Cina di Masa Deng Xiaoping (II) Keberhasilan reformasi ekonomi Cina ternyata tidak diiringi dengan reformasi di bidang politik. Di samping tiadanya penegasan fungsi yang berbeda antara partai dan pemerintah, partisipasi rakyat Cina masih dihambat dengan tidak diperbolehkannya pemilihan secara langsung untuk menetapkan pemimpin-pemimpin mereka serta relatif dibatasinya kesempatan untuk mendirikan partai politik atau kelompok kepentingan. Ini adalah hal yang irons, mengingat sesungguhnya konstitusi Cina telah menetapkan `hak-hak politik rakyat', selama 'hak-hak' itu tidak bertentangan dengan Empat Prinsip Dasar yang dirumuskan oleh Deng Xiaoping (Jalan Sosialis, Kediktatoran Rakyat Demokratik, Kepemimpinan Partai, dan inti ajaran MarxismeLeninisme Maoisme). Mereka yang berseberangan dengan partai dan pemerintah, khususnya mahasiswa, seringkali menggelar bcrbagai protes dan demonstrasi menuntut keterbukaan politik. Pada dasarnya tuntutan para mahasiswa itu dapat dibagi dalam empat kategori, yaitu (1) demokratisasi prosedur pemilihan umum, (2) perlunya sistem multipartai, (3) kebebasan politik yang lebih luas, termasuk ke dalamnya kebebasan untuk menentukan masa depan sendiri, dan (4) percepatan reformasi politik. Empat tuntutan ini adalah cerminan perjuangan figur sentral demokrasi Cina, Fang Lizhi. Semua protes dan demonstrasi itu, disusul oleh serangan partai terhadap ide-ide reformasi politik Fang dan aktivis pro-demokrasi lainnya (dengan menyatakan ide-ide itu sebagai "liberalisasi borjuis" alias penentangan
terhadap
prinsip-prinsip
sosialisme
dan
advokasi
kapitalisme),
memuncak pada apa yang disebut sebagai Tragedi Tiananmen, 3 dan 4 Juni 1989. 1. Kronologi Singkat Tragedi Tiananmen Sejumlah mahasiswa, khususnya dan Universitas Beida, bertemu secara rahasia pada musim semi 1988 untuk merencanakan gerakan nasional pengumpulan tanda tangan guns meminta perhatian para pemimpin PKC atas masalah-masalah inflasi, pengabaian standar hidup pekerja, dan kurangnya pendidikan. Rencananya, suatu demonstrasi akan dilangsungkan pada peringatan ke-70 tahtin gerakan 4 Mei 1919. Namun, meninggalnya Hu Yaobang pada tanggal 15 April 1989 membuat para mahasiswa bergerak cepat. Hari-hari hari berikutnya
Universitas Gadjah Mada
mereka mengadakandemonstrasi besar-besaran menentang kekuasaan absolut partai. Pada tanggal 21 April
Politbiro memutuskan untuk bertindak, tetapi
ditentang oleh Deng yang menginginkan militer menyelesaikan masalah tersebut. Sebagai langkah awal Deng mengeluarkan pernyataan pada tanggal 26 April bahwa pemberontakan para mahasiswa dianggap sebagai melawan partai, sistem sosialis dan kontrarevolusi sehingga harus dihadapi dengan kekerasan. Tanpa menyuarakan
mengindahkan tuntutan
ancaman
mereka.
Di
Deng,
mahasiswa
tengah-tengah
terus
ancaman
bergerak
penggunaan
kekuasaan, Deng sempat memerintahkan PM Zhao Ziyang untuk melakukan pendekatan kepada mahasiswa. Usulan-usulan pendekatan yang disampaikan oleh Zhao tidak menyurutkan langkah para mahasiswa. Sampai dengan saat itu, pemerintah masih menahan diri karena pada saat yang sama tengah berlangsung pertemuan Asian Development Bank yang pertama kalinya di Beijing dan kunjungan historis Presiden Uni Soviet Mikail Gorbachev. Sehari sebelum kunjungan Gorbachev pada tanggal 16 Mei, Zhao mengusulkan kepada Politbiro Empat Poin Rencana' untuk mengatasi keadaan, yaitu (1) penolakan atas pernyataan Deng tanggal 26 April yang menganggap mahasiswa sebagai pemberontak, (2) penyidikan terhadap korupsi para pejabat tinggi dan keluarganya, (3) publikasi keuangan kaderkader partai level atas, dan (4) penghapusan hak-hak istimewa pejabat partai. Usulan Zhao ini mentah setelah kalah saat diadakan voting dalam sidang Politbiro. Setelah demonstrasi menuntut mundurnya Deng dan Li Peng semakin meluas, sekali lagi Zhao mengusulkan perlunya mengadopsi tuntutan para mahasiswa. Namun, Deng dan Li menampiknya dengan kasar sehingga saat itu juga Zhao mengundurkan difi. Pada tanggal 18 Mei, bersamaan dengan hari ketujuh mogok makan para mahasiswa demonstran, Li mengeluarkan peringatan bernada ancaman sekaligus menyerukan pertemuan konsiliasi yang ditayangkan oleh televisi secara nasional. Seruan ini ditolak oleh mahasiswa yang sudah terlanjur `patah arang' dengan sikap partai. Setelah Zhou menyarankan agar mahasiswa menerima seruan itu untuk menghindari pertumpahan darah, barulah para pemimpin demonstrasi mcminta massanya untuk menghentikan sementara aksi mereka. Tetapi, pemerintah kemudian kehilangan kesabaran. Pada akhir Mei pemerintah mengumumkan Undang-Undang Darurat pe-rang di seluruh kota Beijing dan mengerahkan semua kekuatan militer dari luar kota Beijing dengan tujuan menumpas `pemberontakan mahasiswa'. Hal ini mengundang kemarahan rakyat yang sejak lama telah
Universitas Gadjah Mada
bersimpati kepada perjuangan para mahasiswa. Sementara itu, aksi mogok makan dihentikan dan digantikan dengan aksi duduk sebagai barikade di Tiananmen. Pada awalnya tugas untuk menggempur mahasiswa di Tiananmen jatuh ke tangan Tentara ke-38 dan Komando Garnisun Beijing. Tetapi, dua hari setelah pemberlakuan Hukum Darurat, pasukan Tentara ke-38 gagal melaksanakan perintah dan pemerintah pusat untuk mengusir para mahasiswa. Ada dua alasan mendasar mengapa Tentara ke-38 mengalami kegagalan. pertama, pertimbangan adanya keengganan para perwira profesional muds untuk terlibat dalam penggunaan kekerasan guna memadamkan demonstrasi mahasiswa. Alasan lainnya, seperti diungkapkan oleh mantan anggota Tentara ke-38, adalah bahwa Tentara ke-38 (yang bermarkas di pinggiran selatan Beijing) telah membina hubungan dekat dengan penduduk ibu kota, terutama para mahasiswa yang menghabiskan waktu musim pangs di kamp militer dan direkrut sebagai milisi wajib militer. Sesungguhnya, banyak perwira senior dalam militer yang memprotes penggunaan kekerasan untuk meredakan demonstrasi di Tiananmen. Setelah mencium adanya perselisihan dalam tubuh TPR mengenai pelaksanaan Hukum Darurat, Deng mengadakan rapat darurat dengan tujuh Komandan Daerah Militer di Wuhan. Akhirnya, pada tanggal 25 Mci, enam dari tujuh Komandan Daerah Militer bersumpah menyatakan dukungan mereka sepenuhnya terhadap Hukum Darurat. Satu-satunya yang menolak adalah Daerah Militer Pusat Beijing. Tak lama setelah persetujuan tersebut, tentara mulai dikerahkan dari daerah-daerah lain di Cina dengan tujuan untuk mengawal pelaksanaan Hukum Darurat, tetapi dalam kenyataannya mereka diterjunkan untuk mencegah pemberontakan militer yang mungkin dilakukan oleh Tentara ke-38 atau oleh unit-unit militer lainnya dan menumpas demonstrasi para mahasiswa. Tentara yang dikerahkan mendekati 150 ribu orang dengan persenjataan lengkap. Ribuan anggota TPR yang didukung oleh kendaraan-kendaraan lapis baja dan tank bergerak masuk ke Tiananmen pada 2 Juni sore. Keesokan paginya sekitar tiga ratus tentara menyerbu para mahasiswa Institut Hukum dan Politik. Sementara itu, di jalan Fuyon dan Xidan, ribuan warga masyarakat yang juga ikut berdemonstrasi dihujani gas air mats. Sore harinya, ratusan warga membalas dengan mengepung tentara dan polisi serta kemudian menghancurkan banyak kendaraan tentara serta lampu pengatur lalu
Universitas Gadjah Mada
Kira-kira pukul 6 pagi pada tanggal 4 Juni, pemerintah menyiarkan pemberlakuan keadaan darurat kepada seluruh warga negara. Ribuan warga bersama dengan para mahasiswa tumpah ruah di Tiananmen menentang seruan pemerintah ini. Sebagai akibatnya, pemerintah kemudian mengerahkan pasukan dengan jumlah besar. Di sebelah barat Tiananmen pasukan dari Divisi 27 Hefei telah terlebih dahulu menembaki massa dan gedung-gedung dengan brutal. Di Xidan, penduduk berusaha mengalangi laju kendaraan-kendaraan lapis baja dan tank-tank dengan membuat alang rintang di jalan-jalan utama. Namun, secara tibatiba sekelompok pasukan melompat keluar dari truk-truk dan menembaki para mahasiswa dan penduduk. Sementara itu, di sebelah timur Tiananmen, empat orang tewas seketika setelah ditabrak oleh tank. Siang harinya sekitar enam ratus tentara telah mengambil alih the Great Hall dan memaksa mundur para mahasiswa. Para mahasiswa kemudian menyanyikan lagu Internationale dan dikawal oleh pasukan TPR menuju monumen People's Heroes. Sejumlah pemimpin demonstrasi mahasiswa sebenarnya telah berhasil mencapai kesepakatan dengan tentara. Namun, untung tak bisa diraih, naas tidak bisa ditolak. Sejurus kemudian pasukan TPR kembali menyerbu dan menembaki massa demonstran. Pada pukul 5 pagi tanggal 5 Juni, pasukan tentara dan kendaraan lapis Baja merusak tenda-tenda mahasiswa, menggilas patung Goddess of Democracy serta mengejar dan menembaki secara brutal para mahasiswa yang sedang mundur dengan saling berpegangan tangan dan menyanyikan lagu Internationale. Banyak versi tentang jumlah korban tragedi Tiananmen, tetapi perkiraan terbaik jumlah korban tewas dari peristiwa tragis itu adalah sekitar tiga ribu jiwa. 2. Dampak Tiananmen terhadap Politik dan Ekonomi Cina Tragedi Tiananmen menimbulkan kecaman hebat dari dunia internasional. Para pemimpin negara-negara terkemuka, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa, seakan berlom-lomba menyampaikan kritik dan kecaman mereka terhadap pemerintah Cina. Rejim Deng Xiaoping dianggap telah keterlaluan dalam melanggar hak-hak asasi manusia. Alih-alih keterbukaan politik, yang muncul kemudian adalah restriksi yang jauh lebih luas. Secara umum, tidaklah berlebihan bila Cina dikatakan menjadi terisolasi dalam pergaulan internasional sebagai akibat dari tragedi Tiananmen.
Universitas Gadjah Mada
Jauh sebelum pembantaian Tiananmen, ekonomi Cina sebenarnya telah menghadapi masalah serius. Pada dekade 1978 - 1988 Cina mengalami pertumbuhan eksesif yang mengarah pada `ekonomi yang terlampau panas'. Tiga indikasi untuk itu adalah tingkat inflasi yang tinggi hingga 30%, tingkat pertumbuhan industri yang sangat tinggi dan tidak terkendali, dan kemerosotan produksi padi setelah tahun 1984 yang mengakibatkan naiknya harga-harga bahan pokok hingga 48% dan non-bahan pokok hingga 24%. Reaksi dunia yang pertama terhadap pembantaian Tiananmen meliputi pemboikotan di bidang pariwisata serta penundaan pinjaman dan investasi asing di Cina. Penurunan jumlah wisatawan yang datang ke Cina berimplikasi pada penurunan
cadangan
devisa.
Beberapa
negara
industri
Barat
menunda
perpanjangan pinjaman dan kredit kepada Cina selama tahun 1989. Sementara itu, Jepang menangguhkan proyek bantuannya untuk Cina. Bank Dunia menghentikan tujuh proyek pinjaman untuk pembangunan di bidang industri, energi, transportasi. (Meskipun demikian, pada bulan Mei 1990 Bank Dunia memutuskan untuk meminjamkan tiga ratus ribu dolar bagi proyek reboisasi Cina). Dampak kumulatif dari penundaan pinjaman dan kredit luar negeri kepada Cina adalah penangguhan pengembangan proyek energi yang sangat dibutuhkan serta penghentian dana untuk perbankan Cina. Sebagai akibatnya, terjadilah resesi besar dan menurunnya investasi asing sampai pada tingkat yang memprihatinkan. Pada enam bulan pertama setelah penindasan militer di Tiananmen, Cina berada dalam resesi ekonomi. Pembatasan dan pengontrolan kebijakan kredit dan pinjaman di bawah program pengetatan membawa dampak sebagai berikut : penurunan keluaran industri sehingga laba tahunan hanya sekitar 2,3%. Inflasi masih sekitar 21,4% di 35 kota besar untuk sepuluh bulan pertama di tahun 1989. Banyak pabrik menghentikan produksi karena sulitnya memperoleh kredit. Permintaan terhadap barang konsumsi tahan lama di daerah perkotaan telah mencapai titik jenuh dan petani desa lebih tertarik pada investasi perumahan. Timbulnya ketakutan dan ketidakpastian perusahaan pedesaan yang sedang berkembang mengingat angin politik sedang bergeser ke sayap kanan. Di akhir tahun 1989 banyak industri pedesaan atau pedalaman juga menghentikan produksi.
Universitas Gadjah Mada
Kemerosotan industri di sektor kota maupun desa menciptakan masalah pengangguran yang serius. Hasil program pengetatan ini ternyata tidak seusai dengan yang diharapkan: inflasi tetap tinggi, timbul kerugian produktivitas, dan anggaran negara mengalami defisit.
Universitas Gadjah Mada