sutradara film harus sudah pernah jadi asisten sutradara minimal empat kali, setelah itu berurusan dengan gunting sensor dari Lembaga Sensor Film (dulu bernama Badan Sensor Film), dan membayar pajak tontonan bioskop ke Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) (Andrie, 2007). Bahkan pernah muncul peraturan pada 1980an bahwa untuk dapat memproduksi sebuah film harus dapat izin dari Komando Operasional Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), dengan sedikitnya ada 38 lembar formulir yang harus diisi untuk proses izin pembuatan dan penayangan film (‘Distribusi Belum’, 2009). Kebijakan-kebijakan ini tentunya menyulitkan sineas muda untuk
8
Pada tahun yang sama tercatat pula bahwa teknologi video analog mulai dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Teknologi ini memudahkan proses pembuatan film dengan biaya yang jauh lebih murah.
membuat film, belum lagi jika cerita yang diangkat dianggap tidak layak oleh LSF, maka produksi film akan segera dihentikan. Kedua, di era Orde Baru industri perfilman nasional ditempatkan di bawah pengawasan Departemen Penerangan (Deppen) yang berada di bawah koordinasi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko POLKAM). Pemerintah memandang film sebagai produk POLKAM dan bukan produk budaya. Ide cerita dari sebuah film tidaklah diperkenankan memiliki konsep dan pendekatan berbeda dari industri film arus utama yang mendominasi, karena dikhawatirkan mengancam keamanan negara. Lembaga sensor film menyatakan bahwa film-film yang menekankan seks dan kekerasan, juga film yang mengandung nilai-nilai kolonialisme, fasisme dan imperialisme, disensor atau dilarang. Selain itu, film yang dirasa akan menghancurkan kesatuan Republik Indonesia, baik itu dengan memanfaatkan atau membangkitkan sentimen agama, kelas, politik, etnis atau ras, memiliki risiko yang dilarang untuk ditayangkan (Aartsen, 2011, h. 9-10). Deppen menjadi alat kontrol untuk menguasai media pada era pemerintahan ini, banyak kisah yang diceritakan tentang pihak-pihak yang dibungkam secara paksa atau tiba-tiba menghilang tanpa alasan karena berani mengutarakan pendapat; mengkritik pemerintah; atau menyampaikan kritik sosial melalui media seni (Imanjaya, 2009). Dalam era ini, pemerintah Orde Baru memasung kreativitas generasi muda Indonesia. Ketiga, selama Orde Baru, film digunakan sebagai alat propaganda oleh Soeharto untuk menanamkan ideologi tertentu di masyarakat seperti film Pengkhianatan G-30S/PKI (Arifin C Noer, 1984), Janur Kuning (Alam Rengga Surawidjaya, 1979) dan Serangan Fajar (Arifin C Noer, 1981; Imanjaya, 2009). Keempat, pemerintah mengerjakan film-film dengan tema pembangunan seperti menggambarkan kepahlawanan tokoh pembangunan (ekonomi), masuk ke desa, mengajarkan masyarakat lokal (dan tertinggal), modernisasi, dan doktrinasi pemahaman mengenai ‘Barat’ sebagai kawan yang baik (Sen, 1994, h. 95-97). Melalui kedua tindakan ini, pemerintah (atas nama Deppen) berusaha mengendalikan arus informasi di masyarakat, dan tentunya, kehadiran sinema independen sebagai tontonan alternatif bukanlah ide yang dianggap baik oleh pemerintah. Kelima, pencekalan media penyebar informasi di masyarakat berhubungan kuat dengan sentralisasi informasi di kota-kota besar Indonesia, khususnya Jakarta. Dengan demikian, pergerakan komunitas sinema independen Indonesia hanyalah menjadi milik kelompok elit dalam lingkaran kecil dan terbatas. Aspek-aspek ini melatarbelakangi kenapa film pendek, yang menjadi sinema alternatif pada saat tersebut, belum menjadi tontonan alternatif bagi masyarakat umum. Walaupun demikian, sinema independen Indonesia bukannya mati pada masa Orde Baru. Pegiat-pegiat film di luar film arus utama justru banyak lahir dan berprestasi pada festival-festival film internasional. Sinema independen Indonesia pada kurun waktu ini dapat dikatakan terwakili oleh film pinggiran yang malang melintang di festival-festival film internasional dan/atau ‘sinema ketiga’.9 Beberapa di antara film ini mendapat respon positif di kancah internasional dan mendapat kesempatan untuk ditayangkan 123
Idola P. Putri, Mendefinisikan Ulang Film Indie: Deskripsi Perkembangan Sinema Independen Indonesia di jaringan bioskop tanah air. Setelah generasi Gotot Prakosa, lahir nama-nama baru yang membawa semangat gerilya dalam pembuatan film seperti Garin Nugroho, Slamet Rahardjo, Nan Achnas, Asep Kusnidar, Eric Gunawan, dan lainnya. Beberapa film karya mereka yang mendapatkan penghargaan internasional, di antaranya Hanya Satu Hari (Nan T. Achnas, 1988) pada The Asian Young Cinema Festival, Tokyo, Jepang; Air dan Romi (Garin Nugroho, 1991) pada International Ecological Film Festival, Freiburg, Jerman; Mirage (Slamet Rahardjo, 1993) pada Festival Film Nantes. Di lain pihak, industri film arus utama Indonesia di era 1980an hingga 1990an didominasi oleh filmfilm ber-genre slapstick komedi milik kelompok komedi legendaris, Warkop Jakarta; Dono, Kasino dan Indro.10 Selain Warkop, muncul pula film-film dengan genre horor,11 sejarah,12 dan remaja13 serta tentunya film drama ‘berkualitas’14 karya sineas idealis yang telah lama berada di industri film arus utama Indonesia. Kondisi perfilman nasional lalu memburuk pada tahun 1990an yang dipicu oleh kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami krisis.15 Selain itu, memburuknya kondisi perfilman nasional juga dapat dikaitkan de-ngan munculnya televisi swasta di dunia hiburan Indonesia yang semakin berkembang pada tahun 1990an (Sen, 2006, seperti dikutip dalam Aartsen, 2011, h. 10). Jumlah produksi film menurun drastis dari 115 pada tahun 1990 menjadi hanya tiga pada tahun 1999 (Aartsen, 2011, h. 3). Film-film tersebut pun didominasi film dengan genre sexploi-
9
10
11
12 13 14
15
Sinema ketiga adalah konsep deskriptif dan preskriptif yang dalam prakteknya terkait dengan, namun juga melampaui, sejarah munculnya “sinema dunia ketiga” di dunia ketiga seperti Asia Timur, Afrika, dan Amerika Latin pada pertengahan abad kedua puluh. Sinema ketiga terkait dengan proses dekolonisasi dan pembangunan bangsa-bangsa tersebut dalam kaitannya dengan perkembangan industri perfilman nasional. Sinema ketiga adalah istilah ideologis dan estetis yang sering kali memiliki makna untuk menunjukkan adopsi, sikap oposisi dan independensi terhadap genre film yang komersial dan mementingkan profit dari dunia kapitalis (dalam hal ini Amerika dan Australia). Dengan demikian, sinema ketiga sebetulnya kurang terikat dengan aspek geografis (dari kemunculannya) melainkan dibentuk lebih aktif oleh gerakan anti-imperialis dan sikap kontra film komersial yang muncul selama tahun 1960an (situs Film Refence). Film-film Warkop di antaranya Mana Tahaaan .. (1979), Setan Kredit (1981), Tahu Diri Dong (1984), Maju Kena Mundur Kena (1983) dan Sabar Dulu Dong (1989). Selama tahun 1979 sampai 1994, Warkop telah menghasilkan lebih dari 33 film dan hampir seluruhnya sukses secara komersial. Sundel Bolong (1981), Malam Jumat Kliwon (1986), dan Malam Satu Suro (1988). Jaka Sembung (1981), Saur Sepuh (1987) dan Satria Madangkara (1987). Yang paling fenomenal adalah Catatan Si Boy (1987). Doea Tanda Mata (Teguh Karya, 1984), Matahari-Matahari (Arifin C Noer, 1985), Tjoet Nyak Dien (Eros Djarot, 1986), Kodrat (Slamet Rahardjo Djarot, 1986), Kejarlah Daku Kau Kutangkap (Chaerul Umam, 1985), dan Nagabonar (M.T. Risyaf, 1987). Pada masa tersebut rupiah kehilangan 75% dari nilainya, harga mendadak naik, dan ¾ dari perusahaan yang terdaftar di bursa saham secara teknis dinyatakan bangkrut (situs bi.go. id).
124
tation16 atau film beranggaran rendah yang memanipulasi tubuh wanita. Genre sexploitation akhirnya menjadi karak-ter yang menempel kuat dari identitas kelompok komersial pembuat film Indonesia dari tahun 1993 sampai 1997 (Imanjaya, 2009). Kejatuhan rezim Presiden Soeharto (1966-1998) pada Mei 1998 adalah yang memberikan angin perubahan pada industri film Indonesia. Film-film yang diproduksi sineas muda Indonesia akhirnya memperoleh ruang ekspresi dan memberikan alternatif tontonan yang ‘baru’ bagi masyarakat. Pada tahun 1998, setelah berjuang 2.5 tahun, Kuldesak (Riri Riza et al., 1997) berhasil masuk jaringan bioskop 21 Cineplex. Riri Riza, Rizal Mantovani, Mira Lesmana dan Nan Achnas membuat proyek film ini bersama pada tahun 1996. Hal ini signifikan karena Kuldesak dibuat tanpa mendaftarkan rencana produksi film tersebut di Deppen dan para sutradaranya pun belum memperoleh keanggotaan wajib di instansi yang sama (yang mengharuskan sutradara menjadi asisten sutradara minimal lima kali [Heeren, 2012, h. 21]). Karenanya, Kuldesak lalu dilabeli pers sebagai ‘film independen’. Kuldesak adalah film generasi pertama, dari gelombang produksi film independen, yang didanai secara pribadi dan difilmkan dengan ‘gaya gerilya’ tanpa izin negara yang diperlukan (Imanjaya, 2009). Film ini dibuat dengan dana yang minim sejumlah 600 juta rupiah, di luar dana promosi yang mencapai 150-200 juta rupiah (semua sutradara dan pemain tak dibayar termasuk penata musik), dan mereka pun tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai pembuatan sebuah film. “Saat kami bertekad bersama-sama membuat film, baik aku, Rizal, Riri, maupun Nan, tidak terlalu ngerti tentang film 35 milimeter, seluloid, dan seluk-beluk film layar lebar, tekad kami hanya satu, ingin berbuat sesuatu bagi dunia film Indonesia yang nyaris mati!” tegas Mira (‘Success Story’, 2013). Kuldesak berhasil menghadirkan 130,000 penonton dari 10,000 penonton yang ditargetkan. Terdapat tiga faktor yang membuat Kuldesak mampu tampil sebagai pemicu bangkitnya kembali sinema independen Indonesia. Pertama, Kuldesak merupakan film gerakan bawah tanah yang berhasil masuk jaringan 21 Cineplex, sehingga dapat ditonton oleh masyarakat luas di berbagai kota di Indonesia. Kedua, wacana tentang kebangkitan sinema independen yang dibawa oleh pers dipermudah oleh mulai digunakannya internet di Indonesia; arus informasi menjadi lebih lancar dan wacana sinema independen sebagai alternatif tontonan merebak di masyarakat luas. Ketiga, terjadinya revolusi teknologi di dunia, yang berakibat pada masuknya teknologi digi-
16
Beberapa film dengan genre sexploitation adalah Kenikmatan Tabu (RA, Danesh, 1994; diperankan oleh Inneke Koesherawati, Kiki Fatmala) dan Gairah Malam (Maman Firmansjah, 1993; diperankan oleh Malfin Shayna). Yang lainnya adalah Nafsu Liar (Steady Rimba, 1996; diperankan oleh Deby Carol, Megy Megawati), Bergairah di Puncak (Steady Rimba, 1996; diperankan oleh Windy Chindiyana), Misteri Permainan Terlarang (Atok Soeharto, 1993; diperankan oleh Kiki Fatmala, Lela Anggraeni) dan Ranjang Pemikat (Pitrajaya Burnama, 1993; diperankan oleh Sally Marcelina, Windy Chindiyana).
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
tal ke Indonesia, seperti produk-produk video digital (handycam), Personal Computer (PC) bahkan peranti lunak video editing. Membuat film mendadak menjadi hal yang menjadi mungkin dilakukan bahkan oleh orang awam sekali pun, bukan sineas industri film atau pun lulusan sekolah film. Pada momen ini muncul idiom baru, ‘membuat film itu mudah’ sebagai sebuah wacana tawaran bagi kaum muda untuk membuka kembali ruang kreatifnya. Bahkan, Kuldesak membawa keberanian bagi para sineas film arus utama untuk memproduksi film yang lebih jujur mengenai visi sebagai pembuat film. Keberhasilan film Kuldesak masuk dan ditayangkan di jaringan bioskop tanah air, menandai munculnya kelahiran gelombang baru pembuat film termasuk para profesional dan non-profesional dengan sikap do-it -yourself (Ratna, 2010). Geliat sinema independen Indonesia semakin berkembang setelah Departemen Penerangan dibubarkan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid tahun 1999. Perfilman nasional kemudian diasuh oleh Kementrian Negara Pariwisata dan Kebudayaan, sehingga film yang sebelumnya dianggap sebagai produk politik dan keamanan, kini dipandang sebagai produk budaya (Effendy, 2008, h. 10). Tidak ada lagi tindakan pencekalan bagi film-film yang berusaha menyampaikan wacana di masyarakat. Sineas muda Indonesia berbondong-bondong memberanikan diri memproduksi film dengan ‘gaya’ mereka sendiri. Fenomena Kuldesak dan masuknya teknologi video digital mendorong anak muda Indonesia membuat film. Dan sejak tahun 1999 munculah banyak acara yang menamakan dirinya sebagai festival film independen dan komunitas film independen. Tahun 1999 sampai dengan 2004 boleh dibilang sebagai tahun keemasan bagi film pendek Indonesia. Festival Film Independen Setelah Festival Film Mini berhenti diselenggarakan pada tahun 1981, untuk beberapa waktu belum ada festival film yang diselenggarakan untuk mengapresiasi sineas independen Indonesia. Barulah pada 1999, tepat setelah momentum Kuldesak, diselenggarakan berbagai festival film independen sebagai ruang bagi sineas muda yang ingin mempertontonkan karyanya. Tujuan lain dari festival film ini adalah memberikan kesempatan bagi para pembuat film independen untuk membentuk jaringan yang lebih luas. Lebih jauh lagi, memenangkan kompetisi pada sebuah festival film independen terkadang menjadi langkah awal bagi sineas muda pendatang baru untuk dapat menembus industri film arus utama. Mulai tahun 1999, diadakanlah Festival Film Video Independen (FFVII) yang kemudian berganti nama menjadi Festival Film Pendek Konfiden pada tahun 2006. Festival film yang diinisiasi oleh Yayasan Konfiden ini adalah festival film yang diselenggarakan gratis dan mendedikasikan programnya untuk apresiasi film independen lokal (yang sebagian besar memiliki durasi pendek) dari berbagai kota di seluruh Jawa. Festival ini diselenggarakan tahun 1999, 2000, 2001, 2002, 2006, 2007, 2008, 2009 dan 2010. Namun mulai tahun 2010, Yayasan Konfiden memusatkan perhatian pada bidang database dan pengarsipan. Bermula dari koleksi film pendek dalam
Videotek Konfiden, pengarsipan lalu berkembang ke situs web Film Indonesia (‘Tentang Kami’, 2010). Pada tahun yang sama, 1999, JiFFest (Jakarta International Film Festival) digelar untuk pertama kalinya. JiFFest merupakan festival film berbayar yang menitikberatkan pada pemutaran film-film internasional yang tidak hanya dari Hollywood, tetapi juga negara asing lain, seperti Iran, Prancis, Belanda dan Jerman. JiFFest memfokuskan programnya untuk membuka akses masyarakat terhadap film-film alternatif. Diselenggarakan oleh Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia (MMFI), penyelenggaraan JiFFest tidak pernah absen dari tahun 1999 hingga 2010. Sayang, pada tahun 2011, JiFFest urung dilaksanakan karena masalah dana. Pembatalannya disebabkan berhentinya dana hibah dari donor asing yang selama ini menjadi komponen utama pendanaan festival tersebut (Gitomartoyo dan Sekarjati, 2011). Masih pada tahun yang sama, diselenggarakan pula Europe on Screen oleh Pusat Budaya Eropa, Lembaga Eropa dan Kedutaan Besar Eropa. Festival ini pada awalnya diselenggarakan dengan nama European Film Festival (1999 dan 2003) dengan menjadi bagian dari JiFFest (2004, 2005 dan 2006). Kemudian festival tersebut menggunakan nama Europe on Screen sejak 2007 dengan diselenggarakan secara mandiri. Berbeda dengan Festival Film Pendek Konfiden dan JiFFest yang diselenggarakan di Jakarta, Europe on Screen mengadakan roadshow pemutaran film-film terpilih di Medan, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Denpasar. Festival ini diselenggarakan setiap tahun dan hingga kini masih berlangsung. Festival lainnya adalah OK. Video — Jakarta International Video Festival (sekarang bernama OK. Video: Jakarta International Video Festival) yang diselenggarakan oleh Ruang Rupa di Jakarta. OK. Video - Jakarta International Video Festival adalah festival seni video internasional pertama di Indonesia yang telah diselenggarakan sejak 2003 oleh Ruang Rupa, sebuah organisasi seni rupa kontemporer di Jakarta. OK. Video membuka ruang bagi karyakarya yang membahas fenomena sosial dan budaya di Indonesia dan mancanegara dalam format festival dengan tema spesifik (OK.Video, 2013). Festival ini diselenggarakan setiap dua tahun dan masih berlangsung hingga kini. Jika festival-festival di atas tidak mengkhususkan pada genre tertentu, terdapat pula beberapa festival yang secara khusus mengklaim festivalnya sebagai ruang pamer bagi genre film tertentu. Sebut saja Festival Film Animasi Indonesia, Q! Film Festival Jakarta, Festival Film Dokumenter Yogyakarta, HelloFest Jakarta dan iNAFF (Indonesia International Fantastic Film Festival). Festival Film Animasi Indonesia (FFAI) merupakan festival film khusus animasi bertaraf internasional yang resmi diselenggarakan pada tahun 2001. Direktur dari festival ini sejak dari 2001 dipegang oleh Gotot Prakosa. FFAI digelar dua tahun sekali dan masih berlangsung hingga sekarang. Festival lainnya yang juga membidik animasi adalah HelloFest Jakarta yang digagas oleh HelloMotion Academy – sebuah sekolah singkat membuat animasi. HelloFest diselenggarakan setiap tahun sejak 2004 dan masih berlangsung hingga sekarang. HelloFest lalu berkembang menjadi hajat terbesar 125
Idola P. Putri, Mendefinisikan Ulang Film Indie: Deskripsi Perkembangan Sinema Independen Indonesia penggemar animasi dan cosplay.17 Sementara itu, Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta mengangkat genre film dokumenter. FFD adalah festival film pertama di Indonesia dan di Asia Tenggara, yang khusus menangani film dokumenter. Festival ini diselenggarakan oleh Komunitas Dokumenter setiap tahun sejak 2002 hingga kini masih berlangsung. Sedangkan Q! Film Festival merupakan festival yang mengangkat dan mengkampanyekan wacana lesbian, gay, bisexual, dan transgender (LGBT). Diselenggarakan di Jakarta oleh Q-Munity, festival ini diklaim sebagai festival film-film LGBT terbesar di Asia. Walaupun seringkali festival ini diselenggarakan secara tertutup, karena sering menuai kontroversi, Q! Film Festival berhasil diselenggarakan setiap tahun sejak 2002 dan masih berlangsung hingga sekarang. Lain lagi dengan iNAFF yang pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat pecinta film dengan genre spesifik pada tahun 2007 dengan nama ScreamfestIndo. Berganti nama menjadi iNAFFF pada tahun 2008, festival ini mengkhususkan diri pada film-film dengan genre fantastic (horror, thriller, sci fi, anime, fantasy; iNAFF, 2011). Kegiatan iNAFF mendapat dukungan penuh dari brand rokok, diselenggarakan setiap tahun (meskipun sempat terhenti tahun 2011), dan menggandeng BlitzMegaplex di Bandung dan Jakarta sebagai ruang pamer filmfilmnya. Adapula Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), sebuah festival film internasional yang diselenggarakan oleh JAFF bekerjasama dengan NETPAC (Network for The Promotion of Asian Cinema); sebuah lembaga film yang dibentuk oleh pelakupelaku film dari berbagai negara di Asia dan berpusat di Srilanka yang bertujuan untuk mempromosikan serta mengembangkan perfilman Asia (JAFF, 2012). JAFF diselenggarakan setiap tahun sejak tahun 2006 dan masih berlangsung hingga sekarang. Festival ini menyebut dirinya sebagai satu-satunya festival film di Indonesia yang memfokuskan diri pada perkembangan sinema Asia serta mendapat dukungan dari yayasan dari kelompok perusahaan rokok. (JAFF, 2012). Selain festival-festival di atas yang berskala internasional, terdapat pula festival-festival berskala nasional yang diselenggarakan oleh komunitas film lokal di kota-kota tertentu, seperti Festival Film Purbalingga, Festival Film Solo, Malang Film Festival, Bali Documentary Film Festival, Festival Film Cianjur, Golden Lens-International Documentary Film Festival, Festival Film Pelajar, dan lain sebagainya. Festival-festival ini biasanya menggelar kompetisi film (kebanyakan merupakan kompetisi film dokumenter atau film pendek) di tingkat pelajar dan mahasiswa,
17
Cosplay adalah mengubah diri menjadi peran yang dibutuhkan atau status yang diinginkan, terlepas dari apakah orang tersebut memang berprofesi sebagai peran yang sedang diembannya tersebut atau memiliki kemampuan yang dituntut harus dimiliki oleh peran yang diembannya tersebut. Sementara secara harfiah cosplay diartikan sebagai dapat dengan mudah menjadi suatu peran/tokoh (Mitamura, dalam buku Cosplay Naze Nihonjin wa Seifuku ga suki Na No Ka; situs elib.unikom.ac.id).
126
mengadakan pemutaran film, dan lokakarya pembuatan film. Meskipun kadang-kadang penyelenggaraan festival-festival film berskala lokal ini tidak konsisten, penyelenggaraan berbagai festival film ini telah menciptakan suasana yang mendukung bagi komunitas film dan kegiatan utama mereka, dengan penekanan pada produksi film dan pemutaran film tersebut (Ratna, 2010). Setidaknya sineas pemula merasa memiliki ruang pamer untuk mempertunjukkan karya mereka melalui penyelenggaraan festivalfestival film. Festival film yang bermunculan sejak tahun 1999 hingga sekarang menjadi tolok ukur dari semakin berkembangnya bentuk sinema independen Indonesia. Jika sebelum reformasi sinema independen diwakili oleh film pinggiran yang berjaya di festival film internasional, kini sinema independen Indonesia telah mampu membangun ruangnya sendiri untuk menyatakan diri pada masyarakat luas. Secara keseluruhan, ada beberapa manfaat yang datang dari kehadiran festival film. Pertama, tempat di mana khalayak umum dapat melihat film alternatif yang berbeda dari jenis referensi film yang biasanya ditonton di bioskop maupun televisi. Kedua, festival film memperkaya keragaman film Indonesia dan membantu munculnya pembuat film baru. Dan ketiga, memberikan ruang bagi para pembuat film lokal untuk mengekspresikan diri dalam perspektif dan bahasa mereka sendiri; yang menambah kekayaan bentuk, gaya, dan bahasa film Indonesia (Ratna, 2010). Film Independen Indonesia Pasca Reformasi Pasca reformasi, sinema independen Indonesia tidak dapat lagi hanya diwakili oleh film pinggiran atau ‘sinema ketiga’ seperti terjadi pada masa Orde Baru. Jika pada masa Orde Baru film independen secara kasat mata dapat dibedakan dengan film arus utama karena lebih banyak muncul di pasar film festival dan bukan jaringan bioskop komersial. Berhasilnya Kuldesak masuk dalam jaringan bioskop 21 Cineplex menggeser cara pandang terhadap sinema independen Indonesia. Pemetaan sinema independen Indonesia pasca reformasi melibatkan kondisi aktual dari rantai produksi, distribusi dan ekshibisi industri film Indonesia, serta juga analisis dari perkembangan terobosan gaya dan genre film Indonesia saat ini. Sinema independen Indonesia kini, selain tentunya film pinggiran atau sering kali dipersepsi sebagai film pendek, juga melibatkan film-film yang diproduksi industri film arus utama. Hal ini melibatkan sutradara, produser bahkan pemain (aktor dan aktris) industri film arus utama. Kondisi ini juga terjadi di Hollywood di mana beberapa studio film yang menyatakan diri sebagai studio film independen dimiliki oleh sineas besar Hollywood, seperti LucasFilms (George Lucas), Amblin Entertainment (Steven Spielberg) dan Lightstorm Entertainment (James Cameron). Selain itu, dua studio film independen terkenal dimiliki oleh praktisi film Hollywood yaitu Revolution Studios (Joe Roth) and Phoenix Pictures (Mike Medavoy). Bahkan film-film yang dikatakan sebagai film independen merupakan film terbesar sepanjang masa, misalnya saja Minority Report (Steven Spielberg, 2002) and War of the Worlds (Steven Spielberg, 2005); keenam sekuel dari The Star Wars
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
Saga (George Lucas, 1977–2005); Revolution’s xXx (R. Cohen, 2002); Hollywood Homicide (Shelton, 2003); The 6th Day (Spottiswoode, 2000); Stealth (R. Cohen, 2005); The Abyss (James Cameron, 1989), True Lies (James Cameron, 1993) dan Titanic (James Cameron, 1997). Akan tetapi, dalam industri film Indonesia, belumlah ada studio film yang betul-betul mengklaim dirinya sebagai studio film independen dan konsisten dengan pernyataannya. Sebetulnya, sejarah industri film Indonesia pernah mencatat lahirnya sebuah kelompok yang diharapkan mampu menjadi penggerak sinema independen Indonesia; bernama I-sinema. Arti huruf ‘I’ dalam ‘I-sinema’ itu ambigu- bisa menjadi singkatan dari kata ‘Indonesia’ dapat juga untuk ‘Independen’; serta dapat juga diartikan sebagai ‘mata’ dari kata bahasa Inggris ‘eye’ yang sesuai dengan pelafalan ‘I’ (Imanjaya, 2009). I-sinema beranggotakan Riri Riza, Nan Achnas, Richard Buntario, Sentot Sahid, Mira Lesmana, Srikaton M, Enison Sinaro, Ipang Wahid, Teddy Soeriaatmadja, Dimas Djayadiningrat, Rizal Mantovani, Jay Subyakto dan Yato Fionuala. Menurut manifestonya, I-sinema mendefinisikan film independen sebagai film dengan gaya yang berbeda, mengeksplorasi pembuatan film menggunakan kemajuan teknologi alat pembuatan film, teknik pengambilan gambar, dan cara sutradara mengarahkan/ menyutradari filmnya. Melalui karya-karyanya, para anggota I-sinema menekankan pentingnya film sebagai bentuk kebebasan berekspresi dan berjanji untuk membuat film yang kredibel dan penuh integritas baik dari segi cerita maupun teknis pembuatan film, namun mereka tetap akan menjaga efektivitas proses produksi (Sharpe, 2008, seperti dikutip dalam Heeren, 2012, h. 10). Sayang, gerakan ini hanya menghasilkan empat judul film, antara lain Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (Enison Sinaro, 2000), Eliana Eliana (Riri Riza, 2002), Bendera (Nan Achnas, 2002) dan Titik Hitam (Sentot Sahid, 2002). Pada akhirnya, untuk dapat memetakan sinema independen Indonesia dalam kaitannya dengan industri film arus utama, kita harus melihat film-film produksi sineas Indonesia satu per satu dengan merujuk pada definisi film independen Amerika. Dengan kata lain, kita harus terlebih dahulu dapat menjawab beberapa pertanyaan berikut; Berapakah jumlah nominal film yang dapat disebut sebagai film berbiaya murah? Seperti apakah film-film yang dimaksud film yang mendobrak gaya konvensional film arus utama? Dan film-film bagaimanakah yang dikatakan idealis dan tidak komersial? Chand Parvez Servia (Starvision) membagi film menjadi tiga jenis berdasarkan pada nominal pembiayaannya (Sasono et al., 2011, h. 147). Pertama, film murah yang dibuat dengan anggaran di bawah 1 milyar rupiah. Kedua, film biasa dengan anggaran antara 1.5 sampai dengan 5 milyar rupiah. Dan ketiga, film istimewa yang memiliki biaya di atas 5 milyar rupiah dengan promosi besar dan pendekatan besar. Artinya, film-film produksi di Indonesia dikatakan berbiaya murah adalah film-film dengan dana kurang dari 1 miliyar rupiah. Sementara itu, secara umum peta pola sumber pendaanaan untuk sebuah produksi film dibagi menjadi komersial dan non-komersial. Sumber pendanaan komersial bisa berupa film yang disponsori produk tertentu, pendanaan oleh lembaga
penyiaran, para investor pribadi/non-perusahaan, dan produksi bersama; sedangkan pendanaan nonkomersial secara umum bisa didapat dari lembaga donor, lembaga endowment film, perseorangan dengan logika pendanaan non-komersial, atau program Corporate Social Responsibility perusahaan (Sasono et al., 2011, h. 148-149). Hal ini berarti film-film yang dibiayai oleh sumber pendanaan non-komersial, tidak memiliki tuntutan untuk membuat film yang mampu ROI (return of investment) sehingga dapat dikatakan, film-film ini akan cenderung idealis dan tidak menonjolkan sisi komersial. Film-film yang mendapatkan sumber pendanaan non-komersial, terutama dari lembaga donor dan lembaga endowment film contohnya Perempuan Punya Cerita (Nia Dinata, Lasja F. Susatyo, Fatimah T. Rony, Upi, 2007), 3 Hari Untuk Selamanya (Riri Riza, 2007), 3 Doa 3 Cinta (Nan Achnas, Nurman Hakim, Adiyanto Sumarjono, 2008), Berbagi Suami (Nia Dinata, 2006), dan Postcard From The Zoo (Edwin, 2012). Sering kali film-film yang mendapatkan sumber pendanaan dari lembaga donor dan lembaga endowment film juga merupakan produk-produk terobosan. Produk-produk terobosan adalah film yang mencapai estetika atau pengungkapan tema yang berbeda yang disebut Kerrigan sebagai ‘film-film seni yang bisa menembus arus utama’ (dalam Sasono et al., 2011, h. 172). Contohnya adalah film Kala (Joko Anwar, 2006), Opera Jawa (Garin Nugroho, 2006) Babi Buta yang Ingin Terbang (Edwin, 2008), dan Impian Kemarau (Ravi Bharwani, 2004). Film-film terobosan yang mendapatkan dana non-komersial inilah yang biasanya membidik pasar festival film dan penghargaan tingkat dunia. Namun demikian, ada pula film produk terobosan yang tidak mendapat sumber pendanaan lembaga non-komersial, seperti trilogi film eksperimental dari Faozan Rizal; Aries, a Poem for Katia (2004), Yasujiro Journey (2004), dan Fugu, a Sushi Tales (2009). Tentu, di luar film-film yang berhasil tayang pada jaringan bioskop arus utama, ada pula film-film independen yang didefinisikan sebagai film independen berbiaya murah dan menggunakan ekshibisi alternatif. Pada rantai ekshibisi, jaringan bioskop rantai tanah air didominasi oleh jaringan bioskop 21 Cineplex yang memiliki ratusan layar dan Blitx Megaplex dengan puluhan layar. Selain itu, ruang ekshibisi alternatif dimiliki oleh pusat-pusat kebudayaan, kedutaan besar negara asing atau kampus-kampus dan sekolah-sekolah. Ekshibisi alternatif di Indonesia sendiri hingga kini bersandar pada dua model utama: pemutaran film di kampus-kampus dan pusat-pusat kebudayaan, seperti Pusat Kebudayaan Prancis, Jerman dan Belanda (Sasono et al., 2011, h. 280). Film-film yang menggunakan ekshibisi alternatif adalah Beth (Aria Kusumadewa, 2000), Bintang Jatuh (Rudy Soedjarwo, 2000), Satu Nyawa dalam Denting Lonceng Kecil (Abiprasidi, 2002), Pachinko and Everyone’s Happy (Harry Suharyadi, 2000), Novel Tanpa Huruf ‘R’ (Aria Kusumadewa, 2003), Betina (Lola Amaria, 2006), cin(T)a (Sammaria Simanjuntak, 2009) dan Kita Versus Korupsi (Lasja F. Susatyo, Ine Febrianti, Emil Heradi, Chairun Nisa, 2012) . Tidak hanya melalui roadshow dari kampus ke kampus, berkembangnya sinema independen melalui bentuk festival-festival film membuka ekshibisi alter127
natif lainnya yaitu ruang penyelenggaraan festival film itu sendiri. Contoh film-film yang berkembang dari festival film adalah Belkibolang (2010), Minggu Pagi di Victoria Park (Lola Amaria dan Titien Wattimena, 2010), dan Lovely Man (Teddy Soperiaatmadja, 2011). Ekshibisi alternatif lainnya adalah beberapa kineklub yang cukup aktif seperti Kineforum yang dikelola Dewan Kesenian Jakarta, yang merupakan bagian kegiatan Kompas-Gramedia serta Art Cinema yang berada di bawah Kampus FFTV IKJ dan dikelola oleh IKJ (Sasono et al., 2011, h. 281). Meskipun demikian, film-film yang ikut serta pada ajang-ajang festival film, tentulah masih menjadi bagian dari sinema independen Indonesia. Filmfilm independen ini adalah film-film yang dibuat oleh siapa pun (amatir maupun profesional) yang menghasilkan karya baik film pendek, film dokumenter, film eksperimental maupun animasi. Bahkan filmfilm ini pun haruslah memiliki salah satu unsur dari komponen-komponen berikut; berbiaya rendah, mengangkat tema yang membawa semangat perubahan, non-komersial, dan mencerminkan visi dari pembuat film, serta mewakili semangat do-it-yourself.
Kesimpulan Kondisi Indonesia yang mengalami perubahan dalam hal politik maupun ekonomi berakibat pada terbentuknya deskripsi baru dari sinema independen Indonesia saat ini. Jika pada masa Orde Baru, sinema independen Indonesia diwakili oleh film pinggiran yang tidak tayang di jaringan bioskop komersial namun berjaya pada festival film internasional. Sinema independen pasca reformasi, memiliki bentuk yang lebih berkembang. Kini, sinema independen Indonesia juga melibatkan film-film yang mampu tayang di jaringan bioskop arus utama dan diproduksi oleh sineas-sineas yang terlibat di industri film arus utama. Secara garis besar definisi film independen Indonesia adalah film berbiaya rendah di bawah satu miliyar rupiah, film-film yang dibiayai lembaga nonkomersial (lembaga donor, lembaga endowment film, perseorangan dengan logika pendanaan non-komersial, atau program Corporate Social Responsibility perusahaan), dan ditayangkan pada ekshibisi alternatif, baik itu festival film maupun roadshow dari kampus ke kampus.
Daftar Pustaka Aartsen, J. (2011). Film World Indonesia: The Rise After The Fall. Diunduh pada 27 November 2012 dari http://igitur-archive. library.uu.nl/student-theses/2011-0524-200344/thesis_ filmworldindonesia_jv_aartsen.pdf About Us. (2011). Horror, Thriller, Sci-fi, Fantasy iNAFFF11 Indonesia International Fantastic Film Festival. Diunduh pada 3 Juni 2013 dari http://www.inafff.com/2011/index.php?modul=profil About Us. (2012). 7th Jogja-NEPTAC Asian Film Festival: Redreaming Asia. Diunduh pada 5 Juni 2013 dari http://jaff-filmfest.org/ about/ Andrie, T. (22 September 2007). Air Mata Surga; Gerakan Film Independen Memadukan Seni, Teknik dan Mimpi. Jaringan Kerja Film Banyumas. Diunduh pada 4 Maret 2013 dari http:// jkfb.wordpress.com/2007/09/22/air-mata-surga-gerakan-filmindependen-indonesia-memadukan-seni-teknik-dan-mimpi/ Baskin, A. (2002). Peranan Perkembangan Film Indie terhadap Bangkitnya Film Nasional. Jurnal Komunikasi Mediator. Bandung: Universitas Islam Bandung. Biran, M. Y. (2009). Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Depok. Komunitas Bambu. Choirudin, Achmad. Film Pinggiran dan Demokrasi Media. (17 Februari 2011). Komunitas Kembang Merek. Diunduh pada 3 Maret 2013 dari http://komunitaskembangmerak.wordpress. com/2011/02/17/film-pinggiran-dan-demokrasi-media/ Distribusi Belum Ada Solusi. (5 Juli 2009). Inilah.com. Diunduh pada 8 Maret 2013 dari http://m.inilah.com/read/detail/124137/ distribusi-belum-ada-solusi Effendy, H. (2008). Industri Perfilman Indonesia: Sebuah Kajian. Jakarta: Erlangga. Fenomena Cosplay dan Tokoh Misu Hatsune. ----. elib unikom. Diunduh pada 5 Juni 2013 dari http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/571/ jbptunikompp-gdl-nurullatie-28541-9-bab2.pdf Gitomaryoto, L. & Sekarjati, A. (5 Desember 2011). Lalu Roisamri: JIFFest Merancang Format Baru. Film Indonesia. Diunduh pada 9 Maret 2013 dari http://filmindonesia.or.id/article/laluroisamri-jiffest-merancang-format-baru#.UUB-ZGCyMXw Heeren, K.V. (2012). Contemporary Indonesian Film: Spirits of Reform and Ghosts From The Past. Netherlands. KITLV Press: Leiden. Imanjaya, E. (17 Maret 2009). Idealism versus Commercialism in Indonesian Cinema: A Neverending Battle?. Rumah Film. Diunduh pada 22 November 2012 dari http://new.rumahfilm. org/artikel-feature/idealism-versus-commercialism-inindonesian-cinema-a-neverending-battle-2/ Kusumaryati, V. (2013). “Experimental Filmmaking in The New Order Indonesia” (Makalah non-publikasi yang dipresentasikan di Critical Histories of Activism: Indonesia’s New Order and Its Legacies). UCLA, Los Angeles. Diakses pada tanggal
128
3 Juni 2013 dari http://international.ucla.edu/media/files/ Kusumaryati_UCLA_Experimental-Filmmaking-ev-53t.pdf Menparekraf Dukung Pengembangan Musik dan Film Indie. (26 April 2012). Investor Daily Indonesia. Diunduh pada 10 Maret 2013 dari http://www.investor.co.id/bookandcinema/menparekrafdukung-pengembangan-musik-dan-film-indie/34836 Nugraha, T. (2008). “Bioskop dan Penonton Di Bandung (1907-1942)” (Skripsi non-publikasi). Universitas Padjajaran. Bandung. news.okvideofestival. (2013). Ok. Video Flesh. Diunduh pada 3 Juni 2013 dari http://news.okvideofestival.org/ Prakosa, G. (2001). Ketika Film Pendek Bersosialisasi. Jakarta: Yayasan Layar Putih. Prakosa, G. (2005). Film pendek independen dalam penilaian. Jakarta: Komite Film Dewan Kesenian Jakarta/Yayasan Seni Visual Indonesia. Ratna, L. (2010). “Indonesian Local Film Festivals” (The International Federation of Film Critics). Diunduh pada 20 November 2012 dari http://www.fipresci.org/undercurrent/issue_0609/ratna_ indonesian.html Sasono, E. (et. al.). (2011). Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia. Jakarta: Rumah Film Indonesia & Yayasan Tifa. Sekilas Sejarah Film Indonesia. (2010). Montase: Buletin Sinema Independen. Diunduh pada 28 November 2012 dari http:// montase.blogspot.com/2010/05/sekilas-sejarah-filmindonesia.html Sen, K. (1994). Indonesian Cinema: Framing the New Order. London: Zed Books. Tzioumakis, Y. (2006). American Independent Cinema: An Introduction. Edinburgh. Edinburgh University Press Ltd. Song, T. (-----). A New Definition For Today’s Chinese Independent Cinema. -----. E-journalist. Diunduh pada 18 November 2012 dari http://ejournalist.com.au/v9n1/Song.pdf Succes Story: Mira Lesmana. (23 Oktober 2013). Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman. Diunduh pada 6 Maret 2013 dari http://skenariofilm.com/success-story-miralesmana/ Tarmidi, L. T. (----). Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran. ----. Diakses pada tanggal 3 Juni 2013 pada http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/427EA160-F9C2-4EB0-9604C55B96FC07C6/3015/bempvol1no4mar.pdf Tentang Kami. (2010). Film Indonesia. Diunduh pada 3 Juni 2013 dari http://filmindonesia.or.id/tentang-kami#.Uaw-X2CyMXx Third Cinema. ----. Film Reference. Diunduh pada 3 Juni 2013 dari http://www.filmreference.com/encyclopedia/RomanticComedy-Yugoslavia/Third-Cinema.html
Volume II Nomor 2 Oktober 2013 ISSN 2301-9816
JURNAL KOMUNIKASI INDONESIA
Menjalin Interaksi dengan Konsumen melalui Facebook: Analisis terhadap Tiga Brand Perangkat Elekronik Laptop Snezana Swasti Brodjonegoro Amelia Virginia Abstrak/Abstract Penggunaan media sosial seperti Facebook sudah menjadi praktik lumrah untuk brand di Indonesia sejak sekitar 3 tahun terakhir. Hingga tahun 2012 lalu tercatat sekitar 400 brand di Indonesia yang hadir di Facebook dalam bentuk Facebook Page. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang seberapa optimal brand tersebut menggunakan Facebook Page untuk berinteraksi dengan khalayak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti menganalisis konten dari Facebook Page milik Acer Indonesia, Lenovo Indonesia dan Asus Indonesia selama bulan Juli hingga September 2013. Peneliti menggunakan kerangka analisis Digital Marketing Framework (DMF) untuk membantu meletakkan hasil analisis pada konteks pemasaran digital. Dari analisis terhadap ketiga brand tersebut, belum ada brand yang secara optimal menggunakan Facebook di seluruh tahap DMF. Ketiga brand tersebut menggunakan Facebook dengan aktif hanya pada tiga tahap pertama dari lima tahap DMF. Namun Acer Indonesia dan Lenovo Indonesia menunjukkan kinerja dan interaksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan Asus Indonesia. The use of social media such as Facebook has been a common practice among brands in Indonesia for the past 3 years. Up to 2012, approximately 400 Indonesian brands are present on Facebook, by setting up their own Facebook Page. This triggered question as to how optimum those brands are in using Facebook to interact with their customers. To answer that question, we analized the content of three Facebook pages, namely from Acer Indonesia, Lenovo Indonesia and Asus Indonesia during the period of three months, from July-September 2013. We use the Digital Marketing Framework (DMF) to help contextualize the result in the light of digital marketing. From the analysis to those brands, we found out that none of them has optimally used Facebook on all five stages of the DMF. All three brands use Facebook actively on the first three stages of the DMF, but Acer Indonesia and Lenovo Indonesia shows a better performance and much better interaction with fans compared to Asus Indonesia. Kata Kunci/Keywords Media sosial, situs jejaring sosial, PR 2.0, Digital Marketing Framework Social media, social networking sites, PR 2.0, digital marketing framework
Maverick Indonesia Jl. Kyai Maja No. 21 E, Kebayoran Baru, Jakarta 12120
[email protected] [email protected]
Pendahuluan
B
eberapa tahun belakangan, media sosial telah berkembang menjadi sebuah jargon kuat dan banyak muncul serta dilontarkan di berbagai konteks, yakni konteks pemasaran, komunikasi, politik, periklanan, dan kehidupan individu. Diantara definisi media sosial yang beragam, definisi dari Scott (2011) cukup mudah dipahami dan mengena pada fitur dasar yang ditawarkan oleh media sosial. Berikut definisi Scott tentang media sosial: 129
Snezana Swasti Brodjonegoro & Amelia Virginia, Menjalin Interaksi dengan Konsumen melalui Facebook “Media sosial menyediakan sebuah cara untuk berbagi ide, konten, pemikiran dan hubungan secara daring. Media sosial berbeda dengan media yang disebut media arus utama (mainstream media) karena di media sosial siapapun dapat menciptakan, memberikan komentar, dan menambah konten media sosial. Media sosial dapat berupa teks, audio, video, gambar, dan komunitas.” Hal senada juga diungkapkan oleh Kaplan dan Haenlein (2010), serta Adebanjo dan Michaelides (2010) dalam diskusi mengenai Web 2.0, yang mana kini situs web bersifat kolaboratif, dinamis, interaktif, dan penggunanya berpartisipasi aktif dalam menciptakan dan menambahkan isi pada media tersebut. Scott (2011) berpendapat bahwa media sosial – sebagai implementasi dari pengembangan Web 2.0 – bukan hanya berbicara tentang teknologi saja, tetapi bagaimana teknologi tersebut memungkinkan kita berkomunikasi langsung dengan orang lain secara sosial. Manfaat dan nilai teknologi akan lebih apabila ada komunitas besar yang berkontribusi pada isinya (Stephens, 2008). Seiring dengan perkembangan media sosial, sebuah terminologi dan platform baru hadir dalam berkomunikasi di ranah Web 2.0, yaitu social networking sites atau situs jejaring sosial. Menurut Boyd dan Ellison (2008, h. 211), situs jejaring sosial didefinisikan sebagai ‘layanan berbasis web yang memungkinkan individu untuk: (1) membuat sebuah profil publik atau semi-publik di dalam sebuah sistem yang terbatas; (2) mengartikulasi sebuah daftar pengguna lain yang terhubung dengan pemilik profil tersebut; dan (3) melihat dan mengunjungi koneksi yang ada di dalam daftar tersebut dan yang dibuat oleh orang lain di dalam sistem tersebut’. Tidak jauh berbeda dengan media sosial, situs jejaring sosial berkembang dengan sangat pesat, termasuk di Indonesia. Dalam konteks situs jejaring sosial di Indonesia secara khusus, maka kita berbicara tentang angka-angka yang cukup fantastis. Walaupun jumlah pengguna internet di Indonesia hanya sekitar 63 juta orang di akhir tahun 2012 dan diprediksi meningkat menjadi 82 juta orang pada akhir tahun 2013 (APJII, 2013), dengan tingkat penetrasi sekitar 24%, namun Indonesia menduduki peringkat lima besar dalam statistik pengguna media sosial – terutama situs jejaring sosial Twitter dan Facebook. Di antara lebih dari 60 juta orang pengguna internet Indonesia, terdapat lebih dari 64 juta pengguna Facebook aktif (Grazella, 2013). Tak heran Indonesia saat ini berada di peringkat keempat dalam hal jumlah pengguna Facebook, setelah Amerika Serikat, Brazil, dan India. Untuk Twitter, saat ini jumlah pengguna di Indonesia mencapai lebih dari 29 juga orang. Bahkan Jakarta adalah kota yang terbanyak “memproduksi” tweet di seluruh dunia,1 berdasarkan data infografik dari Brand24 (Enricko, 2013). Angkaangka yang fantastis ini membuat banyak pelaku
1
Sejumlah 2,4% dari 10,6 milyar tweets di seluruh dunia berasal dari Jakarta, sementara itu berada di peringkat kedua dan ketiga adalah Tokyo dengan 2,3% dan London dengan 2% total tweets di seluruh dunia.
130
komunikasi – terutama para praktisi dari sisi perusahaan dan konsultan/agensi – tertarik untuk ikut bergabung dalam “percakapan” yang berlangsung di media sosial ini. Hal ini didorong oleh penggunaan teknologi Web 2.0, terutama media sosial pada bisnis, yang memang bertujuan untuk meningkatkan penjualan, memperbaiki pelayanan pelanggan, atau menurunkan biaya dalam berbisnis (Stephens, 2008). Di media sosial, terjadi pertukaran informasi antara sesama pengguna – baik dalam bentuk komentar, umpan balik, atau ‘Like’ – yang memberikan masukan informasi berharga dari sesama pengguna atau ‘People Like Me’. Menurut Edelman (2007), dampak dari pertukaran informasi dari people like me ini meningkat dari 20% pada tahun 2003, menjadi 68% di tahun 2007. Oleh karena itu, terlihat jelas bahwa kemampuan untuk mengelola percakapan mengenai sebuah produk sangatlah penting untuk meningkatkan nilai bisnis sebuah organisasi (Stephens, 2008, h. 16). Akibatnya sejak tahun 2009 lalu, kita banyak melihat media sosial, terutama situs jejaring sosial, digunakan oleh bisnis – terutama brand dan perusahaan – sebagai salah satu wadah untuk berinteraksi dengan khalayak. Meski media massa konvensional seperti televisi, majalah, dan radio memang masih diminati, tetapi ketertarikan terhadap situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter cukup besar. Jika pada awal tahun 2009 lalu jumlah brand atau perusahaan yang aktif di situs tersebut hanya dapat dihitung dengan jari, kini jumlah brand atau perusahaan Indonesia yang aktif di Facebook mencapai kurang lebih 400 brand.2 Hal ini juga didorong oleh pemahaman dan kenyataan bahwa media sosial (termasuk situs jejaring sosial) – sampai batas tertentu – menyentuh hampir semua aspek kehidupan pribadi dan bisnis kita, dan bahwa di dalam bisnis, media sosial bukan hanya tentang pemasaran dan hubungan masyarakat, namun adalah suatu hal yang sangat penting yang seharusnya menjadi bagian integral dari strategi bisnis secara keseluruhan (Qualman, 2012). Jika semula Facebook hanya dilihat sebagai sebuah media “yang penting punya”, kini Facebook merupakan salah satu media komunikasi yang penting bagi brand dan perusahaan. Sejak tahun 2012 lalu, beberapa brand di Indonesia mulai menggunakan Facebook secara kreatif untuk dapat menarik penggemar brand tersebut. Salah satu contoh ialah dengan membuat aplikasi di Facebook yang menarik, edukatif, dan interaktif mengenai seputar brand tersebut. Upaya tersebut dilakukan antara lain oleh Rexona dan Nokia Indonesia. Rexona mengadakan kampanye “Kenapa Enggak?” yang mengundang perempuan muda untuk berbagi kisah inspiratif, dan berhasil mendapatkan 3,980 pendapat dari fans-nya serta menyebarkan informasi ini melalui Twitter dengan tanda pagar (tagar) #kenapaenggak. Di Twitter, kampanye ini berhasil disebarkan lewat lebih dari 4,300 tweets dengan tagar tersebut. Sementara, Nokia Indonesia mengadakan kompetisi ucapan Ramadhan “Bebaskan Gaya Maafan Kamu!” pada bulan Ramadhan tahun 2012, dan berhasil mendapatkan
2
Data dari whitepaper Stratego (2012)
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013 Tabel 1 Analisis Facebook Fanpage dan Akun Twitter Lenovo, Acer, dan Asus Indonesia*) Lenovo Indonesia
Acer Indonesia
Asus Indonesia
Jumlah Fans di Facebook Fan Page
362.119
1.483.654
94.216
Frekuensi Perbincangan ttg brand di Fan Page
36.919
11.865
1.538
Kelompok Umur Fans di Fan Page
18-24 tahun
18-24 tahun
18-24 tahun
Kota Terpopuler
Jakarta
Jakarta
Jakarta
Photo Cover
Menampilkan visual sesuai kampanye yang sedang berlangsung
Menampilkan visual sesuai kampanye yang sedang berlangsung
Menampilkan visual desain produk terkini
Tagline pada Cover
For those who do
Tidak ada
In search of incredible
Jumlah Followers di Twitter
32.692
108.328
50.769
*) Data per tanggal 30 September 2013
lebih dari 4,300 ucapan (Stratego, 2012). Berangkat dari fenomena tersebut, peneliti hendak melihat secara lebih mendalam bagaimana brand perangkat elektronik laptop menggunakan media sosial Facebook sebagai sarana berkomunikasi dengan khalayaknya. Peneliti mengamati tiga brand laptop di Indonesia, yang mempunyai akun Facebook Page resmi dan aktif (per September 2013), yaitu Acer Indonesia, Asus Indonesia dan Lenovo Indonesia. Selain memiliki Facebook Page resmi, pertimbangan lain ialah penguna dan pembeli potensial ketiga brand tersebut diasumsikan sebagai individu yang akrab dengan teknologi informasi dan penggunan aktif media sosial. Asumsi peneliti didukung oleh data dari Antara (2012) yang menyatakan bahwa PC notebook atau laptop merupakan perangkat utama ke-dua, setelah telefon selular (ponsel) pintar (70,1%), yang dimanfaatkan untuk mengakses internet di Indonesia (45,4%). Lebih jauh, penelitian Kierzkowski dan kawan-kawan (dkk) (1996) menemukan produk elektronik termasuk dalam kategori produk yang harmonis dengan penggunaan media sosial, atau dalam bahasa Kierzkowski dkk, media interaktif. Di antara brand laptop dan notebook yang memiliki Facebook Page, ketiga brand tersebut mempunyai jumlah fans terbesar. Berdasarkan riset Syncapse (2013) dan Lab42 (Kelly, 2012), dua alasan utama seseorang menjadi fans sebuah brand di Facebook adalah untuk menunjukkan dukungan terhadap brand—terutama kepada orang lain dalam jejaring mereka, dan untuk mendapatkan diskon atau promosi lain. Dengan kata lain, terdapat sejumlah besar orang yang mendukung ketiga brand tersebut, yang kemudian menjadi ketertarikan peneliti untuk mempelajari berbagai cara brand memanfaatkan media sosial Facebook untuk membangun hubungan baik dan berinteraksi dengan khalayak mereka. Kajian Literatur Peneliti menggunakan metode analisis isi dan kerangka analisis Digital Marketing Framework
(DMF) oleh Kierzkowski dkk (1996), yang dipadukan dengan kerangka analisis yang digagas oleh Waters dkk (2009). Digital Marketing Framework (DMF) yang digagas oleh Kierzkowski dkk (1996) adalah sebuah kerangka kerja untuk pemasaran di lingkungan media baru. DMF didasarkan pada proses siklikal dari lima tahap penting yang dianggap krusial untuk mencapai kesuksesan dalam bidang pemasaran digital (digital marketing). Tahap pertama terkait erat dengan cara menarik konsumen (attract) agar bersedia mengunjungi situs web atau media sosial secara sukarela. Pada tahap pertama, terdapat dua poin untuk digarisbawahi demi mencapai pemasaran digital yang efektif dan efisien. Yakni, cara mengkomunikasikan kehadiran brand melalui media sosial tanpa mengganggu proses interaksi yang berlangsung, dan pilihan taktik untuk menarik konsumen tanpa merugikan aktivitas pemasaran secara ekonomi. Lalu, tahap kedua berbicara tentang engagement, yaitu cara brand mendekatkan diri dengan konsumen dan melibatkan mereka agar tercipta interaksi yang positif dan tercapai transaksi yang diinginkan. Dalam konteks e-commerce, transaksi diartikan sebagai proses jual-beli, namun bisa diartikan secara lebih luas yaitu ketika konsumen melakukan apa yang diharapkan oleh brand semisal berbagi cerita positif, menekan tombol ‘Like’ pada Facebook atau memberikan komentar. Pada tahap kedua, form (bentuk) dan substance (substansi) penting untuk diperhatikan. Form atau bentuk aplikasi merujuk pada aspek teknis dan visual yang digunakan, dan substance atau substansi merujuk pada isi yang dibutuhkan dan relevan bagi konsumen. Setelah menarik dan melibatkan konsumen, tahap ketiga adalah menjaga konsumen (retain) agar mereka datang ke situs web secara terus-menerus. Menjaga keberlanjutan hubungan penting ditekankan pada para pemasar; bahwa pemasaran digital bukan merupakan sebuah proyek jangka pendek (one-time project), melainkan bagian dari operasional yang me131
Snezana Swasti Brodjonegoro & Amelia Virginia, Menjalin Interaksi dengan Konsumen melalui Facebook merlukan komitmen sumber daya dalam jangka panjang. Beberapa strategi bisa dilakukan antara lain ialah dengan terus menampilkan konten baru dan terkini sehingga situs web terlihat dinamis, membentuk komunitas online sehingga membuat konsumen tertarik untuk kembali, atau menampilkan isi yang unik yang tidak dapat ditemui di tempat lain. Tahap keempat adalah cara pembelajaran konsumen (learn), terutama untuk memperoleh wawasan akan preferensi dan insight konsumen. Insight dapat berupa umpan balik atau komentar mengenai produk, rencana peluncuran produk baru, atau sebatas mendengarkan opini konsumen mengenai brand tersebut. Melanjutkan proses pembelajaran pada tahap keempat, tahap kelima terkait dengan cara membangun hubungan yang bersifat personal dengan konsumen (relate). Media interaktif dan teknologi kini memungkinkan brand untuk mempersonalisasi interaksi atau menyesuaikan produk atau usaha pemasaran untuk seorang konsumen saja, misal dengan memberikan saran produk sesuai dengan preferensi konsumen. Jika dilakukan dengan tepat, lima tahap di atas dapat meningkatkan daya tarik dan efektivitas dari upaya untuk membangun hubungan baik dengan konsumen melalui strategi pemasaran digital. Beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan DMF atau modifikasi DMF sebagai dasar analisis, antara lain ialah Chan & Guillet (2011) tentang efektivitas penggunaan situs media sosial di kalangan pelaku industri perhotelan di Hong Kong. Chan & Guillet (2011) menggunakan DMF dengan yang dimodifikasi berdasarkan pada dua penelitian terdahulu. Kedua penelitian yang menjadi dasar pemikiran tersebut adalah penelitian dari Teo (2005) dan Waters dkk (2009) tentang kinerja perusahaan dalam menggunakan media sosial. Penelitian Teo (2005) membahas penggunaan dan efektivitas instrumen pemasaran online di kalangan perusahaan Businessto-Consumer (B2C) di Singapura, sementara penelitian Waters dkk (2009) membahas penggunaan Facebook oleh organisasi nirlaba di Amerika Serikat. Penelitian Waters dkk (2009) memfokuskan pada penggunaan Facebook oleh organisasi nirlaba sebagai sarana untuk memupuk hubungan (cultivating relationship) dengan para pemangku kepentingan. Kerangka analisis yang dikembangkan menggunakan tiga elemen strategi hubungan masyarakat (humas) yang digunakan oleh organisasi nirlaba di Facebook, yaitu keterbukaan (Disclosure), penyebaran informasi (Information Dissemination), dan keterlibatan (Involvement). Ketiga elemen tersebut diadaptasi dari beberapa studi terdahulu yaitu Kelleher (2006), Berman dkk (2007), Taylor dkk (2001), Crespo (2007), Carrera dkk (2008), dan Jo & Kim (2003). Ketiga elemen tersebut diturunkan lebih jauh menjadi beberapa poin evaluasi, yaitu sebagai berikut: a. Keterbukaan, mencakup deskripsi, sejarah, pernyataan misi, URL, logo, dan daftar administrator. b. Penyebaran informasi, mencakup tautan berita, foto, video, audio, status update, discussion wall, siaran pers, dan ringkasan kampanye. c. Keterlibatan, mencakup email untuk organisasi, 132
nomor telepon, penggunaan message board, kalender acara, kesempatan menjadi relawan, berdonasi, dan toko online. Penelitian ini akan menggunakan kerangka analisis yang mengacu pada Chan & Guillet (2011), yaitu DMF dengan modifikasi yang disesuaikan dengan konteks penelitian, dan menggabungkan poin-poin dari kerangka pemikiran Waters dkk (2009). Penggunaan DMF sebagai kerangka analisis pada penelitian ini didasarkan pada dua hal. Meskipun setiap elemen DMF hanya relevan pada situs web saja—sebab secara teknologi situs web mempunyai keleluasaan lebih besar untuk memprogram fungsionalitas situs web, kerangka kerja DMF masih relevan untuk digunakan sebagai alat analisis. Tahaptahap DMF dapat diaplikasikan pada setiap aspek pemasaran digital, dan elemen-elemen DMF juga dapat diaplikasikan pada cakupan yang lebih kecil, yaitu media sosial atau secara khusus Facebook. Secara prinsip setiap interaksi yang berlangsung pada ranah digital dapat berlangsung efektif dan menguntungkan dengan mengikuti kelima elemen tersebut. Kemudian, walaupun dikembangkan pada era pra-media sosial, DMF bisa digunakan dengan baik untuk menganalisis kinerja berbagai situs web dan media sosial, antara lain blog, micro blog, situs jejaring sosial, dunia virtual, dan lain-lain. Studi Chan & Guillet (2011) dan studi Teo (2005) yang telah disinggung di atas memperlihatkan penerapan DMF sebagai kerangka analisis untuk bentuk medium online termasuk media sosial. Terakhir, penggunaan DMF dalam penelitian ini diharapkan dapat memperkaya perkembangan ranah hubungan masyarakat dan pemasaran. Hal ini diharapkan dapat memperkaya ranah ilmu humas dan menunjukkan pentingnya lima elemen dasar DMF dalam ranah ilmu humas dan pemasaran. Terlebih sebagian besar studi terdahulu yang mengaplikasikan DMF dilakukan di ranah ilmu manajemen informasi. Kerangka Analisis Setelah menelaah DMF dan kerangka analisis yang dikemukakan oleh Waters dkk, serta menganalisis dinamika komunikasi pada Facebook Page brand notebook dan laptop di Indonesia (Asus, Acer, Lenovo, Samsung, Toshiba, dan HP), peneliti memutuskan untuk menambahkan beberapa sub-elemen dan unit analisis untuk melengkapi kerangka analisis DMF tersebut. Beberapa adaptasi yang dilakukan antara lain pada elemen pertama, Attract, dengan mengganti mnemonic branding dengan ‘Kehadiran brand’. Sebab media sosial yang dianalisis adalah Facebook yang adalah ‘media ketiga’ sehingga URL3 yang digunakan secara otomatis akan diawali dengan www. facebook.com/namabrand. Walaupun brand tetap bisa menempatkan nama brand pada bagian akhir
3
URL atau Uniform Resource Locator adalah istilah pemrograman untuk alamat sebuah situs web. Alamat ini biasanya terdiri dari serangkaian karakter yang merujuk kepada alamat sebuah halaman web secara spesifik.
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013 Tabel 2 Kerangka Analisis: Adaptasi pada Model DMF Konsep Analisis
Kriteria
Unit Analisis
Attract
Visual
Menampilkan kecanggihan produk Kehadiran brand
Copywriting
Tidak melebihi 20% dari proporsi Inviting Kedekatan
Engage
Aktivitas
Games Kuis berhadiah Kampanye
Informasi
Relevansi produk dengan kehidupan sehari-hari konsumen Respon brand terhadap pertanyaan konsumen Respon konsumen terhadap status terbaru brand
Ratain
Creative programming
Aplikasi Facebook (Facebook application)
Variasi Isi
Informasi produk Promosi produk Berita produk baru Foto Video Tips
brand, sebagian brand memilih untuk menggunakan nama yang lebih netral. Sebagai contoh, Bunda Cermat4 (Sweety) dan Ibu & Balita5 (Frisian Flag). Maka kehadiran brand akan lebih tepat untuk digunakan sebagai unit analisis, yang dapat dilihat dari ada atau tidak logo pada foto profil atau foto cover. Peneli-ti juga memasukkan kriteria ‘copy writing’ dan ‘informasi’ di bawah elemen ‘Attract’. Karena berdasarkan pengamatan peneliti, di Facebook kedua kriteria tersebut turut menentukan apakah seseorang akan mengklik tombol ‘Like’ pada Facebook Page sebuah brand atau tidak. Pada elemen ‘Engage’, poin ‘transaction capabilities’, ‘multilingual website’, ‘forums/discussion groups’ dan ‘create virtual communities’ ditiadakan, sebab keempat poin tersebut kurang relevan dengan media yang dianalisis, yaitu Facebook. Sementara games, kuis, dan informasi yang relevan serta creative programming tetap dimasukkan dengan sedikit modifikasi, yaitu menambahkan unit analisis tentang apakah brand responsif terhadap pertanyaan atau komentar dari fans, dan apakah fans merespon isi yang disampaikan oleh brand. Kedua unit analisis ditambahkan dengan pertimbangan bahwa orang 4 5
https://www.facebook.com/BundaCermat https://www.facebook.com/ibudanbalita/
yang menjadi fans sebuah brand di Facebook menganggap Facebook adalah wadah yang baik untuk berinteraksi dengan brand (Kelly, 2012). Untuk elemen ‘Retain’, sebagian besar poin dari DMF ditiadakan karena kurang relevan dengan media yang dianalisis. Poin yang dieliminasi adalah ‘security features’, ‘rapid information loading time’, ‘privacy statements’, ‘provide online order tracking’, dan ‘create switching costs via communities’. Untuk poin ‘dynamic content’ dimodifikasi menjadi variasi isi, karena untuk media Facebook yang memungkinkan penyebaran informasi dalam bentuk teks dan multimedia, menjaga agar fans tetap aktif berpartisipasi pada Fan Page tersebut menjadi penting. Peneliti juga menambahkan kriteria ‘layanan konsumen’ sebagai unit analisis, setelah melihat Facebook Page beberapa brand di Indonesia di mana semakin banyak fans menanyakan berbagai hal kepada brand, mulai dari harga, keunggulan, tempat membeli produk, sampai keluhan terhadap produk melalui media Facebook. Elemen ‘Learn’ mempunyai banyak poin yang hanya relevan untuk menganalisis sebuah situs web dan kurang relevan untuk menganalisis Facebook. Karena secara prinsip elemen ini mengemukakan tentang pentingnya untuk ‘belajar’ dari konsumen, maka pada dasarnya yang penting untuk dianalisis adalah bagaimana – melalui Facebook – brand juga 133
Snezana Swasti Brodjonegoro & Amelia Virginia, Menjalin Interaksi dengan Konsumen melalui Facebook dapat mempelajari hal-hal tentang fans, terutama soal preferensi mereka tentang produk dan tentang kebiasaan yang berhubungan dengan produk. Hal ini dapat dilakukan dengan bertanya langsung kepada fans dengan status update atau dengan memanfaatkan FB Questions atau fasilitas polling yang diberikan oleh Facebook secara cuma-cuma. Hal yang sama juga dilakukan pada elemen kelima, yaitu ‘Relate’, karena sebagian besar poin-poin yang disampaikan oleh DMF hanya relevan untuk menganalisis website. Karena itu, poin-poin seperti ‘customized product/service’, ‘emails to update about new products’, ‘customized webpages’, dan ‘linkages to core business’ ditiadakan, dan hanya poin ‘personalized communications about product/service’ yang digunakan, dan dirinci menjadi dua unit analisis, yaitu jawaban yang personal dan jawaban yang memang menjawab pertanyaan, bukan sekedar merespon pertanyaan (misalnya menjawab dengan “Jam buka outlet kami adalah antara jam 10.00 – 21.00 WIB” dan bukan “Silakan menghubungi layanan konsumen kami di nomor telepon 021-xxxxxxx”). Elemen-elemen pada DMF, kemudian dianalisis dengan menggunakan prosedur analisis isi (content analysis). Pertama-tama, penulis mengelompokan data ke dalam lima kategori, yaitu attract, engage, retain, learn, dan relate. Kelima kategori data ini adalah tahapan-tahapan yang dilakukan oleh konsumen saat berinteraksi dengan brand. Di dalam masing-masing ketegori tersebut terdapat beberapa sub kategori dan unit analisis, sebagaimana terlihat pada Tabel 2 di atas. Unit analisis di atas telah disesuaikan dengan isi Facebook Fan Page yang umumnya digunakan oleh brand untuk berinteraksi dengan konsumen. Oleh karena itu penulis tidak menggunakan alat ukur yang umumnya digunakan di dalam analisis isi seperti jumlah kata, paragraf, karakter, atau jumlah kata kunci tertentu yang dituliskan oleh konsumen di dalam Facebook Fan Page. Sebagai gantinya, penulis memasukan hal-hal seperti status update, comments, polling, games, kuis, serta kegiatan kampanye digital yang dilakukan oleh sebuah brand. Pada proses coding, penulis memasukkan semua data yang diperoleh dari isi Facebook Fan Page masing-masing brand, kemudian menyesuaikannnya ke dalam unit analisis. Melalui proses ini, penulis dapat mengetahui dan membandingkan proses komunikasi dan interaksi yang terjadi pada setiap brand dengan konsumennya. Analisis dan Hasil Temuan Penelitian yang dilakukan atas ketiga brand ini selama periode Juli-September 2013 menunjukkan beberapa poin menarik yang dapat menambah pengetahuan pada ranah ilmu humas dan pemasaran digital. Dari analisis terhadap aktivitas ketiga brand tersebut di Facebook Page mereka, ada beberapa hal yang diketahui. Pertama, pada tahap ‘Attract’, ketiga brand ini menggunakan taktik yang kurang lebih sama, namun dengan penekanan pada unit analisis yang berbeda. Ketiganya menggunakan gaya bahasa yang cenderung santai dan memanfaatkan aplikasi FB, serta menunjukkan kehadiran brand pada photo cover mereka. Namun Lenovo lebih menekankan 134
pada ‘kedekatan’, sementara Acer fokus pada interaksi dan banyak mengajak fans untuk melakukan sesuatu melalui post-post mereka, dan Asus fokus pada informasi seputar produk-produk terbarunya. Kedua, pada tahap ‘Engage’, ketiganya melakukan kuis atau kompetisi berhadiah paling tidak sebanyak dua kali selama periode studi (Juli-September). Acer bahkan melakukan empat kuis selama periode tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kuis berhadiah dianggap sebagai aktivitas yang dapat membuat fans merasa dekat dengan brand dan berinteraksi dengan brand. Dalam kasus Acer, kuis ini juga menjadi salah satu bagian dari kampanye produk baru, karena kuis-kuis tersebut spesifik diselenggarakan untuk mempromosikan produk baru tersebut. Pada kriteria ‘Informasi’, ketiga brand mempunyai pendekatan yang sedikit berbeda untuk meng-engage fans. Lenovo dan Acer relatif sangat responsif terhadap komentar atau pertanyaan yang muncul, sementara Asus relatif jarang merespon pertanyaan dari fans. Lenovo dan Acer juga banyak mengangkat relevansi produkproduk mereka dengan kehidupan sehari-hari fans dalam status update, namun Asus jarang melakukan hal tersebut dan cenderung hanya menginformasikan produk, fitur dan spesifikasinya saja. Masih dalam tahap ‘Engage’, dalam unit analisis tentang responsivitas, ternyata hanya Lenovo dan Acer yang aktif merespon dan menjawab pertanyaan dari fans. Baik Lenovo dan Acer akan menjawab dalam kurun waktu antara 5 menit sampai sekitar 12 jam – artinya sebelum 24 jam pertanyaan atau komentar tersebut sudah direspon. Sementara Asus cenderung jarang merespon pertanyaan dari fans. Hal yang sama juga terlihat dari respon fans terhadap post atau status update dari ketiga brand tersebut. Fans dari Lenovo dan Acer lebih sering merespon post atau status update dari brand dibandingkan dengan fans dari Asus. Untuk setiap post dari Acer dan Lenovo pada umumnya akan mendapatkan banyak ‘likes’ dan komentar – antara 10 likes dan komentar, sampai di atas 100 likes dan komentar; sementara untuk Asus hanya beberapa post tertentu saja yang mendapatkan respon banyak dari fans-nya. Kedua hal ini saling berkaitan, dan menunjukkan bahwa level interaksi fans dengan brand pada studi ini berhubungan dengan informasi tentang relevansi produk terhadap kehidupan sehari-hari fans dan seberapa inviting post atau status update dari brand. Pada Facebook Page Lenovo dan Acer – di mana post dan status update kedua brand lebih inviting dan lebih banyak menunjukkan relevansi dengan kehidupan sehari-hari – dapat terlihat interaksi yang lebih banyak dan lebih engaging dibandingkan di Facebook Page Asus. Selain itu, pada Facebook Page Acer dan Lenovo yang lebih responsif terhadap komentar dan pertanyaan dari fans juga terlihat efek resiprokal. Fans juga merespon dengan cukup aktif dan interaktif terhadap semua post dan status update dari kedua brand tersebut. Dalam tahap ‘Retain’, post dan status update dari ketiga brand tersebut sudah cukup variatif, mencakup informasi produk, promosi, berita produk baru, foto, video, tips, dan status update. Namun proporsi dari masing-masing kategori isi tersebut berbedabeda. Lenovo lebih menitikberatkan pada status update seputar kehidupan sehari-hari yang tidak
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
berkaitan langsung dengan produk atau merek. Acer menekankan pada tips dan informasi produk yang relevan dengan gaya hidup digital para fans. Sementara Asus lebih menekankan pada informasi produk serta pencapaian-pencapaian yang diperoleh oleh produk-produk Asus. Penekanan ini selain terlihat dari variasi isi, juga terlihat dari kuantitas isi. Dalam tahap ‘Retain’, kriteria ‘Layanan Konsumen’, terlihat juga bahwa Lenovo dan Acer fokus pada layanan konsumen sebagai salah satu bagian dari cara menjaga fans secara konsisten. Kedua brand ini menjawab dengan cepat, dan selalu memberikan jawaban atas pertanyaan dan komentar fans dengan cukup komprehensif. Misalnya, jika ada pertanyaan tentang perangkat mana yang lebih bagus, maka admin akan memberikan penjelasan tentang perbedaan spesifikasi perangkat yang ada, dan memberikan rekomendasi sesuai kebutuhan. Namun, apabila ada pertanyaan yang melibatkan verifikasi perangkat keras maka fans diarahkan untuk menghubungi layanan konsumen per telefon. Sementara Asus tidak terlalu fokus pada layanan konsumen ini. Untuk tahap ‘Learn’, hanya Acer dan Lenovo yang menggunakan Facebook Page sebagai sarana untuk menanyakan preferensi konsumen. Namun, tidak dapat terlihat apakah informasi ini digunakan lebih lanjut untuk keperluan brand atau pengembangan produk. Pada tahap terakhir, ‘Relate’, dapat terlihat bahwa terdapat perbedaan aktivitas ketiga brand. Lenovo memberikan jawaban dengan komprehensif dan benar-benar menjawab pertanyaan, namun tidak memberikan sentuhan personal dengan menyebutkan nama fans yang bertanya. Acer melangkah lebih jauh dengan menjawab secara personal dan mengawali jawaban dengan menyebut nama fans yang bertanya. Asus justru jarang memberikan jawaban atas pertanyaan yang muncul dan hanya menjawab pertanyaan yang tidak terlalu teknis. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan informasi tambahan seputar Facebook Page ketiga brand tersebut, beberapa kesimpulan bisa ditarik. Kesimpulan pertama ialah tingkat keterlibatan (engagement) terhadap brand dengan jumlah fans di Facebook tidak selalu berbanding lurus. Meskipun Acer memiliki jumlah fans tiga kali lebih besar dibandingkan dengan Lenovo, jumlah fans yang membicarakan brand Acer lebih sedikit dibandingkan dengan brand Lenovo. Peneliti menemukan manajemen isi, dan bertindak responsif dalam menanggapi pertanyaan atau komentar fans di Facebook Page, lebih berkontributif terhadap tingkat keterlibatan. Terkait dua faktor tersebut, Acer dan Lenovo berhasil melakukan dengan lebih baik dibandingkan Asus, yang terbukti memiliki tingkat keterlibatan paling rendah di antara tiga brand yang diteliti. Lebih jauh, manajemen isi mempengaruhi tingkat keterlibatan secara signifikan karena mampu mendekatkan brand dengan fans. Sebagai contoh, Lenovo menciptakan beberapa isi atau memperbarui status yang tidak berhubungan langsung dengan brand, tetapi bersifat lebih personal dan menyinggung kehidupan sehari-hari fans. Memberi ucapan
‘selamat pagi’ atau ‘selamat beraktivitas’ terbukti memperoleh ‘Likes’ dan komentar lebih banyak dari fans dibandingkan dengan isi yang berhubungan dengan brand atau produk. Personifikasi brand melalui interaksi di Facebook membuat brand tidak berjarak dengan fans. Dalam lima tahap DMF, tiga brand dalam subjek penelitian ditemukan masih berfokus pada tiga tahap awal DMF, yaitu ‘Attract’, ‘Engage’, dan ‘Retain’. Dua tahap lain, ‘Learn’ dan ‘Relate,’ belum menjadi fokus aktivitas di Facebook. Salah satu penyebab yang mungkin ialah keterbatasan media Facebook dalam pemrograman sehingga beberapa aktivitas yang perlu dilakukan untuk dua tahap tersebut menjadi tidak mungkin. Secara khusus, Acer adalah brand yang paling menonjol dalam tahap ‘Attract’. Facebook Page Acer menampilkan desain visual perangkat Acer sebagai photo cover, menggunakan gaya bahasa seharihari, dan sebagian besar isi secara aktif mengajak fans untuk melakukan sesuatu (inviting). Kelebihan lain Facebook Page Acer ialah pada pemrograman kreatif (creative programming) yang menyediakan berbagai tipe aplikasi, termasuk permainan (games) interaktif. Acer masih menjadi brand paling kuat pada tahap ‘Engage’. Kekuatan Acer terletak pada aspek relevansi produk dengan kehidupan sehari-hari, sehingga lebih memperlihatkan keuntungan dari memiliki perangkat Acer secara keseluruhan dibandingkan hanya menunjukkan fitur-fitur (benefits over features). Isi Facebook Page Acer yang termasuk dalam kategori tersebut mendapatkan jumlah likes dan komentar yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan konten-konten dari kategori lain. Sebagian dapat mencapai lebih dari 500 likes dan 36 komentar. Terakhir, pada tahap ‘Retain’ Lenovo dan Acer tampak unggul untuk unit analisis yang berbeda. Lenovo unggul dalam memproduksi isi dan memperbarui status yang sebagian berbicara tentang keseharian fans, dan tidak berkaitan langsung dengan brand. Jenis isi dan status tersebut mendapatkan respon lebih baik berupa likes dan komentar dibandingkan dengan isi terkait brand. Sementara Acer kuat pada tahap ‘Retain’ dengan cara yang berbeda yakni melalui layanan konsumen. Acer sigap dalam menjawab semua pertanyaan fans, meliputi harga, spesifikasi produk, lokasi pembelian, dan lain-lain. Maka bisa disimpulkan bahwa tiga brand yang menjadi subjek penelitian belum secara optimal menggunakan Facebook Page sebagai sarana interaksi dan berkomunikasi dengan khalayaknya. Akan tetapi, Acer Indonesia dan Lenovo Indonesia sudah dengan baik melakukan empat dari lima tahap DMF yang digagas oleh Kierzkowski dkk (1996). Di sisi lain, peneliti menemukan dua poin penting terkait komunikasi dan interaksi brand dengan khalayak melalui Facebook Page. Poin pertama ialah isi yang relevan dengan keseharian fans berperan penting untuk meningkatkan interaksi dengan fans. Poin kedua ialah fans semakin menganggap Facebook Page sebuah brand sebagai perpanjangan tangan dari layanan pelanggan mereka. Fans memanfaatkan Facebook Page untuk bertanya seputar informasi produk meliputi harga, lokasi pembelian, dan spesifikasi, serta untuk menyampaikan keluhan atau masalah pada perangkat mereka. Dengan dina135
Snezana Swasti Brodjonegoro & Amelia Virginia, Menjalin Interaksi dengan Konsumen melalui Facebook mika tersebut, brand harus responsif seperti yang dicontohkan oleh Acer Indonesia. Walaupun peneliti sampai pada kesimpulan bahwa ketiga brand masih belum optimal dalam memanfaatkan Facebook, perlu diingat bahwa jumlah brand yang menjadi subjek studi terbatas. Terdapat kemungkinan untuk brand dari industri lain di Indonesia yang sudah mengoptimalkan Facebook
untuk berkomunikasi dengan fans mereka. Kemudian, berbagai penelitian lain dapat dilakukan untuk membantu upaya meningkatkan kualitas komunikasi brand dan pengguna. Penelitian yang memasukkan situs media sosial lain sebagai unit analisis atau dengan melakukan komparasi antara ragam upaya pemasaran digital direkomendasikan untuk dilakukan ke depan.
Daftar Pustaka Adebanjo, D., & Michaelides, R. (2010). Analysis of Web 2.0 enabled e-clusters: A Case Study. Technovation 30(4), h.238-248. Berg, B. L. (2001). Qualitative Research Methods For The Social Sciences. Boston: Allyn and Bacon. Berman, S. J., Abraham, S., Battino, B., Shipnuck, L., & Neus, A. (2007). New business models for the new media world. Strategy & Leadership, 35(4), h.23–30. Bosker, B. Why Your Friends Go Around ‘Liking’ Brands on Facebook. The Huffington Post. Diakses pada 27 Juni 2013 dari http:// www.huffingtonpost.com/2013/06/27/brands-facebooksurvey_n_3510760.html Boyd, D.M. & Ellison, N. B. (2008). Social Network Sites: Definition, History, and Scholarship. Journal of Computer-Mediated Communication 13, h.210-230. Carrera, P., Chiu, C.-Y., Pratipwattanawong, P., Chienwattanasuk, S., Ahmad, S. F. S., & Murphy, J. (2008). MySpace, my friends, my customers. In P. O’connor, W. Höpken, & U. Gretzel (Eds.), Information and communication technologies in tourism 2008 (h. 94–105). Vienna: Springer Verlag Wien. Chan, N. L., & Guillet, B. D. (2011). Investigation of Social Media Marketing: How Does the Hotel Industry in Hong Kong Perform in Marketing on Social Media Websites? Journal of Travel & Tourism Marketing 28:4, h.345-368. Cornelisse, Joep. (2011). Corporate Communication A Guide to Theory and Practice. Los Angeles: Sage. Crespo, R. (2007). Virtual community health promotion. Prevention Chronicles, 4(3), h.75. Edelman. (2007). Edelman Trust Barometer 2007. Diakses dari http:// www.edelman.pl/trust/zaufanie/trust_final_1_31.pdf Enricko. Indonesia is Social: 2.4% of World’s Twitter Posts Come From Jakarta [Infografik dari Brand24]. Diakses pada 13 Maret 2013 dari http://sg.finance.yahoo.com/news/indonesia-social-2-4worlds-011056869.html. Grazella, M. Facebook has 64m active Indonesian users. The Jakarta Globe. Diakses pada 18 Juni 2013 dari http://www. thejakartapost.com/news/2013/06/18/facebook-has-64mactive-indonesian-users.html Jo, S., & Kim, Y. (2003). The effect of web characteristics on relationship building. Journal of Public Relations Research, 15(3), h.199223. Kalehoff, M. (2013). Why Consumers Become Brand Fans [Whitepaper]. New York: Syncapse.
136
Kaplan, Am. M., Haenlein, M. (2010). Users of the world, unite! The challenges and opportunities of social media. Business Horizons, 53(1), h.59-68. Kelleher, T. (2006). Public relations online: Lasting concepts for changing media. Thousand Oaks, CA: Sage. Kelly, S. M. 50% of Consumers Value a Brand’s Facebook Page More Than Its Website [Infografik dari Lab42]. Mashable. Diakses pada 24 September 2012 dari http://mashable.com/2012/09/24/ facebook-brand-page-value/ Kerpen, Dave. (2011). Likeable Social Media. McGraw-Hill: New York. Kierzkowski, A., McQuade, S., Waitman, R., & Zeisser, M. (1996). Marketing to the digital customer. The McKinsey Quarterly, 3, h.5-21. Levine R., Locke C., Searls D., Weinberger D. (1999, 2001). The Cluetrain Manifesto: The End of Business as Usual. New York: Basic Books. Qualman, Erik. (2012). Socialnomics: How Social Media Transforms The Way We Live and Do Business, Second Edition. John Wiley & Sons, Inc.: New Jersey. Santoso, I. Pengguna Internet di Indonesia 2012 Capai 63 Juta Orang. AntaraNews. Diakses pada 12 Desember 2012 dari http://www. antaranews.com/berita/348186/pengguna-internet-indonesia2012-capai-63-juta-orang Scott, D. M. (2011). The New Rules of Marketing and PR. Third Edition. . John New Jersey: Wiley & Sons, Inc. Stephens, R. Todd. (2008). Chapter 1: Empirical Analysis of Functional Web 2.0 Environments. Dalam M. D. Lytras, E. Damiani, P. O. de Pablos (Eds.) Web 2.0: The Business Model (h. 1-20). New York: Springer. Stratego. (2012). Social Media Landscape in Indonesia 2012 [Whitepaper]. Jakarta: Stratego. Taylor, M., Kent, M. L., & White, W. J. (2001). How activist organizations are using the Internet to build relationships. Public Relations Review, 27(3), h.263–284. Teo, T. S. H. (2005). Usage and effectiveness of online marketing tools among Business-to-Consumer (B2C) firms in Singapore. International Journal of Information Management 25, h.203213. Waters, R. D., Burnett, E., Lamm, A., & Lucas J. (2009). Engaging stakeholders through social networking: How nonprofit organizations are using Facebook. Public Relations Review 35(2), h.102-106.
Volume II Nomor 1 April 2013 ISSN 2301-9816
JURNAL KOMUNIKASI INDONESIA
Tinjauan Buku
Mengurai Ketegangan antara Kesalehan dan Seni-Budaya Ekky Imanjaya
Timothy P. Daniels (Ed.) Performance, Popular Culture, and Piety in Muslim Southeast Asia Palgrave Macmillan 2013 ix+226 ISBN 9781137318398
School of Media and Communication, Binus International, Universitas Bina Nusantara, Jakarta & University of East Anglia, Inggris
[email protected]
D
an apakah itu kesalehan? Dan apa hubungannya dengan ekspresi kebersenian dan kebudayaan? Pernah ada buku Saleh Ritual, Saleh Sosial dari KH Mustafa Bisri (1994) atau tentang wacana (ketegangan) Islam Kultural versus Islam Ideologis oleh KH Abdurrahman Wahid dan Prof. Dr. Nurcholis Madjid, atau tentang pemetaan sejarah oleh Kuntowijoyo. Akan tetapi, pembahasan mendalam dan akademis tentang hubungan (kesalehan) Islam dengan seni pertunjukan dan budaya pop masih langka. Dan buku Performance, Popular Culture, and Piety in Muslim Southeast Asia yang disunting Timothy Daniels ini menjadi menarik dan penting untuk disimak. Sekilas melihat judul dan jika kita tertarik dengan temanya, buku ini memang begitu menarik. Kemudian, begitu melihat ke daftar isi, beberapa pertanyaan awam segera terlintas: Bagaimana seni pertunjukan dan budaya pop dihubungkan dengan kesalehan, terlebih lagi beberapa kasusnya seperti Tari Topeng Cirebon dan Tarian Ngremo dari Malang yang secara sekilas tak berhubungan dengan kesalehan? Mengapa memilih kota Malang dan tidak, misalnya, Aceh atau Padang? Mengapa bukan nasyid atau fenomena Rhoma Irama atau film seperti 137
Ekky Imanjaya, Mengurai Ketegangan antara Kesalehan dan Seni-Budaya Ayat-Ayat Cinta? Mengapa hanya fokus pada Malaysia dan Indonesia, padahal di judulnya tercakup “Muslim Southeast Asia”? Mengapa menggabungkan kajian seni pertunjukan dengan budaya pop, yang adalah wilayah kajian yang masih luas dan berpotensi untuk tidak fokus? Tentu saja, kita bisa langsung membaca bab-bab di buku ini secara terpisah, tergantung kebutuhan dan minat kita masing-masing. Tapi, jika kita ingin tahu ada dan bagaimana buku ini secara holistis, ada dua cara untuk menjawabnya. Pertama, melihat bab pendahuluan dari sang penyunting, hingga kita tahu tujuan dan kerangka teori dan filosofi buku ini langsung dari pembuatnya. Cara kedua, kita membacanya hingga tuntas dan mencari pola dan benang merah keenam tulisan di dalam buku setebal 226 halaman lebih ini—yang saya baca tak lebih dari tiga hari karena daya tarik tema-tema yang dieksplorasi oleh para penulis yang sudah berpengalaman di lapangan dan/atau kajian literatur tahunan. Buku ini, tulis Timothy Daniels sang editor, berupaya “mengeksplorasi persimpangan yang rumit dari format kultural masyarakat—seni pertunjukan dan genre-genre budaya pop—dan kesalehan muslim di Indonesia dan Malaysia”. Karena kedua negara itu— dan bukan bagian lain dari muslim Asia Tenggara seperti minoritas di Myanmar, Kamboja, Thailand, Vietnam, Singapura, dan Filipina, atau mayoritas di Brunei—adalah negara muslim terbesar di wilayah ini dan sangat signifikan sehingga “…secara umum, kedua negeri ini seharusnya tak lagi menjadi subjek sambilan dalam kajian Islam” (h. 1). Buku ini juga dimaksudkan untuk memahami bagaimana pertunjukan memediasi kesalehan religius dalam berbagai cara dan wahana (h. 1) dan menjabarkan bagaimana peranan kompleks seni pertunjukan dan genre-genre budaya pop bermain dalam berbagai variasi konteks religius dan sosiopolitik di dunia kontemporer (h. 8). Sang editor juga menyatakan bahwa, walaupun hanya berfokus pada Malaysia dan Indonesia, tapi banyak melahirkan temuan yang bisa menjadi nilai perbandingan bagi mereka yang belajar Islam dan agama lainnya di berbagai belahan dunia. Menurut Daniels: “Volume ini tidak hanya berkontribusi secara etnografis dengan studi kasus yang mendetail, tetapi juga secara teoritis mendorong munculnya bacaan tentang agamaagama dalam praktiknya dengan cara melukiskan berbagai jalan yang ditempuh kaum muslim untuk meggunakan dan menafsirkan sumber-sumber tekstual dalam kehidupan mereka dan masyarakat, dan bagaimana agama dalam keseharian termediasi lewat pertunjukan” (h. 8). Buku ini memang lebih membahas aspek sosialbudaya, dan sedikit sejarah, dari berbagai kasus seni pertunjukan (tari, teater) dan budaya pop (film, sinetron, musik). Sang penyunting dengan benderang menyatakan bahwa pendekatan buku ini terilhami oleh Victor Turner yang menganjurkan untuk menggeser kajian praktik estetis dalam menganalisis “kajian pertunjukan” (h. 3-4), dari yang cenderung strukturalis yang statis menjadi pendekatan-pendekatan yang lebih cair dan dinamis, seperti melihat bagaimana agen-agen seniman mengkritik, mengevaluasi, dan merefleksi masyarakat dan kebudayaan. Karena itulah, tulisan-tulisan di dalamnya mencoba menggali 138
praktik-praktik bentuk estetika dan bagaimana ia berkonstruksi, berkoneksi, dan bernegosiasi dengan relasi-relasi sosial dan kesalehan religius (h. 5-6). Sebagai tulisan yang menjahit berbagai pemikiran perca ini, James Peacock di catatan akhir menggarisbawahi bahwa tema buku ini adalah bahwa semua tulisannya mensejajarkan kesalehan dan budaya pop, khususnya kesalehan seputar hubungannya dengan menjadi muslim, dan ketegangan di antara keduanya (h. 185). Peacock lantas melontarkan pertanyaan yang menjadi benang merah dalam tulisan-tulisan di sini: “Apa pengaruh Islam terhadap semua bentuk kesenian dan kebudayaan ini, khususnya kreativitas artistik?” dan “Bagaimana kekuatan agama dan kreativitas yang terlokalisir ini berhadapan dengan kekuatan global?” (h. 184). Dalam bingkai berpikir seperti ini, kita bisa paham mengapa ada kasus tarian lintas gender di Malang, kontroversi “Goyang Inul” yang marak tahun 2003, atau Mak Yong yang dilarang di Kelantan. Kesemuanya, dalam pandangan awam, tidak secara langsung berhubungan dengan ekspresi spiritual, simbol, dan akhlak Islam. Penulis berasumsi bahwa buku ini memilih untuk menganalisis kasus-kasus anomali dan belum banyak dibahas, sehingga terkesan menghindari tematema arus utama—seperti dangdut dakwah Rhoma Irama dan fenomena nasyid—yang sudah dibahas peneliti lain. Misalnya, Andrew Wentraub yang berbicara soal dangdut, atau Bart Barendgregt yang berbicara soal nasyid. Sayangnya, kajian Metal Satu Jari, komunitas band dan fan beraliran metal yang kental dengan semangat Islam ideologis, yang amat langka dikaji, tidak ada. Hal kedua yang bisa dilakukan untuk melihat pola dan benang merah dalam rangka melihat keutuhan buku ini dengan membacanya secara tuntas. Penulis ingin membahas beberapa pola yang bisa disimpulkan setelah membaca buku menarik ini. Agaknya sang penyunting, lewat para penulisnya, memilih dua modus dalam memetakan analisisnya. Pertama, seperti yang disebut di atas, kasus-kasus yang hadir di film ini terkesan secara sekilas, dalam pandangan orang awam, tidak secara langsung berkaitan dengan kesalehan keislaman dalam pandangan orang awam, bahkan, menjadi kontroversi. Kedua, beberapa tulisan memang membahas bentuk kesenian yang secara langsung bersentuhan dengan tema keislaman, dan dikontradiksikan dengan jenis “kesalehan” lain dari genre budaya pop yang sama. Misalnya, sinetron “Nur Kasih” di Malaysia dibandingkan dengan film-film Yasmin Ahmad yang acap dianggap kurang atau bahkan tidak “islami”, atau Sang Pencerah dan Perempuan Berkalung Sorban karya Hanung Bramantyo dihadapkan dengan tiga film bertema Islam dari duet Chaerul Umam-Asrul Sani. Untuk kasus kedua ini, penulis teringat dengan wacana Islam kultural dan Islam ideologis Gus Dur dan Cak Nur di atas. Untuk kasus-kasus kategori yang pertama, berkaitan dengan kesalehan, ada dua modus seniman, atau pengkajinya, dalam “membela diri” atau bersikap. Pertama, mengaitkan kesenian dengan konsep kesalehan keislaman, dalam konteks ini, sufisme dan budaya lokal. Misalnya, dalam kasus Topeng Cirebon. Dengan gaya bertutur yang menarik dan banyak berbagi pengetahuan trivial, sang penu-
Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013
lis, Laurie Margot Ross mengaitkan Tari Topeng Cirebon dengan sufisme (dan membedakannya dengan Tari Topeng Malang yang lebih kepada bisnis keluarga, h. 14) dan dakwah Walisongo dan bahkan Syeikh Siti Jenar, mengingat pencipta topeng, menurut sang penulis bab ini, adalah Pangeran Panggung, yang adalah murid Siti Jenar. Walaupun harus dikritisi lagi apa benar Siti Jenar dihukum mati karena dituduh sebagai pengikut syiah ekstrem seperti yang tertulis (h. 14). Yang menarik, disebutkan bahwa sejak gebrakan aliran Wahabi tahun 1924 dan juga pengaruh Orde Baru, terjadi proses sekularisasi dan membuat Tari Topeng sedikit banyak tercabut dari semangat spiritualisme Islam, khususnya di tanah Jawa yang mempunyai dinamikanya sendiri (h. 16-17). Di masa Orde Baru, jenis tari ini dianggap jauh dari islami karena profesi ronggeng acap disamakan dengan pelacuran dan banyak yang mengonsumsi alkohol yang terlarang dalam Islam (h. 26). Hal lainnya adalah, upaya sang penulis bab ini mengaitkan menguatnya kembali Topeng Cirebon 40 tahun setelah G30S justru di Pesantren Al-Zaytun (h. 20) yang secara ideologis adalah keturunan DI/TII, tetapi sepertinya kurang menjabarkan apa dan bagaimana DI/TII berinteraksi dengan seni tari tersebut—mengingat gerakan itu lebih kepada politis daripada sufistis. Mak Yong, pentas drama Melayu di Kelantan yang dilarang Parti Islam Se-Malaysia (PAS) sejak 1991, adalah kasus lainnya yang menarik, dan diulas Patricia Hardwick (h. 77). Bentuk kesenian yang berakar dari budaya pra-Islam ini dilarang karena dianggap condong kepada syirik dan merendahkan wanita. Di sisi lain, banyak pihak menyatakan bahwa dalam setiap gerakan Mak Yong mengandung spiritualisme Islam (dan Mandala, dalam perspektif Hindu-Budha), misalnya menyimbolkan empat elemen kehidupan seperti bumi, angin, api, air, rukun Islam, dan salat lima waktu (h. 84-88). Sikap kedua yang dilakukan para seniman adalah menyatakan tidak mencampur urusan kesenian dengan keagamaan. Umumnya mereka menjalankan ritual kesalehan, seperti salat, tetapi tetap melakukan pekerjaan yang dianggap tidak atau kurang islami. Misalnya, beberapa seniman di Malang, seperti ditulis Christina Sunardi, memisahkan seni dengan kehidupan religius. Mereka tetap menjalankan ritual keagamaan, dan juga berbusana dan berdandan bak lawan jenis dalam menari Beskalan, Ngremo, dan Tari Topeng—sesuatu yang lumrah terjadi di atas panggung (h. 137). Langkah ini diambil karena di Malang, kaum Islam fanatik menganggap musik dan pertunjukan lintas gender sebagai hal yang haram (h. 146-147). Inul juga melakukan tindakan yang sama (h. 170), tapi ia mendapatkan advokasi dari tokoh agama seperti Gus Dur dan Emha Ainun Nadjib. Kontradiksi Dua Kesalehan Pola dan modus lainnya hadir dalam kasus-kasus yang mengandung tema keislaman secara langsung, misalnya dalam film-film Hanung Bramantyo atau sinetron “islami” di Malaysia, dan membenturkannya dengan kasus-kasus dengan jenis kesalehan yang berbeda. Kebetulan, keduanya bukan seni pertunjuk-an, dan masuk dalam kategori budaya
pop. Sebagai contoh, dalam tulisan Eric Sasono, filmfilm Hanung dibenturkan dengan film-film karya Chairul Umam yang skenarionya ditulis Asrul Sani. Atau antara sinetron “islami” dengan film-film Yasmin Ahmad. Dari dua tulisan di atas, pembaca bisa mengambil kesimpulan adanya, katakanlah, dua macam kesalehan yang kontradiktif. Di satu sisi, ada kesalehan formalistik-skriptualis dan di sisi lainnya ada kesalehan kultural-substansial—senafas dengan dikotomi Gus Dur dan Cak Nur. Eric Sasono, misalnya, membedah bagaimana Asrul Sani sebagai penulis skenario sering membenturkan kesalehan konvensional/formalistis dengan jenis kesenian berbeda dari sang protagonis, yaitu kesalehan yang progresif/substansial. Dan sang tokoh utama selalu direpresentasikan dengan orang dari luar desa atau daerah setempat dan melakukan pembaruan. Hal ini memang jelas terlihat dari al-Kautsar (1977), Titian Serambut Dibelah Tujuh (1983), dan Nada dan Dakwah (1991). Singkat kata, dalam film-film itu, Islam adalah agen perubahan dan kemajuan melawan elite-elite yang korup (termasuk para pemimpinnya), dan berupaya menyelamatkan masyarakat yang dekaden dan tereksploitasi dan dimanipulasi penguasa. Ini jelas berbeda dengan film bertema Islam pasca-1998 semisal Ayat-Ayat Cinta atau Ketika Cinta Bertasbih yang lebih berkonsetrasi pada problematika personal dan seakan enggan mengangkat isu kemasyarakatan seperti judi, pelacuran dan minuman keras, dan seolah-olah tak punya hubungan langsung dengan umat (h. 52-53). Untuk film selepas Orde Baru yang mempunyai semangat kesalehan yang sama dengan Umam/Sani, Eric mengambil kasus Perempuan Berkalung Sorban (2009) dan Sang Pencerah (2010). Misalnya, di Sang Pencerah ada adegan otokritik seputar pengrusakan rumah ibadah, yang mengingatkan penonton pada kejadian yang serupa terhadap jemaat Ahmadiyah tak lama sebelum film dirilis. Masalahnya, berbeda dengan ketiga film pendahulunya, kedua film Hanung Bramantyo itu diliputi kontroversi dan punya sedikit perbedaan dalam hal solusi. Misalnya, di Perempuan Berkalung Sorban, banyak kalangan pesantren yang protes termasuk MUI karena film itu tidak berimbang dalam menggambarkan Islam dan dunia pesantren, dan solusinya adalah, alihalih menyajikan Islam yang ramah terhadap perempuan semisal karya-karya Fatimah Mernissi atau Annemarie Schimmel, buku-buku karya penulis “kiri” semisal Pramoedya Ananta Toer. Sementara, di Sang Pencerah, adalah kontroversi seputar simplifikasi kasus Siti Jenar yang dianggap mencemarkan kemurnian Islam dan intervensi pemegang otoritas politik (Sri Sultan) dalam menyelesaikan sengketa (h. 67). Kasus kedua, tulisan Timothy Daniels, adalah sinetron “islami” (atau “islamic” TV drama) Nur Kasih yang mengudara di TV3 mulai bulan Mei 2009 (h. 89), disusul oleh Stanza Cinta dan Tahajjud Cinta. Nur Kasih menggambarkan ekspresi dan perwujudan norma, nilai, dan motif Islam, lengkap dengan adegan salat di masjid dan rumah, penggambaran tanah suci, baju takwa, dialog yang berorientasi religius (h. 106), yang mayoritas adegan hanya memperlihatkan etnis Melayu. Dan kali ini, drama televisi ini dikontradiksikan dengan film-film Yasmin Ahmad 139
Ekky Imanjaya, Mengurai Ketegangan antara Kesalehan dan Seni-Budaya yang kurang dianggap menggarap tema dan nilai islami oleh masyarakat Malaysia (h. 116), dan bahkan melanggar aturan agama, seperti penggundulan perempuan pada muallaf (h. 117). Bagi penulis, filmfilm Yasmin adalah idealisme sang sutradara untuk hidup dengan saling menenggang dan berdampingan dengan etnis dan agama lain di Malaysia, dengan kesalehan yang memang “nyeleneh” karena sifatnya yang inklusif, pluralis, dan berbeda dengan arus utama. Di sini, lagi-lagi ada dua macam jenis “kesalehan”, yang satu lebih eksklusif/skriptualis/normatif, dan lainnya cenderung ke arah kesalehan yang bersifat kultural-substansial dan lebih terbuka. Sayangnya, LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) yang merupakan organisasi di bawah NU, sedikit sekali dibahas di sini. Padahal, seperti disebut oleh Choirotun Chisaan di Lesbumi, Strategi Politik Kebudayaan, organisasi
yang diotaki oleh Usmar Ismail-Asrul Sani-Djamaluddin Malik ini bergelut dengan upaya mendamaikan kaum ulama (yang resah akan ulah seniman yang berpotensi melanggar hukum Islam dengan karyakaryanya) dan kaum seniman (yang gelisah kepada ulama yang cenderung melarang-larang kreativitas) pada tahun 1960an. Mungkin karena semangat buku ini adalah mencari ekspresi alternatif dan non-arusutama, maka Lesbumi tidak dikaji mendalam. Lepas dari itu, buku ini sangat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mendalami hubungan (kesalehan) Islam dengan seni pertunjukan dan budaya pop. Semoga ada volume berikutnya yang mengkaji teater, komik, animasi (misalnya superhero berjilbab dalam The 99 dan serial TV Boboi Boy), film ber-genre populer (seperti Jaka Sembung yang acap dianggap islami), dan hal-hal lain yang tak tercakup dalam buku ini.
Daftar Pustaka Eriyanto. (2001). Analisis wacana: Pengantar analisis teks media. Yogyakarta: LKiS. Eriyanto. (2003). Analisis framing: Konstruksi, ideology, dan politik media. Yogyakarta: LKiS. Gerbner, G. (1970). Cultural indicators: The case of violence in television drama. The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, 388(1), 69-81. doi: 10.1177/000271627038800108 Griffin, E. (2012). Communication Communication Communication. New
140
York: McGraw-Hill. 366-377. Guba, E.G. & Lincoln, Y.S. (1994). Competing paradigm in qualitative research. Dalam Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. (Eds.), Handbook of qualitative research. California: Sage Publications, Inc. Hayes, A. F., & Krippendorff, K. (2007). Answering the call for a standard reliability measure for coding data. Communication Methods and Measures, 1, 77-89. Retrieved from http://www.unc.edu/ courses/2007fall/jomc/801/001/HayesA
Indeks Istilah
canon, 91 Caludra, 112 Corporate Social Responsibility, 127-128 cosplay, 126, 128 cyberspace, 82-86, 89, 96, 98 cyberwar, 82, 83, 86
fan fiction, 89-92, 98 fan page, 93, 97, 133-134 fandom, 90-81, 98 fans, 91, 94, 98, 130-131, 133-136 fantasi, 93-95 Festival Film Animasi Indonesia, 125 Festival Film Dokumenter Yogyakarta, 125 festival film mini, 122, 123, 125 Festival Film Pelajar, 126 Festival Film Video Independen, 125 Festival Film Purbalingga, 126 Festival Film Solo, 126 FFIndo, 91 Film Pendek Konfiden, 125 film, 75-76, 90-92, 96, 113, 118-128, 138-140 film 35 milimeter, 124 film alternatif, 125-126 film arus utama, 76, 120, 122-126, 128 film dokumenter, 113, 122, 125-126, 128 film eksperimental, 122-123, 127-128 film independen, 76, 119-128 film indie, 75, 119-120, 122, 124, 126, 128 film komersial, 124 film pendek, 119, 122-126, 128 film pinggiran, 122-123, 126, 128 fluff, 94 forum, 81, 88, 90, 92, 94-95, 99, 107-108, 123, 128, 133 Forum Film Pendek, 123 Forum Lingkar Pena, 99, 107-108 forum offline, 92 forum online, 90, 92, 95 foucauldian, 99, 100, 103-104 Foucault, 76, 103-105, 108-109 framing, 111, 113-114, 118, 128, 140 fundamentalisme, 101 fundamentalisme agama, 101
D
G
A
administrator, 78, 91, 95, 132 agama, 75-80, 82-84, 86, 101-102, 104-105, 123, 138140 aktivis, 99, 106, 107 aktivis muslim, 99 al-bara, 82 al-wala, 82 al-wala wal-bara, 82 al-Quran, 79 angst, 95 anime, 92, 126 anonim, 96-97 artefak, 111-112 artefak budaya, 111-112
B
Bali Documentary Film Festival, 126 bid’ah, 79, 81-84 biblioterapi, 100 blaka sutha, 117 blog, 75-76, 89-98, 107, 118, 132 blogger, 97-98 blogspot, 93, 128 boy band, 90 brand, 75-76, 110, 126, 129-136
C
Dakwah Islamiyah Indonesia, 106 dakwah salafi, 80, 85 dakwah salafiyah, 81-82 Darus Sunnah, 101 dawra, 80 Departemen Penerangan, 123, 125 dialektika, 75, 111-112, 114-118 Digital Marketing Framework (DMF), 129, 131 dribble, 92
E
e-commerce, 131 eksistensi, 80, 104, 111, 114 erotik, 94 erotika, 96 erotis, 75-76, 89-98 erotisme, 91, 94-95 Europe on Screen, 125
F
gaya hidup, 99, 102-103, 116, 120, 135 gaya hidup islami, 103 general, 92 genre, 76, 89-90-92, 94-96, 99-100, 108, 112, 118, 121122, 124-126, 138, 140 genre erotis, 89 genre fantastic, 126 genre horor, 124 genre romantis, 90, 94-95 genre romantis-erotis, 90, 95, genre sexploitation, 124 gerakan, 75-76, 77-80, 82-86, 90-91, 94, 99-101, 106109, 122-124, 127-128, 139 gerakan budaya-politis, 101 gerakan Islam, 78-79, 97-98, 106 gerakan Islam kontemporer, 78-79, 99-100, 108 gerakan keagamaan transnasional, 79 girl band, 90 globalisasi, 86, 95, 97-98 Golden Lens-International Documentary Film Festival, 126
facebook, 75-76, 91-93, 96-98, 129-136, 141
H
hak cipta, 91, 96 halaqah, 80 hedonisme, 114 hegemoni, 75, 111-117, Hip-hop, 75, 90, 111-112, 117-118 Hizbut Tahrir, 82, 83, 86
I
i-sinema, 127 ibadah, 83, 139 identitas, 79, 81, 85, 97, 107, 111-112, 114, 124 identitas budaya, 111-112, 114 identitas budaya Jawa, 111-112, 114 ideologi, 75, 78, 79, 81-86, 99, 100-102, 104, 106-108, 111, 114, 123, 139 ideologi salaf, 84 ideologi salafisme, 81, 84,85 iNAFF, 125-126, 128 indie label, 120 Indonesian Fan Fiction Award, 92 industri film, 76, 119-128 industri film independen Indonesia, 119 industri kreatif dan budaya, 120 industri penerbitan, 100 industri penerbitan Amerika, 100 infantrum, 92 internet, 75-82, 84-86, 89-94, 96-98, 124, 130-131, 136 Islam, 75-76, 78-87, 99-109, 111-112, 128, 137-140 Islam kontemporer, 78-79, 99, 108 Islam murni, 79, 82 Islam otentik, 78, 79, 86 islami, 75-76, 80-84, 86-87, 100-109, 138-140
J
jahanam, 112, 113 jalabiyya, 82 jama’ah shalahudin, 80 Jaringan Islam Liberal, 83 jemaah, 100, 106-107, 109 Jemaah Tarbiyah, 106, 109 JiFFest, 125, 128 Jogja Hip-hop Foundation, 75, 111-112 Jogja-NETPAC Asian Film Festival, 126
K
kafir, 82-83 kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa, 75-76, 111, 113-117 KAMMI, 107 kanon, 91, 95 karya fiksi, 75, 89-98 karya fiksi penggemar, 89-98 kaum musyrik, 82 keahlian psi, 104-106 kebudayaan Jawa, 111-112, 115-118 kepengaturan, 75, 99-100, 102-104, 106, 108 keraton Jawa, 116 khalayak, 85, 90-92, 98, 121, 126, 129-131, 135 khalayak aktif, 91 khilafah islamiyyah, 83 Kineforum, 128 kineklub, 128 142
komersial, 91, 94, 113-114, 120-122, 124, 126-128 komersialisasi, 114 komersialisme, 122 kontroversial, 112, 90, 96 KoreanNC, 89-91, 93-98 krama, 115-117 K-pop, 75-76, 89-92, 94-98 Kuldesak, 122, 124-126
L
laptop, 75-76, 93, 129, 131 LGBT, 126 liberalisasi seksual, 97 linkage, 77, 86, 134 LiveJournal, 92-93
M
major label, 120 Malang Film Festival, 126 manhaj salaf, 81 manga, 92, 102-103 masyarakat Jawa, 75-76, 111-117 masyarakat modern, 78, 111, 113-114, 116-117 mnemonic branding, 132 modern, 76, 78-79, 83, 86, 104, 111-114, 116-117 modernisasi, 76-77, 86, 95, 112, 123 modernitas, 76-79, 86, 102, 117, 120 musik rap, 76, 112 musik urban, 113 muslim, 76, 78-86, 101-103, 105-108, 137-138 mut’ah, 83
N
nash, 79, 81-82 netporn, 89, 91, 96, 98 network, 86-87, 98, 126, 129-130, 136 ngoko, 112, 115, 117 nilai, 76, 78-79, 86, 95, 99-102, 104-105, 111-112, 114117, 120, 123-124, 130, 139-140 nilai batin, 114 nilai industri, 100 nilai islami, 140 nilai karya, 114 nilai moral, 101 nilai sosial,114 niqab, 82
O
Oberhausen International Film Festival, 123 offline, 82, 84, 86, 92 one-shot, 92 online, 78, 81-82, 84-86, 89-90, 92, 95, 97-98, 132-133, 136
P
Parental guidance for children under 13, 92 Partai Keadilan, 107 PC notebook, 131 pemasaran digital, 76, 129, 131-132, 134, 136 penerbit, 80, 84, 101, 103, 108 penerbit islami, 101
pengaturan, 76, 99, 103-104 pengembangan diri, 75-76, 99-108 penggemar, 75-76, 89-98, 130 perilaku, 79, 81-82, 99, 100, 103-106, 111, 113-114, 116, Partai Keadilan Sejahtera, 83-84, 107 platform, 30 plot, 91, 94-95, 121 pornografi, 89-91, 93-98 pornografi 2.0, 96-97 pornografi internet, 89 post, 87, 97, 119, 121, 134, 136 posting, 78, 81-83, 85, 93, 95-96 postmodern, 104 prinsip hormat, 113, 115 prinsip kerukunan, 113,-115, 117 produk budaya, 90-91, 123, 125 psi, 104-106
Q
Q! Film Festival Jakarta, 125
R
rantai distribusi, 121-122 rantai ekshibisi, 121-122, 127 rantai produksi, 121-122, 126 rasionalitas, 104 rating, 91-92 rekontekstualisasi, 112 religi, 100-101 religius, 78, 100-101, 105-106, 138-139 representasi bahasa, 111, 114 representasi identitas. 111, 114 representasi identitas budaya Jawa, 111, 114 representasi mental, 111, 113, 115 revolusi seksual, 97 Rotra, 112-113, 116 Ruang Rupa, 125
S
salaf, 77-86 salafi, 77-86 salafi indonesia, 78, 81, 85 salafi modern, 79 salafisme, 75-86 seks, 96-97, 112, 123 seksual, 93-94, 96-97 seksualitas, 97 sekularisasi, 77-78, 86, 139 sekuler, 78, 99, 101, 103-105 Series Fic, 92 sineas, 119, 121-122, 124-128
sineas idealis, 124 sinema, 75, 119-128 Sinema 8, 122, 123 sinema alternatif, 123 sinema Hollywood, 121 sinema ketiga, 123-124, 126 sinema independen, 75, 119-128 sinema independen Indonesia, 75, 119-120, 122-128 sinema nasional, 121 situs jejaring sosial, 96, 129-130 situs salafi, 78, 80-81, 84-85 stardom, 90 sub-genre, 101 sufi, 79, 84, 108 sufisme, 138-139 syiah, 79, 83, 139 syirik, 81-82, 139
T
takfir, 83-84 tashfiyyah, 80-81 tarbiyah, 99, 106-109 tauhid, 81-83 tawhid hakimiyyah, 82-83 taqiyyah, 83 teknologi, 75-76, 78-79, 86, 90-91, 96-97, 99, 103-106, 108, 116, 119, 120, 122-125, 127, 130-132 terminologi Jawa, 111 teori sekularisasi, 77-78 tradisi, 76, 79, 82, 100, 111-113, 115 tradisi Jawa, 76, 115
V
vulgar, 76, 93-94, 96, 98, 112
W wacana, 76, 89, 91, 94, 99-105, 108, 114, 124-126, 137, 140 web 2.0, 89-90, 98 130, 136 wordpress, 90-91, 93-94, 128
Y
yadong, 93-96 yaoi, 93-96, 98 Yayasan Konfiden, 125 Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia, 125
Z
zine, 90, 92, 97
143
Volume II Nomor 1 April 2013 ISSN 2301-9816
JURNAL KOMUNIKASI INDONESIA
Jurnal Komunikasi Indonesia edisi ini dapat diterbitkan berkat bantuan para mitra bebestari kami; Aquarini Priyatna
Universitas Padjadjaran, Bandung
Ari Juliano Gema Wikimedia Indonesia
Endah Triastuti
Universitas Indonesia, Jakarta
Ivan Lanin
Wikimedia Indonesia
M. Gunawan Alif
Universitas Indonesia, Jakarta
Putut Widjanarko
Universitas Paramadina, Jakarta
Rachmah Ida
Universitas Airlangga, Surabaya
Santi Indra Astuti
Universitas Islam Bandung
Thomas Barker
The University of Nothingham, Malaysia Campus
yang telah meluangkan waktu untuk melakukan review semua artikel yang termuat dalam edisi ini. Terimakasih yang tiada terhingga kami haturkan untuk segenap pertimbangan, pemikiran, dan saran yang disampaikan.
Redaksi
144
Panduan Penulisan Artikel Jurnal Komunikasi Indonesia Jurnal Komunikasi Indonesia (JKI) adalah jurnal nasional yang mempromosikan berbagai pendekatan dalam ilmu komunikasi dan kajian media. JKI mengakomodasi beragam paradigma dalam memahami fenomena komunikasi dan media, serta mengutamakan kebaruan topik dan relevansinya dalam menjawab permasalahan masyarakat Indonesia. Jurnal tersebut adalah ruang interdisipliner yang mengakomodasi pemahaman dan temuan baru terkait komunikasi dan media. Beberapa topik kajian yang pernah diterbitkan oleh JKI antara lain mengenai ekonomi politik pertelevisian, komunitas online, representasi media, media komunitas, pers, komunikasi sastrawi, media dan gender, strategi komunikasi, komunikasi politik, media dalam penanganan bencana, serta komunikasi pemasaran digital. Panduan Umum 1. Tulisan harus merupakan karya yang orisinal dan hasil temuan dari sebuah penelitian. Artikel yang diajukan meliputi artikel yang belum atau yang pernah diterbitkan di media lain. 2. Jika artikel pernah dipublikasi sebelumnya, redaksi JKI memerlukan bukti tertulis yang menyatakan bahwa lembaga penerbit sebelumnya mengizinkan publikasi ulang oleh JKI. 3. Panjang artikel adalah 8,000-10,000 kata, tidak termasuk daftar pustaka dan catatan kaki. Jumlah keseluruhan halaman untuk tiap artikel, yang mencakup gambar, ilustrasi, dan tabel, tidak melebihi 25 halaman. 4. Semua artikel harus menyediakan abstrak dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, yang bisa memberikan gambaran atas esensi tulisan. Jumlah kata untuk kedua abstrak tidak boleh melebihi 300 kata, termasuk kata kunci (key words). 5. Jika artikel memuat gambar, maka gambar dikirim dalam file gambar secara terpisah dari file teks dengan reolusi yang tinggi. 6. Semua artikel harus menyediakan satu paragraf singkat (50 kata) yang berisi biodata penulis, termasuk institusi afiliasi dan alamat e-mail penulis. 7. JKI menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Format File 1. Artikel harus dikirimkan dalam bentuk softcopy lampiran email ke jurnalkomunikasi.indonesia@gmail. com dalam format MSWord dan/atau Rich Text Format untuk teks dan JPEG/JPG untuk gambar. 2. Tabel, foto, dan ilustrasi harus dikirimkan secara terpisah dan dengan diindikasikan halaman peletakannya. Sisipkan label dan sumber tabel, foto, dan ilustrasi di antara paragraf yang dimaksud. Contoh: TAHUN PEMILU
PELANGGARAN PIDANA
PELANGGARAN ADMINISTRASI
2004
3,153
8,946
2009
2,631
9,223
Sumber: Diolah dari Laporan Panitia Pengawas Pemilihan Umum 2004 dan 2009 (Peletakan di halaman 2)
3. Jika artikel dinyatakan siap dipublikasikan, penulis berkewajiban untuk mengirimkan foto dalam resolusi yang tinggi. Gaya Penulisan 1. Dokumen harus menggunakan spasi 1.5 dalam format kertas A-4 dengan margin standar MS Word. Besar huruf yang digunakan 12 dan halaman harus diberi nomor. Jumlah sub judul maksimum 3 (tiga) sub judul dan harus dipertegas dengan menggunakan huruf tebal (bold). 2. Halaman pertama harus menyertakan judul artikel, nama lengkap penulis (tanpa gelar), dan alamat email penulis. Halaman kedua harus menyertakan abstrak, dan halaman ketiga menyertakan biodata penulis. 3. Pada akhir tulisan, seluruh rujukan yang digunakan penulis harus dicantumkan dan ditulis secara berurutan sesuai abjad dari nama belakang penulis utama. 4. Pengutipan dalam teks harus dalam bentuk: Wang (1977, h. 60-66), atau (Wang & King, 1978). Gunakan "et al." ketika menyebut lebih dari dua penulis, contoh: Wang et al. (1980). Huruf a, b, c, dll. harus digunakan untuk membedakan pengutipan sumber yang berbeda oleh penulis yang sama, contoh: (Wang. 1985a, 1985b). Semua referensi harus disusun berdasarkan abjad dengan gaya berikut: 145
• Artikel Jurnal Martin, D. G., & Sengupta, S. (1998). Turning the "domino theory" upside down in Asia: Advertising and Singapore's cultural evolution. Asian Journal of Communication, 8(2), 148-166. • Artikel dalam surat kabar; tanpa penulis A day of devotional frenzy (22 September 1995). HindustanTimes, h. 1. • Artikel dalam surat kabar harian; dengan penulis Yeo, G. (10 Mei 1999). Rail network to cover all of S'pore. The Straits Times, h. 1. • Buku Ratnam, J. P., & Richard, T. F. (1985). A sociology of violence. New York: John Wiley. • Kontribusi dalam buku Lozare, J. B. (1989). The concept and values of Socioplay. Dalam A. B. Cheong & I. W. Allen (Eds.), Social values in development (h. 1-150). Chicago: Chicago University Press. • Tulisan yang belum dipublikasikan Anwar, S. E. (1968). Modernization and youth. Disertasi Doktoral. Bangladesh: University of Dhaka. • Sumber Internet Mobile TV: The third screen (19 Juli 2007). The Economist. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2007 dari www.ebusinessforum.com/ index.asp?layout=rich_story&channelid=5. 5. Jelaskan kepanjangan tiap singkatan ketika pertama kali muncul diikuti dengan kepanjangannya dengan disertai tanda kurung. Contoh: Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). 6. Tambahan informasi harus disertakan dalam catatan kaki (footnote), dengan mencantumkan rujukan jika perlu. 7. Jangan gunakan singkatan, kecuali nama penulis, dalam pengutipan. Periksa kembali informasi dalam artikel asli untuk akurasi dan pastikan bahwa semua referensi dalam teks menyebutkan nama akhir penulis dan tahun publikasi. Referensi yang tidak dikutip dalam teks akan dihapus. Pastikan pengejaan nama penulis dan tahun publikasi dalam teks serasi dengan informasi yang disediakan dalam referensi lengkap. Panduan Sistematika Penulisan • Judul artikel Setiap kata yang dipilih dalam judul sebaiknya merupakan sintesis dari temuan yang dipaparkan dalam artikel. • Nama penulis (tanpa gelar) • Email penulis • Afiliasi lembaga Institusi yang memegang hak cipta atas temuan penelitian. Jika penelitian dilakukan secara mandiri, maka afiliasi lembaga merupakan tempat penulis bekerja. • Abstrak/Abstract (300 kata) Abstrak yang baik menyebutkan apa yang dilakukan di dalam penelitian, menyebutkan kekurangan penelitian sebelumnya atau kenapa kasus yang diteliti itu penting, serta menutup dengan apa yang ditemukan atau apa yang diargumenkan dalam makalah. • Kata kunci/Key Words (lima buah) • Pendahuluan (1500-2000 kata) Memperkenalkan permasalahan kepada pembaca. Bisa berupa fenomena atau kasus yang diteliti, atau kekurangan dalam penelitian sebelumnya yang akan dilengkapi oleh makalah penulis. • Kerangka teori (1000-1500 kata) Kajian literatur wajib dilakukan, namun penyajiannya dalam sub-judul mandiri bersifat opsional, bisa juga dijelaskan dalam latar belakang/pendahuluan. • Metode penelitian (500-750 kata) Dalam penelitian kuantitatif, harus berupa sub-judul mandiri. Untuk penelitian kualitatif sub-judul mandiri bersifat opsional; bisa disisipkan dalam sub-judul lain/dalam catatan kaki. • Temuan dan analisis (3000-5000 kata) Paparan hasil penelitian bisa menggunakan label/judul sub-tulisan sesuai kehendak penulis • Kesimpulan (500-750 kata) Menyampaikan intisari temuan, bukan rangkuman, dari artikel. Kesimpulan yang baik berkaitan erat dengan abstrak. Makalah yang baik mengizinkan pembaca untuk memahami inti dari artikel hanya dengan membaca abstrak dan kesimpulan. • Daftar pustaka 146
147
148