BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Tapa merupakan salah satu dari 17 Kecamatan yang ada di Kabupaten Bone Bolango. Kecamatan ini terletak pada garis lintang 1,10 derajat Lintang Utara 0,20 derajat Lintang Selatan, 123 derajat 40 derajat Bujur Timur, 120 derajat 20 derajat Bujur Barat dan terdiri atas 7 Desa. Luas wilayah kecamatan Tapa sebesar 64,41 km persegi atau sebesar 3.25 % dari luas wilayah kabupaten Bone Bolango. Kecamatan Tapa terdiri dari 7 Desa yaitu Talulobutu, Talumopatu, Dunggala, Langge, Talulobutu Selatan, Kramat, Meranti. Menurut bagian pemerintah kecamatan Tapa, status pemerintah desa-desa di Tapa adalah swakarya dan swasembada. Jumlah penduduk Kecamatan Tapa pada tahun 2011 adalah 7.447 jiwa. Rata-rata kepadatan penduduk 116 jiwa/Km2. Penduduk Kecamatan Tapa tersebar pada 7 Desa dengan jumlah rumah tangga yakni 1779. Sex ratio atau angka perbandingan antar jenis kelamin penduduk Kecamatan Tapa sebesar 98,38, berarti jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari laki-laki. Sebagian besar penduduk di kecamatan Tapa mempunyai kegiatan utama di bagian sektor pertanian. Jumlah tenaga kerja ini dapat dilihat dari berbagai aspek yakni menurut angkatan kerja dan non angkatan kerja.
16
4.2 Hasil Penelitian 4.2.1 Sejarah Turunani. Masyarakat Gorontalo terutama di desa Talulobutu kecamatan Tapa dulunya sangat sulit untuk menyebut Turunani melainkan kata Sulunani yang sering diucapkan. Karena dulunya masyarakat Gorontalo masih peka dengan bahasa Gorontalo asli, sehingga sulit untuk menyebutkan kata Turunani melainkan yang sering diucapkan hanyalah Sulunani. Pada waktu itu Turunani ini juga sering digunakan oleh masyarakat setempat untuk melangsungkan upacaraupacara yang sesuai. Namun dengan adanya perkembangan zaman maka tatanan bahasa berubah dan Turunani ini sudah jarang digunakan. Ini diakibatkan pengaruh modern yang masuk di tiap-tiap daerah (wawancara, Yamin H: 31 agustus 2013). Masyarakat Tapa terutama desa Talulobutu tidak terpengaruh dengan adanya perkembangan tersebut karena masyarakat Tapa sangat berantusias untuk mempertahankan keberadaan Turunani tersebut. Hal ini terbukti bahwa masayarakat Tapa khususnya Desa Talulobutu, masih melangsungkan atau menggunakan kesenian Turunani ditiap-tiap upacara yang akan dilaksanakan. Dalam hal ini, Turunani merupakan kesenian tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi secara turun temurun sehingga kelestariannya tetap terjaga. Kesenian Turunani ini juga adalah kesenian tradisi yang didalamnya memiliki instrumen-instrumen, lagu yang nantinya akan dimainkan dalam acara-acara atau upacara-upacara yang sedang berlangsung sesuai acara yang ditentukan. Menariknya pada kesenian ini yaitu dilihat dari bentuk pertunjukannya, cara
17
memainkannya, dan suara yang dikeluarkan oleh orang yang melantunkan syairsyair serta memiliki ciri khas tersendiri baik itu dari segi penyajiannya serta orang-orang yang terkait pada pertunjukan Turunani tersebut. Pertunjukan ini pun dapat dipertontonkan dengan secara gratis oleh siapapun, karena pertunjukan ini merupakan suatu hiburan bagi masyarakat dalam suatu acara-acara atau upacaraupacara yang akan ditentukan. Kesenian ini diharapkan menjadi suatu kebanggaan masyarakat daerah Gorontalo khususnya di Desa Talulobutu dan akan bisa menjadi suatu kebudayaan yang dapat dilestarikan pada saat ini serta pada generasi-generasi muda yang akan datang. Karena kesenian ini memiliki esensi sangat dalam yang ada hubungannya dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan kesenian ini pula sudah menjadi suatu ciri khas daerah Gorontalo. Dengan mengenal secara mendalam kesenian ini, kita akan memacu pada pengembangan dan peningkatan pembangunan. Namun bukan berarti akan mengubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Akan tetapi ini semua menjadi suatu budaya daerah tersebut sebagai alat pengembangan dan peningkatan pembangunan suatu daerah (wawancara, Yamin Yahya: 8 sept 2013). Kesenian tradisional ini, khususnya Turunani yaitu memiliki hubungan yang erat dengan seni musik, karena didalamnya terdapat syair yang akan di lagukan dan beberapa instrument Rebana yang memiliki pukulan-pukulan sendiri. 4.2.2 Prosesi Upacara Adat Pernikahan Gorontalo Gorontalo memiliki penduduk yang hampir seluruhnya memeluk agama Islam, sudah tentu adat istiadatnya sangat menjunjung tinggi kaidah-kaidah Islam. Untuk itu ada semboyan yang selalu dipegang oleh masyarakat Gorontalo yaitu,
18
‘Adati hula hula Sareati – Sareati hula hula to Kitabullah’ yang artinya, Adat Bersendikan Syara, Syara Bersendikan Kitabullah. Pengaruh Islam menjadi hukum tidak tertulis di Gorontalo sehingga mengatur segala kehidupan masyarakatnya dengan bersendikan Islam. Termasuk tata upacara adat pernikahan daerah Gorontalo yang sangat bernuansa Islami. Prosesi pernikahan dilaksanakan menurut Upacara adat yang sesuai dengan tahapan atau Lenggota Lo Nikah. Tahapan pertama disebut Mopoloduwo Rahasia, yaitu dimana orang tua dari pria mendatangi kediaman orang tua sang wanita untuk memperoleh restu pernikahan anak mereka. Apabila keduanya menyetujui, maka ditentukan waktu untuk melangsungkan Tolobalango atau peminangan. Tolobalango adalah peminangan secara resmi yang dihadiri oleh pemangku adat Pembesar Negeri dan keluarga melalui juru bicara pihak keluarga pria “Lundthu Dulango Layio” dan juru bicara utusan keluarga wanita “Lundthu Dulango Walato”. Penyampaian maksud peminangan dilantunkan melalui pantun-pantun yang indah. Dalam Peminangan Adat Gorontalo tidak menyebutkan biaya pernikahan (Tonelo) oleh pihak utusan keluarga calon pengantin pria, namun yang terpenting mengungkapkan Mahar (Maharu) dan penyampaian acara yang akan dilaksanakan selanjutnya. Pada waktu yang telah disepakati dalam acara Tolobalango maka prosesi selanjutnya adalah Depito Dutu (antar mahar) maupun antar harta yang terdiri dari 1 paket mahar, sebuah paket lengkap kosmetik tradisional Gorontalo dan kosmetik modern, ditambah seperangkat busana pengantin wanita, sirih Kutannya, serta bermacam buah-buahan dan dilonggato atau bumbu dapur.
19
Semua hantaran ini dimuat dalam sebuah kendaraan yang didekorasi menyerupai perahu yang disebut Kola-Kola. Arak-arakan hantaran ini dibawa dari rumah Yiladiya (kediaman/ rumah raja) calon pengantin pria menuju rumah Yiladiya pengantin wanita diringi dengan gendering adat dan kelompok Tinilo diiringi tabuhan rebana melantunkan lagu tradisional Gorontalo yang sudah turun temurun, yang berisi sanjungan, himbauan dan doa keselamatan dalam hidup berumah tangga dunia dan akhirat. Pada malam sehari sebelum akad nikah digelar serangkaian acara Mopotilandthu (malam pertunangan). Acara ini diawali dengan Khatam Qur’an, proses ini bermakna bahwa calon mempelai wanita telah menamatkan/ menyelesaikan ngajinya dengan membaca ‘Wadhuha’ sampai surat Lahab. Dilanjutkan dengan Molapi Saronde yaitu tarian yang dibawakan oleh calon mempelai pria dan ayah atau wali laki-laki. Tarian ini menggunakan sehelai selendang. Ayah dan calon mempelai pria secara bergantian menarikannya, sedangkan sang calon mempelai wanita memperhatikan dari kejauhan atau dari kamar. Bagi calon mempelai pria ini merupakan sarana Molile Huwali (menengok atau mengintip calon istrinya), dengan tarian ini calon mempelai pria mencuri-curi pandang untuk melihat calonnya. Saronde dimulai dengan ditandai pemukulan rebana yang diiringi dengan lagu Turunani dan disusun syair-syairnya dalam bahasa Arab yang juga merupakan lantunan doa-doa untuk keselamatan. Kemudian sang calon mempelai wanita ditemani pendamping menampilkan tarian tradisional Tidi Daa atau Tidi Loilodiya. Tarian ini menggambarkan keberanian dan keyakinan menghadapi badai yang akan terjadi kelak bila berumah tangga.
20
Usai menarikan Tarian Tidi, calon mempelai wanita duduk kembali ke pelaminan dan calon mempelai pria dan rombongan pemangku adat beserta keluarga kembali ke rumahnya. Keesokan harinya Pemangku Adat melaksanakan Akad Nikah, sebagai acara puncak dimana kedua mempelai akan disatukan dalan ikatan pernikahan yang sah menurut Syariat Islam. Dengan cara setengah berjongkok mempelai pria dan penghulu mengikrarkan Ijab Kabul dan mas kawin yang telah disepakati kedua belah pihak keluarga. Acara ini selanjutnya ditutup dengan doa sebagai tanda syukur atas kelancaran acara penikahan ini. Dari prosesi upacara adat pernikahan di atas, kesenian Turunani ini terdapat pada tata upacara adat Moponika yang tercantum pada acara Mopotilanthahu (mempertunangkan) dengan tujuan untuk mengiringi Molapi Saronde. 4.2.3 Bentuk Pertunjukan Turunani Dalam Upacara Adat Pernikahan Bentuk seni pertunjukan secara umum bukan hanya dilihat dari satu sisi tetapi harus keseluruhan sisi yang terkait di dalam seni yang dipertontonkan tersebut. Keberadaan seni pertunjukan dalam kehidupan masyarakat tentunya memiliki tingkat kedudukan serta fungsi yang berbeda. Maka dari itu untuk mempertahankan eksistensinya yang memiliki fungsi disetiap kesenian yang ada, mampu berperan secara kolektif dan aktif dalam peraturan kehidupan yang terdapat pada kelompok masyarakat tersebut. Artinya jika kesenian tersebut tidak diberlakukan atau sudah tidak dipertunjukan maka kehidupan masyarakat tidak
21
berjalan dengan dengan normal, dalam artian akan menimbulkan suatu kekurangan dengan tidak adanya kesenian yang dimaksudkan tersebut. Fenomena yang terjadi pada seni pertunjukan di lingkungan masyarakat tentunya memiliki bentuk tersendiri dalam pelaksanaanya. Dengan adanya bentuk yang terdapat pada sebuah pertunjukan Turunani, dalam hal ini yang kita dapatkan pada upacara adat Hui Mopotilanthahu yang mempunyai persiapan terlebih dahulu dalam pertunjukannya. Persiapan tersebut dimulai dari persiapan pengantin laki-laki, penari, property, musik pengiring serta kelengkapan yang akan dibutuhkan pada pertunjukan. Bentuk pertunjukan Turunani biasanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah mahir karena di dalam pertunjukan Turunani terdapat penari, pemusik rebana,
dan
orang
yang
melantunkan
syair.
Luntu
Dulungo
Layi’o
mempersilahkan para Bubato untuk membunyikan rebana pertanda acara Turunani akan dimulai dengan dipersiapkan tiga macam selendang yang berada di Tapahula yaitu warna hijau, kuning, dan orens (kuning telur) yang diletakan di depan pengantin laki-laki. Selendang hijau dan kuning tidak dapat dimainkan karena kedua warna tersebut merupakan warna simbol dari Bubato (petugas yang menyelenggarakan acara Turunani). Di dalam pertunjukan Turunani juga ada orang-orang yang memainkan alat musik rebana dengan memiliki bagian-bagiannya tersebut seperti pada : pukulan 3,
22
pukulan 5,
dan pukulan 7
Dari pukulan-pukulan tersebut akan melahirkan komposisi-komposisi musik, baik itu dari pukulan 3 dengan pukulan 5 atau pukulan 5 dengan pukulan 7 yang dalam bentuk transkipnya sebagai berikut :
KET : Tak
:
Dung
:
23
24
Beberapa menit kemudian salah seorang Bubato berdiri serta melakukan gerakan jalan di tempat ketika pada bar ke 36 dengan ketukan “tak”. Kemudian seorang bubato melakukan gerakan melangkah kedepan yang diawali dengan kaki kanan dan dilanjutkan dengan kaki kiri seolah-olah berjalan menuju ke pengantin putra. Namun sebelum itu, ketika pada bar 41 seorang bubato berputar-putar kesana-kemari dengan membawa Tapahula yang berisi selendang dan diletakan didepan calon pengantin putra disaat ketukan “dung” pada bar 43.
25
Pada bar 45 bubato tersebut langsung berdiri menghadap kekanan dan langsung berjalan dengan posisi tangan kanan di pinggang sedangkan tangan kiri di depan dada yang berjarak 30 cm ketika di waktu pada bar 46 sampai pada bar 49. Pada bar 50 bubato masih melakukan tarian dengan bergerak kesana kemari hinggan sampai pada bar 57.
Pada bar 58 bubato lainnya berdiri dan membuka tapahula tersebut dan mengeluarkan selendang untuk di gunakan pada tarian. Kemudian bubato tersebut menari kesana kemari dengan posisi tangan kanan dipinggang sedangkan tangan kiri didepan dada begitu seterusnya hingga pada bar 69. Namun sebelum itu bubato tersebut melakukan penghormatan kepada pengantin putra.
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
Dari bar 70 masih tetap melakukan gerakan tarian baik itu dari para bubato maupun pengantin putra. Namun pada bar 75 2 orang bubato turun langsung untuk menari sampai pada bar 86. Ini terus dilakukan hingga sampai pada bar 319, dengan secara bersamaan pula lagu Saronde pun selesai ketika pada bar yang sama yaitu bar 319 . Dari bentuk transkip diatas yang memiliki pukulan-pukulan tersebut adalah bentuk pukulan yang di gunakan pada Turunani. Upacara Molapi Saronde pun dimulai yang diawali dengan istilah momangu rabana dan secara bersamaan Turunani pun dimulai dengan pukulan 3 dan syair lagu dengan judul Suluta dan Saronde. Turunani ini juga didalamnya bukan hanya terdapat pukulan-pukulan rebana saja, tetapi didalam Turunani ini juga terdapat syair-syair lagu yang bentuk transkipnya sebagai berikut :
Kemudian masuk pada pukulan 5 dan 7 yang menandakan bahwa Salah seorang Bubato akan menari didepan calon pengantin putra dan akan menyerahkan selendang kuning pada pengantin putra dengan menyangkutkan
39
selendang kebahunya setelah Bubato tersebut selesai menari. Pengantin putra melepaskan
selendang
tersebut
dan
memberikan
penghormatan
dengan
mengumpulkan kedua ujung selandang di depan dadanya pertanda pengantin tersebut akan memulai menari Saronde. Pada waktu menari, pengantin laki-laki dapat menari kemana-mana bahkan dapat menari sampai di depan pintu kamar pengantin wanita sambil melirik pengantin wanita yang duduk di pinggiran ranjang. Begitu seterusnya hingga lagu Saronde selesai. Pada saat Molapi Saronde selesai maka, Utoliya Luntu Dulungo Layi’o mopomaklumu (memberi tahu) bahwa Molapi saronde telah selesai dan akan dilanjutkan dengan mohatamu dan mopotidi. Dari bentuk pertunjukan Turunani di atas terdapat instrument-instrument rebana yang memiliki pukulan-pukulan tersendiri seperti pukulan 3, pukulan 5, dan pukulan 7. Di sini penulis menyimpulkan bahwa dari ketiga pukulan rebana tersebut terdapat komposisi-komposisi yang bervariasi sehingga enak untuk dinikmati bagi pelaku dan penikmat serta menimbulkan suasana yang meriah bagi kedua belah pihak. Ditambah dengan beberapa orang yang melantunkan syair dengan judul Suluta dan Saronde yang sering digunakan pada upacara adat pernikahan khususnya pada acara Hui Mopotilanthahu. 4.3 Pembahasan 4.3.1 Fungsi Turunani Berbicara masalah fungsi, berarti kita harus mengetahui dulu jenis serta kedudukan kesenian tersebut. Turunani merupakan jenis kesenian tradisi yang lahir dan berkembang dilingkungan masyarakat Gorontalo khususnya masyarakat
40
Tapa. Turunani menggambarkan hubungan kekeluargaan antara bermasyarakat dalam menjalin suatu ikatan silaturrahmi. Seperti halnya yang dikatakan oleh seorang ahli bahwa tradisi adalah hal yang tersedia dimasyarakat sebelumnya dan telah mengalami penerusan turunan-turunan antargenerasi (Caturwati, 2008:1). Sebuah seni pertunjukan yang tergabung dalam kehidupan manusia tentunya memiliki keterkaitan dengan manusia itu sendiri. Keterkaitan tersebut biasanya memiliki konsep tradisi dalam eksistensinya. Seni tradisi yang tumbuh dan berkembang dalam tatanan masyarakat akan mampu bertahan jika seni tersebut memilki manfaat dan fungsi bagi masyarakat tersebut. Seperti halnya kesenian Turunani yang merupakan kesenian yang berfungsi sebagai hiburan, sebagai iringan dan sebagai sarana ritual yang dalam hal ini untuk memperoleh keberkahan serta do’a dari yang Kuasa. Dari bentuk pertunjukan Turunani yang terdapat pada hasil penelitian, maka peneliti dapat menyimpulkan dengan secara ringkas peranan fungsi Turunani sebagai bentuk iringan dalam Molapi Saronde yang dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai berikut : a. Dapat membantu menguatkan suasana dari setiap peradegan yang dilakukan oleh penari. Karena ini dilihat dari penari yang mengikuti tabuhan-tabuhan rebana tersebut. b. Memperjelas dinamika yang definisinya sebagai volume bunyi yang kuat atau lembut dan perubahan yang berangsur-angsur dari kuat ke lemah atau sebaliknya. Dinamika tersebut sangat mendukung bagi para penari karena kalau ditinjau dari tabuhan yang kuat, maka para penari akan terlihat tegas
41
dalam melakukan setiap gerakan. Apalagi ditinjau dari tabuhan yang berangsur-angsur berubah dari kuat ke lemah ataupun sebaliknya. Ini juga sangat berpengaruh pada setiap penari melakukan gerakan. Karena dilihat dari tabuhan yang kuat ke lemah, maka otomatis penari tersebut melakukan gerakan yang kelihatan tegas ke lembut dan begitupun sebaliknya. c. Menuntun rasa, perasaan, dan pengungkapan seorang penari. d. Memperjelas irama, karena dengan adanya terjadinya irama maka mengalir ketukan-ketukan dasar yang teratur dalam mengikuti beragamnya variasi tabuhan rebana. Pola irama pada musik memberikan perasaan tertentu pada setiap insan yang mendengarkan terutama penari, karena pada hakekatnya irama adalah gerak yang menggerakkan perasaan. e. Harmonisasi yang merupakan kesesuaian dan keselarasan bunyi dari setiap instrumen dalam permainan musik kelompok, yang tampil sebagai bentuk yang utuh, enak didengar dan memenuhi syarat sebagai suatu karya musik. Ini juga sangat berpengaruh pada setiap penari, karena dari keselarasan bunyi tersebut maka penari tidak akan terlihat kaku dalam melakukan tarian. f. Memperjelas daya emosional bagi para pemusik dan penari. g. Memperjelas intensitas atau tekanan gerak lincah dari calon pengantin putra sebagai lambang untuk mempertanggung jawabkan rumah tangganya secara lahir dan batin. 4.3.2 Fungsi Turunani sebagai sarana Ritual dan Hiburan Fungsi ritual dalam sebuah karya seni sudah tidak asing lagi dibicarakan, karena seni bersifat secara universal. Tetapi dalam ruang lingkup kesenian tradisi
42
seperti kesenian Turunani yang dilihat dari lantunan syair-syairnya memililki fungsi ritual bagi kedua belah pihak karena dianggap dapat mendatangkan keberkahan pada pernikahan serta merupakan do’a bagi kedua belah pihak. Seni pertunjukan pada umumnya baik pertunjukan seni tari, seni musik, maupun seni drama pada hakekatnya berfungsi sebagai sarana hiburan. Hiburan tersebut bisa berupa hiburan untuk pribadi maupun hiburan untuk masyarakat secara umum. Seni pertunjukan yang memiliki fungsi hiburan, secara umum memiliki ciri tersendiri jika dibandingkan dengan ciri seni yang berfungsi sebagai sarana ritual ataupun untuk presentasi estetis. Ciri kesenian yang berfungsi sebagai sarana hiburan tersebut dapat kita jumpai pada kesenian Turunani dimana dalam proses upacara adat Hui Mopotilanthahu yang berlangsung meriah serta kedua belah pihak yang terlibat secara langsung dalam pertunjukan tersebut. Pertunjukan Turunani dalam masyarakat Tapa memberikan dampak positif terhadap para pelaku, karena pelaksanaan Turunani di tiap-tiap upacara tersebut berlangsung meriah. Pada dasarnya dengan adanya kesenian Turunani tersebut adalah berfungsi sebagai sarana hiburan bagi tuan rumah atau bisa jadi dari keluarga kedua belah pihak, karena tuan rumah atau kedua belah pihak memanfaatkan kesenian tersebut sebagai sarana untuk meluapkan rasa gembira setelah melaksanakan Hui Mopotilanthahu. Seperti yang dikatakan seorang ahli bahwa fungsi hiburan adalah sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa suka ria rasa gembira dan pergaulan, (Supartha dan Suparjan, 1982:136)
43