DAFTAR ISI
Bab 01 Prolog Bab 02 Fan Service Bab 03 Tensai adalah Genius Bab 04 Si Rambut Merah Bab 05 Fabula Nova Bab 06 Net View Bab 07 Five Red Herrings Bab 08 Taring Harimau Bab 09 Heart of Sword Bab 10 Sang Ronnin Bab 11 Equilibrium Bab 12 Kimi no koto… Aishite Bab 13 Cerita Bunga Sakura Bab 14 Rockstar Bab 15 Downtown Core Bab 16 Super Trap Bab 17 Misdirection Bab 18 Genius – Never Give Up Bab 19 Machiavellians
Bab 20 Nekomata Bab 21 Sepuluh Tiga Satu Bab 22 Ksatria, Naga, dan Tuan Putri
2
Bab 01 Prolog
Tora kembali memandang ke langit, masih dengan rintik hujan yang sama dan awan kelabu yang sama seperti setengah jam lalu ketika dia terbangun. Berada di hari yang salah, di musim yang salah, dan di tempat yang salah. Batinnya masih bergejolak. Dia bertanya-tanya sendiri ‘Apakah ketakutan itu?’ Apakah ketika lo mengetahui sebuah fakta bahwa kejadian buruk akan terjadi tepat di depan mata lo, ataukah ketika semua berjalan tidak sesuai dengan apa yang lo rencanakan. Terbangun di negeri antah-berantah, Lo nggak tahu bagaimana lo bisa berada di sana, dan lo nggak ingat apa yang terjadi semalam, kekacauan apa yang membawa lo pergi sampai sejauh ini. Sekarang matanya beralih ke sahabat-sahabatnya yang termenung memikirkan banyak hal. Jika cewek lain yang berada dalam situasi ini dia pasti sangat ketakutan atau panik, namun tidak dengan Inka. Dia begitu kuat, dia berani menghadapinya hanya kecemasan sedikit tergurat di wajahnya. Lain halnya dengan Satria, tanpa perlu analisis sudah bisa ditebak bahwa dia pasti bingung, pasti masih berpikir bahwa ini adalah sebuah mimpi buruk. Sedangkan Fachrie, dia terlihat sangat serius memikirkan sesuatu. Tora bisa membacanya ada tiga pertanyaan dalam benak Fachrie, pertama adalah bagaimana keluar dari Singapore tanpa uang, tanpa dompet, tanpa passport dan tanpa bantuan siapapun dari negara asal kita? kedua bagaimana kita bertahan hidup di negara yang sangat protokoler tanpa surat ataupun identitas, sekaligus menemukan Liana, dan ketiga yang paling penting adalah bagaimana mengalahkan orang yang tahu sebelum orang lain tahu? Terakhir Harry, benaknya penuh tanya tapi satu yang paling dia pikirkan. 'Apakah sekarang masih jam 7 pagi atau telah masuk jam 8?' karena samar-samar dia masih mendengar kicauan burung di atas bangunan yang mengapit gang itu. Sementara di ujung sana di kejauhan
3
terdengar deru mesin-mesin yang melaju, mobil-mobil terlihat satu-dua berlalu seperti kilatan cahaya. “Rasa takut adalah insting bagi manusia ataupun hewan, mekanisme yang bergerak secara otomatis dalam bentuk emosi yang menyatakan ada bahaya maupun rasa sakit yang akan terjadi, insting untuk tetap bertahan hidup.” Ucap Fachrie seolah membaca pikiran Tora. Inka mengangguk, setuju dengan itu. “Takut adalah sebuah pertanyaan. Apa yang lo takutkan dan kenapa? Seperti halnya rasa sakit bersembunyi di balik tubuh yang sehat. Sakit itu selalu membawa informasi, begitupula dengan ketakutan adalah harta terpendam jika lo bisa mengeksplorasinya.” Tora membalas, tidak mau kalah dengan mengutip kata-kata seorang filsuf Barat. “Gila elu Tor, tahu aja filosofi seperti itu?” “Iya, kita harus memahami apa yang kita takutkan dan dari ketakutan itu kita coba cari solusinya.” “Setuju,” “Gue definisikan dulu permasalahannya.” Lanjut Tora. “Kita terbangun di gang buntu ini di sudut kota Singapore tadi pagi. Tanpa uang, tanpa dompet, dan tanpa passport. Hal yang kita takutkan adalah jika kita ditangkap polisi di negeri orang dan tidak ada yang dapat membantu kita untuk lolos keluar dari negeri ini.” “Apa yang terjadi semalam?” Satria ekspresif. “Serius lo pada enggak ada yang ingat?” ucap Harry ke gadis cantik di hadapannya. Inka menggeleng. “Yang aku ingat cuma bau busuk, pusing, dan meja makan itu aja.” Fachrie teringat sesuatu. “Iya, benar itu. Kita ada di restoran semalam? Tapi gimana kita bisa berada di sini?”
4
“Sama gue juga, yang terakhir gue ingat itu. Kita makan, ah enggak gue baru meneguk minuman dan tidak ingat apa-apalagi selain saat gue bangun tadi.” Satria hanya menghela napas. “Kejadian-kejadian seperti ini, aku rasa kita berurusan dengan mafia atau yakuza?” celetuk Inka. “Mungkin kita melakukan hal-hal hebat semalam,” sahut Fachrie. “Mungkin kita mencuri seekor singa di kebun binatang atau gajah atau jerapah?” “Serius, lo benar-benar kreatif Ple?!” Harry jengah. “facking creative!” Tora terlihat bangkit dari duduknya. Sejak masih di SMA semua temannya tahu apa arti namanya. Dalam bahasa Jepang, Tora berarti sang Harimau. Dia yang paling tangguh di antara mereka berlima. Paling berani dalam mengambil keputusan dan paling bisa diandalkan sebagai seorang pemimpin. Matanya memandang jauh keluar gang kecil, melihat sebuah gedung tinggi dengan papan billboard-nya yang menjadi icon di distrik itu. “Untungnya sekarang masih pagi, kita bisa cari solusinya sambil jalan nanti!” ucapnya sambil menatap Harry. Harry mengerti maksud Tora, asalkan dia bisa terkoneksi dengan internet dia bisa langsung menghubungi orang-orang yang dapat diandalkan untuk menjemput mereka keluar dari kota ini. Harry punya resource keluarga yang mampu untuk membawa mereka semua keluar negeri. Masalah kecilnya adalah mereka berlima kehilangan dompet, kartu identitas serta handphone untuk dapat menghubungi siapapun. “Caranya gimana?” tanya Satria. “Banyak kali Sat, Kita bisa minjam handphone seseorang di jalan, menghubungi seseorang yang kita ingat, atau bermain internet gratisan tanpa bayar di sebuah café dan mengirim email minta tolong seseorang untuk menjemput kita di sini?” Fachrie reflex ikut nimbrung dalam pembicaraan.
5
“Terus apa yang harus kita lakukan sekarang? Ada solusi?” kembali Inka bertanya “Kita jalan-jalan ke Universal Studio, ke Esplanade, ke Giant Ferris Wheels, ke Botanical Garden…” tiba-tiba Fachrie disambit kaleng, botol minuman, sandal hingga kardus oleh teman-temannya. Satusatunya solusi untuk menutup mulut dan imajinasi liar cowok yang mengidap penyakit kejiwaan ini. “Idiot!!!” sergah Inka. Sementara Tora terlihat menyeramkan karena pembicaraannya dipotong. “Wooiiii… omongan gue belum selesai. Ada yang ingat nggak sih kita seharusnya berenam?” Denggg… seolah suara loceng yang sangat besar menghantam mereka semua kecuali Tora. Satria bingung celingukan, Fachrie mencoba menghitung berapa temannya yang masih tersisa, Harry baru sadar bahwa ada yang hilang, dan Inka sudah tahu sejak terbangun tadi bahwa mereka kehilangan satu orang yaitu Liana. “Iya, kita kehilangan satu orang, Liana?” ucap Harry. “YA ALLOH!!! Liana gak ada! Mau bilang apa gue sama nyokapnya… Aaaaaa…” Satria mulai panik menyadari sepupunya tidak ada di antara mereka. Sepupunya sendiri dilupain? batin Inka melihat kepanikan Satria sambil menggelengkan kepala. Kecewa karena dia sendiri juga lupa apa yang sebenarnya telah terjadi semalam setelah acara di restoran itu. “Gue punya pertanyaan serius nih, sekali lagi gue tanya. Ada enggak yang ingat apa yang terjadi semalam?” mata Tora kembali menatap dalam keempat sahabatnya. Mereka hanya diam dan lesu, Fachrie juga terlihat menggelengkan kepala tanda tidak tahu. “Pendapat gue nih. Enggak mungkin kita bisa tiba-tiba berada di sini tanpa alasan, dan enggak mungkin juga ada orang asing yang salah culik kita lalu membuang kita di sini. Jadi asumsi gue, ada salah seorang di antara kita berlima berkonspirasi entah dengan siapa.
6
Menaruh obat bius dalam minuman atau makanan dan bikin kita enggak sadarkan diri, lalu mengangkut kita sampai di tempat antah berantah ini?” Semua jadi serius. Fachrie bergaya cool ala karakter utama anime yang sedang kesal. Garuk garuk rambut hitam gondrongnya lalu Berkata. “Lo yang enggak logis Tor, apa tujuan nya coba? Mana mungkin salah satu dari kita punya uang tuk membuang enam orang ke kota asing yang jauh, kecuali…” Fachrie menghadapkan wajahnya ke sobat di sebelahnya “Harry?” Harry langsung jomplang “Lah kok gue, ple? Lo tahu kan gue lagi nganggur selama dua bulan ini!” “Iya tapi lo kan bikin projek game di rumah, sama si Dwi itu?” Satria yang paling sering main ke rumah Harry buka mulut “Gue dengar juga lo udah lisensikan tuh projek ke gamescool.com?” Fachrie menambahkan. Harry bangun dari posisinya, menunjuk wajah Fachrie. “Loh kok jadi gue yang kena, Tora juga baru dapat projek dari bokapnya ngurus sertifikasi jual beli tanah di Bintaro, dia yang paling mungkin punya dana untuk bawa kita ke sini!” Tora tersenyum sinis seperti Hiosoka dari anime Hunter X Hunter. Inka bangkit dan menarik Harry. “Kok jadi pada main tuduh-tuduhan begini, belum tentu juga kan ini kerjaan salahsatu dari kita? yang paling penting sekarang kita temukan Liana sebelum kita pulang?” Inka memandang ke mata Tora. Seolah memaksa nya untuk ikut setuju. “Iya kita harus pulang bersama-sama, tapi gue penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi, motif apa dari siapapun yang entah membawa kita ke sini?” Kharisma seorang Tora, membuat semuanya kembali mendengarkan.
7
“Gue ingin kita semua duduk dulu di sini sebentar beberapa puluh menit dan bercerita, kronologi terbalik tentang kegiataan kita seminggu atau beberapa hari belakangan ini. Apakah ada hal-hal yang aneh? Apakah kita bertemu orang-orang yang mencurigakan? Apakah kita punya firasat akan kejadian seperti ini? Apapun lah yang kalian anggap penting dan mungkin membawa petunjuk kenapa kita berada di sini sekarang? Bukannya gue bermaksud menuduh ya tapi jika salah satu dari kita ada yang bohong dia hanya bisa bercerita satu arah dari depan ke belakang atau dari belakang ke depan, tidak bisa bercerita secara lengkap!” Satria agak melotot, binggung dengan tumpukan tanda tanya yang dia tidak mengerti Tora menatap Fachrie.”Pertama dimulai dari elo Ple?” “Gue?!” Terkutuk nih cucunya Madara Uchiha, jangan-jangan dia tahu apa yang gue lakukan minggu kemarin? batin Fachrie. “Yang lain dulu, dah?” Tora menatap ke teman-temannya yang lain. “Yaudah, aku aja yang cerita duluan!” Inka mendadak menjadi sukarelawan. Di saat gadis cantik itu mulai bercerita. Mata Fachrie menerawang ke sudut gang. Dalam benaknya masih ada satu PR yang belum terselesaikan: Bagaimana caranya mengalahkan ‘orang’ yang tahu sebelum orang lain tahu? . . .
8
Bab 02 Fan Service
Inka menarik napas berat, kemudian menutup laptopnya. Gadis cantik itu baru saja merampungkan laporan yang akan dikirim ke Bos-nya. Rehat sebentar lalu dia melanjutkan membuka beberapa situs melihat beberapa manga yang update minggu ini, juga jejaring sosial dan lainnya. Ia melirik kalender kecil di atas meja, lalu tersenyum melihat sebuah tanggal dilingkari dengan spidol merah di sana. „Seminggu lagi‟ gumamnya. “Udah waktunya, pasti tuh anak bakal bawel kalau telat.” Ucap Inka sambil beranjak dari kasurnya dan bersiap-siap untuk pergi. Hari ini ia ada janji dengan Liana, untuk mengambil beberapa gambar di Kota Tua. Gadis itu ingin memotret dan menyiapkan beberapa photo untuk pameran fotografi di kampusnya. Liana adalah teman pertama Inka saat di SMA, gadis itu sering sekali menceramahi Inka tentang dirinya yang suka membaca komik, sama seperti sepupunya si Satria. Karena Liana, Inka jadi kenal dengan sahabat-sahabatnya yang sekarang ini. Anak-anak muda aneh yang dibesarkan oleh mimpi dan punya banyak ambisi. . . .
Tadinya Liana meminta Satria untuk mengantar mereka sampai lokasi, tapi Satria ada urusan. Akhirnya terpaksa mereka menggunakan angkutan umum. Inka mengantri tiket lalu mereka masuk ke Shelter untuk menunggu Bus Trans Jakarta. Dari Shelter awal di Blok M, bus yang mereka tumpangi tak begitu ramai, lagi pula ini akhir pekan jadi agak sepi karena kebanyakan pengguna Trans Jakarta adalah para pekerja yang libur di akhir pekan. Namun, begitu melewati beberapa shelter kondisi bus mulai ramai, bahkan sampai ada yang berdiri. “Jadi nggak bisa ya, Ka?” tanya Liana, Inka menggelengkan kepalanya. Ia dapat melihat raut kecewa di wajah sahabatnya itu.
9
Saat menjemputnya tadi, gadis itu langsung menyerangnya dengan beberapa pertanyaan kepada Inka, Inka merasa tak enak hati karena tak bisa membantu temannya yang satu ini. “Terus, mau gimana lagi?” “Ya, udahlah kalau emang gak bisa” “Sorry,” “Gak papa kok, Inka. thanks buat bantuannya yah,” Liana memberikan senyuman yang dipaksakan,membuat Inka semakin tak enak Hati. “Tahu gak, Na. Terkadang sebuah misteri tidak perlu diungkap, karena setiap manusia setidaknya memiliki satu rahasia yang bisa menghancurkan hati orang lain. Kadang gue mikir semakin banyak yang kita ketahui, maka kita akan semakin sakit karenanya, Jadi biarkan Tuhan yang menentukan kapan hal itu akan terungkap, termasuk juga perasaan, bukannya akan lebih indah kalau menjadi kejutan, ya kan?” “Ya, ya, ya, Inka gue ngerti, OK! Gue nggak akan maksa-maksa lu lagi tapi gue penasaran, Gue cuma butuh kepastian...” “Pulangnya mau langsung ke acaranya Tora, di Gandaria?” tanya Inka. “Gue nggak mau datang.” Tukas Liana datar. “Lho, kenapa?” “Ada perlu, gue udah bilang sama Tora kok. Ntar minta Satria jemput lo aja, Ka” Inka tahu, saat itu temannya sedang berbohong Rombongan dalam bus berkurang ketika mereka melewati shelter Duku Atas, tiba-tiba saja Inka merasakan ada yang mengganjal di kaki kanannya, seperti menginjak sesuatu. Ia melongok ke bawah dan menemukan sebuah ponsel tergeletak di samping kaki kanannya.
10
“Hape siapa tuh, Ka?” bisik Liana karena melihat inka memungut sebuah ponsel yang dia temukan, orang-orang yang berada di sekitar mereka pun sepertinya tak ada yang memperhatikan. “Nggak tahu,” “Gila lo, punya orang tuh!” “Dari pada yang ngambil orang lain, ntar juga yang punya nelpon.”
Sudah satu jam lebih sejak Inka menemukan handphone di dalam Trans Jakarta namun tak ada tanda-tanda (telepon) dari si pemilliknya. Baru kali ini ia menemukan sebuah ponsel misterius. Ok, itu hanya pikirannya saja yang berlebihan. Tiba-tiba saja terdengar ringtone lagunya Ayu Ting-Ting yang lagi nge-hits itu dari dalam tas Inka. Dan sontak Inka jadi pusat perhatian, sejenak Inka merasa ingin tenggelam ke dasar lautan untuk menghindari tatapan aneh dari beberapa orang. “Hah? Sejak kapan lo berubah aliran Inka?” tanya Liana. Inka mendelik tak setuju. “Enak aja, bukan hape gue yang bunyi.” Inka mengambil handphone tersebut dari dalam tasnya.”hallo”. sapanya setelah mennyentuh tombol dial. “Hey balikin hape gue!” Terdengar suara bentakan dari sebarang sana membuta Inka sedikit menjauhkan Ponsel tersebut dari telinganya. “Santai dong mas. Gak bakal gue ambil kok hapenya. Gue nemuin nih hape tadi di dalam Busway. Kalo mau ngambil hapenya mending ketemuan aja di sekitar Kota Tua. Lo lagi di mana?” ucap Inka sedikit kesal dengan bentakan seseorang di seberang sana. “Ah, maaf Mba saya terbawa emosi sih gara-gara hape saya hilang, takut hape saya dicuri. Saya pikir Mba yang mencuri hape saya. Kebetulan saya nggak jauh dari sana, saya lagi di Mangga Dua. Ya sudah mbak saya langsung ke sana.”
11
“Iya gue tunggu.” jawab Inka ketus. “Makasih ya Mba udah nyimpen hape saya.” “Ya.” Inka langsung memutuskan hubungan. “Dari yang punya hape Ka?” tanya Liana. “Iya, pas gue angkat langsung ngebentak, bikin kesel aja.” “Lihat hapenya dong, Ka. Penasaran gue sama yang punya nih hape, siapa tahu pemilik nih hape ganteng, dari jenis hapenya sih kayaknya yang punya cowok,” Ujarnya, Iangsung saja Liana menyambar ponsel yang sedang dipegang oleh Inka. Inka terlihat tak peduli dia lebih senang memandang beberapa orang yang asyik bersepeda santai di sekitar Kota Tua. “OH MY GOSH!” “Apaan sih, Na?” “Lihat deh Ka, isi sms-nya?” “Itu kan privasi orang Na.” “Yang punya hape cowok apa cewek, Ka?” tanya Liana membuat Inka sedikit bingung. “Cowok.” “Tuh kan bener! Hahaha,” Liana malah ketawa dan itu semakin membuat Inka kebingungan. “Apaan sih Na?” “Makanya nih lihat isi sms-smsnya!” Liana menunjukan isi sms di ponsel tersebut kepada Inka. Awalnya Inka bingung membacanya, namun tak lama kemudian Otak Inka mulai terkoneksi dengan apa yang dibacanya.
12
Dia memandang Liana sejak sebelum akhirnya tertawa terbahakbahak bersama Liana. Siapapun pasti tak akan dapat menahan tawa mereka kalau yang mereka baca adalah rentetan sms romantis seorang cowok yang ditujukan kepada makhluk sesama jenisnya. “Maho detected...” “Horor gue baca-nya,” “Meth bubu yach, chayank kamu selalu, hahaha... alay banget.” Ucap Liana menirukan salah satu sms yang dibacanya. Inka merinding ngeri mendengarnya mengingat kata-kata alay tersebut dari seorang cowok yang ditujukan untuk cowok pula. “Orang-orang seperti mereka benar-benar ada ya, Ka” Inka mengangguk setuju. “Kita nggak bisa mengelak atau memungkiri eksistensi orang-orang seperti mereka di sekitar kita. Meskipun kita nggak bisa menebak siapa maupun merasakan keberadaanya, tapi mereka benar-benar ada di sekeliling kita. Orang-orang seperti mereka cenderung tertutup dan menyembunyikan identitas dirinya sebagai kaum homoseksual atau lesbian dan berusaha sebisa mungkin agar terlihat normal seperti yang lainnya. Yah, gue nggak nyangka aja bakal ketemu Yaoi Real.” Ujar Inka. Liana menunjukkan ekspresi bingung bukan karena penjelasan Inka, namun karena satu kosa kata Inka yang ia tak mengerti. “Yaoi?” “Yaoi, gampangnya istilah khusus untuk hubungan antara cowok dengan cowok.” “Bahasa Jepangnya Homo gitu?” tanya Liana kembali. “Makan yuk, Na. ntar gue jelasin.” Ajak Inka. Lalu mereka berjalan menuju restoran cepat saji terdekat di sana. “Gimana ya jelasinnya, jadi bisa dibilang Yaoi tuh semacam genre komik yang menceritakan hubungan antara cowok dengan cowok. Di Jepang hal–hal semacam ini bukan hal yang tabu dan jangan heran kalo lo nemuin ada penulis, sutradara atau Manga-Ka yang mengangkat
13
tema percintaan sesama jenis. Seperti Yaoi misalnya atau Yuri untuk hubungan antara wanita.” “Hah? jadi ada gitu komik homo atau lesbi?” Liana sedikit terkejut. Inka mengangguk lalu meraih gelas di hadapannya dan meminumnya. “Ya, tapi cuma sedikit yang masuk ke indonesia yang ilegal banyak.” Ujar Inka, dia ingat ketika mencari buku kuliahnya di sebuah toko buku bekas Inka menemukan sebuah komik bajakan dengan terjemahan super kacau dan menggunakan istilah panggilan Lo – Gue. “Dan ada pula orang-orang yang suka dengan genre-genre seperti itu.” Lanjutnya. “Mereka bukan hanya dari kalangan homoseks atau lesbi sendiri tapi dari kalangan normal juga ada dan bisa dibilang tidak sedikit. Setahu gue sih kebanyakan yang suka Yaoi itu cewek dan sebaliknya yang suka Yuri itu cowok. Mereka yang suka hal-hal seperti itu disebut Fujoshi untuk cewek atau Fudanshi untuk cowok,” Sebelumnya Inka sendiri tak pernah mengetahui genre komik atau anime jenis ini namun setelah ia mengenal seorang silent fujoshi di antara teman-teman Otaku1-nya. “Hm…” Liana manggut-manggut. “Lo tahu Cardcaptor Sakura nggak, jaman-jaman kita kecil dulu?” tanya Inka, Liana mengangguk. “Kalau kata Nita, temen gue yang Fujoshi. tanpa kita sadari di situ ada hints soft yaoi antara Touya kakak Sakura dengan Yukito sahabatnya. Ada suatu ikatan yang lebih dari sebuah ikatan persahabatan antara mereka berdua. Entahlah Kita yang bukan Fujoshi nggak sadar, tapi beda dengan Fujoshi mereka seakan punya insting sendiri menemukan hints-hints yaoi. Gue sendiri nggak ngerti, tapi ya itulah yang mereka suka. Dan terkadang terlalu berlebihan, setiap mereka melihat suatu 1
Otaku: Istilah bahasa Jepang yang digunakan untuk menyebut orang yang menekuni hobi tertentu, terutama subkultur yang berasal dari Jepang terutama anime dan manga.
14
persahabatan antara kedua karakter cowok mereka terkadang memandangnya dari kaca mata seorang Fujoshi.” “Berarti Naruto Yaoi dong, gue nggak terlalu tahu jalan cerita Naruto. Tapi, persahabatan Naruto sama Sasuke terlalu so sweet tahu nggak! Sampai segitunya Naruto ngejar-ngejar Sasuke buat kembali ke desanya. Apalagi masalah ikatan persahabatan antara mereka berdua.” Kali ini Liana menyampaikan pendapatnya. Inka nyaris tersedak mendengar penuturan Liana. Memang musti hati-hati kalau berbicara sama nih anak, bisa-bisa nih anak jadi Fujoshi? batin Inka berteriak. Inka memang suka cerita tentang manga-manga yang diikutinya kepada Liana, nggak jauh beda dengan Liana yang sering curhat tentang Boyband atau drama Korea yang disukainya untuk sekedar sharing untuk memancing ketertarikan selera masing-masing. Paling tidak Inka tak segigih Liana yang suka menyelipkan lagu-lagu Korea di Playlist hape maupun laptop milik kelima sahabatnya. “Bukan Na, ikatan antara Naruto sama Sasuke murni persahabatan.” Elak Inka “Sekarang mana ada persahabatan yang kayak gitu, Ka?” Liana berseloroh. “Terlalu berlebihan tahu gak, apalagi pas lo cerita tentang pernyataan Naruto yang mengejar Sasuke bukan lagi karena merasa terikat dengan janjinya terhadap Sakura. Itu jelas banget kaya ngelihat seseorang yang lagi ngejar cinta sejatinya,” ARRRGGGGHH!!! Inka membatin lagi. “Nana, Sebagai anak yang sama-sama mengalami masa–masa sulit saat kecil Naruto merasa kepedihan yang sama dengan Sasuke, itulah yang membuatnya merasa ia dan sasuke memiliki ikatan dan itu murni ikatan persahabatan atau saudara. Jangan mikir macem-macem deh Na.” Liana membulatkan mulutnya membentuk huruf „O‟ kemudian terlihat seperti berpikir sejenak.
15
“Ka, kayaknya terjadi fenomena yang sama deh di antara fans-fans boyband Korea, apa tadi namanya yang suka dengan gay stuff, mereka ini suka sekali memasang-masangkan antar personil group, ada semacam trend couple yang paling terkenal Couple Yunjae atau Yunho-Jaejoong, meskipun DBSK udah bubar tapi Fanfic-nya bertebaran di mana-mana sampai terdengar di telinga Yunho sendiri dan Jaejoong, dan tahu nggak tanggapan mereka? Biasa aja, bahkan mereka bikin Short film yang menjurus ke sana.” “Itu Fan Service.” “Fan Service, apa ntuh?” “Semacam aksi-aksi yang terkadang di luar kewajaran, yang memang sengaja dibuat untuk memancing reaksi dan minat para Audiens.” “Gimmick dong?” “Bisa dibilang bagian dari gimmick, tapi beda juga. Fan Service itu bertujuan untuk memuaskan audience, dalam hal ini aksi atau adegan yang difantasikan oleh para fans. Contohnya kalau dalam anime seperti mempertontonkan adegan mandi karakter wanita sekedar untuk hiburan semata, bukan merujuk pada konten Ecchi2, sedangkan aksi panggung biasanya mencium atau menyentuh anggota member untuk memuaskan fans mereka yang menyukai Yaoi, terutama kaum wanitanya.” “Fan Service di konser?” Liana masih bingung. “Iya, lo pernah lihat gak? Di salah satu konser mereka melakukan sesuatu yang bikin fans menjerit, seperti buka baju, jilat gitar, menyentuh atau mencium member lain?” tanya Inka, pembicaraan mereka semakin antusias saja. “Apa mencium?” Liana terkejut. “Cewek mencium cewek gituh?” “Bukan, tapi anak band,” jelas Inka. 2
Ecchi: Istilah dalam bahasa Jepang yang merujuk pada anime atau manga yang mengandung unsur soft-pornografi.
16
“Anak BAND?” Liana masih tak percaya. “Musisi Rock? Cowokcowok macho?” “Iya ada beberapa band V-kei 3yang mencari sensasi dengan cara itu!” Liana membayangkan di atas panggung pertunjukan sebuah band papan atas Indonesia, vokalis bandnya melakukan adegan mencium bibir sang guitaris. “Serius?” “Iya.” “Ah, Gila!” Udah gue duga nih anak fujoshi, tapi nggak nyadar. Inka membatin. “Tapi, nggak semuanya melakukan stunt seperti itu sih.” Lanjutnya. “Kebanyakan band V-kei yang telah ngetop paling hanya sampai jilat guitar atau bukan baju dan memeluk member lain.” “Iya, tapi itu tetap parah Ka. Di Indonesia ntuh pasti nggak lulus sensor, apalagi di atas panggung dan live pula, pasti bisa kena fatwa haram MUI...” Liana menyercos panjang. Inka hanya tertawa. “Tapi Ka, wajar gak sih kalau suka dengan hal-hal seperti itu, komikkomik Yaoi, lihat Fan Service antar member yang sama-sama cowok sampai masang-masangin mereka.” “Hmm…” “Ngaruh nggak ke orientasi seksual?” tanya Liana. “Nggak tahu,” jawab Inka, dia sudah pernah debat masalah ini sama Nita dan hanya masalah preferensi saja yang mungkin agak aneh di
3
V-kei atau Visual Kei: Merupakan budaya populer Jepang, terutama dalam industri musik J-Rock. Yang populer sekitar tahun 90-an. Biasanya band-band V-kei mengenakan kostum dramatis dan image visual. Seperti menggunakan make-up tebal hingga berdandan seperti perempuan, dalam hal ini berpenampilan androgini.
17
mata orang. “Tergantung orangnya juga sih Na. Sama kayak orang yang suka nonton film-film suspense belum tentu dia psikopat-kan? Lagi pula kebanyakan yang suka yaoi itukan cewek, alasan nggak jauh beda karena mereka suka ngelihat cowok-cowok bertampang Bishie atau cantik.” Gadis cantik ini melirik jam tangannya. Sudah lumayan lama mereka duduk di situ, ia menyapukan pendangannya ke sekeliling restoran namun tak terlihat tanda-tanda seseorang yang sedang mencari keberadaanya. Padahal Inka sudah mengirim pesan kepada si pemilik ponsel untuk ketemuan di sini. “Wah, kalau begitu yang punya nih hape cakep dong, bertampang bishie!” mata Liana berbinar-binar sambil mengucapkannya, Inka hanya geleng-geleng kepala. Jangan bilang yang begini mau disikat Liana juga. “Jangan ngarep banyak deh, Na.” “Apaan sih, Ka?” “Gue tahu apa yang ada dipikiran lo Na.” “Yeh, siapa tahu Na, gue bisa buat dia jadi lurus dan nggak „membelok‟ lagi.” Liana membuat tanda kutip dengan jari kedua tangannya ketika menyebutkan kata „membelok‟. tiba-tiba saja mata Inka menemukan seorang pemuda tampan yang memakai kaos v-neck berwarna putih yang dipadukan dengan cardigan rajutan biru muda dan Skinny Jeans dengan sneakers putih di pintu masuk yang terlihat sedang kebingungan seperti mencari seseorang. Liana pun ikut mengarahkan pandangannya ke pintu masuk lalu ke Inka. “Dia, Ka?” tanya Liana, mereka berdua masih memandang pemuda yang kebingungan itu. Inka menggedikkan bahunya, sedikit ragu. Pasalnya Inka sudah memberitahu kepada pemilik hape posisinya sekarang dan juga ciri-ciri pakaian yang dikenakannya. Seharusnya mereka berdua mudah dikenali. “Cakep gitu, Ka. Kalau inget orientasi seksualnya yang melenceng sayang banget.” Liana hendak melambaikan tangan ke pemuda tersebut sebelum terdengar suara bariton milik seseorang menginterupsi mereka dari arah belakang Inka, mereka berdua menoleh serentak.
18
“Maaf, tadi Mba yang nemuin hape saya?” tanya orang tersebut kalem. Hening. Seorang bapak-bapak bertampang khas Jawa berkumis tebal yang diperkirakan berumur kepala empat itu heran dan mengerutkan keningnya. “Si Mba yang nemuin hape saya?” tanya bapak itu sekali lagi. Inka mengangguk horor sedangkan dalam hatinya ia sedang berteriak saat ini „SERIUS LOH?!‟ Tanpa dikomando bapak tersebut langsung duduk mengambil posisi di samping mereka berdua. Liana sedikit beringsut mendekat ke arah Inka. “Oh, ya perkenalkan nama saya Bambang, Mbak-mbak ini namanya siapa toh?” tanya pak Bambang masih dengan wajah kalem dan senyum yang mengembang. “Inka dan ini teman saya Liana.” “Oh Mba Inka sama Mba Liana, makasih banyak ya mba. Saya nggak tahu harus bagaimana lagi pas tahu hape saya hilang, banyak nomornomor penting di dalamnya. Untung Mba yang nemuin. Sekarang jarang loh orang-orang kaya Mba. Sekali lagi terima kasih banyak.” “Ah ya Pak. Ini hapenya.” Inka menyerahkan ponsel tersebut kepada pemiliknya dan siap-siap untuk pamit sebab Liana menyenggol-nyenggol kakinya sejak pak Bambang muncul. Tanpa basa-basi dan dengan alasan buru-buru mereka berdua pun beranjak meninggalkan pak bambang tersebut, meskipun pada awalnya pak Bambang menawarkan diri untuk mentraktir mereka, Namun mereka tolak baik-baik dan segera angkat kaki dari TKP. . . .
19