D a r i E t ik a S
p ir it u a l it a s
ke
B
is n is
T e l a 'a h Is u -Is u A k tu a l d a n Ma s a D e p a n P en d id ik a n T in g g i E k o n o m i Is l a m .
A zh ari A
km al
T a r ig a n
DiTERbITKAN ATAS KERjASAMA F a k u l t a s E konom i
dan
B is n is
is l a m d e n g a n
G IP
Kata Pengantar
Keinginan untuk menulis buku Spiritualitas bisnis sudah lama bersemayam di benak saya. Lebih-lebih ketika saya menjabat sebagai Ketua Jurusan sekaligus ketua Program Studi Ekonomi Islam Fakultas Syari’ah IAIN.SU. Sebenarnya, di dalam kurikulum Prodi Ekonomi Islam terdapat mata kuliah Etika bisnis. Namun entah mengapa mata kuliah ini telah dihapus dengan alasan yang tidak begitu jelas. Juga ada mata kuliah akhlak tasawuf dan teologi. Namun menurut saya, mata kuliah tersebut tidak cukup. Bahkan untuk dua mata kuliah yang disebut terakhir, dalam tingkat tertentu topik-topik intinya tidak relevan dengan studi ekonomi Islam. Sejak saat itulah saya bertekad untuk melakukan perubahan dan pengembangan kurikulum. Setidaknya melakukan revisi dan memberi titik tekan baru terhadap mata kuliah tersebut. Untuk teologi, nama mata kuliah dan isinya dirubah menjadi Teologi Ekonomi. Di dalamnya, kajian tentang aliran-aliran teologi Qadariyah, Jabariyah, Asy’ariyah, Maturidiyyah, Mu’tazilah dan lainnya hanya dibahas dalam satu atau dua pertemuan. Padahal sebelumnya di bahas dalam satu semester. Selebihnya, topik-topik intinya berkaitan dengan makna kerja, eksistensi harta, pertanggungjawaban bisnis dan sebagainya. Untuk matakuliah Akhlak Tasawuf, nama matakuliahnya tetap namun topik intinya dirubah dan diarahkan kepada hal yang berkaitan dengan spiritualitas. Topik-topik dengan sejarah asal-usul tasawuf, tokohtokoh sufi dan ajarannya hanya disampaikan secara ringkas dan sederhana. Berbeda halnya ketika matakuliah akhlak tasawuf diajarkan di fakultas Syari’ah lebih-lebih Ushuluddin. Sebenarnya isu-isu spiritual dalam bisnis bukanlah hal baru. Sejak terbitnya buku Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Spiritual IntelligenceThe Ultimate Intelligence (SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan) dan buku Spiritual Capital; Wealth We can Live By Using Our Rational, Emotiona, and Spiritual Intelligence to Transform Ourselves and Corporate Culture (SC; Spiritual Capital, Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis. Dilanjutkan
dengan buku Gay Hendricks dan Kate Ludeman yang berjudul, The Corporate Mystic: A Guide Book for Visionaries with Their Feet on the Ground, keberadaan spiritualitas dalam aktivitas bisnis menjadi niscaya. Bahkan jauh sebelumnya John Naisbit dan Patricia Aburdence telah berteriak - salah satu trend- religion no spiritualitas yes. Saya bertekad untuk menulis buku daras tentang spiritualitas bisnis. Sayapun sudah melangkah dengan merancang out linenya. Namun sampai detik ini, saya masih berhenti pada bagian pertama; pembahasan mengenai makna spiritualitas dan bisnis. Sampai pengantar buku ini ditulis, buku utuh spiritualitas bisnis itu tetap saja belum selesai. Entah mengapa, ketika saya kembali membuka file tulisan-tulisan saya sejak 10 tahun terakhir, saya seakan mendapatkan “ilham”. Seakan saya diperintah untuk menerbitkan artikel-artikel saya khususnya yang berkenaan dengan ekonomi, etika dan bisnis Islam. Saya mencoba mengumpulkannya. Saya juga meminta bantuan beberapa orang teman untuk membuat klasifikasi atau bagian-bagian. Tulisan itu akhirnya berhasil dikumpulkan. Seorang yunior saya, Syukri Albani Nasution bahkan telah membuat sistematika buku itu. saya berpikir, beliau adalah orang yang tepat untuk menjadi editor buku ini. Namun saya mengerti, sebagai dosen muda yang energik dan juga kesibukannya dalam studi S3, rencana penerbitan buku inipun terhenti. Singkat cerita, sampai saya menyelesaikan tuga saya dijurusan, buku tersebut belum juga terwujud. Setelah dilantik menjadi Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, saya bertekad tidak berhenti diperencanaan. Buku utuh tentang spiritualitas bisnis tak jadi saya tulis. Buku kumpulan artikel inipun tak juga selesai. Saya berjanji pada diri saya, buku ini harus selesai. Hasilnya seperti apa yang berada di tangan pembaca saat ini. Sebagai buku yang asalnya adalah artikel-artikel saya di Waspada, lebih kurang 10 tahun lamanya, tentulah memiliki banyak kelemahan. Setidaknya kelemahan buku yang bahannya artikel itu ada 4 point. .Pertama, pembahasannya tidak mendalam. Sebatas gagasan, percikan pemikiran dan sering disebut sebagai kajian awal. Kedua,umumnya tidak didasarkan pada riset-riset yang mendalam. Ketiga, sebagian besar tidak dilengkapi dengan rujukan. Rujukan hanya digunakan untuk hal yang dipandang serius. Misalnya berkaitan tentang data dan teori. Jadi
pemikiran yang dikemukakan belum pula teruji. Keempat, artikel biasanya sangat terkait dengan konteks. Artikel merupakan respon penulis terhadap isu-isu yang berkembang. Kendati demikian, artikel juga memiliki kekuatan. Pertama, Artikel itu biasanya merupakan gagasan orisinil penulisnya. Ia tidak disibukkan untuk menela’ah dan mengutip pendapat dan teori para pakar. Artikel sesungguhnya merupakan ruang bebas bagi penulis untuk berekspresi. Pemikiran di dalam artikel biasanya lebih genuine atau otentik. Kedua, bahasa yang digunakan relatif mudah dicerna. Orang awam sekalipun, yang tidak pernah mengecap pendidikan tinggi mampu mencerna isi sebuah artikel. Ketiga, karena dimaksudkan sebagai respon terhadap fenomena sosial atau trend yang sedang berkembang, maka artikel itu biasanya lebih membumi. Saya menyadari sepenuhnya kelemahan yang dimiliki sebuah artikel. Untuk itulah, saya berupaya untuk menutupi sedikit kelemahan itu. Salah satu cara yang saya tempuh adalah dengan merevisi hal-hal yang penulis anggap penting. Selanjutnya penulis juga memberikana catatancatatan kaki agar pembaca dapat merujuknya dan melakukan tela’ah yang mendalam. Kendati buku ini telah terbit, saya tidak merasa “hutang” saya telah selesai. Menulis buku yang lebih serius tentang spiritualitas bisnis tetaplah menjadi cita-cita saya. Setidaknya bisa terbit pada tahun mendatang. Di dalam pengantar ini, saya ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Harian Waspada yang telah memberi ruang kepada penulis untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran tentang Islam. Hubungan saya dengan wasapada sudah memasuki dua digit. Artikel-artikel yang ada di dalam buku ini adalah saksi hubungan yang panjang itu. saya berdo’a agar Waspada tetap berjaya. Ucapan terimakasih saya buat keluarga tercinta. Khususnya orang tua saya, emak yang karena do’a-do’anya saya terus dapat berkarya. Juga istri saya tersayang, Yohani Dewita juga anak-anak, Raihan Azmi Azhari dan Aufa Alhani Azhari, atas pengorbanannya selama ini. Saya tidak menolak komentar mereka yang melihatnya ayahnya seperti orang asing ketika sedang berhadapan dengan laptop.
Ucapan terimakasih kepada teman-teman di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam atas pergulatan pemikiran yang selama ini berlangsung. Sama ada dalam forum-forum resmi ataupun dalam suasana santai. Gagasangagasan segar ataupun kritik yang kita lontarkan tanpa kita sadari sebenarnya akan membuat kita semakin kritis, analitis dan tidak tertutup kemungkinan kita mendapatkan sesuatu yang baru. Untuk selanjutnya kita dalami dan kembangkan. Saya sangat senang sekali, jika terbitnya buku ini dapat mendorong teman-teman untuk menerbitkan karyanya. Kepada bapak Wakil Rektor I IAIN.SU, Prof. Dr. Hasan Asari, MA, saya ucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya atas program penerbitan buku. Program ini hemat saya luar biasa dan dampaknya jelas bagi lahirnya karya-karya akademik para dosen. Karena program itu pulalah buku ini menjadi mungkin untuk diterbitkan. Akhirya, sebagai kumpulan artikel, tidak tertutup ada pengulangan. Ini juga merupakan satu kelemahan buku yang berasal dari artikel. Namun saya mencantumkannya di akhir untuk mengatakan, bahwa saya sedapat mungkin menghindari adanya pengulangan. Jikapun masih ada, itu artinya sesuatu yang luput dari saya dan karenanya saya mohon ma’af. Sekecil apapun manfa’at yang didapat pembaca lewat buku ini, saya akan sangat berbahagia sekali. Bagi seorang penulis, tidak ada harapan dari sebuah tulisan kecuali ada manfa’atnya bagi orang lain. Syukur-syukur dapat merubah keadaan menjadi lebih baik.
Medan, 13 April 2014.
Azhari Akmal Tarigan.
Bagian Pertama Spiritualitas Bisnis Dalam Perbincangan
Bab Satu Tasawuf, Spiritualitas dan Bisnis.
i. Spiritualitas dan Etika: Kebutuhan Baru Bisnis Modern. Belakangan ini kita sering mendengar istilah spiritual, spiritualitas, dan tasawuf. Selanjutnya kata tersebut dikaitkan pula dengan bisnis. Jadilah istilah spiritualitas bisnis menjadi bagian trend dari abad modern. Beberapa buku yang terbit belakangan juga telah memperbincangkan spiritualitas bisnis. Intinya, dunia bisnis tidak saja membutuhkan etika (etika bisnis) tetapi juga spiritualitas bisnis. Etika bisnis bisa saja bersumber dari sistem etika sekuler dan rasional, namun spiritualitas bisnis lebih bersifat ruhaniah. Dengan kata lain, spiritualitas bisnis adalah nama lain dari tasawuf (untuk) bisnis. Istilah tasawuf merupakan istilah khas Islam, yang telah muncul sejak lama. Bahkan beberapa penulis tasawuf menyebutkan istilah ini telah ada sejak masa awal Islam, bahkan jauh sebelumnya. Lynn Wilcox dengan mengutip pernyataan Bayazid Bistami (w.878) mengatakan, benihnya ditanam pada masa Nabi Adam. Benih-benih ini berkecambah semasa Nabi Nuh dan berbunga semasa Nabi Ibrahim. Anggur pun terbentuk pada masa Nabi Musa, dan buahnya matang pada masa Nabi Isa. Di masa Muhammad, semua itu dibuat menjadi anggur murni.1 Kata tasawuf sendiri tidak dikenal di dalam Al-Qur’an dan Hadis, namun tasawuf sebagai sebuah sikap, perilaku atau akhlak telah diperaktikkan oleh generasi awal Islam. Linn Wilcox menjelaskan bahwa data historis tentang tasawuf berasal lebih dari 1400 tahun lalu, sejak masa Nabi Muhammad saw. Ajaran-ajaran dasar tasawuf terdapat di dalam Al-Qur’an. Adapun pendiri mazhab tasawuf adalah Uways al-Qarni. Ia tinggal di Yaman. Walau tidak pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw, Hazrat Uways menerima ajaran-ajaran 1 Lynn Wilcox, Sufism and Psychology, Chicago: ABJAD Book Designers and Builders, 1995, h. 11
Islam melalui hati-nuraninya dan melaksanakan asas-asas yang diajarkan olehnya. Semasa hidupnya, Nabi pernah menyebutkan tentang Hazrat, “Saya merasakan napas Sang Maha Pengasih datang kepadaku dari arah Yaman. Haidar Baqir dalam buku saku Tasawuf mengatakan bahwa, sebagaimana filsafat, tasawuf memiliki dua aspek: aspek teoritis (nazhari) dan aspek peraktis (‘amali). Aspek praktis tasawuf meliputi tata cara hubungan manusia terhadap dirinya sendiri, dunia dan Tuhan. Dalam aspek ini, tasawuf memiliki persamaan dengan etika - di samping perbedaannya dengan akhlak (etika). Aspek praktis tasawuf ini disebut dengan sair wa suluk (perjalanan dan perlintasan) atau suluk saja. Dalam perjalanan tersebut ia memilik tahap (maqam) dan keadaan jiwa (hal).2 Sedangkan secara teoritis, tasawuf berkaitan dengan pemahaman tentang wujud, yakni tentang Tuhan, manusia dan alam semesta. Sebagaimana di dalam filasafat (ontologis) wujud dipahami qua wujud (sebagai wujud itu sendiri). yakni wujud sebagaimana adanya dan bukan sekedar sebagai atribut bagi keberadaan segala sesuatu, Tuhan, manusia, dan alam semesta selebihnya. Bedanya, filsafat mendasarkan argumentasinya pada prinsif-prinsif rasional, sedangkan tasawuf mengandalkan pada pencerahan intuitif (isyraq, kasyf) atau pengalaman (perasaan) spiritual (zauq). Bahkan jika dikaitkan dengan penemuan mutakhir dalam riset mengenai otak, maka tasawuf bukan saja mengandalkan pada proses otak kanan, melainkan -melampaui proses yang bersifat seberal itu - ia mengandalkan pada hati (qalb atauf u ’ad). Kata spiritual berasal dari bahasa Inggris dan maknanya mirip untuk tidak mengatakan sama dengan tasawuf. Di samping kedua kata tersebut terdapat satu kata lagi yang maknanya berdekatan dengan tasawuf yaitu gnostisism. Berbeda
2 Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, Bandung: Arasy, 2005. Berkaitan dengan terminologi yang kerap dipakai dalam ilmu tasawuf dapat dilihat dalam bukunya, Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf untuk Kita Semua, Jakarta, Republika, 2013. Di dalam buku ini akan dikaji makna tasawuf, sufi, taubah, inabah, dan aubah, muhasabah, tafakkur, firar dan i’tisham, khalwat dan ‘uzlah, hal dan maqam, hati (qalb), khauf dan khasyah, raja’, zuhud, wara’muraqabah, ikhlas, tawaddhu’, futuwwah, iradah, dll.
dengan agnostik yang artinya tidak tahu dan ragu akan Tuhan. Kata gnostisism bermakna orang yang tahu tentang Tuhan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ini bermakna semangat, jiwa, sukma atau ruh. Kata spiritual di dalam bahasa Indonesia berarti berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (ruhani-batin). Kendatipun tasawuf memiliki kedekatan makna bahkan persamaan dengan spiritual, namun keduanya tidak sama. Seperti apa yang disebut oleh Najib Burhani, banyak kelompok humanis dan atheis yang memiliki kematangan spiritual dan mengajarkan pengalamannya kepada orang lain. Inilah yang disebut dengan lahirnya fenomena new age. Suatu zaman baru atau “konspirasi baru dalam melihat dunia” -istilah Marilyn Forguson-yang ditandai dengan pesatnya mistik spiritualitas dengan menawarakan pencapaian atau perhubungan diri manusia kepada sumber diri (the source). Baik spiritualisme maupun tasawuf atau an islamic mysticism sama-sama memanfaatkan semacam potensi-potensi inner self (diri lebih dalam), indera keenam, qalb, dan intuisi. Potensi-potensi itulah yang bisa memberikan makna tertentu dari suatu tindakan, enlightenment (pencerahan), keindahan “to forge new paths, to find some fresh expression o f meaning, something the “touches” us and that can guide us from within. ” Tasawuf dengan spiritualitas non Islami tetap berbeda. Spiritualitas tidak mesti memiliki hubungan dengan Tuhan. Bisa saja sekedar berfungsi sebagai pelarian psikologis, obsesi dan kebutuhan rohaniyah sesaat, sekedar memenuhi ambisi untuk mencari keuntungan sementara. Di sinilah terjadi apa yang disebut dengan “korupsi” dan “komoditi” spiritual. Spiritual bukan lagi untuk penyadaran diri terhadap realitas manusia yang sesungguhnya dan membimbing diri untuk menikmati hidup ini sebagai tarian eksistensial. Ia juga dijajakan di pasar-pasar untuk memenuhi ambisi, obsesi dan selera sesaat konsumen. Maka sampai di sini, spiritualitas menjadi termatrialisasi.
Jika dihubungkan dengan etika, pertanyaannya adalah apa perbedaan tasawwuf dengan etika ? Tasawuf praktis -sebagai tasawuf- tidak pernah melepaskan perhatian pada hubungan manusia dengan Tuhan. Pembahasan tentang hubungan manusia dengan manusia lain dan dengan alam tak pernah lepas dari konsentrasi tasawuf dalam menyuburkan hubungan manusia dengan Tuhan. Selain itu, masih menurut Bagir, perbedaan yang lebih esensial, berbeda dengan akhlak, Tasawuf bersifat dinamis. Ini terkait dengan berbagai tahap dan keadaan kejiawaan yang harus dilakoni dalam tahap demi tahap dan tingkat demi tingkat oleh setiap salik (penempuh suluk). Dengan kata lain, tidak seperti akhlak, tasawuf meliputi juga disiplin yang bersifat dinamis, bukan saja disiplin dalam makna ketaatan terhadap sesuatu aturan yang baku, tetapi juga ketaatan terhadap suatu metode khas untuk mencapainya. Lalu apa yang dimaksud dengan spiritualitas bisnis ? Secara hakiki, bisnis merupakan urusan khas manusia. sebagai urusan khas manusia, bisnis menjaring semua orang tanpa terkecuali. Bisnis selalu berhubungan dengan apa yang paling bernilai atau yang paling berharga pada manusia. Hal yang bernilai dan berharga itu yang selalu ingin ditingkatkan kualitasnya tiada lain adalah hidup. Agar tetap hidup, terlebih agar hidupnya semakin bermutu atau semakin sejahtera, manusia tentu akan menggerakkan segala daya dan kemampuan yang dimiliki. Terkadang ia harus memergunakan berbagai taktik dan strategi untuk meningkatkan kualitas hidupnya, minimal mempertahankan hidupnya. Pada tataran ini, bisnis lalu merupakan verba, bukan nomina. Bisnis merupakan upaya manusia untuk menjauhi penderitaan atau kemelaratan dan mendekatkan diri kepada kenyamanan atau kesejahteraan ekonomis. Bisnis merupakan kata kerja, gerakan dari kemelaratan menuju kesejahteraan. Itulah hakikat bisnis.3
3 Buku-buku yang membahas tentang tema-tema Spiritualitas Bisnis belum banyak terbit. Beberapa diantaranya dapat disebutkan; Gay Hendricks dan Kate Ludeman, The Corporate Mystic, Bandung, Kaifa, 2002. Danah Zohar dan Ian Marshall, SC, Spiritual Capital: Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis, Bandung: Mizan, 2005. Sanerya Hendrawan, Spiritual Management: From Personal Enlightenment Towards God Corporate Governance, Mizan, Bandung: 2009. Muhammad Gunawan Yasni, Ekonomi Sufistik, Adil dan Membahagiakan,Bandung: Mizan,
Apakah yang menggerakkan manusia sehingga ia bekerja untuk meningkatkan taraf hidupnya menjadi lebih baik ? penggerak itu bisa macammacam. Ada yang bersumber dari dalam diri manusia tetapi bisa juga bersumber dari luar diri manusia. dengan bahasa yang berbeda, motivasi dalam diri manusia bisa berasal dari diri sendiri tetapi bisa juga dari orang lain. Jika kita mengikuti pelatihan motivasi, hakikatnya kita sedang dimotivasi oleh trainer, pelatih atau motivator. Akibatnya, kita bisa saja terbakar dan termotivasi. Namun setelah acara selesai, motivasi itupun kembali hilang. Ini menunjukkan bahwa motivasi yang berasal dari luar kendati perlu namun tidak terlalu signifikan. Motivasi itu sejatinya harus muncul dari dalam diri manusia. Penggerak yang terbaik itu adalah, jika ia muncul dari dalam diri manusia sendiri. manusia itu sendiri sebagaimana yang kerap dijelaskan para filosof, sebagai makhluk hidup, manusia ditentukan oleh adanya keinginan, hasrat, naluri, pikiran, kehendak dan kesadaran. Dengan kata lain, keinginan, hasrat, naluri, berpikir, kehendak bebas dan kesadaran mencirikan manusia sebagai makhluk hidup yang berbeda dengan makhluk-makhluk hidup lainnya. Dengan demikian, spiritualitas bisnis dalam makna tasawuf (untuk) bisnis, adalah sebuah dorongan yang bersumber dari dalam diri manusia yang termanifestasi dalam praktik bisnisnya. Pelakunya tidak saja berbuat sesuai dengan standar etika umum, namun lebih dari itu, laku bisnisnya sesungguhnya merupakan upaya menterjemahkan sifat dan asma Allah SWT. Ia tidak saja berbisnis untuk mencari keuntungan material semata, tetapi sudah bergerak untuk mencari kepuasan batin dan kedamaian jiwa. Aktivitas bisnis dilihat tidak lagi dari aspek horizontal tetapi dilihat dari aspek vertikal. Pertanyaan yang muncul dalam dirinya, tidak lagi apakah sebuah perilaku telah sesuai dengan ukuran moral dan benar secara hukum. Lebih dari 2007. Richard Branson, Screw Business as Usual, Berbuat Baik itu Bagus untuk Bisnis, Bandung:Kaifa, 2013. Muhammad Abdul Ghani, The Spirtualiuty in Business,Jakarta: Penerbit Pundi Aksara, 2005. Gay Hendricks, Five Wishes, Bandung: Kaifa, 2010. Joko Syahban, Berbisnis bersama Tuhan; Membentuk Spiritual Entrepreneur yang Melibatkan sang Maha Pemberi dalam Setiap Aktivitas Bisnisnya, Jakarta: Hikmah, 2008.
itu pertanyaannya adalah, apakah aktivitas bisnisnya atau keputusan bisnisnya diridhai Allah atau tidak. Ia tidak lagi bertumpu pada akalnya tetapi mengacu pada suara hatinya yang selalu memancarkan kebenaran, kebaikan dan keindahan. Jadilah bisnis sebagai aktivitas yang bertujuan untuk memperkaya dan memperdalam spiritualitas diri. Pendekanya, keuntungan bisnis dilihat seberapa kaya ia dengan pengalaman spiritual bukan seberapa banyak keuntungan material. Wallahu a’lam bi al-sahwab.
2. The Corporate Mystic Adalah Dr. Gay Hendricks dan Dr. Kate Goodeman dalam bukunya yang cukup terkenal The Corporate Mystic,4 menuliskan bahwa, pada pasar global nanti, anda akan menemukan orang-orang suci, mistikus atau sufi, di perusahaan-perusahaan besar atau organisasi-organisasi modern, bukan di wihara, biara, kuil, gereja atau masjid.5 Jika prediksi Hendricks dan Goodeman di atas benar, tentu saja hal tersebut cukup mengejutkan kita. Bukankah selama ini kegiatan bisnis-tanpa bermaksud mengeneralisir-merupakan kegiatan yang sangat jauh dari nilai-nilai etika terlebih lagi nilai-nilai spritualitas. Ternyata gagasan Hendricks dan Goodeman ini bukan hanya sekedar gagasan apa lagi sekedar khayalan. Mark Moody, pimpinan senior di Shell, salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia telah mencoba gagasan tersebut. Ia memanggil seorang pendeta Budhha guna memberikan trapi spritual kepada 550 eksekutif perusahaan tersebut. Langkah ini diambilnya untuk meningkatkan
44 Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Kaifa salah satu line Mizan. Buku ini diberi pengantar oleh Haidar Bagir. Lihat, Gay Hendricks dan Kate Ludeman, The Corporate Mystic, Sukses Berbisnis dengan Hati, terj. Fahmy Yamani, Bandung: Kaifa, 2002. 5 Pernyataan ini dikutip oleh Ahmad Najib Burhani dalam bukunya, Sufisme Kota. Buku ini sengaja ditulis dalam konteks merespon trend sufisme kota atau gerakan-gerakan sejenis di dunia kontemporer. Lihat, Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota,Jakarta: Serambi, 2001, h. 63. Bandingkan dengan Sukidi, New Age: Wisata Spiritual Lintas Agama, Jakarta: Gramedia, 2001. Lihat juga, Sukidi, Kecerdasan Spiritual, Jakarta: Gramedia, 2002.
kinerja karyawannya sekaligus membangun paradigma dalam perusahaannya agar lebih canggih dan menguntungkan.6 The Corporate Mystic mendasarkan diri pada integritas, passing and compassion, dan nilai nilai mistik-spritual. Paling tidak ada dua belas karakteristik penting dari the corporate mystic yang harus diamalkan pemimpin perusahaan dan karyawannya jika perusahaannya ingin maju.7 Sebagian diantaranya yang paling penting adalah, Pertama, mutlak jujur dan selalu berkata benar serta konsisten akan kebenaran. Mereka akan selalu jujur, kendatipun kejujuran untuk menunjukkan kebenaran itu amat menyakitkan. Kedua, keterbukaan sebagai beyond a moral injunction. Ketiga, pengatahuan diri yang menuntut setiap orang untuk membekali diri dengan ilmu pengetahuan. Lebih dari itu orang-orang diperusahaan tersebut harus menjadi masyarakat belajar (learning society) terutama belajar tentang diri mereka sendiri. Keempat, focus dalam kontribusi. Selama ini mungkin yang lebih diutamakan adalah giving (hak) ketimbang receiving (kewajiban). The Corporate mystic membangun kesadaran diri untuk lebih focus dalam kontribusi. Kontribusi mereka terhadap orang lain selalu berada di altar depan niat-niat mereka. Kelima, Spritualitas non dogmatis. Ini menjadi nilai intrinsik manusia, dasar perennial atas nilai kejujuran, keterbukaan dan sebagainya. Ketujuh, Mencapai lebih banyak hasil dengan sedikit upaya. Perhatian harus dipusatkan pada masa sekarang. Hanya jika kita berada pada masa sekarang-bukannya terjebak dalam penyesalan terhadap masa lampau dan
6 Ibid., 7Pokok-pokok pikiran Gay Hendirck dan Kate Ludeman telah diringkas oleh Haidra Bagir ketika memberi Kata Pengantar untuk buku tersebut. Lihat Haidar Bagir, “ Dari Etika ke Mistisisme: Trend Baru Manajemen Perubahan, dalam, Gay Hendrick dan Kate Ludeman, The Corporate Mystic, h. Xi-xx. Ulasan panjangnya dapat dilihat di buku tersebut yang tertera dari halaman 1-23 yang isinya merupakan pengantar 12 ciri khas kepemimpinan.
kekhawatiran masa depan-waktu bisa ditaklukkan. Ini karena memang hanya masa sekaranglah yang bisa dikelola. Ketujuh, membangkitkan yang terbaik dalam diri mereka dan orang lain. Kedelapan, keterbukaan terhadap perubahan. Perubahan sesuatu yang tidak bisa ditolak, ia bagaikan air yang terus berjalan. Di sinilah diperlukan keseriusan untuk belajar sehingga ia akan selamat di dalam arus perubahan tersebut. Kesembilan, Cita rasa humor yang tinggi. Satu-satunya cara yang terbaik untuk menilai kesehatan sebuah tim atau sebuah perusahaan adalah dengan mengetahui seberapa sering mereka bercanda. Kesepuluh, Visi yang jauh kedepan dan fokus yang cermat. Mimpi besar harus dimiliki setiap orang. Mimpi inilah yang akan menggerakkannya untuk mewujudkan cita-citanya. Kesebelas, Disiplin diri yang ketat. Kedisiplinan merupakan sebuah keharusan. Namun yang terbaik adalah kedesiplinan yang bersumber dari kesadaran dan gairah hidup, bukan karena sikap otoriter yang membuat ketakukatan. Keduabelas,
keseimbangan
hidup
dalam empat domain utama,
keakraban, kerja, spritualitas dan komunitas. Agaknya nilai-nilai spritualitas yang dimaksud dalam the corporate mystic tidak diambil dari ajaran agama tertentu saja, tetapi nilai-nilai spritualitas universal yang terdapat di dalam semua agama. Mungkin inilah yang dimaksud oleh John Naisbit dan Patricia Aburdene dalam Megatrend 2002 yang salah satu trend dimaksud adalah kebangkitan agama milenium Ketiga.8 Kebangkitan agama yang dimaksud Naisbit ternyata bukan agama formal atau agama terorganisir, yang memiliki hirarki tertentu dan sangat menekankan dimensi formalitas (lahiriyah). “Agama” masa depan adalah spritualitas itu sendiri atau 8 John Naisbit dan Patricia Aburdene, Mega Trend 2000, Jakarta: Bumi Aksara, 1990
setidaknya agama yang sangat menekankan spritualitas. Menyangkut hal ini, Naisbit datang dengan jargon, Sprituality Yes, Religion No (Spritualitas Yes, Agama No). Mengapa spritualitas ?. jawabnya adalah spritualitas melampaui sekatsekat geografis, idiologis, dan agama formal?. Spritulitas adalah nilai-nilai intrinsik yang di miliki dan dibutuhkan setiap manusia seperti kejujuran, keterbukaan, keseimbangan, keakraban, terlepas agama apa yang dianutnya.
3. Merasakan Kehadiran Tuhan dalam Aktivitas Bisnis. Ada kesan yang berkembang di masyarakat, bahwa Dunia bisnis adalah dunia yang kotor, penuh tipu daya dan pelanggaran terhadap normanorma. Adalah sangat tidak mungkin menghubungkannya dengan persoalan etika. Jika demikian berbicara tentang etika bisnis apa lagi dikaitkan dengan agama Islam terasa mengada-ada. Tidaklah
mengherankan jika muncul
ungkapan “Bisnis itu Kotor” dan “Bisnis tidak bermoral”. Ungkapan ini ada benarnya jika kita berangkat dari kasus-kasus pelanggaran etika bisnis seperti, menyuap untuk memenangkan tender, memanipulasi timbangan untuk meraup keuntungan lebih, memanipulasi kwitansi untuk mendapat komisi, menggunakan bahan berbahaya bagi konsumen untuk menekan ongkos produksi, memasang iklan porno untuk mendongkrak volume penjualan, menekan upah buruh serendah-rendahnya, menyingkirkan lawan bisnis dengan cara yang kotor dan contoh-contoh lain yang sering terjadi dalam dunia bisnis. Namun bukanlah berarti bisnis itu kotor. Dalam konteks inilah diperlukan kontrol moral pelaku bisnis melalui apa yang disebut dengan Etika Bisnis.9
9 Kotornya dunia bisnis dilukiskan oleh Muhammad Syakir Sula dengan istilah Marketing Bahlul. Marketing ini adalah bentuk aktivitas bisnis yang mengabaikan etika dan mengeliminasi Allah dalam peraktik bisnis. Beliau dengan cukup apik mencontohkan perilaku bisnis yang kotor itu dengan istilah, Golg Bahlul, Strategi “Buka Kancing”, Cantik “ Bisa Dipakai” alias Bispak, dan isu -
Sebagai agama yang ajarannya menyeluruh, melingkupi seluruh aspek kehidupan tentulah persoalan etika bisnis tidak luput dari perhatian. Bahkan lebih jauh dari itu, jika etika bisnis konvensional melihat persoalannya pada aspek prilaku, maka Islam memandangnya lebih dalam lagi yaitu menyentuh aspek nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup seseorang. Etika bisnis Islam mulai berkembang sebagai wacana intelektual Islam pada permulaan tahun 1970-an. Sebelumnya kajian etika bisnis Islam muncul menjadi kajian yang berdiri sendiri, pembicaraan etika dalam bisnis terserak-serak dalam kitab-kitab fikih dan kitab-kitab akhlak dan tasawwuf. Dalam kitab fikih ditemukan pembahasan tentang riba, larangan untuk melakukan gharar (penipuan) dalam jual beli dan topik-topik mu'amalat lainnya. Untuk menyebut karya beberapa pemikir Islam tentang etika bisnis kita dapat melihat karyanya Yusuf Qardawi yang berjudul Norma dan Etika Ekonomi Islam. Kemudian karyanya Rafiq Isa Beekun yang berjudul Business Ethics in Islam. Belakangan adalah karyanya Mustaq Ahmad yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang berjudul Etika Bisnis Islam. Persoalan yang ingin dijawab oleh tulisan ini adalah nilai apa yang ditawarkan etika bisnis Islam kepada pelaku-pelaku bisnis ?.dan apa yang menjadi karakter perilaku bisnis seorang muslim ? Tauhid : Paradigma Bisnis Islam
Tauhid menempati posisi yang sangat penting dalam Etika Bisnis Islam. Setidaknya Tauhid ini melahirkan dua kesadaran dalam diri setiap
isu lain. Risywah dalam berbagai bentuk, wanita yang dijadikan objek atau alat tawar, kerap dijadikan penentu dalam aktivitas bisnis. Untuk melawan aktivitas bisnis tersebut Syakir Sula menawarkan apa yang disebutnya dengan Marketing Syari’ah atau Marketing Spiritual. Lebih luas lihat, Muhammad Syakir Syula, Marketing Bahlul, Jakarta; Sri Gunting, 2008.
muslim.10 Pertama, setiap orang harus menyadari bahwa alam ini merupakan ciptaan Allah SWT yang diperuntukkan untuk kesejahteraan manusia dan sekaligus Allah sebagai pemilik mutlak. Dalam hal ini al-Qur’an memberikan penjelasan yang sangat tegas bahwa segala sumber daya alam atau dalam bahasa ekonomi disebut dengan faktor-faktor produksi adalah milik Allah SWT yang bersifat absolut. Sedangkan kepemilikan manusia bersifat relatif. Implikasinya adalah, panduan al-Qur’an tentang harta yang halal dan haram menjadi sesuatu yang penting untuk dipatuhi manusia karena manfaatnya bagi manusia itu sendiri. Kedua, motivasi penciptaan manusia ke dunia ini adalah
untuk
mengabdi kepada Allah dan setiap pengabdian yang dilakukan manusia itu akan dinilai sebagai sebuah ibadah. Internalisasi kedua kesadaran ini dalam diri muslim akan memberikan pengaruh pada aktivitas bisnisnya. Pengaruh itu terlihat pada sikap untuk membantu orang-orang yang tidak memiliki kemampuan modal (pinjaman modal, kredit lunak) untuk membangun usahanya. Bantuan tidak saja diberikan dalam bentuk karitatif (ZIS) namun harus bersifat produktif. Sikap ini akan muncul karena ia menyadari bahwa kapital (modal) yang dimilikinya bukan
sepenuhnya
miliknya tetapi
amanah
dari Allah yang
harus
dimanfaatkan bagi sebesar-besar kesejahteraan manusia. Dengan kata lain, jika Allah menciptakan alam dengan segala isinya untuk kebahagian manusia, hal inilah yang harus diterjemahkannya dalam aksi nyata. Kedua, Setiap pelaku bisnis muslim juga akan menyadari bahwa aktivitas bisnisnya adalah merupakan ibadah kepada Allah SWT. Disebabkan 10 Ada ungkapan yang menarik dari Pemikir Islam Kontemporer kenamaan, Ismail Raji’ Al-Faruqi di dalam bukunya Tauhid. Jika Muhammad Iqbal pelopor spiritual Islam berani mengatakan, tindakan politik adalah ungkapan spiritualitas Islam, maka kita tanpa keberatan akan mengatakan tindakan ekonomi adalah ungkapan spiritualitas Islam. Di dalam bukunya Tauhid, khususnya Bab XI di bawah judul, Tauhid : Prinsif Tata Ekonomi, Al-Faruqi membahas secara mendalam kaitan tauhid dengan ekonomi. Lihat, Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid, Bandung: Pustaka Salman, 1995, h. 161-189.
aktivitas bisnis adalah ibadah, maka dalam menjalankan usahanya ia akan tetap berpegang teguh pada ajaran-ajaran Islam. Prinsip menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan merupakan sesuatu yang harus dihindari. Komitmennya untuk berpegang teguh pada ajaran Islam juga akan memunculkan kesadaran pertanggungan jawab dihadapan Qadi Rabb al-jalil di hari akhir nanti. Tentu saja keteguhan berpegang pada prinsip ajaran Islam akan melahirkan dua keuntungan yang tidak bisa dihitung dengan angka-angka. Inilah yang disebut dengan barakah. Barakah merupakan satu konsep yang tidak dikenal dalam etika bisnis konvensional yang sangat positivistik. Barakah
adalah satu karunia Tuhan yang
blessing).
tidak bisa dipantau (inviseble
Barakah adalah satu bentuk pertumbuhan yang tidak bisa
dikalkulasi dengan hitungan dolar. Perolehan barakah sangat ditentukan oleh benar tidaknya prilaku bisnis seseorang. Singkatnya orang yang memperoleh barakah akan membawa ketenangan dan kebahagian dalam menjalankan dan menikmati keuntungan bisnisnya. Lebih jauh seperti apa yang dikatakan oleh Mustaq Ahmad, setiap muslim harus meniru sifat-sifat Tuhan dan merealisasikannya dalam aktivitas bisnis. Kemampuan setiap muslim untuk menginternalisasikan sifat Tuhan dalam dirinya dan mengaktualisasikannya dalam peraktek bisnis akan memberikan keuntungan yang besar. Keuntungan dalam konsep Islam harus mengacu pada dua fase kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Konsep ini tentu berbeda dengan etika bisnis konvensional yang sangat menekankan keuntungan yang bersifat material dengan orientasi duniawi. Ketika terjadi benturan antara keuntungan yang bersifat duniawi dan ukhrawi, maka
keputusan etis harus dijatuhkan pada keuntungan yang bersifat abadi (akhirat) dan meningalkan keuntungan yang bersifat sesaat.11 Komitmen Terhadap Fakir-Miskin
Perhatian Islam tentang perlunya pemerataan kekayaan dan celaan terhadap kerakusan yang menyebabkan terkonsentrasinya kekayaan pada segelintir orang, ditunjukkan al-Qur’an melalui institusi-institusi distribusi seperti infaq, sadaqaha, khumus,'usyur, kharaj dan zijyah, harta warisan, kaffarat, adhahi (qurban) dan yang paling penting zakat. Disamping institusi yang resmi, ada lagi institusi tidak resmi seperti, qard al-hasan, nuzur (nazar), waqf, dan wasiat. Institusi ini jika dimaksimalkan penerapannya, akan menghilangkan kemungkinan-kemungkinan eksploitatif sesama manusia dan sebaliknya akan melahirkan akan satu tatanan sosial ekonomi yang adil. Halal dan Haram
Perinsip yang mendasari bagi suatu perilaku bisnis yang sah haruslah mencerminkan: pertama, kebebasan yang mensyaratkan seseorang memiliki hak
penuh
untuk
memindahtangankan)
melakukan
tasarruf
(memanfaatkan
terhadap harta yang dimilikinya.
atau
Keadilan dan
persamaan yang mensyaratkan adanya pengakuan terhadap hak-hak orang lain adalah sebuah keniscayaan dalam bisnis Islam. Dengan demikian segala bentuk eksploitasi terhadap mitra bisnis apakah dalam bentuk wan prestasi (pengingkaran janji), penangguhan pembayaran upah atau pembayaran upah di bawah standar haruslah dihilangkan. Selanjutnya berkaitan dengan bisnis yang terlarang, al-Qur’an telah menyebut beberapa bentuk bisnis terlarang seperti riba, garar (penipuan) yang mengambil bentuk tathfif (curang dalam timbangan, dan al-kizb (dusta), mengkonsumsi milik orang lain dengan cara yang tidak halal, tidak 11 Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, terj. Samson Rahman, Jakarta; Al-Kaustar, 2001, h. 19 24
menghargai
prestasi,
partnership
yang
invalid, pelanggaran
terhadap
pembayaran gaji, penimbunan, proteksionisme, monopoli, merusak harga pasar dan lain-lain. Perilaku bisnis yang seperti ini akan melahirkan ketidakadilan, merugikan orang lain dan cepat atau lambat akan merugikan dan menghancurkan dirinya sendiri. Lebih dari itu prilaku ini merupakan sesuatu yang sangat ditolak al-Qur’an dan menghilangkan kemerdekaan manusia. Pengawasan Bisnis
Bagaimanapun kuatnya Iman seseorang, tidaklah merupakan jaminan bahwa ia akan tetap lurus dan benar dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Disamping pengawasan yang muncul dari diri sendiri diperlukan pengawasan dari lembaga resmi. Lembaga pengontrol dalam sejarah Islam disebut dengan wilayah al-hisbah. Disinilah peran pemerintah menjadi penting. Bisnis yang bermoral tidak akan tegak dalam perilaku bisnis muslim jika tidak ada pengawasan dari sebuah lembaga resmi. Lembaga inilah yang akan memberikan sanksi terhadap pelanggaran-pelanggran yang terjadi. Urgensi lembaga ini memiliki dasar yang kuat dalam sejarah peradaban Islam. Penutup
Kesimpulan yang paling penting bahwa karakter bisnis seorang muslim haruslah berdasarkan ajaran-ajaran al-Qur’an. Konsepsi al-Qur’an tentang etika bisnis bukan hanya bersifat himbauan moral tetapi menjadi bagian dari syari'ah itu sendiri. Pada gilirannya, pelaku bisnis akan menyadari kehadiran Allah dalam segala bentuk aktivitas bisnisnya. Tidak ada pandagan dikotomik antara Tuhan dan Bisnis. Lebih-lebih sikap yang meyakini bahwa Tuhan absen dalam aktivitas bisnisnya.
4. Pemasaran Berbasis Spiritual Salah satu komponen yang sangat penting untuk diperhatikan dalam pengembangan perbankan Syari’ah pada masa depan adalah pemasaran (marketing). Di dalam teori marketing paling tidak ada tiga hal yang harus benarbenar diperhatikan. Oleh Hermawan Kartajaya teori ini dinamakannya dengan segi tiga PDB; positioniong, Differentiation, dan brand. Positioning ialah bagaimana sebuah perusahaan
mampu secara tepat
memposisikan dirinya di benak pelanggan dan terget pasar. Selanjutnya diferensiasi adalah bagaimana positioning tersebut ditopang dengan diferensiasi yang kokoh. Sedangkan branding adalah bagaimana sebuah perusahaan membangun ekuitas merek secara berkelanjutan. Dalam konteks Perbankan Syari’ah, pertanyaan-pertanyaan mendasar yang dapat diajukan adalah bagaimana posisi Perbankan Syari’ah tengah pergulatan perbankan nasional yang ada sekarang ini. Apakah Perbankan Syari’ah mampu memposisikan dirinya menjadi alternatif sistem perbankan nasional atau malah tetap menjadi perbankan syari’ah pinggiran. Untuk menentukan dimana posisi bank Syari’ah, sebenarnya sangat tergantung oleh keberadaan perbankan syari’ah itu sendiri seperti SDM yang handal, budaya kerja yang islami, pelayanan yang humanis, bagi hasil yang bersaing, dan sebagainya. Inilah yang sejatinya membuat perbankan syari’ah menjadi berbeda dengan bank-bank konvensional lainnya. Dengan kata lain, ketika orang bertanya apa bedanya perbankan syari’ah dengan bank konvensional, jawabannya haruslah berdimensi kualitatif. Tidak cukup aktivis perbankan syari’ah menyatakan produk dan operasional kami sesuai syari’ah. Karena hal ini juga masih bisa dipertanyakan, benarkan sudah murni syari’ah bank syari’ah. Jangan-jangan masih berbalut syubhat dan sesekali terjerumus pada yang haram. Oleh sebab itu, perbankan syari’ah harus mampu mendefinisikan diferensiasi dirinya dengan bank-bank konvensional lainnya.
Sekali lagi, diferensiasi ini bukan terletak pada slogan-slogan, brosurbrosur atau tulisan-tulisan di papan-papan reklame. Perbankan Syari’ah tidak bisa mengatakan dirinya sebagai bank halal, berkah, bagi hasil yang adil, menentramkan dan seterusnya. Perbedaan bank syari’ah dengan bank-bank lainnya harus dapat dirasakan oleh nasabah. Dengan kata lain, diferensiasi itu pada akhirnya adalah tampilan kualitatif bank syari’ah yang mampu dirasakan dan menjadi pengalaman-pengalaman nasabah selama berhubungan dengan bank syari’ah. Pada gilirannya diferensiasi ini akan membentuk brand yang melekat pada diri nasabah. Sehingga ketika disebut bank syari’ah terserah apapun namanya, yang terbayang di dalam benak nasabah dan masyarakat umumnya adalah halhal posistif dan islami. Persoalannya sekarang adalah bagaimana membangun diferensiasi dan brand tersebut. Diferensiasi sejatinya harus meniscayakan sesuatu yang dilakukan secara konsisten dan relatif konstan. Diferensiasi tidak boleh berubahubah. Misalnya, jika bank syaria’h membangun diferensiasinya pada bagi hasil di mana nasabah akan diiming-imingi dengan bagi hasil yang besar, ini berbahaya karena bagi hasil itu sendiri tidak tetap dan selalu mengalami fluktuasi. Oleh sebab itu diferensiasi sejatinya dibangun melalui sebuah idealitas. Idealitas ini yang penulis maksud dengan nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai spiritual tersebut dapat berupa kebersamaan, kepedulian terhadap sesama, keadilan, dan penghormatan kepada harkat dan martabat kemanusiaan. Nilai-nilai inilah yang sejatinya harus ditampilkan perbankan syari’ah lewat produk-produknya. Sebagai contoh, Bank syari’ah mengkonsentrasikan pembiayaannya pada pemberdayaan ekonomi rakyat menengah ke bawah. Perhatian yang besar diberikan oleh bank syari’ah dapat menjadikannya sebagai bank yang peduli dengan masyarakat menengah ke bawah. Tentu saja kepedulian tersebut bukan sebatas memberikan pembiayaan, tetapi lebih dari itu bagaimana melakukan pembinaan terhadap masyarakat dalam bentuk pelatihan atau kursus-kursus
yang dapat menopang usahanya agar lebih dapat berkembang. Bahkan dalam tingkat tertentu, Bank syari’ah dapat melakukan pembinaan rohani seperti membina tauhid, akhlak dan kebutuhan spiritual nasabahnya dan masyarakat pada umumnya.. Demikianlah, jika hal ini dapat dilakukan maka diferensiasi dan brand Bank Syari’ah akan terbangun dengan sendirinya. Para nasabah Bank Syari’ah yang multi etnik dan agama akan datang ke Bank Syari’ah karena mereka merasakan kebutuhan spiritualnya terpenuhi dengan baik. Tentu saja hal ini sangat ideal. Mungkin ada yang berkata, ini adalah utopia, sesuatu yang tidak mungkin. Bukankah perbankan syari’ah sekarang ini lebih berpihak kepada orang Kaya. Bukankah dalam kaca mata bank syari’ah, orang miskin tidak layak berhubungan dengan bank syari’ah (tidak bankable). Bukankah pengusaha kecil menurut analisis perbankan syari’ah sulit dipercaya dan stigma negatif lainnya. Penulis
sering
menerima
keluhan
betapa
sulitnya
mendapatkan
pembiayaan bisnis dengan pola mudharabah di perbankan syari’ah. Orang-orang perbankan syari’ah lebih suka menawarkan produk murabahah dengan margin yang telah tetap. Jika tidak mau, maka nasabah harus gigit jari. Jika pandangan ini masih dipertahankan, maka pertanyaannya adalah, apa bedanya bank syari’ah dengan bank konvensional. Penutup
Tidak dapat dipungkiri, pergerakan zaman saat ini mulai memasuki era spiritual. Konsekuensinya hal-hal yang bersifat spiritualistik akan menjadi kebutuhan manusia. Besarnya gelombang manusia dalam mengikuti pelatihan spiritual merupakan bukti bahwa kita sedang berada di era ini. Perbankan Syari’ah mau tidak mau sejatinya harus melihat perkembangan ini sebagai sesuatu yang penting untuk disahuti. Jika tidak, besar kemungkinan perbankan syari’ah akan tidak menarik lagi bagi manusia-manusia spiritual.
Jangan-jangan sekarang ini Bank Syari’ah memang tidak menarik lagi, karena memang tidak ada perbedaan yang prinsipil dengan bank konvensional. Kalaupun ada perbedaan jangan-jangan hanya pada konsep saja namun operasionalnya tidak demikian. Semoga dugaan ini salah.... 5. Mempertanyakan Spiritualitas para Bankir Sampai saat ini kondisi perbankan di Indonesia umumnya menunjukkan citra yang negatif. Banyak bank yang telah dihentikan operasinya bahkan ada yang diambil alih oleh pemerintah karena para bankirnya tidak menunjukkan kinerja yang baik. Tidak itu saja, para bankir banyak melakukan perbuatan yang melanggar etika profesi sebagai bankir. Ironisnya ada di antara bankir yang masuk dalam daftar orang tercela. Kasus skandal bank Bali, sebenarnya cukup menjadi bukti akan buruknya kinerja dan etika bankir Indonesia. Setidaknya menurut Syafi'i Antonio ada empat point yang membedakan Bank Syari'ah dengan bank Konvensioanl. Pertama, akad dan Aspek Legalitas. Dalam bank Syari'ah akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Kedua, Struktur Organisasi. Unsur yang amat membedakan bank Syari'ah dengan bank Konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syari'ah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar tetap sesuai dengan garis-garis Syari'ah. Ketiga, Bisnis dan Usaha yang dibiayai. Bisnis atau usaha yang dibiayai oleh Bank Syari'ah adalah usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan Syari'ah. Dengan kata lain bank tidak akan mengeluarkan pembiayaan terhadap usaha-usaha yang diharamkan seperti
produk minuman keras,
pornografi dan sebagainya. Keempat, Lingkungan Kerja dan Corporate Culture. Budaya kerja yang terbangun di dalam institusi atau industri keuangan syari’ah
mestilah budaya kerja Islami. Setidaknya budaya FAST (fathanan, amanah, siddiq dan tabligh) yang diderivasi dari sifat mulia Rasul dapat diteladani.12 Jelaslah bahwa salah satu hal yang membedakan bank syari'ah dengan bank konvensional adalah budaya kerja. Untuk itu menurut Antonio setiap bankir syari'ah harus memiliki akhlak yang baik seperti sifat siddiq dan amanah yang dilengkapi dengan profesionalitas kerja. Demikian pula halnya dalam hal reward and punishment diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syari'ah. Tanpa bermaksud menjustifikasi prilaku bankir yang seringkali menabrak etika, menurut informasi Adiwarman A Karim ada penelitian yang dilakukan oleh Gallup Poll pada tahun 1983 di Amerika Serikat yang menempatkan para bankir pda urutan ke-8 dari 26 jenis profesi dalam hal kejujuran dan standar etika kerja. Selanjutnya pada tahun 1966 Harris Poll melaporkan 55 % responden menaruh rasa hormat kepada para pemimpin bisnis, namun pada tahun 1988 hanya tinggal 20 %. Survei lain dilakukan oleh Yakelonvich, Skelly dan White Poll pada tahun 1968 bahwa
70
% responden meyakini para pelaku bisnis
berusaha menyeimbangkan antara mencari motif keuntungan dengan motif kepentingan publik, tetapi pada tahun 1978 hanya tinggal 15 %. Sementara New York Times Poll yang dilaksanakan pada tahun 1986 melaporkan 55 % responden meyakini sebagian besar eksekutif perusahaan adalah orang yang tidak jujur.13 Data-data di atas setidaknya menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang terus berlangsung berkenaan dengan etika dan budaya kerja para pemimpin bisnis. Dengan kata lain sampai tahun 1980-an kecenderungan dunia bisnis termasuklah di dalamnya dunia perbankan, dapat dikatakan semakin tidak memperdulikan nilai-nilai etika dan budaya kerja yang positif. Untuk itu para pelaku bisnis termasuklah di dalamnya bisnis perbankan, seharusnya memperhatikan masalah ini dengan serius. Terlebih lagi para bankir 12 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, h. 29-34. 13 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, h. 165
Islam. Jika bankir konvensional saja ditunut agar menjunjung etika perbankan dan budaya kerja yang luhur, maka bankir syari'ah sejatinya juga harus memiliki hal yang sama. Bahkan tuntutannya jauh lebih besar, karena bankir syari'ah di samping dituntut oleh profesinya untuk menunjukkan budaya kerja yang baik, status lembaga bisnis Islam juga menuntutnya memiliki nilai lebih. Kegagalan menunjukkan budaya kerja yang baik, tidak saja menyebabkan lembaga bisnis yang dikelolanya akan ditinggalkan nasabahnya tetapi yang lebih berat lagi ia tidak akan dipercaya lagi. Bahkan lebih dari itu ia dianggap turut menciderai lembaga bisnis Islam. Masalahnya sekarang adalah bagaimana seharusnya etika kerja yang dipraktekkan bankir Islam tersebut. Bank Lembaga Amanah
Sejatinya bank adalah lembaga kepercayaan. Masyarakat harus percaya bahwa simpanannya akan aman di bank tersebut. Tentu saja kepercayaan masyarakat sangat erat kaitannya dengan perilaku kehidupan bankir bank. Artinya, para bankir harus menunjukkan etika yang sesuai dengan profesinya. Di antara faktor yang paling menentukan dalam rangka membangun kepercayaan masyarakat terletak pada etika yang ditampakkan oleh bankirnya dalam kegiatan bisnis perbankan sehari-hari. Disinilah pentingnya etika perbankan yang harus dimiliki oleh pelaku bisnis perbankan. Etika perbankan didefinisikan sebagai suatu kesepakatan para bankir yang merupakan suatu norma sopan santun dalam menjalankan usahanya, dan merupakan prinsipprinsip moral atau nilai-nilai (values) mengenai hal-hal yang dianggap baik dan mencegah yang tidak baik. Syed Nawab Haider Naqvi menyebutkan landasan-landasan etik yang harus dimiliki setiap praktisi ekonomi Islam (bankir Islam) yang berlandaskan empat
prinsip
pokok,
tauhid,
keseimbangan,
kehendak
bebas
dan
pertanggungjawaban.14 Muhammad Yusuf Al-Qardhawi juga menjelaskan bahwa 14 Syed Nawab Haidar Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sistem Islami, Bandung: Mizan, 1985, h. 7 .
di dalam Islam aktivitas ekonomi tidak pernah berpisah dari etika. Prinsif etik yang ditawarkannya adalah tauhid, istikhlaf, keseimbangan dan keadilan. Bahkan lebih dari itu, dalam aktivitas ekonomi yang lebih luas, Qardhawi bahkan merincinya lebih jauh yaitu etika dalam bidang produksi, konsumsi dan distribusi, tiga aktivitas pokok dalam kegiatan ekonomi.15 Adiwarman A Karim menyebut setidaknya ada enam etika yang harus dimiliki para Bankir. Pertama, etika untuk selalu menyampaikan yang benar (jujur). Kedua, etika untuk dapat dipercaya. Ketiga, etika untuk mengerjakan sesuatu dengan ikhlas. Keempat, etika menjunjung tinggi persaudaraan. Kelima, etika untuk menguasai ilmu pengetahuan. Keenam, etika untuk selalu berlaku adil. Mahmoedin juga menjelaskan beberapa prinsif etika perbankan yang harus dimiliki para bakir. Prinsip tersebut adalah, Prinsip kepatuhan peraturan, Prinsip
kerahasiaan,
Prinsip
kebenaran
pencatatan,
Prinsip
kesehatan
persaingan, Prinsip kejujuran wewenang, Prinsip keselarasan kepentingan, Prinsip
keterbatasan
keterangan,
Prinsip
kehormatan
profesi,
Prinsip
pertanggungjawaban sosial, Prinsip persamaan perlakuan, Prinsip kebersihan pribadi. Etika bankir yang diuraikan di atas, bagaimanapun pentingnya, namun masih normatif dan belum praktis. Tugas selanjutnya adalah menterjemahkan nilai-nilai tersebut dalam bentuk yang lebih aplikatif. Agaknya kita perlu melihat teori-teori yang dikembangkan ahli-ahli etika kontemporer. Studi yang dilakukan oleh Bobbi De Porter dan Mike Hernacki dalam Quantum Bisnisnya, menunjukkan bahwa bisnis yang etis dan sehat akan memajukan perusahaan. Setidaknya menurut mereka ada delapan kunci karakter yang harus dimiliki para pebisnis, hidup dalam integritas, mengakui bahwa kegagalan membawa keberhasilan, bicara dengan niat baik, tidak menghayal dan
15 Muhammad Yusuf Al-Qaradhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta; Gema Insani Pers, 1 975 , h. 51
harus merasa hidup saat ini, menegaskan komitmen, bertanggungjawab, bersikap fleksibel dan menjaga keseimbangan dalam hidup. (Bobbi De Porter dan Mike Hernacki, 2002: 378-80). Selanjutnya studi yang paling akhir dilakukan oleh Gay Hendricks dan Kate Ludeman dalam The Corporate Mystic juga menunjukkan hal yang sama. Akhir-akhir ini fenomena dunia bisnis mengarah kepada pentingnya nilai-nilai etis dalam aktivitas sehari-hari. Paling tidak menurutnya ada tujuh aturan radikal yang harus dimiliki pebisnis; selalu jujur, selalu mengambil tanggungjawab 100 % untuk setiap kegiatan yang diikuiti, selalu menepati perjanjian, tidak bergosip dan tidak ikut campur dalam komunikasi dengan orang lain, menyisihkan waktu untuk berpikir kreatif, memiliki daftar sebagai aktivitas yang harus dilakukan dan selalu diperbaharui dan menemui sumber jika menemukan sesuatu yang tidak enak.16 Penjelasan dua pakar terakhir sangat konkrit dalam menjelaskan etika apa yang seharusnya diperaktekkan oleh pebisnis termasuklah di dalamnya bankir Islam. Kendatipun rumusan etikanya bisa jadi tidak mengutip ayat-ayat Qur'an namun kita bisa pastikan bahwa ajaran tersebut kompatibel dengan pesan normatif al-Qur'an. Lebih dari itu kesemuanya dapat diperaktekkan dalam aktivitas sehari-hari. Jika bankir Islam benar-benar mempraktekkannya, maka tegaslah perbedaan bank Islam dan bank Konvensional dari sisi etika bankirnya. Amin.
16 Gay Hendricks dan Kate Ludeman, The Corporate Mystic, h. 237-239.
Bab Dua Artikulasi Nilai Spiritualitas Al-Qur’an dalam Bisnis. 1. Meniru Allah yang Al-Mughni dan Al-Ghaniy. Salah satu sifat Allah adalah al-ghaniy yang bermakna kaya. Allah juga disebut dengan al-mughniy yang berarti pemberi kekayaan (yang mengayakan). Kata al-ghaniyy di dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 20 kali. Dua kali merujuk kepada manusia dan selebihnya berkaitan dengan sifat Allah SWT. Sebenarnya arti asal dari ghaniyy adalah cukup. Di dalam surat Al-Taubah ayat 28 Allah SWT berfirman. Jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti yang akan memberi kecukupan kepadamu dari karuniayanya. Jika ia menghendaki.17 Menarik untuk dicermati ternyata ghaniy yang berarti kaya, tidak terbatas hanya pada kekayaan yang bersifat material. Tetapi juga mencakup kekayaan non material atau apa yang dikenal dengan kekayaan jiwa. Nabi pernah bersabda, “Bukannya ghina (kekayaan) dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati (jiwa). Meneladani sifat ghaniy Allah menuntut kita untuk mencari harta secukupnya atau sebanyak-banyaknya, kendati ukuran kepuasaan sebenarnya tidak mengenal titik henti. Untuk itu kita tidak hanya disuruh menjadi ghaniy tetapi juga harus mughniy (memberi kekayaan). Artinya, memiliki harta yang banyak tidaklah berarti untuk dinikmati sendiri tetapi bagaimana kita dapat berbagi dengan orang lain. Sampai di sini kita menemukan relevansi ajaran Islam tentang ZISWAF (zakat, infaq, sadaqah dan wakaf) adalah dalam konteks meneladani sifat Allah yang maha mughni. Berinfaq atau bersadaqah bermakna membagi kekayaan atau mendistribusikan pendapatan kepada orang lain. Bahkan lebih dari itu, tingkatan
17 M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi: Asm a’ al-Husna dalam Perspektif Al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2004, h. 396-400.
yang paling tinggi adalah, ketika infaq, sadaqah dan wakaf adalah media untuk memberdayakan orang lain. Kehidupan Rasulullah
Bagaimana sebenarnya kehidupan Rasul SAW ? Apakah Nabi Muhammad SAW termasuk orang kaya atau tidak ? Jujur harus diakui, keyakinan sebagian umat Islam selalu menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai orang miskin. Riwayat-riwayat yang mengatakan, kerap sahabat melihat badan Rasul berbekas karena tidur di atas papan keras, di pelepah kurma dan sebagainya, cukup menunjukkan keadaan Rasul yang papa. Rasul yang miskin juga kerap ditunjukkan dengan do’a yang disebut-sebut sebagai ajaran Rasul. Bunyinya, allahumma ahyina miskinan wa amitna miskinan wahsyurna yaum al-qiyamati ma’a al-masakin (Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin, matikan aku dalam keadaan miskin dan kumpulkan aku pada hari kiamat nanti bersama orang-orang miskin). Hadis yang menurut sebagian ulama lemah ini, dipahami sebagai bukti bahwa Rasul tidak saja miskin tetapi juga mencintai kemiskinan itu. Tidak kalah menariknya, beberapa pakar menyebutkan, sejarah sebenarnya tidak pernah menginformasikan kepada kita bahwa Rasul pernah memiliki harta yang sangat berlimpah. Justru sebaliknya, istrinya pernah mengeluh akibat sulitnya kehidupan material mereka, sampaisampai Rasul mempersilahkan mereka hidup sederhana atau diceraikan secara baik.18 Pada sisi lain, kita juga menemukan beberapa riwayat yang menunjukkan betapa Rasul telah menabuh gendering perang dengan kemiskinan dan kefakiran. Rasul pernah berdo’a yang isinya meminta perlindungan dari kemiskinan dan kekufuran. Misalnya do’a Nabi , Allahumma inni ‘azubika min alkufr wal-faqr (Ya Allah Sungguh aku berlindung kepadaMu dari segala jenis kekufuran dan kefaqiran). Hadis ini diriwayatkan oleh Al-baihaqi dan Al-Hakim. Ada juga hadis Nabi yang berkenaan dengan Sa’ad bin Abi Waqqash yang 18 Berkenaan dengan hal ini dapat dilihat pada surat Al-Ahzab : 28.
berbunyi, Inna Allah yuhub al-abda al-ghaniyya al-taqiyya al-khafiyya (Allah menyukai hamba yang kaya, bertakwa lagi tidak angkuh. (hadir Riwayat Ahmad dan Muslim). Jika demikian, bagaimana dengan informasi sejarah yang menyatakan bahwa Rasul itu miskin. Jika kita merujuk kepada surah Al-Dhuha ayat 8, Dan Allah mendapatimu serba kekurangan lalu ia mencukupkannya (fa aghna). Ada kesan lewat ayat ini, Rasul memang pernah hidup miskin tetapi Allah mencukupkannya (memberinya kekayaan). Sulit diterima akal, kalau Rasul itu tidak punya harta pada hal ia memiliki harta yang banyak. Hal ini penting mengingat Rasul juga tidak pernah meminta-minta kepada orang lain. Tidak kalah menariknya, Rasul juga memilih kebutuhannya seperti makanan, pakaian bukanlah dari bahan dan materi-materi yang biasa-biasa. Sebut saja misalnya kurma ajwa yang sering disebut sebagai kurma rasul. Kurma ajwa adalah kurma yang sangat mahal dibanding dengan kurma lainnya. Beliau juga memiliki onta terbaik yang diberi nama Al-Qashwa. Oleh sebab itu, penyebutan kata miskin yang dikaitkan dengan Nabi harus diberi makna lain. Kendati demikian, kayanya Nabi bukanlah dalam arti berlimpah harta. Karena ternyata ketika Nabi meninggal, yang ditinggalkannya hanya Al-Qur’an dan Hadis. Saya cenderung memahami makna kaya adalah berkecukupan, tegak di atas kaki sendiri dan tidak meminta-minta kepada orang lain. Sebenarnya jika kita merujuk ajaran Al-Qur’an dan Hadis, tidak sulit untuk menyimpulkan sebenarnya Islam memerintahkan umatnya untuk menjadi kaya. Alasannya, banyak ajarana-ajaran Islam yang dalam pelaksanaannya membutuhkan harta banyak. Sebut saja zakat dan haji. Hal ini belum lagi kalau kita bicara tentang pembangunan, pendidikan, kesehatan, pengembangan tekhnologi yang semuanya membutuhkan harta. Sungguh tepat ketika nabi bersabda, salahu ummati bi al-‘ilmi wa al-mal (umatku akan baik dengan harta dan ilmu).
Dalam konteks memahami Nabi secara proporsional menarik mencermati apa yang ditulis Muhammad Syafi’ Antonio di dalam bukunya yang berjudul, Muhammad SAW,
The Super Leader Super Manager. Muhammad SAW
mempunyai keunikan tersendiri mengenai kekayaan. Pada kondisi tertentu beliau menjadi orang kaya dan pada kondisi yang lain menjadi orang miskin. Pada saat-saat tertentu beliau juga berada pada posisi antara keduanya. Hidup sederhana dan bersahaja. Tentu saja hal ini tidak terlepas kedudukan beliau sebagai uswat hasanah. Nabi bisa menjadi contoh bagi siapa saja, orang kaya yang dermawan dan beriman, orang sederhana yang selalu bersyukur atau orang miskin yang sabar dan tabah.19 Sulit membayangkan jika Nabi itu tidak kaya, padahal ia mampu membayar mahar kepada Khadijah dalam jumlah besar; 20 ekor unta terbaik ditambah 12 ons (uqiyah) emas. Satu jumlah yang cukup besar jika dikonversi dengan mata uang kita saat ini. Ali Syu’aibi membagi kekayaan Nabi tiga macam. Pertama dari sumber al-fa’i, harta yang diperoleh tanpa melalui pertempuran. Kedua, ghanimah harta yang diperoleh setelah terjadi pertempuran. Ghanimah inilah yang disebut dengan harta pampasan perang. Ketiga, al-sahm yaitu beberapa bagian di luar seperlima yang merupakan hak Rasul.20 Sungguh Nabi pernah sangat kaya sehingga ia sanggup membagikan 150 ekor onta kepada Bani Hunain. Nabi juga memiliki tanah Fadak yang sangat subur dan banyak menghasilkan. Daftar kekayaan Nabi ini cukup panjang dan bisa dibaca pada bukunya Syu’aibi Ali yang berjudul, Muhammad seorang Milyuner ? Dengan demikian sesungguhnya perspektif Islam tentang kaya sebenarnya cukup jelas. Tuntunan menjadi kaya bukan saja bersumber dari Al-Qur’an tetapi juga dari hadis-hadis Nabi. Bahkan wujud konkritnya dapat kita temukan pada sosok Rasulullah SAW. Alih-alih kekayaan sebagai nasib apa lagi takdir, ternyata dalam perspektif Al-Qur’an kekayaan itu harus diusahakan. Ia tidak dating tanpa 19 Muhammad Syafi’ Antonio,Mummad SAW, The Super Leader Super Manager, Jakarta: ProLM Centre, 2007, h. 77-95. 20 Ibid., h. 86-89.
sebab dan alasan yang rasional. Tidak ada orang yang bangun tidur langsung menjadi kaya. Oleh sebab itu, ajaran Al-Qur’an tentang profesionalitas, penghargaan terhadap waktu, otonomi manusia, kerja sebagai jihad harus dilihat dalam rangkaian perspektif Islam tentang kaya. Di atas segala-galanya, ajaran Islam tentang kaya tidaklah bermaksud membawa ummat ini menjadi hedonis, menikmati kekayaan untuk kesenangan sendiri. Menjadi kaya paralel dengan ajaran berkhidmah (mengabdi untuk kemanusiaan).
Semakin
banyak
hartanya
berarti
semakin
besar
pula
kesempatannya berkhidmah untuk kemanusiaan. Dengan kata lain, berkhidmah (mengabdi) kepada Allah tidak akan pernah bermakna sepanjang kita tidak berkhidmah kepada sesame manusia.
2. Merengguk Kehidupan yang Berkah. Kata barakah atau berkat termasuk kata yang kerap kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata “Kehidupan yang berkah”, “tempat yang berkah”, “waktu yang berkah,” bahkan “nasi berkat” adalah contoh bagaimana kata tersebut digunakan. Ketika kita hendak makan, do’a yang selalu kita lantunkan adalah, allahumma barik lana fima razaqtana (Ya Allah berkahilah rezeki yang engkau berikan kepada kami). Demikian pula halnya pada saat kita menghadiri pesta pernaikah rekan atau keluarga, do’a kita adalah, “semoga Allah memberkahi perkawinan kalian berdua.” Lebih dari itu, kata berkah juga sudah di bawa dalam kehidupan kenegaraan kita. Huru-hara, kerusuhan, bencana yang menerpa Indonesia, jangan-jangan menjadi isyarat bahwa Allah telah mencabut keberkahan dari bumi Indonesia, karena kedustaan penduduknya. Dalam bahasa Indonesia barakah ditulis dengan berkat. Artinya adalah karunia Tuhan yang membawa kebaikan dalam hidup manusia. Kata tersebut juga berarti doa restu dan pengaruh baik (yang mendatangkan selamat dan bahagia) dari orang-orang yang yang dihormati atau dianggap suci (keramat).
Ada juga arti lain yaitu, mendatangkan kebaikan. Kata keberkatan dimaknakan dengan keberuntungan atau kebahagiaan. Bahkan di dalam KBBI, salah satu arti berkat adalah makanan yang dibawa pulang sehabis kenduri. Di dalam Al-Qur’an kata barakah dengan segala derivasinya disebut sebanyak 32 kali. Makna literal dari kata ini adalah tumbuh dan bertambah. Makna lain adalah tetapnya sesuatu. Al-Isfahani memahami arti asal kata ini adalah dada atau punggung unta yang menonjol. Simbolisasi bagian tubuh onta yang menonjol ini mengandung arti adanya pertumbuhan dan pertambahan. Dari sisi terminologi makna barakah adalah, “tetapnya kebaikah ilahi pada sesuatu”. Di dalam Ensiklopedi Al-Qur’an makna terminologi kata ini adalah, “kebaikan yang bersumber dari Allah yang ditetapkan terhadap sesuatu sebagaimana mestinya.”21 Kata kunci yang perlu dipahami dengan baik adalah “al-khair al-ilahi” atau kebaikan ilahi. Kebaikan ilahi adalah kebaikan yang bersumber dari Allah yang muncul tanpa diduga dan tak terhitung pada semua segi kehidupan, baik yang bersifat materi maupun non materi. Keberkatan yang bersifat materi itupun nanti akan bermuara juga kepada keberkatan non materi dan kehidupan akhirat. Sesungguhnya keberkatan ilahi datang dari arah yang seringkali tidak diduga atau dirasakan secara material dan tidak pula dapat dibatasi atau bahkan diukur.22 Mengutip Thabathabai, keberkatan itu mencakup pada semua segi kehidupan. Pertama, keberkatan dalam berketurunan dengan munculnya generasi-generasi yang kuat di segala bidang dan harta benda yang melimpah ruah. Kedua, keberkatan di dalam soal makanan seperti mendatangkan kekenyangan. Ketiga, keberkatan di dalam hal waktu, seperti banyaknya waktu
21 Yaswirman, “Barakat”, dalam, Ensiklopedi Kosa Kata Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata, M. Quraish Shihab (Editor Kepala) Vol. 1, Jakarta: Lentera Hati, 2007 h. 131-132.
22 Ibid.,
yang disediakan oleh Allah untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidup dan mengembangkan ilmu pengetahuan.23 Menurut Duha Abdul Jabbar dan Burhanuddin dalam Ensiklopedi Makna Al-Quran, diuraikan bahwa berkat dalam Al-Qur’an ditemukan dalam empat kontek. Pertama,
menerangkan benda mati misalnya air hujan “ma’an
mubarakan” di dalam Q.S Qaf/5o:2). Kedua, menerangkan tentang waktu misalnya menyifati malam turunnya Al-Qur’an dengan malam yang barakah (lailatin mubarakatin) dalam Q.S Ad-DUkhan/43:3. Ketiga, merujuk terhadap pribadi seseorang diantaranya Nabi Nuh dalam QS Hud/n:48. Keempat, berkat yang berkenaan dengan tempat ibadah misalnya Ka’bah yang berada di kota Makkah. Informasi ini ditemukan di dalam QS Ali-Imran/3:96.24 Makna barakah di atas terkesan hanya berhubungan dengan kehidupan individu atau komunitas kecil. Bagaimana memahami berkat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Hemat penulis, surah Al-A’raf ayat 96 menarik untuk dicermati lebih jauh. “Seandainya penduduk satu kampung (Negara-bangsa) beriman dan bertakwa kepada Allah, sungguh akan kami bukakan (pintu) keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan kami memberikan kepada mereka azab atas apa yang mereka perbuat. Kata fatahna yang diterjemahkan dengan “kami limpahkan” terambil dari kata fataha yang bermakna membuka. Kata ini pada hakikatnya bermakna “menyingkirkan penghalang yang mencegah sesuatu untuk masuk. Jika Allah turun tangan menyingkirkan penghalang, maka itu berarti pintu akan terbuka sangat lebar dan ini mengantar pada melimpah dan masuknya segala macam kebaikan melalui pintu itu.25 23Ibid., 24 Duha Abdul Jabbar dan Burhanuddin, Ensiklopedi Makna Al-Qur’an: Syarah Alfaazhul Qur’an, Bandung: Fitrah Rabbani, 2012, h. 88-90. 25M. Quraish Shihab, Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2003, Vol 5, h, 182
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa keberkahan dari langit (barakat alsama’) dan keberkahan dari bumi (barakat al-ardh) sangat tergantung pada keimanan dan ketakwaan penduduk kampung (ahl al-qura). Ada yang memahami
keberkatan
dari
langit
dalam
bentuk
curah
hujan
yang
menumbuhkan tanaman-tanaman dengan suburnya. Sebaliknya keberkahan dari bumi adalah berupa hasil bumi dalam berbagai bentuknya, minyak, batu bara, emas dan sebagainya. Ada pula yang menafsirkan keberkahan dari langit adalah keberkatan spiritual dan ilmu pengetahuan sedangkan keberkatan dari bumi adalah keberkatan material. Jika kembali kepada makna keberkatan itu sendiri, jelaslah bahwa Allah akan melimpahkan sesuatu dari langit dan bumi sesuatu yang sama sekali tidak dapat diperkirakan manusia sebelumnya. Hemat penulis, sesungguhnya keimanan dan ketakwaan tidak dipahami dalam konteks kesalehan individu-individu melainkan kesalehan komunal. Ketakwaan individu tertentu tidak menjamin terbukanya keberkatan pintu langit dan bumi, pada saat sebagian besar penduduk negeri ini mempertontonkan kedurhakaannya. Kedurhakaan individu di lingkungan mayoritas penduduknya yang saleh tidak akan membuat Allah menutup pintu keberkahan dari langit dan bumi. Kita menyadari Indonesia adalah Negara yang diberkahi oleh Allah SWT. Hal ini ditunjukkan dengan kelimpahan sumber daya alamnya yang jika dimanfaatkan
secara optimal
akan
dapat
membawa kemakmuran
dan
kesejahteraan bagi penduduknya. Membaca ayat Allah di atas dalam konteks Indonesia, kita akan dapat mengatakan, jika penduduk Indonesia tetap beriman dan bertakwa kepada Allah SWT maka Allah akan membukakan keberkahan dari langit dan bumi Indonesia. Tegasnya bangsa ini tetap akan berada dalam lindungan dan penjagaan Allah SWT. Sebaliknya jika bangsa ini mendustakan ayat-ayat Allah, maka keberkatan tersebut akan dicabutnya tanpa ada kemampuan kita untuk menahannya. Al-Qur’an telah menceritakan betapa banyak bangsa-bangsa terdahulu yang pada mulanya makmur dan sejahtera
namun karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah, maka keberkahan tercabut di angkat oleh Allah SWT. Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini di pentas politik Indonesia, membuat kita khawatir. Mendustakan ayat-ayat Allah bisa mengambil bentuk yang bermacam-macam. Misalnya, korupsi adalah bentuk mendustakan ayatayat Allah. Lebih parah lagi jika dilakukan secara berjama’ah. Pada gilirannya mereka semuanya saling melindungi. Dalam bahasa Alqur’an mereka adalah orang yang tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Bentuk lain adalah konflik horizontal antar suku, antar kelompok, antar agama, yang merupakan cermin hilangnya keberkahan kebersamaan tersebut. Iman dan takwa sejatinya melahirkan kebersamaan dan persaudaraan. Semaraknya kehidupan keberagamaan di Indonesia yang masih pada tataran simbolik belum sepenuhnya mencerminkan keimanan dan ketakwaan itu sendiri. Sebabnya, kesemarakan itu tidak sama dengan penurunan kemaksiatan dan kedurhakaan anak bangsa ini kepada Allah. Sampai pada tingkat ini, wajar kita takut jika Allah mencabut keberkatan itu dari bumi Indonesia. Sudah saatnya kita kembali membersihkan bangsa ini dari kerak-kerak kemunafikan, kemaksiatan dan kedurhakaan kepada Allah. Selanjutnya, kita tumbuhkan keimanan dan ketakwaan komunal kepadanya. Insya Allah keberkahan akan dilimpahkannya kepada kita. amin.
3. Menggapai al-Falah dalam Bisnis. Setiap kali azan berkumandang, kita selalu mendengar kalimat “hayya ‘ala al-falah. ” Kalimat ini selalu diterjemahkan dengan “mari menuju kemenangan.” Kata al-falah diterjemahkan dengan kemenangan. Pertanyaannya adalah, kemenangan dari apa ? Apakah pribadi-pribadi yang shalat adalah orang-orang yang menang ? Jika pertanyaan ini dilanjutkan, apakah umat Islam bahkan Islam itu sendiri, telah menjadi pemenang ?
Artikel ini ingin menegaskan bahwa menterjemahkan kata al-falah dengan “menang”, tidak saja keliru tapi malah membuat kalimat azan tersebut tidak memiliki implikasi dalam kehidupan seorang muslim. Kata yang sesungguhnya memiliki arti yang kaya dimaknai menjadi sangat sederhana. Alangkah menyedihkan keadaan umat ini, setiap hari diseru untuk al-falah lewat suara merdu muazzin, hayya ‘ala al-falah, namun kita tetap saja tidak al-falah.26 Kata al-falah memiliki banyak makna. Di antara maknanya adalah kemakmuran, keberhasilan, atau pencapaian apa yang kita inginkan atau kita cari; sesuatu dengannya kita berada dalam keadaan bahagian atau baik; terusmenerus dalam keadaan baik; menikmati ketenteraman, kenyamanan, atau kehidupan yang penuh berkah; keabadian, kelestarian, terus menerus dan keberlanjutan. Jelaslah bahwa kata al-falah tidak dapat diterjemahkan hanya dengan satu kata. Kata al-falah dengan segala derivasinya di dalam Alquran ditemukan dalam 40 tempat. Jalaluddin Rakhmat telah menulis sebuah buku kecil yang berjudul, Tafsir Kebahagiaan: Pesan Al-Quran Menyikapi Kehidupan.27 Rakhmat berangkat
dari
konsep
al-falah.
Menurutnya,
kata yang
paling
tepat
menggambarkan kebahagiaan adalah aflaha. Di empat ayat Alquran (yaitu QS 20:64, QS 23:1, QS 87:14, QS 19:9) kata itu selalu didahului kata penegasan qad (yang memiliki arti sungguh) sehingga berbunyi qad aflaha atau sungguh telah berbahagia. Kata turunan selanjutnya dari aflaha adalah yuflihu, yuflihani, tuflihu, yuflihna (semua kata itu tidak ada dalam Al-Quran), dan tuflihuna (disebut sebelas kali dalam Al-Quran dan selalu didahului dengan kata laallakum). Makna laallakum tuflihuna adalah supaya kalian berbahagia). Dengan mengetahui ayat-ayat yang berujung dengan kalimat, laallakum tuflihuna (dalam QS 2:189, QS 3:130, QS 3:200, QS 5:35, QS 5:90, QS 5:100,QS
26 Lihat tafsir kata Al-Falah dalam Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Al-Quran: Sebuah Eksplorasi Melalui Kata-Kata Kunci, Bandung: Cita Pustaka, 2014, h. 74-88 27 Jalaluddin Rakhmat, Tafisr Kebahagiaan, Pesan Al-Qur’an dalam Menyikapi Kesulitan Hidup, Jakarta: Serambi, 2010, h.17
7:69, QS 8:45, QS 22:77, QS 24:31, QS 62:10) kita diberi pelajaran bahwa semua perintah Tuhan dimaksudkan agar kita hidup bahagia.28 Menariknya, Rakhmat juga mengakui betapa sulitnya menterjemahkan al-falah karena memang memiliki makna yang cukup kaya. Menterjemahkan al falah dengan bahagia adalah dalam rangka menyimpulkan dari sekian banyak arti. Lagi-lagi al-falah itu tidak tepat diartikan dengan kebahagiaan. Namun dibanding dengan kata “menang,” kata bahagia sedikit lebih tegas. Oleh karenanya, cara terbaik untuk memahami makna al-falah adalah dengan kembali kepada Alquran dan pendapat-pendapat mufassir. Falah menyangkut konsep yang bersifat dunia dan akhirat. Untuk kehidupan dunia, falah mencakup tiga pengertian, yaitu; kelangsungan hidup (survival/baqa% kebebasan dari kemiskinan (feeedom from want/ghana) serta kekuatan dan kehormatan (power and honour/’izz).
Dengan kata lain,
sebagaimana dijelaskan oleh Al-Asfahani di dalam Mu’jamnya, falah mencakup pengertian kelangsungan hidup yang abadi (eternal survival/baqa’ bila fana’), kesejahteraan abadi (eternal prosperity/ghana bila faqr), kemuliaan abadi (everlasting glory/’izz bila dhull) dan pengetahuan yang bebas dari segala kebodohan (knowledge free o f all ignorance/’ilm bila jahl). Menurut Alquran, tujuan kehidupan manusia pada akhirnya adalah falah di akhirat, sedangkan falah di dunia hanya merupakan tujuan antara (yaitu sarana untuk mencapai falah akhirat). Dengan kata lain, falah di dunia merupakan
intermediate goal (tujuan antara), sedangkan akhirat merupakan
ultimate goal (tujuan akhirat). Untuk menyebut contoh penggunaan kata falah di dalam Alquran dapat dilihat pada QS Ali Imran/3:130 yang di dalamnya kata riba dihadapkan dengan falah. Larangan memakan riba -tidak saja yang berlipat- sesungguhnya adalah syarat bagi seseorang untuk memperoleh falah. Sebagaimana yang telah dijelaskan 28 Ibid.,
para
mufassir,
riba
diharamkan
karena
kezaliman
yang
ditimbulkannya. Kerusakan yang ditimbulkan riba bukan saja menimpa debitur, tetapi juga krediturnya. Wahbah Al-Zuhaily di dalam Tafsirnya menyatakan, larangan untuk memakan riba sebagaimana yang terlihat pada ayat di atas dihubungkan dengan perintah untuk bertakwa kepada Allah SWT (QS Ali Imran:131) dan perintah untuk mentaati Allah dan Rasulnya (QS Ali Imran:132). Larangan dan perintah ini di buat Allah SWT agar manusia mematuhinya. Mudah-mudahan manusia memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Ada kesan kuat, sesungguhnya ketika Allah melarang riba, secara implisit Allah menyuruh kita untuk menumbuhkan sikap saling menolong dan berkasih-sayang. Bukan sebaliknya saling menghisap seperti yang ditunjukkan di dalam peraktik riba. Dengan perintah tersebut, Allah ingin mewujudkan di dalam diri kita kemenangan dan kebahagiaan di dunia dengan saling tolong menolong, saling berkasih sayang yang pada gilirannya akan tumbuh al-mahabbat di dalam diri kita. Dan mahabbah itu adalah asas terbangunnya kebahagiaan (as-sa’adat) dan di akhirat nanti kita akan memperoleh kemenangan surga atas ridha Allah. SWT. Di dalam surah Al-A’la /87:14 Allah SWT berfirman, Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). Ayat yang senada dengan itu juga ditemukan di dalam surah Asy-Syam/91:9, Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Muhammad Abduh di dalam tafsirnya mengatakan, sungguh beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri. Yaitu membersihkan dirinya dari perbuatan-perbuatan nista, yang puncaknya adalah kekerasan hati serta pengingkaran terhadap kebenaran. Kata aflaha, beruntung meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, yang tak seorangpun dapat memperolehnya kecuali yang bersih dan suci qalbunya. Sedangka pada ayat yang kedua, Abduh memahaminya dengan mengatakan, sungguh telah beruntung siapa yang mensucikannya, yaitu orang yang mensucikan jiwanya dan meningkatkannya sehingga mampu mengaktifkan segala potensi dirinya secara optimal, baik dalam pemikiran maupun perbuatannya. Dan dengan demikian ia
akan berhasil menebarkan segala kebaikan bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Contoh di atas menjelaskan kepada kita mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangannya - sebagaimana yang telah ditegarkan di dalam Alquran dan Hadis, pada akhirnya bertujuan untuk menciptakan kehidupan manusia yang lebih baik, di dunia dan di akhirat. Kebaikan di dalam ajaran-ajaran Allah itu sesungguhnya akan kembali kepada manusia, sepanjang ia mematuhinya. Dengan demikian,
konsep falah tidak bisa didefinisikan sekedar
keberuntungan ataupun kemakmuran. Lebih dari itu, konsep falah adalah suatu kondisi kehidupan yang dalam berbagai dimensinya dipastikan dalam kondisi yang terbaik. Konsep falah tidak berhenti pada dimensi ekonomi, sosial dan budaya. Falah juga berhubungan dengan spiritualitas, moralitas bahkan dalam konteks kehidupan bernegara. Ada kalanya di dunia dan juga di akhirat. Baik pada level mikro ataupun makro.29 Untuk mendapatkan kondisi falah, setiap orang harus memastikan tubuhnya tetap dalam keadaan sehat dan terbebas dari beragam penyakit. Di samping itu dari sisi ekonomi, seseorang akan falah pada saat ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar dan layak. Sarana-sarana yang memudahkan kehidupannya juga bisa dimilikinya dan itu diperoleh dengan cara yang baik pula. Tidak kalah pentingnya adalah relasi sosialnya. Human falah adalah mereka yang kehidupannya dipenuhi dengan cinta kasih terhadap sesama. Persaudaraan yang sejati. Keinginan untuk saling memberi dan membahagiakan. Sedangkan pada level makro, human falah harus dapat membangun lingkungan hidup yang nyaman, aman, dan tentu saja bersih dari penyakitpenyakit sosial. Bahkan dalam konteks yang lebih luas lagi, negara itu sendiri mampu menjalankan fungsinya dalam membangun kesejahteraan rakyatnya.
29 Lihat lebih luas Muhammad Akram Khan, An Introduction to Islamic Economics, Kuala Lumpur, Zafar SDN BHD, 1994, h. 34
Negara yang memiliki ekonomi yang kuat, militer yang juga kuat dan sumber daya dari generasi ke generasi yang tetap unggul.30 Sesungguhnya, panggilan azan tersebut sebenarnya memerintahkan kepada kita untuk merumuskan langkah-langkah yang strategis dan aplikatif dalam rangka mewujudkan kehidupan yang falah. Menariknya, al-falah dapat kita rumuskan setelah kita menunaikan shalat, setelah kita mendapatkan pencerahan dari Allah. Anehnya, kita hanya melaksanakan shalat, namun belum sepenuhnya merumuskan al-falah itu terutama pada level umat. Satu hal yang harus diadari, shalat berjama’ah bukan sekedar “sama-sama shalat dengan satu imam. Tidak kalah penting dari itu adalah, bagaimana kita secara berjama’ah mewujudkan falah. Apa yang bisa kita rumuskan dan programkan secara bersama-sama, agar kehidupan kita menuju falah. Moga ini menjadi renungan kita bersama ?
4. Menjadi Pribadi Produktif: Bercermin Kepada Nabi Daud As Kata produksi berasal dari bahasa Inggris “production” artinya penghasilan. Secara istilah, kata ini dimaknai dengan tindakan dalam membuat komuditi, barang-barang maupun jasa. Dalam literatur berbahasa Arab, padanan kata produksi adalah “intaj” yang terambil dari kata nataja. Kata ini oleh Muhammad Rawas Qal’aji diterjemahkan dengan, “mewujudkan atau mengadakan sesuatu” atau “pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan penggabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas.” Berangkat dari makna literal ini, dapat dipahami bahwa produksi adalah kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan. Namun menurut Jaribah bin Ahmad Al-Harisi yang menulis Disertasi tentang Fikih Ekonomi Umar Ibn Al-Khattab mengatakan,
meskipun terminologi produksi tidak
disebutkan secara eksplisit di dalam fikih ekonomi Umar r.a, namun secara 30 Ibid.,
implisit diungkapkan dengan beberapa terminologi pada masanya seperti islah al-mal (memperbaiki harta), kasab (berusaha), imarah (memakmurkan) dan ihtiraf (bekerja). Sebagaimana yang diketahui, produksi merupakan aktivitas mengelola dan mengombinasikan beberapa faktor produksi sehingga menghasilkan output produk. Seperti mengelola bahan mentah menjadi bahan setengah jadi dan mengelola bahan setengan jadi menjadi bahan jadi. Adapun tujuannya adalah untuk mengoptimalkan faktor produksi sehingga output produk dapat mempermudah terpenuhinya kebutuhan manusia. Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasilkan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen. Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, demikian pula sebaliknya. Di dalam khzanah klasik Islam, istilah produksi seperti yang dikenal di dalam ilmu ekonomi hari ini belumlah ada. Namun kalau produksi dipahami dalam makna kerja dan berusaha dalam menghasilkan sesuatu -bukan membuat barang mentah menjadi barang jadi- tentu produksi sudah ada sejak masa yang paling awal. Bukankah banyak riwayat yang menyebutkan betapa Rasul sangat mengapresiasi sahabatnya yang bekerja dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan sesuatu. Berkenaan dengan hal ini, ada yang menarik dari ungkapan Umar Ibn AlKhattab, “ Aku tetapkan kepada kalian tiga berpergian: haji dan umrah, jihad fi sabil Allah sebagai syahid dan mengendarai unta dalam rangka mencari sebagian karunia Allah. Demi zat yang diriku berada di tangan-Nya! Sungguh bila aku meninggal ketika mencari sebagian karunia Allah lebih aku sukai daripada aku meninggal di atas tempat tidurku. Dan jika aku mengatakan bahwa meninggal dalam jihad fi sabil Allah sebagai syahid, maka aku berpendapat bahwa meninggal dalam rangka mencari sebagian karunia Allah adalah syahid. Perbincangan tentang sosok Nabi Daud di dalam berbagai ayat seolah ingin menjelaskan
bahwa
Nabi
Daud AS
adalah
sosok
manusia produktif.
Kemampuannya mengolah besi menjadi barang-barang yang bermanfaat meneguhkan gelarnya sebagai manusia produktif tersebut. Berikut firman Allah di dalam Q.S Al-Anbiya: 80 yang artinya, Dan Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah). Kata labus pada mulanya digunakan untuk segala sesuatu yang dipakai, tetapi makna ini menyempit sehingga ia hanya dipahami dalam arti alat yang terbuat dari besi yang dipakai dalam peperangan sebagai perisai. Tampaknya kaitan ayat tersebut dengan produksi adalah pelajaran yang diberikan Allah kepada Nabi Daud AS untuk membuat baju besi. Tentulah Nabi Daud melaksanakan apa yang diajarkan Allah kepadanya. Proses membuat baju besi itulah yang disebut dengan produksi. Pada mulanya, besi sebagai bahan baku, di olah dan selanjutnya dibentuk perisai yang melindungi tubuh manusia. Bukankah fungsi baju diantaranya adalah melindungi tubuh manusia dari sengatan matahari dan dinginnya cuaca. Masih berkaitan dengan keistimewaan Nabi Daud AS dapat dilihat pada ayat berikut ini yaitu, Q.S Saba’ 10-11 yang artinya, Dan Sesungguhnya Telah kami berikan kepada Daud kurnia dari kami. (Kami berfirman): "Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud", dan kami Telah melunakkan besi untuknya, Pada ayat ini Allah kembali menjelaskan keistimewan atau mu’jizat yang diberikannya kepada Nabi Daud AS. Di dalam Tafsirnya, M. Quraish Shihab menjelaskan sosok Nabi Daud sebagai berikut: Nabi Daud As lahir di Bait Lahem Palestina sekitar 1085 SM dan waat di Qudus Yerussalem 1015 SM atau sekitar 1626 sebelum Hijrah. Pada masa mudanya, beliau adalah pengembala kambing ayahnya. Beliau memiliki keistimewaan dalam seni suara. Beliau dianugerahi Allah kitab Zabur yang dari segi bahasa berarti tulisan. Dalam Kitab perjanjian lama - sampai dewasa iniadalah salah sat bagiannya yang dianggap sebagai bagian dari Zabur Nabi Daud
AS. Beliau juga sangat pandai menggunakan ketapel. Keahliannya ini mengantar beliau berhasil membunuh Jalut sebagaimana dikisahkan oleh Al-Qur’an dalam Al-Baqarah:251. Sedangkan nabi Sulaiman adalah putra Nabi Daud As, yang merupakan Nabi dan Raja yang sangat agung. Beliau wafat sekitar 1975 sebelum hijrah. Pada ayat di atas, Allah SWT kembali menegaskan keistimewaan Nabi Daud As. Kalimat wa alanna lahu al-hadid (kami juga telah melunakkan untuknya besi) mengandung makna pengkhususan yakni bagi Nabi Daud as. Sementara ulama memahami pelunakan tersebut dalam arti besi yang sedemikian kukuh, dapat menjadi lunak di tangan Nabi Daud as. “besi menjadi seperti lilin atau adonan makanan, sehingga beliau tidak memerlukan api atau martil guna membentuk besi tersebut menjadi benda yang lebih bermanfaat, seperti membuat baju besi dan perisai yang dapat digunakan di dalam peperangan. Dalam konteks hari ini, kemampuan Nabi Daud As dalam melembutkan besi tanpa harus menggunakan besi atau martil sesungguhnya adalah metafor dari ilmu pengetahuan dan teknologi. IPTEK tidak saja akan memudahkan sesuatu tetapi lebih dari itu, IPTEK juga dapat membuat sesuatu memiliki nilai tambah. Produksi hakikatnya adalah membuat sesuatu memiliki nilai tambah. Sesuatu yang mungkin kurang berharga menjadi lebih berharga. Sesuatu yang kurang berdaya guna menjadi lebih berguna bahkan bisa melipatgandakan daya guna tersebut. Menurut
M.A.
Mannan,
prinsip
fundamental
yang
harus
selalu
diperhatikan dalam proses produksi adalah prinsip kesejahteraan ekonomi. Bahkan dalam sistem kapitalis terdapat seruan untuk memproduksi barang dan jasa yang didasarkan pada asas kesejateraan ekonomi. Keunikan konsep Islam mengenai kesejateraan ekonomi terletak pada kenyataan bahwa hal itu tidak dapat mengabaikan pertimbangan kesejahteraan umum lebih luas menyangkut persoalan-persoalan tentang moral, pendidikan, agama dan banyak hal-hal
lainnya. Perbedaan konsep produksi dalam ekonomi Islam dan ekonomi kapitalis, lebih jelas ketika M.A. Mannan membahas tentang faktor-faktor produksi. Ia menyebut unsur-unsur yang menjadi faktor produksi tidak berbeda dengan apa yang ada di dalam konsep ekonomi kapitalis. Pembedaan tampaknya terletak pada pemaknaan unsur-unsur tersebut. Pertama, Tanah. Islam mengakui tanah sebagai satu faktor produksi tetapi tidak setepat dalam arti sama yang digunakan di zaman modern. Dalam tulisan klasik, tanah yang dianggap sebagai faktor produksi penting mencakup semua sumber daya alam yang digunakan dalam proses produksi, umpanya permukaan bumi, kesuburan tanah, sifat-sifat sumber daya udara, air, mineral dan seterusnya. Memang benar tidak ada bukti bahwa Islam tidak menyetujui definisi ilmu ekonomi modern Islam mengakui tanah sebagai faktor produksi, ia hanya
mengakui
diciptakannya
manfaat
yang
dapat
memaksimalkan
kesejahteraan ekonomi masyarakat - suatu kesejahteraan yang memperhatikan prinsif-prinsif dasar etika ekonomi. Kedua, Tenaga Kerja. Islam tidak pernah memandang buruh karena statusnya menjadi rendah dan karenanya dapat diperlakukan semena-mena. Relasi buruh dan majikan harus mengacu pada nilai-nilai syari’at Islam. Majikan harus memperhatikan perkembangan jiwa, emosi dan kehidupan sosial para buruh. Majikan harus membayar upah buruhnya sebelum kering keringatnya. Sebaliknya buruh harus memberikan hasil kerja yang maksimal sebagai konsekuensi kontrak yang telah disepakati bersama. Ketiga, modal. Aturan di dalam konsep ekonomi Islam dalam hal bungan sangat jelas. Modal harus bebas dari bunga. Bunga tidak diperkenankan memainkan pengaruhnya yang merugikan pekerja, produksi dan distribusi. Alquran sesungguhnya sangat memperhatikan masalah produksi ini. Afzalur Rahman mengatakan, “mengingat produksi merupakan bagian yang paling berarti dalam menentukan kemakmuran suatu bangsa dan taraf penghidupan penduduknya, Alquran meletakkan penekanan yang sangat besar atas produksi kekayaan. Banyak contoh dapat diberikan, baik dari Alquran
maupun sunnah, yang menunjukkan betapa kaum muslim dianjurkan agar bekerja keras dalam memproduksi harta benda agar mereka tidak gagal atau ketinggalan dari orang lain dalam memperjuangkan keberadaan mereka. Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah, nilai-nilai Islam dalam produksi adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kemaslahatan. Dalam ekonomi Islam, para produsen dilarang keras untuk memproduksi barang dan jasa yang menimbulkan kemafsadatan dan kerusakan bagi manusia. Produsen harus memastikan bahwa produknya akan membawa kemaslahatan bagi manusia. Bahkan bukan saja kemaslahatan untuk manusia tetapi juga bagi alam semesta dengan segala isinya. 5. Pesan Moral-Spiritual Al-Q ur’an dalam Kehidupan Ekonomi.
Diantara terma penting yang diungkapkan oleh al-Qur’an adalah keadilan. Ini terlihat dari banyaknya kata 'adl (justice, keadilan) dan kata yang semakna seperti al-qist, al-wazn, al-wast yang terdapat dalam berbagai tempat dalam alQur’an. Selain dari ungkapan-ungkapan yang secara eksplisit menyebut kata al'adl, sebenarnya pada ayat-ayat yang paling awal, ide dan pikiran tentang keadilan telah datang secara bersamaan. Tidak itu saja perintah berbuat adil juga terlihat dari larangan al-Qur’an berbuat zalim. Tidaklah berlebihan apabila Fazlur Rahman seorang pemikir Islam kontemporer menyatakan bahwa, elan dasar al-Qur’an adalah penekanan pada keadilan yang salah satu bentuknya terlihat pada keadilan sosial ekonomi. Di dalam al-Qur’an, terma-terma al-'adl dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak tiga puluh satu kali. Arti pokok dari kata ini mengandung dua makna yang berlawanan (mutaqabilan), pertama makna istiwa’ (lurus) dan kedua makna Iwijaj (bengkok). Disamping kata 'adl terdapat kata yang semakna seperti al-qist dengan segala bentuknya disebut sebanyak dua puluh tiga kali. Kata yang tersusun dari q-s-t mengandung dua makna yang berlainan (mutadadain). Kalau ia dibaca al-qist, maka ia berarti al-'adl, sementara kalau dibaca al-qast, maka
maknanya al-jurr, dan al-qusut berarti
al-'udul
'an al-haq (berpaling dari
kebenaran) dan al-qasat bermakna i'wijaj (bengkok). Selanjutnya kata al-wazn dengan segala turunannya disebut sebanyak dua puluh tiga kali. Arti pokoknya adalah ta'dil dan istiqamah ( moderat dan lurus). Sedangkan kata al-wasat diungkap al-Qur’an sebanyak lima kali. Arti asalnya adalah al-'adl dan al-nisf (adil, tengah atau pusat). Memahami sebuah konsep dalam al-Qur’an tidaklah utuh jika penelusuran makna hanya dilakukan pada terma pokok dan term yang semakna. Agaknya diperlukan untuk menelusuri kontra (lawan kata) dari term pokok tersebut. Sampai disini memahami kontra 'adl menjadi satu kemestian. Di dalam al-Qur’an
kata 'adl selalu dihadapkan dengan kata zulm.
Seringkali ketika Allah memerintahkan berbuat adil pada saat yang sama Allah melarang untuk bersikap zalim. Kata al-zulm bermakna meletakkan sesuatu tidak pada tempat yang semestinya, baik dengan cara melebihkan atau mengurangi maupun menyimpang dari waktu dan tempatnya. Melalui pendekatan tafsir maudu'i (tematik) ditemukan bahwa konsep keadilan dalam al-Qur’an mengandung makna yang serba melingkupi. Pengertian keadilan itu berkisar pada makna perimbangan atau keadaan seimbang atau tidak ekstrim, persamaan atau tidak adanya diskriminasi dalam bentuk apapun, dan penunaian hak kepada siapa saja yang berhak atau penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Keadilan Ekonomi
Keadilan ekonomi (economic Justice) mengandung pengertian bahwa alQur’an
sangat
menekankan
persamaan
manusia
(egalitarianisme)
dan
menghindarkan segala bentuk kepincangan sosial yang berpangkal dari kepincangan ekonomi, seperti eksploitasi, keserakahan, konsentrasi harta pada segelintir orang dan lain-lain. Dengan demikian konsep keadilan sosial-ekonomi dalam perspektif Islam didasarkan pada ajaran persaudaraan yang melampaui batas-batas geografis
seperti yang dicanangkan oleh al-Qur’an (Q.S. Al-Hujurat/13 dan al-Maidah/8). Tegasnya manusia dihadapan Allah memiliki derajat yang sama, tanpa ada yang boleh merasa lebih mulia dari yang lain. Kesadaran setara dihadapan Allah ini harus menjadi kesadaran internal bagi setiap manusia untuk berwawasan egalitarian (al-musawah) dengan tidak membeda-bedakan orang berdasarkan primordial yang dimilikinya seperti ras, agama, dan suku. Manusia hanya bisa diperlakukan secara berbeda hanya berdasarkan kulaitas-kualitas objektif yang dimilikinya atau berdasarkan perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Wawasan terhadap manusia yang seperti inilah yang memungkinkan keadilan sosial-ekonomi dapat ditegakkan. Dalam buku The Rise and Fall o f Economic Justice, MacPherson seperti dikutip oleh Mubyarto, menjelaskan yang dimaksud dengan keadilan ekonomi adalah, “ aturan main tentang hubungan ekonomi yang didasarkan pada prinsipprinsip etika, prinsip-prinsip mana pada gilirannya bersumber pada hukumhukum alam, hukum Tuhan atau pada sifat-sifat sosial manusia.31 Keadilan ekonomi pada dasarnya adalah konsekuensi logis dari konsep persaudaraan
Islam.
Dengan
kedailan
ekonomi
setiap
individu
akan
mendapatkan haknya sesuai dengan kontribusi yang diberikannya. Masingmasing individu juga harus terbebaskan dari eksploitasi orang lain. Keadilan ekonomi paling tidak mengacu pada dua bentuk. Pertama, keadilan dalam distribusi pendapatan dan kedua, persamaan (egalitarian) yang menghendaki setiap individu harus memiliki kesempatan yang sama terhadap akses-akses ekonomi. Mubyarto membedakan keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Keadilan sosial sangat berkaitan dengan keadilan distribusi atau pembagian hasil yang adil dari produksi atau pendapatan nasional itu sendiri. Sedangkan keadilan ekonomi adalah memberikan kesempatan yang sama pada setiap orang untuk melakukan produksi. Berkaitan dengan keadilan ekonomi, dalam konteks hubungan majikan dan buruh sering terjadi ketidakadilan, karena buruh berada 31 Mubyarto, Sistem Dan Moral Ekonomi Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998, h. 20
pada posisi yang lemah karena tidak memiliki dan menguasai alat-alat produksi, sedangkan majikan berada pada posisi yang kuat karena mereka memiliki kapital dan menguasai alat-alat produksi.32 Berbeda dengan Mubyarto, dalam konsep ekonomi Islam keadilan ekonomi tidak hanya berkaitan dengan produksi tetapi juga berhubungan dengan distribusi. Menurut Syafi'i Antonio pakar ekonomi Islam, kesenjangan pendapatan dalam masyarakat berlawanan dengan semangat serta komitmen Islam terhadap persaudaraan dan keadilan sosial-ekonomi.33 Untuk itu kesenjangan harus diatasi dengan menggunakan cara yang ditekankan Islam. Diantaranya adalah : Menghapuskan monopoli, kecuali oleh pemerintah untuk bidang-bidang tertentu, Menjamin hak dan kesempatan semua pihak untuk aktif dalam proses ekonomi, baik produksi, distribusi, sirkulasi, maupun konsumsi, Menjamin basic needs fulfillment (pemenuhan kebutuhan dasar hidup) setiap anggota masyarakat, Melaksanakan amanah “altakaful al-ijtima’ (social economic security insurance di mana yang mampu menanggung dan membantu yang tidak mampu. Dengan cara ini diharapkan, strandar kehidupan setiap individu akan lebih terjamin. Sisi manusiawi dan kehormatan setiap individu akan lebih terjaga sesuai dengan harkat dan martabat yang telah melekat pada manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Konsep keadilan Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsep keadilan ekonomi menghendaki setiap individu mendapatkan imbalan sesuai dengan amal dan karyanya. Kendati demikian ketidaksamaan pendapatan dimungkinkan dalam Islam karena kontribusi yang berbeda dari masing-masing individu. Namun yang paling fundamental adalah bagaimana seseorang
32 Ibid., 33 Ibid.,
mendapatkan apa yang menjadi haknya sesuai dengan kewajiban yang telah dipenuhinya. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya dari konsep keadilan ekonomi adalah seperti apa yang dikatakan oleh Ziauddin Ahmad, “Salah satu hak dari hak-hak dasar ekonomi adalah bahwa setiap individu harus memiliki kesempatan untuk mengembangkan kecakapan pembawaan sejak lahir sepenuh mungkin dan memilih profesi yang sesuai dengan bakatnya. Berdasarkan pengakuan prinsip ini lah sehingga struktur pasar yang bersaing, menjamin kebebasan setiap individu untuk mengakses kepada sumber daya alam dan juga mendapatkan kebebasan dari berbagai bentuk diskrimanis. Lebih jauh menurut Ziauddin Ahmad, akses yang merata pada fasilitas pendidikan merupakan salah satu faktor dalam meningkatkan kesempatan yang sama. Pendidikan yang sama akan mampu menghindari munculnya strata sosial (kelas sosial) dan mencegah segmentasi pasar tenaga kerja, kemudian menahan pertumbuhan
ketidakmerataan
pendapatan.
Pentingnya
mendapatkan
pendidikan ini menjadi salah satu tema sentral ajarana Islam. Berkaitan dengan penegakan keadilan ekonomi seperti yang telah dijelaskan di atas, paling tidak ada tiga bentuk prilaku manusia yang dapat memicu timbulnya ketidakadilan sosial ekonomi. Pertama,
Keserakahan
Manusia. Manusia itu memiliki sifat serakah, tidak pernah merasa cukup terhadap apa yang telah dimilikinya. Keinginan untuk selalu menumpuk harta sampai berlebih-lebihan, berimplikasi pada munculnya sifat kikir, tidak peduli dengan orang lain dan ia hanya mementingkan dirinya sendiri. Kedua, Menggunakan Harta Tanpa Perhitungan.Manusia cenderung untuk menggunakan harta sesuka hatinya. Dalam surah Hud/n:87,
Allah
melarang menggunakan harta sesuka hati karena hal itu dapat menimbulkan kecemburuan
sosial.
Penggunaan
harta
itu
semestinya
haruslah
mempertimbangkan rasa keadilan sehingga tidak merusak rasa keadilan umum.
Berangkat dari pemikiran ini, Islam sangat mencela perilaku mubazir dan israf (berlebih-lebihan) dalam mengkonsumsi harta (Q.S.731). Dalam perspektif ekonomi disadari bahwa keadilan ekonomi menjadi penting karena kelangkaan barang-barang yang dibutuhkan manusia. Atas dasar ini Umer Chafra menyatakan, karena sumber-sumber daya itu relatif terbatas, tujuan ini tidak dapat diwujudkan melainkan pemakaian-pemakaian atas sumber-sumber daya yang ada di buat hanya “dalam batas-batas kemanusiaan” dan kesejehteraan umum. Pemenuhan kebutuhan hidup harus dilakukan dalam kerangka hidup sederhana dan, sementara ia harus mencakup kesenangan, ia tidak boleh memasukkan dimensi pemborosan dan kemegahan. Ketiga, Menumpuk-numpuk Harta. Manusia itu memiliki sifat yang senang menumpuk-numpuk harta sehingga harta itu berputar untuk kalangan tertentu saja. Al-Qur’an melarang konsentrasi harta pada segelintir orang karena dapat menimbulkan ketidakstabilan harga dan hilangnya barang dari pasar. Tentu
saja
hal
ini
menimbulkan
kesusahan
bagi
orang
lain
yang
membutuhkannya. Barang tersebut menjadi sulit di dapat dan kedua, harganya menjadi tinggi karena kelangkaan barang. Penutup
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa keadilan ekonomi dalam al-Qur’an sangat berkaitan erat dengan kebutuhan intrinsik manusia. Berangkat dari kebutuhan inilah al-Qur’an memandang perlu untuk memberikan apresiasi yang besar dan tegas terhadap persoalan keadilan ekonomi yang ditunjukkan dengan motivasi al-Qur’an untuk menegakkan keadilan dan celaannya terhadap orangorang yang mengabaikan keadilan ini. Begitu pentingnya keadilan, wajarlah jika Allah menempatkannya sebagai syarat untuk menjadi taqwa.
Bab Tiga Membangun Sikap Positif Terhadap Harta 1. Model Pengembangan Harta Yang Di Larang.34 Pada dasarnya Islam sangat mendorong terjadinya pengembangan harta dengan usaha-usaha yang halal, terutama hal-hal yang berkenaan dengan pemberdayaan sektor riil. Pada saat Allah SWT melarang riba dan menghalalkan jual beli, sebenarnya Ia melarang segala bentuk pengembangan harta yang tidak berangkat dari sektor riil seperti riba yang hanya mengandalkan masa (waktu) dan sebagai alternatif mendorong terjadinya jual beli sebagai satu bentuk pengembangan harta yang absah. Oleh sebab itu, Al-Qur'an menuntun umatnya agar menjauhi segala bentuk aktivitas pengembangan harta dengan cara yang tidak bisa dibenarkan. Berikut ini akan dijelaskan model pengembanan harta yang dilarang. A. Judi (maisir)
Kata maisir dalam bahasa Arab berarti memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Judi dilarang terlepas apakah seseorang terlibat secara penuh atau berperan sedikit. Di samping judi dikenal juga istilah azlam yang juga bermakna peraktek perjudian. Biasanya azlam digunakan untuk menyebut peraktek perjudian yang menggunakan berbagai macam bentuk taruhan, undian atau lotere. Larangan kedua bentuk peraktek perjudian ini disebabkan karena seseorang akan mendapatkan uang yang diperoleh dari untung-untungan, spekulasi, ramalan atau terkaan. Dan sekali lagi bukan di dapat dari sebuah kerja yang riil. Allah SWT telah melarang perjudian dengan larangan yang cukup tegas dan keras. Bahkan syari'at memposisikan harta yang diperoleh dari perjudian 34 Ulasan lengkap tentang tema ini dapat dilihat dalam Azhari Akmal Tarigan dkk, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, Bandung: Cita Pustaka, 2006 , h. 187-206. Untuk keperluan buku ini, topik tersebut diringkas seperti di atas.
sebagai harta yang bukan termasuk hak milik. Di dalam surah al-maidah Allah SWT berfirman: Wahai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya
minuman keras,
perjudian, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Di dalam ayat di atas, dengan tegas Allah mengharamkan jual beli dan minuman keras. Bahkan larangan tersebut dipertegas dengan penekanan seperti yang terlihat di dalam penggunaan kata innama yang bermakna “hanya saja”. Biasanya bentuk ini digunakan untuk penegasan dan pembatasan objek. Lebih keras dari itu Allah menempatkan perbuatan tersebut sebagai perbuatan syetan dan digolongkan sebagai najis. Dari sinilah Allah memerintahkan untuk menjauhi kedua perbuatan tersebut. Kebaikan hanya diperoleh dengan menjauhinya dan keburukan akan di dapat dengan mendekati keduanya. Ramalan atau terkaan dalam bisnis sering dilakukan oleh masyarakat Arab pra Islam. Di antara jual beli yang dikenal pada masa itu adalah jual beli habal alhabla, yaitu membayar seekor unta betina dengan cara menebak jenis kelamin yang ada di dalam kandungan unta. Ada juga jual beli muzabanah dan muhaqalah. Muzabanah adalah tukar menukar buah yang masih segar dengan yang kering yang sudah dapat dipastikan jumlahnya sedangkan buah segar yang ditukarkan hanya dapat ditebak karena masih berada di pohon. Demikian juga halnya dengan muhaqalah, yaitu penjualan gandum ditukar dengan gandum yang masih di dalam bulirnya yang jumlahnya juga harus diterka. Ada juga penjualan mukhafrabah, yaitu jual beli padi-padian atau sayur-sayuran sebelum masa panen. Biasanya di dalam jual beli ini terjadi terkaan tentang hasilnya. Pada hal bisa saja seiring dengan perjalanan waktu, padi tersebut misalnya, diserang badai atau hasilnya jauh lebih baik dari apa yang diramal sebelumnya. Larangan jual beli ini adalah untuk menjaga kepentingan petani itu sendiri.
Jika dianalisi dengan pendekatan filosofis, larangan judi sebenarnya disebabkan bahwa keuntungan yang diperoleh melalui cara judi tidak bergantung pada keahlian, kepiawaian dan kesadaran melainkan digantungkan pada sesuatu atau pihak luar yang tidak terukur. Tidak ada rasionalitas di dalam perjudian yang ada hanya untung-untungan.
B. Penipuan (al-Ghabn)
Al-Ghabn menurut bahasa bermakna al-khada' (penipuan). Di dalam bahasa Arab ada ungkapan “Ghabanahu Fulanan; naqashahu fi ast-staman wa ghayyarahu fahuwa ghabin wa dzaka maghbun” yang artinya, Dia menipu si pulan, yaitu mengurangi dan merubah harganya. Maka dia adalah penipu dan si fulan adalah orang yang tertipu. Dengan demikian, secara sederhana dapat dipahami bahwa ghabn adalah membeli sesuatu dengan harga yang lebih tinggi dari harga rata-rata atau dengan harga yang lebih rendah dari rata-rata. Jadi di dalam ghabn, penipuan terjadi pada harga bukan pada materi/benda yang diperjualbelikan. Ghabn yang dilarang adalah yang sudah sampai pada tarap keji, sedangkan yang tidak dilarang adalah yang didasarkan pada kemampuan melakukan penawaran dan tidak sampai merugikan salah satu pihak. C. Penipuan (Tadlis)
Pada dasarnya transaksi jual-beli itu bersifat mengikat. Apabila transaksi tersebut telah sempurna dengan adanya ijab dan qabul antara penjual dan pembeli, lalu majlis jual-beli tersebut berakhir, maka transaksi tersebut telah mengikat dan wajib dilaksanakan oleh pembeli dan penjual tersebut. Persoalannya adalah bagaimana jika sebelum berakhir majelis aqad, sebenarnya telah terjadi penipuan (tadlis). Di dalam jenis penipuan ini ada dua bentuk yang bisa terjadi; penipuan itu terjadi pada sisi penjual dan pada sisi lain bisa juga terjadi pada sisi pembeli.
Adapun jenis penipuan yang terjadi pada penjual adalah apa yang disebut dengan tadlis. Penipuan ini terjadi apabila si penjual menyembunyikan cacat barang dagangannya dari pembeli, pada hal dia jelas-jelas mengetahuinya; atau apabila si penjual menutupi cacat tersebut dengan sesuatu yang dapat mengelabui si pembeli, sehingga terkesan tidak cacat atau menutupi barangnya dengan sesuatu yang bisa menampakkan seakan-akan baarangnya semua baik.
Sedangkan penipuan dari si pembeli adalah jika ia memanipulasi alat pembayarannya atau menyembunyikan manipulasi tersebut, pada hal dia jelasjelas tahu. Bahkan untuk mengelabui penjual, tidak jarang pembeli juga mengiming-imingi untuk memberikan barang tertentu. Karena yang paling penting bagi pembeli adalah bagaimana barang tersebut bisa dimilikinya. D. Al-Gharar
Al-gharardi dalam bahasa Arab bermakna akibat, bencana, bahaya, resiko dan sebagainya. Di dalam kontrak bisnis, gharar berarti melakukan sesuatu secara membabibuta tanpa pengetahuan yang mencukupi; atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persisi apa akibatnya atau memasuki resiko tanpa mengetahui apa konsekuensinya. Al-gharar (resiko atau uncertainty) menurut Ibn Taimiyyah adalah, things with unknown fate, akibatnya transaksi tersebut menjadi selling such things is maysir or gambling. Senada dengan ungkapan tersebut, Ibn Qayyim juga menyatakan bahwa gharar adalah kemungkinan ada dan tidak ada. Jual beli yang seperti ini dilarang karena mengandung unsur judi (maysir). Jika dianalisis,
bisnis pada hakikatnya adalah keberanian untuk
menempuh suatu resiko. Resiko malah menjadi sebuah keniscayaan sehingga dalam bisnis dikenal istilah, no risk, no return. Yang menjadi persoalan adalah apakah setiap resiko disamakan dengan uncertainty (ketidakpastian). Sampai
disini agaknya perlu kembali mendefinisikan pengertian resiko yang disamakan dengan gharar. Dengan mengutip analisis yang diberikan oleh Van Deer Heidjen (1996), Iggi A Achsien membagi uncertainty itu dalam makna ketidakpastian ke dalam tiga bentuk. Pertama adalah risk, memiliki preseden historis dan dapat dilakukan estimasi probabilitas untuk tiap hasil yang mungkin muncul. Kedua, structural uncertainty adalah kemungkinan terjadinya suatu hasil bersifat unik, tidak memiliki preseden di masa lalu, tetapi terjadi dengan logika kausalitas. Ketiga, unknowables menunjuk kejadian yang secara ekstrem kemunculannya tidak terbayangkan sebelumnya. Dengan demikian kasus gharar sebenarnya banyak terjadi pada yang terakhir, unknowables. Model identifikasi resiko lainnya dapat dilihat pada dua tipe yang ditawarkan oleh Al-Suwailem (1999). Pertama, risiko pasif, seperti game of chance, yang hanya mengandalkan keberuntungan semata. Kedua, resiko responsif yang memungkinkan adanya distribusi probabilitas hasil keluaran dengan hukum kausalitas yang logis. Kalau yang pertama dipersamakan dengan game o f chance,
maka yang kedua dapat dipersamakan pula dengan game of
skill. Agaknya gharar terjadi pada yang pertama. Gharar dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, Kelompok pertama adalah unsur resiko yang mengandung keraguan, probabilitas dan ketidakpastian secara dominan. Kedua, Kelompok kedua unsur meragukan yang dikaitkan dengan penipuan atau kejahatan oleh salah satu pihak terhap pihak lainnya. Menurut Karim, sebenarnya terjadinya tadlis dan gharar disebabkan adanya incomplete information. Bedanya dalam tadlis, incomplete information hanya dialami satu pihak saja (unknown to one party, misalnya pembeli saja atau penjual saja), sedangkan dalam gaharar incomplete information dialami oleh kedua belah pihak (baik pembeli ataupun penjual). Karena itu, kasus taghrir
terjadi bila ada unsur ketidakpastian yang melibatkan kedua belah pihak (uncertain to both parties). Lebih jauh menurut Karim, dalam perspektif ilmu ekonomi, taghrir (gharar) ini lebih dikenal sebagai ketidakpastian atau risiko. Dalam situasi kepastian, hanya ada satu hasil atau kejadian yang akan muncul dengan probabilitas sebesar 1 (Satu). Pada lain pihak, dalam situasi ketidakpastian (uncertainty) lebih dari satu hasil atau kejadian yang mungkin akan muncul dengan probabilitas. (Karim, 162-163). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gharar timbul karena dua sebab. Pertama, kurangnya informasi atau pengetahuan (jahala, ignorance) pada pihak yang melakukan kontrak. Jahala ini menyebabkan tidak dimilikinya kontrol skill pada pihak yang melakukan transaksi. Kedua, karena tidak adanya (non exist) obyek. Kedua bentuk inilah yang disebut dengan gharar. Sebagaimana yang telah disebut, al-gharar biasanya terjadi pada jual beli. Jual beli yang mengandung gharar adalah jual beli yang tidak dapat dipastikan adanya atau tidak dapat dipastikan jumlah dan ukurannya atau karena tidak mungkin dapat diserahterimakan. Adapun conotoh-contoh yang sering dikemukakan dalam pembahasan alghararadalah menjual ikan di dalam air, menjual burung di udara, menjual tangkapan yang masih di dalam perangkap. Lebih lengkapnya di bawah ini ada beberapa bentuk jual beli yang dilarang. Pertama, Jual beli dengan cara Hashah. Orang Jahiliyah dulu melakukan jual beli tanah yang tidak jelas luasnya. Mereka melemparkan hashah (batu kecil). Pada tempat akhir di mana batu tersebut jatuh, itulah tanah yang dijual. Kedua, Jual beli “Tebakan Selam” (Dharbatul Ghawwash). Orang-orang Jahiliyah juga melakukan jual beli dengan cara menyelam. Barang yang ditemukan di laut waktu menyelam itulah yang dijual-belikan. Mereka bisa melakukan akad. Si pembeli menyerahkan harga/bayaran sekalipun tak mendapat apa-apa. Si
penjualpun terkadang menyerahkan barang yang berlipat ganda walaupun dengan harga yang tidak pantas. Ketiga, Jula beli Nitaj. Akad untuk hasil binatang ternak sebelum memberikan hasil, diantaranya menjualbelikan susu yang masih berada di mammae (kantung susu) binatang tersebut. Keempat, Jual beli mulamasah. Yaitu dengan cara si penjual dan si pembeli melamas (menyentuh) baju salah seorang dari mereka (saling menyentuh) atau barangnya. Setelah itu jual beli harus dilaksanakan tanpa diketahui keadaannya atau saling ridha. Kelima, Jual-beli munazabah. Yakni kedua belah pihak saling mencela barang yang ada pada mereka dan ini dijadikan dasar jual beli; yang tak saling ridha. Keenam, Jual-beli HabalulHabalah (anak unta yang masih di dalam perut). Diakhir pembahasannya, Iggi H.Achasien memberikan kesimpulan. Kesediaan menaggung resiko merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam bisnis. Namun penting untuk di catat, resiko yang dibolehkan tersebut adalah resiko yang melibatkan pengetahuan, sebagai game o f skill dan bukan game of chance. Jika game o f skill dibenarkan maka konsekuensinya siapa saja yang terlibat dalam bisnis harus menguasai manajemen resiko. Dengan mengutip Bernstein (1996), Iggi menuliskan di dalam bukunya tentang apa yang dimaksud dengan manajemen resiko yaitu, The essence o f risk management lies in maximizing the areas where we have some control over the out come while minimizing the areas where we have absolutely no control over the outcome and the linkage between effect and cause is hidden from us. Dengan
demikian,
kekhawatiran-kekhawatiran
dari
ketidakpastian
tersebut dapat diminimalisir. E. Ihtikar (Menimbun)
Al-ihtikar secara bahasa bermakna bertindak sewenang-wenang. Secara sederhana diterjemahkan dengan Penimbunan. Dalam makna terminologinya ihtikar berarti membeli barang dalam jumlah yang banyak kemudian disimpan dengan maksud untuk dijual kepada penduduk ketika mereka sangat
membutuhkannya dengan harga yang tinggi. Ihtikar bisa juga berarti menimbun kekayaan untuk diri sendiri dan keluarga tanpa memikirkan nasib orang lain. Ada kesan kuat ihtikar merupakan satu aktivitas bisnis untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan kesulitan dan kesusahan orang lain. Ihtikar biasanya terjadi pada saat barang melimpah dan tentu saja harganya menjadi murah. Ketika barang tersebut langka, maka harganya akan naik. Pada saat yang sama, karena barang tersebut dibutuhkan bagaimanapun tingginya masyarakat akan membelinya. Dalam perekonomian modern penimbunan ini dapat terjadi dalam bentuk individual dan kolektif. Dalam bentuk individual bentuknya terjadi dalam model trust,
di mana antara pengusaha pabrik dan bertindak bersama-sama untuk
membeli sebahagian besar saham perusahaan sehingga akhirnya mampu mempengaruhi harga untuk dunia luar. Para anggota trust tidak dibenarkan untuk menjual barang dengan harga di bawah harga yang telah disepakati. Bentuk yang lain adalah Holding Company, yaitu perusahaan yang menyimpan, memegang atau mengurus sero-sero perusahaan lain. Dengan demikian perusahaan ini bisa mengendalikan perusahaan yang seronya dikuasai. Terakhir adalah merger yaitu penggabungan antara dua perusahaan atau lebih menjadi satu. Dengan demikian posisi perusahaan menjadi kuat dan bisa mengendalikan perekonomian masyarakat. Sebenarnya yang paling berbahaya adalah yang dilakukan dalam bentuk multi unit monopoli. Modelnya ada empat, pertama, price agreement, adalah kesepakatan harga di antara perusahaan-perusahaan besar, sehingga setiap perusahaan yang mengikat kesepakatan tersebut memperoleh keuntungan besar walaupun pada hakikatnya perusahaan tersebut tidak bersatu. Dengan adanya kesepakatan tersebut mereka dapat mengendalikan harga sesuai dengan keinginan mereka. Kedua, Price Leadership, adalah perusahaan-perusahaan kecil yang menyepakati ketetapan harga yang diinginkan oleh perusahaan besar.
Apabila perusahaan kecil tidak mematuhi kemauan perusahaan besar, maka perusahaan kecil akan ambruk. Ketiga, Pool adalah gabungan para pekerja untuk memperkuat barisan mereka dalam memproduksi barang. Satu sama lain tidak boleh melampaui produksi atau harga jual dari yang lain. Keempat, cartel yang berarti
persekutuan
para
pengusaha
untuk
saling
membantu
dalam
mengumpulkan atau membeli barang-barang yang ada pada anggota, kemudian membuat kesepakatan untuk memasarkan barang tersebut dengan harga yang telah mereka tetapkan. Labanya mereka bagikan sesuai dengan kesepakatan, modal dan peran anggota tersebut. Akibatnya seringkali perusahaan kecil tidak dapat bersaing dengan perusahaan besar yang menggunakan sistem cartel ini. Penimbunan ini dilarang di dalam Islam berdasarkan hadis yang artinya, dari Ma'mar bin Abdullah, Rasulullah bersabda, tidaklah menimbun melainkan orang yang berdosa (H.R.Muslim). Pada hadis yang lain juga ada dinyatakan, Sejelek-jelek hamba adalah si penimbun, jika ia mendengar barang murah ia murka dan jika barang mahal ia gembira. Semangat larangan ini didasarkan pada nilai moral Islam. Kita dilarang mengambil keuntungan dengan memanfaatkan kesusahan dan kesulitan orang lain. Mencari keuntungan tidak dilarang selama dilakukan dengan cara yang fair.
F. Monopoli dan Oligopoli
Satu bentuk aktivitas bisnis yang dilarang dan ada kemiripan secara substansial dengan ihtikar adalah monopoli. Monopoli adalah suatu situasi dalam pasar dimana hanya ada satu atau segelintir perusahaan yang menjual produk atau komoditas tertentu yang tidak memiliki pengganti yang mirip dan ada hambatan bagi perusahaan atau pengusaha lain untuk masuk ke dalam bidang industri atau bisnis tersebut. Monopoli menyebabkan tidak terjadinya persaingan yang sehat dalam bisnis. Monopoli biasanya terjadi dengan adanya koalisi antara pengusaha dengan penguasa.
Oligopoli adalah satu bentuk monopoli tetapi agak berbeda sifatnya. Jika monopoli merupakan kolusi antara pengusaha dan penguasa, maka oligopoli merupakan kolusi antara pengusaha dengan pengusaha lainnya. Jika oligopoli terjadi, maka pasar dapat dikuasai dan mereka dapat menentuka harga dan dapat pula mendikte pasar. Larangan Islam praktek bisnis seperti ini karena keduanya menolak satu bentuk persaingan bebas dan sehat. Keuntungan dan kemajuan diperoleh tidak disebabkan oleh kepandaian dan keahlian dalam menjalankan bisnis melainkan disebabkan oleh kekuatan-kekuatan lain.
2. Menimbun (Al-Ihtikar) BBM: Absennya Etika Rencana pemerintah yang akan menaikkan harga BBM pada awal April mendatang telah menimbulkan kegoncangan di tengah-tengah masyarakat. Mereka khawatir, kenaikan itu akan berpengaruh terhadap melonjaknya harga bahan-bahan pokok. Bahkan masyarakat juga cemas jika BBM akan hilang di pasaran. Bayangkan, apa yang akan terjadi jika BBM “raib” dari SPBU tanpa ada yang mau bertanggungjawab. Bagaimana pula nasib orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada BBM seperti nelayan, supir angkot, industri kecil dan lain sebagainya. Kekhawatiran yang berlebihan ini menyebabkan sebagian masyarakat mengambil jalan pintas demi menyelamatkan diri. Merekapun memilih untuk melakukan penimbunan BBM. Setidaknya ada dua alasan yang mendorong masyarakat melakukan penimbunan BBM. Pertama, mereka benar-benar khawatir jika BBM hilang dari
pasaran.
Dalam
hal
ini
penimbunan
dilakukan
hanya
untuk
menyelamatkan diri sendiri. Mereka menyebut istilah sekedar untuk berjagajaga dan persiapan. Bagi mereka tentu tidak ada maksud untuk mencari keuntungan dibalik penimbunan tersebut. Sekali lagi motifnya hanya untuk menyelamatkan diri sendiri dan jauh dari motif bisnis. Kedua, penimbunan
memang dilakukan seperti apa yang dikatakan pepatah, “mengambil kesempatan di dalam kesempitan.” Merekalah yang mengamalkan “aji mumpung”. Motifnya jelas untuk bisnis. Begitu BBM naik ataupun langka, maka mereka bisa menjual dengan harga yang mahal. Mau tidak mau, konsumen akan membelinya karena memang mereka sangat membutuhkan. Pertanyaannya adalah, bagaimana hukum menimbun barang atau lebih spesifiknya lagi BBM dalam perspektif hukum Islam. Artikel ini mencoba akan menjawab persoalan di atas. Penimbunan harta dalam literatur Fikih Mu’amalat disebut dengan ihtikar, yang berasal dari kata hakara. Di dalam kamus arti asal kata ini adalah aqz-zulm (zhalim atau aniaya) dan isaah al-muasyarah (merusak pergaulan). Dalam ilmu sharaf ketika kata hakara mengambil bentuk ihtakara, yahtakiru, ihtikaran, maka arti kata ini adalah upaya penimbunan barang dagangan untuk menunggu kenaikan atau menunggu melonjaknya harga. Pada saat itulah ia akan melepas barang yang ditimbunnya ke pasar. Para ulama fikih memberikan definisi ihtikar dengan redaksi yang berbeda-beda. Imam AsySyaukani menyatakan, ihtikar sebagai penimbunan atau penahanan barang dagangan dari peredarannya.
Imam Al-Ghazali mendefinisikannya dengan,
Penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan dia akan menjualnya dengan harga yang melonjak pula. (Haroen,2007:158). Jika kita menyelami pemikiran-pemikiran yang di dalam kitab-kitab fikih, khususnya yang berkenaan dengan ihtikar, kita akan menemukan ragam pemikiran yang berkembang. Di antara yang diperdebatkan ulama adalah berkaitan
dengan
jenis
barang
atau
produk
yang
dilarang
untuk
menimbunnya. Ada yang membatasi diri pada jenis makanan. Alasannya, makanan termasuk ke dalam makanan pokok. Ada pula ulama yang tidak
membatasinya hanya pada makanan, tetapi menyangkut semua produk yang menjadi hajat hidup orang banyak. Kata-kata
kunci
untuk
memahami
ihtikar
adalah
penimbunan,
kelangkaan, melonjaknya harga. Motivasi ihtikar adalah meraih keuntungan yang sebesar-besarnya pada saat krisis. Dengan demikian, jika ada orang yang menimbun harta untuk dirinya sendiri maka hal itu tidak terlarang. Namun ada ulama yang lebih jauh melihat persoalan ihtikar. Bagi mereka ihtikar mengakibatkan kerugian, kesusahan atau kemudharatan bagi orang lain. Terlepas apakah barang itu ditimbun untuk keperluan diri sendiri atau untuk bisnis.
Intinya,
penimbunan
menyebabkan
kelangkaan
dan
hal
itu
menimbulkan kemudharatan bagi orang lain. Menurut Adiwarman A Karim, monopoli tidak identik dengan ihtikar. Dalam Islam siapapun boleh berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain. Menyimpan stock barang untuk keperluan persediaanpun tidak dilarang dalam Islam. Jadi monopoli sah-sah saja. Yang dilarang adalah ihtikar, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya disebut dengan monopoly’s rent.
Kesimpulannya
monopoli boeh, sedangkan monopoly’s rent tidak boleh. (Adiwarman:2002). Menarik untuk mencermati pemikiran Al-Ghazali yang menyatakan penimbunan barang diharamkan apabila: Pertama, Barang yang ditimbun itu adalah kelebihan dari kebutuhannya berikut tanggungan untuk persediaan setahun penuh. Sebab orang boleh menimbun persediaan nafkah untuk dirinya dan keluarganya selama setahun penuh seperti yang dilakukan oleh Rasulullah. Kedua, Orang yang menimbun itu sengaja menunggu saat harga barang yang ditimbunnya itu memuncak (maximing profit), sehingga ia dapat menjualnya dengan harga tinggi. Ketiga, Penimbunan dilakukan pada saat orang banyak sangat membutuhkannya, seperti bahan makanan, pakaian dan kebutuhan pokok lainnya. Tetapi kalau barang yang ditimbun tersebut bukan termasuk
kebutuhan pokok dan kurang diperlukan, maka hal ini tidak berdosa karena tidak menimbulkan kemudharatan (ihya ‘ulum al-din). Lebih lanjut menurut Karim, yang masuk dalam kategori ihtikar adalah apabila komponen-komponen berikut ini terpenuhi. Pertama, Mengupayakan adakalanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun stock atau mengenakan entry-barries. Kedua, Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum munculnya kelangkaan. Ketiga, Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum komponen 1 dan 2 dilakukan. Agaknya satu hal yang perlu diberi catatan bahwa keburukan yang ditimbulkan oleh monopoli, juga terjadi dalam peraktek ihtikar adalah penguasaannya terhadap harga (price maker) sehingga dapat mempengaruhi atau menentukan harga pada tingkat sedemikian rupa sehingga memaksimumkan labanya, tanpa memperhatikan keadaan konsumen. Produsen monopolis dapat mengambil keuntungan di atas normal (normal profit) sehingga merugikan konsumen. Hemat penulis, semangat inilah yang terdapat dalam peraktek ihtikar sehingga dilarang Rasul. Di dalam hadis Rasul bersabda, siapa yang merusak harga pasar,
sehingga
harga
itu
melonjak
tajam,
maka Allah
akan
menempatkannya di dalam api neraka pada hari kiamat. (Riwayat Thabrani). Di dalam hadis yang lain Rasul bersabda, siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah. (Riwayat Ibn Majah). Masih menurut hadis rasul, “para pedagang yang menimbun barang makanan (keperluan pokok manusia) selama 40 hari, maka ia terlepas dari (hubungan dengan ) Allah dan Allahpun melepaskan (hubungan dengan)-nya. Ihtikar bagaimanapun juga akan menimbulkan kemudharatan bagi ornag lain. Di samping itu, ihtikar juga menunjukkan egoisme diri yang tak berbatas, satu sifat yang dibenci oleh Allah Swt. Disebabkan kemudharatan yang
ditimbulkan peraktek ihtikar, pemerintah sejatinya harus dapat menutup pintu (sadd al-zari’ah) bagi terjadinya ihtikar. Jika ihtikar telah terjadi maka pemerintah harus mampu mengurainya dan memberikan hukuman bagi pelakunya. Oleh sebab itu, pesan moral yang kita petik dari hadis adalah, jangan kita menggunakan kekayaan kita untuk menimbulkan kemudharatan orang lain. Tidak pula kita menggunakan kekuatan ekonomi kita untuk mengambil keuntungan tak terbatas pada saat orang lain mengalami kesulitan. Tetap saja yang utama adalah bagaimana kita bersikap moderat, tawassut, sederhana, dan inilah sesungguhnya inti dari ekonomi Islam yang terambil dari kata al-qasd yang maknanya adalah kesederhanaan. Wallahu a’lam bi al-shawab. 3. Etika Konsumsi Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Al-A’rafi^i
Konsumsi berasal dari bahasa Belanda consumptie yang berarti suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, barang maupun jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan. Sedangkan konsumen adalah individu-individu atau kelompok pengguna barang dan jasa. Perlu dibedakan antara konsumen dengan distributor. Konsumen membeli barang dan digunakan untuk diri sendiri. sedangkan distributor akan membeli barang dan menjualnya kepada orang lain. M.A. Mannan, seorang pakar Ekonomi Islam asal Bangladesh mengatakan dengan gamblang bahwa konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penyediaan. Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk tentu tidak mengabaikan persoalan yang amat penting ini. Tidak berlebihan jika dikatakan, sebagaimana seriusnya AlQur’an melarang peraktik riba dan mendorong dikembangkannya tradisi zakat, sedemikian pula seriusnya Al-Qur’an menata perilaku konsumsi umat. Tidak saja
karena konsumsi berkaitan dengan pertumbuhan fisik dan rohani, tetapi juga karena konsumsi juga berhubungan dengan keseimbangan alam. Oleh sebab itu, kita akan menemukan banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang menata bagaimana sejatinya kita mengembangkan perilaku konsumsi yang sesuai dengan aturanaturan syari’at. Salah satu ayat yang cukup penting adalah yang terdapat pada surah AlA’raf ayat 31 yang terjemahannya telah dikutip di atas. Dari sisi asbab al-nuzul, ayat di atas turun terkait dengan kejadian beberapa sahabat Nabi yang bermaksud meniru kelompok al-Hummas yaitu kelompok Quraisy yang menggebu-gebu semangat beragamanya sehingga tidak mau berthawaf kecuali memakai pakaian baru yang belum pernah dipakai melakukan dosa, serta sangat ketat dalam memilih makanan dan kadarnya selama melaksanakan ibadah haji. Jelaslah, ayat tersebut turun sebagai kritik Allah kepada bangsa Quraisy yang berlebih-lebihan dalam beribadah.35 M. Quraish Shihab dalam menafsirkan surah Al-A’raf ayat 31 menjelaskan bahwa kita diajarkan tentang keharusan memakai pakaian yang indah dan patut serta menutup aurat. Penggunaan pakaian ini ketika memasuki masjid atau di dalam masjid, baik dalam arti khusus maupun masjid dalam pengertian luas, yaitu bumi Allah. Makanlah yang halal, enak, bermanfaat lagi bergizi dan berakibat baik pada tubuh. Minumlah minuman yang kamu sukai tetapi tidak memabukkan dan tidak mengganggu kesehatan. Janganlah berlebih-lebihan karena Allah tidak menyukai orang yang berlebihan. Tegasnya Allah tidak memberikan rahmat dan pahala bagi orang yang berlebihan. Dengan demikian, prinsif utama konsumsi dalam ayat di atas adalah, proporsional dan tidak berlebih-lebihan atau tidak mengikuti selera hawa nafsu.36 Al-Syaukani menyatakan bahwa khitab ayat di atas ditujukan kepada seluruh anak Adam (manusia). Dalam konteks ini berlaku kaedah, al-ibrah bi
35Azhari Akmal Tariga, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, h. 200-216. 36 M. Quraish Shihab, Al-Mishbah, Vol V, Jakarta: Lentera Hati, 2005, h. 75-76
umum al-lafaz la bi khusus al-sabab, walaupun ayat ini muncul disebabkan sebab khusus, namun pesannya tidak terbatas dalam lingkup sosial, budaya ekonomi kala itu. Adapun yang dimaksud kata al-zinat adalah sesuatu yang membuat manusia menjadi indah, cantik dan serasi jika mengenakannya, seperti mengenakan pakaian-pakaian yang cantik. Ayat di atas, memerintahkan umat Islam agar berhias manakala hendak ke masjid baik untuk shalat ataupun thawaf. Dalam konteks hukum, ayat ini juga dijadikan dalil tentang kewajiban menutup aurat ketika shalat. Inilah pendapat jumhur. Bahkan, menurut jumhur, menutup aurat bukan saja ketika hendak shalat tetapi untuk seluruh keadaan, walaupun dalam keadaan sendiri. Sehubungan dengan perintah Allah untuk mengkonsumsi makanan dan larangan berlebih-lebihan, Syaukani menyatakan, Allah SWT memerintahkan hambanya untuk makan dan minum dan melarang mereka berlebih-lebihan. Larangan ini tidak dimaksudkan agar manusia meninggalkan makan dan minum. Bahkan orang yang meninggalkan makan dan minum sama dengan membunuh dirinya sendiri dan ia termasuk golongan ahli neraka. Bahkan di dalam sebuah hadis disebutkan, orang yang tidak memenuhi kebutuhan makan dan minumnya secara wajar akan membuatnya lemah dan tidak akan mampu menegakkan apaapa yang menjadi kewajibannya. Terlebih lagi untuk berusaha mencari nafkah. Semangat yang sama dapat ditemukan pada surah Al-Furqan ayat 67. Melalui ayat ini, Allah SWT menggambarkan sikap konsumsi yang baik adalah tidak berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta benda dan tidak pula kikir, melainkan pertengahan di antara keduanya. Pertengahan ini tampaknya dapat dimaknai sepadan dan proporsional, dalam pengertian tidak besar pasak daripada tiang. Lebih jelasnya dapat dilihat ayat berikut ini;
Dan orang-orang
yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (AlFurqan: 67).
Kendatipun Allah menyuruh kita untuk makan dan minum, Al-Qur’an juga menggariskan norma lain - selain tidak boleh berlebih-lebihan - yaitu makanan yang dikonsumsi haruslah halal dan baik (halalan tayyiban) seperti yang terungkap pada surah Al-Baqarah ayat 168. Ungkapan kata halalan dan tayyiban (halal dan baik) setidaknya mengajarkan kepada kita ada dua syarat jika ingin mengkonsumsi sesuatu. Halal dalam makna dibolehkan syariat. Sedangkan tayyib mengacu pada kualitas materi (‘ain), sesuatu baik untuk pertumbuhan jasmani. Aturan Al-Qur’an lainnya berkenaan dengan konsumsi adalah larangan Allah untuk bersikap berlebih-lebihan atau dalam istilah Al-Qur’an disebut dengan prilaku tabzir. Kata tabzira terambil dari kata bazzara, yubazziru, tabziran mengandung arti hal berlebih-lebihan, membuang-buang harta, atau pemborosan. Kata tabzir atau pemborosan dipahami oleh ulama dalam arti pengeluaran yang bukan hak. Oleh karena itu jika seseorang menafkahkan atau membelanjakan semua hartanya dalam kebaikan atau hak, maka ia bukanlah disebut pemboros (al-mubazzirin). Dalam perspektif Ekonomi Syari’ah, konsumsi pada hakikatnya adalah manifestasi dari pengabdian kepada Allah. Allah telah menghamparkan buminya dengan segala isinya - baik di darat ataupun di lautan- untuk dikelola dan dimanfaatkan manusia dalam rangka menopang tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Tidak sekedar menghamparkan, ternyata Allah juga telah menundukkan
(taskhir)
bumi
kepada
manusia,
supaya
mudah
dalam
mengelolanya. Tentu saja, ilmu dan tekhnologi adalah perangkat yang niscaya dalam pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Agar tidak terjadi perilaku israf (berlebih-lebihan) karena dorongan hawa nafsu manusia, Allah memberikan batasan-batasan atau nilai-nilai etis yang harus ditegakkan. Dalam konteks ini Umar Ibn Al-Khattab pernah berkata, “Hendaklah kamu sederhanakan dalam makanan kamu, karena kesederhanaan lebih dekat kepada perbaikan, lebih jauh dari pemborosan, dan lebih menguatkan dalam beribadah
kepada Allah SWT. Tidak kalah menariknya, pada aspek lain, konsumsi dalam ekonomi Syari’ah bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan individu sebagai konsumen dalam rangka memenuhi perintah Allah, tetapi lebih jauh berimplikasi terhadap kesadaran berkenaan dengan kebutuhan orang lain. Oleh karenanya dalam konteks adanya keizinan untuk mengkonsumsi rezeki yang diberikan oleh Allah, sekaligus terpikul tanggung jawab untuk memberikan perhatian terhadap keperluan hidup orang-orang yang tidak punya, baik yang tidak meminta (al-qani), maupun yang meminta (al-mu’tar), bahkan untuk orang-orang yang sengsara (al-bais) dan fakir miskin (Q.S Al-Hajj:28, 36). Beranjak dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mengatur tentang konsumsi, maka kita akan menemukan lima prinsif etik dalam konsumsi. Pertama, prinsif keadilan. Kedua, prinsif kebersihan. Ketiga, prinsif kesederhanaan. Keempat, prinsif kemurahan hati. Kelima, prinsif moralitas. Pemenuhan nilai etis dalam konsumsi akan menghantarkan manusia pada derajat kemuliaannya di sisi Allah dan tentu saja di sisi manusia. sebaliknya, mengabaikan nilai-nilai etis ini, perilaku konsumsi akan membuat manusia “jatuh” (hubut) baik secara moral ataupun spiritual. Sungguh, kejatuhan Adam ke muka bumi ini adalah pengabaian nilai etis konsumsi itu sendiri. Wallahu a’lam.
4. Konsep Perdagangan Dalam Islam Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Al-Nisa’:29)
Menyangkut tentang perdagangan dalam al-Qur’an, topik ini
diungkap
dengan kata tijarah (perdagangan) yang berarti menebarkan modal untuk
mendapatkan keuntungan. Kata tijarah diungkap al-Qur’an sebanyak 9 kali. Beberapa surah yang memuat kata tijarah adalah QS Al-Baqarah/2:282, 16 QS AlNisa’/4:29, QS Al-Taubah/9:24, QS Al-Nur/24:37, QS Fathir/35:2, QS AlShaf/61:1o, dan QS Al-Jumu’ah/62:ii. Adapun kata bai'un yang bermakna jual beli disebut sebanyak 6 kali. Surah-surah yang memuat kata tersebut adalah QS Al-Baqarah/2:254, 275, QS Ibrahim/14:31. QS Al-Nur/24:37, QS Al-Jumu’ah/62:9, QS. Al-Taubah/1o:111 dan Al-Hajj/2240.37 Dalam kaitannya dengan kata al-ba’i, Taqyuddin An-Nabhani menuliskan bahwa perdagangan itu ada dua macam, perdagangan yang halal, yang dalam bahasa syara’ disebut dengan al-ba’i (jual beli) dan perdagangan yang haram yang disebut riba. Masing-masing -baik ba’i ataupun riba- adalah termasuk dalam kategori perdagangan. Alquran
dengan jelas menyatakan, Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Al-Baqarah:2j5). Ayat di atas menjelaskan laranga Allah Swt mengkonsumsi harta dengan cara-cara yang batil. Kata
batil oleh Al-Syaukani diterjemahkan ma laisa
bihaqqin (segala apa yang tidak benar (hak). Bentuk batil ini sangat banyak. Dalam konteks ayat di atas, sesuatu disebut batil dalam jual beli jika dilarang oleh syara’. Adapun perdagangan yang batil jika di dalamnya terdapat unsur MAGHRIB yang merupakan singkatan dari maisir, gharar, riba dan batil itu sendiri. lebih luas dari itu perbuatan yang melanggar nash-nash syari’, juga dipandang sebagai batil seperti mencuri, merampok, korupsi dan sebagainya. Alih-alih melakukan perbuatan yang batil, Alquran menawarkan satu cara untuk memperoleh atau mendapatkan harta yaitu lewat perdagangan (tijarah). Perdagangan yang dimaksud bukan sekedar menjual dan membeli barang dengan harga tertentu, tanpa memerdulikan kondisi pembeli. Apa lagi perdagangan yang didalamnya ada penipuan atau pemaksaan. Oleh sebab itu perdagangan yang dilakukan harus memenuhi prinsif suka sama suka (‘an taradin minkum). Kata ‘an taradin merupakan sifat dari tijarah. Segala bentuk 37 Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, h. 251-266.
perdagangan yang dilakukan atas dasar suka sama suka dibolehkan atau dihalalkan. Penyebutan tijarah pada ayat sebelumnya yang tidak disebut secara spesifik, sesungguhnya mencakup segala bentuk transaksi yang sah. Biasanya, ketika disebut tijarah, pembaca dan pendengar segera paham apa yang dimaksud dengan kata ini. Allah tawarkan sebuah aktivitas jual beli yang harus dilakukan dengan suka sama suka. Kalimat ‘an taradin minkum menunjukkan antara kedua belah pihak sama-sama rela untuk melakukukan aktifitas perdagangan, semisal jual beli, sewa menyewa, kerja sama dan sebagainya. Dalam fikih ukuran suka sama suka adalah terlaksananya ijab dan qabul. Artinya, ijab adalah sebuah pernyataan kesediaan dari pemilik barang atau jasa untuk melepas atau mentasarrufkan miliknya kepada orang lain. Sedangkan qabul adalah pernyataan kesediaan menerima barang atau jasa dari orang lain. Ketika ijab dan qabul dinyatakan di dalam satu majlis, maka kedua belah pihak sama-sama rida (suka). Ayat ini melarang manusia untuk mengumpulkan harta dengan jalan yang
batil
dan
sebaliknya
memerintahkan
kepada
manusia
untuk
mengumpulkan harta dengan jalan perdagangan yang didasari suka sama suka. Berkaitan dengan ini , Muhammad al-Bahiy dalam karyanya yang berjudul AlFikr al-Islamy wa al-Mujtama' al-Islami menyatakan, ungkapan “ illa an takuna tijaratan 'an taradin minkum”, menunjukkan wujud keseimbangan dan kerelaan antara penjual dan pembeli tanpa adanya unsur penindasan atau paksaan. Di dalam ayat di atas terdapat frasa, wala taqtulu anfusakum. Menurut AlSyaukani, tafsir ayat ini adalah janganlah ada sebagian kamu membunuh sebagian yang lain, kecuali dengan sebab-sebab yang dibenarkan oleh syari’at. Makna lain ayat ini adalah, janganlah kamu membunuh dirimu sendiri dengan cara mendekati kemaksiatan. Sedangkan menurut An-Nasafi makna kalimat tersebut adalah janganlah kamu membunuh dirimu dalam arti siapapun dari jenismu sendiri dari orang-orang mukmin karena orang mukmin itu seperti satu saudara. Tidak diperbolehkan membunuh saudara sendiri seperti yang dilakukan
orang-orang bodoh. Makna lain dari kata membunuh (al-qatl) adalah memakan harta harta dengan cara yang zhalim. Samalah artinya ia menzhalimi diri sendiri atau mencelakai dirinya. Oleh sebab itu, Allah melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu (keserakahan) yang membuat kita terdorong untuk menzhalimi orang lain. Muhammad Fethullah Ghulen menafsirkan penggalan ayat, wa la taqtulu anfusakamu dengan penjelasan sebagai berikut, “Pertama, Siapa saja yang menerima hasil riba, hasil judi, hasil suap menyuap dari sumber-sumber yang tidak halal lainnya, maka ia termasuk orang yang membunuh dirinya sendiri. Kedua, Siapa saja yang berpihak kepada bisnis yang batil dan zhalim, termasuk juga mengeluarkan harta secara berlebihan atau menerima paham kapitalis atau liberalis atau komunis atau paham apa saja yang membolehkan mendapat sumber rezeki dari cara-cara yang tidak halal, maka menurut agama ia dinilai sebagai orang yang membunuh dirinya. Perlu diketahui, dari sejak semula ketika seorang telah menganut salah satu idiologi dari sejumlah idiologi yang kami sebutkan di atas, maka ia akan menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan sumber rezeki, sehingga Islam menganggapnya sebagai seorang
yang telah
membunuh dirinya sendiri. Apa lagi dewasa, semua idiologi saling bermunculan dengan pesatnya di hadapan kita, seperti yuang disebutkan dalam firman Allah di atas. Ketiga, Ayat di atas mengisyaratkan dengan jelas bahwa siapapun yang membunuh dirinya, maka ia termasuk orang yang telah sesat. Misalnya, menyamakan semua tingkatan dan semua ideologi dalam suatu masyarakat dan menimbulkan berbagai pertentangan secara mendalam, seperti kaum sebagian orang bodoh yang menerima ideologi yang membatasi diri dari kesenangan dunia yang dihalalkan oleh agama dan ia lebih mengutamakan hidup miskin, sehingga umat Islam dipandang sebagai umat yang hina dan lemah. Demikian pula, siapapun yang menguasai harta orang lain atau barang orang lain dengan cara yang tidak sah atau menyuruh orang lain untuk merampok, mencuri dan menguasai harta orang lain secara tidak sah, maka menurut Alquran orang
semacam itu dimasukkan dalam kategori orang yang membunuh dirinya sendiri. itulah yang dapat kami simpulkan dari firman Allah di atas. Ayat ini sesungguhnya dapat dikontekstualisasikan lebih luas lagi. Misalnya siapa saja yang melakukan transaksi bisnis dengan cara-cara yang jahat dan keji, sesungguhnya ia tidak saja membunuh dirinya sendiri tetapi juga dapat membunuh orang lain. Makna membunuh tidak selamanya harus diterjemahkan dengan menghilangkan nyawa. Terputusnya akses ekonomi dapat bermakna kematian. Kehilangan kepercayaan dari klain, juga bagian dari kematian bisnis dan sebagainya. Oleh sebab itu, bisnis yang dilakukan atas dasar suka sama suka adalah kata lain dari sebuah bisnis yang win win solution. Zahir ayat menunjukkan tentang kebolehan melakukan seluruh jenis perdagangan selama dihasilkan melalui mekanisme suka sama suka di antara dua pihak yang ber'aqad. Namun penting di catat, pada sisi lain, nas al-Qur'an dan Hadis juga telah mengharamkan jual beli khamar, bangkai, daging babi dan segala yang diharamkan. Atas dasar itulah, di dalam kajian fikihMu'amalah Islam ditemukan transaksi terlarang. Namun pada sisi lain, ayat ini memberi pelajaran berharga yaitu, (1) Seorang pedagang ketika menjalankan dagangnya sejatinya tetap dalam bingkai keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. (2) Sebagai pedagang, termasuk dari amal saleh jika ia mampu melayani pedagang dengan baik, memberikan produk yang terbaik dan menghindarkan diri dari perbuatan mal bisnis, seperti gharar dan batil. Pendek kata, perdagangan itu sendiri menjadi ladang amal setiap pedagang. (3) Perdagangan sesungguhnya bagian dari jihad. Setidaknya, seorang pedagang berjihad untuk menghidupi keluarganya. ‘Ala kulli hal, di dalam perdagangan ada keberkatan. Bahkan Rasul yang mulia bersabda, 99 pintu rizki (kebaikan) ada di dalam perdagangan. Semoga perdagangan dapat menjadi media yang mendekatkan diri kita kepada Allah Swt. Wallahu a’lam bi al-Shawab.
Bab Empat Trend Baru Konsumen: Membangun Gaya Hidup Halal. 1. Gaya Hidup Halalan Thayyiban. Memperbincangkan konsep halal lebih-lebih saat ini, merupakan hal yang sangat penting. Isu ini tidak saja berkaitan dengan persoalan perilaku konsumsi bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidupnya-
dan bagaimana pula
negara melindungi rakyatnya, tetapi sudah merambah pada wilayah politik. Isuisu yang berkaitan dengan produk halal sepuluh tahun belakangan ini menyadarkan kita betapa persoalan halal ini sangat seksi bahkan sensitif jika ditarik ke wilayah politik. Bahkan lebih jauh dari itu, isu halal sudah menerobos pada wilayah dunia. Menembus sekat-sekat negara. Tidak saja menjadi kepedulian negara-negara Islam atau bangsa yang mayoritas muslim, tetapi juga perhatian serius negara-negara sekuler sekalipun. Sungguh isu halal memiliki keterkaitan dengan masalah peradaban suatu bangsa. Tegasnya, melihat peradaban satu bangsa di masa depan dapat dibaca bagaimana mereka mengkonsumsi (perilaku konsumen) dan apa yang mereka konsumsi saat ini. Alasan yang lebih krusial mengapa wacana halal ini terus dikembangkan karena kita sedang berada di era yang disebut dengan post modernisme (Posmo). Pada era ini hampir tidak ada yang disebut kemapanan. Semuanya mengalami pembongkaran (dekonstruksi). Hal-hal yang sudah dipandang “selesai” bisa saja dibongkar
dan
ditata
ulang.
Kebenaran-kebenaran
umum
kembali
dipertanyakan. Namun dalam konteks makalah ini, kaitan antara pola konsumsi masyarakat dengan posmo, sedikit berbeda. Pada era ini, apa yang disebut dengan keinginan atau kebutuhan telah menjadi sesuatu yang baur, cair, tidak jelas dan makin sulit dibedakan satu dengan yang lain. Ketika gengsi masyarakat lebih mengedepan, berbelanja menjadi sebuah gaya hidup, berbagai fasilitas
perbelanjaan tumbuh pesat di berbagai sudut kota, penggunaan kartu kredit makin masif yang pada gilirannya melahirkan masyarakat konsumen, maka belanja dan mengkonsumis mengalami pergeseran makna.38 Pada era tersebut, masyarakat berbelanja bukan lagi karena suatu kebutuhan. Manusia berbelanja bukan karena nilai atau kemanfa’atannya. Bukan pula karena ia didesak oleh kebutuhan atau hajat hidupnya. Ia berbelanja karena gaya hidup (life style), demi sebuah citra yang diarahkan dan dibentuk oleh cara berpikir masyarakat konsumer yang acap kali telah terhegemoni oleh pengaruh iklan dan mode lewat televisi, tayangan infotainment, majalah fashion, gaya hidup selebritas, dan berbagai bentuk industri budaya populer lainnyua.39 Tanpa di sadari masyarakat oleh berbagai media dan cara, diarahkan dan dimobilisir untuk mengkonsumsi sesuatu yang sesungguhnya tidak selamanya ia butuhkan. Dalam konteks masyarakat yang demikian, bisa jadi persoalan halal tidak lagi menjadi penting. Setidaknya, isu halal bukanlah suatu yang krusial. Bisa saja dalam konteks makanan, mereka masih kuat berpegang pada nilai-nilai syari’ah. Namun di luar itu, apakah obat-obatan atau kosmetika, isu halal menjadi tidak relevan. Tidak itu saja, para era posmo, sebaliknya mungkin saja masyarakat sangat perduli dengan persoalan halal dan haram. Namun kepedulian ini tidak lagi didasarkan pada nilai-nilai intrinsik-substantif. Bukan karena mematuhi ayat-ayat Allah. Lagi-lagi yang menjadi alasan adalah gaya hidup. Sebut saja misalnya gaya hidup halal. Orang ingin membangun citra dirinya sebagai sosok yang perduli pada persoalan halal dan haram. Sampai di sini, pertanyaannya adalah apakah pola hidup seperti ini dibenarkan pula oleh syari’at ?. Penulis ingin mengajukan sebuah pertanyaan yang menggelitik. Apakah setelah kita memasuki era posmodernisme di mana manusia memiliki perilaku konsumen yang berbeda dari era-era sebelumnya, konsep halal dan haram kita tidak berubah ? Bagaimana opini kita terhadap seseorang yang hobi berbelanja 38Bagong Suyanto, Sosiologi Ekonomi Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat Post Modernisme, Jakarta: Kencana, 2013, h. 105-124. 39 Ibid
(gaya hiudp) namun memiliki komitmen tinggi terhadap persoalan hala-haram. Ia hanya mau membeli barang-bara.,ng yang halal saja, kendatipun ia tak tahu mau dikemanakan semua itu ? Perduli dengan yang halal namun abai terhadap kepentingan sosial ! Apakah perilaku seperti ini sudah benar ? Isu ini akan saya bahas dengan terlebih dahulu menela’ah konsep halal dan konsep konsumsi pada umumnya, yang dilanjutkan dengan menganalisis implikasi teoritik dan peraktiknya. Setidaknya ada dua cara yang dapat ditempuh untuk mengidentifikasi konsep halal tersebut. Pertama, menelusuri penggunaan kata halal dengan segala derivasinya di dalam Al-Qur’an serta kata-kata yang semakna atau memiliki kedekatan makna. Kedua,
melalui penelusuran
antitesisnya. Bentuknya berupa larangan atau peringatan Al-Qur’an tentang halhal yang diharamkan atau hal-hal yang dilarang. Kedua cara ini akan penulis lakukan sebagaimana yang akan terlihat nanti. Kata halal yang akar katanya berasal dari bahasa Arab, ha-la-la, memiliki makna yang beragam. Makna dasarnya adalah melepaskan ikatan. Termasuk arti kata halal, membebaskan, memecahkan, membubarkan dan membolehkan. Halal juga lawan dari kata haram. Al-Asfahani menjelaskan bahwa makna asal dari kata halal adalah al-halli yang berarti ikatan kemudian menjadi “melepaskan ikatan”. Contoh penggunaan kata ini dapat dilihat pada QS. Thaha:27. Selanjutnya, di dalam bahasa Indonesia kata halal diterjemahkan dengan; 1) diizinkan atau tidak dilarang oleh syara’. 2) yang diperoleh atau diperbuat dengan sah. 3) izin; ampun. Adapun di dalam Ensiklopedi Hukum Islam, kata halal diterjemahkan ke dalam tiga makna: 1) sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum karena menggunakannya.2). Sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum jika menggunakannya, karena ia dibenarkan oleh syara’. 3). Sesuatu yang mubah dan ja’iz. Kebalikannya haram itu sendiri secara umum bermakna sesuatu yang dilarang.
Di dalam Al-Qur’an kata halal disebut sebanyak 55 kali dalam berbagai ayat dan surah. Adakalanya kata halal diungkap dengan sighat fi’il madhi sebanyak 17 kali. Fi’il mudhari’ sebanyak 16 kali dan fi’il amar sebanyak 1 kali. Bentuk lain diungkap dalam sighat isim, hillun sebanyak 4 kali, hillan sebanyak 1 kali, halalun 1 kali, dan halalan sebanyak 5 kali, halail 1 kali, dan lain sebagainya. Tentu saja ragam kata halal tersebut memiliki konteks tersendiri. Prof. Quraish Shihab dalam bukunya, Membumikan Al-Qur’an, ketika membahas makna halal (dalam konteks halal bi halal) mengungkapkan beberapa kandungan makna dari kata halal. Pertama, halal yang akar katanya halla atau halala berarti melepaskan ikatan, menyelesaikan problem, meluruskan benang kusut, dan menjernihkan air yang keruh. Halal bi halal dapat dimaknakan sebagai aktivitas yang menjernihkan hubungan yang selama ini keruh. Tentu saja di dalamnya ada kegiatan saling memaafkan dan salaman. Kedua, kata halal berarti lawan dari haram. Sampai di sini makna halal adalah sesuatu yang dibolekan oleh syara’. Bentuk yang kedua ini merupakan tinjaua hukum. Ketiga, adalah makna halal dalam tinjauan Al-Qur’an. Makna yang dikandung Al-Qur’an adalah agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap muslim harus merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan semua pihak. 40 Di dalam Disertasinya yang berjudul, Konsep Halal Dan Haram Dalam AlQur’an (Kajian Hukum Islam tentang Konsumsi dengan Pendekatan tafsir), Sukiati Dosen fakultas Syari’ah IAIN.SU menyimpulkan informasi halal dalam AlQur’an setidaknya berkaitan dengan tema-tema berikut ini. Pertama, Terma halal berkaitan dengan penjelasan bahwa halal dan haram adalah hak prerogatif Allah semata. Allah melarang mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah dan sebaliknya mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah SWT. (AlMa’idah/5:87, Al-Tahrim/66:1, Al-‘Araf/7:i57, dll). Kedua, Berkaitan dengan perintah untuk memakan rezeki atau nikmat yang halal lagi baik. (Al-
40M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan: Bandung,1992, h. 317-318
Baqarah/2:158, Al-Ma’idah/5;88, dll). Ketiga, Berkaitan dengan kritik Allah terhadap orang Kafir yang menghalalkan bulan haram, seperti melakukan peperangan pada bulan yanag telah dilarang. Sebaliknya mereka mengagungkan bulan safar yang sesungguhnya tidak ada perintah untuk itu. (QS. AlTaubah/937 dll). Keempat, Berkaitan dengan kebolehan berburu binatang di Tanah Haram setelah haji dan larangan berburu binatang ketika ihram haji. (QS. dan hal yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji. (QS. Al-Ma’idah/5:i-2). Kelima, Berkaitan dengan perkawinan. Misalnya larangan mengambil sesuatu yang telah diberikan kepada istri yang telah diceraikan. Wanita-wanita yang halal dinikahi dan lainnya. (QS. AL-Baqarah/2:228, 229, 230, dll). Keenam, Berkaitan dengan azab Allah kepada orang kafir. Mereka tidak akan mampu melepaskan diri dari azab Allah. (QS. Az-Zumar/3940, Thaha/20:81, dll). Ketujuh, Berkaitan dengann nikmat-nikmat Allah di surga; seperti perhiasan di dalam surga. (QS.AlInsan/76:21, QS. Fatir/35:35, dll). Kedelapan, Berkaitan dengan upaya melepaskan diri dari belenggu kekakuan lidah seperti yang dialami Nabi Musa ketika menyampaikan risalah. (QS.Thaha/20:27, QS. Ibrahim/14:28, dll). Kesembilan, Berkaitan dengan pembebasan dari sumpah Allah, membebaskan diri dari sumpah yang mengharamkan yang halal.
(QS. Al-Ma’idah/5:5, QS. Al-
Baqarah./2:196). Kesepuluh, Berkaitan dengan perdagangan. Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah/2^75-276). (Sukiati: 2013).41 Dari sepuluh topik halal di dalam Al-Qur’an, setidaknya ada dua tema yang bersentuhan langsung dengan kajian makalah ini yaitu konsep halal dan kaitannya dengan konsumsi; baik itu dalam hal pangan ataupun perhiasan. Termasuk di dalamnya persoalan obat dan kosmetik. Tidak kalah pentingnya, konsep halal juga bertautan dengan cara mendapatkan sesuatu yang oleh AlQur’an dicontohkan dengan jual beli (perdagangan).
41 Sukiati, “Konsep Halal Dan Haram Dalam Al-Qur’an (Kajian Hukum Islam tentang Konsumsi dengan Pendekatan Tafsir”, Disertasi, 2013, IAIN. SU.
Penulis perlu menjelaskan, ayat-ayat konsumsi sesungguhnya jauh lebih banyak lagi dari apa yang disebut di atas. Dalam salah satu artikelnya yang berjudul, “Tafsir tentang Ayat-Ayat Konsumsi: Aplikasi Tafsir Ekonomi AlQur’an,
Lukman Fauroni telah menelusuri ayat-ayat konsumsi dengan
menjadikan terma kulu dan isyrabu sebagai kata kunci. Ternyata kata kulu dan isyrabu di dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 27 kali. Dari hasil penelusurannya, penulis tersebut menyatakan bahwa 22 ayat tentang konsumsi diturunkan di Makkah sebelum Nabi Hijrah. Sedangkan 16 ayat pada 4 Surat. Hal ini mengandung indikasi bahwa Al-Qur’an mempunyai perhatian yang tinggi tentang konsumsi seiring tahapan pemberlakuan ajaran-ajaran Islam yang bersifat fundamental. Dengan banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an tentang konsumsi maka implikasinya adalah bahwa ajaran ekonomi Islam diletakkan fondasifondasinya pada priode awal Islam.42 Sejatinya studi tentang konsumsi dalam perspektif Al-Qur’an tidak saja ditela’ah lewat kata halal dan antonimnya haram, tetapi juga harus menelusuri kata kulu wa isyrabu atau yang semakna dengan itu. Hanya saja, karena makalah ini mengkaji konsep halal maka yang diangkat adalah ayat-ayat yang memuat kata halal saja. Kendati demikian, dalam hal tertentu, terma kulu juga akan disinggung sepintas. (Bersambung).
2. Kreteria Halal dan Haram Jika diperhatikan relasi kata halal dalam Al-Qur’an, tampak bahwa kata halal dikaitkan dengan kata kulu yang bermakna makan. Kata tersebut juga bisa dimaknai dengan menggunakan atau memakai. Kata lain yang dihubungkan dengan halal adalah ghanimtum (pemberian Allah atau kekayaan yang
42 Lukman Fauroni, “ Tafsir Ayat-Ayat Tentang Konsumsi (Aplikasi Tafsir Ekonomi Al-Qur’an) dalam, Millah: Jurnal Studi Agama, Vol. VIII, No 1 Agustus 2008, h. 130
bersumber dari Allah) dan razakakum (rezeki yang diberikan Allah). Sedangkan kata yang mengiringi kata halal adalah tayyib. Artinya adalah sesuatu yang baik secara material. Mencerrmati relasi kata halal dengan kata ghanimtum dan razakakum, jelas bahwa kata halal diungkap Allah dalam konteks pemilihan benda-benda yang dikonsumsi manusia. Sungguh Allah SWT telah menganugerahkan kepada manusia beragam sumber daya alam dalam bentuk barang-barang yang dapat dikonsumsi. Terlepas apakah untuk memenuhi kebutuhan primernya ataupun kebutuhan sekunder bahkan hanya sekedar perhiasan semata (tertier). Semuanya dianugerahkan Allah dalam upaya menopang tugas-tugas kekhalifahannya di muka bumi untuk memberikan kesejahteraana kepada semesta. Sumber daya alam yang diberikan Allah tentu tidak semuanya halal. Ada hal-hal yang terlarang dan tidak boleh dikonsumsi manusia. yang terlarang sejatinya harus dihindari. Siapa yang mendekati apa yang telah diharamkan Allah sama artinya ia telah melakukan kezaliman yang besar. Menariknya, Allah memerintahkan manusia untuk mengkonsumsi barang yang bukan sebatas halal tetapi juga secara material harus baik (thayyib). Halalan thayyiba bukanlah alternatif, antara yang satu dengan yang lain. kedua sifat tersebut sejatinya haruslah dalam satu tarikan nafas. Dalam bahasa yang berbeda, secara syar’i sesuatu yang kita konsumsi sejatinya harus dibenarkan oleh syari’at untuk mengkonsumsinya. Sedangkan secara kauni -ilmu kedokteran atau ilmu gizi- materi makanan itu harus menjamin meningkatnya kesehatan pada tubuh. Bukan sebaliknya yang akan mengakibatkan kemafsadatan atau kemudharatan. Bagaimanapun juga, berpijak pada penggunaan kata halal di dalam AlQur’an kita tidak memperoleh informasi yang jelas dan tegas tentang konsep halhal yang boleh dan terlarang. Kata-kata halal dan tayyib di dalam Al-Qur’an hanyalah sebatas perintah yang bersifat normatif teologi. Manusia wajib mengkonsumsi barang yang halal dan baik karena konsumsi merupakan bagian
dari media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Inilah yang dimaksud dengan perintah normatif teologisnya.43 Para ulama memang memberi penjelasan. Di banding dengan ayat-ayat yang memuat informasi tentang haram atau terlarangnya sesuatu yang umumnya lebih rinci, ayat-ayat halal bersifat global. Analisis yang sering dikemukakan adalah, jumlah barang yang dihalalkan Allah SWT sesungguhnya jauh lebih banyak dibanding dengan yang diharamkan. Jika Al-Qur’an memberikan rincian tentang benda-benda yang halal tidak saja terlalu banyak tetapi juga membuat Al-Qur’an kehilangan dimensi sistematis dan mujmalnya. Sedangkan barang yang diharamkan itu jumlahnya sedikit, maka adalah tepat jika Al-Qur’an merincinya. Hal ini juga membuat manusia mendapatkan informasi yang jelas dan tegas. Alasan lain yang kerap dikemukakan adalah, tidak disebutnya rincian barang-barang yang halal juga sebagai antisipasi ke masa depan. Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang berlaku sepanjang zaman. Jika Al-Qur’an jauh-jauh hari merinci barang-barang yang halal, bagaimana dengan barang atau jenis makanan halal yang munculnya belakang. Apakah yang tidak disebutkan oleh Al-Qur’an menjadi sesuatu yang tidak boleh. Bisa juga orang mengatakan, jika Al-Qur’an tidak memuat dalam rinciannya, akankah dikatakan Al-Qur’an akan ketinggalan zaman ? Sungguh apa yang telah ditetapkan Allah SWT seperti yang terdapat di dalam Al-Qur’an adalah sebuah ketentuan yang penuh hikmah. Informasi halal yang bersifat global membuat Al-Qur’an memiliki fleksibilitas dan elastisitasnya. Pada titik inilah Al-Qur’an akan tetap relevan sepanjang zaman. Oleh sebab itu, untuk memberikan penjelasan yang lebih utuh tentang halal adalah dengan melihat informasi Al-Qur’an yang berkaitan dengan hal-hal yang diharamkan dalam konsumsi. 43 Buku yang berbicara tentang isu ini dan telah menjadi klasik adalah karya Muhammad Yusuf Al-Qaradhawi, Halal dan Haram dalam Islam, terj. Mu’ammal Hamidy, Surabaya: Bina Ilmu, 1980.
Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’kub dalam Disertasinya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Kreteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika Menurut Al-Qur’an dan Hadis, memberikan kreteria-kreteria yang jelas dan lugas tentang mana hal-hal yang boleh dikonsumsi atau digunakan dan mana yang semestinya dihindarkan. Penulis buku tersebut menggunakan kata mi’yar (kreteria). Yang dimaksud dengan miyar (kreteria) adalah suatu sifat atau materi yang dipakai untuk mengetahui hukum sesuatu. Hukum di sini maksudnya adalah hukum secara istilah, yaitu hukum syari’at, seperti halal dan haram. Sedangkat arti sesuatu maksudnya adalah sebuah materi yang dijadikan sebagai bahan pokok untuk makanan, minuman, obat dan kosmetika, bukan berupa pekerjaan.44 Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, penulis akan mengutip kreteria-kreteria yang digunakan oleh Prof. Ali Mustafa Ya’kub. Pertama, thayyib dan khabits. Prof. Ali Mustafa Ya’kub menggunakan dua kreteria ini untuk menentukan satu produk makanan itu disebut halal atau haran. Jika makanan tersebut thayyib (thayyibat) maka makanan tersebut halal. Sebaliknya jika khabits maka makanan tersebut dapat dihukumkan haram. Thayyib didefinisikan sebagai sesuatu yang dirasakan enak oleh indra atau jiwa, atau segala sesuatu selain yang menyakitkan dan menjijikkan.Kata thayyib ternyata banyak disebut dalam Al-Qur’an dengan konteks yang berbeda-beda. Ada kalanya kata halal dikaitkan dengan tanah atau debu untuk keperluan tayamum. Ada pula dalam konteks perhiasan, sifat usaha atau rizki dan bisa juga berhubungan dengan sifat-sifat wanita. Khusus dalam konteks makanan, kita bisa menganalisis QS. Al-Ma’idah ayat 5 dan juga QS. Al-A”raf ayat 157.45 Setelah mencermati ayat-ayat Al-Qur’an, kata tahyyib ternyata mengacu kepada beberaspa makna, 1). sesuatu yang tidak membahayakan tubuh dan akal pikiran. 2). Jika dikaitkan dengan kata halal, maka kata thayyib berarti sesuatu 44 Ali Mustafa Ya’kub, Kreteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika Menurut AlQur’an dan Hadis, Jakarta: Firdaus, 2008, h. 11-41 45 Ibid.,
y a n g su ci, tid a k n a jis d a n tid a k d ih a ra m k a n . 3). K a ta th a y y ib s e s u n g g u h n y a b e r m a k n a h a la l itu se n d iri. S e d a n g k a n k a ta k h a b its ( k h a b a ’is) se c a r a h a rfia h b e r a r ti k e ru sa k a n , k e b u ru k a n a ta u tid a k m e n y e n a n g k a n . K h a b its ju g a b e ra rti n ajis. A d a p u n se c a r a te rm in o lo g i, k h a b its y a n g m e ru p a k a n a n to n im d a ri alth a y y ib a t
p a d a m u la n y a b e r m a k n a se s u a tu y a n g d ip a n d a n g b u r u k o le h b a n g s a
A ra b . A d a p u n se c a r a d e fin it if m a k n a k h a b its a d a la h se su a tu y a n g m e m b a h a y a k a n tu b u h d a n a k a l, tid a k su c i d a n tid a k e n ak . S e g a la se su a tu y a n g m e n g a n d u n g sifa t-s ifa t te rs e b u t, a p a k a h p a d a m a k a n a n , o b a t a ta u a la t k o sm e tik a , h u k u m n y a a d a la h h aram . K ed u a , d h a ra r. K a ta ini, a l-d h a ra r, b e r m a k n a s e s u a tu y a n g tid a k d isu k a i a ta u m e n y a k itk a n . S e d a n g k a n a l-d h u rr b e r a r ti m e n u n ju k k a n s u a tu k o n d isi y a n g b u ru k , m isk in , d a n m e m a y a h k a n tu b u h . A r t i y a n g p o p u le r d a ri a l-d h a r a r a d a la h m u d h a ra t. K a ta in i k e ra p d ite r je m a h k a n d e n g a n b a h a y a . D a la m k a jia n h u k u m Isla m k a ta m u d h a ra t la w a n d a ri m a sla h a t. A d a p u n m a s la h a t itu se n d iri a d a la h a lm a n fa ’at. O le h k a r e n a itu m u d a h d ip a h a m i m e n g a p a A lla h b e r s ifa t a l-n a fi’ d an a l- d h a r r 4 P ro f. A li M u s ta fa Y a ’k u b m e n je la sk a n b a h w a a l-d h a ra r a ta u b a h a y a itu d a p a t d ik la s ifik a s ik a n ke d a la m b e b e r a p a b e n tu k . B a h a y a d a ri se g i te m p a t a d a la h b a h a y a y a n g m e n y a n g k u t a g a m a , jiw a , k e tu ru n a n , h a r ta d a n ak al. S e d a n g k a n d a ri m a te ri y a n g d ik a n d u n g n y a , m a k a b a h a y a itu a d a k a la n y a b e r la n g s u n g d e n g a n c e p a t d a n a d a p u la y a n g la m b a t. A d a ju g a b a h a y a d a ri s isi k e k u a ta n o ra n g y a n g m e n ja la n in y a ;
bahaya
yang
m u tla k
dan
bahaya
yang
n isb i.
Sedangkan
b e r d a s a r k a n sifa tn y a b a h a y a itu a d a y a n g in d e r a w i d a n a d a y a n g m a k n a w i. D a lil y a n g d ik e m u k a k a n u n tu k m e n je la s k a n a l-d h a ra r in i a d a la h Q .S A l-B a q a ra h ;19 5 , Q S. A l- M a ’id a h :3, 3 8 , Q S. A l- Is r a ’ 3 2 ,
33
d a n Q S. A l- A ’ra f:3 i. A d a p u n
d a lil
h a d is n y a a d a la h p e r n y a ta a n N a b i y a n g m e n g a ta k a n , la d h a ra r w a la d h ira r (tid a k b o leh m e m b a h a y a k a n d iri d a n tid a k b o le h m e m b a h a y a k a n o ra n g lain).
46 Ibid., h. 43-59
Ketiga,najasah (najis). Kata ini telah menjadi kata di dalam bahasa Indonesia. Pada dasarnya kata najasah mengandung arti al-qazarah (kotor). Bisa juga diterjemahkan dengan sesuatu yang menjijikkan. Bahkan menurut Ibn Manzur kata ini pada awalnya berarti tinja manusia. Sedangkan secara istilah, kata najis didefinisikan sebagai setiap benda (‘ain) yang haram dikonsumsi secara mutlak dalam keadaan bebas atau normal (tidak dibawah tekanan), mudah dibedakan (komposisinya), dapat digunakan, bukan karena kemuliannya, bukan karena dipandang jijik, juga bukan karena berbahaya pada tubuh dan akal.47 Definisi lain tentang najis dan populer di dalam mazhab Syafi’i adalah, sesuatu yang diharamkan bukan karena kemuliannya, bukan karena dipandang jijik, juga bukan karena mengandung bahaya, menunjukkan atas kenajisannya. Ada juga ulama yang mengatakan najis itu adalah sesuatu yang dipandang jijik dan menghalangi untuk sahnya shalat tanpa ada dispensasi. Dari sinilah, Prof. Ali Mustafa Ya’kub mengatakan bahwa najis itu kreterianya hanya dua (1) dipandang jijik. (2) menghalangi sahnya shalat. Kedua kreteria ini bukan alternatif tetapi saling berkaitan. Artinya sesuatu yang dipandang jijik bisa jadi tidak membatalkan shalat. Sebut saja misalnya, sperma menurut mazhab Syafi’i. Keempat, iskar atau memabukkan. Kata iskar didefinisikan para pakar segala sesuatu yang dapat menghilangkan akal dan kesadaran, baik berupa minuman atau lainnya. Kata yang senada dengan istilah ini adalah mukhaddir (yang menghilangkan kesadaran) dan mufattir (yang melesukan). Sedangkan muskir itu sendiri (yang memabukkan, yang menyebabkan hilangnya akal dan kesadaran).48 Dengan demikian, iskar (memabukkan) merupakan salah satu kreteria yang menentukan keharaman, baik terdapat pada minuman-minuman yang bersifat cairan seperti khamar dan nabidz yang memabukkan, atau pada bendabenda yang padat seperti narkotika dan zat adiktif lainnya.
47 Ibid., 61-102 48 Ibid., h. 105-158
Kelima, Juz Al-Jism Al-Basyari (bagian dari jasad manusia). isu ini masuk dalam wilayah isu kontemporer. Yang dimaksud dengan istilah di atas adalah menjadikan bagian dari jasad manusia sebagai makanan, obat atau alat untuk keperluan sesuatu. Meminjam penjelasan Prof. Ali Ya’kub adalah, menjadikan organ tubuh manusia yang dapat diamnfa’atkan untuk kepentingan pangan, obat, dan kosmetika. Bahkan sebagian orang menjadikan beberapa anggota tubuh manusia untuk keperluan tertentu, seperti pengembangan adonan roti, kesuburan air susu, obat, kecantikan, dan lain sebagainya. Tanpa disadari, pada saat ini kita sesungguhnya telah memasuki suatu zaman, antara manusia yang satu saling memangsa dengan manusia lainnya.49 Menggunakan organ tubuh manusia untuk dikonsumsi atau digunakan apapun bentuknya telah diharamkan oleh Islam. Dalil yang sejatinya menjadi pedoman bagi manusia adalah QS. Al-Isra’70 yang menegaskan tentang kemuliaan manusia. Mulianya manusia bukan karena kita yang memuliakan diri kita sendiri. melainkan Allah SWT yang telah memberikan kemuliaan tersebut.” Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. Al-Isra’70). Pemahaman tentang kreteria ini mutlak penting di saat kita belum memiliki undang-undang Jaminan Produk halal. Setidaknya kreteria tersebut dapat digunakan untuk memilah dan memilih makanan, obat-obatan atau kosmetika yang akan kita makan, gunakan atau kenakan. Kehati-hatian kita terhadap makanan, kosmetika dan obat-obatan mudah-mudahan dapat dijadikan bentuk keta’atan kita terhadap ayat-ayat Allah sebagaimana terdapat di dalam QS. Abasa ayat 26, Hendaklah manusia memperhatikan apa yang dimakannya dan bagaimana memprosesnya.
49 Ibid., 161-169.
3. Hati-Hati Dengan Label Syari’ah Tulisan ini bermula dari laporan mahasiswa saya di Program Studi Ekonomi Islam Fak. Syari’ah IAIN.SU Medan di dalam mata kuliah Akhlak Tasawuf dan Etika Bisnis Islam. Salah satu tugas mereka adalah melakukan observasi
dan wawancara terhadap
lembaga-lembaga bisnis
baik yang
mengusung label syari’ah ataupun yang konvensional. Adapun fokus wawancara mereka adalah berkaitan dengan pelayanan, sistem operasional, gaji dan hal-hal yang dapat dijangkau dengan wawancara yang tidak terstruktur. Saya tentu saja tidak mensyaratkan perangkat metode penelitian yang ketat. Kegiatan ini dapat dikatakan
sebagai
langkah
awal
untuk
lebih
memahami
bagaimana
sesungguhnya etika bisnis yang ditampilkan oleh lembaga-lembaga yang mengusung label syari’ah tersebut. Adapun lembaga-lembaga yang diobservasi adalah bank Syari’ah dengan bank Konvensional, asuransi Syari’ah dengan asuransi konvensional, MLM syari’ah dengan MLM konvensional, Swalayan Syari’ah dengan Swalayan konvensional. Mereka saya persyaratakan untuk mendeskripsikan tidak saja materi wawancara tetapi juga suasanan yang mereka rasakan dan interaksi yang mereka lihat sepanjang observasi berlangsung. Jika mungkin mereka juga dianjurkan untuk melengkapi informasinya dengan foto-foto. Tampaknya tampilan etika pelayanan terhadap nasabah atau pelanggan di setiap lembaga bisnis syari’ah itu bertingkat. Pelayanan yang diberikan oleh lembaga perbankan syari’ah jauh lebih baik diberikan karyawannya dibanding dengan lembaga syari’ah lainnya seperti hotel, asuransi dan MLM. Pelayanan yang terjelek ternyata ditampilkan oleh Rumah sakit yang mengusung simbolsimbol Islam. Kendati demikian jika dibanding dengan lembaga bisnis konvensional, lembaga bisnis syari’ah tampaknya masih perlu berbenah diri dan meningkatkan “tampilan syari’ahnya”. Saya akan memberikan contoh sederhana. Mahasiswa bercerita di salah satu perbankan konvensional, mereka disambut oleh satpamnya dengan ramah,
kemudian dipersilahkan duduk dan ditanya tentang apa yang bisa dibantu sang karyawan. Menariknya karyawan tersebut dengan sabar menjawab pertanyaan mahasiswa. Mahasiswa mendapatkan kesan positif ketika berada di perbankan konvensional. Ketika berada di lembaga perbankan syari’ah, mereka juga diperlakukan relatif sama. Yang membuat mahasiswa tersebut tidak simpatik adalah, pada saat HP berdering, karyawan tersebut langsung menyambut dan seterusnya berbicara dan tertawa tanpa peduli dengan orang yang di depannya. Pada hal pembicaraan yang mereka lakukan belum selesai. Ini adalah contoh kecil, standar pelayanan syari’ah belum ditampilkan karyawan dengan cara yang mengesankan. Sebenarnya, karyawan bisa saja berkata, “mohon maaf dek sebentar ya, saya terima telephon dulu ?”. Jika itu masalah bisnis, ia bisa sambut pembicaraan tersebut. Jika masalah pribadi, karyawan bisa tunda sampai waktu istirahat. Namun ini sama sekali tidak tampak. Lain lagi suasana yang mereka rasakan di asuransi yang berlabel syari’ah. Pagi-pagi sekali, mereka sudah dicurigai seolah-olah akan melakukan analisis dan pemeriksaan. Sikap yang tidak simpatik sangat dirasakan oleh mahasiswa. Pertanyaan mereka dijawab seadanya saja. Tidak ada senyum dan sapa. Beda halnya ketika mereka berada di asuransi konvensional. Mereka disambut dan dihantar kebagian marketing. Dialogpun berlangsung dengan hangat. Yang membuat saya terkejut -menurut laporan mahasiswa - ketika hendak pulang, mereka bahkan diantar sampai ke pintu sembari karyawannya berkata, sampai ketemu lagi di lain waktu. Kondisi yang tidak kalah mengejutkan adalah ketika mereka berada di MLM yang juga mengusung label syari’ah. Suasana keramahan sangat tidak terasa. Seolah-olah mereka hanya akan melayani orang-orang yang hanya menjadi mitra atau leadernya saja. Sedangkan “orang-orang baru” yang sekedar bertanya, tidak direspon dengan baik. Suasana yang mereka rasakan sangat tidak dinamis. Berbeda halnya ketika mereka di MLM konvensional. Penyambutan dan pelayanan yang diberikan sangat bersahabat. Mahasiswa merasakan aura dinamis
dan optimis yang melekat pada orang-orang yang berada di dalam ruangan tersebut. Pada hal di dalam bisnis MLM, bukan hanya memasarkan produk tetapi para leader atau distributornya harus mampu memasarkan dirinya secara simpatik bahkan menjadi teladan bagi orang lain. Demikian juga halnya di swalan syari’ah. Sepertinya swalayan syari’ah belum memiliki SOP terhadap pelayanan konsumen atau calon konsumen. Laporan yang diberikan mahasiswa tertangkap kesan, di swalayan syari’ah mereka tidak menemukan sesuatu yang spesifik yang mendungkung ke syari’ahan tersebut. Kalaupun ada masih sebatas artifisial seperti informasi waktu shalat. Tampilan SPG-nya juga kurang bersahabat. Standar pelayanan sederhana 5S tidak dijalankan dengan baik. Pada hal di dalam Islam, senyum itu sedekah. Sedangkan di konvensional, SOP pelayanan costumer begitu terasa. Misalnya, konsep 5S benar-benar dijalankan oleh SPG-nya. Mereka melayani pelanggannya dengan berdiri, menawarkan produk, menjelaskan dan mendemokan produk dimaksud. Pada bagian akhir, apakah pembeli tertarik atau tidak, mereka tetap menawarkan produk yang lain. Sedangkan kondisi di hotel syari’ah suasanannya tentu lebih baik. Konsep syari’ah kendati ditekankan pada aspek normatif Islam, seperti tidak boleh membawa pasangan yang bukan mahram, tidak adanya minuman keras dan tempat hiburan malam, hal ini jauh lebih baik di banding dengan hotel yang tidak mengusung label syari’ah. Bagi hotel konvensional, yang paling penting adalah
tidak ada keributan atau kegaduhan di dalam hotel. Jika semua
berlangsung aman, mereka tidak perduli dengan siapa yang di bawa ke dalam kamar hotel. Hanya saja, kritik yang diberikan mahasiswa, konsep 5S (senyum, salam, sapa, sopan dan santun) belum dijalankan oleh karyawan-karyawan di bagian receptionis hotel syari’ah. Kondisi yang paling parah tampak di RS yang mengusung label Islam . Mahasiswa
membandingkannya
dengan
salah
satu
RS yang jelas-jelas
mengusung label agama tertentu. Hal ini terlihat tidak saja dari namanya tetapi
juga simbol-simbol yang ada di dalam ruangan tersebut. Namun apa yang mereka rasakan. Pelayanan yang diberikan benar-benar menjunjung tinggi nilainilai universal. Mulai dari SATPAM, pancaran cinta kasih sudah terasa. Mereka disambut, di layani dan ditanyakan maksudnya. Suasananya bertolak belakang ketika mereka berada di RS yang mengusung label Islam. Mahasiswa merasakan sambutan yang kurang bersahabat,cuek dan tidak hangat. Ironisnya, ketiak mahasiswa bertanya kepada pasien, jawaban yang diberikan cukup menyesakkan dada. Ada pasien yang ditelantarkan. Bahkan ada pula yang tidak dilayani sebelum mendapatkan surat keterangan dari Bupati. Tentu banyak lagi info yang membuat kita miris melihat RS yang mengusung label Islam tersebut. Contoh-contoh di atas tentu saja terkesan sangat sederhana. Gambaran di atas tidak serta merta membuat kita sampai pada kesimpulan bahwa Syari’ah telah dimanfaatkan hanya untuk kepentingan pasar semata. Tidak juga membuat kita segera menyimpulkan bahwa lembaga pengusung label syari’ah ternyata tidak syari’ah. Banyak aspek dan indikator lain yang perlu dikaji, misalnya sistem operasionalnya, model penggajian dan hak-hak karyawan, relasi karyawan dan pemimpin dan sebagainya. Namun setidaknya, info di atas menunjukkan bahwa banyak hal yang harus dibenahi. Kita tidak bisa berkata, bukankah hal-hal di atas sebagai persoalan sepele dan nilainya kecil. Namun harus diingat, orang jatuh bukan karena batu yang besar tetapi karena kerikil yang kecil. Dari laporan yang diberikan mahasiswa tersebut ada beberapa catatan yang bagi saya cukup menarik untuk dikedepankan. Pertama, konsep syari’ah yang dipahami lembaga bisnis tersebut
masih terkesan parsial. Tidak kaffah
(total), syumul (serba melingkupi) dan komprehensif. Kedua, syari’ah tampaknya lebih dijadikan sebagai merek atau brand perusahaan.
Syari’ah belum
sepenuhnya menjadi spirit atau ruh dari
lembaga bisnis
organisasi atau
tersebut. Ketiga, pembinaan aspek-aspek emotional dan spiritual karyawan tampaknya diabaikan oleh pimpinan dan seolah dianggap hal yang tidak berhubungan dengan perusahaan.
Keempat, tampaknya kita juga belum
memiliki SOP pelayanan syar’i. Inilah yang sejatinya harus dirumuskan oleh pakar-pakar ekonomi syari’ah. Jika hal-hal yang kelihatannya sederhana di atas tidak segera dibenahi, keberadaan lembaga-lembaga pengusung label syari’ah, hanya akan membuat citra Islam semakin terpuruk. Lembaga-lembaga bisnis syari’ah harus sadar, bahwa salah satu fungsi mereka adalah da’wah bi al-hal (da’wah dengan tindaktanduk yang nyata). Mereka menjadi cover dari Islam itu sendiri. Jika penampilan dan pelayanan yang diberikan tidak baik, tidak profesional, maka orang akan menjadi mudah untuk menstigma Islam. Sejatinya, mereka harus tunjukkan bahwa
Islam
mengajarkan
umatnya
untuk
menjadi
profesional
dalam
menjalankan tugas apapun. Setelah mahasiswa mempresentasekan laporan observasinya, saya betulbetul tercengang. Sebelumnya saya juga pernah mendengar betapa kurang baiknya pelayanan yang diberikan lembaga-lembaga pengusung label syari’ah. Sangat tidak profesional dan juga kurang islami. Namun ketika mahasiswa memberikan laporannya langsung dari lapangan, saya menjadi yakin ada persoalan besar yang harus segera kita selesaikan. Menjadi tanggungjawab pemimpin perusahaan untuk membenahi segala macam hal yang berkaitan dengan pelayanan dan juga sistem operasional perusahaan. Benar bahwa beban syari’ah akan terasa lebih berat. Dan saya kira itu sudah disadari ketika kita berkomitmen untuk mengusung label syari’ah itu. Saya tersentak kembali ketika menyadari bahwa saya juga berada di lembaga pendidikan agama. Apa yang dirasakan orang lain ketika berurusan dengan IAIN.SU. Bagaimana jika ada orang luar yang mengobservasi pelayanan di IAIN.SU. Jangan-jangan hasilnya lebih buruk lagi. Bukankah banyak mahasiswa yang mengeluh dengan model pelayanan birokrasi dan akademiki di IAIN.SU. Jika ditarik lebih luas lagi. Apa yang dirasakan masyarakat ketika berurusan dengan Kementerian Agama yang nota bene diisi oleh orang-orang yang mengerti agama. Misalnya ketiak mengurus haji. Jangan-jangan hasilnya
sangat mengecewakan. Jangan salahkan jika ada yang berpendapat bahwa orangorang yang mengurusi lembaga yang mengusung nama agama memang tidak profesional. Saya kira sudah saatnya kita yang berada di lembaga-lembaga yang mengusung simbol agama apapun namanya, apakah lembaga bisnis, pendidikan dan institusi pemerintahan, untuk memperbaiki diri dan pelayanan kita kepada masyarakat. Adalah sesuatu yang ironis, jika kita termasuk orang-orang yang merendahkan nilai-nilai Islam itu sendiri. Jika teroris kita tuduh telah membuat stigma Islam menjadi agama kekerasan, jangan-jangan kita juga berkontribusi terhadap stigma Islam sebagai agama yang tidak kompatibel dengan nilai-nilai manajemen modern. Wallahu a’lam bi al-shawab.
4. Mewaspadai Investasi “Maghrib” Dalam konteks Ekonomi Islam, pada umumnya seluruh aktivitas bisnis diperbolehkan sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya. Dalam kaedah fikih disebutkan, al-aslu fi al-mu’amalat al-ibahat hatta yadulla al-dalil ‘ala tahrimihi. Kaedah ini menjadi niscaya karena bisnis sesungguhnya adalah aktivitas yang membutuhkan kreatifitas. Dengan kata lain, bisnis membutuhkan inovasi-inovasi baru untuk menghindarkan kejenuhan pasar. Tanpa inovasi dan kreatifitas, bisnis diduga kuat akan mengalami kehancuran. Setidaknya bisnis itu akan mengalami kelesuan lalu secara perlahan-perlahan mengalami kematian. Tentu saja ajaran Ekonomi Islam sangat mendorong kreatifitas dan inovasi dalam bisnis. Islam tidak mengatur bagaimana bentuk inovasi tersebut diwujudkan. Islam hanya memberikan batasan-batasan berkaitan dengan aktivitas bisnis yang harus dihindarkan. Bisnis Islam mengajarkan norma-norma yang harus dipatuhi. Dalam berbagai referensi ekonomi Islam, bisnis yang dilarang adalah bisnis yang di dalam aktivitasnya mengandung unsur “Maghrib”. Maghrib itu sendiri adalah singkatan dari, Maisir, Gharar, Riba dan Batil. Ada juga yang menambahkan kreteria lain seperti zalim. Namun menurut hemat
penulis, inti dari “maghrib” itu adalah kezaliman. Mengapa maghrib di larang ? Jawabnya karena menimbulkan kezaliman. Untuk lebih jelasnya, penulis akan mengurai satu persatu makna maghrib tersebut. Pertama, maisir. Kata maisir dalam bahasa Arab berarti memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Judi dilarang terlepas apakah seseorang terlibat secara penuh atau berperan sedikit. Di samping judi dikenal juga istilah azlam yang juga bermakna peraktek perjudian. Biasanya azlam digunakan untuk menyebut peraktek perjudian yang menggunakan berbagai macam bentuk taruhan, undian atau lotere. Larangan kedua bentuk peraktek perjudian ini disebabkan karena seseorang akan mendapatkan uang yang diperoleh dari untung-untungan, spekulasi, ramalan atau terkaan. Dan sekali lagi bukan di dapat dari sebuah kerja yang riil. Allah SWT telah melarang perjudian dengan larangan yang cukup tegas dan keras. Bahkan syari'at memposisikan harta yang diperoleh dari perjudian sebagai harta yang bukan termasuk hak milik. Di dalam surah al-maidah Allah SWT berfirman, Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, perjudian, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Kedua, Riba. Riba secara bahasa bermakna bertambah (al-ziyadah), dan tumbuh. Sedangkan menurut istilah riba yang dalam bahasa Inggris disebut dengan usury berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Kendati para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan riba, namun ada benang merah yang menghubungkannya yaitu, pengambilan tambahan dalam transaksi jual beli atau hutang piutang secara batil atau bertentangan dengan prinsip mu’amalat Islam. Ulama telah sepakat bahwa riba hukumya haram. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa ayat al-Qur’an dan hadis nabi Muhammad SAW. Diantaranya terdapat
pada surah al-Baqarah /2; 278, 279 dan ali- Imran
/3^30. Sebenarnya dalam
agama selain Islampun khususnya agama samawi, riba tetap dilarang. Dalam bentuk modern, wajah riba tampak pada bunga bank. Fatwa MUI sesungguhnya telah menghentikan polemik apakah riba sama dengan bunga bank. Sejatinya, kehadiran bank syari’ah, lepas dari kekurangannya, cukup membuat kita hanya focus membesarkan bank syari’ah agar dapat menjadi tuan di rumahnya sendiri. Kita harus mendorong aroma kapitalis dan konvensional, secara perlahan namun pasti bisa kita hilangkan dari bank syari’ah, sehingga resistensi umat bisa diminimalisasikan. Satu hal yang penting diingat, riba terlarang karena dampaknya yang menimbulkan kemudharatan dan kemafsadatan umat. Ketiga, Al-Gharar. Al-gharar di dalam bahasa Arab bermakna akibat, bencana, bahaya, resiko dan sebagainya. Di dalam kontrak bisnis, gharar berarti melakukan sesuatu secara membabibuta tanpa pengetahuan yang mencukupi; atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis apa akibatnya atau memasuki resiko tanpa mengetahui apa konsekuensinya. Al-gharar(resiko atau uncertainty) menurut Ibn Taimiyyah adalah, things with unknown fate, akibatnya transaksi tersebut menjadi selling such things is maysir or gambling. Senada dengan ungkapan tersebut, Ibn Qayyim juga menyatakan bahwa gharar adalah kemungkinan ada dan tidak ada. Jual beli yang seperti ini dilarang karena mengandung unsur judi (maysir). Jika dianalisis,
bisnis pada hakikatnya adalah keberanian untuk
menempuh suatu resiko. Resiko malah menjadi sebuah keniscayaan sehingga dalam bisnis dikenal istilah, no risk, no return. Yang menjadi persoalan adalah apakah setiap resiko disamakan dengan uncertainty (ketidakpastian). Sampai disini agaknya perlu kembali mendefinisikan pengertian resiko yang disamakan dengan gharar. Dengan mengutip analisis yang diberikan oleh Van Deer Heidjen (1996), Iggi A Achsien membagi uncertainty itu dalam makna ketidakpastian ke dalam tiga bentuk. Pertama adalah risk, memiliki preseden historis dan dapat
dilakukan estimasi probabilitas untuk tiap hasil yang mungkin muncul. Kedua, structural uncertainty adalah kemungkinan terjadinya suatu hasil bersifat unik, tidak memiliki preseden di masa lalu, tetapi terjadi dengan logika kausalitas. Ketiga,
unknowables menunjuk kejadian yang secara ekstrem kemunculannya
tidak terbayangkan sebelumnya. Dengan demikian kasus gharar sebenarnya banyak terjadi pada yang terakhir, unknowables. Secara sederhana, gharar timbul karena dua sebab. Pertama, kurangnya informasi atau pengetahuan (jahala, ignorance) pada pihak yang melakukan kontrak. Jahala ini menyebabkan tidak dimilikinya kontrol skill pada pihak yang melakukan transaksi. Kedua, karena tidak adanya (non exist) obyek. Kedua bentuk inilah yang disebut dengan gharar.
Dalam bisnis MLM yang objek
transaksinya tidak ril, potensi gharar sangat besar. Sebenarnya bisnis seperti ini tidak dapat disebut dengan MLM, tetapi lebih tepat disebut dengan money game. Sedangkan batal atau batil adalah aktivitas yang tidak sah. Aktivitas yang tidak memenuhi ketentuan syari’at, seperti tidak terpenuhi rukun dan syaratnya. Namun perlu dicatat, batal di dalam Al-Qur’an mengandung arti yang sangat komplek kendati lafaznya simple. Dalam ilmu balaghah kata batil ini disebut dengan al-‘ijaz. Kata ini mengandung arti
penyimpangan, ketidakjujuran,
keserakahan, kecurangan, kebohongan dalam aktivitas ekonomi. Abu Su’ud seorang mufassir klasik menyebut batil dengan, sa’iru al-wujuh al-muharramah. Jika disederhanakan, indikasi maghrib dapat terlihat jika: Pertama, bisnis tersebut menjanjikan keuntungan yang berlipat-lipat dalam waktu yang singkat. Pengelola akan menawarkan kisaran keuntungan antara 30%-40% jauh melampaui keuntungan yang diberikan oleh Bank atau lembaga keuangan lainnya. Kedua, Bisnis tersebut mewajibkan anggotanya untuk mencari investor baru. Pada sisi ini bisnis tersebut memiliki kemiripan dengan bisnis MLM (multi level marketing). Ketiga, Bisnis tersebut mensyaratkan dana yang diinvestasikan tidak boleh diambil untuk jangka waktu tertentu.
Jika tiga indikasi tersebut ditemukan dalam sebuah aktivitas bisnis, maka peraktik tersebut patut untuk dicurigai. Tidak ada keraguan untuk mengatakan, bahwa bisnis seperti itu mengandung unsur maghrib. Sebenarnya di samping “maghrib” ada beberapa bentuk transaksi yang dilarang oleh syari’at. Namun setidaknya, apa yang disebut di atas sebenarnya sudah cukup untuk mengidentifikasi satu bentuk transaksi bisnis. Jika maisir dan riba adalah bentuk transaksi yang amat mudah diidentifikasi, namun gharar dan batil agak sulit untuk mengidentifikasinya. Sulitnya mengidentifikasi gharar ini membuat banyak orang yang terkecoh. “Investasi bodong” atau “investasi abal-abal” seperti yang terjadi pada “KLB” dan sejenisnya adalah satu bukti betapa mudahnya masyarakat tertipu. Jika tidak diamati dengan cermat, bisnis-bisnis investasi bodong yang menawarkan keuntungan berlipat akan terasa sangat logis. Tegasnya masuk akal dan menggiurkan. Akibatnya, masyarakat tidak perlu berpikir panjang untuk menginvestasikan dananya. Namun jika diteliti, jelas di dalamnya ada gharar. Di dalam ekonomi syari’ah, ditegaskan bahwa transaksi bisnis haruslah didasarkan pada transaksi ril. Objeknya harus jelas dari hulu sampai hilirnya. Objek ril itu bukan rekayasa atau sampul muka. Harus diwaspadai, banyak aktivitas bisnis yang di luarnya menggunakan transaksi ril namun hakikatnya tidak demikian. Hal ini umumnya dilakukan untuk mengelabui masyarakat. Menarik untuk dicermati, pada saat Allah Swt. menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, sesungguhnya ayat tersebut mengandung arti bahwa Allah menghalalkan aktivitas bisnis yang ril dan menolak segala bentuk transaksi yang tidak ril. Riba itu hakikatnya adalah transaski yang tidak berbasis pada objek. Sesungguhnya banyak contoh aktivitas bisnis yang tidak berlandaskan syari’ah cepat atau lambat akan mengalami kehancuran. Sayangnya, manusia tidak secepatnya sadar untuk segera meninggalkan bisnis yang jauh dari nilai-nilai syari’ah. Moga pelajaran yang begitu terang di depan mata, menyadarkan kita untuk segera memastikan bisnis yang kita lakukan adalah bisnis yang sesuai
dengan nilai-nilai syari’ah. Ekonomi Rabbani (ekonomi syari’ah, ekonomi Tuhan) jika dilaksanakan dengan penuh ketulusan dipastikan tidak akan menimbulkan kemudharatan dalam kehidupan. Sebaliknya, bisnis tersebut akan membawa kemaslahatan, keadilan dan kebersamaan. Semoga.
Bagian Kedua Ekonomi Islam, Sistem Ilahiyyah Yang Syumul
Bab Satu Ekonomi Islam: Pencarian yang Belum Selesai 1. Hakikat Ekonomi Islam Di antara banyak kesalahahpahaman yang terjadi dikalangan masyarakat Islam adalah mengidentikkan ekonomi Islam (ekonomi Syari’ah) dengan perbankan Syari’ah (Islam). Pada hal Perbankan Syari’ah itu sendiri merupakan bagian terkecil dari sistem ekonomi Islam yang sangat luas. Impilkasinya adalah, ekonomi Islam hanya dilihat dari segi peraktik perbankan semata khususnya berkenaan dengan perilaku bankir dan karyawan serta sistem yang diterapkan. Jika masyarakat menemukan praktik yang menurut mereka tidak islami, walaupun hal ini belum tentu benar, maka yang dihujat dan dicibir adalah ekonomi Islam itu sendiri. Menjadikan Perbankan Syari’ah sebagai representase dari ekonomi Islam itu sendiri sesungguhnya sangat bahaya. Bagaimanapun juga bank pada umumnya merupakan institusi bisnis sama dengan institusi bisnis lainnya. Pasang-surut, bangkit, berkembang, bangkerut dan runtuh, sangat mungkin terjadi. Bisa jadi karena resesi global, human error, salah urus dan sebagainya. Jika bank syari’ah karena satu dan lain alasan runtuh (pada sebagian BPRS hal ini sudah terjadi), apakah itu berarti ekonomi Islam juga mengalami keruntuhan ? Sejatinya tidak.
Namun
jika
pemahaman
masyarakat
belum
berubah,
kekhawatiran tersebut sangat mungkin terjadi. Berangkat dari realitas itulah, mengembalikan makna ekonomi Islam kepada
khittahnya
sebagai
bagian
dari
sistem
ilahiyah
yang
syumul
(komprehensif) dan sempurna (kamil) menjadi sebuah keniscayaan. Penyebutan ekonomi Islam setidaknya mengacu kepada empat bentuk pemahaman. Pertama, ekonomi Islam sebagai bagian dari fiqh Mu’amalat. Di dalam fikih Mu’amalat isu-isu yang akan dikaji adalah bisnis dan hukum kontrak. Ketika kita membuka bab fiqh al-mu’amalat tampak pembahasan yang pertama muncul adalah nazhriyat al-‘aqad (teori-teori akad), al-buyu’ (jual beli) dengan
segala bentuk dan variasinya, al-ijarah (sewa menyewa), al-musyawarakah, alhiwalah, al-mudharabah, al-rahn dan sebagainya. Isu-isu inilah yang telah diajarkan puluhan bahkan ratusan tahun lalu di fakultas-fakultas Syari’ah di seluruh dunia. Sayangnya topik-topik di atas sangat didominasi oleh pendekatan fikih (hukum).1 Kedua, Ekonomi Islam sebagai ilmu ekonomi pada umumnya. Sebagai sebuah ilmu yang berdiri sendiri, ekonomi Islam bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Tentu ekonomi Islam memiliki bidang-bidang kajiannya seperti ekonomi makro Islam (i) dan ekonomi Makro Islam (i). Adapun yang termasuk bagian ekonomi makro adalah masalah moneter, internasional,
isu-isu
pembangunan
perdagangan dan hubungan
(ekonomi
pembangunan)
dan
lain
sebagainya. Di bagian yang disebut terakhir ini masih terdapat berbagai cabang lainnya seperti masalah-masalah pengentasan kemiskinan, pengangguran dan isu-isu pembangunan lainnya. Adapun dari sisi mikronya yang termasuk bagian dari ekonomi Islam adalah prilaku konsumsi, persaingan, bisnis, biaya, keuangan publik, dan isu-isu mikro lainnya. Ketiga, ekonomi Islam hanya dilihat dari sisi norma atau etika. Dengan kata lain, ekonomi Islam hanyalah memuat nilai-nilai atau filosofi-filosofi yang dikembangkan dari Al-Qur’an.2 Misalnya tentang kedudukan manusia sebagai khalifah dan konsekuensinya dalam mengelolaan sumber daya alam. Masalah kebutuhan manusia terhadap harta. Dalam konteks larangan, pada bagian ini akan diperbincangkan hal-hal yang berkaitan dengan larangan riba, larangan 1 Disebabkan kuatnya pendekatan fikih dalam kajian Mua’amalat membuat konstruk pemikiran di kalangan sarjana Islam bahwa Mu’amalat identik dengan hukum bisnis. Fiqh Mu’amalat sesungguhnya tidak hanya menyangkut hukum bisnis tetapi juga berkaitan erat dengan ekonomi. Ada sedikit kesulitan jika kita mengeluarkan ekonomi Islam dari lingkup mu’amalat. Lalu cantolan atau induk ekonomi Islam ini ke mana ? Seminar dan Workshop yang dilakukan Prodi Ekonomi Islam baru-baru ini tetap saja memperdebatkan rumah ekonomi Islam, apakah di Mu’amalat atau berdiri sendiri. Tentu saja masalah ini perlu terus menerus dipikirkan sehingga bertemu dengan pemikiran konsepsional yang teruji. 2 Dalam konteks ini, sebuah buku yang menarik untuk dikaji adalah, Amiur Nuruddin, Dari Mana Sumber Hartamu?” Renungan tentang Bisnis Islam dan Ekonomi Syariaj (Jakarta: Airlangga, 2010). Buku ini memuat kajian tentang norma dan filsafat ekonomi Islam yang dikonstruksi melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis.
mengurangi timbangan, memberi infaq dan sadaqah, kewajiban membayar zakat dan lainnya. Tema-tema ini memiliki landasn nash yang jelas di dalam Al-Qur’an. Berangkat dari perspektif yang ketiga ini, seolah-olah ketika bicara tentang ekonomi Islam sama artinya berbicara tentang apa yang boleh dan apa yang terlarang. Keempat, ekonomi Islam hanya dilihat dari kelembagaan atau industri, seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pegadaian syari’ah, hotel syari’ah dan industri lainnya. Bahkan belakangan ini isu-isu ekonomi Islam yang dipandang penting dan perlu mendapat perhatian yang lebih luas lagi adalah berkaitan dengan citizen finance, lembaga keuangan mikro seperti BMT, Koperasi Syari’ah, yang mulai menunjukkan geliatnya sedemikian rupa. Bahkan beberapa kasus di Jawa, keberadaan BMT yang dikelola Pinbuk lebih dapat diterima dibanding dengan BPRS itu sendiri.3 Dari penjelasan sederhana di atas, jelas terlihat bahwa ekonomi Islam itu sebenarnya sangat luas. Tampak juga bahwa perbankan syari’ah hanyalah sub dari sebuah sistem ekonomi yang besar. Begitu besarnya, hampir tidak ada persoalan kehidupan ini yang tidak bersentuhan dengan masalah ekonomi. Sekali lagi, adalah keliru jika ada yang menyempitkan makna ekonomi Islam hanya berhubungan dengan industri keuangan seperti perbankan. Di antara hal yang perlu kita luruskan berkaitan dengan munculnya kesan, berekonomi Islam dimaknakan dengan berinteraksi dengan perbankan syari’ah, menjadi nasabah apakah sebagai shahib al-mal (penabung) atau sebagai mudharib (pihak ketiga). Pada hal terlibat di dalam ekonomi Islam tidak bisa dibuktikan dengan ATM salah satu bank syari’ah. Walaupun berinteraksi dengan lembaga perbankan syari’ah tetap niscaya namun tidak boleh dijadikan satusatunya ukuran. Lebih parah lagi, jika ada yang mendefinisikan berekonomi 3 Berturut-turut sejak tahun 2006 sampai 2007 Gatra menurunkan edisi khusus lebaran yang memuat tentang perkembangan ekonomi Syari’ah di Indonesia dari segala segi. Lebih luas lihat, tahun 2006 dengan judul, Spirit Ekonomi Islam dan pada tahun 2007, Booming Bisnis Syari’ah. Menariknya laporan ini tidak saja memuat institusi bisnis yang berkembang tetapi juga memuat tentang tokoh atau pengusaha yang berhasil.
Islam sama dengan menggunakan produk yang di buat oleh orang Islam, berbelanja di warung atau super market milik orang Islam dan selainnya menjadi terlarang. Pada hal berekonomi syari’ah menghendaki maknanya yang utuh dan komprehensif (kaffah). Aktivitas ekonomi kita sehari-hari sejatinya harus dilihat sebagai bagian dari aktivitas ekonomi yang harus sesuai dengan konsep ekonomi Islam. Bagaimana pola konsumsi yang kita terapkan baik dalam kehidupan pribadi atau berumahtangga (ekonomi rumah tangga), haruslah berdasarkan syari’ah. Bagaimana kita memanfa’atkan sumber daya yang ada pada kita, apakah sudah sesuai dengan ekonomi Islam atau belum. Demikian juga halnya ketika kita membayar zakat, mendayagunakannya, sejatinya adalah bagian dari peraktik ekonomi Islam. Demikian pula halnya dengan peraktik wakaf juga harus dilihat sebagai bagian dari aktivitas ekonomi. Lepas dari semua itu, kekeliruan yang disebut di atas, tidaklah sematamata disebabkan kesalahan masyarakat. Sepertinya, penyebab munculnya kekeliruan itu didasarkan atas sikap sebagian ulama kita, ustaz dan da’i yang ketika menjelaskan Islam cenderung masih terpecah-pecah. Lebih parah dari itu, dimensi ibadah lebih kuat dibanding dari sisi mu’amalahnya. Dengan kata lain, Islam hanya dijelaskan dari dimensi ibadah semata dan tidak berkaitan sama sekali dengan persoalan mu’amalat apa lagi politik, sosial dan budaya. Beban ini juga harus dipikul perguruan tinggi Agama Islam itu sendiri. Bagaimana mungkin dalam waktu yang relative panjang, ternyata Islam telah dijelaskan, dikaji dan dibahas tidak secara komprehensif. Islam masih dipahami parsial dan terpilah-pilah. Islam tidak diuraikan sebagai sebuah konsep universal. Pada hal kata al-Jamiah sebagai arti dari Universitas sudah lama dikenal. Hal itu seharusnya menjadi bukti universal keilmuan Islam. Setelah
kita
memperbincangkan
makna
ekonomi
Islam,
diskusi
berikutnya adalah berkaitan dengan ketahanan ekonomi masyarakat. Sebelum berbicara tentang ketahanan ekonomi masyarakat, satu pertanyaan mendasar
penting untuk diajukan. Apakah ekonomi Islam dapat bertahan dari gempuran krisis keuangan global. Tahun 2008 kendati menjadi tahun krisis dalam perjalanan ekonomi dunia, namun bagi ekonomi Islam, tahun itu memiliki makna tersendiri. Masyarakat dunia semakin yakin, bahwa ekonomi Islam memiliki ketahanan terhadap gempuran krisis global. Mengapa bisa terjadi ? jawabnya bisa dilihat dari tiga perspektif. Pertama, Ekonomi Islam menolak sistem bunga dari segala bentuk transaksi keuangan. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa salah satu penyebab krisis keuangan global (termasuk di Amerika) adalah adanya kebijakan tingkat suku bunga yang rendah. Islam menawarkan sistem yang lebih rasional untuk mengganti sistem yang menindas (riba). Kedua, dalam kebijakan fiskal aktifitas yang dilakukan harus mendukung aktivitas riil domestik. Ekonomi Islam sangat menolak apa yang disebut dengan ekonomi balon. Ketiga, dalam kebijakan moneter yaitu pasar kuangan, baik pasar uang dan pasar modal harus dijalankan sesuai dengan sistem ekonomi Islam.4 Secara sederhana, aktivitas ekonomi akan hancur jika norma dan etika dilanggar. Setidaknya ada beberapa norma dasar yang sejatinya harus dihindari. Larangan tersebut terangkum di dalam kata yang populer; “Maghrib” yang sebenarnya merupakan kepanjangan dari Maisir (Judi), Gharar (ketidakjelasan, kabur), Riba dan Batil. Kehancuran ekonomi dunia termasuk di negara ini sebenarnya karena praktik-praktik Maghrib. Jujur harus diakui, kapitalisme dengan segala derivasinya, telah mendorong praktik ekonomi terlarang di atas harus dilakukan oleh pelaku bisnis. Akibatnya, krisis ekonomi menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Jika ekonomi Islam mampu bertahan terhadap gempuran krisis ekonomi global, itu juga mengandung makna bahwa ekonomi Islam mampu memberi ketahanan ekonomi terhadap masyarakat. Untuk mencapai kondisi ideal ini, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, karena ekonomi itu
4 Lebih lanjut lihat, Hendro Wibowo, “Ketahanan Ekonomi Syari’ah Terhadap dalam SEBI.
Krisis Global”
merupakan sebuah sistem, maka sistem ekonomi itu haruslah berlandaskan syari’ah. Kehidupan ekonomi harus berlangsung secara adil, khususnya yang berhubungan dengan struktural. Struktur yang tidak adil, timpang dan menindas, membuat peraktik ekonomi Syari’ah akan sulit untuk tumbuh dan berkembang. Kedua, masyarakat sejatinya memiliki kesadaran yang mendalam terhadap syari’ah dengan segala aspek dan dimensinya.
Harus disadari,
kesadaran masyarakat Islam terhadap ekonomi syari’ah masih sangat rendah dibanding dengan kesadarannya terhadap ibadah dan aspek Islam lainnya. Lepas dari itu semua, hal yang paling penting kita lakukan saat ini adalah membangun kesadaran masyarakat tentang eksistensi ekonomi Syari’ah. Terus terang saja, masih banyak umat Islam yang merasa asing dengan ekonomi syari’ah. Oleh karena itulah, kita tidak boleh berhenti untuk terus menerus melakukan sosialisasi, pencerahan dan membangun kesadaran umat Islam tentang pentingnya berekonomi secara syari’ah. Jika kesadaran kita sebagai umat telah terbangun, maka tidak diragukan lagi, ekonomi Syari’ah dalam maknanya yang luas akan bertumbuh dan berkembang. Sudah barang tentu kehidupan ekonomi masyarakat akan semakin baik. Insya Allah.
2. QUEST WAJAH EKONOMI ISLAM Perdebatan tentang Ekonomi Islam ini pernah muncul pada tahun 70-an. Pada waktu itu terjadi sebuah perdebatan yang cukup menarik antara eksponen Ekonomi Islam yang diwakili oleh M.A. Mannan dengan orang-orang yang meragukan keberadaan ekonomi Islam. Perdebatan tersebut sebenarnya lebih bersifat metodologik yang terkonsentrasi pada tiga persoalan pokok seperti yang terlihat dalam karya M. A Manna yang berjudul, Islamic Economics, Theory and Practice,. Pertama, Apakah Ilmu Ekonomi Islam itu suatu ilmu pengetahuan normatif, positif atau kedua-duanya. Kedua, Apakah teori ekonomi Islam itu
diperlukan, mengingat tidak adanya suatu ekonomi Islam yang aktual. Ketiga, Apakah ilmu ekonomi Islam itu suatu system atau atau ilmu pengetahuan.5 Pada masa itu keberatan-keberatan yang diajukan bisa dimaklumi karena ilmu ekonomi Islam itu sendiri relatif baru dan belum banyak diketahui. Akan tetapi setelah setengah abad berlangsung apakah pertanyaan-pertanyaan di atas masih
relevan
diajukan
?.
Jawabannya
tentu
tidak
dengan
beberapa
pertimbangan. Pertama, kajian ekonomi Islam dalam tiga dasawarsa belakangan ini berkembangan demikian pesatnya. Seperti yang terlihat, dalam bentuk kajian, ekonomi syari’ah telah dikembangkan di berbagai universitas, baik di negerinegeri muslim maupun di negara-negara Barat. Di Inggris beberapa universitas yang sangat intens melakukan kajian-kajian ekonomi syari’ah, yaitu, University of Wales, Universitas Durham, University of Pousmouth, Macfield Institute, Universitas Lampter dan Universitas Louborought. Di
Amerika Serikat,
pengembangan kajian ekonomi syari’ah dilakukan oleh Universitas Harvard, yang merupakan universitas paling terkemuka di dunia saat ini. Di Australia, Universitas Wolongong juga melakukan hal yang sama. Di Indonesia, perkembangan kajian dan praktek ekonomi syari’ah juga cukup pesat. Kajian-kajian ekonomi Islam tidak saja diselenggarakan oleh pendidikan formal agama seperti IAIN dan umum seperti Universitas Indonesia dan UII Yogyakarta, tetapi juga dilakukan oleh lembaga-lembaga non formal seperti FKEBI-IAIN.SU, Tazkia Institut, IIIT Indonesia, Mu'amalat Institut, Institut Manajemen Zakat (IMZ) dan sebagainya.6 Menarik untuk di analisis ekonomi Islam tidak hanya berbicara pada masalah normative (bagaimana semestinya) juga berbicara tentang problemaproblema ekonomi apa adanya (positif-empirik). Jadi jika dipertanyakan apakah ekonomi Islam sebagai ilmu yang normativ atau positif, jawabnya tentu kedua-
5 M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. Nastangin, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, h.9-16. 6 Agustianto, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam: Respon terhadap Persoalan Ekonomi Kontemporer, Bandung: Cita Pustaka Media dan FKEBI, 2002, h. 24-27.
duanya. Sementara itu, dalam bentuk praktek, ekonomi syari’ah telah berkembang dengan pesat seperti terlihat dengan menjamurnya lembaga perbankan dan lembaga keuangan syari’ah. Tercatat, sampai saat ini telah tumbuh dan berkembang lebih dari 200 lembaga perbankan dan keuangan syari’ah yang tersebar di 52 negara, baik negeri-negeri muslim maupun non muslim. Di Barat tercatat beberapa negera yang telah mengembangkan perbankan dan lembaga keuangan syari’ah, antara lain,
United Kingdom, USA, Kanada, Luxemburg,
Switzerland, Denmark, Swiss, Bahama, Caymand Island, Virgin Island, dll. Demikian juga di Indonesia telah lahir beberapa perbankan syari’ah seperti Bank Muamalat, Bank Syari’ah Mandiri, BRI Syari’ah, BNI Syari’ah, Bank IFI Syari’ah dan akan menyusul beberapa bank syari’ah lainnya. Selain itu, telah berkembang pula sekitar 85 BPR Syari’ah di seluruh Indonesia, Asuransi Takaful Syari’ah, Reksadana Syari’ah, Koperasi Syari’ah, Baitul Mal wat Tamwil, Koperasi Pesantren, danYayasan Dinar Dirham. Dalam bidang produksi dan distribusi, telah berkembang pula Multi level Marketing Syari’ah Ahad-Net Internasional yang telah memproduksi lebih dari lima ratus produk yang dibutuhkan masyarakat muslim. Sejalan dengan itu, para pengusaha muslim, baik secara individual maupun secara kolektif juga telah mengembangkan berbagai usaha yang sangat prospektif untuk memberdayakan ekonomi masyarakat. Dari fakta diatas keberatan kedua bisa dijawab bahwa ekonomi Islam itu sebenarnya telah aktual dan dipraktekkan di berbagai negara kendatipun dalam bentuk yang belum utuh. Umumnya praktek ekonomi Islam dilakukan masih berkutat dalam institusi perbankan dan lembaga keuangan non bank. Jadi harus jujur diakui belum ada negara Islam di dunia ini yang benar-benar mempraktekkan ekonomi Islam tersebut secara sempurna. Selanjutnya tentu belum ada pula sebuah negara yang benar-benar telah dan berhasil mempraktekkan ekonomi Islam ?. Paling-paling hanya beberapa institusi saja yang mempraktekkan ekonomi Syari'ah seperti perbankan dan asuransi, itupun
keberhasilannya belum terlalu signifikan lebih-lebih jika dibandingkan dengan perbankan konvensional.
Kendatipun perbankan Syari'ah telah berhasil
menunjukkan ketangguhannya pada waktu krisis moneter berlangsung, namun sampai detik ini bank Syari'ah itu masih berada di papan bawah. Hal ini sebenarnya tak boleh terjadi mengingat
jumlah umat Islam Indonesia yang
mayoritas. Jujur harus diakui, Kendatipun secara faktual sampai saat ini, ekonomi Islam belum dapat diandalkan apa lagi diharapkan sebagai sistem alternatif dalam rangka recovery ekonomi Indonesia dalam waktu yang singkat, namun setidaknya kita bisa menaruh harapan besar mengingat perkembangannya yang cukup menggembirakan dari masa ke masa. Kita butuh setengah abad bahkan lebih untuk membuktikan ketangguhan ekonomi Islam . Pada sisi lain, saat ini tidak ada sebuah negara yang benar-benar murni dan konsisten dalam mempraktekkan sebuah sistem ekonomi. Yang ada hanyalah sistem ekonomi campuran yang mengambil kebaikan-kebaikan yang ada pada sistem kapitalis dengan kebaikan-kebaikan yang ada pada sistem sosialis dan berusaha membuang atau meminimalkan keburukan-keburukan yang ditimbulkannya. Sampai di sini apabila sistem ekonomi Islam itu mampu memberikan kontribusinya dalam bagian-bagian tertentu misalnya dalam aspek perbankan atau dalam aspek konsumsi maka hal ini harus dipandang sebagai sebuah keberhasilan. Dengan demikian persoalan ketiga bisa dijawab bahwa ekonomi Islam itu tidak saja sebagai sebuah ilmu tetapi juga merupakan sebuah sistem. Sampai di sini, diskursus yang akan muncul pada masa-masa mendatang, bukan lagi menyangkut masalah ada atau tidak adanya ekonomi Islam, sistem atau ilmu, aktual atau tidak, tetapi harus mengarah pada bagaimana melakukan pengembangan konseptual dan institusi ekonomi Islam. Tidak bisa dihindari argumentasi kemestian ekonomi Islam selalu saja dilakukan dengan mengkritik kelemahan sistem ekonomi sosialis dan kapitalis.
Anehnya hal ini tidak saja dilakukan oleh ekonom muslim tetapi juga oleh ekonom konvensuional sendiri.. Kepanikan Metodologis
Muncul gugatan dikalangan ekonom sendiri bahwa ilmu ekonomi tersebut semakin jauh dari nilai-nilai moral
kemanusiaan. Adalah Gunnar
Myrdal (1898-1987) dalam bukunya Asian Drama melakukan
rekonstruksi
ilmu
ekonomi yang
menggagas perlunya
berkaitan
dengan
nilai
kemanusiaan baik dalam konteks individu maupun sosial. Bahkan Robert Heirbronner menyatakan lebih jauh lagi, menurutnya pakar ekonomi mulai menyadari bahwa mereka telah membangun suatu bangunan yang canggih di atas landasan sempit yang rapuh. Khursid Ahmad dalam pengantarnya terhadap karya Umer Chafra The Future o f Economics An Islamic Perspektive menyatakan bahwa, paradigma ekonomi, yang telah berlaku selama dua abad, bukan saja menunjukkan kerapuhan, dasar teoritisnya sendiri, bahkan asumsi-asumsi yang mendasarinya dan kemampuannya untuk berhasil memprediksi prilaku di masa yang akan datang, saat ini sedang ditantang. Diskusi tidak lagi terbatas pada perubahanperubahan di dalam paradigma, perdebatan sekarang bergerak semakin jauh menuju kebutuhan akan adanya perubahan paradigma itu sendiri. Tantangan itu tulis Amitai Etzioni, “adalah membongkar paradigma utilitarian, rasionalistik, dan individualistik, neo klasik yang diterapkan bukan saja pada perekonomian tetapi juga semakin meningkat pada berbagai aturan relasi sosial.7 Lebih jauh Khursid Ahmad menyatakan bahwa paradigma ekonomi sedang ditantang tepat ditengah jantungnya sendiri; paradigma neo klasik bukan hanya mengabaikan dimensi moral, dia sebenarnya menentang dimasukkannya dimensi moral dalam paradigma tersebut. Paradigma baru yang sedang muncul sebaliknya memvisualisasikan “ suatu peran penting bagi nilai-nilai moral”.
7 Khursid Ahmad, “Kata Pengantar” dalam The Future o f Economics; an Islamic Perspective, Jakarta: SEBI, 2001.
Saya setuju terhadap orang yang mengatakan bahwa tantangan yang sangat mendasar dari sistem ekonomi Islam adalah pada aspek epistemologisnya ?. namun bukan berarti ekonomi Islam itu tidak memiliki epistemologi ?.Epistemologi Ilmu Ekonomi Islam sebenarnya telah dirumuskan oleh ekonomekonom muslim. Informasi yang paling akhir adalah apa yang ditulis oleh Dr. Umer Chapra dalam bukunya yang berjudul The Future o f Economics An Islamic Perspective. Dalam buku ini setidaknya ada empat bab khususnya bab 3 dengan judul Dapatkah Ilmu Pengetahuan dibangun di atas Paradigma Religius (konflik Akal dan Wahyu di dunia Islam dan Implikasi Modernitasnya) dan bab empat tentang “Ekonomi Islam bagaimana seharusnya ?. yang membicarakan seputar landasan epistemologis ekonomi Islam. Mungkin peryataan yang lebih tepat adalah sampai saat ini belum ada landasan epistemologi ekonomi Islam -sebagaimana layaknya epistemologi ilmu ekonomi konvensional- yang baku dan disepakati oleh seluruh ekonom atau paling tidak oleh jumhur ekonom muslim. Yang ada mungkin landasan epistemologi ekonomi Islam menurut tokoh-tokoh tertentu saja. Kendati demikian, penting untuk dicatat walaupun belum ada kesepakatan di antara ekonom-ekonom muslim namun bisa dipastikan mereka setuju bahwa ilmu ekonomi Islam itu dibangun atas dasar prinsif tauhid Penutup
Terlepas dari perdebatan-perdebatan tentang landasan epistemologis ekonomi Islam, berangkat dari realitas empirik yang muncul dimasyarakat, keberadaan sebuah jurusan atau lebih tepat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN.SU , menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebagaimana sifat sebuah ilmu yang terus berkembang, maka fakultas ekonomi dan Bisnis Islam ini diharapkan dapat menjadi lembaga pendidikan, riset bagi perkembangan ekonomi Islam itu sendiri .
Tidak dapat dipungkiri, selalu ada kebutuhan untuk membicarakan kesejahteraan sosial8, lebih spesifik lagi kesejahteraan ekonomi. Beberapa alasan dapat dikemukakan di sini. Pertama, sampai saat ini bangsa Indonesia, kendati sudah lama merdeka, namun belum sampai kepada kesejahteraan sosial yang dimaksud. Kendati penjajah berhasil di usir dari bumi pertiwi, namun kemiskinan dan kemelaratan masih saja mendera bangsa ini. Bahkan lebih dari itu, kemiskinan saat ini menjadi sangat telanjang dan menjadi etalase wajah Indonesia di mata dunia. Kedua,
kesejahteraan sosial tidak saja menjadi kewajiban moral
pemerintah tetapi juga menjadi tuntutan konstitusional. Makna kesejahteraan umum telah diatur di dalam batang tubuh UUD pasal 33 perubaan keempat. Konsekuensinya pemerintah dan Negara wajib mewujudkan kesejahteraan sosial ekonomi sebagaimana yang terdapat di dalam Undang-undang RI No 13 Than 2011 tentang fakir miskin. Demikian pula dengan UU No 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Ketiga, Negara yang penduduknya mayoritas muslim ini sejatinya dapat keluar dari belenggu kefakiran dan kemiskinan. Pasalnya, sumber normative Islam, Al-Qur’an sejak awal telah mendeklarasikan perang terhadap kefakiran dan kemiskinan. Hal ini ternyata tidak saja ditunjukkan oleh banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang turun pada masa-masa awal -yang menolak segala aktivitas ekonomi yang merusak-tetapi juga oleh perilaku Nabi dan para sahabat. Bahkan para fuqaha telah menulis konstruksi ajaran Mu’amalat Islam yang substansinya mengacu pada pemberdayaan umat Islam agar dapat hidup dengan sejahtera.
8 Sekarang ini kesejahteraan sosial tidak saja menjadi nama bagi satu mata kuliah tetapi telah terlembagakan ke dalam sebuah institusi yang disebut dengan jurusan Ilmu Kesejahteraan SosialFISIP UI. Hal ini menunjukkan betapa persoalan kesejahteraan sosial ini sangat penting dan multi perspektif. Pembahasannya perlu dilakukan secara komprehensif , mendalam, dan sistematis. Berkaitan dengan sebagian isu-isu kesejahteraan sosial dapat dilihat pada Isbandi Rukminto Adi, Kesejahteraan Sosial: Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Dalam ilmu ekonomi, kesejahteraan dipahami sebagai kepuasan (utility) atau tingkat kecukupan berkonsumsi. Bahkan di dalam ekonomi kesejahteraan diuraikan bahwa ilmu ini berfungsi untuk menjelaskan cara mengidentifisir dan mencapai sesuatu yang disebut sebagai alokasi segenap sumber daya yang secara sosial efisien dan optimal. Intinya, studi ekonomi kesejahteraan memusatkan perhatian pada kemungkinan pemecahan “terbaik” atas alokasi sumber daya manusia. Teori lain menyebutkan bahwa seorang sejahtera secara ekonomi apabila ia mampu menabung (saving) dari totalitas pendapatannya. Dengan demikian, tidak seluruh pendapatannya digunakan untuk kebutuhan konsumsinya. Kemampuannya untuk saving bukan didasarkan karena ia menekan kebutuhan konsumsinya dengan sangat minimal, tetapi ia mampu memenuhi kebutuhan konsumsinya secara efisien. Teori lain juga menjelaskan bahwa seseorang sejahtera secara ekonomi apabila ia memiliki waktu luang. Tidak seluruh waktunya digunakan untuk bekerja mencari uang. Waktu yang tersedia dapat dipakainya untuk menikmati kehidupan, menikmati waktu libur bersama keluarga dan sebagainya. Gagasan Al-Qur’an tentang kehidupan sejahtera harus diterjemahkan dalam bentuk-bentuk kehidupan ekonomi yang lebih konkrit. Setidaknya, secara umum ada tiga institusi ekonomi Islam yang jika dilaksanakan dengan serius, akan memberi dampak terhadap peningkatan kesejahteraan umat Islam. Ketiga pilar utama itu adalah, larangan riba, dorongan untuk melaksanakan zakat dan pemberdayaan wakaf. Diskusi tentang riba sudah sering dilakukan. Dalam kajian ekonomi, hampir tidak ada tema yang lebih banyak dibicarakan oleh pakar-pakar ekonomi selain riba. Riba dilarang karena dapat menimbulkan kezaliman terhadap orang lain. Di samping itu, riba sama sekali tidak akan berpengaruh pada pengembangan usaha sektor riil. Sebaliknya, peraktik riba malah menimbulkan bubble economy.
Pada saat Allah SWT melarang riba, sesunguhnya Allah SWT telah menyiapkan alternative untuk mengganti sistem ribawi tersebut. Dalam konteks Indonesia, larangan terhadap riba dijawab dengan melahirkan perbankan syari’ah. Namun jawaban ini jika dihadapkan dengan Al-Qur’an, hemat saya adalah jawaban yang melompat. Kalau kita perhatikan ayat-ayat riba, tegas dinyatakan bahwa Al-Qur’an mengenalkan konsep zakat dan jual beli atau sektor ril sebagai anti tesis dari praktik riba. Zakat sejatinya harus menjadi soko guru ekonomi Islam di Indonesia. Keberadaan umat Islam yang mayoritas di Negara ini memastikan bahwa zakat tidak bisa dipandang sebelah mata. Informasi yang diberikan BAZNAS menunjukkan potensi zakat Indonesia itu mencapai lebih dari 213,7 T setiap tahunnya jika dihitung dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa. Realisasinya, zakat di Indonesia baru mencapai angka 2,2 T. Hal ini terjadi bukan karena umat Islam Indonesia tidak menunaikan zakat. Masalahnya justru banyak sekali zakat yang tidak tercatat karena muzakkinya langsung memberikannya kepada para mustahaq. Tak terbayangkan jika zakat bisa dikelola dengan baik lewat bermacammacam program kesejahteraan. Hasilnya, bukan saja kita mampu mengentaskan kemiskinan tetapi juga dapat meningkatkan taraf kehidupan umat Islam Indonesia lebih baik lagi. Persoalan besar yang kita hadapi adalah bagaimana memberdayakan zakat itu sendiri. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pemberdayaan zakat produktif. Zakat yang tidak hanya sebatas digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif mustahiq tetapi dapat digunakan untuk usaha dan peningkatan SDM. Pada giliranya mereka akan menjadi muzakki-muzakki baru. Pilar kedua yang tidak kalah pentingnya adalah keberadaan lembaga perbankan syari’ah dan lembaga keuangan non bank lainnya. Perbankan Syari’ah sesungguhnya memiliki kemampuan yang dahsyat untuk pemberdayaan ekonomi umat. Hal ini sebenarnya built in di dalam prinsif-prinsif ekonomi
Islam, seperti tauhid, khalifah, maslahah dan sebagainya. Di dalam perbankan syari’ah peran-peran mediasi bukanlah sekedar retorika seperti umumnya pada perbankan konvensional. Perbankan syari’ah melalui produk mudharabah dan musyarakah dapat memainkan perannya sebagai sahib al-mal bagi orang-orang yang memiliki skill dan keterampilan namun tidak ditopang dengan modal yang cukup. Lewat produk mudharabah, misalnya sector rill akan bergerak. Andalan institusi ekonomi Islam yang ketiga adalah wakaf. Sepuluh tahun belakangan ini diskursus wakaf berkemang sangat pecat. Lebih-lebih setelah dirumuskannya fikih wakaf baru seperti yang tampak pada UU No 41 Tahun 2004. UU tersebut telah menjadikan wakaf yang selama ini tertimbun dalam tumpukan kitab-kitab fikih, kembali menarik untuk dikaji, dikembangkan dan diimplementasikan. Wakaf di samping memiliki nilai ibadah
juga memiliki fungsi sosial.
Wakaf khususnya wakaf produktif dan wakaf uang, apabila benar-benar dilaksanakan dan dikelola dengan baik, akan berdampak pada pemerataan kesejahteraan umat. Tidak saja dalam bidang agama, tetapi juga bidang-bidang lainnya seperti pendidikan, sosial, potik dan tentu saja ekonomi. Diberbagai Negara yang perwakafannya sudah berkembang dengan baik, wakaf merupakan salah satu pilar ekonomi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Beberapa Negara yang berpengalaman seperti Mesir dan Turki, telah menjadikan wakaf memiliki peran signifikan dalam pembangunan umat. Konsep al-falah seharusnya menjadi basisi axiologis ekonomi Islam. Pemberdayaan zakat dan wakaf serta maksimalisasi peran perbankan syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah non bank lainnya haruslah diarahkan untuk pencapaian kesejahteraan manusia, lahir dan batin. Sejahtera bukan sebatas apa yang telah dikonsepsikan oleh ekonom konvensional di atas, tetapi juga sejahtera dalam konteks -moral- spiritual. Sebaliknya, jika ketiga pilar di atas dikelola
dengan baik, maka kesejahteraan umat hanyalah sebatas mimpi. Wallahu a’lam bi al-shawab.
4. Homoeconomic VS Homoislamicus Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. Al-Nisa’ ayat 2-6
Kendatipun ayat di atas berbicara dalam konteks pemeliharaan anak yatim baik dari sisi kejiwaannya ataupun hartanya, sebenarnya pesan yang dikandung ayat lebih dari itu. Meminjam istilah Rafiq Yunus, ayat ini memberi tuntunan bagaimana kita dapat membentuk generasi yang cerdas dari sisi ekonomi. Sayangnya, beliau tidak membahas masalah ini panjang lebar. Ia hanya menyatakan bahwa manusia itu melewati empat fase atau priode. Fase pertama adalah janin. Fase kedua menjadi bayi (balita- al-tifl). Fase ketiga al-sabiyy almumayyiz (menjelang baligh). Fase keempat, al-baligh (dewasa). Tiga fase yang disebutnya
pertama,
manusia
belum
memiliki
kemampuan
untuk
mentasarrufkan harta. Manusia pada era ini belum dapat disebut rasyid (smart). Pada fase tersebut, wali, orang tuanya bertanggungjawab dan melakukan tindakan-tindakan hukum. Tegasnya, ia ingin mengatakan manusia ekonomi itu adalah cerdas.9 Konsep al-insani al-iqtisady (manusia ekonomi yang cerdas) inilah yang perlu dielaborasi lebih lanjut.10 Pertanyaan mendasar yang dapat kita ajukan adalah, manusia ekonomi seperti apa yang ingin dibentuk oleh ekonomi Islam. Pertanyaan ini penting karena selama ini fokus kita berat sebelah. Artinya, yang 9 Rafiq Muhammad Yunus, Al-Ijaz al-Iqtishad li Al-Qur’an Al-Karim, Damasyqus, Dar Al-Qalam, 2005, 10 Lihat kembali penjelasannya lebih luas dalam, Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat EkonomiAL-Qur’an, h. 50-62.
kita perjuangkan adalah bagaimana sistem ekonomi syari’ah serta lembaganya dapat tegak di tengah-tengah kehidupan ekonomi umat. Tidak hanya itu, kita juga berjuang bagaimana agar aturan-aturan syari’ah dapat dipositivisasi sehingga memiliki payung hukum yang kuat. Sejauh ini upaya-upaya itu telah berhasil dengan baik kendati masih banyak lobang-lobang yang perlu ditutupi. Kehadiran UU perbankan Syari’ah, UU Wakaf, dan sebagainya adalah contoh kemajuan hukum ekonomi syari’ah. Adapun yang terlupakan untuk tidak mengatakan terabaikan adalah pembangunan manusia ekonomi Islam itu sendiri. Tidak terbayangkan, pada saat kita ingin menerapkan ekonomi Islam secara kaffah, tetapi manusiamanusianya (sumber dayanya) masih kapitalis atau sosialis. Bisa jadi mereka mengenakan pakaian muslimah, tetatpi cara berpikirnya masih kapitalis. Bisa jadi akadnya diawali dengan bismillah, namun qalbunya sepi dari semangat atau ruh jihad al-iqtishad (jihad ekonomi). Manusia ekonomi Islam sejatinya bukan hanya mereka yang memiliki skill khusus,
seperti
kemampuan
berbahasa
dan
berkomunikasi,
marketing,
akuntansi, perencanaan, tetapi lebih dari itu mereka juga harus menguasai ilmuilmu syari’ah dengan baik. Mereka paham tentang fikih ekonomi dan mengerti tentang tafsir ayat-ayat ekonomi. Mereka tidak saja memiliki akhlak yang terpuji tetapi juga memiliki tauhid yang tangguh. Inilah yang disebut dengan homoislamicus. Seorang penulis muda dalam bidang ekonomi Islam, Arif Hoetoro di dalam bukunya yang berjudul, Ekonomi Islam: Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi, membedakan antara apa yang disebutnya dengan homo economicius dan homo islamicus.11 Dalam kapitalisme homo economicus telah diposisikan ke dalam keyakinan modern sebagai entitas ekonomi yang mengokohkan individualitas dan
11 Arief Heotoro, Ekonomi Islam: Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologis, Malang: Bayu Media, 2007, h. 227
eksploitasi apa saja yang dianggap penting dari motif-motif dasar manusia, hasrat dan self interest, untuk dapat memproduksi standar kehidupan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, homo economicus merepresentasekan manusia rasional yang
diformalkan
dalam
model-model
ekonomi
tertentu
yang
mengaktualsiasikan pemuasan self interest sebagai cara untuk meraih tujuantujuan ekonomi. Dalam perspektif Ekonomi kapitalis terdapat lima asumsi dasar yang menjadi asas bangunan ekonominya sekaligus menjadi paradigma manusiamanusianya. Pertama, Manusia pada dasarnya bersifat mementingkan diri sendiri (selfish) dan bertindak secara rasional. Kedua, kemajuan material adalah tujuan yang utama. Ketiga, setiap orang cenderung untuk memaksimalkan kesejahteraan materialnya. Keempat, manusia mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya. Kelima, nilai guna (utility) setiap orang adalah independen dari nilai guna orang lain.12 Homo islamicus mengacu kepada prilaku individu yang dibimbing oleh nilai-nilai Islam. Setidaknya ada dua nilai yang penting dalam konsep homo islamicus ini. Pertama, self interest. Sama dengan nilai yang dibangun dalam konsep ekonomi konvensional bahwa manusia sesungguhnya tidak dapat melepaskan diri dari kepentingan dirinya. Adalah tidak mungkin untuk menghindari keinginan dan kesenangan. Kita berhak untuk memperolehnya. Berbeda dengan ekonomi kapitalis yang menempatkan, self interest sebagai fokus manusia,
dalam Islam,
kendatipun Islam sangat memperhatikan
kesejahteraan individual maupun masyarakat namun Islam juga menegaskan bahwa setiap orang haruslah berprilaku altruistik dan menyesuaikan seluruh tindakan ekonominya berdasarkan norma-norma agama. Dengan menggunakan paradigma dalam ilmu tasawuf, nafs manusia dibagi kepada tiga bagian. Al-nafs al-ammarah, nafs al-lawwamah dan nafs al-
12Nur A Fadhil Lubis dan Azhari Akmal Tarigan, Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Hijri, 2001, h. 144-166.
muthmainnah. Nafs al-ammarah berorientasi kepada kebendaan, pemuasan kesenangan duniawi dan menafikan nilai-nilai normatif. Nafs jenis ini juga menganut asas netralitas moral dan sangat sekuler. Pada level berikutnya, al-nafs al-Lawwamah sudah memiliki kesadaran intuitif, mengenal dirinya lebih baik, dan memiliki kemampuan berinteraksi sosial. Namun terkadang nafs pada level ini cenderung tidak konsisten. Sikapnya mudah berubah sehingga sulit untuk mempercayainya. Sosok yang ketiga adalah cerminan dari homoislamicus yang sempurna. Pada level ini, nafs itu sendiri memiliki kualitas-kualitas kognisi dan emosi. Ia memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan juga kecerdasan spiritual. Inilah potret homoislamicus itu sendiri. Nilai kedua adalah, rasionalitas. Jangan ada anggapan bahwa aspek rasionalitas tidak dipentingkan dalam konstruk ekonomi Islam. Jika di dalam ekonomi konvensional, rasionalitas itu menjadi mutlak di dalam ekonomi Islam, pemaknaannya jauh lebih luas. Para pakar mengatakan, rasionalitas Islam dalam prilaku ekonomi tidak hanya didasarkan kepada pemuasaan nilai guna atau ukuran-ukuran material lainnya, tetapi juga harus mempertimbangkan pula aspek-aspek berikut ini yaitu: (1) Respek terhadap pilihan-pilihan logis ekonomi dan faktor-faktor eksternal seperti tindakan altruis dan harmoni sosial. (2) Memasukkan dimensi waktu yang melampaui horizon duniawi sehingga segala kegiatan ekonomi berorientasi dunia dan akhirat. (3) Memenuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam. (4) Usaha-usaha untuk mencapai falah, yakni kebahagiaan dunia dan akhirat. Meminjam istilah Akram Khan seorang pakar ekonomi Islam kontemporer, homo islamicus sesungguhnya adalah manusia sejahtera atau disebut dengan human falah. Kata falah itu sendiri merupakan kata yang mengandung banyak makna.
Falah bisa berarti kebahagiaan,
kemenangan,
kesuksesan,
dan
kesejahteraan. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan, segala hal baik terkumpul di dalam kata falah. Tidak kalah menariknya, ketika masuk waktu shalat, muazzin di berbagai masjid mengumandangkan kalimat, hayya ‘ala al-falah
(mari menuju kemenangnan). Kita pantas bertanya, apa kaitan shalat dengan kemenangan. Ada banyak jawaban yang bisa kita kemukakan di sini. Homoislamicus atau human falah, adalah manusia-manusia yang tidak akan pernah mengalami spilit personality atau pribadi yang terpecah. Keseimbangan antara ruhani dan jasmani, dunia dan ukhrawi, individu dan sosial akan terjaga secara baik di dalam dirinya. Di samping itu Homoislamicus adalah mereka yang berorientasi pada ribhun atau keuntungan. Namun keuntungan yang dipahami bukan hanya dalam konteks keuntungan material semata berupa terpenuhi atau terlampauinya target. Keberhasilan membukukan keuntungan dalam jumlah angka yang fantastis. Namun lebih penting dari itu, keuntungan tersebut diperoleh dengan cara yang benar dan baik. Itulah keuntungan duniawi (qimah al-duniyawi) dan keuntungan ukhrawi (qimah ukhrawi). Sejatinya, dalam rangka membangun gerakan ekonomi Islam yang komprhenesif dan total, saat ini kita perlu membentuk manusia-manusia ekonomi yang cerdas atau homoislamicus atau human falah. Para bankir dan karyawan bank syari’ah sejatinya tidak hanya dibekali oleh kemampuan teknikal peraktis, tetapi lebih dari itu mereka juga harus dibekali dengan nilai-nilai syari’ah yang terpancar dari cara pandang terhadap dunia. Jika tidak, ekonomi syari’ah akan menjadi topeng. Mereka akan mengenakan baju-baju syari’ah namun kepala dan qalbunya dipenuhi oleh paham-paham kapitalistikmaterialistik. Hal ini merupakan tugas berat dan sejatinya tidak boleh dipandang sebelah mata. Wallahu a’lam.
5. Meneguhkan Keilmuan Ekonomi Islam Lebih dari satu dekade, ekonomi Islam baik dari sisi keilmuanya lebihlebih dalam bentuk praktik, menunjukkan perkembangan yang signifikan. Program studi ekonomi Islam tumbuh pesat bak cendawan di musim hujan. Tidak saja di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) tetapi juga sudah merambah di lingkungan perguruan tinggi umum. Jangan ditanya bagaimana
studi ekonomi Islam di luar negeri. Bahkan di negeri yang sekuler sekalipun. Mereka lebih maju beberapa langkah dari Indonesia. Tidaklah mengherankan jika kita akan bertemu dengan ahli-ahli ekonomi Islam Indonesia lulusan Barat. Sedangkan dari sisi praktiknya, seperti yang terlihat dalam bentuk lembaga keuangan syari’ah dan bisnis Islam pada umumnya, trendnya juga terus meningkat. Bukan sebatas pertumbuhan kantor cabang yang angkanya terus menaik, tetapi yang lebih penting dari itu adalah terbangunnya kesadaran baru di masyarakat untuk mengaplikasikan ekonomi Syari’ah dalam kehidupan seharihari. Fenomena ini setidaknya dapat dijadikan indikasi terbentuknya masyarakat ekonomi Syari’ah akan segera terwujud. Perkembangan ekonomi Islam yang signifikan tersebut bukan tanpa masalah. Dari sisi praktik perbankan misalnya, ada banyak persoalan yang perlu diselesaikan. Misalnya dari segi kesesuaiannya dengan syari’ah (complain syari’ah). Apakah praktik murabahah yang berlangsung saat ini sudah sesuai dengan ketentuan fatwa DSN atau tidak. Demikian juga dengan praktik dana talangan haji atau produk “berkebun emas” yang berpotensi untuk berbeda dengan ketentuan fatwa DSN. Sedangkan
dari
sisi
keilmuannya,
ekonomi
Islam
juga
sedang
dipertanyakan basis epistimologisnya. Apakah ekonomi Islam itu bagian dari ilmu ekonomi
atau bagian dari ilmu-ilmu agama. Ada sebagian orang yang
memahami bahwa ekonomi Islam itu bagian dari ilmu ekonomi
, maka
metodologi keilmuannya juga harus mengikuti apa yang berlaku di dalam ekonomi konvensional. Banyak argumentasi yang dijadikan alasan. Mulai dari yang serius menyangkut epistemologinya sampai alasan yang terkesan sederhana. Ekonomi Islam itu fenomena baru dan belum matang. Bahkan sampai saat ini tidak ada kesepakatan para pakar ekonomi Islam tentang ekonomi Islam. Aliran mazhab yang berkembangpun sebatas ide atau gagasan. Belum sampai pada tingkat teoritik yang benar-benar matang.
Pertanyaannya adalah, di mana posisi Islam. Lalu apa yang mereka pahami tentang Islam dalam hubungannya dengan ekonomi. Jawabnya, Islam dipahami hanya sebatas kumpulan nilai moral semata. Tidak lebih dari itu. Bagi mereka Islam tidak memiliki model ekonomi tertentu. Bahkan ada pakar ekonomi Islam yang mengatakan bahwa ekonomi Islam itu adalah ekonomi plus zakat minus riba. Zakatpun dipahami sebagai bagian dari kedermawanan. Sedangkan riba sama dengan bunga, yang sebenarnya juga dilarang dalam berbagai tradisi agama dunia. '
Cara pandang seperti ini berimplikasi serius terhadap banyak hal. Yang
paling nyata itu adalah pada aspek kurikulumnya. Artinya, kurikulum yang harus dikembangkan di dalam fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) nantinya harus merujuk kurikulum fakultas ekonomi konvensional seperti yang ada di UI atau USU. Kurikulum itu harus diikuti agar lulusannya memiliki kualifikasi yang sama dengan lulusan Fakultas ekonomi konvensional. Aspek-aspek syari’ah yang ditambahkan ke dalam kurikulum itu atau yang diinjeksikan hanyalah sebatas kekhususan saja. Dari sisi mata kuliah mungkin mahasiswa hanya perlu mengambil 6-8 mata kuliah saja yang berkenaan dengan syari’ah. Di lain pihak, ada banyak pakar yang memahami ekonomi Islam itu adalah bagian dari ajaran Islam itu. Tegasnya, ekonomi Islam atau yang disebut dengan iqtishad al-islami merupakan bagian dari ajaran Mu’amalat. Jika demikian ekonomi Islam bagian dari syari’at untuk membedakannya dari aspek tauhid dan akhlak. Kendati disebut berbeda, sesungguhnya tauhid dan akhlak tidak boleh berpisah apa lagi berjalan sendiri-sendiri. Karena ekonomi Islam bagian dari ajaran Islam, maka ekonomi Islam harus mencari dan mengembangkan epistemologinya sendiri. jika sampai detik ini, epistemologi ekonomi Islam masih belum disepakati dikalangan para ahli dan belum menjadi aksioma dan doktrin keilmuan, bukan berarti tidak ada. Epsitemologinya bisa jadi ada namun belum tergali karena khazanah itu tersimpan dan belum sempat digali.
Eksponen ini ingin menegaskan ekonomi Islam itu adalah ilmu yang mandiri. Bahkan ekonomi Islam itu telah diuji coba dalam peraktik kehidupan Rasul dan sahabatnya pada masa lalu. Kita bisa bertanya, sistem ekonomi manakah yang dipakainya ketika memimpin bangsa Arab lebih kurang dari 23 tahun lamanya. Apakah Rasul menerapkan sistem ekonomi kapitalis atau sosialis ? bukankah pada saat itu, sistem tersebut belum ada pada masa itu, walaupun akarnya bisa dilacak sampai ke zaman Romawi kuno. Jika demikian, FEBI UIN dan IAIN yang bakal terbentuk tidak perlu meniru fakultas ekonomi konvensional. Secara kreatif, eksponennya harus dapat mengembangkan model keilmuannya sendiri, merumuskan metodologinya dan membuktikan pengaruhnya pada saat diterjemahkan dalam kehidupan manusia. ekonomi Islam harus bisa menjawab dan menyelesaikan problem kehidupan manusia. Dengan cara pandang seperti ini, tidaklah berarti ekonomi Islam itu esklusif dan terisolasi. Tidak perduli dengan keilmuan konvensional. Justru ekonomi Islam dapat meminjam metodologi keilmuan ekonomi konvensional sepanjang sesuai dengan nilai-nilai syari’ah. Proses peminjaman itu sesuatu yang wajar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam disiplin lainpun, seperti dalam studi filsafat Islam, peminjaman itu juga berlangsung. Dan nyaris tidak ada masalah serius. Tentu saja selektifitas tetap penting untuk memastikan peminjaman itu tidak membawa mudharat bagi keilmuan ekonomi Islam. Tidak kalah pentingnya, FEBI harus juga dapat memastikan lulusannya dapat bersaing dipentas global. Tidak saja memiliki kemampuan teoritik yang mumpuni, keterampialn (skill) yang handal, tetapi juga memiliki integritas moral yang tinggi. Justru pada sisi yang disebut terakhir inilah menjadi pembeda dengan lulusan konvensional. Dan itu semua didasarkan pada nilai-nilai tauhid. Dua sudut pandang ini mengemuka kembali lebih-lebih pada saat Kementerian Agama dalam waktu dekat akan mengeluarkan keputusan tentang pembentukan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) di beberapa UIN dan
IAIN. Kita bersyukur, IAIN. Sumatera Utara termasuk salah satu IAIN yang mendapat penghargaan sebagai sabiquna al-awwalun (generasi pertama) yang memiliki fakultas ekonomi dan bisnis Islam. Tentu yang terbaik bukan memilih satu di antara dua, melainkan bagaimana merumuskan pemikiran dan sikap yang lebih moderat. Hemat penulis, di antara jalan yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan integrasi keilmuan itu sendiri. Integrasi keilmuan ini dipandang jalan yang lebih “dingin” dan juga memiliki sejarahnya tersendiri. Masalahnya adalah bagaimana merumuskan integrasi itu dalam bentuknya yang lebih jelas. Cara ini juga akan diperbincangkan dalam forum yang bergengsi tersebut.
Bab Dua Ekonomi Islam dan Isu-Isu Aktual i. Islam, Ramadhan dan Pasar R o b e rt N. B e lla h p e r n a h
m e n g a ta k a n
-se b a g a im a n a d ik u tip
o le h Id i
S u b a n d y Ib ra h im d a la m k a ry a n y a , B u d a y a P o p u le r S e b a g a i K o m u n k a s i: D in a m ik a P o p s c a p e d an M e d ia s c a p e d i In d o n e s ia K o n te m p o re r - “P e rso a la n m o d e r n is a s i y a n g p a lin g b e s a r d a n m e n d a s a r b a g i Isla m b a r a n g k a li b u k a n la h a p a k a h ia m a m p u m e m b e r i s u m b a n g a n b a g i m o d e r n is a s i p o litik , k e lu a rg a a ta u p rib a d i, m e la in k a n a p a k a h ia m a m p u se c a ra e fe k t if m e m e n u h i p e lb a g a i k e b u tu h a n re le g iu s k a u m M u s lim m o d e rn s e n d ir i.” B e lla h
yang
te r k e n a l
le w a t
k a ry a n y a ,
B eyond
B e lie f tid a k
se d a n g
m e n g g u g a t Islam . S e b a lik n y a ia se d a n g m e m b e ri ta n ta n g a n y a n g b e sa r k e p a d a Isla m . A lih - a lih u n tu k m e m ik irk a n d a n m e ru m u sk a n k o n trib u s i Isla m p erad ab an
d u n ia ,
se c a r a
in te rn a l a p a k a h
Isla m
te la h
b erp eran
buat
b esar bagi
u m m a tn y a d a la m m e n ja w a b d a h a g a s p iritu a ln y a ?. Jik a S a y y e d H o se in N a sr p e rn a h m e n g a ta k a n , m a n u sia m o d e rn s a a t in i se d a n g m e n g a la m i k e h a m p a a n sp iritu a l, la lu d i m a n a p e ra n Isla m ! B u k a n k a h sisi sp iritu a l se su a tu y a n g in h e re n d a n in te g ra l d i d a la m Isla m . L a lu m e n g a p a u m a tn y a m e n g a la m i k e h a m p a a n , k e su n y ia a n , k e te ra s in g a n ? Jik a
k ita
m enyebut
Islam ,
m akn an ya
b is a
b e r m a c a m -m a c a m .
B isa
m e n g a c u p a d a a ja ra n Isla m itu sen d iri, le m b a g a k e a g a m a a n , c e n d ik ia w a n d a n u la m a
a ta u
m e d ia -m e d ia y a n g
m e m a s a rk a n
Islam .
Saya
c e n d e ru n g
u n tu k
m e n g a ta k a n b a h w a p e n y e b u ta n Isla m d a la m k o n te k s a rtik e l in i b e r m a k n a p a ra p e n a fs ir Islam . B isa c e n d ik ia w a n m u slim a ta u se c a ra sp e sifik p a ra u la m a b a ik y a n g te r g a b u n g d i d a la m le m b a g a a ta u o rm a s a ta u u la m a in d e p e n d e n . M e re k a la h y a n g s e s u n g g u h n y a b e r ta n g g u n g ja w a b te r h a d a p m a s a d e p a n Isla m . D i d a la m se b u a h h a d is R a s u l p e r n a h b e rsa b d a , a l- ‘u la m a w a r a s a t a l-a n b iy a (u la m a a d a la h p e w a ris p a r a n ab i).
B a g a im a n a w a r n a d a n
corak
Isla m
yang
m engem uka,
sesu n ggu h n ya
d ite n tu k a n o le h p a ra u la m a . W a ja h Isla m b ia s a n y a m e re k a ta m p ilk a n le w a t c e ra m a h
dan
k h o tb a h -k h o tb a h
b is a
ju g a
le w a t
tu lis a n -tu lis a n .
M em ang
te rk a d a n g , p e r ila k u u m a t ju g a sa n g a t m e n e n tu k a n w a ja h Isla m . N a m u n h a ru s d iin g a t, b a g a im a n a u m a t b e rp e rila k u , ju g a b e ra n g k a t d a ri p e n je la s a n Isla m y a n g m e re k a te rim a . B u k a n k a h p a r a te r o ris d e n g a n p a h a m
Isla m y a n g rig id d a n
ra d ik a l ju g a d ip e n g a r u h i o le h p e m ik ir a n “u la m a n y a ” a ta u “ s y e k h n y a .” D a la m k o n te k s R a m a d h a n , k o n d is in y a m e n ja d i m e n a rik . K a la R a m a d h a n tib a h a k “m e n a fs ir k a n ” Isla m s e s u n g g u h n y a te la h d ira m p a s o le h p a sa r. B a h k a n le b ih ja u h d a ri itu, w a ja h Isla m se la m a b u la n R a m a d h a n te la h d ib a ja k o le h p a sa r. T e p a tn y a p a r a k a u m k a p ita lis. M e re k a la h s e s u n g g u h n y a y a n g p a lin g m e n e n tu k a n b a g a im a n a w a ja h u m a t Isla m se la m a b u la n R a m a d h a n ini. B u k a n s a ja u m a tn y a yang
d ib a ja k ,
(se b a g ia n )
u la m a n y a
a ta u
p a ra
d a ’in y a
ju g a
d ib a ja k
o le h
k e p e n tin g a n k a u m k a p ita lis ini. K ita b is a m e n y e b u t b e b e r a p a c o n to h . Jik a p a r a u la m a m e n y e b u t b a h w a m a k n a R a m a d h a n a d a la h a l-im s a k y a n g a r tin y a p e n g e n d a lia n d iri te r m a s u k d a la m h a l k o n su m si, m a k a k a u m k a p ita lis m e n g a ja rk a n , p e n g e n d a lia n d iri h a n y a b e r la n g s u n g d a ri te r b it fa ja r sa m p a i te r b e n a m m a ta h a ri. N a m u n se te la h b e rb u k a , k e s e m p a ta n
anda
u n tu k
m engum bar
n a fsu
k o n s o m tif
anda.
Jik a
u la m a
m e n je la sk a n b e r b u k a p u a s a la h d e n g a n a m a t s e d e rh a n a , s e te g u k a ir d a n se b u tir a ta u
dua
b u tir
k u rm a ,
kaum
k a p ita lis
m e n g a ja rk a n ,
b e r b u k a la h
dengan
m e m a n ja k a n s e le ra a n d a . T id a k p e r lu d ita h a n -ta h a n . B u k a n k a h k e s e m p a ta n in i h a d ir h a n y a s a tu b u la n d a la m se ta h u n . C o n to h
la in
a d a la h ,
jik a
p a ra
u la m a
m e n g a ja r k a n
p e n tin g n y a
m e n in g k a tk a n k e s a le h a n s o sia l d e n g a n m e n in g k a tk a n in te n sita s d a n k u a lita s in fa q d a n sa d a q a h , m a k a p a ra k a p ita lis m e n g a ja r k a n k e sa le h a n p e r ta m a y a n g h a ru s d itu n ju k k a n a d a la h k e s a le h a n sim b o lik . A n d a tid a k a k a n d ip a n d a n g sa le h jik a
tid a k
m engenakan
b u san a
m u slim
dengan
m ode
te rb a ru .
T id a k la h
m e n g h e ra n k a n jik a u m a t Isla m b e r b o n d o n g -b o n d o n g s e la m a b u la n R a m a d h a n
u n tu k r a m a i-r a m a i m e m b e li b u s a n a m u s lim d e n g a n m o d e te rb a ru . L e b ih ja u h d a ri itu, jik a p a ra u la m a m e n g a ta k a n p a k a ia n m u s lim a h itu h a ru s se d e rh a n a , tid a k b e rle b ih -le b ih a n d a n y a n g p a lin g p e n tin g m e n u tu p a u ra t, m a k a k a u m k a p ita lis m e n a fsirk a n , k e s a le h a n d a la m b e rp a k a ia n a k a n te r lih a t d e n g a n je la s jik a p a ra
w a n ita
m e m ilih
p a k a ia n n y a
h a sil
ra n c a n g a n
d e s a in e r
te r k e n a l
yang
h a r g a n y a te n tu m a h a l n a m u n tre n d i. S a m p a i titik in i, m e n ja d i tid a k te r e la k k a n k e tik a lo g ik a in d u s tr i k e s a d a ra n
agam a
b u d a y a d u n ia m o d e te la h b e r te m u d e n g a n p e rg e se ra n
yang
d itn a s fo r m a sik a n
d a la m
b e n tu k
e k so tism e
d an
s im b o lis m e d a la m k e sa le h a n b e rp a k a ia n . M e m in ja m u n g k a p a n Id i S u b a n d iy , sa a t in i fe n o m e n a k e ru d u n g /jilb a b tid a k c u k u p la g i h a n y a d ip a h a m i se m a ta -m a ta u n g k a p a n ta k w a . A k a n te ta p i, b a g i se b a g ia n
k a la n g a n
m o d e rn ,
b u san a
m u s lim a h
se n d ir i ta k u b a h n y a
s e p e rti
p e rg a n tia n d a la m se le r a m o d e b e r p a k a ia n saja . T id a k la h m e n g h e ra n k a n jik a b a n y a k artis y a n g d i b u la n -b u la n la in n y a b e rp a k a ia n s a n g a t s e k si n a m u n p a d a b u la n R a m a d h a n d e n g a n b u s a n a m u s lim a h n y a ta m p il se o la h m e n ja d i o ra n g y a n g p a lin g saleh . B e r a n ja k d a ri fe n o m e d ia ju k a n , a p a k a h
ada
k a ita n
in i b e b e r a p a p e r ta n y a a n y a n g m e n a r ik la n g su n g a n ta r a fe n o m e n a
u n tu k
k e ru n d u n g / b u s a n a
m u s lim a h d e n g a n k e sa d a ra n k e b e r a g a m a a n ?. A p a k a h o ra n g y a n g m e n g e n a k a n p a k a ia n m u slim a h id e n tik d e n g a n s o so k m u s lim a h y a n g b e r a k h la k m u lia ? Jik a p e r ta n y a a n in i in g in d ila n ju tk a n , sia p a s e s u n g g u h n y a y a n g a k a n m e n e n tu k a n b a ta s a n a u r a t p e re m p u a n , u la m a ,u s ta d a ta u p e r a n c a n g m o d e ? L e b ih ir o n is n y a lagi, p a ra u sta z , d a ’i, p e n c e ra m a h ju g a te la h d ib a ja k p a sa r. S a tu
sisi k ita p a tu t
b e rsy u k u r,
se la m a
Ram adhan,
banyak
sta siu n
te le v is i
m e n a w a rk a n p ro g r a m -p ro g ra m k e isla m a n , m u la i d a ri c e r a m a h a g a m a sa m p a i a c a r a - a c a r a h ib u ra n la in n y a y a n g b e r n u a n s a re lig iu s. N a m u n p e r ta n y a a n k ritis k ita a d a la h , a p a k a h p r o g r a m y a n g d e m ik ia n a k a n m e m b a n tu m e n in g k a tk a n p e m a h a m a n , k e sa d a ra n d a n p e n g a m a la n u m a t d a la m b e r a g a m a ?
S ia p a k a h y a n g b e r h a k m e n e n tu k a n , u la m a a ta u te p a tn y a p a ra d a ’i, u sta z d a n u sta z a h y a n g la y a k d ita m p ilk a n d i te le v isi. A p a s e s u n g g u h n y a y a n g m e n ja d i u k u ra n se o ra n g u sta z la y a k “m a s u k T V .” M e n u r u t s a y a ja w a b a n n y a h a n y a satu , se le ra p a sa r. T id a k te r la lu p e n tin g , a p a k a h ilm u y a n g d im ilik i u sta z te r s e b u t m e m u n g k in k a n d irin y a ta m p il
m e n y a m p a ik a n p e sa n Isla m s e c a r a b e n a r d a n
te p a t
b e rh a ra p
a ta u
tid a k .
Ja d i
ja n g a n
le w a t
p ro g ra m
ram ad h an
di
TV,
p e m a h a m a n u m a t te rh a d a p a g a m a n y a a k a n m e n in g k a t d a n m e n ja d i p ro d u k tif. D i s a m p in g s e le ra p a sa r, u k u ra n la in n y a a d a la h , u sta z te r s e b u t h a ru s m e n g ik u ti “p e r in ta h ” k a u m k a p ita lis. B a g a im a n a sk e n a r io n y a a ta u c o n te n n y a h a ru s te ta p b e r a d a d a la m ra n c a n g a n b e s a r k a u m p e m ilik m o d a l. C o n to h n y a , p a ra u sta z y a n g ta m p il d i T V h a ru s d id a m p in g p a ra a rtis b e k e n y a n g t id a k sa ja c a n tik d an m e n a rik te ta p i ju g a “se d ik it g e n it.” T id a k je la s sia p a m e m a n fa a tk a n
siap a.
A p a k a h te r lib a tn y a a rtis u n tu k m e n in g k a tk a n p o p u la rita s sa n g u sta d , m e n a ik k a n ratin g , a ta u m a la h k a u m p e m ilik m o d a l in g in m e n ju a l b a h w a a rtis te r s e b u t sa n g a t c o c e rn p a d a a g a m a . T a n p a d isa d a ri a k h ir n y a k ita p u n m a s u k d a la m e ra “R e lig io ta in m e n t.” Istila h
la in y a n g
d ap at m en g gam b ark an
in i a d a la h
“e ra
k e s a le h a n in s ta n ,” d a n “k o m e r s ia lis a s i s p ir itu a lita s .” D a fta r p e m b a ja k a n R a m a d h a n in i te n tu d a p a t d ip e rp a n ja n g . W a la u p u n h a ru s d ia k u i, a d a sta s iu n T V y a n g te ta p k o n siste n p a d a se m a n g a t d a s a r Isla m ta n p a d iin te rv e n si p e m ilik m o d a l. S e b a ta s ik la n te n tu w a ja r s e p a n ja n g tid a k b e r le b ih -le b ih a n .
A c a r a -a c a r a
yang
d iisi
P ro f.
M.
Q u ra ish
S h ih a b ,
P ro f.
K o m a r u d d in H id a y a t d a n A r y G in a n ja r la y a k u n tu k d ia p re sia si. m e re k a b e rh a s il m e m b e rik a n
pem aham an
Isla m
yang
le b ih
d in a m is,
k re a tif,
dam ai
d an
m e n y e ju k k a n . M u n g k in
s a y a te rla lu
b e rle b ih a n .
N am un
sa y a tid a k b is a m e n ja w a b
p e rta n y a a n y a n g k e ra p d ia ju k a n o r a n g -o r a n g y a n g re sah , m e n g a p a R a m a d h a n tid a k m e m b a w a p e r u b a h a n k e p a d a k e h id u p a n k e b e ra g a m a a n y a n g le b ih b a ik ? Saya
hanya
m em baca
fe n o m e n a
di
a ta s
dengan
m e n g a ta k a n ,
k e h id u p a n
k e b e ra g a m a a n k ita tid a k a k a n b e r u b a h m e n ja d i le b ih b a ik jik a p e m a h a m a n
k e a g a m a a n k ita m a sih d a n g k a l d a n se b a ta s sim b o lik . B e lu m m e n y e n tu h p e rila k u , a k h la k a p a la g i k a ra k te r. A g a k n y a k a u m k a p ita lis b e r h a s il m e m b e n tu k u m a t Isla m m e n ja d i sa le h s e c a r a in sta n d a n s im b o lik . L a lu p e r ta n y a a n n y a d i m a n a u la m a ? m e re k a te ta p ad a. M e n g a m a ti d a n h e m a t s a y a ju g a p r ih a tin
d a n re sah . N a m u n s a y a n g n y a m e re k a tid a k b isa
“m e n g in te r v e n s i” p a sa r. P e n a fsira n m e re k a te n ta n g Isla m y a n g b e n a r k a la h o le h p e n a fs ira n Isla m k a u m k a p ita lis. K a u m k a p ita lis s a n g a t k u a t d a n itu te r ja d i k a r e n a m e re k a m e n g u a s a i m e d ia . Iro n isn y a , se b a g ia n u sta z d a n d a ’i m a s u k d a la m p u s a ra n ta fsira n k a u m k a p ita lis te rse b u t. Jik a d e m ik ia n , p e r ta n y a a n B e lla h d i ata s, m e n ja d i su lit u n tu k d ija w a b . H e m a t say a, m u h a s a b a h k ita se la m a R a m a d h a n in i tid a k h a n y a m e n g a c u p a d a d o sa in d iv id u te ta p i ju g a d o sa so sia l. Y a n g sa y a ta k u tk a n a d a la h , k e tik a R a su l m a ra h k a r e n a k ita tid a k m a m p u m e n ja g a a g a m a y a n g te la h d iw a risk a n n y a . M e n g a p a w a ja h Isla m b is a d ib a ja k k a u m k a p ita s. D a n in i tid a k p e rn a h te r ja d i p a d a e ra R a su l d a n sa h a b a t. T a n y a , m e n g a p a ?
2. Menghempang Budaya Konsurisme Lewat Puasa T u m b u h n y a p u s a t-p u s a t p e r b e la n ja a n d i k o ta -k o ta b e s a r sa a t in i s e p e rti p a s a r s w a la y a n , P la z a -p la z a d a n M a ll te r n y a ta m e m b a w a p e n g a ru h y a n g c u k u p s ig n fik a n te rh a d a p p e r u b a h a n b u d a y a p a sa r m a sy a ra k a t k o ta . P e ru b a h a n b u d a y a te r s e b u t d a p a t k ita lih a t p a d a d u a h al. P erta m a , p a sa r y a n g se la m a in i b e rsifa t a la m ia h
dan
m e n ja d i
p u sat
tr a n s a k s i
ju a l
b e li
b e rg e se r
m e n ja d i
p u sat
p e m b e n tu k a n g a y a h id u p . M a ll s e b a g a i m o d e l p a sa r a b a d 2 1 te la h
b e r k e m b a n g m e n ja d i p u s a t
p e m b e n tu k a n g a y a h id u p . M a ll m e n g k o n se n tr a s ik a n d a n m e ra s io n a lis a s ik a n w a k tu d a n a k tiv ita s m a sy a ra k a t, s e h in g g a ia m e n ja d i p u s a t a k tiv ita s so sia l d a n a k u ltu ra si, te m p a t p e m b e n tu k a n c itra d a n e k s is te n s i d iri, s u m b e r p e n g e ta h u a n , in fo rm a si, ta ta n ila i d a n m o ral. ( Y a s r a f A m ir P ilia n g :19 9 9 )
K e d u a , tr a n s a k s i ju a l b e li y a n g s e m u la d i d a sa rk a n a ta s k e b u tu h a n d a sa r m a n u sia
b a ik
p e m b e n tu k a n
k e b u tu h a n
pangan
c itra d iri d a n
sta tu s
dan
sa n d a n g
so sia l. D a la m
b ergeser
kepada
d a sa r
b u d a y a y a n g se p e r ti ini,
k o n s u m si tid a k la g i d ia rtik a n se b a g a i la lu lin ta s k e b u d a y a a n b e n d a , a k a n te ta p i m e n ja d i se b u a h p a n g g u n g so sia l, y a n g d i d a la m n y a te r ja d i p e r a n g p o s is i d i a n ta r a a n g g o ta -a n g g o ta m a sy a ra k a t y a n g te rlib a t.
P ro d u k -p r o d u k y a n g d ik o n su m s i
d ija d ik a n s e b a g a i m e d iu m u n tu k p e m b e n tu k a n p e rso n a lita s, g a y a h id u p , d a n c itra d iri d ite n g a h -te n g a h k o m u n ita s m a sy a ra k a t la in n y a . K o n d isi in ila h y a n g te r ja d i sa a t in i tid a k s a ja d i B a ra t te ta p i ju g a te la h m e la n d a d i k o ta -k o ta m u slim . A k b a r S A h m e d m e la p o rk a n m a ll te la h tib a d i k o ta -k o ta m u slim d a n b e r k e m b a n g d e n g a n p e s a t b a h k a n d i S a u d i A ra b ia , ta n a h su c i u m a t Isla m . A k ib a tn y a a d a la h u m a t Isla m sa a t in i m e ra sa k e su lita n u n tu k m e re k o n s ilia s i m a ll d e n g a n m a sjid . M a sjid y a n g d ih a ra p k a n se b a g a i fo c u s so sia l te r n y a ta te la h b e r g e s e r k e m a ll. M a ll b e n a r-b e n a r te la h m e n ja d i fo c u s s o sia l d a n m e m b u a t o ra n g se tia u n tu k m e n g u n ju n g in y a se tia p saat. In d o n e sia se b a g a i n e g a r a y a n g m a y o rita s p e n d u d u k n y a m u slim , ju g a te r k e n a im b a sn y a . T u m b u h su b u r n y a p u s a t-p u s a t p e r b e la n ja a n m o d e r n s e p e rti p la z a d a n m a ll d i k o ta -k o ta b e s a r tid a k b is a d ih in d a ri. K ita se o la h -o la h tid a k b e r d a y a m e n o la k k e h a d ira n n y a . T id a k itu sa ja s a d a r a ta u tid a k k e h a d ira n n y a ju g a ik u t m e m b e n tu k p r ila k u k o n s u m tif m a s y a r a k a t k ita y a n g te r u s b e ru b a h . M a n u s ia -m a n u s ia p o s tm o d e r n - m e m in ja m istila h A k b a r S A h m e d - sa a t in i k e tik a m e m b e li se s u a tu tid a k sa ja d id a sa rk a n p a d a k e b u tu h a n d a s a r h id u p n y a (p rim e r a ta u se k u n d e r)
m e la in k a n ju g a d id o ro n g o le h k e in g in a n n y a u n tu k
m e n in g k a tk a n s tra ta h id u p n y a d a la m s tru k tu r so sia l m a s y a r a k a t te rte n tu . K o n su m s i tid a k
s e k e d a r b e r k a ita n
dengan
n ila i g u n a
d a la m
ra n g k a
m e m e n u h i fu n g s i u tilita s a ta u k e b u tu h a n d a s a r m a n u sia te rte n tu , a k a n te ta p i k in i b e rk a ita n d e n g a n u n s u r -u n s u r sim b o lik u n tu k m e n a n d a i k e las, sta tu s a ta u sy m b o l
so sia l
te rte n tu .
K o n su m s i
m e n g e k s p r e s ik a n
p o sisi
so sia l
yang
te r s e m b u n y i d i b a lik n y a . K e c e n d e ru n g a n se p e rti in i o le h p a r a p e m ik ir so sia l d a n
b u d a y a E ro p a p a d a u m u n y a d ise b u t d e n g a n b u d a y a k o n su m e rism e . (Y a s r a f A m ir P illia n g :19 9 9 ). D a la m k o n te k s in i, p o la b u d a y a k o n su m si m a sy a ra k a t tid a k la g i d ita n d a i o le h lo g ik a k e b u tu h a n (n e ed ) m e la in k a n lo g ik a h a sra t (d esire). M a sy a ra k a t tid a k s a ja a k a n m e n g k o n su m s i b e n d a -b e n d a te ta p i ju g a m e m b e li sy m b o l, p e sa n y a n g d ik a n d u n g d i b a lik b e n d a te rse b u t. K e tia ia m e n g k o n su m s i s e s u a tu s e b e n a rn y a a d a y a n g h e n d a k d ik o m u n ik a s ik a n n y a b a h w a Ia te la h b e r a d a p a d a k e la s te r te n tu d a n m e m b e d a k a n n y a d e n g a n o ra n g lain . D e n g a n k a ta la in m e n g k o n su m s i a d a la h sa la h sa tu c a ra u n tu k m e n g e k s te r n a lis a s ik a n d iri d a la m stra ta te rte n tu . Iro n is n y a
budaya
k o n su m e rism e
yang
d ip e ra n k a n
o le h
m a s y a ra k a t
k o n s u m e r te r ja d i p a d a sa a t k e tim p a n g a n so sia l e k o n o m i m a s y a r a k a t m a sih s a n g a t tin g g i. Ju r a n g p e m is a h a n ta r a si k a y a d e n g a n si m is k in b e g itu m e n g a n g a . D engan
d e m ik ia n
k e h a d ira n
p la z a
dan
m a ll
h a n y a la h
m e m p e rto n to n k a n
k e s e n ja n g a n so sia l d a n m e m b u a t p o tre t k e m isk in a n b e g itu je la s d a n tra n sp a ra n . Y a n g p a lin g m e n g k h a w a tir k a n a d a la h , b u d a y a k o n su m e ris m e in i m e n im b u lk a n k e c e m b u ru a n so sia l d i m a s y a ra k a t y a n g p a d a g ilir a n n y a m e n g u n d a n g te r ja d in y a k e ra w a n a n so sia l.
Puasa dan Keseimbangan Hidup K e h a d ira n
B u la n
R am adhan
di
sa a t
budaya
k o n s u m e ris m e
m e n ja d i
se b u a h fo n o m e n a k e h id u p a n m a s y a r a k a t sa a t in i d ip a n d a n g s a n g a t te p a t. D i d a la m n y a te r b e s it h a ra p a n a k a n se b u a h p e r u b a h a n g a y a h id u p d a ri b u d a y a k o n s u m e ris m e k e b u d a y a h id u p se d e rh a n a . A p a k a h p u a s a R a m a d h a n m e m ilik i k e k u a ta n
u n tu k
m e la k u k a n p e ru b a h a n
te rse b u t.
S ecara
te o lo g is
n o rm a tiv e ,
ja w a b n y a te n tu d ap a t. P u a s a y a n g d i d a la m b a h a s a A r a b d is e b u t d e n g a n a l-im s a k m e n g a n d u n g a r ti m e n a h a n .
M a k s u d n y a a d a la h
o ra n g y a n g
m e la k sa n a k a n
ib a d a h
p u a sa
d itu n tu t u n tu k m a m p u m e n a h a n se g a la k e in g in a n n y a d a ri k e c e n d e r u n g a n h a w a n a fs u y a n g s e la lu sa ja m e n d o r o n g m a n u sia u n tu k b e r b u a t y a n g tid a k b a ik
(d e stru k tif). T e g a s n y a d e n g a n m e la k s a n a k a n p u a sa , m a sy a ra k a t d ila tih u n tu k m a m p u m e n g e n d a lik a n k e c e n d e r u n g a n h a w a n a fsu n y a , te r m a s u k la h k e in g in a n m e n g k o n su m si, m e m b e li b e n d a -b e n d a y a n g s e b e n a rn y a tid a k d ip e rlu k a n n y a . P a ra a h li p s ik o a n a lis a s e la lu sa ja m e n g g a m b a r k a n m a n u sia itu se n a n tia s a b e r a d a d a la m su a tu p ro se s t a r ik m e n a r ik a n ta r a u n s u r ja sm a n iy a h d a n u n s u r ro h a n iy a h . A l- Q u r ’a n m e n y e b u tn y a f u j u r d a n k a ta A lla h
taqw a.
d a la m su ra h a l-s y a m s a y a t 8 d e n g a n
k a ta
F u ju r a d a la h k e in g in a n u n tu k s e la lu m e la n g g a r p e rin ta h
S W T d a n ta q w a a d a la h k e in g in a n u n tu k s e la lu m e m a tu h in y a . K e d u a
p o te n si in i s e la lu b e r ta r u n g d a la m d iri m a n u sia . B isa s a ja d ik a ta k a n , f u j u r b e ra s a l d a ri ta n a h (k e c e n d e ru n g a n ja sm a n i) d a n ta q w a b e r a s a l d a ri ro h ( k e c e n d e r u n g a n ro h a n i. ). U n su r ja sm a n iy a h y a n g b e ra sa l d a ri ta n a h a k a n m e n ja d ik a n m a n u sia cen d eru n g
u n tu k
m em enuhi
k e b u tu h a n f a 'a l i n y a
se p e r ti
m akan,
m in u m ,
k e b u tu h a n se x u a l d a n m a te ria l, y a n g s e b e n a rn y a tid a k m e m ilik i t itik h en ti. S e rin g k a li d a la m m e m e n u h i k e b u tu h a n in i m a n u sia tid a k la g i m e m p e rh a tik a n a ja r a n -a ja r a n
agam anya
dan
cen d eru n g
u n tu k
m e n g h a la lk a n
se g a la
cara.
A k h irn y a ja d ila h m a n u sia itu s e b a g a i m a k h lu k y a n g ra k u s d a n se ra k a h . S e d a n g k a n u n su r r o h a n iy a h y a n g la n g su n g b e r s u m b e r d a ri A lla h S W T , m e m b u a t m a n u sia itu c e n d e u n g p a d a k e b e n a ra n , b e r k e in g in a n u n tu k m e la k u k a n y a n g b a ik -b a ik d a n se la lu in g in d e k a t k e p a d a a s a ln y a y a it u A lla h S W T . In ila h m a k n a b a h w a p a d a d a sa rn y a m a n u sia itu h a n i f y a n g a r tin y a c e n d e r u n g p a d a k e b e n a ra n (m a il ila a l-H a q ). K e d u a p o te n si in ila h y a n g
s e la lu b e r ta r u n g p a d a d iri m a n u sia y a n g p a d a
a k h ir n y a d a p a t m e n im b u lk a n k e tim p a n g a n h id u p d a n d is h a rm o n is a s i. D ik a ta k a n d e m ik ia n k a r e n a s e r in g k a li k e d u a k e b u tu h a n in i tid a k s e im b a n g d a la m d iri m a n u sia . A d a k a la n y a k e b u tu h a n
d u n ia w in y a le b ih d o m in a n d a n te r k a d a n g
k e b u tu h a n r o h a n in y a y a n g le b ih d o m in a n . S itu a si s e p e rti in i s e r in g k a li m e n y ik s a k e h id u p a n m a n u sia k a r e n a tid a k s e su a i d e n g a n fitr a h n y a sen d iri.
Melalui ibadah puasa ketidakseimbangan ini akan dipecahkan. Disatu sisi setiap orang yang berpuasa harus mengurangi kebutuhan jasmaninya seperti makan, minum (material) dan kebutuhan sexual. Pada sisi lain ia juga harus menyuburkan perkembangan batinnya dengan ibadah puasa, sholat baik fardu ataupun sunnat, zikir dan membaca al-Qur’an. Pada akhirnya kebutuhan jasmani yang sebelumnya dominan, menjadi turun dan kebutuhan rohaninya yang semula rendah dapat dinaikkan sejajar dengan kebutuhan jasmaninya, sehingga tidak ada yang dominan. Setelah mencapai keseimbangan baru tersebut, sebenarnya pribadi muslim tersebut telah kembali kepada fitrah asalnya yaitu satu bentuk kehidupan yang alami (natural) seimbang kebutuhan jasmani dan rohani. Dalam surah
a l-ru m
ayat 30 Allah berfirman :
M a k a h a d a p k a n la h w a ja h m u k ep a d a
A g a m a y a n g h a n i f (lu ru s) y a n g d ic ip ta k a n A lla h S W T m a n u sia .
s e s u a i d e n g a n fit r a h
Melalui ayat ini tegaslah bahwasanya manusia itu pada hakikatnya
diciptakan dalam kondisi fitrah. Satu bentuk kehidupan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani. Kehidupan yang seimbang adalah satu bentuk kehidupan yang otentik bagi manusia. Ia akan memenuhi kebutuhan hidupnya seperti kebutuhan material-fisik berdasarkan logika kebutuhan (n e e d ) dan bukan didasarkan pada logika hasrat
(d isire).
Ia akan sadar kehormatan dan citra dirinya ditengah-
tengah masyarkat bukan ditentukan oleh harta/materi yang dimilikinya, melainkan kualitas ketakwaannya yang ditandai dengan keberhasilannya memenuhi kebutuhan rohaninya secara seimbang. Selanjutnya kelebihan material yang dimiliki akan digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui instrument Zakat, Infaq dan sadaqah.
Sedangkan
sederhana/bersahaja.
bagi
dirinya,
Ia
akan
menerapkan
pola
hidup
Penutup P re d ik a t ta q w a y a n g m e ru p a k a n tu ju a n a k h ir d a ri ib a d a h p u a s a a k a n d ita n d a i
o le h
kem am puan
s e se o ra n g
m enahan
dan
m e n g e n d a lik a n
haw a
n a fs u n y a te r m a s u k h a s r a t u n tu k m e m ilik i s e s u a tu b e n d a y a n g s e b e n a rn y a tid a k d ip e rlu k a n n y a . K e m a m p u n a n n y a m e n g e n d a lik a n d iri te r c e rm in d a la m
sik a p
h id u p y a n g se d e rh a n a . S e la n ju tn y a ia a k a n m e n g g u n a k a n k e le b ih a n m a te ria ln y a te r s e b u t u n tu k s e m a k in m e n d e k a tk a n d iri k e p a d a A lla h S W T d e n g a n c a ra m e n d istrib u s ik a n k e k a y a a n n y a k e p a d a o r a n g -o r a n g y a n g tid a k m a m p u . A kankah
p u asa
R am adhan
akan
b e r h a s il
m e ru b a h
p o la
budaya
k o n s u m e ris m e m e n ja d i p o la b u d a y a h id u p se d e r h a n a ?. ja w a b n y a a k a n s a n g a t te r g a n tu n g p a d a tin g k a t p e n g h a y a ta n k ita te rh a d a p ib a d a h p u a s a te rse b u t. Sem oga.
3. Ledakan Penduduk dan Kesiapan Bumi Kita B a g a im a n a ja d in y a n e g e r i in i p u lu h a n ta h u n m e n d a ta n g jik a b a n g s a in i tid a k m a m p u m e n g e n d a lik a n le d a k a n p e n d u d u k n y a . Jik a p a d a ta h u n 2 0 10 sa ja ju m la h p e n d u d u k In d o n e s ia te la h m e n c a p a i a n g k a 2 3 7 ,6 ju ta jiw a , b a g a im a n a p u la p a d a ta h u n 2 0 4 5 m e n d a ta n g . S a la h se o ra n g p a k a r m e m p re d ik si, ju m la h p e n d u d u k In d o n e s ia p a d a ta h u n 2 0 4 5 m e n c a p a i a n g k a 4 5 0 ju ta jiw a . P a d a sa a t itu , ju m la h p e n d u d u k d u n ia m e n c a p a i a n g k a 7 m ilia r jiw a . A rtin y a , s a tu d a ri 20 p e n d u d u k d u n ia o ra n g In d o n e sia . (S o n n y H B :2 0 11). B a g a im a n a b u m i In d o n e s ia p a d a m a sa itu ? Ja w a b n y a , d ip a stik a n b u m i In d o n e s ia a k a n p e n u h se sa k d ip a d a ti o le h m a n u sia . R u a n g g e r a k m e n ja d i te rb a ta s. K ita a k a n d ih a d a p k a n d e n g a n s e a b re k p e r s o a la n -p e r so a la n y a n g b e ra s a l d a ri m a n u sia itu se n d iri, m is a ln y a
m a sa la h
s a m p a h y a n g d ip a s tik a n a k a n m e m u k u l b a lik m a n u sia . L o n g s o ra n sa m p a h a k a n k e m b a li m e n g a m b il k o rb a n . K e m a c e ta n la lu lin ta s y a n g m e m b u a t k e n d e ra a n ro d a e m p a t m e n ja d i tid a k b e r h a r g a s a m a se k a li.
K ita d ih a d a p k a n d e n g a n
m a s a la h k e te rse d ia a n b a h a n p o k o k ? L e b ih m e n g e rik a n d a ri itu , k ita a k a n
d itu n tu t u n tu k m e n y e le s a ik a n k e te rse d ia a n a ir b e rsih . B e lu m la g i p e rso a la n su b s id i b u a t
m a sy a ra k a t m is k in y a n g se la lu m e m b u a t p e m e r in ta h p u s in g tu ju h
k e lilin g . Je la s la h b a h w a le d a k a n p e n d u d u k y a n g t a k te r k e n d a li a k a n m e m b u a t b u m i p e n u h se sa k . P a d a g ilira n n y a , k e s e la m a ta n m a n u sia m e n ja d i te r a n c a m . Jik a d e m ik ia n , m a s ih la y a k k a h b u m i in i s e b a g a i te m p a t h u n ia n ? B e b e r a p a p e m ik ir d a n a h li k e p e n d u d u k a n te la h m e n c o b a m e m b e r i ja la n k e lu a r u n tu k m e n g a ta s i m a sa la h te rse b u t. D i a n ta r a p e m ik ir a n y a n g d ita w a rk a n , t a m p a k n y a p e m b a ta s a n k e la h ir a n m e n ja d i la n g k a h y a n g p a lin g m u n g k in d a n re a listis. Jik a d u lu k ita m e n g e n a l K B (k e lu a rg a b e re n c a n a ), p ro g ra m te r s e b u t te ta p d ip a n d a n g r e le v a n u n tu k d ik e m b a n g k a n k e m b a li. C u k u p h a n y a d u a an ak , la k i-la k i d a n p e r e m p u a n s a m a saja, m e n ja d i ik la n y a n g tid a k s a ja re le v a n te ta p i ju g a
m e n a w a rk a n
p e s a n -p e s a n
m u lia
s e p e r ti
e g a lita ria n is m e
(p e rsa m a a n ).
P e rs o a la n n y a a d a la h , jik a K B d ija d ik a n so lu si, p r o b le m a y a n g s e g e r a m u n c u l a d a la h d a ri a g a m a w a n . K B d ip a n d a n g m e n o la k re z e k i y a n g d ib e r ik a n T u h a n . B a h k a n le b ih k e ra s d a ri itu k e ra p d ik a ta k a n b a h w a K B s a m a d e n g a n m e n o la k ta k d ir. P o in t y a n g in g in
sa y a k e m u k a k a n a d a la h , jik a d a h u lu , Isla m
hanya
d ija d ik a n se b a g a i ju s tifik a s i (p e m b e n a ra n ) p r o g r a m p e m e r in ta h y a n g se d a n g m e n g g a la k k a n K B , k a li in i Isla m
h a ru s b e r a d a d i d e p a n d a n m e m p e lo p o ri
g a g a s a n d a n g e r a k a n m e n g a ta s i p e rso a la n le d a k a n p e n d u d u k b u m i. O le h se b a b itu m e n ja d i p e n tin g u n tu k m e n g g a li p e s a n -p e s a n d a s a r A l- Q u r ’a n a ta u h a d is N a b i. D a la m k o n te k s a ja r a n Isla m a d a d u a h a l y a n g d a p a t d ik e m b a n g k a n ; k o n se p k e k h a lifa h a n d a n k o n se p z u r r iy a t (g e n e ra si) y a n g k u at. K o n se p
k e k h a lifa h a n
hem at
sa y a
p e r lu
d ik e m u k a k a n
se b a g a i
d a sa r
b a g a im a n a s e ja tin y a m a n u sia m e n a ta k e h id u p a n n y a d i m u k a b u m i in i. K ita b su c i m e n e g a s k a n b a h w a m a n u s ia te la h d ip ilih A lla h se b a g a i k h a lifa h (p e m im p in ) d i s a m p in g s e b a g a i ‘a b d (h a m b a ). S e b a g a i k h a lifa h , m a n u sia m e m ilik i k e w a jib a n d a n tu g a s u n tu k m e m a k m u rk a n b u m i ( w a s ta ’m a ra k u m a l-a rd ). B u k a n h a n y a u n tu k m a n u sia itu se n d iri, te ta p i ju g a m a k h lu k la in n y a s e p e r ti h e w a n d a n
tumbuh-tumbuhan. Adapun sebagai ‘abd, manusia wajib mengabdi dan menundukkan dirinya di depan Tuhan dengan cara melakukan ibadah kepada Allah SWT. Posisi manusia sebagai khlaifah sesungguhnya adalah konsekuensi logis dari fasilitas yang diberikan Allah kepadanya. Manusia dilengkapi dengan perangkat-perangkat - ‘aql,
qalb, h aw a ,
dan
n a fs-
yang membuatnya menjadi
mungkin untuk mengembangkan potensi diri. Allah juga mengajarkan kepada manusia
a l-a s m a ’
(simbol-simbol) yang membuatnya mengenal apa-apa yang
dapat dimanfaatkan untuk mendukung fungsi kekhalifahannya. Di atas segalanya, manusia juga diberikan kebebasan untuk mengelola bumi sepanjang sesuai dengan prinsif-prinsif syari’ah. Berdasarkan kebebasan itu pula manusia dipilih sebagai khalifah. Kemakmumar bumi hanya dapat diwujudkan oleh khalifah yang memiliki kebebasan untuk mengembangkan kreatifitas. Manusia dengan kemampuan berpikirnya mampu merumuskan kerja-kerja peradaban buat kesejahteraan manusia. Berbeda dengan materi alam lainnya, seperti gunung, bukit, bahkan bumi ini. Secara fisik mereka lebih besar, namun tidak memiliki kebebasan. Karenanya mereka tidak dapat menjadi khalifah di alam ini. Di dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman, m e n a w a rk a n m e re k a
am anah
m e n o la k
k ep a d a
u n tu k
la n git,
m e m ik u ln y a
“S e s u n g g u h n y a
bum i, g u n u n g k a re n a
dan
m e ra sa
kam i
b u k it-b u k it,
b era t.
D an
telah nam un
m a n u s ia
m e m ik u ln y a . S u n g g u h m a n u sia itu z a lim d an b o d o h ”.
Ayat-ayat di dalam kitab suci menegaskan bahwa alam dan segala isinya diciptakan buat manusia (Q.S 2:29). Bahkan Allah juga telah menundukkan (ta sk h ir) alam dengan segala isinya agar manusia memiliki kemudahan dalam mengelolanya. DI dalam surah Luqman ayat 20 Allah berfirman,
T id a k k a h k a m u
m a n u sia p e r h a tik a n s e s u n g g u h n y a A lla h tela h m e n u n d u k k a n u n tu k m u apa y a n g d i la n g it d a n a pa y a n g d i b u m i d a n m e n y e m p u r n a k a n u n tu k m u n i ’m a tN y a la h ir dan batin .
buat
Ayat ini tidak saja menjelaskan fasilitas-fasilitas yang Allah siapkan
manusia
dalam
mendukung
fungsi
kekhalifahannya,
tetapi
juga
menegaskan bahwa manusia adalah puncak ciptaan Tuhan. Manusia adalah makhluk tertinggi. Manusia harus selalu “melihat ke atas,” hanya kepada Tuhan, kemudian kepada sesamannya harus melihat dalam garis mendatar dan kepada alam harus melihat ke bawah.(Nurcholish Madjid:1999). Dalam perspektif kependudukan, manusia dalam posisinya sebagai khalifah harus mampu mengatur bumi agar menjadi tempat yang tetap layak huni bagi seluruh isinya. Manusia juga dituntut untuk menatanya, menjaga keseimbangan antara manusia dengan alam, kebutuhan hidupnya dengan kebutuhan pangan serta sumber daya alam yang tersedia. Intinya, manusia harus menjaga agar tidak terjadi apa yang oleh ahli demografi dan ahli lingkungan sebutkan dengan istilah e c o lo g ic a l s u ic id e (bunuh diri ekologi). Jumlah penduduk yang tidak terkendali akan mengakibatkan buruknya kualitas lingkungan hidup itu sendiri.(Sonny HB:2011). Konsep kedua yang ingin dikedepankan adalah,
z u r r iy a t
(mempersiapkan
generasi buat masa depan). Di dalam Al-Nisa’ ayat 9 Allah menegaskan, “H e n d a k la h le m a h ...”.
m e re k a ta k u t a n d a ik a n n a n tin y a m e re k a m e n in g g a lk a n g e n e r a s i y a n g
kata kunci ayat tersebut adalah
z u r r iy a t d h i’a fa
(generasi yang tidak
berdaya). Ayat ini dapat dipahami bahwa Allah melarang kita meninggalkan keturunan yang lemah baik dari sisi aqidah, ilmu, ekonomi, sosial-budaya dan tekhnologi.
Generasi
yang
lemah
adalah
generasi
yang
tidak
dapat
mengembangkan potensi dirinya. Tidak mampu mengelola alam. Pendek kata, mereka adalah generasi yang gagal menjalankan fungsi kekhalifahannya. Ayat di atas
juga
mengandung
pesan,
pentingnya
memberi
prioritas
untuk
meningkatkan kualitas generasi bukan kuantitasnya. Kita dapat berkata, Islam sesungguhnya lebih mendorong kita untuk memiliki keturunan yang berkualitas ketimbang keturunan yang kuantitasnya (jumlah) banyak. Kendati dalam satu riwayat, Nabi mengatakan bahwa ia bangga dengan umat yang banyak (a n a
m u k a s iru n b ik u m a l-a n b iy a ’) .
Namun hadis ini
tetap harus dibaca dalam konteks kualitas. Umat yang jumlahnya banyak namun
t id a k b e rk u a lita s, a lih -a lih m e m b e r i ra sa b a n g g a , y a n g te r ja d i ju s t r u se b a lik n y a , m e re n d a h k a n d a n m e le m a h k a n . A p a y a n g k ita r a sa k a n sa a t in i a d a la h b u k ti, ju m la h u m a t Isla m y a n g b a n y a k d i n e g e ri y a n g te r c in ta in i, t id a k m e m b u a t k ita b a n g g a s a m a se k a li se b a g a i u m a t Islam . Ju m la h y a n g b a n y a k tid a k b e r k o n trib u s i p a d a p e m b a n g u n a n p e r a d a b a n y a n g d a m a i d a n se ja h te ra . S a m p a i d i sin i, p r o g r a m K B s e s u n g g u h n y a m e m ilik i la n d a s a n n a sh y a n g je la s.
N am un
h a ru s
d ic a ta t, ju s tifik a s i Isla m
bukan
se k e d a r m e n a h a n
p e r tu m b u h a n p e n d u d u k te ta p i m e n in g k a tk a n k u a lita s h id u p . m engkam panyekan m e n y ia p k a n
KB,
se ju m la h
m a sy a ra k a tn y a . P ro g ra m
m aka
pada
p ro g ra m
sa a t
u n tu k
yang
sam a
Jik a p e m e r in ta h
p e m e r in ta h
m e n in g k a tk a n
la ju
k u a lita s
K B y a n g tid a k d iir in g i d e n g a n k e b ija k a n
h aru s h id u p
re k a y a s a
k u a lita s, m a k a itu a k a n m e m b u a t k o n d isi b a n g s a in i s e m a k in p a ra h . Ju m la h p e n d u d u k n y a se d ik it, su m b e r d a y a m a n u sia n y a ju g a re n d a h . L a lu a p a la g i y a n g in g in k ita b a n g g a k a n . S e b a g a i c a ta ta n p e n u tu p , k e d u d u k a n k ita se b a g a i k h a lifa h s e ja tin y a h aru s m e m b u a t k ita b e r p ik ir b u a t m a sa d e p a n . B e r p ik ir b u a t g e n e r a s i m e n d a ta n g . K o n d is i lin g k u n g a n y a n g b a g a im a n a k a h y a n g in g in k ita s ia p k a n b u a t a n a k c u c u k ita. D e n g a n b a h a s a y a n g s e d ik it p ro v o k a tif, b u m i y a n g b a g a im a n a k a h y a n g a k a n k ita w a r is k a n b u a t g e n e r a s i m e n d a ta n g . A k a n k a h k ita a k a n m e n in g g a lk a n u d a ra y a n g su d a h te r c e m a r ! A ir y a n g tid a k la g i b e rs ih
! L in g k u n g a n y a n g p e n u h
s a m p a h ! Ja la n -ja la n y a n g p e n u h d e n g a n k e m a c e ta n ! a ta u b u m i y a n g su d a h sum pek ! L a p o ra n y a n g d ib e rik a n b e b e r a p a m e d ia a k h ir -a k h ir in i te n ta n g b a h a y a le d a k a n
penduduk,
s e h a ru sn y a
m en yad ark an
k ita te n ta n g
p e r lu n y a
u n tu k
m e n a ta u la n g b u m i d i m a n a k ita h id u p . T id a k sa ja u n tu k d iri k ita y a n g m e n ja d i a n a k z a m a n n y a , te ta p i ju g a b u a t m e w a r is k a n n y a b a g i g e n e r a s i m e n d a ta n g . H e m a t saya, e la b o r a s i k o n se p n isc a y a . S e m o g a .
k h a lifa h
d a n z u r r iy a t m e n ja d i se su a tu y a n g
3. Perumahan Syari’ah, Mungkinkah ? S e tid a k n y a g a g a s a n m e m b a n g u n p e r u m a h a n Isla m i a ta u h u n ia n Isla m i te la h
m uncul pada
ta h u n
2 0 0 0 -a n
s e ir in g
e k o n o m i S y a ri’a h y a n g te r je lm a d a la m S e b e n a rn y a
bukan
hanya
h u n ia h
dengan
b e n tu k
S y a ri’ah ,
b erk em b an g n ya
le m b a g a k e u a n g a n
h o te l-h o te l
S y a ri’a h
siste m
S y a ri’ah.
ju g a
m u la i
m u n c u l. D e m ik ia n p u la h a ln y a d e n g a n b isn is ril S y a ri’ah . F e n o m e n a in i b isa d ib a c a d a la m d u a b e n tu k . P e rta m a , tid a k le b ih d a ri se k e d a r tre n d d a n im p lik a si d a ri b o m in g e k o n o m i S y a ri’ah . K e d u a , k e c e n d e ru n g a n y a n g m u n c u l k a re n a d id o ro n g o le h k e s a d a r a n u n tu k b e r isla m
se c a ra k affa h . A p a p u n
a la sa n n y a ,
h u n ia n Isla m i tid a k la g i m e n ja d i w a c a n a te ta p i su d a h m e n ja d i fe n o m e n a . S e la n ju tn y a , ta h u n 20 0 7 , se b u a h M a ja la h E k o n o n o m i Isla m m e n u ru n k a n la p o ra n n y a y a n g b e r ju d u l “ T ren H u n ia n I s la m i”. D ib e rita k a n d i d a la m n y a , p a ra p e n g e m b a n g - k h u s u s n y a d i w ila y a h Ja b o d e ta b e k , ta m p a k n y a m e n y a d a r i b isn is p eru m ah an
Isla m i
m e m ilik i
p a sa r
yang
san gat
m e n ja n jik a n .
T id a k la h
m e n g h e r a n k a n jik a m e re k a p u n m a s u k d i ra n a h in i. B a k g a y u n g b e rsa m b u t, p e ru m a h a n -p e ru m a h a n y a n g b e r c o r a k Isla m i s e m a k in d im in a ti m a sy a ra k a t. D i S u m a te r a U ta ra , k e n d a ti a d a b e b e r a p a p e n g e m b a n g y a n g m e m a su k i b isn is ini, se m isa l,
P e ru m a h a n
G riy a
R a ih a n ,
P u ri
Z a h a ra ,
dan
se b a g a in y a ,
nam un
k o n s e p n y a s a m a se k a li b e lu m d ip e rb in c a n g k a n se c a ra lu as. B a g a im a n a
s e b e n a rn y a
k o n se p
P e ru m a h a n
a ta u
H u n ia n
Isla m i
?
s e p e n g e ta h u a n p e n u lis, b e lu m a d a sa tu r e fe re n s i o to r ita tif y a n g b is a m e n je la sk a n isu in i d e n g a n c a ra y a n g m e m u a sk a n . A k ib a tn y a , a d a b a n y a k d e fin is i te n ta n g p eru m ah an
Isla m i.
Ada
yang
m e n d e fin is ik a n
p eru m ah an
Isla m i
a d a la h
p e r u m a h a n y a n g p e n g h u n in y a se lu r u h n y a m u slim . T id a k a d a n o n m u slim d i san a. Jik a r u m a h te r s e b u t d i ju a l ke ta n g a n k e d u a a ta u d i se w a k a n p e m ilik n y a , m e re k a s u d a h m e n y e p a k a ti p e r ja n jia n b a h w a p ih a k k e d u a b a ik si p e m b e li a ta u si p e n y e w a a d a la h m u slim . S a m p a i d i sin i, p e r u m a h a n Isla m i d ip a h a m i s a n g a t e k slu sif.
A d a k e c e n d e ru n g a n b a ru , k e la s m e n e n g a h m u slim p e rk o ta a n k e tik a in g in m e m b e li ru m a h , m e re k a tid a k h a n y a m e m p e rtim b a n g k a n lo k a si, m o d e l d a n h arg a. M e r e k a m u la i b e rta n y a , jik a ia m e m b e li ru m a h , sia p a k a h y a n g a k a n m e n ja d i te ta n g g a n y a . M e r e k a te n tu
m e ra s a le b ih n y a m a n jik a te ta n g g a n y a
se im a n . A d a p u la y a n g m e n y a ta k a n , p e r u m a h a n Isla m i a d a la h p e r u m a h a n y a n g m e m ilik i m u s h a lla d i d a la m y a , W C y a n g tid a k m e n g h a d a p k ib la t, d in d in g y a n g b e r ta b u r k a lig ra fi, k e ra n w u d h u ’ y a n g te r s e d ia d a n b e n tu k r u m a h y a n g tid a k m e m b u k a a u ra t p e n g h u n in y a (ru m a h y a n g ta m u tid a k b is a m e lih a t ru a n g -ru a n g p riv a t). S e b a g ia n o r a n g m e lih a t p e r u m a h a n Isla m i ta m p a k p a d a lin g k u n g a n n y a y a n g m e n o n jo lk a n g h ira h Isla m . B u k a n sa ja d i k o m p le k p e r u m a h a n te r s e b u t terd ap at
m a s jid
a ta u
m u sh a lla ,
T am an
P e n d id ik a n
A l- Q u r ’an ,
te ta p i ju g a
m a r a k n y a m a jlis -m a jlis T a ’lim . K a la u a d a k o la m re n a n g , m a k a d i k o la m te r s e b u t t id a k b o le h b e r c a m p u r a n ta r a la k i-la k i d a n p e re m p u a n . H a ru s a d a p e n g a tu ra n w a k tu . B a h k a n p e r u m a h a n A z - Z ik r a y a n g d ig a g a s U sta z A r ifin Ilh a m m e la ra n g p e n g h u n in y a m e ro k o k . D e fin isi y a n g le b ih s u b s ta n tif te n ta n g h u n ia n Isla m i a d a la h , p e r u m a h a n y a n g tid a k e k slu sif, - n o n m u slim ju g a d ib o le h k a n tin g g a l se p a n ja n g m e re k a t id a k m e m b u a t k e b a k tia n d i r u m a h n y a d a n tid a k p u la m e m e lih a ra a n jin g . D i s a m p in g itu, p e r u m a h a n Isla m i a d a la h p e r u m a h a n y a n g n ila i-n ila i Isla m te g a k d i d a la m n y a . S e tid a k -tid a k n y a , d i sa n a tid a k a d a p e r e d a r a n n a rk o b a , tid a k a d a p u la sek s b e b a s d a n s e g a la m a c a m k e m a k s ia ta n te r s e lu b u n g la in n y a . T id a k k a la h m e n a r ik n y a a d a la h , p e r u m a h a n
Isla m i d itin ja u d a ri sisi
a rs ite k tu rn y a . K o n se p p e r u m a h a n Isla m i itu a d a la h f r o m f o llo w fu n c t io n
yang
a r tin y a b e n tu k m e n g ik u ti fu n g si. P e n a ta a n h u n ia n Isla m i itu fo k u s p a d a fu n g si ru m a h d a la m k e h id u p a n . Ia tid a k la ru t te r h a d a p p e rk e m b a n g a n se n i a r s ite k tu r m o d e rn a p a la g i y a n g b e r n u a n s a B a ra t. T id a k b e r a r ti p e r u m a h a n Isla m i b e rk ib la t k e p a d a a r s ite k tu r T im u r T e n g a h . In tin y a , d a la m m e m b a n g u n ru m a h , y a n g p e rlu le b ih a w a l d i d e fin is ik a n a d a la h fu n g s i-fu n g s i a p a y a n g a k a n d im a in k a n se tia p
ru a n g . B e rd a s a rk a n itu la h b e n tu k n y a , g a y a a ta u a r s ite k tu rn y a d i d e sa in . B a g i se b a g ia n p e n g e m b a n g , p e r u m a h a n Isla m i m e n sy a ra tk a n a q a d p e n ju a la n d an p e m b e lia n h a ru s la h d e n g a n m e n g g u n a k a n a k a d -a k a d S y a ri’ah . O to m a tis y a n g b is a m a s u k b e r m a in d a la m ju a l b e li p r o p e r ti p e r u m a h a n Isla m a d a la h b a n k -b a n k y a n g b e r la b e r S y a ri’ah. M e n u r u t p e n u lis
a d a la h
p e n tin g
u n tu k
m em bedakan
“ ru m a h
fisik ” ,
“ru m a h ro h a n i” d a n “r u m a h so s ia l” . K o n se p Isla m i h a ru s m e n g a c u k e p a d a tig a s is i
ini.
R um ah
m e n c e r m in k a n
fis ik
a d a la h
te g a k n y a
bangunan
n ila i-n ila i
ru m a h
s y a ri’a h
itu
Isla m .
se n d iri y a n g WC
yang
se ja tin y a
tid a k
b o le h
m e n g h a d a p k ib la t, p e n a ta a n r u a n g y a n g m e n ja g a “a u r a t” p e n g h u n in y a te ta p p e n tin g d ip e rh a tik a n . T id a k b e r a r ti m e w a h , tid a k p u la c u k u p sa n g a t s e d e rh a n a . S a y a m e n y e b u tn y a ru m a h y a n g w a ja r b a g i p e n g h u n in y a . A d a p u n ru m a h r u h a n i a d a la h ru m a h y a n g d a p a t m e m e n u h i k e b u tu h a n r u h a n i (sp iritu a l) p e n g h u n in y a . Itu la h r u m a h y a n g d a r in y a m e m a n c a r k a sih s a y a n g a n ta r se sa m a p e n g h u n i ru m a h . D i d a la m n y a h a n y a a d a k e d a m a ia n , k e te n te ra m a n ,
s a lin g
m en g h argai
dan
le b ih
p e n tin g
d a ri
itu
sa lin g
m e n g e m b a n g k a n p o te n si. R u m a h r u h a n i a d a la h ru m a h y a n g tid a k m e m b u a t p e n g h u n in y a m e n ja d i te r tin d a s te r le b ih la g i te rsik sa . D i s in ila h a r ti u n g k a p a n y a n g c u k u p p o p u le r d i d a la m a g a m a , b a iti ja n n a t i (ru m a h k u a d a la h su rg a k u ). R u m a h y a n g m e n g h a n ta r k a n p e n g h u n in y a s e m a k in d e k a t k e p a d a A lla h SW T . T e ra k h ir a d a la h ru m a h so sia l. D a la m p e m a h a m a n saya, r u m a h so sia l a d a la h
ru m a h y a n g
m e m b e r i k e m a sla h a ta n
b a g i o r a n g -o r a n g y a n g b e r a d a
d ise k ita rn y a . R u m a h y a n g sia p a sa ja y a n g d a ta n g d a la m k e a d a a n h a u s k e m b a li d a la m k e a d a a n n y a m a n ta n p a d a h a g a . R u m a h y a n g sia p a sa ja b e r k u n ju n g d a la m k e a d a a n la p ar, k e m b a li d a la m k e a d a a n k e n y a n g . R u m a h y a n g s ia p a s a ja d a ta n g d e n g a n a ir m ata, k e m b a li d e n g a n k o n d is i te rs e n y u m . R u m a h y a n g d irin d u k a n k a r e n a s u a s a n a h a n g a t te r b a n g u n d i d a la m n y a . B a h k a n le b ih ja u h d a ri itu, ru m a h s o sia l a d a la h r u m a h y a n g m e n g in s p ir a s i sia p a s a ja y a n g b e r k u n ju n g k e ru m a h te rs e b u t.
S e la n ju tn y a , m e n u ru t saya, p e r u m a h a n a ta u h u n ia n Isla m i y a n g d ih u n i k e la s m e n e n g a h a ta s m e n sy a ra tk a n k e p e d u lia n s o sia l y a n g tin g g i. P e ru m a h a n Isla m i k e h a d ira n n y a h a ru s m e m b e r i m a n fa a t b a g i o r a n g -o r a n g y a n g b e ra d a d ise k ita rn y a . Itu la h r u m a h y a n g m e m b e r i m a n fa ’a t b a g i lin g k u n g a n n y a . Jik a d i k o m p le k p e r u m a h a n Isla m i te r s e d ia M a sjid , tid a k k a la h p e n tin g n y a d i d a la m n y a ju g a a d a B a it A l-M a l w a T a m w il (B M T ) y a n g d a p a t m e m b e r d a y a k a n e k o n o m i o ra n g -o ra n g le m a h . D i d a la m n y a ju g a te r d a p a t p e la y a n a n k e s e h a ta n g ra tis b a g i o ra n g y a n g ta k m a m p u ju g a fa silita s p e n d id ik a n . S e ja tin y a , b ic a ra k o n se p p e r u m a h a n S y a ri’ah , m e n u r u t p e n u lis a d a d u a h al p e n tin g y a n g ta k b o le h d ia b a ik a n . P e rta m a , H u n ia n Isla m i tid a k m e s ti e k slu sif. S e tia p m u slim se ja tin y a h a ru s m e m b u k tik a n d irin y a b a h w a ia b is a b e rte ta n g g a d e n g a n sia p a saja. T a n p a h a ru s m e m b e d a k a n su k u , a g a m a d a n ras. Ia m a m p u m e n u n ju k k a n Isla m y a n g ra h m a ta n li a l- ‘a la m in . R u m a h n y a h a ru s m e m a n c a rk a n te la d a n b a g i te ta n g g a n y a y a n g p lu ra l. K e n d a ti d e m ik ia n , jik a a d a o ra n g m u slim y a n g m e ra sa n y a m a n tin g g a l d ilin g k u n g a n o ra n g Islam , te n tu tid a k a d a y a n g m e la ra n g n y a . K e d u a , p e r u m a h a n itu h a ru s m e n c e r m in k a n k e b e rp ih a k a n k e p a d a ala m .
M u n g k in
in ila h
yang
d im a k s u d
dengan
p eru m ah an
yang
ra m a h
lin g k u n g a n . S e d e r h a n a saja, p e r u m a h a n Isla m i tid a k a k a n p e r n a h k e b e r a d a a n n y a m e n y e b a b k a n b a n jir d ih ilirn y a . D i s a m p in g itu, k e h a d ira n n y a tid a k p u la m e ru sa k e k o s iste m d ise k ita rn y a .
4 . Merancang Manajemen Qurban P e rn a h k a n a n d a m e n d e n g a r b e rita te n ta n g w a r g a m isk in y a n g tid a k d a p a t d a g in g k u rb a n , p a d a h a l te m p a t p e n y e m b e lih a n h e w a n q u rb a n h a n y a b e r ja r a k 50 M m
d a ri r u m a h n y a y a n g re o t itu. A d a p u la p e s e r ta q u rb a n y a n g h a n y a
m e n d a p a tk a n tu la n g d a la m ju m la h b e sa r d a n d a g in g y a n g tid a k se b e ra p a . Ia m e n d a p a tk a n b a g ia n y a n g tid a k w a ja r s e h in g g a k e ik h la s a n n y a te rg a n g g u . T id a k k a la h m e n a r ik n y a c e r ita te n ta n g p a n itia y a n g “te k o r ” k a re n a sa la h m e n g h itu n g
b ia y a . A d a p u la p a n itia q u rb a n y a n g h a ru s m e n c a ri h e w a n q u rb a n d i b a w a h h a rg a y a n g te la h d ite ta p k a n , k a r e n a tid a k m e m ilik i b ia y a o p e ra sio n a l. M e re k a tid a k p u n y a b ia y a u n tu k m e m b e li p e la stik . H o n o r tu k a n g p o to n g d a n u a n g b e n s in p e tu g a s d istrib u si, ja n g a n d i ta n y a . D i m a n a m a s a la h n y a ? M a n a je m e n q u r b a n n y a tid a k b a ik . Ib a d a h q u rb a n s e s u n g g u h n y a m e m e r lu k a n m a n a je m e n s e p e rti m a n a je m e n z a k a t d a n w a k a f. M a n a je m e n m e n g o rg a n isir, t u ju a n
k e ra p
d id e fin is ik a n
m e n g a ra h k a n
o rg a n isa si
dengan
dan
seb agai
m e n g e n d a lik a n
m enggunakan
p ro se s k e g ia ta n
su m b er
d aya
m e re n c a n a k a n , u n tu k
m encapai
o rg a n isa si.
K e g ia ta n
p e re n c a n a a n , p e n g o rg a n isa s ia n , p e n g a ra h a n , d a n p e n g e n d a lia n d ise b u t se b a g a i p ro se s
m a n a je m e n .
P ro se s
in i d ila k u k a n
o le h
o ra n g y a n g
d is e b u t d e n g a n
m a n a je r. N a m u n h a ru s d ic a ta t, s e m u a n y a h a ru s d ila k u k a n d a n tu ju a n h aru s d a p a t d ic a p a i d e n g a n e fe k t if d a n e fisie n . E fis ie n s i se b a g a im a n a d id e fin is ik a n P e te r D ru c k e r m e n y e b u t,
d o in g
b e n a r),
d ise b u t
sed an gk an
yang
th in g s rig h t (m e n g e rja k a n e fe k t if
a d a la h ,
d o in g
s e s u a tu th e
rig h t
dengan tin g g s
(m e n g e rja k a n se su a tu y a n g b e n a r). D a la m
k o n te k s
ib a d a h
q u rb a n ,
te n tu
tid a k
sepen uh n ya
m a n a je m e n
s e k u le r d a p a t d ite r a p k a n a p a a d a n y a . Ilm u m a n a je m e n k o n te m p o re r, y a n g b e rb a s is
se k u le r,
d iy a k in i
se b a g a i
b a g ia n
d a ri
fa k to r
yang
m enyebabkan
te r ja d in y a k risis e k o n o m i d i d u n ia . M a n a je m e n k o n v e n sio n a l te la h d ita h b is m e n g a b a ik a n n ila i-n ila i sp iritu a l d a n etik a . D a la m m a n a je m e n M a n a je m e n
b e rb a sis
s p iritu a l
a ta u
te g a s n y a
h a l in i k ita m e m e rlu k a n
m a n a je m e n
b e rb a sis
s y a ri’ah.
tid a k s e k e d a r th e a rt o f g e ttin g th in g s d o n e th ro u g th e o th ers,
m e la in k a n G e ttin g G o d - W ill d o n e b y th e p e o p le . In tin y a , m a n a je m e n s y a ri’a h itu, se c a ra s e d e r h a n a b a g a im a n a m e la k s a n a k a n k e rid h a a n T u h a n m e la lu i o ra n g lain . S e la n ju tn y a , p ro se s m a n a je m e n Q u rb a n se c a r a s e d e r h a n a m e lin g k u p i p e re n c a n a a n ,
p e n g o g a n is a sia n ,
p e n g a ra h a n
dan
p e n g e n d a lia n .
P e re n c a n a a n
a d a la h u s a h a u n tu k m e n e ta p k a n tu ju a n o rg a n is a s i d a n m e m ilih c a ra te r b a ik u n tu k m e w u ju d k a n tu ju a n te rse b u t. D a la m k o n te k s q u rb a n , d ip a n d a n g p e rlu
u n tu k m e n e g a s k a n b a h w a q u rb a n
m e m ilik i tu ju a n v e r tik a l d a n h o riz o n ta l.
S e c a ra v e rtik a l, q u rb a n b e r tu ju a n u n tu k m e n d e k a tk a n d iri k e p a d a A lla h SW T . D a la m
b a h a s a y a n g b e rb e d a , q u rb a n a d a la h m e d ia u n tu k m e m p ro m o sik a n
k e ta k w a a n se o ra n g h a m b a d ih a d a p a n A lla h S W T . S e d a n g k a n se c a r a h o riz o n ta l, q u rb a n b e r tu ju a n u n tu k m e m b a n g u n
s o lid a rita s u m a t. Q u rb a n
m e ru p a k a n
m e d ia se d e r h a n a u n tu k b e r b a g i k e sy u k u ra n d a n k e n ik m a ta n d e n g a n o ra n g o ra n g fa k ir d a n m isk in . S e la n ju tn y a , b a g a im a n a c a r a n y a a g a r k e d u a tu ju a n t e r s e b u t b is a d iw u ju d k a n ? Ja w a b n y a , q u rb a n h a ru s d ik e lo la se c a ra p ro fe sio n a l. S e la n ju tn y a , P e n g o r g a n is a s ia n a d a la h k e g ia ta n m e n g k o o rd in ir su m b e r d aya , tu g a s, d a n o to rita s d i a n ta r a a n g g o ta a g a r t u ju a n d a p a t d ip e r o le h d e n g a n e fe k t if d a n efisie n . K ita te n tu sa ja d a p a t m e m b e n tu k b id a n g -b id a n g . B id a n g a d m in is tr a s i b e rtu g a s u n tu k m e la y a n i p e n d a fta r a n p e s e r ta q u rb a n . M e r e k a ju g a b e k e r ja u n tu k m e n d a ta p a ra fa k ir m is k in y a n g b e r h a k m e n e r im a q u rb a n . S e d a p a t m u n g k in tid a k a d a o r a n g -o r a n g y a n g fa k ir d a n m isk in te rtin g g a l, le b ih -le b ih jik a m e re k a b e r a d a d ilin g k u n g a n te m p a t d ise le n g g a ra k a n n y a p e m o to n g a n h e w a n q u rb a n . T e rm a s u k tu g a s b id a n g in i m e n g u m u m k a n b ia y a y a n g d ip e rlu k a n se te la h b e r k o o r d in a s i d e n g a n b id a n g p e n g a d a a n h e w a n q u rb a n . T id a k k a la h p e n tin g n y a , m e n e ta p k a n b ia y a o p e ra sio n a l q u rb a n . S e b a ik n y a , b ia y a q u rb a n d an b ia y a o p e ra sio n a l q u rb a n tid a k d ic a m p u r u n tu k m e n g h in d a r k a n sy u b h a t. S a y a k e ra p m e n y e b u tn y a , m e n g h in d a rk a n p e la k s a n a a n ib a d a h q u rb a n y a n g “a b u - a b u .” B id a n g p e n g a d a a n h e w a n q u rb a n , h a ru s m e m b u a t p e r e n c a n a a n te n ta n g je n is k a m b in g a ta u le m b u y a n g a k a n d ib eli. T e rm a s u k h a rg a h e w a n q u rb a n te rse b u t. L e b ih b a ik la g i jik a h e w a n q u r b a n n y a d i b u a t b e rtin g k a t. D a ri k a te g o ri A d e n g a n h a rg a y a n g p a lin g m a h a l, B d e n g a n h a rg a y a n g se d a n g , s a m p a i D y a n g m u n g k in h a rg a n y a le b ih m u ra h . H a l in i p e n tin g k a r e n a m e m a n g tid a k a d a n ish a b p a d a ib a d a h q u rb a n . D i sa m p in g itu, k e m a m p u a n se tia p o r a n g b e rb e d a b e d a . Jik a p e s e r ta d i b e r i b e r b a g a i a lte rn a tif, m e re k a le b ih b is a m e m ilih y a n g se s u a i d e n g a n k e s a n g g u p a n - b a h a s a h a d is k e la p a n g a n - y a n g a d a p a d a m e re k a .
B id a n g p e n y e m b e lih a n ju g a m e n a ta k e rja n y a , m u la i m e n e ta p k a n p e tu g a s p e n y e m b e lih
te n tu
sa ja
p e ra n g k a t-p e r a n g k a t d ite ta p k a n
dan
yang
yang
u n tu k
su d ah
d ib u tu h k a n
s e la n ju tn y a
te rla tih , u n tu k
w a k tu itu.
d ib e rita h u k a n
p e n y e m b e lih a n
H a ri
dan
kepada
ja m n y a
dan p e rlu
o r a n g -o r a n g y a n g
b e rq u rb a n . H a l in i p e n tin g a g a r o r a n g y a n g b e rk u rb a n m e n g e ta h u i ja d w a l p e n y e m b e lih a n h e w a n q u rb a n n y a . B u k a n k a h m e n u r u t h a d is R a su l, o r a n g y a n g b e rk u rb a n d isu n n a h k a n u n tu k m e lih a t h e w a n s e m b e lih a n n y a . D a n itu m e n ja d i m u n g k in , jik a p a n itia te la h m e n a ta w a k tu s e d e m ik ia n r u p a te n ta n g ja d w a l p e n y e m b e lih a n n y a .
T erm asu k
m e n ja d i
tu g a s
b id a n g
p e n y e m b e lih a n
u n tu k
m e n g k la s ifik a s ik a n a n a to m i h e w a n q u rb a n , d a g in g , tu la n g , k u lit d a n la in -la in . G u n a n y a a g a r b id a n g d is trib u s i m u d a h m e la k s a n a k a n tu g a sn y a . K e m u d ia n b id a n g d is trib u s i b e rtu g a s u n tu k m e m b a g i d a g in g k u rb a n te rs e b u t. D i d a la m h a d is tid a k d ite m u k a n k e te n tu a n ju m la h p e m b a g ia n te rse b u t. R a su l h a n y a m e n g g a r is k a n b a h w a d a g in g k u rb a n itu b o le h d im a k a n o le h y a n g b e rk u rb a n , d is im p a n d a n d ise d e k a h k a n . P a ra u la m a m e m b e r i k e te n tu a n d e n g a n s e p e r tig a u n tu k d im a k a n , s e p e r tig a d is e d e k a h k a n d a n s e p e r tig a d isim p a n . T e n tu k e te n tu a n in i b u k a n s e s u a tu y a n g rig id (k ak u ). M e n u r u t h e m a t saya, b a g ia n n y a fle k s ib e l s a ja te r g a n tu n g k e se p a k a ta n a d a la h ,
u n tu k
p e m b a g ia n
d a g in g
p a n itia . N a m u n y a n g p e r lu d ip e rh a tik a n buat
p e s e r ta
q u rb a n
h a ru s
d ib a n g u n
k e s e p a k a ta n te r le b ih d a h u lu . S a y a k e ra p m e n y e b u t, k e ik h la sa n b u k a n se su a tu y a n g d a ta n g b e g itu saja, m e la in k a n h a ru s d ib e n tu k d a n d isu a sa n a k a n . Jik a se ja k a w a l te la h d ite ta p k a n p e m b a g ia n u n tu k p e s e r ta q u rb a n d a n b e r a p a ju m la h u n tu k fa k ir m isk in , m a k a p ro se s d is trib u s in y a a k a n b e rja la n b a ik d a n la n c a r. T id a k a k a n a d a c e r ita d i b a lik c e rita . In ila h y a n g d is e b u t tra n s p a ra n si. N a m u n h a ru s d ica ta t, p e s e r ta
q u rb a n
tid a k
b o le h
“b e r n a fs u ” d e n g a n
d a g in g
q u rb a n n y a .
K e n d a ti
m e re k a d isu n n a h k a n u n tu k m e m a k a n n y a , itu tid a k le b ih tu r u t m e ra sa k a n d a g in g te rse b u t. A d a y a n g m e n a r ik u n tu k d ip e rh a tik a n . D i d a la m fik ih d i a tu r te n ta n g k u lit. M isa ln y a , d i d a la m m a z h a b S y a fi’i d in y a ta k a n , b a h w a k u lit h e w a n q u rb a n
t id a k b ile h d iju al. S e d a n g k a n m e n u ru t m a z h a b H a n a fia h , k u litn y a b o le h d iju a l n am un
h arg an ya
a ta u
h a sil
p e n ju a la n
te r s e b u t
h a ru s
d ik e m b a lik a n
a ta u
d is e d e k a h k a n k e p a d a fa k ir m isk in . L a g i-la g i, jik a s e m u a n y a d i ta ta d e n g a n m e n ju n ju n g p r in s if a k u n ta b ilita s d a n tra n sp a ra n si, n is c a y a k e ik h la sa n s e m u a k o m p o n e n y a n g te r lib a t d a la m ib a d a h q u rb a n a k a n te r ja g a d e n g a n b aik . A d a p a u n p e n g a ra h a n a d a la h b a g a im a n a m e m b u a t o r a n g -o r a n g y a n g te la h d itu n ju k b e k e r ja u n tu k m e n c a p a i tu ju a n . S a m p a i d i sin i, m a n a je r b e r p e r a n u n tu k m e n g a ra h k a n
o r a n g -o r a n g
te rs e b u t.
D a la m
k o n te k s
ini,
m a n a je r
tin g g a l
m e m a stik a n b a h w a s e m u a n y a b e r ja la n d e n g a n b a ik . Jik a d ite m u k a n h a m b a ta n d i s a n a sin i, m a n a je r b e rtu g a s u n tu k m e n y e le sa ik a n d e n g a n b a ik .
Sedangkan
p e n g e n d a lia n a d a la h m e lih a t a p a k a h k e g ia ta n o r g a n is a s i te la h b e rja la n se su a i d e n g a n re n c a n a . R u m u s n y a se d e rh a n a , jik a a k tiv ita s b e r ja la n s e su a i d e n g a n a p a y a n g te la h d ire n c a n a k a n , m a k a tu ju a n te r c a p a i d e n g a n c a ra y a n g e fe k t if d a n e fisie n . S e b a lik n y a jik a k e g ia ta n b e r ja la n d i lu a r p e re n c a n a a n , b ia s a n y a tu ju a n t id a k a k a n te r c a p a i se c a r a se m p u rn a . M a la h s e b a lik n y a y a n g tim b u l a d a la h b e ra g a m p e rso a la n . M a n a je m e n Q u rb a n d ip e rlu k a n a g a r d a la m ib a d a h q u rb a n tid a k a d a y a n g m e n ja d i k o rb a n . D ise b a b k a n q u rb a n itu m u rn i ib a d a h , m a k a se d a p a t m u n g k in ,
h a l-h a l y a n g
m e ru s a k
ib a d a h
p e r lu
d ie lim in a s i a ta u
s e tid a k n y a
d im in im a lis ir. B e b e r a p a a g e n d a y a n g p e r lu d iru m u s k a n u la n g a d a la h : P erta m a , d is trib u s i q u rb a n d i p e r u m a h a n -p e ru m a h a n e lit y a n g b ia s a n y a s u lit d iju m p a i fa k ir m isk in , k a la u p u n ad a, s e p e rti p e m b a n tu ru m a h ta n g g a y a n g tid a k m e n e ta p d i ru m a h m a jik a n n y a , ju m la h n y a se d ik it. A d a la h te p a t, jik a d is trib u s i d a g in g k u rb a n
d ifo k u sk a n
d i d a e r a h -d a e r a h
m in o rita s
m u slim . W ila y a h
in i k e ra p
te rlu p a k a n . K e d u a , k e b e rsih a n d a n h e g e n isita s d a g in g te ta p p e r lu d ija g a . O le h seb ab
itu,
k ita
m e m e r lu k a n
tu k a n g
p o to n g y a n g
p ro fe sio n a l,
bukan
s a ja
m e m a h a m i s y a ri’ah , te ta p i ju g a m e n g e rti te n ta n g k e b e r s ih a n h e w a n se m b e lih a n . K e tig a , p e la k s a n a a n ib a d a h q u rb a n tid a k b o le h m e n im b u lk a n k o rb a n b aru . T id a k b ija k sa n a , jik a p a n itia in ti y a n g b e k e r ja m a k s im a l tid a k m e n d a p a tk a n u p a h d a ri
k e rja n y a . A k h irn y a , ia h a ru s b e rk o rb a n u n tu k o r a n g y a n g b e rq u rb a n . K eem p a t, a g a r p o in t k e tig a d a p a t d ip e n u h i, p e r lu d ib e d a k a n b ia y a q u rb a n d e n g a n b ia y a o p e ra sio n a l. T e g a sn y a , sa y a in g in m e n g a ta k a n , p e s e r ta q u rb a n h a ru s m e m a stik a n p e la k s a n a a n q u rb a n d a ri h u lu sa m p a i h ilir b e r ja la n d e n g a n b a ik . T id a k a d a h a lhal
yang
dapat
m e ru s a k
k e ik h la s a n
k ita
kepada
A lla h
SW T.
141
Bagian Ketiga Mewaspadai Bisnis Syari’ah Tanpa Ruh Syari’at !
Bab Satu Meneguhkan Ruh Syari’at dalam Perbankan Syari’ah i. Riba, Bisnis tanpa Moralitas. F a tw a M U I te n ta n g k e h a ra m a n b u n g a b a n k te la h m e m ic u k o n tro v e rsi d ik a la n g a n u m a t Isla m , b a h k a n sa m p a i h a ri in i w a la u p u n g a u n g n y a tid a k se b e sa r d u lu . A d a d ik a la n g a n u m a t Isla m y a n g b e r a n g g a p a n fa tw a M U I te r s e b u t se b a g a i la n g k a h b e r a n i u n tu k m e n y a ta k a n k e b e n a ra n , n a m u n a d a p u la y a n g m e n g a n g g a p fa tw a te r s e b u t te r g e s a -g e s a b a h k a n tid a k p e rlu . S a y a n g n y a k o n tr o v e r s i te r s e b u t tid a k m e m b u a t p e rs o a la n s e m a k in je la s b a h k a n s e b a lik n y a m e n ja d i k a b u r. P e rd e b a ta n tid a k
la g i p a d a
m a sa la h
s u b sta n s i rib a / b u n g a b a n k
d an
im p lik a s i so sia l e k o n o m in y a , n a m u n s u d a h m e ra m b a h p a d a m a sa la h y a n g tid a k ada
hubungannya
b eran g gap an
dengan
bahw a
fa tw a
fa tw a .
Iro n is
te r s e b u t
m em ang
sa n g a t
k e tik a
p o litis,
bahkan
ada ada
o ra n g
yang
p u la y a n g
m e n y a ta k a n b a h w a fa tw a M U I itu d ip ic u o le h k e p e n tin g a n s u b je k t if p e n g u ru s M U I y a n g n o ta b e n e b a n y a k y a n g te r lib a t d i D e w a n S y a r i'a h N a sio n a l d a n D e w a n P e n g a w a s S y a r i'a h P e rb a n k a n S y a r i'a h .
Pengertian R ib a
se c a ra
b ah asa
b erm ak n a
b e rta m b a h ,
dan
tu m b u h .
Sedangkan
m e n u r u t istilah , rib a y a n g d a la m b a h a s a In g g ris d ise b u t d e n g a n u su ry b e r a r ti p e n g a m b ila n ta m b a h a n d a ri h a rta p o k o k a ta u m o d a l se c a ra b a til. K e n d a ti p a ra u la m a b e r b e d a -b e d a d a la m m e n d e fin is ik a n rib a, n a m u n a d a b e n a n g m e ra h y a n g m e n g h u b u n g k a n n y a y a itu , p e n g a m b ila n ta m b a h a n d a la m tr a n s a k s i ju a l b e li a ta u h u ta n g p iu ta n g se c a r a b a til a ta u b e r te n ta n g a n d e n g a n p rin sip m u a m a la t Islam . U la m a te la h se p a k a t b a h w a rib a h u k u m y a h a ra m . H a l in i d itu n ju k k a n o le h b e b e r a p a a y a t a l-Q u r ’a n d a n h a d is n a b i M u h a m m a d S A W . D ia n ta ra n y a te r d a p a t p a d a s u ra h a l-B a q a ra h /2; 278, 279 d a n a li- Im ra n
/3 ;i3 0 . S e b e n a rn y a d a la m
a g a m a se la in Isla m k h u s u s n y a a g a m a sa m a w i rib a te la h d ila ra n g . S a m p a i a b a d k e -13, k e tik a k e k u a sa a n g e r e ja d i E ro p a m a sih d o m in a n , rib a d ila r a n g o le h g e r e ja d a n h u k u m ca n o n . A k a n te ta p i, p a d a a k h ir a b a d k e -13, p e n g a ru h g e r a ja o rto d o k s
mulai melemah dan orangpun mulai berkompromi dengan riba. Bacon seorang tokoh saat itu menulis dalam buku,
D is c o u r c e on U sury, “k a re n a k e b u tu h a n n y a ,
m a n u sia h a ru s m e m in ja m u a n g d an p a d a d a sa rn y a m a n u sia en g g a n h a tin y a u n tu k m e m in ja m k a n u ang, k e c u a li dia a k a n m e n e rim a s u a tu m a n fa a t d a ri p in ja m a n itu, m a k a b u n g a h a ru s d ip e rb o le h k a n .
Menarik untuk dicermati, pengharaman riba dalam al-Qur’an tidaklah berlangsung sekaligus melainkan bertahap. Ini mengisyaratkan betapa riba bagi masyarakat Arab seperti di Thaif, Mekah maupun di Madinah pada waktu itu sebagai kegiatan ekonomi yang telah berurat berakar dalam kehidupan seharihari. Thabari mencatat bahwa pada saat jatuh tempo, pemberi utang biasanya memberi dua pilihan: melunasi seluruh pinjaman atau perpanjangan waktu dengan tambahan pembayaran. Seorang yang harus mengembalikan seekor unta betina berumur satu tahun bila meminta perpanjangan waktu pada saat jatuh temponya, harus membayar dengan unta betina dua tahun. Bila ia meminta masa perpanjangan kedua maka unta betina tiga tahun, dan seterusnya. Begitu pula dengan emas atau perak. Untuk melarang praktek riba diperlukan strategi khusus seperti ditempuh al-Qur’an dengan menggunakan strategi pelarangan bertahap.1 Tahap p e rta m a ,
al-Qur’an menolak anggapan bahwa pinjama riba yang pada
zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan yang mendekatkan diri pada Allah. Ini dinyatakan Allah pada surah ar-rum.39 yang artinya,” D a n
s e s u a tu rib a y a n g k a m u b e rik a n a g a r dia b e rta m b a h
p a d a m a n u sia , m a k a rib a itu tid a k m e n a m b a h p a d a s is i A lla h . T a h a p k ed u a ,
Allah melukiskan bahwa riba merupakan aktivitas bisnis yang
buruk. Bagi yang melakukannya akan diberi balasan yang pedih. Dalam surah annisa’/4:160-161, Allah menyatakan,”Maka
d ise b a b k a n k e z a lim a n o ra n g Y a h u d i,
1 Lihat Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, Bandung: Citapustaka Media, 2014, h. 217-225. Lihat Juga Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Peraktik, h. 217-235.
kam i
h a ra m k a n a ta s m e re k a y a n g b a ik -b a ik y a n g d a h u lu n y a d ih a la lk a n p a d a
m erek a ,
d an
m e re k a
banyak
m e n g h a la n g i
m a n u sia
d a ri ja la n
A lla h ,
dan
d ise b a b k a n m e re k a b a n y a k m e m a k a n riba, p a d a h a l m e re k a se s u n g g g u h n y a telah d ila ra n g d a ri p a d a n y a d an k a re n a m e re k a m e m a k a n h a rta o ra n g d e n g a n ja la n batil. K a m i tela h m e n y e d ia k a n u n tu k o r a n g -o ra n g k a fir d i a n ta ra m e re k a sik sa y a n g p e d ih . T a h a p k e tig a , A lla h S W T d e n g a n je la s d a n te g a s m e n g h a r a m k a n a p a p u n je n is ta m b a h a n y a n g d ia m b il d a ri p in ja m a n . P a d a sa a t itu (III H ) p e n g a m b ila n b u n g a d e n g a n ju m la h y a n g b e sa r b a n y a k d ila k u k a n o r a n g A ra b . A k ib a tn y a b a n y a k y a n g te rz a lim i. U n tu k itu A lla h m e n e g a sk a n d a la m su ra h a li-Im ra n :/ 3 :i3 0 , “H a i o ra n g o ra n g y a n g b erim a n , ja n g a n la h k a m u m e m a k a n rib a d en g a n b e rlip a t g a n d a dan b e rta q w a la h k e p a d a A lla h su p a y a k a m u m e n d a p a tk a n k e b e r u n tu n g a n ”. T a h a p k e e m p a t, A lla h S W T d e n g a n je la s d a n te g a s m e n g h a r a m k a n je n is ta m b a h a n y a n g d ia m b il d a ri p in ja m a n . P e rn y a ta a n in i d ite m u k a n p a d a su ra h a lB a q a ra h / 2 :2 7 8 -2 7 9 , “H a i o r a n g -o ra n g y a n g b erim a n , b e rta q w a la h k ep a d a A lla h d a n tin g g a lk a n la h s is a -s is a d a ri b e rb a g a i je n is rib a jik a k a m u o r a n g -o ra n g y a n g b erim a n .
jik a k a m u tid a k m e la k u k a n n y a , m a k a k e ta h u ila h b a h w a A lla h d an
R a s u ln y a a k a n m e m e ra n g im u . D a n jik a k a m u b e rto b a t m e n g a m b il riba, m a k a b a g im u p o k o k h a rta m u , k a m u tid a k m e n g a n ia y a d a n tid a k p u la d ia n ia y a . A d a p u n h a d is n a b i te n ta n g la ra n g a n rib a d a p a t d ite m u k a n p a d a p e sa n t e r a k h irn y a
pada
ta n g g a l
9
Z u lh ijja h
ta h u n
10
H.
Pada
w a k tu
itu
nabi
m e n y a ta k a n , “In g a tla h b a h w a k a m u a k a n m e n g h a d a p T u h a n m u , d an d ia p a s t i a k a n m e n g h itu n g a m a lm u . A lla h tela h m e la ra n g k a m u m e n g a m b il riba, oleh k a re n a itu u ta n g a k ib a t rib a h a ru s d ih a p u s k a n . M o d a l (u a n g p o k o k ) a d a la h h a k k a m u . B a h k a n n a b i m e n g a ta k a n b a h w a d o sa p e m a n fa a ta n rib a s a m a d e n g a n p e n y e le w e n g a n s e k su a l s e b a n y a k tig a p u lu h e n a m k a li b a g i m e re k a y a n g su d a h m e n ik a h a ta u s a m a d o sa n y a d e n g a n b e r s e tu b u h d e n g a n ib u k a n d u n g . S a tu d o sa y a n g c u k u p b e sa r. D e m ik ia n C h a fra m e n g o m e n ta r i h a d is R a su l te rse b u t.
S e p e r ti y a n g te la h
d ise b u t d i m u k a ,
stra te g i la ra n g a n
b e r ta h a p y a n g
d ite m p u h a l-Q u r ’a n se rta b a n y a k n y a h a d is n a b i y a n g m e la r a n g r ib a m e m b e ri k e sa n b a h w a p r a k te k
rib a m e ru p a k a n
a k tiv ita s e k o n o m i y a n g t id a k d a p a t
d ip is a h k a n d a ri k e h id u p a n m a sy a ra k a t A r a b m a s a itu. In i d ise b a b k a n b a h w a M e k a h a d a la h k o ta d a g a n g d a n b u k a n k o ta a g ra ris. M e lih a t ta n d u s n y a k o ta M e k a h p a d a m a sa itu, b is a d ip a stik a n b a h w a k e g ia ta n d a g a n g o ra n g Q u ra is y m e n g a m b il b e n tu k d a g a n g a g e n d a n b u k a n d a g a n g h a sil p ro d u k si. M e m a su k i a b a d V I M , k e m a ju a n d a g a n g k o ta M e k a h s e m a k in p e sa t. A k h ir n y a k o ta te r s e b u t tid a k sa ja s e b a g a i p u s a t d a g a n g m e la in k a n te la h m e n je lm a m e n ja d i
p u sa t
k e u a n g a n . T id a k la h m e n g h e r a n k a n a p a b ila p e m u k a -p e m u k a M e k a h su d a h m a h ir d a la m m e m a n ip u la s i k re d it, p a n d a i b e r s p e k u la s i d a n m e n g u a s a i m o d a l se rta p a n d a i m e m a n fa a tk a n p o te n s i in v e s ta si y a n g m e n g u n tu n g k a n d a ri o ra n g A d e n ke G a z a d a n D a m a sk u s. M e m b a c a la ta r b e la k a n g k e h id u p a n M e k a h s a a t itu, p e r a k te k rib a y a n g m e re k a la k u k a n d a p a t d ip a h a m i. F o r m u la rib a y a n g d ila k u k a n a d a la h , p in ja m m e m in ja m d e n g a n sa tu p e rja n jia n , p e m in ja m b e r s e d ia m e n g e m b a lik a n ju m la h p in ja m a n p a d a w a k tu y a n g te la h d is e p a k a ti b e r ik u t ta m b a h a n n y a . P a d a sa a t ja tu h te m p o , si p e m b e r i p in ja m a n (k re d ito r), m e m in ta ju m la h p in ja m a n y a n g d u lu d ib e rik a n k e p a d a p e m in ja m sa n g g u p m e m b a y a r,
(d e b ito r). Jik a d e b ito r m e n y a ta k a n b e lu m
k re d ito r m e m b e r i te n g g a n g w a k tu d e n g a n sya ra t, d e b ito r
b e r s e d ia m e m b a y a r se ju m la h ta m b a h a n d i a ta s p in ja m a n p o k o k ta d i.2 B is a d id u g a r ib a se p e r ti in i m e n ja d ik a n k a u m le m a h s e m a k in le m a h . K a re n a k e tid a k m a m p u a n d e b ito r m e n g e m b a lik a n ju m la h p in ja m a n p a d a w a k tu y a n g te la h
d ite n tu k a n
a k h ir n y a
m aka
ju m la h
h u ta n g
m e re k a
s e m a k in
b e rta m b a h .
rib a m e n ja d i s u m b e r m a la p e ta k a b a g i k e h id u p a n
Pada
s o s ia l e k o n o m i
m a s y a ra k a t sa a t itu. D engan d id a s a rk a n
d e m ik ia n ,
pada
la ra n g a n
p e r tim b a n g a n
rib a m o ra l
di
d a la m
a l- Q u r 'a n
k e m a n u sia a n .
s e b e n a rn y a
R ib a
te r n y a ta
2 Muh. Zuhri, Riba dalamAl-Quran dan Masalah Perbankan, Jakarta: Rajawali Pers, 1996, h. 25
m e n im b u lk a n m a la p e ta k a k e m a n u s ia a n d a la m b e n tu k e k s p lo ita s i y a n g k u a t te r h a d a p y a n g le m a h . S e b a g a i g a n tin y a , a l- Q u r 'a n te la h m e n a w a rk a n se b u a h sy s te m y a n g le b ih a d il d a n b e rp rik e m a n u sia a n , s e p e r ti m u d h a r a b a h (b a g i h asil) d a n k e rja s a m a (m u sy a ra k a h ) d e n g a n b e r p e g a n g p a d a p rin sip ta 'a w u n .
2. Riba Versus Bunga Bank, Samakah ? P e rs o a la n
rib a
dan
bunga
bank
m e ru p a k a n
to p ik
yang
se rin g
d ip e r d e b a tk a n te r le b ih la g i se ja k d ik e lu a r k a n n y a fa tw a M U I te n ta n g k e h a ra m a n b u n g a b a n k . P e rta n y a a n n y a a d a la h a p a k a h b u n g a b a n k s a m a d e n g a n rib a ? S e p e rti y a n g te la h d is e b u t d i m u k a , u la m a te la h se p a k a t b a h w a rib a h u k u m n y a h a ra m . N a m u n a p a k a h rib a s a m a d e n g a n b u n g a b a n k , p a ra u la m a ta m p a k n y a b e r b e d a p e n d a p a t. B a g i y a n g m e n y a ta k a n sa m a , te n tu a k a n m e n y a ta k a n b u n g a bank
itu
h a ra m .
Bagi
k e lo m p o k
yang
m e n y a ta k a n
b erb ed a
te n tu
akan
m e n y a ta k a n b a h w a b u n g a b a n k tid a k h a ra m . S a la h se o ra n g p e m ik ir e k o n o m i Isla m y a n g c u k u p p ro d u k tif, U m a r C h a p ra te la h m e n y e le sa ik a n p e r d e b a ta n in i d e n g a n m e n y a ta k a n , se c a ra te k n is
rib a
(b u n g a) m e n g a c u p a d a p r e m i y a n g h a ru s d ib a y a r p e m in ja m k e p a d a p e m b e ri p in ja m a n b e r s a m a p in ja m a n p o k o k s e b a g a i sy a ra t u n tu k m e m p e ro le h p in ja m a n la in
a ta u
u n tu k
penangguhan.
S e ja la n
d engan
h al
in i,
rib a
m em punyai
p e n g e r tia n y a n g s a m a y a it u se b a g a i b u n g a s e s u a i d e n g a n k o n se n su s u la m a fik ih .3 K e n d a ti C h a p r a te la h m e m b e r ik a n k e s im p u la n b a h w a b u n g a s a m a d e n g a n rib a, n a m u n te ta p sa ja a d a y a n g tid a k s e p e n d a p a t. U n tu k m e n y e b u t sa la h sa tu d ia n ta ra n y a a d a la h M u h a m m a d A b d u h . B a g in y a rib a y a n g d ih a ra m k a n h a n y a la h rib a
yang
a d 'a a fa n
m u d a 'a a fa h
(b e rlip a t
g a n d a ).
Abduh
m e m b o le h k a n
m e n y im p a n u a n g d i B a n k d a n m e n g a m b il b u n g a n y a . D a s a rn y a m e n u r u t A b d u h a d a la h P e rta m a , m a s la h a t m u r s a la h . K e d u a , T a b u n g a n d i b a n k b is a m e n d o ro n g
3 Umer Chafra, Al-Quran Menuju Yogyakarta:Dana Bhkati Prima, 1997.
Sistem
Moneter yang Adil,
terj.
Lukman Hakim,
perkembangan ekonomi. Ketiga, Tabungan di bank disamakan dengan konsep kerjasama dalam Islam (m u d a ra b a h dan m u s y a r a k a h ) .4 Dalam bentuknya yang agak berbeda paling tidak ada tiga alasan mengapa sebagian ulama menyatakan bahwa bunga bank tidak haram. pertimbangan darurat.
K edua,
berlipat ganda (tinggi). katagori
m u k a lla f ,
P e rta m a ,
Yang dilarang oleh al-Qur’an adalah bunga yang
K etig a ,
Bank sebagai lembaga tidak termasuk dalam
jadi bank tidak terkena
k h ita b
ayat-ayat Allah maupun hadis
nabi. Muhammad Syafi’i U la m a
dan
C e n d ik ia w a n
Antonio dalam bukunya telah
membantah
B a n k S y a r i’ah .-W acana
argumen-argumen
tersebut
Menurutnya menjadikan darurat sebagai alasan pembenaran riba tidak tepat. Dalam Ushul fiqh yang disebut
d aru rat
adalah suatu keadaan
e m e rg e n c y
dimana
jika seseorang tidak segera melakukan tindakan cepat, maka akan membawanya kejurang kehancuran atau kematian. Jika demikian pertanyaannya adalah, apakah jika tidak menabung atau meminjam uang ke bank konvensional akan menjadikan
perekonomian
hancur
sehingga
manusia
akan
mengalami
kesengsaraan. Beberapa waktu yang lalu, Prof.Ali Yafi ketua MUI pernah menyatakan bolehnya mengambil bunga yang rendah karena pada waktu itu tidak ada bank yang tidak menggunakan sistem bunga. Padahal masyarakat perlu rasa aman untuk menitipkan uangnya. Namun sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992 alasan untuk menyebut
d aru rat
itu menjadi hilang. Tegasnya
saat ini terlebih lagi setelah berdirinya Bank Syari’ah Mandiri (1999), BNI Syari'ah, Danamon Syari'ah, BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syari'ah) dan bankbank Islam lainnya, alasan darurat tidak lagi dapat dibenarkan. Mengenai alasan bunga yang berlipat ganda saja yang diharamkan, sedangkan tingkat suku bunga bank yang rendah tidak dipandang riba, didasarkan pada argumentasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara 4 Ibid.,
ilmiah. Memahami ayat 130 surah Ali-Imran yang telah disebut, tidak dapat dipisahkan dari ayat riba lainnya. Ayat terakhir tentang riba telah menegaskan bahwa tambahan terlepas besar atau kecil tetap dilarang. Dengan demikian tidak ada satu ruangpun yang membedakan antara riba (u su ry ) dengan
bunga
(in te re st) karena keduanya sama-sama merepresentasekan tambahan atau peningkatan dari pokok modal yang ada. Kemudian kata “b e rlip a t tata bahasa Arab
(n a h u )
ganda”
pada ayat 130 surah ali imran dalam ilmu
disebut hal yang menggambarkan sifat riba bukan
sebagai syarat. Maksud bukan syarat adalah, apabila terjadi pelipat-gandaan yang besar baru disebut riba. Jika kecil tidak termasuk riba. Berkenaan dengan hal ini Yusuf al-Qardhawi juga mengomentari persoalan
a d h 'a fa n m u d h a 'a fa h
dengan menyatakan, “ Orang yang memiliki
kemampuan memahami cita rasa bahasa Arab yang tinggi dan memahami retorikanya, sangat memaklumi bahwa sifat riba yang disebutkan dalam ayat ini dengan kata
a d h 'a fa n m u d h a 'a fa h
adalah dalam konteks menerangkan kondisi
objektif dan sekaligus mengecamnya. Mereka (orang-orang Mekah) telah sampai pada tingkat ini dengan cara melipatgandakan uang yang berlebihan. Pola berlipat ganda ini tidak dianggap sebagai kreteria (syarat) dalam pelarangan riba. Dalam arti yang tidak berlipat ganda menjadi boleh.5 Alasan ketiga yang menyebut bank bukan
t a k lif juga
keliru. Dalam tradisi
hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai ju r id ic a l p e r s o n a lity atau
s a k h s iy a h h u k m iy a h
dan dipandang sah serta dapat mewakili individu-
individu secara keseluruhan. Ditinjau dari sisi mudharat dan manfaat, perusahan dapat menimbulkan kemudharatan yang lebih besar dari perorangan. Bank yang menggunakan sistem bunga dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibanding rentenir.
5 Lihat Nur A Fadhil Lubis dan Azhari Akmal Tarigan, Etika Bisnis dalam Islam, h. 207. Lebih luas lihat, Yusuf Al-Qaradhawi, Bunga Bank Haram, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2001, h. 74-75.
D e n g a n d e m ik ia n k e tik a A lla h m e n g h a r a m k a n rib a m e la lu i a y a t-a y a tn y a , yang
d itu ju
bukan
hanya
in d iv id u -in d iv id u
s a ja
m e la in k a n
in s titu s i y a n g
m e la k sa n a k a n p r a k te k rib a. S a m p a i d i sin i, p a k a r e k o n o m i Isla m k o n te m p o re r b e r k e s im p u la n b a h w a b u n g a b a n k te r le p a s d a ri tin g g i re n d a h n y a s u k u b u n g a y a n g d ite ra p k a n te ta p h aram . M e n d is k u sik a n rib a d a ri s isi h u k u m , a k a n d iw a rn a i d e n g a n p e rb e d a a n p e n d a p a t. U n tu k itu a d a la h m e n a r ik u n tu k m e lih a t sisi la in m e n g a p a a l-Q u r ’an m e la ra n g p r a k te k rib a , a ta u d e n g a n k a ta la in a p a m o tiv a si a l- Q u r ’a n k e tik a m e la ra n g rib a ? P a d a in tin y a rib a s a n g a t b e r te n ta n g a n se c a ra la n g s u n g d e n g a n s e m a n g a t k o o p e r a tif y a n g m e m b e rik a n
ada
d a la m
a ja ra n
Islam .
h a k -h a k o ra n g m isk in d e n g a n
O ra n g
yang
k aya,
s e h a ru sn y a
m em b ayar zak at dan
m e m b e ri
se d e k a h s e b a g a i ta m b a h a n d a ri z a k a t te rse b u t. Isla m tid a k m e n g iz in k a n k a u m m u s lim in u n tu k m e n ja d ik a n k e k a y a a n n y a s e b a g a i a la t u n tu k m e n g h is a p o ra n g -o ra n g m isk in .
d a ra h
M a u la n a M a u d u d i-s e p e r ti y a n g d ik u tip M u s ta q A h m a d -
m e n je la sk a n k e ja h a ta n -k e ja h a ta n rib a s e b a g a i b e r ik u t:6 P e rta m a , R ib a a k a n m e n in g k a tk a n ra sa ta m a k , m e n im b u lk a n ra sa k ik ir y a n g b e r le b ih a n d a n m e m e n tin g k a n d iri se n d iri, k e ra s h a ti d a n m e n ja d i p e m u ja u a n g . K e d u a , R ib a a k a n m e n im b u lk a n k e b e n c ia n , p e r m u s u h a n d a n b u k a n sik a p sim p a ti d a n k o o rp o ra si. K etig a , R ib a m e n d o r o n g te r ja d in y a p e n im b u n a n d an a k u m u la s i k e k a y a a n d a n a k a n m e n g h a m b a t a d a n y a in v e s ta s i la n g s u n g d a la m p e rd a g a n g a n . Jik a k e p e n tin g a n
ia m e la k u k a n
in v e sta si,
m aka
itu
d irin y a se n d ir i ta n p a m e m p e rh a tik a n
akan
d ila k u k a n
k e p e n tin g a n
dem i
m a sy a ra k a t.
K e lim a , R ib a a k a n m e n c e g a h te r ja d in y a s irk u la s i k e k a y a a n k a r e n a k e k a y a a n itu h a n y a b e r a d a d i d a la m ta n g a n p e m ilik -p e m ilik m o d a l. U m e r C h a p r a se te la h m e m b a h a s p e r s o a la n R ib a s a m p a i p a d a se b u a h k e sim p u la n , A la s a n p o k o k m e n g a p a a l-Q u r ’a n m e m b e r i p e n je la s a n la ra n g a n rib a
6 Lihat, Nur A Fadhil Lubis dan Azhari Akmal Tarigan, Etika Bisnis dalam Islam, h. Lihat lebih lanjut dalam Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, Jakarta: Al-Kaustar, 2000, h. 128.
y a n g c u k u p k era s, a d a la h k a r e n a Isla m in g in m e n e g a k k a n siste m e k o n o m i y a n g d id a la m n y a s e m u a b e n tu k e k s p lo ita s i d ib a ta si. K e tid a k a d ila n y a n g te r ja d i d a la m b e n tu k ,
penyandang
m e la k u k a n
se su a tu
dana a ta u
yang
ik u t
d ija m in
m e m p e ro le h
m enanggung
risik o ,
k e u n tu n g a n
s e m e n ta r a
ta n p a
p e n g u sa h a ,
m e s k ip u n te la h m e la k u k a n k e rja k era s, tid a k m e m p u n y a i ja m in a n se ru p a . Isla m in g in m e n e g a k k a n k e a d ila n d i a ta r a p e n g u sa h a d a n p e m ilik m o d a l. D a la m tin ja u a n e k o n o m i, p a ra p a k a r
m e n y e b u t b a h w a rib a b a n y a k
m e n g a n d u n g k e ru g ia n . A n w a r Iq b a l m e n y a ta k a n b a h w a s a n y a rib a a d a la h su m b e r s e g a la b e n tu k m e la h irk a n
k e ja h a ta n
k o n s e n tr a s i
e k o n o m i, kekayaan
dan pada
d ia a m a t b e r ta n g g u n g ja w a b s a tu
ta n g a n .
S iste m
d a la m
bunga
yang
m e n ja d ik a n p e n a m b a h a n d a n a k u m u la s i k e k a y a a n ta n p a u s a h a d a n k e rin g a t a k a n m e la h ir k a n k e b e n c ia n d a n p e rm u su h a n . Syekh
M ahm ud
A hm ad
m e n y a ta k a n
bahw a
siste m
bunga
a d a la h
b e r b a n d in g te r b a lik d e n g a n k e p u tu sa n in v e sta si, d a n se p a n ja n g siste m b u n g a m e n d o m in a s i siste m p e r e k o n o m ia n m a k a p e n g a n g g u r a n a k a n m e n y a ta k a n
bahw a
p r a k te k
rib a
akan
m e n im b u lk a n
m u n c u l. Q u tu b
m a tin y a
k e sa d a ra n
m o ra lita s p e la k u b isn is. D ilih a t
d a ri
u r a ia n
te rd a h u lu ,
je la s la h
la ra n g a n
a l-Q u r ’a n
te rh a d a p
p r a k te k r ib a k a r e n a a k tiv ita s in i h a n y a m e n g u n tu n g k a n se b e la h p ih a k d a n m e ru g ik a n p ih a k la in , te r u ta m a o ra n g y a n g e k o n o m in y a le m a h . D a la m p e rja n jia n itu m e re k a tid a k p u n y a p ilih a n la in k e c u a li h a ru s m e n e r im a p e r ja n jia n b e ra t s e b e la h te rse b u t. T e g a s n y a r ib a (b u n g a b a n k ) m e n g a n d u n g u n s u r e k s p lo ita si m a n u sia te rh a d a p
m a n u sia
la in
se su a tu y a n g
s a n g a t b e r te n ta n g a n
dengan
p e rin sip e k o n o m i Isla m y a it u t a 'a w u n d a n w in -w in so lu tio n .
3. Nelayan, Kemiskinan Struktural Dan BPR- Syari'ah
S e b a g a i n e g a r a m a ritim , In d o n e s ia m e m ilik i p a n ta i te r p a n ja n g d i d u n ia , d e n g a n g a ris p a n ta i le b ih 8 1.0 0 0 k m . D a ri 6 7 .4 3 9 d e s a d i In d o n e sia , k u ra n g le b ih
9 .2 6 1 d e sa d ik a te g o rik a n s e b a g a i d e sa p e s is ir y a n g su d a h b is a d ip a stik a n se b a g i b e s a r p e n d u d u k n y a m isk in .(K u sn a d i;2 0 0 2 ). T e g a sn y a , d ip e rk ira k a n 22 % ju m la h p e n d u d u k In d o n e s ia a ta u s e k ita r 4 1 Ju t a jiw a tin g g a l d a n h id u p d i w ila y a h P e sisir, y a n g m a ta p e n c a h a r ia n n y a a d a la h d e n g a n c a r a m e m a n fa a tk a n su m b e r d a y a a la m yang
ada
d iw ila y a h
p e s is ir
b a ik
seb agai
p e ta n i
ta m b a k
n e la y a n
a ta u p u n
p e ta n i ta m b a k .
(R a is; 1 9 9 5 ) N e la y a n
dan
in i
d ip a n d a n g
sa n g a t
p o te n s ia l
dan
m e m e g a n g p e r a n a n s e b a g a i p e m a s o k ik an , k a r e n a s e b a g ia n b e s a r (9 0 % ) p ro d u k s i ik a n d ih a s ilk a n d a ri u s a h a m e re k a u n tu k m e m e n u h i k e b u tu h a n p e n d u d u k . B a h k a n le b ih d a ri itu, n ila e k o n o m i to ta l y a n g d ih a silk a n o le h b e r b a g a i k e g ia ta n p e m b a n g u n a n (p e m a n fa a ta n ) s u m b e rd a y a p e s is ir d a n k e la u ta n se b e s a r R p .3 6 ,6 tr ily u n a ta u s e k ita r 22 p e rse n d a ri to ta l p r o d u k d o m e s tik b ru to p a d a ta h u n 19 8 7 . T e n tu sa ja k o n tr ib u s i la u t m a sih sa n g a t k e c il d ib a n d in g d e n g a n K o re a S e la ta n d a n Je p a n g y a n g m a s in g -m a s in g m e m ilik i
g a ris p a n ta i se p a n ja n g 2 .7 13 k m d an
3 4 .3 8 6 k m , m a m p u m e n y u m b a n g 3 7 % d a n 5 4 % d a ri P D B m a sin g -m a sin g . D e m ik ia n p u la h a n ln y a d e n g a n T h a ila n d y a n g m e m ilik i g a ris p a n ja n g p a n ta i y a n g ja u h le b ih k e c ilb d a ri In d o n e sia , te r n y a ta m a m p u m e n g e k s p o r p r o d u k p e rik a n a n se n ila i 4 ,2 m ilia r d o la r A S . S e m e n ta r a In d o n e s ia p a d a ta h u n 2 0 0 0 h a n y a m e n g e k s p o r 1,7 6 m ilia r d o la r A S . H a l in i m e n u n ju k k a n m a sih re n d a h n y a p ro d u k tifita s p e m a n fa a ta n s u m b e r d a y a k e la u ta n y a n g s e b e n a rn y a sa n g a t k a y a d a n p o te n sia l. Y a n g le b ih p a ra h d a ri itu, se p e r ti y a n g se r in g d is in y a lir o le h m e n te r i k e la u ta n d a n P e rik a n a n RI, b a g a im a n a m u n g k in k e m is k in a n m a sih m e n ja d i m a s a la h y a n g m e n je ra t n e la y a n d a n p e ta n i ta m b a k , p a d a h a l m e re k a tin g g a l d i w ila y a h y a n g m e m ilik i su m b e r d a y a a la m y a n g c u k u p k aya. In i m e n ja d i se s u a tu y a n g p a ra d o k sa l, k a n to n g k a n to n g k e m is k in a n ju s t r u te r d a p a t d i w ila y a h -w ila y a h p e s is ir /la u t y a n g s u m b e r d a y a a la m n y a s a n g a t k aya. Ib a ra t se m u t y a n g m a ti k e la p a ra n d i lu m b u n g g u la. U n tu k itu la h m a sa la h k e m isk in a n n e la y a n in i s e ja tin y a h a ru s m e n d a p a t p e rh a tin
se riu s b a g i s e m u a p ih a k d a n h a ru s d i a ta s i d e n g a n m e n g g u n a k a n b e r b a g a i m a c a m cara.
Bentuk Kemiskinan S e tid a k n y a a d a tig a b e n tu k k e m is k in a n y a n g m e la n d a N e la y a n . P e rta m a , k e m is k in a n stru k tu ra l. K e m isk in a n in i d id e r ita o le h se g o lo n g a n n e la y a n k a re n a k o n d is i s tru k tu r so sia l y a n g a d a m e re k a tid a k d a p a t ik u t m e n g g u n a k a n su m b e rsu m b er
p e n d a p a ta n
k e tid a k m e ra ta a n
yang
a k se s
s e b e n a rn y a
pada
te r s e d ia
s u m b e rd a y a
bagi
k aren a
m e re k a .
s tru k tu r
Ja d i
s o a ln y a
s o s ia l y a n g
ad a.
S e m a k in tin g g i p o s isi so sia l n e la y a n d a la m s tru k tu r so sia l y a n g ad a , se m a k in b e s a r p u la p e lu a n g m e re k a m e m p e ro le h a k se s p a d a s u m b e r d aya , b a ik m o d al, te k n o lo g i, in fo r m a si d a n p a sa r (D a h u ri;2 0 0 i). C o n to h y a n g p a lin g je la s, s s a m p a i s a a t in i n e la y a n b e lu m d a p a t m e n ik m a ti h a r g a d a ri h a sil p r o d u k s in y a k a re n a m a rjin p e m a s a ra n le b ih b a n y a k ja tu h k e ta n g a n p e d a g a n g a ta u p e n g u sa h a . K e d u a , K e m isk in a n
K u ltu ra l y a n g m e lih a t k e m isk in a n te r ja d i k a re n a
fa k to r b u d a y a se p e r ti k e m a la sa n y a n g b e r s u m b e r p a d a n ila i-n ila i lo k a l y a n g m em ang
tid a k
k o n d u s if
bagi
su a tu
k e m a ju a n .
(D a h u ri:2 0 0 i).
B is a
ja d i
m a s a la h n y a tid a k h a n y a d is e b a b k a n o le h n ila i-n ila i lo k al, a d a t a ta u tra d isi, n a m u n d a p a t ju g a te r ja d i a k ib a t n ila i-n ila i re le g iu s y a n g se la m a in i d iy a k in i. S a d a r a ta u tid a k , p e m a h a m a n te o lo g is s e se o ra n g p a d a h a k ik a tn y a m e m b e rik a n p e n g a ru h
yang
cukup
s ig n ifik a n
te r h a d a p
eto s
k e rja
yang
d im ilik in y a .
M e n y a n g k u t h a l in i te la h b a n y a k p e n e litia n y a n g d ila k u k a n b e r k e n a a n d e n g a n p e n g a ru h a g a m a te r h a d a p eto s k erja. P e n e litia n y a n g m e n ja d i k la sik d a n se la lu d iru ju k o le h p e n e liti-p e n e liti b e r ik u tn y a a d a la h k a ry a M a x W e b e r y a n g b e r ju d u l T h e P r o te s ta n t E th ic a n d S p irit o f C a p ita lism e . D i d a la m b e r h a s il
dengan
b a ik
m e n u n ju k k a n
p e n g a ru h
a ja r a n
k aryan ya W eb er
p r o te s ta n
te rh a d a p
b a n g k itn y a K a p ita lis m e d i Je rm a n . D a la m k o n te k s Isla m , b e b e r a p a p e n e litia n ju g a m e n u n ju k k a n in d ik a si y a n g sam a. D i a n ta ra n y a , W ira u s a h a w a n
M u s lim
di
P e n e litia n N a n a t F a ta h N a sir te n ta n g E to s K e rja K a b u p a te n
T a s ik
M a la y a .
Ja w a
B a ra t
(19 9 9 ).
S e la n ju tn y a p e n e litia n m e n g a m b il
lo k a si
di
Z u ly
Q o d ir te n ta n g A g a m a
P e k a ja n g a n
Y o g y a k a r ta
dan
(20 0 2)
E to s ju g a
D agang yang m e n u n ju k k a n
k e c e n d e ru n g a n y a n g sa m a . T e g a s n y a a d a k o re la s i p o s it if a n ta r a p e m a h a m a n te o lo g i d e n g a n eto s k erja. Jik a p a h a m te o lo g i y a n g d iy a k in i p ro g re sif, m a k a eto s k e rja n y a
akan
tin g g i
dan
se b a lik n y a
jik a
pem aham an
te o lo g in y a
tid a k
m e m b e rik a n k e b e b a sa n p a d a m a n u sia , m a k a eto s k e rja n y a p u n a k a n re n d a h . K etig a,
k e m isk in a n
a la m ia h
te r ja d i
di
m ana
k o n d isi
a la m
tid a k
m e n d u k u n g m e re k a m e la k u k a n k e g ia ta n e k o n o m i p ro d u k tif. D a la m k o n te k s m a s y a ra k a t a g ra ris, d a p a t d ig a m b a r k a n d e n g a n g e r s a n g n y a la h a n . S e m e n ta r a d a la m k o n te k s m a sy a ra k a t n e la y a n , d a p a t d ig a m b a rk a n d e n g a n m isk in a ta u ru s a k n y a s u m b e r d a y a p e s is ir lau t, b a ik m e n g e n a i fa k to r a la m a ta u p u n m a n u sia (p e n g e b o m a n ik an , p e n c e m a ra n , d sb ).(D a h u ri:2 0 0 1). T e n tu sa ja k e tig a b e n tu k k e m isk in a n te r s e b u t h a ru s d i a ta s i d e n g a n p e n d e k a ta n y a n g b e rb e d a . M e n g u ta m a k a n y a n g s a tu se rta m e n g a b a ik a n y a n g la in n y a , tid a k a k a n p e r n a h b e r h a s il m e m b a w a m a s y a r a k a t m isk in d i w ila y a h p e s is ir ke a ra h k e h id u p a n y a n g le b ih b a ik . N a m u n tu lis a n in i se c a ra s p e sifik h a n y a m e m b ic a ra k a n k e m is k in a n stru k tu ra l d a n b a n k s y a r i'a h .
Solusi S e b a g a im a n a
yang
te la h
d iu ra ik a n
di
m uka,
k e m isk in a n
stru k tu ra l
s e b e n a rn y a le b ih d is e b a b k a n s u a tu k o n d is i so sia l m a s y a r a k a t y a n g m e n e m p a tk a n n e la y a n te r s e b u t tid a k b e r a d a d a la m p o sisi y a n g m e n g u n tu n g k a n . S e tid a k n y a p a r a n e la y a n se c a ra s o sia l d a p a t d ig o lo n g k a n k e p a d a tig a g o lo n g a n .
P e rta m a ,
d a ri s e g i p e n g u a s a a n
a la t-a la t p r o d u k s i a ta u
p e ra la ta n
ta n g k a p (p e ra h u , ja rin g d a n p e r le n g k a p a n la in ), n e la y a n itu d a p a t d ib a g i k e p a d a n e la y a n p e m ilik a la t-a la t p r o d u k s i d a n n e la y a n b u ru h . N e la y a n je n is te r a k h ir in i tid a k m e m ilik i a p a -a p a k e c u a li h a n y a m e n y u m b a n g k a n ja s a n y a (te n a g a n y a ) k e p a d a n e la y a n p e m ilik . K e d u a , d a ri s k a la in v e sta si m o d a l u sa h a , s tru k tu r m a s y a ra k a t n e la y a n te r b a g i k e p a d a n e la y a n b e s a r y a n g in v e s ta si m o d a ln y a c u k u p b e s a r d a la m u s a h a p e rik a n a n , d a n s e b a lik n y a n e la y a n k e c il y a n g s a m a se k a li
tid a k m e m ilik i m o d a l y a n g c u k u p . K e tig a , d ip a n d a n g d a ri se g i p e ra la ta n d an p e m a n fa a ta n te k n o lo g i d ib a g i k e p a d a n e la y a n m o d e rn d a n n e la y a n tra d isio n a l. N e la y a n
m o d e rn
b ia s a n y a
m enggunakan
p e r a la ta n
yang
le b ih
c a n g g ih ,
s e b a lik n y a n e la y a n tr a d is io n a l h a n y a m e n g g u n a k a n p e r a la ta n y a n g s a n g a t-s a n g a t te rb e la k a n g . (K u sn a d i:2 0 0 2 ) Im p lik a s i d a ri tip o lo g i in i m e m ilik i p e n g a ru h y a n g s ig n ifik a n tin g k a t
p e n d a p a ta n
m a s in g -m a s in g
n e la y a n .
B isa
d i duga,
d a la m
n e la y a n
b u ru h ,
n e la y a n k e c il d a n n e la y a n tr a d is io n a l m e m ilik i p e n g h a s ila n y a n g r e la t if le b ih k e c il
d ib a n d in g
dengan
n e la y a n
b esar
dan
m o d e rn .
S e b e n a rn y a
jik a
d is e d e rh a n a k a n , k la sifik a si n e la y a n y a n g d is e b u t d i ata s, d a p a t d ib a g i k e p a d a d u a k a ta g o r i u ta m a ; n e la y a n d e n g a n p e n g h a s ila n y a n g r e la t if le b ih b e sa r d a n n e la y a n d e n g a n p e n g h a s ila n y a n g r e la t if le b ih k e cil. Iro n isn y a , ju m la h n e la y a n y a n g p e n g h a s ila n n y a b e s a r s a n g a t k ecil. M a y o rita s a d a la h n e la y a n -n e la y a n k ecil. P e rs o a la n n y a , m e n g a p a n e la y a n -n e la y a n m isk in in i tid a k d a p a t b a n g k it ? ja w a b n y a a d a la h s tru k tu r so sia l tid a k m e m ih a k k e p a d a m e re k a . P o sisi s e b a g ia n b e s a r n e la y a n y a n g tid a k m e m ilik i m o d a l d a n p e ra la ta n p e n a n g k a p a n y a n g m e m a d a i, m e m b u a t m e re k a b e r a d a p a d a p o sisi y a n g tid a k s e im b a n g d e n g a n n e la y a n b e sa r. D a la m p a ra d ig m a k a p ita lis, h u b u n g a n m e re k a ta k o b a h n y a a n ta r a k a la n g a n p r o le ta r d e n g a n b o rju is. W a ja r s a ja b a g i h a sil y a n g m e re k a p e ro le h s e rin g t id a k ad il. P a d a sisi lain , k e n d a tip u n d a la m w a k tu -w a k tu te r te n tu n e la y a n -n e la y a n b u ru h /
k e c il a ta u
tr a d is io n a l te r s e b u t
m e n d a p a t ta n g k a p a n
yang
banyak,
m is a ln y a p a d a m u s im ik a n , k e a d a a n in i tid a k m e n ja d ik a n m e re k a m e m ilik i n ila i tu k a r
(u an g) y a n g
m e m a d a i.
M a s a la h n y a a d a la h , ja rin g a n
p e m a s a ra n
ik a n
d ik u a sa i s e p e n u h n y a o le h p a ra p e d a g a n g p e ra n ta ra . H u b u n g a n a n ta r a n e la y a n dan
pedagang
p e r a n ta r a
sa n g a t
kuat
dan
b e r ja n g k a
p a n ja n g .
N e la y a n
m e m b a n g u n k e rja s a m a d e n g a n n e la y a n p e r a n ta r a u n tu k m e n g a ta s i k e s u lita n m o d a l a ta u p u n u n tu k k o n s u m si se h a ri-h a ri.
P e d a g a n g p e r a n ta r a b ia s a n y a s e la lu m e n y e d ia k a n m o d a l a ta u k e b u tu h a n n e la y a n p a d a sa a t d ib u tu h k a n . B a h k a n tid a k te rtu tu p k e m u n g k in a n b e rla k u siste m re n te d i m a n a p e d a g a n g a n ta r a m e n y e d ia k a n p in ja m a n m o d a l d e n g a n siste m b u n g a . A k h irn y a , n e la y a n y a n g b e r ju a n g m a ti-m a tia n m e n c a r i ik a n d i la u t le p as, te ta p b e r a d a d a la m p o s is i y a n g tid a k m e n g u n tu n g k a n . M e r e k a tid a k b is a m e n e n tu k a n h a rg a se n d ir i b a h k a n m e re k a s a m a se k a li tid a k m e n g e ta h u i h a rg a d i p a sa ra n k a re n a m e re k a s a m a se k a li tid a k m e m ilik i a k se s te r h a d a p p a sa r. D e n g a n d e m ik ia n y a n g m e n ja d ik a n n e la y a n -n e la y a n k e c il tid a k b e r d a y a te r h a d a p s tru k tu r s o s ia l y a n g ad a, k a re n a “ m e re k a tid a k m e m ilik i a k se s te rh a d a p su m b e r-s u m b e r m o d a l y a n g tid a k m e n g e k s p lo ita s i m e r e k a ” y a n g s u d a h b a ra n g te n tu m e n ja d ik a n m e re k a tid a k m a m p u m e m ilik i a la t-a la t p ro d u k si. D a la m
k e ra n g k a
m e n y e le sa ik a n
p e rso a la n
m odal yan g
m e m b e rik a n
k e a d ila n , m a k a k e b e r a d a a n le m b a g a p e rb a n k a n te r le b ih la g i p e r b a n k a n Isla m m e n ja d i se b u a h k e n isc a y a a n . M e n g a p a h a ru s p e rb a n k a n s y a r i'a h a ta u le b ih te p a tn y a B P R S (B a n k P e rk re d ita n R a k y a t S y a r i'a h ) y a n g h a ru s d iw u ju d k a n d i d a e ra h se k ita r p e sisir. A la s a n n y a a d a la h , P e rta m a , B a n k s y a r i'a h a d a la h b a n k y a n g m e n ju n ju n g tin g g i
n ila i-n ila i
p e rsa m a a n .
s y a r i'a h
se p e r ti
B erb ed a d en gan
bank
k e a d ila n ,
k e m a sla h a ta n
b ersam a
k o n v e n sio n a l y a n g b e rb a sis
d an
bunga yang
c e n d e r u n g e k sp lo ita tif, b a n k s y a r i'a h a k a n ta m p il d e n g a n siste m b a g i h a siln y a y a n g le b ih m a n u sia w i. K e d u a , B a n k S y a r i'a h m e n y ia p k a n b e r b a g a i m a c a m sk im -sk im y a n g d a p a t m e m b a n tu
p a ra
n e la y a n
u n tu k
m em enuhi
k e b u tu h a n
m o d a ln y a ,
se p e rti
m u d h a r a b a h d a n m u sy a ra k a h . S k im in i le b ih r a sio n a l d a n m a m p u m e n d o ro n g p ro d u k tifita s n e la y a n . K etig a, B a n k S y a r i'a h ju g a m e n y e d ia k a n p e m b ia y a a n -p e m b ia y a a n y a n g d a p a t d ig u n a k a n p a ra n e la y a n u n tu k m e le n g k a p i p e ra la ta n p e n a n g k a p a n ik a n m e la lu i p e m b ia y a a n m u ra b a h a h , a ta u b a 'i b i a l-s a m a n a jil (B B A ) a ta u p u n alija ra h a l-m u n ta h ia b i a l-ta m lik (se w a b eli). K e e m p a t, D a la m tin g k a t te rte n tu ,
b a n k s y a r i'a h ju g a d a p a t b e r fu n g s i s e b a g a i p e m b e li h a sil p e n a n g k a p a n n e la y a n a g a r tid a k la g i d ip e r m a in k a n o le h p e d a g a n g p e ra n ta ra . K e lim a , B a n k S y a r i'a h ju g a p a d a g ilir a n n y a d a p a t m e n d id ik n e la y a n u n tu k m e la k u k a n sa v in g , d a n in i m e ru p a k a n c a ra y a n g p a lin g e fe k t if u n tu k m e ru b a h k u ltu r n e la y a n y a n g c e n d e r u n g k o n s u m tif d a n b e r p ik ir ja n g k a p e n d e k (d i sin i d a n s a a t in i) m e n ja d i b e r p ik ir u n tu k ja n g k a w a k tu y a n g le b ih p a n ja n g . K e lim a , B a n k S y a r i'a h ju g a d a p a t m e m b a n tu n e la y a n u n tu k m e n g c o v e r m e la lu i a s u r a n s i ta k a fu l. S e h in g g a k e c e la k a a n (jik a a d a d a n m u d a h -m u d a h a n tid a k te rja d i) y a n g d ia la m i n e la y a n tid a k b e r a r ti b e r a k h ir n y a u s a h a k e lu a rg a . K e e n a m , Jik a p ilih a n n y a
pada
BPRS
h al
in i le b ih
d is e b a b k a n
pada
p e n d iria n n y a le b ih m e m u n g k in k a n d a p a t d ila k u k a n d a la m w a k tu y a n g tid a k te r la lu la m a . D i sa m p in g itu B P R S le b ih d io rie n ta s ik a n u n tu k p e m b e r d a y a a n m a s y a ra k a t k u ra n g m a m p u . D e n g a n d e m ik ia n , p e n d iria n B a n k S y a r i'a h d i w ila y a h p e s is ir a d a la h k e p u tu s a n y a n g p a lin g te p a t y a n g h a ru s d id u k u n g o le h P E M K O M e d a n d a la m k e ra n g k a m e re ta s k e m isk in a n s tr u k tu r a l y a n g b e g itu a k u t d i w ila y a h p e sisir M edan.
4. Peranan Ulama dan Akademisi Dalam Pengembangan Bank Syari' ah
K e ta n g g u h a n B a n k S y a r i'a h d a la m m e n g h a d a p i k risis e k o n o m i In d o n e sia k h u s u s n y a y a n g m e la n d a d u n ia p e r b a n k a n s e ja k ta h u n 19 9 7 , a g a k n y a tid a k d ip e r s o a lk a n lagi. D i sa a t b a n k -b a n k b e s a r m e n g h a d a p i p e r s o a la n n e g a t if sp re a d , k re d it
m a ce t,
bank
s y a r i'a h
n y a ris
S e b a b n y a a d a la h b a n k s y a r i'a h se b u a h
p o la y a n g
d ig a ris k a n
tid a k
te r k e n a
dam pak
k risis
te rse b u t.
m e n e ra p k a n p o la b a g i h a sil (m u d h a ra b a h ),
s y a r i'a t
Isla m
d engan
m e n ju n ju n g
n ila i-n ila i
k e a d ila n ('a d a la h ), p e rs a m a a n (a l-m u sa w a h ), d a n k e m a s la h a ta n (a l-m a sla h a t). D i sa m p in g itu, b a n k s y a r i'a h te ta p k o n siste n u n tu k m e m a tu h i p rin sip sep e rti,
k e h a ti-h a tia n (p ru d en tia l), b a ta s m a k s im u m p e m b e ria n k re d it (B M P K ) p ih a k te rk a it, p o s is i d e v is a te r b u k a d a n p rin sip la in n y a . K e b e rh a sila n
Bank
S y a r i'a h
d a la m
m enghadapi
k risis,
m em buat
p e m e r in ta h s e m a k in y a k in te r h a d a p m a s a d e p a n b a n k s y a r i'a h . B a h k a n tid a k b e r le b ih a n jik a d ik a ta k a n , b a n k s y a r i'a h
d a p a t d ija d ik a n sa la h sa tu m o d e l
re s tr u k tu ris a s i p e r b a n k a n n a sio n a l. B e b e r a p a in d ik a si y a n g m e n u n ju k k a n a d a n y a p e n g a k u a n te r h a d a p k e b e r a d a a n b a n k s y a r i'a h d a p a t d ilih a t d e n g a n la h irn y a u n d a n g -u n d a n g
N o 10 T a h u n 19 9 8 y a n g m e ru p a k a n p e n y e m p u r n a a n U n d a n g -
undang
ta h u n
N o.
7
19 9 2
te n ta n g
P e rb a n k a n .
D e m ik ia n
ju g a
dengan
d is y a h k a n n y a U n d a n g -u n d a n g N o . 23 T a h u n 19 9 9 te n ta n g B a n k In d o n e s ia y a n g in tin y a a d a la h , In d o n e s ia m e n g a n u t siste m p e r b a n k a n b e r g a n d a (d u a l b a n k in g sy s te m )
yang
m e m ilik i
(k o n v e n sio n a l d a n
m akna
s y a r i'a h )
p e r la k u a n
te rse b u t.
L e b ih
yang
sam a
d a ri itu,
bagi
kedua
siste m
B a n k In d o n e s ia ju g a
m e m b u a t re g u la s i-r e g u la s i k h u su s m e n g e n a i p e r b a n k a n s y a r i'a h se p e rti m a sa la h k o n v e rsi b a n k k o n v e n sio n a l ke b a n k s y a r i'a h , p e r a tu ra n te n ta n g P a sa r U a n g a n ta r b a n k
s y a r i'a h
bahkan
sa m p a i p e n g a tu r a n te n ta n g s ta n d a r a k u n ta n s i
p e rb a n k a n s y a r i'a h . T e n tu s a ja k e b e rh a s ila n y a n g te la h d ic a p a i b a n k s y a r i'a h , tid a k b e r a r ti m e m b u a t p e m ik ir e k o n o m i Isla m , p r a k tis i p e rb a n k a n , u la m a , u la m a / a k a d e m is i d a n u m a t Isla m b e rp u a s d iri. M a sih b a n y a k ta n ta n g a n y a n g h a ru s d ih a d a p i p e rb a n k a n s y a r i'a h y a n g s e b e n a rn y a sa m p a i sa a t in i a sse t p e r b a n k a n s y a r i'a h m a sih s a n g a t k e c il d i b a n d in g d e n g a n b a n k -b a n k k o n v e n s io n a l la in n y a . S a m p a i a k h ir m a re t 2 0 0 2 m e n u r u t d a ta B iro P e rb a n k a n S y a r i'a h , to ta l d a n a p ih a k k e tig a y a n g d ih im p u n o le h b a n k -b a n k s y a r i'a h h a n y a se b e sa r 1,2 8 tr ily u n d e n g a n a se t s e b e s a r 2 ,8 1 trily u n . S a la h sa tu m a sa la h y a n g c u k u p se riu s te r s e b u t a d a la h , k e te rlib a ta n u m a t Isla m y a n g b e lu m m a k s im a l u n tu k tid a k m e n g a ta k a n tin g k a t p a rtis ip a s i y a n g sa n g a t re n d a h . P a d a h al, u m a t Isla m a d a la h p a sa r p o te n s ia l p e r b a n k a n s y a r i'a h , y a n g h a ru s d im a n fa a tk a n . U n tu k m e n g a ta s i p e rso a la n in i d ip e rlu k a n la n g k a h -
langkah strategis-prospektif yaitu, bagaimana menjadikan bank syari'ah sebagai bank umat Islam. Tidak kalah pentingnya, bagaimana menjadikan umat merasa memiliki bank syari'ah. Tentu saja gagasan ini tidak dimaksudkan untuk menempatkan bank syari'ah sebagai bank yang eksklusif, karena ini tidak sesuai dengan prinsip dasar Islam sebagai
ra h m a ta n
lil a l-'a la m in ,
sekaligus juga
bertentangan dengan inklusivitas ekonomi Islam. Maksud gagasan ini hanyalah ingin menjadikan umat Islam sebagai pendukung utama perbankan syari'ah itu sendiri. Semangat Dasar Kelahiran Bank Syari'ah
Kendatipun gagasan pendirian bank syari'ah telah dimulai pada awal abad 20
M seperti yang terdapat di Pakistan, Malaysia dan Mesir, namun untuk
konteks Indonesia semangat pendirian bank syari'ah baru dimulai pada era 1980an. Puncaknya pada tahun 1990 ketika Majelis Ulama/akademisi Indonesia (MUI) menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cicarua Bogor, Jawa Barat. Hasil Lokakarya tersebut dibahas lagi lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Syahid Jakarta 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan Munas IV MUI tersebut diamanatkanlah kepada sebuah tim untuk mendirikan bank syari'ah di Indonesia. Hasilnya adalah berdirinya Bank Mu'amalat Indonesia yang selanjutnya diikuti dengan pendirian bank-bank syari'ah lainnya, seperti yang kita saksikan saat ini.7 Dari sketsa singkat sejarah berdirinya bank syari'ah di Indonesia ada yang menarik untuk di catat.
P e r ta m a ,
kelahiran bank syari'ah di Indonesia berangkat
dari komitmen ulama/ulama/akademisi untuk mengamalkan ajaran Islam secara totalitas (ka ffa h ). Sepertinya hal ini dimotivasi oleh Firman Allah SWT yang artinya,
H a i o r a n g -o ra n g y a n g b e rim a n m a su k la h k a m u ke d a la m Isla m se c a ra
k a ffa h
(a l-B a q a ra h /2 :2 o 8 ).
K edua,
kelahiran bank syari'ah dibidani para
7 Lihat, S. Siansari Ecip, Syu’bah Asa dan Avesina, Ketika Bagi Hasil Tiba: Perjalanan 10 Tahun Bank Muamalat, PT. Bank Muamalat Indonesia, 2002. Buki ini berisi catatan sejarah tentang sejarah pertama kalinya Bank Syari’ah di Indonesia dalam hal ini bank Mu’amalat.
u la m a / a k a d e m is i y a n g c o n c e rn p a d a m a sa d e p a n u m a t Islam . K etig a , k e la h ira n bank
s y a r i'a h
ju g a
d id a s a ri p a d a
se b u a h
k e sa d a ra n
bahw a
p em b erd ayaan
e k o n o m i u m a t Isla m h a n y a b is a d ila k u k a n d a n d im u la i o le h u m a t Isla m sen d iri. A g a k n y a in i d id a sa ri o le h F irm a n A lla h S W T y a n g b e rb u n y i, s e s u n g g u h n y a A lla h S W T tid a k m e ru b a h n a sib s u a tu ka u m , k e c u a li k a u m itu s e n d ir i y a n g m e ru b a h n y a ( a l-R a 'd / i^ :ii). T id a k la h
sa la h
jik a
d ise b u t,
bank
s y a r i'a h
itu
a d a la h
ban kn ya
u la m a / a k a d e m is i y a n g n o ta b e n e a d a la h b a n k n y a u m a t Isla m . B a g a im a n a p u n ju g a k a r a k te r is tik s y a r i'a h y a n g m e le k a t p a d a b a n k s y a r i'a h
m e n isc a y a k a n
k e te rlib a ta n
um at
um at
secara
m a k sim a l.
Pada
g ilira n n y a ,
k e tik a
m e ra s a
m e m ilik i b a n k s y a r i'a h ini, m a k a u n tu k s e la n ju tn y a m e y a k in k a n p ih a k la in u n tu k te rlib a t, a g a k n y a tid a k te r la lu su lit. D a la m k e ra n g k a in ila h , m e n g a p a k e te rlib a ta n u m a t m e n ja d i p ilih a n y a n g tid a k b is a d ita w a r -ta w a r lagi.
Wajah Umat yang Terbelah S e c a ra n o r m a tif d iy a k in i, k e tik a b a n k s y a r i'a h la h ir d i In d o n e sia , m a k a u m a t Isla m a k a n se p e n u h n y a m e m b e rik a n d u k u n g a n y a n g t id a k sa ja d a la m p e n g e r tia n y a n g a b s tr a k te ta p i d u k u n g a n y a n g le b ih k o n k rit d a n p a rtisip a tif. K e y a k in a n
in i se m a k in
k u at, k a r e n a k e h a d ira n b a n k s y a r i'a h
d i In d o n e s ia
d ip a n d a n g se b a g a i im p le m e n ta si p e la k s a n a a n a ja ra n Isla m se c a r a k a ffa h (to tal). A k a n te ta p i r e a lita n y a m e n u n ju k k a n se b a lik n y a . B eb erap a
p e n e litia n
yang
d ila k u k a n
m e n u n ju k k a n
dengan
sa n g a t
m e y a k in k a n , te r n y a ta u m a t Isla m b e lu m se p e n u h n y a m e n e r im a k e h a d ira n b a n k s y a r i'a h , b a ik k a re n a a la sa n “id io lo g is ” , p o litis m a u p u n te k n is. A la s a n id io lo g is, m a sih b a n y a k d ik a la n g a n u m a t Isla m y a n g m e n g a n g g a p b a n k s y a r i'a h sa m a d e n g a n b a n k k o n v e n s io n a l. S a m a -s a m a m e n e ra p k a n siste m b u n g a d e n g a n n a m a y a n g b e rb e d a . A d a ju g a k a re n a a la s a n p o litis. B a n y a k ju g a u m a t Isla m y a n g a le rg i d e n g a n b a n k s y a r i'a h k a r e n a d ip a n d a n g s e b a g a i c ik a l b a k a l b e r d ir in y a n e g a ra Isla m a ta u p a lin g tid a k d icla im se b a g a i in d ik a si m e n g u a tn y a fo rm a lism e Isla m d i
In d o n e sia . E k sp o n e n b a n k s y a r i'a h d ia n g g a p se b a g a i k e lo m p o k fu n d a m e n ta lis Isla m . A la sa n te k n is m a k su d n y a , m a s ih te r b a ta s n y a le m b a g a -le m b a g a k e u a n g a n s y a r i'a h s e h in g g a b e lu m d a e ra h . Ja n g a n k a n
d a p a t m e n ja n g k a u k a n to n g -k a n to n g u m a t Isla m d i
u n tu k tin g k a t k a b u p a te n / k o ta ,
d i ib u k o ta p r o p in si s a ja
k e h a d ira n b a n k s y a r i'a h m a sih te r a s a s a n g a t k u ra n g . U n tu k m e m p e rk u a t a n a lisis d i ata s, p a d a N o v e m b e r 2 0 0 0 , BI d e n g a n le m b a g a p e n e litia n t ig a u n iv e rsita s d i p u la u Ja w a te la h m e la k u k a n p e n e litia n u n tu k m e lih a t p o te n si, p r e fe r e n s i d a n p r ila k u m a sy a ra k a t m u slim te r h a d a p b a n k s y a r i'a h . D ia n ta ra k e sa n y a n g d ip e ro le h d a ri p e n e litia n te r s e b u t a d a la h a d a n y a k e ra g u a n
te n ta n g
hukum
bunga
bank
d a la m
p erb an k an
k o n v e n sio n a l,
k e n d a tip u n 9 4 % m e n g a n g g a p b a n k s y a r i'a h d e n g a n siste m b a g i h a sil s a n g a t m e n g u n tu n g k a n
b a ik
bagi bank
a ta u p u n
n a sa b a h .
A kan
te ta p i
h a sil
la in
m e n u n ju k k a n , te r n y a ta m a sih a d a u m a t Isla m y a n g b e r a n g g a p a n b a n k s y a r i'a h sam a d engan b an k
k o n v e n sio n a l (10 ,2% ). B a h k a n a d a ju g a u m a t Islam , se k ita r
16 ,5 % , y a n g m e n g a n g g a p b a g i h a sil d a n
m a r k up p a d a p r o d u k m u ra b a h a h s a m a
d e n g a n b u n g a . W a la u p u n ju m la h u m a t Isla m y a n g m e m a n d a n g b a n k s y a r i'a h d e n g a n b a g i h a s iln y a s a m a d e n g a n b a n k k o n v e n s io n a l d e n g a n siste m b u n g a h a n y a 2 6 ,7 % , tid a k b e r a r ti s e le b ih n y a s e k ita r 7 3 ,3 % b e r p e n d a p a t b u n g a b a n k h a ra m , s e p e rti y a n g a k a n d itu n ju k k a n o le h h a sil p e n e litia n b e rik u tn y a . D a la m b u k u C e ta k B iru P e n g e m b a n g a n P e rb a n k a n S y a r i'a h d i In d o n e sia y a n g d ite rb itk a n o le h BI, ju g a d ip a p a rk a n se b u a h p e n e litia n te n ta n g p e r s e p s i u m a t Isla m te r h a d a p p e r b a n k a n s y a r i'a h d i 7 p r o p in si y a n g r a ta -ra ta p e n d u d u k m u s lim n y a m e n c a p a i a n g k a 9 7 % . P ro p in si Ja w a B a ra t d e n g a n ju m la h p e n d u d u k m u s lim n y a
98% ,
s e la n ju tn y a
d is e b u t
m u slim ,
te r n y a ta
hanya
62%
yang
b e r a n g g a p a n b a h w a b u n g a b a n k b e r te n ta n g a n d e n g a n a ja ra n a g a m a - s e la n ju tn y a d is e b u t d e n g a n b e r te n ta n g a n - d a n h a n y a 6 % y a n g m e m a h a m i p r o d u k d a n m a n fa a t p e r b a n k a n s y a r i'a h - s e la n ju tn y a d ise b u t p a h a m . D i Ja w a T e n g a h d an Y o g y a k a r ta
dengan
penduduk
96%
m u slim ,
48%
(b e rte n ta n g a n )
dan
16 %
(p a h a m ). Ja w a T im u r, 9 7 % (m u slim ), d a n 3 1% (b e rte n ta n g a n ), 10 % (p a h am ).
S u m a te r a B a ra t, 9 8 % (m u slim ), 2 0 % (b e rte n ta n g a n ) d a n m e n g e n a i y a n g p a h a m t id a k te r d a ta
k aren a
p e rta n y a a n
tid a k
d isa m p a ik a n .
T e ra k h ir,
Ja m b i,
96%
(m u slim ), 5 0 % (b e rte n ta n g a n ) d a n 10 % (p a h a m ). D a ri to ta l 5 5 8 5 r e sp o n d e n jik a d ira ta -ra ta k a n h a n y a 4 2 % y a n g m e n y a ta k a n b a h w a b u n g a b e r te n ta n g a n d e n g a n a ja ra n a g a m a d a n
h a n y a 11% y a n g p a h a m d e n g a n p r o d u k d a n m a n fa a t b a n k
s y a r i'a h . D a ta -d a ta d i a ta s m e n u n ju k k a n b a h w a m a sih te r d a p a t 5 8 % d a ri u m a t Isla m y a n g m e n g a n g g a p b u n g a b a n k tid a k b e r te n ta n g a n d e n g a n a ja ra n a g a m a , a ta u s e tid a k n y a ra g u -ra g u . L e b ih b e s a r d a ri itu te rn y a ta , 8 9 % d a ri u m a t in i b e lu m
m em aham i
p ro d u k
p erb an k an
s y a r i'a h
dan
m a n fa a tn y a
d a la m
m e n in g k a tk a n e k o n o m i u m a t. S e ja tin y a , h al in i h a ru s d ia n g g a p se b a g a i p e rso a la n y a n g se riu s d a n s e g e r a h a ru s d ic a rik a n p e m e c a h a n n y a . T id a k k a la h m e n a r ik n y a a d a la h p e n e litia n y a n g d ila k u k a n o le h P u sa t P e n g k a jia n Isla m d a n M a sy a ra k a t (P P IM ) U IN S y a r if H id a y a tu lla h Ja k a r ta p a d a ta h u n 2 0 0 1 y a n g m e n e liti te n ta n g Is la m d an K u ltu r G o o d G o v e rn a n c e M a s y a r a k a t In d o n e s ia
d i 13
P ro p in si.
K e n d a tip u n
p e n e litia n
in i tid a k
se c a ra
la n g su n g
b e rk a ita n d e n g a n p e r s e p s i m a sy a ra k a t Isla m te n ta n g p e rb a n k a n s y a r i'a h , n a m u n a d a b e b e r a p a item y a n g b e r s in tu h a n d e n g a n p e rso a la n p e r b a n k a n s y a r i'a h . K e tik a p e r ta n y a a n te n ta n g K u ltu r P o litik M u slim In d o n e s ia d i a ju k a n , a d a p e rta n y a a n te n ta n g b a g a im a n a p e r s e p s i u m a t te n ta n g p e n e r a p a n s y a r i'a t Isla m d i In d o n e sia . T e rn y a ta 6 1% r e sp o n d e n m e n y a ta k a n se tu ju d e n g a n id e te rse b u t. B a h k a n 4 6 ,3 % m e n y a ta k a n m e n d u k u n g g a g a s a n F P I, L a s k a r Jih a d d a n la in -la in u n tu k m e n e g a k k a n s y a r i'a t Isla m d i In d o n e sia . A n e h n y a , k e tik a a d a p e rta n y a a n te n ta n g k e h a ru sa n p e m e r in ta h u n tu k m e la r a n g b u n g a b a n k k a re n a h u k u m n y a h a ra m , te r n y a ta h a n y a
2 5 ,8 % sa ja y a n g m e n y a ta k a n se tu ju . D e n g a n k a ta la in
h a n y a 2 5 ,8 % y a n g m e n y a ta k a n b u n g a b a n k h a ra m d a n h a ru s d ila ra n g . Ju m la h in i te n tu s a n g a t k e c il d ib a n d in g d e n g a n ju m la h m a sy a ra k a t m u slim y a n g s e tu ju d e n g a n p e n e r a p a n s y a r i'a t Islam .
D a ta -d a ta d i a ta s u n tu k s e m e n ta r a m e n u n ju k k a n , p o s is i b a n k s y a r i'a h s e b e n a rn y a
m a sih
m e m ilik i p e r s o a la n y a n g
cukup
seriu s, y a itu
ren d ah n ya
p a rtis ip a s i u m a t d a la m m e n g e m b a n g k a n n y a . M u n g k in , y a n g a g a k m e n g h ib u r a d a la h , re n d a h n y a p a rtis ip a s i u m a t d a la m m e n g a p r e s ia s i b a n k s y a r i'a h b u k a n d is e b a b k a n
re n d a h n y a
tin g k a t
k ep ercayaan
um at
te r h a d a p
bank
te rse b u t,
m e la in k a n le b ih d is e b a b k a n p a d a sa la h p e m a h a m a n , k u ra n g in fo r m a si d a n b e lu m te r s o sia lisa s in y a b a n k s y a r i'a h se c a r a b a ik d a n b e n a r.
Ke Arah Sosialisasi Bank Syari'ah Jik a ta h u n 19 9 2 d ip a n d a n g se b a g a i a w a l m u la b e r d ir in y a b a n k s y a r i'a h d i In d o n e sia , se tid a k n y a s a m p a i s a a t in i b a n k s y a r i'a h te la h b e r u m u r 11 ta h u n . U n tu k b a n k s y a r i'a h m a s a te r s e b u t a d a la h m a sa y a n g m a s ih s a n g a t m u d a, nam un
m e n g in g a t
k h itta h
k e la h ir a n n y a
m e ru p a k a n
k o n trib u si
p a ra
u la m a / a k a d e m isi, m a s a 11 ta h u n a d a la h m a sa y a n g c u k u p p a n ja n g . S e ja tin y a , d e n g a n m e n g g u n a k a n ja rin g a n u la m a / a k a d e m is i y a n g la n g s u n g b e r s in tu h a n d a n h id u p d ite n g a h -te n g a h u m a t, a n g k a -a n g k a p e n e litia n d i ata s, s e m e stin y a a k a n b e r c e r ita lain . P e rta n y a a n n y a s e k a ra n g a d a la h ,
m e n g a p a y a n g te r ja d i tid a k
d e m ik ia n . H e m a t say a, k e n d a tip u n p a ra u la m a / a k a d e m is i y a n g m e la h irk a n b a n k s y a r i'a h d i In d o n e sia , n a m u n k e n y a ta a n n y a se te la h b a n k s y a r i'a h itu la h ir d a n b e r k e m b a n g d e n g a n p e sa t, u la m a / a k a d e m is i te r k e sa n d itin g g a lk a n . A k ib a tn y a , b a h a s a a g a m a tid a k
la g i d ig u n a k a n
u n tu k
m e n g k o m u n ik a s ik a n
p e rb a n k a n
s y a r i'a h , m e la in k a n te la h d ig a n tik a n d e n g a n b a h a s a e k o n o m i. P e n d e k a ta n y a n g d ila k u k a n
bukan
la g i
p e n d e k a ta n
e m o s io n a l
keagam aan
p lu s
ra sio n a lita s
e k o n o m i, te ta p i h a n y a d ila k u k a n d e n g a n p e n d e k a ta n ra sio e k o n o m i sem a ta . U m a t tid a k la g i d ilih a t se b a g a i s a u d a r a -sa u d a r a se im a n y a n g p e r lu d ib e rd a y a k a n , t e ta p i h a n y a d ilih a t s e b a g a i p a sa r y a n g m e sti d ig a ra p . A k ib a tn y a , b u k a n la h su a tu h a l y a n g m e n g e ju tk a n , k e tik a a n g k a -a n g k a p e n e litia n d ila p a n g a n m e n u n ju k k a n m a s ih re n d a h n y a p a rtis ip a s i u m a t. D e n g a n
d e m ik ia n , d ip e rlu k a n sa tu p o la
p e n d e k a ta n b a r u y a n g m e n ja m in k e te rlib a ta n u la m a / a k a d e m is i se c a ra p e n u h d a la m m e n s o s ia lis a s ik a n p e rb a n k a n s y a r i'a h k e p a d a u m at. U n tu k
m e lib a tk a n
u la m a / a k a d e m is i
se c a ra
penuh
d a la m
ra n g k a
m e n s o sia lis a sik a n p e rb a n k a n s y a r i'a h ke te n g a h -te n g a h u m a t, te n tu tid a k d a p a t d ila k u k a n
dengan
c a ra
yang
sed erh an a
se p e r ti
m e to d e
u la m a / a k a d e m is i
m e n y a m p a ik a n k e h a ru sa n b e r a k h la k se p e rti R a su l. P a ra u la m a / a k a d e m is i h a ru s d ib e k a li d e n g a n p e n g e ta h u a n te o ritis d a n p ra k tis b e rk e n a a n d e n g a n p e rb a n k a n s y a r i'a h . S e la m a in i a d a se m a c a m p a n d a n g a n , u la m a / a k a d e m is i h a n y a d im in ta u n tu k m e n y a m p a ik a n p e r in ta h d a n a n ju r a n n o rm a tif, s e d a n g k a n y a n g p ra k tis u r u s a n n y a o r a n g -o r a n g p e rb a n k a n . A k ib a tn y a , s a d a r a ta u tid a k , k ita m e la k u k a n d ik o to m i-d ik o to m i y a n g tid a k k o n stru k tif. P e n g a la m a n
d i la p a n g a n ,
m e n u n ju k k a n
p a ra u la m a / a k a d e m is i se rin g
d ig u g a t k e tik a p a ra ja m a 'a h n y a y a n g n o ta b e n e n a sa b a h se b u a h p e rb a n k a n Isla m m e lih a t p r a k tik y a n g te r k e sa n tid a k Isla m i. N a m u n m in im n y a p e m a h a m a n p a ra u la m a / a k a d e m is i b e r k e n a a n d e n g a n p r a k tik p e rb a n k a n m e n ja d ik a n m a s a la h itu tid a k d a p a t d ise le s a ik a n d e n g a n b a ik . P a d a g ilira n n y a , te r ja d i ja r a k y a n g c u k u p ja u h a n ta r a id e a lita p e r b a n k a n s y a r i'a h d e n g a n r e a lita y a n g a d a d ila p a n g a n . S a d a r tid a k sa d a r, d e n g a n p o la in i te r b a n g u n k e tid a k p e r c a y a a n u m a t d e n g a n p e rb a n k a n s y a r i'a h ju g a k e p a d a p a ra u la m a / a k a d e m isin y a . U n tu k
m e n g a ta s i in i p a ra
u la m a / a k a d e m is i s e ja tin y a
h a ru s
d ib e k a li
d e n g a n p e m a h a m a n y a n g k o m p r e h e n s if b e r k e n a a n d e n g a n p e rb a n k a n s y a r i'a h . D e n g a n d e m ik ia n p e r lu d ila k u k a n : P erta m a , p e la tih a n k h u su s (tra in in g ) te n ta n g p e rb a n k a n s y a r i'a h u n tu k p a ra u la m a / a k a d e m is i d e n g a n m e lib a tk a n to k o h -to k o h , p a k a r, d a n p ra k tisi, y a n g m e m ilik i o to rita s d a la m b id a n g p e r b a n k a n s y a r i'a h . T id a k k a la h p e n tin g n y a , p a ra u la m a / a k a d e m is i ju g a h a ru s d ifa s ilita s i d e n g a n b u k u -b u k u y a n g b e rk e n a a n d e n g a n p e r b a n k a n s y a r i'a h p a d a k h u s u s n y a d a n e k o n o m i Isla m p a d a u m u m n y a . K ed u a ,
p e m a h a m a n y a n g s a m a p a lin g tid a k d a la m
b e n tu k w a w a sa n
t e n ta n g p e r b a n k a n s y a r i'a h , p e r lu d ib e rik a n k e p a d a p im p in a n -p im p in a n o rm a s
k e a g a m a a n , m a jlis t a 'lim , p e n g a jia n -p e n g a jia n , d a n p im p in a n r e m a ja m a sjid . In i p e n tin g , k a re n a s e r in g k a li m a te ri p e r b a n k a n s y a r i'a h y a n g d isa m p a ik a n d i m a jlis t a 'li m
a ta u
te m p a t
la in n y a ,
d ia n g g a p
se b a g a i
k e p e n tin g a n
b isn is
o ra n g
p e rb a n k a n . H a l in i te r ja d i k a re n a tid a k a d a n y a k o m u n ik a si y a n g in t e n s if a n ta ra p im p in a n m a jlis a ta u o rm a s Isla m d e n g a n p e rb a n k a n . K e tig a , u n tu k m e n ja g a k e s in a m b u n g a n in fo rm a si, p e r lu d ite rb itk a n m e d ia y a n g b e r fu n g s i u n tu k m e n g k o m u n ik a s ik a n w a w a sa n , g a g a sa n , p e r k e m b a n g a n p e r b a n k a n s y a r i'a h d a n k a p ita s e le c ta p e r b a n k a n s y a r i'a h k e p a d a u m a t. D a la m h a l in i k e h a d ira n m e d ia m a s s a se p e rti ta b lo id a ta u s e tid a k n y a b u le tin p e rb a n k a n s y a r i'a h m e n ja d i se b u a h k e n isc a y a a n . K e e m p a t,
m em bangun
ja rin g a n
k e rja s a m a
yang
sin e rg i
a n ta r a
u la m a / a k a d e m is i, p im p in a n m a jlis a ta u u m a t d e n g a n le m b a g a p e rb a n k a n . D a la m h al in i h a r i-h a ri b e s a r a g a m a s e tid a k n y a d a p a t d ija d ik a n m o m e n tu m , u n tu k m e w u ju d k a n k e rja s a m a te rse b u t, d i sa m p in g k e rja s a m a y a n g le b ih b e r ja n g k a p a n ja n g , s e p e r ti k o p e ra s i m a sjid , k o p e ra s i ja m 'a h , p e m b e r ia n m o d a l u s a h a d a n s e b a g a in y a s e h in g g a u m a t d a p a t la n g su n g m e ra sa k a n m a n fa a t b a n k s y a r i'a h te rse b u t. K e lim a , u n tu k m e lih a t k e b e rh a s ila n u p a y a -u p a y a d i ata s, d a p a t d ila k u k a n p e r te m u a n r e g u le r a n ta r a k o m p o n e n -k o m p o n e n te r k a it u n tu k m e n g e v a lu a s i d a n m e n g a n a lisis p e r k e m b a n g a n y a n g te la h d ic a p a i. F o ru m in i ju g a d a p a t d ig u n a k a n u n tu k s h a r in g in fo rm a tio n a n ta r a k o m p o n e n -k o m p o n e n y a n g te la h d ise b u t d i atas.
Penutup B a g a im a n a p u n b erb ed a
dengan
p e n g a ru h n y a
ju g a ,
p e rb a n k a n
p erb an k an
d a la m
stra te g i
s y a r i'a h
k o n v e n sio n a l.
m e m ilik i k a r a k te r is tik y a n g
P e rb e d a a n
pengem bangan
itu
p erb an k an
ju g a
akan
s y a r i'a h .
te r a s a U n tu k
m e m b a n g u n k e rja s a m a y a n g s in e rg i d e n g a n m e lib a tk a n p e r a n u la m a / a k a d e m is i se c a ra p e n u h m e ru p a k a n se b u a h p ilih a n y a n g tid a k sa ja d id u k u n g o le h im p e r a tif
w a h y u , ju g a se su a i d e n g a n se m a n g a t k e se ja ra h a n k e la h ira n b a n k s y a r i'a h d i In d o n e sia . L e b ih d a ri itu , k e te rlib a ta n u la m a / a k a d e m is i, a k a n m e n d e k a tk a n ja ra k u m a t d e n g a n in stitu si p e rb a n k a n . S e m o g a , p e rk e m b a n g a n p e rb a n k a n s y a r i'a h p a d a m a sa y a n g a k a n d a ta n g , a k a n le b ih b a ik lagi.
6. Bank Syari'ah Tanpa Spirit ?
P e rk e m b a n g a n
bank
m e n g g e m b ir a k a n te r le b ih
s y a r i'a h
se te la h
di
In d o n e s ia
b e la k a n g a n
in i
k e lu a r n y a fa tw a b u n g a b a n k h a ra m
cukup o le h
k o m isi fa tw a M U I. P e n g a r u h fa tw a te r s e b u t te r lih a t p a d a b e s a r n y a p e la ria n d a n a m a s y a ra k a t d a ri b a n k k o n v e n sio n a l ke b a n k s y a r i'a h s e h in g g a m e n g a k ib a tk a n o v e r lik u id ita s a ta u a p a y a n g d ise b u t o le h A d iw a r m a n A K a rim se o ra n g p a k a r p e rb a n k a n
Isla m
m e n g g e m b ira k a n ,
se b a g a i te ta p i
over pada
h e a tin g . s isi
la in
Pada
s a tu
fe n o m e n a
sisi in i
hal
in i
te n tu
m e n g k h a w a tirk a n .
D ik a ta k a n m e n g k h a w a tir k a n b is a -b is a d a n a y a n g b e g itu b e s a r h a n y a m e n g e n d a p d i S W B I (se rtifik a t W a d i 'a h B a n k In d o n e sia ) d a n tid a k m a m p u d ib e rd a y a k a n u n tu k m e n d o n g k r a k s e k to r riil e k o n o m i u m a t. A k h irn y a se p e rti y a n g se rin g d ik e lu h k a n o le h p e ja b a t BI, d a n a b a n k s y a r i'a h a k h ir n y a d ita ru h d i S W B I sa tu c a ra y a n g s e b e n a rn y a sa n g a t b e r te n ta n g a n d e n g a n filo s o fi k e la h ira n p e rb a n k a n s y a r i'a h . L e p a s d a ri fe n o m e n a fa tw a b u n g a b a n k h a ra m , p e n u lis m e lih a t a d a fe n o m e n a te r s e m b u n y i y a n g m e n a rik u n tu k d ia n a lisis se k a lig u s d iw a sp a d a i. D i m a s y a ra k a t Isla m b e la k a n g a n ini, m u n c u l k e c e n d e ru n g a n u n tu k m e n sa k ra lk a n (m e n su c ik a n ) b a n k s y a r i'a h . D id u g a k u at, h a l in i d ise b a b k a n o le h k u a tn y a in te rv e n s i a g a m a y a n g te r lih a t p a d a k e te rlib a ta n d a 'i, u la m a , y a n g d a la m tin g k a t te r te n tu se rin g tid a k k ritis, d a la m m e n y a m p a ik a n d a 'w a h te n ta n g e k o n o m i Isla m d a n b a n k s y a r i'a h . S e o la h -o la h a p a y a n g te r ja d i d i b a n k s y a r i'a h o to m a tis b e n a r d a n s e su a i d e n g a n n ila i-n ila i y a n g d ia ja rk a n a l- Q u r 'a n . A ja k a n -a ja k a n p a ra d a 'i/ u la m a u n tu k m e n g g u n a k a n b a n k s y a r i'a h d a la m b e r b a g a i a c a ra so sia lisa si, y a n g se r in g m e n g u tip a y a t-a y a t su c i a l- Q u r 'a n s e p e rti
a y a t-a y a t rib a b e r ik u t a n c a m a n y a n g m e n g e rik a n b a g i p e m a k a n n y a se rta h a d ish a d is y a n g r e le v a n s e o la h -o la h lin e a r (se g a ris -lu r u s ) d e n g a n k e su c ia n b a n k s y a r i'a h
itu se n d iri. A k h irn y a b a n k s y a r i'a h
d ia n g g a p
se b a g a i b a g ia n
d a ri
in s titu s i a g a m a y a n g m e m ilik i n ila i sa k ra lita s. P a d a p e r k e m b a n g a n se la n ju tn y a , n ila i-n ila i k ritis m a s y a ra k a t m e n ja d i tu m p u l. S e o la h -o la h a p a y a n g b e r la k u d a n te r ja d i d i b a n k s y a r i'a h , y a n g se rin g k a li tid a k d ik e ta h u i se c a ra lu as o le h m a sy a ra k a t, d ia n g g a p su d a h p a sti b e n a r d an s e s u a i d e n g a n n ila i-n ila i s y a r i'a h . M a s y a r k a t d im in ta u n tu k m e n e r im a sa ja d an tid a k p e r lu m e m p e rta n y a k a n b a g a im a n a b a n k s y a r i'a h itu s e b e n a rn y a . T e g a sn y a , b a n k s y a r i'a h s e o la h -o la h tid a k p e r n a h sala h . B a n k s y a r i'a h a k h ir n y a d e n g a n ra s a a m a n m e la k u k a n a p a sa ja k a r e n a d a p a t b e r lin d u n g d ib a lik p a y u n g s y a r i'a h . B eb erap a
k a su s y a n g
p e n u lis
a m a ti d a ri p e n g a la m a n
n a sa b a h
bank
s y a r i'a h m e n u n ju k k a n in d ik a s i ke a ra h a d a n y a sa k ra lis a si te rs e b u t. S e o ra n g n a s a b a h b a n k s y a r i'a h m e n c e rita k a n k e tik a ia m e m b u k a r e k e n in g ta b u n g a n / d e p o sito sa la h sa tu b a n k s y a r i'a h , la n g s u n g sa ja d iso d o ri fo rm u lir u n tu k d i isi. S e la n ju tn y a K T P c a lo n n a s a b a h te r s e b u t d i m in ta s e b a g a i b u k ti d iri. D a la m w a k tu
yang
sin g k a t
pem bukaan
r e k e n in g
sele sa i,
dan
n a sa b a h
te r s e b u t
m e n d a p a tk a n b u k u ta b u n g a n n y a . S a m p a i se le sa i ia tid a k ta h u a p a y a n g te la h d ila k u k a n n y a . Ia tid a k p a h a m a p a k a h ia s e b a g a i s a h ib a l-m a l d a la m tr a n s a k s i m u d h a ra b a h a ta u h a n y a se k e d a r o ra n g y a n g m e n itip k a n u a n g ( w a d i'a h ) y a n g tid a k m e n d a p a tk a n b a g i h a sil k e c u a li b o n u s itu p u n k a la u ad a. Ia tid a k p e r n a h d ita n y a a p a k a h te la h se tu ju d e n g a n n isb a h b a g i h a sil y a n g d ita w a rk a n b a n k a ta u tid a k . S a n g a t iro n is, ia sa m a se k a li tid a k p a h a m d e n g a n a k a d (k o n tra k ) y a n g m e n ja d i k a ta k u n c i tr a n s a k s i d i b a n k s y a r i'a h . K a ry a w a n b a n k s y a r i'a h ju g a tid a k m e n g in fo rm a s ik a n a p a p u n k e p a d a n a s a b a h b a r u n y a k e c u a li h a l-a l y a n g b e r s ifa t ru tin , b e r a p a ju m la h ta b u n g a n p e rta m a n y a , p a k a i A T M a ta u tid a k , p o to n g z a k a t se c a ra la n g s u n g a ta u tid a k . T id a k a d a in fo r m a si p e rse n ta se n isb a h d a n p e n je la s a n a k a d d a n se te ru sn y a .
Ironisnya, karyawan bank tidak memanfaatkan kesempatan tersebut untuk membangun ikatan bathin-ukhuwah islamiyah dengan nasabah barunya. Hubungan itu terasa kering dan bisnis oriented. Yang menarik adalah, nasabah langsung saja yakin bahwa apa yang baru saja dialaminya adalah benar dan sesuai dengan nilai-nilai syari'ah. Ini baru pada kasus pembukaan rekening. Tidak kalah serunya adalah kejadian yang dialami nasabah di salah satu bank syari'ah. Kebetulan ia memohon pembiayaan untuk usahanya yang hidup segan mati tak mau. Mungkin karena usahanya menurut pihak bank tidak menjanjikan dan menguntungkan
(tid a k v is ib le
dan
tid a k p r o fit a b le ) ,
maka pihak
bank tidak berani mengambil resiko kerugiaan dengan menawarkan produk m u d h a ra b ah .
Pada hal untuk kasus ini,
m u d h a ra b a h
adalah jalan keluar yang
paling mungkin dan islami. Akhirnya ditawarkanlah bentuk lain yaitu pembiayaan konsumtif atau m u ra b a h a h . Karena sejak awal posisi pemohon dan bank tidak sejajar, dan pemohon berada pada posisi yang sulit karena terdesak akan kebutuhannya, akhirnya ia terima saja apa yang ditawarkan oleh pihak bank. Ia tidak paham apa itu m u ra b a h a h
dan bagaimana mekanisme. Dalam benaknya adalah bagaimana
mendapatkan uang (kesalahan baru juga terjadi di sini) secara cepat sehingga ia bisa menghidupi usahanya kembali. Berangkat dari penjelasan yang salah diberikan oleh karyawan bank, ia hanya memahami bahwa ia mendapatkan kredit dari bank syari'ah yang jumlah marginnya telah ditetapkan (fix e d
ra te)
sebelumnya. Ia langsung teringat dengan
pengalamannya ketika berhubungan dengan bank konvensional dalam urusan meminjam kredit. Kendatipun ada disebut-sebut waktu negosiasi ia akan membeli mobil di mana pihak bank sebagai penjual, namun yang diperolehnya bukan mobil tetapi uang. Ia tidak paham dengan sistem
w a k a la h .
faktanya ia
menerima uang dan uang itu tidak dibelikannya mobil karena memang ia tidak membutuhkannya. Langsung saja uang tersebut ia kembangkan untuk usahanya.
Y a n g p a n tin g b a g in y a se tia p b u la n h a ru s m e m b a y a r k e p a d a b a n k d a la m ju m la h te r te n tu d a n te ta p . A p a y a n g d ip a p a rk a n d i a ta s a d a la h c o n to h -c o n to h y a n g s a n g a t s e d e r h a n a yang
s e rin g
d ia la m i
o le h
n a sa b a h .
A nehnya
tid a k
ada
se d ik it
k e c u rig a a n
d ik a la n g a n m a sy a ra k a t Isla m , a p a k a h y a n g d ia la m in y a m a sih d a la m b in g k a i s y a r i'a h a ta u su d a h k e lu a r d a ri k e te n tu a n -k e te n tu a n s y a r i'a h . B a g in y a b a n k s y a r i'a h itu su c i d a n tid a k p e rn a h sala h . K a ta s y a r i'a h y a n g d is a n d a n g o le h b a n k s e rta tu lis a n b is m illa h d a la m f o r m
(le m b a ra n ) a q a d a ta u slip p e n a rik a n d a n
p e n y e to r a n c u k u p s e b a g a i b u k ti b a h w a b a n k s y a r i'a h
d ija m in te ta p
sesu ai
d e n g a n s y a r i'a h . D a la m k o n te k s in i s e b e n a rn y a p e r lu d ib a n g u n sik a p k ritis d i k a la n g a n m a s y a ra k a t Islam . B a h w a p r o d u k -p r o d u k b a n k s y a r i'a h se d ik it ru m it a d a la h se b u a h
k e n y a ta a n y a n g tid a k te rb a n ta h k a n .
Ia p a d a h a k ik a tn y a tid a k b isa
d ip e rs a m a k a n d e n g a n b a n k k o n v e n sio n a l. O p e ra sio n a l b a n k s y a r i'a h s a n g a t b erb ed a
s e p e r ti
d a la m
'a q a d ,
n isb a h
bagi
h asil,
d a sa r
p e n e ta p a n
m a rg in
k e u n tu n g a n m u ra b a h a h , m e k a n ism e m u r a b a h a h itu se n d iri d a n la in -la in . Iro n isn y a , k e le m a h a n s u m b e r d a y a in s a n i y a n g a d a d i d a la m b a n k -b a n k s y a r i'a h , t e r le b ih la g i k e b a n y a k a n b a n k ir d a n k a r y a w a n n y a a d a la h o r a n g -o r a n g y a n g m e n g a la m i is la m isa si s tru k tu r p e m a h a m a n d a ri b a n k k o n v e n sio n a l ke b a n k s y a r i'a h , m e m b u a t p r a k te k b a n k s y a r i'a h y a n g s e ja tin y a b e r b e d a m e n ja d i sa m a d e n g a n p r a k te k b a n k k o n v e n sio n a l. k a ry a w a n b a n k s y a r i'a h g a g a l m e m b a n g u n k e sa n p e r b e d a a n te r s e b u t k e c u a li p a d a h a l-h a l y a n g sim b o lik . S a m p a i d i sin i m a s ih d ip e rlu k a n b e r b a g a i u p a y a se riu s a g a r b a n k -b a n k s y a r i'a h b e n a r-b e n a r b e r a d a d a la m
k e ra n g k a k e s y a r i'a h a n . P a lin g tid a k a d a
e m p a t h a l y a n g p e r lu d ila k u k a n . P erta m a , b a n k ir d a n k a ry a w a n b a n k s y a r i'a h s e ja tin y a h a ru s te ta p m e n in g k a tk a n p e m a h a m a n m e re k a te n ta n g filo so fi d an o p e ra s io n a l p e rb a n k a n s y a r i'a h . M e r e k a tid a k b o le h m e ra s a a m a n d e n g a n k a ta s y a r i'a h y a n g d isa n d a n g n y a . K e tik a m a sy a ra k a t m e n ju m p a i p ra k te k -p r a k te k y a n g
s e b e n a rn y a tid a k s y a r i'a h , m a k a k e p e rc a y a a n m a sy a ra k a t a k a n h ila n g tid a k s a ja k e p a d a b a n k -b a n k s y a r i'a h te ta p i k e p a d a a g a m a itu sen d iri. K ed u a , m a sy a ra k a t ju g a d im in ta u n tu k b e rsik a p k ritis k e tik a b e rh u b u n g a n d e n g a n b a n k s y a r i'a h . M a sy a ra k a t d im in ta u n tu k te ru s b e la ja r d a n b e r s e d ia m e m p e rta n y a k a n m a k a n is m e o p e ra sio n a l b a n k s y a r i'a h . Ia h a ru s m e n y a d a ri bahw a
m e m p e la ja ri
m e m p e la ja ri b a g ia n
filo so fi
dan
m u 'a m a la h
o p e ra sio n a l
bank
d a ri a ja r a n -a ja r a n
s y a r i'a h
sam a
agam a yang
dengan
d ia n u tn y a .
D e n g a n p e m a h a m a n y a n g u tu h , m a sy a ra k a t te la h b e r fu n g s i se b a g a i p e n g a w a s b a n k s y a r i'a h itu sen d iri. K etig a , p e r lu d ib a n g u n k e rja s a m a y a n g in d e p e n d e n t a n ta r a p ih a k b a n k s y a r i'a h d e n g a n a k a d e m is i d a n u la m a . A k a d e m is i d a n u la m a b u k a n c o ro n g b a n k te r te n tu a ta u s e b a g a i p e r p a n ja n g a n lid a h d a ri b a n k , y a n g se rin g k a li tid a k k ritis t e r h a d a p b a n k s y a r i'a h . L e b ih d a ri itu, U la m a d a n a k a d e m is i b e r a d a p a d a p o s is i y a n g n e tra l d a n s e ja tin y a h a ru s d ija d ik a n se b a g a i m itr a d ia lo g k ritis -k o n s tr u k tif u n tu k m e m b a n g u n b a n k s y a r i'a h d a n u m a t Islam . K e em p a t, D e w a n P e n g a w a s S y a r i'a h y a n g h a n y a b e r a d a d i k a n to r p u s a t s e b e n a rn y a h a ru s ju g a m e n g a w a s i p r a k te k b a n k s y a r i'a h d i d a e ra h d a n b u k a n h a n y a se k e d a r fo rm a lita s y a n g d ila k u k a n d a la m m a s a -m a s a te rte n tu . L e b ih d a ri itu D P S b u k a n h a n y a se k e d a r m e m e r ik s a a p a y a n g te rtu lis, y a n g m e ru p a k a n p e rs o a la n a d m in is tr a tif te ta p i ju g a h a ru s m e n a n g k a p a p a y a n g d ira s a k a n o le h m a s y a ra k a t
se b a g a i
p e m a k a i ja s a
p e rb a n k a n
s y a r i'a h .
B a g a im a n a p u n
ju g a
m a s y a ra k a tla h y a n g se rin g k a li m e n d a p a tk a n p e r la k u a n -p e r la k u a n y a n g k u ra n g is la m i d a n tid a k ad il.
Penutup S e b a g a i se b u a h le m b a g a b isn is y a n g p r o fa n (d u n ia ), b a n k s y a r i'a h tid a k k e b a l te r h a d a p p e ra k te k -p r a k te k y a n g tid a k s y a r i'a h . P e lu a n g u n tu k te r ja d in y a p e n y im p a n g a n
b e g itu
te r b u k a
le b ar.
U n tu k
itu
d im in ta
sik a p
k ritsi
dan
p e n g a w a s a n d a ri m a sy a ra k a t, u la m a , d a n D P S a g a r b a n k -b a n k s y a r i'a h te ta p b e r a d a p a d a ja lu r k e s y a r i'a h a n n y a .
7 . Bank Syari’ah : Asing di Rumah Sendiri. W a s p a d a m e m u a t b e r ita d e n g a n ju d u l,
“P e rtu m b u h a n N a sa b a h B a n k
S y a r i’ah M e n y e d ih k a n .” (W a sp a d a , 3 0 Ja n u a r i 0 9 ). P e rn y a ta a n in i b e rd a s a rk a n in fo r m a si y a n g d ib e r ik a n o le h D e p u ti G u b e r n u r B a n k In d o n e sia , S iti F a d jrija h . K e n d a tip u n a d a k e n a ik a n te ta p i s a n g a t la m b a n .
B a y a n g k a n , ju m la h n a sa b a h
p e r b a n k a n s y a ri’a h n a ik tip is d a ri 2 0 0 7 s e b a n y a k 2 ,8 4 5 ju ta r e k e n in g m e n ja d i 3 ,7 9 9
ju t a
r e k e n in g
h in g g a
2008.
Sedangkan
u n tu k
n a sa b a h
p e m b ia y a a n ,
k e a d a a n n y a tid a k ja u h b e rb e d a . P e n y a lu ra n k re d it (p e m b ia y a a n ) b a n k s y a ri’a h h a n y a n a ik s e d ik it d a ri 512 rib u n a sa b a h d i 2 0 0 7 m e n ja d i 58 9 rib u n a s a b a h d i N o v e m b e r 20 0 8 . S a m p a i s e k a r a n g p a n g s a p a s a r b a n k S y a ri’a h b a r u m e n c a p a i 2 ,0 8 % d e n g a n to ta l a s s e t 4 7 triliu n . S e d a n g k a n ta r g e t p e m e r in ta h a d a la h 5 % d e n g a n to ta l a sse t 9 0 T riliu n . Ju m la h m in im a l in ip u n a g a k n y a su lit te r p e n u h i d a la m w a k tu d ek a t. Iro n is m e m a n g , d i se b u a h N e g a r a y a n g p e n d u d u k n y a m a y o rita s m u slim , p a n g sa p a s a r b a n k s y a ri’a h y a n g te r s e r a p b a r u sed ik it. B e ra n g k a t d a ri k o n d is i y a n g m e n y e d ih k a n in ila h ta m p a k n y a B I m e ra sa p e r lu m e n g g e la r F e s tifa t E k o n o m i S y a ri’a h (FE S) y a n g k e d u a d i Ja k a rta . F e stifa l y a n g a k a n b e r la n g s u n g d a ri ta n g g a l 4 -8 F e b ru a ri y a n g a k a n m e n a m p ilk a n m u lti ja s a b a n k
S y a ri’ah , p e m b ia y a a n
in v e sta s i d a n
se b a g a in y a .
T id a k ta n g g u n g -
ta n g g u n g , m im p i y a n g in g in d ib a n g u n a d a la h In d o n e s ia B isa L e b ih S e ja h te ra le w a t e k o n o m i s y a ri’ah .
T e n tu
sa ja
h a ra p a n n y a ,
d engan
F e stiv a l
Ekonom i
S y a ri’ah , a k s e le r a s i p e n g e m b a n g a n p e rb a n k a n s y a ri’a h b is a d ip a c u . S e ja u h m a n a e fe k tifita sn y a , w a k tu te n tu a k a n m e n ja w a b . B e g itu se r iu s n y a B I P u sa t - ju g a B I d i d a e ra h , m e n d o r o n g p e rk e m b a n g a n p e r b a n k a n s y a ri’ah , ta m p a k n y a se m a n g a t in i tid a k d iik u ti p r a k tis i p e rb a n k a n d i d a e ra h ,
k h u su sn ya
di
M edan
S u m a te r a
U ta ra .
Saya
tid a k
punya
d a ta
p e r tu m b u h a n n a sa b a h b a n k s y a ri’a h d i S u m u t b e g itu ju g a d e n g a n p e rtu m b u h a n p e m b ia y a a n n y a . N a m u n s e tid a k n y a , d a ta n a sio n a l s e b a g a im a n a y a n g d ia ju k a n
D e p u ti G u b e r n u r B I la y a k u n tu k k ita ja d ik a n a c u a n . Itu a rtin y a , p e rb a n k a n s y a ri’a h d i d a e ra h ju g a ja la n d i te m p a t. S e p a n ja n g y a n g s a y a ik u ti, b e r k e n a a n d e n g a n p e r k e m b a n g a n p e rb a n k a n s y a ri’a h d i S u m a te r a U ta ra s e ja k ta h u n 19 9 0 -a n , n y a ta je la s b a h w a a d a p e rg e se ra n y a n g sig n ifik a n d a la m p e n g e m b a n g a n p e rb a n k a n s y a ri’ah . Jik a p a d a ta h u n 19 9 0 an
sa m p a i ta h u n
2000
a w al,
pengem bangan
bank
s y a ri’a h
cukup
m assif,
m e lib a tk a n s e m u a u n s u r k e k u a ta n , s e k a ra n g in i s u a s a n a k e b e r s a m a a n itu tid a k d ite m u k a n lagi. P a d a m a s a a w a l p e r k e m b a n g a n b a n k s y a ri’a h d i S u m u t, p e n u lis m e lih a t a d a n y a s e m a n g a t k e b e r s a m a a n y a n g te r ja lin se c a ra sin e rg is d a n h a rm o n is a n ta r a le m b a g a p e rb a n k a n s y a ri’ah , p e rg u ru a n tin g g i, u la m a d a n le m b a g a e k o n o m i riil m a s y a ra k a t sa m p a i k e p a d a o r g a n is a s i r e m a ja m a sjid . P e m e rin ta h P r o p in s i d i b a w a h k e p e m im p in a n H . R iz a l N u rd in ju g a m e n d u k u n g se p e n u h n y a , s e h in g g a k ita b is a m e n y e le n g g a r a k a n k e g ia ta n F e stifa l e k o n o m i S y a ri’a h y a n g a k h ir n y a m e n g in s p ir a s i p u sa t. H a siln y a , k e g ia ta n e k o n o m i s y a ri’a h tu m b u h s u b u r d i M e d a n . N a m u n su a sa n a itu tid a k te r a s a s a m a se k a li s e k a ra n g ini. A rtin y a , a d a y a n g h ila n g d a ri g e r a k a n e k o n o m i s y a ri’a h d i S u m u t. B e b e r a p a c a ta ta n y a n g p e rlu d ik e m u k a k a n : P erta m a , A b s e n n y a M u ja h id A l-Iq t is h a d S a y a in g in m e n g a ta k a n jik a p a d a m a s a a w al, p im p in a n c a b a n g p e rb a n k a n s y a ri’a h d a n k a r y a w a n n y a tid a k sa ja se b a g a i “b a n k ir ” te ta p i ju g a m e n ja d i M u ja h id a l-Iq t is h a d . A r tin y a m e re k a tid a k h a n y a b e r d ia m d ik a n to r, te ta p i te r u s b e r ju a n g b a g a im a n a m e n s o s ia lis a s ik a n e k o n o m i d a n p e r b a n k a n s y a ri’a h ke m a sy a ra k a t. M e r e k a sa d a r, m e n ja d i k e p a la c a b a n g a ta u m e n ja d i k a ry a w a n b a n k s y a ri’a h tid a k c u k u p h a n y a b e r d ia m d iri m e n u n g g u n a s a b a h d i k a n to r . T e ta p i h a ru s b e rg e ra k , m asu k
ke
s im p u l-s im p u l
m a sy a ra k a t.
M em bangun
k o m u n ik a si
dengan
P e rg u ru a n T in g g i Isla m d a n o rm a s k e a g a m a a n . S a y a k h a w a tir, ja n g a n -ja n g a n s e h in g g a jih a d a l-iq tis h a d
m e re k a te la h
k e h ila n g a n
e to s m u ja h id
(b e rjih a d ) m e n ja d i ta k p e n tin g lagi. S e ja tin y a , jih a d
a d a la h k a ta k u n c i d a la m p e n g e m b a n g a n e k o n o m i s y a ri’ah . B e r b e d a
h a ln y a
d e n g a n b a n k -b a n k k o n v e n sio n a l. M e r e k a tid a k p e r lu la g i b e r ju a n g “m a ti-m a tia n ” u n tu k tu ru n k e a k a r ru m p u t.
M e r e k a c u k u p m e n in g k a tk a n p r o m o s in y a d e n g a n
m e n a m b a h h a d ia h y a n g m e n a rik , n a sa b a h a k a n b e r d u y u n -d u y u n d a ta n g ke b a n k te rs e b u t. B a n k s y a ri’a h sa n g a t b e rb e d a . K e d u a , B e rk u ra n g n y a P e ra n P e r g u ru a n T inggi. S e ja ra h p e rk e m b a n g a n b a n k s y a ri’a h d i S u m u t s e ja k ta h u n 19 9 0 -a n tid a k d a p a t d ile p a sk a n d a ri p e r a n IA IN . S U M e d a n , k h u s u s n y a F a k u lta s S y a ri’ah . T id a k b e r le b ih a n jik a d ise b u t, p e r b a n k a n s y a ri’a h d i S u m u t “b e r h u ta n g b u d i” d e n g a n IA IN .S U M e d a n . L e w a t F K E B I (F o ru m K a jia n P e rb a n k a n d a n E k o n o m i Islam ) s e ja k d ip im p in P ro f. D r. H . M . Y a s ir N a su tio n sa m p a i d in a k h o d a i D r. A m iu r N u ru d d in ,
ek o n o m i dan p erb an k an
Isla m
te ru s
m e n e ru s
d is u a r a k a n
le w a t
b e r b a g a i fo ru m . A p a k a h le w a t se m in a r, d is k u s i te rb a ta s sa m p a i m im b a r -m im b a r m a sjid . P a d a sa a t itu, ja lin a n k e rja s a m a a n ta r a p e rb a n k a n s y a ri’a h d e n g a n F K E B I b e r ja la n s a n g a t h a rm o n is. Saat
in i
su asan an ya
b e n a r-b e n a r
b e ru b a h .
K a la u p u n
ada
k e rja sa m a
d e n g a n p e r g u r u a n tin g g i sifa tn y a h a n y a te rb a ta s . M isa ln y a , b e b e r a p a p r a k tis i p e r b a n k a n s y a ri’a h d im in ta b a n tu a n n y a u n tu k m e n g a ja r d i F a k u lta s S y a ria h , b a ik p a d a ju ru sa n e k o n o m i Isla m K euangan
Islam .
B e n tu k
a ta u p u n p a d a D 3 M a n a je m e n P e rb a n k a n d a n
k e rja s a m a
yang
lain ,
m a h a s is w a
F ak .
S y a ri’a h
d ip e rk e n a n k a n u n tu k m a g a n g d i b a n k s y a ri’ah . H a n y a se b a ta s in ila h b e n tu k k e rja sa m a . K a la u p u n a d a ta m b a h a n n y a , p a lin g -p a lin g m a sa la h siste m p e n g g a jia n d a n p e m b ia y a a n . N y a ris k ita tid a k m e n e m u k a n b e n tu k k e rja s a m a y a n g le b ih stra te g is d an b e r ja n g a k p a n ja n g . M isa ln y a m e ru m u s k a n c e ta k b iru stra te g i p e n g e m b a n g a n s y a ri’a h d i S u m u t. B a h k a n iro n isn y a , p e r b a n k a n s y a ri’a h m e ra s a d a la m k o n d isi y a n g a m a n . S e h in g g a m e re k a tid a k p e r lu la g i b a n tu a n p e r g u r u a n tin g g i. P a d a h al d i sin ila h a k a r m a sa la h n y a . M a s a la h te r b e s a r d a la m so s ia lis a s i e k o n o m i s y a ri’a h d i S u m u t a d a la h m e n g g e s e r p a ra d ig m a b e r p ik ir u m m a t. R e n d a h n y a re sp o n
m e re k a
te r h a d a p
bank
s y a ri’a h
s e b e n a rn y a
d ib e n tu k
o le h
pem aham an
k e a g a m a a n y a n g m e re k a a n u t se la m a ini. S e b a g ia n m a sy a ra k a t m a s ih m e m ilik i p e m a h a m a n b a h w a Isla m h a n y a se b a ta s ib a d a h sa ja s e d a n g k a n e k o n o m i m a sa la h lain .
M em bangun
k e s a d a ra n
b erek o n o m i
s y a ri’a h
yang
d ia w a li
dengan
p e m a h a m a n y a n g te p a t te n ta n g Isla m , b u k a n la h p e k e r ja a n m u d a h . S a m p a i d i sin i p e r a n a n p e r g u r u a n tin g g i Isla m k h u s u s n y a IA IN .S U , m u tla k p e n tin g . Saya
m endapat
k e sa n ,
p r a k tis i
p erb an k an
s y a ri’a h
di
Sum ut
tid a k
m e n y a d a r i k e n y a ta a n ini. B a h k a n le b ih d a ri itu, m e re k a m e ra s a tid a k p e rlu b e rs u sa h p a y a h m e n g u c u rk a n d a n a s o s ia lis a s i p e n g e m b a n g a n k a r e n a m e ra s a sud ah b erad a di zo n ya nyam an. K etig a , B a n k S y a r i’ah tid a k b ersa tu P a d a m u la n y a , d i S u m u t h a n y a a d a d u a in stitu si p e r b a n k a n S y a ri’ah ; B a n k S y a ri’a h M a n d iri d a n B a n k M u ’a m a la t In d o n e sia . p a lin g -p a lin g d ita m b a h d e n g a n B P R S d a n A h a d N e t (M L M S y a ri’ah ). K e m u d ia n m u n c u l p u la B N I S y a ri’ah . Y a n g m e n a rik b a g i saya, b e r s a m a IA IN d a n F K E B I, k e rja sa m a d a la m ra n g k a s o sia lisa s i d a p a t k ita la k sa n a k a n d e n g a n b aik . T e rk e s a n B a n k S y a ri’a h k e n d a ti b e r s a in g m e m p e re b u tk a n p a n g sa p a sa r, n a m u n m e re k a te ta p b is a b e k e r ja sam a. K e tik a b a n k S y a ri’a h d i S u m u t tu m b u h b a k c e n d e w a n d i m u sim h u jan , k e rja s a m a
m a la h
t id a k
te r b a n g u n
k e n d a ti
m e re k a
b erad a
d a la m
payung
A s b is in d o . S e m u a n y a b e rja la n s e n d iri-se n d iri. B e n a r b a h w a le m b a g a p e rb a n k a n a d a la h le m b a g a b isn is. K o m p e te s i m e n ja d i ta k te rh in d a rk a n . N a m u n a d a y a n g te rlu p a k a n . B a n k s y a ri’a h m e m b a w a p a n ji Islam . N ila i-n ila i a g a m a h a ru s te ta p m e n ja d i
payung
s e g a la
a k tifita s.
Ja n g a n
sem pat
bank
s y a ri’a h
m a la h
m e n g g u n a k a n c a r a -c a r a se k u le r, b e r s a in g tid a k s e h a t d a n s a lin g m e n e g a sik a n . M e ra sa le b ih s y a ri’a h p a d a h a l tid a k s a m a sek a li. C a r a -c a r a se p e rti in i m e n u ru t saya, b u k a n m a la h sa lin g m e n g u a tk a n , te ta p i se b a lik n y a s a lin g m e le m a h k a n . S a y a m e n y a ra n k a n , se lu r u h k e k u a ta n e k o n o m i Isla m S u m u t, a p a k a h BI, M U I, F K E B I-IA IN .S U , le m b a g a p e r b a n k a n d a n s e c to r riil h a ru s k e m b a li d u d u k b e rsa m a .
K ita
p e r lu
m e ru m u s k a n
la n g k a h -la n g k a h
stra te g is
d a la m
m e n g e m b a n g k a n e k o n o m i s y a ri’a h y a n g te la h la m a m ati. S o sia lis a s i e k o n o m i s y a ri’a h tid a k se p e n u h n y a d a p a t m e n g g u n a k a n k a c a m a ta ra sio n a l s e p e rti y a n g d im o to ri B I d a n P e m d a . E k o n o m i s y a ri’a h m e m ilik i d im e n s i sp iritu a l, te o lo g is d a n m o ral. U n tu k itu k e b e r s a m a a n a n ta r le m b a g a s tra te g is m e n ja d i k e n isc a y a a n . In tin y a , s e m a n g a t jih a d h a ru s k ita tu m b u h k a n p a d a d iri k ita, a p a k a h p r a k tis i p e rb a n k a n , p e m e rh a ti, u la m a , u sta z , d a n se b a g a in y a . Jik a k ita tid a k m e la k u k a n a p a p u n , p e rc a y a la h , b a n k s y a ri’a h d i S u m u t a k a n ja la n d ite m p a t.
8. B an k Syari’ah Sebagai So lu si K risis Ekon om i ? S a y a te r s e n ta k m e m b a c a p e rn y a ta a n A R ia w a n A m in k e tu a A S B IS IN D O yang
m e n g a ta k a n ,
p e r tu m b u h a n
p erb an k an
s y a ri’a h
n a sio n a l
b e lu m
m e n y e le s a ik a n p e r m a s a la h a n p e r e k o n o m ia n n a sio n a l. S e b a b n y a , p e rtu m b u h a n B a n k S y a ri’a h m a sih s a n g a t la m b a n . H a n y a 3 % d a ri p a n g s a p a sa r p e rb a n k a n n a sio n a l. Jik a d e m ik ia n , p a n ta s la h k ita b e rta n y a , “M u n g k in k a h B a n k S y a ri’a h m e n ja d i S o lu si k risis E k o n o m i n a sio n a l k ita ?. K e lu h a n se p e r ti in i b u k a n la h y a n g p e r ta m a se k a li k ita d e n g a r. H a m p ir tia p ta h u n ,
k ita m a s ih m e n d e n g a rk a n
la p o ra n y a n g m e n y e d ih k a n in i ?. S e b a g a i p e rb a n d in g a n , sa y a m a sih in g a t p a d a ta h u n 2 0 0 9 . D i H a ria n in i d im u a t
b e r ita
yang
b e rju d u l,
“P e rtu m b u h a n
N asabah
Bank
S y a r i’ah
M e n y e d ih k a n .” (W a sp a d a , 3 0 Ja n u a r i 0 9 ). P e rn y a ta a n in i b e r d a s a r k a n in fo r m a si y a n g d ib e rik a n D e p u ti G u b e r n u r B a n k In d o n e sia , S iti F a d jrija h . K e n d a tip u n a d a k e n a ik a n te ta p i s a n g a t la m b a n .
B a y a n g k a n , ju m la h n a sa b a h p e rb a n k a n s y a ri’a h
n a ik tip is d a ri 2 0 0 7 s e b a n y a k 2 ,8 4 5 ju ta r e k e n in g m e n ja d i 3 ,7 9 9 ju ta re k e n in g h in g g a 2 0 0 8 . S e d a n g k a n u n tu k n a s a b a h p e m b ia y a a n , k e a d a a n n y a tid a k ja u h b e rb e d a . P e n y a lu ra n k re d it (p e m b ia y a a n ) b a n k s y a ri’a h h a n y a n a ik s e d ik it d a ri 512 rib u n a sa b a h d i 2 0 0 7 m e n ja d i 58 9 rib u n a s a b a h d i N o v e m b e r 2 0 0 8 . D i s a m p in g itu, p a n g sa p a sa r b a n k S y a ri’a h b a r u m e n c a p a i 2 ,0 8 % d e n g a n to ta l a sse t 4 7 triliu n . S e d a n g k a n ta r g e t p e m e r in ta h a d a la h 5 % d e n g a n to ta l a sse t 9 0 T riliu n . Ju m la h m in im a l in ip u n a g a k n y a s u lit te r p e n u h i d a la m w a k tu d e k a t. Iro n is
m e m a n g , d i se b u a h N e g a r a y a n g p e n d u d u k n y a m a y o rita s m u slim , p a n g sa p a sa r b a n k s y a ri’a h y a n g te r s e r a p b a r u sed ik it. Jik a tig a ta h u n y a n g la lu , p a n g sa p a sa r b a n k S y a ri’a h b a r u m e n c a p a i 2 ,0 8 %
dan
la p o ra n
te r a k h ir b a r u
(2011)
m e n c a p a i le b ih
k u ra n g
3
%,
b e ta p a
m e n g e rik a n p e r tu m b u h a n p e rb a n k a n s y a ri’a h d i n e g e r i y a n g m a y o rita s m u slim ini. U n tu k m e n a ik k a n p a n g s a p a s a r 1% sa ja k ita m e m b u tu h k a n w a k tu 3 ta h u n . Jik a P e m e rin ta h h a n y a m e n a rg e tk a n 5 % , b e r a r ti k ita m e m b u tu h k a n 6 ta h u n la g i u n tu k m e n c a p a i a n g k a 5 % . B e ra n g k a t d a ri k o n d is i y a n g m e n y e d ih k a n in ila h ta m p a k n y a B I m e ra sa p e r lu m e la k u k a n b e r b a g a i m a c a m te ro b o sa n . B I M e n g g e la r F e stifa l E k o n o m i S y a ri’a h
(FE S)
yang
b e r s ifa t
m a ssa l.
Ju g a
m e n y e le n g g a r a k a n
F o ru m
R ise t
P e rb a n k a n S y a ri’a h se c a ra b e rk a la . T id a k k e tin g g a la n p u la k e g ia ta n so sia lisa si, p e la tih a n ,
se m in a r
dan
k e g ia ta n
a k a d e m ik
la in n y a
yang
b e r tu ju a n
u n tu k
m e n y a d a rk a n o r a n g -o r a n g te r d id ik b a n g s in i. B e r b a g a i m a c a m r e g u la si ju g a d ila h irk a n ,
la g i-la g i
u n tu k
m en d o ron g
a k s e la r a s i
p e r tu m b u h a n
p e rb a n k a n
s y a ri’ah. B e g itu se r iu s n y a B I P u sa t - ju g a BI d i d a e ra h - s e p a n ja n g y a n g sa y a m a tim e n d o r o n g p e r tu m b u h a n d a n p e r k e m b a n g a n p e rb a n k a n s y a ri’a h in i, s a y a n g n y a se m a n g a t in i tid a k d iik u ti p r a k tis i p e r b a n k a n s y a ri’a h d i d a e ra h , k h u s u s n y a d i M e d a n S u m a te r a U ta ra . P e rb a n k a n s y a ri’a h d i d a e ra h in i s e p e r tin y a b e rja la n d i ja lu r la m b a t. D a ri sisi se ja ra h , p e r b a n k a n s y a ri’a h la h ir d i S u m a te r a U ta ra s e k ita r a w a l ta h u n 19 9 0 -a n . L e b ih k u ra n g 20 ta h u n la m a n y a , e k s iste n si p e r b a n k a n s y a ri’a h d i S u m u t tid a k te r la lu m e n g g e m b ira k a n . Iro n isn y a , b e la k a n g a n in i m a la h te r ja d i p e rg e se ra n m o d e l p e n g e m b a n g a n p e rb a n k a n s y a ri’a h d a ri “s in e r g is ita s ” m e n ja d i g e r a k a n y a n g te rfra g m e n ta si. Jik a p a d a ta h u n 19 9 0 -a n s a m p a i ta h u n 2 0 0 0 a w al, p e n g e m b a n g a n b a n k s y a ri’a h c u k u p m a ssif, m e lib a tk a n s e m u a u n s u r k e k u a ta n , m u la i d a ri p e ra k tisi, u la m a , a k a d e m isi, p a ra to k o h -to k o h m a sy a ra k a t, b e la k a n g a n in i a d a k e sa n k e b e r s a m a a n itu tid a k d ite m u k a n lagi. P a d a ta h u n 2 0 0 1-2 0 0 5 ,
s e m a n g a t k e b e rsa m a a n te r ja lin se c a ra s in e rg is d a n h a rm o n is a n ta r a b e r b a g a i le m b a g a k e a g a m a a n d a ri u la m a , p ra k tis i s a m p a i re m a ja m a sjid . P e m e rin ta h P r o p in s i d i b a w a h k e p e m im p in a n H . R iz a l N u rd in (alm ) k a la itu, m e n d u k u n g s e p e n u h n y a g e r a k a n e k o n o m i s y a ri’a h d i S u m u t. H a siln y a , k e g ia ta n e k o n o m i s y a ri’a h tu m b u h s u b u r d i M e d a n . N a m u n su a sa n a itu t id a k te r a s a s a m a se k a li s e k a ra n g ini. A rtin y a , a d a y a n g h ila n g d a ri g e r a k a n e k o n o m i s y a ri’a h d i S u m u t. B a g i say a, p e r b a n k a n s y a ri’a h sa a t in i b e lu m b is a ta m p il s e b a g a im a n a p e r b a n k a n k o n v e n s io n a l. P e rb a n k a n k o n v e n sio n a l s u d a h h a d ir s e la m a ra tu sa n ta h u n , d a n e k s is te n s in y a te la h m e n y a tu d i m a s y a ra k a t. A rtin y a , p e rb a n k a n k o n v e n s io n a l tid a k la g i m e m b u tu h k a n g e r a k a n -g e ra k a n y a n g b e r s ifa t m assa l. M e r e k a c u k u p b e r m a in d i in o v a s i p r o d u k d a n u n d ia n . D ita m b a h d e n g a n g e b y a rg e b y a r y a n g m e ria h d e n g a n m e m a n fa a tk a n m e d ia te le v isi. S e k a li lagi, p e rb a n k a n s y a ri’a h tid a k sam a. P e rb a n k a n s y a ri’a h m a sih b a ru , d a n k ita p e rlu m e la k u k a n la n g k a h -la n g k a h
yang
k o n siste n ,
te r e n c a n a
dan
siste m a tis
u n tu k
m engem bangkannya. S a la h
sa tu
hal
yang
am at
m en d esak
u n tu k
k ita
c ip ta k a n
a d a la h
m e la h irk a n m u ja h id a l-iq tish a d . M u ja h id A l-Iq t is h a d a d a la h m u ja h id -m u ja h id e k o n o m i s y a ri’ah . M e re k a b u k a n
se k e d a r k a ry a w a n , p im p in a n
c a b a n g a ta u
“b a n k ir .” M e r e k a b e n a r-b e n a r m u ja h id a l-iq tis h a d y a n g b e r s u n g g u h (m u ja h a d a h ) d a la m
m e n s o s ia lis a s ik a n
d ik a n to r, te ta p i te ru s
ekonom i
b e r ju a n g d a n
s y a ri’ah .
M erek a
m e n s u a ra k a n
tid a k
hanya
b e rd ia m
e k o n o m i d a n p e rb a n k a n
s y a ri’a h ke m a sy a ra k a t. M e r e k a sad ar, m e n ja d i k e p a la c a b a n g a ta u m e n ja d i k a ry a w a n b a n k s y a ri’a h tid a k c u k u p h a n y a b e r d ia m d iri d i k a n to r la lu m e la k u k a n h a l-h a l y a n g b e rsifa t ru tin ita s. T e ta p i h a ru s b e rg e ra k , m a s u k ke s im p u l-sim p u l m a sy a ra k a t. M e m b a n g u n k o m u n ik a s i d e n g a n P e rg u ru a n T in g g i Isla m d a n o rm a s -o r m a s k e a g a m a a n . M e r e k a tid a k h a n y a d e k a t d e n g a n p e n g u a s a h a d a n n a sa b a h , t e ta p i ju g a d e k a t d e n g a n u la m a . B a h k a n m u ja h id A l-Iq t is h a d m a s u k k e m a jlism a jlis t a ’lim , p e n g a jia n -p e n g a jia n , w a la u p u n te m p a tn y a b e r a d a d i p in g g ir a n k o ta a ta u p u n b e r a d a d i p e lo s o k -p e lo s o k d esa.
A d a k a h k a ry a w a n p e r b a n k a n s y a ri’a h y a n g d a p a t ta m p il se b a g a i m u ja h id a l-iq tis h a d ? S a y a k h a w a tir m e re k a ta k se p e n u h n y a p a h a m d e n g a n a p a y a n g h a ru s d ila k u k a n . T a k ju g a p e k a te r h a d a p ta n ta n g a n y a n g a k a n d ih a d a p i. B a h k a n se b a lik n y a d a n in i y a n g p a lin g m e n g k h a w a tirk a n , ja n g a n -ja n g a n m e re k a te la h k e h ila n g a n ru h d a n s p irit jih a d n y a . M e r e k a k e h ila n g a n e to s m u ja h id s e h in g g a jih a d a l-iq tis h a d (b e rjih a d ) m e n ja d i ta k p e n tin g lagi. S e ja tin y a , jih a d a d a la h k a ta k u n c i d a la m
pengem bangan
e k o n o m i s y a ri’ah .
U n tu k
itu la h ,
d a la m
upaya
m e m b a n g u n eto s jih a d in ilah , se m a n g a t jih a d h a ru s s e la lu d ih e m b u s k a n ke d a la m h a ti s a n u b a ri p a ra m u ja h id . E to s jih a d in i h a ru s m e n ja d i sp irit d a la m p e n g e m b a n g a n p e r b a n k a n s y a ri’ah. T id a k k a la h p e n tin g n y a , la m b a tn y a d is e b a b k a n
tid a k
m e n y a tu n y a
in s titu s i
p e r k e m b a n g a n B a n k S y a ri’a h in i
p erb an k an
dan
le m b a g a
keuangan
s y a ri’a h la in n y a . P a d a ta h u n 19 9 0 -a n , d i S u m u t h a n y a te r d a p a t d u a sa m p a i tig a in s titu si p e r b a n k a n S y a ri’ah . B e n tu k n y a p u n m a sih U U S (u n it u s a h a s y a ri’ah ) d an s a tu B a n k U m u m S y a ri’a h (B U S ). D i s a m p in g itu
a d a ju g a b e b e r a p a B P R S y a n g
t u m b u h d a n b e r k e m b a n g d i S u m u t. M e n a rik n y a , p a d a w a k tu itu k e n d a ti b a n k b a n k s y a ri’a h b e r s a in g u n tu k m e m p e re b u tk a n p a n g sa p a sa r, n a m u n m e re k a te ta p b is a b e k e r ja sa m a . B isa b e r s in e r g i d a n itu b e r la n g s u n g se c a ra h a rm o n is. K e tik a b a n k S y a ri’a h d i S u m u t tu m b u h b a k c e n d e w a n d i m u sim h u jan , k e rja s a m a
m a la h
t id a k
te r b a n g u n
k e n d a ti
m e re k a
b erad a
d a la m
payung
A s b is in d o . S e m u a n y a b e rja la n s e n d iri-se n d iri. B e n a r b a h w a le m b a g a p e rb a n k a n a d a la h le m b a g a b isn is. K o m p e tis i m e n ja d i ta k te rh in d a rk a n . N a m u n a d a y a n g te rlu p a k a n . B a n k s y a ri’a h m e m b a w a p a n ji Islam . N ila i-n ila i a g a m a h a ru s te ta p m e n ja d i
payung
s e g a la
a k tifita s.
Ja n g a n
sem pat
bank
s y a ri’a h
m a la h
m e n g g u n a k a n c a r a -c a r a se k u le r, b e r s a in g tid a k s e h a t d a n s a lin g m e n e g a sik a n . M e ra sa d irin y a le b ih s y a ri’a h d a ri b a n k la in n y a , p a d a h a l k e n y a ta a n n y a tid a k d e m ik ia . C a r a -c a r a se p e r ti in i m e n u r u t saya, b u k a n m a la h s a lin g m e n g u a tk a n , t e ta p i s e b a lik n y a s a lin g m e le m a h k a n .
Saya menyarankan, seluruh kekuatan ekonomi Islam di Sumut, dapat bersinergi
untuk
merumuskan
langkah-langkah
strategis
dalam
mengembangkan ekonomi syari’ah yang saat ini hampir mati suri. Sosialisasi ekonomi syari’ah tidak sepenuhnya dapat menggunakan kacamata rasional. Ekonomi syari’ah juga memiliki dimensi spiritual, teologis dan moral. Untuk itu kebersamaan antar lembaga strategis menjadi keniscayaan. Intinya, semangat jihad harus kita tumbuhkan pada diri kita, apakah praktisi perbankan, pemerhati, ulama, ustaz, dan sebagainya. Jika kita tidak melakukan apapun, percayalah, bank syari’ah di Sumut akan jalan ditempat. Intinya adalah, kita tidak bisa menjadikan ekonomi syari’ah, khususnya perbankan syari’ah sebagai solusi krisis ekonomi nasional kita -apatah lagi krisis ekonomi global- selama pertumbuhan perbankan syari’ah kita masih sangat kecil. Tugas kita adalah mengembangkan dan memasyarakatkan ekonomi syari’ah kepada umat Islam dan meyakinkan manusia bahwa ekonomi Islam adalah sistem ekonomi terbaik. Seperti apa yang dikatakan Riawan Amin, selama sistem ribawi tidak dihapuskan di negara ini, maka perbankan syari’ah sulit untuk berkembang. Wallahu a’lam bi al-shawab.
179
Bagian Keempat Saatnya Mendayagunakan ZISWAF buat Kesejahteraan Umat
Bab Satu Menggali Potensi Ekonomi Umat Yang Terpendam. i. D ari T eo ritis ke R anah P raktis Persoalan yang cukup rumit diatasi dalam kerangka pendayagunaan potensi ekonomi umat adalah paradigma berpikir umat yang masih normativeteologis. Segala bentuk ajaran Islam termasuk dalam bidang ekonomi dipandang semata-mata berdimensi ibadah mahdah dan pelaksanaannya dimaksudkan sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Tentu saja cara pandang ini tidak seluruhnya salah. Hanya saja efek yang ditimbulkannya tidak positif bahkan dapat berpengaruh negatif secara sosial. Sebagai contoh dapat disebut di sini. Ketika zakat hanya dilihat dari sisi ibadahnya saja tanpa mempertimbangkan dimensi ekonominya, maka bisa dipastikan peluang untuk melakukan reformulasi zakat berwawasan ekonomi menjadi sulit, untuk mengatakan tidak mungkin dilakukan. Orang sudah merasa aman ketika telah membayar zakat dan merasa tidak lagi berdosa. Pelaksanaan zakat baginya merupakan sebuah upaya untuk melepaskan diri dari beban keagamaan. Jangankan untuk memikirkan bagaimana mendayagunakan zakat secara produktif, kemana zakatnya disalurkan Ia tidak lagi mau perduli. Sampai di sini diperlukan perubahan paradigma berpikir umat terutama dalam aspek mu'amalahnya. Setidaknya ada beberapa tesis yang perlu dijadikan sebagai titik berangkat. Pertama, kesalehan sosial harus lebih diutamakan dari kesalehan individual. Kedua, ukuran kesalehan tidak hanya diukur seberapa banyak ia melaksanakan perintah agama, tetapi diukur seberapa besar efek sosial yang ditimbulkan dari ibadah individualnya. Ketiga, nilai ibadah sosial jauh lebih besar dari ibadah individual. Keempat, dalam konteks mu'amalah, faktor lingkungan sosial budaya menjadi sangat penting dan menentukan dalam memformulasikan konsep-konsep ekonomi Islam ketimbang teks atau nash baik dari al-Qur’an maupun dari hadis ataupun ijmak ulama. Kelima, ibadah apapun
bentuknya dalam Islam hanya akan bermakna bila memiliki implikasi positif dalam kehidupan social. Hasil dari perubahan paradigma ini, diharapkan umat tidak akan kebingungan atau ketakutan untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan terhadap konsep-konsep ajaran Islam yang dianggap telah membantu. Pada sisi lain, jika terjadi pembaharuan-pembaharuan misalnya dalam konsep zakat atau wakaf, umat tidak akan mencurigainya lagi malah sebaliknya akan memberikan dukungan karena mereka yakin perubahan itu semata-mata untuk kemaslahatan umat. Potensi Zakat Zakat, infaq dan sadaqah (ZIS) memiliki kedudukan yang sangat penting dalam struktur ajaran mu'amalah Islam. Ini ditunjukkan dengan disebutkannya perintah wajib mengeluarkan zakat sebanyak 36 kali dan 21 kali diantaranya dirangkaikan dengan kewajiban shalat. Lebih jauh dari itu,
menarik untuk
dicermati bahwa Zakat merupakan soko-guru kehidupan ekonomi umat yang berkeadilan seperti yang dicanangkan al-Qur’an. Sampai di sini menarik mencermati ungkapa Yusuf Al-Qaradhawi: Zakat adalah satu rukun yang bercorak sosial-ekonomi dari lima rukun Islam. dengan zakat, di samping ikrar tauhid (syahadat) dan salat, seseorang barulah sah masuk ke dalam barisan umat Islam dan diakui keislamannya sesuai dengan firman Allah Q.S.9: 11, Tetapi mereka bertaubat, mendirikan shalat dan membayar zakat, barlaah mereka saudara kalian seagama...zakat sekalipun dibahas dalam pokok bahasan “ibadat” karena dipandang bagian yang tidak terpisahkan dari shalat, sesungguhnya merupakan bagian sistem sosial ekonomi Islam, dan oleh karena itu dibahas di dalam buku-buku tentang strategi hukum dan ekonomi Islam.1
1 Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, terj. Salman Harun, Didin Hafidhuddin dan Hasanuddin, Jakarta: Litera Antar Nusa, 1991, h. 3
Dalam perkembangan terakhir, zakat telah dihubungkan dengan suatu upaya strategis untuk melakukan pengentasan kemiskinan yang diderita oleh mayoritas umat Islam yang hidup dalam garis kemiskinan bahkan di bawah garis kemiskinan. Dengan kata lain zakat sebenarnya dapat berperan dalam pemberdayaan
ekonomi
umat.
Masalahnya
adalah
bagaimana
mengoperasionalisasikan zakat agar dapat memberdayakan ekonomi umat ?. Sejatinya pemberian harta kepada orang yang membutuhkan bukanlah hanya sekedar manifestasi keimanan seseorang kepada Tuhannya, melainkan satu bentuk komitmen sosial muslim terhadap muslim lainnya. Singkatnya, zakat dalam Islam bukan hanya mengandung dimensi etis teologis tetapi juga etis sosial ekonomi. Kedua dimensi ini sejatinya tidak boleh terpisah. Tanpa yang satunya, zakat tersebut menjadi tidak optimal. Satu hal yang membahagiakan, perlahan namun pasti dikalangan umat telah tumbuh kesadaran untuk melihat zakat dalam dua optik tersebut. Zakat tidak lagi semata-mata kewajiban seorang muslim untuk mengeluarkan hartanya untuk mendapat perkenan (rida) Allah saja, melainkan juga dipahami sebagai bentuk komitmen terhadap sesama manusia. Realitas yang tidak bisa ditolak bahwa secara sosiologis terdapat sekelompok manusia yang hidup serba kekurangan dan pada sisi lain terdapat sekelompok manusia yang hidup serba mewah. Di sini diperlukan pemikiran rasional bagaimana mengangkat derajat kehidupan orang miskin menjadi lebih baik. Dengan demikian zakat dipahami sebagai realokasi sumber-sumber ekonomi. Ketika zakat dilihat sebagai satu bentuk realokasi sumber-sumber ekonomi, maka pengelolaan dan penggunaannya harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga menghasilkan manfaat konsumtif terlebih lagi manfaat produktif yang maksimal. Dengan demikian hal mendesak untuk dilakukan adalah bagaimana merekonseptualisasi zakat yang berwawasan ekonomi. Kendatipun fungsi konsumtif zakat itu sesuatu yang tidak bisa ditolak, akan tetapi fungsi
produktifnya harus lebih diutamakan. Pada gilirannya fungsi produktif zakat juga sebenarnya adalah sebuah cara untuk memaksimalkan fungsi konsumtif zakat. Bedanya hanyalah pada dimensi waktu saja. Jika fungsi konsumtif zakat lebih diutamakan, maka dimensi waktunya lebih cepat tetapi tidak akan berpengaruh maksimal secara ekonomi. Dalam konteks
inilah
segala
upaya
yang
dilakukan
pengelola
zakat
untuk
memproduktifkan zakat itu harus didukung sepenuhnya oleh umat Islam. Beberapa waktu yang lalu, BAZ Sumatera Utara melakukan terobosan baru memproduktifkan zakat dengan cara mengelola kebun sawit. Bisa juga dengan cara-cara yanglain seperti memutar dana-dana zakat untuk usaha-usaha produktif. Semestinyalah hal ini harus didukung oleh umat Islam karena tujuan kemaslahatan jangka panjangnya lebih terjamin. Tentu saja pengelolalaan perkebunan sawit atau usaha produktif lainnya harus dilakukan dengan benar dan profesional. Lagi-lagi masalahnya adalah ketidaksiapan umat Islam menerima pembaharuan ini. Kita dapat berandai-andai, jika umat Islam semuanya melaksanakan zakat, infaq dan sadaqah, bisa dibayangkan berapa dana umat yang akan terkumpul. Hanya saja jika dana yang cukup besar tersebut tidak diberdayakan kepada usaha-usaha yang produktif, maka dana tersebut tidak akan berpengaruh secara ekonomi. Setelah dana tersebut dibagi-bagikan kepada mustahaqnya dana tersebutpun habis, kita kembali akan mengumpulkan dana, begitulah seterusnya, dan kondisi umat yang miskin dan terbelakang tidak akan berubah. Dana zakat yang mereka gunakan akan habis dalam waktu yang singkat karena digunakan untuk hal yang konsumtif pula. Pada akhirnya sampai kapanpun mereka tidak akan dapat berpindah menjadi muzakki. Mereka tetap saja menjadi mustahaq dan itu bisa terjadi selama hayat dikandung badan. Potensi Wakaf Institusi ekonomi Islam yang saat ini sedang mendapat perhatian serius adalah wakaf produktif atau wakaf uang. Setidaknya keinginan menggali dan
mengembangkan konsep wakaf ini didasari oleh dua pertimbangan baik yang bersifat ekternal maupun yang bersifat internal. Pertama, adalah satu kenyataan bahwa di negara-negara Islam, wakaf telah dijadikan sebagai
salah satu
instrument ekonomi Islam yang mampu memberdayakan kehidupan ummat. tentu saja wakaf yang dimaksud di sini adalah wakaf produktif atau lebih tegasnya wakaf uang. Contoh yang paling dekat adalah pengalaman Bangladesh yang kehidupan ekonomi umat Islam mulai bangkit seperti yang dilaporkan M.A. Mannan pakar ekonomi Islam asal Bangladesh. Kedua, faktor internal. Berkaitan dengan wakaf di Indonesia sebuah penelitian yang dilakukan oleh Uswatun Hasanah
(Dosen Pasca Sarjana UI)
dengan mengambil lokasi di Jakarta Selatan menunjukkan, 74, 62 % tanah wakaf dimanfaatkan untuk tempat ibadah sedangkan sisanya, yaitu 25,38 % dimanfaatkan untuk sekolah dan Pesantren. Data terakhir menunjukkan bahwa sampai tanggal 1 April 2001 -menurut data Departemen Agama RI- jumlah tanah wakaf di Indonesia sebanyak 358.710 lokasi dengan luas 819,207,733,99 M2. Jumlah yang cukup besar ini belum termasuk tanah wakaf yang tidak terdaftar sebagaimana tradisi yang berkembang di daerah-daerah pedesaan. (Uswatun Hasanah:2002) Sayangnya tanah wakaf yang luas tersebut belum dimanfaatkan secara produktif tetapi sebaliknya hanya dimanfaatkan secara konsumtif. Paling-paling tanah wakaf di Indonesia hanya dimanfaatkan untuk pembangunan Masjid, madrasah, dan yang paling sering digunakan untuk tanah kuburan. Jelas sekali pemanfaatan tanah wakaf seperti ini
dipandang tidak produktif. Dikatakan
tidak produktif, karena harta wakaf tersebut tidak berkembang bahkan untuk biaya pemeliharaannya saja tidak bisa ditarik dari tanah wakaf tersebut. Tidaklah mengherankan jika tanah wakaf, “masjid wakaf’, madrasah-madrasah yang berasal dari wakaf sering tidak terurus dengan baik. Pada sisi lain wakaf uang tidak begitu populer dikalangan umat Islam. Mungkin ini disebakan dominasi pemikiran Syafiiyyah yang masih mengkristal
dikalangan umat Islam. Akhirnya wakaf dalam bentuk asset tetap tidak berdaya, wakaf uang juga tidak berlaku, maka konsep wakaf yang ditulis di dalam bukubuku dan dipelajari oleh umat Islam menjadi percuma karena tidak aplikatif. Untuk itu agenda kedepan wakaf produktif dalam arti wakaf uang harus mendapatkan perhatian serius dari umat Islam. Konsep wakaf yang elitis (amalan khusus orang-orang yang sangat kaya) perlu didekonstruksi (dibongkar). Pada gilirannya wakaf tersebut menjadi dapat diamalkan oleh seluruh umat Islam mulai dari kelas atas, kelas menengah atau orang biasa sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Apa pula yang terjadi jika seluruh umat Islam atau setidaknya separuh dari umat Islam berwakaf berdasarkan kemampuanyang ada padanya, tentulah sangat besar dana umat yang dapat dihimpun. Jumlah yang cukup banyak tersebut bisa digunakan untuk merealisasikan program-program pembenahan umat apakah dari sisi ekonomi, penyiapan sumber daya insani atau lainnya tanpa harus kehabisan dana karena yang difokuskan adalah pemanfaatan dana tanpa menghabiskan jumlahnya. Lembaga Keuangan Potensi berikutnya adalah lembaga keuangan Islam bank ataupun non bank. Kendatipun bank Islam telah eksis di Indonesia dan diakui oleh undangundang, namun bank Islam itu posisinya masih berada di bawah bank-bank konvensional. Pertanyaan emosionalnya adalah, mungkinkah di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam lembaga perbankannya tidak tumbuh subur ?. Secara ideal hal ini sebenarnya tidak mungkin terjadi. Akan tetapi kenyataannya seperti yang kita saksikan sekarang ini. Bank Syari’ah asing dirumahnya sendir. Jujur harus diakui, cukup banyak faktor yang menjadikan bank Islam belum berhasil menunjukkan kiprahnya yang cukup signifikan. Masalah sosialisasi, kesiapan perangkat keras dan perangkat lunak yang belum
mencukupi, dan yang paling terasa adalah kesadaran umat Islam yang belum maksimal. Dengan demikian agenda tambahan di samping yang telah disebut di muka adalah merumuskan program-program penyadaran umat. Umat Islam harus diyakinkan, cara yang paling baik membantu saudara-saudaranya yang muslim adalah melalui bank Islam. Melalui produk-produk perbankan apakah mudharabah, musyarakah, dan sebagainya, kita telah membantu oranglain tanpa memberikannya beban yang tidak mungkin dipikulnya. Jika kita menabung di bank konvensional, bisa jadi kita juga membantu usaha oranglain, tetapi tanpa disadari, saudara kita memikul bekan yang cukup berat misalnya dengan bunga yang tinggi. Alasan lain, dana yang kita simpan di bank disamping akan disalurkan sesuai dengan fungsi bank sebagai lembaga intermediasi, juga bisa dipastikan uang tersebut akan digunakan untuk usaha-usaha yang halal. Pada gilirannya hasil dari bagi hasil yang kita peroleh juga bersih (halal). Berbeda dengan bank konvensional, kendatipun kita tidak bisa memastikan uang tersebut digunakan untuk yang halal atau yang haram, yang jelas kita tidak bisa menjamin dengan pasti apa yang kita peroleh adalah halal. Dengan demikian motivasi umat untuk menabung atau mendevositokan uang di Bank Islam tidak saja didasari pada motif profit tetapi lebih didasarkan pada keinginan untuk membantu orang lain yang tidak mampu. Pada gilirannya kita turut serta mendorong kegiatan usaha yang riil, dan ketika usaha -usaha riil ini berjalan dengan baik, maka kehidupan ekonomi kita juga akan semakin membaik. Apa yang terjadi jika seluruh umat Islam menarik dananya dari bank konvensional terutama yang bukan milik pemerintah dan menyimpannya di bank Islam ?. Jawabannya
umat ini akan memiliki lembaga keuangan yang
cukup handal dan tangguh. Dari sinilah program-program pemberdayaan ekonomi umat dapat dijalankan dengan baik.
Sayangnya masih sangat sedikit umat Islam yang perduli dengan bank Islam. Tentu saja jumlah yang sedikit itu ditengah dominasi bank konvensional, bank Islam menjadi tidak berdaya. Mau tidak mau, umat Islam harus didorong sepenuhnya untuk memanfaatkan lembaga bank Islam tersebut. Penutup Sampai di sini jelaslah potensi ekonomi umat itu apakah zakat, wakaf dan lembaga perbankan sebenarnya sangat besar jika diberdayakan secara maksimal. Tentu saja kita tidak ingin hanya berandai-andai saja. Berandai-andai sama sebenarnya dengan berkhayal yang kenyataannya sangat tidak mungkin diwujudkan. Masalah kita bukan hanya menghitung-hitung dan mengalikan potensi ekonomi umat yang begitu besar, karena tanpa dihitungpun kita tahu potensi yang besar tersebut. Hal terpenting kita lakukan bagaimana mewujudkan potensi tersebut menjadi kekuatan nyata ?.
2. Filantropi Islam, Potensi Yang Terabaikan Philantropy (filantropi) secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai kedermawanan, kemurahhatian atau sumbangan sosial manusia. Filantropi juga dapat diterjemahkan sebagai rasa cinta kepada sesama manusia yang mendorongnya
untuk
berbuat
baik
dan
tulus
kepada
manusia yang
membutuhkan sehingga dapat meningkatkan kehidupannya. Di dalam Islam, institusi filantropi ini terlihat ke dalam bentuk zakat, infaq dan sadaqah dan wakaf (ZISWAF) yang sebenarnya memiliki kedudukan yang sangat penting dalam struktur ajaran mu'amalah Islam. Pada awal Islam, filantropi Islam juga didasari oleh rasa cinta sesama manusia yang membawa kepada keinginan untuk berbagi dan saling merasakan. Namun seiring dengan masa formatif hukum Islam, dimensi hukum filantropi-lah yang menonjol dan
secara perlahan namun pasti aspek cinta kemanusiaan yang dikandung ZISWAF menjadi kabur untuk tidak mengatakannya hilang sama sekali.2 Para ulama sering menyebutkan, perintah wajib untuk mengeluarkan zakat itu ditunjukkan oleh al-Qur'an dengan menyebut kata zakat sebanyak 36 kali dan 21 kali diantaranya dirangkaikan dengan kewajiban shalat. Begitu pentingnya zakat dan tidak infaq dan sadaqah, maka zakat ditempatkan sebagai rukun Islam yang keempat. Bahkan dalam sejarahnya, Abu Bakar pernah memerintahkan untuk memerangi orang-orang yang membangkang dan enggan membayar zakat. Sisi hukum zakat inilah yang pada masa-masa berikutnya menjadi fokus perhatian, mulai dari penentuan syarat-syarat benda yang wajib dizakati milk, hawl dan nisab) sampai penentuan orang-orang yang berhak menerimanya dengan
segala
kreterianya.
Kondisi
ini
semakin
diperparah
dengan
dimunculkannya dampak-dampak orang yang tidak mau membayar zakat dan akibat yang dideritanya baik di dunia maupun diakhirat. Cukup banyak kisah yang menakutkan yang dialami para pembangkan zakat, mulai dari Qarun seseorang yang disimbulkan sebagai konglomerat yang kapitalistik pada zaman Musa, Tsa'labah pengusaha muda yang berhasil namun sombong pada masa nabi Muhammad SAW,
harus
menderita secara
mengenaskan disebabkan tidak mau membayar zakat. Akhirnya, siapa saja yang mendengar dan membacanya menjadi takut, tidak saja takut hartanya akan hilang, tetapi juga takut kalau-kalau ia mendapatkan kutukan dan siksaan Allah
2Ada kesan kuat, pergeseran eksistensi Al-Qur’an dari kitab moral menjadi kitab hukum, terjelma ke dalam sebagian besar institusi hukum Islam. Zakat yang semula muatannya adalah moral yang mengedepankan kepedulian dan kasih sayang bergeser sebagai seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan yang harus ditunaikan. Bagi yang mengabaikannya ada diberi siksaan yang pedih. Lembaga perkawinan yang pada mulanya sebagai media untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, untuk kebaikan bersama di dunia dan akhirat bergeser menjadi hubungan dua pihak yang melahirkan hak dan kewajiban. Meminjam apa yang pernah dikembangkan oleh Fazlur Rahman, sejatinya Al-Qur’an harus dapat dibaca dalam dua dimensi, ideal moral dan legal formal. Dan ideal moral bagaimanapun juga harus diutamakan dari legal formalnya.
SWT. Akhirnya zakatpun dikeluarkan dan difungsikan sebagai media “tolak bala”.3 Akhirnya dorongan seseorang membayar zakat adalah semata-mata disebabkan oleh dorongan hukum, termasuklah di dalamnya sebagai upaya untuk menghindar dari murka Allah.
zakat yang
semula berorientasi
anthroposentris (kemanusiaan) bergeser menjadi teosentris (ketuhanan). Jadilah zakat mirip dengan upeti. Jika seorang demang, harus memberikan upetinya kepada raja, maka manusia juga memberikan upetinya kepada Tuhan melalui zakat. Penulis sebenarnya hanya ingin mengatakan, sadar atau tidak, sebenarnya ada sesuatu yang hilang dari pelaksanaan zakat dan intitusi lainnya di dalam masyarakat Islam. Kita layak bertanya, mengapa hanya zakat yang diwajibkan, dan mengapa pula infaq, sadaqah, dan waqaf hanya dianjurkan (sunnah). Kalau kita berbicara dari sisi al-Qur'an, bukankah kata infaq, shadaqah, dan zakat selalu digunakan dan dipertukarkan antara yang satu dengan yang lainnya ?. Dalam konteks ini, sebenarnya zakat, infaq dan sejenisnya telah mengalami reduksi makna yang cukup berarti. Ketika zakat dijadikan sebagai masalah hukum yang tentu saja membutuhkan rumusan hukum yang sistematis, pada waktu itu,
zakat juga infaqa dan sadaqah sebagai filantrofi Islam telah
kehilangan substansinya. Sejatinya pemberian harta kepada orang yang membutuhkan bukanlah hanya sekedar manifestasi keimanan seseorang kepada Tuhannya atau lebih disebabkan oleh ketakutan terhadap ancaman hukuman, melainkan satu bentuk komitmen sosial seorang muslim terhadap muslim lainnya. Pemberian itu 3Benar ada hadis yang menyatakan bahwa zakat, infaq dan sadaqah dapat menolak penyakit atau kesusahan. Namun hal ini bukanlah tujuan utama dari zakat itu sendiri. Menolak penyakit tidak lebih dari “efek samping” dari zakat. Tujuannya dasarnya adalah menghapus disparitas (kesenjangan) antara yang kaya dengan yang miskin. Oleh sebab itu, persoalan pemerataan zakat dan pemberdayaan harta zakat menjadi niscaya. Tentu saja secara teologis harus dilakukan semata-mata mengharap ridha Allah SWT.
hendaknya didasarkan rasa cinta yang tulus kepada sesama manusia. Dengan demikian, pembayaran zakat tidak lagi semata-mata kewajiban seorang muslim untuk mengeluarkan hartanya dalam kerangka mendapat perkenan (rida) Allah saja, melainkan juga dipahami sebagai bentuk komitmen terhadap sesama manusia. Singkatnya, zakat dalam Islam bukan hanya mengandung dimensi etis teologis tetapi juga etis sosial ekonomi. Jika zakat dan infaq di lihat sebagai satu bentuk perwujudan rasa cinta kepada sesama manusia, maka potensi filantropi Islam yang sebenarnya sangat besar akan dapat teraktualkan. Sebaliknya, jika dilihat dari sisi hukumnya saja, maka akibatnya adalah, zakat, infaq ataupun wakaf akan terperangkap di dalam aturan-aturan hukum yang kaku. Pada gilirannya, filantrofi Islam yang dimaksudkan sebagai sarana untuk berbagi, menguatkan dan mensejahterakan menjadi tidak terwujud.
Sampai di sini,
perubahan paradigma dalam
memandang institusi filantrofi Islam menjadi sebuah keniscayaan. Zakat seharusnya tidak hanya dipahami sebagai konsep yang pasif, melainkan harus dilihat sebagai konsep yang dinamis. Dalam konteks inilah, dana-dana zakat itu dapat dikembangkan melalui investasi maupun melalui usaha-usaha yang produktif. Tidak ada keharusan, ketika dana zakat masuk, pada saat itu pula harus diserahkan kepada mustahiqnya. Sebaliknya, untuk maksimalisasi hasil, dana zakat dapat dikembangkan. Di banding zakat yang wajib, infaq, sadaqah dan wakaf sebenarnya dapat mendatangkan sumber dana yang besar jika paradigmanya berhasil digeser. Selama ini infaq dan sadaqah dipahami sekedar pemberian karitatif yang ala kadarnya. Sehingga, infaq dan sadaqah seringkali tidak dipersiapkan dengan matang karena dianggap bukan pemberian yang sungguh-sungguh, dibanding dengan zakat. Untuk membuktikannya, kita bisa melihat bagaimana isi kotak-kotak infaq seperti yang terlihat setiap hari jum'at. Di dalam kota infaq itu, ditemukan recehan uang kalaupun ada yang besar paling satu dua harga sepuluh atau
duapuluh ribu Contoh berikutnya, penghasilan yang di dapat pengemis yang telah kehilangan satu kakinya. Mereka tidak lebih mendapatkan kumpulan recehan, kalaupun ada yang besar, paling-paling seribu rupiah. Lagi-lagi ada paradigma yang salah, karena infaq itu hukumnya sunnah, boleh dilakukan dan juga tidak ada cela jika ditinggalkan. Demikian juga dengan wakaf, yang selama ini dipahami sebagai wakaf benda tidak bergerak seperti tanah untuk perkuburan atau bangunan masjid. Akhirnya, yang dapat berwakaf, adalah orang yang sangat kaya dan benar-benar memiliki kesadaran keimanan tinggi. Pada hal, jika wakaf uang, terlepas dari berapun jumlahnya, dapat disosialisasikan kepada umat, maka betapa besar dana yang dapat digali dari umat, untuk selanjutnya diproduktifkan. Perubahan paradigma yang dimaksud adalah, mengembalikan zakat dan infaq,
sadaqah
juga
wakaf
sebagai
bentuk
filantrofi
Islam
yang
diimplementasikan dalam bentuk kepedulian dan kecintaan kepada sesama manusia. Sejatinya, ia tidak lagi dibelenggu oleh konsep-konsep hukum yang kaku, melainkan ia menjadi sesuatu yang bebas dan hanya diikat oleh komitmen kemanusiaan. Seorang muzakki yang telah mengeluarkan zakatnya pada tahun tertentu, tidak berarti ia telah lepas dari tanggungjawab. Sebaliknya ia akan selalu berusaha untuk mengangkat taraf hidup orang yang susah ke arah yang lebih baik. Ia akan merasa belum berhasil, jika ZISWAF yang dikeluarkannya tidak dapat mensejahterakan orang lain.
3. Zakat Dan Masalah Kepercayaan Umat Mencermati persoalan zakat di Indonesia kita akan dihadapkan pada satu realitas yang cukup mengejutkan. Tampaknya di negeri yang mayoritas penduduknya
muslim
ini,
zakat
lebih
banyak
diamalkan
dari
pada
dikonseptualisasikan. Kenyataan ini tentu saja suatu kelebihan sekaligus
merupakan sebuah kekurangan. Dikatakan kelebihan, karena kita tidak terlalu sulit untuk membangkitkan kesadaran membayar zakat karena telah menjadi bagian dari pengamalan keagamaan umat Islam. Dikatakan kekurangan karena kita akan mengalami kesulitan dalam melakukan teoritisasi dan kontekstualisasi zakat ketika berhadapan persoalan kontemporer. Sebagai contoh, zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak sampai hari ini masih sulit untuk dipahami dan diperaktekkan lebih-lebih bagi kebanyakan umat Islam. Untunglah akhir-akhir ini muncul satu kecenderungan baru dikalangan cendikiawan muslim Indonesia yang begitu bersemangat untuk melakukan konseptualisasi zakat agar ajaran sosial Islam ini tetap memiliki relevansi dengan perkembangan zaman. Kecenderungan baru itu dapat dilihat dari tiga bentuk. Pertama, melakukan reinterpretasi terhadap konsep-konsep dasar zakat seperti yang termuat dalam al-Qur’an dan Hadis dan Fikih. Kedua, menghubungkan zakat dengan teori-teori ekonomi konvensional bahkan meletakkannya sebagai sokoguru ekonomi Islam. Ketiga, merumuskan perangkat undang-undang tentang zakat seperi yang terlihat pada UU Pengelolaan Zakat No 38 Tahun 1999 dan belakangan ini sudah dirubah dengan ketentuan UU Pengelolaan zakat No 23 Tahun 2011 . Keempat, melakukan reorganisasi dan reformulasi manajemen zakat sesuai dengan perkembangan modern. Dari empat model kecenderungan tersebut, model yang terakhir menarik dikaji lebih lanjut, karena ada kesan selama ini BAZIS (sekarang disebut BAZNAS) sebagai organisasi zakat dipandang kurang berdaya. Hemat penulis persoalan serius yang tidak bisa dipandang enteng dan segera harus dicarikan solusinya adalah lemahnya kepercayaan umat terhadap lembaga zakat plat merah tersebut.
Reinterpretasi Amil Zakat. Amil adalah orang yang bertugas mengurusi zakat mulai dari sensus terhadap
orang-orang yang wajib berzakat
,macam-macam zakat yang
diwajibkan padanya, besar harta yang wajib dizakatkan dan orang-orang yang
berhak menerima zakat. Pendeknya seperti apa yang dijelaskan Yusuf AlQaradhawi dalam bukunya Fikih Zakat, amil memiliki dua tugas penting. Pertama, mengumpulkan zakat dan kedua, membagi-bagikannya kepada para mustahik. Berdasarkan tugas yang
diemban
para amil
inilah
mereka
dikelompokkan sebagai salah satu asnaf yang berhak menerima zakat seperti yang terdapat pada Q.S al-Taubah ayat 60. Dikalangan umat Islam, amil dipandang sebagai sekelompok orang yang mengurusi zakat baik dalam pengumpulannya ataupun pendistribusiannya. Ironisnya mereka hanya bertugas ketika ada orang yang membayar zakat. Kerjakerja seperti ini lebih tampak pada bulan Ramadhan ketika umat Islam membayar zakat fitrah. Dalam hal ini amil zakat tampaknya pasif dan berada pada posisi menunggu. Tentu saja semangat pengelolaan zakat seperti ini sangat berbeda dengan semangat yang dibangun pada masa Rasulullah dan Khulafaurrasyidin. Pada masa awal Islam, tampak bahwa amil-amil zakat yang diangkat Rasul sangat proaktif dan kreatif baik dalam mengumpulkan ataupun mendistribusikan zakat. Terbukti bagaimana Rasul mengutus sahabatnya untuk memungut zakat dari Sta’labah sahabat rasul yang lupa daratan. Demikian juga dengan Abu Bakar yang cukup keras dalam mengumpulkan zakat sampai-sampai ia mengeluarkan perintah untuk memerangi orang yang menolak membayar zakat. Umat Islam yang menolak membayar zakat dipandang merongrong pemerintahan yang sah, untuk itu darahnya menjadi halal untuk di bunuh. Berangkat dari deskripsi singkat sejarah Islam di atas, jelaslah bahwa amil itu semestinya diangkat oleh pemerintah. Benarlah apa yang dinyatakan oleh Imam al-Bazuri bahwa Amil adalah orang yang dipekerjakan oleh al-Imam (pemerintah) untuk mengumpulkan zakat, serta membagikannya kepada mustahiqnya. Atas dasar inilah BAZNAS sebagai amil zakat mendapatkan legitimasinya baik berdasarkan nas al-Qur’an ataupun pendapat para ulama fikih.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan, kerja-kerja amil identik dengan kerja-kerja negara
Fungsi Zakat M.A.Mannan dalam bukunya Ekonomi Islam Teori Dan Peraktek menjelaskan bahwa zakat dapat berperan dalam bidang moral, sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat dapat mengikis habis sifat-sifat ketamakan, keserakahan orang-orang kaya. Dalam bidang sosial, zakat dapat berfungsi menghapuskan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin serta menyadarkan si kaya akan tanggung jawab sosialnya. Adapun dalam bidang ekonomi, zakat menghindarkan akumulasi modal pada tangan segelintir orang yang dapat merusak mekanisme pasar. Sebaliknya, zakat adalah media distribusi harta kepada orang-orang yang tidak mampu dan kurang beruntung (fakir dan miskin). Begitu signifikannya zakat dalam mengentaskan kemiskinan, maka pengelolaan zakat secara profesional sesuai dengan azas-azas manajemen modern menjadi sebuah keniscayaan.
Upaya untuk pengelolaan zakat secara
profesional sebenarnya telah dirintis dengan mendirikan Badan Amil Zakat (BAZ) atau Badan Amil Zakat Infaq dan Sadaqah (BAZIS) dan lembaga serupa dengan nama yang berbeda seperti BAZI (Infaq), BAKAT atau BAZID (Derma), Badan Harta Agama, Lembaga Harta Agama Islam, yang kelembagaan ini dijustifikasi dengan Peraturan Menteri Agama No.4/1968 tertanggal 15 Juli 1968 dan No.5/1986 tentang pembentukan Bait al-Mal tertanggal 22 oktober 1968. Melalui UU No 38 Tahun 1999 hanya ada dua lembaga zakat yang diakui ; BAZ (Badan Amil Zakat) yang dibentuk oleh Pemerintah dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang dapat dibentuk oleh masyarakat. Ketentuan terakhir mengenai zakat terdapat di dalam UU No 23 Tahun 2011. Di dalamnya diatur kelembagaan zakat yang dengan istilah BAZNAS. Persoalannya sekarang adalah, apakah dengan berdirinya lembaga resmi tersebut masalahnya menjadi selesai ? Berdasarkan informasi yang disampaikan
oleh Dawam Rahardjo, lembaga-lembaga zakat kendati sebenarnya cukup menjanjikan pada masa depan , namun sampai hari ini belum menunjukkan hasil yang maksimal baik ditinjau dari jumlah muzakki yang mempercayakan zakatnya di BAZNAS ataupun dalam hal pendistribusian dan pendayagunaannya. Ukurannya sederhana saja, perbedaan jumlah umat Islam yang sudah memenuhi syarat untuk membayar zakat dan jumlah orang yang menyerahkan zakatnya ke lembaga resmi cukup tajam. Ini mengesankan bahwa umat Islam belum begitu well come dengan lembaga yang dibentuk Pemerintah. Hasil pengamatan yang penulis lakukan dilapangan, masih cukup banyak dikalangan umat Islam yang tidak mau membayarkan zakatnya ke lembaga resmi. Mereka lebih puas, jika zakat tersebut diserahkan langsung kepada orang yang dipandang pantas atau mereka mempercayakannya kepada “amil tradisional” . Jadi ada kesan mereka tidak terlalu percaya kepada BAZNAS. Alasannya bisa macam-macam. Pertama, bisa jadi mereka belum memahami fungsi lembaga amil zakat. Kedua, mereka merasa zakat adalah ibadah murni dan bukan institusi ekonomi Islam. Jadi tidak perlu campur tangan pemerintah dan mereka memahami zakat hanya memiliki fungsi karitatif konsumtif semata. Ketiga, Mereka tidak begitu percaya dengan orang-orang yang mengelola lembaga amil zakat. Untuk membangkitkan kepercayaan umat Islam, maka ada beberapa langkah yang perlu dilakukan. Pertama, Transformasi pemahaman dan pemikiran umat Islam terhadap
zakat sebagai konsep ibadah kepada zakat
sebagai konsep mu'amalah yang memiliki peran yang signifikan dalam membangun kehidupan ekonomi umat Islam. Kedua, Sosialisasi BAZNAS ditengah-tengah umat Islam dengan melibatkan para ulama-ulama, para da'i, diiringi dengan publikasi yang menunjukkan transparansi pengelolaan zakat oleh BAZNAS dengan memanfaatkan media massa. Lebih lanjut dari itu, BAZNAS harus mampu menunjukkan mustahiq yang berhasil menjadi muzakki atas
pembinaan BAZNAS. Ini penting untuk memotivasi ummat untuk lebih yakin terhadap BAZNAS. Ketiga, membangun kerja sama dengan masjid-masjid yang pada gilirannya amil tradisional yang dimasjid menjadi perpanjangan tangan BAZNAS. Kerja sama ini juga bisa dilakukan dengan lembaga amil
Zakat
diperusahaan-perusahaan, BUMN, baik negeri maupun swasta. Keempat, orangoarang yang berada di lembnaga amil zakat harus memiliki track record yang positif di mata umat. Mereka harus memiliki integritas (siddiq), accontability
(amanah) , transparansi (tabligh),
public
dan kompetensi (fatanah).
Hemat penulis sebaiknya BAZNAS tidak dikelola oleh “orang-orang pemerintah” dan bukan pula orang-orang yang telah memiliki jabatan tertentu baik yang bersifat politis atau struktural, sehingga diharapkan kerja di lembaga bukan kerja sambilan melainkan kerja yang membutuhkan keseriusan dan menuntut profesionalisme. Pada tempatnyalah BAZNAS belajar dari Dompet Du'afa dan lembaga amil zakat lainnya yang telah berhasil menerapkan manajemen modern dengan menjunjung prinsif transparansi dan akuntabel.
Penutup Tentu saja kita umat Islam berharap banyak dari BAZNAS.
Melalui
lembaga resmi ini diharapkan zakat umat Islam bisa terkonsentrasi pada sebuah lembaga resmi. Pada gilirannya dari lembaga inilah mengalir kebijakan-kebijakan sehingga zakat bisa disalurkan tidak hanya kepada hal-hal yang bersifat konsumtif sesaat, tetapi lebih penting dari itu bagaimana zakat bisa memberdayakan pengusaha kecil dengan suntikan-suntikan dana (al-Qard alhasan) , atau yang bersifat peningkatan sumber daya manusia melalui pemberian bea siswa dan sebagainya. Hanya cara inilah kita percaya bahwa zakat dapat menjadi panacea terhadap pengentasan kemiskinan.
4
* Zakat Dan K em iskin an Di atas penulis mengingatkan bahwa sejatinya zakat dapat berperan
dalam bidang moral, sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat dapat mengikis habis sifat-sifat ketamakan, keserakahan orang-orang kaya. Dalam bidang sosial, zakat dapat berfungsi menghapuskan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Dalam bidang ekonomi, zakat dapat berperan sebagai media untuk pemerataan dan menghindarkan akumulasi (konsentrasi) modal pada tangan segelintir orang yang dapat merusak mekanisme pasar. Senada dengan ungkapan di atas, dalam bukunya Perspektif Deklarasi Makkah, Dawam
Rahardjo menjelaskan dua konsep doktrin sosial ekonomi
Islam. Doktrin pertama dikemukakan dalam bentuk negatif, yaitu larangan riba. Kedua, diungkap dalam bentuk positif, yaitu perintah menunaikan zakat, sadaqah dan infaq. Terkesan kedua konsep ini saling berkaitan dalam arti, zakat bisa berperan dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup ekonomi umat, selama praktek riba dengan segala variasinya benar-benar lenyap dari kehidupan umat. Selama praktek riba masih berjalan, zakat tidak akan berperan apa-apa.4 Jika demikian zakat, infaq dan sadaqah (ZIS) memiliki kedudukan yang sangat penting dalam struktur ajaran mu'amalah Islam. Isyarat al-Qur’an juga menunjukkan bahwa zakat merupakan sumber utama kas negara (bait al-maal). Lebih jauh dari itu, menarik untuk dicermati bahwa Zakat merupakan soko-guru dari kehidupan ekonomi yang berkeadilan seperti yang dicanangkan al-Qur’an. Adalah menarik untuk dianalisis ternyata dikalangan umat Islam muncul kecenderungan untuk melihat zakat tidak lagi semata-mata kewajiban seorang muslim untuk mengeluarkan hartanya dalam rangka mendapat perkenan (rida)
44M. Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah: Menuju Ekonomi Islam, Bandung: Mizan, 1993, h. 141-188
Allah saja, melainkan juga dipahami sebagai bentuk komitmen terhadap sesama manusia. Realitas yang tidak bisa ditolak bahwa secara sosiologis terdapat sekelompok manusia yang hidup serba kekurangan dan pada sisi lain terdapat sekelompok manusia yang hidup serba mewah. Di sini diperlukan pemikiran rasional bagaimana mengangkat derajat kehidupan orang miskin menjadi lebih baik. Dengan demikian zakat dipahami sebagai realokasi sumber-sumber ekonomi.
Ketika zakat dilihat sebagai satu bentuk realokasi sumber-sumber
ekonomi, maka pengelolaan dan penggunaannya harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga menghasilkan manfaat konsumtif terlebih lagi manfaat produktif yang maksimal. Seperti yang telah penulis sebutkan di muka, mengapa zakat belum juga berfungsi dengan baik sebagai satu upaya pengentasan kemiskinan ummat ?. Menjawab persoalan ini penulis mengajukan beberapa faktor penyebab. Pertama, Sebagian Umat Islam masih beranggapan bahwa zakat hanyalah urusan teologis semata dengan Allah SWT. Implikasi dari pandangan ini zakat diyakini sebagai urusan privat (pribadi) saja dan tidak boleh dicampuri oleh pemerintah atau lembaga-lembaga zakat. Dalam bentuk pelaksanaannya terlihat zakat seringkali diserahkan langsung kepada orang yang berhak menerimanya. Kedua, Belum terumuskannya konsep-konsep pemberdayaan zakat secara baik dan teruji. Jika zakat disebut dapat memberdayakan ekonomi ummat atau zakat dapat mengentaskan kemiskinan, operasionalnya bagaimana ?. jika zakat dijadikan
sebagai
sumber
pendapatan
konsepsionalnya seperti apa ?. Akibat
Asli
Daerah
(PAD)
rumusan
belum terumuskannya konsep-konsep
pemberdayaan zakat yang teruji, seringkali zakat lebih diretorikakan ketimbang diteorisasikan. Benarlah jika Dawam Rahardjo menyatakan bahwa, di Indonesia zakat lebih banyak dipraktekkan dari pada diteorisasikan ?. Ketiga, Belum terbangunnya kepercayaan yang utuh dan solid terhadap lembaga-lembaga zakat yang resmi seperti BAZNAS atau LAZNAS. Akar
masalahnya bisa bermuara pada pengelola-pengelola lembaga zakat tersebut yang tidak memiliki akar yang kuat dalam struktur kehidupan umat Islam. Mau tidak mau, syarat yang paling utama untuk menjadi pengelola lembaga zakat adalah siddiq
(jujur),
amanah
(terpercaya)
dan Profesional.
Dan yang
menentukan kreteria ini haruslah ummat Islam itu sendiri bukan ditunjuk oleh pemerintah. Ada yang
harus
diperhatikan
secara serius
oleh ummat
Islam,
bagaimanapun pemberian zakat secara manual, langsung kepada mustahaqnya (orang yang berhak menerimanya) tidak akan membawa pengaruh apa-apa kepada pemberdayaan kehidupan ekonominya. Bisa saja kesan sementara si miskin akan terbantu namun masanya hanya sesaat, ketika harta yang diterimanya habis dikonsumsi maka ia akan kembali dalam kesusahan. Umat Islam harus menyadari bahwa, zakat yang diserahkan secara pribadi tidak akan merubah hidup orang lain. Kewajibannya kepada Tuhan telah selesai, namun pelaksanaannya tidak berpengaruh apa-apa. Pada hal semestinya zakat harus mampu merubah orang dari mustahaq (penerima zakat) menjadi muzakki (pemberi zakat) dan inilah yang dapat dijadikan ukuran bahwa zakat berhasil memberdayakan ekonomi ummat. Memang merubah cara berpikir ini diakui terasa sulit. Umat Islam terbiasa berpikir instans (serba cepat), dan sulit berpikir secara kelembagaan dan prospektif (melihat masa depan yang lebih jauh). Betapapun sulit cara -cara konvensional penyerahan zakat harus dirubah. Disadari sepenuhnya, melalui BAZ ini diharapkan agar harta zakat umat Islam bisa terkonsentrasi pada sebuah lembaga resmi, dari lembaga inilah mengalir kebijakan-kebijakan pemberdayaan ekonomi ummat, sehingga zakat bisa disalurkan tidak hanya kepada yang bersifat konsumtif sesaat, tetapi lebih penting dari itu bagaimana zakat bisa memberdayakan pengusaha kecil dengan suntikan-suntikan dana (qard al-hasan), atau yang bersifat peningkatan sumber daya manusia melalui pemberian bea siswa pendidikan dan sebagainya.
Menurut Didin Hafidhuddin Setidaknya ada beberapa pertimbangan pentingnya penyaluran zakat melalui BAZ atau LAZ menjadi sangat penting. Pertama, menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat. Kedua, menjaga perasaan rendah diri para mustahiq apabila berhadapan langsung untuk menerima haknya dari muzakki. Ketiga, untuk mencapai efisiensi dan efektifitas dan sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada di suatu tempat. Keempat, untuk memperlihatkan syiar Islam dan semangat penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang Islami.5 Sedangkan apabila
penyerahan
zakat
langsung
diberikan
kepada
mustahiqnya, dikhawatirkan terjadi ketidakadilan dalam penerimaan zakat. Bisa saja terjadi sebagian fakir miskin telah mendapatkan haknya sedangkan sebagian lain tidak memperolehnya. Tentu saja hal ini bertentangan dengan cita keadilan sosial yang dikandung zakat. Penutup Para pengelola BAZ harus menyadari bahwa mereka tidak akan bisa bekerja sendiri. Untuk itu perlu dilakukan kerja sama dengan berbagai pihak seperti para ulama, akademisi, praktisi-paraktisi ekonomi dan pihak-pihak yang berhubungan dengan pengelolaan zakat. Pada sisi lain pengelola zakat harus benar-benar jujur dan amanah. Lebih dari itu profesionalisme harus menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Penjelasan ini hanya ingin menunjukkan, bahwa nilai-nilai keadilan, persaudaraan, kepeduliaan antar sesama yang dikandung pada perintah zakat harus diikuti dengan pengelolaan zakat yang baik dan profesional. Tanpa upaya seperti ini, cita sosial yang dikandung zakat tidak akan berfungsi dengan baik. Mengentaskan kemiskinan Ummat Islam tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri tetapi harus dikerjakan secara bersama-sama, terencana dan terprogram dengan baik. 5M. Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Pers, 2002, h. 9 6-97 .
5. Fikih P rioritas dan P erad ab an Zakat Mengapa peradaban zakat belum terbentuk pada masyarakat muslim Indonesia ? Kendatipun Islam telah lama hadir, tumbuh dan berkembang sampai sekarang ini, zakat yang dalam makna asalnya al-nama’ dan al-tazkiyah (tumbuh dan berkembang serta mensucikan) ternyata belum berhasil membentuk masyarakat yang sejahtera. Melihat realitas yang ada, kita tersentak seolah zakat dan kemiskinan tidak memiliki hubungan sama sekali. Pada satu sisi, kita tetap melaksanakan zakat namun pada sisi lain, kemiskinan, kebodohan, dan kemelaratan tak beranjak dari tempatnya. Lalu pertanyaannya adalah, mengapa peradaban zakat belum terbentuk setelah puluhan tahun Islam hadir di bumi nusantara? Peradaban zakat terbentuk sesungguhnya buah dari pengamalan umat Islam terhadap ajaran Al-Qur’an. Sayangnya zakat masih diamalkan secara sporadis dan tidak berdasarkan konsepsi zakat yang kuat. Ada kesan amal mendahului ilmu. Sejatinya pemahaman terhadap ayat-ayat zakat akan melahirkan ilmu zakat. Bukan sekedar fikih zakat. Didalamnya terkandung tidak saja hal-hal yang normative-teologis tetapi juga menyangkut sebuah sistem bagaiman zakat itu beroperasi dengan baik. Rumusan zakat kita belum tuntas. Sistem dan manajemen zakat kita masih jauh panggang dari api. Saya menduga pelaksanaan zakat yang individual dan tradisional menjadi penyumbang terbesar belum terbentuknya peradaban zakat di Indonesia. Sejatinya, apabila ilmu dan implementasi zakat berjalan dengan baik, kita tidak memerlukan waktu yang panjang untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan kita; kemiskinan dan kebodohan. Salah satu analisis yang dapat dikemukakan adalah, kita tidak memiliki skala prioritas. Kita seolah gamang dalam menentukan amalan mana yang seharusnya diprioritaskan. Beberapa contoh dapat kita ajukan. Misalnya mana yang lebih didahulukan ilmu atau amal ? Mana yang diutamakan menghadiri majlis ilmu atau majlis zikir ? Mana yang lebih afdhal melaksanakan umrah atau
memberi bea siswa kepada anak yatim dan orang miskin ? Mana yang kita prioritaskan mendistribusikan zakat langsung kepada mustahaknya atau kita memilih memproduktifkannya demi kemanfaatan yang lebih lama dan abadi ? Adalah Syekh Yusuf Al-Qaradhawi yang mengusung gagasan fikih prioritas. Semula buku tersebut ingin diberinya judul Fikih Maratib al-A’mal (Fikih urutan amal). Namun setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya ia lebih memilih untuk menggunakan istilah Fiqhul Aulawiyyat. Istilah ini menurutnya lebih menyeluruh, luas dan langsung kena ke sasaran. Sebagaimana yang telah disinggung di muka, gagasan ini lahir karena keprihatinan AlQaradhawi melihat kenyataan umat Islam di seluruh dunia. Ada kerancuan dan kekacauan dalam menilai dan memberikan skala prioritas terhadap perintahperintah Allah, pemikiran serta amal-amal. Mana yang harus diprioritaskan dan mana yang harus dikemudiankan. Untuk memudahkan memahami gagasan Al-Qaradhawi dapat dilihat dalam beberapa contoh. Dalam bidang pemikiran misalnya, Al-Qaradhawi menyatakan, pentingnya memprioritaskan ilmu dari amal. Baginya ilmu adalah pemimpin sedangkan amal adalah pengikutnya. Beramal sejatinya berbasiskan ilmu. Ia juga menyarankan untuk mengedepankan pemahaman daripada sekedar menghapal. Konteksnya mungkin dalam bidang pendidikan Islam yang selama ini lebih fokus pada kegiatan tahfiz (hafalan) dan abai terhadap pemahaman yang sebenarnya jauh lebih penting. Demikian juga perlunya mengutamakan tujuan syari’at (Maqasid al-syariat) dari zahir nash. Untuk hal ini, beliau telah menulis fiqh Maqasid al-Syariah. Dalam melihat nash-nash hukum sejatinya kita tidak lagi menangkap zahir nash walaupun dilalahnya sangat terang. Adalah penting untuk memperhatikan pesan dasarnya. Sebenarnya, Allah menurunkan Al-Qur’an bukan untuk menyampaikan teks kepada umat Islam tetapi lebih dari itu bagaimana kita memahami kandungannya. Konsekuensinya, kegiatan ijtihad harus diberi ruang yang luas dan aktivitas taqlid baik yang disengaja atau tidak harus dihentikan.
Dalam bidang pengamalan agama, Al-Qaradhawi juga memberikan beberapa contoh konkrit. Misalnya, amal yang tetap (kekal) harus didahulukan ketimbang amal yang terputus-putus. Amal yang memberi manfaat lebih luas dan langgeng harus diprioritaskan dari amal yang manfaatnya kurang. Ibadah fardhu lebih utama dari ibadah sunnat. Bukan dibalik, ibadah sunnat lebih utama ketimbang amal wajib. Selanjutnya, amal-amal yang berhubungan dengan hakhak manusia harus didahulukan dari pada amal-amal yang berdimensi hak Allah. Misalnya, membayar hutang lebih didahulukan dari melaksanakan haji. Hak-hak jama’ah diutamakan dari hak-hak perorangan. Terkahir
loyalitas terhadap
masyarakat atau umat lebih diprioritaskan dari sekedar loyal kepada suku dan perorangan. Saya mendapatkan kesan kuat, Fikih akan mampu mendorong bangkitnya sebuah peradaban Islam yang lebih baru, terkhusus lagi peradaban zakat sepanjang kita mampu untuk membuat skala prioritas tersebut. Tanpa menetapkan skala prioritas, di samping sebuah kerja dan program tidak fokus, kita juga tidak bisa melihat tingkat keberhasilannya. Apakah zakat mampu mengentaskan kemiskinan, tidak akan pernah terjawab sepanjang kita tidak punya skala prioritas dalam pelaksanaan zakat itu sendiri. Dalam konteks membangun peradaban zakat ada beberapa skala prioritas yang kita rumuskan. Pertama, Ilmu zakat dalam maknanya yang komprehensif harus didahulukan perumusannya ketimbang sosialisasi pelaksanaan berzakat. Ilmu zakat bukan sekedar fikih zakat sebagaimana yang terdapat di dalam kitabkitab fikih. Bukan sebatas syarat dan rukun zakat. Kita memerlukan cetak biru zakat Indonesia, yang di dalamnya segala infromasi zakat bisa di peroleh. Sistem dan manajemen zakat tidak saja menjamin bahwa zakat yang telah dikumpulkan berhasil memberdayakan tetapi juga berhasil menarik minat umat untuk menyalurkan zakatnya secara professional. Terkadang kita sulit untuk melihat berapa sebenarnya jumlah muzakki di Indonesia, begutu juga di propinsi,
kota/kab, kecamatan bahkan sampai tingkat desa. Di mana kita dapat menemukan peta zakat atau kantong-kantong kemiskinan ?. Kedua, Penyerahan zakat kepada lembaga resmi semisal BAZ dan LAZ harus didahulukan daripada penyerahan kepada perorangan. Selama ini yang tejadi sebaliknya. Umat merasa lebih yakin menyerahkan zakatnya langsung kepada orang-perorang. Di samping lebih pasti juga lebih menenteramkan. Jika diserahkan kepada lembaga resmi, BAZ dan LAZ, yang muncul adalah kecurigaan-kecurigaan. Setidaknya emosional keagamaannya tidak terpenuhi. Mereka lupa, penyerahan zakat langsng kepada mustahiknya menyebabkan zakat tidak berdaya untuk memberdayakan sang mustahik. Jika tahun lalu ia masih miskin, tahun depan ia akan tetap masih miskin. Ketiga, pengelolaan zakat secara produktif
harus lebih diutamakan
daripada pengelolaan zakat secara konsumtif. Dalam berbagai artikel saya kerap mengingatkan bahwa substansi zakat adalah pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan. Makanya di dalam Al-Qur’an zakat diperhadapkan dengan riba. Riba menyebabkan keterpurukan dan menjerat korbannya ke
dalam jurang
kehancuran yang sangat dalam. Orang yang terjebak di dalam sistem riba tidak akan pernah bisa bangkit. Alih-alih bisa keluar dari kubangan riba, ia malah menjadi korban yang terus dieskploitasi. Sejatinya tidak ada keraguan kita untuk memproduktifkan zakat. Di samping sesuai dengan substansi zakat juga akan memberi kemanfaatan yang lebih lama dan lebih luas. Zakat bukan ibadah semalam seperti shalat tahajjud. Lebih dari semuanya, dirumuskan
di
semua
cetak biru zakat sangat mendesak untuk
tingkatan.
Kita
perlu
memberi
keyakinan,
memproduktifkan zakat akan menjamin terciptanya masyarakat yang sejahtera dan makmur dalam ridha Allah. Di samping itu perdebatan konsepsi zakat yang sama sekali tidak berkaitan dengan kesejahteraan, harus segera di tutup dan dihindari. Inilah cemin dari perlunya fikih prioritas.
6. Zakat Profesi dan Kepedulian Kaum Profesional. Dalam kitab-kitab fikih harta yang wajib dizakati (al-amwal alzakawiyyah) itu adalah zakat binatang ternak (lembu, kambing, kerbau), Emas dan Perak, Hasil perniagaan, Barang tambang, Hasil pertanian dan buah-buahan (gandum, kurma dan anggur) dan barang temuan (rikaz). Melihat jenis-jenis harta yang wajib dizakatkan, terkesan bahwa ajaran zakat turun pada masyarakat agraris (pertanian) dan masyarakat perdagangan. Wajarlah jika harta yang dizakatkan itu mengacu pada hasil bumi dan hasil-hasil perdagangan. Namun sehubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang membawa perubahan-perubahan besar dalam kehidupan manusia, maka muncullah kebutuhan baru bagi manusia berupa jasa. Jadi yang diproduksi manusia ternyata tidak hanya barang (materi) tetapi juga jasa, seperti jasa bantuan hukum yang diberikan para pengacara. Demikian juga para dokter, dosen, teknokrat yang juga bergerak dalam bidang pelayanan jasa. Dalam kenyataannya penghasilan dari profesi yang mereka jalankan jauh lebih besar dari penghasilan yang diperoleh para petani atau pedagang. Persoalannya adalah apakah mereka juga dikenakan kewajiban zakat ? Yusuf Qardawi dalam karyanya yang cukup monumental “Fiqih Zakat” telah membicarakan persoalan zakat profesi ini. Menurutnya, pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam. Pertama, pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung dengan orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini adalah penghasilan profesional seperti penghasilan seorang advokat, insinyur, dokter, akuntan dan sebagainya. Kedua, pekerjaan yang dilakukan seseorang buat orang lain atau pemerintah, baik melalui tangan atau otak yang atas pekerjaan itu ia mendapatkan upah, gaji atau honorarium.6 Yusuf Qardawi berkesimpulan tentang zakat profesi sebagai berikut: ”Siapa yang memperoleh pendapatan tidak kurang dari pendapatan seorang 6 Yusuf Al-Qaradhawi, Hukum Zakat, h. 459-487
petani yang wajib zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakat yang sama dengan zakat petani tersebut, tanpa mempertimbangkan sama sekali modal dan persyaratan-persyaratannya. Berdasarkan hal itu maka seorang dokter, insinyur, advokat dan sebagainya wajib mengeluarkan zakat berdasarkan keumuman ayat al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 267 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah sebagian hasil usaha yang kalian peroleh.7 Qardawi melanjutkan, Islam tidak mungkin mewajibkan zakat atas petani yang memiliki lima faddam (1 faddam = V ha), sedangkan atas pemilik usaha yang memiliki penghasilan lima puluh faddam tidak dikenakan kewajiban zakat, atau tidak mewajibkan seorang dokter yang penghasilannya sehari sama dengan penghasilan seorang petani dalam setahun dari tanahnya. Persoalan yang tampaknya belum selesai adalah berapa besar zakat yang harus dikeluarkan dari sebuah profesi ?. Tampaknya sebagian ulama setuju sampai pada angka 2,5 %. Ada juga yang menyebutnya 10 % - 20 % dengan menyamakannya dengan harta temuan (rikaz). Kontroversi inilah yang ingin diselesaikan oleh penulis buku ini, paling tidak menurut Ijtihadnya sendiri. Yusuf Al-Qardhawi, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khallaf menetapkan zakat Profesi sebesar 2,5 % berdasarkan qiyas kepada zakat perdagangan yang nisabnya disesuaikan dengan nisab emas yaitu 94 gram emas. Di Indonesia angka 2,5 % ini pernah dipersoalkan oleh Amin Rais dengan mengatakan, ketika para ulama menetapkan angka 2,5 %, profesi modern seperti sekarang
ini belumlah
mendatangkan uang
muncul.
Saat ini
secara gampang
dan
cukup
banyak profesi yang
melimpah
seperti
komisaris
perusahaan, bankir, pialang, dokter spesialis, pemborong berbagai konstruksi, eksportir, importir, akuntan, notaris, bahkan artis dan berbagai penjual jasa, serta bermacam profesi white collar lainnya, Apakah bagi mereka wajar dikenakan zakat 2,5 %. Demi keadilan hukum, Amin Rais menawarkan zakat profesi sebesar 20 %. 7 Ibid.,
Selanjutnya Muhammad al-Ghazali mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian. Sehingga, menurutnya beban zakat setiap pendapatan sesuai dengan ukuran beban pekerjaan atau pengusahaannya, seperti ukuran beban petani dalam mengairi sawahnya, yaitu 5 % atau 10 %. Qiyas yang dilakukan para ulama tersebut tetap menimbulkan kemusykilan-kemusykilan (problema) tersendiri. Kemusykilan-kemusykilan tersebut adalah menyangkut masalah epistemologi hukum Islam yang belum kukuh (debatable). Sebagai contoh bagaimana mungkin mengqiyaskan zakat profesi dengan perdagangan yang haul dan nisabnya masih diperselisihkan. Kemusykilan berikutnya, hasil dari qiyas tersebut belum mampu menjawab cita keadilan hukum Islam. Terlepas apakah mengqiyaskannya dengan zakat pertanian, perdagangan, dan rikaz, implikasinya adalah terjadi pembebanan baru terhadap orang-orang yang memiliki profesi, tetapi gajinya tidak mencukupi. Sebagai contoh, jika qiyas zakat profesi berdasarkan zakat pertanian, maka pegawai yang penghasilannya hanya Rp.250.000 dikenakan kewajiban zakat karena disamakan dengan hasil seorang petani. Argumentasinya, nisab zakat pertanian adalah 750 Kg beras. Untuk mengetahui jumlah gaji pegawai yang besarnya setara dengan zakat pertanian, maka zakat pertanian ini harus disesuaikan terlebih dahulu. Misalnya petani dalam setahun mengalami dua kali panen maka hasilnya, 750 Kg X Rp.2000 = Rp. 1.500.000.-. karena dua kali panen menjadi, Rp.1.500.000 X 2 = Rp. 3.000.000,-. Dibagi 12 bulan, sehingga pendapatan petani perbulannya adalah Rp. 250.000. Jadi apabila pendapatan seorang pegawai telah mencapai Rp. 250.000, maka ia wajib membayar zakat profesinya. Lebih musykil lagi jika diqiyaskan dengan harta temuan, maka setiap menerima gaji, pegawai tersebut wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 20 % dan ini merupakan angka yang cukup tinggi. Berangkat dari kemusykilankemusykilan yang terjadi dalam penentuan kadar zakat profesi, diperlukan jalan lain.
Jalaluddin Rakhmat, menawarkan cara baru untuk merumuskan landasan kewajiban zakat profesi dengan cara merujuk ayat-ayat al-Qur’an dan meninggalkan metode qiyas yang selama ini digunakan para ulama. Menurutnya zakat profesi itu memiliki landasan dalil yang kuat seperti yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-anfal ayat 41 yang berbicara tentang khumus (perlimaan) berkenaan dengan ghanimah (harta rampasan perang) yang dapat juga berarti keuntungan. Jika orang yang berperang pada jalan Allah dengan mengorbankan nyawa, harta dan keluarga sanggup mengeluarkan 20 % dari hasil rampasan perangnya, maka sejatinya kaum profesional yang dengan mudah mendapatkan uang, seharusnya juga mampu mengeluarkan jumlah sebesar itu karena penghasilan profesi juga dapat disebut dengan ghanimah. Jika demikian hasil ghanimah harus dikeluarkan khumus (perlimaan) atau 20 %. Jelaslah bahwa kadar zakat profesi itu sebesar 20 % dengan berdasarkan dalil al-Qur’an dan Hadis. Terlepas dari perbedaan tentang kadar zakat profesi di atas, yang paling penting sebenarnya adalah komitmen kaum professional untuk mengeluarkan zakat disamping infaq dan sadaqah. Adalah tidak tepat jika alasan perhitungan, perbedaan tentang hukum zakat profesi dan hal-hal tekhnis lainnya dijadikan alasan untuk menolak kewajiban zakat profesi. Jika profesi yang digelutinya termasuk profesi “kelas atas” mungkin dapat mengambil bagian yang 20 %, sedangkan profesi yang biasa mungkin bias mengambil bagian yang 2,5 %. Yang paling penting kemauan untuk membayar zakat profesi tersebut. Adalah menarik mencermati tradisi zakat yang dikembangkan para sahabat dan generasi sesudahnya. Mereka tidak terlalu dipusingkan dengan masalah-masalah aturan zakat, apakah nisab, haul, kadar, dan sebagainya. Di dalam diri mereka muncul kesadaran berzakat yang cukup tinggi. Jika merasa hartanya telah memenuhi syarat untuk berzakat, mereka segera menunaikannya. Apabila belum memenuhi syarat, mereka membayar infaq.
Sebenarnya, jika kaum professional seluruhnya memiliki kesadaran yang sama untuk membayar zakat atas profesinya tanpa harus terkait secara kaku dengan ketentuan praktisnya, maka cukup banyak dana yang terkumpul dan selanjutnya dapat dipergunakan untuk melakukan pemberdayaan ekonomi umat. Setidaknya ada kata-kata bijak yang dapat dipegang, di atas fikih (hukum) ada kebijaksanaan (ke'arifan). Orang yang 'arif tidak akan terjebak dengan aturan tekhnis hukum. Dia akan berbuat atas dorongan moral dan kemanusiaan dan bukan atas dorongan hukum.
7 . Zakat dan Pameran Kemiskinan. Setiap kali memasuki pertengahan Ramadhan, melalui media kita selalu saja disuguhkan dengan pemandangan yang sangat mengenaskan. Ratusan orang bahkan terkadang sampai ribuan fakir-miskin harus berdesak-desakan menanti zakat dari sang muzakki. Biasanya uang zakat tersebut tidak terlalu besar, palingpaling Rp 20.000,-. Ada juga muzakki yang memberikan bingkisan sembako seperti beras dan gula. Satu persatu mereka berbaris rapi menunggu giliran. Entah karena kurang sabar atau takut kehabisan, pembagian zakat yang semua tertib, berakhir dengan kericuhan. Saya melihat, seorang Ibu terjatuh dan terinjak oleh mustahiq yang sudah hilang kesabarannya. Jeritan sang ibu tak terdengar lagi oleh riuhnya suara orang-orang yang lapar. Beberapa orang jatuh pingsan, terhimpit dan mengalami dehidrasi. Demikianlah, akhirnya pemberian zakatpun memakan korban. Ironisnya, peristiwa di atas terjadi berulang-ulang. Seolah-olah kita tak pernah belajar dari masa lalu. Jika harus ada yang menjadi korban, itu sudah biasa. Kita menyebutnya, “konsekuensi logis kemiskinan”. Tanpa merasa bersalah, kitapun kerap menyalahkan masyarakat. Mengapa mereka tidak sabar ?. Mengapa mereka tidak tertib ?. Tanpa di sadari, kitapun menyalahkan korban. Satu sikap yang lahir dari keangkuhan diri.
M e lih a t
fe o n e m a
di
atas,
p e n d istrib u s ia n z a k a t s e p e rti
k ita
p a n ta s
b e rta n y a .
A pakah
m odel
itu d a p a t d ib e n a rk a n . Jik a p e r ta n y a a n in i k ita
la n ju tk a n , a p a k a h m o d e l p e m b a g ia n z a k a t te r s e b u t s e su a i d e n g a n p e tu n ju k A lQ u r ’a n d a n H a d is ? S a m p a i d i sin i m e n a r ik u n tu k m e n e lu s u r i m a k n a se m a n tik sa d a q a h , s e b a g a i k o n se p u ta m a fila n tr o p i Isla m . S a d a q a h y a n g w a jib
d ise b u t zak at.
T id a k la h m e n g h e r a n k a n jik a a y a t-a y a t te n ta n g z ak at, d iu n g k a p d e n g a n k a ta sa d a q a h . S e b a g a i c o n to h , T a u b a h a y a t 60,
khuz min amwalihim sadaqatan...a ta u
innama al-sadaqaat li al-fuqara’...S e d a n g k a n
d is e b u t d e n g a n in fa q . S a d a q a h itu se n d iri b e ra sa l d a ri k a ta dengan
siddiq
p a d a su ra h al-
sa d a q a h su n n a t
s-d-q.
Sem akna
y a n g a r tin y a b e n a r a ta u ju ju r. N a b i d ise b u t s id d iq k a r e n a se la lu
b e r k a t a b e n a r d a n ju ju r. T id a k sa ja k a ta te ta p i ju g a la k u y a n g s e la lu b e n a r. D a ri m a k n a in ilah , sa d a q a h a ta u z a k a t y a n g k ita k e lu a rk a n tid a k s a ja b e r s u m b e r d a ri h a r ta y a n g b e n a r, d ip e ro le h d e n g a n c a ra y a n g b e n a r, d id istrib u sik a n d e n g a n c a ra y a n g b e n a r d a n d i te r im a o le h o r a n g y a n g b e n a r p u la. S e d a n g k a n z a k a t itu se n d ir i b e r m a k n a (p e n y u c ia a n ).
H a rta
z a k a t s e ja tin y a b is a
al-nama’
(tu m b u h ) d a n
m enum buhkan
al-tazkiyah
e m o si p o s it if d a n
sp iritu a l m u z a k k i. N a m u n le b ih p e n tin g d a ri itu, z a k a t y a n g d ite r im a m ustahiq hendaknya d a p a t d ik e m b a n g k a n
muzakki
s e h in g g a p a d a w a k tu n y a ia d a p a t m e n ja d i
b a ru . D i d a la m k a ta z a k a t itu se n d ir i te r k a n d u n g m a k n a p ro d u k tifita s.
T u ju a n z a k a t s e s u n g g u h n y a a d a la h m e m b e rd a y a k a n . D a ri k e tia d a a n m e n ja d i b e rp u n y a .
D a ri
m u s ta h a q
m e n ja d i
m u z a k k i.
A gar
tu ju a n
m u lia
in i
b isa
d iw u ju d k a n , z a k a t h a ru sla h d ik e lo la d e n g a n m a n a je m e n m o d e rn . A d a p u n m a k n a la in n y a a d a la h , z a k a t ju g a h a ru s m e m b e r s ih k a n d a n m e n s u c ik a n m u z a k k i d a ri sifa t-s ifa t b u r u k y a n g m u n g k in m e n g h ia s i d irin y a . K a ta k a n la h , sifa t k ik ir, ta m a k a ta u rak u s. Z a k a t m e n d id ik k ita p a n d a i b e rb a g i. P a d a g ilir a n n y a a k a n tu m b u h k e p e k a a n d a n k e p e d u lia a n so sia l. T id a k itu saja, o r a n g y a n g b e r z a k a t s e b e n a rn y a ju g a
b e la ja r
k e h ila n g a n .
Ia
sad ar
bahw a
d irin y a
b u k a n la h
m e la in k a n o ra n g y a n g d ib e rik a n a m a n a h u n tu k m e n g e lo la h arta.
p e m ilik
h a rta
Hemat penulis, pemberian zakat dengan cara massal -sebagaimana dilakukan sebagian orang berpunya- sampai menimbulkan korban, bertentangan dengan tujuan zakat itu sendiri. Setidaknya, ada dua prinsif yang dilanggar jika zakat diberikan secara massal atau langsung ke tangan si mustahiq. Adapun yang pertama adalah, makna sadaqah dan zakat itu sendiri. Kedua, melanggar keberadaan amil sebagai institusi yang telah ditetapkan Alquran. Untuk yang pertama, pemberian zakat secara massal tidak mencerminkan cara yang benar (sidq). Memberi zakat seperti yang terlihat di media massa alih-alih membawa manfaat, justru menimbulkan mudharat bagi mustahiq. Lebih dari itu, pemberian zakkat massal telah menghilangkan air muka dan harga diri si mustahiq.
Inilah
yang
menurut
saya,
zakat
telah
digunakan
untuk
mempertontonkan kemiskinan. Di samping itu, besar kemungkinan zakat diberikan kepada orang yang tidak tepat (benar). Adapun yang kedua, pemberian zakat seperti di atas telah mengeliminasi peran amil. Disebutnya amil di dalam Al-Qur’an seperti pada surah Al-Taubah:60 mengisyaratkan bahwa antara muzakki dan mustahiq ada perantara yang disebut amil. Amil adalah orang yang bertugas mengurusi zakat mulai dari pendataan orang-orang yang wajib zakat, macam-macam zakat yang diwajibkan padanya, besar harta yang wajib dizakatkan dan orang-orang yang berhak menerima zakat. Pendeknya seperti apa yang dijelaskan Syekh Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya Fikih Zakat, amil memiliki dua tugas penting. Pertama, mengumpulkan zakat. Kedua, membagi-bagikannya kepada para mustahik. Berdasarkan tugas yang diemban para amil inilah, mereka dikelompokkan sebagai salah satu asnaf yang berhak menerima zakat. Isyarat Al-Qur’an
sesungguhnya adalah,
zakat
bukanlah
sekedar
hubungan muzakki dengan mustahiq. Di dalam zakat terkandung tiga pola hubungan yang simetris. Muzakki dengan amil dan amil dengan mustahiq. Bahkan ada kesan kuat, Al-Qur’an sengaja memutus mata rantai antara muzakki dengan
mustahiq.
Mengapa
demikian
? Ada beberapa jawaban yang
dikemukakan. Pertama, zakat sesungguhnya bukanlah pemberian yang dilatari kasih sayang. Zakat adalah kewajiban kita kepada Allah. Aqad zakat bukan kepada mustahiq melainkan kepada Allah. Oleh sebab itu tidak ada masalah jika zakat ditransfer melalui ATM. Kedua, zakat tidak membutuhkan ucapan terimakasih dari mustahiq. Zakat tidak boleh menimbulkan rasa hutang budi mustahiq kepada muzakki. Mustahiq tidak boleh merasa dibantu oleh muzakki. Lebih dari itu, zakat adalah pemberian atau rejeki dari Allah. Orang yang menerima zakat harus bersyukur kepada Allah yang telah menganugerahkan rezeki kepadanya. Adalah lebih baik jika orang yang menerima zakat mendo’akan muzakki. Ketiga, pemberian zakat tidak boleh menghilangkan air muka penerima zakat. Adalah tidak etis jika zakat digunakan untuk pameran kemiskinan. Apa lagi untuk mengeksploitasi kemiskinan itu sendiri demi kepentingan pribadinya. Pemberian zakat seharusnya memperhatikan nilai-nilai keadaban yang hidup pada tempat itu. Dari sini jelaslah signifikansi amil dalam pendistribusian zakat. Amil tidak saja mengetahui keberadaan muzakki tetapi juga amil memahami dengan baik posisi mustahiq. Lalu persoalan berikutnya adalah, siapakah yang disebut amil dalam konteks modern saat ini. Jika kita menela’ah secara historis tanpak ada pergeseran amil. Jika pada masa awal amil adalah perorangan atau kumpulan orang-orang yang diberi tugas oleh khalifah atau negara, saat ini amil mengambil bentuk kelembagaan. UU pengelolaan zakat No 38 Tahun 1999 yang telah digantikan dengan UU Pengelolaan Zakat No 23 Tahun 2013 telah menegaskan dua bentuk amil ditinjau dari proses pembentukannya. Amil yang dibentuk oleh “negara” disebut dengan BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan amil yang dibentuk oleh masyarakat disebut dengan LAZ (Lembaga Amil Zakat).8 Di dalam pasal 8 UU No 38 tahun 1999, dijelaskan bahwa Badan Amil Zakat
mempunyai
tugas
pokok
mengumpulkan,
mendistribusikan
dan
8 Diskusi yang luas tentang isu ini dapat dilihat pada Nisful Khairi, Hukum Perzakatan di Indonesia, Bandung: Citapustaka, 2012, h. 89-114.
mendayagunakan
zakat
sesuai
dengan
ketentuan
agama.
Tidak
kalah
menariknya, di dalam pasal 16 dijelaskan bahwa (1) hasil pengumpulan zakat didayagunakan
untuk
mustahiq
sesuai
dengan
ketentuan
agama.
(2)
Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq , dana dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif. Selanjutnya di dalam UU No 23 tahun 2011, keberadaan Badan Amil Zakat Nasional yang disingkat dengan BAZNAS disebut pada Bab II bagian Kesatu pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,12, 13 dan 14. Selanjutnya yang berhubungan dengan BAZNAS Provinsi dan Kabupaten/Kota disebut pada pasal 15 dan 16. Dalam konteks tugas BAZNAS seperti terdapat pada pasal 7 dinyatakan: (1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, BAZNAS menyelenggarakan fungsi : a. Perencanaan, Pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat. b. pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat. c. Pengendalian pengumpulan, pendistribusiaan dan pendayagunaan zakat: dan d. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat. Bunyi pasal di atas menurut penulis menegaskan bahwa mulai dari perencanaa, pelaksanaan, pengendalian dan pelaporan dan pertanggungjawaban zakat sepenuhnya dilaksanakan oleh BAZNAS. Dalam konteks distribusi jelas bahwa badan atau lembaga amil zakat dengan kewenangannya diharapkan dapat mendistribusikan harta kepada mustahiq secara merata dan adil. Tujuan ini sulit terwujud jika zakat dikelola secara perorangan. Yang terjadi adalah satu diantara dua. Harta terkonsentrasi pada segilintir orang dan adanya mustahiq yang tidak mendapatkan harta karena tidak terpantau bahkan tidak diperdulikan oleh masyarakat. Selanjutnya, pemberian zakat secara massal akan menghilangkan kesempatan lembaga untuk mengelola zakat secara produktif. Padahal, pengelolaan zakat produktif ini penting untuk menumbuhkembangkan harta zakat.
Di atas segelanya, jika pemberian zakat secara massal ini dapat dihindari, maka kita tidak akan lagi menyaksikan pameran kemiskinan di depan mata kita. Sungguh kemiskinan bukan untuk dipertontonkan, melainkan harus dientaskan. Dalam
kerangkan
pengentasan
kemiskinan
itulah,
kita
membutuhkan
pengelolaan zakat yang profesional, amanah dan bertanggungjawab. Sampai di sini, kepercayaan masyarakat terhadap badan atau lembaga zakat merupakan hal yang niscaya. Jika sampai hari ini belum sepenuhnya masyarakat menyerahkan zakatnya kepada badan atau lembaga, tanya kenapa ? Jangan-jangan pengelolanya belum mampu meyakinkan masyarakat bahwa badan atau lembaganya adalah amanah dan profesional. Oleh sebab itu, tugas kita ke depan sesungguhnya bukan hanya mendorong umat Islam untuk membayar zakat tetapi lebih dari itu, kita harus mampu meyakinkan ummat bahwa badan atau lembaga yang kita penting adalah amanah. Jika umat percaya, maka pameran kemiskinan akan dapat kita hentikan.
Bab Dua Saatnya Mengembangkan Wakaf Produktif
i. W akaf P rod u ktif: Fase Baru Ekon om i Islam Disadari sepenuhnya selama ini wacana dan
gerakan ekonomi Islam
tertumpu pada dua teori besar yaitu, larangan riba dan perintah membayar zakat termasuklah didalamnya infaq dan sadaqah. Hal ini bisa dimaklumi karena kedua persoalan ini begitu eksplisit disebut oleh al-Qur’an dan hadis. Implementasi dari wacana yang disebut pertama
terlihat dari muncul dan
berkembangnya perbankan Syari'ah seperti Bank Mu'amalat Indonesia (BMI) dan Bank Syari'ah Mandiri (BSM) sebagai bank non ribawi. Berbagai penelitian awal menunjukkan, bahwa bank Syari'ah dipandang mampu menjadi alternatif sistem perbankan nasional yang sedang mengalami krisis dari berbagai sisi.. Namun jika diukur dari tingkat partisipasi umat Islam Indonesia yang jumlahnya mencapai 200 juta jiwa dengan asset yang dimiliki sampai tahun 2001 hanya 1,5 triliun, bank Syari'ah itu masih dianggap sebagai bank papan bawah. Sedangkan implementasi doktrin kedua, terlihat dari gerakan sadar zakat (GSZ) yang dicanangkan pemerintah pada 17 Ramadhan beberapa tahun yang lalu, penataan kelembagaan amil zakat dengan memberi peluang pada masyarakat untuk membentuk badan amil tersendiri yang disebut dengan LAZ dan sosialisasi UU No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.9 Kendati upaya sosialisasi telah dilakukan, zakat dipandang belum berhasil memberikan efek ekonomi yang signifikan. Zakat belum mampu menjadi panacea (obat pengentasan kemiskinan) bagi kemiskinan yang diderita ummat. Kita masih menunggu hasil yang lebih besar, kendati secara karitatif, zakat mampu menolong fakir miskin namun belum berhasil memberdayakannya sehingga mereka dapat mandiri secara ekonomi. 9Saat ini Undang-undang Zakat Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat telah diperbaharui dan diganti dengan UU Pengelolaan Zakar No 23 Tahun 2011.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan implementasi doktrin ekonomi Islam yang telah disebut di atas,
keduanya memberi harapan besar bagi
kebangkitan ekonomi Islam pada masa mendatang selama sosialisasi dan pengelolaannya benar-benar dilakukan secara propesional. Hal ini bukan berarti gerakan ekonomi Syari'ah berhenti sampai di sini. Dipandang perlu untuk menggali institusi-institusi ekonomi Islam yang baru, walaupun sebenarnya institusi tersebut telah pernah dipraktekan dalam sejarah peradaban Islam, namun institusi tersebut tidak dikontekstualisasikan dengan perkembangan modern sehingga ia terkubur dalam puing-puing perdaban Islam. Institusi ekonomi Islam yang saat ini sedang mendapat perhatian serius adalah wakaf. Setidaknya keinginan menggali dan mengembangkan konsep wakaf ini didasari oleh dua pertimbangan baik yang bersifat ekternal mapun yang bersifat internal. Pertama, adalah satu kenyataan bahwa di negara-negara Islam, wakaf telah dijadikan sebagai salah satu instrument ekonomi Islam yang mampu memberdayakan kehidupan ummat. tentu saja wakaf yang dimaksud di sini adalah wakaf produktif. Sebuah penelitian menunjukkan sampai abad 19 ternyata 75 % lahan yang dapat ditanami di daulah khilafah Turki adalah tanah wakaf, 33 % lahan di Tunisia, 50 % lahan di Al-jazair, 30 % lahan di Iran (1930) dan 12, 5 % di Mesir (1949) adalah tanah wakaf. Dan tanah-tanah tersebut dimanfaatkan secara produktif apakah dengan menanaminya dengan produk-produk unggulan, mendirikan real estate dan pusat-pusat perbelanjaan. Sehingga harta wakaf tersebut dapat dikembangkan dari bentuk asalnya.10 Begitu pentingnya wakaf sampai-sampai di Mesir persoalan wakaf ini diurusi oleh seorang menteri wakaf yang disebut dengan wazir al-awqaf wa Syu'un al-diniyyah (menteri wakaf). Di samping itu wakaf juga dikelola secara 10Muhammad Syafi’i Antonio, “Bank Syari’ah Sebagai Pengelola Dana W akaf’, Makalah disampaikan pada Workshop Internasional Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produktif, Batam, 07-07 Januari 2002.
profesional . Sebagai contoh di Bangladesh wakaf diurus oleh kantor Adm Wakaf dan Yayasan Komite Wakaf. Di
Pakistan ada Departemen Awqaf di setiap
propinsi, di India ada Dewan Wakaf (tingkat propinsi) dan koordinasinya di tingkat pusat dilakukan oleh Union Ministry of Law, Justice and Company Affairs yang menterinya juga bertindak sebagai menteri wakaf. Bahkan di Amerika Serikat yang ummat Islamnya minoritas khususnya di New York , wakaf dikelola oleh Kuwait Awqaf Public Foundation (KAPF). Beranjak dari pengalaman negara-negara Islam, nyata sekali bahwa potensi wakaf yang begitu besar berhasil mensejahterakan masyarakat karena diproduktifkan dan dikelola dengan manajemen yang profesional ditambah lagi dengan dukungan pemerintah yang besar, apakah dengan mendirikan lembaga wakaf atau dengan cara membuat undang-undang (qanun) wakaf. Kedua, faktor internal. Berkaitan dengan wakaf di Indonesia sebuah penelitian yang dilakukan oleh Uswatun Hasanah
(Dosen Pasca Sarjana UI)
dengan mengambil lokasi di Jakarta Selatan menunjukkan, 74, 62 % tanah wakaf dimanfaatkan untuk tempat ibadah sedangkan sisanya, yaitu 25,38 % dimanfaatkan untuk sekolah dan Pesantren. Data terakhir menunjukkan bahwa sampai tanggal 1 April 2001 -menurut data Departemen Agama RI- jumlah tanah wakaf di Indonesia sebanyak 358.710 lokasi dengan luas 819,207,733,99 M2. Jumlah yang cukup besar ini belum termasuk tanah wakaf yang tidak terdaftar sebagaimana tradisi yang berkembang di daerah-daerah pedesaan.11 Sayangnya tanah wakaf yang luas tersebut belum dimanfaatkan secara produktif tetapi sebaliknya hanya dimanfaatkan secara konsumtif. Paling-paling tanah wakaf di Indonesia hanya dimanfaatkan untuk pembangunan Masjid, madrasah, dan yang paling sering digunakan untuk tanah kuburan. Jelas sekali pemanfaatan tanah wakaf seperti ini
dipandang tidak produktif. Dikatakan
“Uswatun Hasanah, “ Manajemen Kelembagaan W akaf’ Makalah disampaikan pada Workshop Internasional Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui W akaf Produktif, Batam, 07-07 Januari 2002.
tidak produktif, karena harta wakaf tersebut tidak berkembang bahkan untuk pemeliharaannya saja tidak cukup apa lagi untuk menggaji nazir (pengelola) wakaf. Tidaklah mengherankan jika tanah wakaf, “masjid wakaf’, madrasahmadrasah yang berasal dari wakaf sering tidak terurus dengan baik. Berdasarkan realitas ini jelaslah bahwa potensi wakaf di Indonesia (wakaf benda tidak bergerak) sebenarnya cukup besar. Potensi ini belum lagi termasuk cash waqf (wakaf tunai - wakaf uang) yang segera akan disosialisasikan. Namun masalahnya terletak pada manajemen pengelolaannya yang belum profesional ditambah dengan pemahaman ummat Islam yang masih menganggap wakaf semata-mata
sebagai
ibadah
an-sich
dan
tidak
diorientasikan
untuk
pemberdayaan ekonomi ummat. Beranjak dari kenyataan ini, muncul keinginan untuk mengambil pengalaman-pengalaman negara Islam tersebut untuk selanjutnya dipraktekkan di Indonesia.
Wakaf Tunai (Cash Waqf) Berbicara tentang wakaf produktif bisa mengacu kepada dua hal pokok. Pertama,
harta tetap (property o f permanent- tidak bergerak) seperti tanah,
rumah, toko dan harta tidak tetap (bergerak) seperti hewan, buku, dan lain-lain. Kata kuncinya adalah bagaimana harta wakaf itu bisa produktif (berkembang). Bendanya ('ain) bisa jadi tetap tetapi pemanfaatannya
berkembang secara
ekonomis. Misalnya, jika ada orang yang mewakafkan tanah yang subur lalu di atas tanah tersebut didirikan masjid maka wakaf itu tidak produktif. sebaliknya, jika tanah wakaf yang subur -seperti yang terjadi pada kasus Umar RA ketika Ia mendapatkan tanah subur di Khaibar-
itu dimanfaatkan dengan cara
menanaminya dengan produk unggulan dan hasilnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan ummat, maka wakaf tersebut dikatakan produktif dan berefek ekonomis.12
12 Lihat M. Yasir Nasution, Kehidupan Bersendi Kesalehan: Esai-Esai Keislaman dalam Bingkai Pemberdayaan Umat, Medan: IAIN.Press, 2010, h. 9-10. Lihat juga, Amiur Nuruddin, Dari Mana
Kedua, wakaf produktif dalam arti wakaf uang dan jenis wakaf inilah yang sebenarnya menjadi fokus perhatian dalam Workshof tersebut. Alasan yang paling utama adalah, wakaf benda (bergerak atau tidak bergerak) bagaimanapun juga sangat terbatas pada segelintir orang-orang yang memiliki kemampuan sangat berlebih dan mempunyai kesadaran berwakaf. Sehingga seringkali wakaf jenis ini menjadi amalan yang sangat elitis atau amalah khusus orang-orang yang sangat kaya saja. Sedangkan orang yang ekonominya biasa-biasa saja sering tidak dapat berwakaf. Pada hal jumlah muslim yang kehidupannya biasa (ekonomi menengah) jauh lebih besar dibanding dengan konglomerat-konglomerat muslim tersebut dan jika ini dimanfaatkan maka potensinya jauh lebih besar. Cukup menarik andaian yang disampaikan oleh Mustafa Edwin Nasution Ketua Program Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam UI (PKTTI-UI)
dalam
makalahnya yang berjudul, “Wakaf Tunai: Strategi untuk Mensejahterakan dan Melepaskan Ketergantungan Ekonomi”, yang menyatakan sebagai berikut : Jika umat Islam yang penghasilannya Rp. 500.000,-/bulan jumlahnya hanya 4 juta orang berwakaf tunai Rp. 5000,-/bulan, maka dalam satu tahun dana yang terkumpul mencapai Rp. 240 Milyar. sedangkan umat Islam yang penghasilannya 1 juta- 2 Juta/bulan jumlahnya 3 Juta orang dan berwakaf Rp. 10.000,-/bulan, maka dana yang terkumpul pertahun mencapai Rp. 360 Milyar. Demikian juga umat Islam yang penghasilannya Rp. 2 juta-5 juta/Tahun yang jumlahnya 2 juta orang berwakaf Rp.50.000,-/bulan, maka dalam satu tahun jumlah dana yang terkumpul 1,2 Triliun. Sedangkan umat Islam yang penghasilannya Rp, 5 Juta - 10 Juta /Tahun yang jumlahnya hanya 1 juta saja, maka dalam satu tahun dana yang terkumpul mencapai Rp.1,2 Triliun. Jumlah dana wakaf dari umat Islam sesuai
Sumber Hartamu: Renungan tentang Bisnis Islami dan Ekonomi Syari’ah, Jakarta: Erlangga, 2013, h.164-166
dengan tingkat penghasilannya di atas selama satu tahun dapat mencapai angka Rp. 3 Triliun.13 Andaian di atas hanyalah sekedar memperkirakan bahwa kelas menengah umat Islam Indonesia yang penghasilannya Rp. 500.000,- sampai RP. 10 juta/ bulan hanyalah 10 juta dari total 200.000 juta umat Islam Indonesia. Bisa saja kenyataan kelas menengah muslim Indonesai mencapai jumlah yang jauh lebih banyak dari jumlah di atas. Persoalannya mengapa potensi wakaf tunai yang sangat besar tersebut tidak termanfaarkan selama ini ?. Setidaknya mengapa wakaf tunai (uang) tidak berkembang didasarkan pada pemahaman mayoritas umat Islam Indonesia yang masih menganut mazhab Syafi'i yang tdak membolehkan wakaf uang. Alasannya adalah, dinar dan dirham itu wujudnya akan lenyap ketika dibayarkan. Pada hal yang dimaksud wakaf dalam mazhab Syafi'i adalah bendanya harus tetap dan tidak boleh lenyap. Lebih jelas dalam mazhab Syafi'i, wakaf didefinisikan sebagai “penahanan (pencegahan)
harta yang
mungkin dapat dimanfaatkan tanpa
lenyap bendanya...”. Kata kunci dari wakaf terletak pada pemanfaatan benda wakaf secara terus menerus tanpa harus kehilangan (habis) bendanya. Berbeda dengan mazhab Syafi'i di atas,
mazhab Hanafi cenderung
membolehkan wakaf uang (dinar dan dirham) dengan cara uang tersebut harus dijadikan sebagai modal usaha apakah dengan cara mudharabah (bagi hasil) dan menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Namun penting di catat, pendapat Mazhab Hanafi ini bagaimanapun majunya, tidak begitu
dikenal dalam
masyarakat Islam Indonesia. Berkaitan dengan wakaf uang (cash waqf) di Indonesia, terlihat dengan jelas adanya hambatan pemahaman untuk tidak mengatakannya sebagai keyakinan di masyarakat Islam itu sendiri yang masih terikat dengan mazhab Syafi'i
yang
tidak
membolehkan.
Walaupun
ada
pendapat
yang
13 Mustafa Edwin Nasution, “Wakaf Tunai; Strategi untuk Mensejahterakan dan Melepaskkan KetergantunganEkonomi, dalam, WakafProduktif: Pemberdayaan Ekonomi Umat, Medan: IAIN. Press, FKEBI danBWSU, 2004, h. 87-119.
membolehkannya seperti terdapat dalam mazhab Hanafi, pendapat ini belum tersosialisasi dikalangan umat Islam Indonesia. Atas dasar ini diperlukan fikih wakaf baru yang berwawasan ekonomi dengan menggali berbagai pendapat mazhab
yang beragam sehingga bisa ditemukan pendapat yang relevan.
Disamping itu agaknya perlu dipertimbangkan, ternyata dalam sejarah Islam, wakaf tunai telah dikenal sejak periode Usmaniyah, demikian pula pada masa Bani Mamluk dan juga di Mesir.14 Kendati demikian dengan mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih besar terlebih di saat bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan dan memiskinkan umat Islam dalam jumlah yang cukup mencengangkan , ditambah hutang negara yang cukup besar, pendapat mazhab Hanafi
ini
layak dikembangkan
dan
menjadi
dasar
kebolehan
untuk
melaksanakan Wakaf uang. Negara yang dipandang berhasil menerapkan sertifikat wakaf tunai ini adalah Bangladesh. Diawali dengan gagasan M.A.Mannan seperti yang terlihat dalam artikelnya yang berjudul , Cash-Waqf Certificate Global Apportunities for Developing The Social Capital Market in 21-Century Voluntary Sector Banking” yang telah diterbitkan edisi Indonesianya dengan judul “Sertifikat Waqf Tunai; Sebuah Intrument Keuangan Islam” (CIBER dan PKTTI-UI; 2001). Setidaknya menurut Mannan ada beberapa manfaat yang dapat diraih melalui sertifikat wakaf tunai ini. Pertama, Wakaf Tunai dapat merubah kebiasaan lama di mana kesempatan berwakaf hanya untuk orang-orang kaya saja. Meminjam bahasa Dawam Rahardjo, kesempatan untuk mendapatkan “kapling tanah” di surga bukan hanya milik Konglemerat saja tetapi dapat dimiliki setiap umat Islam melalui wakaf uang. Kedua, Wakaf tunai dapat berperan sebagai supplemen bagi pendanaan berbagai macam proyek investasi sosial yang dikelola oleh bank-bank Islam sehingga pada gilirannya dapat berubah menjadi Bank Wakf
14M.A. Mannan, “Sertifikat W aqf Tunai; Sebuah Intrument Keuangan Islam,” Jakart: CIBER dan PKTTI-UI, 2001.
Dalam konteks ekonomi, sertifikat wakaf tunai dapat berfungsi sebagai investasi
strategis
untuk
menghapuskan
kemiskinan
dan
menangani
ketertinggalan di bidang ekonomi, serta di bidang pendidikan, kesehatan dan riset. Menurut Mannan dengan mengikuti program ini seseorang telah memberikan kontribusi tidak hanya bagi pengembangan operasionalisasi social Kapital Market, tetapi juga dibidang sosial investasi permanen. Lebih jauh dari itu, dana wakaf tunai tersebut dapat dimanfaatkan untuk investasi jangka pendek seperti kredit mikro, juga investasi jangka menengah seperti Industri kerajinan, peternakan maupun jangka panjang seperti industri-industri berat. Tentu saja investasi ini akan membuka peluang kerja bagi para pengangguran yang jumlahnya cukup banyak.15 BWN sampai UU Waqaf Pengalaman selama ini menunjukkan,, berbagai instrumen
ekonomi
Islam apakah zakat, infaq, sadaqah, dan waqaf tidak memberikan efek ekonomi yang cukup berarti bagi masyarakat muslim yang kurang mampu adalah karena belum maksimalnya pengelolaan instrument tersebut. Sebagai contoh, zakat kendati telah dipraktekkan oleh umat Islam dalam rentang waktu yang cukup panjang, namun belum berhasil dikelola dengan baik. Persoalan itu biasanya berkisar pada tidak adanya kepercayaan ummat terhadap pengelola zakat, tidak teraplikasinya manajemen modern dalam pengelolaan zakat, dan lain-lain. Kekhawatiran juga muncul berkenan dengan aplikasi wakaf uang dalam kehidupan masyarakat Islam nantinya. Pengalaman negara Islam lainnya seperti yang telah disebut di muka ternayat menunjukkan, keberhasilan wakaf dalam mensejahterakan
kehidupan
ekonomi
masyarakat
justru
terletak
pengelolaannya yang profesional sesuai dengan prinsif-prinsif
pada
Manajemen
modern. Berangkat dari pertimbangan tersebut agaknya perlu dilahirkan Badan Wakaf Nasional (BWN) yang diharapkan dapat mengatur persoalan wakaf di 15 Ibid.,
Indonesia. Saat ini gagasan tersebut telah terpenuhi dengan kelahiran Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang ada di tingkat pusat, propinsi dan daerah tingkat II. Sesungguhnya yang diinginkan bukan sebatas Badan atau UU, tetapi juga harus diwujudkan satu badan yang berdiri sendiri dalam mengurus wakaf atau bisa juga seperti apa yang disebut Dawam Rahardjo Presiden IIIT adalah ditunjuknya seorang menteri wakaf seperti dinegara-negara Islam lainnya. Menteri inilah yang bertanggungjawab dalam mengelola harta wakaf di Indonesia. Kendati tawaran Dawam ini terkesan sulit untuk tidak mengatakan utopia, namun secara substansial, gagasan ini layak dipertimbangkan. Ada kesan, selama ini umat Islam agak berat untuk berwakaf karena tidak adanya sebuah lembaga resmi yang bertanggungjawab terhadap harta wakaf. Biasanya wakaf hanya diurus oleh nazir masjid. Kalaupun ada keterlibatan Kantor Urusan Agama (KUA) di kecamatan, namun fungsinya tidak tampak dalam masalah wakaf. Untuk mengurus sertfikasi wakaf saja butuh waktu yang cukup lama. Ini belum lagi berkaitan dengan masalah perebutan harta wakaf oleh ahli waris dan masalah-masalah lainnya. Dengan demikian lahirnya Badan Wakaf Indonesia atau “nazir kolektif’ sangat diperlukan mengingat lembaga inilah yang nantinya akan mengelola wakaf,
mulai
darimengawasi,
mengembangkannya
memelihara dan yang
sedemikian
rupa.
Tentu
saja
lebih penting
BWI
harus
bersifat
independent dan pemerintah hanyalah sebagai fasilitator saja. Menurut Uswatun Hasanah, setidaknya BWI bertugas untuk merumuskan Fiqh waqf baru terutama yang berkenaan dengan benda-benda yang boleh diwakafkan , pemanfaatan wakaf dan nazir wakaf. Disamping itu BWI juga diharapkan mampu membuat kebijakan dan strategi pengelolaan wakaf produktif dan melakukan sosialisasi ditengah-tengah masyarakat. Membangun kerjasama dengan lembaga-lembaga perbankan Syari'ah yang diharapkan lembaga inilah nantinya yang akan mengelola dana wakaf.
Selanjutnya, tidak kalah pentingnya adalah eksistensi UU Wakaf sebagai dasar hukum pelaksanaan dan pengelolaan wakaf di Indonesia. Dalam undangundang wakaf ada beberapa spirit (semangat) yang harus diperhatikan. Pertama, UU wakaf itu semestinya mengandung semangat bagaimana umat Islam semakin mudah untuk berwakaf. Sampai-sampai pendapat fikih yang jarang dipakai seperti
wakaf mu'aqqat (wakaf yang tergantung dengan waktu) harus
direalisasikan karena potensinya yang cukup besar. Kedua,
UU Wakaf harus
berorientasi kemaslahatan umum. Ketiga, UU Wakaf harus berorientasi pada produktifitas dengan pengelolaan yang profesional. Keempat, UU Wakaf harus mengandung transformasi sikap keberagamaan ummat dari gerakan ritual menjadi gerakan ekonomi yang dibingkai oleh semangat pengabdian kepada Allah SWT. Kelima, UU Wakaf mengandung semangat pembaharuan hukum wakaf (fikih wakaf) yang relevan dengan perkembangan zaman. Keenam, UU Wakaf harus mampu meminimalkan peran pemerintah dan memberi peluang yang besar untuk kelompok-kelompok civil society
yang
independent dan
profesional. Harapan Baru Diskursus Wakaf Produktif menyiratkan seberkas harapan besar akan kebangkitan
ekonomi
ummat
dengan
semakin
berdayanya
instrument-
instrument ekonomi Islam. Secercah harapan itu setidaknya bisa dilihat di atas kertas dengan pengandaian-pengandaian yang telah dijelaskan di muka. Namun harus diingat, sudah terlalu lama sebenarnya kita berandai-andai
tentang
potensi dana ummat yang begitu besar. Masih segar dalam ingatan kita, bahwa belum lama kita berbicara zakat dengan pengandaian yang begitu indah dan menakjubkan. Jika ummat Islam maun berzakat mal maka dalam satu tahun kita dapat mengmpulkan dana sebesar 7 Triliun. Tetapi kenyataannya dana yang terkumpul di BAZNAS dan LAZ dari berbagai tingkatan masih sangat minim. Jika demikian, berandai-andai tidaklah salah, setidaknya kita mampu memprediksi kekuatan potensi yang dimiliki. Akan tetapi lebih penting dari
berandai-andai tersebut adalah bagaimana menyiapkan strategi penerapannya. Untuk itu ada beberapa catatan yang diberikan berkenaan dengan gerakan wakaf yang penulis istilahkan dengan “Gerakan Sadar Wakaf Tunai”. Pertama, pengentasan
Harus ada kesadaran dikalangan ummat Islam bahwa
kemiskinan
bukanlah
tanggungjawab
pemerintah
semata,
melainkan tanggungjawab seluruh ummat. Selama ummat masih beranggapan bahwa masalah kemiskinan adalah masalah pemerintah, maka selama itu pula, dana ummat akan sulit termobilisasi. Kedua, Pemerintah harus menahan diri untuk tidak terlalu bersemangat mengumpulkan dana ummat. Pemerintah harus memposisikan dirinya sebagai fasilitator yang baik. Pengalaman BAZ menunjukkan betapa rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut karena dikelola oleh “orangorang pemerintah-birokrat” yang hanya sambilan mengurus zakat dan tidak profesional. Jalan keluarnya harus tumbuh lembaga-lembaga independent dari kelompok civil society untuk mengelola wakaf secara profesional dan amanah. Berkaitan dengan ini beberapa lembaga seperti Dompet Du'afa Republika dan Pos Keadilan Ummat layak dijadikan contoh. Ketiga, harus dilakukan transformasi pemahaman ummat secara bertahap tentang wakaf dari wakaf konsumtif kepada wakaf produktif, lebih dari itu perlu ditingkatkan kesadaran dikalangan ummat untuk berwakaf melalui wakaf uang atau sertifikat wakaf. Namun lebih penting dari semua itu adalah kesatuan gerak langkah dari seluruh elemen masyarakat dan lembaga-lembaga keagamaan dan Ormas-ormas Islam. Singkatnya, Wakaf Produktif ini harus kita jadikan sebagai proyek bersama untuk kebangkiutan lehidupan ekonomi ummat Islam. Wallahu 'alam bi al-Shawab
2. W akaf U ang: Sebu ah H arahapan Baru. Ketika Nabi Muhammad SAW sampai di Yastrib, lebih kurang 1435 tahun yang lalu, ternyata Nabi tidak berdiam diri. Di saat usianya yang beranjak tua, 53 tahun, Nabi membuat perencanaan strategis. Di saat semua penduduk Madinah menawarkan rumahnya untuk didiami Nabi, Ia memilih sendiri tempat di mana ia harus tinggal. Ketika kaum anshar menyiapkan segala keperluan material nabi, sandang, papan dan pangan, Nabi yang mulai itu memilih untuk mencari pasar (suq).16 Nabi sesungguhnya ingin menegaskan bahwa, hijrah bukan berdiam diri. Hijrah tidak sekedar menangis dan bermuhasabah. Hijrah adalah bekerja. Dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan jihad. Jika dirumuskan, ketika Nabi hijrah, yang dilakukannya adalah; Pertama, membangun visi. Caranya dengan merubah Yastrib (semua nama pendiri kota Yasrib) menjadi Madinah (peradaban). Kedua, Rasul membangun masjid yang telah diawali dengan meletakkan fondasi masjid Quba. Selanjutnya membangun Masjid Nabawi. Ketiga, membangun persaudaraan yang abadi antara anshar dan muhajirin.
Keempat,
Membangun
ekonomi
dengan
menggerakkan
entrepreneurship orang Makkah dengan cara terjun ke pasar. Kelima, membangun konsensus dengan orang Yahudi, Nasrani dan kelompok lainnya dalam sebuah piagam yang disebut mistaq al-Madinah. Intinya, kerja-kerja yang dilakukan Nabi adalah sesuatu yang konkrit dan strategis. Jika saat ini kita sudah berada di tahun baru Islam 1435 H, apa yang sudah kita rencanakan ? Program apa yang telah kita susun setidaknya satu tahun ke depan. Strategi apa yang kita persiapkan untuk membangun Islam dan 16Al-Qur’an menginformasikan salah satu keheranan orang Yahudi tentang keberadaan Nabi yang sering keluar masuk pasar. Di dalam QS. Al-Furqan ayat 7 Allah SWT berfirman, Dan Mereka berkata, Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar ? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang Malaikat, agar Malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia. Selanjutnya pada QS. Al-Furqan ayat 20 Allah kembali menegaskan bahwa: ’’Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh-sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. maukah kamu bersabar, dan adalah Tuhanmu maha melihat. Penjelasan lebih lanjut tentang Rasul dan Pasar dapat dilihat, Amiur Nuruddin, Ekonomi Syariah; Menepis Badai Krisis dalam Semangat Kerakyatan, Bandung: 2009.
ummatnya ? Saya khawatir jangan-jangan umat ini telah kehilangan visi ? Bahkan mungkin juga kita tidak memiliki kemampuan untuk merumuskan visi besar tersebut ?. Saya menawarkan pemikiran untuk menjadikan tahun baru Islam 1435 H sebagai tahun wakaf uang ?. Ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar pijakan mengapa gagasan ini penting. Pertama, problem klasik yang masih membelit umat Islam; kebodohan dan kemiskinan. Kedua, posisi pengusaha kecil dan menengah yang sangat lemah dan sulit untuk mendapatkan akses permodalan. Ketiga, Potensi wakaf uang yang sebenarnya sangat besar jika dikelola dengan baik, transparan, akuntabel dan produktif. Penting dicatat, mengapa uang ini menjadi sangat perlu untuk digerakkan. Alasan yang paling utama adalah, wakaf benda tidak bergerak, bagaimanapun juga sangat terbatas tidak saja materinya tetapi juga orang-orang yang memilikinya. Tegasnya, wakaf harta seperti tanah misalnya, hanya dapat dilakukan oleh segelintir orang yang memiliki kemampuan sangat berlebih dan mempunyai kesadaran berwakaf. Sehingga seringkali wakaf jenis ini menjadi amalan yang sangat elitis atau amalan khusus orang-orang yang kaya saja. Memang jika ditinjau dari segi hukum ada perbedaan dikalangan ulama tentang wakaf uang. Namun yang jelas, wakaf dalam bentuk uang tunai diperbolehkan sesuai dengan fatwa Imam az-Zuhri, dan dalam prakteknya juga sudah dilaksanakan oleh ummat Islam. Jika kita perhatikan sumber-sumber ajaran Islam, yaitu alQur’an dan as-Sunnah tidak dijumpai larangan wakaf uang tunai. Di dalam fiqh Mu’amalah (Wakaf ditempatkan di dalam rubu’ Mu’amalah) tidak adanya nash yang melarangan itu artinya dibolehkan. Sebenarnya sebab perbedaan (sabab alkhilaf) adalah perbedaan pendapat tentang ‘tafsir” ucapan Rasulullah Saw kepada Umar ibn al-Khaththab yang mengatakan, “Kalau kamu berkenan, tahan pokoknya dan sedekahkan hasilnya. Dari “tahan pokoknya” itulah difahami harta wakaf harus materialnya tetap. Menurut Prof. Yasir Nasution, Fatwa Imam azZuhri agaknya lebih mudah difahami apabila “pokok” di sini tidak berarti
material, tetapi bermakna substansi, karena uang juga mempunyai substansi yang relatif tetap.17
Belajar dari Koin Prita.18
Sampai artikel ini ditulis, informasi dari TV menyatakan, koin prita telah menembus angka Rp. 600.000.000,- . Angka ini sesungguhnya melampaui dari jumlah denda yang diminta R.S Omni Internasional. Angka 600 juta tentu biasa apa lagi bagi seorang konglomerat hitam atau “tukang korupsi” uang negara. Namun angka itu menjadi fantastis, setidaknya disebabkan dua hal. Pertama, angka 600 juta berasal dari koin mulai dari koin terkecil sampai yang terbesar. Tidaklah mengherankan jika untuk mengangkutnya saja dibutuhkan satu mobil box. Kedua, uang tersebut berasal dari masyarakat yang peduli dengan nasib Prita. Mulai dari pejabat, artis, orang biasa sampai anak-anak, dengan rela hati menyerahkan tabungannya. Beranjak dari fenomena koin Prita saya menyimpulkan, ternyata rakyat Indonesia ini sangat pemurah, mudah tersentuh dan memiliki tradisi berbagi yang cukup tinggi. Modal sosial inilah sesungguhnya yang harus dimanfaatkan dalam konteks pengembangan wakaf uang. Bahkan lebih dari itu, yang paling menarik bagi saya ada spontanitas di sana. Bukankah untuk mengumpulkan koin Prita tidak membutuhkan prosedur yang ribet. Siapa saja bisa datang ke Posko lalu menyerahkan uangnya. Ada kepercayaan yang tinggi terhadap pengelola koin Pritan. 17 M. Yasir Nasution, Kehidupan Bersendi Keadilan, h. 2-10. Bandingkan dengan Departemen Agama RI, W akaf Tunai dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta: Depag RI, 2005, h. 94-103. 18Peristiwa Koin Prita ini hemat penulis menarik untuk dicermati. Semangat koin Prita sejatinya dapat dijadikan dasar dalam rangka penggalangan wakaf produktif. Tidak terbayangkan jika setiap minggu atau bulan umat Islam bersepakat untuk melakukan penggalangan wakaf produktif, tidak terhitung berapa dana umat yang bisa dikumpul dan diberdayakan. Tentu saja yang paling penting adalah bagaimana membangun kepercayaan antara umat dengan lembaga pengelola. Hal yang sesungguhnya mudah ini menjadi sulit karena kita hampir saja kehilangan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga pengelola uang umat. Membangkitkan kepercayaan ini mutlak untuk mengembangkan wakaf produktif tersebut.
Jika seorang Prita yang dari segi kehidupan ekonomi tergolong menengah (jika miskin mana mungkin Prita ke Omni dan punya jaringan internet), ketika ditimpa musibah kita mudah tersentuh, apa lagi melihat saudara-saudara kita yang kelaparan, tidak memperoleh pendidikan yang layak, terasing dan tertindas, tentulah kita akan lebih tersentuh lagi. Masalahnya adalah bagaimana menggerakkan potensi besar ini menjadi sebuah gerakan pemberdayaan. Gagasan wakaf uang bukanlah sesuatu yang turun begitu saja dari langit. Ada bukti empiris yang layak dijadikan contoh. Bangladesh adalah negara yang diklaim terbelakang, namun berhasil menerapkan wakaf uang lewat sertifikat wakaf tunai. Setidaknya menurut M. A. Mannan ada beberapa manfaat yang dapat diraih melalui sertifikat wakaf tunai ini. Pertama, Wakaf Tunai dapat merubah kebiasaan lama di mana kesempatan berwakaf hanya untuk orangorang kaya saja. Meminjam bahasa Dawam Rahardjo, kesempatan untuk mendapatkan “kapling tanah” di surga bukan hanya milik Konglemerat saja tetapi dapat dimiliki setiap umat Islam melalui wakaf uang. Kedua, Wakaf tunai dapat berperan sebagai supplemen bagi pendanaan berbagai macam proyek investasi sosial yang dikelola oleh bank-bank Islam sehingga pada gilirannya dapat berubah menjadi Bank Wakf. Di samping keuntungan yang disebut M.A. Mannan di atas, manfaat lain dari wakaf uang adalah adanya keleluasaan dalam penggunaan wakaf uang dan tentu saja dapat disesuaikan dengan kebutuhan real ummat. Tentu saja syarat yang tak boleh dilanggar adalah sifat keabadian status tetap menjadi karakteristik wakaf yang tidak dapat diubah. Dalam upaya pengumpulan wakaf uang ini, ada banyak program yang dapat ditawarkan. Misalnya, kita dapat memulainya dengan gerakan Rp. 1000,- untuk kebangkitan umat. Syukur-syukur bisa Rp. 5.000- Rp. 10.000,-. Kita hanya perlu untuk membentuk simpul atau kluster wakaf uang di titik-titik strategis di Kota Medan atau Sumut. Dana-dana ini selanjutnya dikumpulkan oleh sebuah lembaga wakaf yang terpercaya untuk selanjutnya diinvestasikan ke Bank Syari’ah. Dari bagi
hasil tersebut, nantinya diharapkan pemberdayaan ekonomi Umat bisa digerakkan. Dananya tetap abadi dan hasilnya terus menerus dapat diberdayakan.19 Jika mengumpulkan uang kertas terasa berat, walaupun kertasnya ringan, kita bisa melakukannya dengan mengumpulkan koin wakaf untuk Ummat. Persoalan besarnya, adalah kita mau atau tidak. Sesuatu yang kelihatan kecil, hanya sebuah koin, namun jika dilakukan dengan massal, maka ia akan menjadi besar. Sebaliknya sesuatu yang besar (seperti jumlah umat ini) namun tidak melakukan apapun, maka tetap saja kecil di mata umat lain.
3. W ak af Tun ai D alam UU. No 41 Tahun 2004 Beberapa tahun belakangan berkembang sebuah wacana yang cukup menarik, yaitu wakaf tunai. Alasan yang paling utama mengapa wakaf tunai (uang) ini terus disosialisasikan adalah karena wakaf benda tidak bergerak, bagaimanapun juga sangat terbatas. Wakaf jenis ini hanya dapat dilaksanakan oleh segelintir orang yang memiliki kemampuan sangat berlebih dan mempunyai kesadaran berwakaf yang tinggi. Akhirnya, seringkali wakaf jenis ini menjadi amalan yang sangat elitis atau amalah khusus orang-orang yang sangat kaya saja. Sedangkan orang yang ekonominya biasa-biasa tidak dapat berwakaf. Pada hal jumlah muslim yang kehidupannya biasa-biasa (ekonomi kecil dan menengah) jauh lebih besar dibanding dengan konglomerat-konglomerat muslim. Tentu saja jika ini dimanfaatkan maka potensi dana umat sangat besar.
Perspektif Fikih Berbeda dengan wakaf benda tidak bergerak, tampaknya wakaf uang tidak diperbincangkan secara luas di dalam kitab-kitab fikih klasik. Hal ini bisa dipahami, wakaf uang di dalam fikih merupakan sesuatu yang diperdebatkan. Dengan menggunakan tinjauan sosiologis, bisa dipahami karena fikih wakaf dirumuskan pada masyarakat agraris, bukan pada masyarakat industri atau jasa. 19Mustafa Edwin, “Wakaf Tunai”, h. 111.
Di samping itu, contoh yang sering dirujuk ketika menjelaskan tentang wakaf adalah prilaku Umar r.a dengan tanah khaibarnya. Lengkaplah sudah bahwa wakaf hanya benda yang tidak bergerak, yang abadi dan tidak sirna. Akibat tidak dibicarakannya wakaf uang pada masa-masa awal Islam, umat Islampun akhirnya terlambat mengenal jenis wakaf ini. Oleh sebab itu, adalah absah jika penulis menduga tidak berkembangnya wakaf uang di Indonesia agaknya didasarkan pada pemahaman mayoritas umat Islam Indonesia yang masih menganut mazhab Syafi'i. Sebagaimana yang telah penulis kemukakan di atas, bolehnya wakaf uang adalah berdasarkan pendapat Muhammad Ibn Abdullah Al-Anshari murid Zufar (sahabatnya
Abu
Hanifah).
Beliau
disebut-sebut
sebagai
ulama
yang
membolehkan wakaf dalam bentuk uang kontan; dinar dan dirham, Ulamaulama saat itu yang mendengar pendapat Al-Anshari bertanya, apa yang kita lakukan dengan dana cash dirham ? Al-Anshari menjawab, “kita investasikan dana itu dengan cara mudharabah, dan labanya kita sedekahkan. Ada juga pakar wakaf yang mendasarkan kebolehan wakaf uang ini kepada Imam Az-Zuhri.
Perspektif Undang-undang Kendatipun
umat
Islam
Indonesia
mayoritas
bermazhab
Syafi’i,
tampaknya dalam hal wakaf uang ini, ulama dan pemikir-pemikir ekonomi Islam memilih pendapat yang membolehkan wakaf uang. Setidaknya inilah yang tercermin di dalam undang-undang No 41 tahun 2004. Pada Bagian Keenam tentang harta benda wakaf pasal 16 ayat 1 dijelaskan bahwa, harta benda wakaf terdiri dari: a, benda tidak bergerak. B. benda bergerak. Selanjutnya pada ayat 3 dinyatakan bahwa: Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hurup b adalah harta benda yang tidak dapat habis karena dikosumsi, meliputi: a. uang, b. logam mulia, c. Surat berharga, d. Kendaraan, e. Hak atas kekayaan intelektual. F. hak sewa dan, g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Klausul di atas dapat dijadikan dalil akan kebolehan wakaf uang. Dengan menggunakan kaedah fikih, keputusan hakim menyelesaikan perbedaan (hukm al-hakim yarfa’u al-khilaf). Maksudnya, dengan diundangkannya masalah wakaf uang, khilaf antara yang membolehkan wakaf uang dan kelompok yang tidak membolehkannya menjadi tidak relevan lagi. Pada bagian kesepuluh tentang “wakaf benda bergerak berupa uang” pasal 28 dijelaskan bahwa, wakif dapat mewakaflcan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syari’ah yang ditunjuk oleh menteri agama. Selanjutnya pada pasal 29 ayat 2 dijelaskan bahwa, Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang. Dari beberapa pasal di atas ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati. Pertama, wakaf uang tampaknya hanya boleh dilakukan melalui lembaga keuangan syari’ah sebagai pihak yang diberi kewenangan untuk mengelola wakaf uang. Alasan yang sering dikemukakan adalah bank dipandang dapat mejamin bahwa wakaf uang tersebut tidak akan habis kendati digunakan.20 Lewat undang-undang ini jelas bahwa pihak nazir tidak memiliki kewenangan secara mandiri untuk mengelola wakaf uang. Paling-paling nazir hanya menerima bagi hasil dari wakaf uang tersebut untuk selanjutnya dimanfaatkan demi kepentingan umat. Kedua, lembaga keuangan syari’ah (bank syari’ah) yang ditugaskan untuk mengelola wakaf uang adalah lembaga yang ditunjuk oleh menteri agama. Di sini dikhawatirkan muncul monopoli yang melahirkan kecemburuan lembaga keuangan syari’ah. Jika semua lembaga diberi peluang yang sama untuk mengelola wakaf uang, dikhawatirkan memunculkan persoalan baru, seperti persaingan antar bank dan sebagainya.
20 Tulisanyang cukup baik tentang peran Bank Syari’ah dalammengelola wakaf tunai dapat dibaca
dalam, Mulya E Siregar, dkk, “PeranananBank Syari’ah dalamPengelolaan Wakaf Tunai” dalam, Wakaf Produktif, h. 121-141.
Mencermati undang-undang No 41 Tahun 2004 tentang wakaf, penulis melihat ada standar ganda yang diterapkan undang-undang. Pada satu sisi, undang-undang telah memberikan kemudahan bagi umat Islam untuk berwakaf. Namun pada sisi lain, terdapat aturan-aturan yang menghambatnya. Sebagai contoh, dalam konteks wakaf uang, penunjukan lembaga keuangan syari’ah bagaimanapun akan membuat wakaf uang sulit perkembang. Nazir hanya mengharapkan bagi hasil dari pihak bank, yang relative kecil.
Penutup Terlepas dari kelebihan dan kekurangan Undang-undang Wakaf, yang jelas, keberadaan undang-undang sangat penting untuk menegaskan kedudukan hukum wakaf uang. Setidaknya berdasarkan undang-undang tersebut, wakaf uang
tidak
lagi
dipersoalkan.
Yang
penting
adalah
bagaimana
memberdayakannya sehingga apa yang menjadi tujuan wakaf dapat terwujud. Pada gilirannya, wakaf uang dapat memberdayakan ekonomi Umat.
4. W akaf Tunai dan Kesejahteraan Umat Di antara karakteristik Ekonomi Islam (EI) adalah penolakan dan pelarangan riba dalam seluruh aktivitas ekonomi. Riba disebut sebagai kezaliman yang merugikan bahkan menghancurkan, bukan saja dirinya tetapi juga masyarakat dan negara. Bukankah besarnya beban hutang Indonesia - yang kita tak tahu kapan lunasnya - disebabkan variabel bunga itu sendiri. Sebaliknya, AlQur’an mempromosikan zakat yang diyakini menggerakkan ekonomi melalui investasi dan distribusi. Bukanlah suatu kebetulan jika salah satu makna zakat adalah al-nama’yang bermakna “to grow” (tumbuh dan berkembang). Di samping dua variabel di atas, ekonomi Islam juga memiliki variabel unik lainnya yang oleh para ahli disebut dengan sektor volunteer (suka rela). Contohnya adalah pranata infaq, sadaq, hibah, wasiat, hadiah dan wakaf, Dikatakan volunteer karena memang pranata tersebut secara normatif tidak diwajibkan baik oleh Al-Qur’an ataupun al-Hadis. Yang dituntut kedua sumber
tersebut adalah kesukarelaan atau keikhlasan pemilik harta. Jika ia mengeluarkan hartanya untuk wakaf misalnya, maka ia akan memperoleh kebajikan (al-birr) dan juga kebaikan (al-hasan). Andaipun ia enggan mengeluarkan hartanya untuk wakaf atau hibah, maka tidak ada dosa baginya. Ia hanya diwajibkan membayar zakat. Al-Qur’an berbicara tentang wakaf dalam dimensi hablum min Allah dan hablum min al-nas. Di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah/2:27, Allah menyatakan, “Belanjakanlah dari harta bendamu yang baik-baik”. Selanjutnya dalam suart Ali Imran/3:92, ditegaskan, “Kamu tidak akan memperoleh kebaikan sehingga kamu membelanjakan sebagian harta yang kamu sukai”. Sedangkan di dalam hadis yang cukup populer Rasul bersabda, Jika anak Adam meninggal dunia, terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga, anak yang shaleh yang mendoakan kedua ibu bapanya, ilmu yang bermanfaat dan sadaqah jariyah (Sahih Muslim). Di dalam riwayat yang lain, ketika merespon pertanyaan Umar Ibn Al-Khattab tentang Tanah Khaibar, Rasul mengatakan, Bila engkau menghendaki, tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya. Di dalam Al-Qur’an dan juga Hadis Rasul seperti yang telah diuraikan di atas, tidak ditemukan terminologi wakaf seperti yang dipahami para fuqaha. Kendati
demikian,
secara
substansial,
ayat
dan
hadis-hadis
tersebut
“memerintahkan” umat Islam untuk berwakaf. Bahkan Al-Qur’an mendorong agar wakaf menjadi tradisi (habit) yang sejatinya harus terus dikembangkan umat seperti yang telah diperankan sahabat pada era awal. Secara substansial ayat dan hadis di atas memotivasi kita untuk rela dan ikhlas mengeluarkan sebagian harta yang kita miliki untuk diambil manfaatnya oleh orang lain. Beberapa hadis malah menggunakan kata habas yang secara etimologi berarti “penjara, diam, mencegah, tahanan dan pengamanan.” Dengan demikian kata ahbasa al-mal yang terdapat di dalam hadis mengandung arti “menahan harta dan selanjutnya menyedekahkan hasilnya”. Dari makna inilah wakaf didefinisikan seperti yang terdapat di dalam UU No 41 Tahun 2004 sebagai, “Perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan
atau
menyerahkan
sebagian
harta
benda
miliknya
untuk
dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syaria’h”. (Pasal 1 ayat 1). Kembali kepada pernyataan awal di atas, jika wakaf sebagai sisi volunteer dalam EI, mampukah ia menggerakkan ekonomi umat. Apakah pranata wakaf dapat memberdayakan ekonomi dan mensejahterakan umat. Alih-alih wakaf, zakat yang sisi normatif dan teologisnya begitu jelas, sampai saat ini belum berhasil menggerakkan ekonomi umat. Sampai saat ini, kita baru bisa berandaiandai. Tidak lebih dari itu. Jika umat Islam di Indonesia disiplin membayar zakat, maka potensi dana zakat yang terkumpul bisa mencapai angka 3 Triliun, 7 Triliun bahkan ada yang mengatakan 13 Triliun pertahun. Dengan uang sebesar itu, berapa banyak sektor usaha mikro dan menengah ummat yang dapat kita gerakkan. Namun apa yang terjadi ? Ternyata kita hanya berandai-andai. Jangankan 3 Triliun, dana zakat kita sampai saat ini belum menyentuh angka 1 Triliun. Demikian pula halnya dengan wakaf tunai. Di Indonesia, sejak tahun 2001, telah dicanangkan gerakan wakaf tunai (wakaf uang). Kendati hukumnya diperselisihkan para ulama, namun MUI telah menyelesaikan khilaf ini dengan mengeluarkan fatwa kebolehan wakaf uang. Selanjutnya, UU Wakaf no 41 tahun 2004, lebih mempertegas keberadaan wakaf baik harta yang bergerak ataupun harta yang tidak bergerak. Dengan demikian, memperdebatkan hukum wakaf tunai (uang) tidak lagi relevan dan tidak kontekstual. Yang kita lakukan saat ini adalah, bagaimana mendorong umat Islam gemar untuk berwakaf. Dana wakaf uang yang terkumpul dan dikelola dengan baik, transfaran dan akuntabel, lalu digabungkan dengan asumsi dana zakat, setidaknya umat Islam Indonesia dapat mengumpulkan dana segar pertahunnya minimal 6 Triliun/tahun. Dengan dana ini, bukan saja ekonomi umat Islam dapat dipicu dan berdayakan, umat Islam Indonesia juga dapat melepaskan negara dari beban
hutangnya. Negara yang saat ini menjadi mustahiq zakat dengan kualifikasi gharim (orang atau badan hukum yang terlilit hutang), layak untuk ditolong umat Islam. Dana yang terkumpul tersebut tentu saja harus dikelola dengan menggunakan perangkat manajemen keuangan yang modern, transparan dan akuntabel. Lepas dari perdebatan apakah dana wakaf dapat diinvestasikan secara langsung ke dalam proyek usaha atau harus melalui lembaga keuangan syari’ah (LKS), yang jelas, dana atau hasil wakaf uang tersebut dapat digunakan untuk menggerakkan sektor ekonomi ril masyarakat. Mengapa sektor ril ? beberapa penelitian telah menunjukkan, sektor ril inilah yang sesungguhnya dapat bertahan dari terpaan badai krisis moneter. Lebih dari itu, menggerakkan sekt0r ril menjadi keniscayaan karena program ini dapat mengurangi pengangguran yang menerpa umat. Bahkan wakaf uang juga mampu menumbuhkan etos kewirausahaan (enterpreneurship) umat Islam. ‘Ala kulli hal, bagaimana memanfaatkan dana wakaf tunai tentu tidak menjadi soal. Kita memiliki banyak ahli yang mampu merencanakan dan mengelola uang tersebut sehingga dapat memberi nilai tambah. Persoalan kita adalah, wakaf uang tersebut belum berjalan maksimal. Tegasnya, uang yang dikelola itu tidak ada. Beberapa lembaga wakaf termasuk yang ada di Sumatera Utara, baru mampu mengumpulkan wakaf uang dalam hitungan puluhan sampai ratusan juta rupiah. Dengan jumlah yang sangat minimal ini, hasil dari bagi hasilnya tentu sangat kecil sehingga untuk biaya operasional lembaga wakaf itu saja tidak cukup. Dengan demikian, hal penting yang perlu kita lakukan saat ini adalah menumbuhkan kesadaran umat untuk berwakaf. Tugas ini tidaklah mudah. Tanpa kesungguhan ulama untuk menyadarkan umat, maka gagasan wakaf uang sama sekali tidak berarti. Saat ini, umat tidak saja harus disadarkan akan ajaran agamanya yang sangat mendorong untuk berwakaf, tetapi juga mereka harus
disadarkan tentang
besarnya arti
kepedulian
bagi
orang yang
sangat
membutuhkan. Tegasnya, hal yang sangat penting kita lakukan saat ini adalah membangun kesadaran umat akan pentingnya wakaf tunai. Gerakan kesadaran ini hemat saya tidak boleh dilakukan secara sporadis. Kita harus segera merencanakan langkah, strategi dan taktik, agar gerakan wakaf tunai bisa efektif. Oleh sebab itu, Kementerian Agama dengan kewenangan yang dimilikinya harus segera mengambil langkah-langkah strategis.
5. M enggagas In faq P ro d u k tif Tidak terbayangkan sebelumnya, kehadiran bank-bank Islam seperti Bank Muamalat Indonesia, BRI Syari’ah untuk sekedar menyebut beberapa contoh, ternyata telah membawa berbagai macam inovasi tidak saja dalam bentuk pengembangan institusi mu’amalat Islam yang lebih modern, tetapi juga membawa pengaruh dalam pengembangan ibadah-ibadah maliyah (ibadah yang berhubungan dengan harta seperti ZISWAF, zakat, infaq, sadaqah, dan wakaf). Dengan memanfaatkan jasa perbankan, ibadah-ibadah maliyah tersebut dapat dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga efek yang ditimbulkannya tidak saja dalam rangka memenuhi tuntutan syari’ah tetapi juga dapat memberdayakan masyarakat yang kurang mampu. Sebut saja misalnya, sejak tahun 2001, kita telah mengembangkan wakaf produktif. Jika selama ini wakaf hanya dipahami sebagai benda tak bergerak dan pemanfaatannya terbatas untuk kuburan, masjid dan madrasah saja, maka dengan wakaf produktif, kita dapat menyentuh aspek-aspek lain yang lebih bernuansa
pemberdayaan
ekonomi
rakyat.
Sebagai
contoh,
dengan
mengembangakn wakaf uang tentu saja melalui jasa perbankan, maka kita dapat memberi bea siswa dari hasil wakaf tersebut tanpa harus menghabiskan “a’in (zatnya) nya”. A ’innya dalam hal ini uang yang diserahkan itu tetap, tapi hasil dari pemanfaatan uang tersebut oleh bank Islam dapat dimanfaatkan untuk
p e m b e r d a y a a n m a sy a ra k a t. Y a n g s a n g a t m e n a rik a d a la h , jik a d a h u lu o ra n g y a n g b e r w a k a f te r g o lo n g o r a n g -o r a n g y a n g b e n a r-b e n a r k a y a k a r e n a m e re k a la h y a n g m e m ilik i ta n a h y a n g lu a s a ta u u a n g y a n g b a n y a k , m a k a d e n g a n w a k a f u an g , h a n y a R p. 50 .0 0 0 , a ta u 10 0 .0 0 0 ,- m isa ln y a , ia te la h d a p a t b e rw a k a f. S e la n ju tn y a , y a n g in g in k ita k e m b a n g k a n sa a t in i a d a la h in fa q p ro d u k tif. S e m a n g a t d a sa rn y a a d a la h b a g a im a n a in fa q y a n g k ita b e rik a n itu tid a k h a n y a b e r s ifa t k a r ita tif d a n k o n s u m tif saja , m e la in k a n d a p a t m e n ja d i p o d u k tif. M e n g a p a h a ru s in fa q ? ja w a b n y a a d a la h b a ik z a k a t a ta u w a k a f k e tik a k ita in g in m e n ja d ik a n n y a p ro d u k tif, ju ju r h a ru s d ia k u i k ita m a sih b e rh a d a p a n d e n g a n b e r b a g a i k e n d a la b a ik y a n g b e r s ifa t y u rid is n o rm a tiv e a ta u s o sio lo g is e m p iris. T e rn y a ta d ik a la n g a n u m a t Isla m te r u ta m a to k o h -to k o h a g a m a n y a m a sih b e lu m s a tu v is i d a la m m e lih a t m a sa la h ini. Ju ju r h a ru s d iak u i, m a s ih a d a u la m a y a n g m e n o la k z a k a t p r o d u k t if d a n w a k a f p ro d u k tif. M u d a h -m u d a h a n d e n g a n in fa q y a n g a tu r a n -a tu r a n s y a ri’a h n y a le b ih lo n g g a r d ib a n d in g d e n g a n z a k a t d a n w a k a f te rs e b u t, d ih a ra p k a n k ita d a p a t m e n g e lo la ln y a s e d ik it le b ih le lu a sa . D is a m p in g itu , ta n p a a d a n y a p e r s y a r a ta n — p e r s y a r a ta n k h u su s, s e p e rti h a u l d a n nisab, m e m u n g k in k a n m a sy a ra k a t d a p a t b e r p a tis ip a s i se p e n u h n y a d a la m b e rin fa q . In fa q d a la m A lq u r a n D i d a la m A lq u r a n k a ta in fa q y a n g a k a r k a ta n y a a d a la h n-f-q, d ise b u t le b ih k u ra n g 80 k a li d a la m b e r b a g a i su ra h d a n b e n tu k d e riv a sin y a . A d a p u n m a k n a n y a c u k u p b a n y a k , a d a k a la n y a b e r m a k n a z ak at, sa d a q a h , te ta p i y a n g p a lin g u m u m a d a la h p e m b e r ia n su k a r e la u n tu k m e n o lo n g a g a m a . In fa q ju g a b e r m a k n a alim a ra h (k e m a k m u ra n ). D e m ik ia n m a k n a -m a k n a y a n g d ik e m u k a k a n o le h A lD a m a g h a n i y a n g m e n u lis k ita b Q a m u s A l-Q u ra n . D a ri m a k n a -m a k n a y a n g d ib e rik a n o le h A l- D a m a g h a n i te r s e b u t k ita d a p a t m e n d e fin is ik a n in fa q se b a g a i p e m b e r ia n h a rta b e n d a se c a r a s u k a r e la u n tu k m engem bangkan
agam a
dengan
se g a la
d im e n s in y a
dan
ju g a
u n tu k
m e m a k m u r k a n u m a tn y a . M a k n a se p e r ti in i d a p a t k ita te m u k a n d i d a la m A lq u r a n k h u s u s n y a y a n g b e r b ic a r a te n ta n g in faq . D i d a la m su ra h A l- B a q a r a h a y a t 273
A lla h sw t. b e r fir m a n y a n g a rtin y a , a p a y a n g en g k a u naflcah kah u n tu k k e b a ik a n m a k a s e s u n g g u h n y a A lla h m a h a m e n g e ta h u i. S e la n ju tn y a d i d a la m su ra h A liIm ra n a y a t 92, A lla h sw t b e rfirm a n , e n g k a u b e lu m
m e n d a p a tk a n
k eb a ik a n ,
s e h in g g a en g k a u m en a flca h k an a p a -a p a y a n g en g k a u cinta i. D i d a la m su ra h A lB a q a ra h a y a t 3, A lla h sw t d e n g a n te g a s m e n y a ta k a n , b a h w a o ra n g y a n g b e rta q w a itu a d a la h o r a n g -o ra n g y a n g b e rim a n k e p a d a y a n g g h a ib (a l-g h a ib ), m e n d irik a n s h a la t d an m en a flca h k a n s e b a g ia n h a rta y a n g k a m i naflcah kan a ta s m erek a . B e r b e d a d e n g a n z a k a t y a n g h u k u m n y a a d a la h w a jib , in fa q h u k u m n y a su n ah . N a m u n y a n g se rin g te r lu p a k a n a d a la h , k u a lita s k e h id u p a n k e b e ra g a m a a n k ita s e b e n a rn y a d ite n tu k a n
o le h a m a la n -a m a la n
su n a t in i. S e s e o r a n g y a n g
m e n g e rja k a n k e w a jib a n -k e w a jib a n a g a m a , n a m u n m e n g a b a ik a n h a l-h a l y a n g su n at, s e b e n a rn y a o r a n g te r s e b u t b e lu m d a p a t d ik a ta k a n se b a g a i sa le h a ta u m u h sin . O ra n g b a ik y a n g sa m p a i p a d a k u a lita s ihsan, a d a la h o r a n g -o r a n g y a n g ra jin m e la k s a n a k a n a m a la n -a m a la n su n n a t. S e s u a tu y a n g tid a k w a jib , te ta p i d ik e r ja k a n n y a ju g a m e n u n ju k k a n b e ta p a tin g g i k u a lita s k e b e r a g a m a a n o ra n g y a n g s e p e rti in i. Jik a ia m e n g e rja k a n ib a d a h y a n g w a jib , m a k a h a l te r s e b u t m e ru p a k a n
hal yan g
b ia s a
saja.
A la s a n n y a
k aren a
ib a d a h
te r s e b u t
te la h
d iw a jib k a n . Ju s t r u jik a tid a k d ik e rja k a n n y a , m a k a ia a k a n b e rd o sa . P e rb e d a a n la in n y a m e n u ru t M .A .M a n n a n a d a la h b a ik sa d a q a h a ta u in fa q z a t d a n m a n fa a tn y a se k a lig u s d itr a n s fe r k e tik a te la h d ib e rik a n . S e d a n g k a n w a q a f, y a n g d itra n sfe r a d a la h m a n fa a tn y a s a ja d a n b u k a n ‘a in n y a . P e rs o a la n n y a a d a la h b a g a im a n a in fa q te r s e b u t a g a r te ta p b is a m e m b e r d a y a k a n u m a t Isla m k h u su s n y a d a la m m e n in g k a tk a n k u a lita s s u m b e r d a y a m a n u sia . U n tu k itu a d a d u a h a l y a n g h a ru s k ita la k u k a n . P erta m a , Jik a se la m a in i, in fa q m e ru p a k a n g e r a k a n in d iv id u a l, m a k a in fa q h a ru s d ija d ik a n g e r a k a n m a ssa l. In fa q s e b a g a i g e ra k a n in d iv id u a l tid a k a k a n m e m b e rik a n d a m p a k a p a -a p a te r h a d a p p e r u b a h a n m a sy a ra k a t. L e b ih d a ri itu, in fa q in d iv id u a l in i se c a ra e k o n o m is t id a k a k a n m e m b e r i m a k n a y a n g sig n ifik a n .
Anda se se o ra n g .
b ia s
m em bayangkan,
P e rta n y a a n
a d a la h
jik a
anda
apa yang
b e r in fa q
dapat
Rp.
5 0 .0 0 0 ,-
d ila k u k a n n y a
kepada
dengan
uang
te rs e b u t. B a n d in g k a n jik a 10 .0 0 0 u m a t Isla m b e r in fa q R p . 5 0 .0 0 0 ,- m a k a a k a n te r k u m p u l u a n g s e b a n y a k R p. 5 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,-. L a lu jik a y a n g b e r in fa q itu sa m p a i 2 0 .0 0 0 o r a n g m a k a a k a n te r k u m p u l d a n a in fa q 1 T. b a y a n g k a n te n tu b a n y a k h al y a n g b is a k ita la k u k a n d e n g a n u a n g 1 T. T in g g a l la g i jik a u a n g te r s e b u t k ita k e lo la se c a ra k o n v e n sio n a l, m a k a d a la m w a k tu y a n g sin g k a t u a n g te r s e b u t ju g a a k a n h a b is. B a g a im a n a a g a r u a n g te r s e b u t te ta p “a b a d i.” Ja la n k e lu a r n y a a d a la h k ita h a ru s m e m a n fa a tk a n p e r b a n k a n s y a ri’a h d e n g a n c a ra m e n d e fo sito k a n n y a . U n tu k itu y a n g k e d u a d a la m
p e n g e lo la a n in fa q p r o d u k t if k ita h aru s
m e m a n fa a tk a n le m b a g a p e rb a n k a n . M e la lu i p r o d u k m u d h a ra b a h , m a k a k ita dapat
m em u d h arab ah k an
uang
in fa q
p r o d u k t if
te r s e b u t
dan
k ita
akan
m e m p e ro le h b a g i h a sil y a n g sig n ifik a n . B a g i h a sil in ila h y a n g k ita m a n fa a tk a n u n tu k
m e m b a n tu
apakah
d a la m
b e n tu k
p e m b e r ia n
bea
sisw a,
m em buat
p e la tih a n -p e la tih a n k e te ra m p ila n y a n g m e m b e r d a y a k a n g e n e r a s i m u d a m u slim d a n s e b a g a in y a . S e la m a d a n a te r s e b u t b e r a d a d ip e rb a n k a n m a k a se la m a itu p u la h a s iln y a d a p a t d im a n fa a tk a n . B a y a n g k a n jik a y a n g k ita in fa q k a n itu R p . 10 0 .0 0 0 ,a ta u le b ih d a ri itu d ik a li d e n g a n 2 /3 d a ri u m a t Isla m In d o n e s ia y a n g b e rin fa q , m a k a k ita d a p a t m e n g u m p u lk a n u a n g y a n g le b ih b a n y a k lagi. T e n tu saja , d e n g a n m e m u d h a r a b a h k a n n y a le w a t p e r b a n k a n s y a ri’ah , m a k a b a n y a k h a l y a n g d a p a t d ila k u k a n d e n g a n u a n g te rse b u t. Sudah
s a a tn y a
k ita
m e la k u k a n
te r o b o s a n -te r o b o s a n
yang
s ig n ifik a n
b e r k e n a a n d e n g a n ib a d a h m a liy a h (ib a d a h -ib a d a h y a n g b e r h u b u n g a n d e n g a n h arta) a g a r le b ih b e r d a y a g u n a . S e b e n a rn y a k e s a d a ra n b e rz a k a t, b e r in fa q d a n b e r w a k a f u m a t Isla m c u k u p tin g g i. H a n y a sa ja k e sa d a ra n d a n g e r a k a n -g e ra k a n y a n g d ila k u k a n m a s ih b e rsifa t in d iv id u a l, s e h in g g a tid a k m e m ilik i d a y a d o b r a k y a n g b e r a r ti u n tu k m e m e c a h k a n “b a tu - b a tu ” k e m is k in a n d a n k e b o d o h a n y a n g m a s ih m e m b e le n g g u d a n m e n g h a la n g i k e m a ju a n u m a t Isla m s a a t in i. A k ib a tn y a ,
k e tik a k ita m e m a s u k i ta h u n b a r u h ijriy a h y a n g a k a n d a ta n g 14 2 7 H , te ta p sa ja m a s a la h se riu s y a n g k ita h a d a p i m a sih b e r k is a r k e b o d o h a n d a n k e m isk in a n . S a a tn y a le m b a g a p e r b a n k a n tid a k sa ja k ita m a n fa a tk a n
s e b a g a im a n a
la y a k n y a p e r b a n k a n n a sio n a l. P e rb a n k a n s y a ri’a h tid a k b o le h h a n y a se k e d a r le m b a g a in te rm e d ia si, te ta p i ia ju g a h a ru s d a p a t m e la k u k a n r e k a y a s a p r o d u k u n tu k m e m b e r d a y a k a n u m at. O le h se b a b
itu a p a y a n g in g in
d ik e m b a n g k a n
o le h B a n k M u a m a la t
In d o n e sia d a la m u p a y a m e n g g a g a s in fa q p r o d u k t if la y a k m e n d a p a tk a n d u k u n g a n k ita se m u a . M u d a h -m u d a h a n , d e n g a n in fa q p r o d u k t if a k a n m e le n g k a p i p ro d u k p r o d u k z a k a t p r o d u k t if d a n w a k a p p r o d u k t if y a n g te la h d ig u lir k a n k e n d a tip u n m a sih te rse n d a t-s e n d a t. Jik a
zakat
p r o d u k t if
dan
w akaf
p r o d u k t if
p e m b e r d a y a a n e k o n o m i le m a h m e la lu i q a r d a l-h a s a n
k ita
fo k u sk a n
d a la m
a ta u s u n tik a n -s u n tik a n
m o d a l, m a k a in fa q p r o d u k t if d a p a t k ita b e r d a y a k a n d e n g a n p e m b e r ia n b e a sisw a. S a n g a t b a n y a k u m a t Isla m y a n g m e m ilik i k e m a m p u a n in te le k tu a l y a n g c u k u p b a ik te ta p i le m a h se c a r a e k o n o m i, s e h in g g a m e re k a t id a k m a m p u m e n e ru sk a n se k o la h n y a . L e b ih d a ri itu, s a a t in i k ita m a sih sa n g a t m e m b u tu h k a n m a n u sia -m a n u s ia unggul
u n tu k
m em bangun
p erad ab an
Isla m .
T anpa
k e b e ra d a a n
m a n u sia -
m a n u sia u n g g u l in i, se la m a itu p u la k ita tid a k d a p a t m e n g e ja r k e te rtin g g a la n k ita d a ri b a n g s a -b a n g s a lain .
6. Bangkitnya Semangat Filantropi Islam S a la h sa tu h ik m a h G e m p a B u m i d i S u m a te r a B a ra t y a n g m e n g g o n c a n g ra n a h M in a n g b e b e r a p a h a ri y a n g la lu a d a la h , b a n g k itn y a s o lid a rita s m a sy a ra k a t In d o n e sia (ju g a m a sy a ra k a t lu a r n e g e ri) u n tu k b e r s a m a -s a m a m e m b a n tu ra n a h M in a n g a g a r d a p a t b a n g k it k e m b a li. B a n tu a n y a n g te ru s m e n g a lir b a ik d a ri d a la m n e g e ri a ta u p u n d a ri lu a r n eg e ri, s e o la h m e n y e n ta k k a n k ita s e m u a b a h w a te r n y a ta p e n d u d u k d u n ia in i m a sih m e m ilik i h a ti u n tu k p e d u li d a n b e rb a g i.
S e m a n g a t u n tu k b e r b a g i d a n k e in g in a n u n tu k sa lin g m e rin g a n k a n in ila h y a n g d is e b u t d e n g a n fila n tro p i. P e rta n y a a n n y a a d a la h , a p a k a h Isla m m e m ilik i s e m a n g a t fila n tr o fi se b a g a im a n a y a n g b e r k e m b a n g d i B a ra t?
F ila n tr o p i
s e c a ra
s e d e r h a n a d a p a t d ite r je m a h k a n s e b a g a i k e d e rm a w a n a n , k e m u ra h h a tia n a ta u su m b a n g a n so sia l m a n u sia . F ila n tr o p i ju g a d a p a t d ite r je m a h k a n se b a g a i ra sa c in ta k e p a d a se sa m a m a n u sia y a n g m e n d o r o n g n y a u n tu k b e r b u a t b a ik d a n tu lu s k e p a d a m a n u sia y a n g m e m b u tu h k a n s e h in g g a d a p a t m e n in g k a tk a n k e h id u p a n m e re k a y a n g k e s u s a h a a n .21 B e ra n g k a t d a ri d e fin is i d i ata s, k ita b is a m e n g a ta k a n b a h w a d i d a la m Isla m , in s titu si fila n tr o p i in i te r lih a t k e d a la m b e n tu k z ak at, in fa q d a n sa d a q a h d a n w a k a f (Z IS W A F ). A ja r a n fila n tr o fi in i s e s u n g g u h n y a m e m ilik i k e d u d u k a n y a n g s a n g a t sig n ifik a n d a la m s tru k tu r a ja r a n m u 'a m a la h Islam . B a h k a n y a n g c u k u p m e n a r ik a d a la h , p a d a a w a l Isla m , fila n tro p i Isla m d id a s a r i o le h ra sa c in ta s e s a m a m a n u sia y a n g m e m b a w a k e p a d a k e in g in a n u n tu k b e r b a g i d a n sa lin g m e ra sa k a n . N a m u n se irin g d e n g a n m a s a fo r m a tif h u k u m Isla m , d im e n s i h u k u m fila n tr o p i-la h y a n g m e n o n jo l d a n se c a ra p e r la h a n n a m u n p a sti a s p e k c in ta k e m a n u s ia a n
yang
d ik a n d u n g
Z IS W A F
m e n ja d i
kabur
u n tu k
tid a k
m e n g a ta k a n n y a h ila n g s a m a sek ali. P a ra u la m a se rin g m e n y e b u tk a n , p e r in ta h m e n g e lu a r k a n z a k a t d ise b u t alQ u r 'a n s e b a n y a k 3 6 k a li d a n 2 1 k a li d ia n ta ra n y a d ira n g k a ik a n d e n g a n k e w a jib a n sh a la t. H a l in i m e n u n ju k k a n , se ja tin y a m a n u sia tid a k s a ja m e m ilik i h u b u n g a n y a n g b a ik d e n g a n A lla h (h a b l m in A lla h ) te ta p i ju g a h a ru s m e m ilik i h u b u n g a n yang
h a rn o n is d e n g a n
m a n u sia
(h a b l m in
nas).
H ubungan
d e n g a n A lla h
d ila m b a n g k a n d e n g a n sa la t se d a n g k a n h u b u n g a n se s a m a m a n u sia d isim b o lk a n d e n g a n zak at. P e rk e m b a n g a n s e la n ju tn y a m e n u n ju k k a n b a h w a s isi h u k u m z a k a t in i m e n d a p a t p e r h a tia n y a n g lu as d i d a la m
k ita b -k ita b fik ih , b a ik y a n g k la sik
21Sukron Kamil, “Filantropi Islam dan Keadilan Sosial dalam Kalam dan Fikih: Problema dan Solusi” dalam, Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, Bandung: Teraju, 2003, h. 41-69.
a ta u p u n
yang
k o n te m p o re r.
Sem uanya
d ia tu r
dengan
san gat
p e n e n tu a n sy a ra t-s y a ra t b e n d a y a n g w a jib d iz a k a ti, h a w l
rin c i
se p e r ti
(m asa) d a n n isa b
(k ad ar) sa m p a i p e n e n tu a n o r a n g -o r a n g y a n g b e r h a k m e n e r im a n y a d e n g a n se g a la k re te ria n y a . K u a tn y a
d im e n si
hukum
zakat
te r n y a ta
san gat
b erp en garu h
d a la m
s tru k tu r k e s a d a ra n b a tin m a s y a r a k a t Isla m . M e r e k a m e m b a y a r z a k a t k a re n a d o ro n g a n h u k u m . L e w a t z a k a t m e re k a b e r u p a y a u n tu k m e n g h in d a r i m u rk a A lla h . z a k a t y a n g s e m u la b e r o r ie n ta s i a n th r o p o se n tr is (k e m a n u sia a n ) b e r g e s e r m e n ja d i te o s e n tr is (k e tu h a n a n ). Ja d ila h z a k a t m irip d e n g a n u p e ti. Jik a se o ra n g dem ang,
h a ru s
m e m b e rik a n
m e m b e r ik a n
u p e tin y a
kepada
u p e tin y a
kepada
Tuhan
m e la lu i
raja, z ak at.
m aka
m a n u sia
K ritik
in i
ju g a
p e rn a h
d is a m p a ik a n u la m a N U , M a s d a r F a rid M a s ’u d i d i d a la m k a r y a n y a y a n g b e rju d u l, A g a m a K e a d ila n . S a d a r a ta u tid a k , s e b e n a rn y a a d a s e s u a tu y a n g h ila n g d a ri p e la k s a n a a n z a k a t d a n in stitu si la in n y a d i d a la m m a s y a r a k a t Isla m . Z a k a t d a n in s titu s i la in n y a tid a k sa ja d ib e d a k a n d a ri sisi h o k u m , te ta p i ju g a b e r b e d a se c a ra p rio ro ta s. Z a k a t m e n ja d i u ta m a d is b a n d in g y a n g la in n y a . Jik a z a k a t d iw a jib k a n m a k a in faq , sa d a q a h , d a n w a q a f (Z IS W A F )
h a n y a d ia n ju rk a n
(su n n a h ). B ila d ik e rja k a n
b e r p a h a la d a n tid a k m e n g a p a jik a d itin g g a lk a n . P a d a h a l d i d a la m a l- Q u r 'a n , k a ta in faq , sh a d a q a h , d a n z a k a t s e la lu d ig u n a k a n d a n d ip e rtu k a rk a n a n ta r a y a n g sa tu d e n g a n y a n g la in n y a ?. D a la m k o n te k s ini, se b e n a rn y a Z IS W A F te la h m e n g a la m i re d u k s i m a k n a y a n g c u k u p b e ra rti. K e tik a Z IS W A F d ija d ik a n se b a g a i m a sa la h h u k u m y a n g te n tu sa ja m e m b u tu h k a n r u m u sa n h u k u m y a n g siste m a tis d a n m e k a n istis. p e n d e k n y a Z IS W A F se b a g a i fila n tr o fi Isla m te la h k e h ila n g a n su b sta n sin y a . S e ja tin y a p e m b e r ia n h a r ta k e p a d a o ra n g y a n g m e m b u tu h k a n b u k a n la h h a n y a s e k e d a r m a n ife s ta s i k e im a n a n s e s e o ra n g k e p a d a T u h a n n y a a ta u le b ih d ise b a b k a n o le h k e ta k u ta n te r h a d a p a n c a m a n h u k u m a n , m e la in k a n
sa tu
b e n t u k k o m itm e n s o sia l se o ra n g m u slim te r h a d a p m u s lim la in n y a . P e m b e ria n itu h e n d a k n y a d id a s a rk a n ra sa c in ta y a n g tu lu s k e p a d a se sa m a m a n u sia . D e n g a n d e m ik ia n , p e m b a y a ra n z ak at, ju g a sa d a q a h d a n in fa q tid a k la g i s e m a ta -m a ta
se b a ta s
k e w a jib a n
s e o ra n g
m u s lim
u n tu k
m e n g e lu a r k a n
h a r ta n y a d a la m k e ra n g k a m e n d a p a t p e r k e n a n (rid a) A lla h saja , m e la in k a n ju g a
d ip a h a m i
se b a g a i
b e n tu k
k o m itm e n
te r h a d a p
se s a m a
m a n u sia .
S in g k a tn y a , Z IS W A F d a la m Isla m b u k a n h a n y a m e n g a n d u n g d im e n s i etis t e o lo g is te ta p i ju g a etis s o sia l e k o n o m i. Jik a Z IS W A F d i lih a t s e b a g a i sa tu b e n tu k p e r w u ju d a n ra s a c in ta k e p a d a s e s a m a m a n u sia , m a k a p o te n s i Z IS W A F y a n g s e b e n a rn y a s a n g a t b e s a r jik a d a p a t te ra k tu a lk a n . S e b a lik n y a , jik a Z IS W A F h a n y a d ilih a t d a ri s is i h u k u m n y a saja , m a k a a k ib a tn y a a d a la h , Z IS W A F a k a n te r p e r a n g k a p d i d a la m a tu ra n a tu ra n h u k u m y a n g k ak u . P a d a g ilira n n y a , fila n tr o fi Isla m y a n g d im a k su d k a n s e b a g a i sa ra n a u n tu k m e n in g k a tk a n t a r a f h id u p o r a n g m isk in , m e n ja d i tid a k te rw u ju d . S a m p a i d i sin i, p e r u b a h a n p a ra d ig m a d a la m m e m a n d a n g in stitu si fila n tr o fi Isla m m e n ja d i s e b u a h k e n isc a y a a n . Z IS W A F se b a g a i b e n tu k fila n tro p i Isla m , jik a d ik e m b a lik a n k e p a d a m a k n a a s a ln y a d ip a stik a n d a p a t m e n d a ta n g k a n s u m b e r d a n a y a n g b e s a r . S y a ra tn y a p a ra d ig m a y a n g m e n d a s a r in y a h a ru s d ig e se r. S e la m a in i in fa q d an s a d a q a h d ip a h a m i se k e d a r p e m b e r ia n k a r ita tif y a n g a la k a d a rn y a . S e h in g g a , in fa q
dan
sa d a q a h
se rin g k a li tid a k
d ip e r s ia p k a n
d engan
m a ta n g
k a re n a
d ia n g g a p b u k a n p e m b e ria n y a n g su n g g u h -su n g g u h . U n tu k m e m b u k tik a n n y a , k ita b is a m e lih a t b a g a im a n a isi k o ta k -k o ta k in fa q s e p e r ti y a n g te r lih a t se tia p
h a ri ju m 'a t .
D i d a la m
k o ta in fa q itu,
d ite m u k a n r e c e h a n u a n g k a la u p u n a d a y a n g b e s a r p a lin g s a tu d u a h a rg a s e p u lu h a ta u d u a p u lu h rib u C o n to h b e rik u tn y a , p e n g h a s ila n y a n g d i d a p a t p e n g e m is
yang
te la h
k e h ila n g a n
s a tu
k a k in y a .
M erek a
tid a k
le b ih
m e n d a p a tk a n k u m p u la n re c e h a n , k a la u p u n a d a y a n g b e sa r, p a lin g -p a lin g
s e rib u ru p ia h . L a g i-la g i a d a p a ra d ig m a y a n g sala h , k a re n a in fa q itu h u k u m n y a su n n a h , b o le h d ila k u k a n d a n ju g a tid a k a d a c e la jik a d itin g g a lk a n . P e ru b a h a n p a ra d ig m a y a n g d im a k s u d a d a la h , m e n g e m b a lik a n Z IS W A F seb agai
b e n tu k
fila n tr o fi
Isla m
yang
d iim p le m e n ta sik a n
d a la m
b e n tu k
k e p e d u lia n d a n k e c in ta a n k e p a d a se sa m a m a n u sia . S e ja tin y a , ia tid a k la g i d ib e le n g g u o le h k o n s e p -k o n se p h u k u m y a n g k ak u , m e la in k a n ia m e n ja d i se su a tu y a n g b e b a s d a n h a n y a d iik a t o le h k o m itm e n k e m a n u sia a n . S e o ra n g m u z a k k i y a n g te la h m e n g e lu a r k a n z a k a tn y a p a d a ta h u n te rte n tu , tid a k b e r a r ti ia te la h le p a s d a ri ta n g g u n g ja w a b . S e b a lik n y a ia a k a n se la lu b e r u s a h a u n tu k m e n g a n g k a t t a r a f h id u p o r a n g y a n g su s a h k e a ra h y a n g le b ih b aik . Ia a k a n m e ra s a b e lu m b e rh a sil, jik a Z IS W A F y a n g d ik e lu a r k a n n y a tid a k d a p a t m e n s e ja h te r a k a n o ra n g lain . G e m p a S u m b a r m e n g a ja r k a n a k e p a d a k ita, m e m b e r i d id a sa rk a n a ta s nam a
k e m a n u sia a n
b e r h a s il
m e la m p a u i
s e k a t-s e k a t
hukum .
M e re k a
m e n g e lu a r k a n h a r ta n y a tid a k la g i d id a sa rk a n k e w a jib a n d a n k e te rp a k sa a n m e la in k a n k e re la a n . M e r e k a y a n g m e m b e r i tid a k te r je b a k d e n g a n h a u l d a n n ish a b . Y a n g p e n tin g b a g a im a n a b is a m e m b e r i d a n b e re m p a ti. T e rn y a ta h a sil y a n g d ik u m p u lk a n c u k u p b e s a r d a n m e la m p a u i p e r o le h a n z a k a t d a n w a k a f y a n g d is e le n g g a ra k a n b e rta h u n -ta h u n . B e d a n y a a d a la h jik a fila n tro p i y a n g b e r k e m b a n g d i B a ra t s e m a ta -m a ta d id a sa rk a n
h u m a n ism e
u n iv e rsa l.
Sedangkan
fila n tr o fi
Isla m
d id a sa ri
s e m a n g a t b e r b a k ti k e p a d a A lla h d a n b e r e m p a ti k e p a d a m a n u sia . L e p a s d a ri itu a d a la h p e n tin g b a g i k ita u n tu k m e m b u d a y a k a n s e m a n g a t fila n tr o fi Isla m dan
tid a k
m e m p o s is ik a n n y a
hanya
seb agai
a k tiv ita s
yang
sp o ra d is
dan
te m p o re r.
7. Etos W akaf ; Ketakwaan dan Kesejahteraan Umat A p a y a n g a k a n a n d a la k u k a n , jik a a n d a m e m ilik i se b id a n g ta n a h y a n g a m a t su b u r. T a n a h itu sa n g a t p r o d u k t if s e h in g g a a p a sa ja y a n g d ita n a m , a k a n
tu m b u h d a n m e n g h a s ilk a n b u a h -b u a h a h a n d a n sa y u r-sa y u ra n y a n g a m a t seg a r. In tin y a n ila i e k o n o m is ta n a h itu s a n g a t tin g g i. S a y a m e n d u g a ja w a b a n k ita a k a n b e rv a ria s i. A d a y a n g a k a n m e n g o la h ta n a h n y a m e n ja d i ta n a h p e r ta n ia n y a n g su b u r. A d a y a n g m e n ju a ln y a d e n g a n h a r g a tin g g i. S a y a tid a k ta h u a p a k a h a d a y a n g m e m u tu sk a n u n tu k m e w a k a fk a n ta n a h n y a y a n g s u b u r te rse b u t!. M e r u ju k p a d a se ja ra h k e h id u p a n sa h a b a t, k ita a k a n m e n e m u k a n sa tu b a b a k a n se ja ra h y a n g in d a h . A d a la h U m a r Ib n A l-K h a tta b , m e m ilik i se b id a n g ta n a h d i K h a ib a r. T a n a h itu d ik h a b a rk a n s a n g a t s u b u r d a n b e r n ila i e k o n o m is yang
tin g g i.
Yang
m e n a r ik a d a la h ,
U m ar
Ib n
A l-K h a tta b
tid a k
m e n g o la h
ta n a h n y a . T id a k p u la m e n ju a ln y a d e n g a n h a rg a tin g g i. U m a r m e m ilih u n tu k m e w a k a fk a n h a rta n y a . K e tik a U m a r m e m in ta p e n d a p a t R a su l, N a b i y a n g m u lia itu m e n g a ta k a n , jik a e n g k a u in g in , ta h a n la h z a tn y a d a n a m b il m a n fa a tn y a . In ila h m a k n a w a k a f d a la m p e n g e r tia n p e ra k tis n y a . D i d a la m sa b d a n y a R a su l in g in m e n g a ta k a n , s e r a h k a n la h h a rta m u k e p a d a A lla h d a n b e r ik a n k e m a n fa a ta n n y a b u a t u m a t. H a rta w a k a f a d a la h h a r ta A lla h sw t y a n g p e m a n fa a ta n n y a k e m b a li k e p a d a u m a t. U m a r Ib n A l-K h a tta b s e s u n g g u h n y a te la h m e n u n ju k k a n sik a p te r p u ji te rh a d a p a se t y a n g k ita m ilik i. D e m ik ia n la h , e to s w a k a f s a h a b a t p a d a m a s a N a b i M u h a m m a d S A W . P a ra sa h a b a t s e m u a n y a in g in ta m p il m e n ja d i o ra n g yang
te r d e p a n
d a la m
m e la k u k a n
k e b a ik a n -k e b a ik a n
te r le b ih
la g i
d a la m
k a ita n n y a d e n g a n k e p e n tin g a n u m a t Islam . Jik a
k ita m e ru ju k k e d a la m Q .S F a th ir a y a t 32, se tid a k n y a a d a tig a
g o lo n g a n h a m b a A lla h y a n g d ip ilih n y a u n tu k m e w a r is i A l-K ita b . A d a y a n g d is e b u t z h a lim u n li n a fsih (m e re k a y a n g m e n z a lim i d irin y a se n d iri), a d a p u la y a n g m u q ta s h id (m o d e ra t) d a n a d a y a n g p a lin g b aik . A lq u r a n m e n g g u n a k a n is tila h sa b iq u n bi a l-k h a ira t. K e lo m p o k y a n g te r a k h ir in i a d a la h m e re k a y a n g s e la lu
in g in
m e n g a m b il
k e s e m p a ta n
p e r ta m a
d a la m
m e la k u k a n
k e b a ik a n -
k e b a ik a n . M e re k a in g in d i d e p a n jik a a d a ru a n g u n tu k b e r b u a t b aik . T id a k p e rlu m enunggu
o ra n g la in y a n g le b ih
m e n y u s u l d i b e la k a n g .
d a h u lu m e la k u k a n n y a b a r u
k e m u d ia n
ia
D i a n ta r a in stru m e n t e k o n o m i Isla m y a n g b e la k a n g a n in i m e n d a p a t p e rh a tia n se riu s d i k a la n g a n a h li d a n p e r a k tis i e k o n o m i Isla m a d a la h m a sa la h w a k a f. B e r b e d a d e n g a n in s tr u m e n t e k o n o m i Isla m la in n y a y a n g r e la t if le b ih stab il, se p e r ti z a k a t, in faq , sa d a q a h , p e rb a n k a n s y a ri’ah , a s u r a n s i d a n la in n y a . W a k a f d ip a n d a n g m e m ilik i p o te n s i y a n g b e sa r. T e n tu sa ja w a k a f y a n g d im a k su d d a la m k o n te k s in i a d a la h w a k a f p r o d u k t if b u k a n w a k a f k o n v e n sio n a l. B a h k a n , w a k a f ja u h le b ih p o te n s ia l u n tu k m e m b e r d a y a k a n e k o n o m i u m a t. D i a n ta r a fa k to rn y a a d a la h a tu r a n -a tu r a n w a k a f y a n g r e la t if le b ih fle k sib e l. K e h a d ira n U U N o 1 T a h u n 2 0 0 4 te n ta n g W a k a f d a n P P N o m o r 4 2 T a h u n 2 0 0 9 te n ta n g P e la k s a n a a n n y a a d a la h se b u a h m o m e n tu m d i m a n a k ita te la h m e m a su k i e r a b a r u fik ih w a k a f. U U te r s e b u t tid a k s a ja a k o m o d a tif te rh a d a p a tu r a n -a tu r a n
n o r m a t if te n ta n g
w a k a f te ta p i ju g a
san gat
p r o g r e s if d a la m
m e re s p o n p e rk e m b a n g a n m o d e rn . D i d a la m U U d i a tu r w a k a f u a n g y a n g se la m a in i m a sih d ita b u k a n d ik a la n g a n se b a g ia n u la m a . D e m ik ia n ju g a w a k a f m u a q q a t (b e rja n g k a ) y a n g tid a k d ib e r i ru a n g . T id a k k a la h m e n a r ik n y a a d a la h U U te r s e b u t ju g a m e n g a tu r te n ta n g M a n a je m e n W a k a f, B a d a n W a k a f In d o n e sia , n a z h ir d an se g a la sa n k si y a n g m e lin g k u p in y a . D a ri sisi p e r a n g k a t p e ra tu ra n , e k s is te n s i w a k a f k ita ja u h le b ih b a ik d a ri m a s a lalu . P e rs o a la n n y a s e k a r a n g a d a la h b a g a im a n a m e n in g k a tk a n e to s w a k a f u m a t. M e n in g k a tk a n e to s w a k a f u m a t b u k a n la h h a l m u d a h . L a n g k a h p e r ta m a y a n g h a ru s d ila k u k a n a d a la h m e ru b a h p a ra d ig m a w a k a f u m a t.
M in d s e t u m a t
k ita t e n ta n g w a k a f m a sih m e ru ju k k e p a d a k o n se p w a k a f y a n g d iru m u sk a n u la m a k lasik , b e b e r a p a a b a d y a n g lalu . T e n tu tid a k s e m u a n y a sala h . N a m u n k e te rik a ta n k e p a d a p e m ik ira n m a s a la lu , k e ra p m e m b u a t k ita te rb e le n g g u . S a m p a i d i sini, id io m
yang
b e rla k u
di
d a la m
NU
(N a h d h a tu l
U la m a )
la y a k
u n tu k
k ita
p e rtim b a n g k a n . A l-m u h a fa z h a t ‘a la a l-q a d im a l-sa lih w a a l-a k h z b i a l-ja d id a sla h (m e m p e rta h a n k a n tr a d is i la m a y a n g b a ik d a n m e n g a m b il g a g a sa n b a r u y a n g le b ih b aik ).
D i a n ta r a p e r g e s e ra n p a ra d ig m a b e r p ik ir te n ta n g w a k a f a d a la h , a n ta r a k e a b a d ia n d a n k e m a n fa a ta n . B e r p e g a n g p a d a k e a b a d ia n ‘ain (m ateri)
w akaf
k e ra p m e m b u a t k ita t id a k b is a m e m p r o d u k tifk a n h a rta w a k a f. K e a b a d ia n a ta u b a q a ’ w a k a f ju g a m e m b u a t k ita tid a k b is a m e m p e rlu a s o b je k w a k a f. O le h se b a b itu , d e fin isi w a k a f y a n g m e n e g a s k a n ta h a n z a tn y a d a n a m b il m a n fa a tn y a h a ru s d ip a h a m i
se c a ra
se im b a n g .
D e m ik ia n
ju g a
d engan
la ra n g a n
R a su l
u n tu k
m e w a risi, m e n ju a l a ta u m e n g h ib a h k a n ta n a h w a k a f itu h a ru s d ile ta k k a n d a la m k o n te k s y a n g te p a t. S e ja tin y a , m a n fa ’a t w a k a f tid a k sa ja d ip o sis ik a n se b a g a i t u ju a n (g oal) w a k a f te ta p i h a ru s d ija d ik a n a sa s d a la m p e n g e m b a n g a n w a k a f. M e n e ra p k a n k o n se p k e a b a d ia n w a k a f a k a n s a n g a t s u lit jik a k ita b ic a ra t e n ta n g w a k a f u a n g . A p a la g i jik a a d a y a n g m e m a h a m i k e a b a d ia n w a k a f itu a d a la h m a te ri a ta u b e n d a u a n g itu sen d iri. P a d a h a l u a n g a k a n b e r m a n fa a t jik a d ik e lo la d a n d ip u ta r k a n se c a ra e k o n o m is. Jik a k e a b a d ia n w a k a f u a n g d ip a h a m i p a d a n ilai, te r n y a ta n ila i u a n g ju g a m e n g a la m i flu k tu a si. S a m p a i d i sin i, p e n tin g u n tu k m e m a h a m i in ti w a k a f itu a d a la h b a g a im a n a h a r ta y a n g d im ilik i m e m b e ri k e m a n fa a ta n y a n g le b ih lu as b u a t k e m a n u sia a n . S a m p a i sa a t ini, p e n u lis m e lih a t m a s ih a d a d ik a la n g a n u m a t Isla m b a h k a n u la m a d a n c e n d ik ia w a n n y a y a n g b e lu m b is a m e n e r im a w a k a f u a n g d e n g a n a la sa n d e fin is i y a n g te la h d ite ta p k a n u la m a m a s a lalu. S e b a g a i la n ju ta n n y a , m e n u ru t p e n u lis, r u b u ’ w a k a f h a ru s d ile ta k k a n p a d a ru m p u n
m u ’a m a la t.
T id a k
la g i d ite m p a tk a n
pada
r u b u ’ ib a d a h .
P o sisi in i
m e n e n tu k a n b a g i m a ja l a l-ijtih a d (ru a n g ijtih a d ). U U W a k a f m e m b e ri p e lu a n g u n tu k m e n u k a r, m e n g g a n ti d a n m e n ju a l h a r ta w a k a f k e n d a tip u n p r o s e d u r n y a s a n g a t ru m it d a n su lit. T e n tu in i p e n tin g u n tu k m e n g h in d a r k a n k e se w e n a n g w e n a n g a n p a ra n a z h ir jik a k e ra n ta b a d u l w a k a f in i d i b u k a se d e m ik ia n lu as. In tin y a ,
p eru b ah an
p e r u n tu k a n
w a k a f itu
d ip e r k e n a n k a n
se p a n ja n g
sesu ai
d e n g a n u n d a n g -u n d a n g . B u k a n k a h , m a n fa a tn y a a k a n k e m b a li k e p a d a u m a t ju g a . Y a n g sa la h a d a la h jik a h a rta w a k a f d itu k a r u n tu k k e p e n tin g a n p e m ilik m o d a l d a n k a u m k a p ita lis. T a n a h w a k a f y a n g tid a k te r m a n fa a tk a n a ta u tid a k p r o d u k t if b isa
s a ja d iju a l d a n h a s iln a y k e m b a li d ib e lik a n k e p a d a ta n a h y a n g m e m ilik i n ila i e k o n o m i d a n p o te n s ia l u n tu k d ik e m b a n g k a n . Ijtih a d -ijtih a d
s e p e rti
di
a ta s
san gat
d ip e rlu k a n
d a la m
upaya
m e n g o p tim a lk a n w a k a f. T id a k sa ja d ip e rlu k a n k e b e ra n ia n in te le k tu a l u n tu k b e r ijtih a d te ta p i ju g a k e b e ra n ia n m o ral. P a d a sa a t in ilah , in te g rita s n a z h ir a k a n d ip e rta ru h k a n .
A pakah
upayanya
d a la m
m e m p r o d u k tifk a n
w akaf
d isisip i
k e p e n tin g a n p r ib a d i a ta u g o lo n g a n ? a ta u k a h s e m a ta -m a ta d e m i k e p e n tin g a n u m at. P a d a g ilira n n y a , u p a y a u n tu k m e m p r o d u k tifk a n w a k a f m e m b u tu h k a n S u m b e r d a y a In s a n i y a n g ta n g g u h . D a la m h a l ini, k e b e ra d a a n n a z h ir m e n ja d i n isc a y a . N a z h ir b u k a n o ra n g y a n g tin g g a l d i m a sjid a ta u y a n g r u m a h n y a d e k a t d e n g a n o b je k w a k a f. N a z h ir ju g a b u k a n fa m ili a ta u a n a k d a ri p e w a k if. M a k n a n a z h ir d a la m u n d a n g -u n d a n g a d a la h su m b e r d a y a m a n u sia y a n g ta n g g u h , c e rd a s d a n b e r m o r a l se rta m a m p u m e m p r o d u k tifk a n w a k a f. M a m p u m e m b e r i n ila i ta m b a h te r h a d a p w a k a f. In tin y a , ia m a m p u u n tu k m e m b e r d a y a k a n h a rta w a k a f u n tu k k e m a n fa a ta n y a n g s e b e s a r -b e s a r n y a b u a t u m a t. P o in t y a n g in g in p e n u lis sa m p a ik a n a d a la h , tu g a s k ita s e b a g a i k h a lifa h s e s u n g g u h n y a a d a la h b a g a im a n a m e m b u a t u m a t in i m e n in g k a t k e ta k w a a n n y a d a n m e n in g k a t p u la k e s e ja h te ra a n n y a . K ita tid a k b is a m e n d o r o n g u m a t u n tu k b e r ta k w a
nam un
te n g g e la m
d a la m
h id u p n y a
s e n g sa ra .
T id a k
b o le h
ju g a
k ita b ia r k a n
um at
k e s e ja h te ra a n m a te ria ln y a , n a m u n m isk in se c a ra sp iritu a l.
T u g a s k ita a d a la h m e n d o r o n g eto s w a k a f u m a t. K e r ja s a m a d a n k e te la d a n a n u la m a d a n u m a r a se rta m a sy a ra k a t m e n ja d i p e n tin g . H a n y a d e n g a n k e rja sa m a y a n g b a ik in ila h , k e ta k w a a n d a n k e s e ja h te r a a n u m a t a k a n s a m a -s a m a b is a k ita bangun.
8. Nazhir W akaf Dalam UU No 41 Tahun 2004 U U N o 4 1 T a h u n 2 0 0 4 te n ta n g w a k a f te la h m e n g a tu r p e rso a la n n a z h ir d e n g a n sa n g a t rin c i. In i m e n u n ju k k a n b a h w a n a z h ir m e m ilik i k e d u d u k a n y a n g
s ig n ifik a n d i d a la m U U te rse b u t. D i s a m p in g itu , a d a k e sa n k u at, e k sis te n s i w a k a f d a n p e m b e r d a y a a n n y a sa n g a t te r g a n tu n g p a d a n a z h ir te rse b u t. Jik a a d a h a rta w a k a f y a n g tid a k p ro d u k tif, a ta u h a r ta w a k a f y a n g h ila n g a ta u y a n g d ia lih k a n , a k a r m u a r a n y a a d a la h p a d a n a z h ir y a n g b is a ja d i tid a k m e n ja la n k a n fu n g s in y a d e n g a n b aik . D i d a la m P a sa l 1 a y a t 4 d ite g a sk a n b a h w a n a z h ir a d a la h p ih a k y a n g m e n e r im a h a r ta b e n d a w a k a f d a ri w a k if u n tu k d ik e lo la d a n d ik e m b a n g k a n se su a i d e n g a n p e ru n tu k a n n y a . D i d a la m U U te r s e b u t ju g a d ia tu r b a h w a n a z h ir itu b isa d a la m b e n tu k p e ro ra n g a n , o r g a n is a s i a ta u p u n b a d a n h u k u m . A d a p u n sy a ra ts y a ra t n a z h ir
(p e ro ra n g a n )
a d a la h w a r g a
n e g a ra
In d o n e sia ,
Isla m ,
d e w a sa ,
a m a n a h , m a m p u se c a ra ja sm a n i d a n ro h a n i se rta t id a k te r h a la n g m e la k u k a n p e r b u a ta n
h o k u m . Jik a n a z h ir n y a o rg a n is a s i sy a ra tn y a a d a la h
(1) p e n g u ru s
o rg a n is a s i y a n g b e r s a n g k u ta n m e m e n u h i s y a ra t-s y a ra t n a z h ir p e ro ra n g a n . (2) o rg a n is a s i te r s e b u t b e r g e r a k d i b id a n g so sia l, p e n d id ik a n , k e m a sy a ra k a ta n d a n a ta u k e a g a m a a n Isla m . A d a p u n n a z h ir b a d a n h u k u m
s y a ra tn y a a d a la h ,
p e n g u ru s
sy a ra t-s y a ra t
o r g a n is a s i
yang
b e r s a n g k u ta n
m em enuhi
(1)
n a z h ir
p e ro ra n g a n . (2) B a d a n H u k u m In d o n e s ia y a n g d ib e n tu k s e s u a i d e n g a n p e r a tu ra n p e r u n d a n g -u n d a n g a n y a n g b e rla k u . (3) o r g a n is a s i y a n g b e r s a n g k u ta n b e r g e r a k d i b id a n g so sia l, p e n d id ik a n , k e m a sy a ra k a ta n d a n a ta u k e a g a m a a n Isla m . (P a sa l 9 14 ) . S e la n ju tn y a , tu g a s -tu g a s n a z h ir a d a la h m e la k u k a n p e n g a d m in is tr a s ia n h a r ta b e n d a w a k a f, m e n g e lo la d a n m e n g e m b a n g k a n h a rta w a k a f s e s u a i d e n g a n tu ju a n , fu n g s i d a n p e ru n tu k a n n y a , m e n g a w a s i d a n m e lin d u n g i h a r ta b e n d a w a k a f dan
m e la p o rk a n
p e la k sa n a a n tu g a s k e p a d a B a d a n W a k a f In d o n e sia .
M e n a rik n y a , U U m e m b e r ik a n h a k k e p a d a n a z h ir h a k u n tu k m e n d a p a t im b a la n , u p a h , a ta u b a g ia n m a k sim a l 10 % d a ri h a sil b e r s ih (k e u n tu n g a n ) a ta s p e n g e lo la a n d a n p e n g e m b a n g a n h a rta b e n d a w a k a f. D i s a m p in g itu, n a z h ir ju g a b e r h a k m e n d a p a tk a n p e m b in a a n d a ri m e n te r i y a n g m e n a n g a n i w a k a f d a n b a d a n w a k a f In d o n e s ia u n tu k m e la k s a n a k a n tu g a s n y a se c a r a b a ik d a n b e n a r.
S a tu h a l y a n g p e r lu d ip e rh a tik a n , U U tid a k m e m b e r i k e w e n a n g a n k e p a d a n a z h ir u n tu k m e la k u k a n b a d a l a ta u istib d a l se b a g a im a n a y a n g te la h d ib a h a s p a d a Ju m ’a t lalu . P e n u k a ra n h a r ta w a k a f se p e n u h n y a m e n ja d i w e w e n a n g m e n te ri A g a m a a ta s p e r s e tu ju a n B a d a n W a k a f In d o n e sia . A n d a ip u n te r ja d i p e ru b a h a n a ta u p e n u k a ra n h a r ta w a k a f, p o s isi n a z h ir a d a la h m e m a stik a n b a h w a h a r ta w a k a f itu
m e m a n g tid a k
d a p a t la g i d ip e rg u n a k a n ,
a d a k e p e n tin g a n
um um
yang
b e rk e n a a n d e n g a n R e n c a n a U m u m T a ta R u a n g K o ta (R U T R ) d a n d id a sa rk a n p e r tim b a n g a n k e p e rlu a n a g a m a y a n g d h a ru ri. S a m p a i d i sin i, in te g rita s se o ra n g n a z h ir m e n ja d i ta ru h a n n y a . S e c a ra im p lisit U U N o 4 1 T a h u n 2 0 0 4 in g in m e n e g a s k a n sig n ifik a n s i k e b e ra d a a n n a z h ir. Jik a w a k a f u m a t Isla m in g in p ro d u k tif, tid a k a d a p ilih a n la in k e c u a li d e n g a n m e m b e n tu k n a z h ir y a n g p ro fe sio n a l. N a z h ir y a n g b u k a n s e b a g a i sta tu s
m e la in k a n
seb agai
p r o fe s i y a n g
m e n u n tu t
kem am puan
m a n a g e ria l,
in te g rita s m o ra l y a n g k u a t d a n v is i y a n g k u at. D i sa m p in g itu, r u m u sa n U U te n ta n g n a z h ir y a n g
s e d e m ik ia n
p ro g re s if,
s e s u n g g u h n y a m e ru p a k a n
k ritik
te r h a d a p n a z h ir w a k a f se la m a ini. Ju ju r h a ru s d iak u i, jik a s a m p a i sa a t ini, h a r ta w a k a f y a n g ju m la h n y a d i In d o n e sia c u k u p sig n ifik a n n a m u n b e lu m b e r h a s il m e n s e ja h te r a k a n u m a t Islam , sa la h s a tu fa k to rn y a a d a la h k e g a g a la n n a z h ir a ta u k e tid a k m a m p u a n n a z h ir d a la m m e n g e lo la , m e m b e rd a y a k a n , m e m p ro d u k tifk a n h a r ta w a k a f. P e rn y a ta a n in i b u k a n se k e d a r a s u m s i a ta u o p in i, n a m u n m e ru p a k a n se b u a h p e n e litia n y a n g d a p a t d ip e r ta n g g u n g ja w a b k a n se c a ra ilm ia h . A d a p u n p e n e litia n in i d ila k u k a n o le h C S R C U IN S y a rig H id a y a tu lla h p a d a ta h u n 2 0 0 5 d i 11 P ro p in si y a itu , S u m a te r a B a ra t, Ja m b i, S u m a te r a S e la ta n , D K I Ja k a rta , B a n te n , Ja w a B a ra t, Ja w a T im u r, Ja w a T e n g a h , Ja w a T im u r, K a lim a n ta n S e la ta n , d a n N u s a T e n g g a r a B arat. T u ti A N a jib d a n R id w a n A l-M a k a s s a r y , W aka f, T u h a n d a n A g e n a K e m a n u s ia a n ; S tu d i T e n ta n g W a k a f d a la m P e r s p e k t if K e a d ila n S o s ia l d i In d o n e sia , (Ja k a rta : F F d a n C S R C , 20 0 6 ).
M e n g e n a i p r o fe s io n a lita s n a z h ir, s u r v e y m e m p e rlih a tk a n b a h w a h a n y a s e d ik it n a z h ir w a k a f (16 % ) y a n g b e n a r-b e n a r m e n g e lo la w a k a f se c a ra p e n u h (fu ll tim e). S e b a lik n y a
m a y o rita s n a z h ir w a k a f (8 4% ) m e n g a k u i tu g a s n y a se b a g a i
n a z h ir a d a la h tu g a s sa m p in g a n . U m u m n y a m e re k a m e m ilik i k e rja y a n g lain . A d a p u n p e k e r ja a n p a ra n a z h ir a d a la h s e b a g a i b e rik u t: No
P ro fe s i
Ju m la h
1
PNS
33%
2
P e ta n i/ N e la y a n
26 %
3
G u ru / D o se n
16 %
4
U sah aw an
10 %
5
P e n g u ru s M a sjid
6 %
6
K a ry a w a n B U M N
6 %
7
P o litisi
1%
8
P o lri/T N I
1%
9
K a ry a w a n sw a sta
1%
B e ra n g k a t d a ri fe n o m e n a d i atas, m e n g h a r a p k a n s e o ra n g n a z h ir itu b e n a rb e n a r p r o fe s sio n a l a d a la h
se b u a h
u to p ia
(a n g a n a n g a n y a n g tid a k p e rn a h
te rw u ju d ). N a z h ir ju g a ta m p a k n y a b e lu m d ip a n d a n g s e b a g a i se b u a h p e k e rja a n . Ja d i m e n g e lo la w a k a f m a sih d ip a n d a n g s e b a g a i p e r b u a ta n su k a re la .
P e n e litia n
te r s e b u t m e n u n ju k k a n h a n y a 8 % n a z h ir y a n g m e n d a p a tk a n h o n o r. S e le b ih n y a a d a y a n g m e n d a p a tk a n h o n o r n a m u n s a n g a t ja u h d a ri c u k u p . H a n y a 18 % y a n g m e ra s a p u a s d e n g a n g a ji s e b a g a i n a z h ir. M e n g a p a tin g k a t k e s u k a re la a n n a z h ir s a n g a t b e s a r ? T e rn y a ta p a ra n a z h ir u m u m n y a a d a la h to k o h a g a m a . B e rik u t ta b e l y a n g m e n je la s k a n k e d u d u k a n n a z h ir d i m a sy a ra k a t. No
P r o fe s i
Ju m la h
1
Tokoh A gam a lokal
83 %
2
Pejabat Pem erintah
5%
3
Pim pinan Pesantren
5%
4
Pengurus O rganisasi
3%
5
O rang Biasa
2%
6
Tokoh A dat
2%
B eb erap a
d a ta
la in
yang
tid a k
k a la h
m e n a r ik n y a
a d a la h
te rn y a ta ,
u m u m n y a y a n g m e n g a n g k a t n a z h ir a d a la h m a s y a r a k a t u m u m . S e le b ih n y a 2 7 % n a z h ir d ia n g k a t o le h w a k if. N a z h ir y a n g b e r a s a l d a ri k e lu a r g a s e b a n y a k 11 % d an y a n g b u k a n k e lu a rg a (6 % ), p e n g u ru s o rg a n isa s i (12 % ) d a n p e m e r in ta h (9 % ). D i s a m p in g itu, p a d a u m u m n y a n a z h ir d ip ilih k a r e n a m e re k a m e m ilik i k e m a m p u a n ilm u a g a m a (23 % ) d a n h a n y a 16 % y a n g b e r d a s a r k a n k e m a m p u a n m a n a je m e n . M a sih b e rk e n a a n d e n g a n te m u a n p e n e litia n , te r n y a ta n a z h ir p e r s e o r a n g a n m a sih d o m in a n t d i b e r b a g a i le m b a g a w a k a f. A d a p u n
p e r s e n ta s e n y a m e n c a p a i a n g k a
6 6 % . N a z ir d a la m b e n tu k o rg a n is a s i s e ju m la h 16 % d a n b e r b e n tu k b a d a n h o k u m 18 % . S e tid a k n y a d a ta -d a ta d i a ta s m e n u n ju k k a n k e p a d a k ita b e ta p a im p ia n u n tu k m e w u ju d k a n n a z h ir p r o fe s sio n a l m e n ja d i se s u a tu y a n g m a s ih ja u h d a ri h a ra p a n . Im p lik a s in y a le b ih ja u h a d a la h , p e m a n fa a ta n h a rta w a k a f k ita ju g a m a sih ja u h p a n g g a n g d a ri ap i. T e g a s n y a p e r lu k e rja k e ra s u n tu k m e la h irk a n n a z h ir p ro fe ssio n a l. B a g a im a n a p u n ju g a , p e m b e r d a y a a n w a k a f m e n ja d i tid a k m u n g k in
se p a n ja n g
k ita
b e lu m
b e rh a sil
m e la h irk a n
n a z h ir -n a z h ir
yang
p ro fe ssio n a l. B e ra n g k a t
d a ri
d a ta -d a ta
di
ata s,
p e m b in a a n
n a z h ir
sesu n ggu h n ya
m e ru p a k a n se b u a h k e n isc a y a a n . D e n g a n k e b e ra a n U U N o 4 1 ta h u n 2 0 0 4 , W a k a f te la h
d ip o sisik a n
tid a k
sa ja
seb agai
b e n tu k
a m a lia h
um at
dengan
c a ra
m e le p a sk a n h a k a ta s h a rta n y a , m e la in k a n le b ih d a ri itu , w a k a f te la h d ite m p a tk a n sebagai
in stru m e n t
ekonom i
Isla m
yang
san gat
p e n tin g
d a la m
ra n g k a
p e m b e r d a y a a n e k o n o m i u m a t. S e ja ra h p e r w a k a fa n d i s e b a g ia n b e s a r n e g a ra n e g a ra
Islam ,
c e r ita
su k se s
m e re k a
sem u anya
b e r m u la
d a ri
kem am puan
m e n g e lo la h a rta w a k a f se c a ra p ro fe sio n a l. W a k a f te n tu sa ja tid a k b is a la g i d i u ru s
d e n g a n c a ra s a m b il lalu . L e b ih p a ra h lagi, jik a h a rta w a k a f d ib ia r k a n d e m ik ia n s a ja t a n p a d ip ro d u k tifk a n . S u d a h s a a tn y a k ita m e la h irk a n n a z h ir -n a z h ir y a n g p ro fe sio n a l. S e tid a k n y a d e n g a n m e n g g u n a k a n p e n d e k a ta n T Q M (T o ta l Q u a lity M a n a g e m e n t), in d ik a to r n a z h ir p r o fe s io n a l itu a d a la h (1) a m a n a h (d a p a t d ip e rc a y a ), (2) s h id d iq (ju ju r), (3) F a th a n a h (cerd a s) d a n ta b lig h (tra n sfa ra n ). S e la n ju tn y a , k a r a k te r s u m b e r d a y a n a z h ir y a n g a m a n a h a d a la h (1) te r d id ik d e n g a n tin g g i m o ra lita s, (2) m e m ilik i k e te ra m p ila n y a n g u n g g u l d a n b e r d a y a sain g , (3) m e m ilik i k e m a m p u a n d a la m m e la k u k a n
p e m b a g ia n
k erja,
(4)
dapat
m e la k s a n a k a n
k e w a jib a n
se rta
m e m p e ro le h h a k y a n g a d il d a n (5) m e m ilik i sta n d a r o p e ra s io n a l k e rja y a n g je la s d a n te ra ra h . (D ju n a id i:2 0 0 5 ). D a la m k o n te k s B a d a n W a k a f In d o n e s ia le b ih -le b ih u n tu k S u m a te r a U ta ra , tu g a s y a n g p a lin g m e n d e s a k d ila k u k a n a d a la h p e n d a ta a n h a r ta w a k a f u m a t Isla m d i S u m a te r a U ta ra . S u d a h sa a tn y a k ita m e m ilik i d a ta b a se y a n g le n g k a p d a n rin c i m engenai
h a r ta
w akaf
te rs e b u t.
S e la n ju tn y a ,
p e n d a ta a n
n a z h ir
dan
p e m b in a a n n y a ju g a h a ru s s e g e r a d ila k u k a n . D a ri d u a la n g k a h in ilah , g a g a sa n u n tu k m e n g e m b a n g k a n w a k a f p r o d u k t if d a p a t d ila k u k a n . ‘A la k u lli h al, U U N o 4 1 T a h u n 2 0 0 4 s e s u n g g u h n y a te la h m e n e m p a tk a n n a z h ir p a d a p o s is i y a n g te rh o rm a t. B a h k a n k e b e r a d a a n n y a d ilin d u n g i o le h U U . O le h se b a b itu tu g a s k ita se la n ju tn y a a d a la h b a g a im a n a m e n ja w a b h a ra p a n U U te rs e b u t, m e re k a la h
y a it u
te r b e n tu k n y a
h a ra p a n
k eb erad aan
n a z h ir
yang
u m a t Isla m
kuat
dan
p ro fe sio n a l.
m a sa d e p a n
K epada
k ita p e rta ru h a k n .
Sem oga.
9. Eksistensi Nazhir W akaf Dalam Fikih N a z h ir b e ra sa l d a ri b a h a s a A ra b ,
“n a z h a r a ”
yang
a rtin y a
m e n ja g a ,
m e m e lih a ra , m e n g e lo la d a n m e n g a w a si. Jik a d ik a itk a n d e n g a n k a ta w a k a f, n a z h ir w a k a f, m a k n a n y a a d a la h
o ra n g a ta u p ih a k y a n g d ib e r i tu g a s m e n g e lo la w a k a f.
D e n g a n k a ta lain , n a z h ir a d a la h
o r a n g a ta u p ih a k y a n g d ib e ri w e w e n a n g u n tu k
b e r tin d a k a ta s h a r ta w a k a f, b a ik m e n g u ru s, m e n g e m b a n g k a n , m e m e lih a ra , d an
m e n d istrib u sik a n h a s ila n y a k e p a d a o r a n g y a n g b e r h a k m e n e rim a n y a . D a la m d e fin isi y a n g la in d is e b u tk a n b a h w a n a z ir w a k a f a d a la h o ra n g , k e lo m p o k o ra n g a ta u b a d a n h u k u m y a n g d ise ra h i tu g a s d a n b e r h a k u n tu k b e r tin d a k a ta s h a rta w a k a f, b a ik u n tu k m e n g u ru sn y a , m e m e lih a ra , d a n m e n d is trib u sik a n h a sil w a k a f k e p a d a o r a n g y a n g b e r h a k m e n e rim a n y a , a ta u p u n m e n g e rja k a n s e g a la se su a tu y a n g m e m u n g k in k a n h a r ta itu tu m b u h d e n g a n b a ik d a n k ek al. A g a k n y a n a z h ir s e b a g a i o ra n g y a n g m e n g e lo la w a k a f b a r u d ik e n a l p a d a m a s a K h a lifa h U m a r Ib n A l-K h a tta b . H a l in i d itu n ju k k a n d e n g a n k e b ija k a n K h a lifa h U m a r y a n g te la h m e m b e r i im b a la n , u p a h a ta u h o n o r te r h a d a p n a z h ir a ta s se g a la je r ih p a y a h n y a d a la m m e n g e lo la h a rta w a k a f. K e b ija k a n U m a r in i d ila n ju tk a n p a d a m a s a K h a lifa h A li b in A b i T h a lib d a n sa h a b a t-s a h a b a t p a d a m a s a -m a s a b e rik u tn y a .. D i d a la m k ita b -k ita b fik ih , m a s a la h n a z h ir in i d ib a h a s d i b a w a h ju d u l, alW ila y a t ‘a la a l - a w q a f a rtin y a P e n g u a sa a n te r h a d a p w a k a f a ta u p e n g a w a sa n te r h a d a p w a k a f. K e n d a tip u n n a z h ir tid a k m e n ja d i ru k u n w a k a f, tid a k p u la b e rk a ita n d e n g a n k e a b sa h a n w a k a f, n a m u n p a ra fu k a h a ta m p a k n y a se p a k a t b a h w a k e d u d u k a n n a z h ir sa n g a t p e n tin g d a la m p e n g e lo la a n h a r ta w a k a f. O le h se b a b itu, p a ra u la m a te la h se p a k a t b a h w a w a k if h a ru s m e n u n ju k n a z h ir w a k a f (p e n g a w a s w a k a f)
b a ik
n a z ir te r s e b u t b e r tin d a k
se b a g a i w a k if a ta u p u n
ia
m e n u n ju k o ra n g lain . D a la m
k a jia n
fik ih
Isla m ,
ada
b eb erap a
d isk u si
yang
b erk em b an g
k a ita n n y a d e n g a n n a z h ir. P erta m a , sia p a y a n g b e r h a k m e n u n ju k n a z h ir. K ed u a , h a l-h a l y a n g b e r k a ita n d e n g a n k e d u d u k a n , k e w a jib a n d a n h a k n a z ir w a k a f. K e tig a , sy a ra t-s y a ra t n azir. B e rk a ita n y a n g p e rta m a , m e n u ru t H a n a fiy a h y a n g b e r h a k m e n u n ju k n a z h ir itu se n d iri a d a la h w a k if. M e n u r u t m a z h a b ini, w a k if ju g a b is a m e n u n ju k d irin y a se n d iri m e n ja d i n a z h ir. Jik a w a k if tid a k m e n g a n g k a t n a z h ir, m a k a y a n g b e r h a k m e n u n ju k n a z h ir a d a la h o ra n g y a n g d ib e r i w a s ia t (jik a ad a). A p a b ila o ra n g y a n g d ib e r i w a s ia t ju g a tid a k a d a m a k a h a k im (p e m e rin ta h ) b e r h a k m e n u n ju k n a z h ir. B a h k a n A b u Y u s u f m e n g a ta k a n y a n g p a lin g b e r h a k
m e n g a n g k a t n a z h ir a d a la h w a k if k a r e n a w a k if a d a la h o ra n g y a n g p a lin g d e k a t d e n g a n h a rta n y a . S e tid a k n y a w a k if a k a n m e ra s a “n y a m a n ” d e n g a n h a rta n y a k a r e n a d ik e lo la o le h o ra n g y a n g d ip e rc a y a in y a . N a m u n , M u s h ta fa S y a la b i tid a k m e m b e n a rk a n w a k if m e ra n g k a p se b a g a i n a z h ir. M e n u ru tn y a , p e n u n ju k a n w a k if u n tu k d irin y a se n d ir i u n tu k m e n g u ru s w a k a f se b e n a rn y a tid a k d a p a t d ise b u t n azh ir. Isu y a n g m a sih d ip e r d e b a tk a n d i d a la m m a z h a b in i a d a la h , a p a k a h n a z h ir itu p o s is in y a m e w a k ili w a k if a ta u m e w a k ili m a u q u f ‘a laih . Isu in i m e m e rlu k a n p e m b a h a s a n te rse n d iri. N a m u n b a g i saya, n a z h ir a d a la h “k h a lifa t
A lla h ” a ta u
w a k il A lla h d a la m p e n g e lo la a n h a r ta w a k a f. A la sa n n y a , w a k a f s e b a g a i se b u a h p e r b u a ta n h u k u m m e n g a n d u n g a rti d i m a n a w a k if m e le p a s h a r ta n y a u n tu k m e n d e k a tk a n
d iri
kepada
A lla h
d a la m
ra n g k a
m e w u ju d k a n
k e m a sla h a ta n
u m m a t. D i d a la m w a k a f a d a p e le p a s a n h a k m ilik d a ri h a k m a n u sia m e n ja d i h a k A lla h . H a k A lla h in ila h y a n g “d ilim p a h k a n ” k e p a d a m a n u sia d a la m h a l in i n a z h ir u n tu k m e n g e lo la n y a . M a lik iy a h ju g a b e r p e n d a p a t s a m a b a h w a w a k if b e r h a k m e n u n ju k n a z h ir. Y a n g b e r b e d a d e n g a n m a z h a b H a n a fi a d a la h , w a k if tid a k b o le h m e n g a n g k a t d irin y a se n d ir i m e n ja d i n a z h ir. S e d a n g k a n d i d a la m M a z h a b S y a fi’i, h a k p e rw a lia n tid a k d ib e rik a n k e p a d a w a k if, k e c u a li d ia m e n s y a r a tk a n n y a se n d ir i k e tik a b e rw a k a f. D a n jik a d ia te la h m e n s y a ra tk a n h a k p e r w a lia n b a g i d irin y a a ta u b a g i o ra n g lain , m a k a sy a ra tn y a h a ru s d ite r im a d a n d iik u ti. L e b ih je la s n y a d i d a la m A l-H a w i A l-K a b ir d ije la sk a n , h a k p e r w a lia n a ta s w a k a f a d a la h h a k b a g i o ra n g te rte n tu . Jik a w a k if d a la m b e r w a k a f m e n sy a ra tk a n h a k p e rw a lia n , m a k a m e le k a tla h h a k p e r w a lia n b a g i o ra n g y a n g d ia te ta p k a n , b a ik itu d irin y a a ta u p u n o ra n g lain . Isu k e d u a , b e rk a ita n d e n g a n k e d u d u k a n d a n k e w a jib a n s e rta h a k n a zh ir. S e b a g a im a n a y a n g te la h d ise b u t d i m u k a b a h w a n a z h ir b e rtu g a s m e n g e lo la h a rta w a k a f. D a la m b a h a s a n k o n te m p o re r, n a z h ir b e rtu g a s m e n ja d ik a n h a r ta w a k a f m e m ilik i n ila i ta m b a h (n ila i e k o n o m is) s e h in g g a b e tu l-b e tu l b e r m a k n a u n tu k k e s e ja h te ra a n u m a t Islam .
D e n g a n d e m ik ia n tu g a s n a z h ir s e b e n a rn y a sa n g a t
b e ra t. W a la u p u n d e m ik ia n , n a z h ir tid a k m e m ilik i h a k m u tla k u n tu k m e n g e lo la h a rta w a k a f, a p a la g i u n tu k m e n g a lih fu n g s ik a n n y a . K e w e n a n g a n n y a d ib a ta si o le h g h a rd a l- w a k if (tu ju a n w a k if) d a n d a la m k o n te k s n e g a ra h u k u m
In d o n e sia ,
k e w e n a n g a n n y a ju g a d ib a ta si o le h U U N o 4 1 T a h u n 2 0 0 4 d a n p e r a tu ra n y a n g b e rk a ita n d e n g a n h a rta w a k a f la in n y a . D a la m fik ih a d a d u a istila h y a n g d ik e n a l; ib d a l (p e n u k a ra n ) d a n n is tib d a l (p e n g g a n tia n ). A d a la h m e n a r ik u n tu k d ic e rm a ti, p a ra u la m a s e b e n a rn y a tid a k m e m b e n a rk a n a d a n y a ib d a l d a n istib d a l. K a la u p u n a d a y a n g m e m b e n a r k a n ib d a l a ta u istib da l, m e re k a m e n s y a ra tk a n d e n g a n sa n g a t k e tat. M isa ln y a , M a z h a b H a n a fia h m e m b o le h k a n ib d a l d a n istib d a l. S y a ra tn y a , p e n ju a la n tid a k b o le h m e n g a n d u n g u n su r p e n ip u a n . K e m u d ia n , b a r a n g w a k a f tid a k b o le h d iju a l k e p a d a o ra n g y a n g fa siq (tid a k d ite rim a k e sa k sia n n y a ). S e la n ju tn y a , b a r a n g p e n g g a n ti h a ru s b e r u p a b a r a n g y a n g tid a k b e rg e ra k . T e ra k h ir, h a ru s b e r a d a d a la m sa tu lo k asi. M a z h a b M a lik h a n y a m e m b o le h k a n ib d a l d a n is tib d a l p a d a h a r ta y a n g b e rg e ra k , s e p e rti p a k a ia n , k e n d e ra a n d a n la in n y a . S e d a n g k a n h a r ta w a k a f y a n g tid a k b e rg e ra k , m a z h a b M a lik m e la r a n g d e n g a n te g a s. D i d a la m k ita b R is a la h A lK h ita b d ije la sk a n b a h w a Ib n S y a si m e riw a y a tk a n b a h w a M u h a m m a d b in A b d u s m e m fa tw a k a n : S a y a tid a k m e n e m u k a n p e r s e lis ih a n p e n d a p a t d a ri s e m u a u la m a te n ta n g p e la r a n g a n p e n ju a la n m a s jid .” M a z h a b S y a fi’i y a n g m a y o rita s d ia n u t o le h u m a t Isla m In d o n e sia d ik e n a l le b ih b e r h a ti-h a ti d a la m h a l ib d a l d a n is tib d a l w a k a f. B a h k a n a d a k e sa n m e re k a m e la ra n g se c a r a m u tla k . P e m b a h a sa n te n ta n g ib d a l d a n is tib d a l d i d a la m m a z h a b S y a fi’i - d a la m p o r s i y a n g s a n g a t k e c il - h a n y a m e n y a n g k u t h e w a n te r n a k y a n g sak it, p o h o n k u r m a y a n g te la h k e rin g a ta u b a ta n g p o h o n y a n g p a ta h d a n m e n im p a m a sjid sa m p a i h an c u r. K e n d a ti d e m ik ia n , d i d a la m m a z h a b S y a fi’i a d a d u a p e n d a p a t. P e rta m a , m e la ra n g se c a r a m u tla k sa m p a i-s a m p a i m a sjid y a n g su d a h ru s a k s e h in g g a tid a k b is a d ip a k a i u n tu k
s h a la t te ta p
tid a k b o le h
d ip e r ju a lb e lik a n
a ta u
d ig an ti.
S e b a b n y a m a sjid itu m ilik A lla h . K e lo m p o k k e d u a m e m b o le h k a n p e n g g a n tia n h a r ta w a k a f n a m u n h a n y a b e rk e n a a n d e n g a n b a ra n g y a n g b e rg e ra k . P e n d a p a t k e d u a in i b u k a n la h p e n d a p a t y a n g m a y o r d i d a la m m a z h a b ini. S e la n ju tn y a ,
b e r k a ita n
dengan
h ak ,
n a z h ir
m e m ilik i
hak
u n tu k
m e n d a p a tk a n h o n o r a ta u u p a h a ta s tu g a s n y a se b a g a i n a z h ir. H o n o r n y a b is a d ia m b il d a ri p e m a n fa a ta n h a r ta w a k a f, b is a ju g a d a ri w a k if se n d ir i a ta u su m b e rs u m b e r h a la l la in n y a . B e rk a ita n d e n g a n h a l ini, U U w a k a f te la h m e n g a tu r n y a se d e m ik ia n ru p a. B e rk a ita n
d engan
sy a ra t-s y a ra t n a z h ir, ju m h u r U la m a m e m b u a t d u a
s y a ra t p e n tin g ; a d il d a n m a m p u . K e d u a s y a ra t in i u m u m n y a tid a k d ip e rd e b a tk a n . K a la u p u n a d a p e rb e d a a n , itu h a n y a p a d a u k u r a n -u k u r a n y a n g a k a n d ip a k a i. G o lo n g a n H a n a fiy y a h m is a ln y a m e n ja d ik a n a d il s e b a g a i s y a ra t y a n g le b ih u ta m a p a d a s e o ra n g n a z h ir.
N a m u n tid a k b e r a r ti n a z h ir y a n g tid a k m e m ilik i s ifa t a d il
itu ta k sa h p e n g a n g k a ta n d a n p e n u n ju k a n n y a . B e r b e d a d e n g a n S y a fi’iy y a h y a n g m e n ja d ik a n a d il se b a g a i sy a ra t m u tla k . A r g u m e n ta s i S y a fi’iy y a h k a r e n a n a z h ir b e rtu g a s m e n g u ru s d a n m e n g e lo la h a r ta o r a n g Islam . A d a p u n A h m a d b in H a n b a l tid a k m e n sy a ra tk a n a d il b a g i n a z h ir jik a d ip e g a n g la n g s u n g o le h m a u q u f ‘alaih . H a n a b ila h h a n y a m e n sy a ra tk a n s tiq a h (te rp e rc a y a ). N a m u n a p a b ila n a z h ir n y a b u k a n m a u q u f ‘a la ih , m a k a a d il m e n ja d i se b u a h sy a ra t y a n g n isc a y a . S e d a n g k a n A l- K a b is i
m e n u lisk a n sy a ra t-s y a ra t n a z h ir y a itu ; b e ra k a l,
d e w a sa , ad il, m a m p u , d a n Islam . S y a ra t-s y a r a t in i te n tu a d a y a n g d is e p a k a ti d an a d a p u la y a n g d ip e rd e b a tk a n .
N a m u n se b a g a im a n a y a n g te la h d is e b u t d i m u k a ,
s y a ra t a d il d a n m a m p u , m e ru p a k a n d u a s y a ra t y a n g tid a k d a p a t d ita w a r -ta w a r lagi.
S e d a n g k a n W a h b a h A l- Z u h a ily m e n c a ta tk a n tig a s y a ra t n a z h r i y a itu , A l-
‘a d a la h a l-z a h ira h (ad il), a l-k ifa y a h (m a m p u ) d a n Isla m (b e ra g a m a Islam ). P a d a b a g ia n a k h ir in i, p e n u lis in g in m e n g g a r is b a w a h i b a h w a p e r s e o la n w a k a f tid a k b o le h d ia n g g a p m a s a la h rin g a n d a n se d e rh a n a . W a k a f a d a la h h a rta A lla h y a n g p e n g e lo la a n d a n p e n ja g a a n n y a m e n ja d i w e w e n a n g n a z h ir. F ik ih Isla m te la h
m e n g a tu r s e d e m ik ia n
ru p a.
T e n tu
a ja r a n -a ja r a n
fik ih te r s e b u t d a p a t
m e n ja d i p a n d u a n k ita te r u m a ta b a g i n a z h ir d a la m m e n g e lo la h a rta n y a . K a re n a n a z h ir a d a la h “w a k il T u h a n ” d i b u m i d a la m p e n g e lo la a n h a r ta w a k a f, m a k a n a z h ir h a ru s b e r ta n g g u n g ja w a b la n g s u n g k e p a d a A lla h . Jik a n a z h ir “b e rm a in m a in ” d e n g a n h a r ta w a k a f, s a m a a r tin y a ia b e r k h ia n a t k e p a d a A lla h . P e m b a h a sa n m e n d a ta n g a k a n k ita a r a h k a n p a d a p o s is i n a z h ir m e n u r u t U U N o 4 1 T a h u n 20 0 4 . W a lla h u a ’lam b i a l-sh a w a b .
Bagian Kelima Masa Depan Pendidikan Tinggi Ekonomi Islam
Bab Satu Meninjau Kembali Model Pengajaran Ekonomi Islam di PT-PTAI 1. Pendidikan Tinggi Ekonomi Islam : Proses yang Belum Selesai. K e n d a tip u n p e n g a ja r a n e k o n o m i Isla m d i In d o n e sia te la h b e r la n g s u n g le b ih k u ra n g sa tu d a sa w a rsa , n a m u n sa m p a i h a ri in i p e n g a ja r a n e k o n o m i Isla m b e lu m m e m ilik i
p o la y a n g s a m a . B e r b e d a h a ln y a d e n g a n p e n g a ja r a n e k o n o m i
u m u m (k o n v e n s io n a l) d i p e r g u r u a n tin g g i n e g e r i (P T N ) d a n s w a s ta (P T S ) y a n g te la h m a p a n d a n re la tiv e m e m ilik i b e n tu k y a n g b a k u . Im p lik a s in y a a d a la h p e n g a ja r a n e k o n o m i Isla m m e m ilik i v a r ia s i d a n p o la b e ra g a m . S e b a g a i c o n to h , d i IA IN . S u m a te r a U ta ra , e k o n o m i Isla m te la h m e n ja d i sa la h s a tu p r o d i d i F a k u lta s S y a ri’a h d a n te la h te r a k r e d ita s i d e n g a n n ila i B p lu s. P ro d i E k o n o m i Isla m d i Fak. S y a ri’a h te r p is a h d a ri P ro d i M u ’a m a la h . S e d a n g k a n d i U IN S y a r if H id a y a tu lla h Ja k a r ta d a n IA IN A r -R a n ir y B a n d a A c e h , e k o n o m i Isla m d i a ja r k a n d i P ro d i M u ’a m a la h . S e la n ju tn y a d i S T A IN P a d a n g S id e m p u a n , e k o n o m i Isla m d ia ja rk a n d i d a la m P ro d i P e rb a n k a n S y a ri’a h y a n g b a r u d im u la i s e m e ste r b e r ja la n (20 10 ). H a l y a n g s a m a ju g a te r ja d i d i b e b e r a p a p e rg u ru a n tin g g i n e g e r i u m u m . D i U n iv e rsita s P a d ja ja ra n B a n d u n g , e k o n o m i Isla m d ija d ik a n m a ta k u lia h p ilih a n . L e b ih m a ju d a ri itu, d i U N A IR S u ra b a y a , e k o n o m i Isla m m a la h te la h m e n ja d i p ro g ra m stu d i. D i U n iv e r s ita s In d o n e sia , E k o n o m i Isla m d ia ja rk a n p a d a le v e l S2 ya n g b erad a p a d a p ayu n g
P ro g ra m S tu d i T im u r T e n g a h d a n Isla m (P S T T I).
S e d a n g k a M M S y a ri’a h d i b a w a h p im p in a n R h e n a l K a sa li y a n g b a r u d ib u k a d i U I m a la h
b erad a
di
fa k u lta s
E k o n o m i.
Jik a
d ila k u k a n
p e n e litia n
di
se lu ru h
S T A IN / IA IN / U IN s e lu r u h In d o n e sia , ju g a y a n g b e r a d a d i P T N /P T S , m a k a k ita a k a n m e n e m u k a n p o la y a n g sa n g a t b e r a g a m .1 M e n g a p a h a l in i b is a te r ja d i ? Ja w a b a n s e d e r h a n a n y a k a r e n a p e n g a ja r a n E k o n o m i Isla m m e ru p a k a n h a l b a r u d i In d o n e sia . M e m a n g te r a s a a n e h , p a d a sa a t
1 Lihat Eusi Amalia, Asmawi dan Muhammad Nurianto Al-Arif, Potret Pendidikan Ekonomi Islam di Indonesia, Jakarta: Gramata Publishing, 2012. Lihat juga,
k ita k e ra p m e n g k la im b a h w a a ja ra n Isla m itu tid a k s a ja u n iv e r s a l te ta p i ju g a s y u m u l (m e lin g k u p i), n a m u n b id a n g e k o n o m i m a sih m e n ja d i b a r a n g b a r u b a g i u m a t Isla m . A d a la h t id a k m u n g k in , A l- Q u r ’a n b e r b ic a r a te n ta n g se m e s ta y a n g m e n g in s p ir a s i b a n y a k ilm u w a n s e h in g g a m e la h irk a n ilm u a s tro n o m i, g e o lo g i, fala k , d a n ilm u -ilm u a la m la in n y a , te ta p i a b se n d a la m m e n g in s p ir a s i la h ir n y a ilm u e k o n o m i y a n g la n g s u n g b e r s e n tu h a n d e n g a n k e h id u p a n m a n u sia . S e tia p m u s lim
tid a k
akan
m e n o la k
d o k trin
yang
m e n y a ta k a n
bahw a
A l- Q u r ’an
b e r b ic a r a te n ta n g e k o n o m i. H a n y a sa ja y a n g b e lu m d ila k u k a n a d a la h p ro se s k o n s tr u k s i ilm u e k o n o m i y a n g b e rb a sis A l- Q u r ’an . S a m p a i sa a t ini, s e tid a k n y a k ita m a sih b e r k u ta t p a d a tig a m a z h a b b e s a r ekonom i
Isla m ,
A lt e r n a t if K ritis.
m azhab
B a q ir A s -s a d r ,
M azhab
M a in s tr e a m
d an
M azhab
A d iw a r m a n A K a rim s e b a g a i p e lo p o r k a jia n e k o n o m i Islam ,
b e r u s a h a m e n je la s k a n k e tig a m a z h a b te r s e b u t s e p e r ti y a n g te r lih a t d i d a la m bukunya
Ekonom i
M ik ro
Isla m i.
M e n u ru tn y a ,
m azhab
B a q ir
A s -S a d r
b e r p e n d a p a t b a h w a ilm u e k o n o m i d a n Isla m tid a k a k a n p e rn a h b is a se ja la n . Ekonom i
te ta p
ekonom i
dan
Isla m
te ta p
Islam .
U n tu k
m e n g u a tk a n
a rg u m e n ta s in y a , A d iw a r m a n m e n g a ta k a n jik a ilm u e k o n o m i m u n c u l k a re n a k e in g in a n m a n u sia y a n g tid a k te rb a ta s se m e n ta r a s u m b e r d a y a m a n u sia y a n g t e r s e d ia u n tu k m e m u a sk a n k e in g in a n m a n u s ia te rb a ta s. A l- Q u r ’a n m e n u r u t S a d r m e n o la k
p e r n y a ta a n
s e b a g a im a n a
yang
ini.
Isla m
d in y a ta k a n
tid a k
A l- Q u r ’an .
m engenal
su m b e r
M a s a la h
ekonom i
d aya
te rb a ta s
m e n u ru t
Sadr
m u n c u l k a r e n a k e s e ra k a h a n m a n u sia . le b ih k e strim d a ri itu, S a d r ju g a m e n o la k is tila h e k o n o m i Isla m i. Istila h y a n g te p a t a d a la h A l- Iq t is a d y a n g m a k n a a s a ln y a a d a la h k e s e im b a n g a n (e q u ilib r iu m ).2 M a z h a b m a in stre a m b e r b e d a d e n g a n B a q ir S a d r.3 B a h k a n m a z h a b in i m e m ilik i k e sa m a a n p a n d a n g a n d e n g a n m a z h a b e k o n o m i k o n v e n sio n a l. B e d a n y a h a n y a la h
pada
cara
m e n y e le sa ik a n n y a .
Di
d a la m
ekonom i
k o n v e n sio n a l
2 Adiwarman A Karim, Ekonomi Mikro Islami, 3 Lebih lanjut lihat, Muhammad Sholihin, Pengantar Metodologi Ekonomi Islam: Dari Mazhab Baqir As-Sadr hingga Mazhab Mainstream, Yogyakarta: Ombak, 2013.
m isa ln y a , p e n y e le s a ia n d ila k u k a n le w a t k e p u tu s a n p r ib a d i a ta u p e r tim b a n g a n so sia l,
te ta p i
di
d a la m
Isla m
k e p u tu sa n
h a ru s
d ia m b il
dengan
m e m p e rtim b a n g k a n b a h k a n b e r d a s a r k a n p e s a n -p e s a n w a h y u . B a g i a lira n ini, y a n g te r p e n tin g s e s u n g g u h n y a b a g a im a n a m e n e ra p k a n n ila i d a n e tik a Ila h iy y a h d a la m k o n stru k si b a n g u n ilm u e k o n o m i d a n p e ra k tik n y a . K e d u a m a z h a b in i d ik ritik o le h T im u r K u ra n . M a z h a b B a q ir S a d r b a g in y a te r la lu b e r a m b is i u n tu k m e n e m u k a n s e s u a tu y a n g b aru , y a n g s e b e n a rn y a te la h d ite m u k a n o ra n g lain . S e d a n g k a n m a z h a b m a in stre a m h a n y a m e n jip la k e k o n o m i n e o k la sik d e n g a n m e n g h ila n g k a n v a r ia b e l rib a d a n m e m a s u k k a n v a r ia b e l z ak at. B a g in y a , k e d u a a lira n te r s e b u t h a ru s te ta p d ik ritisi. A l- Q u r ’a n p a s ti b e n a r, te ta p i e k o n o m i Isla m k a re n a
ia
hanya
ta fs ir a n
m aka
b is a
sa ja
sa la h .
K ritik
te r h a d a p
ekonom i
k o n v e n sio n a l d a n Isla m h a ru s te ru s d ila k u k a n . H e m a t p e n u lis, k e tig a a lira n in i p e r w u ju d a n n y a ta m p a k d a la m d isk u rsu s d a n p e n g a ja r a n e k o n o m i Isla m d i d u n ia d a n le b ih s p e sifik la g i d i In d o n e sia . A d a p e rg u ru a n
tin g g i
dan
pakar yan g
m e m ilih
m azhab
m a in
stre a m .
M e re k a
m e la k u k a n a p a y a n g d ise b u t d e n g a n isla m is a s i ilm u e k o n o m i. B a g i m e re k a su m b a n g a n Isla m s e s u n g g u h n y a p a d a a s p e k a x io lo g y se m a ta . M e r e k a k era p m e m p e rta n y a k a n e p is te m o lo g y ilm u e k o n o m i Isla m jik a e k o n o m i Isla m itu te la h m e n ja d i ilm u . A d a p u la y a n g m e la k u k a n k ritik te r h a d a p e k o n o m i k o n v e n sio n a l d a n b e r u p a y a u n tu k m e n e m u k a n te o r i- te o r i d a n m o d e l-m o d e l b aru . A d a p u la y a n g m e n g k r itik k e d u a -k e d u a n y a d a n b e r u s a h a u n tu k m e m b a n g u n e k o n o m i Isla m y a n g m u rn i S y a ri’ah . B e b e r a p a w a k tu y a n g lalu , b u k u "T id a k Is la m n y a B a n k Is la m ” y a n g d itu lis o le h Z a im S aid i, te la h d ilu n c u rk a n d i Ja k a r ta .4 m e n u ru t p e n u lis b u k u te rse b u t, b a n k Isla m ju g a m e la k u k a n p e r a k tik rib a . M e n u ru tn y a , b a n k S y a ri’a h sa m p a i h a ri in i m a sih m e la k u k a n a p a y a n g d is e b u t d e n g a n u a n g b e r a n a k u a n g . U n tu k te r h in d a r d a ri d ile m a riba, p ilih a n tr a n s a k s in y a h a ru sla h d e n g a n d irh a m . T e n tu sa ja p a n d a n g a n Z a im S a id i d ito la k o la h p a k a r e k o n o m i
4 Zaim Saidi, Tidak Syar’inya Bank Syariah di Indonesia dan Jalan Keluarnya Menuju Muamalat, Yogyakarta: Delokomotif, 2010.
Isla m
la in n y a . K e tid a k s e m p u rn a a n s e s u a tu tid a k h a ru s m e n g h a n c u r k a n d a n
m e n e g a s ik a n a p a y a n g te la h
d ib a n g u n
o le h u la m a d a n to k o h -to k o h
Isla m
s e h in g g a k ita sa a t in i te la h m e m ilik i le m b a g a p e rb a n k a n s y a ri’ah . A d a la h le b ih b e ra d a b d a n sim p a tik , jik a p e r ju a n g a n d ia ra h k a n u n tu k te ru s m e n y e m p u r n a k a n siste m p e r b a n k a n s y a ri’a h kita. D is k u rsu s te r s e b u t m e n u n ju k k a n b a h w a p e n g a ja r a n e k o n o m i Isla m d i In d o n e s ia se d a n g d a la m p ro se s p e n c a ria n b e n tu k . M e n e g a sik a n y a n g sa tu d an m e n g a fir m a s i y a n g la in a d a la h sik a p y a n g tid a k b ija k . L e b ih b a ik k ita m e m b e ri r u a n g y a n g s a m a k e p a d a k e tig a b e n tu k a lir a n te r s e b u t u n tu k b e r d ia lo g d an m e n c a r i titik te m u . L e b ih p e n tin g d a ri itu, u s a h a y a n g p a lin g m u n g k in k ita la k u k a n
a d a la h
m enem ukan
b e n tu k p e n g a ja r a n
E k o n o m i Isla m
yan g yang
re la tiv e sam a. D i s a m p in g itu, tu g a s m e n d e s a k e k sp o n e n e k o n o m i Isla m d a n p e n g e lo la P ro d i E k o n o m i Isla m sa a t in i b u k a n se k e d a r m e ru m u sk a n p o la p e n g a ja r a n a ta u k u rik u lu m
e k o n o m i s y a ri’a h y a n g b a k u d a n te rsta n d a rd , te ta p i tid a k k a la h
p e n tin g n y a a d a la h k ita m e m a s tik a n b a h w a k u rik u lu m y a n g d iru m u sk a n h a ru s re le v a n d e n g a n k e b u tu h a n p a sa r k e u a n g a n s y a ri’a h s a a t ini. B a h k a n le b ih ja u h d a ri itu, a lu m n i p r o d i E k o n o m i Isla m h a ru s m e m ilik i e to s k e w ir a u s a h a a n y a n g m e m b u a tn y a m a n d iri. K ita s a a t in i s e s u n g g u h n y a m e m b u tu h k a n k o n s tr u k s i k u rik u lu m e k o n o m i Isla m y a n g le b ih in te g ra tif. B a g i F a k u lta s E k o n o m i d a n B isn is Isla m ,
M azhab
B a q ir S a d r se su a tu y a n g su lit d ite ra p k a n u n tu k t id a k m e n g a ta k a n tid a k m u n g k in . M a z h a b k ritis d a n m a z h a b m a in stre a m m u n g k in le b ih re a listik . N a m u n le b ih d a ri itu, k ita ju g a b e rh a ra p s u m b a n g a n Isla m b u k a n h a n y a se b a ta s n ila i saja, t e ta p i b a g a im a n a Isla m ju g a b is a m e n a w a rk a n te o r i d a n m o d e l b a r u e k o n o m i y a n g le b ih h u m a n is d a n te n tu sa ja s e su a i d e n g a n n ila i-n ila i Isla m i. H a l in ila h y a n g m e n ja d i ta n ta n g a n p a k a r -p a k a r e k o n o m i Isla m m a sa d ep an .
2. Ketersediaan SDI Ekonomi Syari’ah P e rk e m b a n g a n e k o n o m i S y a ri’a h d i In d o n e s ia se p e r ti y a n g ta m p a k p a d a p e s a tn y a p e r tu m b u h a n le m b a g a k e u a n g a n s y a ri’a h (L K S) b a n k d a n n o n b a n k te r n y a ta tid a k d iik u ti d e n g a n k e te rse d ia a n S u m b e r D a y a In sa n i (d i sin g k a t SD I) y a n g m e m a d a i. T id a k la h b e r le b ih a n jik a d ik a ta k a n , se la m a in i le m b a g a k e u a n g a n s y a ri’a h k h u su sn y a p e r b a n k a n s y a ri’a h d ik e lo la d a n d ija la n k a n o le h “m u a lla fm u a lla f” y a n g b a r u b e la ja r p e r b a n k a n s y a ri’ah . D e n g a n m e n g ik u ti p e la tih a n b e b e r a p a m in g g u s a m p a i s a tu d u a b u la n , m e re k a la n g su n g te r ju n p a y u n g b e r g e lu t d e n g a n siste m
p e rb a n k a n s y a ri’a h . T id a k la h m e n g h e r a n k a n - u n tu k
m e n y e b u t se k e d a r c o n to h - b a n y a k k a ry a w a n p e rb a n k a n s y a ri’a h y a n g m a sih m e m p e rsa m a k a n b u n g a b a n k d e n g a n m a rg in b a h k a n d e n g a n n isb a h b a g i h a sil itu se n d iri. H a l in i d is e b a b k a n k a re n a p e n d id ik a n y a n g in sta n t ta n p a d id u k u n g o le h p e m a h a m a n y a n g m e n d a la m te n ta n g n a sh d a n filo so fin y a . K e h a d ira n “m u a lla f-m u a lla f” p e r b a n k a n s y a ri’a h itu te n tu tid a k d a p a t d ip e rs a la h k a n . K e n y a ta a n n y a , p a d a sa a t s iste m
p e rb a n k a n s y a ri’a h h a d ir d i
In d o n e sia s e k ita r ta h u n 19 9 0 -a n , b a n g s a in i s e s u n g g u h n y a tid a k m e m ilik i s u m b e r d a y a in sa n i y a n g b e n a r-b e n a r m e m a h a m i d a n te r la tih d a la m b id a n g p e rb a n k a n s y a ri’a h te r le b ih -le b ih d a la m b id a n g e k o n o m i Isla m . K a la u p u n a d a a h li e k o n o m i Islam , k ita h a n y a d a p a t m e n y e b u t b e b e r a p a n a m a se m isa l
M u h a m m a d S y a fi’i
A n to n io d a n A d iw a r m a n A z w a r K a rim . S e b e lu m n y a a d a b e b e r a p a to k o h y a n g k e ra p
m e n u lis te n ta n g
e k o n o m i Isla m
s e m isa l D a w a m
R a h a rd jo
dan A M .
S a e fu d d in . A g a k n y a , d a ri p e r s p e k t if p o litik e k o n o m i Isla m , y a n g p e n tin g p a d a sa a t itu (o rd e b aru ) a d a la h b a g a im a n a le m b a g a p e r b a n k a n n y a b e r d ir i d u lu , u ru s a n sia p a y a n g m e n ja la n k a n n y a d a n b a g a im a n a o p e r a s io n a ln y a d ip ik irk a n b e la k a n g a n . P a d a s a a t itu s u lit m e m b a y a n g k a n P re sid e n S o e h a rto “m e n g iz in k a n ” b e rd irin y a le m b a g a p e r b a n k a n
s y a ri’ah .
m e n g g u n a k a n n a m a Isla m
S y u k u rla h
k e n d a ti s im b o l y a n g
d ip a k a i tid a k
a ta u p u n s y a ri’ah , b e r d ir in y a b a n k b a g i h a sil itu
d iiz in k a n . D i s a d a ri se p e n u h n y a , a lo tn y a p e n a m a a n “b a n k Isla m ” te r s e b u t k a re n a
m a s ih a d a n y a k e lo m p o k y a n g m a sih ta k u t d a n c u r ig a p a d a Isla m ( Isla m p h o b ia ). S a m p a i d i sin i, p e ra n P a k H a rto d a la m p e n d iria n b a n k s y a ri’a h te n tu tid a k d a p a t d ia b a ik a n b e g itu saja. D e n g a n k a ta la in , k e b e ra d a a n m u a lla f p e rb a n k a n s y a ri’a h a d a la h “ja la n p in ta s ” u n tu k m e n g is i k e k o so n g a n s u m b e r d a y a in sa n i te rse b u t. K a re n a m e re k a p u la la h , te rle p a s a ta s k e le b ih a n d a n k e k u ra n g a n n y a , p e rb a n k a n s y a ri’a h b isa b e r ja la n s e p e rti y a n g k ita s a k sik a n sa a t ini. H a n y a sa ja m e m b ia r k a n m u ’a lla f p e r b a n k a n s y a ri’a h s e la m a n y a m e n ja d i m u a lla f te n tu tid a k d a p a t d ib e n a rk a n . S u d a h s a a tn y a se te la h d u a d e k a d e p e r ja la n a n p e r b a n k a n s y a ri’a h d i In d o n e sia , in s titu s i y a n g b e rja la n
la m b a t te r s e b u t d a p a t d ik e lo la d a n d ija la n k a n
o le h
p e r a k tis i-p e r a k tis i p e r b a n k a n s y a ri’a h y a n g ta n g g u h , c e rd a s, m e n g u a s a i te o r i d an p e r a k tik p e rb a n k a n s y a ri’a h d a n te n tu s a ja m e m ilik i in te g rita s m o ra l (ak h lak ) y a n g ta n g g u h . B a n k S y a ri’a h ta n p a a k h la k (e tik a b isn is) m a k a s e m u a n y a m e n ja d i b in a sa . M e n y ia p k a n
su m b er
daya
In s a n i
ekonom i
s y a ri’a h
yang
b e rim a n ,
b e ra k h la k , b e r ilm u d a n te r a m p il a d a la h m isi P ro g ra m S tu d i E k o n o m i S y a ri’a h F ak . S y a ri’a h IA IN .S U M e d a n y a n g sa a t in i u s ia n y a s u d a h m e n c a p a i se w in d u (2 0 0 2 -2 0 10 ). S e ja k d ib u k a ta h u n 20 0 2, p r o d i E k o n o m i S y a ri’a h
d i sa m p in g
P ro g ra m D III M a n a je m e n P e rb a n k a n S y a ri’a h (M P K S ) y a n g le b ih d a h u lu h a d ir b a h k a n y a n g p e r ta m a d i In d o n e sia , p e m in a t p r o d i in i te ru s m e n e ru s m e n g a la m i p e n in g k a ta n y a n g sig n ifik a n . B e ra w a l d a ri p e m in a t y a n g tid a k s a m p a i 10 0 o ra n g u n tu k p e r ta m a k a lin y a d i b u k a ,
sa a t in i p e m in a t p r o d i E k o n o m i S y a ri’a h
m e n e m b u s a n g k a 8 0 0 p e la m a r se tia p ta h u n n y a . U m u m n y a m e re k a te r s e b a r p a d a t ig a k o n s e n tra si, E k o n o m i d a n P e rb a n k a n S y a r i’ah , E k o n o m i d a n M a n a je m e n S y a ri’a h d a n A k u n t a n s i d a n K e u a n g a n S y a ri’ah. S a y a n g n y a m in a t p e la m a r y a n g c u k u p b e s a r te r s e b u t tid a k d id u k u n g o le h k e te rse d ia a n sa ra n a d a n p ra s a r a n a y a n g a d a d i IA IN .S U . P a d a ta h u n 2 0 10 , p ro d i E k o n o m i S y a ri’a h h a n y a d ip e rk e n a n k a n
m e n e r im a m a h a s is w a s e ju m la h 120
o ra n g (tig a lo k a l @ 4 0 m a h a sisw a ) d e n g a n t ig a k o n se n tra si. B a y a n g k a n b e ta p a
b a n y a k n y a p e la m a r p o te n s ia l y a n g tid a k m e m ilik i k e se m p a ta n u n tu k k u lia h d i P ro d i
E K I.
T id a k
k a la h
m e n y e d ih k a n n y a ,
le b ih
d a ri
s e p a ro h
p e la m a r
s e s u n g g u h n y a m e re k a y a n g lu lu s d itin ja u d a ri s isi s ta n d a r d n ila i k e lu lu sa n . H anya
sa ja
k aren a
p o rsi
(k o u ta)
yang
te r s e d ia
hanya
12 0
k u rsi,
m aka
d ib e r la k u k a n la h siste m ra n k in g . A r tin y a c a lo n y a n g m e m p e ro le h n ila i te r tin g g i d a ri u ru ta n 1-12 0 , m e re k a la h y a n g b e r h a k d u d u k d i fak. S y a r i’ah. D i sin ila h m u n c u l d ile m m a . P a d a s a tu sisi, k ita m e m b u tu h k a n su m b e r d a y a in sa n i p e r b a n k a n s y a ri’a h k h u s u s n y a d a n e k o n o m i Isla m y a n g c u k u p b a n y a k . P a d a s is i lain , k e m a m p u a n le m b a g a p e n d id ik a n tin g g i s e p e r ti IA IN .S U sa n g a t te rb a ta s. B a y a n g k a n , se p e r ti a p a y a n g d ila p o rk a n o le h IC D IF L P P I Ja k a rta , p e r tu m b u h a n
in d u s tr i
p erb an k an
s y a ri’a h
d a la m
tig a
ta h u n
ke
depan,
d ip e rk ira k a n m e n c a p a i a n g k a 2 5 -3 0 % . U n tu k m e m e n u h i k e te rse d ia a n k a ry a w a n p e rb a n k a n s y a ri’ah , d ib u tu h k a n 4 0 rib u o ra n g te n a g a k e rja y a n g te r a m p il d a la m b id a n g p e r b a n k a n s y a ri’ah . B e ra n g k a t d a ri fe n o m e n a te rse b u t, m e n g h a ra p k a n p ro g ra m p e n d id ik a n r e g u la r u n tu k d a p a t m e m e n u h i k e b u tu h a n te n a g a k e rja te r s e b u t - w a la u p u n se lu ru h U IN , IA IN d a n S T A IN d i ta m b a h p e r g u r u a n tin g g i u m u m y a n g m e m b u k a p ro g ra m
stu d i E k o n o m i Isla m
-
m a k a h a l itu ja u h
p a n g g a n d a ri ap i. S e tid a k n y a a d a tig a k e lo m p o k p e la m a r y a n g m e m ilih p ro d i E K I se la m a ini. P e r ta m a , m e re k a y a n g b e ra sa l d a ri p e sa n tre n . U m u m n y a lu lu sa n p e sa n tre n m e m ilik i k e le m a h a n p a d a ilm u -ilm u u m u m , se p e rti m a te m a tik a . K e le b ih a n n y a m e re k a m e m ilik i k e m a m p u a n b a h a s a In g g ris d a n A r a b y a n g re la tiv e b aik . K ed u a , lu lu s a n d a ri M a d ra s a h A liy a h b a ik n e g e r i a ta u p u n sw a sta . U m u m n y a m e re k a m e m ilik i s e d ik it k e m a m p u a n b a h a s a d a n se d ik it ilm u u m u m
la in n y a . S a y a
m e n y e b u tn y a d e n g a n “ilm u y a n g ta n g g u n g ” . K e m a m p u a n b a h a s a n y a tid a k s e b a ik p e sa n tre n , ilm u u m u m n y a tid a k s e b a ik a n a k -a n a k y a n g b e ra sa l d a r i S M U . K etig a , m e re k a y a n g b e r a s a l d a ri S M U b a ik n e g e ri a ta u p u n s w a s ta y a n g ju m la h n y a re la tiv e b a n y a k . M e r e k a m e n g u a s a i ilm u -ilm u u m u m , s e p e rti m a te m a tik a , ilm u
s o sia l p lu s b a h a s a In g g ris te ta p i tid a k m e n g u a s a i b a h a s a A r a b a p a la g i m e m b a c a k itab . M e la lu i p r o g r a m p e n d id ik a n d a n p e la tih a n y a n g te la h d ic a n a n g k a n p ro d i, s e la m a 4 ta h u n - 5 ta h u n (8 -10 se m e ste r), k e tig a tip o lo g i m a h a s is w a E K I d i a ta s a k a n m e m ilik i k e m a m p u a n d an sk ill y a n g sa m a . S e s u a i d e n g a n k o m p e te n sin y a , lu lu s a n p ro d i E K I n a n tin y a a k a n m e m ilik i k e c a k a p a n d a n k e m a h ira n d a la m b a h a s a A r a b d a n In g g ris. M a m p u m e m b a c a k ita b -k ita b A r a b (k u n in g )
dan
m e n g g a li k h a z a n a h k la sik te r u ta m a y a n g b e r k a ita n d e n g a n E k o n o m i Islam . M e r e k a ju g a
m e m ilik i k e m a m p u a n
m e n je la sk a n
secara v erb a l
se g a la y a n g
b e rk a ita n d e n g a n e k o n o m i Isla m d a n p e r b a n k a n s y a ri’ah . S e la n ju tn y a m e re k a a k a n m e m ilik i sk ill d a la m m e n g o p e ra s ik a n k o m p u te r te r u ta m a y a n g b e rk a ita n d e n g a n p r o g r a m -p ro g ra m y a n g m e m ilik i k e te rk a ita n e ra t d e n g a n p e r b a n k a n d a n a k tiv ita s b isn i. L e b ih d a ri itu, m e re k a ju g a m e m ilik i e tik a b is n is y a n g in te g ra l dengan
k e y a k in a n
ta u h id n y a
s e rta
m em punyai
e to s
dakw ah
yang
dapat
m e m b u a t m e re k a d a p a t ta m p il m e n ja d i m u ja h id -m u ja h id e k o n o m i S y a ri’ah. H e m a t p e n u lis, d u a k o m p e te n s i y a n g d ise b u t te r a k h ir in ila h y a n g k u r a n g d im ilik i p a ra m u a lla f e k o n o m i s y a ri’a h se la m a ini. D u k u n g a n y a n g c u k u p b e s a r d ib e rik a n o le h L K S, b a n k d a n n o n b an k , k e rja s a m a y a n g in te n s d e n g a n d u n ia lu ar, te n a g a -te n a g a p e n g a ja r y a n g ah li, te r a m p il d a n p ro fe s sio n a l. F E B I m e y a k in i b a h w a p e r la h a n n a m u n p a sti, fa k u lta s in i a k a n m a m p u m e m b a w a p r o g r a m in i m e n c a p a i p r e s ta s i te rb a ik n y a .
3. Masa Depan Pendidikan Ekonomi Islam H a m p ir
dua
dekade
te ra k h ir,
e k o n o m i Isla m
(e k o n o m i s y a ri’ah )
di
In d o n e s ia b a ik p a d a d im e n s i p e r a k tik a ta u p u n d im e n si te o r itik m e n u n ju k k a n p erk em b an gan
yang
cukup
m e n g g e m b ira k a n .
Tum buh
su b u rn ya
le m b a g a -
le m b a g a p e r b a n k a n s y a ri’a h a ta u p u n le m b a g a k e u a n g a n n o n b a n k , tid a k s a ja d i k o ta -k o ta b e s a r te ta p i ju g a su d a h m e ra m b a h k e k o ta k a b u p a te n d a n k e c a m a ta n
s e m a k in m e m u d a h k a n p ro se s d a n a k s e le r a s i s o s ia lis a s i e k o n o m i s y a ri’a h k e p a d a u m at. Pada
sa a t
yang
sa m a ,
le m b a g a
p e n d id ik a n
tin g g i
agam a
te la h
m e n y e le n g g a ra k a n p e n d id ik a n e k o n o m i Isla m d a la m ra n g k a m e n y ia p k a n su m b e r d a y a m a n u sia b e rk u a lita s - s e la n ju tn y a d ih a ra p k a n d a p a t m e n ja d i m u ja h id aliq tish a d (p e ju a n g e k o n o m i S y a ri’ah ). B e b e ra p a p e rg u ru a n tin g g i a g a m a te la h m e n g a su h p e n d id ik a n tin g g i e k o n o m i Isla m p a d a tin g k a t ju ru sa n a ta u p ro g ra m stu d i. T id a k b e r a p a la m a lagi, b e b e r a p a p e rg u ru a n tin g g i a k a n m e n c o b a u n tu k m e n y e le n g g a ra k a n p e n d id ik a n tin g g i s e tin g k a t fa k u lta s. T id a k k a la h m e n a rik n y a , b e b e r a p a le m b a g a p e n d id ik a n tin g g i u m u m ju g a te la h m e m b u k a p ro g ra m stu d i e k o n o m i Isla m . K e n d a tip u n te r d a p a t p e rso a la n e p is te m o lo g i k e ilm u a n y a n g b a g i s a y a c u k u p seriu s, n a m u n p r o b le m in i tid a k b o le h m e n ja d i p e n g h a la n g u n tu k p e n g e m b a n g a n e k o n o m i Isla m d i p e rg u ru a n t in g g i u m u m . S e ja tin y a , jik a d ilih a t d a ri a k a r ilm u , e k o n o m i Isla m s e s u n g g u h n y a b e r s u m b e r d a ri w a h y u A lla h . E k o n o m i Isla m y a n g d i d a la m b a h a s a A r a b d ise b u t s e b a g a i a l-iq tish a d , b u k a n la h c a b a n g d a ri ilm u e k o n o m i (k o n v e n sio n a l). A lIq tis h a d a d a la h b a g ia n d a ri s y a ri’ah . A lih - a lih d a r ip a d a b e r p ik ir d ik o to m ik s e p e rti ini, a d a la h le b ih b a ik jik a p e r g u r u a n tin g g i u m u m d a n a g a m a m e n c o b a b e k e rja s a m a d a la m ra n g k a m e n g e m b a n g k a n e k o n o m i S y a ri’ah. K e n d a ti d e m ik ia n , b u k a n b e r a r ti p e rk e m b a n g a n e k o n o m i Isla m b e rja la n m u lu s ta n p a h a m b a ta n d a n rin ta n g a n . K e g ig ih a n p e ju a n g -p e ju a n g a ta u m u ja h id a l-iq tis h a d s e la lu d ita n ta n g u n tu k d a p a t m e n g a ta si b e r b a g a i h a m b a ta n te rse b u t. S a la h s a tu p e r s o a la n y a n g se riu s k ita h a d a p i a d a la h s u m b e r d a y a m a n u sia . P e rk e m b a n g a n E k o n o m i Isla m d i In d o n e s ia s e s u n g g u h n y a b e lu m d id u k u n g o le h te r s e d ia n y a a h li d a n te n a g a te r a m p il y a n g b e n a r-b e n a r m e n g u a s a i ilm u e k o n o m i S y a ri’ah . U n tu k itu la h le m b a g a -le m b a g a p e n d id ik a n d a ri b e r b a g a i tin g k a ta n (strata) se m a k in s ig n ifik a n u n tu k m e n y e d ia k a n te n a g a y a n g tid a k s a ja a h li se c a ra te ro ritis te ta p i ju g a m a h ir se c a ra p e ra k tis. P a d a m a s a m e n d a ta n g , tid a k te p a t jik a le m b a g a k e u a n g a n s y a ri’a h b a n k d a n n o n b a n k d ik e lo la o le h p a ra m u a lla f.
“M e n g is la m k a n ”
o ran g
yang
s e m u la
b e r p ik ir
k a p ita lis
b u k a n la h
p e k e rja a n
m u d a h . P e rlu u p a y a -u p a y a siste m a tis d a n te r e n c a n a y a n g b e r tu ju a n u n tu k m e ru b a h p a ra d ig m a d an p e r ila k u b a n k ir m u a lla f te rse b u t. IA IN .S u m a te r a U ta ra
kh u su sn ya
F a k u lta s
Ekonom i dan
B isn is
Isla m
(F E B I) m e ru p a k a n le m b a g a p e n d id ik a n tin g g i Isla m te r d e p a n d i lu a r P u la u Ja w a y a n g m e n y e le n g g a r a k a n p e n d id ik a n e k o n o m i Isla m . P a d a p e n g h u ju n g ta h u n 9 0 an , F a k u lta s S y a ri’a h te la h m e m b u k a p r o g r a m D III M a n a je m e n P e rb a n k a n d an K e u a n g a n S y a ri’a h
(M P K S ). S e la n ju tn y a p a d a ta h u n 20 0 2, F a k u lta s S y a r i’a h
b e r k e te ta p a n h a ti u n tu k m e m b u k a Ju ru sa n E k o n o m i Islam . S e te la h b e r ju a n g se d e m ik ia n ru p a , ta h u n 2 0 0 4 , iz in p r in s if p e m b u k a a n P r o d i E k o n o m i Isla m k e m b a li d ip e rte g a s d e n g a n P e rk e m b a n g a n
te r a k h ir
SK
yang
N o. tid a k
D J.II/15 8 / 2 0 0 4 te r ta n g g a l 2 7 M e i 20 0 4 . k a la h
m e n g g e m b ir a k a n
a d a la h ,
p ro d i
e k o n o m i Isla m F ak . S y a ri’a h u n tu k y a n g p e r ta m a k a lin y a b a r u s a ja te r a k r e d ita s i d e n g a n n ila i B d i B A N PT . L e w a t h a s il in i k ita s e m a k in p e r c a y a d iri b a h w a k ita m a m p u m e n g e lo la p e n d id ik a n tin g g i e k o n o m i se c a ra b a ik . B a h k a n p a d a ta h u n 2 0 15 p r o d i in i h a ru s m a m p u m e n c a p a i n ila i a k r e d ita si A . P a d a ta h u n
a ja r a n
2 0 14 -2 0 15 ,
p r o d i E k o n o m i Isla m
akan
m em buka
b e b e r a p a p r o g r a m stu d i b aru . D i a n ta r a P ro g ra m S tu d i b a r u y a n g d ire n c a n a k a n te r s e b u t
a d a la h ,
P ro d i
P e rb a n k a n
S y a ri’ah ,
P ro d i A s u r a n s i
S y a r i’ah ,
P ro d i
A k u n t a n s i S y a ri’ah , P ro d i M a n a je m e n P e ru sa h a a n , P ro d i M a n a je m e n S u m b e r D a y a In sa n i, P r o d i D ip lo m a III A k u n t a n s i S y a ri’ah . P e m b u k a a n P ro d i in i in i d ila k u k a n t id a k s a ja d a la m ra n g k a m e n y a h u ti p e r m in ta a n p a sa r, te ta p i le b ih d a ri itu d is e b a b k a n tu n tu ta n a g a m a itu se n d iri. P e n e ra p a n e k o n o m i s y a ri’a h d a la m k e h id u p a n u m a t Isla m s e s u n g g u h n y a s e s u a tu y a n g tid a k d a p a t d ita w a r -ta w a r lagi. H id u p b e r s a m a s y a ri’a h y a n g k a ffa h a d a la h sa tu -s a tu n y a p ilih a n y a n g a d a d i d e p a n k ita. M e n y a d a r i ta n ta n g a n y a n g a k a n d ih a d a p i c u k u p b e ra t, F E B I IA IN .S U te la h b e r k e te ta p a n h a ti u n tu k te ru s m e n e ru s m e m b e n a h i d irin y a . H a l y a n g sa n g a t p e n tin g s e s u n g g u h n y a a d a la h k u rik u lu m d a n sila b u s. K u rik u lu m s e ja tin y a h a ru s
m a m p u m e n ja w a b k e b u tu h a n p a sa r. S u lit m e m b a y a n g k a n se b u a h p e rg u ru a n t in g g i y a n g m e n g e lo la ra tu sa n a ta u r ib u a n m a h a sisw a , te ta p i o u tp u tn y a s a m a se k a li tid a k d ib u tu h k a n p a sa r. D a ri s isi m e to d e p e n g a ja r a n d a n p e n g e m b a n g a n b a sis k e ilm u a n , F E B I a k a n m e n g a c u k e p a d a p e n g a ja r a n e k o n o m i Isla m in te g ra tif. S e la m a in i a d a k e sa n tr a n s fo r m a s i
k e ilm u a n n y a
m a sih
sa n g a t
d ik o to m ik .
Ada
ilm u
ekon om i
k o n v e n sio n a l, a d a p u la e k o n o m i Isla m . E k o n o m i m ik ro -m a k ro k o n v e n s io n a l d ia ja rk a n
le b ih
d a h u lu
dan
se te la h
itu
b aru
e k o n o m i m ik r o -m a k r o
Isla m
d isa m p a ik a n . S e o la h -o la h , e k o n o m i Isla m tid a k b is a d ia ja rk a n ta n p a m e n g u a s a i m ik ro -m a k ro
k o n v e n sio n a l.
Pada
g ilira n n y a ,
k u rik u lu m
dan
sila b u s
yang
d ik e m b a n g k a n ju g a k u rik u lu m y a n g in te g ra tiv e . K ita h a q q a l-ya k in , e k o n o m i Isla m m e m ilik i m a sa d e p a n y a n g s a n g a t c e rah . E k o n o m i Isla m tid a k se k e d a r a lte rn a tiv e te ta p i p e r la h a n n a m u n p a sti m e n je lm a m e n ja d i p ilih a n u ta m a siste m e k o n o m i b a n g s a p a d a m a sa m e n d a ta n g . K ita s e m a k in y a k in n ila i-n ila i s y a ri’a h p a sti m e m b e r ik a n k e m a s la h a ta n
bagi
k e h id u p a n b e r b a n g s a k ita. In i a ru s y a n g tid a k b is a la g i d ih e m p a n g . T u g a s k ita a d a la h m e n y ia p k a n s u m b e r d a y a m a n u sia y a n g ta n g g u h . D a n in i h a n y a m u n g k in m e la lu i p e n d id ik a n .
4. Sumber Daya Insani dan Era MEA IA IN .S U se b a g a i lo k o m o t if p e r k e m b a n g a n E k o n o m i S y a ri’a h d i In d o n e sia , te r le b ih -le b ih d i S u m a te r a U ta ra , k e m b a li d ip e r c a y a B a n k In d o n e sia s e b a g a i tu a n ru m a h p e n y e le n g g a ra F o ru m R ise t P e rb a n k a n S y a ri’a h III (F R P S ) y a n g a k a n b e r la n g s u n g d a ri ta n g g a l 2 9 -3 0 S e p te m b e r 2 0 11. F o ru m
R ise t a d a la h m e d ia
b e r k u m p u ln y a p a r a a h li p e rb a n k a n s y a ri’ah , a p a k a h itu p e ra k tisi, a k a d e m isi, le b ih -le b ih p a ra p e n e liti h a n d a l d a ri b e r b a g a i p e r g u r u a n tin g g i y a n g a d a di In d o n e sia .
D i d a la m
fo ru m
te rse b u t,
b eragam
p e n e litia n
b e rk u a lita s
yang
b e r h u b u n g a n d e n g a n p e rb a n k a n s y a ri’a h a k a n d ip re se n ta sik a n . T id a k ta n g g u n g ta n g g u n g , te m a F R P S k a li in i a d a la h , “M e n in g k a tk a n K u a lita s d an D a y a S a in g
In d u s tr i P e rb a n k a n S y a r i’ah N a s io n a l M e n y o n g s o n g E ra M a s y a r a k a t E k o n o m i A s e a n (M E A ). S e tid a k n y a a d a e m p a t m a sa la h b e s a r y a n g d ih a d a p i in d u s tr i p e rb a n k a n s y a ri’a h
d i In d o n e sia .
S y a ri’a h
N a sio n a l.
P erta m a ,
Lem ahnya
K ed u a , In o v a si p r o d u k
S u m b e r D a y a In sa n i p e rb a n k a n
p erb an k an
S y a ri’a h y a n g
te rk e sa n
la m b a n b a h k a n h a m p ir m e n g a la m i sta g n a si. P r o d u k p e r b a n k a n S y a ri’a h se la m a in i
d ia n g g a p
tid a k
m am pu
b e rsa in g
dengan
p ro d u k
p e rb a n k a n
s y a ri’a h
k o n v e n sio n a l. K etig a , p e n g a tu r a n s e g m e n ta s i p a s a r y a n g b e lu m te g a s a n ta ra B P R S , B U S (B a n k U m u m S y a ri’ah ) d a n U U S (U n it U s a h a S y a ri’ah ). K eem p a t, p e n g a tu r a n d a n S y a r i’ah G o v e rn a n c e d a la m ra n g k a m e n ja g a k e p a tu h a n in d u stri k e u a n g a n / p e r b a n k a n S y a r i’a h te r h a d a p n ila i-n ila i G C G d a n p r in s if s y a ri’a h se rta m e n ja g a k o n tr ib u s i y a n g o p tim a l b a n k s y a ri’a h te r h a d a p p e r e k o n o m ia n n a sio a n l. D a la m a rtik e l in i p e n u lis a k a n m e n d is k u s ik a n p e r s o a la n su m b e r d a y a in s a n i p e r b a n k a n s y a ri’ah . B a g i p e n u lis, isu in i m a sih s a n g a t p e n tin g k a re n a b e rk a ita n e ra t d e n g a n p e r s o a la n p e n d id ik a n . T id a k b e r a r ti is u -is u la in k u ra n g p e n tin g . P e rs o a la n n y a m a n a y a n g h a ru s d id a h u lu k a n . S e b a ik a p a p u n in o v a si p r o d u k y a n g k ita k e m b a n g k a n , se p a n ja n g tid a k d ito p a n g d e n g a n s u m b e r d a y a in s a n i y a n g k u at, m a la h m e n ja d i k o n tra d ik tif.
T id a k te r tu tu p k e m u n g k in a n ,
p r o d u k te r s e b u t a k a n d ip a h a m i se c a r a sala h . H a ru s d isa d a ri, p e rk e m b a n g a n e k o n o m i S y a ri’a h d i In d o n e s ia se p e r ti y a n g ta m p a k p a d a p e s a tn y a p e r tu m b u h a n le m b a g a k e u a n g a n s y a ri’a h (L K S) b a n k d an non
b a n k te r n y a ta tid a k
T id a k la h
b e r le b ih a n jik a
d iik u ti d e n g a n d ik a ta k a n ,
k h u su sn ya p erb an k an
s y a ri’a h
p in ja m a n ”
k o n v e n sio n a l.
d a ri b a n k
k e te rse d ia a n
se la m a
d ik e lo la
dan
D engan
SD I ya n g
in i le m b a g a d ija la n k a n m e n g ik u ti
m e m a d a i.
keuangan
o le h
s y a ri’a h
“te n a g a -te n a g a
p e la tih a n
b eb erap a
m in g g u sa m p a i s a tu d u a b u la n , m e re k a la n g s u n g te r ju n p a y u n g b e r g e lu t d e n g a n siste m p e r b a n k a n s y a ri’ah . T id a k la h m e n g h e ra n k a n jik a d a la m k a su s te rte n tu , b a n y a k k a ry a w a n p e r b a n k a n s y a ri’a h y a n g m a sih m e m p e rs a m a k a n b u n g a b a n k d e n g a n m a rg in m u r a b a h a h b a h k a n d e n g a n n isb a h b a g i h a sil itu se n d iri. H a l in i
d is e b a b k a n k a re n a p e n d id ik a n y a n g in s ta n t ta n p a d id u k u n g o le h p e m a h a m a n y a n g m e n d a la m te n ta n g n a sh d a n filo so fin y a . D i s a m p in g itu, m e re k a ju g a tid a k d a p a t m e le p a sk a n d iri d a ri p a ra d ig m a b a n k k o n v e n sio n a ln y a . K e h a d ir a n “te n a g a p in ja m a n ” te r s e b u t te n tu tid a k d a p a t d ip e rsa la h k a n . K e n y a ta a n n y a , p a d a sa a t s iste m p e rb a n k a n s y a ri’a h h a d ir d i In d o n e s ia se k ita r ta h u n 19 9 0 -a n , b a n g s a in i s e s u n g g u h n y a tid a k m e m ilik i s u m b e r d a y a in sa n i y a n g b e n a r-b e n a r m e m a h a m i d a n te r la tih
d a la m
b id a n g p e rb a n k a n
s y a ri’a h te r le b ih -le b ih
d a la m
b id a n g
e k o n o m i Islam . A g a k n y a , d a ri p e r s p e k t if p o litik e k o n o m i Isla m , y a n g p e n tin g p a d a sa a t itu (o rd e b aru ) a d a la h b a g a im a n a le m b a g a p e r b a n k a n n y a b e r d ir i d u lu , u ru s a n sia p a y a n g m e n ja la n k a n n y a d a n b a g a im a n a o p e r a s io n a ln y a d ip ik irk a n b e la k a n g a n . S y u k u rla h k e n d a ti s im b o l y a n g d ip a k a i tid a k m e n g g u n a k a n n a m a Isla m a ta u p u n s y a ri’ah , b e r d ir in y a b a n k b a g i h a sil itu d iiz in k a n . D i s a d a ri se p e n u h n y a , a lo tn y a p e n a m a a n “b a n k Isla m ” te r s e b u t k a r e n a m a s ih a d a n y a k e lo m p o k y a n g m a sih t a k u t d a n c u rig a p a d a Isla m ( Isla m p h o b ia ). D e n g a n k a ta lain , k e b e ra d a a n “te n a g a p in ja m a n ” p a d a s a a t itu a d a la h “ja la n p in ta s ” u n tu k m e n g is i k e k o so n g a n s u m b e r d a y a in sa n i te rs e b u t. K a re n a m e re k a p u la la h , te r le p a s a ta s k e le b ih a n d a n k e k u ra n g a n n y a , p e rb a n k a n s y a ri’ah b is a b e rja la n se p e r ti y a n g k ita sa k sik a n sa a t ini. H a n y a sa ja m e m b ia rk a n “te n a g a p in ja m a n ” p e rb a n k a n s y a ri’a h se la m a n y a m e n ja d i m u a lla f te n tu tid a k d a p a t d ib e n a rk a n . S u d a h sa a tn y a se te la h d u a d e k a d e p e r ja la n a n p e r b a n k a n s y a ri’a h d i In d o n e sia ,
in stitu si te r s e b u t
dapat
d ik e lo la
dan
d ija la n k a n
o le h
p e ra k tis i-
p e r a k tis i p e rb a n k a n s y a ri’a h y a n g ta n g g u h , ce rd a s, m e n g u a s a i te o r i d a n p e r a k tik p e rb a n k a n s y a ri’a h d a n te n tu s a ja m e m ilik i in te g rita s m o ra l (ak h lak ) y a n g ta n g g u h . B a n k S y a ri’a h ta n p a a k h la k (e tik a b isn is) m a k a s e m u a n y a m e n ja d i b in a sa . E u is
A m e lia
di
d a la m
a r tik e ln y a y a n g
b e rju d u l,
E k o n o m i Isla m In d o n e s ia d an U p a ya P e m b a h a r u a n
“P o tre t P e n d id ik a n
K u r ik u lu m
E k o n o m i IS L a m
D a la m M e n g h a s ilk a n S D M I n t e g r a t if,” d e n g a n m e n g u tip h a s il r ise t U n iv e rsita s
In d o n e s ia m e n y a ta k a n le b ih d a ri 9 0 % S D M B a n k S y a ri’a h sa a t in i tid a k m e m ilik i la ta r b e la k a n g p e n d id ik a n E k o n o m i S y a ri’ah . le b ih je la s n y a d a ta t e r s e b u t d a p a t d ilih a t d i b a w a h in i: T abel 1 L a ta r b e la k a n g P e n d id ik a n P a ra P e g a w a i B a n k S y a ri’a h (d a la m P e rse n ta se ). Thn
SLTA
D3
S1
S1
S1
S1
S1
S1
Ekonom i
H ukum
FISIP
Pertanian
Teknik
Syari’ah
S2
2009
6,2
18,7
38,0
6,2
5^
4 ,9
7^
9A
4A
2008
5>3
12,1
39A
7^
6,8
6,3
9,2
8,6
5,3
Iro n isn y a , y a n g
lu lu sa n
d a ri fa k u lta s
S y a ri’a h p u n
b e lu m
se p e n u h n y a
m e m a h a m i k o n se p e k o n o m i Isla m p a d a u m u m n y a d a n p e r b a n k a n S y a ri’a h p a d a k h u su sn y a . K e n d a ti k e a d a a n in i b is a d im a k lu m i, k a r e n a p a d a sa a t itu, ju ru sa n e k o n o m i Isla m a ta u F a k u lta s E k o n o m i Isla m b e lu m m u n c u l, n a m u n k o n d is in y a te n tu tid a k b is a d ip e rta h a n k a n . S a m p a i d i sin i je la s la h p e r s o a la n s u m b e r d a y a in s a n i
p erb an k an
S y a ri’a h
m e ru p a k a n
m a sa la h
b esar
yang
h a ru s
se g e ra
d ip e rc a h k a n . S e k a li lagi, d a ta d i a ta s m e n e g a sk a n , y a n g d im a k s u d d e n g a n le m a h n y a s u m b e r d a y a in s a n i p e r b a n k a n s y a ri’a h a d a la h d a ri a s p e k p e n g u a s a a n ilm u -ilm u s y a ri’ah . S e d a n g k a n d a ri a s p e k te k n ik a l p e r b a n k a n a ta u p e n g u a s a a n e k o n o m i k o n v e n s io n a l b is a ja d i su d a h b aik . Y a n g tid a k b o le h d ilu p a k a n a d a la h , p e r b a n k a n s y a ri’a h b u k a n la h s e k e d a r le m b a g a p e r b a n k a n k o n v e n s io n a l d e n g a n b a ju b e r b e d a ( b a ju s y a ri’ah ). Lem ahnya
su m b er
d aya
in s a n i p e r b a n k a n
s y a ri’a h
b e r im p lik a s i
lu a r
te r h a d a p p e r k e m b a n g a n p e r b a n k a n s y a ri’a h d i In d o n e sia . B e r d a s a r k a n O u tlo o k P e rb a n k a n S y a ri’a h ta h u n 2 0 11 d ik e ta h u i b a h w a d i a n ta r a k e n d a la p e rc e p a ta n m a r k e t s h a r e p e r b a n k a n s y a ri’a h k a re n a fa k to r S D M , b a ik d a ri sisi m in im n y a ju m la h S D M p e rb a n k a n s y a ri’a h m a u p u n k u a lita s n y a y a n g m a sih re n d a h . O le h
s e b a b itu, k e b ija k a n B a n k In d o n e s ia y a n g s e d a n g m e ra n c a n g k e b ija k a n y a n g d ib e ri n a m a G ra n d o f H u m a n C a p ita l S t r a t e g y , m e n ja d i se b u a h k e n isc a y a a n . A d a b e b e r a p a a la sa n m e n g a p a s u m b e r d a y a in s a n i in i sa n g a t p e n tin g u n tu k
d ip e rh a tik a n .
m e n ja n jik a n .
P erta m a ,
p o te n s i
p erb an k an
s y a ri’a h
m a sih
sa n g a t
P a sa r b a n k s y a ri’a h y a n g b a r u te r g a ra p s a m p a i sa a t in i b a r u 10 % .
K a la u d a ta y a n g m e n g g e m b ir a k a n in g in d ik e m u k a k a n ,
sa m p a i ta h u n 20 10
d ip e rk ira k a n p a sa r b a n k s y a ri’a h a k a n d ic a p a i p a d a a n g k a 3 0 -3 5 % d e n g a n m a rk e t sh a re s e b e sa r 3 ,1 % . B e r ita b a ik n y a a d a la h , d a ta d i a ta s m e n u n ju k k a n in d u stri p e rb a n k a n s y a ri’a h m a sih sa n g a t m e n ja n jik a n p a d a m a sa d e p a n . N a m u n p o te n s i in i m e n ja d i s ia -s ia jik a tid a k d ito p a n g d e n g a n k e s ia p a n s u m b e r d a y a in sa n i y a n g m e m a d a i. K ed u a , m e n u r u t M u lia m a n D H a d a d , D e p u ti G u b e r n u r B a n k In d o n e sia , d ip e rk ira k a n 4 -5 ta h u n k e d e p a n , d ip e rlu k a n s e k ita r 4 0 .0 0 0 te n a g a k e rja y a n g b e r g e r a k k h u su s d i p e r b a n k a n s y a ri’ah . H a l in i se irin g d e n g a n p e r tu m b u h a n in d u s tr i p e r b a n k a n s y a ri’a h y a n g s e m a k in p e sa t. B a h k a n d a la m s a tu k e se m p a ta n S e m in a r d i Jo g ja d ik e m u k a n o le h D ir e k tu r U ta m a B R I S y a ri’ah , V e n tje R a h a rd jo , s a m p a i ta h u n 2 0 15 d ip e rlu k a n 4 5 .0 0 0 rib u o ra n g te n a g a k e rja y a n g a k a n d ise ra p in d u stri p e r b a n k a n s y a ri’ah. K etig a , k e n d a tip u n sisi p r a g m a tis p e n g e m b a n g a n e k o n o m i S y a ri’a h tid a k dapat
d ia b a ik a n
b e g itu
saja,
nam un
sisi
p r a g m a tis
te r s e b u t
tid a k
b o le h
m e n g o rb a n k a n sisi id e a lis m e n y a . S isi id e a lism e s y a ri’ah , s a tu h a l y a n g tid a k b is a d ita w a r -ta w a r p e rb a n k a n
lagi.
S y a ri’a h
S y a r i’ah tid a k
c o m p lia n c e
sa ja
m e n ja d i
d a la m ru h
p e r a k tik
yang
m e sti
dan te ru s
o p e ra sio n a l d ija g a
dan
d ip e rta h a n k a n te ta p i ju g a m e ru p a k a n k a r a k te r is tik d a ri p e r b a n k a n s y a ri’ah. P e rb a n k a n
s y a ri’a h b e r h a k m e n g g u n a k a n
n a m a s y a ri’a h k a r e n a s y a ri’a h itu
se n d iri. T e n tu s a ja m a s ih b a n y a k is u -is u la in y a n g a k a n d id is k u s ik a n d i d a la m fo ru m rise t p e r b a n k a n s y a ri’a h n a n tin y a . L e b ih -le b ih jik a k ita in g in b e rp e ra n p e n tin g d a la m e ra M a s y a ra k a t E k o n o m i A se a n . D ih a r a p k a n le w a t fo ru m rise t
p e r b a n k a n s y a ri’ah in i, k ita d a p a t te ru s m e m p e rb a ik i su m b e r d a y a in sa n i k ita s e h in g g a in d u s tri p e r b a n k a n s y a ri’a h d a p a t m e la ju d e n g a n p esa t. In sy a A lla h . W a lla h u a ’lam bi a l-sh a w a b .
5. Melahirkan SDM Berbasis Syari’ah P e sa tn y a p e r tu m b u h a n le m b a g a k e u a n g a n s y a ri’a h (L K S) p a d a s a tu sisi te n tu s a n g a t m e n g g e m b ira k a n . S e tid a k n y a h a l te r s e b u t m e n u n ju k k a n e k o n o m i s y a ri’a h te la h d ite r im a m a s y a ra k a t In d o n e s ia d e n g a n s a n g a t b a ik . N a m u n p a d a s is i lain ,
p e r tu m b u h a n
itu ju g a
m e n im b u lk a n
k e k h a w a tira n . A p a k a h
SD M
e k o n o m i s y a ri’a h n y a te la h te r s e d ia d a n sia p m e n o p a n g d a n m e n d u k u n g L K S te rs e b u t. P e rta n y a a n in i d a p a t d ila n ju tk a n , a p a k a h le m b a g a p e n d id ik a n tin g g i Isla m m a m p u m e n y ia p k a n S D M s e s u a i d e n g a n k u a lifik a si y a n g d ib u tu h k a n L K S. S a y a te r m a s u k o r a n g y a n g s e la lu m e n g k a m p a n y e k a n b a h w a L K S b u k a n la h s a tu -s a tu n y a in s titu s i y a n g d a p a t m e n a m p u n g lu lu sa n e k o n o m i s y a ri’ah . T e n tu b a n y a k b id a n g -b id a n g p e n g a b d ia n y a n g d a p a t d ila k u k a n . D i a n ta ra n y a , a lu m n i E K I d a p a t te r ju n d i d u n ia u s a h a a ta u m e n ja d i e n te rp re u n e rs h ip . B id a n g in i s e s u n g g u h n y a sa n g a t m e n ja n jik a n b u a t m a sa d e p a n y a n g le b ih b aik . S y a ra tn y a , se tia p o ra n g y a n g in g in te r ju n d i d u n ia u s a h a h a ru s m e m ilik i k e b e ra n ia n , p ro g re sif, in o v a tif, k r e a t if d a n m e m ilik i in te g rita s y a n g te ru ji. In ila h y a n g d ise b u t d e n g a n e to s k e w ira u sa h a a n . N a m u n h a ru s d isa d a ri ju g a , sa la h sa tu a la sa n m a h a s is w a / i m e m ilih p ro d i E K I d is e b a b k a n
k a r e n a in g in b e k e r ja d i L K S. T id a k la h
m e n g h e ra n k a n jik a
p e m in a t p r o d i E K I d i b e r b a g a i p e r g u r u a n tin g g i Isla m b a ik P T N / P T S s e la lu m e m b lu d a k d a n m e la m p a u i d a y a ta m p u n g d a ri p r o d i itu se n d iri. O le h se b a b itu p e rs o a la n y a n g h a ru s m e n ja d i p e rh a tia n le m b a g a p e n d id ik a n tin g g i Isla m a d a la h b a g a im a n a m e n y ia p k a n a lu m n in y a a g a r d a p a t b e k e r ja d i L K S se k a lig u s ju g a m a m p u m e n c ip ta k a n u s a h a se n d iri a ta u y a n g d ik e n a l d e n g a n e n te rp reu n e rsh ip . H a ru s d isa d a ri, sa a t in i y a n g te r ja d i a d a la h k e s e n ja n g a n a n ta r a p e rc e p a ta n in d u s tr i k e u a n g a n s a y ri’a h d e n g a n k e te rse d ia a n S D M . R ise t y a n g d ila k u k a n o le h
U n iv e r s ita s In d o n e s ia p a d a ta h u n 2 0 0 3 d iu n g k a p k a n b a h w a le b ih d a ri 9 0 % S D M b a n k s y a ri’a h sa a t in i tid a k m e m ilik i la ta r b e la k a n g a n p e n d id ik a n e k o n o m i Islam . D i s a m p in g itu, b e r d a s a r k a n p e n y a m p a ia n o u t lo o k p e r b a n k a n s y a ri’a h ta h u n 2007
d ik e ta h u i
bahw a
di
a n ta r a
k e n d a la
p e rc e p a ta n
m arket
sh are
(-5% )
p e rb a n k a n s y a ri’a h a d a la h fa k to r S D M , b a ik d a ri sisi m in im n y a ju m la h S D M p e rb a n k a n s y a ri’a h m a u p u n r e n d a h n y a d a ri sisi k u a lita s. A k ib a tn y a s e b a g a im a n a y a n g d ise b u t o le h W a h y u D w i A g u n g (M a n ta n K e tu a A sb isin d o ) d a n S y a k ir Su la , s a a t in i b a r u 10 % s a ja S D M y a n g m e m ilik i la ta r b e la k a n g s y a ri’a h y a n g b e k e r ja d i in d u s tr i k e u a n g a n s y a ri’a h d a n y a n g 9 0 % a d a la h b e r la ta r b e la k a n g d a ri in d u s tr i k e u a n g a n k o n v e n sio n a l y a n g “d ik a r b it” m e la lu i p e la tih a n sin g k a t p e rb a n k a n s y a ri’ah . L e b ih ja u h d a ri itu, in fo rm a si te n ta n g b a n k s y a ri’a h k e ra p sa la h d is a m p a ik a n k e p a d a m a sy a ra k a t. B a y a n g k a n k e tik a b a n k ir b a n k s y a ri’a h a ta u p e g a w a in y a m e m p e rs a m a k a n m a rg in d e n g a n b u n g a a ta u b a g i h a sil d e n g a n b u n g a . Pada
g ilira n n y a ,
SD M
yang
tid a k
m en gu asai
ilm u -ilm u
s y a ri’a h
d ik h a w a tirk a n m a la h m e m b e r ik a n c itra y a n g b u r u k te r h a d a p p e r b a n k a n s y a ri’ah. T id a k k o m p e te n n y a S D M d a n tid a k sia p n y a k e le m b a g a a n p e n d u k u n g d a p a t m e n y e b a b k a n k a la n g a n p r a k tis i m e n g e n d e p a n k a n p ra g m a tism e d a la m p r a k te k d i la p a n g a n d a n p a d a a k h ir n y a m e n im b u lk a n k e s a n b a h w a p e r e k o n o m ia n sy a ria h te r n y a ta s a m a sa ja d e n g a n s iste m k o n v e n sio n a l. S o fy a n S y a fri H a ra h a p (alm ) se o ra n g a h li a k u n ta n s i s y a ri’a h In d o n e s ia p e r n a h m e n g a ta k a n b a h w a S D M in d u s tri k e u a n g a n s y a ri’a h y a n g a d a se k a ra n g b e lu m c u k u p d a n b e lu m s e su a i h a ra p a n , d a n h a n y a p r a g m a tis (h a n y a m a m p u b e k e rja ) te ta p i b e lu m b is a m e n g u b a h (to c h a n g e ) k e s itu a si y a n g le b ih b a ik (se su a i d e n g a n n ila i-n ila i Isla m ). S e ja tin y a , S D M S y a ri’a h b u k a n sa ja se k e d a r p e k e r ja a ta u k a ry a w a n y a n g ta a t d e n g a n tu p o k s i-tu s i (tu g as p o k o k ), te ta p i le b ih d a ri
itu
m e re k a
ju g a
m e m ilik i
sem an g at
ju a n g
yang
tin g g i
u n tu k
m e n g e m b a n g k a n e k o n o m i Islam . M e re k a la h y a n g d ise b u t d e n g a n m u ja h id aliq tish a d .
S D M E k o n o m i S y a ri’a h y a n g ta n g g u h te n tu tid a k b is a d ila h irk a n se c a ra in sta n . D ib u tu h k a n se b u a h p ro g ra m p e n d id ik a n y a n g te re n c a n a , siste m is d a n m a m p u m e n ja w a b k e b u tu h a n p a sa r m a s a d e p a n . D a la m k o n te k s in ila h , le m b a g a p e n d id ik a n
tin g g i
yang
k h u su s
m e n g e lo la
p e n d id ik a n
ekonom i
s a y ri’a h
m e ru p a k a n k e n is c a y a a n y a n g ta k te rb a n ta h k a n . D a ri le m b a g a p e n d id ik a n tin g g i a k a n la h ir S D M s y a ri’a h y a n g p a rip u rn a , m e m in ja m b a h a s a S ri E d i S w a so n o yang
m en gu asai
ilm u
ekonom i
k o n v e n sio n a l,
m en gu asai
ilm u
ekonom i
k o n te m p o re r d a n sa n g a t m e n g u a s a i ilm u -ilm u s y a ri’a h k h u s u s n y a e k o n o m i Isla m . Ia p e rn a h ekonom i
m e n g a ta k a n , “p a ra a h li e k o n o m i s y a ri’a h h a ru s p u la a h li
k o n v e n sio n a l
dan
se k a lig u s
k o n te m p o re r,
s e h in g g a
m am pu
m e n g k o re k si, m e n g im p r o v is a s i d a n le b ih ta n g g u h se rta m u m p u n i m e n g a n ta r ilm u e k o n o m i s y a ri’a h k e a r a h te r c ip ta n y a k e a d ila n d a n k e m a s la h a ta n u m m a t, d e m i d u n ia d a n a k h ira t. R e lig iu sita s le b ih u ta m a d a r ip a d a id e n tita s re lig iu s. K e b u tu h a n te rh a d a p S D M S y a ri’a h se s u n g g u h n y a sa n g a t tin g g i. M e n u ru t H a ris m a n (D ire k tu r D P S BI) d a la m 4 -5 ta h u h ke d e p a n d ib u tu h k a n 10 rib u S D M u n tu k m e n g is i in d u s tr i p e rb a n k a n s y a ri’ah . D a ta BI m e n u n ju k k a n le b ih tin g g i lagi, y a k n i se k ita r 14 0 0 0 . U n tu k itu, le m b a g a p e n d id ik a n tin g g i a d a la h in stitu si y a n g p a lin g b e r k o m p e te n d a la m p e n y e d ia a n S D M y a n g d ib u tu h k a n o le h in d u stri p e r b a n k a n s y a ri’ah . L e b ih ja u h d a ri itu, M u lia m a n D H a d d a d m e n y a ta k a n b a h w a d a la m 4 -5 ta h u n k e d e p a n , d ip e rlu k a n se k ita r 4 0 .0 0 0 te n a g a k e rja y a n g b e r g e r a k k h u su s
di
p erb an k an
m engem ukakan
bahw a
s y a ri’ah .
D ire k tu r
k e b u tu h a n
SD M
BRI
S y a ri’ah ,
p e rb a n k a n
V e n tje
s y a ri’a h
R a h a rd jo
d ip e rk ira k a n
m e n c a p a i a n g k a 4 5 .0 0 0 o ra n g h in g g a ta h u n 20 15. K e b u tu h a n S D M te r s e b u t a k a n s e m a k in m e n in g k a t d e n g a n s e m a k in b a n y a k n y a u n it-u n it p e r b a n k a n s y a ri’ah , t e r m a s u k m ic ro b a n k in g , y a n g d ik e m b a n g k a n d i d a e ra h -d a e ra h . Jik a d ise d e rh a n a k a n , S D M y a n g d ib u tu h k a n h a ru s m e m ilik i b e b e r a p a k o m p e te n si. P e rta m a , K o m p e te n si p e r ila k u y a it u p e r ila k u s p e s ifik y a n g h aru s d im ilik i u n tu k
dapat
m e n a m p ilk a n
k in e rja
efe k tif.
D i a n ta r a n y a
a d a la h
,
a n a ly th ic a l th in k, in n o va tio n , inf. S e e k in g , q u a lity & a cc u ra c y , fle x ib ility , org
sa vvy,
s e l f c o n tro l
dan
rel
b u ild in g .
K edua,
K o m p e te n s i
fu n g sio n a l
y a it u
p e n g e ta h u a n d a n k e te ra m p ila n y a n g h a ru s d im ilik i u n tu k d a p a t m e n a m p ilk a n k in e rja y a n g efe k tif. In ti d a ri k o m p e te n s i fu n g sio n a l a d a la h fu n d a m e n t a l o f s h a r ia h b a n k in g , b a n k in g a n lysis.
o p e ra tio n , fin a n c in g a d m & re p o rtin g d a n fin a n c in g
K etig a, K o m p e te n si ro le y a it u k a r a k te r is tik y a n g h a ru s d im ilik i u n tu k
d a p a t b e r k o n trib u s i se c a ra e fe k t if d a la m m e n c a p a i tu ju a n k e lo m p o k (u n it k erja). Isin y a
a d a la h
tea m
le a d ersh ip ,
s t r a te g ic
o rie n ta tio n ,
le a d in g
change
dan
d e v e lo p in g o th ers. M e n u ru t BI, k o m p e te n s i y a n g d ib u tu h k a n o le h in d u s tr i k e u a n g a n s y a ri’a h d ig a m b a rk a n d a la m b e n tu k p ira m id a . A d a p u n y a n g p a lin g d a sa r a d a la h Isla m ic K n o w le d g e y a n g d ia p it o le h E th ic d a n V a lu e s. D i a ta s n y a a d a la h c o re sk ills y a n g te r d iri d a ri d e c isio m a k in g , a n a ly tic a l c o m m u n ic a tio n su p le m e n ta ry
skill. s k ills
S e la n ju tn y a yang
b e r isi
sk ill, m a n a g e r ia l skill, tea m w o r k dan
la p a is
yang
in n o v a tio n ,
di
a ta s
a d a la h
e n te r p r e n e u r
a d d itio n a l c o m m u n ity ,
tra n s fo rm a tio n d a n fin a n c ia l e n g in e rin g . A d a p u n la p is y a n g p a lin g a ta s a d a la h le a d e rsh ip s k ills y a n g b e r is i le a d ersh ip , v is io n a r y d a n va lu es. S D M y a n g s e ja tin y a k ita b e n tu k a d a la h S D M y a n g b e rb a s is s y a ri’ah . S D M y a n g h a n d a l p a d a h a k ik a tn y a h a ru s d ile ta k k a n d i a ta s fo n d a si k e sa d a ra n s p iritu a l (h a m b a A lla h ) d a n r a sio n a l (k h a lifa h A lla h ). T id a k a d a p e r te n ta n g a n a n ta ra k e s a d a ra n sp iritu a l d e n g a n k e sa d a ra n ra sio n a l d a la m e k o n o m i s y a ri’ah . S e b a g a i ham ba
A lla h ,
m a n u sia
m e n ja d i
m a k h lu k
yang
t a ’a t
yang
se n a n tia s a
m e la k sa n a k a n p e r in ta h A lla h d a n m e n ja u h i la ra n g a n -N y a , d a n se b a g a i k h a lifa h A lla h , m a n u sia m e n ja d i m a k h lu k y a n g su k se s d a n b e r h a s il m e la lu i d u k u n g a n ilm u p e n g e ta h u a n . P e rp a d u a n a n ta r a k e u n g g u la n ra sio n a lita s d a n k e se im b a n g a n e m o sio n a l dan
sp iritu a l p a d a g ilir a n n y a m e la h ir k a n jiw a
(sp irit) y a n g
m e n g h id u p k a n
a k tiv ita s y a n g m e n d a p a t p e r to lo n g a n A lla h . S D M s y a ri’a h y a n g b e ra k tiv ita s, b a ik se b a g a i
p e m im p in
p e ru sa h a a n ,
p e m ilik ,
p em asar
(m a rk e ter),
p e la n g g a n
(n a sa b a h ) h a ru s te r p a d u d a la m k e sa d a ra n k e tu h a n a n (a l-ra b b a n y ) d a n k e sa d a ra n
ra s io n a l
( a l-‘ilm y).
O r a n g -o r a n g
yang
b e rilm u ,
yang
m am pu
m em baca,
m e m a h a m i d a n m e m a n fa a tk a n d e n g a n te p a t re a lita s k e h id u p a n u n tu k k e b a ik a n d a n k e m a sla h a ta n h id u p n y a d a n d e n g a n h a tin y a m e ra s a “t a k u t” (a l-k h a sy y a h ) k e p a d a A lla h , itu la h y a n g d ise b u t d a la m A l- Q u r ’a n s e b a g a i S D M y a n g h a n d a l d an b e rilm u . (A M Iu r N u ru d d in :2 0 11). D e n g a n k a ta la in , S D M s y a ri’a h y a n g in g in d iw u ju d k a n a d a la h S D M y a n g in te g ra tif, S D M y a n g b u k a n s a ja se k e d a r m e m a h a m i ilm u e k o n o m i s y a ri’a h d a n k o n v e n s io n a l n a m u n le b ih d a ri itu , h a ru s a h li d a la m
k e d u a b id a n g itu. D i
s a m p in g itu S D M s y a ri’a h a ta u S D M Isla m i y a n g d ik e m b a n g k a n a d a la h y a n g m e m ilik i a k h la k d a n k o m p e te n s i y a n g d ila n d a si sifa t y a n g d a p a t d ip e rc a y a (a m a n a h ), m e m ilik i in te g rita s y a n g tin g g i (sid d iq ) d a n s e n a n tia s a m e m b a w a d an m e n y e b a rk a n k e b a ik a n (ta b lig h ) se rta m e m ilik i k e a h lia n d a n p e n g e ta h u a n y a n g h a n d a l (fa th a n a h )..
6. Kajian Islam IAIN.SU, Dari Dikotomi ke Integrasi IA IN .S U y a n g b e r d ir i p a d a ta n g g a l 19 N o v e m b e r 19 7 3 , te la h b e r u s ia 3 7 ta h u n . Jik a a n g k a 4 0 k e ra p d ip a n d a n g se b a g a i a n g k a k e se m p u rn a a n , m a k a IA IN .S U
s e b e n a rn y a
se d a n g
b ergerak
m e n u ju
k e se m p u rn a a n n y a
se b a g a i
p e r g u r u a n tin g g i a g a m a te r n a m a d i In d o n e sia . A k a n le b ih b a ik la g i jik a te r b a ik d i k a w a s a n A sia . P a lin g tid a k d i se m e n a n ju n g M a la y u , IA IN .S U h a ru s m e n ja d i k ib la t p e r g u r u a n tin g g i a g a m a . M a sa tig a ta h u n b a g i s e b u a h p e rg u ru a n tin g g i tid a k la h la m a. T e p a t p a d a ta h u n 2 0 13, m im p i IA IN .S U m e n ja d i U n iv e rsita s Isla m N e g e ri h a ru s s u d a h te rw u ju d . P e ru b a h a n y a n g te r ja d i s e ja tin y a tid a k h a n y a s e b a ta s p a p a n n am a , k o p su ra t a ta u ste m p e l, n a m u n se lu ru h d im e n sin y a , fisik d a n n o n fis ik h a ru s b e ru b a h .
In ila h y a n g s e ja tin y a h a ru s d isa d a ri siv ita s
a k a d e m ik a IA IN .S U . te r m a s u k p a r a p e g a w a i d a n k a ry a w a n n y a . IA IN .S U se d a n g b e r g e r a k m e n u ju p e r u b a h a n y a n g le b ih b aik . S e b a g a i le m b a g a p e n d id ik a n tin g g i a g a m a Isla m N e g e ri, k a jia n Isla m y a n g s e la m a in i m e n ja d i c o n c e r n y a m a u tid a k m a u ju g a a k a n m e n g a la m i p e ru b a h a n ,
s e tid a k n y a m e n g a la m i p e r k e m b a n g a n k h u s u s n y a p a d a d im e n s i e p iste m o lo g in y a . P e ru b a h a n
itu
p e ru b a h a n .
d is e b a b k a n
Ju ju r
h a ru s
k aren a d ia k u i,
k e h id u p a n k e m a ju a n
m a sy a ra k a t ilm u
ju g a
m e n g a la m i
p e n g e ta h u a n -te k h n o lo g i-
in fo rm a si, te r n y a ta m e m b e r i p e n g a ru h d a n m e m b a w a p e r u b a h a n y a n g s ig n ifik a n terh ad ap
k e h id u p a n
m a n u sia .
D u n ia
k e ilm u a n
h a ru s
m am pu
m e re sp o n
p e r u b a h a n y a n g s e d e m ik ia n c e p a t. Jik a tid a k , p e r g u r u a n tin g g i tid a k sa ja a k a n te r tin g g a l te ta p i ju g a a k a n d itin g g a lk a n m a sy a ra k a t. C iv ita s A k a d e m ik a IA IN .S U d i b a w a h p im p in a n P ro f. D r. N u r A F a d h il L u b is,
MA
m e n y a d a r i se p e n u h n y a p e r u b a h a n y a n g
se d a n g b e r la n g s u n g
di
m a sy a ra k a t. P a d a s k a la y a n g le b ih m a k ro , ta n ta n g a n m a sa d e p a n y a n g se m a k in c o m p le c e te d ju g a m e m b u tu h k a n re s p o n d a n ja w a b a n y a n g tid a k sa ja b e n a r te ta p i ju g a fu n g sio n a l.
M a s a la h -m a s a la h y a n g d ih a d a p i m a sy a ra k a t s a a t in i tid a k la g i
s e d e rh a n a . Is u -is u g e n d e r, H A M , b u r u h
m ig ra n , T ra fic k in g ,
d a n te ro ris m e ,
a d a la h isu -isu y a n g tid a k b o le h d ia n g g a p se b a g a i a n g in la lu . IA IN . S U h aru s m e re s p o n n y a tid a k sa ja se c a ra in s titu s io n a l te ta p i le b ih d a ri itu, h a ru s d ire sp o n d e n g a n p e n d e k a ta n k e ilm u a n y a n g te r p e r ta n g g u n g ja w a b k a n . Jik a d i d a la m Isla m d ik e n a l d o k trin , “Isla m sa lih u n lik u lli z a m a n w a m a k a n ” m a k a d a la m k o n te k s IA IN . K ita h a ru s b e r a n i m e n g a ta k a n , IA IN . S U S a lih u n lik u lli z a m a n a w a m a k a n . (IA IN .S U h a ru s te ta p e k sis d i s e g a la z a m a n d a n te m p a t) .”
U n tu k te ta p sa lih ,
IA IN . S U h a ru s b e ru b a h , d in a m is, p r o g r e s if d a n re sp o n sif. Iro n is m e m a n g , jik a sa m p a i h a ri in i, p a d a s a a t u s ia IA IN .S U b e r u s ia 3 7 ta h u n , tid a k s e d ik it o ra n g y a n g b e r p a n d a n g a n b a h w a IA IN .S U tid a k le b ih D A R I se k e d a r
p e s a n tr e n
k o ta ,
te g a s n y a
p e s a n tr e n
di
te n g a h - te n g a h
k ota.
L u lu s a n n y a p u n d ia n g g a p h a n y a m a m p u m e m b a c a d o ’a d a n c e ra m a h a g a m a . T id a k le b ih d a ri itu. Jik a lu lu s a n IA IN .S U m a m p u m e m b a c a d o ’a, c e ra m a h , d a n m e m im p in ritu a l-ritu a l ib a d a h , itu m e m a n g b a g ia n d a ri k o m p e te n sin y a . H a n y a sa ja y a n g sa la h a d a la h jik a k e m a m p u a n y a n g te la h d is e b u t d i a w a l d ip a n d a n g sa tu -s a tu n y a
kem am puan.
P e rn y a ta a n
yang
b e n a r a d a la h ,
a lu m n i IA IN .S U
se k a ra n g in i d is a m p in g m a m p u m e m im p in ritu a l k e a g a m a a n , te ta p i m e re k a ju g a
m a m p u m e m im p in p a rta i p o litik , b e k e r ja d i le m b a g a d a n o r g a n is a s i m o d e rn , s e p e rti p e r b a n k a n d a n p e ru sa h a a n m o d e rn ,
w a r ta w a n b a h k a n d i m ilite r .
A lu m n i IA IN , ju g a m e m ilik i e to s k e w ir a u s a h a a n y a n g m e m b a n g g a k a n . M e re k a m a m p u m e n c ip ta k a n la p a n g a n k e rja b a g i p u lu h a n b a h k a n ra tu sa n o r a n g -o r a n g y a n g tid a k m e m ilik i p e k e rja a n . D a la m
k o n te k s
k a jia n
Isla m , m a h a s is w a IA IN
SU
d id id ik tid a k la g i
m e n ja d i m u q a llid (ta q lid -m e n g ik u ti a p a k a ta d o se n d a n k ita b ), te ta p i ju g a h aru s b e r a n i b e r ijtih a d s e tid a k n y a u n tu k d irin y a se n d iri. IA IN .S U tid a k m e la h irk a n m u q a llid (p e n g ik u t b u ta ) te ta p i m e la h irk a n m u jta h id (p e m b a h a ru ). B a h k a n sa a t in i m a h a s is w a ju g a d ila tih u n tu k m a m p u m e n g k ritik , m e n g g u g a t p e m ik ir a n m a sa la lu , w a la u p u n p e m ik ir a n itu d ila h irk a n o le h u la m a -u la m a b e sa r. P e rg e ra k a n d a ri m u q a llid (ta q lid ) k e m u jta h id (ijtih ad ) la lu m e n ja d i p e n g k r itik (n a q d iy y a h ), in ila h y a n g m e m b u a t IA IN te r m a s u k IA IN .S U k e ra p d is a la h p a h a m i. Jik a IA IN d itu d u h m e la h irk a n o r a n g -o r a n g lib e ra l, s e p e rti y a n g d itu d u h k a n o le h H a rto n o A h m a d Ja iz , s e b e n a rn y a tu d u h a n itu le b ih m e n g g a m b a r k a n k e tid a k p a h a m a n m e re k a te r h a d a p p e r k e m b a n g a n k e ilm u a n Isla m m endengar
p e m ik ir a n
Isla m
yang
b erb ed a
sa a t ini. A k ib a tn y a , k e tik a dengan
m a in
s tre a m
yang
b e rk e m b a n g , p ik ira n itu d is tig m a se b a g a i se sa t, a n e h d a n n y e le n e h . M e m in ja m k e ra n g k a p e m ik ir a n y a n g d ita w a r k a n P ro f. D r. A m in A b d u lla h , M A , a d a la h p e n tin g b a g i k ita u n tu k m e m b e d a k a n a n ta r a u lu m a l-d in , a l-fik r alisla m i d a n d ira s a h isla m iy y a h . T a n p a p e m a h a m a n y a n g te p a t te r h a d a p k e tig a is tila h ini, y a n g te r ja d i a d a la h k e k a c a u a n a ta u k e ra n c u a n p e m ik ira n . K e tig a is tila h te r s e b u t s e b e n a rn y a m e n g g a m b a r k a n p e r ja la n a n se ja ra h k e ilm u a n Islam . Jik a d a h u lu k ita b e r a d a p a d a e ra u lu m a l-d in (in g a tla h k a r y a m a g n u m o p u sn y a A l-G h a z a li, ih ya ‘u lu m a l-d in ), k ita p u n te la h m e m a s u k i e ra p e m ik ir a n Isla m (alf i k r a l-isla m i) d a n sa a t in i k ita b e r a d a d i g e r b a n g d ira s a h isla m iyya h . A p a s e s u n g g u h n y a y a n g m e m b e d a k a n k e tig a te r m in o lo g i k u n c i in i. S e c a ra se d e rh a n a , u lu m a l-d in a d a la h e ra ilm u -ilm u Isla m k la sik y a n g m e n c a p a i p u n c a k k e ja y a a n n y a p a d a a b a d te n g a h . K ita m a sih in g a t Im a m A l- G h a z a li b a h k a n u la m a -
u la m a la in n y a y a n g b e r h a s il m e ru m u s k a n b a n g u n a n k e ilm u a n ta fs ir d a n ilm u ta fsir, h a d is d a n u lu m a l-h a d is, fiq h -u s h u l fiq h , b a h a sa , K a la m -T a s a w u f d an c a b a n g ilm u tra d is io n a l la in n y a . P a d a e ra ini, k e k u a ta n b a h a s a a ta u te k s m e n ja d i se s u a tu y a n g n isc a y a . D e m ik ia n ju g a p e n a rik a n k e s im p u la n se c a ra d e d u k t if sa n g a t d o m in a n . T e k s a p a k a h itu q u r ’a n d a n h ad is, d ija d ik a n sa tu -s a tu n y a p e n e n tu u n tu k m e n g a b s a h k a n se su a tu a ta u m e n o la k n y a . T id a k a d a k ritik h a d is (b a ik itu n a q d s a n a d a ta u p u n n a q d a l-m a ta n ) se p e r ti y a n g b e r k e m b a n g s a a t ini. S e irin g
dengan
te r b itn y a
fa ja r
p em b ah aru an
p e m ik ir a n
Isla m
yang
d im o to ri o le h M u h a m m a d A b d u h , Ja m a lu d d in A l-A fg h a n i, Iq b a l, sa m p a i p a d a e ra F a z lu r R a h m a n , k ita p u n m e m a s u k i fa se b a r u y a itu , a l-fik r a l-isla m i. K a jia n k a jia n Isla m p d a e ra in i tid a k la g i n o r m a t if te ta p i ju g a b e r n u a n s a filo so fis. M u n c u lla h d is ip ilin ilm u -ilm u A l- Q u r ’an , p e m ik ir a n h u k u m , p e m ik ir a n k alam , p e m ik ir a n ta s a w u f, p e m ik ir a n m o d e rn d a la m Isla m d an se b a g a in y a . K o n se k u e n s i k a jia n y a n g tid a k la g i s e m a ta b e r d a s a r k a n te k s d a n d e d u k tif, m e m b u a t b a n y a k p r o d u k p e m ik ir a n Isla m y a n g la h ir b e r b e d a d e n g a n k e s im p u la n -k e s im p u la n y a n g d ite m u k a n d i d a la m ilm u -ilm u Isla m tra d isio n a l. T id a k se d ik it p e m b a h a r u y a n g d iu s ir d a ri k a m p u n g h a la m a n n y a , d itu d u h sesat, a n te k Y a h u d i, d a n tu d u h a n k e ji la in n y a . B a h k a n a d a y a n g m a ti d ib u n u h . S e m u a n y a d ise b a b k a n p e m b a h a r u a n p e m ik ir a n y a n g d ita w a r k a n n y a b e r b e d a d e n g a n p e m ik ir a n tr a d is io n a l y a n g su d a h m e m b a tu . Saat
in i
d ite rje m a h k a n k a jia n n y a
k ita ke
te ta p
sedan g
d a la m
m e m a su k i
b ah asa
b e rb a s is
In g g ris
filo so fis,
e ra
d ira s a h
m e n ja d i
te ta p i
is la m iy y a h
Is la m ic
m e to d e
dan
yang
stu d ie s.
jik a
K e n d a ti
p e n d e k a ta n n y a
m e n g g u n a k a n b e r a g a m a d isip lin ilm u -ilm u y a n g k e ra p d ia n g g a p se k u le r. S e b u t sa ja m is a ln y a ilm u so sio lo g i, a n tro p o lo g i, p s y c o lo g i, d a n se b a g a in y a . P a d a e ra ini, p e rh a tia n p e m ik ir tid a k la g i d ia ra h k a n s e m a ta -m a ta p a d a te k s te ta p i ju g a le b ih fo k u s p a d a m a sa la h -m a s a la h riil y a n g d ih a d a p i m a sy a ra k a t. S e b a g a i c o n to h , fik ih Isla m
h a ru s
b isa
m e re sp o n
m a sa la h -m a s a la h
yang
m uncul
d i m a sy a ra k a t.
B a g a im a n a b a n g u n a n fik ih m u n a k a h a t k ita p a d a e ra k e lu a r g a b a tiih (k e lu a rg a
k e cil). B a g a im a n a p u la b a n g u n a n fik ih k e lu a rg a , r e la si h a k d a n k e w a jib a n b a g i istri y a n g b e k e r ja m e n ja d i T K W . M a s a la h -m a s a la h te r s e b u t te n tu tid a k d a p a t d ip e c a h k a n
hanya
b e rp e d o m a n
pada
kaedah
fik ih
dan
u sh u l
fik ih .
K ita
m e m e r lu k a n p e r a n g k a t k e ilm u a n la in n y a s e m isa l so sio lo g i, p s y c o lo g i b a h k a n a n tro p o lo g i. T e rle b ih la g i sa a t in i, k a jia n -k a jia n Isla m tid a k d a p a t m e le p a sk a n d iri d a ri h u k u m
in te rn a sio n a l, stu d i b u d a y a , h u k u m lin g k u n g a n , p lu ra lism e
a g a m a d a n la in n y a . S a tu h a l y a n g tid a k b o le h d ia b a ik a n b e g itu sa ja a d a la h , p e rg e s e ra n m o d e l k a jia n k e is la m a n m e la h ir k a n k o n s e k u e n s i y a n g te r k a d a n g u m a t Isla m s e n d iri tid a k
sia p
m e n e rim a n y a .
a n tr o p o lo g i d a la m m e n g a h a s ilk a n fu q a h a .
Sebagai
m em ah am i dan
c o n to h ,
jik a
m e ru m u sk a n
k e s im p u la n y a n g b e r b e d a d e n g a n
k ita
m enggunakan
hukum
w a ris
apa yan g
Isla m
ilm u akan
d ip a h a m i p a ra
L a lu p e rta n y a a n s e la n ju tn y a a d a la h , m a n a y a n g b e n a r d a n m a n a y a n g
sala h . A t a u k e d u a -d u a n y a b e n a r d a n k e b e n a r a n n y a te r g a n tu n g m a sa n y a . Jik a k ita m e n g g u n a k a n p e n d e k a ta n so sio lo g i, H A M b a h k a n se ja ra h d a la m k a jia n r e la s i a n ta r p e m e lu k a g a m a , k o n s e k u e n s i lo g is n y a a d a la h r u n tu h n y a a ja r a n fik ih Isla m b e rk a ita n d e n g a n re la si m u slim d e n g a n n o n m u slim . D e m ik ia n la h , p o la d ik o to m i k e ilm u a n s e ja tin y a s u d a h h a ru s d itin g g a lk a n . K ita m e m a su k i e ra in te g r a s i k e ilm u a n . B e n a r b a h w a isu in te g ra si m a sih d a la m p ro se s p e m a ta n g a n n y a . N a m u n u p a y a in i p e r lu te ru s d id o ro n g . S a a tn y a , se lu ru h k o m p o n e n y a n g d i IA IN .S U h a ru s m e m b a n g u n d ia lo g d a n k e rja s a m a u n tu k m e w u ju d k a n m im p i b e rsa m a . IA IN .S U h a ru s m e w u ju d k a n v is in y a se b a g a i p u sa t k e u n g g u la n d a la m k a jia n d a n p e n e r a p a n ilm u -ilm u k e isla m a n u n tu k k e d a m a ia n u m a t m a n u sia . S e m o g a .
7. FEBI dan Kado Besar 40 Tahun IAIN.SU P e ra y a a n
40
Tahun
IA IN .S U
(19
N o v e m b e r 19 7 3 -19
N o v e m b e r 2013)
m e n ja d i is tim e w a d e n g a n la h ir n y a F a k u lta s b a ru , F a k u lta s E k o n o m i d a n B isn is Isla m (d isin g k a t F E B I). T id a k te r p ik ir k a n s e b e lu m n y a , se la m a 4 0 T a h u n IA IN .S U
d a n ju g a IA IN -IA IN la in n y a h a n y a b e r k u ta t d i 4 a ta u 5 F a k u lta s sa ja ; F a k u lta s T a rb iy a h , F a k u lta s S y a ri’ah , F a k u lta s D a k w a h , F a k u lta s U s h u lu d d in d a n F a k u lta s A dab
u n tu k
se b a g ia n
IA IN .
S e o la h -o la h
tid a k
ada
ilm u
b aru
yang
b is a
d ik e m b a n g k a n . L e b ih p a ra h d a ri itu , k e sa n y a n g m u n c u l, ilm u -ilm u a g a m a h a n y a b e r p u ta r -p u ta r d i w ila y a h a e m p a t a ta u lim a b id a n g saja . W a ja rla h , m e n u ru t s e b a g ia n k e c il o ra n g m e m a n d a n g IA IN d a n lu lu s a n n y a t id a k b is a b e rk e m b a n g . T id a k b is a m e m a s u k i w ila y a h -w ila y a h y a n g p ro fa n . Jik a tid a k m e n ja d i g u ru a g a m a , p e n d a k w a h d a n tu k a n g d o ’a. P a lin g -p a lin g ja d i b iro k ra t d a la m b id a n g a g a m a d a n b e k e r ja n y a d i k e m e n te ria n a g a m a . S e d ik it le b ih b a ik d a ri itu m e n ja d i h a k im a g a m a . S e b e n a rn y a , m e la lu i P M A N o 14 te n ta n g 2 0 13 te n ta n g O rg a n is a si d a n T a ta K e rja IA IN .S U s u d a h a d a p e n g e m b a n g a n ilm u -ilm u k e a g a m a a n y a n g s e la m a in i b e r a d a d i d a la m k e lo la a n IA IN .S U . S e tid a k n y a itu te r lih a t p a d a p e ru b a h a n n a m a F a k u lta s.
M isa ln y a , F a k u lta s S y a ri’a h b e r u b a h m e n ja d i F a k u lta s S y a ri’a h d an
E k o n o m i Islam . F a k u lta s T a r b iy a h b e r u b a h
m e n ja d i F a k u lta s T a r b iy a h d a n
K e g u ru a n . F a k u lta s D a k w a h b e r u b a h m e n ja d i F a k u lta s D a k w a h d a n K o m u n ik a si. A d a p u n F a k u lta s U s h u lu d d in m a sih m e m a k a i n a m a la m a. N a m u n h a ru s ju ju r d iak u i, sa m p a i sa a t in i p e ru b a h a n s ig n ifik a n s e b a g a i a k ib a t d a ri p e r u b a h a n n a m a fa k u lta s itu b e lu m la h ta m p a k . A g a k n y a p e r lu w a k tu se d ik it p a n ja n g b a g i fa k u lta s u n tu k m e m b e r i re sp o n p o s it if d a n k r e a t if te r h a d a p p e r u b a h a n n a m a itu. A p a p u n itu , te ta p sa ja IA IN .S U m e m ilik i e m p a t F a k u lta s. S a m a se p e r ti p e r ta m a se k a li ia d id irik a n . K e h a d ira n
FEBI
seb agai
fa k u lta s
term u d a
m em buat
w a ja h
IA IN .S U
b e ru b a h . IA IN .S U se a k a n m e n d a p a t e n e rg i b a r u d a n d a ra h s e g a r u n tu k le b ih b erp eran
d a la m
k e h id u p a n b a n g s a d a n n e g a ra . L e w a t F E B I, IA IN .S U
akan
m e m a su k i w ila y a h y a n g se la m a in i d iy a k in i -s e t id a k n y a b a g i s e b a g ia n b e s a r u m a t- b u k a n b a g ia n d a ri a ja r a n a g a m a . B u k a n k a h su d a h la m a u m a t in i d ik o to ri dengan
p e m ik ira n
se k u le r,
bahw a
p e r s o a la n
ekonom i
b u k a n la h
p e rso a la n
k e a g a m a a n . E k o n o m i d ip a h a m a i h a n y a b e ru ru sa n d e n g a n k e b u tu h a n d u n ia w i-
fis ik -m a te r ia l sem a ta .
K e la n g k a a n
b aran g d an
c a ra m e n g a ta sin y a .
Ekonom i
d im e n g e r ti h a n y a b e r ta u ta n d e n g a n p ro d u k si, k o n su m si d a n d istrib u si. E k o n o m i a b s e n d a n te r is o la s i d a ri p e r s o a la n k e tu h a n a n . E k o n o m i tid a k b e r h u b u n g a n sa m a se k a li d e n g a n k e y a k in a n d a n m o ra lita s. E k o n o m i m e n o la k k e te rlib a ta n A lla h S W T . S e b a g a i a k ib a tn y a , m a n u sia tid a k p e rn a h m e n e m u k a n k e b a h a g ia a n y a n g h a k ik i k a r e n a te r c e ra b u t d a ri a sa ln y a . P e n tin g d iin g a t, k e h a d ira n F E B I b u k a n la h “h a d ia h ” b e g itu s a ja d a ri K e m e n te ria n A g a m a .
y a n g d id a p a tk a n
F E B I s e s u n g g u h n y a m e ru p a k a n h a sil d a ri
se b u a h p e r ju a n g a n p a n ja n g s e tid a k n y a d a ri ta h u n 19 9 3 . D i sa a t P T A I la in n y a d i In d o n e s ia
m a sih
te r tid u r p u la s,
IA IN .S U
dengan
b e r m o d a lk a n
k e b e ra n ia n ,
b e r h a s il m e n g g e la r a c a r a S e m in a r d a n W o rk sh o p E k o n o m i Isla m b e k e r ja sa m a d e n g a n U n iv e rsita s Isla m a n ta r B a n g s a M a la y sia . P e rs itiw a itu s e s u n g g u h n y a m e n ja d i to n g g a k b e r s e ja r a h b a g i k a jia n e k o n o m i Isla m d i IA IN .S U k h u su s n y a d a n d i In d o n e s ia p a d a u m u m n y a . A c a r a in i d ig e la r b u k a n n y a ta n p a h a m b a ta n . T id a k s a ja d a ri p e m e r in ta h y a n g m a sih fo b i d e n g a n b a u Isla m te ta p i ju g a d ik a la n g a n c e n d ik ia w a n m u slim se n d iri. K e n d a ti ju m la h n y a k ecil. R e sik o siap m e n g h a d a n g d i te n g a h ja la n . N a m u n k a re n a n ia t p im p in a n d a n d o se n -d o s e n IA IN .S U s a a t itu, se p e r ti D rs. H . N a z r i A d la n i, P ro f. A m iu r N u ru d d in , P ro f. M .Y a sir n a su tio n d a n to k o h -to k o h la in n y a , S e m in a r itu su k se s d ise le n g g a ra k a n . S e ja k sa a t itu la h IA IN .S U m e m a n ta p k a n d irin y a u n tu k m e n g e m b a n g k a n k a jia n e k o n o m i Isla m d e n g a n m e la k u k a n te r o b o s a n -te r o b o s a n y a n g tid a k b iasa. M u la i d a ri p e n y e le n g g a ra a n p e n d id ik a n d a n la tih a n , m e m b u k a n p ro g ra m stu d i M a n a je m e n P e rb a n k a n S y a ri’a h D ip lo m a II y a n g k e m u d ia n b e r u b a h m e n ja d i D ip lo m a III. T a n p a h a ru s m e n u n g g u iz in d a ri k e m e n te ria n a g a m a , F a k u lta s S y a ri’a h
m em bukan
m em bukan
p ro g ra m
S 1 E k o n o m i Isla m
S tra ta
1
(Si).
H a ru s
d ik a ta k a n ,
k e p u tu sa n
a d a la h
k e p u tu sa n g ila . T id a k a d a iz in y a n g
d ik a n to n g i k e c u a li p e r s e tu ju a n lisa n d a ri p e ja b a t k e m e n a g y a n g te n tu tid a k b isa d ija d ik a a n d a s a r h u k u m . L a g i-la g i A lla h a l-m u s t a ’a an (m a h a p e n o lo n g ), a k h irn y a P ro d i te r s e b u t m e n d a p a tk a n iz in re s m i d a ri K e m e n a g R I. T a n p a m e n y isa k a n
m a sa la h . S e la n g d u a ta h u n b e r ik u tn y a d ib u k a la h p r o g r a m S2 (M a g iste r) d i P P S d a n d iik u ti d e n g a n p r o g r a m S3 (D o k to r) d a la m b id a n g e k o n o m i Islam . B e rh e n tik a h p e r ju a n g a n IA IN .S u d a la m p e n g e m b a n g a n e k o n o m i Isla m ? te n tu sa ja tid a k . S e c a r a k e le m b a g a a n , p o sisi P r o d i E k o n o m i Isla m y a n g b e r a d a d i F a k u lta s
S y a ri’a h
d ip a n d a n g
tid a k
id e a l.
M a s a la h n y a
bukan
d a ri
sisi
e p is te m o lo g ik k e ilm u a n n y a . A d a tig a h a l y a n g m e m b u a t p o s is i P ro d i E k o n o m i Isla m
tid a k te r la lu
m e n g u n tu n g k a n jik a b e r a d a
d i F ak .
S y a ri’ah .
P erta m a ,
p e n g e m b a n g a n k e ilm u a n e k o n o m i Isla m y a n g b e r ja la n la m b a t. E k o n o m i Isla m h a ru s b e r b e d a d a n m e m a n g b e r b e d a d a ri M u ’a m a la t a ta u h u k u m (b isn is). K ed u a ,
ekonom i
d a y a se ra p p a s a r te rh a d a p a lu m n i. S ta tu s lu lu sa n F a k u lta s
S y a ri’a h P ro d i E k o n o m i Isla m d e n g a n lu lu sa n F a k u lta s E k o n o m i d an B isn is Isla m d e n g a n P r o d i A k u n t a n s i S y a ri’ah , u n tu k m e n y e b u t c o n to h , te n tu b e rb e d a . B u k a n s a ja d a ri sisi p e n y e b u ta n n y a te ta p i ju g a m e n y a n g k u t o to rita s d a n id e n tita sn y a . K e tig a , p e n g e m b a n g a n ja rin g a n k e ilm u a n d a n k e le m b a g a a n . F E B I tid a k b is a b e r s u n y i-s u n y i d e n g a n d irin y a se n d iri. L e b ih -le b ih jik a F E B I m e n g is o la s i d an m e n u tu p d iri. F E B I h a ru s b e k e r ja le b ih k e ra s m e m b a n g u n ja rin g a n k e rja sa m a , b u k a n s a ja d e n g a n le m b a g a k e u a n g a n s y a ri’a h te ta p i ju g a k e d a la m b e r b a g a i in s titu s i b isn is d a n s im p u l-s im p u l e k o n o m i la in n y a . T e g a s b a h w a k e tig a h a l d i a ta s a k a n m u d a h d ila k u k a n m e la lu i w a d a h F E B I. G e ra k n y a a k a n te r a s a s u lit jik a s ta tu s n y a m a sih p r o d i d a n b e r a d a d a la m lin g k u p
fa k u lta s
S y a r i’ah .
L e b ih
d a ri
itu,
bagi
F a k u lta s
S y a ri’a h
sen d iri,
k e b e ra d a a n F E B I s a tu sisi m e n ja d i s ig n ifik a n d a n m e n ja d ik a n n y a fa k u lta s y a n g fa v o rit,
nam un
di
sisi
lain ,
F a k u lta s
S y a ri’a h
ju g a
su lit
m engem bangkan
k e ilm u a n n y a . K o n se n tr a s i p im p in a n te r p e c a h a n ta r a p e n g e m b a n g a n e k o n o m i Isla m a ta u a h u k u m Isla m . B u k a n k a h su lit m e ra ih k e s u k s e s a n d i a n ta r a d u a h al y a n g b e r a d a d a la m s a tu g e n g g a m a n . In tin y a , d e n g a n la h ir n y a F E B I, fak. S y a ri’ah a k a n le b ih fo k u s m e n g e m b a n g k a n k e ilm u a n h u k u m Isla m n y a sen d iri. D e m ik ia n la h .
se tia p
o ran g a
ada
zam an nya.
S e tia p
m asa
m e m ilik i
d in a m ik a n y a se n d iri. P e rk e m b a n g a n e k o n o m i Isla m d i IA IN .S U sa a t in i s e d a n g
d ik e n d a lik a n o le h g e n e r a s i k e d u a n y a . L e b ih k u ra n g 20 ta h u n g e n e r a s i p e r ta m a b e rju a n g ,
m e m p e rk e n a lk a n
ekonom i
Isla m ,
m e n g k a ji
dan
b e la ja r
se c a ra
o to d id a k . P ro f. M . Y a sir, P ro f. A m iu r d a n d a la m tin g k a t te r te n tu P ro f. N u r A F a d h il, a d a la h a l-sa b iq u n a a a l-a w w a lu n d a la m p e n g e m b a n g a n e k o n o m i Isla m d i IA IN .S U . D a ri s a tu s e m in a r ke se m in a r b e rik u tn y a , m e re k a b e la ja r d a n te ru s b e la ja r. K e m u d ia n a p a y a n g m e re k a p e r o le h d i sa m p a ik a n h in g g a a k h irn y a e k o n o m i Isla m m e w u ju d d a la m s e m u a s tra ta p e n d id ik a n . P a d a h a l m e re k a tid a k p e rn a h b e la ja r e k o n o m i se c a ra k h u su s, a p a ta h la g i b e la ja r e k o n o m i Isla m . H e m a t saya, b a g i g e n e r a s i p e rta m a , k e y a k in a n m e n d a h u lu i ilm u . E k o n o m i Isla m a d a la h b a g ia n d a ri a ja ra n A lla h y a n g h a ru s d ip e r ju a n g k a n d a n d ia k tu a lis a s ik a n d a la m k e h id u p a n
k e se h a ria n
u m a t.
Ekonom i
Isla m
h a k ik a tn y a
a d a la h
ekonom i
k e tu h a n a n . P e rb e d a a n d e n g a n g e n e r a s i p e r ta m a a d a la h , g e n e r a s i k e d u a la h ir d a ri ra h im e k o n o m i Isla m itu se n d iri. M e r e k a a d a la h o r a n g -o r a n g y a n g k h u su s b e la ja r e k o n o m i Isla m . B a h k a n a d a d i a n ta r a m e re k a y a n g la h ir d a ri ra h im e k o n o m i k o n v e n s io n a l
la lu
b e la ja r
dan
m e n d a la m i e k o n o m i
Islam .
K e la h ir a n
FEBI
s e s u n g g u h n y a d ib id a n i o le h g e n e r a s i k e d u a . M e r e k a y a n g b e r a d a d i k e lo m p o k in i a d a la h S ri S u d ia rti, M A , D r. M . Y a fiz , D r. M . R id w a n , D r. A n d re S o e m itra , D r. S a p a ru d d in , Isn a in i H a ra h a p , M A , A h m a d S ya k ir, M A , Z u h r in a l M N a w a w i, M A , Y u s riz a l, M Si, N u r la ila H a ra h a p , H e n d ra H a rm a in , SE, M .P d , S u g ia n to , M A , M a rliy a h , M A , H o tb in H a su g ia n , M .S i d a n b e b e r a p a n a m a la in n y a . T e n tu s a ja b im b in g a n d a n a r a h a n d a ri g e n e r a s i p e rta m a n y a , tid a k d a p a t d ia b a ik a n . Ju stru s e m a n g a t y a n g te ru s d ia lirk a n g e n e r a s i p e r ta m a in ila h y a n g m e m b u a t k e rja b e sa r m e re k a m e n ja d i m u n g k in d a n a k h ir n y a b e rh a sil. N a m u n h a ru s d iak u i, k e rja b e s a r m e la h ir k a n F E B I tid a k b e r h a s il ta n p a d u k u n g a n d a ri b e r b a g a i p ih a k . S a y a h a ru s m e n c a ta t, d u k u n g a n R e k to r IA IN .S U P ro f. D r. N u r A F a d h il L u b is d a n w a k il-w a k il re k to r c u k u p b e sa r. S a y a m e ra s a k a n b e tu l d u k u n g a n y a n g b e lia u b e rik a n d a la m p ro se s k e la h ira n F E B I ini. D a la m b e b e r a p a p e r te m u a n b a ik d a la m a c a r a K o n so rs iu m E k o n o m i Isla m (K E I), IA E I,
M E S a ta u p e r te m u a n la in n y a , IA IN .S U s e la lu ak tif, tid a k sa ja le w a t fisik te ta p i ju g a m e la lu i p e m ik ira n . T id a k b e rle b ih a n , F E B I a d a la h p r e s ta s i b e s a r y a n g d ito re h k a n P ro f. N u r A F a d h il L u b is s e la m a m e n ja b a t se b a g a i re k to r p a d a p rio d e p e rta m a n y a . B a y a n g k a n d a ri se k ia n U IN , IA IN , d a n S T A IN d i In d o n e sia , h a n y a e n a m y a n g F E B I-n y a d ite rim a K e m e n a g d a n m e n ja d i g e n e r a s i p e rta m a ; IA IN S u m a te r a U ta ra , IA IN . R a d e n F a ta h P a le m b a n g , IA IN . W a lis o n g o S e m a ra n g , U IN Jo g ja k a r ta d an U IN M a k a sa r. S o so k la in n y a y a n g tid a k k a la h p e n tin g n y a a d a la h k e b e ra d a a n D rs. H . S y a h m a n S ito m p u l, SE , A k . S a a t itu b e lia u m e n ja d i K a b iro O r ta la K e m e n a g RI. P e rh a tia n n y a te r h a d a p IA IN .S U tid a k d a p a t d ik a ta k a n k ecil. Ia m e m p e rle k u k a n IA IN .S U b e r b e d a d e n g a n k e lim a U IN -IA IN y a n g m e n d a p a tk a n F E B I. “T e r o r ” b e lia u la h y a n g m e m b u a t p ro se s a lih sta tu s P ro d i E k o n o m i Isla m itu m e n ja d i m u n g k in . T id a k ja ra n g , b e lia u s e n d iri y a n g m e m b a w a su ra t a ta u b a h a n y a n g d ip e rlu k a n u n tu k p ro se s itu. G a rd a te r a k h ir y a n g m e n ja d i k u n c i la h ir n y a F E B I a d a la h , k e b e ra d a a n D e k a n Fak. S y a ri’a h d a n E k o n o m i Islam , D r. S a id u rra h m a n , M A d a n se lu ru h p im p in a n ju ru sa n d a n d o se n -d o s e n d i F ak . S y a ri’a h IA IN .S U . K e a rifa n d an k e b ija k sa n a a n siv ita s a k a d e m ik a F ak . S y a ri’ah , p e le p a s a n P ro d i E k o n o m i Isla m d a n P ro d i D III P e rb a n k a n S y a ri’a h a k a n b e r ja la n m u lu s ta n p a h a ru s m e la h irk a n k o n flik in te rn . D i b e b e r a p a U IN d a n IA IN . P e n d iria n F E B I in i m e n im b u lk a n m a s a la h b e sa r. F a k u lta s in d u k n y a , fak. S y a ri’a h tid a k r e la b a h k a n m e n o la k u n tu k m e le p a s m a h a s is w a d a n p r o d in y a b e r a lih ke F E B I a ta u F E B . A k h irn y a k o n flik in te rn a l
se tid a k n y a p e r a n g
d in g in ,
m e n ja d i ta k te re la k k a n .
K e p u tu s a n
D r.
S a id u rra h m a n p e n tin g d i sa a t b a n y a k d e k a n y a n g b e r ta h a n p a d a p rin sifn y a . P e rta n y a a n b e s a r n y a a d a la h , Jik a e k o n o m i Isla m d isa p ih , m a sih k a n Fak. S y a ri’a h te ta p m e n a rik b a g i m a h a s is w a b a r u p a d a m a sa m e n d a ta n g ? D r. S a id u rra h m a n t id a k ra g u se d ik itp u n . Ju stru k e tik a E k o n o m i Isla m d i sa p ih , b e lia u m e ra sa te r ta n ta n g u n tu k m e n g e m b a n g k a n F ak . S y a ri’a h a g a r te ta p b e sa r. B a g i saya, p a d a t a r a f in i b e lia u b e r b e d a d e n g a n d e k a n -d e k a n s y a ri’a h la in n y a d i In d o n e sia .
Saya
hanya
in g in
m e n g a ta k a n ,
k e la h ira n
FEBI
s e s u n g g u h n y a a d a la h
b e r k a t k e rja s a m a s e m u a p ih a k . M a sih b a n y a k n a m a la in y a n g k o n tr ib u s in y a tid a k k e cil. Ju ju r h a ru s d iak u i, k e re la a n fa k u lta s -fa k u lta s la in n y a , u n tu k m e n e r im a “a d ik ” b a r u n y a se k a lig u s m e n ja d i ik o n b a g i IA IN .S U a d a la h sik a p le g o w o d an k e d e w a s a a n y a n g p a n ta s
d ia c u n g k a n je m p o l.
S y u k u r a lh a m d u lilla h .
Sem ua
siv ita s a k a d e m ik a IA IN .S U s e tu ju d a n le g o w o u n tu k m e n ja d ik a n e k o n o m i Isla m s e b a g a i p u s a t k e u n g g u la n IA IN .S U . u c a p a n te r im a k a s ih p a n ta s d ib e r ik a n k e p a d a fa k u lta s -fa k u lta s se n io r d i IA IN .S U . K e la h ira n F E B I d i lin g k u n g a n IA IN .S U m e ru p a k a n h a d ia h te r b e s a r d i sa a t u s ia IA IN .S U
m e n e m p u h a n g k a 4 0 ta h u n . S e m o g a e k o n o m i Isla m
m am pu
m e n ja d i k ib la t k a jia n e k o n o m i Isla m d i A sia . D a n itu d ite n tu k a n o le h k e rja sa m a k ita se m u a . S e m o g a .
8. Ekonomi Islam , Ikhtiar Mewujudkan Human Falah T e p a t p a d a ta n g g a l 8 -13 N o v e m b e r 2 0 10 y a n g la lu , p ro g ra m stu d i E k o n o m i Isla m F a k u lta s S y a ri’a h IA IN .S U a k a n m e n y e le n g g a r a k a n s e ra n g k a ia n k e g ia ta n d a la m
ra n g k a
m en yem arak k an
m o m e n tu m
p e r in g a ta n
se w in d u
(2 0 0 2 -2 0 10 )
p r o d i y a n g la h ir d e la p a n ta h u n y a n g lalu . P e rin g a ta n in i m e m ilik i m o m e n tu m yang
cuku p
p e n tin g
k aren a
b ersam aan
d engan
itu,
IA IN .S U
ju g a
se g e ra
m e m a s u k i u s ia n y a y a n g 36 . u s ia y a n g s e b e n a rn y a m a sih s a n g a t m u d a n a m u n te la h b e r k o n trib u s i b e s a r d a la m p e m b a n g u n a n b a n g s a k h u s u s n y a y a n g b e rk a ita n d e n g a n a s p e k ag a m a . H a m p ir d u a d e k a d e te ra k h ir, e k o n o m i Isla m a ta u (e k o n o m i s y a ri’ah ) b a ik p a d a d im e n s i p e r a k tik a ta u p u n d im e n s i te o r itik m e n u n ju k k a n p e r k e m b a n g a n y a n g c u k u p m e n g g e m b e rik a n . T u m b u h su b u r n y a le m b a g a -le m b a g a p e rb a n k a n s y a ri’a h a ta u p u n k e u a n g a n n o n b a n k , tid a k sa ja d i k o ta -k o ta b e s a r te ta p i ju g a s u d a h m e ra m b a h k e k o ta -k o ta k a b u p a te n d a n k e c a m a ta n s e m a k in m e m u d a h k a n p ro se s d a n a k s e le r a s i so s ia lis a s i e k o n o m i s y a ri’a h k e p a d a u m a t. D e m ik ia n ju g a le m b a g a -le m b a g a b isn is s y a ri’ah , s e p e rti S w a la y a n a ta u m in i m a r k e t S y a ri’a h d an
H o te l S y a ri’ah . T id a k k e tin g g a la n le m b a g a -le m b a g a fila n tr o fi Isla m se p e r ti B a d a n A m il Z ak a t, L e m b a g a A m il Z ak a t, B a d a n W a k a f d a n s e b a g a in y a .P a d a sa a t y a n g sam a, b e b e r a p a p e r g u r u a n tin g g i u m u m -m e n y u s u l U IN , IA IN d a n S T A IN y a n g te la h le b ih d a h u lu - ju g a s u d a h m e m b u k a n fa k u lta s d a n ju ru s a n e k o n o m i Islam . S e tid a k -tid a k n y a , e k o n o m i Isla m te la h m e n ja d i m a ta k u lia h d i fa k u lta s e k o n o m i. K e n d a ti d e m ik ia n , b u k a n b e r a r ti p e rk e m b a n g a n e k o n o m i Isla m d i ta n a h air, b e rja la n
m u lu s ta n p a h a m b a ta n
d a n rin ta n g a n . T id a k b is a d ip u n g k iri,
h a m b a ta n , ta n ta n g a n d a n r in ta n g a n s e la lu m e n g h a d a n g p e r k e m b a n g a n e k o n o m i Islam . S a m p a i d i sin i k e g ig ih a n p e ju a n g -p e ju a n g a ta u m u ja h id a l-iq tis h a d se la lu d ita n ta n g
u n tu k
p e rs o a la n
yang
dapat se riu s
m e n g a ta si b e r b a g a i h a m b a ta n k ita
h a d a p i a d a la h
m a s a la h
te rs e b u t.
su m b er
sa la h
daya
sa tu
m a n u sia .
P e rk e m b a n g a n E k o n o m i Isla m d i In d o n e s ia s e s u n g g u h n y a b e lu m d id u k u n g o le h te r s e d ia n y a a h li d a n te n a g a te ra m p il. U n tu k itu la h le m b a g a -le m b a g a p e n d id ik a n d a ri b e r b a g a i tin g k a ta n (strata) s e m a k in s ig n ifik a n u n tu k m e n y e d ia k a n te n a g a y a n g tid a k s a ja a h li se c a ra te r o ritis te ta p i ju g a m a h ir s e c a ra p e ra k tis. IA IN .S u m a te r a
U ta ra
kh u su sn ya
fa k u lta s
S y a ri’a h
te r m a s u k
le m b a g a
p e n d id ik a n tin g g i Isla m te r d e p a n d a la m m e n y e le n g g a r a k a n p e n d id ik a n e k o n o m i Islam . T a h u n 20 0 2, F a k u lta s S y a ri’a h b e r k e te ta p a n h a ti u n tu k m e m b u k a Ju ru sa n E k o n o m i Isla m d a n iz in p e m b u k a a n Ju ru s a n E k o n o m i Isla m d ip e rte g a s d e n g a n S K N o . D J.II/ 15 8 / 2 0 0 4 te r ta n g g a l 2 7 M e i 2 0 0 4 . Ju ru s a n E k o n o m i Isla m te la h m e m b u k a tig a k o n se n tra si, E k o n o m i d a n P e rb a n k a n S y a ri’ah , A k u n t a s i S y a ri’ah d a n E k o n o m i d a n M a n a je m e n S y a ri’ah . P r o d i E k o n o m i Isla m
s e ja k d ib u k a
sa m p a i sa a t in i te ru s b e rb e n a h d iri, m e la k u k a n e v a lu a s i d a n p e n y e m p u r n a a n b a ik
pada
p e n d id ik a n
sisi
k e le m b a g a a n
a ta u p u n
pada
d a n h a l-h a l y a n g te r k a it d e n g a n
sisi k u rik u lu m , itu
sila b u s,
se m u a . T e n tu
siste m
saja, fo k u s
p e n g e m b a n g a n ju ru sa n e k o n o m i Isla m itu b e r a d a p a d a tin g k a t ju ru sa n . A d a p u n v is i P r o d i E k o n o m i Isla m a d a la h “M e n ja d ik a n P r o d i E k o n o m i Isla m S e b a g a i P ro g ra m S tu d i T erd ep a n , T e rk em u k a d a n U n g g u l d a la m P e n g k a jia n , P e n d id ik a n ,
P e n e litia n ,
P e n g a ja ra n
d an
P e n e ra p a n
Ekonom i
Isla m
bagi
K e s e ja h te r a a n u m a t m a n u sia (h u m a n fa la h ) . A d a p u n y a n g m e n ja d i m isin y a d ia n ta ra n y a
a d a la h ,
m e n ja d ik a n
ilm u -ilm u
P e n g e m b a n g a n Ilm u E k o n o m i Isla m ,
S y a ri’a h
se b a g a i
b a sis
d a la m
M e la k u k a n P e n g u a ta n D isip lin K e ilm u a n
S y a ri’a h p a d a s e lu ru h k o n s e n tr a s i stu d i, M e m b u a t d ip e r e n s ia s i (p e m b e d a a n ) d i se tia p k o n s e n tr a s i s tu d i y a n g s e la n ju tn y a d ih a ra p k a n se b a g a i b ra n d in g b a g i a lu m n i Ju ru sa n E k o n o m i Isla m d a n M e m b a n g u n h u b u n g a n d a n k e rja sa m a y a n g h a rm o n is d e n g a n le m b a g a -le m b a g a m itra k h u su sn y a le m b a g a p e r b a n k a n d a n le m b a g a k e u a n g a n n o n b a n k d a n s e lu ru h s t a k e h o ld e r p a d a u m u m n y a . V is i b e s a r P r o d i E k o n o m i Isla m y a n g
se s u n g g u h n y a m e ru p a k a n v is i
E k o n o m i Isla m itu se n d iri a d a la h m e w u ju d k a n m a n u sia -m a n u s ia se ja h te r a a ta u y a n g d i d a la m lite ra tu r e k o n o m i Isla m d is e b u t d e n g a n h u m a n f a la h (m a n u sia se ja h te ra ). M e n a r ik d ic e r m a ti k a ta f a la h itu s e n d iri m e m ilik i b a n y a k a rti. F a la h b e r a r ti b a h a g ia , b e rk e lim p a h a n , se ja h te ra , su k se s, m e n a n g , b e r h a s il d a n u n g g u l. S in g k a tn y a , d i d a la m k a ta a l-fa la h te r k u m p u l se g a la m a c a m k e b a ik a n -k e b a ik a n y a n g b e r d im e n s i ja sm a n i-ru h a n i, m a te ria l d a n sp iritu a l. S iste m e k o n o m i y a n g la h ir d a ri se ja ra h ra h im p e r a d a b a n d u n ia , a p a k a h itu ekonom i
k a p ita lis,
ekonom i
so sia lis,
ekonom i
c a m p u ra n
bahkan
ekonom i
p a n c a s ila y a n g s e la lu m e n g k la im d irin y a se b a g a i a lira n te r s e n d ir i d a n b e r b e d a dengan
m azhab
ekonom i yan g
ada
di
d u n ia
in i,
te r n y a ta
tid a k
m am pu
m e la h irk a n m a n u sia -m a n u s ia fa la h ta d i. B a n y a k p a k a r y a n g m e n y a ta k a n , a lih a lih
m em baw a
k e b a h a g ia a n ,
siste m
ekonom i
te r te n tu
yang
se la m a
in i
d ip e ra k tik k a n d i b e r b a g a i n e g a ra , m a la h m e n y e n g s a r a k a n k e h id u p a n m a n u sia itu se n d iri. K a ry a R o y D a v ie s d a n G ly n D a v ie s y a n g b e rju d u l, A H is to ry o f M o n e y F ro m A n c ie n t T im e to P r e s e n t D a y (19 9 6 ) m e n y e b u tk a n b a h w a se p a n ja n g a b a d 20 te la h t e r ja d i le b ih d a ri 20 k a li k risis y a n g k e s e m u a n y a m e ru p a k a n k risis d i se k to r keuangan. C a p ita lism ,
Bahkan
ja u h
S o c ia lis m
se b e lu m n y a ,
an d D em o cracy
S c h u m p e te r te la h b a h w a te o r i
b e r te r ia k
ekonom i
d i d a la m
m o d e rn
te la h
m e m a s u k i m a s a -m a s a k risis. P a n d a n g a n in i d ip e r k u a t o le h D a n ie l B e ll d a n Irv in g K ris to l d a la m b u k u n y a T h e C ricis in E c o n o m i T h eory. S e b u a h b u k u k e c il k a ry a
P a u l O rm e ro d y a n g b e rju d u l, T h e D e a th o f E c o n o m ic s te la h d ite r je m a h k a n ke d a la m b a h a s a In d o n e s ia y a n g b e r ju d u l “M a tin y a Ilm u E k o n o m i”, m e n u n ju k k a n a d a p e r s o a la n b e s a r p a d a siste m e k o n o m i k o n v e n sio n a l. S e tia w a n B u d i U to m o se o ra n g p a k a r e k o n o m i S y a ri’a h d e n g a n m e n g u tip S tig liz m e n g a ta k a n b a h w a d a m p a k g lo b a lisa si d a n p e ra n a n IM F se b a g a i a g e n u ta m a k e b ija k a n k a p ita lis te r n y a ta tid a k b a n y a k m e m b a n tu n e g a ra m isk in . B a h k a n d a la m k a r y a n y a y a n g te ra k h ir, T o w a rd a N e w P a ra d ig m a in M o n e te r y E c o n o m ic s , S tig liz te la h m e n g k r itik k e ra s e k o n o m i k o n v e n s io n a l d a n m e n d e sa k la h ir n y a p a ra d ig m a b a r u d a la m e k o n o m i m o n e te r. S isi m e n a r ik y a n g d ite m u k a n d a ri tu lis a n S tig liz - m a s ih m e n u ru t S e tia w a n - a d a la h p a ra d ig m a b a ru te rs e b u t t id a k b e r b e d a se c a r a p r in s if d e n g a n k o n se p e k o n o m i Islam . M e m a n g ia tid a k m e n y e b u t e k o n o m i Isla m , n a m u n p r in s if d a n n ila i y a n g d ik e m u k a k a n n y a sa m a d e n g a n n ila i-n ila i y a n g d ip e rju a n g k a n o le h e k o n o m i Islam . K e n y a ta a n
in ila h y a n g s e ja tin y a m e m b u a t k ita h a q q a l-y a k in
bahw a
e k o n o m i Isla m a d a la h e k o n o m i m a s a d e p a n y a n g m e n ja n jik a n . B e n a r b a h w a h a ri ini, k ita b e lu m b is a m e m b u k tik a n se p e n u h n y a k e u n g g u la n e k o n o m i Islam , a p a la g i m e ru ju k s e b u a h n e g a r a y a n g b e n a r-b e n a r m e m p e ra k te k k a n e k o n o m i Isla m d a n se ja h te ra , n a m u n se tid a k n y a , tr e n d p e r k e m b a n g a n e k o n o m i S y a ri’a h d a la m k o n te k s d u n ia ju g a In d o n e sia , s e tid a k n y a te la h m e m a n c a r k a n sin a r o p tim ism e . A ta s d a sa r itu la h , a p a y a n g d ila k u k a n P ro d i E k o n o m i Isla m F a k u lta s S y a r i’a h IA IN .S U , m e ru p a k a n se b u a h ik h tia r k e c il u n tu k m e n g e m b a n g k a n e k o n o m i Isla m d i S u m a te ra U ta ra . P a d a m a sa d e p a n , d ip e rlu k a n k e rja s a m a y a n g te r in te g r a s i a n ta r le m b a g a le m b a g a k e a g a m a a n d e n g a n m e lib a tk a n in stitu si p e n g a m b il k e b ija k a n , d a la m u p a y a m e m a s y a r a jtk a n e k o n o m i Islam . D ia n ta ra la n g k a h y a n g p a lin g p e n tin g a d a la h m e n d o r o n g le m b a g a p e n d id ik a n tin g g i u n tu k b e rs u n g g u h m e la h irk a n m a n u sia -m a n u s ia y a n g m e m ilik i su m b e r d a y a in s a n i y a n g tid a k sa ja u n g g u l d a ri b e r b a g a i sisi te ta p i ju g a m a m p u b e r s a in g d e n g a n te n a g a -te n a g a s e k u le r la in n y a .
B a g a im a n p u n ju g a , h u m a n fa la h , m a n u sia s e ja h te r a tid a k a k a n te r w u ju d ta n p a d ito p a n g o le h k e te rse d ia n su m b e r d a y a in s a n i te rse b u t. P e ra y a a n
S e w in d u
P ro d i
Ekonom i
Isla m
IA IN .S U
yang
b e r la n g s u n g
d e n g a n b e r b a g a i a c a r a se p e r ti k u lia h u m u m , se m in a r, b a z a r k e w ira u sa h a a n , S e m in a r, T a lk S h o w , a d a la h u p a y a u n tu k m e n g e lo ra k a n se m a n g a t e k o n o m i s y a ri’ah . S e ja tin y a , g e r a k a n e k o n o m i S y a ri’a h b u k a n la h g e r a k a n d a la m su n yi. G e ra k a n E k o n o m i S y a ri’a h h a ru s d is u a ra k a n d e n g a n k eras. S e b a b n y a a d a la h k a r e n a k ita s u d a h te r la lu la m a te r tid u r d a n d in in a b o b o k k a n siste m e k o n o m i k a p ita lis y a n g te r n y a ta tid a k m e m b u a t k ita se ja h te ra . M u d a h -m u d a h a n d e n g a n a c a r a in i, M a h a sis w a p a d a u m u m n y a d a n m a h a s is w a E k o n o m i Isla m k h u su sn y a , te r s a d a r k a n b a h w a m e re k a m e m ilik i p e ra n y a n g p e n tin g u n tu k m e n g e m b a n g k a n e k o n o m i S y a ri’a h p a d a m a s a m e n d a ta n g . M e re k a d ib u tu h k a n b a n g s a in i se b a g a i k a ta lis a to r u n tu k m e m p e rc e p a t te r w u ju d n y a tu ju a n p e m b a n g u n a n y a n g ju g a m e ru p a k a n tu ju a n d a ri p e n e r a p a n e k o n o m i Islam .
9. Menggagas Arsitektur Ilmu Ekonomi Islam A d iw a r m a n A K a rim d a la m sa la h sa tu a r tik e ln y a m e m b a g i p e rk e m b a n g a n e k o n o m i Isla m , b a ik d a la m k o n te k s d u n ia le b ih -le b ih In d o n e sia , ke d a la m lim a fase. F a s e P erta m a ,
fase m e n e m u k a n a s p e k -a s p e k
e k o n o m i d a la m
A lq u r a ’n d a n H a d is. P a d a fa se ini, a h li- a h li fik ih s a n g a t b e r p e r a n d a la m m e m b u k a w a c a n a e k o n o m i Isla m . F a s e k ed u a a d a la h k e tik a e k o n o m i Isla m b eru sah a
d ije la sk a n
dengan
m o d e l-m o d e l
ekonom i
dan
s im u la si
p e n e ra p a n n y a , ju g a la n g k a h -la n g k a h in is ia t if d a n p r o g r a m p e n e ra p a n n y a . F a se k e tig a , fa se
e k o n o m i Isla m
d iw u ju d k a n
d a la m
s a tu k e le m b a g a a n
b isn is,
p e n y e s u a ia n siste m p e r u n d a n g a n y a n g ad a. F a s e k ee m p a t, a d a la h fa se k e tik a in d u s tr i k e u a n g a n s y a ri’a h m e n g a la m i p e r k e m b a n g a n y a n g b e g itu p esa t, te n tu sa ja d e n g a n s e g a la d in a m ik a n y a . F a s e k elim a , a d a la h e ra p e n d id ik a n tin g g i e k o n o m i Isla m y a n g p a d a g ilir a n n y a d ih a r a p k a n d a p a t m e n d u k u n g in d u stri k e u a n g a n s y a ri’ah.
B e ra n g k a t d a ri k e ra n g k a d i ata s, sa a t in i s e b e n a rn y a k ita su d a h m e m a su k fa se k e e m p a t d a n k e lim a s e k a lig u s. In d u s tr i k e u a n g a n s y a ri’a h k ita d a ri ta h u n k e ta h u n m e n g a la m i p e r k e m b a n g a n y a n g sig n ifik a n . B a y a n g k a n , sa a t in i In d o n e s ia
m a su k
ke
d a la m
N e g a ra
4
b esar y a n g
p erk em b an gan
bank
s y a ri’a h n y a c u k u p p e s a t se te la h Iran , M a la y s ia d a n S a u d i A ra b ia . P a d a sa a t y a n g sam a, p e n d id ik a n tin g g i e k o n o m i Isla m ju g a m e n g a la m i p e rk e m b a n g a n b a k c e n d a w a n d i m u s m im h u ja n . M u n c u ln y a P ro g ra m S tu d i e k o n o m i Isla m (e k o n o m i
s y a ri’a h ),
P ro d i
P e rb a n k a n
S y a ri’ah ,
P ro d i
A su ran si
S y a ri’ah,
P ro g ra m D ip lo m a III M a n a je m e n P e rb a n k a n K e u a n g a n S y a ri’ah , d i b e r b a g a i U IN , IA IN , S T A IN d a n P e rg u ru a n T in g g i A g a m a Isla m S w a sta , m e n e g a sk a n fe n o m e n a k e b a n g k ita n te rse b u t. B a h k a n b a r u -b a r u ini, U IN S u n a n K a lija g a Y o g y a k a r ta b a r u s a ja m e lu n c u rk a n F a k u lta s E k o n o m i d a n B isn is Isla m (F E B I). S a tu te r o b o s a n b a r u d a n s p e k ta k u le r p a d a ta h u n 20 12. D ip e r k ir a k a n d i m a s a m e n d a ta n g , a k a n b a n y a k F E B I y a n g la h ir b a ik d i U IN , d a n IA IN . T id a k itu saja, s a a t in i p e r g u r u a n tin g g i u m u m ju g a su d a h b a n y a k m e m b u k a p r o g r a m stu d i E k o n o m i Islam , s e tid a k n y a m e m b u k a k o n s e n tra si p e r b a n k a n s y a ri’ah. M e n a rik n y a , p e r k e m b a n g a n e k o n o m i Isla m p a d a fa se k e lim a ta m p a k n y a a k a n m e n g a la m i m a s a y a n g c u k u p p a n ja n g . D e n g a n k a ta lain , k ita se p e rtin y a m e m b u tu h k a n
w a k tu
yang
se d ik it
la m a
u n tu k
m e ru m u sk a n
m odel
p e n d id ik a n tin g g i e k o n o m i Isla m y a n g id e a l, y a n g m e m a d u k a n k e m a m p u a n p e s e r ta d id ik n y a d a la m m e n g u a s a i ilm u e k o n o m i k la sik , k o n te m p o re r d an Islam . B e b e r a p a k e g ia ta n y a n g d ila k u k a n U IN , IA IN b e k e r ja s a m a d e n g a n K E I, se p e rti, S e m ilo k a (R E ) O rie n ta s i P e m b id a n g a n d an S ta n d a ris a s i K u r ik u lu m Ilm u E k o n o m i Is L a m
(U IN Y o g y a k a r ta d a n K E I) d a n W o rk sh o p N a s io n a l
A r s ite k tu r Ilm u E k o n o m i Isla m (U IN Ja k a r ta d a n K E I) - u n t u k m e n y e b u t d u a k e g ia ta n p e n tin g d a la m se ja ra h p e r k e m b a n g a n p e n d id ik a n e k o n o m i Isla m d i In d o n e sia - m e n u n ju k k a n b a h w a p e n d id ik a n e k o n o m i Isla m m e m ilik i m a s a la h n y a sen d iri.
d i In d o n e s ia
D i d a la m fo ru m -fo r u m te rse b u t, k e ra p m u n c u l b e r a g a m m a sa la h y a n g b e r k e n a a n d e n g a n ilm u e k o n o m i Isla m . S e c a ra se d e rh a n a , s e a k a n tid a k a d a p e rs o a la n d e n g a n ilm u e k o n o m i Islam . S e m u a n y a te la h sele sa i, b a ik d a ri sisi o n to lo g is m a u p u n
e p iste m o lo g isn y a . D a la m
k e n y a ta a n n y a ,
ilm u e k o n o m i
Isla m m a s ih m e n y im p a n m a s a la h n y a te rse n d iri. D i a n ta r a is u -is u y a n g k e ra p m u n c u l a d a la h d a ri sisi p e n a m a a n a ta u n o m e n k la tu r (la b e lisa si). A p a k a h n a m a y a n g te p a t itu “e k o n o m i Isla m ” a ta u “ e k o n o m i S y a ri’a h ” . Jik a m e ru ju k p a d a le m b a g a -le m b a g a k e u a n g a n s y a ri’ah , n a m a a ta u la b e l y a n g p a lin g b a n y a k d ig u n a k a n a d a la h “ s y a ri’a h ” . S e b u t saja, B a n k S y a ri’ah , A s u r a n s i S y a ri’ah, R e k s a d a n a S y a ri’ah , P a sa r M o d a l S y a ri’ah , s a m p a i h o te l s y a ri’ah . Jik a k a ta s y a ri’a h s u d a h b a n y a k d ip a k a i, m e n g a p a tid a k d ise b u t s a ja ilm u n y a , ilm u e k o n o m i S y a ri’ah . In i a d a la h a la sa n p e ra k tis se b a g ia n o ra n g . P e n y e b u ta n e k o n o m i Isla m b a g i k a la n g a n in i te r k e s a n sa n g a t id io lo g is. L e b ih -le b ih b a g i o r a n g y a n g m e n g id a p p e n y a k it Is la m ic p h o b ia . B a g i s e b a g ia n lain , p e n y e b u ta n e k o n o m i Isla m ja u h le b ih te p a t d ig u n a k a n . B a g i g o lo n g a n in i, e k o n o m i Isla m a d a la h te r je m a h a n d a ri “Is la m ic e c o n o m ic ” d a n is tila h in i b a n y a k d ip a k a i d i d a la m b e r b a g a i re fe re n s i e k o n o m i Islam . B a h k a n d i d a la m b a h a s a A ra b , b u k u -b u k u e k o n o m i Isla m ju g a m e n g g u n a k a n is tila h “iq tis h a d a l-Is la m i.”
P e n g g u n a a n istila h e k o n o m i Isla m ja u h le b ih
“d in g in ” d a n m e n d a m a ik a n . Im p lik a s i d a ri p e r d e b a ta n in i a d a la h , b a n y a k p ro g ra m stu d i d i p e rg u ru a n t in g g i Isla m d an u m u m , m e n g g u n a k a n istila h y a n g b e r b e d a -b e d a , k a re n a tid a k a d a n y a k e te n tu a n y a n g b a k u . A d a y a n g m e n g g u n a k a n istila h P ro g ra m S tu d i E k o n o m i Isla m d e n g a n g e la r “S a r ja n a E k o n o m i Isla m ” (SE I), n a m u n a d a p u la y a n g m e m a k a i is tila h P ro g ra m
S tu d i E k o n o m i S y a ri’a h y a n g g e la r n y a p u n
m e n ja d i “ S a rja n a E k o n o m i S y a ri’a h ” (SE S ). S e p in ta s, m a sa la h n y a s e d e r h a n a saja . N a m u n fa k ta n y a , tid a k d e m ik ia n . L e b ih -le b ih b a g i p e r g u r u a n tin g g i y a n g p r o g r a m s tu d in y a s u d a h e k sis le b ih d a ri 10 ta h u n d a n n a m a P r o d in y a su d a h m e n ja d i b ra n d te rse n d iri.
Isu
la in
yang
tid a k
k a la h
p e n tin g
dan
s tra te g is
a d a la h
p e rso a la n
s ta n d a risa si k u rik u lu m d a n sila b u s. B e b e r a p a p e r a k tis i e k o n o m i S y a r i’a h te la h m e n y a m p a ik a n p ik ira n -p ik ir a n n y a k e p a d a le m b a g a p e n d id ik a n tin g g i Isla m y a n g m e n g a su h d a n m e n g e lo la p e n d id ik a n tin g g i e k o n o m i IS la m . S e la m a in i te r k e sa n a d a g a p a n ta r a p e n d id ik a n tin g g i e k o n o m i Isla m d e n g a n k e b u tu h a n d u n ia p e ra k tis le m b a g a k e u a n g a n d a n b is in i e k o n o m i S y a ri’ah . A k ib a tn y a , b a n y a k le m b a g a k e u a n g a n s y a ri’a h y a n g m e n y e le n g g a r a k a n p e n d id ik a n a ta u p e la tih a n te r s e n d ir i b u a t k a ry a w a n -k a ry a w a n n y a . Jik a h a ri ini, le m b a g a k e u a n g a n s y a ri’a h m a sih m e re k r u t k a r y a w a n n y a y a n g b u k a n b e r a s a l d a ri p e n d id ik a n tin g g i e k o n o m i Islam , itu d ise b a b k a n k a re n a p e n d id ik a n tin g g i Isla m b e lu m m e n ja w a b k e b u tu h a n te n a g a k e rja y a n g m e re k a in g in k a n . A k h irn y a
m e re k a h a n y a m e n c a r i k a ry a w a n
b aru yan g
p o te n sia l a ta u k a ry a w a n siap b in a d a n b u k a n siap p a k a i. Id e a ln y a , k o m p e te n s i lu lu sa n p e n d id ik a n tin g g i e k o n o m i Isla m h a ru s b is a m e n ja w a b k e b u tu h a n p a sa r d e n g a n keuangan
se m p u rn a . Jik a h a l in i b e r h a s il d ila k u k a n ,
s y a ri’a h
tid a k
p e r lu
m em buang
w a k tu
dan
m a k a le m b a g a dana
u n tu k
m e n y e le n g g a ra k a n d ik la t (p e n d id ik a n d a n la tih a n ). P e rs o a la n n y a a d a la h p a d a k u rik u lu m p e n d id ik a n tin g g i e k o n o m i Isla m itu se n d iri. S a m p a i sa a t in i p e n d id ik a n tin g g i e k o n o m i Isla m In d o n e s ia b e lu m m e m ilik i k u rik u lu m y a n g te rsta n d a r. A k ib a tn y a b a n y a k ra g a m d a n p e rb e d a a n k u rik u lu m , w a la u p a d a p r o d i d a n k o n s e n tr a s i y a n g sam a. H a l in ila h y a n g s e ja tin y a h a ru s
d ise le sa ik a n
dengan
b a ik
o le h
K e m e n te ria n A g a m a
dan
a s o s ia s i p r o fe s s i e k o n o m i S y a ri’ah . L e b ih -le b ih p a d a sa a t ini, U n iv e rs ita s Isla m A n ta r B a n g s a M a la y s ia se d a n g m e m b a n g u n k e rja s a m a d e n g a n b e b e r a p a p e rg u ru a n tin g g i d i In d o n e s ia u n tu k m e ru m u s k a n k u rik u lu m e k o n o m i Isla m y a n g b e r s ta n d a r d A S IA . S e h in g g a p a d a g ilir a n n y a n an ti, lu lu sa n e k o n o m i Isla m IA IN .S U , u n tu k m e n y e b u t c o n to h , d a p a t b e k e r ja d i le m b a g a k e u a n g a n s y a ri’a h M a la y s ia a ta u S in g a p u r a ta n p a m e n g a la m i h a m b a ta n a p a p u n .
M e n g in g a t p e n tin g n y a le m b a g a p e n d id ik a n tin g g e k o n o m i Isla m u n tu k m e m a s o k te n a g a -te n a g a k e rja y a n g p r o fe s sio n a l d i le m b a g a k e u a n g a n d an b isn is s y a ri’ah , m a k a m a s a la h -m a s a la h d i a ta s h a ru s se g e ra d ise le sa ik a n . P e n y e le n g g a r a p e n d id ik a n tin g g i tid a k b o le h la g i b e r m a in -b e r m a in d a la m m e n g e lo la p ro g ra m
stu d in y a . Jik a tid a k siap , d a n p r o g r a m
stu d i b e rja la n
d e n g a n c a ra n y a se n d iri, itu tid a k s a ja a k a n m e ru g ik a n p a r a m a h a s is w a te ta p i ju g a m e ru g ik a n “e k o n o m i Isla m ” itu se n d iri. S tig m a e k o n o m i Isla m a k a n b u r u k d a n p a d a g ilira n n y a , m a s y a r a k a tp u n a k a n k e h ila n g a n k e p e rc a y a a n n y a . ‘A la k u lli h al, y a n g k ita p e rlu k a n sa a t in i a d a la h m e m b a n g u n a r s ite k tu r ilm u
e k o n o m i Isla m
s e h in g g a
ilm u
in i b e n a r-b e n a r k o k o h .
T e n tu
ilm u
e k o n o m i Isla m y a n g b e r s u m b e r d a ri A lla h m e la lu i w a h y u n y a A lq u r ’a n tid a k d ira g u k a n la g i k e b e n a ra n n y a . M a sa la h n y a a d a la h , b a g a im a n a m e n u ru n k a n p e s a n -p e s a n u n iv e rsa l w a h y u te r s e b u t m e n ja d i b a n g u n a n ilm u y a n g d a p a t d ip e r ta n g g u n g ja w a b k a n se c a ra ilm ia h . M e m in ja m i a lm a r h u m K u n to w ijo y o , b a g a im a n a p e s a n n o rm a tiv e A lq u r ’a n k ita o b je k tifik a s i s e su a i d e n g a n sta n d a r ilm ia h . D a n in i b u k a n la g i u ru sa n A lla h , m e la in k a n u r u s a n k ita m a n u sia . W a lla h u A l a m b i a l-sh a w a b .
297