RENSTRA
BAB I PENDAHULUAN
DINAS PERTANIAN
PERKEBUNAN
DAN KEHUTANAN
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dokumen ini merupakan penjabaran perubahan rencana pembangunan jangka menengah Kabupaten Bandung tahun 2010-2015 yang didasarkan pada hasil evaluasi pencapaian target kinerja sampai dengan tahun 2013. Perubahan rencana strategis Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan dititikberatkan pada indikator sasaran dan tujuan pembangunan ekonomi (Misi 6) dan lingkungan (Misi 7). Namun, secara garis besar tujuan dan sasaran pembangunan pertanian, perkebunan dan kehutanan masih sama, yaitu (1) mendukung tercapainya ketahanan pangan, terutama dalam hal penyediaan pangan; (2) meningkatkan keberlanjutan aktivitas ekonomi pertanian di pedesaan; dan (3) menjaga kesinambungan pembangunan dengan konservasi lingkungan Kabupaten Bandung. Dalam rangka kelancaran pelaksanaan pembangunan daerah, maka diperlukan pedoman sebagai acuan pembangunan daerah selama 5 tahun mendatang yang menggambarkan sasaran, target dan capaian dari perencanaan pembangunan daerah. Hal tersebut dimaksudkan untuk membangun kehidupan bernegara dengan tingkat pluralitas dan karakteristik geografis yang unik, terpadu, menyeluruh, sistematik yang tanggap terhadap pembangunan zaman untuk menghasilkan rencana pembangunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara di daerah. Penyusunan Rencana Strategis dalam proses pembangunan sektor pertanian merupakan suatu keharusan agar tujuan pembangunan pertanian tersebut dapat dicapai dengan sempurna. Secara definisi, perencanaan strategis adalah sebuah pemikiran formal mengenai kondisi masa depan suatu organisasi. Dalam konteks organisasi, perencanaan strategis merupakan sebuah proses untuk menentukan arah organisasi pada tahun-tahun mendatang. Untuk menentukan arah tersebut, organisasi harus terlebih dulu memahami posisinya pada saat ini, baru kemudian menentukan kemana organisasi akan menuju dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut. Hasil dari proses penentuan tersebut yang dinamakan dengan “rencana strategis”. Berkaitan dengan hal diatas Renstra SKPD disusun sebagai penjabaran dari RPJMD Kabupaten Bandung yang dalam penyusunannya diselaraskan dengan Peraturan Menteri Negeri Nomor 54 Tahun 2010, penyusunan bentuk upaya peningkatan efektivitas dan efisiensi arah pembangunan daerah dalam bidang pertanian ini didukung dengan analisa potensi ekonomi dan sosial wilayah. 2
Penerapan perjanjian Free Trade dalam pembangunan ekonomi wilayah serta peluncuran target MDGs 2015 dalam upaya pengentasan kemiskinan, besar ataupun kecil, akan memberikan dampak terhadap arah kebijakan pembangunan di segala strata dan sektor sampai ke tingkat yang paling bawah, termasuk di dalamnya pembangunan pertanian di daerah. Disamping itu, perubahan struktur dan tuntutan kemasyarakatan akan produk yang berkualitas dan berwawasan lingkungan juga telah berimbas terhadap akuntabilitas arah pembangunan pertanian dan kehutanan. Pemerintah sebagai fasilitator, mediator, dan promoter dalam pembangunan pertanian berkewajiban dalam menentukan arah kebijakan pembangunan yang dimaksud. Berdasarkan hal tersebut, pengembangan agribisnis dituntut mampu beresolusi pada sistem dan manajemen produksi dalam rantai pasokan produk pertanian, sehingga menghasilkan produk-produk pertanian yang memiliki karakteristik: 1. Memanfaatkan potensi sumberdaya lokal, yang mencirikan produk pertanian unggulan daerah; 2. Mampu berdaya saing secara global; dan 3. Green Products Selain itu, sektor pertanian merupakan sektor strategis yang harus didukung keberlagsungannya sebagai faktor pendorong percepatan pembangunan wilayah pedesaan dan juga merupakan sektor yang memperkuat ketahanan pangan, sebagai bahan baku pengolahan untuk agroindustri pedesaan, membuka kesempatan kerja dan perbaikan pendapatan petani. Jika dilihat dari fungsi, sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam pembangunan wilayah di Kabupaten Bandung, yang dibuktikan dengan kontribusinya terhadap perekonomian daerah sebesar 7,36-7,13% atau 3,013 Triliun pada tahun 2009 (BPS, 2009). Menurut World Bank (2008), lima karakteristik yang harus dipenuhi untuk pembangunan pertanian berkelanjutan dalam pembangunan wilayah adalah (1) Established Preconditions; (2) Comprehensive; (3) Differentiated dan kemitraan yang solid; (4) berkelanjutan, sinergitas antara ekonomi, sosial, dan lingkungan; dan (5) Feasible dalam manajemen data, penganggaran, program, kebijakan, dan dampak. Karakteristik tersebut harus menjadi agenda khusus dari hirarki kepemerintahan. Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan yang merupakan lembaga teknis di Kabupaten Bandung telah menyusun strategi yang mampu mengkolaborasikan partisipasi masyarakat tani lokal, hirarki pemerintahan, stakeholder pendukung lainnya (seperti lembaga penelitian/ universitas sebagai mediator dan fasilitator transfer teknologi, lembaga financial, dan lembaga lainnya). Meningkatnya geliat usaha agribisnis dan berkembangnya diferensiasi usaha berbasis agribisnis yang tersinergi dengan pembangunan lingkungan menjadi salah satu arah
3
kebijakan pembangunan yang secara makro ekonomi dapat dilihat dari adanya peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian di Kabupaten Bandung.
Gambar 1.1 Kontribusi Sektor Pertanian dalam Pembangunan Wilayah Menurut Ajid (2001), pembangunan pertanian merupakan suatu rangkaian panjang dari perubahan atau peningkatan kapasitas, kualitas, profesionalitas, dan produktivitas faktor-faktor produksi pendukungnya, disertai dengan penataan dan pengembangan lingkungan fisik dan sosialnya sebagai manifestasi dari akumulasi dan aplikasi kemajuan ilmu dan teknologi, akumulasi modal serta organisasi dan manajemen. Dalam konteks pembangunan di Indonesia, pembangunan pertanian pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan beberapa pencapaian utama yaitu (1) terwujudnya sistem pertanian berdayasaing; (2) tercapainya ketahanan pangan yang mandiri; dan (3) terciptanya kesempatan kerja penuh bagi masyarakat pertanian. Pencapaian ketiga tujuan tersebut diharapkan dapat menghapus masyarakat pertanian dari lingkaran kemiskinan yang selama ini menjadi simpul kritis pembangunan nasional dan mengembangkan ekonomi kerakyatan yang berdaya saing global berbasis sumberdaya lokal. Sektor pertanian yang telah terabaikan sejak dicapainya masa keemasannya pada periode 1980-an ternyata tampaknya telah menjelma menjadi satu-satunya solusi yang paling rasional di dalam mengatasi permasalahan di dalam pembangunan nasional yang selama ini sangat bergantung pada sektor industri. Stagnasi yang dialami oleh sektor 4
industri pada dua dekade terakhir ini, terutama pada tingkat penyerapan tenaga kerja yang cenderung semakin rendah, merupakan indikator kurang berhasilnya strategi pembangunan yang dianut selama ini. Selain itu, tingkat impor barang ekonomi, terutama pangan, juga merupakan sinyal yang menunjukkan ketimpangan kinerja dalam memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kombinasi dari kedua kondisi ini adalah pangsa tingkat kemiskinan yang cenderung semakin besar antar waktu. Mungkin telah tiba waktunya untuk kembali menyandarkan pertumbuhan ekonomi nasional kepada sektor pertanian. Telah banyak kajian yang dilakukan untuk mengidentifikasi peran sektor pertanian dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Ravallion and Datt (1996) dan Datt and Ravallion (1998) yang melakukan penelitian di negara-negara berkembang (least developing countries) menghasilkan beberapa temuan penting; (1) ternyata kinerja sektor primer (pertanian) secara signifikan memiki dampak terhadap laju kemiskinan, sementara sebaliknya untuk sektor sekunder (industri); (2) pertumbuhan ekonomi pedesaan ternyata dapat mereduksi tingkat kemiskinan di pedesaan dan juga di perkotaan, sementara pertumbuhan di perkotaan hanya akan mereduksi kemiskinan di perkotaan saja. Selanjutnya Timmer (1997) yang meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di 35 negara berkembang menemukan bahwa meskipun produktivitas tenaga kerja di dalam sektor pertanian termasuk rendah namun secara konsisten dapat menjadi kontributor utama di dalam upaya pengentasan kemiskinan untuk keseluruhan sektor di dalam perekonomian. Delgado et.al. (1998) yang melakukan penelitian di beberapa negara miskin di Asia dan Afrika menunjukkan bahwa jika pendapatan nasional dapat didistribusikan secara merata pada rumahtangga perdesaan dan pertanian maka akselerasi pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan. Pada tingkat mikro, dikotomi paradigma pembangunan antara sektor pertanian dan industri tentunya sangat mewarnai dinamika perekonomian di Kabupaten Bandung. Sebagai kabupaten dengan PDRB sektor industri yang relatif sangat tinggi, tidaklah berlebihan jika Kabupaten Bandung merupakan salah satu wilayah yang menjadi tulang punggung perekonomian regional Jawa Barat. Dan tidaklah juga berlebihan bahwa fokus pengembangan wilayah lebih dititikberatkan pada sektor ini. Namun begitu, gejala-gejala stagnasi sektor industri telah mulai terlihat; dimana tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor industri memiliki kecenderungan semakin rendah seiring dengan semakin tingginya difusi teknologi manufaktur. Selanjutnya, keterkaitan yang semakin erat dengan pasar global menyebabkan sektor industri semakin memerlukan 5
sumberdaya yang tidak bersifat lokal (tenaga kerja terdidik dan input produksi yang spesifik); dalam hal ini transfer sumberdaya dilakukan lintas regional yang berimplikasi pada terlewatinya peluang untuk menciptakan multiplier effect di tingkat regional. Pengabaian atas kondisi-kondisi faktual tersebut diperkirakan akan memicu kembali berputarnya vicious circle, baik di tingkat mikro kabupaten maupun regional Jawa Barat dan nasional. Ketika sektor industri diperkirakan akan mengalami turbulensi sebagai hasil dari proses liberalisasi maka diperlukan paradigma baru dalam pembangunan ekonomi di Kabupaten Bandung yang dapat menjamin keberlangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah dan sektoral. Seperti temuan yang telah banyak dihasilkan oleh kajian-kajian sebelumnya, sektor pertanian merupakan opsi yang paling rasional untuk digunakan sebagai motor pembangunan; tentunya dengan beragam kendala yang melingkupinya. Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Bandung merupakan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang berperan dan berwenang dalam pengembangan sektor pertanian di Kabupaten Bandung. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, wewenang dan peran yang dimiliki oleh Dinas tersebut tentunya akan mengalami perubahan yang cukup signifikan mengingat bahwa pada waktu sekarang dan ke depan, tugas pokok yang diemban akan semakin berat; dimana selain harus menjamin keberlangsungan pertumbuhan sektor, serta juga sebagai sektor yang diharapkan menjadi motor alternatif pertumbuhan ekonomi wilayah. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu perencanaan strategis dalam pembangunan dan pengembangan sektor pertanian dalam konteks pembangunan wilayah di Kabupaten Bandung. Meskipun selama ini perencanaan pembangunan selalu menghadapi dilema antara penempatan prioritas pada pembangunan sektoral atau pembangunan wilayah, namun pada paradigma baru ini perencanaan pembangunan harus bersifat holistik. Jika sebelumnya pendekatan regional lebih menitikberatkan pada daerah “mana” yang perlu mendapat prioritas untuk dikembangkan, baru kemudian ditentukan sektor yang sesuai untuk dikembangkan di masing-masing daerah dan pendekatan sektoral selalu dimulai dengan pertanyaan yang menyangkut sektor “apa” yang perlu dikembangkan untuk mencapai tujuan pembangunan secara keseluruhan, maka sekarang kedua pendekatan tersebut harus bersinergi. Keunggulan wilayah dan suatu sektor sangat ditentukan oleh derajat kesinergian kedua pendekatan tersebut. Peran berbagai sektor di berbagai dareah inilah yang selanjutnya dibutuhkan untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. 6
1.2. Landasan Hukum Penyusunan Perubahan Rencana Strategis Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Bandung 2011-2015 mempertimbangkan landasan hukum, sebagai berikut: a. Landasan Idiil Pancasila b. Landasan Konstitusional Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 c. Landasan Operasional : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286). 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. 3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400). 4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun Perencanaan Pembangunan Nasional;
2004
tentang
Sistem
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437). 6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438). 7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 8. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2001 tentang Pelaporan Penylenggaraan Pemerintahan Daerah, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4124 9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah;
7
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga; 11. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. 12. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2005 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009. 13. Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014. 14. Kepmendagri Nomor 050-188/Kep/Bangda/2007 tentang Pedoman Penilaian Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah/RPJMD). 15. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan Nomor 28 Tahun 2010; Nomor 0199/M PPN/04/2010; Nomor PMK 95/PMK 07/2010, tentang Penyelarasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. 16. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 6 Tahun 2004 tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintah di Kabupaten Bandung. 17. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No. 8 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan Perencanaan Pembangunaan Daerah. 18. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 2 Tahun 2006 tentang Alokasi Dana Perimbangan Desa di Kabupaten Bandung sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 24 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 2 Tahun 2006 tentang Alokasi Dana Perimbangan Desa di Kabupaten Bandung. 19. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pedoman Kerjasama Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung. 20. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah. 21. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 17 Tahun 2007 tentang Urusan Pemerintahan Kabupaten Bandung.
8
22. Perda No. 11 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bandung Tahun 20112015; 23. Perda No. 4 Tahun 2014 tentang sistem perencanaan Kabupaten Bandung; dan 24. Rancangan RPJMD Perubahan Kabupaten Bandung Tahun 20102015.
1.3. Maksud dan Tujuan Penyusunan Perubahan Rencana Strategis ini bertujuan untuk menentukan pedoman dasar bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di bidang pertanian selama lima tahun (2011 – 2015) hasil evaluasi pencapaian indikator kinerja pembangunan sampai dengan Tahun 2013. Pedoman ini nantinya akan dijadikan arahan bagi penyusunan rencana pembangunan di bidang pertanian setiap tahunnya dengan target dan sasaran pembangunan yang lebih terarah, efektif, dan efisien. Selanjutnya, Rencana Strategis juga bisa dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk program pembangunan pertanian setiap tahunnya yang sangat diperlukan untuk perbaikan program tahun berikutnya. Sasaran penyusunan Rencana Strategis kebijakan di bidang pertanian khususnya pihak personil Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Bandung, para petani, dan stakeholders yang pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
ini adalah pengambil eksekutif dan legislatif, Kehutanan Kabupaten terkait dengan bidang
Keluaran yang diharapkan dari penyusunan perubahan Rencana Strategis ini adalah tersusunnya Rencana Srategis Perubahan Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Bandung Tahun 2011 – 2015 sebagai arah atau pedoman pelaksanaan pembangunan di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Rencana Strategis disusun berdasarkan atas skala prioritas pengembangan komoditas dan kewilayahan yang disusun dalam program pembangunan pertanian dengan target dan sasaran yang terukur.
1.4. Sistematika Penulisan Terdapat beberapa pendekatan dalam menyusun rencana strategis. Salah satu pendekatan yang dianggap paling efektif dalam penyusunan rencana tersebut adalah pendekatan DSTP (draw-see-think-plan). 9
Pendekatan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) menentukan gambaran ideal mengenai suatu kondisi tertentu; (2) mengetahui kondisi terkini dan menentukan kesenjangan kondisi tersebut dengan kondisi ideal yang telah ditentukan; (3) menyusun kegiatan spesifik yang harus dilakukan untuk mempersempit kesenjangan tersebut; dan (4) menentukan sumberdaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatankegiatan tersebut. Selain dari substansi dari sebuah perencanaan strategis yang dikemukakan di atas, rencana strategis pada dasarnya mencakup beberapa tahap kegiatan. Tahapan ini merupakan gambaran dari proses pencapaian tujuan yang tercakup dalam proses manajemen strategi; sekumpulan keputusan dan tindakan berupa langkah-langkah yang menghasilkan formulasi dan implementasi desain dan rencana untuk mencapai tujuan. Secara lebih eksplisit, manajemen strategi berarti melakukan langkah-langkah berikut ini: (1) memformulasikan tujuan organisasi, termasuk membuat pernyataan tentang tujuan, filosofi, dan tujuan dari organisasi; (2) melakukan analisis yang mencerminkan kondisi internal organisasi dan kapabilitas dari organisasi serta lingkungan eksternal, termasuk faktor daya saing, dan faktor lain secara kontekstual; (3) menganalisa pilihan-pilihan organisasi dengan memastikan kecocokan dengan sumberdaya yang dimiliki; (4) mengidentifikasi pilihan-pilihan yang dikehendaki dengan melakukan evaluasi dari setiap pilihan; (5) memilih tujuan jangka panjang dan strategi-strategi dalam mencapai tujuan yang dikehendaki; (6) mengembangkan tujuan tahunan dan stretegi jangka pendek yang sesuai dengan tujuan jangka panjang dan strategi yang dikehendaki; (7) mengimplementasikan pilihan strategi berdasarkan alokasi sumberdaya, anggaran yang tersedia, struktur dan teknologi; dan terakhir (8) mengevaluasi kesuksesan proses implementasi strategi sebagai input untuk pengambilan keputusan masa depan. Pada tataran empiris, rencana strategis sektor-sektor publik (lembaga-lembaga pemerintahan) cenderung bias terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Kecenderungan tersebut menyebabkan terpilihnya strategi-strategi yang bersifat problem solving dan bersifat jangka pendek. Salah satu hal yang sering terabaikan adalah bahwa permasalahan yang dihadapi oleh sektor tersebut sebenarnya merupakan produk dari perencanaan yang dirumuskan pada masa sebelumnya. Permasalahan tersebut timbul karena strategi yang terpilih biasanya bersifat infleksibel; dimana strategi tersebut tidak dapat beradaptasi dengan dinamika perubahan lingkungan ekonomi suatu sektor tersebut. Dalam konteks sektor pertanian, komponen utama dari pembangunan sektor adalah keberlanjutan. Hal ini berimplikasi pada terdapatnya perbedaan
10
karakteristik kebijakan dan strategi pembangunan antara sektor pertanian dan sektor non-pertanian. Salah satu aspek yang paling substansial dalam perencanaan strategis dalam jangka panjang adalah menetapkan kondisi ideal sektor pertanian yang akan dicapai. Tidak ada sesuatu yang pasti di masa depan, namun kecenderungan perubahan tentunya dapat diperkirakan dan dikuantifikasi. Maka dalam suatu proses penyusunan rencana strategis diperlukan tinjauan mengenai kondisi yang akan tercipta di masa depan; yang selanjutnya ditetapkan menjadi acuan dan tujuan dalam proses transformasi sektor pertanian. Tinjauan masa depan atau foresight didefinisikan oleh Komisi Foresight Eropa (2005) sebagai kegiatan yang mencakup; (1) pemikiran kritis yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi dalam jangka panjang; (2) peningkatan partisipasi stakeholders dalam pengambilan keputusan publik; dan (3) “menciptakan” masa depan dengan mempengaruhi kebijakan publik dan keputusan strategis. Secara garis besar, tinjauan masa depan menekankan kepada keterkaitan antara kegiatan yang dilakukan sekarang dan kegiatan yang berorientasi pada masa depan untuk menghasilkan suatu dampak di masa depan tersebut (shaping the future). Sebagai ringkasan, sudah selayaknya pembangunan sektor pertanian di Kabupaten Bandung dilandaskan kepada suatu perencanaan yang strategis mengingat kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Dengan paradigma baru pembangunan pertnaian maka penyusunan rencana strategis pembangunan pertanian ke depan harus dapat memuat beberapa komponen pokok; (1) komponen masa depan; (2) komponen perencanaan itu sendiri; dan (3) pembentukan jaringan yang bersifat partisipatif. Dengan menggunakan ketiga komponen tersebut sebagai kerangka strategis maka tujuan pembangunan pertanian di Kabupaten Bandung diharapkan lebih cepat dapat dicapai. Penyusunan Perubahan Rencana Strategis Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Bandung disusun berdasarkan sistematika penulisan sebagai berikut; Bab I : PENDAHULUAN mencakup arti pentingnya penyusunan rencana strategis. Selanjutnya dipaparkan pula kerangka pemikiran yang melandasi penyusunan ini. Kerangka pemikiran dan metode kajian juga terdapat di bab ini. Bab II : GAMBARAN DINAS PERTANIAN, PERKEBUNAN, DAN KEHUTANAN memaparkan tentang peran dan fungsi skpd dalam penyelenggaraan usurusan pemerintahan daerah, mencakup paparan mengenai kondisi internal, eksternal dan pemetaan wilayah basis produksi komoditas pertanian dan 11
Bab III
:
Bab IV
:
Bab V
Bab VI
:
Bab VII :
hasil evaluasi pencapaian indikator kinerja pembangunan. ISU ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI memaparkan mengenai kecenderungankecenderungan yang menjadi fenomena ekonomi untuk komoditas dan produk pertanian pada skala global. Beberapa permasalahan domestik yang dihadapi oleh sektor pertanian di Kabupaten Bandung juga dikemukakan. VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, SETRATEGI DAN KEBIJAKAN memaparkan strategi-strategi yang dapat digunakan untuk mendukung pembangunan pertanian. Pemaparan rumusan pernyataan tujuan dan sasaran jangka menengah. INDIKATOR DINAS PERTANIAN, PERKEBUNAN, DAN KEHUTANAN YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN RPJMD menjelaskan rincian indikator kinerja pada pembengunan pertanian, perkebunan, dan kehutanan Kabupaten Bandung yang disesuaikan dengan indikator kinerja pembangunan pada 5 tahun mendatang. RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF, Bab ini berisi panduan kebijakan yang dapat diadopsi dalam mendukung pembangunan. Implementasi strategi berupa program-program Dinas Pertanian, Pertanian, dan Kehutanan beserta rancangan pendanaan PENUTUP
12
RENSTRA
BAB II GAMBARAN UMUM DAN EVALUASI INDIKATOR KINERJA
DINAS PERTANIAN PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN
BAB II GAMBARAN UMUM DAN EVALUASI INDIKATOR KINERJA
2.1. Tugas, Fungsi dan Struktur Organisasi Dinas Secara umum pembangunan pertanian di Kabupaten Bandung tahun 2011-2015 diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani melalui tiga tujuan utama, yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan kelestarian sumber daya. Berdasarkan tujuan tersebut dan dengan mempertimbangkan kondisi, potensi sumberdaya serta peluang yang dimiliki, maka dibuatlan rencana strategis pembangunan pertanian di kabupaten Bandung. Adanya tuntutan mutu, persaingan dengan wilayah produsen pertanian lainnya serta semakin tinggilnya tingkat impor komoditas dan produk pertanian mengharuskan Kabupaten Bandung untuk terus memacu produktifitas dan kinerja sektor pertaniannya melalui perwujudan agribisnis dan agroindustri. Dalam sejarah perkembangannya, Dinas Pertanian Kabupaten Bandung dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 9 tahun 2002 tanggal 14 Agustus 2002 tentang “Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kabupaten Bandung” dimana Dinas Pertanian terbagi menjadi 5 sub dinas, yaitu Sub Din Sumber Daya, Sub Din Produksi Tanaman Hutan dan Kebun, Sub Din Produksi Padi dan Palawija, Sub Din Produksi Hortikultura dan Subdin Pengolahan dan Pemasaran Hasil. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 20 tahun 2007 tanggal 17 Desember 2007 tentang “Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kabupaten Bandung” dibentuk Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan yang dipimpin oleh pejabat setingkat eselon II dengan susunan unit kerja eselon III terdiri dari : Sekretaris Dinas, Bidang Pertanian Tanaman Pangan, Bidang Hortikultura, Bidang Perkebunan dan Bidang Kehutanan. Selain itu terdapat 3 UPTD eselon IV yaitu UPTD Alat Mesin Pertanian dan Proteksi Tanaman, UPTD Benih Tanaman dan UPTD Pengembangan Usaha Tani (seperti terlihat pada Gambar Struktur Organisasi Distanbunhut 2010).
15
Tugas pokok Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan berdasarkan Perda Kab. Bandung No. 20 tahun 2007 adalah merumuskan kebijakan teknis operasional di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan yang meliputi pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan kehutanan serta melaksanakan ketatausahaan Dinas. Menindaklanjuti Perda tersebut, maka pada tanggal 26 Februari 2008 terbentuk Peraturan Bupati Bandung tahun 5 tahun 2008 tentang “Rincian Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Dinas Daerah kabupaten Bandung”. Berdasarkan Peraturan Bupati tersebut, tugas pokok kepala dinas pertanian, perkebunan dan kehutanan adalah memimpin, merumuskan, mengatur, membina, mengendalikan, mengkoordinasikan dan mempertanggung-jawabkan kebijakan teknis pelaksanaan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan sebagian bidang pertanian dan ketahanan pangan serta bidang kehutanan. Tugas Pokok dan Fungsi Bidang-bidang dalam Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan: 1. Bidang Pertanian Tanaman Pangan Tugas pokok Kepala Bidang Pertanian Tanaman Pangan adalah memimpin, mengkoordinasikan dan mengendalikan tugas-tugas di bidang pengelolaan pertanian tanaman pangan yang meliputi sarana dan prasarana, pengembangan produksi serealia, kacangkacangan dan umbi-umbian serta pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil. Fungsi Bidang Pertanian Tanaman Pangan adalah : a) menetapkan penyusunan dan program kerja pengelolaan pertanian tanaman pangan, b) menyelenggarakan pelamkasanaan tugas di bidang pengelolaan pertanian tanaman pangan, c) mengkoordinasikan perencanaan teknis di bidang pengelolaan tanaman pangan, d) merumuskan sasaran pelaksanaan tugas di bidang pengelolaan pertanian tanaman pangan, e) membina dan mengarahkan pelaksanaan tugas di bidang pengelolaan pertanian tanaman pangan, f) melaporkan pelaksanaan tugas pengelolaan pertanian tanaman pangan, g) mengevaluasi pelaksanaan tugas pengelolaan pertanian tanaman pangan, melaksanakan tugas kedinasan lain sesuai dengan bidang tugas da fungsinya serta
16
h) melaksanakan koordinasi/kerjasama dan kemitraan dengan unit kerja/instansi/lembaga atau pihak ketiga di bidang pengelolaan pertanian tanaman pangan. 2. Bidang Hortikultura Tugas pokok Kepala Bidang Hortikultura adalah memimpin, mengkoordinasikan dan mengendalikan tugas-tugas di bidang pengelolaan hortikultura yang meliputi pengemangan produksi sayuran, tanaman hias, buah-buahan dan obat-obatan serta pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil. Fungsi Bidang Hortikultura adalah : a) menetapkan penyusunan dan program kerja pengelolaan hortikultura b) menyelenggarakan pelaksanaan tugas di bidang pengelolaan hortikultura c) mengkoordinasikan perencanaan teknis di bidang pengelolaan hortikultura d) merumuskan sasaran pelaksanaan tugas di bidang pengelolaan hortikultura e) melaporkan pelaksanaan tugas pengelolaan hortikultura f) mengevaluasi pelaksanaan tugas pengelolaan hortikultura g) melaksanakan tugas kedinasan lain sesuai dengan bidang tugas da fungsinya serta i) melaksanakan koordinasi/kerjasama dan kemitraan dengan unit kerja/instansi/lembaga atau pihak ketiga di bidang pengelolaan hortikultura 3. Bidang Perkebunan Tugas pokok Kepala Bidang Perkebunan adalah memimpin, mengkoordinasikan dan mengendalikan tugas-tugas di bidang pengelolaan perkebunan yang meliputi pengembangan produksi perkebunan, pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil serta pengendalian. Fungsi Bidang Perkebunan adalah : a) menetapkan penyusunan dan program kerja pengelolaan perkebunan b) menyelenggarakan pelamkasanaan tugas di bidang pengelolaan perkebunan c) mengkoordinasikan perencanaan teknis di bidang pengelolaan perkebunan d) merumuskan sasaran pelaksanaan tugas di bidang pengelolaan perkebunan
17
e) membina dan mengarahkan pelaksanaan tugas di bidang pengelolaan perkebunan f) melaporkan pelaksanaan tugas pengelolaan perkebunan g) mengevaluasi pelaksanaan tugas pengelolaan perkebunan h) melaksanakan tugas kedinasan lain sesuai dengan bidang tugas da fungsinya serta j) melaksanakan koordinasi/kerjasama dan kemitraan dengan unit kerja/instansi/lembaga atau pihak ketiga di bidang pengelolaan perkebunan 4. Bidang Kehutanan Tugas pokok Kepala Bidang Kehutanan adalah memimpin, mengkoordinasikan dan mengendalikan tugas-tugas di bidang pengelolaan kehutanan yang meliputi pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya kehutanan, rehabilitasi lahan dan konservasi tanah serta perlindungan dan pengendalian hutan. Fungsi Bidang Kehutanan adalah : a) menetapkan penyusunan dan program kerja pengelolaan kehutanan b) menyelenggarakan pelaksanaan tugas di bidang pengelolaan kehutanan c) mengkoordinasikan perencanaan teknis di bidang pengelolaan kehutanan d) merumuskan sasaran pelaksanaan tugas di bidang pengelolaan kehutanan e) membina dan mengarahkan pelaksanaan tugas di bidang pengelolaan kehutanan f) melaporkan pelaksanaan tugas pengelolaan kehutanan g) mengevaluasi pelaksanaan tugas pengelolaan kehutanan h) melaksanakan tugas kedinasan lain sesuai dengan bidang tugas da fungsinya serta i) melaksanakan koordinasi/kerjasama dan kemitraan dengan unit kerja/instansi/lembaga atau pihak ketiga di bidang kehutanan. 2.2 Sumberdaya SKPD Sumberdaya manusia setiap instansi harus cakap dan memiliki sikap mental dan moral yang baik. Sampai dengan Bulan Maret 2011, jumlah personil di Dinas Pertanian, perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bandung berjumlah 82 orang dengan perincian pada Tabel 2.1.
18
Tabel 2.1 Sumber daya Aparatur/Petugas Pertanian No 1
2
3
Klasifikasi berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal Yang Ditamatkan
Pangkat/Jabatan
Berdasarkan Jabatan
Uraian
Jumlah
S2 S1 D3 SLTA
8 31 7 32
SLTP
3
IV.b
2
IV.a
5
III.d
11
III.c
7
III.b
21
III.a
16
II.d
2
II.c
5
II.a
11
I.c
2
Eselon II.b
1
eselon III.a
1
Eselon III.b
4
Eselon IV.a
18
Eselon IV.b
3
POPT
26
Keterangan 3 CPNS 1 CPNS
3 CPNS
1 CPNS
Pegawai Propinsi yg diperbantukan
2.3. Analisis Kinerja 2.3.1. Analisis Kinerja Ekonomi Sektor Pertanian. Perkembangan sektor pertanian (tanaman pangan, hortikultura) perkebunan dan kehutanan dalam pembangunan daerah Kabupaten Bandung khususnya di bidang perekonomian diantaranya dapat dilihat melalui perkembangan indikator-indikator yang mengusungnya, seperti kontribusinya dalam pembentukan PDRB, LPE, kesempatan kerja dan perdagangan, disamping itu perkembangan sektor pertanian juga dapat dilihat dari kontribusinya dalam pembangunan ekonomi, ketahanan pangan, dan pelestarian lingkungan hidup di Kabupaten Bandung. Hasil pelaksanaan Program Pembangunan Pertanian pada Tahun 2010 dan 2011, secara nyata memberikan konstribusi terhadap Produk Domestik Regional (PDRB) pada tahun 2001 mencapai Rp 3.452.210,59 juta bila dibandingkan dengan realisasi pencapaian PDRB sektor pertanian pada tahun 2010 sebesar Rp3.007.028,13 juta (berdasarkan harga berlaku). 19
Tabel 2.2 PDRB Kabupaten Bandung Berdasarkan Harga Berlaku No
Lapangan Usaha
Pertanian (Tan Bahan Makanan, Perkebunan dan Kehutanan) 1 Pertanian 2 Pertambangan dan Penggalian 3 Industri pengolahan 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 5 Bangunan/Kontruksi 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 7 Pengangkutan dan Komunikasi 8 Keuangan, Persew aan dan Jasa Perusahaan 9 Jasa-jasa PDRB Tanpa Migas PDRB dengan Migas
2010
PDRB ATAS DASAR HARGA BERLAKU (%) 2011 2012 2013*
A1
3,007,028.13
3,452,210.59
3,939,399.23
4,550,897.00
3,471,661.92 580,783.81 27,471,535.02 741,188.33 764,990.68
3,978,936.25 642,359.10 30,116,379.01 824,630.98 852,508.61
4,518,784.28 686,014.49 32,915,231.13 954,918.90 947,236.94
5,171,870.00 673,133.71 36,721,871.46 1,166,432.32 1,143,674.37
7,796,200.55
8,920,233.69
10,436,027.24
11,795,595.18
1,933,148.22
2,159,485.64
2,374,097.92
2,659,942.03
898,354.49
990,504.14
1,123,606.62
1,217,604.86
2,434,375.72 45,586,296.79 46,092,238.72
2,806,725.22 50,735,042.57 51,291,762.65
3,115,489.15 56,484,180.32 57,071,406.68
3,783,648.37 63,759,934.76 64,333,772.50
Tabel 2.3 PDRB berdasarkan harga konstan No
Lapangan Usaha
Pertanian (Tan Bahan Makanan, Perkebunan dan Kehutanan) 1 Pertanian 2 Pertambangan dan Penggalian 3 Industri pengolahan 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 5 Bangunan/Kontruksi 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 7 Pengangkutan dan Komunikasi 8 Keuangan, Persew aan dan Jasa Perusahaan 9 Jasa-jasa PDRB Tanpa Migas PDRB dengan Migas
2010
PDRB ATAS DASAR HARGA KONSTAN (%) 2011 2012 2013*
A1
1,379,154.21
1,445,611.39
1,536,322.36
1,618,127.00
1,602,050.01 282,922.47 13,173,587.93 396,026.30 381,103.63
1,688,263.14 291,397.20 13,857,488.88 428,521.96 411,973.98
1,787,255.22 286,309.40 14,605,911.06 482,230.40 432,749.38
1,875,353.00 274,200.00 15,340,747.00 521,716.00 471,553.00
3,474,795.78
3,748,625.24
4,073,645.70
4,444,168.00
892,448.05
960,418.42
1,036,304.54
1,103,080.00
474,864.56
508,799.47
550,913.19
572,224.00
1,056,862.46 21,495,196.73 21,734,661.19
1,130,748.84 22,782,763.18 23,026,237.14
1,187,903.28 24,208,462.46 24,443,222.17
1,298,130.00 25,676,876.00 25,901,172.00
Tabel 2.4 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bandung No A1
Lapangan Usaha
Pertanian (Tan Bahan Makanan, Perkebunan dan Kehutanan) 1 Pertanian 2 Pertambangan dan Penggalian 3 Industri pengolahan 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 5 Bangunan/Kontruksi 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 7 Pengangkutan dan Komunikasi 8 Keuangan, Persew aan dan Jasa Perusahaan 9 Jasa-jasa PDRB Tanpa Migas PDRB dengan Migas
2010
Distribusi Persentase PDRB (%) 2011 2012 2013
6.52
6.73
6.90
7.07
7.53 1.26 59.60 1.61 1.66 16.91 4.19
7.76 1.25 58.72 1.61 1.66 17.39 4.21
7.92 1.20 57.67 1.67 1.66 18.29 4.16
8.04 1.05 57.08 1.81 1.78 18.33 4.13
1.95
1.93
1.97
1.89
5.28 98.90 100.00
5.47 98.91 100.00
5,46 98.97 100.00
5.88 99.11 100.00
Sumber : Produk Domestik regional Bruto semesteran Kabupaten bandung 2013, BPS Kabupaten Bandung (*Angka Sementara).
20
PDRB sektor pertanian Kabupaten Bandung tahun 2013 mengalami peningkatan dari tahun 2011 dan 2012 dan kontribusi PDRB Pertanian terhadap PDRB Kabupaten Bandung sebesar 8,04 (Bhn Makanan, Perkebunan dan Kehutanan; sebesar 7,07) atau meningkat 0,12 (0,17) bila dibandingkan dengan Tahun 2012. Sampai saat ini, penyumbang terbesar terhadap PDRB tahun 2013 (harga berlaku) sektor pertanian di Kabupaten Bandung adalah produksi pertanian tanaman pangan, disusul oleh produksi perkebunan, peternakan, perikanan dan terakhir produksi kehutanan, dan PDRB Kabupaten Bandung juga dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan dan Sektor Pertanian masih tetap menempati posisi ketiga terbesar dibawah Sektor Industri Pengolahan serta Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran.
Sektor Pertanian dalam Struktur Ekonomi Kabupaten Bandung Tahun 2013 Distribusi Pertanian terhadap PDRB Tahun 2013 Pertanian
Pertambangan dan Penggalian Industri pengolahan
Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan/Kontr uksi Perdagangan, Hotel dan Restoran
Hasil Sensus Pertanian 2003 (2012 belum keluar. BPS Kabupaten Bandung) menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sumber matapencaharian dari 535.120 Rumah Tangga atau 52,2 % dari total jumlah Rumah Tangga di Kabupaten Bandung sebesar 1.024.871, sisanya 47,8 % didominasi oleh kegiatan industri, buruh dan perdagangan. Informasi ini menunjukkan peran dominan kegiatan pertanian dalam struktur ekonomi rumah tangga pedesaan dan pertumbuhan perkonomian daerah.
21
47,8% Non-P ertanian
P etani P emilik Lahan 245.411 Bukan P engguna Lahan 3.793
52,2% 489.751
P ertanian
535.120
P ertanian
P engguna Lahan 285.916
Non-P ertanian
Sumber Sensus Pertanian 2003
Gambar 3.5. Struktur Ekonomi Rumah Tangga Pertanian
Sejalan dengan meningkatkan peran sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Bandung serta meningkatnya kinerja sektor pertanian pada tahun 2013, yang ditandai dengan adanya akserelasi LPE sektor pertanian, penting pula dilihat struktur mata pencaharian penduduk berdasarkan lapangan usaha, dan berdasarkan data dari BPS (suseda 2008), sektor pertanian mampu menyerap/menyediakan lapangan kerja bagi 20,66 % penduduk Kabupaten Bandung. Selain berperan dalam memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, sektor pertanian pun terbukti relatif paling tahan terhadap krisis dibandingkan dengan sektor lainnya. Dengan berdasarkan pada hal-hal tersebut diatas maka sektor pertanian masih sangatlah layak untuk lebih dikembangkan lagi menjadi core bisnis di Kabupaten Bandung. Selain itu Sektor pertanian pun merupakan sektor yang cukup stategis yang harus didukung keberlangsungannya sebagai faktor pendorong paling utama dalam percepatan pembangunan perdesaan.
Tabel 2.5 Persentase Lapangan Pekerjaan Penduduk berumur 15 Tahun keatas Kabupaten Bandung Tahun 2008 – 2011. Lapangan Pekerjaan Angkatan Kerja yang Bekerja
2008
2009
2010
2011
Pertanian Industri
20.66 27.08
21.87 29.87
18.91 29.23
22.2 32.47
Perdagangan Jasa
19.51 10.21
18.75 12.49
20.5 14.14
19.29 10.79
Lainnya Angkatan Kerja yang Menganggur
22.54 13.19
17.02 12.51
17.22 10.2
15.24 10.69
Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2008-2011
22
Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Dalam mengukur upaya kemajuan pembangunan di bidang pertanian adalah dengan mengamati konstribusi PDRB sub sector pertanian terhadap PDRB Kabupaten Bandung yang ditandai dengan meningkat, menurun atau tetap sebagai hubungan timbal balik antara nilai PDRB dengan konstribusi kinerja Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan. Pada Tahun 2013 terjadi kondisi iklim yang ekstreem sehingga curah hujan menjadi sangat sedikit juga masih terjadinya fluktuasi harga minyak mentah dunia dan bencana alam yang tak didugaduga sehingga secara tidak langsung mempengaruhi pencapaian Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) dan ternyata LPE Kabupaten Bandung secara keseluruhan pada tahun 2010 sampai tahun 2013 terus mengalami peningkatan walapun masih mengalami akserelasi laju pertumbuhannya. Tabel 2.6 Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Bandung Tahun 2010-2013 No
1 2 3 4 5 6 7 8
Lapangan Usaha
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan/Kontruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persew aan dan Perusahaan 9 Jasa-jasa PDRB Tanpa Migas
Jasa
Laju Pertum buhan Ekonom i Atas Dasar Harga Konstan (%) 2010 2011 2012 2013 6.66 5.38 5.23 4.93 4.87 3.00 5.24 5.19 5.40 5.03 5.32 8.21 12.53 8.19 7.17 8.10 5.04 8.97 8.21 7.88 8.86 9.10 5.78 7.62 7.90 6.44 5.26 7.15 9.09 3.87 5.60 5.88
6.99 5.94
5.05 6.15
9.28 6.07
Dalam perdagangan, baik lokal (regional/nasional) maupun ekspor, sektor pertanian Kabupaten Bandung merupakan salah satu pemasok utama komoditi beras dan sayuran dataran tinggi maupun dataran rendah bagi daerah perkotaan/konsumen potensial seperti : Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi, serta pasar lokal baik di Kota Bandung, ataupun di Kabupaten Bandung Barat serta pasar-pasar di Kabupaten Bandung sendiri. Untuk komoditas beras, sampai saat ini Kabupaten Bandung memasok kurang lebih 50-70 ton per hari ke Pasar Induk Beras Cipinang Jakarta. Sedangkan pada komoditas sayuran, 50% produksi sayuran Kabupaten Bandung dijual ke pasar Jakarta dan sekitarnya, 25% dijual ke pasar Kota Bandung dan sisanya dijual ke pasar lokal di Kabupaten Bandung dan Bandung Barat, khusus untuk komoditas kentang, 23
Kabupaten bandung merupakan penghasil produksi tertinggi di Jawa Barat, yaitu mencapai 70% dan sisanya sebesar 30% untuk tingkat Nasional. Sedangkan sebagian dari komoditas Perkebunan (sepert teh, kopi, cengkeh) dan Hortikultura (sayuran dan buah-buahan) baik yang berasal dari perkebunan Negara, perkebunan besar swasta dan perkebunan rakyat merupakan komoditas yang sebagian di ekspor.
2.3.2. Analisis Capaian Kinerja Sasaran Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran pembangunan pertanian di Kabupaten Bandung sampai dengan tahun 2013, yang telah ditetapkan dalam Indikator kinerja utama, Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan menetapkan beberapa langkah rencana tindak ke dalam 8 program dan 26 kegiatan. Untuk mengevaluasi tingkat efektivitas program/kegiatan tersebut, indikator kinerja menjadi acuan penilaian sasaran strategis.
Sasaran Strategis 1 Meningkatkan swasembada pangan lokal melalui peningkatan produktivitas lahan dan komoditas pangan unggulan lokal Salah satu sasaran strategis pembangunan pertanian adalah meningkatnya swasembada pangan lokal melalui peningkatan lahan dan komoditas pangan unggulan lokal. Hal ini merupakan salah satu langkah perwujudan tercapainya ketahanan pangan sampai tingkat rumah tangga, terutama dalam keberlanjutan ketersediaan pangan. Keadaan ini dicirikan antara lain dengan tersedianya pangan yang cukup serta harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat dan terwujudnya diversifikasi konsumsi pangan yang tercermin dari tersedianya berbagai komoditas pangan, baik produk segar maupun produk olahan. Untuk mewujudkan ketersediaan pangan sampai tingkat rumah tangga tersebut, pemerintah mengupayakan strategi antara lain berbagai usaha peningkatan produksi dan produktivitas lahan dan pangan. Selain itu, peningkatan kapasitas dan kapabilitas masyarakat tani dalam desiminasi teknologi mulai dari budidaya tanaman pangan pada sisi onfarm juga teknologi pasca panen dan pengolahan hasil pada sisi off-farm. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap pencapaian sasaran seperti yang telah dilakukan dan dapat dilihat pula dari berbagai fakta yang ada, baik berupa keberhasilan maupun kekurangberhasilan pelaksanaan pembangunan pertanian di Kabupaten Bandung, apabila
24
dibandingkan dengan tahun 2013 maupun terhadap sasaran/target yang telah ditentukan, ataupun juga terhadap realisasi pencapaian dalam pelaksanaan kegiatan pada tahun 2013 ini.
Tabel 2.6 pengukuran sasaran kinerja tahunan 2013 SASARAN STRATEGIS Meningkatkan swasembada pangan lokal melalui peningkatan produktivitas lahan dan komoditas pangan unggulan lokal
INDIKATOR KINERJA 1. Jumlah produksi komoditas tanaman pangan unggulan: - Padi (ton) - Jagung (Ton) - Ubi Kayu (Ton) 2. Jumlah produktivitas komoditas tanaman pangan: - Padi (kui/ha) - Jagung (kui/ha) - Ubi Kayu (kui/ha)
TARGET KINERJA
REALISASI
%
517.939 77.515 121.578
592.647 86.256 124.960
114,42 111,28 120,92
63.75 65,54 197,40
64,34 65,94 192,07
100,93 100,61 97,30
Tabel 2.6 menunjukkan bahwa ketersediaan pangan yang diindikasikan oleh jumlah produksi tanaman pangan mengalami pertumbuhan positif dan melebihi target kinerja yang telah ditetapkan. Pencapaian jumlah hasil produksi padi sampai Desember 2013 ini mencapai 592.647 ton GKG atau dengan peningkatan Produksi sebesar 114,42% dari target atau mencapai 107,36% dari tahun 2012 dengan produktivitas sebesar 64,34 kuintal/hektar. Pencapaian ini melebihi target yang telah ditetapkan yang disebabkan oleh adanya perlakuan dan langkah strategis dalam peningkatan produktivitas lahan dan komoditas padi serta penurunan persentase kehilangan hasil akibat proses pasca panen dan pengolahan hasil. Sedangkan realisasi produksi jagung mencapai 86.256 ton pipilan kering. Hasil panen jagung terbagi ke dalam dua bentuk produk yang jagung dipanen muda dan jagung dalam bentuk pipilan kering. Pada tahun 2013 ini panen jagung pipilan kering ternyata cukup tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2012, walaupun panen jagung mudanya juga tetap besar karena budidaya jagung muda ternya dianggap petani dari segi ekonomi lebih menguntungkan daripada pipilan kering apalagi dari segi waktu budidaya yang cukup singkat serta sedikit/minimalnya perlakuann terhadap jagung yang dipanen muda. Dalam Tabel 2.7 dapat dilihat bahwa peningkatan padi di Kabupaten Bandung tahun 2013 ini terjadi dalam peningkatan produksi bila dibandingkan dengan realisasi MT. 2011/2012 dan MT. 2012 dan target tahun 2013. Hal ini dikarenakan kondisi iklim pada MT. 2013 lebih
25
bersahabat untuk membudidayakan padi/ tanaman pangan lainnya, walaupun pada beberapa titik sentra produksi mengalami puso akibat kekeringan. Lebih lanjut, upaya yang dilakukan untuk meningkatkan luas tanam melalui peningkatan indeks pertanaman padi. Peningkatan IP tersebut dilaksanakan melalui perbaikan/rehabilitasi jaringan irigasi dan/atau pembangunan jaringan irigasi baru, dinilai efektif. Dengan demikian, dampak negatif dari alih fungsi lahan terhadap pencapaian jumlah produksi tanaman pangan, khususnya padi masih bisa diminimalisasi melalui peningkatan IP dan peningkatan produktivitas komoditas, disamping pengendalian OPT secara bersamasama/sabilulungan (Brigade Proteksi Tanaman).
Tabel 2.7 Target dan Realisasi Jumlah Produksi Padi Palawija di Kabupaten Bandung Tahun 2013 No A 1
2
B 1
2
3
Uraian Komoditi PADI Padi Sawah Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Padi Gogo Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) JUMLAH PADI Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Jagung Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Kedelai Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Kacang Tanah Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha)
Realisasi 2012 (Ha)
Target 2013 (Ha)
Realisasi 2013 (Ha)
% Realisasi Thd Target 2013
% thdp 2012
78,969 78,029 518,032 66.39
76,604 73,656 484,816 67.23
89,069 86,499 570,703 65.98
116.27 117.44 117.72 98.14
112.79 110.85 110.17 99.38
7,950 7,885 33,997 43.12
6,077 5,808 23,540 40.53
5,093 5,646 22,079 39.11
83.81 97.21 93.79 96.49
64.06 71.60 64.94 90.69
86,919 85,914 552,029 63.66
82,681 79,464 508,356 64.14
94,162 92,145 592,782 64.34
113.89 115.96 116.61 100.30 PALAWIJA
108.33 107.25 107.38 101.05
13,101 8,587 50,687 59.03
13,143 11,828 77,515 65.54
13,589 13,076 86,256 65.97
103.39 110.55 111.28 100.65
103.72 152.28 170.17 111.75
48 44 67 15.34
750 713 1,008 14.14
364 159 246 15.46
48.53 22.30 24.38 109.33
758.33 361.36 366.87 100.78
1,673 1,655 2,853 17.24
2,145 2,038 3,018 15.31
1,722 1,691 2,437 14.41
80.28 82.97 80.76 94.14
102.93 102.18 85.43 83.60
26
No 5
6
Uraian Komoditi Ubi Kayu Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Ubi Jalar Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) JUMLAH PALAWIJA Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha)
Realisasi 2012 (Ha)
Target 2013 (Ha)
Realisasi 2013 (Ha)
% Realisasi Thd Target 2013
% thdp 2012
6,540 6,588 120,923 183.55
6,483 6,159 121,579 197.40
6,886 6,506 124,960 192.07
106.22 105.63 102.78 97.30
105.29 98.76 103.34 104.64
1,737 1,820 26,503 145.62
2,140 2,033 27,527 135.40
1,777 1,686 22,267 132.07
83.04 82.93 80.89 97.54
102.30 92.64 84.02 90.70
23,099 18,694 201,032 107.54
24,661 22,771 230,647 101.29
24,338 23,118 236,166 102.16
98.69 101.52 102.39 100.86
105.36 123.67 117.48 94.99
Sumber: Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bandung, 2013
Indikator kinerja lain yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pencapaian sasaran strategis 1: “Meningkatkan swasembada pangan lokal melalui peningkatan produktivitas lahan dan komoditas pangan unggulan lokal” untuk mendorong tercapainya pengamanan produksi pangan adalah 1. Sub sistem pengelolaan sarana dipengaruhi oleh ketersediaan sarana produksi pada saat dibutuhkan petani terutama pupuk, pestisida, benih serta sarana dan prasarana lainnya. 2. Sub sistem pengelolaan infrastruktur dasar pertanian. 3. Peningkatan kapasitas dan kapabilitas petani melalui desiminasi teknologi budidaya tanaman: (1) Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu; (3) penggunaan pupuk berimbang. 4. Pengembangan komoditas alternatif pangan non beras: sorgum, ganyong, dan talas jepang. 5. Peningkatan sarana prasarana pasca panen. 6. Pemberdayaan kelembagaan pertanian tanaman pangan. Melalui peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana tersebut di atas secara langsung dapat berdampak pada peningkatan luas pertanaman pertanian tanaman pangan yang merupakan upaya dalam pencapaian peningkatan produksi 5% terutama komoditas padi di Kabupaten Bandung. Grafik Indeks Pertanaman (IP) dibawah menunjukkan adanya peningkatan nilai dari 1,92 di tahun 2009, kemudian 1,98 di tahun 2011 dan menjadi 2,01 pada Tahun 2012 dan meningkat 0,26 pada tahun 2013 menjadi 2,27 serta produktivitas padi meningkat dari 55,63 kuintal/ha di tahun 2005 menjadi 61,20 kuintal/ha di tahun 2011, 63,66 kuintal/ha dan 64,34 kuintal/hektar pada Tahun 2013.
27
Gambar 2.2 perkembangan produktivitas padi Kabupaten Bandung
2.3
2.27
Indeks Pertanaman (IP)
2.2
2.1 2
1.97
1.98 2.01
1.9 1.92 1.8 1.7
2009
2010
2011
2012
2013
Gambar 2.3 perkembangan indeks pertanaman padi Kabupaten Bandung
Pada tahun 2013, selain meningkatkan produktivitas padi, program/kegiatan ditujukan pula untuk mengidentifikasi komoditi-komoditi lain selain padi sebagai pangan alternatif. Ubi kayu, sorgum, ganyong, dan talas menjadi komoditi alternatif yang akan dikembangkan. Ubi kayu dikembangkan di daerah cileunyi, cilengkrang, Cikancung, Nagreg, dan
28
Cicalengka. Sorgum seluas 20 ha di Kecamatan Pameungpeuk dan Bojongsoang. Ganyong seluas 5 ha dikembangkan di Kecamatan Kertasari dan Baleendah. Lebih lanjut, uji coba talas jepang juga dibudidayakan di Kecamatan Cikancung, Pasirjambu, dan Kertasari untuk total luas 2,5 ha. Secara garis besar, pengembangan komoditi tersebut dievaluasi cukup memberikan hasil yang positif terutama untuk komoditi ubi kayu, sorgum, dan ganyong. Namun, talas jepang dianggap belum dapat dievaluasi dikarenakan penanaman baru dilaksanakan triwulan akhir 2013. Selain itu, kelompok usaha pengolahan sorgum dan ganyong telah banyak dan telah memiliki spesifik pasar, walaupun masih skala rumah tangga. Ubi kayu di Kecamatan Cimenyan menjadi produk olahan populer yaitu tape singkong. Sayuran dataran rendah dialokasikan untuk mengganti tanaman padi pada periode kering tahun 2013 sebagai upaya untuk mengurangi dampak negatif kekeringan pada petani. Sehingga dapat memberikan multifier effects bagi petani itu sendiri. Komoditi yang dikembangkan terutama kangkung, mentimun, dan bayam.
Sub sistem pengelolaan sarana dipengaruhi oleh ketersediaan sarana produksi pada saat dibutuhkan petani terutama pupuk, pestisida, benih serta sarana dan prasarana lainnya 1. Pupuk Keberadaan pupuk sangat penting artinya bagi keberhasilan kegiatan pengembangan agribisnis. Secara teknis kebutuhan pupuk setiap tahun meningkat sejalan dengan peningkatan kebutuhan pangan masyarakat, akan tetapi seperti halnya pada tahun sebelumnya, Tahun 2013 merupakan periode mengurangi penggunaan pupuk kimia mulai dengan tujuan untuk mengurangi tingkat degradasi lahan/tanah, dengan kata lain untuk mengembalikan tingkat kesuburan tanah, dengan cara sedikit demi sedikit memperbaiki tekstur serta struktur tanah agar sifatsifat fisik, biologi maupun kimia tanah nya menjadi lebih baik lagi dan otomatis ketersediaan unsur hara serta penyerapannya oleh tanaman menjadi maksimal, juga bisa membentuk iklim mikro yang sesuai dengan perakaran tanaman. Cara yang ditempuh diantaranya yaitu dengan cara mensosialisasikan kembali penggunaan pupuk organik terutama pupuk organik buatan sendiri/kompos maupun buatan pabrik yang lebih ramah terhadap lingkungan ataupun dengan cara melakukan pemupukan yang berimbang antara pupuk an organik dan pupuk organik. Realisasi penyaluran pupuk tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 3.5 berikut.
29
Lebih lanjut, sebagai upaya penerapan pupuk organik, pengembangan unit-unit pengolahan pupuk organik dalam bentuk rumah kompos menjadi prioritas. Disamping mensosialisasikan penggunaan kembali pupuk organik dan menjaga kualitas lingkungan melalui pemanfaatan kembali limbah peternakan dan pertanian, juga memberikan alternatif usaha bagi kelompok masyarakat tani di luar agribisnis. Langkah strategis yang telah dilakukan sampai dengan Tahun 2013, adalah: 1. Memfasilitasi pembangunan rumah kompos dan Memfasilitasi alatalat pengolahan pupuk organik. 2. Memfasilitasi peningkatan pengetahuan, keterampilan dan teknologi pengolahan pupuk organik bagi kelompok usaha. 3. Revitalisasi komisi Pengawasan Penyaluran Pupuk Kabupaten Bandung (KP3) Fasilitasi pengembangan unit pengolahan pupuk organik dialokasikan dari anggaran yang bersumber dari APBD Kabupaten Bandung Tahun 2013. Tabel 2.8 Fasilitasi Pengembangan Unit Pengolahan Pupuk Organik Tahun 2013 No Jenis Sarana Volume Lokasi 1.
Alat Pengolahan Pupuk Organik
8 unit
Cicalengka, Pasirjambu, Kertasari, Ibun
Cimenyan, Pameungpeuk,
Sumb er: Bidang Teknis Distanb unhut, 2013
Melalui upaya pengembangan Unit Pengolahan Pupuk Organik, Kelompok Usaha Ekonomi Pedesaan (KUEP) “Taruna Mukti” Kampung Papakmanggu Desa Cibodas Kecamatan Pasirjambu telah berhasil menyalurkan pupuk organik kurang lebih 7.000 Ton/tahun. Penyaluran produk pupuk organik tersebut tersebar dari Kabupaten Bandung, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Subang, juga telah bekerjasama dengan PT. PN VIII dan PT. Agrimas sebagai pasar/pengguna produk.
30
Gambar 2.4 Unit Pengolahan Pupuk Organik KUEP Taruna Mukti
2. Pengelolaan Benih Kegiatan pada tahun 2013 ini Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan membantu/memfasilitasi BKPPP dan BPSB dalam melakukan pengawasan dan sertifikasi benih terhadap para penangkar benih. Selanjutnya, Balai benih Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan di Solokan Jeruk dan Jelekong sebagai UPTD dari Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan terus mengembangkan dan memantau penggunaan benih bermutu/berlabel di lapangan. Pada Tahun 2013, telah dapat menyalurkan benih padi sebanyak 525 Ton untuk kegiatan SLPTT dan 20,20 Ton benih jagung. Disamping itu, 13,5 Ton benih kedelai disalurkan sebagai upaya uji coba budidaya kedelai di Kabupaten Bandung guna mendukung tercapainya swasembada kedelai nasional. Cadangan Benih Daerah dan Bantuan Penggantian Bencana sebanyak 11,5 Ton dari APBD Kabupaten Bandung. Pada Tahun 2013, Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan telah melakukan penjajakan kerjasama dengan BATAN untuk melakukan pelepasan varietas padi lokal Kabupaten Bandung, yakni varietas Jembar. Kerjasama tersebut di mulai dengan uji multi lokasi dan uji adaptasi di beberapa titik di Kabupaten Bandung dan beberapa titik di luar Kabupaten Bandung, yang langkah selanjutnya akan dilaksanakan pada Tahun 2013. Disamping itu pula dalam upaya mengejar penyerapan teknologi pertanian, UPTD Benih menampung serta menyediakan benih
31
berlabel/bermutu untuk disebar/ditanam oleh para petani di wilayah kabupaten bandung, dan menurut data dari UPTD benih bermutu/berlabel yang banyak ditanam/digunakan oleh para petani di Kabupaten Bandung ini adalah Varietas Ciherang (60%), Sintanur (3%), Mekongga (17%), IR64 (10%) dan benih Lokal sebanyak 10%. Lebih lanjut, pengelolaan benih/bibit tanaman lainnya seperti hortikultura, perkebunan dan kehutanan sebelum disebar ke lapangan dikontrol dan dikendalikan kualitasnya melalui upaya penyertaan sertifikasi benih/bibit tersebut. Penyaluran benih harus melalui uji lapangan dan adaptasi sehingga tidak berdampak negative terhadap pertanaman lainnya di lapangan. Upaya menciptakan benih/bibit baru khas lokal mulai menempati prioritas target kinerja. Pada tahun 2013, beberapa komoditi unggulan kabupaten dikembangkan sistem penangkarannya melalui kerjasama dengan balai penelitian. Jeruk besar cikoneng di Desa Cibiru Wetan Kecamatan Cileunyi menjadi sasaran pertama dikarenakan komoditi ini memiliki spesifik unik. Krisan dan tanaman hias lainnya dilaksanakan melalui pengembangan kebun percobaan. 1,5 hektar dengan berbagai sarana prasarana telag dibangun untuk menunjang pengembangan penangkaran dan uji adaptasi khusus tanaman hias di Kecamatan Pasirjambu. Penangkaran kentang dan stroberi juga mulai dikelola secara intensif dan tersebar di Kecamatan Pangalengan, Kertasari, Rancabali dan Pasirjambu. 3. Pengelolaan Alat Mesin Pertanian Alat Mesin Pertanian sangat mempengaruhi tingkat pencapaian ketersediaan pangan di Kabupaten Bandung. Melalui hal tersebut, akan mempercepat waktu tanam, waktu olah, dan waktu simpan dengan kuantitas dan kualitas yang relatif lebih bila dibandingkan dengan secara manual. Perkembangan Alat Mesin Pertanian dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan baik dari jumlah alat maupun ketrampilan operator. Peningkatan tersebut disebabkan adanya swadaya masyarakat maupun dukungan dari pemerintah Pusat, Propinsi ataupun Kabupaten. Meskipun demikian, program mekanisasi pertanian secara bertahap perlu terus dikembangkan karena semakin terbatasnya tenaga kerja di pedesaan terutama buruh tani, meningkatnya efisiensi dan efektivitas pemanfaatan alat itu sendiri, meningkatnya tuntutan konsumen terhadap mutu dan kualitas produk pertanian. Pada tahun 2012 ini jumlah alat mesin pertanian yang diberikan ke tingkat petani mengalami sedikit penurunan seperti pada tahun 2013, hal ini disebabkan karena alat mesin
32
tahun-tahun sebelumnya masih ada serta masih layak untuk digunakan dan diarahkan untuk pengembangan sarana reparasi alat mesin tersebut. Pengembangan kegiatan mekanisasi pertanian diharapkan dapat berdampak positif terhadap kualitas penerapan teknologi usaha tani, pendapatan usaha tani, peningkatan minat generasi muda untuk terus bekerja di sektor pertanian, sehingga diharapkan usaha tani dan bisnis pertanian dapat terus berkembang serta dapat meningkatkan minat para generasi muda agar tidak merasa minder dalam bergumul dengan lumpur dan bercinta dengan tanah dan terus bekerja pada sektor pertanian dalam merajut masa depan keluarga. Pada tahun 2013, sebagai langkah strategis dalam mengelola alat mesin pertanian di Kabupaten Bandung, Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan mengembangkan Unit Pelayanan Jasa Alsintan yang bertujuan untuk mengelola dan memelihara alat dan mesin pertanian yang telah ada di lapangan. Dengan UPJA ini, kelompok-kelompok masyarakat mendapatkan alternatif usaha dalam bidang penyewaan alat mesin pertanian tersebut. Hal tersebut dapat memberikan efek positif pada kedua belah pihak. Di sisi petani, akan mempermudah pekerjaan dan mempercepat waktu usahanya dengan pembayaran sewa setelah panen, di sisi lain, UPJA akan mendapatkan keuntungan sebagai penghasilan dan pemeliharaan aset UPJA. Kehadiran UPJA di perdesaan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan petani, kelompok tani dan gabungan kelompok tani dalam rangka penyediaan pelayanan jasa alsintan guna mendukung tercapainya pemenuhan produksi pertanian yang terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, menurunnya daya dukung lahan, rendahnya intensitas pertanaman, dan kepemilikan alsintan secara individu yang kurang menguntungkan. Tabel 2.9 Perbandingan Jumlah Alat Mesin Pertanian di tingkat petani Kabupaten Bandung Tahun 2012 dan Tahun 2013 No 1
Jenis Alsintan Alat Pengolahan Lahan
Tahun 2012 (Unit) Yang dapat Total Rusak digunakan 456
402
54
Tahun 2013 (Unit) Yang dapat Total Rusak digunakan 593
539
54
2 3 4 5 6 7
Alat Pemupukan 243 135 108 243 135 108 Alat Pemberantasan OPT 46.472 45.669 803 46.556 45.753 803 Pompa Air 425 411 14 571 533 38 Sabit Bergerigi 219 194 25 998 987 11 Alat Pengolah Padi 1.700 1.664 143 1.726 1.519 207 Alat Pengolah Jagung 18 18 0 18 18 0 Alat Pengolah Non 8 154 135 19 154 135 19 Jagung 9 Perajang 3 3 0 3 3 0 10 Grader 409 363 46 409 363 46 Sumber: UPTD Alat mesin Pertanian dan Pengendalian OPT; Statistik DISTANBUNHUT Kab. Bandung 2013.
33
Pada Tahun 2013, pemerintah Kabupaten Bandung melalui Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan telah memberikan stimulan berupa alat mesin pertanian kepada kelompok tani sebagai langkah dalam pengembangan UPJA, berupa alat dan mesin baik pada sub sistem onfarm maupun sub sistem pasca panen dan pengolahan hasil. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas usaha kelompok tani. Stimulan alat dan mesin tersebut berupa: 1. Traktor sebanyak 36 unit berasal dari APBD Kabupaten Bandung. 2. Alat pengendalian OPT berupa hand sprayer, emposan, dan power sprayer sebanyak 92 unit yang berasal dari APBD Kabupaten Bandung. 3. Alat dan mesin perbengkelan pertanian sebanyak 5 paket. Lebih lanjut, pengembangan UPJA di Kabupaten telah dilaksanakan di Kecamatan Kutawaringin dan Ciparay. Kedua UPJA center tersebut diharapkan dapat memberikan efek positif untuk menjawab kebutuhan masyarakat tani akan alat dan mesin pertanian. Strategi lainnya, pengembangan bengkel keliling kabupaten menjadi target utama disamping penataan ulang unit-unit PJA. Tujuan dari bengkel keliling tersebut adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat tani dalam merenovasi/memperbaiki alat mesin pertanian yang mengalami kerusakan. Operasionalisasi bengkel keliling akan dibangun kerjasama antara dinas, BKPPP, dan swasta sebagai supplier spare part. 4. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Salah satu upaya pengamanan produksi beras daerah adalah pengendalian OPT. Pemerintah Kabupaten Bandung berupaya seefektif dan seefisien mungkin dalam mengendalikan serangan OPT maupun menangani bencana alam. Hal ini memberikan efek positif dalam meminimalisasi kemungkinan terjadinya puso yang diakibatkan oleh serangan OPT dan bencana alam kekeringan/banjir. Melalui pembentukan Brigade Proteksi Tanaman di tingkat kecamatan dan desa se-Kabupaten Bandung pengendalian dan penanganan tersebut dapat segera dilakukan secara cepat, tepat, dan akurat. Brigade proteksi tanaman merupakan agen pemerintah yang bertugas sebagai pemantau, pengendali, dan pelaksana pengamanan produksi pangan di Kabupaten Bandung, terutama yang diakibatkan oleh serangan OPT dan bencana alam. Agen tersebut terdiri dari Petugas Pengendali OPT (POPT) dinas dan para petani di desa dan kecamatan se-Kabupaten Bandung. Setiap kejadian di lapangan akan segera
34
ditangani secara cepat dan tepat dengan memotong jalur koordinasi/birokrasi. Teknologi pengendalian OPT yang telah dilaksanakan adalah: (1) Spot Stop; (2) Trips Barrier System; (3) Agen hayati. Selain itu, pengembangan desa-desa PHT yang bekerjsama dengan BPTPH Provinsi Jawa Barat menjadi salah satu prioritas langkah untuk mengendalikan serangan OPT. Melalui kombinasi Desa PHT dan brigade proteksi tanaman diharapkan akan mengurangi dampak negatif dari serangan OPT dan bencana alam terhadap jumlah produksi dan keadaan puso. Berikut stimulan yang telah disalurkan untuk pengendalian OPT, yang berasal dari APBD Kabupaten Bandung dan APBN, adalah: Tabel 2.10 Stimulan Pengendalian OPT Tahun 2013 No Sarana 1.
2. 3.
Sarana pengendali agen hayati a. Trichogaamma sp b. metharizium sp c. Beauveria sp Teknologi trip barrier system Obat-obatan pengendalian OPT a. Rodentisida anti oagulan b. Insektisida c. Fungisida d. Rodentisida/pengasapan
Volume 900 pias 800 bungkus 800 bungkus 20 paket 300 kg 300 kg 250 kg 40 kg
Sumber: UPTD Alat mesin Pertanian dan Pengendalian OPT
Sub sistem pengelolaan infrastruktur dasar pertanian 1. Pengelolaan Infrastruktur Pengairan Pada sisi pengelolaan infrastruktur pengairan, Pelaksanaannya ditentukan oleh beberapa peraturan termasuk pengaturan kewenangan diantaranya. Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang SDA dan Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi mengamanatkan bahwa tanggung jawab pengelolaan jaringan irigasi tersier sampai ke tingkat usahatani (JITUT) dan jaringan irigasi desa (JIDES) menjadi hak dan tanggung jawab petani pemakai air (P3A) sesuai dengan kemampuannya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah daerah Provinsi dan Pemerintah daerah Kabupaten/Kota disebutkan bahwa kewenangan pengembangan dan rehabilitasi jaringan irigasi tingkat usahatani dan jaringan irigasi desa menjadi kewenangan dan 35
tanggung jawab instansi tingkat kabupaten/kota yang menangani urusan pertanian. Potensi sumber daya air permukaan di wilayah Kabupaten Bandung dari sisi kuantitas dapat dikatakan cukup baik apabila hanya dilihat secara jumlah volume keseluruhan dalam setahun. Namun apabila ditinjau dari periode waktu dan lokasi setiap Satuan Wilayah Sungai (SWS), kondisi ketersediaan sumber air ini diperkirakan mempunyai 3 macam fluktuasi yaitu fluktuasi tinggi, Sedang dan Rendah. Potensi sumber daya air yang dimiliki oleh Kabupaten Bandung berupa mata air dan situ-situ serta curah hujan. Untuk pemanfaatan sumber air tersebut telah dibangun bangunan pengambilan utama berupa bendungan, embung dan bangunan irigasi-irigasi, bendungan-bendungan yang ada ini dimanfaatkan selain untuk mengairi lahan pertanian juga untu pembangkit tenaga listrik. Potensi air permukaan sungai dan air permukaan bendungan yang ada di Kabupaten Bandung dapat dilihat pada Tabel 3.8 di bawah ini. Tabel 2.11 Potensi Air Permukaan Bendungan Desa di Kabupaten Bandung Lokasi Nama Sungai/ No Kecamatan Desa DAM 1 Soreang - Sadu - Cibeureum - Buninagara - Leuwikuya 2 Pasirjambu - Buninagara - Leuwikuya 3 Ciwidey - Panyocokan - Cigadog 4 Margaasih - Lagadar - Malang 5 Katapang - Parungserab - Leuwikuya - Banyusari - Kiarawuyeuh - Juntigirang - Juntihilir - Banyusari - Baros 6 Majalaya - Wangisagara - Wangisagara 7 Ciparay - Pakutandang - Cirasea 8 Pacet - Maruyung - Wanir 9 Rancaekek - Rancaekek kulon - Ciajasana 10 Ibun - Lampegan - Cikaro 16 Cangkuang - Jatisari - Ciherang
Volume (Juta m3) 20,0947 97,4462 30,2745 20,1326 18,6567 8,7039 6,5847 2,1192 63,8793 93,5105 71,1452 46,1848 125 95,7811
Pengelolaan sumberdaya air ini, dilaksanakan program pengontrolan dan pemeliharan juga rehabilitasi saluran-saluran irigasi tersier yang ada melalui pengembangan jaringan irigasi dan pembuatan cek dam/dam parit, agar supaya tidak terjadi kekeringan pada musim 36
kemarau dan banjir pada musim penghujan dan juga pembuatan sumur pantek serta embung. Tujuan utama pengelolaan/pemeliharaan air irigasi ini adalah untuk (1) meningkatkan indeks pertanaman (IP) dan (2) mengurangi dampak bencana alam kekeringan dan banjir. Upaya pemeliharaan saluran irigasi tersebut, dianggarkan baik berasal dari APBD Kabupaten Bandung, APBD Provinsi Jawa Barat, maupun APBN. Pada Tahun 2013, ada beberapa kegiatan pengelolaan air irigasi tersier di beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Bandung, yakni kegiatan rehabilitasi Jaringan Irigasi, pembangunan embung; dan revitalisasi kelembagaan pengelolaan air irigasi - P3A mitra cai -. Alokasi anggaran dari APBD Kabupaten Bandung, APBD Provinsi Jawa Barat, dan APBN Kementerian Pertanian 1. Pengembangan/Rehabilitasi Jaringan Irigasi seluas 2.500 hektar di Kecamatan Solokanjeruk, Majalaya, Cicalengka, Rancaekek, Pacet, Baleendah, Kutawaringin, Ibun, Cikancung, Cimenyan, Cileunyi, Cimaung, Pasirjambu, Arjasari, Bojongsoang, Cangkuang, dan Paseh. 2. Pembangunan jaringan irigasi air permukaan, berupa rumah pompa dan jaringannya sebanyak 25 paket di Kecamatan Cicalengka, Bojongsoang, Solokanjeruk, Rancaekek, Ibun, Paseh, Pacet, Kutawaringin, Baleendah, Cikancung, Ciparay, dan Majalaya; 3. Stimulan pompa air sebanyak 57 unit; 4. Revitalisasi P3A Mitra Cai di Kecamatan Pangalengan, Ciparay, Pasirjambu, Rancabali, Cikancung, Rancaekek, dan Cikancung. 5. Pembuatan cek dam/dam parit sebanyak 8 paket di Kecamatan Cimenyan, Arjasari, Cicalengka, Cangkuang, Cimaung, dan Nagreg. Pengelolaan Lahan Pengelolaan lahan ditujukan untuk mengoptimal penggunaan lahan bagi pengusahaan agribisnis tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan, sehingga dapat meningkatkan Indeks Pertanaman (IP) dan berproduktif. Lebih lanjut, pengotimalisasi lahan tersebut termasuk pembangunan infrastruktur dasar – jalan, optimalisasi, konservasi –. Pengelolaan lahan tersebut juga merupakan langkah strategis yang dilakukan oleh Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan untuk menjaga dan mengamankan ketersediaan pangan lokal. Langkah strategis yang dilakukan bersumber dari APBD Kabupaten Bandung dan APBN Kementerian Pertanian, yang meliputi: i. Pembangunan/rehabilitasi jalan usaha tani Pada Tahun 2013, rehabilitasi jalan usaha tani dilaksanakan sepanjang 21 km di Kecamatan Katapang, Ciparay, Rancaekek,
37
ii.
Arjasari, Kutawaringin, Nagreg, Ibun, Cikancung, Paseh, Cicalengka, Ciparay, Katapang. Optimalisasi lahan tidak produktif, yang dilaksanakan seluas 1.060 hektar dengan mengembangkan budidaya pertanian tanaman pangan alternatif, seperti ubi kayu yang dilaksanakan di Kecamatan Kutawaringin, Bojongsoang, Baleendah, Cimaung, Cicalengkaa, Paseh, Soreang, Margaasih, Cangkuang, Pacet, Katapang, Rancaekek, Solokanjeruk, Cikancung, Ibun, Cileunyi, Dayeuhkolot, Cilengkrang, Arjasari, dan Margahayu.
Peningkatan kapasitas dan kapabilitas petani melalui desiminasi teknologi budidaya tanaman Berdasarkan data yang ada, diketahui bahwa pada tahun 2013 penerapan teknologi budidaya pertanian terutama padi dan palawija melalui metode PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) mengalami kenaikan dalam skala presentase di tingkat petani terutama dalam hal pemupukan berimbang, begitupun dalam hal penggunaan benih bermutu, namun demikian ternyata penggunaan benih bermutu pun terkadang hasilnya tidak signifikan ini dimungkinkan karena benih tersebut tidak sesuai dengan iklim mikro di tempat/lahan para petani itu berada. Penerapan teknologi pertanian tanaman pangan melalui metode PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) di tingkat petani dapat dilihat pada Tabel 2.12 Tabel 2.12 Penerapan Teknologi di Tingkat Petani thn Penerapa No Metode Teknologi n Tahun 2012 (Ha) 1 2 3 4
Pupuk Berimbang Benih Bermutu/Berlabel Penerapan SRI SLPTT
2012-2013 Penerapa Perkembanga n Tahun n Tahun 2013 2013 (Ha) thdp 2012
11.650 12.433
22.637 24.477
194,31 196,87
700 15.200
2.500 16.600
142,86 109,21
Sumber: Bidang Pangan DISTANBUNHUT Kabupaten Bandung, 2013
Berdasarkan data Tabel 2.12 dapat dilihat bahwa desiminasi teknologi khususnya pada peningkatan produktivitas tanaman pangan dapat dikatakan telah menyebar hampir ke seluruh kawasan/lahan pertanian terutama lahan sawah di Kabupaten Bandung. Hal ini terbukti penggunaan pupuk berimbang dan benih bermutu/berlabel meningkat dari luas lahan sawah yang telah menerapkan teknologi pupuk berimbang
38
11.650 hektar menjadi 22.637 hektar pada tahun 2013 atau 62,92% dari total luas lahan sawah di Kabupaten Bandung dan 12.433 hektar luas lahan sawah yang menerapkan teknologi benih bermutu/berlabel menjadi 24.477 hektar pada Tahun 2013 atau 68,31% dari total luas lahan sawah. Lebih lanjut, 21.000 hektar atau 58,73% dari total luas lahan sawah telah mengikuti dan menerapkan teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). SL-PTT tersebut termasuk didalamnya SL-PTT padi sawah non hibrida, padi sawah hibrida, padi ladang, dan SL-PTT jagung. 1.000 hektar juga telah menerapkan teknologi System Rice of Intensification (SRI) yang merupakan cikal bakal pengembangan padi organik di Kabupaten Bandung. Pada Tahun 2013, Penerapan SRI fokus pengembangan pertanian di Kecamatan Bojongsoang, Ciparay, Baleendah, Banjaran, dan Solokanjeruk, yang memberikan dampak positif bagi petani. Petani secara antusias mengembangkan pertanian padi organik. Jumlah kelompok tani yang telah mendapat sertifikasi organik dari Inofice sebanyak 2 kelompok di Kecamatan Ciparay dan Bojongsoang. Salah satu diantaranya telah mendapatkan kerjasama dengan eksportir PT. Amazing Farm dan PT. Sarinah Agro Mandiri dalam hal pemasaran, yaitu Kelompok Tani “Organik Sarinah” Kecamatan Ciparay dengan produksi rata-rata 11,44 kuintal/ha GKP. Lebih lanjut, untuk meningkatkan keberdayaan kelembagaan pertanian organik di Kabupaten Bandung berkembang ke wilayah Kecamatan Bojongsoang melalui gabungan kelompok tani (Gapoktan) harapan jaya. Berbagai fasilitasi telah diberikan seperti, SL-Iklim, SLPTT, SLPHT, SRI dan pengamatan rutin oleh Brigade Proteksi “sabilulunan”. Rata-rata produksi mencapai 10 ton/ha. Selain itu, stimulan lainnya yang telah diberikan adalah 2 unit rumah kompos, traktor, pengendali OPT, alat dan mesin pasca panen dan pengolahan hasil. Saat ini, telah memproduksi beras sehat dan bermitra dengan koperasi R.S. Hasan Sadikin Bandung dalam sistem pemasaran.
39
Gambar 2.6 pengembangan pertanian organik Kelompok tani Sarinah
Peningkatan Sarana Prasarana Pasca Panen dan Pengolahan Hasil Penanganan panen dan pasca panen di Kabupaten Bandung pada tahun 2013 untuk komoditas padi dan jagung memperlihatkan perkembangan yang cukup mengembirakan, hal ini salah satunya dapat dilihat dari tingkat penurunan angka kehilangan hasil dalam hal pemanenan serta pengolahan pasca panennya. Berdasarkan data yang ada, tingkat kehilangan hasil komoditas padi pada tahun 2011 dalam penanganan pasca panen mencapai 11,15% dan pada tahun 2012 ini menurun 0,75% menjadi 10,75% dan menjadi 10,47% pada tahun 2013. Sedangkan pada komoditas jagung angka kehilangan hasil tahun 2010 sebesar 4,20% menurun menjadi 4,17% pada tahun 2012 (turun 0,03%), ditunjukkan pada Tabel 3.11. Nilai-nilai penurunan kehilangan hasil tersebut diukur pada kelompok tani yang mendapatkan intervensi bantuan. Penurunan tingkat kehilangan hasil tersebut didukung adanya penggunaan alat mesin pertanian yang semakin modern, tingkat kesadaran petani dan ketrampilan petani yang semakin meningkat sejalan
40
dengan upaya pembinaan yang cukup intensif dari Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bandung. Tabel 2.13 Realisasi Tingkat Kehilangan Hasil Komoditas Padi dan Jagung Tahun 2011, 2012, dan 2013. No
Komponen
1 Panen 2 Perontokan 3 Pengeringan 4 Pengilingan JUMLAH
Tahun 2011 Padi Jagung 2,35 0,29 3,35 2,76 3,03 0,71 2,42 0,41 11,52 4,17
Tahun 2012 Padi Jagung 0,58 0,27 3,33 2,76 3,83 0,70 3,01 0,41 10,75 4,14
Tahun 2013 Padi Jagung 0,51 0,27 3,28 2,76 3,82 0,70 2,86 0,41 10,47 4,14
Sumber : Bidang Tanaman Pangan DISTANBUNHUT Kabupaten Bandung, 2013
Pada tahun 2013, Pemerintah Kabupaten Bandung yang didukung oleh anggaran yang bersumber dari APBN Kementerian Pertanian dan APBD Provinsi Jawa Barat telah memberikan stimulan barang dan peningkatan keterampilan dan pengetahuan teknologi pasca panen dan pengolahan hasil sebagai upaya dalam pengembangan dan pemberdayaan kelompok-kelompok pengolahan hasil berbasis komoditas tanaman pangan, berupa: 1. Penggilingan padi/power thresher/peda thresher sebanyak 11 unit di Kecamatan Kutawaringin, Cangkuang, Banjaran, Solokanjeruk, dan Soreang; 2. Mesin Parut ubi kayu sebanyak 2 unit di Kecamatan Cicalengka dan Pacet; 3. Mesin pemipil jagung sebanyak 1 unit di Kecamatan Soreang dan chipper sebanyak 1 unit di Kecamatan Cimenyan; 4. Combine harvester sebanyak 1 unit di Kecamatan Solokanjeruk; 5. Mesin pengolahan hasil 1 paket di Kecamatan Kertasari dan sarana pengemasan sebanyak 1 paket di Kecamatan Ciparay. 6. Stimulan unit pasca panen dan pengolahan hasil sebanyak 1 paket di Kecamatan Solokanjeruk yang terdiri dari bangunan, sepaket alat pasca panen dan pengolahan hasil padi.
41
Sasaran Strategis 2 Meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif produk pertanian melalui pengembangan agribisnis dalam aglomerasi ekonomi pertanian Sasaran strategis ini diarahkan untuk mengembangkan kelompokkelompok usaha agribisnis yang berbasis komoditas hortikultura dan perkebunan unggul lokal Kabupaten Bandung. Agribisnis hortikultura dan perkebunan dikembangkan berdasarkan pada potensi satu kawasan tertentu. Pengembangan Kawasan Pertanian menekankan transformasi desa-desa dengan memperkenalkan unsur-unsur urbanisme ke dalam lingkungan pedesaan yang spesifik yang didalamnya menekankan kekuatan lokal untuk berkembang aktif dalam struktur ekonomi wilayah. Selain itu, pertimbangan kaidah-kaidah konservasi air dan tanah menjadi prioritas dalam pengembangan kawasan hortikultura dan perkebunan di Kabupaten Bandung. Penentuan kawasan-kawasan didasarkan pada: (1) potensi yang dimiliki; (2) sumberdaya pertanian yang memadai; (3) sesuai kaidah konservasi dan tercantum dalam RTRW Kabupaten Bandung; dan (4) memiliki peluang komparatif dan kompetitif. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap pencapaian sasaran strategis 2 seperti yang telah dilakukan dan dapat dilihat pula dari berbagai fakta yang ada, baik berupa keberhasilan maupun kekurangberhasilan pelaksanaan pembangunan pertanian di Kabupaten Bandung, apabila dibandingkan dengan tahun 2013 maupun terhadap sasaran/target yang telah ditentukan, ataupun juga terhadap realisasi pencapaian dalam pelaksanaan kegiatan pada tahun 2013 ini. Tabel 2.14 pengukuran sasaran strategis 2 Tahun 2013 Sasaran Strategis
Indikator Kinerja
Meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif produk pertanian melalui pengembangan agribisnis dalam aglomerasi ekonomi pertanian
a.
Jumlah rata-rata capaian produktivitas komoditas unggulan: - Sayuran - Buah-buahan - Biofarmaka - Tan. Hias - Kopi - Teh - Cengkeh - Tembakau b. Jumlah kelompok tani yang telah memiliki registrasi kebun Hortikultura (kel)
Target Kinerja
204,07 100,00 3,13 16,81 1,190 2,220 0,201 0,900
30
Realisasi
%
0,993 2,223 0,194 0,904
83,44 100,14 96,52 100,44
37
123,33
42
Sasaran Strategis
Target Kinerja
Indikator Kinerja c.
Jumlah kelompok usaha rumah kemasan dan UPH: Hortikultura (kel) Perkebunan (kel)
Realisasi
8 8
10 8
%
125 100
Keterangan: *) data sampai dengan triwulan II (Juni 2013)
Pencapaian Perkebunan
Jumlah
Produksi
Komoditas
Hortikultura
dan
Produksi serta produktivitas komoditas pertanian khususnya komoditas hortikultura dan perkebunan yang diunggulkan di Kabupaten Bandung tahun 2013 ini terjadi peningkatan yang cukup signifikan walaupun menghadapi kendala-kendala yang cukup sulit seperti keadaan alam yang cukup ekstreem khususnya iklim yang kering, namun disisi lain iklim tersebut membantu dalam pertumbuhan serta perkembangan bunga dan pembuahan komoditas hortikultura dan perkebunan sehingga umumnya mampu menaikan produksi dan produktivitasnya asalkan pengairannya tetap terjaga dan terpenuhi. Selain itu pula ada tantangan internal diantaranya adalah peralihan komoditas karena alasan-alasan tertentu, pengurangan lahan produktif karena digunakan untuk keperluan lainnya serta terkadang penanaman/pertanian komoditas hortikultura berbenturan dengan isu-isu tentang kaidah-kaidah konservasi. Berikut diantaranya peningkatan produksi dari komoditas hortikultura dan perkebunan antara lain; kentang dari 110.793 ton menjadi 131.007 ton, bawang merah dari 20.887 ton menjadi 39.222 ton, produksi tomat dari 94.124 ton menjadi 94.486 ton, strawberry produksinya naik 429,9%, dari 35.342 ton menjadi 151.959 ton serta produksi tanaman perkebunan rakyat yaitu; teh 15.708,50 ton naik 100,07% (bahan mentah) dari tahun 2011, kopi mencapai 25.449,76 ton naik 136%, serta tembakau naik sebesar 123% dari tahun 2012. Lima komoditas utama sayuran di kabupaten Bandung adalah kentang, tomat, cabe, bawang merah, dan kubis. Kelima komoditas tersebut mengalami peningkatan dalam hal produksi dan produktivitas. Disamping itu, terdapat komoditas-komoditas spesifikasi lokal dan eksklusif yang dikembangkan atas kerjasama antara petani dengan pelaku pasar (ritel, industri, dan eksportir), seperti wortel, brokoli, paprika, dan sayuran eksklusif jepang. Komoditas tersebut tersebar di Kecamatan Pangalengan, Ciwidey, Pasirjambu, Rancabali, Cimenyan, dan Kertasari.
43
Penetapan Kabupaten Bandung sebagai kabupaten stroberi pada Tahun 2012 membawa perubahan terhadap fokus strategis pembanganun hortikultura. Pada Tahun 2013, stroberi menjadi prioritas pengembangan yang diimplementasikan ke dalam beberapa program/kegiatan, yaitu (1) pengembangan penangkaran stroberi yang tersebar di Kecamatan Rancabali dan Pasirjambu. Identifikasi benih/bibit unggul stroberi merupakan salah satu langkah aksi untuk menghasilkan benih/bibit spesifik local Kabupaten Bandung. Tahun 2013 melalui kerjasama sister city dengan pemerintah Korea Selatan berupaya mengadopsi benih stroberi yang berasal dari Korea ke Kabupaten Bandung; (2) Pengembangan intensifikasi dan ekstensifikasi stroberi melalui fasilitas green house, benih/bibit, dan sarana pengairan menuju stroberi organik; dan (3) fasilitasi pengembangan pasca panen dan pengolahan hasil stroberi termasuk rumah kemasan stroberi. Perkembangan yang cukup signifikan diperlihatkan dengan pencapaian jumlah produksi sebanyak 151.959 ton dari luas areal 451 hektar.
Tabel 2.15 Realisasi Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Komoditas Sayuran di Kabupaten Bandung Tahun 2013 No 1
2
3
4
5
6
Uraian Komoditi Bawang Merah Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Kentang Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Kubis Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Cabe Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Tomat Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Bawang Daun Luas Tanam (ha)
Realisasi 2010
Realisasi 2011
Realisasi 2012
Realisasi 2013
% Realisasi 2013/2012
2,098 2,378 26,990 113.98
2,827 1,799 20,887 116.10
3,116 3,265 39,222 120.13
1,378 2,767 30,117 108.84
48.74 153.81 144.19 93.75
4,834 5,606 114,919 204.99
6,527 5,346 110,793 207.25
6,711 7,036 131,007 186.19
3,018 4,865 98,423 202.31
46.24 91.00 88.83 97.62
4,424 4,424 102,747 232.2
5,394 4,592 109,326 238.08
5,266 5,242 125,606 239.61
2,564 3,850 88,993 231.15
47.53 83.84 81.40 97.09
711 969 20,684 213.58
787 740 20,682 87.74
226 691 20,376 294.88
494 530 13,622 257.01
62.77 71.62 65.86 292.91
1,344 1,499 86,960 580.12
1,295 1,339 94,124 226.40
1,174 1,097 94,486 246.58
831 1,034 57,948 208.10
64.17 77.22 61.57 91.92
2,764
3,147
3,549
3,278
104.16
44
No
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Uraian Komoditi Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Kembang Kol Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Petsai/Sawi/Sosin Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Wortel Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Lobak Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Kacang Merah Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Kacang Panjang Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Jamur Luas Tanam (m 2) Luas panen (m 2) Produksi (ku) 2 Produktivitas (kg/m ) Terung Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Buncis Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Ketimun Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Labu Siam Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Kangkung
Realisasi 2010 2,696 38,479 142.73
Realisasi 2011 2,969 49,570 166.96
Realisasi 2012 3,512 54,115 154.09
Realisasi 2013 3,095 52,458 169.49
% Realisasi 2013/2012 104.24 105.83 101.52
294 289 5,419 187.51
466 418 8,091 193.56
512 511 9,958 194.88
454 461 7,103 154.08
97.42 110.29 87.79 79.60
2,788 2,787 55,536 199.27
3,128 3,015 61,396 203.63
3,176 3,218 67,581 210.01
2,614 2,703 54,950 203.29
83.57 89.65 89.50 99.83
1,566 1,457 31,738 217.83
2,131 2,006 42,524 211.99
1,745 1,796 40,316 224.48
1,663 1,568 32,988 210.39
78.04 78.17 77.58 99.25
365 345 7,525 218.12
376 360 8,027 222.96
306 313 7,228 230.91
449 393 8,424 214.35
119.41 109.17 104.95 96.14
1,877 2,609 23,797 91.21
1,547 1,191 10,835 90.97
1,690 1,538 9,833 63.93
439 1,577 15,249 96.70
28.38 132.41 140.74 106.29
180 603 4,744 78.67
179 139 2,786 117.59
119 156 3,620 232.03
69 125 3,091 247.29
38.55 89.93 110.94 210.30
6,415 5,172 28,014 10.16
8,971 8,689 15,643 18.00
11,413 20,205 29,530 14.62
10,881 12,621 184,562 14.62
121.29 145.25 1,179.82 81.23
117 99 2,442 246.66
173 143 4,673 135.05
160 186 4,964 266.89
112 120 3,602 300.18
64.74 83.92 77.08 222.27
478 546 11,287 206.72
696 639 14,857 128.27
850 789 18,279 124.05
582 669 14,866 148,660
83.62 104.69 100.06 115,896.91
544 456 12,885 282.51
561 524 24,388 207.80
460 538 18,164 206.05
254 389 13,528 195.16
45.28 74.24 55.47 93.92
21 353 52,306 1481.75
55 62 66,493 202.66
87 69 60,089 169.52
35 49 44,326 202.41
63.64 79.03 66.66 99.88
45
No
Uraian Komoditi
Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) 19 Bayam Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) 20 Seledri Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) 21 Cabe Rawit Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Jumlah Sayuran Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) 22 Strowberry**) Luas Tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kwt/ha) Tahun 2013 s.d Septemb er
Realisasi 2010 193 224 2,752 122.9
Realisasi 2011 266 242 9,092 135.91
Realisasi 2012 260 255 9,495 131.90
Realisasi 2013 340 350 7,345 122.21
% Realisasi 2013/2012 127.82 144.63 80.78 89.92
106 120 793 66.08
153 128 1,250 97.64
259 267 2,953 110.61
151 167 1,674 91.51
98.69 130.47 133.91 93.72
1,624 1,866 35,501 190.25
1,560 1,596 30,479 190.97
1,516 1,441 28,516 177.85
1,211 1,115 21,382 191.77
77.63 69.86 70.15 100.42
377 324 6,619 67.61
432 424 11,943 68.45
282 324 8,150 66.50
169 268 6,357 61.99
39.12 63.21 53.23 90.56
33,120 34,822 672,137 19.30
40,671 36,361 717,859 197.43
42,877 52,449 783,488 149.38
30,986 38,716 761,008 196.56
76.19 106.48 106.01 99.56
156 1,764 27,949 158.44
172 188 35,342 179.93
148 141 151,959 210.92
74 61 113,122 145.54
43.02 32.45 320.08 80.89
Sumber : Bidang hortikultura Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bandung 2013 Ket **) Termasuk dalam komoditas tanaman buah-buahan semusim
Produksi komoditas buah-buahan unggulan seperti alpukat, durian dan strawberry di Kabupaten Bandung pada tahun 2013 umumnya dapat melampaui target serta memperlihatkan realisasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2012, tetapi ada juga yang tidak bisa melampaui realisasi tahun 2012, ini disebabkan oleh kondisi alam yang cukup kering sehingga dalam proses pembungaan dan pembuahan tanaman banyak yang gugur karena evavotranspirasi dari tanaman itu sendiri cukup tinggi, disamping itu pula sudah banyak tanaman yang tua dan tidak produktif lagi serta tanaman muda sebagai penggatinya belum produktif menghasilkan buah. Untuk selengkapnya mengenai realisasi produksi, dapat dilihat pada Tabel 2.16 di bawah ini.
46
Tabel 2.16 Realisasi Produksi Tanaman Buah-buahan di Kabupaten Bandung Tahun 2013 *) Produksi ( Kuintal ) No
Komoditi
1 Alpukat 2 Belimbing 3 Duku/Langsat 4 Durian 5 Jambu Biji 6 Jambu Air 7 Jeruk Besar 8 Mangga 9 Manggis 10 Nangka/Campedak 11 Nenas 12 Pepay a 13 Pisang 14 Rambutan 15 Salak 16 Sawo 17 Sirsak 18 Sukun 19 Petai JUMLAH
Tan. Yg Menghasilkan
Realisasi Tahun 2012
Realisasi Tahun 2013
Realisasi Tahun 2012
Realisasi Tahun 2013
32,982 1,533 321 5,647 11,016 3,217 4,991 10,674 316 22,605 3 4,107 63,028 4,598 147 2,080 2,260 8,688 4,569 182,782
21,313 3,415 152 8,205 15,418 5,786 4,139 21,668 13 18,970 12 3,793 62,357 3,272 62 2,531 1,510 8,387 7,662 188,665
65,056 6,987 558 15,377 50,762 14,473 14,810 37,911 1,393 49,036 106 19,134 222,743 5,812 3,377 5,569 13,563 25,558 13,366 565,591
56,744 8,152 466 22,624 65,360 20,868 14,517 45,607 124 50,354 689 20,498 357,928 10,113 5,472 5,604 10,938 26,894 28,759 751,711
Persen Realisasi Produksi 2013 Thdp 2012 64.62 222.77 47.35 145.30 139.96 179.86 82.93 203.00 4.11 83.92 400.00 92.35 98.94 71.16 42.18 121.68 66.81 96.54 167.70 103.22
Sumber : Bidang Hortikultura,DISTANBUNHUT Kabupaten Bandung, 2013 *) Data sampai dengan s.d Triwulan II
Tahun 2013 menjadi ajang untuk menciptakan kawasan buahbuahan lokal di Kabupaten Bandung. Alpukat, jambu kristal, dan jeruk menjadi komoditi unggulan yang dikembangkan. Kertasari dipusatkan dalam pengembangan alpukat. Mulai dari penangkaran bibit alpukat hingga pengembangan kawasan. Cileunyi merupakan salah satu produsen jeruk besar di Kabupaten Bandung diarahkan untuk menghasil bibit spesifik lokal melalui jeruk besar cikoneng. Stimulan green house, bibit, dan sarana prasarana pendukung lainnya. Cimaung dan Banjaran dikembangkan sebagai sentra jambu kristal/jambu biji. Bila dilihat dari potensi tanaman hias. Kabupaten Bandung merupakan salah satu sentra produksi tanaman hias di tingkat Provinsi Jawa Barat dan Nasional. Produksi komoditas tanaman hias dan obatobatan unggulan seperti Anggrek, Krisan, Mawar dan Gerbera. Krisan menjadi primadona pengembangan tanaman hias. Kawasan 3.000 m 2 diperuntukan bagi pengembangan krisan. Penangkaran benih, intensifikasi, dan ekstensifikasi merupakan langkah strategis. Pada Tahun 2013, Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan mengembangkan kebun percobaan yang diperuntukan khusus sebagai laboratorium lapangan tanaman hias. Adopsi teknologi dan adaptasi benih/bibit tanaman hias baru di Kabupaten Bandung diujicobakan di kebun
47
percobaan tersebut. Dengan luas kurang lebih 1 hektar yang berlokasi di Kecamatan Pasirjambu, berbagai tanaman hias dikembangkan. Disamping itu, komoditas tanaman obat di Kabupaten Bandung tahun 2013 yaitu diantaranya jahe, lengkuas, kencur, kunyit umumnya memperlihatkan realisasi produksi yang sedikit menurun dibanding target dan realisasi tahun 2012 ini dikarenakan cuaca/iklim yang cenderung kemarau basah sehingga daya dukung terhadap pertumbuhan tanaman hias dan biofarmaka berkurang, dan dilapangan banyak petani yang lebih banyak menanam palawija. Realisasi produksi tanaman hias tersaji pada tabel 2.17. Tabel 2.17 Realisasi Produksi Tanaman Hias di Kabupaten Bandung Tahun 2013 Perkemb Realisasi Luas realisasi Produksi No Komoditas Tanam Target thd Target 2013 (m2) (% ) (Tangkai) 1 Anggrek 2,327 57,545 22,542 39.17 2 Anthurium 116 3,614 1,741 48.17 Bunga 3 Gladiul 195 6,040 222 3.68 4 Helicania 176 6,360 1,083 17.03 5 Krisan 3,778 1,200 196,805 16,400.42 6 Mawar 1,103 10,825 12,650 116.86 7 Melati 126 1,148 1,315 114.58 8 Palem 350 358 1,422 397.21 9 Sedap Malem 1,924 260,554 46,943 18.02 10 Gerbera 701 14,138 5,802 41.04 11 Anyelir 246 29,737 8,894 29.91 12 Dracaena 34 Jumlah 11,042 391,519 299,453 76.49 Sumber : Bid. Hortikultura (s.d Tri. II), DISTANBUNHUT Kabupaten Bandung, 2013
Tabel 2.18 Realisasi Produksi Tanaman Obat Tahun 2013 *) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Komoditas Jahe Lengkuas Kencur Kunyit Lempuyang Temulawak Temu Ireng Kaji Beling
Luas Tanam Baru (m2) 31,017 5,478 3,780 14,335 1,436 1,802 750 225
Produksi (Kg) Target 232,006 51,381 58,826 141,030 1,710 53,008 952 884
Realisasi 126,229 3,341 6,320 84,738 3,689 8,058 1,250 505
Persen (%) Realisasi Thd Target 54.408 6.502 10.744 60.085 215.731 15.201 131.303 57.127
48
No
Komoditas
9 10 11
Kapulaga Sambiloto Mengkudu/ Pace Jumlah
Luas Tanam Baru (m2) 6,525 12 262 65,622
Produksi (Kg)
5,700 284 12,751
35 164 13,336
Persen (%) Realisasi Thd Target 0.614 57.746 104.588
558,532
247,665
44.342
Target
Realisasi
Sumber : Bid. Hortikultura, DISTANBUNHUT Kabupaten Bandung, 2013 (Datas.d Triwulan II)
Tanaman Perkebunan Upaya peningkatan fungsi lahan serta penanaman baru komoditas (Replanting) perkebunan di Kabupaten Bandung dilaksanakan dalam rangka optimalisasi penggunaan lahan perkebunan yang telah ada, agar supaya terjadi peningkatan produksi komoditas perkebunan, terutama produksi tanaman perkebunan unggulan Kabupaten Bandung. Dikarenakan kondisi iklim yang kurang mendukung untuk terjadinya proses pembuahan dan serangan OPT komoditi perkebunan seperti karat daun (22,22% total area pertanaman kopi), hama Pbko (20,47% areal terserang), embun jelaga (11,56% areal terserang) dan kutu dompolan (12,87%) mengakibatkan produktivitas kopo tidak dapat mencapai target walaupun telah dilaksankan pengendalian baik teknis, hayati, dan mekanis. Pencapaian produksi tanaman Perkebunan unggulan (Perkebunan Rakyat) tahun 2013 di Kabupaten Bandung adalah diantaranya sebagai berikut:
Tabel 2.19 Realisasi produksi komoditi perkebunan Produksi Tahun 2012 Kom oditi Cengkeh Kopi Tehe Tem bakau Jum lah
Hasil Olahan 62.05 6,362.44 3,141.70 1,320.67 10,887
Produksi Tahun 2013
Bahan Mentah
Hasil Olahan
Bahan Mentah
248.18 25,449.76 15,708.50 6,603.36 48,010
110.05 6,637.60 3,518.39 1,678.41 11,944
440.19 26,550.40 17,591.95 8,392.05 52,975
%Tase 2013 / 2012 Hasil Bahan Olahan Mentah (%) (%) 44% 177% 26% 104% 22% 112% 25% 127% 25% 110%
Provitas 2012 0.12 0.99 1.98 0.89 1.00
2013 0.19 0.99 2.22 0.91 1.08
Sumber. Bid. Perkebunan DISTANBUNHUT 2013
Pengembangan Agribisnis Berbasis Komoditas Hortikultura dan Perkebunan Sejalan dengan pemenuhan dalam pencapaian jumlah produksi, pengembangan agribisnis berbasis komoditas hortikultura juga menjadi sasaran dalam pembangunan pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
49
Pengembangan agribisnis ditujukan untuk meningkatkan keberdayaan kelembagaan petani. Manajemen kelembagaan petani dikelola, sehingga terjalin kerjasama/kemitraan bisnis di antara para pelaku usaha dalam satu kesatuan system agribisnis, di mulai dari sistem off-farm hulu, onfarm, on-farm hilir dan pasar. Seperti halnya komoditas tanaman pangan, pengembangan agribisnis hortikultura dan perkebunan tidak lepas dari pengelolaan faktorfaktor yang mempengaruhi pada sisi pencapaian produksi. Pengembangan pupuk organik (UPPO), pembangunan/rehabilitasi jaringan irigasi, dan pengembangan dan penyediaan sarana produksi benih menjadi fokus utama pada sub sistem off-farm hulu. Pada Tahun 2013, kegiatan yang menunjang peningkatan kapasitas sub sistem offfarm hulu dialokasikan dari anggaran yang bersumber dari APBD Kabupaten Bandung, APBD Provinsi Jawa Barat, dan APBN Kementerian Pertanian. 1. Alokasi Anggaran APBD Kabupaten Bandung a. Pembangunan embung 6 unit di Kecamatan Cimenyan, Pangalengan, Pasirjambu, Rancabali, Cimaung dan Kertasari; b. Fasilitasi bibit hortikultura: sayuran, buah-buahan, tanaman hias, dan biofarmaka (jahe) dan komoditas perkebunan: kopi, teh, dan cengkeh di Kecamatan Cikancung, Kutawaringin, Soreang, Pacet, Kertasari, Ciwidey, Cimaung, Cilengkrang, Cimenyan, Pasirjambu, Pangalengan, Rancabali, Arjasari, Cicalengka, dan Paseh; c. Pengembangan jaringan irigasi; d. Pembangunan/rehabilitasi jalan produksi dan jalan usaha tani; e. Pengembangan rumah kompos/ unit pengolahan pupuk organik 2. Alokasi Anggaran APBN Kementerian Pertanian dan Bantuan Provinsi Jawa Barat a. Konservasi lahan untuk mendukung pengembangan komoditi perkebunan seluas 100 hektar di Desa Cilengkrang Kecamatan Cilengkrang. b. Optimalisasi lahan di Kecamatan Cikancung, Pangalengan, dan Pasirjambu untuk mendukung pengembangan hortikultura seluas 80 hektar. Melalui pengembangan agribisnis berbasis hortikultura dan perkebunan tersebut, beberapa kelompok usaha telah berhasil mengembangkan unit-unit pasca panen dan pengolahan hasil dalam bentuk rumah kemasan (packing house) pada komoditas hortikultura dan UPH pada komoditas perkebunan. Kelompok-kelompok tersebut telah bekerjasama/berkemitraan dengan perusahaan, ekportir, dan industry
50
pengolahan lainnya. Lebih lanjut, kelompok usaha Jaya Alam Lestari Kecamatan Pasirjambu telah mendapatkan sertifikat organik untuk produk hortikulturan – sayuran – organik. Pengembangan keberdayaan kelembagaan pemasaran hasil hortikultura dan perkebunan dialokasikan dalam anggaran yang bersumber dari APBD Kabupaten Bandung dan APBN Kementerian Pertanian Tahun 2013. Pengembangan unit-unit pengolahan hasil dan rumah kemasan diarahkan untuk meningkatkan nilai tambah produk. Berbagai fasilitasi telah digulirkan pada kelompok-kelompok usaha hortikultura dan perkebunan. Peningkatan kapasitas pelaku usaha, stimulan mesin dan alat pasca panen dan pengolahan hasil, dan pengembangan jaringan kerjasama kemitraan. Berikut unit rumah kemasan di Kabupaten Bandung.
Tabel 2.20 Rumah Kemasan Hortikultura Kabupaten Bandung No 1. 2. 3. 4. 5.
Unit Rumah Kemasan Jaya Alam Lestari Madani Lyco Farm Adi Farm Barokah Tani Agro
Lokasi Pasirjambu Pasirjambu Pasirjambu Pangalengan Pasirjambu
Komoditi
Tujuan Pasar/ Kemitraan Supermarket Lyco Farm Supermarket Alamandah Luar Bandung
Sayuran Sayuran Sayuran Sayuran Sayuran, Stroberi 6. Hataki Pasirjambu Sayuran 7. Abo Farm Ciwidey Sayuran Lyco Farm 8. Katata Pangalengan Sayuran 9. Al-ittifaq Rancabali Sayuran 10. Taruna Mulya Pangalengan Sayuran 11. Bongkor Cimenyan Sayuran 12. Patarema Pangalengan Kentang PT. MOU 13. Putra Sari Bumi Kertasari Sayuran 14. Mekartani Cikancung Sayuran MTJ 15. Mandalawangi Cikancung Sayuran 16. Muttaqin Cileunyi Sayuran Keterangan: profil kelompok rumah kemasan bidang hortikultura, 2013
51
Tabel 2.21 Unit Pengolahan Hasil Perkebunan Kabupaten Bandung Tujuan No UPH Lokasi Produksi Pasar/ Kemitraan 1. Rahayu Pangalengan 612 Ton Luar Negeri 2. Trikarya Mandiri Ciwidey 360 Ton Luar negeri 3. Pancawargi Ibun 100 Ton Lokal 4. Mekar Saluyu Ciparay 612 Ton Lokal 5. Mekar Tani Kertasari 200 Ton Regional 6. Giri Senang Cilengkrang 84 Ton Regional 7. Margamulya Pangalengan 300 Ton Luar Negeri Keterangan: profil unit pengolahan hasil kopi bidang perkebunan, 2013
Pada tahun 2013, kegiatan gebyar promosi kopi java preanger Kabupaten Bandung memberikan dampak positif terhadap pengembangan kemitraan pemasaran hasil kopi. Melalui unit pemasaran Provinsi Jawa Barat, telah dilaksanakan kerjasama pemasaran kopi dengan Negara Maroko untuk komoditi kopi java preanger Kabupaten Bandung. Sebagai ekspor perdana telah dikirimkan produk kopi sebanyak 1 kontainer atau 20 Ton kopi berasan.
Sasaran Strategis 3 Mengembangkan usaha ekonomi produktif dalam upaya stabilitas kualitas lingkungan hutan dan lahan Rehabilitasi hutan dan lahan di Kabupaten Bandung dilaksanakan melalui 2 mekanisme pendekatan: (1) pendekatan vegetatif dan (2) pendekatan ekonomi dengan mengembangkan agribisnis di sekitar hutan. Kedua mekanisme tersebut saling berkesinambungan dan ketergantungan satu dengan yang lainnya. Tabel 2.22 Pengukuran sasaran strategis 3 Tahun 2013 Sasaran Strategis Mengembangkan usaha ekonomi produktif dalam upaya stabilitas kualitas lingkungan hutan dan lahan
Indikator Kinerja 1. Prosentase luas lahan kritis yang tertanami 2. Luas hutan rakyat 3. Jumlah kelompok agroforestry 4. Jumlah komoditi AUK yang diusahakan
Target Kinerja 40,22%
43,58%
108,35
4.745 ha
4.659 ha
98,19
87 kel
92
105,75
4
4
100
Realisasi
%
52
Pengelolaan Lahan Kritis Adanya praktek-praktek budidaya pertanian yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air serta banyaknya penelantaran lahanlahan kering yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama telah mengakibatkan terjadinya lahan-lahan kritis di Kabupaten Bandung. Keberadaan lahan kritis di Kabupaten Bandung ini telah menyebabkan rusaknya keseimbangan, daya dukung serta daya tampung lingkungan terutama pada lahan-lahan yang terdapat di daerah-daerah hulu dengan fungsi sebagai daerah resapan air. Kondisi yang sama, dan dengan ditambah banyaknya pemukiman pendudukpun terjadi di daerah sepanjang aliran sungai (DAS), keadaan ini pada akhirnya turut berpengaruh sebagai faktor penyebab atau faktor yang mempercepat terjadinya bencana alam di Kabupaten Bandung seperti banjir, longsor, kekeringan serta makin tingginya kualitas pencemaran yang terjadi di beberapa badan sungai di Kabupaten Bandung, baik pencemaran dari rumah tangga maupun industri. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan pada tahun 2012 dan tahun 2013 ini telah melakukan upaya-upaya untuk mengurangi luas lahan kritis di Kabupaten Bandung melalui penanaman komoditas tanaman tahunan produktif seperti buah-buahan dan kayu-kayuan, baik melalui kegiatan yang dibiayai APBD Kabupaten, Propinsi maupun APBN TA. 2013. Upayaupaya tersebut telah dilakukan Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan dan berhasil menanami lahan kritis serta tegalan seluas 15.757,80 Ha. Tabel 2.23 Luas Penanaman Hutan dan Lahan Kritis LUAS PENANAMAN 2011 NO HUTAN DAN LAHAN (Ha) KRITIS (KECAMATAN) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Soreang Pasirjambu Ciwidey Nagreg Rancabali Margaasih Bojongsoang Dayeuhkolot Banjaran Pameungpeuk Pangalengan Katapang Majalaya Ciparay Pacet
160.00 113.00 50.00 125.00 160.00 285.00 505.00 55.00 445.00
2012 (Ha) 200.91 547.25 356.82 97.15 230.00 77.27 11.81 306.82 38.35 2.27 256.82 716.77
2013 (Ha) 245.50 223.86 72.50 198.86 121.61 115.45 40.45 1.27 493.05 0.90 177.91 287.04
53
NO
LUAS PENANAMAN HUTAN DAN LAHAN KRITIS (KECAMATAN)
16 Kertasari 17 Cicalengka 18 Cikancung 19 Rancaekek 20 Paseh 21 Ibun 22 Cileunyi 23 Cimenyan 24 Cilengkrang 25 Margahayu 26 Baleendah 27 Arjasari 28 Cimaung 29 Solokan Jeruk 30 Cangkuang 31 Kutawaringin 32 Tersebar di Kab. Bandung** JUMLAH
2011 (Ha)
2012 (Ha)
25.00 200.00 100.00 1.00 125.00 135.00 225.00 185.00 235.00 1.00 70.00 470.00 285.00 131.00 81.00 4,167.00
212.50 203.41 305.19 160.23 2.27 484.30 297.05 169.32 198.56 446.89 207.73 422.50 108.64 147.73 6,208.56
2013 (Ha) 154.76 470.67 333.40 414.32 237.04 115.45 21.60 239.32 82.49 276.14 174.78 48.87 76.36 35.91 11,098.22 15,757.73
*Sumber; Bidang Kehutanan Distanbunhut Kab. Bandung 2013.
Saat ini upaya mempertahankan dan melestarikan hutan rakyat diakui cukup berat dan masih mengalami banyak kendala. Hasil kajian LPM ITB (2001) menunjukkan gambaran kondisi kerusakan lahan yang diakibatkan oleh penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kaidahkaidah konservasi tanah dan air serta terjadinya penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya di Kabupaten Bandung cukup memprihatinkan sehingga menyebabkan tingkat erosi yang terjadi di Kabupaten Bandung berkisar mulai dari kategori sedang sampai dengan berat. Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan dan Kebun Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan dan kebun salah satunya diarahkan untuk menambah penghasilan/pendapatan masyarakat/petani dan juga diharapkan dapat mengurangi jumlah perambah dan penjarah hutan serta mencegah terjadinya kembali aktivitas perambahan hutan. Upaya ini dilakukan melalui program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Kontribusi Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bandung dalam mendukung PHBM di antaranya dilaksanakan melalui: - Penyediaan bibit Kopi; - Pemberian bantuan peralatan pengolahan Kopi;
54
- Penyediaan bibit kayu-kayuan; Kicangkudu, Kikancing, Jabon, Kihoe, Manglid, Maesopsi, Campoleh, Petai, Sukun, Nangka, Gamelina, Mangga dan Mahoni Uganda. - Terfasilitasinya budidaya jamur tiram - Memfasilitasi perkembangan Usaha AUK masyarakat disekitar hutan untuk usaha budidaya Ulat Sutra dan Jamur Kayu tani diantaranya 2 kelompok tani dari petani ulat sutra dan 7 kelompok tani jamur kayu. Pemberdayaan masyarakat disekitar hutan dan kebun ini secara tidak langsung mampu menurunkan jumlah perambah hutan dimana para perambah itu umumnya merusak/mengganggu keseimbangan ekosistem hutan, kemudian dampak lainnya adalah semakin terkendalinya berbagai gangguan terhadap sumber daya hutan sehingga kerusakan lingkungan dapat diminimalisir dan yang paling utama adalah mampu meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan petani/masyarakat disekitar hutan. 2.3.3. Pengembangan Sektor Pertanian berdasarkan Wilayah Sentra Meskipun terdapat beberapa komoditas yang berpeluang menjadi komoditas andalan untuk Kabupaten Bandung, hortikultura dan tanaman obat tampaknya memiliki beberapa keunggulan dibandingkan palawija. Faktor agroekologis yang dimiliki oleh Kabupaten Bandung merupakan sumberdaya yang relatif mudah dikonversi menjadi output untuk komoditas hortikultura dan tanaman obat. Selain hal tersebut, peluang pasar untuk kedua komoditas tersebut cukup besar terutama dalam aspek penciptaan nilai tambah masing-masing komoditas. Beberapa wilayah lain yang memiliki peluang serupa dengan Kabupaten Bandung adalah Kabupaten Cianjur dan Garut sehingga juga berpotensi memanfaatkan pasar yang tersedia. Meskipun begitu, dalam perspektif kompetisi spasial Kabupaten Bandung memiliki keunggulan lebih dari wilayah-wilayah tersebut terutama dari aspek infrastruktur wilayah. Dari sisi pewilayahan, tanaman pangan dan hortikultura seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa pada komoditas padi dan palawija umumnya mengalami pertumbuhan negatif, sementara komoditas sayuran mengalami pertumbuhan positif, kecuali untuk komoditas yang rentan dengan anomali iklim dan lahan –seperti kentang dan kubis– kecenderungan mengalami pertumbuhan negatif. Wilayah-wilayah yang merupakan sentra komoditas hortikultura pada umumnya memiliki pertumbuhan yang besar bila dibanding dengan wilayah sentra komoditas lainnya dan untuk wilayah-wilayah sentra komoditas padi dan palawija pada umumnya mengalami pertumbuhan negatif. Berikut kuadran pertumbuhan ekonomi subsektor tanaman pangan dan hortikultura pada setiap kecamatan.
55
III
IV
Keterangan: I : Pertumbuhan II : Pertumbuhan III: Pertumbuhan IV: Pertumbuhan
PDRB PDRB PDRB PDRB
I
II
Positif, Nilai PDRB Relatif Tinggi Positif, Nilai PDRB Relatif Rendah Negatif, Nilai PDRB Relatif Tinggi Negatif, Nilai PDRB Relatif Rendah
Gambar 2.7 Kuadran Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai PDRB Tahun Dasar Komoditas Tanaman Pangan dan Hortikultura
Gambar 2.8 nilai LQ pada komoditas pangan dan hortikultura Gambar 2.7 memperlihatkan bahwa kecamatan-kecamatan yang merupakan sentra padi dan palawija memiliki pertumbuhan ekonomi negatif dengan nilai PDRB yang relatif rendah, seperti Kecamatan
56
Bojongsoang, Rancaekek, Katapang, Majalaya, Cileunyi, Pameungpeuk, Dayeuhkolot, Margaasih, Margahayu, Baleendah dan Ciparay. Hal ini dikarenakan karakteristik peri urban yang dimiliki oleh kecamatankecamatan tersebut mendesak terjadinya transformasi struktur ekonomi masyarakat dari sektor pertanian ke sektor non pertanian, terutama sektor jasa dan industri/manufaktur, serta adanya stagnasi pertumbuhan agribisnis berbasis komoditas padi dan palawija, baik dari indeks produksi maupun indeks harga, yang akhirnya berdampak pada konversi lahan pertanian besar-besaran. Penataan dan peralihan agribisnis pada komoditas tersebut lebih diarahkan pada pengembangan industri-industri pengolahan yang berbasis tanaman padi dan palawija untuk mendongkrak nilai pertumbuhan ekonomi dan menarik minat pada pelaku ekonomi untuk beraktivitas di subsektor padi dan palawija. Sementara, kecamatan-kecamatan yang merupakan sentra komoditas hortikultura mengalami pertumbuhan positif dengan nilai PDRB relatif tinggi karena komoditas hortikultura berkarakteristik high value commodity dengan indeks harga yang relatif tinggi. Kecamatankecamatan tersebut, seperti Kecamatan Pangalengan, Pasirjambu, Ciwidey, Rancabali, Cimaung, Pacet, Cimenyan, Cilengkrang, Cicalengka, Banjaran, Paseh, Kutawaringin, Cikancung, Arjasari, dan Cangkuang. Hal ini terlihat juga dari Nilai LQ (Gambar 4) untuk kecamatankecamatan padi dan palawija yang lebih kecil dari 1, yang mengindikasikan bahwa subsektor tanaman pangan dan hortikultura pada khususnya bukan merupakan basis ekonomi untuk kecamatan tersebut. Sedangkan, wilayah-wilayah dengan sentra komoditas hortikultura merupaka wilayah dengan basis ekonomi pertanian atau pada khususnya berbasis subsektor hortikultura karena memiliki nilai LQ lebih besar dari 1. Meskipun begitu, pengembangan kedua komoditas unggulan tersebut tidak dapat dilakukan dengan pendekatan ekstensif karena perluasan lahan perkebunan tampaknya tidak memungkinkan. Sebagai alternatifnya, pendekatan off farm telah seharusnya layak dilakukan. Salah satu sumber keunggulan kinerja teh dan kopi terletak pada aspek kelembagaan rantai pasokannya. Evolusi perjalanan pengusahaan teh dan kopi yang telah lama berlangsung sejak lama di Kabupaten Bandung secara alami telah membangun koordinasi rantai pasokan (beberapa produsen telah melakukan integrasi penuh) yang cukup masif. Dengan telah terciptanya keragaan rantai pasokan yang spesifik dan lembagalembaga pendukungnya maka kondisi tersebut secara tidak langsung menciptakan barriers to entry untuk wilayah-wilayah potensi produksi lainnya.
57
Dari sisi pewilayahan, komoditas perkebunan di Kabupaten Bandung berkembang di wilayah-wilayah dengan topografi tinggi karena karakteristik komoditas yang dimiliki -teh dan kopi-, seperti wilayah Kecamatan Pangalengan, Kertasari, Rancabali, Ciwidey, Pasirjambu, dan Cilengkrang (Gambar 2.3 dan 2.4). Hal ini terlihat dari nilai LQ > 1 dengan pertumbuhan positif dan relatif tinggi.
III
IV
Keterangan: I : Pertumbuhan II : Pertumbuhan III: Pertumbuhan IV: Pertumbuhan
PDRB PDRB PDRB PDRB
I
II
Positif, Nilai PDRB Relatif Tinggi Positif, Nilai PDRB Relatif Rendah Negatif, Nilai PDRB Relatif Tinggi Negatif, Nilai PDRB Relatif Rendah
Gambar 2.9 Kuadran Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai PDRB Tahun Dasar Komoditas Perkebunan
58
11.000 Pasirj ambu
10.000 9.000 Rancabali
8.000 Pangalengan
7.000 Ciwidey
6.000
Kertasari
5.000
4.000 3.000 2.000 Cilengkrang
1.000 -
0
5
10
15
20
25
30
35
Gambar 2.10 Nilai LQ pada komoditas Perkebunan
Sebagian besar kawasan hutan di Kabupaten Bandung dikelola oleh Perum Perhutani yang berada di wilayah utara dan selatan. Saat ini sebanyak 95 persen luasan hutan diperuntukkan bagi hutan lindung sedangkan sisanya sebagai hutan produksi. Di lingkup Jawa Barat, Kabupaten Bandung tampaknya tidak memiliki keunggulan dibandingkan dengan kabupaten lainnya dari aspek luasan hutan atau kuantitas produksi tebangan hutan. Kawasan hutan terluas dimiliki oleh Kabupaten Sukabumi sementara produksi tebangan terbesar berada di Kabupaten Indramayu. Selain dari produksi tebangan kayu, getah pinus merupakan produk hutan non kayu satu-satunya yang dapat dijadikan komoditas ekonomi di Kabupaten Bandung; meskipun kuantitas produksinya semakin menurun setiap tahun. Informasi mengenai luasan hutan dan produksi tebangan hutan di tiap kabupaten di Jawa Barat disajikan pada Tabel 2.24. Secara politik administratif, sekarang wilayah kawasan hutan di Kabupaten Bandung hanya berada di wilayah bagian selatan sebagai dampak dari pemekaran wilayah. Meskipun luas kawasan hutan di bagian selatan relatif lebih luas dibandingkan dengan bagian utara; namun terjadi penurunan areal hutan dengan laju rata-rata mencapai 1.3 persen per tahun. Secara tidak langsung, penurunan areal hutan berdampak terhadap penurunan produksi getah pinus sadapan sebesar 9.4 persen per tahun tanpa memperhitungkan produksi komoditas lainnya. Kondisi ini
59
menunjukkan kebutuhan akan paradigma baru dalam kerangka pembangunan pertanian subsektor kehutanan; dimana produksi komoditas kehutanan dalam bentuk fisik tampaknya berpeluang kecil untuk dikembangkan secara berkelanjutan. Pembangunan subsektor kehutanan selayaknya dikembangkan ke arah pengembangan barang dan jasa lingkungan. Tabel 2.24 Luas areal, laju perubahan dan produksi tebangan hutan. Kabupaten Bogor Sukabumi Cianjur Purwakarta Bandung Utara Bandung Selatan Garut Tasikmalaya Ciamis Sumedang Majalengka Indramayu Kuningan
Rata-rata luas areal (ha) 47,076.41 65,354.05 73,119.11 67,293.96 21,623.66 55,472.08 86,815.74 45,566.50 30,154.47 41,113.71 27,319.43 49,209.97 34,328.12
Laju perubahan areal hutan (%) -17.28 -10.99 -4.28 11.45 -2.98 -0.83 -5.81 -2.76 -0.04 -3.33 -0.46 12.21 -10.20
Rata-rata produksi tebangan (m3) 10,060 18,223 23,459 15,990 1,700 3,829 1,375 5,223 40,414 11,440 4,806 14,206 5,654
Rata-rata pertumbuhan ekonomi untuk komoditas kehutanan adalah sebesar 15,07 persen dengan wilayah yang memiliki pertumbuhan paling tinggi di wilayah-wilayah perbatasan, seperti Pangalengan, Kertasari, Rancabali, Ciwidey, Pasirjambu, Pacet, Ibun, Paseh, Arjasari, Cimenyan, dan Cilengkrang. Hal ini juga merujuk pada nilai LQ yang lebih besar dari 1 (Gambar 2.5).
60
Gambar 2.10 Nilai LQ pada komoditas Kehutanan
61
Renstra
BAB III TINJAUAN MASA DEPAN DAN PERMASALAHAN UMUM SEKTOR PERTANIAN
DINAS PERTANIAN
PERKEBUNAN
DAN KEHUTANAN
BAB III TINJAUAN MASA DEPAN DAN PERMASALAHAN UMUM DI SEKTOR PERTANIAN
3.1. Identifikasi Permasalahan Permasalahan pembangunan pertanian, perkebunan dan kehutanan masih didominasi oleh beberapa permasalahan klasik yang membutuhkan langkah-langkah terstruktur dalam jangka panjang. Namun, ada beberapa pendekatan yang telah dilakukan dengan mencantumkan kendala-kendala tersebut dalam regulasi yang jelas. Dalam hal ini, lahan pangan berkelanjutan yang terus menghantui pembangunan telah ditetapkan sebagai komitmen bersama pengelolaannya dalam RTRW Kabupaten Bandung. 3.1.1 Keterbatasan dan Penurunan Kapasitas Sumberdaya Pertanian Pembangunan pertanian dihadapkan kepada permasalahan permintaan produk pertanian terutama pangan yang semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya pertambahan penduduk, sementara kapasitas sumberdaya alam pertanian terutama lahan dan air terbatas dan bahkan semakin menurun. Luas baku lahan pertanian semakin menurun karena pembukaan lahan pertanian baru sangat lambat sementara konversi lahan pertanian terus meningkat. Masalah konversi lahan cukup berat terutama di Jawa. Setiap tahun sekitar 40.000 hektar lahan sawah produktif di Jawa dikonversi untuk kegiatan non-pertanian. Sementara ini masalah tersebut diatasi dengan meningkatkan intensitas tanam khususnya di Jawa, sedangkan untuk luar Jawa diatasi dengan pencetakan sawah baru. Namun selama 10 tahun terakhir, luas panen padi stagnan dibawah 12 juta hektar. Sumber air untuk pertanian semakin langka akibat kerusakan alam, terutama di daerah aliran sungai (DAS). Sementara itu, kompetisi pemanfaatan air juga semakin ketat dengan meningkatnya penggunaan air untuk rumah tangga dan industri. Besarnya tekanan penambahan penduduk terhadap lahan berakibat pemilikan dan penggarapan semakin terfragmentasi, sehingga jumlah petani gurem meningkat dengan rataan pemilikan lahan yang semakin kecil.
40
3.1.2 Sistem Alih Teknologi Masih Lemah dan Kurang Tepat Sasaran Sistem adopsi atau alih teknlogi dinilai masih lemah karena lambatnya diseminasi teknologi baru (invention) dan pengembangan teknologi yang sudah ada (innovation) di tingkat petani. Rendahnya diseminasi teknologi disebabkan oleh beberapa hal. Sebelum diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, sistem penyampaian hasil teknologi dilakukan oleh penyuluh melalui proses aplikasi teknologi di area percontohan. Pada era desentralisasi, kegiatan penyuluhan menjadi kewenangan pemerintah daerah dan permasalahan pada sistem penyampaian teknologi menjadi lebih kompleks akibat kurangnya perhatian pemerintah daerah pada fungsi penyuluhan pertanian. Institusi penyuluhan dianggap rendah kontribusinya pada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hubungan keterkaitan antara peneliti, penyuluh, dan petani dinilai masih lemah. Oleh karena itu perlu adanya penataan kembali fokus dan prioritas penelitian serta sistem diseminasi yang mampu menjawab permasalahan petani disertai dengan revitalisasi penyuluhan pertanian, pendampingan, pendidikan dan pelatihan bagi petani. 3.1.3. Kualitas, Mentalitas, dan Keterampilan Sumberdaya Petani Rendah Rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan kendala yang serius dalam pembangunan pertanian. Tingkat pendidikan dan keterampilan rendah. Selama 10 tahun terakhir kemajuan pendidikan berjalan lambat. Tahun 1992, 50 persen tenaga kerja di sektor pertanian tidak tamat SD, 39 persen tamat SD, sedangkan yang tamat SLTP hanya 8 persen (BPS, 1993). Tahun 2002, yang tidak tamat SD menjadi 35 persen tamat SD 46 persen dan tamat SLTP 13 persen (BPS, 2003). Rendahnya mentalitas petani antara lain dicirikan oleh usaha pertanian yang berorientasi jangka pendek, mengejar keuntungan sesaat, serta belum memiliki wawasan bisnis luas. Selain itu banyak petani menjadi sangat tergantung pada bantuan/pemberian pemerintah. Keterampilan petani yang rendah terkait dengan rendahnya pendidikan dan kurang dikembangkannya kearifan lokal (indigenous knowledge). Selama ini masalah di atas diatasi melalui peningkatkan kemampuan SDM petani dan aparat melalui kegiatan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan. Untuk mendukung kegiatan tersebut sarana yang digunakan adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada di Daerah seperti Balai Diklat, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian, dan Sekolah Pembangunan Pertanian. Ketertinggalan
petani
dalam
hal pendidikan diatasi
dengan
41
pendekatan penyetaraan pendidikan yang selanjutnya dikaitkan dengan pelatihan keterampilan berusahatani. Disamping itu, berbagai upaya penguatan kapasitas petani juga perlu dilakukan terutama dalam hal pengembangan sikap kewirausahaan, kemampuan dalam pemasaran dan manajemen usaha. 3.1.4. Kelembagaan Petani dan Posisi Tawar Petani Rendah Saat ini, keberadaan kelembagaan petani sangat lemah. Kelompok tani yang banyak dibentuk selama periode 1980-an dalam mengejar swasembada beras sudah banyak yang tidak berfungsi, mungkin hanya tinggal nama kelompok. Intensitas dan kualitas pembinaan terhadap kelompok pasca otonomi daerah jauh berkurang karena sistem penyuluhan yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Selama ini pengembangan kelembagaan petani umumnya berorientasi keproyekan. Kelompok tani hanya aktif pada saat proyek masih berjalan. Setelah masa proyek berakhir, umumnya kelompok tani yang dibentuk menjadi tidak aktif. Pembentukan kelompok tani seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Kondisi kelompok tani saat ini juga dinilai sangat buruk karena berbagai instansi pemerintah masing-masing membentuk kelompok tani/kelembagaan tani untuk pelaksanaan kegiatan proyek mereka. Hal ini menyebabkan timbulnya banyak kelompok tani yang tumpang tindih. Berkaitan dengan hal ini, revitalisasi sistem penyuluhan perlu segera dilaksanakan agar fungsi PPL sebagai pembina kelompok tani dapat kembali berjalan dengan baik. Disamping itu, kelembagaan petani yang ada saat ini perlu ditata dengan baik. Koordinasi ditingkat pusat dalam pembinaan kelompok tani perlu ditingkatkan agar kegiatan yang melibatkan petani tidak tumpang tindih. Pengembangan kelompok tani agar dilakukan dengan pendekatan pembangunan masyarakat (community development).
3.1.5. Lemahnya Koordinasi Antar Lembaga Terkait Dan Birokrasi Kinerja pembangunan pertanian sangat ditentukan oleh keterpaduan diantara subsistem pendukungnya, yaitu mulai dari subsistem hulu (industri agro-input, agro-kimia, agro-otomotif), subsistem budidaya usahatani (onfarm), subsistem hilir (pengolahan dan pemasaran) dan subsistem pendukung (keuangan, pendidikan, dan transportasi). Keterkaitan antar subsistem sangat erat namun penanganannya terkait dengan kebijakan berbagai sektor. Sementara itu, Departemen Pertanian hanya memiliki kewenangan dalam aspek budidaya/usahatani. Berbagai 42
kebijakan yang terkait dengan produk pertanian sering tidak harmonis dari hulu hingga ke hilir, seperti kasus penanganan impor produk pertanian (paha ayam, daging illegal, benih kapas transgenik). Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan adanya kesamaan persepsi dan komitmen tentang peranan sektor pertanian dalam pembangunan nasional. Apabila disepakati bahwa sektor pertanian merupakan penggerak utama ekonomi nasioanal maka koordinasi antar instansi menjadi hal yang sangat penting dalam menyusun kebijakan maupun implementasinya. Untuk itu perlu perbaikan menejemen pembangunan pertanian dengan mengacu pada UU dan Peraturan Pemerintah. 3.1.6. Kebijakan Makro Ekonomi Yang Belum Berpihak Kepada Petani Salah satu faktor penting yang menentukan kelanjutan dan kemampuan dayasaing usaha pertanian adalah adanya kebijakan makro yang kondusif. Saat ini kebijakan makro ekonomi baik fiskal, moneter, perdagangan, maupun prioritas dalam pengembangan ekonomi nasional dinilai belum kondusif bagi keberlanjutan dan kemampuan dayasaing usaha pertanian. Kebijakan pemerintah yang belum memihak sektor petanian antara lain: (1) penerapan pajak ekspor komoditas pertanian yang bertujuan untuk mendorong industri pengolahan produk pertanian dalam negeri; (2) kredit perbankan yang disediakan pemerintah, porsi terbesar diserap oleh pengusaha konglomerat, sisanya adalah untuk koperasi, usaha kecil menengah termasuk petani; (3) alokasi dana APBD untuk pembangunan sektor pertanian kurang memadai; (4) beberapa daerah menarik biaya retribusi yang tinggi termasuk pada komoditas pertanian sehingga mengurangi dayasaing dan menjadi penghambat dalam investasi di sektor pertanian; (5) pembangunan sarana dan prasarana lebih besar di perkotaan dibanding dengan perdesaan; dan (6) liberalisasi perdagangan telah menyebabkan membanjirnya produk pertanian yang disubsidi berlebih oleh negara maju membuat petani kita tidak mampu bersaing. Untuk itu diperlukan: (a) advokasi kebijakan dengan instansi terkait, dan (b) dukungan legislatif dan stakeholders lainnya.
43
3.2. Telaahan Visi Misi dan Program Kerja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Terpilih Target Pencapaian pembangunan Pertanian dan Kehutanan Kabupaten bandung disesuaikan Visi Misi dari Kabupaten Bandung, sehingga terjadi sinkronisasi sasaran pembangunan antara Pemerintah Daerah kabupaten Bandung dengan Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten bandung. Tugas dan Fungsi Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan dalam pembangunan lima tahun mendatang selaras dengan beberapa Misi dari Kabupaten Bandung; (1) Meningkatkan Ekonomi Kerakyatan Yang Berdaya Saing, (2) Memantapkan Pembangunan Perdesaan, (3) Memulihkan Keseimbangan Lingkungan dan Menerapkan Pembangunan Berkelanjutan. Pembangunan di Kabupaten Bandung pada tahap kedua RPJP Daerah atau RPJM Daerah tahun 2011-2015 menuntut perhatian lebih, tidak hanya untuk menghadapi permasalahan yang belum terselesaikan, namun juga untuk mengantisipasi perubahan yang muncul di masa yang akan datang. Berbagai isu global dan nasional perlu dipertimbangkan dalam menyelesaikan isu yang bersifat lokal dan berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat. Dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, permasalahan, tantangan dan peluang serta mempertimbangkan isu yang ada di Kabupaten Bandung, maka visi Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung pada tahun 2011 – 2015 yang hendak dicapai pada tahapan kedua RPJP Daerah Kabupaten Bandung adalah : “Terwujudnya Kabupaten Bandung yang Maju, Mandiri dan Berdaya Saing, melalui Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Pemantapan Pembangunan Perdesaan, Berlandaskan Religius, Kultural dan Berwawasan Lingkungan”. Memperhatikan visi tersebut serta perubahan paradigma dan kondisi yang akan dihadapi pada masa yang akan datang, diharapkan Kabupaten Bandung dapat lebih berperan dalam perubahan yang terjadi di lingkup nasional, regional maupun global. Penelaahan terhadap visi di maksud menghasilkan pokok-pokok visi yang diterjemahkan dalam pengertiannya sebagaimana tabel di bawah ini.
44
Perumusan Penjelasan Visi RPJMD Kabupaten Bandung Pada Sektor Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Tahun 2011-2015 Visi Terwujudnya Kabupaten Bandung yang Maju, Mandiri dan Berdaya Saing, melalui Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Pemantapan Pembangunan Perdesaan, Berlandaskan Religius, Kultural dan Berwawasan Lingkungan.
Pokok-pokok Visi
Penjelasan Visi
Maju
Kondisi di mana sumber daya manusia Kabupaten Bandung memiliki kepribadian, berakhlak mulia dan berkualitas pendidikan yang tinggi.
Mandiri
Kondisi di mana masyarakat Kabupaten Bandung mampu memenuhi kebutuhan sendiri untuk lebih maju serta mampu mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan daerah lain yang telah maju, dengan mengandalkan kemampuan dan kekuatan sendiri.
Berdaya Saing
Kondisi di mana masyarakat Kabupaten Bandung memiliki kemampuan untuk bersaing dengan baik dalam lingkup regional maupun nasional. Kemampuan yang dimaksud mencakup berbagai aspek yaitu : aspek kesejahteraan masyarakat, aspek pelayanan umum dan aspek daya saing daerah
Pemantapan Pembangunan Perdesaan
Kondisi di mana pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Bandung memberikan perhatian yang besar dan sungguh–sungguh terhadap peningkatan produk pertanian yang berdaya saing dan pemenuhan kebutuhan pangan.
Berwawasan Lingkungan
Kondisi di mana masyarakat Kabupaten Bandung memiliki pengertian dan kepedulian yang tinggi terhadap keseimbangan alam dan kelestarian lingkungan yang didasari oleh kesadaran akan fungsi strategis lingkungan terhadap keberlangsungan hidup manusia. Daya dukung dan kualitas lingkungan harus menjadi acuan utama segala aktivitas pembangunan, agar tercipta tatanan kehidupan yang seimbang, nyaman dan berkelanjutan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Bandung tahun 2011-2015 merupakan tahapan kedua dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Bandung 2005-2025, yang berorientasi pada pembangunan dan peningkatan kompetensi segenap sumber daya yang terdapat di Kabupaten Bandung dalam segala bidang, guna menyiapkan kemajuan, kemandirian dan kemampuan bersaing. Dengan memperhatikan kondisi, permasalahan yang ada, tantangan ke depan dan isu yang ditetapkan serta dengan memperhitungkan peluang dan potensi yang dimiliki untuk mencapai masyarakat Kabupaten Bandung yang maju, mandiri dan mampu bersaing. Dalam dokumen perubahan renstra ini, dari 7 (tujuh) Misi Kabupaten Bandung periode 2011-2015, 2 Misi yang menyangkut dan
45
terkait pada pembangunan pertanian, perkebunan, dan kehutanan dari sebelumnya tiga misi. Kedua misi tersebut adalah misi keenam dan misi ketujuh: Misi keenam : “Meningkatkan ekonomi kerakyatan saing”.
yang berdaya
Peningkatan ekonomi kerakyatan yang berdaya saing merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Kemampuan daya beli masyarakat erat kaitannya dengan kemiskinan. Semakin besar daya beli masyarakat, maka semakin kecil tingkat kemiskinan pada suatu daerah. Kemiskinan menyebabkan kemampuan masyarakat berkurang secara drastis dalam mengakses pelayanan dasar. Salah satu upaya untuk meningkatkan ekonomi kerakyatan yang berdaya saing adalah meningkatkan aktivitas ekonomi berbasis kerakyatan, meningkatkan kesempatan dan penyediaan lapangan kerja, meningkatkan peran kelembagaan dan permodalan KUMKM serta meningkatkan investasi yang mendorong penciptaan lapangan kerja. Misi ketujuh : “Memulihkan keseimbangan menerapkan pembangunan berkelanjutan”.
lingkungan
dan
Rusaknya lingkungan akibat bencana alam merupakan polemik yang tidak bisa dihindari. Dalam mengatasi hal tersebut, diperlukan perubahan pola berfikir dan bertindak dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan, yaitu dengan mengacu pada pembangunan berwawasan lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan tidak hanya dilakukan pada mekanisme kinerja pemerintahan, tetapi harus dilaksanakan oleh segenap lapisan masyarakat melalui penegakan hukum. Faktor lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam mengatasi kerusakan serta memulihkan keseimbangan lingkungan dan menerapkan pembangunan berkelanjutan, diantaranya yaitu: pengendalian dampak pelaksanaan pembangunan; pengurangan tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan; peningkatan fungsi kawasan lindung, pengurangan luas lahan kritis dan pengurangan tingkat resiko bencana. Sebagai wilayah yang rawan bencana, baik bencana banjir, longsor/gerakan tanah dan gempa, perlu dilakukan penyusunan prosedur, tahapan mitigasi serta penanganan bencana yang sederhana/mudah diterapkan sesuai dengan pengalaman selama ini. Upaya menghindari bencana lebih mudah dilakukan dan lebih murah dibandingkan setelah terjadi bencana. Pemulihan keseimbangan lingkungan setelah terjadinya
46
bencana serta penerapan pembangunan yang berkelanjutan merupakan hal penting yang harus diperhatikan demi mewujudkan Kabupaten Bandung yang ”Maju, Mandiri dan Berdaya Saing”. Tabel 3.1 Telaahan Visi Misi Bupati Bandung dengan Visi dan Misi Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Periode 2011-2015 No 1
6.
7
Visi Kabupaten Bandung Terwujudnya kabupaten Bandung Yang Maju, Mandiri dan Berdaya Saing, Melalui Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik dan Pemantapan Pembangunan Perdesaan, Berlandasan Religius, Kultural dan Berwawasan lingkungan Misi Kabupaten Bandung Meningkatkan Ekonomi Kerakyatan Yang Berdaya Saing
Memulihkan Keseimbangan Lingkungan dan Menerapkan Pembangunan Berkelanjutan
Visi Distanbunhut Meningkatkan kesejahteraan Masyarakat melalui pengembangan Agribisnis berkelanjutan berbasis sumberdaya local dan berwawasan lingkungan menuju keunggulan bersaing global
Misi Distanbunhut 1 Mendorong peningkatan peran sektor Pertanian Kabupaten Bandung dalam perekonomian regional dan nasional. 2 Meningkatkan akses dan ketersediaan sumberdaya pertanian yang bersifat lokal dengan memanfaatkan teknologi untuk menjamin keberlanjutan usaha pertanian. 3 Meningkatkan peran dan keterkaitan antara pelaku usaha melalui integrasi wilayah produksi dan konsumsi komoditas serta produk pertanian. 4 Meningkatkan partisipasi setiap usaha pertanian terhadap pasar bebas melalui pembenahan pola produksi, kelembagaan dan pasar. 5 Membangun agribisnis berwawasan lingkungan
Secara garis besar target dari Misi Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bandung selarah dengan Misi Pemerintah Kabupaten Bandung dalam meningkatkan ekonomi kerakyatan yang berdaya saing, pemantapan pembangunan perdesaan, pemulihan lingkungan dan penerapan pembangunan berkelanjutan.
47
3.3. Telaahan Renstra K/L dan Renstra 3.3.1
Keselarasan Renstra K/L dan Renstra Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan
Kesepahaman dalam perencanaan pembangunan baik di pusat dan daerah, terutama perencanaan oleh SKPD selaku pengemban pelaksanaan program merupakan perihal yang sepenuhnya harus diperhatikan mengingat kepentingan pada objek pembangunan merupakan kepentingan nasional yang menyeluruh dan tidak dapat dipisahkan. Berikut adalah paparan mengenai visi dan misi kementrian dan SKPD sebagai gambaran kesepahaman yang ingin dicapai. Tabel 3.2 Telaahan Visi Misi Kementrian Pertanian RI 2010-2014 dengan Visi dan Misi Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Periode 2011-2015 No 1
1
2
3
4
5
6
Visi Kementrian Pertanian Terwujudnya Pertanian Industrial Unggul berkelanjutan Yang Berbasis Sumberdaya Lokal Untuk meningkatkan Kemandirian Pangan, Nilai Tambah, Daya saing, Ekspor dan Kesejahteraan Petani Misi Kementrian Pertanian Mewujudkan Sistem Pertanian Berkelanjutan yang efisien, berbasis iptek dan sumberdaya lokal, serta berwawasan lingkungan melalui pendekatan system agribisnis Menciptakan keseimbangan ekosistem pertanian yang mendukung keberlanjutan peningkatan produksi dan produktivitas untuk meningkatkan kemandirian pangan Mengamankan plasma-nutfah dan meningkatkan pendayagunaannya untuk mendukung diversifikasi dan ketahanan pangan Menjadikan petani yang kreatif, inovatif dan mandiri serta mampu memanfaatkan iptek dan sumberdaya lokal untuk menghasilkan produk pertanian berdaya saing tinggi Meningkatkan produk pangan segar dan olahan yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) dikonsumsi Meningkatkan produksi dan mutu produk pertanian sebagai bahan baku
Visi Distanbunhut Meningkatkan kesejahteraan Masyarakat melalui pengembangan Agribisnis berkelanjutan berbasis sumberdaya lokal dan berwawasan lingkungan menuju keunggulan bersaing global Misi Distanbunhut Mendorong peningkatan peran sektor Pertanian Kabupaten Bandung dalam perekonomian regional dan nasional.
Meningkatkan akses dan ketersediaan sumberdaya pertanian yang bersifat lokal dengan memanfaatkan teknologi untuk menjamin keberlanjutan usaha pertanian. Meningkatkan peran dan keterkaitan antara pelaku usaha melalui integrasi wilayah produksi dan konsumsi komoditas serta produk pertanian. Meningkatkan partisipasi setiap usaha pertanian terhadap pasar bebas melalui pembenahan pola produksi, kelembagaan dan pasar. Membangun agribisnis berwawasan lingkungan
48
Tabel 3.3 Telaahan Visi Misi Kementrian Kehutanan RI 2010-2014 dengan Visi dan Misi Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan 2011-2015 No 1
1
2
3
4
5
6
Visi Kabupaten Bandung Hutan Lestari Untuk Kesejahteraan Masyarakat Yang Berkeadilan
Misi Kabupaten Bandung Memantapkan kepastian status kawasan hutan secara kualitas data dan informasi kehutanan Meningkatkan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) untuk memperkuat kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan keadilan berusaha. Memantapkan penyelenggaraan perlindungan dan konservasi sumberdaya alam Memelihara dan meningkatkan fungsi dan daya dukung daerah aliran singai (DAS), sehingga dapat meningkatkan optimalisasi fungsi ekologi, ekonomi dan sosial DAS Meningkatkan ketersediaan produk teknologi dasar dan terapan serta kompetensi SDM dalam mendukung penyelenggaraan pengurusan hutan secara optimal Meningkatkan kelembagaan penyelenggaraan tata kelola kehutanan Kementrian Kehutanan
Visi Distanbunhut Meningkatkan kesejahteraan Masyarakat melalui pengembangan Agribisnis berkelanjutan berbasis sumberdaya local dan berwawasan lingkungan menuju keunggulan bersaing global Misi Distanbunhut Mendorong peningkatan peran sektor Pertanian Kabupaten Bandung dalam perekonomian regional dan nasional. Meningkatkan akses dan ketersediaan sumberdaya pertanian yang bersifat lokal dengan memanfaatkan teknologi untuk menjamin keberlanjutan usaha pertanian. Meningkatkan peran dan keterkaitan antara pelaku usaha melalui integrasi wilayah produksi dan konsumsi komoditas serta produk pertanian. Meningkatkan partisipasi setiap usaha pertanian terhadap pasar bebas melalui pembenahan pola produksi, kelembagaan dan pasar. Membangun agribisnis berwawasan lingkungan
Dalam konteks pembangunan pertanian Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan mempunyai materi visi sejalan dengan visi dari Departemen Pertanian dalam mengembangkan pertanian yang berbasis pada sumberdaya lokal, mengangkatnya menjadi produk yang berdaya saing baik secara regional, nasional, maupun internasional, sehingga diharapkan mampu mendongkrak tingkat ekonomi masyarakat. Pergeseran budaya konsumsi masyarakat cenderung mengarah pada oject produk luar daerah, sehingga produksi dari sumberdaya lokal pun sedikit terkesampingkan. Disini dibutuhkan peran pemerintah dalam mendorong memsyarakatnya produk lokal, baik produk lokal segar maupun olahan.
49
3.4 Telaahan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Penurunan kualitas lahan semakin tinggi, penggunanan pupuk kimia dengan dosis tinggi telah mengesampingkan penggunaan pupuk organik dalam mencapai target produktifitas yang ditetapkan, Kondisi ini diperparah dengan menurunnya kearifan lokal dalam melakukan pengaturan pola tanam. Menurunnya kualitas lahan menyebabkan leavelling off produktivitas hasil pertanian yang berkualitas. Di sisi lain pertumbuhan penduduk dan penyebarannya mendorong tingginya tingkat konversi lahan di Kabupaten Bandung, luasan konversi lahan pertanian menjadi lahan pemanfaatan multi sektoral non pertanian mencapai 200 hektar per tahun. Kondisi tersebut akan mempengaruhi peningkatan produksi pangan, dan lebih parah akan menyebabkab penurunan produksi pangan. Solusi untuk permasalahan ini adalah dengan penerapan teknologi budidaya pertanian yang lebih tinggi guna mencapai produktifitas yang setara. Dukungan dari dari pemerintah sangat diperlukan guna melakukan peningkatan teknologi budidaya, baik melalui lpenelitian dan pengembangan maupun adopsi teknologi sampai dengan transfer teknologi budidaya yang tepat sasaran di tingkat petani sebagai pelaksana langusung produksi. Dalam perubahan RTRW Kabupaten Bandung Tahun 2007-2027, lahan pangan berkelanjutan telah dicantumkan secara eksplisit yang memberikan komitmen bersama terkait dengan pengelolaan dan pengendalian alih fungsi nya. Hal ini mendukung tercapainya swasembada pangan Kabupaten Bandung.
3.5. Isu-isu Strategis Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Secara garis besar, tinjauan masa depan merupakan arah yang harus dituju pada proses pembangunan dan pengembangan sektor pertanian di Kabupaten Bandung. Pencapaian kondisi tersebut memerlukan beragam kebijakan dan strategi pembangunan dan pengembangan sektor pertanian yang tepat. Dalam konteksnya, kebijakan dan strategi yang akan dirumuskan sudah seharusnya dibangun berdasarkan kebutuhan untuk mengatasi kesenjangan antara kondisi sektor pertanian pada saat ini dan kondisi ideal pada masa depan. Selain itu, fleksibilitas juga sangat dibutuhkan mengingat kondisi di masa depan selalu akan berubah. Kesenjangan yang terdapat di antara kondisi pada saat ini dan masa depan dapat dipahami dengan melihat keterkaitan pergeseran lingkungan di sekitar sektor pertanian. Dinamika perubahan lingkungan di sektor pertanian tersebut, terutama di Kabupaten Bandung, merupakan hasil 50
interaksi perubahan yang terjadi di seluruh sektor perekonomian; baik regional maupun internasional. Pada saat ini, terminologi pembangunan pertanian memiliki dimensi yang sangat luas. Pembangunan pertanian dapat diterjemahkan sebagai; (1) peningkatan produksi pertanian; (2) pengembangan ekonomi wilayah perdesaan; dan juga (3) pengelolaan dan konservasi sumberdaya. Dengan adanya perspektif yang beragam tersebut maka permasalahan yang dihadapi oleh pembangunan sektor pertanian Indonesia juga sangat beragam, namun merupakan sebuah mata rantai yang tidak terputus antara satu dan lainnya. Untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang permasalahan yang dihadapi oleh sektor pertanian Kabupaten Bandung, keterkaitan antara komponen-komponen permasalahan disajikan pada Gambar 9. Lahan, merupakan isu sentral yang mengemuka di dalam pembangunan sektor pertanian pada saat ini. Pada satu sisi, ketersediaan lahan sebagai input terpenting di dalam produksi pertanian merupakan jaminan atas keberlangsungan produksi dalam jangka panjang. Namun di sisi lain, lahan (dan pemanfaatannya) merupakan sumber utama munculnya beragam permasalahan dalam perekonomian Indonesia. Laju pertumbuhan populasi penduduk yang hampir mencapai 3 % per tahun telah menciptakan tekanan dan kompetisi yang sangat ketat dalam hal pemanfaatan dan penggunaan lahan. Kondisi ini berimplikasi kepada rendahnya rata-rata kepemilikan lahan pertanian Kabupaten Bandung. Diperkirakan, skala kepemilikan akan terus menurun seiring dengan semakin tingginya laju konversi lahan pertanian (rata-rata di Indonesia) yang mencapai 2.7 % per tahun (Pribadi, 2005).
Gambar 3.1. Hubungan antar komponen permasalahan. Pada satu sisi, terbatasnya lahan yang dimiliki menyebabkan kecilnya peluang bagi pelaku usahatani untuk melakukan ekspansi 51
produksi karena memang pada teknologi yang sedang berlaku terdapat perbandingan lurus antara luas lahan dengan tingkat produksi. Implikasinya adalah petani cenderung untuk mengeksploitasi lahan yang terbatas tersebut untuk memaksimumkan produksi pertanian per satuan luas. Elestianto (2004) menunjukkan bahwa upaya-upaya yang dilakukan untuk memaksimumkan produksi dilakukan dengan mengintensifkan penggunaan pupuk kimia yang tanpa disadari justru menimbulkan deplesi unsur hara tanah yang mengakibatkan turunnya produktivitas lahan dalam jangka panjang. Secara empiris dapat diamati bahwa tingkat produksi pertanian (terutama padi dan palawija) memiliki kecenderungan yang menurun secara gradual (levelling-off). Pada sisi yang lain, pasar komoditas pertanian ditengarai sangat distorsif. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan distorsi pada pasar ini, namun salah satu karakteristik penting dari pasar pertanian adalah struktur pasar yang monopsonistik. Seperti yang telah diketahui, selalu terdapat banyak pelaku tataniaga dalam pemasaran produk-produk pertanian. Kondisi ini menyebabkan tidak sempurnanya transmisi harga dari konsumen ke produsen. Yang biasanya terjadi, adanya kenaikan harga di tingkat konsumen tidak akan menjamin kenaikan harga di tingkat produsen, namun sebaliknya jika terjadi penurunan harga maka proporsi penurunan harga di tingkat produsen akan jauh lebih besar. Kombinasi antara kuantitas produksi yang memiliki kecenderungan semakin rendah dan rentannya harga produk-produk pertanian menyebabkan usahatani menjadi sebuah sektor usaha yang tidak dapat memberikan insentif ekonomi terhadap pelakunya. Pendapatan petani mengalami stagnasi, sementara angkatan kerja baru di pedesaan tidak memiliki cukup alternatif, dimana peluang untuk memperluas lahan pertanian sangat kecil sementara nilai produksi pertanian relatif rendah jika dibandingkan dengan nilai produksi di sektor non-pertanian. Dengan keterbatasan alternatif ekonomi tersebut, sektor formal dan informal di perkotaan relatif memberikan insentif yang lebih menarik bagi angkatan kerja pedesaan. Siklus tersebut memberikan gambaran bahwa pada dasarnya diperlukan sebuah solusi untuk mengatasi hilangnya insentif ekonomi usahatani dan permasalahan pemanfaatan sumberdaya lahan. Hilangnya insentif usahatani lebih banyak disebabkan karena selama ini nilai tukar (terms of trade) produk pertanian relatif sangat rendah bila dibandingkan dengan industri, sementara nilai lahan (land-rent) selalu mengalami eskalasi. Maka dengan itu, derasnya alih fungsi lahan pertanian dan tingginya tingkat urbanisasi merupakan sebuah konsekuensi ekonomi yang sangat logis. 52
Pembangunan sektor pertanian di Kabupaten Bandung yang bersifat regional tidak dapat dilepaskan dari dinamika industri pertanian pada lingkup nasional dan internasional. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa isu-isu strategis yang harus diakomodasi mensyaratkan strategi pembangunan pertanian yang bersifat dinamis; yaitu pemilihan strategi yang dapat mengkonvergensikan kendala-kendala yang dihadapi pada saat ini dengan isu-isu strategis pada masa depan. Seperti yang telah disebutkan pada bagian awal, salah satu aspek yang paling substansial dalam perencanaan strategis dalam jangka panjang adalah menetapkan kondisi ideal sektor pertanian yang akan dicapai sehingga dalam suatu proses penyusunan rencana strategis diperlukan tinjauan mengenai kondisi yang akan tercipta di masa depan; yang selanjutnya ditetapkan menjadi acuan dan tujuan dalam proses transformasi sektor pertanian. Mengingat bahwa pasar komoditas dan produk pertanian bersifat demand driven. Struktur industri seperti ini menunjukan bahwa pertumbuhan sektor atau industri pertanian sangat ditentukan oleh sisi konsumsi. Dinamika perubahan sisi konsumsi akan secara signifikan menuntut pergeseran pola dan perilaku pada sisi produksi agar dapat memanfaatkan potensi dan peluang ekonomi yang timbul dari dinamika tersebut.
3.5.1. Pergeseran Pola Demografis dan Wilayah Tingkat urbanisasi yang tinggi menyebabkan masyarakat yang terlibat pertanian menurun drastis; yang juga berarti bahwa pangsa penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan akan cenderung semakin kecil. Implikasinya adalah masyarakat yang membutuhkan pangan akan berjumlah lebih banyak dibandingkan dengan masyarakat yang memproduksi pangan. Hasilnya adalah tuntutan terhadap ketersediaan dan kontinuitas produksi pangan. Hal ini dapat menjustifikasi lebih cepatnya laju pertumbuhan industri agro dibandingkan dengan sektor pertanian. Selain itu, pergeseran pola demografis menyebabkan munculnya sektor-sektor ekonomi baru dalam rantai pasok pangan; seperti pada lembaga-lembaga dalam rantai tersebut.
3.5.2. Pesatnya Pertumbuhan Industri Ritel Modern Laju pertumbuhan industri ritel modern tidak terlepas dari pola perubahan struktur demografis; terutama di negara berkembang. Beberapa alasan yang mendasari pertumbuhan tersebut adalah; (1) Urbanisasi, yang merupakan stimulan utama pertumbuhan; (2) pergeseran
53
pola konsumsi masyarakat pada pangan olahan dan (3) lebih rendahnya harga komoditas pertanian di ritel modern dibandingkan dengan pasar tradisonal (harga riil). Pada masa 10 tahun mendatang, supermarket diprediksi dapat menguasai lebih dari 75 persen pangsa pasar komoditas ritel; terutama di negara-negara berkembang. Proyeksi ini dilakukan berdasarkan kecenderungan yang terjadi di negara-negara Amerika Latin dan Asia yang memiliki angka pertumbuhan sampai dengan 30 persen per tahun. Faktor utama lainnya sebagai pendorong pertumbuhan industri ritel modern tersebut adalah integrasi perdagangan dunia; terutama flow keuangan dunia (FDI). Semakin terbuka pasar sebuah negara maka semakin besar peluang pertumbuhan ritel modern ini. Beberapa tren perubahan fundamental pada sektor pertanian yang disebabkan oleh pertumbuhan supermarket ini adalah; (1) sistem rantai pasok untuk komoditas pertanian yang tersentralisasi ditandai dengan meningkatnya peran teknologi informasi dan manajemen rantai pasok; (2) hilangnya ketergantungan dan keberadaan spot market ditandai dengan semakin terspesialisasinya pelaku-pelaku dalam sistim rantai pasok pertanian; (3) inovasi bersifat institusional yang bersumber dari top leader firm di dalam industri tersebut; dan (4) standarisasi kualitas dan keamanan produk pertanian yang selalu dinamis.
3.5.3. Pergeseran Pola Permintaan Pangan Pada konteks global, tren perubahan pada pola konsumsi pangan diindikasikan akan dan sedang membawa perubahan di dalam pasar produk-produk pertanian yang memberikan peluang kepada Indonesia beserta wilayah sentra pertaniannya. Salah satu perubahan yang dapat diamati secara empiris ditunjukkan oleh fakta bahwa sektor agro-industri memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian; sektor pertanian menghasilkan bahan baku pangan (unprocessed food) sementara industri agro menghasilkan pangan olahan (processed food). Kondisi ini dapat dijustifikasi dengan melihat bahwa selalu terdapat kecenderungan laju peningkatan pendapatan per kapita masyarakat. Implikasinya adalah belanja pangan masyarakat juga mengalami peningkatan. Namun, proporsi laju peningkatan per kapita diindikasikan lebih cepat dibandingkan dengan proporsi belanja pangan sehingga terjadi pergeseran pola belanja pangan; dari staple food yang merupakan sumber kalori paling murah ke arah pangan yang harganya lebih mahal per unit kalori; seperti pada pangan sumber protein serta buah-buahan dan sayuran.
54
Fakta menunjukkan bahwa dalam hampir tiga dekade ini, struktur pertanian global dan perdagangan pangan dunia telah mengalami perubahan yang sangat dramatis; ditandai dengan penurunan pangsa volume produk pertanian unprocessed dari 22 persen pada tahun 1980 menjadi hanya sekitar 12 persen pada akhir tahun 2005. Penurunan pangsa volume tersebut berimpliksi pada penurunan tingkat ekspor negara-negara berkembang; dari sekitar 39 persen menjadi sekitar 18 persen pada periode yang sama. Pada periode yang sama, produk pertanian non-konvensional menunjukkan tren yang sebaliknya. Volume perdagangan komoditas hortikultur dan buah-buahan di pasar global menunjukkan kecenderungan yang selalu meningkat secara drastis; 21 persen menjadi 41 persen dengan nilai lebih dari 150 milyar dolar. Sebagai bagian dari pergeseran ini, masyarakat akan mengkonsumsi lebih banyak pangan olahan dengan beberapa alasan: (1) rasio pendapatan masyarakat dan biaya pangan menjadi lebih besar karena pangan yang unprocessed dapat diderivasi menjadi beragam jenis pangan sehingga secara riil menjadi lebih murah; (2) pangan olahan cenderung memiliki kualitas yang seragam dan lebih tahan lama sehingga dapat menghasilkan opportunity cost yang lebih rendah.
3.5.4. Tuntutan Keamanan Pangan Sejalan dengan pergeseran produk pertanian segar kepada produk olahan maka fakta menunjukkan bahwa sisi konsumsi telah memberikan perhatian lebih terhadap proses industrialisasi pertanian terutama di negara berkembang. Konsumen pangan cenderung lebih memprioritaskan kualitas dan keamanan pangan. Hal ini berkaitan dengan semakin tingginya kesadaran konsumen terhadap potensi gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh pangan yang dikonsumsi dan kandungan pestisida dalam pangan; dimana proses produksi komoditas olahan berkaitan erat dengan tuntutan efisiensi pada industri yang berimplikasi pada penggunaan input-input modern, teknologi dan rekayasa biologis; yang diindikasikan akan menimbulkan resiko teknis dalam penggunaanya (technological risks). Tuntutan konsumen atas keamanan pangan sangat jelas terlihat dari fenomena semakin tingginya permintaan pangan yang bersifat organik dan ”bersih”. Selain itu, lembaga-lembaga pemberi sertifikasi tingkat dunia semakin banyak terberntuk dan keikutsertaan suatu negara dalam perdagangan internasional komoditas pertanian ditentukan oleh lembaga-lembaga tersebut.
55
3.5.5. Prioritas terhadap Lingkungan dan Hutan (a). Sampah dan Limbah Pertanian Salah satu komponen yang sangat terkait dengan sektor pertanian di masa depan adalah sampah (organik). Selain menghasilkan manfaat ekonomi, sektor pertanian diindikasikan merupakan sektor yang memiliki kontribusi yang tidak sedikit dalam konteks permasalahan persampahan yang dihadapi oleh banyak wilayah terutama kota besar. Sebagai ilustrasi, tabel berikut ini menunjukkan data-data empiris mengenai komposisi timbulan sampah yang terdapat di berbagai kota besar di Indonesia. Dari data pada Tabel 2.1 terlihat bahwa sampah yang berasal dari aktivitas sektor pertanian memiliki pangsa yang paling besar diantara sampah yang dihasilkan oleh sektor lain. Dalam hal ini, kota besar sebagai pasar utama komoditas pertanian menanggung beban lingkungan yang sangat besar (environmental cost). Wilayah kota, sebagai wilayah sentra pemasaran komoditas pertanian menghadapi eksternalitas negatif yang dihasilkan oleh aktivitas pertanian di wilayah hintherland-nya; dimana pangsa sampah organik memiliki pangsa lebih dari 60 persen. Dalam kerangka pembangunan agribisnis, biaya lingkungan yang dihasilkan oleh sektor pertanian berpotensi menjadi kendala dan peluang. Sampah akan menjadi kendala ketika pada satu saat biaya lingkungan tersebut harus diinternalisasi ke dalam biaya produksi pertanian sehingga meningkatkan biaya produksi. Dalam konteks pengolahan sampah, penanganan sampah organik memiliki pangsa terbesar dalam struktur biaya pengolahan karena sifat basah dan amba serta panjangnya proses degradasi. Sementara sampah organik berpotensi menjadi peluang ketika manfaat lingkungannya dapat dieksploitasi oleh sisi produksi; dimana proses degradasinya dilakukan di dalam aktivitas pertanian (sink sequestering). Selain dari keuntungan biologis yang diperoleh, hal ini berdampak langsung terhadap turunnya biaya penanganansampah organik di wilayah konsumsi komoditas pertanian; seperti pada biaya transport dan biaya landfilling. Secara tidak langsung, biaya eksternalitas negatif yang bersifat intangible (seperti potensi emisi gas buang) yang merugikan konsumen dapat dieliminasi.
56
Tabel 3.4 Komposisi Timbunan Sampah Persentase (%)
Jenis sampah Bandung
Jakarta
Surabaya
Organik
64.00
65.00
71.85
Kertas
1.00
10.00
12.45
Kaca
2.00
3.00
0.90
Plastik/karet
4.00
13.50
8.14
Logam
6.00
2.00
0.90
12.00
6.50
5.76
Lain-lain
(b). Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Hutan menjadi salah isu yang paling penting dalam konteks permasalahan lingkungan global. Kecenderungan terjadinya bencana alam; terutama banjir dan kekeringan, memberikan indikasi tidak lagi berfungsinya hutan sebagai penyangga ekosistem. Paradigma hutan sebagai penghasil devisa tampaknya tidak lagi menjadi kerangka utama negara-negara penghasil produk hutan mengingat nilai kerusakan infrastruktur dan tingginya biaya mitigasi bencana akibat tidak berfungsinya hutan. Dalam konferensi Forests, Trees and MDG yang diselenggerakan UNEP (2007), negara-negara penghasil produk kehutanan meratifikasi kesepakatan yang memuat paradigma baru tentang produk kehutanan yang berbentuk barang dan jasa lingkungan (environmental good and services). Kecenderungan semakin intensifnya liberalisasi perdagangan dalam barang dan jasa lingkungan diklaim memiliki potensi yang sangat besar dalam mengedepankan proteksi lingkungan dan pembangunan ekonomi. Ekoturisme merupakan salah satu bentuk produk lingkungan yang dihasilkan oleh hutan. Ekoturisme didefinisikan sebagai kegiatan turisme di lingkungan alam yang bersifat konservasi dan menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Industri turisme merupakan industri terbesar di antara seluruh sektor ekonomi dunia dengan nilai estimasi mencapai 1.56 triliun dollar pada tahun 2020. Pertumbuhan ekonomi industri turisme diperkirakan sebesar 10 persen per tahun sejak akhir tahun 2007. Industri turisme menjadi komponen yang sangat signifikan untuk negara berkembang dengan beberapa fakta; (1) turisme sebagai komoditas “ekspor” utama untuk 83 persen negara berkembang (forex earner); (2) merupakan satu-satunya sektor perekonomian di 57
negara berkembang yang konsisten mencetak surplus ekonomi antar waktu. Sementara untuk ekoturisme, pertumbuhan yang diraih diperkirakan jauh lebih besar dari turisme secara umum; yaitu 30 persen per tahun karena sebagian besar turis berasal dari negara-negara yang secara aktif mendukung proteksi dan konservasi lingkungan.
3.5.6
Kemunculan Industri Biofarmaka
Peran komoditas tanaman obat cenderung semakin meningkat dalam perdagangan local dan internasional. WHO telah secara eksplisit memberikan berbagai advokasi mengenai pemanfaatan tanaman obat dalam program-program kesehatan di Negara-negara berkembang. Fakta menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 50 ribu spesies tanaman yang diindikasikan bermanfaat sebagai tanaman penghasil obat-obatan namun baru sekitar 1000 spesies yang dapat dimanfaatkan secara penuh. Kondisi ini berimplikasi pada sangat besarnya potensi pasar komoditas tanaman obat. Karakteristik produk dan nilai transaksi industri tanaman obat dipaparkan berikut ini. Pertama (1) adalah fitofarmaka; berupa isolat aktif yang berasal dari tanaman obat. Nilai transaksi jenis produk ini diestimasi mencapai 13.5 milyar dolar dengan pertumbuhan sebesar 6.3 persen per tahun. (2) Ekstrak botani atau herbal; merupakan jenis produk tanaman obat non ekstrak. Beberapa negara tujuan ekspor utama adalah AS, Jerman, Perancis dan negara-negara Eropa lainnya. Nilai transaksi produk tersebut diestimasi sebesar 35 milyar dolar dengan laju pertumbuhan sebesar 20 persen per tahun. (3) Nutrasetikal; berupa produk suplemen pada pangan dengan nilai transaksi sebesar 5.5 milyar dolar. (4) Bahan mentah (raw) tanaman obat dengan nilai transaksi mendekati 30 milyar dolar per tahunnya. Berkaitan dengan karakter industri tanaman obat tersebut, pertumbuhan diciptakan melalui berbagai bentuk bio-partnerships antara industri dan petani. Hubungan ini lebih bersifat sebagai suatu perpaduan yang strategis antara ilmu farmasi modern dan tradisional (indigenous knowledge); yang merupakan domain dari masyarakat tradisional. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan dan pengembangan komoditas tanaman obat dititikberatkan pada eksplorasi lebih jauh pada tanaman obat yang belum termanfaatkan dengan dukungan kesinergian dari indutriindustri farmasi.
58
3.5.7. Label Perdagangan Etis dan Adil (Ethics and Fair Trade) Semakin terbukanya pasar dunia dan semakin luasnya pergerakan komoditas pertanian berimplikasi kepada konvergensi tuntutan konsumen terhadap komoditas tersebut. Selain tuntutan konsumen yang mengarah pada aspek keamanan pangan, standarisasi sosial dari sebuah komoditas pertanian yang diperdagangkan semakin keras disuarakan. Beberapa standar sosial yang harus dipenuhi oleh sebuah produk pertanian sebagai syarat untuk diterima oleh konsumen global berkaitan dengan aspek perdagangan yang etis dan adil. Salah satu opsi strategis masa depan yang harus diambil industri pertanan adalah memperluas pangsa pasar. Industri pertanian di India dan Cina telah menginisiasi penggunaan label ethical trade (ETI) dan fair trade (FTI) dengan tujuan merebut pangsa pasar produk pertanian di pasar Eropa. ETI dan FTI merupakan badan sertifikasi yang memberikan jaminan terhadap suatu produk agar dapat diterima konsumen. Sertifikat dari ETI akan menjamin produsen (pengolah) suatu komoditas telah memenuhi syarat-syarat dalam menggunakan tenaga kerja sesuai dengan standar yang telah diratifikasi bersama ILO, sementara FT memberikan jaminan bahwa manfaat ekonomi yang terdapat dalam transaksi suatu komoditas (pertanian) terdistribusi merata pada setiap komponen pasok rantai komoditas tersebut.
59
Renstra
BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN
DINAS PERTANIAN PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN
BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN
Hasil evaluasi pencapaian target kinerja Renstra sampai dengan periode 2013, dapat disepakati tidak terjadi perubahan terhadap visi dan misi Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan. Namun, perubahan terkait dengan indikator kinerja program/kegiatan yang sepenuhnya mempertimbangkan perkembangan pembanguan dan pencapaian kinerja di lapangan.
4.1. Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Visi pembangunan dari Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Bandung periode 2011-2015 adalah “Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan agribisnis berkelanjutan berbasis sumberdaya lokal menuju keunggulan bersaing global, maju, mandiri, dan berwawasan lingkungan” Elemen-elemen yang menjadi jiwa dari visi tersebut adalah; (a) Mensejahterakan masyarakat yang berarti bahwa prioritas pembangunan pertanian ditempatkan pada kesejahteraan masyarakat pada umumnya; dan khususnya pada masyarakat pertanian; dimana kemampuan tukar output pertanian yang dihasilkan petani diharapkan selalu meningkat antar waktu. (b) Pengembangan agribisnis berkelanjutan yang mengandung pengertian bahwa agribisnis merupakan suatu bentuk usahatani yang harus dikembangkan dengan meningkatkan kapasitas sumberdaya pertanian dari waktu ke waktu dengan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai dasar pengambilan keputusannya; yang pada gilirannya memiliki dampak positif terhadap status kesejahteraan masyarakat pertanian dalam terminologi kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. (c) Berbasis sumberdaya lokal yang artinya memanfaatkan semaksimal mungkin segenap potensi yang dimiliki wilayah yang meliputi beragam sumberdaya alam, manusia dan kapital serta derajat keterkaitan wilayah yang dimiliki. (d) Memiliki keunggulan bersaing global yang berarti bahwa output sektor pertanian dihasilkan melalui pola-pola yang terstandarisasi sehingga dapat menjamin keamanan dan kesehatan konsumen sebagai dasar dari keunggulan komparatif dan kompetitif di pasar lokal, nasional dan internasional. 61
Untuk mencapai visi Pembangunan Pertanian tersebut, Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Bandung mengemban misi yang harus dilaksanakan, yaitu: 1. Mendorong peningkatan peran sektor pertanian Kabupaten Bandung dalam perekonomian regional dan nasional. 2. Meningkatkan akses dan ketersediaan sumberdaya pertanian yang bersifat lokal dengan memanfaatkan teknologi untuk menjamin keberlanjutan usaha pertanian. 3. Meningkatkan peran dan keterkaitan antar pelaku usaha melalui integrasi wilayah produksi dan konsumsi komoditas serta produk pertanian. 4. Meningkatkan partisipasi setiap usaha pertanian terhadap pasar bebas melalui pembenahan pola produksi, kelembagaan dan pasar. 5. Membangun agribisnis berwawasan lingkungan
4.2. Tujuan dan Sasaran Jangka Menengah Tujuan: 1. Menumbuhkembangkan sistem manajemen terpadu antar komoditas pertanian dan wilayah sentra produksi 2. Menciptakan sistem produksi pertanian yang menghasilkan nilai tambah dan memiliki keunggulan kompetitif. 3. Menjaga kualitas lingkungan dalam pembangunan pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang berkelanjutan Secara lebih spesifik, tujuan dari implementasi Rencana Strategis Pembangunan Pertanian jangka lima tahun di Kabupaten Bandung memiliki sasaran sebagai berikut: 1. Meningkatkan kesejahteraan kelompok masyarakat yang mata pencahariannya berkaitan langsung dengan sumberdaya pertanian terutama sub-sistem hulu dan produksi yang pada gilirannya juga pada sub-sistem hilir. 2. Meningkatkan swasembada pangan lokal melalui peningkatan produktivitas lahan dan komoditas pangan unggulan lokal 3. Meningkatkan posisi tawar petani melalui penguatan kelembagaan petani serta meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani sehingga mampu meningkatkan partisipasi dan aksesibilitas terhadap inovasi teknologi, perkreditan, informasi pasar, dan kelestarian sumberdaya pertanian 4. Meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif produk pertanian baik produk primer maupun olahan, sehingga mampu berdaya saing di pasar, khususnya pasar ekspor melalui pengembangan agribisnis dalam aglomerasi ekonomi pertanian.
62
5. Mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi pada pembangunan pertanian, pengembangan agribisnis, dan informasi pasar 6. Mengembangkan usaha ekonomi produktif dalam upaya stabilitas kualitas lingkungan hutan dan lahan Rencana Strategis ini setelah disepakati oleh semua stakeholder harus merupakan pedoman dasar bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di sektor pertanian selama sepuluh tahun kedepan. Setiap lima tahun dokumen rencana strategis harus ditinjau kembali dan kemudian direvisi apabila diperlukan. Pedoman ini setelah disahkan akan menjadi dokumen arahan bagi penyusunan rencana pembangunan tahunan dengan target dan sasaran pembangunan yang lebih terarah, efektif, dan efisien. Selanjutnya, Rencana Strategis juga harus dijadikan sebagai bahan evaluasi setiap tahun, merupakan masukan bagi perbaikan program tahun berikutnya. Berdasarkan tujuan dan sasaran di atas, Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan mencanangkan 5 target utama dalam pembangunan pertanian dan kehutanan pada tahun 2011 – 2015, yaitu sebagai berikut: 1. Peningkatan Kesejahteraan Petani 2. Peningkatan Ketahanan Pangan Produktivitas lahan dan komoditas
Lokal
melalui
Peningkatan
3. Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Lokal 4. Pemanfaatan potensi berbasis ekonomi
sumberdaya
hutan
melalui
konservasi
5. Rehabilitasi hutan dan lahan 5 target utama yang dimaksud di atas termasuk didalamnya sebagai upaya pencapaian program unggulan pembangunan pertanian, perkebunan, dan kehutanan 5 tahu mendatang, yaitu: (1) pengembangan pertanian organik; (2) pengembangan agribisnis lokal; (3) pengembangan rumah kemasan; dan (4) konservasi hutan dan lahan melalui pengembangan ekonomi kerakyatan di sekitar hutan. Namun demikian, untuk mencapai target tersebut, pendekatan pembangunan pertanian, perkebunan, dan kehutanan dilakukan dengan mendorong pembentukan kemitraan yang solid diantara semua pelaku yang terlibat dalam manajemen agribisnis termasuk di dalamnya pemerintah lokal, stakeholder pendukung lainnya –perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan lembaga finansial– dan partisipasi masyarakat.
63
Peningkatan Kesejahteraan Petani · Indikasi peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto 2,19% per tahun atau Rp1,598 Triliun adk 2000 pada tahun 2015, terdiri dari 1. bahan pangan Rp1,146 Triliun, 2. perkebunan Rp0,246 Triliun, dan 3. kehutanan Rp0,008 Triliun. · Indikasi peningkatan pendapatan per kapita petani 1,5% pada tahun 2015.
Peningkatan Ketahanan Pangan Lokal · Indikasi peningkatan produktivitas komoditas unggulan pangan 1. Padi 63 kuintal/ha di Tahun 2015 2. Jagung 64,15 kuintal/ha di Tahun 2015 3. Kentang 215,33 kuintal/ha di Tahun 2015 4. Tomat 258,31 kuintal/ha di Tahun 2015 5. Cabe 120,18 kuintal/ha di Tahun 2015 6. Kubis 252,46 kuintal/ha di Tahun 2015 · Peningkatan produksi komoditas pangan lokal 1. Padi 536.347 Ton di Tahun 2015 2. Jagung 53.386 Ton di Tahun 2015 Dukungan Infrastruktur · Lahan pertanian basah dipertahankan 36.212 hektar · Infrastruktur Pengairan: JITUT 20 unit, JIDES 20 Unit, Sumur Pantek 10 unit, Embung 25 unit, dan irigasi air permukaan, termasuk indikasi penambahan cakupan irigasi teknis 9.354 hektar · Pengendalian OPT
5 Target Utama Periode 2011-2015
Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Lokal · Indikasi berkembangnya kelompok usaha agribisnis berbasis komoditas unggulan lokal 1. Agribisnis ubi kayu: 1 kelompok usaha 2. Agribisnis stroberi: 1 asosiasi petani dan 3 kelompok 3. Agribisnis tanaman hias: 2 kelompok usaha 4. Agribisnis biofarmaka: 3 kelompok usaha 5. Agribisnis kopi: 6. Agribisnis teh: · Indikasi pengembangan pertanian ramah lingkungan 1. Agribisnis padi organik 6 kelompok: Bojongsoang, Banjaran, Solokanjeruk, Ciparay, Baleendah 2. Agribisnis sayuran ramah lingkungan 3 kelompok: Pasirjambu, Ciwidey, Arjasari 3. Agribisnis kopi ramah lingkungan: Pangalengan · Indikasi berkembangnya 4 unit kelompok usaha rumah kemasan (Pangalengan, Pasirjambu, Ciwidey, Arjasari) · Indikasi peningkatan produksi komoditas unggulan lokal 1. Stroberi 2.534 Ton di Tahun 2015 2. Mawar 3. Anggrek 4. Sedap malam 5. Kopi 4.407,29 Ton di Tahun 2015 6. Teh 3.495,03 Ton di Tahun 2015 7. Cengkeh 124,28 Ton di Tahun 2015
Pemanfaatan potensi sumberdaya hutan melalui konservasi berbasis ekonomi · Indikasi berkembangnya kelompok usaha hasil kayu dan hasil non-kayu di Tahun 2015: 1. 4 kelompok usaha hasil kayu 2. 2 kelompok usaha lebah madu 3. 2 kelompok usaha agribisnis bambu · Indikasi peningkatan pendapatan per kapita petani 1,5% pada tahun 2015.
Rehabilitasi Hutan dan Lahan · Indikasi menurunnya lahan kritis 15.548 hektar di tahun 2015 · Indikasi berkembangnya Kebun Bibit Rakyat: 5 unit di Tahun 2015
Gambar 3.1 lima target utama Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan periode 2011-2015 64
3.2.1. Peningkatan Kesejahteraan Petani Unsur penting yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani adalah tingkat pendapatan petani. Walaupun demikian tidak selalu upaya peningkatan pendapatan petani secara otomatis diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani, karena kesejahteraan petani juga tergantung pada nilai pengeluaran yang harus dibelanjakan keluarga petani serta faktor-faktor nonfinansial seperti faktor sosial budaya. Walaupun demikian, sisi pendapatan petani merupakan sisi yang terkait secara langsung dengan tugas pokok dan fungsi Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Oleh karena itu, dalam kerangka peningkatan kesejahteraan petani, prioritas utamanya adalah upaya meningkatkan pendapatan petani yang dapat diindikasikan dengan pendapatan domestik regional bruto per kapita petani. Pada Tahun 2009 nilai Pendapatan Domestik Regional Bruto per kapita petani adalah sebesar Rp6.442.344,26 atas dasar harga berlaku dengan pertumbuhan per tahun sebesar 2,19 persen. Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Tahun 2015 menargetkan nilai PDRB di sector pertanian (tanpa perikanan dan peternakan sebesar Rp1,400 Triliun atas dasar harga konstan. 3.2.2. Peningkatan Ketahanan Pangan Lokal Dalam rangka peningkatan produksi pertanian dalam periode lima tahun ke depan, Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan akan lebih difokuskan pada komoditas yang menjadi produk unggulan di Kabupaten Bandung. Komoditas tersebut berjumlah 17 komoditas, yang terdiri dari 3 komoditas tanaman pangan, 11 komoditas hortikultura dan 3 komoditas perkebunan. Tabel 4.1. Komoditas Unggulan Kabupaten Bandung dan Nasional Komoditas Tanaman Pangan
Kabupaten Bandung Pangan Non Pangan Padi, Jagung, dan Ubi kayu
Hortikultura
cabe, bawang merah, kentang, kubis, tomat, stroberi, alpukat
Jahe, tanaman hias
Perkebunan
kopi, teh
Cengkeh, tembakau
Nasional Pangan Non Pangan padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar cabe, bawang rimpang, tanaman merah, hias kentang, mangga, pisang, jeruk, durian, manggis kelapa sawit, karet, kapas, kelapa, tembakau, kakao, kopi, lada, cengkeh, jambu jarak pagar, nilam, mete, teh, tebu kemiri sunan
65
Komoditas unggulan untuk pangan diharapkan dapat memberikan swasembada pangan terutama di pedesaan, terutama komoditas pangan utama seperti padi, jagung, dan kentang. Sasaran produksi tanaman pangan dan hortikultura serta pertumbuhannya periode 2011-2015, dapat dilihat pada Tabel 4.2. Sementara, sasaran produksi tanaman pangan dan hortikultura dapat dilihat pada Lampiran Tabel 4.2. Sasaran Produksi Tanaman Pangan dan Hortikultura 2011-2015 Komoditas 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Padi Palawija Sayuran Buah-buahan Tanaman Hias Tanaman Obat
2011
717,859
2012 552,029 201,032 783,488 182,782
2013 Ton
2014
2015
Pertumbuhan
592,782 236,166 761,008 188,665 299,453 558,532
Adapun untuk tanaman perkebunan, sasaran produksi dan pertumbuhannya periode 2011-2015, dapat dilihat pada Tabel 4.3. Sementara, sasaran produksi tanaman pangan dan hortikultura dapat dilihat pada Lampiran Tabel 4.3 Sasaran Produksi Komoditas Perkebunan Rakyat Komoditas 1. 2. 3.
Kopi Teh Cengkeh
2011
2012
2013 Ton
2014
2015
3.961,21 3.193,45 113,39
4.063,93 3261,14 115,77
4.171,90 3.332,39 118,40
4.286,73 3.411,09 121,24
4.407,29 3.495,03 124,28
Pertumbuhan 2,608% 2,206% 2,224%
Peningkatan nilai produksi pada komoditas-komoditas tersebut lebih dikarenakan adanya peningkatan produktivitas per hektar-nya dan areal tanam pada komoditas perkebunan, terutama kopi dan teh. Untuk mencapai nilai produksi yang ditargetkan, Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan bekerjasama dengan Dinas/Lembaga lainnya di Kabupaten Bandung harus berupaya untuk mempertahankan lahan-lahan produktif untuk pengembangan pertanian. Selain itu, hal tersebut membutuhkan sarana produksi yang efektif, seperti pupuk dan benih/bibit bermutu, dan pendukungan infrastruktur pertanian –pengairan, lahan, jalan, dan kemudahaan aksesibilitas lainnya–.
3.2.3. Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Lokal Peningkatan nilai tambah akan difokuskan pada dua hal yakni sustainabilitas dalam peningkatan kualitas dan jumlah produk pertanian, baik segar maupun produk olahan untuk mendukung peningkatan daya saing dan 66
ekspor. Peningkatan kualitas produk pertanian (segar dan olahan) diukur dari peningkatan jumlah produk pertanian yang mendapatkan sertifikasi jaminan mutu (SNI, Organik, Good Agricultural Practices, Good Handling Practices, Good Manucfacturing Practices). Sat ini, sekitar 80 % produk pertanian diperdagangkan dalam bentuk segar sedangkan 20% dalam bentuk olahan sehingga nilai tambahnya sangat kecil. Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan dalam periode 20112015 menargetkan terbentuknya kelompok-kelompok usaha agribisnis berbasis komoditas unggulan lokal dan produk pertanian yang ramah lingkungan. Pengembangan agribisnis tersebut dalam pendekatan keterpaduan antara sub sistem hulu sampai dengan sub sistem hilir, terutama untuk komoditas-komoditas yang memiliki karakteristik high value commodities, seperti stroberi, sayuran eksklusif, biofarmaka, tanaman hias dan kopi. Jalinan kerjasama antara semua pelaku usaha agribisnis yang terlibat dalam manajemen rantai pasok pertanian melalui pengembangan rumah kemasan menjadi target utama dalam penciptaan agribisnis yang mandiri dan maju serta mampu berdaya saing dalam pasar internal dan eksternal. Seperti diketahui bahwa nilai pendapatan petani dapat bersumber dari usaha pertanian dan usaha non-pertanian. Nilai pendapatan yang bersumber dari usaha pertanian akan diperoleh dari selisih nilai penjualan komoditas usahatani yang dihasilkan dengan biaya usahatani yang dikeluarkan. Nilai penjualan hasil usahatani akan ditentukan oleh volume produksi yang dihasilkan serta harga jual. Makin besar volume produksi yang dihasilkan makin besar pula volume fisik yang dapat dijual, di mana upaya peningkatan volume produksi ini merupakan hal yang sudah banyak dipaparkan pada saat mengupayakan target peningkatan produksi. Sementara itu, walaupun komoditas pertanian berhasil ditingkatkan produksinya, hal tersebut hanya akan secara nyata meningkatkan nilai penjualan manakala harga jual paling tidak konstan atau lebih baik lagi kalau juga meningkat. Oleh karena itu hal fundamental yang perlu diupayakan dalam rangka peningkatan nilai jual ini adalah mempertahankan agar harga jual tidak mengalami penurunan. Salah satu upaya dalam menstabilkan harga produk pertanian adalah melalui pendekatan kemitraan bisnis dalam pengembangan rumah kemasan dan keterpaduan agribisnis. Selama periode 2011-2015, Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan menargetkan adanya pengembangan 8 kelompok usaha rumah kemasan yang mampu menjalin kerjasama dengan petani-petani kecil sebagai sumber pasokan bahan baku di Kecamatan Pangalengan, Ciwidey, Pasirjambu, Cikancung, dan Cimenyan. Selain itu pengembangan pertanian yang ramah lingkungan, baik padi, sayuran, maupun kopi menjadi sasaran target utama dalam menghadapi kerentanan kualitas lingkungan, keamanan pangan, dan perubahan persepsi konsumen pangan. Sasaran utama dalam pengembangan agribisnis, adalah (1) meningkatkan kualitas produk pertanian; (2) meningkatkan kapasitas dan 67
kualitas kelembagaan pertanian serta aksesibilitas permodalan dan kemitraan usaha; dan (3) meningkatkan aksesibilitas pasar produk pertanian unggulan.
3.2.4. Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Hutan melalui Konservasi Berbasis Ekonomi dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kawasan hutan di Kabupaten Bandung meliputi kawasan hutan negara dan kawsan hutan rakyat. Pengelolaan kawasan tersebut dilakukan melalui dua pendekatan yaitu (1) vegetatif dan (2) ekonomi. Hal tersebut dikarenakan adanya ketidakefektifan kinerja jika dilakukan hanya melalui pendekatan vegetatif. Maka dari itu, dalam kurun waktu lima tahun ke depan pada periode 2011-2015, Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan menitikberatkan pada pendekatan ekonomi dalam membangun dan mengendalikan kawasan hutan di wilayah Kabupaten Bandung. Usaha ekonomi merupakan pola penataan aktivitas ekonomi masyarakat di sekitar hutan berbasis hasil kayu dan non-kayu – lebah madu, jamur, bambu, ulat sutera – melalui alternatif usaha agribisnis dan agroforestry. Program dan kegiatan ini akan mendorong perekonomian masyarakat di sekitar hutan dengan tetap menjaga stabilitas kawasan kehutanan. Pendekatan kedua dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan adalah melalui pendekatan vegetatif dan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dalam upaya vegetatif merupakan upaya meningkatkan kontribusi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan lahan, seperti pengembangan KBR.
68
Tabel 4.4 Tujuan dan Sasaran Jangka Menengah Pembangunan Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan NO 1.
2.
TUJUAN Menciptakan sistem produksi pertanian yang menghasilkan nilai tambah dan memiliki keunggulan kompetitif dalam: 1. Peningkatan Ketahanan Pangan Lokal melalui Peningkatan Produktivitas lahan dan komoditas 2. Peningkatan kesejahteraan petani
Menumbuhkembangkan sistem manajemen terpadu antar komoditas pertanian dan wilayah sentra produksi dalam: 1. Pengembangan agribsinis lokal
SASARAN
INDIKATOR SASARAN
Meningkatkan swasembada pangan lokal melalui peningkatan produktivitas lahan dan komoditas pangan unggulan lokal
1. Jumlah Pencapaian produktivitas komoditi - Padi - Palawija 2. Jumah kelompok yang telah memiliki sertifikat organik 3. Tingkat kehilangan/ kerusakan hasil tanaman pangan 4. Prosentase luas tanamn yang telah menerapkan teknologi a. pupuk berimbang b. Benih berlabel 5. Jumlah UPJA 6. Proporsi serangan OPT terhadap luas tanam padi 7. Jumlah pencapaian indeks pertanaman (IP) 8. Jumlah luas areal pertanaman terkena puso 1. Jumlah kelompok tani yang telah menerapkan SOP GAP
1. Meningkatkan posisi tawar petani melalui penguatan kelembagaan petani serta meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani
TARGET KINERJA SASARAN PADA TAHUN KE2 3 4
1
5
61,20 107,54
63,66 108,18
63,75 108,22
64,14 108,67
64,56 108,88
1
2
2
3
3
11,15
10,75
10,53
10,35
10,18
48,38 54,31 6
62,92 68,31 10
65,00 65,00 15
70,00 68,00 17
75,00 70,00 20
14
13
14
12
10
1,98
2,01
2,10
2,29
2,30
562
1.314
550
400
250
NO
TUJUAN
SASARAN
2. Meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif produk pertanian melalui pengembangan agribisnis dalam aglomerasi ekonomi pertanian
INDIKATOR SASARAN a. Sayuran b. Buah-buahan c. Tanaman Hias d. Tanaman Obat 2. Jumlah kebun hortikultura yang telah teregistrasi 3. Jumlah unit rumah kemasan hortikultura 4. Jumlah unit pasca panen dan pengolahan hasil perkebunan a. kopi b. Teh’ c. Cengkeh d. Tembakau 5. Jumlah rata-rata pencapaian produktivtas komoditi a. sayuran b. buah-buahan c. Tanaman Hias d. Tanaman Obat e. Kopi f. Teh’ g. Cengkeh h. tembakau
1 5 1 1 1
TARGET KINERJA SASARAN PADA TAHUN KE2 3 4 15 25 35 3 7 13 2 4 5 2 3 4
5 45 21 6 5
5
9
20
30
40
2
5
8
10
13
5 -
6 -
7 -
8 1 -
9 2 1 1
196,96 kuintal/ha 50,70 kuintal/ha 13,25 tangkai/ha 2,89 kg/m2 1,175 ton/ha 1,982 ton/ha 0,084 ton/ha 0,882 ton/ha
198,13 kuintal/ha 98,00 kuintal/ha 13,53 tangkai/ha 3,07 kg/m2 1,190 ton/ha 2,050 ton/ha 0,205 ton/ha 0,892 ton/ha
204,07 kuintal/ha 100,00 kuintal/ha 16,81 tangkai/ha 3,13 kg/m2 1,190 ton/ha 2,220 ton/ha 0,201 ton/ha 0,900 ton/ha
210,19 kuintal/ha 102,00 kuintal/ha 17,14 tangkai/ha 3,19 kg/m2 1,190 ton/ha 2,350 ton/ha 0,215 ton/ha 0,950 ton/ha
216,50 kuintal/ha 104,00 kuintal/ha 17,48 tangkai/ha 3,25 kg/m2 1,195 ton/ha 2,500 ton/ha 0,220 ton/ha 1,000 ton/ha
70
NO
3.
TUJUAN
Menjaga kualitas lingkungan dalam pembangunan pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang berkelanjutan
SASARAN
INDIKATOR SASARAN
3. Mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi
1. Berkembangnya jaringan network manajemen database pertanian 2. Tersusunnya manajemen database dalam website 1. Prosentase luas lahan kritis yang tertanami 2. Jumlah kelompok berbasis AUK dan agroforestry 3. Luas hutan rakyat/ agroforestry
Mengembangkan usaha ekonomi produktif dalam upaya stabilitas kualitas lingkungan hutan dan lahan
1 2 paket
TARGET KINERJA SASARAN PADA TAHUN KE2 3 4 1 paket 1 paket 1 paket
5 1 paket
1 paket
1 paket
1 paket
1 paket
1 paket
10,28
32,86
40,22
47,58
54,94
23
57
87
118
190
715
2.355
4.745
7.910
12.925
71
4.3. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Pertanian dan Kehutanan 4.3.1 Strategi Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Kerangka migrasi strategi pembangunan pertanian menunjukkan proses penetapan dan perubahan strategi pembangunan antar waktu. Dalam hal ini, migrasi strategi pembangunan pertanian ditetapkan dalam jangka waktu 5 tahun dengan harapan bahwa strategi-strategi yang terpilih pada setiap jangka waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan migrasi tersebut. Kelebihan dari arsitektur strategi ini adalah sifatnya yang sensitif dalam menghadapi perubahan-perubahan yang dinamis pada sektor pertanian dan perkebunan. Berdasarkan strategic foresight dan identifikasi kesenjangan sektor pertanian di Kabupaten Bandung, proses pembangunan pertanian dapat dibagi menjadi tiga jangka waktu dalam tiga dimensi pembangunan; yaitu dimensi produk, pasar dan institusional. Secara umum, pengembangan subsektor tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan diarahkan pada terciptanya komoditas dan produk yang memiliki standar global. Pencapaian standar tersebut ditujukan untuk memperbesar peluang pasar produk tersebut; meskipun mungkin pada faktanya produk tersebut belum dapat menembus pasar global tetapi barriers to entry terhadap pasar internasional telah dapat dieliminasi. Pencapaian standar tersebut dapat dicapai dengan mengikuti pola produksi komoditas dan proses pembentukan produk yang juga terstandarisasi internasional; beberapa diantaranya adalah good agricultural practices dan good manufacturing practices yang telah diratifikasi pada tingkat internasional. Sementara untuk subsektor kehutanan, strategistrategi yang disusun diarahkan untuk menciptakan kawasan hutan yang berkelanjutan; dimana implikasinya adalah harus adanya perubahan pola produksi, dari produksi fisik (kayu dan non-kayu) menjadi produksi barang dan jasa lingkungan (dalam hal ini adalah ekowisata). Dalam jangka pendek, strategi-strategi yang disusun untuk setiap dimensi bersifat penentuan dan identifikasi komponen pengembangan untuk masing-masing subsektor. Strategi identifikasi sangat dibutuhkan sebagai dasar untuk strategi berikutnya; atau untuk perubahan (dan migrasi) strategi pada jangka waktu berikutnya. Pada subsektor tanaman pangan, penentuan komoditas pertanian yang akan menjadi fokus pengembangan dan pemetaan pelaku usaha dalam komoditas tersebut (beserta stakeholders-nya) dirasakan sangat relevan sebagai dasar pengembangan selanjutnya. Selain dari komoditas, wilayah dimana komoditas tersebut dapat dikembangkan juga menjadi dasar dari pengembangan komoditas. Sebagai justifikasi, pengembangan suatu komoditas memerlukan keterkaitan antara aspek spasial dengan jaringan usahatani komoditas tersebut. Keunggulan komoditas dapat dicapai dengan memanfaatkan dampak tumpahan (spillover effect) yang cenderung terjadi pada wilayah-wilayah sentra produksi pertanian 72
yang berkelompok membentuk cluster. Cluster sentra produksi berbagai komoditas pertanian yang terbentuk secara alami di Kabupaten Bandung disajikan pada Lampiran 1. Pada subsektor perkebunan, inventarisasi teknologi produksi dan upaya penerapannya menjadi komponen yang cukup penting mengingat permasalahan yang dihadapi bermuara pada sisi produksi dan pengolahan hasil. Sementara pada subsektor kehutanan, komponen-komponen kelembagaan merupakan komponen penting karena permasalahan yang dihadapi adalah mengenai konflik pemanfaatan sumberdaya alam dan penanganan lahan dan air. Strategi identifikasi tersebut selanjutnya dilengkapi dengan upayaupaya mengembangkan pola produksi yang konvergen pada konsep good agricultural practices (GAP). GAP harus dijadikan dasar pada proses pembangunan pertanian karena konsep ini memuat pola produksi yang bersifat holistik dan dapat diterapkan secara spesifik pada setiap jenis sistem agroekologis. Pengadopsian konsep ini dapat dilakukan setelah wilayah dan komoditas utama telah teridentifikasi. Selanjutnya diperlukan proses penerjemahan prinsip-prinsip GAP tersebut sesuai dengan karakteristik wilayah dan komoditas yang bersangkutan. Strategi jangka pendek juga akan diwarnai dengan upaya-upaya mengembangkan mekanisme supply chain (SCM) pada setiap komoditas. SCM merujuk pada kegiatan manajerial (koordinasi) antar pelaku dan lembaga yang terlibat dalam sektor pertanian (produksi, distribusi dan pemasaran) dengan tujuan mengahasilkan produk yang diminta oleh konsumen. Yang menjadi penekanan pada mekanisme ini adalah proses kolaborasi perencanaan dan keterkaitan antar pelaku usahatani tersebut. Strategi ini sangat relevan dengan Dinas Pertanian Kabupaten Bandung yang berfungsi sebagai fasilitator pembangunan pertanian. Di dalam dimensi pasar, competitive intelligence (CI) menjadi kunci dari strategi-strategi jangka pendek. Strategi CI mencakup proses-proses yang berkaitan dengan mengumpulkan, menganalis, dan mengaplikasikan informasi yang diperoleh berkaitan dengan komoditas dan produk. Dalam operasionalisasinya, CI dapat dilakukan dengan membentuk jaringan formal dengan stakeholders yang terlibat dalam sektor pertanian. Dalam konteks ini, CI lebih ditekankan kepada penggalian informasi mengenai pasar komoditas dan produk pertanian. Pada gilirannya, informasi-informasi yang diperoleh akan diterjemahkan sebagai input dalam melakukan penyesuaian rencana strategis ketika pasar pertanian mengalami dinamika. Informasi-informasi yang dibutuhkan oleh Kabupaten Bandung terntunya berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan sektor pertanian serta peluang-peluang yang dapat dieksploitasi. Kerangka keterkaitan strategi dan migrasi stretegi disajikan pada Gambar 10. 73
Sebagai hasil dari jangka pendek, terdapat beberapa komponen dasar strategi yang harus diterapkan. Pada jangka menengah diharapkan telah terciptanya arah menuju pola produksi komoditas dan pasar yang bersifat kontrak (contract based). Sebagai justifikasi, pasar yang bersifat kontrak akan memberikan peluang yang lebih besar terhadap usahatani berskala kecil untuk dapat berpartisipasi dalam pasar. Meskipun begitu, pola ini memerlukan jaringan usaha yang relatif telah terbangun; dimana usaha-usaha untuk membangun jaringan tersebut telah diinisiasi pada strategi jangka pendek. Selanjutnya, lingkungan yang dapat mendorong usahatani kecil untuk dapat memenuhi standar dalam pola kontrak harus dikembangkan.
74
PASAR
1 2 3
PRODUK
KELEMBAGAAN
1 2 3 4 5 6
1 2 3 4
Competitive intelligent. Pemetaan karakteristik dan perilaku pasar. Inventarisasi kendala barriers to entry pada pasar. Pengembangan promosi generik. Inisiasi penetrasi pasar (penekanan pada pasar ritel moderen).
4
Inisiasi untuk mentransformasi kelembagaan petani berbasis produksi menjadi berbasis pasar (nilai). Pengembangan aglomerasi di sektor pertanian. Pemetaan dan identifikasi keterkaitan di antara jaringan pelaku usaha dan stakeholders di sektor pertanian. Menginisiasi pembentukan forum pada (3.) dan merancang proses kolaborasi di dalam rantai pasokan. Pemetaan industri penunjang komoditas dan produk. Inisiasi pembentukan klaster agribisnis pangan dan perkebunan. Pengembangan supply chain and network management (SCNM).
7 8 9
Pemetaan komoditas aktual dan potensi. Penentuan fokus pengembangan komoditas. Inventarisasi dan inisisasi pemanfaatan teknologi yang tersedia pada tingkat nasional dan internasional. Penyesuaian dan penerapan standar komoditas dan terdiferensiasi. Sosialisasi dan inisiasi penerapan Integral Chain Care tahap awal (penekanan pada sektor budidaya; good agricultural practices, good pesticide practices).
Jangka Pendek
5
Transformasi perilaku pasar yang informal (open negotiation based) menjadi formal (contract based). Penetrasi pasar (penekanan pada niche market dan pasar industri).
Pemetaan cluster komoditas dan produk. Pengembangan sistem informasi cluster. Pengarahan dan pemanfaatan dana corporate social responsibility untuk pembentukan cluster. 10 Menciptakan iklim kondusif untuk merangsang pembentukan aliansi strategis antar pelaku usaha dan stakeholders. Pengembangan biopartnership pada industri agrofarmaka. 11 Pengembangan collaborative decision making.
5 6
Penerapan Integral Chain Care selanjutnya (penekanan pada good manufacturing practices, HACCP dan sistim traceability). Adopsi teknologi yang tersedia untuk pengembangan komoditas menjadi produk derivatif;.
Jangka Menengah
6
Penetrasi pasar nasional untuk komoditas terfokus beserta produk dan produk derivatifnya. Pemanfaatan peluang pasar global (extenderization).
12 Pemanfaatan kekuatan kolaborasi dan SCNM untuk menciptakan co-innovation pada produk. Pengembangan sistem inovasi agribisnis. 13 Proses regenerasi dan suksesi pada generasi muda agripreneur.
7
Pengembangan industri pertanian di sektor hilir.
Jangka Panjang
Gambar 10. Kerangka Migrasi Strategi Pembangunan Sub-Sektor Tanaman Pangan dan Perkebunan Kab. Bandung
75
Salah satu prasyarat bagi terciptanya pasar kontrak adalah adanya standarisasi komoditas atau produk pertanian. Pada jangka pendek, upayaupaya standarisasi telah diinisiasi salah satunya melalui strategi adopsi konsep GAP; dan pada jangka menengah dikembangkan lebih lanjut dengan mengadopsi konsep traceability. Konsep ini merujuk pada kelengkapan informasi pada setiap tahap produksi komoditas pertanian. Konsep ini sangat perlu diadopsi mengingat bahwa preferensi konsumen telah berubah ke arah makanan yang aman dan sehat; dimana perhatian konsumen terhadap proses produksi akan semakin besar pada masa mendatang. Isu-isu mengenai penggunaan komoditas pertanian transgenik dan bahan kimia akan memperbesar tekanan konsumen terhadap produsen. Sejalan dengan konsep traceability, secara paralel konsep HACCP (hazard analysis and critical control points) harus dapat diterapkan. HACCP merupakan suatu pendekatan yang sistematik terhadap keamanan pangan yang dilakukan pada setiap tahap produksi pangan tersebut. Pendekatan ini dianggap sangat perlu mengingat bahwa selama ini inspeksi pangan lebih sering dilakukan pada tahap akhir produksi. Pada sisi kelembagaan, pembangunan jangka menengah harus diwarnai dengan pengembangan kolaborasi pengambilan keputusan usaha (collaborative decision making) diantara pelaku pada sektor pertanian untuk menjamin efektivitias dari serangkaian strategi-strategi yang telah dilakukan sebelumnya. Pengambilan keputusan usahatani secara kolaboratif merupakan strategi lanjutan dari strategi SCM; dimana kolaborasi menunjukkan bentuk hubungan antar pelaku dan lembaga dalam sektor pertanian yang bersifat partnership. Konsekuensi dari bentuk hubungan tersebut adalah adanya kontrak formal mengenai distribusi profit dan loss yang dialami dalam rantai produksi tersebut. Dalam jangka panjang merupakan pengembangan dari strategi-strategi yang telah disusun pada jangka pendek. Dalam jangka menengah, strategistrategi akan mengalami perubahan (penyesuaian) terhadap tujuan yang akan dicapai pada jangka panjang. Dari sekian banyak opsi strategi, pembentukan integral chain care (ICC) pada subsektor tanaman pangan dan perkebunan perlu mendapatkan prioritas karena ICC merupakan koridor utama dalam pencapaian target pengembangan. Pada subsektor perkebunan, pembentukan aliansi strategis dengan asosiasi-asosiasi perlu dilakukan untuk dapat meningkatkan posisi tawar dari produk yang dihasilkan. Di antara beberapa dimensi pembangunan dalam kerangka migrasi strategi, dimensi kelembagaan tampaknya belum menjadi perhatian utama. Paradigma baru dalam pembangunan pertanian menyaratkan keseluruhan dimensi mendapatkan proporsi pengembangan yang seimbang. Pembangunan pertanian di dalam dimensi kelembagaan melalui aktivitas-aktivitas yang bersifat co-innovation, collaborative decision making dan beragam skema
76
yang mengambil bentuk biopartnerships diharapkan akan tercapainya target pembangunan pertanian yang berkelanjutan.
menjamin
Berkaitan dengan subsektor kehutanan, perencanaan dapat diterjemahkan sebagai sebuah proses pengambilan keputusan dan kegiatan yang berkesinambungan dalam menentukan alternatif pemanfaatan dan konservasi sumberdaya hutan dengan tujuan tertentu pada jangka menengah dan jangka panjang. Dalam konteks perencanaan strategis ini, pengembangan subsektor kehutanan diarahkan pada pemanfaatan hutan yang tidak bersifat eksploitatif sebagai altenatif dari pemanfaatan yang konvensional. Pada jangka pendek, strategi-strategi pengembangan kehutanan diarahkan pada upaya-upaya mengidentifikasi manfaat lain dari hutan dalam menghasilkan barang dan jasa lingkungan. Sebelumnya, telah dikemukakan bahwa dari sekian alternatif pemanfaatan hutan maka ekowisata (ecotourism) menawarkan peluang yang sangat besar untuk dikembangkan. Dalam konteks ini, peran utama dari Dinas adalah sebagai koordinator dan negoisator mengingat bahwa hutan adalah sebuah barang publik yang hingga saat ini selalu menghadapi masalah-masalah hak properti dan hak pemanfaatannya. Sebagai konsekuensi dari barang publik, terdapat banyak pelaku ekonomi yang sangat berkepentingan dalam memanfaatkan hutan; dan tidak jarang menimbulkan konflik sumberdaya. Fungsi negoisator menjadi sangat relevan dengan banyaknya pelaku ekonomi yang terlibat tersebut. Pada jangka menengah, strategi pengembangan beralih pada aspek penyediaan infrastruktur yang berkaitan dengan ekowisata. Selain dari anggaran belanja pemerintah, penyediaan infrastruktur tersebut dapat dilakukan melalui pihak swasata yang distimulasi dengan pemberian insentif fiskal. Dalam pengembangannya, peranan masing-masing stakeholder dalam subsektor kehutanan menjadi sangat krusial. Keberhasilan pengelolaan hutan tentunya sangat bergantung pada komitmen dan partisipasi stakeholder. Selain itu, pendidikan informal yang berkaitan dengan konservasi sumberdaya alam harus telah disosialisikan; terutama ditujukan pada masyarakat yang berhubungan langsung dengan hutan. Pada jangka panjang, strategi-strategi diarahkan kepada pengintegrasian ekowisata di Kabupaten Bandung pada jaringan keparawisataan nasional dan internasional. Kegiatan-kegiatan promosi menjadi kunci bagi terlaksananya strategi ini. Selain itu, objek ekowisata tersebut telah terhubung dengan upaya-upaya konservasi lainnya yang mengarah pada proteksi wilayah yang bersangkutan.
77
PASAR KELEMBAGAAN PRODUK
1
Identifikasi pasar barang dan jasa lingkungan; menyusun target pasar. Penyusunan paketpaket produksi barang dan jasa lingkungan.
1
Pemetaan stakeholders kehutanan; terutama masyarakat sekitar hutan. Pembentukan komunitas hutan. Inisiasi pembentukan jaringan bisnis dan pendidikan.
1
Inventarisasi detil mengenai interaksi antara hutan dengan objek lainnya (aspek teknososio-ekonomi).
Jangka Pendek
2
Pemenuhan kebutuhan infrastruktur minimal dengan memanfaatkan jaringan dengan swasta.
2
Pembakuan mekanisme sharing manfaat dan tanggung jawab dengan stakeholders. Pengembangan sistim pendidikan lingkungan.
2
Adopsi dan pembakuan standar mengenai pengelolaan hutan sesuai konvensi internasional.
Jangka Menengah
3
Inisiasi pengintegrasian objek hutan ke dalam jaringan kepariwisataan nasional dan internasional.
3
Pemberlakuan audit sosial terhadap stakeholders. Pemanfaatan kekuatan kolaborasi untuk menciptakan co-innovation pada produk lingkungan.
3
Konvergensi sistim pertanian dengan produk dan jasa lingkungan.
Jangka Panjang
Gambar 11. Kerangka Migrasi Strategi Pembangunan Sub-Sektor Kehutanan Kab. Bandung
78
4.3.2. Kerangka Kebijakan Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Jangka Pendek dan Menengah Sejalan dengan visi dan misi Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Bandung yang telah ditentukan sebelumnya, diperlukan beragam kebijakan strategis untuk mendukung pencapaian tujuan dan sasaran dari pembangunan sektor pertanian. Pada sub bab ini akan dibahas kebijakan-kebijakan besar untuk mendukung strategi pembangunan sektor pertanian yang dikelompokkan sesuai dengan dimensi pembangunan yang telah dibuat sebelumnya. Hasil kajian sebelumnya telah menunjukan bahwa pembangunan sektor pertanian di Kabupaten Bandung masih memiliki kesenjangan mendasar antara kondisi aktual dengan kondisi ideal yang diharapkan pada masa depan. Secara garis besar, strategi, kebijakan dan program yang disusun untuk meningkatkan kesejahteraan petani bertujuan untuk memfasilitasi peningkatan pendapatan petani melalui pemberdayaan, peningkatan akses terhadap sumberdaya usaha pertanian, pengembangan kelembagaan, dan perlindungan terhadap petani. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah: (1) meningkatnya kapasitas dan kapabilitas petani, (2) semakin kokohnya kelembagaan petani, (3) meningkatnya akses petani terhadap sumberdaya produktif; dan (4) meningkatnya pendapatan petani. Dalam rangka meningkatkan pendapatan petani tersebut, maka arah yang perlu ditempuh adalah memperluas cakupan kegiatan ekonomi produktif petani serta peningkatan efisiensi dan dayasaing. Perluasan kegiatan ekonomi yang memungkinkan dilakukan adalah: (1) peningkatan nilai tambah melalui pengolahan dan perbaikan kualitas; dan (2) mendorong kegiatan usahatani secara terpadu mencakup beberapa komoditas pertanian. (a).
Kebijakan yang berdasarkan strategi Produksi Kerangka kebijakan yang termasuk di dalam dimensi produk dibentuk berdasarkan target pencapaian kinerja pertanian yang berkaitan dengan sisi produksi pertanian. Dalam rangka memperoleh keunggulan kompetitif komoditas dan produk pertanian, maka secara spesifik target jangka panjang yang akan dicapai adalah memperoleh komoditas yang telah mendapatkan standarisasi internasional dan bersifat terdiferensiasi. Ringkasan kerangka kebijakan dalam dimensi produk disajikan berikut ini. Kebijakan Penetapan komoditas dan wilayah sentra produksi komoditas unggulan
Rencana Tindakan · Inventarisasi dan evaluasi potensi sumberdaya pertanian · Penyusunan peta pewilayahan komoditas · Pengembangan komoditas unggulan berdasarkan pewilayahan komoditas · Pengembangan agroindustri pada di kawasan sentra produksi
79
Kebijakan Peningkatan kinerja sistem pemenuhan input produksi (stok, distribusi dan akses usahatani terhadap input pada setiap jangka waktu) Penetapan standar proses produksi dan mutu produk. (Adopsi standar, sosialisasi dan difusi pada setiap jangka waktu)
· · · · · · · · ·
Pengadopsian dan penetapan kerangka pengolahan dan pemanfaatan berdasarkan prinsipprinsip konservasi hutan (pengkajian, adopsi standar dan penetapan regulasi lokal) Koordinasi, adopsi, sosialisasi dan penerapan teknologi
Rencana Tindakan Fasilitasi sistem penyediaan sarana produksi Pengembangan jaringan permodalan. Pengembangan perbenihan komoditas unggulan Fasilitasi subsidi input produksi Pengembangan jasa alsintan Penerapan standar kualitas dan keamanan pangan Penerapan metode GAP, GMP dan HACCP Sosialisasi dan penerapan aturan SPS (sanitary and phytosanitary) Pengembangan sistem monitoring keamanan pangan dan traceability
· Pengkajian mengenai tataguna lahan dan air · Pengkajian kebutuhan infrastruktur pendukung pemanfaatan hutan (ekowisata) · Pengidentifikasian wilayah-wilayah konservasi dan penentuan batas pembangunan · Adopsi dan penerapan konsep pengelolaan hutan yang bersifat best practices · Peningkatan koordinasi dengan lembaga penelitian (nasional dan internasional) dan perguruan tinggi · Penyerapan teknologi pada berbagai dimensi: sumberdaya, perbaikan sistem produksi, mekanisasi, peningkatan produktivitas, pasca panen dan bioteknologi
Diantara berbagai opsi kebijakan di dalam dimensi pengembangan produk, kebijakan penetapan standar mutu produksi tampaknya belum mendapatkan prioritas. Sesuai dengan target yang akan dicapai, penetapan standar mutu produksi berfungsi sebagai benchmark dan indikator kinerja produksi komoditas dan produk pertanian. Penetapan standar mutu ini merupakan akumulasi dari beberapa komponen yang dapat dijadikan acuan dalam merencanakan program pengembangan yang lebih spesifik. Di dalam subsektor kehutanan, kebijakan pengadopsian dan penetapan kerangka pengolahan dan pemanfaatan berdasarkan prinsipprinsip konservasi hutan ditujukan untuk menciptakan produk dan jasa lingkungan yang dapat digunakan sebagai patokan dalam setiap jangka waktu pembangunan. Kebijakan ini mencakup beberapa komponen pengembangan; (1) pengkajian mengenai berbagai manfaat hutan yang kemudian dapat disosialisasikan kepada setiap stakeholders; (2) pengadopsian standar internasional mengenai kegiatan pemanfaatan hutan; dan (3) penetapan regulasi sebagai koridor terlaksananya kebijakan tersebut.
80
(b).
Kebijakan yang berdasarkan strategi Pasar
Pencapaian utama pembangunan dalam dimensi pasar adalah menciptakan peluang dan keikutsertaan komoditas dan produk pertanian di pasar global. Kebijakan-kebijakan yang dapat memayungi proses pencapaian tersebut disajikan berikut ini. Kebijakan Penetapan mekanisme yang berkaitan dengan riset pasar (identifikasi peluang pasar) Pengembangan alternatif sistim transaksi (pembiayaan, pengalihan resiko dan penjaminan)
Rencana Tindakan · Pengembangan mark et-competitive intelligence · Pengembangan inovasi pertanian spesifik lokasi · Pengembangan pola contract farming. · Pemfasilitasian investasi dan proses kemitraan usaha pertanian · Pemfasilitasian microfinance: microinsurance dan microleasing
Peningkatan fungsi fasilitasi dan advokasi antara pelaku pasar
· Pengembangan jaringan informasi pasar di pedesaan · Advokasi dan pendampingan dengan tujuan meperkuat aspek legal usaha pertanian
Penetapan mekanisme yang berkaitan dengan riset pasar jasa lingkungan (identifikasi produk dan jasa dan promosi)
· Pengkajian mengenai permintaan pasar ecotourism · Dukungan kelembagaan terhadap pemasaran dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan ecotourism
Beberapa dari kebijakan di atas yang belum mendapatkan prioritas adalah kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan riset pasar dan peningkatan fungsi fasilitasi dan advokasi. Riset pasar sangat dibutuhkan untuk tetap menjamin kedinamisan strategi dan keberlanjutan keunggulan komoditas dan produksi pertanian yang dihasilkan. Mengingat perilaku pasar (sisi permintaan) yang selalu berubah, maka dibutuhkan strategi yang juga dituntut untuk selalu dapat beradaptasi dengan perubahan. Dalam hal ini, riset pasar merupakan bahan bakar utama bagi upaya-upaya adaptasi yang harus dilakukan. Kebijakan peningkatan fungsi fasilitasi dan advokasi antara pelaku pasar juga sangat penting untuk diprioritaskan. Kebijakan ini ditujukan untuk mengantisipasi kecenderungan terjadinya kegagalan pasar yang kerap terjadi pada sektor pertanian. Selain itu, fungsi fasilitasi tentunya sangat dibutuhkan untuk mengintegrasikan usahatani berskala kecil (tradisional) kepada alternatif-alternatif sistim transaksi moderen yang sedang mengalami pertumbuhan pesat pada saat ini. Selain itu, sudah waktunya untuk juga dipikirkan mengenai: pengembangan manajemen resiko usahatani dan penciptaan iklim investasi usaha yang kondusif. Untuk itu, pemerintah daerah perlu menunjukan political will yang kuat dalam menunjang para pelaku agribisnis dengan dibuatnya 81
program-program yang spesifik. Kebijakan dan program yang berkaitan dengan pengembangan sistem pembiayaan, pengalihan resiko, sistem penjualan, dan jaminan kepastian usaha juga merupakan pelengkap untuk kebijakan dasar dalam dimensi ini.
(c). Kebijakan yang berdasarkan strategi kelembagaan Pada jangka panjang, pembangunan pertanian dalam dimensi institusional ditujukan pada terciptanya sistem cluster pada sektor pertanian. Selanjutnya cluster akan berperan sebagai media dasar dalam mengembangkan kolaborasi antar stakeholders dalam rantai produksi komoditas. Kerangka kebijakan pendukung pencapaian tersebut disajikan pada matriks kebijakan selanjutnya. Kebijakan pertama yang harus dilakukan adalah menata kembali fungsi pemerintah sebagai kelembagaan penunjang yang didasari oleh kebutuhan sektoral, dengan demikian akan jelas struktur dan hirarki kelembagaan pemerintah dalam sektor pertanian. Langkah tersebut diharapkan akan berdampak pada koordinasi yang baik diantara para pengambil dan pelaksana kebijakan pengembangan pertanian. Selain itu, peningkatan profesionalisme aparatur Dinas Pertanian diharapkan menjadi akselerator terbentuknya proses kolaborasi tersebut. Selanjutnya, kebijakan harus didukung pula dengan kebijakan pengembangan sistem koordinasi usahatani. Keragaan usahatani memerlukan dukungan yang bersifat lintas fungsional, administrasi dan disiplin disertai dengan penggunaan teknologi (teknik) di bidang manajemen yang akan memberikan dampak signifikan terhadap kinerja sektor pertanian di Kabupaten Bandung. Kebijakan Penataan fungsi tugas pemerintah yang didasari oleh kebutuhan spesifik
· ·
Penetapan mekanisme keterkaitan lembaga peneltian dengan pelaku sektor pertanian dan pasar
·
Pengembangan sistem koordinasi dan komunikasi pertanian
· · · ·
Rencana Tindakan Pendidikan dan pelatihan teknis SDM Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Peningkatan profesionalisme SDM Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Peningkatan koordinasi dengan lembaga penelitian (nasional dan internasional) dan perguruan tinggi (perencanaan kolaboratif) Pengembangan lembaga pertanian di pedesaan Penyebaran informasi mengenai program pembangunan pertanian (partisipatif) Peningkatan peran pengawasan partisipatif program pembangunan pertanian Penciptaan proses pengambilan keputusan yang bersifat kolaboratif
82
Kebijakan · Pemberdayaan masyarakat kehutanan
· ·
·
Rencana Tindakan Mendorong berfungsinya cluster-cluster komoditas pertanian Penjabaran karakteristik hukum adat atau norma lokal spesifik dalam pengelolaan hutan Peningkatan partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan dan program pemanfaatan hutan Peningkatan kewirausahaan masyarakat kehutanan melalui pendidikan informal
Masih berkaitan dengan dimensi institusional, permberdayaan masyarakat dalam rangka pembangunan sektor perkebunan dan kehutanan merupakan komponen yang paling relevan mengingat konflik sumberdaya yang sering timbul di kedua subsektor ini. Pada subsektor perkebunan, peningkatan kapasitas pekebun-pekebun berskala kecil dan buruh perkebunan dapat dilakukan melalui optimasi penggunaan isu corporate social responsibility pada perusahaan perkebunan berskala besar; termasuk di dalamnya perusahaan perkebunan milik pemerintah. Di dalam sub sektor kehutanan, optimasi pemanfaatan hutan dapat dilakukan dengan meningkatkan keterlibatan masyarakat, terutama masyarakat pinggiran hutan. Dengan rekayasa kelembagaan, diharapkan masyarakat menjadi aktif dalam melakukan kegiatan konservasi serta mengalihkan ekstraksi sumberdaya hutan menjadi bentuk-bentuk jasa lingkungan. Rekayasa kelembagaan tersebut dapat diinisiasi dengan mengidentifikasi hukum adat atau norma yang berlaku lokal. Selanjutnya, penentuan pengelolaan hutan dapat diformulasikan bersama-sama seluruh stakeholders primer; sementara peningkatan kapasitas kelembagaan dapat dilakukan melalui beragam bentuk pendampingan dan advokasi. (d) Kebijakan yang berdasarkan Pengelolaan Lingkungan Target pencapaian pembangunan pertanian dan kehutanan berkelanjutan sebagaimana diuraikan di atas akan sangat dipengaruhi oleh fenomena perubahan iklim yang telah menjadi isu global dan sangat berdampak terhadap kelangsungan pembangunan di masa yang akan datang. Perlu upaya mengurangi dampak negatif perubahan iklim terhadap sumberdaya dan sistem produksi pertanian serta terhadap sosial ekonomi petani dan juga peningkatan kualitas lingkungan, terutama kualitas lahan dan hutan. Oleh karena itu, untuk menyiapkan antisipasinya diperlukan analisis tentang kerentanan dampak perubahan iklim, inventarisasi dan delineasi wilayah yang terkena dampak, serta penyusunan road map rencana aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan lingkungan.
83
Renstra
BAB VI INDIKATOR SKPD YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN RPJMD
DINAS PERTANIAN PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN
BAB V INDIKATOR KINERJA DALAM TUJUAN DAN SASARAN RPJMD
Dalam rangka mencapai keberhasilan pembangunan nasional pertanian dan kehutanan, diperlukan keselarasan sasaran antara pusat dan daerah yang terwujud dalam indikator kinerja sebagai parameter keberhasilan pembangunan sektor pertanian dan kehutanan di daerah yang pada akhirnya juga merupakan konstribusi terhadap keberhasilan pemerintah pusat dalam mencapai sasaran pembangunan nasional. Berikut di bawah adalah keselarasan sasaran pembangunan pertanian kementrian dan daerah.
Tabel 5.1. Tujuan dan Sasaran RPJMD Terkait dengan Bidang Pertanian dan Kehutanan Tujuan
Sasaran
Menciptakan lingkungan yang serasi dan seimbang dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan
1. Berkurangnya tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan 2. Meningkatnya Fungsi kawasan lindung dan daerah hijau 3. Berkurangnya luas lahan kritis
Meningkatkan konstribusi ekonomi kerakyatan terhadap perekonomian daerah
1. Meningkatnya nilai tambah petani 2. Meningkatnya potensi-potensi unggulan daerah
85
Tabel 5.2. Tujuan Dan Sasaran Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Tujuan
Sasaran
Menumbuhkembangkan sistem manajemen terpadu antar komoditas pertanian dan wilayah sentra produksi
Meningkatkan swasembada pangan lokal melalui peningkatan produktivitas lahan dan komoditas pangan unggulan lokal
Menciptakan sistem produksi pertanian yang menghasilkan nilai tambah dan memiliki keunggulan kompetitif
Meningkatkan kesejahteraan kelompok masyarakat yang mata pencahariannya berkaitan langsung dengan sumberdaya pertanian terutama sub-sistem hulu dan produksi yang pada gilirannya juga pada subsistem hilir Meningkatkan posisi tawar petani melalui penguatan kelembagaan petani serta meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani sehingga mampu meningkatkan partisipasi dan aksesibilitas terhadap inovasi teknologi, perkreditan, informasi pasar, dan kelestarian sumberdaya pertanian Meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif produk pertanian baik produk primer maupun olahan, sehingga mampu berdaya saing di pasar, khususnya pasar ekspor melalui pengembangan agribisnis dalam aglomerasi ekonomi pertanian dan pengembangan pertanian organik Mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi pada pembangunan pertanian, pengembangan agribisnis, dan informasi pasar
Menjaga kualitas lingkungan dalam pembangunan pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang berkelanjutan
Mengembangkan usaha ekonomi produktif dalam upaya stabilitas kualitas lingkungan hutan dan lahan
86
Wilayah Kabupaten Bandung Mayoritas adalah perdesaan yang menggantungkan hidup dari hasil pertanian, sehingga perdesaan merupakan tumpuan pembangunan daerah dengan sasaran utama bidang pertanian. Salah satu upaya pembangunan perdesaan tersebut adalah dengan visi ”Memantapkan Pembangunan Perdesaan” oleh pemerintah Daerah Kabupaten Bandung yang kemudian ditelurkan program pembangunan perdesaan melalui SKPD. Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan mempunyai peran pembangunan perdesaan melalui beberapa program dengan sasaran utama adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa yang mata pencahariannya bersentuhan dengan bidang pertanian. Dalam rangka mewujudkan pemantapan desa mandiri pangan Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan mempunyai sasaran pembangunan pada: (1) Peningkatan produksi dan produktifitas hasil pertanian melaui transfer dan penerapan teknologi pertanian terkini, pengembangan bibit unggul, Pembinaan budidaya. (2) Pembangunan kerjasama petani dengan stakeholder pengolahan dan pemasaran hasil olahan produksi pertanian. (3) Meningkatkan keunggulan hasil produksi dan daya saing pasar dengan langkah penerapan serta sertifikasi teknologi budidaya dan pengolah hasil pertanian. (4) Meningkatkan peran kelembagaan dalam pembangunan perdesaan. (5) Memfasilitasi dorongan permodalan dari lembaga terkait dalam rangka menunjang kemandirian regulasi hasil pertanian. Peranan teknologi, kemampuan, pengalaman dan daya serap informasi merupakan penunjang pokok dalam peningkatan produksi dan produktifitas hasil pertanian, kemampuan dasar tersebut menjadi pondasi pembangunan pertanian. Didukung dengan pemberdayaan lembaga, termasuk lembaga keungan dalam mendukung segi permodalan diharapkan mampu meningkatkan hasil pertanian. Kemandirian tersebut pada waktunya akan membawa pada pangsa pasar pertanian yang lebih luas. Kemandirian pangan pada akhirnya akan membawa pemikiran masyarakat pada celah peningkatan ekonomi melalui rantai distribusi dan pemasaran produk hasil pertanian yang lebih luas lagi. Modal utama terbukanya peluang peningkatan ekonomi melaui distribusi dan pemasaran produk sudah melekat pada daerah mandiri pangan, tinggal bagaimana kondisi tersebut dibawa ke arah peningkatan ekonomi baik masyarakatnya maupun sumbangan nyata terhadap ekonomi daerah. Pemupukan peran peningkatan nilai ekonomis hasil produk tanaman pangan dimulai dari pelaku usaha budidaya, pengolahan hasil pertanian, lembaga koperasi, lembaga penelitian dan pengembangan, instansi terkait dalam penanganan pembangunan pertanian serta instansi yang terkait dengan pemberdayaan permodalan usaha kecil. 87
Bererapa prioritas yang menjadi fokus bagi Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan dalam meningkatkan konstribusi ekonomi bidang pertanian adalah; 1. Peningkatan Kesejahteraan Petani 2. Peningkatan Ketahanan Pangan Lokal melalui Peningkatan Produktivitas lahan dan komoditas 3. Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Lokal 4. Pemanfaatan potensi sumberdaya hutan melalui konservasi berbasis ekonomi 5. Rehabilitasi hutan dan lahan Potensi berkembangnya hasil pertanian di Kabupaten Bandung sangat terbuka lebar, hal ini medasari pemikiran untuk berkembangnya bisnis bidang pertanian. Beberapa potensi hasil pertanian dan kehutanan non kayu di Kabupaten Bandung adalah: Padi, Jagung, sayur-sayuran, buahbuahan, cengkeh, teh, kelapa, kedelai, bunga, jamur, madu serta hasil lain dari masing-masing bidang pertanian (Hortikultura, Perkebunan, Hasil Pengolahan Pangan, Kehutanan). Didukung dengan pembangunan akses distribusi dan pasar maka keyakinan bahwa target peningkatan konstribusi ekonomi dari bidang pertanian akan tercapai maksimal. Pemahaman tentang arah pemasaran masa kini adalah hal mutlak dalam mengembangkan distribusi lingkup nasional surplus hasil pertanian, diversivikasi dan peningkatan daya saing produk senantiasa harus dikembangkan demi merebut pemenuhan kebutuhan turunan disamping kebutuhan pokok pangan bagi masyarakat. Beberapa faktor pendukung dalam pembukaan dan pengelolaan akses pasar dibagi menjadi 4 tahap sebagai berikut: A. Tahap Persiapan: 1. Penerapan teknologi pengolahan pasca panen produk hasil pertanian. B. Tahap Pembukaan Pasar: 2. Kemitraan yang berkelanjutan dengan pemodal pasar, dalam hal ini bisa berupa instansi swasta di daerah maupun luar daerah, serta distributor lingkup nasional. C. Tahap Pengelolaan Supply: 3. Ketersediaan permodalan permintaan produk.
dalam
rangka
pemenuhan
88
D. Tahap Pengembangan Pasar: 4. Perbaikan kualitas produk untuk meningkatkan daya saing pasar 5. Pengembangan produk lokal unggulan Keberlanjutan kemitraan merupakan kunci dalam pengembangan agribisnis, hal tersebut perlu didukung dengan Sustainable Supply, Quality Improvement dan Product Development. Penguatan Sustainable Supply melalui permodalan dari lembagalembaga permodalan dapat dicapai dengan mendorong dan membina kemampuan kelompok-kelompok usaha dalam mengakses permodalan yang sebenarnya telah tersedia dari lembaga-lembaga permodalan yang ada di Kabupaten Bandung. Lembaga permodalan di Kabupaten Bandung telah menyediakan fasilitas permodalan dengan bunga terjangkau, tinggal bagaimana kelompok usaha, terutama kelompok usaha kecil mempunyai pengetahuan dan keberanian dalam mengakses modal dari lembaga-lembaga tersebut Kelestarian lingkungan hidup menjadi perhatian utama negaranegara di dunia saat ini. Isu lingkungan hidup dan pemanasan global memang menjadi fokus perhatian di banyak negara. Peraturan yang lebih ketat akan emisi gas buang kendaraan pun diluncurkan guna menciptakan dunia yang sehat. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia telah mengeluarkan beberapa regulasi dalam hal ini keputusan menteri yang berkaitan tentang baku mutu emisi di tanah air.
89
Renstra
BAB VI RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF
DINAS PERTANIAN PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN
BAB VI RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF
6.1. Rencana Program dan Kegiatan Dalam rangka perencanaan program dan kegiatan diperlukan elemen pokok pendukung lain berupa: Indikator kerja sebagai parameter penilaian dari keberhasilan program dan kegiatan, kelompok sasaran merupakan objek dari program/kegiatan dan pendanaan indikatif sebagai indikasi awal besaran dana yang diperlukan untuk terlaksananya program dan kegiatan. Berikut adalah program/kegiatan, indikator kerja, kelompok sasaran serta pendanaan indikatif dari Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan.
6.1.1. Rencana Program dan Kegiatan Propinsi Jawa Barat dan Nasional Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Propinsi Jawa Barat tahun 2008-2013 dan sesuai dengan misi 2 Propinsi Jawa Barat yaitu meningkatkan pembangunan perekonomian regional berbasis potensi lokal yang mencakup bidang pertanian dan bidang ketahanan pangan, yang meliputi program: 1. 2. 3. 4.
Program Peningkatan Ketahanan Pangan Program Peningkatan Produksi Pertanian Program Pemberdayaan Sumberdaya Pertanian Program Pemasaran dan pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan, dan Kehutanan
Selanjutnya sesuai dengan misi 4 Propinsi Jawa Barat: meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan untuk pembangunan yang berkelanjutan di bidang kehutanan, yang dilaksanakan melalui: 1. Program Pemantapan Kawasan Lindung 2. Program Peningkatan Efektivitas Pengelolaan dan Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup 3. Program Pengembangan Agribisnis 4. Program Perencanaan, Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan Disamping itu, dalam mewujudkan rencana strategis 2011-2015 Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan, program nasional di bidang pertanian dan perkebunan yang akan dilaksanakan meliputi:
91
1. Program Peningkatan Produksi, Produktivitas, dan Mutu Tanaman Pangan untuk Mencapai Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan 2. Program Peningkatan Produksi, Produktivitas, dan Mutu Produk Tanaman Hortikultura Berkelanjutan 3. Peningkatan Produksi, Produktivitas, dan Mutu Tanaman Perkebunan Berkelanjutan 4. Program Penyediaan dan Pengembangan Prasarana dan Sarana Pertanian 5. Program Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing, Industri Hilir, Pemasaran dan Ekspor Hasil Pertanian 6. Program Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat 7. Program Penciptaan Teknologi dan Varietas Unggul Berdaya Saing Program nasional di bidang kehutanan yang akan dilaksanakan meliputi: 1. 2. 3. 4.
Program Pemantapan Kawasan Hutan Program Rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung DAS Program Revitalisasi pemanfaatan hutan dan industry kehutanan Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan
6.1.2. Rencana Program dan Kegiatan Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Kabupaten Bandung tahun 2011-2015 pada misi 3 dan 7 serta guna mendorong tercapainya sasaran peningkatan konstribusi sektor pertanian pada PDRB sebesar 2.19%, maka diharuskan Program dan Kegiatan utama dapat tercapai dengan baik. Program dan kegiatan yang akan dilaksanakan pada jangka waktu 5 tahun mendatang, meliputi: 1. Program Peningkatan Kesejahteraan Petani (1) Pelatihan petani dan Pelaku Agribisnis 2. Program Peningkatan Ketahanan Pangan Pertanian/Perkebunan (1) Penyusunan Database Potensi Produk Pertanian/Perkebunan (2) Penanganan Pasca Panen dan Pengolahan Hasil Pertanian (3) Pengembangan Intensifikasi Tanaman Padi/Palawija (4) Pengembangan Diversifikasi Pangan (5) Pengembangan Pertanian pada Lahan Kering (6) Pengembangan Perbenihan dan Pembibitan (7) Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Pertanian (8) Peningkatan Produksi, Produktivitas, dan Mutu Produk Pertanian/Perkebunan
92
3. Program Peningkatan Pemasaran Hasil Produksi Pertanian/Perkebunan (1) Penelitian dan Pengembangan Pemasaran Hasil Produksi Pertanian/Perkebunan (2) Promosi atas Hasil Produksi Pertanian/Perkebunan Unggul Daerah (3) Pembangunan Pusat-pusat Penampungan Produksi Hasil Pertanian/Perkebunan 4. Program Peningkatan Penerapan Teknologi Pertanian/Perkebunan (1) Pengadaan Sarana dan Prasarana Teknologi Pertanian/perkebunan tepat Guna (2) Pemeliharaan Rutin/Berkala Prasarana Teknologi Pertanian/Perkebunan 5. Program Peningkatan Produksi Pertanian/Perkebunan (1) Penyediaan Sarana Produksi Pertanian/Perkebunan (2) Pengembangan Bibit Unggul Pertanian/Perkebunan 6. Program Pemanfataan Potensi Sumberdaya Hutan (1) Pengembangan Hasil Hutan Non-Kayu (2) Pengembangan Industri dan Pemasaran Hasil Hutan 7. Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (1) Pembuatan Bibit Tanaman Kehutanan (2) Peningkatan Peran Serta Masayarakat dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan 8. Program Perlindungan dan Konservasi Hutan (1) Pengembangan Pengujian dan Pengendalian Peredaraan Hasil Hutan (2) Sosialisasi pencegahan dan Dampak kebakaran Hutan dan Lahan Selain itu program dan kegiatan tersebut, dalam pencapaian arah kebijakan, sasaran, dan tujuan pembangunan pertanian, perkebunan, dan kehutanan di Kabupaten Bandung, didorong melalui penitikberatan pada program unggulan, yaitu: 1. Pengembangan pertanian organik 2. Pengembangan ekonomi kerakyatan melalui pengembangan agribisnis berbasis komoditas unggulan lokal 3. Pengembangan rumah kemasan 4. Konservasi hutan dan lahan melalui pengembangan ekonomi kerakyatan yang berdaya saing
6.2. Indikator Kinerja dan Kelompok Sasaran Sasaran pertama adalah Peningkatan PDRB Sektor Pertanian Sebesar 2,19%. Dalam mendorong tercapainya sasaran tersebut, maka di fokuskan terhadap program/kegiatan peningkatan ekonomi dari sektor pertanian. 93
Program Peningkatan Kesejahteraan Petani Kegiatan Pelatihan Petani dan Pelaku Agribisnis. Keberhasilan kegiatan tersebut diindikasikan dalam beberapa capaian sebagai berikut; (1) Berkembangnya kelompok usaha agribisnis hortikultura di kecamatan Pangalengan, Kertasari, Cimaung, Rancabali, Ciwidey, Pasirjambu, Cimenyan, Arjasari, Banjaran, Pacet, Paseh, dan Ibun (2) Meningkatnya kemampuan, keterampilan pelaku agribisnis hortikultura (penerapan GAP/GHP/GMP kelompok usaha stoberi, adopsi teknologi sub sistem hulu untuk komoditas buah-buahan/tanaman hias, penerapan teknis pengendalian OPT, kelompok tani pasca panen serta pengolahan hasil, pengembangan penakar benih, penerapan teknologi budidaya pertanian organik, peningkatan kemampuan manajemen agribisnis dan wirausaha hortikultura). (3) Terfasilitasinya proses kemitraan usaha agribisnis berbasis komoditas hortikultura (sayuran eksklusif, stroberi, buha-buahan dan tanaman hias).
Program Peningkatan Ketahanan Pangan Meningkatnya Produksi Tanaman Pangan, Produktivitas Bahan Pangan di Tahun 2015, Menurunnya Kehilangan Hasil Tanaman Pangan sebesar 0.2-5% per Tahun dan berkembangnya kelompok usaha agribisnis berbasis komoditas tanaman pangan dan perkebunan menjadi target utama dalam program peningkatan ketahanan pangan. Program tersebut meliputi kegiatan: 1. Penyusunan Database Potensi Produk Pangan. Keberhasilan penyusunan database tersebut diukur dari parameter sebagai berikut; (1) Terbentuknya website dan multimedia pertanian. (2) Pengembangan Local Area Network (LAN). (3) Tersusunnya laporan database produk pangan. (4)Tersusunnya inventarisasi alat mesin pertanian dan OPT bulanan maupun tahunan. (5) Fasilitasi petugas pengumpul data statistik pertanian. (6) Sinkronisasi data dan informasi statistik pertanian. (7) Tersusunnya data potensi dan pelaku usaha agribisnis komoditas unggulan pertanian, perkebunan dan kehutanan. (8) Perencanaan Pembangunan Pertanian, Pertanian dan Kehutanan berupa: Rencana Strategis, Rencana Kerja, Roadmap pembangunan, peta sentralisasi komoditas unggulan serelia, peta komoditas unggulan hortikultura, (9) Feasibility pengembangan agribisnis komoditas unggulan. (10) Feasibility studi pengembangan usaha pupuk organic dan agribisnis dalam integrasi manajemen berbagai sektor.
2. Penanganan Pasca Panen dan Pengolahan Hasil Pertanian (Tanaman Pangan). 94
Indikator kegiatan ini adalah; (1) Meningkatnya mutu dan produktivitas padi organik. (2) Sertifikasi produk padi organik. (3) Penumbuhan forum kemitraan bisnis produk organik. (4) Sosialisasi dan penerapan aturan SPS (sanitary and phytosanitary). (5) Penumbuhan grup pasca panen.Feasibility study pengembangan agribisnis tanaman pangan. (6) Inventarisasi pelaku olahan hasil pertanian dan penggilingan padi, jagung dan ubi kayu. (7) Meningkatnya penanganan hasil pertanian tanaman pangan; (8) Peningkatan aksesibilitaas petani terhadap lembaga permodalan. 3. Pengembangan Intensifikasi Tanaman Padi/Palawija Kegiatan ini mempunyai indikator; (1) Pengembangan pertanian organik dalam hal luas areal, jumlah kelompok tani, kinerja, mutu dan kemitraan terhadap penyedian pupuk organik. (2) Berkembangnya agribisnis jagung dan ubi kayu. (3) Kajian dan pemetaan potensi lahan pertanian. (4) Monitoring dan evaluasi agribisnis tanaman pangan. (5) Meningkatnya produksi dan produktivitas tanaman pangan (padi, jagung dan ubi kayu). (6) Optimalisasi luasan budidaya serelia, umbi dan kacang-kacangan. Pengembangan intensifikasi tanaman padi/palawija dilaksanakan untuk 36.212 hektar di Kecamatan Majalaya, Ciparay, Solokanjeruk,Baleendah, Banjaran, Arjasari,Cimaung, Kutawaringin, Soreang, cicalengka,Rancabali, Pasen, ibun, Bojongsoang, Cimaung, Pameungpeuk, Nagreg, Cikancung, Cicalengka, Arjasari, dan Cilengkrang. 4. Pengembangan Diversifikasi Pangan. Kegiatan ini dapat dinilai dari indikasi keberhasilan sebagai berikut; (1) Berkembangnya diversifikasi tanaman pangan untuk umbi-umbian dan kacang-kacangan yang tepat dan berkelanjutan dalam hal peluasan lahan, jumlah kelompok usaha, kinerja, mutu dan produktivitas di Kecamatan Cimaung, Nagreg, Cicalengka, Cilengkrang, Arjasari, Cimenyan,Arjasari, Cimaung, Cikancung; dan (2) Monitoring dan evaluasi agribisnis tanaman pangan. 5. Perkembangan Pertanian Lahan Kering Indikasi keberhasilan kegiatan ini adalah;(1) Pengembangan pertanian hortikultura organik dalam hal perluasan areal, jumlah kelompok usaha, kinerja, mutu, produktivitas dan sertifikasi sebagai pengakuan dari masyarakat di Kecamatan Pangalengan, Pasirjambu, Ciwidey, Arjasari; (2) Pengembangan usaha agribisnis stroberi untuk menunjang pengembangan OVOP di wilayah Pasirjambu, Ciwidey, dan Rancabali. (3) Meningkatnya sistem pengawan dan pengendalian sarana produksi untuk menunjang konservasi di DAS hulu dan daerah rawan bencana. (4) Meningkatnya aksesibilitas terhadap lembaga permodalan. (5) Monitaring dan evaluasi.
95
6. Pengembangan Perbenihan dan Pembibitan Kegiatan ini mempunyai indikasi keberhasilan berikut; (1) Terfasilitasinya penyediaan benih bermutuu dalam mendukung produksi, produktivitas dan mutu tanaman pangan. (2) Berkembangnya benih lokal melalui teknologi mutu benih dan penerapan sistem pengujian benih pada tanaman pangan hortikultura.(3) Tersusunnya roadmap peningkatan kualitas lembaga perbenihan lokal. (4) Monitoring dan evaluasi pengembangan benih. 7. Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Pangan Indikator kegiatan ini adalah; (1) Pengembangan kemitraan usaha agribisnis produk higienis berbasis komoditas perkebunan; (2)Tersusunnya dokumen perencanaan dan pengawasan pengembangan agribisnis perkebunan serta pengolahan lahan dan air melalui kegiatan konservasi; (3) Terkendalinya serangan OPT di wilayah konservasi lahan perkebunan; dan (4) Monitoring dan evaluasi forum kemitraan, pengembangan green product dan konservasi lahan. 8. Peningkatan Produksi, Produktifitas dan Mutu produk perkebunan, Produk Pertanian Indikator kegiatan ini adalah; (1) Berkembangnya agribisnis tembakau seluas 250 hektar di Kecamatan Arjasari, Cimaung, Soreang, Pasirjambu, Kutawaringin, Ciwidey, Paseh, Ibun, Cikancung, Cicalengka, Cileunyi, dan Pacet (2) Meningkatnya kinerja sistem pemenuhan input produksi dan peningkatan mutu hasil; (3) meningkatnya kapasitas dan kapabilitas kelembagaan petani tembakau; dan (4) Berkembangnya kemitraan usaha agribisnis tembakau untuk menunjang peningkatan aksesibilitas pemasaran tembakau.
Program Peningkatan Pemasaran Hasil Produksi Pertanian/Perkebunan 1. Penelitian dan Pengambangan Pemasaran Hasil Produksi Pertanian/ Perkebunan Indikator kegiatan ini adalah; (1) Meningkatnya pemasaran hasil pertanian.(2) Tersusunnya jaringan informasi pelaku usaha dan harga pasar komoditas unggulan pertanian, perkebunan dan kehutanan lokal.(3) Monitoring dan evaluasi kegiatan pengembangan pemasaran hasil komoditas unggul daerah. 2. Promosi Atas Hasil Produksi Pertanian/Perkebunan Unggul Daerah Kegiatan ini dinilai dari indikator berikut; (1) Meningkatnya jumlah pemasaran hasil pertanian, perkebuan dan kehutanan melalui pembentukan
96
brand lokal.(2) Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan promosi hasil produk pertanian/perkebuan unggul daerah 3. Pembangunan Pusat-pusat Pertanian/Perkebunan
Penampungan
Produk
hasil
Indikator kegiatan ini adalah berkembangnya usaha rumah kemasan serta dilakukannya monitoring dan evaluasi di Kecamatan Pangalengan, Arjasari, Pasirjambu.
Program Peningkatan Penerapan Teknologi Pertanian/Perkebunan Tepat Guna Pengadaan Sarana dan Prasarana Teknologi Pertanian/Perkebuan Tepat Guna. Kegiatan ini berindikator sebagai berikut; (1) Terselenggaranya sistem penyediaan dan pengawasan sarana produksi tanaman pangan yang efisien dan berkelanjutan di lokasi penerapan budidaya yang tepat (bantuan traktor R-2, bantuan traktor R-4, Bantuan pompa air, penguatan UPJA pemula, penguatan UPJA berkembang, penguatan UPJA profesional, tersusunnya roadmap kebutuhan pupuk dan alsintan).(2) Terkendalinya serangan OPT dilokasi penerapan budidaya.(3) Dilakukannya kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan tersebut.
Program Peningkatan Produksi Pertanian/Perkebunan 1. Penyediaan Sarana dan Prasarana Produksi Pertanian/Perkebunan. Kegiatan ini dinilai dari indikator; (1) Berkembangnya agribisnis komoditas unggulan perkebunan di Kecamatan Pangalengan, Pasirjambu, Ciwidey, Kertasari, Rancabali, Ibun, Cilengkrang, Cimenyan, Cikancung, dan Pacet; (2) Terlaksananya pengembangan fasilitasi dalam pengelolaan lahan dan air melalui upaya pemberdayaan lahan pertanian, pengelolaan air irigasi pertanian dan pengembangan agribisnis perkebunan di Kecamatan Soreang, Pasirjambu, Cimenyan, Cikancung, Kutawaringin, Ibun, Nagreg, Pasirjambu, dan Soreang; (3) Peningkatan aksesibilitas petani terhadap lembaga permodalan; dan (4) Dilaksanakannya monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan tersebut. 2. Pengembangan Bibit Unggul Petanian/Perkebunan Indikator kegiatan ini adalah; (1) Meningkatnya produksi dan produktivitas komoditas hortikultura unggulan lokal rata-rata sebesar 2% per tahun; (2) Laju peningkatan produktivitas kebun/lahan usaha hortikultura; (3) meningkatnya kinerja sistem pemenuhan input; (4) Meningkatnya mutu dan produktivitas produk organik untuk penyesuaian standar kualitas dan keamanan pangan.(5) Terlaksananya pengembangan fasilitasi dalam 97
pengelolaan lahan dan air melalui upaya pemberdayaan lahan pertanian, pengelolaan air irigasi pertanian dan pemberdayaan kelembagaan petani; (6) Dilakukannya kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan tersebut. Pengembangan agribisnis hortikultura di Kecamatan Pangalengan, Kertasari, Cimaung, Arjasari, Ciwidey, Pasirjambu, Rancabali, Cimenyan, Margaasih, Cileunyi, Nagreg, Cikancung, Banjaran, dan Cimaung.
Program Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Hutan 1. Pengembangan Hasil Hutan Non-Kayu Indikator dari kegiatan ini adalah; (1) Pengembangan agribisnis hasil non-kayu berbasis komoditas lebah madu untuk 37 kelompok tani di Kecamatan Cicalengka, Nagreg, Cikancung, Cangkuang, Paseh, Arjasari, Pacet, Kertasari, Cimenyan, Cimaung; (2) Pengembangan agribisnis hasil non-kayu berbasis komoditas jamur tiram untuk 22 kelompok tani di Kecamatan Ciwidey, Pasirjambu, Kutawaringin, Cicalengka, Pangalengan, Soreang, Banjaran, Kertasari, dan Pacet; (3) Pengembangan agribisnis hasil non-kayu berbasis komoditas ulat sutera untuk 17 unit kelompok tani di Kecamatan Cimenyan, Pangalengan, Pasirjambu, Kertasari, Paseh, dan Cikancung; (4) Pengembangan agribisnis hasil non-kayu berbasis komoditas bambu untuk 6 kelmpok tani di Kecamatan Pasirjambu, Ciwidey, dan Banjaran; (5) Termanfaatkannya lahan bawah tegakan seluas 80 hektar di Kecamatan Arjasari, Cicalengka, dan Nagreg; dan (6) dilakukannya monitoring evaluasi untuk pelaksanaan kegiatan tersebut. 2. Pengembangan Industri dan Pemasaran Hasil Hutan Indikator kegiatan ini adalah berkembangnya kemitraan agribisnis kehutanan serta terlaksananya monitoring evaluasi.
Program rehabilitasi Hutan dan Lahan 1. Pembuatan Bibit Tanaman Kehutanan Indikator kegiatan ini adalah (1) tersedianya 16 unit kebun bibit tanaman untuk penghijauan di Kecamatan Soreang, Kutawaringin, Katapang, Margaasih, Cangkuang, Banjaran, Pameungpeuk, Dayeuhkolot, Baleendah, Pasirjambu; (2) tersedianya kebun bibit rakyat untuk mengurangi luasan lahan kritis sebanyak 40 unit di Kecamatan Arjasari, Baleendah, Cangkuang, Cicalengka; (3) pengembangan 2.150 hektar agroforestry di Kecamatan Cikancung, Cilengkrang, Cileunyi, Cimaung, Cimenyan, Ciparay, Ciwidey, Ibun, Kertasari, Kutawaringin, Nagreg, Pangalengan, Paseh, Rancabali, Soreang, serta dilakukannya monitoring evaluasi. 2. Pembinaan, Pengendalian dan Pengawasan rehabilitasi Hutan dan Lahan. 98
Kegiatan ini mempunyai indikator masyarakat terhadap kepedulian lingkungan.
Meningkatnya
peranserta
3. Peningkatan Peran serta Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan Indikator kegiatan ini adalah terlaksananya pecanangan Bulan Menanam nasional, terlaksanana pencanangan JABAR hijau berbasis sekolah, Terlaksananya pembuatan bangunan sipil teknis, Penanganan rehabilitasi Lahan Kritis dan dilakukannya monitoring evaluasi di Kecamatan Cileunyi, Kertasari, Pangalengan, Cikancung, Paseh, Pacet, Arjasari, Cimaung, Baleendah, Dayeuhkolot, Pameungpeuk, Banjaran, Cangkuang, Kutawaringin, Soreang, Rancabali, Ciwidey, Pasirjambu untuk 400 hektar.
Program Perlindungan dan Konservasi Hutan. 1. Pengembangan Pengujian dan Pengendalian Peredaran Hasil hutan Indikator dari kegiatan ini adalah tumbuhnya kesadaran hukum masyarakat yang menggunakan hasil hutan dengan terlaksananya sosialisasi Permenhut tentang peredaran hasil hutan dan terlaksannya pemasangan rambu/papan larangan untuk pencegahan kerusakan hutan di Kecamatan Cikancung, Cimenyan, Pasirjambu, Kutawaringin, Cwidey, Ibun, Pacet, Cilengkrang, Cimenyan, Cicalengka. 2. Sosialisasi Pencegahan dan dampak Kebakaran hutan dan lahan Indikator kegiatan ini adalah tumbuhnya kesadaran hukum masyarakat pengusaha industri kayu dalam perijinan hasil dengan terlaksananya sosialisasi permenhut tentang ijin usaha industri hasil hutan di Kecamatan Soreang, Margaasih, Kutawaringin, Pangalengan, Nagreg. 3. Penyuluhan Kesadaran Masyarakat Mengenai Dampak Perusakan Hutan Indikator kegiatan ini adalah tumbuhnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan hutan dan lahan serta dilakukannya monitoring evaluasi pelaksanaan kegiatan tersebut.
6.3. Rencana Pendanaan Indikatif Kegiatan pembangunan pertanian sektor tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, dan kehutanan di Kabupaten Bandung ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui upaya pemberdayaan petani lokal yang mampu menciptakan produk yang berdaya saing. Pemerintah memfasilitasi sebesar-besarnya partisipasi masyarakat dengan mendayagunakan keterpaduaan kegiatan yang dibiayai oleh APBN, APBD Propinsi Jawa Barat, APBD Kabupaten Bandung, Swasta dan sumbersumber dana pembangunan lainnya. 99
Implementasi pembangunan perlu adanya dukungan pendanaan untuk pelaksanaan kegiatan Satuan Kerja Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Bandung guna tercapainya program pembangunan selama kurun waktu 2011-2015 (lampiran 6).
100