DAFTAR ISI
Kata Pengantar
iii
Laporan Ketua Panitia
iv
Daftar Panitia
v
Jadwal Acara
vii
ATMOSFER KAJIAN KETERKAITAN TBO-ENSO DAN PENGARUHNYA TERHADAP 1 BENUA MARITIM INDONESIA Andi Syahid Muttaqin dan Haries Satyawardhana PENGARUH KONSENTRASI ION NH4+ DAN Ca2+ TERHADAP NETRALISASI 13 HUJAN ASAM DI DAERAH CIPEDES, KEBON KALAPA, SOREANG DAN CIKADUT Asri Indrawati dan Dyah Aries Tanti PERUBAHAN REJIM HIDRO-KLIMAT MUSIMAN PADA ALIRAN SUNGAI 20 CISANGKUY BANDUNG SELATAN Dadang Subarna PENGEMBANGAN MODEL SISTEM IKLIM UNTUK PEMBELAJARAN PARA 27 SISWA Dadang Subarna SIMULASI MODEL POLUTAN UDARA MENGGUNAKAN WRF CHEMISTRY
37
Danang Eko Nuryanto dan Utoyo Ajie Linarka ANALISIS KONDISI PENCEMAR UDARA (SO2 DAN NO2) DI KOTA 46 SURABAYA Dessy Gusnita PENGARUH PROSES PENGELASAN TERHADAP OZON
54
Didik Eko Prasetyo ANALISIS KORELASI CURAH HUJAN DENGAN OUTGOING LONGWAVE 59 RADIATION (OLR) BERDASARKAN TIPE CURAH HUJAN Iis Sofiati PERUBAHAN HUJAN
IKLIM
DITINJAU DARI DISTRIBUSI FREKUENSI CURAH 68
Juniarti Visa
ix
PENGARUH SKEMA KONVEKSI REGCM4.3 DALAM SIMULASI PRESIPITASI 75 DAN TEMPERATUR DI CORDEX ASIA SELATAN Kadarsah dan M. Mubashar Ahmad Dogar ANALISIS TEMPORAL DAN SPASIAL EVOLUSI IOD DAN PENGARUHNYA 87 TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA Krismianto PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT
94
Martono ANALISIS PROFIL OZON MIXING RATIO DAN SUHU DI SUMATERA 101 BERBASIS DATA MLS DAN INSITU Ninong Komala, Novita Ambarsari, dan Dian Yudha Risdianto VARIABILITAS METIL KLORIDA (CH3Cl) DI ATMOSFER INDONESIA 112 BERBASIS PENGUKURAN SATELIT MLS-AURA Novita Ambarsari, Ninong Komala, Dyah Aries Tanti, dan Emanuel Adetya AWAL MUSIM DI PULAU BESAR INDONESIA BERDASARKAN PARAMETER 122 ATMOSFER CCAM RESOLUSI 60 KM DAN 17 KM Nurzaman Adikusumah, Ina Juaeni, dan Bambang Siswanto PENGARUH SUHU PERMUKAAN TERHADAP CURAH HUJAN PULAU BESAR 133 INDONESIA DALAM TIGA PULUH TAHUN TERAKHIR Nurzaman Adikusumah ANALISIS DIURNAL PARAMETER METEOROLOGI DI STASIUN 140 KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR MENGGUNAKAN PORTABLE WEATHER STATION (PWS) Radyan Putra Pradana dan Kadarsah ESTIMASI TOTAL PRECIPITABLE MENGGUNAKAN DATA MTSAT
WATER
DI WILAYAH
INDONESIA 150
Risyanto dan Sinta Berliana Sipayung RESTORASI DATA RADIASI MATAHARI MENGGUNAKAN METODE CURVE 157 FITTING INTERPOLASI POLINOM ORDE 4 (KASUS PENGAMATAN DI UNIVERSITAS BINA DARMA PALEMBANG) Saipul Hamdi APLIKASI SATELIT DAN PENGAMATAN IN-SITU UNTUK DETEKSI 167 AEROSOL DAN DISPERSI KABUT ASAP KEBAKARAN BIOMASSA DI PROPINSI RIAU Sheila Dewi Ayu Kusumaningtyas ESTIMASI KEBUTUHAN LAMA PAPARAN RADIASI ULTRAVIOLET DI 177
x
BANDUNG Sumaryati PENGARUH MJO TERHADAP PERILAKU HUJAN HARIAN DI ATAS 185 KOTOTABANG Syafrijon DISTRIBUSI ASAM (NON SEA SALT SO42-; NO3- DAN Cl-) DAN BASA (NH4+; 190 SEA SALT Ca2+; DAN NON SEA SALT Ca2+) DI INDONESIA Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati ANALISIS MULTIVARIAT KONSENTRASI NO, CO DENGAN OZON DI LIMA 206 KOTA BESAR DI INDONESIA Sri Winarni dan W. Eko Cahyono PEMBENTUKAN AWAN DAN HUJAN DI PEGUNUNGAN SUMATERA BARAT
212
Wendi Harjupa KOMPOSISI CO, CH4 DAN H2O DI LAPISAN TROPOSFER TROPIS DI 218 INDONESIA PADA SAAT TERJADINYA EL NINO DAN LA NINA Wiwiek Setyawati dan Tuti Budiwati PEMETAAN SPASIAL PENGARUH PROGRAM CAR FREE DAY DI JALAN 231 DAGO TERHADAP KONSENTRASI NOX DAN PM10 DI UDARA AMBIEN Zeneth Ayesha Thobarony dan Driejana ANTARIKSA PENGEMBANGAN MODEL KERAPATAN SPASIAL
239
Abdul Rachman GELOMBANG MORETON DAN SEMBURAN RADIO YANG TERKAIT DENGAN FLARE TANGGAL 24 OKTOBER 2013
247
Agustinus Gunawan Admiranto ANALISIS DAN DESAIN SITUS FTP SAINS ANTARIKSA MENGGUNAKAN UML (UNIFIED MODELLING LANGUAGE)
254
Alhadi Saputra ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN IONOSFER TERHADAP AKURASI PENENTUAN POSISI MENGGUNAKAN GPS FREKUENSI TUNGGAL PADA SAAT AKTIVITAS MATAHARI MAKSIMUM Dessi Marlia PENGAMATAN TEC DAN SINTILASI DENGAN MENGGUNAKAN GPSSCINDA
264
277
xi
Dwiko Unggul Prabowo dan Effendy ANALISIS WEBSITE LAPAN BANDUNG MENGGUNAKAN GOOGLE ANALYTIC DALAM RANGKA MENINGKATKAN TRAFFIC WEB
284
Elyyani SISTEM OTENTIKASI SINGLE SIGN ON UNTUK TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI LAPAN BANDUNG
293
Elyyani , Rizal Suryana ANALISIS PULSA MAGNET PC5 TERKAIT DINAMIKA SABUK RADIASI ELEKTRON
300
Harry Bangkit, L. M. Musafar K, Habirun, Mira Juangsih, Moh. Andi Aris MODEL EMPIRIK HARI TENANG GEOMAGNET DI REGIONAL INDONESIA Mamat Ruhimat, M Andi Aris, Clara Y Yatini VARIASI KUAT SINYAL GELOMBANG RADIO FM DI PAMENGPEUK PADA FREKUENSI 104,9 MHz Mumen Tarigan KAJIAN RADAR PASIF UNTUK PENGAMATAN IONOSFER Mumen Tarigan, Buldan Muslim dan Syahril ANALISIS DATA KUAT SINYAL GELOMBANG RADIO VHF DI PAMENGPEUK DENGAN PERGESERAN SUDUT ANTENA UNTUK PENENTUAN POSISI PEMANCAR
308
317
325
333
Peberlin Sitompul, Mumen Tarigan, Timbul Manik, Sutan Syahril KOMPUTASI AWAN SEBAGAI SOLUSI DALAM PENGHEMATAN BIAYA TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI LAPAN BANDUNG Rizal Suryana METODE PENENTUAN INDEKS IONOSFER DI ATAS PONTIANAK
341
351
Slamet Syamsudin ANALISIS KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER DI ATAS PONTIANAK DAN MANADO
360
Sri Ekawati , Wahyu Srigutomo dan Jiyo METODA ANALISIS TWEEK DARI PENERIMA VLF PONTIANAK SECARA OTOMATIS
367
Timbul Manik dan Hiroyo Ohya RANCANGAN PEMBANGUNAN SISTEM PENYIMPANAN DATA PENELITIAN
377 xii
BERBASIS KOMPUTASI AWAN MENGGUNAKAN OWNCLOUD Yoga Andrian, Rizal Suryana VARIASI DIURNAL MAGNET-BUMI SAAT GERHANA MATAHARI CINCIN 26 JANUARI 2009
385
Yosi Setiawan, I Putu Dedy Pratama
xiii
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
KAJIAN KETERKAITAN TBO-ENSO DAN PENGARUHNYA TERHADAP BENUA MARITIM INDONESIA Andi Syahid Muttaqin1) dan Haries Satyawardhana2) 1) Institut Teknologi Bandung, email:
[email protected] 2) Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN Bandung, email:
[email protected]
Abstract Indonesian Maritime Continent (MC) is located between the Asian and Australian monsoon regions, where both monsoon region have a biennial pattern called Tropospheric Biennial Oscillation (TBO). In additionto that, MC is also influenced by southern oscillation observed in the Pacific Ocean (ENSO, El-Nino Southern Oscillation). It is interesting to study further the relationship between ENSO and TBO, and its impact on MC. TBO conceptual model is used for the basis of the analysis and the data used in this study are outgoing longwave radiation (OLR), zonal wind at 850 and 200 mb layers, and sea surface temperature (SST) from NCEP-NCAR reanalysis. The results show that the transition process of TBO during ENSO years, there is a maximum convective movement that originating from the Indian region, moving through maritime continent, Australia, then to the Western Pacific, and ending in Eastern Pacific. While the process of transition in normal years (TBO during normal years), the convective propagation process is not so obvious but TBO pattern is still observed in MC and Australia. It is found that the TBO pattern is more visible in the December-January-February (DJF) than in the June-JulyAugust-September (JJAS) period, with the difference OLR values are 12 Wm-2 and 3 Wm-2 , respectively. Hence the TBO is a phenomenon that is independent to ENSO and more influence on MC in the DJF period. Keywords: TBO, ENSO, monsoon Abstrak Benua Maritim Indonesia (BMI) berada di antara wilayah monsun Asia dan Australia. Kedua wilayah tersebut memiliki pola dua-tahunan yang disebut sebagai Tropospheric Biennial Oscillation (TBO). Selain itu, BMI juga mendapat pengaruh dari osilasi selatan yang terjadi di Samudera Pasifik yang dikenal dengan nama ENSO (El-Nino Southern Oscillation). Hubungan antara TBO dan ENSO, serta dampaknya terhadap BMI menarik untuk dikaji lebih lanjut. Model konseptual TBO digunakan sebagai dasar analisis dan data yang digunakan dalam studi ini adalah radiasi gelombang panjang (OLR), angin zonal pada lapisan 850 dan 200 mb, dan suhu muka laut (SST) yang didapat dari reanalisis NCEP-NCAR. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa pada proses transisi TBO pada tahun-tahun ENSO, ada pergerakan konvektif maksimum yang bermula di atas wilayah India yang bergerak melewati BMI, Australia, kemudian ke arah Pasifik Barat, hingga ke Pasifik Timur. Sedangkan proses transisi pada tahun normal, proses penjalaran konvektif tidak begitu jelas terlihat namun pola TBO masih teramati di BMI dan Australia. Pola TBO pada wilayah BMI lebih terlihat pada periode DJF daripada periode JJAS dengan selisih nilai OLR masing-masing sebesar 12 Wm-2 dan 3 Wm-2. Hal ini menjelaskan bahwa TBO merupakan fenomena yang tidak terikat dengan ENSO. Kata kunci: TBO, ENSO, monsun 1
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1. PENDAHULUAN Tropospheric Biennial Oscillation (TBO) adalah kecenderungan monsun kuat (lemah) diikuti oleh monsun lemah (kuat) dengan transisi yang terjadi pada musim sebelum terjadinya monsun yang melibatkan proses atmosfer-darat-laut pada wilayah IndoPasifik (Meehl 1997; Meehl dan Arblaster 2002). Mekanisme yang menggambarkan proses TBO telah diusulkan oleh beberapa peneliti (Nicholls, 1978; Meehl, 1987; Meehl, 1993; Goswami, 1995; Chang dan Li, 2000; Meehl dan Arblaster, 2002). Meehl dan Arblaster (2002) menggambarkan proses TBO secara lebih komprehensif dibandingkan dengan kajian sebelumnya. Model konseptual Meehl dan Arblaster (2002) menggambarkan proses transisi TBO yang bermula dari monsun lemah menuju monsun kuat Australia. Namun, model tersebut belum menggambarkan evolusi proses transisi TBO secara utuh. Kajian ini akan berfokus pada proses evolusi TBO yang bermula dari monsun kuat menuju monsun lemah Australia, sehingga dapat melengkapi gambaran proses transisi TBO dan pengaruhnya terhadap Benua Maritim secara lebih lengkap (Meehl dan Arblaster, 2002). Kajian ini bertujuan memahami mekanisme interaksi kopel atmosfer-daratan-lautan yang membentuk TBO dalam konteks monsun Asia-Australia, meninjau proses transisi TBO yang terjadi antara monsun kuat menuju monsun lemah Australia, melengkapi model konseptual Meehl dan Arblaster (2002), serta meninjau pengaruh proses transisi TBO terhadap BMI.
2. TINJAUAN PUSTAKA Meehl (1987) pertama kali mengidentifikasi sinyal kuasi-dua tahunan dalam data hujan India dan mengidentifikasi puncak spektra data hujan tersebut pada kisaran 2.5 hingga 3 tahun. Penelitian selanjutnya mengungkapkan adanya karakteristik TBO yang terjadi di daerah tropis, baik melalui observasi (Yasunari, 1991; Ropelewski dkk., 1992; Yang dkk., 1996) maupun melalui pemodelan (Goswami, 1998; Chang dan Li, 2000; Li dkk., 2002). Dalam kaitannya dengan sistem monsun, Meehl (1997) menginterpretasikan TBO sebagai kecenderungan monsun untuk menguat dan melemah secara bergiliran, atau dengan kata lain, monsun yang relatif kuat (lemah) akan diikuti oleh monsun yang relatif lemah (kuat). Beberapa mekanisme telah diusulkan untuk memahami pembentukan TBO (Nicholls, 1978; Meehl, 1987; Meehl, 1993; Goswami, 1995; Chang dan Li, 2000; Meehl dan Arblaster, 2002). 2
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Model konseptual TBO yang dibangun oleh Meehl dan Arblaster (2002) menggambarkan secara komprehensif pengaruh masing-masing komponen pembentuk TBO, berupa pengaruh lautan (Meehl, 1993; dan Meehl dan Arblaster, 2002), pengaruh daratan (Meehl, 1994), pengaruh kopel atmosfer-daratan-lautan (Meehl, 1994), serta mengaplikasikan model konseptual tersebut terhadap (hujan) monsun India, dan monsun Asia-Australia (Meehl dan Arblaster, 2002). Untuk memperhitungkan kondisi-kondisi yang berkaitan dengan proses transisi TBO, mereka membangun suatu model konseptual berupa rangkaian periode musiman (DJF, MAM, JJAS, SON, dan DJF+1) berdasarkan interaksi kopel antara atmosfer-daratan-lautan yang menggambarkan hubungan antara Sirkulasi Walker Timur (EWC, Eastern Walker Cell) dan Sirkulasi Walker Barat (WWC, Western Walker Cell).
3. DATA DAN METODE Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data angin zonal (850 dan 200 hPa), suhu permukaan (daratan dan lautan), dan radiasi gelombang panjang (OLR) dari National Center for Environmental Prediction-National Center for Atmospheric Research (NCEP/NCAR) Reanalysis (Kalnay dkk., 1996) untuk periode Desember 1979 – November 1999. Pola TBO secara spasiotemporal akan lebih terlihat dengan menggunakan daerah kajian yang meliputi wilayah India, BMI, Australia dan Pasifik. Langkah-langkah pengolahan data yang dilakukan adalah: 1. Meninjau pola TBO dalam monsun Asia yang diwakili oleh monsun India dan monsun Australia, serta mengkaji hubungan antara kedua monsun tersebut. a. Menghitung indeks monsun Australia (AUSMI) berdasarkan metode yang diusulkan oleh Kajikawa dkk. (2010) dan juga menghitung indeks monsun Asia (India, ISMI) berdasarkan metode Wang dan Fan (1999) serta melihat pola TBO dalam kedua indeks monsun tersebut berdasarkan kriteria Meehl dan Arblaster (2002): monsun kuat bila Ii-1 < Ii > Ii+1, dan monsun lemah bila Ii-1 > Ii < Ii+1, dimana Ii merupakan nilai indeks monsun pada tahun ke-i. b. Membangun rangkaian evolusi musiman beberapa parameter (angin zonal, suhu permukaan, dan OLR) untuk memahami pola transisi TBO yang diimplementasikan dalam rangkaian musiman: (1) DJF (AUSMI lemah); (2) MAM (transisi menuju JJAS); (3) JJAS (ISMI kuat); (4) SON (transisi menuju DJF+1); (5) DJF+1 (AUSMI kuat); (6) MAM+1 (transisi menuju JJAS+1); (7) JJAS+1 (ISMI lemah); dan (8) 3
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
SON+1 (transisi menuju DJF). Dengan demikian, masing-masing musim diwakili oleh tahun-tahun seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1. Pengelompokkan tahun-tahun yang mewakili evolusi musiman TBO Musim DJF MAM JJAS SON DJF+1 MAM+1 JJAS+1 SON+1
1982 1980 1980 1980 1980 1982 1982 1982
1987 1983 1983 1986 1986 1985 1985 1987
1989 1986 1986 1988 1988 1987 1987 1989
1991 1988 1988 1990 1990 1989 1989 1991
Tahun 1993 1990 1990 1992 1992 1991 1991 1993
1997 1992 1992 1996 1996 1993 1993 1997
Keterangan AUSMI 1994 1994 1998 1998 1995 1995
1996 1998 1996 1998
ISMI Kuat AUSMI
1997 1997
ISMI
2. Meninjau pengaruh ENSO terhadap TBO dengan melihat indeks suhu muka laut di wilayah Nino3.4 (Trenberth, 1997) untuk masing-masing musim, seperti yang ditunjukkan pada tabel 2. Tabel 2. Penentuan kondisi ENSO pada masing-masing musim dalam proses transisi TBO berdasarkan indeks Nino3.4 (Trenberth 1997) Musim
Tahun 1982 1987 1989 1991 1993 1997 DJF (EN) (EN) (N) (EN) (N) (EN) 1980 1983 1986 1988 1990 1992 1994 1996 MAM (EN) (EN) (N) (N) (N) (EN) (N) (N) 1980 1983 1986 1988 1990 1992 1994 1996 JJAS (N) (N) (N) (LN) (N) (EN) (EN) (N) 1980 1986 1988 1990 1992 1996 1998 SON (N) (EN) (LN) (N) (N) (N) (LN) 1980 1986 1988 1990 1992 1996 1998 DJF+1 (N) (EN) (LN) (N) (N) (N) (LN) 1982 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 MAM+1 (N) (LN) (EN) (LN) (EN) (EN) (N) (EN) 1982 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 JJAS+1 (EN) (N) (EN) (N) (EN) (EN) (N) (EN) 1982 1987 1989 1991 1993 1997 SON+1 (EN) (EN) (N) (EN) (N) (EN) Keterangan: EN menunjukkan kondisi El Nino, N untuk normal, LN untuk La Nina.
1998 (EN) 1998 (LN)
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Rekonstruksi Model Konseptual TBO (Monsun Australia Lemah menuju monsun Australia Kuat) Model konseptual Meehl dan Arblaster (2002) akan direkonstruksi menggunakan beberapa parameter yang diasumsikan mewakili proses interaksi kopel atmosfer-darat-laut. 4
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Parameter yang digunakan antara lain angin zonal (850 dan 200 hPa) yang diharapkan dapat menggambarkan sirkulasi timur-barat skala-besar, suhu permukaan (darat dan laut) yang diasumsikan mewakili dinamika yang terjadi di permukaan baik di darat maupun laut, serta menggunakan parameter radiasi gelombang panjang (OLR) yang diasumsikan dapat menggambarkan pergerakan konvektif maksimum. Rekonstruksi model konseptual didasarkan pada pola TBO yang dihasilkan melalui analisis deret-waktu dari indeks monsun India (ISMI) dan Australia (AUSMI). Terdapat dua rangkaian evolusi musiman yang akan dibangun. Pertama, yang akan digunakan sebagai konfirmasi model konseptual yang telah ada, akan disusun suatu rangakaian evolusi musiman yang bermula dari DJF pada saat monsun Australia lemah menuju DJF pada saat monsun Australia kuat (DJF; MAM; JJAS; SON; DJF+1). Kedua, yang dilakukan sebagai analisis siklus TBO lanjutan yang diharapkan dapat melengkapi proses transisi TBO yang telah dibangun oleh Meehl dan Arblaster (2002) dan juga untuk memahami proses TBO secara lebih menyeluruh, akan dimulai dari DJF pada saat monsun Australia kuat menuju DJF pada saat monsun Australia lemah (DJF+1; MAM+1; JJAS+1; SON+1; DJF+2). Hasil yang didapat dari proses rekonstruksi sebagai konfirmasi model konseptual ditunjukkan pada Gambar 1 sedangkan proses TBO sebagai siklus lanjutannya ditunjukkan pada Gambar 2.
5
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 1. Hasil rekonstruksi evolusi musiman dalam proses TBO berdasarkan model konseptual Meehl dan Arblaster (2002)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Hasil evolusi musiman yang ditunjukkan pada Gambar 1 kemudian dibandingkan dengan model konseptual TBO. Perbandingan ini mengungkapkan beberapa bukti bahwa parameter angin zonal dan OLR dapat menggambarkan Sirkulasi Walker Barat-Timur dan penjalaran pusat konvektif yang sesuai dengan model konseptual. Selain itu, parameter suhu permukaan laut dapat menggambarkan transisi suhu muka laut baik di daerah HindiaPasifik dan parameter suhu permukaan darat dapat menggambarkan penguatan monsun Asia Selatan pada bulan JJAS disebabkan oleh suhu permukaan daratan (wilayah India) yang lebih hangat pada musim dingin (DJF) yang mengawali monsun tersebut. Ketiga parameter tersebut di atas (angin zonal, suhu permukaan, OLR) dapat menggambarkan proses evolusi musiman TBO dengan baik. Namun, di antara ketiga parameter tersebut, parameter OLR dianggap lebih sesuai dengan model konseptual. Berdasarkan hasil konfirmasi ini, ketiga parameter yang digunakan di atas dapat digunakan pula untuk menganalisis proses transisi TBO sebagai pelengkap dari proses evolusi musiman TBO yang telah digambarkan oleh Meehl dan Arblaster (2002).
4. 2 Analisis Proses Transisi TBO (Monsun Kuat menuju Lemah Australia) Proses transisi dari DJF pada saat monsun Australia kuat menuju DJF, pada saat monsun Australia lemah ditunjukkan pada Gambar 2. Pada musim DJF saat monsun Australia kuat, yang ditunjukkan oleh distribusi pusat konvektif yang cukup besar di atas wilayah Australia utara, angin zonal (850 dan 200 hPa) memperlihatkan adanya pertemuan Sirkulasi Walker Barat dan Timur. Pertemuan ini membentuk konvergensi di dekat permukaan dan divergensi di lapisan 200 hPa dan memperkuat monsun yang terjadi. Selain itu, sebagai konsekuensi interaksi antara atmosfer-laut, angin zonal dekat permukaan akan berinteraksi dengan perpindahan massa air laut dan menyebabkan pengangkatan massa air dengan suhu yang lebih dingin dari laut yang lebih dalam (upwelling) yang terlihat di Pasifik Timur dan Hindia Tengah serta mengakibatkan penumpukkan massa air hangat di atas wilayah Australia Utara yang memberikan suplai kelembaban yang cukup untuk memperkuat pembentukan awan konvektif. Selain itu, pelemahan monsun Asia Selatan juga tergambarkan oleh OLR yang tinggi di atas wilayah India. Konsep pelemahan monsun yang disebabkan oleh suhu daratan pada saat musim dingin sebelum terjadinya monsun juga teridentifikasi. Berdasarkan analisis parameter OLR pada Gambar 2, terlihat adanya penjalaran pusat konvektif yang bermula dari wilayah Australia, bergerak menuju Pasifik Barat, kemudian berpindah ke Pasifik Tengah, hingga menuju Pasifik Timur. Hal ini diduga disebabkan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
karena adanya pengaruh ENSO terhadap TBO. Sehingga, untuk melihat pengaruh ENSO terhadap TBO, maka dilakukan analisis TBO pada saat kondisi normal, dengan cara menghilangkan tahun-tahun TBO dengan ENSO kuat.
4.3 Keterkaitan TBO dan ENSO TBO dan ENSO merupakan variasi interannual yang mempengaruhi wilayah monsun Asia-Australia dan juga mempengaruhi wilayah Pasifik Tropis (Chang dan Li, 2000). Chang dan Li (2000) memandang kedua osilasi tersebut sebagai satu sistem yang sama sedangkan peneliti lain melihatnya sebagai dua sistem yang terpisah dimana TBO dipengaruhi dan diatur oleh monsun, dan ENSO diatur oleh kopel atmosfer-lautan dari Pasifik tropis bagian timur. Hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut mengingat kedua osilasi tersebut berdampak pada wilayah Asia-Australia. Oleh karena itu, pada bagian ini, akan dilihat proses transisi TBO dimana pengaruh ENSO akan dihilangkan dengan cara mengeliminasi tahun-tahun TBO yang bersamaan dengan kejadian El Nino dan La Nina kuat. Berdasarkan indeks Nino3.4 untuk periode waktu yang sama dengan kajian ini, ditinjau kondisi ENSO pada masing-masing musim untuk TBO kuat, lemah, dan transisi yang ditunjukkan pada Tabel 2. Kemudian, untuk mengetahui pengaruh ENSO, maka dipilihlah musim-musim yang mengalami kondisi normal (untuk mengetahui proses transisi TBO tanpa pengaruh ENSO). Setelah itu, dilakukan kembali analisis komposit
masing-masing musim yang
menggambarkan evolusi TBO pada kondisi normal yang ditunjukkan pada Gambar 3. Proses analisis kemudian difokuskan pada parameter OLR karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya, parameter ini dianggap lebih menggambarkan model konseptual TBO. Analisis proses transisi TBO tanpa mengikutsertakan proses ENSO di dalamnya (TBO pada kondisi normal) memberikan gambaran bahwa tidak terlihat adanya pusat konvektif yang menjalar ke wilayah Pasifik Barat, Tengah, hingga Timur seperti yang telah terobservasi sebelumnya (TBO yang masih dipengaruhi ENSO). Hal ini terutama terlihat ketika evolusi musiman OLR bergerak dari DJF pada saat monsun Australia kuat menuju DJF pada saat monsun Australia lemah. Namun, pola TBO tetap terlihat untuk wilayah monsun Australia dimana nilai anomali OLR besar (kecil) yang merepresentasikan munsun lemah (kuat) Australia diikuti oleh OLR kecil (besar) yang merepresentasikan monsun kuat (lemah) pada tahun setelahnya. Sedangkan untuk wilayah monsun India, pola TBO terlihat tidak sekuat pola TBO yang terlihat di wilayah monsun Australia. Hal ini memberikan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
gambaran bahwa pola TBO tetap terjadi walaupun tanpa pengaruh ENSO dimana pola tersebut masih kuat teramati untuk wilayah monsun Australia namun pola TBO teramati lemah untuk wilayah monsun Asia Selatan (India).
5. KESIMPULAN Hasil analisis rekonstruksi model konseptual mengungkapkan bahwa parameter angin zonal dan OLR dapat menggambarkan sirkulasi Walker Barat-Timur dan penjalaran pusat konvektif yang sesuai dengan model konseptual TBO. Parameter suhu permukaan dapat menggambarkan transisi suhu muka laut di daerah Hindia-Pasifik selama proses TBO dan dapat pula mendukung konsep penguatan-pelemahan monsun yang disebabkan karena pengaruh suhu daratan di wilayah Asia Selatan (India). Proses transisi TBO dengan memasukkan kondisi ENSO, yang berawal dari monsun kuat menuju monsun lemah Australia mengungkapkan bahwa pergerakan konvektif maksimum yang bermula di atas wilayah India yang bergerak melewati BMI, Australia, kemudian ke arah Pasifik Barat, hingga ke Pasifik Timur. Hal ini berarti, jika pada musim DJF suatu tahun monsun Australia lemah, maka dua musim setelahnya (JJAS), Benua Maritim Indonesia akan didominasi oleh awan konvektif hingga monsun Australia pada tahun selanjutnya (DJF+1) terjadi. Namun, jika pada DJF suatu tahun monsun Australia kuat, maka satu musim setelahnya (MAM) hingga MAM pada tahun selanjutnya (MAM+1), Benua Maritim cenderung mengalami OLR yang cukup besar sepanjang tahun (tidak dilewati oleh pusat konvektif).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 2. Evolusi musiman proses TBO sebagai pelengkap model konseptual Meehl dan Arblaster (2002)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
(a)
(b)
Gambar 3. Evolusi musiman OLR (TBO pada tahun-tahun normal): (a) monsun lemah menuju kuat Australia, dan (b) monsun kuat menuju lemah Australia
DAFTAR PUSTAKA Chang, C.P., dan Li, T., A theory for the tropical tropospheric biennial oscillation, Journal of Atmospheric Sciences, 57, 2209 – 2224, 2000. Goswami, B.N., A multiscale interaction model for the origin if the tropospheric TBO, Journal of Climate, 8, 524 – 534, 1995. Goswami, B.N., Interannual variations of Indian summer monsoon in a GCM: external conditions versus internal feedbacks, Journal of Climate, 11, 501 – 522, 1998. Kajikawa, Y., Wang, B., dan Yang, J., A multi-time scale Australian monsoon index, Int. J. Climatology, 30, 1114 – 1120, 2010. Kalnay, E., dan Coauthors., The NCEP/NCAR 40-Year reanalysis project, Bull. Amer. Meteor. Soc., 77 : 437 – 471, 1996.
11
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Meehl, G.A., The annual cycle and interannual variability in the tropical Pacific and Indian Ocean regions, Mon. Wea. Rev., 115, 27 – 50, 1987. Meehl, G.A., A coupled air-sea biennial mechanism in the tropical Indian and Pacific regions: role of the ocean, J. Climate, 6, 31 – 41, 1993. Meehl, G.A., dan Arblaster, J.M., The tropospheric biennial oscillation and AsianAustralian monsoon rainfall, J. of Climate, 15, 722 – 744, 2002. Nicholls, N., Air-sea interaction and the quasi-biennial oscillation, Mon. Wea. Rev., 106, 1505 – 1508, 1978. Ropelewski, C.F., Halpert, M.S., dan Wang, X., Observed tropospheric biennial variability and its relationship to Southern Oscillation, J. Climate, 5, 594 – 614, 1992. Trenberth, K.E. , The definition of El Nino, Bull. Amer. Met., 78(12), 2771 – 2777, 1997. Wang, B., dan Fan, Z., Choice of South Asian Summer Monsoon Indices, Bull. Amer. Met., 80(4), 629 – 638, 1999. Yang, S., Lau, K.M., dan Rao, M.S., Precursory signals associated with the interannual variability of the Asian summer monsoon, J. Climate, 9, 949 – 964, 1996. Yasunari, T., The monsoon year – a new concept of the climate year in the tropics, Bull. Amer. Meteorol. Soc., 72, 1331 – 1338, 1991.
12