DAFTAR ISI Bagian I Laporan Konferensi 01 Berita Acara Konferensi
01
02 Laporan Ketua Panitia Konferensi
06
03 Sambutan Dubes RI untuk Kerajaan Belanda Yth Bpk. J.E. Habibie
08
04 Pengarahan President RI Yth Bpk. Susilo Bambang Yudhoyono
10
05 Catatan Kelompok Kerja Kelompok Kerja Pangan Kelompok Kerja Maritim Kelompok Kerja Infrastruktur Kelompok Kerja Riset & Teknologi Kelompok Kerja Masyarakat Madani (Pendidikan-Kesehatan) Kelompok Kerja Pusat Jaringan Data dan Informasi Thesis Nasional Kelompok Kerja Pemanfaatan Beasiswa untuk Mendukung RPJP
12 13 14 16 18 19 21
DAFTAR ISI Bagian II Laporan Konferensi 06 Makalah Panel Pangan Pembangunan Pertanian Rakyat Menuju Ketahanan dan Swasembada Pangan 23 07 Makalah Panel Maritim I Indonesia Bangkit Lewat Laut
27
08 Makalah Panel Maritim II Inisiatif Nasional Ekspedisi MDGs untuk Wilayah Kepulauan di Indonesia ( 2008-2009): Berbakti dan Berbagi Melalui Kemitraan 35 09 Makalah Panel Infrastruktur I Pembangunan Infrastruktur dalam Semangat Kebersamaan
40
10 Makalah Panel Infrastrutur II New Paradigm in “Infrastructure Development” and its Implication on Income Distribution and Welfare State 44 11 Makalah Panel Riset dan Teknologi I Free Open Source Software Sebagai Solusi Kemandirian Bangsa di Bidang Teknologi Informasi (Studi Kasus Pengembangan Dewalinux) 52
DAFTAR ISI Bagian III Laporan Konferensi 12 Makalah Panel Riset dan Teknologi II Meningkatkan Daya Saing Bangsa Indonesia Dalam Knowledge-Based Economy Dengan Brain Circulation Network (Jaringan Orang-Orang Indonesia Professional di Luar Negeri) 56 13 Makalah Panel Masyarakat Madani Membangkitkan Bangsa, Menata Reformasi: Transformasi Indonesia Baru Melalui Pendidikan 61 14 TOR Konferensi
67
15 Laporan Keuangan Konferensi
74
16 Berita Gambar
75
17 Ucapan Terima Kasih
81
Laporan Panitia Konferensi
1
Berita Acara Konferensi Pemuda dan Pelajar Indonesia di Den Haag, “Revitalisasi Semangat Kebangsaan Pemuda dan Pelajar Indonesia: Menggagas Kebijakan Pendidikan yang Berperspektif Kebangsaan” 25 – 26 Oktober 2008, Den Haag. Pendahuluan 1. Konferensi Pemuda dan Pelajar Indonesia di Luar Negeri dilaksanakan di Den Haag pada tanggal 25-26 Oktober 2008 Agenda 1: Pembukaan Konferensi Hari Sabtu 25 Oktober 2008 2. Dalam upacara pembukaan, Christian Santoso Ketua Panitia Konferensi Pemuda dan Pelajar Indonesia di Luar Negeri menyampaikan laporan panitia mengenai perkembangan dan persiapan Konferensi Pemuda dan Pelajar Indonesia di Luar Negeri dan tujuan serta hasil yang diharapkan dari koferensi ini. 3. Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda, Yth Bapak J.E.Habibie memberikan kata sambutan sekaligus membuka Konferensi Pemuda dan Pelajar Indonesia di Luar Negeri. Dalam sambutannya Bapak J.E. Habibie menekankan pada proses kebangkitan bangsa Indonesia yang melalui proses pembelajaran secara luas dan mempunyai dampak bagi bangsa – bangsa lain dimuka bumi ini. Serta pada semangat kebangsaan dari para pemuda dan pelajar Indonesia di luar negeri yang akan memberikan pikiran segar untuk membangkitkan kejayaan Nusantara Indonesia. Agenda 2: Sidang Panel Umum 4. Sebagai narasumber dalam sidang panel umum Prof. Dr. Anwar Nasution menyampaikan makalah beliau mengenai “Perbaikan Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Era Reformasi”. Beliau juga menyampaikan pentingnya tranparansi dan akuntabilitas dalam segala bidang pemerintahan untuk mencegah korupsi, serta perbaikan sistem keuangan negara yang terintergrasi. 5. Narasumber II, Dr. H. S. Dillon menyampaikan makalah beliau mengenai “Nasionalisme Indonesia: Petani Memperkokoh Landasan Kedaulatan Bangsa”. Beliau juga menyampaikan pentingnya pertanian pangan karena menyangkut persoalan hidup dan mati rakyat, serta hilangnya dukungan terhadap pertanian rakyat yang sekiranya menjadi dasar dari budaya bangsa. 6. Narasumber III, Emha Ainun Najib menyampaikan makalah beliau mengenai “Pembangunan Masyarakat Kebangsaan yang Madani”. Beliau juga menyampaikan bahwa selama ini rakyat sudah terstigmasi antara baik-salah, berkuasa-ditindas, serta pemahaman yang sebenarnya mengenai arti kata madani yang didasarkan pada pemahaman akan piagam madina. 7. Narasumber IV, Drs. Ahmad Syukri menyampaikan makalah beliau mengenai “Pembangunan Infrastruktur yang menyatukan dan memeratakan distribusi kesejahteraan di Nusantara”. Beliau juga menyampaikan permasalahan transportasi darat yang kompleks serta ketidaktertiban dalam pelaksanaannya. 8. Narasumber V, Capt Hadi Supriyono menyampaikan makalah beliau mengenai “Pembangunan Maritim yang ber-Wawasan Nusantara”. Beliau juga menyampaikan beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh negara kepulauan seperti Indonesia, serta pentingnya Indonesia mendesain karakteristik negara sebagai negara kepulauan. Agenda 3: Global Interaktif Dialog 9. Global Interaktif Dialog dipersiapkan oleh Radio Nederland Wereldomroep (RNW) sebagai pusat siaran bekerjasama dengan Radio Deutsche Welle (Jerman), Radio Tiongkok (China), Radio IRIB (Iran), Radio ABC (Australia) diawali dengan menyanyikan lagu Satu Nusa Satu Bangsa.
Laporan Panitia Konferensi
2
10. Christian Santoso, Ketua Panitia Konferensi Pemuda dan Pelajar Indonesia di Luar Negeri memberikan laporan mengenai Konferensi kepada President Republik Indonesia Yth Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. 11. President Republik Indonesia Yth Bapak Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pengarahan kepada peserta konferensi. Beliau menyampaikan anatra lain pentingnya untuk untuk membangun kemandirian, daya saing, dan peradaban bangsa untuk menuju Indonesia maju, yang ingin kita wujudkan bersama. 12. Sesi tanya jawab dengan President RI • Pertanyaan pertama sdr Fahmi dari PPI Australia: a) Menghimbau pemerintah untuk mendukung Organisasi PPI di luar negeri dalam hal dana Jawaban: Saran ini akan dipikirkan serius karena ini adalah saran yang baik. b) Menghimbau pemerintah untuk mengurangi kunjungan kerja ke luar negeri oleh anggota DPR yang seoalh-olah tidak memiliki keprihatinan dengan keadaan rakyat saat ini. Jawaban: Presiden sudha menghimbau kepada setiap instansi-instansi yang lain untuk mengurang kunjungan kerja ke luar negeri yang dirasa tidak membawa manfaat. • Pertanyaan kedua sdr Rizqi Nugraha dari PPI Jerman: Bagaimana usaha mengurangi kemiskinan dan pengangguran dalam waktu kepemimpinan yang singkat ini. Jawaban: Dengan anggaran yang konkrit, penetapan prioritas yang jelas, serta Peningkatan anggaran untuk penanggulangan kemiskinan yang naik secara bertahap dari tahun 2004 sampai sekarang. Diharapkan bahwa anggaran ini akan tetap menjadi prioritas bagi pemerintah pusat dan daerah meskipun tahun depan adalah tahun politik. Presiden juga menghimbau agar publik di luar negeri juga ikut mengontrol akuntabilitas/transparantasinya 13. Diskusi dengan sidang panel umum dengan pelajar Indonesia dari 5 negara peserta Global Interaktif Dialog (Belanda, Jerman, China, Australia, Iran) diselingi dengan 2 buah lagu “Syukur” oleh Novia Kolopaking dan “Indonesia Jaya” oleh Aditya Elmansyah Putera diiringi alunan piano dari Alicia Witarsa. Serta pembacaan “Sumpah Pemuda” oleh Karamita Andriani Darusman. • Pertanyaan dari Australia Sumpah pemuda tahun 1928 dan 2008 berbeda. Untuk tahun 1928 membangun rasa kebangsaan. Sedangkan thn 2008, tantangan untuk merealisasikan cita-cita bangsa, bagaimana mengisi kemerdekaan? • Pertanyaan dari Jerman Indonesia peringkat 126 dari 128 dalam indeks transparansi korupsi, bagaimana untuk meningkatkan kredibilitas Indonesia? Jawaban: Yang paling utama adalah penegakan hukum. Harus menyeluruh dari tingkat pejabat tinggi sampai di daerah. • Pertanyaan dari Iran Pengaruh budaya asing terhadap pemikiran mahasiswa Indonesia yg belajar di luar negeri, bagaimana tanggapan pemerintah? Jawaban Emha: Berbicara tentang kebudayaan, kita harus punya scope waktu yang jelas. Intinya, menyikapi perbedaan budaya, kita harus punya rasa ingin tahu yang tinggi untuk mengenal budaya sendiri. Meneliti siapa kita sendiri. Bila kita dengan mudah terpengaruh, maka kita tidak cukup mengenal bangsa sendiri. Terkait dengan program pengentasan kemiskinan. Focus dan cara berpikir kita harus luas, tidak hanya poverty tapi impoverished, proses apa yang membuat kita jadi miskin. Kedua, bantuan uang bukanlah solusi pengentasan kemiskinan itu sendiri. HS. Dillon: Kita harus bisa membumikan tanah air. Ilmu pengetahuan yang kita pelajari di luar bukan untuk ditiru. Mengenai kemiskinan, lembaga-lembaga ekstraktif, itulah warisan dari kolonialisme. Kualitas bangsa ditentukan oleh mutu dari masyarakatnya, dan kemerdekaan pangan/pertanian, produksi dari level paling bawah/grassroot. • Pertanyaan dari China Kira-kira Indonesia kapan bisa mencapai swasembada? Jawaban H.S. Dillon: Yang penting mencapai kedaulatan pangan adalah upayanya. Teknologi itu harus mengarah ke: benih, budidaya, nilai tambah pengolahan, ini memungkinkan kalau petani dapat bekerja dalam suatu lingkungan yang terintegrasi (teknologi, upah/pendapatan).
Laporan Panitia Konferensi
•
•
•
•
•
• • • •
3
Pertanyaan dari Belanda Kita tdk kekurangan kaum cendekiawan, yg kurang kaum intelektual yg ‘berbudaya’ tahu malu. Bagaimana cara membina generasi muda menjadi intelektual yg berbudaya ‘malu’? Jawaban Anwar Nasution: Semua tergantung diri sendiri. Nilai manusia tergantung pada integritasnya. Pertanyaan dari Australia Masalah pertanian di Indonesia adalah kurangnya political commitment dari pemerintah untuk membantu petani, ini lebih menjadi komoditas politik, terlebih pada masa mejelang pemilu. Jawaban H.S. Dillon: Semua harus kembali adanya kesadaran untuk mengubah system ekstraktif, mengenai intelektual yang ‘malu’, masalahnya elit kita terlalu cepat merasa nyaman, kita tidak mau bersaing di tataran global. Masalah malu, terkait system nilai, ruang untuk agama intervensi, namun selama ini agama terbanalisasi di Indonesia. Kita perlu panutan, generasi terdahulu harusnya bisa jadi panutan. Emha: Semakin rusak manusia, semakin rusak system-nya, dialektika penghancuran. Selama ini, pemerintah/ SBY tidak bisa memberikan prioritas dalam menyelesaikan masalah, petani menjadi salah satunya. Di Indonesia, concern nilai dan norma itu tidak seimbang. Lebih mengutamakan norma yang mana lebih menjadi kesepakatan bersama untuk itu kita harus menyeimbangkan antara nilai dan norma. Pertanyaan dari Belanda Keseimbangan focus pembangunan Indonesia, apakah harus selalu konsentrasi pada konsep pangan? Bagaimana dengan para petani garam? Petani mutiara? Bagaimana mengintegrasikan ini kedalam focus pembangunan secara menyeluruh? Jawaban H.S. Dillon: Terjadi kesalahan pendekatan kebijakan pangan selama ini, mestinya mulai dari mana asal rakyat itu berada, paradigma kebijakan harus people-driven. Pertanyaan dari China Siapa yg memiliki kebijakan pangan yg paling baik, pendekatan saat presiden sukarno. Pada masa Suharto, terjadi swasembada beras. Pada masa SBY, harus memberikan peluang/sarana bagi masyarakat untuk berusaha/berproduksi. Pertanyaan dari Iran Tanggapan mengenai proteksi aset intelektual Indonesia agar tidak dilarikan ke luar negeri? Jawaban Anwar Nasution: Terlepas dari integritas pribadi, aktualisasi kemampuan intelektual bisa dimana saja. Emha: Masyarakat perlu memiliki wawasan yang luas/mau melihat secara kritis kualitas calon pemimpin kita. Fit and proper test tidak hanya dalam lingkup akademis. Mari kita perhatikan manusia selengkap-lengkapnya. H.S. Dillon: Tugas kita saat ini adalah terus menghidupkan roh sumpah pemuda. Menghargai jasa pahlawan yang sudah berjuang agar kita bisa hidup merdeka. Kesimpulan dari Australia Semoga rekomendasi tidak hanya jadi wish list tetapi menjadi working list, rekomendasi yang lebih practical. Kesimpulan dari Jerman Agar generasi sekarang bisa menggunakan alat-alat kekuasannya tetapi tidak mendewakan, jaringan pelajar dunia bisa ditingkatkan. Kesimpulan dari China Diskusi harus sering diadakan, karena pelajar bisa berdiskusi tentang kondisi terkini. Kesimpulan dari Iran Semoga konferensi bisa membuahkan deklarasi yang bisa dilaksanakan di Indonesia untuk memperbaiki kondisi Indonesia.
Agenda 4: Kelompok Kerja 14. Penetapan tata tertib konferensi dan penetapan Ketua Sidang Konferensi Johanes Widodo (perwakilan pelajar Indonesia tuan rumah konferensi).
Laporan Panitia Konferensi
4
15. Pembagian 3 kelompok kerja • Kelompok kerja 5 bidang • Kelompok kerja Jaringan Data dan Informasi Thesis Nasional • Kelompok kerja Pengelolaan Beasiswa untuk Mendukung RPJP Agenda 5: Pembukaan Konferensi Hari Minggu 26 Oktober 2008 16. Hari kedua konferensi dibuka oleh Sekjen PPI Belanda 2008-2009 Johanes Widodo. Agenda 6: Diskusi Panel I 17. Diskusi Panel I bertemakan pembangunan pertanian rakyat menuju ketahanan dan swasembada pangan. Diskusi menampilkan dua pemakalah dari PPI WUR, yaitu Saudara Robi Fauzan dan Saudara Jefri dengan moderator Saudara Saurlin. 18. Pada sesi I, Saudara Jefri menyampaikan analisis keterkaitan antara ketahanan pangan dan ketahanan nasional. Dalam hal ini, ketahanan pangan telah menjadi komitmen negara sebagaimana diatur dalam undang- undang nomor 7 tahun 1996 pasal 1 ayat 17. Terkait dengan ini, pembangunan ketahanan pangan perlu dilakukan secara komprehensif melibatkan pembangunan infrstruktur dan manajemen pertanian yang berbasis pada kepentingan petani. 19. Selanjutnya, Saudara Robi membahas peningkatan ketahanan pangan nasional melalui pendekatan holistic yang dijabarkan dalam beberapa point. Pertama, dalam hal ini, yang dimaksud dengan pendekatan holisitk adalah diversifikasi pangan sesuai dengan konteks kebutuhan nasional. Hal ini mencakup pemberdayaan varietas lokal sehingga tidak hanya terbatas pada padi namun juga mengembangkan jenis makanan lokal dari masyarakat setempat. Kedua, selain itu juga disampaikan perlunya mengintegrasikan manajemen resiko pangan ke dalam manajemen resiko bencana. Hal ini dirasakan semakin penting mengingat rentannya kestabilan produksi pangan seiring dengan meningkatnya masalah perubahan iklim global. Ketiga, perlunya revitalisasi peran para penyuluh pertanian. Terkait dengan ini, inovasi bentuk penyuluhan perlu dikembangkan oleh para tenaga penyuluh sebagai upaya membangun komunikasi yang interaktif dengan para petani. Pada akhirnya, para petani dapat dilibatkan secara aktif dalam proses transfer of knowledge dalam penyuluhan. Agenda 7: Diskusi Panel II 20. Diskusi Panel II bertemakan pembangunan maritime yang berwawasan nusantara. Diskusi menampilkan dua pemakalah yaitu Saudara Achmad Aditya dan Saudara Andi Ibrahim, dengan moderator Saudara Christian Santoso. 21. Pada sesi I, Saudara Achmad Aditya menyampaikan tantangan dan potensi pengembangan industri kelautan. Wilayah laut Indonesia yang luas memiliki beberapa potensi yaitu potensi territorial dan potensi ekonomi. Potensi territorial meliputi banyaknya jumlah pulau Indonesia. Sedangkan potensi ekonomi meliputi sektor perikanan dan segala sumber daya hayati yang terkandung dalam laut. 22. Tantangan utama dalam pembangunan kelautan dijelaskan dalam beberapa point. Pertama, meningkatnya penangkapan ikan secara ilegal yang disebabkan kekurangan kapal-kapal untuk melakukan fungsi pengawasan dalam wilayah perairan yang luas. Tantangan kedua adalah masih kurangnya implementasi undang-undang mengenai pengelolaan pulau-pulau kecil yang mendukung peningkatan kualitas hidup nelayan tradisional. Untuk itu pemerintah perlu menerapkan sistem zonasi yang mengatur wilayah penangkapan ikan dan pelabuhan. Ketiga, masih kurangnya pengawasan di daerah pesisir baik oleh pemerintah atau lembaga-lembaga terkait sehingga masih terjadi penangkapan berlebih (over exploitation). Tantangan keempat adalah Indonesia masih memiliki sistem pertahanan kelautan yang lemah. Adapun tantangan terakhir adalah minimnya sarana dan prasaran transportasi laut di Indonesia. 23. Pada sesi II, Saudara Andi Ibrahim menyampaikan implementasi Millenium Development Goals (MDGs) ke dalam pembangunan maritime lokal. Untuk itu, pemerintah perlu secara proaktif menjalin kemitraan dengan lembaga non-pemerintah antara lain dengan mengembangkan usaha “pulau asuh”, memaksimalkan peran pemerintah daerah dalam mengelola agenda pembangunan yang memiliki muatan lokal yang kuat, serta mengikutsertakan peran masyarakat sebagai tenaga sukarela
Laporan Panitia Konferensi
5
(volunteer) dalam program pemerintah. Diharapkan melalui program yang berorientasi local, dapat menjadi sarana untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat nelayan dalam mengelola kekayaan laut yang aman dan berwawasan lingkungan. Agenda 8: Diskusi Panel III 24. Diskusi Panel III bertemakan pembangunan infrstruktur dan menampilkan dua pemakalah yaitu Saudara Jaka dan Saudara Ary Samsura, dengan moderator Saudara Gunawan. 25. Pada sesi pertama, Saudara Jaka menyampaikan bahwa pembangunan infrastruktur adalah bentuk investasi pembangunan. Dalam hal ini, ketersediaan sarana infrastruktur yang memadai dapat mendukung upaya pemberantasan kemiskinan. 26. Pada sesi kedua, Saudara Ary Samsura membahas masalah manajemen, regulasi dan perencanaan sebagai tantangan pembangunan infrastruktu di Indonesia. Dalam kaitan ini, desentralisasi pembangunan dan meningkatnya otoritas pemerintah daerah sering menjadi kendala dalam mengintegrasikan kebijakan dan perencenaan lintas daerah. Untuk itu, inovasi dapat dimulai dengan mengubah paradigma pembangunan yang lebih berorientasi kemandirian atau swadaya. Dalam hal ini, kebijakan pemerintah bisa berasal dari tataran grass root, artinya faktor kepemilikan atas agenda pembangunan daerah dapat berasal dari inisiatif masyarakat di daerah itu sendiri. Agenda 9: Diskusi Panel IV 27. Diskusi Panel IV bertemakan pembangunan Masyarakat Madani (Civil Society) yang menampilkan pemakalah Saudara Nadjib Azca dengan Moderator Saudara Anfasul Marom. 28. Dalam pemaparan, pemakalah menjelaskan secara garis besar rekonstruksi perjalanan civil society di Indonesia yang terbagi dalam tiga fase yaitu masyarakat bangsa, warga dan negara. Pembentukan negara terdiri dari empat elemen yaitu negara, masyarakat, masyarakat politik dan masyarakat ekonomi. Masyarakat madani bukan merupakan suatu entitas yang bersifat antagonis terhadap negara, melainkan bisa menjadi elemen yang mengamati performa negara secara kritis. Fungsi akuntabilitas masyarakat madani dapat dicapai bila warga memiliki rasa kepemilikan (ownership) yang tinggi dalam masyarakat, dalam artian sense of ownership tersebut harus mencerminkan integritas dan intelektualitas. Saat ini, pembangunan civil society di Indonesia masih tidak tersinkronisasi karena masih adanya diskrepansi atau kesenjangan baik dalam tataran ruang (spatial), geografi dan etnis. Hal ini juga tidak diimbangi dengan sistem pendidikan yang kompetitif. Untuk itu, pengembangan pendidikan tinggi yang bervisi ke depan harus menjadi perhatian bersama sebagai upaya membentuk cara berpikir kritis yang berbasis intelektualitas.
Laporan Panitia Konferensi
6
Laporan Ketua Panitia Konferensi Pemuda dan Pelajar Indonesia di Luar Negeri, Den Haag, 25-26 Oktober 2008 Perhimpunan Pelajar Indonesia, dengan dukungan penuh KBRI Den Haag, menyelenggarakan ”Konferensi Pemuda dan Pelajar Indonesia di Luar Negeri” pada tanggal 25 – 26 Oktober 2008 di Den Haag. Konferensi ini dilaksanakan dalam rangka memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, 100 Tahun Gerakan Pelajar Indonesia di Luar Negeri dan 80 Tahun Sumpah Pemuda. Konferensi PPI ini bertaraf internasional, karena dihadiri oleh wakil-wakil pemuda dan pelajar Indonesia dari Belanda, Yaman, Saudi Arabia, Australia, Indonesia, Maroko, Mesir, Rusia, Jerman, Perancis, dan Australia. Konferensi ini juga disiarkan secara internasional oleh Radio Nederland, dengan dukungan dari Radio Tiongkok, Radio Australia, Radio Jerman, dan Radio Iran. Konferensi ini bertujuan membantu memperkokoh wawasan kebangsaan para pemuda dan pelajar Indonesia di luar negeri. Dan sekaligus memberikan masukan untuk mewujudkan kebijakan pembangunan yang berwawasan kebangsaan. Untuk itu, Konferensi akan membahas 5 topik Pembangunan Nasional, sejalan dengan prioritas Pembangunan Jangka Panjang dan Jangka Menengah, yakni: Pertama, pembangunan pertanian rakyat untuk mencapai ketahanan pangan Kedua, pembangunan maritim yang ber-Wawasan Nusantara; Ketiga, pembangunan infrastruktur untuk memeratakan kesejahteraan di Nusantara; Keempat, pembangunan riset dan teknologi bagi kemandirian intelektual bangsa; Kelima, pembangunan masyarakat kebangsaan yang madani (nationalist civil society); Kami berharap, Konferensi ini akan menghasilkan 3 output. Pertama, policy paper berisi rekomendasi dari kelima topik tersebut diatas. Kedua, policy paper pembentukan Pusat Tesis Indonesia. Dan ketiga, draft MoU tentang Penerimaan Dana Beasiswa, dengan mengambil kerjasama pendidikan Indonesia-Belanda sebagai case study. Pada hari ini, kita akan mendengarkan paparan dari Panel Nara Sumber Kehormatan, tentang ketahanan pangan, pembangunan maritim, infrastruktur, riset dan teknologi, dan masyarakat madani. Besuk, kita akan menyelenggarakan Panel Pelajar, yang akan mengembangkan lebih lanjut pembahasan tersebut, dengan memanfaatkan sebesar-besarnya berbagai masukan dari para nara sumber dan peserta Konferensi. Untuk itu, perkenankanlah saya, atas nama PPI dari berbagai negara, mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Bapak Duta Besar Habibie, dan jajaran KBRI Den Haag, atas dukungan dan komitmen yang sangat besar untuk suksesnya acara ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga kami sampaikan kepara Nara Sumber Kehormatan, yang telah berkenan hadir pada acara ini, yakni: Bapak Profesor Dr. Anwar Nasution, Bapak Emha Ainun Najib, Bapak Dr. HS Dillon, Bapak Drs. Ahmad Syukri, dan Bapak Dr. Dino Patti Djalal. Kami mengucapkan terima kasih kepada Departemen Pendidikan Nasional Indonesia. Dan juga kepada Nuffic Neso Indonesia. Kami sangat berterima kasih kepada Radio Nederland atas penyelenggaraan Global Interactive Dialogue siang ini. Tak lupa, kami juga mengucapkan terima kasih kepada para radio pendukung, yakni: Radio Tiongkok, Radio Australia, Radio Jerman, dan Radio Iran. Kami juga mengucapkan terima kasih atas dukungan dari Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, Jejaring PPI Eropa, Indonesia Masa Depan, Stichting Sapu Lidi, Ikaned, serta berbagai sponsor yang tidak dapat kami sebut satu-per-satu. Adalah harapan kita bersama, agar Konferensi ini, dengan segala keterbatasannya, mampu memberikan pendidikan kebangsaan bagi setiap pemuda dan pelajar yang hadir disini, atau mengikuti acara ini melalui radio-radio internasional.
Laporan Panitia Konferensi
7
Sebagai kata penutup, ijinkanlah kami mengutip wejangan Bung Hatta, yang Beliau nyatakan pada tanggal 9 Maret 1928: Pendidikan terutama sekali harus menyadarkan pemuda, bahwa tujuan hidupnya adalah kemerdekaan Tanah Air. Dengan cara demikian kita memupuk warga Negara yang cakap, yang siap berjuang untuk hadiah yang tertinggi bagi Tanah Air kita. Adalah tugas kita untuk mengisi kemerdekaan Tanah Air Indonesia. Semoga kita mampu memenuhi harapan Bung Hatta tersebut. Terima kasih.
Laporan Panitia Konferensi
8
Sambutan Duta Besar J.E HABIBIE Konferensi Pemuda dan Pelajar Indonesia di Luar Negeri, Den Haag, 25 Oktober 2008 Para pandu bangsa yang saya cintai, Hari ini, kita memperingati Kebangkitan Nasional, di negeri yang pernah menjajah kita selama 3.5 abad. Hari ini, kita memperingati Sumpah Pemuda bersama saudara-saudara dari Sabang sampai Merauke. Hari ini, kita memperingati Gerakan Pelajar Indonesia di luar negeri, bersama berbagai organisasi PPI dari seluruh penjuru dunia. Saya bangga! Rasa kebangsaan Saudara berkilau-kilau seperti matahari pagi. Dan rasa kebangsaan itu berakar-tunjang pada Sejarah Agung bangsa kita sendiri. Kita bangga dengan kibaran panji-panji Armada Sriwijaya, derap-tegap bhayangkara Majapahit, dan gema bende Mataram. Kapal-kapal perang canggih yang kita beli dari Belanda, yang salah satu commissioning-nya telah dilaksanakan minggu lalu, kita beri nama KRI Sultan Iskandar Muda, pahlawan nasional dari Aceh; dan KRI Frans Kaisiepo, pahlawan nasional dari Papua. Hal ini menggambarkan, bagaimana semangat kebangsaan telah menyatukan negeri beribu pulau, dari ujung terbitnya matahari, ke ujung tenggelamnya matahari. Nasionalisme kita tidak dibangun dari kebanggaan yang sempit, melainkan pembelajaran yang luas.
melalui proses
Kita belajar dari kemenangan Jepang atas Russia di Selat Tsushima. Kita belajar dari kebangkitan nasionalisme di China. Kita belajar dari kebangkitan nasionalisme di India. Beberapa founding fathers kita, bahkan belajar tentang nasionalisme ketika sekolah di Negeri Belanda. Bak mata-rantai, di Batavia lahir Boedi Oetomo; di Leiden lahir Perhimpunan Indonesia; dan di Paris lahir jejaring bagi para nasionalis kita. Semuanya ‘memimpikan’ Indonesia yang Merdeka. Dan ‘mimpi’ itu menjadi ‘ideologi’ melalui Sumpah Pemuda. Dan ‘Sumpah’ itu menjadi ‘Proklamasi’ melalui Revolusi 1945. Lahirlah Indonesia Merdeka! Kemerdekaan itu kita rebut dengan darah dan nyawa, seperti yang teralun dalam hymne Gugur Bunga, dan tersurat dalam Sajak Kerawang-Bekasi. Tetapi, kita tidak hanya memerdekaan diri-sendiri. Konstitusi 1945 menyatakan bahwa “kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa”. Penjajahan diseluruh dunia harus dihapuskan. Dan kita memulainya dari Indonesia, kemudian Asia dan Afrika! Bahkan ketika kita duduk sebagai anggota Dewan Keamanan PBB, prinsip dan semangat itu terus kita pegang teguh. Marilah kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena kebangkitan nasional kita, ternyata juga membawa kebangkitan bagi bangsa-bangsa lain dimuka bumi. Kebangkitan Nasional kita, ternyata menjadi rachmat bagi semua orang. Hari ini, kita peringati 100 tahun Kebangkitan Nasional itu. Apa maknanya bagi kita semua? Founding fathers, dengan semangat kebangsaan yang menggelora, telah membidani lahirnya nationstate Indonesia. Adalah logis, kalau saat ini kita membangkitkan lagi semangat kebangsaan itu, untuk membangun Indonesia yang damai, aman, adil, dan sejahtera, dari Sabang sampai Merauke! Not one less! Di era globalisasi saat ini, semakin banyak pemuda dan pelajar Indonesia yang berdiam di luar negeri, baik untuk bekerja maupun untuk menuntut ilmu. Melalui Konferensi ini, para warga Indonesia itu dapat menyumbangkan pemikiran-pemikiran segar, untuk membangkitkan lagi kejayaan Nusantara Indonesia.
Laporan Panitia Konferensi
9
Saudara sekalian, Sebagai Duta Besar, dan sebagai pribadi, saya mendukung sepenuhnya inisiatif mulia dari PPI berbagai negara untuk menyelenggarakan Konferensi Internasional di Den Haag. Tugas saya adalah menghantar kalian ke Pintu Gerbang Masa Depan. Karena Masa Depan itu adalah milik kalian, bukan milik saya. Persembahkanlah Konferensi ini dengan ikhlas kepada rakyat Indonesia; rakyat yang mencintai kalian sebagai anak-anak kesayangannya. Selamat ber-konferensi. Dan dengan resmi Konferensi Pemuda dan Pelajar Indonesia di Luar Negeri saya buka.
Laporan Panitia Konferensi
10
Pengarahan Presiden Republik Indonesia Yth Bapak Susilo Bambang Yudhoyono Dalam Konferensi PPI Sedunia di Den Haag, Belanda. Salam sejahtera untuk kita semua. Saudara Christian Santoso, dan para mahasiswa, dan pemuda Indonesia, yang sedang melaksanakan Konperensi Pemuda dan Pelajar Indonesia di Den Haag, yang saya cintai dan saya banggakan. Saya bersama para mentri dan pejabat negara yang berada di Beijing, pertama-tama, mengucapkan selamat berkonperensi. Alhamdulillah, para mahasiswa dan pemuda, yang sedang bertugas di luar negri, utamanya tugas belajar dan tugas karya, memiliki kepedulian yang tinggi, untuk memikirkan masa depan bangsa dan negaranya. Oleh karena itu saya mengucapkan terima-kasih dan penghargaan yang setinggitingginya. Semoga, konperensi ini melahirkan pikiran-pikiran yang kreatif, dan innovatif. Dan sebagaimana yang telah disampaikan oleh saudara Christian Santoso tadi, saya berharap, pikiran, pandangan, masukan ini, bisa disampaikan kepada pemerintah, untuk masuk menjadi bagian dari kebijakan dan program-program aksi yang nyata. Para mahasiswa dan pemuda yang saya cintai. Saya mengetahui bahwa konperensi ini juga dikaitkan dengan 100 tahun Kebangkitan Nasional, 100 tahun Gerakan Pemuda Indonesia di luar negri. Oleh karena itu saya mengingatkan kembali, pidato saya pada tanggal 20 Mei 2008 yang lalu, berkaitan dengan Hari Kebangkitan Nasional itu adalah Indonesia harus bertekad untuk menjadi negara maju, di Abad XXI ini. Developed Nation. Developed Country. Untuk menjadi negara maju di Abad XXI ini, ada tiga pilar penting yang harus kita perkokoh. Pertama, kita harus meningkatkan kemandirian bangsa. Kedua, kita harus meningkatkan daya saing bangsa. Dan yang ketiga, di atas segalanya, kita harus membangun peradaban bangsa yang maju dan mulia. Dalam kaitan itu, yang para mahasiswa dan pemuda lakukan di Den Haag ini, adalah bagian sesungguhnya untuk membangun kemandirian, daya saing, dan peradaban bangsa itu, menuju Indonesia maju, yang kita ingin wujudkan secara bersama. Para mahasiswa dan pelajar, dan pemuda, yang saya cintai. Kalian semua adalah bagian dari proses menuju negara maju. Kalian semua pada saatnya nanti akan memimpin Indonesia di Abad XXI ini. Oleh karena itu, persiapkan diri kalian dengan sebaik-baiknya. Saya ingin, kita semua ingin, bangsa Indonesia ingin, generasi muda bangsa, generasi Indonesia ke depan, termasuk kalian semua, haruslah memiliki mental yang tangguh. Mental harus bisa. Can do spirit. Insha Allah, seberapa pun tantangan yang dihadapi, kalau kalian bermental harus bisa, can do spirit, selalu ada jalan. Ada solusi, untuk mengatasi masalah itu. Ada jalan, untuk menuju ke kemajuan. Yang kedua, dunia sekarang penuh dengan tantangan. Kita harus benar-benar menjadi bangsa, yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi itulah kita bisa mengatasi berbagai permasalahan. Baik yang dihadapi oleh bangsa kita, mau pun oleh masyarakat dunia. Saya ingin kalian semua juga memiliki kepedulian yang tinggi, curiosity yang tinggi. Kalian melaksanakan konperensi ini, saya pandang sebagai kepedulian yang tinggi, untuk memikirkan masa depan bangsa dan negaranya. Saya juga ingin, kalian tetap bersikap optimis, berpikir positif. Kalau kalian bersikap pesimis, sudah kalah sekarang. Dan tidak akan menjadi apa-apa di masa depan. Kalau optimis, ada jalan untuk menuju ke kemajuan. Kalau berpikir positif, terbuka solusi untuk mengatasi masalah apa pun. Dan kalau kalian semua benar-benar menjadi generasi muda, berjuang mempersiapkan diri dengan baik, membela kepentingan bangsa dan negara, berinovasi, berkreasi, untuk meningkatkan kehidupan bangsa kita, ekonominya, kesejahtraannya, pendidikannya, dan sebagainya, termasuk tadi, yang disampaikan, ingin meningkatkan produksi dan produktivitas pangan, perikanan, infra-struktur, kehidupan masyarakat yang madani, dan satu lagi tadi ... ada ... ada lima poin ya, saya akan kembali lagi di situ.
Laporan Panitia Konferensi
11
Itu semua, sesungguhnya adalah merupakan bentuk patriotisme masa kini. Bentuk nasionalisme masa kini. Mengapa? Karena itu untuk membela kepentingan bangsa dan negara. Itu wujud dari semangat cinta tanah-air. Saya ingin benar-benar, bukan hanya dalam konperensi ini, kalian semua terus mempersiapkan diri, untuk pada saatnya nanti melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa dan negara.
Laporan Panitia Konferensi
12
Catatan Kelompok Kerja 5 Bidang Kelompok Kerja Pangan Analisa Permasalahan 1. Konsep pembangunan yang diterapkan pemerintah belum berpihak kepada ketahanan pangan nasional 2. Infrastruktur yang mendukung ketahanan pangan tidak memadai. 3. Persoalan penyeludupan pupuk; pupuk diselundupkan dari Indonesia ke Malaysia. Pupuk palsu beredar dan menyebabkan kehancuran pertanian, dan kerusakan tanah 4. Populasi Indonesia 47 % urban, 53 % rural, tetapi kebijakan pemerintah selalu berorientasi urban. 5. Krisis pangan yang terjadi dipicu oleh kepentingan negara maju atas biofuel sehingga mendorong penanaman tanaman untuk kepentingan biofuel daripada tanaman untuk pangan. 6. Penguasaan tanah di Indonesia dimiliki oleh korporasi besar, dan kepentingan tanah bukan untuk ketahanan pangan, tetapi untuk kepentingan korporasi . 7. Ketahanan pangan dipengaruhi oleh perubahan iklim yang terjadi secara global (climate change). 8. UUPA no 5 tidak dijalankan secara konsekwen 9. Petani tidak punya daya tarik bagi intelektual, jurusan pertanian tutup, pemerintah tidak memperoleh jaminan. Harus ada instansi pemerintah yang memberi jaminan. Proteksi pemerintah terhadap petani. 10. Impor beras memperparah kondisi upaya pembangunan ketahanan pangan 11. Konsep ketahanan yang lebih luas menyangkut produksi perikanan. 12. Posisi tawar petani yang lemah dalam pemasaran. 13. Tenaga kaum muda dan intelektual tidak tertarik terlibat dalam pertanian, karena pemerintah tidak berpihak kepada kebijakan pertanian. Draft konsep untuk policy paper: 1. Pemerintah harus berpihak, dan melindungi petani Indonesia untuk menuntaskan kerawanan pangan. 2. Rencana aksi adaptasi dan mitigasi climate change. 3. Kebijakan yang berpihak kepada rural area di Indonesia berupa insentif kepada pedesaan (rural area) 4. Revitalisasi BULOG 5. Laksanakan segera redistribusi tanah kepada petani. 6. Revitalisasi peran penyuluh pertanian, khususnya sarjana pertanian 7. Perlunya local breeding untuk kepentingan keanekaragaman benih lokal. 8. Indonesia tidak hanya bergantung kepada konsumsi beras. 9. Pemerintah harus membuat semacam wadah semacam koperasi, atau membuat standar harga yang sama, sehingga rentenir/pengijon dapat dieliminasi. 10. Mengalokasikan sumber daya untuk publikasi untuk kepentingan pertanian 11. Penguatan kelembagaan (capacity building) ditingkat desa: koperasi desa, bank desa, dan badan irigasi tingkat desa. Rencana tindak Lanjut: Tim ini akan bekerja selama 1 bulan untuk mempertajam isi, dan menciptakan draft policy paper yang utuh. Instansi yang dituju policy paper: Departemen pertanian, Badan Pertanahan nasional, Dephutbun dan BAPPENAS Anggota Kelompok Kerja: Ahmad Fadilah, Andre septiyanto, Pritawardani, Zefrinus K.Lewoema, Roby Fauzan, Mohamad Rajih Radiansyah, Dicky Subagyo Putro, Cut vera shilvia, Mahendra Yahya, Agus Badrul Jamal, Agnes Pranindita, I Gede Arga Tista Kusuma, Tessa Ayuningtyas Sugito, Saurlin Siagan, Stephanie Sonya Ramali.
Laporan Panitia Konferensi
13
Kelompok Kerja Maritim Analisa Permasalahan 1. Pengkajian ulang secara menyeluruh terhadap UU 27 tahun 2007 apabila diperlukan dilakukan juridical review melalui prosedur hukum yang berlaku (Mahkamah Konstitusi) 2. Integrated database for national reference (jumlah pulau, panjang garis pantai, ...) Pemerintah didesak untuk memfalitasi terbentuknya Integrated Marine Database Centre for National reference, dan menetapkan lembaga yang bertanggung jawab untuk membuat integrated database for national reference. 3. Sosialisasi menyeluruh peningkatan terhadap kesiagapan terhadap bencana (mengantisipasi, mengatasi, menangani bencana pada pesisir laut dan pulau-pulau kecil). Kesiagaan, antisipasi, dengan diperlukan sosialisasi, kampanye, dan awareness terhadap bencana-bencana dibawah: • Natural disaster • Man made dssaster • Climate disaster * Mendaftarkan kemungkinan bencana yang dapat terjadi dalam bidang kelautan (inventarisasi bencana). 4. Ekonomi Nelayan, memperkuat dan memberdayakan ketahanan nelayan tradisional secara menyeluruh, melalui: • pendidikan • kesehatan • ekonomi • peningkatan nilai tambah hasil perikanan dengan dukungan sarana dan prasarana, kapal, alat tangkap, dan pelabuhan perikanan laut • budi daya laut (marine culture) • konservasi sumber daya laut Catatan Diskusi
1. Task force, Independant Consultant – siapa atau tidak siap? Karena akan berupa komitmen, perlu dipikirakan lebih lanjut. 2. Kerja sama sister city yang di fokuskan, cth sister port cities (Cth. Ambon – Vlissingen) Mekanisme sudah ada, PPI kalau mau ikut di dalamnya 3. Rekomendasi lebih baik ditujukan untuk negara 4. Himbauan apa? Dengan mekanisme yang jelas/implementasi. 5. Inventarisasi data yang dapat digunakan sebagai informasi Anggota Kelompok Kerja Andi Ibrahim, Fadra, Hadi Supriyono, Irwan Asaad, Ahmad Aditya, Fahmi, Siswo Pramono, Winbert, Wulan Suling, Selvi Makarim.
Laporan Panitia Konferensi
14
Kelompok Kerja Infrastruktur Latar Belakang Permasalahan Lemahnya pembangunan infrastruktur selama ini telah memperkokoh lingkaran setan kemiskinan di Indonesia. Tujuan Pembangunan Infrastruktur yang Pro-Rakyat Miskin dalam rangka Mengurangi Angka Kemiskinan (poverty reduction). Pengurangan angka kemiskinan dapat dijalankan melaui 2 komponen: • Effective demand of infrastructure construction and operation Terpenuhinya kebutuhan masyarakat atas pembangunan dan beroperasinya infrastruktur. • Improved infrastructure services Peningkatan pelayanan infrastruktur melalui peningkatan ketersediaan, pengurangan biaya dan waktu, serta reliabilitas jasa infrastruktur. Proses Agar tercapainya pembangunan infrastruktur maka kita perlu memperhatikan 2 dimensi: • Dimensi ekonomi Terdiri dari: permintaan tenaga kerja, ekspansi pasar, misalnya: peningkatan produktifitas membuka unit-unit kegiatan ekonomi baru Dampak dimensi ekonomi • Adanya peningkatan ekonomi daerah perkotaan dan pedesaan yang mencakup pertanian, bisnis di luar pertanian, pelayanan jasa, manufaktur, dsb. • Peningkatan investasi baru melalui penanaman modal asing dan dalam negeri. • Peningkatan permintaan dari penduduk dan dari pendatang. •
Dimensi sosial Meningkatkan akses terhadap kebutuhan dasar (public services) misalnya: kesehatan.
pendidikan,
Hasil yang diharapkan dari kedua dimensi tersebut: • Peningkatan pendapatan • Penciptaaan lapangan kerja Yang mana kedua hal tersebut akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada gilirannya akan meningkatkan investasi dan konsumsi pemangku kepentingan (stakeholder), serta meningkatkan modal untuk pelaksanaan program-program pro-rakyat miskin, pembangunan infrastruktur lebih lanjut, dan biaya pemeliharaan infrastruktur. Draft Rekomendasi • • • •
Terus meningkatkan pembangunan infrastruktur di wilayah luar Jawa khususnya Indonesia Timur, pulau kecil, pulau terluar dan wilayah perbatasan dalam upaya menyatukan Indonesia dan memeratakan distribusi kesejahteraan di Nusantara Perbaikan pelayanan infrastruktur pengairan melalui peningkatan efisiensi irigasi dan memperbaiki skema mitigasi bencana akibat daya rusak air. Menempatkan Dokumen Rencana Penataan Ruang di level Nasional dan Daerah sebagai produk hukum yang harus ditaati oleh Pihak Eksekutif dan Stakeholder. Terus mengupayakan peningkatan kualitas sumber daya manusia di Dinas Pekerjaan Umum Propinsi dan Kabupaten/Kota sebagai ujung tombak pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Laporan Panitia Konferensi •
15
Terus mengupayakan penerapan tata kepemerintahan yang baik (good governance) dan pemberantasan korupsi dalam proses penyerapan anggaran mulai dari tahap pengadaan, pelaksanaan dan pengawasan/evaluasi pekerjaan.
Laporan Panitia Konferensi
16
Kelompok Kerja Riset & Teknologi Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia sebagai negara berkembang masih sering merupakan obyek daripada subyek dalam banyak bidang terutama perkembangan teknologi informasi. Kapitaliasi dunia perangkat lunak yang menjadi hegemoni Microsoft Corporation tak bisa disanggah. Tak hanya Indonesia, bahkan negara maju sekali pun belum mampu melepaskan diri dari jeratannya. Free Open Source Software (FOSS) menawarkan pilihan pada bangsa Indonesia, sebagai bangsa yang mandiri atau bangsa yang selalu bergantung. Predikat sebagai salah satu negara pembajak perangkat lunak terbesar di dunia yang menempati urutan ke-8 pada tahun 2006 menurut rilis BSA tanggal 15 Mei 2007 bukanlah predikat yang membanggakan. Meski menurun 5 peringkat, dari 3 menjadi 8 dengan penurunan sebesar 2 persen dari 87% tahun 2005 menjadi 85% pada tahun 2006. Ada beberapa alasan kenapa FOSS merupakan solusi yang tepat untuk melepaskan diri dari jeratan tersebut: •
Biaya (cost), tak dapat dipungkiri bahwa raksasa software Microsoft memiliki banyak kelebihan yang begitu populer di kalangan pengguna komputer. Mulai dari tampilan yang user friendly hingga kemampuan multitasking dan kerja jaringan baik skala kecil hingga enterprise. Akan tetapi, semua keunggulan itu harus di bayar dengan harga yang mahal bahkan mungkin berlebihan. Sementara dunia opensource menawarkan hal yang sama tapi dengan biaya yang jauh lebih murah bahkan gratis. Penggunaan open source jelas akan mereduksi banyak biaya yang dikeluarkan oleh pengguna, baik pengguna perorangan, perkantoran maupun korporat.
•
Tangguh dan aman (strong and secure), GNU/Linux sebagai sistem operasi open source, diakui banyak kalangan sebagai sistem operasi yang tangguh, handal dan aman, baik kelas personal maupun enterprise. Di level pengguna pemula, linux terutama yang berbasis GUI memiliki kelebihan yang cukup jauh melampaui windows, Linux tidak mengenal hang dikarenakan kegagalan eksekusi perintah program. Linux juga memiliki sekuriti yang kuat dari serangan virus baik offline (melalui perangkat penyimpanan) maupun online internet.
•
Bebas dikembangkan dan didistribusikan (free to developed and distributed), sehingga pengguna mahir (pengembang, developer) bisa melakukan modifikasi untuk berbagai tujuan, misalnya mengoptimasi kinerja PC-nya, meningkatkan sekuriti, mengganti bahasa atau apa pun disertai dengan listing code-nya. Pengguna dan pengembang GNU/Linux juga bebas menyebarkan kembali hasil modifikasi dengan perubahan-perubahan yang telah dilakukannya meski dengan syarat tertentu dari vendor aslinya.
Tiga alasan di atas sudah cukup untuk melakukan perubahan, bangkit dari keterpurukan di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Meski sebenarnya masih banyak lagi alasan bagi bangsa ini untuk beralih ke dunia FOSS. Penggunaan FOSS untuk memenuhi kebutuhan perangkat lunak di berbagai bidang dengan sendirinya memberi citra pada bangsa ini sebagai bangsa yang mandiri dan bukan bangsa pembajak. Kemandirian di ranah teknologi adalah salah satu hal yang wajib diperjuangkan di tengah berbagai krisis yang tampaknya belum akan segera beranjak dari bangsa ini. Penggunaan FOSS sejak dini diprediksi akan melahirkan generasi-generasi kreatif yang mandiri dengan ruang kebebasan lebih dengan menjunjung tinggi tanggung jawab yang besar akan hak karya intelektual. Penggunaan dan pengembangan FOSS yang ditopang oleh political will pemerintah serta good will rakyatnya akan menjadi kekuatan besar dalam membangun industri nasional dan mampu menjadikan bangsa ini bangkit dari keterpurukan. Bangkit menjadi bangsa yang mandiri di bidang teknologi informasi. Draft Rekomendasi • • •
Mendukung dan mendorong percepatan Program IGOS yang telah dideklarasikan sejak th 2004 Mendesak agar Pemerintah segera mewajibkan penggunaan FOSS pada semua intansi pemerintah dan sektor Pendidikan. Mendesak pemerintah agar secara formal memasukan pembelajaran tentang FOSS pada kurikulum sekolah di segala jenjang.
Laporan Panitia Konferensi •
17
Mendesak pemerintah agar membrantas segala bentuk pembajakan HAKI khususnya pada bidang Teknologi Informasi.
Laporan Panitia Konferensi
18
Kelompok Kerja Masyarakat Madani Dengan Fokus Pada Pendidikan dan Kesehatan Latar Belakang Permasalahan Pendidikan • • • • • • •
Pendidikan Gratis SD (tanpa uang buku, gedung) Meningkatkan kualitas tenaga pendidik minimal S1 Memberikan 20% subsidi pendidikan focus hanya pada kualitas dan mutu pendidikan (tidak termasuk peningkatan kesejahteraan guru dan infrastruktur), Pengurangan beban kurikulum bagi sekolah dasar dan menengah Memasukkan kurikulum anti Korupsi di universitas Regulasi CSR dalam bidang pendidikan Membangun sekolah berbasis komunitas dan tidak hanya menjadikan ujian nasional sebagai standar kelulusan (project akhir seperti hasil pelajar dari novel2, film )
Kesehatan • • • • •
Pusat riset patologi (karena keragaman penyakit) dan obat (vaksin) dengan membangun kerja sama regional ataupun multilaeral Proyek sanitasi diseluruh Indonesia (MCK ala India) Asuransi kesehatan dasar (penyakit musiman seperti demam berdarah) bagi masyarakat yang kedepannya dapat menjadi universal health. Obat mahal (pendekatan government to business obat generik bisa diproduksi dengan harga murah). Meminta pemerintah meriview harga eceran tertinggi dan memotong mata rantai distribusi obat eceran obat tertinggi.
Anggota Kelompok Kerja Muhammad Rusdi Rizal, Muhammad Najib, Fahmi (Aussie), Wisnu, Amin, Agung BP (King Saud), Saidan, Benny, Herman, Muksin, Reza,.
Laporan Panitia Konferensi
19
Kelompok Kerja Jaringan Data dan Informasi Thesis Nasional Latar Belakang Untuk menghadapi tantangan globalisasi dan ketatnya persaingan antar-negara dewasa ini, bangsa Indonesia perlu segera melakukan terobosan kebijakan nasional dalam pengembangan sumber daya manusia khususnya untuk mendorong kreativitas, inovasi dan kemampuan intelektual anak bangsa agar dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang lebih maju dan menciptakan kemandirian bangsa yang lebih kokoh di masa depan. Upaya nasional untuk mencapai keunggulan intelektual di atas tercermin dengan meningkatnya jumlah anak bangsa yang menuntut ilmu di luar negeri dan sejauh ini mereka telah membuktikan kemampuan yang sama dan bahkan dalam beberapa hal melebihi kemampuan anak dari bangsa lain. Karya-karya ilmiah yang berkualitas di berbagai bidang keilmuwan telah banyak mereka hasilkan di berbagai universitas atau lembaga pendidikan tinggi di luar negeri. Kemampuan anak bangsa dalam melahirkan karya tulis ilmiah tersebut dapat menjadi masukan dan referensi bagi percepatan pembangunan nasional dan menjadi bagian dari proses pencerdasan kehidupan bangsa secara menyeluruh. Namun demikian, sampai saat ini karya-karya ilmiah yang bernilai tinggi tersebut masih belum terdokumentasi dan belum dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah, lembaga atau instansi di Indonesia maupun berbagai pihak yang membutuhkan. Untuk itu, perlu dilakukan upaya untuk mengidentifikasi dan menghimpun karya-karya ilmiah anak bangsa tersebut melalui pembentukan Pusat Jaringan Data & Informasi Thesis Nasional. Upaya pembentukan Pusat Jaringan Data & Informasi Thesis Nasional ini kiranya sejalan dengan komitmen nasional bagi pencerdasan bangsa yang termaktub dalam Pembukaan UUD 45, Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan komitmen Pemerintah dalam mewujudkan alokasi anggaran pendidikan nasional sebesar 20% dari APBN. Tujuan 1. Untuk mendata dan mendokumentasi karya ilmiah para mahasiswa Indonesia khususnya pada tingkat S-2 dan S-3, baik yang dihasilkan di dalam maupun di luar negeri. 2. Untuk meningkatkan pertukaran informasi akademis antara mahasiswa Indonesia baik yang berada di dalam maupun di luar negeri. 3. Untuk meningkatkan pemanfaatan karya-karya ilmiah untuk mendukung pembangunan nasional. 4. Untuk memperkaya rujukan ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. 5. Untuk meningkatkan semangat perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual dan karya cipta ilmiah. Masalah 1. Belum optimalnya pendataan dan pemanfaatan hasil karya ilmiah anak bangsa untuk pembangunan nasional. 2. Belum adanya kebijakan nasional yang komprehensif mengenai pembentukan pusat dokumentasi karya ilmiah. Uraian 1. Definisi dan pengertian: Pusat Jaringan Data & Informasi Thesis Nasional adalah pihak yang melakukan pengkoordinasian atas penyimpanan dan pendokumentasian thesis dan karya-karya ilmiah mahasiswa Indonesia S-2 dan S-3 yang berada didalam dan di luar negeri. 2. Pusat Jaringan Data & Informasi Thesis Nasional berfungsi untuk mempromosikan thesis dan karya-karya ilmiah mahasiswa Indonesia untuk kepentingan dan pemanfaatan yang lebih luas bagi pihak-pihak yang membutuhkan. 3. Upaya pengembangan Pusat Jaringan Data & Informasi Thesis Nasional dapat didukung dengan adanya lembaga-lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan yang telah memiliki dokumentasi sebagian karya ilmiah antara lain: Perpustakaan Nasional, LIPI, universitas, departemen, dan instansi pemerintah dan non-pemerintah.
Laporan Panitia Konferensi
20
4. Upaya pendataan dan dokumentasi thesis dan karya-karya ilmiah dapat dilakukan dengan prioritas sebagai berikut: Pertama: hasil karya ilmiah dari universitas di dalam negeri setelah pembentukan Pusat Jaringan Data & Informasi Thesis Nasional. Kedua: hasil karya ilmiah dari universitas di luar negeri negeri setelah pembentukan Pusat Jaringan Data & Informasi Thesis Nasional. Ketiga: hasil karya ilmiah dari universitas di dalam negeri sebelum pembentukan Pusat Jaringan Data & Informasi Thesis Nasional. Keempat: hasil karya ilmiah dari universitas di luar negeri sebelum pembentukan Pusat Jaringan Data & Informasi Thesis Nasional. 5. Penyimpanan: Pusat Jaringan Data & Informasi Thesis Nasional dapat memfasilitasi pencarian thesis dan karya-karya ilmiah dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi terkait di dalam dan luar negeri. 6. Pengaksesan: Pusat Jaringan Data & Informasi Thesis Nasional dapat diakses oleh semua pihak dengan prosedur tertentu, antara lain sebagai berikut: a. Persetujuan dari penulis thesis dan karya ilmiah dan atau lembaga yang mempunyai otoritas atas thesis dan hasil karya ilmiah lainnya. b. Jika thesis dan karya ilmiah tidak ingin dipublikasikan secara terbuka, Pusat Jaringan Data & Informasi Thesis Nasional dapat memfasilitasi informasi dengan merujuk pada sumber karya ilmiah. Rekomendasi Pembentukan Pusat Jaringan Data & Informasi Thesis Nasional yang akan dikelola oleh salah satu badan atau lembaga pemerintah yang ditetapkan melalui kebijakan nasional. Anggota Kelompok Kerja Wahyudi (Wageningen), Rio (Maastricht), Enjang (Maastricht), Mega (Maastricht), Reynaldo (Den Haag), Desi (Leiden), Sugianto (Leiden), Harya K. Sidharta (Deplu), Dewi Kartonegoro (Deplu), Merita Yenni (Deplu), Machdaniar Nisfah (Deplu), Agung Cahaya Sumirat (Deplu), Christian Santoso (Den Haag), Emilia H. Elisa (Leiden), Rahmadi Trimananda (Delft), Benny Alamsyah (Den Haag), Aneka Prawesti Suka (Den Haag), Ajeng Resti (Den Haag), Yanita Vonny Wiprana (Den Haag), Sirtjo Koolhof (Ranesi, eks KITLV).
Laporan Panitia Konferensi
21
Kelompok kerja Pengelolaan Beasiswa untuk Mendukung RPJP Latar Belakang Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea keempat menegaskan bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini ditegaskan kembali dalam Undang-Undang No. 20/2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Dengan demikian kami berpendapat bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam penanganan pendidikan Indonesia secara sungguh-sungguh, melalui regulasi, kebijakan, perencanaan, program, pengawasan dan pembiayaan pendidikan, sesuai tugas konstitusional Pemerintah Republik Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, kami, pemuda dan pelajar Indonesia di luar negeri berpandangan bahwa langkah konkret yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan dan mengembangkan sumber daya manusia melalui studi lanjut pendidikan tinggi seperti program beasiswa. Analisis Permasalahan •
•
Salah satu problem besar Indonesia hingga saat ini adalah rendahnya jumlah sarjana pendidikan tinggi. Saat ini jumlah sarjana Indonesia adalah sekitar 4.3 juta (2 % dari jumlah penduduk), sementara jumlah lulusan doktoral adalah sekitar 6.939. (0,05 persen dari jumlah penduduk Indonesia). Permasalahan bangsa yang semakin kompleks saat ini, harus dipecahkan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai dan maksimal. Untuk itu dibutuhkan sumber daya manusia dengan kompetensi pendidikan tinggi.
Draft Rekomendasi • • • • •
Kami berpandangan bahwa, Indonesia perlu memproyeksikan peningkatan jumlah lulusan pendidikan tinggi dalam periode waktu 10-20 tahun mendatang. Kami berpandangan, saat ini bidang studi atau prioritas bidang studi yang ditawarkan oleh pemberi beasiswa dari donor (luar negeri) sering kali tidak sesuai dengan bidang studi yang dibutuhkan oleh Indonesia. Kami berpandangan bahwa, sejalan dengan kondisi Indonesia sebagai negara maritim, maka jumlah lulusan pendidikan tinggi harus disesuaikan dengan kebutuhan Indonesia dan rencana pembangunan pemerintah, baik jangka pendek maupun panjang. Sehubungan dengan hal tersebut, kami mengusulkan kiranya Pemerintah memfokuskan pada bidang studi sebagai berikut: (1) bidang maritim, (2) bidang pangan/pertanian, (3) bidang riset dan teknologi, (4) bidang infrasturktur, (5) bidang pengembangan civil society. Untuk mencapai target tersebut, maka kami mengusulkan kiranya Pemerintah melakukan: a) Pendistribusian beasiwa tidak hanya dilakukan oleh Diknas, tapi juga instansi/lembaga terkait (seperti Pemda dan Universitas). b) Memprioritaskan sistem dan manajemen pengelolaan beasiswa, termasuk penyeleksian. c) Peningkatan dan keberlanjutan beasiswa DIKTI. d) Transparansi dan akuntabilitas pada lembaga-lembaga pemerintahan dalam penyediaan informasi. e) Perlunya organisasi atau lembaga yang merancang, mengelola, mengorganisir beasiswa dan menjadi pusat informasi beasiswa. f) Alokasi beasiswa (distribusi beasiwa) yang merata, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing daerah. g) Menyiapkan dan membekali calon penerima beasiswa dalam penguasaan bahasa asing dan adaptasi dalam sistem pendidikan dan budaya Negara setempat, seperti melakukan revitalisasi pelayananan pusat bahasa. h) Memperluas kesempatan bagi kaum intelektual dalam mengaktualisasikan diri (peluang kerja, jenjang karir, jaringan) di Indonesia.
Laporan Panitia Konferensi i)
Menjajaki peluang kerjasama dengan negara-negara bantuan pengembangan karier pasca study bagi pelajar-pelajar yang potensial.
22 beasiswa
tentang
Laporan Panitia Konferensi
23
Pembangunan Pertanian Rakyat Menuju Ketahanan dan Swasembada Pangan1 Sebuah analisis hubungan ketahanan pangan dan ketahanan nasional Oleh: Zefirinus K Lewoema2 dan Roby Fauzan3 Intisari Ketahanan pangan nasional adalah faktor pendukung ketahanan nasional Indonesia. Jika warganegara Indonesia kurang mendapat asupan gizi yang cukup, akibatnya adalah hilangnya generasi yang berkualitas, lemahnya posisi tawar negara dalam pergaulan di duinia internasional serta semakin menurunnya kekuatan negara dalam menjaga keutuhan NKRI. Pertanian merupakan komponen utama dalam proses penyediaan pangan nasional. Dalam konteks agribisnis, komponen ini harus diperhatikan secara serius. Kegagalan dalam pertanian sangat mempengaruhi proses-proses agribisnis selanjutnya. Sulit dibayangkan apabila gagalnya sektor pertanian mempengaruhi image dan reputasi Negara Indonesia sebagai sebuah negara agraris. Gagalnya sektor pertanian di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal; lemahnya network antara komponen-komponen pembangunan yang ada (software, hardware dan orgware). Network yang lemah ini tentu sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor alam, sosial, kemampuan SDM serta, serta faktor kemampuan berinteraksi. Keadaan ini diperparah dengan kebijakan-kebijakan publik yang tidak memihak kepada kepentingan negara Indonesia yang berciri khas Negara Agraris. Kondisi kegagalan di bidang pembangunan pertanian ini masih dapat diselamatkan. Beberapa solusi yang ditawarkan setelah melihat kondisi ril di lapangan adalah sebagai berikut: mencari penyebab kegagalan di bidang pertanian; meningkatkan diversifikasi pangan; revitalisasi peranan penyuluh pertanian, serta; menerapkan risk management system dalam mengatasi gangguan terhadap sistem perberasan nasional. Kata kunci : pangan, gizi, agribisnis, ketahanan nasional, software, hardware, orgware dan risk management. 1. Pendahuluan •
Latar belakang Bangsa yang kuat adalah bangsa yang memiliki sumberdaya manusia yang handal. Kemampuan sumberdaya manusia diukur dari derajat kompetensi yang dimiliki tiap individu. Dalam paradigma pendidikan yang humanistik, kompetensi merupakan resultan dari pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill) serta perilaku (attitude), (Maslow,H.,1979). Salah satu faktor penentu dalam peningkatan kompetensi sumberdaya manusia adalah nutrisi. Serapan nutrien yang memadai mampu menjamin terbentuknya tubuh yang sehat. Pada gilirannya, tubuh yang sehat mampu mengendalikan jiwa yang sehat (men sana in corpore sano). Karena itu, ketersediaan pangan merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar. Akan hal ini, sebuah adagium klasik berbunyi : Primum Vivere, Deinde Philosophare (kenyang dulu baru berfilsafat). Adagium ini tidak salah karena segala aktivitas tubuh harus didukung energi serta serta komponen-komponen biokimia pangan lainnya (protein, lemak, vitamin, mineral, air dan oksigen). Secara normatif, kecukupan perolehan pangan merupakan hal yang tidak bisa ditawar, namun kenyataan berkata lain. Walaupun sudah ada aturan yang menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan, dalam kenyataan, kecukupan pangan belum mendapat tempat yang sepantasnya. Adalah berita lama jika setiap tahun surat kabar-surat kabar mengejutkan publik Indonesia dengan berita tentang gizi buruk yang mendera anak-anak di beberapa wilayah. Kompas (7/6/2005) memberitakan bahwa ada 66.685 anak di provinsi NTT, 49.000 anak di NTB dan 425 anak di Boyolali menderita gizi buruk. Keadaan ini memprihatinkan karena banyak di antara mereka meninggal dunia. Selain faktor kesehatan pribadi anak, rendahnya kemampuan finansial orangtua juga menjadi penyebab ketidakcukupan asupan gizi pada anak-anak tersebut. Sebetulnya, banyak wilayah Indonesia yang sedang mengalami rawan pangan. Secara logis, kondisi rawan pangan adalah negasi dari ketahanan pangan. Padahal, menurut UU Nomor 7 Tahun 1996, pasal 1 ayat 17, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
Laporan Panitia Konferensi
24
merata dan terjangkau. UU ini masih menjangkau sebatas rumah tangga dan bukan individu, sementara Rome Declaration and World Food Summit Plan of Action menegaskan bahwa: “Food security exists when all people, at all times have access to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary needs for an active and healthy life”. Penegasan ini sangat sarat muatan hak asasi manusia secara individu. Tampak jelas di sini bahwa setiap warga Indonesia, siapapun dia, berhak menikmati pangan yang cukup. Definisi yang diberikan oleh Rome Declaration lebih tepat sasar terhadap kepentingan hak asasi manusia untuk mendapatkan pangan yang layak. •
Pangan dan hak asasi manusia Ada beragam definisi tentang pangan, mulai dari definisi yang paling sederhana hingga definisi yang cukup kompleks. Dalam konteks multidimensi pangan, maka pangan didefinisikan sebagai kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak asasi rakyat yang harus senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu bergizi dan beragam dengan harga terjangkau oleh daya beli masyarakat. Tampak jelas di sini kalau pangan adalah hak asasi manusia. Sehubungan dengan kondisi Indonesia yang terdiri dari beragam suku, bangsa dan budaya, kiranya definisi ini membawa angin segar bagi kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara. Jaminan ini tentu pelu dibuktikan dengan kebijakan-kebijakan dalam kesinambungan produksi pangan serta terbukanya ruang bagi diversifikasi pangan.
2. Permasalahan : Berangkat dari latar belakang di atas, sangat jelas bahwa komponen-komponen pertanian besbasis rakyat sebetulnya sudah ada. Indonesia sudah memiliki semua perangkat baik software (SDM, UU), hardware (infrastruktur) serta orgware (institusi), (Leeuwis, 2006). Fakultas-fakultas pertanian menjamur di setiap univertitas di tiap provinsi. Sementara itu, lembaga-lembaga penelitian pertanian pun mengambil peran menyuplai ilmu-ilmu pertanian terapan. Di lain pihak, infrastruktur di bidang pertanian pun meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Lebih lanjut lagi, dengan terbukanya peluang otonomi daerah, seharusnya perangkat-perangkat tersebut dapat difungsikan secara optimal. Persoalannya adalah bagaimana membuka jaringan kerja baru antara komponen-komponen tersebut. Jaringan kerja (network)yang dibangun kiranya dapat meningkatkan kesepahaman (Sivamohan et al., 2001) terhadap pertanian berbasis rakyat untuk ketahanan dan swasembada pangan. 3. Pembahasan •
Rawan Pangan, siapa yang bertanggungjawab? Sebagai sebuah Negara agraris, seharusnya rawan pangan tidak boleh terjadi. Kalaupun ini “terlanjur” terjadi, maka hal ini sangat ironis dan perlu mendapat perhatian serius, mengingat ketahanan pangan adalah penentu ketahanan nasional. Bagaimana orang bisa beraktivitas kalau tidak ada jaminan ketersediaan pangan yang cukup dan bermutu? Di dalam paradigma pembangunan bernuansa “good governance”, sudah seharusnya setiap aktor pembangunan diperankan. Urusan pangan bukan lagi semata urusan pemerintah. Tiap-tiap stakeholder dalam pertanian harus dilibatkan agar mereka dapat memberi kontribusi terhadap arah dan kebijakan pertanian. Satu hal penting yang harus dilakukan secara serius adalah menempatkan petani sebagai subyek yang berperan setara dengan pelaku-pelaku pertanian yang lainnya. Ketika petani sudah diperankan setara dengan pelaku-pelaku lainnya, maka adopsi dan difusi inovasi dalam pertanian dapat dilaksanakan.
•
Pertanian gagal, apa penyebabnya ? Gagalnya usaha pertanian di Indonesia merupakan pukulan berat bagi siapa saja yang memiliki hubungan langsung dengan urusan pertanian. Tingginya ongkos-ongkos produksi (pupuk, bibit, tenaga kerja, dll), rendahnya produktivitas, serta lemahnya posisi tawar harga produksi pertanian merupakan ciri utama gagalnya pertanian di Indonesia. Dengan merujuk pada definisi agribisnis sebagai serangkaian usaha pertanian yang dimulai dari persiapan lahan, bibit, dan sumberdayasumberdaya lainnya hingga tahapan panen serta pasca panen dan pemasaran (Tjakrawardaya,1990); maka sudah jelas di sini bahwa Indonesia tidak sukses melaksanakan pembangunan pertanian itu sendiri. Dari berbagai informasi, sekuran-kurangnya ada 4 penyebab umum kegagalan dalam pembangunan pertanian di Indonesia yakni: kegagalan dalam penyediaan infrastruktur, kegagalan dalam institusi, kegagalan dalam system interaksi dan
Laporan Panitia Konferensi
25
kegagalan dalam perihal kapabilitas para pihak (Woolthuis et al., 2004). Jika demikian, sangat nyata bahwa pembangunan pertanian perlu dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan. •
Apakah selamanya harus bergantung pada konsumsi beras? Pertanyaan ini sangat menarik untuk didiskusikan. Kami mengambil contoh di NTT di mana beberapa tahun terakhir ini banyak mencuat isu rawan pangan. Adalah pemandangan yang biasa jika gagal panen terjadi, maka sejumlah orang dari Kantor Ketahanan Pangan segera diterjunkan ke desa-desa sasaran. Mereka mendata berapa jumlah lahan yang gagal berproduksi. Data-data tersebut akan diserahkan ke DOLOG untuk meningkatkan stok beras untuk daerah ini. Untuk situasi emergensi, tindakan ini sah-sah saja. Namun jika kejadian ini berulang kali terjadi, maka perlu dipertanyakan keberlanjutan budidaya padi di daerah ini. Kondisi ini sangat ironis karena NTT sangat potensial hasil laut, dan hasil-hasil pertanian rakyat seperti kelapa, singkong, ubiubian, pisang serta masih banyak sumber sumber pangan yang tidak kalah kandungan nutrisinya dibandingkan dengan beras. Banyak kepala-kepala daerah di sana memiliki visi pembangunan berbasis budaya, tapi lupa bahwa keanekaragaman konsumsi pangan pun termasuk tindakan “menyelamatkan” budaya lokal.
•
Revitalisasi peran penyuluh pertanian; from extention workers to communication workers? Dunia komunikasi pertanian sudah berkembang sangat pesat. Jika pada beberapa dekade yang lalu, pertanian identik dengan usaha yang dilakukan di luar kawasan urban ( rural area), dan masih sebatas usaha produksi hasil hasil pertanian, maka saat ini situasi sudah sangat berubah. Dalam kajian rural development sociology, pertanian telah melibatkan banyak pihak selain petani, dan telah menjadi issu yang sangat kompleks yang perlu ditangani secara menyeluruh pula. Kompleksitas ini perlu dipahami pula oleh para penyuluh pertanian sebagai pelaku di lini terdepan bersama petani. Dengan merujuk pada situasi global di mana sumberdaya petani sudah meningkat, semakin terbukanya ruang partisipasi bagi petani, maka peran penyuluh pertanian saat ini bukan hanya sebagai extension workers saja. Sudah saatnya penyuluh pertanian berperan sebagai communication workers. Jika sebagai extension workers, penyuluh pertanian cenderung berperan sebagai ‘juru transfer teknologi’, maka sebagai communication workers mereka perlu mengemban peran intervensionist di dalam innovasi dan komunikasi pertanian. Artinya, mereka tidak hanya sebagai penyampai metode dan teknik pertanian saja, tetapi juga sebagai innovator-innovator yang memiliki etika dalam komunikasi pertanian. Etika dalam komunikasi pertanian memberi ruang bagi partisipasi petani, membuka peluang bagi petani untuk memberikan masukan-masukan berdasarkan pengalaman di lapangan serta. Partisipasi petani dalam adopsi innovasi pertanian perlu dilakukan secara bertahap, tanpa paksaan dan memiliki orientasi jangka panjang.
•
Pangan dan Ketahanan Nasional Sistem ketahanan pangan adalah bagian intergral dan tak terpisahkan dari sistem ketahanan nasional. Sistem ini langsung menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup rakyat yang merupakan komponen utama pembentuk dan penyokong negara. Fokus program pada intensifikasi dan ekstensifikasi produksi serta sistem distrubusi dan prasarana perberasan nasional sebagai staple food utama rakyat Indonesia juga harus dibarengi analisis mengenai kemungkinan kegagalan sistem ketahanan pangan akibat faktor eksternal dan internal. Diversifikasi produksi pangan bukan hanya tindakan menyelamatkan budaya lokal tetapi sebagai “risk management” terhadap kemungkinan gangguan sistem perberasan nasional (produksi, distribusi, infrastruktur). Dapatkah anda bayangkan apabila terjadi suatu infiltrasi ‘wabah dan penyakit’ terhadap tanaman padi secara hampir merata di Indonesia dalam satu musim yang mengakibatkan gangguan besar sistem produksi pangan, bagaimana efeknya terhadap sistem ketahanan politik, ekonomi dan militer Indonesia? Skenario hipotetif lanjutannya, bagaimana jika hal itu kemudian disusul agresi militer negara asing? Bagaimana jika ada pihak – pihak yang ‘kurang bersahabat’ sengaja menyebarkan hama padi tersebut di Indonesia? Selain itu, perlu diperhitungkan analisis proposisi faktor ketergantungan konsumsi terhadap kebijakan pangan nasional. Jika suatu barang konsumsi mempunyai efek ketergantungan, maka gangguan terhadap sistem penyediaan barang tersebut ke pasar akan mengakibatkan efek gangguan cukup kuat bagi perilaku konsumen. Ambil contoh pemakaian telepon genggam, jika anda merasa telepon genggam sudah menjadi kebutuhan internal harian anda, bagaimana perasaan anda jika tiba-tiba telepon genggam anda tertinggal di rumah. Besar tidaknya efek
Laporan Panitia Konferensi
26
tergantungan konsumsi tergantung resistensi, persepsi, dan adaptasi konsumen terhadap barang tersebut, yang bervariasi setiap individu. Mahasiswa Indonesia di Belanda dan Eropa tentunya mempunyai tingkat adaptasi yang berbeda – beda terhadap produk pangan lokal. Pertanyaan besarnya adalah, jika kita mengambil hipotesis bahwa tingkat ketergantungan pangan domestik di Indonesia terhadap beras demikian tingginya, bagaimana efeknya jika terjadi gangguan terhadap sistem perberasan nasional? Bagaimana jika solusi impor tiba-tiba tidak dapat dijalankan sementara produksi nasional terganggu dan hanya bisa mensuplai 50% kebutuhan konsumsi domestik minimum? Bagaimana pula antisipasi dampak climate change and natural disaster terhadap sistem produksi pangan Indonesia? Adakah blueprint ketahanan nasional terkait dengan ketahanan pangan dan disaster management? 4. Kesimpulan •
•
•
•
•
Kebutuhan akan makanan adalah hak asasi manusia. Pemenuhan kebutuhan pangan tidak hanya dalam hal bagaimana memperoleh pangan, tetapi juga bagaimana mengurangi ketergantungan pangan kepada pihak manapun. Memenuhi kebutuhan pangan dalam bentuk impor beras bukanlah sebuah pilihan yang ideal. Karena ketahanan pangan berperan vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka tanggungjawab akan hal ini pun dibebankan kepada semua pihak. Dengan demikian, perlu ada jaringan kerja yang jelas di antara para pihak sehingga dapat dihasilkan arah dan kebijakan pertanian yang merakyat. Untuk mendukung suksesnya pertanian rakyat menuju ketahanan dan swasembada pangan, peran penyuluh pun perlu direvitalisasi. Mengingat dinamika dan kompleksitas dalam masyarakat (tani), maka revitalisasi peran penyuluh pertanian perlu dimulai dari perubahan peran extension workers menjadi communication workers. Mengingat keragaman daerah dan budaya Indonesia, maka diversifikasi pangan kiranya dapat memperkokoh ketanahan pangan nasional, yang pada akhirnya dapat memperkokoh ketahanan nasional. Dengan demikian, ketahanan pangan juga harus dilihat pada konteks lebih luas sebagai bagian integral dan tidak terpisahkan dari sistem ketahanan nasional. Karena ketahanan pangan menyangkut kehidupan masyarakat, maka perlu adanya kebijakankebijakan pemerintah yang berpihak kepada rakyat serta petani sebagai produsen pertama pangan nasional.
5. Rekomendasi • Lakukan diversifikasi pangan. • Memperkuat jaringan petani dalam rangka meningkatkan posisi tawar terhadap harga jual produksi pertanian. • Integrasi kebijakan sistem ketahanan pangan sebagai bagian integral sistem ketahanan nasional • Revitalisasi peranan penyuluh pertanian 1. Makalah disampaikan pada Konferensi Pelajar Indonesia, Den Haag 26 September 2008. 2. Mahasiswa pada program Management of Agro-ecological Knowledge and Social Changes, Wageningen University and Research Centre (WUR) 3. Mahasiswa pada program Agricultural and Bioresource Engineering, Wageningen University and Research Centre (WUR)
Laporan Panitia Konferensi
27
Indonesia Bangkit Lewat Laut Oleh: Achmad Adhitya, University of Leiden, Leiden, Netherlands, NIOO – KNAW, Yerseke, Netherlands Indonesia adalah negara maritim yang memiliki banyak potensi yang sangat besar namun belum pernah dioptimalkan secara maksimal, melihat laut sebagai sebuah potensi pengembangan ekonomi disertai dengan usaha untuk menjaga kelestarian lingkungan dapat memberikan kontribusi secara signifikan untuk bangsa dan negara 1. Sejarah Kelautan Indonesia Dalam sejarah terdapat tesis bahwa kerajaan yang berhasil adalah kerajaan yang menguasai seluruh aliran sungai dari hulu sampai hilir sebab ini mengkombinasi pedalaman yang agraris dan muara sungai sampai laut yang maritim. Sejarah Indonesia telah membuktikan kerajaan-kerajaan yang berhasil semacam itu, yaitu Kahuripan Erlangga, Singhasari Kertanegara, dan Majapahit Raden Wijaya-Hayam Wuruk. Kejayaan bahari pertama dalam skala besar ditunjukkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Bagaimana konstruksi kapal mereka saat itu (abad ke-7) bisa dilihat di sebuah relief di dinding Candi Borobudur yang terkenal itu. Van Erp, seorang ahli arkeologi zaman Belanda di Indonesia, pernah khusus mempelajari sebelas relief kapal laut di candi Budha terbesar di dunia ini. Ia berkesimpulan bahwa kapal2 itu dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok : perahu lesung sederhana, perahu lesung yang dipertinggi dengan cadik, dan perahu tanpa cadik. Bagaimana Sriwijaya bisa menguasai lautan Nusantara di wilayah seluruh Sumatra sampai Malaya sekarang adalah karena kebijaksanaannya dalam memperkerjakan suku Orang Laut yang piawai dalam teknologi pembuatan kapal dan strategi perang laut. Suku Orang Laut mendiami daerah muara sunga-sungai dan hutan bakau di pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, dan pantai barat Semenanjung Malaya. Waktu itu, Sriwijaya telah berhasil menjadi kekuatan perdana dalam sejarah Nusantara yang mendominasi wilayah sekitar perairan timur Pulau Sumatera, yang merupakan jalur kunci perdagangan dan pelayaran internasional (sampai saat ini). Ia bergerak ke perairan Laut Jawa untuk menguasai jalur pelayaran rempah-rempah dan bahan pangan hasil pertanian. Dalam kitab Negarakertagama Kertanegara telah mendengungkan perluasan cakrawala mandala ke luar Pulau Jawa, yang meliputi daerah seluruh dwipantara. Dengan kekuatan armada laut yang tidak ada tandingannya, pada tahun 1275 Kertanegara mengirimkan ekspedisi bahari ke Kerajaan Melayu dan Campa untuk menjalin persahabatan agar bersama2 dapat menghambat gerak maju Kerajaan Mongol ke Asia Tenggara. Tahun 1284, ia menaklukkan Bali dalam ekspedisi laut ke timur. Dua pilar utama kekuatan agraris dan maritim telah membawa Kertanegara menaklukan : Pahang, Melayu, Gurun (Indonesia Timur), Bakulapura (Kalimantan BD), Sunda, Madura, dan seluruh Jawa. Sekalipun lautan menjadi perhatian utamanya, Kertanegara tidak pernah “luput ing madal” (lupa daratan), ia memperkuat sektor agrarianya. Puncak kejayaan bahari tercapai pada abad ke-14 ketika Majapahit menguasai seluruh Nusantara bahkan pengaruhnya meluas sampai ke negara-negara asing tetangganya. Kerajaan Majapahit di bawah Raden Wijaya, Hayam Wuruk, dan Gajah Mada telah berkembang pesat menjadi kerajaan besar yang mampu memberikan jaminan bagi keamanan perdagangan di wilayah Nusantara. Ekspansi bahari ini tercatat dalam Negara Kertagama anggitan Mpu Prapanca pada tahun 1365. Buku ini membagi wilayah kekuasaan Majapahit dalam empat kelompok wilayah : (1) wilayah2 Melayu dan Sumatera : Jambi, Palembang, Samudra dan Lamori (Aceh), (2) wilayah2 di Tanjung Negara (Kalimantan) dan Tringgano (Trengganu), (3) wilayah2 di sekitar Tumasik (Singapura), (4) wilayah2 di sebelah timur Pulau Jawa (Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku sampai Irian). Daftar lengkap nama2 wilayah taklukan Majapahit tersebut ada di buku Fruin-Mess (1919) “Geschiedenis van Java” halaman 82-84 (Fruin-Mess mengumpulkannya berdasarkan Pararaton, Negara Kertagama, dan Hikayat Raja-Raja Pasai).
Laporan Panitia Konferensi
28
Fruin-Mess (1919) menulis di halaman 84 (diterjemahkan dari bahasa Belanda), “Dengan demikian, orang akan melihat bahwa luas wilayah Majapahit kurang lebih sama dengan wilayah Hindia Belanda dikurangi dengan Jawa Barat karena dalam daftar tak disebutkan nama Pasundan”
Gambar 1 Wilayah kekuasaan Majaphit pada abad ke - 14 2. Potensi pengembangan sektor kelautan di Indonesia Wilayah kedaulatan dan yuridiksi Indonesia membentang luas di cakrawala katulistiwa dari 94 o sampai 141o Bujur Timur dan 6 o Lintang Utara sampai 11 o Lintang Selatan, dan merupakan negara kepulauan. Kepulauan Indonesia terdiri dari 17.508 pulau besar dan kecil dan memiliki garis pantai 81.00 km terpanjang ke dua di dunia, serta luas laut 5,8 juta km2 (G. Jusuf, 1999). Wilayah laut Indonesia mencakup 12 mil laut ke arah luar garis pantai, selain itu Indonesia memiliki wilayah yuridiksi nasional yang meliputi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil dan landas kontinen sampai sejauh 350 mil dari garis pantai. Dengan ditetapkannya konvensi PBB tentang hukum laut Internasional 1982, wilayah laut yang dapat dimanfaatkan diperkirakan mencapai 5,8 juta km2 yang terdiri dari 3,1 juta km2 perairan laut teritorial Indonesia dan sisanya sekitar 2,7 juta km2 perairan ZEE. Wilayah laut menjadi sangat penting dengan dicantumkannya pada GBHN tahun 1993, dan didirikannya Departemen Kelautan dan Perikanan. Undang-Undang No. 22 dan 25 tahun 1999 juga mencantumkan kelautan sebagai bagian dari otonomi daerah. Beberapa alasan pembangunan kelautan antara lain: •
Indonesia memiliki sumberdaya laut yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun keragamannya, Sumberdaya laut tersebut bila ditinjau dari kuantitas sangat besar, adapun keragaman sumberdaya laut untuk jenis ikan diketahui terdapat 8.500 jenis ikan pada kolom perairan yang sama, 1.800 jenis rumput laut dan 20.000 jenis moluska. Potensi perikanan tangkap diperkirakan mencapai 6,26 juta ton per tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,007 juta ton atau 80% dari MSY (Maximum Sustainable Yield). Hingga saat ini jumlah tangkapan mencapai 3,5 juta ton sehingga tersisa peluang sebesar 1,5 ton/tahun. Seluruh potensi perikanan tangkap tersebut diperkirakan memiliki nilai ekonomi sebesar US$15.1 milyar.
Laporan Panitia Konferensi
29
Tabel 1: Perkiraan Umum nilai Ekonomi Potensi Sumber daya Perikanan Laut (Sumber : DKP 2001) •
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki 17.508 pulau, yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, pengeksplorasian potensi SDA alam (dalam hal ini tambang dan minyak) yang terdapat pada puluhan ribu pulau tersebut perlu dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. Potensi SDA yang baru di eksplorasi di beberapa pulau ini perlu terus dikembangkan Di identifikasikannya timah yang berada di Bangka dan Sumbawa, Aspal di Buton, penyimpanan minyak di pulau Weh, Pulau Klab, Pulau Rondo, Endapan Batubara di Daerah Marginal kepulauan Nias, Sumber Daya dan Cadangan Bahan Galian Untuk Pertambangan Skala Kecil di Pulau Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Potensi SDA yang sangat besar ini mendorong diperlukannya investigasi teknologi yang terpadu untuk kemudian bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh bangsa Indonesia. Menurut Deputi Bidang Pengembangan Kekayaan Alam, BPPT dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70 persen atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 baru diteliti sebagian, sedangkan 29 belum terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 milyar barel setara minyak, namun baru 16,7 milyar barel yang diketahui dengan pasti, 7,5 milyar barel di antaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89,5 milyar barel berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 milyar barel terkandung di lepas pantai, yang lebih dari separuhnya atau sekitar 32,8 milyar barel terdapat di laut dalam. Perairan Indonesia merupakan suatu wilayah perairan yang sangat ideal untuk mengembangkan sumber energi OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion). Hal ini dimungkinkan karena salah satu syarat OTEC adalah adanya perbedaan suhu air (permukaan dengan lapisan dalam) minimal 20ーC dan intensitas gelombang laut sangat kecil dibanding dengan wilayah perairan tropika lainnya. Dari berbagai sumber pengamatan oseanografis, telah berhasil dipetakan bagian perairan Indonesia yang potensial sebagai tempat pengembangan OTEC. Hal ini terlihat dari banyak laut, teluk serta selat yang cukup dalam di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar bagi pengembangan OTEC.
•
Pengembangan kelautan juga harus dibarengi dengan kemudahan moda transportasi laut, hal ini mendorong diperlukannya pemenuhan prasarana dan infrastruktur transportasi laut. Relatif mahalnya moda transportasi udara yang sedang berkembang dengan sangat pesat saat ini harus dibarengi dengan kebutuhan moda transportasi laut yang relatif lebih terjangkau untuk keseluruhan masyarakat Indonesia. Pembuatan sarana dan prasarana di laut yang masih sangat
Laporan Panitia Konferensi
30
potensial ini mampu mendorong peningkatan lapangan pekerjaan dan alternatif moda transportasi yang relatif lebih murah ketimbang moda transportasi udara. Menurut catatan Dewan Kelautan Nasional, kemampuan daya angkut armada niaga nasional untuk muatan dalam negeri baru mencapai 54,5 persen, sedangkan untuk ekspor baru mencapai 4 persen, sisanya dikuasai oleh armada niaga asing. •
Pengembangan potensi pariwisata laut, sektor pariwisata tentunya merupakan salah satu potensi unggulan Indonesia untuk mendatangkan turis asing dan tentu saja devisa asing ke dalam negeri. Wilayah indonesia yang merupakan kepulauan tentu akan menjadi tempat yang tepat untuk mengembangkan potensi pariwisata tersebut. Pengembaran resort dan juga tempat hiburan laut akan makin memperkuat daya tarik pariwisata indonesia untuk turis asing ataupun turis dalam negeri. Pengembangan ekowisata bahari dengan melibatkan masyarakat di sekitar lokasi wisata telah mulai dikembangkan di bidang akomodasi yaitu pondok-pondok wisata beserta kelompok masyarakat yang berada di sekitar hotel besar yang akan menyediakan berbagai produk untuk dimanfaatkan. Keterlibatan masyarakat juga perlu dikembangkan dalam bidang sarana transportsi rakyat terutama perahu-perahu tradiosinal. Agar keterlibatan masyarakat ini optimal, maka seyogyanya dilakukan pembinaan dan peningkatan kualitasnya, baik melalui penyuluhan maupun pelatihan.
3. Permasalahan Kelautan di Indonesia Permasalahan yang ada di Indonesia sebenernya adalah permasalahan klasik yang terus terjadi, permasalahan itu antara lain adalah : •
Penangkapan ikan ilegal (ilegal fishing) penangkapan ikan oleh kapal kapal asing di wilayah indonesia oleh kapal-kapal pukat harimau dan jaring lebar di wilayah perairan sekitar pantai. Pihak pemerintah menyatakan bahwa negara mengalami kerugian sebesar US $ 4,5 juta akibat kegiatan pencurian ikan. Angka tersebut membuat kerdil jumlah pendapatan ekspor perikanan Indonesia setiap tahunnya sebesar US $ 2,2 juta. Selain itu, ditengarai pula sekitar 300 pabrik pengolahan ikan Thailand mendapatkan pasokan dari perairan Indonesia. Pusat Data Statistik dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) bahkan menyatakan pada tahun 2007 kerugian negara dikarenakan pencurian ikan ini mencapai US $ 3 Milyar/ tahun, pencurian terjadi di lima wilayah : pencurian ikan di lima daerah yaitu Batam, Pontianak, Medan, Jakarta dan Tual. Kerugian itu terdiri atas penangkapan ikan di ZEEI dan ekspor yang tidak termonitor, sebesar US$ 1.200 juta, Kapal-kapal ilegal yang melanggar daerah penagkapan sebesar US $ 574 juta. Masalah utama dari pencurian ikan adalah akibat kurang sempurnanya sistem dan mekanisme perizinan untuk menangkap ikan. Ternyata dari sekitar 7000 kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang memperoleh izin menangkap ikan di perairan ZEEI, sekitar 70% dimiliki oleh pihak asing seperti Thailand Filiphina, Taiwan dan RRC.
•
Pemanfaatan berlebih (over exploitation) sumber daya laut, sehingga sumber daya laut tersebut tidak menjadi sustainable.(berkelanjutan), penyebab hal tersebut antara lain : a) Belum adanya institusi/lembaga pengelola khusus yang menangani masalah pengembangan pesisir dan laut. Implikasinya, tidak tersedianya instrumen hukum wilayah perbatasan antar propinsi tersebut (RT/RW, zonasi) untuk dapat diketahui masyarakat luas, khususnya dunia usaha yang diharapkan dapat menanamkan investasinya, serta pedoman bagi instansi di daerah (Tk I dan II) dalam pengelolaan dan pengembangan wilayah laut guna peningkatan kesejahteraan masyarakat. b) Keterbatasan sumberdaya manusia (aparat pemerintahan) dalam bidang pesisir dan laut yang terdidik dan terlatih. Sehingga kendala yang dihadapi adalah kesulitan dalam pendayagunaan serta peningkatan perangkat instansi daerah yang ada terhadap pengelolaan di wilayah pesisir dan 12 mil laut serta 4 mil laut yang merupakan kewenangan kabupaten/kota. Sebagai contoh adalah kesiapan regulasi tentang pemanfaatan lahan pesisir untuk kegiatan pembangunan (pariwisata, permukiman dan lain sebagainya), pengaturan pemanfaatan sumberdaya laut, pengaturan alur pelayaran; dan lain-lainnya.
Laporan Panitia Konferensi
31
c) Ketersediaan data dan informasi pesisir dan laut sangat terbatas (seberapa besar potensi pesisir dan laut yang dapat terdeteksi misalnya bahan tambang, perikanan, dan pariwisata). d) Terbatasnya wahana dan sarana dalam penerapan dan pendayagunaan teknologi bidang kelautan. Sehingga bagaimana upaya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pengelolaan sumberdaya kelautan/SDL dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat, belum bisa terjawab (keterbatasan kemampuan teknologi untuk dapat menggali potensi SDL). •
Sistim pertahanan laut, Konvensi Hukum Laut yang ditandatangani pada tahun 1982 ini mengatur implementasi beberapa hal seperti penentuan garis pangkal, hak lintas damai, penentuan batas perairan pedalaman, Zona Ekonomi Ekslusif, Landas Kontinen dan penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Konvensi ini memberikan hak dan kewajiban baru kepada banyak negara dan membutuhkan langkah-langkah untuk mengatur dan melindunginya. Pada tahun 1996, Pemerintah Indonesia telah mengusulkan kepada IMO (International Maritime Organization) tentang penetapan tiga ALKI beserta cabang-cabangnya di perairan Indonesia yaitu: a) ALKI I : Selat Sunda, Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan b) ALKI II : Selat Lombok, Selat Makassar, dan Laut Sulawesi c) ALKI III-A : Laut Sawu, Selat Ombai, Laut Banda (Barat Pulau Buru)-Laut Seram (Timur Pulau Mongole)-Laut Maluku, Samudera Pasifik d) ALKI III-B : Laut Timor, Selat Leti, Laut Banda, (Barat Pulau Buru) dan terus ke ALKI III-A e) ALKI III-C : Laut Arafuru, Laut Banda (Barat Pulau Buru) terus ke utara ke ALKI III-A Ada beberapa hal yang mengancam keamanan Indonesia dilihat dari adanya ketentuan ALKI tersebut. Pertama, meningkatnya volume perdagangan dunia yang melalui laut dari 21.480 milyar ton pada tahun 1999 menjadi 35.000 milyar ton pada tahun 2010, dan 41.000 milyar ton pada tahun 2014. Perlu dicatat bahwa 25% perdagangan dunia tersebut dibawa oleh sekitar 50.00060.000 kapal dagang setiap tahunnya melintasi jalur lalu lintas internasional yang melintasi perairan Indonesia. Kedua, alasan kenapa Indonesia seharusnya lebih menekankan pada pertahanan laut adalah adanya intervensi dan inisiatif oleh negara-negara besar yang kepentingannya (ekonomi perdagangan dan perang melawan terorisme) tidak ingin terganggu di kawasan perairan Indonesia. Hal ini tentunya didorong oleh tujuan mereka untuk mengamankan jalur perdagangan laut dan kontrol atas barang-barang yang diangkut oleh kapal-kapal yang melalui jalur tersebut. Ketiga, adalah masalah penyelundupan baik manusia, senjata ringan, dan narkotika. Ratusan ribu pucuk senjata ringan (Small Arm and Light Weapon) selundupan beredar di kawasan Asia Tenggara tiap tahunnya dan lebih dari 80 persen dari penyalurannya melewati laut. Daerah-daerah sekitar ALKI selalu sangat rawan terhadap kegiatan-kegiatan kejahatan internasional, penyelundupan manusia dan senjata, dan infiltrasi. Hal ini tentunya sangat terkait dengan kegiatan teorisme dan separatisme di Indonesia. Minimnya moda transportasi laut di dalam negeri, Asosiasi Pemilik Kapal Nasional (INSA) mengemukakan bahwa kekuatan armada nasional di rute domestik saat ini meliputi 6.041 unit kapal, Sebelumnya, pada pertengahan Mei 2004, Data Departemen Perhubungan (Dephub) menyatakan, armada nasional, antara lain, kapal jenis general kargo mencapai 1.211 unit, kapal peti kemas 94 unit, jenis roro 58 unit, kapal muatan curah (bulk carrier 22 unit, kapal tanker 214 unit, jenis tongkang 923 unit, kapal penumpang 173 unit), dan tipe kapal lainnya sebanyak 1.022 unit. INSA mengakui, jumlah kapal itu itu memang tidak mencukupi karena berbagai hal. Salah satunya adalah soal pendanaan. Membuat satu unit kapal tongkang dan tug boat membutuhkan biaya sebesar US$2 juta hingga US$3 juta. Membuat kapal jenis general kargo dan kapal curah berukuran 10.000 DWT membutuhkan biaya sebesar US$19 juta. Itu harga tiga tahun lalu. Kini, dengan merosotnya nilai rupiah ditambah dengan krisis BBM (bahan bakar minyak) dunia, diperkirakan harga kapal mencapai tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. Jarak dari Sabang ke Jayapura sekitar 3.000 mil laut (5.556 km), jumlah kapal TNI-AL 117 buah dan 77 kapal diantaranya berusia 21-60 tahun. Perbandingan jumlah kapal terhadap luas wilayah perairan : 1:72 ribu km persegi, dibutuhkan sekitar 350 kapal patroli untuk seluruh wilayah perairan. Hal ini juga diperburuk dengan minimnya pelabuhan-pelabuhan di Indonesia, Jepang dengan panjang pantai 34.000 km memiliki 3.000 pelabuhan perikanan (satu pelabuhan perikanan setiap 11 km garis pantai) dan Thailand dengan 2.600 km panjang pantai mempunyai 52 pelabuhan
Laporan Panitia Konferensi
32
perikanan (satu pelabuhan perikanan setiap 50 km garis pantai). Sedangkan Indonesia yang memiliki 81.000 km panjang garis pantai hanya punya 18 pelabuhan perikanan yang setingkat Jepang, atau satu pelabuhan perikanan setiap 4.500 km garis pantai. (sumber : DKP – Thn. 2003) •
Rendahnya tingkat kesejahteraan nelayan di Indonesia, Sekitar 16,2 juta nelayan di Indonesia atau sekitar 44 persen dari jumlah nelayan yang mencapai 37 juta jiwa hidup dibawah ambang kemiskinan. Kesejahteraan nelayan hanya di angan-angan saja. Mereka seolah mendapat perlakuan yang berbeda dibanding nasib petani.( Data - Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (DPP HNSI)) Secara nasional, gelombang tinggi yang melanda sebagian besar wilayah perairan Indonesia, yang berlangsung sejak Desember 2007 hingga sekarang telah mengakibatkan kerugian yang cukup besar terhadap usaha perikanan tangkap Indonesia. Siaran pers DKP menyebutkan, dengan jumlah nelayan 2,10 juta untuk jangka waktu 38 hari (1 Desember 2007 - 7 Januari 2008) tidak melaut asumsi kerugian sekitar Rp1,2 juta per orang. Apabila, diasumsikan jumlah nelayan yang tidak melaut sebanyak 40% maka secara nasional kerugian nelayan mencapai Rp1,05 triliun, dengan pendapatan rata-rata nelayan di laut per bulan pada 2007 sebesar Rp524.770. Sedangkan riil kerugian perikanan tangkap akibat gelombang tinggi – berdasarkan laporan diterima DKP dari 29 Pelabuhan Perikanan/ Pangkalan Pendapatan Ikan pada periode itu mencapai Rp90 miliar. Angka-angka yang dipaparkan dan kenyataan yang dilapangan, ternyata tak mampu menggugah pemerintah untuk memerhatikan nasib para nelayan itu. Nasib mereka terkatung-katung dan hidup dalam serba kesusahan.
4. Alternatif Solusi Permasalahan Kelautan di Indonesia Jangka Panjang: •
Perlunya sebuah landasan hukum yang adil dan berpihak pada repenting umum yang mendorong peningkatan kesejahteraan nelayan traditional dan monitoring dari pelaksanaan aturan hokum terse but di lapangan baik oleh premarital masyarakat ataupun lembaga independen
•
Diperlukan adanya sebuah sosialisasi kebijakan premarital sehingga pengaplikasian peraturan hokum terse but dapat dipahami dan dilaksanakan secara komperhensif oleh masyarakat
•
Pada permasalahan konflik social yang berkaitan dengan penggunaan wilayah pesisir yang ada, perlu diadakannya proses mediasi oleh premarital secara adil, sehingga penggunaan lahan secara sustainable dan konservasi lingkungan dapat tercapai
•
Diperlukannya peningkatan kompetensi nelayan melalui training/training yang berkaitan dengan pengoptimalan hasil tangkapan, terutama pengenalan instrumen untuk kemudahan penangkapan ikan ataupun pembudidayaan ikan.
•
Pemberian kredit lunak pada paara nelayan sehingga bias dimanfaatkan untuk pembelian kapal ataupun peralatan penangkapan ikan
•
Perlunya intensification untuk penelitian SDA di laut yang bias di eksploitasi oleh premarital dan masyarakat secara sustainable dan ramah lingkungan.
•
Peningkatan intensitas perlindungan wilayah kedaultan RI di laut untuk memproteksi perairan laut di Indonesia.
Jangka Pendek: •
Diperkenalkannya laut sejak dini ke siswa sekolah untuk membranous semangat kecintaan tethadap dunia kelautan di Indonesia
•
Proses training secara terpadu nelayan di Indonesia secara periodic berkaitan dengan peningkatan kualitas nelayan di Indonesia
Laporan Panitia Konferensi
•
33
pemberian kredit lunak kepada nelayan untuk meningkatkan instrumen penangkapan hasil laut.
4. Strategi pengembangan laut di Indonesia : •
Perlu adanya sebuah kebjakan umum yang berwawasan kelautan untuk memberikan arah pembangunan laut secara berkala
•
Perlu adanya penerjemahan praktis dalam rencana kerja sehingga program kelautan tepat sasaran
•
Pensosialisasian rencana kerja terse but ke masyarakat dan membentuk task force di masyarakat pesisir untuk memudahkan program pembangunan kelautan
•
Perbaikan dan pembentukan infrastruktur ataupun instrumen kelautan yang mendukung strategi kebijakan secara umum
•
Diperlukan adanya proses monitoring dan evaluasi dari pelaksanaan kebijakan teknis terse but secara umum.
5. Referensi
Laporan Panitia Konferensi
34
Aziz, K.A., M. Boer, J. Widodo, N. Naamin, M. H. Amarullah, B. Hasyim, A. Djamali dan B. E. Priyono, 1998. Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. KOMNAS KAJISKANLUT, Jakarta. Dirjen Perikanan, 1998. Statistik Perikanan 1998. Ditjen perikanan. Jakarta. FAO, 1995. Cood of Conduct for Responsible Fisheries. FAO, Rome. Kamaluddin, L. M. 1999. Potensi Kelautan dan Ekonomi Rakyat. Harian Umum Republika, 17 Juli 1999. http://www.dkp.go.id/content.php?c=145
Laporan Panitia Konferensi
35
Inisiatif Nasional Ekspedisi MDGs untuk Wilayah Kepulauan di Indonesia ( 2008-2009): Berbakti dan Berbagi Melalui Kemitraan*) Oleh: Andi Muhammad Ibrahim Moetasim**) Pengantar Tidak bisa dipungkiri, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Sayangnya, selama lebih dari tiga dekade, kawasan pesisir dan kepulauan telah dianaktirikan dalam pembangunan. Akibatnya, kawasan yang kaya sumberdaya alam ini justru hanya menjadi kantong-kantong kemiskinan dengan kualitas SDM yang rendah, infrastruktur dan fasilitas yang sangat terbatas dan cenderung terisolasi. Kebijakan, anggaran, program, maupun fokus perhatian pembangunan belum bergaung di sana. Di sisi yang lain, kawasan ini mengalami ancaman yang luar biasa beratnya termasuk dampak global warming yang diperkirakan akan menenggelamkan 2000 pulau kita, praktek illegal/destructive fishing yang merugikan ekonomi, sosial dan ekologi. Belum lagi kerawanan penyelundupan, pencaplokan pulau, reklamasi/konversi lahan, maupun buangan limbah dan pencemaran. Situasi ini patut menimbulkan keprihatinan mendalam. Namun ironisnya, suara dan keprihatinan ini nyaris tidak terdengar. Millennium Development Goals (MDGs) sebagai komitmen global yang ditandatangani 189 negara tahun 2000 silam, memegang peran sentral sebagai tools, vehicle, sekaligus sebagai icon untuk misi pengurangan kemiskinan secara terukur dan terstruktur. Sayangnya, MDGs inipun belum bergema kuat di Indonesia, apalagi di pesisir dan kepulauan. Hingga 8 tahun perjalanannya, MDGs masih terlampaui sulit untuk dipahami dan direalisasikan. Untuk itu, dibutuhkan suatu komitmen kongkret disertai aksi nyata sebagai momentum untuk menggerakkan pembangunan di pesisir dan kepulauan sekaligus menginspirasi agar upaya pengentasan kemiskinan di kawasan tersebut menjadi domain semua pihak; baik pemerintah, swasta, media, NGO, donor maupun masyarakat luas. Ekspedisi ‘Keprihatinan’ Dari kegelisahan dan keprihatinan itulah sebuah ekspedisi bertajuk Ekspedisi Bakti MDGs Kepulauan 2008-2009 dirancang. Ekspedisi ini direncanakan menjangkau 100 pulau/pesisir Indonesia dan diharapkan dapat berperan sebagai pemicu (trigger), katalisator dan akselerator untuk membuka mata semua pihak dan merangkai kemitraan pembangunan yang lebih peduli terhadap masyarakat pesisir dan kepulauan. Di sisi lain, ekspedisi ini mencoba mengobarkan jiwa kebaharian yang semakin terkikis. Ekspedisi menggunakan kapal kayu Phinisi dan akan memulai pelayaran baktinya pada hari Nusantara, 13 Desember 2008 dan berakhir pada HUT Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2009. Ditargetkan, ekpsedisi ini akan menjangkau 100 buah pulau dan pesisir, termasuk beberapa pulau terluar Indonesia, yang dibagi atas delapan tahapan utama. Lokasi tersebut antara lain wilayah kepulauan Bangka Belitung, kepulauan Anambas, Pulau Natuna (Sumatera); pesisir Kalimantan dan Kawasan Delta Mahakam, Kepulauan Derawan, Bontang, Nunukan, Pulau Sebatik (Kalimantan); Kepulauan Spermonde, Kepulauan Taka Bonerate, Lingkar Teluk Bone, Kepulauan Sembilan, Kepulauan Banggai, Kepulauan Tukang Besi, Kepulauan Togean, dan Pulau Bunaken, Teluk Tomini, Kepulauan Sangihe, Kepulauan Talaud (Sulawesi); Kepulauan Halmahera, Kepulauan Aru, Kepulauan Tanimbar (Maluku); Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimunjawa, Wilayah Teluk Jakarta (Jawa); Maumere, Wilayah Tiga Gili, Kepulauan di Flores, Bali; (Nusa Tenggara dan Bali); Kepulauan Raja Ampat, Teluk Bintuni (Papua). Adapun pulau dan lokasi definitif yang disinggahi akan
ditetapkan kemudian berdasarkan hasil konsultasi dengan berbagai pihak, khususnya Pemda dan stakeholder terkait agar memberikan manfaat yang optimal bagi misi ekspedisi ini.
*) Disampaikan pada Konferensi 100 th PPI di Den Haag, Belanda; 25-26 Oktober 2008 **) Board YKL (Yayasan Konservasi Laut) Makassar, anggota DFW (Destructive Fishing Watch) ; Penggiat pada Jaringan Ekspedisi MDGs Kepulauan Indonesia 2008-2009;Fellow STUNED 2008 di ITC Enschede pada program NRM, 2008-2010 ; (
[email protected])
Laporan Panitia Konferensi
36
Berbakti dan Berbagi Berbeda dengan inisiatif ekspedisi yang ada selama ini, di setiap pulau dan pesisir yang disinggahi, tim yang berada di kapal Phinisi tersebut bersama relawan dan komponen masyarakat setempat akan bersama-sama melakukan kegiatan bantuan dan bakti sosial MDGs yang mencakup bakti dan berbagi bantuan pangan, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, mempromosikan penguatan peran perempuan, dan memfasilitasi kemitraan multi-pihak. Ada kegiatan berbentuk bantuan langsung, percontohan dan pelatihan, kerja bakti bersama, public campaign, dan sebagainya. Disisi lain, akan dilakukan berbagai inisiatif yang ‚mempertemukan’ berbagai pihak baik pemerintah, swasta, NGO, media, dan masyarakat dalam dialog yang bertujuan membangun komitmen dan tanggung jawab untuk memberikan fokus signifikan bagi pembangunan pesisir dan kepulauan. Inisiatif ini juga diharapkan dapat memanfaatkan momentum dan bersinergi dengan berbagai inisitif baik di dalam maupun luar negeri, misalnya perayaan Earth Day, Environment Day, Tahun Kunjungan Wisata, World Ocean Conference (WOC), Sail Bunaken, Reef Check, Coral Triangle Initiative, Clean Up the World, dan kegiatan relevan lainnya – yang dilaksanakan oleh berbagai institusi dalam berbagai skala. Tidak Harus Menunggu Bencana Untuk merealisasikan inisiatif ini, format kemitraan multi-pihak (public-private partnerships) dalam berbagai bentuknya adalah elemen kunci. Model kolaborasi multi-pihak ini tentu saja adalah tantangan utama, namun bukan hal yang tidak mungkin. Sebagai ilustrasi, ketika gempa dan tsunami melanda wilayah Aceh/Sumatera tahun 2004 silam, tanpa komando, semua pihak – individu maupun institusi segera bergerak, berkontribusi, berbagi, dan berkolaborasi untuk memberikan bantuan. Demikian pula dengan aksi-aksi kemanusiaan yang dilakukan ketika terjadi bencana di berbagai belahan bumi ini. Dari realitas tersebut, pertanyaan yang mengemuka adalah, apakah insting berbakti dan sosial bangsa kita hanya mampu terketuk oleh bencana? Padahal masyarakat pesisir dan kepulauan yang sudah begitu lama terabaikan, hanya terus hidup dalam keterbatasan dan ‚jaminan’masa depan yang makin suram dan tidak jelas. Pola Kemitraan Setidaknya ada lima kerangka kemitraan dan kontribusi yang dikembangkan dalam inisiatif ekspedisi ini, antara lain: (1) Adopt an Island (pulau asuh) dimana individu maupun institusi dapat memberikan donasi atau bantuan langsung dalam berbagai bentuk untuk pulau target yang ada. (2) Sponsor (pendukung) dimana institusi dapat menjadi pendukung pendanaan satu atau beberapa komponen progarm atau event dalam inisiatif ini dengan kompensasi acknowledgement yang sesuai; (3) Local Host (tuan rumah) – dimana pemda dan stakeholder terkait menjadi tuan rumah di lokasi yang disinggahi; (4) Parallel Event (kegiatan paralel) – yaitu mensinergikan program atau inisiatif institusi yang ada baik di tingkat lokal maupun nasional untuk memberikan manfaat dan dampak yang lebih besar; dan (5) Volunteer (Relawan) – dimana dalam kegiatan bakti lapangan maupun proses penyelenggaraan inisiatif ini membutuhkan partisipasi dari berbagai pihak secara sukarela. Transparansi Pengelolaan Untuk menjamin transparansi, alokasi berbagai bantuan/kemitraan yang terjalin, dan optimalisasi program Ekspedisi MDGs Kepulauan ini, Auditor Independen akan mengevaluasi dan memantau proses dan output yang dilakukan. Disamping itu, alokasi bantuan dalam berbagai bentuk akan disajikan secara ON-LINE yang memungkinkan berbagai pihak untuk memantau dan mendukung proses dan alokasi agar berlangusng sesuai perencanaan. Keberlanjutan Meski dirancang untuk langsung berbakti dan berbagi dengan masyarakat pesisir dan kepulauan, inisiatif ekspedisi ini juga secara parallel berupaya dan menargetkan hadirnya komitmen dan kepedulian pemerintah dari berbagai sector terkait MDGs, munculnya inisiatif CSR dari swasta
Laporan Panitia Konferensi
37
maupun inisiatif donor yang sensitif ke MDGs di Pesisir dan Kepulauan, perhatian Pemda yang lebih proporsional terhadap wilayah tersebut, liputan media yang lebih intensif, dan kelanjutan berbagai program lapangan di pesisir dan kepulauan. Berbagai program, kesepakatan lokal dan nasional, serta komitmen-komitmen yang ada, diharapkan menjadi fondasi untuk ‘gerakan’ pengurangan kemiskinan di pesisir dan kepulauan selanjutnya. Berbagai model lapangan, catatan perjalanan, publikasi dan dokumentasi dan kolaborasi yang terbentuk – diharapkan menginspirasi berbagai pihak untuk upaya-upaya adopsi, replikasi, promosi, pemantauan dan advokasi dalam kegiatan maupuan kalender kegiatan di berbagai lokasi. Penutup Inisiatif ekspedisi MDGs Kepulauan ini diinisiasi oleh DFW Indonesia, aliansi individu dan institusi yang peduli pada pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan; Courage Institute, lembaga yang berfokus pada upaya penguatan peran dan kapasitas daerah dalam mengoptimalkan pembangunan; Fokus MDGs Indonesia, jaringan individu yang berfokus pada upaya pencapaian inikator MDGs di Indonesia; YKL (Yayasan Konservasi Laut) dan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Republik Indonesia Agar program Ekspedisi ini dapat diimplementasikan secara optimal, beberapa individu telah dikonfirmasi kesediaannya menjadi tim fasilitator, yang bertugas untuk menjembatani proses-proses koordinasi, konsultasi dan kolaborasi kemitraan multi pihak sehingga tujuan ekspedisi dapat tercapai. Demikianlah Ekspedisi Bakti MDGs Kepulauan Indonesia ini digagas, semoga dapat menjadi pembangkit ghirah pengabdian dan pemberdayaan masyarakat di sebagian daerah pesisir dan pulaupulau kecil di Indonesia. Kelak diharapkan akan dapat meluas dan lebih menjangkau wilayah terpencil kepulauan yang belum sempat tersinggahi ekspedisi ini. Untuk contact lebih detail kegiatan ini, dapat dihubungi : Sekretariat: Rasuna Office Park, Blok LR 12; Jl. HR. Rasuna Said, Jakarta Selatan, 12920, Indonesia Telp: +62 21 939 2321; 939 0251; Fax: +62 21 83786505, 939 2321 Email:
[email protected] Website: www.ekspedisi.mdgs-indonesia.net Contact Persons : M. Zulficar Mochtar,
[email protected], HP: +6281584282907 Sonia Ramadhani,
[email protected], HP: +6281318521724 Abdul Ma’bud,
[email protected], HP: +6281339612861 Baharuddin Nur,
[email protected], HP:+6281319441962 Titien S. Syukur,
[email protected], HP: +628159119117
Laporan Panitia Konferensi
38
Lampiran. Jenis bakti Jenis Bakti dan Konstribusi: Ekspedisi MDGs Kepulauan ini diharapkan dapat memberikan manfaat langsung maupun tidak langsung di lokasi-lokasi yang disinggahinya, sebagai berikut: Manfaat/Hasil Langsung C C1
Pembagian Sembilan Bahan Pokok (sembako): •
50.000 buah paket sembako
Pendukung Alternatif Income: C2 C2 C4 C5
• • • •
C6 C7
• •
200 unit alat teknologi tepat guna pendukung income kelautan: 500 unit Alat Tangkap Ramah Lingkungan dan pendukung budidaya 36 Depot/Stasiun Bahan Bakar Nelayan/Kepulauan (SPDN Sederhana) 100 Paket Pelatihan/pendampingan (Manajemen, Akses Perbankan, Pasar, dll) 300 Unit Bantuan Langsung (Mesin jahit,sulam, peralatan & bengkel perahu, dll) 16 lokasi Program Pendampingan tambak ramah lingkungan
Pendidikan: C8 C9 C10 C11
• • • •
30 unit Perpustakaan Kepulauan 1000 Beasiswa dan insentif Pendidikan (siswa dan guru) 100 Paket Peralatan Sekolah (buku, alat peraga dan peralatan) 1000 anak mendapatkan pengajaran membaca abjad latin dan Al-Quran
Gender. C12
•
100 paket Sosialisasi dan Pelatihan (Manajemen, anti trafficking, dll)
Kesehatan dan sanitasi lingkungan: C13 C14 C15 C16 C17 C18 C19 C20 C21 C22
• • • • • • • • • •
50.000 orang Pengecekan dan Perawatan Kesehatan Gratis 100 paket Alat kesehatan, Kotak P3K dan Obat-obatan 100 Paket & demo fasilitas cuci tangan sederhana (antisipasi diare) 100 Paket makanan tambahan untuk bayi dan balita 100 Paket demo sikat gigi bersama kepulauan 100 Paket Vitamin untuk bayi, balita dan ibu hamil dan menyusui 100 Program Pengasapan (fogging malaria) 100 Paket Kampanye, Pelatihan, Simulasi anti Narkoba, Penyakit menular, HIV/AIDS 100 Paket Program Penguatan Posyandu dan Puskesmas 100 Paket dukungan olahraga (Bola, jarring, kostum, dll)
Kualitas Lingkungan: C23 C24 C25 C26
• • • •
C27 C28 C29
• • •
100 Lokasi pengecekan kondisi terumbu karang (reef check) 100.000 batang rehabilitasi dan penanaman mangrove (bakau) 8 Lokasi Profiling Kasus Destructive dan Illegal Fishing 10 Lokasi Penebaran bibit kima (Tridacna Sp) ataus spesies langka ke laut 10 Lokasi penebaran bibit ikan ekonomis penting ke laut 100 Paket pelatihan dan peningkatan penyadaran lingkungan laut 20 Lokasi kegiatan bersih pantai/pulau (clean up the beach) bersama masyarakat
Laporan Panitia Konferensi
39
Energi: C30 C31
• •
100 Paket Program Listrik Tenaga Surya / Kincir Angin Kepulauan 20 Paket Program Akses Air Bersih (Sumur pompa, pipanisasi, distribusi antar pulau)
Kemitraan: Komunikasi dan Informasi: C32 C33
• •
10 Paket Program Telecenter Kepulauan 10 Paket Pembentukan pusat komunikasi dan informasi kepulauan
D. Supporting Program
SUPPORTI NG PROGRAM
D1 D2 D3 D4 D5 D6 D7
PUBLIKA SI
E E1 E2 E3 E4
•
8 Lokasi Pencanangan komitmen & kerjasama MDGs Kepulauan
•
20 Paket Pelepasan dan Penyambutan (formal/informal) ekspedisi
•
2 Seminar Lokakarya CSR yang berfokus MDGs Kepulauan
•
20 Paket Lomba/Event untuk anak-anak (menggambar, menulis, dll)
•
8 Lokasi Musik, film, hiburan terkait / bertema MDGs Kepulauan
•
8 Lokasi Program Kader duta MDGs Kepulauan
•
20 Paket MDGs Cup Kepulauan (Lomba Olahraga Kepulauan)
Publikasi • Esai Foto: Profil MDGs Kepulauan Indonesia • Film Dokumenter Kepulauan: Dua Wajah Kepulauan • Atlas/Peta Destructive Fishing Practices Indonesia • Suara dari Kepulauan: Kompilasi Harapan/Pesan Masyarakat
Berbagai komponen program prioritas diatas masih memungkinkan untuk berubah sesuai dengan kesepakatan kemitraan yang dicapai dengan berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, LSM, media, komponen masyarakat, dan sebagainya.
Laporan Panitia Konferensi
40
Pembangunan Infrastruktur dalam Semangat Kebersamaan Oleh: D. Ary Adriansyah Samsura, Transportation and Spatial Planning, Nijmegen School of Management, Radboud University Nijmegen, e-mail:
[email protected] Ringkasan Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu aspek penting dan vital untuk mempercepat proses pembangunan nasional. Di samping itu, dalam peranannya untuk memberi kemudahan akses terhadap sumber daya ekonomi, pembangunan infrastruktur juga memegang peranan penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta mengurangi kesenjangan antarwilayah. Namun yang menjadi persoalan utama dalam upaya penyediaan infrastruktur yang memadai adalah ketersediaan dana yang mencukupi mengingat besarnya biaya pembangunan infrastruktur tersebut. Ketika pemerintah, terutama pemerintah pusat, dengan segala keterbatasannya dijadikan tumpuan utama dalam penyediaan infrastruktur, termasuk berbagai sarana pendukungnya, maka penyediaan infrastruktur tentunya tidak akan dapat berlangsung dengan cepat dan sesuai dengan yang diharapkan. Berbagai inovasi yang terkait dengan sistem pengadaan dan pendanaan infrastruktur tentunya akan sangat membantu proses percepatan pembangunan infrastruktur. Namun inovasi tanpa didukung oleh semangat kebersamaan tidak akan memberi dampak yang optimal mengingat seringkali egoisme daerah dan sektoral juga menjadi faktor penghambat proses pembangunan infrastruktur di Indonesia. Oleh karenanya, dalam proses pembangunan infrastruktur tidak hanya dibutuhkan partisipasi masyarakat tetapi juga semangat untuk berkolaborasi dan bekerja sama terutama dari masyarakat itu sendiri. Pendahuluan: Pembangunan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Meski bukan faktor satu-satunya, namun infrastruktur memiliki peran yang cukup signifikan dalam perkembangan suatu wilayah. Infrastruktur dalam hal ini meliputi sektor-sektor seperti transportasi, air bersih dan sanitasi, listrik, irigasi, serta telekomunikasi, yang merupakan bentuk fasilitas publik yang memiliki jaringan (network) sebagai fitur fisik utamanya. Berbagai study telah banyak dilakukan untuk membuktikan hubungan kuat antara pembangunan infratruktur dengan pengembangan wilayah, tidak hanya dalam konteks makro namun juga konteks mikro yang terkait dengan peningkatan pendapatan perkapita masyarakat. Peran penting infrastruktur tersebut dalam pengembangan suatu wilayah terutama terletak pada fungsinya sebagai input dalam proses produksi. Secara umum, ketersediaan infrastruktur dapat mempengaruhi produktivitas marginal (marginal productivity) dari modal usaha yang ditanamkan, terutama oleh pihak swasta, di suatu wilayah. Dengan demikian, upaya pengadaan infrastruktur dapat juga dilihat sebagai komplemen penting terhadap investasi pihak swasta. Sementara secara mikro, infrastruktur berperan untuk menekan biaya produksi yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tingkat produktivitas, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja terutama untuk usaha-usaha menengah ke bawah. Lebih jauh lagi, infrastruktur juga memberikan dampak terhadap biaya dan kualitas pelayanan dalam aktivitas perdagangan, baik lokal, regional, maupun internasional; yang pada akhirnya menentukan kompetensi dan tingkat daya saing suatu wilayah terhadap wilayah lain. Dalam kaitannya dengan proses pengembangan wilayah, pembangunan infrastruktur, seperti misalnya untuk sektor transportasi yang memiliki peran penting dalam menekan waktu tempuh perjalanan dan distribusi, atau untuk sektor sanitasi dan air bersih yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, tentunya akan dapat meningkatkan kemampuan usaha tenaga kerja bagi masyarakat. Pada saat yang sama, tentunya akses yang buruk terhadap ketersediaan infrastruktur yang baik akan dapat menciptakan kemiskinan secara terstruktur terutama ketika kemampuan usaha tenaga kerja menjadi menurun atau terhambat. Di samping peranannya yang penting terhadap pengembangan wilayah, pembangunan infrastruktut juga terbukti memiliki kontribusi besar dalam upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Hal ini terkait dengan fungsi infrastruktur dalam menciptakan kualitas lingkungan yang nyaman dan sehat. Selain itu, infrastruktur seperti transportasi dan telekomunikasi juga memegang peran penting dalam menjaga integritas nasional.
Laporan Panitia Konferensi
41
Permasalahan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia Mengingat pentingnya peranan infrastruktur sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pembangunan infrastrurktur seringkali dijadikan indikator kemajuan suatu wilayah dan juga dijadikan sebagai salah satu program penting dalam proses pengembangan wilayah. Namun pembangunan infrastruktur juga seringkali mendapatkan hambatan mengingat besarnya skala investasi yang harus ditanamkan untuk mewujudkannya. Selanjutnya, terkait dengan fungsinya sebagai bentuk pelayanan publik dan juga karakteristik utamanya sebagai barang publik (public goods), beban pembangunan infrastruktur selalu menjadi tanggung jawab pemerintah. Keterbatasan pemerintah, terutama dalam kaitannya dengan kapasitas finansial, tentunya akan berdampak pada semakin terhambatnya proses pembangunan infrastruktur. Hal ini tidak hanya terjadi di negara-negara miskin namun juga di negara-negara maju. Ketika proyek-proyek pembangunan infrastruktur memiliki nilai komersial bagi para investor, maka pembiayaannya dapat dilakukan melalui sektor perbankan atau lembaga keuangan lainnya. Namun pada umumnya, proyek pembangunan infrastruktur, terutama untuk daerah-daerah terpencil dan terbelakang, dianggap kurang memiliki nilai komersial sehingga pemerintah harus mendanainya sendiri baik melalui struktur pembiayaan dalam APBN ataupun pinjaman luar negeri. Sebagai contoh, saat ini pemerintah Indonesia telah memiliki program percepatan pembangunan infrastruktur dalam lima tahun ke depan yang diperkirakan akan menelan biaya sekitar Rp 750 triliun sampai Rp 1.000 triliun yang ditujukan untuk meningkatkan iklim investasi dan memacu pertumbuhan ekonomi1. Dana yang tersedia untuk pembangunan infrastruktur tersebut hanya sebesar Rp 200 triliun yang berasal dari perbankan dalam negeri, sementara sisa pembiayaannya harus ditanggulangi oleh pemerintah yang tentunya tidak mudah mengingat terbatasnya kemampuan finansial pemerintah pusat. Dalam konteks desentralisasi pembangunan seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, persoalan pendanaan tidak hanya terletak pada ketersediaan dana pemerintah, khususnya pemerintah pusat, yang dialokasikan untuk pembangunan infrastrurktur. Namun penyerapan dana oleh daerah juga banyak mengalami kendala. Alokasi dana yang disalurkan oleh pemerintah pusat baik melalui bentuk dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan bagi hasil seringkali tidak meningkatkan realisasi kinerja pemerintah daerah, terutama dalam kaitannya dengan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur. Dalam hal ini akuntabilitas pemerintah daerah dalam mengelola anggaran patut diperhatikan lebih lanjut. Di samping itu framework regulasi dan institusi pengelolaan pembangunan yang lemah, baik di tingkat daerah maupun nasional, dalam hal ini juga turut melengkapi persoalan terhambatnya proses pembangunan, khususnya pembangunan infrastruktur di Indonesia. Persoalan lemahnya akuntabilitas dan institusi pengelolaan pembangunan di daerah dalam kaitannya dengan proses pembangunan infrastrurktur di Indonesia semakin diperburuk dengan adanya egoisme yang tinggi baik yang terkait dengan isu lokal, ataupun sektoral. Isu “putra daerah” sebagai salah satu bentuk isu lokal seringkali ditemukan menjadi penghambat masuknya investasi ke daerah terutama investasi yang berbentuk proyek-proyek pembangunan yang datang dari luar daerah. Keterlibatan pihak luar seringkali dianggap sebagai bentuk infiltrasi atau bahkan invasi dari pihak luar ke daerah tersebut. Hal ini tidak berarti bahwa pelibatan konten lokal menjadi tidak penting dalam proses pembangunan infrastruktur, bahkan sebaliknya, konten lokal menjadi salah satu faktor yang sangat penting dan diperlukan. Pentingnya keterlibatan pihak lokal dalam proses pembangunan infrastruktur tidak hanya terkait dengan aspek akseptabilitas dari proses pembangunan yang dilakukan, namun untuk jangka panjang, upaya pemeliharaan dan keberlangsungan pemanfaatan infrastruktur tersebut tentunya sebagian besar akan menjadi tanggung jawab pihak lokal. Namun ketika isu-isu yang terkait dengan egoisme daerah ternyata menyebabkan terjadinya keterhambatan dalam proses masuknya investasi, tentunya hal tersebut tidak dapat dibiarkan begitu saja karena akan berdampak pada semakin terhambatnya proses peningkatan kesejahtaraan masyarakat di daerah tersebut. Sementara yang terkait dengan isu sektoral, beberapa kasus menunjukkan bahwa dinas-dinas pemerintah ataupun kelompok-kelompok kerja yang ada tidak mampu atau tidak mau bekerja sama dalam proses pembangunan. Untuk mengatasi persoalan ini tentunya diperlukan koordinasi dan kolaborasi yang baik untuk menyeimbangkan konten daerah dan luar daerah juga kapasitas dan kapabilitas antar sektoral yang didasarkan pada semangat kebersamaan, saling menghargai dan menghormati.
1
TEMPO, 2008
Laporan Panitia Konferensi
42
Peran Inovasi dalam Pengadaan dan Pendanaan Infrastruktur Persoalan-persoalan seperti diuraikan di atas hanya menunjukkan sebagian kecil dari berbagai permasalahan yang ada dalam upaya pembangunan infrastrurktur, terutama di Indonesia. Dengan semakin kompleks dan berkembangnya pola kehidupan masyarakat, tentunya akan membuat semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi. Namun, perkembangan dan kompleksitas tersebut tidak hanya memberikan persoalan-persoalan baru, tetapi juga kesempatan-kesempatan baru serta kemampuan-kemampuan baru bagi upaya untuk melakukan proses pembangunan. Terkait dengan hal ini, inovasi menjadi salah satu kata kunci utama untuk meningkatkan dan menyelesaikan berbagai persoalan dalam proses pembangunan, termasuk tentunya pembangunan infrastruktur. Berbagai study telah banyak dilakukan yang menunjukkan pentingnya inovasi dalam kaitannya dengan perkembangan ekonomi dan pembangunan masyarakat. Lebih jauh lagi, berbagai isu seperti globalisasi; peningkatan kompetisi baik antar wilayah nasional, regional, dan internasional; peningkatan dampak perkembangan dan perubahan teknologi; serta peningkatan kebutuhan yang semakin beragam; membuat peran inovasi semakin penting dalam proses pembangunan. Dalam kaitannya dengan pembangunan infrastruktur, inovasi tidak hanya terkait dengan upaya penciptaan infrastruktur baru, tetapi juga meliputi bentuk-bentuk metode baru dalam proses pembangunannya serta sistem pengelolaan dan pendanaannya. Selain itu, inovasi juga diperlukan dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas infrastrurktur, peningkatan cakupan layanan, penurunan biaya produksi yang terkait dengan pembangunan dan pemeliharaan, juga penciptaan berbagai bentuk institusi dan regulasi yang semakin efisien dalam kaitannya untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi masyarakat luas. Berbagai inovasi yang terkait dengan pembangunan infrastruktur sebenarnya telah banyak dilakukan meski terkadang keberadaannya kurang disadari atau diapresiasi. Inovasi dalam pembangunan infrastruktur tersebut tidak hanya terjadi di berbagai negara maju yang memiliki fasilitas pengembangan ilmu dan teknologi yang cukup tinggi, namun juga di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, melalui upaya pemanfaatan sumber daya yang terbatas dan sederhana. Berbagai inovasi dapat muncul dari upaya penggalian kearifan-kearifan lokal, dimana untuk konteks Indonesia tentunya akan sangat beragam. Inovasi-inovasi dalam pembangunan infrastrurktur juga tidak selamanya harus berskala besar, namun juga dalam skala kecil dan lokal. Seperti misalnya dalam pengadaan sumber daya listrik, instalasi sederhana micro hydro, micro sun-pannel atau micro wind turbine dapat dijadikan alternatif yang dapat diterapkan secara lokal di daerah-daerah terpencil yang belum mendapatkan layanan listrik yang memadai. Contoh lainnya untuk sektor informasi dan komunikasi, pengembangan sistem dan instalasi jaringan sederhana dapat dikembangkan yang tentunya dengan penyesuaian yang memadai terhadap konteks dan kondisi Indonesia. Di samping itu, sebagaimana disebutkan sebelumnya, inovasi dalam pembangunan infrastruktur tidak hanya terkait dengan proses pengadaan dan pembangunan fisik saja, tetapi juga meliputi upaya pendanaan dan pengelolaannya. Pola-pola pendanaan dan pengelolaan bersama masyarakat untuk membangun infrastruktur lokal telah banyak terbukti berhasil dilakukan di Indonesia yang bahkan praktiknya telah berlangsung lama dan telah terintegrasi dalam struktur sosial budaya masyarakat. Hal ini tentunya perlu untuk dikembangkan lebih lanjut sehingga pembangunan yang lebih efektif dan efisien dapat tercapai demi menciptakan masyarakat Indonesia yang lebih sejahtera. Peran Serta Kaum Muda Terpelajar Indonesia dalam Pembangunan dan Pengembangan Infrastruktur Inovasi tentunya sangat terkait dengan kreativitas. Inovasi muncul dari ide-ide kreatif untuk membuat sesuatu yang baru yang tentunya dapat memberi kemanfaatan yang lebih besar dari sesuatu yang telah ada sebelumnya. Berkaitan dengan hal ini, peran kaum muda terpelajar sangat diharapkan sebagai agen-agen kreatif yang dapat menciptakan inovasi dalam proses pembangunan, yang dalam hal ini tentunya terkait dengan proses pembangunan infrastruktur. Ide-ide sederhana yang tepat guna serta dapat diterapkan dalam konteks Indonesia menjadi sangat penting artinya ketika berbagai institusi formal yang terkait dengan sistem birokrasi pemerintah tidak dapat berjalan secara optimal karena mengingat berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Upaya pembangunan dan peningkatan kualitas infrastruktur tentunya juga sangat terkait dengan persoalan kapasitas pengelolaan serta dukungan kebijakan yang tepat. Kapasitas yang dimaksud tidak hanya terletak pada kualitas pemerintah semata namun juga pada masyarakat di tingkat lokal. Kaum muda terpelajar tentunya memiliki kapasitas dalam lingkupnya masing-masing dalam kaitannya
Laporan Panitia Konferensi
43
dengan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Namun kapasitas tersebut sering kali belum sepenuhnya terintegrasi, terkoneksi atau terinformasikan dengan baik, serta belum termobilisasi sepenuhnya untuk secara aktif menangkap berbagai kesempatan yang ada serta melakukan tindakan nyata dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi. Oleh karenanya, upaya kolaborasi sangat diperlukan. Upaya kolaborasi tersebut perlu dititikberatkan selain untuk memperluas keterlibatan berbagai pihak dalam proses pembangunan, juga untuk mengetahui berbagai bentuk pengetahuan lokal serta membangun jaringan sosial sebagai modal penting dalam pembentukan institusi masyarakat yang kuat. Sementara dalam kaitannya dengan kebijakan pembangunan infrastrurktur, kaum muda terpelajar dapat berkontribusi dengan memberikan solusi terhadap berbagai kebijakan yang dianggap kurang efektif dalam mendorong pembangunan infrastruktur di Indonesia. Di samping itu, dalam proses perwujudannya, solusi yang dirumuskan seharusnya juga dapat melibatkan peran serta masyarakat, termasuk di dalamnya kaum muda terpelajar itu sendiri, dan bukan hanya kembali membebankan kewajiban pelaksanaannya kepada pemerintah. Penutup Dalam kaitannya dengan upaya merevitalisasi semangat Kebangkitan Nasional dan Sumpah Pemuda, kaum muda terpelajar Indonesia saat ini harus mampu membangun komitmennya dalam upaya membangun bangsa Indonesia. Komitmen yang ditindaklanjuti dengan upaya nyata tentunya akan menjadi tonggak dan modal utama dalam upaya untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik di masa depan. Sehubungan dengan pengembangan infrastruktur yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, komitmen tersebut dapat diarahkan pada upaya bersama untuk berkontribusi dalam membangun ide-ide kreatif dan tindak laku usaha untuk diterapkan langsung di masyarakat dalam proses pengadaan dan pendanaan pembangunan infrasturktur. Di samping itu, kaum muda terpelajar juga diharapkan untuk mampu membangun semangat berkolaborasi sehingga dapat mendistribusikan ide, pengetahuan, dan sumber daya lainnya untuk mencapai tujuan bersama. Ketika upaya kolaborasi yang didukung oleh komitmen bersama tersebut dapat dioptimalkan secara efektif, hal tersebut dapat menjadi kekuatan besar yang dapat membawa perubahan serta menjadi alat untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini.
Laporan Panitia Konferensi
44
New Paradigm in “Infrastructure Development” and its Implication on Income Distribution and Welfare State Oleh: Jaka Aminata Who knows what I want to do? Who knows what anyone wants to do? How can you be sure about something like that? Isn’t it all a question of brain chemistry, signals going back and forth, electrical energy in the cortex? How do you know whether something is really what you want to do or just some kind of nerve impulse in the brain. Some minor little activity takes place somewhere in this unimportant place in one of the brain hemispheres and suddenly I want to go to Montana or I don’t want to go to Montana…. (White Noise, Don De Lillo) Abstract Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan tingkat pendapatan telah banyak diusahakan dan dilakukan bangsa Indonesia dengan tujuan kesejahteraan rakyat. Fluktuasi ekonomi juga telah banyak diantisipasi dan hal tersebut merupakan sesuatu yang normal terjadi, dalam suatu negara. Hal tersebut telah menerpa Indonesia dari waktu ke waktu. Banyak perencanaan dan kegiatan yang telah dilaksanakan, tetapi ketimpangan distribusi pendapatan masih merupakan masalah yang penting bagi Indonesia. Merupakan suatu keharusan bahwa parameter-parameter dalam ilmu ekonomi harus mampu menggunakan berbagai macam proxy atau pendekatan yang significance dalam menghadapi permasalahan ekonomi. Ilmu ekonomi harus mampu bertindak sebagai “the early warning system”. Walaupun demikian para ekonom tetap membutuhkan pendapat dan imbal balik dari berbagai displin ilmu, agar didapat manfaat yang nyata. Mampu menciptakan eksternalitas positif dengan mengurangi eksternalitas negative. Kemudian pada akhirnya mampu mengurangi tingkat kemiskinan dan tingkat kesenjangan sosial ekonomi. “obatnya adalah sistem ekonomi yang bermuara pada pemberantasan kemiskinan (sesuai dengan perkembangan terakhir kebijakan pemerintah yang masih menitikberatkan pada poverty alleviation. Paradigm dari pembangunan infrastruktur seharusnya tidak hanya mengacu pada fisiknya saja tetapi juga aspek non fisik. Karakteristik permasalahan Indonesia seharusnya menjadi perhatian utama. Contoh; adanya perkembangan teknologi tidak harus membuat manusia Indonesia kehilangan identitasnya. Lebih jauh adalah teknologi informasi belum mampu menciptakan network / jaringan yang “transparan” antar lembaga. Meskipun demikian dalam tataran makroekonomi; teknologi informasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sistem produksi, investasi dan sistem ketenakerjaan. Pada tingkat mikro telah mampu menunjang kegiatan bisnis yang bersifat tradisional menjadi modern terutama pada tingkat international (international trade) Pelaksanaan dan pengaturan regulasi mengenai market Economy, mixed economy, participatory economy, maupun underground economy harus kembali kepada kenyataan yang ada pada masyarakat. Sehingga “the vicious circle” (lingkaran setan kemiskinan tidak mengacu lagi pada “MENGAPA MISKIN?, KARENA MISKIN”), tetapi lebih mengacu pada masalah karakteristik Indonesia. Isu terkini adalah participatory economy sedangkan bangsa Indonesia sebagian besar masih pada kondisi yang mayoritas masih bersifat “underground economy”, dan belum mampu terlibat secara kuat dalam economic market secara keseluruhan (The world Economy.) Pada akhirnya welfare state maupun welfare society dapat dipercepat menjadi sebuah keniscayaan dengan mengacu pada “Institutional Change”. Meliputi Institutional Individualism & Institutional change. Melalui perubahan sistem kelembagaan yang solid dan perubahan “institutional dalam individu masing-masing melalui sistem pendidikan yang berkualitas (Accredited). Kata Kunci : Sistem Ekonomi, Institutional Individualism & Institutional Change, Pembangunan Infrastruktur, Kompetisi, welfare state, Welfare Society. Deskripsi Infrastruktur dan Permasalahannya Per definisi, apakah yang dimaksud dengan infrastructure?, In general; ekonom berpendapat bahwa, hal tersebut berkaitan dengan berbagai macam investasi yang menyangkut aspek secara fisik dan pelayanan. Investasi dapat diartikan sebagai capital stock dengan basis ownership. Secara khusus infrastructure investment dapat dikategorikan sebagai economies of scale dan externalities (The World Bank’s 1994 World Development Report)
Laporan Panitia Konferensi
45
“Infrastructure” sesungguhnya merupakan konsep yang sangat luas. Sehingga diskusi mengenai hal tersebut sangat membuka kemungkinan untuk saling tukar informasi tentang hal apapun yang saling berkaitan dengan infrastruktur (Selim Jahan Robert McCleery, 2005.) Contoh; The physical feature, seperti ; jembatan, jalan, highways, trasportasi, dan pelabuhan,serta basic utilities lainnya; air, sanitasi, dan sekolahan, kesehatan, bangunan-bangunan public, persediaan air, sanitasi dan lain-lain. Di mana sesungguhnya yang terpenting adalah poverty reduction dengan jalan melalui pelayanan dan pembangunan infrastruktur yang menyangkut tentang manfaat sosial ekonomi yang mengacu pada “poor people”. Jadi dapat dijelaskan bahwa pembangunan infrastruktur adalah menyangkut kebutuhan rakyat. Contoh pembangunan Infrastruktur yang tidak efisien di Indonesia, Infrastruktur keamanan pantai, dengan bangunan beton?, akan kuat berapa ratus tahun?, di negara lain, contoh di prancis hanya dengan menumpuk batu sedemikian rupa maka abrasi pantai akan mudah dikurangi (misal; di La Rochellle,Prancis bagian Barat). Tidak harus membuat sesuatu bangunan atau pemecah gelombang yang terbuat dari beton, sehingga terjadi efisiensi biaya Infrastructure growth dan pelayanan umum merupakan masalah yang kritis dalam pertumbuhan ekonomi termasuk penurunan tingkat kemiskinan. Pokok permasalahan yang muncul adalah pada saat “the post conflict transitional pada tahap conflict-ridden countries. Hal tersebut dapat terjadi karena feasibility studies: cost benefit analysis yang tidak memadai, kendala operational dan maintenance. Untuk itu lembaga-lembaga International mencoba menangkap message dari the Millennium Development Goals (MDGs), dengan melakukan berbagai aktivitas yang saling berkaitan. Maka, program pengentasan kemiskinan tetap merupakan agenda yang harus tetap dijadwalkan, bukan hanya sekedar proyek belaka. Planning yang dilakukan harus realistis dengan tetap mengacu pada kenyataan yang ada. Ilmu ekonomi, hanya mampu memprediksi, dengan tetap bertahan pada berbagai asumsi dan kenyataan yang telah berlangsung. Keberhasilan prediksi sangat tergantung pada berbagai faktor yang muncul adalah benar (ceteris paribus). Kaitan antara Infrastructure Development dengan The Millennium Development Goals Sebagai bagian dari masyarakat international, bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari interaksi pembangunan infrastruktur dengan komponen-komponen dalam MDGs (Millenium Development Goals) UN Millennium summit telah mentargetkan pada tahun 2015, bahwa proporsi orang yang hidup miskin, secara drastis dapat meningkatkan tingkat pendidikan dan sistem kesehatan serta mampu melindungi atau melestarikan lingkungan terutama di negara-negara berkembang. Walaupun untuk mencapai goal tersebut banyak banyak hal yang perlu diperdebatkan (Ravallion, 2003). Sejauh ini perdebatan yang terjadi adalah bagaimana melakukan pengukuran yang tepat. Implementasi kebijakan maupun debat academic tentang MDGs telah banyak membuat para praktisi mengalami frustasi (Komives, Estache and others, 2001&2002), telah dilakukan studi empiris pada 15 negara dan negara-negara Amerika latin Saya menangkap pesan bahwa, banyak rasa frustasi dan pesimis yang dialami oleh para praktisi tidak banyak ditanggapi oleh para akademisi. Contoh; jika kita cermati banyak kegiatan yang bersifat Development community dan publikasi tentang kesehatan dan education goals lainya. Hanya sedikit sekali yang menyangkut masalah air dan pengolahan limbah. Hal ini merupakan MDGs Gaps. Walaupun proporsi perhatian tentang sumber daya air dan sektor energy dimungkinkan dalam kondisi better-off dari pada sektor yang lain. Selain itu, WHO telah menghabiskan anggaran sebesar US $ 50 juta per tahun, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa anggaran yang dibuat hanya berdasarkan access rates semata-mata?. Contoh lain yang dapat dipaparkan secara positif adalah sektor Energy, The International Energy Agency mampu menginformasikan estimasi untuk berbagai daerah/region yang berbeda-beda (berlaku untuk negara-negara berkategori developed countries). Faktor Pembiayaan
Laporan Panitia Konferensi
46
Pembiayaan harus mengacu pada permintaan untuk pelayanan pembangunan infrastruktur dalam negara berkembang. Tetapi seberapa banyak yang dibutuhkan kadang tidak dapat diketahui secara pasti. Jika boleh disebutkan karena adanya “back of the envelope” dalam pengambilan keputusan, dalam hal ini, adalah “political documents”. Bahwa perlu dicermati, tidak ada negara satupun di dunia yang hanya mengandalkan “a single sources” dalam pembiayaan infrastruktur mereka. Banyak data yang tersedia, merupakan estimasi kasar, kurang memperhitungkan investment secara keseluruhan, operational costs, hanya berdasarkan supply and demand functions. Untuk itu, diperlukan pemikiran yang lebih jauh tentang implementasi konsep externalities secara positif maupun negative. Contoh; Infrastructure Finance ; Government Transfers,Tax Revenues and Fees,Private Sector Investment,Municipal Debt, dan lain sebagainya. Sedangkan constraints to Investment in Infrastructure; Lack of an appropriate enabling, environment, Shortage of long-term debt, High up-front cost, Lack of local currency for private, investment, Insufficient coverage of political risk, dan guarantees Oleh karena itu, infrastructure investment secara tidak langsung akan berdampak pada tingkat produktivitas dan kesejahteraan masyarakat, juga akan berdampak pada kegiatan ekonomi local. Kebijakan pemerintah tentang infrastructure mengakibatkan peningkatan kemanfaatan bagi program desentralisasi. Adanya daerah yang baru, maka terjadi perpindahan penduduk termasuk pabrik atau perusahaan. Di daerah suburban investasi di bidang Infrastructure akan berdampak secara tidak langsung terhadap social welfare. Pengeluaran untuk pembangunan infrastruktur di Negara-negara berkembang berdasarkan sumber pendanaan
Isu-isu tentang pembiayaan infrastruktur dapat dikategorikan dalam 4 kelompok, meskipun dalam prakteknya sering saling berhubungan erat satu sama lainnya, Contoh; • Pembiayaan apa saja yang dibutuhkan dalam pembangunan infrastruktur • Seberapa banyak peran lembaga swasta dalam pembiayaan infrastruktur • Seberapa besar alokasi fiscal pemerintah untuk pembiayaan infrastruktur • Diperlukan mekanisme baru dalam pembiayaan infrastruktur Gambaran tentang expected annual investment and operations dan maintenance needs, 2005-2010 Dalam (Percentage of GDP)
Laporan Panitia Konferensi
47
Source: World Bank, January 2008 Pada tabel di atas yang paling menarik adalah adanya perbedaan yang cukup besar di antara kelompok-kelompok negara dengan berbagai tingkat pendapatan. Dari tabel di atas terlihat bahwa, sekitar 7.1% untuk negara-negara berkembang. Informasi tersebut akan menunjukkan bahwa lembaga-lembaga seperti NGO, Policy maker bersama dengan international community sangat berperan dalam poverty reduction. Contoh Ilustrasi Ringkas Metodologi Ekonometrika: Dalam Ilustrasi modeling yang disederhanakan pada kajian ekonometrika untuk pengembangan infrastructure dan distribusi pendapatan diambil dari hasil penelitian Calderón and Servén 2003. Di mana infrastructure accumulation dapat diderivasi melalui tingkat output growth dan/atau inequality kemudian menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh Alesina, Baqir and Easterly (1999) Contoh sebuah simple dynamic equation
Secara ringkas penelitian Calderón and Servén 2003, dapat disarikan mengenai volume infrastructure stocks merupakan faktor yang signifikan dalam pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Sebaliknya hubungan antara infrastructure quality dan growth akan muncul. Sehingga dimungkinkan Quantity dan
Laporan Panitia Konferensi
48
quality menjadi sangat erat hubungannya. Sehingga quality effect on growth akan mudah diukur tingkat kuantitasnya. Dalam penelitiannya, infrastructure tidak terlalu significan dengan income inequality. Sangat tidak cukup hanya mengandalkan Gini coefficients dan income share. Kesenjangan tingkat pendapatan tidak hanya karena perbedaan infrastructure stock tetapi juga kualitas dari infrastructure pelayanan. Harus ada perpaduan konstruktif antara hasil penelitian kuantitatif dengan kualitatif sehingga dapat dicapai hasil yang optimal. Dalam persamaan-persamaan di atas banyak asumsi-asumsi yang membatasi kita untuk dapat lebih berimprovisasi dan berdaya imaginasi. Lebih jauh harus dapat menemukan instrument-instrumen yang mungkin terabaikan dalam persamaan di atas. Dalam bahasa ekonometrika supaya tidak terpengaruh oleh error term yang selalu muncul dalam setiap persamaan. Walaupun hal tersebut wajar dalam setiap persamaan, itu menunjukkan sebuah ketidaksempurnaan atau simplification dari dunia nyata. Sehingga diharapkan diskusi dapat dilakukan lebih lanjut. Kerja sama antar disiplin ilmu untuk poverty alleviation Permasalahan bangsa sangat kompleks, semua hal berada tepat di depan mata, untuk itu adalah sesuatu yang mutlak untuk kerja sama antar disiplin ilmu, agar dicapai kemaslahatan ummat. Hal tersebut tidak mudah untuk dicapai. Tetapi dengan adanya kerja sama memungkinkan percepatan dan pemahaman masalah yang berkembang pada tingkat regional, nasional maupun internasional akan mampu teratasi dengan baik. Karena masalah yang berkembang di masyarakat adalah sangat dinamis. Sebenarnya dalam konteks sejarah perjalanan bangsa dan kondisi political economy terdapat hubungan yang sangat erat antara pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan. Karena Indonesia merupakan negara yang mempunyai karakteristik khusus (the dual economy). Pada saat Indonesia dibawah koloni Belanda, terutama di Jawa, dengan adanya administrasi colonial menunjukkan adanya dua type economic agent yaitu “rational dan traditional”. Hal tersebut kemudian sangat berpengaruh terhadap bentuk perekonomian pada masa-masa selanjutnya, (Boeke, 1946). Penerima hadiah Nobel Lewis (1954) memberikan ilustrasi model the dual economy dengan sumber tenaga kerja yang hampir tidak terbatas, dengan asumsi pada model tersebut. Bangsa Indonesia mempunyai sejarah yang panjang dalam perdagangan international, tetapi dalam kenyataannya kita seperti dihadapkan pada kondisi di mana bangsa Indonesia seperti tidak mempunyai sejarah yang panjang. Sehingga learning by doing yang dilakukan sangat terbatas dalam menyosong International Competition. Harus berupaya beralih dari underground economy menjadi participatory economy (current issue). Sebelum kita beranjak kepada tingkat persaingan global yang lebih tajam di masa depan. Bangsa Indonesia telah melakukan banyak hal untuk kemajuan rakyatnya. Jaringan atau network kerja antar lembaga pemerintah belum dapat berjalan secara beriringan. Teknologi Informasi baru dapat dinikmati oleh sekelompok kecil anggota masyarakat (baca; berpenghasilan tinggi). Sehingga tidak setiap anggota masyarakat dapat menikmati perkembangan teknologi informasi secara cepat. Mengapa?, karena mereka miskin akses, mengapa miskin akses terhadap teknologi, karena mereka miskin pengetahuan, mengapa?.....dan seterusnya mengapa.. ini adalah sebuah “lingkaran setan kemiskinan” tugas pemerintah dan stake holder adalah memotong “the vicious circle” secara tepat. Pertanyaannya alat yang dipakai apa?, silahkan dilihat salah satu skema dibawah ini yang diharapkan mampu dijalankan;
Laporan Panitia Konferensi
49
Percepatan pengentasan kemiskinan
Source: Timmer (2004) Sehingga, welfare society dapat betul-betul tercipta, tidak hanya bertumpu pada welfare state saja. Bukan hanya negara-nya saja yang “kaya” tetapi rakyatnya juga makmur. Salah satu Indikatornya adalah kemampuan masyarakat untuk dapat mengakses pendidikan dan perkembangan teknology Berkaitan dengan isu-isu diatas, adalah layak berbicara masalah Institutional economics yang dikenal juga sebagai instituitonalist political economy. Memfokuskan pada masalah pemahaman tentang aturan atau perilaku tentang suatu lembaga ciptaan manusia yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang, lebih luas lagi adalah perilaku suatu perekonomian. Institutional economics biasanya digunakan untuk mengkritik tentang American social. Isu terbaru tentang institutional economics di sebut sebagai new institutional economics. Berfokus pada masalah institutional dengan mengacu pada pengurangan transaction cost. Sedangkan heterodox institutional economics mengacu pada kelembagaan dan pasar sebagai suatu interaksi dari berbagai macam bentuk institusi (individual, firms, states, norma-norma social). Di sini, ilmu ekonomi dan hukum merupakan central dari adanya Legal Foundation of Capitalism (John R. 1924). Lebih luas Institutional economics juga menyangkut psychology, cognitive science. Kebijakan pemerintah tentang infrastructure mengakibatkan peningkatan kemanfaatan bagi program desentralisasi. Dengan adanya daerah yang baru, dan perpindahan penduduk termasuk pabrik atau perusahaan. Di daerah suburban investasi di bidang Infrastruture akan berdampak secara tidak langsung terhadap social welfare.
Laporan Panitia Konferensi
50
Institutional change meliputi Institutional Individualism & Institutional change Apakah yang dimaksud dengan institutional individual?. Sesungguhnya banyak yang harus dilakukan dengan adanya pemikiran institutional individualism. Maksudnya, adalah situasional analysis adalah berbeda dengan institutional indivualism. Analisis situasional menghendaki untuk dapat berkembang lebih lanjut mengenai the rationality of assumption. Sehingga dapat memperhitungkan non-calculated behavior. Sehingga akan membuka paradigm tentang the rule-following behavior, norm-guided behavior dan lain-lain. Sebenarnya institutional individualism merupakan jalan tengah untuk dapat menjelaskan tentang berbagai kemungkinan yang ada tentang bagaimana menghitung suatu dampak atau pengaruh suatu aktivitas, distribusi permasalah yang menyangkut konflik, ketidaksetaraan, dan lain sebagainya sebagai mana yang dilakukan oleh aliran “old institutionalist”. Tetapi tidak dimasudkan sebagai proses adaptasi terhadap transaksi-transaksi dalam ilmu ekonomi. Konsep yang relevan terhadap isu tersebut adalah konsep transaction cost dengan menghitung tingkat efisiensi. Karakteristik permasalahan dengan pemecahan infrastructure development dengan acuan “ institutional change” Contoh tidak berjalannya institutional change : • Yang menggunakan fasilitas pelayanan publik tidak memenuhi sasaran, hanya orang2 yang mampu saja. • Pembangunan jalan sebagain besar hanya berorientasi pada kendaraan besar. • Tidak berdayanya lembaga-lembaga resmi pemerintah terhadap tekanan negara asing, • Pemerintah kurang concern terhadap sumber daya alam yang ada, selalu ketinggalan informasi • Keamanan data, dan sumber daya alam tidak terkoordinasi dengan baik. • Rotasi kerja karyawan yang rendah, mudah sekali melakukan kolusi • Pelayanan public yang tidak efisien • Tidak concern terhadap public facility/utility secara penuh. Tingkat korupsi dalam infrastructure development Istilah tentang Favoritism, fraud, cronyism, patronage, embezzlement, bribes, and state capture merupakan istilah yang sangat popular dalam pembanguna infrastructure di Negara-negara berkembang. Pada awal-awal tahun 1990, istilah tersebut di atas sangat popular dengan motivasi privatisasi. Setelah 10 sampai dengan 15 tahun berlangsung dengan semangat reformasi disana sini, diskusi tentang bagaimana pelayanan dibidang infrastructure development menjadi lebih berkembang pesat. Sesungguhnya, tingkat korupsi dalam sector infrastructure development mengacu pada policy maker dan opinion-maker yang bertugas sebagai monitor dalam banyak hal di negara berkembang. Untuk itu peran Institutuional change, dalam hal ini menyangkut individual change sangat berperan besar. Pokok perdebatannya adalah bagaimana menggeser antara para public operator dengan para users menjadi antara private operator dengan pemerintah(Finger and Allouche 2002 and Hall and Lobina 2002). Hal yang paling penting adalah bagaimana mengamati secara cermat mengenai berbagai isu dalam aktivitis business. Tidak hanya international transparency tetapi juga berbagai tingkat level korupsi, privatisasi, dan infrastructure di negara-negara berkembang (Boehm and Polanco 2003). Namun, sangat disayangkan bahwa tidak banyak evidence yang secara kuantitatif mampu mengungkap tingkat korupsi yang ada. Kesimpulan Dalam jangka panjang harus membuka peluang pada perubahan yang menyangkut institutional Individuals dan Institutional Change secara berkesinambungan dengan tidak meninggalkan sejarah “framework” yang sudah dibangun sebelumnya. Sehingga tidak kehilangan “pondasi sejarah”. Dan secara bertahap selalu melakukan innovation yang bersifat original, dengan semangat ke-Indonesian, baik sebagai institutional individuals maupun institutional change. “Bhineka Tunggal Ika”, adalah
Laporan Panitia Konferensi
51
bentuk nyata dari perpaduan institutional change dan individuals. Dengan begitu, NISCAYA, keaneka ragaman akan membuat bangsa Indonesia semakin kokoh dan maju. Di manakah new paradigm-nya?, ada pada diri kita sendiri sebagai institutional Individuals sebagai unsur mikro terkecil dari sebuah Institutional, untuk berupaya berubah menjadi maju sejajar dengan bangsa manapun di muka bumi dengan tetap tidak kehilangan identitas sebagai Warga Negara Indonesia. References: • • • • • • • • • • • • • • • • • •
American Economic Development, November 13-15, 2003. Andrew F. Haughwout, 2001,Infrastructure and Social Welfare in Metropolitan America, December C.North, Fall 1990, Institutional change: a framework of analysis, Journal of Theoretical Politics, Douglass Canning, D., 1999. "The Contribution of Infrastructure to Aggregate Output." The World Bank Policy Research Working Paper 2246, November. Cashin, P., 1995. Government Spending, Taxes, and Economic Growth. IMF Staff Papers 42(2), 237-269 Calderón, C. and Servén, L., 2003b. "Macroeconomic Dimensions of Infrastructure inLatin America." Presented at the Fourth Annual Stanford Conference on Latin Calderón, C. and Servén, L., 2004. Trends in Infrastructure in Latin America. Unpublished manuscript. Canning, D., 1998. "A Database of World Stocks of Infrastructure, 1950-95." The World Bank Economic Review 12, 529-47. G. Mankiw, D. Romer, and D. Weil "A Contribution to the Empirics of Economic Growth" (NBER Working Paper No. 3541) Peter Timmer, Walter P. Falcon and Scott R. Pearson. 1983. Food Policy Analysis. Johns Hopkins University Press for the World Bank. Baltimore: Md. Peter Timmer October 2004 ,“Operationalising Pro- Poor Growth” A joint initiative of AFD, BMZ (GTZ, KfW Development Bank), DFID, and the World Bank United Nations Development Programme, Making Infrastructure Work for the Poor, , New York 2005. World Development Report, The World Bank, 1994
Laporan Panitia Konferensi
52
Free Open Source Software Sebagai Solusi Kemandirian Bangsa di Bidang Teknologi Informasi (Studi Kasus Pengembangan Dewalinux) Oleh: Sudarko Latar Belakang Beberapa studi menunjukkan bahwa negara Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat pembajakan software yang sangat memprihatinkan. Penelitian dari Business Software Alliance (BSA) dan IDC Global Software Piracy Study(http://w3.bsa.org/globalstudy) menempatkan negara kita di posisi 8 pada tahun 2006, selanjutnya pada tahun 2007 Indonesia menempati peringkat 13 (www.detik.com), namun penurunan ini bukan karena keberhasilan kita memberantas pembajakan, tetapi karena ada beberapa Negara baru yang ditambahkan.Tingkat pembajakan di Indonesia memang mengalami penurunan sebesar 1 % dari tahun 2003 ke 2004 dan 2% dari tahun 2005 ke tahun 2006. Namun penurunan ini seharusnya tidak membuat kita terlalu bangga, selain karena 1% dan 2 % bukan perubahan yang cukup signifikan, kenyataan ini tetap saja harus membuat kita malu dan mulai sadar bahwa keadaan ini tidak bisa didiamkan begitu saja. Parahnya lagi, kegiatan pembajakan software ini bukan hanya terjadi pada perusahaan komersil tetapi juga terjadi di lembaga pendidikan dan instansi Pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak sekolah mulai dari SD sampai SMA bahkan sampai tingkat perguruan tinggi pun masih banyak yang menggunakan software bajakan. Strategi pertama untuk mengurangi pembajakan software ini adalah penegakan hukum yang tegas, yaitu dengan mewajibkan membeli lisensi software. Hal ini didukung dengan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Terkait dengan ini Pemerintah Indonesia melalui pihak kepolisian telah bekerja sama dengan BSA untuk menggalakkan adanya penegakkan hukum atas para pembajak software. Namun, cara ini ternyata tidak efektif untuk mengurangi pembajakan di Indonesia, karena ada banyak alasan mengapa kebanyakan orang indonesia menggunakan software bajakan. Diantaranya yang terpenting adalah harga lisensi software yang terlalu mahal untuk ukuran orang Indonesia, harga lisensi software jika dihitung-hitung bisa lebih mahal dari hardwarenya. Ini merupakan kendala, kendala luar biasa sehingga beberapa diantara kita merasa ”halal-halal” saja menggunakan software bajakan dengan kondisi yang dianggap ”darurat”. Lebih parah lagi, ada juga pihak-pihak yang memang tidak peduli sama sekali dengan aksi pembajakan yang dilakukan tanpa pertimbangan apapun. Memaksakan setiap warga Indonesia membeli lisensi dengan harga seperti sekarang ini adalah tidak realistis, sehingga perlu diupayakan alternatif solusi yang lebih tepat untuk mengurangi/membrantas pembajakan software ini. Strategi kedua untuk mengurangi/membrantas pembajakan software ini adalah dengan menggunakan jenis software lain yang harganya lebih terjangkau, yaitu Free Open Source Software. Free Open Source Software (FOSS) Menurut David Wheeler, FOSS adalah program yang lisensinya memberi kebebasan kepada pengguna menjalankan program untuk apa saja, mempelajari dan memodifikasi program, dan mendistribusikan penggandaan program asli atau yang sudah dimodifikasi tanpa harus membayar royalti kepada pengembang sebelumnya (http://www.dwheeler.com/off_fs_why.html). Gerakan FOSS boleh dikatakan dimulai sejak awal mula industri komputer, meskipun tidak dinyatakan secara formal atau dengan konsep yang jelas. Hanya saja pada akhir 1970an dan awal 1980an terjadi konflik antara konsep saling berbagi perangkat lunak dengan konsep perangkat lunak berpemilik (proprietary). Pada Januari 1984, gerakan FOSS melahirkan Projek GNU (GNU is Not UNIX). Dalam dekade berikutnya projek GNU menghasilkan berbagai program atau tool penting merupakan bagian dari sistem operasi. Yayasan perangkat lunak bebas (Free Software Foundation/FSF) didirikan setahun kemudian untuk mempromosikan perangkat lunak dan projek GNU. Namun, hingga 1991 projek GNU belum menghasilkan sistem operasi lengkap karena masih ada kekurangan pada bagian kritis, yaitu kernel. Kernel merupakan inti atau jantung dari sistem operasi. Linus Torvalds yang saat itu mahasiswa tahun kedua Universitas Helsinki membuat dan mendistribusikan kernel seperti UNIX. Sejalan dengan tujuan pengembangan FOSS, kernel yang kemudian diberi nama Linux itu tersebar secara luas, dikembangkan, dan diaplikasikan menjadi inti dari sistem operasi GNU/Linux yang terus tumbuh secara cepat dengan makin lengkap fitur dan kemampuannya. Pada 1997, Linux meledak menjadi berita media, sesuai dengan perkiraan IDC (International Data Corporartion) bahwa Linux telah menguasai 25% sistem operasi server dan
Laporan Panitia Konferensi
53
memiliki pertumbuhan 25% per tahun. Pada 1999, perusahaan distributor GNU/Linux Red Hat berhasil go public atau IPO (Initial Public Offering) dengan meraup dana dari pasar saham senilai US$ 4,8 milyar (sekitar Rp 43 trilyun jika 1US$ = Rp 9.000,). Sukses lain IPO perusahaan FOSS saat itu adalah VA Linux (US$ 7 milyar atau Rp 63 trilyun), Cobalt Networks (US$ 3,1 milyar atau Rp 28 trilyun), dan Andover.net (US$ 712 juta atau Rp 6,4 trilyun). Sebagai anak baru dari FOSS, kesuksesan GNU/Linux menunjukkan bahwa era FOSS telah benarbenar tiba dan FOSS kini telah menjadi sebuah fenomena internasional. Saat ini makin banyak negara yang menerapkan kebijakan penggunaan FOSS secara luas di badan pemerintahan dan di masyarakat luas. Selain untuk mengurangi/membrantas pembajakan software proprietary, ada beberapa faktor yang mendorong negara-negara tersebut memilih FOSS: • Faktor Keamanan (Security), aspek keamanan telah mendorong banyak organisasi publik untuk bermigrasi, atau mempertimbangkan untuk migrasi, dari Windows ke solusi FOSS. Lembaga pajak dan kepabeaan Perancis migrasi ke Red Hat Linux secara besarbesaran karena alasan keamanan ini. • Faktor Ketersediaan/Kestabilan (Reliability/Stability), Sistem FOSS sangat dikenal dengan kestabilan dan ketersediaannya (tidak mudah hang atau minta restart) • Faktor Standar Terbuka dan Tidak Bergantung Vendor, Standar terbuka memberikan fleksibilitas dan kebebasan kepada pengguna, baik individu, perusahaan, atau pemerintahan. Pengguna dapat berganti paket software, berganti platfrom, atau vendor yang berbeda, tanpa menimbulkan masalah. Standar proprietary yang biasanya bersifat rahasia mengunci pengguna untuk menggunakan software hanya dari sebuah vendor. Alasan utama menentang implementasi proprietary software di sektor publik adalah ketergantungan terhadap vendor software tersebut. • Faktor Pengurangan Ketergantungan terhadap Produk Impor, alasan utama yang mendorong negaranegara berkembang untuk mengadopsi sistem FOSS adalah biaya lisensi yang sangat besar jika memilih perangkat lunak proprietary. Karena secara virtual perangkat lunak proprietary di negara berkembang adalah impor. Belanja perangkat lunak itu akan menghabiskan mata uang berharga dan cadangan devisa. Cadangan devisa ini lebih dapat digunakan untuk mensupport pengembangan FOSS yang lebih berorientasi jasa dan hanya dikeluarkan untuk bisnis dalam negeri, tidak harus menggunakan perusahaan multinasional. Ini berdampak positif terhadap masalah tenaga kerja, investasi dalam negeri, pemasukan dari pajak, dan lainlain • Pengembangan Perangkat lunak Lokal , karena kebebasannya untuk dimodifikasi dan didistribusikan. Pendekatan pengembangan FOSS tidak hanya memfasilitasi inovasi tapi juga penyebaran hasil inovasi itu secara besarbesaran . • Bahasa dan Budaya Local (Localization), Lokalisasi merupakan salah satu bidang yang membuat FOSS bersinar karena keterbukaannya. Pengguna dapat mengubah FOSS agar sesuai dengan kebutuhan budaya lokal, termasuk sesuai dengan skala ekonominya. FOSS di Indonesia Sebagai upaya upaya nasional dalam rangka memperkuat sistem teknologi informasi nasional serta pemanfatan perkembangan teknologi infornasi global melalui pengembangan dan pemanfaatan Open Source Software (OSS), sejak tahun 2004 pemerintah indonesia melalui Menristek telah mencanangkan program “Indonesia Go Open Source (IGOS)”. Deklarasi IGOS tahun 2004 ditandatangani oleh 4 menteri: Menristek, Mendiknas, Menkeham dan Menkominfo, dan selanjutnya pada IGOS SUMIT-2 tahun 2008, program IGOS telah didukung dan ditandatangani oleh 18 Menteri. Setelah program IGOS, memperkenalkan Sistem Desktop Nasional (SDN) IGOS, yaitu sistem operasi berbasis Linux sebagai produk promosi IGOS, produk-produk perangkat lunak lainnya terus bermunculan. Pada situs resmi IGOS, tercatat sepuluh distro (distribusi Linux) nasional selain SDN IGOS, yang diperuntukkan bagi komputer personal maupun warung internet (warnet), yaitu Blankon, IGOS Berdikari, IGOS Billing, IGOS Kwartet, IGOS Laba-laba, IGOS Nusantara, Pinux, Trustix Merdeka, Waroeng IGOS, dan WINBI. Perkembangan perangkat lunak berbasis open source ini juga didukung oleh kemunculan situs internet yang menunjang program IGOS. Selain situs resmi IGOS (www.igos.web.id), terdapat banyak situs komunitas pendukung OSS lainnya, yang terdiri dari KPLI (Komunitas Pecinta Linux Indonesia), IGOS Center, situs komunitas distro Linux, repositori aplikasi OSS, dan lain-lain, yang tersebar di berbagai daerah. Dapat disimpulkan bahwa internet merupakan sarana yang banyak digunakan untuk promosi IGOS. Tidak hanya komunitas di dunia maya,
Laporan Panitia Konferensi
54
penunjang IGOS juga terdapat di perguruan tinggi lewat Pusat Pemberdayaan/Pendayagunaan OSS (POSS). Untuk memudahkan masyarakat dalam memperoleh informasi yang lengkap mengenai perkembangan dan penyebaran open source di Indonesia, Kantor Menristek telah menyusun “Direktori Open Source Indonesia 2008”, yang memuat informasi tentang perusahaan pengembang, perusahaan layanan jasa, produk OSS, asosiasi, komunitas dan lembaga/institusi yang menggunakan open source di Indonesia. Pada situs Directory OS Indonesia (http://direktori.igos-source.org) saat ini tercatat 13 situs untuk kategori Pendidikan (SMK dan Perguruan Tinggi), untuk kategori perusahaan terdapat 37 situs, untuk kategori Pemerintahan terdapat 18 situs, untuk kategori Komunitas terdapat 50 situs, untuk kategori produk terdapat 46 situs, untuk kategori POSS terdapat 13 situs, dan untuk kategori Igos Center terdapat 4 situs. Dalam sebuah penelitian/survey tentang perkembangan program IGOS selama 4(empat) tahun terakhir diperoleh beberapa temuan, yaitu: (1) IGOS merupakan sebuah potensi besar yang dapat mengantarkan bangsa Indonesia menuju kemajuan TI. (2) Perkembangan IGOS empat tahun ini dari sisi pengembangan produk dan pendukungnya sudah baik, sayangnya masih banyak masyarakat yang belum mengetahui apa itu IGOS dan arti pentingnya bagi pembangungan bangsa ini, sehingga masih diperlukan penguatan kembali IGOS sebagai semangat nasional agar tujuan yang sudah ditetapkan dapat tercapai demi kebangkitan TI Indonesia. Dari sisi penggunaan produk IGOS atau open source secara umum, perkembangan program IGOS masih sangat lambat, ini terbukti dari minimnya instansi pemerintah yang telah melakukan proses migrasi ke produk open source, bahkan Depkominfo pun sebagai salah satu pencetus program IGOS sampai sekarang juga belum melakukan migrasi besar-besaran seperti kementrian Ristek. Salah satu kelemahan FOSS khususnya Linux dan produk IGOS adalah masih dianggap asing/kurang user friendly dan terlalu berbeda dengan produk closed source khususnya produk Microsoft yang telah begitu banyak dikenal dan dipakai oleh hampir seluruh pengguna komputer di Indonesia baik secara legal maupun illegal. Pengembangan Dewalinux Sebagai upaya untuk meningkatkan penggunaan produk FOSS, perlu dikembangkan sebuah distro Linux yang lebih user friendly dengan tampilan mirip tampilan Microsoft Windows dengan tujuan memudahkan pengguna komputer yang telah terbiasa dengan tampilan dan menu Microsoft Windows. Pengembangan Distro Linux, yang kemudian dikenal dengan nama Dewalinux (http://www.dewalinux.web.id), dilakukan dengan teknik remastering menggunakan Ubuntu (www.ubuntu.com) sebagai bahan dasar. Proses remastering meliputi penggantian seluruh tampilan khas Linux menjadi tampilan khas mirip Windows yang telah lebih dikenal oleh masyarakat pengguna. Disamping itu Dewalinux juga telah dilengkapi dengan berbagai aplikasi yang lengkap mulai dari aplikasi untuk perkantoran yang mirip dan compatible dengan aplikasi sejenis Microsoft Office, hingga aplikasi untuk multimedia dan internet, sehingga hal ini juga akan memudahkan proses migrasi dari produk closed source dari Microsoft ke FOSS. Ada 2(dua) versi Dewalinux yang telah berhasil dikembangkan yaitu Dewalinux Rencong dengan merupakan starting point untuk tampilan mirip Windows XP dan Dewalinux Eiffel dengan tampilan mirip Windows Vista. Sejak di-release pada November 2007, Dewalinux telah menjadi semakin dikenal, hal ini terbukti dari hasil pencarian di www.google.com yang telah mencapai sekitar 20000 hasil penelusuran dengan keyword “dewalinux”. Dewalinux dapat diperoleh secara gratis dari berbagai situs internet di indonesia maupun melalui pemesanan pada beberapa toko CD Linux online dengan harga murah (Rp. 5.000 – 10.000 + ongkos kirim). Pada salah satu situs internet yang menyediakan Distro Linux, Dewalinux masuk 3 besar distro linux yang paling banyak didownload. Khusus untuk warnet, Dewalinux juga telah dipakai di berbagai kota besar di Indonesia, mulai dari Jambi, Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Surakarta, Mojokerto, Kediri, Malang, Surabaya, Jember, hingga Papua. Selain itu untuk lingkungan sekolah, Dewalinux yang juga telah didistribusikan pada 67 sekolah diberbagai kabupaten/kota di propinsi Sumatera Selatan dan Nusatenggara Timur merupakan starting point.
Laporan Panitia Konferensi
55
Kesimpulan Dari studi kasus ini, model FOSS dengan Dewalinux yang berpenampilan mirip windows merupakan salah satu solusi dan starting point untuk mengantarkan masyarakat Indonesia bermigrasi dari closed source ke open source, sekaligus membangun kemandirian bangsa dalam bidang TI serta mengurangi praktek pembajakan di Indonesia.
Laporan Panitia Konferensi
56
Meningkatkan Daya Saing Bangsa Indonesia Dalam Knowledge-Based Economy Dengan Brain Circulation Network (Jaringan Orang-Orang Indonesia Professional di Luar Negeri) Oleh: Riza Muhida1, Dedy H. B. Wicaksono2, Oki Muraza3, Ahmad Unggul1, Yulfian Aminanda1, Rifki Muhida1, Syarif Junaidi4 (1International Islamic University, Malaysia, 2Delft University of Technology, the Netherlands; 3Eindhoven University of Technology, the Netherlands,4Universiti Kebangsaan Malaysia) Di masa yang akan datang tingkat persaingan ekonomi di dunia ini akan semakin meningkat. Bangsa yang mampu bertahan survive adalah bangsa yang memiliki sumber daya manusia yang hebat dan memiliki kemampuan ekonomi berlandaskan teknologi yang kuat (technological-based economy). Hal ini sudah dibuktikan oleh Korea, Jepang, serta negara-negara di benua Eropa yang memiliki minim sumber daya alam tapi memiliki daya saing nasional yang tinggi (National competitiveness). Tulisan ini akan memaparkan tentang strategi bagaimana membangun jaringan antara orang-orang Indonesia di Luar Negeri untuk dapat berkonstribusi secara aktif dalam meningkatkan daya saing nasional. Pendahuluan Definisi: Brain Drain: adalah seorang yang terlatih atau professional yang beremigrasi ke negara lain dan terlibat dalam perkembangan negara tersebut (bukan turis atau jalan-jalan). Brain Gain: adalah berlawanan situasi dari Brain Drain, dimana banyak orang terlatih atau professional yang masuk ke suatu negara dan terlibat dalam perkembangan negara tersebut. Brain Circulation: adalah suatu bentuk usaha transformasi dimana orang terlatih atau professional di luar negeri kembali ke negara nya dengan menawarkan banyak peluang untuk maju. Ternyata sudah banyak orang Indonesia yang bermigrasi ke negara-negara maju atau negara tetangga, baik untuk kegiatan pendidikan, penelitian atau profesional (kenaikan rata-rata: 5% per tahun, Sumber Kompas: 20 Mei 2006). Orang-orang yang beremigrasi ke luar negeri ini adalah orangorang yang secara rata-rata memiliki kelebihan baik dari segi kepandaian atau ketrampilan, jika dibanding dengan penduduk Indonesia yang lain, karena secara internasional kemampuan mereka diakui sehingga dapat bekerja dan dibutuhkan di negara lain. Orang-orang ini sebenarnya memiliki potensi yang besar dan dapat berkontribusi dalam pembangunan di Indonesia akan tetapi mereka memilih untuk pergi dan terlibat dalam perkembangan pembangunan di negara lain baik langsung (pegawai staf ahli pemerintah negara tsb.) maupun tidak langsung (menjadi staf professional di perusahaan). Di dalam banyak kasus, setelah mereka pindah maka potensi mereka tidak bisa digunakan (tenggelam) kecuali kalau masih menjalin kontak dengan kawan-kawannya yang masih menggunakan tenaga atau pemikirannya melalui komunikasi jarak jauh seperti mahasiswa atau kawannya dahulu. Hal ini beberbeda jika dibandingkan dengan Cina atau India, walaupun mereka (orang-orang cina atau India) berada di luar negeri tetapi tetap dapat memberikan konstribusi yang besar ke negaranya. Keperluan menghadirkan orang-orang terlatih atau professional sudah merupakan bagian dari usaha peningkatan ekonomi dan daya saing nasional suatu negara, di beberapa negara hal ini sudah menjadi suatu strategi nasional melalui program brain gain, karena untuk membangun diperlukan orang-orang yang professional, saat ini bukan zamannya lagi membeli teknologi yang sudah jadi, karena sudah banyak contoh negara yang tertipu karena membeli teknologi usang, atau teknologi yang sudah dimodifikasi untuk mendapatkan keuntungan bagi negara penjual. Dengan hadirnya orang terlatih maka kinerja perusahaan akan semakin meningkat dan akan menghasilkan pendapatan yang juga bertambah. Salah satu factor kunci untuk menstransformasikan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju adalah memunculkan masyarakat yang kritis yang terdiri dari gabungan ilmuwan dan profesional, dalam berbagai keahlian yang mampu mengimplementasikan hasil penelitian dan kerjanya ke aplikasi nyata dan komersialisasi, melalui inovasi yang mereka buat. Agar kelompok masyarakat kritis ini selalu tersedia maka diperlukan suatu strategi untuk mengumpulkan orang-orang yang terlatih dan professional baik di dalam maupun di luar negeri untuk bahu-membahu memberikan konstribusi bagi perkembangan Indonesia. Strategi yang diusulkan ini adalah melalui Program Sirkulasi Brain yaitu proses pemercepat (akselerator atau katalis) pembangunan ekonomi dan teknologi di Indonesia melalui peningkatan modal insan yang memacu perkembangan pendidikan, penelitian, teknologi, dan komersialisasi. Situasi saat ini
Laporan Panitia Konferensi
57
•
Banyak lulusan Master (MSc) atau Ph.D yang lulus dari universitas luar negeri dan kembali ke Indonesia kehilangan vitalitas untuk bekerja dan melakukan penelitian sebagaimana mereka telah lakukan ketika berada di luar negeri. Beberapa penyebab kenapa hal ini terjadi dirangkum sbb: a) Sulit untuk mendapatkan referensi paper yang baik dan up to date. Hal ini terjadi karena universitas dan lembaga Penelitian Indonesia tidak mampu berlangganan atau jurnal-jurnal berkualitas internasional. b) Sulit untuk mendapatkan dana yang cukup untuk penelitian. Sebagaimana mereka bisa melakukan penelitian dengan dana yang besar, tetapi setelah kembali ke Indonesia mereka menghadapi dana penelitian yang minim. c) Sulit untuk menghubungkan kerja penelitian yang mereka lakukan dengan apa yang Indonesia butuhkan. Permasalahan penelitian Indonesia lebih banyak terkait dengan kondisi alam Indonesia, permasalahan rakyat sehari-hari dan transfer teknologi. Sedangkan penelitian yang telah dilakukan saat di luar negeri adalah penelitian tingkat lanjut atau terdepan.
•
Kalau melihat negara lain. Orang-orang Cina dan India yang telah berhasil mencapai sukses di luar negeri memiliki tanggung jawab untuk menginformasikan kepada kawan-kawannya agar kembali pulang dan mencoba mendapatkan sukses seperti yang sudah mereka dapatkan di luar negeri. Hal ini belum begitu nampak dalam komunitas orang Indonesia di luar negeri. Misalkan bagi yang telah berhasil cenderung tetap di luar negeri, atau kalaupun pulang ke Indonesia cendrung saat usia pensiun, dan tidak berminat dengan aktivitas jaringan.
•
Banyak insinyur, dosen, peneliti dan professional dari Indonesia yang pindah ke beberapa Institusi di Malaysia, Singapura, USA, Eropa, Jepang dsb. Dengan alasan pindah: Lingkungan kerja yang tidak kondusif, kurangnya kolaborasi antara universitas dan Industri, infrastruktur yang kurang mendukung, dana riset yang kurang, teman sekerja yang kurang trampil, rajin dan berpengalaman. Kurangnya komersialisasi hasil penelitian, kurangnya penghargaan terhadap hak karya intelektual, kurangnya budaya yang menghargai inovasi dan entrepreneurship (kewirausahaan). Alasan lain, kerja di luar negeri lebih membanggakan, apalagi kerja di top institusi di luar negeri.
Brain Circulation Network Seperti sudah disinggung di atas bahwa pembentukan masyarakat yang kritis adalah penting untuk menjadikan Indonesia maju. Sedangkan masyarakat ilmuwan dan professional Indonesia terdapat tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga tersebar di seantero dunia. Apabila orang-orang Indonesia yang terpelajar dan professional ini disatukan dan memiliki misi yang sama dalam membangun Indonesia ke depan, maka akan dapat dibayangkan bahwa negara Indonesia akan mudah atau lebih cepat maju dibandingkan kondisi sekarang. Konsep Brain Circulation dikemukakan di sini, dimana orang-orang terlatih dan professional ini bersirkulasi terus seperti air mengisi suatu kolam renang, kolam renangnya adalah Indonesia sedangkan tangki air (sumber airnya) adalah lingkungan dunia, airnya sendiri adalah pemikiran atau orang-orang Indonesia di seantero dunia, pemikiran segar di pompa ke dalam kolam, digunakan sebagai air kolam untuk menyegarkan dan menghidupi kolam, lalu setelah digunakan diputar kembali (dihisap dan disaring) ke tangki kemudian dikucurkan lagi, proses ini berjalan terus menerus. Dalam zaman globalisasi dan era informasi, konsep kembali ke negaranya dalam definisi brain circulation di atas tidak berarti secara fisik tinggal di Indonesia, tetapi dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi mereka bisa terlibat di dalam pengembangan Indonesia misalkan: kontribusi dalam meningkatkan inovasi, modal insan dan kompetisi nasional di Indonesia. Misalkan, para expert orang Indonesia yang bekerja di luar negeri bisa membuat karyanya melalui penelitian di luar negeri kemudian mentransfer atau mengkomersialisasi karyanya melalui orang di Indonesia tentunya hak cipta tetap dimiliki oleh ekspert tersebut. Untuk itu diperlukan suatu forum yang mewadahi, mengelola dan memonitor agar proses sirkulasi ini bisa berjalan dan forum ini merupakan integrasi dari pemerintah, LSM dan universitas. Kita dapat mencontoh forum seperti ini yang sudah banyak terbentuk seperti di Cina dan India. Alternatif lain, adalah memaksimalkan fungsi forum-forum atau organisasi-organisasi yang telah ada di Luar Negeri maupun Dalam Negeri untuk melakukan proses sirkulasi intelektual ini. Strategi
Laporan Panitia Konferensi
58
Berikut ini diusulkan strategi yang mungkin dapat dilakukan untuk mengembangkan proses sirkulasi tersebut, yaitu: • Mendirikan suatu jaringan Internasional ilmuwan dan professional Indonesia. Ini dapat dilakukan dengan membuat suatu professional komunitas web, dengan fasilitas: adanya road (Jalan) untuk interaksi, e-exhibition: penemuan-penemuan dalam penelitian, membuat even untuk mempertemukan secara langsung antar pakar melalui jaringan kerja, dan membuat media untuk mempertemukan langsung pakar ini dengan para pemimpin nasional. • Mengembangkan Database/Bank data untuk seluruh modal Insan yang dimiliki Indonesia, dengan personal dan professional profile information untuk mengidentifikasi, track dan secara kontinu dapat terus melekat (engage) dengan para ilmuwan atau professional Indonesia di mana saja. • Mendirikan dan mengintegrasikan Organisasi Brain Circulation berdasarkan prioritas area atau bidang. Organisasi ini memberikan single interface dengan ilmuwan/professional. • Memfasilitasi kolaborasi R&D dan komersialisasi, menyediakan wadah/research grant agar kolaborasi R&D/komersialisasi antara pakar Indonesia di luar negeri dan di dalam negeri tersebut bisa terwujud. • Menyediakan dan mensupport jembatan komersialisasi hasil-hasil karya para pakar di luar negeri, sehingga dapat digunakan untuk membangun industri di Indonesia. • Mengembangkan lingkungan penelitian yang kondusif di Indonesia dimana akan mempermudah kolaborasi antara dunia akademik dan industri, tersedianya infrastruktur untuk riset, grant untuk riset, penghargaan dan perlindungan kepada hak karya intelektual, penghargaan terhadap hasil inovasi dan enterprener. • Mengundang pakar Indonesia di luar negeri untuk menjadi pembicara dalam forum lokal (misalnya di perguruan tinggi atau politeknik dan sekolah-sekolah menengah) dan membentuk kolaborasi dengan ilmuwan dan pelajar lokal. • Menyediakan karier lanjutan bagi ilmuwan lokal untuk mengembangkan karier mereka di luar negeri untuk waktu yang pendek seperti kunjungan penelitian, sabbatical dll guna mendapatkan network di antara ilmuwan/profesional Indonesia dan luar negeri. • Mengundang pakar Indonesia di luar negeri untuk melakukan komersialisasi hasil karya mereka di Indonesia. • Menghargai peneliti terbaik Indonesia baik di dalam maupun di luar negeri, dengan memberikan penghargaan dari pemerintah untuk memotivasi penelitian mereka. • Membangun link dengan perusahaan –perusahaan Industri di Indonesia: Melakukan training, konsultasi, komersialisasi, Akuisisi IP dan mengajak untuk terlibat dalam R&D perusahaan di Indonesia. • Membangun aturan-aturan, kebijakan dan insentif yang kondusif agar ekpert tersebut mudah berkonstribusi dalam pembangunan di Indonesia, seperti: a) Insetif pajak untuk ilmuwan/professional yang terlibat dalam program ini. b) Fasilitas kemudahan dalam prosedur imigrasi dan servis. c) Meningkatkan hokum-hukum hak-hak karya intelektual untuk mendorong inovasi, penulisan dan komersialisasi. Mencontoh dari Keberhasilan Singapura dan Irlandia Strategi yang disebutkan di atas bukanlah dari hasil pemikiran penulis, tetapi didapatkan dari analisis strategi yang telah diterapkan oleh beberapa negara seperi singapura, Irlandia, India dan Cina dan ternyata dengan strategi tersebut negara-negara tersebut berhasil mendokrak ekonomi dan meningkatkan daya saing negara tersebut di mata dunia. Irlandia melaksanakan program Brain gain melalui sebuah organisasi yaitu Science Foundation Ireland (SFI) dan Singapura melalui organisasi (A*STAR) Singapore’s Agency for Science and Technology Research yang memberi kuasa untuk mengembangkan modal insan untuk sain dan teknologi. Karakteristik dari organisasi-organisasi ini adalah: • • •
Agensi yang memiliki High power (otoritas tinggi) yang terbagi dalam 4 atau 5 divisi untuk menformulasikan kebijakan, sistem pendanaan, servis perusahaan, manajemen beasiswa, komersialisasi, support untuk hak karya intelektual. Memiliki link yang kuat dengan dewan ekonomi nasional dan aktivitas investasi. Komitmen yang kuat dari pemimpin negara (SFI diketuai oleh Mary Harney, wakil perdana menteri dan juga salah satu menteri di Irlandia; A*STAR’s Biomedical Research Council diketuai oleh Tony Tan, wakil perdana menteri Singapura.
Laporan Panitia Konferensi •
Memiliki mekanisme pendanaan kolaborasi penelitian Internasional.
59 untuk grand dan modal ventura untuk mempromosikan
Beberapa Langkah yang telah dan akan dibuat oleh masyarakat Indonesia di Luar Negeri Untuk mewujudkan strategi di atas bukanlah hal yang mudah, sambil menunggu upaya dari pemerintah, LSM dan masyarakat Indonesia mewujudkan strategi di atas, ternyata masyarakat Indonesia di luar negeri sudah membuat beberapa aktifitas pendahuluan, mungkin suatu saat kalau aktifitas tersebut dikembangkan, akan membetuk Brain Circulation Network seperti yang disebutkan di atas. Beberapa contoh yang disebutkan di sini adalah: •
Jepang a) Salah satu tujuan utama pelajar Indonesia untuk belajar sain dan teknologi. b) Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang melakukan pertemuan tahunan untuk sain dan teknologi. c) Beberapa kegiatan untuk membuat network ilmuwan dan professional Indonesia di Jepang: d) Temu Ilmiah Tahunan e) Zemi on Air (ZOA), seminar melalui internet. f) Membentuk Indonesian Society on Electrical, Electronics, Communications and Information (IECI). g) Mengadakan Sinergy Forum on Biotechnology. h) Mengadakan Indonesian Policy Dialogue Forum (IPDF). i) Menerbitkan majalah DIMENSI diterbitkan oleh ISTECS (Institute for Science and Technology Studies)
•
Belanda (dan Eropa) a) Belanda menjadi pilihan orang Indonesia untuk belajar atau bekerja. b) Kegiatan di Belanda hapir sama dengan di Jepang di mana orang-orang ilmuwan dan professional Indonesia di belanda membentuk forum yang dipanggil the Scientific and Professional Forum for Indonesians in the Netherlands (SPINET) is initiated. c) Setiap setahun atau dua tahun sekali, ISTECS Eropa mengadakan Indonesian Students Scientific Meetings (ISSM) untuk saling mengkomunikasikan hasil kerja.
•
USA a) Terdapat kurang lebih 13,000 orang Indonesia yang sedang belajar di Amerika Serikat. b) Ada organisasi pelajar yaitu PERMIAS (Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat) c) Kegiatannya hampir mirip dengan kegiatan di Jepang.
•
Malaysia a) Malaysia adalah negara terdekat dari Indonesia, dimana paling banyak orang Indonesia yang tinggal dan bekerja di negara tersebut. b) Merupakan negara yang mencoba untuk mencapai negara maju, sehingga sistem manajemen negara maju banyak digunakan di negara itu. c) Banyak menyerap tenaga ahli dari Indonesia. d) Hubungan transportasi yang paling dekat dengan Indonesia, sehingga banyak aktifitas tukar menukar ilmuwan/professional antara kedua negara. e) Untuk kegiatan pelajarnya ada PPI yang mengadakan pertemuan ilmiah dan kekeluargaan bagi anggotanya, juga menerbitkan jurnal ilmiah Paksi. f) Untuk kalangan profesionalnya ada IATMI, persatuan dosen Indonesia (ILRAM), IA ITB dsb. Dimana organisasi ini melakukan pertemuan rutin baik kegiatan kekeluargaan maupun professional.
Kesimpulan Untuk membangun Indonesia dan meningkatkan daya saing internasional diperlukan strategi untuk mengumpulkan ilmuwan dan professional Indonesia agar mereka dapat berkonstribusi dalam pembangunan di Indonesia sebagaimana dicontohkan oleh negara-negara: Singapura, Irlandia, Cina dan India. Strategi tersebut diformulakan dalam Brain Circulation Network. Kita mengharapkan agar proses sirkulasi ini akan berjalan dan berkembang. Beberapa kegiatan kecil dalam sebagai langkah permulaan dalam Brain Circulation Network sudah dicontohkan oleh beberapa persatuan mahasiswa
Laporan Panitia Konferensi
60
dan professional Indonesia di Jepang, Belanda, Amerika Serikat dan Malaysia. Untuk meraih hasil yang lebih besar dan terarah, inisiatif-inisiatif bottom-up ini perlu diimbangi dengan inisiatif top-down oleh pemerintah dan industri (misal KADIN) di Indonesia. Tanpa adanya visi pemerintah dan industri di Indonesia untuk bekerja sama secara aktif dengan inisiatif di LN ini, hasil nyata sirkulasi intelektual ini akan sulit untuk cepat diwujudkan, ibarat gayung yang tak bersambut. Visi itu haruslah terejawantahkan dalam program-program nyata pengkoordinasian kekuatan intelektual bangsa yang tersebar di seluruh dunia ini melalui badan-badan pemerintah, swasta, dan LSM yang ada di dalam negeri. References • • • • • • •
• • • • •
Zeily Nurachman, Membangun Jaringan Intelektual, Kompas, 29 Juli 2003 Pamela Yatsko, Chinese high-tech professionals such as Hua Zheng are returning home from Silicon Valley. They might eventually help create a competitor to the U.S, http://members.forbes.com/global/2002/0916/058.html A. Fatih Syuhud, A Few Indonesian Men in Silicon Valley, http://afsyuhud.blogspot.com/2006/04/blogger-indonesia-of-week-34-carlos.html WIPO meeting discusses African and Colombian proposals, SUNS #5973 Friday 24 February 2006 Ian R Dobson, Bob Birrell, Virginia Rapson, T Fred SmithBrain drain and brain gain: the challenges of internationalisation Brain Drain: Fact or Fiction?, Conference on tren in the management of human Resources in Higher Education Michel Beinea, Fréderic Docquierb and Hillel Rapoportc, Brain drain and human capital formation in developing countries: winners and losers, Milken Institute Award for Distinguished Economic Research, 2003 Damtew Teferra, Brain Circulation: Unparalleled Opportunities, Underlying Challenges, and Outmoded Presumptions, Symposium on International Labour and Academic Mobility: Emerging Trends and Implications for Public Policy. October 21st and October 22nd 2004. World Education Services. Toronto, Ontario, Canada. Hisham Foad, The Brain Drain Leveling the Playing Field or Widening the North-South Divide?, Emory University, 2005. Fusion Magazine, Malaysia, October 2004 D.H.B. Wicaksono, M. Reza, and Z. Nurachman, Dissemination and Utilization of Scientific Informations from Indonesian Scientists Overseas for Broad Non-Scientific Communities in Indonesia, Proc. Of ISSM 2003, Delft, Netherlands. Reza, M., Wicaksono, D.H.B., Erlangga, Y.A., Muhamad, R. “To Integrate Potentials of Indonesian Scholars Abroad to contribute to the Indonesian Development on Science”. Presented at ISSM 2003. Delft, The Netherlands. Wicaksono, D.H.B., Reza, M. , Muhamad, R., and Muhida, R.. 2003. “Developing Scientific Culture and Professional Network for Indonesians Abroad”, in 12th Indonesian Scientific Meeting in Japan, September 6th-7th 2003, Osaka, Japan.
Laporan Panitia Konferensi
61
Membangkitkan Bangsa, Menata Reformasi: Transformasi Indonesia Baru Melalui Pendidikan2 Oleh: Muhammad Najib Azca, Universiteit van Amsterdam/Universitas Gadjah Mada Intro Sebagai bangsa (nation), jika berpancang pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sebagai tonggak, kini Indonesia telah berumur satu abad. Sebagai negara (state), jika berpijak pada Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai titik tolak, kini kita telah menginjak usia 53 tahun. Namun jika kita menatap babak baru perjalanan negara-bangsa (nation-state) sejak runtuhnya rezim otoritarian Orde Baru dan dimulainya era Reformasi pada tahun 1998, maka usia Indonesia Baru baru menginjak satu dasawarsa. Pengalaman sejarah Indonesia mengajarkan bahwa: gerak Negara tak selalu seiring dan menopang kelestarian sebuah bangsa. Buktinya: bangsa Indonesia koyak-moyak lantaran perilaku dan tabiat buruk negara, seperti terlihat dalam sejumlah peristiwa kekerasan berdarah di Aceh, Papua, Maluku dan Poso. Proses reformasi di Indonesia juga bisa dibaca sebagai upaya sebuah bangsa untuk melakukan koreksi dan perbaikan terhadap ‘bangun-negara’yang berwatak represif, otoriter, koruptif, dan sentralistis. Ketika melakukan refleksi kritis terhadap pengalaman tersebut, yakni “bagaimana membangun bangsa untuk mensejahterakan warganya”, maka sebagian orang mencari obatnya pada dua sisi sekaligus: memperkuat masyarakat warga (civil society) dan memperkokoh negara. Keduanya tidak niscaya dilihat sebagai entitas yang bersifat antagonis secara diametral, namun bisa juga dilihat sebagai kekuatan yang bersifat komplementer. Sembari melakukan refleksi 100 tahun perjalanan bangsa dan sekaligus 10 tahun reformasi kita perlu menyusun pemikiran strategis bagaimana merangkai Negara dan masyarakat warga, dua pilar penting kehidupan bersama, sehingga menjadi kekuatan sinergis: memberi kemaslahatan terbesar bagi kepentingan setiap warga bangsa Indonesia. Isu pendidikan akan dijadikan sebagai ‘arena’ dimana rancang bangun pembaruan itu seharusnya dilakukan. Agar lebih komprehensif, makalah ini akan menggunakan kerangka transformasi segi empat: negara (state)-masyarakat warga (civil society)masyarakat politik (political society)-pasar (market). Masyarakat Warga, Bangsa, Negara: Trilogi “Menjadi Indonesia” Perjalanan ”menjadi Indonesia”3 pada dasarnya adalah sebuah proses yang tak pernah selesai. ”Indonesia” merupakan sebuah kata benda yang sekaligus juga kata kerja: ia sebuah entitas dan sekaligus sebuah proses. Ada berbagai anasir yang berbaku-tumbuk dan berbaku-sapa: puak-puak, suku-suku bangsa, sejarah dan politik penyebaran agama-agama, hasrat dan syahwat kuasa yang dibawa kolonialisme, rezim dan politik hubungan internasional, juga ide dan imajinasi tentang ’komunitas-komunitas yang terbayangkan’ (imagined communities) (Ben Anderson, 1983). Proses ”menjadi Indonesia” diawali oleh keping-keping kecil warga yang bersekutu membentuk ikatanikatan sederhana, berbasiskan atas persamaan identitas, keyakinan, kesenangan, keinginan atau kepentingan. Keping-keping kecil asosiasi warga ini bersifat relatif otonom terhadap negara, bergerak hidup memenuhi keinginan dan kebutuhannya sendiri. Pada mulanya berwujud menyerupai paguyuban, gemeinschaft, yang bersifat cair dan lentur, nyaris tak mengenal mekanisme dan struktur pengelolaan yang rumit. Belakangan bersalin wujud menjadi semacam patembayan, gesselschaft, yang mulai mengenal kerangka aturan main berdasarkan atas rasionalitas dan fungsionalitas tertentu (Ferdinand Tonnies, ???). Begitulah: maka mulai terbentuk organisasi-organisasi sederhana semacam Syarikat Dagang Islam, Boedi Oetomo, dan seterusnya. Juga asosiasi yang lebih besar dan kekar semacam Moehammadiyah dan Nahdhatoel Oelama.
2
Disampaikan dalam Konferensi Pemuda dan Pelajar Indonesia di Luar Negeri yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda di Den Haag, 25-26 Oktober 2008. 3 Menjadi Indonesia merupakan judul sebuah buku sejarah perjalanan terbentuknya kebangsaan Indonesia yang ditulis oleh Parakitri T. Simbolon (Gramedia, 2006). Dalam buku setebal 884 halaman tersebut Parakitri melakukan rekonstruksi terbentuknya bangsa dan negara Indonesia sejak sejarah Nusantara hingga perang Pasifik.
Laporan Panitia Konferensi
62
Pada waktu itu bangsa Indonesia belum ada. Namun benih, cikal-bakal, bagi kehadirannya telah disemai oleh asosiasi-asosiasi warga ini. Mungkin kita bisa merujuk asosiasi-asosiasi warga ini sebagai bagian dari civil society, sebuah konsep yang popular di bidang ilmu social, namun sekaligus penuh ambiguitas. Ia bisa dipahami dari berbagai jurusan secara berbeda: sebagai aktor atau sebagai arena; sebagai konsep empirik atau sebagai konsep normatif.4 Mengadaptasi pendekatan Gramscian yang dikembangkan oleh Cohen and Arato (1992; ix-xi), tulisan ini selanjutnya akan menggunakan kerangka analisis segi empat: negara (state)-masyarakat warga (civil society)-pasar (economic society)-masyarakat politik (political society). Masyarakat warga, seperti dirumuskan oleh Cohen dan Arato (ibid), adalah sebuah ruang interaksi sosial antara ekonomi dan negara yang terbentuk atas ruang ‘intim’ seperti keluarga, ruang bagi asosiasi-asosiasi (khususnya yang bersifat sukarela), gerakan-gerakan sosial dan ruang-ruang komunikasi publik. Masyarakat warga berbeda dengan masyarakat politik (seperti organisasi dan partai politik serta parlemen) dan masyarakat ekonomi (yang terdiri dari organisasi produksi dan distribusi, seperti perusahaan, koperasi, dll). Meski berbeda namun mereka saling terkait, dimana masyarakat politik dan masyarakat ekonomi dapat berfungsi sebagai kekuatan penyambung-penghubung (mediation) terhadap arena politik dan ekonomi. Kembali ke konsep bangsa sebagai komunitas politik yang terbayangkan, kita merujuk ke Ben Anderson (1983: 6-7) yang menulis: “is imagined because the members of even the smallest nation will never know most of their fellow-members, meet them, or even hear of them, yet in the minds of each lives the image of their communion". Ide bangsa dan kebangsaan (nationalism) memang merupakan salah satu gagasan terpenting dan berpengaruh dalam sejarah dunia modern. Gagasan tentang bangsa dan kebangsaan (nationalism) merupakan sebuah produk modernitas yang berjalan seiring dengan perkembangan modernisasi. Sebuah sebuah produk modernitas, ide ini memiliki kemampuan dan kekuatan mempersatukan dan merekatkan yang luar biasa hingga mampu menggerakkan jutaan manusia meregang nyawa untuk mempertaruhkan (atau menaklukan): bangsa! Peranan bahasa dalam pembentukan identitas bangsa. Ide kebangsaan Indonesia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia sebagai ”bahasa persatuan”(seperti tercantum dalam Sumpah Pemuda 1928) di antara kaum pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ihwal kekuatan bahasa dalam pertumbuhan gagasan kebangsaan, Yudi Latif (2007) membuat tulisan menarik tentang Daya Kata, Darah Kebangkitan. Dalam prakteknya, seperti disebut Anderson (1983),perkembangan ide kebangsaan berjalan seiring dan bertautan dengan pertumbuhan ”kapitalisme cetak (print capitalism). Melalui perkembangan kapitalisme-cetak inilah bahasa Indonesia mengalami pertumbuhan dan pemekaran yang luar biasa dan sekaligus memekarkan ide dan imajinasi kebangsaan Indonesia. Perkembangan ide dan imajinasi bangsa Indonesia akhirnya menubuh menjadi sebuah bangun Negara yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun sejarah kemudian menunjukkan bahwa Negara Indonesia yang dibangun pasca proklamasi jauh dari berhasil menjalankan fungsi dan tugasnya seperti tertera dalam Mukadimah UUD 1945 yakni untuk “mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,” serta “untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.”
4
Sebuah kerangka menarik, misalnya, dirumuskan oleh Centre for Civil Society, London School of Economics, sebagai berikut: Civil society refers to the arena of uncoerced collective action around shared interests, purposes and values. In theory, its institutional forms are distinct from those of the state, family and market, though in practice, the boundaries between state, civil society, family and market are often complex, blurred and negotiated. Civil society commonly embraces a diversity of spaces, actors and institutional forms, varying in their degree of formality, autonomy and power. Civil societies are often populated by organisations such as registered charities, development nongovernmental organisations, community groups, women's organisations, faith-based organisations, professional associations, trades unions, self-help groups, social movements, business associations, coalitions and advocacy group.(http://www.lse.ac.uk/collections/CCS/what_is_civil_society.htm)
Laporan Panitia Konferensi
63
Akibatnya, yang terjadi justru berkecamuknya sejumlah konflik dan kekerasan berdarah di sejumlah wilayah Indonesia.5 Kekerasan bercorak politis-ideologis di masa peralihan rezim dari Soekarno ke Soeharto di tahun 1965 merupakan salah satu yang terbesar. Bersambung dengan sejumlah kekerasan dramatis berkepanjangan di Aceh, Papua, Maluku, dan Poso—juga di Timor-timur sebelum Referendum di tahun 1999, serta drama kekerasan beraroma rasial di Jakarta dan Solo di tahun 1998. Belum lagi sejumlah kerusuhan berskala lebih kecil seperti terjadi di Tasikmalaya, Situbondo, Pekalongan, Kerawang, Kupang. Juga kemiskinan dan ketimpangan social-ekonomi yang lebar menganga di antara sesama warga bangsa, baik berdasarkan atas kelas maupun wilayah. Reformasi: Ikhtiar Koreksi dan Menata Ulang Negara-Bangsa Kegagalan rezim Orde Baru adalah kegagalan negara menata bangsa. Buahnya: alih-alih warga bangsa menjadi sejahtera, yang terjadi adalah bangsa yang retak, suku-bangsa yang koyak, dan warga bangsa yang merana. Keping-keping mozaik bangsa Indonesia yang bopeng lantaran konflik social sebagai akibat praktek bernegara yang tak beradab selama Orde Baru tersajikan dalam Potret Retak Nusantara (CSPS Books, 2005). Yang terjadi dengan proses reformasi adalah ikhtiar masyarakat warga untuk melakukan koreksi terhadap Negara melalui tekanan bertubi-tubi ke arah masyarakat politik. Sementara itu masyarakat ekonomi yang gonjang-ganjing lantaran krisis regional memaksa negara untuk melakukan kontraksi, mengendurkan diri: terjadilah reformasi. Jenderal Soeharto pun lengser keprabon. Rumit dan ruwetnya proses reformasi digambarkan dengan menarik oleh Kevin O’Rourke (2003) dalam bukunya The Strugle for Power in Post-Soeharto Indonesia. Apa yang terjadi setelah reformasi berlangsung satu dasawarsa? Tentu, sejumlah sukses dan keberhasilan patut dicatat. Di antaranya: kekebasan berserikat dan berkumpul, juga kebebasan mendirikan organisasi dan partai politik serta kekebasan pers. Desentralisasi kekuasaan dalam bentuk ‘otonomi daerah’ juga merupakan prestasi yang patut diapresiasi. Reformasi sector keamanan dalam bentuk pemisahan Polri dari TNI juga merupakan langkah positif dalam perkembangan politik Indonesia. Namun, seperti ditulis oleh Vedi Hadiz dalam Indonesia A Decade After Reformasi: Continuity or Change? (2008), sepuluh tahun reformasi ditandai dengan banyaknya kontinyuitas rezim lama di panggung baru. Sejumlah elemen rezim lama masih bertahan dan bahkan menguasai sejumlah posisi dan institusi kunci pemerintahan dan memastikan bahwa proses reformasi tidak mengancam kepentingan mereka. Dalam buku berjudul Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in the Age of Markets, Vedi dan Robisan (2004) juga mengungkapkan bertahannya politik oligarki di era pasar, antara lain melalui penguasaan kepemimpinan politik di era otonomi daerah. “Indonesia Baru”: Sebuah Ikhtiar Transformasi Reformasi telah membawa harapan, namun perjalanannya sejauh ini juga juga telah membenihkan sejumlah kerisauan. Kerisauan itu secara sederhana terumuskan dalam Suara Bersama Denhaag 2007 sebagai berikut: Kami bertemu dan berkumpul disini dipicu oleh kerisauan kolektif mencermati perjalanan Republik Indonesia tercinta, yang meski telah memasuki babak baru kesejarahannya dengan dimakzulkannya rezim dan sistem politik Orde Baru pada 1998 serta dimulainya proses “reformasi”, namun hingga kini belum merumuskan arah dan pijakan baru yang nyata dan kokoh untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh warga bangsa. (www.indonesiamasadepan.net) Yang menarik dari rangkaian regiatan Konferensi Pelajar Indonesia: Indonesia Masa Depan: Suara dan Peran Kaum Muda di Den Haag, Juni 2007, adalah bahwa mereka bukan hanya bermaksud menghasilkan ‘kertas kerja dan rekomendasi’ untuk diserahkan pada pemerintah atau pihak pengambil kebijakan lainnya. Lebih dari itu untuk menghasilkan: “pokok-pokok pikiran yang terutama 5
Baca tulisan Henk Schulte Nordholt A Geneology of Violence (2002) untuk aka-akar kekerasan sejak masa kolonial, tulisan Robert Cribb (1990, 2001) dan Asvi Warman Adam (2008) untuk kekerasan 1965 dan buku yang diedit oleh Ben Anderson (2001) berjudul Violence and the State in Suharto’s Indonesia mengenai kekerasan negara di masa Orde Baru.
Laporan Panitia Konferensi
64
akan dijadikan sebagai bahan rujukan kaum muda bagi upaya kolektif untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik...” Dengan demikian, secara sadar kaum muda yang berkumpul dalam acara itu telah mendefinisikan diri mereka sendiri dan menempatkan diri sebagia bagian dari ”gerakan sosial” (social movements) dalam proses melakukan koreksi dan menata perjalanan negara-bangsa Indonesia. Hal itu juga tercermin pada bagan kerangka kerja yang melihat Indonesia Masa Depan sebagian bagian proses transformasi lintas bidang yang harus dikerjakan oleh rumpun lintas aktor (negara; masyarakat warga; masyarakat politik; dan masyarakat ekonomi).
BAGAN DIALEKTIKA
INDONESIA MASA DEPAN: SUARA KAUM MUDA
ANALISIS ANALISISKONDISI KONDISI ANALISIS MASALAH rumpun bahasan A
B
C
D
E
F
SW
Global Global Regional Regional Nasional Nasional
VISI VISI MASA MASA DEPAN DEPAN
STRATEGI STRATEGI TRANSFORMASI TRANSFORMASI
ANALISIS ANALISIS TREND TREND
MS
rumpun bahasan A
B
C
D
E
F
PN
aktor
aktor
PN
MS SW
ANALISIS POTENSI rumpun bahasan A
B
C
D
E
F
aktor
PN MS SW
Rumpun Bahasan A-F –rumpun bahasan yang akan dirumuskan e.g. kesejahteraan sosial, pendidikan, tata pemerintahan, hak asasi, sumber daya alam, korupsi.
Aktor PN – Penyelenggara Negara MS –Masyarakat SW -Swasta
Jalan ”Pendidikan”untuk ”Kebangkitan Bangsa” Jika “Indonesia yang adil dan makmur” merupakan cita-cita yang dituju dalam perjalanan Negarabangsa ini, lalu bagaimana menuju kesana? Ada berbagai jalan yang mesti ditempuh. Salah satunya adalah melalui ”jalan pendidikan”. Dalam skala global, misalnya, program education fol all menjadi salah satu pilar penting dalam upaya pencapaian Millenium Development Goals (MDGs). (lihat misalnya: http://portal.unesco.org/education, juga http://www.un.org/millenniumgoals/) Dalam melakukan transformasi Indonesia Baru melalui jalur pendidikan, mengikuti kerangka berfikir yang dibangun oleh IMD: SPKM 2007, maka yang harus dilakukan adalah orkestrasi ikhtiar baik yang dilakukan oleh negara, masyarakat warga, masyarakat politik, maupun pasar. Dalam forum diskusi yang sedang kita adakan sekarang ada baiknya kita menyepakati sejumlah agenda prioritas strategis transformasi pendidikan Indonesia dan strategi untuk mencapainya dengan mengkombinasikan kemampuan dan kekuatan yang dimiliki oleh keempat pilar republik: negara, masyarakat warga, masayarakat politik, dan masyarakat ekonomi. Dalam kesempatan ini saya ingin mengusulkan setidaknya tiga agenda utama yaitu: • Implementasi pendidikan dasar gratis berbasis komunitas • Mengembangkan pendidikan ketrampilan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lokal berbasis komunitas • Mengembangan pendidikan tinggi yang bervisi ke depan berkolaborasi dengan korporasi dan intelektual independen
Laporan Panitia Konferensi
65
1. Menyediakan pendidikan dasar gratis berbasis komunitas M. Warga M. Politik M. Ekonomi Melakukan kontrol Memastikan Pengembangan sosial terhadap fungsi ketersediaan dana dan bisnis kecileksekutif & legislatif bantuan infrastruktur menengah utk dalam implementasi bagi pendidikan dasar menopang pendidikan dasar (fungsi budget & pendidikan dasar regulasi) (buku, fasilitas pengajaran, dsb.) Bekerjasama dg Melakukan kontrol Menopang korporasi dlm terhadap fungsi negara pendidikan dasar pelaksanaan bantuan dalam dengan program CSR CSR utk pendidikan mengimplementasikan dasar pendidikan gratis Membangun dan mengembangkan lembaga2 pendidikan dasar berkualitas berbasis komunitas 2. Mengembangkan pendidikan ketrampilan lokal berbasis komunitas M. Warga M. Politik Mendukung Menyokong dan pengembangan memastikan pendidikan ketersediaan dana ketrampilan sesuai dan fasilitas bagi dengan kondisi & terlaksananya kebutuhan lokal program Mendirikan & mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan ketrampilan yg sesuai dengan kondisi & kebutuhan lokal Bekerjasama secara aktif dengan masy. Ekonomi utk mengembangkan pendidikan ketrampilan
Menyokong kerjasama negaramasyarakat wargakorporasi dalam pelaksanaan pendidikan ketrampilan berbasis lokal Melakukan kontrol terhadap fungsi negara dalam mengimplementasikan program & kerjasama dg korporasi
Negara Menyediakan dana dan bantuan finansial serta infrastruktur bagi pendidikan dasar gratis Menyediakan kurikulum pokok dan metode kontrol kualitas
yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan M. Ekonomi Menyokong secara aktif pengembangan pendidikan ketrampilan bekerjasama dengan negara dan masy. Warga Mengembangkan pendidikan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan usaha
Negara Membangun & mengembangkan pendidikan ketrampilan berbasis kondisi & kebutuhan lokal Menggalang dukungan & kerjasama dg korporasi baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional Menggalang dukungan dana & pelatihan dari luar negeri
1. Mengembangkan pendidikan tinggi yang bervisi ke depan berkolaborasi dengan korporasi dan intelektual independen M. Warga M. Politik M. Ekonomi Negara Mengembangkan Menyokong upayaMenjadikan Mengembangkan pendidikan tinggi yang upaya pengembangan pengembangan pendidikan tinggi berorientasi ke depan pendidikan tinggi yang pendidikan tinggi sbg dalam rangka dengan bertolak berorientasi ke dapan bagian dari meningkatkan realitas problem dan pengembangan bisnis kapasitas dan kebutuhan di masa depan kompetensi bangsa masyarakat dalam kompetisi internasional Melakukan kajianMenyokong upaya & Membangun kajian independen utk riset-riset berorientasi kerjasama lintas-
Laporan Panitia Konferensi pengembangan gagasan visioner
Menggalang kerjasama produktif dengan korporasi dengan tetap berkomitmen kpd ketentingan hajat masyarakat
66 ke depan yg dikerjakan oleh kelompok2 intelektual independen
negara dlm pengembangan pendidikan tinggi sesuai dengan perkembangan regional Menyokong kerjasama dengan korporasi dan intelektual independen dalam pengembangan pendidikan tinggi
Laporan Panitia Konferensi
67
TOR (Term of Reference) Konferensi Pemuda dan Pelajar Indonesia di Luar Negeri “Revitalisasi Semangat Kebangsaan Pemuda dan Pelajar Indonesia: Menggagas Kebijakan Pendidikan yang Berperspektif Kebangsaan” Dalam rangka: 100 Tahun Kebangkitan Nasional, 100 Tahun Gerakan Pelajar Indonesia di Luar Negeri, 80 Tahun Sumpah Pemuda Pendahuluan Nasionalisme telah berkembang lebih dari 200 tahun, Revolusi Amerika (1775-1783) telah melahirkan democratic nationalism dan Revolusi Perancis (1789-1799) melahirkan faham nasionalisme, kewarganegaraan, dan hak azasi manusia. Hingga saat ini, nasionalisme tetap menjadi pilar penting bagi nation-states di Amerika dan Eropa, yang saat ini sudah berkembang menjadi kawasan yang relatif sejahtera dan maju; Hingga saat ini, nasionalisme tetap merupakan ideologi yang paling relevan, paling riil, dan paling kuat dalam global politics. Faham nasionalisme selalu mendasari pembentukan nation-state. Fakta bahwa jumlah negara (nation-state) terus bertambah (dari sekitar 50 negara di tahun 1914 menjadi 195 negara di tahun 2008) menunjukkan relevansi nasionalisme dalam kehidupan politik internasional sehari-hari. Perkembangan nasionalisme di Indonesia (kala itu Hindia Belanda), tidak bisa lepas dari sejarah hubungan Indonesia - Belanda. Pada tahun 1908 Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantoro mendirikan perhimpunan Budi Oetomo. Pada kurun waktu yang sama, para putra Hindia Belanda yang belajar di Belanda juga mendirikan Indische Vereniging di Leiden. Dengan kedatangan Suwardi Suryaningrat ke Belanda pada tahun 1913, Indische Vereniging menjadi gerakan politik yang mendukung gerakan nasional untuk kemerdekaan Hindia Belanda. Dibawah kepemimpinan Muhammad Hatta di Belanda, Indische Vereniging diubah menjadi Perhimpunan Indonesia, dan sepenuhnya menjadi organisasi politik bagi para pelajar Indonesia di Belanda. Rangkaian sejarah tersebut menunjukkan peran penting para pemuda-pemudi pribumi yang belajar di Belanda dalam pengembangan faham nasionalisme di Hindia Belanda. ‘Nasionalisme Indonesia’ kemudian dirumuskan lebih lanjut sebagai ideologi pada Soempah Pemoeda di tahun 1928. Dalam Kongress Pemuda II di tahun 1928 tersebut, masalah pendidikan berwawasan kebangsaan juga dibahas secara mendalam. Selama 100 tahun, hingga saat ini, nasionalisme Indonesia telah berhasil membawa bangsa Indonesia mengarungi era dekolonisasi, Perang Dingin, dan globalisasi; Peran penting Nasionalisme tidak saja berhenti dalam proses melahirkan nation-state, tetapi juga dapat digunakan sebagai kekuatan untuk membangun nation-state tersebut. Suatu studi empiris tentang nasionalisme telah dilaksanakan di Columbia University (2008). Studi ini memadukan berbagai survey dari International Social Survey Programme (Norway) dan World Bank’s Worldwide Governance Indicators. Hasil awal dari studi ini sangat menarik: bahwa nasionalisme dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (nasionalisme memupuk solidaritas sosial-ekonomi sesama warganegara); nasionalisme membantu pemberantasan korupsi (kecintaan dan tanggung-jawab kepada tanah-air mendorong terbentuknya birokrasi yang bersih); dan nasionalisme dapat menekan angka kejahatan (nasionalisme meningkatkan kesadaran hukum masyarakat). Alhasil, studi tersebut menarik kesimpulan awal, bahwa negara dengan nasionalisme yang tinggi berpotensi untuk lebih sejahtera dan memiliki pemerintahan yang lebih bersih daripada negara dengan nasionalisme yang rendah. Nasionalisme, sebagai kekuatan politik, telah digunakan oleh para bapak pendiri Indonesia untuk melahirkan Indonesia sebagai nation-state yang merdeka; adalah logis kalau para elit politik dan masyarakat madani Indonesia, saat ini, perlu menggunakan nasionalisme tidak saja sebagai kekuatan pemersatu, melainkan juga sebagai kekuatan pembangun bangsa. Di era globalisasi saat ini yang juga telah membawa juga dampak negative berupa jurang ekonomi dan jurang kesejahteraan intra dan antar negara, nasionalisme Indonesia perlu terus dikembangkan sebagai wahana untuk mempertahankan jati-diri bangsa, integritas politik, dan sekaligus mekanisme keadilan sosial, distribusi kesejahteraan, dan solidaritas sosial-politik bagi sesama warga Negara Indonesia dari Merauke sampai Sabang.
Laporan Panitia Konferensi
68
Di era globalisasi saat ini, semakin banyak pemuda dan pelajar Indonesia yang berdomisili di luar negeri, baik untuk bekerja maupun untuk menuntut ilmu. Mengambil pelajaran dari rangkaian sejarah, pelajar dan pemuda Indonesia tersebut dapat berperan sangat aktif dalam gerakan nasionalisme. Melalui Gerakan Nasionalisme Pemuda dan Pelajar Indonesia di luar negeri, diharapkan para warga Indonesia ini dapat menyumbangkan pemikiran, alih teknologi dan pengetahuan, dan bahkan aliran dana (investasi) dari luar negeri, yang sangat bermanfaat untuk pembangunan tanah-air Indonesia. Bertepatan dengan 100 Tahun Kebangkitan Nasional, 100 Tahun Gerakan Nasionalisme Pemuda dan Pelajar Indonesia di Luar Negeri, dan 80 Tahun Soempah Pemoeda, Konferensi Pemuda dan Pelajar Indonesia di Den Haag tahun 2008 ini perlu mengkaji-ulang relevansi nasionalisme sebagai kekuatan pembangunan bangsa di milenium ini dan peran pemuda pelajar. Selain mengangkat isu nasionalisme, kegiatan ini juga akan menfokuskan diri pada isu yang sangat dekat dengan pelajar dan pemuda yaitu Pendidikan. Dengan mengangkat isu tersebut, diharapkan sumbangsih dari kegiatan ini mampu menghasilkan masukan yang berguna sebagai pegangan bagi pemuda dan pelajar untuk dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan Indonesia yang berwawasan kebangsaan. Tujuan Kegiatan 1. Turut mengintegrasikan semangat kebangsaan (nasionalisme) sebagai ideologi maupun jati diri dalam pembangunan bangsa Indonesia dari Merauke sampai Sabang; 2. Turut memberdayakan gerakan kebangsaan (nasionalisme) pemuda dan pelajar Indonesia guna memberikan masukan dalam pembangunan bangsa Indonesia yang berwawasan kebangsaan sesuai dalam kapasitasnya sebagai pelajar; 3. Turut memberikan masukan dalam perumusan kebijakan pembangunan pendidikan yang berwawasan kebangsaan. Hasil Kegiatan 1.
Rekomendasi a. Rekomendasi Rekomendasi ini berisi rangkuman saran-tindak dari 5 topik yang dibahas oleh 5 Kelompok Kerja. b. Draf Kertas Kebijakan (Policy Paper) Pembentukan Pusat Tesis Indonesia Pusat Tesis Indonesia diperlukan untuk mengkompilasi semua karya tesis (S1, S2, S3) para mahasiswa Indonesia, baik yang dihasilkan di dalam negeri maupun diluar negeri, sehingga karya-karya ilmiah yang sangat berharga tersebut dapat dijadikan rujukan bagi penelitian ilmiah kalangan ilmuwan, maupun perumusan kebijakan oleh Pemerintah. c. Draf MoU Penerimaan Dana Beasiswa: Case Study - Belanda Draf MoU ini berisi pembagian kuota bidang studi dalam bea-siswa Belanda kepada pelajar Indonesia, berdasarkan hasil rekomendasi masukan rancangan kebijakan kerjasama pendidikan.
2.
Penerbitan conference proceedings
Tempat dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan Tempat : Museon, Stadhouderslaan 37, 2517 HV, Den Haag Waktu : 25 - 26 Oktober 2008 Peserta Konferensi Konferensi Pemuda dan Pelajar Indonesia di Den Haag dihadiri oleh 320 pelajar, mahasiswa, pemuda, dan anggota masyarakat Indonesia di Belanda, dan dari negara-negara lain sementara itu negara-negara peserta konferensi adalah sebagai berikut: • Belanda • Australia • Maroko • Mesir
Laporan Panitia Konferensi • • • • • • • •
69
Indonesia Jerman Italia Perancis Saudi Arabia Russia China (Global Interaktif Dialog) Iran (Global Interaktif Dialog)
Agenda Konferensi Sabtu, 25 Oktober 2008 Museon WAKTU 08.30 – 09.00
ACARA Registrasi Peserta Konferensi
09.00 – 09.30
Pembukaan Oleh Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda J.E. Habibie
09.30 – 10.00
Ceremonial Napak Tilas Pergerakan Pelajar Indonesia di Luar Negeri
10.00 – 12.00
Panel Nara Sumber Kehormatan • Prof. Dr. Anwar Nasution (Ketua BPK) “Perbaikan Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Era Reformasi” • Dr. H.S. Dillon (Pengamat Pangan) “Nasionalisme Indonesia: Petani Memperkokoh Landasan Kedaulatan Bangsa” • Emha Ainun Najib (Budayawan) “Pembangunan Masyarakat Kebangsaan yang Madani” • Drs. Ahmad Syukri (Sesditjen Perhubungan Darat) “Pembangunan Infrastruktur yang menyatukan dan memeratakan distribusi kesejahteraan di Nusantara” • Capt. Hadi Supriyono (Atache Perhubungan London) “Pembangunan Maritim yang ber-Wawasan Nusantara”
12.00 – 13.00
Makan Siang
13.00 – 15.00
Diskusi Dengan Panel Nara Sumber Kehormatan Tele Konference dengan Indonesia, radio Beijing, radio Australia ABC, radio Iran (IRIB) dan radio Deutsche Welle Jerman.
15.00 – 15.45
Istirahat & Transfer ke KBRI Den Haag
KBRI Den Haag 16.00 – 18.00
Kelompok Kerja Rekomendasi Konferensi
18.00 – 19.00
Makan Malam
19.00 – 21.00
Kelompok Kerja Rekomendasi Konferensi
Museon 16.00 – 23.00
Festival Film Indonesia
Laporan Panitia Konferensi
70
Agenda Konferensi Minggu, 26 Oktober 2008 Museon WAKTU 08.30 – 09.00 09.00 – 10.00
ACARA Registrasi Peserta Konferensi Panel 1 Pembangunan Pertanian Rakyat untuk Mencapai Ketahanan dan Swasembada Pangan Pemakalah: Zefirinus K. Lewoema & Roby Fauzan (Wageningen) “Sebuah analisis hubungan ketahanan pangan dan ketahanan nasional”
10.00 – 11.00
Panel 2 Pembangunan Maritim yang ber-Wawasan Nusantara Pemakalah 1: Achmad Adhitya (Leiden) “Indonesia Bangkit Lewat Laut” Pemakalah 2: Andi Ibrahim (Enschede) “Inisiatif Nasional Ekspedisi MDGs untuk Wilayah Kepulauan di Indonesia”
11.00 – 12.00
Panel 3 Pembangunan Infrastruktur yang menyatukan dan memeratakan distribusi kesejahteraan di Nusantara Pemakalah 1: Ary A Samsura (Delft) “Pembangunan Infrastruktur dalam Semangat Kebersamaan” Pemakalah 2: Jaka Aminata (Perancis) “New Paradigm in Infrastructure Development and its Implication on Income Distribution and Welfare State”
12.00 – 13.00
Makan Siang
13.00 – 14.00
Panel 4 Pembangunan Riset dan Teknologi bagi Kemandirian Intelektualitas Bangsa Pemakalah 1: Sudarko (Perancis) “Free Open Source Software Sebagai Solusi Kemandirian Bangsa di Bidang Teknologi Informasi” Pemakalah 2: Oki Muraza (Eindhoven) “Brain Circulation Network”
14.00 – 15.00
Panel 5 Pembangunan Masyarakat Kebangsaan yang Madani (nationalist-civil society) Pemakalah 1: Muhammad Najib Azca (Amsterdam) “Membangkitkan Bangsa, Menata Reformasi: Transformasi Indonesia Baru Melalui Pendidikan”
15.00 – 16.00
Istirahat & Transfer ke KBRI Den Haag
KBRI Den Haag 16.00 – 18.00 Perumusan Hasil Konferensi 18.00 – 19.00
Panel Penutup • Emha Ainun Najib (Budayawan)
19.00 – 20.00
Makan Malam
Laporan Panitia Konferensi 20.00 – 21.00 Museon 16.00 – 23.00
71
Sidang Pleno Konferensi
Festival Film Indonesia
Tata Tertib Konferensi Pasal 1 Peserta Konferensi 1. Konferensi dihadiri oleh peserta yang berasal dari Pemuda dan Pelajar Indonesia yang hadir dan mengisi formulir konferensi. 2. Jumlah peserta konferensi tidak dibatasi, dengan ketentuan harus mendaftarkan diri pada panitia sebelum mulainya pertemuan dan pendaftaran dilakukan berdasarkan prinsip first register first serve. Panitia berhak menolak pendaftaran peserta lainnya bilamana dianggap jumlah peserta telah melebihi kesanggupan daya tampung. Pasal 2 Hak dan Kewajiban Peserta 1. Peserta konferensi berkewajiban menaati tata tertib ini serta menjaga kelancaran dan ketertiban sidang. 2. Peserta konferensi berhak mengikuti keseluruhan rangkaian pertemuan. 3. Peserta konferensi berkewajiban memakai tanda pengenal yang disediakan oleh panitia dan berpakaian sopan dan rapih. 4. Peserta konferensi berkewajiban meminta ijin Presidium Sidang bila hendak meninggalkan acara. 5. Peserta konferensi memiliki hak bicara. 6. Peserta konferensi memiliki hak suara dan berhak dipilih menjadi presidium sidang. 7. Peserta konferensi dilarang merokok, makan di dalam ruangan sidang. 8. Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini dapat diatur lebih lanjut berdasarkan kesepakatan sidang. Pasal 3 Perangkat Sidang 1. Panitia Konferensi Bertugas mengarahkan jalannya pertemuan sesuai dengan tujuan pertemuan dan agenda yang telah disepakati. 2. Presidium Sidang Pleno Konferensi Sidang Pleno Konferensi dipimpin oleh Presidium Sidang (diwakili oleh Ketua Sidang Konferensi) dan ditetapkan paling banyak berjumlah lima orang. Panel Khusus dipimpin oleh paling sedikit satu orang. Ketua Sidang Konferensi berwenang memberikan peringatan dan/atau sanksi pencabutan hak bicara terhadap peserta sidang yang melanggar tata tertib sidang. Sanksi pencabutan hak bicara diberikan dengan memperhatikan persetujuan seluruh peserta sidang yang hadir. 3. Peserta Sidang 4. Narasumber bilamana dianggap perlu. 5. Notulen dan Panitia Notulen bertugas mencatat keseluruhan jalannya sidang pleno, panel umum dan panel khusus serta merekam kesepakatan yang telah dihasilkan. Pasal 4 Sidang Pleno
Laporan Panitia Konferensi
72
1. Sidang pleno awal dipimpin sementara oleh Perwakilan Tuan Rumah yang bertugas menetapkan Tata Tertib dan Agenda Pertemuan, serta menetapkan Presidium Sidang Pleno. 2. Pemilihan Ketua Sidang Konferensi ditetapkan dengan musyawarah mufakat atau dengan pemungutan suara oleh peserta konferensi. 3. Setelah Presidium Sidang Pleno terbentuk, Ketua Sidang Konferensi terpilih bertugas memimpin dan menjaga jalannya Sidang Pleno atau Panel Khusus serta menyerahkan kembali kepada Ketua Panitia di akhir Sidang Pleno Konferensi. Pasal 5 Sidang Panel Khusus (kelompok kerja) Bertugas menghasilkan Laporan Kelompok Kerja untuk kemudian dibahas dan ditetapkan dalam sidang pleno akhir. Pasal 6 Pengambilan Keputusan 1. Pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat. 2. Bilamana mufakat belum tercapai, sidang dapat direses paling banyak selama 2 x 5 menit. 3. Pemungutan suara dilakukan bila musyarawah tidak menghasilkan mufakat dan reses sebanyak 2 x 5 menit telah ditempuh. 4. Dalam mencapai mufakat, pimpinan sidang berkewajiban menyebutkan kata sepakat sebanyak paling sedikit dua kali yang menandakan dicapainya mufakat. Pasal 7 Pemungutan Suara 1. Pemungutan suara dilakukan dengan prinsip tiap satu peserta satu suara (one man one vote) dan dilaksanakan secara terbuka. 2. Keputusan yang diambil melalui pemungutan suara adalah sah bila suara terbanyak (simple majority) telah tercapai. Pasal 8 Mekanisme Interupsi 1. Interupsi dilakukan atas seijin Pimpinan Sidang. 2. Interupsi tidak dapat dibatalkan oleh interupsi lainnya kecuali oleh tingkatan interupsi yang lebih tinggi. 3. Empat tingkatan interupsi dari yang paling rendah ke yang paling tinggi adalah sebagai berikut: a. Interupsi Point of Order Merupakan tingkat interupsi terendah. Dilakukan untuk meminta waktu untuk menyampaikan sesuatu pada saat sidang sedang berjalan dan pimpinan sidang sedang menggunakan waktu bicaranya. b. Interupsi Point of Information Dilakukan untuk meminta waktu bicara secara singkat terhadap pembicara yang sudah diberikan waktu bicara melalui interupsi point of order. c. Interupsi Point of Clarification Dilakukan untuk meminta waktu bicara guna menyanggah pembicara yang sedang menggunakan hak bicaranya melalui interupsi point of information. d. Interupsi Point of Privilege Merupakan tingkat interupsi tertinggi yang bisa dilakukan dengan melewati semua tahap interupsi yang ada di bawahnya. Dilakukan untuk mengingatkan sidang terhadap hal yang sangat penting misalnya pelanggaran tata tertib dan jadwal. 4. Pimpinan Sidang dapat memberikan sanksi pencabutan hak bicara bila interupsi menganggu jalannya sidang dan atau menimbulkan kegaduhan. Pasal 9 Aturan Peralihan dan Lain-lain
Laporan Panitia Konferensi
73
1. Sebelum dimulainya pertemuan Konferensi pada waktu dan tempat yang telah disepakati, halhal lain yang belum diatur dalam tata tertib ini dapat diatur secara bersama oleh Panitia Konferensi. 2. Perubahan tata tertib dan hal-hal lain yang belum diatur dalam tata tertib ini dapat dilaksanakan berdasarkan kesepakatan sidang pleno. Ditetapkan di Den Haag 25 okt 2008 oleh Sidang Pleno Konferensi Pemuda dan Pelajar Indonesia di Luar Negeri.
Laporan Panitia Konferensi
74
Laporan Keuangan Konferensi No 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Satuan Pengeluaran Sewa gedung Museon (2 hari + peralatan dan teknisi) Konsumsi di Museon (2 mkn siang, 2 mkn malam) @ €7 x 4 x 200 orang
Biaya
Keterangan
€5,208,63
€5,600
Konsumsi di wisma tamu (3 mkn pagi) @ €5 x 3 x 60 orang
€900
Konsumsi pra seminar (1 mkn malam) @ €5 x 1 x 40 orang
€200
Fee konsumsi Museon dan biaya rehat kopi konferensi (2 hari) @ €4 x 2 kali x 200 orang
€1,600
Sewa mobil @ €75 x 2 mobil x 3 hari
€450
Tenaga lepas @ €5 x 8 jam x 3 hari x 5 orang
€600
Biaya Pembelian ATK + seminar kit - Name tag @ €2 x 200 buah - Ballpoint @ €1 x 100 buah - Kertas cover @ €0,50 x 300 buah - Print Sertificaat @ €1 x 300 buah - Kertas: @ €7 X 2 rim - Amplop putih
€400 €100 €150 €300 €14 €15
Biaya tidak terduga Biaya Total
€2400 €16,729
Incl BTW (pajak)
Laporan Panitia Konferensi Berita Gambar
75
Laporan Panitia Konferensi
76
Laporan Panitia Konferensi
77
Laporan Panitia Konferensi
78
Laporan Panitia Konferensi
79
Laporan Panitia Konferensi
80
Laporan Panitia Konferensi
81 Ucapan Terima Kasih
Panitia konferensi mengucapkan terima kasih dan menyatakan penghargaan sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya konferensi ini. Tanpa bantuan serta dukungan dan masukan dari semua pihak maka tidak mungkin konferensi ini bisa terlaksana. Panitia secara khusus mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda, Yth Bapak J.E. Habibie atas bimbingan dan nasihat beliau dalam persiapan konferensi ini. Serta kepada segenap jajaran Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda atas bantuan dan kerjasamanya dalam pelaksanaan konferensi ini. Kepada setiap pihak yang turut berjasa dalam terlaksananya konferensi ini panitia juga ingin mengucapkan rasa terima kasih kami sebesar-besarnya kepada: (I) para pembicara atas makalah dan pendapat expertisenya, (II) para pemakalah atas makalah dan hasil risetnya, (III) para narasumber atas masukannya, (IV) para peserta konferensi atas kehadiran dan masukannya yang berharga, (V) pihak sponsor yang turut berperan terlaksananya konferensi ini, (VI) organisasi-organisasi pendukung (VII) anggota panitia atas kerja keras dan kerjasamanya demi terlaksananya konferensi ini dan kepada semua pihak yang namanya tidak bisa kami sebutkan karena keterbatasan tempat. Nama-nama yang akan kami telah kami sebutkan dalam halaman berikut adalah pihak-pihak yang turut berjasa dalam terlaksananya konferensi ini. Semua pihak telah bekerja sama demi terwujudnya konferensi yang menghasilkan rekomendasi yang bersifat nyata dan riil serta siap guna bagi tanah air tercinta Indonesia demi terwujudnya sebuah impian bersama akan Indonesia Masa Depan yang menjadi cita-cita bersama dari setiap anak bangsa dimanapun kami berada. Panitia Konferensi Pemuda dan Pelajar Indonesia di Luar Negeri I Pembicara Konferensi: • Prof. Dr. Anwar Nasution • Dr. H. S. Dillon • Emha Ainun Najib • Drs. Ahmad Syukri • Capt Hadi Supriyono II Pemakalah Konferensi: • Zefirinus K. Lewoema • Roby Fauzan • Achmad Adhitya • Andi Ibrahim • Ary A Samsura • Jaka Aminata • Sudarko • Oki Muraza • Muhammad Najib Azca III Narasumber: • Bpk Saidan (Kepala Sekolah Indonesia Nederland) • Bpk Basok (Kepala Sekolah Indonesia Russia Moscow) • Yul Y. Nazaruddin (Atdiknas Berlin) IV Peserta Konferensi dari Negara: • Belanda • Australia • Maroko • Mesir • Indonesia • Jerman • Italia • Perancis • Saudi Arabia
Laporan Panitia Konferensi • • •
Russia China (Global Interaktif Dialog) Iran (Global Interaktif Dialog)
V Sponsor: • Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam • Radio Nederland Wereldomroep • Radio Deutsche Welle (Jerman) • Radio Tiongkok (China) • Radio Australian Broadcasting Corporation (Australia) • Radio Islamic Republic of Iran Broadcasting (Iran) • Nuffic Neso Indonesia VI Organisasi Pendukung: • Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia • Stichting Sapu Lidi • Jejaring PPI Eropa • Indonesia Masa Depan • Ikatan Keluarga dan Alumni Nederland
82