FIRMAN DJAMIL ARTIST’S STATEMENT
For participant information. Please do not cite. 23-6-2010
(Cultural Performance in Post-New Order Indonesia: New structures, scenes, meanings - Sanata Dharma University Yogyakarta, 28-30 June 2010.) SENI DAN LINGKUNGAN Oleh: Firman Djamil Sekilas Tentang Makassar Somba Opu adalah kota dagang internasional abad ke 17 yang telah dibumihanguskan oleh perang kolonial. Somba Opu terletak disebuah delta dibagian Selatan-Barat pulau Sulawesi yang menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan kerajaan kembar Gowa-Tallo. Pada1989/1990 Somba Opu dieskavasi dan direvitalisasi oleh DR.Muchlis Paeni dan Ahmad Amiruddin (mantan Rektor UNHAS dan Gubernur Sulawesi Selatan) menjadi pusat Kebudayaan Sulawesi Selatan. Dengan nama Proyek Miniatur Sulawesi dalam konsep museum terbuka (Open Museum). Di kawasan ini dibangun berbagai bangunan arsitektur tradisional dalam bentuk perkampungan rumah-rumah tradisional. Dan juga museum naskah kuno dan artefak sejarah tradisi. Di Somba Opu inilah penulis tinggal sejak 1990 sampai kini. Menempati studio kerja seni dalam sebuah rumah kayu model tradisional Kajang. Somba Opu kini menjadi kampung yang sunyi terbengkalai, berjarak 15 menit menuju kota Makassar. Makassar ibukota Provinsi Sulawesi Selatan yang terkenal sebagai kota pantai, mengambil peranan Somba Opu menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan modern sebagai gerbang Indonesia wilayah Timur. Di Kota ini terdapat Gedung Societet de Harmonie yang biasa disebut Gedung Kesenian Sulawesi Selatan (GKSS). GKSS menjadi pusat kegiatan seniman di Makassar. Selain GKSS, ada bangunan benteng Ujung Pandang atau Fort Rotterdam Makassar. Kedua tempat ini dominan menjadi pusat perhelatan kesenian di Makassar dan Sulawesi Selatan sampai kini. Pada tahun terakhir ini, pemerintah Makassar dan Gubernur Sulawesi Selatan, membangun Kawasan Tanjung Bunga sebagai kota baru, pusat bisnis dan hiburan. Disini telah dibangun Studio Indoor terbesar di dunia bernama TRANS STUDIO untuk menunjang aktivitas di kawasan itu. Di era Walikota Patompo (era Sukarno) tahun 1969, berdiri Dewan Kesenian Makassar-DKM (berdiri setahun setelah Dewan Kesenian Jakarta-DKJ) yang mewadahi seluruh aktivitas seni. Di era ini pula berdiri Akademi Kesenian Makassar (Aksema). namun akademi ini hanya bertahan International workshop ‐ Cultural Performance in Post‐New Order Indonesia, 28‐6‐2010
1
FIRMAN DJAMIL ARTIST’S STATEMENT
For participant information. Please do not cite. 23-6-2010
4 tahun. Setahun berikutnya, 1970 dibuka jurusan pendidikan seni rupa (FKSS) di IKIP Makassar. Kehadiran jurusan senirupa di IKIP ini menambah warna aktivitas senirupa. Aktivitas kesenian berikutnya sampai di era Suharto, masih didominasi oleh peran Dewan kesenian Makassar (DKM) yang lebih banyak mempresentasikan seni pertunjukan seperti seni teater dan tari. DKM membawahi puluhan grup teater dan tari. Namun di tahun 1986 berdiri organisasi seni rupa bernama “Selebassi” asal kata bugis-makassar dari Celebes yang memiliki konotasi Badik, senjata pusaka etnik di Sulawsi Selatan. Anggotanya banyak dari kalangan IKIP Ujung Pandang dan lulusan dari STSRI- ASRI Jogyakarta. Organisasi ini beberapakali melakukan pameran. Selebassi membubarkan diri setelah mengadakan pameran di Jakarta. Diantara 1996 – 1999, dan menjelang Suharto turun tahta dan beralih ke era reformasi, terjadi beberapa peristiwa kesenian yang menjadi momentum penting di Makassar. Diawali ditahun 1994. Ada peristiwa kesenian yang mengambil momem hari bumi. Hari bumi yang dikoordinir dari Jakarta dan serentak diorganisir secara Internasional. Seniman dari berbagai disiplin berkolaborasi membuat seni pertunjukan dan instalasi. Kegiatan ini meluas menjadi gerakan penyadaran dan dipresentasi diberbagai tempat selain di kota Makassar, misalnya di pulau Laelae, Pulau Samalona, Tana Toraja dan Somba Opu. Berlanjut di tahun1996, mungkin karena peristiwa perayaan hari bumi 1994, berkolaborasi antar disiplin seni menjadi tren berkesenian di Makassar. Saya di tahun 1996 ini mempresentasikan Teater Instalasi I La Galigo yang bertajuk “Mencari Benua I La Galigo yang Hilang” dan berkolaborasi dengan musik dan teater. Presentasi pertunjukan ini ditujukan untuk meledek penguasa dan partai yang berkuasa dengan mengambil momen keserakahan manusia galigo dan peristiwa tumbangnya Pohon Raksasa “Walenreng”, sebuah kisah dalam naskah I La Galigo. Pertunjukan ini berlansung di Somba Opu selama 6 hari. Di tahun 1997, pada detik kejatuhan Suharto, berkesenian dengan tren berkolaborasi di Makassar berlanjut dengan berbagai kegiatan seperti Happening Art. Happening Art dan Performing Art mewarnai aksi demo seniman dan mahasiswa dalam gerakan reformis menjatuhkan Suharto. Pertunjukan kolaborasi ini digelar di jalan raya dan Lapangan Karebosi yang menjadi pusat aksi demonstran. Pada 1998, ada tiga momen yang saya lakukan; Pertama, menggelar karya instalasi pertunjukan dari Benteng Somba Opu ke Fort Rotterdam Makassar kemudian menuju ke pusat-pusat kekuasaan seperti kantor-kantor pemerintahan, polisi, tentara dan pers. Presentasi “Tujuh Manusia Galigo Turun Dari Langit” ini sempat menyita perhatian Gubernur dan seluruh stafnya. Ketujuh Manusia Galigo meminta berdialog dengan Gubernur di lapangan upacara depan kantor. Negosiasi ini berhasil, Gubernur turun di lapangan International workshop ‐ Cultural Performance in Post‐New Order Indonesia, 28‐6‐2010
2
FIRMAN DJAMIL ARTIST’S STATEMENT
For participant information. Please do not cite. 23-6-2010
bersama dengan Kapala Bironya. Manusia Galigo berdialog dengan Gubernur menggunakan bahasa aneh melalui gerakan tubuh dan mulut tanpa suara. Dialog manusia Galigo memberi pesan kepada Gubernur untuk memperhatikan keseimbangan dari eksploitasi Alam dan Korupsi di sistem birokrasi di daerahnya. Di sikapi dengan simbol menanam bibit sejumlah jenis pohon di taman kantor Gubernur. Gubernur dengan stafnya serentak menanam pohon, dan pohon itu kini tumbuh besar menjadi pohon pelindung di taman itu. Kedua, mengorganisir kelompok Galigo Art Forum. Kelompok senirupa ini menggelar aktivitas seni jalanan. Dengan mendirikan pusat aktivitas semacam kantor dipinggir jalanan (depan Fort Rotterdam) berupa Gerobak Sapi. Forum ini dibuat untuk meledek nafas ORBA yang masih melekat pada kegiatan seremonial lembaga kesenian. Terutama Dewan Kesenian Sulawesi Selatan-DKSS dan Dewan Kesenian Makasar-DKM disatu pihak, dan Dinas Pariwisata dipihak pemerintah yang terkesan hanya sekedar merebut dana APBD. Galigo art Forum selain pameran jalanan juga melakukan diskusi-diskusi informal dipinggir jalan dengan menggelar tikar, melibatkan berbagai elemen masyarakat. Pameran “Fashion-Hitam Putih” digelar pula. Pada upacara pembukaan, dibuka oleh Pengemis Jalanan dan dimeriahkan oleh Pemusik Jalanan. Semetara itu pada saat yang bersamaaan, Pameran seni rupa “Indonesia X” digelar di Monumen Mandala yang dirancang oleh DKSS. Upacara pembukaannya oleh Gubernur Sulawesi Selatan dan dihadiri oleh Muspida dari berbagai instansi pemerintah. Ketiga, Bersama dengan kelompok Galigo Art Forum, saya menggelar instalasi pertunjukan “Seni rupa Koran” Presentasi ini mengambil momentum Setahun Reformasi. Seni Rupa Koran menyikapi eforia reformasi dimana muncul elit-elit baru kekuasaan pasca Suharto yang menggunakan media Koran (Surat Khabar) sebagai corong transformasi kekuatan. Muncul beragam jenis Koran dan Tabloit dan juga peran dari media TV. Namun diwaktu yang bersamaan diberbagai tempat, muncul komplik dan kerusuhan seperti komplik Aceh, Ambon dan Poso. Transformasi media-media tadi mengambil perannya sebagai provokator komplik? Instalasi Senirupa Koran menggunakan Benteng atau Fort Rotterdam sebagai objek utama. Dinding bagian depan benteng dan jalan raya dibungkus dengan kertas Koran. Objek lainnya juga turut dibungkus, yaitu; Instalasi bambu didepan benteng, Box telepon umum, Satu unit mobil Jeep, Satu unit Gerobak dorong milik Galigo Art Forum, 24 Bendera dari kertas Koran, 10 unit Becak, Puluhan motor dan sepeda, dan 150 lebih partisipan (kebanyakan dari pengamen jalanan dan pengemis kota). Kertas koran yang digunakan berasal dari partisipasi dan bantuan teman yang bekerja di media cetak/koran. Ketas koran terkumpul lebih dari setengah Ton. Seluruh kegiatan membungus ini dimulai dari jam 18.30 sore dan selesai pada jam 07.30 ke esokan harinya. Tepat jam 08.00 pagi, seluruh objek bungkusan koran bergerak berkeliling kota dan finish di tempat semula sekitar jam 13.30 tengah hari. Pada hari berikutnya di Instalasi Koran ini, selama 2 malam dipentaskan kolaborasi seni pertunjukan. International workshop ‐ Cultural Performance in Post‐New Order Indonesia, 28‐6‐2010
3
FIRMAN DJAMIL ARTIST’S STATEMENT
For participant information. Please do not cite. 23-6-2010
Makassar Arts Forum 1999 Berkesenian dalam bentuk kebersamaan dalam artian berkolaborasi di Makassar menjadi bersemangat dikalangan senirupa, teater, musik dan tari. Makassar Dance Festival 1998 (MDF’98) terlaksana didalam situasi ini. Di tahun 1988-1999 muncul sosok Halim HD yang menambah semarak suasana itu. Halim sukses memprovokasi berbagai pihak untuk menjajaki kegiatan yang formatnya lebih besar dan terbuka. Dimulai dari pertemuan warung kopi di pantai Losari (Warung kopi ini pas berhadapan dengan Fort Rotterdam). Setiap malam di warung kopi ini perbincangan provokatif terus berjalan. Dari sinilah awal dari kegiatan seni yang menjadi momentum yang sangat penting di Makassar yaitu penyelenggaraan “Makassar Arts Forum” (MAF’99). Forum ini penting karena menjadi model untuk beberapa forum-forum kesenian di Makassar maupun di beberapa wilayah di Indonesia. MAF’99 dengan mengusung konsep Melting Pot mempertemukan gagasan tradisional dan kontemporer. Tim yang terbentuk, mengalang partisipasi berbagai pihak dari pemerintah dan swasta sebagai pelaksana kegiatan. Bentuk presentasinya meliputi kegiatan Seni Teater, Tari, Musik, Senirupa, Instalasi, Performance Art, Fotografi dan Festival Film. Pada Festival Film yang dikoordinir Hari Shintu, menghadirkan Film karya Garin Nugroho, Mira Lesmana dan Film dari Rusia - Vietnam - Polandia - Cina - Jepang - Belgia - Kanada - Italia - Perancis - Selandia Baru - Korea - Ceko – Yugoslavia. Ada pula kegiatan Seminar dan diskusi yang melibatkan MamanNoor, Afrizal Malna dan Sofyan Salam. Pada partisipan, melibatkan kelompok seni hampir dari seluruh Indonesia. Dari Sumatera sampai Papua. Dari luar Indonesia, hadir peserta dari Amerika Serikat-Korea, Australia dan Nederlands. Tempat presentasi karya terbagi di Lima tempat, yaitu; Hotel Marannu, Hall dan Teater Gedung Societet de Harmonie. Fort Rotterdam dan Pantai Biring Kassi. Saya sendiri terlibat sebagai salah satu panitia, diberi tugas merancang atribut, panggung pertunjukan, dan mengorganisir bidang Seni Rupa. Juga masih sempat membangun karya instalasi bambu dan performace art berjudul Piramida Angin. Pada MAF’99 ini, hadir pula sejumlah perupa Jogyakarta yang diorganisir Tita Rubi atas dukungan dari Yayasan Cemeti Jogyakarta. Tita memboyong karya-karya seniman kontemporer Jogyakarta seperti karya Agus Suwage, Agung Kurniawan, Heri Dono, Aminuddin Th Siregar dan sejumlah karya lainnya. S Teddy D, Tony Vaoluntero (Taring Padi), Edo Pilu hadir pula bersama karyanya. Acara Makassar Art’s Forum berlangsung seminggu dari 12-18 September 1999.
International workshop ‐ Cultural Performance in Post‐New Order Indonesia, 28‐6‐2010
4
FIRMAN DJAMIL ARTIST’S STATEMENT
For participant information. Please do not cite. 23-6-2010
Memasuki Paradigma Baru Selain membuat seni instalasi dan pertunjukan, saya juga membuat karya lukisan bertema lokal karena terinspirasi dengan naskah I La Galigo. Lukisan-lukisan dipajang di studio saya di Somba Opu untuk objek apresiasi dan workshop bagi anak sekolahan, mulai dari anak sekolah Taman Kanak-kanak sampai Mahasiswa. Belajar melukis pada Ayah saya ketika masih kanak-kanak. Ayah saya mahir menggambar lantaran pernah berguru kepada seorang Jepang di Kabupaten Bone. Dari modal pengalaman kanak-kanak ini saya sempatkan kuliah di Fakultas Bahasa dan Seni IKIP Ujungpandang (kini Universitas Negeri Makassar). Seusai acara Makassar Arts Forum, di bulan Desember 1999. Saya menghadiri sebuah perhelatan Internasional “Sharing Time” di Tejakula-Bali. Forum ini diorganisir oleh Padepokan Lemah Putih pimpinan Suprapto Suryodarmo. Saya hadir di Sharing Time ini tanpa di undang. Dan beruntung sekali karena saya mendapat kesempatan membuat karya instalasi. Karya instalasi yang saya buat terdiri dari susunan batu Empat Warna. Batu berwarna saya kumpulkan dari batubatu pantai Tejakula. Empat warna sebagai symbol Sulapak dari falsafah Bugis. Bentuk presentasi instalasi saya dilengkapi dengan performing art. Disini saya bertemu dengan Akatsuki Harada dari Jepang. Harada ini rupanya adalah juga seorang penggiat seni lingkungan dan kurator seni di Jepang. Karena karya instalasi saya dianggap memiliki kecenderungan environmental, Harada mengundang saya berpartisipasi pada Yokohama International Open Air Art Exhibition pada tahun berikutntnya, di tahun 2000. Pengalaman internasional pertama di Jepang inilah yang membukakan jaringan seni lingkungan di forum-forum internasional. Praktek seni lingkungan ketika itu merupakan paradigma baru bagi saya dalam ranah estetik senirupa. Metode dan bentuk partisipasinya berbeda, tidak sekedar membuat karya patung maupun lukisan, tetapi dibutuhkan pula semacam orientasi tanggungjawab dari karya yang dibuat. Untuk ikut berpartisipasi pada sebuah forum seni lingkungan, seniman mendapatkan tantangan yang terletak pada gagasan dan paradigma estetik yang digunakan. Selain itu forum seni ini sifatnya kompetitif . Seniman harus lolos seleksi berkompetisi dengan ratusan seniman dari seluruh dunia untuk bisa berpartisipasi pada event-event yang menarik. Biasanya hanya 8 sampai 12 seniman yang terseleksi ikut berbartisipasi. Sejak tahun 2002, saya menjadi anggota pada organisasi seni yang berorientasi pada seni lingkungan, yaitu; AiNIN (Artist in Nature International Network). AiNIN diorganisir di Eropa melalui Perancis. Jaringan ini bekerja didunia virtual/internet (www.artinnature.org). Saya rasa ketertarikan dalam memasuki seni alam, karena latar belakang kebudayaan dan pengalaman saya di Sulawesi Selatan. Saya mengenal naskah kuno orang Bugis I La Galigo sebagai bacaan yang menginspirasi kesenian saya. Saya juga pernah tinggal dan mengajar seni International workshop ‐ Cultural Performance in Post‐New Order Indonesia, 28‐6‐2010
5
FIRMAN DJAMIL ARTIST’S STATEMENT
For participant information. Please do not cite. 23-6-2010
pada sekolah Tingkat Menengah di daerah pegunungan Tana Toraja dan Mamasa, mulai dari akhir 1990 sampai dengan awal 2000. Bolak-balik antara Pondingao dan Makassar. Pondingao, adalah sebuah desa di perbatasan Tana Toraja dan Mamasa yang terisolasi karena tidak ada sarana jalan raya dan listrik (yang ada, jalanan kuda melintasi pegunungan dan hutan). Kondisi masyarakat disini dengan kehidupan yang sangat sederhana dan alami dengan tradisi megalitik yang kental. Untuk masuk ke Pondingao, ketika itu, harus jalan kaki selama satu hari penuh. Sebelumnya harus menempuh jalur mobil selama setengah hari dengan rute jalan yang berbatu dan berlumpur, berangkat dari kota Makale ke desa Bittuang. Pengalaman diatas telah memotivasi saya memasuki aktivitas seni lingkungan.
Peta Aktivitas Seni Budaya Kontemporer Makassar Pada masa Orde Baru segala sesuatu di ukur dari sentralisasi nilai dan terpusat di Jakarta dan Jawa. Seniman akan terlegitimasi sebagai seni berlabel Nasional apabila melakukan aktivitas seninya di Jakarta dan Jawa. Bidang akademik seperti pendidikan seni dan juga pada sarana dan prasarana yang menjadi menunjang aktivitas budaya yang representatif juga terpusat di Jawa, daerah-daerah hanya dipandang sebagai penunjang dan luput menjadi perhatian pembangunan. Memasuki era reformasi, pembangunan infrastruktur budaya tidak terjadi perubahan yang lebih baik. Infrastuktur dan sarana yang lama tetap digunakan. Stigma sentralisasi masih sangat terasa di daerah-daerah termasuk di Sulawesi selatan. Makassar sebagai ibukota provinsi, sebagian pelaku budaya didaerah ini merasa syah apabila melakukan aktivitasnya di Gedung Kesenian Societet de Harmonie (GKSS) yang berada di kota Makassar. Beberapa seniman yang ada di wilayah Makassar juga masih memandang GKSS ini sebagai sentral aktivitas budaya. Dalam perjalanan masa perubahan dalam situasi politik, sosial budaya dan ekonomi di era reformasi, aktivitas seni budaya di Makassar-Sulawesi Selatan berbenah diri dari situasi sebelumnya. Seiring dengan keharusan perubahan paradigma dalam melakukan aktivitas budaya termasuk berkesenian, beberapa pelaku budaya yang tidak menginginkan adanya sentralisasi, berbenah diri dalam situasi pluralisme. Para pelaku budaya inilah yang merekonstruksi nilai-nilai tradisi lokal, membangun peta aktivitas budaya dalam mengaktualisasikan diri di kancah kebudayaan kontemporer Indonesia. Beberapa forum aktivitas seni-budaya di Makassar pasca reformasi yang menarik diataranya: (a) Makassar International Arts Forum (MAF’99). (b) Galigo Art Forum, aktivitas senirupa urban yang melibatkan pemusik dan anak jalanan seperti yang telah dijelaskan pada bab diatas. (c) Journal of Moment Arts (JOMA) adalah kegiatan seni yang di presentasikan dengan (outdoor International workshop ‐ Cultural Performance in Post‐New Order Indonesia, 28‐6‐2010
6
FIRMAN DJAMIL ARTIST’S STATEMENT
For participant information. Please do not cite. 23-6-2010
model) di ruang terbuka kota Makassar. (d) International Sandek Race, lomba perahu tradisional Mandar dilaksanakan setiap tahun. Lomba menaklukkan ombak ini melalui rute pesisir selat Makassar, pelayaran dimulai dari pelabuhan tradisional Pambusuang Mandar menjuju pantai Losari Makassar. (e) Sastra Kepulauan, forum sastra yang diselenggarakan di pantai Pancana Kabupaten Barru. Pancana adalah tempat kelahiran penulis buku I La Galigo. (f) Panyingkul, adalah forum yang membuka ruang penulisan dengan mengembangkan model penulisan kerakyatan atau citizen Journalistic di internet melalui www.panyingkul.com. Konsep citizen journalist panyingkul ini merupakan yang kedua di Asia setelah OhmyNews di Korea Selatan. Selain forum diatas juga ada beberapa komunitas yang membuka ruang untuk aktivitas publik antara lain (a) ININNAWA, melakukan aktivitas riset, seminar, dokumentasi dan penerbitan buku beruansa lokal Sulawesi Selatan. Ininnawa juga melakukan acara public lecture sekali dalam setiap minggu. (b) Biblioholic, semacam taman bacaan dengan beragam koleksi buku yang terbuka untuk umun. Biblioholic ini juga menyelenggarakan diskusi sastra dan pemutaran film-film produksi lokal. (c) Somba Opu Studio, melaksanakan acara apresiasi dan woskshop seni rupa di kalangan anak sekolah mulai dari pelajar Taman Kanak-kanak, SMP, SMA dan Mahasiswa. (d) Komunitas Rumah Panggung, komunitas ini juga bergerak di dunia satra, pertunjukan musik dan teater yang berpihak pada penguatan sosial kerakyatan. Belakangan ini menggarap beberapa film dokumenter sebagai pendampingan dan penguatan hak perempuan bekerjasama dengan beberapa LSM Perempuan. (e) Kala Teater, telah menghasilkan beberapa reportase teater perempuan. Dalam kerjasamanya dengan “Kelola”, telah memproduksi beberapa karya teater dan dipresentasi di beberapa tempat di Indonesia. Kala Teater membuka ruang partisipasi publik melalui forum workshop teater dan Kala Monolog dalam bentuk kompetisi monolog antar mahasiswa di Makassar. (f) Performa, adalah organisasi para fotografer Makassar. Performa melakukan beberapa aktivitas fotografi yang berkala mingguan, bulanan dan membuat event seperti Tour of Photography dan pameran. Saat ini secara kelembagaan, Performa telah diinagurasikan sebagai anggota kedua organisasi dari Fédération Internationale de l'Art Photographique (FIAP), organisasi yang menghimpun perkumpulan seni foto internasional yang berkedudukan di Perancis. (g) Rumah Ide Makassar, merupakan komunitas yang anggotanya adalah kumpulan dari praktisi maupun pemerhati media rekam yang ada di Makassar. Rumah Ide Film Community berperan sebagai pemerhati perkembangan film di Makassar dengan menyelenggarakan edukasi, pendampingan dan fasilitator komunitas film di Makassar serta penyelenggara beberapa kegiatan yang bersifat lokal, nasioanal, maupun internasional. Rumah Ide juga memiliki rumah produksi yang melibatkan para profesional film maker Makassar. Produksi film dokumenter “Suster Apung” yang di sutradarai oleh Arfan Sabran telah memenangkan Eagle Award Metro TV sebagai pemenang pertama. “Suster Apung” telah ikut serta berpartisipasi pada beberapa Festival Film Internasional. International workshop ‐ Cultural Performance in Post‐New Order Indonesia, 28‐6‐2010
7
FIRMAN DJAMIL ARTIST’S STATEMENT
For participant information. Please do not cite. 23-6-2010
Selain catatan diatas tanpa mengurangi nilai aktivitasnya, ada beberapa aktivitas seni budaya di Makassar atau Sulawesi Selatan seperti, Makassar Dance Festival, Festival Tradisional Sulawesi Selatan, Festival May Day oleh Sanggar Merah Putih Makassar, Pentas panggung keliling oleh Kelompok Sandiwara Petta Puang dan juga Fsd Art Moment yang di selenggarakan oleh Fakultas Seni dan Desain - Universitas Negeri Makassar. Yang menarik dicermati adalah aktivitas budaya oleh seniman atau komunitas yang paradigmanya masih sentralistis dan menggantungkan aktivitasnya pada proyek pemerintah, mengalami kesulitan dalam mengaktualisasi diri. Sementara seniman dan komunitas budaya diluar dari paradigma sentralistis tersebut justru lebih leluasa mengembangkan diri dan membangun jaringan kerja secara global untuk menunjang visi aktivitasnya. Namun demikian akan lebih baik jika pemerintah daerah tersadar akan peran signifikan yang telah dilakukan oleh pelaku budaya dan komunitas alternatif tersebut diatas. Berpartisipasi bekerjasama dalam pengembangan kreatif seni budaya dan bersiap memasuki partisipasi budaya kontemporer dan pergaulan global.
Firman Djamil’ 2010 www.firmandjamil.blogspot.com
International workshop ‐ Cultural Performance in Post‐New Order Indonesia, 28‐6‐2010
8