CRITICAL REVIEW POLITIK INTERNASIONAL “This Time It’s Real: The End of Unipolarity and The Pax Americana” – Christopher Layne
Nama
: Annas Miftahuddin Ikrom
NIM
: 2007 - 22 - 063
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA) 2011-2012
This Time It’s Real: The End of Unipolarity and The Pax Americana CHRISTOPHER LAYNE
PENDAHULUAN Sebelum krisis finansial Amerika Serikat di akhir 2007, banyak kelompok penstudi keamanan yang percaya bahwa unipolaritas – dalam hal ini adalah hegemoni dari Amerika Serikat – akan bertahan untuk jangka waktu yang panjang dan menjadi masa depan dari politik internasional. Ternyata asumsi itu hingga kini masih bertahan di kalangan kelompok penstudi dan pembuat kebijakan di Amerika Serikat walau pun krisis finansial 2007 secara jelas telah menghancurkan perekonomian Amerika Serikat itu sendiri. Christopher Layne, profesor dari Universitas Texas A&M, justru beranggapan sebaliknya. Dia meyakini bahwa politik internasional sedang dalam masa transisi, tidak lagi unipolar, tetapi juga belum multipolar. Hanya saja, fakta bahwa menurunnya hegemoni Amerika Serikat lambat laun akan menyudahi era Pax Americana1 yang akan di gantikan oleh tatanan internasional baru. Ancaman itu datang dari negara-negara dengan progres ekonomi yang sedang dalam momentum terbaiknya, seperti India dan China. Christopher Layne melihat menurunnya power Amerika Serikat akan mempengaruhi konstelasi politik internasional dalam beberapa dekade mendatang seperti akan meningkatnya kemungkinan untuk terjadinya kompetisi antar negara besar. Arah pergeseran kekuatan akan bergerak dari Eropa-Atlantik ke Asia, suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bukan sekedar asumsi, ini di dasari dari
1
Pax Americana adalah suatu situasi global dimana Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan yang paling dominan di dalam sistem internasional setelah Perang Dunia II. Fungsi kekuatan hegemoni ini adalah menyediakan atau mempromosikan apa-apa yang disebut international public goods, seperti keamanan, stabilitas, dsb. Dalam konteks hegemoni Amerika Serikat atau Pax Americana ini, perdagangan bebas pada mulanya di lihat dan di promosikan oleh Amerika sebagai public goods, sebagai sesuatu yang harus ada dan harus berlaku. Itu terutama dapat dilihat pada masa 25 tahun terakhir ketika Washington Consensus atau neoliberal begitu menguasai wacana pembangunan di dunia. Disini lah perdagangan bebas menjadi bagian dari Washington Consensus, berdampingan dengan paket-paket deregulasi, privatisasi dan liberalisasi yang di promosikan oleh lembaga-lembaga seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia.
statistik yang menunjukan perkembangan ekonomi China jauh lebih cepat daripada ekonomi Amerika Serikat dalam dua dekade terakhir. Setelah berakhirnya Perang Dingin, Amerika Serikat mengkonsolidasikan Pax Americana dengan memperluas geopolitik dan ambisi idealismenya. Krisis finansial di tahun 2007 telah merepresentasikan kehancuran fondasi dari Pax Americana dan memperlemah pilar-pilar institusi. Meskipun Amerika Serikat tetap masih unggul dalam bidang militer, munculnya kekuatan baru seperti China, di tambah dengan kendala ekonomi Amerika Serikat, mengindikasikan dalam satu satu dua dekade, dominasi militer Amerika Serikat akan mengalami tantangan yang serius. Namun, ada hal yang lebih penting daripada menurunnya hegemoni Amerika Serikat, yaitu pergeseran kekuatan dari Eropa-Atlantik ke daratan yang jauh dari pandangan dunia barat. China, India, dan Rusia telah menjadi “nominasi” pengancam utama dalam dua dekade terakhir. Faktanya, tidak hanya ketiga negara itu saja yang patut di waspadai oleh Eropa-Atlantik, Indonesia, Turki, Korea Selatan, Brazil, dan Afrika Selatan telah di prediksikan oleh Bank Dunia akan mencapai satusetengah persen dari pertumbuhan ekonomi dunia antara 2011 sampai 2025. Dua indikator yang dapat di jadikan acuan adanya kekuatan negara baru adalah tingkat pertumbuhan relatif negara dan pembagian presentasi gross domestic product (GDP) dunia. Bukti bahwa sistem internasional sedang mengarah ke arah multipolar tidak lagi dapat di sangkal. Dan China adalah bukti terkuat sebagai titik pusat pergeseran gravitasi ekonomi dan geopolitik dunia. Pada tahun 2010, China berhasil “mengkudeta” Amerika Serikat sebagai negara manufaktur terbesar di dunia, gelar yang telah di sandang lebih dari satu abad lamanya. International Monetary Fund (IMF) memperkirakan China akan mencatatkan sebagai negara penyumbang 14% GDP dunia, dimana Amerika Serikat hanya unggul tipis dengan 18%. Hal ini sangat mengesankan jika melihat posisi China di tahun 1980 (2%) dan di tahun 1995 (6%) terhadap total GDP dunia. Tentu saja, tidak menutup kemungkinan jika China akan segera menyalip dominasi Amerika Serikat. Menurunnya hegemoni Amerika Serikat memiliki implikasi yang sangat besar untuk masa depan politik internasional, teori stabilitas hegemonik menyatakan bahwa sistem ekonomi internasional yang terbuka membutuhkan kekuatan hegemoni tunggal untuk mengontrol militer dan ekonomi. Secara militer, suatu hegomoni akan bertanggungjawab terhadap stabilisasi wilayah dan untuk
menjaga kepentingan global bersama. Secara ekonomi, hegemoni menyediakan cadangan mata uang dan likuiditas bagi perekonomian global. Walaupun beberapa penstudi yakin bahwa kemajuan signifikan yang berlangsung di China tidak akan berdampak langsung terhadap Pax Americana, namun Chistopher Layne berkata lain. Dia meyakini apa yang terjadi di China akan berimplikasi langsung terhadap keberlangsungan Pax Americana dengan alasan; pertama, krisis finansial yang terjadi karena kesalahan regulasi yang di lakukan oleh “pencetus” ekonomi liberal akan berdampak terhadap hilangnya kredibilitas dan legitimasi Amerika Serikat sebagai ujung tombak ekonomi internasional. Runtuhnya ekonomi di barat dan berkembangnya ekonomi China di saat yang bersamaan jelasjelas telah mempermalukan unipolaritas yang selama ini telah menjadi kiblat dunia. Kedua, satu-satunya hal harus di lakukan Amerika Serikat – dan bisa di bilang mustahil untuk dapat di lakukan – untuk mempertahankan hegemoninya adalah dengan menyediakan barang publik: keamanan, kepemimpinan ekonomi, dan program pembangunan skala global untuk bisa memerangi keterbelakangan sosialekonomi dan instabilatas regional maupun internasional. Sampai saat ini, kelompok penstudi dan pembuat kebijkan Amerika Serikat masih menolak asumsi bahwa era unipolar telah habis. Mereka percaya, kalau pun unipolar telah berakhir, tidak akan ada konsekuensi apa pun bagi Amerika Serikat karena mereka tetap akan menjadi kekuatan yang penting dalam politik internasional dan masa depan “era liberal” – Pax Americana – akan tetap berlangsung walau pun tidak ada topangan dari bidang militer dan ekonomi. Christopher Layne menganggap anggapan ini terlalu naif karena penurunan hegemoni selalu memiliki konsekuensi. Menurutnya, pada awal abad ke-21 akan terjadi fase kembalinya sejarah dan multipolaritas. Seharusnya Amerika Serikat menerima kenyataan bahwa unipolar memang telah berakhir yang di akibat kan penurunan Amerika Serikat itu sendiri dan kebangkitan China. Hal itu akan membuat Amerika Serikat bisa memikirkan strategistratagi apa yang harus mereka gunakan selama 10-15 tahun kedepan.
PEMBAHASAN Dalam krisis global, dapat dilihat suatu fakta bahwa hegemoni Amerika Serikat (Pax Americana) sedang mengalami penurunan dan dunia sedang berada dalam periode itu. Saat kekuatan terbesar ini surut, maka akan ada konfigurasi baru. Lalu ketika Amerika Serikat sendiri sudah tidak menjalankan lagi semua prinsip yang di tetapkannya, maka timbul pertanyaam akan kemana arahnya. Tulisan Christopher Layne nyatanya di amini oleh David P. Calleo, profesor dari Universitas Johns Hopkins. Calleo berargumen bahwa dua kekuatan Asia – selain Jepang – yaitu China dan India akan membuat sistem internasional menjadi jamak (multipolar). Sinyal itu telah di berikan oleh China dan India setelah cukup lama mereka berfokus pada
pengembangan kemandirian mereka sendiri dalam
bidang politik dan ekonomi. Kebijakan untuk lebih membatasi diri dari blok negara adidaya itu ternyata telah membuahkan hasil, dan kini, mereka dengan berani “menerjunkan diri” ke dalam dunia yang sebenarnya.2 Kebangkitan ekonomi China merupakan Ironi dalam globalisasi yang di pelopori Amerika Serikat, dimana dengan menggunakan
keunggulan
komparatif
yang
sama,
ternyata
China
bisa
memenangkan persaingan. Setelah krisis globa dan setelah China masuk WTO pada tahun 2001, tiba-tiba terjadi perubahan pembagian kerja internasional dan perubahan keunggulan komparatif yang menyebabkan pembagian kerja atau spesialisasi yang unik, dimana China berspesialisasi sebagai produsen barangbarang murah dan Amerika Serikat berspesialisasi sebagai konsumen. Amerik Serikat berspesialisasi memproduksi surat-surat utang dan China yang mempunyai cadangan devisa di atas USD 2 triliun berspesialisasi sebagai pembeli Beberapa kekuatan besar seperti China mungkin dapat menantang dominasi global mana pun, termasuk Amerika Serikat. Namun, pertumbuhan yang cukup kuat dari Negeri Tirai Bambu tersebut, walaupun dapat mencegah hegemoni Amerika Serikat, di yakini masih belum kuat – dari segi ekonomi, politik, militer, dan budaya – untuk membentuk supremasi tunggal dunia atau pun regional.3 Pencarian China untuk status great power setelah “abad rasa malu dan penghinaan”4 adalah pokok 2
David P. Calleo, “Follies of Power: America’s Unipolar Fantasy” (New York: Cambridge University Press, 2009) hal. 10 3 Ibid, hal. 149 4 Istliah China untuk menyebut kondisi pada abad ke-19 sampai dengan Perang Dunia II dimana harga diri China selama rentan waktu tersebut benar-benar di injak oleh dominasi negara barat
dari analisis kebijkan luar negerinya. Preferensi China yang lebih mengarah kepada multipolaritas dan kebencian terhadap segala hak khusus dan hak istimewa yang di miliki
oleh
Amerika
Serikat.
Analis
multipolaritas
China
secara
eksplisit
memperkirakan terjadinya hierarki datar lebih dari satu dimana keadaan tunggal memiliki keunggulan, yaitu, mereka dapat mengekspresikan preferensi untuk sebuah dunia tanpa ada kekuasaan yang memiliki klaim khusus terhadap kepemimpinan. 5 Selama dua dekade terakhir, imajinasi politik Amerika Serikat telah memiliki karakteristik apa yang akan menjadi visi berbahaya dari geopolitik. Dimana Amerika Serikat di definiskan sebagai kekuatan dominan dalam sistem internasional yang terikat dan “unipolar”.6 Di bawah unipolaritas, biaya dan resiko perang tampak lebih mungkin di kelola untuk kekuatan militer yang dominan seperti Amerika Serikat. Ini tidak lantas membuat penggunaan kekuatan akan murah atau bijaksana, tetapi itu justru mengindikasikan bahwa biaya dan resiko relatif tidak langsung dan sangat tergantung interpretasi. Unipolaritas, di kombinasikan dengan adanya kesempatan yang di ciptakan oleh 9/11 untuk mengubah keseimbangan dalam politik Amerika Serikat dan mempertegas hegemoni dalam sistem internasional.7 Teori stabilitas hegemoni seolah membenarkan kondisi dunia yang unipolar, dunia yang di kontrol sepenuhnya oleh Amerika Serikat. Namun teori ini, sesuai dugaan, memunculkan
banyak sekali pertanyaan dan perdebatan di kelompok
penstudi. Bisa di katakan, hampir tidak ada pendukung teori stabilitas hegemoni ini. Justru sebaliknya, banyak kritik-kritik keras terhadap perilaku egois dan tidak bertanggungjawab Amerika Serikat yang telah di mulai sejak 1960-an.8 Keangkuhan Amerika Serikat sangat terlihat dari banyak kebiijakan luar negeri yang mereka ambil, seperti invasi ke Timur Tengah. Disini jelas terlihat bagaimana sebuah negara sangat terobsesi dengan hegemoni yang dimilikinya tanpa harus mendengarkan reaksi dunia internasional terhadap kebijkannya tersebut.
karena di paksa menandatangani perjanjian-perjanjian yang tidak setara dan memberikan orang asing hak khusus dari ekstrateritorial. 5 G. John Ikenberry, Michael Mastanduno, and William C. Wohlforth, “World Politics: Relations Theory and the Consequences of Unipolarity” Vol. 61 (Cambridge Journals Online, 2009) hal. 54 6 Calleo, op. cit., hal. 3 7 Ikenberry, op. cit., hal. 6 8 Robert Gilpin, “Global Political Economy:Understanding The International Economy Order”, (New Jersey: Princeton University, 2001) hal. 94
KESIMPULAN Ada dua anggapan mengapa dunia tidak unipolar lagi. Pertama, karena hegemoni Amerika Serikat semakin redup pasca krisis finansial di tahun 2007. Kedua, karena ada signifikansi kemajuan yang di alami oleh negara-negara lain, dalam hal ini China, yang akhirnya memberikan ancaman secara langsung kepada Amerika Serikat. Kedua faktor tersebut, walaupun berbeda, nyatanya selaras dengan realita yang ada. Fakta-fakta menunjukan bahwa memang telah terjadi penurunan hegemoni sekaligus kemajuan pesat dari China. Kesadaran akan turunnya pengaruh dan adanya ancaman dari negara timur di tunjukan Amerika Serikat
dari
beberapa
kebijakannya,
seperti
mengeluarkan
kebijakan
proteksionisme, Buy American Product, yang mewajibkan penggunaan produkproduk dalam negeri, juga melakukan peningkatan standarisasi untuk lingkungan dan buruh yang semuanya itu di lakukan untuk menyulitkan produk luar, khususnya produk China untuk masuk ke Amerika Serikat. Selain itu, kita bisa melihat bagaimana perang kurs yang di lakukan negeri Paman Sam tersebut, Amerika Serikat menuduh China menjual produknya 40% lebih murah dari nilai yang seharusnya, ini karena nilai mata uang Yuan itu sendiri di anggap 40% lebih rendah dari yang seharusnya. Ini membuat produk-produk China jadi lebih murah dan menang dalam persaingan dagang. Walaupun para penstudi dan pembuat kebijakan Amerika Serikat berasumsi bahwa dunia masih unipolar, tapi fakta bahwa sebenarnya mereka telah menyadari akan datangnya ancaman terhadap unipolaritas dan Pax Americana yang membuat mereka semakin waspada itu benar adanya. Entah itu faktor internal atau pun eksteral, hegemoni Amerika Serikat kini sedang mengalami tantangan yang apabilia tidak segera di berika jalan keluar, bukan tidak mungkin, bentuk sistem internasional akan kembali menjadi bipolar atau bahkan multipolar.