“CSR SEBAGAI PEMBINA DAN PENYOKONG UKM”
Makalah Etika Bisnis
Oleh : Angger Yhamabrata Puspanegara 01211127
Universitas Narotama Jl. Arief Rachman Hakim No.51, telp : (031) 5946404, 5995578 www.narotama.ac.id Surabaya
I Pendahuluan
Sebuah pertanyaan klasik yang berkenaan dengan keuangan UKM sering terdengar di telinga kita. “Berapa modal usahanya?”, “Berapa omset penjualannya?”, yang barang kali jika dilontarkan kapada perusahaan mapan maka kita akan langsung disodori laporan keuangan atau track record pembelian dan penjualan perusahaan. Berbeda dengan UKM, mereka, yang kebanyakan mendirikan usaha berlandaskan tradisi dan warisan pasti akan linglung jika dilontari dua pertanyaan tadi. Padahal, pengusaha yang baik, tidak peduli besar maupun kecil, adalah pengusaha yang tahu betul berapa kekayaan usahanya. Di Jawa Timur saja, ada hampir jutaan UKM yang tersebar di kabupaten dan kotanya. Mayoritas diantaranya adalah usaha turunan dari generasi sebelumnya. Tolak ukur kebanyakan UKM yang berdiri era sekarang sebenarnya tak rumit, bagi para pelakunya, asalkan anak masih cukup sekolah dan keluarga masih cukup makan dan minum maka usaha rumahan mereka dianggap sudah untung dan berkah. Hal ini tentu berbeda dengan perusahaan-perusahaan mapan yang menjadikan hasil keuangan secara konkrit sebagai sasaran mutu perusahaan dan perkembangannya di masa yang akan datang. Lalu, bagaimanakah merubah paradigma dasar para pelaku UKM agar lebih concern terhadap keuangan? Jika jawabannya hanya memberikan kredit pinjaman modal tentu tak cukup.
II Kerangka Pemikiran
2.1 CSR dan Kebutuhan UKM Dalam era keuangan modern tentu istilah (CSR Corporate Social Responsibility) sering didengar. Lalu sebetulnya sudah sedalam apakah hubungan antara CSR dan kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat, dalam hal ini adalah UKM. CSR dalam tiap perusahaan memiliki arti dan pandangan masing -masing. Namun tentu semua pihak menyadari bahwa CSR haruslah merupakan program penunjang yang efektif dan tak hanya acara rutin perusahaan menyambangi masyarakat. Dalam kaitannya dengan bisnis UKM, CSR harus mempunyai unsur membangun. Membangun disini bukan menuangkan modal materi saja namun lebih kepada pembinaan edukatif demi pembangunan yang berkelanjutan. Perkembangan CSR tidak bisa terlepas dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development), definisi pembangunan berkelanjutan menurut The World Commission On Environment and Development yang lebih dikenal dengan The Brundtland Comission, bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka (Solihin: 2009). Menurut World Bank (Fox, Ward dan Howard 2002:1) CSR merupakan komitmen sektor swasta untuk mendukung terciptanya pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dukungan sektor swasta dalam hal ini perusahaan untuk melakukan tanggungjawab sosialnya adalah ketika pada tahun 2000, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) membentuk UN Global Compact sebagai salah satu lembaga yang merangkai konsep dan kegiatan CSR. Lembaga ini merupakan representasi kerangka kerja sektor swasta untuk mendukung pembanguan yang berkelanjutan dan terciptanya good corporate citizenship (UN Global Compact: 10). Artinya disini fungsi CSR bukanlah semata-mata hanya penyumbang dana atau meterial, namun sebagai salah satu pelaku pembangunan ekonomi itu sendiri. Berkaitan dengan UKM sebagai asas usaha rakyat, CSR berperan lebih jauh lagi sebagai media pembelajaran dan pembinaan baik ekonomi maupun skill.
III Permasalahan
Gambaran mengenai konsep ideal CSR diatas beserta fenomena yang melingkupinya, ternyata tidak cukup sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Dalam pandangan kenyataannya, CSR lebih cenderung sebagai ajang promosi atau ajang perhelatan yang mengatasnamakan perusahaan sebagai tokoh bertanggung jawab sosial. Seperti yang terjadi pada 2008, PT. Unilever yang dengan salah satu produk snack-nya yaitu Taro meluncurkan program Corporate Social Responsibility dengan tajuk ”Markas Petualangan Taro”. Dari program yang bertajuk demikian, apakah tanggungjawab yang coba diberikan oleh PT.Unilever? Banyak cara perusahaan merealisasikan CSR-nya, namun agaknya konsep dasar Social Responsibility harusnya ditanamkan secara seragam pada tiap-tiap pemberi CSR. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya CSR haruslah sebagai program pembinaan yang simultan dan tak hanya insidentil. Di tahun 2011, jumlah UMKM di Jawa Timur saja sejumlah 4.211.562 dan 85% diantaranya adalah usaha mikro. Melihat betapa besar jumlah UMKM yang dapat dikembangkan tentu ini menjadi peluang baik pemerintah maupun pengusaha swasta untuk menaikkan tingkat ekonomi daerah secara umum.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk membangun program CSR yang ideal : Memberikan program pelatihan secara kontinyu, berkelanjutan. Tidak hanya menyumbangkan sarana pelatihan Membina sistem keuangan. Tidak hanya memberi pinjaman uang atau alat. Memberikan informasi edukatif berkenaan dengan ekonomi bisnis secara gamblang dan fair terkait persaingan ekonomi global. Tidak hanya memberikan hiburan insidentil atau perayaan-perayaan perusahaan. Secara aktif memperluas jaringan pelatiha UKM untuk menyamaratakan iklim usaha kecil. Tidak hanya secara topologis membesarkan salah satu pihak.
Kesimpulan
Perusahaan ibarat lahan yang memakan untuk memberi makan. Dalam setiap pendirian pabrik, apapun itu, pastinya ada konsekuensi yang menaungi. Jangankan pabrik berbasis kimiawi yang jelas-jelas berbuntut pencemaran lingkungan, pabrik berjenis produsen makanan dan minuman pun tak luput dari konsekuensi pencemaran. Karena itulah muncul konsep CSR yang diharapkan dapat menjadi penyeimbang dari konsekuensi yang terbentuk. Namun konsep CSR ini patutnya tidak disalahartikan sebagai ajang ”setor muka” perusahaan di mata masyarakat. CSR, seperti namanya, Sosial Responsibility yaitu memiliki tanggung jawab sosial. Dan secara sosial tentu ini bukan hanya tanggungjawab yang dirasakan sekejap mata. Sosial responsibility disini diharapkan menjadi sebuah program yang terus menerus mendampingi dan menyokong kebutuhan masyarakat. Dalam hal UKM misalnya, memberi pinjaman itu baik, tapi toh lebih baik jika menuntun si pemohon pinjaman untuk mengolah meteri secara lebih bijak dan dewasa. Banyak dimasyarakat yang hanya mengerti konsep menabung dan memanen. Tak banyak yang mengerti arti manajemen keuangan, dimana hal ini jauh lebih penting dari pada modal materi yang didapat. Karena itulah diperlukan kesinergian antara pelaku CSR, objek CSR dan tentu pemerintah untuk memaparkan sebuah paradigma bahwa bisnis adalah tentang mengatur sebuah sistem, bukan hanya tentang membuat dan menjalankannya.
Daftar Pustaka
http://www.set.kab.go.id/pro-rakyat-1341-pengembangan-wirausahawan-jatim-melalui-klikukm http://ditasyakieb.wordpress.com/2012/12/02/contoh-csr-pada-perusahaan-unilever/