Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Pertumbuhan dan Kelulushidupan Juvenil Kima Sisik (Tridacna squamosa) yang dipelihara dalam Kurungan yang diletakkan pada Habitat Terumbu Karang Hidup dan Terumbu Karang Mati di Perairan Teluk Kupang Nusa Tenggara Timur Ernes D. Hamel1*, Ricky Gimin2 dan Fonny J.L Risamasu2 1
Balai Benih Ikan Pantai Tablolong, Dinas Kelautan dan Perikanan Prov. Nusa Tenggara Timur 2 Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Undana email:
[email protected]
Abstract Ernes D. Hamel, Ricky Gimin dan Fonny J.L Risamasu. 2013. Growth and survival of The Scales Kima Juvenil (Tridacna squamosa) are reared in cages placed on Habitat of Life Coral Reefs and The Death Coral Reefs in The Kupang Gulf waters - East Nusa Tenggara. Konferensi Akuakultur Indonesia 2013. The scaly giant clam (Tridacna squamosa) is one of coral reef animals which is protected as endangered species. The success of their hatchery technology can be a source of juveniles for retocking depleted reefs. Retocking programs carried out so far were mainly done on the reefs of good condition. As an filter feeder, which food extracted from water column, this study aimed at testing a hypothesis that the clams could also be restocked in devastated reefs. This hypothesis was tested during the study by comparing the growth and survival rate of juveniles in the good condition reefs consisting of live corals and devastated ones of primary coral rubbles. The study also tried to identify water quality affecting the growth and survival. Hatchery produced juveniles T. squamosa aged six months of 20-30 mm in shell length were placed into net cages (dimension 50 x 50 x 30 cm3) set up at the depth of 4–5 m. A number of 10 cages were placed randomly in the good reefs and another 10 in the devastated reefs. Each cage was stocked with 170-180 juveniles. Shell growth measurement was carried out weekly for eight weeks. Results of the study showed that juvenile T. squamosa stocked in the devastated reefs had mean absolute growth rate of 20.11 mm and specific growth rate of 0.82 mm/day which were significantly higher than those in the good reefs (absolute growth of 12.77 mm and specific growth rate of 0.78 mm.day) (Student t-test; P<0.05). For the survival rate, there were no significant differences between the two reefs and 67 – 88% of the juveniles survived until the end of the experiment. The differences in the growth rates between the two reef habitats were probably due to the significant differences in water flow rate, turbidity, and biofouling. In the devastated reefs, the flow rate was higher; the turbidity was lower; and biofouling was lesser than those in the good reefs. This study recommended that the giant clams restocking programs should be done in devastated reefs to increase the economic value of the reefs. Keyword: Cage culture; Coral reef; Growth; Survival rate; Tridacna squamosa
Abstrak Kima sisik (Tridacna squamosa) merupakan organisme penyusun terumbu karang yang dilindungi, dengan status populasi hampir punah. Keberhasilan perbenihan kima ini memungkinkan pembudidayaannya untuk memenuhi permintaan organisme akuarium dan pemulihan populasinya di alam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan dan kelulushidupan juvenile kima yang dipelihara dalam kurungan jaring yang diletakkan di habitat terumbu karang hidup dan terumbu karang mati di perairan Teluk Kupang, serta mengidentifikasi kualitas air yang mempengaruhinya. Juvenile T. squamosa hasil perbenihan di hatchery BBIP Tablolong-Kupang yang berumur enam bulan dengan ukuran panjang cangkang 20-30 mm dipelihara dalam kurungan jaring berangka besi (50 x 50 x 30 cm3) yang diletakkan di dasar perairan pada kedalaman 4–5 m. Sebanyak 10 kurungan diletakkan secara random di habitat karang hidup dan 10 kurungan lainnya di letakkan pada habitat karang mati. Setiap kurungan ditebari dengan 170-180 individu. Pengukuran pertumbuhan dilakukan setiap minggu selama 8 minggu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa juvenile T. squamosa yang diletakkan di habitat terumbu karang mati memiliki laju pertumbuhan mutlak rata-rata 20,11 mm dan laju pertumbuhan spesifik 0,82 mm/hari yang secara nyata lebih tinggi (uji t-student; P<0,05) dibandingkan dengan yang dipelihara di habitat terumbu karang hidup (pertumbuhan mutlak 12,77 dan laju pertumbuhan spesifik 0,78 mm/hari). Untuk kelulushidupan, tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05) antara kedua lokasi terumbu karang dan sebanyak 67-88% individu mampu bertahan hingga berakhirnya penelitian. Perbedaan tampilan pertumbuhan antar kedua habitat terumbu karang kemungkinan disebabkan oleh
139
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
perbedaan dalam kecepatan arus; turbiditas; dan biofouling. Di habitat terumbu karang mati kecepatan arus lebih tinggi, turbiditas lebih rendah dan biofouling yang lebih sedikit menempel di permukaan kurungan dibandingkan di habitat karang hidup. Penelitian ini merekomendasikan untuk menebari terumbu karang yang rusak dengan kima agar nilai ekonomi dari habitat seperti ini dapat ditingkatkan. Kata kunci: Kurungan jaring; Terumbu karang; Pertumbuhan; Kelulushidupan; Tridacna squamosa
Pendahuluan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi kepulauan yang memiliki sumberdaya terumbu karang seluas 154.341,45 Ha (The Nature Conservancy, 2010). Akan tetapi, semakin terbatasnya sumberdaya di daratan dan kesulitan pangan, membuat semakin banyak penduduk yang mengeksploitasi ekosistem ini. Tekanan antropogenik yang sangat besar tersebut berdampak pada kerusakan habitat dan kelangkaan atau kepunahan organisme yang menghuninya (Conteriuset et al. 2000). Tercatat terumbu karang di perairan Teluk Kupang, kondisi bagus sekitar 18,4%, kondisi sedang sekitar 51,0% dan dalam kondisi rusak / buruk sekitar 30,6% (Ninef et al., 2002). Kima sisik (Tridacna squamosa) merupakan salah satu organisme penghuni terumbu karang yang telah lama dimanfatkan oleh penduduk di NTT sebagai bahan makanan dan berbagai keperluan lainnya. Meningkatnya penduduk yang bermukim di wilayah pesisir membuat organisme ini terus dieksploitase, meskipun sejak lama telah ada peringatan akan ancaman keterpunahan organisme ini dengan dimasukkannya kima dalam Appendix II CITES (The Convention on the International Trade of Endangered Species) dan dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 dan PP Nomor 7 Tahun 1999 disebutkan bahwa semua jenis kima merupakan satwa yang dilindungi. Upaya perlindungan populasi kima akan lebih berhasil guna jika pada saat yang sama dilakukan upaya rehabilitasi populasi dan jika memungkinkan, perintisan pembudidayaannya (Bell et al., 1997). Teluk Kupang merupakan salah satu kawasan perairan di NTT yang menjadi habitat alami bagi kima sisik. Sebagai kawasan yang sarat pemanfaatan, upaya rehabilitasi habitat dan perintisan budidaya kima di teluk ini akan dapat menjadi contoh bagi upaya sejenis di perairan NTT lainnya. Dalam upaya rehabilitasi populasi kima di alam atau pembudidayaannya, diperlukan introduksi juvenil kima ke lingkungan alam. Kedua upaya ini memungkinkan dilakukan di Teluk Kupang oleh adanya keberhasilan pemijahan kima di panti perbenihan BBIP Tablolong yang telah mampu menghasilkan juvenil berbagai ukuran guna ditebarkan ke alam. Upaya rehabilitasi populasi kima yang dilakukan selama ini umumnya berlangsung pada lokasi yang sedapat mungkin, menyerupai habitat alami kima (Caddy dan Defeo, 2003). Dengan kata lain, habitat yang komponen terumbu karangnya masih relatif baik. Dengan semakin meningkatnya kerusakan terumbu karang dan menyusutnya tutupan karang hidup, maka ketersediaan habitat semacam ini akan semakin berkurang. Akibatnya, di masa depan kegiatan restocking akan berlangsung di terumbu karang yang relatif sudah rusak. Selain itu, kegiatan budidaya tidak akan meluas, jika kegiatan hanya dapat dilakukan di ekosistem karang yang masih baik. Akan tetapi, belum ada informasi sejauh mana juvenil kima mampu hidup dan bertumbuh di kawasan terumbu yang sudah rusak. Kima merupakan organisme yang planktotrof fakultatif yang memperoleh nutrisinya dari plankton yang terdapat di dalam air dan alga zooxanthellae simbionnya (Munro, 1992). Pertumbuhannya akan berlangsung optimal jika plankton atau bahan organik terlarut melimpah di lingkungannya (Klumpp dan Griffiths, 1994; Fitt et al., 1995). Jika zooxanthellae terdapat baik di lingkungan terumbu karang yang masih baik maupun yang sudah rusak dan ketersediaan plankton dan bahan organik yang terdapat di dalam air tidak dipengaruhi oleh kondisi terumbu karang, maka dari segi nutrisi pertumbuhan dan kelulushidupan juvenil kima tidaklah tergantung pada kondisi terumbu karang. Dugaan ini hendak diuji dalam penelitian ini dimana pertumbuhan dan kelulushidupan juvenil kima dibandingkan pada dua kondisi terumbu karang yaitu: terumbu karang yang didominasi karang hidup dan terumbu karang yang didominasi oleh patahan karang mati.
140
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Penelitian ini juga hendak melihat variabel kualitas air apa saja yang mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan kima pada dua kondisi terumbu karang tersebut.
Materi dan Metode Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di dua lokasi terumbu karang dalam kawasan Teluk Kupang yaitu: pada terumbu karang yang didominasi oleh organisme koral hidup (koordinat: 10º13’4,94’ LS 123º30’55,77” BT) dan pada terumbu karang mati yang didominasi oleh patahan koral (koordinat: 10º13’10,48’ LS - 123º30’21,15’ BT). Juvenil kima (Tridacna squamosa) Juvenil kima yang digunakan merupakan hasil pemijahan di hatchery BBIP Tablolong dan dibiarkan melekat dan bertumbuh pada substrat lempengan karang mati (Gambar 1). Juvenil tersebut berusia enam bulan dan memiliki kisaran panjang cangkang 9-12 mm.
Gambar 1. Juvenil Tridacna squamosa hasil pemijahan di hatchery dan substrat perlekatannya.
Kurungan yang digunakan Dalam penelitian ini digunakan ke dalam 20 buah kurungan jaring berangka besi yang masing-masing berdimensi 50 x 50 x 30 cm3. Sebanyak 10 kurungan ditempatkan pada lokasi habitat terumbu karang hidup dan 10 kurungan lainnya pada lokasi habitat terumbu karang mati. Kurungan-kurungan tersebut diletakkan langsung di dasar perairan pada kedalaman 4,5 ± 0,1 m surut terendah. Juvenil kima yang masih melekat pada substrat potongan karang diambil dari tangki nursery di hatchery, lalu juvenile beserta substratnya dimasukkan ke dalam kurungan-kurungan tersebut. Setiap lempengan susbtrat memuat sebanyak 170 s/d 180 individu kima dan setiap kurungan diisi dengan sebuah susbtrat yang dilekati kima. Pengamatan kima dan faktor lingkungan Penelitian ini berlangsung selama dua bulan antara April sampai Juni 2013. Pengukuran panjang cangkang dengan menggunakan Vernier calliper dilakukan pada awal penelitian dan setiap minggu pada sampel sebanyak 10 individu yang telah ditandai. Untuk data kelulushidupan, dilakukan dengan menghitung seluruh juvenil yang masih hidup pada setiap substrat karang dan yang telah berpindah dari substrat karang ke bagian lain di dalam satu kurungan. Penentuan kelulushidupan dan pertumbuhan mutlak serta pertumbuhan spesifik dilakukan dengan menggunakan rumus: 𝑁 𝑆𝑅 = 𝑁𝑡 𝑋 100% (1) 0
𝐿 = 𝐿𝑡 − 𝐿0
141
(2)
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
𝑆𝐺𝑅 =
ln 𝐿𝑡 −ln 𝐿0 𝑡 1 −𝑡 0
𝑥 100%
(3)
Selain itu, dilakukan pula pengamatan dan pengukuran variable kualitas air seperti: kecepatan arus dengan flowmeter, kekeruhan dengan turbidimeter, padatan total tersuspensi (TSS) dengan kertas GF/C, suhu dengan thermometer raksa, oksigen terlarut dengan DO-meter, salinitas dengan refraktometer, dan pH dengan portable pH meter. Analisis statistik Seluruh data dianalisis dengan uji t-Student dengan menggunakan SPSS versi 19.0.
Hasil dan Pembahasan Hasil Laju pertumbuhan Pertumbuhan mutlak dan pertumbuhan spesifik juvenil T. squamosa setelah dua bulan dipelihara dalam kurungan yang diletakkan pada terumbu karang hidup (Lokasi A) dan terumbu karang mati (Lokasi B) ditampilkan pada Tabel 1. Hasil uji t-Student memperlihatkan bahwa baik dalam hal pertumbuhan panjang cangkang mutlak, maupun pertumbuhan panjang cangkang spesifik juvenil kima yang dipelihara dalam kurungan yang diletakkan di terumbu karang mati memiliki pertumbuhan nyata yang lebih tinggi (P<0,05) daripada kima yang kurungannya diletakkan di terumbu karang hidup. Tabel 1. Pertumbuhan panjang cangkang mutlak juvenil Tridacna squamosa yang dipelihara dalam kurungan di dua lokasi terumbu karang: lokasi A (terumbu karang hidup) dan lokasi B (terumbu karang mati). Lokasi A Lokasi B Laju pertumbuhan (Terumbu karang hidup) (Terumbu karang mati) Pertumbuhan mutlak (mm)
12,78 ± 4,21(a)
20,11 ± 5,06(b)
Pertumbuhan spesifik (mm/hari)
0,71 ± 0,12(a)
0,83 ± 0,06(b)
Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).
Panjang Cangkang (mm)
Selama dua bulan pengamatan panjang cangkang terus meningkat. Gambar 2 memperlihatkan dengan jelas bahwa kima di lokasi B tumbuh lebih cepat daripada kima di lokasi A.
LOKASI A LOKASI B
Waktu Pemeliharaan (minggu) Gambar2. Pertumbuhan panjang cangkang (mean dan SD) juvenil Tridacna squamosa yang dipelihara dalam kurungan di dua lokasi terumbu karang: lokasi A (terumbu karang hidup) dan lokasi B (terumbu karang mati).
Tingkat kelulushidupan Jumlah juvenil kima yang bertahan hidup setiap minggu pada kedua lokasi terumbu karang ditampilkan pada Gambar 3. Dapat dilihat bahwa hingga berakhirnya penelitian, jumlah juvenil
142
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Populasi (indv)
kima yang bertahan hidup di Lokasi B lebih banyak daripada yang berada di Lokasi A, meskipun hasil uji t menegaskan bahwa tingkat kelulushidupan juvenil pada kedua lokasi tersebut tidak berbeda nyata.
LOKASI A LOKASI B Waktu Pemeliharaan (minggu)
Gambar3. Tingkat kelulushidupan juvenil Tridacna squamosa yang dipelihara dalam kurungan di dua lokasi terumbu karang: lokasi A (terumbu karang hidup) dan lokasi B (terumbu karang mati).
Parameter lingkungan perairan Hasil pengukuran parameter kualitas air pada kedua lokasi terumbu karang disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Hasil pengukuran kualitas air (mean ± SD) di dua lokasi dimana kurungan kima diletakkan (lokasi A: terumbu karang hidup) dan lokasi B: terumbu karang mati). Terumbu Salinitas Kec.arus Turbiditas Suhu (oC) pH TSS (mg/L) Karang (ppt) (m/det) (NTU) Lokasi A
28,75 ± 1,0
31,15 ± 1,5
8,21 ± 0,09
0,95 ± 0,71a
33,73 ± 20,14a
44,90 ± 13,57
Lokasi B
29,25 ± 0,5
30,88 ± 1,0
8,21 ± 0,06
2,02 ± 1,10b
2,29 ± 0,97b
52,00 ± 9,75
Huruf superscript pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).
Tabel 2 memperlihatkan bahwa Lokasi A dan Lokasi B memiliki perbedaan dalam parameter-parameter kecepatan arus dan turbiditas. Lokasi A memiliki kecepatan arus yang lebih rendah daripada Lokasi B, tetapi tingkat kekeruhannya sangat tinggi.
Pembahasan Penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam pertumbuhan kima antara kedua lokasi terumbu karang yang berbeda kondisinya. Penempatan kurungan di terumbu karang yang sudah rusak, ternyata menghasilkan pertumbuhan juvenile T. squamosa yang tidak saja menyamai pertumbuhan di terumbu karang yang masih baik sebagaimana yang diharapkan pada awal penelitian ini, bahkan melampaui harapan ini karena menghasilkan pertumbuhan yang lebih tinggi daripada yang dihasilkan oleh kurungan di terumbu karang yang hidup. Hal yang sama berlaku untuk kelulushidupan dimana kima yang dipelihara di terumbu karang mati lebih nilai lebih tinggi daripada di terumbu karang hidup, meskipun hasil uji t tidak berbeda nyata. Perbedaan tampilan pertumbuhan dan kelulushidupan di kedua lokasi terumbu karang kemungkinan besar disebabkan oleh perbedaan kualitas lingkungan di kedua lokasi terutama dalam hal kekeruhan (turbidity). Sebagai organisme yang bersimbiose dengan alga zooxanthella, kima membutuhkan cahaya yang cukup bagi kebutuhan fotosintesa alga simbion tersebut (Lucas, 1994). Tingkat kekeruhan yang tinggi akan menghambat penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan yang akan mempengaruhi produktivitas fotosintesa zooxanthella (Elfwing et al., 2003). Dampak dari penurunan produktivitas zooxanthella tersebut adalah berkurangnya kontribusi nutrisi dari kegiatan fototrofik yang menyebabkan pertumbuhan menjadi lambat (Klumpp dan Griffiths, 1994). Pertumbuhan yang lebih lambat juvenil yang berada di Lokasi A daripada di Lokasi B kemungkinan juga disebabkan oleh faktor kecepatan arus. Kecepatan arus yang lebih lamban di
143
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Lokasi A menyebabkan sedimentasi dan biofouling permukaan dinding kurungan menjadi lebih tinggi daripada kurungan di Lokasi B (Gambar 4). Menurut Elfwing et al. (2003) sedimen yang mengenai mantel kima diketahui menyebabkan aktivitas kima meningkat dan respons seperti ini membutuhkan biaya energetika yang tinggi yang memboroskan energi untuk pertumbuhan. Sedangkan kolonisasi biofouling di permukaan kurungan, selain menghambat penetrasi cahaya matahari dan menghambat sirkulasi air di dalam kurungan, juga meningkatkan persaingan dalam memperoleh makanan secara filter feeding (Elfwing et al. 2003).
Kondisi kepadatan biofouling pada kurungan kima di habitat terumbu karang hidup
Kondisi kepadatan biofouling pada kurungan kima di habitat terumbu karang mati
Gambar 4. Perbandingan kepadatan biofouling yang menempel pada dinding dan tutup kurungan yang diletakkan di lokasi karang hidup dan lokasi karang mati.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa juvenil T. squamosa dapat dipelihara dalam kurungan yang diletakkan di terumbu karang mati. Dengan semakin meluasnya terumbu karang semacam ini, hasil ini merupakan suatu hal yang menjanjikan untuk meningkatkan nilai ekonomi terumbu karang yang telah mati sebagai tempat untuk memelihara kima. Selain itu, keberadaan kima akan memberikan manfaat ekologi bagi terumbu karang yang sudah rusak seperti menyediakan substrat bagi biota sessile, naungan bagi organisme terumbu yang mobile dan membantu meningkatkan biodiversitas dan estetika terumbu karang yang rusak (Gomez dan Mingoa-Licuanan, 2006).
Kesimpulan Habitat terumbu karang mati dapat dimanfaatkan sebagai lokasi pemeliharaan juvenil kima T. squamosa. Pertumbuhan dan kelulushidupan juveni T. squamosa lebih dipengaruhi oleh parameter kualitas air seperti kekeruhan, kecepatan arus dan kolonisasi biofouling daripada kondisiorganisme terumbu karang sendiri.
Ucapan Terima Kasih Penulis menyampaikan terima kasih kepada para teknisi hatchery BBIP Tablolong dan teknisi Unit KJA Bolok atas bantuannya selama sampling.
Daftar Pustaka Bell, J.D., I. Lane, M. Gervis, S. Soule and H. Tafea. 1997. Village-based farming of the giant clam Tridacnagigas (L.) for the aquarium market: initial trials in Solomon Islands. Aquatic Resources. 28, 121–128. Caddy, J. F. and O. Defeo. 2003. Enhancing or restoring the productivity of natural populations of shellfish and other marine invertebrate resources. FAO FisheriesTechnical Paper, No. 448. Rome, FAO. 159p.
144
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Conterius, B.C., F.K. Duan, F. Tangal, J. Ninef, Y. Linggi, I. Tallo, I. Angwarmasse dan N. Noya. 2000. Identifikasi Penyebab Kerusakan Ekosistem Pesisir di Tanam Laut Riung Tujuh Belas Pulau dan Taman Wisata Alam Laut Teluk Maumere. Laporan CRITC Nusa Tenggara Timur. Elfwing, T., E. Blidberg, M. Sison and M. Tedengren. 2003. A comparison between sites of growth, physiological performance and stress responsesin transplanted Tridacnagigas. Aquaculture, 219: 815-828. Fitt, W.K., T.A.V. Rees and D. Yellowlees. 1995. Relationship between pH and the availability of dissolved inorganicnitrogen in the zooxanthella-giant clam symbiosis. Limnology and Oceanography, 40(5):976-982. Gomez E.D. and S.Z.M. Licuanan. 2006. Achievements and lessons learned in restocking giant clams in Philippines. Fisheries Research, 80 (2006) 46-52. Klumpp, D.W. and C.L. Griffiths. 1994. Contributions of phototrophic and heterotrophicnutrition to the metabolic and growth requirements of four species of giant clam (Tridacnidae). Marine Ecology Progress Series, 103-115. Lucas, J.S. 1994. The Biology, Exploitation, and Mariculture of Giant Clams (Tridacnidae). Reviews in Fisheries Science. C.R.C. Presss. Pp 181-223. Munro, J.L. 1992.Giant Clams. FFA Report 92/75. Pacific Islands Forum Fisheries Agency. 19p. Ninef, J. N. Noya, I. Angwarmasse, I. Tallo, J. Blegur, Y. Linggi dan G. Enga. 2002. Monitoring Ekosistem Terumbu Karang di Teluk Kupang. CRIT-COREMAP NTT. The Nature Conservancy. 2010. Analisis area of interest ekosistem pesisir di Provinsi NTT dengan menggunakan citra satelit resolusi tinggi. Savusea MPA Development Project, Kupang NTT.
145