Country Programme Seascape Strategy For Community Development and Knowledge Management
(COMDEKS) Indonesia
Disusun Oleh:
P. Raja Siregar, Ery Damayanti, Pantoro Tri Kuswardono, Sofyan, Ina Nisrina
DAFTAR ISI Executive ....................................................................................................................................................
1
1. Wilayah Prioritas........................................................................................................................
3
2. Analisis Situasi ............................................................................................................................
8
2.1. Penilaian Ketahanan Masyarakat ...........................................................................
8
2.2. Masalah dan Anacaman di Pulau Semau……...........................................................
10
2.3. Kondisi Sosial – Ekonomi …….......................................................................................
10
2.4.Analisis Parapihak ............................................................................................................ 11 3. Strategy Seascape ...…………………………………………...….................................................. 13 3.1. CPLS Indonesia .......……………………………………………............................................. 3.2. Strategi Proses Perencanaan dan Pelaksanaan CPLS Indonesia................................................................................................................. 4. Tipologi Potensi Proyek berbasis masyarakat dan Kriteria Seleksi Proyek...................................................................................................................................
13 15 16
5. Rencana Monitoring dan Evaluasi....................................................................................... 20 6. Rencana Pengelolaan Pengetahuan................................................................................... 22 7. Referensi................................................................................................................................... Lampiran
23
1
Ringkasan Proyek COMDEKS (Community Development and Knowledge Management for the Satoyama Initiative) diluncurkan pada tahun 2011 sebagai program andalan Kemitraan Internasional untuk Satoyama Initiative1, dan dilaksanakan oleh UNDP bermitra dengan Kementerian Lingkungan Hidup Jepang, Sekretariat Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), dan United Nations University – Institute of Advanced Studies (UNU-‐IAS). Proyek ini didanai oleh Japan Biodiversity Fund dan dirancang untuk mendukung kegiatan masyarakat lokal memelihara dan membangun kembali bentang darat dan laut produksi secara sosial dan ekologis (SEPLS), dan untuk mengumpulkan dan menyebarkan pengetahuan dan pengalaman dari kegiatan yang berhasil untuk direplikasi dan untuk menaikkan skala proyek di tempat-‐tempat lainnya di dunia. Proyek ini bertujuan untuk membangun pengelolaan keanekaragaman hayati yang kuat dan kegiatan penghidupan yang berkelanjutan dengan masyarakat lokal dengan menyediakan pendanaan skala kecil bagi organisasi masyarakat lokal. Proyek ini disalurkan melalui Global Environment Facility – Small Grants Programme (GEF SGP) dikenal dengan SGP, dan saat ini tengah dilaksanakan di 20 negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia, Pulau Semau di Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa tenggara Timur telah dipilih target bentang laut untuk kegiatan-‐kegiatan COMDEKS Country Programme.Nusa Tenggara Timur berada pada bioregion Wallacea dengan keanekaragaman hayati laut yang kaya. Sebagian besar Pulau Semau berada di bawah pengelolaan Taman Wisata Laut dan sebagian kecil lainnya berada dibawah pengelolaan Taman Nasional Laut.Pulau Semau dipilih dengan pertimbangan sebagai sebuah contoh pulau yang terpisah dari pulau utama, potensi dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrim, lingkungan pertanian dengan keterbatasan air tawar dan lapisan tanah tipis didominasi batuan karst namun memiliki keanekaragaman hayati darat, pesisir dan laut yang beragam. Masyarakat di pulau ini berjuang dari generasi ke generasi memenuhi kebutuhan pangan seluruhnya dari sumberdaya pertanian dan perikanan yang ada di pulau kecil tersebut. Yayasan Bingkai Indonesia melakukan baseline survey tersebut untuk GEF-‐SGP Indonesia. Pemetaan dasar dilakukan pada periode waktu 14-‐20 November 2013 dan 14-‐17 Desember
1
Satoyama Initiative adalah upaya global untuk membangun kesadaran “masyarakat berdampingan dengan alam secara harmonis”. Satoyama adalah sebuah istilah Jepang yang berasal dari kata “Yama” gunung, padang rumput, hutan, dan “Sato” desa-‐desa di sekelilingnya.
2 2013. Baseline survey dilakukan melalui kajian literatur, pengamatan lapangan, wawancara dengan masyarakat dan penilaian ketahanan masyarakat secara partisipatif. Penilaian ketahanan masyarakat menggunakan indikator socio-‐ecological production landscapes (SEPLS) yang dikembangkan UNU-‐IAS dan Biodiversity Internasional untuk membantu pengukuran dan pemahaman ketahanan bentang darat dan laut terpilih. Ada indikator yang ditambahkan untuk menggarisbawahi isu yang berhubungan dengan perubahan iklim di wilayah pesisir/pulau-‐pulau kecil di Indonesia.Istilah SEPLS dibuat merujuk pada mosaik bentang darat produksi yang dibentuk melalui interaksi harmonis dalam kurun waktu yang lama antara manusia dan alamnya dalam suatu prinsip yaitu meningkatkan kesejahteraan dan memelihara keanekargaman hayati dan jasa-‐jasa ekosistem dalam waktu bersamaan (Gu dan Subramanian 2012 in UNU 2013). Baseline survey menjadi bahan untuk penyusunan strategi peningkatan ketahanan masyarakat di pulau tersebut. Dari penilaian ketahanan masyarakat dengan score-‐card secara umum peserta sepakat memberi nilai yang tinggi untuk indikator ‘Perlindungan Ekosistem dan Pemeliharaan Keanekaragaman Hayati’ dan Keanekargaman Hayati Pertanian dan Budidaya Laut’. Peserta cenderung sepakat dengan hasil penilaian ini berdasarkan indikasi rendahnya deviasi pada setiap indikator. Bentang darat pulau ini didominasi oleh hutan marga, hutan negara, semak dan lahan pertanian. Wilayah pesisir tidak terlalu mengalami perubahan. Lahan pertanian ditanami berbagai tanaman pokok, sayuran dan buah-‐buahan. Pada umumnya produksi makanan pokok, beras dan jagung, disimpan untuk kebutuhan keluarga selama setahun. Pendapatan masyarakat terutama berasal dari tanaman berumur pendek (sayuran dan buah-‐buahan), rumput laut dan perikanan. Meskipun penilaian yang relatif tinggi diberikan bagi kedua kategori ini, peserta cendurung sepakat mengatakan bahwa perlindungan ekosistem dan keanekaragaman hayati secara perlahan menurun dan mereka mulai merasakan adanya ancaman di masa datang bagi keanekaragaman hayati pulau. Berdasarkan pemetaan awal dan konsultasi dengan masyarakat disimpulkan bahwa keterbatasan sumber air, keterbatasan pengetahuan dan terobosan dalam budidaya darat dan laut, peningkatan penggunaan bahan kimia untuk pertanian serta ancaman berkurangnya hutan marga menjadi masalah menonjol untuk ditangani dalam program COMDEKS di pulau ini untuk 2 tahun mendatang. Konsultasi dilakukan dengan masyarakat setempat, pemerintah kabupaten dan para pihak berkepentingan di tingkat nasional untuk mendapatkan masukan terhadap strategi, pilihan kegiatan dan potensi untuk kerjasama program.
3
Wilayah Prioritas Pulau Semau berbatasan langsung dengan Laut Sawu di bagian selatan, barat dan utara, sementara di bagian timur berbatasan dengan Selat Semau yang merupakan perlintasan laut internasional. Di bagian selatan, Pulau Semau berhadapan dengan Pulau Rote (Kabupaten Rote Ndao) yang dibatasi oleh Selat Pukuafu (lihat peta di bawah ini) Secara administratif Pulau Semau merupakan bagian dari Kabupaten Kupang dan dibagi menjadi dua wilayah administratif Kecamatan Semau di bagian utara, dan Kecamatan Semau Selatan di selatan. Kecamatan Semau terdiri dari 8 desa, sementara Kecamatan Semau Selatan terdiri dari 6 desa. Secara keseluruhan Pulau Semau adalah pulau berketinggian rendah, dengan titik tertinggi di daratan rata-‐rata adalah 50 m di atas permukaan laut. Pulau Semau merupakan pulau yang tersusun dari batuan karang dan gamping dengan lapisan tanah tipis di permukaan. Sebagian besar tanah di Pulau Semau merupakan jenis tanah mediteran, latosaol, dan aluvial dengan kejenuhan basa dengan kandungan liatnya terbatas terutama liat kaolinit. Kemampuan jenis tanah ini yang rendah dalam mengikat hara membuat unsur hara kurang tersedia pada jenis tanah ini (Sutedjo: 2009). Laut Sawu, dimana Pulau Semau menjadi bagiannya, memiliki sebaran tutupan terumbu karang dengan keragaman hayati spesies yang sangat tinggi di dunia. Laut Sawu juga merupakan habitat kritis sebagai wilayah perlintasan 18 jenis mamalia laut, termasuk 2 spesies paus langka seperti paus biru dan paus sperma. Laut Sawu juga merupakan habitat yang penting bagi lumba-‐ lumba, dugong, ikan pari manta dan penyu (YPPL dan TNC, 2011). Ekosistem terumbu karang terkonsentrasi di sekitar Pulau Semau dan Pulau Kera serta Teluk Kupang bagian barat. Substrat pasir tersebar terutama di dalam perairan teluk dari Sulamu sampai Pasir Gambar 1. Peta Pulau Semau Panjang, sedangkan padang lamun tersebar hampir sama dengan ekosistem terumbu karang (Lauwoie, 2010). Dengan demikian, hampir di setiap daerah sebaran karang akan ditemukan lamun. Di bagian darat, pulau Semau memiliki jenis hutan musim (muson) yang daunnya meranggas di musim kering, dan kembali hijau di musim hujan. Hutan jenis ini memang tipikal hutan yang ada di wilayah NTT. Ada beberapa pohon yang memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat Semau, yaitu pohon geuwang, lontar, beuk, dan kapuk. Pohon-‐pohon ini dimanfaatkan untuk membangun rumah, perahu dan untuk sumber bahan makanan. Ada juga beberapa jenis tanaman yang memiliki fungsi pengobatan alami. Sayangnya, masyarakat Semau tidak memiliki budaya menanam pohon kembali dalam siklus kehidupan mereka.Hal ini menyebabkan jumlah pohon-‐ pohon tersebut sudah semakin berkurang, sehingga mempengaruhi kualitas hidup masyarakat Semau.
4
Pulau Semau berada di sebelah barat Kota Kupang, ibu Kota Propinsi Nusa Tenggara Timur.Pulau seluas 265 km persegi ini berjarak kurang lebih 2,6 km dengan Kota Kupang. Meskipun demikian, jarak antara pelabuhan penyeberangan ke P. Semau di Desa Hansisi dari Pelabuhan Tenau Kupang adalah 4.7 km yang ditempuh dengan waktu antara 30 hingga 45 menit dengan kapal kayu bermesin 15 PK. Pulau Semau dipilih sebagai lokasi melakukan penilaian awal dengan pertimbangan sebagai sebuah pulau kecil yang berpotensi menerima dampak signifikan dari perubahan lingkungan dan sosial apapun, khususnya cuaca ekstrim dan perubahan iklim. Sebagai sebuah pulau kecil, akan jelas terlihat pengelolaan satuan hamparan laut dan sekaligus darat oleh masyarakat maupun kelembagaan pemerintah. Pulau semau memiliki keunikan sebagai contoh pulau kecil dengan keterbatasan air dan unsur hara tanah yang rendah namun memiliki keanekaragaman hayati dan budidaya yangunik.Pulau ini secara administratif masuk kedalam wilayah administrasi Kabupaten Kupang sehingga memudahkan dalam pelaksanaan dan pemantauan kegiatan.
5 KETERANGAN
SKETSA TIPOLOGI PEMANFAATAN DARATAN DAN PESISIR PULAU SEMAU (Reproduksi dari sketsa tipologi desa Pulau Semau yang dihasilkan dari diskusi-‐diskusi kelompok)
Pantai dan laut; Nelayan, budidaya rumput laut, pembuatan garam
Semak belukar pantai Hutan darat dan semak belukar
Pemukiman penduduk, fasilitas publik, semak belukar dan kebun
Kebun, semak belukar dan hutan marga
Hutan lindung, hutan adat/hutan marga
6 LEGENDA
Budidaya Rumput laut
Nelayan
Terumbu karang
Gubuk tempat beristirahat atau menjaga budidaya rumput laut dan kebun
Tanaman pertanian; jagung, ubi kayu dan padi
Tanaman hutan; hutan marga/hutan adat dan hutan lindung
Tanaman palm; kelapa, gewang dan lontar
Padang rumput
Semak belukar
Bangunan; gereja, rumah penduduk
Tanaman sampingan; buah-buahan; pisang, mangga, sukun dll
Hewan ternak penduduk; babi, kamping, sapi dan ayam
Hewan liar; rusa, ular dll
7 Berdasarkan data yang didapat pada saat baseline survey, kegiatan masyarakat Semau secara garis besar meliputi darat (pertanian), pesisir (budidaya rumput laut) dan perairan dangkal (nelayan tangkap). Aktifitas nelayan Semau pada umumnya hanya sampai kira-‐kira 1 mil dari garis pantai. Hal ini karena peralatan yang digunakan juga masih sangat tradisional, yaitu perahu, dayung, jaring dan pancing. Jika ada nelayan memiliki mesin perahu, maka rata-‐rata hanya mesin ketinting. Dapat dikatakan dengan cukup beragamnya kegiatan masyarakat Semau, maka sepanjang tahun masyarakat Semau dapat terus bekerja secara produktif. Musim hujan yang bersamaan dengan musim barat adalah waktu bagi masyarakat Semau untuk berladang terutama jagung dan padi.Sementara di musim kemarau masyarakat fokus pada budidaya rumput laut dan tanaman pangan pangan berumur pendek. SGP telah melakukan investasi dalam beberapa proyek di Sunda Kecil (Lesser Sunda) yaitu di wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Di Bali, proyek SGP berfokus pada biodiversity pesisir, pengelolaan sampah dan ekowisata. Di NTB, proyek SGP berfokus pada energi terbarukan dan biodiversity. Di NTT ada di pulau Alor, Flores dan Timor adalah tentang biodiversity, ketahanan pangan dan energi terbarukan. Sementara di Maluku tentang keanekaragaman pesisir. Pulau Semau merupakan contoh pengelolaan yang akan menggabungkan beberapa fokal area SGP yaitu biodiversity, climate change, energi terbarukan dan degradasi lahan. Sebelumnya SGP memiliki proyek pelestarian lontar di pulau ini yang membawa SGP pada tantangan yang sebenarnya dalam pengelolaan sumberdaya alam di pulau ini. Proyek COMDEKS di Semau dapat mengambil pembelajaran dari beberapa proyek SGP di wilayah Sunda Kecil karena karakteristik alam yang hampir sama. Selain itu, SGP akan memiliki sebuah lokasi program yang dapat menjadi contoh pengelolaan lengkap bagi 4 fokal area SGP berdasar konsep SEPL. Hal ini dapat menjadi sebuah model pengelolaan baru yang dapat direplikasi di wilayah lain sehingga skema SGP dapat lebih mempengaruhi kebijakan pengelolaan wilayah yang bersangkutan.
Gambar 2; hamparan lahaan saat musim kering
8
Analisis Situasi 2.1. Penilaian Ketahanan Masyarakat Sebagai bagian dari proses konsultasi dengan masyarakat, indikator ketahanan Socio-‐ecological Production Landscapes and Seascapes (SEPLS) diujicoba di wilayah pesisir yang ditargetkan. Hasil uji coba dan masukan ini akan membantu UNDP-‐GEF-‐SGP dan anggota IPSI lainnya untuk seluruh metode untuk mengukur dan memahami ketahanan masyarakat di wilayah darat/pesisir. Di Indonesia, penilaiaan ketahanan dilakukan dengan mengukur elemen ketahanan SEPL melalui 4 dimensi yang saling berhubungan. Yaitu, perlindungan ekosistem dan pengelolaan keragaman; keragaman pertanian; pengetahuan, pembelajaran dan inovasi; dan keadilan social dan infrastruktur. Indikator tersebut disesuaikan dengan wilayah pesisir dan laut. Kami memisahkan indikator dan pertanyaan pada hampir setengah dari indikator awal untuk menjadi 'darat' dan 'pesisir -‐ laut'. Salah satu indikator telah ditambahkan dari indikator SEPLS yang asli untuk kategori II guna mengadopsi karakteristik pulau kecil dan risiko iklim. Indikator yang ditambahkan adalah terkait kemampuan masyarakat dalam menghadapi variasi musim yang ekstrim. Ada dua pertanyaan yang ditanyakan: (1) Apakah lingkungan pertanian dan budidaya kelautan lokal menghasilkan sumber makanan (misalnya: padi, jagung, sagu, singkong, ikan) sepanjang tahun? (2) Apakah masyarakat memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dan mengakses transportasi ke pulau terluar bolak-‐balik dari waktu ke waktu untuk memenuhi kebutuhan mereka atau dalam situasi darurat? Indikator-‐indikator tersebut berhubungan dengan ketahanan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka dalam waktu satu tahun di bawah risiko musim ekstrim dan terisolasi dari daerah lainnya . Sebelum workshop penilaian indicator SEPL, kami melaksanakan 9 FGD dan wawancara dengan 6 tokoh desa. Ada sekitar 24 perempuan terlibat dalam proses diskusi. Di dua diskusi bahkan hanya diikuti oleh perempuan. Lokakarya penilaian indikator ketahanan SEPL diikuti oleh total 25 peserta, 5 dari mereka adalah perempuan. Setengah dari peserta lokakarya merupakan peserta diskusi kelompok dan individu yang diwawancarai beberapa hari sebelumnya. Satu dari perempuan yang terlibat merupakan aparat pemerintah desa. Komposisi laki-‐laki dan perempuan di lokakarya sama dengan konsultasi kedua saat menyampaikan nilai hasil ketahanan SEPL dan untuk mendiskusikan serta menyepakati kunci masalah dan potensi kegiatan untuk mengatasi masalah tersebut. Pertemuan konsultasi tersebut diikuti oleh 33 peserta, 4 dari mereka adalah perempuan. Selanjutnya 3 orang perwakilan masyarakat Semau juga terlibat dalam lokakarya konsultasi dan penyelarasan strategi dengan pemerintah di Kupang. Di mana secara keseluruhan lokakarya trsebut diikuti oleh 17 orang. Hasil penilaian menunjukkan bahwa masing-‐masing kategori mendapatkan nilai rata-‐rata pada rentang 3 mendekati 4 (Lihat Diagram Jaring dibawah). Dapat dikatakan bahwa ketahanan masyarakat di Pulau Semau termasuk baik. Indikator kategori I (Perlindungan Ekosistem dan Keragaman Hayati) dan Kategori II (Keragaman Hayati Lingkungan Budidaya) memiliki nilai yang relatif tinggi dibandingkan kategori lainnya. Peserta juga cenderung sepakat dengan penilaian tersebut yang ditunjukkan dengan nilai deviasi yang rendah pada masing-‐masing indikator, Walaupun memiliki nilai yang relatif tinggi, peserta cenderung sepakat menyatakan perlindungan ekosistem dan keragaman hayati cenderung menurun lambat dan merasakan ancaman terhadap keragaman hayati pulau tersebut dimasa datang. Pada kategori III (Pendokumentasian, Terobosan dan Pengetahuan) serta kateori IV (Keadilan Sosial dan Infrastruktur) nilai yang diberikan pada kisaran nilai 3, yang dapat dikatakan dalam kondisi sedang–baik. Kesetaraan sosial
9 dan infrastruktur masih rendah namun menunjukkan kecenderungan meningkat perlahan, termasuk dalam hal komunikasi dan transportasi laut. Peserta cenderung sepakat menilai peran dan pengetahuan perempuan cenderung meningkat. Peserta juga sepakat menilai rendah pengetahuan dan terobosan budidaya yang mereka miliki. Pada beberapa indikator dalam kategori III dan IV tersebut pendapat peserta beragam, ditunjukkan pada nilai deviasi yang agak tinggi. Keragaman pendapat yang agak tinggi ditemukan pada indikator ‘alih pengetahuan tradisional dari para tetua”, ‘pendokumentasian pengetahuan’,tatacara masyarakat setempat mengelola sumberdaya alam’ dan ‘resiko kesehatan’. Peserta juga memiliki pendapat yang beragam mengenai kecenderungan perubahan pada indikator tersebut. Keragaman pendapat ini kemungkinan dipengaruhi oleh kondisi peserta atau desa yang berbeda satu sama lain, namun juga diduga pertanyaan indikator tersebut dapat diinterpretasi beragam.
Gambar 3; Nilai rata-‐rata dari 4 kategori SEPLS
10 2.2. Masalah dan Ancaman di Pulau Semau Sumber air tawar yang terbatas merupakan masalah utama yang dikeluhkan masyarakat di Pulau Semau. Curah hujan di Pulau Semau relatif kecil, sama seperti wilayah Nusa Tenggara umumnya, yaitu sekitar 700 -‐1000 mm pertahun. Sumber air untuk pertanian terutama dari air hujan. Keperluan air minum, mandi, dan cuci diperoleh dari mata air dan sumur. Jumlah mata air terbatas, rata-‐rata satu buah pada beberapa desa sementara yang lainnya tidak memiliki mata air. Sejumlah sumur berisikan air payau, dan masih digunakan digunakan untuk mandi, cuci, minum ternak serta Gambar 4; Perempuan harus menempuh jarak jauh untuk mendapaatkan air menyiram beberapa jenis tanaman sayuran dan buah-‐ buahan. Sumur gali mulai ada sejak tahun 1970-‐a dan jumlahnya cukup banyak saat ini. Pemerintah membangun waduk buatan di beberapa desa dan beberapa rusak atau mengalami pendangkalan (lihat BPS: 2009 – 2012). Pemetaan dasar ini melihat penggunaan bahan kimia untuk pertanian akan menjadi ancaman di masa datang, baik bagi lahan pertanian, maupun laut. Kesehatan tanah akan menurun, bahan kimia di tanah akan terbawa hujan sampai ke laut. Penggunaan bahan kimia mulai marak dua dekade terakhir dan meningkat sejak masyarakat berkenalan dengan sejumlah bibit sayuran, dan jagung hibrida. Penggunaan bahan kimia juga dipicu oleh kondisi tanah yang dipenuhi dengan bebatuan karst.Pengolahan lahan dengan alat mekanis menjadi sulit dengan adanya hamparan batu. Untuk mempercepat pengolahan lahan dan mengatasi rumput dan semak, masyarakat mengandalkan herbisida dan pestisida. Setelah 5-‐6 tahun lahan digunakan untuk kebun, masyarakat kemudian membiarkannya menjadi semak belukar dengan harapan tanah akan kembali mendapatkan nutrisi. Pemerintah Kabupaten Kupang memiliki jumlah tenaga penyuluh yang terbatas dan jarang melakukan penyuluhan di pulau ini. Fasilitas listrik masuk pulau sejak 3 tahun lalu dan kini menyala beberapa jam saja setiap 2 hari. 2.3. Kondisi Sosial Ekonomi Jumlah penduduk P. Semau tahun 2013 adalah 11.756 dengan kepadatan rata-‐rata 44 orang per kilometer persegi. Sebagian besar mata pencaharian penduduk pukau ini adalah petani dan juga nelayan.Hampir semua nelayan juga memiliki pekerjaan utama sebagai petani. Kegiatan budidaya rumput laut sejak tahun 2001-‐2002, dan menjadi menjadi sumber mata pencarian utama masyarakat yang tinggal dekat dengan pantai. Tanaman padi dan jagung menjadi tanaman utama dan merupakan sumber pangan utama masyarakat. Hasil panen disimpan untuk memenuhi kebutuhan keluarga selama satu tahun. Selain tanaman pangan, tanaman sayuran dan buah-‐ buahan ditanam oleh petani yang memiliki sumber air tawar/payau dari sumur. Kegiatan menangkap ikan dilakukan hanya disekitar pantai dengan dayung dan perahu dengan mesin 5 HP (Horse Power). Kegiatan menangkap ikan juga dilakukan dengan memungut ikan dan hewan laut selama surut terendah (low tide). Fenomena alam ini berlagnsung setiap 15 hari selama 2-‐3 hari dalam sebulan.Kegiatan melaut sebagian besar nelayan berhenti pada musim hujan karena
11 bersamaan dengan gelombang tinggi dan angin kencang musim barat (west moonson). Selain budidaya pertanian, penduduk Semau juga memelihara ternak besar seperti sapi, kambing dan babi sebagai tabungan hidup dan keperluan pesta. Pembangunan di pulau Semau sangat lambat, karena persepsi masyarakat luar terhadap masyarakat di Pulau Semau yang dianggap memiliki kekuatan magis yang kuat. Pejabat pemerintah mengakui selama ini aparat pemerintahan enggan ditugaskan ke pulau Semau. Pulau ini dihuni mayoritas oleh dua etnik dengan budaya dan bahasa yang berbeda, yaitu Helong dan Rote.Etnik Helong merupakan penduduk asli yang menempati pulau ini. Beberapa dekade lampau, kepala marga besar dari etnis Helong membagikan lahan kepada anak-‐anak marganya dan juga kepada marga suku Rote. Sisa dari tanah yang tidak terbagi menjadi hutan marga yang ada di sejumlah desa. Untuk pesisir dan laut, masyarakat dahulu menerapkan batasan kewenangan pengelolaan laut berdasarkan kepemilikan marga, yang mengikuti kepemilikan pada lahan di darat.Sejak tahun 1970-‐an kewenangan tersebut tidak lagi berlaku. Kini kewenagan pemanfaatan pesisir dan perairan dangkal didepannya (beberapa ratus meter dari garis pantai) diatur oleh Pemerintah Desa. Sejak budidaya rumput laut menjadi sumber pendapatan penting, pembagian zona untuk budidaya dilakukan beberapa pemerintah desa bagi warganya. Masyarakat pulau Semau cukup memiliki kesadaran gender. Suara perempuan menjadi pertimbangan penting dalam keluarga maupun dalam keputusan desa. Kondisi yang kurang baik dialami perempuan adalah dalam hal kepemilikan atas lahan (hak waris).Perempuan selama beberapa generasi tidak mendapatkan hak atas tanah. Lahan milik suami harus dikembalikan kepada keluarga suami bila meninggal dunia dan tidak memiliki anak. Kondisi ini dimasa datang kemungkinan akan membaik. Sejumlah lahan yang dimiliki individu telah memiliki sertifikat. Dengan demikian istri juga memiliki hak atas lahan menurut hukum Negara. 2.4 Analisa para pihak Para pihak yang berkaitan langsung dengan ketahanan pangan di Pulau Semau adalah petani budidaya pertanian, petani budidaya perikanan, nelayan, perempuan, pemuda, kepala marga, pedagang pengumpul, aparat desa, institusi gereja, pengusaha transportasi darat dan laut. Pihak lain sebagai pendukung ketahanan pangan diantaranya adalah pemerintah kabupaten (dengan sejumlah kantor sektor), Pemerintah kecamatan, Pemerintah Pusat dan sejumlah lembaga masyarakat sipil. Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan lembaga pemerintah pusat yang berkepentingan di Pulau Semau. Hampir seluruh pesisir pantai Pulau Semau masuk kedalam Taman Wisata Alam Laut (TWAL) yang dikelola Kementerian Kehutanan, sementara hanya sebagian perairan sisi selatan/tenggara masuk dalam kawasan Taman Nasional Laut Sawu yang dikelola Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pemerintah pusat dan kabupaten memiliki program penguatan ekonomi masyarakat (PNPM) yang mencakup perbaikan infrastruktur dan simpan pinjam untuk usaha ekonomi masyarakat dan perempuan. Ada pula Yayasan Pengembangan Semau (YPS) yang dikelola masyarakat setempat, dan Yayasan Pandu Lestari (YPL) yang dikelola pengajar dari Universitas Cendana di Kota Kupang. YPS memiliki program pendidikan, sementara Pandu Lestari pernah menjalankan program keanekaragaman hayati dan konservasi dari Yayasan Kehati dan SGP. Jauh sebelumnya, pada periode tahun 2000-‐2001, Pemerintah Pusat memiliki proyek COREMAP untuk perlindungan terumbu karang di wilayah ini, yang memiliki komponen pengembangan wisata alam dan budidaya rumput laut. Selain itu terdapat program ATSEA (Arafura and Timor Sea Ecosystem Action) dari GEF yang memiliki program perlindungan ekosistem perairan laut Arafura dan Timor.Walaupun program ini mencakup wilayah perairan Arafura dan Timor yang luas, namun ada kemungkinan pemetaan dasar ke Pulau Semau akan dilakukan dalam waktu dekat.
12
Kelompok masyarakat memiliki kapasitas dan pengetahuan yang rendah. Mereka sudah mulai mengerjakan kegiatan dalam proyek PNPM. Kegiatan yang dilakukan terbatas pada membangun sarana infrastruktur ringan desa dan usaha ekonomi. Peningkatan pengetahuan dan terobosan membutuhkan pengetahuan dan keahlian yang tidak dimiliki oleh kelompok masyarakat saat ini. Organisasi masyarakat sipil yang berada di Kota Kupang diharapkan dapat menjadi fasilitator untuk membawa pengetahuan dan terobosan baru dalam kegiatan pertanian dan perikanan dan menyelaraskannya dengan pengetahuan masyarakat setempat.
13
STRATEGI SEASCAPE 3.1. CPLS Indonesia Lokakarya konsultasi masyarakat telah merangkul para pemangku kepentingan dalam melakukan penilaian status bentang darat/laut yang terpilih, dan dapat mengembangkan strategi partisipatif yang berbasis masyarakat di tingkat seascape (bentang laut). Rencana jangka panjang yang diharapkan dapat dicapai oleh CPLS (COMDEKS Country Seascape Programme Strategy) di Indonesia adalah meningkatkan ketahanan produksi masyarakat pulau kecil dan pesisir secara sosial dan ekologis melalui kegiatan-‐kegiatan berbasis masyarakat.Berikut adalah outcomes yang diharapkan dari CPLS Indonesia. Berdasarkan konsultasi masyarakat Pulau Semau, disusunlah sejumlah dampak yang diharapkan (outcome) beserta indikatornya. Diyakini bahwa empat outcomes ini adalah kunci untuk meningkatkan ketahanan dari bentang darat/laut pulau Semau. Outcome 1 (ekosistem, keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam): dijaga dan ditingkatkannya melalui pemeliharaan tutupan hutan marga, tutupan lahan pesisir, laut dan terumbu karang dan peningkatan praktek-‐praktek pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan. •
Indikator 1.1: sejumlah hektar lahan hutan dilindungi atau dimanfaatkan secara lestaris.
•
Indikator 1.2: sejumlah hektar bentang laut (pesisir, laut dan terumbu karang) dilindungi atau dimanfaatkan secara lestari
14 Outcome 2 (Budidaya pertanian dan kelautan yang berkelanjutan): Meningkatnya ketahanan sistem budidaya pertanian dan budidaya laut melalui praktek-‐praktek budidaya yang lebih baik dan berkelanjutan, diversifikasi jenis tanaman dan produksi pertanian, dan menguatnya pengelolaan sumber air.
• Indikator 2.1: sejumlah anggota masyarakat mengadopsi praktek-‐praktek dan metode pengelolaan budidaya pertanian dan laut yang berkelanjutan. • Indikator 2.2: sejumlah kelembagaan masyarakat mengelola sumber air secara efisien dan efektif. • Indikator 2.3: sejumlah dan adanya keragaman tanaman pertanian dan produk budidaya laut yang lenting (resilient) dipromosikan. Outcome 3 (penghidupan masyarakat): meningkatnya penghidupan masyarakat melalui peningkatan pendapatan yang berkelanjutan • Indikator 3.1: sejumlah peluang bagi penghidupan dan peningkatan pendapatan berkelanjutan diadopsi. • Indikator 3.2: meningkatnya pendapatan rumah tangga sebagai hasil dari kegiatan yang didukung Outcome 4 (Tata laksana kelembagaan): diciptakannya dan/atau menguatnya tata laksana kelembagaan bagi pengambilan keputusan partisipatif dan kegiatan berbagi pengetahuan yang efektif di tingkat bentang darat (landscape).
Gambar 5: Jagung lokal yang ditanamam oleh masyarakat Semau
• Indikator 4.1: sejumlah kelembagaan berbasis masyarakat berdiri atau menguatnya anggota masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan bentang laut/darat yang terpadu • Indikator 4.2: sejumlah dan beragam tipe kebijakan dipengaruhi pada tingkatan lokal (desa), pada tingkatan bentang lahan/landscape. (Contoh: peraturan yang ditetapkan oleh kepala kampung atau marga untuk memelihara tutupan lahan hutan di Pulau Semau; kriteria,
15 larangan, dan sanksi bagi penebangan pohon besar dan pohon yang dianggap penting; peraturan tentang penanaman kembali pohon besar dan penting, pengaturan tentang zonasi bagi budidaya laut, perikanan, dan perlindungan pesisir dan laut). • Indikator 4.3: sejumlah praktek dan pembelajaran terbaik disebarkan kepada para pemangku kepentingan pulau. 3.2. Strategi Proses Perencanaan dan Pelaksanaan CPLS Indonesia Di bawah empat outcomes yang diharapkan oleh program COMDEKS di Pulau Semau, kami mengidentifikasi adanya suatu peran yang dibutuhkan untuk memperkenalkan pengetahuan dan terobosan baru, peningkatan kapasitas dalam praktek budidaya pertanian dan laut yang berkelanjutan dan efisien, serta melakukan lobby dan advokasi untuk memperbaiki kebijakan bentang darat dan laut di tingkat lokal. Peran tersebut akan sulit dilakukan langsung oleh kelompok akar rumput di Pulau Semau. Kelompok/komunitas akar rumput yang ada di pulau tersebut minim pengalaman dan kemampuan pemaparan untuk peran tersebut, dan jikapun ada hanya pada tingkat dusun dan desa. Untuk menjalankan peran ini dibutuhkan sebuah organisasi mapan yang berasal dari luar pulau. Organisasi ini akan bekerja dengan dan membantu organisasi akar ruput. Hal ini diperlukan karena proyek COMDEKS dilakukan di sebuah pulau dengan suatu konsep SEPLS yang baru bagi Indonesia, dan oleh karena itu memerlukan perhatian lebih besar untuk bisa dilaksanakan dengan baik. Organisasi ini sebaiknya berdomisili di kota Kupang dan sekitarnya. Organisasi ini akan bekerja di pulau Semau. SGP COMDEKS harus mengidentifikasi dan mendorong organisasi yang memenuhi kriteria untuk mengajukan diri untuk kegiatan yang telah disebutkan. Untuk kegiatan tipe lainnya, SGP COMDEKS harus dilaksanakan oleh kelompok/komunitas akar rumput di Semau. Harus ada kedekatan hubungan antara organisasi mapan dari luar pulau tersebut dengan organisasi kelompok/komunitas akar rumput. Dalam banyak hal, target utama dari kegiatan peningkatan kapasitas ini adalah organisasi pelaksana yaitu kelompok/komunitas akar rumput.
Gambar 6; Perahu tradisional yang digunakan oleh nelayan Semau
16
Tipologi Potensi Proyek berbasis masyarakat dan Kriteria Seleksi Proyek Kriteria utama yang disyaratkan pada pemilihan proyek adalah terpenuhinya satu atau lebih outcome dalam CPLS. Selain itu, kapasitas kelembagaan maupun individu yang menjadi penggerak menjadi elemen penting dalam upaya meminimalisir resiko kegagalan proyek.Di bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa peran satu lembaga kemasyarakatan (NGO) di luar Semau sangat diperlukan untuk mengawal proses perencanaan dan pelaksanaan program sesuai CPLS. Berikut adalah beberapa kegiatan yang dianggap strategis bagi tercapainya tiap-‐tiap outcome. Kegiatan-‐kegiatan dalam tiap outcome ini akan menjadi panduan bagi seleksi pemilihan proyek di pulau Semau. Outcome 1: Dipertahankannya tutupan hutan marga, tutupan lahan pesisir dan laut melalui aturan pemerintahan desa dan atau kesepakatan kepala marga. Kegiatan yang perlu dilakukan untuk mencapai outcome 1 tersebut meliputi: • Lobby dan pendampingan kepada pemerintahan desa dan sejumlah kepala marga untuk membuat ketetapan dan aturan mempertahankan sejumlah hutan marga yang tersisa • Lobby dan pendampingan kepada pemerintahan desa dan sejumlah kepala marga untuk mengeluarkan kriteria larangan penebangan pohon besar dan penanaman kembali, khususnya pohon-‐pohon di sekitar sumber air dan pengenalan penanaman pohon sebagai persyaratan administrasi kependudukan dan menjadi bagian denda adat. • Pelatihan penyiapan bibit tanaman dan pendampingan penananam pohon besar penting secara ekologis dan pangan. • Pelatihan dan pendampingan kepada pemerintahan desa dalam menyusun wilayah (zona) untuk budidaya laut, penangkapan ikan Gambar 7: Perempuan dan dan perlindungan pesisir dan laut mengikat rumput laut dan kebun • Pengenalan manfaat terumbu karang buatan dan rumpon dalam kegiatan penangkapan ikan • Pelatihan dan pendampingan kepada kelompok masyarakat dan unsur pemerintah desa dalam membuat dan memasang terumbu karang buatan atau rumpon di perairan dangkal pesisir. • Pelatihan, studi banding dan pendampingan kepada kelompok masyarakat dalam menyiapkan dan memelihara usaha lebah madu serta penyadaran pentingnya penanaman tanaman keras bagi produksi madu. Outcome 2: Meningkatnya ketahanan budidaya pertanian dan budidaya laut melalui peningkatan keragaman budidaya dan akses terhadap sumber air. Kegiatan yang perlu dilakukan untuk mencapai Outcome 2 tersebut meliputi: • Pelatihan untuk penyiapan benih dan memfasilitasi tanaman yang bernilai secara ekologis atau tanaman pangan. • Pendidikan masyarakat mengenai jenis tanaaman obat dan herbisida alami. • Pelatihan penyemaian benih dan memfasilitasi tanaman obat dan herbisida serta tanaman pangan tahunan (kayu keras).
kegiatan
• Pelatihan dan fasilitasi pemerintah desa dalam membangun zona untuk budidaya laut, memancing, dan perlindungan pesisir dan kelautan. • Fasilitasi pembentukan organisasi pengelolaan sumber daya air (mata air dan danau) dalam dan antar desa. • Fasilitasi masyarakat untuk membangun saluran air atau sumur baru dan menfasilitasi masyarakat memfasilitasi untuk memperbaiki saluran atau tempat penampungan air yang lama, rusak , atau terabaikan. • Pengenalan dan percontohan plot acquisition untuk tanaman (padi atau jagung, rumput laut) yang lebih tahan terhadap genangan, kekeringan, salinitas tinggi dan cuaca ekstrim. • Pengenalan dan percontohan plot acquisition untuk metode budidaya rumput laut yang lebih baik guna mengatasi penyakit rumput laut dan hama. • Pendidikan masyarakat tentang dampak jangka panjang penggunaan pupuk kimia dan pestisida pada kesuburan tanah, kualitas panen, air tanah dan kesehatan. • Pelatihan dan pendampingan bagi kelompok masyarakat untuk membuat dan menggunakan pupuk dan pestisida organik. • Pengenalan varietas tanaman pangan (padi, jagung, rumput laut) yang lebih tahan terhadap genangan, kekeringan, angin kencang dan penyakit serta fasilitasi untuk persiapan demplot. • Studi banding mengenai pertanian dan perikanan dengan para ahli dan badan penyuluhan Pertanian dan Perikanan Kabupaten Kupang • Pengenalan manfaat prakiraan cuaca dan iklim untuk pertanian, budidaya laut serta penangkapan ikan. • Diseminasi informasi prakiraan iklim dan cuaca dari Badan Indonesia Meteorologi , Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kepada masyarakat membantu pengambilan keputusan untuk kegiatan pertanian, perikanan, dan penangkapan ikan. • Pengenalan dan demonstrasi inovasi untuk mekanisme budidaya dan/atau pertanian bebas kimia • Studi tutupan lahan yang ideal (daya dukung lingkungan) di Pulau Semau. • Study pada pasokan dan permintaan air di Pulau Island. • Studi mengenai hama dan tanamaan obat di Pulau Semau. •
17
18
Gambar 8: Sumber air bersih di Desa Bokunusan
Outcome 3: meningkatnya ketahanan budidaya pertanian dan budidaya laut melalui peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan dan terobosan budidaya pertanian dan perikanan Kegiatan yang perlu dilakukan untuk mencapai Outcome 3 tersebut meliputi: • Pelatihan, studi banding, dan fasilitasi kelompok masyarakat dalam penyiapan dan pemeliharaan lebah madu serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya penanaman pohon kayu keras untuk produksi madu. • Pelatihan dan percontohan pengolahan hasil pertanian-‐perikanan dan pengemasan serta metode penyimpanan benih. • Pengenalan mengenai alat tangkap yang efisien dan berkelanjutan, khususnya untuk menghadapi musim ekstrem (periode angin barat). • Kajian peluang komoditas pertanian dan perikanan Pulau Semau pada pasar Kota Kupang dan Nusa Tenggara Timur umumnya Outcome 4: Sistem tata kelola pemerintahan dibangun dan/atau diperkuat untuk mendukung pengambilan keputusan yang partisipatif dan efektif serta sharing pengetahuan di tingkat lanskap. • • •
Promosi peraturan pemerintah desa atau kesepakatan antara para pemimpin suku untuk pemeliharaan keanekaragaman hayati di wilayah darat/laut yang ditargetkan. Melobi dan fasilitasi pemerintah desa dan pemimpin suku untuk membuat keputusan dan peraturan untuk melindungi hutan klan yang tersisa. Melobi dan fasilitasi pemerintah desa dan pemimpin suku untuk menetapkan kriteria yang melarang penebangan pohon-‐pohon besar dan penanaman kembali, terutama atau pohon di sekitar sumber air, dan memperkenalkan tanaman sebagai persyaratan administrasi sipil dan bagian dari sistem hukuman adat. Proyek-‐proyek yang akan didukung COMDEKS di Indonesia selain mementingkan soal alih pengetahuan, juga memperhatikan pengaruh proyek terhadap livelihood masyarakat, kesetaraan gender dan penguatan kapasitas kelembagaan lokal. Oleh karena itu, kelompok atau organisasi
Gambar 9; Peneliti saat wawancara dengan warga di Desa Akle
19 yang berbasis masyarakat lokal, yang telah menunjukkan kepemimpinan tinggi dalam proses pengembangan masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi dalam proyek-‐proyek COMDEKS. Selain itu, COMDEKS juga memprioritaskan proyek yang mengedepankan inovasi pada budidaya pertanian dan kelautan sebagai ujung tombak mata pencaharian masyarakat di pesisir dan pulau-‐ pulau kecil. Peran Panitia Pengarah Nasional (PPN) SGP adalah sebagai penyedia sumberdaya baik secara kelembagaan dan individu bagi pertemuan-‐pertemuan rutin, pertemuan khusus maupun kegiatan kunjungan lapangan. Salah satu perannya yang penting sebagai penapis bagi proposal yang masuk dari CSO atau NGO dalam proses ini. Bersama dengan tim sekretariat SGP, PPN akan memberi masukan substansial terhadap proposal yang masuk, sesuai dengan keahlian yang dimiliki tiap anggota. Proposal yang sudah direvisi akan dilaporkan kembali kepada PPN. Dalam proses evaluasi dan monitoring, PPN akan diminta untuk berpartisipasi ke lapangan jika dibutuhkan keahlian spesifik seperti pengembangan ekonomi rakyat, pengembangan pertanian organik, biologi darat dan laut, pemasaran produk rakyat dan lain-‐lain. Dalam skema COMDEKS, sama dengan skema program SGP yang sudah berjalan, pertemuan PPN dilakukan setiap dua bulan. Pada fase persiapan pelaksanaan, tim sekretariat SGP akan melakukan diskusi mendalam dengan satu atau lebih anggota PPN sesuai kebutuhan substansi, beserta tim teknis yang disediakan oleh Sekretariat GEF di Kementerian Lingkungan Hidup. Anggota PPN juga dilibatkan dalam perencanaan monitoring dan evaluasi yang akan dibangun bersama salah satu LSM yang berdomisili di Kupang. Dalam setahun, minimal ada 1 kali kunjungan anggota PPN bersama tim monitoring dan evaluasi ke lokasi program. Partisipasi anggota PPN dalam skema COMDEKS bisa beragam. Ada yang dibutuhkan sebagai pemberi masukan secara substansi terhadap program, ada juga yang dibutuhkan sebagai lembaga yang dapat memberi referensi bagi terbukanya kerjasama dengan lembaga lain untuk mempercepat pencapaian tujuan program COMDEKS.
20
Rencana Monitoring dan Evaluasi Metodologi yang digunakan pada saat proses konsultasi dalam pemetaan dasar adalah kombinasi antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Daftar indikator SEPL beserta scoring atau penilaian atas setiap indikator digunakan sebagai panduan. Sebelum penilaian indikator oleh masyarakat dilakukan, tim pelaksana pemetaan dasar mempersiapkan isu-‐isu atau contoh-‐contoh permasalahan lokal yang nyata berdasarkan hasil wawancara semi terstruktur, pembicaraan informal dan pengamatan. Dengan demikian, penilaian bisa dilakukan dengan meminimalkan kesenjangan pemahaman terhadap indikator yang ada.Isu-‐isu atau contoh-‐contoh permasalahan lokal membantu peserta penilaian untuk melakukan penilaian terhadap indikator, sesuai dengan yang dipahaminya dalam kehidupan sehari-‐hari. Hasil penilaian ini kemudian dianalisa oleh tim pelaksana pemetaan mendasar, dan dibawa untuk konsultasi terlebih dahulu dengan tim sekretariat SGP dan beberapa anggota PPN. Setelah itu hasil analisa dibawa kembali ke masyarakat pulau Semau. Hasil analisa diverifikasi dan masyarakat membuat tingkat prioritas terhadap permasalahan yang teridentifikasi, sekaligus dilakukan dilakukan pemilihan terhadap permasalahan prioritas dan usulan solusi.Hasil dari masyarakat dibawa lagi ke tingkat kabupaten, lalu ke pertemuan PPN, dan diakhiri dengan konsultasi nasional. Monitoring dan evaluasi akan dilakukan oleh LSM yang sama yang mengambil peran untuk memperkenalkan pengetahuan dan inovasi baru, meningkatkan kapasitas pengelolaan pertanian dan kelautan secara berkelanjutan dan efisien, melaksanakan lobi dan advokasi untuk meningkatkan kebijakan untuk pengelolaan landscape dan seascape di tingkat lokal. Ia juga akan berperan dalam manajemen pengetahuan di mana diharapkan akan menghasilkan beberapa produk yang mengekspresikan proses masyarakat dalam mengelola pengetahuan mereka lewat proyek COMDEKS. Dengan lokasi Semau yang berada dekat dengan kota Kupang, SGP direkomendasikan bekerjasama dengan salah satu LSM besar di Kupang dalam melakukan pengawalan proses persiapan dan pelaksanaan, sekaligus melakukan monitoring dan evaluasi. LSM ini akan menjadi perpanjangan tangan SGP dalam hal mengawal program-‐program yang akan berbasis desa, dan melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala. Skema ini memang tidak sama dengan yang selama ini dilakukan SGP, namun demikian, tampaknya SGP sudah akan merubah skema monevnya dengan meminta bantuan satu lembaga yang terpilih agar program-‐ program SGP dapat dimonitor dan dievaluasi secara lebih obyektif. Ada beberapa organisasi di Kota Kupang dan sekitarnya yang memenuhi criteria dan kualifikasi. Yayasan PIKUL adalah kandidat paling kuat. Masyarakat dan stakeholder lain yang terkait akan menjadi peserta aktif dalam proses monitoring dan evaluasi yang akan dilakukan. Monev bukan saja akan melihat perkembangan yang terjadi di masyarakat yang terdampak langsung, tapi juga melihat pengaruh proyek pada stakeholders lain. PPN akan dilibatkan dalam monev, mulai dari mendapat laporan hasil monev, sampai melibatkan pada monev langsung ke lapangan berdasarkan keahlian yang dibutuhkan. Lembaga yang terpilih menjadi pelaksana pengawalan kegiatan dan monev di Kupang akan secara rutin ke lapangan. Di awal proyek, diharapkan pendampingan akan dilakukan per 2 minggu. Jika sudah berjalan 3 bulan, maka pendampingan bisa dilakukan per bulan sampai mencapai akhir tahun pertama.Monev dilakukan per 6 bulan di tahun pertama. Di tahun ke dua, pendampingan bisa dilakukan per 2 bulan, monev dilakukan di semester 3 dan akhir program. Hasil monev terakhir akan dikonsultasikan dalam lokakarya para pihak di tingkat kabupaten dan nasional.
Dalam perencanaan monev yang akan datang, setiap proyek SGP akan dimonitor dan evaluasi oleh satu lembaga independen terpilih. Waktu monev akan ditentukan bersama oleh SGP dengan lembaga terpilih tersebut dengan melihat kebutuhan proyek-‐proyek SGP dan lokasi geografisnya. Monitoring dan evaluasi akan dilaksanakan di 2 level, di level program lanskap Negara dan di level proyek individu. M&E di level program Landscape Negara: Nilai SEPL akan digunakan pada jangka waktu yang ditentukan setiap tahun untuk mengukur dan mendokumentasikan perubahan terhadap nilai-‐nilai dihasilkan pada bulan Oktober 2013. Sebuah penilaian akhir indicator SEPL akan berlangsung pada lokakarya yang dibiayai oleh dana hibah. Proses ini akan berfungsi sebagai evaluasi akhir dari strategi program landscape negara. M&E di level proyek tertentu: Sebelum persetujuan proyek, setiap proyek harus mengidentifikasi hasil strategi lanskap secara spesifik untuk memberikan kontribusi dan pemantauan indikator terkait. Kemajuan terkait outcome atau hasilnya akan diperbarui menggunakan laporan kemajuan penerima hibah. Selain itu, proyek individu akan memiliki sistem indikator yang selaras dengan indicator GEF SGP OP5.
22
Rencana Pengelolaan Pengetahuan Saat ini SGP melakukan pertemuan tahunan Teras Mitra (the Terrace of SGP Grantees) yang memamerkan produk-‐produk layak jual yang dihasilkan oleh mitra SGP di seluruh Indonesia. Di masa yang akan datang, SGP berniat untuk melakukan pertemuan mitra SGP per tahun agar ada wadah para mitra SGP untuk bertemu, berbagi pengalaman, berdiskusi dan melakukan pertukaran pengetahuan praktis yang bermanfaat bagi masing-‐masing proyek. Pertemuan ini juga memungkinkan mitra SGP bertemu dengan PPN dan pihak lain (akademisi, pemerintah, swasta) yang diundang sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan. Pertemuan ini juga akan dimanfaatkan agar kerja-‐kerja mitra bisa diketahui oleh publik, dengan cara mengundang media dan melakukan pameran yang dibuka untuk umum. Sampai saat ini, pembelajaran dari proyek-‐proyek SGP telah didokumentasikan dalam bentuk buku, yaitu: -‐ -‐
Pengalaman Terbaik Menginspirasi Indonesia (dalam bentuk komik) Mewarnai Indonesia (dalam bentuk photostory)
Seperti juga proyek SGP lainnya, proyek COMDEKS ini akan diperlakukan sama. Mitra proyek COMDEKS akan hadir pada pertemuan tahunan, menjadi subyek pembelajaran dari pendokumentasian knowledge management SGP dan jika memungkinkan, menjadi wilayah pembelajaran dari pihak lain, karena mencakup pengelolaan suatu wilayah pulau yang cukup kompleks permasalahannya. Di masa yang akan datang, SGP berniat untuk mengadakan SGP Award, yang melombakan dokumentasi berupa film yang dikirim oleh mitra tentang proyeknya masing-‐masing. Event ini akandilakukan setahun sekali, dan diharapkan dapat mendorong pendokumentasian pengetahuan secara aktif dari mitra-‐mitra SGP. SGP Award dapat menjadi ajang pameran dokumentasi pengetahuan para mitra SGP untuk publik. Selain itu, sekretariat SGP juga mendorong setiap mitra melakukan semacam perayaan dari kerja-‐ kerja mereka di setiap akhir proyek.Perayaan ini dapat dipilih bersamaan dengan event penting lainnya sesuai dengan situasi di wilayahnya masing-‐masing. Dalam fase pengembangan strategi nasional, proyek COMDEKS di Semau telah mengundang partisipasi dari pihak-‐pihak lain yang berkepentingan di pulau Semau. Salah satunya adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Mereka memiliki program-‐program pengembangan pulau kecil.S aat ini KKP khususnya Direktorat Pendayagunaan Pulau-‐Pulau Kecil telah tertarik untuk bisa ikut mendukung pengembangan pulau Semau sesuai kapasitas yang mereka miliki. Ke depannya, pembelajaran tentang Semau dapat disebarkan melalui FGD dengan pihak-‐pihak terkait, pameran dokumentasi (foto, film dan flyer) dalam ajang SGP Award atau pertemuan tahunan mitra SGP, ataupun dalam diskusi-‐diskusi lokal di tingkat kabupaten Kupang dan propinsi NTT yang diinisiasi oleh mitra SGP maupun oleh pihak lain. Keterlibatan media dalam menyebarluaskan pembelajaran tentang proyek COMDEKS dan proyek SGP lainnya juga sangat diperlukan. Oleh karena itu, SGP juga memiliki hubungan baik dengan beberapa media yang dianggap strategis, agar bisa memuat tulisan mengenai pembelajaran dari proyek-‐proyek COMDEKS dan proyek SGP lainnya dalam bentuk artikel yang menarik. SGP juga aktif bekerjasama dengan jaringan LSM lainnya yang memiliki wadah serupa untuk berbagi pengetahuan dengan publik.
23
Referensi Adam, Jack. Perusakan Hutan di Timor dan Pulau di Sekitarnya Memprihatinkan, Suara Pembaruan Online 2 Jan. 1997 www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/01/02/0028.html>. Badan Pusat Statistik, Kecamatan Semau dalam Angka 2009 – 2012, BPS Kabupaten Kupang. Badan Pusat Statistik (2008,2009,2010,2011,2012). Kecamatan Semau Dalam Angka, BPS Badan Pusat Statistik (2008,2009,2010,2011,2012). Kecamatan Semau Selatan Dalam Angka, BPS _________________, Kecamatan Semau Selatan dalam Angka 2009 – 2012, BPS Kabupaten Kupang. Foenay, Rolinda Inneke, 2011. “Penilaian Efektifitas Pengelolaan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Kupang Nusa Tenggara Timur.” Unpublished Thesis. Denpasar: Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Udayana. Fox, J. J. (1996). Panen Lontar: Perubahan Ekologi dalam Masyarakat Rote dan Sawu. Jakarta: Sinar Harapan. Hägerdal, H. (2012). Lords of the land , lords of the sea. Conflict (pp. 1600–1800). Leiden: KITLV Press. Kamlamsi, Yusuf, 2008. Kajian Ekologis dan Biologi untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur.” Unpublished Thesis. Bogor: Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-‐Pulau Kecil dan Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kupang, 2010.Rencana Pengelolaan 20 Tahun Taman Nasional Perairan Laut Sawu (2011-‐2030). Draft tidak untuk Disebarluaskan. Lauwoie, Yvonny, 2010.Keterkaitan Kondisi Terumbu Karang dengan Kelimpahan Ikan Herbivora di Pesisir Selatan Teluk Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Unpublished Thesis. Bogor: Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Monk, Kathryn A., Yance de Fretes dan Gayatri Reksodiharjo-‐Lilley, 1997. The Ecology of Nusa Tenggara dan Maluku. Singapore: Periplus Editions. Munasik, H. Adri, et al. Kondisi Terumbu Karang di Taman Nasional Perairan Laut Sawu Provinsi Nusa Tenggara Timur.The paper was presented at Workshop Sosialisasi Peraturan Gubernur tentang Pengelolaan Terumbu Karang COMEMAP II, Kupang 25 Juli 2011.
24
Ormeling, F. J. (1955). The Timor Problem A Geographical Interpretation of Undeveloped Island. The Hague: Martinus Nijhof. Paulus, Chaterina Augusta, 2012. Model Pengembangan Minapolitan Berbasis Budidaya Laut di Kabupaten Kupang. Unpublished Disertation. Bogor: Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup IPB.
Soetedjo, P., Aspatria, U., Surayasa, M. T., & Rachmawati, I. (2009). Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Pulau Semau. Jakarta: Yayasan KEHATI The Nature Conservancy, tanpa tahun. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Kabupaten Kupang – Pulau Semau. Brief Report. Kupang: TNC. United Nations University Institute of Advanced Studies (UNU-‐IAS), 2013.Indicators of Resilience in Socio-‐ecological Productions Landscapes (SEPLs). Policy Report. Yokohama: UNU-‐IAS. Yayasan Pengembangan Pesisir dan Laut (YPPL) dan The Nature Concervancy (TNC), 2011.Pemetaan Partisipatif Taman Nasional Perairan Laut Sawu. Final Report. Kupang: YPPL.
Lampiran 1. Skor Penilaian SEPLS yang Dilaksanakan pada Tanggal 18 November 2013 Ecosystems protection and the maintenance of biodiversity
Stakeholder
Agricultural and mariculture biodiversity
Knowledge, learning and innovation
Lexi Adu
3.80
3.75
3.81
Otniel Lona Ridolof Loao Yelkianus Lido Marice Laiskodat Rini Boboy
4.00 4.40 4.20 3.60 4.00
3.50 3.50 3.50 4.25 3.50
4.13 4.75 4.75 3.19 3.94
Zefanya Tausbele Herman Lay Yusak Manafe Fenis Doky Seprinanus Batu
4.20 4.40 4.80 3.60 4.20
4.00 4.00 3.25 3.50 4.00
3.72 3.53 3.56 3.94 3.31
Habel Solet Mellod Solu Abjen Lona Anis Bako Merry Mestuni
3.40 4.20 4.60 4.40 4.00
4.33 3.50 4.00 3.75 3.75
3.88 3.50 4.00 3.75 3.72
Seprianus A. B Mestuni Yaner Taopan Lasarus Lola Samuel Lasi
3.80 4.20 4.00 4.00
3.75 3.75 3.75 3.75
3.97 3.84 3.60 3.84
Johan R. Lima Evan Beeh Yoel Bising
4.00 4.40 4.40
4.00 3.50 3.75
3.53 3.81 3.84
20
Social equity and infrastructure 3.63 3.38 3.38 3.50 3.63 3.38 3.00 3.50 4.13 4.13 3.75 3.14
4.75 3.75 3.38 3.88 3.13 3.63 2.88 3.43 3.88 3.13
4.25
Nilai rata-‐rata untuk setiap kategori secara otomatis dihitung di bawah ini: Ecosystems protection
Lowest third Mean rating Highest third Standard dev.
Agricultural and mariculture biodiversity
4.08
3.75
3.98
4.11 4.18 0.334805707
3.75 3.75 0.268833832
3.82 3.76 0.367828327
Knowledge, learning and innovation
Social equity and infrastructure 3.63 3.59 3.64 0.441580109