PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA HASNAWATI / D101 11 005 ABSTRAK Korupsi telah dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa yang talah membawa bencana bagi kehidupan Perekonomian Nasional, sehingga untuk mengungkap kejahatan tersebut tidak lagi dilakukan dengan penegakan biasa, akan tetapi dilakukan dengan luar biasa. Dalam hal pembalikan beban pembuktian yang terdapat pada undang-undang korupsi sangatlah berbeda dengan pembuktian secara negatif yang terdapat didalam KUHP. Sehingga sangatlah rawan melanggar asas praduga tak bersalah ( presemption of innocence ) dan asas mempersalahkan diri sendiri ( non self incrimination ). Metode Penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif, karena yang akan ditulis adalah penerapan pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi di Indonesia, dimana penulisan tersebut menggunakan data-data yang diperoleh dari bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Penerapan pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi sering dirasakan tidak efektif dan sangat memberatkan aparatur Penyidik khususnya Jaksa di dalam melakukan penyidikan. Sehingga dalam melakukan Penerapan Pembalikan Beban Pembuktian dalam perkara Tindak Pidana Korupsi, perlu dianut dua teori pembuktian, yaitu Teori Bebas Yang dianut Oleh Terdakwa dan Teori Negatif menurut Undang-Undang yang dianut oleh Penuntut Umum atau biasa atau biasa disebut dengan Teori Pembalikan Beban Pembuktian Terbatas Dan Berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan Penuntut Umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Kata kunci : Pembalikan, Beban Pembuktian, Tindak Pidana Korupsi. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam mewujudkan masyarakat
mewujudkan masyarakat Indonesia yang
adil dan makmur, bangsa Indonesia telah
adil, makmur, dan sejahtera tersebut,
mengalami berbagai macam hambatan
salah satu langkah yang perlu secara
dan tantangan yang mengganggu cita-
terus-menerus ditingkatkan diantaranya
cita
dengan
luhur
bangsa
tersebut.
Untuk
1
melakukan
upaya-upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak
Karena budaya adalah sebuah nilai etis
pidana
yang
untuk membangun kehidupan manusia
tengah
kehidupan
berkembang
ditengah-
masyarakat
pada
yang lebih baik. Sedangkan Korupsi
umumnya, serta tindak pidana korupsi
pada dasarnya sebuah tindakan kriminal
pada khususnya.
baik terhadap hukum maupun terhadap
Perkembangan Tindak
Pidana
nilai yang ada dalam masyarakat. Secara
Korupsi di Indonesia tergolong tinggi,
filosofis, korupsi di satu pihak bukanlah
sehingga dapat dikatakan bahwa korupsi
sebuah
sebagai
dengan
sungguh bertentangan dengan nilai dan
mudahnya menyebar ke seluruh tubuh /
unsur kebudayaan itu sendiri. Dengan
organ pemerintahan dalam waktu yang
demikian
relatif singkat dan cenderung mengalami
kebudayaan adalah dua hal yang sangat
peningkatan yang cukup signifikan dari
bertolak belakang.1
suatu
virus
yang
tahun ke tahun baik secara kualitas
kebudayaan
luar
salah
implikasinya
permasalahan
tindakan
korupsi
korupsi
dan
Bila korupsi dijadikan kejahatan
maupun kuantitasnya dan telah menjadi satu
sebab
nasional.
biasa
(extra
ordinary
menjadi
crime),
pemberantasan
Perkembangan korupsi yang demikian
dan cara luar biasa dalam menangani
mempunyai relevansi dengan kekuasaan
korupsi. Kemungkinan timbul kondisi
karena dengan kekuasaan itu penguasa
yang berlebihan yang bisa mengganggu
dapat menyalahgunakan kekuasaannya
kehidupan berbangsa dan bernegara, bila
untuk kepentingan pribadi, keluarga,
penegakkan hukum ditingkatkan menjadi
kelompok dan kroninya.
luar biasa maka harus dicari rekrutmen
Tindak
Pidana
Korupsi
di
penegak hukum yang bermoral serta
Indonesia sudah sampai titik nadir. Korupsi dinegeri ini sudah demikian parah, mengakar, bahkan sebahagian kalangan sudah menganggap bahwa
1
Mochtar Pabottingi dari buku Saldi Isra, Kekuasaan dan Perilaku Korupsi, Kompas, Jakarta, 2009. hlm. 7.
korupsi telah membudaya. Akan tetapi korupsi bukanlah budaya negara kita. 2
sistem yang tepat dalam pembarantasan
dipandang
2
korupsi .
tidak
memberantas
Usaha terjadinya
untuk
kebocoran
perekonomian sebenarnya
dikeluarkannya
tindak
pidana
pula korupsi
menanggulangi
maka undang-undang ini diganti dengan
keuangan
dan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
(korupsi)
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
negara sudah
berdaya
dimulai
beberapa
sejak
Korupsi, kemudian diadakan perubahan
Keputusan
dan
penyempurnaan
berdasarkan
presiden seperti Keputusan Presiden
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Nomor 40 Tahun 1957 tentang keadaan
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
perang hingga pada diberlakukannya
Korupsi.
Undang-Undang
Nomor
24/Prp/1960
Persoalan
yang
muncul
dari
tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
adanya pembalikan beban pembuktian
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi,
adalah dengan diberikannya hak kepada
akan tetapi meskipun undang-undang
terdakwa untuk membuktikan ketidak
tersebut
diberlakukan
tidak
bersalahannya dapat menimbulkan beban
mampu
memberantas
pidana
mental kepada terdakwa dan membuka
korupsi secara optimal. Alasan atas hal
peluang untuk melakukan peradilan yang
tersebut antara lain, karena undang-
tidak bebas dan memihak, karena ketika
undang tersebut tidak sesuai lagi dengan
terdakwa
keadaan yang ada di lapangan, maka
ketidak bersalahannya maka akan timbul
diganti dengan Undang-Undang Nomor
praduga bersalah dari penuntut umum
3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
dan hakim pada hal anggapan tersebut
Tindak Pidana korupsi, tetapi ternyata
tidak dibenarkan dalam proses peradilan
kemudian bahwa undang-undang inipun
yang sementara berjalan. Atau dapat
namun tindak
tidak
dapat
membuktikan
dikatakan suasana peradilan yang bebas 2
Mansyur Semma, negara dan korupsi,
yang dilandasi dengan asas praduga tak
pemikiran mochtar lubis atas negara, manusia
bersalah
Indonesia, dan perilaku politik, yayasan obor
dapat
terganggu
keterangan terdakwa
Indonesia, Jakarta, 2008. hlm. 103.
mengenai
oleh dari
mana harta kekayaannya diperoleh dan 3
dikhawatirkan keputusan yang diambil
terjadinya minimalisasi hak-hak dari
tidak berdasarkan pertimbangan yang
yang berkaitan dengan asas “non self-
rasional.
incrimination” dan “presumption of Adji
innocence”. Apabila terjadi, inilah yang
menyebutkan bahwa terdakwa tidak
di katakan bahwa sistem pembalikan
pernah dibebankan untuk membuktikan
beban pembuktian berpotensi untuk
kesalahannya,
terjadinya
Indriyanto
diwajibkan
Seno
bahkan untuk
tidak
pernah
HAM4.
pelanggaran
mempersalahkan
Pembalikan beban pembuktian terhadap
dirinya sendiri (non-self incrimination)3.
delik atau semua rumusan tindak pidana korupsi sungguh tidak dapat diterima,
B. Rumusan Masalah Bardasarkan latar belakang yang
karena sangat jelas sistem ini akan
telah diuraikan diatas, adapun rumusan
melakukan pelanggaran terhadap prinsip
masalah yang penulis ingin kaji yaitu
perlindungan dan penghargaan terhadap
bagaimana Penerapan Pembalikan Beban
Hak
Pembuktian
perlindungan terhadap hak-hak prinsipiil
dalam
Tindak
Pidana
Korupsi di Indonesia?
II.
Beban
Manusia,
terdakwa.
Bahwa
ketentuan
khusus,
Pembuktian
sudah
suatu cukuplah
eliminasi hak tersebut. Minimalisasi
dalam
penghargaan
Indonesia
diberlakukannya sistem
sebagai
dan bukan serta tidak diharapkan adanya
Pembalikan
Tindak Pidana Korupsi di
penerapan
khususnya
menjadi minimalisasi hak-hak terdakwa
PEMBAHASAN A. Penerapan
Asasi
pembalikan
pemberian
hak-hak
yang
delik
tersebut
atas
baru
tentang
berkaitan
dengan
beban pembuktian ini sebagai realitas
perbuatan “suap”, bukan terhadap semua
yang tidak dapat di hindari, khususnya
delik-delik yang ada dalam rumusan ketentuan
Undang-Undang
3
Indriyanto Seno Adji, “pembalikan beban pembuktian” dalam tindak pidana korupsi, Penerbit Kantor Pengacara dan Konsultasi Hukum Oemar Seno Adji & Rekan Jakarta, 2001, hlm. 50.
4
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakkan Hukum, Diadit Media, Jakarta, 2009. Hlm. 52.
4
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
1.
tersebut.
Pembalikan beban pembuktian di laksanakan
Sehingga
dengan
“terbalik
yang
proses
persidangan,
melihat
penjelasan tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan,
pada
2. Pembalikan beban pembuktian di
bersifat
tujukan untuk mengetahui asal
terbatas dan berimbang” yang dapat
usul
diberlakukan pada saat UU No.31 tahun
apakah
1999 tentang Pemberantasan Tindak
dengan tugas dan kewajiban dari
Pidana Korupsi, berdasarkan asas Lex
terdakwa atau tidak
Posteriori
derogat
legi
lex
Priori
yang
pada
2001 tentang Perubahan UU No.31 tentang
dengan di
tidak
melaporkan
Komisi
Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Pemberantasan 4. Ketidak seimbangan antara harta
Tindak Pidana Korupsi, hal ini dapat kita lihat
hubungan
penerimaan gratifikasi tersebut ke
31 tahun 1999 oleh UU No.20 tahun
1999
mempunyai
kenakan pada penerima gratifikasi
pembalikan beban pembuktian
sejak di adakanyya perubahan UU No.
tahun
gratifikasi,
3. Pembalikan beban pembuktian di
berubah menjadi Pembuktian Terbalik atau
penerimaan
hilangkannya
benda dan sumber penerimaan
kata
“terbatas dan berimbang”.
terhadap harta benda yang belum di
Di tinjau dari aspek penerapannya,
dakwakan,
akan
tetapi
terungkap di persidangan dan
tujuan penerapan Pembalikan beban
harta benda tersebut juga di duga
pembuktian yang ada di dalam sistem
berasal dari tindak pidana korupsi.
pembuktian korupsi sesuai dengan UUP
Selain di dalam UUP Tipikor,
Tindak Pidana korupsi mencakup empat
Pembalikan
aspek, yakni :
beban
pembuktian
tindak pidana korpusi diatur pula dalam Konvensi Anti Korupsi 2003
5
(KAK
2003)
yang
di
ratifikasi menjadi Undang-undang
menurut Undang-Undang yang dianut
No.
tentang
oleh Penuntut Umum atau biasa atau
Nations
biasa disebut dengan Teori Pembalikan
7
Tahun
Pengesahan
2006
United
Convention Against Corruption,
Beban
2003
Berimbang, yakni terdakwa mempunyai
(Konvensi
Bangsa-bangsa
Perserikatan
Terbatas
Dan
Korupsi,
hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
2003) khususnya terdapat dalam
melakukan tindak pidana korupsi dan
ketentuan Pasal 31 ayat (8) yang
Penuntut Umum tetap berkewajiban
menyebutkan;
Anti
Pembuktian
“Negara-negara
membuktikan dakwaannya.
pihak dapat mempertimbangkan
Teori
kemungkinan untuk mewajibkan untuk
seorang
umum, serta berwujud dalam hal-hal sebagaimana tercantum dalam pasal 37
dari hasil-hasil yang di duga
UU No. 31 Tahun 1999 sebagai berikut :
berasal dari tindak pidana atau
1. Terdakwa
kekayaan lain yang di kenakan
korupsi
dasar hukum Nasional mereka dan
2. Dalam hal terdakwa dapat
konsisten pula dengan sifat proses
membuktikan bahwa ia tidak
yudisian dan proses peradilan
melakukan
lainnya”.
Pembuktian
tindak
pidana
korupsi,
maka
keterangan
melakukan
tersebut
dapat
digunakan
Beban
sebagai
hal
Tindak
menguntungkan dirinya
Pembalikan dalam
hak
tidak melakukan tindak pidana
konsisten dengan prinsip-prinsip
Penerapan
mempunyai
untuk membuktikan bahwa ia
penyitaan, sejauh syarat tersebut
dalam
sebagaimana
tercermin dan tersirat dalam penjelasan
pelanggar
menerangkan sumber yang sah
Sehingga
bebas
perkara
Pidana Korupsi, perlu dianut dua teori
yang
tidak
3. Terdakwa wajib memberikan
pembuktian, yaitu Teori Bebas Yang
keterangan
dianut Oleh Terdakwa dan Teori Negatif
harta bendanya dan seluruh
6
tentang
seluruh
harta benda isteri atau suami,
sekurang-kurangnya mempunyai dua alat
anak, dan setiap badan atau
bukti
koorporasi
keyakinan bahwa suatu tindak pidana
yang
diduga
yang
mempunyai hubungan dengan
benar-benar
perkara yang bersangkutan
terdakwalah
sah,
ia
terjadi
memperoleh
dan
yang
bahwa bersalah
melakukannya”.
4. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan
penghasilan
sumber
B. Pembalikan
atau
Pembuktian Di dalam proses
penambahan
kekayaannya, keterangan
penegakan
maka tersebut
dipergunakan
dapat
Pada
untuk
terdapat
tahapan
kekhususan
pembuktian yaitu
adanya
pembebanan pembuktian oleh Terdakwa
ada bahwa terdakwa telah tindak
hukum materil
tindak pidana korupsi
memperkuat alat bukti yang
melakukan
Beban
serta perluasan menyangkut alat bukti
pidana
petunjuk yang di gunakan yang di luar
korupsi.
ketentuan Kitab Undang-undang Hukum
5. Dalam keadaan sebagaimana
Acara Pidana.
dimaksud dalam ayat (1), (2), Proses pembuktian merupakan
dan ayat (3) dan (4), Penuntut Umum
tetap
untuk
berkewajiban
hal yang sentral di dalam menentukan
membuktikan
salah atau tidaknya seseorang sesuai dengan apa yang di dakwakan oleh
dakwaannya. Sedangkan teori negatif menurut
Penuntut Umum. Pengajuan alat bukti
undang-undang tercermin tersirat dalam
merupakan salah satu tahapan didalam
pasal 183
pemeriksaan sidang pengadilan, yang
KUHAP
yang
berbunyi
sebagai berikut :
selain mengacu kepada Kitab Undang-
“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
undang Hukum Acara Pidana, juga
kepada seorang kecuali apabila dengan
mengacu 7
kepada
Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
dan
sehingga alat bukti yang digunakan
petunjuk sebagaimana di sebutkan pasal
untuk membuktikan perkara Tindak
26A UU Pemberantasan Tindak Pidana
Pidana Korupsi, selalu menggunakan
Korupsi sederajat dengan alat bukti
alat bukti yang limitatif yang telah
keterangan saksi, Surat dan keterangan
disebutkan didalam KUHAP yaitu pasal
terdakwa di dalam membentuk alat bukti
183 ayat (1), juga menggunakan alat
petunjuk atau dengan kata lain informasi
bukti yang disebutkan didalam UU
dan dokumen saja sudah cukup untuk
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
membentuk alat bukti petunjuk tanpa
dasar yuridis hal ini dapat kita lihat pada
alat bukti yang lain baik itu keterangan
pasal 26 UU Pemberantasan Tindak
saksi,
Pidana Korupsi.
terdakwa.
Setelah
memahami
dokumen
surat,
sebagai
maupun
pembentuk
keterangan
Di samping kekhususan di dalam
dengan hukum
cermat kalimat dalam pasal 26 huruf UU
pembuktian
Tindak
Pidana
Korupsi tersebut, hukum pembuktian
Pemberantasan Tipikor tersebut, untuk
tindak pidana korupsi memuat pula
memperoleh alat bukti petunjuk, selain
berbagai ketentuan lain. Menyangkut hal
alat bukti yang di sebutkan di dalam
tersebut, Firman Wijaya menuliskan
pasal 188 ayat (2), “Khusus untuk tindak
pendapatnya sebagai berikut :
pidana Korupsi juga dapat di peroleh dari alat bukti lain”, dari kalimat tersebut
(1). Tentang tindak pidana dalam hal
dengan penggunakan penafsiran atau
berlakunya
interpretasi
kita
pada Jaksa Penuntut Umum atau
menarik kesimpulan selain di peroleh
Penasehat Hukum atau kedua-
dari alat bukti keterangan saksi, Surat
duanya.
dan keterangan terdakwa, Alat bukti
pembuktian pada Jaksa Penuntut
tindak pidana korupsi juga dapat di
Umum atau terdakwa dalam hal
peroleh dari informasi dan dokumen, Hal
korupsi
ini menunjukkan kedudukan informasi
gratifikasi, jika nilai Rp. 10 juta
gramatikal,
dapat
8
beban pembuktian
Misalnya,
suap
beban
menerima
atau lebih ada pada terdakwa,
dakwakan. Dilakukan terdakwa
dan bila kurang Rp. 10 juta beban
dengan
pembuktian
membuktikan
ada
pada
Jaksa
Penuntut Umum.
sumber
Atau
hal
terdakwa
hasil korupsi di lakukan dalam
bukan hasil korupsi, ditujukan
pembelaannya.
untuk menjatuhkan atau tidak menjatuhkan pidana perampasan harta
dalam
belum di dakwakan adalah bukan
membuktikan
terhadap
atau
membuktikan harta benda yang
benda yang belum di dakwakan,
barang
penghasilannya
sumber tambahan kekayaannya.
untuk
membuktiikan mengenai harta
wajib
isteri
lain-lain yang sesuai dengan
pada satu pihak. Seperti pada
terdakwa
kekayaan
atau suami atau anaknya dan
beban pembuktian itu di berikan
terbalik,
terdakwa bahwa
kekayaannya,
(2). Tentang untuk kepentingan apa
sistem
cara
(4) Tentang akibat hukum dari apa
yang
yang
diperoleh
dari
hasil
belum di dakwakan. Berhasil
pembuktian
atau tidaknya tergantung kepada
yang
terdakwa membuktikan tentang
Seperti hakim akan menyatakan
sumber harta benda yang belum
dakwaan sebagai tidak terbukti,
di dakwakan tersebut.
dalam
membuktikan.
pembebasan
terdakwa
dapat
terdakwa.
Atau
dalam hal terdakwa tidak dapat
mengenai harta benda yang di mempunyai
hal
terbalik. Tentu diikuti dengan
pada
sistem pembuktian semi terbalik
duga
pembuktian.
sistem pembebanan pembuktian
cara
Seperti
bebani
tindak pidana korupsi dalam
pembuktian khusus korupsi juga tentang
pihak-pihak
membuktikan tidak melakukan
(3). Walaupun hanya sedikit, hukum
memuat
di
dari
membuktikan bahwa harta benda
hubungan
yang belum di dakwakan bukan
dengan perkara korupsi yang di 9
hasil korupsi, akibat hukumnya
Mulyadi,
harta benda tersebut di anggap
menyatakan dalam tulisannya :
korupsi dan hakim akan memutus
Seno
Adji,
“sistem pembalikan beban pembuktian
barang tersebut di rampas untuk
(reversal of burden proof) merupakan
negara5. Secara
Indriyanto
sistem pembuktian yang di pergunakan kronologis
penggunaannya,
sistem
lihat
dari
bagi negara-negara anglo-saxon dan bertujuan
untuk
beban pembuktian pertama kali di
pembuktian
dalam
perkenalkan oleh negara-negara dengan
„certain
sistem Anglo-Saxon, dan bukan negara-
tertentu/spesifik atau khusus sifatnya” 7,
negara
eropa
selain hal tersebut di atas, Indriyanto
kontinental seperti halnya Indonesia
Seno Adji, juga menyatakan di dalam
yang menganut sistem eropa kontinental,
tulisannya :
penganut
pembalikan
sistem
hal ini di sampaikan oleh Lilik Mulyadi
“
di dalam tulisannya :
cases‟
mempermudah istilah atau
pembalikan
beban
mereka
kasus-kasus
pembuktian
merupakan penyimpangan asas umum
“ Secara kronologis pembalikan beban
(reserve Burden of Proof atau Omkering
pembuktian
sistem
van het Bewijslast) hukum pidana yang
pembuktian yang dikenal dari negara
menyatakan bahwa barang siapa yang
penganut rumpun Anglo-Saxon terbatas
menuntut,
pada „certain cases‟ khususnya terhadap
membuktikan kebenaran tuntutannya.
tindak
bermula
„gratification‟
pidana
pemberian „bribery‟
yang ” 6.
dari
atau
Dalam
dengan
hal
yang
“pembalikan
harus
beban
pembuktian”, terdakwalah yang harus
berkorelasi dengan
Senada
dialah
Lilik
membuktikan bersalah,
bahwa jika
dirinya tidak
tidak dapat
membuktikannya maka ia di anggap
5
Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, penaku bekerjasama dengan Maharini Press, Jakarta,2008, hlm. 87 s/d 88. 6 http://www.tokohindonesia.com/publik asi/article/332-opini/2403-pembalikan-bebanpembuktian.
7
Indriyanti Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Oemar Seno Adji, Jakarta, 2006. Hlm. 106.
10
bersalah. Sebagai penyimpangan maka
teori pembalikan beban pembuktian
asas ini hanya di terapkan terhadap
murni
perkara-perkara tertentu (cartein cases),
bewijstlast), tetapi teori pembalikan
yaitu
beban
yang
berkaitan dengan delik
(zivere
oms
pembuktian
keering
terbatas
korupsi khususnya terhadap delik baru
berimbang.
tentang pemberian (gratification) dan
pembuktian yang bersifat terbatas
yang
dan berimbang yakni mempunyai
berkaitan
dengan
penyuapan
8
(bribery)” .
Pembalikan
dan beban
hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan
korupsi
dan
tindak
wajib
pidana
memberikan
keterangan mengenai seluruh harta III.
PENUTUP
benda setiap orang atau koorporasi
A. Kesimpulan
yang diduga mempunyai hubungan
Penerapan
Pembalikan
dengan perkara yang bersangkutan
Beban
Pembuktian Dalam Tindak Pidana
dengan
Korupsi diterapkan dua jenis sistem
berkewajiban untuk membuktikan
pembalikan
dakwaannya.
beban
pembuktian
Penuntut
Umum
tetap
A. Saran
sebagaimana diatur dalam UU No. 31 tahun 1999 dan KUHAP. Kedua
Sebagaimana yang telah disimpulkan
teori
di atas maka disarankan sebagai
ini
menerapkan
Hukum
pembuktian dilakukan dengan cara
berikut :
menerapkan
1. Agar
pembalikan
beban
kiranya
Hakim
dalam
pembuktian yang bersifat terbatas
menentukan terdakwa bersalah
dan berimbang dan menggunakan
berdasarkan pembalikan beban
sistem pembuktian negatif menurut
pembuktian diusahakan supaya
Undang-undang (Negative Wettelijk
ada
Overtuinging). Tidak menerapkan
mencukupi
alat-alat
bukti
syarat-syarat
yang yang
ditentukan oleh Undang-undang
8
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta, 2009. Hlm. 52.
agar 11
dapat
menjadi
dasar
keyakinan
dalam
Undang-undang nomor 20 Tahun
menjatuhkan putusan sehingga
2001 tersebut diadakan revisi
implementasi sistem pembuktian
kembali
tidak hanya retorika politis saja.
pembalikan beban pembuktian
2. Berhubung
Hakim
di
Undang-undang
khususnya
tentang
tersebut.
No.31 Tahun 1999 oleh Undang-
3. Peraturan
perundang-undangan
undang No. 20 Tahun 2001
sudah baik maka penerapannya
tentang pemberantasan Tindak
harus
Pidana Korupsi belum sistematis
diefektifkan
dimana pasal satu dengan pasal
khususnya
lainnya saling bertentangan (
pembuktian ini dalam menangani
kontradiktif ) maka sebaiknya
perkara-perkara
12
ditingkatkan
dan
penggunaannya pembalikan
beban
korupsi.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, penaku bekerjasama dengan Maharini Press, Jakarta,2008, hlm. 87 s/d 88. Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakkan Hukum, Diadit Media, Jakarta, 2009. Hlm. 52. Indriyanti Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Oemar Seno Adji, Jakarta, 2006. Hlm. 106. Indriyanto Seno Adji, “pembalikan beban pembuktian” dalam tindak pidana korupsi, Penerbit Kantor Pengacara dan Konsultasi Hukum Oemar Seno Adji & Rekan Jakarta, 2001, hlm. 50. Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta, 2009. Hlm. 52. Mansyur Semma, negara dan korupsi, pemikiran mochtar lubis atas negara, manusia Indonesia, dan perilaku politik, yayasan obor Indonesia,Jakarta, 2008). hlm. 103. Mochtar Pabottingi dari buku Saldi Isra, Kekuasaan dan Perilaku Korupsi, Kompas, Jakarta, 2009. hlm. 7. B. Sumber Lain Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perubahan dan penyempurnaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. http://www.tokohindonesia.com/publikasi/article/332-opini/2403-pembalikan-beban-pembuktian.
13
BIODATA SINGKAT PENULIS
Nama
: Hasnawati
Tempat Tanggal Lahir
: Palu, 21 Agustus 1993
Alamat
: Jl. RE. Martadinata
Alamat e-mail
:
[email protected]
No. Telp/Hp
: 085240019821
H
14