BAB II GAMBARAN UMUM TAPANULI SELATAN
2.1 Letak Geografis Secara geografis, daerah Tapanuli Selatan berada di belahan Barat Indonesia dan sebelah Selatan Pulau Sumatera yang terletak pada 0,02’ s/d 2,3’ derajat Lintang Utara dan 98,49’ s/d 100,22’ derajat Bujur Timur. 10 Dan secara topografi daerah Tapanuli Selatan terdiri dari dataran rendah, bergelombang, berbukit dan dataran tinggi bergunung dengan ketinggian antara 0 s/d 1500 meter di atas permukaan laut. Daerah ini dikelilingi oleh gunung Gongonan di Kecamatan Batang Angkola, gunung Sorik Marapi di Kecamatan Panyabungan, gunung Lubuk Raya di Kecamatan Padangsidimpuan dan gunung Sibual-buali di Kecamatan Sipirok. Selain memiliki gunung-gunung yang indah, Tapanuli Selatan juga memiliki panorama yang indah akan danaunya seperti Danau Tao di Kecamatan Sosopan, Danau Siais di Kecamatan Siais dan danau Marsabut di Kecamatan Sipirok. Wilayah Tapanuli Selatan juga dialiri banyak sungai, baik sungai besar maupun sungai kecil. Bahkan aliran sungai tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembangkit listrik tenaga air, Industri maupun irigasi, di antaranya sungai Batang Pane, sungai Barumun dan lain-lain. Luas wilayah Tapanuli Selatan adalah 18.006 Km2 atau 1.800.600 H.A. dari luas Propinsi Sumatera Utara dan merupakan daerah bagian terluas di Sumatera Utara 10
Badan Pusat Statistik, Tapanuli Selatan Dalam Angka 1984, Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, hal. III.
Universitas Sumatera Utara
dari daerah bagian lainnya. Secara administratif daerah Tapanuli sebelum kemerdekaan dikenal sebagai bagaikan dari wilayah kekuasaan Hindia-Belanda yang masuk dalam wilayah Keresidenan Tapanuli. Setelah masa kemerdekaan daerah Tapanuli masuk dalam wilayah propinsi Sumatera Utara dan menjadi daerah tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan yang berbatasan di sebelah Utara dengan Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Tengah dan Dati II Kab. Tapanuli Utara, sebelah Timur dengan Propinsi Riau, sebelah Selatan dengan Propinsi Sumatera Barat, dan di sebelah Barat dengan Samudra Indonesia. Kondisi geografi Tapanuli Selatan dengan iklim yang selalu bergantian dan curah hujan yang merata setiap bulan membuat daerah ini sesuai sebagai daerah pertanian. Dengan adanya dukungan irigasi, pemakaian bibit unggul, pupuk, dan pengolahan tanah yang tepat dapat meningkatkan hasil pertanian. Selain itu, dengan komposisi penduduk yang sebagian besar tinggal di daerah pedesaan, menunjukkan bahwa sebagian masyarakatnya sangat mengandalkan hidupnya pada pengelolaan tanah, antara lain sebagai petani sawah, berkebun di ladang dan beternak. Awalnya Tapanuli Selatan meliputi daerah Sipirok/Angkola dan Mandailing. Kedua daerah ini meskipun berada sama-sama di daerah Tapanuli Selatan, tetapi ada perbedaan yang khas di antara keduanya. Daerah Sipirok merupakan sebuah kecamatan berjarak ± 385 km dari kota Medan, sedangkan dari Padang Sidimpuan ke Kecamatan Sipirok ± 38 km. Antara Kecamatan Sipirok dengan Kecamatan Pahae Jae dengan ibukotanya Pahae, daerah yang bersebelahan dan merupakan daerah yang berada di Kabupaten Tapanuli Utara jaraknya
± 42 km. Mandailing adalah suatu
wilayah yang terletak di Kabupaten Mandailing Natal pada masa sekarang. Berada ±
Universitas Sumatera Utara
40 km dari Padang sidimpuan ke selatan dan ± 150 km dari Bukit Tinggi ke utara. Dan Tapanuli Selatan untuk sekarang adalah sebuah kabupaten di Sumatera Utara dengan luas wilayah 12.275,80 km², dengan Ibu kota de jure-nya ialah Sipirok, menyusul dibentuknya Padang Sidimpuan menjadi kota otonom dan pembentukan Kabupaten Mandailing Natal. 11
2.2 Kondisi Demografi Penduduk asli wilayah Tapanuli Selatan memiliki dua jenis suku sesuai dengan daerahnya yaitu Batak Mandailing yang mendiami daerah Mandailing yang berbatasan dengan Sumatera Barat dan suku Batak Angkola yang mendiami daerah Sipirok. Kedua suku ini yaitu Batak Mandailing-Angkola mendiami sebagian besar dari keseluruhan daerah Tapanuli Selatan sejak masa tradisional, masuknya pemerintah kolonial Belanda sampai pada saat sekarang ini. Terjadi interaksi yang saling berkesinambungan antara kedua suku ini yang membuat pernyataan bahwa daerah Tapanuli Selatan itu identik dengan suku Batak Angkola-Mandailing pada masa itu, tetapi dalam kenyataannya keduanya memang berbeda. Mandailing sendiri dibagi dua walaupun sebenarnya adatnya sama. Pembagian itu adalah Mandailing Godang dan Mandailing Julu. Daerah Mandailing Godang didominasi oleh marga Nasution yang wilayahnya mulai dari Sihepeng di sebelah utara Penyabungan sampai Maga di sebelah selatan serta daerah Batang Natal sampai Muara Soma dan Amara Parlampungan di sebelah barat. Daerah Mandailing 11
Badan Pusat Statistik, Tapanuli Selatan Dalam Angka 1999, Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan.
Universitas Sumatera Utara
Julu, didominasi oleh marga Lubis. Wilayahnya, mulai dari Laru dan Tambangan di sebelah utara. Di sebelah selatan mulai dari Kotanopan sampai Pakantan dan Hutanagodang. Secara turun-temurun di manapun dia bertempat tinggal, etnis Mandailing menganut sistem garis keturunan ayah (patrilineal) yang terdiri dari marga-marga: -
Nasution
-
Daulay
-
Lubis
-
Matondang
-
Pulungan
-
Parinduri
-
Rangkuti
-
Hasibuan
-
Batubara
-
dan lain-lain 12
Marga-marga ini tidak serentak mendiami wilayah Mandailing, ada beberapa marga yang datang dan kemudian mendiami wilayah tersebut dan dianggap sebagai warga Mandailing dan tidak mau disebut sebagai warga pendatang. Sebagai contoh, Marga Hasibuan yang bertempat tinggal di Mandailing, yang berasal dari Barumun sudah mempunyai Bona Bulu di Mandailing. Sebahagian dari marga Hasibuan telah turut membuka huta bersama-sama dengan raja, sehingga ia disebut anak boru bona bulu. Demikian juga marga lainnya. Etnis Mandailing hampir 100 % penganut agama Islam yang taat. Oleh karena itulah agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam adat seperti dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Kecamatan Sipirok umumnya didiami oleh etnis Sipirok/Batak Angkola. Pakar Antropologi menyatakan, kedua etnis ini sama. Terpisah dengan etnis
12
Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman, Medan: Forkala Provinsi Sumatera Utara, 2005, hal 6.
Universitas Sumatera Utara
Mandailing dan etnis Batak Toba. Diperkirakan, etnis Sipirok/Angkola bermigrasi dari daerah Batak, yaitu berasal dari Toba tepatnya daerah Muara dan bermarga Siregar. Mereka datang dengan jumlah yang besar untuk mencari penghidupan yang lebih baik dari dua puluh generasi. Hal ini disebabkan lahan di Tanah Batak sudah tak sanggup lagi menampung masyarakat bermarga Siregar yang berkembang dengan pesat. Salah satu daerah yang mereka tuju adalah Sipirok dan yang lainnya menyebar ke daerah-daerah yang dapat menampung mereka. Di Sipirok banyak ditemukan pohon pirdot. Tanaman ini banyak tumbuh di pinggiran sungai dan berbatang sangat keras. Pohon ini ditemukan marga Siregar, dan tempat itu lalu mereka namakan Sipirdot yang lama kelamaan menjadi Sipirok. Marga Siregar yang datang ke Sipirok ini merupakan Bangsa Proto Melayu yang datang ke Pulau Sumatera karena desakan dari bangsa Palae Mongoloid. 13 Mereka menyebar di tiga daerah, yaitu: 1. Gelombang pertama mendarat di Pulau Nias, Mentawai, dan Siberut. 2. Gelombang kedua mendarat di Muara Sungai Simpang atau Singkil, yaitu sub etnis Batak Gayo atau Batak Alas. 3. Gelombang ketiga sampai di muara sungai Sorkam yaitu antara Barus dan Sibolga. Mereka masuk ke daerah pedalaman dan sampai di kaki gunung Pusuk Buhit dekat Danau Toba. 14
13
Mangaraja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao, Jakarta: Tanjung Pengharapan, 1964, hal.
14
Ibid., hal. 19.
47-48.
Universitas Sumatera Utara
Keturunan marga Siregar semakin berkembang, akhirnya Ompu Palti Siregar, penguasa ketika daerah Sipirok baru dibuka membagi kerajaan yang dipimpinnya menjadi tiga kerajaan, yaitu: 1. Kerajaan Parau Sorat yang dipimpin oleh Ompu Sayur Matua. 2. Kerajaan Baringin dipimpin oleh Sutan Parlindungan, dan 3. Kerajaan Sipirok dipimpin oleh Ompu Sutan Hatunggal. Untuk mempersatukan ketiga kerajaan ini, maka di suatu tempat yang bernama
Dolok
Pamelean
dibuatlah
tempat
pertemuan
(bukit
persembahan/pengorbanan). Pada tempat itu, sebagai tempat pertemuan ditanamlah pohon Beringin. Tempat ini menjadi lokasi atau Camat Kecamatan Sipirok yang sekarang. Secara turun-temurun di manapun dia bertempat tinggal, Etnis Sipirok/Angkols juga menganut sistem garis keturunan ayah (patrilineal) yang terdiri dari marga-marga: -
Harahap
-
Ritonga
-
Siregar
-
Pohan
-
Hutasoit
-
dan lain-lain.
-
Rambe
Sama halnya dengan di Mandailing, marga-marga tersebut pun sebagian bukan merupakan masyarakat asli yang mendiami daerah tersebut, ada juga beberapa marga yang merupakan pendatang dan mendiami daerah tersebut. Mata pencaharian penduduk di Tapanuli Selatan pada umumnya bertani dan berkebun, Pegawai negeri, pedagang, karyawan swasta, nelayan dan pensiunan. Usaha perkebunan rakyat meliputi tanaman karet, kopi, kulit manis dan kelapa. Di
Universitas Sumatera Utara
samping itu pertanian pangan meliputi padi, kentang, jahe, sayur-mayur dan lain-lain. Dari hasil perikanan di Tapanuli Selatan dihasilkan ikan dari hasil usaha nelayan dan penambak berupa ikan tuna, ikan air tawar dari lubuk larangan, perairan umum, dan budaya kolam ikan. Masyarakat juga mengusahakan peternakan, meliputi peternakan sapi, kerbau, kambing dan unggas. Hasil hutan meliputi hutan tanaman industri, rotan, dan kayu. Di samping hasil-hasil tanaman dan peternakan di atas yang ada di Tapanuli Selatan, daerah ini juga kaya dan memiliki potensi yang besar akan barang tambang seperti emas. Selain itu ada yang lebih menarik lagi di daerah Tapanuli Selatan yaitu daerah ini kaya akan budaya, alam dan, adat istiadat yang melengkapi kehidupan masyarakatnya yang hidup dalam kerukunan dan ketenteraman dalam hidup berdampingan walaupun berbeda adat maupun kepercayaan. Seiring dengan perkembangan zaman, jumlah penduduk Tapanuli Selatan terus mengalami peningkatan terutama sejak zaman datangnya Belanda. Seperti kita ketahui pada zaman Belanda kawasan Tapanuli Selatan masuk dalam Keresidenan Tapanuli. Jumlah Penduduk Tapanuli sendiri telah meningkat sekitar 70 %, yakni dari 564.000 tahun 1914 menjadi 843.000 tahun 1930. Dari jumlah tersebut diketahui bahwa jumlah penduduk Tapanuli Selatan adalah 161.000 tahun 1914 dan 279.000 tahun 1930. Jumlah tersebut merupakan jumlah kedua terbanyak setelah jumlah penduduk Tapanuli Utara sebanyak 385.000 tahun 1914 dan 523.000 tahun 1930 dan di atas jumlah penduduk Sibolga yang berjumlah 18.000 tahun 1914 dan 41.000 pada tahun 1930. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa setiap tahunnya baik di daerah Tapanuli secara keseluruhan maupun di daerah Tapanuli Selatan secara khusus
Universitas Sumatera Utara
jumlah penduduk terus mengalami peningkatan. 15 Peningkatan tersebut berjalan seiring dengan peningkatan pembangunan infrastruktur-infrastruktur yang ada di Tapanuli Selatan.
2.3 Kondisi Sosial Dalam kehidupan bermasyarakat di Tapanuli Selatan mulai dari zaman tradisional sampai pada zaman sekarang ini tidak lepas dari masyarakat desa yang merupakan masyarakat asli yang tetap hidup dan bertahan selama beratus-ratus tahun walaupun telah banyak mengalami bermacam-macam gejolak perubahan sosial, peperangan, masuknya kekuasaan politik dari Kerajaan tertentu dari luar maupun dari dalam daerah Tapanuli selatan dan juga kekuasaan asing. Masyarakat tersebut banyak dijumpai dalam suatu huta, luhat maupun kampung. Masyarakat tersebut telah mendiami daerah Tapanuli sejak berabad-abad yang lalu. Mereka tinggal berkelompok dalam suatu kampung di dalam rumah tradisional sesuai dengan corak mereka, mempunyai rumah adat, mempunyai pemimpin kampung sesuai dengan adat istiadat setempat atau alat-alat perlengkapan pemerintahan kampung secara tradisional. Seseorang mempunyai tiga kategori keluarga: agnat atau dongan sabutuha-nya sendiri, hula-hula-nya, dan anak borunya. 16 Begitulah pembagian kekerabatan dalam masyarakat Tapanuli pada umumnya dan juga pada masyarakat Tapanuli Selatan pada khususnya yang dikenal dengan dalihan na tolu (tungku nan tiga). Dongan sabutuha (kahanggi dalam masyarakat
15 16
Lance Castles, op. cit., hal. 31. Ibid., hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
Tapanuli Selatan) merupakan kelompok masyarakat yang memiliki persamaan marga menurut garis keturunan yang patrilineal, hula-hula (mora dalam masyarakat Tapanuli Selatan) yaitu kelompok marga pemberi mempelai perempuan dan anak boru yaitu kelompok marga penerima mempelai perempuan. Secara fungsional hulahula memiliki kedudukan yang lebih tinggi terhadap boru, hal ini sangat tampak jelas dalam suatu pelaksanaan adat. Pada masyarakat Tapanuli Selatan, huta (dusun) merupakan kesatuan paling kecil yang terdapat dalam suatu kumpulan dari beberapa keluarga yang menempati huta ataupun. Keberadaan suatu huta tidak lepas dari adanya faktor garis keturunan atau marga, karena ikatan adat, religi, teritorial, dan keturunan mengatur hubungan antar huta. Setiap huta bersifat otonom, baik di dalam maupun ke luar daerah. Dalam hal ini, huta dapat diibaratkan sebagai suatu kesatuan republik kecil, di mana setiap huta mempunyai raja huta sebagai pemimpin yang disebut Raja Pamusuk. Sejumlah huta yang berdekatan secara teritorial dan terkait hubungan darah (genealogis) membentuk sebuah kawasan adat yang disebut luhat yang dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung. Raja ini dipilih dari antara Raja Pamusuk yang terdapat dalam luhat, khususnya dari pihak turunan ‘sipungka huta’ (yang membuka huta) di dalam luhat yang bersangkutan. Raja Panusunan Bulung ini selain sebagai kepala pemerintahan, juga sekaligus menjadi pengetua adat atau Raja Adat yang memimpin berbagai kegiatan seperti keagamaan, sosial hingga kegiatan ekonomi di seputar kawasan
luhat
yang
menjadi
wilayah
kekuasaannya.
Dalam
menjalankan
pemerintahannya, Raja Panusunan Bulung maupun Raja Pamusuk mengacu pada
Universitas Sumatera Utara
sistem adat Batak yang mengatur sedemikian rupa dengan berlandaskan prinsip kekerabatan ‘dalihan na tolu’. Di samping huta, sebagai wadah tempat tinggal kelompok masyarakat adat di Tapanuli Selatan, juga dikenal kelompok-kelompok masyarakat lainnya, yaitu: a. Banjar, suatu pemukiman yang biasanya terdiri dari 4 sampai 6 kepala keluarga, terletak di tengah-tengah perladangan atau persawahan dan mempunyai ikatan adat dengan ibu kampungnya (induk). b. Lumban, kelompok masyarakat yang terdiri dari 6 sampai 10 kepala keluarga. c. Pagaran, suatu perkampungan yang terdiri dari 10 sampai 20 kepala keluarga yang diurus oleh kerapatan adat dari ibu kampungnya (induk). Pada masa dahulu, dalam masyarakat Tapanuli Selatan terdapat suatu sistem pelapisan sosial yang terdiri dari tiga strata. Strata yang pertama (tertinggi) terdiri dari golongan bangsawan, atau golongan kerabat raja yang dinamakan “Namora”. Di bawah golongan bangsawan terdapat golongan penduduk biasa (bukan bangsawan) yang disebut sebagai “halak na bahat” (orang kebanyakan), dan status yang terendah terdiri dari golongan budak yang dinamakan “hatoban”. Orang-orang yang masuk pada golongan hatoban adalah: a. Orang-orang yang ditawan atau dikalahkan dalam peperangan. b. Orang-orang yang melakukan kesalahan berat dan menjalani hukuman sebagai budak.
Universitas Sumatera Utara
c. Orang-orang yang karena tidak sanggup membayar hutang dijadikan budak, dan kalau hutangnya sudah lunas kembali menjadi orang bebas. 17 Budak yang sudah memiliki rumah sendiri dan mengerjakan ladang atau sawah sendiri, tetapi masih terikat dengan majikannya, sehingga sewaktu-waktu dapat disuruh bekerja untuk kepentingan majikannya dinamakan “pankandangi”. Budak yang bertempat tinggal di rumah majikannya dan bertugas melayani segala keperluan majikannya dinamakan “hatoban”, atau “pangolo” (budak pelayan). Budak yang tinggal di rumah sendiri tetapi berkewajiban mengerjakan semua lahan pertanian milik majikannya dinamakan “hatoban marsaro”, budak yang sudah dibebaskan dan tidak tinggal di rumah majikannya dinamakan “ompung dalam” dan berstatus seperti kebanyakan penduduk biasa. Sejak tahun 1876, pemerintah kolonial Belanda menghapuskan perbudakan di kawasan Tapanuli Selatan. Meskipun perbudakan telah dihapuskan oleh pemerintah Kolonial, tetapi dalam pandangan masyarakat asli Tapanuli Selatan kedudukan mereka masih tetap sama sebagaimana mereka sebelumnya, sedapat mungkin menghindari berhubungan dengan orang yang dianggap “hatoban”, seperti menghindari perkawinan dengan bekas “hatoban” dan keturunannya. Baru pada zaman kemerdekaanlah pandangan masyarakat Tapanuli Selatan terhadap bekas “hatoban” mulai berubah. Seiring dengan perubahan zaman dan dengan datangnya kemerdekaan masyarakat tidak memandang rendah lagi terhadap
17
Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipiro Na Soli Biang Lala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, Medan: USU Press, hal. 160.
Universitas Sumatera Utara
mereka, orang-orang bekas hatoban sudah dianggap sebagai masyarakat yang sama dengan masyarakat lainnya. Munculnya kelompok “hatoban” di daerah Tapanuli Selatan membawa pengaruh yang sangat besar bagi keharmonisan kehidupan antar masyarakat. Hal ini disebabkan, golongan “hatoban” merupakan orang-orang yang kalah dalam satu pertempuran/perkelahian/perselisihan.
Bagi
masyarakat
di
Tapanuli
Selatan
kekalahan dalam pertempuran/perkelahian/perselisihan lebih buruk dari hal-hal yang lain, seperti tidak mempunyai harta, tidak ada pendidikan bahkan tidak punya agama. Yang kalah, harus menjadi budak dan selalu patuh pada pihak atau kelompok yang menang sampai dia dapat memenangkan pertempuran/perkelahian/perselisihan pada si pemenang. Tetapi dalam perkembangannya, hatoban tidak hanya diakui oleh kelompok yang menang dalam suatu pertempuran, tetapi juga diakui oleh seluruh masyarakat yang mendiami wilayah di Kabupaten Tapanuli Selatan. Mengenai sistem kepercayaan yang ada dalam masyarakat Tapanuli pada mulanya dijumpai adanya kepercayaan tradisional yang pada hakikatnya kepercayaan ini muncul sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang lemah dan memiliki kekuatan dan kemampuan yang terbatas, maka manusia atau masyarakat tersebut percaya bahwa ada kekuatan yang lebih besar di luar kekuasaan dirinya. Setelah masuknya agama Islam maupun Kristen ke Tapanuli memberi suatu kepercayaan baru yang menjadikan masyarakat Tapanuli lebih modern, dengan cara berpikir yang lebih terbuka dan menjadikan masyarakat semakin sadar dan berpikir secara terbuka akan munculnya pembaharuan.
Universitas Sumatera Utara
Pembaharuan yang terjadi semakin kuat dengan didukung oleh pembangunan rumah-rumah ibadah yang pada dasarnya merupakan prakarsa dari masyarakat setempat, melalui gotong royong masyarakat bekerja sama mengumpulkan dana guna terlaksananya pembangunan. Selain itu, pemerintah juga turut serta mengambil bagian dalam pembangunan tersebut. Dalam perkembangannya, pembangunan dan pembaharuan rumah ibadat di Tapanuli Selatan berjalan normal sesuai dengan bertambahnya jumlah penduduk yang menganut suatu kepercayaan itu. Agama Islam merupakan paling banyak dianut atau agama mayoritas yang ada dalam masyarakat Tapanuli Selatan, walaupun begitu, kerukunan umat beragama sangat kental terjaga antara agama Islam yang mayoritas dengan agama Kristen yang minoritas. Selain itu, pemerintah juga turut memberikan pedoman bagi masyarakat untuk terus menjaga toleransi antar umat beragama dalam hidup berdampingan dengan saling menjaga sikap dan perilaku masyarakat sehingga ketenteraman dan kerukunan akan tetap terjaga dengan baik.
2.4 Pemerintahan di Tapanuli Selatan sebelum tahun 1950 2.4.1 Pemerintahan Tradisional di Tapanuli Selatan Secara etimologi, istilah “Tapanuli” berasal dari gabungan dua kata bahasa daerah, yaitu “tapian” dan “na-uli”. Istilah “tapian” mengandung arti suatu tempat yang airnya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia, seperti pinggir sungai, telaga, pancuran atau pantai. Istilah “na” yang berada di depan istilah “uli” sama artinya dengan kata “yang” atau “nan” dalam bahasa Indonesia dan istilah “uli”
Universitas Sumatera Utara
berarti “indah”. Maka kata tapian-na-uli yang kemudian menjadi “Tapanuli” mengandung arti “Teluk Nan Indah”. 18 Di Tanah Batak khususnya Tapanuli Bagian Selatan jauh sebelum masuknya pengaruh asing, sudah terdapat banyak komunitas kecil yang disebut sebagai huta. Kampung-kampung (huta) itu, yang dikelilingi tembok tanah dan pagar bambu sebagai perlindungan, umumnya kecil. 19 Setiap huta tersebut dipimpin oleh seorang raja dengan gelar Raja Pamusuk (RP). Sejumlah huta yang berdekatan secara teritorial dan terkait hubungan darah (genealogis) membentuk sebuah kawasan adat yang disebut luhat yang dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung (RPB). Dalam menjalankan pemerintahan huta dan luhat para RP dan RPB mengacu pada sistem adat Batak yang mengatur sedemikian rupa dengan berlandaskan prinsip kekerabatan ‘dalihan na tolu’. RPB dipilih dari antara Raja Pamusuk yang terdapat dalam luhat, khususnya dari pihak turunan ‘sipungka huta’ (yang membuka huta) di dalam luhat yang bersangkutan. RPB ini selain sebagai kepala pemerintahan, juga sekaligus menjadi pengetua adat atau raja adat yang memimpin berbagai kegiatan seperti keagamaan, sosial hingga kegiatan ekonomi di seputar kawasan luhat yang menjadi wilayah kekuasaannya. Sekalipun sistem pemerintahan luhat yang terbentuk mirip sistem oligarki (dari turunan si pungka huta), namun sesungguhnya sistem demokrasi yang lebih berperan yang direpresentasikan dengan adanya lembaga hatobangon (lembaga ketua adat) yang fungsinya mendampingi RPB dalam memimpin luhat. Ini berarti setiap 18
Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Sumatera Utara dalam Lintasan Sejarah, Medan: Pemda Tk. I Sumatera Utara, 1948, hal 127. 19 Lance Castles, op. cit., hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
warga dari komunitas atau huta terwakili di dalam musyawarah luhat. Mendahulukan sipungka huta yang juga menjadi RPB sudah sepantasnya untuk didudukkan sebagai pemimpin luhat, namun keputusannya terkendali oleh peran ‘lembaga hatobangon’. Suatu komunitas kecil dikatakan sebagai huta jika komunitas tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan sendiri hingga dapat berdiri sendiri, dan huta ini diresmikan menjadi bona bulu. Komunitas kecil ini berawal dari tradisi membuka huta di dalam kawasan luhat yang dalam perjalanannya komunitas kecil tersebut lalu berkembang menjadi Bona Bulu. Sebuah huta yang dapat diresmikan menjadi Bona Bulu, manakala telah memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: (1) terdapat penduduk sekurang-kurangnya tiga keluarga ‘dalihan na tolu’ yang terdiri dari kahanggi (bersaudara), anakboru (besan dari pihak perempuan), dan mora (besan dari pihak laki-laki); (2) tersedia lahan yang cukup untuk pertanian (tanaman pangan, peternakan atau perikanan); (3) ada pemerintahan yang mampu menyelenggarakan tertib umum dan dapat meningkatkan kemajuan serta kesejahteraan hidup terhadap semua keluarga di dalam komunitasnya; (4) mendapat pengakuan atas keberadaan calon huta oleh seluruh huta yang sudah ada di sekitarnya di dalam luhat. 20 Untuk meresmikan sebuah huta menjadi bona bulu, perlu dilangsungkan sebuah horja godang (pesta besar) yang dipimpin secara adat oleh RPB. Puncak acara peresmian ketika RPB luhat manabalkon (mengukuhkan) nama keluarga Si pungka Huta (Si pendiri Huta) menjadi Raja Pamusuk di huta yang baru berdiri dan menyebutkan gelarnya. Acara lalu dilanjutkan dengan pidato Si pungka Huta yang 20
Akhir Matua Harahap, Sejarah Pemerintahan di Tapanuli Bagian Selatan: Dari Zaman Huta (Luhat) Hingga Zaman Desa (Urban), http://akhirmh.blogspot.com/, diakses tanggal 05 Juli 2013.
Universitas Sumatera Utara
mengumumkan bahwa huta yang baru berdiri menjadi huta asal dari “Marga H” yang mendirikannya. Raja Pamusuk lalu menanam bambu duri yang diiringi istrinya menanam pandan, pihak anakboru menanam biji jagung ber- banjar-banjar, dan disusul oleh pihak mora menanam butiran padi. Huta-huta yang belum diposisikan sebagai huta Bona Bulu, dan kebutuhan warganya masih tergantung dari bantuan huta lain, huta serupa ini dinamakan pagaran (anak huta). Di dalam satu luhat, umumnya terdapat banyak huta yang berstatus pagaran dan bernaung ke dalam Huta Bona Bulu terdekat. Dengan demikian, huta selain berfungsi sebagai tempat bermukim para warganya, juga wilayah tempat usaha (pertanian) dan sumber ekonomi yang berasal dari hutan, waduk, sungai (laut). Hutan, lembah, sungai, danau dan gunung menjadi sumber penghidupan huta dan menjadi wilayah territorial huta (semacam hak ulayat pada masa sekarang). Kehidupan sosial, budaya dan ekonomi huta penggunaannya diatur oleh warga luhat bersama Raja Panusunan Bulung (RPB). Huta yang banyak penduduknya karena subur tanahnya dan kaya lingkungan alamnya juga dipimpin Raja Pamusuk yang dibantu kepala ripe dalam menjalankan pemerintahan huta untuk menegakkan tertib umum dalam bermasyarakat demi meraih kesejahteraan hidup bersama. Sesungguhnya, seorang raja di Tanah Batak (RPB atau RP) bukanlah individu yang memiliki nama, tetapi seorang bijak yang dituakan di antara para tetua terbaik di luhat atau huta. Dengan kata lain RPB atau RP di dalam luhat yang berlandaskan ‘dalihan na tolu’ tidak identik dengan sistem feodal melainkan sebagai ‘primus interpares’ di dalam masyarakat luhat atau huta.
Universitas Sumatera Utara
Luhat tradisional yang pernah ada di Tapanuli Bagian Selatan adalah sebagai berikut: 21 1. Luhat Sipirok
5. Luhat Barumun
2. Luhat Angkola
6. Luhat Sipiongot
3. Luhat Marancar
7. Luhat Mandailing
4. Luhat Padang Bolak
9. Luhat Natal
5. Luhat Barumun
10. Luhat Pakantan
Pada tahun 1816-1838 terjadi Perang Padri di Kerajaan Pagaruyung Sumatera Utara, yang mana pada awalnya merupakan perang antara kaum adat dengan ulama atau yang dijuluki sebagai kaum Padri. Perang ini meluas sampai ke daerah Tapanuli Selatan tepatnya daerah Mandailing yang berbatasan dengan Sumatera Barat. Sejak berkuasanya kaum Paderi di wilayah mandailing yang kemudian menyebar ke daerah Tapanuli Selatan lainnya, pemerintahan tradisional yang ada setelah kaum Paderi menguasai daerah ini, dan agama Islam yang telah dianut oleh masyarakat, telah merubah struktur dan sistem pemerintahan yang ada. Bila sebelumnya Raja Panusunan Bulung yang membawahi beberapa huta, hanya mempunyai peranan tertentu saja, yaitu dalam masalah adat istiadat. Sedangkan Raja Pamusuk mempunyai peranan yang lebih dominan dalam setiap huta yang dikuasainya. Akan tetapi setelah wilayah ini dikuasai oleh kaun Paderi, atau agama Islam lebih eksis dari pada adat istiadat, maka sistem dan struktur pemerintahan itu mengalami perubahan.
21
Rusli Harahap, Tanah Batak, http://rusliharahap.wordpress.com, diakses tanggal 10 Juli
2013.
Universitas Sumatera Utara
Raja Panusunan Bulung yang secara formalitas menguasai wilayah yang terdiri dari beberapa huta, atau wilayah kenegerian, dirubah sebutannya menjadi kepala kuria. Istilah kuria ini berasal dari Bahasa Arab ‘qoriah’, yang artinya adalah wilayah. Sedangkan penguasanya di sebut sebagai khadi, yang dapat juga berarti “hakim”. Dengan demikian seorang Raja Panusunan Bulung yang mengepalai sebuah kuria, nama itu sudah berubah menjadi khadi, dan kekuasaannya juga bertambah luas. Para khadi setiap kuria, bukan saja berkuasa dibidang keagamaan, melainkan juga dibidang politik, ekonomi, dan sosial. Jelasnya kalau sebelumnya tokoh-tokoh tradisional memerintah berdasar adat, pada masa Paderi tokoh-tokoh tersebut memerintah berdasar pada syariat (norma-norma menurut ajaran agama Islam). 22 Hal ini terus berlanjut sampai kolonial Belanda menguasai Tanah Mandailing dan Tapanuli Selatan secara keseluruhan.
2.4.2 Tapanuli Selatan Masa Kolonial Belanda. Belanda pertama kali masuk ke Tapanuli Selatan yaitu pada tahun 1833 dari arah Natal (Pantai Barat) yang ketika itu di Tapanuli sendiri masih dalam suasana Perang Padri (1816-1838). Pada masa itu kaum adat yang tidak dapat mengalahkan kaum ulama meminta bantuan kepada pihak Belanda sehingga yang awalnya perang hanya antara kaum adat dengan kaum Padri berubah menjadi perlawanan terhadap Belanda. Pihak Belanda lalu mendirikan benteng Fort Elout di Panyabungan yang merupakan daerah paling dekat dengan Sumatera Barat untuk menyatakan 22
Departemen Dalam Negeri Prop. Dati I Sumatera Utara, Sejarah Perkembangan Pemerintah Departemen Dalam Negeri di Provinsi Dati I Sumatera Utara, Sumatera Utara, 1990, hal. 37.
Universitas Sumatera Utara
keberadaannya di Tanah Batak sekaligus basis untuk mengepung perlawanan Imam Bonjol di Daerah Pasaman. Setahun kemudian, pada tahun 1834 Belanda memulai pemerintahan sipil di Tanah Batak, diawali dari selatan dengan didirikannya Onder Afdeeling Mandailing yang dipimpin Controleur Eduard Douwes Dekker yang kemudian lebih dikenal dengan Multatuli, berkedudukan di Natal. Waktu itu wilayah Tapanuli masih bagian dari keresidenan yang berkedudukan di Air Bangis (Pasaman, Sumatera Barat). Sebelum Belanda masuk ke Tapanuli Selatan kawasan selatan Tanah Batak ini terdiri dari berbagai luhat di mana setiap luhat mempunyai pemerintah sendiri dan berdiri secara otonom dan belum pernah berada di bawah pengaruh siapa pun. Pemerintahan sipil ini kemudian dipindahkan ke Panyabungan, lalu ditingkatkan menjadi Afdeeling Mandailing/Angkola yang dipimpin Asistent Resident T.J. Willer yang berkoordinasi dengan Gouverneur van Sumatra Westkust (Gubernur Pantai Barat Sumatera) yang berkedudukan di Sibolga. Selanjutnya pemerintah kolonial Hindia Belanda memberi nama Afdeeling Padang Sidimpuan untuk daerah Tapanuli Selatan. Sementara yang lainnya dinamakan Afdeeling Batak Landen terhadap kawasan seputar danau Toba dan Tarutung sebagai ibukotanya, dan Afdeeling Sibolga untuk daerah Tapanuli Tangah. Kemudian pada tahun 1884 ketiga afdeeling ini digabung menjadi satu keresidenan yang dikenal sebagai Keresidenan Tapanuli di dalam lingkungan pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Sumatera yang berkedudukan di Padang Sidimpuan yang masih menjadi bagian dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang berpusat di Padang, Sumatera Barat.
Universitas Sumatera Utara
Sejak tahun 1906, pemerintahan Belanda di Tanah Batak lantas dipisahkan dari Sumatera Barat dan sepenuhnya dibentuk keresidenan yang berdiri sendiri dengan Residen yang berkedudukan di Sibolga. Dengan keputusan ini, pemerintah kolonial Hindia Belanda di Batavia langsung mengendalikan pemerintahannya dari pusat ke seluruh Tanah Batak yang belum pernah dilakukan sebelumnya, tidak lagi berpusat di Padang, Sumatera Barat. Selanjutnya, pemerintah kolonial Hindia Belanda yang berkuasa mulai membuat struktur pemerintahan baru versi Belanda di wilayah Tanah Batak yang kemudian berganti nama menjadi Tapanuli ke dalam tujuh tingkat pemerintahan: 1. Tingkat pertama, resident adalah pejabat tertinggi pemerintah kolonial Hindia Belanda yang memimpin Keresidenan Tapanuli. 2. Tingkat kedua, asisten resident. Keresidenan Tapanuli dibagi menjadi dua afdeeling, yaitu: Afdeeling Tapanuli Utara berkedudukan di Tarutung dan Afdeeling Tapanuli Selatan berkedudukan di Padang Sidimpuan. Setiap afdeeling dipimpin seorang asistent resident. Afdeeling adalah wilayah setingkat kabupaten di Jawa yang dipimpin seorang bupati. 3. Tingkat ketiga, controleur. Afdeeling dibagi menjadi beberapa onderafdeeling yang dipimpin seorang controleur. Onder-afdeeling adalah wilayah setingkat kecamatan. Di seluruh Afdeeling Tapanuli Selatan terdapat tiga onder-afdeeling, yaitu: Angkola-Sipirok, Padang Lawas dan MandailingNatal.
Universitas Sumatera Utara
4. Tingkat keempat, demang. Pada tahun 1916 pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan wilayah district (setingkat kewedanaan) di bawah onder-afdeeling yang dipimpin oleh seorang demang. 5. Tingkat kelima, asisten demang. Di bawah district pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan onder-district yang dipimpin seorang asistent demang. 6. Tingkat keenam, kepala kuria. Di bawah onder-district pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan istilah hakuriaan yang dipimpin seorang Kepala kuria. Hakuriaan menggantikan sebutan luhat untuk membawahi sejumlah huta yang berdekatan, mengacu pada masa kekuasaan kaum Paderi. 7. Tingkat ketujuh, kepala kampung, tingkat terendah di bawah hakuriaan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan istilah ‘kampung’ untuk menggantikan sebutan huta. Kampung dipimpin seorang kepala kampong. Ini berarti sebutan Raja Pamusuk (RP) dan Raja Panusunan Bulung (RPB) yang memimpin sebuah huta atau bona bulu dihilangkan dengan menggantikannya dengan kepala kampung. 23
Onder Afdeeling Pada masa pendudukan Belanda, wilayah Tapanuli Bagian Selatan disebut Afdeeling Padang Sidimpuan dikepalai oleh seorang residen yang berkedudukan di Padang Sidimpuan. Afdeeling Padang Sidimpuan dibagi atas tiga onder-afdeeling.
23
Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, op. cit., hal. 160.
Universitas Sumatera Utara
Setiap onder-afdeeling dikepalai oleh seorang contreleur yang dibantu oleh seorang demang. Tiga onder-afdeeling tersebut, yaitu: •
Onder-Afdeeling Angkola-Sipirok ibukota di Padang Sidimpuan.
•
Onder-Afdeeling Padang Lawas ibukota di Sibuhuan.
•
Onder-Afdeeling Mandailing-Natal ibukota di Kotanopan. 24
Sebelumnya onder-afdeeling Mandailing terdiri dari onder-afdeeling yang meliputi Mandailing Godang, Mandailing Julu, Ulu dan Pakantan dan Natal terdiri dari onder-afdeeling yang meliputi Natal dan Batang Natal.
District (Distrik) Setiap onder-afdeeling terdiri dari distrik. Distrik dikepalai oleh seorang asisten demang. Nama-nama distrik menurut onder-afdeeling adalah sebagai berikut: Tabel I Nama-nama Distrik menurut Onder Afdeeling di Tapanuli Selatan Onder Afdeeling Angkola-
Onder Afdeeling Padang
Onder Afdeeling
Sipirok
Lawas
Mandailing dan Natal
• •
Distrik Angkola ibukota
Distrik Padang
•
Distrik Panyabungan
di Padang Sidimpuan
Bolak ibukota di
ibukota di
Distrik Batangtoru
Gunung Tua
Panyabungan
Distrik Barumun dan •
Distrik Kotanopan
Distrik Sipirok ibukota
Sosa ibukota di
ibukota di Kotanopan
di Sipirok
Sibuhuan
ibukota di Batangtoru •
•
•
•
Distrik Muara
24
Badan Pusat Statistik, Tapanuli Selatan Dalam Angka 2007, Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, hal. ix.
Universitas Sumatera Utara
•
Distrik Dolok
Sipongi ibukota di
ibukota di Sipiongot
Muara Sipongi •
Distrik Natal ibukota di Natal
•
Distrik Batang Natal ibukota di Muara Soma
Sumber: Kantor BPS Tapanuli Selatan
Hakurian Setiap distrik dibagi atas beberapa hakuriaan yang dikepalai oleh seorang Kepala Kuria. Sebelum munculnya istilah ‘hakuriaan’ versi pemerintah kolonial Hindia Belanda, penduduk di Tanah Batak telah lama menggunakan sebutan ‘luhat’ atau ‘banua’ untuk menyatakan sebuah wilayah yang dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung (RPB) dalam adat Batak. Luhat versi Belanda yang dikenal sebagai hakuriaan menurut distrik adalah sebagai berikut: Tabel II Luhat di Tapanuli Selatan menurut Distrik Distrik Padang Sidimpuan
Distrik Panyabungan
1. Hutaimbaru
1. Pidoli Bukit
2. Pijor Koling
2. Kota Siantar
3. Batunadua/Pargarutan
3. Panyabungan Julu
4. Muaratais
4. Panyabungan Tonga
Distrik Batang Toru 1. Marancar 2. Batangtoru
5. Gunung Baringin 6. Gunung Tua Distrik Kotanopan
Universitas Sumatera Utara
Distrik Sipirok
1. Tamiang
1. Sipirok Godang
2. Manambin
2. Baringin
3. Kotanopan
3. Parau Sorat
4. Panombangan
Distrik Padang Bolak Distrik Barumun dan Sosa
5. Maga Distrik Muara Sipongi
1. Ujung Batu
1. Pakantan Lombang
2. Simangambat
2. Pakantan Doeali
Distrik Dolok 1. Sipiongot
3. Oleoe Distrik Natal 1. Natal Distrik Batang Natal 1. Muara Soma
Sumber: Kantor BPS Tapanuli Selatan
Kampung Setiap luhat dibagi atas beberapa kampung yang dikepalai oleh seorang kepala kampung (kampong hoofd). Jika sebuah kampung mempunyai penduduk yang jumlahnya banyak maka kepala kampung dibantu oleh seorang kepala ripe. Demikianlah beberapa tingkatan pemerintahan yang pernah ditetapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda di Tapanuli Selatan, namun dalam perkembangannya masyarakat setempat pun tidak hanya menerima kebijakan ini dengan begitu saja. Hal tersebut terbukti dengan mulai bermunculannya perlawanan-perlawanan masyarakat terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Universitas Sumatera Utara
Pada September 1933 seorang anggota kelompok pemuda Muslim di Hutapungkut Djulu, Mandailing, dipanggil oleh demang untuk menjelaskan mengapa dia menulis “Lebih baik mati dan dikubur dari pada hidup di negeri yang diperbudak” di pintu kantor mereka. Penjelasan bahwa dia menuliskan kalimat tersebut di pintu hanyalah sebagai pengingat pribadi karena tidak mempunyai kertas, tidak bisa diterima. Di dinding dalam tertulis “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” dan “Sekarang! Indonesia Merdeka Sekarang!”. 25 Inilah suara pergerakan yang pada tahun 1930-an mulai bermunculan di Tapanuli Selatan sebagai bentuk perlawanan yang dilakukan terhadap kolonial Belanda. Pergerakan ini sulit dirumuskan. Ada gerakan politik yang ingin bebas dari Belanda, ada gerakan keagamaan yang ingin membersihkan pelaksanaan Islam dari unsur-unsur tambahan dan berbagai penyimpangan, ada juga gerakan sosial kaum muda dan lain-lain lagi yang tidak senang pada status mereka yang rendah di bawah adat, dan menentang para pemimpin dan tetua berikut berbagai pengekangan yang mereka berlakukan. Lance Castles mengelompokkan pergerakan politik di Tapanuli selatan menjadi tiga bagian berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. 1). Gerakan politik yang bebas dari penjajahan Belanda. 2). Gerakan keagamaan yang ingin membersihkan pelaksanaan Islam dari unsur-unsur tambahan sebagai penyimpangan dan 3). Gerakan sosial kaum muda yang tidak senang dengan status mereka yang rendah di bawah adat.
25
Lance Castles, op. cit., hal. 173.
Universitas Sumatera Utara
Pergerakan politik di Tapanuli Selatan selama Pemerintahan Kolonial Belanda menjadikan masyarakat terpragmentasi dalam sekat-sekat organisasi karena persaingan untuk mendapatkan pengaruh dan anggota.
Pemimpin adat dan ahli
agama yang konservatif dihinggapi nafsu harajoan Batak tidak jauh berbeda dengan Batak di Tapanuli utara. Kalau masyarakat adat mengisolasi penduduk secara lokal berdasarkan status, organisasi sosial menyatukan mereka berdasarkan suka rela dan tempat berpijak yang sama. Pemimpin adat menganggap pergerakan politik mengancam statusnya dalam adat yang tinggi sekalipun sesungguhnya mereka sendiri terkadang merupakan penyimpangan.
2.4.3 Tapanuli Selatan masa Pendudukan Jepang Setelah berakhirnya kekuasaan Belanda yang kemudian digantikan oleh Jepang pada tanggal 24 Maret 1942 sampai 1945 tidak mengalami perubahan yang sangat nyata pada struktur pemerintahan Tapanuli Selatan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial, kecuali pemberian nama-nama dan personalia baru yang diberikan oleh pemerintah Militer Jepang, yaitu: a. Setiap residensi disebut shu di bawah pengawasan seorang militer gunseibu. Di sampingnya ada seorang residen merangkap kepala polisi yang mengatur pemerintahan sipil sehari-hari yang disebut dengan shu chokan, yang berwenang mengeluarkan peraturan di bidang peradilan. Peraturan ini disebut dengan shu rei, yang juga merupakan seorang militer Jepang. Hubungan antara satu Residensi dengan residensi yang lain sangatlah sulit dan harus dengan surat izin dari
Universitas Sumatera Utara
masing-masing gubseibu untuk membuat kebijakan sendiri asal mengikuti aturan dasar yang ditentukan oleh atasannya. b. Kabupaten dalam setiap keresidenan disebut bun, kewedanan disebut gun. c. Asisten residen disebut bun shu cho juga dipegang oleh militer Jepang. d. Daerah kecamatan disebut son dan kepala wilayahnya disebut dengan son cho yang umumnya dipegang oleh masyarakat pribumi yang pro Jepang. 26 Untuk membantu pemerintah Jepang maka dibentuklah suatu Badan Pertimbangan Pusat yang diberi nama cuo sang in yang anggota-anggotanya diambil dari wakil-wakil daerah tiap keresidenan dan berkedudukan di Bukit Tinggi. Maka di Keresidenan Tapanuli terdapat Dewan Pertimbangan Daerah (Tapanuli suo sang kai). Sebagai pimpinan sipil yang tertinggi untuk bangsa Indonesia di Tapanuli maka diangkatlah Dr. Ferdinan Lumbantobing sebagai Ketua Badan Pertahanan Negeri (BAPEN) oleh pemerintah Jepang sebagai fuku chokan yaitu wakil residen, karena beliau adalah seorang tokoh pemuka masyarakat yang sangat disegani di wilayah Tapanuli. Di setiap kota besar di Tapanuli selalu ada cabang BAPEN dan diinstruksikan untuk mengkoordinir setiap desa agar para pemudanya mengikuti pelatihan militer, latihan pemadam kebakaran dan menjaga keamanan desa, berjaga malam, dan mereka dilatih oleh tentara Jepang. 27 Selain itu, di setiap desa tentara Jepang juga membentuk barisan seikedan (Sekedan) guna menjaga keamanan desa serta membuat pos-pos penjagaan.
26 27
Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, op. cit., hal. 171. Departemen Dalam Negeri Prop. Dati I Sumatera Utara, op. cit., hal. 337.
Universitas Sumatera Utara
Pendudukan Jepang selama kurang lebih 3 setengah tahun di Indonesia memang tidak banyak memberi perubahan terhadap tatanan pemerintahan di Indonesia baik itu dari pemerintahan pusat sendiri maupun sampai ke pemerintahan di daerah-daerah. Selain hanya dengan beberapa penggantian istilah kepemimpinan dan penyesuaian dengan pemerintah Jepang sendiri tidak ada hal lain perubahan yang terlihat jelas, selain tentu saja beberapa pergantian pemimpin di beberapa kursi kepemimpinan yang ditunjuk sesuai dengan kebijakan dari pemerintah Jepang pada masa itu.
Universitas Sumatera Utara