Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Peningkatan Kepadatan Telur Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) Terhadap Derajat Penetasan dan Kelulushidupan Prolarva pada Transportasi Sistem Tertutup Tony Setia Dharma*), Khairun Mi’raj**) dan Gigih Setia Wibawa*) *) Peneliti Pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol **) Mahasiswa Tingkat Akhir Pada Universitas Mataram. Lombok Email:
[email protected] P. O. BOX 140 Singaraja, 81101 Bali
Abstract Tony Setia Dharma, Khairun Mi’raj dan Gigih Setia Wibawa. 2013. The Effect of Increase Milkfish (Chanos chanos, Forsskal) Eggs Density on Transportations on the Close System. Konferensi Akuakultur Indonesia 2013. Experiment on transportations for egg milkfish (Chanos chanos Forsskal) was conducted at Gondol Research Station for Mariculture using plastic bag size 50 x 80 cm². The purpose this experiment was to now transportations for fish egg different density. The results of experiment showed that the transportation of fish egg was different density were significantly different (P<0.05). The density of 20.000 pc/L the best experiment and had average hatching rate 58.50% and than 30.000/L,40.000/L and 50.000/L. Survival rate for rear on tank not significantly different (P>0.05). Survival rate of larvae activity three days rear to around 44.57-47.89%. Keywords: Close system transport; Hatching rate; Milkfish egg; Survival rate
Abstrak Budidaya bandeng (Chanos Chanos Forskal) terus meningkat baik di Indonesia maupun di luar negeri yang menyebabkan permintaan benih juga meningkat. Meningkatnya permintaan benih menyebabkan berkembangnya usaha hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang berdampak pada tingginya permintaan telur bandeng, sehingga dibutuhkannya teknik transportasi yang tepat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kepadatan telur bandeng dan kelulushidupan prolarva pada transportasi system tertutup. Perlakuan dalam kegiatan penelitian adalah peningkatan kepadatan telur bandeng. Analisis data dengan ANOVA. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah tingkat penetasan telur, kelulushidupan prolarva dan parameter kulitas air (Suhu, Salinitas, DO dan pH). Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat penetasan telur bandeng dari tiap perlakuan menunjukan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Perlakuan dengan kepadatan 20.000 butir/L menghasilkan rata-rata persentase tingkat penetasan telur tertinggi yaitu rata-rata 58,50%, kemudian menyusul perlakuan 30.000 butir/L, 40.000 butir/L dan 50.000 butir/L, sedangkan untuk kelulushidupan setelah transportasi dari tiap perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) dan rata-rata kelulushidupan prolarva untuk semua perlakuan kurang dari 50%. Berdasarkan hasil pengamatan kuning telur habis pada hari ketiga sehingga larva sudah membutuhkan makanan dari luar. Kata kunci: Transportasi sistem tertutup; Daya tetas; Telur bandeng; Kelangsungan hidup prolarva
Pendahuluan Bandeng merupakan ikan konsumsi yang sudah tidak asing lagi dikalangan masyarakat dan dikenal sebagai ikan tambak, termasuk komoditas budidaya penting dikarenakan bandeng memiliki banyak keunggulan antara lain; rasa daging yang enak, harganya relatif terjangkau, tahan terhadap serangan penyakit, tidak bersifat kanibal, dapat dibudidayakan secara polikultur dengan komuditas lainnya dan bersifat eurihalin yaitu dapat dibudidayakan diberbagai habitat seperti air payau, laut dan tawar, sehingga banyak petani yang melakukan usaha budidaya bandeng (Sudradjat, 2011). Usaha budidaya bandeng terus meningkat baik di Indonesia maupun di luar negeri yang menyebabkan permintaan nener juga meningkat. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan bahwa ekspor nener bandeng mengalami kenaikan pertahun dan pada tahun 2011 lalu, Indonesia telah mengekspor 1,5 milliar ekor nener bandeng dengan negara tujuan antara lain Philipina, Taiwan, Thailand dan negara Asia lainnya. Sebagian besar nener yang
200
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
diekspor tersebut berasal dari Bali yang merupakan penghasil nener terbesar di Indonesia (Rusmiyati, 2012). Dari hasil pengamatan, terdapat hatchery lengkap (HL) yang bertindak sebagai pemasok telur bandeng untuk Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT) yang khusus melakukan pengadaan telur ikan yang sudah terbuahi dan pemeliharaan larva hingga mencapai benih yang siap ditebar di Tambak (Hijriyati, 2012). Adanya HSRT yang berkembang menyebabkan permintaan terhadap telur bandeng pada HL menjadi meningkat dan tidak hanya pada HSRT yang berada di sekitar Bali, tetapi sudah sampai ke luar bali sehingga memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga dibutuhkannya teknik transportasi yang tepat agar kualitas telur dan larva tetap baik dan memberikan derajad penetasan telur yang tinggi. Transportasi umumnya dilakukan dengan menggunakan dua sistem, yaitu transpotasi sistem terbuka dan transportasi sistem tertutup. Transportasi sistem terbuka biasanya menggunakan wadah/tangki yang dilengkapi dengan alat aerasi untuk supply oksigen dan hanya sebatas jarak yang dekat, sedangkan transportasi sistem tertutup dilakukan dalam kantong plastik yang diisi oksigen murni kemudian diikat dengan karet agar tidak terjadi kebocoran, transportasi sistem tertutup biasanya dilakukan untuk jarak jauh. Faktor penting yang perlu diperhatikan dalam transportasi telur yaitu kepadatan. Menurut Sulaeman et al. (2008), tingginya kepadatan telur yang ditransportasikan akan menyebabkan intensitas benturan fisik serta dapat berkurangnya pasokan oksigen yang berakibat pada banyaknya jumlah telur yang tidak berkembang dan menetas. Selain itu, kepadatan yang tinggi mengakibatkan kondisi stres dan menghasilkan derajat penetasan yang rendah karena berhubungan dengan konsumsi oksigen untuk membantu proses metabolisme (Delbare dan Dhert dalam Cahyoko et al., 2009a). Dari hasil penelitian Ahmad et al. (1997), menyatakan bahwa penelitian kepadatan pada transportasi dengan sistem tertutup terhadap daya tetas telur bandeng (Chanos chanos) telah dilakukan dan didapatkan kepadatan yang terbaik yaitu 7.500 butir/L dengan rata-rata daya tetasnya 67,17%, sedangkan Sumiarsa dan Sugama (1996), mengatakan bahwa usaha panti pembenihan lengkap yang berada di Bali masih melakukan transportasi telur bandeng dengan kepadatan yang rendah yaitu sekitar 10.000 – 15.000 butir/L pada jarak waktu 8 jam, sedangkan di Filipina kepadatan telur yang ditransportasikan jauh lebih rendah lagi dengan waktu pengangkutan yang sangat singkat 1-2 jam yaitu hanya 4.000 – 5.000 butir/L. Berdasarkan hal di atas maka diperlukan mengenai peningkatan kepadatan telur dan kelangsungan hidup prolarva bandeng (Chanos chanos) pada transportasi sistem tertutup perlu dilakukan, diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kepadatan yang lebih tinggi dari yang telah dilakukan sebelumnya dengan memberikan tingkat penetasan telur yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat penetasan telur dan kelangsungan hidup prolarva bandeng pada transportasi sistem tertutup dengan kepadatan yang berbeda, serta mengetahui kepadatan optimal yang dapat menghasilkan tingkat penetasan telur yang tinggi.
Materi dan Metode Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol, Singaraja, Bali. Perlakuan kepadatan telur dalam kegiatan penelitian ini adalah A) 20.000 butir/L, B) 30.000 butir/L, C) 40.000 butir/L dan D) 50.000 butir/L. Masing-masing perlakuan diulang 5 kali. Penempatan perlakuan bak penetasan telur dan kantong telur dalam 3 kotak Styrofoam dilakukan secara acak. Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk transportasi adalah kotak Styrofoam, kantong plastik, karet, refraktometer, DO meter, pH meter, bekker glass, pipet ukur, saringan (filter bak), serok, koran, bak polikarbonat, bak fiber, aerasi, pipa, lakban, sedangkan bahan yang dibutuhkan adalah telur ikan bandeng, oksigen murni, es batu, air laut, kaporit. Parameter yang diamati adalah daya tetas telur (HR), kelangsungan hidup (SR), serta kualitas air (suhu, oksigen, salinitas, pH). Analisis data menggunakan rancangan acak lengkap dengan ANOVA. Prosedur pelaksanaan - Persiapan Bak Penetasan Telur dan Pemeliharaan Larva
201
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Bak yang digunakan untuk penetasan telur bandeng yaitu bak fiber bulat sebanyak 20 bak dengan volume 1000 L. Bak terlebih dulu dibersihkan dengan cara disikat menggunakan kaporit. Setelah semua bak besih kemudian bak-bak tersebut dibiarkan selama satu hari baru dilakukan pengisian air laut. Pada tiap bak diisi air laut masing-masing 900 L dan setiap bak diberi satu aerasi sebagai penyuplai oksigen selama masa penetasan telur, sedangkan untuk melihat ketahanan hidup larva menggunakan gelas kaca volume 2,5 L dengan jumlah 12 buah. Sebelum digunakan dibersihkan terlebih dulu menggunakan air laut dan dibilas dengan air tawar. Setelah dibersihkan kemudian diisi air laut masing-masing 2 L dan diberi aerasi. - Persiapan Telur Bandeng Telur bandeng yang digunakan dalam penelitian ini yaitu telur hasil pemijahan alami secara. Pengambilaan telur dilakukan pada pagi hari karena induk bandeng memijah pada tengah malam menjelang subuh. Apabila terjadi pemijahan, telur akan terlihat pada bak pembuangan air pada permukaan yang telah dipasang saringan telur (egg colektor). Saringan telur yang digunakan berukuran 800 mikron. Telur yang tertampung pada saringan telur kemudian dipindahkan pada bak inkubasi yang sebelumnya telah dipersiapkan dan dilakukan seleksi telur. Telur bandeng yang dibuahi berwarna transparan dan mengapung pada permukaan, sedangkan tidak terbuahi akan tenggelam dan berwarna putih keruh. Telur yang digunakan dalam penelitian tranportasi yaitu telur yang telah berumur 8-10 jam atau embrio pada fase gastrula. - Seleksi Telur Bandeng Wadah yang digunakan untuk seleksi telur bandeng adalah ember hitam volume 50 liter yang dibagian bawah ember dilengkapi saringan. Telur bandeng yang telah dipanen ditebar pada wadah inkubasi yang telah dipersiapkan, diamkan beberapa saat sampai telur yang terbuahi dan tidak terbuahi terpisah. Telur yang terbuahi biasanya berwarna transparan dan mengapung sedangkan yang tidak terbuahi berwarna putih keruh dan akan mengendap di dasar. Apabila telur terlihat sudah tidak ada yang mengendap barulah telur yang mengapung dipindahkan pada bak fiber volume 200 L yang dilengkapi aerasi dengan menggunakan serok. Telur diinkubasi sampai mencapai fase gastrula. - Pengepakan Telur ikan bandeng yang akan di kemas yang terbuahi berwarna transparan, sebelumnya di inkubasi selama 8-10 jam untuk masuk pada fase gastrula. Pengepakan telur bandeng yang akan ditansportasi menggunakan kantong plastik ukuran 30 x 60 cm2. Kantong plastik yang digunakan dipersiapkan sesuai dengan jumlah unit percobaan. Kantong plastik yang akan digunakan diisi air laut masing-masing 1 L, kemudian dilakukan pengukuran kualitas air awal (tanpa telur). Setelah semua kantong plastik diisi dengan air laut, kemudian dihitung kepadatan total telur dan dihitung jumlah volume air yang harus diambil untuk mencapai kepadatan sesuai dengan perlakuan. Setelah semua diukur baru oksigen murni dimasukan dan kantong plastik langsung diikat dengan menggunakan karet. Perbandingan air dan oksigen adalah 1 : 2. Kantong telur yang telah diikat kemudian dimasukan dalam kotak Styrofoam yang telah dipersiapkan. Kotak Styrofoam yang digunakan adalah 3 kotak. Setiap kotak Styrofoam diisi 8 kantong telur secara acak dan diberi es batu, kemudian ditutup rapat. Suhu dalam penelitian transportasi ini di pertahankan sekitar 24-25oC yang diturunkan dengan menggunkan es batu diletakan pada sisi kiri dan kanan kantong telur. - Transportasi Teransportasi telur dilakukan dengan metode simulasi, dimana telur yang telah dikemas dalam kotak Styrofoam kemudian ditempatkan di permukaan air pada bak beton yang terisi air dan diberi aerasi kuat sehingga menimbulkan gerakan air. Lama transportasi yang digunakan adalah 10 jam. - Penetasan Telur Setelah dilakukan transportasi, telur yang terdapat dalam kantong plastik tersebut dibuka kemudian dilakukan pengukuran kualitas air. Setelah pengukuran telur ditebar dalam bak fiber yang telah dipersiapkan.
202
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat penetasan telur bandeng dari tiap perlakuan menunjukan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Perlakuan dengan kepadatan 20.000 butir/L menghasilkan rata-rata persentase tingkat penetasan telur tertinggi yaitu rata-rata 58,50% kemudian menyusul perlakuan 30.000 butir/L, 40.000 butir/L dan 50.000 butir/L, sedangkan untuk kelulushidupan setelah transportasi dari tiap perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) dan rata-rata penetasan telur (HR) pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1. Persentase penetasan telur bandeng pada kepadatan yang berbeda yang di transportasikan selama 10 jam pada suhu 24-25oC. Perlakuan Daya Tetas Telur (HR) (Butir/L) (%) a 20.000 58.5 ± 3.6 b
30.000
36.3 ± 2.9
40.000
29.93 ± 2.3
50.000
26.46 ± 2.1
c c
Pada tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat penetasan telur berbanding terbalik dengan kepadatan telur, dimana semakin tinggi kepadatan telur yang ditransportasikan, semakin rendah tingkat penetasan telur yang dihasilkan. Hal ini diduga karena semakin tinggi kepadatan semakin tinggi intensitas benturan dan semakin terbatas ketersediaan oksigen. Menurut Sumiarsa dan Sugama dalam Sulaeman et al. (2008), bahwa tingginya kepadatan telur yang ditransportasikan akan menyebabkan intensitas benturan fisik serta dapat berkurangnya pasokan oksigen yang berakibat pada banyaknya jumlah telur yang embrionya tidak berkembang dan menetas. Kepadatan yang tinggi juga dapat mengakibatkan kondisi stres sehingga menghasilkan tingkat penetasan yang rendah karena berhubungan dengan konsumsi oksigen untuk membantu metabolisme (Delbare dan Dhert, 2004 dalam Cahyoko et al., 2009). Rendahnya rata-rata persentase tingkat penetasan telur pada kepadatan telur 30.000, 40.000 dan 50.000 butir/L, diduga waktu transportasinya yang lama sehingga kepadatannya tidak optimal untuk lama waktu transportasi 10 jam, karena menurut Slamet dan Diani (1992), bahwa peningkatan kepadatan telur yang melewati kepadatan optimal pada jarak transportasi yang cukup lama akan menurunkan tingkat penetasan telur. Kepadatan yang tinggi memungkinkan terjadinya persaingan. Menurut Milne dan Weatherly (1972) dalam Effendie (1978) dalam Wibhawa (1992), bahwa persaingan adalah usaha mendapatkan sesuatu yang sama atau untuk mendapatkan pengukuran masing-masing dari persediaan sesuatu yang sebenarnya secara potensial terbatas. Bilamana jumlah telur terlalu padat pada perbandingan ruang yang sama dapat berakibat sebagian atau seluruh telur terjadi persaingan. Dalam hal ini persaingan lebih banyak pada pengambilan oksigennya sehingga keadaan demikian dapat mengganggu perkembangan embrio. Tingkat penetasan telur yang diperoleh dari penelitian ini mencapai lebih 55% pada kepadatan 20.000 butir/L. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu yang memperoleh tingkat penetasannya sebesar 54,4%. Menurut Priyono et al. (2003) dalam Hijriyati (2012), kondisi tersebut masih berada dalam kisaran 10-98% dengan kriteria 10-30% buruk, 30-50% rendah, 50-70% baik, dan 70-90% baik sekali. Hasil pengamatan kelangsungan hidup larva yang diamati mulai umur D0 menunjukkan bahwa tingkat kepadatan yang berbeda tidak memberikan pengaruh terhadap kelulushidupan prolarva selama tiga hari pemeliharaan atau sampai umur D3 (Tabel 2). Rata-rata kelulusanhidupan prolarva untuk semua perlakuan kurang dari 50%. Tabel 2. Persentase ketahanan pro larva tanpa diberi pakan selama 3 hari setelah ditransportasikan 10 jam. Perlakuan (Butir/L) Ketahanan Pro Larva (%) a 20.000 47,89 ± 6,25 a
30.000
47,16 ± 4,48
203
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
a
40.000
46,31 ± 4,61
50.000
44,57 ± 3,10
a
Dari hasil pengamatan bahwa, ketahanan hidup larva yang dipelihara tanpa diberi pakan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) setelah mencapai umur D3 pada setiap perlakuan, sehingga dapat dikatakan kepadatan yang berbeda tidak berpengaruh terhadap kelulusan hidup prolarva, walaupun pada gambar menunjukkan rata-rata persentase yang berbeda dan terlihat menurun dengan makin tingginya kepadatan (Tabel 2). Menurut Wibhawa (1992), bahwa tingkat kepadatan telur tidak berpengaruh terhadap kelangsungan hidup prolarva bandeng. Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 2), cadangan makanan larva yang berupa kuning telur terus berkurang seiring umur larva. Pada hari ketiga kuning telur tersebut mulai habis sehingga larva membutuhkan makanan dari luar (Priyono et al., 2011 ; Tridjoko et al., 1986). Larva yang tidak dapat beradaptasi dari perubahan ini mengalami kematian (Hijriyati, 2012; Ayusta, 1991). Adanya beberapa larva yang bertahan hidup setelah hari ketiga karena masih tersisanya cadangan makanan yang berupa kuning telur, sehingga masih terdapatnya cadangan energi lebih tinggi sehingga menyebabkan larva masih dapat bertahan hidup (Ediwarman, 2006 dalam Hijriyati, 2012), terjadinya kematian larva terlihat pada semua perlakuan (Tabel 2) setelah mencapai umur D3 diduga karena cadangan makanan berupa kuning telur (yolksac) sudah habis sehingga larva harus mendapatkan makanan dari luar sebagai sumber energi untuk melangsungkan hidupnya. Menurut Wibhawa (1992) dan Harvath (1980) dalam Esau (1995), bahwa kuning telur yang diserap oleh larva dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk pembuatan jaringan dan menyempurnakan organ tubuh. Pemberian pakan bagi larva bandeng yang tepat waktu, mutu jenis dan ukuran akan menjamin laju pertumbuhan dan kelulusan hidup yang tinggi (Priyono et al., 2011). Tabel 3. Pengamatan kuning telur untuk melihat ketahanan hidup prolarva sampai umur D3. Umur Larva Perlakuan Ciri-ciri Gambar D0 P1/P2/P3/P4 Larva belum terbentuk mata, kuning telur a terlihat jelas dan cukup besar.
D1
P1/P2/P3/P4
Kuning telur masih ada, namun sudah mulai berkurang mata mulai terlihat.
b c D2
P1/P2/P3/P4
Kuning telur masih namun makin berkurang dan mata terlihat jelas.
d e
204
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
D3
P1/P2/P3/P4
Kuning telur habis, larva terbentuk sempurna, mulut membuka.
f Keterangan Gambar : kantong kuning telur (a,c,e), mata (b,d), mulut (f).
Hasil pengamatan kuning telur (Tabel 3) terlihat bahwa, larva berumur D0 kuning telur terlihat jelas, sedangkan pada umur D1 kuning telur mulai berkurang dan mata mulai terlihat, sampai pada D3 cadangan kuning telur habis, larva telah terbentuk sempurna dan mulut membuka, sehingga larva membutuhkan pakan dari luar. Menurut Prijono et al. (1986), bahwa ikan bandeng yang baru menetas belum mempunyai pigmen mata dan belum terbentuk sirip, kantong telur masih terdapat di bagian depan mendekati kepala dan mulut belum terbentuk. Pada hari ke satu kantong telur menyusut, pada hari kedua kantong telur lebih banyak menyusut, dan filamen mata terbentuk. Pada hari ketiga kantong telur habis, sehingga cadangan makanan mulai habis. Laju penyerapan kuning telur dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama suhu. Suhu pemeliharaan yang terus meningkat akan menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas metabolisme, kebutuhan energi untuk pemeliharaan dan larva menjadi lebih aktif sehingga kuning telur lebih cepat diserap. Semakin cepat laju penyerapan kuning telur maka semakin cepat pula cadangan makanan atau kuning telur tersebut habis. Kuning telur yang diserap berfungsi sebagai materi dan energi bagi larva untuk pemeliharaan, diferensiasi, pertumbuhan dan aktivitas lainnya (Hijriyati, 2012). Hasil pengamatan kualitas air penetasan telur dan pemeliharaan larva selama penelitian tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan untuk semua parameter (Tabel 3), sedangkan hasil pengukuran kualitas air sebelum telur ditransportasi dan setelah telur ditransportasi untuk suhu dan DO memperlihatkan perubahan (Tabel 4). Tabel 3. Kisaran parameter kualitas air selama penetasan telur dan pemeliharaan larva. Kepadatan Telur (butir/L)
Kelayakan
Parameter o
Suhu ( C) Salinitas (ppt) DO (mg/L) pH
20.000
30.000
40.000
50.000
SNI (1999)
28-31 30-31 7-8 7-8
28-31 30-31 7-8 7-8
38-31 30-31 7-8 7-8
28-31 30-31 7-8 7-8
28-32 28-35 ≥5 7-8,5
Tabel 4. Kualitas air sebelum transportasi dan setelah di transportasi selama 10 jam. Kepadatan Telur (butir/L) 20.000 40.000 30.000 Parameter Sblm Stlh Sblm Stlh Sblm Stlh Suhu (oC) 30,89 24,88 30,99 24,92 30,89 24,90 Salinitas (ppt) 31,3 31,2 31,1 31,4 31 31,4 DO (mg/L) 7,82 15.3 7,75 13,66 7,64 11,64 pH 8,14 8,04 8,06 7,96 7,96 7,94
Sblm 30,62 31,2 7,61 8,04
50.000 Stlh 24,90 31,4 8,88 7,94
Kesimpulan 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan telur memberikan pengaruh terhadap tingkat penetasan telur bandeng, tingkat penetasan telur yang tertinggi dengan rata-rata 58,50% yaitu pada kepadatan 20.000 butir/L. 2. Tingkat kepadatan telur tidak memberikan pengaruh terhadap ketahanan hidup larva yang dipelihara selama tiga hari tanpa pemberian pakan.
205
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Saran 1. Transportasi telur bandeng selama 10 jam sebaiknya kepadatan yang digunakan tidak melebihi 20.000 butir/L karena akan berdampak pada rendahnya tingkat penetasan telur akibat dari tingginya tingkat benturan pada saat dilakukan transportasi serta terjadinya persaingan ruang gerak dan oksigen dalam media transportasi. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan kepadatan yang optimal untuk waktu transportasi.
Ucapan Terima Kasih Kepada rekan teknisi litkayasa bagian pemeliharaan bandeng induk ikan (Komang Suwitre, Kurdi) dan teknisi litkayasa kualitas air (Ayu Kenak, Ari Arsini ) disampaikan terima kasih dalam membantu pelaksanaan kegiatan penelitian.
Daftar Pustaka Ahmad T., A. Prijono dan T. Setiadharma. 1997. Pengaruh Kepadatan Pada Pengangkutan Dengan System Tertutup Terhadap Daya Tetas Telur Bandeng (Chanos chanos Forsskal). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 3: 68-72. Ayusta, I.M.P. 1991. Pengaruh Pemberian Pakan Alami yang Berbeda terhadap Kelulusan Hidup Larva Bandeng (Chanos Chanos Forskal). [Skripsi]. Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Warmadewa. Denpasar. Cahyoko Y., Y.C.E. Pradana dan B.S. Rahardja. 2009. Pengaruh Suhu dan Kepadatan Ephippia yang Berbeda terhadap Penetasan Ephippia Daphnia magna. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 1: 31-36. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengolahan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Esau. 1995. Pengaruh Kejutan Salinitas Terhadap Derajat Penetasan dan Kualitas Telur Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal). [Skripsi] Jurusan Biologi Lingkungan, Fakultas Biologi, Universitas Atma Jaya. Yogyakarta. Hijriyati K.H. 2012. Kualitas Telur dan Perkembangan Awal Larva Ikan Karapu Bebek [Cromileptes altivelis, Valenciennes (1928)] Di Desa Air Saga, Tanjung Padang, Belitung. [Tesis]. Program Studi Magister Ilmu Kelautan Depok, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Priyona A.,T. Aslianti, T. Setiadharma dan I.N.A. Giri. 2011. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Bandeng (Chanos chanos Forsska). Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Budidaya Laut Dusun Gondol, Desa Penyembangan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Bali. Prijono A., N.A. Giri dan Tridjoko. 1986. Pemijahan dan Pemeliharaan Larva Bandeng (Chanos chanos). Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, 2: 13-18. Rusmiyati, S. 2012. Budidaya Bandeng Super. Penerbit Pustaka Baru Press. Yogyakarta. Slamet B., dan S. Diani. 1992. Kelangsungan Hidup Larva kerapu Macan, Epinephelus fuscoguttatus Yang Baru Menetas Pada Berbagai Kepadatan dan Lama Waktu Transportasi. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, 8: 1-5. Slamet B., dan S. Diani. 1992. Pengaruh Kepadatan dan Lama Transportasi Telur Kerapu Macam, Epinephelus fuscoguttatus Terhadap Rasio Penetasan. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, 8: 7-11. Sudradjat A. 2011. Panen Bandeng 50 Hari. Penebar Swadaya. Jakarta. Sulaeman Y.M., dan A. Parengi. 2008. Pengangkutan Krablet Kepiting Bakau (Scylla paramamosain) dengan Kepadatan Berbeda. Jurnal Riset Akuakultur, 3: 99-104. Sumiarsa G.S., dan K. Sugama. 1996. Pengaruh Suhu, Kepadatan dan Waktu Transportasi Telur Bandeng (Chanos chanos) Terhadap Kualitas Telur dan Larvanya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 2: 65-71. Tridjoko, A. Prijono dan N.G. Adiasmara. 1986. Pengamatan Perkembangan Telur dan Larva Ikan Bandeng (Chanos chanos). Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, 2: 1-12. Wibhawa I.D.G.D. 1992. Pengaruh Berbagai Tingkat Salinitas dan Kepadatan Telur Yang Berbeda terhadap Daya Tetas Serta Kelangsungan Hidup Prolarva Bandeng (Chanos chanos Forskal). [Skripsi]. Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Warmadewa. Denpasar.
206