BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia adalah sebuah negara kepulauan di Asia Tenggara yang memiliki 17.504 pulau besar dan kecil, sekitar 6.000 di antaranya tidak berpenghuni, yang menyebar di sekitar khatulistiwa, dan memiliki iklim tropis. Posisi Indonesia terletak pada koordinat 6° Lintang Utara - 11° Lintang Selatan dan dari 95° Bujur Timur 141° Bujur Timur. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki posisi geografis yang sangat unik dan strategis, terletak diantara Samudera Hindia dan Samudera Pasific. Letak geogrfis Indonesia sekaligus berada di antara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia/Oseania. 1 Letak geografisnya yang stategis, Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa salah satunya memiliki banyak hutan yang potensial dimana kondisi vegetasi yang tumbuh dan berkembang sangat beragam. Hal ini adalah salah satu sektor modal pembangunan bangsa. Menurut Dangler, hutan adalah sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembapan, cahaya, angin dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan/pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang luas dan tumbuhnya cukup rapat.2 Dangler juga memberikan 4 (empat) unsur mengenai defenisi hutan, yaitu: 1
http://encyclopediaindonesia.blogspot.com/2012/11/letak-geografis-indonesiaindonesia.html diakses pada 29 April 2013 pukul 11.59 WIB 2 Suriansyah Murhaini, Hukum Kehutanan, (Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2011), Hal. 9 yang dikutip dari buku Salim H.S, Dasar-dasar Hukum Kehutanan (edisi revisi) Hal. 4
1 Universitas Sumatera Utara
2
1. Unsur lahan yang cukup luas (minimal ¼ hektar), yang disebut tanah hutan; 2. Unsur pohon (kayu, bambu, palem), flora dan fauna; 3. Unsur lingkungan; dan 4. Unsur penetapan pemerintah. Menurut kamus kehutanan bahwa pengertian hutan adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhannya merupan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya yang ditetapkan pemerintah sebagai hutan. 3 Dan menurut Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam hayati beserta lingkungannya, dimana yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.4 Dalam Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan di Indonesia dibedakan menjadi 4 (empat) jenis hutan yaitu: 1. Hutan berdasarkan statusnya5 yaitu didasarkan pada status (kedudukan) antar orang, badan hukumatau institusi yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan terhadap hutan tersebut. Hutan berdasarkan status dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: a. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah;
3
Alam Setia Zain, Kamus Kehutanan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997) Hal. 71 Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, lihat Pasal 1 butir 2 5 Ibid. lihat Pasal 5 4
Universitas Sumatera Utara
3
b. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.6 2. Hutan berdasarkan fungsinya7 yaitu penggolongan hutan yang didasarkan pada kegunaannya. Berdasarkan fungsinya hutan ini digolongkan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: a. Hutan konservasi adalah hutan yang dengan cri khas tertentu yang mempunyaifungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi ini terdiri dari 3 (tiga) macam yaitu hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian dan taman buru. b. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi (penerobosan) air laut, dan memelihara kesuburan tanah; c. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang memiliki fungsi produksi hasil hutan. 3. Hutan berdasarkan tujuan khusus8 yaitu penggunaan untuk keperluan penelitian dan pengembangan dan pelatihan serta untuk kepentingan religi dan budaya setempat. Yang mana dengan syarat tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
6
Lihat Penjelasan Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 5 Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan Pasal 6-7 8 Ibid. Pasal 8 7
Universitas Sumatera Utara
4
4. Hutan berdasarkan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota9. Hutan memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting bagi suatu Negara, karena hutan adalah salah satu aspek yang bermanfaat untuk menunjang pembangunan Negara dan kesejahteraan sosial. Nilai ekonomis yang luar biasa terdapat di dalam hutan, sehingga harus ada suatu aturan untuk menjaga kelestariannya. Ada suatu kalimat yang penting untuk kita ingat, “Kekayaan alam di dunia ini adalah utang kita kepada anak cucu kita”. Oleh karena itu kita harus bias menjaga kelestarian hutan sejalan ketika kita mengelola dan memanfaatkan hutan. Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan yang bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia yang seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera merata secara materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Akibat dari pemanfaatan hutan yang tidak bijaksana pastilah menimbulkan banyak kerugian, dimana salah satu contoh adalah kegiatan penebangan. Kegiatan penebangan hutan terutama untuk kebutuhan domestik, ini adalah kegiatan yang sungguh sangat tua, mungkin sudah setua peradaban umat manusia. Pernyataan demikian tentulah tidak dapat dipungkiri, sehingga tidak diperlukan pembuktianpembuktian. Tetapi penebangan komersil, itulah yang perlu lebih dicermati. Tergiur dengan nilai ekonomis kayu yang luar biasa mengakibatkan banyak masyarakat atau
9
Ibid. Pasal 9
Universitas Sumatera Utara
5
pihak-pihak tertentu yang buta mata untuk meraup keuntungan yang tidak sedikit untuk diri sendiri atau kelompoknya. Pasal 4 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentnag Kehutanan menyatakan bahwa semua hutan dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Maksud dari penguasaan hutan oleh negara adalah memberi wewenang kepada Pemerintah untuk10: a. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; b. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau bukan kawasan hutan; c. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Salah satu contoh putusan Mahkamah Agung yang diputus berkaitan dengan perbuatan hukum mengenai kehutanan adalah kasus No.1407 K/Pid.Sus/2009, dimana Mat Umar memiliki dan menyimpan kayu dengan membelinya tanpa dokumen yang sah, dihukum pidana penjara 10 (sepuluh) bulan dan membayar denda Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan apabila tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.11 Hukum diperlukan untuk melindungi kepentingan dari masyarakat dari gangguan pihak lain, apabila terjadi pelanggaran hak dan kepentingan, maka harus 10
Salim H.S, Dasar-dasar Hukum Kehutanan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Hal. 12-13 Direktorat Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, www.putusan.mahkamahagung.go.id, diunduh tanggal 2 Februari 2013 pukul 11.04 WIB 11
Universitas Sumatera Utara
6
diselesaikan
dengan
menggunakan
hukum.
Satjipto
Raharjo
sebagaimana
pendapatnya yang dikutip oleh Nyoman Sarikat Putra mengatakan bahwa proses penegakan hukum itu menjangkau pula sampai pada tahapan pembuatan hukum/undang-undang. Perumusan pikiran pembuat undang-undang yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan akan turut menentukan bagaimana hukum itu nanti dijalankan.12 Hukum merupakan suatu sarana yang di dalamnya terkandung nilai-nilai atau konsep-konsep serta usaha untuk mewujudkan ide-ide dari harapan masyarakat untuk menjadi
kenyataan. Melalui penegakan hukum maka keberadaan hukum akan
mempunyai makna dalam kehidupan nyata. Adapun keadaannya hukum yang harus ditegakkan, bahkan meskipun langit runtuh maka hukum harus ditegakkan (fiat justitia et pereat mundus).13 Penegakan hukum juga dimaksudkan untuk memberikan keadilan, adalah adil apabila ada orang yang dirugikan hak dan kepentingannya mendapat ganti kerugian dan yang pelakunya dijatuhi hukuman yang setimpal. Begitu pula bagi orang-orang yang menimbulkan kerusakan hutan, dimana secara langsung ataupun tidak akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat banyak dan kerugian Negara juga.
12
Nyoman Sarikat Putra, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Undip, 2005), Hal.23 13 Surinsyah Murhaini, Op.Cit. Hal. 1
Universitas Sumatera Utara
7
Hukum pidana materiil, dilihat dari sudut dogmatis-normatif, menurut Barda Nawawi Arief bersubstansikan pada 3 (tiga) masalah pokok dari hukum pidana terletak pada masalah yang saling berkaitan14, yaitu: a. Perbuatan yang sepatutnya dipidana; b. Syarat
apa
yang
seharusnya
dipenuhi
untuk
mempersalahkan/
mempertanggungjawabkan seseorang melakukan perbuatan itu; dan c. Sanksi pidana apa yg sepatutnya dikenakan pada orang tersebut. Masalah tindak pidana di bidang kehutanan dewasa ini merupakan masalah yang cukup rumit untuk ditanggulangi. Hal ini antara lain disebabkan minimnya tata batas kawasan, intensitas dan efektifitas penjagaan patroli/pengawasan yang rendah, tenaga dan sarana pengamanan hutan yang sangat terbatas dan kurang professional, lemahnya koordinasi diantara aparat penegak hukum, law enforcement yang lemah terhadap pelanggar serta kurangnya persepsi dari anggota masyarakat itu sendiri akan arti penting sumber daya hutan bagi seluruh umat manusia.15 Salah satu contoh akibat illegal logging yang terjadi di Sumatera Utara adalah seluas 555 ribu hektare dari 3,7 juta hektare kawasan hutan telah mengalami kerusakan akibat pembalakan liar, 15 persen kerusakan hutan di Sumatera Utara
14
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana Edisi Revisi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), Hal. 136 15 Masdani, Penerapan Undang-undang No.25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang(Money Laundering) terhadap Kejahatan Kehutanan (illegal Logging), Tesis, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2005), Hal. 48
Universitas Sumatera Utara
8
terjadi di Kabupaten Madailing Natal dan Tapanuli Selatan.16 Sehingga kawasan tersebut menjadi gersang dan mengubah suhu daerah tersebut. Adapun yang dimaksud dengan hasil hutan menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dalam Pasal 1 point ke 13 adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. Dan hasil hutan tersebut dijabarkan dalam penjelasan Pasal 4 ayat 1. Dalam hal hasil produksi yang langsung diperoleh dari pengolahan bahan-bahan mentah yang berasal dari hutan seperti kayu bulat, yang sering sekali menjadi permasalahan dalam bidang kehutanan. Dimana sering sekali pengambilan atau memperoleh hasil hutan dengan cara yang tidak sah atau tanpa ijin. Bukan tidak boleh bagi masyarakat untuk menggali atau menikmati hasil hutan yang berlimpah ruah, tetapi ada tata cara yang telah ditetapkan oleh negara untuk menikmati hasil hutan sekaligus mengelolanya dengan baik. Seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat modern dalam menghadapi globalisasi serta adanya proses industrialisasi dan modernisasi akan menumbuhkan perubahan proses sosial dalam tata kehidupan masyarakat. Proses industrialisasi dan modernisasi dan terutama industrialisasi kehutanan telah berdampak besar pada kelangsungan hutan sebagai penyangga hidup dan kehidupan mahluk didunia. Hutan merupakan sumber daya yang sangat penting tidak hanya
16
http://www.dnaberita.com/berita-45737-poldasu-diminta-tangkap-pelaku-pembalakanhutan-di-madina.html.html diunduh Tanggal 13 Januari 2014 Pukul 17.34 merupakan hasil wawancara dengan Kadis Kehutanan (Kadishut) Sumut, JB Siringo-ringo kepada wartawan di Medan.
Universitas Sumatera Utara
9
sebagai sumber daya kayu, tetapi lebih sebagai salah satu komponen lingkungan hidup17 Menurut Forrest Watch Indonesia (FWI) illegal logging terdiri dari dua bentuk18, yaitu: a. Pertama, dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam ijin yang dimiliki; b. Kedua, melibatkan pencuri kayu, dimana pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon. Dalam pendekatan kata-kata, illegal logging terdiri dari kata illegal dan logging. Arti kata illegal adalah tidak sah, tidak menurut undang-undang, gelap, melanggar hukum.19 Sementara arti kata logging adalah kegiatan untuk menebang kayu. Maka dengan pendekatan yang sederhana dapat diartikan illegal logging sebagai penebangan kayu yang melanggar peraturan perundang-undangan. Untuk peristilahan illegal logging, setidaknya ada 2 (dua) peraturan yang menyebut illegal logging sebagai penebangan kayu illegal20 yaitu: a. Inpres No.5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal dan Peredaran Hasil Hutan di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting
17
Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), Hal. 6 18 I.G.M Nurdjana, dkk, Korupsi dan Illegal Logging dalam Sistem Desentralisasi, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), Hal. 14 19 Yan Pramada Puspa, Kamus Hukum, (Jakarta: Aneka Ilmu, 1977), Hal. 65 20 Andiko, Illegal Logging dan Perubahan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, Disampaikan pada Workshop Multipihak Issue Illegal Logging Berkaitan dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Tinjauan Terhadap Operasi Hutan Lestari), LBH Semarang, Hotel Muria, Semarang Tanggal 24-26 April 2006, Hal.3
Universitas Sumatera Utara
10
b. Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Illegal Logging atau disebut dengan pembalakan liar yang secara gramatikal adalah menebang kayu yang kemudian dibawa ke tempat gergajian kayu yang dilakukan secara melawan hukum, bertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut hukum. Dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Putting, disebutkan bahwa istilah illegal loging
diartikan sebagai
penebangan kayu secara illegal atau tidak sah.21 Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan illegal logging22, diantaranya: a. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya; b. Undang-undang No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan dan Tumbuhan; c. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup; d. Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; e. PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan; f. PP No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru; g. PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam; 21
Lihat Sukardi, Illegal Logging dalam Perspektif Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2005), Hal. 71-72 22 Ibid, Hal. 4 yang mengutip dari Ratih Chandradewi dan Wulan Pratiwi, Kajian Hukum Penegakan Tindak Pidana Illegal Logging dan Perdagangan Hidupan Liar, Buletin Lebah Vol. 2 No. 2 Oktober 2003, Hal. 10
Universitas Sumatera Utara
11
h. PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa; i. PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Masalah tindak pidana illegal logging ini sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, teroganisasi, dan lintas negara. Tindak pidana ini dilakukan dengan modus operandi yang canggih dan telah mengancam kelangsungan hidup masyarakat sehingga dalam pencegahan dan pemberantasannya diperlukan landasan hukum yang kuat dan mampu menjamin evektifitas penegak hukum. 23 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan belum merumuskan tenang defenisi dari pembalakan liar atau illegal logging sehingga sering menimbulkan penafsiran yang berbeda. Selain itu terdapat banyak kekurangan dalam peraturan perundang-undangan ini sehingga pencegahan dan pemberantasan tindak pidana ini menjadi sangat sulit. Inilah menjadi salah satu yang latar belakangi pembentukan Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Peraturan perundang-undangan yang diundangkan di Jakarta, pada tanggal 6 Agustus 2013 tergolong masih baru, Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sangat menarik untuk diteliti karena memiliki perbedaan dengan undang-undang sebelumnya. Undang-undang ini merumuskan pengertian pembalakan liar dalam Pasal 1 ayat (4), yaitu : “Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.” Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
23
Point pertimbangan pembentukan Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Universitas Sumatera Utara
12
Pemberantasan Perusakan Hutan juga telah merumuskan peraturan-peraturan yang lebih tajam dan tegas untuk mengatasi kejahatan illegal logging ini. Perusakan hutan yang tak kunjung berkurang mengakibatkan luas hutan Indonesia berkurang, dan dengan peraturan perundang-undangan yang baru diharapkan dapat menjadi salah satu landasan hukum yang kuat untuk mencegah dan memberantas tindak pidana illegal logging yang hingga kini belum dapat diberantas dan menimbulkan efek yang lebih luas. Berdasarkan latar belakang tersebut diangkatlah sebuah penelitian berjudul : “Pertanggungjawaban Pidana Illegal Logging (Pembalakan Liar) sebagai Kejahatan Kehutanan Berdasarkan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.”
B. RUMUSAN MASALAH Dari hal-hal yang telah dijabarkan di dalam latar belakang, maka permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apa yang menjadi unsur kesalahan dalam tindak pidana illegal logging menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-undang No.18 Tahun 2013? 2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pelaku illegal logging baik secara individu maupun korporasi dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 18 Tahun 2013?
Universitas Sumatera Utara
13
3. Bagaimana unsur penghapus kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana pada kasus illegal logging menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-undang No.18 Tahun 2013?
C. TUJUAN PENELITIAN Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui unsur kesalahan dalam tindak pidana illegal logging menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-undang No.18 Tahun 2013. 2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana bagi pelaku illegal logging baik secara individu maupun korporasi dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 18 Tahun 2013. 3. Untuk mengetahui unsur penghapus kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana illegal logging menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-undang No.18 Tahun 2013.
D. MANFAAT PENELITIAN Manfaat penulisan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. TEORITIS Dari penelitian ini akan memberikan informasi yang jelas tentang kejahatan illegal logging dan tentang peraturan-peraturan hukum yang berkaitan dengan illegal
Universitas Sumatera Utara
14
logging, yang tentunya akan memperkaya khasanah dan kemajuan bagi kepentingan ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum pidana. 2. PRAKTIS Dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang kejahatan illegal logging dan penanganannya menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yaitu: a. Untuk Pemerintah Sebagai masukkan dalam menentukan kebijakan yang akan diambil untuk menangani dan menyelesaikan perkara-perkara tindak pidana illegal logging. b. Untuk aparat penegak hukum Memberikan sumbangan pemikiran kepada aparat penegak hukum dalam menanggulangi tindak pidana illegal logging. c. Untuk masyarakat Sebagai panduan dan memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat mengenai tindak pidana illegal logging.
E. KEASLIAN PENELITIAN Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang telah ada, penelitian tentang “Pertanggungjawaban Pidana Illegal Logging (Pembalakan Liar) sebagai Kejahatan Kehutanan berdasarkan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan”, belum pernah dilakukan dalam pendekatan permasalahan yang
Universitas Sumatera Utara
15
sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang illegal logging namun pendekatan permasalahan yang diteliti berbeda. Sehingga dengan demikian penelitian ini dapat mengandung kadar keaslian karena telah memenuhi atau sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu mengandung aspek jujur, rasional, dan objektif serta terbuka; sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, peneliti telah melakukan pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, ternyata belum pernah dilakukan penelitian dalam permasalahan yang sama oleh peneliti lainnya. Beberapa diantaranya judul penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu: a. Tuty Budhi Utami, “Kebijakan Hukum Pidana dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging” (Tesis), Semarang: Universitas Diponegoro, 2007 Adapun rumusan permasalahannya adalah: 1. Bagaimanakah kebijakan formulasi tindak pidana illegal logging dan penerapan sanksi pidana yang berlaku sekarang ? 2. Bagaimanakah perumusan kebijakan formulasi tindak pidana illegal logging dan penerapan sanksi pidana yang akan datang ?
b. Arie Wishnu Gautama, “Penentuan Kejahatan Perusahaan dalam Lingkungan Hidup” (Tesis), Medan : Universitas Sumatera Utara, 2007 Adapun rumusan permasalahannya adalah :
Universitas Sumatera Utara
16
1. Bagaimana karateristik kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan terhadap lingkungan hidup? 2. Bagaimana sistem pertanggungjawaban perusahaan terhadap kejahatan lingkungan hidup? 3. Bagaimana upaya penegakan hukum terhadap perusahaan yang melakukan kejahatan terhadap lingkungan hudup?
F. KERANGKA TEORI DAN LANDASAN KONSEPTUAL 1. KERANGKA TEORI Gambaran umum perbuatan pidana atau tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi rumusan delik, melawan hukum dan membuat bersalah pelaku perbuatan tersebut. Asas legalitas mewajibkan kepada pembuat undangundang untuk menentukan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tindak pidana, harus dirumuskan dengan jelas. Rumusan tersebut mempunyai peranan dalam menentukan apa yang dilarang atau apa yang harus dilakukan seseorang. 24 Salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat obyektif adalah sifat melawan hukum. Hal ini dikaitkan pada asas legalitas yang tersirat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Untuk itu dikenal dengan beberapa ajaran sifat melawan hukum yakni : a. Ajaran sifat melawan hukum formal Sifat melawan hukun formal harus memenuhi rumusan delik undang-undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan.
24
Komariah Emong Supardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Alumni, 2002), Hal. 22-23
Universitas Sumatera Utara
17
Secara singkat ajaran sifat melawan hukum formal mengatakan apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang.25 Ajaran ini mengatakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum tidak mutlak bersifat melawan hukum tetapi bila terdapat pengecualian alasan pengecualian itu harus diambil dari hukum positif dan tidak boleh dari luar hukum positif.26 Pendapat diatas berpegang pada asas legalitas apabila perbuatan diancam dengan pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undangundang yang tertulis maka perbuatan tersebut bersifat melawan hukum. Kalaupun ada hal-hal yang menghapuskan sifat melawan hukumnya sehingga pelakunya tidak dapat dijatuhi pidana hal-hal tersebut harus pula berdasar pada ketentuan undang-undang tertulis. b. Ajaran sifat melawan hukum materiil Dalam ajaran ini melawan hukum atau tidaknya suatu perbuatan tidak hanya hanya terdapat didalam suatu peraturan yang tertulis, tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan tidak tertulis. Ajaran ini juga menyatakan disamping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat
25
Ibid. Tegus Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Hal. 34 26
Universitas Sumatera Utara
18
sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Karena ajaran ini mengakui alasanalasan pembenar diluar undang-undang.27 Pada umumnya ajaran sifat melawan hukum formal telah ditinggalkan dunia pengadilan kita, akan tetapi dipihak lain ajaran sifat melawan hukum material itu sendiri belum sepenuhnya disepakati. Alasan keberatan-keberatan tersebut adalah28: a. Kepastian hukum akan goyah atau dikorbankan; b. Secara ekstrim hal ini memberikan kesempatan pada hakim untuk bertindak sewenang-wenang atau hakim akan mempunyai tugas yang berat untuk mempertimbangkan rasa keadilan dan keyakinan masyarakat mengenai ketentuan hukum yang tidak tertulis. Dalam hukum pidana, ada dua hal penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu mengenai hal melakukan perbuatan pidana (actus reus) yang berkaitan dengan subjek atau pelaku perbuatan pidana, dan mengenai kesalahan (mens rea) yang berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pidana. Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompee terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar. Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar.29 Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap 27
Ibid. Ibid Hal. 37 29 Andi Hamzah, Asas Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), Hal.131 28
Universitas Sumatera Utara
19
perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.30 Mengenai subjek atau pelaku perbuatan secara umum hukum hanya mengakui orang sebagai pelaku, namun seiring dengan perkembangan zaman muncul subjek hukum korporasi. Korporasi merupakan suatu ciptaan hukum yakni pemberian status subjek hukum kepada suatu badan, disamping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah. Dengan demikian badan hukum dianggap dapat menjalankan atau melakukan suatu tindakan hukum. Perkembangan selanjutnya baik dalam perundang-undangan pidana maupun perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana sebagian besar telah mengatur korporasi sebagai subyek hukum pidana. Bahkan, dalam Penjelasan Umum Buku I Naskah Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) 1999-2000 dinyatakan: “Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan, maka subyek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural person), tetapi juga mencakup manusia hukum (jurisical person) yang lazim disebut korporasi, karena tindak pidana tertentu dapat pula dilakukan oleh korporasi.31 Hans Kelsen dalam teorinya hukum norma berjenjang (Theory of Hierarchy) yang pada pokoknya melihat sistem hukum sebagai suatu struktur piramidal, bahwa
30
Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004-2005 (Penjelasan) Pasal 34 Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, http://alvisyahrin.blog.usu.ac.id/2011/05/21/pertanggungjawaban-pidana-korporasi diakses tanggal 25 April 2013 pulul 11.25 WIB 31
Universitas Sumatera Utara
20
hukum mengalir dari norma yang tertinggi yang bersifat abstrak dan umum sampai pada norma yang paling terendah yang bersifat individual, konkret dan dapat dilaksanakan. Penelitian ini juga melihat peraturan-peraturan yang tertinggi hingga terendah yang mengatur tentang pertanggungjawaban pidana dalam hal perusakan hutan. Dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia ada tiga sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek pidana yakni 32: a. Pengurus korporasi yang berbuat maka penguruslah yang bertanggung jawab; b. Korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung jawab; c. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pertanggungjawaban pidana. Adapun pertanggungjawaban pidana yang dikenal dalam teori hukum pidana adalah: a. Asas pertanggungjawaban mutlak (Strict Liability) Doktrin ini merupakan suatu prinsip tanggung jawab dimana si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Asas ini diartikan secara singkat sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without faul). Menurut doktrin ini, seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak terdapat kesalahan (mens rea). b. Asas pertanggungjawaban vicarious liability.
32
Mardjono Reksodiputro, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi, Makalah (Semarang, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro), Hal. 9
Universitas Sumatera Utara
21
Asas ini diartikan sebagai pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain merupakan bentuk pertanggungjawaban sebagai pengecualian dari asas kesalahan. Pertanggungjawaban seperti ini misalnya terjadi dalam hal perbuatan yang dilakukan oleh orang lain dalam lingkup pekerjaan atau jabatannya. Jadi pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut hubungan antara majikan dan buruh atau atasan dan bawahan. Apabila
asas
ini
diterapkan
pada
korporasi,
berarti
korporasi
dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang silakukan oleh para pengurus, kuasanya, atau mandatarisnya atau siapapun yang bertanggungjawab kepada korporasi tersebut.33
2. LANDASAN KONSEPTUAL Landasan konseptual dalam penelitian ini terdiri dari penjelasan istilah untuk menghindari kesimpangsiuran dalam memahami dan menafsirkan defenisi atau pengertian. Adapun landasan konseptual yang dimaksud adalah: a. Pertanggungjawaban
pidana
lahir
dengan
diteruskannya
celaan
(vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.
33
Sultan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006), Hal. 85-86
Universitas Sumatera Utara
22
b. Illegal logging atau Pembalakan liar semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.34 c. Individu adalah orang perseorangan atau manusia pribadi (natuurlijke persoon) d. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum.35 e. Unsur kesalahan Kesalahan dimengerti sebagai suatu ketercelaan yang mencakup baik dolus dan culpa sebagai penentu dapat/tidaknya pidana dijatuhkan. f. Unsur penghapus kesalahan adalah faktor-faktor yang menyebabkan pelaku tindak pidana yang kesalahannya menjadi terhapus. g. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan h. Undang-undang
Nomor
18
Tahun
2013
tentang
Pencegahan
dan
Pemberantasan Perusakan Hutan G. METODE PENELITIAN Penelitian
merupakan
suatu
kerja
ilmiah
yang
bertujuan
untuk
mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten. 36 1. SIFAT DAN JENIS PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal yaitu suatu penelitian 34
Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Pasal 1 ayat (4) 35 Ibid. Pasal 1 ayat (22) 36 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Hal. 12
Universitas Sumatera Utara
23
yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the books), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process).37 Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundangundangan (statute approach) yaitu meneliti dengan aturan-aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam sebuah penelitian.38 Penelitian ini juga dilakukan dengan pendekatan analitis yaitu menganalisis pengertian hukum, asas hukum, kaidah hukum, sistem hukum dan berbagai konsep yuridis39 guna memperkaya pertimbangan-pertimbangan hukum yang tepat untuk menghadapi problem hukum yang dihadapi. 2. SUMBER BAHAN HUKUM a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif). Bahan hukum ini terdiri dari40: Peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 18 Tahun 2013; Putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
37
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), Hal.3 38 Johnny Ibragim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), Hal. 248-249 39 Ibid. Hal. 257 40 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Hal. 47
Universitas Sumatera Utara
24
b. Bahan Hukum Sekunder Yaitu semua dokumen yang berisikan informasi atau kajian yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu berupa makalah seminar-seminar, jurnal hukum, majalah dan koran, karya tulis ilmiah, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan dan beberapa sumber dari internet. c. Bahan Hukum Tersier Yaitu berupa bahan bacaan penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan kamus umum. 3. TEKNIK PENGUMPULAN BAHAN HUKUM Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan yang diperoleh dari peratran perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi dan hasil penelitian. 4. METODE ANALISIS BAHAN HUKUM Bahan hukum yang telah diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode analisis yuridis kualitatif. Seluruh bahan hukum yang telah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya ditelaah dan dianalisis. Analisis dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan tindak pidana illegal logging yakni Undang-undang No. 18 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar beserta kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan bidang kehutanan. Kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut yang menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara